Download - Makalah Bdp Kel 3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Belajar
bukan hanya menghafal dan mengingat, tetapi belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan
adanya perubahan pada diri siswa. Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukan
dalam berbagai bentuk, seperti perubahan pengetahuan, sikap dan tingkah laku ketrampilan,
kecakapan, kemampuan, daya reaksi dan daya penerimaan. Tujuan utama para pendidik adalah
membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu
untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan mambantu dalam
mawujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Dalam suatu pembelajaran juga perlu
didukung oleh adanya suatu teori dan belajar, secara umum teori belajar di kelompokan dalam
empat kelompok atau aliran meliputi Teori Belajar Behavioristik, Teori Belajar Kognitif, Teori
Belajar Humanistik, dan Teori Belajar Sibernik.
Untuk memahami lebih lanjut maka dalam makalah ini akan membahas mengenai
humanisme. Dalam dunia pendidikan terdapat banyak teori tentang pembelajaran. Salah satu
teori pendidikan yang diterapkan adalah humanisme. Namun tentu saja masih menimbulkan
pertanyaan tentang “Apakah yang dimaksud dengan teori humanisme(sosial)? “ dan berbagai
pertanyaan lainpun akan bermunculan mengenai teori ini.
Humanisme tidak memandang bangsa, agama, daerah, suku, warna kulit dan sejenisnya.
Ia memperlakukan dan berusaha membantu siapa pun itu manusianya. Tidak memandang ia baik
atau jahat, kawan atau musuh. Humanisme dipandang merupakan pendidikan dan pembelajaran
di sekolah selama ini dinilai kurang demokratis. Kurangnya ruang bagi peserta didik untuk
berimajinasi dan berkreasi menunjukkan eksistensinya dengan perspektif mereka sendiri
menunjukkan hal itu. Padahal, kreativitas dan kemampuan berpikir kritis merupakan kecakapan
yang menjadi modal anak agar mampu menghadapi tantangan dan lebih kompetitif .
1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan teori belajar humanisme?
2. Bagaimanakah pemahaman belajar menurut teori belajar humanisme?
3. Bagaimana implikasi teori belajar humanisme dalam proses belajar mengajar?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian teori belajar humanisme.
2. Untuk mengetahui pandangan teori belajar humanisme terhadap belajar.
3. Untuk mengetahui implikasi teori belajar humanisme dalam proses belajar mengajar.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Belajar Humanisme
Dalam teori belajar humanistik proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia
itu sendiri. Meskipun teori ini sangat menekankan pentingya isi dari proses belajar, dalam
kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam
bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam
bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya, seperti apa yang bisa kita amati
dalam dunia keseharian. Teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk “memanusiakan
manusia” (mencapai aktualisasi diri dan sebagainya) dapat tercapai.
Menurut kami, Teori Belajar Humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang
mengedepankan bagaimana manusia serta peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya.
Manusia bertanggung jawab terhadap pilihan hidup mereka sendiri, sehingga mampu berbuat
segala hal positif untuk membangun dirinya, hal ini karena pada dasarnya manusia mempunyai
potensi untuk menjadi lebih baik asalkan mau mengaktulisasikan diri.
Dalam teori humanistime, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses
belajar berhasil jika si pelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri.Teori ini
berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang
pengamatnya. Tujuan utama para pendidikan ialah membantu siswa untuk mengembangkan
dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai
manusia Humanisme dilihat dari adanya dua bagian pada proses belajar, yaitu :
1. Proses pemerolehan informasi
2. Personalisasi informasi ini pada individu
2.2 Tokoh- tokoh dalam teori humanisme
Tokoh penting dalam teori belajar humanistime secara teoritik antara lain adalah: Arthur
W. Combs, Abraham Maslow dan Carl Rogers. Salah satu tokoh penting dari Teori Humanistik
ini ialah “ Arthur W. Combs “ ( 1912-1999 ).
