Download - Makalah perubahan sosial di dki
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah negara yang terletak di bagian timur dunia, negara yangbagian
pulau-pulaunya termasuk dalam garis khatulistiwa berbatasan dengan dua benua danjuga dua
samudra dikatakan oleh dunia sebagai tempat yang strategis untuk melakukankegiatan agraris
dan maritim sehingga tumbuhan-tumbuhan yang dapat memakmurkan dapattumbuh subur
disana. Karena terletak di garis khatulistiwa, Indonesia memiliki beragamcorak kebudayaan
yang dimiliki oleh para penduduknya mulai dari bagia timur sampaidengan bagian barat.
Beragam kebudayaan tersebut semakin bercorak lagi dengan kedatangan para pedagang-
pedagang asing yang datang dari Asia dan Eropa, adanyakemungkinan perubahan sosial
dapat terjadi di Indonesia, baik secara paksa ataupun kebudayaan tersebut dapat diterima oleh
masyarakat.
Untuk menganalisa secara ilmiah tentang gejala-gejala dan kejadian sosila budaya di
masyarakat sebagai proses-proses yang sedang berjalan atau bergeser kita memrlukan
beberapa konsep. Konsep-konsep tersebut sangat perlu untuk menganalisa proses pergeseran
masyarakat dan kebudayaan serta dalam sebuah penelitian antropologi dan sosiologi yang
disebut dinamik sosial (social dynamic).
1.2. Permasalahan
2.1 Proses Perubahan Sosial Budaya
2.2 Perubahan dan Fenomena Sosial di jakarta
2.3 Pembangunan Sosial Di Jakarta
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Proses Perubahan Sosial Budaya
Konsep-konsep penting tersebut antara lain internalisasi (internalization) , sosialisasi
(socialization), dan enkulturasi (enculturation). Kemudian ada juga evolusi kebudayaan
(cultural evolution) yang mengamati perkembangan kebudayaan manusia dari bentuk yang
sederhana hingga bentuk yang semakin lama semakin kompleks. Serta juga ada difusi
(diffusion) yaiu penyebaran kebudayaan secara geografi, terbawa oleh perpindahan bangsa-
bangsa di muka bumi. Proses lain adalah proses belajar unsur-unsur kebudayaan asing oleh
warga suatu masyarakat, yaitu proses akulturasi (acculturation) dan asimilasi (assimilation).
Akhirnya ada proses pemabahruan atau inovasi (innovation), yang berhubungan erat dengan
penemuan baru (discovery dan invention)
1. PROSES BELAJAR KEBUDAYAAN SENDIRI
Proses internalisasi, adalah proses yang berlangsung sepanjang hidup individu, yaitu mulai
saaat ia dilahirkan sampai akhir hayatnya. Sepanjang hayatnya seorang individu terus belajar
untuk mengolah segala perasaan, hasrat, nafsu dan emosi yang membentuk kepribadiannya.
Perasaan pertama yang diaktifkan dalam kepribadian saat bayi dilahirkan adalah rasa puas
dan tak puas, yang menyebabkan ia menangis.
Proses sosialisasi, semua pola tindakan individu-individu yang menempati berbagai
kedudukan dalam masyarakatnya yang dikumpai seseorang dalam kehidupannya sehari-hari
sejak ia dilahirkan. Para individu dalam masyarakat yang berbeda-beda juga mengalami
proses sosialisasi yang berbeda-beda, karena proses itu banyak ditentukan oleh susunan
kebudayaan serta lingkungan sosial yang bersangkutan. Penelitian dilapangan telah dapat
menghasilkan pengumpulan bahan mengenai adat istiadat pengasuhan anak, kebiasaan-
kebiasaan dalam kehidupan seksual, dan riwayat hidup yang rinci dari sejumlah
individu.individu-individu yang mengalami berbagai hambatan dalam proses internalisasi,
sosialisasi atau enkulturasinya, sehingga individu seperti itu mengalami kesukaran dalam
menyesuaikan kepribadiannya dengan lingkungan sosial sekitarnya.
2. PROSES EVOLUSI SOSIAL
Proses Mikroskopik dan Makroskopik Dalam Evolusi Sosial. Proses evolusi dapat dianalisa
secara mendetail(makroskopik) tetapi dapat dilihat secara keseluruhan, dengan hanya
memperhatikan perubahan-perubahan besar yang telah terjadi(makroskopik). Proses evolusi
sosial budaya secara makroskopik yang terjadi dalam suatu jangka waktu yang panjang,
dalam antropologi disebut ”Proses-proses pemberi arah”, atau directional proses.
2
Proses-proses berulang dalam evolusi sosial budaya. Dalam antropologi, perhatian terhadap
proses-proses berulang dalam evolusi sosial budaya baru timbul sekitar tahun 1920 bersama
dengan perhatian terhadap individu dalam masyarakat.
Dalam meneliti masalah ketegangan antara adat istiadat yang berlaku dengan kebutuhan yang
dirasakan oleh beberapa individu dalam suatu masyarakat, perlu diperhatikan dua konsep
yang berbeda, yaitu (1) kebudayaan sebagai kompleks dari komsep norma-norma,
pandangan-pandangan, dan sebagainya, yang bersifat abstrak (yaitu sistem budaya), dan (2)
kebudayaan sebagai serangkaian tindakan yang konkrit, dimana para individu saling
berinteraksi (yaitu sistem sosial). Kedua sistem tersebut sering saling bertentangan, dan
dengan mempelajari konflik-konfliks yang ada dalam setiap masyarakat itulah dapat
diperoleh pengertian mengenai dinamika masyarakat pada umumnya.
