Download - Makalah PPOK.docx
Penyakit Paru Obstruksi Kronik
dan Penatalaksanaanya
Fitriani 102013018
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 1151
Pendahuluan
Saluran napas dapat mengalami obstruksi akut. Obstruksi bisa terjadi pada saluran
napas bagian atas (supraglotik/di atas pita suara), tengah (intraglotik), atau bawah
(infraglotik/di bawah pita suara). Pada saluran napas bagian bawah obstruksi bisa terjadi oleh
karena asma dan PPOK, sedangkan di bagian tengah obstruksi bisa terjadi oleh karena proses
maligna dan benigna.1 Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit paru
kronik yang memiliki karakteristik berupa hambatan aliran udara, terkait dengan inflamasi
abnormal paru terhadap partikel atau gas berbahaya di saluran napas yang bersifat progresif,
tidak reversibel atau sebagian reversibel. Gejala yang ditemukan antara lain batuk kronik,
produksi sputum, dan sesak napas. Faktor risiko utama PPOK adalah usia >40 tahun dan
merokok. Diagnosis PPOK ditegakkan apabila nilai volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP) berbanding kapasitas vital paksa (KVP)1 pada spirometri <70% setelah inhalasi
bronkodilator.2
Anamnesis3
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan.
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja.
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR),
infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara.
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak.
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.
Pemeriksaan FisikP a g e 1 | 21
Secara umum. Penampilan pink puffer/blue bloater yaitu gambaran khas pada
bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di
basal paru, sianosis sentral dan perifer. Pernapasan pursed-lips adalah sikap seseorang
yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini
terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi
sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal
napas kronik. Tampak denyut vena jugularis dan edema tungkai bila telah terjadi
gagal jantung kanan. Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit
kemerahan dan pernapasan pursed-lips breathing.3
Toraks. Inspeksi: barrel chest, penggunaan otot bantu napas, peleburan sela iga.
Perkusi: hipersonor pada emfisema. Auskultsi: suara napas vesikuler normal,
meningkat atau melemah, terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa
atau dengan ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang.3
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Rutin
Faal paru. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP). Obstruksi ditentukan oleh
nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%). Obstruksi: % VEP1 (VEP1/VEP1 pred)
< 80% VEP1% (VEP1/KVP) <75 %. VEP1 merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila
spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang
tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore,
tidak lebih dari 20%.3
Uji bronkodilator. Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE <20% nilai
awal dan <200 ml. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.3
Darah rutin. Hb, Ht, leukosit.3
Radiologi. Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar,
diafragma mendatar, jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop/eye drop
appearance). Pada bronkitis kronik terlihat normal, corakan bronkovaskuler bertambah
pada 21% kasus.3
P a g e 2 | 21
Pemeriksaan Khusus/Tidak Rutin
Faal paru. Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru
Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat. DLCO menurun pada emfisema. Raw
meningkat pada bronkitis kronik. Sgaw meningkat. Variabiliti Harian APE kurang
dari 20%.3
Uji latih kardiopulmoner. Sepeda statis (ergocycle), jentera (treadmill), jalan 6 menit,
lebih rendah dari normal.3
Uji provokasi bronkus. Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian
kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan.3
Uji coba kortikosteroid. Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
oral (prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30-50 mg per hari selama 2 minggu
yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator >20% dan minimal 250 ml. Pada PPOK
umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.3
Analisis gas darah. Terutama untuk menilai gagal napas kronik stabil, dan gagal napas
