Download - Makalah Budidaya Tiram Mutiara (2)
MAKALAH BUDIDAYA TIRAM MUTIARA (Pinctada maxima)
TUGAS DASAR-DASAR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN BUDIDAYA
ANGGOTA KELOMPOK :
BENEDIKTUS RIANWARA I.
ALVI NOVIANA AWALUDIN
DESI SETYAWATI
TEGUH TEDI KURNIAWAN
IKA NURUL ASRIYANTI
MARTA ULY
RENDY ANDRIAWAN
NILAM PERMATA LAIA
ASEP ROHMAN
ISTIAJI ADHINUGROHO
VICOPRAMUDYA ARMIFZAN
RISMA DWI NUGRAHENI
MOHAMMAD HENDRAWAN S.
AMINUL ICHSAN
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Indonesia memiliki potensi laut yang sangat besar dalam usaha
budidaya. Potensi ini di dukung oleh tersediannya bahan dasar yang cukup
banyak, persyaratan lingkungan yang baik, serta kondisi musim yang
menguntungkan untuk berbagai jenis komoditas laut yang akan
dibudidayakan. Salah satu potensi laut dari non ikan yang dapat di
budidayakan adalah tiram mutiara (Pinctada maxima) yang pada intinya
akan menghasilkan mutiara. Tiram mutiara berasal dari kingdom
Animalia, filum Moluska, kelas dari Bivalvia, serta famili dari Pteridae,
dengan nama dagang sebagai pearl oyster.
Menghadapi situasi yang demikian sangat perlu diusahakan
kegiatan yang mengarah pada kegiatan penyediaan benih melalui
pembenihan buatan sehingga dapat menjadi suatu unit budidaya tiram
yang akan menghasilkan produksi mutiara yang jauh lebih besar. Akibat
dari keterbatasan ini maka dalam usaha budidaya tiram mutiara, perlu
melakukan kegiatan untuk mempelajari sifat dan kebiasan hidup tiram
mutiara, baik dari persyaratan lingkungan pemeliharaan, metode atau cara
pemeliharaan dan peralatan yang digunakan untuk memproduksi mutiara
yang berkualitas. Mengingat lokasi budidaya di laut yang dipengaruhi oleh
alam dan sekitarnya, sehingga membudidayakan tiram mutiara haruslah
menyesuaikan dengan kondisi alam atau perairan sekitarnya sebagai
tempat hidupnya dengan kehidupan biologis dan fisiologis dari tiram
mutiara yang dipelihara, dengan tujuan agar tiram hidup dengan baik..
Seiring dengan semakin bertambah banyaknya jumlah usaha
budidaya mutiara, maka kebutuhan akan induk yang siap operasi juga
terus meningkat. Namun sayangnya pasokan induk dari alam jumlahnya
sangat terbatas, solusi yang dijalani oleh setiap perusahaan adalah
melakukan kegiatan pembesaran. Permasalahan yang muncul yaitu
kontinuitas dan jumlah benih atau spat dari alam tidak dapat dipastikan.
Alternatif utama yang dapat ditempuh adalah melakukan penyediaan benih
secara buatan melalui hatchery.
Indonesia sumberdaya alam (kelautan dan perikanan) yang cukup
besar sehingga kedepan menjadi harapan dalam upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Berbagai peluang investasi yang dapat
dikembangkan di bidang Kelautan dan Perikanan adalah investasi pada
bidang Penangkapan , Budidaya Laut, Budidaya Air Payau dan Budidaya
Air Tawar. Ragam potensi budidaya kelautan dan perikanan yang dapat
dikembangkan lebih jauh dan berkelanjutan (Sustainable).
1.2 TUJUAN
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Mengetahui Metode Pembuatan Sarana Budidaya
2. Mengetahui Teknik Produksi Tiram Mutiara
3. Mengetahui Teknik Budidaya Tiram Mutiara
4. Mengetahui Jenis dan Teknik Kultur Pakan Alami Skala Murni dan
Semi Massal fitoplankton yang Digunakan Sebagai Pakan Larva
Tiram Mutiara
5. Mengetahui Hama dan penyakit Tiram mutiara
1.3 MANFAAT
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah
1. Memberikan informasi tentang metode pembuatan sarana budidaya
2. Memberikan informasi tentang teknik produksi tiram mutiara
3. Memberikan informasi tentang teknik budidaya tiram mutiara
4. Memberikan informasi tentang jenis dan teknik kultur pakan alami
skala murni dan semi massal fitoplankton yang digunakan sebagai
pakan larva tiram mutiara
5. Mmemberikan informasi tentang hama dan penyakit pada tiram
mutiara
BAB II
PEMBAHASAN/TINJAUAN PUSTAKA
Mutiara terbentuk akibat respon dari tiram untuk menolak rasa sakit
secara Konsentris akibat masuknya benda asing kedalam tubuhnya, lapisan
tersebut terdiri dari mineral yang diproduksi oleh tiram berupa cairan nacre
yang melapisi benda asing tersebut dengan cahaya berkilau. Tetapi bila lapisan
terluarnya tidak terdiri dari nacre, mutiara akan memperlihatkan warna – warni
yang menggairahkan yang biasa disebut “ORIENT” yang membuat mutiara
bernilai tinggi dan mahal.
