Download - makalah hhd
BAB I
HIPERTENSI
I. 1. Epidemiologi
Hipertensi adalah masalah kesehatan masyarakat. Hipertensi yang tidak
terkontrol dapat memicu timbulnya penyakit degeneratif, seperti gagal jantung
kongestif, gagal ginjal, dan penyakit vaskuler. Hipertensi disebut “silent killer” karena
sifatnya asimptomatik dan setelah beberapa tahun menimbulkan stroke yang fatal
atau penyakit jantung. Meskipun tidak dapat diobati, pencegahan dan
penatalaksanaan dapat menurunkan kejadian hipertensi dan penyakit yang
menyertainya.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, diketahui hampir
seperempat (24,5%) penduduk Indonesia usia di atas 10 tahun mengkonsumsi
makanan asin setiap hari, satu kali atau lebih. Sementara prevalensi hipertensi di
Indonesia mencapai 31,7% dari populasi pada usia 18 tahun ke atas. Dari jumlah itu,
60% penderita hipertensi berakhir pada stroke. Sedangkan sisanya pada jantung,
gagal ginjal, dan kebutaan. Pada orang dewasa, peningkatan tekanan darah sistolik
sebesar 20 mmHg menyebabkan peningkatan 60% risiko kematian akibat penyakit
kardiovaskuler.
Berdasarkan American Heart Association (AHA, 2001), terjadi peningkatan
rata-rata kematian akibat hipertensi sebesar 21% dari tahun 1989 sampai tahun
1999. Secara keseluruhan kematian akibat hipertensi mengalami peningkatan
sebesar 46%. Data Riskesdas menyebutkan hipertensi sebagai penyebab kematian
nomor 3 setelah stroke dan tuberkulosis, jumlahnya mencapai 6,8% dari proporsi
penyebab kematian pada semua umur di Indonesia.
Hipertensi perlu diwaspadai karena merupakan bahaya diam-diam. Tidak ada
gejala atau tanda khas untuk peringatan dini bagi penderita hipertensi. Selain itu,
banyak orang merasa sehat dan energik walaupun memiliki hipertensi. Berdasarkan
hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, sebagian besar kasus hipertensi di
masyarakat belum terdiagnosis.
I. 2. Definisi
Hipertensi (tekanan darah tinggi) adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam
arteri. Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi
esensial. Menurut The Seventh of The Joint national Committee on Prevention,
detection, Wvaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi
tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prehipertensi,
hipertensi derajat 1, dan derajat 2.
Klasifikasi Tekanan darah menurut JNC 7
Klasifikasi Tekanan
DarahTDS (mmHg) TDD (mmHg)
Normal < 120 dan < 80
Prehipertensi 120 – 139 atau 80 – 90
Hipertensi derajat 1 140 – 159 atau 90 – 99
Hipertensi derajat 2 ≥ 160 atau ≥ 100
Pasien dengan prehipertensi berisiko mengalami peningkatan tekanan darah
menjadi hipertensi; mereka yang tekanan darahnya berkisar antara 130 – 139/80 –
89 mmHg dalam sepanjang hidupnya akan memiliki dua kali risiko menjadi hipertensi
dan mengalami penyakit kardiovaskular daripada yang tekanan darahnya lebih
rendah.
Pada orang yang berumur lebih dari 50 tahun, tekanan darah sistolik >140 mmHg
merupakan factor resiko yang lebih penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskular
daripada tekanan darah diastolic.
Risiko penyakit kardiovaskular dimulai pada tekanan darah 115/75 mmHg,
meningkat dua kali dengan tiap kenaikan 20/10 mmHg
Risiko penyakit kardiovaskular bersifat kontinyu, konsisten, dan independen
dari factor resiko lainnya
I. 3 . Etiologi
2
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
hipertensi esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder atau hipertensi
renal.
1) Hipertensi esensial
Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut
juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang
mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf simpatis,
sistem renin angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca
intraseluler dan faktor-faktor yang meningkatkan resiko seperti obesitas, alkohol,
merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer biasanya timbul pada usia 30 – 50
tahun.
2) Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 % kasus. Penyebab
spesifik diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular
renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing, feokromositoma, koarktasio
aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain – lain.
a) Hipertensi pada penyakit ginjal
Penyakit ginjal dapat meningkatkan tekanan darah dan sebaliknya hipertensi dalam
jangka waktu yang lama dapat mengganggu ginjal. Secara klinis sulit untuk
membedakan dua keadaan tersebut, terutama pada penyakit ginjal menahun.
Beratnya pengaruh hipertensi terhadap ginjal tergantung dari tingginya tekanan
darah dan lamanya menderita hipertensi. Makin tinggi tekanan darah dalam waktu
lama makin berat komplikasi yang mungkin ditimbulkan.
Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal akut maupun
penyakit ginjal kronik, baik pada kelainan glumerolus maupun pada kelainan
vaskular. Hipertensi pada penyakit ginjal dapat dikelompokkan dalam :
1. Penyakit glumerolus akut
2. Penyakit vaskuler
3. Gagal ginjal kronik
3
4. Penyakit glumerolus kronik
b) Hipertensi pada penyakit renovaskular.
Hipertensi renovaskular merupakan penyebab tersering dari hipertensi sekunder.
Diagnosa hipertensi renovaskular penting karena kelainan ini potensial untuk
disembuhkan dengan menghilangkan penyebabnya yaitu stenosis arteri renalis.
Stenosis arteri renalis adalah suatu keadaan terdapatnya lesi obstruktif secara
anatomik pada arteri renalis. Sedangkan hipertensi renovaskular adalah hipertensi
yang terjadi akibat fisiologis adanya stenosis arteri renalis. Istilah nefropati iskemik
menggambarkan suatu keadaan terjadinya penurunan fungsi ginjal akibat adanya
stenosis arteri renalis. Jika terjadi gangguan fungsi ginjal, kelainan ini akan menetap
walaupun tekanan darahnya dapat dikendalikan dengan pengobatan yang meliputi
medikamentosa antihipertensi, revaskularisasi dengan tindakan bedah ataupun
angioplasti.
c) Hipertensi pada kelainan endokrin
Salah satu penyakit yang disebabkan oleh kerusakan endokrin adalah
aldosteronisme primer (Sindrom Conn). Hiperaldosteronisme primer adalah sindrom
yang disebabkan oleh hipersekresi aldesteron yang tidak terkendali yang umumnya
berasal dari kelenjar korteks adrenal. Hiperaldosteronisme primer secara klinis
dikenal dengan triad terdiri dari hipertensi, hipokalemi, dan alkalosis metabolik.
Sindrom ini disebabkan oleh hiperplasi kelenjar korteks adrenal, adenoma atau
karsinoma adrenal.
d) Sindrom Cushing
Sindrom cushing disebabkan oleh hiperplasi adrenal bilateral yang disebabkan oleh
adenoma hipofisis yang menghasilkan Adenocorticotropin Hormone (ACTH).
e) Hipertensi adrenal kongenital
Hipertensi adrenal kongenital merupakan penyabab terjadinya hipertensi pada anak
(jarang terjadi).
f) Feokromositoma
Feokromositoma adalah salah satu hipertensi endokrin yang patut dicurigai apabila
terdapat riwayat dalam keluarga. Tanda – tanda yang mencurigai adanya
feokromositoma yaitu hipertensi, sakit kepala, hipermetabolisme, hiperhidrosis, dan
hiperglikemia.
4
Feokromositomia disebabkan oleh tumor sel kromatin asal neural yang
mensekresikan katekolamin. Sebagian besar berasal dari kelenjar adrenal, dan
hanya 10 % terjadi di tempat lain dalam rantai simpatis. 10 % dari tumor ini ganas
dan 10 % adenoma adrenal adalah bilateral. Feokromositomia dicurigai jika tekanan
darah berfluktuasi tinggi, disertai takikardi, berkeringat atau edema paru karena
gagal jantung.
g) Koartasio aorta
Koarktasi aorta paling sering mempengaruhi aorta pada distal dari arteri subklavia
kiri dan menimbulkan hipertensi pada lengan dan menurunkan tekanan pada kaki,
dengan denyut nadi arteri femoralis lemah atau tidak ada. Hipertensi ini dapat
menetap bahkan setelah reseksi bedah yang berhasil, terutama jika hipertensi terjadi
lama sebelum operasi.
h) Hipertensi pada kehamilan
Hipertensi pada kehamilan merupakan penyebab utama peningkatan morbiditas dan
mortalitas maternal, janin dan neonatus. Kedaruratan hipertensi dapat menjadi
komplikasi dari preeklampsia sebagaimana yang terjadi pada hipertensi kronik.
