Download - laptut SKEN 1 blok 17.doc
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkah-
Nyalah kami dapat melakukan diskusi tutorial dengan lancar dan menyusun laporan hasil
diskusi tutorial ini dengan tepat waktunya.
Kami mengucapkan terima kasih secara khusus kepada dr. Januarman dan dr. Devi
Rahmadhona sebagai tutor atas bimbingan beliau pada kami dalam melaksanakan diskusi
ini. Kami juga mengucapkan terima kasih pada teman-teman yang ikut berpartisipasi dan
membantu kami dalam proses tutorial ini.
Kami juga ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan-kekurangan
yang ada dalam laporan ini. Hal ini adalah semata-mata karena kurangnya pengetahuan kami.
Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun yang
harus kami lakukan untuk dapat menyusun laporan yang lebih baik lagi di kemudian hari.
Mataram, 27 April 2014
Penyusun
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar …………………………………………………………………. 1
Daftar Isi ……………………………………………………………………….. 2
BAB I : PENDAHULUAN
1.1. Skenario………………………………………………………………... 3
1.2. Learning Objective (LO)……………..………………………...……… 3
1.3. Mind Map……………………………………………………………… 4
BAB II : PEMBAHASAN
1.1. Lesi UMN…...………………………..….…………………………….. 5
1.2. Lesi LMN…………………….………..……………………………….. 8
1.3. Stroke hemoragik…....…………...…………..………………………… 14
1.4. Stroke iskemik…….……..……………………….……………………. 18
1.5. Bell’s palsy……………………………..……………………………….22
BAB III : PENUTUP…………………………………………………………… 28
Daftar Pustaka…………………………………………………………………... 29
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. SKENARIO 1
Aduh kepalaku sakit sekali…
Tn R, 60 th dibawa oleh keluarganya ke IGD RS pendidikan UNRAM d engan keluhan sakit
kepala sejak 3 hr yang lalu. Keluhan sakit kepala disertai dengan lemah anggota badan
sebelah kanan sejak tadi pagi saat tn R sedang mencangkul di sawah. Keluhan sakit kepala
dan lemah sebagian anggota badan disertai muntah muntah dan bicara pelo dan kelainan otot-
otot wajah. RPD : riwayat HT, riwayat DM.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan Ku sedang, GCS E3VaffM5. TD 190/90 N 110x/mnt, RR
20x/mnt, Tax 37,8 c. dokter IGD kemudian melakukan pemeriksaan fisik umum dan status
neurologis terhadap pasien. Dari hasil pemeriksaan didapatkan : motorik ektremitas sup dan
inf dextra 3 sedang yg kiri 5.
Sebagai dokter IGD, apakah yang anda lakukan saatanda sedang bertugas.
1.2. LEARNING OBJECTIVES
1. Lesi UMN dan LMN
2. DD
3
1.3. MIND MAP
4
BAB II
PEMBAHASAN
1.1. LESI UMN
Karakteristik dari lesi pada upper motor neuron:
Tidak ada atrofi pada otot-otot yang lumpuh;
peningkatan tonus otot (penggambaran gejala seperti saat membuka pisau lipat);
kelemahan yang terjadi pada kebanyakan otot-otot yang melawan gravitasi;
peningkatan refleks dan klonus;
respons extensor plantar dan refleks automatisme spinal.
1. Contralateral Monoparesis
Lesi terjadi pada daerah perifer dari hemisfer serebri. Melibatkan bagian dari homunculus
motorik, menghasilkan kelumpuhan pada bagian kontralateral tubuh, misalnya kaki sebelah
kontralateral. Jika lesi juga melibatkan homunculus sensorik yang berdekatan dengan girus
postsentral, dan terdapat beberapa kelumpuhan sensorik pada bagian tubuh yang sama.
2. Contralateral Hemiparesis
Terdapat lesi yang letaknya dalam di hemisfer serebri, pada daerah kapsula interna,
menghasilkan kelumpuhan pada bagian kontralateral tubuh, wajah, lengan dan kaki. Karena
saluran dari jalur serabut saraf terletak di daerah kapsula interna, beberapa lesi umumnya
mengakibatkan kelumpuhan sensorik kontralateral yang signifikan (hemianaesthesia) dan
gangguan penglihatan (homonymous hemianopia) selain hemiparesis.
5
3. Ipsilateral Monoparesis
Lesi aunilateral pada spinal cord dibawah tingkatan dari leher yang menghasilkan
kelumpuhan UMN pada satu kaki. Lesi tidak kontralateral. Terjadi kelumpuhan disosiasi sensorik
dan gambaran tersebut dinamakan sindrom Brown-sequard.
4. Ipsilateral hemiparesis
Lesi unilateral pada cervical cord akan menghasilkan hemiparesis yang mirip dengan lesi
hemisfer serebri kontralateral, kecuali bagian muka yang tidak terkena hemiparesis, penglihatan
normal dan terjadi disosiasi sensoris pada daerah lesi.
6
5. Paraparesis
Jika lesi terletak pada atau di bawah bagian servikal dari spinal cord.
6. Tetraparesis or quadriparesis
Jika lesi pada bagian atas cervical cord atau batang otak.
Menurut letaknya, lesi pada UMN dapat ditemukan di berbagai bagian seperti :
1. Hemiplegia akibat hemilesi di korteks motorik primer
a. Menimbulkan kelumpuhan pada bagian tubuh sisi kontralateral à hemiparalisis
b. Melibatkan seluruh otot skeletal sesisi tubuh, berikut otot wajah, pengunyah dan penelan
c. Paraplegia
d. Afasia sensorik/motorik
e. Spastisitas
2. Hemiplegia akibat hemilesi di kapsula interna
a. Tanda-tanda kelumpuhan UMN pada bag. Kontralateral tubuh, wajah, lengan & kaki.
b. Disertai rigiditas, atetosis, distonia, tremor atau hemianopia.
c. Disatria
3. Hemiplegia alternasn akibat hemilesi dibatang otak:
a. Sindrom hemiplegia alternans di mesensefalon
Paralisis m. rektus internus, superior dan inferior, m. oblikus inferior, m. levator palpebrae
superior à strabismus, diplopia, ptosis.
Paralisis m. sfingter pupilae à midriasis
7
b. Sindrom hemiplegia alternans di pons.
Kelumpuhan UMN yang melibatkan belahan tubuh sisi kontralateral yang berada di bawah
tingkat lesi, yang berkombinasi dengan kelumpuhan LMN n. VI/n. VII.
c. Sindrom hemiplegia alternans di medula spinalis
Kelumpuhan UMN yang terjadi melibatkan belahan tubuh kontralateral yang berada di bawah
tingkat leher dan diiringi oleh kelumpuhan LMN pada belahan lidah sisi ipsilateral.