akut pada gagal napas kronik.3
Radiologi. CT-Scan resolusi tinggi. Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta
derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos. Scan ventilasi
perfusi untuk mengetahui fungsi respirasi paru.3
Elektrokardiografi. Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal
dan hipertrofi ventrikel kanan.3
Ekokardiografi. Menilai fungsi jantung kanan.3
Bakteriologi. Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik
yang tepat. Infeksi saluran napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi
akut pada penderita PPOK di Indonesia.3
Kadar alfa-1 antitripsin. Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter
(emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di
Indonesia.3
Epidemiologi
WHO menyebutkan PPOK merupakan penyebab kematian keempat didunia yaitu
akan menyebabkan kematian pada 2,75 juta orang atau setara dengan 4,8%. Selain itu WHO
juga menyebutkan bahwa sekitar 80 juta orang akan menderita PPOK dan 3 juta meninggal
karena PPOK pada tahun 2005.4 P a g e 3 | 21
Di Amerika kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka
1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal selama tahun
20001, dan pada tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi PPOK sebesar 10,1% (SE 4,8)
pada laki-laki sebesar 11,8% (SE 7,9) dan untuk perempuan 8,5% (SE 5,8). Estimasi dengan
pemodelan di 12 negara Asia Tenggara diperkirakan prevalensi PPOK sebesar 6,3% dengan
prevalensi maksimum ada di negara Vietnam (6,7%) dan RRC (6,5%). Hasil Penelitian lain
dari Bold Study pada 12 negara di dunia dengan jumlah sampel total sebesar 9425 responden
yang telah dilakukan pemeriksaan spirometri dan mengisi kuesioner yang berisi gejala
respirasi, status kesehatan dan faktor risiko pajanan PPOK, menunjukkan hasil 5 besar PPOK
menurut jenis kelamin secara umum prevalensi PPOK lebih tinggi pada laki-laki-
dibandingkan perempuan, dan kota Cape Town di Afrika Selatan menunjukkan prevalensi
PPOK tertinggi baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan kota Lexington di Amerika
Serikat prevalensi PPOK tertinggi kedua pada kelompok perempuan namun pada laki-laki
hanya menunjukan prevalensi kelima dari 12 negara yang diteliti.4
Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga Departemen Kesehatan RI tahun 1992,
PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat ke enam.1 Menurut Riset Kesehatan
Dasar RI tahun 2013 PPOK meningkat seiring dengan bertambahnya usia. PPOK lebih tinggi
pada laki-laki dibandingkan perempuan. PPOK lebih tinggi dipedesaan dibanding perkotaan.
PPOK cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah dan indeks
kepemilikan terbawah. Lima provinsi dengan angka PPOK tertinggi adalah NTT 10,0%,
Sulawesi Tengah 8,0%, Sulawesi Selatan 6,7%, dan Papua 5,4%.5
Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari
bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.3
Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-
tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang
tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.3
Faktor Risiko
Pajanan dari partikel antara lain :
Merokok
Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di negara berkembang. P a g e 4 | 21
Perokok aktif dapat meng-alami hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik.
Dilaporkan ada hubung-an antara penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP1) dengan jumlah, jenis dan lamanya merokok12. Studi di China menghasilkan
risiko relative merokok 2,47 (95% CI : 1,91-2,94). Derajat berat merokok dengan Indeks
Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan
lama merokok dalam tahun, Ringan: 0-200, Sedang: 200-600, Berat: >600. Perokok pasif
juga menyumbang terhadap simptom saluran napas dan PPOK dengan peningkatan
kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-gas berbahaya. Merokok pada
saat hamil juga akan meningkatkan risiko terhadap janin dan mempengaruhi
pertumbuhan paru-paru-nya.4
Polusi Indoor
Memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang jelek misalnya terpajan
asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar minyak diperkirakan memberi kontribusi
sampai 35%13. Manusia banyak menghabiskan waktunya pada lingkungan rumah
(indoor) seperti rumah, tempat kerja, perpustakaan, ruang kelas, mall, dan kendaraan.
