Download - Majalah Dia Edisi II Tahun 2012
Kesaksia
nKesaksia
nKesaksia
nKesaksia
nKesaksia
n
diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA
majalah
22222
Menggagas Generasi Antikorupsi
Penerbit:
Yayasan Perkantas
Rekomendasi Depag:
FII/HM.02.2/619/2806/97
ISSN:
0215-9031
Ketua Yayasan:
Tony Antonio
Pemimpin Umum:
Triawan Wicaksono
Pemimpin Redaksi:Thomas Nelson Pattiradjawane
Redaksi Senior:
Polo Situmorang
Tadius Gunadi
Mangapul Sagala
Daltur Rendakasiang
Daniel Adipranata
Redaksi:Yoel M. Indrasmoro
Partogi Samosir
Ruth Yuni
Redaktur Pelaksana:
Philip Ayus
Alamat Redaksi/Administrasi/Distribusi:Kompleks Mitra Pintu Air,
Jl. Pintu Air Raya 7 Blok C-5 Jkt 10710
Telp./Fax.:021-3440305 / 021-3522170
E-mail:[email protected]
Rekening:
BCA Cab. Pasar Baru No. 1063003542
a.n. Yayasan Perkantas
*cantumkan keterangan
“Untuk Berlangganan DIA”
Harga Majalah DIA
Rp 6.000,00 (mahasiswa); Rp 10.000,00 (umum).
Bea berlangganan + bea kirim 1 tahun (3x terbit)
Rp 30.000,00 (mahasiswa); Rp 50.000,00 (umum).
Jika Anda mentransferkan biaya berlangganan
ataupun memberi dukungan untuk pelayanan
Majalah Dia, mohon mengirimkan bukti transfer
melalui fax atau e-mail dengan mencantumkan
nama dan alamat lengkap.
Redaksi menerima kiriman naskah berupa artikel,
kesaksian, resensi, cerpen, puisi, dsb.
Kirimkan tulisan melalui email ke
[email protected] dengan judul
“Untuk Majalah Dia”.
Da
ftar
IsiD
afta
r Isi
Da
ftar
IsiD
afta
r Isi
Da
ftar
Isi
Daftar IsiDaftar IsiDaftar IsiDaftar IsiDaftar Isi
FOKUS
4 Menggagas Generasi Antikorupsi
EKSPOSISI
10 Integritas Belaka Tidak Cukup:
WAWANCARA
14 Pendidikan Itu Mewariskan Worldview
SUDUT PANDANG:
18 Jangan Hanya Menambah Pengetahuan
21 Penyadaran Antikorupsi Melalui Pendidikan
Perdamaian
24 Pendidikan Antikorupsi
27 Pendidikan Antikorupsi: Tanggung Jawab Kita
Bersama
30 Makan!
JELANG
32 Mengupayakan Transformasi Budaya Anti-
Korupsi
36 TILIKAN
DARI GRADUATE CENTER
37 Persiapan dan Pemilihan Kebutuhan Mendasar
di Komunitas
PERCIKAN
46 Si Mamon Takluk oleh Mahasiswa!
Majalah Dia
Edisi 2 | Tahun XXVI | 2012
Desain sampul: Philip Ayus
Tata letak: Philip Ayus
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
33333
DatDatDatDatDatanglah Kanglah Kanglah Kanglah Kanglah Kerererererajaan-Muajaan-Muajaan-Muajaan-Muajaan-Mu
Setelah kejatuhan rezim Suharto, rakyat berharap banyak pada Orde Reformasi
yang diharapkan dapat membawa bangsa ini menuju kondisi yang adil,
makmur, dan sejahtera sebagaimana tersirat di dalam Pembukaan UUD 1945
yang menjadi dasar negara kita. “Penyakit” yang paling ingin dibasmi ketika
melengserkan The Smiling General pada waktu itu adalah KKN. Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme begitu merajalela dan memberatkan rakyat banyak. Itu sebabnya,
ketika Suharto lengser, segenap negeri riang bersorak.
Akan tetapi, kegembiraan itu tak bertahan lama. Bagaikan perumpamaan satu roh
jahat yang diusir dari tubuh namun kemudian kembali lagi dengan mengajak tujuh
roh lagi yang lebih jahat, Indonesia seolah-olah malah menjadi “bancakan” bagi
para oportunis. Bukannya makin berkurang, KKN justru bak jamur di musim
penghujan. Kepala Pusat Penerangan Kemdagri, Reydonnyzar Moenoek, dalam
sebuah acara baru-baru ini mengatakan, 70 persen dari 281 kepala daerah terjerat
pidana korupsi. Sungguh ironis!
Ironisnya lagi, kecenderungan yang ada menunjukkan bahwa para pelaku korupsi
masih berusia muda. Sebut saja Gayus Tambunan yang masih berusia 32 tahun,
Nazaruddin (33), Neneng (istri Nazaruddin) dan Wa Ode Nurhayati (30), Dhana
Widyatmika (37), dan Angelina Sondakh (34), kesemuanya berusia di bawah empat
puluh tahun dengan nilai korupsi yang fantastis.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam beberapa kesempatan selalu berikrar
akan berada di barisan terdepan untuk memimpin pemberantasan korupsi. Lantas,
apa saja langkah yang telah ditempuh Pemerintah dalam upaya pemberantasan
korupsi di negeri ini? Salah satu yang hendak kita soroti dalam Majalah Dia edisi
kali ini adalah salah satu upaya yang diikhtiarkan oleh Pemerintah, terkhusus dalam
bidang pendidikan: penerapan kurikulum pendidikan antikorupsi. Tak hanya itu,
kita juga akan menelisik sejauh mana peranan kaum muda (Kristen) Indonesia
dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi di “tanah surga” ini.
Kiranya sajian yang ditawarkan ke hadapan Pembaca kali ini benar-benar menggugah
semangat untuk menjadi berkat bagi keluarga, gereja, masyarakat, negara, dan
bahkan dunia, khususnya dalam memerangi korupsi dan mewujudkan masyarakat
idaman yang gemah ripah loh jinawi, ayem tentrem karta raharja. Sama seperti yang
kita ucapkan dalam Doa Bapa Kami, “Datanglah kerajaan-Mu… Jadilah kehendak-
Mu di bumi, sama seperti di surga….”
Redaksi
Sa
lam
Sa
lam
Sa
lam
Sa
lam
Sa
lam
diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA
majalah
44444
Menggagas Generasi Antikorupsi
Fo
ku
sF
ok
us
Fo
ku
sF
ok
us
Fo
ku
s
Dalam sebuah percakapan di meja
makan dengan pak Gideon Yung
beberapa waktu silam, penulis
tertarik dengan cerita beliau tentang sejarah
terbentuknya ICAC—semacam KPK di
Hongkong—karena beliau adalah saksi mata
(dan bahkan salah satu penggerak, kalau
penulis tidak salah ingat) gerakan mahasiswa
yang memulai demonstrasi damai yang
kemudian mengubah wajah Hongkong dari
wilayah yang “super korup” menjadi salah
satu kota paling bebas korupsi di Asia.
Waktu itu, tutur pak Yung, korupsi
begitu merajalela di Hongkong,
mempengaruhi hampir semua sektor dan
semua lapisan masyarakat. Kalau di sini kita
mengenal istilah “uang rokok”, maka di
Hongkong pada waktu itu, mereka
mempunyai istilah “uang teh”. Bahkan sopir
ambulanspun takkan mau berangkat
menjemput pasien gawat darurat sebelum
diberi uang teh tersebut. Demikianlah,
korupsi begitu membudaya dan
memberatkan rakyat, terutama yang tak
mampu mengakses layanan-layanan publik.
Dampak korupsi bukan tidak nyata,
melainkan belum dikomunikasikan secara
gamblang kepada masyarakat. Orang-orang
awam mungkin hanya tahu bahwa makin
bertambah tahun, harga-harga akan semakin
mahal, apalagi harga bahan kebutuhan
pokok menjelang hari-hari raya. Padahal,
mahal dan sulitnya mengakses kebutuhan
pokok itu acapkali bukan karena besarnya
kesenjangan antara permintaan dan
ketersediaan, melainkan kebijakan oknum
pejabat yang mengutamakan keuntungan
pribadi dan kroni-kroninya.
Selain itu, rasanya kondisi yang kita
alami sekarang di Indonesia hampir sama
dengan apa yang terjadi di Hongkong
sebelum ICAC terbentuk pada tahun 70-an.
Korupsi sudah membudaya, alias sudah
dianggap sebagai sebuah kewajaran. Seorang
teman mengisahkan, bagaimana ia dan
istrinya harus menyerahkan sejumlah uang
terlebih dahulu kepada seseorang yang
bertindak sebagai semacam makelar
pekerjaan, hanya untuk mendapatkan sebuah
pekerjaan di bagian produksi di sebuah
pabrik di Karawang, Jawa Barat. Itupun harus
melalui proses magang Tentunya, mereka
bukan “korban” pertama dan satu-satunya
dari budaya yang korup di situ. Hal itu sudah
terjadi bertahun-tahun hingga dianggap
sebagai sebuah kelaziman. Sungguh
menyesakkan dada.
Harga ketidakjujuran
No free lunch. Tak ada makan siang yang
gratis, begitu istilahnya. Dunia kita tak
mengenal istilah anugerah. Bahkan grasi yang
semestinya cuma-cuma diberikan Presiden
kepada narapidanapun ternyata harus
“dibeli” dengan harga yang sangat mahal—
entah sepengetahuan Presiden ataupun tidak.
KPK dan para penggiat antikorupsi sepertinya
juga melihat betapa dalamnya kita terpuruk
ke dalam pusaran korupsi, sampai-sampai
mereka memasyarakatkan istilah yang
sesungguhnya ironis sekali: “Berani jujur,
hebat!”
Menggagas Generasi AntikorupsiMenggagas Generasi AntikorupsiMenggagas Generasi AntikorupsiMenggagas Generasi AntikorupsiMenggagas Generasi Antikorupsi
“““““Dampak korupsi bukan tidaknyata, melainkan belumdikomunikasikan secaragamblang kepadamasyarakat.
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
55555
Fo
ku
sF
ok
us
Fo
ku
sF
ok
us
Fo
ku
s
Ya, kejujuran menjadi begitu langka di
negeri ini, sampai-sampai untuk melakukan
hal yang seharusnya biasa itupun sudah
dikatakan sebagai “berani” dan “hebat”!
Dalam bukunya yang berjudul
“Kebenaran dan Transformasi: Sebuah
Manifesto Bagi Bangsa-bangsa yang Sedang
Sakit” (TCI & LINK, 2009), Vishal
Mangalwadi memberikan contoh yang
menarik tentang dampak kejujuran dan
kepercayaan terhadap harga barang dari
pengalamannya membeli susu sapi di sebuah
peternakan di Belanda:
Kami masuk ke dalam ruang susu
dan tak ada seorangpun di sana yang
menjual susu. Saya mengira Jan
(temannya di Belanda) akan
membunyikan bel, tetapi ia hanya
membuka keran, meletakkan buyung
di bawahnya dan mengisinya.
Kemudian ia menjangkau ke atas
jendela dan mengambil sebuah
mangkuk yang penuh berisi uang,
mengambil uang dari dompet,
meletakkan uang senilai 20 gulden ke
dalam mangkuk, menaruh
kembaliannya ke dalam sakunya,
mengembalikan mangkuk itu,
mengambil buyungnya dan kemudian
melangkah pergi. Saya terbengong-
bengong…
Vishal melihat betapa efisiennya sistem
jual-beli tersebut, dan itu berkat kejujuran
dan kepercayaan yang dijunjung tinggi. Jika
tak ada kepercayaan, tulis Vishal, maka
pemilik peternakan harus mempekerjakan
penunggu toko, yang upahnya tentu
dimasukkan ke dalam variabel ongkos
produksi, sehingga para pembeli susulah,
sebagai konsumen, yang harus membayarnya.
Belum lagi Pemerintah yang harus
mempekerjakan pengawas kualitas susu, yang
mungkin juga mau menerima suap dari
peternak sapi, yang mungkin juga tidak jujur
dengan menambahkan air pada susu yang
dijual. Dampaknya jelas, penurunan kualitas
susu dan kenaikan harga susu yang signifikan.
Susu yang seharusnya bisa dibeli oleh
siapapun kemudian menjadi sebuah barang
mewah karena mahalnya. Jika sudah
demikian, mana mungkin mengharapkan
generasi yang sehat dan pintar?
Kejujuran dan dunia pendidikan kita
Ungkapan “berani jujur, hebat!” bahkan
menjadi ironi di dunia pendidikan kita.
Seorang siswa yang bertobat lewat
persekutuan di sekolah dan bergabung dalam
kelompok kecil di Semarang pada suatu
ketika bercerita kepada penulis, bagaimana
ia dipanggil oleh guru BK
di sekolah
diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA
majalah
66666
Menggagas Generasi Antikorupsi
Fo
ku
sF
ok
us
Fo
ku
sF
ok
us
Fo
ku
s
dan diberi “wejangan” tentang pentingnya
kesetiakawanan di dalam Ujian Nasional. Ia
dianjurkan untuk ikut mencontek saja.
Sekolah yang seharusnya menjadi “kawah
Candradimuka” untuk mencetak “Gatotkaca-
gatotkaca” yang akan menyelamatkan
bangsanya, justru berubah fungsi 180 derajat
menjadi seperti sarang penyamun, tempat
orang-orang belajar berbuat kejahatan.
Generasi seperti apakah yang hendak
dihasilkan oleh sekolah-sekolah seperti itu?
Dalam sebuah seminar mengenai
pendidikan yang diselenggarakan oleh
Kompas beberapa waktu lalu, Prof. Jalaludin
Rahmat dengan jeli meringkas penyakit
pendidikan di negara kita sebagai pendidikan
yang mempertuhankan angka-angka.
Institusi pendidikan kita terlalu sibuk
mengejar nilai pelajaran, namun lupa
menanamkan nilai-nilai kehidupan yang
jauh lebih bermakna dan lebih luas serta
lama dampaknya.
Memang, Pemerintah, dalam hal ini
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
nampaknya memberikan perhatian besar
terhadap pengembangan karakter anak didik
lewat penerapan kurikulum pendidikan
antikorupsi. Akan tetapi, sungguhkah
demikian? Pada kenyataannya, meskipun MK
telah memutuskan bahwa UN yang ada saat
ini bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar dan mewajibkan evaluasi ulang
terhadap program tersebut, Pemerintah tetap
saja bersikukuh menyelenggarakannya dari
tahun ke tahun.
Jika Pemerintah saja “berani”
melangkahi keputusan MK, yang tentu saja
sebuah tindakan yang tidak etis dan bahkan
melanggar hukum, bagaimana mungkin kita
bisa percaya bahwa mereka sungguh-sungguh
memperhatikan masalah karakter, moral, atau
etika?
Atau mungkinkah Mendikbud tidak
tahu seberapa besar implikasi kebijakan UN
itu terhadap tata kehidupan dunia
pendidikan di negeri ini? Masakan tidak
tahu? Rasanya, Pemerintahlah yang lebih
memilih untuk menutup mata, terhadap
nilai-nilai yang “dikatrol” sedemikian rupa
sehingga tak mencerminkan tingkat
kecerdasan anak yang bersangkutan, atau
terhadap guru-guru “lugu” yang senantiasa
berada di dalam dilema antara memelihara
integritas dan nilai pendidikan ataukah
berkompromi demi kesuksesan anak didik
dan akreditasi sekolah.
Kecurangan yang tersistem
Ketika penulis menjadi pembicara di
sebuah sekolah menengah atas di Depok,
seorang murid mengangkat tangannya ketika
penulis bertanya, siapa saja yang pernah
dituding sebagai orang yang munafik. Ketika
diminta menceritakan pengalamannya
dituding sebagai orang yang munafik, dia
mengatakan bahwa hal itu dialaminya pada
waktu mengikuti Ujian Nasional SMP,
karena menolak terlibat dalam contek-
mencontek yang dilakukan oleh teman-
teman sekelasnya. Sungguh ironis. Yang
membuatnya lebih ironis adalah, kegiatan
contek-mencontek itu bukan lagi merupakan
kegiatan yang sembunyi-sembunyi dilakukan,
melainkan telah berkoordinasi dengan guru.
Kecurangan sudah tersistem dan
dianggap wajar, konon untuk mencapai
tujuan yang lebih mulia: nama baik sekolah
dan kebahagiaan orang tua. Dan tak hanya
berhenti sampai di situ, mereka yang menolak
bekerja sama justru dianggap sebagai
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
77777
Fo
ku
sF
ok
us
Fo
ku
sF
ok
us
Fo
ku
s
pengkhianat. Kita tentu belum lupa dengan
kisah ibu Siami dan Alif putranya yang diusir
dari kampungnya karena dianggap
mempermalukan kampung dan
menyusahkan teman-teman Alif di SD,
karena laporan mereka mengenai adanya
kecurangan di sekolah ketika ujian nasional.
Bayangkan saja jika anak-anak tersebut,
biarpun mendapat berbagai teori tentang
antikorupsi, melihat berbagai kecurangan
yang ada dan dianggap biasa di sekitar
mereka. Bayangkan, jika anak-anak itu
beranjak dewasa dengan prinsip yang kacau
tentang kebenaran tersebut, yakni bahwa
kebersamaan lebih penting daripada
kebenaran. Bukankah action speaks louder than
words, tindakan itu lebih keras berbicara
dibandingkan dengan kata-kata? Bagaimana
mungkin prinsip-prinsip antikorupsi itu
terinternalisasi dalam diri anak-anak didik,
tanpa adanya keteladanan di sekitar mereka?
Bagaimana bisa guru menanamkan nilai
kejujuran, jika bahkan sejak masuk sekolah
sudah ada kecurangan dalam penerimaan
siswa baru, hingga untuk meluluskan siswa-
siswinya, sekolah mengupayakan berbagai
cara termasuk mendistribusikan kunci
jawaban UN?
Memang, mungkin tidak semua
sekolah dan guru akan melakukan
kecurangan-kecurangan seperti itu. Akan
tetapi, yang menjadi permasalahan di sini
adalah, jika di sebagian institusi pendidikan
didapati berbagai modus kecurangan tersebut,
maka hampir bisa dipastikan bahwa hal yang
sama bisa menular ke tempat-tempat lain.
Jika penanggung jawab lembaga pendidikan
dan staf pendidik tak memiliki pondasi yang
kuat untuk menyelenggarakan pendidikan
yang lurus, bisa-bisa yang terjadi adalah
rasionalisasi, alias mencari alasan-alasan
pendukung agar kecurangan-kecurangan
yang dilakukan bisa “dimengerti.”
“PR” Kemdikbud
Kemdikbud haruslah memastikan
bahwa mereka memang memiliki
kesungguhan untuk membangkitkan
generasi antikorupsi untuk memperbaiki
negara ini. Program pendidikan antikorupsi
jangan sampai sekedar menjadi proyek
katebelece yang ala kadarnya, sekedar untuk
memberikan kesan bahwa mereka peduli
dengan pemberantasan dan pencegahan
korupsi, atau malah hanya menjadi kegiatan
alias proyek baru untuk menambah pundi-
pundi pribadi oknum-oknum tertentu. Nilai-
nilai antikorupsi yang hendak ditanamkan
haruslah bukan sekedar pengetahuan secara
kognitif anak didik saja. Lingkungan dan
sistem pendidikan juga seharusnya dievaluasi
dan disesuaikan demi
mendukung internalisasi nilai
yang ingin ditanamkan.
Oleh karena itu, subjek dari
pendidikan antikorupsi
seyogyanya bukanlah peserta
didik (siswa/mahasiswa) saja,
melainkan para pendidik, para
pejabat di semua institusi
pendidikan, dan juga pejabat-
pejabat di Kemdikbud, terutama yang
posisinya rawan disalahgunakan. Sistem
harus pula direvitalisasi. Birokrasi haruslah
dibuat seefisien mungkin agar tak
menyisakan celah untuk penyalah gunaan.
