Download - Makalah Manfaat Dan Keamanan Kosmetik
Dibuat untuk memenuhi tugas matakuliah
Manfaat dan Keamanan Kosmetika Bahan Alam
MIKROORGANISME DALAM KOSMETIKA
Dibuat oleh:
Ayu Nuki Wahyuni
NPM: 13-047
KOSMETIKA BAHAN ALAM
MAGISTER FARMASI UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2014
I. PENDAHULUAN
Kosmetik dikenal manusia sejak berabad-abad yang lalu. Pada abad ke-19, pemakaian
kosmetik mulai mendapat perhatian, yaitu selain untuk kecantikan juga untuk
kesehatan. Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan
pada bagian luar tubuh manusia seperti pada epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ
genital bagian luar, atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan,
mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi
atau memelihara tubuh pada kondisi baik. (BPOM, 2003)
Sediaan kosmetik yang stabil adalah suatu sediaan yang masih berada dalam batas yang
dapat diterima selama periode waktu penyimpanan dan penggunaan, yang sifat dan
karakteristiknya sama dengan yang dimilikinya pada saat dibuat. Perubahan yang terjadi
pada produk kosmetik dapat berupa perubahan fisika, kimia dan kandungan
mikroorganisme. Selain itu, dari penelitian yang pernah dilakukan kontaminasi
mikroorganisme dapat lewat udara, tangan yang sudah terkontaminasi, cara penggunaan
yang kurang baik dan penggunaan bahan kosmetik yang sudah terkontaminasi dalam
jangka waktu yang lama. (Nasser, 2008)
Sejak tahun 1950, beberapa laporan sudah memuat ditemukannya berbagai jenis
mikroorganisme dalam sediaan kosmetik. Sebagian besar sediaan kosmetik merupakan
tempat berkembang biak yang baik bagi bakteri dan jamur. Penggunaan kosmetik yang
sudah terkontaminasi merupakan salah satu factor yang berperan dalam penyebaran
penyakit infeksi. Namun demikian adalah hal yang sulit dalam membedakan insidensi
penyakit akibat kontaminasi kosmetik dengan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor
lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh FDA dengan menggunakan 3027 sampel dari
171 tempat didapatkan jamur 10,4%, dan 3,9% merupakan jamur yang pathogen.
(Nasser, 2008)
Sebagian besar sediaan kosmetik merupakan tempat berkembang biak yang baik bagi
bakteri dan jamur. Kosmetik biasanya memiliki sifat mendekati netral yang berisi air,
dan bahan organic, yang semuanya merupakan bahan-bahan yang diperlukan begi
pertumbuhan mikroorganisme tertentu. (Djajadisastra, 2014)
Mengingat bahwa mikroorganisme beserta sporanya tidak hanya terdapat pada wadah,
namun juga pada bahan-bahan mentahnya. Hal tersebut memudahkan mikroorganisme
untuk masuk ke dalam produk kosmetik dan berkembang biak menjadi koloni-koloni
selama penyimpanan atau setelah kemasan dibuka. Oleh karenany dibutuhkan metode
pembersihan yang higiebis untuk mengurangi frekuensi terkontaminasi dan
berkembangnya bakteri dan jamur ke dalam kosmetik. (Djajadisastra, 2014)
II. SUMBER KONTAMINASI
Sumber kontaminasi pada kosmetik dapat berasal dari :
a. Bahan Baku
Jika bahan baku yang digunakan dalam produksi kosmetik seduah terkontaminasi,
maka produk jadi pun akan sama terkontaminasi. Dan pengunaan pengawet
menjadi tidak berguna.
Pengunaan air dalam produksi kosmetik merupakan sumber terbesar terjadinya
kontaminasi mikroba. Banyak kasus ditemukan sumber kontaminasi berasal dari air
yang diperoleh melaui ion exchange atau air yang disimpan dalam penampungan.
Kualitas air sangat penting, air banyak digunakan sebagai bahan bahan pembawa di
dalam sediaan atau mencuci alat-alat.
Lemak, lilin dan minyak tidak mengandungair yang cukup untuk pertumbuhan
mikroba, sehingga relative sedikit mengandung mikroba. Bahan-bahan yang berasal
dari alam seperti gum, ekstrak, tragakan, akasia sangat rentan terhadap
terkontaminasi oleh jamur, kapang dan bakteri. Karena dilakukan proses sanitasi
terlebih dahulu sebelun dikemas dan digunkan untuk mengontrol kontanimasi
mikroba. Sementara untuk bahan-bahan alami lain seperti talk, kaolin, dan pati
beras, juga dapat mengandung bakteri, terutama bakteri yang mengandung spora.