Polutan indoor yang penting antara lain SO2, NO2 dan CO yang dihasilkan dari
memasak dan kegiatan pemanasan, zat-zat organik yang mudah menguap dari cat,
karpet, dan mebelair, bahan percetakan dan alergi dari gas dan hewan peliharaan serta
perokok pasip15. WHO melaporkan bahwa polusi indoor bertanggung jawab terhadap
kematian dari 1,6 juta orang setiap tahunya16. Pada studi kasus kontrol yang dilakukan
di Bogota, Columbia, pembakaran kayu yang dihubungkan dengan risiko tinggi PPOK
(adjusted OR 3,92, 95 % CI 1,2–9,1).4
Polusi Outdoor
Polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1, inhalan yang paling kuat
menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan debu. Bahan asap
pembakaran/pabrik/tambang. Bagaimanapun peningkatan relatif kendara-an sepeda
motor di jalan raya pada dekade terakhir ini18,19,20 saat ini telah meng-khawatirkan
sebagai masalah polusi udara pada banyak kota metropolitan seluruh dunia. Pada negara
dengan income rendah dimana sebagian besar rumah tangga di masyarakat menggunakan
cara masak tradisional dengan minyak tanah dan kayu bakar, polusi indoor dari bahan
sampah biomassa telah memberi kontribusi untuk PPOK dan penyakit kardiorespiratory,
khususnya pada perempuan yang tidak merokok PPOK adalah hasil interaksi antara P a g e 5 | 21
faktor genetik individu dengan pajanan lingkung-an dari bahan beracun, seperti asap
rokok, polusi indoor dan out door. Di Mexico, Tellez–Rojo et al, menemukan bahwa
peningkatan materi partikel 10μg/m3 dikaitkan dengan peningkatan penyakit saluran
napas 2,9% (95% CI 0,9–4,9) dan kematian PPOK 4,1% (95% CI 1,3–6,9 ),
respectively.4
Genetik (defisiensi Alpha 1-antitrypsin). Faktor risiko dari genetik memberikan
kontribusi 1–3% pada pasien PPOK.4
Riwayat infeksi saluran napas berulang. Infeksi saliran napas akut adalah infeksi akut
yang melibatkan organ saluran pernafasan, hidung, sinus, faring, atau laring. Infeksi
saluran napas akut adalah suatu penyakit terbanyak diderita anak-anak. Penyakit
saluran pernafasan pada bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai
pada masa dewasa, di mana ada hubungan dengan terjadinya PPOK.4
Gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik: Studi pada orang dewasa di
Cina didapatkan risiko relative pria terhadap wanita adalah 2,80 (95% C I ; 2,64-
2,98). Usia tua RR 2,71 (95% CI 2,53-2,89). Konsumsi alkohol RR 1,77 (95% CI :
1,45–2,15), dan kurang aktivitas fisik 2,66 (95% CI ; 2,34–3,02).4
Patofisiologi & Patogenesis
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel
goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding
alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:1
1. Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer,
terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama.
2. Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan
terbanyak pada paru bagian bawah.
3. Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal, duktus
dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura.
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran napas kecil yaitu: inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan
hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.1
P a g e 6 | 21
Tipe PPOK
Berdasarkan kesepakatan para pakar (PDPI/ Perkumpulan Dokter Paru Indonesia)
tahun 2005 maka PPOK dikelompokkan ke dalam:4
PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum
dan dengan sesak napas derajat nol sampai satu. Sedangkan pemeriksaan spirometrinya
me-nunjukkan VEP1 ≥80% prediksi (normal) dan VEP1/KVP <70%.
PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis dengan atau batuk. Dengan atau
produksi sputum dan sesak napas dengan derajat dua. Sedangkan pemeriksaan
spirometrinya menunjukkan VEP1 ≥70% dan VEP1/KVP <80% prediksi.
PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajat tiga atau empat
dengan gagal napas kronik. Eksaserbasi lebih sering terjadi. Disertai komplikasi kor
pulmonum atau gagal jantung kanan. Adapun hasil spirometri menunjukkan VEP1/KVP
<70%, VEP1< 30% prediksi atau VEP1 >30% dengan gagal napas kronik. Hal ini
ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan analisa gas darah dengan kriteria hipoksemia
dengan normokapnia atau hipoksemia dengan hiperkapnia.
Tabel 1. Klasifikasi PPOK Berdasarkan GOLD 20066
Sumber: Prosiding simposium; current diagnosis and treatment in internal medicine 2007. FKUI 2007. hal.113.
