Download - Makalah ANALISIS kurikulum
TRI ASTARI TRI ASTARI TRI ASTARI
TRI ASTARI TRI ASTARI TRI ASTARI
TRI ASTARI TRI ASTARI TRI ASTARI
TRI ASTARI TRI ASTARI TRI ASTARI
TRI ASTARI TRI ASTARI TRI ASTARI
TRI ASTARI TRI ASTARI TRI ASTARI
TRI ASTARI TRI ASTARI TRI ASTARI
TRI ASTARI TRI ASTARI TRI ASTARI
TRI ASTARI TRI ASTARI TRI ASTARI
TRI ASTARI TRI ASTARI TRI ASTARI
TRI ASTARI TRI ASTARI TRI ASTARI
TRI ASTARI TRI ASTARI TRI ASTARI
TRI ASTARI TRI ASTARI TRI ASTARI
TRI ASTARI TRI ASTARI TRI ASTARI
TRI ASTARI TRI ASTARI TRI ASTARI
ANALISIS KURIKULUMDI INDONESIA
OLEH:TRI ASTARI
8146182041
KELAS: B1 DIKDAS
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 1
2015
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada hadirat Allah SWT yang telah
memberikan kita rahmat kesehatan dan kesempatan, sehingga bisa menyusun atau
menyelesaikan penyusunan makalah Pengembangan dan Telaah Kurikulum
Dikdas ini yang berjudul ANALISIS KURIKULUM di INDONESIA.
Shalawat dan rangkaian salam kehadirat nabi Muhammad SAW yang kita
dari alam kegelapan menuju terang benderang.
Pembuatan makalah ini bertujuan sebagai tugas individu Pengembangan
dan Telaah Kurikulum Dikdas dan sebagai bahan perkuliahan.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Harun
Sitompul, M. Pd yang telah membimbing penulis dan pihak-pihak yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini.
Makalah ini penulis yakini jauh dari kesempurnaan dan masih banyak
kekurangannya seperti pepatah yang mengatakan “tak ada gading yang tak retak“,
baik isi maupun penyusunnya. Atas semua itu dengan rendah hati penulis
harapkan kritik dan saran yang membangun guna menyempurnakan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Medan, November 2015
Penulis
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1
A. Latar belakang .............................................................................................1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................2
C. Tujuan Pembahasan ...................................................................................2
D. Manfaat Pembahasan ..................................................................................2
BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................4
Konsep Kurikulum ......................................................................................4
B. Konsep Dasar Pengembangan Kurikulum ..................................................7
C. Prinsip Dasar Pengembangan Kurikulum ...................................................8
D. Orientasi Pengembangan Kurikulum ........................................................12
E. Model Pengembangan Kurikulum ............................................................13
F. Tahapan Pengembangan Kurikulum .........................................................20
G. Pengembangan Kurikulum di Indonesia ...................................................23
BAB III PEMBAHASAN ..................................................................................53
BAB III SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................79
A. Simpulam...................................................................................................79
B. Saran ..........................................................................................................80
DAFTAR PUSTAKA
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan dalam sejarah peradaban anak manusia adalah salah
satu komponen kehidupan yang paling urgent. Semenjak manusia berinteraksi
dengan aktifitas pendidikan ini semenjak itulah manusia telah berhasil
merealisasikan berbagai perkembangan dan kemajuan dalam segala lingkup
kehidupan mereka. Bahkan pendidikan adalah suatu yang alami dalam
perkembangan peradaban manusia. Secara paralel proses pendidikan pun
mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik dalam bentuk metode, sarana
maupun target yang akan dicapai. Karena hal ini merupakan salah satu sifat
dan keistimewaan dari pendidikan, yaitu selalu bersifat maju. Dan apabila
sebuah pendidikan tidak mengalami serta tidak menyebabkan suatu kemajuan
atau malah menimbulkan kemunduran maka tidaklah dinamakan pendidikan.
Karena pendidikan adalah sebuah aktifitas yang integral yang mencakup target,
metode dan sarana dalam membentuk manusia-manusia yang mampu berinteraksi
dan beradabtasi dengan lingkungannya, baik internal maupun eksternal demi
terwujudnya kemajuan yang lebih baik.
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, pemerintah
terus berupaya melakukan berbagai reformasi dalam bidang pendidikan. Dan
sebagai sarana untuk meningkatkan mutu pendidikan diperlukan sebuah
kurikulum. Menurut Sukmadinata (2008:5), “Kurikulum (curriculum) merupakan
suatu rencana yang memberi pedoman atau pegangan dalam proses
kegiatan belajar mengajar”. Kurikulum dipahami sebagai seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum memiliki empat
komponen, yaitu komponen tujuan, isi kurikulum, metode atau strategi
pencapaian tujuan dan komponen evaluasi. Sebagai suatu sistem setiap
komponen harus saling berkaitan satu sama lain. Manakala salah satu komponen
5
yang membentuk sistem kurikulum terganggu atau tidak berkaitan dengan
komponen lainnya, maka sistem kurikulum pun akan terganggu pula.
Kurikulum terus mengalami perubahan dari masa ke masa, dalam
perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah
mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975,
1984, 1994, 2004, dan yang sekarang 2006. Perubahan tersebut merupakan
konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya,
ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab,
kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara
dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.
Selanjutnya perubahan kurikulum tersebut akan dianalisis perbedaan dan
persamaannya dilihat dari aspek kurikulum yang akan dibahas dalam makalah ini
D. Rumusan Masalah
Dari latar belakang dan identifikasi masalah yang ada maka rumusan
masalah yang digunakan adalah:
1. Apakah perbedaan dilihat dari aspek kurikulum pada Tahun 1964, 1974,
1984, 1994, 2004, KTSP dan Kurikulum 2013.
2. Apakah persamaan dilihat dari aspek kurikulum pada Tahun 1964, 1974,
1984, 1994, 2004, KTSP dan Kurikulum 2013.
E. Tujuan Pembahasan
Tujuan dari makalah ini, antara lain:
1. Memahami perbedaan dilihat dari aspek kurikulum pada Tahun 1964,
1974, 1984, 1994, 2004, KTSP dan Kurikulum 2013.
2. Memahami persamaan dilihat dari aspek kurikulum pada Tahun 1964,
1974, 1984, 1994, 2004, KTSP dan Kurikulum 2013.
F. Manfaat Pembahasan
Penulis berharap makalah ini memiliki manfaat bagi kita semua. Dimana
dengan adanya makalah ini dapat membantu semua kalangan baik itu pelajar,
6
mahasiswa dan masyarakat umum dalam memahami kurikulum yang telah ada
selama ini khususnya memahami perbedaan dan persamaan kurikulum tersebut.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Kurikulum
Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan
praktik pendidikan serta bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang
dianutnya. Menurut pandangan lama, sejak zaman Yunanni Kuno, kurikulum
merupakan kumpulan mata pelajaran-mata pelajaran yang harus disampaikan guru
atau dipelajari siswa. Lebih khusus kurikulum sering diartikan sebagai isi
pelajaran. Pendapat-pendapat yang muncul berikutnya telah beralih dari
penekanan terhadap isi menjadi lebih menekankan pada pengalaman belajar
(Sukmadinata, 2005: 4).
Pandangan lain tentang kurikulum adalah yang menyatakan bahwa
kurikulum merupakan program pendidikan yang disediakan oleh lembaga
pendidikan (sekolah) bagi siswa. Berdasarkan program pendidikan tersebut siswa
melakukan berbagai kegiatan belajar, sehingga mendorong perkembangan dan
pertumbuhannya sesuai dengan tujuan pendidikan yang ditetapkan. Kurikulum
bukan hanya berupa sejumlah mata pelajaran, namun meliputi segala sesuatu yang
dapat mempengaruhi perkembangan siswa, seperti: bangunan sekolah, alat
pelajaran, perlengkapan sekolah, perpustakaan, karyawan tata usaha, gambar-
gambar, halaman sekolah, dan lain-lain.
Curriculum is interpreted to mean all of the organized courses activities,
and experiences which pupils have under the direction of school, whether
in the classroom or not.
Kendatipun pandangan tersebut diterima, namun pada umumnya guru-guru
tetap berpandangan bahwa kegiatan-kegiatan dalam kelas saja yang termasuk
kurikulum, sedangkan kegiatan di luar kelas merupakan nilai edukatif yang
diberikan oleh kurikulum itu.
Menurut Mac Donald (Sukmadinata, 2005:5), sistem persekolahan
terbentuk atas empat subsistem, yaitu mengajar, belajar, pembelajaran, dan 8
kurikulum. Mengajar (teaching) merupakan kegiatan atau perlakuan profesional
yang diberikan oleh guru. Belajar (learning) merupakan kegiatan atau upaya yang
dilakukan siswa sebagai respon terhadap kegiatan mengajar yang diberikan oleh
guru. Keseluruhan pertautan kegiatan yang memungkinkan dan berkenaan dengan
terjadinya interaksi belajar-mengajar disebut pembelajaran (instruction).
Kurikulum (curriculum) merupakan suatu rencana yang memberi pedoman atau
pegangan dalam proses kegiatan belajar-mengajar.
Kurikulum sering dibedakan antara kurikulum sebagai rencana
(curriculum plan) dengan kurikulum yang fungsional (functioning curriculum).
Kurikulum bukan hanya merupakan rencana tertulis bagi pengajaran, melainkan
sesuatu yang fungsional yang beroperasi dalam kelas, yang memberi pedoman dan
mengatur lingkungan dan kegiatan yang berlangsung di dalam kelas. Rencana
tertulis merupakan dokumen kurikulum (curriculum document or inert
curriculum), sedangkan kurikulum yang dioperasikan di kelas merupakan
kurikulum fungsional (functioning, live or operative curriculum) (Sukmadinata,
2005: 5).
Tabel 2.1 Perbedaan konsep kurikulum menurut beberapa ahli.
Nama Ahli Tahun Kurikulum
Robert S. Zais 1976 “... a racecourse of subject matters to be
mastered”
Caswel & Campbell 1935 “... to be composed of all experiences
children have under the guidance of
teacher”
Ronald C. Doll 1974 “The commonly accepted definition of the
curriculum has changed from content of
courses of study and list of subjects and
courses to all experiences which are
offered to learners under the auspices or
9
direction of the school.”
Mauritz Johnson 1967 “... a structured series of intended learning
outcomes”
Beauchamp 1968 “A curriculum is a written document which
may contain many ingredients, but
basically it is a plan for education of
pupils during their enrollment in given
school”.
Menurut Hilda Taba (1962), perbedaan antara kurikulum dan pengajaran
bukan terletak pada implementasinya, tetapi pada keluasan cakupannya.
Kurikulum berkenaan dengan cakupan tujuan isi dan metode yang lebih luas atau
lebih umum, sedangkan yang lebih sempit, lebih khusus menjadi tugas
pengajaran. Menurut Taba keduanya (kurikulum dan pengajaran) membentuk satu
kontinum, kurikulum terletak pada ujung tujuan umum atau tujuan jangka
panjang, sedangkan pengajaran pada ujung lainnya yaitu yang lebih khusus atau
tujuan dekat. Batas keduanya sangat relatif, bergantung pada tafsiran guru.
Dari pendapat-pendapat para ahli tentang pengertian kurikulum,
selanjutnya dikenal tiga konsep kurikulum, yakni: kurikulum sebagai substansi,
kurikulum sebagai sistem, dan kurikulum sebagai bidang studi (Sukmadinata,
2005: 27).
1. Konsep pertama, kurikulum sebagai substansi. Suatu kurikulum dipandang
sebagai suatu rencana kegiatan belajar bagi siswa di sekolah, atau sebagai
suatu perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum juga dapat
berarti suatu dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan, bahan ajar,
kegiatan belajar-mengaja, jadwal, dan evaluasi.
2. Konsep kedua, kurikulum sebagai sistem, yaitu sistem kurikulum. Sistem
kurikulum merupakan bagian dari sistem persekolahan, sistem pendidikan.
Suatu sistem kurikulum mencakup struktur personalia, dan prosedur kerja
bagaimana cara menyusun suatu kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi,
10
dan menyempurnakannya. Hasil dari suatu sistem kurikulum adalah
tersusunnya suatu kurikulum, dan fungsi dari sistem kurikulum adalah
bagaimana memelihara kurikulum agar tetap dinamis.
3. Konsep ketiga, kurikulum sebagai suatu bidang studi, yaitu bidang studi
kurikulum. Ini merupakan bidang kajian para ahli kurikulum dan ahli
pendidikan dan pengajaran. Tujuan kurikulum sebagai bidang studi adalah
mengembangkan ilmu tentang kurikulum dan sistem kurikulum.
B. Konsep Dasar Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum (curriculum development) adalah the planning
of learning opportunities intended to bring about certain desered in pupils, and
assesment of the extent to wich these changes have taken plece (Audrey Nicholls
& Howard Nichools dalam Hamalik, 2007: 96).
Rumusan ini menunjukkan bahwa pengembangan kurikulum adalah
perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membawa
siswa ke arah perubahan-perubahan tertentu yang diharapkan. Sedangkan yang
dimaksud dengan kesempatan belajar (learning opportunity) adalah hubungan
yang telah direncanakan dan terkontrol antara para siswa, guru, bahan, peralatan,
dan lingkungan tempat siswa belajar yang diinginkan diharapkan terjadi.
Dalam pengertian di atas, sesungguhnya pengembangan kurikulum adalah
proses siklus, yang tidak pernah berakhir. Proses tersebut terdiri dari empat unsur
yakni (Hamalik, 2007: 96-97):
a. Tujuan: mempelajari dan menggambarkan semua sumber pengetahuan dan
pertimbagngan tentang tujuan-tujuan pengajaran, baik yang berkenaan
dengan mata pelajaran (subject course) maupun kurikulum secara
menyeluruh.
b. Metode dan material: menggembangkan dan mencoba menggunakan
metode-metode dan material sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan tadi
yang serasi menurut pertimbangan guru.
c. Penilaian (assesment): menilai keberhasilan pekerjaan yang telah
dikembangkan itu dalam hubungannya dengan tujuan, dan bila
mengembangkan tujuan-tujuan baru.
11
d. Balikan (feedback): umpan balik dari semua pengalaman yang telah
diperoleh yang pada gilirannya menjadi titik tolak bagi studi selanjutnya.
Pengembangan kurikulum merupakan inti dalam penyelenggaraan
pendidikan, dan oleh karenanya pengembangan dan pelaksanaannya harus
berdasarkan pada asas-asas pembangunan secara makro. Sistem pengembangan
kurikulum harus berdasarkan asas-asas sebagai berikut (Hamalik, 2007: 15):
1) Kurikulum dan teknologi pendidikan berdasarkan pada asas keimanan dan
ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2) Kurikulum dan teknologi pendidikan berdasarkan dan diarahkan pada asas
demokrasi pancasila.
3) Pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan berdasarkan dan
diarahkan pada asas keadilan dan pemerataan pendidikan.
4) Pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan dilandasi dan
diarahkan berdasarkan asas keseimbangan, keserasian, dan keterpaduan.
5) Pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan dilandasi dan
diarahkan berdasarkan asas hukum yang berlaku.
6) Pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan dilandasi dan
diarahkan berdasarkan asas kemandirian dan pembentukan manusia
mandiri.
7) Pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan dilandasi dan
diarahkan berdasarkan asas nilai-nilai kejuangan bangsa.
8) Pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan dilandasi dan
diarahkan berdasarkan asas pemanfaatan, pengembangan, penciptaan ilmu
pengetahuan, dan teknologi.
C. Prinsip Dasar Pengembangan Kurikulum
Kebijakan umum dalam pembangunan kurikulum harus sejalan dengan
visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional yang dituangkan dalam
kebijakan peningkatan angka partisipasi, mutu, relevansi, dan efisieinsi
pendidikan. Kebijakan umum dalam pembangunan kurikulum nasional mencakup
prinsip-prinsip (Hamalik, 2007: 3-4):
12
1. Keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestika.
2. Kesamaan memperoleh kesempatan.
3. Memperkuat identitas nasional.
4. Menghadapi abad pengetahuan.
5. Menyongsong tantangan teknologi informasi dan komunikasi.
6. Mengembangkan keterampilan hidup.
7. Mengintegrasikan unsur-unsur penting ke dalam kurikulum.
8. Pendidikan alterantif.
9. Berpusat pada anak sebagai pembangun pengetahuan.
10. Pendidikan multikultur.
11. Penilaian berkelanjutan.
12. Pendidikan sepanjang hayat.
Nana Syaodih Sukmadinata (2005: 150-155) mengemukakan bahwa secara
garis besar terdapat dua prinsip pengembangan kurikulum, yaitu prinsip umum
dan prinsip khusus.
1. Prinsip Umum
a. Prinsip relevansi
Kurikulum harus memiliki relevansi keluar dan di dalam kurikulum itu
sendiri. Relevansi ke luar maksudnya tujuan, isi, dan proses belajar yang
tercakup dalam kurikulum hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan
perkembangan masyarakat. Kurikulum menyiapkan siswa untuk bisa hidup dan
bekerja dalam masyarakat. Kurikulum juga harus memiliki relevansi di dalam
yaitu ada kesesuaian atau konsistensi antara komponen-komponen kurikulum,
yaitu antara tujuan, isi, proses penyampaian, dan penilaian. Relevansi internal
ini menunjukkan suatu keterpaduan kurikulum.
b. Prinsip fleksibilitas
Kurikulum hendaknya memiliki sifat lentur atau fleksibel. Kurikulum
mempersiapkan anak untuk hidup dalam kehidupan pada masa kini dan masa
yang akan datang, di berbagai tempat dengan latar belakang dan kemampuan
yang berbeda-beda. Suatu kurikulum yang baik adalah kurikulum yang berisi
hal-hal yang solid, tetapi dalam pelaksanaannya memungkinkan terjadinya
13
penyesuaian-penyesuan berdasarkan kondisi daerah, waktu, maupun
kemampuan, dan latar belakang anak.
c. Prinsip kontinuitas
Perkembangan dan proses belajar anak berlangsung secara
berkesinambungan, tidak terputus-putus. Oleh karena itu, pengalaman-
pengalaman yang disediakan kurikulum juga hendaknya berkesinambungan
antara satu tingkat kelas dengan kelas lainnya, antara satu jenjang pendidikan
dengan jenjang pendidikan lainnya, juga antara jenjang pendidikan dengan
pekerjaan.
d. Prinsip kepraktisan/efisiensi
Kurikulum mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat sederhana dan
memerlukan biaya murah. Kurikulum yang terlalu menuntut keahlian-keahlian
dan peralatan yang sangat khusus serta biaya yang mahal merupakan
kurikulum yang tidak praktis dan sukar dilaksanakan.
e. Prinsip efektivitas
Walaupun prinsip kurikulum itu mudah, sederhana, dan murah,
keberhasilannya harus diperhatikan secara kuantitas dan kualitas karena
pengembangan kurikulum tidak dapat dilepaskan dan merupakan penjabaran
dari perencanaan pendidikan.
2. Prinsip Khusus
a. Berkenaan dengan tujuan pendidikan
Perumusan komponen-komponen kurikulum hendaknya mengacu pada
tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan mencakup tujuan yang bersifat umum
atau berjangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek (khusus).
b. Berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan
Dalam memilih isi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan
yang telah ditentukan para perencana kurikulum perlu diperhatikan beberapa
hal sebagai berikut:
1) Perlu penjabaran tujuan pendidikan/pembelajaran ke dalam bentuk
perbuatan hasil belajar yang khusus dan sederhana.
14
2) Isi bahan pelajaran harus meliputi segi pengetahuan, sikap, dan
keterampilan.
3) Unit-unit kurikulum harus disusun dalam urutan yang logis dan sistematis.
c. Berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar
Pemilihan proses belajar-mengajar yang digunakan hendaknya
memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
1) Apakah metode/teknik belajar-mengajar yang digunakan cocok untuk
mengajarkan bahan pelajaran?
2) Apakah metode/teknik-teknik tersebut memberikan kegiatan yang bervariasi
sehingga dapat melayani perbedaan individual siswa?
3) Apakah metode/teknik tersebut memberikan urutan kegiatan yang
bertingkat-tingkat?
4) Apakah metode/teknik tersebut dapat menciptakan kegitan untuk mencapai
tujuan kognitif, afektif, dan psikomotor.
5) Apakah metode/teknik tersebut lebih mengaktifkan siswa, guru, atau kedua-
duanya?
6) Apakah metode/teknik tersebut mendorong berkembangnya kemampuan
baru?
7) Apakah metode/teknik tersebut menimbulkan jalinan kegiatan belajar di
sekolah dan di rumah, juga mendorong penggunaan sumber yang ada di
rumah dan masyarakat.
8) Untuk menguasai keterampilan sangat dibutuhkan kegiatan belajar yang
menekankan ”learning by doing” selain ”learning by seeing and knowing”.
d. Berkenaan dengan pemilihan media dan alat pembelajaran
Proses belajar yang baik perlu didukung oleh penggunaan media dan alat-
alat bantu pembelajaran yang tepat.
e. Berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian.
Penilaian merupakan bagian integral pengajaran, perlu diperhatikan:
1) Penyusunan alat penilaian (test)
2) Perencanaan suatu penilaian
3) Pengolahan hasil penilian.
15
D. Orientasi Pengembangan Kurikulum
Seller dan Miller (1985) mengemukakan bahwa proses pengembangan
kurikulum adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus. Seller
memandang bahwa pengembangan kurikulum harus dimulai dari menentukan
orientasi kurikulum, yakni kebijakan-kebijakan umum, misalnya arah dan tujuan
pendidikan, pandangan tentang hakikat belajar dan hakikat anak didik, pandangan
tentang keberhasilan implementasi kurikulum, dan lain sebagainya. Berdasarkan
orientasi itu selanjutnya dikembangkan kurikulum menjadi pedoman
pembelajaran, diimplementasikan dalam proses pembelajaran dan dievaluasi.
Hasil evaluasi itulah kemudian dijadikan bahan dalam menentukan orientasi,
begitu seterusnya hingga membentuk siklus.
Orientasi pengembangan kurikulum menurut Seller menyangkut 6 aspek,
yaitu :
1. Tujuan pendidikan menyangkut arah kegiatan pendidikan: artinya hendak
dibawa ke mana siswa yang kita didik itu.
2. Pandangan tentang anak: apakah anak dipandang sebagai organisme yang
aktif atau pasif.
3. Pandangan tentang proses pembelajaran: apakah proses pembelajaran itu
dianggap sebagai proses transformasi ilmu pengetahuan atau mengubah
perilaku anak.
4. Pandangan tentang lingkungan : apakah lingkungan belajar harus dikelola
secara formal atau secara bebas yang dapat memungkinkan anak bebas
belajar.
5. Konsepsi tentang peranan guru : apakah guru harus berperan sebagai
instruktur yang bersifat otoriter atau guru dianggap sebagai fasilitator yang
siap memberi bimbingan dan bantuan pada anak untuk belajar.
6. Evaluasi belajar : apakah mengukur keberhasilan ditentukan dengan tes
atau non tes.
E. Model Pengembangan Kurikulum
Model adalah konstruksi yang bersifat teroretis dari konsep. Menurut
Roberts S. Zain dalam bukunya: Curriculum Principles and Foundation (Dakir,
16
2004: 95-99), berbagai model dalam pengembangan kurikulum secara garis besar
diutarakan sebagai berikut :
1. Model Administratif (Garis Staff atau Top Down)
Pengembangannya dilaksanakan sebagai berikut.
a. Atasan membentuk tim yang terdiri atas para pejabat teras yang
berwenang(pengawas pendidikan, Kepsek, dan pengajar inti)
b. Tim merencanakan konsep rumusan tujuan umum dan rumusan falsafah
yang diikuti.
c. Dibentuk beberapa kelompok kerja yang anggotanya terdiri atas para
spesialis kurikulum dan staf pengajar.
d. Hasil kerja direvisi oleh tim atas dasar pengalaman atau hasil try out.
e. Setelah try out yang dilakukan oleh beberapa Kepsek, dan telah direvisi
sebelumnya, baru kurikulum tersebut diimplementasikan.
2. Model dari Bawah (Grass-Roats)
Langkah-langkahnya sebagai berikut.
a. Inisiatif pengembangan datang dari bawah (Para pengajar)
b. Tim pengajar dari beberapa sekolah ditambah narasumber lain dari orang
tua siswa atau masyarakat luas yang relevan.
c. Pihak atasan memberikan bimbingan dan dorongan
d. Untuk pemantapan konsep pengembangan yang telah dirintis diadakan
loka karya agar diperoleh input yang diperlukan.
3. Model Demonstrasi
Langkah-langkahnya sebagai berikut.
a. Staf pengajar pada suatu sekolah menemukan suatu ide pengembangan dan
ternyata hasilnya dinilai baik.
b. Kemudian hasilnya disebarluaskan di sekolah sekitar.
a. Model Beauchamp
Model ini dikembangkan oleh G.A. Beauchamp (1964) dengan langkah-
langkah sebagai berikut.
17
a. Suatu gagasan pengembangan kurikulum yang telah dilaksanakan di kelas,
diperluas di sekolah, disebarkan di sekolah-sekolah di daerah tertentu baik
berskala regional maupun nasional yang disebut arena.
b. Menunjuk tim pengembang yang terdiri atas ahli kurikulum, para ekspert,
staf pengajar, petugas bimbingan, dan nara sumber lain.
c. Tim menyusun tujuan pengajaran, materi, dan pelaksanaan proses belajar
mengajar. Untuk tugas tersebut dibentuk dewan kurikulum sebagai
koordinator yang bertugas juga sebagai penilai pelaksanaan kurikulum,
memilih materi pelajaran baru, menentukan berbagai kriteria untuk
memilih kurikulum mana yang akan dipakai, dan menulis keseluruhan
kurikulum yang akan dikembangkan.
d. Melaksanakan kurikulum di sekolah
e. Mengevaluasi kurikulum yang berlaku
b. Model Terbalik Hilda Taba
Model ini dikembangkan oleh Hilda Taba atas dasar data induktif yang
disebut model terbalik karena langkah-langkahnya diawali dengan pencarian data
dari lapangan dengan cara mengadakan percobaan, kemudian disusun teorinya
lalu diadakan pelaksanaan.
Langkah-langkahnya sebagai berikut.
a. Mendiagnosis kebutuhan, merumuskan tujuan, menentukan materi,
menemukan penilaian, memperhatikan keluasan dan kedalaman bahan,
kemudian menyusun suatu unit kurikulum.
b. Mengadakan try out.
c. Mengadakan revisi berdasarkan try out.
d. Menyusun kerangka kerja teori
e. Mengemukakan adanya kurikulum baru yang akan didesiminasikan.
18
c. Model Hubungan Interpersonal dari Rogers
Kurikulum yang dikembangkan hendaknya dapat mengembangkan
individu secara fleksibel terhadap perubahan-perubahan dengan cara melatih diri
berkomunikasi secara interpersonal.
Langkah-langkahnya sebagai berikut.
a. Dibentuk kelompok untuk memperoleh hubungan interpersonal di tempat
yang tidak sibuk.
b. Kurang lebih dalam satu minggu para peserta mengadakan saling tukar
pengalaman di bawah pimpinan staf pengajar.
c. Kemudian diadakan pertemuan dengan masyarakat yang lebih luas dalam
suatu sekolah, sehingga hubungan interpersonal akan menjadi lebih
sempurna, yaitu hubungan antara guru dengan guru, guru dengan siswa,
siswa dengan siswa dalam suasana yang akrab.
d. Selanjutnya pertemuan diadakan dengan mengikutsertakan anggota yang
lebih luas lagi, yaitu para pegawai adminstrasi dan orang tua siswa. Dalam
situasi yang demikian diharapkan masing-masing personakan akan saling
menghayati dan lebih akrab, sehingga memudahkan berbagai pemecahan
problem sekolah.
e. Dengan langkah-langkah tersebut diharapkan penyusunan kurikulum akan
lebih realistis karena didasari oleh kenyataan-kenyataan yang diharapkan.
c. Model Action Research yang Sistematis
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum
yaitu adanya hubungan antarmanusia, keadaan organisasi sekolah, situasi
masyarakat, dan otoritas ilmu pengetahuan.
Langkah-langkahnya sebagai berikut.
a. Dirasakan adanya problem proses belajar mengajar di sekolah yang perlu
diteliti.
b. Mencari sebab-sebab terjadinya problem dan sekaligus dicari
pemecahannya. Kemudian menentukan keputusan apa yang perlu diambil
sehubungan dengan masalah yang timbul tersebut.
c. Melaksankan keputusan yang telah diambil.Selanjutnya, menurut
Sukmadinata (2005: 81-100), terdapat beberapa model konsep kurikulum,
19
yaitu 1) Kurikulum Subjek Akademis, 2) Kurikulum Humanistik, 3)
Kurikulum Rekonstruksi Sosial, dan 4) Kurikulum Teknologis.
1. Kurikulum Subjek Akademis
Kurikulum subjek akademis bersumber dari pendidikan klasik
(perenialisme dan esensialisme) yang berorientasi masa lalu. Kurikulum ini
dikembangkan berdasarkan pandangan bahwa fungsi pendidikan adalah
memelihara dan mewariskan hasil-hasil budaya masa lalu. Kurikulum ini lebih
mengutamakan isi pendidikan berupa disiplin ilmu yang telah dikembangkan
secara logis, sistematis, dan solid oleh para ahli. Belajar adalah berusaha
menguasai ilmu sebanyak-banyaknya. Orang yang berhasil dalam belajar adalah
orang yang menguasai seluruh atau sebgaian besar isi pendidikan yang diberikan
atau disiapkan oleh guru. Guru sebagai penyampai bahan ajar memegang peranan
yang sangat penting. Mereka harus menguasai semua pengetahuan yang ada
dalam kurikulum. Guru adalah yang ”digugu dan ditiru” (diikuti dan dicontoh).
