Download - makalah outsourcing
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini masyarakat kapitalis umumnya ditandai oleh terciptanya polarisasi
sosial diantara para pemilik kapital dengan pekerja. (Revrisond Bawsir, 1999 : 4).
Kebebasan kaum kapitalis adalah kebebasan yang ditopang oleh penguasaan fakor-faktor
produksi, dengan faktor-faktor produksi kaum kapitalis memiliki kemampuan untuk
memanipulasi dan membeli kebebasan yang dimiliki komponen masyarakat lainnya.
Termasuk kebebasan yang dimiliki oleh para pejabat negara.
Kondisi dunia yang telah dihegemoni oleh kekuatan kapitalisme global
mencengkram seluruh sendi-sendi kehidupan. Dua sifat utama dari kapitalisme yaitu
eksploitatif dan ekspansif. Kedua wajah kapitalisme ini berjalan beriringan sehingga
pencapaian tujuan kapitalisme untuk meningkatkan akumulasi modal semakin masive.
Menurut Tabb dalam Susetiawan (2009 : 6), bahwa konstruksi kelembagaan untuk
mengatur tata dunia dilakukan melalui organisasi atau agen-agen internasional antara lain
WTO (World Trade Organization), GATT (General Agreement on Trade and Tariff),
Bank Dunia (World Bank), IMF (International Monetary Fund) dan berbagai lembaga
lainnya.
Globalisasi memperluas pergerakan modal dan memberi tempat yang makin
penting bagi korporasi besar dunia (MNCs). Di Indonesia kita menyaksikan sebuah
pergeseran yang menandai makin kuatnya ekspansi kapitalis global. Hingga
mencengkram seluruh basis perekonomian nasional, dari perekonomian skala besar
sampai perekonomian rakyat kecil. Ekspansi besar-besaran perusahaan multi nasional
disertai juga dengan tuntutan mekanisme kerja baru yang memperkenalkan sistem
hubungan kerja yang fleksibel dalam bentuk outsourcing dan kerja kontrak.
Semua mekanisme kerja dimaksudkan untuk meraih keuntungan yang lebih besar
dengan mengurangi tanggung jawab pemilik modal atau pengusaha terhadap masa depan
pekerjaannya. Kata kunci yang selalu mereka ungkapkan yaitu efisiensi yang hampir
identik dengan kue keuntungan yang makin besar (Rekson Silaban, 2009:4).
Indonesia pasca reformasi setelah tumbangnya rezim diktator, terbukanya alam
kebebasan memberikan efek positif bagi setiap warga negara untuk berserikat dalam
1
organisasi-organisasi masyarakat. Begitu juga kelompok buruh semakin tergorganisir
dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Walaupun demikian belumlah selesai masalah
perburuhan dinegeri ini.
Rekson Silaban (2009 : 48) mencatat beberapa masalah utama perburuhan pasca
reformasi yaitu masalah pengangguran dan berimplikasi pada meningkatnya jumlah
pekerja sektor informal, masalah pendidikan dan komposisi, sistem pengupahan, praktek
outsourcing dan kontrak, masalah sistem pengawasan tenaga kerja, dan masalah jaminan
sosial tenaga kerja.
Masalah tersebut menjadi isu-isu yang cukup sexy apalagi pada saat kampanye
partai politik. Agenda yang selalu menjadi perdebatan yang tidak pernah habis-habisnya
karena isu tersebut tetap dijaga sebagai alat kepentingan politik. Dalam paper ini yang
menarik untuk dianalisis yaitu masalah outsourcing sebagai sebuah mekanisme
perburuhan yang lahir dari rahim kapitalisme modern.
Outsourcing merupakan bentuk nyata dari prinsip fleksibelitas pasar kerja dan
dapat ditemukan dihampir seluruh bagian dalam rangkaian proses produksi (Rekson
Silaban, 2009 : 71). Selain itu outsoursing juga didefinisikan sebagai pengalihan sebagian
atau seluruh pekerjaan dan atau wewenang kepada pihak lain guna mendukung strategi
pemakaian jasa outsourcing baik pribadi, perusahaan divisi atau pun sebuah unit dalam
perusahaan (Komang Priamda, 2008 : 12).
Outsourcing memiliki dua jenis pertama, outsourcing pekerjaan yang berkaitan
dengan pemborongan pekerjaan pada pihak lain, kedua, outsourcing manusia. Tipe
outsourcing yang kedua merupakan praktek yang memberikan efisiensi pada tingkat
tertentu dalam operasional bisnis, namun merugikan secara serius kepentingan buruh
dipihak lain. Praktek inilah yang ditentang oleh gerakan buruh di Indonesia khususnya.
Apalagi setelah disahkannya UU No. 13 Tahun 2003, praktek sistem kerja kontrak
merajarela bagaikan jamur di musim hujan. Nyaris semua perusahaan memberlakukannya
dalam bentuk kontrak kerja yang pendek dan outsourcing.
Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 adalah landasan hukum bagi perusahaan
outsourcing dan pengusaha berkonspirasi mempraktekkan outsourcing. Bunyinya sebagai
berikut : "Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
2
pekerja atau buruh yang dibuat secara tertulis". Berdasarkan pasal inilah pemerintah telah
mengakui pemberlakuan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang dahulu kala
merupakan salah satu bentuk penjajahan koloni asing atas Indonesia di perusahaan-
perusahaan perkebunan yang ada di Indonesia.
Dari uraian diatas yang menjadi permasalahan utama paper ini yaitu bagaimana
mekanisme outsourcing menjadi sebuah sistem perburuhan yang mengingkari hak-hak
buruh, dengan persfektif teori alienasi dan nilai surplus Karl Marx. Dan menganalisis
keterkaitan hubungan perburuhan dalam sistem outsourcing, yaitu bagaimana posisi
buruh, perusahaan outsourcing dan perusahaan pengguna outsourcing. Selain itu akan
ditampilkan data-data gejolak-gejolak yang muncul dari sistem outsourcing.
B. Rumusan Masalah
Outsourcing merupakan mekanisme perburuhan diera modern, sebagai imbas dari
eksploitasi dan ekspansi perusahaan multi nasional dalam lingkaran kapitalisme global.