4. Tetraplegia/Kuadriplegia dan paraplegia akibat lesi di medula spinalis di atas tingkat konus
Tiap lesi di medulla spinalis yang merusak daerah jaras kortikospinal lateral menimbulkan
kelumpuhann UMN pada otot-otot bagian tubuh yang terletak di bawah tingkat lesi.
1.2. LESI LMN
Kelumpuhan LMN
Kelumpuhan LMN timbul akibat kerusakan pada final common path, motor end plate dan otot.
Tanda
Kelemahan atau paralisis
Hipotonia
Kehilangan refleks tendon
Normal pada abdominal dan tendon refleks.
Kelumpuhan LMN di uraikan menurut komponen-komponen LMN :
Kelumpuhan LMN akibat lesi di motorneuron
1. Sindrom lesi di kornu anterius
Contohnya : pada poliomielitis anterior akut.
8
Gejala awal berupa gejala infeksi umum : demam, lesu, sakit kepala, berkeringat banyak,
anoreksia, sakit kerongkongan, muntah, diare, dan nyeri otot.
Tahap kelumpuhan bermula pada akhir tahap nyeri muskular. Anggota gerak yang mengalami
kelumpuhan adalah ekstremitas. Korban poliomyelitis anterior akut adalah terutama terjadi
pada anak-anak.
2. Sindrom lesi yang selektif merusak motorneuron dan jaras kortikospinalis
Karena sebab yang belum diketahui, motorneuron trunkus serebri dan medulla spinalis dalam
kombinasi dengan serabut-serabut kortikobulbar/kortikospinal dapat bergenerasi. Beberapa
patogenesis yang mungkin telah dikemukakan :
a. Poliomielitis kronik
b. Penyakit herediter
c. Slow viral infection
d. Akibat toksin yang berlokasi di substansia grisea sentralis.
Menimbulkan kelumpuhan yang disertai tanda LMN dan UMN secara berbauran. Namun pada
tahap lanjut hanya tanda LMN saja yang tertinggal. Di batang otak, inti-inti saraf otak motorik
terkena proses degeneratif itu juga, sehingga lidah dan otot-otot penelan lumpuh secara
bilateral. Atrofi dan fasikulasi tampak pada lidah dengan jelas. Namun bisa ditemukan refleks
maseter meninggi.
3. Sindrom lesi yang merusak motorneuron dan fusikulus anterolateralis.
Biasanya disebabkan oleh penyumbatan a.spinalis anterior. Penyumbatan ini mengakibatkan
lesi vaskular (infark) pada satu sampai beberapa segmen, sehingga menimbulkan :
a. Kelumpuhan LMN bilateral pada otot-otot yang disarafi oleh motorneuron yang terkena
lesi
b. Hilangnya perasaan akan nyeri, suhu dan perabaan pada bagian tubuh secara bilateral dari
tingkat lesi ke bawah
c. Masih utuhnya kemampuan untuk merasakan rangsangan gerak, getar, sikap dan posisi
bagian tubuh.
Kelumpuhan LMN akibat lesi di radiks ventralis
1. Kelumpuhan akibat kerusakan pada seluruh radiks ventralis
Kelumpuhan LMN yang disebabkan oleh kerusakan pada radiks ventralis dicirikan oleh
adanya fibrilasi. Sebenarnya foramen elekromiografik itu mengungkapkan keadaan otot yang
mengalami denervasi.
Kelumpuhan LMN paling sering dijumpai pada otot-otot anggota gerak, berikut kelompok
otot di sekitar persendian bahu dan pinggul.
2. Kelumpuhan akibat kerusakan pada radiks ventralis setempat.
Kelumpuhan LMN yang terjadi akibat kerusakan radiks ventralis dari satu atau dua segmen
saja, tidak akan mempunyai arti, jika yang dilanda otot yang menyusun muskulatur toraks atau
9
abdomen. Lain halnya jika otot anggota gerak yang terkena kelumpuhan, kecanggungan
gerakan voluntar.
Proses patologik yang mengganggu radiks ventralis (dan dorsalis) setempat, pada umumnya
lebih jelas (dan juga lebih dini) diungkapkan oleh gangguan terhadap radiks dorsalisnya. Lesi
yang mengganggu satu radiks menimbulkan gejala motorik dan sensorik yang khas. Kelebihan
dan defisit sensoriknya atau nyerinya kedua-duanya menunjukkan sifat radikular, yang berarti,
yang terkena kelainan adalah kawasan satu dermatoma atau satu miotoma saja. Misalnya,
penekanan pada radiks ventralis C.5 dan C.6 menimbulkan atrofia dan kelemahan tenaga otot-
otot yang berasal dari miotoma C.5 dan C.6, yang menyusun otot-otot bahu (m.supraspinatus,
m.teres mayor, m.deltoideus, m.infraspinatus, m.subskapularis, dan m.teres mayor).
Kelumpuhan akibat kerusakan pada pleksus brakialis
Di tingkat torakal dan lumbal atas saraf spinal langsung berlanjut sebagai saraf perifer. Tetapi di
tingkat intumesensia servikalis dan lumbosakralis saraf spinal menghubungi satu dengan yang lain
melalui percabangan anastomosis masing-masing, sehingga membentuk anyaman, yang dinamakan
pleksus servikalis dan pleksus brakialis.
Kelumpuhan akibat lesi di pleksus brakialis dapat disebabkan oleh lesi yang merusak secara
menyeluruh atau setempat. Proses degeneratif herediter, toksik, neoplamatik atau infeksi dapat
merusak secara menyeluruh. Lesi yang menduduki sebagian dari pleksus brakialis biasanya berupa
trauma, penekanan, dan penarikan setempat.
Pada sindrom pleksus brakialis akibat proses difus di seluruh pleksus brakialis terdapat
kelumpuhan LMN dengan fibrilasi dan nyeri spontan, yang dapat bergandengan dengan hipalgesia
atau dengan parastesia. Walaupun terdapat manifestasi yang menyeluruh pada lengan dan bahu,
pada umumnya gejala-gejala abnormal yang berat terdapat diarea sensorik dan motorik C.5 dan C.6
saja. Saraf perifer yang terutama disusun oleh serabut-serabut radiks ventralis dan dorsalis C.5 dan
C.6 itu ialah, n.frenikus, n.torakalis longus, m.supraklavikularis, n.skapularis dorsalis dan n.ulnaris.
Kelumpuhan akibat lesi di pleksus lumbosakralis
Anyaman pleksus lumboskralis lebih sederhana daripada anyaman pleksus brakialis. Oleh karena
semua saraf perifer bagia tungkai merupakan lanjutan langsungnya. Kelumpuhan akibat lesi
setempat di pleksus lumbosakralis sukar dibedakan dari kelumpuhan akibat lesi di bagian
proksimal n.femoralis, n.obturatorius, dan n.iskiadikus.
Manifestasi sensorik akibat lesi di pleksus lumbosakralis lebih menonjol ketimbang manifestasi
motoriknya.