Pendidikan berdasarkan kurikulum ini lebih bersifat intelektual. Namun,
demikian, dalam perkembangannya sekarang kurikulum ini secara berangsur-
angsur memperhatikan proses belajar yang dilakukan siswa.
Kurikulum subjek akademis mempunyai beberapa ciri berkenaan dengan
tujuan, metode, organisasi isi, dan evaluasi.
a. Tujuan kurikulum subjek adademis adalah pemberian pengetahuan yang
solid serta melatih para siswa menggunakan ide-ide dan proses
”penelitian”.
b. Metode yang paling banyak digunakan adalah metode ekspositori dan
inkuiri. Ide-ide (konsep utama) disusun secara sistematis dan diberi
ilustrasi secara jelas, untuk selanjutnya dikaji dan dikuasai siswa. Para
siswa menemukan bahwa kemampuan berpikir dan mengamati digunakan
dalam ilmu kealaman, logika digunakan dalam matematika, bentuk dan
perasaan digunakan dalam seni, serta koherensi dalam sejarah.
c. Pola organisasi isi kurikulum berupa correlated curriculum, unified
(concentrated curriculum), integrated curriculum, dan problem solving
curriculum.
20
d. Evaluasi pelaksanaan kurikulum ini menggunakan bentuk evaluasi yang
bervariasi disesuaikan dengan tujuan dan sifat mata pelajaran.
2. Kurikulum Humanistik
Kurikulum humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan
humanistik berdasarkan konsep aliran pendidikan pribadi(personalized education)
yaitu John Dewey (Progressive Education) dan J.J. Rousseau(Romantic
Education). Aliran ini bertolak dari asumsi bahwa siswa adalah yang pertama dan
uatama dalam pendidikan. Merekan percaya bahwa siswa mempunyai potensi,
punya kemampuan, dan kekuatan untuk berkembang. Para pendidik humanis juga
berpegang pada konsep Gestalt, bahwa individu merupakan satu kesatuan yang
menyeluruh. Pendidikan diarahkan kepada pembinaan manusia yang utuh bukan
saja segi fisik dan intelektual, tetapi juga segi sosial dan afektif (emosi, sikap,
perasaan, nilai-nilai, dan lain-lain).
Kurikulum humanistik memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Tujuan pendidikan adalah proses perkembangan pribadi yang dinamis
yang diarahkan pada pertumbuhan, integritas, dan otonomi kepribadian,
sikap yang sehat terhadap diri sendiri, orang lain, dan belajar.
b. Metode pembelajaran yang digunakan adalah metode yang menciptakan
hubungan emosional yang baik antara guru dan siswa, memperlancar
proses belajar, dan memberikan dorongan kepada siswa atas dasar saling
percaya, tanpa ada paksaan.
c. Kurikulum menekankan integrasi, yaitu kesatuan perilaku bukan saja yang
bersifat intelektual tetapi juga emosional dan tindakan. Selain itu,
kurikulum ini juga menekankan pada pemberian pengalaman yang
menyeluruh, bukan terpenggal-penggal. Kurikulum ini kurang
mengutamakan sekuens karena kan mengakibatkan siswa kurang
mempunyai kesempatan untuk memperluas dan memeperdalam aspek-
aspek perkembangannya.
d. Evaluasi dilaksanakan lebih mengutamakan proses daripada hasil.
Kegiatan belajar yang baik adalah yang memberikan pengalaman kepada
siswa untuk memperluas kesadaran dirinya dan mengembangkan
21
potensinya secara optimal. Dalam kurikulum ini tidak digunakan kriteria
pencapaian. Peniaian bersifat subjektif baik dari guru maupun para siswa.
a. Kurikulum Rekonstruksi Sosial
Kurikulum ini lebih memusatkan perhatian pada problema-problema yang
dihadapinya dalam masyarakat dan bersumber pada aliran pendidikan
interaksional. Menurut mereka pendidikan bukan upaya sendiri, melainkan
kegiatan bersama, inetraksi, atau kerja sama antara siswa dengan guru, siswa
dengan siswa, siswa dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya, dan dengan
sumber belajar lainnya.
Kurikulum rekonstruksi sosial memiliki karakteristik sebagai berikut.
a. Tujuan utama kurikulum rekonstruksi sosial adalah menghadapkan para
siswa pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan, atau gangguan-
gangguan yang dihadapi manusia. Tantangan-tantangan tersebut
merupakan bidang garapan studi sosial yang bersifat universal bisa
didekati dari berbagai disiplin ilmu dan dapat dikaji dalam kurikulum.
b. Dalam pengajaran rekonstruksi sosial para pengembang kurikulum
berusaha mencari keselarasan antara tujuan-tujuan nasional dengann
tujuan siswa. Guru-guru berusaha membantu para siswa menemukan minat
dan kebutuhannya. Pembelajaran diciptakan berupa kerja sama antarsiswa,
antarkelompok, dan antara siswa dengan nara sumber dari masyarakat.
Dengan demikian terbentuk juga saling kebergantungan, saling pengertian,
dan konsesnsus. Sejak sekolah dasar, siswa sudah diharuskan turut serta
dalam survey kemasyarakatan serta kegiatan sosial lainnya. Adapun kelas-
kelas tinggi dihadapkan kepada situasi nyata dan diperkenalkan dengan
situasi-situasi ideal. Dengan begitu diharapkan siswa dapat menciptakan
model-model kasar dari situasi yang akan datang.
c. Pada tingkat sekolah menengah, pola organisasi kurikulum disusun seperti
sebuah roda. Di tengah-tengahnya sebagai poros dipilih sesuatu masalah
yang menjadi tema utama dan dibahas secara pleno. Dari tema utama
dijabarkan sejumlah topik yang dibahas dalam diskusi-diskusi kelompok,
latihan-latihan, kunjungan, dan lain-lain. Topik-topik dengan berbagai
22
kegiatan kelompok ini merupakan jari-jari. Semuakegiatan jari-jari
tersebut dirangkum menjadi satu kesatuan sebagai bingkai atau velk.
d. Evaluasi diarahkan bukan hanya pada apa yang telah dikuasai siswa, tetapi
juga pada sejauh mana pengaruh kegiatan sekolah terhadap masyarakat.
Penilaian dilaksanakan dengan melibatkan siswa terutama dalam memilih,
menyusun, dan menilai bahan yang akan diujikan. Sebelum diujikan, soal-
soal dinilai terlebih dahulu ketepatannya, keluasan isinya, dan
keampuhannya menilai pencapaian tujuan-tujuan pembangunan
masyarakat yang sifatnya kualitatif.
b. Kurikulum Teknologis.
Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, di bidang pendidikan
berkembang pula teknologi pendidikan. Aliran ini ada persamaannya dengan
pendidikan klasik, yaitu menekankan isi kurikulum yang tidak diarahkan pada
pemeliharaan dan pengawetan ilmu tersebut tetapi pada penguasaan kompetensi.
Suatu kompetensi yang besar diuraikan menjadi kompetensi yang lebih
sempit/khusus dan akhirnya menjadi prilaku-prilaku yang dapat diamati atau
diukur.
Penerapan teknologi dalam bidang pendidikan khususnya kurikulum
adalah dalam dua bentuk, yaitu bentuk perangkat lunak(software) dan perangkat
keras(hardware). Penerapan teknologi perangkat keras dalam pendidikan dikenal
sebagai teknologi alat(tool technology), sedangkan penerapan teknologi perangkat
lunak disebut teknologi sistem(system technologi).
Kurikulum teknologis memiliki beberapa ciri khusus, yaitu:
a. Tujuan diarahkan pada penguasaan kompetensi, yang dirumuskan dalam
bentuk perilaku.
b. Metode yang merupakan kegiatan pembelajaran sering dipandang sebagai
proses mereaksi perangsang-perangsang yang diberikan dan apabila terjadi
respon yang diharapkan maka respon tersebut diperkuat.
c. Bahan ajar atau isi kurikulum (organisasi bahan ajar) banyak diambil dari
disiplin ilmu tetapi telah diramu sedemikian rupa sehingga mendukung
penguasaan suatu kompetensi.
23
d. Kegiatan evaluasi dilakukan pada setiap saat, pada akhir suatu pelajaran,
suatu unit ataupun semester.
F. Tahapan Pengembangan Kurikulum
Konsep pengembangan kurikulum dapat diartikan sebagai:
1. Perekeyasaan (engineering), meliputi empat tahap, yakni:
a. Menentukan pondasi atau dasar-dasar yang diperlukan untuk
mengembangkan kurikulum;
b. Konstrukei ialah mengembangkan model kurikulm yang diharapkan
berdasarkan fondasi tersebut.
c. Impelementasi, yaitu pelaksanaan kurikulum;
d. Evaluasi, yaitu menilai kurikulum secara komprehensif dan sistemik.
2. Konstruksi, yaitu proses pengembangan secara mikro, yang pada garis
besarnya melalui proses 4 kegiatan, yakni merancang tujuan, merumuskan
materi, menetapkan metode, dan merancang evaluasi. (Hamalik, 2007:
133)
Pengembangan kurikulum berlandaskan manajemen, berarti melaksanakan
kegiatan pengembangan kurikulum erdasarkan pola pikir manajemen, atau
berdasarkan proses manajemen sesuai dengan fungsi-fungsi manajemen, yang
terdiri dari (Hamalik, 2007: 133-134):
Pertama, Perencanaan kurikulum yang dirancang berdasarkan analisis
kebutuhan, menggunakan model tertentu dan mengacu pada suatu
desain kurikulum yang efektif.
Kedua, Pengorganisasian kurikulum yang ditata baik secara struktural
maupun secara fungsional.
Ketiga, Impelementasi yakni pelaksanaan kurikulum di lapangan
Keempat, Ketenagaan dalam pengembangan kurikulum.
Kelima, Kontrol kurikulum yang mencakup evaluasi kurikulum.
Keenam, Mekanisme pengembangan kurikulum secara menyeluruh.
24
Mekanisme Pengembangan Kurikulum
Tahap 1 : Studi kelayakan dan kebutuhan
Tahap 2 : Penyusunan konsep awal perencanaan kurikulum
Tahap 3 : Pengembangan rencana untuk melaksanakan kurikulum
Tahap 4 : Pelaksanaan uji coba kurikulum di lapangan
Tahap 5 : Pelaksanaan kurikulum
Tahap 6 : Pelaksanaan penilaian dan pemantauan kurikulum
Tahap 7 : Pelaksanaan perbaikan dan penyesuaian
(Hamalik, 2007: 142-143)
Tahap 1 : Studi kelayakan dan kebutuhan
Pengembang kurikulum melakukan kegiatan analisis kebutuhan program dan
merumuskan dasar-dasar pertimbangan bagi pengembangan kurikulum tersebut.
Untuk itu si pengembang perlu melakukan studi dokumentasi dan/atau studi
lapangan.
Tahap 2 : Penyusunan konsep awal perencanaan kurikulum
Konsep awal ini dirumuskan berdasarkan rumusan kemampuan, selanjutnya
merumuskan tujuan, isi, strategi pembelajaran sesuai dengan pola kurikulum
sistemik.
Tahap 3 : Pengembangan rencana untuk melaksanakan kurikulum
Penyusunan rencana ini mencakup penyusunan silabus, pengembangan bahan
pelajaran dan sumber-sumber material lainnya.
Tahap 4 : Pelaksanaan uji coba kurikulum di lapangan
Pengujian kurikulum di lapangan dimaksudkan untuk mengetahui tingkat
keandalannya, kemungkinan pelaksanaan dan keberhasilannya, hambatan dan
masalah-masalah yang timbul dan faktor-faktor pendukung yang tersedia, dan
lain-lain yang berkaitan dengan pelaksanaan kurikulum.
Tahap 5 : Pelaksanaan kurikulum
Ada 2 kegiatan yang perlu dilakukan, ialah :
1) Kegiatan desiminasi, yakni pelaksanaan kurikulum dalam lingkup sampel
yang lebih luas.
25
2) Pelaksanaan kurikulum secara menyeluruh yang mencakup semua satuan
pendidikan pada jenjang yang sama.
Tahap 6 : Pelaksanaan penilaian dan pemantauan kurikulum
Selama pelaksanaan kurikulum perlu dilakukan penialaian dan pemantauan yang
berkenaan dengan desain kurikulum dan hasil pelaksanaan kurikulum serta
dampaknya.
Tahap 7 : Pelaksanaan perbaikan dan penyesuaian
Berdasarkan penilaian dan pemantauan kurikulum diperoleh data dan informasi
yang akurat, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan untuk melakukan
pada kurikulum tersebut bila diperlukan, atau melakukan penyesuaian kurikulum
dengan keadaan. Perbaikan dilakukan terhadap beberapa aspek dalam kurikulum
tersebut (Hamalik, 2007: 142-143).
Sedangkan Soetopo dan Soemanto (1986:60-61) mengemukakan tahapan
atau langkah-langkah pengembangan kurikulum makrokospis sebagai berikut.
1. Pengaruh faktor-faktor yang mendorong pembaharuan kurikulum.
a. Tujuan (objectives) tertentu, yang permulaannya didorong oleh pengaruh
faktor sejarah, sosiologis, filsafah, psikologis, dan ilmu pengetahuan.
b. Hasil-hasil penemuan riset dalam interaksi belajar mengajar.
c. Tekanan-tekanan, baik yang berasal dari kelompok penekanan maupun
dari pengujian-pengujian eksternal.
2. Inisiasi Pengembangan.
Proses pengambilan keputusan baik di dalam maupun di luar sistem
pendidikan mengenai suatu pengembangan atau innovasi kurikulum hendak
dilaksanakan.
3. Inovasi Kurikulum Baru
Kurikulum baru dikembangkan melalui proyek-proyek pengembangan
kurikulum yang harus mengikuti fase-fase:
a. Penentuan tujuan-tujuan (objectives) kurikulum.
b. Produksi ‘materials’ (seperti buku, alat visual, perangkat) dan penciptaan
metode-metode pembelajaran yang sesuai.
c. Pelaksanaan percobaan-percobaan terbatas pada sekolah-sekolah.
26
d. Evaluasi dan revisi ’material’ dan metode.
e. Penyebaran yang tak terbatas ’material’ dan metode yang sudah direvisi.
4. Difusi (penyebaran) Pengetahuan dan Pengertian tentang Pengembangan
Kurikulum di luar Lembaga-lembaga Pengembangan Kurikulum.