Akan lebih baik jika langkah awalnya adalah
mengevaluasi kembali pelaksanaan UN
sebagaimana yang diputuskan oleh
Mahkamah Konstitusi. Lagipula, bukankah
perubahan itu paling baik dimulai dari diri
sendiri?
“““““Program pendidikan antikorupsi jangansampai sekedar menjadi proyekkatebelece yang ala kadarnya, sekedaruntuk memberikan kesan bahwamereka peduli dengan pemberantasandan pencegahan korupsi
diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA
majalah
88888
Menggagas Generasi Antikorupsi
Fo
ku
sF
ok
us
Fo
ku
sF
ok
us
Fo
ku
s
Peran keluarga
Di sisi lain, kebanyakan keluarga (baca:
orang tua) di Indonesia sepertinya juga belum
memahami akan krusialnya peran mereka
bagi upaya pemberantasan korupsi. Padahal,
semua koruptor itu bertumbuh di dalam
keluarga-keluarga, sementara keteladanan
tentang tindak-pikir antikorupsi paling
efektif diberikan melalui keteladanan orang
tua. Masih banyak yang berpikir bahwa
fungsi orang tua sebatas mencukupi
kebutuhan jasmani anak, menyekolahkan,
hingga mencarikan jodoh bagi anak. Istilah
yang menyebut anak sebagai “titipan Tuhan”
secara sadar atau tidak ditafsirkan sebagai
tanggung jawab yang lebih berkonotasi
sebagai “beban,” bukannya sebagai anugerah
karena dipercaya sebagai mitra Allah untuk
“memenuhi bumi” dengan orang-orang baik,
jujur, dan takut akan Tuhan.
Tak banyak pula keluarga yang melihat
anak-anak dalam konteks kemasyarakatan
ataupun kebangsaan. Kebanyakan keluarga
di Indonesia masih menempatkan anak
sebagai “aset” keluarga yang harus
membahagiakan dan membanggakan orang
tua maupun keluarga besarnya. Jika sudah
begitu, maka bagaikan meletakkan mobil-
mobilan di lintasan balap, demikianlah
kebanyakan orang tua di negeri kita
meletakkan anak-anaknya dalam sebuah alur
kompetisi. Anak yang pintar akan sangat
dibanggakan, sedangkan yang biasa-biasa saja
akan terus dipacu supaya jenius.
Sekolah (dan tempat-tempat kursus)
menjadi semacam karantina untuk
menghasilkan output yang diinginkan
keluarga. Cita-cita anakpun bisa
“diintervensi” jika dianggap tidak “bonafit”
atau tak bisa mengharumkan nama keluarga.
Fenomena ini bahkan tak jarang terjadi di
keluarga-keluarga Kristen yang konon
dipanggil sebagai garam dan terang yang
memberkati sekelilingnya. Anak-anakpun
tumbuh dengan prioritas yang sempit:
membahagiakan dan membanggakan
keluarga. Bagaimana caranya? Menjadi
“orang”, alias berhasil dalam menumpuk
harta dan mendulang karir—tak peduli
bagaimanapun cara mencapainya.
Peran gereja dan lembaga pendamping
gereja
Di gereja, yang terjadi juga hampir sama.
Meskipun acapkali menyerukan pentingnya
kesatuan Tubuh Kristus, pada kenyataannya
masing-masing “merek” gereja menjadi
komunitas-komunitas yang eksklusif, yang
meski mungkin tak terucap, memandang
gereja lain sebagai kurang beriman, kurang
alkitabiah, dan sebagainya. “Segala
kemuliaan bagi Tuhan” sering diteriakkan,
namun seolah-olah itu sekedar slogan.
Karena pada kenyataannya, “segala
kemuliaan” itu “dibajak” oleh gereja atau
para pelayan Tuhan. Bukannya mencetak
garam dan terang bagi masyarakat, gereja
sering tergoda untuk menggarami dan
menerangi dirinya sendiri.
“Memperlebar Kerajaan Allah”
diartikan secara denotatif, yakni
menambah jumlah kawanan domba—yang
entah didapat dari mana—dan
memperluas wilayah “kerajaan” gereja—tak
peduli bagaimana cara melakukannya. Saling
rebut jemaatpun tak terelakkan, termasuk
menempuh jalan pintas untuk mengakali
aturan agar pembangunan gereja segera dapat
dilaksanakan. Sebuah gereja di Jakarta
Timur—entah bagaimana caranya—mendapat
izin dari Gubernur DKI sebelum ini untuk
memanfaatkan Ruang Terbuka Hijau. Warga
“““““Kebanyakan keluarga diIndonesia masih menempatkananak sebagai “aset” keluargayang harus membahagiakan danmembanggakan orang tuamaupun keluarga besarnya
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
99999
Ek
spo
sisi
Ek
spo
sisi
Ek
spo
sisi
Ek
spo
sisi
Ek
spo
sisi
setempat membawa permasalahan ini ke
PTUN dan memenangkan kasus tersebut.
Bagaimana gereja bisa turut berperan serta
dalam pemberantasan korupsi, jika ia sendiri
masih suka berkompromi?
Di gereja-gereja yang “lurus,” berapakah
di antaranya yang memasukkan topik
kebangsaan, khususnya mengenai
pemberantasan korupsi, di dalam
“kurikulum” pembinaan jemaatnya?
Bagaimana pula dengan lembaga-lembaga
kerohanian kristen lainnya seperti Perkantas,
LPMI, PPA, PMK/PAK, dan lain sebagainya,
sudahkah nasib bangsa ini menjadi
pergumulan yang utama, terkhusus soal
korupsi yang merajalela? Berapa banyak buku
rohani bertemakan pemberantasan korupsi
yang telah diterbitkan? Baik gereja maupun
lembaga pendamping gereja, sudah adakah
jejaring bersama yang secara khusus
mengampanyekan gerakan antikorupsi di
gereja-gereja hingga ke jalan-jalan raya?
Seberapa intens diadakan seminar atau
diskusi mengenai “tips dan trik” agar bisa
terjun ke dalam dunia bisnis, politik, hukum,
dan pemerintahan tanpa harus tersandera
sistem yang korup? Ataukah kita enggan
meninggalkan nyamannya pola hidup
asketisme yang mengejar kesalehan dan
keselamatan pribadi semata?
Ayo menyeberang!
Ada sebuah ungkapan yang terkenal
dalam bahasa Inggris, “All that is necessary for
the triumph of evil is that good men
do nothing.” Kejahatan akan
berkuasa ketika orang-orang
baik tak berbuat apapun untuk
melawannya. Terang takkan
berguna jika diletakkan di
bawah gantang. Garam juga
takkan bermanfaat jika tak
pernah ditaburkan ke dalam
masakan. Firman Tuhan sendiri
memberikan jaminan kepada
orang percaya mengenai apa
yang akan terjadi jika anak-anak-Nya
bertindak proaktif dalam melawan tipu
muslihat iblis, “Karena itu tunduklah kepada
Allah, dan lawanlah Iblis, maka ia akan lari
dari padamu!” (Yak. 4:7).
Dari ayat yang sama juga bisa kita lihat
bahwa ketundukan kepada Allah
disandingkan dengan tindakan aktif untuk
melawan iblis. Tindakan itu bukan pilihan,
melainkan keduanya harus dilakukan secara
simultan. Artinya, kita tidak bisa
memproklamirkan diri tunduk kepada Allah,
jikalau hanya sanggup berdiam diri ketika
melihat iblis merusak perikehidupan
masyarakat dan bangsa kita yang, seperti
mimpi rasul Paulus tentang penduduk
Makedonia (Kis. 16:9), seakan-akan berseru
kepada kita: “Menyeberanglah ke mari dan
tolonglah kami!”
Indonesia memerlukan bukan saja
kaum cerdik cendikia, melainkan juga kaum
tulus dan setia; dan bukankah kita semestinya
memenuhi kriteria itu? Jika para cendikia
Kristen sibuk membangun kerajaannya
sendiri, bagaimana mungkin bangsa ini
diberkati? Dengan selalu mengingat Kristus
yang telah “menyeberang” dari kekekalan
kepada kefanaan untuk menyelamatkan kita,
marilah kita juga meninggalkan menara-
menara gading kita dan merebut sekolah,
kampus, dan kantor kita dari bapa segala
pendusta. Ayo menyeberang! (ays)
diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA
majalah
1010101010
Menggagas Generasi Antikorupsi
Ek
spo
sisiE
ksp
osisi
Ek
spo
sisiE
ksp
osisi
Ek
spo
sisi
Perkataan Mazmur 119:9 itu
sudah menjadi salah satu ayat
hafalan favorit bagi banyak
muda-mudi Kristen. Bagaimana
tidak? Berbagai pembinaan
rohani begitu sering
mengutipnya di depan mereka
sambil menegaskannya sebagai
obat mustajab bagi kekorupan.
Integritas (“kelakuan bersih”)
adalah lawan kekorupan, dan
integritas ini dapat dipertahankan
dan dijaga orang muda dengan cara
mengacukan hidup kepada firman
Allah.
Tetapi, anehnya, kekorupan tetap
merajalela di Indonesia. Bahkan pelakunya
termasuk kalangan muda (Kristen) pula.
Bukannya mengabdi kepada Indonesia,
seperti yang dianjurkan secara tersirat oleh
Sumpah Pemuda 1928, mereka malah ikut
merompak tanah air dan bangsanya sendiri.
Dan jika kita, umat Kristen, mau berkilah
bahwa kita adalah kaum minoritas yang tak
bisa berbuat banyak secara nasional, faktanya
kekorupan menonjol pula di kantong-
kantong Kristen.
Dari Tanah Batak sampai Tanah
Dayak, dari Nias di ujung barat sampai Papua
di ujung timur, dari Sulawesi Utara di batas
utara sampai NTT di batas selatan, kita
menyimak banyak berita korupsi. Sejumlah
pejabat setempat, yang notabene orang
Kristen, diciduk dan disidang dengan
dakwaan korupsi. Kalaupun dakwaan itu sulit
dibuktikan, pembangunan yang tersendat dan
ketertinggalan di bermacam sektor
bersaksi bahwa korupsi memang
nyata di kantong-kantong Kristen.
Jika sudah begitu, apalah
arti Mazmur 119:9 yang kerap
dihafal dan difavoritkan muda-
mudi Kristen? Apalah arti
penegasan mimbar-mimbar
Kristen bahwa integritas adalah
obat mustajab bagi kekorupan?
Tulisan ini akan
membahas bahwa integritas belaka
tidak cukup untuk menanggulangi
korupsi yang sudah akut di tengah
bangsa dan, khususnya, di kantong-kantong
Kristen. Alkitab sendiri, seperti akan kita
tinjau nanti, mengisyaratkan hal itu kepada
kita.
Secara Alami?
Integritas alias “kelakuan bersih” tentu saja
merupakan syarat mutlak penanggulangan
korupsi—tetapi jelas bukan satu-satunya
syarat. Sayangnya, kalangan Kristen saleh
sering dijangkiti pola pikir naif yang
memandang bahwa pertobatan pribadi atau
“lahir baru” (yakni titik pangkal untuk
berkelakuan bersih) dengan sendirinya akan
menghasilkan perubahan masyarakat ke arah
yang baik.
“Mereka,” tulis Robert Kyle,
“memandang pertobatan pribadi—bukan
program-program sosial—sebagai jawaban
untuk masalah-masalah sosial.”1 Mereka
“percaya bahwa pembaharuan sosial akan
tumbuh secara alami dari kelakuan pribadi-
Integritas Belaka Tidak Cukup:Integritas Belaka Tidak Cukup:Integritas Belaka Tidak Cukup:Integritas Belaka Tidak Cukup:Integritas Belaka Tidak Cukup:
PPPPPemuda Krisemuda Krisemuda Krisemuda Krisemuda Kristen dan Pten dan Pten dan Pten dan Pten dan Penanggulangan Kenanggulangan Kenanggulangan Kenanggulangan Kenanggulangan KorupsiorupsiorupsiorupsiorupsiSamuel Tumanggor*
“Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih?
Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu.”
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
1 11 11 11 11 1
Ek
spo
sisi
Ek
spo
sisi
Ek
spo
sisi
Ek
spo
sisi
Ek
spo
sisi
pribadi yang bertobat.”2 Akibatnya mudah
ditebak: untuk menanggulangi persoalan
sosial seperti korupsi, mereka cenderung
mengejar pertobatan pribadi-pribadi sambil
mengesampingkan hal-hal seperti kajian
intelektual atau program sosial.
Ya, kelakuan bersih orang-orang
yang bertobat dari dosa tentunya bisa
berdampak kepada masyarakat, tetapi tidak
pasti “secara alami” akan mengubah
masyarakat jadi saleh. Buktinya, meski tak
pernah kekurangan orang “lahir baru,”
Amerika Serikat tetap dibelit kebejatan—yang
tak dilakukan, bahkan tak terpikirkan, oleh
bangsa-bangsa non-Kristen. Demikian pula
kantong-kantong Kristen dililit kemabukan,
pergaulan bebas, korupsi meski KKR gencar
digelar di sana dan tantangan bertobat sering
ditanggapi beratus-ratus orang.
Teranglah bahwa umat Kristen
harus celik akan faktor-faktor selain
“kelakuan bersih” ketika berbicara tentang
penanggulangan kekorupan. Gereja dan
lembaga pelayanan Kristen hendaknya tidak
mengajari kaum mudanya menyederhanakan
perkara dengan ide “tumbuh secara alami”
yang disebutkan Kyle di atas.
Apa lagi yang dibutuhkan pemuda
Kristen selain “kelakuan bersih”?
Idealisme dan Iklim Penggugahnya
Pemuda Kristen butuh idealisme dan iklim
penggugah idealisme itu. Idealisme yang
dimaksud di sini adalah idealisme untuk maju
menghadapi kekorupan “muka dengan
muka”—sesuai dengan panggilan atau
“penugasan” yang diterima dari Tuhan.
Tanpa idealisme yang demikian, integritas
bisa tertahan di area nyaman saja dan tak
pernah “dibenturkan” dengan kekorupan.
Dalam hal ini, muda-mudi Kristen
dapat meneladani Nehemia, yang rela
berkorban dan bersusah-susah meninggalkan
pekerjaan bergengsinya di istana Susan untuk
kembali ke negeri Yehuda dan membangun
tembok Kota Yerusalem. Idealisme
mengantarnya mendatangi—bukan
menghindari—kondisi yang sulit, sarat
tantangan, bahkan mengancam nyawa.
Idealisme mengajarinya memanfaatkan
peluang untuk masuk ke kancah
penanggulangan masalah di Yerusalem,
bukan sekadar berdoa atau berandai-andai
di Susan yang jauh.
Iklim penggugah idealisme
Nehemia terbentuk ketika beberapa orang
Yehuda menggambarkan keadaan Kota
Yerusalem yang mengenaskan.
Karena memang mencintai tanah
air dan bangsanya, hati Nehemia
remuk seketika itu juga dan
angannya dibanjiri idealisme untuk
pulang membangun Yerusalem.
Kalau kita membaca
riwayat para pemuda pencetus
Sumpah Pemuda 1928, kita akan mendapati
idealisme sejenis—dan juga iklim penggugah
idealisme itu. Bukan tanpa kesulitan dan
keberanian mereka mengikrarkan
keindonesiaan di zaman penjajahan Belanda!
Pada masa kini, gereja dan lembaga
pelayanan Kristen harus menggembleng
kaum muda Kristen untuk punya idealisme
macam itu. Bukan sekadar dicerahi tentang
integritas, mereka juga harus dicerahi tentang
adanya panggilan untuk berkorban dan
bersusah-susah demi kebaikan bangsa. Bukan
sekadar diajari ayat-ayat tentang integritas,
mereka juga harus diajari cara-cara melihat
dan mengambil peluang untuk turut
menanggulangi kekorupan di tengah negeri.
Dan iklim penggugah idealisme itu
harus dihidupkan di tempat-tempat
pembinaan pemuda Kristen. Jangan lagi
“““““Dan jika kita, umat Kristen, mau berkilahbahwa kita adalah kaum minoritasyang tak bisa berbuat banyak secaranasional, faktanya kekorupan menonjolpula di kantong-kantong Kristen.
diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA
majalah
1212121212
Menggagas Generasi Antikorupsi
Ek
spo
sisiE
ksp
osisi
Ek
spo
sisiE
ksp
osisi
Ek
spo
sisi
gereja dan lembaga pelayanan Kristen hanya
pandai menantang muda-mudinya untuk
masuk ladang misi atau kependetaan tetapi
tidak pandai menantang mereka masuk
medan juang penanggulangan kekorupan di
berbagai sektor kehidupan bangsa.
Tekad Baja dan Penguasaan Keilmuan
Mendampingi idealisme, pemuda Kristen
butuh tekad baja dan penguasaan keilmuan.
Di hadapan kekorupan, integritas belaka
adalah rapuh tanpa tunjangan tekad kuat,
dan semangat berintegritas belaka adalah sia-
sia tanpa pengetahuan tentang berbagai hal.
“Tanpa pengetahuan,” kata Kitab Amsal,
“kerajinan pun tidak baik” (Ams. 19:2).
Dalam hal ini, muda-mudi Kristen
dapat meneladani Daniel, yang mashur
kebulatan tekadnya dan menonjol
keilmuannya. Apakah Daniel berintegritas?
Pasti. Tetapi apakah Daniel bisa sukses
bekerja dan dipercaya di Kerajaan Babel dan
Media-Persia semata-mata karena
berintegritas? Tidak!
Ia punya tekad baja untuk melawan
arus dalam hal yang diyakininya benar.
Sewaktu banyak orang Yahudi berkompromi
dengan jatah ransum yang sudah
dipersembahkan kepada berhala, ia menolak
secara baik-baik—bukan secara beringas—dan
meminta jenis makanan lain. Ketika banyak
orang Yahudi tunduk saja kepada peraturan
untuk tidak berdoa kepada sembahan
manapun, ia tetap menjalankan sembahyang
rutinnya dan mengingat bangsanya dalam
doa.
Ia juga giat belajar sehingga
menguasai baik ilmu keras, seperti
pengetahuan administrasi negara yang
ditekuninya di Babel selama tiga tahun (Dan.
1:4-5,17), maupun ilmu lunak, seperti
kemampuan berdiplomasi dengan pemimpin
pegawai istana dan pengawas (“penjenang”)
asrama (Dan. 1:9-16).
Tekad baja dan penguasaan
keilmuan serupa dimiliki pula oleh para
pemuda pengikrar Sumpah Pemuda 1928.
Kita semua tahu bahwa mereka adalah kaum
terpelajar (karena benar-benar banyak
belajar) yang berbulat tekad untuk
menegakkan jati diri keindonesiaan—apa pun
tantangannya.
Pada masa kini, gereja
dan lembaga pelayanan Kristen
harus menempa kaum muda
Kristen untuk jadi orang bertekad
baja demi membantu mewujudkan
Indonesia yang lebih baik dan
bersih. Bukan sekadar didorong
untuk menjaga integritas, mereka
juga harus didorong untuk
mantap menjunjung idealisme,
siap melawan arus bilamana
harus, dan berani
“membenturkan” integritas mereka dengan
kekorupan.
Gereja dan lembaga pelayanan
Kristen pun harus menyemangati mereka
untuk menguasai rupa-rupa pengetahuan dan
keterampilan—sesuai dengan panggilan
hidup masing-masing. Bukan sekadar didesak
untuk rajin mengkaji Alkitab, mereka juga
harus didesak untuk rajin mengkaji keilmuan
sehingga tahu menggubah dan menggunakan
cara atau sistem terbaik demi mengatasi
penyakit bangsa seperti korupsi.