Kelumpuhan akibat lesi di fasikulus
- Lesi di fasikulus lateralis dapat terjadi akibat dislokasi tulang humerus ke lateral dan
menimbulkan kelumpuhan LMN pada otot-otot biseps brakial, korakobrakial, dan lain-lain otot
yang dipersarafi oleh n.medianus, kecuali otot-otot intrinsik tangan.
10
- Kerusakan pada fasikulus posterior jarang terjadi. Jika karena sebab yang tidak dapat dipastikan
lesi itu toh terjadi, maka kelumpuhan LMN dan defisit sensorik dapat dijumpai pada kawasan
n.radialis.
- Lesi pada fasikulus medialis disebabkan oleh dislokasi humerus ke arah subkorakoid, sehingga
menimbulkan kelumpuhan LMN dan defisit sensorik di kawasan dan sensorik n.ulnaris.
Paralisis LMN akibat lesi di pleksus dan fasikulus tidak banyak berbeda dengan kelumpuhan
yang terjadi akibat lesi di n.radialis, n.ulnaris dan n.medianus.
Kelumpuhan akibat lesi di saraf perifer
A. Kelumpuhan akibat lesi di saraf perifer yang berinduk pada pleksus brakialis
1. N. torakalis longus
Kerusakan pada n.torakalis longus menimbulkan gejala winging. Ini disebabkan oleh
kelumpuhan m.seratus anterior, yang bertugas untuk mengikat skapula pada dinding
belakang toraks, apabila lengan melakukan gerakan mendorong melawan suatu tahanan.
2. N. aksilaris
Lesi pada n.aksilaris jarang dijumpai, kecuali jika terpotong alat tajam, yang sekaligus
merusak otot-otot deltoid dan teres mayor.
Pasiennya mengeluh tentang kelemahan otot deltoid yang cepat menjadi atrofik. Kontur bahu
mendatar dan lengan tidak dapat diabduksikan dan dieksorotasikan. Defisit sensorik
mungkin dirasakan di daerah kecil di bagian lateral dari lengan.
3. N. radialis
N. radialis sering mengalami trauma pada 1/3 bagian bawahnya. Dalam hal itu m.triseps dan
m.brakioradialis ridak terkena kelumpuhan, sedangkan otot-otot lainnya yang dipersarafi
n.radialis menjadi lumpuh.
Lesi yang sering merusak bagian atas n.radialis adalah fraktur tulang humerus. Terutama
bagian n.radialis yang melilit di bagian dorsomedial tulang humerus ke bagian
ventrolateralnya.
Pada kelumpuhan n.radialis baik akibat lesi di bagian atas maupun di bagian bawahnya, yang
paling jelas adalah kelumpuhan yang diperlihatkan oleh tangan. Karena otot-otot ekstensor
karpi radialis dan ulnaris lumpuh, maka tangan tidak dapat melakukan gerakan dorsofleksi
pada sendi pergelangan tangan. Lagipula, karena otot-otot ekstensor segenap jari
(m.ekstensor digitorum, m.ekstensor digiti kuinti, m.ekstensor polisis longus/brevis, dan
m.ekstensor indiksis proprius) lumpuh, maka semua jari tangan tidak dapat diluruskan atau
dikembangkan. Keadaan ini dikenal sebagai drop fingers dan drop hand (seluruh tangan dan
jari-jarinya bersikap menjulai).
4. N. muskulokutaneus
Kelumpuhan akibat lesi pada n.muskulokutaneus sering terjadi secara bergandengan dengan
“kelumpuhan malam minggu”. Dalah hal itu, n.muskulokutaneus ditindihi oleh kepala
(wanita) yang jatuh tertidur dalam pelukan pacaranya, yang setelah mabuk alkohol tertidur
11
duduk di kursi dengan lengannya bersandar di atas sandaran kursi. Oleh karena sebagian dari
m.biseps lumpuh, namun m.brakioradialis tidak terkena kelumpuhan, maka lengan masih
bisa ditekukkan dipersendian siku, meskipun tidak sekuat sebagaimana mestinya.
5. N. medianus
N.medianus sering terjepit atau tertekan dalam perjalanannya melalui m.pronator teres, siku,
dan retinakulum pergelangan tangan. Pada luka di pergelangan tangan, n.medianus dapat
terpotong bersama dengan n.ulnaris. Hal itu sering terjadi pada kecelakaan dimana tangan
menerobos kaca. Kelumpuhan yang menyusulnya melanda ketiga jari sisi radial, sehingga
ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah tidak dapat difleksikan, baik di sendi
metakarpofalangeal, maupun di sendi interfalangeal. Ibu jari tidak dapat melakukan oposisi
dan abduksi. Atrofi otot-otot tenar akan cepat menyusul kelumpuhan tersebut.
6. N. ulnaris
Lesi pada n.ulnaris dapat terjadi karena fraktur atau dislokasi siku. Oleh karena kubitus
valgus atau osteofit n.ulnaris dapat tergeser, sehingga pindah dari belakang kondilus humeri
ke depannya. Sering jumpa kita jumpai neuritis n.ulnaris karena kuman Hansen. Pada tahap
dininya dirasakan nyeri sepanjang jari kelingking, namun pada tahap lanjutnya terdapat
anesthesia dan clawhand.
B. Kelumpuhan akibat lesi di saraf perifer yang berinduk pada pleksus lumbosakralis.
1. N. femoralis
Kelumpuhan yang timbul akibat lesi di n.femoralis tampak jelas pada m.kuadriseps femoris.
Karena itu lutut tidak dapat diluruskan dan atrofia cepat tampak padanya. Lesi pada
n.femoralis dapat terjadi akibat abses psoas, karena tepat setinggi m.psoas, n.femoralis
berinduk pada pleksus lumbosakralis. Pada bagian-bagian yang lebih bawah letaknya dapat
terjadi kerusakan karena neoplasma di pelvis, fraktur dari pelvis atau femur, dan dislokasi
sendi panggul. Diabetes mellitus dapat mengakibatkan neuropati n.femoralis.
2. N. obturatorius
Kelumpuhan akibat lesi di n.obturatorius dapat diungkapkan pada waktu penderita tidur
telentang dengan kedua tungkai tertekuk di sendi lutut. Tungkai dengan
kelumpuhanm.aduktor longus/brevis dan m.grasilis tidak dapat mempertahankan sikap itu,
sehingga jatuh ke samping.
3. N. iskiadikus
N.iskiadikus dapat terusak oleh fraktur tulang pelvis, tulang femur, atau kolum femuris atau
pun suntikan yang tidak tepat. Penekanan/penarikan terhadap n.iskiadikus oleh neoplasma di
pelvis atau osteofit di spina iskiadika, atau pun perandangan yang melanda n.iskiadikus
dapat menimbulkan nyeri yang terasa menjalar sepanjang perjalanan n.iskiadikus berikut
selanjutnya (n.tibialis dan n.peroneus).