Stadium PPOK Hasil Pemeriksaan Spirometri Post Bronkodilator
(I) RinganFEV1/FVC <0,70
FEV1 >80% prediksi
(II) SedangFEV1/FVC <0,70
50%< FEV1 <80% prediksi
(III) BeratFEV1/FVC <0,70
30%< FEV1 <50% prediksi
(IV) Sangat Berat
FEV1/FVC <0,70
FEV1 <30% prediksi atau FEV1 <50%
Prediksi + gagal nafas kronik
P a g e 7 | 21
Tingkat Keparahan PPOK
Tingkat keparahan PPOK diukur dari skala sesak napas. Menurut American Thoracic
Society (ATS) penggolongan PPOK berdasarkan derajat obstruksi saluran napas yaitu ringan,
sedang, berat dan sangat berat. Gejala ini ditandai dengan sesak napas pada penderita yang
dirinci sebagai berikut:4
1. Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat dengan skala 0.
2. Terganggu oleh sesak napas saat bergegas waktu berjalan atau sedikit mendaki nilai 1
skala ringan. Serta pengukuran spirometri menunjuk-kan nilai VEP1 ≥ 50 %.
3. Berjalan lebih lambat daripada orang lain yang sama usia karena sesak napas, atau harus
berhenti sesaat untuk bernapas pada saat berjalan walau jalan mendatar nilai 2 skala
sedang.
4. Harus berhenti bila berjalan 100 meter atau setelah beberapa menit berjalan nilai 3 skala
berat.
5. Sesak napas tersebut menyebabkan kegiatan sehari-hari terganggu atau sesak napas saat
menggunakan atau melepaskan pakaian, nilai 4 skala sangat berat.
Pada penderita PPOK derajat berat sudah terjadi gangguan fungsional sangat berat
serta membutuhkan perawatan teratur dan spesialis respirasi.
Penatalaksaan
Tujuan dari manajemen PPOK adalah sebagai berikut:6
Membebaskan gejala.
Mencegah progresifitas penyakit.
Meningkatkan toleransi latihan.
Meningkatkan status kesehatan.
Mencegah dan mengobati komplikasi.
Mencegah dan mengobati eksaserbasi.
Mengurang angka kematian.
Manajemen PPOK berdasarkan GOLD 2006 dibagi dalam 4 komponen:6
Penilaian dan evaluasi penyakit.
Pengurangan faktor risiko.
Manajemen PPOK stabil.
Manajemen eksaserbasi. P a g e 8 | 21
EDUKASI3
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil.
Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit
kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan
aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih
bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi
atau tujuan pengobatan dari asma. Tujuan edukasi pada pasien PPOK:
Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan.
Melaksanakan pengobatan yang maksimal.
Mencapai aktiviti optimal.
Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang
pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat
diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di
rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena
memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan
dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan
keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi harus
disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan
kondisi ekonomi penderita. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah:
Pengetahuan dasar tentang PPOK.
Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya.
Cara pencegahan perburukan penyakit.
Menghindari pencetus (berhenti merokok).
Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala
prioriti bahan edukasi sebagai berikut :
Berhenti merokok. Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis
PPOK ditegakkan.
Pengunaan obat - obatan, seperti: macam obat dan jenisnya, cara penggunaannya yang
benar (oral, MDI atau nebuliser), waktu penggunaan yang tepat (rutin dengan P a g e 9 | 21
selangwaku tertentu atau kalau perlu saja), dosis obat yang tepat dan efek
sampingnya.
Penggunaan oksigen. Kapan oksigen harus digunakan, berapa dosisnya, mengetahui
efek samping kelebihan dosis oksigen.
Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya. Tanda eksaserbasi: Batuk atau
sesak bertambah, sputum bertambah, sputum berubah warna.
Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi.
Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke
pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan
berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan.
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena
PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel.
OBAT-OBATAN3
Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan
inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long
acting). Macam-macam bronkodilator :
Golongan antikolinergik. Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping
sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
Golongan agonis beta-2. Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak,
peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi berat.
Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2. Kombinasi kedua golongan obat ini akan
memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan
mempermudah penderita.P a g e 10 | 21
Golongan xantin. Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau
puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan
kadar aminofilin darah.
Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison.
Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif
yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >20% dan minimal 250 mg.
Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan:
Lini I: Amoksisilin, makrolid.
Lini II: Amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid baru.