Menilik uraian latar belakang tersebut maka yang menjadi rincian permasalahan dalam
makalah "Outsourcing Sebuah Pengingkaran Kapitalisme Terhadap Hak-Hak Buruh"
yaitu sebagai beikut :
1. Apakah pengertian dari outsourcing?
2. Masalah apa saja yang terjadi dalam penggunaan outsourcing?
3. Bagaimana mekanisme outsourcing dalam industri di Indonesia ?, bagaimana
hubungan buruh serta kedudukan buruh dalam sistem tersebut ?
4. Bagaimana indikasi-indikasi pengingkaran hak-hak buruh dalam sistem
outsourcing ?, bagiamana alienasi dan nilai surplus yang terjadi dalam sistem
tersebut ?
5. Bagaimana Studi analisa kasus yang terjadi di Manajemen Jakarta International
Container Terminal?
3
C. Tujuan
a. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami
outsourcing sebagai sebuah pengingkaran kapitalisme terhadap hak-hak buruh.
b. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui mekanisme outsourcing yang diberlakukan dalam
industri di Indonesia
2. Untuk menggambarkan keterkaitan hubungan kerja antara buruh,
perusahaan outsourcing, dan perusahaan pengguna outsourcing
3. Untuk menggambarkan posisi buruh dalam sistem outsourcing dan melihat
implikasi-implikasi penindasan hak-hak buruh oleh sistem tersebut
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI OUTSOURCINGDalam era globalisasi dan tuntutan persaingan dunia usaha yang ketat saat ini,
maka perusahaan dituntut untuk berusaha meningkatkan kinerja usahanya melalui
pengelolaan organisasi yang efektif dan efisien. Salah satu upaya yang dilakukan adalah
dengan mempekerjakan tenaga kerja seminimal mungkin untuk dapat memberi kontribusi
maksimal sesuai sasaran perusahaan. Untuk itu perusahaan berupaya fokus menangani
pekerjaan yang menjadi bisnis inti (core business), sedangkan pekerjaan penunjang
diserahkan kepada pihak lain. Proses kegiatan ini dikenal dengan istilah “outsourcing.”
(Sumber : http://ariswan.wordpress.com/2008/05/23/outsourcing-sebagai-solusi-dunia)
“Outsourcing is subcontracting a process, such as product design or
manufacturing, to a third-party company. The decision to outsource is often made in the
interest of lowering firm costs, redirecting or conserving energy directed at the
competencies of a particular business, or to make more efficient use of land, labor,
capital, (information) technology and resources. Outsourcing became part of the business
lexicon during the 1980s.“ (Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Outsourcing)
Atau dengan kata lain outsourcing atau alih daya merupakan proses pemindahan
tanggung jawab tenaga kerja dari perusahaan induk ke perusahaan lain diluar perusahaan
induk. Perusahaan diluar perusahaan induk bisa berupa vendor, koperasi ataupun instansi
lain yang diatur dalam suatu kesepakatan tertentu. Outsourcing dalam regulasi
ketenagakerjaan bisa hanya mencakup tenaga kerja pada proses pendukung (non--core
business unit) atau secara praktek semua lini kerja bisa dialihkan sebagai unit
outsourcing. (Sumber : “Seputar Tentang Tenaga Outsourcing”,
http://malangnet.wordpress.com)
Outsourcing menjadi masalah tersendiri bagi perusahaan khususnya bagi tenaga
kerja. Oleh sebab itu terdapat pro dan kontra terhadap penggunaan outsourcing, berikut
beberapa penjabarannya dalam tabel 1.
5
TABEL 1Pro – Kontra Penggunaan Outsourcing
PRO OUTSOURCING KONTRA OUTSOURCING
- Business owner bisa fokus pada core business.
- Cost reduction.
- Biaya investasi berubah menjadi biaya belanja.
- Tidak lagi dipusingkan dengan oleh turn over tenaga kerja.
- Bagian dari modenisasi dunia usaha (Sumber : Pekerjaan Waktu Tertentu dan “Outsourcing, www.sinarharapan.co.id)
- Ketidakpastian status ketenagakerjaan dan ancaman PHK bagi tenaga kerja. (Sumber: www.hukumonline.com)
- Perbedaan perlakuan Compensation and Benefit antara karyawan internal dengan karyawan outsource. (Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” http://recruitmentindonesia.wordpress.com)
- Career Path di outsourcing seringkali kurang terencana dan terarah. (Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” http://recruitmentindonesia.wordpress.com)
- Perusahaan pengguna jasa sangat mungkin memutuskan hubungan kerjasama dengan outsourcing provider dan mengakibatkan ketidakjelasan status kerja buruh. (Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” http://recruitmentindonesia.wordpress.com)
- Eksploitasi manusia (Sumber : Pekerjaan Waktu Tertentu dan “Outsourcing, www.sinarharapan.co.id)
(Informasi dari berbagai sumber hasil browsing di internet)
B. Masalah Umum Yang Terjadi Dalam Penggunaan Outsourcing
1. Penentuan partner outsourcing.
Hal ini menjadi sangat krusial karena partner outsourcing harus mengetahui apa
yang menjadi kebutuhan perusahaan serta menjaga hubungan baik dengan partner
outsourcing.
2. Perusahaan outsourcing harus berbadan hukum.
Hal ini bertujuan untuk melindungi hak-hak tenaga outsource, sehingga mereka
memiliki kepastian hukum.
6
3. Pelanggaran ketentuan outsourcing.
Demi mengurangi biaya produksi, perusahaan terkadang melanggar ketentuan-
ketentuan yang berlaku. Akibat yang terjadi adalah demonstrasi buruh yang
menuntut hak-haknya. Hal ini menjadi salah satu perhatian bagi investor asing
untuk mendirikan usaha di Indonesia.
4. Perusahan outsourcing memotong gaji tenaga kerja tanpa ada batasan sehingga,
yang mereka terima, berkurang lebih banyak. (Sumber: “Sistem Outsourcing
Banyak Disalahgunakan”, www.fpks-dpr.or.id)
C. Mekanisme Outsourcing Dalam Industri Di Indonesia.
Perkembangan kapitalisme di era modern telah mencapai pada puncaknya
menghegemoni dunia. Kondisi ini didukung oleh kemajuan teknologi informasi dan
transportasi yang berkembang cukup pesat. Batas-batas Negara menjadi tidak penting
lagi, hanya batas formalitas teritorial yang ada, tetapi tidak mampu membendung
pernyebaran ide-ide, inovasi, teknologi sehingga dunia menjadi sebuah kampung global.
