Download - makalah ABK kelompok 5 final.docx
UNIVERSITAS INDONESIA
TREN DAN ISU DALAM KEPERAWATAN ANAK
ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS
Disusun Oleh
Kelompok V
1 Erni Setiyowati 1306345762
2 Ika Herya Kusmawati 1306345945
3 Tati Setyawati Ponidjan 1306346255
4 Yunita Muliasari 1306346443
PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan organisasi internasional
yang keanggotaannya diwakili oleh semua Negara yang ada di dunia.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang diselenggarakan oleh PBB pada
bulan September tahun 2000 menggulirkan suatu kesepakatan internasional
yang disepakati oleh 189 negara anggota PBB. Kesepakatan internasional
tersebut adalan Millenium Development Goal (MDGs) yang dalam bahasa
Indonesia dapat diterjemahkan sebagai tujuan pembangunan millennium.
Majelis Umum PBB kemudian melegalkannya ke dalam resolusi Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 55/2 Tanggal 18 September
2000 tentang Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pelaksanaan
MDGs sangat membantu negara berkembang untuk meningkatkan
pencapaian nasionalnya. Secara ringkas arah pembangunan yang disepakati
secara global meliputi menghapuskan kemiskinan dan kelaparan berat,
mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang, mempromosikan
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan kematian
anak, meningkatkan kesehatan maternal, melawan penyebaran HIV/AIDS
dan penyakit kronis lainnya (malaria dan tuberkulosa), menjamin
keberlangsungan lingkungan, dan mengembangkan kemitraan global untuk
pembangunan. Menilik dari tujuan MDGs tersebut maka pemerintah
Indonsia berupaya keras dalam melaksanakannya.
Anak merupakan pribadi yang unik dan dalam memperlakukannya tidak
dapat disamakan dengan orang dewasa. Anak dilahirkan dengan berbagai
macam karakteristik. Anak mengalami proses tumbuh kembang yang
dimulai sejak dari dalam kandungan, masa bayi, balita, usia sekolah, dan
remaja. Setiap tahapan proses tumbuh kembang anak mempunyai ciri khas
tersendiri sehingga jika terjadi masalah pada salah satu tahapan tumbuh
kembang tersebut akan berdampak pada kehidupan selanjutnya. Tidak
semua anak mengalami proses tumbuh kembang secara wajar sehingga
terdapat anak yang memerlukan penanganan secara khusus. Anak
berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam
jenis dan karakteristiknya yang membedakan mereka dari anak-anak normal
pada umumnya.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari makalah ini adalah untuk membahas tentang tren
dan isu terkait konsep keperawatan anak denga kebutuhan khusus dan
berfokus pada pencapaian MDGs
1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari makalah ini antara lain:
a. Menjelaskan anak dengan kebutuhan khusus
b. Menjelaskan anak dengan autis yang merupakan tren dan isu pada
anak dengan kebutuhan khusus di Indonesia
c. Menjelaskan tentang pendidikan anak dengan autis
d. Menjelaskan peran perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan pada anak dengan autis berfokus pada keluarga
1.3 Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan meliputi latar belakang penulisan, tujuan penulisan,
dan sistematika penulisan
BAB II Isi meliputi anak dengan kebutuhan khusus, anak dengan autis,
pendidikan anak dengan autis, dan peran perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan pada anak dengan autis berfokus pada keluarga
BAB III Penutup berisi kesimpulan dan saran
BAB II
ISI
2.1 Anak dengan Kebutuhan Khusus
Menurut Newacheck, dkk, anak dengan kebutuhan khusus adalah anak
yang mengalami atau beresiko tinggi mengalami kondisi fisik,
perkembangan, perilaku atau emosional khusus dan yang juga memerlukan
layanan kesehatan dan layanan lain yang terkait, dalam jenis atau jumlah
yang lebih dari yang dibutuhkan anak lain pada umumnya (Wong L.W,
Hockenberry M, 2009). Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus menurut
Kementerian Kesehatan Republik Indonseia (2010) adalah anak yang
mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu
pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar dan anak yang akibat
keadaan tertentu mengalami kekerasan, penelantaran termasuk eksploitasi
seksual dan anak korban TPPO, Anak Berhadapan dengan Hukum di
Lapas/Rutan, di jalanan/pekerja anak, anak dari kelompok
minoritas/terisolasi/terasing yang memerlukan penanganan secara khusus.
Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus yang dapat disimpulkan yaitu anak
yang mengalami atau beresiko mengalami hambatan baik fisik dan/atau
mental sehingga mengalami gangguan pertumbuhan den perkembangan.
Anak dengan kebutuhan khusus dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok besar
antara lain:
a. Masalah kesehatan yang dibawa sejak lahir atau kelainan kongenital,
seperti down syndrome, cerebral palsy, hypotiroid congenital, anak
dengan autis dan kecatatan lainnya.
b. Masalah kesehatan yang didapat akibat kondisi tertentu seperti
terjadinya kekerasan dan penelantaran anak dan konsekuensinya terjadi
pelanggaran hukum (Kemenkes RI,2010, pg. 4)
Ada istilah-istilah yang berkenaan dengan anak yang memiliki kebutuhan
khusus antara lain:
a. Penyakit Kronis
Suatu kondisi yang mempengaruhi fungsi harian selama lebih dari 3
bulan dalam 1 tahun,menyebabkan hospitalisasi selama lebih 1 bulan
dalam 1 tahun, atau (pada saat diagnosis dibuat) terjadi salah satu
kondisi ini.
b. Cacat Kongenital
Suatu kecacatan yang telah ada sejak lahir, tetapi tidak selalu bersifat
turunan.
c. Keterlambatan perkembangan
Suatu keterlambatan maturasi ; tingkat perkembangan tidak normal dan
lebih lambat dengan tingkat fungsi yang ditunjukkan anak berada
dibawah tingkat fungsi anak normal yang telah diamati dan berusia
sama.
d. Ketidakmampuan perkembangan
Setiap ketidakmampuan mental dan atau fisik yang muncul sebelum usia
22 tahun dan cenderung berlanjut untuk waktu yang tidak terbatas.
e. Ketidakmampuan
Keterbatasan fungsional yang mempengaruhi kemampuan seseorang,
misalnya berjalan,mengangkat, mendengar atau belajar.
f. Cacat
Suatu kondisi atau rintangan yang dibebankan oleh masyarakat,
lingkungan, atau diri sendiri, bukan suatu sinonim untuk
ketidakmampuan.
g. Kerusakan
Kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi
h. Anak yang tergantung teknologi
Anak yang sejak lahir sampai usia 21 tahun menderita ketidakmampuan
kronis yang membutuhkan penggunaan rutin alat-alat medis untuk
mengompensasi hilangnya fungsi tubuh yang menunjang kehidupan,
perawatan dan atau pemantauan harian yang terus menerus dilakukan
oleh personel terlatih.(Wong L.W, Hockenberry M, 2009, pg 655)
Keluarga yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus tentu akan berbeda
dengan keluarga yang dengan anak normal. Ada beberapa dampak yang akan
terjadi pada keluarga yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus antara
lain:
a. Bagi keluarga
Waktu, energi, dan sumber keuangan orang tua dibutuhkan dalam
jumlah yang sangat besar. Bergantung pada peran yang ditanggung oleh
setiap orang tua, tanggung jawab ini mungkin dibagi atau dibebankan
lebih besar kepada satu orang keluarga. Dalam pembagian tugas, orang
tua seringkali membagi dalam cara yang spesifik, berdasarkan
ketrampilan dan tingkat kenyamanan mereka. Dalam keluarga yang lain,
perubahan peran berarti menambah tanggung jawab untuk satu orang
tua. Misalnya ibu bekerja merasa perlu untuk terus bekerja agar dapat
membantu membiayai pengeluaran, tetapi ia juga mendapat beban
tambahan untuk mengurus anak lain dan tanggung jawab dirumah. Hasil
akhir dapat menjadi konflik pernikahan, jika seorang pasangan
menganggap tanggung jawab yang dipikulnya tidak sama. Selain itu
pasangan yang tidak terlibat dalam aktivitas perawatan merasa
diabaikan, karena seluruh perhatian diberikan pada anak. Selain itu
stressor yang dapat ditemukan pada keluarga adalah : ketakutan akan
kematian anak, sifat penyakit yang diturunkan (jika ada), takut akan
kehamilan.
