Download - Makalah Ranap Juned
MAKALAH FRAKTUR DENTOALVEOLAR
MATA KULIAH : Pelayanan Asuhan Rawat InapPEMBIMBING : Siti Salamah, S.SiT, M.Kes
POLITEKNIK KESEHATAN BANJARMASIN JURUSAN KEPERAWATAN GIGI2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Tujuan dari
makalah ini adalah pertama untuk memenuhi tugas mata kuliah Yansuh Rawat
Inap. Proses penulisan menggunakan sumber data baik dari textbook, jurnal,
skripsi, maupun internet. Penulis mohon maaf, apabila dalam pembuatan makalah
ini terdapat banyak kesalahan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
ii
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
BAB II.....................................................................................................................2
2.1 Definisi Traumatic Injuri...............................................................................6
2.2 Etiologi...........................................................................................................6
2.3 Insidensi.........................................................................................................7
2.4 Klasifikasi......................................................................................................8
2.5 Tanda – Tanda Klinis Fraktur Dentoalveolar..............................................12
2.6 Perawatan/ Penanggulangan Trauma Secara Umum...................................12
2.7 Perawatan segera.........................................................................................16
2.8 Perawatan fraktur Mahkota dan Akar..........................................................17
2.9 Avulsi Gigi dan Prosedur Perawatan...........................................................26
2.10 Alat Restorasi Semi Tetap..........................................................................29
2.11 Penanggulangan Gigi Sulung yang Terkena Trauma................................31
2.12 Macam-Macam Alat untuk Stabilisasi Fraktur Stabilisasi Dentoalveolar. 34
BAB IV..................................................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................41
iv
v
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma pada gigi adalah salah satu pemasalahan kedokteran gigi yang
banyak didapat pada anak dan dewasa dan setiap dokter gigi harus siap mengatasi
dan merawatnya. Trauma pada gigi harus selalu dianggap sebagai tindakan
darurat . Trauma gigi menjadi masalah yang serius pada kesehatan masyarakat
karena dapat menimpa sepertiga pasien anak dan remaja .
Trauma pada gigi dan jaringan pendukungnya sering tejadi pada
pasien trauma. Keterlibatan trauma orofasial diperkirakan sekitar 15 % dari
semua pasien emergensi, dan 2% dari kasus tersebut melibatkan trauma
dentoalveolar. Cedera yang terjadi dapat hanya mengenai gigi dan struktur
pendukungnya saja seperti pada seorang anak yang terjatuh, ataupun dapat
juga berhubungan dengan cedera multisistim, seperti yang terjadi pada
kecelakaan kendaraan bermotor. Cedera dentoalveolar biasanya terjadi
karena seseorang terjatuh, kecelakaan di taman bermain, penganiayaan,
kecelakaan sepeda, kecelakaan sepeda motor, dan kecelakaan
olahraga.Deteksi dan pengobatan dini dapat meningkatkan kelangsungan
hidup dan fungsi dari gigi tersebut.
Sekitar 82% gigi yang mengalami trauma adalah gigi-gigi maksiler.
Fraktur gigi maksiler tersebut 64% adalah gigi incisivus sentral, 15%
incisivus lateral, dan 3% caninus. Fraktur dentoalveolar pada umumnya
1
terjadi pada kelompok usia anak, remaja, dan dewasa muda dengan rasio
laki-laki terhadap perempuan 2-3 : 1. 2 Pemeriksaan klinis pada fraktur
dentoalveolar meliputi kemungkinan adanya luka pada bibir dan umumnya
terjadi edema dan echymosis. Pada pemeriksaan gigi dan alveolus
kemungkinan terdapat laserasi, echymosis dari pada gingival dan perubahan
bentuk dari pada alveolus. Selain itu pada saat palpasi hati-hati pada saat
memeriksa bibir. Pemeriksaan pada bibir berguna untuk mengetahui apakah
ada benda asing atau gigi di dalam jaringan tersebut. Palpasi pada alveolus
berfungsi untuk merasakan perubahan bentuk tulang-tulang, dan kadang-
kadang terdapat krepitasi.
Definisi trauma adalah cedera, atau kerugian psikologis atau emosional
(Kamus Kedokteran Dorland edisi 29, 2002), bersifat cepat, mendadak, tidak
terduga, dan dapat dibedakan menjadi dua kategori, trauma yang disebabkan
cedera intensional dan nonintensional. Cedera intensional contohnya adalah
pembunuhan, kekerasan dalam rumah tangga (kdrt), perang, dan cedera lain yang
ada hubungannya dengan tujuan seseorang atau kelompok orang, sedangkan
cedera nonintensional adalah kecelakaan domestik, seperti karena olahraga,
kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, dan cedera lain yang tidak ada
hubungannya dengan tujuan seseorang atau kelompok orang.Trauma
dentoalveolar dapat mengakibatkan cedera jaringan keras dan lunak. Manifestasi
trauma pada jaringan keras dapat mengakibatkan fraktur dentoalveolar. Fraktur
dentoalveolar dapat berupa fraktur pada jaringan keras gigi tersebut atau dapat
juga pada tulang pendukungnya. Cedera yang berakibat pada tulang pendukung
2
biasanya disebut luksasi. Insidensi kasus luksasi lebih banyak terjadi pada anak
karena sifat jaringan pendukung atau tulang yang menopang akar gigi lebih
berongga dan rasio antara akar dan mahkotanya lebih kecil dibandingkan dengan
gigi permanen. Pasien trauma pada anak berbeda dengan orang dewasa meskipun
memiliki luka yang serupa.
Pasien anak memiliki kemampuan penyembuhan cepat dan komplikasi
yang minimal karena vaskularisasi yang baik dari wajah dan kemampuan
pertumbuhan yang merupakan sifat pada anak untuk beradaptasi. Pemulihan
jaringan orofasial yang rusak dapat dimaksimalkan dan hilangnya fungsi dapat
diminimalkan . Cedera pada wajah karena trauma berpengaruh pada pertumbuhan
dan perkembangan pasien anak. Hal ini membuat tindak lanjut penanganan jangka
panjang perlu diperhatikan (Thaller and McDonald, 2004). Selain itu, trauma gigi
pada anak dapat enyebabkan intrusi gigi sulung ke folikel benih gigi permanen,
semua jaringan odontogenik terpengaruh dan mahkota dapat mengalami dilaserasi
(Flores, 2007).
Insidensi trauma pada gigi anak, khususnya gigi susu antara 4%-33%,
berkisar antara 31% sampai 40% pada anak laki-laki dan 16% sampai 30% pada
anak perempuan (Welbury, 2005). Trauma meningkat pada usia 2-4 tahun ketika
anak sedang belajar merangkak, berdiri, dan berjalan. Kasus ini pun banyak
terjadi pada usia 8-10 tahun ketika anak-anak sudah mulai melakukan banyak
aktivitas di sekolahnya (Cameron and Widmer, 2008). Andreasen mengatakan
bahwa trauma pada gigi akan menjadi ancaman yang cukup signifikan sama
3
halnya dengan karies atau penyakit periodontal pada masa yang akan datang (Von
Arx, 2005).