Spora ini sulit untuk dihilangkan sehingga dapat terbawa kedalam produk jadi. Oleh
karena itu harus ada batasan mikroba yang jelas untuk membantu mencegah
kontaminasi yang tidak diinginkan di produk jadi.
Wadah bahan baku (seperti karung, drum, karton, dll) juga dapat menjadi sumber
kontaminasi. Oleh karena itu diperlukan penilaian resiko untuk menentukan
kemungkinan terjadinya kontaminasi, dengan melakukan program sampling atau
pengujian untuk memantau bahan baku. Misal pengecekan mutu air secara berkala
untuk melihat kemungkinan adanya kontaminasi mikroba. (Rieger, 2000)
b. Lingkungan
Udara bukan merupakan lingkungan alami untuk pertumbuhan mikroba karena tidak
cukup air dan bahan nutrisi yang diperlukan. Tetapi mikroba dapat menempel pada
partikel-partikel debu dan bahan yang tersuspensi di udara. Jumlah mikroba di udara
tergantung kepada aktifitas yang terjadi di lingkungan tersebut dan jumlah
debu/partikel tersuspensi. Dinding dan langit-langit ruang kerja dapat menjadi
sumber kontaminasi. (Rieger, 2000)
Kontaminan di udara dapat berupa jamur, spora bakteri dan mikroflora kulit
(terutama micrococci). Pengendalian lingkungan seperti pemantauan udara rutin
dapat dilakukan untuk mengontrol kontaminasi. Adapun Bakteri di udara, yaitu:
Bacillus sp, Clostridium sp, dll. Sedangkanjamur:Penicillium sp, Aspergillus sp,
Mucor sp.
c. Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam produksi sediaan dapat merupakan sumber
kontaminasi, antara lain alat yang tidak dibersihkan sempurna, yaitu masih
mengandung sisa-sisa bahan. Pada waktu penyimpanan yang merupakan
substrak(yang digunakan oleh enzim) untuk pertumbuhan mikroba. Enzim(katalis
organik yang dihasilkan organisme). Debu yang berasal dari udara yang menempel
pada alat dapat mengandung mikroba.
Peralatan yang digunakan harus didisain agar mudah dibersihkan. Penggunaan
desinfektan hypochlorite dengan konsentrasi 150 – 200 ppm selama 2 menit dan
disterilisasi selam 10 menit dapat membersihkan peralatan yang berasal dari logam
dan kaca. Penggunaan detergen yang mengandung komponen ammonium quartener
atau mengandung iodine juga dapat digunakan untuk menghilangkan sisa/residu
produk sebelumnya dari peralatan tersebut. Dan ntuk pembilasan atau pencucian
dapat digunakan dengan air panas yang bergunak untuk menonaktifkan residu dari
bahan-bahan organic.
Prosedur pembersihan haruslah tervalidasi dan personil harus diberikan pelatihan
mengenai prosedur pembersihan peralatan. Hal ini untuk menjamin sanitasi dari
peralatan yang digunakan.
Salah satu penyebab terjadinya kontaminasi mikroorganisme ialah kegagalan dalam
mengeringkan peralatan yang digunakansetelah pencucisn dan pembersihan. Karena
harus dipastikan alat yang telah dicuci sudah kering sempurna. (Rieger, 2000)
d. Packaging Material
Bahan kemas harus terbebas dari debu dan bersih dari mikroba. Karenanya untuk
bahan-bahan kemas tertentu seperti wadah botol atau plastic, sebelum digunakan
dilakukan pencucian terlebih dahulu. Karena wadah atau kemasan yang disimpan
dalam kantong bisa terdapat spora mikroba didalamnya, seperti spora jenis
Aspergillus sp, Clostridium sp, Bacillus sp, dan Micrococcus sp. (Rieger, 2000)
e. Personil
Terjadinya kontaminasi mikroba selama proses produksi sampai pengemasan dapat
disebabkan oleh operator/personil. Misalnya pada kulit, tangan, dan wajah, dapat
mengandung berbagai bakteri, seperti:Staphlococcus aureus, Sarcina sp, Dikteroid
sp, dan Alkaligenas sp.Pada bagian daerah kulit, terdapatfungi: Epidermaphyton sp,
Microsporum sp, dan Trhychophyton sp. Darisaluran hidung terdapatbakteridalam
jumlah besar, antara lain: Staphylococcus aureus, Staphylococcus albus,yang
patogen:Haemophilus influenzae, Klebsiella pneumonia. Karenanya
operator/personil harus diberitahukan bahwa mereka berpotensi menjadi sumber
kontaminasi dan mereka harus dibekali pelatihan mengenai “personal hygiene”.