Lesi pada n.peroneus sering terjadi karena fraktur kaput tulang fibula. Di dekat kaput fibulae
itu n.peroneus bisa terjerat oleh jaringan pengikat. Kelumpuhan yang timbul terutama
12
melanda m.peroneus dan untuk sebagian kecil m.tibialis anterior.Gambaran “”drop foot”
sangat menonjol.
Lesi pada n.tibialis jarang terjadi. Karena peluru atau tusukan n.tibialis bisa putus.
M.gastroknemius, m.soleus, m.popliteus, m.plantaris, m.tibialis posterior berikut m.fleksor
digitorum longusdan m.fleksor haluksis longus lumpuh dan kemudian menjadi atrofik.
Karena itu kaki menunjukkan sikap yang khas, yaitu sikap “talipes kalkaneovalfus”, pada
mana kaki menapak terutama dengan tumit dan bagian samping kaki saja, tanpa dengan
telapak kakinya.
Kelumpuhan akibat lesi pada “motor end plate”
Misalnya pada penyakit miastenia gravis, yaitu kelemahan otot yang berbahaya, telah ditemukan
adanya antibodi yang menduduki reseptor asetilkolin dari “motor end plate”, sehingga ia tidak
dapat menggalakkan serabut-serabut otot skeletal. Antibodi ini dikenal sebagai anti-acetylcholine
receptor antibody yang terbukti dibuat oleh kelenjar timus yang dihasilkan oleh proses imunologik.
Menurut konsep lama, membran postsinaptik dari sinaps itu menjadi atrofik akibat reaksi
imunologi. Karena itu penyerapan asetilkolin sangat menurun. Lagi pula jarak antar membran
ujung terminal akson motorneuron dan membran “motor end plaet” menjadi lebih panjang
sehingga cholinesterase mendapat kesempatan lebih besar untuk menghancurkan lebih banyak
asetilkolin sehingga potensial aksi postsinaptik yang dicetuskannya menjadi lebih kecil. Konsep ini
tampak sesuai dengan sifat khas kelemahan otot pada miestenia gravis. Kontaksi otot skeletal
pertama-tama berlangsnung normal, namun berangsur-angsur melemah dan berakhir dengan
kelumpuhan total. Setelah istrahat, kontraksi otot pulih kembali untuk kemudian melemah dan
lumpuh lagi. Kelemahan yang bergelombang ini dikenal sebagai kelemahan miastenik.
Otot-otot yang paling sering dilanda kelemahan miastenik adalah otot-otot ocular dan penelan.
Otot-otot anggota gerak dan pernapasan dapat terkena juga pada fase lanjut dari miastenia gravis.
Kelumpuhan akibat lesi di otot (kelumpuhan miogenik).
Lesi di otot dapat berupa kerusakan structural pada serabut otot atau selnya yang disebabkan oleh
infeksi, intoksikasi eksogenik/endogenik dan degenerasi herediter.
Klasifikasi penyakit otot yang kini dianut adalah sebagai beikut ;
a. Distrofia muskulorum. Segala macam penyakit otot yang disebabkan oleh faktor patologik
kromosomal dinamakan distrifia otot.
Faktor patologik kromosomal mungkin mengganggu kegiatan enzim-enzim yang berperan
dalam metabolisme otot. Enzim yang menghasilkan gaya besar untuk memungkinkan serabut
otot berkontraksi ialah Creatine phosphokinase (CPK) dan adenosine triphosphatase (ATP).
Pada penderita distrofia muskulorum terdapat CPK serum dalam jumlah besar.
b. Miopati. Penyakit-penyakit otot yang tidak herediter dan tidak disebabkan oleh proses infeksi
dinamakan miopati.
13
Kelainan morfologi yang terlihat pada kasus-kasus miopati berbeda-beda. Ada yang
memperlihatkan penimbunan mitokondria pada garis Z, vakuolisasi, penimbunan glikogen dan
banyak yang tidak memperlihatkan kelainan struktural.
Kita kenal miopati yang timbul pada tahap tertentu berbagai penyakit endokrin, seperti
tirotoksikosis, sindrom Cushing, penyakit Addison dan akromegalia.
Akibat gangguan metabolik dapat berkembang miopati, misalnya, pada steatore, hipoglikemik
kronik, mioglobinuria idiopatika, osteomalasia dan penimbunan glikogen.
Miopati iatrogenik dapat terjadi akibat penggunaan obat kortikostreoid yang berlebihan.
c. Miositis, ialah segala macam penyakit otot yang disebabkan oleh infeksi baik secara langsung
maupun tak langsung.
Miositis yang paling sering dijumpai adalah miositis reumatika atau polimiositis. Oleh karena
reumatik merupakan gangguan autoimun maka miositis dianggap sebagai manifestasi proses
autoimun juga. Demikian halnya dengan anggapan mengenai miopati yang timbul pada
penderita-penderita neoplasma ganas.
Miosistis infeksiosa adalah radang otot yang timbul bersama-sama dengan infeksi virus umum.
Nyeri otot dan kelemasan merupakan gejala utamanya. Infeksi banal jarang berkomplikasi pada
otot. Penyakit paralisis yang dapat menimbulkan miositis ialah trikinosis spiralis.
1.3. STROKE HEMORAGIK
Stroke merupakan penyebab ketiga angka kematian di dunia. Angka morbiditas lebih berat dan
angka mortalitas lebih tinggi pada stroke hemoragik dibandingkan dengan stroke iskemik. Stroke
hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluhdarah otak yang menyebabkan
pengeluaran darah ke parenkim otak, ruang cairan cerebrospinal di otak, atau keduanya. Angka
mortalitas dalam bulan pertama pada stroke hemoragik mencapai 40-80% dan 50% kematian terjadi
dalam 48 jam pertama. Tingkat insidensi dari stroke hemoragik seluruh dunia berkisar antara 10
sampai 20 kasus per 100.000 populasi dan bertambah dengan umur. Perdarahan intraserebral lebih
sering terjadi pada pria dibanding dengan wanita, terutama pada usia diatas 55 tahun, dan juga pada
populasi tertentu seperti pada orang kulit hitam dan orang jepang.
Pada stroke hemorragik, pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran darah yang normal
dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya. Hampir 70 persen kasus stroke
hemoragik terjadi pada penderita hipertensi. Stroke hemoragik terbagi menjadi dua jenis, yaitu :
a. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan di dalam otak yang disebabkan oleh trauma (cedera
otak) atau kelainan pembuluh darah (aneurisma atau angioma), dan paling sering disebabkan
juga oleh tekanan darah tinggi kronis. Perdarahan intraserebral terjadi sekitar 10% dari semua
stroke, tetapi memiliki persentase tertinggi penyebab kematian akibat stroke.