3. PROSES DIFUSI
Penyebaran manusia. Ilmu paleoantropologi memperkirakan bahwa makhluk manusia yang
pertama hidup didaerah sabana beriklim tropis di Afrika Timur. Manusia sekarang telah
menduduki hampir seluruh muka bumi dengan berbagai jenis lingkungan iklim yang berbeda-
beda. Hal itu hanya mungkin terjadi dengan proses pengembangbiakan, migrasi, serta
adaptasi fisik dan sosial budaya, yang berlangsung beratus ratus ribu tahun lamanya.
Penyebaran unsur-unsur kebudayaan. Bersama dengan penyebaran dan migrasi kelompok-
kelompok manusia, turut tersebar pula berbagai unsur kebudayaan. Sejarah dari proses
penyebaran unsur-unsur kebudayaan yang disebut proses difusi itu merupakan salah satu
objek penelitian ilmu antropologi, terutama sub ilmu antropologi diakronik. Proses difusi dari
unsur-unsur kebudayaan antara lain diakibatkan oleh migrasi bangsa-bangsa yang berpindah
dari suatu tempat ketempat lajn dimuka bumi.
Penyebaran unsur-unsur kebudayaan dapat juga terjadi tanpa ada perpindahan kelompok-
kelompok manusia atau bangsa-bangsa, tetapi karena unsur-unsur kebudayaan itu memang
sengaja dibawa oleh individu-individu tertentu, seperti para pedagang dan pelaut.
Bentuk difusi yang terutama mendapat perhatian antropologi adalah penyebaran unsur-unsur
kebudayaan yang berdasarkan pertemuan-pertemuan antara individu-individu dari berbagai
kelompok yang berbeda.
4. AKULTURASI DAN ASIMILASI
Akulturasi. Proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan
tertentu dihadapkan pada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur
asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan
hilangnya kepribadian kebudayaan itu.
3
Kalau masalah-masalah mengenai akulturasi kita ringkas, akan tampak 5 golongan masalah,
yaitu :
· Masalah tentang metode-metode untuk mengobservasi, mencatat, dan melukiskan suatu
proses akulturasi dalam suatu masyarakat.
· Masalah tentang unsur-unsur kebudayaan asing yang mudah dan tidak mudah diterima
oleh suatu masyarakat.
· Masalah tentang unsur-unsur kebudayaan yang mudah dan tidak mudah diganti atau
diubah oleh unsur-unsur kebudayaan asing.
· Masalah mengenai jenis-jenis individu yang tidak menemui kesukaran dan cepat diterima
unsur kebudayaan asing, dan jenis-jenis individu yang sukar dan lamban dalam
menerimanya.
· Masalah mengenai ketegangan-ketegangan serta krisis-krisis sosial yang muncul akibat
akulturasi.
Dalam meneliti jalannya suatu proses akulturasi, seorang peneliti sebaiknya memperhatikan
beberapa hal, yaitu :
· Keadaan sebelum proses akulturasi dimulai.
· Para individu pembawa unsur-unsur kebudayaan asing.
· Saluran-saluran yang dilalui oleh unsusr-unsur kebudayaan asing untuk masuk ke dalam
kebudayaan penerima.
· Bagian-bagian dari masyarakat penerima yang terkena pengaruh.
· Reaksi para individu yang terkena unsur-unsur kebudayaan asing.
Asimilasi. Adalah suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai golongan manusia dengan
latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah mereka bergaul secara intensif, sehingga
sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan-golongan itu masing-masing berubah
menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.
Dari berbagai proses asimilasi pernah diteliti, diketehui bahwa pergaulan intensif saja belum
tentu mengakibatkan terjadinya suatu proses asimilasi, tanpa adanya toleransi dan simpati
antara kedua golongan.
5. PEMBARUAN (INOVASI)
Inovasi adalah suatu proses pembaruan dari penggunaan sumber-sumber alam, energi, dan
modal serta penataan kembali dari tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru, sehingga
terbentuk suatu sistem produksi dari produk-produk baru. Suatu proses inovasi tentu
berkaitan penemuan baru dalam teknologi, yang biasanya merupakan suatu proses sosial
yang melalui tahap discovery dan invension.
Pendorong penemuan baru. Faktor-faktor yang menjadi pendorong bagi seorang individu
untuk memulai serta mengembangkan penemuan baru adalah (1) kesadaran akan kekurangan
dalam kebudayaan; (2) mutu dari keahlian dalam suatu kebudayaan; (3) sistem perangsang
4
bagi kegiatan mencipta. Penemuan baru sering kali terjadi saat ada suatu krisis masyarakat,
dan suatu krisis terjadi karena banyak orang merasa tidak puas karena mereka melihat
kekurangan-kekurangan yang ada di sekelilingnya.
Dengan demikian proses inovasi itu merupakan suatu proses evolulusi juga. Bedanya ialah
bahwa dalam proses inovasi para individu berperan secara aktif, sedangkan dalam proses
evolusi para individu itu pasif, bahkan seringkali negatif.