3
Arthur bersama dengan Donald Snygg ( 1904-1967 ) mencurahkan perhatian pada dunia
pendidikan. Meaning (makna atau arti ) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar
terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai
oleh muridnya. Misal, anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan berarti anak itu bodoh
tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan mungkin mereka tidak ada alasan penting
mereka agar harus mempelajari. Perilaku ini tidak lain karena dari ketidakmauan seseorang
untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.
Dari uraian tersebut menurut kami, seorang guru harus bisa memahami perilaku siswa
dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah
perilakunya, guru harus berusaha mengubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada.
Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Banyak guru membuat kesalahan
dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan
sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu, dengan kata lain
individulah yang memberikan arti kepada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah
bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran
tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya. Combs memberikan lukisan persepsi
diri dan dunia seseorang seperti dua lingkaran ( besar dan kecil) yang bertitik pusat satu. Hal-hal
yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran huanisme adalah pentingnya
guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu;
1. Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus
belajar tentang hal-hal yang tidak penting artinya.
2. Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan
pelajaran berarti mengorganisasian bahan dan ide baru sebagai bahan yang bermakna
bagi siswa. Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan bahan
dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
3. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
Dari bukunya Freedom To Learn, Rogers menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar
humanistik yang penting diantaranya ialah;
4
1. Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
2. Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid
mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
3. Belajar yang menyangkut perubahan didalam persepsi mengenai dirinya sendiri
dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolakanya.
4. Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan
diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar semain kecil.
5. Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan
berbagai cara yang berbeda-beda maka terjadilah proses belajar. Belajar bermakna
diperoleh siswa dengan melakukannya.
6. Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan
bertanggungjawab dalam proses belajar itu.
7. Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan
maupun intelek merupaan cara yang dapat memberi hasil yang mendalam dan
lestari.
8. Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreatifitas, lebih mudah dicapai
terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengkritik dirinya sendiri
dan penilaian dari orang lain merupaan cara kedua yang penting.
9. Belajar yang paling berguna secara sosial dalam dunia modern ini adalah belajar
mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap
pengalaman dan penyatuan kedalam diri sendiri setelah mengenai proses
perubahan itu.
Abraham Maslow, Mazhab ketiga dalam perkembangan psikologi ini, lahir sebagai
reaksi atas teori-teori Behaviorisme (kental dengan sifat behavioristik, asosianistik dan
eksperimental) dan Psikoanalisis (depth psychology dengan sifat klinis-pesimistik). Suatu telah
terhadap sisi-sisi yang lebih bermanfaat, bermakna dan dapat diterapkan bagi kemanusiaan, yang
kemudian menjadi titik tolak bagi pengembangannya. Menurut Teori Maslow, pentingnya
kesadaran akan perbedaan individu, dengan memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan. Menggali
dan menemukan sisi-sisi kemanusiaan, pada taraf tertentu akan sampai pada penemuan diri.
Proses belajar yang ada pada diri manusia adalah proses untuk sampai pada aktualisasi diri
5
(learning how to be). Belajar adalah mengerti dan memahami siapa diri kita, bagaimana menjadi
diri sendiri, apa potensi yang kita miliki, gaya apa yang anda miliki, apa langkah-langkah yang
anda ambil, apa yang dirasakan, nilai-nilai apa yang kita miliki dan yakini, kearah mana
perkembangan kita akan menuju. Belajar di satu sisi adalah memahami bagaimana anda berbeda
dengan yang lain (individual differences), dan di sisi lain adalah memahami bagaimana anda
menjadi manusia sama seperti manusia yang lain (persamaan dalam specieshood or humanness).
Berikut adalah kebutuhan manusia menurut teori Maslow (Piramida Maslow)
Menurut Habermas, belajar baru akan terjadi jika ada interaksi antara individu dengan
lingkungannya. Lingkungan belajar yang dimaksud adalah lingkungan alam maupun lingkungan
sosial, sebab antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Menurutnya ada 3 tipe belajar :
1. Belajar Teknis (technical learning) à bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan
alamnya secara benar. Pengetahuan dan keterampilan apa yang dibutuhkan dan perlu dipelajari
agar mereka dapat menguasai dan mengelola lingkungan sekitarnya dengan baik.
