MEKANISME PENGAWASAN KOMISI PENGAWAS HAJI INDONESIA (KPHI)
PADA PENYELENGGARAAN HAJI DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi
Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
PIPIT DEVIYANTI 1111053100011
JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH
KONSENTRASI MANAJEMEN HAJI DAN UMROH
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2015 M
i
ABSTRAK
Pipit Deviyanti (1111053100011) Mekanisme Pengawasan Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) pada Penyelenggaraan Haji di Indonesia
Pengawasan merupakan proses untuk menjamin sebuah kegiatan yang telah direncanakan untuk meminimalisir penyimpangan agar pekerjaan terlaksana sesuai rencana atau standar yang sudah ditetapkan dengan efektif dan efisien serta organisasi dapat melakukan tugas dan fungsinya dengan baik.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme pengawasan KPHI dalam melakukan pengawasan pada operasional penyelenggaraan haji di Indonesia serta rekomendasi-rekomendasi KPHI pada penyelenggaraan haji tahun 2013 dan perbaikan-perbaikan yang sudah dilakukan dari hasil pengawasan KPHI.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan melakukan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Peneliti menganalisis berbagai informasi dari hasil observasi, wawancara dan pengumpulan dokumen-dokumen seperti Laporan Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji tahun 2013 dan Buletin KPHI.
Dari hasil penelitian, mekanisme atau tahapan pengawasan KPHI yaitu dengan menetapkan instrumen pengawasan, melakukan sidak ke PPIH dan pembuktian di lapangan. KPHI sudah banyak menemukan masalah pada penyelenggaran haji tahun 2013 dan sudah merekomendasikan beberapa hal pada setiap aspek untuk dijadikan perbaikan ke depannya seperti perekrutan petugas yang lebih professional, peningkatan bimbingan manasik haji, kontrak transportasi yang lebih detail, peninjauan kembali pemondokan, pencantuman menu dan waktu konsumsi pada saat di Arab Saudi, pelayanan kesehatan haji online, peningkatan kuantitas dan kualitas petugas untuk perlindungan dan jamaah serta penindakan tegas bagi PIHK yang tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Adapun beberapa rekomendasi guna perbaikan yang diusulkan KPHI dan sudah terealisasi yaitu diberlakukannya aturan bagi para petugas PPIH Arab Saudi yang sudah melaksanakan haji tidak bertugas sambil menjalankan haji yang diberlakukan mulai tahun 2014 dan adanya katering satu kali makan di Makkah mulai tahun 2015.
Kata kunci : Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI), Penyelenggaraan Haji di Indonesia
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji serta syukur saya haturkan kehadirat Illahi Rabbi yang telah
memberikan bermacam-macam kenikmatan yang tak dapat terhitung oleh akal
manusia sekalipun. Tidak lupa pula shalawat serta salam senantiasa tercurahkan
kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari
zaman kegelapan sampai zaman terang benderang seperti sekarang, beserta para
keluarga, sahabatnya dan kaum Muslim yang telah berjihad dijalannya mendirikan
panji-panji Islam dan Risalahnya.
Alhamdulillahirrabil’alamin atas izin Allah SWT akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Mekanisme Pengawasan
Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) pada Penyelenggaraan Haji di
Indonesia”. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu persyarat
memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta Program Studi Manajemen Dakwah Konsentrasi Manajemen
Haji dan Umroh.
Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu dan turut
serta berjuang di dalamnya, karena tanpa adanya bantuan dari orang-orang
tersebut, sulit rasanya untuk menyelsaikan skripsi ini. Yang paling utama penulis
haturkan terimakasih adalah kepada kedua orangtua penulis, Ayahanda Bapak
Juweni, S.Pd dan Ibunda Ibu Aam Komariah, S.Pd yang selalu mendidik,
menasihati, melindungi, menjaga dan mendo’akan penulis di siang maupun
malam dengan kasih sayang yang tidak terhingga dan tidak ternilai dengan
iii
apapun, menyekolahkan anaknya dari Pendidikan Dasar hingga Perguruan Tinggi
saat ini penulis menyelsaikan tugas akhir di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Haturnuhun Ibu, Bapa. Berkat dukungan mereka, penulis selalu mendapatkan
semangat dan dapat menyelsaikan skripsi ini dengan baik. Ucapan terimakasih,
penulis haturkan juga kepada :
1. Dr. H. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Suparto, M.Ed, Ph.d selaku Wadek I, Dr. Hj. Roudhonah, MA selaku
Wadek II dan Dr. Suhaimi, M.Si selaku Wadek III Fakultas Dakwah dan
Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Cecep Castrawijaya, MA selaku Ketua Jurusan Manajemen Dakwah
yang sekaligus merangkap sebagai Ketua Sidang Skripsi.
4. Drs. Sugiharto, MA selaku Sekertaris Jurusan Manajemen Dakwah yang
sekaligus merangkap sebagai Sekertaris Sidang Skripsi.
5. Muammar Aditia, SE. M.Ak selaku Dosen Penasihat Akademik
Manajemen Haji dan Umroh tahun 2011.
6. Dra. Hj. Jundah Sulaiman, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang
selalu memberikan masukan masukan, kritikan dan arahan kepada penulis
sehingga skripsi ini bisa diselsaikan dengan baik.
7. Tim Penguji Sidang Skripsi Drs. H. Hasanuddin Ibnu Hibban, MA selaku
Penguji I dan Muhammad Zen, S.Ag. MA selaku Penguji II.
8. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah
banyak memberikan ilmu-ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis
dalam menyelesailan studi maupun dalam menyelesaikan penulisan skripsi
ini.
iv
9. Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi beserta stafnya.
10. Seluruh Komisioner Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) periode
2013-2016. Bapak Drs. H. Slamet Effendy Yusuf, M.Si selaku Ketua
KPHI, Bapak Drs. H. Imam Addaruquthni, SQ, MA selaku Wakil Ketua
KPHI dan seluruh Anggota KPHI khususnya Bapak Drs. H. Ahmed
Machfudh, MMC, MPA dan Bapak Dr. H. Syamsul Ma’arif, MA yang
telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi narasumber primer
bagi penulis dalam melakukan penelitian ini.
11. Seluruh Staff Sekretariat KPHI khususnya Bapak H. Arif Nurrawi selaku
Kepala Sekretariat KPHI dan Ibu Hj. Retno Dwi Astuti yang selalu
mengarahkan dan menerima kedatangan penulis dengan sangat baik serta
menjadi informan juga bagi penulis dalam melakukan penelitian ini.
12. Nenek tersayang Hj. E. Hafsah yang selalu memberikan dorongan dan
motivasi yang kuat pada setiap langkah penulis.
