Download - Makalah Pengajaran Drama
PENGAJARAN DRAMA: PENGELOLAAN KENDALA DAN POTENSI
DALAM PENGAJARAN DRAMA UNTUK TERCAPAINYA SUATU
KEBERHASILAN PENGAJARAN SASTRA DI SEKOLAH
MAKALAH
Oleh:
KELOMPOK
1. SUSANNA MULYANI NPM. 09.311.260 / P2. SUPRAPTI NPM. 09.311.261 / P3. SUNARTI NPM. 09.311.262 / P4. EFI NOVIKA DWI A NPM. 09.311.276 / P
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI INDONESIAIKIP PGRI MADIUN
2010
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji syukur kehadlirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun
makalah dengan judul: “Pengajaran Drama: Pengelolaan Kendala dan Potensi
dalam Pengajaran Drama Untuk Tercapainya Suatu Keberhasilan Pengajaran
Sastra di Sekolah” ini dengan baik.
Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada berbagai pihak
yang telah membantu penulis dalam penyusunan makalah ini, baik bantuan yang
berupa bimbingan, semangat, dan penyampaian berbagai informasi sehingga
makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk
itu segala kritik dan saran yang membangun selalu penulis harapkan. Selanjutnya,
penulis berharap makalah ini mampu memberikan manfaat kepada semua pihak.
Terima kasih.
Madiun, Oktober 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN........................................................................... 5
A. Kajian tentang Drama............................................................. 5
1. Pengertian Drama.............................................................. 5
2. Unsur-Unsur Drama.......................................................... 6
3. Manfaat Drama................................................................. 9
4. Pengajaran Drama di Sekolah........................................... 12
B. Strategi Pengajaran Drama...................................................... 14
C. Pengajaran Drama di Sekolah................................................. 22
BAB III SIMPULAN.................................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 29
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan drama di Indonesia akhir-akhir ini begitu pesat. Ha1 ini
terlihat dari banyaknya pertunjukan drama di televisi, drama radio, drama
kaset, dan juga drama pentas. Organisasi remaja, baik di sekolah, universitas,
karang taruna, maupun gelanggang remaja mempunyai seksi teater. Demam
drama sudah begitu meluas, sehingga jika televisi menyajikan drama,
masyarakat pasti antusias menyaksikannya.
Pada dasarnya, drama merupakan jenis seni yang sangat terkenal
dalam kehidupan umat manusia. Dengan bantuan alat informasi dan hiburan
yang canggih seperti televisi dan siaran radio, drama semakin terkenal dan
telah menjadi suatu keharusan dalam acara-acara televisi. Tayangan dan film
yang beraneka ragam telah menjadi alat hiburan yang sangat diminati oleh
banyak orang dan para pemirsa. Karena drama begitu terkenal maka sangat
baik bila drama digunakan sebagai alat untuk menyampaikan nilai-nilai fisik
dan ajaran tentang moral.
Selain fungsi utamanya sebagai alat hiburan, drama juga dapat
digunakan dengan tujuan untuk mendidik dan melatih orang secara fisik dan
mental. Jika kita melihat drama lebih dalam, kita bisa menemukan bahwa
cabang seni ini dapat berfungsi sebagai alat serbaguna bagi kedua belah pihak
antara pemirsa atau penonton dan pemain atau seniman.
Berkaitan dengan semakin pesatnya perkembangan drama sebagai seni
pertunjukan, diperlukan suatu pembelajaran seni drama di sekolah, termasuk
sekolah dasar. Pembelajaran seni drama di sekolah dasar, baik sebagai mata
pelajaran tersendiri sebagai muatan lokal maupun sebagai bagian dari mata
pelajaran bahasa Indonesia perlu mendapatkan penanganan yang lebih serius.
Penanganan tersebut selain berkaitan dengan metodologis juga pembekalan
keterampilan bagi guru, dan pemanfaatan model-model serta teknik-teknik
tertentu yang relevan dengan pembelajaran seni drama.
Dari beberapa pengamatan di sekolah dasar-sekolah dasar yang ada di
wilayah Kabupaten Magetan, diketahui bahwa pembelajaran seni drama
sebagai bagian dari pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia belum
dilaksanakan secara memadai. Pembelajaran apresiasi drama yang telah
dilaksanakan oleh beberapa sekolah dasar selama ini masih dapat dikatakan
belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Rendahnya kualitas pembelajaran
tentunya disebabkan oleh beberapa faktor, seperti penyajian yang tidak
mengenai sasaran, saran belajar yang kurang menunjang dalam proses
pembelajaran, atau guru yang kurang menguasai materi sastra. Selain itu, juga
dapat diketahui bahwa kebanyakan sekolah belum mengupayakan suatu
pembelajaran tentang drama secara maksimal.
Hal ini perlu mendapat perhatian serius karena selain berkaitan dengan
materi, pengajaran drama di sekolah ternyata lebih banyak mendatangkan
keuntungan bagi siswa. Selain melatih mental, jika dikelola dengan baik,
pemain drama yang berbakat dikemudian hari diharapkan dapat menjadi
pekerja seni, khususnya pemain drama atau pemain film (aktor/aktris)
profesional.
Herman J. Waluyo (2006: 165) menyatakan bahwa pengajaran drama
sebagai penunjang pemahaman bahasa berarti untuk melatih keterampilan
membaca (teks drama) dan menyimak atau mendengarkan (dialog dalam
drama, mendengarkan drama radio, televisi, dan sebagainya). Sementara
sebagai penunjang latihan penggunaan bahasa dengan maksud yaitu melatih
keterampilan menulis (teks drama, resensi drama, dan sebagainya) dan wicara
(dialog-dialog dalam pementasan drama).