2. Belajar Praktis (practical learning) à bagaimana seseorang dapat berinterkasi dengan lingkungan
sosialnya, yaitu dengan orang-orang disekelilingnya dengan baik. Kegiatan belajar lebih
mengutamakan terjadinya interaksi yang harmonis antara sesama manusia. Pemahaman dan
keterampilan seseorang dalam mengelola lingkungan alamnya tidak dapat dipisahkan dengan
kepentingan manusia pada umumnya. Interaksi yang benar antara individu dengan lingkungan
alamnya hanya akan tampak dari kaitan atau relevansinya dengan kepentingan manusia.
3. Belajar Emansipatoris (emancipatory learning) à menekankan upaya agar seseorang mencapai
suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan terjadinya perubahan atau transformasi
budaya dalam lingkungan sosialnya. Dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan serta sikap yang
benar untuk mendukung terjadinya transformasi kultural tersebut. Pemahaman dan kesadaran
terhadap transformasi kultural inilah yang oleh Habermas dianggap sebagai tahap belajar yang
paling tinggi, sebab transformasi kultural adalah tujuan pendidikan yang paling tinggi.
2.3 Ciri-ciri Teori Humanisme
Pendekatan humanisme dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif.
Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan
6
yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan
interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri yang ditujukan untuk memperkaya
diri, menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat. Ketrampilan atau kemampuan
membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam pendidikan karena
keterkaitannya dengan keberhasilan akademik.
Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika siswa memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat
laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha
memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang
pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan
dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai
manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri
mereka.
Ada salah satu ide penting dalam teori belajar humanisme yaitu siswa harus mampu
untuk mengarahkan dirinya sendiri dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga siswa mengetahui
apa yang dipelajarinya serta tahu seberapa besar siswa tersebut dapat memahaminya. Dan juga
siswa dapat mengetahui mana, kapan, dan bagaimana mereka akan belajar. Dengan demikian
maka siswa diharapkan mendapat manfaat dan kegunaan dari hasil belajar bagi dirinya sendiri.
Aliran humanisme memandang belajar sebagai sebuah proses yang terjadi dalam individu yang
meliputi bagian/domain yang ada yaitu dapat meliputi domain kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
Dengan kata lain, pendekatan humanisme menekankan pentingnya emosi atau perasaan,
komunikasi terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap siswa. Untuk itu, metode
pembelajaran humanistik mengarah pada upaya untuk mengasah nilai-nilai kemanusiaan siswa.
Sehingga para pendidik/guru diharapkan dalam pembelajaran lebih menekankan nilai-nilai
kerjasama, saling membantu, dan menguntungkan, kejujuran dan kreativitas untuk diaplikasikan
dalam proses pembelajaran sehingga menghasilkan suatu proses pembelajaran yang diharapkan
sesuai dengan tujuan dan hasil belajar yang dicapai siswa.
7
2.4 Belajar Menurut Teori Humanisme
Teori belajar humanisme ini memandang bahwa perilaku manusia ditentukan oleh dirinya
sendiri, oleh factor internal dirinya dan bukan oleh kondisi lingkungan ataupun pengetahuan.
Menurut teori belajar humanisme, aktualisasi diri merupakan puncak perkembangan individu. Ia
mampu mengembangkan potensinya dan merasa dirinya utuh, bermakna dan berfungsi,
kebermaknaan perwujudan dirinya itu bahkan bukan saja dirasakan oleh dirinya sendiri, tetapi
juga oleh lingkungan sekitarnya. Teori belajar humanisme ini yakin bahwa motivasi belajar
harus datang dari dalam individu. Bahkan aliran ini mengabaikan factor intelektual dan
emosional. Menurutnya, kedua factor tersebut tidak terlibat di dalam proses belajar.