Peluang-peluang yang Dibukakan Tuhan
Di atas integritas, idealisme dan iklim
penggugahnya, tekad baja dan penguasaan
“““““Jangan lagi gereja dan lembagapelayanan Kristen hanya pandaimenantang muda-mudinya untukmasuk ladang misi atau kependetaantetapi tidak pandai menantang merekamasuk medan juang penanggulangankekorupan di berbagai sektorkehidupan bangsa
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
1313131313
Ek
spo
sisi
Ek
spo
sisi
Ek
spo
sisi
Ek
spo
sisi
Ek
spo
sisi
keilmuan, sudah barang tentu pemuda
Kristen butuh peluang-peluang yang
dibukakan Tuhan. Semua hal lain itu tak
akan berarti banyak sekiranya Tuhan tidak
membukakan pintu kesempatan kepada
kedudukan yang lebih strategis atau
wewenang yang lebih besar untuk memerangi
kekorupan.
Nehemia, kita tahu, mendapat
peluang pulang ke Yerusalem—peluang
menerapkan idealismenya di kancah
permasalahan—ketika Tuhan “meramahkan”
hati Raja Artahsasta terhadap niat-niatnya.
Daniel pun mendapat peluang kepada
jabatan yang makin tinggi ketika Tuhan
mengatur peristiwa-peristiwa yang membuat
para penguasa Babel dan Media-Persia
berkenan dan percaya kepadanya. Para
pemuda penggubah Sumpah Pemuda 1928
juga mendapat peluang kepada kecerdasan
dan perjuangan bangsa ketika Tuhan
menggerakkan khalayak di Belanda untuk
mendesak pemerintah Belanda membuka
keran pendidikan bagi penduduk Nusantara.
Dan mereka semua sigap
memanfaatkan peluang-peluang itu, bukan
tertegun atau berlambat-lambat dalam
bimbang dan takut.
Demikianlah gereja dan lembaga
pelayanan Kristen harus melatih muda-mudi
Kristen untuk bekerja sama dengan Tuhan—
untuk mengandalkan, mengharapkan, dan
memohon Tuhan membukakan peluang-
peluang—dalam juang melawan korupsi.
Gereja dan lembaga pelayanan Kristen juga
harus melatih mereka untuk mengambil
peluang-peluang itu begitu terbukakan.
Dan semua ini menegaskan bahwa
pembinaan rohani Kristen bisa dan harus
berbuat lebih dari yang sudah-sudah untuk
turut menyokong upaya penanggulangan
korupsi di tengah bangsa. Pembinaan rohani
Kristen harus beranjak dari pemikiran naif
yang memandang bahwa integritas belaka
atau “lahir baru” belaka cukup untuk
membanteras wabah sosial seperti korupsi.
Ya, kita semua setuju bahwa
integritas atau “kelakuan bersih” adalah
penawar kekorupan yang tak dapat ditawar-
tawar, karena memang begitulah faktanya dan
begitulah yang dinyatakan Alkitab. Tetapi
sekarang kita juga paham bahwa integritas
bukanlah satu-satunya faktor, karena fakta
dan Alkitab sendiri menunjukkan kepada kita
faktor-faktor penting lain yang harus
dilibatkan.
Kiranya sejak sekarang kita bisa
melihat gereja dan lembaga pelayanan
Kristen giat menggugah kaum muda Kristen
berperan aktif, tanpa berpikiran naif, untuk
berkarya baik di tengah bangsa—termasuk
berkarya memerangi kekorupan. Kiranya kita
bisa menyaksikan kaum muda Kristen, dan
kaum muda umat lain, bahu-membahu dalam
menjunjung integritas, idealisme, tekad baja,
penguasaan ilmu, dan pemanfaatan
kesempatan yang dibukakan Tuhan—faktor-
faktor yang sebetulnya dikenali secara
universal—dan “membenturkan” semua itu
dengan kekorupan.
Dengan demikian, pemuda Kristen
akan turut mempertahankan kebersihan
tanah air dan bangsa Indonesia, yang telah
diperjuangkan dan dibentuk generasi muda
terdahulu dengan tunjangan faktor-faktor
yang sama pula.
*Penulis adalah pengarang buku dan
fasilitator pelatihan penulisan
Catatan1 Richard Kyle. Evangelicalism: An Americanized
Christianity. New Jersey: Transaction
Publishers, 2006, hal. 178.2 Richard Kyle, hal. 41.
diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA
majalah
1414141414
Menggagas Generasi Antikorupsi
wa
wa
nc
ara
wa
wa
nc
ara
wa
wa
nc
ara
wa
wa
nc
ara
wa
wa
nc
ara
Terkait dengan penerapan kurikulum pendidikan antikorupsi yang merupakan hasil
kerjasama Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Ketua KPK Abraham Samad menjelaskan bahwa pengajaran antikorupsi
sebagai sisipan dalam kurikulum karakter bangsa pada pendidikan dasar dan menengah,
serta pengintegrasian nilai antikorupsi dalam kurikulum pendidikan tinggi sejalan dengan
program-program pendidikan yang selama ini dijalankan kedeputian pencegahan di KPK.
Mendikbud sendiri menyatakan bahwa ditandatanganinya nota kesepahaman tersebut untuk
menciptakan generasi baru yang tahan terhadap godaan-godaan korupsi. M Nuh juga
menambahkan, “Kita ingin dunia pendidikan dan kebudayaan menjadi motor untuk
membangun proses pembudayaan yang tahan terhadap korupsi” (Suara Merdeka, 09/03/
12).
Dalam wawancara kali ini, Majalah Dia berkesempatan untuk berbincang dengan Pdt. Em.
Dr. Aristarchus Sukarto, BA, M.Th. yang saat ini menjabat sebagai Rektor Universitas
Krida Wacana (Ukrida). Berikut sebagian percakapan Majalah Dia (MD) dengan pak
Aristarchus Sukarto (AS):
MD: Bagaimana pendapat Bapak soal
pendidikan antikorupsi yang sedang
digencarkan oleh pemerintah?
AS: Sebetulnya mulainya sudah lama,
dicanangkan oleh PBB untuk seluruh dunia,
bukan hanya Indonesia. Di Indonesia
memang baru dimulai, karena adanya
tuntutan untuk good governance, transparansi,
dan sebagainya. Memang negara seperti
Swedia menyusun kurikulum (antikorupsi),
dan itu yang sekarang kita ikuti.
Cuma kalau saya lihat di masyarakat kita itu
kan harus mengikuti pola linier, di mana
orang membuat perencanaan sampai
pencapaian, lalu semua diukur dari situ,
kemudian bisa dilihat ada penyimpangan atau
tidak. Tapi kalau orang punya landasan
berpikir tidak linier atau cyclic, maka tidak
ada semacam akumulasi atau tujuan yang mau
dicapai, sehingga muter aja.
Misalnya kalau orang yang berpikir linier
melihat uang, ia akan berpikir untuk
kehidupan yang lebih baik ke depan. Tapi
kalau pola pikirnya cyclic, hidup ya begini
ini, sehingga uang yang ada digunakan untuk
kepentingan sekarang. Untuk masyarakat
kita, pendidikan antikorupsi ya harus dimulai
dari pembenahan budaya atau cara berpikir.
Bukan dengan hanya membuat hukum.
Orang itu jalannya kan dituntun oleh
worldview yang dimiliki. Jadi itu yang perlu
kita perhatikan dalam pendidikan
antikorupsi.
MD: Jadi, pendekatannya ke arah budaya?
AS: Iya. Orang-orang Jakarta saja tidak
semuanya berpikir linier sekali. Contohnya
kalau kita mau membuat sebuah perusahaan
atau sebuah kegiatan atau gereja mau maju
ternyata tidak bisa karena ini, model
pikirannya yang satu maunya linier, segala
sesuatu terawasi dan ada auditnya, yang
PPPPPendidikendidikendidikendidikendidikan Itu Man Itu Man Itu Man Itu Man Itu Meeeeewwwwwariskariskariskariskariskan an an an an WWWWWorldvieorldvieorldvieorldvieorldviewwwww
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
1515151515
WWWW Waaaa a
wwww wa
nc
ara
an
ca
ra
an
ca
ra
an
ca
ra
an
ca
ra
satunya lagi berpikir, mengapa harus diaudit?
Inilah praktek-praktek yang menyuburkan
korupsi.
MD: Kalau di Ukrida bagaimana?
AS: Kami mulai masukkan, misalnya di mata
kuliah pembinaan kepribadian. Ini
pendidikan yang holistik, membentuk
kepribadian. Misalnya, mahasiswa mulai
diajarkan softskill-nya yang dilandasi dari
worldview-nya. Bagaimana mempertanggung
jawabkan tugas kalau menjadi panitia,
bagaimana memperhatikan orang lain,
bagaimana memandang uang itu mempunyai
fungsi sosial, jadi tidak hanya untuk pribadi,
ini diterapkan dalam softskill tadi. Makanya,
di dalam MPK pasti ada pakar yang datang
dari KPK memberikan kuliah tentang
pemberantasan korupsi, mulai dari undang-
undangnya sampai contoh-contoh perilaku
yang bisa dikatakan koruptif. Mahasiswa
diajak mulai bertanggung jawab, memikirkan
orang lain. Misalnya untuk masalah nilai,
orang tua harus tahu. Mengapa harus tahu?
Karena merekalah yang membiayai, sehingga
mereka berhak untuk tahu. Hal-hal itu yang
kami kemas dalam satu paket (pendidikan
antikorupsi).
Di Indonesia itu, apa-apa ditaruh ke
dalam kurikulum, menurut saya itu superficial.
Itu berat bagi anak-anak, dan fragmented,
artinya tidak ada kaitan antara menghafal
materi pelajaran antikorupsi dengan perilaku
antikorupsi di kehidupan sehari-hari, kecuali
kurikulum itu integrated. Makanya, di Ukrida
kan saya memasukkan itu ke dalam
pendidikan yang holistik itu tadi, mulai dari
belajar Pancasila, kewarganegaraan, ilmu
sosial dasar, lalu bagaimana keberagamaan
dalam interaksi sosial. Dulu saya sebut itu
metode isomeristik. Harusnya selain ada
pembelajaran tentang bagaimana berlaku
jujur dan tidak korup, juga diajarkan apa
dampaknya jika ada korupsi.
Orang hanya tahu korupsi itu
membahayakan, tapi tidak tahu kenapa,
bahkan justru senang-senang saja karena
mendapat bagian. Ini menjadi seperti cerita
Robin Hood, korupsi lalu bagi-bagi. Mereka
semua malah mendewa-dewakan yang
korupsi, karena mereka kesulitan hidup saat
ini. Jadi sebetulnya kalau mengajarkan
tentang antikorupsi kan seharusnya termasuk
bagaimana membentuk masyarakat masa
depan, bagaimana konsep tentang masyarakat
yang bahagia, sehingga tahu kenapa harus
tidak korupsi. Di dalam pendidikan yang
holistik itu, mahasiswa-mahasiswa yang masih
muda diajarkan untuk melihat kerangka
sosial yang besar tadi.
MD: Di Ukrida ada semacam KKN?
AS: Saya baru saja memulainya. Sebenarnya
(KKN) itu juga terkait dengan ini (pendidikan
antikorupsi). Supaya anak-anak Jakarta
memiliki kesadaran sosial, jadi lebih melihat
orang lain. Ternyata, di sini mahasiswa yang
dianggap selfish, setelah melihat orang yang
menderita di Paralangon (Garut, Jabar—red),
orangnya cacat, tak bisa memelihara ayam,
dia membuatkan kandang dan sebagainya.
Jadi, KKN bukan sekedar proyek pasang
papan nama, karena yang saya tekankan
Pdt. Em. Dr. Aristarchus Sukarto, BA, M.Th.
diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA
majalah
1616161616
Menggagas Generasi Antikorupsi
wa
wa
nc
ara
wa
wa
nc
ara
wa
wa
nc
ara
wa
wa
nc
ara
wa
wa
nc
ara
adalah kesadaran sosial itu. Saya juga sedang
jajaki untuk KKN di daerah Jogja, bekerja
sama dengan UKDW. Di Lampung, kami ada
Puskesmas kecil, rencananya akan diperbesar
untuk pemberdayaan masyarakat. Itu cara saya
berpikir untuk mendidik anak-anak
(mahasiswa) saya untuk mengatasi korupsi.
Bagaimana masyarakat sejahtera dan saya
sejahtera.
Orang itu akan korupsi terus kalau dia
ketakutan dengan masa depan. Nah, justru
bagaimana kita membuat masa depan itu
gambaran yang memang aman. Misalnya
begini: kalau masa depan saya letakkan pada
akumulasi uang sebagai kekuatan, maka saya
pasti cenderung korupsi. Akan tetapi, kalau
masa depan itu masyarakat yang bahagia, mau
saling menunjang, lalu sistemnya bisa jalan,
orang itu akan membentuk sistem, sehingga
tidak kuatir.
Anak-anak muda kita itu kan sebetulnya
kuatir. Di Jakarta itu saya perhatikan, anak-
anak muda itu maunya kerja sehingga umur
40 tahun sudah mapan, usia 50 tinggal
berpikir, tidak bekerja pakai otot lagi,
sehingga memikirkan bagaimana
mendapatkan uang yang cukup. Ini pasti
mendorong orang untuk mengumpulkan
uang untuk pribadinya. Tapi kalau berpikir
untuk masa depan bersama yang lebih baik,
misalnya jaminan kesehatan masyarakat
hingga hari tua dan sebagainya, maka orang
itu akan lebih membangun sistem. Tabungan
hanya untuk menambah kegembiraan saja,
misalnya untuk rekreasi dan sebagainya,
karena kebutuhan mendasar terjamin. Kalau
tidak, biarpun hukumnya kita pertajam dan
kekuasaan hakimnya kita perkuat, kalau
situasi begini terus, tetap saja dorongan
untuk korupsi itu akan muncul.
MD: Mengapa muncul ide pendidikan
antikorupsi, padahal kita kan negara yang
religius?
AS: Pendidikan itu kan sebetulnya bukan
sekedar membuat seseorang itu menguasai
matematika atau ekonomi, tapi juga
mewariskan worldview tentang masyarakat,
tentang kehidupan. Ini yang kita kurang
tekankan. Sejak kecil, anak-anak kita
dicekoki pemahaman bahwa yang pintar
itu yang jago Matematika dan sebagainya.
Anak-anak ini tak pernah diajak berpikir
tentang masyarakat yang idaman itu
seperti apa. Kita punya Pancasila dan
Pembukaan UUD ’45, tapi penjabarannya
tidak diajarkan kepada anak-anak kita.
Sekarang kita sadar kok kondisi kita
makin porak-poranda, korupsi biarpun
dihantam sana-sini selalu muncul lagi.
Jalan pintasnya ya buat undang-undang,
diaplikasikan, lalu koruptornya dihukum.
Tapi sebetulnya, menurut saya, kalau mau ya
sejak dini. Dan itu tidak hanya sekedar
kurikulumnya dibuat, tapi bagaimana sejak
dini anak-anak itu diajarkan nilai-nilai sosial,
misalnya diajak makan bersama-sama, untuk
berbagi dengan yang lain.
Di gereja, kita juga mulai hilang. Gereja
seolah-olah hanya menekankan
pertumbuhan kuantitatif atau jumlah anggota.
Sadar atau tidak, itu yang menjadi
penekanan, sehingga tidak peduli
persekutuan temannya diambil. Sadar atau
tidak, kita sedang mengajarkan membangun
citra, bukan membangun masyarakat
kerajaan Allah. Dalam hal PI saja kita kadang-
kadang seperti itu (mengukur kuantitas).
Tujuan gereja itu kan sebenarnya bagaimana
sih masyarakat kerajaan Allah, anak-anak
“““““Pendidikan itu kan sebetulnyabukan sekedar membuatseseorang itu menguasaimatematika atau ekonomi, tapijuga mewariskan worldviewtentang masyarakat, tentangkehidupan.
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
1717171717
WWWW Waaaa a
wwww wa
nc
ara
an
ca
ra
an
ca
ra
an
ca
ra
an
ca
ra
Tuhan yang mengenal Kristus itu menjadi
komunitas yang bisa betul-betul
mencerminkan Tuhan sendiri. Itu kan perlu
latihan. Kalau inginnya bagaimana supaya
terkenal, dihargai orang besar, dan
sebagainya, itu bisa jadi sumber korupsi.
MD: Tentang gereja, bagaimana pendidikan
antikorupsi di gereja selama ini?
AS: Saya kira gereja masih lemah sekali dalam
hal ini. Padahal, kalau melihat salah satu dari
Sepuluh Perintah tentang jangan mengingini
kepunyaan sesamamu, itu sebetulnya kan
pendidikan antikorupsi, bagaimana kita
menghargai hak orang lain dan hidup lurus.
Tapi kalau kita tekankan hanya berkat untuk
diri sendiri saja, kita takkan berkembang.
Makanya saya lihat banyak tulisan tentang
antikorupsi itu yang mengecam korupsi-
korupsi di luar gereja, tapi di gereja sendiri
tak pernah memikirkan, kira-kira gerak saya
mengandung unsur korupsi atau tidak.
MD: Sekarang, ada kecenderungan bahwa
tanggung jawab pendidikan diserahkan
kepada sekolah, bagaimana menurut Bapak?
AS: Ya tidak bisa, karena pendidikan
kepribadian itu kan dari lingkungan terdekat.
Keluarga ikut menentukan konsep hidup
anak-anak. Yang saya tekankan di keluarga,
misalnya, bukan karena saya sebagai
rohaniawan, maka anak-anak harus hidup
berpengorbanan, pelayanan, tidak hanya itu,
tapi juga bagaimana hidup sejahtera sebagai
orang yang sharing. Saya lihat dampaknya
waktu anak saya kerja di RS di bagian
pembelian obat, dia tidak pernah terbersit
untuk mengambil pungli atau korupsi.
MD: Lalu soal keteladanan, adakah yang
perlu diperbaiki di dunia pendidikan?
Selama ini kurikulum dari Pemerintah kan
sasarannya anak didik saja?
AS: Seorang pendidik harus bisa menjelaskan
konsep tentang guru/pendidik supaya
diterima anak didik, misalnya guru itu
membimbing, guru itu harus menerima
murid, sehingga kalau guru itu datangnya
terlambat, itu kan di bayangan anak-anak
itu akan ikut meniru. Di dunia mahasiswa
juga sama. Misalnya kalau dosennya hanya
mengajar bahan yang itu-itu saja selama
bertahun-tahun, tidak ada pembaruan.
Kemudian, dosen hanya mengajar,
kemudian pergi begitu saja, padahal tugas
dosen kan harusnya membimbing
mahasiswa, kalau dicari harus ada.
Setidaknya pasang jam berkantor yang jelas,
supaya mahasiswa tahu kapan bisa bertemu.
Kalau dosen disiplin seperti itu, itu sudah
memberikan keteladanan dalam hal
antikorupsi.
Sebetulnya seseorang menjadi korup itu
kan bukan karena pegang anggaran lalu tiba-
tiba korupsi, melainkan built up sejak dia
anak-anak, jadi siswa dan mahasiswa. Kalau
common sense-nya yang diterima secara sadar
ataupun tidak ternyata membolehkan
perilaku korup, maka ia bisa menjadi orang
yang korup. Pendidikan antikorupsi tidak
sekedar kurikulum tentang hukum dan
tindakan hukum saja, tetapi juga karena
worldview yang dihidupi. (ays)
“““““Sebetulnya seseorang menjadikorup itu kan bukan karenapegang anggaran lalu tiba-tibakorupsi, melainkan built up sejakdia anak-anak, jadi siswa danmahasiswa.
diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA
majalah
1818181818
Menggagas Generasi Antikorupsi
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
ngg ggg
Sepuluh tahun yang lalu,
saya pernah terhenyak
dengan perilaku korup
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
kantor wilayah (kanwi)
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (Depdikbud) yang
meminta uang kepada saya
dan kakak saya untuk legalisir
ijazah SMA saya. Padahal, tugas
PNS tersebut hanyalah
mengantar ijazah saya untuk
ditandatangani. Anehnya, seorang
ibu yang berada dekat kami malah
mendorong kami untuk membayar uang
Rp 5000,00 untuk legalisir. Menurut Ibu
tersebut itu adalah hal yang “wajar”. Kami
yang awalnya menolak pun akhirnya
memberi uang itu dengan kesal dan malu.