Menurut James J (2003 : 174), globalisasi merupakan pengintegrasian internasional
individu-individu dengan jaringan-jaringan informasi serta institusi ekonomi, sosial, dan
politik yang terjadi secara cepat dan mendalam, dalam takaran yang belum dialami
sejarah dunia sebelumnya.
Outsourcing merupakan turunan dari kapitalisme global. Dikatakan juga sebagai
anak kandung yang lahir dari rahim kapitalis, kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari sifat
dasar kapitalis yaitu eksploitatif dan ekspansif. Perusahaan-perusahaan transnasional dan
multi nasional, semakin kuat mengcengkram Negara-negara yang sedang berkembang.
Ekspansi dan eksploitasi yang besar-besaran dilakukan demi akumulasi modal. Sebagai
contoh perusahaan NIKE selama periode 1989-1994 membuka lokasi pabrik baru di
Cina, Indonesia dan Thailand dimana upah sangat rendah.
Ekspansi besar-besaran perusahaan transnasional diiringi juga dengan model dan
format kerja yang mereka persiapkan (outsourcing), untuk diterapkan di wilayah
pengembangan perusahaan. Ini merupakan implementasi dari ciri globalisasi dimana
perusahaan transnasional melakukan peningkatan konsentrasi dan monopoli berbagai
sumberdaya dan kekuatan ekonomi (Martin Khor, 2001 : 12). Karena itu globalisasi
7
adalah proses yang tidak adil dengan distribusi-distribusi keuntungan maupun kerugian
yang juga tidak seimbang.
Dari penjelasan diatas dapat diasumsikan bahwa perkembangan outsourcing di
Indonesai sebagai salah satu negara berkembang merupakan imbas dari hegemoni
kapitalis. Outsourcing di Indonesia sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1980-an,
model kerja ini disahkan keberlakuannya melalui keputusan Menteri Perdagangan RI No.
264/KP/1989 Tentang Pekerjaan Sub-kontrak Perusahaan Pengelola di Kawasan Berikat.
Industri awal yang bersentuhan dengan outsource adalah industri perminyakan.
Bahan bakar yang dimanfaakan oleh konsumen akhir, mengalami proses panjang dan
melalui berbagai perusahaan outsourcing. Dimulai dari pemilik konsesi lahan, eksplorasi
hingga produksi, transportasi, semuanya dilakukan oleh perusahaan yang berbeda
(Komang Priambada, 2008 : 21).
Dewasa ini hampir seluruh industri baik kecil maupun skala besar yang dimiliki
oleh para kapitalis melalukan praktek outsourcing. Ada beberapa alasan industri
melakukan outsourcing yaitu pertama, efisiensi kerja dimana perusahaan produksi dapat
melimpahkan kerja-kerja operasional kepada perusahaan outsourcing; kedua, resiko
operasional perusahaan dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Sehingga pemanfaatan
faktor produksi bisa dimaksimalkan dengan menekan resiko sekecil mungkin; ketiga,
sumber daya perusahaan yang ada dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan lain yang lebih
fokus dalam meningkatkan produksi; keempat, mengurangi biaya pengeluaran (capital
expenditure) karena dana yang sebelumnya untuk investasi dapat digunakan untuk biaya
operasional; kelima perusahaan dapat mempekerjakan tenaga kerja yang terampil dan
murah; keenam, mekanisme kontrol terhadap buruh menjadi lebih baik.
Pengesahan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, merupakan
landasan hukum bagi pelegalan sistem outsourcing yang menguntungkan pihak penguasa
modal dan sebaliknya merugikan kaum buruh. Berbagai aksi protes menentang sistem
outsourcing merupakan salah satu bentuk dari resistensi terhadap kepitalisme. Dalam
persfektif buruh, outsorcing menjadi sebuah batu penghalang bagi peningkatan kelayakan
hidup bagi mereka. Upah yang murah, tidak adanya jaminan sosial dan lain sebagainya
adalah indikasi dari pengingkaran kapitalisme terhadap hak-hak buruh yang mencederai
human rigth.
8
Untuk mempertegas mengenai mekanisme tersebut berikut uraian mengenai
hubungan buruh dan kedudukan buruh dalam model kerja outsourcing :
a. Hubungan Buruh
Hubungan industrial di Indonesia sepanjang perjalanannya sering menunjukkan
bahwa buruh ditempatkan sebagai faktor produksi mirip sebagai faktor produksi yang
dikonstruksikan Karl Marx. Outsourcing didefinisikan sebagai model kerja yang
menambahkan unsur 'pelaksana perkerjaan' diantara relasi buruh dan modal (Rita Olivia,
2008 : 9). Kondisi tersebut menjadikan hubungan perburuhan semakin kabur, dan
memperlemah bergaining position buruh terhadap pemilik modal.
Dalam model kerja outsourcing adanya pergeseran ruang lingkup hubungan
industrial. Awalnya yang terkenal dengan istilah tripartit atau hubungan antara buruh,
pengusaha dan pemerintah (Susetiawan, 2000:173). Dalam model outsourcing menjadi
empat lingkaran hubungan yaitu buruh, perantara atau broker (perusahaan oustsourcing),
perusahaan inti (pemilik modal) dan pemerintah. Outsourcing sebagai sebuah model
perburuhan baru, melalui beberapa tahapan dalam perekrutan. Ketersediaan tenaga kerja
yang tinggi di pasar tenaga kerja mengakibatkan turunnya harga buruh. Menurut Marx
tersedianya tentara-tentara cadangan yang banyak mengakibatkan terjadinya penindasan
terhadap hak-hak buruh. Eksploitasi, PHK dan lain sebagainya diputuskan secara sepihak
oleh pemilik modal.
Hubungan industrial dalam model kerja outsourcing, menjadikan buruh tidak
mempunyai kejelasan dalam hubungan, berimbas pada tidak jelasnya posisi buruh
bagaimana mereka menuntut hak-haknya. Buruh dituntut untuk memenuhi persyaratan
dalam outsourcing, jam kerja yang padat, upah yang tidak seimbang, tidak adanya
kesempatan untuk bergabung dalam organisasi buruh, karena waktu yang habis dalam
kontrak kerja. Pelanggaran terhadap perjanjian akan langsung berakibat pada
pemberhantian secara langsung oleh manajemen perusahaan outsourcing. Dan digantikan
oleh tenaga-tenaga outsourcing lainnya sebagai tentara-tentara cadangan.