Menurut teori ini, proses belajar yang bermakna adalah belajar yang melibatkan
pengalaman langsung, berpikir dan merasakan, atas kehendak sendiri dan melibatkan seluruh
pribadi peserta didik. Belajar yang bermakna tidak lain adalah belajar yang dapat memenuhi
kebutuhan nyata individu. menurut teori humanisme, salah satu karasteristik yang harus ada pada
guru / pendidik adalah memiliki kemampuan memotivasi belajar peserta didiknya. Selain itu
guru memiliki sikap empati, terbuka, keaslian, kekonkritan,dan kehangatan. Sikap empati
merujuk kepada sikap guru yang mampu memposisiskan dirinya pada kerangka berpikir peserta
didik sehingga guru dapat merasakan apa yang peserta didik rasakan dan alami. Keterbukaan
merujuk pada kemampuan guru untuk membuka diri, sikap dikritik, diberi masukan, siap dinilai,
dan diberi ujian. Keaslian merujuk kepada pemampilan apa adanya dan tidak dibuat-buat.
Kekonkretan merujuk pada kejelasan dalam menyatakan sesuatu.memberi tanggung jawab sesuai
dengan kemampuan peserta didik dan realistis. Kehangatan merujuk pada jalanan komunikasi
yang secara psikologis terasa nyaman dan aman bagi peserta didik disertai ketulusan dalam
memberikan pelayanan pendidikan.
Prof. Dr. Armai Arief, MA.(Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta)
menyatakan bahwa hampir tidak kita sadari bersama saat ini, trend pendidikan yang berkembang
pada beberapa dekade terakhir ini adalah belajar untuk belajar. Bukan lagi belajar untuk dapat
bertahan hidup dalam kondisi yang jauh makin komplek ke depan. Tak heran proses
pembelajaran yang ada di sekolah dapat dinilai kurang demokratis-humanistik. Kurang adanya
ruang bagi peserta didik untuk berimajinasi dan berkreasi guna menunjukkan eksistensinya
sendiri masing-masing. Padahal, kreativitas dan kemampuan berpikir kritis merupakan
8
kecakapan yang menjadi modal awal anak agar mampu menghadapi tantangan masa depan yang
jauh lebih kompetitif.
Suatu model pendidikan terbuka mencakup konsep pengajar guru yang fasilitas dan
kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung yaitu empati, penghargaan
dan umpan balik positif. Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah;
1. Merespon perasaan siswa.
2. Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang.
3. Berdialog dan berdisusi dengan siswa.
4. Menghargai siswa.
5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan.
6. Menyesuaian isi kerangka berfiir siswa (penjelasan untuk memantapkan kebutuhan segera
dari siswa).
2.5 Implikasi Teori Belajar Humanisme
Guru sebagai fasilitator Psikologi, paham humanistik memberi perhatian atas guru sebagai
fasilitator, berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai
kualitas si fasilitator. Ini merupakan ikthisar yang sangat singkat dari beberapa petunjuk.
1. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi
kelompok, atau pengalaman kelas.
2. Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan
didalam kelas, dan juga tujuan-tujuan kelompok ang bersifat umum.
3. Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan
tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong yang tersembunyi
didalam belajar ang bermakna tadi.
4. Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar ang paling luas
dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5. Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat
dimanfaatkan oleh kelompok.
9
6. Didalam menaggapi ungkapan-ungkapan dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi
yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menaggapi dengan
cara ang sesuai, baik bagi individu maupun kelompok.
7. Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-angsur dapat berperan
sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut
menyatakan pandangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
8. Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaan dan juga pikirannya
dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara
pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa.
9. Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya
perasaan yang dalam dan kuat selama belajar.
10. Didalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk mengenali
dan menerima keterbatasanna sendiri
Pada hakikatnya seorang pendidik adalah seorang fasilitator. Fasilitator baik dalam aspek
kognitif, afektif, psikomotorik, maupun konatif. Seorang pendidik hendaknya mampu
membangun suasana belajar yang kondusif untuk belajar-mandiri (self-directed learning). Ia juga
hendaknya mampu menjadikan proses pembelajaran sebagai kegiatan eksplorasi diri. Galileo
menegaskan bahwa “sebenarnya kita tidak dapat mengajarkan apapun, kita hanya dapat
membantu peserta didik untuk menemukan dirinya dan mengaktualisasikan dirinya”. Setiap
pribadi manusia memiliki ldquo, (mutiara talenta yang tersembunyi di dalam diri), tugas
pendidikan yang sejati adalah membantu peserta didik untuk menemukan dan
mengembangkannya seoptimal mungkin.
Mendidik yang efektif pada dasarnya merupakan kemampun seseorang yang
menghadirkan diri sedemikian sehingga pendidik memiliki relasi bermakna pendidikan dengan
para peserta didik sehingga mereka mampu menumbuhkembangkan dirinya menjadi pribadi
dewasa dan matang. Pendidikan yang efektif adalah yang berpusat pada siswa atau pendidikan
bagi siswa. Dasar pendidikannya adalah apa yang menjadi & ldquo; dunia & idquo;, minat, dan
kebutuhan-kebutuhan peserta didik. Pendidik membantu peserta didik untuk menemukan,
mengembangkan dan mencoba mempraktikkan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki
(the learners-centered teaching). Ciri utama pendidikan yang berpusat pada siswa adalah bahwa
pendidik menghormati, menghargai dan menerima siswa sebagaimana adanya. Komunikasi dan
10
relasi yang efektif sangat diperlukan dalam model pendidikan yang berpusat pada siswa, sebab
hanya dalam suasana relasi dan komunikasi yang efektif, peserta didik akan dapat
mengeksplorasi dirinya, mengembangkan dirinya dan kemudian mem - ldquo; fungsi & idquo; -
kan dirinya di dalam masyarakat secara optimal.
Tujuan sejati dari pendidikan adalah pertumbuhan dan perkembangan diri peserta didik
secara utuh sehingga mereka menjadi pribadi dewasa yang matang dan mapan, mampu
menghadapi berbagai masalah dan konflik dalam kehidupan sehari-hari. Agar tujuan ini dapat
tercapai maka diperlukan sistem pembelajaran dan pendidikan yang humanis serta
mengembangkan cara berpikir aktif-positif dan keterampilan yang memadai (income generating
skills). Pendidikan dan pembelajaran yang bersifat aktif-positif dan berdasarkan pada minat dan
kebutuhan siswa sangat penting untuk memperoleh kemajuan baik dalam bidang intelektual,
emosi/perasaan (EQ), afeksi maupun keterampilan yang berguna untuk hidup praktis.
Tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia muda (N.
Driyarkara). Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk bertumbuh dan berkembang
menjadi pribadi-pribadi yang lebih bermanusiawi (semakin & ldquo; penuh & idquo; sebagai
manusia), berguna dan berpengaruh di dalam masyarakatnya, yang bertanggungjawab dan
bersifat proaktif dan kooperatif. Masyarakat membutuhkan pribadi-pribadi yang handal dalam
bidang akademis, keterampilan atau keahlian dan sekaligus memiliki watak atau keutamaan yang
luhur. Singkatnya pribadi yang cerdas, berkeahlian, namun tetap humanis.
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan
psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya.
Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang.
Pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada
satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau
mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan
menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini
hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan
olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau
manusiawi. Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya
dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak
berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah
11
dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-
beda.
Saat ini model pendidikan yang dibutuhkan adalah model pendidikan yang demokratis,
partisipatif, dan humanis: adanya suasana saling menghargai, adanya kebebasan
berpendapat/berbicara, kebebasan mengungkapkan gagasan, adanya keterlibatan peserta didik
dalam berbagai aktivitas di sekolah, dan kemampuan hidup bersama dengan teman yang
mempunyai pandangan berbeda. Oleh karena itu, paradigma pembelajaran dan pendidikan
seyogianya merupakan sebuah paradigma pembelajaran yang sedari tingkat filosofis, strategi,
pendekatan proses dan teknologi pembelajarannya menuju ke arah pembebasan anak didik
dengan segala eksistensinya. Dengan demikian, baru anak didik bisa bebas mewujudkan
keseluruhan potensi dirinya.