Kejadian di atas adalah sebuah contoh
betapa bahayanya korupsi jika terus
dibiarkan. Memberi uang “terima kasih”,
memberi uang “damai”, membayar lebih
untuk mempermudah birokrasi menjadi
sebuah kewajaran. Padahal, tindakan itulah
yang membuat korupsi berkembang biak
dengan subur di negeri ini. Korupsi secara
sadar atau tidak telah diajarkan turun
temurun dalam kehidupan bermasyarakat.
Korupsi menjalar dengan cepatnya seperti
penyakit kanker.
Empat belas tahun telah berlalu sejak
tumbangnya rezim korup Suharto, akan
tetapi korupsi di Indonesia bukannya
berkurang, malahan bertambah parah.
Dalam kasus terbaru yang sedang diusut
Komisi Pemberantas Korupsi (KPK),
anggaran untuk pengadaan Al-Quran gratis
pun turut dikorupsi. Para koruptor di negeri
ini tidak lagi takut untuk mengorupsi
anggaran kitab suci. Sungguh mengerikan!
Transparency International (TI)
mencatat bahwa Indeks Persepsi
korupsi (IPK) Indonesia pada
tahun 2011 berada di angka 3,0
dari rentang nilai 0 – 10.
Indonesia berada di peringkat
100 dari 182 negara yang
diberikan nilai. Semakin
tinggi angka IPK sebuah
negara, semakin bersih sebuah
negara itu dari korupsi. Jika
dilihat dari data 2006 (IPK 2,4)
sampai 2011, IPK Indonesia hanya
meningkat sebesar 0,6. Sebuah
indikasi kurang seriusnya negara ini
memberantas korupsi.
Cegah korupsi sejak dini
Korupsi adalah dosa. Oleh karena itu
cara bekerjanya pun seperti dosa. Korupsi
besar tidak mungkin terjadi tanpa adanya
korupsi kecil-kecilan. Dengan kata lain
orang yang saat ini tertangkap karena kasus
korupsi pastilah orang yang sejak kecil
terbiasa hidup tidak benar. Oleh karena itu,
untuk melawan korupsi selain melakukan
pemberantasan dengan hukum kita juga
perlu melakukan pencegahan sejak dini.
Menyadari pentingnya pencegahan
korupsi sejak dini, KPK melakukan kerja
sama dengan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) untuk
memasukkan pendidikan antikorupsi di
lembaga pendidikan mulai dari Sekolah
Dasar (SD) sampai dengan perguruan tinggi.
Pada tingkat SD sampai SMA, pendidikan
antikorupsi akan dimasukkan dalam mata
pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn). Sedangkan di
perguruan tinggi, akan dibuat mata kuliah
khusus antikorupsi (kompas, 20/06/2012).
Jangan HanyJangan HanyJangan HanyJangan HanyJangan Hanya Ma Ma Ma Ma Menambah Penambah Penambah Penambah Penambah PengetengetengetengetengetahuanahuanahuanahuanahuanOleh Palti Hutabarat*
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
1919191919
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
ngggg g
Tindakan KPK untuk memasukkan
pendidikan antikorupsi dalam kurikulum
pendidikan adalah sebuah tindakan yang
brilian. Tindakan pencegahan melalui
pendidikan adalah cara pencegahan terbaik.
Karena pendidikan mampu mengubah cara
pandang dan pola pikir seseorang. Selain itu,
semakin dini seseorang diajarkan
pendidikan antikorupsi, semakin mudah
dirinya dibentuk untuk tidak melakukan
korupsi.
Amsal 22:6 berkata, “Didiklah orang
muda menurut jalan yang patut baginya, maka
pada masa tuanyapun ia tidak akan
menyimpang dari pada jalan itu”. Orang
muda yang dididik dengan benar akan
memiliki hidup yang benar pula. Sebaliknya,
jika dididik dengan tidak benar, pastinya
mereka akan memiliki hidup yang tidak
benar.
Pendidikan, menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, adalah proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang
atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan. Pendidikan bukan
hanya membuat orang dari tidak tahu
menjadi tahu, melainkan juga membuat
orang mampu melakukan apa yang
diketahuinya. Ketika pendidikan antikorupsi
diterapkan, maka anak didik harus mampu
untuk tidak melakukan korupsi.
Sebagai seorang pendidik Kristen, kita
punya peran besar untuk menanamkan nilai-
nilai antikorupsi kepada anak didik.
Memasukkan nilai-nilai kebenaran dalam
setiap proses belajar mengajar, mengapresiasi
setiap kejujuran anak didik dan menghukum
segala kecurangan yang terjadi di dalam
kelas. Ketika hal itu dilakukan, maka seorang
pendidik Kristen sedang melakukan
pendidikan antikorupsi di dalam kelasnya.
Rencananya pendidikan antikorupsi akan
diterapkan mulai tahun ajaran 2012/2013
di jenjang pendidikan SD sampai SMA.
Inspektur Jenderal Kemendikbud, Haryono
Umar, menjelaskan bahwa materi untuk guru
SD dan SMA telah selesai digodok. Materi
untuk perguruan tinggi saat ini juga telah
selesai dibahas oleh KPK dan Kemendikbud
dan rencana akan segera diterapkan dalam
kurikulum (kompas.com, 9 maret 2012).
Penerapan pendidikan antikorupsi dalam
kurikulum, menurut saya, sangat tepat untuk
segera diterapkan dalam lembaga
pendidikan. Namun, yang perlu diwaspadai
adalah jangan sampai pendidikan antikorupsi
ini hanya sekedar menambah pengetahuan.
Karena jika demikian, pendidikan
antikorupsi hanya sekedar ajang mencari
nilai sama seperti bidang ilmu yang lain.
Pendidikan antikorupsi harus menjadi sarana
pelatihan bagi para pelajar untuk bangga bisa
hidup jujur dan berintegritas.
Selain itu, lembaga pendidikan juga
harus mulai menerapkan budaya jujur dan
berintegritas di lingkungannya. Di mulai dari
menuntut budaya jujur dan berintegritas para
pengajar dan karyawannya. Mulai dari tidak
telat untuk masuk sampai kepada
pertanggungjawaban keuangan sekolah atau
perguruan tinggi yang transparan. Jangan
sampai pendidikan antikorupsi menjadi sia-
sia ketika para pelajar melihat hidup para
pengajarnya bertolak belakang dengan teori
yang diajarkan. Pendidikan yang paling
berdampak adalah pendidikan dari
keteladanan, bukan teori.
Lembaga pendidikan juga harus
melakukan terobosan memberikan penilaian
terhadap kejujuran dan integritas dalam rapor
siswa atau KHS mahasiswa. Setiap siswa dan
mahasiswa yang kedapatan curang dalam
ujian harus mendapat hukuman
pengurangan nilai. Sebaliknya, setiap siswa
“““““Sebagai seorang pendidikKristen, kita punya peran besaruntuk menanamkan nilai-nilaiantikorupsi kepada anak didik
diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA
majalah
2020202020
Menggagas Generasi Antikorupsi
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
ngg ggg
dan mahasiswa yang mengerjakan ujian
dengan jujur akan mendapatkan
penambahan nilai. Bahkan mereka yang
dipilih menjadi siswa dan mahasiswa teladan
haruslah mereka yang jujur dan berintegritas
dalam studinya.
Peran kita
Lalu apakah peran kita sebagai
masyarakat, gereja, persekutuan, dan lembaga
pelayanan Kristen dalam mendukung
pendidikan antikorupsi? Cara
mendukungnya adalah dengan menerapkan
pendidikan antikorupsi dalam lingkungan
masyarakat, gereja, persekutuan, dan lembaga
pelayanan kristen. Keluarga yang adalah
kelompok terkecil dalam masyarakat, harus
membiasakan budaya jujur dalam
kehidupannya. Setiap kejujuran mengakui
kesalahan harus dipuji dan diapresiasi.
Orang tua pun jangan malu untuk mengakui
kesalahannya di depan anak-anak. Hal ini
bisa jadi awal untuk hidup jujur dan
berintegritas.
Gereja juga bisa melakukan pendidikan
antikorupsi dengan cara memberikan
pembinaan kepada anggotanya mengenai
korupsi. Jika perlu, undang KPK untuk
memberikan pendidikan antikorupsi kepada
setiap anggota. Selain itu penting juga bagi
gereja waspada supaya tidak dijadikan tempat
pencucian uang korupsi. Jangan sampai
lembaga kekristenan terseret masuk dalam
kasus korupsi karena menerima uang
korupsi.
Persekutuan dan lembaga pelayanan
Kristen juga bisa melakukan pendidikan
antikorupsi di dalam pembinaannya.
Perkantas saya pikir perlu juga memasukkan
pendidikan antikorupsi dalam
kurikulumnya. Kurikulum pelayanan siswa,
mahasiswa, dan alumni harus dimasukkan
pendidikan antikorupsi. Bukan hanya dalam
konteks mengetahui apa itu korupsi, tetapi
juga bagaimana caranya menghindari dan
melawan korupsi. Persekutuan-persekutuan
kampus juga harus memasukkan pendidikan
antikorupsi dalam pembinaan-pembinaan
yang dilakukan. Hal ini akan membuat
mahasiswa menjadi peka terhadap korupsi.
Mari kita berharap pendidikan antikorupsi
yang masuk dalam lembaga pendidikan di
Indonesia akan mengurangi angka korupsi
di negara ini. Mari kita juga melawan korupsi
dengan menerapkan pendidikan antikorupsi
dalam keluarga, gereja, persekutuan, dan
lembaga pelayanan Kristen kita. Karena
korupsi telah memiskinkan rakyat Indonesia.
Jangan sampai kejadian buruk terusirnya ibu
Siami dan putranya, Alif, karena
membongkar kasus contek massal pada
pelaksanaan Ujian Nasional terulang
kembali.
*Penulis adalah Staf Mahasiswa Perkantas Riau
Jangan sampai lembaga kekristenan terseret kasus karena menerima uang hasil korupsi
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
2121212121
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
ngggg g A
pa kita kita sedang
berperang?” Demikian
celetuk teman saat saya
menyebut pendidikan
perdamaian. Teman saya ini
tidak sepenuhnya salah. Dulu,
saya pun punya anggapan
bahwa pendidikan perdamaian
itu hanya dibutuhkan jika ada
konflik senjata atau kekerasan
fisik.
Setelah saya pelajari,
ternyata pendidikan perdamaian
memiliki konteks yang lebih luas.
Pendidikan perdamaian adalah bagian dari
peace building. Yang dimaksud dengan peace
building adalah upaya untuk membangun
perdamaian yang lestari dengan mencari akar
persoalan konf lik. Untuk itu, mereka
menggunakan analisis struktural yang
mengkritik developmentalisme. Hampir semua
negara mengadopsi paham pembangunan
ini. Secara konsep, tujuan dari pembangunan
adalah untuk mewujudkan kesejahteraan
bagi semua warganegara. Mereka bermimpi,
bahwa setiap orang dapat memiliki baju,
rumah, makanan, pendidikan, dan pekerjaan
yang layak. Warga negara juga memiliki
pelayanan sosial, seperti kesehatan, sosial,
dan keamanan. Demokrasi dilaksanakan, lalu
kebudayaan bertumbuh, dan lingkungan
hidup dilestarikan serta dilindungi.
Akan tetapi dalam praktiknya,
developmentalisme ini telah menciptakan
berbagai masalah ketidakadilan. Di
Indonesia, pemerintah Orde Baru
menjalankan politik pembangunan ini
dengan bertumpu pada pertumbuhan
ekonomi dan stabilitas nasional. Pemerintah
memberi ruang yang bebas kepada para
pemodal untuk menanamkan modal di
Indonesia dengan berbagai tawaran
yang menggiurkan: Upah buruh
yang murah, hukum lingkungan
yang longgar, keringanan pajak,
dan yang utama adalah
dukungan stabilitas nasional.
Untuk menciptakan
stabilitas nasional, pemerintah
menerapkan sistem sentralisasi.
Pengambilan keputusan dibuat
oleh penguasa yang dipatuhi
oleh bawahan. Semua partai
politik, media massa, dan birokrasi
dimanfaatkan untuk kepentingan
rezim Orba ini. Partisipasi rakyat dinihilkan.
Namun agar tercipta kesan bahwa ada
demokrasi, maka suara-suara rakyat ini
ditampung oleh lembaga legislatif yang
sebenarnya tunduk pada penguasa.
Lembaga pendidikan juga tak luput dari
eksploitasi oleh negara ini. Sebagai bagian
dari birokrasi, departemen pendidikan
menjadi alat yang ampuh untuk
menjinakkan pikiran yang kritis dan
menanamkan ideologi negara pada nara
didik.
Dengan kekuasaan yang memusat dan
ketiadaan kontrol, maka pemerintah
berpeluang melakukan penyalahgunaan
kekuasaan. Salah satunya adalah kesempatan
melakukan korupsi. Lembaga yudikatif yang
mestinya mengemban fungsi penyidikan atas
praktik korupsi menjadi mandul karena
lembaga ini tidak mandiri. Demi alasan
“stabilitas nasional”, maka kasus korupsi
haram untuk dibongkar karena dapat
mengganggu iklim investasi dan
pertumbuhan ekonomi. Korupsi juga sengaja
dibiarkan terjadi karena pemerintah pusat
sendiri melakukan korupsi. Maka, praktik
PPPPPenyenyenyenyenyaaaaadardardardardaran Antikan Antikan Antikan Antikan Antikorupsi Morupsi Morupsi Morupsi Morupsi Melalui Pelalui Pelalui Pelalui Pelalui Pendidikendidikendidikendidikendidikan Pan Pan Pan Pan PerererererdamaiandamaiandamaiandamaiandamaianPurnawan Kristanto*
diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA
majalah
2222222222
Menggagas Generasi Antikorupsi
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
ngg ggg
Sosialisasi Pendidikan Antikorupsi di Papua oleh KPK: di tengah konflik
ini “menetes” ke bawah sebagai sebuah
kelaziman.
Konflik
Maraknya korupsi tidak hanya menguras
pundi-pundi negara, tetapi juga berpotensi
menciptakan munculnya konf lik.
Contohnya, dalam penggusuran tanah.
Rakyat dipaksa meninggalkan tanah
miliknya karena akan digunakan untuk
pembangunan proyek pemerintah atau
pabrik. Ganti rugi yang diterima pemilik
tanah sangat rendah. Sisa pembayaran tanah
dikantongi oleh calo-calo tanah yang bekerja
sama dengan pemerintah. Namun demi
“pembangunan”, mereka harus pindah.
Rakyat yang tidak bisa menerima kondisi ini
akan melawan balik.
Contoh lainnya, penduduk di sekitar
aliran sungai di perkotaan mengalami
gangguan kesehatan karena mengkonsumsi
air yang tercemar buangan pabrik.
Pemerintah enggan menindak pabrik yang
tidak memiliki fasilitas pengolahan limbah
dengan dalih jika pabrik itu ditutup maka
timbul pengangguran. Pada kasus-kasus
tertentu, kasus pencemaran lingkungan
berakhir secara “damai,” sebagai
penghalusan ungkapan dari penyuapan. Di
sini tersimpan potensi konflik. Masih ada
lagi potensi konflik akibat praktik korupsi.
Akhir-akhir ini, kita cenderung
menyelesaikan konflik dengan menggunakan
kekerasan atau yang populer disebut aksi
anarkis. Sebagai contoh, sekelompok massa
di Lampung membakar pabrik karena tanah
mereka diserobot untuk perkebunan. Di
Bima, massa membakar rumah dinas bupati
untuk menuntut pencabutan izin tambang.
Lalu apa yang bisa kita lakukan?
Kita didorong untuk menunjukkan
solidaritas, bukan kasihan. Jika Anda
memberikan sedekah pada pengamen anak
jalanan itu adalah karena kasihan. Begitu
uang yang Anda berikan itu habis, maka
mereka akan kembali ke jalanan. Hidup
mereka tidak berubah. Namun dengan
menunjukkan solidaritas, maka Anda
mendukung upaya mereka untuk
memperbaiki hidup mereka. Di sini Anda
dapat menggunakan pendidikan perdamaian.
Di dalam pendidikan perdamaian ini,
partisipan diajak untuk menganalisis akar
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
2323232323
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
ngggg g
dari ketidakadilan yang mereka alami.
Setelah itu merumuskan tindakan yang
berbasis pada nilai-nilai berikut ini:
♦ Nir-kekerasan
♦ Menghormati HAM dan kebebasan
orang lain
♦ Toleransi dan solidaritas
♦ Komunikasi yang transparan dan terbika
♦ Partisipasi penuh dan kesetaraan bagi
perempuan
Pendidikan antikorupsi di sekolah
Pendidikan dan pembudayaan
antikorupsi akan masuk ke kurikulum
pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi
mulai tahun 2012. Pemerintah akan memulai
proyek percontohan pendidikan antikorupsi
di pendidikan tinggi. Materi antikorupsi ini
tidak akan menjadi mata kuliah tersendiri,
namun diselipkan di dalam mata kuliah di
perguruan tinggi atau mata pelajaran di
sekolah.
Di satu sisi, kabar ini menggembirakan.
Tapi di sisi lain, terselip pikiran skeptis
mengingat Kementerian Pendidikan masih
menjadi sarang bagi “tikus-tikus” koruptor.
Meski rezim Orde Baru sudah tumbang,
reformasi di bidang pendidikan masih belum
memuaskan. Perilaku para pendidik masih
mewarisi mentalitas birokrat zaman Orba.
Padahal, pendidikan antikorupsi itu bukan
sekadar hafalan pelajaran, melainkan sebuah
nilai yang dihayati dalam kehidupan. Hal ini
diakui sendiri oleh menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Muhammad Nuh. Dia
mengatakan bahwa budaya antikorupsi dan
“““““pendidikan antikorupsi itu bukansekadar hafalan pelajaran,melainkan sebuah nilai yangdihayati dalam kehidupan
kejujuran tidak cukup hanya diajarkan lewat
bangku sekolah, melainkan harus
dipraktikkan. “Membangun dan menegakkan
budaya kejujuran itu harus diuji, tidak cukup
hanya diajarkan, namun harus dipraktikkan
dan dibudayakan sejak dini,” kata pak
menteri.
Di dalam pendidikan antikorupsi
dibutuhkan keteladanan. Bagaimana
mungkin mengajarkan antikorupsi pada
murid-murid jika guru sendiri masih
membolos mengajar atau “mendiskon” jam
pelajaran? Bagaimana mungkin
menanamkan kejujuran jika pihak sekolah
sendiri tidak jujur dalam mengelola BOS
(Bantuan Operasional Sekolah)?
Karena itu, saya meletakkan harapan
pada lembaga-lembaga yang berada di luar
struktural pemerintah untuk
mengkampanyekan budaya antikorupsi. LSM
dan gereja dapat berperan melakukan
penyadaran pada masyarakat akar rumput
dan jemaat tentang penyebab dan akibat
dari korupsi dengan metode partisipatif.
Mereka dapat mengadopsi metode-
metode yang disediakan di dalam “Peace
Building.” Di dalam Peace Building ini,
partisipan diajak melakukan analisis
kritis tentang sebab-akibat dari korupsi
berdasarkan kondisi nyata dalam
kehidupan mereka. Jika mereka tahu bahwa
perilaku korupsi itu banyak merugikan, maka
timbul kesadaran untuk hidup yang jujur dan
transparan.