13. Saudara sekandung penulis Ajeng Dita Aprilian dan Farhan Haban
Nugraha kedua adik tersayang yang selalu memberikan keceriaan kepada
penulis juga keluarga besar Abah Sulaiman dan Abah E. Hidayat. Uwa,
bude, pakde, bibi, mamang, teteh dan sepupu-sepupu semuanya yang
selalu membuat penulis menjadi ceria setiap harinya.
14. Donni Bhestadi Saputra, S..Kom.I yang tidak pernah lelah untuk
mendengar segala keluh kesah penulis selama menyelsaikan skripsi ini.
15. Teman-temanku Rizka Zahara, Difla Karisha, Annisa Nuraddina, Putri
Debby Iswara. R, Kicky Mayantie yang selalu ada kehadiran dan
kebersamaan setiap harinya selama penulis menjalani kuliah.
v
16. Kawan-kawan seperjuanganku Siti Khadijah Nurfijri, Aprilia Dwi
Permatasari, Nurunajah, Fuad Hilmi, Dimas Hasanudin Al-Ayubbi, Fahrul
Yusuf, Noprian yang sudah menjadi partner penulis untuk berbagi cerita.
Juga seluruh teman-teman Manajemen Haji dan Umroh 2011 yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga jalan kita semua dimudahkan
ke depannya oleh Allah SWT.
17. Adik-adik satu atap kamar kost Qonita Surayya dan Anisa Novitasari yang
selalu memberikan penulis semangat dalam menyelsaikan skripsi ini.
18. KKN Origami UIN Jakarta 2014.
Penulis senantiasa berdoa semoga amal baik yang telah diberikan
mendapatkan ridha dari Allah SWT. Penulis serahkan semuanya dengan harpan
semoga skripsi ini memberikan manfaat yang besar khusus bagi penulis dan
umumnya bagi yang membacanya.
Wassalamualaikum. Wr. Wb
Jakarta, 15 Oktober 2015
Penulis
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK ........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... vi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................................. 9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 10 D. Metode Penelitian .............................................................................. 12 E. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 17 F. Sistematika Penulisan ........................................................................ 19
BAB II LANDASAN TEORI
A. Mekanisme ...................................................................................... 20 B. Pengawasan ..................................................................................... 21 C. Pengawasan KPHI ........................................................................... 29 D. Penyelenggaraan Haji Indonesia....................................................... 37
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KOMISI PENGAWAS HAJI INDONESIA (KPHI)
A. Sejarah ............................................................................................. 48 B. Tugas dan Fungsi ............................................................................. 51 C. Kedudukan dan Peran ...................................................................... 54 D. Tata Kerja ........................................................................................ 55 E. Perkembangan ................................................................................. 56 F. Visi, Misi dan Motto ........................................................................ 58 G. Struktur Organisasi Periode Pertama ................................................ 58
vii
BAB IV MEKANISME PENGAWASAN KPHI DALAM OPERASIONAL PENYELENGGARAAN HAJI DI INDONESIA
A. Mekanisme Pengawasan KPHI ........................................................ 60 B. Rekomendasi KPHI Pengawasan Haji 2013 ..................................... 77 C. Perbaikan yang Sudah dilakukan dari Hasil Pengawasan KPHI ........ 80
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 82 B. Saran................................................................................................ 84
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 85
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................. 88
viii
DAFTAR SINGKATAN
Baleg : Badan Legislasi
BPK : Badan Pemeriksa Keuangan
BPKP : Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan
CEQDA : Center for Quality Development and Assurance
Ditjen PHU : Direktur Jendral Penyelenggara Haji dan Umroh
DPD RI : Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
DPR RI : Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Itjen Kemenag : Inspektorat Jendral Kementerian Agama
KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia
KBIH : Kelompok Bimbingan Ibadah Haji
Kemenag : Kementerian Agama
Keppres : Keputusan Presiden
KPHI : Komisi Pengawas Haji Indonesia
KPK : Komisi Pemberantas Korupsi
MoU : Memorandum of Understanding
MUI : Majelis Ulama Indonesia
NU : Nahdatul Ulama
ORI : Omdusman Republik Indonesia
Perppu : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
PIHK : Penyelenggara Ibadah Haji Khusus
PPIH : Panitia Penyelenggara Ibadah Haji
ix
PP : Peraturan Pemerintah
Raker : Rapat Kerja
RUU : Rancangan Undang-Undang
Satker : Satuan Kerja
SDM : Sumber Daya Manusia
SPM : Standar Pelayanan Minimal
TKHI : Tim Kesehatan Haji Indonesia
TPHI : Tim Pemandu Haji Indonesia
TPIHI : Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia
UU : Undang-Undang
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Tahapan Pengawasan KPHI dalam Penyelenggaraan Haji di Indonesia................................................................................ 60
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Struktur KPHI Periode Pertama.................................................... 59
Tabel 4.1 Dampak Kebijakan Pengurangan Kuota Tahun 2013....................69
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 2 : Surat Penelitian Skripsi
Lampiran 3 : Surat Keterangan Hasil Penelitian
Lampiran 4 : Hasil Wawancara
Lampiran 5 : PP No. 28 tahun 2010 tentang Tata Cara Pengangkatan dan
Pemberhentian Anggota Komisi Pengawas Haji Indonesia
Lampiran 6 : PP No. 50 tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Komisi Pengawas Haji Indonesia
Lampiran 7 : Dokumentasi Pengawasan Komisi Pengawas Haji Indonesia
(KPHI)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ibadah haji merupakan perjalanan yang bernilai, pengembaraan yang
sakral dan perjalanan wisata yang agung, dimana kaum muslimin mendatangi
negeri yang aman dengan jiwa-raganya untuk bermunajat kepada Tuhan
semesta alam.1 Pada hakekatnya merupakan aktivitas suci yang
pelaksanaannya diwajibkan oleh Allah kepada seluruh umat muslim yang
telah mencapai istitho’ah (mampu). Disebut aktivitas suci karena seluruh
rangkaian kegiatannya adalah ibadah. Haji juga disebut sebagai ibadah
puncak secara fisik, material maupun spiritual.
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam
Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia;
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi)
orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa
1 Nashir Ibn Musfiraz-Zahrani, Indahnya Ibadah Haji, (Jakarta: Qisthi Press), 2007, h. 7
2
mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (QS.Al-Imran:97)
Penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional karena
jumlah jamaah haji yang sangat besar melibatkan berbagai instansi dan
lembaga, baik dalam negeri maupun luar negeri dan berkaitan dengan
berbagai aspek antara lain administrasi, bimbingan ibadah, transportasi,
konsumsi, kesehatan, akomodasi dan keamanan.
