Download - Makalah suku togutil
Suku Togutil(Kab. Halmahera Timur, Prov. Maluku Utara)
Gambar : Suku Togutil di Maluku Utara Bertelanjang Dada
PEMBAHASAN
A. Letak Geografis Suku Togutil
Togutil adalah suku yang hidup di pedalaman hutan Kabupaten Halmahera Timur,
Maluku Utara. Togutil sendiri memiliki arti “suku yang hidup di hutan” atau dalam bahasa
Halmahera pongana mo nyawa. Cara hidup Togutil adalah dengan berpindah-pindah di dalam
hutan Wasile, yang terletak di sisi timur Ternate. Jarak terdekat bisa ditempuh melalui Buli,
sebuah kota kecamatan di Halmahera Timur. Dari Kota Buli perjalanan menempuh sejauh 40
kilometer menuju hutan Wasile.
Suku Togutil terkenal dengan sebutan nomaden, dan karena itu kehidupan mereka masih
sangat tergantung pada keberadaan hutan-hutan asli, maka dapat dikatakan hutan adalah alam
yang paling tepat untuk pemukiman mereka. Mereka bermukim secara berkelompok di sekitar
sungai. Komunitas Togutil yang bermukim di sekitar Sungai Dodaga sekitar 42 rumah tangga.
Rumah-rumah mereka terbuat dari kayu, bambu dan beratap daun palem sejenis Livistonia sp.
Umumnya rumah mereka tidak berdinding dan berlantai papan panggung.
Di lain tempat, suku Togutil juga ditemui menetap di daerah yang berada di dalam kawasan
usulan Taman Nasional Aketajawe-Lolobata. Suku Togutil dan Suku Tobelo juga ditemukan di
hutan nomaden, misalnya hutan Totodoku, Tukur-Tukur, Lolobata, Kobekulo dan Buli (Anonim,
2011).
B. Asal-Usul Suku Togutil
Menurut Sosebeko, (2010), Berawal dari maksud mencari rempah-rempah, tanah Maluku
yang terkenal akan cengkeh dan pala menjadi incaran bangsa Eropa yang lalu berlomba-lomba
datang untuk menguasainya. Pada tahun 1546, Portugis mulai menyisir setiap pantai dan pulau
yang ada di bumi Maluku Utara. Teluk Galela tidak ketinggalan. Tahun 1570 Sultan Khairun
diracuni oleh Portugis saat sedang melangsungkan perundingan. Putranya, Sultan Babullah
bersumpah untuk mengusir Portugis keluar dari benteng-benteng mereka dan secara gencar
mengincar dan menggempur setiap kubu pertahanan portugis termasuk yang terdapat di Mamuya
yang tidak tercatat dalam sejarah.
Kapal Portugis tersebut masuk ke hulu Tiabo untuk menghindari pengejaran pasukan
Korakora Sultan Ternate. Sayangnya mereka bernasib sial karena meskipun berhasil meluputkan
diri namun pasukan Alifuru di pedalaman Galela telah menanti. Pertempuran pun tak dapat
dielakkan lagi. Sengatan lebah-lebah ini ternyata menimbulkan banyak korban di pihak Portugis.
Upaya penyelamatan dilakukan dengan api dan belerang serta serangan balik dengan tembakan
yang membabibuta, membuat pasukan Alifuru mundur dan menghindar dari peluru-peluru
nyasar. Mundurnya pasukan Alifuru digunakan oleh Portugis untuk segera meninggalkan kapal
dan daerah Dokulamo menuju arah selatan. Mereka bermukim di daerah Gunung Hum dan
kemudian menamakan daerah tersebut Rum yang mengisyaratkan bahwa daerah itu adalah
tempat tinggal orang-orang yang berasal dari Rumawi.