Kejadian trauma gigi dapat menjadi penting dalam dunia kesehatan
masyarakat, bukan hanya karena insidensinya yang relatif tinggi dan pengaruh
terhadap tumbuh kembangnya, tetapi juga dapat berimplikasi pada kehidupan
sehari-hari anak tersebut. Hal ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan dari segi
fisik maupun psikis jika tidak dirawat dengan baik. Anak tersebut akan merasa
nyeri, sulit untuk tertawa dan tersenyum. Keadaan ini dapat memengaruhi
hubungannya dengan teman dan lingkungan sekitar. Hal ini akan memengaruhi
kualitas hidup anak tersebut (Traibert, et al., 2003). Trauma seringkali
menimbulkan permasalahan yang berhubungan dengan kesehatan yang juga
meliputi fungsi dan estetika. Penanganan yang benar dan cepat pada kasus ini
akan meningkatkan keberhasilan perawatan.
Perawatan pada kasus fraktur dentoalveolar terbagi menjadi beberapa
tahap, di antaranya perawatan darurat dan perawatan definitif. Salah satu tahap
pada perawatan definitif yaitu reposisi dan fiksasi gigi yang terkena trauma.
Tindakan ini menggunakan alat stabilisasi yang bertujuan untuk menjaga agar
retakan, patahan, atau pergeseran gigi dapat dipertahankan pada posisi normal.
Alat stabilisasi yang baik diupayakan sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan gigi anak. Proses penyembuhan tulang pada anak lebih cepat
dibandingkan pada usia dewasa sehingga penggunaannya pun akan berbeda
(Fonseca, 2005).
4
Psikis anak juga harus dipertimbangkan dalam hal pemilihan alat
stabilisasi ini. Karakteristik anak yang lebih banyak bergerak, kurang kooperatif,
dan kurang nyaman dengan dokter gigi akan mempersulit penanganan fraktur
dentoalveolar ini.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana etiologi terjadinya trauma dento alveolar
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari pembuatan makalah ini yaitu:
1. agar pembaca dapat mengetahui pengertian dari trauma dento alveolar
2. agar pembaca dapat mengetahui penyebab trauma dento alveolar
3. agar pembaca dapat mengetahui gejala trauma dento alveolar
4. agar pembaca dapat mengetahui bagaimana pengobatan dari trauma
dentoalveolar
1.4 Manfaat Penulisan
Dengan disusunnya makalah trauma dento alveolar , kita diharapkan
sebagai perawat dapat mengetahui tentang etiologi, patofisiologi, dan juga dapat
lebih tepat dalam mendiagnosa maupun memberikan terapi pada penderita yang
trauma dento alveolar banyak terjadi disekitar kita.
Dalam makalah dijelaskan mengenai definisi traumatic injuri, etiologic,
insidensi, klasifikasi, tanda-tanda klinis, perawatan/penanggulangan trauma secara
umum, perawatan segera, perawatan fraktur mahkota/gigi, avulsi gigi dan
perawatannya/replantasi, alat restorasi semi tetap, penanggulangan gigi sulung
5
yang terkena trauma, serta macam-macam alat stabilisasi untuk fraktur
dentoalveolar.
Pemahaman mengenai fraktur dentoalveolar dasar ini tentunya sangat
berguna dalam kehidupan kita sehari-hari baik sebagai dokter gigi maupun dalam
profesi lain karena kejadian gawat darurat dapat terjadi kapan saja dan dimana
saja sehingga diperlukan pengetahuan mengenai hal-hal tersebut.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Traumatic Injuri
Menurut MedicalDictionary.com, Injuri adalah luka atau trauma;
gangguan atau terluka; biasanya diterapkan untuk kerusakan yang ditimbulkan
pada tubuh dari gaya luar sedangkan traum merupakan suatu gangguan baik itu
fisik maupun mental. Traumatic injury merupakan suatu kata yang
menggambarkan suatu injuri fisik dengan onset yang cepat dan parah sehingga
dibutuhkan pertolongan medis yang cepat.
Fraktur yang menjadi judul dari makalah ini dpaat diartikan sebagai suatu
patahan. Fraktur dentoalveolar merupakan suatu injuri yang melibatkan patahnya
struktur dentoalveolar. Fraktur dentoalveolar berarti mencakup fraktur gigi dan
juga fraktur alveolar biasanya disebabkan oleh kecelakaan yang nanti akan
dibahas lebih lanjut.
2.2 Etiologi
Etiologi dari fraktur itu sendiri dibagi menjadi dua yaitu ekstrinsik dan
intinsik. Fraktur paling sering disebabkan oleh kecelakaan ketika sedang
berkendara dan juga kekerasan di seluruh dunia. Tetapi bisa juga disebabkan
karena kecelakaan kerja, aktivitas olahraga, jatuh dan sebagainya. (Balaji : 2007)
7
Penyebab ekstrinsik antara lain direct violence (fraktur pada bagian yang
terkena), indirect violence (fraktur karena trasmisi dari yang terkena), bending
forces, torsional forces, compression forces, dan shearing forces. (Balaji : 2007)
Penyebab Intrinsik dapat disebabkan karena lemah secara intrinsic dari
tulang tanpa adanya force of impact. Fraktur patologis terjadi karena penyakit
sistemik atau dari tulang itu sendiri memiliki sistem yang abnormal sehingga
dapat menyebakan fraktur. (Balaji : 2007)
2.3 Insidensi
Menurut Peterson, injuri dentoalveolar sering terjadi pada populasi anak-
anak, remaja dan dewasa. Pada anak penyebab utama injuri adalah terjatuh. Pada
skala besar, kurang lebih 5% balita pernah mengalami fraktur wajah. Andreasen
melaporkan bahwa trauma paling sering terjadi pada anak usia 2 sampai 4 tahun
dan 8 samapai 10 tahun. Secara keseluruhan 11-30% merupakan anak dengan
primary dentition sedangkan permanent dentition memiliki insidensi 5-20%.
Pada anak anak dan remaja biasanya disebabkan oleh olahraga dan
playground activities. Kenyataannya sepertiga dari trauma dental disebabkan oleh
kecelakaan pada saat berolahraga. Penggunaan mouthguard dan helm yang
memadai dapat mengurangi injuri karena olahraga.
Kekerasan pada anak menjadi penyebab signifikan lainnya yang sering
menyebabkan trauma dentolaveolar. Pada tahun 200 sekitar 879.000 anak
mengalami kekerasan anak. 19,3% mengalami kekerasan anak secara fisik.
Trauma pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh kecelakaan berkendara,
olahraga, berkelahi, kecelakaan kerja, iatrogenic, dsb.
8
Kelompok yang memiliki resiko besar terhadap trauma ini adalah orang
orang pecandu alcohol sebagai suatu faktor kebiasaan. Kelompok lainnya adalah
orang dengan penyakit kejang, gangguan mental, dan orang yang memiliki
maxiofacial abnormal sejak lahir.