Perawatan di Rumah Sakit: dapat dipilih Amoksilin dan klavulanat, Sefalosporin
generasi II & III injeksi, Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas,
Aminoglikose per injeksi, Kuinolon per injeksi, Sefalosporin generasi IV per injeksi.
Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N-
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan
sebagai pemberian yang rutin.
Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
Antitusif
Diberikan dengan hati - hati
Vaksinasi
Vaksin influenza dapat mengurangi komplikasi terhadap infeksi dan P a g e 11 | 21
direkomendasikan pada pasien dengan usia >65 tahun dan usia <65 tahun dengan FEV1
<40% prediksi.
TERAPI OKSIGEN3
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting
untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun
organ-organ lainnya. Manfaat oksigen adalah mengurangi sesak, memperbaiki aktiviti,
mengurangi hipertensi pulmonal, mengurangi vasokonstriksi, mengurangi hematokrit,
memperbaiki fungsi neuropsikiatri, meningkatkan kualiti hidup. Indikasi pada:
PaO2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%.
PaO2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 >89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P
pulmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru
lain.
Macam terapi oksigen:
Pemberian oksigen jangka panjang.
Pemberian oksigen pada waktu aktiviti.
Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak.
Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen
di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik.
Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat
daruraat, ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat
di rumah dibedakan :
Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT ).
Pemberian oksigen pada waktu aktiviti.
Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama
bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan
nasal kanul 1-2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia
yang sering terjadi bila penderita tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan P a g e 12 | 21
meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau
pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%. Alat bantu
pemberian oksigen seperti nasal kanul, sungkup venturi, sungkup rebreathing, sungkup
nonrebreathing. Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan
kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut.
VENTILASI MEKANIK3
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut,
gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas
kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara ventilasi mekanik dengan intubasi, dan
ventilasi mekanik tanpa intubasi.
Ventilasi mekanik tanpa intubasi
Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik
dan dapat digunakan selama di rumah. Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah
Nonivasive Intermitten Positif Pressure (NIPPV) atau Negative Pessure Ventilation (NPV).
NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi volume control, pressure control, bilevel
positive airway pressure (BiPAP), continous positive airway pressure (CPAP).
NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus (LTOT/Long
Tern Oxygen Theraphy) akan memberikan perbaikan yang signifikan pada analisis gas darah,
kualiti dan kuantiti tidur, kualiti hidup. Indikasi penggunaan NIPPV pada:
1. Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi dan abdominal
paradoksal.
2. Asidosis sedang sampai berat pH <7,30-7, 35.
3. Frekuensi napas >25 kali per menit.
NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas,
disamping harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana.
Ventilasi mekanik dengan intubasi
Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di rumah sakit
bila ditemukan keadaan sebagai berikut:P a g e 13 | 21
Gagal napas yang pertama kali.
Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat
diperbaiki, misalnya pneumonia.
Aktiviti sebelumnya tidak terbatas
Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif:
Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan pergerakan
abdominal paradoksal.
Frekuensi napas >35 permenit.
Hipoksemia yang mengancam jiwa (PaO2 < 40 mmHg).
Asidosis berat pH <7,25 dan hiperkapni (PaO2 < 60 mmHg).
Henti napas.
Samnolen, gangguan kesadaran.
Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung).
Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru,
barotrauma, efusi pleura masif).
Telah gagal dalam penggunaan NIPPV
Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan kondisi sebagai
berikut:
PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya.
Terdapat komorbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan.
Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal
Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik:
VAP (ventilator acquired pneumonia).
Barotrauma.
Kesukaran weaning.
Kesukaran dalam proses weaning dapat diatasi dengan:
Keseimbangan antara kebutuhan respirasi dan kapasiti muskulus respirasi.
Bronkodilator dan obat-obatan lain adekuat.
Nutrisi seimbang.P a g e 14 | 21
Dibantu dengan NIPPV
NUTRISI3
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan
energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan
hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah
mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan
analisis gas darah
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan:
Penurunan berat badan.
Kadar albumin darah.
Antropometri.
Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi).
Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi
masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi
akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk denagn
kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal
feedings) dengan pipa nasogaster.