14
b. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid adalah perdarahan dalam ruang subarachnoid, ruang di antara lapisan
dalam (Pia mater) dan lapisan tengah (arachnoid mater) dari jaringan selaput otak (meninges).
Penyebab paling umum adalah pecahnya tonjolan (aneurisma) dalam arteri. Perdarahan
subarachnoid adalah kedaruratan medis serius yang dapat menyebabkan cacat permanen atau
kematian.
Patogenesis
1. Perdarahan intraserebral
Kebanyakan kasus PIS terjadi pada pasien dengan hipertensi kronik. Faktor resiko lain
penyebab perdarahan intraserebral antara lain bertambahnya usia, merokok, konsumsi alkohol,
dan serum kolesterol rendah. Keadaan ini menyebabkan perubahan arteriosklerotik pembuluh
darah kecil, terutama pada cabang-cabang arteri serebri media, yang mensuplai ke dalam basal
ganglia dan kapsula interna. Pembuluh-pembuluh darah ini menjadi lemah, sehingga terjadi
robekan dan reduplikasi pada lamina interna, hialinisasi lapisan media dan akhirnya terbentuk
aneurisma kecil yang dikenal dengan aneurisma Charcot-Bouchard. Hal yang sama dapat
terjadi pembuluh darah yang mensuplai pons dan serebelum. Rupturnya satu dari pembuluh
darah yang lemah menyebabkan perdarahan ke dalam substansi otak .
2. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu :
- Traumatic Subarachnoid Hemorrhages
- Spontaneous Subarachnoid Hemorrhages
Traumatic subarachnoid dapat menyebabkan kerusakan otak yang diakibatkan oleh karena
kecelakaan. Sedangkan spontaneous subaracnoid hemoragik disebabkan oleh karena ruptur
aneurisma atau abnormalitas pembuluh darah pada otak.
Manifestasi Klinis
Gejala klinis stroke hemoragik :
1. Perdarahan intraserebral (PIS)
Terjadinya perdarahan bersifat mendadak, terutama sewaktu melakukan aktivitas dan dapat
didahului oleh gejala prodromal berupa peningkatan tekanan darah yaitu nyeri kepala, mual,
muntah, gangguan memori, bingung, perdarahan retina, dan epistaksis.
Penurunan kesadaran yang berat sampai koma disertai hemiplegia/hemiparese dan dapat
disertai kejang fokal/umum.
Tanda-tanda penekanan batang otak, gejala pupil unilateral, refleks pergerakan bola mata
menghilang dan deserebrasi
Dapat dijumpai tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial (TTIK), misalnya papil edema dan
perdarahan subhialoid
15
2. Perdarahan Subarachnoid (PAS)
Gejala penyakit berupa nyeri kepala mendadak yang berlangsung dalam 1-2 detik sampai 1
menit.
Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, menggigil, mudah terangsang, gelisah dan kejang.
Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar dalam beberapa menit sampai
beberapa jam.
Dijumpai gejala-gejala rangsang meningen.
Perdarahan retina berupa perdarahan subhialid merupakan gejala karakteristik perdarahan
subarakhnoid.
Gangguan fungsi otonom berupa bradikardi atau takikardi, hipotensiatau hipertensi, banyak
keringat, suhu badan meningkat, atau gangguan pernafasan
Diagnosis
Tes Laboratorium Darah : Untuk mendeteksi adanya masalah lain yang menghambat proses
pemulihan seperti penyakit ginjal, penyakit hati, diabetes, infeksi
atau dehidrasi
Head CT Scan. : Stroke non hemorhargi terlihat adanya infark sedangkan pada stroke
haemorhargi terlihat perdarahan
Pemeriksaan lumbal
pungsi
: Diperiksa kimia sitologi, mikrobiologi, virologi . Disamping itu
dilihat pula tetesan cairan cerebrospinal saat keluar baik
kecepatannya, kejernihannya, warna dan tekanan yang
menggambarkan proses terjadi di intra spinal.
Pada stroke non hemorargi akan ditemukan tekanan normal dari
cairan cerebrospinal jernih. Pemeriksaan pungsi cisternal dilakukan
bila tidak mungkin dilakukan pungsi lumbal. Prosedur ini dilakukan
dengan supervisi neurolog yang telah berpengalaman.
Elektrokardiografi (EKG) : Untuk mengetahui keadaan jantung dimana jantung berperan dalam
suplai darah ke otak. d. Elektro Encephalo Grafi Elektro Encephalo
Grafi mengidentifikasi masalah berdasarkan gelombang otak,
menunjukkan area lokasi secara spesifik.
Angiografi cerebral : Membantu secara spesifik dalam mencari penyebab stroke seperti
perdarahan atau obstruksi arteri, memperlihatkan secara tepat letak
oklusi atau ruptur.
Magnetik Resonansi
Imagine (MRI)
: Menunjukkan darah yang mengalami infark, haemorhargi,
malformasi Arterior Vena (MAV). Pemeriksaan ini lebih canggih
dibanding CT Scan.
Ultrasonografi dopler : Mengidentifikasi penyakit Malformasi Arterior Vena .
Penatalaksanaan Umum Pada Stroke
16
Keseimbangan cairan dan elektrolit harus dipertahankan. Hiponatremia menyebabkan edema
otak.
Perlindungan jalan nafas
Cegah timbulnya dekubitus dengan bolak balik badan tiap 2-3 jam.
Kejang-kejang harus cepat diatasi
Jangan beri infus glukosa oleh karena timbul asidosis laktat dan memperburuk keadaan.
Penatalaksanaan PSA Aneurismal
Istirahat total.
Pengobatan antifibrinolitik (tranexamic acid atau epsilon aminocaproic acid) hanya diberikan
pada penderita tanpa vasospasme atau persiapan operasi. Antifibrinolitik dapat menimbulkan
defisit neurologik fokal.
Untuk mencegah vasospasme dapat diberikan nimodipin per oral atau pro infus, atau tirilazad
mesylate dalam 72 jam dan diteruskan selama 8-10 hari, setelah 3 bulan angka kematian
berkurang 43 persen, dan vasospasme 28%.
Angioplasti transluminal dianjurkan pada bila pengobatan konvensional tak berhasil.
Antikonvulsan diberikan sebagai profilaksis karena pada pecah ulang sering diikuti oleh kejang.
Pada hidrosefalus akut (obstruktif) dianjurkan ventrikulostomi.
Ventriculo-peritoneal shunt sementara atau permanen dilakukan pada hidrosefalus kronis
(komunikans).
Penyulit hiponatremia dapat diberikan fludrokortison atau infus cairan isotonik. Perlu dipantau
tekanan vena sentral, tekanan kapiler paru-paru (pulmonary capillary wedge pressure), balans
cairan dan berat badan.
Operasi aneurisma dilakukan kurang dari 3 hari sebelum timbulnya vasospasme.