Kondisi ini membebaskan industri-industri pengguna dari kewajiban-kewajiban
terhadap buruh kecuali hanya memberikan upah dari kerja buruh. Menurut Komang
Priambada (2008 : 31), pihak pengusaha berpendapat bahwa "Dari mana pekerja itu
direkrut, bagaimana datangnya dan lain-lain adalah bukan urusan kita sebagai pemakai".
9
Inilah satu kondisi yang memperlihatkan bahwa pekerja adalah barang dagangan dan
outsourcing tidak lain hanyalah triffiking yang dilegalkan.
Hubungan yang terjadi antara buruh dengan perusahaan outsourcing dan
perusahaan pengguna (pemilik modal), adalah hubungan ketergantungan. Tentunya tipe
ketergantungan (dependensi) yang terjadi yaitu ketergantungan yang tidak seimbang.
Eggi Sudjana (2001 : 27), menjelaskan bahwa kekuasaan yang menumpuk di tangan
kelompok pemberi upah atau borjuis dalam mengelola dan menguasai sumber-sumber
daya yang terbatas. Sehingga dalam prakteknya hubungan ketergantungan ini berjalan
dengan berat sebelah, karena prinsip para kapitalis yaitu memaksimalkan keuntungan
yang menekankan pada efisiensi dan produktivitas, sehingga buruh sering dieksploitasi.
Hubungan peruburuhan dalam sistem oousourcing sebagimana yang telah
disebutkan diatas sangat merugikan kaum buruh. Penolakan dan terjadinya konflik
perbruhan merupakan sebauh kegagalan poduk hukum dalam menampung dan
mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada mereka. Terjadilah hubungan yang tidak
sehat disatu sisi pengusaha diuntungkan dan dilain sisi buruh dirugikan. Inilah gambaran
hubungan buruh dalam sistem outsourcing.
b. Kedudukan Buruh
Buruh dalam model kerja outsourcing menjadi sosok barang yang
diperjualbelikan dengan harga murah, tidak harus menunggu rongsok dan bisa langsung
mengganti dengan barang yang lain, dengan kualitas yang lebih bagus dan harga yang
murah. Buruh adalah alat atau faktor produksi setelah modal, signifikannya peran buruh
sehingga ketidakhadiran buruh, berakibat pada tidak akan tercipta akumulasi modal
(capital). Idealnya buruh ditempatkan ditempat yang layak dan dihargai dengan nilai yang
tinggi, kerena merakalah yang turut langsung menciptakan produk yang akan dikonsumsi
konsumen.
Kenyataannya bahwa buruh selalu dikebiri disubordinatkan dan gerakan-
gerakannya selalu dilemahkan, karena dianggap akan membahayakan pemilik modal.
Inilah wajah kapitaslime, wajah penindasan terhadap hak-hak buruh. Outsourcing adalah
model kerja yang mencederai makna HAM dan Demokrasi. Celia Mather, (2008 : 28)
mengungkapkan bahwa outsourcing mengakibatkan tiga masalah utama yaitu pertama,
tersingkirnya buruh dari meja atau kesepakatan negosiasi; kedua, tidak adanya tanggung
10
jawab hukum perusahaan terhadap buruh; ketiga berkurangnya buruh tetap sehingga
semua buruh masuk kedalam outsourcing, kondisi buruh dalam ketidakpastian. Menurut
Celia Mather (2008 : 37), perusahaan inti melalui kontrator penyedia jasa memberikan
upah yang jauh lebih rendah daripada buruh tetap, mereka terhindar dari penyediaan
tunjangan-tunjangan seperti pensiun, asuransi kesehatan, kematian atau kecelakaan, sakit
dibayar, cuti dibayar, tunjangan melahirkan. Berikut dalam Tabel 1 Gambaran
perbandingan hak buruh tetap (Permanent), dan buruh kontrak (Outsorcing) :
Tabel. 1
Gambaran Perbandingan Hak Buruh Tetap (Permanent)
dan Buruh Kontrak (Outsorcing)
Hak-hak Buruh Buruh Tetap Buruh Kontrak
Upah Pokok (UP) Minimal UMK
Tunjangan Masa Kerja
(TMK)
UP=UMK+TMK
Hanya UMK
Premi kehadiran Dapat Tidak dapat
Tunjangan Jabatan Pada posisi tertentu ada Tidak dapat
Jaminan Sosial
Tenaga Kerja
Dapat Tidak dapat
Jaminan Kecelakaan
Kerja
Jaminan Kematian
Jaminan Hari Tua
Jaminan Kesehatan
(Bagi buruh dan
Keluarga)
Uang Makan dan
Transport
Dapat Tidak dapat (Termasuk di
dalam upah pokok)
Hak Cuti:
Tahunan, Haid, dan
cuti hamil
Dapat, untuk buruh
perempuan yang hamil
mendapat cuti 3 bulan
dengan dibayar
Tidak dapat, buruh
perempuan ketika hamil
diputus kontraknya.
11
upahnya
Tunjangan Hari Raya Dapat Tidak Dapat
Pesangon Dapat (dilindungi oleh
Undang-Undang)
Tidak Dapat
Kebebasan berserikat Ada dan dapat
dijalankan
Buruh takut berserikat
karena langsung dapat
diputus hubungan kerjanya
Perjanjian Kerja atau
Kesepakatan Kerja
Kolektif melalui PKB Individu yang ditandatangani
di awal
Sumber : Position paper KBC (Komite Buruh Cisadane), April 2004, hasil pendataan terhadap 150 perusahaan di
Tangerang 2003-2004.
Keberadaan buruh berstatus outsorcing pada gilirannya akan melemahkan perjuangan
kolektif buruh melalui serikat buruh, sebagai elemen pemaksa bagi terpenuhinya hak-hak buruh.