2.1 PENYIAPAN INDUK
Pemeliharaan induk tiram mutiara dapat dilakukan di laut dengan
menggunakan rakit apung, long line atau di laboratorium bersama dengan
kegiatan pendederan dengan menggunakan pocket net atau pocket keranjang.
Pada umumnya pemeliharaan induk dilakukan di laut karena selain menghemat
biaya, juga untuk pematangan induk kualitas akan lebih baik dilakukan di
alam, karena dapat memperoleh pakan yang lebih variatif dengan nilai nutrient
yang lebih lengkap. Pemeliharaan induk dilakukan dengan tujuan menunggu
agar induk matang gonad dan siap dipijahkan.
1.1.1 Penyediaan Induk
Tiram mutiara yang akan digunakan sebagai induk dapat berasal dari
alam dan hasil pembenihan. Induk yang diambil dari alam biasanya perlu
diaklimatisasi, karena induk tersebut habitatnya berasal dari laut pada
kedalaman 20 – 60 meter, dipindahkan ke tempat budidaya yang lebih
dangkal, sehinga tiram perlu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan
hidup yang baru. Sedangkan induk yang berasal dari hatchery biasanya
langsung dapat dipijahkan, karena sudah terbiasa dengan kondisi lingkungan
budidayanya dan ukurannya seragam.
Induk tiram mutiara diaklimatisasi selama 1 – 2 bulan, dipelihara
menggunakan pocket keranjang dan digantung pada rakit apung
dikedalaman 4 – 6 meter. Satu pocket keranjang di isi 8 – 10 ekor tiram.
Secara priodik antara 1 – 2 bulan sekali, induk dibersihkan dari kotoran dan
organisme yang menempel dengan menggunakan pisau dan sikat, kemudian
dimasukkan kembali ke dalam pocket keranjang yang bersih dan digantung
pada rakit dengan kedalaman 6 – 8 meter.
Apabila kita mendapatakan atau mengambil induk dari luar daerah,
maka yang harus diperhatikan adalah ;
1. Pengangkutan atau pengiriman induk dapat dilakukan dengan
menggunakan metode pengangkutan kering (Dry method)
2. Induk dimasukkan pada kotak styropoam Lapisi dasar styropoam
dengan menggunakan handuk atau busa yang dibasahi air laut.
3. Susun induk secara sejajar dan searah (bagian anterior tiram yang satu
ditindih bagian dorsal tiram yang lain)
4. Setiap satu lapisan tiram diselingi dengan lapisan handuk atau busa
yang dibasahi air laut, begitu seterusnya hingga wadah penuh.
5. Selipkan Es batu air laut yang dibungkus plastic, untuk menjaga suhu
rendah agar tetap stabil selama perjalanan.
1.1.2 Pemeliharaan Induk di Laut
Pemeliharaan Induk di laut dengan mengisi pocket net atau
keranjang kawat dengan induk tiram, kemudian diikat dan digantung pada
rakit atau long line dengan kedalaman 5 – 8 meter, dan dalam setiap bulan
tiram dibersihkan dari organisme yang menempel pada cangkang tiram.
Untuk menghindari adanya gangguan dari organisme pengebor
(borring worn dan borring sponge), maka setiap 2 – 3 bulan sekali perlu
dilakukan perendaman dengan air tawar atau larutan garam pekat. Calon
induk tiram yang direndam dalam larutan garam pekat, ternyata
menunjukkan pertumbuhan yang signifikan.
1.1.3 Pemeliharaan Induk di Laboratorium
Pemeliharaan Induk di Laboratorium berbeda dengan pemeliharaan
induk di laut, dimana pemeliharaan Induk di Laboratorium menggunakan
bak yang terbuat dari bahan fiber glass untuk menempatkan induk tiram,
dengan suhu air media antara 25 – 280C dan kondisi ruangan yang
terkendali. Induk tiram diberi pakan berupa campuran beberapa jenis alga
dengan ratio 4 liter per ekor/hari, sebagai pakan tambahan diberikan tepung
jagung sebanyak 30 gram per ekor/hari. Tiram dengan gonad matang penuh
yang diberi formulasi pakan tersebut akan menunjukkan respon memijah
setelah 45 hari dari perlakuan dengan tingkat respon 30%.
2.2 SELEKSI INDUK
Untuk menyeleksi induk tiram dapat dilakukan di atas rakit atau di
laboratorium. Induk – induk tiram yang akan di seleksi ditempatkan pada
tempat yang datar dengan posisi tiram berdiri atau dorsal di bawah.
