Download - master terob oktober 2013 fix.pdf
-
Prof.
Prof.
-
1
SIMBOLISASI TOKOH SENTRAL
LAKON PANJI PADA WAYANG TOPENG MALANG
Robby Hidajat
Abstak Simbolisasi yang terkandung dalam karakteristik tokoh dalam Lakon Panji terkait
dengan konsepsi konsmologi Jawa yang hidup dalam pikiran para pendukungnya. Pemahaman
karakteristik tokoh dimaksudkan untuk memahami nilai pendidikan yang terkandung,
kaitannya dengan konsepsi yang melatar belakangi kehadiran pada tokoh tersebut. Pada Lakon
Panji ditemukan empat tokoh sentral (inti) yaitu: Panji Asmarabangun, Galuh Candrakirana,
Gunungsari, dan Klana Sewandana. Adapun keterkaitan dari empat tokoh tersebut adalah
bersandar pada kosmologi Jawa yang disebut macapat, yaitu tentang kesadaran tentang adanya
nilai-nilai kearifan local yang mampu membentuk kepribadian masyarakat pendukungnya.
Kata kunci: Simbol, Tokoh, Lakon, Panji
Abstract Symbolization in the characteristics of the figures of Panji story has relation to the conception of
Javanese cosmology which live in the minds of his supporters. Understanding the characteristics of the
figures aimed to understand the education values in connection with the conception of the background
presence of the four central figures, namely: Panji Asmarabangun, Galuh Candrakirana, Gunungsari, and
Klana Sewandana. The linkage of the four figures are relied on Javanese cosmology which so-called
Macapat with its awareness about the values of local wisdom that is able to shape the personality of its
supporters.
Keywords: Symbol, figure, story, Panji
Pendahuluan
Lakon yang disajikan pada seni
pertunjukan wayang topeng di Malang
bersumber pada lakon Panji atau lakon
Gedhog. Sebuah sastra Jawa populer yang
mengetengahkan tema kisah cita Panji
dan Sekartaji. Kisah tentang satria Jawa
yang telah populer sekitar abad XVI
XVII, bahkan tersebar di Melayu. Pada
abad XVIII telah dikenal di Muangthai,
Birma, Kamboja sebagai sumber pokok
lakon Inao (Hidajat, 2004: 106).
-
2
Lakon Panji berkembang di
berbagai wilayah pedesaan Jawa sebagai
sastra lisan, yang ditutur dari mulut ke
mulut. Para dalang wayang topeng tidak
memiliki pakem atau patokan tertentu
dalam bentuk tulisan, konvensi
pertunjukan tersusun berdasarkan
petunjuk-petunjuk dari pendahulunya
(Sunaryana, 2002: 51-52). Lakon Panji
yang dikenal dalam sastra tulis dapat
disimak seperti berikut:
Inti dari Lakon Panji menceritakan
tentang empat kerajaan yang dipimpin
oleh empat bersaudara yaitu Koripan atau
Kahuripan (=Jenggala = keling), Daha
(=Kediri =Mamenang), Gegelang
(=Urawan) dan Singhasari. Pernikahan
antara putra mahkota Koripan dengan
putri Daha merupakan tema pokok bagi
semua cerita Panji. Sang pangeran
biasanya disebut raden Panji atau raden
Ino, tetapi selain itu masih diberi
beberapa nama pribadi (Wira Namtani
dalam Waseng. Makaradwaja dalam
Wangbang Wideya, Nusapati dalam Malat,
dan seterusnya); sang putri biasanya
disebut raden Galuh dengan nama-nama
pribadi seperti Amahi Lara (Waseng),
warastrasari (Wangbang Wideya),
Anrang Kesari (Malat). Pada awal cerita
mereka sudah bertunangan, tetapi sang
putri menghilang dan Panji
meninggalkan kraton untuk mencarinya.
Masing-masing memakai nama-nama
lain. Nama-nama Panji pada umumnya
menunjukkan daya tariknya yang tak
terelakkan bagi para putri: Malat Rasmi,
Waseng Sari, Wideya (Wideha adalah
nama dewa Asmara, yaitu Kama) dan
nama-nama tersebut juga dipakai sebagai
judul bagi Kidung. Seringkali ia tinggal
tak jauh dari kekasihnya, namun tanpa
diketahui identitasnya. Kadang-kadang
sang putrilah yang identitasnya lama tak
diketahui. Semua cerita berakhir dengan
adegan kedua kekasih saling mengenali
kembali, rakyat bersuka ria dan pesta
pernikahan. Cinta Panji bagi putri Daha
tidak merupakan halangan baginya untuk
terlibat dalam pertualangan asmara. Di
lain pihak ia membuktikan kebolehannya
dalam perang, bila dalam pencarian itu ia
mengembara sebagai seorang ksatriya
bersama para pengikutnya dan
-
3
menghancurkan keraton-keraton musuh
satu persatu; atau dia membela raja yang
menampungnya ketika raja itu diserang
oleh raja sebuah negara lain yang
lamarannya ditolak. Suatu ciri khas lain
dalam kisah-kisah Panji ini ialah para
sahabat yang mengikuti tokoh-tokoh
utama. Mereka semua putri-putri para
mantri di keraton; mereka pernah
dibesarkan bersama-sama dengan sang
pangeran atau sang putri sebagai teman-
teman dan sahabat-sahabat yang dapat
dipercaya; mereka diutus dengan tugas-
tugas rahasia dan memberikan nasihat.
Komentar mereka dalam berbagai situasi
sering penuh humor dan dalam reaksi-
reaksinya mereka kelihatan tak begitu
terkekang oleh norma-norma kaku yang
mengatur kelakukan seorang bangsawan.
Sama seperti putera mahkota selalu
disebut raden Ino dan sang putri raden
Galuh, demikian juga nama para sahabat
selalu sama. Para putri yang mengelilingi
sang putri disebut Bayan, Sanggit, lalu
sebagai abdi Pangunengan dan Pasiran.
Panji selalu ditemani oleh Jurudeh, Punta,
Prasanta, Kertala dan kadang-kadang
beberapa kawan lain lagi (Zoetmulder,
[1974] terj. Dick Hartoko, 1983:534-535).
Lakon-lakon Panji yang dipentaskan
oleh kelompok wayang topeng pimpinan
Karimoen, pada dasarnya tidak
bertentangan dengan sastra Panji yang
dikemukakan oleh Zoetmulder [1974]
dalam Kalangwang; Sastra Jawa Kuna
Selayang Pandang (terj. Dick Hartoko,
1983). Hidajat (2005:13) mengutip
paparan C.C. Berg tentang lakon Panji
sebagai berikut. Tema kisah tersebut
adalah: ada seorang Pangeran dari
Janggala (Koripan) dan seorang putri dari
Daha (kediri) yang ditakdirkan untuk
menjadi suami-istri.
Pada permulaan cerita keluarganya
mendesak untuk melangsungkan
perkawinan itu, akan tetapi tiba-tiba ada
rintangan, misalnya karena sang
pangeran sudah menentukan sendiri
kawan-hidupnya dan tidak mengi-
nginkan seorang wanita yang lain
sebagai istri dan atau karena sang putri
oleh sesuatu sebab, menghilang dari
keraton dan ternyata tak diketemukan
kembali. Sang pangeran kehilangan
-
4
kekasihnya dan dengan bersedih-hati ia
pergi mengembara untuk mencari
kekasihnya yang dikiranya masih hidup.
Akan tetapi putri dari Kediri yang
menghilang itu pun dicari oleh kerabat-
kerabatnya lelaki.
Peran-peran utama yang bersang-
kutan ini yang karena peristiwa-peristiwa
yang terjadi terbawa dalam lingkungan
kehidupan lain--mengubah nama, dan
dengan kepribadian yang baru untuk
berpetualangan. Pada setiap Petualangan
menjadi alasan untuk selalu mengubah
nama. Demikianlah bisa terjadi, bahwa
orang-orang yang mencari dan yang
dicari saling menjumpai tanpa
menyadarinya. Pada akhirnya keadaan
menjadi jernih kembali, dan sang
pahlawan dengan sang putri, yang rupa-
rupanya sudah ditakdirkan menjadi
suami-istri, lalu melangsungkan
pernikahannya.
Lakon-lakon Panji yang menjadi
repertoar pertunjukan wayang topeng
Jawa umumnya bersumber dari kisah-
kisah yang terdapat dalam naskah-naskah
kuna. Naskah yang pada umumnya
dengan sebutan Siklus Panji atau Roman
Panji, yaitu: Malat, Wasing, Wangbang-
Wideha dan Kisah Angraeni. Inti lakon
Panji yang dikemukakan (Zoetmulder
[1974] terj. Dick Hartoko, 1983: 532-539)
memiliki kesamaan dengan yang
dikemukakan oleh C.C. Berg. (1985).
Lakon-lakon Panji yang umum
dipentaskan oleh perkumpulan wayang
topeng di Malang adalah (1) Rabine Panji,
(2) Sayembara Sadalanang, (3) Walangwati
Walangsumirang, (4) Gunungsari Kembar,
(5) Panji Laras, (6) Panji Kembar, (7) Kayu
Apyun, (8) Wadhal Werdhi, (9) Lembu
Gumarang, (10) Melati PutihEdan, (11)
Sekar Tenggek Lunge Jangge, (12) Bader Bang
Sisik Kencana, (13) Gajah Abuh atau
Kudanarawangsa,(14) Ronggeng Rara Tangis
- Rara Jiwa, (15) Umbul-umbul Majapura,
(16) Jenggala Bangun Candi, dan (17) Ilange
Pusaka Gedong Semoro Denok.
Lakon Panji yang terhimpun pada
perkumpulan Wayang Topeng di Malang
dalam berbagai versi, terdapat tokoh-
tokoh yang memiliki fungsi serta
kedudukan, yang tercermin dalam
penokohan dan pembagian karakter.
-
5
Istilah tokoh menunjukkan pada person
atau orangnya, atau pelaku cerita. Tokoh
yang dikaitkan dengan karakter (watak)
adalah pelaku yang ditampilkan pada
suatu cerita atau drama. Tokoh dalam
sebuah cerita menampilkan karakter atau
watak yang membentuk kepribadian atau
citra mental melalui kata-kata (verbal),
tingah laku, dan tindakan yang terdiri
dari gerakan, atau sikap yang
menunjukkan perbedaan kualitas tokoh
yang satu dengan yang lain
(Nurgiyantoro, 2002: 165-166).
Karakter Tokoh dalam Wayang
Topeng
Clifford Geertz mengamati perilaku
orang Jawa dan menemukakan
bagaimana persepsi tentang perbedaan
Alus (halus) dan Kasar (kasar) sebagai
berikut.
Alus berarti murni, beradab, halus
budi bahasanya, sopan, ramah tamah, dan
sebagainya. Orang yang berbicara dalam
bahasa Jawa halus tanpa salah adalah
orang yang alus. Selembar kain dengan
gambar yang rumit dan samar-samar
tergambar pada kain itu adalah kain yang
alus. Suatu permainan musik yang indah
sekali atau langkah dalam tarian yang
terkontrol secara indah adalah tarian
yang alus. Demikian pula halnya dengan
batu yang licin, anjing dengan bulu
terurai ke bawah, lelucon yang
menakjubkan, atau pembacaan puisi yang
bagus. Tuhan tentu saja bersifat alus
(sebagaimana halnya dengan semua roh
yang tidak kelihatan) dan dengan
demikian pengalaman akan-Nya juga
merupakan pengalaman yang alus. Dan
kehidupan kita sendiri bersifat alus sejauh
diatur oleh rangkaian norma yang
berlaku di lingkungan istana. Kasar justru
sebaliknya: tidak sopan, tidak beradab.