Menurut Imam Syafe’i (2005: 16), tujuan pengajaran drama adalah
untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mengapresiasi drama. Ini
berarti bahwa setelah selesai mengikuti kegiatan belajar mengajar drama
diharapkan siswa dapat meningkatkan kemampuannya dalam mengapresiasi
drama, yaitu mampu mengenal, menghayati, dan menghargai drama sebagai
karya sastra secara kreatif. Selain itu, diharapkan pula mereka mampu
mengomunikasikan hasil kegiatan mengapresiasi bentuk sastra itu kepada
orang lain, baik secara lisan maupun tulis. Kemampuan mengapresiasi drama
secara kreatif itu diharapkan pula dapat mendorong siswa untuk berani
menuangkan pengalaman, gagasan, dan perasaannya dalam bentuk drama.
Selain dari pertimbangan adanya keuntungan dalam pengajaran drama
di sekolah dasar, dalam kurikulum sekolah pun juga telah dinyatakan bahwa
dalam pembelajaran bahasa Indonesia salah satunya terdapat pengajaran
drama. Untuk itu, sudah bukan hal yang istimewa jika di sekolah dasar-
sekolah dasar perlu disampaikan pengajaran tentang drama.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, pada
kesempatan ini akan disampaikan suatu penulisan makalah tentang pengajaran
drama di sekolah, khususnya sekolah dasar. Dalam hal ini, akan dilakukan
pembahasan mengenai materi tentang drama dan konsep pengajaran drama di
sekolah yang relevan dengan kondisi siswa serta sesuai dengan materi
kurikulum.
B. Rumusan Masalah
Dari adanya berbagai permasalahan yang dapat ditemukan dalam
pengajaran drama selama ini dan dengan adanya berbagai keuntungan yang
dapat diperoleh dalam pengajaran drama, pada makalah ini dapat dirumuskan
suatu permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah konsep pengajaran drama
di sekolah yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi objektif siswa,
khusunya berkaitan dengan materi dan teknik pengajaran yang tepat dan
sesuai dengan kurikulum?”
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian tentang Drama
1. Pengertian Drama
Menurut Dwi Hariningsih (2005: 3) kata “drama” berasal dari
bahasa Yunani, dramoai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak atau
beraksi. Agustinus Suyoto (2006: 1) memberikan batasan pengertian
drama sebagai berikut, drama adalah kisah kehidupan manusia yang
dikemukakan di pentas berdasarkan naskah, menggunakan percakapan,
gerak laku, unsur-unsur pembantu (dekor, kostum, rias, lampu, musik),
serta disaksikan oleh penonton. Herman J. Waluyo (2006: 1),
mengungkapkan bahwa drama merupakan tiruan kehidupan manusia yang
diproyeksikan di atas pentas.
Drama adalah potret kehidupan manusia, potret duka, pahit manis,
hitam putih kehidupan manusia. Drama adalah sebuah genre sastra yang
penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal adanya dialog atau
cakapan di antara tokoh-tokoh yang ada (Melani Budianta, 2002: 95).
Atar Semi (2000: 156) mengemukakan bahwa drama cerita atau
tiruan perilaku manusia yang dipentaskan. Di mana kita dapat melakukan
tiruan dengan mudah tentang sesuatu hal dalam kehidupan sehari-hari dan
sesuai dengan cerita, hal tersebut akan menimbulkan kesan atau reaksi dari
penonton. Drama adalah salah satu jenis karya yang ditulis dalam bentuk
dialog yang didasarkan atas konflik batin dan mempunyai kemungkinan
untuk dipentaskan, sedangkan Panuti Sudjiman (2000: 22) berpendapat
bahwa drama adalah karya sastra yang bertujuan menggambarkan
kehidupan dengan mengemukakan tikaian dan emosi lewat lakuan dan
dialog, dan lazimnya dirancang untuk pementasan panggung. Drama
merupakan salah satu bentuk karya sastra yang memiliki ciri tersendiri
yang membedakan dengan karya sastra yang lain. yaitu dalam naskahnya
didominasi dengan dialog-dialog antar pemeran atau tokoh. Drama adalah
sebuah karya sastra yang ditulis dalam bentuk dialog dengan maksud
untuk dipentaskan para aktor.
2. Unsur-Unsur Drama
Menurut Asul Wiyanto (2002: 14), terdapat beberapa hal yang
merupakan unsur-unsur dalam drama, yaitu:
a. Naskah
Naskah diartikan sebagai bentuk tertulis dari suatu drama. Sebuah
naskah walaupun telah dimainkan berkali-kali, dalam bentuk yang
berbeda-beda, naskah tersebut tidak akan berubah mutunya.
Sebaliknya sebuah atau beberapa drama yang dipentaskan berdasarkan
naskah yang sama dapat berbeda mutunya. Hal ini tergantung pada
penggarapan dan situasi, kondisi, serta tempat dimana dimainkan
naskah tersebut. Selain dialog, sebuah naskah yang baik harus
memiliki tema, tokoh dan plot atau rangka cerita.
b. Tema
Tema adalah rumusan inti sari cerita yang dipergunakan dalam
menentukan arah dan tujuan cerita. Dari tema inilah kemudian
ditentukan tokoh-tokohnya.
c. Tokoh
Dalam cerita drama tokoh merupakan unsur yang paling aktif yang
menjadi penggerak cerita.oleh karena itu seorang tokoh haruslah
memiliki karakter, agar dapat berfungsi sebagai penggerak cerita yang
baik. Disamping itu dalam naskah akan ditentukan dimensi-dimensi
sang tokoh. Biasanya ada 3 dimensi yang ditentukan yaitu:
1) Dimensi fisiologi (ciri-ciri badani) antara lain usia, jenis kelamin,
keadaan tubuh, cirri-ciri muka, dan lain-lain.
2) Dimensi sosiologi (latar belakang) kemasyarakatan misalnya status
sosial, pendidikan, pekerjaan, peranan dalam masyarakat,
kehidupan pribadi, pandangan hidup, agama, hobi, dan sebagainya.