Beberapa saat kemudian cangkan tiram akan terbuka dengan sendirinya,
karena kekurangan olsigen.
Setelah cangkang tiram terbuka sebagian, segera gunakan alat
pembuka cangkang (Shellopener), agar cangkang tetap bertahan terbuka,
maka gunakan baji untuk mengganjal cangkang tersebut. Dan dalam proses
pembukaan cangkang tiram hendaknya jangan dipaksa, karena akan
mengakibatkan pecahnya cangkang.
Langkah berikutnya adalah melihat posisi gonad, disini kita dapat
melihat posisi gonad dengan menggunakan alat Spatula. Dengan Spatula,
insang tiram akan kita buka dan posisi gonad akan terlihat jelas, maka secara
fisual dapat kita ketahui tingkat kematangan gonadnya. Kondisi gonad yang
mata penuh atau stadia IV adalah seluruh permukaan organ bagian dalam
tertutup oleh gonad, kecuali bagian kaki.
Klasifikasi tiram yang memenuhi syarat untuk menjadi induk adalah ;
Ukuran antara 17 – 20 cm (DVM)
Cangkang utuh/tidak cacat akibat serangan organisme pengebor
(borring organism).
Cangkang tidak rusak karena penanganan yang kasar.
Warna cangkang terang.
Persyaratan yang paling penting adalah tingkat kematangan gonad,
induk yang baik kondisi gonadnya matang penuh atau stadia IV (Winanto
dkk, 1991;1997;1998). Induk – induk yang telah memenuhi syarat seleksi
segera dibawa ke laboratorium untuk di pijahkan.
Seleksi kematangan gonad dilakukan setiap 1 (satu) bulan sekali untuk
memastikan bahwa induk tersebut siap dipijahkan atau tidak. Induk siap
pijah akan terlihat warna kekuningan pada kantong gonadnya bagi induk
betina dan bagi induk jantan akan terlihat warna putih susu.
2.3 PEMIJAHAN
Induk tiram mutiara yang digunakan untuk pemijahan berasal dari alam
maupun dari hasil budidaya yang dipelihara di rakit apung atau long line.
Pemejihan secara alami sering kali terjadi pada tiram yang telah dewasa, dalam
kondisi gonad matang penuh tiram akan segera memijah apabila terjadi
perubahan lingkungan perairan walaupun sedikit. Kemungkinan lain adalah
shok mekanik yang terjadi karena perlakuan kasar pada saat cangkang
dibersihkan dan akibat mengalami perubahan perbedaan tekanan, misalnya
tiram alam atau tiram yang diambil dari habitat aslinya di dasar perairan laut,
lalu dibawa ke tempat budidaya yang relative dangkal, sehingga memacu tiram
untuk memijah.
Menurut Winanto (1991), mengatakan bahwa pemijahan juga bisa
terjadi pada waktu dilakukan penggantian air atau mengalirkan air ke dalam
bak pemeliharaan induk.
Rekayasa pemijahan perlu dilakukan, apabila secara alamiah tiram
tidak mau memijah di bak pemijahan, namun induk yang akan dipijahkan harus
memenuhi syarat untuk dipijahkan. Induk tiram mutiara dapat dipijahkan di
laboratorium dengan mengunakan metode manipulasi lingkungan dan rangsang
kimia.
1.3.1 Metode Manipulasi Lingkungan
Metode manipulasi lingkungan yang digunakan dan resiko
keberhasilannya relatif tinggi yaitu dengan menggunakan metode kejut
suhu (Thermal shock), fluktuasi suhu dan ekspose. Beberapa teknik
tersebut telah berhasil dilakukan oleh Loosanolp dan Davis (1963), Imai
(1982), CFMRI (1991) dan Winanto dkk (1992;1995;1997;1998).
Kejut suhu merupakan metode yang umum digunakan, dalam
teknik ini suhu air tempat pemijahan dinaikkan secara bertahap dengan
bantuan alat healter, dari suhu awal 280C menjadi 350C. Induk – induk
biasanya akan memijah setelah 60 -90 menit dari perlakuan, mula – mula
terlihat induk bereaksi cepat membuka dan menutup cangkang.
Menjelang pemijahan induk akan membuka cangkang lebar – lebar dan
keluarlah sel –sel gonad yang terlihat seperti keluarnya asap berwarna
putih.
Metode manipulasi lingkungan yang lain yaitu flutuasi suhu, jika
suhu air di tempat pemijahan mulanya sekitar 280C ditingkatkan mejadi
33 - 350C, jika tiram belum memijah setelah 60 – 90 menit, maka suhu
diturunkan kembali ke suhu awal, demikian seterusnya sampai induk
memijah.