Hasil-hasil percobaan kurikulum disebarluaskan di sekolah-sekolah dan
masyarakat umum melalui penanaman pengertian, sehingga mereka akan
responsif terhadap pembaharuan yang hendak dilaksanakan.
a. Implementasi Kurikulum yang telah dikembangkan di sekolah-sekolah
b. Evaluasi Kurikulum
Para pengembang kurikulum mengadakan penilaian tehadap kurikulum
yang telah dilaksanakan, dengan mendapatkan umpan balik dari para guru,
murid, adminisrtrator sekolah, orang tua siswa, Komite Sekolah, dan
sebagainya.
Kegiatan pengembangan kurikulum dapat dilaksanakan pada berbagai
kondisi atau setting, mulai dari tingkat kelas sampai dengan tingkat nasional.
Kondisi-kondisi itu menurut Hamalik (2007: 104) adalah :
a. Pengembangan kurikulum oleh guru kelas.
b. Pengembangan kurikulum oleh sekelompok guru dalam suatu sekolah.
c. Pengembangan kurikulum melalui pusat guru (teacher’s centre’s)
d. Pengembangan kurikulum pada tingkat daerah
e. Pengembangan kurikulum dalam/melalui proyek nasional.
G. Perkembangan Kurikulum di Indonesia
Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan
nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964,
1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan yang sekarang 2006. Perubahan tersebut
merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik,
sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan
bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu
dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang
terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan
landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada
27
penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam
merealisasikannya.
Berdasarkan masa ke masa dalam tahun, perubahan kurikulum di dunia
pendidikan Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kurikulum Rencana Pendidikan 1964
Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 adalah bahwa pemerintah
mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk
pembekalan pada jenjang SD. Kurikulum 1964 juga menitik beratkan pada
pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral, yang kemudian dikenal
dengan istilah Pancawardhana. Pada saat itu pendidikan dasar lebih menekankan
pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis, yang disesuaikan dengan
perkembangan anak. Sehingga pembelajaran dipusatkan pada program
Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan,
emosional/artistik, keprigelan, dan jasmani.
Cara belajar dijalankan dengan metode disebut gotong royong terpimpin.
Selain itu pemerintah menerapkan hari sabtu sebagai hari krida. Maksudnya, pada
hari Sabtu, siswa diberi kebebasan berlatih kegitan di bidang kebudayaan,
kesenian, olah raga, dan permainan, sesuai minat siswa. Kurikulum 1964 adalah
alat untuk membentuk manusia pacasialis yang sosialis Indonesia, dengan sifat-
sifat seperti pada ketetapan MPRS No II tanun 1960.
Kurikulum 1964 bersifat separate subject curriculum, yang memisahkan
mata pelajaran berdasarkan lima kelompok bidang studi (Pancawardhana) atau
sistem lima aspek perkembangan yaitu perkembangan moral, perkembangan
intelegensia, perkembangan emosional/artistik, perkembangan keprigelan dan
perkembangan jasmaniah. Sistem panca wardana ini dapat diuraikan menjadi
beberapa mata pelajaran.
1. Perkembangan moral; pendidikan kemasyarakatan dan pendidikan
agama/budi pekerti.
2. Perkembangan intelegensia; bahasa Indonesia, bahasa daerah, berhitung
dan pengetahuan alamiah.
3. Perkembangan emosional/artistik; seni sastra/musik, seni lukis/rupa, seni
tari, seni drama.
28
4. Perkembangan keprigelan; pertanian/peternakan, industry kecil/pekerjaan
tangan, koperasi/tabungan dan keprigelan-keprigelan lain.
5. Perkembangan jasmaniah; pendidikan jasmaniah dan pendidikan
kesehatan.
Fokus kurikulum 1964 ini lebih menekankan pada pengetahuan dan
kegiatan fungsional praktis. Pada kurikulum 1964 ini, arah pendidikan mulai
merambah lingkup praksis. Dalam pengertian bahwa setiap pelajaran yang
diajarkan disekolah dapat berkorelasi positif dengan fungsional praksis siswa
dalam masyarakat. Kurikulum masa ini dapat pula dikategorikan sebagai
Correlated Curriculum.
2. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien
dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang
manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata
Mudjito, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas.
Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968 menggunakan
pendekatan-pendekatan di antaranya sebagai berikut:
Berorientasi pada tujuan
Menganut pendekatan integrative dalam arti bahwa setiap pelajaran
memiliki arti dan peranan yang menunjang kepada tercapainya tujuan-
tujuan yang lebih integratif.
Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.
Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sistem yang senantiasa
mengarah kepada tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan
dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa.
Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus
respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).
Kurikulum 1975 hingga menjelang tahun 1983 dianggap sudah tidak
mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Bahkan sidang umum MPR 1983 yang produknya tertuang dalam
29
GBHN 1983 menyiratakan keputusan politik yang menghendaki perubahan
kurikulum dari kurikulum 1975 ke kurikulum 1984. Karena itulah pada tahun
1984 pemerintah menetapkan pergantian kurikulum 1975 dengan kurikulum 1984.
3. Kurikulum 1984
1. Sejarah Perkembangan kurikulum 1984
Kurikulum 1984 berlaku berdasarkan keputusan mentri pendidikan dan
kebudayaan Nomor 0461/U/1983 tanggal 22 oktober 1983 tentang perbaikan
kurikulum. Kurikulum ini di susun karna kurikulum terdahulu di anggap memiliki
banyak kekurangan,
Ada 4 aspek yangdi sempurnakan dalam kurikulum 1984 yakni :
1. Pelaksanaan PSPB
2. Penyesuaian tujuan dan struktur program kurikulum
3. Pemilihan kemampuan dasar serta keterpaduan dan keserasian antar ranah
kognitif, afektif dan psikomotorik
4. Pelaksanaan pelajaran berdasarkan kerundatan belajar yang di sesuaikan
dengan kecepatan belajar masing-masing peserta didik
Kurikulum 1984 banyak dipengaruhi oleh aliran Humanistik, yang
memandang anak didik sebagai individu yang dapat dan mau aktif mencari
sendiri, menjelajah, dan meneliti lingkungannya. Posisi siswa ditempatkan sebagai
subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan,
hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau
Student Active Learning (SAL). Oleh sebab itu kurikulum 1984 menggunakan
pendekatan proses, disamping tetap menggunakan orientasi pada tujuan.
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach.
2. Dasar Perubahan Kurikulum 1975 ke Kurikulum 1984
Kurikulum 1975 hingga menjelang tahun 1983 dianggap sudah tidak
mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Bahkan sidang umum MPR 1983 yang produknya tertuang dalam
GBHN 1983 menyiratakan keputusan politik yang menghendaki perubahan
kurikulum dari kurikulum 1975 ke kurikulum 1984. Karena itulah pada tahun
30
1984 pemerintah menetapkan pergantian kurikulum 1975 oleh kurikulum 1984
(Komalawati, 2011).
Kurikulum 1984 merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975 oleh
karena itu juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Tokoh
penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Prof.D.Conny R.Semiawan,
kepala pusat kurikulum depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP
Jakarta (Universitas Negeri Jakarta) periode 1984-1992.
Secara umum dasar perubahan kurikulum 1975 kekurikulum 1984 di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Terdapat beberapa unsur dalam GBHN 1983 yang belum tertampung kedalam
kurikulum pendidikan dasar dan menengah.
2. Terdapat ketidakserasian antara materi kurikulum berbagai bidang studi
dengan kemampuan anak didik
3. Terdapat kesenjangan antara program kurikulum dan pelaksanaannya di
sekolah
4. Terlalu padatnya isi kurikulum yang harus diajarkan hampir di setiap jenjang
5. Pelaksanaan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) sebagai bidang
pendidikan yang berdiri sendiri mulai dari tingkat kanak-kanak sampai
sekolah menengah tingkat atas termasuk Pendidikan Luar Sekolah
6. Pengadaan program studi baru ( seperti di SMA ) untuk memenuhi kebutuhan
lapangan kerja
3. Dasar Perubahan Kurikulum 1984 ke Kurikulum 1994
Adapun yang menjadi latar belakang diberlakukanya kurikulum 1994
adalah sebagai berikut :
1. Bahwa sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan upaya
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta agar pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan
Undang-Undang.
2. Bahwa untuk mewujudkan pembangunan nasional di bidang pendidikan,
diperlukan peningkatan dan penyempurnaan pentelenggaraan pendidikan
nasional, yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
31
teknologi serta kesenian, perkembangan masyarakat, serta kebutuhan
pembangunan.
3. Dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional maka Kurikulum Sekolah
Menengah Umum perlu disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan
tersebut.
Pada kurikulum sebelumnya, yaitu kurikulum 1984, proses pembelajaran
menekankan pada pola pengajaran yang berorientasi pada teori belajar
mengajar dengan kurang memperhatikan muatan (isi) pelajaran. Hal ini terjadi
karena berkesesuaian suasan pendidikan di LPTK (Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan) pun lebih mengutamakan teori tentang proses belajar
mengajar. Akibatnya, pada saat itu dibentuklah Tim Basic Science yang salah
satu tugasnya ikut mengembangkan kurikulum di sekolah. Tim ini
memandang bahwa materi (isi) pelajaran harus diberikan cukup banyak
kepada siswa, sehingga siswa selesai mengikuti pelajaran pada periode
tertentu akan mendapatkan materi pelajaran yang cukup banyak.
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan
dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu
pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan.
Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga
tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat
menerima materi pelajaran cukup banyak (Komalawati, 2011 ).
4. Ciri-ciri Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 memiliki ciri – ciri sebagai berikut :
a. Berorientasi kepada tujuan instruksional. Didasari oleh pandangan bahwa
pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang
sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh
karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama
harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.
32
b. Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui cara belajar
siswa aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik,
mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh
pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif,
maupun psikomotor.
c. Materi pelajaran dikemas dengan nenggunakan pendekatan spiral. Spiral
adalah pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar
berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran. Semakin tinggi kelas
dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang
diberikan.
d. Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan.
Konsep-konsep yang dipelajari siswa harus didasarkan kepada pengertian,
baru kemudian diberikan latihan setelah mengerti. Untuk menunjang
pengertian alat peraga sebagai media digunakan untuk membantu siswa
memahami konsep yang dipelajarinya.
e. Materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa.
Pemberian materi pelajaran berdasarkan tingkat kematangan mental siswa
dan penyajian pada jenjang sekolah dasar harus melalui pendekatan
konkret, semikonkret, semi abstrak, dan abstrak dengan menggunakan
pendekatan induktif dari contoh-contoh ke kesimpulan. Dari yang mudah
menuju ke sukar dan dari sederhana menuju ke kompleks.
f. Menggunakan pendekatan keterampilan proses. Keterampilan proses adalah
pendekatan belajar-mengajar yang memberi tekanan kepada proses
pembentukkan keterampilan memperoleh pengetahuan dan
mengkomunikasikan perolehannya. Pendekatan keterampilan proses
diupayakan dilakukan secara efektif dan efesien dalam mencapai tujuan
pelajaran (Komalawati, 2011 ).
5. Pendekatan Kurikulum 1984
33
Pendekata dalam kurikulum 1984 yaitu menerapkan pendekatan
pembelajaran CBSA dan Keterampilan Proses.
1. Pendekatan Keterampilan Proses.
Pendekatan Ketrampilan Proses merupakan pendekatan belajar mengajar
yang bertujuan untuk menanamkan keterampilan fisik dan mental peserta
didik. Keterampilan Proses mulai dikembangkan oleh Pusat Kurikulum
mulai tahun 1980 sd tahun 1983 khususnya dalam bidang studi Ilmu
Pengetahuan Alam di tingkat Sekolah Dasar.
2. Pendekatan CBSA
Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif merupakan Proses belajar-mengajar
dilaksanakan dengan lebih banyak mengacu kepada bagaimana peserta
didik belajar, selain kepada apa yang ia pelajari. Dengan demikian proses
belajar mengajar perlu berpusat pada peserta didik (student centered)
daripada berpusat pada guru (teacher centered).
6. Kelebihan dan Kekurangan Kurikulum 1984
a. Kelebihan kurikulum 1984
1. Kurikulum ini memuat materi dan metode yang disebut secara rinci,
sehingga guru dan siswa mudah untuk melaksanakannya.
2. Prakarsa siswa dapat lebih dalam kegiatan belajar yang ditunjukkan
melalui keberanian memberikan pendapat
3. Keterlibatan siswa di dalam kegiatan-kegiatan belajar yang telah
berlangsung yang ditunjukkan dengan peningkatan diri dalam
melaksanakan tugas.
4. Anak dapat belajar dari pengalaman langsung.
5. Kualitas interaksi antara siswa sangat tinggi, baik intelektual maupun
sosial.
6. Memasyarakatkan keterampilan berdiskusi yang diperlukan dengan
berpartisipasi secara aktif
b. Kekurangan kurikulum 1984
34
1. Banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah
suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada
tempelan gambar, dan yang menyolok.
2. Adanya ketergantungan pada guru dan siswa pada materi dalam suatu
buku teks dan metode yang disebut secara rinci, sehingga membentuk guru
dan siswa tidak kreatif untuk menentukan metode yang tepat dan memiliki
sumber belajar sangat terbatas.
3. Dapat didominasi oleh seorang atau sejumlah siswa sehingga dia menolak
pendapat peserta lain.
4. Siswa yang pandai akan bertambah pandai sedangkan yang bodoh akan
ketinggalan.
5. Peranan guru yang lebih banyak sebagai fasilitator, sehingga prakarsa serta
tanggung jawab siswa atau mahasiswa dalam kegiatan belajar sangat
kurang.
6. Diperlukan waktu yang banyak dalam pembelajaran menyebabkan materi
pelajaran tidak dapat tuntas dikuasai siswa.
7. Guru kurang berperan aktif ( Pertiwi, 2013 ).
4. Kurikulum 1994
Hasil-hasil dari Proyek Supervisi bagi guru SD yang kemudian dikenal
dengan sebutan populer “Proyek CBSA” yang dimulai di Cianjur pada tahun
1979 kemudian direplikasi di Kota Mataram di Provinsi Nusa Tenggara Barat,
Kabupaten Maros di Sulawesi Selatan, Kota Binjai di Sumatera Utara,
Kota Bandar Lampung di Lampung, Kabupaten Sidoarjo di Jawa
Timur, dan Kabupaten Tanah Laut di Kalimantan Selatan. Selain itu, Pusat
Kurikulum juga bekerja sama dengan beberapa daerah lain dalam upaya
replikasi ini. Sejalan dengan itu, direktorat sekolah dasar pada Ditjen
Dikdasmen melakukan melakukan diseminasi melalui penataran terpusat dan
kantor-kantor wilayah Depdikbud melakukan penataran tingkat provinsi yang
dilanjutkan ke tingkat kebupaten dan kecamatan. Di samping itu, ada juga
inisiatif sejumlah perguruan swasta yang bekerja sama dengan Pusat
Kurikulum dan daerah-daerah binaan replikasi untuk menerapkan cara belajar
35
siswa aktif. Penerbit swasta juga ikut mengupayakan introduksi atau integrasi
pendekatan belajar aktif dalam buku pelajaran yang diterbitkan.
