Download - MAY SUHARDYANTO - FISIP.pdf
FENOMENA PEKERJA ANAK SEBAGAI “PAK OGAH” DI
KECAMATAN CIPUTAT, TANGERANG SELATAN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
May Suhardyanto
1110111000007
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
i
ABSTRAKSI
Skripsi ini mengkaji tentang pekerja anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ di
Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan gambaran anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ serta ingin
menjelaskan apa yang menyebabkan mereka bekerja. Subjek penelitian sebanyak
sepuluh informan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data diperoleh
melalui wawancara dan observasi.
Teori yang digunakan adalah teori sub-budaya kemiskinan dan teori belajar
sosial. Teori sub-budaya kemiskinan digunakan karena mampu menjelaskan bahwa
sebagian besar informan merupakan berasal dari latar belakang keluarga yang berada
dalam garis kemiskinan yang didalamnya terdapat beberapa karakteristik yang sesuai
dengan teori sub-budaya kemiskinan. Sedangkan teori belajar sosial digunakan
karena mampu menjelaskan salah satu faktor penyebab anak untuk bekerja sebagai
―pak ogah‖.
Hasil penelitian menunjukan bahwa seluruh informan di wilayah penelitian
merupakan anak laki-laki yang berusia antara 13 sampai dengan 17 tahun, yang
berasal dari suku Betawi dan Jawa dan beragama Islam. Latar belakang pendidikan
mayoritas informan sudah putus sekolah pada jenjang SMP, hanya minoritas yang
masih menempuh pendidikan di jenjang SD, SMP dan SMA. Para informan sudah
bekerja antara satu sampai empat tahun, pada umumnya mereka bekerja satu sampai
dua jam dalam sehari dan tiga sampai empat hari dalam seminggu. Penghasilan
mereka antara lima ribu sampai delapan puluh ribu dalam sehari. Latar belakang
keluarga mayoritas informan berasal dari keluarga miskin yang dalam kehidupan
kesehariannya terdapat beberapa karakteristik yang sesuai dengan teori sub-budaya
kemiskinan, seperti terbatasnya akses terhadap pendidikan, kesehatan dan konsumsi,
terbatasnya tempat tinggal karena pemukiman kumuh dan padat, adanya perasaan
tidak berharga dan tidak berdaya, kurangnya pengasuhan oleh orang tua serta
tingginya tingkat kesengsaraan karena beratnya penderitaan Ibu. Namun demikian,
terdapat karakteristik sub-budaya kemiskinan yang tidak sesuai, seperti rendahnya
partisipasi ke dalam lembaga masyarakat, adanya pernikahan di usia dini dan
tingginya perceraian dalam keluarga
Penyebab informan bekerja karena adanya faktor pendorong yang berasal dari
kemauan mereka sendiri untuk mencari uang. Faktor mencari uang ini disebabkan
oleh tiga alasan. Pertama, untuk membantu pemenuhan ekonomi keluarga, yang
sifatnya primer. Kedua, untuk memenuhi konsumsi (jajan) sendiri, yang sifatnya
sekunder. Ketiga, untuk pemenuhan kebutuhan sekolah yang meliputi membeli buku
dan bayaran sekolah. Kemudian terdapat tiga faktor yang menjadi daya tarik
pekerjaan ―pak ogah‖ yang menyebabkan informan bekerja. Pertama, kenyamanan
bekerja, hal ini disebabkan karena terdapatnya teman sebayanya yang juga bekerja
dan mempengaruhi semua informan untuk menggeluti pekerjaan ini. Kedua, adanya
penghasilan rutin dan mencukupi untuk kebutuhan mereka. Ketiga, tidak
membutuhkan keahlian dan modal besar.
ii
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur Alhamdulillahi rabbil alamin kehadirat Allah SWT
atas Rahmat dan Ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta
salam semoga senantiasa tercurah pada junjungan Nabi Muhammad SAW berserta
keluarga, para sahabat dan para pengikutnya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan bisa selesai tanpa bantuan,
bimbingan, arahan, dukungan dan kontribusi dari banyak pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yaitu Bapak Prof. Dr. Zulkifli,
MA.
2. Sekretaris Program Studi Sosiologi yaitu Bapak Husnul Khitam, M.Si.
3. Ibu Dra. Ida Rosyidah, MA selaku dosen pembimbing akademik sekaligus
dosen pembimbing skripsi yang telah mencurahkan waktu, tenaga dan
pikirannya untuk membimbing dan memberikan motivasi untuk penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Segenap dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah
memberikan ilmu pengetahuannya kepada mahasiswa.
5. Kedua orang tua penulis yang senantiasa mendoakan dan mendukung baik
moril maupun materil.
6. Kawan-kawan Sosiologi 2010, terima kasih atas pengalaman yang
diberikan.
7. Para informan dan juga pegawai Kecamatan Ciputat yang telah
memberikan data dan informasi yang diperlukan.
8. Pihak-pihak lain yang secara langsung maupun tidak langsung berjasa bagi
penulisan skripsi ini.
Semoga semua jasa dan kebaikan yang telah mereka berikan kepada penulis
dapat menjadi amal shaleh dan selalu mendapatkan rahmat serta lindungan dari Allah
SWT. Akhirnya, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna oleh
karena itu kritik serta saran yang membangun diharapkan oleh penulis dan juga
penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.
Jakarta, Maret 2015
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI..……………………………………………………………………..i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...iii
DAFTAR TABEL………………………………………………………………....v
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah...............................................................…1
B. Pertanyaan Penelitian………………………………………….5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………..5
D. Tinjauan Pustaka………………………………………………6
E. Kerangka Teori……………………………………………….11
F. Definisi Konsep………………………………………………14
G. Metodologi Penelitian………………………………………..16
H. Sistematika Penulisan………………………………………...23
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI DAN SUBJEK PENELITIAN
A. Letak Geografis Kecamatan Ciputat…………………………24
B. Kondisi Demografis Kecamatan Ciputat…………………….24
C. Gambaran Umum ―Pak Ogah‖ anak di Ciputat……………...33
BAB III TEMUAN DAN ANALISIS
A. Karakteristik dan Kehidupan Pekerja Anak Di Wilayah
Penelitian……………………………………………………..36
1. Jenis Kelamin ………………………………...……….....36
2. Usia………....……………………………………............37
iv
3. Suku dan Agama………..………………………………..41
4. Pendidikan………………………………..........................45
5. Waktu Bekerja ………………….......................................47
6. Pendapatan……………………………………………….49
7. Latar Belakang Keluarga…………………………………51
B. Sub-Budaya Kemiskinan ―Pak Ogah‖ Anak Pendekatan Oscar
Lewis…………………………………………………………54
1. Akses Terhadap Konsumsi……………………………….54
2. Akses Terhadap Kesehatan…………………....................57
3. Partisipasi Informan Di Lingkungan Sosial……………...60
4. Kondisi Rumah dan Lingkungan Pemukiman…………...62
5. Kondisi Internal Keluarga………………………………..64
C. Faktor Penyebab Informan Bekerja Sebagai ―Pak Ogah‖.......69
1. Faktor Pendorong………………………………………...69
a. Membantu Ekonomi Keluarga……………………….70
b. Pemenuhan Kebutuhan Konsumsi (Jajan) Sendiri…...72
c. Pemenuhan Kebutuhan Sekolah……………………...74
2. Daya Tarik Pekerjaan ―Pak Ogah‖……………………….75
a. Kenyamanan Bekerja………………………………...75
b. Adanya Penghasilan Rutin dan Mencukupi………….78
c. Tidak Membutuhkan Keahlian dan Modal Besar........79
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan…………………………………………………..81
B. Rekomendasi.…………...……………………...…………….84
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………vi
v
DAFTAR TABEL
Tabel I.G.1 Profil Informan……………………………………………………...17
Tabel II.B.1 Perubahan Penduduk di Kecamatan Ciputat……………………….24
Tabel II.B.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin……………………..25
Tabel II.B.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur……………………………...26
Tabel II.B.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan Terakhir………………27
Tabel II.B.5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan…………………....28
Tabel II.B.6 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama dan Kepercayaan……….…30
Tabel II.B.7 Jumlah Fasilitas Pendidikan di Kecamatan Ciputat………………...31
Tabel II.B.8 Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Ciputat………………....31
Tabel II.B.9 Jumlah Fasilitas Peribadatan di Kecamatan Ciputat………………..32
Tabel III.A.1 Usia Informan……………………………………………………...37
Tabel III.A.2 Suku dan Agama Informan………………………………………..43
Tabel III.A.3 Matrik Pendidikan Informan….…………………………………...45
Tabel III.A.4 Matrik Penghasilan Orang Tua dalam Membiayai Pendidikan…...46
Tabel III.A.5 Pendapatan Informan……………………………………………...50
Tabel III.A.6 Latar Belakang Keluarga……………………………......................51
Tabel III.B.1 Matrik Akses Konsumsi Makan Sehari-hari………………............55
Tabel III.B.2 Matrik Akses Kesehatan ……………………………………..........57
Tabel III.B.3 Matrik Partisipasi Informan Di Lembaga Masyarakat ……............60
Tabel III.B.4 Matrik Kondisi Rumah dan Lingkungan Pemukiman……..............62
Tabel III.B.5 Matrik Kondisi Internal Keluarga…………………………………64
Tabel III.B.6 Matrik Kurangnya Pengasuhan Orang tua………………………...67
Tabel III.C.1 Faktor-Faktor yang Mendorong Anak Bekerja……………………70
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Skripsi ini mengkaji tentang fenomena pekerja anak yang bekerja sebagai ―pak
ogah‖ di Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan. Skripsi bertujuan untuk
melihat gambaran kehidupan anak yang bekerja dan juga berupaya untuk
menjelaskan yang meyebabkan anak bekerja sebagai ―pak ogah‖.
Fenomena ini menjadi penting dan menarik untuk dikaji karena pekerja anak di
Indonesia jumlahnya masih banyak dan bahkan masih ditemukan anak-anak yang
bekerja pada sektor berbahaya. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei International
Labour Organization (ILO) bersama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun
2010 yang menunjukan bahwa jumlah keseluruhan anak di Indonesia yang berusia 5-
17 adalah sekitar 58,8 juta anak. Dari jumlah tersebut 4,05 juta termasuk dalam
kategori anak yang bekerja, kemudian dari jumlah anak yang bekerja tersebut sekitar
1,76 juta merupakan pekerja anak dan sekitar 20,7 persennya bekerja pada kondisi
berbahaya, misalnya lebih dari 40 jam per minggu (ILO, 2010). Pekerjaan berbahaya
bagi anak juga didefinisikan dalam konvensi ILO No. 138 dan 182 yang menetapkan:
Pekerjaan berbahaya bagi anak adalah kegiatan atau pekerjaan apapun yang
menurut sifat dan jenisnya mempunyai atau dapat menimbulkan dampak yang
merugikan terhadap keselamatan, kesehatan fisik ataupun mental, dan
perkembangan moral anak-anak. Bahaya juga dapat ditimbulkan oleh beban
kerja yang berlebihan, kondisi fisik pekerjaan, dan intensitas kerja dalam hal
durasi atau jam kerja walaupun kegiatan atau pekerjaan itu sendiri diketahui
tidak berbahaya atau ―aman‖ (2008:4).
2
Secara empiris banyak bukti yang menunjukan bahwa terlibatnya anak dalam
aktivitas ekonomi baik sektor formal maupun informal terlalu dini cenderung rawan
eksploitasi, terkadang berbahaya dan mengganggu perkembangan fisik, psikologis,
dan sosial anak (Suyanto, 2010:120). Bahkan dalam kasus dan bentuk tertentu
pekerja anak telah masuk sebagai kualifikasi anak-anak yang bekerja pada situasi
yang paling tidak bisa ditolelir (Tjahjanto, 2008:32). Padahal menurut undang-
undang perlindungan anak No 23 tahun 2002 menjelaskan bahwa setiap anak berhak
untuk mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi
maupun seksual (Warsini, 2005:9). Dan juga hak anak ini diatur dalam konvensi hak
anak yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, disebutkan dan diakui bahwa
pada hakikatnya anak-anak berhak untuk memperoleh pendidikan yang layak dan
mereka seyogyanya tidak terlibat dalam aktivitas ekonomi secara dini (Suyanto,
2010:119).
Maraknya pekerja anak tidak bisa terlepas dari masalah sosial lainnya, yaitu
kemiskinan. Meskipun kemiskinan berpengaruh banyak, namun kemiskinan
bukanlah faktor satu-satunya yang menyebabkan anak bekerja di sektor berbahaya,
masih terdapat variabel-variabel lain yang mempengaruhinya seperti adanya segmen
tersendiri dalam pasar tenaga kerja, baik berdasarkan usia, tingkat pendidikan,
keahlian maupun pengalaman (Suyanto, 2010:131). Dari penjelasan tersebut
menjelaskan bahwa pekerja anak memiliki segmen tersendiri di pasar tenaga kerja
dan salah satu yang marak digeluti oleh mereka adalah pekerjaan di sektor informal.
3
Hal ini sesuai dengan temuan ILO (2009:9) yang mengungkapkan bahwa beberapa
bentuk pekerjaan yang diketahui banyak dikerjakan oleh sejumlah besar pekerja anak
adalah pekerjaan dalam sektor informal misalnya menyemir sepatu, mengemis,
menarik becak, menjadi kernet angkutan kota, berjualan koran dan pekerjaan
informal lainnya berlangsung di rumah dan karena itu kurang terlihat oleh umum.
Beberapa jenis pekerjaan informal yang dilakukan anak-anak tersebut dapat dianggap
sebagai pekerjaan mencari uang secara mandiri (self-employment).
Selain dari beberapa jenis pekerjaan informal yang dijelaskan ILO, ternyata
berkembang beberapa jenis pekerjaan yang menjadi segmen pekerja anak di
perkotaan di Indonesia, salah satu diantaranya adalah pekerjaan sebagai ―pak ogah‖
yang pengertiannya menurut Azmi adalah:
―Pak ogah‖ merupakan sebutan masyarakat terhadap seseorang atau
sekelompok orang di luar institusi negara yang mengatur jalan raya dan
mendapatkan imbalan secara langsung dari pengguna kendaraan, tujuan dari
―pak ogah‖ ini ialah hanya untuk mendapatkan nafkah kehidupan atau
berlatarkan motif ekonomi semata (2013).
Berkembangnya pekerjaan sebagai ‖pak ogah‖ dan jenis pekerjaan sektor
informal lainnya tidak terlepas dari proses pembangunan (Effendi, 1995:73). Proses
pembangunan yang terjadi di beberapa daerah juga dialami oleh wilayah Ciputat
yang merupakan bagian dari Kota tangerang Selatan, sebagai wilayah yang secara
geografis berdekatan dengan ibu kota tentunya pembangunan infrastruktur jalan
dibutuhkan bagi akses mobilitas penduduknya dan juga untuk membantu mengatasi
kemacetan. Namun konsekuensi pembangunan infrasturktur jalan yang menghasilkan
4
persimpangan-persimpangan ternyata di sisi lain dimanfaatkan menjadi sumber
penghasilan bagi sebagian masyarakat yang tidak mampu bersaing dalam tenaga
kerja formal, baik dari segi ekonomi, keahlian maupun pendidikan. Baik orang
dewasa, remaja maupun anak-anak yang seharusnya berada dalam dunia bermain dan
belajar, ternyata mereka juga memanfaatkan hal ini sebagai peluang atau kesempatan
untuk dijadikan sumber mencari penghasilan.
Dalam kesehariannya banyak anak-anak yang menghabiskan waktu untuk
bekerja sebagai ―pak ogah‖, mereka tersebar di berbagai persimpangan jalan-jalan di
Ciputat. Pekerjaan ini tentu memiliki berbagai resiko berbahaya dan tentu tidak
seharusnya dikerjakan oleh anak-anak, karena seperti yang diketahui bahwa
pekerjaan dan lingkungan kerja bagi anak dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap tumbuh dan berkembangnya anak baik fisik, mental, sosial maupun
intelektualnya (Warsini, 2005:8). Dengan demikian, fenomena pekerja anak sebagai
―pak ogah‖ ini sekaligus menunjukan bahwa hak-hak anak yang tertulis dalam
undang-undang perlindungan anak maupun konvensi hak anak dalam realitasnya
masih belum sesuai. Oleh karena itu, penelitian ini ingin melihat bagaimana
gambaran kehidupan dari para pekerja anak sebagai ―pak ogah‖ dan juga mengetahui
apa yang menyebababkan anak bekerja sebagai ―pak ogah‖.
5
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian pernyataan masalah di atas, maka peneliti merumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran kehidupan pekerja anak yang bekerja sebagai ―pak
ogah‖?
2. Apa yang menyebabkan anak bekerja sebagai ―pak ogah‖?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikan gambaran kehidupan
pekerja anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖.
b. Penelitian juga berupaya untuk menjelaskan apa yang menyebabkan anak
bekerja sebagai ―pak ogah‖.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian diharapkan memberikan kontribusi bagi pengembangan teori
sosiologi keluarga dan sosiologi perkotaan yang terkait mengenai masalah
sosial pekerja anak.
b. Manfaat Praktis
1) Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi atau referensi
bagi peneliti yang berminat mendalami studi tentang pekerja anak.
6
2) Memberi kontribusi bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam hal
ini dinas sosial, dalam menyelesaikan persoalan sosial pada anak
terutama mengenai permasalahan pekerja anak.
D. Tinjauan Pustaka
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian, dibutuhkan perbandingan
dengan penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini:
Pertama, Tesis yang diselesaikan Murkanto Siswoyo (1998) dengan judul
Ekspolitasi Terhadap Pekerja Anak Pada Industri Kecil (Studi Kasus Pada
Perusahaan Genteng di Desa Budur, Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon).
Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif deskriptif dan teori yang
digunakan adalah teori eksploitasi. Dari temuan di lapangan menunjukan bahwa
keterlibatan anak-anak bekerja disebabkan oleh adanya faktor pendorong dan faktor
penarik. Faktor pendorong yang menyebabkan anak bekerja adalah kemiskinan orang
tua dan faktor penarik yang menyababkan anak bekerja adalah keberadaan pabrik
genteng yang terletak dilingkungannya. Adapun bentuk-bentuk eksploitasi dalam
temuan di lapangan antara lain jam kerja yang diberlakukan tidak sama dengan
pekerja dewasa, tidak adanya pemberian jenis pekerjaan antara pekerja dewasa dan
pekerja anak walaupun beresiko tinggi, dan kemudian hak-hak anak sebagai pekerja
tidak dijamin oleh pengusaha karena pengusaha merasa tidak berkewajiban untuk
menyediakannya.
7
Kedua, Tesis yang dirampungkan Fauzik Lendriyono (2000) dengan judul
Pekerja Anak Perempuan dan Pelecehan Seksual (Studi Kasus Tentang Pelecehan
Seksual Terhadap Anak-Anak yang Bekerja Sebagai Pelayan Minuman di Taman
Piaduk Jatinegara, Jakarta Timur). Penelitian menggunakan metodologi kualitatif
dan menggunakan teori pertukaran sosial sebagai kerangka teoritis. Hasil penelitian
menunjukan bahwa bentuk-bentuk pelecehan seksual yang dialami anak dari yang
paling ringan seperti dicolek atau dijahili hingga pelecehan yang paling berat seperti
percumbuan dan kontak perkelaminan. Meskipun pelecehan tersebut tidak
dikehendaki oleh informan, namun karena alasan kemiskinan dan dukungan dari
orang tua untuk dapat segera lepas dari penderitaan kemiskinan, maka cara yang
dianggap paling mudah dan dapat menghasilkan uang dalam jumlah banyak dan
dalam waktu yang singkat adalah masuk dalam lingkungan pekerjaan yang sarat
dengan ekspoitasi seksual. Selanjutnya, toleransi informan terhadap pelecehan yang
dialami terjadi karena reward yang diterima dari perlakuan tersebut dinilai sangat
berguna bagi pemenuhan kebutuhan diri dan keluarga. Dan terlebih lagi dalam
masyarakat daerah asalnya (Indramayu) kemakmuran dan keberhasilan dilihat dari
penampilan fisik seperti, rumah yang bagus, memiliki TV parabola dan terlebih lagi
anak perempuan yang dapat membantu pemenuhan kebutuhan keluarganya.