Metode ekspose juga sering digunakan dan ada kalanya
dikombinasikan dengan metode kejut suhu, induk yang akan dipijahkan
dikeluarkan dari dalam air selama 15 – 30 menit, pada kondisi tertentu
kadang – kadang tiram perlu diekspose sampai sekitar 30 – 60 menit atau
tergantung pada kondisi induk tiram. Setelah masa ekspose, induk
dimasukkan kembali ke dalam bak pemijahan, induk yang matang gonad
penuh biasanya akan cepat memijah. Pemijahan bisa tidak terjadi jika
kondisi gonad belum mencapai matang penuh, pada kondisi ini dapat
dikombinasikan dengan metode kejut suhu.
1.3.2 Rangsang Bahan Kimia
Pengunaan bahan kimia juga sering dilakukan untuk memijahkan
tiram mutiara, tetapi hasil pembuahan (fertilisasi) biasanya kurang baik.
Seperti halnya pada manipulasi lingkungan, pengunaan bahan kimia juga
bertujuan merubah lingkungan mikro tempat pemijahan. Secara ekstrim
bahan kimia dapat dengan segera merubah pH air menjadi asam atau
basa, yang bertujuan memberikan shock fisiologis pada induk sehingga
terpaksa mengeluarkan sel – sel gonadnya. Jenis bahan kimia yang umum
digunakan antara lain ;
Hidrogen Peroksida (H2O2)
Natrium Hidroksida (NaOH)
Amonium Hidroksida (NH4OH)
Amoniak (NH4) dan
Trace buffer
Hidrogen peroksida dan amoniak pada konsentrasi 1,532; 3,064
dan 6,128 milimolar dilarutkan ke dalam air laut normal atau air laut
dengan pH 9,1. Larutan tris (Tris buffer) atau Natrium hidrosida (NaOH)
digunakan untuk merubah pH air menjadi 8,5; 9,0; 9,5 dan 10, ternyata
dapat merangsang induk memijah. Pada pH 9 dengan tris buffer dapat
merangsang pemijahan sampai 78,6%, sedangkan pH 9,5 dengan NaOH
berhasil memijahkan tiram sekitar 68,4%. Penyuntikan larutan Amonium
hidroksida (NH4OH) 0,2 ml ke dalam otot adductor berhasil merangsang
pemijahan sampai 48%.
Beberapa perusahaan tiram mutiara di Indonesia dalam
memijahkan biasanya menggunakan bahan kimia amoniak atau
rangsangan sel gonad – jantan. Teknik pemijahan rangsang gonad/sperma,
dilakukan dengan cara menyeleksi induk tiram mutiara jantan yang matang
gonad penuh kemudian dimatikan. Caranya, cangkang tiram dibuka
dengan menggunakan alat pembuka cangkang, kemudian otot adductornya
dipotong dengan pisau, dagingnya dikeluarkan dengan hati – hati. Mantel
dan insang dibuang, sehingga hanya tinggal bagian tubuh yang berisi
gonad, bagian tersebut disayat – sayat dan dimasukkan ke dalam beker
glass yang telah diisi air laut bersih, lalu diaduk hingga larut. Larutan
gonad/sperma tersebut disaring dan dimasukkan ke dalam bak pemijahan,
sehingga induk – induk akan terangsang untuk memijah. Namun,
sebaiknya kedua cara itu tidak dilakukan, karena selain tingkat
fertilisasinya rendah (feconditas rendah), biasanya banyak telur yang
abnormal serta akan menguras isi gonad, sehingga telur – telur yang masih
prematurpun akan ikut keluar.
Penggunaan bahan kimia dengan konsentrasi tinggi hampir sama
dengan tindakan aborsi, sehingga kurang menguntungkan bagi kesehatan
induk. Tindakan pemijahan dengan rangsang gonad sebenarnya tidak
dianjurkan, karena teknologi pemijahan yang ada lebih diarahkan untuk
masyarakat nelayan dan pesisir, sehingga induk merupakan aset yang
sangat berharga disamping harganya relative mahal.
1.3.3 Proses Pemijahan dan Pembuahan
Selama prosesi pemijahan, induk jantan biasanya memijah terlebih
dahulu baru diikuti induk tiram betina. Pengamatan yang dilakukan di
Balai Budidaya Laut mencatat, bahwa induk betina (Pintada maxima)
mengeluarkan sel – sel telur sekitar 25 – 30 menit setelah induk jantan
memijah. Pembuahan terjadi di luar tubuh (eksternal) di dalam media air
dan pembuahan terjadi segera setelah sel telur dan sperma keluar. Telur –
telur yang belum dibuahi bentuknya menyerupai biji jeruk, sedangkan
yang telah dibuahi berbentuk bulat dengan diameter antara 56 – 65
mikron.