Penatalaksanaan PIS
Pengobatan Medikal
Tekanan darah diturunkan bila tekanan sistolik > 200 mmHg, penurunan tekanan darah tak
boleh melebihi 40 persen, agar autoregulasi aliran darah ke otak (ADO) tak terganggu.
Sebaiknya dipilih obat ACE inhibitor atau penghambat reseptor alfa, karena kurve autoregulasi
bergeser ke kiri lagi dan penurunan tekanan darah tak mempengaruhi ADO.
Obat-obat antifibrinolisis diberikan hanya pada PIS karena aneurisma yang pecah, dengan
catatan dapat menimbulkan infark otak.
Hiperventilasi dan obat-obat hiperosmolar seperti mannitol dianjurkan untuk mengobati edema
otak. Pemberian mannitol sebaiknya diberikan setelah 4-6 jam pada waktu hematoma
menggumpal.
Kortikosteroid dan barbiturat tak dianjurkan.
Obat antikonvulsan diberikan sebagai profilaksis, bila PIS terletak di korteks atau subkortikal.
Tindakan Bedah
17
Aspirasi stereotaksik memberi hasil fungsional Iebih baik untuk perdarahan ringan atau sedang
(stadium II dan III). Pada perdarahan besar (stadium IVa = semikoma tanpa herniasi) tindakan
langsung lebih baik dari pada aspirasi stereotaksi.
Pengobatan AVM (arterio-venous malformation) intrakranial dengan cara bedah mikro atau
bedah radiologis dengan pisau gamma (gamma knife radiosurgery) pada AVM dengan diameter
kurang dari 3 cm.
Perbaikan gejala setelah pemberian oksigen hiperbarik adalah indikasi untuk operasi. Demikian
juga bila pada pemberian manitol atau gliserol terdapat perbaikan SSEP (somatosensoric evoked
potential) dan BAEP (brainstem auditory evoked potential) merupakan indikasi untuk operasi.
Dianjurkan dioperasi secepat mungkin, kurang dari enam jam. Bila tak dapat dioperasi sedini
mungkin, dianjurkan operasi pada hari ke 5-15 saat badai vegetatif mulai mereda.
1.4. STROKE ISKEMIK
Reduksi atau penurunan darah ke bagian manapun pada otak dapat menyebabkan iskemia,
kehilangan fungsi yang reversible, dan kemudian apabila reduksi aliran darah ini berat dan lama, akan
terjadi infark dengan kematian sel irreversible.
Etiologi
Trombosis arteri atau vena pada SSP dapat disebabkan ≥ 1 trias Virchow :
a. Abnormalitas dinding pembuluh darah, umumnya penyakit degeneratif, dapat juga karena
inflamasi (vaskulitis), atau trauma (diseksi).
b. Abnormalitas darah, misalnya polisitemia.
c. Gangguan aliran darah.
Embolisme dapat merupakan komplikasi dari penyakit degeneratif arteri SSP, atau dapat juga berasal
dari jantung :
a. Penyakit katup jantung
b. Fibrilasi atrium
c. Infark miokard yang baru terjadi
Dua mekanisme patogenetik yang menyebabkan stroke iskemik :
1. Trombosis à mengoklusi large cerebral arteries (terutama arteri carotis interna, cereblar
medial, atau basilar), arteri-arteri kecil (lacunar stroke), vena-vena sereblar, atau sinus
venosus. Gejala khasnya berkembang dari menit hingga berjam-jam, dan seringkali didahului
oleh TIA.
2. Embolisme à menyebabkan stroke saat arteri sereblar teroklusi oleh embolus, bisa berasal
dari jantung, arkus aorta, atau large cerebral arteries. Karakteristik gejalanya adalah
menyebabkan defisit neurologis yang onsetnya maksimal.
Penyebab tersering stroke adalah penyakit degeneratif arterial, baik arterosklerosis pada pembuluh
darah besar (dengan tromboemboli) maupun penyakit pembuluh darah kecil (lipohialinosis).
18
Kemungkinan berkembangnya penyakit degeneratif arteri yang signifikan meningkat pada beberapa
faktor resiko vaskular.
Faktor Resiko Vaskular
1. Usia
2. Riwayat penyakit vascular/atheroma dalam keluarga
3. Hipertensi
4. Diabetes mellitus
5. Merokok
6. Hiperkolesterolemia
7. Alkohol
8. Kontrasepsi oral
9. Fibrinogen plasma
Patofisiologi
a. Insufisiensi hemodinamik
Autoregulasi serebrovaskular secara normal mampu mempertahankan aliran darah serebral (CBF)
konstan sebesar 50-69 ml/100 g jaringan otak/ menit sepanjang tekanan arteri rata-rata (mean
arterial pressure - MAP) tetap berada dalam kisaran 50-150 mmHg. Apabila MAP turun hingga di
bawah 50 mmHg, dan pada tingkat patologis tertentu (mis. Iskemia), maka autoregulasi akan jatuh
dan CBF menurun. Stenosis vaskular atau oklusi akan menginduksi terjadinya kompensasi berupa
vasodilatasi downstream, yang meningkatkan volume darah sereblar dan CBF. Defisit neurologis
mayor terjadi hanya jika CBF jatuh di bawah ‘threshold iskemi’ kritis (20ml/100g/menit).
b. Hipoperfusi
Jika CBF yang adekuat tidak dikembalikan, terjadi disfungsi neurologis. Apabila terjadi lebih
lama, depresi berat CBF hingga di bawah ‘threshold infark’ (8-10ml/100g/menit) menyebabkan
hilangnya proses metabolik selular yang progresif dan ireversibel, diikuti oleh kerusakan
struktural/nekrosis.
Ischemic Penumbra, ialah area jaringan yang mengelilingi zona infark dimana CBF berada di
antara ‘threshold iskemi’ dan infark. Area ini beresiko, namun berpotensial kembali sembuh.
Semakin lama terjadi iskemi, maka semakin besar kemungkinan terjadinya infark.
Manifestasi Klinis
Kehilangan fungsi yang terjadi tergantung dari area jaringan otak yang terlibat dalam proses iskemik.