Orang-orang Portugis di daerah Hum/Rum tidak dapat tinggal dengan tenang dikarenakan
orang-orang Galela sering mengusik ketentraman mereka. Mereka pun kemudian memilih hijrah
ke daerah Tobelo dengan menepati bebukitan Karianga arah selatan daerah Wangongira, Kusuri,
lembah Kao, batang sungai kali Jodo menuju arah Tetewang. Perpindahan ini mempertemukan
mereka dengan sesama bangsanya yang bernasib serupa di sekitar Pasir Putih yang kapalnya
karam.
Sebagian dari mereka menetap dan menyatu dengan masyarakat setempat. Untuk
menghilangkan jejak sebagai orang Portugis mereka pun belajar bahasa Tobelo dan berusaha
keras menghilangkan aksen bahasanya. Mereka kemudian hidup bergaul dengan orang Tobelo
dan Kao yang pada akhinya membuat kebanyakan orang Togutil berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa Tobelo Boeng dan Modole. Upaya-upaya ini dilakukan untuk menghindari
kejaran pasukan Ternate dan Alifuru terhadap sisa-sisa orang Portugis di Maluku Utara yang lari
ke hutan.
Pada perkembangannya, orang-orang Portugis ini kemudian hidup dengan cara
berpindah-pindah ke daerah yang mereka anggap lebih aman sambil tetap berkembang biak.
Populasi mereka diketahui menempati hutan di selatan Halmahera Utara sampai ke hutan Wasilei
di Halmahera Timur. Mereka senang tinggal ditepian sungai. Rumah mereka terbuat dari kayu
bulat beratapkan daun rumbia atau daun woka tanpa dinding. Pola makan mereka adalah dengan
menyantap makanan mentah atau dimasak dengan cara dibakar dengan bambu. Air kebanyakan
mereka minum langsung dari sungai.
Perawakan suku Togutil yang belum kawin campur adalah seperti orang Portugis pada
umumnya. Mereka berperawakan tinggi besar, berkulit putih dan berhidung mancung. Anak-
anak perempuan mereka cantik-cantik dengan bola mata yang berwarna bening-keabuan. Pola
hidup mereka masih sangat bergantung pada hasil alam. Makan dari buah-buahan, umbi-umbian,
pucuk-pucuk daun muda dan dari hasil buruan binatang hutan dan ikan sungai.
C. Makna Suku Togutil
Togutil adalah suku yang hidup di pedalaman hutan Kabupaten Halmahera Timur,
Maluku Utara. Togutil sendiri memiliki arti "suku yang hidup di hutan" atau dalam bahasa
Halmahera pongana mo nyawa. Cara hidup Togutil adalah dengan berpindah-pindah di dalam
hutan Wasile, yang terletak di sisi timur Ternate.
Bagi orang Ternate, kata “Togutil” sebagai sebuah istilah, yaitu identik dengan makna
kata “primitif”, “keterbelakangan”, “kebodohan” “ketertinggalan” serta masih banyak lagi
konotasi-konotasi yang bermakna serupa lainnya. Warga Suku Togutil hidup dalam kondisi
primitif, bahkan tidak mengenal huruf. Mereka juga terlihat bertelanjang dada. Suku Togutil
sebenarnya telah mengenal peradaban luar, namun mereka memilih menjauhi modernitas. Tradisi
turun-temurun membawa mereka ke kerangka hidup sederhana dan terus dipertahankan.
Suku Togutil di Halmahera yang tinggal di hutan diperkirakan masih sekitar 200 kepala
keluarga. Sedangkan 46 kepala keluarga telah direlokasi di Kecamatan Wasile Timur. Menurut
Bupati Halmahera Timur Rudi Irawan, program relokasi telah ada sejak 1967. Pada 2009
relokasi rumah mulai dibangun kembali. "Mula-mula mereka tidak betah karena biasa hidup di
ruang terbuka," ujar Rudi.
Dalam keseharian kehidupan masyarakat di Maluku Utara yang hingga sekarang ini juga
telah memasuki era digital sebagaimana orang-orang di pulau Jawa, namun ternyata masih ada
saudara-saudaranya yang ada di pedalaman pulau Halmahera yang hidupnya masih primitif dan
terbelakang serta jauh dari sentuhan modernisasi. Padahal negara ini sudah merdeka lebih dari 60
tahun yang lalu.