2.4 Klasifikasi
WHO (World Health Organization) telah memiliki klasifikasi tersendiri
dengan menggunakan International Classification of Disease Code. Klasifikasi ini
dapat diapliaksikan pada gigi sulung dan gigi tetap. Injuri pada gigi dan jaringan
pendukungnya dibagi menjadi jaringan dental, pulpa, jaringan periodontal, dan
tulang pendukungnya seperti ini;
a. Jaringan gigi dan pulpa
o Infraksi Mahkota, retaknya mahkota tanpa kehilangan
jaringan mahkota
o Fraktur mahkota yang meliputi enamel atau dentin tanpa
melibatkan akar
o Fraktur mahkota meliputi terbukanya pulpa
o Fraktur mengenai enamel, dentin, dan cementum tanpa
terbukanya pulpa
o Fraktur akar meliputi dentin dan cementum menyebabkan
terbukanya pulpa
9
b. Injuri pada jaringan periodontal
o Concussion: tidak ada perpindahan gigi tetapi ada reaksi
bila di perkusi
o Subluksasi : Kegoyangan abnormal tetapi tidak ada
perpindahan gigi
o Luksasi ekstrusif : disebut juga partial avulsi, perpindahan
gigi sebagian dari soket
o Luksasi lateral : perpindahan kea rah aksial disertai fraktur
soket alveolar
o Luksasi intrusive : perpindahan kea rah tulang alveolar
disertai fraktur soket alveolar
o Avulsi : gigi lepas dari soketnya
10
c. Injuri pada tulang
o Pecahnya dinding soket alveolar mandibular atau maksila :
hancur dan tertekan soket alveolar, ditemukan pada cedera
intrusive dan lateral luksasi
o Fraktur dinding soket alveolar mandibular atau maksila :
fraktur yang terbatas pada fasial atau lingual/palatal dinding
soket
o Fraktur processus alveolar mandibular atau maksila :
fraktur prosesus alveolar yang dapat melibatkan soket gigi
o Fraktur mandibular atau maksila : dapat atau tidak
melibatkan soket alveolar
Klasifikasi menurut Ellis
11
a. Klas I : tidak ada fraktur atau fraktur mengenai email dengan atau
tanpa perubahan tempat, menunjukkan luka kecil dengan chipping
kasar
b. Klas II : fraktur mengenai
dentin dan belum mengenai
pulpa dengan atau tanpa
memakai perubahan tempat.
Pasien mulai peka dengan
sentuhan dan udara
c. Klas III : Fraktur mahkota
dengan pulpa terbuka dengan
atau tanpa perubahan tempat
d. Klas IV : gigi mengalami
trauma sehingga menjadi non
vitcal dengan atau tanpa
hilangnya struktur mahkota
e. Klas V : Hilangnya sebagian gigi akibat trauma
f. Klas VI : Fraktur akar dengan atau tanpa kehilangan mahkota atau
akar gigi
g. Klas VII : perpindahan gigi atau tanpa fraktur mahkota atau akar
gigi
h. Klas VIII : fraktur mahkota sampai akar
i. Klas IX : fraktur pada gigi decidious
12
2.5 Tanda – Tanda Klinis Fraktur Dentoalveolar
Tanda-tanda klinis fraktur alveolar diantaranya adalah adanya kegoyangan
dan pergeseran beberapa gigi dalam satu segmen, laserasi pada gingiva dan
vermilion bibir, serta adanya pembengkakan atau luka pada dagu. Untuk
menegakkan diagnosa diperlukan pemeriksaan klinis yang teliti dan pemeriksaan
Radiografi .
Tanda-tanda klinis lainnya dari fraktur alveolar yaitu adanya luka pada
gingiva dan hematom di atasnya, serta adanya nyeri tekan pada daerah garis
fraktur. Pada kasus ini fraktur alveolar mungkin terjadi karena adanya trauma
tidak langsung pada gigi atau tulang pendukung yang dihasilkan dari pukulan atau
tekanan pada dagu. Hal ini biasa terlihat dengan adanya pembengkakan dan
hematom pada dagu serta luka pada bibir
2.6 Perawatan/ Penanggulangan Trauma Secara Umum
1. Kondisi Saluran Pernapasan
Pasien yang mengalami trauma orofasial harus diperhatikan benar-
benar mengenai pernapasannya. Tindakan pertama adalah aspirasi darah,
pengambilan serpihan gigi atau protesa. Dasar dari usaha mempertahankan
jalan napas adalah dengan mengontrol perdarahan dari mulut/hidung dan
membersihkan orofaring. Gigi yang sangat goyang yang dikhawatirkan
akan terlepas sendiri, atau terhisap sebaiknya dicabut. Fraktur-fraktur
tertentu misalnya fraktur bilateral melalui region mentalis atau fraktur
maksilla dengan pergesaran ke arah posteroinferior menuju faring,
cenderung menyumbat saluran pernapasan. Jika fragmen symphysis
13
mandibula bergeser ke posterior, maka dukungan ke arah anterior terhadap
lidah akan hilang, sehingga mengakibatkan kolaps lidah ke arah posterior
(ke faring). Pergeseran maksilla kearah inferoposterior bias mengakibatkan
penyumbatan mekanis langsung pada orofaring. Lidah bias dikontrol
dengan melakukan penjahitan menggunakan benang sutera tebal pada
ujung lidah dan menahan lidah untuk tetap pada posisi anterior.
Keterlibatan maksila tidak mudah diatasi dan mungkin tergantung pada
reduksi dari fraktur, atau paling tidak pada imobilisasi sementara yang
dilakukan dengan jalan mengfiksasinya terhadap mandibula yang masih
utuh.
2. Sumbatan Jalan Napas yang Tertunda
14
Sumbatan tertunda dari jalan napas bias disebabkan karena
pembengkakan atau edema lidah atau faring yang diakibatkan oleh
hematom sublingual, luka-luka lingual, menghisap udara panas atau
menelan bahan kausatik. Hematom bias menyebabkan elevasi dan
penempatan lidah ke arah posterior. Luka-luka dan luka bakar sering
menyebabkan terjadinya edema lidah yang besar dan juga menyebabkan
lidah tergeser kea rah posterior. Cedera pada saraf sering mempersulit
masalah yang sudah ada, yakni berupa gangguan dalam melakukan control
gerakan lidah. Apabila diperkirakan akan terjadi edema lingual atau
faringeal, maka penggunaan fiksasi maksilomandibular ditunda. Fiksasi
interdental yang kaku menyebabkan lidah tidak dapat diprotrusikan,
sehingga membuat lidah cenderung bergerak kea rah posterior dan
berakibat fatal. Apabila kondisi saluran pernapasan diragukan, bias
dilakukan pemasangan alat bantu pernapasan oro- atau nasofaringeal,
intubasi endotracheal dan tracheostomi pada kasus tertentu.
2. Perdarahan
Perdarahan yang menyertai trauma orofasial jarang berakibat fatal.
Penekanan, baik langsung dengan jari atau secara tidak langsung dengan
menggunakan kasa, bisa menghentikan sebagian besar kasus perdarahan
rongga mulut. Untuk membatasi perdarahan kadang-kadang diperlukan
klem dan pengikat pembuluh yang terlibat (biasanya a. maksillaris, a.
lingualis, a. karotis eksterna). Walaupun perdarahan yang tertunda jarang
menimbulkan masalah yang serius, tetapi karena diperlukan untuk
15
tindakan bedah pada waktu selanjutnya, maka pada sebagian besar trauma
orofasial mayor harus dilakukan pemeriksaan golongan darah untuk
keperluan tranfusi.