Untuk inilah kita dipanggil sebagai
“peace maker”, sebagaimana dikatakan oleh
Yesus, “Blessed are the peacemakers: for they shall
be called the children of God.”
*Penulis adalah penulis buku, aktivis LSM, dan
relawan tanggap bencana. Pernah ikut pelatihan
Peace Building oleh Mindanao Peacebuilding
Institute, Filipina
diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA
majalah
2424242424
Menggagas Generasi Antikorupsi
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
ngg ggg
PPPPPendidikendidikendidikendidikendidikan Antikan Antikan Antikan Antikan AntikorupsiorupsiorupsiorupsiorupsiVictor Silaen*
Pentingkah Pendidikan
Antikorupsi dilaksanakan
di lembaga-lembaga
pendidikan? Jelas penting. Kalau
begitu, sebaiknya Pendidikan
Antikorupsi ini dimulai dari
jenjang pendidikan mana? Di
pendidikan dasar, khususnya di
SMA (Sekolah Menengah Atas),
ataukah di pendidikan tinggi,
dalam arti di universitas, sekolah
tinggi maupun akademi? Menurut
hemat saya, karena kurikulum
pendidikan di SMA sudah sedemikian
padatnya, mungkin lebih baik dimulai dari
jenjang pendidikan tinggi saja.
Nah, di perguruan tinggi, berdasarkan
pengalaman saya sebagai dosen selama ini,
kurikulumnya agak fleksibel, jadi Pendidikan
Antikorupsi masih bisa disisipkan di sana-
sini sebagai mata kuliah pilihan, atau boleh
juga ditambahkan sebagai mata kuliah wajib.
Yang penting, bobotnya jangan terlalu berat.
Maksimal dua SKS saja.
Sebelum membahas mata kuliah
Pendidikan Antikorupsi ini lebih mendalam,
tentu kita perlu membicarakan terlebih dulu
apa dan bagaimana itu korupsi. Dengan
demikian, niscaya kita bersepakat nanti
bahwa korupsi itu memang harus diperangi.
Korupsi dan dampaknya
Dewasa ini, korupsi telah digolongkan
sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime). Mengapa? Jelas, karena dampak
negatif yang ditimbulkannya juga luar biasa.
Korupsi itu merugikan dan merusak, baik
negara maupun rakyat, dan tak hanya secara
materil tapi juga non-materil. Karena
korupsilah, maka Indonesia sulit maju dan
lambat membangun. Sebab, kekayaan negeri
ini telah banyak dicuri oleh para
“perampok berdasi” itu selama ini.
Karena korupsi pulalah, In-
donesia kerap dipermalukan di
forum-forum regional maupun
internasional. Bayangkan,
menurut survei terbaru World
Justice Project yang dirilis 13
Juni 2011, praktik korupsi di
Indonesia menempati posisi ke-
47 dari 66 negara yang disurvei
di seluruh dunia. Sementara di
kawasan Asia Timur dan Pasifik,
peringkat ketiadaan korupsi di Indone-
sia masuk di urutan ke-2 dari paling buncit
sebelum Kamboja. Sementara menurut hasil
survei Persepsi Korupsi 2011 terhadap pelaku
bisnis yang dilakukan oleh Political & Eco-
nomic Risk Consultancy (PERC) yang
berbasis di Hongkong, Indonesia merupakan
negara paling korup dari 16 negara di
kawasan Asia Pasifik.
Tidakkah hasil-hasil survei tersebut
membuat kita malu? Terkait Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY), yang katanya
dulu akan berdiri di garda depan dan bekerja
siang-malam dalam rangka memimpin upaya
pemberantasan korupsi, ternyata akhir
Februari lalu malah disoroti secara negatif
oleh sebuah majalah ekonomi terkemuka di
dunia, The Economist.
Dalam tajuknya, majalah itu menyebut
Presiden SBY tidak termasuk dalam kelompok
orang Indonesia yang sukses mengelola
negara dan partainya. Selain itu, The Econo-
mist secara terang-terangan menyebut SBY
kini tampak seperti lame duck alias bebek
lumpuh. “Barely half-way through his second
term, Mr Yudhoyono already looks like a lame
duck,” tulis majalah itu (dikutip dari
www.inilah.com, 29/2/2012). Apa alasannya?
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
2525252525
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
ngggg g
Karena ia begitu lamban bertindak dan kerap
takut mengambil keputusan terkait kasus-
kasus korupsi.
Baik di jajaran kabinet maupun di
partainya, sejumlah orang yang terlibat
korupsi dibiarkannya saja (tidak dipecat atau
setidaknya dinonaktifkan), dengan alasan
menunggu putusan pengadilan. Tapi
herannya, di sisi lain, SBY malah pernah
memberikan grasi kepada seorang terpidana
koruptor dengan alasan sakit parah. Itulah
Syaukani Hasan Rais, mantan Bupati Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur, yang tahun
2010 dibebaskan dari tahanan karena
menerima “pengampunan” dari SBY sebagai
kepala negara. Setelah bebas, Syaukani
langsung diterbangkan ke vila pribadinya di
sebuah perbukitan di Kalimantan Timur,
untuk beristirahat di sebuah rumah asri seluas
30 hektar yang dilengkapi dengan istal kuda,
area berkuda, landasan helikopter, dan kebun
kelapa sawit. Tidakkah ini melukai rasa
keadilan kita? Sudah mencuri uang negara,
kok malah diampuni, dan ternyata masih
kaya-raya pula.
Korupsi, secara sederhana, adalah
tindakan perseorangan maupun kelompok
untuk memperkaya diri sendiri dengan cara
yang melanggar hukum. Apakah ia hanya
terkait dengan orang-orang yang bekerja di
lembaga-lembaga negara? Tidak. Di lembaga-
lembaga non-negara pun korupsi bisa terjadi.
Apakah ia hanya terkait dengan tindakan
mencuri atau mengambil uang? Tidak,
karena memberi uang pun (bahkan sesuatu
yang bukan-uang), jika bertujuan
mempengaruhi pihak lain dengan maksud
agar pihak lain itu lalu melayani
kepentingannya, juga termasuk korupsi.
Itulah yang disebut suap—atau yang dalam
bahasa sehari-hari sering disebut “setoran/
menyetor”, “sogokan/menyogok”, dan yang
sejenisnya.
Begitulah, cukup banyak jenis tindakan
yang terkategori sebagai korupsi. Kalau mau
memahaminya lebih dalam, silakan kunjungi
situs korupedia.org. Kita patut bersyukur ada
aktivis-aktivis antikorupsi yang selama ini
telah berjerih-lelah dalam rangka
berpartisipasi memerangi korupsi di negara
ini. Salah satu karya mereka adalah sejenis
ensiklopedia korupsi Indonesia itu. Kita bisa
berkontribusi di dalamnya, misalnya dengan
cara memberikan data-data korupsi atau foto-
foto koruptor, dan lain sebagainya. Ayo, mari
kita manfaatkan wahana yang tersedia ini.
Jangan pasif, kalau betul-betul kita ingin
menjadi berkat bagi Indonesia.
Jangan hormati koruptor
Kembali pada korupsi, yang
adalah sebentuk kejahatan luar
biasa, maka upaya
memeranginya pun harus
dilakukan dengan cara-cara yang
luar biasa. Tentu ada banyak
alternatif strategi yang bisa kita
pikirkan. Namun yang pasti, jangan sekali-
kali memberi hormat kepada koruptor. Tak
peduli mereka banyak uang dan kerap
menyumbang bagi kegiatan-kegiatan sosial
bahkan keagamaan. Kita tak boleh iba
kepada mereka. Sebab, penghormatan dan
iba membuat korupsi cenderung menjadi
banal: sebuah proses (banalisasi) yang
membuat tindakan kejahatan itu akhirnya
dianggap “jamak”, sehingga tak lagi
dipandang sebagai sesuatu yang harus
diperangi.
Kalau perlu bahkan para koruptor itu
dipermalukan, agar efeknya membuat orang-
orang lain menjadi takut untuk melakukan
“““““jangan sekali-kali memberi hormatkepada koruptor. Tak peduli merekabanyak uang dan kerap menyumbangbagi kegiatan-kegiatan sosial bahkankeagamaan
diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA
majalah
2626262626
Menggagas Generasi Antikorupsi
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
ngg ggg
korupsi. Misalnya saja, menjatuhkan
hukuman dalam bentuk berbagai jenis kerja
sosial yang harus mereka lakukan di ruang-
ruang publik seraya memakai busana khusus
yang didesain untuk para koruptor. Atau,
boleh juga seperti idenya Ketua Mahkamah
Konstitusi, Mahfud MD, menempatkan
mereka di “kebun koruptor” yang dapat
disaksikan publik kapan saja.
Pendeknya, ingatlah apa yang pernah
dikatakan Mallam Nuhu Ribadu, Ketua
Eksekutif Economic and Financial Crimes
Commission (EFCC) Nigeria: “Kita punya
masalah sama: kita cenderung memberi
hormat kepada orang yang justru tidak layak
dihormati. Kamu melecehkan dirimu, kamu
melecehkan kebijakanmu. Kamu punya
kesempatan baik, tapi kamu membuat para
pencuri itu tetap jadi pencuri karena
kecenderungan itu. Ini masalah tentang
manusia, jadi jangan ada toleransi bagi para
koruptor itu. Bawa mereka ke depan hukum.
Di Nigeria, kami menangkap para koruptor
kakap dan ini membuat ’trickle down effect”
(Tempo, 16/9/2007).
Pendidikan antikorupsi di perguruan tinggi
Upaya lainnya, ya itu tadi: melaksanakan
Pendidikan Antikorupsi di perguruan tinggi.
Di sini, persekutuan mahasiswa maupun
alumni Kristen boleh juga melakukan upaya
yang paralel, dalam arti memasukkan
beberapa topik terkait korupsi di dalam
kurikulum pembinaan kerohaniannya.
Untuk itu kita bisa merancangnya dari
sekarang.
Pendidikan Antikorupsi tentu saja
memerlukan waktu lama untuk dapat
menghasilkan perubahan-perubahan positif.
Namun, kita boleh optimis bahwa para
mahasiswa maupun alumni kelak dapat
menjadi motor gerakan anti-korupsi di mana-
mana. Apalagi di sisi lain, pemerintah cq
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) bekerja sama dengan dengan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah
mencanangkan untuk melaksanakan
Pendidikan Antikorupsi mulai tahun ajaran
baru 2012-2013. Oleh pemerintah,
Pendidikan Antikorupsi ini akan diajarkan
sejak tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
Pendidikan itu tak hanya diberlakukan bagi
siswa, tetapi juga guru dan kepala sekolah.
Hanya saja pelajarannya diintegrasikan
dengan pendidikan karakter.
Di sinilah bedanya dengan usulan saya
di atas, bahwa Pendidikan Antikorupsi ini
sebaiknya mandiri sebagai mata kuliah (atau
mata pelajaran, kalau di sekolah). Tapi tak
menjadi masalah jika ada sedikit perbedaan.
Yang penting tujuannya adalah: memberi
pemahaman kepada generasi muda peserta
didik tentang apa dan bagaimana korupsi,
mengapa korupsi harus diperangi, dan
bagaimana cara-cara memeranginya.
Hal lain yang juga penting adalah metode
pendidikannya. Pendidikan Antikorupsi ini
harus dirancang sedemikian rupa sehingga
menjadi kombinasi antara teori (perspektif
sosiologis, hukum, dan lainnya), kunjungan
lapangan, diskusi, simulasi, pemutaran film,
dan lain sebagainya. Dengan demikian,
diharapkan Pendidikan Antikorupsi tidak
menjadi sebentuk pelajaran yang
menjemukan. Khususnya melalui diskusi,
peserta didik haruslah didorong untuk
mengelaborasi perihal tindakan-tindakan
(kebiasaan-kebiasaan) apa saja yang
sebenarnya identik dengan korupsi, seperti
sering terlambat dalam mengikuti sebuah
kegiatan, terlambat masuk sekolah,
menggunakan fasilitas sekolah untuk
kepentingan pribadi, dan yang sejenisnya.
* Penulis adalah Dosen FISIP
Universitas Pelita Harapan
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
2727272727
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
ngggg g K
orupsi berasal dari bahasa
latin Corruptio yang artinya
suatu perbuatan yang
busuk, buruk, bejat, tidak jujur,
dapat disuap, tidak bermoral
menyimpang dari kesucian,
kata-kata atau ucapan yang
menghina atau memfitnah.
Menurut UU No. 31/1999 jo
UU No. 20/2001, pelaku
korupsi (baca: koruptor)
didefinisikan sebagai setiap orang
yang secara sadar melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri/orang lain/suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian Negara. Tindakan korupsi
hadir dalam bentuk yang beragam, mulai dari
menyalah gunakan sarana yang ada padanya
karena jabatan/kedudukan, menggelapkan
uang, sampai menerima hadiah atau janji
karena kewenangan/kekuasaan jabatannya.
Pelakunya pun tak hanya penyelenggara
negara, bisa juga orang per orang, pegawai
negeri kelas “teri,” ahli bangunan, hakim,
dan lain-lain. Dampaknya tidak hanya
mengganggu efektivitas program
pemerintah, tetapi lebih dari itu, merusak
moral suatu bangsa dengan menggerogoti
nilai-nilai tanggung jawab, kejujuran,
disiplin, sederhana, kerja keras dan
sebagainya.
Peraturan Perundang-undangan
pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia telah muncul sejak 54 tahun silam
melalui Peraturan Pemberantasan Korupsi
Penguasa Perang Pusat No.PRT/Peperpu/
013/1958. Berbagai tim bentukan
Pemerintah dalam upaya pemberantasan
korupsi pun terus bermetamorfosa, mulai
dari Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (2000-2001), Komisi
Pemberantasan Korupsi (2002-
2003), hingga Tim Koordinasi
Pemberantasan Tipikor (2005),
Satuan Tugas Pemberantasan
Mafia Hukum (2009). Namun
hingga saat ini, korupsi masih
tumbuh subur di negeri ini.
Data dari Transparency
International Corruption Perception
Index 2011 menunjukkan bahwa
Indonesia berada pada posisi ke-
100 dengan Indeks Persepsi Korupsi
(IPK) 3 (skala dari 1 sampai 10).
Bandingkan dengan Singapura, negara
tetangga yang memiliki IPK 9,3. Semakin
besar nilai IPK suatu negara, maka semakin
bersih negara tersebut dari tindakan korupsi.
Angka ini tidak berubah signifikan selama
10 tahun terakhir, hampir tidak berbanding
lurus dengan berbagai upaya yang telah
dilakukan pemerintah dalam rangka
menekan angka korupsi.
Apa yang menyebabkan jalan buntu
pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia? Izinkan saya memberikan analisa
dari sudut pandang sebagai pendidik.
Pertama, kita gagal menciptakan lingkungan
anti-korupsi bagi generasi muda. Keluarga
sebenarnya memberi peran strategis dalam
menciptakan nilai-nilai anti-korupsi kepada
anak seperti rasa tanggung jawab. Di
dalamnya terkandung nilai-nilai kewajiban,
amanah, berani menghadapi, tidak
mengelak, ada konsekuensi, berbuat yang
terbaik. Namun faktanya, jarang sekali orang
tua yang melatih anaknya untuk memiliki
nilai tanggung jawab. Setiap hari, orang tua
yang memasukkan buku-buku ke dalam tas,
anak-anak tidak dibiasakan untuk bangun
pagi sendiri dan merapikan tempat tidur,
PPPPPendidikendidikendidikendidikendidikan Antikan Antikan Antikan Antikan Antikorupsi: Torupsi: Torupsi: Torupsi: Torupsi: Tanggung Jaanggung Jaanggung Jaanggung Jaanggung Jawwwwwab Kitab Kitab Kitab Kitab Kita Bera Bera Bera Bera BersamasamasamasamasamaJose Bonatua Hasibuan, S.Pd*
diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA
majalah
2828282828
Menggagas Generasi Antikorupsi
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
ngg ggg
makan disuapin, belajar disiapkan guru privat,
PR dikerjakan dan banyak lagi kebiasaan
yang tanpa sadar mencetak nilai-nilai
korupsi. Termasuk gaya hidup sederhana yang
jarang saya lihat dipraktekkan di keluarga-
keluarga Indonesia.
Kedua, gagalnya pendidikan agama dan
etika. Sebagai salah seorang pendidik, saya
merasakan sistem pendidikan saat ini belum
berhasil menanamkan nilai-nilai anti-
korupsi. Pendidikan agama seolah-olah
terpisah dari kehidupan sekuler.
Keberhasilannya hanya diukur sampai tingkat
pengertian dan kemampuan anak didik
dalam melaksanakan praktek-praktek
agamawi, bukan pada apresiasi pada
penampakan nilai-nilai kebaikan. Sekolah
secara rutin menyelenggarakan doa bersama
menjelang UN, namun praktek-praktek
kecurangan terorganisir dianggap hal yang
wajar. Pendidikan moral tidak lagi
dimasukkan ke dalam kurikulum, penekanan
lebih ditekankan pada pendidikan
kewarganegaraan, tanpa keteladanan dari
pemangku kepentingan negara. Jika hal ini
terus menerus dibiarkan, akan sulit berharap
lahirnya generasi tanpa korupsi sehingga
dimasa yang akan datang mimpi tercipta
Indonesia yang bebas dari korupsi hanya
sebatas retorika. Dalam hal inilah
membangun suatu sistem pendidikan anti-
korupsi menjadi relevan, melawan korupsi
dengan menanamkan nilai-nilai anti-korupsi
pada generasi muda sejak dini.
Membangun pendidikan antikorupsi
Kementerian Pendidikan Nasional
(Kemdiknas) menargetkan Pendidikan Anti-
korupsi yang merupakan bagian dari
Pendidikan Karakter akan diterapkan mulai
tahun ajaran 2012/2013. Pendidikan Anti-
korupsi substansinya bukan merupakan mata
pelajaran baru yang akan menambah beban
peserta didik, ia bisa masuk ke setiap mata
pelajaran, ke setiap pokok bahasan apa saja
dan dapat diterapkan di semua jenjang
pendidikan mulai dari pendidikan dasar
hingga perguruan tinggi. Tujuan utama
Pendidikan Anti-korupsi adalah perubahan
sikap dan perilaku terhadap tindakan
koruptif. Pendidikan Anti-korupsi
membentuk kesadaran akan bahaya korupsi,
kemudian bangkit melawannya.
Pendidikan perlu dielaborasi dan
diinternalisasikan dengan nilai-nilai anti-
korupsi sejak dini. Pendidikan anti-korupsi
yang diberikan di sekolah diharapkan dapat
menyelamatkan generasi muda agar tidak
menjadi penerus tindakan-tindakan korup
generasi sebelumnya. Tentu tak mudah
mengimplementasikan rencana Pendidikan
Anti-korupsi di sekolah. Perlu dipersiapkan
guru-guru yang akan menyampaikan agar
konten-konten pendidikan anti-korupsi yang
dicanangkan dapat diintegrasikan ke dalam
proses pembelajaran. Hal ini tidak hanya
mencakup metode penyampaiannya, tetapi
juga bagaimana mengevaluasinya.
Ini berarti, pendidik dan bahkan tenaga
kependidikan harus mampu menjadi teladan
dalam menunjukkan nilai-nilai anti-korupsi
agar Pendidikan Anti-korupsi yang
ditanamkan kepada peserta didik dapat
berbuah. Dalam hal ini, panggilan pendidik
Kristen sebagai garam dan terang semakin
jelas yakni menyatakan natur dosa sebagai
dosa yang harus diperangi dan menjadi
teladan bagi peserta didik dalam
menerapkan nilai-nilai anti-korupsi dalam
kehidupan sehari-hari.