Dasawarasa 1980-an adalah dasawarsa kegairahan mencoba dan
menerapkan cara belajar siswa aktif. Proyek Supervisi atau CBSA itu secara
resmi diakhiri pada tahun 1992 sejalan dengan keputusan ODA /
DFID Pemerintah Inggris mengakhiri bantuan kepada proyek ini. Hasil-hasil
pengembangan cara belajar siswa aktif dan supervisi guru ini dimasukkan ke
dalam Kurikulum 1994 dan pedoman-pedomannya.
Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum pada Kurikulum 1994
dikemukakan berikut ini:
1. Kegiatan belajar-mengajar dilaksanakan dengan sistem klasikal yang
mengelompokkan anak dengan usia dan kemampuan rata-rata hampir
sama menerima pelajaran dari seorang guru dalam mata pelajaran yang
sama dalam waktu dan tempat yang sama. Bila diperlukan dapat
dibentuk penglompokan sesuai dengan tujuan dan keperluan
pengajaran.
2. Kegiatan belajar-mengajar pada dasarnya mengembangkan
kemampuan psikis dan fisik serta kemampuan penyesuaian sosial
siswa secara utuh. Dalam rangka mempersiapkan siswa untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan menengah atau
memasuki lapangan kerja, perlu diusahakan pengembangan sikap
bertanggung jawab dalam belajar dan mengemukakan pendapat, serta
kemandirian dalam mengambil keputusan.
3. Mengingat anekaragamnya mata pelajaran, cara penyajian
pelajaran hendaknya memanfaatkan berbagai sarana penunjang seperti
kepustakaan, alat peraga, lingkungan alam dan budaya, serta
masyarakat dan narasumber.
4. Kegiatan belajar-mengajar sebagai pembelajaran tambahan dapat
diberikan kepada siswa baik yang akan melanjutkan ke pendidikan
menengah maupun yang akan memasuki lapangan kerja / masyarakat
umum. Siswa dapat mengikuti satu atau beberapa mata pelajaran
sebagai pelajaran tambahan di luar jam pelajaran pada susunan
36
program pengajaran, dengan jatah waktu yang sesuai dengan
keadaan. Kegiatan pembelajaran tambahan dapat berupa kegiatan
perbaikan atau kegiatan pengayaan.
(Sumber: Kurikulum Pendidikan Dasar: Landasan, Program, dan
Pengembangan, Depdikbud, 1993).
Jika diamati secara teliti, dalam berbagai kurikulum (GBPP) mata
pelajaran pendekatan belajar aktif menjadi warna yang menonjol. Dari segi
penyajian kurikulum dalam GBPP, komponen kegiatan belajar amat
ditekankan. Hal ini terlihat dari uraian tentang kegiatan belajar yang aktif
yang merupakan porsi utama dan terbesar dalam keseluruhan GBPP. Khusus
dalam kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia dikembangkan dengan
menggunakan pendekatan komunikatif (communicative approach) yang
menekankan keterampilan berbahasa mengganti pendekatan struktural
(structural approach) yang menekankan tatabahasa dalam kurikulum-
kurikulum sebelumnya (Kurikulum 1947 s.d. Kurikulum 1984). Penerapan
pendekatan komunikatif dalam Bahasa Indonesia berdampak juga kepada
pengembangan kurikulum Bahasa Inggris SMP dan SMA yang menggunakan
pendekatan yang sama.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa pendekatan belajar aktif
merupakan pendekatan pengembangan yang dianut dalam mengembangkan
Kurikulum 1994. Gagasan-gagasan utama pendekatan ini dikemukakan
dalam gambar-gambar berikut ini.
37
Gambar 2.1 Inti pengertian belajar aktif tampak pada gambar ini
Pendekatan belajar aktif adalah implementasi pandangan
konstruktivisme dalam belajar. Vygotsky (1978) menekankan konvergensi
elemen-elemen sosial dan praktis dalam belajar. Momen yang amat signifikan
dalam lintasan perkembangan intelektual terjadi ketika berbicara (speech) dan
kegiatan praktik, dua jalur perkembangan yang sebelumnya sepenuhnya tak
saling tergantung (independen), berkonvergensi. Melalui kegiatan praktik
seorang anak mengkonstruksi makna dalam dirinya (pada tingkat
intrapribadinya), sedangkan berbicara menghubungkan makna ini dengan
dunia antar-pribadi yang di-share oleh anak dan budayanya. Pandangan
Vigotsky ini dapat digambarkan berikut ini.
38
Gambar 2.2 Unsur-unsur belajar aktif
Dalam penerapan belajar aktif unsur-unsur pendekatan belajar aktif ini
meruapakan ciri-ciri sejauh mana sebuah sekolah telah melaksanakan
pendekatan belajar aktif.
Gambar 2.3 Prinsip-prinsip belajar aktif
Inilah prinsip-prinsip operasional pendekatan belajar aktif.
5. Kurikulum 2004
Usaha pemerintah maupun pihak swasta dalam rangka meningkatkan mutu
pendidikan terutama meningkatkan hasil belajar siswa dalam berbagai mata
pelajaran terus menerus dilakukan, seperti penyempurnaan kurikulum, materi
pelajaran, dan proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Soejadi (1994:36), khususnya dalam mata pelajaran matematika “dikatakan bahwa
kegiatan pembelajaran matematika di jenjang persekolahan merupakan suatu
kegiatan yang harus dikaji terus menerus dan jika perlu diperbaharui agar dapat
sesuai dengan kemampuan murid serta tuntutan lingkungan.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau Kurikulum 2004,
adalahkurikulumyang mulai diterapkan sejak tahun 2004 walau sudah ada sekolah
yang mulai menggunakan kurikulum ini sejak sebelum diterapkannya. Secara
materi, sebenarnya kurikulum ini tak berbeda dari kurikulum 1994, perbedaannya
hanya pada cara para murid belajar di kelas. Dalam kurikulum terdahulu, para
39
murid dikondisikan dengan sistem caturwulan, sedangkan dalam kurikulum baru
ini, para siswa dikondisikan dalam sistem semester. Dahulu, para murid hanya
belajar pada isi materi pelajaran belaka, yakni menerima materi dari guru saja.
Dalam kurikulum 2004 ini, para murid dituntut aktif mengembangkan
keterampilan untuk menerapkan Iptek tanpa meninggalkan kerja sama dan
solidaritas, meski sesungguhnya antarsiswa saling berkompetisi. Jadi di sini, guru
hanya bertindak sebagai fasilitator, namun meski begitu pendidikan yang ada ialah
pendidikan untuk semua. Dalam kegiatan di kelas, para siswa bukan lagi objek,
tetapi subjek dan setiap kegiatan siswa ada nilainya.
Implementasi pendidikan di sekolah mengacu pada seperangkat
kurikulum. Salah satu bentuk inovasi yang dikembangkan pemerintah guna
meningkatkan mutu pendidikan adalah melakukan inovasi di bidang kurikulum.
Kurikulum 1994 perlu disempurnakan lagi sebagai respons terhadap perubahan
struktural dalam pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik sebagai
konsekuensi logis dilaksanakannya UU Nomor 22 dan 25 tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah.
Kurikukum yang dikembangkan tersebut diberi nama Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada
pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu
sesuai dengan standar performance yang telah ditetapkan. Competency Based
Education is education geared toward preparing indivisuals to perform identified
competencies (Scharg dalam Hamalik, 2000: 89). Hal ini mengandung arti bahwa
pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan
perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu
dikembangkan suatu kurikulum berbasis kompetensi sebagai pedoman
pembelajaran.
Sejalan dengan visi pendidikan yang mengarah pada dua pengembangan,
yaitu untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan kebutuhan masa datang maka
pendidikan di sekolah dititipi seperangkat misi dalam bentuk paket-paket
kompetensi.
Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar
yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir
40
dan bertindak secara konsisten dan terus menerus dapat memungkinkan seseorang
untuk menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan
nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu (Puskur, 2002a). Dasar pemikiran untuk
menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum adalah sebagai berikut:
1. Kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu
dalam berbagai konteks.
2. Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk
menjadi kompeten.
3. Kompeten merupakan hasil belajar (learning outcomes) yang menjelaskan
hal-hal yang dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran.
4. Kehandalan kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan
secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui
kinerja yang dapat diukur.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan perangkat rencana
dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa,
penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan
dalam pengembangan kurikulum sekolah. Kurikulum Berbasis Kompetensi
berorientasi pada: (1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta
didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan (2)
keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya.
Rumusan kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan
pernyataan apa yang diharapkan dapat diketahui, disikapi, atau dilakukan siswa
dalam setiap tingkatan kelas dan sekolah dan sekaligus menggambarkan kemajuan
siswa yang dicapai secara bertahap dan berkelanjutan untuk menjadi kompeten.
Suatu program pendidikan berbasis kompetensi harus mengandung tiga
unsur pokok, yaitu:
1. Pemilihan kompetensi yang sesuai
2. Spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan
pencapaian kompetensi
3. Pengembangan sistem pembelajaran
Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
41
1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual
maupun klasikal.
2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode
yang bervariasi.
4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang
memenuhi unsur edukatif.
5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya
penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Struktur kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi dalam suatu
mata pelajaran memuat rincian kompetensi (kemampuan) dasar mata pelajaran itu
dan sikap yang diharapkan dimiliki siswa. Mari kita lihat contohnya dalam mata
pelajaran matematika, Kompetensi dasarmatematikamerupakan pernyataan
minimal atau memadai tentang pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai
yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak setelah siswa
menyelesaikan suatu aspek atau subaspek mata pelajaran matematika. Kompetensi
Dasar Mata Pelajaran Matematika merupakan gambaran kompetensi yang
seharusnya dipahami, diketahui, dan dilakukan siswa sebagai hasil pembelajaran
mata pelajaran matematika. Kompetensi dasar tersebut dirumuskan untuk
mencapai keterampilan (kecakapan) matematika yang mencakup kemampuan
penalaran, komunikasi, pemecahan masalah, dan memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika.
Struktur kompetensi dasar Kurikulum Berbasis Kompetensiini dirinci
dalam komponen aspek, kelas dan semester. Keterampilan dan pengetahuan dalam
setiap mata pelajaran, disusun dan dibagi menurut aspek dari mata pelajaran
tersebut.Pernyataan hasil belajar ditetapkan untuk setiap aspek rumpun pelajaran
pada setiap level. Perumusan hasil belajaradalah untuk menjawab pertanyaan,
“Apa yang harus siswa ketahui dan mampu lakukan sebagai hasil belajar mereka
pada level ini?”. Hasil belajar mencerminkan keluasan, kedalaman, dan
kompleksitas kurikulum dinyatakan dengan kata kerja yang dapat diukur dengan
berbagai teknik penilaian.
42
Setiap hasil belajar memiliki seperangkat indikator. Perumusan
indikatoradalah untuk menjawab pertanyaan, “Bagaimana kita mengetahui bahwa
siswa telah mencapai hasil belajar yang diharapkan?”. Guru akan menggunakan
indikator sebagai dasar untuk menilai apakah siswa telah mencapai hasil belajar
seperti yang diharapkan. Indikator bukan berarti dirumuskan dengan rentang yang
sempit, yaitu tidak dimaksudkan untuk membatasi berbagai aktivitas pembelajaran
siswa, juga tidak dimaksudkan untuk menentukan bagaimana guru melakukan
penilaian. Misalkan, jika indikator menyatakan bahwa siswa mampu menjelaskan
konsep atau gagasan tertentu, maka ini dapat ditunjukkan dengan kegiatan
menulis, presentasi, atau melalui kinerja atau melakukan tugas lainnya.
6. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen
pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib
belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan
kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olahhati, olahpikir, olahrasa dan
olahraga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global.
Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan dilakukan melalui penerapan
manajemen berbasis sekolah dan pembaharuan pengelolaan pendidikan secara
terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Implementasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan
dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: (1)standar isi,
(2)standar proses, (3)standar kompetensi lulusan, (4)standar pendidik dan tenaga
kependidikan, (5)standar sarana dan prasarana, (6)standar pengelolaan, standar
pembiayaan, dan (7)standar penilaian pendidikan.
Kurikulum dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
43
pendidikan tertentu, maka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005, pemerintah telah menggiring pelaku pendidikan untuk
mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk kurikulum tingkat satuan
pendidikan, yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di
setiap satuan pendidikan.
Secara substansial, pemberlakuan (baca: penamaan) Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada,
yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan
pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (dan
bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter), yaitu:
1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual
maupun klasikal.
2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode
yang bervariasi.
4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang
memenuhi unsur edukatif.
5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya
penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Terdapat perbedaan mendasar dibandingkan dengan kurikulum berbasis
kompetensi sebelumnya (versi 2002 dan 2004), bahwa sekolah diberi kewenangan
penuh menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar
yang telah ditetapkan, mulai dari tujuan, visi – misi, struktur dan muatan
kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan silabusnya.
7. Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum baru diterapkan oleh pemerintah
untuk menggantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang telah berlaku
selama kurang lebih 6 tahun. Kurikulum 2013 masuk dalam masa percobaan di
tahun 2013 dengan menjadikan beberapa sekolah menjadi sekolah percobaan. Di
tahun 2014, Kurikulum 2013 sudah diterapkan di Kelas I, II, IV, dan V sedangkan
44
untuk SMP Kelas VII dan VIII dan SMA Kelas X dan XI. Diharapkan, pada tahun
2015 telah diterapkan di seluruh jenjang pendidikan.
Kurikulum 2013 memiliki tiga aspek penilaian, yaitu aspek pengetahuan,
aspek keterampilan, dan aspek sikap dan perilaku. Di dalam Kurikulum 2013,
terutama di dalam materi pembelajaran terdapat materi yang dirampingkan dan
materi yang ditambahkan. Materi yang dirampingkan terlihat ada di materi Bahasa
Indonesia, IPS, PPKn, dsb, sedangkan materi yang ditambahkan adalah materi
Matematika. Materi pelajaran tersebut (terutama Matematika) disesuaikan dengan
materi pembelajaran standar Internasional sehingga pemerintah berharap dapat
menyeimbangkan pendidikan di dalam negeri dengan pendidikan di luar negeri.
1. Indikasi Permasalahan Kurikulum 2013
Tidak ada kajian terhadap penerapan Kurikulum 2006 yang berujung pada
kesimpulan urgensi perpindahan kepada Kurikulum 2013.Tidak ada evaluasi
menyeluruh terhadap uji coba penerapan Kurikulum 2013 setelah setahun
penerapan di sekolah-sekolah yang ditunjuk. Kurikulum sudah diterapkan di
seluruh sekolah di bulan Juli 2014, sementara instruksi untuk melakukan evaluasi
baru dibuat bulan Oktober 2014. (Peraturan Menteri no 159).