3) Dimensi psikologis (latar belakang kejiwaan),
misalnya temperamen, mentalitas, sifat, sikap dan kelakuan, tingkat
kecerdasan, keahlian dalam bidang tertentu, kecakapan, dan lain
sebagainya.
Apabila kita mengabaikan salah satu saja dari ketiga dimensi diatas,
maka tokoh yang akan kita perankan akan menjadi tokoh yang kaku,
timpang, bahkan cenderung menjadi tokoh yang mati.
d. Plot
Plot adalah alur atau kerangka cerita. Plot merupakan suatu
keseluruhan peristiwa didalam naskah. Secara garis besar, plot drama
dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:
1) Pemaparan (eksposisi)
Bagian pertama dari suatu pementasan drama adalah pemaparan
atau eksposisi. Pada bagian ini diceritakan mengenai tempat, waktu
dan segala situasi dari para pelakunya. Kepada penonton disajikan
sketsa cerita sehingga penonton dapat meraba dari mana cerita ini
dimulai. Jadi eksposisi berfungsi sebagai pengantar cerita. Pada
umumnya bagian ini disajikan dalam bentuk sinopsis.
2) Komplikasi awal atau konflik awal
Kalau pada bagian pertama tadi situasi cerita masih dalam keadaan
seimbang maka pada bagian ini mulai timbul suatu perselisihan
atau komplikasi. Konflik merupakan kekuatan penggerak drama.
3) Klimaks dan krisis
Klimaks dibangun melewati krisis demi krisis. Krisis adalah
puncak plot dalam adegan. Konflik adalah satu komplikasi yang
bergerak dalam suatu klimaks.
4) Penyelesaian (denouement)
Drama terdiri dari sekian adegan yang di dalamnya terdapat krisis-
krisis yang memunculkan beberapa klimaks. Satu klimaks terbesar
dibagian akhir selanjutnya diikuti adegan penyelesaian.
e. Dialog
Dialog berisikan kata-kata. Dalam drama para tokoh harus berbicara
dan apa yang diutarakan mesti sesuai dengan perannya, dengan tingkat
kecerdasannya, pendidikannya, dan sebagainya. Dialog berfungsi
untuk mengemukakan persoalan, menjelaskan perihal tokoh,
menggerakkan plot maju, dan membukakan fakta.
3. Manfaat Drama
Menurut Wahyu Prasetyo (2009), terdapat beberapa nilai
kehidupan yang dapat diambil dari bermain drama.
Pertama, para siswa mulai mengenal talenta mereka sendiri dan
bisa memposisikan diri mereka masing-masing dalam proses
penyelenggaraan pentas drama itu. Bahkan mereka juga dengan jujur mau
mengakui kemampuan teman lain. Ada yang bakat dan mampu menjadi
seorang pemimpin sehingga dia dipercaya oleh teman-teman di kelas
sebagai ketua pelaksana pertunjukan yang mengatur semua proses
persiapan sampai pelaksanaan secara detail. Bahkan ada juga yang
dipercaya menjadi sutradara drama karena dirasa dia mampu mengarahkan
teman-temannya dalam bermain peran.
Ada siswa yang memiliki talenta khusus seperti musik, menulis,
atau membaca novel maka dipercaya oleh teman-temannya untuk menjadi
peñata musik, penulis dialog dan skenario. Bahkan mereka pun mulai
mempertimbangkan teman-teman yang cocok sebagai pemain drama, baik
pemain inti maupun figuran. Selain itu, siswa yang biasa-biasa saja dan
merasa tidak memiliki talenta khusus untuk pementasan itu dengan
sendirinya menawarkan diri sebagai panitia kelas, seperti seksi konsumsi,
dekorasi, perlengkapan, dan masih banyak lagi.
Pada tataran ini sangat menarik melihat anak-anak berusaha
memahami kemampuannya dan juga menghargai kemampuan teman yang
lain. Inilah satu proses penting dalam pendidikan bahwa setiap orang itu
berbeda dan perbedaan itu bukanlah menjadi alasan mereka untuk saling
mempermasalahkan. Sebuah kesadaran justru telah dibangun oleh anak-
anak bahwa perbedaan malah harus dijadikan sebagai kekayaan dan
kekuatan yang berharga untuk kepentingan kelompok.
Celakanya, pendidikan Indonesia terlalu condong untuk
menyeragamkan apa yang harus dilakukan oleh anak didik. Tidak
mempertimbangkan learning style mereka, apakah mereka auditif, visual,
atau kinestetik. Hal ini tampak dari metode mengajar seorang guru yang
hanya menguntungkan satu kelompok siswa dengan gaya belajar tertentu.
Sebagai contoh, guru hanya maenggunakan metode ceramah di kelas maka
anak dengan gaya belajar auditif sangat terbantu tetapi anak dengan gaya
belajar visual dan kinestetik akan merasa tidak nyaman dan cenderung
bosan yang berakibat pada prestasi belajar menurun karena mereka tidak
biasa belajar dengan mendengarkan.
Kedua, para siswa mulai belajar tentang tanggung jawab dalam
hidup bersama. Jika tanggung jawab itu tidak dilaksanakan maka tidak
hanya berimbas pada dirinya sendiri tetapi akan menyebabkan orang lain
juga dihadapkan pada masalah. Sebagai contoh, ketika ada anak yang
menjadi penulis naskah drama tidak melakukan tugasnya dengan baik
maka ini bisa mengacaukan proses latihan yang sudah dijadwalkan. Lebih
dari itu, bisa-bisa pentas drama batal dilakukan.
Dengan demikian anak-anak belajar untuk melakukan tanggung
jawabnya dengan disiplin dan cara yang efektif. Sebuah pelajaran tentang
kehidupan mulai dibangun melalui dinamika pentas drama ini, yakni
tentang bagaimana mereka harus menempatkan diri dan berlaku dalam
sebuah komunitas kerja yang melibatkan banyak orang.