Perempuan hamil dengan hipertensi mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya
komplikasi yang berat seperti abruptio plasenta, penyakit serebrovaskuler, gagal
organ, koagulasi intravaskular. Penelitian observasi pasien hipertensi kronik yang
ringan didapatkan risiko kehamilan preaklampsia 10 – 25 %, abruptio 0,7 – 1,5 %,
kehamilan prematur kurang dari 37 minggu 12 – 34 %, dan hambatan pertumbuhan
janin 8 – 16 %. Risiko bertambah pada hipertensi kronik yang berat pada trimester
pertama dengan didapatnya preaklampsia sampai 50 %. Terhadap janin,
mengakibatkan risiko retardasi perkembangan intrauterin, prematuritas dan kematian
intrauterin. Selain itu risiko hipertensi seperti gagal jantung, ensepalopati, retinopati,
perdarahan serebral, dan gagal ginjal akut dapat terjadi. Sampai sekarang yang
belum jelas apakah tekanan darah yang terkontrol secara agresif dapat menurunkan
terjadinya eklampsia.
i) Hipertensi akibat dari penggunaan obat – obatan.
Penggunaan obat yang paling banyak berkaitan dengan hipertensi adalah pil
kontrasepsi oral (OCP). 5% perempuan mengalami hipertensi sejak mulai
penggunaan. Perempuan usia lebih tua (> 35 tahun)lebih mudah terkena, begitupula
5
dengan perempuan yang pernah mengalami hipertensi selama kehamilan. Pada 50
% tekanan darah akan kembali normal dalam 3 – 6 sesudah penghentian pil.
Penggunaan estrogen pascamenopause bersifat kardioproteksi dan tidak
meningkatkan tekanan darah. Obat lain yang terkait dengan hipertensi termasuk
siklosporin, eritopoietin, dan kokain.
I. 4 . Gejala Klinis
Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala
pada hipertensi esensial dan tergantung dari tinggi rendahnya tekanan darah, gejala
yang timbul dapat berbeda-beda. Kadang-kadang hipertensi esensial berjalan tanpa
gejala, dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti
pada ginjal, mata, otak dan jantung.
Perjalanan penyakit hipertensi sangat berlahan. Penderita hipertensi mungkin
tidak menunjukkan gejala selama bertahun – tahun. Masa laten ini menyelubungi
perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang bermakna. Bila
terdapat gejala biasanya hanya bersifat spesifik, misalnya sakit kepala atau pusing.
Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga
berdengung, rasa berat di tungkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-kunang. Apabila
hipertensi tidak diketahui dan dirawat dapat mengakibatkan kematian karena payah
jantung, infark miokardium, stroke atau gagal ginjal. Namun deteksi dini dan
parawatan hipertensi dapat menurunkan jumlah morbiditas dan mortalitas.
I. 4 . Patogenesis
Tekanan darah terutama dikontrol oleh sistem saraf simpatik (kontrol jangka
pendek) dan ginjal (kontrol jangka panjang). Mekanisme yang berhubungan dengan
penyebab hipertensi melibatkan perubahan – perubahan pada curah jantung dan
resistensi vaskular perifer. Pada tahap awal hipertensi primer curah jantung meninggi
sedangkan tahanan perifer normal. Keadaan ini disebabkan peningkatan aktivitas
simpatik. Saraf simpatik mengeluarkan norepinefrin, sebuah vasokonstriktor yang
mempengaruhi pembuluh arteri dan arteriol sehingga resistensi perifer meningkat.
Pada tahap selanjutnya curah jantung kembali ke normal sedangkan tahanan perifer
meningkat yang disebabkan oleh refleks autoregulasi. Yang dimaksud dengan
refleks autoregulasi adalah mekanisme tubuh untuk mempertahankan keadaan
hemodinamik yang normal. Oleh karena curah jantung yang meningkat terjadi
6
konstriksi sfingter pre-kapiler yang mengakibatkan penurunan curah jantung dan
peninggian tahanan perifer. Pada stadium awal sebagian besar pasien hipertensi
menunjukkan curah jantung yang meningkat dan kemudian diikuti dengan kenaikan
tahanan perifer yang mengakibatkan kenaikan tekanan darah yang menetap.
Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan hipertensi
esensial antara lain :
1) Curah jantung dan tahanan perifer
Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh
terhadap kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi esensial
curah jantung biasanya normal tetapi tahanan perifernya meningkat. Tekanan darah
ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus yang terdapat pada arteriol kecil.
Peningkatan konsentrasi sel otot halus akan berpengaruh pada peningkatan
konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan konsentrasi otot halus ini semakin
lama akan mengakibatkan penebalan pembuluh darah arteriol yang mungkin
dimediasi oleh angiotensin yang menjadi awal meningkatnya tahanan perifer yang
irreversible.
2) Sistem Renin-Angiotensin
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan
ekstraseluler dan sekresi renin.1 Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem
endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi oleh
juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon glomerulus underperfusion atau
penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem saraf simpatetik.
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari
angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan
fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung
angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh
ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE
yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida
yang sangat aktif). Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah
karena bersifat sebagai vasoconstrictor melalui dua jalur, yaitu:
7
a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH
diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk
mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat
sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi
pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume cairan
ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian
instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan
tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur
volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam)
dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl
akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler
yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.
3) Sisten Saraf Otonom
Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan dilatasi
arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting dalam
pempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi antara
sistem saraf otonom dan sistem renin-angiotensin bersama – sama dengan faktor
lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa hormon.
4) Disfungsi Endotelium
Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam pengontrolan
pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah vasoaktif lokal yaitu molekul
oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus
hipertensi primer. Secara klinis pengobatan dengan antihipertensi menunjukkan
perbaikan gangguan produksi dari oksida nitrit.
5) Substansi vasoaktif
Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor natrium dalam
mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin merupakan
vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin dapat meningkatkan
sensitifitas garam pada tekanan darah serta mengaktifkan sistem renin-angiotensin
8
lokal. Arterial natriuretic peptide merupakan hormon yang diproduksi di atrium
jantung dalam merespon peningkatan volum darah. Hal ini dapat meningkatkan
ekskresi garam dan air dari ginjal yang akhirnya dapat meningkatkan retensi cairan
dan hipertensi.
6) Hiperkoagulasi
Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding pembuluh
darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium), ketidaknormalan faktor
homeostasis, platelet, dan fibrinolisis. Diduga hipertensi dapat menyebabkan
protombotik dan hiperkoagulasi yang semakin lama akan semakin parah dan
merusak organ target. Beberapa keadaan dapat dicegah dengan pemberian obat
anti-hipertensi.
7) Disfungsi diastolik
Hipertropi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat ketika terjadi
tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi peningkatan kebutuhan input ventrikel,
terutama pada saat olahraga terjadi peningkatan tekanan atrium kiri melebihi normal,
dan penurunan tekanan ventrikel.
I. 5 . Faktor Risiko
Sampai saat ini penyebab hipertensi secara pasti belum dapat diketahui
dengan jelas. Secara umum, faktor risiko terjadinya hipertensi yang teridentifikasi
antara lain :
a. Keturunan
Dari hasil penelitian diungkapkan bahwa jika seseorang mempunyai orang tua atau
salah satunya menderita hipertensi maka orang tersebut mempunyai risiko lebih
besar untuk terkena hipertensi daripada orang yang kedua orang tuanya normal
(tidak menderita hipertensi). Adanya riwayat keluarga terhadap hipertensi dan
penyakit jantung secara signifikan akan meningkatkan risiko terjadinya hipertensi
pada perempuan dibawah 65 tahun dan laki – laki dibawah 55 tahun.
b. Usia
9
Beberapa penelitian yang dilakukan, ternyata terbukti bahwa semakin tinggi usia
seseorang maka semakin tinggi tekanan darahnya.. Hal ini disebabkan elastisitas
dinding pembuluh darah semakin menurun dengan bertambahnya usia. Sebagian
besar hipertensi terjadi pada usia lebih dari 65 tahun. Sebelum usia 55 tahun
tekanan darah pada laki – laki lebih tinggi daripada perempuan. Setelah usia 65
tekanan darah pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Dengan demikian,
risiko hipertensi bertambah dengan semakin bertambahnya usia.
c. Jenis kelamin
Jenis kelamin mempunyai pengaruh penting dalam regulasi tekanan darah. Sejumlah
fakta menyatakan hormon sex mempengaruhi sistem renin angiotensin. Secara
umum tekanan darah pada laki – laki lebih tinggi daripada perempuan. Pada
perempuan risiko hipertensi akan meningkat setelah masa menopause yang
mununjukkan adanya pengaruh hormon.
d. Merokok
Merokok dapat meningkatkan beban kerja jantung dan menaikkan tekanan darah.