Pada Pasal 2 ayat 2 dalam Peraturan Menteri nomor 159 Tahun 2014 itu
menyebutkan bahwa Evaluasi Kurikulum untuk mendapatkan informasi
mengenai:
45
1. Kesesuaian antara Ide Kurikulum dan Desain Kurikulum
2. Kesesuaian antara Desain Kurikulum dan Dokumen Kurikulum;
3. Kesesuaian antara Dokumen Kurikulum dan Implementasi Kurikulum; dan
4. Kesesuaian antara Ide Kurikulum, Hasil Kurikulum, dan Dampak
Kurikulum.
Kurikulum 2013 diterapkan di seluruh sekolah sebelum dievaluasi
kesesuaian antara ide, desian, dokumen hingga dampak
kurikulum.Penyeragaman tema di seluruh kelas, sampai metode, isi
pembelajaran dan buku yang bersifat wajib sehingga terindikasi
bertentangan dengan UU Sisdiknas. Penyusunan konten Kompetensi Inti
dan Kompetensi Dasar yang tidak seksama sehingga menyebabkan
ketidakselarasan. Kompetensi Spiritual dan Sikap terlalu dipaksakan
sehingga menganggu substansi keilmuan dan menimbulkan kebingungan
dan beban administratif berlebihan bagi para guru.Metode penilaian sangat
kompleks dan menyita waktu sehingga membingungkan guru dan
mengalihkan fokus dari memberi perhatian sepenuhnya pada siswa.
Ketidaksiapan guru menerapkan metode pembelajaran pada Kurikulum
2013 yang menyebabkan beban juga tertumpuk pada siswa sehingga
menghabiskan waktu siswa di sekolah dan di luar sekolah. Ketergesa-
gesaan penerapan menyebabkan ketidaksiapan penulisan, pencetakan dan
peredaran buku sehingga menyebabkan berbagai permasalahan di ribuan
sekolah akibat keterlambatan atau ketiadaan buku. Berganti-gantinya
regulasi kementerian akibat revisi yang berulang.
2. Kajian Yuridis Kurikulum 2013
Kajian UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 38 Ayat 1
Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah
ditetapkan oleh Pemerintah.Kurikulum pendidikan dasar dan menengah
dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan
pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas
pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar
dan provinsi untuk pendidikan menengah.
46
UU Sisdiknas dan PP SNP hanya memberi kewenangan kepada
Pemerintah hanya untuk mengatur kerangka dasar dan struktur kurikulum
pendidikan dasar dan menengah. Faktanya pengaturan sampai detail, termasuk
silabus dan buku teks terpusat dan seragam.UU Sisdiknas dan PP SNP memberi
ruang bagi Sekolah/Komite Sekolah atau madrasah/ Komite Madrasah untuk
mengembangkan kurikulum yang relevan. Faktanya, terjadi penyeragaman
kurikulum.
Kajian Permendikbud No 81A Tahun 2013 Pasal 1
Implementasi Kurikulum 2013 pada sekolah dasar/ madrasah ibtidayiyah
(SD/MI), sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/MTs), dan
sekolah menengah kejuruan/madrasah aliyah kejuruan (SMK/MAK) secara
bertahap mulai tahun pelajaran 2013/2014.Faktanya, sejak 2 Juli 2014
pemberlakukan dan pelaksanaan Kurikulum 2013 dilakukan secara serentak, pada
tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK/MAK di seluruh Indonesia,
setelah penerapan hanya di 6.221 sekolah – tak lagi bertahap.
3. Permasalahan Konseptual Kurikulum 2013
Catatan oleh Majelis Guru Besar ITB pada Sidang Pleno MGB ITB, April
2013. Beberapa persoalan mendasar pada rancangan kurikulum ini antara lain
sebagai berikut:
1. Rancangan Kurikulum 2013 tidak disertai naskah akademik, yang berisi
pemikiran, konsep, tujuan, serta grand design (rancangan besar)
pendidikan nasional, sebagai landasan.Rancangan Kurikulum 2013
memang telah mencantumkan sikap dan nilai-nilai luhur kemanusiaan,
tetapi dalam beberapa hal kurang memperhatikan hakikat STEAM
(Science-Technology-Engineering-Art-Mathematics), yaitu, ciri budaya
ilmiah di balik kemajuan ilmu pengetahuan yang diserasikan dengan
pembangunan karakter bangsa guna menghadapi tantangan ke depan.
Trend (kecenderungan) dewasa ini menunjukkan bahwa posisi peradaban
bangsa-bangsa yang akan datang sangat dipengaruhi oleh kemajuan ilmu
pengetahuan serta teknologi (teknologi informasi, teknologi bio, teknologi
nano, teknologi neuro) yang terus berkembang, yang telah terbukti
47
berpengaruh pada kemajuan budaya, perkembangan cara berfikir, serta
daya kreativitas manusia dewasa ini dan ke depan dalam menghadapai
tantangannya.
2. Rancangan Kurikulum 2013 belum menunjukkan keterkaitan yang jelas
antara basis filosofi yang digunakan dengan perwujudannya pada tataran
teknis yang dirancang untuk diimplementasikan. Misalnya, pendekatan
interdisiplin dan metode eklektik yang dipilih tidak terwujud dalam model
pembelajaran tematik-integratif yang direpresentasikan melalui
Kompetensi Inti dan/atau Kompetensi Dasar. Dalam model ini, yang
tampak bukanlah interdisiplin, melainkan multidisiplin: beberapa disiplin
dimasukkan, bahkan cenderung dipaksakan, dalam sebuah mata pelajaran
tanpa basis ontologi dan epistemologi yang mengikatnya.
3. Rancangan Kurikulum 2013 mengambil konsep integratif-tematik yang
menunjukkan terdapatnya perubahan mendasar pada struktur kurikulum
hingga pola penugasan guru, setidaknya, sejumlah mata pelajaran akan
diintegrasikan menjadi satu mata pelajaran. Konsep ini membutuhan guru
yang menguasai sejumlah mata pelajaran (yang digabungkan) serta
mumpuni dalam mengajar berbasiskan pada tematik (yang telah
ditentukan), yang merujuk pada lingkungan sekolah.Untuk terlaksananya
konsep ini, pengetahuan dan kapasitas guru yang ada pada saat ini cukup
jauh dari memenuhi kebutuhannya. Sementara itu, akan terdapat
permasalahan pada tidak sedikit jumlah guru dengan “kompetensi” mata
pelajaran yang dikeluarkan dari dalam struktur Kurikulum 2013.
Berdasarkan hal tersebut, sebelum Rancangan Kurikulum 2013
diberlakukan, MGB ITB menyampaikan rekomendasi perlu dilakukan perbaikan
atas Rancangan Kurikulum 2013 semaksimal mungkin melalui kajian yang
mendalam dan cermat. Untuk ini diperlukan naskah akademik yang
mengemukakan sosok bangsa Indonesia untuk memasuki peluang Emas, yang
memuat kajian filosofis mengenai tujuan pendidikan nasional. Kajian tersebut
seyogianya mengemukakan pemikiran serta konsep dasar, termasuk di dalamnya
perhatian pada pendidikan STEAM, yang kelak menjadi rujukan dalam
menyusun. Rancangan Kurikulum 2013 beserta implementasinya. Dokumen
48
Kurikulum 2013 adalah Dokumen Negara dan Dokumen Budaya bangsa yang
akan menjadi panduan dalam meletakkan dasar-dasar proses pendidkan ke depan.
Untuk itu amat perlu dilakukan pembenahan atas struktur dan tatabahasa di dalam
draf dokumen Kurikulum 2013 yang ada sehingga mudah dipahami, terutama oleh
pelaku pendidikan di lapangan, dalam dimensi ruang maupun waktu.
Sebelum diimplementasikan, rancangan sebuah kurikulum perlu diuji dan
disosialisasikan secara terbuka di forum akademik, yang juga melibatkan pihak-
pihak lain yang memiliki kompetensi serta kapasitas menilai, termasuk di
dalamnya adalah kelompok masyarakat pelaku pendidikan. Forum terbuka adalah
amat penting, yang mempunyai tujuan selain guna menampung pemikiran yang
komprehensif juga untuk membangun pemahaman bersama hingga mengundang
komitmen semua komponen masyarakat, khususnya yang akan terlibat langsung
di dalam implementasi.
Kurikulum adalah bagian amat penting dari kebijakan nasional yang
menyangkut hajat hidup mendasar bagi orang banyak, yang meletakkan dasar-
dasar upaya pembangunan budaya serta martabat bangsa. Oleh sebab itu, dalam
pelaksanaannya kelak, proses serta prosedurnya harus memperhatikan
kepentingan orang banyak itu sendiri sebagai masyarakat madani (civil society).
Dalam hal ini Pemerintah perlu mengawalinya dengan membangun komunikasi
cerdas dengan masyarakat yang amat luas, di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Langkah perlu yang harus dilakukan untuk melaksanakan sebuah
kurikulum adalah menyiapkan guru, sarana dan prasarana serta infrastruktur
pendidikan yang tepat. Menyiapkan guru dalam hal ini bukan sekedar menyiapkan
ketrampilan dalam pengetahuan, namun lebih penting adalah menyiapkan sosok
guru yang mumpuni, mempunyai sikap (attitude), mempunyai pengetahuan
(knowledge), serta mempunyai ketrampilan (skill), yang layaknya dimiliki
seorang panutan. Ketiga hal tersebut diperlukan guna membangun karakter peserta
didik yang berujung pada tumbuhnya nilai-nilai generasi yang dapat menjadi
pelaku budaya serta peradaban bangsa Indonesia 2045. Untuk ini Pemerintah
mutlak perlu bekerjasama dengan perguruan tinggi serta unsur-unsur masyarakat
49
pelaku pendidikan yang lainnya yang mumpuni dalam merancang hingga
merealisasikan Kurikulum Pendidikan Nasional.
Penundaan pemberlakukan Kurikulum 2013 menjadi keniscayaan jika hal-
hal di atas belum bisa dilaksanakan. Menunda guna melakukan dengan segera
persiapan yang lebih baik adalah jauh lebih berarti ketimbang kehilangan
kesempatan merebut peluang Emassebagai akibat menerapkan langkah-langkah
pendidikan yang belum dipersiapkan dengan amat baik.
Catatan oleh Prof. Dr. H. Soedijarto, MA, guru besar UNJ, ketua dewan
direktur CINAPS, ketua dewan pakar PPA GMNI, ketua dewan pembina ISPI,
anggota dewan pembina PGRI dan wakil ketua Yayasan Indonesia- Jerman.
1. Tidak jelas dasar hukum dan hasil evaluasi yang dijadikan landasan untuk
merancang Kurikulum 2013. Kurkulum 2006 strukturnya didasarkan atas
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Perubahan struktur kurikulum yang
mengubah jam pelajaran per minggu, atau ditiadakannya mata pelajaran
IPA dan IPS pada kelas 1 s/d 3 SD, perlu jelas latar belakang teorinya dan
tujuan yang hendak dicapai.
2. Mendikbud Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro pada tahun 1972
menyadarkan kepada jajaran P&K agar berhati-hati menerapkan sesuatu
gagasan baru dalam pendidikan karena dampaknya akan berjangka
panjang pada kehidupan bermasyarakat. Berangkat dari cara berpikir ini
bila akan menerapkan kurikulum yang baru perlu terlebih dahulu
diujicobakan dan dinilai secara komprehensif sebelum ditetapkan sebagai
suatu sistem yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian
seyogyanya sebelum diterapkan Kurikulum 2013 perlu terlebih dahulu
diujicobakan.
3. Kurikulum adalah suatu sistem yang meliputi tujuan yang secara
operasional harus dicapai, materi pendidian yang telah dipilih sebagai
objek belajar, model pembelajaran yang relevan, sistem evaluasi yang
akan diterapkan, serta sarana dan prasarana yang harus disiapkan. Bila
kurikulum 2013 akan diterapkan, pertanyaannya: sudahkah kelima elemen
dari sistem kurikulum benar-benar telah dirancang dan dikembangkan?
Selama ini setiap perubahan kurikulum tidak berdampak pada peningkatan
50
mutu pendidikan karena perubahan yang dilakukan hanya sampai pada
penetapan struktur program dan materi pelajaran, selanjutnya model
pembelajaran, sistem evaluasi dan sarana prasarana tidak diperhatikan.
Yang paling memprihatinkan adalah bahwa yang diutamakan adalah Ujian
Nasional sebagai alat yang menentukan kelulusan peserta didik dan
berdampak pada sulit tercapainya tujuan Pendidikan Nasional seperti yang
tertulis dalam Pasal 3 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003.
4. Pembaharuan pendidikan tidak berdampak pada pebaikan pendidikan
apabila guru tidak terpengaruh oleh pembaharuan yang dilakukan. Atas
dasar itu suatu perubahan kurikulum tidak akan bermakna bagi
peningkatan mutu pendidikan bila tenaga pendidiknya secara profesional
tidak siap dan mampu berkomitmen menerapkan kurikulum yang baru.
Karena itu untuk menrapkan kurikulum baru perlu dipastikan komitmen
dan kesiapan guru secara profesional.
5. Ketersediaan sarana dan prasarana akan menentukan mutu pendidikan.
Bila selama ini berbagai pembaharuan kurikulum tidak berdampak pada
peningkatan mutu pendidikan, tidak lain adalah karena sarana-prasarana
diabaikan, khususnya buku. Untuk melaksanakan kurikulum yang
menerapkan empat pilar (learning to know, learning to do, learning to live
together dan learning to be), diperlukan berbagai buku sebagai sumber
belajar. Tidak hanya buku teks, tetapi juga buku bacaan, buku rujukan dan
buku sumber. Karena itu pelaksanaan kurikulum baru tidak dapat hanya
diandalkan kepada buku teks. Yang cukup mengagetkan adalah bahwa
buku teks akan disiapkan bersamaan dengan penyiapan kurikulum.
Kajian oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
1. AIPI menghargai niat baik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
menyusun Kurikulum 2013 sebagai respon terhadap berbagai tantangan
bangsa, dan juga menghargai beberapa gagasan baru di Kurikulum 2013,
antara lain melalui mata pelajaran peminatan yang memungkinkan siswa
memperluas wawasannya.
51
2. AIPI memperhatikan banyaknya keluhan dan kritik mengenai kesulitan
dalam penerapan kurikulum 2013, keluhan datang dari para guru, murid,
orang tua; sedangkan kritik datang dari kalangan pendidik dan ahli
pendidikan.
3. AIPI menyimak Permendikbud Nomor 67 sampai dengan Nomor 71 tahun
2013 tentang Kurikulum 2013 dan Buku Ajar.