Pembahasan hanya terfokus pada keberadaan sebuah komunitas yakni orang-orang suku
Togutil yang masih tersisa yang mengalami ketertinggalan dalam perkembangan sosio-kultural
yang disebabkan karena mereka terisolasi atau mengisolasikan diri dari pergaulan dengan
lingkungan manusia lainnya. Hidup mereka telah menyatu dengan alam sehingga hutan rimba,
sungai-sungai dan goa-goa di belantara pedalaman pulau Halmahera menjadi rumah mereka.
Di pedalaman pulau Halmahera, komunitas suku
pengembara ini ditemui di beberapa kawasan. Di
utara masih terdapat di pedalaman Tobelo, di
tengah seperti terdapat di Dodaga, di pedalaman
Kao, di pedalaman Wasilei dan agak ke selatan
juga terdapat beberapa komunitas mereka di
pedalaman Maba dan Buli. Setiap komunitas
(kelompok) suku primitif ini berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Bahkan mereka saling berperang bila bertemu.
Namun demikian, bagi masyarakat Maluku Utara, masing-masing kelompok orang-orang
Togutil ini, semuanya disebut sebagai “Suku Togutil” saja. Yang membedakan sebutan terhadap
mereka adalah kawasan yang menjadi tempat pengembaraan mereka, misalnya Togutil Tobelo,
Togutil Dodaga, Togutil Wasilei, Togutil Maba, dsb.
Usaha pemukiman terhadap masyarakat terasing merupakan program utama pemerintah
dalam usaha membiasakan mereka hidup menetap dan bercocok tanam (bertani). Menetap
dengan pengharapan dapat meningkatkan kesejahteraan fisik dan rohani. Usaha ini dimaksudkan
agar mereka dapat secepatnya mencapai taraf hidup yang sejajar dengan masyarakat Indonesia
umumnya.
Atas pemikiran inilah, Pemerintah daerah di Maluku Utara pada tahun 1971 pernah
membangun pemukiman (relokasi) untuk orang-orang suku Togutil Dodaga di kecamatan
Wasilei Halmahera Tengah. Yang dimaksud dengan orang-orang Togutil Dodaga adalah
sekelompok orang suku Togutil yang berdiam di sekitar hutan dekat Dodaga. Penambahan kata
Dodaga di belakang nama golongan etnis ini adalah agar dengan mudah dapat membedakannya
dengan orang-orang suku Togutil lain yang terdapat di kecamatan Wasilei, maupun di
kecamatan-kecamatan lain di pedalaman pulau Halmahera.
Beberapa saat setelah suku Togutil Dodaga ini bermukim di tempat relokasi yang
dibangun pemerintah, mereka kembali lagi ke hutan dan hidup lagi menurut cara yang lama.
Peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan, apa sebab usaha ini gagal, sedangkan usaha-usaha
serupa berhasil di tempat lain, seperti Suku Naulu di pulau Seram, orang Dayak Bukit di
Kalimantan, Suku Sakai di Sumatera dsb.
Masyarakat di Desa-Desa sekitar mengatakan bahwa orang-orang Togutil ketika musim
hujan tiba, merasa terganggu dengan suara bising air hujan yang jatuh, karena atap tidak terbuat
dari dedaunan sehingga mereka ketakutan dan lari kembali lagi ke hutan. Alasan lain mungkin
karena mereka tidak terbiasa dengan ”sandang” dan “pangan” ala kita.
Suku Togutil di pedalaman hutan Halmahera ada dua, yaitu;
1. Orang Togutil Dodaga yang sudah bisa diajak relokasi oleh Pemerintah, dan
2. Orang Togutil Asli yang masih hidup di hutan pedalaman yang masih menggunakan pola
hidup dan ketergantungan hidup dari pemberian alam (nomaden) dan belum mengenal
sistem bercocok tanam serta kehidupan yang belum tersentuh oleh dunia luar.