Selain itu pemakaian pakaian pelindung/baju khusus untuk masuk ruang produksi
juga dapat digunakan untuk mencegah terjadinya kontaminasi mikroba. (Rieger,
2000)
III. JENIS MIKROORGANISME DALAM KOSMETIK
Sejak tahun 1950, beberapa laporan sudah memuat ditemukannya berbagai jenis
mikroorganisme dalam sediaan kosmetik. Beberapa peneliti, kala itu agak berdeda
pendapat, karena mikroorganisme yang ditemukan berbeda dari satu produk ke produk
yang lain. Namun mereka sepakat bahwa didalam kosmetik ditemukan berbagai jenis
mikroorganisme.(Djajadisastra, 2014)
Sebagian besar sediaan kosmetik merupakan tempat berkembang biak yang baik bagi
bakteri dan jamur. Kosmetik biasanya memiliki sifat mendekati netral yang berisi air,
dan bahan organic, terkadang bahkan mengandung bahan organic nitrogen serta garam-
garam mineral yang semuanya merupakan bahan-bahan yang diperlukan bagi
pertumbuhan meikroorganisme tertentu. . (Djajadisastra, 2014)
Kosmetik yang sudah tercemar atau terkontaminasi oleh mikroorganisme biasanya
terlihat dari pembentukan koloni jamur yang berwarna, perubahan bau, viskositas
(kekentalan) karena adanya degradasi bahan-bahan aktif seperti vitamin, hormon dan
lain sebagainya. Jika kosmetik yang sudah terkontaminasi tersebut dipakaikan ke kulit
tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan iritasi bahkan infeksi.
Sebagai contoh, adanya perubahan warna dan tekstur seperti lendir pada shampoo yang
disebabkan oleh invasi bakteri Aerobacter aerogens (suatu basilus gram negative yang
dapat menghasilkan gas). Balteri ini sering ditemukan didalam shampoo dengan dasar
netrium lauryl sulfat dan kemungkinan masuk melalui air (terutama jika airnya
didemineralisai dengan cara penggantian ion). . (Djajadisastra, 2014)
Berikut daftar beberapa bakteri yang ditemukan di dalam produk kosmetik baik setelah
kosmetik digunakan atau terkontaminasi dalam kosmetik: (Philips, 2006)
Gram-Negative
Nonfermentors
Gram-
Negative
Fermentors
Gram-Positives Yeast Molds (fungi)
Acinetobacter
Alcaligens
Burkholderia
cepacia
P.putida
P.fluorescens
P. paucinobilos
P. aeruginosa
P. maltophilia
Citrobacter
freundii
Enterobacter
cloacae
E.
agglomerans
E. aeroneges
E. gergoviae
Klebsiella
oxytoca
K. pneumonia
Proteus
Serretia
liquefaciens
S. Marescens
S. odirifera
S. rubidaea
Bacillus
Stahylococcus
aureus
S. epidermidis
Enterococcus
Micrococcus
Sarcina
Streptococcus
Propionibacterium
Candida
Saccharomyces
Torula
Zygosaccharomyces
Alternaria
Aspergillus
Cladosporium
Fusarium
Geotricum
Penicillium
Rhizopus
Thamnidium
Trichothecium
IV. PERSYARATAN CEMARAN MIKROORGANISME DALAM KOSMETIK
Kosmetika yang diproduksi dan atau yang diedarkan harus memenuhi persyaratan
keamanan. Kemanfaatan dan mutu. Selain itu juga harus memenuhi persyaratan
cemaran mikroba. Persyaratan cemaran mikroba yang diatur dalam menurut BPOM
meliputi Angka Lempeng Total, Angka Kapang dan Khamir, Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus aureus, dan Candida albicans,. (BPOM, 2011)
Sedangkan berdasarkan “Guidelines Cosmetic Products The Rules Govering Cosmetic
Product In The European Union”, kosmetika dikategorikan menjadi 2 yakni:
- kategory 1 : produk kosmetik untuk anak dibawah 3 tahun, area sekitar
mata,mebran mukosa
- kategori 2: produk kosmetika lainnya
Batas Kuantitatif Batas Kualitatif
Kategori 1 Per 0.5 g atau ml produk <
10 2 cfu/g atau ml mikroba
aerobic mesophyllics
Dalam 0.5 g atau ml:
negatif untuk P.
aeruginosa, S. aureus,
C.albicans.