b. Bagi anak
Reaksi anak terhadap penyakit kronis atau ketidak mampuan sebagian
besar bergantung pada tingkat perkembangan, tempramen dan
ketersediaan mekanisme koping anak.
a) Bayi
Penyakit dan atau ketidak mampuan seringkali merusak kemampuan
motorik anak dengan membuat anak terbaring di tempat tidur dan
mengurangi kontak dengan lingkungan. Kurangnya sensasi yang
menyenangkan dapat menyebabkan anak menjadi irritable dan tidak
bahagia
b) Toddler
Penyakit dan atau ketidak mampuan dapat menghalangi mobilitas
dan menghilangkan kemampuan yang telah dikuasai anak. Selain itu
orang tua yang terlalu melindungi dapat memperbesar masalah
dengan menciptakan batasan pada eksplorasi dan eksperimentasi
anak terhadap rasa takut akan cedera atau takut berupaya. Bahkan
ketrampilan yang paling mendasar seperti makan,berpakaian
mungkin dilakukan untuk anak. Tugas sesuai usia seperti toilet
training mungkin terlambat.
c) Prasekolah
Gangguan dapat membatasi pembelajaran anak prasekolah mengenai
lingkungan, terutama dalam hal perkembangan social. Anak
prasekolah yang memiliki penyakit kronis yang aktivitasnya dibatasi
di rumah mungkin lambat untuk mengembangkan ketrampilan yang
berguna dalam kelompok atau lingkungan sekolah. Salah satu
pengaruh penting adalah perasaan bersalah bahwa mereka yang
menyebabkan keadaan berlaku buruk. Rasa bersalah ini dapat
mempengaruhi perkembangan harga diri anak yang rapuh.
d) Usia sekolah
Kerusakan fisik dapat sangat mempengaruhi kemampuan anak untuk
berhasil dan bersaing. Misalnya ketidakmampuan fisik dapat
menghalangi partisipasi dalam olah raga, dan sering tidak masuk
sekolah akibat sakit, dapat menempatkan anak pada kerugian
akademik. Mengulangi kelas karena tidak naik kelas dapat
membebani anak dengan perasaan malu, tidak adekuat dan
inferioritas. Teman sebaya semakin mempengaruhi pandangan anak
usia sekolah terhadap diri dan harga diri mereka sendiri.Siapapun
yang menyebut anak sebagai “berbeda” dapat mempengaruhi rasa
memiliki mereka terhadap kelompok.
e) Masa remaja
Penyakit dan atau ketidak mampuan pada waktu ini mempengaruhi
rasa penguasaan dan pengendalian atas perubahan tubuh remaja.
Tahap perkembangan mereka berbeda ketika menjadi berbeda adalah
hal yang tidak diterima dalam kelompok teman sebaya, yang
mungkin memandang ketidakmampuan sebagai ancaman terhadap
keseragaman kelompok. Pada kenyataannya, remaja yang
mempunyai perbedaan fisik cenderung menyalahkan dirinya karena
mempunyai sesuatu yang buruk pada dirinya. Penampilan,
ketrampilan dan kemampuan sangat dihargai oleh teman sebaya.
Menurut WHO diperkirakan terdapat sekitar 7-10 % anak
berkebutuhan khusus dari populasi anak, termasuk di Indonesia
(Kemenkes RI,2010 pg. 4). Salah satu masalah anak berkebutuhan khusus
yang lazim terjadi di Indonesia adalah Autis. Jumlah kasus Autis yang
terjadi di Indonesia masih bersifat sporadis, belum ada angka pasti jumlah
akumulasi. Angka yang bisa kita lihat adalah yang berasal dari pusat-pusat
laporan dari dokter yang menangani kasus autis. Paling tidak saat ini ada
tren peningkatan sekitar 3-5 kasus baru pertahun.. Autis merupakan
gangguan pada tumbuh kembang anak. Seorang anak yang mengalami
autis sebetulnya sudah dapat dikenali sejak memasuki usia kanak-kanak.