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat.
Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit
oxigen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada
PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan.
Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi
muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang
terjadi adalah hipofosfatemi, hiperkalemi, hipokalsemi, hipomagnesemi. Gangguan ini dapat
mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang,
yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering.
REHABILITASI PPOK3
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi
adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai:P a g e 15 | 21
Simptom pernapasan berat.
Beberapa kali masuk ruang gawat darurat.
Kualiti hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim
multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog. Program
rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.
Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi oksigen. Latihan fisis
yang baik akan menghasilkan :
Peningkatan VO2 max.
Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik.
Peningkatan cardiac output dan stroke volume.
Peningkatan efisiensi distribusi darah.
Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery.
Latihan untuk meningkatkan kemapuan otot pernapasan:
Latihan untuk meningkatkan otot pernapasan. Latihan ini diprogramkan bagi
penderita PPOK yang mengalami kelelahan pada otot pernapasannya sehingga tidak
dapat menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup untuk melakukan ventilasi
maksimum yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot pernapasam akan
mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum, memperbaiki kualiti
hidup dan mengurangi sesak napas. Pada penderita yang tidak mampu melakukan
latihan endurance, latihan otot pernapasan ini akan besar manfaatnya. Apabila ke dua
bentuk latihan tersebut bisa dilaksanakan oleh penderita, hasilnya akan lebih baik.
Oleh karena itu bentuk latihan pada penderita PPOK bersifat individual. Apabila
ditemukan kelelahan pada otot pernapasan, maka porsi latihan otot pernapasan
diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah tinggi dan peningkatan ventilasi
pada waktu latihan maka latihan endurance yang diutamakan.
Endurance exercise. Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan
Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan pada otot
pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup
untuk melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot
pernapasam akan mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum,
memperbaiki kualiti hidup dan mengurangi sesak napas. Pada penderita yang tidak
mampu melakukan latihan endurance, latihan otot pernapasan ini akan besar P a g e 16 | 21
manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan tersebut bisa dilaksanakan oleh penderita,
hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu bentuk latihan pada penderita PPOK bersifat
individual. Apabila ditemukan kelelahan pada otot pernapasan, maka porsi latihan
otot pernapasan diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah tinggi dan
peningkatan ventilasi pada waktu latihan maka latihan endurance yang diutamakan.
Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita PPOK.
Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak sebesar pada
orang sehat. Latihan jasmani pada penderita PPOK akan berakibat meningkatnya
toleransi latihan karena meningkatnya toleransi karena meningkatnya kapasiti kerja
maksimal dengan rendahnya konsumsi oksigen. Perbaikan toleransi latihan
merupakan resultante dari efisiensinya pemakaian oksigen di jaringan dari toleransi
terhadap asam laktat. Sesak napas bukan satu-satunya keluhan yang menyebabkan
penderita PPOMJ menghenikan latihannya, faktor lain yang mempengaruhi ialah
kelelahan otot kaki. Pada penderita PPOK berat, kelelahan kaki mungkin merupakan
faktor yang dominan untuk menghentikan latihannya.
Berkurangnya aktiviti kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan fungsi otot
skeletal. Imobilitasasi selama 4-6 minggu akan menyebabkan penurunan kekuatan otot,
diameter serat otot, penyimpangan energi dan activiti enzim metabolik. Berbaring ditempat
tidur dalam jangka waktu yang lama menyebabkan menurunnya oxygen uptake dan kontrol
kardiovaskuler. Latihan fisis bagi penderita PPOK dapat dilakukan di dua tempat :
Di rumah. Latihan dinamik, menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan, joging,
sepeda. Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di rumah
adalah ergometri dan walking-jogging. Ergometri lebih baik daripada walkingjogging.
Begitu jenis latihan sudah ditentukan, latihan dimulai selama 2-3 menit, yang cukup
untuk menaikkan denyut nadi sebesar 40% maksimal. Setelah itu dapat ditingkatkan
sampai mencapai denyut jantung 60%-70% maksimal selama 10 menit. Selanjutnya
diikuti dengan 2-4 menit istirahat. Setelah beberapa minggu latihan ditambah sampai
20-30 menit/hari selama 5 hari perminggu. Denyut nadi maksimal adalah 220 - umur
dalam tahun.