Setelah semua telur dibuahi sesegera mungkin dipanen,
dikumpulkan dengan menggunakan saringan bertingkat (Planktonnet)
berukuran dari 100 µ atau 80 µ, 40 µ dan 20 µ. Selain itu berfungsi
sebagai tempat penampungan telur – telur, saringan juga bermanfaat untuk
memisahkan antara kotoran dengan telur. Telur – telur yang telah
terkumpul kemudian dibilas dengan air laut bersih dan dipindahkan ke
dalam bak penetasan atau langsung ke bak pemeliharaan larva dijadikan
satu, pada kasus ini priode penggantian air harus benar – benar
diperhatikan, dan padat penebaran awal berkisar antara 5 – 7 sel/cc.
2.4 PEMELIHARAAN LARVA
Salah satu kegiatan yang paling menyita perhatian dan sangat
menentukan dalam kegiatan pembenihan tiram mutiara adalah
pemeliharaan larva. Priode pemeliharaan larva sebenarnya dimulai sejak
larva stadia D, atau setelah berakhirnya stadia trocopore sampai stadia
pediveliger atau plantigrade.
Kegagalan sering kali terjadi dalam produksi spat, karena
penanganan pemeliharaan larva yang kurang baik, utamanya pada saat
larva mengalami saat – saat kritis. Di dalam pengelolaan pemeliharaan
larva sangat perlu diperhatikan kondisi kualitas air; teknik serta priode
penggantian air; jenis, jumlah dan teknik pemberian pakan; jenis, jumlah
dan waktu pemasangan spat kolektor. Jika beberapa factor tersebut
diperhatikan, maka produksi spat akan berhasil seperti apa yang kita
harapkan.
1.4.1 Proses Perkembangan Awal
Proses pembelahan sel terjadi setelah 40 menit dari pembuahan
atau setelah penonjolan polar I, polar II. Lima menit kemudian sel mulai
terbelah menjadi dua, 13 menit kemudian sel membelah menjadi empat,
pemebelahan berikutnya menjadi 8 sel, 16 sel dan sel terus membelah
menjadi multi sel atau stadia morula setelah 2,5 jam, pada setiap
mikromernya berkembang silia kecil yang berfungsi untuk membantu
embrio bergerak. Stadia blastula dicapai setelah larva berumur 3,5 jam,
gerakannya aktif berputar – putar. Pada stadia gastrula (7 jam) bentuknya
seperti kacang hijau, bersifat fhoto negative dan bergerak dengan
mengunakan silia (Alagarswami, at al, 1983).
Beberapa menit setelah silia menghilang, maka berakhirlah fase
gastrula dan mengalami metamorfose menjadi trochopore, ditandai dengan
adanya flagella tunggal pada bagian anterior yang berfungsi untuk
bergerak.
1.4.2 Perkembangan dan Pemeliharaan Larva
Stadia veliger atau larva bentuk D (D shape) dicapai setelah larva
berumur 18 – 20 jam dan berukuran 70x80 mikron. Pada stadia ini, larva
sudah mulai diberi makanmikro alga Isochrysis galbana atau P.
lutheri,jumlah pakan antara 3000 – 4000 sel/cc/hari diberikan dua kali
(pagi dan sore). Menurut Brusca (1990), larva stadia veliger bersifat
fhoto fositif, sehingga nampak berenang – renang disekitar permukaan air.
Menurut CMFRI (1991) dan Alagaswami at al, (1983),pada stadia
awal larva (D shape) sampai stadia umbo diberi pakan phytoplankton
spesies Isochrysis galbanadengan kepadatan 5000 sel/ekor/hari.
Sedangkan menurutBaker (1994) member pakan jenis Isochrysis galbana
strain Tahiti terhadap larva dengan kepadatan 20.000 sel/ml.
Setelah 12 – 14 hari larva mengalami metamorphose menjadi
stadia umbo (130 x 135 mikron), ditandai dengan adanya tonjolan (umbo)
pada bagian dorsal. Padat penebaran larva mulai dikurangi setelah
mencapai stadia umbo, dengan jumlah 5 – 7 ekor/cc. Pakan yang
diberikan ditambah menjadi 3000 – 4000 sel/cc/hari, aplikasinya dapat
divariasi campuran antara Isochrysis galbana dan P. lutheri dengan
perbandingan 1 : 1. Flagelata Isochrysis galbana merupakan jenis pakan
yang paling baik bagi larva bivalvia di daerah tropis (Ver, 1981).
Menurut Winanto dan Dhon (1998), Larva yang sehat dicirikan
oleh aktifitas gerak, distribusi dan warna bagian perutnya. Larva yang
sehat nampak bergerak aktif berputar dengan menggunakan silianya,
mereka akan menyebar merata terutama pada bagian lapisan permukaan
dan tengah, sedangkan yang berada dibagian bawah kondisinya kurang
baik. Secara mikroskopis, larva yang sehat akan aktif memburu pakan
sehingga bagian perutnya berwarna kuning tua, larva yang cukup akan
(sedang) bagian perutnya berwarna kuning dan larva yang tidak mau
makan perutnya berwarna kuning muda.