Di kota-kota besar dengan berkembangnya tehnologi, informasi sekarang
ini masyarakat sudah mulai awere dengan dengan keberadaan anak
berkebutuhan khusus. Namun, di daerah-daerah masih banyak masyarakat
yang belum mengetahui permasalahan autis. Pada bab berikut kelompok
akan membahas mengenai autis dan perawatannya.
2.2 Anak dengan Autis
Autisme adalah kelainan perkembangan saraf yang sangat beragam
yang ditandai dengan adanya tiga gejala, yaitu gangguan interaksi sosial,
komunikasi, dan tingkah laku yang terbatas dan berulang, terjadi sebelum
anak berusia tiga tahun (Direktorat Bina Kesehatan Anak, 2011). Autisme
adalah gangguan perkembangan pervasif, gejalanya meliputi perbedaan dan
gangguan di berbagai bidang, seperti: keterampilan komunikasi sosial,
keterampilan motorik halus, dan terkadang keterampilan intelektual (Rudy,
2009). Autisme adalah gangguan yang paling banyak ditemui di Autism
spectrum disorders (ASDs) dimana autisme ini merupakan gangguan
kompleks, dengan penyebab terbanyak salah satunya faktor genetik (James
et all, 2013). Jadi dapat disimpulkan autisme merupakan gangguan
perkembangan pervasif pada anak sebelum berusia 3 tahun, dengan gejala
gangguan komunikasi, interaksi sosial, dan perubahan tingkah laku.
National institute of environmental health science (NIEHS) tahun 2011,
melalui perkembangan penelitian mengidentifikasi mutasi genetik termasuk
faktor genetik dan genomik berhubungan dengan autisme (James et all,
2013). Mutasi genetik memberikan kontribusi pada gangguan autisme.
Pertama, mutasi spontan berkaitan dengan keluarga pada satu kasus autisme.
Kedua, yang diwarisi, berkaitan dengan keluarga dengan anggota keluarga
yang banyak berpengaruh pada gangguan autisme ini. Autisme didapat dari
aspek neurobiologis dengan gangguan biologis dan emosional (Raviola et
all, 2011 dalam James et all, 2013.
UNESCO (2011) melaporkan, tercatat 35 juta orang penyandang
autisme di seluruh dunia. Ini berarti rata-rata 6 dari 1000 orang di dunia
mengidap autisme. Penelitian Center for Disease Control (CDC) di Amerika
(2008), menyatakan bahwa perbandingan autisme pada anak umur 8 tahun
yang terdiagnosa dengan autisme adalah 1:80. Di Asia, penelitian Hongkong
Study (2008) melaporkan tingkat kejadian autism dengan prevalensi 1,68 per
1000 untuk anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia, bila merujuk pada data
dari Badan pusat statistik tahun 2010, diperkirakan terdapat lebih dari 112
ribu anak penyandang autisme pada rentang usia 5-19 tahun (Dirjen Bina
Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Autisme dapat menjadi ketidakmampuan yang berat, gangguan
perkembangan seumur hidup yang dikarakteristikkan dengan
ketidakmampuan kualitatif dalam bidang perkembanganantara lain
gangguan perkembangan sosial, komunikasi, dan tingkah laku.
1. Gangguan perkembangan sosial
a. Gejala pada bayi
Gejala pada bayi yang mengarah kepada autis dapat berupa kurang
perhatian terhadap rangsangan sosial, jarang tersenyum dan melihat
seseorang, tidak ada tanggapan saat dipanggil.
b. Gejala pada balita
Gejala pada balita yang mengarah pada autis dapat berupa:
1) Kurang kontak mata, tidak ada komunikasi timbal balik,
berkomunikasi dengan menggunakan tangan orang lain (tidak
menunjuk, tetapi menarik tangan orang lain)
2) Pada usia 3-5 tahun dapat terjadi kesulitan dalam bermain
dengan teman sebaya, mendekati orang secara spontan,
meniru, bereaksi secara emosional, berkomunikasi non verbal
bergiliran dengan orang lain.
c. Anak yang lebih besar dan dewasa mengalami kesulitan dalam
mengenali wajah sedih, gembira, atau marah.