Proses penyelenggaraan haji terbilang unik karena tidak hanya
dilakukan di tanah air, namun juga di tanah suci serta melibatkan berbagai
instansi/lembaga di kedua negara. Itulah mengapa pelaksanaan ibadah haji
perlu koordinasi yang baik di bawah tanggung jawab Kementerian Agama.2
Di sisi lain adanya upaya untuk meningkatkan kualitas
penyelenggaraan ibadah haji merupakan tuntutan reformasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan tata kelola pemerintahan
yang baik. Sehubungan dengan hal tersebut, penyelenggaraan ibadah haji
perlu dikelola secara profesional dan akuntabel dengan mengedepankan
kepentingan jamaah haji dengan prinsip nirlaba.
Penyelenggaraan ibadah haji ini bukanlah pekerjaan yang sederhana,
mengingat jumlah jamaah haji yang harus dikelola merupakan yang terbanyak
di dunia. Sistem yang efektif dan efisien, kebijakan yang tepat, petugas haji
yang disiplin dan professional serta kerjasama yang baik dari seluruh jamaah
2 Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji & Umrah. Haji dari Masa ke Masa, (Jakarta:
Dirjen PHU), 2012, h.179.
3
dan pihak-pihak yang terlibat merupakan prasyarat mutlak bagi
terselenggaranya ibadah haji yang khusyu, aman dan nyaman.3
Sistem penyelenggaraan ibadah haji kita masih perlu banyak
pembenahan agar lebih efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Petugas haji
kita dalam beberapa aspek masih harus lebih ditingkatkan kedisiplinan dan
profesionalismenya dan beberapa kebijakan penting dan strategis harus segera
dibuat untuk perbaikan haji ke depan.4
Penyelenggaraan ibadah haji bukan semata-mata urusan ibadah,
melainkan juga pengelolaan manajemen penyelenggaraan yang kompleks.
Penanganan atas kompleksitas persoalan yang dihadapi menjadi salah satu
faktor penting dan mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan ibadah haji.
Kondisi ini memerlukan sinergi pengelolaan yang efektif dibarengi dengan
tingkat pengawasan yang tinggi dari pihak-pihak terkait.5
Dalam UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah
Haji (PIH) Pasal 6 dinyatakan bahwa Pemerintah berkewajiban melakukan
pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dengan menyediakan layanan
administrasi, bimbingan ibadah haji, akomodasi, transportasi, pelayanan
kesehatan, keamanan, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh jemaah haji. Oleh
karena itu, pemerintah tidak hanya berkewajiban memberikan jaminan
terhadap kelancaran proses penyelenggaraan ibadah haji sejak proses
pendaftaran sampai proses kepulangan para jemaah haji saja. Namun,
3 Suroso, Kabag Tata Usaha Kanwil Kemenag Prov. Jateng, Jurnal Haji “Sertifikasi
Pembimbing Ibadah Haji Menuju Petugas Haji Yang Berkualitas” diakses pada 15 September 2014 dari www.jurnalhaji.com
4 Muhammad M. Basyuni, Reformasi Manajemen Haji, (Jakarta: FDK PRESS), 2008, h.9.
5 Slamet Effendy Yusuf, KPHI Periode Pertama dalam Buletin KPHI ; Media Komunikasi & Informasi, (Jakarta : KPHI), 2014, Edisi 1, h.3.
4
Pemerintah juga bertanggung jawab dalam meningkatkan mutu pelayanan
berikut jaminan manajemen penyelenggaraan ibadah haji sebaik-baiknya
yang bebas korupsi, kolusi, lebih hemat biaya, dan memberikan kenyamanan
bagi jemaah haji.
Dengan demikian, pengawasan terhadap penyelenggaraan ibadah
haji menjadi sangat penting untuk memastikan kebijakan dan pelaksanaan
kegiatan tersebut telah sesuai dengan aturan dan standar yang berlaku sesuai
perencanaan. Dari pengawasan dengan standar dan indikator yang telah
ditetapkan itu dapat diketahui apakah ada penyimpangan untuk mengambil
tindakan perbaikan.
Selama ini pengawasan penyelenggaraan ibadah haji dilakukan
secara paralel dan simultan oleh berbagai instansi pengawasan, antara lain
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP), Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR
RI), Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Inspektorat
Jenderal Kementerian Agama (Itjen Kemenag), di samping pengawasan oleh
ormas Islam dan lembaga swadaya masyarakat. Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) juga ikut
mengawasi penyelenggaraan ibadah haji. Pengawasan oleh BPK dan BPKP
menyangkut pengelolaan keuangan penyelenggaraan haji. Pengawasan oleh
DPD RI dan DPR RI adalah pengawasan yang bersifat politi s menurut fungsi
dan amanat sebagai wakil rakyat untuk mencermati kebijakan pemerintah
beserta implementasinya. Sementara pengawasan Itjen Kemenag menyangkut
5
pengawasan intern Kementerian Agama untuk melakukan pengendalian dan
pengawasan kinerja Kementerian Agama dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Dengan terbentuknya Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI),
pengawasan terhadap penyelenggaran ibadah haji seharusnya menjadi lebih
komprehensif. Pasalnya, pengawasan penyelenggaraan ibadah haji yang
menjadi tugas dan tanggung jawab KPHI dilakukan mulai dari tahap
perencanaan hingga tahap operasional. KPHI juga bertugas menghimpun
berbagai masukan, saran, dan pertimbangan dari berbagai pihak dalam rangka
penyempurnaan manajemen dan peningkatan penyelenggaraan ibadah haji di
Indonesia.6
Tumbuhnya kritik atas pelaksanaan ibadah haji bukan tanpa alasan.
Tidak sedikit kasus yang muncul berkenaan dengan masalah penyelenggaraan
haji oleh Kementerian Agama. Kasus-kasus yang berkaitan dengan proses
pelaksanaan dan penyelenggaraan haji dewasa ini kemudian memunculkan
kritik tajam yang tidak hanya mempertanyakan tingkat profesionalisme
pengelola, tapi juga mendorong lahirnya berbagai pandangan yang
menghendaki perubahan pola penyelenggaraan pelaksanaan haji yang selama
ini menjadi kewenangan Kementerian Agama.7
Ada beberapa hal contohnya yang perlu mendapatkan evaluasi lebih
lanjut dari pelaksanaan ibadah haji. Masalah jarak pemondokan banyak di
atas 2,5 kilometer. Jarak pemondokan ini tidak sesuai dengan yang dijanjikan
oleh Kementerian Agama saat rapat dengan Komisi VIII DPR. Jarak
6 Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1434 H / 2013,
Jakarta: Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI), h.2 BAB I. 7 A. Chunani Shaleh, Penyelenggaraan Haji Era Reformasi ; Analisis Internal Kebijakan
Publik Departemen Agama, (Jakarta: Pustaka Alvabet), 2008, h.3.