2.2 Perubahan Dan Fenomena Sosial
Logis sekali kalau contoh-contoh penerimaan per-ubahan paling besar bila unsurperubahan
itu merupakan akibat dari kebutuhan di dalam masyarakat itu sendiri.Ini dapatmerupakan
usaha suatu masyarakat, untuk beradaptasi secara ekonomis dengan revolusiteknologi yang
melanda seluruh dunia, meskipun dampak perubahan itu mungkin terasadalam masyarakat
seluruhnya.Perubahan peranan wanita di Afrika, atau sebenamya juga diAmerika Serikat,
dapat dianggap sebagai contoh perubahan seperti itu.Akan tetapi,perubahan sering
dipaksakan dari luar kebudayaan, biasanya oleh kolonialisme melaluipenaklukan.
Perubahan kebudayaan selain terjadi karena adanya mekanisme perubahan sepertiyang telah
dijelaskan di atas, bisa juga terjadi karena adanya perubahan secara paksa. Bentuk-bentuk
perubahan kebudayaan secara paksa adalah kolonialisme. Penaklukan, pemberontakandan
revolusi. Kolonilasme dan penaklukan biasanya ditandai oleh kemenangan militer
negarapenjajah/penakluk dan pemindahtanganan kekuasaan politik tradisional ke
tangankolonial/penakluk. Penduduk asli yang ditaklukkan tidak mampu menolak perubahan
yangdipaksakan. Kegiatan-kegiatan tradisional di bidang ekonomi, politik, agama, sosial
dibatasi
dan dipaksa untuk melakukan kegiatan-kegiatan baru yang cenderung
mengisolasikanindividu dan merusak integrasi sosialnya. Perubahan kebudayaan secara paksa
melaluikolonialisme dan penaklukan terjadi pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20.
Politikkolonilalisme dikembangkan oleh negara-negara, seperti Belanda, Portugal, Inggris,
Perancis,Spanyol dan Amerika serikat.Tidak mengherankan jika unsur-unsur budaya negara
penjajahsampai sekarang masih ditemukan dan diterapkan di negara-negara bekas jajahan.
Unsur-unsur bahasa, agama, system politik negara kolonial dapat ditemukan di negara
bekasjajahannya.
Apabila kolonialisme dan penaklukan merupakan bentuk perubahan kebudayaansecara paksa
yang berasal dari luar, maka pemberontakan dan revolusi dapat timbul daridalam masyarakat
itu sendiri.Pemberontakan dan revolusi muncul karena kondisi-kondisiyang dianggap kurang
menguntungkan bagi sebagian besar masyarakat. Kondisi yang dimaksud bisa berupa
ketidakadilan dalam distribusi (kekayaan/material dan kekuasaan),munculnya perasaan benci
pada kelompok yang dianggap sebagai penindas dan hilangnyakepercayaan penguasa.
Menurut Haviland (1988: 268) terdapat lima kondisi sebagai pencetustimbulnya
5
pemberontakan dan revolusi, yaitu: (1) hilangnya kewibawaan pejabat-pejabatyang
kedudukan-nya mantap, sering sebagai kegagalan politik luar negeri, kesulitankeuangan,
pemecatan menteri yang popular, atau perubahan kebijakan yang popular, (2)Bahaya
terhadap kemajuan ekonomi yang baru dicapai.Di Perancis dan Rusia, golonganpenduduk
(golongan profesi dan pekerja di kota-kota) yang nasib ekonominya mengalamiperbaikan
sebelumnya, tertimpa oleh kesulitan-kesulitan yang tidak terduga-duga, sepertitajamnya
kenaikan pangan dan pengangguran, (3) Ketidaktegasan pemerintah, sepertikebijaksanaan
yang tidak konsisten. Pemerintah yang demikian itu kelihatannya sepertidikendalikan dan
tidak mengendalikan peristiwa, (4) Hilangnya dukungan dari kelascendekiawan. Kehilangan
seperti itu oleh pemerintah-pemerintah prarevolusi di Perencis danRusia menyebab-kan
pemerintah kehilangan dukungan falsafahnya, yang menyebabkanmereka kehilangan
popularitas di lingkungan cendekiawan, (5) Pemimpin atau kelompokpemimpin yang
memiliki kharisma cukup besar untuk menggerakkan sebagian besar rakyat,melawan
pemerintah.