3. Antibiotik
Terapi antibiotic profilaksisdiberikan berdasarkan pada kondisi
individu. Terapi ini diperuntukkan pada individu resiko tinggi, terutama
untuk pasien di mana daerah yang mengalami fraktur terbuka
(berhubungan dengan permukaan kulit atau mukosa) dan kemungkinan
besar terkontaminasi, atau apabila perawatan definitive harus ditunda.
4. Kontrol Rasa Sakit
Terapi untuk menghilangkan rasa sakit biasanya minimal, karena
pasien yang mengalami cedera yang relative berat, tidak terlalu menderita
seperti kelihatannnya. Karena analgesic narkotik cenderung menimbulkan
edema serebral dan menyulitkan penentuan tingkat kesadaran,
pemberiannya ditunda sampai pasien jelas mengalami cedera
kranioserebral. Pada mulanya obat-obatan narkotik untuk pemberian
intravena atau intramuscular sering digunakan. Namun selanjutnya,
kombinasi narkotik/ non narkotik mulai dapat diberikan secara oral dan
sering terdapat dalam bentuk cairan. Aplikasi dingin pada bagian yang
mengalami cedera bisa mengurangi ketidaknyamanan, dan sekaligus
mengontrol edema.
16
5. Perawatan Pendukung
Karena pasien biasanya tidak bias makan secara normal, terapi
pendukung untuk pasien orofasial terdiri atas pemberian cairan yang
cukup. Di rumah sakit hal ini dilakukan dengan pemberian cairan
intravena (biasanya larutan elektrolit yang seimbang). Untuk perawatn di
rumah, maka pemberian cairan bias dilakukan lewat mulut. Pasien diberi
diet cairan, kadang ditambah dengan protein atau vitamin. Seringkali
pasien trauma orofasial harus berpuasa selama menunggu pembedahan.
2.7 Perawatan segera
Perawatan fraktur prosessus alveolar sebaiknya dilakukan 48-72 jam
sesudah kecelakaan, sering dilakukan dengan bantuan anestesi local, apabila
diperlukan bisa ditambahkan dengan sedasi yang sesuai.
Pemeriksaan awal yang dilakukan adalah ada tidaknya pergeseran segmen,
adanya dikontinuitas lengkung rahang dan terjadi hambatan oklusi. Juga cedera
pada jaringan lunak diatasnya misalnya luka-luka atau hematom.
Penatalaksanaan :
1) Menenangkan pasien dan member sedative sesuai
2) Lakukan anestesi local biasanya sudah cukup, tetapi mungkin diperlukan
anestesi umum apabila anestesi local tidak berhasil, atau pada pasien yang
sangat takut
3) Gerakan segmen dengan jari dan periksa hubungan oklusalnya (reduksi)
4) Imobilisasi segemn pada posisi sudah di reduksi degan arch bar atau splint
17
5) Perlu dipertimbangkan untuk melakukan fiksasi maksilo mandibular
apabila melibatkan segemn luas.
6) Teliti hubungan oklusi. Apabila mungkin, gigi pada segmen fraktur
dibebaskan dari oklusi apabila tidak digunakan fiksasi maksilomandibular
7) Resep obat untuk menghilangkan rasa sakit, kadang-kadang diperlakukan
antibiotic
8) Intruksikan pengaplikasian es pada bagian yang fraktur, dan pemberian
makanan lunak dan cair, serta hygiene mulut.
Jangan mencabut gigi pada segmen kecuali bila ada kemungkinan terjadi
avulsi atau aspirasi karena akan mengakibatkan hilangnya tulang dalam waktu
singkat. Dan jangan melakukan prosedur dimana harus membuka flap dan
mengangkat periosteum yang dapat mengakibatkan gangguan suplai darah yang
biasanya diikuti dengan resobsi atau nekrosis tulang.
2.8 Perawatan fraktur Mahkota dan Akar
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, ada beberapahal yang mampu
menyebabkan fraktur pada mahkota maupun pada akar, klasifikasikan pun sudah
diterangkan sebelumnya. Disini akan dibahas mengenai langkah-langkah
perawatan yang harus dilakukan untuk memperbaiki fraktur tersebut sehingga gigi
bisa berfungsi kembali dengan normal.
1. Fraktur Email
Yang dimaksud dengan fraktur email disini adalah fraktur tidak
mengenai jaringan gigi yang lebih dalam (dentin mauapun pulpa) namun
hanya sebagatas email. Sebenarnya kasus ini memiliki prognosis yang
18
baik.. Namun tidak memungkinkan timbulnya pergeseran letak gigi
(luksasi). Perawatan yang dapat diberikan antara lain dengan
menghaluskan bagian email yang kasar akibat fraktur tersebut atau dengan
memperbaiki struktur gigi tersebut.
2. Fraktur Makhota dengan Pulpa Masih Tertutup
Fraktur ini mengenai jaringan gigi yang lebih dalam, tidak hanya
sebatas pada email namun juga sudah mengenai dentin namun pulpa masih
terlindungi. Perawatan yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan
material komposit untuk mengembalikan struktur gigi atau dengan cara
yang lebih konservatiflagi yakni menempelkan kembali fragmen fraktur
tersbut pada jaringan gigi setelah sebelumnya dilakukan etsa asam dan
dengan bantuan bonding agent.
3. Fraktur Mahkota dengan Pulpa Terbuka
Fraktur jenis ini adalah tipe fraktur yang bisa dikatakan
complicated, karena fraktur melibatkan daerah email, dentin dan juga
pulpa. Perawatannya pun agak sedikit berbeda dan tidak sesederhana dua
kasus di atas. Hal lain yang harus diperhatikan saat menangani kasus ini
adalah maturasi gigi, ini penting untuk menentukan apakah apeks gigi
sudah menutup sempurna atau belum karena akan membedakan langkah
perawatan yang akan diberikan.
19
1) Gigi dengan apeks yang masih terbuka
Kondisi ini sangat tidak memungkinkan dilakukan pulpektomi,
karena dinding akar masih tipis, vitalitas gigi harus tetap dipertahankan
demi kelangsungan hidup gigi selanjutnya. Hal yang bisa dilakukan pada
tahap ini adalah dengan melakukan pulpotomi dangkal dengan
formokresol. Tahap yang bisa dilakukan:
1. Anestesi lokal dan pemasangan isolator karet
2. Pembuangan jaringan pulpa bagian koronal samapi garis serviks
dengan bur bulat steril.
3. Kemudian lakukan irigasi dengan akuades steril atau garam
fisiologis (NaOCl) dan keringkan dengan cotton pellet steril.
4. Letakkan cotton pellet yang sudah diberi formokresol di atas sisa
jaringan pulpa (3 menit)
5. Setelah tiga menit, angkat dan letakkan adukan encer pasta Zn
oksid dan formokresol di atas jaringan pulpa.
20
6. Tambahkan adukan kental semen ZOE
7. Tutup kavitas dengan semen Zn oksifosfat
8. Lakukan pemeriksaan radiografis selang 6 bulan samapi
penutupan apeks memungkinkan untuk dilakukan perawatan
saluran akar.