Kategori 2 Per 0.1 g atau ml produk <
103 cfu/g atau ml mikroba
Dalam 0.1 g atau ml:
negatif untuk P.
aerobic mesophyllics aeruginosa, S. aureus,
C.albicans.
V. PENGAWET
Pengawetan diperlukan dalam kosmetik, hal ini dikarenakan untuk melindungi produk-
produk yang sudah diformulasi. Kontaminasi mikroba dapat menyebabkan timbulnya
bau yang tidak sedap, perubahan warna, perubahan viskositas, penurunan daya kerja
bahan aktif, pemisahan emulsi, perubahan perasaan dari produk atau menyebabkan
gangguan kesehatan.
Dalam “The Inspection Plans & Regulatory Policy for Cosmetic”, FDA menyeatakan
bahwa kosmetika “tidak harus steril, tetapi tidak boleh terkontaminasi dengan
mikroorganisme yang mungkin patin, dan densitas dari mikroorganisme yang non-
patogen harus serendah mungkin. Kosmetika harus tetap dalam keadaan demikian
ketika digunakan oleh konsumen”. (Djajadisastra, 2014)
Dalam menggunakan pengawet disediaan kosmetik, ada beberapa factor yang harus di
perhatiakan, yakni:
1. Tingkat keasaman (pH)
Setiap pengawet memiliki aktifitas yang berbeda pada tingkat pH tertentu.
Misalnya, senyawa quartenary ammonium hanya efektif pada pH di atas 7. Ada juga
pengawet yang aktif pada bentuk asam, namun pada bentuk garamnya tidak
memiliki aktifitas sebagai pengawet. (Djajadisastra, 2014)
2. Kelarutan pengawet
Farktor kedua yang penting adalah kelarutan pengawet di dalam fase air dan daya
pemisahannya terhadap air dan fase minyak. Mikroorganisme tumbuh di dalam fase
air atau dipersentuhan air dan minyak. Karenanya, pengawet harus berada di dalam
fase air untuk bisa lebih efektif. (Djajadisastra, 2014)
3. Interaksi dengan bahan lain
Sejumlah senyawa-senyawa organic membentuk suatu lapisan disekeliling
mikroorganisme dan memberikan perlindungan terhadap selnya terhadap serangan
bahan kimia. Banyak komponen dari kosmetika menginaktifasi atau menurunkan
aktifitas dari bahan pengawet dengan bereaksi dengan mereka, menyerap mereka,
atau melarutkan mereka. Walaupun kadang-kadang inaktifasi itu sepenuhnya, tetapi
sering juga tidak, dan sejumlah aktifitas residual masih tersisa.
Terdapat juga interaksi antara bahan pengawet dengan kemasan, yakni penyerapan
bahan pengawet oleh kemasan. Karet dan plastic, terutama kemasan atau tutup
kemasan dari polyethylene, senantiasa dicurigai karena bahan pengawet yang dapat
larut dalam lemak dapat bermigrasi ke dalam kemasan tersebut.
Sejumlah produk mempertinggi aktifitas bahan pengawet. Sejumlah minyak parfum
memiliki sifat-sifat antimikroba. Sejumlah bahan pengawet dibuat lebih efektif oleh
kehadiran bahan-bahan lain. Bahan-bahan ini jika sendirian sering tidak memiliki
atau hanya memiliki sedikit sifat antimikroba. Contoh terbaik adalah EDTA. Suatu
alternative yang lain, sifat antimikroba dapat ditingkatkan dari penggunaan
campuran dua atau lebih bahan-bahan pengawet. Atau sekarang lebih umum dikenal
dengan nama suatu sistem pengawet. (Djajadisastra, 2014)
a. Sifat-sifat bahan pengawet yang Baik
Sebelum kita membahas mengenai susunan kimia dari bahan-bahan pengawet yang
umum dipakai sekarang, kiranya penting untuk mengetahui atau meninjau sifat-sifat
dari bahan-bahan pengawet yang “ideal”. Meskipun sebenarnya bahan pengawet
yang betul-betul ideal tidak ada dan mungkin tidak pernah ada. Berikut adalah sifat-
sifat bahan pengawet yang baik, diantaranya: (Djajadisastra, 2014)
1. Aktifitasnya Berspektrum Luas. Sudah tentu ini merupakan sifat yang paling
dasar, yaitu kemampuan bahan pengawet itu untuk membunuh mikroorganisme.