6
pemondokan 90% jamaah maksimal sejauh 2 kilometer. Adapula jamaah
yang kehilangan uang. Untuk masalah ini Kementerian Agama seharusnya
memperketat mengatur orang-orang yang beraktivitas ke tempat-tempat
pemondokan. Selain petugas, harus jelas identitas dan tujuanya. Masalah
lainnya juga yaitu travel yang melayani jamaah di bawah standar yang telah
ditetapkan. Karena itu Kementerian Agama harus mengevaluasi izin para
travel tersebut sesuai dengan tingkat pelanggarannya. Tim pengawas juga
mencatat berbagai masalah penyelenggaraan ibadah haji di tanah air
diantaranya banyak calon jamaah yang gagal berangkat menunaikan ibadah
haji, penyebabnya karena banyak biro perjalanan yang tidak mengantongi izin
dari Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umroh (Ditjen PHU).8
Sekian banyak masalah lainnya pula yang menyangkut perhajian
yang sudah menjadi rahasia umum mulai dari administrasi, bimbingan,
transportasi, kesehatan, akomodasi, pembinaan, pelayanan, perlindungan dan
keamanan. Masalah-masalah haji ini masih banyak mendapat sorotan dan
masih harus diawasi agar permasalahan tersebut dapat dikontrol, dievaluasi
dan ditingkatkan agar lebih baik lagi ke depannya.
Pengawasan menjadi siklus manajemen yang lengkap dan membawa
organisasi ke perencanaan. Akan semakin jelas, lengkap dan terkoordinir
rencana-rencana akan semakin lengkap pula pengawasannya. Pengawasan itu
terdiri atas penentuan standar-standar, pengawasan/supervisi kegiatan atau
8 Jazuli Juwani, islampos.com, Lima Masalah Haji di Indonesia Menurut Jazuli Juwani,
diakses pada 17 Desember 2014 Pukul 22:11 WIB.
7
pemeriksaan, pembandingan hasil dengan standar serta kegiatan mengkoreksi
standar.9
Pemerintah melalui Kementerian Agama sebagai penyelenggara
ibadah haji harus didampingi oleh suatu lembaga independen yang bertugas
untuk mengawasi penyelenggaraan mulai saat perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, sampai operasional haji selesai. Lembaga
yang harus mendampingi adalah Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI)
yang diangkat dan bertanggung jawab kepada Presiden serta
mempertanggung jawabkan laporan mereka melalui mekanisme Raker DPR
RI, bukan ke Menteri Agama.10
Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah menilai kinerja KPHI yang bertugas melakukan pengawasan terhadap proses pemberangkatan, pemondokan, dan pelaksanaan haji belum maksimal. Semestinya, saat ini KPHI telah bekerja melakukan pengawasan terhadap proses pemberangkatan, pemondokan, dan pelaksanaan haji. Faktanya KPHI masih lebih banyak berdiam diri. Belum kelihatan langkah-langkah strategis yang mereka lakukan dalam meningkatkan kualitas pelayanan haji.
KPHI dibentuk berdasarkan amanat UU No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Peraturan Pemerintah sebagai turunannya pun sudah diterbitkan. Secara legal dan formal, lembaga ini sudah sama dengan komisi-komisi lain yang dibentuk sebelumnya. Sangat disayangkan jika kinerja KPHI belum terasa sama sekali. Sebagai lembaga baru, pemerintah dan DPR semestinya memfasilitasi dan membantu kerja-kerja KPHI. Mengawasi 200 ribu lebih jamaah haji tentu sangat sulit. Apalagi, hanya dilakukan sembilan orang anggota KPHI. Dengan kewenangan yang sangat terbatas, lembaga ini dikhawatirkan akan mandul. Kalau dipahami dalam aturan perundangan yang terkait, lembaga ini hanya berhak mengawasi, memberi catatan, merekomendasi, dan melaporkan. Mereka tidak berhak menjatuhkan tindakan apa pun, termasuk memberi hukuman.
Selain belum bekerja, KPHI juga belum begitu dikenal. Wilayah kerja dan otoritasnya belum banyak diketahui. Orang-orang yang diangkat pun tidak semuanya dikenal oleh karena itu, wajar bila orang-orang belum bisa berharap banyak kepada lembaga baru ini. Di lain pihak, masih banyak orang yang menilai bahwa lembaga ini di bawah kordinasi dan kendali Kementerian Agama. Padahal KPHI adalah lembaga independen yang dapat
9 Sondang P. Siagian. Fungsi-Fungsi Manajerial, (Jakarta: PT Bumi Aksara), 2007, h.63. 10 Kementerian Agama RI Direktorat Jendral Penyelenggaraan Haji & Umrah, “Intisari
Langkah-Langkah Pembenahan Haji”, (Jakarta: Dirjen PHU), 2010, h. 49-50.
8
mengoreksi kerja-kerja Kementerian Agama dalam mengelola pelaksanaan ibadah haji. Independensi itulah semestinya yang menjadi kekuatannya. Karena itu, kalau sedang melakukan pengawasan, anggota komisioner haji tidak perlu berangkat bersama rombongan amir al-haj dan para pejabat. Mereka harus turun langsung berbaur dengan jamaah-jamaah reguler di tanah suci. Dengan begitu, mereka bisa merasakan kesulitan dan kendala yang dihadapi para jamaah.11
Alasan penulis tertarik melakukan penelitian ini dikarenakan
peningkatan kualitas pelayanan penyelenggaraan haji pada setiap tahunnya
sudah merupakan sebuah tuntutan yang mutlak. Mengingat semakin hari
semakin banyak para peminat ibadah haji, entah apapun yang
mempengaruhinya baik dari segi agama (keislaman), sosial, ekonomi maupun
budaya dapat kita lihat dari melambungnya tingkat waiting list penggiat dan
pemburu ibadah haji di negeri ini.
Memaksimalkan pelayanan dalam penyelenggaraan haji merupakan
satu hal yang tidak dapat ditawar lagi, namun pada kenyataannya masih
banyak permasalahan haji di Indonesia yang harus dibenahi. Pengawasan
terhadap penyelenggaraan ibadah haji menjadi sangat penting untuk
memastikan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan tersebut telah sesuai dengan
aturan dan standar yang berlaku sesuai perencanaan. Dari pengawasan dengan
standar dan indikator yang telah ditetapkan itu dapat diketahui apakah ada
penyimpangan untuk mengambil tindakan perbaikan. Maka dari itu penulis
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai mekanisme pengawasan KPHI
mengingat KPHI ini adalah merupakan amanat undang-undang. Ketika
mekanisme pengawasan yang dilakukan KPHI sesuai, teratur, baik dan efektif
11AntaraNEWS.com, Kinerja Komisi Pengawas Haji Indonesia Dinilai Belum Maksimal,
diakses pada 17 Desember 2014 pukul 21:48 WIB.
9
dan terlihat jelas hasilnya maka ini akan mencerminkan kinerja KPHI sudah
maksimal atau belum.
Ketika pengawasan yang dilakukan oleh KPHI sudah maksimal,
maka ini akan mencerminkan bahwa penyelenggaraan ibadah haji di
Indonesia setiap tahunnya akan mengalami peningkatan yang baik atas dasar
unsur pengawasan yang maksimal, efektif efisien dan tepat sasaran. Namun
jika KPHI belum maksimal dalam melakukan pengawasannya, maka KPHI
hanya akan menjadi beban negara saja tanpa diketahui kinerjanya dengan
jelas. Inipun akan menjadi tidak terawasinya penyelenggaraan ibadah haji
secara independen yang tentu tidak akan membawa perubahan terhadap dunia
perhajian. Dapat kita lihat begitu besarnya peran KPHI untuk melakukan
pengawasan demi terciptanya penyelenggaraan yang lebih baik.
Dari gambaran tersebut penulis tertarik untuk mengadakan penelitian
terhadap yang dituangkan dalam skripsi dengan judul “Mekanisme
Pengawasan Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) dalam
Penyelenggaraan Haji Indonesia”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembatasan masalah ini lebih terarah, maka penulis
membatasi masalah yang akan dibahas yaitu mekanisme pengawasan
KPHI pada operasional penyelenggaraan haji di Arab Saudi pada tahun
2013.
10
2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah adalah suatu pernyataan yang dirumuskan
dalam kalimat tanya, bersifat padat isi, jelas maksudnya serta memberikan
petunjuk tentang kemungkinan mengumpulkan data guna menjawab
pernyataan yang terkandung di dalamnya.12
Rumusan masalah yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai
berikut:
a. Bagaimana mekanisme pengawasan KPHI dalam penyelenggaraan
haji di Indonesia?
b. Bagaimana rekomendasi-rekomendasi yang diajukan setelah
dilakukannya pengawasan KPHI tahun 2013?
c. Apa saja perbaikan yang telah dilakukan setelah adanya KPHI
dalam mengawasi penyelenggaraan haji?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dengan mengacu pada latar belakang dan perumusan masalah yang
sudah dinyatakan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui mekanisme pengawasan KPHI dalam
penyelenggaraan haji di Indonesia.
b. Untuk mengetahui rekomendasi-rekomendasi yang diajukan setelah
dilakukannya pengawasan pada tahun 2013.
12 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : CV Rajawali), 1993, h.71.
11
c. Untuk mengetahui perbaikan yang dilakukan setelah adanya KPHI
dalam mengawasi penyelenggaraan haji di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
a. Akademis
Dalam penelitian ini diharapakan dapat memberikan kajian
yang menarik dan menambah pengetahuan bagi para pembaca
khususnya Mahasiswa Konsentrasi Manajemen Haji dan Umroh
mengenai sistem pengawasan haji di Indonesia sebagai tambahan
referensi atau perbandingan bagi keberlanjutan studi ke depannya
bahkan untuk pengetahuan secara umum.
b. Praktisi
Diharapkan dapat menambah wawasan baru bagi para praktisi
yang bergerak dalam ilmu manajemen dan perhajian di Indonesia.
c. Lembaga Terkait
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi
pemerintah dalam hal ini presiden untuk meningkatkan
kinerja/pengawasan Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) agar
dapat menjadi lebih baik lagi. Serta acuan-acuan bagi lembaga
terkait seperti Ditjen PHU, Kementerian Kesehatan, Kementerian
Perhubungan dan PIHK mengenai mekanisme pengawasan KPHI
dalam mengawasi penyelenggaraan haji di Indonesia.
d. Masyarakat
Dengan penelitian ini diharapkan masyarakat mengetahui lebih
dalam bahwa dibalik Penyelenggaraan Haji di Indonesia ini ada
12
lembaga independen yang mengawasi Penyelenggaraan Haji secara
gamblang dan objektif yaitu Komisi Pengawas Haji Indonesia
(KPHI). Ketika lebih banyak lagi masyarakat yang mengetahui
keberadaan KPHI maka masyarakat akan mempunyai wadah yang
tepat untuk pengaduan terhadap penyimpangan dalam pelaksanaan
ibadah haji di Indonesia guna perbaikan ke depannya dan ini akan
membantu KPHI dalam melakukan pengawasanmya secara tidak
langsung.
D. Metodologi Penelitian
a. Metode Penelitian
Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang diamati. Untuk memahami istilah
penelitian kualitatif ini, menurut Bogdan dan Taylor yang dikutip oleh
Loxy Moleong yang mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.13
Penulis menggunakan pendekatan kualitatif karena penelitian ini
diharapkan mampu menghasilkan suatu utaian mendalam tentang ucapan,
tulisan dan tingkah laku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok,
masyarakat, organisasi tertentu dalam suatu konteks setting tertentu yang
13 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2009), h.4.
13
dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif dan holistik.14 Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan metode studi kasus sebagai sub dari
penelitian kualitatif, dimana studi kasus merupaka tipe pendekatan dalam
penelitian yang menelaah satu kasus secara intensif, mendalam, mendetail
dan komprehensif.
Oleh karena itu, pendekatan kualitatif ini dipilih oleh penulis
berdasarkan tujuan penelitian yang ingin mendapatkan gambaran proses
dari mekanisme pengawasan KPHI dalam mengawasi operasional
penyelenggaraan haji Indonesia dimana untuk mendapatkan hasil dari
penelitian ini, penulis melakukan pengumpulan data yang diperlukan
secara intensif dan kemudian menguraikan fakta-fakta yang terjadi secara
alamiah disertai pengujian kembali atas semua yang telah dikumpulkan.
3. Subjek dan Objek Penelitian
a. Subjek dalam penelitian ini adalah komisioner dan staff KPHI yang
dapat memberikan informasi mengenai mekanisme pengawasan KPHI
dalam melakukan pengawasan pada penyelenggaraan haji di
Indonesia.
b. Objek Penelitiannya adalah mekanisme pengawasan KPHI dalam
penyelenggaraan operasional haji Indonesia pada tahun 2013 dan
rekomendasi-rekomendasi apa saja yang direkomendasikan KPHI
serta pebaikan apa saja yang sudah dilakukan dari hasil pengawasan
KPHI.
4. Waktu Penelitian dan Tempat Penelitian
14 Rosady Ruslan, Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2003), h. 213.
14
Dalam penelitian ini penulis membatasi waktu penelitian dari
Bulan Juni 2015 - September 2015. Dalam penelitian ini penulis
melakukan penelitian di kantor kesekretariatan KPHI, Jl.Kramat Raya No.
85, Senen-Jakarta Pusat 10420, Telp. 021-3909743, 31922183, e-mail
[email protected], website www.kphi.go.id.
5. Sumber Data
Sumber data merupakan sesuatu hal yang sangat penting untuk
digunakan dalam penelitian guna menjelaskan valid atau tidaknya suatu
penelitian tersebut. Dalam hal ini penulis menggunakan:
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama,
dari individu seperti hasil wawancara atau hasil pengisian kuosioner
yang dilakukan peneliti, yakni peneliti melakukan sendiri observasi di
lapangan maupun di laboratorium.15 Pelaksanaanya dapat berupa survei
dengan mewawancarai komisioner KPHI.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang tersusun dalam bentuk
dokumen-dokumen maupun informasi dari pihak masyarakat berupa
opini dan komentar-komentar. Dalam penelitian ini undang-undang,
peraturan pemerintah, peraturan menteri agama, keputusan pemerintah,
laporan hasil pengawasan KPHI, buku-buku, majalah, jurnal, website
dan sumber informasi lainnya yang memiliki relevansi dengan masalah
penelitian sebagai penunjang penelitian.
15Dergibson Siagian dan Sugiarto, Metode Statistik untuk Bisnis dan Ekonomi, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 16.
15
6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan adalah
menggunakan teknik pengumpulan data kualitatif, yaitu berupa
pengumpulan data dalam bentuk kata-kata dan pernyataan. Dalam
pelaksanaannya melalui:
a. Observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis
terhadap gejala-gejala yang diteliti.16 Teknik observasi pada awalnya
dipergunakan dalam penelitian etnografi, yakni merupakan studi tentang
kebudayaan suatu bangsa dan tujuannya adalah untuk memahami suatu
cara hidup dari pandangan orang-orang yang terlibat didalamnya.17
b. Wawancara
Wawancara atau interview adalah percakapan atau tanya jawab
antara dua orang atau lebih untuk mendapatkan sebuah informasi. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan wawancara tidak terstruktur, yakni
wawancara yang tidak tertuju pada satu pedoman wawancara atau
wawancara yang dilakukan bebas dimana penulis hanya menggunakan
garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan.18
Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara dengan garis
besar permasalahan yang diteliti, yakni tentang evaluasi untuk semua
16Husaini Usman dan Purnomo Akbar Setiady, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta:
PT. Bumi Aksara, 2003), h. 53. 17Rosady Ruslan, Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003), h. 33. 18Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: ALFABETA,
2008), h..140.
16
aspek dalam proses pengawasan yang dilakukan oleh KPHI dalam
penyelenggaraan haji Indonesia.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah pengambilan data yang diperoleh melalui
dokumen-dokumen19 seperti berupa data-data, arsip-arsip dan gambar-
gambar ataupun bentuk lainnya. Dimana dalam kaidah metodologi
penelitian, sumber data di bagi menjadi dua menurut cara perolehannya
yakni data primer (primary data) yang merupakan data yang diperoleh
secara langsung dari objek penelitian perorangan, kelompok atau
organisasi dan data sekunder (secondary data) yakni data yang diperoleh
dalam bentuk yang sudah jadi atau tersedia melalui publikasi dan
informasi yang dikeluarkan di berbagai organisasi atau perusahaan,
termasuk majalah jurnal, website dsb.20
7. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah suatu proses mengorganisasikan dan
mengurutkan ke dalam pola, kategori dan suatu uraian dasar kemudian
dianalisa agar mendapatkan hasil berdasarkan yang ada. Hal ini
disesuaikan dengan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis deskriptif.21
Ada berbagai cara untuk menganalisa data, tetapi secara garis
besarnya dengan langkah sebagai berikut:
19 Husaini Usman dan Purnomo Akbar Setiady, Metodologi Penelitian Sosial , h. 57. 20 Rosady Ruslan, Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi, (Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama), 2003, h.29-30. 21 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Bulan
Bintang, 2003), Cet ke-9, h.11.
17
a. Redaksi data, yang merupakan bentuk analisis yang relevan, membuang
yang tidak perlu dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa
hingga kesimpulan-kesimpulannya dapat ditarik dan diverifikasi.
b. Penyajian data, setelah data mengenai manajemen diperoleh maka data
tersebut disajikan dalam bentuk narasi, visual, gambar, matriks, bagan,
tabel bahkan dengan uraian pun sehingga tujuan dari penelitian dapat
terjawab.
c. Penyimpulan data yang tersaji pada analisa antar kasus khususnya yang
berisi jawaban atas tujuan penelitian diuraikan secara singkat, sehingga
dapat mengambil kesimpulan mengenai Mekanisme Pengawasan
Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) dalam Penyelenggaraan Haji
di Indonesia.
8. Pedoman Penulisan Skripsi
Dalam penulisan ini, penulis berpedoman dan mengacu kepada
buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)”
yang diterbitkan oleh Center for Quality Development and Assurance
(CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Januari 2007.
E. Tinjauan Pustaka
Pada penelitian ini, peneliti melakukan tinjauan pustaka dengan
tujuan untuk meyankinkan bahwa penulisan skripsi ini bukan merupakan
hasil plagiat dari skripsi sebelumnya. Selain itu dalam penelitian ini pun
keabsahan teori yang tercantum dapat penulis pertanggung jawabkan dan
dapat dijadikan sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.
18
Berikut ini judul skripsi yang dijadikan tinjauan pustaka :
1. Ichwan, “Sistem Pengawasan Direktorat Jendral Penyelenggaraan
Haji dan Umrah dalam Pelayanan Penyelenggara Ibadah Haji
Khusus” mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi Jurusan Manajemen Dakwah
Konsentrasi Manajemen Haji dan Umrah dengan NIM 109053100011
pada tahun 2014.
2. Ratih Khairunnisa, “Mekanisme Kredit Pemilikan Rumah (KPR) BRI
Syariah Kantor Cabang Pembantu (KCP) Cipulir dalam Membantu
Masyarakat Memliki Rumah” mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Jurusan
Manajemen Dakwah Konsentrasi Manajemen Haji dan Umrah dengan
NIM 109053100011 pada tahun 2014.
Dari tinjauan pustaka yang tertulis diatas, telah jelas bahwa penulis
tidak melakukan penelitian yang sama terhadap apa yang sudah diteliti
meskipun yang dibahas adanya persamaan yakni mengenai mekanisme
pada skripsi kedua dan pengawasan pada skripsi pertama. Untuk itu,
penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Mekanisme
Pengawasan Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) dalam
Penyelenggaraan Haji Indonesia”. Perbedaan dari judul yang penulis
akan teliti dengan penelitian sebelumnya adalah yakni terletak pada
bahasan serta subjek dan objek yang akan diteliti. Penulis bermaksud
melakukan fokus penelitian kepada bentuk tahapan-tahapan atau
mekanisme yang ada dalam proses pengawasan di KPHI.
19
E. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan, Pada bab ini menguraikan Latar Belakang
Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka dan Sistematika
Penulisan.
BAB II Landasan Teori, Berisi tentang tinjauan teori yang
membahas Mekanisme, Pengawasan, Pengawasan KPHI dan
Penyelenggaraan Haji di Indonesia.
BAB III Gambaran Umum Tentang KPHI, Berisi tentang
gambaran umum Komisi Pengawas Haji Indonesia seperti Sejarah, Tugas
dan Fungsi, Kedudukan dan Peran, Tata Kerja, Perkembangan, Visi Misi
dan Motto serta Struktur Organisasi.
BAB IV Mekanisme Pengawasan KPHI dalam Operasional
Penyelenggaraan Haji di Indonesia, Membahas mengenai Mekanisme
Pengawasan KPHI, Rekomendasi-Rekomendasi KPHI pada
Penyelenggaraan Haji Tahun 2013 dan Perbaikan yang sudah Dilakukan
dari Hasil Pengawasan KPHI.
BAB V Penutup, Pada bab ini memuat tentang Kesimpulan dan
Saran dari Skripsi ini.
20
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Mekanisme
Mekanisme berasal dari kata dalam Bahasa Yunani yaitu mechane
yang memiliki arti instrumen, mesin pengangkat beban, perangkat, peralatan
untuk membuat sesuatu dan dari kata mechos yang memiliki arti sarana dan
cara menjalankan sesuatu. Mekanisme dapat diartikan dalam banyak
pengertian yang dapat dijelaskan menjadi empat pengertian. Pertama,
mekanisme adalah pandangan bahwa interaksi bagian-bagian dalam bagian-
bagian lainnya dalam suatu keseluruhan atau sistem secara tanpa disengaja
menghasilkan kegiatan atau fungsi-fungsi sesuai dengan tujuan atau disebut
dengan mekanisme kerja. Kedua, mekanisme adalah teori bahwa semua
gejala dijelaskan dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk
menjelaskan mesin-mesin tanpa bantuan intelegensi sebagai suatu sebab atau
prinsip kerja. Ketiga, mekanisme adalah teori bahwa semua gejala alam
bersifat fisik dan dapat dijelaskan dalam kaitan dengan perubahan material
atau materi yang bergerak. Keempat, mekanisme adalah upaya memberikan
penjelasan mekanis yakni dengan gerak setempat dari bagian yang secara
intinsik tidak dapat berubah bagi struktur internal benda alam dan bagi
seluruh alam.1
1 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), h.621 dikutip dalam Ratih
Khairunnisa, “Mekanisme Kredit Pemilikan Rumah (KPR) BRI Syariah Kantor Cabang Pembantu (KCP) Cipulir dalam Membantu Masyarakat Memiliki Rumah”, (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Jakarta), h. 16.
21
Jadi arti mekanisme memiliki banyak pengertian tergantung
penggunanya. Dari keempat pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa mekanisme adalah cara kerja suatu hal. Dalam konteks ini, pengertian
mekanisme yang paling mendekati dengan bahasan skripsi yang sedang saya
angkat adalah yaitu pada pengertian pertama, yakni bahwa pandangan bahwa
interaksi bagian-bagian dalam bagian-bagian lainnya dalam suatu keseluruhan
atau sistem secara tanpa disengaja menghasilkan kegiatan atau fungsi-fungsi
sesuai dengan tujuan atau disebut dengan mekanisme kerja.
B. Pengawasan
1. Pengertian Pengawasan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata
pengawasan secara bahasa berasal dari kata awas yang artinya dapat
melihat baik-baik, tajam tiliknya, memperhatikan dengan baik, hati-hati.
Kemudian mendapat imbuhan peng- pada awal kata dan mendapat
akhiran –an menjadi pengawasan yang artinya penilikan (pemeriksaan)
dan penjagaan, penilikan dan pengarahan kebijakan jalannya
perusahaan.2
Kemudian menurut istilah yang dikemukakan oleh Ibrahim
Lubis, pengawasan adalah kegiatan yang mengusahakan agar pekerjaan-
pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang betapapun baiknya akan
gagal sama sekali bilamana manajer tidak melakukan pengawasan, agar
2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Balai
Pustaka, 2007), h.79.
22
pekerjaan-pekerjaan sesuai dengan rencana atau maksud yang telah
ditetapkan maka ia harus melakukan kegiatan pengawasan3.
Pengawasan dapat diartikan sebagai proses untuk “menjamin”
bahwa tujuan-tujuan organisasi dan manajemen tercapai. Pengertian ini
menunjukan adanya hubungan yang sangat erat antara perencanaan dan
pengawasan.4
Setelah Ibrahim Lubis memberikan pandangannya tentang
pengawasan, kemudian Hadibroto juga memberikan pandanganya
tentang pengawasan bahwa pengawasan adalah kegiatan penilaian
terhadap organisasi atau kegiatan dengan tujuan agar organisasi atau
kegiatan tersebut melaksanakan fungsinya dengan baik dan dapat
memenuhi tujuannya yang telah ditetapkan.5
Schermorhorn yang dikutip dalam buku Erni Tisnawati ,
Pengantar Manajemen menyatakan bahwa pengawasan merupakan
“sebagai proses dalam menetapkan ukuran kinerja dan pengambilan
tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai
dengan kinerja yang telah ditetapkan tersebut”6. Kemudian Stoner
mempersingkat definisi pengawasan namun tidak merubah apa yang
telah disampaikan sebelumnya oleh para alhli di atas dan hanya
3 Ibrahim Lubis, Pengendalian dan Pengawasan Proyek dalam Manajemen, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1985), h. 154. 4 T. Tani Handoko, Manajemen, Edisi ke-2, (Yogyakarta: BPFE, 2014), h. 357. 5 HS. Hadibroto dan Oemar Witarsa, Sistem Pengawasan Intern, (Jakarta:BPFE), h.2
dalam Jusuf Anwar, Penegakan Hukum dan Pengawasan Pasar Modal Indonesia, (Bandung; Alumni, 2008), h. 129.
6 Erni Tisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), h.317.
23
memperjelas dengan mendefinisikan bahwa “pengawasan sesuai dengan
apa yang telah direncanakan”.7
Kemudian menurut Harold Koontz dan Cyril O’donnel yang
dikutip dalam buku Ibrahim Lubis mereka berpandangan lebih
mengedepankan koreksi yang dilakukan ketika pelaksanaan kegiatan
dengan maksud untuk mendapatkan keyakinan atau menjamin bahwa
tujuan-tujuan perusahaan dan rencana-rencana yang digunakan untuk
mencapainya dilaksanakan.8
Jika pengawasan menurut pandangan para ahli merupakan
sebuah penilaian dan diperlukan koreksi agar tujuan dapat tercapai maka
dapat disimpulkan bahwa pengawasan adalah suatu proses penilaian,
penilikan atau pemeriksaan yang diusahakan agar pekerjaan terlaksana
sesuai dengan rencana dan standar yang sudah ditetapkan agar setiap
bidang melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik, juga merupakan
proses untuk menjamin sebuah kegiatan yang telah direncanakan untuk
meminimalisir penyimpangan agar sesuai dengan apa yang telah
direncanakan hingga tujuan tercapai dengan efektif dan efisien.