D. Unsur-Unsur Kebudayaan suku Togutil
1. Sistem Religi / Kepercayaan
Berdasarkan hasil pengamatan
dan wawancara selama
penelitian orang Togutil atau
masyarakat Togutil saat ini yang
tinggal di satuan pemukiman
desa Dodaga, Tukur-Tukur,
Toboino (Totodoku) dan
Tutuling jaya dan Foli adalah
sebagian besar merupakan menganut agama Kristen Protestan. Hanya 3 Kepala Keluarga
saja yang memeluk agama Islam. Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Togutil saat
ini merupakan perpindahan dari sistim kepercayaan asli yang mulai ditinggalkan pada
akhir tahun 1970an ketika masuknya penyebaran agama Kristen di daerah Lolobata
sebagai wilayah dimana orang Togutil penghuni hutan Tututing awalnya tinggal.
Pengenalan agama ini lebih meningkat lagi sejak adanya proyek pemukiman kembali
masyarakat terasing pada tahun 1970.
Menurut informasi dari beberapa informan bahwa masyarakat Togutil yang masih
menganut sistim kepercayaan asli atau belum memiliki agama tertentu adalah mereka
yang masih tinggal jauh di dalam hutan yang sama sekali belum mendapat pembinaan
dari pemerintah maupun berhubungan dengan dunia luar. Kesatuan pemukimannya masih
sangat terisolir. Kelompok ini oleh Huliselan 1980 dikelompok sebagai Togutil biri-biri
atau dalam Keputusan Presiden Nomor 111 tahun 1999 termasuk dalam kategori KAT
Kategori I.
Sistim Kepercayaan atau Keyakinan asli orang Togutil menurut hasil penelitian
Martodirdjo (1996) terpusat pada ruh-ruh leluhur yang menempati seluruh alam
lingkungan. Orang Togutil percaya akan adanya kekuatan dan kekuasaan tertinggi yaitu
Jou Ma Dutu, pemilik alam semesta atau biasanya disebut juga o gikiri-moi yaitu jiwa
atau nyawa. Walaupun demikian orang Togutil tidak pernah melakukan upacara-upacara
pemujaan. Mereka tidak pernah menyebut istilah atau nama khusus untuk sistim relegi
aslinya.
Kepercayaan asli orang Togutil yang terpusat pada penghormatan dan pemujaan
pada leluhur tersebut digambarkan dalam berbagai makhluk halus yang dalam pandangan
orang Togutil menempati seluruh lingkungan hidup sekitar baik dalam bentuk benda
yang bersifat alami (nature) maupun benda hasil karya cipta manusia (culture) yang
dipercaya memiliki yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan usaha ataupun
aktivitas dalam kehidupan sehari-hari.
2. Sistem Kekerabatan.
Orang-orang Togutil hidup berkelompok yang anggotanya masih keluarga luas.
Mereka masih merupakan kerabat yang terdiri dari orang tua, anak, keponakan, dan
saudara-saudara. Syafruddin yang tengah menempuh program magister Antropologi di
Universitas Gajah Mada mengatakan, suku Togutil menganut paham patriarki.
Karenanya, jika dia lelaki dan sudah menikah, akan menjadi bagian dari kelompok
tersebut. Jika perempuan dan sudah menikah, biasanya akan ikut dengan kelompok
suaminya.
Namun tak jarang, menurutnya, hubungan pernikahan bisa terjadi antara anggota
keluarga luas yang ada dalam satu kelompok itu. Pada kelompok kecil ini, biasanya
paling banyak terdiri dari 10 kepala keluarga (KK). Tapi, tak seluruhnya membangun
rumah. “Satu rumah dihuni minimal dua KK. Bahkan bisa tiga sampai empat KK.
Sehingga satu kelompok hanya membangun sekitar tiga rumah saja,” ujar Syafruddin.