Ketiga, Tesis yang diselesaikan Eka Tjahjanto (2008) dengan judul
Implementasi Peraturan Undang-Undang Ketenagakerjaan Sebagai Upaya
Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak. Metode penelitian yang
8
digunakan yaitu kepustakaan berupa penelitian terhadap data sekunder meliputi
inventarisasi hukum positif. Teori yang digunakan adalah teori perlindungan hukum
preventif dan perlindungan hukum represif. Temuanya antara lain adalah tindakan
mempekerjakan anak merupakan tindakan melawan undang-undang yang sah dan
dapat dikenai sanksi hukum. Selain itu, pekerja anak dalam kondisi tereksploitasi,
mereka rata-rata bekerja selama 8 jam perhari dengan menerima upah jauh di bawah
upah minimum Kabupaten. Kemudian dari aspek perlindungan hukum, aspek
perlindungan ekonomi, aspek perlindungan sosial, maupun aspek perlindungan
teknis belum diberikan kepada pekerja anak yang berhak untuk mendapatkannya.
Keempat, penelitian yang dilakukan Netty Endarwati (2012) dalam Jurnal
Universitas Islam Kediri, dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak
di Sektor Informal. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan teori
yang digunakan antara lain teori negara kesejahteraan yang merupakan teori dasar
(ground theory), kemudian teori hak asasi manusia sebagai teori tengah (middle
theory) dan teori efektivitas berlakunya hukum. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui implementasi dan hambatan-hambatan antara perlindungan hukum
pekerja anak di sektor informal di Kota Kediri dengan perlindungan hukum yang
telah diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku. Temuan penelitian
menujukan bahwa perlindungan hukum terhadap pekerja anak di sektor informal di
Kota Kediri belum sesuai dengan perlindungan hukum tenaga kerja sebagaimana
diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa
9
dalam prakteknya banyak pelanggaran terhadap persyaratan mempekerjakan anak,
seperti tidak ada perjanjian kerja, tidak adanya izin kerja dari orang tua, upah yang
rendah, dan waktu kerja yang panjang. Adapun hambatan-hambatan yang dihadapi
dalam perlindungan hukum terhadap pekerja anak antara lain, belum adanya
peraturan perundangan yang mengatur tentang pekerja anak di sektor informal
khusunya terkait perlindungan hukumnya. Lemahnya koordinasi dan kerjasama
instansi-instansi terkait di bidang ketenagakerjaan, seperti dinas tenaga kerja, dinas
sosial, pemerintahan daerah setempat dan dinas terkait lainnya dalam mengawasi
tenaga kerja tersebut. Kemudian juga masih terdapatnya budaya yang memandang
bahwa anak-anak yang bekerja adalah hal yang biasa karena itu merupakan bentuk
sosialisasi dan wujud darma bakti pada orang tua. Dan kurang pedulinya masyarakat
dalam menyikapi penggunaan pekerja anak oleh perusahaan.
Kelima, Penelitian yang dilakukan Isti Rochatun, Suprayogi, dan Hamonangan
Sigalingging (2012) dalam Unnes Civic Education Journal, dengan judul Eksploitasi
Anak Jalanan Sebagai Pengemis di Kawasan Simpang Lima Semarang. Dengan
menggunakan metode penelitian kualitatif dan menggunkan teori eksploitasi,
penelitian menghasilkan beberapa temuan terkait faktor-faktor yang mempengaruhi
anak bekerja, antara lain pengaruh lingkungan tempat tinggal dan teman sebaya yang
menyebabkan anak bekerja, selain itu hubungan orang tua yang tidak harmonis dan
adanya perpisahan atau perceraian dalam keluarga juga menjadi penyebab anak-anak
ini turun ke jalan. Kemudian bentuk-bentuk eksploitasi yang dialami anak-anak ini
10
antara lain, eksploitasi yang dilakukan orang tua karena kebanyakan dari mereka
disuruh bekerja sebagai pengemis tanpa memperdulikan hak anak dan merampas hak
anak seperti sekolah dan menikmati masa remaja mereka. Kemudian juga ditemukan
adanya eksploitasi yang dilakukan oleh preman.
Berdasarkan lima penelitian sebelumnya, terdapat persamaan dan perbedaan
dengan penelitian ini. Persamaannya yaitu fokus penelitian yang sama-sama
mengangkat tema mengenai pekerja anak, kemudian persamaan pada pilihan metode
yang digunakan yaitu metode penelitian kualitatif yang juga digunakan oleh sebagian
besar peneliti sebelumnya. Adapun perbedaan antara penelitian sebelumnya dengan
penelitian ini adalah teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sub
budaya kemiskinan dan teori belajar sosial, berbeda dengan kelima penelitian
sebelumnya yang mengunakan teori eksploitasi, teori pertukaran sosial, teori
perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif, teori negara
kesejahteraan, teori hak asasi manusia dan teori efektivitas berlakunya hukum.
Perbedaan selanjutnya adalah lokasi penelitian yang berbeda dari semua penelitian
sebelumnya. Selain itu, penelitian ketiga dan keempat di atas lebih memfokuskan
dari aspek perlindungan hukum terhadap pekerja anak, sedangkan penelitian ini lebih
bersifat mencari tahu apa yang menyebabkan anak bekerja dan bagaimana gambaran
kehidupan para pekerja anak.
11
E. Kerangka Teoritis
Dalam penelitian ada beberapa teori yang dianggap relevan dengan penelitian
yang diangkat ini:
1. Teori Sub-Budaya Kemiskinan
Menurut Oscar Lewis karakteristik utama dari konsep sub-budaya kemiskinan
adalah bahwa orang miskin terisolasi dari masyarakat yang lebih luas. Mereka tidak
diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam lembaga-lembaga sosial utama masyarakat,
sehingga mereka membuat sendiri nilai-nilai dan norma-norma dalam rangka untuk
mengatasi perasaan mereka frustrasi, isolasi, dan inferioritas. Meskipun penciptaan
sub-budaya ini fungsional, yang berfungsi untuk membuat orang miskin secara
psikologis lebih nyaman dalam situasi kemiskinan mereka. Namun karena sub-
budaya kemiskinan ini menghidupkan diri mereka secara terus-menerus dalam
kemiskinan, dan tidak langsung akan menghilangkan kondisi kemiskinan mereka
(Montero, 1986:282-283).
Oscar Lewis dalam Pasurdi Suparlan (1993:8) mengidentifikasi bahwa dalam
sub-budaya kemiskinan adalah sebagai konsekuensi dari masyarakat dengan
kepadatan tinggi, terbatasnya akses-akses terhadap barang-barang konsumsi, layanan
kesehatan dan sarana pendidikan. Kebudayaan kemiskinan juga bisa terwujud pada
masyarakat yang mempunyai institusi sosial yang lemah untuk mengontrol dan
memecahkan masalah sosial dan kependudukan, yang berdampak pada pertumbuhan
12
penduduk yang tinggi dan pengangguran juga tinggi. Kemudian menurutnya sub-
kebudayaan kemiskinan dapat dipelajari dari berbagai segi aspek kehidupan:
1) Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin kedalam lembaga-
lembaga utama masarakat, yang berakibat munculnya rasa ketakutan, kecurigaan
tinggi, apatis dan perpecahan.
2) Pada tingkat komunitas lokal secara fisik ditemui rumah-rumah dan
pemukiman kumuh, penuh sesak, bergerombol.
3) Pada tingkat keluarga ditandai oleh masa kanak-kanak yang singkat dan
kurang pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa, atau perkawinan usia dini,
tingginya angka perpisahan keluarga, dan kecenderungan terbentuknya budaya
keluarga matrilineal.
4) Pada tingkat individu dengan ciri yang menonjol adalah kuatnya perasaan
tidak berharga, tidak berdaya, ketergantungan yang tinggi dan rasa rendah diri.
5) Tingginya (rasa) tingkat kesengsaraan, karena beratnya penderitaan Ibu,
lemahnya struktur pribadi, kurangnya kendali diri dan dorongan nafsu, kuatnya
orientasi masa kini, dan kekurang sabaran dalam hal menunda keinginan dan rencana
masa depan, perasaan pasrah atau tidak berguna.
6) Kebudayaan kemiskinan juga membentuk orientasi yang sempit dari
kelompoknya, mereka hanya mengetahui kesulitan-kesulitan, kondisi setempat,
lingkungan tetangga dan cara hidup mereka sendiri saja (Suparlan, 1993:7-11).
Peneliti menggunakan teori sub-budaya kemiskinan karena seperti diketahui bahwa
13
fenomena anak-anak yang bekerja salah satunya disebabkan karena faktor
kemiskinan, sehingga menurut asumsi awal peneliti pekerja anak yang bekerja
sebagai ―pak ogah‖ di Ciputat ini berasal dari latar belakang keluarga yang berada
dalam garis kemiskinan atau tidak mampu yang dalam kehidupan kesehariannya
memiliki karakteristik yang sesuai dengan teori sub-budaya kemiskinan, maka dari
itu peneliti menganggap bahwa teori ini dapat digunakan sebagai dasar untuk
menganalisa dan menjelaskan mengenai gambaran kehidupan pekerja anak yang
bekerja sebagai ―pak ogah‖.
2. Teori Belajar Sosial (Social Learning)
Menurut Albert Bandura, teori belajar sosial disebut juga teori pembelajaran
observasi. Bandura memandang bahwa perilaku individu tidak semata-mata refleks
otomatis terhadap stimulus, melainkan juga akibat dari reaksi yang tumbuh sebagai
hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kongnitif individu itu sendiri. Dalam
hal ini belajar sosial terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh
perilaku (modeling) (Suyono, 2011:66). Asumsi teori ini adalah bahwa mereka
belajar melalui observasi perilaku orang lain. Bandura yakin bahwa perilaku manusia
dapat diperoleh melalui pembelajaran melalui observasi yang elemen inti dari
observasi adalah modeling (Feist, 2010: 203-206).
Havinghurts (1999) menjelaskan bahwa anak tumbuh dan berinteraksi dalam
dua dunia sosial yaitu dunia orang dewasa dan dunia peer group (sebayanya), dari
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang anak di dalam pertumbuhanya
14
selalu berinteraksi dengan lingkungan yang ada disekitarnya yaitu dunia orang
dewasa dan dunia sebayannya (peer group), dalam kehidupan anak kelompok sebaya
ini meliputi teman bermain, teman dalam perkumpulan sosial, gang, ataupun klik.
Kelompok sebaya ini sangat berpengaruh terhadap perilaku individu, karena dalam
kelompok sebaya ini anak merasa mendapatkan teman dan juga dukungan dari
teman-temannya, melalui kelompok sebaya anak belajar tentang peranan sosialnya
(Wulan,2007:29-30). Peneliti menggunakan teori belajar sosial karena peneliti
menganggap bahwa prilaku sosial seseorang baik orang dewasa maupun anak-anak
dapat dipelajari dari contoh perilaku yang ada di sekitar lingkungan sosial seseorang,
begitupun dengan anak-anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ menurut asumsi awal
peneliti mereka mempelajari pekerjaan ini dari lingkungan sosial sekitar mereka,
terutama dari teman sebaya yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, penggunaan
teori ini diharapkan dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana anak-anak ini
mengenal dan belajar bagaimana bekerja sebagai ―pak ogah‖.
F. Definisi Konsep
Dalam ilmu sosial terdapat banyak konsep yang memiliki tingkat abstraksi
yang tinggi atau disebut juga konstruk karena konsep yang demikian tidak segera
dapat dilihat atau ditemukan bendanya, konstruk atau konsep-konsep yang
mempunyai abstraksi tinggi seperti itu perlu dibatasi pengertiannya, adapun
pemberian atas konsep-konsep ini disebut dengan definisi oprasional (Soehartono,
15
2011:28). Dalam penelitian ini terdapat beberapa yang perlu diberikan batasan
pengertiannya:
a. Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun.
Pengertian anak menurut undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan.
b. Pekerjaan adalah sebagai suatu jenis kegiatan ekonomi guna mendapatkan
penghasilan untuk mempertahankan hidup.
c. Anak yang bekerja adalah anak melakukan pekerjaan karena membantu
orangtua, latihan keterampilan dan belajar bertanggung jawab, misalnya
membantu mengerjakan tugas-tugas dirumah, membantu pekerjaan orang
tua di ladang dan lain-lain (Warsini, 2005:10).
d. Pekerja anak adalah anak yang melakukan segala jenis kegiatan ekonomi
yang memiliki sifat atau intensitas yang dapat mengganggu pendidikan,
membahayakan keselamatan, kesehatan serta tumbuh kembangnya dapat
digolongkan sebagai pekerja anak (Warsini, 2005:10).
e. ―Pak ogah‖ merupakan sebutan masyarakat terhadap seseorang atau
sekelompok orang di luar institusi negara yang mengatur jalan raya dan
mendapatkan imbalan secara langsung dari pengguna kendaraan, tujuan dari
―pak ogah‖ ini ialah hanya untuk mendapatkan nafkah kehidupan atau
berlatarkan motif ekonomi semata (Azmi, 2013).
16
f. Sektor informal adalah pekerja yang berusaha sendiri dan semua kegiatan
yang tidak dapat dimasukan dalam sektor formal (Effendi, 1995:74-77).
g. Kemiskinan orang tua adalah suatu keadaan ketidakmampuan orang tua
pekerja anak dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga secara minimum
karena rendahnya penghasilan (Siswoyo, 1998:25).
G. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif.
Menurut Bodgan dan Taylor dalam Soetrisno (2001:66) metode kualitatif merupakan
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sedangkan Kirk dan Miller
dalam Soetrisno (2001:66) mendefinisikan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu
dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada
pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berberhubungan
dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya. Pendekatan
deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk ekplorasi dan klarifikasi
mengenai suatu fenomena dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang
berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti (Faisal, 2007:20). Dalam hal ini,
peneliti berusaha menyelidiki berbagai informasi dan fakta di lapangan secara
mendalam guna mendapatkan dan menghasilkan data-data spesifik mengenai faktor-
17
faktor yang menyebabkan anak bekerja sebagai ―pak ogah‖ dan mendapatkan
gambaran anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖.
2. Subjek Penelitian
Menurut Faisal (2007:109) subjek penelitian menunjuk pada individu atau
sekelompok yang dijadikan unit satuan kasus yang diteliti. Dalam menentukan
subjek penelitian, peneliti memilih informan dengan kriteria-kriteria tertentu
berdasarkan tujuan penelitian sehingga informasi yang didapat bukan dari sembarang
informan. Dari kriteria subjek penelitian yang telah ditetapkan, peneliti mengambil
sepuluh informan yang dianggap merepresentasikan subjek penelitian ini. Berikut
merupakan data mengenai informan:
Tabel I.G.1 Profil Informan
No Nama Jenis
Kelamin
Usia Agama Suku Pendidikan
Informan
Lama
Bekerja
1 DR Laki-laki 15 Tahun Islam Betawi Tidak Tamat
SMP
3 Tahun
2 BHR Laki-laki 17 Tahun Islam Betawi Tidak SMP 1 Tahun
3 AR Laki-laki 16 Tahun Islam Betawi Tidak Tamat
SMP
1 Tahun
4 RVL Laki-laki 13 Tahun Islam Betawi SD Kelas 6 1 ½ Tahun
5 DK Laki-laki 14 Tahun Islam Betawi Tidak Tamat
SMP
1 Tahun
6 EG Laki-laki 16 Tahun Islam Betawi Tidak Tamat
SMP
2 Tahun
7 FRK Laki-laki 17 Tahun Islam Jawa Tidak Tamat
SMP
1 Tahun
8 MP Laki-laki 15 Tahun Islam Betawi SMP Kelas 3 2 Tahun
9 AN Laki-laki 14 Tahun Islam Jawa SMP Kelas 3 1 ½ Tahun
10 BP Laki-laki 15 Tahun Islam Jawa SMK Kelas 1 4 Tahun
18
Dalam temuan di lapangan, seluruh informan adalah anak-anak yang berjenis
kelamin laki-laki, peneliti tidak menemukan anak perempuan yang bekerja sebagai
―pak ogah‖ di Ciputat. Dari segi usia informan, peneliti mengambil berdasarkan usia
yang bervariasi mulai dari yang paling kecil adalah berusia 13 tahun, karena di
lapangan usia yang paling kecil adalah usia 13 tahun yang dapat diwawancarai,
kemudian usia yang paling besar adalah 17 tahun karena menurut undang-undang
No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pengertian anak adalah setiap orang yang
berumur di bawah delapan belas tahun, selain itu usia 13 sampai 17 tahun dapat
dikatakan sebagai anak-anak remaja, dan di usia-usia tersebut anak memiliki
kebutuhan-kebutuhan yang berbeda satu sama lainnya.
Berdasarkan latar belakang pendidikan, para informan memiliki karaktristik
pendidikan yang berbeda-beda, mulai dari yang masih sekolah dan yang sudah putus
sekolah. Terdapat empat informan yang masih sekolah dan enam informan yang
sudah putus sekolah, hal ini disebabkan karena di lapangan kebanyakan anak-anak
yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ sudah tidak bersekolah. Peneliti mengambil subjek
anak-anak yang putus sekolah dan masih bersekolah dengan tujuan untuk
mengetahui bagaimana tanggapan mereka mengenai pendidikan, kemudian juga
ingin melihat bagaimana dampak yang dihadapi para informan yang masih
bersekolah, serta ingin melihat apa yang menyebabkan para informan putus sekolah.
Para informan yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini sudah bekerja antara satu
tahun yang paling baru sampai dengan empat tahun yang paling lama. Hal ini
19
menunjukan bahwa mereka sudah lama bekerja sebagai ―pak ogah‖ dan peneliti
mengambil informan dengan kriteria minimal satu tahun bekerja karena diharapkan
dengan lamanya mereka bekerja, mereka sudah tetap bekerja dan juga tahu
bagaimana kehidupan yang ada di jalan.
a. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada di jalan-jalan daerah Kecamatan Ciputat kota
Tangerang Selatan. Peneliti memilih lokasi ini karena ―pak ogah‖ di daerah Ciputat
lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan di daerah Kecamatan lain yang ada di
sekitarnya seperti di Kecamatan Ciputat Timur dan Kecamatan Pondok Aren.
Kemudian juga dari segi usia lebih bervariasi mulai dari orang dewasa, remaja dan
juga anak-anak. Dan anak-anak yang bekerja di daerah ini jumlahnya banyak serta
juga waktu atau jam kerja ―pak ogah‖ anak ini beraktivitas dari pagi, siang, sore
bahkan tak jarang malam hari mereka masih terlihat sedang mengatur kendaraan,
serta hampir setiap hari dapat ditemui anak-anak yang bekerja ini.
b. Waktu Penelitian
Waktu yang dibutuhkan dalam menyelesaikan penelitian ini mulai dari
mengumpulkan, mengolah, dan menganalisa data adalah dari bulan Juli 2014 sampai
dengan Maret 2015.
3. Jenis Data
Menurut Suyanto (2007:55) jenis data berdasarkan sumbernya dibagi menjadi
dua, yaitu jenis data primer dan sekunder:
20
a. Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari objek yang akan diteliti.
Data primer yang dimaksud adalah data yang dikumpulkan melalui metode
wawancara dan pengamatan langsung. Adapun dalam penelitian ini yang menjadi
data primer adalah para informan dengan kriteria telah ditetapkan oleh peneliti dan
juga informasi dari pegawai Kecamatan Ciputat.
b. Data Sekunder merupakan data penelitian yang diperoleh dari lembaga atau
institusi tertentu. Data sekunder dalam penelitian ini berupa buku-buku, laporan-
laporan artikel, jurnal, majalah baik dari media cetak maupun media online yang
berhubungan dengan topik dalam penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Menurut Cresswell (2010:267) observasi dalam kualitatif merupakan penelitian
langsung turun ke lapangan untuk mengamati perilaku dan aktivitas individu-
individu di lokasi penelitian. Dalam pengamatan ini, peneliti mencatat baik dengan
cara terstruktur maupun semi-struktur. Alasan peneliti melakukan observasi adalah
untuk mendapatkan gambaran kegiatan, interaksi serta perilaku anak-anak yang
bekerja sebagai ―pak ogah‖ dan juga mengamati secara langsung lingkungan serta
tempat tinggal beberapa informan yang bekerja di jalan Merpati Raya. Dalam
melakukan kegiatan observasi peneliti melakukan beberapa kali observasi, hal ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana perilaku dan interaksi beberapa informan
dalam lingkungan pekerjaannya maupun di lingkungan rumah.