Ketiga, para siswa pun mulai belajar akan arti sebuah perjuangan.
Mereka mulai merasakan secara nyata bahwa kesuksesan itu bukanlah
sebuah berkah yang turun begitu saja dari langit. Kesuksesan itu
membutuhkan perjuangan. Di dalam perjuangan itu, kebersamaan dan
persaudaraan satu sama lain menjadikan semuanya berjalan mengalir
karena di sana ada dukungan satu sama lain.
Keempat, para siswa belajar tentang pentingnya kreativitas dan
inovasi dalam hidup karena hidup itu sesungguhnya sebuah seni. Hal ini
tampak nyata dalam desain pementasan drama mereka yang merupakan
buah kreativitas dan inovasi. Usaha keras yang mereka lakukan untuk
membuat drama itu menarik patut diacungi jempol. Sebuah kesadaran
telah dibangun dalam kelompok bahwa mereka pentas bukan hanya untuk
diri mereka sendiri.
Sedangkan dengan pementasan drama, akan diperoleh beberapa
keuntungan sebagai berikut.
a. Membangun rasa percaya diri. Mereka merasa lebih berhasil dalam
hidup dan bergembira dalam waktu yang bersamaan.
b. Menciptakan hubungan yang lebih akrab dengan sesama teman-teman.
c. Belajar mengendalikan diri dalam menghadapi perbedaan, misalnya
tentang penentuan tema yang akan disampaikan kepada penonton.
d. Memiliki daya kreatif dan kritis dalam memecahkan masalah yang
dihadapi.
e. Memiliki mental yang kuat dalam menghadapi hidup.
f. Merasa senang ketika belajar.
g. Memiliki sikap toleransi dan bersemangat, untuk tena berjuang mela
lui pengungkapan ide cerita dalam drama.
h. Mengubah perilaku seni yang sebelumnya hanya sebagai penikmat
atau penonton, sekarang jadi pelaku langsung. Hal ini memunculkan
kepuasan tersendiri.
i. Meningkatkan kecerdasan berpikir dalam menuangkan ide kreatifnya.
4. Pengajaran Drama di Sekolah
Menurut Herman J. Waluyo (2006:159) pengajaran drama di
sekolah dapat ditafsirkan dua macam, yaitu pengajaran teori drama atau
pengajaran apresiasi drama. Masing-masing terdiri atas dua jenis, yaitu
pengajaran teori, tentang teks (naskah drama), dan pengajaran tentang teori
pementasan drama. Apabila teori-teori termasuk dalam kawasan kognitif,
maka apresiasi menitikberatkan kawasan afektif.
Pada pengajaran drama, pementasan drama memasuki kawasan
psikomotorik, akan tetapi juga dijiwai oleh aspek kognitif dan afektif.
Pada saat berkesenian yang dalam hal ini ber-acting dalam drama, terjadi
peleburan kawasan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiga hal itu
menyatu dalam diri actor yang sedang beracting. Dalam pembacaan drama
juga terlibat aspek psikomotorik, tetapi tidak total seperti dalam
pementasan drama. Kesimpulan dari penjabaran tersebut adalah bahwa
pembelajaran drama mencakup tiga kawasan yaitu aspek kognitif, afektif
dan psikomotor.
Pengajaran drama di sekolah dapat diklasifikasikan ke dalam dua
golongan, yaitu: (1) pengajaran teks drama yang termasuk sastra, dan (2)
pementasan drama yang termasuk bidang teater. Dalam pementasan drama
di kelas (untuk demonstrasi) dan pementasan untuk sekolah yang
ditontonkan oleh seluruh siswa di sekolah itu. Pementasan drama di
sekolah dasar dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa Indonesia
aspek sastra yaitu bermain drama pendek. Tahap-tahap pementasan drama
tergantung pada teks drama yang disediakan oleh guru dan peran
disesuaikan dengan anggota kelompok.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
drama di sekolah dasar adalah memerankan tokoh drama dengan lafal,
intonasi, dan ekspresi. Pembelajaran drama yang baik mencakup aspek
kognitif, afektif, serta psikomotorik.
B. Strategi Pengajaran Drama
W. S. Rendra (2002) menyampaikan bahwa mengacu pada konsep
ajaran teknik bermain drama Boleslaysky, dapat disampaikan beberapa hal
yang termasuk dalam konsep teknik bermain drama, yaitu:
1. Konsentrasi
Konsentrasi, yaitu pemusatan perhatian pada berbagai aspek guna
mendukung kegiatan seni perannya. Pemusatan perhatian ini amat perlu
dilakukan, karena jika tidak, pemain akan tetap hadir sebagai dirinya
sendiri dan bukan sebagai tokoh yang diperankannya. Pemusatan perhatian
yang baik akan menyebabkan penghayatan semakin mendalam.
Penghayatan yang mendalam akan menyebabkan pemain larut
dalam tuntunan yang seharusnya ia lakukan. Pemusatan pikiran ini
setidak-tidaknya melibatkan paling tidak pada faktor-faktor; (a) fisik,
anggota tubuh, seluruh anggota tubuh dapat “diperintahkan” guna
kepentingan berperan; (b) mental, kesiapan psikologis pemain di dalam
memerankan sesuatu, ia harus melepaskan dirinya untuk segera menjadi
orang lain yang mungkin saja merupakan sesuatu yang amat asing bagi
dirinya sebelumnya; (c) emosional, kesigapan pada hal-hal yang lebih
bersifat ekspresi jiwa, seperti rasa humor, kepekaan, sensitifitas pada hal-
hal yang mengandung unsur humanis, rasa haru, sedih, terhina, tertekan,
muak, benci, dan lain-lain.