Bangunan rumah mereka,
adalah rumah panggung setinggi
satu meter dari tanah berukuran
sekitar 3×4 meter. Rumah yang
mereka bangun tanpa sekat juga
tak memiliki dinding. Di bawah
rumah biasanya dibuat perapian
yang berfungsi sebagai
penghangat kala hawa dingin
menyapa. Di rumah itulah mereka berkumpul, makan, istirahat, dan bercengkerama dengan
para kerabatnya.
Jalinan kekerabatan suku Togutil kerap diwujudkan dalam satu upacara makan
bersama yang disebut makkudotaka. Upacara dilakukan antara satu kelompok dan
kelompok yang lain. Upacara ini dilakukan tanpa ikatan waktu, bukan sebulan sekali
ataukah setahun sekali. Biasanya, jika ada kelompok A bertemu dengan kelompok B,
ketika kelompok B mengatakan dia suka makan telur ayam hutan, daging rusa, atau
berbagai makanan enak lainnya menurut mereka, maka kelompok A tidak bisa menolak.
Mereka harus menerima untuk menyiapkan segala makanan yang disebutkan tadi.
Kelompok A akan minta diberi waktu, misalnya sebulan atau dua bulan untuk
menyiapkan bahan makanan yang diminta. Jika dalam tempo yang diminta, makanan
belum juga terkumpul, mereka akan memperpanjang waktu lagi. “Pokoknya sampai
makanan itu tersedia, baru dilaksanakan,” terang Syafruddin. Saat itulah dua kelompok
akan bertemu dan menikmati kebersamaan ala makkudotaka. Inilah sebuah upacara
kebersamaan dari para penghuni rimba Halmahera.
3. Mata Pencaharian
Ketergantungan mereka pada alam
membuat mereka memiliki pola hidup
nomaden. Setelah persediaan umbi-
umbian dan buah-buahan serta hewan
menjadi berkurang mereka akan
berpindah ke daerah baru. Demikianlah
sehingga mereka kemudian dikenal sebagai pemilik hutan Halmahera mengingat
merekalah yang pertama menjelajahi dan menempati hutan Halmahera. Bagi masyarakat
Togutil yang masih primitif, tidak mengenal sistem bercocok tanam dan menetap.
Sehingga salah satu mata pencaharian andalan mereka adalah berburu, menangkap ikan,
mengumpulkan hasil hutan dan menggunakan sagu sebagai sumber karbohidratnya.
Pola hidup suku Togutil yang sudah berbaur dengan masyarakat dapat dilihat dari
kemampuan mereka dalam bercocok tanam umbi-umbian dan buah-buahan serta tanaman
tahunan sehingga hidupnya tidak lagi berpindah-pindah tempat. Mereka juga sudah dapat
menggunakan alat-alat pertanian dan berbusana dengan baik.
Syaiful Majid, seorang peneliti kehidupan Suku Togutil dari Universitas
Muhammadiyah Maluku Utara dan melakukan riset selama hampir dua tahun mendalami
aspek budaya dan sosiologis dari suku ini. Menurut Syaiful, bagi suku ini hutan adalah
sumber makanan. “Sehingga, dalam pemaknaan Suku Togutil, hutan adalah rumah
mereka,” jelas Syaiful. Karena itu pula, menjaga hutan dianggap sama dengan menjaga
rumah sendiri.
Saat ini sebagian merupakan petani (Togutil kategori Menetap) dan sebagian lagi
masih tergantung pada hasil hutan meskipun telah mengenal sistim bercocok tanam
(Togutil kategori Menetap sementara). Mata pencaharian tambahan adalah berburu
binatang damar maupun telur maleo untuk dijual atau ditukarkan dengan penduduk di
kampung pada saat hari pasar.