Melibatkan semua pihak
Penerapan Pendidikan Anti-korupsi
harus melibatkan semua pihak di lingkungan
sekolah, perlu duduk bersama merancang
implementasinya di dalam kurikulum untuk
memetakan nilai-nilai anti-korupsi yang
harus dicapai di setiap satuan pendidikan,
siapa dan kapan disampaikan, termasuk
mekanisme evaluasinya. Sekolah harus
memiliki modul Pendidikan Anti-korupsi dan
mencantumkannya dalam program tahunan
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
2929292929
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
ngggg g
Contoh materi Pendidikan Anti-korupsi di
SD (Sumber : KPK)
sekolah. Tanggung jawab ini tidak hanya
menjadi beban guru agama, setiap guru harus
mengambil peran dalam menebarkan nilai-
nilai anti-korupsi. Seorang guru Bahasa
Indonesia misalnya, perlu memilih wacana
yang mengandung pesan-pesan anti-korupsi
di dalamnya dan kemudian memfasilitasi
diskusi sehingga setiap peserta didik
dilibatkan masuk ke dalam implementasi
praktisnya. Jika buku paket yang digunakan
tidak mengakomodir kepentingan tersebut,
guru dituntut mendesain sendiri artikel
bacaan yang akan dipakai dalam proses
pembelajaran. Seorang guru sejarah harus
mampu mendaratkan nilai keberanian pada
peserta didik ketika materi perjuangan
kemerdekaan Indonesia sedang dipelajari di
kelas. Siswa didorong meneladani sikap
berani yang ditunjukkan para pejuang
kemerdekaan dengan cara sederhana seperti
berani menolak ajakan seorang teman yang
tidak baik meskipun berisiko untuk dijauhi.
Seorang guru matematika harus memberikan
penekanan pentingnya mengikuti kaidah
dan aturan matematika dengan benar agar
peserta didik bisa mempertanggungjawabkan
hasil pekerjaannya.
Gagasan besar mencegah praktik
korupsi dengan menerapkan pendidikan
Anti-korupsi akan berhasil jika didukung
oleh semua pihak di luar lingkungan
sekolah. Apalah gunanya jika di sekolah nilai-
nilai anti-korupsi telah diajarkan namun di
rumah anak-anak tidak pernah diberikan
tanggung jawab walau hanya membersihkan
kamar tidur dan mencuci piringnya setelah
makan.
Masyarakat berkontribusi dengan
menegur anak-anak yang berkeliaran di luar
sekolah pada jam pelajaran, memberikan
sanksi sosial kepada para koruptor agar anak-
anak merasakan bahwa korupsi merupakan
hal yang sedang diperangi bersama. Lembaga
pelayanan harus mulai memikirkan program-
program aplikatif seperti sekolah alam.
Persekutuan Kristen harus menjadi
model komunitas orang-orang yang peduli
dan bergaya hidup sederhana, menanamkan
budaya disiplin waktu ketika melakukan
kegiatan. Kepada gereja Allah
mengamanatkan supaya “apa yang
kuperintahkan kepadamu pada hari ini
haruslah engkau perhatikan, haruslah
engkau mengajarkannya berulang-ulang
kepada anak-anakmu dan membicarakannya
apabila engkau duduk di rumahmu, apabila
engkau sedang dalam perjalanan, apabila
engkau berbaring dan apabila engkau
bangun” (Ulangan 6 : 6-7). Untuk korupsi
yang sudah membudaya dan mendarah
daging, dibutuhkan pendidikan berbasis anti-
korupsi yang disampaikan berulang-ulang
dan keroyokan. Setiap kita, baik sebagai guru,
karyawan atau ibu rumah tangga Tuhan
berikan tanggung jawab untuk mendidik
generasi muda negeri ini bermental anti-
korupsi, menjadi agen pendidikan anti-
korupsi, agen perubahan bangsa.
*Penulis adalah PNS di Dinas Pendidikan
Riau, Guru di SMKN Pertanian Terpadu Riau,
Saat ini sedang studi S2 Matematika di SPs IPB
diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA
majalah
3030303030
Menggagas Generasi Antikorupsi
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
ngg ggg
Barangkali korupsi itu suatu
hal yang tak terelakkan.
Ibaratnya seperti makan.
Ya, makan yang sudah jadi
rutinitas keseharian kita. Justru
karena sifatnya yang cenderung
teratur dan tidak berubah-
ubah, kita sering melupakan
“paras” lain dalam perihal
santap-menyantap.
Misalnya saja, kita kerap abai
dan menganggap remeh para
petani, nelayan, penjual di pasar,
koki, pengantar makanan, dan beragam
wajah lainnya yang sebetulnya sudah berjerih
menghadirkan sepiring nasi lengkap dengan
lauk dan sayurnya di hadapan kita. Kasarnya,
kita hanya menghargai mereka karena mereka
telah memenuhi kebutuhan kita.
Nah, bukankah mengabaikan orang-
orang tersebut merupakan hal yang tak
terelakkan? Apalagi kita hidup di zaman yang
selalu tergesa-gesa dan terlalu banyak pilihan,
rasanya tak sempat bercengkerama dengan
mereka—bila tak mau mengatakannya sebagai
hal yang absurd. Kalaupun ingat, sesekali kita
mengucapkannya dalam doa sebelum
makan. Semua polah ini terhisap dalam
suatu sistem yang menampilkan wajah
semangat zaman kini: ketergesaan.
Jadi, kalau boleh disamakan dengan
makan, korupsi pun tumbuh subur dalam
suatu sistem yang berkanjang pada
ketidakadilan dan keserakahan sejak masa
karuhun1. Suka tak suka, kenyataan itu
merupakan kebiasaan yang tak dapat kita
sangkal di saat ini.
Ah, tapi apatah tepat menyamakan
tindakan korupsi dengan makan? Bukankah
MakanMakanMakanMakanMakanYulius Tandyanto*
keduanya jelas-jelas berbeda?
Korupsi adalah tindak-tanduk
yang jahat dan merupakan
pilihan hidup, sedangkan
makan adalah tabiat yang baik
dan merupakan keharusan.
Justru persis di situlah letak
krisisnya: intisari keburukan
korupsi terjelmakan secara
halus seiras2 apa-apa yang baik
dan apa-apa yang harus dalam
keseharian kita. Bahkan, dalam
perikeimanan kita!
MUNGKIN kegelisahan macam itulah yang
dirasakan oleh ahli matematika Inggris,
Bertrand Russell (1872-1970). Ia mulai
mengunyah dan mencerna geliat
Kristianisme di masanya, awal abad ke-20.
Tampaknya Russell menengarai ketakpaduan
antara apa yang dinyatakan oleh iman orang
Kristen dan perilaku sehari-hari. Faktor
emosional pada Kristianisme kala itu—yang
memberikan rasa takut pada umat—
membuat Russell mual.
Syahdan, Russell mencurahkan
pemikirannya akan situasi religius yang
menurutnya korup itu pada pertemuan
Perkumpulan Sekular Nasional (National
Secular Society) cabang London Selatan.
Kuliahnya dipaparkan pada hari Minggu, 6
Maret 1927 di balai kota Battersea, dengan
judul yang kontroversial “Mengapa Saya
Bukan Seorang Kristen” (Why I am not a
Christian).
Argumen Russell yang blak-Vblakan dan
terkenal itu mendapat sambutan pedas dari
salah satu pendebat seriusnya, Thomas
Stearns Eliot (1888-1965). Di bulan Agustus
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
3131313131
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
nS
ud
ut
Pa
nd
an
Su
du
t P
an
da
ngggg g
tahun yang sama, Eliot menyiapkan beberapa
argumentasi balasannya. Jika boleh diringkas,
argumentasi Eliot seperti ini: pertama,
bukankah alasan Russell tidak menjadi
seorang Kristen sebetulnya juga merupakan
faktor emosional? Eliot pun menjelaskan dua
macam rasa takut: yang baik dan buruk.
Baginya, rasa takut yang sepantasnya pada
Tuhan jelas berbeda dengan rasa takut
terhadap perampok.
Dan yang kedua, Eliot menyatakan
dengan nada mencela bahwa jika perbuatan
dianggap paling penting ketimbang
pernyataan iman, Russell tentu akan
menyetujui kesimpulan argumennya.
“Dengan demikian, ateisme hanyalah
merupakan roman lain dari kekristenan,”
sindir Eliot.
Semenjak itu perdebatan pun terus
berlanjut kian cadas. Namun, memasuki usia
senjanya, Russell tampak menyetujui
kesimpulan Eliot dalam pengertian tertentu.
Ateisme merupakan suatu bentuk kelaparan
dirinya akan kebenaran dalam sistem
Kristianisme yang korup. Dalam
permenungannya, Russell meratapi jarak
antara suara yang berkata-kata pada rasionya
dan keinginan emosionalnya untuk meyakini
sesuatu:
“Aku selalu sangat bergairah untuk
menemukan dasar kebenaran dari
berbagai emosi. Emosi yang
diilhamkan oleh banyak hal yang
tampaknya berdiri jauh dari
kehidupan manusia dan yang layak
mendapatkan rasa kagum. Naluriku
memilih bersama para humanis,
tapi emosiku memberontak
dengan hebat. Dalam hal ini
‘penghiburan filsafat’ bukanlah
untukku.”
BOLEH JADI kita perlu rahang yang kuat
dan usus yang baik untuk mencerna banyak
hal, termasuk perihal korupsi. Bertindak
korup itu nikmat, seolah-olah tampak baik,
dan menjadi keharusan dalam sistem yang
telanjur rusak. Karena itu, kita perlu
“melumatkan” berbagai kenyataan hidup
yang menampilkan diri sebelum
memutuskan untuk menelan atau
memuntahkannya demi kesehatan tubuh.
Demikian pula dalam menilai kisah Russell,
pengalaman sahabat, ataupun cerita diri, kita
perlu mengunyahnya baik-baik.
Kebiasaan dan bertindak korupsi
memanglah buruk, tapi jangan-jangan tidak
seburuk pikiran korup dan pembenarannya
yang bersifat dogmatis dan halus. Kita bisa
saja berpikir untuk mendalami kitab suci
sampai-sampai kita lupa diri dan telah
menjadikannya berhala baru (bibliolatreia).
Kita telah menggeser Tuhan dan membatasi
keleluasaan-Nya.
Pikiran korup adalah suatu hal yang tak
tergelicikkan3, lebih-lebih kita bernapas dan
tenggelam di dalamnya. Namun, dalam
ketiadaberdayaan tersebut, alangkah bestari
bila kita mau bertelut di hadapan Salib
Kristus dengan sejujur-jujurnya dan
sehormat-hormatnya. Bukan sebagai berhala,
melainkan semacam simbol pengharapan.
Kita yang terbatas mencoba meletakkan
kembali bahwa korupsi adalah suatu yang
buruk dan merupakan pilihan. Suatu pilihan
di mana kita bila kita tidak melampauinya,
kita adalah bagian dari korupsi.
Korupsi di sana-sini. Harapan telah
disemai. Dan, kita lapar .... Mari makan!
*Penulis adalah alumnus Unpad, saat ini sedang
menjalani matrikulasi untuk studi S-2 di STF Driyarkara
Catatan kaki:1Nenek moyang2Serupa, semacam3Terelakkan
diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA
majalah
3232323232
Menggagas Generasi Antikorupsi
Jela
nJe
lan
Jela
nJe
lan
Jela
ngg ggg
Pada hari-hari ini, kehidupan
berbangsa di Indonesia
menghadapi musuh
bersama, yaitu korupsi. Media
dipenuhi dengan berita
tentang penangkapan para
koruptor oleh lembaga yang
rasanya paling populer saat
ini, KPK. Tetapi apakah
korupsi hanya dapat
disembuhkan oleh kehadiran
lembaga KPK? Politisi PDI
Perjuangan di DPR, Dewi Aryani,
menyatakan bahwa dari sekian banyak
teori korupsi yang dipelajarinya, maka yang
paling mudah dipahami sebagai penyebab
korupsi adalah: niat, sistem yang
memberikan celah, kebutuhan dan
terakhir, tekanan dari pihak lain, termasuk
parpol. Yang menarik, pengakuan
legislator itu membahas korupsi yang
sudah membudaya, yang berarti lebih
tinggi dari kebutuhan maupun akibat dari
sistem.
Jika korupsi sudah menjadi budaya,
maka korupsi sudah dianggap “benar” dan
dibutuhkan; bukan karena korupsi itu
benar, tetapi karena dianggap sebagai
“jawaban” atas kebutuhan yang didasari
nilai konsumerisme dan hedonisme. Di
jaman ini, gaya hidup seperti itu sangat
populer. Namun kenyataannya, masyarakat
marah dan gelisah dengan kondisi ini,
sehingga mengharapkan adanya perubahan.
Budaya korupsi sesungguhnya menyimpan
nilai kejahatan berupa perampasan hak
orang lain. Korupsi memiliki dampak
moral yang merusak seluruh sendi
kehidupan, di mana tidak ada lagi rasa
nyaman untuk hidup dan
bertumbuh bersama sebagai
suatu bangsa. Kemarahan
masyarakat terjadi ketika akses
vital seperti kesehatan dan
pendidikan menjadi begitu
mahal. Padahal, negara sudah
mengambil uang rakyat yang
merupakan jerih payah
mereka—yang seharusnya
kembali dinikmati sebagai
fasilitas publik.
Banyak ahli mengatakan bahwa
kondisi seperti saat ini adalah karena
“salah urus negara” di mana permasalahan
terletak pada pengelolaan maupun
pengelolanya. Kemampuan mengelola yang
baik tidak bisa lepas dari isu manusia
sebagai isu sentral. Hal ini berkaca pada
apa yang Kristus lakukan, di mana Ia
menyentuh manusia, sebagai strategi
gerakan reformasi paradigma dan budaya
yang telah korup (penerapan taurat dan isu
keselamatan bergeser dari makna
seharusnya).
Akhir-akhir ini kita mengenal istilah
good governance, yang dimaknai sebagai
pemerintahan yang bersih dari KKN. Pada
prinsipnya, good governance merujuk pada
suatu proses pemeliharaan dan pemulihan
rasa saling percaya di dalam masyarakat
(political trust). Kepercayaan di dalam
konteks kemasyarakatan (bangsa) terdiri
dari macro-level atau organizational trust dan
micro-level atau individual political trust.
Kehadiran lembaga KPK lahir sebagai
suatu terobosan untuk memecah
kebuntuan proses pemulihan kepercayaan
di masyarakat. Jika pemberantasan korupsi
MMMMMengupaengupaengupaengupaengupayyyyyakakakakakan Tan Tan Tan Tan Trrrrransansansansansffffformasi Budaormasi Budaormasi Budaormasi Budaormasi Budayyyyya Anti-Ka Anti-Ka Anti-Ka Anti-Ka Anti-KorupsiorupsiorupsiorupsiorupsiRuth Yuni T. Imanti*
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
3333333333
Jela
nJe
lan
Jela
nJe
lan
Jela
ngggg g
tidak berakar pada pemulihan kepercayaan
politik, maka KPK suatu saat juga akan
kehabisan energi. Ketua KPK mengatakan
bahwa banyaknya kasus korupsi tidak
sebanding dengan SDM yang tersedia. Jika
hanya mengandalkan upaya kuratif seperti
yang dilakukan KPK, maka masyarakat
hanya akan menjadi masyarakat yang reaktif
atau tidak dewasa dalam bernegara.
Kedewasaan bernegara sangat penting, yang
dibangun di atas moralitas bernegara, di
mana asas kepercayaan dijunjung tinggi.
Kepercayaan politis hanya terjadi jika
setiap warga negara menghargai
pemerintah dan institusi pendukungnya,
di mana para pembuat kebijakan, yaitu
para pemimpin politis menjalankan
kebijakan sesuai janji/sumpah, efisen, adil
dan jujur. Dengan kata lain, kepercayaan
politis adalah penilaian warga negara
bahwa sistem dan para pejabat politik
bertindak responsif, dan memiliki
kemauan untuk melakukan yang benar
walaupun tidak ada penyelidikan yang terus
menerus (Miller and Listhaug 1990, 358).
Hal ini bisa terjadi ketika masyarakat puas
dengan alternatif kebijakan yang ada
(Miller 1974, 951) dan didukung oleh
kekuatan institusi di tingkat legislatif dan
yudikatif. Individual political trust dapat
terjadi jika para pemimpin politik secara
individu dapat dipercaya. Masyarakat akan
percaya jika para pemimpin yang
memegang jabatan benar-benar diyakini
baik. Selain itu, kepercayaan politis di
tingkat organisasi maupun individu
tergantung pada pembuatan kebijakan
yang kredibel. Artinya, aturan yang dibuat
harus memenuhi persyaratan standar
kebijakan yang baik, yaitu berorientasi
kepada kepentingan jangka panjang yang
menguntungkan rakyat.
Penerapan good governance, yang
mengedepankan tranpsaransi maupun
akuntabilitas, harus didukung oleh
manajemen pemerintahan yang terbuka
dan terkontrol dengan baik oleh
masyarakat, baik melalui lembaga
perwakilannya di DPRD, kelompok-
kelompok kritis, maupun melalui media.
Dengan demikian, peluang terjadinya
korupsi menjadi semakin sempit. Secara
ringkas, Good Governance diartikan sebagai
pengelolaan pemerintahan
yang mengikuti kaidah-
kaidah tertentu sesuai
prinsip-prinsip dasarnya.
Kunci utama memahami
good governance adalah
pemahaman atas prinsip-
prinsip di dalamnya, yaitu
(Anung Karyadi, 2012):
1. Partisipasi semua
warga masyarakat dalam pengambilan
keputusan, baik secara langsung
maupun melalui lembaga-lembaga
perwakilan sah, yang mewakili
kepentingan mereka secara
konstruktif.
2. Tegaknya supremasi hukum tanpa
pandang bulu.
3. Transparansi, yaitu pengelolaan arus
informasi yang bebas di mana seluruh
proses pemerintahan dan lembaga-
lembaga informasi dapat diakses oleh
pihak-pihak yang berkepentingan agar
terjadi pengawasan serta akuntabilitas
“““““Jika korupsi sudah menjadi budaya, makakorupsi sudah dianggap “benar” dandibutuhkan; bukan karena korupsi itubenar, tetapi karena dianggap sebagai“jawaban” atas kebutuhan yang didasarinilai konsumerisme dan hedonisme
diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA
majalah
3434343434
Menggagas Generasi Antikorupsi
Jela
nJe
lan
Jela
nJe
lan
Jela
ngg ggg
para pengambil keputusan di
pemerintah.
4. Lembaga dan seluruh proses
pemerintahan harus berusaha
melayani semua pihak yang
berkepentingan. Dengan demikian
berorientasi pada konsensus tata
pemerintahan yang menjembatani
kepentingan-kepentingan yang
berbeda.
5. Kesetaraan semua warga masyarakat
agar berkesempatan memperbaiki atau
mempertahankan kesejahteraan.
6. Efektivitas dan efisiensi proses
pemerintahan dan lembaga-lembaga
sesuai kebutuhan warga masyarakat
dengan mengelola sumber-sumber
daya seoptimal mungkin.
7. Visi strategis para pemimpin dan
masyarakat yang memiliki perspektif
yang luas dan jauh ke depan atas tata
pemerintahan yang baik dan
pembangunan manusia, dengan
pemahaman atas kompleksitas
kesejarahan, budaya dan sosial.
Untuk membentuk good governance,
dibutuhkan pembentukan karakter para
pemimpin yang layak dipercaya. Dengan
demikian, ranah pendidikan menjadi
sangat krusial sebagai wadah utama
mencetak para pemimpin yang dapat
memulihkan kepercayaan masyarakat.
Budaya merupakan produk kristalisasi
nilai-nilai selama kurun waktu tertentu.
Ketika korupsi sudah menjadi budaya,
maka terjadilah kristalisasi nilai
ketidakadilan. Untuk mengubahnya, perlu
upaya pembudayaan kembali nilai-nilai
yang menjunjung keadilan sebagai langkah
membangun kembali kepercayaan yang
kokoh. Pendidikan yang baik harus
mencapai kristalisasi nilai-nilai yang
menjamin terbentuknya kepercayaan hidup
bersama. Untuk itu dibutuhan pendidikan
yang bersifat transformatif, yang ketika
berperan di tingkat sistem atau organisasi,
para pemimpin yang dihasilkan memiliki
pula kompetensi manajemen perubahan.