2. Kemampuan mendayagunakan emosional
Kemampuan ini berkaitan dengan kemampuan seorang pemain
untuk menumbuhkan bermacam-macam bentuk emosional dengan
kemampuan dan kualitas yang sama baiknya, di dalam berbagai situasi.
Bermain peran, menurut seorang pemain (aktor) untuk menguasai banyak
aspek emosional tertentu, tidak terlihat canggung dan kaku. Semua ragam
emosional yang dituntut, dapat dilakukannya dengan penuh kewajaran
sebagaimana tuntutan yang diberikan kepada pemain. Harus diingat oleh
para pemain, bahwa untuk menumbuhkan kesiapan melahirkan bentuk
emosional tertentu, para pemain harus mempunyai penghayatan yang baik
dan sempurna. Untuk mendapatkan kemampuan menguasai beragam
bentuk emosional, latihan merupakan hal yang wajib. Pengungkapan
emosional yang baik akan terekspresikan pada wajah, bahkan gerak
anggota tubuh.
3. Kemampuan laku dramatik
Kemampuan ini berkaitan dengan kesanggupan pemain di dalam
melakukan sikap, tindakan, serta perilaku yang merupakan ekspresi dari
tuntutan emosi. Kemampuan laku dramatik inilah yang merupakan faktor
utama seni peran. Pemain, bagaimanapun, di atas pentas melakukan
tuntutan laku dramatik. Tanpa menguasai hal ini, tidak mungkin
melakukan apa-apa di atas pentas. Sebenarnya, laku dramatik yang baik
adalah laku dramatik yang dapat mendukung ujaran dan emosional tokoh
secara “wajar”. Pengertian “wajar” di sini memang relatif, tetapi dengan
pengertian bukanlah suatu yang berlebih-lebihan. Justru untuk dapat
menyerasikan antara laku dramatik dengan tuntutan emosional dan ujaran
merupakan hal yang rumit. Laku dramatik hendaknya harus terus disiasati
dengan kreatif. Pemain dapat melakukan improvisasi dan eksperimen
untuk menciptakan laku dramatik yang menarik dan artistik.
4. Kemampuan membangun karakter
Kemampuan ini berkaitan dengan kesanggupan pemain untuk lebur
ke dalam suatu pribadi lain dan keluar dari dirinya sendiri selama bermain
peran. Tokoh yang diperankan oleh pemain, dapat merupakan tokoh yang
berkarakter sama atau mungkin mirip dengan pribadi dan karakter pemain.
Hal ini mengharuskan pemain “meninggalkan” diri pribadinya
untuk kemudian hadir sebagai diri pribadi tokoh yang diperankannya
(menjadi orang lain). Jika tampil di atas pentas, penonton dapat
menangkap bahwa yang di atas pentas itu tetap merupakan diri pemain
sebagaimana tidak di pentas, maka kemampuan membangun karakter
pemain dapat disebutkan sebagai sesuatu yang buruk, pemain dapat
disebutkan sebagai pemain yang buruk. Untuk dapat membangun karakter,
pemain harus mengenal dirinya sendiri dan mengenal tokoh yang akan
diperankannya.
Pengenalan ini dapat dilakukan pemain dengan
mengidentifikasikan hal-hal yang menyangkut profil: sikap hidup,
orientasi terhadap nilai-nilai tertentu, gerak anggota tubuh (performance),
karakter yang dominan dan sering kali muncul serta mewarnai sikap dan
tindakan. Jika pemain telah berhasil mengidentifikasi hal-hal tersebut, baik
pada dirinya maupun pada tokoh yang akan diperaninya, sudah merupakan
langkah awal yang baik, selanjutnya taraf pengembangan membangun
karakter yang berbagai ragam itu. Untuk kegunaan mengekspresikan
berbagai karakter, pemain sebaiknya juga menguasai hal-hal yang
berhubungan kemampuan menguasai berbagai jenis warna suara,
kemampuan pantomimik, dan lain-lain.
5. Kemampuan melakukan observasi
Kemampuan ini berkaitan dengan kesanggupan pemain untuk
melakukan pengamatan terhadap sikap aktivitas manusia di dalam
kehidupan sehari-hari.
Bermacam-macam pekerjaan yang dilakukan manusia setiap
harinya menarik untuk diperhatikan dan diamati. Setelah tahap
pengamatan, tahap selanjutnya adalah tahap meniru. Latihan meniru
dengan sikap seolah-olah melakukan hal yang sebenarnya, merupakan
latihan dari kemampuan mengobservasi. Semakin banyak hal yang dapat
diobservasi, semakin banyak pula latihan, maka akan semakin banyak
kemampuan laku dramatik yang mampu dilakukan oleh seorang pemain.
6. Kemampuan menguasai irama
Kemampuan ini berkaitan dengan kesanggupan pemain untuk
menguasai tempo permainan, sehingga pementasan memberikan suspense
kepada penonton. Untuk memperoleh insting tentang irama ini, pemain
dapat melatih dirinya dengan mendengarkan berbagai jenis musik dan
dengan mendengarkan berbagai jenis musik dan dengan mendengarkan
berbagai jenis musik dan dengan mendengar bunyi-bunyi alam, misalnya
gemuruh air tedun, bunyi meluncurnya kereta api di rel, bunyi kicauan
burung pagi hari, bunyi gemericik air sungai yang berbenturan dengan
batu-batuan, bunyi desauan pepohonan yang ditiup angin, dan lain-lain.