Tingkat pendapatan penduduk berdasarkan hasil penelitian dilapangan sangat
bervariasi yaitu antara Rp. 50.000 sampai dengan Rp. 750.000,- per bulan. Sumber
penghasilan umumnya berasal penjualan hasil buruan atau hasil yang diperoleh dari hutan
maupun dari hasil kebun yang dikelola disekitar satuan pemukiman atau satuan
rumahnya. Pendapatan diatas 500.000 merupakan pendapatan masyarakat Togutil
Menetap yang memiliki profesi sebagai petani kopra maupun usaha sampingan lainnya
seperti pedagang dan tukang ojek (Kartini, et. al. 2006).
4. Sistem Bahasa
Suku ini memiliki rumpun yang sama dengan Suku Tobelo, kebanyakan orang
Togutil berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Tobelo Boeng dan Modole.. Mereka
hidup berkelompok, satu rumah bisa dihuni dua atau tiga keluarga.
Dilihat dari bahasa yang digunakan sesuai hasil penelitian, kelihatannya lebih
besar pengaruh bahasa Tobelo Boeng terhadap suku ini. Orang Togutil Dodaga sebagian
besar berasal dari daerah Kao. Mereka hanya menguasai dan mengerti satu bahasa yaitu
bahasa Tobelo walaupun mereka sejak lama bertempat tinggal di lingkungan yang
mayoritas berbahasa Maba.
Suku Togutil yang dikategorikan suku terasing tinggal di pedalaman Halmahera
bagian utara dan tengah, menggunakan bahasa Tobelo sama dengan bahasa yang
dipergunakan penduduk pesisir, orang Tobelo.
5. Sistem Kesenian
Musik BAMBU HITADA & Musik YANGER, ( Kesenian Tradisional orang Halmahera)
Setiap masyarakat daerah manapun di setiap bangsa pasti memiliki suatu bentuk kesenian tradisional-nya masing-masing. Menurut sProf. DR. Kuntjaraningrat dalam buku “Pengantar Antropologi” mengatakan bahwa pokok-pokok Etnologi yang bersifat Universal dalam setiap Kebudayaan, meliputi 7 (tujuh) aspek, antara lain; Sistem peralatan hidup atau teknologi, Sistem Mata pencaharian hidup, Sistem kemasyarakatan, Sistem Pengetahuan, Bahasa, Kesenian, dan Religi.
Di Maluku Utara, pohon bambu selain dimanfaatkan sebagai bahan baku peralatan dalam kebutuhan seperti; pembuatan rumah, pagar, tiang, dipan, rakit sungai, dll, juga dimanfaatkan sebagai “alat musik” yang dikenal dengan "Musik Bambu Hitada". Selain itu bambu dipakai sebagai alat utama untuk permainan “Bambu Gila” yang dalam bahasa Ternate disebut permainan
“Baramasuwen” Sebagian masyarakat di pulau Halmahera provinsi Maluku Utara terutama di
kecamatan Sahu, Ibu dan Jailolo, termasuk orang Tobelo di Halmahera utara hingga kini masih mempertahankan jenis kesenian tradisional ini. Seni Musik Bambu ini mereka sebut dengan “Musik Bambu Hitada” atau sering disebut juga “Hitadi”. Sedangkan jenis musik tradisional yang lain yang tidak menggunakan bambu dikenal dengan “Musik Yanger”.
Musik Bambu Hitada dan Yanger ini biasanya dimainkan pada acara-acara tertentu, seperti; Hajatan Perkawinan, Pesta Rakyat atau Hajatan Syukuran di suatu kampung. Musik tradisional ini biasanya dimainkan secara bersama-sama oleh beberapa orang dalam ikatan “Group”. Sebuah group musik beranggotakan 5 hingga 13 orang. (Foto-1 : Musik Bambu Hitada - Halmahera)
Selain itu dibutuhkan beberapa buah gitar kecil buatan sendiri yang disebut “Juk” serta satu atau dua buah Biola tradisional. Kedua alat ini biasanya dicat dengan warna-warni yang kontras untuk keindahan. Alat-alat musik ini dimainkan secara bersama-sama, sehingga menghasilkan satu irama musik yang enak didengar. Pada musik Bambu Hitada lebih
membutuhkan banyak personil untuk memainkannya, karena setiap orang hanya memegang dua batang bambu yang hanya memiliki nada satu tone saja. (Foto - 3 ; Cikir, terbuat dari batok kelapa dan biji kacang hijau kering).