Kelima kondisi di atas dapat dijadikan sebagai acuan untuk menganalisis
perubahankebudayaan melalui pemberontakan dan revolusi yang terjadi di Indonesia pada
tahun 1997-1998 (masa reformasi).Pada saat itu Presiden Soeharto, kabinet serta kroninya
sudahkehilangan kewibawaan di mata rakyatnya, karena dianggap gagal membenahi
persoalanekonomi politik yang terjadi.Tingkat inflasi yang tinggi, korupsi, kolusi dan
nepotisme yangmerajalela mengakibatkan kehidupan rakyat semakin sengsara. Rakyat
semakin tidak percayadengan rezim orde baru. Kalangan cendekiawan dan akademisi mulai
mencabut dukungannyaserta menuntut untuk segera mundur. Munculnya pemimpin-
pemimpin informal yangkharismatik, seperti Amin Rais, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri,
Hamengkubuwono Xyang memiliki pengaruh besar untuk menggerakkan rakyat. Dimotori
oleh gerakan mahasiswadan didukung oleh pemimpin karismatik, akhirnya terjadilah
perubahan besar-besaran diIndonesia yang diawali dengan mundurnya Soeharto dari jabatan
Presiden pada 21 Mei 1998
Salah satu produk sampingan kolonialisme adalah tumbuhnya antropologi terapan
dandigunakannya teknik dan pengetahuan antropologi untuk keperluan
"praktis”.Dengandemikian, tidak salah bila antropologi Inggris sering dipandang sebagai
"hamba" politikkolonial negara tersebut, karena mereka umumnya dipaksa menyediakan
informasi yangberguna untuk tetap mempertahankan kekuasaan pemerintahan kolonial di
daerah jajahannya.Di Amerika Serikat, para ahli antropologi dari abad-19 sangat
mendambakan kegunaandisiplin mereka, dan tidak jarang mereka turun tangan membantu
orang-orang IndianAmerika, tempat mereka bekerja. Awal abad ini, karya Franz Boas, yang
hampir seorang dirimelatih satu generasi ahli antropologi di Amerika Serikat, telah
membantu pemerintah untukmengubah politik imigrasi negara tersebut.Dalam tahun 1930-an
para ahli antropologimenanggapi sejumlah studi yang dilakukan di lingkungan industri dan
6
lembaga-lembagalainnya, untuk tujuan-tujuan terapan.Timbulnya Perang Dunia II timbullah
pekerjaan-pekerjaan khusus di bidang administrasi kolonial di luar perbatasan nenua
Amerika,khususnya di daerah Pasifik, yang dikerjakan oleh pegawai-pegawai yang telah
mendapatlatihan di bidang antropologi.
Timbulnya kebangkitan orang-orang Jepang untuk melawan tentara sekutu jugadisebabkan
oleh pengaruh dari para ahli antropologi dalam menentukan struktur pendudukanAmerika
Serikat. Eksperimen-eksperimen Amerika Utara yang dimaksudkan untuk memadu
kebudayaan kolonial dengan struktur pribumi dengan kekacauan yang sekecil mungkin,
jugatelah berhasil.Meskipun banyak di antara studi itu diakui memang untuk kepentingan
sandimiliter, akan tetapi itu semua juga bermanfaat untuk program pengembangan
ilmu pengetahuan.
Akan tetapi, seperti yang tercermin dalam beberapa kepustakaan awal tentanghubungan
antara bangsa-bangsa Eropa dengan kelompok-kelompok penduduk asli, tidakmengandung
pengertian antropologis dan sering tidak ada perikemanusiaan samasekali.Pertemuan antara
kolonialis dengan penduduk pribumi di beberapa tempat seringmengakibatkan kematian
besar-besaran, kesengsaraan yang memilukan, dan keruntuhankomunitas atau yang lebih
dikenal sebagai "kerusakan kebudayaan" (culture crash).Keruntuhan tradisi komunitas seperti
di atas yang ditandai dengan terjadinya khaos atauketidakstabilan sosial dan kecemasan
setiap individu, sering diikuti dengan terjadinyapendudukan kolonial.Ini samasekali tidak
berarti, bahwa masyarakat tradisional itu tidakmengenal bentrokan sebelum berhubungan
dengan peradaban lain, tetapi berarti bahwapertentangan-pertentangan tersebut dapat diatasi
melalui lembaga-lembaga kebudayaanya.
Kebudayaan asli pada awal-awal terjadinya pendudu-kan umumnya berantakan,karena
lembaga-lembaga tradisional yang diciptakan untuk mengatasi ketegangan ataupertentangan
diantara masyarakat pendukung sebuah kebudayaan tidak diperbolehkan olehpara penguasa
kolonial untuk menangani perubahan baru yang cepat dan tidak padatempatnya dalam
konteks sistem tradisional itu.Perubahan yang terlalu cepat dalam sistemnilai, misalnya,
menyebabkan bagian-bagian lain dari kebudayaan menjadi ketinggalan.
Kadang-kadang penduduk pribumi memperlihatkan kekuatan dan daya tahan yangbesar
dalam menghadapi dominasi Eropa, dimana mereka menemukan dan melakukan cara-cara
yang kreatif dan cerdik untuk mengkounternya.Penduduk yang dimaksud orang-
orangTrobriand yang berada di bawah pemerintahan kolonial Inggris. Para misionaris suatu
ketikamemperkenalkan sebuah permainan tradisional Inggris bernama “cricket” kepada
masyarakatTrobriand yang menjadi daerah jajahan negaranya. Akan tetapi, semua penduduk
berusahadan sepakat untuk membendung masuknya permainan Inggris secara utuh
denganmenjadikannya sebagai suatu pertandingan yang benar-benar bersifat
Trobriand.Tidak"primitif" dan juga tidak terlalu sesuai dengan bentuk aslinya di Inggris.Cr
icket ala Trobriand
7
yang kreatif ini disejajarkan dengan kegiatan-kegiatan yang khas, yang tetap
mempertahankanpentingnya pandangan-pandangan pokok dalam kebudayaan pribumi
itu.Semua orang yangberkepentingan dengan permainan itu kelihatan gembira dan bangga,
dan para pemainnyasama semangatnya untuk memamerkan siapakah diantara mereka itu
mampu mencetak nilai.Mulai dari mengecat mukanya sebagai tanda persiapan untuk bermain,
nyanyian tim yangmembawakan lagu-lagu yang bernada "kasar", tari-tarian rombongan yang
saling memberisemangat, tidak dapat diragukan lagi, bahwa setiap pemain bermain demi
kepentingannyasendiri, demi kemasyhuran timnya, dan demi ratusan gadis-gadis cantik yang
biasanyamenonton pertandingan itu.