2. Gangguan perkembangan komunikasi
a. Gangguan komunikasi dapat terjadi sejak tahun pertama kehidupan
berupa terlambat mengoceh, tidak bisa menunjuk, tidak bereaksi
bila dipanggil
b. Pada usia 2-3 tahun biasanya anak autis:
1) Jarang mengoceh
2) Tidak dapat menggunakan kata
3) Tidak dapat merangkai kata
4) Bahasa tubuh tidak sesuai dengan kata
5) Jarang meminta dan membicarakan pengalaman
6) Lebih sering meniru tanpa arti
7) Tidak dapat bermain pura-pura (masak-masakan, bermain
boneka)
c. Gangguan tingkah laku
1) Melakukan gerakan tidak bertujuan yang diulang-ulang seperti
menggerak-gerakkan tangan
2) Tidak mau melakukan hal yang berbeda
3) Mengerjakan sesuatu secara rutin/kaku terhadap kebiasaan
4) Bertingkah laku terbatas
5) Menyakiti diri sendiri
Kelainan-kelainan yang dapat menyertai autis anatara lain:
a. Gangguan sensorik berupa tidak mengenal rasa nyeri dan tidak tahu
bahaya
b. Gangguan sistem gerak berupa lemahnya otot, buruknya keterampilan
gerak, berjalan jinjit, gangguan keserasian gerak
c. Terdapat pemusatan perhatian yang berlebihan pada sesuatu seperti
senang melihat benda yang berputar, senang mendengar suara hujan
Langkah yang dilakukan orang tua atau keluarga terhadap anak autis antara
lain:
1. Apabila ada gangguan tersebut di atas, periksakan anak untuk
penilaian lanjutan
2. Gunakan cara penanganan yang sesuai dengan kondisi anak karena
penanganan anak akan berbeda sesuai dengan kondisinya
3. Mintalah bantuan tenaga kesehatan untuk menentukan cara
penanganan yang tepat
4. Lakukan penanganan tingkah laku dan kecerdasan pada usia dini
melalui program pendidikan khusus yang terus-menerus sehingga
membantu anak autis meningkatkan kemandirian, kemampuan
interaksi sosial, keterampilan komunikasi, serta mengurangi gangguan
tingkah laku
5. Berikan obat sesuai anjuran dokter
6. Jangan menunda pengobatan karena akan berpengaruh pada
perkembangan selanjutnya
2.3 Pendidikan Anak dengan Autis
Dalam melakukan layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus di
sekolah dasar, ada beberapa langkah yang harus dilakukan antara lain yaitu:
1. Identifikasi
Identifikasi merupakan langkah awal untuk menemukan dan menentukan
anak berkebutuhan khusus. Identifikasi dapat dilakukan dengan
beberapa teknik antara lain observasi, wawancara, dan tes. Observasi
dilakukan secara seksama dan sistematis, baik langsung maupun tidak
langsung. Wawancara ditujukan kepada orangtua, keluarga, teman
sepermainan ataupun pihak-pihak lain yang dapat memberikan
informasi tentang anak. Tes dapat diberikan sesuai dengan standar
maupun tes buatan guru.
2. Pengkajian
Pengkajian merupakan aktivitas yang amat penting dalam proses
pembelajaran di sekolah oleh karena itu pelaksanaannya harus obyektif
dan komprehensif terhadap kondisi dan kebutuhan anak. Tujuan
pengkajian untuk anak berkebutuhan khusus diantaranya untuk selesksi
penempatan siswa berkebutuhan khusus sesuai dengan kemampuannya,
perencanaan program dan strategi pembelajaran, mengevaluasi serta
memantau perkembangan belajar siswa. Ada beberapa teknik yang dapat
dilakukan dalam upaya pelaksanaan asesmen untuk anak-anak
berkebutuhan khusus antara lain melalui observasi, tes formal dan
informal dan wawancara dengan didukung dengan beberapa instrumen
seperti check list ataupun skala penilaian.