Sistem pendidikan hendaknya berpusat pada peserta didik, artinya kurikulum, administrasi,
kegiatan ekstrakurikuler maupun kokurikulernya, sistem pengelolaannya harus dirumuskan dan
dilaksanakan demi kepentingan peserta didik, bukan demi kepentingan guru, sekolah atau
lembaga lain. Pendidikan yang hanya memusatkan pada kepentingan kebutuhan kerja secara
sempit harus dikembalikan kepada kepentingan pertumbuhan dan perkembangan kepribadian
peserta didik secara utuh. Seperti misalnya kemampuan bernalar, berpikir aktif-positif, kreatif,
menemukan alternatif dan prosesnya menjadi pribadi yang utuh (process of becoming). Peserta
didik hendaknya benar-benar dikembalikan sebagai subyek (dan juga obyek) pendidikan dan
bukannya obyek semata-mata.
Pembudayaan nilai kreativitas, otonomi/kemandirian, dan relevansi pendidikan
merupakan kunci rekulturasi. UNESCO merekomendasikan pembaharuan pendidikan dan
pembelajaran yang amat menunjang proses ini, pada lima konsep pokok paradigma pembelajaran
dan pendidikan, yaitu:
1. Learning to know: guru hendaknya mampu menjadi fasilitator bagi peserta didiknya.
Information supplier (ceramah, putar pita kaset) sudah tidak jamannya lagi. Peserta didik
dimotivasi sehingga timbul kebutuhan dari dirinya sendiri untuk memperoleh informasi,
keterampilan hidup (income generating skills), dan sikap tertentu yang ingin dikuasainya.
2. Learning to do: peserta didik dilatih untuk secara sadar mampu melakukan suatu
perbuatan atau tindakan produktif dalam ranah pengetahuan, perasaan dan penghendakan.
12
Peserta didik dilatih untuk aktif-positif daripada aktif-negatif. Pengajaran yang hanya
menekankan aspek intelektual saja sudah usang.
3. Learning to live together: ini adalah tanggapan nyata terhadap arus deras spesialisme dan
individualisme. Nilai baru seperti kompetisi, efisiensi, keefektifan, kecepatan, telah
diterapkan secara keliru dalam dunia pendidikan. Sebagai misal, sebenarnya kompetisi
hanya akan bersifat adil kalau berada dalam paying kooperatif dan didasarkan pada
kesamaan kemampuan, kesempatan, lingkup, sarana, tanpa itu semua hanyalah
merupakan kompetisi yang akan mengakibatkan yang “kalah” akan selalu “kalah”.
Sekolah sebagai suatu masyarakat mini seharusnya mengajarkan “cooperatif learning”,
kerjasama dan bersama-sama, dan bukannya pertandingan intelektualistik semata-mata,
yang hanya akan menjadikan manusia pandai tetapi termakan oleh kepandaiannya sendiri
dan juga membodohi orang lain. Sekolah menjadi suatu paguyuban penuh kekeluargaan
dan mengembangkan daya cipta, rasa dan karsa, atau aspek-aspek kemanusiaan manusia.
4. Learning to be: dihayati dan dikembangkan untuk memiliki rasa percaya diri yang tinggi.
Setiap peserta didik memiliki harga diri berdasarkan diri yang senyatanya. Peserta didik
dikondisikan dalam suasana yang dipercaya, dihargai, dan dihormati sebagai pribadi yang
unik, merdeka, berkemampuan, adanya kebebasan untuk mengekspresikan diri, sehingga
terus menerus dapat menemukan jati dirinya. Subyek didik diberikan suasana dan sistem
yang kondusif untuk menjadi dirinya sendiri.