Menurut Loosanoff dan Davis (1963), bahwa warna larva dapat
bervariasi tergantung dari jenis pakan yang dikonsumsi, tetapi larva yang
sehat biasanya berwarna coklat keemasan, terutama dibagian saluran
pencernaan (Digestive diverticulum). Pada stadia awal, warna larva dapat
berubah nyata bila mengkonsumsi pakan dengan warna yang berbeda.
Namun, seiring dengan pertumbuhan larva dan cangkangnyapun semakin
bertambah tebal, maka pengaruh warna pakan tidak terlihat lagi.
Selama pemeliharaan larva, media air yang digunakan sebaiknya
diperlakukan melalui sinar ultra violet, sehingga larva dapat terhindar dari
infeksi jamur dan membunuh spora atau bakteri, serta kompititor yang
hidup bersama di media pemeliharaan. Untuk menjaga kualitas air, maka
perlu dilakukan penggantian air setiap 2 – 3 hari sekali sebanyak 50 – 100
%.
Setelah larva mencapai stadia pediveliger atau umbo akhir,
berumur antara 18 – 20 hari dan berukuran 200 – 190 mikron, larva mulai
mencari tempat untuk menetap. Fase transisi atau fase akhir kehidupan
planktonis larva terjadi pada hari ke 20 – 22, atau disebut stadia platigrade.
Larva plantigrade ditandai dengan tumbuhnya cangkang baru disepanjang
periphery, benang – benang bisus diproduksi untuk menempelkan diri
pada substrat dan larva berukuran sekitar 200 x 230 mikron.
Menurut Segal (1990), menyatakan bahwa pada saat larva
mengalami metamorphose dan fase menetap, merupakan masa kritis yang
cukup ekstrim selama masa hidupnya. Sedangkan Bayne (1976)
menyatakan bahwa aksi penempelan yang ditunjukkan oleh larva
pediveliger merupakan gerakan menurun, dari stadia planktonis yang
berada disekitar permukaan ke dasar perairan, disertai dengan gerakan
berenang dan kebiasaan berputar – putar dan akhirnya mengeluarkan
benang bisus untuk menempel pada substrat. Hal inilah yang menandai
dimulainya kehidupan bentik atau menetap di dasar. Jika tidak
menemukan substrat yang cocok, larva biasanya akan cenderung menunda
priode metamorfosenya.
Penempelan adalah proses tingkah laku yang ditunjukkan oleh
larva stadia akhir. Awalnya larva menggunakan kakinya untuk berenang
dan bergerak perlahan – lahan saat akan menempel pada substrat. Jika
jenis substrat yang ditempeli cocok maka larva akan menetap, selanjutnya
akan terjadi proses metamorphose dari larva berubah menjadi spat
(Juvenil). Secara keseluruhan proses ini disebut menempel (setting) atau
spatfall, yang merupakan fase kritis dalam siklus hidup tiram. Identifikasi
dari factor – factor yang mempengaruhi keberhasilan fase menempel atau
spatfall akan sangat bermanfaat atau dapat memberikan informasi tentang
prosedur yang lebih efisien dalam pengembangan hatchery.
2.5 PENDEDERAN
Periode spat merupakan awal dari kehidupan menetap tiram. Pada
stadia ini sangat dibutuhkan substrat yang cocok untuk menempel, kondisi
awal spat merupakan masa yang sangat kritis, karena bisusnya belum
permanen, titik kritis terjadi pada pada D 40 sampai dengan ukuran 3 cm
dengan SR 5%. Bila ada gerakan air yang sangat kuat, ada kemungkinan
bisusnya akan putus, namun bisus akan segera disekresikan kembali.
Tetapi jika saat bisus putus dan spat jatuh ke dasar bak pemeliharaan,
maka ada kemungkinan spat akan mati karena di dasar bercampur dengan
kotoran maupun substansi lain yang kurang baik bagi kelangsungan hidup
spat.
Pemeliharaan spat sebenarnya tidak sulit, bahkan boleh dikatakan
jika masa pemeliharaan spat sudah melewati dua minggu pasti spat akan
hidup. Penanganan yang ekstra hati – hati pada awal pertumbuhan spat
sangat diperlukan. Setelah spat menempel dengan bisus permanen,
keadaannya tidak perlu dikhawatirkan lagi, karena pengelolaan air dapat
dilakukan dengan system sirkulasi. Pada umumnya spat yang berumur 2 –
3 bulan atau ukuran 5 – 10 mm DVM dapat dipindahkan ke tempat
pembesaran di laut setelah 1 bulan dipelihara di laboratorium.