Bentuk-bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian besar, yaitu:
1. Bentuk Layanan Segregasi
Ada empat empat bentuk layanan pendidikan dengan sistem
segregasi antara lain:
a) Sekolah Luar Biasa
Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk unit pendidikan dengan
penyelenggaraan sekolah mulai dari tingkat dasar sampai tingkat
lanjutan berada dalam suatu unit sekolah dengan satu kepala sekolah.
b) Sekolah Luar Biasa Berasrama.
Sekolah Luar Biasa yang dilengkapi dengan asrama untuk peserta
didik yang ada di sekolah itu.
c) Kelas Jauh/Kelas Kunjung
Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan
untuk memberi pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB.
d) Sekolah Dasar Luar Biasa
Sekolah Dasar Luar Biasa merupakan unit sekolah yang terdiri dari
berbagai kelainan peserta didik dalam satu atap.
2. Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu
Bentuk layanan pendidikan terpadu atau integrasi adalah sistem
pendidikan yang memberi kesempatan pada anak berkebutuhan khusus
untuk belajar bersama-sama di sekolah dasar umum. Tiga bentuk
keterpaduan dalam layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus antara
lain:
a) Bentuk Kelas Biasa
Bentuk kelas ini dilaksanakan dengan anak berkebutuhan khusus
belajar bersama dengan anak-anak pada umumnya secara penuh
dengan menggunakan kurikulum untuk anak-anak pada umumnya.
b) Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
Anak berkebutuhan khusus belajar dengan anak-anak pada umumnya
menggunakan kurikulum yang sama dengan yang digunakan oleh
anak-anak pada umumnya tetapi untuk pelajaran yang tidak bias
diikutinya mereka mendapatkan layanan khusus di ruangan khusus.
c) Bentuk Kelas Khusus
Anak berkebutuhan khusus beajar di sekolah umum tetapi dalam
kelas khusus dan menggunakan kurikulum SLB.
3. Bentuk layanan Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif merupakan suatu sistem pendidikan yang
mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di
sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya.
Hal ini berkenaan adanya hak setiap anak untuk memperoleh pendidikan
yang baik. Menilik dari tujuan MDGs pada tujuan ke 2 yaitu mencapai
pendidikan dasar bagi semua khususnya target 3 yaitu menjamin pada
tahun 2015, semua anak, di manapun, laki-laki maupun perempuan,
dapat menyelesaikan pendidikan dasar maka peran semua pihak sangat
diperlukan dalam pemberian pendidikan bagi anak dengan autis. Tujuan
dari MDGs pada poin ini sangat memperhatikan pendidikan bagi anak
dengan kebutuhan khusus. Pendidikan bagi anak dengan kebutuhan
khusus sangat diperlu agar anak tersebut dapat menjamin pencapaian
prestasi dan dapat juga dijadikan sebagai media sosialisasinya dengan
lingkungan sekitarnya.
Anak dengan autis berhak memperoleh pendidikan sesuai dengan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70
Tahun 2009 tentang pendidikan inklusi bagi peserta didik yang memiliki
kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
Salah satu bentuk pelayanan untuk anak autistik adalah melalui
pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan anak.
Pelayanan pendidikan anak autis terdiri atas layanan pendidikan awal
dan layanan pendidikan lanjutan. Layanan pendidikan awal terdiri atas
program terapi intervensi dini dan program terapi penunjang. Layanan
pendidikan lanjutan terdiri atas kelas transisi atau kelas persiapan dan
program lanjutan lainnya seperti program inklusi, program terpadu,
sekolah khusus autistik, program sekolah di rumah dan griya rehabilitasi
autistik.