Permainan musik yang jelek, lelucon yang
tidak lucu, sepotong kain murah
dianggap kasar. Antara kedua kutub
inilah kaum priyayi menata urutan
kedudukan semua orang mulai dari
petani sampai raja (Geertz, dalam
Colletta, Nat J. dan Umar, 1987: 91).
Paparan pengamatan Geertz tentang
pemahaman orang Jawa terhadap realitas
-
6
Alus atau Kasar juga terefleksikan
pada pertunjukan Wayang Topeng
Malang. Seluruh karakter pada
pertunjukan wayang topeng Malang
dibedakan menjadi dua kelompok besar,
yaitu Alus atau Alusan meliputi para
Panji-Panji dari kerajaan Kediri (Daha)
dan Jenggala. Perbedaan fisik yang dapat
diperhatikan melalui gerak tari pada
tokoh-tokoh dari pihak kerajaan Jawa
mempunyai volume gerak yang sempit,
tempo gerak yang lamban, dan tidak
menampakkan tenaga yang besar.
Sedangkan tokoh dari pihak Sabrang
menampakkan volume gerak yang lebih
lebar, geraknya lebih dinamis, dan tenaga
yang dari penari-penarinya tampak lebih
kuat.
Pembahasan
Penokohan pada seni pertunjukan
wayang topeng di Malang dapat
diperhatikan setidaknya dari 5 kriteria,
dikemukan oleh Panuti Sujiman (1990:
61), yaitu (1) sikap atau tindakan,
(gerakan tari), (2) Ujaran (vokal dalang),
(3) Pikirannya (4), Penampilan fisik, yaitu
meliputi dedek (postur tubuh penari),
kostum, (5) Identitas diri, nama dan juga
candra
Berdasarkan kereteria tersebut
ditemukan : Tokoh Utama yaitu : Panji
Asmarabangun dan Dewi Candrakirana,
Tokoh lawan yaitu Prabu Klana, Tokoh
pendukung yaitu Gunungsari.
Simbolisasi Tokoh dalam Lakon
Panji
Tipologi dan aspek spiritual dari
tokoh sentral pada wayang topeng
Malang ternyata ditemukan pada
penelitian ini, sebagai berikut
(1) Panji Asmarabangun, yaitu
dibangun dari pengertian laki-laki Jawa
yang disebut Lanang. Dalam pemikiran
jawa, yaitu yang disebut sebagai Pancer
atau Punjer, yaitu laki-laki yang memiliki
hak waris, dalam kaitan dengan cerita
adalah memiliki hak atas tahta kerajaan
Kediri. Propotipe yang berkaitan dengan
sikap dan postur tubuh ditumbuhkan
-
7
dari tokoh Arjuna yang dipersepsi oleh
orang Jawa sebagai Lelanange Jagad (laki-
laki yang tertampan diseluruh dunia).
Prototipe tersebut diperkaya dari
interpertasi nama Asmarabangun, yaitu
diartikan sebagai bangkitnya rasa cinta
kasih yang selalu membara. Ini memang
tampak benar pada penampilan laki-laki
Jawa yang selalu agresif, sementara
wanita lebih bersifat pasif. Pemahaman
ini juga mengacu pada konsep
kemapanan, yaitu laki-laki yang telah
dewasa dan sempurna.
(2) Dewi Galuh Candrakirana, yaitu
diangkat dari prototipe salah satu istri
Harjuna, yaitu Dewi Rara Sumbadra
Karaktersitik dari prototipe tokoh
Sumbadra itu diperkaya dengan
interpertasi makna nama Candrakirana,
yaitu diartikan sebagai sinar bulan pada
waktu pada waktu purnama penuh
(tanggal sepisan). Dengan demikian,
maka diluar makna yang ditumbuhkan
dari prototipe Panji Asmarabangun, maka
pasangan ini dapat diartikan sebagai
kesatuan antara Bulan dan Matahari,
yaitu dikotomi yang tidak bersifat
bertentangan, yaitu yang dinamakan
sajodo.
(3) Gunungsari, yang diangkat dari
prototipe tokoh wayang purwa yang
bernama Raden Samba, yaitu anak dari
Prabu Kresna. Perwatakan yang
dibangun sesuati dengan arti namanya,
yaitu tubuh yang berisi wanita, maka
Gunungsari itu penampakan pisiknya
adalah Banci (wandu). Konsep ini adalah
menunjukan sebuah konsep yang bersifat
keabadian, sehingga dikotomi laki-laki
dan wanita itu tidak tampak terpisah,
tetapi menjadi satu dalam dirinya sendiri.
(4) Klana Sewandana secara fisik
diangkat dari prototipe raja Alengka yang
disebut Prabu Dasamuka atau Rahwana.
Klana lebih diartikan sebagai pengelana
(petualang) atau Jaka Umbaran.
Petualangan hawa nafsu yang dapat
dipadamkan, selalu menggelorakan
asmara di mana-mana. Klana Sewandana
merupakan tipologi manusia yang
dinamis, bergelora, dan selalu bergerak.
Ini merupakan simbol dari pikiran yang
tak pernah berhenti.
-
8
Tafsir Tokoh dalam Lakon Panji
Pola pemikiran masyarakat
pendukung seni pertunjukan wayang
topeng di Malang dibangun berdasarkan
pemahaman tentang (1) Kepercayaan Alam
Roh yaitu tunjukan adanya persepsi dari
pengertian topeng, yaitu kedok, atau
tempat yang cekung untuk dapat
ditempati sesuatu, yaitu ditempati ajah
agar dapat bersembunyi di dalamnya. Ini
simbol dari keberadaan roh di dalam diri
manusia, sehingga kedok diartikan
Wenang nDelok, dhak wenang didelok
(bisa melihat tetapi tidak bisa dilihat),
(Hidajat, 2004: 83). (2) rumah baru tempat
bersemayamnya roh, karena roh yang
telah lepas dari tubuhnya akan
gentayangan di mana-mana, sehingga
dibuatkan topeng. Topeng adalah rumah,
seperti halnya Punden, dapat diartikan
sebagai pepunden (leluhur), atau tempat
atau petilasan orang yang memiliki jasa
membuka lahan pemukiman. Punden
adalah leluhur artinya roh yang utama.
Keyakinan akan roh ini adalah
ditumbuhkan, bahwa ada roh yang
bersifat abadi, yaitu disebut rohilafi, yaitu
roh hakiki yang dilambangkan dengan
warna hijau, yaitu ketentraman/
kedaamaian. Sehingga roh itu akan
mengalami perjalanan, yang terdiri dari
tiga tahap (1) Kandungan ibu, (2) Dunia
fana, (3) Alam kubur. (dalam alam kubur
inilah, roh dapat pergi atau tingal di suatu
tempat).
Perjalan roh yang semula terdiri dari
5 unsur, yaitu: Nur, Rasa, Nyawa, Budi,
dan Nafsu. Kelima unsur ini menjadi
sebuah kesatuan yang akan menjalani
takdirnya untuk menjadi manusia, yaitu
berupa Ruh Ilafi atau disebut Mul Hikmah
(Roh sejati), yang didalam kandungan ibu
berupa sebuah titik hitam (satu sel) yang
kemudian berkembang dengan seiring
pertumbuhan dari dua unsur, yaitu Ulu,
kulit, otot, getih, balung, sumsum, dan
rambut. Unsur yang lain adalah unsur
rohaniah, yang terdiri dari Ariah, Nuriah,
Satmuka, dan Nursari. Dalam pengertian
Islam disebut dengan nafsu, yaitu
Mutmainah, Supiyah, Amarah, Aluamah
(Sunardi,2004: 49-50)
-
9
Perjalanan ruh menjadi manusia
mempunyai proses yang bersifat
melingkar kekanan yang membentuk
unsur badaniah, dan melingkar kekiri
yang membentuk unsur rohaniah, yang
disebut gerakan Ngendali. Untuk dapat
memahami konsep tersebut dapat
disimak pada skema/bagan sebagai
berikut
Skema 1
Skema hubungan tokoh Panji dengan
pemahaman tentang sejarah kejadian manusia
Nur, Rasa, Budi,
Nyawa
Bapa Biyun
g
Unsur
Putih
Unsur
Merah
Topeng
Patih
Putih
Topeng
Patih
Merah
Rohani
ah
Badani
ah
Ulu
Kulit
Balung Sumsum
Getih
Rambut
Ariah
Nuriyah
Satmuko Nursari
Bayi Kakang Kawah
Adi ari-ari
A. Putih
Gunungsari
B. Hijau
Panji Asmarabangun
C. Kuning
Galuh Candrakirana
D. Merah
Klana
Sedulur
Papat
-
10
Adapun kaitan tokoh sentral dengan
nilai-nilai spiritual yang hidup dalam
pemahaman masyarakat pendukung
wayang topeng, dapat disimak dalam
tabel berikut ini.
No. Identitas Sifat Simbol
Warna Analogi tokoh
wayang purwo Tokoh pada
wayang topeng Jawa Arab
1.
Ariah
Mutmainah
Putih
Samba/ Lesmana Gunung Sari
2. Nuriyah Supiyah Kuning Sembadra/ Sinta Galuh Candrakirana
3. Satmuko Amarah Merah Dasamuka Klana
4. Nursari Aluamah Hijau Arjuna Panji Asmarabangun
Tabel. 1
Tabel Tentang Sifat Menurut Kosmologi Wayang Topeng
(2) Kepercayaan Terhadap Ruang, Ruang
atau tempat, tampak diperhatikan ada
yang menunggu atau bermukim, seperti
ruang-ruang yang ditumbuhi oleh pohon
yang dapat digunakan untuk membuat
topeng, yaitu tempat tempat sunyi yang
dipandang sebagai tempat yang angker.
Demikian juga setiap desa diyakini ada
tempat yang dianggap sakral, yaitu
Punden desa tempat Dhanyang.
Klana yang dipahami sebagai
pengelana atau petualang, sehingga
tempat asalnya disebut dengan istilah
Sabarang, atau sering ditunjukan dengan
Bantarangin. Bantarangin akan dipersepsi
sebagai tempat di awang-awang (awang
uwung yaitu tempat yang kosong)
dimana angin menjadi penguasa yang
dominan.
Sabarang ditunjukan sebagai sebuah
tempat yang berada di sebrang lautan,
atau dibalik gunung yang tinggi. Tetapi
hal ini tetap memiliki prototipe yang
bersifat klasik, yaitu dibangun dari
-
11
pemahaman yang tumbuh dalam epos
Ramayana, yaitu Prabu Dasamuka itu
adalah raja yang bertahta di Alengka, yaitu
sebuah negara yang ada di sebrang laut
(besar kemungkinannya diseberang laut
Jawa). Karena kata Alengka itu ada yang
menginterpertasikan dengan negara
Srilangka.
Ruang dalam hal ini Jagad (dunia)
ditumbuhkan pemahaman yang disebut
dengan gelaran atau hamparan, Jagad fisik
ini adalah jagad kasunyatan atau jagad gede
(makrokosmos) (Sutarno, 2004: 38)..
Dengan demikian orang tidak dapat
memahami atau pengetahui arah, jika
hamparan itu belum dinyatakan
pancernya. Maka pemikiran keblat papat,
limapanceradalah sebuah pemahaman
tentang manusia itu hidup (Sunardi, 2004:
45-52). Dengan demikian dunia yang
bersifat sebagai hamparan itu adalah
statis, sementara matahari dan bulan itu
berputar seperti dua benda yang
berkerjar-kejaran
Karena pemahaman akan pancer itu,
maka rumah yang diangap simbul
kemapanan itu adalah akan menentukan
arah kiblat, seperti Timur, Barat, Utara
atau Selatan. Hal ini sesuai dengan
kedudukan dari keberadaan tokoh-tokoh
sentral dalam wayang topeng, yaitu:
kedudukan Panji Asmarabangun (simbul
warna prada emas) adalah bersifat pancer.