Sebab, buruh outsourcing bergerak sebagai individu yang mengadakan hubungan kerja dengan
perusahaan secara langsung, atau buruh yang disalurkan oleh lembaga outsourcing (jasa penyalur
tenaga kerja), kepada perusahaan, para pihak yang terlibat dalam perjanjian dalam hal ini adalah
jasa penyalur tenaga kerja dan perusahaan, sementara buruh outsorcing sendiri berada di bawah
kendali jasa penyalur.
D. Indikasi Pengingkaran Hak-Hak Buruh Dalam Sistem Outsourcing
Pengingkaran hak-hak buruh dalam model kerja outsourcing, sebagian telah
dijelaskan dalam pembahasan terdahulu. Indikasi pelanggaran kapitalis (pemilik modal)
dapat dilihat dari laporan Organisai Nirlaba "Global Alliance for Workers and
Communities" mengenai kondisi kerja di sembilan Perusahaan NIKE. Hasil laporan dari
wawancara dengan 4.450 buruh, bahwa terjadi penyiksaan dan perlakuan tidak
sewajarnya oleh pekerja kontrak (outsourcing), sejumlah 30 persen buruh mengaku
pernah melihat atau mengalami pelecehan atau penyiksaan baik secara verbal maupun
fisik, termasuk pelecehan seksual (Sri Haryani, 2002 : 45). Laporan tersebut merupakan
sebagian kecil dari gambaran bagaimana kondisi buruh dalam sistem outsouring. Untuk
12
memperjelas mengenai indikasi tersebut disini akan digunakan persfektif alienasi dan
nilai surplus Karl Marx.
1. Alienasi Buruh Dalam Sistem Outsourcing
Manusia merupakan mahluk produktif yang mampu menggunakan
seperangkat kemampuannya untuk bekerja. Kerja adalah sebuah proses dimana
manusia dan alam terlibat dalam sebuah kegiatan produktif. Manusia mempunyai
kemampauan untuk mengatur, memulai, dan mengontrol reakasi-reaksi material
antara dirinya dan alam.
Marx dalam teori alienasi mengungkapkan empat bentuk alienasi, dalam
menganalisis buruh dan perkembangan buruh pada masa kapitalisme awal.
Perkembangan kapitalisme dan juga perangkat-perangkat pendukungnya semakin
menguatkan eksploitasi dan ekspansi. Buruh outsourcing baik secara struktural
maupun fungsional teralienasi. Sistem outsourcing yang melibatkan broker
sebagai pihak perantara penyedia buruh, dan juga perusahaan inti yang
memanfaatkan buruh telah melakukan praktek alienasi yang tidak bisa ditolerir.
Praktik ini sesungguhnya mirip "jual beli manusia" (human trafficking) yang
dilegalisasi oleh negara.
Beberapa indikator dari alienasi buruh dalam sistem kerja outsourcing
yaitu, pertama; buruh kehilangan kesempatan untuk menyalurkan dan mengontrol
sendiri hasilnya kerjanya. Dalam bahasa Marx, buruh teralienasi dari aktivitas
produktif, dalam pengertian bahwa buruh tidak bekerja untuk memenuhi
kebutuhan mereka, melainkan mereka bekerja untuk kapitalis (Ritzer, 2008 : 56)
Buruh dicetak dan dibentuk seperti mesin yang bekerja untuk pemilik
mesin. Buruh kehilangan kreativitas dan kemampuan dasarnya sebagai mahluk
produktif untuk mencukupi kebutuhan sendiri. Mereka telah kehilangan hak-hak
untuk menciptakan produk sesuai dengan keinginan dan untuk kebutuhan mereka
sendiri. Outsourcing melanggengkan perangkap terhadap buruh yang sudah lama
terbentuk. Kondisi ini juga didukung dengan kuatnya penguasaan broker dan
perusahaan inti terhadap buruh. Senada dengan gambaran diatas dalam kongres
ICEM menyatakan bahwa kami memandang outsourcing sebagai bentuk dari
perbudakan dan ketidakadilan bagi kemanusiaan (Celia Mather, 2008 : 39).
13
Kedua, buruh teralienasi dari produk hasil kerja mereka. Buruh tidak
memiliki hak untuk memiliki produk hasil produksi mereka, karena produk
tersebut hak milik kapitalis. Asumsi ini masih dalam satu rangkaian dengan tipe
aleinasi yang pertama. Buruh diposisikan sebagai faktor produksi yang
memproduksi barang untuk kepentingan kapitali dan akan mereka jual dipasar.
Sebagai contoh buruh outsourcing di perusahan Nike, tidak dapat serta merta
dapat memiliki hasil dari kerjanya. Meraka bisa memiliknya ketika mereka
membeli produk itu dipasar tetapi harganya tidak bakanlan terjangkau oleh
mereka.
Ketiga, buruh teralienasi dari sesama pekerja. Fenomena ini sebenarnya
telah lama terjadi, tetapi dalam kasus kerja outsourcing ada varian lain, tidak
seperti yang ditemukan pada kapitalisme awal, dimana hubungan buruh hanya
antara kelas borjuis dan proletar (buruh). Keterasingan pekerja sesama pekerja
outsourcing mencapai pada puncaknya, mereka menjadi aktor yang harus loyal
karena perjanjian outsourcing telah mereka sepakati. Persyarakatan yang
memberatkan pihak buruh sehingga pelanggaran terhadap perjanjian akan
mengakibatkan pemecatan. Struktur yang dibangun benar-benar menjadi kekautan
yang menghegemoni buruh untuk tunduk. Sehingga berimplikasi mereka tidak
tidak dapat berinteraksi dengan buruh-buruh yang lain. Selain itu ada juga
kecenderungan buruh outsourcing tidak dapat masuk kedalam serikat-serikat
buruh karena waktu kontrak yang terbatas, dan terjadi hambatan untuk merekrut
buruh kedalam serikat buruh yang akan memperjaungkan hak-hak dasar mereka.
Keempat, buruh tealienasi dari kemanusiaan mereka sendiri, hal ini
dikarenakan kerja tidak lagi menjadi transformasi dan pemenuhan sifat dasar
manusia. Kondisi ini juga terjadi dalam sistem kerja outsourcing, regulasi-regulasi
yang cukup kuat mencengkram buruh menjadikan buruh tidak merdeka
sepenuhnya. Buruh hanya menerima gaji yang minimum dengan pengerukan
tenaga dan usaha yang maksimum. Outsourcing atau kerja kontrak memposisikan
buruh dalam keadaan yang sangat sulit, tidak mempunyai posisi tawar yang
memadai, sehingga penindasan terhadap hak-hak buruh menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dalam sistem tersebut.