Kasus-kasus akulturasi yang paling ekstrim biasanya terjadi sebagai akibat dari kemenangan
militer dan pemindahtanganan kekuasaan politik tradisional ke tangan parapenakluk, yang
tidak mengetahui apa-apa tentang kebudayaan yang mereka kuasai.Rakyatpribumi, yang
tidak mampu menolak perubahan-perubahan yang dipaksakan, karena kegiatan-kegiatan
tradisional mereka di bidan sosial, agama dan ekonomi juga turut dibatasi, sehinggamereka
dengan terpaksa melakukan kegiatan-kegiatan baru yang cenderung mengisolasikanindividu
dan mengoyak-koyak integrasi sosialnya.Sistem perbudakan di Amerika Serikatpada masa
kolonialnya, merupakan contoh yang paling terkenal, yang memberi penjelasantentang
masalah hubungan antar-ras yang dahulu dikemas dalam istilah "inferioritas rasial."Perlu juga
saya kemukakan di sini, bahwa sistem perbudakan yang terjadi di Amerika padaawalnya
tidak hanya terjadi di Amerika Serikat saja, tetapi juga hingga ke negara-negarabagian,
seperti di daerah-daerah perkebunan di Kepulauan Karibia dan di daerah-daerahpantai
Amerika Selatan hingga ke bagian tenggara Amerika Serikat.Masaah-masalah rasialyang
diwarisi Amerika Serikat dari zaman perbudakan itu juga terdapat di daerah-daerahAmerika
yang pernah menjalankan praktek-praktek perbudakan.
2.2 Perubahan sosial yang terjadi di jakarta
Ribuan mata, beberapa bulan lalu, tertuju pada lautan laskar berjubah putih yang membanjiri
Stadion Utama Senayan Jakarta dalam sebuah perhelatan tabligh akbar. Laskar berjubah putih
itu tergabung di dalam kekuatan besar yang bernama Laskar Jihad. Di dalam tabligh akbar
tersebut mereka meneriakkan kegetiran atas tragedi yang sedang menimpa umat Islam di
Maluku, dan secara tegas mereka menyatakan kesiapan untuk terjun ke medan pertempuran
di sana. Mereka juga "menyerang" Presiden Abdurrahman Wahid yang mereka anggap telah
gagal mengemban tugas sebagai pemimpin umat Islam dan membiarkan negerinya terjebak
dalam permainan konspirasi Barat dengan Zionis Israel. Beberapa kali kelompok semacam,
bahkan yang berintikan mahasiswa, dengan memakai berbagai atribut khas mereka, turun ke
jalan-jalan berdemonstrasi menentang berbagai kebijakan Gus Dur, seperti usulan pencabutan
TAP MPR tentang pelarangan PKI.
8
Belakangan mereka juga memprotes keras rencana kehadiran delegasi Israel di dalam
Konferensi Parlemen se-Dunia di Jakarta dan bertekad untuk memblokir mereka di bandara
dan tempat-tempat strategis lainnya; hal yang sebagian dipicu oleh penyerangan Israel yang
didukung oleh kekuatan-kekuatan Barat, khususnya Amerika Serikat, atas umat Islam
Palestina. Di kota yang sama hari-hari ini hampir tiap minggu kelompok Front Pembela Islam
melakukan razia. Mereka mendatangi kafe-kafe, diskotik-diskotik, kasino-kasino, dan
tempat-tempat lainnya yang mereka tuduh sebagai sarang maksiat dan membubarkan
kegiatan di dalamnya tanpa bisa dirintangi secara berarti oleh petugas-petugas keamanan.
Razia-razia ini tidak jarang diwarnai oleh aksi-aksi pengrusakan dan penghancuran. Isyarat
tentang meningkatnya keberadaan kelompok yang menyebut diri mereka sebagai laskar di
panggung nasional bahkan secara jelas terlihat awal Agustus lalu dalam Kongres Nasional
Mujahidin pertama yang mengangkat tema "Penegakan Syariat Islam di Indonesia". Dalam
kongres tersebut terdapat kurang lebih dua ribu peserta yang mewakili berbagai kelompok
yang saat ini tengah menarik perhatian publik, seperti Laskar Santri, Laskar Mujahidin,
Kompi Badar, Brigade Taliban, dan Pasukan Komando Mujahidin. Beberapa tokoh penting
datang ke kongres tersebut, semisal Deliar Noer, Mansyur Suryanegara, Syahirul Alim, dan
Alawi Muhammad. Selama tiga hari mereka mendiskusikan satu tema sentral dengan
kesimpulan bahwa penegakan syariat Islam adalah hal yang mutlak untuk mengatasi berbagai
krisis dan kerusakan yang terjadi saat ini. Fenomena gerakan-gerakan yang membawa muatan
agama ini mencuat sejak terjadinya krisis multi-dimensi di negeri ini yang berakibat, di
antaranya, lengsernya rezim Soeharto. Sejak saat itu, keberadaan mereka di panggung politik
kenegaraan menjadi semakin tampak dan meningkat, baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Aksi-aksi mereka dibalut oleh rasa kekhawatiran yang mendalam terhadap
terjerambabnya Islam ke dalam bayang-bayang Barat sekuler, yang mereka yakini tengah
menjalankan agenda untuk menghancurkan umat Islam dengan berbagai cara.