9. Namun ada jika ingin hasil restorasi yanglebih estetik dapt
dilakukan restorasi komposit, dengan tahapan:
1) Lakukan langkah a-c seperti di atas.
2) Diberikan pelapis CaOH
3) Tambahkan semen glass ionomer
4) lakukan restorasi komposit sesuai dengan aturan yang
berlaku.
Pada perawatan dengan CaOH ini , jika memungkinkan dilakukan
pembukaan gigi kembali sekitar 6-12 bulan kemudian untuk membuang
lapisan kalsium hidroksida dan menggantinya dengan material adhesif. Hal
ini dikarenakan CaOH adalah bahan yang semakin lama akan makin
terdisintegrasi. Pembongkaran kembali ini diharapkan dapat
meminimalisir kebocoran mikro yang nantinya akan menyebabkan adanya
rongga antarajembatan dentin yang baru dengan restorasi yang
menutupinya.
Lain halnya jika kita menggunakan MTA (mineral trioksid
agregat), jika menggunakan material ini maka tidak diperlukan
pembukaan gigi kembali setelah 6-12 bulan. Namun ada tahapan yang
21
berbeda yakni, pengaplikasikan MTA harus pada keadaan gigi yang
lembab diletakkan sedikit demi sedikit pada pulpa lalu biarkan mengeras
selama 6-12 jam (tidak perlu ditutupi restorasi, pada saat ini pasien
diharapkan tidak menggunakan gigi tersebut). Setelah itu barulah
diberikan tambalan komposit.
2) Gigi dengan apeks yang sudah menutup sempurna
Perawatan yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan
pulpektomi disertai dengan perawatan saluran akar. Perawatan saluran
akar biasanya dilakukan jika fraktur yang terjadi sudah mencapai daerah
margin ginggiva dan diperlukan pembuatan mahkota pasak dan inti.
Perawatan saluran akar tentunya akan sangat membantu sebagai tahap
persiapan.
Lain halnya jika fraktur dengan pulpa terbuka ini terjadi pada gigi
sulung. Ada dua hal yang diindikasikan yakni pencabutan dan pulpotomi.
Semua ini bergantung pada usia pasien, jika setengah bagian apeks sudah
resorpsi maka pemcabutan adalah indikasi utama namun jika akar belum
mengalami resorpsi bisa dilakukan perawatan saluran akar dengan pasta
OSE yang bisa diresopsi, mahkota yang fraktur kemudian bisa direstorasi
menggunakan komposit.
4. Fraktur Mahkota dengan pulpa nekrotik dan terbuka
Perawatan untuk kasus seperti ini juga dibedakan berdasarkan
keadaan di derah apeks, jika apeks sudah tertutup maka perawatannya
22
sama seperti perawatan abses alveolar akut. Namun jika apeks masih
terbukamaka perawatan yang bisa dilakukan:
1) Perawatan seperti abses alveolar akut
2) Jika terjadi drainease maka biarkanterbuka dan pasien diminta
datang 5-7 hari kemudian
3) pada kunjungan berikutnya, dilakukan pembersihan saluranakar
4) Kemudian dikeringkan dengan kertas isap steril
5) Pasta campuran CaOH dan CMCP diletakkan di saluran akar
6) Penutupan kavitas dengan semen ZnOe dan Zn oksifosfat.
7) Pasien diminta datang 6 bulan kemudian untuk pemeriksaan klinis
dan radiografik.
5. Fraktur Akar
Farktur pada akar tidak selalu memerlukan perawatan saluran akar,
hal terpenting yang harus dilakukan adalah dengan menempatkan kembali
segmen koronal dan distabilkan dengan splin selama kurang lebih 12
minggu. Kemudian pasien diminta datang untuk melakukan oemeriksaan
apakah fraktur sudah membaik serta mengetahui kevitalan pulpa.
1) Fraktur Sepertiga Serviks dengan Pulpa Nekrotik
Perawatan yang bisa dilakukan antara lain:
1. Melakukan anestesi lokal
2. Melepaskan segmen korona
3. Lakukan ginggivektomi dan alveoplasti agar akar terlihat
sehingga bisa dilakukan perawatan saluran akar dan
23
preparasi untuk pasak dan mahkota.
2) Fraktur Sepertiga Tengah
Perawatan yang bisa dilakukan antara lain dengan stabilisasi
fragmen fraktur, implan endosseous atau pengambilan kedua
fragmen fraktur.
3) Stabilisasi fragmen fraktur
Kunjungan pertama
1. Penstabilan gigi dengna menggunakan splin
2. Preparasi kedua segmen saluran akar dan lakukan
pembersihan. Preparasi saluran akar dengan file
3. Tutup kavitas dengan cotton pellet dan semen ZnOE.
4. Pasien diminta datang 1-2 minggu kemudian.
Kunjungan kedua
1. Lakukan irigasi dan pembersihan saluran akar
2. Keringkan dengan kertas isap (paper point)
3. Pilih pin chrome-cobalt yang sesuai dengan panjang
saluran akar, dapat di cek dengan bantuan rontgen.
4. Jika letaknya sudah sesuai maka pada bagian pin kita beri
takik kira-kira pada bagian orifis agar bisa dipisahkan
ketika sementasi.
5. Sterilkan pin dan kemudian dimasukkan ke dalam saluran
akar dengan bantuan semen saluran akar, sambil ditekkan
ke arah apeks dilakukan pemutaran pin agarpatah pada
24
bagian takik yang sudah dibuat.
6. Periksa kedudukan pin, jika sudah pas bisa dilakukan
restorasi tetap.
4) Penempatan implant endosseous
Pada perawatan jenis ini, diharapkan penyembuhan
akanmemungkinkan tulang baru terbentuk di sekitar pin dan gigi
akan menjadi stabil.
Tahapan yang dilakukan:
1. Preparasi saluran akar
2. Pengambilan bagian apeks dengan teknik bedah, bagian
apeks dibuka dan fragmen akar diangkat.
25
3. Pilih pin chrome-cobbalt yang sesuai, masukkan melalui
lubang preparasi.
4. Usahakan posisi pinmencapai posisiujung akar semula,
namun jangan sampai menyentuh tulang. Setelah di dapat
posisiyang pas, maka buat takik pada pin.
5. Ketika saluran akar sudah bersih dansudahdikeringkan
dapat dimasukkan adukan semen saluran akar, ulasi pin
dengan adukan semen yang sama. Masukkan pin ke dalam
saluran akar.
6. Tutup kavitas dengan restorasi kemudian flap dijahit.
7. Selama periode penyembuhan dapat dipakai splin jika
sesudah perawatan gigi terlihat goyang.
5) Fraktur sepertiga apeks
Perawatannya bisa berupa stabilisasi kedua fragmen seperti
pada kasus fraktur sepertiga tengah atau dengan preparasi fragmen
korona secara konvensional dan diisi gutta perca, fragmen apeks
dibiarkan dan jaringan pulpa mungkin tetap vital. Terapi lain yang
mungkin diberikan adalah dengan preparasi fragmen korona dan
mengisinya secara konvensional, fragmen apeks di angkat dengan
cara bedah dan dilakukanpengisisn retrogard dengan amalgam.