14
2. Nilai Surplus Dalam Sistem outsourcing
Buruh outsoursing sangat rentan dengan eksploitasi secara besar-besaran
oleh pemilik modal atau kapitalisme. Sistem outsourcing mengakibatkan buruh
bena-benar berada pada titik kulminasi, tidak mampu berbuat apapun demikian
juga untuk membela hak-haknya. Penerapan outsourcing yang dilegalkan dengan
adanya undang-udang memberikan landasan hukum dibolehkannya praktek
pengingkaran terhadap hak-hak buruh oleh negara.
Kerja buruh seharusnya di nilai dengan harga dan bayaran yang seimbang.
Idealnya begitu yang diharapkan oleh buruh baik secara personal maupun dalam
gerakan kolektif srikat buruh. Tuntutan akan pemenuhan hak-hak dasar menjadi
agenda utama dalam setiap aksi-aksi serikat buruh. Walaupun demikian tuntutan
itu belum terwujud hingga saat ini.
Salah satu tujuan outsourcing yaitu untuk efisiensi dan mengurangi biaya
produksi. Nilai surplus merupakan keuntungan yang telah dipersiapkan atau sudah
direkayasa dalam sistem outsouricing melalui perjanjian kerja. Ada kepentingan
pemilik modal yang mendominasi dalam mekanisme tersebut. Menarik lebih jauh
bahwa dibalik semua proses ini adalah wujud dari ketergantungan negara
berkembang (satelit) terhadap negara maju (metropolis). Menurut Frank
kapitalisme pada dasarnya ingin mencari keuntungan yang sebesar-besarnya,
kaum kapitalisme dinegara-negara metropolis bekerjasama dengan pejabat
pemerintah negara satelit. Akibat dari kerjasama antara modal asing dan
pemerintah muncullah kebijakan-kebijakan pemerintah yang menguntungakan
modal asing dan borjuasi lokal dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak
negara tersebut (Arief Budiman, 2000 : 66).
Nilai surplus yang diungkapkan Marx, mengasumsikan bahwa buruh
berada pada posisi yang dikeruk dan dieksploitasi secara maksimal oleh kapitalis.
Buruh di ingkari haknya, dijadikan mesin yang bekerja patuh dengan batas waktu
yang tidak tidak ditentukan. Sebagai contoh dalam waktu enam jam seorang
buruh sudah selesai dan mampu untuk melaksankan kewajiban dasar kerja
mereka, tetapi lebih dari waktunya masih diperas oleh kapitalisme untuk
keuntungan mereka, inilah bentuk dari nilai surplus. Marx menyebut rasio antara
15
kerja yang diperlukan dan kerja suplus sebagai tingkat nilai surplus atau tingkat
pemerasan (Anthony Giddens, 2007 : 61).
Sistem outsourcing merupakan bentuk dari pemerasan terhadap nilai
surplus yang dihasilkan buruh. Pada masa kolonial pengambilan nilai surplus
dilakukan dengan perburuhan yang tidak manusiawi melalui kerja paksa, misal
sistem pajak dan penanaman tanaman wajib bagi para petani, sehingga eksploitasi
massal terjadi di berbagai tempat dan kapasitas.
Pada era ini negara memberikan kelonggaran kepada pihak kapitalis untuk
melanggengkan usahanya dengan sistem outsourcing yang dilindungi oleh
undang-undang. Lalu dimanakah peran negara dalam melindungi hak-hak buruh
ini menjadi permasalahan lain lagi dalam bingkai permasalahan perburuhan yang
cukup luas. Inilah yang selalu diperjuangkan oleh serikat-serikat buruh agak
keadilan negara didalam memberikan perlindungan dan memberikan hak-hak
rakyat tercapai.
Dalam banyak kasus, kesempatan penulis wawancara dengan salah satu
buruh outsouring perusahaan Transnasional Philips di Batam. Informan
merupakan salah satu supervisor di perushaan tersebut, menurut dia bahwa
mereka bekerja dibawah tekanan, dimana tergetan-targetan harus dicapai secara
maksimal. Ketika tergetan tersebut belum tercapai maka dalam waktu 24 jam
mereka harus lembur untuk memproduksi barang yang di tergetkan tersebut, hari
liburpun mereka tetap masuk. dan bahkan ketika tergetan tersebut tercapai, saat
pesanan atau order untuk penjulan dipasar meningkat maka targetan-targetan
tersebut semakin di persempit dalam artian mereka harus menyelesaiakan
tergartan dalam jangka waktu yang lebih sedikit, kemudian lebih waktu tersebut
di kuras lagi untuk mengerjakan targetan yang berikutnya. Kerja seperti ini sudah
menjadi rutinitas yang kami lakukan, protes-protes tidak pernah dilakukan oleh
karyawan disini (Informan Buruh Outsourcing PT. Philips di Batam)
Inilah gambaran dari banyak kasus yang menimpa buruh, mereka dalam
ketidakberdayaan, kerja dalam tekanan dan kepatuhan yang luar biasa sehingga
kesadaran kelas sulit untuk tumbuh, hal ini karena mereka tidak mempunyai
waktu yang cukup untuk berinterkasi sesama pekerja apalagi dengan serikat-
16
serikat buruh. Sistem outsoursing adalah modela rekayasa kerja yang paling
menguntungkan pihak kapitalisme. Nilai surplus merupakan salah satu dari
banyak keuntungan yang diambil oleh pihak kapitalisme, melalui perusahaan-
perusahaan mereka yang telah mennyebar dan menjalar keseluruh negara
khususnya negara-negara berkembang, yang sekaligus dijadikan pasar, dan
akumulasi modal mengalir keluar yaitu kepihak kapitalis.
Hal ini senada dengan pendapat Paul Baran, bahwa munculnya kekuatan
ekonomi asing dalam bentuk modal kuat dari dunia barat ke negara-negara dunia
ketiga, membuat surplus yang terjadi disana, diambil alih oleh kaum pendatang,
melalui berbagai macam cara. Maka yang terjadi di negara-negara pinggiran
bukanlah akumulasi modal melainkan penyusutan modal (Arief Budiman, 2000 :
58).