Benih yang masih menempel pada kolektor dimasukkan ke dalam
pocket net dan dibungkus dengan waring (2–3 mm), untuk mencegah
gangguan predator (jenis ikan Ostraciidae, Monacanthidae dan Blenidae)
dan mengurangi menempelnya kotoran. Ukuran mata waring yang lebih
kecil kurang efektif untuk tingkat kelangsungan hidup, dapat menghambat
pertumbuhan dan sulit membersihkan. Setelah benih mencapai ukuran 2 –
3 cm mulai dijarangkan, dipelihara secara individu di dalam pocket net.
Pada ukuran 2 – 3 cm benih sudah dapat dijual atau dibesarkan hingga
mencapai ukuran yang memenuhi syarat untuk budidaya mutiara yaitu
ukuran 15 cm DVM. Pendederan tiram mutiara menggunakan dua metode
yaitu metode rakit dan long line. Adapun kegiatan yang harus dilakukan
selama pemeliharaan adalah pembersihan dan penjarangan serta seleksi
menurut ukuran.Dalam satu siklus pendederan memerlukan waktu selama
10 bulan dengan ukuran spat mencapai rata – rata 0,7 – 1 cm per bulan.
2.6 PENYUNTIKAN TIRAM MUTIARA
Dalam penyuntikan tiram mutiara perlu persiapan yang harus
diperhatikan yaitu ; Seleksi tiram, pemuasaan dan persiapan alat/bahan
Insersi.
1.6.1 Seleksi Benih siap Operasi
Sebelum melaksanakan operasi atau penyuntikan, terlebih dahulu
benih tiram diseleksi. Tiram yang akan di operasi harus memenuhi syarat
yaitu, berumur 1,5 – 2 tahun dan berukuran 10 – 15 cm, serta tiram dalam
kondisi sehat atau tidak cacat dan dalam keadaan bersih.
1.6.2 Pemuasaan (Yokusei)
Tiram yang akan dioperasi terlebih dahulu dilakukan pemuasaan
(Yokusei), yang tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah plankton yang
dimakan agar tubuh tiram menjadi cukup lemas, dengan cara ini pada saat
operasi tiram tersebut tidak terlalu kuat mengadakan reaksi terhadap sakitnya
sayatan pada gonadnya. Benih tiram yang di Yokusei, dimasukkan ke pocket
keranjang lalu dibungkus menggunakan waring ukuran 1 mm. Pemuasaan
dilakukan selama 3 – 5 hari, setelah itu tiram diangkat dari perairan dan
pembungkus dibuka, baru kemudian memulai penyuntikan.
1.6.3 Alat dan Bahan Insersi
Ada beberapa alat dan bahan yang harus dipersiapkan sebelum
melakukan operasi yaitu ;
A. Alat Operasi :
1. Hikake (Penahan)
2. Piseto
3. AIBO OKURI (Pemasuk Inti dan pemasuk mantel)
4. MESU (pisau operasi)
5. DONYUKI (pembuka torehan)
6. SONYUKI (pembuka mantel
7. HERA dan KAI KOKI (pembuka mantel dan Forcep)
8. SHAIBOHASAM (Gunting,pemotong mantel)
B. Bahan Insersi
1. Siput donor
2. Siput siap operasi dan Nukleus
C. Kegiatan Insersi
1. Pemotongan mantel
2. Pengambialan Inti
3. Pemasukan Inti
1.6.4 Pemeliharaan Tiram Pasca Pemasukan Inti
Setelah pemasangan inti selesai dilakukan, segera masukkan kembali
tiram yang sudah dioperasi ke dalam pocket keranjang dan digantung di rakit
pemeliharaan atau harus dengan segera dimasukkan ke dalam air dengan
perlakuan yang sangat hati – hati untuk diistirahatkan. Selama ± 3 bulan
setelah pemasangan inti, dalam 3 hari sekali posisi tiram dibolak balik, itu
biasanya di sebut masa Tento, yaitu posisi tiram yang tadinya domersal, tiga
hari kemudian dibalik ke posisi samping, tiga hari berikutnya menghadap
kebawah, begitu seterusnya selama masa tento. Dan kebersihannya tetap
dijaga dari gangguan organisme.
Setelah masa pemeliharaan 18-24 bulan, panen dapat dilakukan
dengan terlebih dahulu pengambilan contoh untuk memperkirakan besarnya
ukuran mutiara yang diinginkan. Biasanya ditemukan bentuk–bentuk mutiara
yang tidak bundar sempurna, bahkan ada bentuk lonjong barouk dan bintik-
bintik/spol, hal ini dapat terjadi karena kurang cermatnya penanganan dalam
masa pemeliharaan.
2.7 PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT
Hama umunya menyerang bagian cangkang. Hama tersebut berupa jenis
teritip, cacing, dan polichaeta yang mampu mengebor atau melubangi cangkang
kerang mutiara. Ada pula hama yang lain berupa hewan predator, seperti gurita
dan ikan sidat. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk meminimalisir hal
tersebut ialah dengan cara manual pada periode waktu yang telah ditentukan.