Pancer ini juga meliputi dari keempat
yang bersifat kesatuan, sementara kiblat
yang dipersepsi dengan arah itu adalah
kedudukan dari empat tokoh termasuk
Panji (sebagai simbul), yaitu Panji
Asmarabangun (warna Hijau), Candra-
kirana (warna kuning), Gunungsari
(warna putih), dan Klana (warna Merah).
Maka dalam pertunjukan wayang
topeng yang menjadi tempat penantian
dari para pemain adalah rumah si
empunya hajat, pertunjukan pada
mulanya digelar di halaman rumah yang
bersifat simbolis, yaitu dunia yang fana.
Sementara penonton berada dalam
kadewatan, yaitu menyaksikan bagaimana
takdir manusia itu dilalui. Tiga bentuk
orentasi ruang ini menunjukan adanya
sifat manusia itu yang ingi menjadi
kesatuan integral dengan sifat sidat
kadewatan, hal ini tampak benar dari
-
12
adegan Pantrajaya. Semua wayang tidak
bisa berbicara sendiri, tetapi Patrajaya
merupakan salah satu wayang yang
dapat berdialog dengan dalang dan juga
dengan penonton. Ini salah satu bentuk
adanya eksistensi adanya Waliullah, yaitu
manusia yang dipilih memiliki kemam-
puan berkomunikasi dengan Tuhan dan
dengan manusia.
Memperhatikan ruang komunikasi
ini, menunjukan bahwa dalam pemaha-
man simbolik, bahwa dalang itu berada
pada posisi mencari atau diatas pusat,
sehingga ada tiga ruang yang dapat
diperhatikan secara berjenjang, yaitu
dalang yang berada di atas (sebagai
pengejawantahan dalang, simak lakon
murwakala tentang Krisna sebagai dalang
sejati). Maka dalang lebih ditunjukan
pada sifat sebagai pengayom, dan dunia
yang ditempati oleh para wayang yang
sedang memainkan dirinya, yang
berikutnya adalah ruang yang bersifat
dinamis, yaitu musik (gamelan) (3)
Kepercayaan terhadap waktu.Waktu adalah
sangat penting dalam seni pertunjukan,
maka peran waktu dipahami lebih
memberikan sebuah makna yang bersifat
simbolik dengan hadirnya instrumen
gamelan, dengan pengertian teknis.
Bahwa semua wayang itu telah memiliki
waktu bermainnya sendiri, yaitu setiap
tokoh memiliki gending pengiringnnya
yang tidak dapat digunakan oleh tokoh
lain, seperti: Gunungsari memiliki gending
kaluh ireg, Klana memiliki gending Gagak
Setro, dan Bapang memiliki gending
Kalongan.
Dengan demikian keberadaan tokoh
dengan gerakannya adalah bersifat
terikat, keterikatan ini yang secara
spesifik membentuk karakteristik yang
bersifat permanen. Dengan kata lain pola
waktu ini adalah faktor yang bersifat
mendukukkan, atau meletakan tokoh itu
pada posisinya yang telah ditentukan.
Waktu dipahami sebagai sangat
(waktu yang tepat), naas (waktu apes/
bahaya), atau kala (waktu dalam penger-
tian siklus). Kala ini yang selalu
menjadikan orang jawa demikian rumit
menentukan sangat, karena naas atau
waktu bahaya itu selalu berpindah seiring
dengan perpindahan naga tahun. Untuk
-
13
itu posisi arah kiblat itu akan menentukan,
orang akan dapat menghitung sangat dan
naas jika orang itu berada pada satu
tempat. Dengan demikian orang itu
diharapkan berada pada posisi mapan
pada pancernya.
Berkaitan dengan keberadaan
pertunjukan, maka gamelan itu adalah
bersifat mengku atau mewadahi
keberadaan tokoh-tokoh yang sedang
memainkan takdirnya itu dalam
kedudukannya masing-masing. Semen-
tara pola waktu itu akan menunjukan
juga kedudukan dalang yang selalu
berkomunikasi dengan wayangnya,
sementara wayang terus melakukan
gerakan yang melakonkan dirinya,
sedangkan musik terus mengalunkan
lagu-lagu untuk mendukung keberadaan
permainan itu hingga selesai (mengku).
Hubungan Antar Tokoh Sentral
Panji Asmarabangun yang menjadi
tokoh utama (protagonis) dalam pertunju-
kan wayang topeng, memiliki kedudukan
inti sebagai sumber utama penge-
mbangan tema dan permasalahan.
Dengan demikian, keberadaannya lebih
bersifat produktif dalam menjalin
kaintan-kaitan dengan tokoh yang lain,
baik yang protagonis dan juga antagonis.
(1) Kedudukan Panji Asmarabangun dan
Dewi Candrakirana.
Kedudukan Panji Asmarabangun
dan Dewi Candrakirana adalah bersifat
simbolik dari keberadaan unsur laki-laki
dan wanita, yang diartikan dengan
pengertian Sajodo. Perjodohan ini
yang akan memberikan pemahaman
adanya pertemuan antara Bapa (ayah)
dan Biyung (ibu). Pertemuan ini
ditujukan untuk menghadirkan Roh Ilafi
(roh idlafi) atau Mul Himah.
Sebagai sebuah bentuk sajodo, dan
telah, maka kedudukan dari Dewi Galuh
Candrakirana terhadap Panji Asmaraba-
ngun disebut Garwa, yaitu kata bentukan
dari kata Sigarane nyawa. Hal ini
memberikan pemahaman bahwa, laki-laki
dan perempuan itu hakekatnnya adalah
satu. Maka ini yang dimaksdu dengan
-
14
pemahaman sosial religius Jawa dengan
istilah: Loro-loroninge a-Tunggal (dua
menjadi satu). Pemahaman ini ada dalam
konsep kekuasaan Jawa yang disebut
dengan istilah Dewa Raja, yaitu
pengertian Raja sebagai legitimasi dan
sekaligus maniverstasi dari Dewa.
Menyimak hal tersebut, maka Panji
Asmarabangun yang dikemudian hari
akan mendapatkan legitimasi untuk
menggantikan ayahandanya, Panji Lembu
Amilihur yang dipersepsi sebagai: Samiaji
atau Darmakesuma raja dari kerajaan
Amarta
Maka Panji membutuhkan pengala-
man, yaitu selalu ditakdirkan untuk
berkenala menjadi rakyat jelata untuk
mencari istrinya yang hilang/menghilang
dari istana. Ini memiliki aspek sosio
politis, yaitu seorang raja Jawa tidak lagi
dipersepsi sebagai manivestasi dewa,
tetapi juga merupakan maniverstasi dari
rakyat. Sehingga Panji diperjalankan
untuk dapat mendengar dan melihat
kondisi rakyatnya.
Jika disimak ini adalah satu bentuk
pemikiran yang mulai bergeser dari sikap
raja-raja Jawa pada secara realitas, maka
sastra panji ini lebih terkenal sebagai
sastra rakyat ketimbang sastra istna.
Karena pola cerita yang dibangun lebih
berorentasi pada rakyat, dan bersifat
realistik terhadap kehidupan manusia.
Hubungan perjodohan ini memang
dibutuhkan lambang-lambang untuk
memberikan pamor yang spektakuler,
yaitu dengan membangun simbilisme
dalam tokoh Panji Asmarabangun dan
Galuh Candrakirana, yaitu ditunjukan
sebagai sebuah siklus pergantian siang
dan malam, yaitu Panji sebagai Matahari
dan Candrakirana sebagai Bulan Pur-
nama.
Bulan Purnama merupakan saat
yang sangat magis dan sekaligus religius,
karena dalam kondisi itu bumi
mengalami perubahan yang akan dialami
manusia dan binatang, yaitu salah
satunya adalah naiknya lebido, sehingga
menjadi masa kawin dari berberapa
satwa, termasuk kucing.
-
15
Kedudukan Panji Asmarabangun dan
Gunungsari.
Kedudukan Panji Asmarabangun
dan Gunungsari merupakan pertemuan
antara laki-laki dan laki-laki dengan
hakekat yang berbeda, hal ini seperti
pertemuan antara Harjuna dan Semar.
Semar adalah pengejawantahan dari
Dewa Manikmaya, sehingga semar ini
bersifat maya atau semu, Budha Manangg
Munung atau Jejanggan Asmara Santa.
Semar ditunjukan dari perujudan sebagai
manusia yang sempurna, yaitu tidak
memiliki jenis kelamin yang jelas (laki-
laki atau wanita). Ini memiliki kesemaan
konsep dengan Gunungsari, yang
disamakan dengan tokoh Samba putra
Krisna. Samba sebagai sosok yang
memiliki penampilan kewanitaan
(feminin) adalah sebuah kesatuan
hubungan yang abadi tanpa ada
perbedaan, sehingga tidak terjadi
pertentaan atau konflik dari keduannya.
Sehingga kehadirannya sebagaimana
kondosi Ramawijaya dan lesemana, yaitu
loro-loroning a-tunggal yang bersifat
positif (tanpa konflik).
(2) Kedudukan Dewi Candrkirana dan
Prabu Klana.
Hubungan Dewi Candrakirana dan
Prabu Klana juga tampak ditumbuhkan
dari epos Ramayana, yaitu Dewi
Candrakirana yang tampak dibangun
dari kondisi sebagai Sinta, titisan dari
Betari Sri (Siwa/Betaraguru), yaitu lebih
ditunjukan sebagai lambang kesuburan.
Ini akan mendukung konsep tentang
maesan yang diartikan sebagai perujudan
Yani (lambang Siwa) dan tanah sebagai
Lingganya (Sri, lambang kesuburan).
Sementara penyamaan panji sebagai
Arjuna dan Sumbadra hanya menunjukan
hubungan figur yang edial.
Bahwa kedudukan tokoh sentral
memiliki kaitan yang erat, yaitu
menduduki rentang ruang dan waktu,
bahkan menempati posisi dalam konsepsi
tata nilai. Sehingga keberadaan empat
tokoh sentral dalam kosmologi Jawa
adalah sebuah dua bagian yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain, yaitu
nilai positif dan nilai negatif yang dibawa
oleh manusia dari lahir hingga meninggal
dunia.
-
16
Sehingga kontradikfif dalam
kehidupan itu adalah sebuah proses
untuk mendewasakan akan pemahaman
terhadap kenyataan-kenyataan yang
bersifat matriel maupun yang bersifat
kerohanian.
Simpulan
Kehadiran wayang topeng dalam
kontek ritual adalah sebuah sarana untuk
menghadirkan roh, sehingga mereka
dapat dihormati, dan sekaligus
diharapkan dapat memberikan perlin-
dungan. Sisi sosial religius kehadiran
empat tokoh sentral itu adalah sebagai
suri tauladan kehidupan berumah
tangga,karena kehadiran keluarga
merupakan anugrah Tuhan. Tuhan telah
mempertemukan pasangan, sehingga
tumbuh pemahaman mendalam tentang
Jodoh. Dengan kehadiran jodoh ini
maka dalam pengertian religius maka
disebut dengan adanya konsep Loro-
loroning a-tunggal. Ini merupakan bentuk
paradoksal yang terjadi dalam
kehidupan, yaitu semua yang ada di
dunia selalu menunjukan kesepasangan,
yaitu siangmalam, cantik-jelek, baik-
jahat, hitam-putih, dan lain sebagainya.