21
b. Wawancara
Wawancara (interview) adalah pengumpulan data dengan mengajukan
pertanyaan secara langsung oleh pewawancara (pengumpul data) kepada informan,
dan jawaban-jawaban informan dicatat atau direkam dengan alat perekam. Dalam
pengumpulan data penelitian melalui wawancara ini dengan mempersiapkan catatan-
catatan pertanyaan secara garis besar tentang pokok-pokok yang akan ditanyakan,
disebut juga dengan pedoman wawancara (Soehartono, 2011:67-68). Dalam
mewawancarai para informan, peneliti berusaha menggali lebih dalam informasi
yang terkait dengan penelitian ini dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
muncul pada situasi dan kondisi tertentu di lapangan. Tujuan dari wawancara ini
adalah guna mendapatkan data-data mengenai apa yang menyebabkan para informan
bekerja sebagai ―pak ogah‖ dan juga mendapatkan gambaran dari informan yang
tidak dapat ditangkap melalui teknik observasi.
Dalam proses wawancara, peneliti menggunakan bahasa formal maupun
informal hal ini bertujuan agar memudahkan para informan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan. Peneliti juga menggunakan alat bantu perekam suara pada
saat wawancara untuk merekam percakapan tanya jawab antara peneliti dan para
informan. Kemudian data yang berbentuk rekaman tersebut peneliti tuliskan kembali
dalam bentuk transkip yang kemudian peneliti analisis berdasarkan poin-poin penting
yang mendukung untuk analisis hasil peneltian. Proses wawancara ini memerlukan
persetujuan dari pihak informan agar data-data yang diperoleh dapat efektif dan
22
bermanfaat bagi penulisan penelitian. Dalam proses wawancara di lapangan peneliti
menemui beberapa hambatan seperti tertutupnya para ―pak ogah‖ anak ini dengan
peneliti, sehingga peneliti harus lebih aktif dalam pendekatan dengan para informan
terutama pada saat wawancara. Kemudian proses wawancara dalam penelitian
dilakukan satu sampai dua kali pada setiap informan, hal ini disebabkan karena
kurangnya informasi yang didapat sehingga dibutuhkan wawancara tambahan untuk
mendapatkan data yang lebih mendalam, selain itu juga pada saat wawancara peneliti
terkadang harus mengulangi pertanyaan-pertanyaan agar informasi yang didapat
lebih jelas dan mendalam. Peneliti melakukan wawancara di dua lokasi para
informan bekerja yaitu, di pertigaan jalan Cendrawasih Raya dan pintu masuk Tol
Bintaro-BSD kemudian di pertigaan jalan Merpati Raya dan jalan Arya Putra.
5. Metode Analisis Data
Setelah data dikumpulkan, kegiatan selanjutnya adalah pengolahan data (data
processing). Menurut Miles dan Huberman (1984) dalam Emzir (2011:129-134)
terdapat tiga proses dalam kegiatan analisis data kualitatif. Pertama, reduksi data
yang meliputi memilih, memfokuskan, membuang dan menyusun data yang
diperoleh dari hasil wawancara maupun observasi. Kedua, display data (penyajian
data). Dari data yang sudah direduksi, data-data tersebut dikategorikan berdasarkan
poin-poin penting dan dimasukan dalam bentuk matrik dan bagan. Dan ketiga adalah
penarikan kesimpulan. Dari data-data yang sudah direduksi dan disajikan dalam
23
bentuk matrik dan bagan, poin-poin inti dari hasil temuan di lapangan tersebut ditarik
kesimpulan guna membahas atau menjawab masing-masing masalah penelitian.
H. Sistematika Penulisan
Guna memudahkan pembahasan, maka dalam penulisan dibagi dalam empat
bab. Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan: membahas pernyataan masalah, pertanyaan penelitian,
tujuan penelitian dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis,
metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II Gambaran Umum: menjelaskan tentang profil yang akan dibahas pada
penelitian ini, yaitu gambaran umum lokasi penelitian dan gambaran umum subjek
penelitian di lokasi penelitian.
BAB III Temuan dan Analisis: merupakan bentuk pembahasan dan analisis
dari hasil penelitian berdasarkan data-data yang didapatkan di lapangan, hal ini
meliputi bagaimana gambaran kehidupan anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ dan
faktor-faktor yang menyebabkan anak bekerja sebagai ―pak ogah‖.
BAB IV Penutup: berisi kesimpulan dan saran.
Daftar Pustaka, dalam halaman ini berisi kepustaka yang digunakan dalam
penulisan penelitian. Baik yang berasal dari media cetak seperti buku, jurnal maupun
dari media elektronik internet seperti jurnal, laporan dan artikel.
Lampiran Penelitian, berisikan lampiran-lampiran keterangan pada saat
penelitian.
24
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI DAN SUBJEK PENELITIAN
A. Letak Geografis Kecamatan Ciputat
Lokasi penelitian terletak di wilayah Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang
Selatan. Luas wilayah Kecamatan Ciputat sekitar 1.838 Ha atau 12,49% dari luas
wilayah Kota Tangerang Selatan. Kecamatan Ciputat memiliki tujuh Kelurahan yaitu
Kelurahan Sawah Baru, Serua, Ciputat, Sawah, Serua Indah, Jombang, dan
Cipayung. Letak geografis Kecamatan Ciputat di sebelah utara berbatasan dengan
wilayah Kecamatan Pondok Aren, di sebelah selatan berbatasan dengan wilayah
Kecamatan Pamulang, di sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kecamatan
Ciputat Timur dan di sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kecamatan Serpong
(Laporan kependudukan bulan Mei 2014 Kota Tangerang Selatan).
B. Kondisi Demografis Kecamatan Ciputat
Dari data kependudukan di Kecamatan Ciputat, jumlah penduduknya terus
mengalami perubahan, hal ini dapat dilihat dari data terakhir yang dimiliki
Kecamatan Ciputat dari bulan April hingga Mei 2014. Berikut perubahan dan jumlah
penduduk di Kecamatan Ciputat:
Tabel II.B.1 Perubahan Penduduk dari Bulan April-Mei 2014
Kelurahan Jumlah Penduduk Kecamatan Ciputat
April Mei Perubahan %
Sawah Baru 23.534 23.634 100 0,05
Serua 34.345 34.575 230 0,12
Ciputat 26.128 26.236 108 0,06
25
Sawah 27.663 27.866 203 0,11
Serua Indah 16.373 16.476 103 0,05
Jombang 38.098 38.288 190 0,10
Cipayung 24.932 25.055 123 0,06
Total 191.073 192.130 1.057 0,055
(Sumber: Laporan kependudukan bulan Mei 2014 Kota Tangerang Selatan:69)
Jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan Ciputat berada di Kelurahan
Jombang dengan jumlah penduduk mencapai 38.288 dengan persentase perubahan
0,10%, sedangkan jumlah penduduk paling sedikit terdapat di Kelurahan Serua Indah
dengan jumlah penduduk 16.476 dan persentase perubahannya hanya 0,05%. Dari
data di atas menunjukan bahwa perubahan jumlah penduduk di Kecamatan Ciputat
dari bulan April ke bulan Mei 2014 masing-masing kelurahan mengalami
pertumbuhan penduduk antara 0,05% sampai dengan 0,12%. Perubahan jumlah
penduduk ini merupakan hal yang wajar bagi suatu daerah karena disebabkan oleh
beberapa faktor seperti angka kelahiran yang tinggi, rendahnya angka kematian dan
adanya arus perpindahan penduduk sehingga menyebabkan angka pertumbuhan
penduduk semakin bertambah.
Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dari laporan kependudukan
Kecamatan Ciputat:
Tabel II.B.2 Jumlah Penduduk Bedasarkan Jenis Kelamin
Kelurahan Laki-Laki Perempuan Jumlah
Sawah Baru 11.928 11.652 23.634
Serua 17.537 17.038 34.575
Ciputat 13.528 12.708 26.236
Sawah 14.275 13.591 27.866
26
Serua Indah 8.405 8.071 16.476
Jombang 19.693 18.595 38.288
Cipayung 12.855 12.200 25.055
Total 98.275 93.855 192.130
(Sumber: Laporan kependudukan bulan Mei 2014 Kota Tangerang Selatan:71)
Dari data di atas menunjukan bahwa jumlah penduduk di Kecamatan Ciputat
berjumlah 192.130 dengan komposisi jumlah penduduk berjenis kelamin laki laki
98.275 dan perempuan 93.855. Jumlah penduduk tertinggi laki-laki dan perempuan
berada di Kelurahan Jombang dengan jumlah laki-laki 19.693 dan perempuan
18.595, hal ini karena Kelurahan Jombang memiliki jumlah penduduk yang tertinggi
di Kecamatan Ciputat. Tingginya jenis kelamin laki-laki ini sesuai dengan komposisi
jumlah penduduk di Kota Tangerang selatan yang juga menunjukan bahwa jumlah
laki-laki lebih banyak daripada jumlah perempuan (BPS Tangerang Selatan,
2013:49).
Jumlah penduduk berdasarkan umur di Kecamatan Ciputat adalah sebagai
berikut:
Tabel II.B.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur Kecamatan Ciputat
NO Umur Jumlah Penduduk
1 <9 Tahun 25.968
2 10- 19 Tahun 32.414
3 20-29 Tahun 32.895
4 30-39 Tahun 37.399
5 40-49 Tahun 30.534
6 50-59 Tahun 19.667
7 > 60 Tahun 13.253
Total 192.130
(Sumber: Laporan kependudukan bulan Mei 2014 Kota Tangerang Selatan:78-79)
27
Jumlah penduduk berdasarkan usia terbanyak terdapat pada usia 30-39 tahun
dengan jumlah 37.399 penduduk. Tingginya usia antara 30-39 tahun ini merupakan
angkatan kerja yang produktif bagi daerah Ciputat, namun demikian angkatan kerja
ini bekerja pada sektor-sektor yang beranekaragam, baik di sektor formal maupun
sektor informal yang tersedia di wilayah ini, sehingga penghasilan yang didapat serta
kesejahteraan yang dimiliki masyarakat Ciputat juga berbeda-beda. Selain itu juga
jumlah penduduk di usia sekolah di Ciputat ini jumlahnya tergolong banyak.
Jumlah penduduk berdasarkan pendidikan terakhir di Kecamatan Ciputat
sebagai berikut:
Tabel II.B.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan Terakhir
No Status Pendidikan Jumlah Penduduk
1 Tidak/Belum Sekolah 26.989
2 Belum Tamat SD 17.541
3 Tamat SD 27.618
4 Tamat SMP 23.503
5 Tamat SMA 72.340
6 Tamat D1_2 1.035
7 Tamat D3 5.814
8 Tamat S1 16.093
9 Tamat S2 1.102
10 Tamat S3 95
Total 192.130
(Sumber: Laporan kependudukan bulan Mei 2014 Kota Tangerang Selatan:75)
Penduduk di Kecamatan Ciputat berdasarkan tingkatan pendidikan terakhir
yang terbanyak adalah tamat SMA dengan jumlah 72.340. Sedangkan jumlah
penduduk berdasarkan tingkat pendidikan terakhir paling sedikit ditempati oleh tamat
28
S3 dengan jumlah 95. Dari data tersebut menunjukan bahwa kebanyakan penduduk
di Kecamatan Ciputat telah berpartisipasi dalam menyukseskan program wajib
belajar 12 tahun, karena dengan mereka mengenyam pendidikan sampai dengan
SMA maka kualitas sumber daya manusia penduduk di Kecamatan Ciputat ini dapat
bersaing untuk memperoleh pekerjaan, agar dapat meningkatkan taraf kesejahteraan
hidup mereka. Namun demikian, perlu dilihat bahwa jumlah penduduk yang tidak
atau belum bersekolah juga cukup tinggi jumlahnya, hal ini harus menjadi perhatian
bagi Pemerintah dan masyarakat karena di kelompok yang tidak atau belum
bersekolah ini dikhawatirkan akan menjadi sebuah masalah sosial, yang salah
satunya adalah masalah putus sekolah dan timbulnya pekerja anak, seperti pekerja
anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini salah satunya.
Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan di Kecamatan Ciputat sebagai
berikut:
Tabel II.B.5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan
No Jenis Pekerjaan Jumlah Penduduk
1 Tidak/ Belum Bekerja 29.413
2 Mengurus Rumah Tangga 37.460
3 Pelajar/ Mahasiswa 49.553
4 Pensiunan 1.824
5 PNS 3.498
6 TNI 176
7 POLRI 660
8 Perdagangan 690
9 Karyawan
BUMN/BUMD/Swasta/Honorer/Lepas
41.867
10 Dosen 163
29
11 Guru 1.211
12 Dokter 184
13 Perawat 85
14 Wiraswasta 22.997
16 Buruh 452
17 Nelayan/Perikanan 112
18 Peternak 458
19 Petani 137
20 Lainnya 1.190
Total 192.130
(Sumber: Laporan kependudukan bulan Mei 2014 Kota Tangerang Selatan:80-85)
Dari data di atas menunjukan bahwa status pekerjaan yang terbanyak adalah
sebagai pelajar atau mahasiswa dengan jumlah 49.553. Tingginya angka pelajar atau
mahasiswa ini salah satunya disebabkan oleh banyaknya fasilitas pendidikan seperti
perguruan tinggi dan sekolah-sekolah umum yang terdapat di wilayah sekitar
Tangerang selatan. Sementara itu, penduduk berdasarkan status pekerjaan di
Kecamatan Ciputat ini tersebar pada sektor formal maupun sektor informal. Jenis
pekerjaan yang banyak digeluti oleh penduduk di Ciputat ini adalah sebagai
karyawan BUMN/ BUMD/ Swasta/ Honorer/ Lepas dengan jumlah 41.867.
Pekerjaan ini banyak digeluti karena banyaknya perusahaan yang berlokasi di
kawasan Tangerang Selatan dan juga Jakarta yang jaraknya cukup dekat dengan
Ciputat, kemudian beragamnya pekerjaan yang digeluti masyarakat Ciputat ini
dipengaruhi oleh latarbelakang pendidikan yang berbeda-beda.
30
Jumlah penduduk berdasarkan agama dan kepercayaan di Kecamatan Ciputat
sebagai berikut:
Tabel II.B.6 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama dan Kepercayaan
No Agama Jumlah Penduduk
1 Islam 177.902
2 Kristen 8.781
3 Katholik 4.090
4 Hindu 382
5 Budha 929
6 Konghuchu 45
7 Kepercayaan lain 1
Total 192.130
(Sumber: Laporan kependudukan bulan Mei 2014 Kota Tangerang Selatan:73)
Dari data di atas menunjukan bahwa di Kecamatan Ciputat ini terdapat tujuh
kepercayaan yang dianut oleh penduduknya. Mayoritas penduduk Kecamatan Ciputat
adalah beragama Islam dengan jumlah penduduk yang menganut mencapai 177.902
dan agama Kristen sebagai agama kedua terbanyak yang dianut oleh penduduk
Kecamatan Ciputat dengan jumlah 8.781. Banyaknya jumlah penduduk yang
beragama Islam ini sesuai dengan jumlah penduduk di Indonesia yang mayoritas
menganut agama Islam. Selain itu, terdapat satu penduduk yang menganut
kepercayaan lain selain dari enam agama yang diakui oleh negara Indonesia, namun
demikian dari data yang ada di Kelurahan ini menunjukan bahwa kepercayaan
apapun yang ada di masyarakat dapat diterima dan diakui keberadaannya.
31
Fasilitas pendidikan yang berada di Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan
sebagai berikut:
Tabel II.B.7 Fasilitas Pendidikan di Kecamatan Ciputat
No
Jenis Fasilitas
Jumlah
Keterangan
Negeri Swasta
1 TK/ RA 86 68 18
2 Sekolah Dasar/ MI 71 41 30
3 SMP/ MTS 36 1 35
4 SMA/ SMK/ MA 13 4 29
5 Pondok Pesantren 9 - -
(Sumber: BPS Kota Tangerang Selatan 2013:77)
Fasilitas pendidikan yang terbanyak di Kecamatan Ciputat adalah fasilitas TK/
RA dengan jumlah 86 sedangkan jumlah yang paling sedikit terdapat pada fasilitas
pendidikan pondok pesantren dengan jumlah 9. Dilihat dari keseluruhan jumlah
fasilitas pendidikan ini tergolong memadai bagi masyarakat Ciputat dalam
menempuh pendidikan yang secara komposisi penduduk juga menunjukan bahwa
usia sekolah di Ciputat ini juga cukup tinggi. Kemudian tingkat penghasilan
masyarakat Ciputat yang berbeda-beda membuat partisipasi dalam hal pendidikan ini
juga berbeda-beda dan dari penelitian ini menunjukan bahwa masih terdapat anak-
anak usia sekolah yang sudah tidak bersekolah karena disebabkan faktor biaya.
Fasilitas kesehatan di Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan sebagai berikut:
Tabel 2.B.8 Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Ciputat
No Jenis Fasilitas Jumlah
1 Puskesmas 4
2 Posyandu 25
32
3 Klinik Umum 27
4 Rumah Sakit 2
5 Rumah Sakit Bersalin 19
(Sumber: BPS Kota Tangerang Selatan 2013:80)
Fasilitas kesehatan yang terbanyak adalah fasilitas klinik umum yang
mencapai 27, sedangkan yang paling sedikit adalah rumah sakit yang jumlahnya 2.
Dari data di atas menunjukan bahwa fasilitas kesehatan cukup memadai jika di
manfaatkan untuk masyarakat di Ciputat ini. Dibandingkan dengan kecamatan
lainnya yang ada di Tangerang selatan, jumlah fasilitas kesehatan di Kecamatan ini
dapat dikatakan banyak. Beranekaragamnya jenis pekerjaan, penghasilan dan
kesejahteraan yang ada dalam masyarakat Ciputat, membuat penduduk yang satu
dengan yang lainnya dalam menjangkau fasilitas kesehatan yang ada di Ciputat ini
berbeda-beda.
Fasilitas peribadatan yang terdapat di Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan
sebagai berikut:
Tabel II.B.9 Fasilitas Peribadatan di Kecamatan Ciputat
No Jenis Sarana Jumlah
1 Masjid 93
2 Musolah 177
3 Gereja 14
4 Pura -
5 Wihara -
(Sumber: BPS Kota Tangerang Selatan 2013:134)
Dari tabel di atas menunjukan bahwa jumlah fasilitas peribadatan yang paling
banyak adalah Musolah dengan jumlah 177 dan kemudian Masjid dengan jumlah 93.
33
Banyaknya jumlah fasilitas Musolah dan Masjid merupakan hal yang wajar, karena
mayoritas masyarakat di Kecamatan ini memeluk agama Islam. Namun demikian
terdapat beberapa fasilitas peribadatan yang belum ada seperti Pura dan Wihara,
padahal jumlah penganut agama hindu dan budha di Kecamatan Ciputat ini
jumlahnya cukup banyak.
C. Gambaran Umum “Pak Ogah” Anak di Ciputat
Sebutan ―pak ogah‖ pada awalnya merupakan salah satu nama tokoh boneka di
serial si unyil yang identik dengan jargon ―cepek dulu‖, dalam kehidupan nyata
istilah ―pak ogah‖ mengalami pergeseran makna menjadi sebuah sebutan untuk suatu
jenis pekerjaan yang digeluti masyarakat. ―Pak ogah‖ merupakan sebutan masyarakat
terhadap seseorang atau sekelompak orang di luar institusi negara yang mengatur
jalan di persimpangan-persimpangan, tujuan dari ―pak ogah‖ ini ialah hanya untuk
mendapatkan nafkah kehidupan, atau berlatarkan motif ekonomi semata (Azmi,
2013).