5. Fraktur Mahkota-Akar
Fraktur mahkota akar sangat sulit dirawat dan keberhasilannya
tergantung pada kedalaman garis fraktur di palatal. Bila pasien datang,
26
frakmen korona sering sangat goyang dapat tetap melekat melalui ligament
periodontal. Biasanya anestesi local perlu diberikan agar frakmen dapat
dilepas dan dilakukan pemeriksaan dari luas fraktur. Bila fraktur terletak
superficial, maka perawatan saluran akar dapat dilakukan dan dilakukan
pembuatan mahkota pasak. Bila fraktur lebih dalam, akan lebih sulit untuk
mengisolasi gigi untuk perawatan saluran akar dan ekstruksi ortodonti dari
akar perlu dipertimbangkan sebelum merestorasi dengan mahkota pasak
(Heithersay). Bila fraktur sangat dalam maka apa yang tertinggal terlalu kecil
untuk mendukung restorasi bahkan setelah dilakukan ekstruksi ortodonti; gigi
seperti ini juga cenderung tanggal (Feiglin).
2.9 Avulsi Gigi dan Prosedur Perawatan
Avulsi Gigi
Avulsi gigi merupakan suatu kondisi dimana
gigi terlepas dari soketnya. Untuk menanganinya,
dokter gigi perlu melakukan suatu tindakan untuk
mengembalikan gigi ke dalam soketnya semula.
Tindakan untuk mengembalikan gigi yang lepas dari soket, baik karena
disengaja atau karena kecelakaan disebut replantasi. Sebagai tindakan darurat
untuk mengembalikan gigi avulsi karena trauma, replantasi merupakan teknik
yang penting.
Prosedur Perawatan (Replantasi)
27
1. Golden periode untuk melakukan replantasi gigi adalah 2 jam setelah
gigi tersebut terlepas. Jika lebih dari 2 jam, kemungkinan gigi akan
menjadi non vital sehingga gigi tersebut perlu dilakukan perawatan
endodontik setelah difiksasi.
2. Cuci gigi dengan air yang mengalir tanpa menyikat atau
membersihkannya, dan periksa giginya untuk meyakinkan bahwa gigi
masih utuh.
3. Minta kepada pasien untuk berkumur. Tempatkan gigi kembali dalam
soketnya dengan tekanan jari yang lembut dan mantap. Bila pasien
kooperatif dan mampu, minta kepada pasien untuk mengatupkan gigi-
giginya secara hati-hati, untuk mengatupkan gigi kembali pada
posisinya semula.
4. Bawa pasien segera ke dokter gigi. Bila pasien atau orang tua tidak
dapat menempatkan kembali gigi pada soketnya, maka cepat
membawa gigi tersebut ke dokter gigi merupakan suatu keadaan yang
penting. Gigi harus dibawa di dalam sarana yang basah untuk menjaga
kelangsungan hidup ligamen periodontal yang tersobek.
5. Selama gigi terlepas, gigi harus selalu berada dalam keadaan yang
lembab. Gigi disimpan didalam kassa steril yang sudah dibasahi
NaOCl fisiologis 0,9%, dalam susu murni, atau dengan menggunakan
saliva sendiri. Namun, bukanlah dengan cara direndam.
6. Menghindari memegang bagian akar gigi.
28
7. Setelah pasien tiba di tempat dokter gigi, bila gigi di dalam soketnya,
lakukan ligasi, stabilisasi, dan buka oklusi gigi yang di-replantasi. Bila
gigi keluar dari soketnya atau posisinya tidak baik, gigi direplantasi
secara baik sebelum dilakukan ligasi.
8. Buat suatu radiograf untuk memeriksa posisi gigi di dalam soket dan
untuk mengetahui apakah terdapat fraktur akar atau tulang alveolar.
Periksa gigi-gigi di dekatnya untuk kemungkinan adanya fraktur akar.
9. Diberikan anastesi lokal untuk meyakinkan bahwa replantasi tidak
akan menimbulkan rasa sakit.
10. Akar diperiksa lalu dibersihkan, tidak perlu menghilangkan ligament
periodontium, namun jaringan yang hancur sebaiknya dibuang
11. Soket dikuret dengan hati-hati dan diirigasi untuk menghilangkan
darah dan kotoran yang ada. Dengan palpasi ditentukan apakah ada
tulang alveolar yang fraktur.
12. Setelah gigi direplantasi, fiksasi gigi tersebut selama 3-8 minggu.
13. Jangan mencoba melakukan perawatan endodontik pada waktu ini
kecuali bila gigi memerlukan drainase. Dalam kasus seperti itu, kamar
pulpa dibuka, kamar pulpa dan saluran akar dibersihkan, masukkan
medikamen intrakanal dan tutup kavitas. Perawatan endodontic
diselesaikan pada lain waktu.
14. Periksa vitalitas gigi secara berkala (tiap satu minggu), apabila gigi
menjadi non vital maka harus segera dilakukan perawatan endodontik.
29
Prognosis dalam waktu panjang tidak baik. Gigi avulsi dapat menjadi
benda asing jika dikembalikan pada tempatnya dan dapat ditolak oleh mekanisme
pertahanan tubuh. Penolakan ini dapat berupa resorpsi akar yang berakhir dengan
eksfoliasi mahkotanya.
2.10 Alat Restorasi Semi Tetap
Restorasi semi tetap atau dilakukan sementara dilakukan jika perawatan
dan pembuatan restorasi tetap memerlukan waktu yang lama. Dalam keadaan
kegawat daruratan, restorasi semi tetap ini berguna untuk menghindari kerusakan
gigi yang lebih berat. Restorasi semi tetap haruslah bertahan lama hingga restorasi
tetap telah selesai dilakukan, terdapat 3 prinsip agar restorasi dapat berfungsi
dengan baik dan bertahan lama, yaitu mampu mempertahankan struktur gigi,
memiliki retensi yang baik, dan mampu melindungi sisa struktur gigi.
Persyaratan untuk restorasi semi tetap yang digunakan dalam pengobatan,
adalah sebagai berikut:
1. Restorasi tidak membahayakan pulpa.
2. Tahan lama dan fungsional.
3. Tidak menambah lebar mesiodistal gigi atau dimensi labiolingual.
4. Estetik.
Macam-macam restorasi semi tetap:
1. Stainless stell crown.
2. Mahkota ¾.
3. Pinlay.
4. Mahkota berlapis.
30
5. Mahkota berlapis porselen.
1. Stainless Steel Crown
Terbuat baja tahan karat atau aloy nikel-khrom yang siap pakai, dapat
diperoleh dalam berbagai ukuran dan bentuk.
2. Pin-Retained Composite Restorations
Restorasi ini tidak tahan lama seperti restorasi logam cor. Keuntungannya
adalah lebih ekonomis dan pembuangan jaringan gigi minimal. Restorasi
ini dapat digunakan pada kasus fraktur kelas 2 dan 3 yang telah dilakukan
pulp capping.
3. Reinforced Core and Crown
Setelah fraktur kelas III dilakukan pulpotomi, fraktur menyebabkan
hilangnya mahkota yang luas, maka restorasi yang diindikasikan adalah
mahkota jaket.
4. Porcelain Veneer Full Gold Crown
Restorasi ini tahan lama dan baik dari segi estetik. Ini disarankan pada
anak-anak dengan resesi pulpa yang terjadi pada gigi vital dan resesi
gingival.