4. AIPI sesuai dengan Undang-Undang No.8 1990 mempunyai tugas untuk
memberikan masukan/pemikiran/rekomendasi terhadap hal-hal yang
sangat penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
5. Ditemukan ketidakjelasan konsep yang digunakan dalam kurikulum,
tergambar dalam kerancuan bahasa, rumusan tidak operasional/logis, serta
tidak menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam naskah
kurikulum tingkat SD, SMP maupun SMA.
Kesimpulan terhadap temuan-temuan:
1. Kurikulum 2013 tidak mendorong terwujudnya tujuan bernegara yaitu
“mencerdaskan kehidupan bangsa” yang berdasarkan Pancasila.
2. Kurikulum 2013 tidak mendorong terbentuknya budaya ilmiah.
3. Kurikulum 2013 tidak dibangun atas prinsip ilmu pengetahuan yang
mengedepankan nalar kritis, melalui penggunaan kata “mengagumi” yang
mendominasi isi kurikulum.
4. Kurikulum 2013 tidak mencerminkan terbentuknya kompetensi
berdasarkan asas spesifik, terukur, dapat dicapai, realistis, dan mempunyai
batasan waktu (specific, measurable, attainable, relevant, time-bound).
5. Wacana Kurikulum 2013 tidak menggunakan prinsip kesetaraan gender,
prinsip keberagaman dan kebhinnekaan Indonesia.
Rekomendasi tindak lanjut:
1. Menyusun kajian filosofis dan pedagogis yang mendalam terhadap arah
penyusunan kurikulum dengan memperhatikan kesimpulan dalam temuan-
temuan.
52
2. Mengubah Kurikulum 2013 sesuai dengan hasil kajian filosofis dan
pedagogis tersebut.
3. Mendorong Pemerintah untuk secara terus menerus melakukan perbaikan
Kurikulum dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
4. Catatan Kritis Oleh Pihak Ketiga
a. OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA
3 April 2013 – ORI merekomendasikan kepada Kemdikbud untuk
mengevaluasi dan mempertimbangkan kembali rencana penerapan Kurikulum
2013, dengan dasar pertimbangan sebagai berikut:
Banyak guru yang berada di lapangan mengindikasikan ketidaksiapan dan
kebingungan mereka dalam menerapkan kurikulum anyar tersebut.Sosialisasi
pelaksanaan Kurikulum 2013 yang terbatas pada struktur kurikulum mengenai
jumlah pelajaran dan jam pelajaran tentu masih jauh dari komprehensif untuk
sebuah penerapan kurikulum yang baru. Penjabarannya belum detail sampai pada
tahap implementasi teknisnya.
Perlu diingat guru yang harus dilatih sangat besar jumlahnya sementara
waktu yang tersedia sangat terbatas, maka efektifitas pelatihan yang sangat mepet
dengan penerapan Kurikulum 2013 tersebut sangat diragukan akan berhasil
dengan optimal. 29 November 2014 – ORI kembali merekomendasikan kepada
Kemdikbud untuk menghentikan penerapan Kurikulum 2013, dengan dasar
pertimbangan sebagai berikut:
ORI menerima laporan dari banyak daerah mengenai buruknya
pelaksanaan kurikulum 2013. Laporan dari semua daerah rata-rata seragam yakni
mengenai buku yang tidak tersedia, guru sulit menerapkan penilaian dan susah
memenuhi target mengajar 24 jam sepekan untuk syarat sertifikasi dan banyak
pengaduan lain.Semestinya pelaksanaan kurikulum 2013 tidak dilaksanakan
secara serentak pada tahun 2014 karena belum dilakukan evaluasi dan
pengecekan terhadap hasil.
b. INDONESIA CORRUPTION WATCH
15 Februari 2013 – ICW menyatakan terdapat delapan kejanggalan dalam
proses penyusunan Kurikulum 2013, yaitu:
53
1. Pemerintah menggunakan logika terbalik dalam perubahan kurikulum
pendidikan, yaitu perubahan standar isi dan standar kompetensi lulusan
yang dilakukan sesudah perubahan kurikulum nasional.
2. Pemerintah tidak konsisten dengan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN), Perpres Nomor 5 Tahun 2010.
3. Anggaran perubahan Kurikulum 2013 tidak terencana dengan baik.
4. Tidak ada evaluasi komprehensif terhadap Kurikulum 2006 (KTSP).
5. Panduan Kurikulum 2013 mengukung kreativitas dan inovasi guru
serta penyeragaman konteks lokal.
6. Target pelatihan instruktur nasional, guru inti dan guru sasaran terlalu
ambisius.
7. Bahan perubahan kurikulum yang disampaikan pemerintah berbeda-
beda.
8. Buku-buku yang disiapkan untuk siswa dan guru kurang dari 50%.
30 Agustus 2014 – ICW kembali mendesak pemerintah untuk
menghentikan penerapan Kurikulum 2013 dengan berdasar
pertimbangan sebagai berikut:
Kurikulum 2013 dinilai tidak berdasarkan konsep yang jelas dan
matang.Terjadi kekacauan penerapan Kurikulum 2013 di mana sampai tahun
ajaran baru dimulai buku belum dibagikan sehingga membuat orangtua dan siswa
harus mengeluarkan biaya sendiri untuk fotokopi, membeli di toko atau
mengunduh dari Internet.Banyak guru yang belum mendapatkan pelatihan,
pelatihan guru terlalu singkat dan guru terbebani oleh metode penilaian siswa
yang mewijabkan guru membuat penilaian otentik bagi setiap siswa berupa narasi.
c. PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
17 Januari 2013 – PGRI menilai persiapan Kurikulum 2013 belum matang
dan meminta pelaksanaan ditunda. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh
pemerintah sebelum kurikulum diterapkan, antara lain rancangan pendekatan
tematik terpadu yang harus jelas antar tingkatan, pengkajian ulang penggantian
penjurusan menjadi peminatan pada tingkat SMA, penerbitan landasan hukum
Kurikulum 2013, serta persiapan yang lebih matang dengan mempertimbangkan
54
heterogenitas wilayah Indonesia, kesiapan guru dan sinkronisasi yang baik antar
pemegang kepentingan.
11 September 2014 – PGRI menyangkan distribusi buku Kurikulum 2013
semester 1 yang belum tuntas menjangkau semua kabupaten/kota, serta pelatihan
implementasi Kurikulum 2013 yang belum menjangkau semua guru.
5. KEPUTUSAN MENDIKBUD TENTANG KEBERLANJUTAN
KURIKULUM 20131
Berdasarkan segala masukan dari tim evaluasi dan para pemegang
kepentingan, Mendikbud memutuskan untuk:
1. Menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah yang baru
menerapkan satu semester, yaitu sejak Tahun Pelajaran 2014/2015.
Sekolah-sekolah ini akan kembali menggunakan Kurikulum 2006, maka
bagi para kepala sekolah dan guru di sekolah-sekolah tersebut diminta
mempersiapkan diri untuk kembali menggunakan Kurikulum 2006 mulai
semester genap Tahun Pelajaran 2014/2015.
2. Tetap melanjutkan penerapan Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah yang
telah tiga semester menerapkan, yaitu sejak Tahun Pelajaran 2013/2014,
serta menjadikan sekolah-sekolah tersebut sebagai sekolah pengembangan
dan percontohan penerapan Kurikulum 2013. Pada saat Kurikulum 2013
telah diperbaiki dan dimatangkan lalu sekolah-sekolah ini (dan sekolah-
sekolah lain yang ditetapkan oleh Pemerintah) maka dimulai proses
penyebaran penerapan Kurikulum 2013 ke sekolah lain di sekitarnya. Bagi
sekolah yang keberatan menjadi sekolah pengembangan dan percontohan
Kurikulum 2013, dengan alasan ketidaksiapan dan demi kepentingan
siswa, dapat mengajukan diri kepada Kemdikbud untuk dikecualikan.
3. Mengembalikan tugas pengembangan Kurikulum 2013 kepada Pusat
Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Pengembangan Kurikulum tidak lagi ditangani oleh tim ad hoc yang
1http://www.republika.co.id/berita/kemendikbud/berita-kemendikbud/14/12/08/ng9bi6-seputar- keputusan-mendikbud-tentang-penghentian-kurikulum-2013
55
bekerja jangka pendek. Kemdikbud akan melakukan perbaikan mendasar
terhadap Kurikulum 2013 agar dapat dijalankan dengan baik oleh gur di
dalam kelas, serta mampu menjadikan proses belajar di sekolah sebagai
proses yang menyenangkan bagi siswa.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, menyatakan
menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013 bagi sekolah-sekolah yang baru
melaksanakan kurikulum ini selama satu semester pada tanggal 5 Desember 2014.
56
BAB III
PEMBAHASAN
Analisis perbedaan dan persamaan dilihat dari aspek kurikulum adalah
sebagai berikut:
A. Berdasarkan perkembangan mata-mata pelajaran pada umumnya
selalu muncul pada kurikulum dari masa ke masa.
Pendidikan Moral:
Pendidikan moral dalam sejarah kurikulum Indonesia cenderung ditekankan
dan mengalami perubahan dari zaman ke zaman.
Pada kurikulum pertama setelah kemerdekaan, yaitu Kurikulum
1947, pendidikan moral berdiri sendiri sebagai satu mata pelajaran,
yang diberi nama “Didikan Budi Pekerti” yang diajarkan sejak kelas I
SD. Isi atau materinya bersumber pada nilai moral tradisional
dalam tradisi atau adat- istiadat, yang cenderung amat dipengaruhi
sopan santun atau tata krama masyarakat Jawa.
Pada Kurikulum 1964, pendidikan budi pekerti digabungkan
dengan Pendidikan Agama dengan nama Pendidikan Agama / Budi
Pekerti. Asumsi di balik penggabungan ini adalah perlunya keserasian
antara nilai-nilai moral yang bersumber dari agama dan nilai-nilai
moral yang bersumber dari tradisi atau adat-istiadat. Diharapkan
tidak terjadi konflik nilai antara nilai-nilai moral yang berasal dari
dua sumber ini.
Namun, kemudian Departemen Agama tidak setuju dengan
mengajukan keberatan secara lisan. Nama mata pelajaran dengan garis
miring dapat diartikan Pendidikan Agama atau Budi Pekerti.
Akibatnya, seakan-akan sekolah dapat memilih Pendidikan Agama
atau Budi Pekerti. Dikhawatirkan Pendidikan Budi Pekerti dapat
dianggap bisa menggantikan Pendidikan Agama. Karena keberatan ini,
dalam Kurikulum 1968 Pendidikan Agama menjadi mata pelajaran
yang berdiri sendiri sedangkan budi pekerti dimasukkan sebagai bagian
Pendidikan Kewargaan Negara yang dianggap tidak sekadar mencakup 57
Ilmu Bumi, Sejarah Indonesia, dan Civics.
Dalam Kurikulum 1975, pendidikan moral mengalami
perkembangan baru dengan menjadi bidang studi yang berdiri sendiri
dengan nama Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Sebenarnya, PMP
menjadi bidang studi tersendiri hanya merupakan legitimasi
dari perkembangan sebelumnya melalui penerbitan buku pelajaran
Pendidikan Moral Pancasila yang telah dipakai di sekolah-sekolah dari
SD s.d. sekolah menengah tingkat atas (SMA dan sekolah
kejuruan).
Bidang Studi PMP dipertahankan pada Kurikulum 1984 dan
Kurikulum 1994. Pada Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004
nama bidang studi ini menjadi Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan (PPKn) dan pada Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) 2006 nama bidang studi ini menjadi Mata
Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang lebih menekankan
demokrasi, khususnya demokrasi Pancasila.
Pada kurikulum 2013 mata pelajaran ini menjadi bergabung dengan
dengan ata pelajaran lain karena dalam kurikulum 2013 memakai tema
(tematik).
Pendidikan Agama
Pada Kurikulum 1947 Pendidikan Agama menjadi satu mata
pelajaran tersendiri yang diajarkan dari kelas III s.d. kelas VI SD.
Namun, di Sumatera Pendidikan Agama diajarkan sejak kelas I SD.
Pada Kurikulum 1964 Pendidikan Agama dagabungkan dengan
Didikan Budi Pekerti dengan nama mata pelajaran Pendidikan
Agama / Didikan Budi Pekerti yang diajarkan sejak kelas I SD.
Pada Kurikulum 1968 unsur budi pekerti dimasukkan ke dalam
Pendidikan Kewargaan Negara dan Pendidikan Agama kembali
menjadi mata pelajaran tersendiri. Kedudukan Pendidikan Agama
sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri dipertahankan pada
58
kurikulum-kurikulum selanjutnya s.d. KTSP 2006.
Pada umumnya pada sistem SD di Indonesia Pendidikan Agama
diajarkan oleh guru khusus Pendidikan Agama, bukan oleh guru kelas.
Kalau tak ada guru khusus agama, Pendidikan Agama diajarkan oleh
guru kelas.
Bahasa
Dalam sejarah kurikulum Indonesia, bahasa Indonesia
mendapatkan kedudukan dan peran yang amat penting. Sejak
Kurikulum 1947 s.d. KTSP 2006 bahasa Indonesia menjadi mata
pelajaran yang berdiri sendiri.
Sejak Kurikulum 1947 s.d. Kurikulum 1968, sekolah dasar dibedakan
menjadi dua, yaitu sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa pengantar dari kelas I s.d. VI dan sekolah yang
menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pada kelas I s.d.
kelas III sejak kelas I s.d. VI ada tambahan mata pelajaran, yaitu mata
pelajaran Bahasa Daerah. Pada golongan sekolah yang terakhir ini,
bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran tersendiri sejak kelas III.
Namun, sejak Kurikulum 1975 bahasa daerah sebagai mata
pelajaran tersendiri tidak dicantumkan lagi dalam struktur program
kurikulum nasional. Bahasa daerah merupakan bagian bidang studi
Bahasa Indonesia, khusus bagi sekolah-sekolah yang memerlukan
bahasa daerah. Khusus bagi daerah yang memerlukan pendidikan
bahasa daerah, disediakan waktu 2 jam pelajaran seminggu dari kelas I
sampai dengan kelas VI.
Berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun
2002, ada kebijakan baru mengenai penggunaan bahasa pengantar.
Pada Kurikulum 1947 s.d. Kurikulum 1994 bahasa pengantar di
sekolah adalah bahasa Indonesia. Namun, sejak KBK 2004 dan
kemudian dipertahankan pada KTSP 2006, selain bahasa Indonesia
sekolah dapat memilih bahasa asing seperti bahasa Inggris sebagai
59
bahasa pengantar. Kini banyak sekolah national plus dan sekolah
berstandar internasional di perkotaan memilih bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar. Gejala yang sama terjadi juga pada perguruan
tinggi. Universitas tertentu yang menetapkan kebijakan menggunakan
bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Alasan utama penggunaan
bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar tampaknya kepentingan
siswa yang akan melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Faktor
pendorong lain adalah demi membekali siswa dengan keterampilan
berbahasa Inggris yang semakin dibutuhkan perusahaan-perusahaan
asing di Indonesia. Faktor umum lainnya adalah semakin
dibutuhkannya keterampilan berbahasa Inggris dalam dunia kerja dan
kehidupan sehari-hari.