Ia harus sama efektifnya baik terhadap bakteri (gram positif dan gram negative)
maupun terhadap jamur (ragi dan cendawan). Umumnya, kebanyakan bahan
pengawet aktif terhadap bakteri atau jamur, tetapi tidak terhadap keduanya
sekaligus.
2. Efektif dalam konsentrasi rendah. Karena bahan pengawet tidak menambah
“marketability” (kelarisan di pasar) dari produk akhir, maka kita ingin agar
bahan pengawet itu sudah berfungsi pada konsentrasinya yang rendah. Ini juga
akan mengurangi biaya, meminimalkan efek toksisnya dan tidak mengubah
sifat-sifat fisik dari kosmetik.
3. Larut dalam air dan tidak larut dalam minyak. Mikroorganisme tumbuh di dalam
fase air agar bisa berfungsi. Karenanya, bahan pengawet yang ideal harus sangat
larut dalam air dan sepenuhnya larut dalam minyak. Ini juga akan mencegah
migrasi ke dalam fase minyak dalam stabilitas jangka panjang.
4. Stabil. Bahan pengawet itu harus sepenuhnya stabil di dalam semua keekstriman
keadaan yang bisa dijumpai selama pembuatan kosmetika. Termasuk ke
dalamnya adalah soal pH dan temperature.
5. Tidak berwarna dan tidak berbau. Bahan pengawet itu tidak boleh
menambahkan warna atau bau kepada kosmetika dan tidak bereaksi untuk
mengubah warna atau bau dari produk kosmetika.
6. Harmonis. Bahan pengawet itu harus harmonis atau dapat bekerja berdampingan
dengan semua bahan-bahan yang digunakan di dalam kosmetika itu dan tidak
kehilangan sifat-sifat ntimikrobanya di dalam kehadiran bahan-bahan itu.
7. Tetap akhir selama kehidupan kosmetika (“Shelf-life Activity”). Bahan
pengawet yang “ideal” harus terus memberikan perlindungan kepada kosmetika
selama pembuatan dan tetap mempertahankan perlindungan antimikrobanya itu
sepanjang hidup yang diinginkan dari kosmetika itu.
8. Aman. Bahan pengawet itu harus sepenuhnya aman untuk digunakan.
9. Mudah untuk dianalisa. Bahan pengawet itu harus mudah dianalisa aktifitasnya
di dalam produk akhir. Ini lebih sulit daripada apa yang diperkirakan. Misalnya,
mudah saja untuk menganalisa adanya merkuri di dalam produk akhir.
Betapapun, ini hanya menyatakan kepada kita berapa banyak merkuri yang ada,
tetapi tidak menyatakan apakah merkuri itu hadir sebagai bahan pengawet atau
terikat oleh bahan-bahan lainnya seperti misalnya protein. Sebuah contoh lain
adalah paraben. Kita dapat menentukan konsentrasinya dengan HPLC, tetapi
tidak menyatakan kepada kita apakah ia telah dinonaktifkan oleh “Tween” atau
senyawa-senyawa lainnya.
10. Tak terikut bahan penonaktif. Kita tidak ingin suatu bahan yang menonaktifkan
bahan pengawet hadir di dalam kosmetika kita. Bahan-bahan seperti itu sama
sekali tidak boleh pernah ada di dalam sesuatu kosmetika. Bahan penonaktif
bahan pengawet itu harus kita ketahui lewat percobaan kita memakai media
agar-agar dan setelah itu diusahakan untuk tidak terbawa ke dalam pemakaian
dalam pembuatan produk.
11. Mudah untuk ditangani. Bahan pengawet yang “ideal” harus mudan dan aman
ditangani. Jika ia berupa bahan padat, ia harus mudah untuk dijadikan puder
atau serpihan, jika ia berupa bahan cair, ia harus tidak toksis dan tidak mudah
terbakar ketika dikapalkan.