1. Menunjukkan iskemia pada arteri cerebral medial :
- Kehilangan fungsi pada kontralateral wajah dan lengan
- Kehilangan rasa pada kontralateral wajah dan lengan
- Dysphasia
- Dyslexia, dysgraphia, dyscalculia
2. Menunjukkan iskemia pada arteri cerebral anterior :
- Kehilangan fungsi dan/atau rasa pada kontralateral tungkai
19
3. Menunjukkan iskemia pada arteri cereblar posterior :
- Contralateral homonymous hemianopia
4. Menunjukkan oklusi pada arteri carotis interna :
- Keterlibatan wajah, lengan, dan tungkai dengan atau tanpa homonymous hemianopia
5. Menunjukkan iskemia pada arteri ophthalmicus :
- Monocular loss of vision
6. Menunjukkan iskemia pada arteri vertebrobasiler (sirkulasi posterior):
- Double vision (nervus cranialis III, IV, dan VI dan koneksinya)
- Kelumpuhan facial (nervus cranialis V)
- Kelemahan facial (nervus cranialis VII)
- Vertigo (nervus cranialis VIII)
- Dysphagia (nervus cranialis IX, dan X)
- Dysarthria
- Ataxia
- Kehilangan fungsi atau rasa pada kedua lengan dan tungkai
- Tanda-tanda lesi batang otak (vertigo, diplopia, perubahan kesadaran)
7. Menunjukkan iskemia pada pembuluh darah kecil (stroke lacunar) :
- Stroke murni/ kehilangan murni fungsi dari kontralateral lengan dan tungkai
- Stroke murni/ kehilangan murni rasa dari kontralateral lengan dan tungkai
- Infark lakunar multiple dapat menyebabkan defisit neurologis multipel termasuk
gangguan kognitif (demensia multi - infark) dan gangguan pola berjalan yang
karakteristiknya seperti langkah-langkah kecil dan kesulitan untuk mulai berjalan.
Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis
Stroke merupakan diagnosis klinis. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk :
a. Mencari penyebab
b. Mencegah rekurensi dan, pada pasien yang berat, mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat
menyebabkan perburukan fungsi SSP.
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada pasien stroke :
a. Darah lengkap dan LED
b. Ureum, elektrolit, glukosa, dan lipid
c. Rontgen dada dan EKG
d. CT scan kepala, terutama dilakukan apabila diagnosis klinis sudah jelas, tetapi pemeriksaan
ini berguna untuk membedakan infark serebri atau perdarahan, yang berguna dalam
menentukan tatalaksana awal. Pemeriksaan ini juga menyingkirkan diagnosis banding yang
penting seperti tumor intrakranial atau hematoma subdural.
Terapi
Manajemen stroke meliputi: (ANCCS, 2010)
20
1. Manajemen cairan dan elektrolit
2. Manajemen peninggian TIK pada CVA
3. Penanganan hipertensi pada CVA:
4. Kontrol gula darah.
5. Penanganan kejang pada stroke akut (bila timbul komplikasi kejang)
6. Penaganan problem respiratorik pada stroke akut (bila ada)
7. Tatalaksanan trombolisis.
8. Pembedahan (untuk CVA perdarahan, bila ada indikasi).
Terapi umum :Letakkan kepala pasien pada posisi 30 derajat, kepala dan dada pada satu bidang; ubah posisi
tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil. Selanjutnya, bebaskan
jalan napas, beri oksigen1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu,
dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari penyebabnya;
jika kandung kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten). Pemberian nutrisi
dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari
cairan mengandung glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi
menelannya baik; jika didapatkan gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui
slang nasogastrik.
Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150 mg% dengan
insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg%
atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan
harus dicari penyebabnya. Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-obatan
sesuai gejala.
Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik ≥220 mmHg, diastolik
≥120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) ≥ 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan
selang waktu 30 menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal
ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang direkomendasikan: natrium
nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta, penyekat ACE, atau antagonis kalsium.
Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤ 90 mm Hg, diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9%
250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai
hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat
diberi dopamin 2-20 μg/kg/menit sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg.
Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit, maksimal 100 mg per hari;
dilanjutkan pemberian antikonvulsan peroral (fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2
minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka panjang.
Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25 sampai 1
g/kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum memburuk,
dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus dilakukan pemantauan
21
osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif, dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau
furosemid.
Terapi khusus:Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet seperti aspirin dan anti koagulan, atau
yang dianjurkan dengan trombolitik rt-PA (recombinant tissue Plasminogen Activator). Dapat juga
diberi agen neuroproteksi, yaitu sitikolin atau pirasetam (jika didapatkan afasia).
Komplikasi dan Prognosis
Pasien yang mengalami gejala berat seperti imobilisasi dengan hemiplegia berat, rentan terhadap
komplikasi yang dapat menyebabkan kematian lebih awal, yaitu :
- Pneumonia, septikrmia (akibat ulkus dekubitus atau infeksi saluran kemih)
- Deep vein thrombosis dan emboli paru.
- Infark miokard, aritmia jantung, dan gagal jantung.
- Ketidakseimbangan cairan.
Sekitar 10% pasien dengan infark serebri meninggal pada 30 hari pertama. Hingga 50% pasien
yang bertahan akan membutuhkan bantuan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
Faktor-faktor yang berkontribusi pada disabilitas (ketidakmampuan) jangka panjang antara lain :
- Ulkus dekubitus
- Epilepsy
- Jatuh berulang dan fraktur
- Spastisitas, dengan nyeri kontraktur dan kekakuan sendi bahu.
- Depresi
1.5. BELL’S PALSY
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya.
Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah
asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's
Palsy.
Etiologi
Penyebab kelumpuhan n. fasialis perifer sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Umumnya
dapat dikelompokkan sbb :
Kongenital.
- Anomali kongenital (sindroma Moebius)
- Trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial,dll.)
Didapat
- Trauma
- Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
- Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll.)
- Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus
22
- Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll.)
- Sindroma paralisis n. fasialis familial
Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain : sesudah bepergian jauh
dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi,
diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetik.
Patofisiologi
Terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan, yaitu teori iskemik vaskuler, teori infeksi virus,
dan teori kombinasi.
Teori iskemik vaskuler . Teori ini dikemukakan oleh Mc. Groven pada tahun 1955 yang
menyatakan bahwa adanya ketidakstabilan otonomik dengan respon simpatis yang berlebihan.
Hal ini menyebabkan spasme pada arteriol dan statis pada vena di bagian bawah kanalis
spinalis. Vasospasme ini menyebabkan iskemik dan terjadinya edem. Hasilnya adalah paralisis
flaksid perifer dari semua otot yang melayani ekspresi wajah.
Teori infeksi virus . Teori ini menyatakan bahwa beberapa penyebab infeksi yang dapat
ditemukan pada kasus saraf fasialis adalah otitis media, meningitis bakteri, penyakit limfe,
infeksi HIV, dan lainnya. Pada tahun 1972 Mc Cromick menyebutkan bahwa pada fase laten
HSV tipe 1 pada ganglion genikulatum dapat mengalami reaktivasi saat daya tahan tubuh
menurun. Adanya reaktivasi infeksi ini menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi dan edema
saraf fasialis, sehingga saraf terjepit dan terjadi kematian sel saraf karena sel saraf tidak
mendapatkan suplai oksigen yang cukup.
Teori kombinasi , teori ini dikemukakan oleh Zalvan yang menyatakan bahwa kemungkinan
Bell’s Palsy disebabkan oleh suatu infeksi atau reaktivitas virus Herpes Simpleks dan
merupakan reaksi imunologis sekunder atau karena proses vaskuler sehingga menyebabkan
inflamasi dan penekanan saraf perifer ipsilateral.