E. Contoh kasus outsourcing di perusahaan
Salah Satu Contoh Kasus Outsoucing di indonesia adalah sebagai berikut:
Di JICT, Jangan Ada Pekerja “Outsourcing”
Rabu, 21 April 2010 | 20:43 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Manajemen Jakarta International Container
Terminal (JICT) diminta segera menyelesaikan nasib ribuan karyawan outsourcing di
terminalnya yang sampai sekarang masih terkatung-katung untuk mencegah hal-hal yang
tidak diinginkan.
“Sistem outsourcing harus segera dihapus karena akan berdampak pada
implementasi International Ships and Port Security (ISPS) Code di Pelabuhan Tanjung
Priok. Pekerja outsourcing harus diangkat sebagai karyawan organik,” kata Koordinator
International Transport Worker’s Federation (ITF) di Indonesia, Hanafi Rustandi, dalam
siaran persnya di Jakarta, Rabu (21/4/2010).
Dikatakannya, ITF sangat prihatin dengan sikap manajemen JICT yang tidak
peduli dengan nasib pekerja dengan mengabaikan nota pemeriksaan dari Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) yang merekomendasikan agar para
pekerja outsourcing diangkat menjadi karyawan tetap.
Menurut Hanafi, untuk menyelesaikan tuntutan pekerja tersebut, Kemenakertrans
pada 31 Maret 2010 telah mengirim surat kepada manajemen JICT. Intinya, JICT diminta
17
melaksanakan UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan mengangkat pekerja
outsourcing menjadi karyawan organik. “Namun hingga saat ini permintaan
Kemenakertrans tersebut tidak digubris,” katanya.
Kasus ini mencuat setelah ribuan pekerja outsourcing di pelabuhan/terminal
petikemas itu menuntut diangkat menjadi karyawan tetap. Kontrak kerja outsourcing
ditandatangani oleh manajemen JICT dengan beberapa vendor, yakni PT Philia Mandiri
Sejahtera, Koperasi Pegawai Maritim, dan Koperasi Karyawan JICT.
Mereka antara lain bekerja sebagai operator rubber tired gantry crane, head
truck, quay crane, radio officer, dan maintenance. “Pekerjaan tersebut merupakan
pekerjaan inti yang terkait langsung dalam proses produksi dan berada di lini satu
pelabuhan/terminal peti kemas,” kata Hanafi yang juga Presiden Kesatuan Pelaut
Indonesia (KPI).
Mereka rata-rata telah bekerja 20 tahun, namun statusnya tidak berubah. Gajinya
yang hanya Rp 1,3 juta per bulan, atau 15 persen dari gaji karyawan organik JICT.
Kondisi itu dinilai sebagai diskriminasi upah.
Akibat tuntutan tersebut, sekitar 300 pekerja outsourcing terkena PHK. Mereka
kemudian melakukan aksi mogok pada 1 Februari 2010 yang sempat melumpuhkan
kegiatan ekspor/impor di Pelabuhan Tanjung Priok. Unjuk rasa kemudian dilanjutkan di
Kemenakertrans, Kementerian Perhubungan dan BUMN. Namun hingga kini nasib
pekerja masih terkatung-katung.
Hanafi Rustandi yang juga Ketua ITF Asia Pasifik mengingatkan, mempekerjakan
karyawan dengan sistem outsourcing bertentangan dengan implementasi ISPS Code yang
harus dilaksanakan JICT.
Menurut Hanafi, ketentuan ISPS Code menyebutkan, area lini satu atau kegiatan
yang langsung berhubungan dengan proses ekspor/impor barang, dan
loading/discharging container, merupakan area tertutup yang tidak boleh dimasuki orang
yang bukan pekerja organik. “Jika, di area ini orang bebas masuk, termasuk pekerja
outsourcing, validitas keamanan pelabuhan tersebut tidak dapat
dipertanggungjawabkan,” katanya.
Untuk memenuhi implementasi ISPS Code sesuai aturan internasional,
manajemen JICT hendaknya menghapus sistem outsourcing dan mengangkat mereka
18
sebagai karyawan organik. Mereka juga wajib mendapat pengupahan sesuai standar
hidup yang layak, untuk mencegah terjadinya gejolak atau pemogokan yang bisa
mengancam kegiatan di pelabuhan.
Hasil Analisa dari kasus diatas adalah sebagai berikut:
Memang miris sekali mendengar dan melihat dikoran, ditelevisi yang
menayangkan tentang para pekerja keras yang hanya dipandang sebelah mata oleh pihak-
pihak yang ingin mengambil dan mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa
melihat atau malah menyadari bahwa dibelakang usahanya atau perusahaannya itu
terdapat puluhan, ratusan, bahkan ribuan pekerja kerjas (Outsoourcing) yang tak tentu
hidupnya, mulai dari biaya, jaminan entah itu jaminan kesehatan, dan para pekerja itu
juga harus memikirkan nanti, besok, atau lusa mereka akan diberhentikan dan harus
mencari pekerjaan lagi untuk sekedar menafkahi kehidupan sehari-hari keluarganya.
Tidak ada yang beda antara para pekerja laki-laki dan perempuan, mereka-mereka yang
mempekerjakan para outsourcing ini mencari sesuatu yang murah, tapi dilain sisi
haruslah mempunyai sebuah kualitas dalam bekerja, dan dengan upah yang minim tentu
itu tidak adil untuk sebuah pekerjaan. Tapi itulah kenyataan yang ada di Indonesia
sekarang ini, seperti yang tertera dalam kasus diatas. Kasus diatas merupakan salah satu
dari kasus outsourcing yang terjadi di Indonesia, dan masih banyak lagi kasus-kasus lain
yang bahkan lebih parah dari kasus diatas.