Program Pendidikan Inklusi dilaksanakan pada sekolah umum yang
menerima anak dengan kebutuhan khusus. Anak yang mengikuti
program ini adalah anak sudah mampu mengendalikan perilakunya
sehingga tampak berperilaku normal, berkomunikasi dan berbicara
normal, serta mempunyai wawasan akademik yang cukup sesuai anak
seusianya. Program inklusi sudah banyak dilakukan di Indonesia seperti
Sekolah Patmos terdiri atas TK, SD, SMP dan SMK yang beralamat di
Taman Meruya Ilir blok E.7, Jakarta Barat, Shining Stars Academy
(sekolah & pusat terapi) yang beralamat di Jl. Agung Perkasa X blok
J7/9-11 Sunter Agung, Podomoro, Jakarta Utara. Program Pendidikan
Inklusi dilaksanakan pada sekolah umum yang menerima anak dengan
kebutuhan khusus. Anak yang mengikuti program ini adalah anak sudah
mampu mengendalikan perilakunya sehingga tampak berperilaku
normal, berkomunikasi dan berbicara normal, serta mempunyai wawasan
akademik yang cukup sesuai anak seusianya.
2.4 Peran Perawat dalam Memberikan Asuhan Keperawatan pada Anak
dengan Autis berfokus pada Keluarga
Intervensi teraupetik untuk anak dengan autis membutuhkan peran serta
dari tenaga professional yang telah mengikuti pelatihan khusus.
Pengoptimalan peran anak autis dengan lingkungannya membutuhkan
beberapa terapi. Tujuan dari terapi-terapi tersebut pada intinya untuk
meningkatkan kepedulian sosial, kemampuan komunikasi, reinformcement
positive, dan mengurangi perilaku yang tidak dapat diterima lingkungan.
Peran perawat dalam mengelola autism dapat dimulai dari tatanan
perawatan dasar yaitu melakukan indentifikasi, screening, dan deteksi dini
serta melakukan rujukan untuk anak yang beresiko autis pada usia dini
(Pinto-Martin, Sauders, Giarelli dan Levy, 2005 dalam Margareta, 2012).
Deteksi dini penegakan diagnose autis dapat dilakukan dengan
menggunakan alat berupa kuesioner Modified Checklist For Autism In
Toddlers (M-CHAT). Kuesioner ini dapat digunakan pada anak usia 18-24
bulan. Kuesioner ini berisi tentang perilaku yang selalu dilakukan anak
sehari-hari.
Perawat yang telah mengikuti pelatihan khusus dapat juga berperan
sebagai konsultan bagi keluarga yang memiliki anak autis (Hockenberry,
2009). Peran sebagai konsultan dapat dilaksanakan dengan cara bekerja
sama dengan satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif. Hal
sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 70 Tahun 2009 Pasal 11 Ayat 5 bahwa sekolah inklusi dapat
bekerjasama dan membangun jaringan dengan satuan pendidikan khusus,
perguruan tinggi, organisasi profesi, lembaga rehabilitasi, rumah sakit dan
pusat kesehatan masyarakat, klinik terapi, dunia usaha, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), dan masyarakat.
Pengkajian dan intervensi keperawatan yang dilakukan terhadap anak
autis ketika anak tersebut dirawat di pelayanan kesehatan tidak bisa
disamakan dengan anak pada umumnya. Perawat harus memahami bahwa
dalam memenuhi kebutuhan anak autis, misalnya kebutuhan untuk makan,
pemberian obat, pengkajian tanda-tanda vital harus dilakukan dengan
perhatian yang lebih.
Asuhan keperawatan pada anak autis dimulai dari proses pengkajian
sampai dengan evaluasi. Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan pada
anak autis yaitu gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kondisi
psikologi, gangguan interaksi sosial berhubungan dengan gangguan
perkembangan, gangguan proses piker berhubungan dengan gangguan
mental, resiko cedera berhubungan dengan kerusakan fungsi kognitif,
gangguan koping keluarga berhubungan dengan memiliki anak dengan
kebutuhan khusus (Ball, 2010). Perencanaan dan intervensi keperawatan
yang diberikan upaya menstabilkan stimulasi lingkungan, memberikan
perawatan suportif, meningkatkan komunikasi, mempertahankan lingkungan
yang aman, memberikan bimbingan antisipasi (anticipatory guidance) pada
orang tua. Evaluasi yang dilakukan terhadap asuhan keperawatan yang
diberikan yaitu meliputi tercapainya management perilaku pada anak,
memaksimalkan self-care, terjaganya keamanan lingkungan, progres
perkembangan yang konsisten, dan strategi komunikasi yang sukses.