Gejala Klinik
Karena saraf pada bagian wajah memiliki banyak fungsi dan kompleks, kerusakan atau gangguan
fungsi pada saraf tersebut dapat mengakibatkan banyak masalah. Penyakit ini seringkali menimbulkan
gejala-gejala klinis yang beragam akan tetapi gejala-gejala yang sering terjadi yaitu wajah yang tidak
simetris, kelopak mata tidak bisa menutup dengan sempurna, gangguan pada pengecapan, serta sensasi
mati rasa pada salah satu bagian wajah. Pada kasus yang lain juga terkadang disertai dengan adanya
hiperakusis (sensasi pendengaran yang berlebihan), telinga berdenging, nyeri kepala dan perasaan
melayang. Hal tersebut terjadi mendadak dan mencapai puncaknya dalam dua hari. Keluhan yang
terjadi diawali dengan nyeri pada bagian telinga yang seringkali dianggap sebagai infeksi. Selain itu
juga terjadi kelemahan atau paralisis otot, Kerutan dahi menghilang, Tampak seperti orang letih,
hidung terasa kaku terus - menerus, sulit berbicara, sulit makan dan minum, sensitif terhadap suara
(hiperakusis), salivasi yang berlebih atau berkurang, pembengkakan wajah, berkurang atau hilangnya
rasa kecap, air liur sering keluar, air mata berkurang, alis mata jatuh, kelopak mata bawah jatuh,
sensitif terhadap cahaya.
23
Gambar 1. Penderita Bell’s Palsy
Selain itu masih ada gejala-gejala lain yang ditimbulkan oleh penyakit ini yaitu, pada awalnya,
penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur,
minum atau berbicara. Mulut tampak mencong terlebih saat meringis, kelopak mata tidak dapat
dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita menutup kelopak matanya maka bola mata akan tampak
berputar ke atas. Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur maka air akan keluar ke
sisi melalui sisi mulut yang lumpuh. Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan
tempat/lokasi lesi.
a. Lesi di luar foramen stylomastoideus
Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan
sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang, lipatan kulit dahi menghilang. Apabila
mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus
menerus.
b. Lesi di canalis facialis (melibatkan chorda tympani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen stylomastoideus, ditambah dengan
hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena
berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya intermedius
nerve, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana chorda tympani
bergabung dengan facial nerve (N.VII) di canalis facialis.
c. Lesi di canalis facialis lebih tinggi lagi (melibatkan musculus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen stylomastoideus, lesi di canalis
facialis, ditambah dengan adanya hiperakusis.
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus. Lesi di canalis facialis,
lebih tinggi lagi disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini
dapat terjadi pasca herpes di tympani membrane dan conchae.
e. Lesi di daerah meatus acusticus interna
24
Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus, lesi di canalis facialis,
lesi di canalis facialis lebih tinggi lagi, lesi di tempat yang lebih tinggi lagi, ditambah dengan
tuli sebagai akibat dari terlibatnya vagus nerve (N.X).(16)
f. Lesi di tempat keluarnya facial nerve (N.VII) dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya trigeminus
nerve (N.V), vagus nerve (N.X), dan kadang-kadang juga abducens nerve (N.VI), accessory
nerve (N.XI), dan hypoglossal nerve (N.XII).(14)
Diagnosa
Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya kelumpuhan n. fasialis
perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain dan kelumpuhan n. fasialis perifer.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajat kerusakan n.
fasialis sbb:
1) Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)
Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri dan kanan setelah diberi
rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan patologik dan jika
lebih 20 mA menunjukkan kerusakan n. fasialis ireversibel.
2) Uji konduksi saraf (nerve conduction test)
Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur kecepatan hantaran
listrik pada n. fasialis kiri dan kanan.
3) Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-otot wajah.
4) Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah
Gilroy dan Meyer (1979) menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana
yaitu rasa manis (gula), rasa asam dan rasa pahit (pil kina). Elektrogustometri
membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit dengan stimulasi listrik pada 2/3
bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau metalik. Gangguan rasa kecap pada BP
menunjukkan letak lesi n. fasialis setinggi khorda timpani atau proksimalnya.
5) Uji Schirmer
Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang di letakkan di belakang kelopak mata
bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas filter;
berkurang atau mengeringnya air mate menunjukkan lesi n. fasialis setinggi ggl. Genikulatum.
Tata Laksana
1) Istirahat terutama pada keadaan akut
2) Medikamentosa :
Prednison : pemberian sebaiknya selekas-lekasnya terutama pada kasus BP yang secara
elektrik menunjukkan denervasi. Tujuannya untuk mengurangi udem dan mempercepat
reinervasi. Dosis yang dianjurkan 3 mg/kg BB/hari sampai ada perbaikan, kemudian dosis
diturunkan bertahap selama 2 minggu.
25
3) Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut.
Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Cara yang sering
digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore.
4) Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak anak karena dapat menimbulkan
komplikasi lokal maupun intrakranial. Tindakan operatif dilakukan apabila :
- Tidak terdapat penyembuhan spontan
- Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison
Komplikasi
1) Crocodile tear phenomenon.
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa bulan
setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom
yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar
ganglion genikulatum.
2) Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu timbul
gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan
(involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya
adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan
serabut-serabut otot yang salah.
3) Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme
Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali) dan
juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah
saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat
memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang
timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.
Prognosis
Penderita Bell’s Palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko yang
memperburuk prognosis Bell’s Palsy adalah:
Usia di atas 60 tahun
Paralisis komplit
Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh
Nyeri pada bagian belakang telinga
Berkurangnya air mata.
Pada umumnya prognosis Bell’s Palsy baik yaitu sekitar 80-90% penderita sembuh dalam waktu
6 minggu sampai tiga bulan tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau
lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa.
26
Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15% antara
sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka
penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile, tears dan kadang spasme
hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita non diabetik dan
penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 % kasus Bells palsy yang
mengenai kedua sisi wajah. Bell’s Palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang
kambuh ipsilateral menderita tumor n. VII atau tumor kelenjar parotis.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
27
Dalam skenario kali ini kelompok kami membahas mengenai hemiparesis. Dilihat dari
beberapa gejala yang timbul, kami memikirkan diagnosis banding seperti stroke hemoragik,
stroke iskemik, dan bell’s palsy. Namun untuk menentukan diagnosis kerja dari skenario ini,
masih diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang lebiah
lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Harsono. 2011. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gadjah Mada University Press: Jakarta.
28
Machfoed, M.H., Hamdan, M., Machin, A., Wardah, R.I. 2011. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf.
Departemen Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga: Surabaya.
Mardjono, M., Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat: Jakarta.
Snell, R.S. 2007. Neuroanatomi Klinik. EGC: Jakarta.
29