Kerajinan Tangan SALOI, Saloi adalah tas punggung tradisional masyarakat Halmahera Utara. Saloi terbuat dari rotan dan biasanya digunakan kaum perempuan untuk pergi ke kebun. Saloi memiliki bentuk bundar yang mengerucut ke bawah. Saloi yang terdapat di Malifut biasanya berukuran lebih kecil. Bentuk Saloi di Halmahera Utara sangat mirip dengan Saloi yang terdapat di kepulauan Sangihe hanya saja berbeda dalam hal bahan dasar yang
digunakan.
TOLU, Tolu atau topi biasanya digunakan masyarakat Halmahera Utara untuk berkebun ataupun melaut. Tolu berbahan dasar pelepah pinang yang sudah terlebih dahulu dikeringkan. Bentuknya sangat mirip dengan topi tradisional petani Indonesia. Tolu dapat dijumpai pada hampir semua suku di Halmahera Utara dan berfungsi sebagai peneduh dari hujan dan terik matahari.
PIRING ROTAN, Sesuai namanya, piring ini terbuat dari rotan yang saling dililit-lilitkan dan dibentuk menyerupai piring makan pada umumnya. Biasanya sebelum diisi makanan piring rotan akan terlebih dahulu dialasi daun pisang.
POROCOSIGI, Porocosigi dengan bentuk menyerupai botol dibuat dengan memanfaatkan daun pandan kering. Di bagian atas Porocosigi biasanya dihiasi dengan daun Woka yang sudah terlebih dahulu diwarnai. Bagi masyarakat Halmahera Utara, Porocosigi berfungsi sebagai wadah penyimpan beras.
KESIMPULAN
Suku Togutil sangat menjaga kearifan lokal berupa bentuk larangan untuk
menebang hutan atau pohon sagu secara tidak terorganisir. Suku ini telah
mengalami banyak perubahan baik dari segi agama yang telah beralih dari agama
lokal menjadi agama resmi, dari yang nomaden menjadi menetap dan bermata
pencaharian di luar berburu dan menangkap ikan. Namun, itu tidak berlaku pada
suku primitif yang masih menetap di dalam kawasan hutan.
Pola hidup pada Suku Togotil yang sudah berbaur dengan masyarakat luar
yang dapat dilihat dari kemampuan mereka dalam bercocok tanam. Sehingga dapat
dikatakan bahwa pada Suku Togutil sudah mau membuka diri bagi masyarakat luar
terkait kebudayaan walaupun masih ada sebagian yang masih tertutup dengan
adanya budaya luar.
DAFTAR PUSTAKA
Aminah, Andi Nur. 2011. Togutil Penghuni Rimba Halmahera. Bataviase.co.id
Anonim. 2011. Mengenali Suku Togutil. Http://aci.detik.travel/grouppetualang/1.com.
Kartini, et.al. 2006. Pemanfaatan Keanekaragaman Genetik Tumbuhan Oleh Masyarakat Togutil
Di Sekitar Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Jurnal Fakultas Kehutanan Ipb : Bogor.
Latif, Busranto. 2009. Mengenai “Orang Togutil” Suku Terasing Di Pedalaman Pulau
Halmahera. http://ternate.wordpress.com/2009/03/25/mengenal-orang-togutil-suku-terasing-di-
pulau-halmahera-2.com. diakses 20 Desember 2011.
Martodirdjo, h.s. 1996. Orang Togutil Di Halmahera. [Disertasi]. Universitas Padjadjaran
Bandung.
Sosebeko, theo s. 2010. Asal Usul Suku Togutil Di Bumi Halmahera.
Http://www.halmaherautara.com/bdy/asal-usul-suku-togutil-di-halmahera.html. Diakses 17
Desember 2011.