Anak-anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ anak di Ciputat ini bukanlah
termasuk dalam golongan anak jalanan sebenarnya, melainkan termasuk dalam
golongan anak di jalanan. Hal ini sesuai definisi UNICEF dalam ILO yang diterima
secara luas, yang menetapkan anak jalanan dalam dua kategori utama:
Anak di jalanan adalah mereka yang terlibat dalam berbagai kegiatan ekonomi
yaitu mulai dari mengemis hingga menjual, yang sebagian besar dari mereka
pulang ke rumah pada sore hari dan memberikan hasil yang diperoleh kepada
keluarga mereka. Mereka mungkin bersekolah dan memelihara rasa sebagai
bagian dari sebuah keluarga…anak jalanan sebenarnya adalah anak-anak yang
34
hidup di jalanan (atau di luar lingkungan keluarga yang normal). Ikatan
keluarga mungkin masih ada namun lemah (2008:15).
Kehidupan sehari-hari seluruh informan yang masih tinggal bersama orang tua
menunjukan bahwa mereka berada di jalanan hanya untuk bekerja mencari uang saja
dan bukan sekaligus untuk hidup di jalanan, kemudian dari sebagian besar informan
juga memberikan hasil pendapatannya kepada orang tua mereka untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari keluarga mereka. Hal ini menjadi bukti bahwa ikatan keluarga
mereka masih kuat.
Keberadaan ―pak ogah‖ anak di Ciputat jumlahnya terbilang banyak, namun
demikian tidak ada data yang mencatatnya membuat peneliti kesulitan mengetahui
jumlah pasti anak-anak tersebut. Menurut pegawai Kecamatan Ciputat yang
diwawancarai peneliti mengatakan ―Kalo data pekerja ―pak ogah‖ mah nggak ada
dek, soalnya mereka itu bukan warga sini, warga dari luar Ciputat‖(Wawancara
dengan pegawai Kecamatan Ciputat bagian kesejahteraan sosial, Ciputat, 30 Juni
2014). Namun demikian, hasil observasi dan wawancara di lapangan menunjukan
bahwa para informan yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ anak ini merupakan warga
yang tinggal di Kecamatan Ciputat dan sebagaian besar merupakan warga asli
Ciputat.
Dari pengamatan di lapangan, para ―pak ogah‖ anak di Ciputat ini bekerja
secara berkelompok, dalam satu kelompok tersebut terdapat lima sampai sepuluh
orang lebih, mereka biasanya datang ke satu lokasi kerja secara bersama-sama tetapi
yang bekerja mengatur lalu lintas jalan hanya satu sampai tiga orang saja. Dalam satu
35
kelompok biasanya memiliki kesepakatan-kesepakatan yang telah ditentukan, salah
satu bentuk kesepakatan mereka adalah dalam menentukan bagaimana cara mengatur
waktu pergantian bekerja. Selain itu kelompok-kelompok ―pak ogah‖ ini memiliki
lokasi masing-masing yang dijadikan tempat bekerja dan juga biasanya tetap pada
satu lokasi saja tidak berpindah-pindah ke lokasi lain. Hal ini diungkapkan informan
DR ―Iya tetep di sini, ada daerahnya masing-masing…nggak boleh sama Polisi,
bolehnya di sini doang. Di sini kan udah dari dulu udah lama‖(Wawancara dengan
DR, Ciputat, 12 Agustus 2014).
Tedapat dua lokasi yang dijadikan tempat untuk anak-anak ini bekerja sebagai
―pak ogah‖. Pertama, terdapat di pertigaan antara jalan Cendrawasih Raya dan pintu
masuk tol Bintaro-BSD, dari hasil observasi peneliti melihat bahwa lokasi ini
memiliki posisi yang strategis karena di pertigaan ini merupakan tempat bertemunya
arus lalu lintas yang berasal dari Ciputat dan Bintaro untuk memasuki kawasan
Tangerang dan Jakarta melalui pintu masuk tol Bintaro-BSD ini, pertigaan ini
merupakan lokasi lalu lintas yang ramai dan padat sehingga kemungkinan
mendapatkan uang semakin besar. Kedua, terdapat di pertigaan antara jalan Merpati
Raya dan Arya Putra, lokasi ini dijadikan anak-anak untuk mengatur lalu lintas,
karena dalam kesehariannya lalu lintas di pertigaan ini cukup ramai oleh pengendara
motor maupun mobil yang akan berangkat ataupun pulang bekerja, hal ini
disebabkan karena terdapat banyak pemukiman penduduk dan juga perumahan-
perumahan yang ada disekitarnya.
36
BAB III
TEMUAN DAN ANALISIS
A. Karakteristik dan Kehidupan Pekerja Anak Sebagai “Pak Ogah”
Dalam bab ini penulis menjelaskan berdasarkan hasil temuan di lapangan
terkait dengan karakteristik dan gambaran kehidupan informan yang bekerja sebagai
―pak ogah‖ anak di wilayah penelitian serta faktor apa yang menyebabkan informan
bekerja. Adapun karakteristik dan gambaran kehidupan informan yang dibahas
adalah sebagai berikut:
1. Jenis Kelamin
Dalam temuan di lapangan, para informan seluruhnya berjenis kelamin laki-
laki, hal ini membuktikan bahwa stereotype yang masih berkembang di masyarakat
bahwa laki-laki adalah tulang punggung keluarga yang harus bekerja di ruang publik
atau kepala rumah tangga juga menurun kepada level anak-anak yang berjenis
kelamin laki-laki. Hal ini juga sesuai dengan temuan ILO tentang pekerja anak:
Pekerja anak laki-laki lebih tinggi jumlahnya daripada anak perempuan dan
anak laki-laki dipekerjakan dalam banyak bentuk terburuk pekerja anak, seperti
di industri skala rumah tangga, sektor pertambangan, perkebunan dan
penangkapan ikan lepas pantai…survei statistik sering kali memberikan
perkiraan yang lebih rendah mengenai jumlah anak perempuan yang bekerja,
dan pada umumnya perkiraan tersebut tidak memperhitungkan kegiatan-
kegiatan ekonomi tak berupah seperti pekerjaan dalam usaha rumah tangga,
atau kegiatan usaha tersembunyi seperti prostitusi, perdagangan anak dan
pekerjaan rumah tangga yang banyak sekali melibatkan anak perempuan
(2008:1).
Bekerjanya para informan di ruang publik, karena sudah diperbolehkan oleh
orang tua mereka. Seperti yang diungkapkan MP ―Ya tau. Ya nggak apa-apa asal
37
jangan ketabrak, jangan petekelan‖(Wawancara dengan MP, Ciputat, 8 September
2014). Orang tua mengizinkan mereka bekerja salah satunya disebabkan karena
mereka tidak memiliki kegiatan rutin seperti bersekolah. Seperti yang dikemukakan
oleh informan AR yang sudah tidak bersekolah ―Boleh sama orang tua, daripada
diem bae dirumah nggak ada kegiatan‖(Wawancara dengan AR, Ciputat 1 September
2014). Hal ini juga sesuai dengan temuan BPS dan ILO yang mengemukakan:
Kemiskinan memainkan peran utama dalam kerentanan anak-anak untuk
pekerja anak. Namun faktor-faktor lain yang berperan, termasuk persepsi orang
tua tentang pentingnya pendidikan, kurangnya akses terhadap pendidikan, dan
rendahnya kualitas pendidikan. Tradisi dan budaya juga memainkan peran
seperti persepsi budaya sifat kanak-kanak, dan peran tanggung jawab anak-
anak terhadap orang tua dan saudara kandung mereka yang mempengaruhi
orang tua untuk memutuskan apakah seorang anak dikirim ke sekolah atau
menjadi pekerja (2009:6).
2. Usia
Usia para informan ini beragam, yang paling kecil berusia 13 tahun dan yang
terbesar 17 tahun. Berikut data informan berdasarkan usia:
Tabel. III.A.1 Usia Informan
No Nama Usia
1 DR 15 Tahun
2 BHR 17 Tahun
3 AR 16 Tahun
4 RVL 13 Tahun
5 DK 14 Tahun
6 EG 16 Tahun
7 FRK 17 Tahun
8 MP 15 Tahun
9 AN 14 Tahun
10 BP 15 Tahun
38
Para informan yang usianya masih anak-anak ini sudah mulai bekerja karena
masih adanya sebagian budaya di Indonesia yang memperbolehkan anak-anak di usia
dini untuk bekerja, hal ini seperti yang diungkapkan oleh Warsini:
Suatu budaya dalam keluarga bahwa anak sejak usia muda sudah melakukan
pekerjaan atau sebagai pekerja. Tanpa disadari para orangtua beranggapan
bekerja sebagai pekerja anak sudah merupakan tradisi atau kebiasaan dalam
masyarakat, anak diperintahkan bekerja sebagai pekerja dengan alasan untuk
mendapatkan pendidikan dan persiapan terbaik untuk menghadapi kehidupan
di masyarakat nantinya apabila anak tersebut sudah dewasa…pekerja anak
sendiri merasa bangga dapat bekerja memperoleh penghasilan untuk
kepentingan sendiri, maupun membantu ekonomi keluarga dan dapat
membiayai adik-adiknya sekolah (2005:16).
Usia para informan yang dapat dikatakan sebagai usia anak-anak dan remaja,
masa-masa mereka semestinya menikmati dunia belajar dan bermain, serta tahap
mereka mencari jati diri dan identitas mereka, pada masa ini juga anak-anak
mengalami berbagai perkembangan dari segi fisik maupun psikologis mereka dan
pada dasarnya mempunyai kebutuhan khusus yang harus diberikan dan merupakan
hak anak, seperti kebutuhan untuk pendidikan, bermain dan istirahat. Namun pada
kenyataanya di usia dini para informan sudah memilih untuk bekerja, tentunya
pekerjaan dan lingkungan kerja bagi anak dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap tumbuh dan berkembangnya anak baik fisik, mental, sosial maupun
intelektualnya (Warsini, 2005:8-10), terlebih lagi pekerjaan yang mereka geluti
adalah sebagai ―pak ogah‖ yang dapat masuk kedalam kategori berbahaya bagi anak.
Hal ini dapat dianalisa dari penjelasan Warsini yang mengemukakan:
Pekerjaan yang berbahaya digolongkan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk yang tidak boleh dilakukan oleh anak. Bentuk Pekerjaan terburuk
39
untuk anak menurut pasal 74 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003, meliputi semua
pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak…
Pekerjaan yang dilakukan pada lingkungan kerja yang berbahaya meliputi
pekerjaan yang mengandung bahaya fisik (2005:13-14).
Para informan dalam melakukan pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ memiliki
berbagai bahaya yang harus dihadapi. Seperti dari segi lingkungan pekerjaan, para
informan harus berinteraksi dengan orang dewasa yang juga bekerja sebagai ―pak
ogah‖. Peneliti melihat bahwa dalam interaksinya para informan yang masih anak-
anak ini cenderung tereksploitasi oleh orang-orang dewasa yang ada di sekitar
lingkungan kerja, salah satu bentuk ekspolitasi tersebut adalah disuruh untuk
membeli makanan, minuman, ataupun rokok. Selain itu dari pengamatan peneliti
ditemukan bahwa semua informan ini ternyata juga merokok, tentu hal ini bukanlah
hal yang baik bagi kesehatan fisik. Bentuk eksploitasi lainnya adalah persaingan
dalam hal waktu kerja, terkadang para informan harus mengalah ketika bekerja
karena menerima omelan dari para ―pak ogah‖ dewasa yang ingin bekerja di saat
informan sedang bekerja.
Kemudian, dari hasil wawancara ditemukan bahwa sebagian informan
mengungkapkan mereka pernah dipalak atau diperas oleh orang yang tidak dikenal.
Hal ini disampaikan informan BHR ―Kadang-kadang…au saya nggak kenal, saya
kasih dua ribu. Dia minta buat tambahan, saya kasih aja daripada ngapa-ngapa
ntar‖(Wawancara dengan BHR, Ciputat, 12 Agustus 2014). Dan informan AN yang
mengungkapkan:
40
Dimintain duit paling kalo orang lewat, Abang-abangan lewat sini minta seribu
dua ribu kasih. Dipalakin pernah, kayak Abang-abang mabok lewat minta,
yaudah kasih aja, daripada kenapa-kenapa. Ya kalo kasih paling kasih lima
ribu…(Wawancara dengan AN, Ciputat, 8 September 2014).
Dari hasil observasi peneliti juga melihat bahwa anak-anak ini pernah terjaring
razia oleh Polisi, hal ini disebabkan karena pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ yang
dianggap bagi sebagian orang sebagai pekerjaan yang meresahkan pengguna jalan
karena menggangu lalu lintas dan menjadi penyebab kemacetan. Meskipun mereka
sudah pernah terjaring razia namun pada kenyataanya mereka kembali bekerja
dengan alasan bila tidak bekerja mereka tidak bisa mencari uang untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
Selain itu juga masalah serius yang dihadapi para informan ketika sedang
bekerja adalah teguran dari para pengguna jalan yang merasa terganggu dengan
keberadaan mereka, bahkan tak jarang teguran ini menjadi kekerasan pada anak
dalam bentuk verbal maupun non-verbal. Hal ini diungkapkan oleh informan BHR
―Kadang-kadang suka kalo lagi macet diomelin…ya dibentak, ya kayak gimana ya,
orangnya turun nyamperin, bilang ini gimana nih macet gini…‖(Wawancara dengan
BHR, Ciputat, 12 Agustus 2014). Kemudian Informan BP yang mengungkapkan
―Resikonya paling ditabrak mobil. Noh manusianya si Frk, bukan ketabrak, ditabrak
malah bang‖(Wawancara dengan BP, Ciputat, 22 September 2014).
Kemudian juga lingkungan pekerjaan yang berada di jalan raya ini membuat
mereka harus berhadapan langsung dengan polusi kendaraan maupun debu jalanan
dan juga cuaca panas ataupun hujan, sehingga kondisi lingkungan pekerjaan ini
41
bukanlah tempat yang ideal bagi kesehatan fisik mereka. Bahkan yang paling
berbahaya dari pekerjaan ini adalah bagi keselamatan nyawa, karena kondisi
lingkungan pekerjaan ini tidak terlepas dari ramainya kendaraan yang melintas yang
tentunya membahayakan bagi anak karena beresiko tertabrak. Hal ini diungkapkan
oleh informan AR:
Ya gitulah bang, ya kalo lagi markirin malem doang, kalo malem-malem
gelap, kadang-kadang mobil nyelonong-nyelonong aja, iya ngeri‖(Wawancara
dengan AR, Ciputat, 1 September 2014).
Dan Informan DK yang mengatakan:
Resikonya nyawa bang, kalo mobilnya kaga berhenti, terus juga tiba-tiba ada
motor yang nyerempet…pernah bang sekali. Kita berhentiin bukannya berhenti
malah nyerempet tangan‖(Wawancara dengan DK, Ciputat, 1 September
2014).
Dari penjelasan di atas menunjukan bahwa pekerjaan yang dilakukan para
informan sebagai ―pak ogah‖ merupakan pekerjaan yang berbahaya dan seharusnya
tidak dikerjakan oleh mereka, namun karena kondisi kemiskinan yang dialami
sebagian informan membuat mereka tetap bertahan berkerja. Kondisi kemiskinan
yang menyebabkan informan bekerja, juga sesuai dengan temuan Siswoyo (1998:60)
yang mengungkapkan bahwa faktor pendorong yang menyebabkan anak bekerja
salah satunya adalah karena kemiskinan orang tua.
3. Suku dan Agama
Dalam temuan di lapangan pada penelitian ini menunjukan bahwa mayoritas
informan yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ berasal dari suku Betawi, hal ini wajar
42
karena menurut data Pemerintahan Daerah Tangerang Selatan (2014) menunjukan
bahwa mayoritas masyarakat asli di Tangerang Selatan adalah suku Betawi.
Kemudian juga seperti diketahui bahwa karaktristik orang Betawi yang identik
dengan pekerjaan informal, ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Abdul Azis:
Ketika pendidikan modern diperluas oleh Pemerintah Republik Indonesia
untuk seluruh warga negara, orang Betawi cenderung memilih pendidikan
agama. Konsekuensinya, akses terhadap mereka kepada sektor-sektor profesi
modern menjadi sangat terbatas (2002:5).
Terbatasanya akses mereka menempati profesi-profesi modern ini membuat
mereka beralih kepada pekerjaan-pekerjaan informal. Hal ini berdampak kepada
penghasilan dan perekonomian mereka yang juga menjadi terbatas.
Namun demikian, sebagian informan ini juga ada yang berasal dari suku Jawa.
Adanya suku pendatang di perkotaan merupakan hal yang wajar karena menurut
penjelasan Nurhayati:
Secara umum timbulnya migrasi karena adanya pull faktor kota sebagai pusat
aktivitas dan kegiatan perekonomian dan push faktor kurangnya fasilitas dan
kesempatan yang tersedia di pedesaan. Sebagian besar individu yang
bermigrasi ke kota adalah usia produktif yang berkemauan keras dan kuat
untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik untuk dirinya dan keluarganya
(2013:104).
Walaupun demikian, dalam konteks ini pernyataan tersebut berbeda dengan
temuan di lapangan dalam penelitian ini yang menunjukan bahwa mayoritas yang
bekerja ini adalah suku asli Betawi. Meskipun begitu, seperti diketahui bahwa
Kecamatan Ciputat yang merupakan bagian dari kota Tangerang Selatan memiliki
daya tarik bagi para pendatang selain karena berbatasan dengan Jakarta sebagai pusat
perekonomian, kota ini juga memiliki berbagai fasilitas seperti pendidikan,
43
kesehatan, perumahan, perekonomian dan adanya berbagai macam jenis pekerjaan
yang tersedia. Namun demikian para pendatang yang mempunyai keterbatasan dalam
hal modal pendidikan, keterampilan maupun modal lainnya untuk bersaing dalam
pekerjaan formal menyebabkan mereka bekerja pada sektor-sektor informal seperti
bekerja sebagai ―pak ogah‖. Hal ini sesuai dengan penjelasan Todaro dan Smith
(2006:393) yang mengungkapkan bahwa pada umumnya mereka yang berada di
sektor informal adalah pendatang baru dari pedesaan yang gagal memperoleh tempat
di sektor formal, motivasi mereka hanya terbatas pada upaya untuk mempertahankan
kelangsungan hidup agar bisa makan pada hari ini atau esok dan bukan untuk
menumpuk keuntungan apalagi kekayaan. Selain itu juga menurut Halim (2008:264)
faktor kemiskinan bahkan memaksa para orang tua khususnya kaum pendatang untuk
mempekerjakan anak-anaknya pada usia dini di sektor-sektor informal dan
kondisinya semakin parah ketika anak-anak tersebut dieksploitasi hanya untuk
sekedar bertahan hidup.
Selanjutnya, dari sisi agama menunjukan bahwa seluruh informan beragama
Islam. Hal ini wajar karena dari data yang ada di Kecamatan Ciputat menunjukan
bahwa penduduknya mayoritas memeluk agama Islam. Berikut data informan
berdasarkan suku dan agama:
Tabel III.A.2 Suku dan Agama Informan
No Nama Suku Agama
1 DR Betawi Islam
2 BHR Betawi Islam
3 AR Betawi Islam
44
4 RVL Betawi Islam
5 DK Betawi Islam
6 EG Betawi Islam
7 FRK Jawa Islam
8 MP Betawi Islam
9 AN Jawa Islam
10 BP Jawa Islam
Dalam ajaran Islam mendidik anak untuk bekerja sebenenarnya diperbolehkan,
asal tidak diekspolitasi. Hal ini seperti yang dijelaskan Subhan:
Eksploitasi anak dapat terjadi dalam suatu pekerjaan atau dengan alasan
pembelajaran. Semua hal tersebut dapat berakibat langsung pada fisik, mental
psikologi mereka. Islam jelas melarang hal ini. Sebuah hadist yang masyhur
tentang pendidikan anak mengurai kewajiban orang tua untuk mendidik
anaknya tanpa harus memaksakan kehendak diri orang tua. Tanpa harus
mengeksploitasi anak.―Didiklah Anak-anakmu, karena mereka diciptakan
untuk menghadapi jaman yang berbeda dengan jamanmu‖, pesan Nabi itu
menegaskan bahwa karakter pendidikan haruslah futuristik dan membebaskan
setiap anak untuk berkreasi sesuai minat dan bakat untuk eranya, tanpa harus
merampas kenyamanan mereka untuk menikmati masa kanak-kanak (2009).