Menurut penelitian, diungkapkan bahwa merokok dapat meningkatkan tekanan
darah. Nikotin yang terdapat dalam rokok sangat membahayakan kesehatan, karena
nikotin dapat meningkatkan penggumpalan darah dalam pembuluh darah dan dapat
menyebabkan pengapuran pada dinding pembuluh darah. Nikotin bersifat toksik
terhadap jaringan saraf yang menyebabkan peningkatan tekanan darah baik sistolik
maupun diastolik, denyut jantung bertambah, kontraksi otot jantung seperti dipaksa,
pemakaian O2 bertambah, aliran darah pada koroner meningkat dan vasokontriksi
pada pembuluh darah perifer.
e. Obesitas
Kelebihan lemak tubuh, khususnya lemak abdominal erat kaitannya dengan
hipertensi. Tingginya peningkatan tekanan darah tergantung pada besarnya
penambahan berat badan. Peningkatan risiko semakin bertambah parahnya
hipertensi terjadi pada penambahan berat badan tingkat sedang. Tetapi tidak semua
obesitas dapat terkena hipertensi. Tergantung pada masing – masing individu.
Peningkatan tekanan darah di atas nilai optimal yaitu > 120 / 80 mmHg akan
meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler. Penurunan berat badan
10
efektif untuk menurunkan hipertensi, Penurunan berat badan sekitar 5 kg dapat
menurunkan tekanan darah secara signifikan.
f. Stress
Hubungan antara stress dengan hipertensi diduga melalaui saraf simpatis yang
dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Apabila stres berlangsung
lama dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah yang menetap. Pada binatang
percobaan dibuktikan bahwa pajanan terhadap stres menyebabkan binatang
tersebut menjadi hipertensi.
g. Aktifitas Fisik
Orang dengan tekanan darah yang tinggi dan kurang aktifitas, besar kemungkinan
aktifitas fisik efektif menurunkan tekanan darah. Aktifitas fisik membantu dengan
mengontrol berat badan. Aerobik yang cukup seperti 30 – 45 menit berjalan cepat
setiap hari membantu menurunkan tekanan darah secara langsung.23 Olahraga
secara teratur dapat menurunkan tekanan darah pada semua kelompok, baik
hipertensi maupun normotensi.
h. Asupan
1) Asupan Natrium
2) Asupan Kalium
3) Asupan Magnesium
4) Asupan Kalsium
I. 6 . Gejala klinis
Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala,
meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan berhubungan
dengan tekanan darah tinggi. Gejala yang dimaksud adalah sakit kepala, perdarahan
dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan; yang bisa saja terjadi baik
pada penderita hipertensi, maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang
normal. Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala
berikut:
11
Sakit kepala
Kelelahan
Mual
Muntah
Sesak nafas
Gelisah
Pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak,
mata, jantung dan ginjal.
Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan
bahkan koma karena terjadi pembengkakan otak. Keadaan ini disebut hipertensif
ensefalopati, yang memerlukan penanganan segera.
Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan
darah yang sangat tinggi yang kemungkinan dapat menimbulkan atau telah
terjadinya kelainan organ target. Biasanya ditandai oleh tekanan darah >180/120
mmHg.
Pada hipertensi emergensi tekanan darah meningkat ekstrim disertai dengan
kerusakan organ target akut yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus
diturunkan segera (dalam hitungan menit – jam) untuk mencegah kerusakan organ
target lebih lanjut. Contoh gangguan organ target akut: ensefalopati, pendarahan
intrakranial, gagal ventrikel kiri akut disertai edema paru, dissecting aortic aneurysm,
angina pectoris tidak stabil, dan eklampsia atau hipertensi berat selama kehamilan.
Hipertensi urgensi adalah tingginya tekanan darah tanpa disertai kerusakan organ
target yang progresif. Tekanan darah diturunkan dengan obat antihipertensi oral ke
nilai tekanan darah pada tingkat 1 dalam waktu beberapa jam sampai dengan
beberapa hari.
I. 7. Pemeriksaan Mencari Faktor Resiko
Faktor resiko penting untuk menentukan resiko hipertensi dan stratifikasi terhadap
kejadian komplikasi kardiovaskular, yaitu :
1. Resiko untuk stratifikasi
a. Derajat hipertensi
b. Wanita > 65 tahun
12
c. Laki-laki > 55 tahun
d. Perokok
e. Kolesterol total > 250 mg% (6,5 mmol/L)
f. Diabetes mellitus
g. Riwayat keluarga penyakit kardiovaskular lain
2. Resiko lain yang mempengaruhi prognosis
a. Kolesterol HDL rendah
b. Kolesterol LDL meningkat
c. Mikroalbuminaria pada diabetes mellitus
d. Toleransi glukosa terganggu
e. Obesitas
f. Tidak berolahraga (secondary lifestyle)
g. Fibrinogen meningkat
h. Kelompok resiko tinggi tertentu; sosioekonomi, ras, geografik
3. Kerusakan organ sasaran
a. Hipertrofi ventrikel kiri
b. Proteinuria / kreatinin 1,2 – 2,0 mg%
c. Penyempitan a.retina local / umum
d. Tanda aterosklerosis pada A. karotis, A. iliaka, aorta
4. Tanda klinis kelainan dengan penyakit
a. Penyakit serebrovaskular
Stroke iskemik
Perdarahan serebral
b. Penyakit jantung
Infark miokard
Angina pectoris
Revaskularisasi koroner
Gagal jantung kongestif
c. Retinopati hipertensi lanjut
Perdarahan atau eksudat
Edema papil
13
d. Penyakit ginjal
Nefropati diabetic
GGK (kreatinin > 2 mg %)
e. Penyakit lain
Diseksi aneurisma
Penyakit arteri (simtomatik)
I. 8. Komplikasi
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel arteri
dan mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya
organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah besar.
Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular (stroke,
transient ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard, angina), gagal
ginjal, dementia, dan atrial fibrilasi. Bila penderita hipertensi memiliki faktor-faktor
resiko kardiovaskular lain, maka akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas akibat
gangguan kardiovaskularnya tersebut. Menurut Studi Framingham, pasien dengan
hipertensi mempunyai peningkatan resiko yang bermakna untuk penyakit koroner,
stroke, penyakit arteri perifer, dan gagal jantung.
14
HIPERTENSIJantung :
Hipertrofi ventrikel kiriGagal jantung kronikInfark miokard Penyakit jantung kongestifAritmia
Pembuluh Darah :Arteriosklerosis
Penyakit pembuluh darah perifer Penyakit jantung koroner
Insufisiensi ginjal
Ginjal
OTAK
Stroke TIA
MATA Retinopati
Faktor risiko
Disfungsi endotel
aterosklerosis
Infark miokard akut
Disfungsi sistolikventrikel kiri
remodelling
Gagal jantung kongestif
Gagal jantungtahap akhir
KEMATIAN
Disritmia mati mendadak
Disfungsi diastolik
Hipertrofiventrikel kiri
Disfungsi endotel
Tekanan glomerulus
Gagal ginjal tahap akhir Disfungsi mesangial
sitokin
Proteinuriasklerosis & fibrosis
Paradigma Perjalanan Penyakit Kardiovaskular
plak tidak stabil
Penyakit jantung koroner
PVD
STROKE
Hipertensi
15
I. 9. Diagnosis
Tekanan darah diukur setelah seseorang duduk atau berbaring selama 5
menit. Angka 140/90 mmHg atau lebih dapat diartikan sebagai hipertensi, tetapi
diagnosis tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan satu kali pengukuran.
Pengukuran pertama harus pada kedua sisi lengan untuk menghindarkan kelainan
pembuluh darah perifer. Jika pada pengukuran pertama memberikan hasil yang
tinggi, maka tekanan darah diukur kembali dan kemudian diukur sebanyak 2 kali
pada 2 hari berikutnya untuk meyakinkan adanya hipertensi. Hasil pengukuran bukan
hanya menentukan adanya tekanan darah tinggi, tetapi juga digunakan untuk
menggolongkan beratnya hipertensi. Setelah diagnosis ditegakkan, dilakukan
pemeriksaan terhadap organ utama, terutama pembuluh darah, jantung, otak dan
ginjal
I. 10. Pemeriksaan Penunjang
Tes darah rutin
Hemoglobin dan hematokrit
Urinalisis terutama untuk deteksi adanya darah, protein, gula
Kimia darah untuk kalium (serum), kreatinin (serum), gula darah puasa, total
kolesterol
Elektrokardiogram
Ekokardiogram
Radiologi: foto toraks
Sesuai penyakit penyerta
Kolesterol total serum, kolesterol HDL serum, LDL serum, kolesterol
trigliserida serum (puasa)
Asam urat serum
Plasma rennin activity (PRA), aldosteron, katekolamin urin
Ekokardiografi bila diduga KOS (kerusakan organ sasaran), seperti adanya
LVH
Ultrasonografi pembuluh darah besar (karotis dan femoral)
Ultrasonografi ginjal bila diduga adanya kelainan ginjal
Pemeriksaaan neurologis untuk mengetahui kerusakan pada otak
Funduskopi untuk mengetahui kerusakan pada mata
16
I. 11. Penatalaksanaan hipertensi
a. Penatalaksanaan non farmakologis
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang untuk mencegah tekanan darah
tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam penanganan hipertensi. Semua
pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup.
Di samping menurunkan tekanan darah pada pasien-pasien dengan hipertensi,
modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke
hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi. Modifikasi gaya
hidup yang penting yang terlihat menurunkan tekanan darah adalah:
mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk;
mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang
kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan
tidak merokok dan mengkonsumsi alkohol.
Pada sejumlah pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik
dengan terapi satu obat antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat
membebaskan pasien dari menggunakan obat. Program diet yang mudah diterima
adalah yang diatur untuk menurunkan berat badan secara perlahan-lahan pada
pasien yang gemuk dan obesitas disertai pembatasan pemasukan natrium dan
alkohol. Untuk ini diperlukan pendidikan ke pasien, dan dorongan moral. Aktifitas fisik
juga dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga aerobik secara teratur paling tidak
30 menit/hari beberapa hari per minggu ideal untuk kebanyakan pasien. Studi
menunjukkan kalau olah raga aerobik, seperti jogging, berenang, jalan kaki, dan
menggunakan sepeda, dapat menurunkan tekanan darah. Keuntungan ini dapat
terjadi walaupun tanpa disertai penurunan berat badan. Pasien harus konsultasi
dengan dokter untuk mengetahui jenis olah raga mana yang terbaik terutama untuk
pasien dengan kerusakan organ target. Merokok merupakan faktor resiko utama
independen untuk penyakit kardiovaskular. Pasien hipertensi yang merokok harus
dikonseling berhubungan dengan resiko lain yang dapat diakibatkan oleh merokok.
17
Tabel II. Modifikasi Gaya Hidup untuk mengontrol hipertensi
Modifikasi RekomendasiKira-kira penurunantekanan darah, range
Penurunan berat badan(BB)
Pelihara berat badan normal
(BMI 18.5 – 24.9)
5-20 mmHg/10-kgpenurunan BB
Adopsi pola makan DASHDiet kaya dengan buah, sayur, dan produk
susu rendah lemak8-14 mm Hg1
Diet rendah sodium Mengurangi diet sodium, tidak lebih dari 100meq/L (2,4 g sodium atau 6 g sodium klorida)
2-8 mm Hg
Aktifitas fisikRegular aktifitas fisik aerobik seperti jalan kaki
30 menit/hari, beberapa hari/minggu4-9 mm Hg18
Minum alkohol sedikit saja
Limit minum alkohol tidak lebih dari 2/hari (30
ml etanol [mis.720 ml beer], 300ml wine)
untuk laki-laki dan 1/hari untuk perempuan
2-4 mm Hg
Singkatan: BMI = body mass index, BB = berat badan, DASH = Dietary Approach to Stop
Hypertension
* Berhenti merokok, untuk mengurangi resiko kardiovaskular secara keseluruhan
b. Penatalaksanaan farmakologis
Jenis – jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan
JNC 7:
Diuretika, terutama jenis Thiazie (Thiaz) atau Aldosterone Antagonist (Aldo
Ant)
Beta Blocker (BB)
Calcium Channel Blocker atau Calcium Anatagonist (CCB)
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1receptor antagonist / blocker (ARB)
Masing – masing obat antihipertensi memiliki efektivitas dan keamanan dalam
pengobatan hipertensi, tetapi pemilihan obat antihipertensi juga dipengaruhi
beberapa faktor, yaitu :
18
Faktor sosioekonomi
Profil faktor resiko kardiovaskular
Ada tidaknya kerusakan organ target
Ada tidaknya penyakit penyerta
Variasi individu dari respon pasien terhadap obat antihipertensi
Kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang digunakan pasien untuk
penyakit lain
Bukti ilmiah kemampuan obat antihipertensi yang akan digunakan dalam
menurunkan resiko kardiovaskular
Untuk keperluan pengobatan, ada pengelompokan pasien berdasar yang
memerlukan pertimbangan khusus (Special Consederations), yaitu Kelompok
Indikasi yang Memaksa (Compelling Indications), dan Keadaan Khusus lainnya
(Special Situations).
Indikasi yang memaksa meliputi :
Gagal jantung
Pasca infark miokardium
Resiko penyakit pembuluh darah koroner tinggi
Diabetes
Penyakit ginjal kronis
Pencegahan stroke berulang
Keadaan khusus lainnya meliputi :
Populasi minoritas
Obesitas dan sindrom metabolic
Hipertrofi ventrikel kanan
Penyakit arteri perifer
Hipertensi pada usia lanjut
Hipotensi postural
Demensia
Hipertensi pada perempuan
Hipertensi pada anak dan dewasa muda
Hipertensi urgensi dan emergensi
19
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap, dan
target tekanan darah tinggi dicapai secara progresif dalam beberapa minggu.
Dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau
yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari.
Pilihan memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau dengan
kombinasi tergantung tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi
dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis rendah, dan kemudian tekanan
darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan dosis
obat tersebut, atau berpindah ke antihipertensi lain dengan dosis rendah. Efek
samping umumnya bisa dihindarkan dengan dosis rendah, baik tunggal maupun
kombinasi. Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi untuk
mencapai target tekanan darah, tetapi terapi kombinasi dapat meningkatkan bisaya
pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena jumlah obat yang semakin
bertambah.
Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien adalah :
CCB dan BB
CCB dan ACEI atau ARB
CCB dan diuretika
AB dan BB
Kadang diperlukan tida atau empat kombinasi obat
20
Tabel III. Indikasi dan Kontraindikasi (KI) Obat Antihipertensi
Kelas Obat Indikasi KI Mutlak KI Tidak Mutlak
Diuretika (Thiazide)
Gagal jantung kongestif, usia
lanjut, isolated systolic
hypertension
Gout Kehamilan
Diuretika (Loop)Insufisiensi ginjal, gagal
jantung kongestif
Diuretika (anti aldosteron)Gagal jantung kongestif,
pasca infark miokardiumGagal ginjal, hiperkalemia
Β-blocker
Angina pectoris, pasca infark
miokardium, gagal jantung
kongestif, kehamilan,
takiaritmia
Asma, penyakit paru
obstruktif menahun, A-V
block (derajat 2 atau 3)
Penyakit pembuluh darah perifer,
intoleransi glukosa, atlit atau pasien
yang aktif secara fisik
Calcium Antagonist
(dihydopiridine)
Usia lanjut, isolated systolic
hypertension, angina
pectoris, penyakit pembuluh
darah perifer, aterosklerosis
karotis, kehamilan
Takiaritmia, gagal jantung kongestif
Calcium Antagonist
(verapamil, diltiazem)
Angina pectoris,
aterosklerosis karotis,
takikardia supraventrikuler
A-V block (derajat 2 atau 3),
gagal jantung kongestif
Penghambat ACE
Gagal jantung kongestif,
disfungsi ventrikel kiri, pasca
infark miokardium, non-
diabetic nefropati, nefropati
DM tipe 1, proteinuria
Kehamilan, hiperkalemia,
stenosis arteri renalis
bilateral
Angiotensin II receptor
antagonist (ATI-blocker)
Nefropati DM tipe 2,
mikroalbuminaria diabetic,
proteinuria, hipertrofi ventrikel
kiri, batuk karena ACEI
Kehamilan, hiperkalemia,
stenosis arteri renalis
bilateral
α – Blocker Hyperplasia prostat (BPH),
hiperlipidemiaHipotensi ortostatik Gagal jantung kongestif
21
Tabel IV. Monitoring kerusakan target organ
Kelas ObatParameter pasien yang di
monitor
Monitoring
Tambahan
ACE Inhibitor Hipotensi pada pemberian dosis pertama, pusing, batuk, tekanan darah, adherence (kepatuhan)
Fungsi ginjal (BUN, serum kreatinin), serum elektrolit (kalium)
ARB Hipotensi pada pemberian dosis pertama, pusing, tekanan darah, adherence
Fungsi ginjal (BUN, serum kreatinin), serum elektrolit (kalium)
Alpha-blocker(Penyekat alfa)
Hipotensi ortostatik (terutamadengan dosis pertama), Pusing, tekanan darah, adherence
-
Beta-blocker (Penyekat beta)
Denyut nadi, tekanan darah,toleransi thd olah raga, pusing, disfungsi seksual, gejala gagal jantung, adherence
Gejala gagal jantung,gula darah
Antagoniskalsium
Denyut nadi (verapamil,diltiazem), edema perifer, sakit kepala (terutama dengandihidropiridin), gejala gagaljantung, tekanan darah, adherence
Gejala gagal jantung
Obat yang bekerja sentral(metildopa, klonidin)
Sedasi, mulut kering, denyut nadi, gejala retensi cairan, tekanan darah, adherence
Enzim liver (metildopa)
Diuretik Pusing, status cairan, urine output, berat badan, tekanan darah, adherence
Fungsi ginjal (BUN, serum kreatinin), serum elektrolit (kalium, magnesium, natrium), kadar gula, asam urat (untuk tiazid)
ACE: angiotensin converting enzyme; ARB:angiotensin receptor blocker;
BUN:blood urea nitrogen
22
Tabel V. Tatalaksana Hipertensi Menurut JNC 7
Klasifikasi
Tekanan darah
TDS (mmHg) TDD (mmHg) Perbaikan Pola
Hidup
Terapi Obat
Awal tanpa
Indikasi
Memaksa
Terapi Obat
awal dengan
Indikasi
Memaksa
Normal < 120 dan < 80 Dianjurkan
Prehipertensi 120 – 139 atau 80 – 89 Ya Tidak indikasi
obat
Obat-obatan
untuk indikasi
yang memaksa
Hipertensi
derajat 1
140 – 159 atau 90 – 99 Ya Diuretika jenis
Thiazide untuk
sebagian besar
kasus, dapat
dipertimbangkan
ACEI, ARB, BB,
CCB, atau
kombinasi
Obat-obatan
untuk indikasi
yang memaksa
obat
antihipertensi
lain (diuretika,
ACEI, ARB, BB,
CCB) sesuai
kebutuhan
Hipertensi
derajat 2
≥ 160 atau ≥ 100 ya Kombinasi 2
obat untuk
sebagian besar
kasus umumnya
diuretika jenis
Thiazide dan
ACEI atau ARB
atau BB atau
CCB
Untuk melihat toksisitas dari terapi, efek samping dan interaksi obat harus di nilai
secara teratur. Efek samping bisanya muncul 2 sampai 4 minggu setelah memulai
obat baru atau setelah menaikkan dosis (tabel 7). Kejadian efek samping mungkin
memerlukan penurunan dosis atau substitusi dengan obat antihipertensi yang lain.
Monitoring yang intensif diperlukan bila terlihat ada interaksi obat.
23
Tabel VI. Efek samping dan kontraindikasi obat-obat antihipertensi
Kelas Obat Kontraindikasi Efek samping
ACE inhibitors Kehamilan, bilateral artery
stenosis, hiperkalemia
Batuk, angioedema, hiperkalemia,
hilang rasa, rash,
disfungsi renal
ARB Kehamilan, bilateral artery
stenosis, hiperkalemia
Angioedema (jarang),
hiperkalemia, dusfungsi renal
Penyekat alfa Hipotensi ortostatik, gagal
jantung, diabetes
Sakit kepala, pusing, letih,
hipotensi postural, hipotensi
dosis pertama, hidung
tersumbat, disfungsi ereksi
Penyekat beta Asma, heart block, sindroma
Raynaud’s yg parah
Bronkospasm, gagal jantung,
gangguan sirkulasi perifer,
insomnia, letih, bradikardi,
trigliserida meningkat, impoten,
hiperglikemi, exercise
intolerance
Antagonis kalsium Heart block, disfungsi sistolik
gagal jantung (verapamil,
diltiazem)
Sakit kepala, flushing, edema
perifer, gingival hyperplasia,
constipasi (verapamil), disfungsi
ereksi
Agonis sentral
(metildopa,
klonidine)
Depresi, penyakit liver
(metildopa), diabetes
Rebound hipertensi bila
dihentikan, sedasi, mulut kering,
bradikardi, disfungsi ereksi, retensi
natrium dan cairan, hepatitis
(jarang)
Diuretik Pirai Hipokalemia, hiperurisemia,
glucose intolerance (kecuali
indapamide), hiperkalsemia
(tiazid), hiperlipidemia,
hiponatremia, impoten (tiazid)
Tabel VII. Interaksi antara obat antihipertensi dengan obat lain
Kelas Obat Berinteraksi dengan Mekanisme Efek
Diuretik- Tiazid - Loop
Digoksin
Obat-obat yangmenurunkan kadarkalium
Hipokalemia
Hipokalemia
Digoksin menjadi lebih toksikLemah otot, aritmia jantung
24
- Potasium- Sparing
- Tiazid
ACEI, ARB,siklosporin, garamkalium
Carbamazepin, chlorpropamid
Hiperkalemia
Hiponatremia
Hiperkalemia yg serius dapat menyebabkancardiac arrestMual, muntah, letargi, bingung, dan kejang
Kelas Obat Berinteraksi dengan Mekanisme Efek
Penyekat
beta
Diltiazem, verapamil
Antidiabetik oral
Dobutamin
Adrenalin
Efek negatif inotropikyang aditifBlokade reseptor beta-2Antagonis reseptor β-1α-vasokonstriksi olehadrenalin
Bradikardia, depresimiokardialGejala hipoglisemiatertutupiEfek inotropik dr dobutamin dihambatHipertensi dan bradikardi
Verapamil
diltiazem
Penyekat beta
Digoksin
Efek negatif inotropikyang aditifMenghambat ekskresi renal digoksin
Bradikardia, depresimiokardialAkumulasi digoksin, efek aritmogenik
ACEI/ARB Diuretik penahanKalium
NSAID
Ekskresi kalium melalui ginjal berkurangRetensi Na dan H2O
Hiperkalemia
Efek antihipertensiberkurang
Klonidin Penyekat beta
Antidepresan trisiklik
Tidak diketahui
Antagonismeadrenoreseptor α-2 sentral
Fenomena rebound bila klonidin dihentikanEfek antihipertensiberkurang dan fenomenarebound bila klonidindihentikan
I. 12. Pencegahan
Resiko seseorang untuk mendapatkan hipertensi dapat dikurangi dengan cara :
- Memeriksa tekanan darah secara teratur
- Menjaga berat badan dalam rentang normal
- Mengatur pola makan, antara lain dengan mengkonsumsi makanan berserat,
rendah lemak dan mengurangi garam dan makanan berlemak .
- Hentikan kebiasaan merokok dan minuman beralkohol
- Berolahraga secara teratur
- Hidup secara teratur
- Mengurangi stress dan emosi
25
BAB II
PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI
II. 1 Pendahuluan
Tidak terkendali dan tingginya tekanan darah yang berkepanjangan dapat
mengakibatkan berbagai perubahan struktur otot jantung, pembuluh darah koroner,
dan sistem konduksi jantung. Perubahan ini pada akhirnya dapat mengarah pada
hipertrofi ventrikel kiri atau of left ventricular hypertrophy (LVH), penyakit arteri
koroner, berbagai penyakit sistem konduksi, dan sistolik dan disfungsi diastolik dari
miokardium, yang secara klinis sebagai angina atau infark miokard, aritmia jantung
(terutama fibrilasi atrium ), dan gagal jantung kongestif atau congestive heart failure
(CHF).
II. 2 Definisi
Penyakit jantung hipertensif merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan darah (hipertensi). Hipertensi yang berkepanjangan dan tidak
terkendali dapat mengubah struktur miokard, pembuluh darah dan sistem konduksi
jantung. Perubahan-perubahan ini dapat mengakibatkan hipertrofi ventrikel kiri,
penyakit arteri koroner, gangguan sistem konduksi, disfungsi sistolik dan diastolik
miokard yang nantinya bermanifestasi klinis sebagai angina (nyeri dada), infark
miokard, aritmia jantung (terutama fibrilasi atrium) dan gagal jantung kongestif.
II. 3 Epidemiologi
Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%
sedangkan tercatat pada tahun 1978 proporsi penyakit jantung hipertensif sekitar
14,3% dan meningkat menjadi sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai penyebab
penyakit jantung di Indonesia. Sebanyak 85-90% hipertensi tidak diketahui
26
penyababnya (hipertensi primer/hipertensi idiopatik/hipertensi esensial) dan hanya
sebagian kecil yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi sekunder).
Frekuensi yang tepat dari hipertrofi ventrikel kiri atau of left ventricular hypertrophy
(LVH) tidak diketahui. Tingkat EKG LVH berdasarkan temuan adalah 2,9% untuk pria
dan 1,5% untuk perempuan. Tingkat berdasarkan temuan ekokardiografi mencapai
15-20%. Pasien tanpa LVH, 33% memiliki bukti disfungsi diastolik LV asimtomatik.
Menurut studi Framingham, hipertensi menyumbang sekitar seperempat dari
kasus gagal jantung.7 Dalam populasi lansia, sebanyak 68% kasus gagal jantung
yang disebabkan hipertensi. penelitian berbasis masyarakat telah menunjukkan
bahwa hipertensi dapat berkontribusi bagi pengembangan gagal jantung sebanyak
50-60% dari pasien. Pada pasien dengan hipertensi, risiko gagal jantung meningkat
2 kali lipat pada pria dan 3 kali lipat pada wanita.
Kapan seorang dengan hipertensi akan jatuh dalam kegagalan jantung tidak
dapat diketahui dengan pasti. Seorang penderita hipertensi kronik walaupun tekanan
darahnya tinggi dapat hidup bertahun-tahun tanpa terjadi komplikasi pada jantung
sedangkan seorang dengan pheochromocytoma, glomerulonefritis akut, atau
toxemia gravidarum dapat dengan mudah jatuh dalam kegagalan jantung walaupun
tekanan darahnya tidak begitu tinggi. Jadi tidak ada hubungan langsung antara
tingginya tekanan darah dengan terjadinya kegagalan jantung, dan kegagalan
jantung bukanlah suatu komplikasi yang harus terjadi pada hipertensi. Ternyata
dengan menurunkan tekanan darah arteri, fungsi jantung menjadi baik kembali. Hal
yang sama dapat dijumpai pula pada penyakit jantung koroner yang terjadi akibat
hipertensi. Frohlich dkk. meneliti 20 penderita hipertensi dengan keluhan angina
pektoris, pada pemeriksaan angiografi koroner ternyata tidak terdapat penyumbatan
A. koronaria. Keadaan ini membuktikan bahwa perubahan-perubahan hemodinamika
menyebabkan gangguan fungsi dan oksigenisasi miokard dan menimbulkan keluhan
angina pektoris, keluhan-keluhan tersebut menghilang dengan diturunkannya
tekanan darah. Melihat pengamatan-pengamatan di atas, kedua kelainan jantung
akibat hipertensi—kegagalan jantung dan aterosklerosis— merupakan suatu hal
yang kompleks.
Dari penelitian Frohlich pada 200 penderita hipertensi didapatkan tekanan
darah arteri dan jumlah tekanan perifer (TPR) meningkat secara progresif dan nyata.
27
Denyut jantung lebih cepat pada penderita hipertensi daripada orang normal, tapi
denyut jantung ini (heart rate) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata di antara
penderita hipertensi (lihat gambar I). Bila sudah ada pembesaran atrium kiri maka
denyut jantung akan menurun dan cardiac output menetap. Selanjutnya bila sudah
ada pembesaran ventrikel kiri maka cardiac output menurun bersama dengan denyut
jantung.
Gambar I
Perbandingan denyut jantung dengan jumlah tahanan perifer diantara orang normal
dan hipertensi.
II. 4 Patofisiologi
Pada tahun-tahun terakhir ini banyak penelitian tentang hipertrofi ventrikel kiri
sebagai akibat dari kenaikan beban kerja pada hipertensi. Akhir-akhir ini diketahui
bahwa bila hipertensi diobati secara baik maka jarang sekali mengakibatkan
kegagalan jantung. Cohn dkk. pada autopsi penderita hipertensi mendapatkan
kelainan arteria koronaria lebih banyak pada penderita dengan kegagalan jantung
daripada yang belum menunjukkan kegagalan jantung .
II. 4. 1. Hipertrofi Ventrikel Kiri
Hipertrofi ventrikel kiri (left ventricular hypertrophy/LVH) terjadi pada 15-20%
penderita hipertensi dan risikonya meningkat dua kali lipat pada pasien obesitas.
Hipertrofi ventrikel kiri merupakan pertambahan massa pada ventrikel (bilik) kiri
28
jantung, hal ini merupakan respon sel miosit terhadap stimulus yang menyertai
peningkatan tekanan darah. Hipertrofi miosit terjadi sebagai mekanisme kompensasi
peningkatan tekanan afterload. Stimulus mekanis dan neurohormonal yang
menyertai hipertensi akan mengaktivasi pertumbuhan sel miokard, ekspresi gen dan
berujung kepada hipertrofi ventrikel kiri. Selain itu aktivasi sistem renin-angiotensin
akan menyebabkan pertumbuhan intestitium dan komponen sel matriks.
Berbagai bentuk hipertrofi ventrikel kiri telah diidentifikasi, di antaranya
hipertrofi ventrikel kiri konsentrik dan hipertrofi ventrikel kiri ekstenstrik. Pada
hipertrofi ventrikel kiri konsentrik terjadi peningkatan massa dan ketebalan serta
volume dan tekanan diastolik. Pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri konsentrik
umumnya memiliki prognosis yang lebih buruk. Adapun pada hipertrofi ventrikel kiri
eksentrik terjadi peningkatan hanya pada lokasi tertentu, misalnya daerah septal.
Walaupun hipertrofi ventrikel kiri bertujuan untuk melindungi terhadap stres yang
ditimbulkan oleh hipertensi, namun pada akhirnya dapat menyebabkan disfungsi
miokard sistolik dan diastolik.
II. 4. 2. Abnormalitas Atrium Kiri
Abnormalitas atrium kiri, meliputi perubahan struktural dan fungsional, sangat
sering terjadi pada pasien hipertensi. Peningkatan tekanan darah/hipertensi akan
meningkatkan volume diastolik akhir (end diastolic volume/EDV) di ventrikel kiri
sehingga atrium kiri pun akan mengalami perubahan fungsi dan peningkatan ukuran.
Peningkatan ukuran atrium kiri tanpa disertai gangguan katup atau disfungsi sistolik
biasanya menunjukkan hipertensi yang sudah berlangsung lama/kronis dan mungkin
berhubungan dengan derajat keparahan disfungsi diastolik ventrikel kiri. Pasien juga
dapat mengalami fibrilasi atrium dan gagal jantung.
Pembesaran dari atrium kiri pada pemeriksaan EKG (tabel II), berhubungan
erat dengan adanya atrial (presystolic), irama gallop (suara jantung ke-4 — S 4).
Kelainan atrium kiri ini tidak dapat diartikan bahwa gangguan fungsi jantung pada
hipertensi pertama-tama menyerang atrium kiri, tetapi karena adanya hipertrofi
ventrikel kiri yang berhubungan dengan menurunnya ventricular compliance. Dalam
keadaan ini atrium kiri memompa darah ke dalam ventrikel kiri yang mempunyai
29
compliance yang sudah berkurang. Jadi pembesaran atrium kiri ini sebagai respons
terhadap kelainan veritrikel.
Bila keadaan ini berjalan terus maka akan timbul pembesaran dan hipertrofi
ventrikel kiri, fungsi ventrikel kiri akan menurun dengan cepat, kerja jantung (Cardiac
Work) bertambah dan cardiac output akan terus menurun sampai timbul kegagalan
jantung.
II. 4. 3. Gangguan katup
Hipertensi berat dan kronik dapat menyebabkan dilatasi pada pangkal aorta
sehingga menyebabkan insufisiensi katup. Hipertensi yang akut mungkin
menyebabkan insufisiensi aorta, yang akan kembali normal jika tekanan darah
dikendalikan. Selain menyebabkan regurgitasi (aliran balik) aorta, hipertensi juga
akan mempercepat proses sklerosis aorta dan regurgitasi katup mitral.
II. 4. 4. Gagal Jantung
Gagal jantung merupakan komplikasi yang sering terjadi pada hipertensi
kronis. Pasien dengan hipertensi dapat menunjukkan gejala-gejala gagal jantung
namun dapat juga bersifat asimtomatis (tanpa gejala). Prevalensi (gagal jantung)
disfungsi diastolik asimtomatis pada pasien hipertensi tanpa disertai hipertrofi
ventrikel kiri adalah sebanyak 33%. Peningkatan tekanan afterload kronik dan
30
hipertrofi ventrikel kiri dapat mempengaruhi fase relaksasi dan pengisian diastolik
ventrikel.
Disfungsi diastolik sering terjadi pada penderita hipertensi, dan terkadang
disertai hipertrofi ventrikel kiri. Hal ini disebabkan oleh peningkatan tekanan
afterload, penyakit arteri koroner, penuaan, disfungsi sistolik dan fibrosis. Disfungsi
sistolik asimtomatis biasanya mengikuti disfungsi diastolik. Setelah beberapa lama,
hipertrofi ventrikel kiri gagal mengkompensasi peningkatan tekanan darah sehingga
lumen ventrikel kiri berdilatasi untuk mempertahankan cardiac output. Lama-
kelamaan fungsi sistolik ventrikel kiri akan menurun. Penurunan ini mengaktifkan
sistem neurohormonal dan renin-angiontensin, sehingga meretensi garam dan air
dan meningkatkan vasokonstriksi perifer, yang akhirnya malah memperburuk
keadaan dan menyebabkan disfungsi sistolik.
Apoptosis (kematian sel terprogram yang dirangsang oleh hipertrofi miosit dan
ketidakseimbangan stimulus dan inhibitornya) diduga memainkan peranan penting
dalam peralihan fase “terkompensasi” menjadi fase “dekompensasi”. Peningkatan
mendadak tekanan darah dapat menyebabkan edema paru tanpa adanya perubahan
fraksi ejeksi ventrikel kiri. Secara umum dilatasi ventrikel kiri (asimtomatik atau
simtomatik) dapat memperburuk keadaan dan meningkatkan risiko kematian.
Disfungsi ventrikel kiri serta dilatasi septal dapat menyebabkan penebalan ventrikel
kanan dan disfungsi diastolik.
Tekanan darah arteri yang meningkat mengakibatkan tegangan dinding
ventrikel kiri juga meningkat dan dilatasi ventrikel kiri. Akibatnya kebutuhan O2
meningkat. Bila terjadi hipertrofi ventrikel kiri maka kebutuhan O2 akan menjadi
normal kembali. Keadaan ini dapat berjalan bertahun-tahun tanpa keluhan. Selama
hipertrofi ventrikel kiri dapat mengatasi beban jantung maka tegangan dinding
ventrikel tidak meningkat dan kebutuhan O2 juga tidak meningkat.
Bila terjadi kenaikan mendadak dari tekanan darah maka terjadi dilatasi
ventrikel secara cepat tanpa adanya hipertrofi ventrikel kiri. Hal ini menyebabkan
kebutuhan O2 meningkat dan terjadilah hipoksia miokard, seperti pada
glomerulonefritis, toxemia gravidarum atau pheochromocytoma. Dengan adanya
penyakit jantung koroner maka suplai O2 ke ventrikel berkurang padahal kebutuhan
31
O2 meningkat. Berkurangnya suplai O2 ini terutama terjadi pada lapisan dalam dari
miokard karena tekanan intraventrikuler yang meningkat. Akibat dari semuanya ini
diastolik compliance menurun, tekanan ventrikel kiri pada akhir diastolik (LVEDP)
meninggi mengakibatkan hipertensi pada pembuluh darah kapiler paru dan terjadilah
bendungan paru-paru, hipoksemia dan hipoksia miokard akan lebih berat. Bila
keadaan ini berlangsung terus maka akan terjadi kegagalan jantung kiri yang
sebenarnya dapat diatasi atau dicegah dengan menurunkan tekanan darah
tingginya. Mekanisme terjadinya kegagalan jantung adalah seperti yang tertera pada
gambar 2.
II. 4. 5. Iskemia miokard
Pada pasien hipertensi dapat timbul iskemia miokard yang bermanifestasi
sebagai nyeri dada/angina pektoris. Hal ini dikarenakan hipertensi menyebabkan
peningkatan tekanan di ventrikel kiri dan transmural, peningkatan beban kerja yang
mengakibatkan hipertrofi ventrikel kiri. Suplai oksigen yang tidak sanggup memenuhi
kebutuhan otot jantung yang membesar akan menyebabkan nyeri dada. Hal ini
diperparah jika terdapat penyulit seperti aterosklerosis.
II. 4. 6. Aritmia jantung
32
Aritmia jantung yang sering ditemukan pada pasien hipertensi adalah fibrilasi
atrium, kontraksi prematur ventrikel dan takikardia ventrikel. Berbagai faktor berperan
dalam mekanisme arituma seperti miokard yang sudah tidak homogen, perfusi buruk,
fibrosis miokard dan fluktuasi pada saat afterload. Sekitar 50% pasien dengan
fibrilasi atrium memiliki penyakit hipertensi. Walaupun penyebab pastinya belum
diketahui, namun penyakit arteri koroner dan hipertrofi ventrikel kiri diduga berperan
dalam menyebabkan abormalitas struktural di atrium kiri. Fibrilasi atrium dapat
menyebabkan disfungsi sistolik dan diastolik serta meningkatkan risiko komplikasi
trombo-embolik seperti stroke.
Kontraksi prematur ventrikel, aritmia ventrikel dan kematian jantung
mendadak ditemukan lebih sering pada pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri.
Penyebab aritmia seperti ini diduga akibat proses penyakit arteri koroner dan fibrosis
miokard yang berjalan bersamaan.
II. 5. Klasifikasi
Frohlich membagi kelainan jantung akibat hipertensi menjadi empat tingkat :
1. Tingkat I : Besar jantung masih normal, belum ada kelainan jantung pada
EKG
atau radiologi.
2. Tingkat II : Kelainan atrium kiri pada EKG dan adanya suara jantung ke 4
(atrial gallop) sebagai tanda dari permulaan hipertrofi ventrikel kiri.
3. Tingkat III : Adanya hipertrofi ventrikel kiri pada EKG dan radiologis.
4. Tingkat IV : Kegagalan jantung kiri.
II. 6. Keluhan dan gejala
Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya kebanyakan pasien tidak
ada keluhan. Gejala penyakit jantung hipertensi tergantung pada durasi, tingkat
keparahan, dan jenis penyakit. Selain itu, pasien mungkin atau mungkin tidak
menyadari memiliki hipertensi, sehingga mengapa hipertensi disebut sebagai "silent
killer."
33
Pada pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri atau of Left Ventricular
Hypertrophy (LVH) memiliki gejala yang asimtomatik kecuali LVH menyebabkan
perkembangan disfungsi diastolik dan gagal jantung.