12. Biaya rendah. Semua orang tentu menginginkan tidak keluarnya biaya untuk
bahan pengawet. Tetapi daripada produk diafkir, masih lebih baik memakai
bahan pengawet, bahkan yang termahal sekalipun.
b. Jenis-jenis pengawet yang biasa digunakan dalam kosmetik
Berikut daftar bahan pengawet yang biasa digunakan dalam kosmetika (Philips,
2006 ; Rieger, 2000)
Golongan pengawet Kelebihan Kekurangan
Acids:
benzoic, sorbic,
dehydroacetic
Efektif untuk kapang dan
jamur; efektif untuk
beberapa jenis bakteri
pH harus sesuai: sorbic
efektif pada pH dibawah
4.5, benzoic efektif pada
pH dibawah 4,
dehydroacetic efektif pada
pH dibawah 6; aktifitas
rendah untuk
Pseudomonas
Paraben Esters:
Methylparaben
Propylparaben
Ethylparaben
Butylparaben
Aktif untuk bakteri
bgram-positive, kapang
dan jamur; relative tidak
iritan
Inaktifasi oleh nonionic
dan cationic; lebih efektif
pada pH asama
Quaternary Ammonium:
Benzalkonium chloride
Cetylpyridinium chloride
Benzethonium chloride
Efektif untuk bakteri
gram-positif; efektif
untuk beberapa gra –
negatif; aktif pada pH 7
Inkompatibilitas dengan
protein dan anionic;
aktifitas rendah terhadap
Pseudomonas
Formaldehyde donors:
2-bromo-2nitropropane-
1,3-diol (BNPD)
Glutaraldehyde
Quarternium-15
Imidazolidinyl urea
DMDM Hydantion
Sktifitas antimikroba
spectrum luas; relative
murah; range pH luas;
dapat digunakan bersama
surfaktan
Incompatible dengan
protein; iritan; tidak
diperbolehkan dibeberapa
negara
Alcohol:
Ethyl alcohol
Benzyl alcohol
2,4-dichloro benzyl alcohol
Spectrum luas Membutuhkan
konsentrasi yang besar (>
15%) untuk ethyl alcohol
berfungsi sebagai
antimikroba; ethyl alcohol
bersifat volatile, alcohol
dapat terinaktifasi oleh
nonionic
Organic mercuarials:
Phenyl mercuric salt
Aktifitas antimicroba
spectrum luas; stabil
Toksik dan iritan, dapat
diinaktifasi oleh protein
dan anionic; kemungkinan
dapat diinaktifasi oleh
nonionik
Miscellaneous: Antimikroba Spectrum Inaktif pada pH tinggi;
Campuran chloromethyl-
isothiazolinone dan
methylisothiazolinone
luas dengan konsentrasi
rendah
kemungkinan dapat
terinaktifasi oleh protein
Phenoxyethanol Aktifitas antimikroba
rendah; aktif untuk
bakteri gram-negatif
Inaktif oleh komponen
ethoxylated yang banyak
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1999. Guidelines Cosmetic Product, vol.3, Notes of Guadance for Testing of
Cosmetic Ingredients for Their Safety Evaluation. The Rules Governing Cosmetic
Products in The European Union.
BPOM. 2011. Persyaratan Cemaran Mikroba dan Logam Berat Dalam Kosmetika. Jakarta:
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia.
Philip A. Geis. 2006. Cosmetic Microbiology: a practical approach. New York: Taylor &
Francis Group.
Djajadisastra, Joshita. 2014. Buku Pegangan Dasar Kosmetologi, Edisi 2. Jakarta: Sagung
Seto.
Nasser, L. 2008. Fungal Profiles Isolated From open and used cosmetic products collected
from different localities from Saudi Arabia. Saudi Journal of Biological Sciences Vol.
15 No.1.
Rieger MM, editor. 2000. Harry's cosmeticology. 8lh ed. New York: Chemical Publishing Co.
Inc.
BPOM. 2003. Pedoman Cara Pembuatan Kosmetik Yang Baik. Jakarta: Badan Pengawas
Obat Dan Makanan Republik Indonesia.
BPOM. 2010. Petunjuk Operasional Pedoman Cara Pembuatan Kosmetik Yang Baik. Jakarta:
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia.
Perry, Brian. 2001. Cosmetic Microbiology. Microbiology Today Vol.28/Nov/01
LAMPIRAN