Pada kurikulum 2013 mata pelajaran ini menjadi bergabung dengan
dengan ata pelajaran lain karena dalam kurikulum 2013 memakai tema
(tematik).
Berhitung / Matematika
Rencana Pelajaran 1947 yang disebut saja Kurikulum 1947 dan
Rencana Pelajaran Terurai atau disebut saja Kurikulum 1952 dalam
mata pelajaran Berhitung menekankan keterampilan berhitung lisan
dan tertulis serta hafalan, yaitu hitungan angka dan hitungan soal,
dan pembentukan sikap hemat. Kecuali pembentukan sikap hidup
hemat penekanan pada Kurikulum 1947 pada dasarnya sama dengan
rencana pelajaran atau kurikulum Holandsch Inlandscheschool (HIS)
pada zaman penjajahan Belanda.
Rencana Pendidikan atau Kurikulum 1964 menekankan:
¾ Sifat berhitung praktis fungsional bagi kehidupan dan
keperluan masyarakat
¾ Memupuk dan mengembangkan sikap rasional dan ekonomis
¾ Kemampuan berpikir rasional, logis, dan kritis dalam memecahkan
soal- soal yang dihadapi anak dalam kehidupan sehari-hari kini dan di
masa mendatang.
60
Kurikulum 1968 menekankan sifat berhitung yang sama dengan
Rencana Pendidikan atau Kurikulum 1964. Pada kedua kurikulum ini
masih ada hitungan angka tetapi lebih ditekankan latihan penguasaan
empat operasi berhitung, yaitu penjumlahan, pengurangan, perkalian,
dan pembagian yang fungsional dalam kehidupan anak sehari-hari.
Pada periode Pelita I tampaknya belum ada niat memperkenalkan
Matematika modern. Yang ditekankan adalah pembaharuan kurikulum
dan metode mengajar di sekolah dasar. Upaya meningkatkan penerapan
metode yang berorientasi kepada belajar aktif dilakukan oleh Ibu Dr
Supartinah Pakasi dari IKIP Malang di sekolah laboratorium IKIP
Malang yang dikaitkan dengan proyek Pembaharuan Kurikulum dan
Metode Mengajar (PKMM) di sekolah dasar. Dalam rangka upaya ini,
Ibu Pakasi menyusun satu seri buku pelajaran Berhitung dengan judul
“Belajar berhitung dengan i-in dan a-an”. Dalam bukuini digunakan
metode yang relatif baru yang berbeda dengan buku-buku pelajaran
yang dipakai di sekolah-sekolah.
Pada tahun 1970 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
membeli hak penerbitan buku ini untuk kelas I SD. Dalam kata
pengantar Menteri P dan K Mashuri, SH pada buku ini terdapat satu
“kesalahan teknis” kecil melalui pernyataan bahwa “Buku Berhitung
ini sengaja disusun dengan maksud agar dapat menjadi rintisan
pengantar ke suasana pengajaran matematika modern.” Sebenarnya
yang disajikan dalam buku ini adalah pelajaran berhitung tradisional
dengan pendekatan belajar aktif tanpa ada hubungan apa pun dengan
matematika modern. Dalam kenyataan, “kesalahan teknis” ini menjadi
titik awal diperkenalkannya Matematika baru di sekolah dasar. Muncul
kecaman terhadap “kesalahan teknis” ini dan karena itu buku berhitung
ini tidak dilanjutkan untuk kelas-kelas berikutnya. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan kebijakan menyusun seri
baru buku pelajaran matematika modern yang merupakan saduran
Entebbe Mathematics Series”. (Edisi awal seri buku ini disusun oleh
“Entebbe Mathematics Workshop” dan diterbitkan oleh Silver
61
Burdett Company, Morristown, New Yersey untuk “The African
Education Program of Educational Services Inc.”, Watertown,
Massachusetts, 1964 – 1969).
Karena buku Belajar Berhitung untuk kelas I telah terlanjur dicetak
dalam jumlah besar dan diedarkan, seri buku matematika baru dimulai
dari kelas II dan untuk kelas I disusun paling akhir setelah buku untuk
kelas VI selesai. Dengan digunakannya seri buku matematika baru ini,
dalam praktik Berhitung telah mulai ditinggalkan beberapa tahun
sebelum lahir Kurikulum 1975.
Kurikulum 1975 memberi legitimasi penerapan matematika
modern. Kebijakan memasukkan matematika modern ke dalam
Kurikulum 1975 membuat Indonesia melangkah maju mengejar
ketertinggalan dalam ilmu pengetahuan modern. Lebih dari berhitung,
melalui matematika modern ini, anak-anak antara lain dapat:
¾ Belajar berpikir matematis sehingga dapat ikut serta menemukan
fakta dan ide matematis, dalam arti mengetahui dan memahami
unsur-unsur matematika dalam lingkungannya, memahami ide-ide
fundamental tentang bilangan, pengukuran, dan bangun-bangun, serta
memahami bahasa dan hubungan matematika.
¾ Menghargai matematika.
¾ Terampil dalam komputasi.
Pada kurikulum 2013 mata pelajaran ini menjadi bergabung dengan
dengan ata pelajaran lain karena dalam kurikulum 2013 memakai tema
(tematik).
Dalam penerapan matematika modern ini walaupun berhitung
merupakan salah satu unsur, peran berhitung yang praktis dan fungsional
dalam kehidupan sehari-hari bagi anak kian memudar. (Sumber: Anwar Jasin.
1987, Pembaharuan Kurikulum Sekolah Dasar Sejak Proklamasi
Kemerdekaan, Jakarta: Balai Pustaka, halaman 256 – 258).
Ilmu Pengetahuan Alam
62
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dalam sejarah kurikulum kita pada
awalnya terpisah-pisah dalam mata-mata pelajaran dengan nama Ilmu
Tumbuh- tumbuhan, Ilmu Hewan dan Tubuh Manusia, kemudian
muncul dengan nama Ilmu Hayat dan Ilmu Alam, lalu menjadi bidang
studi (broad field of subject matters) Pengetahuan Alamiah dan
terakhir Ilmu Pengetahuan Alam.
Kedudukan dan peran IPA dalam kurikulum kita cenderung mirip,
bukan hanya sebagai alat untuk mengembangkan pengetahuan tentang
gejala-gejala alam serta sikap ilmiah dan kritis, termasuk
menghilangkan kepercayaan tahyul tetapi juga sebagai alat untuk
mengembangkan sikap kagum kepada Sang Maha-Pencipta atau
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu, IPA juga
menekankan pentingnya segi praktis pengetahuan alam dalam
kehidupan sehari-hari guna membantu anak mengatasi masalah praktis
yang menyangkut gejala atau kejadian alam dalam kehidupan
sehari-hari. (Jasin Anwar, 1987).
Pada Kurikulum 1968, kepada IPA diberikan peran atau beban
yang lebih berat karena di samping perannya pada kurikulum-
kurikulum sebelumnya, juga diberi peran memupuk dan
mengembangkan rasa sayang kepada sesama makhluk, alam sekitar,
dan dengan demikian memupuk dan mengembangkan rasa cinta
kepada tanah air, serta memupuk dan mengembangkan kegiatan
kerja dan daya cipta dalam mengeksploitasi dan menguasai kekayaan
alam untuk kehidupan masyarakat. Pada prinsipnya, peran-peran ini
diteruskan pada Kurikulum 1975 (Jasin Anwar, 1987) dan kurikulum
selanjutnya.
Pada Kurikulum 1947 IPA mulai diajarkan sejak kelas IV (Ilmu
Hayat) sedangkan Ilmu Alam sejak kelas V. Pada Kurikulum 1964
terjadi perubahan penting karena IPA diajarkan dari kelas I s.d. kelas
VI. Ini diteruskan pada Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, dan
Kurikulum 1984. Pada Kurikulum 1994 tradisi ini terputus karena
pelajaran IPA kembali diajarkan sejak kelas III, bukan kelas I,
63
seperti pada Kurikulum 1947. Pada KTSP atau Kurikulum tradisi ini
dikembalikan lagi karena IPA kembali diajarkan sejak kelas I
walaupun di kelas I – III IPA diajarkan bersama-sama dengan mata
pelajaran lain dengan pendekatan tematik.
Dilihat dari segi alokasi waktu jam pelajaran per minggu
tampak kecenderungan penambahan jumlah jam pelajaran IPA dari
kurikulum ke kurikulum dan mencapai puncaknya pada Kurikulum
1994 (IPA diajarkan dari kelas III – VI dengan alokasi waktu berturut-
turut 3 – 6 – 6 – 6 - 6). Namun, pada Kurikulum 2006 terjadi
penurunan karena alokasi waktu untuk IPA pada kelas IV – VI masing-
masing turun menjadi 4 jam pelajaran.
Dibandingkan dengan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dapatlah
dikatakan bahwa ada kecenderungan memberi porsi jam pelajaran yang
hampir sama antara IPA dan IPS dari Kurikulum 1947 s.d. Kurikulum
1968. Namun, sejak Kurikulum 1975 s.d. Kurikulum 2006 jatah jam
pelajaran bagi IPA cenderung sedikit lebih banyak daripada IPS. Hal
ini menggambarkan pandangan bahwa untuk mengejar ketertinggalan
dalam perkembangan Iptek, mata pelajaran IPA perlu lebih
ditekankan daripada IPS.
Pendekatan pengembangan kurikulum IPA menunjukkan
perkembangan.
Kurikulum IPA 1947 s.d. 1975 dikembangkan dengan pendekatan
materi atau pendekatan konsep. Namun, dalam Kurikulum 1984 mulai
diterapkan pendekatan keterampilan proses (process skill approach)
yang lebih menekankan pengembangan keterampilan-keterampilan
ilmiah dari pada materi atau konsep IPA dan sebagai
konsekuensinya hanya dipilih konsep-konsep esensial saja.
Pendekatan keterampilan proses yang dimulai dari rintisan dan uji
coba mata pelajaran IPA pada Pusat Kurikulum Balitbang Dikbud
akhirnya diterima sebagai pendekatan umum dalam pengembangan
mata-mata pelajaran lain dalam Kurikulum 1984. Faktor lain yang
mendukung adopsi pendekatan pengembangan ini adalah mulai terlihat
64
kemajuan dalam proyek rintisan cara belajar siswa aktif dan
supervisi guru yang dilakukan Pusat Kurikulum yang dimulai di
Cianjur lalu berkembang ke 8 daerah di Indonesia dan akhirnya
menyebar ke seluruh Indonesia.
Dalam pengembangan KBK / Kurikulum 2004 pendekatan
pengembangan kurikulum IPA mengikuti pendekatan pengembangan
yang ditempuh Pusat Kurikulum, yaitu pendekatan pengembangan
kurikulum berbasis kompetensi (competence-based curriculum
development approach). Pendekatan yang sama diteruskan dalam
pengembangan KTSP / Kurikulum 2006.
Pada kurikulum 2013 mata pelajaran ini menjadi bergabung dengan
dengan ata pelajaran lain karena dalam kurikulum 2013 memakai tema
(tematik).
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dalam sejarah kurikulum kita pada
awalnya terpisah-pisah dalam mata-mata pelajaran dengan nama Ilmu
Bumi, Sejarah, dan kemudian muncul dengan nama Pendidikan
Kemasyarakatan (Kurikulum 1968) yang terdiri dari Ilmu Bumi,
Sejarah, dan kemudian berganti nama menjadi Pendidikan Kewargaan
Negara Negara yang mencakup Ilmu Bumi, Sejarah Indonesia, dan
Civics, lalu menjadi bidang studi (broad field of subject matters)
dengan nama Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) pada Kurikulum 1975,
yang menggabungkan aspek masa lampau, wilayah geografis, dan
kegiatan hidup manusia. Dasar penggabungan dalam IPS ini adalah
karena masalah yang dihadapi anak atau warga negara tidaklah
terpisah-pisah secara tegas seperti yang yang dilakukan dalam sistem
kurikulum mata pelajaran terpisah sebelumnya.
Pada Kurikulum 1975, Pendidikan Kewargaan Negara atau Civics
dipisahkan dari IPS dan menjadi bidang studi yang berdiri sendiri
dengan nama Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
Ada 2 fungsi IPS dalam Kurikulum 1975, yaitu: (1) membina
65
pengetahuan, kecerdasan, dan keterampilan yang bermanfaat bagi
perkembangan dan kelanjutan pendidikan siswa, terutama
kemampuan menelaah masalah- masalah kemasyarakatan secara
ilmiah, dan (2) membina sikap-sikap yang selaras dengan nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945.
Pada Kurikulum 1947 IPS mulai diajarkan sejak kelas III (Ilmu
Bumi) sedangkan Sejarah sejak kelas IV. Pada Kurikulum 1964 terjadi
perubahan penting karena IPS diajarkan dari kelas I s.d. kelas VI. Ini
diteruskan pada Kurikulum 1968. Pada Kurikulum 1975 pelajaran IPS
kembali diajarkan sejak kelas III. Pada Kurikulum 1984 walaupun IPS
tetap diajarkan sejak kelas III namun terjadi perubahan penting karena
Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) diajarkan sejak kelas I
SD. Pada Kurikulum 1994, PSPB telah dihapuskan dan IPS sebagai
bidang studi tetap diajarkan sejak kelas III. Pada KTSP atau Kurikulum
2006 IPS kembali diajarkan sejak kelas I walaupun di kelas I – III IPS
diajarkan bersama-sama dengan mata pelajaran lain dengan pendekatan
tematik.
Pendekatan pengembangan kurikulum IPS menunjukkan
perkembangan.
Kurikulum IPS 1947 s.d. 1975 dikembangkan dengan pendekatan
materi. Namun, dalam Kurikulum 1984 mulai diterapkan pendekatan
keterampilan proses (process skill approach) yang lebih
menekankan pengembangan keterampilan-keterampilan IPS
daripada materi pokok IPS dan sebagai konsekuensinya hanya
dipilih materi pokok saja. Pada kurikulum ini gagasan- gagasan IPS
yang baik hasil pengemgangan melalui proyek rintisan cara
belajar siswa aktif dan supervisi guru yang dilakukan Pusat
Kurikulum di Cianjur mewarnai isi kurikulum IPS.
Dalam pengembangan KBK / Kurikulum 2004 pendekatan
pengembangan kurikulum IPS mengikuti pendekatan pengembangan
yang ditempuh Pusat Kurikulum, yaitu pendekatan pengembangan
66