Sesuai dengan konsep family centre care, seorang perawat harus
melibatkan keluarga dalam pemberian asuhan keperawatan pada anak
dengan autis. Keluarga dalam hal ini orangtua adalah lingkungan terdekat
dan utama dalam kehidupan anak. Keefektifan program penanganan dan
peningkatan kemampuan hidup anak dengan autis sangat ditentukan oleh
peran serta dan dukungan penuh dari keluarga karena keluarga adalah pihak
yang mengenal dan memahami berbagai aspek dalam diri seseorang dengan
jauh lebih baik daripada orang-orang yang lain. Keluarga dilibatkan utuk
berusaha mempelajari hal baru dalam mencoba hal-hal baru terkait cara
membesarkan anak dengan autis. Peran serta keluarga akan memberikan
energi lebih bagi anak dengan autis. Penerimaan lingkungan terhadap anak
dengan autis akan membantu anak tersebut untuk meningkatkan kualitas
hidup dan mambantu anak untuk bersosialisasi. Penolakan atau bahkan
minimnya dukungan yang diterima dari keluarga anak member dampak
negative pada anak seperti anak semakin rendah diri dan menarik diri dari
lingkungan, ketakutan, dan ketidakmampuan anak untuk merawat dirinya
sendiri.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan pada bab sebelumnya antara
lain:
3.1.1 Anak Berkebutuhan Khusus yaitu anak yang mengalami atau beresiko
mengalami hambatan baik fisik dan/atau mental sehingga mengalami
gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
3.1.2 Autisme merupakan gangguan perkembangan pervasif pada anak
sebelum berusia 3 tahun, dengan gejala gangguan komunikasi,
interaksi sosial, dan perubahan tingkah laku.
3.1.3 Pendidikan bagi anak dengan autis sangat penting karena dengan
pendidikan anak autis agar anak tersebut dapat menjamin pencapaian
prestasi dan dapat juga dijadikan sebagai media sosialisasinya dengan
lingkungan sekitarnya.
3.1.4 Pendidikan yang dapat diberikan kepada anak dengan autis sesuai
dengan tujuan ke 2 MDGs yaitu mencapai pendidikan dasar bagi
semua khususnya target 3 yaitu menjamin pada tahun 2015, semua
anak, di manapun, laki-laki maupun perempuan, dapat menyelesaikan
pendidikan dasar
3.2 Saran
3.2.1 Perawat perlu meningkatkan kompetensinya dalam pemahaman
konsep, melakukan deteksi dini, dan memberikan asuhan keperawatan
pada anak dengan autis.
3.2.2 Keluarga perlu dilibatkan dalam pengasuhan anak dengan autis.
3.2.3 Kerjasama lintas program dan lintas sektor sangat dibutuhkan dalam
penanganan anak dengan autis.
Ball, J. W; Bindler, R. C; Cowen, K. J. 2010. Child Health Nursing :
Partnering with Children and Families 2 nd ed. New Jersey: Pearson
Education Inc
http://www2.gsu.edu/~psydlr/DianaLRobins/Official_M-
CHAT_Website_files/M-CHAT_Indonesian.pdf
http://www.un.org/special-rep/ohrlls/lldc/MDGs.pdf link unduh MDGs tanggal 26
September 2013 jam 09.45
http://kesehatananak.depkes.go.id/index.php?
option=com_phocadownload&view=category&download=2:pedoman-anak-
khusus&id=1:pedoman&Itemid=44 unduh tanggal 26 september 2013 jam 10.20
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Pedoman Umum
Perlindungan Kesehatan Anak dengan Kebutuhan Khusus. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonsia.