Download - Makalah UU Pilkada Copy
Warisan Wakil Rakyat: Kontroversi UU MD3 dan RUU Pilkada
1. Pendahuluan
Tak banyak hal yang dapat dibanggakan dari Wakil Rakyat (baca DPR RI) Periode
2009-2014 ini. Ini dapat dilihat dari pelaksanaan fungsi Wakil Rakyat. Dari tiga
fungsi utama wakil rakyat yaitu fungsi legislasi[3], fungsi pengawasan[4] dan fungsi
anggaran[5], semuanya bermasalah baik dari aspek kuantitas penyelesaian target
maupun kualitasnya. Tak luput juga perilaku Anggota DPR yang buruk, seperti
korupsi, arogan, dan lain-lain menjadikan DPR lembaga tak berwibawa. Inilah
realitas ketatanegaraan dan politik Bangsa Indonesia, sebagai generasi muda kita
harus tetap optimis dapat mengubahnya menjadi yang lebih baik.
1. Kontroversi Dalam UU No. 17 Tahun 2014 ttg MD3
B.1 Pengantar
UU No. 17 Tahun 2014 ttg MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) ini, diketok palu untuk
disepakati menjadi undang-undang satu hari menjelang Pilpres 2014, tepatnya hari
Selasa 8 Juli 2014. Dapat dibayangkan waktu itu, energi publik sedang tersedot
pada pelaksanaan Pilpres 2014. Akibatnya banyak hal yang luput dari pengawasan
publik terhadap revisi UU No. 27 Tahun 2009 tersebut. Karena itu, tidak heran ada
berbagai masalah dalam UU MD3 yang baru ini. Saat ini, setidaknya ada 5
kelompok yang mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi, antaralain:
Penggugat Point Gugatan
PDIP[6]Pimpinan DPR dan alat kelengkapan dipilih anggota DPR secara musywarah atau voting
Koalisi Masyarakat Sipil[7]
Penyidikan anggota DPR terkait pidana umum harus mendapat persetujuan tertulis Mahkamah Kehormatan DewanHak Anggota DPR untuk mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan DapilPenghapusan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara sebagai salah satu alat kelengkapan DPR.
Pegiat dan LSM Perempuan[8]
Tidak ada jaminan keterwakilan perempuan dalam kursi pimpinan DPR dan alat kelengkapan DPR.
Boyamin Saiman dan Sutrisno[9]
Pimpinan DPRD langsung ditetapkan berdasarkan peringkat perolehan suara parpol dalam pemilu legislatif.
DPD[10]Tidak dilibatkannnya DPD dalam proses pembahasan RUU MD3
Banyaknya pihak yang mengajukan judicial review terhadap UU MD3 yang baru ini,
menjadi salah satu indikasi masih banyak permasalahan yang belum tuntas dalam
pembahasan uu tersebut. Secara sosiologis-politis, hal ini dapat dipahami karena
UU MD3 ini mengatur pembagian kekuasaan khususnya partai politik yang masuk
ke parlemen. Karenanya benturan kepentingan akan sangat terasa. Konfigurasi
politik yang ada yakni Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Pendukung Jokowi-JK
turut memberikan andil terhadap hasil pembahasan UU MD3 ini.
B.2 Latar Belakang Pembentukan UU No. 17 Tahun 2014 ttg MD3
UU No. 27 Tahun 2009 ttg MD3 (UU MD3 Lama) didesain untuk memposisikan
parlemen (MPR, DPR, DPD dan DPRD) sebagai lembaga legislatif yang kokoh dan
berwibawa. Namun pada taraf implementasinya, dipandang banyak mengandung
kelemahan. Parlemen (khususnya DPR), selama 2009-2014 ini menjadi salah satu
lembaga yang paling disorot dan diberi cap “buruk”. Baik dalam kinerjanya maupun
dalam tingkah lakunya (banyak yang terjerat korupsi, ada pula yang melakukan
perbuatan tercela). Tak sedikit pula yang mengujinya di Mahkamah Konstitusi.
Karena itu tak mengherankan, dari tahun 2010 (padahal usianya baru 2 tahun),
telah dimasukkan RUU Revisi ttg UU 28 Tahun 2009 dalam Prolegnas 2011
(Prolegnas Nomor 26), tahun 2012 (Prolegnas Nomor 40 ) , tahun 2013 (Prolegnas
Nomor 48), dan tahun 2014 (Prolegnas Nomor 37) untuk dilakukan perubahan.
Secara umum, kita bisa melihat nuansa kebatinan Anggota DPR yang merasa
prihatin terhadap kondisi DPR yang “terinjak-injak” menjadi bahan pergunjingan
dimedia massa dan masyarakat. Disebut sarang koruptor, tak aspiratif, dan
sebagainya. Karena sebagai pemilik kewenangan membentuk undang-undang,
mereka pun bersepakat merubah UU MD3 agar mampu keluar dari gunjingan
masyarakat tersebut.
Dalam pengantar pembahasan Revisi UU MD3 ini, Ketua Pansus, Beni K. Harman,
misalnya menyebut “Ada keinginan dari Dewan untuk mereformasi parlemen, agar
bisa kuat, akuntabel, dan kedap korupsi.
Inilah desain besar dari parlemen ke depan”, Kemudian Wakil Ketua Pansus, Ahmad
Yani menyebut “latar belakang perubahan UU MD3 di antaranya belum tertatanya
alat kelengkapan dewan di DPR. Selain itu relasi antarlembaga parlemen terutama
DPR dan DPD belum tertata dengan baik. Kesekjenan DPR juga perlu diperkuat lewat
perubahan UU MD3 ini. Argumentasi lainnya dari perubahan ini adalah MPR dan DPD
selama ini dalam menjalankan kewenangannya masih terjebak pada seremonial
kenegaraan saja. Lalu, kedudukan DPD juga masih lemah, karena
menjadi bagian dari birokrasi Pemda.”
Berikut ini ulasan terkait isu-isu yang dipermasalahkan sesuai dengan yang menjadi
fokus diskusi.
Isu Hak untuk Mengusulkan dan Memperjuangkan Program Aspirasi Pembangunan Daerah Pemilihan Oleh Anggota DPR
Hak ini, terdapat dalam Pasal 80 huruf (j) bahwa Anggota DPR berhak mengusulkan
dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihannya. Hak ini muncul
dengan berbagai alasan, yaitu
Sistem pemilu legislatif yang memilih langsung Anggota DPR, membuat Caleg banyak mengumbar janji, sehingga harus dibukakan kanal terhadap pelaksanaan janji tersebut. Sehingga hak ini sebagai respon Anggota DPR yang sering ditagih konstituennya di daerah dalam memperjuangkan progam pembangunan daerah.
Sebagai respon terhadap klaim eksekutif baik pusat maupun daerah terkait program pembangunan daerah, sehingga Anggota DPR sering dianggap tidak dapat bekerja dan merealisasikan pembangunan daerah.
Karena itu, kita dapat melihat bahwa hak ini merupakan hak yang wajar muncul
akibat sistem pemilu dan budaya masyarakat ketika bertemu pejabat akan menagih
kemampuannya memperjuangkan pembangunan daerahnya. Apalagi, berdasarkan
studi banding dengan parlemen di Amerika Serikat, Anggota Parlemennya memiliki
anggaran khusus untuk program pembangunan.
Hak memperjuangkan program pembangunan di daerah pemilihan ini juga
merupakan implikasi sumpah Anggota DPR yang tertuang dalam Pasal 78 UU 17
Tahun 2014 ttg MD3:
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua
Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-
sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan
bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk
mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.”
Hal memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili tersebut juga merupakan
kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 81 khususnya huruf (e)[11], (i)[12] dan
(j)[13]. Karena itu, secara sistematis dengan keberadaan sumpah dan kewajiban
memperjuangkan aspirasi rakyat, maka juga diberikan hak mengusulkan dan
memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan.
Selanjutnya, hal tersebut diatur dalam Tata Tertib DPR yang disahkan dalam
Paripurna DPR Selasa, 16 September 2014. Dalam Pasal 195 disebutkan:
Anggota berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan.Usulan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diintegrasikan ke dalam program pembangunan nasional dalam APBN.Usulan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari inisiatif sendiri, pemerintah daerah, atau aspirasi masyarakat di daerah pemilihan.Dalam melaksanakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Anggota diberi kesempatan untuk menyampaikan aspirasi dari tiap-tiap daerah pemilihannya selama 1 (satu) menit atau setara 1 (satu) lembar kertas A4 pada setiap rapat paripurna DPR.Paling lambat (1) hari sebelum rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan, Anggota mendaftarkan usulan program sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Sekretariat Jenderal DPR.Pimpinan DPR meneruskan usulan program sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada komisi terkait untuk dibahas dengan mitra kerja.Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada Badan Anggaran untuk disinkronisasikan.Badan Anggaran menyampaikan hasil sinkronisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) kepada komisi terkait dan selanjutnya komisi terkait memberitahukan kepada Anggota yang mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan di daerah pemilihannya.Anggota yang bersangkutan memberitahukan tindak lanjut usulan program sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada konstituen di daerah pemilihannya.
Melihat hak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah
tersebut, beserta mekanismenya, maka ada sisi positif dan negatifnya. Sisi
positifnya adalah terjalinnya hubungan yang erat antara wakil rakyat dengan rakyat
di daerah pemilihannya, karena setiap aspirasi dapat diperjuangkan menjadi
program pemerintah. Namun sisi negatifnya adalah (1) tidak ada standar yang
dipergunakan Anggota DPR untuk setiap program yang diusulkan, (2) sangat
mungkin terjadi jual beli program termasuk pungli terhadap masyarakat yang
mengajukan program. Ujung-ujungnya adalah hak ini bisa berujung pada tindakan
koruptif yang tidak sehat bagi pembangunan bangsa.
Dari aspek hukum tata negara yaitu teori pemisahan kekuasaan dalam 3 cabang
(eksekutif, legislatif, dan yudikatif), telah dipisahkan masing-masing kewenangan.
Maka kewenangan membentuk program pembangunan adalah kewenangan
eksekutif bukan legislatif. Karena itu hak mengusulkan program ini dapat
dikategorikan sebagai bentuk kekuasaan legislatif mencampuri urusan kekuasaan
eksekutif.
Parlemen dalam hal ini DPR mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu legislasi, pengawasan
dan anggaran. Apabila DPR dengan fungsi anggarannya (memberikan persetujuan
atau tidak memberikan persetujuan APBN), kemudian dijadikan pertimbangan atau
bahkan menekan eksekutif sebagai bargaining position untuk mengakomodir usul
program pembangunan dapil dari Anggota DPR, maka dapat disebut juga sebagai
penyalah gunaan kewenangan. Ini karena, hak budget parlemen adalah hak untuk
memberikan persetujuan atau memberikan persetujuan terhadap rasionalitas APBN
yang diajukan pemerintah,[14] bukan karena belum diakomodirnya usulan program
pembangunan dari Anggota DPR. Selayaknya, memperjuangkan program
pembangunan itu di eksekutif melalui Musyawarah Rencana Pembangunan
(Musrenbang) dari tingkat desa, kabupaten/kota, provinsi sampai tingkat nasional.
Kekuasaan DPR harusnya dibatasi pada koridor-koridor pemisahan kekuasaan,
sehingga dapat dihindarkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Mengenai Imunitas Hukum Bagi Anggota DPR
Pasal 224
(1) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan,
pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun
tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan
fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
(2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan,
kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena
hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR.
(3) Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan,
dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar
rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal
anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam
rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia
negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan
persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(6) Mahkamah Kehormatan Dewan harus memproses dan memberikan putusan
atas surat pemohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)
Hari setelah diterimanya permohonan persetujuan pemanggilan keterangan
tersebut.
(7) Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan tidak memberikan
persetujuan atas pemanggilan angggota DPR, surat pemanggilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) tidak memiliki kekuatan hukum/batal demi hukum.
Terkait dengan Imunitas ini, dalam UU No. 17 Tahun 2014 ttg MD3, diatur dalam
Bab II Paragraf 6, Pasal 224 yang terdiri dari 7 Ayat:
Dengan melihat secara utuh Pasal 224 tentang Imunitas Anggota DPR ini, maka
secara rasional kita akan mengatakan Pasal tersebut adalah benar. Karena, selaku
anggota parlemen yang tugas utama berbicara (parle = bicara), maka selayaknya
tugas berbicara tersebut dilindungi undang-undang. Titik tegasnya adalah
berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan konstitusional, sehingga
ketika membuat pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat harus diberikan
kebebasan, dan tidak boleh sembarangan untuk diproses hukum. Dapat
dibayangkan apabila dalam hal pengawasan, ada anggota DPR yang sangat keras
mengkritik Presiden / Wakil Presiden, sebagai misal dalam Kasus Bank Century,
kemudian dianggap melakukan perbuatan tidak menyenangkan, lalu diproses
secara hukum.
Berbeda halnya apabila kita melihat Bagian Keenam Belas tentang Penyidikan Pasal
245:
Pasal 245
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota
DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis
dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) Hari
terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan
keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota
DPR:
tertangkap tangan melakukan tindak pidana;disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; ataudisangka melakukan tindak pidana khusus.
Inilah yang menjadi permasalahan. Dan ini bukan terkait dengan imunitas,
melainkan perlakuan khusus terhadap Anggota DPR dalam hal diduga melakukan
tindak pidana. Ketika akan dipanggil dan dimintai keterangan dalam penyidikan
harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Disini
terdapat perlakuan istimewa yang dianggap bertentangan dengan prinsip
hukum “equalitiy before the law”/ persamaan dihadapan hukum. Untuk memahami
hal ini, maka perlu kiranya membedahnya dari aspek hukum konstitusi dan hukum
pidana.
Asas persamaan di hadapan hukum (Equality before the law principle) merupakan
salah satu asas yang utama dalam Deklarasi Universal HAM dan dianut pula dalam
UUD 1945. Asas ini mengandung arti bahwa “semua warga harus mendapat
perlindungan yang sama dalam hukum – tidak boleh ada diskriminasi dalam
perlindungan hukum ini”. Prof. Mardjono[15] mengatakan kata kuncinya adalah
“perlindungan”. Pendapat yang berbeda adalah yang menafsirkan bahwa
persamaan yang dimaksud adalah untuk “perlakuan”. Perbedaan kata kunci ini
dapat membawa kepada penafsiran yang berbeda dari makna asas ini bagi HAM.
Dengan kata-kunci “perlindungan”, maka yang dituju adalah perintah kepada
negara/pemerintah untuk memberi perlindungan hukum yang sama adilnya
(fairness) kepada warganya. Dan dalam sebuah negara dengan masyarakat
majemuk atau bersifat multi-kultural seperti Indonesia, ini mengandung makna
perlindungan terhadap kelompok minoritas (terhadap kemungkinan ketidakadilan
dari kelompok mayoritas). Mencegah adanya diskriminasi dalam perlindungan dan
rasa aman kelompok minoritas. Diskriminasi yang dilarang adalah yang merugikan
kelompok tertentu.
Namun, kalau dipergunakan kata-kunci “perlakuan”, maka penafsiran yang
berkembang dalam masyarakat Indonesia adalah perintah kepada
negara/pemerintah untuk tidak membedakan dalam perlakuan hukum antara
warganya. Dan dalam masyarakat yang terstruktur dalam “kelas”, maka ini
mengandung makna jangan memberi perlakuan istimewa kepada anggota kelas
tertentu. Khususnya dalam beberapa kasus bahwa “kelas pejabat Negara” dan/atau
“kelas orang kaya” mendapat perlakuan khusus/istimewa dalam proses peradilan
pidana. Diskriminasi yang dilarang di sini adalah menguntungkan kelas tertentu.
Karena itu, kita Prof. Mardjono menganalisis terhadap persoalan Pasal 245 dalam
ayat (1) mengecualikan Anggota DPR dari prosedur KUHAP dalam proses penyidikan,
karena penyidik memerlukan izin terlebih dahulu dari Mahkamah Kehormatan
Dewan(MKD). Ayat-ayat berikutnya merupakan “tata-cara” melaksanakan “hak-
istimewa” anggota DPR itu.
Apakah ini bertentangan dengan asas persamaan dalam hukum? Dijawab “Ya”,
kalau asas tersebut ditafsirkan sebagai “perlakuan”, dan pasal ini ditafsirkan
sebagai diskriminasi yang “menguntungkan” anggota DPR. Tetapi dapat juga
dijawab “Tidak”, kalau asas tersebut ditafsirkan “perlindungan”, karena tidak ada
diskriminasi yang“merugikan” kelompok non-anggota DPR.
Lebih lanjut, Prof Mardjono mengatakan:
“Suara “protes” mengkaitkan ini juga dengan kemungkinan tersangka
“menghilangkan barang-bukti”, menghalangi penyidikan, terlalu dicari-cari sebagai
alasan. Pendapat yang mengatakan ini bertentangan dengan asas peradilan “cepat,
sederhana, biaya ringan” juga, menurut saya, tidak tepat. Karena asas terakhir ini
ditujukan untuk menguntungkan/melindungi seorang tersangka, agar penyidik
jangan “mengulur-waktu” perkara.
Dengan Pasal 245, memang tersangka/anggota DPR lebih beruntung, karena
kasusnya akan dinilai dahulu oleh MKD (apakah cukup ditangani secara internal,
melalui Kode Etik, ataukah memang beralasan ditangani oleh Penyidik). Pada
dasarnya setiap Organisasi Profesi (Dokter, Advokat, Akuntan,Psikolog, dan lain-
lain) mengatur demikian untuk anggota profesinya. Mengapa kita harus curiga
untuk Anggota DPR?
Pertanyaan sekarang adalah apakah “hak istimewa” (prerogative right) ini perlu
atau pantas diberikan kepada anggota DPR. Menurut saya, kalau kita mengakui
bahwa anggota DPR adalah wakil-wakil rakyat yang “mempersonifikasikan”
kedaulatan rakyat, maka “perlakuan istimewa” ini, adalah sudah sepantasnya kita
berikan. Kita menghormati lembaga DPR dan menurut saya kita juga tidak ingin
anggota-anggotanya dapat begitu saja dipangil oleh Penyidik untuk pelangaran
hukum yang tidak-serius. Dan bukankah ayat (3)
sudah menyempitkan/membatasi hak istimewa ini, dengan tiga perkecualian atas
hak-istimewa dalam ayat (1)?
Berbeda halnya dengan pendapat dari Koalisi Masyarakat Sipil yang mengajukan
protes terhadap keberadaan Pasal 245 ini, karena menganggap adanya “perlakuan”
yang berbeda kepada Anggota DPR dalam penyidikan tindak pidana. Setelah
disahkan menjadi undang-undang, Koaliasi Masyarakat Sipil pun
mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, dengan Nomor Perkara 76
dan 83/PUU-XII/2014. Dalam pandangannya, Koalisi Masyarakat Sipil
mempermasalahkan keberadaan Pasal 245 ini, dengan mengatakan bertentangan
dengan prinsip negara hukum dan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Bahkan
sudah ada Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011 yang menyebutkan keberadaan Pasal
yang mengharuskan izin dari Presiden dalam Proses Penyidikan (Kepala Daerah),
menghambat proses peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi sistem
penegakan keadilan.
Dengan melihat analisis-analisis tersebut, maka kita dapat melihat dua pemahaman
yang berbeda dalam melihat prinsip persamaan dihadapan hukum. Secara
psikologis, sebenarnya kita bisa melihat dan merasakan, mengapa Anggota DPR
memberikan “perlindungan” atau “perlakuan” khusus untuk mereka, yaitu agar
tidak mudah diproses pidana dalam berbagai kasus pidana. Dari aspek sikap, masih
banyak anggota DPR yang bertindak sok berkuasa sehingga terkadang berlaku
seenaknya. Doktrin “power tend to corrupt, absolutely power corrupt absolutely”
dari Lord Acton, kiranya dapat menjadi pertimbangan kemungkinan
penyalahgunaan kekuasaan. Karena itu secara pribadi saya melihat Pasal 245 ini
potensial disalahgunakan DPR dan Anggotanya untuk berlaku seenaknya, sehingga
layak untuk didukung dihapuskan.
Penghapusan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN)
Pada UU No. 27 Tahun 2009 ttg MD3 (UU MD3 Lama), BAKN merupakan salah
satu alat kelengkapan DPR (diatur dalam Pasal 110-116). BAKN bertugas:
1. Melakukan penelaahan terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan DPR;2. Menyampaikan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada komisi;3. Menindaklanjuti hasil pembahasan komisi terhadap temuan hasil pemerikasaan BPK atas
permintaan komisi; dan4. Memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan, hambatan
pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan.
Dengan melihat tugas tersebut, maka BAKN dibuat untuk mempertajam fungsi
pengawasan DPR khususnya dalam pengelolaan keuangan negara. Namun,
berdasarkan evaluasi Pansus MD3, dimana ada keinginan besar supaya komisi lebih
berdaya,[16]sehingga BAKN dihapuskan dan memberikan kewenangan lebih
kepada Komisi, yang tersebut dalam Pasal 98 Ayat (3) UU MD3 Baru:
(3) Tugas komisi di bidang pengawasan meliputi:
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, termasuk APBN, serta peraturan pelaksanaannya yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya;membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah; danmembahas dan menindaklanjuti usulan DPD.
Dengan demikian, komisi diberikan tugas untuk memperdalam setiap laporan hasil
pemeriksaan BPK, yang kemudian dijadikan bahan untuk melakukan evaluasi
kinerja pemerintahan. Agar berdaya, maka hasil rapat kerja komisi atau rapat
gabungan dengan pemerintah tersebut bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan
pemerintah.[17] Apabila tidak dilaksanakan, maka komisi dapat mengusulkan
penggunaan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak
anggota mengajukan pertanyaan sesuai peraturan perundang-undangan.
[18] Pejabat pemerintah yang tidak menjalankan hasil rapat tersebut dapat
direkomendasikan diberikan sanksi kepada presiden.[19]
Pengaturan mengikatnya hasil rapat kerja komisi tersebut yang menjadi pembeda
dengan yang diatur dalam UU MD3 lama. Hal inilah yang menjadi salah satu
semangat Revisi UU MD3. Karena itu, secara rasional, penghapusan BAKN
dapatlah diterima. Namun demikian, patut untuk terus dipantau dan diawasi,
jangan sampai komisi tidak fokus dalam mempertajam analisis pengelolaan
keuangan negara, akibat dihapuskannya BAKN tersebut. Setiap komisi harus
membentuk Panitia Kerja yang fokus membahas pengelolaan akuntabilitas
keuangan negara untuk kemudian dibawa ke Komisi dan dibahas dalam rapat
pengawasan. Dari aspek badan penunjang keahlian, semestinya dibentuk sebuah
badan yang berisikan pakar dan professional dibawah DPR sebagai Pusat
Pengkajian dan Analisis APBN serta Pengelolaan Akuntabilitas Keuangan Negara,
sebagai contoh di Amerika Serikat mempunyai Congressional Budget Office (CBo).
[20]
Turunnya Angka Kuorum Pengambilan Keputusan DPR Dalam Hal Hak Menyatakan Pendapat
Turunnya angka kuorum pengambilan keputusan DPR dalam hal Hak Menyatakan
Pendapat (HMP) terdapat dalam Pasal 210 Ayat (3) UU MD3 Baru sebagai
Perubahan Pasal 184 Ayat (3) UU MD3 Lama.
Pasal 184 Ayat (3) UU MD3 Lama
Usul sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menjadi hak menyatakan
pendapat DPR apabila mendapatkan
persetujuan dari rapat paripurna
DPR yang dihadiri paling sedikit 3/4
(tiga per empat) dari jumlah
anggota DPR dan keputusan diambil
dengan persetujuan paling sedikit
3/4 (tiga per empat) dari jumlah
anggota DPR yang hadir.
Pasal 210 Ayat (3) UU MD3 Baru
Usul sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menjadi hak menyatakan
pendapat DPR apabila mendapatkan
persetujuan dari rapat paripurna
DPR yang dihadiri paling sedikit 2/3
(dua per tiga) dari jumlah anggota
DPR dan keputusan diambil dengan
persetujuan paling sedikit 2/3 (dua
per tiga) dari jumlah anggota DPR
yang hadir.
Latar belakang turunnya angka kuorum ini adalah pengalaman DPR Periode 2009-
2014 yang kesulitan untuk melanjutkan Hasil Hak Angket Kasus Bail Out Bank
Century (yang menyatakan Bail Out Bank Century tidak dibenarkan dan dinyatakan
telah terjadi pelanggaran pidana) untuk dibawa Hak Menyatakan Pendapat (HMP).
Untuk itu diperlukan penurunan angka kuorum.
Apabila dicermati, dalam Pasal 7B Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, disebutkan
“Pengajuan permintaan Dewan perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi
hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan
Rakyat”.
Pasal 7B Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 inilah yang menjadi acuan, mengingat
untuk proses “impeachment” saja syaratnya 2/3 hadir dan didukung 2/3 yang hadir,
mengapa HMP harus dinaikkan menjadi ¾ hadir dan didukung ¾ yang hadir. Jadi
keberadaan syarat HMP pada UU MD3 lama sebenarnya sudah menyalahi
konstitusi, oleh karena itu juga sudah seharusnya dirubah.
Selain isu-isu tersebut, ada beberapa isu lain yang muncul, yaitu[21]:
Pertama, minimnya ruang pengawasan, transparansi dan akuntabilitas
penyelenggaraan DPR dengan menghapus kewajiban fraksi melakukan evaluasi
kinerja anggotanya, dan melaporkan kepada publik. Tidak hanya itu. Kewajiban
DPR melaporkan pengelolaan anggaran kepada publik dalam laporan kinerja
tahunan sebagaimana diatur sebelumnya dalam Pasal 73 ayat 5 UU No 27 Tahun
2009 pun turut dihapus. DPR juga masih akan mempertahankan berlangsungnya
rapat-rapat tertutup apabila disetujui peserta rapat.
Kedua, soal Tren Penambahan Kewenangan MPR. Jika diamati sejak UU No 22
Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU
Susduk) hingga UU MD3 yang baru (sebagaimana yang disahkan pada 8 Juli 2014),
ada kecenderungan penambahan kewenangan MPR. Sebagian besar penambahan
kewenangan praktis hanya untuk kepentingan sosialisasi dan ini tentu saja akan
berdampak pada pembengkakan anggaran. Selain itu, potensi penganggaran ganda
bisa ditemui pada pelaksanaan tugas MPR berupa penyerapan aspirasi masyarakat
berkaitan dengan pelaksanaan UUD 1945. Mengingat anggota MPR terdiri dari
anggota DPR dan anggota DPD yang pada saat bersamaan mendapatkan pula
alokasi anggaran untuk kegiatan menyerap aspirasi dari masyarakat.
Ketiga, soal Mekanisme Pemilihan Pimpinan DPR. Tidak konsistennya pengaturan
mekanisme pemilihan pimpinan DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
menunjukkan bahwa Pansus RUU MD3 tidak mempunyai visi yang jelas terhadap
desain kelembagaan pimpinan lembaga legislatif. Selain itu, mekanisme pemilihan
pimpinan DPR yang telah ditetapkan dalam UU MD3 yang baru merupakan daur
ulang mekanisme lama yang sudah terbukti mengakibatkan kinerja DPR periode
2004-2009 khususnya pada tahun pertama menjadi terhambat. Hal itu disebabkan
tarik ulur kepentingan yang terpolarisasi melalui Koalisi Kerakyatan dan Koalisi
Kebangsaan. Naskah Akademik, suatu dokumen rujukan yang memuat asal usul
atau latar belakang kenapa butuh UU MD3 yang baru, tidak pernah mencantumkan
kebutuhan untuk mengubah mekanisme pemilihan pimpinan DPR.
Keempat, soal Mahkamah Kehormatan. Dalam konteks tugas dan wewenang,
keberadaan Mahkamah Kehormatan mengalami perluasan dibandingkan Badan
Kehormatan. Jika Badan Kehormatan hanya pada ranah kode etik, keberadaan
Mahkamah Kehormatan masuk hingga ranah penegakan hukum melalui adanya izin
pemanggilan dan pemeriksaan.
1. Kontroversi RUU Pilkada
Selain UU MD3 yang telah disahkan pada 8 Juli 2014, saat ini ada RUU yang juga
cukup menyita perhatian publik, yaitu RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang
rencananya akan disahkan pada Paripurna DPR RI 25 September 2014 mendatang.
Perdebatan sentralnya adalah Pilkada Langsung dan Pilkada Tidak Langsung via
DPRD. Untuk membedahnya, kita akan membahasnya dari segi sejarah
pembentukan, konstitusi, konfigurasi politik dan perkembangan demokrasi.
C.1. Sejarah Lahirnya RUU Pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebelumnya diatur dalam UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mengingat ada banyak pasal yang diatur
khusus mengenai mekanisme Pilkada yakni 63 Pasal (Pasal 56 – Pasal 119), maka
dalam revisinya, Pilkada ini dipisahkan dari UU Pemda. Dalam Prolegnas sejak
tahun 2011 sudah dimasukkan dengan No. 42, Prolegnas tahun 2012 No. 52,
Prolegnas tahun 2013 No. 3, Prolegnas tahun 2014 No. 3. Ini artinya sudah 4 tahun
RUU ini dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional dimana RUU disiapkan
pemerintah selama 2 tahun, kemudian dibahas bersama di DPR selama 2 tahun.
Sehingga dari sisi waktu memang sudah waktunya untuk segera disahkan.
Pilkada secara langsung sejak 1 Juni 2005 telah melahirkan beberapa yang
menyebabkan pemerintah mengusulkan Revisi RUU Pilkada, antara lain[22]: Pilkada langsung dibeberapa tempat melahirkan konflik horizontal antara sesama masyarakat.
Benturan masyarakat ini tentu menjadi keprihatinan yang mendalam, karena ketidaksiapan menang atau kalah.
Pilkada langsung secara biaya cukup menyedot anggaran, baik pusat maupun daerah. Berdasarkan data dari Mahkamah Konstitusi, disetiap Pilkada langsung, dipastikan akan gugatan
sengketa Pemilukada ke MK, termasuk juga ketika sengketa Pilkada di Mahkamah Agung.[23] Sering terjadinya kecurangan yang terstruktur, sistematis dan massif khususnya dalam bentuk
money politik dan vote buying, sehingga memberikan pelajaran demokrasi yang buruk pada masyarakat.
Terjadinya politisasi birokrasi pemerintahan daerah. Penegakan hukum dank ode etik tidak berjalan. Partisipasi pemilih yang rendah (rata-rata dibawah 70%). Banyak kepala daerah terjerat korupsi.[24] Kepala daerah tidak akur dengan wakil kepala daerah. Kepemimpimpinan lemah, manajemen rendah, dan birokrasi amburadul, serta terjadi politik
transaksional dalam menjalankan roda pemerintahan. Pemerintah tidak efektif.
Atas pertimbangan tersebut, maka Pemerintah sebagai pihak yang diberi tugas
menyiapkan Drat RUU Pilkada melakukan langkah memberi usulan revoluioner
berupa mengubah Pilkada langsung menjadi Pilkada tidak langsung via DPRD.
C.2. Perspektif Konstitusi terhadap Pemilihan Kepala Daerah.
Dalam UUD NRI Tahun 1945, Pasal 18 Ayat (4) disebutkan kepala daerah dipilih
secara demokratis. Untuk memahaminya, maka salah satu caranya adalah dengan
membukaoriginal intent Perubahan UUD NRI Tahun 1945. Untuk melihat hal
tersebut, dapat dilihat dalam Risalah Pembahasan UUD 1945, yang dapat diunduh
lewatwww.mahkamahkonstitusi.go.id tentang Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang,
Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan
Negara Jilid 2. Dalam risalah tersebut khususnya Bab V (hlm. 1107-1432) diulas
secara khusus pembahasan Perubahan UUD 1945 mengenai Pemerintahan Daerah.
Ketika itu, draft naskah perubahan dari Badan Pekerja adalah kepala daerah dipilih
secara demokratis, namun Prof Bagir Manan mengusulkan pemerintahan daerah
mengakomodir pemilihan kepala daerah secara langsung.[25] Atas draft tersebut,
beberapa Fraksi memberikan klarifikasi dan komentar, seperti Soedijarto dari
Fraksi Utusan Golongan mengklarifikasinya dengan mengatakan:[26]
“…mengenai pemilihan Gubernur, walikota yang langsung disarankan dipilih
langsung sedangkan konsepnya kan sangat demokratis, dan masih tergantung
perkembangan pemilihan presiden dan sebagainya. Indonesia belum pernah
berpengalaman memilih pemimpun langsung kecuali Kepala Desa yang praktiknya
main uang, dan semua pemimpn sekarang termasuk ketua partaipun tidak dipilih
oleh anggota partai, kok sedang Gubernur sudah mau dipilih rakyat. Apakah ini
tidak riskan karena budaya demokrasi kita belum tumbuh, karena itu saya ingin
kembali kepada asalnya yaitu dipilih secara demokratis, …. Konstitusi tidak
mendikte kepada daerah supaya dipilih langsung”.
Kemudian Pataniari Siahaan dari F-PDIP megusulkan agar kepala daerah “… dipilih
secara demokratis sebagaimana diatur undang-undang. Jadi demokratisnya bukan
oleh rakyat”.[27] Atas beberapa pendapat tersebut, Prof Bagir Manan menyerahkan
kepada anggota rapat, apakah dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih secara
demokratis.[28]Pada akhirnya draft yang disepakati dan dibawa ke Rapat Paripurna
ke-9, 18 Agustus 2000 adalah Pemilihan kepala daerah dipilih secara demokratis.
Hamdan Zoelva, memberikan pandangan terdapat dua prinsip yang terkandung
dalam rumusan “kepala daerah dipilih secara demokratis”, yaitu pertama: kepala
daerah harus “dipilih”, tidak dimungkinkan untuk langsung
diangkat. Kedua, pemilihan dilakukan secara demokratis, maknanya tidak harus
dipilih langsung oleh rakyat, akan tetapi dapat juga bermakna dipilih oleh DPRD
yang anggota-anggotanya juga hasil pemilihan demokratis melalui Pemilu.[29]
Atas pertimbangan tersebut, maka klausul pemilihan kepala daerah dipilih secara
demokratis memiliki makna harus adanya proses pemilihan yang dapat langsung
oleh rakyat dan dapat juga melalui DPRD. Untuk itu, klausul ini disebut
sebagai open legal policy secara konstitusi. Kedua opsi yang sedang diperdebatkan
dalam draft RUU Pilkada saat ini sama-sama konstitusional.[30]
C.3. Perspektif Konfigurasi Politik
Konfigurasi Politik di DPR sangat berpengaruh dalam pembahasan RUU Pilkada.
Pada tahun 2012 ketika draft RUU Pilkada dimasukkan Pemerintah ke DPR,
klausulnya pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Klausul tersebut didukung
mayoritas partai politik dengan jumlah kursi besar seperti Partai Demokrat, Partai
Golkar, dan PKB. Sementara itu, PKS karena jumlah kursinya tidak besar menolak
usulan Pilkada melalui DPRD.
Berbicara konfigurasi politik tersebut, mengapa pemerintah mengajukan opsi
Pilkada melalui DPRD dapat dimaklumi, karena partai politik penguasa
pemerintahan yakni Partai Demokrat merupakan partai terbesar dengan 148
anggota dari 560 anggota.
Perdebatan mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah sebenarnya hampir
menemui titik temu, yaitu; pertama tetap dilakukan pemilihan
langsung; keduapelaksanaan dilakukan secara serentak antara Pilkada Gubernur
dan Pilkada Bupati/Walikota dalam rangka penghematan anggaran dan
memperjelas konfigurasi politik didaerah sehingga rakyat lebih rasional dalam
memilihnya.
Namun, perhelatan Pemilu Presiden 2014 dengan 2 (dua) calon pasangan, berimbas
pula pada konfigurasi politik setelah Pilpres. Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri
Partai Gerindra, Partai Golkar, PPP, PAN dan PKS termasuk juga Partai Demokrat
(6 partai dengan jumlah 421 kursi DPR) pada 9 September 2014 bersepakat
mendukung Pilkada melalui DPRD. Sementara Koalisi penyokong Calon Presiden-
Wakil Presiden Jokowi JK yang terdiri dari PDIP, PKB dan Partai Hanura (3 partai
degan jumlah 139 kursi DPR) mendukug Pilkada langsung.
Polarisasi konfigurasi politik tersebut merupakan konsekuensi sistem multipartai
yang dianut di Indonesia, dimana partai-partai politik sangat cair dalam ideologi
dan dalam penentuan dukungan politik. Hal ini tidak hanya berpengaruh pada
dinamika RUU Pilkada, tetapi juga berpengaruh pada RUU MD3 yang telah dibahas
sebelumnya.
Terakhir, 19 September 2014 kemarin, Fraksi Partai Demokrat balik badan
mendukung Pilkada Langsung, sehingga mengubah konfigurasi politik yang pro
Pilkada langsung menjadi 4 partai dengan 287 kursi di DPR, dan yang pro Pilkada
melalui DPRD menjadi 5 partai dengan 273 kursi di DPR.
C.3. Perspektif Perkembangan Demokrasi
Apabila kita mempelajari mengenai demokrasi sebagai pemerintahan dari, oleh, dan
untuk rakyat dari awal mula zaman Yunani Kuno sampai dengan zaman sekarang
(modern dan postmodernisme), maka kita akan menemui uniknya perkembangan
demokrasi.
Pada awalnya demokrasi di Yunani Kuno masih bersifat polis-polis atau the Greek
Stateyaitu pada mula pertamanya merupakan suatu tempat dipuncak suatu bukit.
[31] Lama kelamaan orang-orang banyak yang tinggal di tempat itu dengan jalan
mendirikan tempat tinggal bersama, berupa rumah-rumah dan kemudian tempat
tersebut dikelilinginya dengan suatu benteng tembok untuk menjaga serangan dari
luar.
Pemerintahan dalam polis merupakan hal yang tinggi, karena di atas polis tidak ada
lagi suatu organisasi kekuasaan lain yang menguasai dan memerintah polis itu.
Inilah letak keistimewaan dari polis. Organisasi yang mengatur hubungan antar
orang se-polis itu tidaklah hanya mempersoalkan hubungan organisasinya saja
melainkan juga mempersoalkan mengenai hidup kepribadian orang-orang yang
hidup disekitarnya. Oleh karena itu terdapat campur tangan organisasi yang
mengatur polis. Karena polis disamakan (identik) dengan masyarakat negara atau
negara, maka polis merupakan negara kota (standstaat atau citystate).
Sehubungan dengan itu, dikalangan pemerintahan lazimnya berwujud demokrasi
langsung atau direct democracy, rakyat di dalam polis ikut serta secara langsung
menentukan beleid kebijaksanaan pemerintah atau adanya direct government by all
the people.[32]
Dalam episode Yunani Kuno tersebut, dapat kita temui beberapa pemikir hebat
yang sampai saat ini masih dipelajari, seperti Plato, Aristoteles, Polybios dan lain-
lain. Misalnya yang menarik adalah pendapat Polybios,[33] yang menjelaskan
bahwa sebagai bentuk negara yang tertua ialah monarki, pemerintahan dijalankan
oleh seorang pemimpin negara, karena orang tersebut mempunyai bakak
kepandaian dan keberanian dari yang lain-lainnya sehingga merupakan primus iner
pares atau yang pertama diantara yang sama. Ia memerintah dengan tujuan baik
dan ditujukan demi kepentingan umum berlandaskan keadilan. Akan tetapi para
penggantinya kemudian bertindak menyeleweng, memerintah demi kepentingan
diri pribadi dan bertindak sewenang-wenang. Karena itu timbulah tirani.
Dari bentuk negara tirani ini lama kelamaan para warganya memberontak karena
tidak tahan akan penderitaan dan penindasan yang dilakukan oleh seorang tiran
itu. Hasil perlawanan itu, para warga memilih beberapa orang dari golongan
ningrat cerdik pandai, yang diberi kepercayaan memerintah, dengan demikian
timbulah negaraaristokrasi.
Kemudian aristokrasi mengalami proses kemunduran dan kemerosotan karena
pimpinan negara bertindak demi kepentingan mereka yang memerintah, bertindak
main hakim sendiri secara semena-mena, hal yang demikian mengakibatkan
terbentuknya negara oligarkhi.
Dari bentuk negara oligarkhi pun mengalami nasib yang sama seperti tirani, akrena
tindakan sewenang-wenang dan memperkosa hukum, menimbulkan perlawanan
dari para warganya terhadap beberapa pimpinan negara itu. Dalam perjuangan itu
para warganya mengambil alih kekuasaan pemimpin negara, maka mereka, yaitu
para warga atau rakyat memegang pemerintahan, sehingga timbulah
negara demokrasi.
Apabila bentuk negara demokrasi ini dalam prosesnya mengalami kemunduran,
disebabkan warganya atau rakyat tidak tahu sedikitpun tentang pemerintahan dan
tanpa pendidikan turut campur dalam pemerintahan, maka timbullah pemerintahan
secara liar dari rakyat gembel yang hina. Karena itu timbulah negara okhlokrasi.
Setelah pemerintahan okhlokrasi menimbulkan kebejatan dan kebobrokan dari
demokrasi, maka para wargapun sadar dan menginginkan adanya pemerintahan
yang baik dan adil. Karenanya muncul seorang warga yang berani maju kedepan
dan mengambil alih pimpinan negara. Timbulah negara monarkhi.
Pemikiran tersebut kemudian sering disebut siklus Polybios:
Bagan Siklus Polybios
Pemikiran mengenai adanya bentuk-bentuk negara yang bertujuan untuk
kepentingan umum, disertai pula bentuk pemerosotannya memberikan pelajaran
berharga dalam perjalanan bernegara. Khususnya mengenai demokrasi, akan
menjadi bentuk pemerosotan apabila rakyat tidak memiliki pendidikan dan
kemampuan mengelola negara, sehingga negara akan roboh akibat salah atur.
Demokrasi langsung yang berlaku di Yunani Kuno dianggap salah satu bentuk
pemerintahan yang baik. Namun, karena perkembangan negara yang meluas dan
lintas polis, sehingga demokrasi langsung sulit diterapkan. Karenanya timbul
demokrasi tidak langsung (indirect democracy) melalui pelembagaan badan
perwakilan rakyat.
Perkembangan demokrasi berikutnya berlangsung di Romawi Kuno dengan
keberhasilan rezimnya menetapkan konstitusi yang memadukan bentuk-bentuk
pemerintahan antara monarkhi, aristokrasi dan demokrasi. Bentuk pemerintahan
itu kemudian disebut dengan republic. Terminologi republik berasal dari Bahasa
Latin yang terdiri dari dua suku kata yakni res yang berarti kejadian atau peristiwa
dan publicusyang berarti publik. Jika kedua kata digabungkan secara peristilahan
akan membentuk suatu pengertian yang menunjukkan kepemilikan rakyat.[34]
Dengan melihat demokrasi tidak langsung merupakan perkembangan demokrasi
langsung, maka klaim perdebatan dalam RUU Pilkada, bahwa Pilkada melalui DPRD
adalah kemunduran demokrasi kuranglah tepat. Karena derajat maju mundurnya
demokrasi subtantif sebenarnya tidak diukur dari prosedur bentuk langsung atau
tidak langsungnya saja.
Dalam perkembangan demokrasi modern ini, baik demokrasi langsung maupun
tidak langsung adalah sebuah keniscayaan. Karenanya, diperlukan perpaduan yang
saling melengkapi agar pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat dapat berjalan
dengan efektif.
Demokrasi subtantif saat ini sering disebut dengan istilah demokrasi partisipatif
sebagai bentuk perlawanan demokrasi elitis. Partisipasi masyarakat dalam hal ini
merupakan cerminan demokrasi partisipatoris, sebagaimana disebutkan R.B.
Gibson, bahwa:[35]
“… that the purpose of democracy is to ensure that decisions are made by
individuals who will be affected. The requirements of this democracy are fully met
only if all individuals are enables and encouraged to participate ini the decisions
which will affect their lives. Thus, in participatory theory, the sphere of democracy
encompasses all areas of collective action and decision, regardless of the arbitrary
divisions of social, economic, and political concern. Participatory theory purposes
democratic societies, not just democratic government.”
Bagaimanapun dengan terpilihnya wakil rakyat tidak menghilangkan peran
masyarakat dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi kehidupan
masyarakat itu sendiri. Kalau dalam demokrasi elit, partisipasi masyarakat begitu
dibatasi, dalam demokrasi partisipatoris keterlibatan masyarakat yang luas dan
bermakna merupakan keniscayaan. Argumentasinya, makna hakiki dari demokrasi
adalah memberi dorongan bagi masyarakat berperan serta dalam pembuatan
keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. R. B. Gibson menambahkan,
demokrasi partisipatori tidak hanya berupaya mewujudkan pemerintahan yang
demokratis (democratic government), tetapi juga masyarakat yang demokratis
(democratic societies).[36]
Hal tersebut tentunya berbeda dengan demokrasi elit yang merupakan lawan dari
demokrasi partisipatoris, sebagaimana disebutkan R.B. Gibson, yaitu[37]
“… that the main purpose of the democratic aspect of government is to ensure that
the elite leaders who are charged with making governmental decisions do not vary
too far from general interests of the electorate. In the elite theory the sphere of
democracy is confined to the elective positions of public government. The
requirements of democracy will be met if citizens are allowed to choose leaders
freely from the ranks of competing elites.”
Demokrasi elit cenderung menisbikan peran masyarakat setelah proses pemilihan
umum selesai, yaitu dengan terpilihnya wakil rakyat. Jika warga negara telah
melaksanakan hak pilihnya dalam pemilihan umum, maka seterusnya
penyelenggaraan pemerintahan diserahkan kepada mereka yang terpilih menjadi
anggota lembaga legislatif. Hal ini berpotensi pada pengabaian atau juga upaya
melupakan kepentingan masyarakat yang mengitari anggota legislatif tersebut.
Gibson menambahkan, masyarakat lebih cenderung memikirkan diri sendiri
sehingga sering terjadi perbedaan kepentingan yang dapat menimbulkan konflik.
[38]
Uraian tersebut menunjukkan bahwa negara demokratis partisipatoris dan elit
menunjukkan juga kualitas demokrasi perwakilan yang dibangun. Selain demokrasi
partisipatif, dewasa ini berkembang juga demokrasi deliberatif yang dikembangkan
Jurgen Habermas.[39] Bagi Habermas, perkembangan demokrasi saat ini berbeda
dengan zaman Yunani Kuno yang masyarakatnya kecil berupa polis-polis, menjadi
masyarakat yang besar (gigantis), dipenuhi dengan pluralitas masyarakat yang
kompleks yang juga terglobalisasi. Dalam demokrasi deliberatif yang memiliki
peran besar adalah komunikasi antara pemimpin yang dipimpinnya.
Deliberatif atau bahasa Latinnya deliberation, bahasa
Inggrisnya deliberation, berarti “konsultasi”, mengacu pada prosedur formasi opini
dan aspirasi masyarakat secara demokratis. Dalam demokrasi deliberatif bukanlah
jumlah kehendak individual atau juga kehendak umum yang menjadi sumber
legitimasi. Yang menjadi sumber legitimasi adalah proses formasi deliberatif
(konsultasi), argumentative-diskursif suatu keputusan politis yang ditimbang
bersama-sama senantiasa bersifat sementara dan terbuka untuk direvisi.
Dengan ungkapan lain, legitimasi kebijakan publik bukan terletak pada hasil
komunikasi politik, melainkan pada prosesnya. Semakin diskursif proses, yakni
semakin rasional dan terbuka terhadap pengujian publik, makin terlegitimasi pula
hasilnya.[40]
Pemahaman demokrasi partisipatif dan deliberatif sekaligus perlawanan terhadap
demokrasi elitis tersebut, menjadikan dasar untuk menilai apakah Pilkada
Langsung atau Pilkada Lewat DPRD dapat dikatakan meningkatkan kualitas
demokrasi atau tidak.
Apabila dicermati mengenai pelaksanaan Pilkada Langsung sejak 1 Juni 2005, maka
saat ini telah memasuki periode ke-3 Pilkada Langsung. Pada periode pertama,
Pilkada Langsung masih banyak menghasilkan pemimpin-pemimpin stok lama yang
belum mampu memberikan perubahan dalam pemerintahan. Namun, dalam periode
kedua, mulai terpilih Kepala Daerah yang mampu menjalankan fungsi
kepemimpinannya secara baik, termasuk juga membangun komunikasi yang intensif
dengan masyarakat. Ditambah teknologi yang mendukung melalui social media,
twitter,
facebook, path, dan lain-lain, sehingga mendekatkan pemimpin dengan rakyat secara langsung. Periode kedua ini menghasilkan pemimpin-pemimpin yang menjadi idola publik, apakah itu Jokowi, Ridwan Kamil, Risma, Ahmad Heriawan, dan lain-lain. Model kepemimpinannya sudah lebih partisipatif bahkan deliberatif, dengan mengajak warga yang dipimpinnya untuk bersama membangun daerah. Dengan melihat fakta tersebut, maka Pilkada langsung adalah salah satu sarana memperoleh pemimpin yang partisipatif dan deliberatif.
Namun, tidak semua kepala daerah yang dipilih langsung berprestasi. Padahal
anggaran untuk Pilkada langsung lebih besar dibandingkan dengan Pilkada tidak
langsung. Sebagaimana disebut sebelumnya, banyak Kepala Daerah yang
tersangkut korupsi pula, selain juga banyak ekses negatif akibat Pilkada langsung
tersebut.
Karenanya model Pilkada melalui DPRD bisa dipertimbangkan, dengan syarat DPRD
khususnya Partai Politik siap menjalankan partisipasi dan deliberasi dalam
pemilihan kepala daerah. Mekanismenya, pertama, semua calon dapat terakomodir
dalam Pilkada melalui DPRD, termasuk juga calon independen. Kedua, calon kepala
daerah harus kapabel dan berintegritas. Ketiga, partai politik di DPRD melakukan
proses konsultasi kepada masyarakat dengan cara membuka diskusi dan
perdebatan bahkan melalui mekanisme konvensi. Keempat, partai politik di DPRD
harus menjalankan hasil konsultasi tersebut untuk kemudian dijadikan dasar dalam
pemilihan kepala daerah.
Permasalahannya, wakil-wakil rakyat kita saat ini masih bertindak sebagai elit yang
sering melupakan rakyatnya. Karenanya kita perlu mengungkap pendapat Gilbert
Abcarian sebagai mana dikutip Max Boboy yang membagi empat tipe hubungan
antara wakil dengan yang diwakili sebagai berikut:[41] Sang wakil bertindak sebagai wali (truste), dimana wakil bebas bertindak berdasarkan
pertimbangannya sendiri tanpa harus berkonsultasi dengan yang diwakilinya; Sang wakil bertindak sebagai utusan (delegate) yakni sang wakil bertindak sebagai utusan atau
duta dari yang diwakilinya sehingga sang wakil senantiasa mengikuti perintah atau instruksi serta petunjuk dari yang diwakili dalam melaksanakan tugas;
Sang wakil bertindak sebagai politico artinya kedudukan wakil terkadang bertindak sebagai wali (truste), dan kadang kala bertindak sebagai utusan (delegate). Hal itu tergantung pada issu dan pembahasan di tingkat lembaga perwakilan; dan
Sang wakil bertindak sebagai partisan. Posisi wakil dalam persoalan ini cenderung kepada kehendak atau aspirasi partainya, sedangkan hubungan dengan konstituen pemilihnya setelah pemilihan tidak terlalu nampak.
Selain itu juga, A. Hoogerwerf membagi lima model hubungan antara wakil dengan
yang diwakili sebagai berikut:
Model utusan (delegate) yakni wakil bertindak sebagai diperintah atau kuasa usaha yang menjalankan perintah dari yang diwakili;
Model wali (truste) yakni sang wakil bertindak sebagai orang yang diberi kuasa penuh dari yang diwakili sehingga memiliki kebebasan bertindak berdasarkan pendiriannya;
Model politicos yakni model yang memungkinkan sang wakil bertindak kadang sebagai delegasi dan kadang sebagai kuasa penuh;
Model kesatuan yakni model yang mengonsepsi anggota parlemen sebagai wakil rakyat seluruhnya; dan
Model penggolongan (diversifikasi) yakni keanggotaan wakil di parlemen dipandang sebagai wakil kelompok territorial, kelompok sosial atau kelompok politik tertentu.
Dari pembagian model tersebut, sejauh ini wakil rakyat masih banyak yang
berperan sebagai wali (truste) yang bekerja tanpa berkonsultasi pada rakyatnya.
Mereka belum mampu membuka diri secara partisipatif dan deliberatif. Sehingga
terkait dengan pilihan Pilkada melalui DPRD justru akan mengarahkan pada
demokrasi elitis. Karenanya, pilihan Pilkada melalui DPRD untuk saat ini kuranglah
tepat.
Inilah pelajaran penting bagi perjalanan demokrasi kita. Dan mahasiswa
seharusnya tidak terjebak dalam blok-blok dukung mendukung Pilkada Langsung
atau Tidak Langsung. Mahasiswa harusnya memberikan rekomendasi subtantif
demi perkembangan demokrasi yang lebih baik, sehinggga tidak terjadi politisasi
mahasiswa.
1. Penutup
Dari pembahasan mengenai berbagai macam isu dalam UU MD3 dan RUU Pilkada
sebagai warisan sang wakil rakyat periode 2009-2014, maka kita bisa memberikan
penilaian positif dan negatif. Hal ini karena keran demokrasi partisipatif maupun
deliberatif belum dilakukan secara baik oleh partai politik di lembaga perwakilan
rakyat.
Bagi mahasiswa, maka mendorong perbaikan bangsa dapat dilakukan dengan
berbagai macam cara, tanpa kemudian harus terjebak dalam blok-blok partai politik
yang terpolisasi. Sehingga, peran mahasiswa sebagi agent of change, dan agent of
control social dapat dilakukan dengan baik.
[1] Makalah yang disampaikan dalam Diskusi Publik “Warisan Wakil Rakyat” yang
diselenggarakan oleh Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB, 19 September 2014 di
Kampus ITB Bandung.
[2] Tenaga Ahli di DPR RI, Peneliti Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara (ASHTN),
Wakil Presiden BEM Kema Unpad 2009-2010, Kordinator Isu Pemilu BEM Seluruh
Indonesia Tahun 2008-2010.
[3] Fungsi Legislasi masih bermasalah, misal tahun 2010 dengan Prolegnas 70 RUU
hanya 16 yang disahkan, pada tahun 2011 dengan Prolegnas 93 hanya 24 yang
disahkan, pada 2012 dengan Prolegnas 69 RUU hanya 30 disahkan.
[4] Fungsi pengawasan dalam bentuk Hak Angket Century belum mampu
menyelesaikan kasus tersebut secara efektif, juga dalam masalah Mafia Pajak yang
tidak terselesaikan.
[5] Fungsi Anggaran DPR belum optimal mendorong APBN untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, misal pemborosan dalam hal Anggaran Perjalan Dinas yang
terlalu besar dibandingkan Anggaran untuk Pengentasan Kemiskinan. Selain itu
adanya Oknum Anggota DPR terlibat Mafia Anggaran semakin memperburuk kerja
DPR.
[6] Permohonan Perkara No. 73/PUU-XII/2014, lihat Risalah Sidang MK
diwww.mahkamahkonstitusi.go.id.
[7] Permohonan Perkara No. 76/PUU-XII/2014 dan 83/PUU-XII/2014 lihat Risalah
Sidang MK di www.mahkamahkonstitusi.go.id.
[8] Pemohonan Perkara No. 82/PUU-XII/2014, lihat Risalah Sidang MK
diwww.mahkamahkonstitusi.go.id.
[9] Sumber: Harian Kompas, Kamis 11 September 2014, hlm. 2.
[10] Permohonan Perkara No.79/PUU-XII/2014, lihat Risalah Sidang MK
diwww.mahkamahkonstitusi.go.id.
[11] Pasal 81 huruf (e) memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat.
[12] Pasal 81 huruf (i) menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui
kunjungan kerja secara berkala.
[13] Pasal 81 huruf (j) menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan
masyarakat
[14] Mei Susanto, Hak Budget Parlemen Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
[15] Lihat Pendapat Prof. Mardjono, tentang Hak Imunitas dan Asas Persamaan
Kedudukan Di Hadapan Hukum Dalam UU
MD3,http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt540d7c056fc44/hak-imunitas-dan-
asas-persamaan-kedudukan-di-hadapan-hukum-dalam-uu-md3-broleh–prof-
mardjono-reksodiputro–sh–ma.
[16] Disampaikan Ketua Pansus MD3, Beni K. Harman dalam pengantar Revisi UU
No. 27 Tahun 2009.
[17] Pasal 96 Ayat (6) UU MD3 Baru: “Keputusan dan/atau kesimpulan rapat kerja
komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat mengikat antara DPR dan
Pemerintah serta wajib dilaksanakan oleh Pemerintah.”
[18] Pasal 96 Ayat (7) UU MD3 Baru.
[19] Pasal 96 Ayat (8) UU MD3 Baru.
[20] Mei Susanto, Ibid., hlm. 336.
[21] Beberapa hal tentang isu-isu dalam UU MD3 Baru diungkapkan Koalisi
Masyarakat Sipil.
[22] Dielaborasi dari beberapa sumber media, dan Presentasi Parludem,
Pemilukada yang Demokratis dan Efisien, Masalah Pemilukada dan Masalah Pasca
Pemilukada, dalam Prosiding Seminar Nasional Evaluasi Pemilihan Umum Kepala
Daerah, Jakarta 24-26 Januari 2012, Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal
Mahkamah Konstitusi.
[23] Pada Tahun 2008/2009 tercatat ada 30 gugatan sengketa Pilkada ke MK, tahun
2010 ada 230 gugatan. Dan tahun 2011 ada 137 gugatan.
[24] Data Kemendagri, terdapat 318 Kepala Daerah yang tersangkut korupsi sampai
dengan tahun 2013.
[25] Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku IV Kekuasaan
Pemerintahan Negara Jilid 2, Jakarta, 2010, hlm. 1360.
[26] Ibid., hlm. 1365.
[27] Ibid., hlm. 1397.
[28] Ibid. hlm. 1360.
[29] Hamdan Zoelva, Tinjauan Konstitusi Pemilihan Kepala Daerah.
[30] Sebagai catatan tambahan, pada pembahasan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, tidak terjadi perdebatan panjang mengenai makna dipilih
secara demokratis, karena langsung diusulkan opsi dipilih secara langsung oleh
rakyat, hal ini disebabkan pertama, hasil Perubahan Ketiga UUD NRI Tahun 1945
tahun 2001, Presiden dan Wakil Presiden sudah dipilih secara langsung oleh
rakyat, kedua, berbagai penyerapan aspirasi masyarakat diseluruh Indonesia
diperoleh aspirasi dominan dari masyarakat menghendaki kepala daerah dipilih
secara langsung oleh rakyat. Hanya yang menjadi perdebatan adalah bagaimana
mekanisme pemilihan langsung ini dilakukan disetiap daerah apakah disamakan
atau bisa berbeda-beda dimasing-masing daerah disesuaikan dengan kondisi dan
kekhususan masing-masing daerah. Lihat Hamda Zoelva, Ibid.
[31] Sjachran Basah, Ilmu Negara, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1997, hlm. 92.
[32] Ibid., hlm. 93.
[33] Ibid., hlm. 125-127.
[34] Suyatno, Menjelajahi Demokrasi, Yogyakarta, Liebe Book, 2004, hlm. 15.
[35] R.B. Gibson, The Value of Participation, dalam Saldi Isra, Pergeseran Fungsi
Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial
Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2010., hlm. 283.
[36] Ibid., hlm. 284.
[37] Ibid., hlm. 283.
[38] Ibid.
[39] Lihat F. Budi Hadirman, Demokrasi Deliberatif, Menimbang ‘Negara Hukum’
dan ‘Ruang Publik’ daalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, Yogyakarta, Kanisius,
2009. Hlm. 125.
[40] Ibid. hlm. 130.
[41] Ibid,. hlm. 23.