Penyakit kerang mutiara umumnya disebabkan oleh gangguan dari parasit,
bakteri, dan virus. Parasit yang sering ditemukan adalah Haplosporidium nelsoni.
Sedangkan bakteri yang sering menjadi masalah, antara lain seperti Pseudomonas
enalia, Vibrio anguillarum, dan Achromobacter sp. Sementara itu jenis virus yang
sering menginfeksi kerang mutiara adalah virus herpes.
Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir penyakit-
penyakit pada kerang mutiara. Upaya tersebut antara lain:
a) Selalu memonitor salinitas air agar dalam kisaran yang dibutuhkan. Hal ini
dibutuhkan untuk menjaga kesehatan kerang mutiara yang dibudidaya.
b) Tetap menjaga agar fluktuasi suhu air tidak terlalu tinggi. Contoh hal yang
sekiranya dapat dilakukan adalah dengan melakukan pemeliharaan kerang
mutiara yang tidak terlalu dekat kepermukaan air pada musim dingin.
c) Lokasi budidaya dipilih dengan kondisi kecerahan yang cukup bagus.
Pencerahan yang cukup akan memudahkan terjadinya proses fotosintesa
yang dimana dapat menghasilkan pakan alami untuk kerang mutiara
sendiri.
d) Tidak memilih lokasi pada perairan dengan dasar pasir berlumpur.
Banyaknya bakteri maupun komponen-komponen tertentu yang dikandung
dalam lumpur dapat merusak cangkang kerang mutiara itu sendiri.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 KESIMPULAN
Potensi pengembangan budidaya Mutiara cukup luas yaitu 2.394,50 ton
Ha dan baru di mamfaatkan 1.962,50 Ha dengan tingkatan produksi mencapai
0,20 ton. Permintaan Mutiara produksi Lombok sangat di minati baik oleh
pembeli dalam Negeri maupaun manca Negara karena mutiaranya memiliki
keunikan tersendiri yang membedakannya dengan produksi daerah lain.
Mutiara terbentuk akibat respon dari tiram untuk menolak rasa sakit
secara Konsentris akibat masuknya benda asing kedalam tubuhnya, lapisan
tersebut terdiri dari mineral yang diproduksi oleh tiram berupa cairan nacre yang
melapisi benda asing tersebut dengan cahaya berkilau.
Pemeliharaan induk tiram mutiara dapat dilakukan di laut dengan
menggunakan rakit apung, long line atau di laboratorium bersama dengan
kegiatan pendederan dengan menggunakan pocket net atau pocket keranjang.
3.2 SARAN
Diharapkan untuk masa – masa yang akan datang, perlu kiranya
pemahaman yang lebih mendalam lagi tentang aspek-aspek yang mempengaruhi
budidaya tiram mutiara, baik itu aspek pemilihan lokasi (faktor resiko, factor
ekologi), sarana pembenihan, biologi tiram mutiara, kultur pakan hidup, dan
hama penyakit tiram mutiara.
DAFTAR PUSTAKA
Alagarswami, at al, 1983. Larva Rearing and Productionof Spat of Pearl Oyster
Pinctada fucata (Gould). Aquacultur 3.Elsivier Science
Publisher.B.V.Amsterdam. Pg.287-301.
Bayne, 1976. Mutiara, Lembaga Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.
CMFRI, 1991. Pearl Oyster Farming and Pearl Cultur. Training Manual No.8.
Regional Seafarming Development and Demonstration Project.
RAS/90/002. Bangkok, Thailand. 103 p.
Ghufran, Muhammad. 2011. Budi Daya 22 Komoditas Laut untuk Konsumsi
Lokal dan Ekspor. Penerbit Andi. Yogyakarta
Loosanoff, V dan Davis, H., 1963. Rearingof Bivalve Mollusks. US Beureuof
Commercial Fisheris Biological Laboratory. Mildford, Connecticut.
130 p.
Segal, E., 1990. Light, Animal, Invertebrates.Merine Ecology, A Comprehensive,
Integrated Treatise on Life in The Oceans and Coatal Waters. Vol
I.Environmental Factors.PartI. Wiley-Interscience.London,Pg: 159-
212.
Winanto,T., 1991. Pembenihan Tiram Mutiara. Buletin Budidaya Laut No.1.
Balai Budidaya Laut. Lampung
Winanto,T dan S.Basi Dhon., 1998. Rekayasa Teknologi Pemeliharaan Larva
Tiram Mutiara (Pinctada maxima). Pertemuan Koordinasi dan
Pemantapan Rekayasa Teknologi Pembenihan Lintas UPT, Ditjen.
Perikanan, Maret 1998. Puncak, Bogor.