Keenam teknik bermain drama tersebut menunjukkan bahwa untuk
menjadi pemain drama (para aktor) bukanlah hal yang mudah. Konsep ini
berorientasi pada terciptanya pemain yang kuat dan berwatak. Dengan begitu,
sewaktu mereka melakukan pementasan drama, pemain dapat menciptakan
ilusi yang benar bagi penontonnya. Penonton merasa bahwa mereka tidak
sedang menyaksikan sesuatu yang pura-pura belaka. Pemain harus menyadari
bahwa permainan perannya bukan bertujuan untuk menipu dan membohongi
penonton, melainkan menampilkan simbol-simbol yang dapat
diinterpretasikan oleh para penontonnya yang mungkin saja berguna bagi para
penonton untuk mengantisipasi kehidupannya secara artistic dan estetis.
Kemampuan dasar yang harus dimiliki pemain harus ditunjang oleh
kemampuan pemain menguasai perangkat-perangkat yang berhubungan
dengan pementasan. Sarana pementasan utama yang harus dikuasainya adalah
pentas. Pentas sebagai sarana pendukung utama, tempat di mana pemain harus
berekspresi melakukan kerja laku dramatik, harus dikuasai sepenuhnya.
Pemain yang tidak mengenali pentas, meskipun mempunyai kemampuan
akting yang tinggi, dapat saja gagal jadinya. Berjenis-jenis pentas haruslah
dikuasainya. Dengan begitu, pemain akan dapat memanfaatkan kelemahan dan
keunggulan pentas untuk membantu permainan perannya. Di samping itu,
kelemahan dan keunggulan pentas dapat memancingnya untuk melakukan
eksperimen dan improvisasi laku dramatik.
Herman J. Waluyo (2006:122-125) menyebutkan tujuh langkah dalam
ber-acting, yaitu sebagai berikut:
1. Latihan Tubuh
Maksud latihan tubuh adalah latihan ekspresi secara fisik. Kita berusaha
agar fisik kita bergerak secara fleksibel, disiplin dan ekspresif. Artinya
gerak-gerik kita dapat luwes, tetapi disiplin terhadap peran kita dan
ekspresif sesuai sesuai dengan watak dan perasaan aktor yang dibawakan.
2. Latihan Suara
Latihan suara ini dapat diartikan latihan mengucapkan suara secara jelas
dan nyaring (vokal), berarti juga latihan penjiwaan suara. Warna suara
bagaimana yang tepat, harus disesuaikan dengan watak peran, umur peran
dan keadaan sosial peran itu. Aktor tidak dibenarkan mengubah suara
tanpa alasan. Nada suara juga harus diatur, agar mampu membedakan
peran satu dan peran yang lainnya. Semua ini hendaklah dikuasai secara
cermat dan konsisten oleh seorang aktor.
3. Latihan Observasi dan Imajinasi
Untuk menampilkan tokoh yang diperankan, aktor secara sungguh-
sungguh harus berusaha memahami bagaimana memanifestasikan secara
eksternal. Aktor mulai dengan belajar mengobservasi setiap watak, tingkah
laku dan motivasi orang-orang yang dijumpainya. Jika ia harus
memerankan watak dan tokoh tertentu, maka observasi difokuskan pada
tokoh yang mirip atau sama. Jika mungkin, observasi ini dalam waktu
yang cukup, sehingga gerak-gerik tokoh itu lebih mendetail diamati. Hasil
observasi sifatnya eksternal ini dihidupkan melalui ingatan emosi, dengan
daya imajinasi aktor, sehingga dapat ditampilkan secara meyakinkan.
Kekuatan imajinasi berfungsi untuk mengisi dimensi kejiwaan dalam
akting. Setelah diadakan observasi tersebut, acting bukan sekedar meniru
apa yang diperoleh dalam observasi, tetapi harus dapat menghidupinya,
memberi nilai estetis.
4. Latihan Konsentrasi
Konsentrasi diarahkan untuk melatih aktor dalam kemampuan
memperankan dirinya sendiri ke dalam watak dan pribadi tokoh yang
dibawakan dan kedalam lakon itu. Konsentrasi memegang peranan penting
dalam penjiwaan peran dan dalam gerak yakin jika pikirannya terganggu
akan hal lain, dengan kekuatan konsentrasinya, aktor bisa memusatkan diri
pada pentas. Dan seharusnya aktor harus merasa bahwa dunianya di situ.
Konsentrasi ini harus mulai sejak latihan pertama. Terlebih menjelang
masuk pentas dan selama dalam pementasan. Selalu menghadapi naskah
sebagai pemimpin konsentrasi harus pula diekspresikan melalui ucapan,
gesture dan intonasi ucapannya.
5. Latihan Teknik
Latihan teknik ini adalah latihan masuk, memberi isi, memberi tekanan,
mengembangkan permainan, penonjolan, ritme, timming yang tepat.
Dalam bermain drama hal yang harus mendapat perhatian seperti
diungkapkan di atas meliputi penjiwaan, ekspresi wajah, vokal, serta
gerakan anggota tubuh harus sesuai dengan karakter yang dibawakan.
Dalam latihan acting (berperan) pada bermain drama dapat dilakukan
melalui latihan suara, ucapan, latihan mimik, latihan blocking
(pengelompokan), latihan penghayatan dan imajinasi dan latihan
pencapaian mood, serta latihan akhir (general rehesial). Dalam latihan
suara dan ucapan perlu pelatihan cermat dan cukup. Vokal harus
diucapkan jelas. Konsonan-konsonan tidak boleh dihafalkan setengah-
setengah. Dalam latihan suara disamping latihan olah vokal, juga latihan
pernafasan, latihan letupan suara, latihan diksi (gaya pengucapan), latihan
tekanan, latihan bangunan cepat dan latihan menciptakan puncak lakon
(klimaks).
6. Sistem Acting
Sistem berakting salah satu langkah dalam bermain drama. Menjadi
seorang actor harus berlatih dalam berakting baik dalam hal internal
maupun dalam hal eksternal, baik melalui pendekatan metode maupun
teknik.