Rumah sakit. Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu.
Tipe latihan diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan keluhan
subyektif dicatat. Pernyataan keberhasilan latihan oleh penderita lebih penting
daripada hasil pemeriksaan subyektif atau obyektif. Pemeriksaan ulang setelah 6-8 P a g e 17 | 21
minggu di laboratorium dapat memberikan informasi yang obyektif tentang beban
latihan yang sudah dilaksanakan.
Apabila petunjuk umum sudah dilaksanakan, risiko untuk penderita dapat diperkecil.
walaupun demikan latihan jasmani secara potensial akan dapat berakibat kelainan fatal,
dalam bentuk aritmia atau iskemi jantung. Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan:
Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan.
Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latihan.
Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan koordinasi atau
pusing latihan segera dihentikan.
Pakaian longgar dan ringan.
Psikososial
Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan dapat
diberikan obat.3
Latihan Pernapasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas. Teknik latihan
meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki ventilasi dan
menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks. Serta berguna juga untuk melatih
ekspektorasi dan memperkuat otot ekstrimiti.3
STOP MEROKOK1
Menghentikan kebiasaan merokok pada pasien PPOK sebenarnya merupakan usaha
yang mudah dan ekonomis dalam rangka mengurangi progresivitas penyakit. Bila pasien
dapat berhenti merokok maka progresivitas penurunan FEV1 nya dapat diperkecil. Pasien
PPOK yang merokok akan mengalami penurunan FEV1 >50 ml per tahun, pada orang normal
yang tidak merokok, penurunan FEV1 hanya 18 ml per tahun. Bila pasien dapat
menghentikan merokok, maka penurunan FEV1 yang drastis ini dapat dicegah seperti
penurunan orang yang tidak merokok. Strategi yang dianjurkan oleh Public Health Service
Report USA adalah:
Ask: lakukan identifikasi perokok pada setiap kunjungan.
Advice: terangkan tentang keburukan/dampak merokok sehingga pasien didesak mau
berhenti merokok.P a g e 18 | 21
Assess: yakinkan pasien untuk berhenti merokok.
Assist: bantu pasien dalam program berhenti merokok.
Arrange: jadwalkan kontak usaha berikutnya yang lebih intensif, bila usaha pertama
masih belum memuaskan.
Beberapa usaha untuk berhenti merokok seperti pemakaian nikotin gum, patch,
spray/inhaler, obat-obat klonidin, bupropion tidak salahnya untuk dicoba.
Komplikasi
Gagal napas. Gagal napas kronik bila hasil analisis gas darah PO2 <60 mmHg dan
PCO2 >60 mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan berupa jaga keseimbangan PO2
dan PCO2, bronkodilator adekuat, terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan
atau waktu tidur, antioksidan, latihan pernapasan dengan pursed lips breathing. Gagal
napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa
sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam, kesadaran menurun.3
Infeksi berulang. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi
kronik ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit
darah.3
Kor pulmonal. Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit >50 %, dapat disertai
gagal jantung kanan.3
Prognosis
Status kesehatan sangat penting digunakan untuk menilai keberhasilan terapi PPOK.