Sehingga makna ritual dalam kehadiran
tokoh sentral tersebut pertemuan adanya
kesejodohan (kesepasangan). Apakah
jodoh baik, jahat atau baik dengan baik.
Sebagai seni ritual wayang topeng
hadir dengan muatan nilai religi tentang
ajaran keyakinan adanya Tuhan YME.
Ajaran ini setidaknya ditumbuhkan dari
tiga unsur religi, yaitu: (1) Religi kuna,
yaitu percaya adanya roh (Animistis), (2)
Religi Hinduistis, yaitu tentang inkarnasi
dan juga manifestasi Dewa dalam diri
Manusia, dan (3) Religi Islam, yaitu pada
pemahaman tentang makna hidup dan
sifat dalam diri manusia.
Daftar Rujukan
Geertz, Clifford. 1992. The Religion of
Java. Terj. Aswab Mahasin.[catakan ke 3]
Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat
Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
-
17
Geertz,dalam Colletta, Nat J. dan
Umar, 1987
Hidajat, Robby. 2004. Rumah
Sebagai Model Struktur Wayang Topeng
Malang Surakarta: Jurnal Pedelangan
STSI- Surakarta: Lakon Vol. I. No. 2
desember 2005.
Hidajat, Robby. 2004. Wayang
Topeng Malang: Kajian Strukturalisme
Simbolis Wayang Topeng Malang di Desa
Kedungmonggo Malang Thesis S-2
Pascasarjana STSI Surakarta [tidak
dipublikasikan].
Hidajat, Robby. 2005. Membaca
Rumah Melalui Seni Pertunjukan.
Makalah disajikan pada seminar tingkat
jurusan Seni & Desain, tgl 28 Februari
2005.
Nurgiyantoro, Burhan. 2002.
[cetakan ke 4], Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Sunardi, 2004.Paras Muka Tokoh
Wayang dalam Perspektif Semiotika.
Surakarta: Jurnal Pedelangan STSI
Surakrta. Lakon Vol. I. No. 2 desember
2005.
Sunaryana, 2002. Jajang. Wayang
Golek Sunda; kajian Estetik rupa Tokoh Golek.
Bandung: Kiblat,2002.
Sutarno, 2004. Mistikisme dalam
Serat Bimasuci Surakarta: Jurnal
Pedelangan STSI Surakarta : Lakon Vol. I.
No. 2 desember 2005.
Zoetmulder, P.J. 1983 [cetakan ke 4].
Manunggaling Kawula Gusti. terj. Dick
Hartoko.Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
-
18
DIYAT SARIREDJO: SEBUAH BIOGRAFI
Aris Setiawan
Abstrak
Posisi karya seni (karawitan) tidak dapat dilepaskan dari peran dan keberadaan pelaku yang
menghadirkannya. Dengan demikian, pelaku memiliki kedudukan penting dalam memberi warna,
karakter serta denyut hidup budaya karawitan. Diyat Sariredjo, adalah maestro yang menorehkan catatan
penting bagi perkembangan dunia karawitan Jawatimuran. Oleh karena itu, dengan mengungkap biografi
sosoknya berarti sebuah usaha guna membongkar cakrawala ilmu pengetahuan yang bersumber dari jejak
perjalanan dan kisah pengalaman hidupnya dalam memperjuangkan karawitan Jawatimuran. Diyat
adalah salah satu empu karawitan yang memiliki jasa besar dalam memberi fondasi keilmuan karawitan
Jawatimuran di Jawa Timur.
Kata kunci: Karawitan, Jawatimuran, Diyat Sariredjo
Abstract
Position works of art (karawitan) can not be separated from the role and presence of actors
who bring it. Thus, the musician has an important position in the color, character and life of
musical culture. Diyat Sariredjo, is the maestro who has a record of important for the
development of the musical world Jawatimuran. Therefore, to write his biography reveals the
means by which the horizon of knowledge and experience derived from the story of his life in
preserving musical Jawatimuran. Diyat is one of the master musicians who have great influence
in giving the foundation of musical knowledge Jawatimuran in East Java.
Key Words: Karawitan, Jawatimuran, Diyat Sariredjo
Pengantar
Karya-karya karawitan tidaklah
hadir secara tiba-tiba atau bahkan
superficial, namun didasarkan atas
pergulatan kreativitas yang panjang.
Kebanyakan karya-karya (gending) yang
monumental itu tidak terdeksi siapa
penciptanya. Budaya anomin berimpli-
kaksi karya karawitan menjadi milik
-
19
bersama, siapapun berhak memakai dan
merubah. Uniknya, para pencipta
gending tidak protes atau marah
karyanya dijiplak, dipakai bahkan
dirubah. Bentuk jiwa besar komposer
karawitan yang demikian menyebabkan
namanya tidak mampu terbaca dan
dikenang publik dengan lebih luas. Ia
justru tertutup dengan kebesaran nama
hasil karyanya yang monumental.
Padahal, karya karawitan dan musik
tradisi pada umumnya tidak bisa
dilepaskan dari subjek utama yakni
pencipta dan pelaku.
Begitupun pada karawitan
Jawatimuran, hingga detik ini masih
banyak yang tidak diketahui dengan
gamblang siapa saja komposer, musisi
dan maestro unggulan yang
mengitarinya. Otomatis, dalam konteks
ini membahas sosok maestro karawitan
Jawatimuran menjadi penting untuk
dihadirkan. Hal itu tidak semata sebagai
ungkapan deskriptif atau informatif
semata, namun sebuah usaha untuk
memaknai serta mengkontemplasikan
kembali atas jasa dan sumbangan
besarnya bagi denyut hidup karawitan
Jawatimuran. Di sisi lain, menghadirkan
biografi komposer sekaligus maestro
karawitan Jawatimuran menjadi palang
pintu utama yang diharapkan mampu
memberikan inspirasi bagi generasi masa
kini untuk berkarya lebih baik dengan
belajar dari ulasan jejak sejarah perjalanan
para maestro tadi. Untuk itu, pada
pembahasan kali ini sengaja penulis
mengangkat biografi Diyat Sariredjo,
seorang empu, maestro, komponis, musisi
unggul karawitan Jawatimuran. Adapun
detail-detail perjalanan Diyat Sariredjo di
dunia karawitan Jawatimuran dapat
dijabarkan sebagai berikut.
A. Diyat, Musisi Akar Rumput
Diyat Sariredjo lahir di Desa
Semengko Kecamatan Gresik pada
tanggal 30 Juni 1926 dari pasangan Idris
dan Nasikah. Ia adalah anak ke lima dari
delapan bersaudara. Idris adalah salah
satu dalang wayang kulit gaya
-
20
Jawatimuran yang cukup terkenal pada
masanya dan seangkatan dengan Ki
Gunarso dan Ki Durmo Bagong, sedang-
kan ibunya adalah seorang ibu rumah
tangga (Kris Mariyono, 2003:40). Idris
lebih banyak dikenal sebagai dalang
ruwat dengan julukan Ki Suryo. Julukan
Suryo didapat dari masyarakat setem-
pat yang menganggapnya sebagai
seorang penerang atau matahari (surya)
yang dapat memberi pencerahan bagi
orang yang sedang dalam kondisi sukerta
(kotor).1 Lambat laun dan hingga saat ini,
masyarakat Jawa Timur lebih kenal
dengan menyebutnya sebagai Ki Suryo
Idris. Kondisi keluarga terutama dari
sang ayah yang terkonstruksi dalam
lingkungan seni tersebut, mengakibatkan
Diyat beserta saudaranya yang lain sudah
sejak dini bersentuhan dengan dunia
wayang kulit dan terlebih dunia kara-
witan.
Namun demikian, dari ketujuh sau-
daranya hanya beberapa yang tertarik
1 Wawancara dengan Ki Suleman di Gempol
Pasuruan, tanggal 22 Februari 2010.
pada dunia seni wayang serta karawitan,
dan Diyat Sariredjo termasuk salah satu
di antaranya. Kakaknya yang tertua
adalah Suwadi juga merupakan seorang
dalang wayang kulit Jawatimuran, dan
adiknya yang merupakan anak ke enam
(tepat di bawah Diyat) adalah seorang
pengendang dan juga berprofesi sebagai
dalang layaknya sang ayah (Idris) dan
kakaknya (Suwadi). Jika kedua sauda-
ranya tersebut memiliki intensitas
ketertarikan yang cukup tinggi pada
dunia seni pewayangan dengan menjadi
seorang dalang, lain halnya dengan Diyat
Sariredjo.
Diyat Sariredjo (Photo: Aris)
-
21
Diyat merupakan satu-satunya anak
yang justru tidak tertarik menjadi seorang
dalang, ia justru lebih memiliki hasrat
menjadi seorang pengrawit dan pengen-
dang. Bakat-bakat seni Diyat sebagai
seorang pengendang cukup nampak
ketika usianya yang ke tujuh tahun.
Menurut Sukasri,2 Diyat kala itu sering
memainkan ricikan kendang dengan pola
sesukanya. Bahkan kedua tanggannyapun
masih belum mampu mencapai dua sisi
membran kendang Jawatimuran yang
tergolong besar dan panjang (baca:
kendang cekdongan). Karena badannya
yang masih terlalu kecil, ibunya
membuatkan kursi kecil agak tinggi yang
dilapisi bantal khusus untuk Diyat
Sariredjo dalam memainkan ricikan
kendangnya. Tak jarang dalam melihat
prilaku Diyat memukul kendang sambil
duduk di kursi tersebut membuat banyak
orang tertawa karena unik dan lucu.
Lambat laun kemampuannya me-
mainkan ricikan kendang mulai bagus dan
2 Wawancara Sukasri di Medaeng Surabaya
(adik kandung Diyat Sariredjo), tanggal 17 Februari
2010.
terampil. Ia tidak pernah belajar langsung
pada si pemain kendang. Kemampu-
annya dalam berolah kendang secara
terampil didapatnya dari hasil
mengamati, mendengarkan kemudian
menirukan. Dari proses belajarnya yang
demikian sebenarnya kemampuannya
tidak hanya sekedar memainkan ricikan
kendang semata, namun juga istrumen
garap yang lainnya seperti rabab, siter
dan bonang. Pada usianya yang ke 15
tahun, Diyat secara aklamasi diakui oleh
sang ayah sebagai seorang pengendang
yang handal. Hal ini diawali dengan
memberikannya kepercayaan untuk
ngendangi ketika ayahnya melakukan
pagelaran wayang.
Proses transmisi kemampuan musi-
kal yang dimiliki oleh Diyat Sariredjo
tidak didapat melalui pendidikan formal.
Bahkan Diyat tidak pernah mengenyam
bangku pendidikan formal. Hal tersebut
disebabkan oleh kondisi ekonomi
keluarga yang tidak mendukung. Walau-
pun menjadi dalang yang cukup terkenal
di Jawa Timur, namun perekonomian
-
22
Suryo Idris tergolong pas-pasan dan
hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Suryo Idris juga menjadi buruh tani
dengan mengajak anak-anaknya yang
masih remaja (termasuk Diyat)
menggarap lahan pertanian seorang
juragan sawah yang ketika panen
hasilnya dibagi rata dengan sang pemilik
sawah tersebut. Diyat adalah salah satu
anak yang paling rajin membantu Suryo
Idris dalam menggarap sawah. Selain
bertani, Diyat sehari-harinya disibukkan
dengan bermain karawitan di panggung
pertunjukan ayahnya. Intensitasnya yang
tinggi dalam mendampingi ayahnya
mendalang, semakin mengasah kemam-
puan musikal yang dimiliki oleh Diyat
Sariredjo hingga menjadiknnya sebagai
seorang pengrawit handal di kemudian
hari.