Sekarang bisa dikatakan sedang tren-trennya tentang pegawai outsourcing yang
ada di Indonesia ini. kenapa? Karena bayak sekali para masyarakat yang berbondong-
bondong untuk ikut menjadi para pekerja outsourcing ini, katakanlah dalam dunia
hiburan. Para stasiun televisi sekarang menggunakan para pekerja outsourcing untuk
mendongkrak program hiburan misalnya saja hiburan tentang musik, komedi dan lain
sebagainya yang itu membutuhkan para pekerja outsourcing agar hiburannya itu laris
katakanlah seperti itu. Upah yang diberikan memang tidak begitu banyak, tetapi
kebanyakan dari para pekerja outsourcing dalam hal dunia hiburan ini semata-mata untuk
kesenangan dan upah itu hanya sekedar digunakan untuk uang “jajan”. Mereka-mereka
yang direkrut untuk menjadi pekerja outsourcing dalam dunia hiburan haruslah
mempunyai kriteria tertentu, misalnya haruslah muda, cantik, tampan, dan lain
sebagainya. Tetapi kita lihat kembali kasus diatas, mereka yang rata-rata telah bekerja
19
selama kurang lebih 20 tahun, dengan upah yang tetap, tanpa biaya dan jaminan
kesehatan apa itu adil untuk mereka yang sudah berumah tangga dan harus menafkahi
keluarga yang ada dirumah mereka? Jelas dan tentu itu tidak adil untuk para pekerja
outsourcing tersebut. Para pekerja outsourcing itu yang bekerja keras kemudian menuntut
upah dan ingin diangkat menjadi karyawan tetap hanyalah sia-sia dan tak didengar oleh
perusahaan, malah perusahaan itu memecat sekitar 300 pekerja outsourcing itu. Bekerja
selama 20 tahun itu tidaklah sebentar, bayangkan selama 20 tahun mereka bekerja dengan
upah yang sama, bekerja sekuat tenaga meningkatkan perusahaan menjadi perusahaan
andalan adalah sesuatu yang sulit dan itu hanya dibayar secuil persen saja dari kuntungan
perusahaan. Pekerja outsourcing yang bekerja di inti yang terkait langsung dalam proses
produksi dan berada di lini satu pelabuhan atau terminal peti kemas tetap dipandang
sebelah mata, didiskriminasi dengan karyawan tetap disana. Dengan para pendemo yang
berjumlah ribuan itu perusahaan tetap tutup telinga untuk sekedar mendengar aspirasi
para pekerja outsourcing tersebut. “jika kamu tidak puas dengan perjanjian atau upah
yang kami berikan, silakan keluar dari sekarang, masih banyak para pekerja yang
membutuhkan pekerjaan diluar sana”, kata-kata seperti itu yang sering digunakan oleh
para jasa pekerja outsourcing. Dengan kata lain, para pekerja outsourcing ini tutup mulut
dan menerima dengan lapangan dada pekerjaan yang akan diterimanya nanti. Walau
dengan upah yang minim, tanpa jaminan sosial maupun kesehatan, mereka akan
menerimanya karna hanya itulah jalan untuk mendapat pekerjaan bagi para pekerja
outsourcing ini yang juga minim akan pendidikan.
Jika bicara solusi atau jalan keluar untuk masalah outsourcing ini, bisa dikatakan
cukup rumit. Karena memang sejak awal para pekerja outsourcing ini sudah melakukan
perjaanjian dengan para penyedia jasa, dan tertera tanda tangan dan itu sebagai bukti
bahwa mereka itu telah sepakat dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, dan jika
nantinya mereka ingin upah yang katakanlah ditingkatkan, ada jaminan sosial dan
kesehatan, bukti tanda tangan yang sah para pekerja ouusourcing cukup diperlihatkan
bahwa tuntutan para pekerja outsourcing ini tidak sesuai dengan persyaratan sejak awal.
Hanya perusahaan yang yang katakanlah benar-benar mempunyai hati nuranilah yang
mendengar dan menghargai sekaligus mengabulkan tuntutan para pekerja outsourcing ini.
Tapi inilah sebuah bisnis, tak ada perusahaan yang ingin rugi apalagi bangkrut hanya
20
karena masalah para pekerja outsourcing yang setiap saat dapat diganti jika para pekerja
outsourcing ini tidak puas, misalnya upah yang diberikan, dan lain sebagainya.
Perusahaan hanya menginginkan keuntungan dan laba yang sebesar-besarnya dan terus
memperluas agar dapat menguasai pasar dunia.
Demikian analisis mengenai salah kasus outsourcing yang terjadi di Indonesia.
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Outsourcing merupakan perkembangan dari mekanisme perburuhan di era
modern. Sistem kerja tersebut merupakan penjelmaan dari sifat kapitalisme yaitu
ekspansif dan eksploitatif yang telah menghegemoni negara-nagara berkembang. Model
kerja outsourcing merupakan pencederaan dan pengabaian terhadap hak-hak dasar buruh,
oleh pihak kapitalis. Disyahkannya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, yang memperbolehkan makanisme kerja outsourcing, merupakan
landasan hukum formal bagi penindasan dan penghisapan hak-hak buruh. Selain itu
sistem tersebut sesungguhnya mirip "jual beli manusia" (human trafficking) yang
dilegalisasi oleh negara.
Ada beberapa indikator yang ditemui dalam sistem kerja outsourcing
Model kerja outsoursing sebagai anak kandung dari kapitalis, sebagai
wujud dari pengingkaran terhadap hak-hak buruh.
Model kerja tersebut mengabaikan hak-hak buruh, dalam hubungan,
kedudukan, terjadi alienasi dan pengurusan buruh (nilai surplus).
Model kerja outsourcing obnormal, tidak memanusiakan masusia,
mencederai hak azasi manusia (human right).
B. Saran
Dengan berbagai anomali-anomali dari model kerja tersebut, sehingga perlunya
penguatan organisasi buruh untuk menghadang laju outsourcing dan menjadikan
outsourcing sebagai isu sentral dalam perjuangan hak-hak buruh.
22
DAFTAR PUSTAKA
http://blog.unsri.ac.id/revolusi_Jalanan/isu-perburuhan/outsourcing-sebuah-pengingkaran-
kapitalisme-terhadap-hak-hak-buruh/mrdetail/6616/
www.google.com
www.wikipedia.com
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=outsourcing+adalah&source=web&cd=2&ved=0CB
8QFjAB&url=http%3A%2F%2Fwww.ppmmanajemen.ac.id%2Fuploads%2Fdirfile_research
%2FPAPER%2520OUTSOURCING
%2520final.doc&ei=weDUTpDTIsOqrAeT2cHBDg&usg=AFQjCNHnmvFoiS5Tri2z1ZUm
cHzCHeWiYA
23