5. Mahkota ¾
Restorasi ini diindikasikan untuk mahkota yang kehilangan lebih dari
sepertiga bagian sebagai restorasi semitetap sampai mahkota jaket
porselen dapat dibuat. Keuntungan restorasi ini adalah pengambilan
struktur gigi yang minimal. Kerugiannya yaitu kurang estetik dari
31
porcelain veneer full gold crown karena emas akan terlihat pada bagian
incisal dan interproksimal dan bagian labial akan berubah warna.
2.11 Penanggulangan Gigi Sulung yang Terkena Trauma
1) Fraktur mahkota
Bagian yang tajam dihaluskan menggunakan abrasive disc atau bur,
bagian mahkota diperbaiki dengan penambalan resin komposit. Jika terjadi
komplikasi seperti anak yang tidak kooperatif dan karena pulpotomi
merupakan teknik yang sensitive, dapat dilakukan pulpotomi partial dengan
formocresol atau zinc oxide eugenol.
2) Fraktur mahkota-akar
Berkumur dengan air hangat, dikompres dengan kain yang dingin atau es.
Dapat juga digunakan Acetaminophen, bukan aspirin. Dapat dilakukan direct
pulp capping, Cvek pulpotomy, cervical-depth pulpotomy, pulpectomy, atau
ekstraksi.
3) Fraktur akar
Berkumur dengan air dingin dan letakkan batu es di bawah bibir dan mulut
untuk mengurangi bengkak. Memberikan Tylenol untuk mengurangi rasa
sakit. Selama tidak terdapat abses atau mobilitas gigi yang tinggi, fraktur akar
tersebut dapat sembuh dengan sendirinya. Jika terdapat abses dan mobilitas
yang tinggi, gigi dapat diesktraksi dan sisa akar yang tertinggal dapat
teresorpsi dengan sendirinya. Dengan sedikit perpindahan fragmen mahkota
dapat dibiarkan tanpa perawatan dan akan diresorbsi. Jika fragmen mahkota
32
sangat longgar maka fragmen mahkota harus diekstraksi. Fragmen apical
dapat dibiarkan untuk diresorpsi secara fisiologis.
4) Concussion dan subluxation
Berkumur dengan air dingin dan letakkan batu es di bawah bibir dan mulut
untuk mengurangi bengkak. Memberikan Tylenol untuk mengurangi rasa
sakit. Menggunakan clorhexidin selama 7 hari untuk menghindari kontaminasi
bakteri pada ligament periodontal. Sebaiknya diambil gambaran radiografi
untuk dilihat lebih lanjut fraktur akar yang terjadi. Anak diinstruksikan untuk
memakan makanan yang lembut selama beberapa minggu sampai diputuskan
perawatan yang tepat untuk dilakukan.
5) Ekstrusi
Gigi sulung dapat mengalami reposisi dan stabil untuk waktu yang singkat
jika anak segera diobati jika ada cedera. Tempatkan kain yang basah dan
dingin pada mulut, dan bawa segera ke dokter gigi. Untuk mengurangi rasa
sakit dapat diberikan Tylenol. Jika bekuan darah sudah masuk ke dalam soket
alveolar dan tidak terjadi reposisi, gigi dapat kembali normal secara spontan
atau diekstraksi tergantung pada tingkat ekstrusi dan mobilitas. Gigi sulung
dengan luksasi di posisi labial dilakukan ekstraksi, untuk mencegah kerusakan
saat pertumbuhan gigi permanen. Dapat dilakukan splint untuk
mengembalikan gigi pada posisi normal menggunakan semen glass ionomer
modifikasi resin.
6) Luksasi lateral
33
Digunakan anastesi lokal terlebih dahulu, kemudian direposisi dengan
diberi tekanan dari arah labial dan palatal, jika memungkinkan dapat
digunakan pula splint selama 2-3 minggu.
7) Intrusi
Berkumur dengan air dingin dan letakkan batu es di bawah bibir dan mulut
untuk mengurangi bengkak. Berikan Tylenol untuk mengurangi rasa sakit.
Perawatan untuk gigi sulung yang mengalami intrusi masih diperdebatkan.
Jika dilakukan pembedahan dapat terjadi kerusakan ringan karena
berkurangnya epithelium enamel, sehingga sebaiknya dibiarkan sehingga
terjadi re-erupsi dalam kurun 3 bulan. Jika selama proses re-erupsi terjadi
reaksi inflamasi seperti pembengkakan dan hyperemia gingival juga
pembentukan abses disertai pus, sebaiknya segera diberikan antibiotic dan
dilakukan ekstraksi untuk mencegah penyebaran infeksi.
8) Avulsi
Perawatan untuk avulsi biasanya dilakukan dengan replantasi segera.
Namun pada gigi sulung proses replantasi dapat menggantikan koagulum ke
dalam folikel gigi incisor permanen. Sehingga dapat mengakibatkan inflamasi
periapikal yang kemudian menjadi nekrosis pulpa dan dapat mengganggu
perkembangan gigi permanen. Space yang dihasilkan dari hilangnya gigi dapat
digantikan dengan protesa sementara.
9) Fraktur tulang alveolar
Perawatan untuk fraktur ini meliputi reposisi bagian gigi yang berpindah
ke posisi asalnya dengan menggunakan splint selama 2 bulan untuk
34
mengembalikan oklusi normal. Untuk luksasi yang lebih berat dapat
digunakan anti inflamasi (mortri), analgetik (Tylenol 3), dan antibiotik
(Penicillin).
2.12 Macam-Macam Alat untuk Stabilisasi Fraktur Stabilisasi
Dentoalveolar
Splinting adalah prosedur di mana gigi ditopang dalam posisi tertentu
untuk jangka waktu tertentu. Hal ini dilakukan pada gigi yang terkena trauma atau
gigi yang jaringan pendukungnya terinfeksi penyakit, sehingga gigi tidak
terdukung dengan baik. Tujuan utama dari sebuah splinting adalah untuk
melindungi perlekatan agar memungkinkan adanya perbaikan atau regenerasi
serat periodontal. Splinting dilakukan dengan cara mengikat sekelompok gigi
bersama sehingga daya kunyah ditahan oleh sekelompok gigi, tidak hanya oleh
gigi yang terkena taruma atau infeksi. Splinting dibutuhkan minimal 4 minggu.
Splint haruslah fleksibel baik dari arah horizontal maupun vertikal untuk
mendukung proses penyembuhan. Splint yang baik haruslah:
1. Diaplikasikan langsung intraoral
2. Mudah dibuat dengan material yang ada di ruang praktek
3. Tidak meningkatkan injury periodontal dan prevalensi karies
4. Tidak mengiritasi jaringan lunak
5. Pasif
6. Mudah di lepas dengan sedikit atau tidak menyebabkan kerusakan pada
gigi
35
7. Higienis
8. Estetis
Macam-macam splinting:
1) Arch Bar Splint
Merupakan rigid splint, biasanya menggunakan kawat ligatur, kadang-
kadang dilapisi dengan bahan pengerasan secara kimia sintetik. Splint ini
menyebabkan kerusakan pada gigi yang terluka, dikarenakan reposisi tidak akurat,
yang dapat menekan jaringan longgar gigi terhadap dinding soket. Terdapat resiko
invasi bakteri ke dalam jaringan periodontal karena dekatnya letak splint dan wire
terhadap margin gingival.