Namun demikian, pada kenyataanya di lapangan menunjukan bahwa masih
banyak anak-anak muslim menjadi pekerja anak, seperti dalam penelitian ini.
Walapun mereka bekerja tanpa paksaan, namun secara tidak sadar sebenarnya
mereka juga mengalami kerugian seperti terganggunya pendidikan, kehilangan masa
belajar, bermain dan juga beristirahat. Selain itu juga pekerjaan yang dilakukan anak-
anak ini merupakan pekerjaan yang tergolong berbahaya bagi anak karena dapat
membahayakan keselamatan dan kesehatan mereka.
45
4. Pendidikan Informan
Latar belakang pendidikan para informan menunjukan bahwa pendidikan anak
yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini bervariasi, berikut data informan berdasarkan
pendidikan:
Tabel III.A.3 Matrik Pendidikan Informan
No Nama Sekolah Putus Sekolah
SD SMP SMA/
SMK
SD SMP SMA/
SMK
1 DR √
2 BHR √
3 AR √
4 RVL √
5 DK √
6 EG √
7 FRK √
8 MP √
9 AN √
10 BP √
Terdapat dua kategori pendidikan informan, yaitu masih sekolah dan putus
sekolah. Dari seluruh informan, mayoritas sudah putus sekolah dan hanya minoritas
yang masih bersekolah. Seluruh informan yang putus sekolah kebanyakan di jenjang
sekolah menengah pertama (SMP). Sedangkan para informan yang masih bersekolah
berada pada jenjang pendidikan sekolah menengah pertama (SMP), sekolah dasar
(SD) dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Semua informan yang masih
mengenyam pendidikan berpendapat bahwa pendidikan merupakan hal yang penting
untuk masa depan. Hal ini menunjukan bahwa mereka menyadari pendidikan adalah
suatu hal yang penting bagi dirinya di masa depan. Seperti yang diungkapkan oleh
46
informan AN ―Penting supaya masa depannya lebih baik dari orang tua kita, orang
tua saya‖(Wawancara dengan AN, Ciputat, 8 september 2014).
Namun demikian, yang menganggap pendidikan itu penting bukan hanya dari
informan yang masih bersekolah saja, tetapi sebagian informan yang sudah putus
sekolah juga menganggap bahwa pendidikan merupakan hal yang penting bagi
kehidupan masa depan mereka. Meksipun jumlah fasilitas sekolah di Ciputat cukup
memadai, namun keterbatasan akses terhadap pendidikan, seperti kurangnya biaya
dan tidak adanya bantuan dari instansi terkait membuat mereka tidak dapat
melanjutkan sekolah. Seperti yang diungkapkan informan BHR:
Sebenernya pengen sih sekolah, cuma biayanya nggak ada…belom pernah,
biaya sendiri (tidak adanya bantuan pada saat masih sekolah)‖(Wawancara
dengan BHR, Ciputat 12 Agustus 2014).
Mayoritas informan yang sudah putus sekolah ini disebabkan karena
kurangnya pendapatan orang tua informan untuk membiayai pendidikan yang terbaik
bagi anaknya. Hal ini dapat di lihat dari tabel matrik berikut ini:
Tabel A.III.4 Matrik Penghasilan Orang Tua Dalam Membiayai
Pendidikan
Nama Penghasilan Orang Tua Dalam
Membiayai Pendidikan
Cukup Tidak Mencukupi
DR √
BHR √
AR √
RVL √
DK √
EG √
47
FRK √
MP √
AN √
BP √
Keterbatasan mayoritas informan yang tidak bersekolah ini sesuai dengan teori
sub-budaya kemiskinan oleh Oscar Lewis dalam Suparlan (1993:8) yang
menjelaskan bahwa salah satu karakteristik sub-budaya kemiskinan adalah
terbatasnya akses terhadap layanan dan sarana pendidikan. Selanjutnya, hal ini juga
sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Suyanto yang mengungkapkan bahwa:
Dalam studi yang dilakukan menyimpulkan bahwa kemiskinan merupakan
faktor pendorong yang paling mendasar yang menyebabkan kesempatan
masyarakat khususnya anak-anak untuk memperoleh pendidikan menjadi
terhambat (2010:355).
5. Waktu Bekerja Informan
Para informan bekerja pada waktu dan durasi yang bervariasi, karena
tergantung beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor pendidikan mereka, bagi
para informan yang masih bersekolah waktu bekerjanya terbatas karena biasanya
hanya bisa bekerja pada waktu pulang sekolah atau sebelum sekolah berbeda dengan
para informan yang sudah tidak bersekolah waktu untuk bekerjanya juga semakin
banyak. Kemudian faktor lainnya juga tergantung kondisi di lokasi pekerjaan, jika
yang bekerja banyak maka waktu untuk bekerja mereka semakin sedikit, terlebih lagi
jika adanya ―pak ogah‖ dewasa yang bekerja yang membuat para informan ini
waktunya semakin terbatas karena harus mengalah.
48
Dari hasil wawancara menunjukan bahwa para informan mengeluti pekerjaan
ini antara satu tahun yang paling baru sampai dengan empat tahun yang paling lama,
hal ini menunjukan bahwa mereka sudah lama bekerja dan juga menjadikan
pekerjaan ini sebagai pekerjaan tetap mereka. Seperti yang diungkapkan informan
BP ―Dari SD sekarang udah SMK, udah empat tahun‖(Wawancara dengan BP,
Ciputat 22 September 2014). Sebagian besar informan bekerja dalam seminggu
sebanyak tiga sampai empat hari, hanya sebagian kecil saja mengungkapkan bahwa
mereka bekerja setiap hari. Hal ini seperti yang diungkapan informan DK ―Kalo
nggak tiga, ya empat harian‖(Wawancara dengan DK, Ciputat, 1 September 2014).
Mayoritas informan bekerja pada durasi waktu antara satu sampai dua jam saja
dalam sehari. Hal ini seperti yang diungkapkan informan AN ―…kira-kira sehari
dapet markir dua jam kalo nggak satu jam setengahlah‖(Wawancara dengan AN,
Ciputat, 8 September 2014). Dilihat dari durasi waktu bekerja dalam sehari,
mayoritas informan tergolong bekerja pada durasi waktu yang di perbolehkan untuk
anak-anak usia 13-17 tahun. Hal ini seperti yang jelaskan Warsini (2005:2012)
bahwa anak-anak yang berusia di atas 13 tahun diperbolehkan melakukan pekerjaan
dengan harus memenuhi syarat yang salah satunya adalah waktu kerja maksimal tiga
jam dalam sehari. Namun demikian kembali lagi bahwa dari segi kesehatan dan
keselamatan pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ merupakan pekerjaan yang berbahaya,
yang seharusnya tidak dikerjakan oleh para informan. Selain itu juga masih ada
sebagian kecil informan yang bekerjanya melebihi waktu dari tiga jam bahkan dalam
49
sehari bisa sampai delapan jam. Hal ini diungkapan oleh informan DR ―Sehari
delapan jam‖(Wawancara dengan DR, Ciputat, 12 Agustus 2014).
Waktu bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini ditentukan berdasarkan kesepakatan
bersama, mereka yang datang lebih awal ke lokasi bekerja maka dialah yang berhak
untuk bekerja lebih dulu. Kemudian juga terdapat kesepakatan dalam menentukan
waktu jadwal pergantian bekerja, ada dua cara dalam mengaturnya. Pertama, mereka
bergantian berdasarkan waktu atau jam bekerja. Hal ini diungkapkan informan DR
―Ya satu orang bisa empat puluh menit, ganti-gantian bergiliran. Siapa yang dateng
duluan dia duluan yang markirin‖(Wawancara dengan DR, Ciputat 12 Agustus
2014). Kedua, mereka bergantian berdasarkan target pendapatan. Hal ini
disampaikan informan FRK ―...berdasarkan duitnya aja, misalkan yang markirin ada
empat orang, ya dua orang dua orang dulu, kalo misalkan seorang udah dapet lima
ribu ya ganti‖(Wawancara dengan FRK, Ciputat, 8 September 2014). Biasanya
aktivitas yang dilakukan mereka dalam menunggu pergantian bekerja ini adalah
dengan memainkan handphone dan juga mengobrol atau bercanda dengan sesama
―pak ogah‖ lainnya.
6. Pendapatan informan
Pendapatan yang diperoleh dari bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini antara 5000
sampai dengan 80.000 perhari. Berikut adalah data pendapatan informan dalam
sehari:
50
Tabel III.A.5 Pendapatan Informan
No Nama Pendapatan
1 DR 30.000 - 50.000 Sehari
2 BHR 25.000- 80.000 Sehari
3 AR 30.000- 50.000 Sehari
4 RVL 20.000- 30.000 Sehari
5 DK 30.000- 40.000 Sehari
6 EG 50.000 Sehari
7 FRK 5.000- 10.000 Sehari
8 MP 15.000 Sehari
9 AN 10.000- 20.000 Sehari
10 BP 10.000-40.000 Sehari
Pendapatan yang diperoleh para informan ini tergantung waktu dan durasi
mereka bekerja, semakin sering dan semakin lama mereka bekerja maka semakin
banyak juga penghasilannya. Namun demikian, para informan ini harus bergantian
dan juga harus mengalah dengan ―pak ogah‖ dewasa, hal inilah yang mempengaruhi
pendapatan keseharian mereka. Seperti yang diungkapkan informan EG―…yang
gede-gedenya kadang-kadang suka minta gantian markirinnya, orang saya baru naek
markirin udah disuruh ganti sama dia. Kan pendapatan kita jadinya kecil gara-gara
gantian begitu‖(Wawancara dengan EG, Ciputat, 1 September 2014). Selain itu juga
karena pendapatan ini tergantung pada pengguna jalan yang memberi uang, maka
pendapatan yang didapat dalam sehari-hari ini tidak menentu. Namun demikian,
berdasarkan data di atas menunjukan bahwa pendapatan yang didapat oleh sebagian
para informan ini tergolong cukup besar bagi para informan yang masih anak-anak
ini, sehingga pendapatan tersebut juga mempengaruhi mereka untuk tetap bekerja
sebagai ―pak ogah‖.
51
7. Latar Belakang Keluarga Informan
Dalam penelitian ini latar belakang keluarga informan dapat dilihat
berdasarkan jenjang pendidikan, jenis pekerjaan, penghasilan orang tua dan jumlah
anggota keluarga. Berikut data pendidikan, pekerjaan dan penghasilan orang tua
informan:
Tabel III.A.6 Pendidikan, Pekerjaan, Penghasilan Orang Tua dan Jumlah
Anggota Keluarga.
No Nama Pendidikan
Orang Tua
Pekerjaan Orang Tua Penghasilan Orang
Tua
Jumlah
Anggota
Keluarga Bapak Ibu Bapak Ibu Bapak Ibu
1 DR SD SD Pegawai
Swasta
Ibu Rumah
Tangga
80.000
/ hari
- 4 Orang
2 BHR SMP SD - Asisten Rumah
Tangga
- 25.000
/ hari
2 Orang
3 AR SD Tidak
Sekolah
Buruh
Bangunan
Asisten Rumah
Tangga
40.000
/ hari
500.000
/ bulan
4 Orang
4 RVL - SMP - Asisten Rumah
Tangga
- 50.000
/ hari
3 Orang
5 DK SMP SD Buruh
Bangunan
Ibu Rumah
Tangga
60.000
/ hari
- 6 orang
6 EG SMP SD Buruh Asisten Rumah
Tangga
70.000
/ hari
30.000
/ hari
5 Orang
7 FRK SMA SMA Penceramah Ibu Rumah
Tangga
120.000
/ Tidak
Tentu
- 6 Orang
8 MP SD SD Tidak
bekerja
Asisten Rumah
Tangga
Tidak Ada
50.000
/hari
5 Orang
9 AN SD SD Tukang
Ojek
Ibu Rumah
Tangga
200.000
/ hari
- 4 Orang
10 BP D3 SMA Montir Pegawai
Swasta
200.000
/ hari
1.000.000
/bulan
6 Orang
52
Dari tabel tersebut menunjukan bahwa terdapat variasi jenjang pendidikan
terakhir dari para orang tua informan. Mayoritas orang tua informan hanya
mengenyam pendidikan di sekolah dasar (SD), kemudian juga masih terdapat orang
tua informan yang tidak bersekolah, hal ini menunjukan masih rendahnya kualitas
pendidikan orang tua mereka. Selanjutnya, sebagian orang tua informan mengenyam
pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA)
dan hanya sebagian kecil dari orang tua informan yang menempuh pendidikan
perguruan tinggi sampai D3. Bervariasinya pendidikan para orang tua informan ini
juga berpengaruh terhadap jenis pekerjaan dan penghasilannya. Hal ini sesuai dengan
temuan penelitian Silalahi yang menjelaskan bahwa:
Faktor pendidikan ini memengaruhi jenis pekerjaan dan penghasilan yang
diterima…hal ini terlihat dari pendidikan orang tua di masa muda mereka.
Pendidikan mereka yang tidak sampai perguruan tinggi membuat pekerjaan
mereka pun hanya berkisar pada jenis-jenis pekerjaan yang mengandalkan fisik
seperti kuli, buruh dan sebagainya. Oleh karena itu penghasilan yang diperoleh
pun rendah. Dalam hal ini, lingkungan tempat tinggal juga mempengaruhi jenis
pekerjaan mereka (2010:304).
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, peneliti mengkategorikan status
pekerjaan menjadi dua, yaitu bekerja dan tidak bekerja. Mayoritas Bapak informan
ini masih bekerja, hanya sebagian kecil yang sudah tidak bekerja. Bapak informan
yang sudah tidak bekerja disebabkan karena sudah meninggal dan juga karena usia
yang sudah tua. Selanjutnya sebagian dari Ibu para informan juga bekerja
(berpenghasilan). Sebagian dari mereka bekerja karena untuk menggantikan peran
Bapak yang sudah meninggal ataupun yang tidak bekerja, sedangkan sebagian lain
53
Ibu informan yang bekerja (berpenghasilan) tujuannya untuk membantu suami dalam
memenuhi kebutuhan keluarga. Mayoritas orang tua informan bekerja di sektor
informal seperti, penceramah, tukang ojek, pekerja bagunan, buruh, montir dan
asisten rumah tangga. Hanya sebagian kecil orang tua informan bekerja dalam sektor
formal seperti pegawai swasta.
Bervariasinya jenis pekerjaan orang tua informan ini berpengaruh pada tingkat
penghasilan orang tua. Dilihat dari penghasilan orang tua para informan dan jumlah
anggota keluarga yang harus ditanggung, menunjukan bahwa sebagian besar para
informan ini tergolong dalam keluarga yang berada pada garis kemiskinan karena
pengeluaran perkapita perhari dalam keluarga tersebut sesuai dengan standar
kemiskinan yang ditetapkan oleh bank dunia yaitu pengeluaran perkapita perhari
setara dengan US$ 2 PPP (Purchasing Power Parity/ Paritas Daya Beli) atau jika di
rupiahkan sekitar 25.000 rupiah (BPS, 2008:39). Hal ini membuktikan bahwa
pekerjaan ―pak ogah‖ memang mayoritas digeluti oleh anak-anak yang berasal dari
latar belakang keluarga tidak mampu atau miskin, namun tidak menutup
kemungkinan bahwa ada anak-anak yang berasal dari latar belakang keluarga yang
mampu atau tidak miskin yang mengeluti pekerjaan ini, hal ini terlihat dari adanya
sebagian kecil informan yang berasal dari latar belakang keluarga yang penghasilan
orang tuanya berada di atas garis kemiskinan.
54
B. Sub-Budaya Kemiskinan “Pak Ogah” Anak Pendekatan Oscar Lewis
Menurut Oscar lewis dalam Suparlan (1993:8) mengemukakan bahwa sub-
budaya kemiskinan adalah sebagai konsekuensi dari masyarakat dengan kepadatan
tinggi, terbatasnya akses-askes terhadap barang-barang konsumsi, layanan kesehatan,
dan sarana pendidikan. Kemudian juga menurut Oscar Lewis sub-budaya kemiskinan
memiliki karakteristik yang dapat dipelajari dari berbagai aspek kehidupan seperti:
Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin kedalam lembaga-
lembaga utama masyarakat…pada tingkat komunitas lokal secara fisik ditemui
rumah-rumah dan pemukiman kumuh, penuh sesak, bergerombol…pada
tingkat keluarga ditandai oleh masa kanak-kanak yang singkat dan kurang
pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa, atau perkawinan usia dini, tingginya
angka perpisahan keluarga…pada tingkat individu dengan ciri yang menonjol
adalah kuatnya perasaan tidak berharga, tidak berdaya, ketergantungan yang
tinggi dan rasa rendah diri. Tingginya (rasa) tingkat kesengsaraan, karena
beratnya penderitaan Ibu…kebudayaan kemiskinan juga membentuk orientasi
yang sempit dari kelompoknya…(1993:7-11).
Dari penjelasan teori sub-budaya kemiskinan di atas, dapat dilihat dari
beberapa aspek kehidupan yang peneliti jabarkan untuk menjelaskan para informan
yang mayoritas berasal dari latar belakang keluarga yang penghasilannya rendah dan
berada dalam garis kemiskinan atau tidak mampu. Berikut penjabaran dari hasil
temuan di lapangan:
a. Akses Terhadap Konsumsi
Berikut adalah data tabel mengenai akses terhadap pemenuhan konsumsi atau
makan sehari-hari para informan:
55
Tabel III.B.1. Matrik Akses Konsumsi Makan Sehari-Hari
Nama Latar Belakang
Ekonomi Keluarga
Akses Konsumsi Makan Sehari-Hari Informan
Kebutuhan Makan Bantuan dari
Pemerintah
Cukup Tidak
Mencukupi
Ada Tidak ada
DR Tidak Mampu √ √
BHR Tidak Mampu √ √
AR Tidak Mampu √ √
RVL Tidak Mampu √ √
DK Tidak Mampu √ √
EG Tidak Mampu √ √
FRK Tidak Mampu √ √
MP Tidak Mampu √ √
AN Mampu √ √
BP Mampu √ √
Dari tabel di atas menunjukan bahwa mayoritas informan yang berasal dari
keluarga miskin mengatakan bahwa dalam kesehariannya penghasilan atau ekonomi
orang tua dirasa tidak mencukupi untuk pemenuhan makan sehari-hari. Kemudian
setengah dari informan yang berasal dari keluarga tidak mampu ini mengungkapkan
bahwa tidak pernah mendapat bantuan dari Pemerintah dalam bentuk apapun untuk
memenuhi kebutuhan pokok. Hal ini diungkapkan DK:
Nggak cukup bang, kadang-kadang nggak cukup (untuk konsumsi sehari-
hari)…nggak pernah bang (tidak adanya bantuan) (Wawancara dengan DK,
Ciputat, 1 September 2014).
Selanjutnya, setengah dari informan yang tidak mampu ini juga mendapat
bantuan dari pemerintah. Namun demikian, sebagian kecil yang mendapat bantuan
56
dari pemerintah tersebut tidak banyak membantu dalam hal pemenuhan kebutuhan
makan sehari-hari karena bantuan tersebut bersifat insidental. Hal ini disampaikan
informan BHR:
Ya kagalah (Penghasilan orang tua untuk kebutuhan makan sehari-
hari)…pernah, waktu lagi lebaran sembako (Wawancara dengan BHR, Ciputat,
12 Agustus 2014).
Ketidakmampuan mereka dalam hal pemenuhan konsumsi ini sesuai dengan
karakteristik teori sub-budaya kemiskinan dan juga dapat dikagetorikan berada dalam
keluarga miskin karena hal ini sesuai dengan BPS yang menggunakan konsep
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) untuk mengukur
kemiskinan di Indonesia. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan
bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran (Sardjunani, 2010:12). Kemudian
juga anak-anak ini dapat disebut berada pada keluarga pra sejahtera yang menurut
BKKBN dalam Sardjunani menjelaskan:
Keluarga prasejahtera adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan pokok (pangan), sandang, papan,
kesehatan, dan pengajaran agama (2010:10).
Sementara itu, minoritas informan yang berasal dari keluarga yang berada
dalam garis kemiskinan atau tidak mampu ternyata mengatakan bahwa dalam
kesehariannya mereka tercukupi dalam hal pemenuhan kebutuhan makan.
Kemampuan para informan yang dapat memenuhi kebutuhan makan ini salah
satunya juga disebabkan karena adanya bantuan dari Pemerintah. Seperti yang
57
diungkapkan AR ―Kalo buat makan, jajan mah ada…beras raskin, kayaknya setiap
bulan ada‖(Wawancara dengan, Ciputat, 1 September 2014).
Selanjutnya, bagi informan yang berasal dari latar belakang keluarga yang
mampu, mereka merasa bahwa penghasilan orang tua mencukupi untuk kebutuhan
makan sehari-hari. Hal ini seperti yang diungkapkan BP ―Ya cukuplah (untuk makan
sehari-hari)‖(Wawancara dengan BP, Ciputat, 22 September 2014).
b. Akses Terhadap Kesehatan
Para informan yang kebanyakan berasal dari latar belakang keluarga tidak
mampu ini, selain dapat dilihat dari akses pemenuhan konsumsi makan sehari-hari
yang mayoritas tidak mencukupi, juga dapat dilihat dari jangkauan mereka dalam
mengakses fasilitas kesehatan. Berikut adalah tabel matrik akses kesehatan informan:
Tabel III.B.2. Matrik Akses Kesehatan Informan
Nama Latar Belakang
Ekonomi
Keluarga
Akses Kesehatan Informan
Membeli obat
Warung
Puskesmas Rumah sakit/
Dokter
DR Tidak Mampu √
BHR Tidak Mampu √
AR Tidak Mampu √ √
RVL Tidak Mampu √
DK Tidak Mampu √
EG Tidak Mampu √
FRK Tidak Mampu √
MP Tidak Mampu √ √
AN Mampu √
BP Mampu √ √
58
Para informan yang berasal dari keluarga yang tidak mampu ini sebagian besar
hanya mampu menjangkau akses kesehatan pada tingkat membeli obat di warung dan
mengakses ke Puskesmas. Ada beberapa faktor yang menyebabkan sebagian besar
para informan ini hanya bisa membeli obat warung dan menjangkau Puskesmas saja,
yaitu ketidakmampuan ekonomi orang tua untuk berobat ke Rumah Sakit. Selain itu,
tidak adanya bantuan dari Pemerintah dan juga fasilitas kesehatan yang jaraknya jauh
dari tempat tinggal. Keterbatasan informan dalam mengakses kesehatan ini dialami
informan BHR yang mengungkapkan:
Kalo sakit paling beli obat doang di warung…duitnya kaga ada, iya biayanya
kurang (untuk ke dokter)…waktu itu emak kita kan sakit nih, kita lagi nggak
punya duit buat ngobatin, kita bingung duit dari mana, rasanya putus asa dah,
akhirnya kan ke rumah keponakan tuh ya minjem duit niatnya…sakit kelenjar
getah bening…nggak pernah, iya bayar sendiri (tidak pernah mendapat bantuan
dalam hal kesehatan dari Pemerintah)(Wawancara dengan BHR, Ciputat, 12
Agustus 2014).
Dari wawancara tersebut membuktikan bahwa informan yang berasal dari latar
belakang tidak mampu ini, pada kenyataannya dalam mengakses kesehatan tidak
pernah mendapat bantuan. Hal ini juga membuktikan bahwa program-program
perlindungan bagi masyarakat miskin seperti Jamkesmas maupun Askeskin tidak
dapat diketahui dan dijangkau oleh informan. Dari wawancara tersebut juga
menunjukan bahwa informan merasakan tidak berdaya dan putus asa ketika orang tua
sakit karena keterbatasan biaya untuk berobat ke Rumah Sakit. Kemudian para
informan yang berasal dari keluarga tidak mampu ini dapat menjangkau Puskesmas
sebagai sarana untuk berobat, selain memang karena biaya yang masih bisa
59
dijangkau, sebagian informan ini juga mendapat bantuan dari Pemerintah seperti
berobat gratis ke Puskesmas maupun keringanan biaya. Hal ini diungkapkan oleh
salah satu informan RVL ―Ke Puskesmas…iya, gratis‖ (Wawancara dengan RVL,
Ciputat, 1 September 2014).
Namun demikian, terdapat sebagian kecil informan yang berasal dari keluarga
miskin atau tidak mampu yang bisa menjangkau dokter atau Rumah sakit sebagai
sarana untuk berobat. Hal ini juga salah satunya disebabkan karena adanya bantuan
dari Pemerintah setempat seperti keringanan biaya dalam berobat ke dokter atau
rumah sakit. Seperti yang diungkapkan oleh informan FRK:
Biasanya kalo sakit ya diusahain aja ke rumah sakit...kalo kesehatan sih
pernah, dapet kayak diskon gitu suratnya, iya potongan harga di dokter
(Wawancara dengan FRK, Ciputat, 8 September 2014).
Dari wawancara tersebut menunjukan bahwa informan yang berasal dari
keluarga miskin juga menjadikan rumah sakit sebagai sarana untuk berobat,
walaupun pengobatan di rumah sakit itu menjadi pilihan yang sulit karena
keterbatasan ekonomi mereka.
Sementara itu bagi informan yang berasal dari keluarga ekonomi yang mampu,
mereka merasa mampu untuk menjangkau atau mengakses pengobatan ke rumah
sakit ataupun dokter. Hal ini disebabkan penghasilan orang tua yang mencukupi
untuk berobat ke rumah sakit atau dokter. Selain itu juga sebagian informan ini
ternyata mendapat bantuan dari pemerintah seperti ada yang memiliki Jamsostek
untuk berobat. Hal ini diungkapkan informan AN ―Kesehatan kalo sakit pake itu
60
Bapak saya, itu jamsostek pake bantuan itu‖(Wawancara dengan AN, Ciputat, 8
September 2014).
c. Partisipasi Informan Di Lingkungan Sosial
Partisipasi informan di lingkungan sosial adalah lebih kepada kegiatan-
kegiatan yang diadakan oleh RT atau RW di lingkungan sekitar informan tinggal,
seperti kegiatan pengajian maupun acara tiap tahunan seperti tujuh belas agustusan.
Berikut adalah tabel matrik partisipasi informan di lembaga masyarakat:
Tabel III.B.3 Matrik Partisipasi Informan di Lembaga Masyarakat
Nama Latar Belakang
Ekonomi
Keluarga
Partisipasi Informan di Lembaga
Masyarakat
Berpartisipasi Tidak Berpartisipasi
DR Tidak Mampu √
BHR Tidak Mampu √
AR Tidak Mampu √
RVL Tidak Mampu √
DK Tidak Mampu √
EG Tidak Mampu √
FRK Tidak Mampu √
MP Tidak Mampu √
AN Mampu √
BP Mampu √
Dari seluruh informan yang berasal dari keluarga tidak mampu, hanya sebagian
kecil yang menyatakan bahwa mereka tidak pernah mengikuti kegiatan pengajian
ataupun acara-acara lainnya yang diadakan oleh RT atau RW karena merasa rendah
61
diri atau malu untuk mengikuti atau berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan tersebut.
Hal ini diungkapkan oleh informan BHR:
Nggak pernah…ya sebenernya sih kalo ada yang ngajak mah mau bae, nggak
ada yang ngajak, ya malu (Wawancara dengan BHR, Ciputat, 12 Agustus
2014).
Sementara itu sebagian besar informan yang berasal dari keluarga yang tidak
mampu ternyata ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang diadakan di lingkungan
sekitar seperti pengajian ataupun acara tujuh belas agustusan. Seperti yang
diungkapkan oleh informan EG ―Ngikut bang, ikut-ikutan aja kalo ada acara kayak
tujuh belasan mah‖(Wawancara dengan EG, Ciputat, 1 September 2014). Hal ini
menunjukan bahwa walaupun mereka berasal dari keluarga miskin atau tidak mampu
dalam hal ekonomi, namun mereka masih tetap mampu bersosialisasi dengan ikut
berpartipasi dalam kegiatan yang diadakan di lingkungan sosial mereka dan tidak
terisolasi dengan lingkungan sosialnya. Hal ini juga ditunjukan pada saat peneliti
melakukan observasi ke rumah para informan ternyata ada informan yang sedang
mengikuti pengajian rutin di lingkungan tersebut.
Sementara itu, bagi informan yang berasal dari keluarga yang mampu ikut
berpartipasi dalam kegiatan yang diadakan di lingkungan mereka. Seperti
diungkapkan informan AN:
Pengajian ikut, tujuh belasan ikut, tapi nggak yang gede-gede, yang kecil-kecil
aja buat ngehibur-hibur doang‖(Wawancara dengan AN, Ciputat, 8 September
2014).
62
d. Kondisi Rumah dan Lingkungan Pemukiman Informan
Akses selanjutnya yang dapat dianalisis adalah akses terhadap perumahan dan
kondisi lingkungan informan tinggal. Berikut adalah tabel matrik kondisi perumahan
dan tempat tinggal informan:
Tabel III.B.4 Matrik Kondisi Rumah dan Lingkungan Pemukiman
Informan
Nama
Latar Belakang
Ekonomi
Keluarga
Kondisi Pemukiman Tempat Tinggal
Informan
Kumuh Padat
Iya Tidak Iya Tidak
DR Tidak Mampu √ √
BHR Tidak Mampu √ √
AR Tidak Mampu √ √
RVL Tidak Mampu √ √
DK Tidak Mampu √ √
EG Tidak Mampu √ √
FRK Tidak Mampu √ √
MP Tidak Mampu √ √
AN Mampu √ √
BP Mampu √ √
Berdasarkan data di atas menunjukan bahwa sebagian besar informan yang
berasal dari keluarga yang tidak mampu ini mengatakan bahwa kondisi lingkungan
rumah mereka padat penduduknya, selain itu juga sebagian kecil informan ini
mengungkapkan bahwa mereka juga tinggal di lokasi pemukiman yang kumuh. Hal
ini diungkapkan oleh informan AR:
63
―Kalo dibilang kumuh sih iya kumuh, itu bang jadi satu sama kandang ayam
rumahnya, sampah-sampah ada… lumayan padet dah bang, iya dempet-
dempetan‖(Wawancara dengan AR, Ciputat, 1 September 2014).
Selain itu juga sebagian kecil informan yang tidak mampu ini ternyata masih
tinggal di kontrakan yang ukurannya terbatas dan kumuh. Ini diungkapkan oleh
informan FRK:
Ngontrak…kecil, gak ada kamar-kamarnya, adanya dapur sama ruang tamu
digabung jadi kamar…ya lumayan kumuh sih tempatnya, lumayan banyak sih
sampah…(Wawancara dengan FRK, Ciputat, 8 September 2014).
Keterbatasan sebagian informan dalam hal tempat tinggal, kemudian
lingkungan yang kumuh dan juga padat ini sesuai dengan karakteristik teori sub-
budaya kemiskinan. Kondisi ini juga sesuai dengan kondisi di perkotaan pada
umumnya yang sebagian daerahnya kumuh dan juga padat yang disebabkan oleh
pertambahan jumlah penduduk yang tinggi dan juga lahan untuk tempat tinggal yang
semakin terbatas, sehingga tak jarang penduduk di suatu kota tinggal di pemukiman-
pemukiman yang lingkungannya padat dan kumuh. Hal ini sesuai dengan apa yang
disampaikan oleh Nurhayati:
Jumlah penduduk di perkotaan terus mengalami peningkatan karena angka
fertilitas atau masuknya migrant yang datang ke perkotaan. Semakin
bertambahnya penduduk perkotaan dan keterbatasan lahan pemukiman menjadi
permasalahan dalam tata ruang kota….bagi masyarakat bawah dan kalangan
masyarakat miskin perkotaan kebutuhan akan perumahan ini hanya sekedar
tempat tinggal sederhana bahkan di bawah standar perumahan yang layak huni
(2013:107).
Sementara itu bagi informan dari latar belakang keluarga yang mampu, mereka
memiliki tempat tinggal sendiri yang kondisinya tidak kumuh dan juga sebagian dari
64
mereka tinggal di pemukiman yang tidak padat penduduknya. Seperti yang
diungkapkan oleh informan BP:
Rumah udah sendiri…kagalah kaga kumuh, jalanannya kayak komplek bang
plesteran…kagalah (tidak padat pemukimanya) (Wawancara pribadi dengan
BP, Ciputat, 22 september 2014).
Kemudian juga dari observasi di lapangan menunjukan bahwa sebagian
informan ini memiliki tempat tinggal yang layak huni, seperti rumah yang sudah di
tembok, alas lantai yang sudah berkeramik, lingkungan yang layak karena akses
seperti jalanan yang sudah aspal dan plesteran, dekat dengan jalan raya sehingga
tidak terisolasi oleh lingkungan luar.
e. Kondisi Internal Keluarga Informan
Kemudian, selain melihat kemampuan informan dalam menjangkau akses-
akses kehidupan di atas peneliti juga melihat kondisi internal keluarga informan
dalam hal ini adalah keharmonisan keluarga yang meliputi ada tidaknya pernikahan
dini dan juga perceraian dalam keluarga. Berikut adalah tabel matrik kondisi
keluarga informan:
Tabel III.B.5 Matrik Kondisi Internal Keluarga Informan
Nama
Latar Belakang
Ekonomi
Keluarga
Kondisi Keluarga Informan
Adanya
perceraian
Adanya Pernikahan
Usia Dini
DR Tidak Mampu - -
BHR Tidak Mampu - √
AR Tidak Mampu √ -
RVL Tidak Mampu - -
DK Tidak Mampu - -
65
EG Tidak Mampu - -
FRK Tidak Mampu - -
MP Tidak Mampu √ -
AN Mampu - -
BP Mampu - √
Dari tabel di atas menunjukan bahwa sebagian besar informan yang berasal
dari keluarga yang tidak mampu mengatakan bahwa dalam keluarga mereka tidak
terdapat perceraian dan juga pernikahan di usia dini. Namun demikian, ada anggota
keluarga dari sebagian kecil informan yang berasal dari keluarga tidak mampu ini
melakukan pernikahan dini, yang dalam undang-undang perkawinan dijelaskan
bahwa masing-masing pihak harus mencapai umur minimum yang ditentukan oleh
undang-undang yaitu laki-laki berumur 18 tahun, perempuan berumur 15 tahun
(Tutik, 2006:118). Dan juga terdapat sebagian kecil keluarga informan yang di
dalamnya melakukan perceraian. Hal ini seperti yang diungkapkan BHR ―Ada sih
sodara, keponakan umur enam belas tahun, cewek‖(Wawancara dengan BHR,
Ciputat, 12 Agustus 2014). Dan informan MP yang mengungkapkan ―Ada, Abang
saya, cuma udah nikah lagi, cerai berantem mulu‖(Wawancara dengan MP, Ciputat,
8 September 2014).
Sementara itu ternyata ada juga informan yang berasal dari latar belakang
keluarga yang mampu atau tidak miskin, yang anggota keluarganya melakukan
pernikahan dini. Seperti yang diungkapkan informan BP ―Ada bang, Kaka saya,
66
kelas tiga SMA tujuh belas tahun‖(Wawancara dengan BP, Ciputat, 22 September
2014).
Namun demikian, mayoritas informan yang berasal baik dari latar belakang
keluarga yang tidak mampu dan yang mampu, berada dalam kondisi keluarga yang
harmonis karena tidak ditemukan adanya perceraian dan pernikahan di usia dini
dalam keluarga. Hal ini diungkapkan oleh informan AN:
Nikah di usia dini di keluarga kayanya gak ada, udah di atas usia dua lima
lah…bercerai gak ada, hampir mungkin gak ada (Wawancara dengan AN,
Ciputat, 8 September 2014).
Dan informan EG yang mengungkapkan ―Setau saya mah kaga ada bang di
keluarga yang nikah muda….cerei juga kaga ada bang”(Wawancara dengan EG,
Ciputat, 1 September 2014).
Dari hasil temuan dilapangan ini dapat disimpulkan bahwa pekerja ―pak ogah‖
anak ini tidak identik dengan latar belakang keluarga yang broken home. Hal ini
berbeda dengan temuan Rochatun (2012:29) yang mengungkapkan bahwa penyebab
anak bekerja salah satunya berasal dari hubungan orang tua yang tidak harmonis dan
adanya perpisahan atau perceraian dalam keluarga yang menyebabkan anak-anak
turun ke jalan.
Selain melihat kondisi internal keluarga informan dalam hal ini keharmonisan
keluarga, peneliti juga melihat kondisi internal keluarga berdasarkan perhatian dari
orang tua informan terhadap para informan yang bekerja ini. Kurangnya perhatian
orang tua terhadap para informan dalam hal ini pengawasan orang tua yang
67
ditunjukkan dengan keseharian informan ini lebih banyak di luar rumah atau lebih
banyak di rumah. Berikut adalah tabel matrik kurangnya pengasuhan orang tua
terhadap informan
Tabel III.B.6 Matrik Kurangnya Pengasuhan Orang tua terhadap
Informan
Nama Latar Belakang Ekonomi
Keluarga
Kurangnya Pengasuhan
Orang Tua
DR Tidak Mampu -
BHR Tidak Mampu √
AR Tidak Mampu √
RVL Tidak Mampu √
DK Tidak Mampu √
EG Tidak Mampu √
FRK Tidak Mampu -
MP Tidak Mampu √
AN Mampu √
BP Mampu √
Dari data di lapangan menunjukan bahwa sebagian besar informan yang
berasal dari keluarga yang tidak mampu dalam keseharianya mengatakan lebih
banyak berada di luar rumah, kebanyakan mereka berada di luar rumah untuk
bermain bersama teman-teman mereka. Hal ini seperti yang diungkapkan informan
EG:
Ya kebanyakan maen bang, biasanya maen PS kalo abis markirin gini. Jarang
di rumah, maen ama kerja kebanyakan…di rumah paling makan, tidur
doang‖(Wawancara dengan EG, Ciputat, 1 September 2014).
68
Sementara itu hanya terdapat sebagian kecil infroman yang berasal dari
keluarga tidak mampu yang masih cukup diperhatikan oleh orang tua mereka karena
mereka lebih banyak di rumah daripada di luar rumah. Hal ini seperti yang
diungkapkan informan DR:
Nggak ngapa-ngapain, di rumah aja…kebanyak di rumah aja, kalo keluar kerja
doang.…nggak nongkrong...‖(Wawancara dengan DR, Ciputat, 12 Agustus
2014).
Dan informan FRK yang mengungkapkan ―Kalo dibilang sih kebanyakan di
rumah…kalo makan sih kebanyakan di rumah‖(Wawancara dengan FRK, Ciputat, 8
September 2014). Hal ini menunjukan bahwa masih terdapat perhatian dan juga
pengasuhan dari keluarga terhadap keseharian sebagian kecil para informan, dan ini
juga menegaskan bahwa anak-anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini bukanlah
anak jalanan melainkan anak-anak yang hanya mencari uang di jalanan kemudian
setelah itu kembali ke rumah atau keluarga.
Selain itu, bagi para informan yang berasal dari keluarga yang mampu ternyata
dalam hal perhatian dari orang tua mereka kurang mendapatkannya. Hal ini terlihat
dari keseharian mereka yang lebih sering nongkrong bermain di luar rumah
dibandingkan berada di rumah. Seperti yang diungkapkan informan BP:
Lebih banyak di luar…abis balik sekolah nongkrong di Ciputat maen sampe
jam tujuh balik, pulang, markir lagi sampe jam sembilan‖(Wawancara dengan
informan BP, Ciputat, 22 September 2014).
Meskipun informan BP berasal dari latar belakang keluarga yang secara
ekomoni berada di atas garis kemiskinan, namun demikian karakteristik sub-budaya
69
kemiskinan juga dialami oleh informan dari segi kurangnya perhatian dari orang tua
terhadap informan.
Dari keseluruhan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa ternyata konsep
karakteristik sub budaya kemiskinan Oscar lewis cenderung sesuai dengan gambaran
kehidupan keseharian pekerja anak sebagai ―pak ogah‖. Hal ini dapat ditunjukan dari
terbatasnya akses para informan dalam hal konsumsi atau makan sehari-hari,
kesehatan, tempat tinggal karena pemukiman kumuh dan padat, adanya perasaan
tidak berharga dan tidak berdaya, dan kurangnya pengasuhan oleh orang tua. Hanya
sebagian kecil karakteristik sub-budaya kemiskinan yang kurang sesuai dengan
gambaran kehidupan keseharian para ―pak ogah‖ anak di Ciputat, seperti rendahnya
partisipasi ke dalam lembaga masyarakat, adanya pernikahan di usia dini dan
tingginya angka perceraian atau perpisahan dalam keluarga.
C. Faktor Penyebab Informan Bekerja Sebagai “Pak Ogah”
Dalam temuan di lapangan terdapat dua faktor penyebab para informan
bekerja, yaitu adanya faktor yang mendorong dan juga adanya daya tarik pekerjaan
―pak ogah‖ yang menyebabkan informan bekerja. Berikut adalah penjelasannya:
1) Faktor Pendorong
Para informan yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini didorong oleh beberapa
faktor yang pada intinya adalah karena keinginan mereka mencari uang sendiri dan
bukan dari paksaan dari orang tua. Hal ini Seperti yang diungkapkan informan AR:
70
Ya daripada diem di rumahlah bang, nggak ada penghasilan…enggak disuruh
sama orang tua, kita kemauan sendiri‖(Wawancara dengan AR, Ciputat, 1
September 2014).
Dorongan dari kemauan sendiri untuk mencari uang yang dilakukan informan
ini disebabkan oleh tiga alasan, sebagai berikut:
Tabel III.C.I. Faktor-Faktor yang Mendorong Anak Bekerja
Nama Latar Belakang
Ekonomi
Keluarga
Faktor-Faktor Yang Mendorong Anak Bekerja
Membantu
Ekonomi
Keluarga
Pemenuhan
Konsumsi
(jajan) Sendiri
Pemenuhan
Kebutuhan
Sekolah
DR Tidak Mampu √ √
BHR Tidak Mampu √ √
AR Tidak Mampu √ √
RVL Tidak Mampu √
DK Tidak Mampu √ √
EG Tidak Mampu √
FRK Tidak Mampu √ √
MP Tidak Mampu √
AN Mampu √ √
BP Mampu √ √
a. Membantu Ekonomi Keluarga
Dari hasil wawancara di lapangan, alasan sebagian besar para informan yang
berasal dari keluarga yang tidak mampu mengungkapkan bahwa mereka bekerja
sebagai ―pak ogah‖ untuk mencari uang karena alasan membantu ekonomi keluarga.
Bentuk-bentuk membantu ekonomi keluarga ini lebih kepada yang sifatnya primer
seperti membantu Ibu dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, membeli beras,
dan membeli makan, namun demikian ada juga yang sifatnya sekunder seperti
71
memberikan uang jajan untuk Adik. Hal ini seperti yang diungkapkan informan DR
―Buat bantu Ibu aja, kasian kadang-kadang nggak punya duit buat makan, buat jajan-
jajan Ade‖(Wawancara dengan informan DR, Ciputat, 12 Agustus 2014). Tidak jauh
berbeda seperti apa yang disampaikan informan DK:
Pengen ngebantu orang tua aja bang, daripada saya diem di rumah, kan
lumayan juga duitnya bang…buat bantu-bantu orang tua…‖(Wawancara
dengan informan DK, Ciputat, 1 September 2014).
Besarnya kasih sayang seseorang terhadap keluarga terkadang membuat
mereka melakukan suatu pengorbanan, hal ini sering kali didasari oleh pengalaman
hidup melihat orang yang dikasihi menanggung beban penderitaan yang berat,
keadaan ini juga dialami oleh sebagian informan yang melakukan pengorbanan
kepada keluarga terutama Ibunya untuk mencari uang dengan bekerja sebagai ―pak
ogah‖ dalam usia dini agar dapat membantu mengurangi beban hidup keluarga. Hal
ini juga sesuai dengan teori sub-budaya kemiskinan yang menjelaskan bahwa
kebudayaan kemiskinan dapat dipelajari dari berbagai segi aspek kehidupan yang
salah satunya adalah tingginya rasa tingkat kesengsaraan, karena beratnya
penderitaan Ibu (Suparlan, 1993:11).
Besarnya penderitaan yang dialami sebagian para Ibu informan ini disebabkan
oleh berbagai hal, seperti meninggalnya tulang punggung keluarga (Bapak) dan
ketidakmampuan Bapak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Seperti yang
diungkapkan informan BHR ―Ya niatnya sih buat bantuin orang tua…iya lagi Bapak
meninggal kita kerja di sini, iya mau nggak mau‖(Wawancara dengan BHR, Ciputat,
72
12 Agustus 2014). Tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan informan RVL ―Iya
ngeliat Ibu sendirian kasian nyari duit dewek, iya terdorong buat kerja
jadinya‖(Wawancara dengan informan RVL, Ciputat, 1 September 2014). Para
informan yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ dengan alasan membantu ekonomi
keluarga ini juga sesuai dengan studi yang dilakukan Effendi (1992) dalam Suyanto
(2013) yang mengungkapkan:
Dalam masyarakat yang mengalami transisi pada golongan miskin di kota,
mereka akan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia bila kondisi
ekonomi mengalami perubahan atau memburuk. Salah satu upaya yang acap
kali dilakukan untuk beradaptasi dengan perubahan adalah memanfaatkan
tenaga kerja keluarga. Kalau tenaga kerja wanita—terutama ibu rumah
tangga—belum dapat memecahkan masalah yang dihadapi, biasanya anak-anak
yang belum dewasa pun diikutsertakan dalam menompang kegiatan ekonomi
keluarga. Pekerjaan yang ditekuni anak-anak ini tidak terbatas pada pekerjaan
rumah tangga, tetapi juga pekerjaan upahan dalam lingkungan sekitar tempat
tinggal (126-127).
b. Pemenuhan Konsumsi (Jajan) Sendiri
Dari hasil temuan di lapangan, alasan pemenuhan kebutuhan konsumsi sendiri
(jajan) menjadi salah satu alasan informan untuk bekerja mencari uang. Pemenuhan
kebutuhan konsumsi ini lebih kepada yang sifatnya sekunder, seperti jajan, bermain
di Warnet, Playstation, membeli baju, membeli handphone dan lain sebagainya. Dari
hasil wawancara dan pengamatan menunjukan bahwa sebagian informan biasanya
menggunakan pendapatanya untuk membeli rokok, tentu ini bukanlah hal yang baik
untuk kesehatan anak-anak.
Alasan untuk pemenuhan konsumsi sendiri bukan hanya menjadi alasan para
informan yang berlatarbelakang dari keluarga ekonomi mampu saja yang secara
73
kebutuhan pokoknya tercukupi, tetapi ada juga sebagian para informan yang berasal
dari keluarga yang tidak mampu mengungkapkan bahwa mereka bekerja mencari
uang selain untuk membantu kebutuhan keluarga juga digunakan untuk kebutuhan
konsumsi jajan mereka sendiri. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh informan
FRK:
Ya biar dapet uang jajan tambahan aja sama buat ngasih orang tua…ya kalo
lebih bisa buat tambahan orang tua, ya kalo kurang ya buat sendiri…buat jajan-
jajan biasa aja…iya, buat ngerokok. Nggak ada sebungkus sehari, paling
maksimal dua batang tiga batang(Wawancara dengan FRK, Ciputat, 8
September 2014).
Alasan para informan ini kurang sesuai dengan asumsi awal peneliti yang
menganggap pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ ini merupakan pekerjaan yang digeluti
oleh sebagian masyarakat yang tujuannya untuk mencari uang hanya sebatas untuk
bertahan hidup, namun ternyata fakta di lapangan menunjukan bahwa terdapat
informan baik dari sebagian informan yang berasal dari keluarga yang tidak mampu
dan seluruh informan yang berasal dari keluarga yang mampu, mereka bekerja
dengan alasan mencari uang yang tujuanya untuk pemenuhan kebutuhan konsumtif
yang sifatnya sekunder saja. Seperti yang diungkapkan oleh AN:
Alesanya, kemaun sendiri aja, biar mandiri juga. Lumayan juga kan duitnya
buat jajan sehari-hari…ya buat makan, buat sekolah, buat acara-acara
kebutuhan lainnyalah…mabok mah enggak, beli rokok doang paling, karena
Bapak saya ngerokok saya jadi pengen, rokok minum makan buat ini-ini aja
kalo markir mah...ditabung juga, misalkan nih lagi nabung pengen beli HP,
pengen beli HP baru iya dari hasil ini(Wawancara pribadi dengan AN, Ciputat,
8 September 2014).
74
c. Pemenuhan Kebutuhan Sekolah
Pemenuhan kebutuhan sekolah menjadi alasan para informan yang masih
bersekolah baik yang berasal dari keluarga yang mampu maupun yang tidak mampu
untuk bekerja sebagai ―pak ogah‖. Bagi informan yang masih bersekolah dan berasal
dari latar belakang tidak mampu bekerja sebagai ―pak ogah‖ merupakan salah satu
cara mereka untuk tetap melanjutkan pendidikannya dan juga cara mereka untuk
membantu orang tua meringankan beban biaya sekolah. Bagi sebagian kecil
informan yang berasal dari keluarga yang tidak mampu mereka bekerja dengan
alasan untuk pemenuhan kebutuhan sekolah ini karena disebabkan oleh keterbatasan
orang tua untuk mendanai pendidikan yang terbaik bagi anaknya. Seperti yang
diungkapkan informan MP ―Kemauan sendiri aja, ya supaya nambah-nambahin duit
sekolah…kadang-kadang nggak cukup (penghasilan orang tua untuk biaya
sekolah)‖(Wawancara dengan MP, Ciputat, 8 September 2014).
Meskipun para informan ini bekerja bukan berdasarkan keterpaksaan tetapi
karena keinginan mereka sendiri, pada kenyataanya mereka juga harus menghadapi
beban ganda antara bersekolah dan bekerja. Hal ini sesuai seperti yang dijelaskan
dalam studi Suyanto:
Bagi anak-anak, sekolah dan bekerja adalah beban ganda yang sering kali
dinilai terlalu berat, sehingga setelah ditambah tekanan ekonomi dan faktor lain
yang sifatnya struktural, tak pelak mereka terpaksa memilih putus sekolah di
tengah (2010: 355).
Para informan ini harus mengatur waktu antara bersekolah dan bekerja, serta
bekerjanya mereka juga berdampak terhadap keseriusan mereka dalam menempuh
75
pendidikan. Hal ini diungkapkan oleh informan AN ―Keganggu sih iya keganggu…
waktu belajar berkurang, iya ngantuk di sekolah, kadang agak capek juga dirumah
gitu, iya disekolah juga‖(Wawancara dengan informan AN, Ciputat, 8 September
2014). Dan tidak jauh berbeda seperti yang diungkapkan informan MP
―Keganggu…tidur di kelas gara-gara cape markirin‖(Wawancara dengan informan
MP, Ciputat, 8 September 2014).
2) Daya tarik pekerjaan ―Pak Ogah‖
Dalam temuan di lapangan menunjukan bahwa selain adanya faktor yang
mendorong bekerja, peneliti juga menemukan bahwa adanya daya tarik yang
mempengaruhi para informan ini untuk bekerja sebagai ―pak ogah‖ dan juga tetap
mempertahankan pekerja ini sebagai pekerjaan keseharian mereka. Daya tarik yang
dimaksud peneliti adalah kemampuan pekerjaan ―pak ogah‖ yang membuat para
informan ini tertarik untuk menggelutinya. Adapun daya tarik dari pekerjaan ini
antara lain:
a. Kenyamanan Bekerja
Faktor awal yang menarik informan untuk bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini
adalah berasal dari lingkungan pertemanan atau lingkungan sosial sekitar mereka,
semua informan mengatakan bahwa pada awalnya mereka terjun menjadi ―pak ogah‖
karena mereka melihat dan kemudian mengikuti ataupun diajak teman-teman
sebayanya di lingkungan mereka yang sudah lebih dahulu bekerja sebagai ―pak
ogah‖. Hal ini seperti yang disampaikan informan DK ―Diajakin temen bang, diajak
76
ke sini. Ngeliatin dulu dari temen-temen bang belajarnya‖(Wawancara dengan DK,
Ciputat, 1 September 2014). Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa
proses belajar sosial juga dialami sebagaian besar para informan yang mempelajari
pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ dari teman pergaulan di lingkungan mereka, karena di
usia para informan ini dalam kesehariannya lebih banyak berinteraksi dengan teman
sebayanya, sehingga teman-teman para informan yang sudah bekerja lebih dulu akan
menjadi contoh bagi para informan untuk mengeluti pekerjaan ini. Kemudian juga
terdapatnya sebagaian kecil dari anggota keluarga informan yang ternyata juga
bekerja sebagai ―pak ogah‖, hal ini juga menjadi salah satu pembelajaran para
informan untuk mengenal dan belajar mencoba bekerja sebagai ―pak ogah‖. Hal ini
juga sesuai dengan teori belajar sosial yang menjelaskan bahwa perilaku manusia
dapat diperoleh melalui pembelajaran melalui observasi, elemen inti dari observasi
adalah modeling (Feist, 2010: 203-206).
Faktor lingkungan sosial yang mempengaruhi para informan bekerja ini juga
sesuai dengan temuan peneliti sebelumnya yang dilakukan Rochatun (2012:29) yang
mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi anak bekerja salah satunya
adalah pengaruh lingkungan tempat tinggal dan teman sebaya yang menyebabkan
anak bekerja.
Adanya teman sepermainan dan juga anggota keluarga yang juga bekerja inilah
yang membuat mereka nyaman pada saat bekerja karena suasana lingkungan
pekerjaan yang merupakan teman-teman di lingkungan sosial mereka yang sekaligus
77
teman bermain mereka dalam sehari-hari. Mayoritas informan juga mengungkapkan
bahwa kenyamanan pada saat bekerja adalah faktor yang membuat mereka memilih
pekerjaan ini dan tetap bertahan sebagai ―pak ogah‖. Seperti yang disampaikan
informan AR:
Enak bang, kerjanya sambil nongkrong, ngumpul-ngumpul. Ya enaknya
nongkrong sama ngumpul sama temen-temen aja bang”(Wawancara dengan
AR, Ciputat, 1 September 2014).
Bagi para informan yang masih bersekolah mereka lebih menyukai dan lebih
dekat dengan teman-teman yang juga bekerja sebagai ―pak ogah‖ dibandingkan
dengan teman-teman sekolah, mereka biasanya lebih banyak menghabiskan waktu
bermain dengan teman lingkungan pekerjaannya ini dibanding dengan teman
sekolah. Begitupun dengan para informan yang sudah tidak bersekolah semua
informan mengatakan bahwa mereka dalam kesehariaannya hanya bermain dengan
teman-teman sebaya yang juga menggeluti pekerjaan ini saja.
Selain karena faktor teman di lingkungan pekerjaan, faktor lainnya yang
membuat mereka nyaman dengan pekerjaan ini adalah karena waktu dari pekerjaan
ini tidak ada yang mengaturnya, sehingga mereka bekerja hanya berdasarkan
kemauan dan kebutuhan diri mereka saja, alasan inilah yang juga membuat mereka
tetap bertahan menggeluti ini. Hal ini disampaikan oleh informan DR ―Ya nyaman
aja, nggak ada yang ngatur, banyak temen-temen‖(Wawancara dengan DR, Ciputat,
12 Agustus 2014). Dan tidak jauh berbeda yang diungkapkan informan EG ―…enak
78
kerjanya nyantai, semau kita aja, mau dateng ya dateng, mau kaga ya
kaga‖(Wawancara dengan EG, 1 September 2014).
b. Adanya Penghasilan Rutin dan Mencukupi
Pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ yang dianggap sebagian orang merupakan
pekerjaan yang digeluti oleh masyarakat yang kurang mampu bersaing dalam
pekerjaan formal dan hanya menghasilkan pendapatan yang hanya cukup untuk
mempertahankan hidup, nyatanya di lapangan menunjukan bahwa mayoritas
informan mengatakan mereka tertarik bekerja dan tetap bertahan bekerja sebagai
―pak ogah‖ ini adalah karena faktor pendapatan yang diperoleh cukup untuk
pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan bersifat rutin. Hal ini diungkapkan informan
AN:
Awalnya di sini pertama ngeliat kaka, Abang-abangan, ngeliat ini markinin
kayaknya enak, pengen nyoba sekali maksain modal nekat turun, ahkirnya bisa
yaudah kalo bisa terusin aja…ya enak juga, enaknya dapet duit, duit harian jadi
nambah gitu uang jajan nambah, jadi uang ada buat nabung ada buat
jajan(Wawancara dengan informan AN, Ciputat, 8 September 2014).
Mereka yang awalnya melihat teman-teman mereka dan mengetahui
pendapatan yang didapat cukup besar menyebabkan mereka tertarik bekerja sebagai
―pak ogah‖ ini. Dengan pendapatan yang dapat dikatakan cukup besar bagi anak-
anak dan sifatnya rutin (Lihat Tabel III.A.6) membuat mereka tertarik untuk
mencoba dan menggeluti pekerjaan ini.
79
c. Tidak Membutuhkan Keahlian dan Modal Besar untuk Bekerja
Pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ bukanlah pekerjaan yang membutuhkan modal
besar, mereka yang bekerja tidak memerlukan ijazah, keuangan yang cukup dan
memiliki keahlian apapun seperti pada saat masuk ke dalam pekerjaan sektor formal
pada umumnya. Pekerjaan ini adalah pekerjaan informal yang siapa saja bisa masuk
kedalamnya dengan modal kepercayaan diri dan berani mereka bisa menggeluti
pekerjaan ini. Mayoritas informan mengatakan bahwa yang membuat mereka tertarik
untuk bekerja sebagai ―pak ogah‖ ini adalah karena pekerjaan ini tidak memerlukan
modal dan keahlian. Hal ini disampaikan oleh informan EG ―Kaga punya bang
(keahlian mengatur lalu lintas), modalnya mah percaya diri bae, kaga pake alat-alat,
cuma pake priwitan, itu juga kadang-kadang kaga dibawa‖(Wawancara dengan EG,
Ciputat, 1 September 2014).
Selain itu, keterbatasan modal seperti pendidikan yang rendah dan keahlian
yang dimiliki informan terbatas, mengakibatkan pilihan jenis pekerjaan mereka
terbatas sehingga mereka masih tetap menggeluti pekerjaan ini. Para informan
mengatakan bahwa keterbatasan untuk bekerja di tempat lain, utamanya pekerjaan
formal mengakibatkan mereka masih tetap menggeluti pekerjaan tersebut, hal ini
karena mereka yang usianya masih di bawah delapan belas tahun tentunya sulit
mendapatkan pekerjaan formal dan terlebih lagi mereka yang hanya mengenyam
pendidikan SD ataupun SMP. Hal ini diungkapkan oleh informan FRK ―Ya kalo
misalkan ada kerjaan yang ijazahnya misalkan lulusan SD, SMP ya mau
80
aja‖(Wawancara pribadi dengan FRK, Ciputat, 8 september 2014). Keterbatasan-
keterbatasan yang dialami oleh informan ini sesuai dengan penjelasan Nurhayati
bahwa:
Bagi mereka yang tidak mempunyai keahlian dan hanya memiliki sedikit
modal memilih sektor informal sebagai alternative pekerjaan yang dijalaninya.
Meskipun sektor informal sering dinilai sebagai pengambat dan harus
ditertibkan, tapi beberapa riset menunjukan bahwa sektor ini menjadi pilihan
bagi masyarakat miskin kota atau masyarakat migrant yang memiliki
keterampilan dan modal rendah (2013:99)
Penjelasan di atas juga menegaskan temuan di lapangan bahwa para ―pak
ogah‖ anak ini mayoritas berasal dari latar belakang keluarga yang tidak mampu atau
berada di garis kemiskinan. Selanjutnya, menurut Effendi (1995:34) Meskipun di
satu sisi pekerjaan informal ini dapat mengurangi angka pengangguran, namun di sisi
lain mereka yang bekerja di sektor informal juga dapat terbelenggu kemiskinan. Hal
ini juga dapat dialami oleh para informan yang bekerja sebagai ―pak ogah‖, ini
disebabkan karena di usia mereka yang masih anak-anak kebanyakan mereka
memilih untuk bekerja dan meninggalkan pendidikan mereka, sehingga hal ini
menjadi salah satu yang menyebabkan mereka tetap berada dalam garis kemiskinan,
karena disebabkan rendahnya tingkat pendidikan mereka.
81
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
Gambaran ―pak ogah‖ anak di Ciputat memiliki beberapa karakteristik, antara
lain adalah semua merupakan anak laki-laki berusia antara 13 sampai 17 tahun yang
berasal dari suku Betawi dan Jawa dan beragama Islam. Kebanyakan informan sudah
putus sekolah di jenjang SMP, namun demikian terdapat sebagian atau minoritas
informan yang masih bersekolah pada jejang SD, SMP dan SMA. Para informan
sudah bekerja antara satu sampai empat tahun, pada umumnya mereka bekerja satu
sampai dua jam dalam sehari dan tiga sampai empat hari dalam seminggu.
Penghasilan para informan ini beragam antara 5000 sampai 80.000 dalam sehari.
Pekerjaan yang dilakukan para informan sebagai ―pak ogah‖ merupakan pekerjaan
berbahaya bagi anak, karena dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan, serta
berdampak pada keseriusan mereka dalam menempuh pendidikan.
Dari segi latar belakang keluarga, mayoritas informan berasal dari latar
belakang keluarga miskin atau tidak mampu yang dalam kehidupan kesehariannya
cenderung memiliki beberapa karakteristik yang sesuai dengan teori sub-budaya
kemiskinan, seperti terbatasnya akses terhadap pendidikan, terbatasnya konsumsi
atau makan sehari-hari, terbatasnya akses terhadap kesehatan, terbatasnya tempat
tinggal karena pemukiman kumuh dan padat, kurangnya pengasuhan oleh orang tua,
82
adanya perasaan tidak berharga, tidak berdaya, serta tingginya (rasa) tingkat
kesengsaraan karena beratnya penderitaan Ibu. Hanya sebagian kecil karakteristik
sub-budaya kemiskinan yang kurang sesuai dengan gambaran kehidupan keseharian
para informan ini, seperti rendahnya partisipasi ke dalam lembaga masyarakat,
adanya pernikahan di usia dini dan tingginya angka perceraian atau perpisahan dalam
keluarga.
Faktor pendorong yang menyebabkan para informan bekerja adalah berasal
dari kemauan diri mereka sendiri untuk mencari uang. Faktor mencari uang ini
disebabkan oleh tiga alasan: Pertama, karena untuk membantu pemenuhan kebutuhan
keluarga, alasan ini menjadi alasan mayoritas informan yang berasal dari latar
belakang keluarga tidak mampu, bentuk-bentuk membantu pemenuhan kebutuhan
keluarga lebih kepada yang sifatnya primer seperti untuk makan sehari-hari. Kedua,
karena untuk pemenuhan konsumsi (jajan) sendiri, alasan ini menjadi alasan bagi
para informan yang berasal dari latar belakang keluarga mampu dan juga sebagian
informan yang berasal dari latar belakang keluarga tidak mampu, kebutuhan
konsumsi jajan sendiri ini lebih kepada yang sifatnya sekunder seperti untuk jajan
membeli rokok, bermain di warnet, dan membeli hadnpohe. Ketiga, untuk
pemenuhan kebutuhan sekolah, alasan ini menjadi salah satu alasan baik informan
yang berasal dari latar belakang keluarga mampu maupun tidak mampu yang masih
bersekolah. Bagi sebagian kecil informan yang berasal dari keluarga tidak mampu
dan masih bersekolah, bekerja mencari uang adalah cara mereka untuk tetap
83
bersekolah dan membantu orang tua meringankan beban biaya sekolah. Pemenuhan
kebutuhan sekolah ini antara lain untuk membeli buku dan bayaran sekolah.
Faktor yang menjadi daya tarik pekerjaan ―pak ogah‖ yang menyebabkan
informan bekerja. Pertama, kenyamanan bekerja, hal ini disebabkan karena
lingkungan pekerjaan yang merupakan teman-teman sebayanya dan juga adanya
beberapa anggota keluarga informan yang juga bekerja. Para informan
mengungkapkan bahwa mereka bekerja sebagai ―pak ogah‖ karena pada awalnya
mereka melihat dan kemudian diajak ataupun ikut teman-teman sebayanya yang
sudah terlebih dahulu menggeluti pekerjaan ini. Dalam hal ini teori belajar sosial
menjelaskan bahwa perilaku manusia dapat diperoleh melalui pembelajaran melalui
observasi, elemen inti dari observasi adalah modeling, dalam hal ini teman sebaya
berpengaruh besar dan menjadi contoh bagi para informan untuk terjun mengeluti
pekerjaan ini. Kemudian kenyamanan lainnya karena waktu bekerjanya tidak ada
yang mengatur dan atas dasar kemauan dan kebutuhan mereka sendiri. Kedua,
adanya penghasilan rutin dan mencukupi untuk kebutuhan mereka sehari-hari.
Ketiga, tidak membutuhkan keahlian dan juga modal besar, para informan hanya
membutuhkan rasa percaya diri dan keberanian dalam menjalankan pekerjaan ini.
84
B. Rekomendasi
1. Bagi peneliti selanjutnya, disarankan untuk menggali lebih dalam dan
memfokuskan pada aspek yang berbeda dari penelitian ini, seperti dari
aspek hukum terkait fenomena pekerja anak sebagai ―pak ogah‖ ini.
2. Bagi orang tua, hendaknya lebih memperhatikan dan melindungi hak-hak
anak yang meliputi aspek pendidikan, bermain serta beristirahat bukan
memperbolehkan anak bekerja pada sektor berbahaya di usia dini.
3. Bagi Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan, seharusnya dapat membuat
kebijakan dan juga mengontrol ataupun mengawasi penerapan peraturan
yang sudah ada terkait pekerja anak, sehingga dapat menjamin hak-hak anak
baik dari segi sosial maupun pendidikan.
vi
DAFTAR PUSTAKA
Azis, Abdul. 2002. Islam dan Masyarakat Betawi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Badan Pusat Statistik. 2008. Data Strategis Badan Pusat Statistik. Jakarta-Indonesia:
Badan Pusat Statistik.
Creswell, John W. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitaif dan
Mixed. Terjemahan Achmad Fawaid. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Effendi, Tadjuddin Noer. 1995. Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan
Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Emzir. Metodelogi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. 2011. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Faisal, Sanapiah. 2007. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Feits, Jess. Dan Gregory J. Feits. 2010. Teori Kepribadian Theories of Personality.
Terjemahan Shelvy Dwi Cahya. Jakarta: Salemba Humanika.
Halim, Deddy Kurniawan. 2008. Psikologi Lingkungan Perkotaan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Lendriyono, Fauzik. 2000. ―Pekerja Anak Perempuan dan Pelecahan Seksual: Studi
Kasus Tentang Pelecehan Seksual Terhadap Anak-Anak yang Bekerja Sebagai
Pelayan Minuman di Taman Piaduk Jatinegara, Jakarta Timur.‖ Depok: Tesis
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Pascasarjana Univeristas
Indonesia.
Montero, Darrel. 1986. Social Problem. New York: Macmillan Publishing Company.
Nurhayati, Cucu. 2013. Sosiologi Perkotaan. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Silalahi, Karlinawati. 2010. Keluarga Indonesia: Aspek dan Dinamika Zaman.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Siswoyo, Murkanto. 1998. ―Ekspolitasi Terhadap Pekerja Anak Pada Industri Kecil:
Studi Kasus Pada Perusahaan Genteng di Desa Budur, Kecamatan Ciwaringin,
Kabupaten Cirebon.‖ Depok: Tesis Pascasarjana Bidang Ilmu Sosial, Progam
Studi Sosiologi Universitas Indonesia.
vii
Soehartono, Irawan. 2011. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial lainya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Soestrisno. 2001. Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Pembebasan. Yogyakarta:
Philosophy Press.
Suparlan, Pasurdi. 1993. Kemiskinan Di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Suyanto, Bagong. 2013. Masalah Sosial Anak. Edisi Revisi. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
------. 2010. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
------. 2007. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Suyono. dan Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran Teori Dan Konsep Dasar.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Todaro, P. Michael dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi Edisi
Kesembilan. Indonesia: Erlangga.
Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Hukum perdata di Indonesia. Jakarta:
Prestasi Pustaka.
Pemerintahan Kota Tangerang Selatan. 2014. Laporan Kependudukan Bulan Mei
2014 Kota Tangerang Selatan: Pemerintahan Kota Tangerang Selatan.
Sumber dari Internet:
Azmi, Zul Ghozi. 2013. “Relasi Mutualisme ―Pak Ogah‖ dengan Polisi dalam
Menjaga Keamanan Jalan Mayor Suryotomo, Kota Yogyakarta.‖ Diunduh 28
Februari 2014 (http://jakarta.kompasiana.com/layanan-
publik/2013/04/08/relasi-mutualisme-pak-ogah-dengan-polisi-dalam-menjaga-
keamanan-jalan-mayor-suryotomo-kota-yogyakarta-548977.html).
Badan Pusat Statistik Tangerang Selatan. 2013.“Tangerang Selatan Dalam Angka.‖
Tangerang Selatan: Badan Pusat Statistik Tangerang Selatan. Diunduh 9
Juli 2014.
(http://bappeda.bantenprov.go.id/upload/DALAM%20ANGKA%20KAB-
KOTA/KOTA%20TANGERANG%20SELATAN%20DALAM%20ANGKA
%202013.pdf).
viii
Badan Pusat Statistik dan Organisasi Perburuhan Internasional. 2009. ―Pekerja Anak
Di Indonesia 2009.‖ Jakarta: Badan Pusat Statistik dan Organisasi Perburuhan
Internasional. Diunduh 18 februari 2014
(http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-
jakarta/documents/publication/wcms_123584.pdf).
Endarwati, Netty. 2012. ―Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Di Sektor
Informal.‖ Jurnal Dinamika Hukum. Vol 12 No. 2 Mei 2012. Universitas Islam
Kediri. Diunduh 18 Maret 2014
(http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDH2012/JDHMei201
2/7.pdf).
International Labour Organization. 2010 ―ILO– BPS Keluarkan Data Nasional
Mengenai Pekerja Anak di Indonesia.‖ Jakarta: International Labour
Organization. Diunduh 18 Februari 2014
(http://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/WCMS_122351/lang--en/index.htm).
------. 2009. ―Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dan Pekerja Anak.‖ Jakarta:
International Labour Organization. Diunduh 18 februari 2014
(http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilo-
jakarta/documents/publication/wcms_144313.pdf).
------. 2008. ―Lembar Fakta tentang Pekerja Anak Perempuan.‖ Jakarta: International
Labour Organization. Diunduh 18 Februari 2014
(http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-
jakarta/documents/publication/wcms_160832.pdf).
------. 2008. ―Panduan Tentang Pelaksanaan Pemantauan dan Pelaporan Penerima
Manfaat Langsung.‖ Jakarta: International Labour Organization. Diunduh 18
Februari 2014 (http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-
bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_124008.pdf Wcms_
124008).
Pemerintahan Daerah Tangerang Selatan. 2014―Kabupaten Kota Tangerang
Selatan.‖. Tangerang Selatan: Pemerintahan Daerah Tangerang Selatan.
Diunduh 11 Juli 2014(http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-
daerah/kabupaten/id/36/name/banten/detail/3674/kota-tangerang-selatan).
Rochatun, Isti, Suprayogi, dan Hamonangan Sigalingging. 2012. ―Eksploitasi Anak
Jalanan Sebagai Pengemis di Kawasan Simpang Lima Semarang.‖ Unnes Civic
Education Journal 1, 2012. Diunduh 28 Februari 2014
(http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ucej/article/view/226/256).
ix
Sardjunani, Nina. Subhandi, Ani Pudyastuti, dan Aini Harisani. 2010. ―Evaluasi
Pelayanan Keluarga Berencana Bagi Masyarakat Miskin (Keluarga
PraSejahtera/KPS dan Keluarga Sejahtera-I/KS-I.‖ Jakarta: Kementrian
Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak, Bappenas. Diunduh
23 Desember 2014
(http://www.bappenas.go.id/files/3513/4986/1937/laporan-akhir-evaluasi-28-
jan-1__20110512124617__1.pdf).
Subhan. 2009. ―Hak Anak dalam Islam.‖ Al-Arham Edisi 16. Diunduh Pada Tanggal
10 Desember 2014
(http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=4
25:hak-anak-dalam-islam--al-arham-edisi-16-a&catid=19:al-
arham&Itemid=328).
Tjahjanto, Eka. 2008. ―Implementasi Peraturan Perundang-udangan Ketenagakerjaan
Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak.‖
Tesis Univeristas Dipenogoro Semarang. Diunduh 28 Februari 2014
(http://eprints.undip.ac.id/17312/1/EKA_TJAHJANTO.pdf).
Warsini, Sudarsono, dan Yuli Adiratna. 2005. ―Modul Penanganan Pekerja Anak.‖
Jakarta: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Diunduh 18 Februari
2014 (http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilo-
jakarta/documents/publication/wcms_120565.pdf).
Wulan, Nawang Sri Dewi. 2007. ―Hubungan antara peranan Kelompok Teman
Sebaya (Peer Group) dan Interaksi Siswa Dalam Keluarga Dengan
Kedisiplinan Belajar Kelas XI MAN 1 Sragen.‖ Diunduh 30 Maret 2014
(http://eprints.uns.ac.id/8312/1/68492206200904181.pdf).
Sumber dari Wawancara:
Wawancara Pribadi dengan Informan AN, Ciputat, 8 September 2014.
Wawancara Pribadi dengan Informan AR, Ciputat, 1 September 2014.
Wawancara Pribadi dengan Informan BHR, Ciputat, 12 Agustus 2014.
Wawancara Pribadi dengan Informan BP, Ciputat, 22 September 2014.
Wawancara Pribadi dengan Informan DK, Ciputat, 1 September 2014.
Wawancara Pribadi dengan Informan DR, Ciputat, 12 Agustus 2014.
Wawancara Pribadi dengan Informan EG, Ciputat, 1 September 2014.
x
Wawancara Pribadi dengan Informan FRK, Ciputat, 8 September 2014.
Wawancara Pribadi dengan Informan MP, Ciputat, 8 September 2014.
Wawancara Pribadi dengan Informan RVL, Ciputat, 1 September 2014.
Wawancara Pribadi dengan Pegawai Kecamatan Bagian Kesejahteraan Sosial,
Ciputat, 30 Juni 2014.
Pedoman Wawancara
I. Identitas Responden
1. Nama :
2. Jenis Kelamin :
3. Usia :
4. Agama :
5. Suku :
6. Anak ke :
7. Jumlah Anggota Keluarga :
8. Pendidikan Ayah :
9. Pendidikan Ibu :
10. Pekerjaan dan Penghasilan Ayah :
11. Pekerjaan dan Penghasilan Ibu :
12. Alamat :
13. No Telpon/ HP :
II. Pertanyaan-Pertanyaan Penelitian
1. Apakah anda masih bersekolah?
2. Sudah berapa lama anda bekerja sebagai ―pak ogah‖?
3. Apa alasan yang mendorong anda bekerja sebagai ―pak ogah‖?
4. Apakah orang tua anda tahu jika anda bekerja sebagai ―pak ogah‖, bagaimana
tanggapan orang tua anda?
5. Bagaimana awalnya bisa bekerja sebagai pak ogah, belajar dari siapa?
6. Apakah banyak anak-anak yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ di lingkungan
tempat tinggal anda?
7. Selain anda, apakah ada anggota keluarga yang bekerja sebagai ―pak ogah‖?
8. Mengapa memilih bekerja sebagai ―pak ogah‖, bagaimana rasanya bekerja
sebagai ―pak ogah‖?
9. Apakah pekerjaan sebagai ―pak ogah‖ ini pekerjaan tetap atau ada pekerjaan
lain juga?
10. Apakah anda pernah bekerja di tempat lain selain menjadi ―pak ogah‖?
11. Apakah anda punya keahlian khusus untuk mengatur lalu lintas, apa saja
modal yang dibutuhkan untuk bekerja sebagai ―pak ogah‖?
12. Dalam seminggu berapa hari bekerjanya?
13. Dalam sehari berapa jam bekerjanya?
14. Berapa pendapatan dalam sehari bekerja?
15. Pendapatan yang diperoleh digunakan untuk apa?
16. Apakah anda menyetor pendapatan anda ke orang lain?
17. Di sini yang bekerja anak-anaknya banyak, bagaimana jadwal pergantian
kerjanya?
18. Apakah anda bekerjanya pindah-pindah lokasi?
19. Biasanya bekerjanya pagi, siang, sore, atau malem?
20. Apa saja resiko yang dihadapi bekerja sebagai ―pak ogah‖?
21. Apakah penghasilan orang tua anda cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari seperti untuk makan, pendidikan, dan kesehatan?
22. Apakah anda pernah mendapat bantuan seperti bantuan ekonomi, pendidikan
dan kesehatan dari pemerintahan setempat seperti RT, RW atau Kelurahan?
23. Apakah di lingkungan tempat tinggal anda terdapat fasilitas umum seperti
sarana pendidikan dan kesehatan?
24. Apakah anda mengikuti atau berpartisipasi ketika di lingkungan tempat
tinggal anda mengadakan acara seperti pengajian, tujuh-belas agustusan dan
sebagainya?
25. Bagaimana kondisi rumah dan lingkungan sekitar rumah anda apakah kumuh
dan padat penduduknya?
26. Dalam keluarga siapa yang berperan menafkahi keluarga dan yang mengatur
keuangan rumah tangga?
27. Dalam keluarga anda apakah ada yang menikah di usia dini, bercerai atau
berpisah, dan kurangnya pengasuhan dari orang tua?
28. Kegiatan apa yang biasanya dilakukan ketika habis bekerja sebagai ―pak
ogah‖, apakah anda lebih banyak di rumah atau di luar rumah?
29. Apakah anda pernah mengalami atau merasakan hal-hal yang tidak
menyenangkan dalam kehidupan anda pada saat bekerja ataupun di rumah
dan di lingkungan sosial anda sehingga anda merasakan menjadi tidak
berdaya atau tidak berguna, pasrah, dan rendah diri?
30. Dalam pergaulan sehari-hari, apakah anda bergaul dengan teman yang sama
dengan anda yang bekerja sebagai ―pak ogah‖ atau bergaul dengan siapa saja
termasuk dengan orang yang memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih
tinggi dari pada anda?
Foto Dokumentasi
1. Dokumentasi kegiatan informan yang sedang bekerja mengatur kendaraan di
pertigaan antara jalan Cendrawasih Raya dan pintu masuk tol BSD pada siang
hari.
2. Dokumentasi kegiatan informan yang sedang bekerja mengatur kendaraan di
pertigaan antara jalan Merpati Raya dan Arya Putra pada sore dan malam
hari.
Foto Dokumentasi
3. Dokumentasi pada saat wawancara dengan para informan di pertigaan jalan
Cendrawasih Raya dan di pertigaan jalan Merpati Raya.
4. Dokumentasi kegiatan para informan dan teman-teman informan yang sedang
menunggu bergantian bekerja dan dokumentasi pada saat melakukan
observasi di rumah salah satu informan.