Gerakan-gerakan semacam itu, yang dalam penelitian ini akan disebut sebagai radikalisme
agama, mempunyai landasan ideologis yang relatif konservatif; namun, secara politik radikal
dan militan. Mereka mengklaim tengah menghidupkan kembali jalan Salafi, Manhaj Salafi,
dan berjuang mengembalikan supremasi syariat Islam untuk membawa umat Islam keluar
dari lilitan krisis. Laskar Jihad, misalnya, dinaungi oleh sebuah organisasi yang berlabel
Forum Komunikasi Ahlu Sunnah Wal-Jama'ah. Sementara laskar-laskar yang lain sebagian
besar berafiliasi ke pesantren-pesantren atau komunitas-komunitas keagamaan yang bergiat
di dalam alur faham keagamaan yang relatif sama. Namun demikian, mereka tidak segan-
segan untuk mengacung-acungkan senjata dan meneriakkan "Allahu Akbar" untuk membela
Islam yang, menurut mereka, tengah terjepit. Sebagai ibukota negara, Jakarta adalah kota di
mana kehadiran gerakan radikalisme agama paling dirasakan. Ia menjadi tempat di mana
aksi-aksi besar gerakan tersebut dipusatkan. Ia juga menjadi saksi di mana aksi-aksi
kekerasan dari gerakan semacam itu terjadi.
9
Dari aspek politik, gaung dari aksi-aksi yang dijalankan di Jakarta memang terbukti jauh
lebih efektif daripada kota manapun di Indonesia, karena Jakarta merupakan pusat
pemerintahan, pusat kegiatan bisnis, dan lain-lainnya. Hal ini terutama didukung oleh
peliputan mass-media yang terpusat di Jakarta. Di samping itu, Jakarta adalah kota yang
paling menikmati dan sekaligus merasakan dampak dari proses modernisasi dan
pembangunan. Maka, dengan sendirinya masyarakat Jakarta menjadi masyarakat yang
langsung dan paling efektif bersentuhan dengan kedua proses itu. Fenomena radikalisme
agama jelas tidak bisa dilepaskan dari arus deras modernisasi dan pembangunan yang
dijalankan negara dalam rentang tiga puluh tahun terakhir. Sementara kolonisasi internal dari
negara dan penetrasi rasionalitas ekonomi dan administrasi ke dalam kehidupan sehari-hari,
dalam konteks modernisasi dan pembangunan itu, terus berlangsung. Negara tidak
memberikan ruang yang cukup bagi seluruh segmen masyarakat untuk mengekspresikan diri
dan kepentingan-kepentingan mereka. Ekspresi Islam politik, misalnya, cenderung
dimarginalisasi dan dihambat karena dianggap akan dapat mengganggu jalannya proses
modernisasi dan model pembangunan yang diterapkan. Sebagai konsekuensinya, muncul
kekecewaan dan rasa ketidakberdayaan yang mendalam dari berbagai segmen masyarakat.
Hal semacam ini turut dipercepat oleh meningkatnya proses globalisasi, ketika intensifikasi
hubungan sosial seluruh dunia telah mengaburkan batas-batas geografis, sosial, dan politik di
mana ketergantungan pada tatanan global dan intervensi lintas-budaya menjadi tidak
terelakkan.
Proses ini mau tidak mau telah menyebabkan banyak orang merasakan kehilangan kontrol
atas kehidupan mereka. Ketika rasa kekecewaan dan ketidakberdayaan itu semakin
meningkat dalam ketersumbatan ruang partisipasi masyarakat di bawah hegemoni negara,
suatu perlawanan untuk merebut kembali ruang partisipasi itu tidak bisa dielakan. Dengan
berusaha merebut ruang partisipasi itu, rasionalitas komunikatif bisa dihadirkan kembali ke
ruang publik. Sementara itu, dalam konstelasi global, ketika nation-states modern tidak
mampu mengintegrasikan seluruh kekuatan masyarakat melalui kesejahteraan ekonomi dan
pemuka-pemuka agama melalui imbalan resmi terhadap kekuatan religius mereka,
perlawanan seringkali mengambil bentuk seruan untuk kembali kepada identitas dasar, di
mana massa yang tersingkirkan dan bagian-bagian masyarakat lainnya yang tidak puas bisa
merekonstruksi makna dan interpretasi baru terhadap kehidupan sosial sebagai alternatif
terhadap tatanan yang ada. Namun demikian, sejalan dengan meningkatnya proses
modernisasi dan globalisasi, kebijakan marginalisasi Islam politik tampaknya tidaklah bisa
dipertahankan terus-menerus oleh negara. Ada saat-saat ketika negara mengalami apa yang
disebut krisis legitimasi, yang semakin meluas sejak awal 1990-an. Krisis itu terjadi terutama
ketika janji-janji modernisasi dan pembangunan gagal dipenuhi oleh negara. Untuk mencegah
meluasnya krisis legitimasi itu, negara harus mencari pilar-pilar dukungan dan strategi baru.