2) Wire-composite Splint
Teknik ini termasuk penerapan kawat lunak yang disesuaikan dengan
kurva lengkung gigi. Kawat ini difiksasi terhadap gigi dengan adhesive composite.
Tergantung pada ketebalan dan efek memori kawat, penting untuk
menyesuaikannya untuk menghindari kekuatan ortodonti yang diberikan oleh
splinting tersebut. Jika ingin dibuat lebih rigid dapat dilakukan dengan mengubah
dimensi kawat atau menambahkan komposit di sepanjang kawat di bagian labial
hingga ruang interdental. Sama seperti splint resin komposit, dapat merusak
permukaan email gigi saat akan dilepas.
36
3) Orthodontic Splint
Pendekatan yang serupa meliputi penempatan bracket dengan teknik
adhesif. Sebuah kawat orthodontik kemudian membengkokkan dan diligasikan
pada bracket, atau kawat yang dilewatkan pada figure-eight-loops dari bracket ke
bracket. Namun, metode splinting ini lebih mengakibatkan iritasi bibir dan
gangguan berbicara bila dibandingkan dengan teknik splinting lainnya. Kawat
bracket dan komposit dapat menyebabkan iritasi pada mukosa, menurunkan
kebersihan mulut dan tidak nyaman.
4) Titanium Trauma Splint (TTS)
Sebuah teknik splinting baru yang menawarkan kenyamanan dan
penanganan kepada pasien dan dokter gigi sama, dirancang dari titanium (TTS,
Medartis AG, Basel, Swiss). Splint memiliki ketebalan 0,2 mm, sepenuhnya
beradaptasi dan dapat mempertahankan mobilitas fisiologis gigi, namun masih
memungkinkan fiksasi gigi yang memadai selama periode splinting. Penempatan
37
dan pemindahan splint dapat dilakukan dengan sederhana, hanya memerlukan
sedikit komposit untuk fiksasi (etsa dan bonding), dan sangat efektif dan mudah
untuk digunakan.
5) Resin Splint
Penempatan splint resin penuh pada permukaan gigi merupakan sebuah
metode yang berbeda menggunakan teknik adhesif. Splint ini sepenuhnya
menjembatani ruang interdental, dan mengakibatkan kurang nyamannya pada
pasien dibandingkan dengan teknik splinting lainnya. Namun, metode ini
menunjukkan penurunan mobilitas gigi signifikan bila dibandingkan dengan wire-
composite splint dalam suatu studi eksperimental. Memiliki nilai estetik yang
lebih dan mudah untuk dilakukan, tetapi telah ditemukan adanya fraktur
interdental. Bersifat rigid, meskipun memiliki warna yang mendekati warna gigi
tetapi splint jenis ini sulit untuk dilepas tanpa merusak permukaan gigi. Splint
jenis resin komposit sebaiknya digunakan untuk gigi yang mengalami luksasi
lateral.
38
6) Kevlar/Fiberglass Splint
Metode yang menggunakan teknik adhesif melibatkan serat nilon, band
Kevlar atau fiberglass untuk menstabilkan suatu trauma gigi terluka. Serat atau
band direndam dalam resin dan ditempatkan pada permukaan gigi dengan
polimerisasi. Splint ini adalah terlihat estetik dan walaupun konstruksinya ringan,
memiliki frekuensi fraktur yang rendah.
7) Self-etching and Bonding Material
Berbeda dengan teknik adhesif standar, metode ini menggunakan bahan
self-etching bonding. Kawat pengikat stainless-steel halus yang dipelintir
membuat untai ganda difiksasi dengan bahan light-curing compomer. Penggunaan
self-etching adhesive bonding agent tampaknya membuat aplikasi splint lebih
mudah dan lebih cepat menghilangkan tahap etsa dan pembilasan yang terpisah.
39
8) Suture Splint
Suture splint berguna sebagai fiksasi sementara, dan dalam kasus di mana
ada masalah retensi karena kurangnya gigi yang berdekatan, seperti pada geligi
sulung atau campuran. Namun, penggunaan maksimum suture splint hanya
beberapa hari. Jahitan dilewatkan dari jaringan labial ke jaringan lingual dengan
benang melintasi tepi insisal, sehingga mencegah gigi bergerak dari soketnya.
Selain itu, sejumlah kecil resin dapat ditempatkan untuk menjamin retensi dari
jahitan.
Rekomendasi untuk tipe splinting dan durasi
Ekstrusive luxation : 2 minggu; tipe fiksasi : fleksibel
Lateral luxation : 4 minggu; tipe fiksasi : fleksibel
Intrusive luxation : 6-8 minggu; tipe fiksasi : fleksibel
Avulsion : 1-2 minggu; tipe fiksasi : fleksibel
Root fracture; setengah atau sepertiga apical : 4 minggu; tipe fiksasi : rigid
Root fracture; sepertiga servikal : 3 bulan; tipe fiksasi : fleksibel
Alveolar fracture : 4 minggu; tipe fiksasi : fleksibel
40
BAB IV
KESIMPULAN
Fraktur dentoalveolar sering terjadi pada anak-anak karena terjatuh
ataupun kekerasan pada anak. Sedangkan pada orang dewasa sering terjadi karena
kecelakaan ketika berkendara ataupun karena aktivitas olahraga dan sebagainya.
Klasifikasi fraktur dentoalveolar yang paling sering digunakan adalah klasifikasi
Ellies dan WHO.
Penanganan fraktur dentoalveolar ini dapat dikatakan sebagai suatu
penanganan yang harus segera atau emergensi dengan penanganan yang berbeda
pula tergantung dari tingkat keparahannya.
41
DAFTAR PUSTAKA
Alt Th, Coleman WP, Hanke CW, Yarborough JM. Cosmetic Surgery of the Skin
Principles and Techniques. 1991 : p.147-95
Andreasen JO, Andreasen FM, Bakland LK, Flores MT. Traumatic Dental
Injuries: A Manual. Munksgaard, Copenhagen, 1999.
Damayanti. Kumpulan Kuliah Stomatologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanagara.
Fachruddin D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala,
dan Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.
Hawkesford JE. and Banks JG.; Maxillofacial and Dental Emergencies; Oxford
University Press; Oxford; 1994.
Malamed SF.; Medical Emergencies in the Dental Office; 5th ed.; Mosby, Inc.;
St.Louis; 2000.
Padilla RS. Cutaneous Surgery. WB Saunders. Philadelphia. 1994 : p. 479-90
Pedersen, G. 1996. Buku Ajar Bedah Mulut. Alih bahasa: Purwanto. Jajarta: EGC
Thompson, J. A Practical Guide to Wound Care Regitered Nursing. 2000 : p. 48-
50
Raharjo SP. Penatalaksanaan Angina Ludwig. Jurnal Dexa Media. Januari-Maret
2008;Vol.21.
Scully C. and Cawson RA.; Medical Problems in Dentistry; 4th ed.; Wright;
London; 1998.
42
43