Transformasi adalah perubahan yang
mendasar, meliputi paradigma dan arah
hidup. Perubahan tersebut tidak hanya
bersifat fisik di permukaan, melainkan juga
perubahan yang fungsional. Transformasi
adalah hasil belajar yang bersifat permanen,
bukan perubahan sementara untuk
kepentingan tertentu demi memenuhi
kepuasan jangka pendek semata.
Transformasi mengubah struktur watak
manusia, sehingga memiliki sistem nilai
hidup yang baik menurut
ukuran nilai moral dan
spiritual.
Memberantas korupsi di
Indonesia untuk menciptakan
pemerintahan yang bersih dan
berwibawa tidak bisa
dilakukan hanya dengan
mengubah tampilan luar dan
dilakukan oleh dan pada
sebagian dari sistem sosial saja.
Perlu proses perubahan yang
disebut sebagai transformasi
total. Nilai-nilai yangSiswa dan komitmen antikorupsi: butuh keteladanan
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
3535353535
Jela
nJe
lan
Jela
nJe
lan
Jela
ngggg g
mengutamakan pemenuhan kepentingan
sendiri yang melahirkan ketamakan dan
korupsi tidak bisa diubah hanya dengan
menciptakan aturan baru. Perlu proses
penyadaran akan kepedulian bersama dan
dilanjutkan dengan memberlakukan sistem
yang sesuai dengan nilai-nilai tersebut.
Pendidikan yang bersifat kristalisasi
nilai-nilai anti-korupsi secara ideal
dilakukan sejak masa kanak-kanak. Lima
tahun pertama individu adalah
pembentukan super ego dan kepribadian.
Super ego berperan sebagai “penjaga” atau
dikenal sebagai hati nurani untuk
mengarahkan baik dan buruknya suatu
tindakan. Sedangkan kepribadian adalah
dasar bangunan dari individu untuk
menghadapi situasi sosial di sekitarnya.
Pada masa 5 tahun pertama, skema
di dalam otak dan pola respon manusia
masih f leksibel untuk dibentuk.
Kristalisasi nilai yang dibangun sejak dini
pada periode tersebut akan sangat sulit
diubah. Menurut teori pendidikan moral,
“usia emas” kesiapan pendidikan moralitas
berkisar antara usia 8-9 tahun, di mana
seorang anak secara kemampuan kognitif
sudah mulai mampu menyerap hal-hal
yang bersifat abstrak. Oleh sebab itu
pembiasaan sejak kecil, misalnya dengan
perilaku anti-korupsi di usia 5 tahun
pertama harus dilanjutkan dengan
pendidikan etika, yaitu penjelasan di balik
kebiasaan peri laku anti korupsi, pada saat
anak berusia 8-9 tahun.
Masyarakat Kristen, khususnya kaum
intelektual, dapat berperan sangat banyak
dalam proses pendidikan atau transformasi
anti-korupsi. Secara singkat, yang dapat
dilakukan adalah:
1. Menguatkan peran pendidikan
keluarga sebagai pembentuk nilai-nilai
iman Kristen dengan pembiasaan
perilaku anti korupsi sejak dini,
terutama orang tua yang berperan
sebagai teladan.
2. Menguatkan pemuridan di lingkungan
anak Tuhan (gereja) mulai sejak masa
dini, dengan pembinaan iman yang
komprehensif meliputi penciptaan
lingkungan yang bersih dari KKN.
3. Menguatkan institusi gereja dengan
sistem manajemen
yang menganut
prinsip good
governance.
4. Terlibat di dalam
m a n a j e m e n
perubahan di
l i n g k u n g a n
profesional dan
masyarakat, misalnya
dengan mendukung asas transparansi
dan akuntabilitas. Selain keteladanan,
pemanfaatan media juga penting
untuk mendorong aktualisasi kedua
asas ini.
5. Mendorong pendidikan karakter pada
kurikulum sekolah.
*Pernulis bekerja sebagai konsultan lepas di
bidang SDM, saat ini melayani sebagai
Majelis Jemaat GPIB Petra Bogor
“““““Pembiasaan sejak kecil, misalnya denganperilaku anti-korupsi di usia 5 tahun pertamaharus dilanjutkan dengan pendidikan etika,yaitu penjelasan di balik kebiasaan peri laku antikorupsi, pada saat anak berusia 8-9 tahun
diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA
majalah
3636363636
Menggagas Generasi Antikorupsi
Tilik
an
Tilik
an
Tilik
an
Tilik
an
Tilik
an
Arianto BataraTomohon, Sulawesi Utara
Yanti RomauliLampung
Resita LubisMedan, Sumatera Utara
Pendidikan harus dipandang secara holistik, artinya
pendidikan tidak hanya melulu memerhatikan ranah
kognitif peserta didik, tetapi juga memerhatikan skill dan
terutama karakter. Jika pendidikan seperti ini, yang
diwujudkan di sekolah-sekolah, maka menurut saya
tidak perlu ada kurikulum (mata pelajaran/topik, dll.) yang
secara khusus membahas antikorupsi.
Hal yang tepat menurut saya adalah pembelajaran
antikorupsi itu terintegrasi dalam seluruh pembelajaran,
tercermin dari kehidupan keseharian antara guru dan
peserta didik. Perwujudan lain adalah melalui penerapan
peraturan-peraturan di sekolah. Contohnya adalah guru
hadir di sekolah sebelum peserta didik hadir (teladan),
memberikan konsekuensi bagi peserta didik yang
terlambat, menerapkan konsekuensi bagi peserta didik
yang menyontek, tidak membuat kunci jawaban UN
(Ujian Nasional), guru tidak menerima uang terima kasih
dari siswa, dan lain sebagainya.
Weilin HanJakarta
Menurut saya, kurikulum Pendidikan Antikorupsi tidak
perlu, karena apabila sekolah sudah
menyelenggarakan kurikulum yang telah ada dengan
baik, otomatis di dalamnya ada muatan pembentukan
karakter "antikorupsi", misalnya muatan pendidikan
karakter atau muatan pembelajaran afektif. Mengapa
korupsi tak kunjung berkurang di Indonesia?
Jawabannya sangat kompleks dan tidak bisa dijawab
hanya dengan penambahan kurikulum antikorupsi.
Situs resmi KPK menyebutkan bahwa kurikulum anti
korupsi diterapkan di tahun 2011, sementara
Mendikbud menyatakan kurikulum tersebut akan
diterapkan di tahun 2012. Dua informasi membingungkan
ini bertolak belakang dengan indikator transparency dan
accountability panduan Good Governance UN-ESCAP.
Padahal, transparency dan accountability sangat erat
hubungannya dengan anti-korupsi. Saya juga sangat
berharap bahwa yang nanti diluncurkan memang adalah
sebuah kurikulum. Bukan modul lepasan.
Brain-based learning menyatakan bahwa sebuah
informasi akan masuk ke dalam long term memory dan
synapses di otak bertumbuh dengan baik ketika informasi
itu disampaikan secara konstruktif, melalui experiential
learning, dengan materi yang relevan & kontekstual bagi
si pembelajar. Kita perlu banyak sekali teladan pelaku
anti-korupsi yang bisa menjadi rujukan bagi anak-anak.
Dengan demikian, pendidikan anti-korupsi menjadi
sebuah pelajaran yang sangat “gue banget”.
Menurut hemat saya, pendidikan antikorupsi
bukanlah solusi terbaik untuk mengatasi budaya
korupsi. Mari lihat Singapura, yang mendapat predikat
"negara paling bersih di kawasan Asia Tenggara".
Googling saja kurikulum pendidikan yang diterapkan di
Singapura mulai dari TK-PT, tidak ada yang berkaitan
dengan politik. Tapi kenapa Singapura dapat bebas dari
korupsi? Rahasianya mungkin keteladanan, teladan
bicara lebih kuat daripada perkataan. Yang dibutuhkan
generasi muda Indonesia adalah keteladanan yang baik
(anti korupsi) dari para pemimpin dan orang tua, bukan
menyisipkan teori tanpa aplikasi.
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
3737373737
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
1) Pelatihan Training of Fasilitator
Peran fasilitator sangat besar atau vital
dalam menentukan keberhasilan
kegiatan pengembangan masyarakat
(community development/comdev). Sebab,
seorang fasilitator menjadi kunci di tengah
komunitas sejak lembaga comdev masuk,
komunitas menyuarakan kebutuhan
mendasar mereka, sampai tahap awal
kegiatan sebagai salah satu solusi bersama
untuk mengatasi permasalahan yang ada di
masyarakat. Oleh karena itu, kapasitas dan
kemampuan dari seorang fasilitator harus
dipastikan keandalannya sebelum terjun ke
lapangan.
Beberapa lembaga comdev melakukan
pelatihan mendasar kepada fasilitator di
lapangan. Pemerintah Indonesia pada awal
tahun 2007 mencanangkan Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
melalui kegiatan yang digabungkan, yaitu
Program Pembangunan Kecamatan (PPK)
dan Program Penanggulangan Kemiskinan
di Perkotaan (P2KP). Pemerintah
berkomitmen hendak menyusun suatu
standarisasi dari kapasitas kompetensi
fasilitator comdev.
Graduate Center dalam rangka
peningkatan kapasitas fasilitator comdev ini
sejak tahun 2010 sudah melakukan
pelatihan-pelatihan tenaga fasilitator melalui
kegiatan rutin setiap bulan yang diadakan
di Pintu Air. Adapun materi yang
disampaikan, yaitu:
1. Filosofi dan pengertian comdev
2. Peran Pemerintah dalam
Pengembangan Masyarakat
3. Metodologi comdev : need
assessment
4. Analisa Prioritas dan Program:
Mengetahui Kebutuhan Mendasar
5. Proposal Writing
6. Budgetting
Materi-materi tersebut disampaikan
dengan metode seminar, diskusi maupun
terjun ke lapangan, khususnya saat
melakukan analisa prioritas kebutuhan
mendasar masyarakat. Materi-materi lainnya
yang direncanakan akan diberikan untuk
jangka waktu ke depan sebagai alternatif
tambahan yaitu terkait dengan metode-
metode untuk memaksimalkan penentuan
kebutuhan mendasar dari komunitas, antara
lain:
1. Participatory Rural Appraisal (PRA)
2. Rapid Rural Appraisal (RRA)
3. Social Approach
2) Need Assessment Survey
Pada Bab 1 sudah diutarakan bahwa tim
comdev pada percontohan pelayanan
comdev Paksu Jakarta menggunakan need
assessment approach. Pendekatan ini didukung
dengan melakukan metode curah pendapat
berkelompok (kelompok laki-laki dan
kelompok perempuan) maupun per individu
dengan menggunakan alat kuesioner yang
telah dipelajari dan dilatihkan kepada
masing-masing fasilitator. Kegiatan curah
pendapat berkelompok dilakukan 1-2 kali
setelah disepakati waktu pertemuan
sebelumnya.
Kuesioner yang disiapkan dijadikan
pedoman awal bagi fasilitator tetapi tidak
dapat dikembangkan sesuai dengan situasi
dan kondisi. Kuesioner yang disiapkan dapat
dilihat pada boks berikut:
PPPPPererererersiapan dan Psiapan dan Psiapan dan Psiapan dan Psiapan dan Pemilihanemilihanemilihanemilihanemilihan
KKKKKebutuhan Mebutuhan Mebutuhan Mebutuhan Mebutuhan Mendasar di Kendasar di Kendasar di Kendasar di Kendasar di Komunitomunitomunitomunitomunitasasasasas
diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA
majalah
3838383838
Menggagas Generasi Antikorupsi
Da
ri Gra
du
ate
Cen
ter
Da
ri Gra
du
ate
Cen
ter
Da
ri Gra
du
ate
Cen
ter
Da
ri Gra
du
ate
Cen
ter
Da
ri Gra
du
ate
Cen
ter
KUESIONER COMMUNITY DEVELOPMENT
I. Data Pewawancara
Nama : ................................................................................................
Alamat : ................................................................................................
Nomor Telepon : ................................................................................................
Tanggal Wawancara : ................................................................................................
Lokasi Wawancara : ................................................................................................
Waktu Wawancara : ................................................................................................
II. Data Responden
Nama : ................................................................................................
Alamat : ................................................................................................
Tempat/Tgl Lahir : ................................................................................................
Pendidikan terakhir : ................................................................................................
Status : ................................................................................................
Jabatan di Masyarakat : ...............................................................................................
III. Substansi
3.1 Pendidikan Anak
1. Berapa jumlah anak Bapak/Ibu sekarang ini? Laki-laki : ........., Perempuan: ..........
2. Apakah anak Bapak/Ibu masih sekolah saat ini?
a. TK : ..............
b. SD : ..............
c. SMP : ............
d. SLTA: ............
e. D1/D2/D3/S1 : .................
3. Apakah anak-anak Bapak/Ibu setiap hari masuk sekolah? .......................................
4. Apakah sering bolos? .............................
5. Apakah bisa mengerjakan tugas yang diberikan guru? ....................................
6. Bagaimana cara anak-anak mengerjakan PR? ....................................................
7. Pelajaran apa saja yang sulit pahami anak-anak untuk diikuti? ...................................
8. Apakah anak-anak ikut teman sekolah untuk belajar bersama? .............................
9. Apakah Bapak/Ibu ingin ada yang mengajari anak-anak pelajaran tersebut selain
guru? .........................
10. Apakah Bapak/Ibu punya buku-buku pelajaran sekolah anak-anak di rumah?
.........................
11. Buku pelajaran apa saja yang tidak dipunyai? ....................................................
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
3939393939
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
12. Apakah sekolah mengijinkan untuk meminjam buku pelajaran dari perpustakaan?
...
13. Apabila sudah tidak bersekolah,
a. Apakah alasan Bapak/Ibu tidak menyekolahkan mereka lagi? .........................
b. Apakah Bapak/Ibu ingin mereka meneruskan sekolahnya? ..............................
c. Apakah anak-anak Bapak/Ibu dapat mengikuti pelajaran sekolah? .................
d. Pelajaran apa saja yang sulit dipahami anak-anak Bapak/Ibu? ..........................
e. Apakah Bapak/Ibu menginginkan ada yang mengajari pelajaran tersebut selain
guru? .......................................................................................................................
f. Mengapa? .....................................................................................................................
3.2 Hubungan Keluarga dan Tempat Tinggal
1. Apakah semua anak-anak Bapak/Ibu masih hidup? .....................................................
2. Apabila masih, dimana mereka tinggal sekarang ini? ..................................................
3. Apakah mereka tinggal bersama Bapak/Ibu sekarang ini? ..........................................
4. Apabila mereka tidak tinggal dengan orang tua sekarang ini, dengan siapa mereka
tinggal sekarang ini? ........................................................................
5. Siapa saja yang tinggal satu atap rumah dengan Bapak/ibu saat ini selain anak-
anak Bapak/Ibu? ..................... Berapa KK? ....................................................
6. Apakah alasan anak-anak tidak tinggal dengan Bapak/Ibu? ......................................
7. Bagaimana hubungan Bapak/Ibu dengan anak-anak? .................................................
8. Apakah Bapak/Ibu sering memukul anak-anak? ..........................................................
9. Apa alasan Bapak/Ibumemukul mereka? .......................................................................
10. Saat memukul anak-anak, apa yang digunakan Bapak/Ibu? .....................................
11. Bagian tubuh mana yang Bapak/Ibu pukul? ................................................................
12. Berapa kali sehari Bapak/Ibu memukul mereka? .......................................................
13. Apakah pasangan Bapak/Ibusaat ini masih tetap yang lama (orang tua kandung)
dari anak-anak Bapak/Ibu saat ini?
a. Ya, masih sama,
b. Tidak, sudah bercerai 1x,
c. Tidak sudah bercerai lebih dari 1x.
14. Apa yang menyebabkan perceraian Bapak/Ibu tersebut? ..........................................
15. Apakah Bapak/Ibu mempunyai kakak/abang atau Bapak/Ibu? ..............................
a. Berapa jumlah kakak/abang? ...............................................................
b. Berapa jumlah adik? ...............................................................................
16. Apakah kakak/abang dari Bapak/Ibu, tinggal bersama Bapak/Ibu saat ini ?
..........................
a. Apabila Ya, apakah mempunyai kamar masing-masing? ..................................
b. Apabila tidak, siapa saja yang tinggal sekamar dengan Bapak/Ibu? .............
diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA
majalah
4040404040
Menggagas Generasi Antikorupsi
Da
ri Gra
du
ate
Cen
ter
Da
ri Gra
du
ate
Cen
ter
Da
ri Gra
du
ate
Cen
ter
Da
ri Gra
du
ate
Cen
ter
Da
ri Gra
du
ate
Cen
ter
17. Berapa orang yang tidur satu kamar dengan Bapak/Ibu? ................................
18. Berapa ukuran kamar tidur Bapak/Ibu tersebut? .................................................
19. Apa alas Bapak/Ibu tidur?
a. Kasur
b. Busa
c. Tikar/ambal/karton tebal dilapis
d. Koran/kertas biasa saja
e. Lainnya ....................................
20. Berapa ukuran luas rumah Bapak/Ibu? .......................................................................
21. Apakah milik Bapak/Ibu sendiri? ..................................................................................
22. Apabila kontrak/sewa, berapa biaya sewa per tahun? ...............................................
23. Apa bahan dasar bangunan rumah Bapak/Ibu yang tinggali saat ini?
a. Beton/cor/bata/plester
b. Setengah beton/bata, setengah papan/triplek/gedeg
c. Bahan Papan/triplek/gedeg
24. Apa bahan dasar lantai?
a. Porselen/tegel
b. Semen/bata
c. Tanah
25. Apakah kamar mandi terletak menyatu dengan bagian rumah tinggal Bapak/Ibu
saat ini? ..............................................................
3.3 Mata Pencaharian dan Ekonomi keluarga
1. Apa pekerjaan Bapak/Ibu? ..............................................................................................
2. Apa pasangan Bapak/Ibu juga bekerja saat ini? .........................................................
3. Apa pekerjaan pasangan Bapak/Ibu saat ini? ...............................................................
4. Apakah Bapak/Ibu mengetahui berapa jumlah pendapatan per bulan? ....................
Berapa jumlahnya? .............................................
5. Apakah Bapak/Ibu mengetahui jumlah pendapatan pasangan Bapak/ibu saat ini?
...............
6. Apabila mengetahui, sebutkan berapa per bulannya atau per hari nya?
................................
7. Siapa saja di keluarga Bapak/Ibu yang sudah bisa mendapatkan uang?
...................................
8. Apa saja pekerjaan mereka? ..............................................................................................
9. Apakah anak-anak Bapak/Ibu juga sudah dapat mendapatkan uang?
......................................
10. Berapa yang anak-anak Bapak/Ibu dapat kumpulkan satu hari nya?
........................................
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
4141414141
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
11. Apa pekerjaan anak-anak Bapak/Ibu? ..........................................................................
12. Apabila jenis pekerjaan Bapak/Ibu atau pasangan Bapak/Ibu atau anak-anak
adalah bisnis/dagang, dari siapa sumber modalnya?
a. Bapak/Ibu langsung
b. Arisan bersama
c. Pinjam dari keluarga dan tidak berbunga
d. Pinjam dari koperasi, berapa bunganya per hari/bulan..........................
e. Pinjam dari tengkulak, berapa bunganya per hari/bulan .......................
f. Pinjam dari lainnya, bunganya per hari/bulan ...............................