Di antaranya, negara menjalankan jurus yang oleh Olivier Roy, seorang ilmuwan politik
10
Perancis, disebut "Islamisasi konservatif" (conservative Islamisation), yang terutama
diarahkan pada penonjolan simbol-simbol agama di dalam wacana publik dan kenegaraan
serta mengakomodasi kekuatan-kekuatan sosial-politik keagamaan. Bermunculanlah
organisasi-organisasi, isntitusi-institusi dan berbagai hal lainnya yang bersimbolkan Islam.
ICMI dibiarkan berkibar. Bank syariah didirikan di mana-mana sebagaimana halnya mesjid-
mesjid atas sponsor negara. Seketika terjadi pembalikan arah kesejarahan negara, dari
sebelumnya berwajah sekuler, di mana pemerintahan dan militer dikuasai oleh elite-elite
nasionalis "merah-putih", menjadi berwarna hijau, ketika banyak tokoh Islam naik ke
panggung politik nasional.
Di belakang proyek Islamisasi konservatif yang dijalankan negara saat itu, terdapat banyak
kelompok yang menaruh harapan dan kemudian mengafiliasikan diri ke dalamnya, atau
paling tidak, merasa tengah menapaki arah yang sama. Hal semacam ini dipandang oleh
banyak kalangan sebagai hal yang sangat menjanjikan. Umat Islam yang selama ini dipaksa
bermain di pinggiran dan tidak diberikan banyak kesempatan dalam konstelasi politik
nasional, menemukan jalan untuk menaiki panggung politik, sosial, dan ekonomi nasional.
Kelompok-kelompok yang menaruh harapan tersebut datang dari berbagai segmen kekuatan
masyarakat. Mereka meyakini bahwa kini adalah waktu yang tepat untuk mengendalikan
panggung negara. Ke dalam barisan ini agaknya juga terdapat kelompok-kelompok yang
sebelum pertengahan 1980-an aktif menentang negara dan berjuang menyuarakan pendirian
negara Islam. Pada saat tertentu mereka bersikap keras menentang negara, dengan
mengobarkan teror, seperti gerakan Komando Jihad, pembajakan pesawat garuda, dan
pemboman Borobodur. Tetapi mereka sama sekali tidak berkutik menghadapi tindakan
represif dari negara. Puncak ketidakberdayaan itu terjadi ketika pemerintah memaksa seluruh
kekuatan sosial politik untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas. Untuk beberapa
saat setelah itu, perlawanan terhadap negara benar-benar surut. Kalaupun mereka bertahan,
mereka harus aktif di bawah tanah atau menyembunyikan wajah mereka yang sesungguhnya.
Ketika krisis terjadi, apa yang menjadi tujuan kelompok-kelompok yang berafiliasi ke dalam
gelombang besar Islamisasi sebagaimana digambarkan di atas, seketika menjadi buyar.
Banyak sub-segmen yang terdapat di dalamnya kehilangan harapan dan mengalami rasa
frustasi yang mendalam. Jalan yang sudah dirintis oleh mereka telah berbelok arah secara
drastis. Harapan untuk secara perlahan-lahan mengambil alih kendali politik nasional
menemukan jalan buntu. Sekalipun pemilu terakhir telah berusaha untuk mengakomodasi
seluruh kekuatan sosial-politik masyarakat melalui saluran yang semestinya, tetapi tidak
semua pihak merasa puas dan mendapatkan ruang keterwakilan mereka di panggung politik
yang ada. Mereka merasa terpinggirkan kembali di dalam arus besar reformasi yang telah
membawa Gus Dur ke kursi kepresidenan. Gerakan radikalisme agama yang kini tengah
menyeruak bisa dipandang sebagai perlawanan terhadap hegemoni negara dari segmen
masyarakat yang termarginalisasi dan terekslusi di dalam arus besar perubahan politik, sosial,
11
dan ekonomi. Atau tepatnya, segmen masyarakat yang harapan-harapan mereka pernah
dilambungkan tetapi seketika menjadi terhenti dengan terjadinya krisis multi-dimensi yang
menimpa negeri ini. Tujuannya tidak lain adalah untuk membuat suara-suara mereka yang
marginal bisa terdengar di ruang publik, sehingga jaringan makna yang telah hilang dalam
relasi kekuasaan yang hegemonik bisa mereka rebut kembali. Karena hegemoni bekerja
melalui wacana, maka gerakan radikalisme agama seringkali juga membuat wacana
tandingan, di antaranya dengan mengeritik ungkapan politik nasional sekuler dan
menawarkan alternatif terhadapnya. Roy telah menemukan fenomena serupa di banyak
negara Islam belakangan ini, yang disebutnya sebagai gejala "neo-fundamentalisme radikal"
(radical neo-fundamentalis). Gejala ini didefinisikannya sebagai sebuah gerakan yang
berusaha mengislamkan masyarakat dari level grass-root melalui penerapan hukum Islam
tanpa harus diformat dalam sebuah negara Islam. Ini terjadi sebagai akibat dari kegagalan
"Islamisme", gerakan Islam politik modern yang mengklaim berjuang untuk menciptakan
kembali sebuah masyarakat Islam yang sejati, tidak sekedar dengan mendesakkan berlakunya
syariat Islam, tetapi dengan menciptakan sebuah tatanan yang Islami melalui aksi-aksi politik
yang kadang-kadang revolusioner dan militan. Para pendukungnya melihat Islam tidak
sekedar agama, tetapi ideologi politik yang harus diintegrasikan ke dalam seluruh aspek
kehidupan masyarakat. Sekalipun Islamisme telah menemui kegagalan sejak 1980-an, tetapi
penentangan-penentangan dan kritisismenya terhadap negara, menurut Roy, berhasil
memaksa yang terakhir untuk mengintrodusir kebijakan Islamisasi konservatif-simbolik.