5. Learning throughout life yaitu bahwa pembelajaran tidak dapat dibatasi oleh ruang dan
waktu. Pembelajaran dan pendidikan berlangsung seumur hidup. Pelaku pendidikan
formal hendaknya berorientasi pada proses dan bukan pada hasil atau produk semata
2.6 Kelebihan dan kekurangan teori belajar humanisme
a. Kelebihan teori belajar humanisme
Pembelajaran dengan teori ini sangat cocok diterapkan untuk materi-materi pembelajaran yang
bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena
sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini ialah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif
dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa
13
diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan
mengatur pribadinya sendiri secara tanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang-orang lain
atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku (Herpratiwi, 2009: 56).
b. Kelemahan teori belajar humanisme
Karena dalam teori ini guru ialah sebagai fasilitator maka kurang cocok menerapkan yang pola
pikirnya kurang aktif atau pasif. Karena bagi siswa yang kurnag aktif, dia akan takut atau malu
untuk bertanya pada gurunya sehingga dia akan tertinggal oleh teman-temannya yang aktif dalam
kegiatan pembelajaran, padahal dlaam teori ini guru akan memberikan respons bila murid yang
diajar juga aktif dalam menanggapi respons yang diberikan oleh guru. Karena siswa berperan
sebagai pelaku utama (student center) maka keberhasilan proses belajar lebih banyak ditentukan
oleh siswa itu sendiri, peran guru dalam proses pembentukan dan pendewasaan kepribadian
siswa menjadi berkurang (Hepratiwi, 2009: 56).
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
Teori belajar humanisme adalah teori belajar yang menyatakan bahwa tujuan belajar
adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar berhasil jika si pelajar telah memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Tujuan utama para pendidikan ialah membantu siswa untuk
mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka
sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu mewujudkan potensi yang ada pada dirinya.
Belajar menurut paham Humanisme adalah proses belajar yang bermakna adalah belajar yang
melibatkan pengalaman langsung, berpikir dan merasakan, atas kehendak sendiri dan melibatkan
seluruh pribadi peserta didik. Belajar yang bermakna tidak lain adalah belajar yang dapat
memenuhi kebutuhan nyata individu.
Implikasi pembelajaran humnisme adala adanya sistem pendidikan yang hendaknya berpusat
pada peserta didik, artinya kurikulum, administrasi, kegiatan ekstrakurikuler maupun
kokurikulernya, sistem pengelolaannya harus dirumuskan dan dilaksanakan demi kepentingan
peserta didik, bukan demi kepentingan guru, sekolah atau lembaga lain.
3.2 Saran
Kami menyarankan dan berharap pemerintah mengusahakan pembaharuan dalam institusi
pendidikan di negara Indonesia, harus dicarikan sebuah konsep pendidikan yang beroerientasi
pada potensi dasar manusia secara lebih sistematik dan realistik. Pendidikan dan pembelajaran
hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek
sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan
pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu
ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik.
15
DAFTAR PUSTAKA
Annonimus. 2008. Teori Humanistik. (online)http://apadefinisinya.blogspot.com /2008/05/teori-
humanistik.html diakses Rabu, 12 Oktober 2011.
Baharuddin, dan Makin, Moh. 2007. Pendidikan Humanistik (Konsep, Teori dan Aplikasi dalam Dunia
Pendidikan). Ar-Ruzz Media :Yogyakarta.
Haqiqi. 2007. Teori Humanisme. (online) http://haqiqie.wordpress.com/humanisme-dalam-pikiranku-
apakah-itu/ diakses Rabu, 12 Oktober 2011.
Karwono, dan Mularsih, Heni. 2010. Belajar dan Pembelajaran Serta Pemanfaatan Sumber Belajar.
Jakarta: Cerdas Jaya.
Riyanto. 2007. Pendidikan yang Humanis. (online) http://www.sfeduresearch.org. diakses Rabu, 12 Oktober
2011.
16