St. George's respiratory questionnaire (SGRQ) merupakan salah satu kuesioner untuk
mengevaluasi status kesehatan yang dihubungkan dengan kualitas hidup pasien PPOK,
kuesioner SGRQ berisikan pertanyaan tentang gejala, aktivitas dan dampak penyakit
kemudian nilainya dijumlahkan. Semakin tinggi nilai SGRQ menunjukkan kualitas hidup
yang semakin rendah. Kuesioner SGRQ sangat banyak dan terlalu komplek, sehingga
membutuhkan waktu yang lama dalam pengisiannya.7
Saat ini sedang dikembangkan kuesioner yang lebih mudah yaitu CAT (COPD
assessment test). COPD assessment test mempunyai delapan pertanyaan mengenai gejala dan
kondisi penyakit PPOK. Setiap pertanyaan mempunyai nilai kemudian dijumlahkan, nilai
yang didapat menunjukan kualitas hidup, semakin tinggi nilai yang didapat semakin rendah
kualitas hidupnya.7
P a g e 19 | 21
Sistem penderajatan indeks BODE (body mass index, obstructive of airway, dyspneu,
exercise capacity) sebagai suatu skala multidimensi telah digunakan dalam mengukur lama
tahan hidup pasien PPOK dan kerentanan terhadap terjadinya eksaserbasi. Makin tinggiskor
indeks BODE maka makin buruk prognosisnya, karena mengindikasikan lebih banyak
perburukan multidimensional.7
Penilaian kualitas hidup dengan kuesioner SGRQ
Kualitas hidup merupakan tingkat keadaan individu dalam lingkup kemampuan,
keterbatasan, gejala dan sifat psikososial untuk berfungsi dalam berbagai peran yang
diinginkan dalam masyarakat dan merasa puas akan peran tersebut. Penilaian kualitas hidup
dengan menggunakan kuesioner SGRQ terdiri atas gejala, aktivitas dan dampak. Dari ketiga
komponen tersebut dijumlahkan. Skor SGRQ berkisar antara 0-100 dengan skala terendah
menyatakan fungsi terbaik.7
Penilaian prognosis PPOK dengan indeks BODE
Indeks BODE merupakan penjumlahan nilai total dari keempat komponen yaitu
indeks masa tubuh berdasarkan berat badan dibagi tinggi badan dalam meter persegi,
obstruksi aliran napas melalui pengukuran VEP, sesak napas berdasarkan skala 1 MMRC dan
kapasitas latihan berdasarkan uji jalan 6 menit, telah terbukti dalam memprediksi risiko
kematian. Makin tinggi skor indeks BODE maka makin buruk karena mengindikasikan lebih
banyak perburukan multidimensional. Hasil tersebut dikategorikan dengan nilai kuartil.7
Penilaian kualitas hidup dengan kuesioner CAT
Pada penghitungan nilai kuesioner CAT semua nilai pertanyaan nomor 1 sampai
dengan nomor 8 dijumlahkan kemudian dibuatkan kategori. Dari pembagian kategori itu
didapatkan nilai CAT dengan kategori ringan (0–10), kategori sedang (11–20), kategori berat
(21–30), dan kategori sangat berat (31–40).7
Kesimpulan
Gejala PPOK secara umum ada tiga yaitu, batuk, berdahak dan sesak napas
khsususnya saat beraktivitas. Faktor risiko utama PPOK antara lain merokok, polutan indoor,
outdoor dan polutan di tempat kerja, selain itu ada juga faktor risiko lain yaitu genetik,
gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik.
P a g e 20 | 21
Daftar Pustaka
1. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi saluran pernapasan akut. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. hal.
994.
2. Permatasari A, Gemiana D, Nur F, Ardi R, Permatasari W, Zaini J. Peranan symptom-
based questionnaire untuk diagnosis penyakit paru obstruktif kronik. laporan kasus
berbasis bukti. J Respir Indo Oktober 2013; Vol. 33 (4): 258-263.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK pedoman diagnosis & penatalaksanaan di
indonesia. Jakarta: PDPI; 2003. hal. 2-27.
4. Oemiati R. Kajian epidemiologis penyakit paru obstruktif kronik. Media Litbangkes Juni
2013; Vol. 23 (2): 82-88.
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. Riset kesehatan dasar,
Riskesda 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2013. hal. 120.
6. Uyainah AZN. Penatalaksanaan mutakhir penyakit paru obstruksi kronik. Dalam:
Sukrisman L, Syam AF. Prosiding simposium; current diagnosis and treatment in
internal medicine 2007. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007. hal.
113-9.
7. Yuarsa TA, Yunus F, Antariksa B. Korelasi penilaian kualitas hidup dan prognosis
penderita penyakit paru obstruktif kronik dengan CAT, SGRQ dan BODE di rumah sakit
persahabatan jakarta. J Respir Indo Januari 2013; Vol. 33 (1): 8-15.
P a g e 21 | 21