Kebijakan semacam ini ternyata tidaklah berhasil mengubur Islamisme, bahkan telah
memperluas konstituen-konstituen dan pendukung-pendukungnya. Ia hanya membungkam
gerakan itu untuk sementara, tapi tidak pernah bisa menguburnya. Meskipun satu hal, bahwa
target mereka semula untuk mendirikan negara Islam telah berlalu. Bagi mereka yang paling
penting syariat Islam harus ditegakkan. Dan inilah yang mesti tetap diperjuangkan. Beberapa
ciri yang ditunjukkan Roy mengenai gerakan neo-fundamentalisme radikal ini adalah, yang
pertama, mereka mengkombinasikan jihad politik dan militansi terhadap segala hal yang
beraroma Barat-sekuler dengan definisi Islam yang sangat konservatif. Mereka sangat
menentang musik, seni dan hiburan, serta kehadiran perempuan dalam ruang publik.
Yang kedua, gerakan ini bersifat supra-nasional. Terdapat jaringan internasional di mana para
aktor gerakan ini dilatih dan dibekali dengan berbagai keterampilan militansi, di samping
disediakan dana untuk mendukung aksi-aksi mereka dalam ranah nasional masing-masing.
Yang ketiga, gerakan ini berusaha keras menunjukkan kegagalan "nation-state", yang diklaim
terjepit di antara solidaritas kebangsaan dan globalisasi.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masyarakat manusia di manapun tempatnya pasti mendambakan kemajuan danpeningkatan
kesejahteraan yang optimal. Kondisi masyarakat secara obyektif merupakan hasiltali temali
antara lingkungan alam, lingkungan sosial serta karakteristik individu.. Perjalanan panjang
dalam rentangan periode kesejarahan telah mengajak masyarakat manusia menelusuri
hakikatkehidupan dan tata cara kehidupan yang berkembang pesat hidup. Ruang gerak
perubahan itupun juga berlapis-lapis, dimulai dari kelompok terkecil seperti keluarga sampai
pada kejadian yang paling lengkap mencakup tarikan kekuatan kelembagaan dalam
masyarakat.
Perubahan sosial adalah suatu proses yang luas,lengkap yang mencakup suatu tatanan
kehidupan manusia. Perubahan sosial akan mempengaruhi segala aktivitas maupun orientasi
pendidikan yang berlangsung. Sebagai bagian dari pranata sosial, tentunya pendidikan akan
ikut terjaring dalam hukum-hukum perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat.
Sebaliknya, pendidikansebagai wadah pengembangan kualitas manusia dan segala
pengetahuan tentunya menjadiagen penting yang ikut menentukan perubahan sosial
masyarakat ke depan.
B. SARAN
makalah ini masih memiliki berbagai jenis kekurangan olehnya itu saran yang sifatnya membangun
sangat kami harapkan.
13
DAFTAR PUSTAKA
Astrid S.Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, TK.Bica Cipta, 1979
Burhanuddin Bungin, Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma dan Diskursus
Tekhnologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta: fajarinterpratama Offset, 2006
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1995
Dahana O.P. dan Bhatnagar P.P. Education And Comunication For Defelopmen, New
Delhi: Oxford & IBH Publishing Co, 1980
14
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil ‘Alamin segala Puji dan Syukur Penulis Panjatkan kepada Allah SWT
yang telah memberikan taufik dan hidayahnya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini, Namun penulis menyadari makalah ini belum dapat dikatakan
sempurna karena mungkin masih banyak kesalahan-kesalahan. Shalawat serta salam semoga
selalu dilimpahkan kepada junjunan kita semua habibana wanabiana Muhammad SAW,
kepada keluarganya, kepada para sahabatnya, dan mudah-mudahan sampai kepada kita selaku
umatnya.
Makalah ini penulis membahas mengenai “PERUBAHAN SOSIAL DAN
PEMBANGUNAN YANG TERJADI DI JAKARTA”, dengan makalah ini penulis
mengharapkan agar dapat membantu sistem pembelajaran. Penulis ucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata penulis ucapkan terimakasih atas segala perhatiannya.
Raha, Agustus 2013
Penyusun
15
DAFTAR ISI
Kata Pengantar......................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
A. Latar Belakang.............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.... ................................................................................... 2
2.1 Proses Perubahan Sosial Budaya................................................................. 2
2.2 Perubahan Dan Fenomena Sosial................................................................. 2
2.3 Perubahan Sosial yang terjadi di Jakarta.................................................... 8
BAB II PENUTUP................................................................................................... 13
A. Kesimpulan.................................................................................................. 13
B. Saran............................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 14
16
MAKALAH PERUBAHAN SOSIAL DAN PEMBANGUNAN
YANG TERJADI DI JAKARTA
DISUSUN OLEH :NAMA : ZAMRIAJURUSAN : GEOGRAFI SEMESTER : II
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KENDARIKELAS RAHA
2013
17