13. Apakah Bapak/Ibu tidak mencoba meminjam dari perbankan? .............................
14. Apa alasan Bapak/Ibu tidak meminjam dari perbankan? .........................................
15. Apa jenis bisnis/dagangan yang dilakukan? .................................................................
16. Berapa modal usaha bisnis/dagang tersebut? ..............................................................
17. Berapa keuntungan bersih yang didapati per hari? .....................................................
18. Apakah Bapak/Ibu mempunyai catatan pengeluaran/pemasukan dari bisnis
tersebut? ........................................................
19. Apabila ya, apakah catatan tersebut berupa laporan debet/kredit? .......................
Kalau bukan apa bentuknya .................................
20. Apakah Bapak/Ibu membutuhkan pemahaman tentang pengaturan pengeluaran/
pemasukan anggaran bisnis/dagang Bapak/Ibu sehingga usaha Bapak/ibu dapat
lebih dikembangkan? ...............................................................
21. Sejak dari jam berapa Bapak/Ibu melakukan pekerjaan setiap hari dan sampai
jam berapa? ...............................................................
22. Sejak dari jam berapa anak-anak Bapak/Ibu melakukan pekerjaan setiap hari dan
sampai jam berapa? ...............................................................
23. Siapa yang menyuruh anak-anak Bapak/Ibu bekerja? .........................................................
24. Apabila Bapak/Ibu yang menyuruh anak-anak bekerja, apa alasannya?
.............................................................................................................................................
25. Kepada siapa anak-anak menyerahkan uang yang didapatkan setiap hari?
...........................................................................................................................................
26. Apakah ada uang yang Bapak/Ibu simpan setiap hari? ........................................................
27. Apa tujuan Bapak/Ibu menyimpan uang? ..........................................................................
28. Siapa yang mengajarkan cara pekerjaan yang Bapak/Ibu lakukan saat ini?
......................................................................................................................................
29. Apakah Bapak/Ibu diminta untuk membayar kepada orang yang mengajarkan
pekerjaan tersebut? ...........
30. Berapa yang Bapak/Ibu bayarkan (apabila berbentuk uang)? .............................................
31. Apa yang Bapak/Ibu berikan (apabila berbentuk bukan uang)? .......................................
diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA
majalah
4242424242
Menggagas Generasi Antikorupsi
Da
ri Gra
du
ate
Cen
ter
Da
ri Gra
du
ate
Cen
ter
Da
ri Gra
du
ate
Cen
ter
Da
ri Gra
du
ate
Cen
ter
Da
ri Gra
du
ate
Cen
ter
3.4 Kebutuhan Dasar
1. Berapa kali sehari Bapak/Ibu dan keluarga makan? .............................................................
2. Siapa yang memberi anak-anak Bapak/Ibu makan?
a. Pagi? ........................................
b. Siang ? ......................................
c. Malam? .....................................
4. Menu apa saja yang Bapak/Ibu dan keluarga makan setiap hari?
a. Pagi? .............................................
b. Siang? ............................................
c. Malam? .........................................
5. Apakah Bapak/Ibu dan anak-anak minum susu setiap hari? ..........................................
a. Apabila Ya, siapa yang memberikan? ................................
b. Apabila Tidak, apa alasannya? ....................................................
6. Apakah Bapak/Ibu dan anak-anak suka minum susu? ..................................................
7. Susu jenis apa yang Bapak/Ibu dan anak-anak sukai?
a. Bubuk,
b. Kental Manis,
c. Murni,
d. Lainnya .....................
8. Apakah Bapak/Ibu dan anak-anak pernah jatuh sakit? ........................................................
9. Sakit apa saja? ................................................................................................................
10. Apakah penyakit-penyakit Bapak/Ibu dan anak-anak tersebut sembuh sekarang
ini (tidak kambuh lagi)? .......................................................................................................
11. Apakah cara yang dilakukan menyembuhkan sakit Bapak/Ibu dan anak-anak?
a. Dibawa ke puskesmas, dokter, bidan dsb nya
b. Dibawa ke dukun
c. Minum obat yang dijual bebas
d. Minum tanaman obat-obatan
e. Dibiarkan saja
f. Lainnya .............................................................
12. Siapa yang menolong Bapak/Ibu dan anak-anak saat sakit? ..............................................
13. Apabila Bapak/Ibu dan anak-anak dibawa ke dokter, puskesmas, bidan etc, siapa
yang membayar pengobatannya? .........................................................................................
14. Apakah Bapak/Ibu mendapatkan Gakin? .............. Berapa banyak per bulan? ...............
15. Apakah Bapak/Ibu mendapatkan biaya gratis pengobatan di puskesmas? .....................
16. Apakah Bapak/Ibu mengeluarkan uang kepada RT setempat untuk memperoleh
pengobatan gratis di puskesmas? ........................ Untuk apa uang tersebut?
.........................
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
4343434343
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
3.5 Kebersihan Diri dan Lingkungan
1. Berapa kali Bapak/Ibu dan anak-anak mandi dalam satu hari? ...........................................
2. Dimana Bapak/Ibu dan anak-anak mandi? ............................................................................
3. Apakah Bapak/Ibu selalu pakai sabun mandi saat mandi? ..................................................
4. Apakah Bapak/Ibu selalu berganti pakaian setiap hari? ........................................................
5. Apakah Bapak/Ibu selalu sikat gigi setiap hari? .....................................................................
6. Apakah Bapak/Ibu selalu cuci tangan terlebih dahulu sebelum makan? ........................
7. Apakah Bapak/Ibu sering gatal-gatal di kulit Bapak/Ibu? .....................................................
8. Apakah Bapak/Ibu selalu pakai alas kaki kemana saja? .......................................................
9. Dari mana sumber air yang Bapak/Ibu gunakan untuk memasak? ....................................
10. Berapa biaya yang Bapak/Ibu keluarkan untuk air bersih ini? ...........................................
11. Apakah lingkungan Bapak/Ibu tinggal sering terjadi banjir? .............................................
12. Apa yang menyebabkan banjir di sekitar tempat Bapak/Ibu? ...........................................
13. Apakah pihak RT/RW/Kelurahan sudah mengetahui tentang banjir di sekitar
Bapak/Ibu tinggal? ...............................................
14. Apakah ada tindakan RT/RW/kelurahan untuk mengatasi banjir tersebut? ...............
15. Apa tindakan nya? ...........................................................................................................
16. Apakah di Rumah Bapak/Ibu terdapat jaringan listrik? .......................................................
17. Berapa daya (voltase) di tempat tinggal Bapak/Ibu saat ini? ...............................................
3.6 Perlindungan, Masalah Sosial
1. Apakah daerah tempat tinggal Bapak/Ibu pernah bekelahi dengan kelompok lain?
............................................
2. Kelompok siapa? ...................................................................................................................
3. Apa penyebabnya? ................................................................................................
4. Apakah ada korban jiwa? ...................................................................................................
5. Bagaimana penyelesaiannya? .........................................................................................
6. Siapa yang membela Bapak/Ibu? ...............................................................................................
7. Apakah Bapak/Ibu tidak takut bertemu kelompok lain tersebut lagi? ...............................
8. Apakah memberikan uang kepada orang yang membela Bapak/Ibu? ...............................
9. Apakah Bapak/Ibu pernah dipalak orang di lingkungan Bapak/Ibu tinggal? ................
10. Apa yang dimintakan orang tersebut dari Bapak/Ibu? ................................................
11. Apakah Bapak/Ibu pernah dilecehkan secara seksual oleh orang lain di daerah
sini? ..................................................................
12. Apakah yang dilakukan orang lain tersebut? ......................................................................
13. Apakah Bapak/Ibu tidak melaporkan kepada RT/RW/kelurahan atau polisi? .....
14. Apa yang Bapak/Ibu lakukan saat orang lain akan melecehkan Bapak/Ibu atau
anak-anak secara seksual? .........................
diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA
majalah
4444444444
Menggagas Generasi Antikorupsi
Da
ri Gra
du
ate
Cen
ter
Da
ri Gra
du
ate
Cen
ter
Da
ri Gra
du
ate
Cen
ter
Da
ri Gra
du
ate
Cen
ter
Da
ri Gra
du
ate
Cen
ter
15. Apakah daerah tinggal Bapak/Ibu sering mengalami kemalingan? ................................
16. Apakah bentuk penjagaan yang lingkungan atau masyarakat lakukan? ............................
17. Apakah Bapak/ibu mengikuti arisan lingkungan? ..............................................................
18. Berapa banyak jenis arisan yang Bapak/Ibu ikuti? .................................................................
19. Siapa nama RT Bapak/Ibu? .......................................
20. Siapa nama RW Bapak/Ibu? .......................................
21. Siapa nama Lurah/kades Bapak/ibu? ........................................
22. Siapakah tokoh masyarakat yang dikagumi Bapak/Ibu di sekitar rumah Bapak/
Ibu? ..............
23. Siapakah tokoh agama yang dikagumi Bapak/Ibu di sekitar rumah Bapak/Ibu?
..............
24. Siapakah tokoh adat yang dikagumi Bapak/Ibu di sekitar rumah Bapak/Ibu?
..............
25. Apakah peran tokoh-tokoh tersebut efektif membantu, menolong, melindungi
Bapak/Ibu dan masyarakat? ...........................................................
26. Apakah Bapak/Ibu mengikuti perkumpulan suku Bapak/Ibu? ................. Suku
apa? ...........
27. Ada berapa banyak perkumpulam suku di sekitar Bapak/Ibu tinggal? .............................
28. Apakah pernah di daerah Bapak/Ibu tinggal, terjadi keributan antar suku?
..................... tahun berapa? ................................... Suku apa saja yang berselisih?
....................................
29. Apakah perselisihan tersebut sudah selesai tuntas? ...............................................
30. Siapa yang menyelesaikan? ............................................................................................
3.7 Harapan dan Cita-cita
1. Apakah cita-cita Bapak/Ibu di masa depan? .............................................................
2. Apakah Bapak/Ibu mengetahui cara untuk mencapai mimpi tersebut? .................
3. Apakah Bapak/Ibu suka membaca? .................................................................................
4. Apakah Bapak/Ibu bisa membaca dan menulis dengan lancar? ...............................
5. Apakah Bapak/Ibu ingin lancar membaca dan menulis? ............................................
6. Apakah harapan Bapak/Ibu lainnya? .................................................................................
3.8 Penggunaan Lahan dan Mayoritas Pekerjaan
1. Apakah rata-rata penggunaan lahan di sekitar Bapak/Ibu tinggal? ..........................
2. Apakah rata-rata jenis pekerjaan di sekitar Bapak/Ibu tinggal? .................................
3. Berapa banyak KK di tempat Bapak/Ibu tinggal mendapat bantuan GAKIN
maupunKartu Miskin? ........................................................................................
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
4545454545
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
Da
ri G
rad
ua
te C
en
ter
Sementara itu, curah pendapat secara
individu dilakukan beberapa kali oleh
fasilitator secara santai, menyesuaikan
dengan waktu yang dimiliki oleh individu
masyarakat. Individu yang disurvey dan digali
kebutuhan mendasarnya adalah champion di
tengah komunitas. Maksud dari champion ini
adalah individu yang dianggap berpotensi
untuk menjadi contoh awal di tengah
komunitas. Hal ini dilakukan karena
komunitas masih enggan dan menunggu
bukti keseriusan lembaga pendukung dari
fasilitator. Pemilihan individu sebagai
champion didasarkan atas pengamatan
mendalam oleh fasilitator dan yang
didiskusikan dengan kelompok lembaga
pendukungnya.
3) Prioritas Kebutuhan dalam
Komunitas
Penentuan prioritas kebutuhan komunitas
dilakukan secara partisipatif oleh komunitas
itu sendiri yang di fasilitasi oleh fasilitator
yang disepakati. Proses penentuan tersebut
dilakukan melalui analisa sebab-akibat yang
diajukan oleh fasilitator dalam bentuk
pertanyaan kepada komunitas sampai
akhirnya ditemukan hal-hal mendasar
penyebab permasalahan komunitas itu.
Fasilitator akan membagi ke dalam 6 bagian
utama kebutuhan yaitu;
1. Pendidikan
2. Kebutuhan mendasar (pangan)
3. Kesehatan individu dan lingkungan
4. Perlindungan diri dan sosial
5. Keuangan dan akses
6. Kerohanian
Berikut di dalam boks hasil tahapan
penentuan prioritas kebutuhan mendasar
komunitas TPU Pondok Kelapa yang
dilakukan Paksu Jakarta:
Hasil survey kelompok;
1. Kemampuan akademisi anak-anak komunitas rendah.
2. Kemampuan kewirausahan masyarakat rendah.
3. Akses modal untuk mengembangkan usaha yang ada (ikan asin, barang bekas,
bengkel) susah didapat dengan bunga rendah.
4. Akses pemasaran susah didapatkan.
5. Air bersih susah diperoleh, harus antre.
6. Kebersihan lingkungan sangat rendah.
Hasil survey individu (3-4 orang);
1. Tidak mengetahui teknik perbengkelan
2. Pengembangan usaha perbengkelan
diauntuk dia yang ingin hidup dalam DIA
majalah
4646464646
Menggagas Generasi Antikorupsi
Pe
rc
ika
nP
erc
ika
nP
erc
ika
nP
erc
ika
nP
erc
ika
n
Si Mamon itu memang amat
digdaya. Pesonanya
menaklukkan siapa saja;
tua-muda, pria-wanita, agama
apa saja, semua ras manusia! Ia
kaya pengaruh, ia limpah
kuasa. Begitu tipis bedanya,
entah kita sangat
membutuhkannya atau sangat
menyembahnya. Tak heran
Allah mencemburuinya, serius
meminta jawab kita: “Pilih AKU
atau dia?!” Tapi hal paling berbahaya
tentang si Mamon ini adalah: tak ada
kata puas memilikinya. Ia membuat orang
tak sudi berbagi rata. Ia membuat orang nekat
mengambil resiko kehilangan segalanya
dengan mencurinya, merampoknya,
mengkorupsinya. Maka wajar jika kita
pesimis bisa mengalahkannya. Memang tak
ada yang bisa, tak ada caranya!
Tapi, benarkah demikian, kawan? Tidak!
Karena saat kuliah aku punya cara dan
pernah bisa mengalahkan kuasanya.
Berempat kami, kebetulan sekelas, satu rumah
kost, sama-sama kristen. Uang bulanan dari
orang tua tergolong kecil, namun kami kerap
saling mentraktir. Stok mie instan di
kamarku seolah milik mereka juga, dan bila
milikku habis, aku mencarinya ke kamar
mereka. Salah satu dari kami kerap dikirimi
paket makanan oleh orang tuanya, bersama-
sama kami menghabiskannya. Jika ada diktat
kuliah yang mahal, kami iuran, cukup beli
satu saja untuk digunakan bersama.
Dengan pemilik kost terbangun
hubungan yang sama. Di jumpa pertama
mereka tegas: “Tidak boleh ada salib-gambar
kristen- lagu kristen di kamar!” Seiring waktu
semua berubah. Kami biasakan tak hanya
membersihkan kamar, tapi juga ruang tamu
Menaklukkan MamonMenaklukkan MamonMenaklukkan MamonMenaklukkan MamonMenaklukkan MamonIwan Wibowo*
dan halaman rumah. Ketika anak
mereka diopname, bergiliran kami
menjaganya. Selama rumah
direnovasi, kami jadi tukang,
membantu sebisanya. Apa yang
terjadi? Alkitab kami tergeletak
di luar kamar atau lagu kristen
terdengar nyaring dari kamar
tak jadi masalah. Wesel dari
orang tua tak kunjung tiba, bayar
kost telat sedikit, telat lama, tak
pernah ditagih. Bahkan satu dua
kali uang kos kami mereka
kembalikan!
Apa penjelasannya? Bukan, itu bukan
hubungan timbal balik biasa. Itu terjadi
karena lambat laun tumbuh kasih diantara
kami semua, lambat laun kami bisa
menganggap satu sama lain sebagai keluarga.
Dalam keluarga, hubungan timbal balik
terjadi bukan karena kepentingan atau
kewajiban. Itu terjadi begitu saja, secara alami
belaka. Saling berbagi, menganggap sesuatu
sebagai milik bersama itu menjadi naluri,
menjadi pola pikir dan gaya hidup bersama!
Dalam kondisi dan situasi seperti inilah
sesungguhnya kami telah menaklukkan si
Mamon. Ya, karena dalam relasi kasih di
antara kami dan antara kami dengan
pemilik kost itu uang menjadi hal yang tak
terlalu utama, sehingga bisa dibilang si
Mamon kehilangan relevansinya,
kehilangan kuasanya!
Belakangan ini, baru kusadari bahwa
cara kami menaklukkan si Mamon itu sudah
ditunjukkan oleh kitab suci. Itu adalah
sesuatu yang Yesus maksudkan ketika
menantang seorang muda kaya menjual
seluruh hartanya, membagi-bagikannya
kepada orang miskin, dan mengikut Yesus
(Markus 10:17-27). Itu juga poin yang Yesus
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
4747474747
Pe
rc
ika
nP
erc
ika
nP
erc
ika
nP
erc
ika
nP
erc
ika
n
tekankan saat menjawab pertanyaan para
murid: “Kami telah meninggalkan segala
sesuatu dan mengikut Engkau (apa yang
kami dapat?)” (Markus 10:28-31). Itu juga gaya
hidup gereja mula-mula di mana jemaat
berbagi segala sesuatu karena merasa apa
yang mereka miliki adalah milik bersama (Kis
2:44-45). Ini terkait dengan sistem ekonomi
Allah, dengan natur ekonomi dalam kerajaan
Allah.
Seperti ini runtutannya: kelahiran baru
kita (harusnya) berdampak pada cara
pandang kita terhadap sesama, membuat kita
memandang orang lain sebagai saudara dari
keluarga yang sama. Dalam sebuah keluarga,
akan merupakan sebuah skandal bila sang
kakak berlimpah harta sementara adiknya
miskin papa. Sebuah aib yang dikutuk
bersama bila sang adik berhasrat menguasai
sebanyak mungkin harta keluarga, karena
otomatis itu memperkecil porsi yang menjadi
hak kakaknya.
Dalam keluarga baru Allah yang
menembus batas biologis bahkan batas
bangsa-bangsa ini, distribusi-ulang
kepemilikan (saling berbagi) menjadi gaya
hidup semua anggotanya. Yang ditumbuhkan
di dalamnya adalah sikap inter-dependent,
saling bergantung, saling mengandalkan,
bukan sikap independent yang egois dan
individualis. Dalam konteks
hidup bersama dalam
dimensi ekonomi Allah
seperti ini mamon tetap
memiliki fungsinya, tapi ia
tak akan menjadi si Mamon
yang digdaya, dan tak mudah
kita jatuh menyembahnya,
melainkan mamon sebatas
menjadi pelayan kita. Indah
bukan? Dan tak terasa
mustahil lagi, bukan?
Kebangkitan Kristus
menjadi garansi, bahwa si
Mamon bisa kita buat miskin
pengaruhnya, bisa kita buat
sekarat kuasanya. Dengan kasih kita pada
sesama anak bangsa, dengan natur berbagi
yang Roh Kudus berdayakan dalam dan
melalui hidup kita, kita bisa kalahkan si
Mamon. Apalagi, di tengah keluarga besar
bangsa kita yang sampai hari ini pembagian
kue kesejahteraan hasil pembangunan belum
dinikmati semua kalang secara merata. Ayo
mahasiswa, ayo alumni, kita bergerak
bersama, menjadi solusi menular atas
parahnya budaya korup bangsa!
Salam Optimisme Perubahan Indonesia!
“Dan semua orang yang telah menjadi
percaya tetap bersatu, dan segala
kepunyaan mereka adalah kepunyaan
bersama, dan selalu ada dari mereka yang
menjual harta miliknya, lalu membagi-
bagikannya kepada semua orang sesuai
dengan keperluan masing-masing.”
(Kis 2:44-45)
*Penulis adalah staf Literatur Perkantas
Kebersamaan: Kunci Menaklukkan Mamon