7. Memperlancar Skill dan Latihan
Dalam hal ini, peranan imajinasi sangatlah penting. Dengan imajinasi
semua latihan yang sifatnya seperti menghafal menjadi lancar dan tampak
seperti kejadian yang sebenarnya. Fungsi motivasi, sifat, dan fungsi
karakter sangat penting dalam imajinasinya.
C. Pengajaran Drama di Sekolah
Sebagai materi kurikulum maupun pengembangan muatan lokal,
pengajaran drama di sekolah sudah selayaknya segera mendapatkan perhatian
yang lebih serius. Bagi pihak pengelola sekolah, termasuk kepala sekolah dan
guru, perlu dilakukan penggalian potensi-potensi yang ada dalam pelaksanaan
pengajaran drama tersebut. Hal ini dapat berupa pemanfaatan media
pengajaran, misalnya buku-buku cerita, metode pengajaran, antara lain teknik
bermain peran (role playing), maupun sumber daya yang dimiliki, yaitu guru
dan siswa yang berbakat dan berkemampuan dalam melaksanakan pengajaran
drama itu sendiri.
Dari berbagai manfaat yang diperoleh dari pengajaran drama, sudah
sepatutunya jika pihak sekolah segera mengupayakan pengajaran drama
kepada para siswanya. Tetapi, hal ini juga tidak terlepas dari kesiapan pihak
sekolah untuk menyiapkan guru yang berkompeten dalam pengajaran drama.
Bila perlu, sekolah sudah mempersiapkan dari awal seorang atau beberapa
guru bahasa Indonesia yang memiliki keterampilan khusus selain mengajar
bahasa, yaitu keterampilan bermain drama.
Pengajaran drama di sekolah ini sebaiknya diarahkan agar siswa
mampu membaca drama, dan gemar membaca drama. Pokok-pokok bahasan
pengajaran drama meliputi: (1) membaca teks drama dengan lancar dan penuh
pemahaman; (2) membaca drama untuk menambah pengetahuan; (3)
membaca drama untuk menikmati nilai-nilai yang terkandung di dalamnya;
(4) membaca sastra (drama) terjemahan untuk menambah pengetahuan dan
mengetahui nilai-nilai adat istiadat dalam masyarakat.
Pengajaran drama harus ditekankan pada aspek apresiasi reseptis dan
aspek apresiasi ekspresif. Aspek apresiasi reseptif ini antara lain melalui
kegiatan siswa dalam mendengarkan dan menonton drama, membaca dan
menganalisis berbagai teks drama. Sementara itu aspek apresiasi ekspresif
dapat diwujudkan melalui kegiatan siswa dalam mengungkapakan pikiran,
pendapat, gagasan, dan perasan dan bentuk lisan maupun tulis tentang drama,
seperti membuat teks drama, yang sederhana, menyusun resensi teks drama,
dan bermain drama.
Para siswa sebaiknya dilibatkan dalam permainan drama. Dengan cara
ini menjadikan kegiatan lebih aktif dalam bentuk kerja sama/kolaborasi,
dialog dan pemecahan solusi sebab dengan pelaksanaan yang aktip dapat
membangun proyek mereka. Dengan permainan siswa dapat saling menerima
gagasan di dalam kelas. Lebih dari itu, siswa mempunyai andil dalam
pelaksanaannya. Kegiatan yang dinamis ini menghasilkan pembelajaran yang
baik bagi mereka sendiri. Penggunaan dongeng masa lampau, solusi
permainan drama yang pendek/singkat mempunyai maksud dan bermakna
bagi siswa (dan para guru).
Dalam pengajaran drama di sekolah, pembelajaran apresiasi drama
juga harus menitikberatkan pada apresiasi siswa yaitu kegiatan atau aktivitas
siswa dalam pengajaran drama di sekolah. Apresiasi siswa itu mencakup tiga
hal, yakni kreasi, resepsi, dan kreasi siswa terjadap drama. Adapun kegiatan
siswa yang berupa kreasi yaitu kegiatan siswa ketika menulis naskah drama
secara individu atau kelompok yang berupa resepsi yaitu kegiatan siswa ketika
membaca dan menghafalkan naskah drama yang telah dibuat, sedangkan yang
berupa ekspresi yaitu ketika siswa mementaskan drama berdasarkan naskah
drama tersebut.
Setiap siswa yang kita hadapi, selain merupakan individu, juga suatu
totalitas yang kompleks. Pada diri siswa dapat dikenali sejumlah kecakapan,
yang biasanya terwujud dalam bentuk kekurangan ataupun kelebihannya.
Dalam kegiatan pembelajaran, kecakapan-kecakapan inilah yang harus dilatih.
Bagi siswa yang lemah perlu dicermati, yang memiliki kelebihan perlu
diarahkan dan dikembangkan lagi. Kecakapan-kecakapan tersebut antara lain:
(a) kecakapan yang bersifat indrawi, (b) kecakapan nalar, (c) kecakapan
afektif, (d) kecakapan sosial, dan (e) kecakapan religius. Seluruh kecakapan
tersebut mewakili aspek personal kehidupan manusia (a—c), dan sejajar
dengan apa yang disajikan karya sastra pada umumnya (a—e).
Pada pengajaran drama, pengembangan kecakapan-kecakapan
dilaksanakan secara terpadu melalui sebuah proses penggarapan drama dari
awal pelatihan hingga sebuah cerita drama usia dipentaskan. Kecakapan-
kecakapan tersebut hendaknya dikembangkan dengan mempertimbangkan
berbagai aspek sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. Peran guru tidak
semata sebagai orang yang serba tahu, melainkan sebagai mediator dalam
memberikan arahan pemeranan terhadap siswanya.
Efektivitas pengajaran drama, terutama ditentukan oleh corak jalinan
komunikasi antara guru dengan siswanya. Jika upaya untuk menjalin
komunikasi tersebut berhasil (positif), maka terbukalah kepercayaan siswa
terhadap guru, yang selanjutnya siswa akan membuka diri secara lugas. Inilah
yang dapat dipakai sebagai modal berharga dalam pengajaran drama.