Meskipun gejala gagal jantung diastolik dan gagal jantung sistolik tidak bisa
dibedakan, namun pada anamnesis mungkin cukup dapat mengungkapkan. Secara
khusus, orang-orang yang tiba-tiba mengalami gejala gagal jantung kongestif atau
Congestive Heart Failure (CHF) parah dan cepat kembali ke baseline dengan terapi
medis lebih cenderung memiliki disfungsi diastolik terisolasi.
34
Gejala gagal jantung antara lain:
1. Exertional dan dyspnea nonexertional (NYHA kelas I-IV)
2. Ortopnea
3. Paroxysmal nocturnal dyspnea
4. Kelelahan (lebih sering terjadi pada disfungsi sistolik)
5. Edema pada pergelangan kaki dan kenaikan berat badan
Pasien bisa hadir dengan edema paru akut karena tiba-tiba dekompensasi LV
sistolik atau diastolik disfungsi yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti
peningkatan tekanan darah secara akut, diet yang berlebihan, atau iskemia miokard.
Pasien dapat mengalami aritmia jantung, terutama fibrilasi atrium, atau pasien dapat
mengalami gejala gagal jantung secara diam-diam dari waktu ke waktu.
Pada iskemi miokard dapat terjadi angina, yaitu komplikasi yang sering pada
penyakit jantung hipertensi, dan juga dapat dibedakan dari penyebab lain iskemia
miokard. Gejala khas angina termasuk rasa sakit dada substernal yang berlangsung
kurang dari 15 menit (versus> 20 menit pada infark).
Nyeri sering digambarkan dengan cara berikut:
1. Nyeri terasa berat, ada tekanan, meremas
2. Memancar ke leher, rahang, punggung atas, atau lengan kiri
3. Diprovokasi oleh tenaga emosi atau fisik
4. Lega dengan istirahat atau nitrogliserin sublingual
5. Pasien juga dapat hadir dengan gejala atipikal tanpa nyeri dada, seperti
dyspnea exertional atau kelelahan yang berlebihan, sering disebut sebagai angina
setara. Pasien wanita, khususnya, lebih mungkin untuk hadir dengan presentasi
atipikal.
35
6. Pasien mungkin hadir dengan angina stabil kronis atau sindrom koroner akut,
termasuk infark miokard tanpa elevasi ST-segmen dan infark miokard akut dengan
elevasi ST. Perubahan EKG iskemik dapat ditemukan pada individu penyajian
dengan krisis hipertensi pada yang tidak aterosklerosis koroner signifikan terdeteksi
oleh angiografi koroner.
7. Aritmia jantung dapat menyebabkan berbagai gejala, termasuk palpitasi, near
atau total syncope, precipitation of angina, kematian jantung mendadak, dan
precipitation of heart failure, terutama dengan fibrilasi atrium dalam disfungsi
diastolik.
II. 7. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda fisik dari penyakit jantung hipertensi tergantung pada kelainan
jantung utama dan durasi serta keparahan dari penyakit jantung hipertensi. Temuan
dari pemeriksaan fisik tidak dapat sepenuhnya normal pada tahap dini penyakit, atau
pasien mungkin memiliki tanda-tanda klasik pada saat pemeriksaan. Selain temuan
umum terkait langsung ke tekanan darah yang tinggi, pemeriksaan fisik dapat
mengungkapkan petunjuk potensi etiologi hipertensi, seperti obesitas truncal dan
striae pada sindrom Cushing, renal artery bruit di stenosis arteri renalis, dan massa
abdomen pada penyakit ginjal polikistik.
1. Pulsasi: pulsasi arteri normal pada tahap awal penyakit ini, yang dinilai antara
lain :
a. Irama
i. Regular jika pasien berada dalam ritme sinus
ii. Irregular jika pasien berada dalam atrial fibrilasi
b. Kecepatan
i. Normal pada pasien dengan irama sinus, dan tidak dalam gagal jantung
dekompensasi
ii. Takikardi pada pasien dengan gagal jantung dan pada pasien dengan fibrilasi
36
atrial dan rapid ventricular response
c. Volume
i. Normal
ii. Penurunan pada pasien dengan disfungsi LV
2. Tekanan darah: sistolik dan / atau tekanan darah diastolik yang tinggi (>
140/90 mm Hg). Nilai mean tekanan darah dan tekanan pulsasi umumnya juga
tinggi. Tekanan darah mungkin akan normal pada saat evaluasi jika pasien pada
obat-obatan antihipertensi yang memadai atau pasien yang telah memiliki disfungsi
LV dan LV tidak dapat menghasilkan cukup stroke volume dan cardiac output untuk
menghasilkan tekanan darah yang tinggi.
3. Vena: Pada pasien dengan gagal jantung, tekanan pada vena jugularis dapat
meningkat, dominasi gelombang tergantung pada beratnya gagal jantung dan setiap
lesi lainnya.
4. Jantung
a. Suara jantung: S1 dalam intensitas normal. S2 di perbatasan sternum kanan
atas adalah keras karena komponen aorta ditekankan (A2), yang dapat memiliki
reverse split atau paradoks karena baik untuk peningkatan afterload atau terkait blok
kiri bundel-cabang (LBBB). S4 sering bisa diraba dan terdengar, menyiratkan adanya
ventrikel, menegang patuh karena kelebihan tekanan kronis dan LVH. S3 biasanya
tidak hadir pada awalnya namun terdengar di hadapan gagal jantung, baik sistolik
atau diastolik.
b. Murmur: Sebuah decrescendo murmur diastolik awal dari insufisiensi aorta
dapat mendengar sepanjang daerah parasternal pertengahan-ke-kiri, terutama di
hadapan BP benar-benar ditinggikan, sering menghilang setelah BP lebih terkontrol.
Selain itu, awal menggumam pertengahan sistolik dari sklerosis aorta sering
terdengar. Gumaman holosystolic regurgitasi mitral dapat hadir pada pasien dengan
gagal jantung canggih dan anulus mitral melebar.
37
5. Paru-paru: Temuan pada pemeriksaan paru-paru mungkin normal atau
mungkin termasuk tanda-tanda kongesti paru, seperti rales, penurunan suara napas,
dan pekak pada perkusi karena efusi pleura.
6. Abdomen: dapat ditemukan arteri renalis bruit pada pasien dengan hipertensi
sekunder akibat stenosis arteri ginjal, massa expansile berdenyut dari aneurisma
aorta abdominal, dan hepatomegali dan asites karena CHF.
7. Kaki: edema pada pergelangan kaki dapat terjadi pada pasien dengan gagal
jantung lanjut.
8. SSP dan retina
a. Temuan pada pemeriksaan SSP biasanya normal, kecuali pasien memiliki
kecelakaan serebrovaskular sebelumnya dengan defisit residual.
b. Pemeriksaan fundus dapat menunjukkan adanya retinopati hipertensi,
beratnya yang tergantung pada durasi dan keparahan hipertensi, atau tanda-tanda
awal hipertensi seperti nicking arteriovenosa.
c. Perubahan pada SSP dapat dilihat pada pasien yang datang dengan
hipertensi darurat.
38
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
I. Almatsier, Sunita. 2004. Penuntun Diet edisi baru. Jakarta : Gramedia
II. Depkes, Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, Ditjen Bina
Kefarmasian Dan Alat Kesehatan. PHARMACEUTICAL CARE UNTUK
PENYAKIT HIPERTENSI. 2006
III. Goodman, Cathrine Cavallaro .1998. Pathology Implication for The Physical
Therapist. US : W. B. Saunders company
IV. Ruhyanuddin, Faqih. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem KARDIOVASKULER. Malang : UMM Press
V. Stump, Kathleen Mahan, Sylvia Escoot. 1996. Krause’s Food, Nutrition, & Diet
Therapy. 9th edition. W. B. Saunders Company
VI. Ganong, MD.(2003). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Cetakan I, Ed. 20.
Jakarta EGC.
VII. Gunawan , L.(2001) Hipertensi Tekanan Darah Tinggi, Cetakan I, Ed.III, Jilid
2. Jakarta : Media Aescalapius.
VIII. Mansjoer, Arifet. et. al. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Ed. III, Jilid II.
Jakarta : Media Aesculapius.
IX. Noer, Sjaifoellah, H.M. et. al. (1999). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. III.
Jilid I. Jakarta. Balai Penerbit FKUI.
X. Sustrani, et. al (2004) Hipertensi. Cetakan I. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
39