Seperti yang diutarakan oleh Waridi
bahwa kebiasaan dengan mengikuti
pentas yang dilakukan oleh ayahnya,
sesungguhnya merupakan proses belajar
yang efisien (Waridi, 2001: 31).
Kegemaran anak seperti Diyat Sariredjo
yang sering berbaur dengan pengrawit
adalah salah satu stimulan awal dalam
merangsang naluri musikalnya. Sentu-
han-sentuhan musikal seperti irama,
cengkok, wiled dan lain sebagainya secara
otomatis tanpa disadari merupakan
asupan yang setiap saat mengalir dalam
otak si anak. Hal ini senada dengan apa
yang diutarakan oleh Djohan, bahwa
seseorang yang diberi stimulan berwujud
asupan musikal secara terus-menerus,
maka lambat laun orang tersebut akan
menjadi hafal dan pada akhirnya dapat
melagukan persis dengan apa yang
didengarnya (Djohan, 2005: 36).
Rahayu Supanggah menyatakan
bahwa kepekaan terhadap unsur musikal
dalam karawitan seperti cengkok, wiled
dan irama dan lain sebagainya
merupakan bekal dasar dalam belajar
karawitan atau gamelan dengan baik
(Supanggah, 1992:22). Dalam determinasi
proses belajar Diyat, apa yang diung-
kapkan Supanggah tersebut terdapat
dalam dirinya. Diyat sebelum dapat
membunyikan ricikan gamelan dengan
-
23
terampil ternyata disokong dengan bekal
berupa asupan pemahaman musikal yang
intens. Dengan demikian, ketika ia
bermain instrumen musik yang
dikehendakinya tentu sudah memiliki
bekal berupa contoh-contoh kongkrit
yang tersimpan secara akumulatif dalam
otaknya.
Menurut Suleman, Diyat merupakan
salah satu pengendang yang memiliki
repertoar musikal yang bervariatif. Ia
dapat menirukan cengkok, pola, ukel serta
wiled dari seorang pengendang lain
dengan kadar kemiripan yang tinggi. Hal
ini terjadi terutama pada pengendang
wayang Jawatimuran. Namun demikian
tambah Suleman, Diyat tidak menginduk
pada satu jenis kendangan seseorang. Di
balik keragaman musikal yang
dimilikinya, ia dapat menentukan sikap
dengan menempatkan polanya yang
berbeda dari pola ataupun cengkok para
pengendang sebelumnya. Oleh karena itu,
yang muncul bukan lagi cengkok khas
siapa pengendang yang ditirunya namun
menempatkan namanya sendiri dengan
cengkok kendangan yang berbeda dan
khas Diyat.
Kembali pada cara belajar Diyat
yang otodidak. Cara belajar yang demi-
kian merupakan metode transfer
kemampuan (transfer of knowledge) yang
paling efektif. Hal ini senada dengan apa
yang diutarakan oleh Gustaf Jung sebagai
berikut:
Cara belajar melalui contoh meru-
pakan pendidikan yang tertua, dan paling
efektif. Pandangan ini berdasarkan atas
kenyataan bahwa, anak sedikit banyak
secara psikologis indentik dengan orang
tua dan lingkungannya. Karena dalam
ranah tak kesadaran kolektif pada diri
anak terdapat unsur-unsur tak kesadaran
kolektif yang dimiliki orang tua dan
lingkungannya (Jung dalam Sumanto,
1990:23).
Apabila berpijak dari pandangan
Jung di atas, dapat dilihat bahwa sebe-
narnya kemampuan Diyat bermain
gamelan terkonstelasi dari dua faktor
utama, yakni pribadi dan lingkungan.
Faktor pribadi merupakan endapan
-
24
akumulasi kemampuan Diyat yang
didapat dalam satu rumpun garis
genetika dengan sang ayah. Matt Jarvis
dalam bukunya Teori-Teori Psikologi
menjelaskan bahwa sesungguhnya seo-
rang anak memiliki satu kemampuan
yang sama dengan sang ayah. Hal ini
dalam ruang kajian psiklogis biasa
disebut sebagai garis genetika (Jarvis,
2007: 206-208). Konsep genetika yang
demikian sudah tertanam dalam (benak)
budaya masyarakat Jawa, khususnya
dalam ruang lingkup kesenimanan
seseorang. Seperti yang sudah tersebut di
atas, apabila seorang anak pandai
memainkan ricikan karawitan tentu
pertanyaan pertama yang biasanya
diajukan adalah apakah ayahmu juga
seorang seniman? Dengan mengajukan
pertanyaan yang demikian secara tidak
langsung mereka sudah berfikir dan
mengaplikasikan tentang konsep gene-
tika.
Namun demikian banyak anak
seorang seniman yang tidak memiliki
kemampuan seperti sang ayah. Dalam
konteks inilah faktor kedua tersebut
menjadi penting, yakni faktor lingkungan.
Agus Sujanto dalam bukunya Psikologi
Kepribadian menjelaskan bahwa kemam-
puan terpendam dalam diri seseorang
yang memiliki satu garis genetika dengan
sang ayah tidak akan muncul, jika tidak
disokong dengan rangsangan atau
stimulan dari faktor yang kedua yakni
lingkungan. Faktor lingkungan dalam
konteks ini menjadi penting untuk
menstimuli bakat atau kemampuan
terpendam dalam diri seseorang untuk
muncul ke permukaan (Sujanto, 1982:18-
19). Apabila konsep ini ditekankan pada
diri Diyat, lingkungan yang mem-
bentuknya menjadi pribadi yang terampil
memainkan ricikan gamelan adalah
kebiasaannya mengikuti pentas sang
ayah, Suryo Idris. Dengan kata lain
lingkungan pada konteks diri Diyat
adalah pementasan wayang kulit oleh
ayahnya.
Proses belajar yang Diyat lakukan
bukannya tanpa didasari atas perjuangan
yang panjang. Sebagai seorang pemuda
-
25
desa yang kental dengan budaya Jawa,
Diyat juga menjalani laku prihatin dalam
mewujudkan cita-citanya menjadi pe-
ngendang ataupun pengrawit yang
handal. Laku prihatin dalam konteks
budaya Jawa dapat dipahami sebagai
upaya menyiksa diri agar dapat bersatu
dengan sang pencipta dan demi
tercapainya cita-cita yang diinginkan.
Laku prihatin yang dilakukan Diyat
Sariredjo di antaranya adalah pasa mutih
yakni hanya makan nasi putih pada
waktu-waktu tertentu, puasa yang hanya
makan ubi-ubian (pala pendem), puasa
senin kamis, ngeli (menghayutnya diri
mengikuti aliran air di sungai) dan lain
sebagainya. Laku prihatin seperti tersebut
di atas sudah biasa dijalani oleh Diyat
Sariredjo. Terlebih ia merupakan anak
desa yang sudah terbiasa hidup
kekurangan, sehingga ketika menjalani
laku prihatin tersebut berlangsung
dengan tanpa halangan.
Selain itu Diyat juga rajin mengikuti
dan melihat berbagai seni pertunjukan
yang terdapat musik karawitan di
dalamnya. Semua ditempuh dengan jalan
kaki (mlaku nyeker: Jawa) dan terkadang
sebentar naik gerobak sapi milik warga
(numpang), walaupun terkadang pertu-
njukan tersebut relatif jauh jaraknya.
Bahkan tak jarang pula ia harus rela
berjalan kaki sejauh 20 kilo meteran
hanya untuk melihat tayub dan ludruk.
Di sisi lain hingga ia mahir memainkan
hampir semua ricikan karawitan, ternyata
hal tersebut tidak disokong dengan
kemampuan Diyat terkait baca dan tulis.
Sukasri mengakui bahwa akibat tidak
bersekolah, Diyat hingga usia 15 tahun
belum dapat membaca dan menulis
dengan baik. Namun demikian, akibat
dari pergaulannya yang memiliki banyak
teman dan sahabat seperti pengrawit,
pemain ludruk, wayang kulit dan tayub,
Diyat pada akhirnya dapat membaca dan
menulis. Bagi Sukasri hal tersebut terjadi
ketika usia kakaknya memasuki 20 tahun.
Kebisaanya menulis dan membaca itulah
yang kemudian membuat Diyat Sariredjo
gemar melakukan pencatatan ketika ia
menyaksikan pertunjukan karawitan.
-
26
Catatan-catatan tersebut adalah berupa
notasi-notasi karawitan. Nanik dan Sri
Suyamsi yang merupakan putri Diyat
Sariredjo,3 menuturkan bahwa ayahnya
sebenarnya gemar menulis terutama
terkait notasi-notasi karawitan Jawa-
timuran. Hal tersebut berlangsung ketika
ayah mereka masih remaja. Di kala
mereka kecil (Nanik dan Sri), banyak
sekali buku-buku hasil pencatatan yang
dilakukan oleh ayahnya. Sayang sekali
buku-buku tersebut hanyut ketika di
rumahnya terjadi banjir sekitar tahun
1947-an. Ada beberapa di antaranya yang
tersisa namun sudah habis dimakan
rayap. Beruntung penulis (peneliti)
menemukan beberapa catatan penting
berupa notasi gending-gending Jawa-
timuran lama yang sekarang sudah jarang
atau bahkan tidak dibunyikan lagi (Lihat
Lampiran).
3 Wawancara 10 Februari 2010.
B. Riwayat Pekerjaan
Awal karir kepengrawitan Diyat
adalah pada tahun 1939. Kala itu
pemerintah Belanda menyelenggarakan
lomba kendangan Tari Remo se Kabu-
paten Surabaya. Pesertanya berasal dari
berbagai daerah di Jawa Timur seperti
Surabaya, Mojokerto, Jombang, Sidoarjo,
Gresik dan Lamongan. Kebanyakan dari
peserta yang ada adalah pengrawit lu-
druk di daerahnya masing-masing. Tiap-
tiap peserta berhak membawa penari
remonya agar perpaduan antara kendang
dan tari yang sebelumnya sudah terjadi
kesepakatan-kesepakatan (kencan) dapat
berjalan dengan baik (Widodo, 1998:21).
Dalam konteks inilah letak keunikan
budaya karawitan dan seni di Jawa Timur
umumnya. Walaupun sama-sama memi-
liki bentuk dan ekspresi seni yang sama
semisal Tari Remo, namun tiap daerah
memiliki kekhasan dan logat yang
berbeda dengan daerah lain. Tidak hanya
dalam konteks tari saja, namun kara-
witannya pun demikian.
-
27
Dengan demikian menjadi wajar
kiranya apabila dalam perlombaan
tersebut para pengendang dapat dan
diperbolehkan membawa penari remonya
masing-masing. Beberapa hal yang belum
dapat terjawab ketika penelitian ini
berlangsung terkait dengan kenapa
pemerintah Belanda mengadakan lomba
pengendang remo bukannya lomba tari
atau apapun? Sementara pertanyaan yang
lebih luas lagi, apakah perhatian peme-
rintah Belanda cukup intens pada dunia
seni kala itu, sehingga menyelenggarakan
acara yang bertajuk seni? Ataukah acara
berupa lomba tersebut memiliki maksud
dan tujuan lain? Kiranya untuk menjawab
beberapa pertanyaan tersebut dibutuhkan
satu ruang penelitian secara historis yang
sifatnya khusus. Sementara itu dalam
konteks ini pertanyaan-pertanyaan di atas
mencoba dikesampingkan terlebih
dahulu, karena basis utama penelitian
terletak pada diri Diyat Sariredjo, sehing-
ga ulasan berikutnya hanya akan lebih
difokuskan dari padanya.
Dalam perlombaan tersebut kurang
lebih diikuti oleh seratusan peserta. Diyat
kala itu ikut membawa penari remo yang
sudah sejak awal dikenalnya yakni
Munali Fatah dari Ludruk Kramat
Jenggu. Oleh karena dibesarkan di ling-
kungan seni dan sejak dini sudah berlatih
memainkan ricikan kendang, Diyat
mampu didudukkan sejajar dengan para
pengrawit profesional lainnya. Bahkan
perlombaan tersebut pada akhirnya
dimenangkan oleh Diyat Sariredjo. Pada
konteks ini satu hal yang patut dicatat
adalah, Diyat ternyata memiliki virto-
usitas tinggi dan mampu melebihi para
empu karawitan senior maupun yuni-
ornya.
Kabar kemenangan Diyat Sariredjo
dalam perlombaan tersebut segera
menyebar hampir ke semua pelosok
daerah di Jawa Timur, terlebih daerah
yang kuat dengan basis karawitannya.
Tak heran namanya begitu mahsyur dan
terkenal kala itu. Hal ini disebabkan
karena sangat jarang pada masa-masa
pemerintahan Belanda yang notabene
-
28
sebagai penjajah mengadakan pesta seni
untuk kaum pribumi. Dengan demikian
ketika diadakan perlombaan seperti
tersebut di atas, gaung dan area pancar-
nya begitu luas hingga ke daerah-daerah.
Berawal dari titik inilah yang kemudian
karir keprofesionalan Diyat dimulai
dengan membentuk kelompok ludruk di
Radio Republik Indonesia (RRI) Surabaya
bersama dengan seniman ludruk dan
penari remo terkenal, Munali Fatah.
Sebagai Pegawai RRI Surabaya
Diyat Sariredjo bertemu dengan
salah seorang penari remo sekaligus
pemain ludruk yang handal yakni
Munali Fatah pada dekade tahun 1940-
an. Mereka sering bertemu dan bertatap
muka ketika sama-sama menjalani karir
sebagai seorang seniman tradisi4 yang
4 Tradisi merupakan pewarisan atau penerus
norma-norma, adat istiadat dan sebagainya, bukanlah
sesuatu yang tidak dapat diubah, tradisi justru
dipadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia,
manusialah yang membuat tradisi itu menerima,
menolak, dan merubahnya, sehingga manusia selalu
memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaan
yang sudah ada (Van Peursen, C.A., 1988:11).
berpentas dari satu rumah ke rumah
yang lain. Lebih dari itu, Munali Fatah
juga akrab dengan ayah Diyat Sariredjo,
Suryo Idris, karena sering pula me-
ngikuti pentas wayangnya sebagai penari
remo sebelum pergelaran wayang kulit
dimulai.
Kebetulan, kala itu salah seorang pe-
gawai di RRI Surabaya5 menawari Diyat
untuk membentuk grup ludruk dengan
payung RRI Surabaya. Tanpa berfikir
panjang, Diyat langsung menyetujui
akan hal tersebut. Tepat pada tahun 1947
grup ludruk yang digawangi oleh Diyat
terbentuk dengan mengangkat RRI
Surabaya sebagai nama dan payung
ludruknya.( Widodo, 1998). Kendatipun
demikian, ludruk RRI Surabaya waktu
itu belum menunjukkan sebuah kelom-
pok ludruk yang diperhitungkan. Baru
5 Informasi ini beredar luas di kalangan seniman
tradisi karawitan Jawa Timur. Namun hampir semua
narasumber yang diwawancarai tidak dapat
menyebutkan nama dari pegawai RRI tersebut karena
sudah berlangsung sangat lama sehingga lupa. Selain
itu orang yang bersangkutan dalam komunitas RRI
Surabaya waktu itu tidak memiliki jabatan khusus
sehingga nama dan alamatnya tidak terdokumantasi
dan tidak dapat dilacak saat penelitian ini
diberlangsungkan.
-
29
setahun kemudian nama ludruk RRI
Surabaya banyak dikenal oleh masya-
rakat luas karena disiarkan secara
langsung dan reguler oleh radio (RRI)
terkait.
Sezaman dengan terbentuknya lu-
druk RRI Surabaya, di lembaga tersebut
juga dibentuk paguyuban karawitan
yang dipimpin langsung oleh Diyat
Sariredjo. Adapun nama kelompok
karawitan tersebut juga mengambil kata
RRI Surabaya sebagai nama grupnya,
kelompok karawitan RRI Surabaya.
Kelompok karawitan ini bertugas meny-
iarkan gending-gending Jawa-timuran.
Diyat ditunjuk sebagai ketua paguyuban
karena dianggap sebagai salah seorang
yang mumpuni dalam malagukan
gending-gending Jawatimu-ran serta
pemain segala ricikan gamelan yang
handal. Bahkan menurut Amuji6
sebenarnya kala itu banyak empu kara-
witan lain yang lebih senior darinya
seperti pak Pono misalnya, namun
6 Wawancara tanggal 9 dan 16 Februari 2010 di
RRI Surabaya
karena pertimbangan kemampuan dan
ketrampilan yang dimiliki Diyat, akhir-
nya semua sepakat menjadikan Diyat
sebagai ketua.
Pertimbangan lain, sebelum memben-
tuk kelompok karawitan di RRI Sura-
baya, Diyat juga pernah terlibat da-lam
salah satu siaran karawitan di radio
CIRVO (Chines Inheemse Radio Luisteraars)
di Pasar Turi Surabaya.7 Radio tersebut
sebenarnya berada dalam naungan
masyarakat Tiong Hoa di Surabaya na-
mun operasinya secara langsung diken-
dalikan oleh pemerintah Belanda.
Selain berkecimpung di dunia siaran
RRI Surabaya, Diyat juga aktif mengikuti
kegiatan seni lain di luar komunitas
kelompok RRI Surabaya. Diyat masih
rajin mengikuti pentas wayang oleh
dalang-dalang Jawatimuran serta aktif
pula dalam mengukuti perkembangan
7 CIRVO (atau bagi orang Jawa dan Surabaya
khususnya lebih dikenal dengan nama SERPO) juga
konon katanya merupakan cikal bakal atau embrio
lahirnya RRI Surabaya yang sekarang bertempat di
Jalan Pemuda Surabaya. (Kris Mariyono,2003). Ketika
Indonesia merdeka pada tahun 1945, CIRVO mulai
dialihkan menjadi radio pemerintah bernama RRI
Surabaya (Widodo,1998).
-
30
seni tayub yang mendudukkannya
sebagai seorang pengendang handal.
Bahkan dengan tegas Ki Sulemen
menyatakan bahwa ketika Diyat
Sariredjo memainkan kendang dalam
pertunjukan tayub maka gaungnya akan
banyak didengar oleh masyarakat luas
dan kemudian mereka akan berbondong-
bondong menyaksikan pertunjukan
tayub tersebut. Terlebih nama Diyat
sudah dikenal luas sebagai efek dari
keaktifannya mengikuti siaran Radio RRI
Surabaya sebagai pengendang dan
pimpinan rombongan.
Selama masa-masa itu, Diyat banyak
diagung-agungkan oleh masyarakat
karawitan Jawatimuran. Ketika siaran di
RRI diberlangsungkan banyak masya-
rakat dan beberapa seniman yang secara
langsung datang menyaksikan Diyat
ngendang ataupun ngrebab pada pertunj-
ukan klenengan ataupun ludruk. Waktu
itu frekuensi siarnya dibagi menjadi tiga
segmen. Pertama terdapat acara yang
bernama Bonangan Pagi yakni siaran
gending-gending bonangan Jawatimuran
yang diberlangsungkan pada setiap hari
Selasa dan Kamis jam enam sampai jam
tujuh pagi. Berikutnya adalah siaran
Ludruk yang diberlang-sungkan setiap
hari Jumat jam 10 malam sampai jam 12
malam. Kemudian terakhir adalah acara
yang bertajuk Manding Jamuran
(Manasuka Gending-gending Jawatimuran)
yakni siaran karawitan yang khusus
menyajikan gending-gening
Jawatimuran, jadual siarnya setiap hari
Rabu jam 10 hingga jam 12 malam.
Ki Sulemen yang merupakan
seorang dalang terkenal di Jawa Timur,
kala itu sering datang ke RRI Surabaya
untuk mendengarkan gending-gending
Jawatimuran pada acara Manding
Jamuran. Lebih lanjut Suleman menu-
turkan bahwa dirinya sangat menyukai
ketika Diyat Sariredjo memainkan ricikan
kendang karena bunyi yang dihasilkan
dari tepakan tangannya sangat jelas,
pandai membawa irama dan banyak
mengetahui tentang seluk beluk gending.
Apalagi jika yang dimainkan adalah
gending-gending Jawatimuran lama
-
31
seperti Layon Kintir, Olang-Aling, Gambir
Sawit Tandaan, Tawang Bende dan lain
sebagainya, Diyat begitu terampil
membawakannya. Sule-man mengakui
bahwa dirinya banyak belajar dari Diyat
Sariredjo terkait bagaimana
membawakan sebuah gen-ding, seperti
apa iramanya yang enak, bagaimana
peran ricikan yang harus menonjol dan
yang tidak, semu-anya diperolehnya
ketika menyak-sikan klenengan di RRI
Surabaya oleh Diyat sebagai figur
sentralnya.
Diyat adalah pribadi yang jarang
megeluh pada situasi dan kondisi
apapun. Ia adalah figur yang sabar dan
pandai menempatkan diri. Amuji,
Kukuh8, Silan, Kartolo9 dan Suleman
menuturkan bahwa Diyat Sariredjo
dihormati bukan karena apapun kecuali
kemampuan dan sikapnya. Ia tidak
pernah marah atau mengeluarkan kata-
kata kasar kepada siapapun terlebih
pengrawit di RRI Surabaya ketika menga-
8 Wawancara tanggal 9, 16 dan 24 di Surabaya, 9 Wawancara tanggal 28 Januari 2010 di
Surabaya
jari atau membenahi tabuhan para
pengrawit yang menurutnya salah atau
keliru. Pengalaman berharga pernah
dimiliki oleh Amuji ketika ia memainkan
ricikan bonang pada acara siaran Bo-
nangan Pagi. Seperti biasa, Diyat bertin-
dak sebagai seorang pengendang. Selama
pertunjukan berlangsung, terda-pat bebe-
rapa repertoar pola bonang yang salah
diterapkan oleh Amuji. Selesai pertunju-
kan, dengan santun dan sabarnya Diyat
Sariredjo datang ke depan Amuji yang
masih duduk di samping ricikan bonang
sambil membenarkan sekaligus mem-
praktekkan pola pukulan bonang yang
benar. Ketika bercerita kepada penulis,
sangat tampak bahwa pengalaman itu
adalah pengalaman yang mendudukkan
Diyat sebagai figur yang sangat
dihormatinya. Hal ini terjadi ketika ia
menceritakan pengalamannya itu dengan
mata yang berkaca-kaca.
Kukuh dan A. Tasman Ronoatmojo10
menyatakan bahwa Diyat ibarat virus,
gaya serta pola kendangannya banyak
10 Wawancara 3 Maret 2010 di STKW Surabaya
-
32
diacu seniman-seniman pengendang
profesional di Jawa Timur seperti Cak
Madun dari Jombang, Sunarto di
Surabaya, Widodo di Mojokerto serta
Bambang SP dan Kukuh sendiripun
mengacu dari pola kendangannya.
Mereka tidak pernah berguru secara
langsung pada Diyat Sariredjo, hanya
sering mendengarkan dan kalaupun
bertemu meminta pendapat untuk
dikritik dan juga meminta pembenahan
sesuai dengan naluri musikal yang
dimiliki Diyat. Terlebih ketika siaran di
RRI Surabaya, banyak masyarakat luas
dan lebih khusus lagi seniman karawitan
ajaran (yang masih belajar) mendengar-
kannya. Efeknya, pola dan ragam
pukulannya banyak dianut dan ditiru
oleh seniman karawitan umumnya. Bagi
mereka semua, Diyat adalah empu dan
sekaligus gurunya, walaupun ada juga
yang tidak pernah bertemu atau bertatap
muka dengan Diyat Sariredjo secara
langsung sama sekali.
Di RRI Surabaya, Diyat menjadi
empu karawitan yang disegani. Ia
bertanggung jawab penuh atas materi
siaran karawitannya. Ia membuat notasi-
notasi karawitan mulai dari gending-
gending bonangan hingga gending-
gending Jawatimuran pada umumnya. Ia
memiliki banyak repertoar gending lama
yang dituangkannya dalam kertas
berujud angka-angka notasi karawitan
(kepatihan). Setiap kali datang ke RRI
Surabaya, tidak lupa kertas-kertas notasi
tersebut senantiasa di bawa. Amuji
pernah menjadi saksi bagaimana
tekunnya Mbah Diyat (begitulah Amuji
menyebut sosok Diyat Sariredjo)
mencatat segala sesuatu yang berkaitan
dengan gending karawitan Jawatimuran.
Hal ini menjadi berguna ketika Diyat
mengalami kesulitan dalam menghafal
gending tertentu, sehingga catatan-
catatan tersebut membantu untuk
mengingatnya. Sayang, catatan-catatan
Diyat Sariredjo yang konon jumlahnya
banyak tersebut hingga kini tidak dapat
dilacak keberadaannya.
Diyat menjadi pegawai kontrak di
RRI Surabaya sekitar 25 tahunan, dan
-
33
tepat pada tanggal 14 Mei tahun 1970 ia
diangkat menjadi pegawai negeri sipil
dengan golongan II/a dengan surat
keputusan Menteri Penerangan Republik
Indonesia No.41/-Kep/Menpen/1970.
Dengan demikian Diyat mulai
mendapatkan gaji dan tunjangan untuk
hidup sehari-hari. Semenjak diangkat
menjadi pegawai negeri, karir
keprofesiannya sebagai seorang
pengrawit hampir setiap harinya
dihabiskan di RRI Surabaya. Selama
menjabat sebagai ketua karawitan di RRI
Surabaya, Diyat menerapkan konsep
kedisiplinan bagi semua anggotanya. Ia
memberi contoh yang baik dengan datang
10 menit lebih awal dan berpakaian rapi.
Satu hal yang sampai saat ini begitu
membekas dalam ingatan Suleman yang
waktu itu hampir tidak pernah absen
datang ke RRI Surabaya menyaksikan
klenengan yang dipimpin oleh Diyat.
Menurutnya, Diyat adalah pribadi yang
begitu besar dalam menghargai gamelan
sebagai sumber mata pencaharian
hidupnya. Ia tidak berani melangkah di
atas gamelan, ia lebih baik menggeser
gamelan agar dapat ruang dan jalan
untuk lewat. Apabila terdapat pengrawit
yang melangkah (nglangkahi) gamelan,
maka Diyat tidak segan-segan untuk
menegurnya. Terlebih gamelan RRI
Surabaya adalah gamelan tua yang
cenderung dikeramatkan. Gamelan RRI
Surabaya dikenal dengan nama gamelan
Kiai Putih yang tumbuk (nada yang sama)
nem (6) antara pelog dan slendronya.
Bahkan hingga kini ketika acara siaran
ludruk maupun klenengan diberlang-
sungkan di studio RRI, di samping gong
senantiasa diberi sesaji berupa dupa,
kemenyan atau kadangkala bunga tujuh
rupa.
Kurang lebih sekitar 12 tahun Diyat
mengabdikan dirinya di RRI Surabaya
sebagai pegawai negeri sipil. Tepat pada
tanggal 29 Desember 1982 sesuai dengan
surat keputusan Menteri Penerangan RI
Nomor 507/SK/BK/Pens-S/1982 Diyat
resmi pensiun dengan golongan akhir
II/d. Walaupun pensiun, Diyat masih
tetap diberdayakan oleh RRI Surabaya
-
34
dengan diangkat menjadi karyawan
kontrak dan tetap memimpin paguyuban
karawitan RRI Surabaya Grup. Namun
demikian semakin lama kesehatannya
semakin menurun, Diyatpun jarang
memegang ricikan kendang yang
notabene membutuhkan tenaga ekstra
untuk dibunyikan, terlebih kendang Jawa
Timur yang kulitnya relatif tebal dengan
ukurannya yang besar. Sewaktu pensiun
dari RRI Surabaya, Diyat lebih banyak
memegang ricikan rebab, siter dan
kadangkala juga bonang. Kendatipun
demikian, ia tetap dengan setia
memberikan pengarahan apabila terdapat
kesalahan atau ketidak tahuan pengrawit
terhadap satu garap gending
Jawatimuran.
Tahun 1986 Diyat didiagnosa oleh
dokter mengidap penyakit ginjal.
Aktifitasnya mulai dibatasi dengan hanya
memainkan ricikan yang tidak begitu
memforsir tenaga. Terlebih menginjak
tahun 90-an dan 2000an, kondisi
kesehatannya semakin memburuk. Diyat
lebih banyak menghabiskan hari-harinya
untuk berobat dan istirahat di rumah
(Driyorejo Gresik). Walaupun kondisinya
yang sakit, Diyat senantiasa mende-
ngarkan siaran-siaran karawitan Jawati-
muran yang diberlangsungkan oleh RRI
Surabaya melalui radio di rumahnya.
Bahkan sehabis siaran berlangsung, esok
harinya Diyat pergi ke RRI Surabaya
guna memberi saran dan mengkritisi
sajian karawitan yang semalam
didengarnya. Diyat pergi kadang kala
tanpa sepengetahuan istri dan anaknya.
Hal tersebut ia lakukan secara diam-diam,
sebab jika memberitahu terlebih dahulu
sering kali tidak diijinkan dengan alasan
kondisinya yang sudah tua dan sakit-
sakitan.
Nama RRI Surabaya grup begitu
diperhitungkan dalam percaturan
karawitan Jawatimuran umumnya. Hal
ini bukan saja disebabkan oleh kabesaran
nama yang disandangnya, namun juga
karena terdapat sosok dan figur Diyat
Sariredjo di dalamnya. Selain terlibat
dalam aktif dalam siaran karawitan di
RRI Surabaya, dalam perjalanannya Diyat
-
35
juga pernah menjalani karir sebagai
seorang pengajar di dua lembaga pendi-
dikan seni di Jawa Timur yakni SMKI
(KOKARI) dan STKW Surabaya.
Sebagai Pengajar di SMKI dan STKW
Surabaya
a. Sebagai Pengajar di SMKI Surabaya
Pada tahun 1971 didirikan lembaga
pendidikan seni setingkat SLTA, yakni
KOKARI (Konservatori Karawitan
Indonesia) di Jalan Genteng Kali
Surabaya dengan dua jurusan utama
yakni karawitan dan tari. Guna
menunjang keberhasilan proses belajar
mengajar dan agar menghasilkan lulusan
yang terampil dalam dua hal tersebut,
dibutuhkan tenaga-tenaga ahli yang
kompeten dalam bidangnya. Kala itu
lembaga pendidikan serupa di Surakarta
telah lebih dahulu berdiri (1950) dan
sudah menghasilkan lulusan yang
kompeten terutama dalam bidang seni
karawitan. Dengan demikian banyak
tenaga pengajar yang secara langsung
didatangkan dari KOKARI Surakarta
untuk membantu proses belajar mengajar
di KOKARI Surabaya. Namun sayangnya
hampir semua tenaga pengajar yang
didatangkan dari Surakarta tidak
memiliki landasan kuat dalam mengajar
praktek maupun teori yang berkaitan
seputar karawitan Jawatimuran. Mereka
lebih memiliki fondasi yang kompeten
dalam mengajar karawitan gaya
Surakarta baik dalam realitas praktik
maupun konseptualnya.
Agar tidak terjadi ketimpangan
materi, akhirnya KOKARI Surabaya
memutuskan untuk mencari seniman
profesioanal sebagai pengajar karawitan
Jawatimuran. Dari hasil rapat dan
musyawarah pengurus KOKARI
Surabaya, akhirnya diputuskan bahwa
yang berhak dan layak untuk memegang
posisi sentral ini adalah Diyat Sariredjo.
Beberapa pertimbangan yang diambil
adalah pertama, nama Diyat Sariredjo
waktu itu sudah begitu terkenal di Jawa
Timur sebagai seorang pengendang dan
penata karawitan di RRI Suarabaya.
-
36
Kedua, Diyat selain memiliki posisi
sentral sebagai pemain gamelan yang
ulung, juga dikenal memiliki kecakapan
berfikir yang bagus dan dapat
menyampaikan gagasannya dengan
runtut serta terstruktur, terutama
berkaitan dengan masalah karawitan
Jawatimuran.11 Hal itu dibuktikannya
ketika dilibatkan sebagai dewan juri pada
acara-acara karawitan di Jawa Timur.
Pandangan dan pemikiran Diyat
dianggap menjadi satu komponen
penting sebagai standar penilaian. Ia
mampu memberikan ulasan dengan tajam
terkait dengan apa yang dilihatnya. Ia
juga memberikan contoh-contoh ideal
ketika ada yang mempertanyakan
kredibilitas penilaiannya. Dengan
demikian sangat wajar jika KOKARI
Surabaya memintanya sebagai salah
sorang tenaga pengajar atau instruktur
karawitan.
Diyat didaulat tidak hanya sekedar
untuk mentransfer ilmunya kepada para
11 Wawancara dengan Mudiyanto tanggal 5
Maret 2010 di SMKI Surabaya.
siswa, namun juga guru-guru KOKARI
kala itu. Setiap malam-malam tertentu
terdapat acara klenengan rutin yang
dilakukan di bangsal berisi gamelan yang
diikuti oleh hampir semua guru dan
karyawan. Soenarto R.,12 salah seorang
guru KOKARI Surabaya yang merupakan
lulusan KOKAR Surakarta mengaku saat
itu ia banyak mendapatkan materi
gending-gending Jawatimuran dari Diyat
Sariredjo, terutama untuk pola-pola
kendangannya. Berkat Diyat Sariredjo,
kini Soenarto R. menjadi salah satu
pengajar gending-gending Jawatimuran
terutama untuk ricikan kendang di
KOKARI (berubah menjadi SMKI dan
sekarang SMKN 12 Surabaya) dan STKW
Surabaya. Tenaga pengajar yang pada
awalnya didatangkan dari Surakarta,
lambat laun dapat menguasai ragam
gending Jawatimuran dengan baik.
Dengan dibukanya KOKARI
Surabaya, pendidikan gamelan di Jawa
Timur yang selama ini dipelajarai lewat
12 Wawancara tanggal 23 Maret 2010 di
Surakarta
-
37
budaya oral kini disajikan dalam
takarannya yang lebih saintifik
(keilmuan). Pada konteks inilah di mana
karawitan dibuka secara luas untuk
umum. Karawitan yang selama ini
dianggap oleh sebagian masyarakat
hanya merupakan bidang yang digeluti
oleh beberapa kalangan yang memiliki
darah keturunan seniman (dari orang
tuanya) kini mulai pudar. KOKARI di
Surabaya merupakan titik awal di mana
karawitan dapat dipelajari oleh siapapun
tanpa harus mempertimbangkan faktor
genetika yang dimilikinya. Hal ini tentu
membawa dinamisasi bagi kehidupan
karawitan di Jawa Timur pada umumnya.
Diyat pada awalnya memiliki
keterbatasan dalam menyampaikan
materi bagi kalangan KOKARI Surabaya.
Kiranya hal tersebut wajar karena ia sama
sekali tidak memiliki bekal pengalaman
sebagai seorang pengajar. Ia pun tidak
pernah mengenyam bangku sekolah dan
tiba-tiba sesaat harus menjadi seorang
pengajar. Kendatipun demikian ia
mencoba dengan segala kemampuannya
untuk menyampaikan materi yang ada,
terlebih dalam takaran realitas praktik
karawitan Jawatimuran. Diyat mulai
mengajarkan berbagai ragam pola
karawitan Jawatimuran (Surabaya), mulai
dari permainan ricikan kendang, rebab,
bonang, peking dan lain sebagainya.
KOKARI pun saat itu banyak
melakukan pencatatan-pencatatan notasi
gending-gending Jawatimuran dari Diyat
Sariredjo sebagai bahan ajar dan
dokumentasi ke depannya. Notasi-sotasi
tersebut diwujudkan dalam notasi
kepatihan. Dalam konteks ini segala
permainan ricikan dapat ditranskripsikan
dengan mudah, kecuali kendang. Seperti
diketahui, kendang Jawatimuran atau
yang biasa disebut kendang cekdongan
dikenal memiliki tingkat kerumitan
permainan yang tinggi, mulai dari tempo
yang terkesan tidak konstan, pola serta
ukel yang cenderung ribet dan lain
sebagainya. Diyatpun mengakui bahwa
segala gending dapat ia transkrip dengan
mudah kecuali pola kendangannya,
apalagi jika kendangan Tari Remo di
-
38
mana tempo dan dinamika sangat
berparan. Hal tersebut senada dengan
yang diungkapkan oleh Kris Mariyono
sebagai berikut.
Sebagai Empu seni karawitan Gaya
Jawatimuran, Diyat Sariredjo meski telah
mampu memberikan sumbangsih
penulisan notasi gending-gending
Jawatimuran, namun ia mengakui selama
menekuni seni karawitan gaya
Jawatimuran, belum bisa membuat notasi
gending Tari Remo, irama kendangnya
naik-turun, sehingga saya sulit untuk
membuat notasinya, ujar Mbah Diyat
yang merasa menyesal.( Mariyono, 2003:
42).
Dengan demikian cara pembelajaran
yang dilakukan Diyat di KOKARI
Surabaya, terutama untuk kendangan
Tari Remo dilakukannya secara oral
dengan memberi contoh yang aplikatif.
Semua siswa dikumpulkan di kelas dan
memegang kendang Jawatimuran,
dengan intensitasnya yang tinggi Diyat
mulai bertutur tentang pola-pola
kendangan secara runtut dari awal. Para
murid menirukan dengan menggunakan
suara (mulut) kemudian
mengaplikasikannya lewat kendang.
Tidak jarang, Diyat berusaha memberi
contoh secara langsung apabila terdapat
pola yang ribet dan membutuhkan
kecakapan khusus untuk melakukannya.
Setelah semuanya usai, kemudian para
siswa berusaha memainkannya dengan
menggunakan ricikan gamelan lengkap.
Hal ini menjadi penting untuk dilakukan
agar penguasaan irama, tempo dan
dinamika dapat dirasakan secata
langsung. Apabila pembelajaran melalui
kendang saja, kemungkinan besar siswa
tidak mengetahui aplikasi langsung
dengan gamelan lengkap, sehingga irama,
tempo dan dinamikanya tidak terpegang.
Seperti disinggung Jung di atas, cara
belajar yang demikian ini ternyata paling
efektif. Siswa lebih dapat menguasai pola
permainan ketika seringkali
mendengarkan dan dihadapkan dengan
contoh yang aplikatif oleh sang guru dari
pada hanya berbekal kertas yang berisi
notasi. Apa yang disampaikan sang guru
-
39
langsung terakumulatif dalam otak dan
selanjutnya berusaha diaplikasikan.
Bandingkan jika dengan menggunakan
notasi, kebanyakan siswa akan terpaku
pada kertas notasi tersebut dan
selanjutnya menjadi ketergantungan.
Padahal sebenarnya kertas notasi hanya
difungsikan sebagai alat pengingat
(mnemonic device) semata. Cara belajar
dengan oral dan contoh aplikatif inilah
yang sampai saat ini diterapkan di SMKN
12 Surabaya dalam proses transmisi
kendangan remo bagi para siswa.
Bambang S.P., salah satu pengajar yang
sudah mencetak beberapa pengendang
remo, ternyata menggunakan konsep
mengajar yang digunakan Diyat
Sariredjo. Ia lebih banyak memberikan
materi dengan oral dan contoh-contoh
langsung. Menurutnya siswa lebih cepat
mengaplikasikannya dan lebih menguasi
jalannya sajian seperti tempo, irama dan
dinamika.
Tidak terhitung sudah berapa siswa
yang dicetak Diyat Sariredjo (baik
langsung maupun tidak) menjadi
pengendang Tari Remo handal, baik
melalui lembaga resmi seperti KOKARI
Surabaya maupun di luar itu. Bahkan
kebanyakan dari mereka kini menjadi
tokoh-tokoh sentral dalam konfigurasi
karawitan Jawatimuran, simak saja
seperti Bambang S.P., Kukuh, Joko Susilo,
Narto, Budi, Silan, dan masih banyak lagi.
Mereka adalah figur-figur yang cukup
diperhitungkan dan senantiasa menjadi
rujukan sebagai nara sumber terkait
dengan apa-apa yang berhubungan
dengan karawitan di Jawa Timur.
Diyat yang sebelumnya intens
memberikan materi ajar di KOKARI
kemudian didudukkan sebagai nara
sumber dan dewan empu serta instruktur
pembelajaran pengetahuan dan praktik
karawitan Jawatimuran hingga dekade
tahun 90-an. Materi-materi gending yang
ia berikan selanjutnya kini digunakan
sebagai materi wajib pada mata pelajaran
Karawitan Jawatimuran dalam
berbagai tingkat di KOKARI Surabaya
yang kemudian menjelma menjadi SMKI
(Sekolah Menengah Karawitan Indonesia)
-
40
pada tahun 1977 dan berubah lagi
menjadi SMK N 9 Surabaya pada tahun
90-an. KOKARI surabaya merupakan titik
awal lahirnya lembaga pendidikan seni
setingkat peguruan tinggi yakni STKW
(Sekolah Tinggi Kesenian Wilawatikta) di
Surabaya.
b. Sebagai Pengajar di STKW Surabaya
Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta
Surabaya berdiri tahun 1980 dengan dua
jurusan utama yakni Karawitan dan Tari.
Layaknya KOKARI Surabaya, waktu itu
Diyat didudukkan pula sebagai dewan
empu dan sekaligus instruktur untuk
mata kuliah Karawitan Jawatimuran.
Keberadaan Diyat Sariredjo sebagai
seorang empu karawitan yang mumpuni
banyak dimanfaatkan oleh STKW
Surabaya dalam merumuskan pilar-pilar
keilmuan karawitan Jawatimuran.
Setahun kemudian di tahun 1981 banyak
usaha yang dilakukan oleh STKW
Surabaya dan terutama Jurusan
Karawitan dalam upaya
pendokumentasian gending-gending
Jawatimuran. Upaya pendokumentasian
yang dilakukan STKW Surabaya mencoba
meneruskan dari yang telah dilakukan
oleh SMKI Surabaya dengan lebih
menekankan pada pola permainan
ricikan-ricikan garap seperti rebab dan
kendang.
Diyat sariredjo pada titik ini
didudukkan sebagai seorang empu dan
sekaligus menjadi narasumber utama.
Adapun legalisasi pengakuan
keempuannya muncul di banyak tulisan
kala itu, sebagai contoh adalah seperti
yang diungkapkan oleh A. Tasman
Ronoatmodjo dalam sebuah kata
pengantarnya sebagai berikut.
Karawitan Surabaya termasuk
suatu garap karawitan yang kuat dan
khusus pada karawitan pada umumnya.
Garap karawitan Surabaya sudah makin
tidak terasa dalam garap di berbagai
kegiyatan karawitan termasuk pengrawit
lingkungan tersebut, di samping itu
mungkin ricikan rebab pada umumnya
tidak begitu menarik untuk dipelajari dan
agak sukar. Usaha penyusunan notasi
-
41
rebaban adalah suatu upaya untuk
mendokumentasikan bahan garap rebab
sejauh yang dapat dicapai, mungkin
dapat digunakan sebagai bahan garap
karawitan Surabaya maupun yang lebih
luas. Notasi ini disusun bersumber dari
Diyat Sariredjo mpu karawitan Surabaya
dan Suwarnin yang membuat notasi.
Suatu pemikiran untuk menemukan cara
menggarap rebab untuk karawitan
Surabaya yang lebih praktis dan kreatif
merupakan cita-cita yang belum
terlaksana. (Ronoatmojo dan Suwarmin,
1981).
STKW Surabaya di awal tahun-
tahun berdirinya banyak melibatkan
Diyat dalam berbagai hal seperti
penulisan gending serta perekaman
untuk media ajar mata kuliah Karawitan
Jawatimuran di berbagai tingkatan.
Namun demikian, rekaman-rekaman
tersebut hingga kini tidak dapat dilacak
keberadaannya. Beruntung, hasil
rekaman tabuh bersama tersebut sudah
dinotasikan oleh para pengajar STKW
Surabaya dalam bentuk buku materi ajar
karawitan Jawatimuran. Di tahun yang
sama dan tahun-tahun berikutnya juga
terdapat penulisan tentang gending-
gending Jawatimuran serta penelitian-
penelitian ilmiah dalam bentuk skripsi
guna menunjang kelulusan mahasiswa.
Beberapa tulisan tersebut di antaranya
karya A. Tasman Ronoatmojo13 yang
berusaha memetakan gending-gending
Surabaya dan Mojokerto. Kemudian
tulisan Suwarmin14 yang mengulas
tentang klasifikasi gending Surabayan,
dan tulisan Sunarto15 yang mengupas
tentang garap kendang gending-gending
alit karawitan gaya Jawatimuran. Semua
tulisan tersebut menempatkan Diyat
Sariredjo sebagai nara sumber utamanya.
Memang kala itu menurut Tasman16
semua tulisan baik yang berwujud
penelitian yang didanai oleh institusi
pemerintahan ataupun skripsi
13 Notasi Gending Mojokerto-Suroboyo,
1981. 14 Klasifikasi Struktur Gending Surabaya,
1984. 15 Garap Kendang Klenengan Gending-
Gending Alit Karawitan Gaya Jawatimuran, 1987). 16 Wawancara tanggal 3 Maret 2010 di STKW
Surabaya
-
42
bahasannya lebih difokuskan pada
determinasi karawitan Jawatimuran. Hal
ini sebagai upaya dalam mencari struktur
dan skema baku gending-gendingnya.
Dalam konteks inilah Diyat banyak
menyumbangkan pemikiran dan
gagasannya. Bahkan sebelum STKW
berdiri, telah ada tulisan notasi gending-
gending Jawa Timur yang ditulis oleh Piet
Asmoro17 pada tahun 1971. Piet Asmoro
adalah seorang dalang Jawatimuran yang
berdomisili di Mojokerto. Ia merupakan
dalang yang sangat terkenal pada
z