Berdasarkan berbagai uraian di atas, dapat ditarik suatu benang merah
bahwa pengajaran drama di sekolah, khususnya sekolah dasar sudah perlu
segera dipertimbangkan mengingat perkembangan dari drama itu sendiri
sebagai suatu seni pertunjukan yang telah banyak memasuki kehidupan
masyarakat, dalam arti drama sebagai seni pertunjukan suadah menjadi suatu
kebutuhan untuk hiburan masyarakat. Melalui pengajaran drama, diharapkan
akan diperoleh bibit-bibit unggul dari siswa yang memiliki potensi besar untuk
menjadi pemain drama yang profesional di kemudian hari.
Pengajaran drama di sekolah juga bukan suatu hal yang keluar dari
kurikulum. Hal ini perlu disampaikan karena ada anggapan dari beberapa
sekolah bahwa pengajaran drama tidak perlu dilakukan dalam pelaksanaan
materi pelajaran, tetapi harus disampaikan sebagai bentuk kegiatan ekstra
kurikuler. Pada beberapa kurikulum pengajaran bahasa Indonesia di sekolah
dasar, pengajaran drama sudah diberikan. Untuk itu, pengajaran drama di
kelas adalah suatu prosedur yang sudah tepat dan sesuai dengan kurikulum.
Pihak sekolah tinggal menyesuaikan alokasi waktu pengajarannya saja.
Selain pemikiran akan suatu drama sebagai kebutuhan dan adanya
kurikulum yang memastikan bahwa pengajaran drama di kelas diperbolehkan,
terdapat permasalahan serius yang diperlukan sekolah dalam melaksanakan
pengajaran drama tersebut. Permasalahan itu adalah berkaitan dengan
pemenuhan guru atau sumber daya yang akan mengajarkan seni drama kepada
siswa dan media serta metode yang relevan dengan pengajaran drama. Untuk
itu, sudah saatnya pihak sekolah dan pihak-pihak yang bertanggung jawab
terhadap perkembangan dunia pendidikan di Indonesia untuk memikirkan
solusi-solusi atas permasalahan tersebut, misalnya dengan mengharuskan
seorang guru bahasa Indonesia untuk menguasai teknik pengajaran drama di
kelas. Selain itu, juga perlu dipikirkan tentang pemenuhan kebutuhan media
pengajaran drama. Dari berbagai solusi dan pandangan atas pengajaran drama
di sekolah tersebut, diharapkan pengajaran drama di kelas akan segera dapat
diimplementasikan dengan baik dan mampu menghadirkan potensi besar bagi
peningkatan kemampuan akting atau bermain drama pada siswa.
BAB III
SIMPULAN
Pada hakikatnya, drama merupakan salah satu bagian dari karya sastra.
Oleh karena itu, dalam mempelajari drama kita tidak dapat sepenuhnya lepas dari
pembelajaran sastra secara umum, sehingga sebelum mempelajari mengenai
pembelajaran apresiasi drama, ada baiknya apabila kita mempelajari terlebih
dahulu mengenai pembelajaran apresiasi sastra.
Sebelum belajar tentang drama, siswa harus memiliki kemampuan dalam
menganalisis materi tentang drama, baik dalam kaitannya dengan naskah,
penokohan, dan sebagainya. Pada akhirnya, siswa diharapkan dapat memerankan
drama melalui pementasan, karena tanpa adanya pementasan, drama dianggap
tidak sempurna. Untuk itu, diperlukan suatu pengajaran drama di kelas oleh guru
atau pelatih yang benar-benar memiliki kemampuan dalam mengajar drama.
Begitu juga, sekolah juga harus sanggup menyediakan berbagai sarana penunjang,
seperti media pengajaran yang berupa buku maupun berbagai peralatan dalam
bermain drama.
Sudah saatnya pihak sekolah dan pihak-pihak yang bertanggung jawab
terhadap perkembangan dunia pendidikan di Indonesia untuk memikirkan solusi
atas permasalahan-permasalahan dalam pengajaran drama. Dengan tercapainya
solusi dan diimplementasikannya pengajaran drama pada siswa di kelas,
diharapkan pengajaran drama akan mampu menghadirkan potensi besar bagi
peningkatan kemampuan akting atau bermain drama pada siswa yang berguna
dalam kehidupan siswa di masa depannya, yang juga sesuai dengan tujuan dari
pembelajaran di sekolah, yaitu untuk masa depan siswa. Pengajaran drama di
sekolah juga akan semakin memperkuat eksistensi drama sebagai suatu karya
sastra. Sudah menjadi kewajiban bangsa untuk mempertahankan dan melestarikan
suatu budaya, termasuk budaya dalam bentuk karya sastra drama sebagai salah
satu kekayaan bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Agustinus Suyoto. 2006. DASAR-DASAR APRESIASI DRAMA. http://digilib.upi.edu/pasca/available/etd-1106106-132311/. Diakses pada Oktober 2010.
Asul Wiyanto. 2002. Terampil Bermain Drama. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Atar Semi. 2000. Menulis Efektif. Padang: CV. Angkasa Raya.
Dwi Hariningsih. 2005. Teater: Sebuah Pengantar. Surakarta: KBD.
Herman J. Waluyo. 2006. Drama: Naskah, Pementasan, dan Pengajarannya. Surakarta: UNS Press.
Imam Syafe’i. 2005. Bahasa Indonesia Profesi. Malang: FPS IKIP Malang.
Panuti Sudjiman. 2000. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI Press.
Wahyu Prasetyo. 2009. Pentas Drama: Bernilainya Pembelajaran. http://www.sittibelajar.com. Diakses Oktober 2010.
W. S. Rendra. 2002. Teknik Bermain Peran. Jakarta: Pustaka Jaya.