2. Peran Pengawasan
Secara umum ada beberapa manfaat yang diperoleh dengan
diberlakukannya pengawasan pada suatu organisasi, yaitu:
a. Pengawasan memiliki peran penting terutama dalam memastikan
setiap pekerjaan terlaksana sesuai dengan yang direncanakan
7 Ibid, h.317-318. 8 Ibrahim Lubis, Pengendalian dan Pengawasan Proyek dalam Manajemen, h. 155-156.
24
b. Membangun manajer dalam mengawal dan mewujudkan keinginan
visi dan misi perusahaan dan tidak terkecuali telah menempatkan
manajer sebagai pihak yang memiliki wewenang sentral di suatu
organisasi.
c. Pengawasan bernilai positif dalam membangun hubungan yang baik
antara pimpinan dan karyawan
d. Pengawasan yang baik memiliki peran dalam menumbuh
kembangkan keyakinan para stakeholders’ pada organisasi.9
3. Tujuan dan Fungsi Pengawasan
Tujuan pengawasan yakni agar hasil pelaksanaan pekerjaan
diperoleh secara berdaya guna (efektif) dan berhasil guna (efisien) sesuai
dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.
Fungsi pengawasan meliputi beberapa hal berikut ini:
a. Mempertebal rasa dan tanggung jawab terhadap pejabat yang diserahi
tugas dan wewenang dalam melaksanakan pekerjaan.
b. Mendidik para pejabat agar mereka melaksanakan pekerjaan sesuai
prosedur yang telah ditentukan.
c. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan penyelewengan, kelalaian
dan kelemahan agar tidak terjadi kerugian yang tidak diinginkan.
d. Untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan agar pelaksanaan
pekerjaan tidak mengalami hambatan dan pemborosan.10
4. Jenis-Jenis Pengawasan
9 Irham Fahmi, Manajemen: Teori, Kasus dan Solusi, (Bandung; ALFABETA, 2012),
h.85-86. 10 Maringin Masry Simbolon, Dasar-Dasar Administrasi dan Manajemen, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2004), h. 62.
25
a. Waktu Pengawasan
Bedasarkan waktu pengawasan, pengawasan dibedakan atas dua hal
yaitu pengawasan preventif dan pengawasan repressip. Pengawasan
prefentif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum terjadi
penyimpangan, kesalahan atau dengan kata lain diadakan langkah-
langkah pencegahan sebelum terjadinya kesalahan-kesalahan.
Sedangkan pengawasan repressif adalah pengawasan yang dilakukan
setelah rencana sudah dilaksanakan, yaitu dengan mengukur hasil-
hasil yang dicapai.
b. Objek Pengawasan
Dilihat dari objek pengawasannya, pengawasan terdiri dari
pengawasan personal, uang, waktu dan materi (kualitas / kuantitas).
c. Subjek Pengawasan
Dilihat dari subjeknya, pengawasan dapat dibagi menjadi pengawasan
intern dan ekstern. Pengawasan intern adalah pengawasan yang
dilakukan oleh atasan dari petugas yang bersangkutan, pengawasan
macam ini disebut juga dengan pengawasan formal, karena yang
melakukan pengawasan adalah orang yang memiliki wewenang dalam
organisasi atau lembaga terkait. Sedangkan yang dimaksud dengan
pengawasan ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang-
orang yang di luar organisasi atau lembaga terkait. Pengawasan
macam ini biasa disebut dengan pengawasan sosial (social control)
atau pengawasan informal.
d. Cara Pengumpulan Fakta-Fakta Guna Pengawasan
26
Dilihat dari pengukuran fakta-fakta guna pengawasan, pengawasan ini
terdiri dari pengawasan pribadi, interview, laporan tertulis dan laporan
tidak tertulis dan pengawasan kepada hal-hal yang bersifat istimewa
(pengawasan berdasarkan pengecualian).11
5. Bentuk dan Metode Pengawasan
Menurut H. Hadari Nawawi bentuk pengawasan ada dua
macam, pengawasan internal dan pengawasan eksternal. Pengawasan
internal yaitu kegiatan pengawasan dilakukan oleh pimpinan manajer
puncak atau pimpinan unit/satuan. Pengawasan eksternal yaitu
pengawasan yang dilakukan oleh organisasi kerja dari luar organisasi
kerja yang diawasi dalam menjalankan tugas pokoknya12.
Metode Pengawasan terbagi menjadi:
a. Pengawasan langsung, yakni kegiatan pengawasan yang dilakukan
dengan mendatangi personil dan atau unit kerja yang diawasi.
Kegiatannya dapat dikumpulkan dengan mengumpulkan dan
mempelajari dokumen-dokumen, melakukan observasi, wawancara,
pengujian sampel dan lain-lain.
b. Pengawasan tidak langsung, yakni kegiatan pengawasan yang
dilakukan dengan mengevaluasi laporan baik tertulis maupun lisan.
Pengawasan ini disebut juga dengan pengawasan jarak jauh.13
6. Langkah-langkah Pengawasan
11 M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996), h.130. 12 Hadari Nawawi, Manajemen Strategi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
2005), cet ke-3, h.120. 13 Sukanto Reksohadiprojo, Dasar-Dasar Manajemen, h. 64.
27
Langkah-langkah pengawasan menurut George Terry yang
dikutip Ibrahim Lubis meliputi:
a. Penetapan ukuran atau standar. Sebelum melakukan pengawasan,
pelaku pengawasan sudah seharusnya mempunyai standar atau tolak
ukur karena dalam pengawasan harus ada sebuah pedoman sebagai
penilaian atas kinerja atau kegiatan yang terjadi.
b. Penilaian atau pengukuran kegiatan dengan standar yang sudah
ditetapkan untuk mengetahui penyimpangan yang terjadi.
c. Perbaikan atau pembetulan terhadap penyimpangan yang terjadi.14
Jika dalam buku Pengantar Manajemen karya Ismail Solihin,
hal ini merupakan salah satu dari tindakan manajerial. Dalam buku itu
ditulis bahwa , tindakan manajerial setelah melakukan evaluasi terhadap
kinerja yang telah dicapai organisasi meliputi tiga hal:
a. Tindakan perbaikan
Tindakan perbaikan dilakukan agar penyimpangan yang terjadi tidak
akan dilakukan secara terus menerus dalam kegiatan berikutnya.
b. Revisi standar
Selain melakukan perbaikan kinerja, yang perlu dilakukan manajerial
yakni tindakan koreksi terhadap standar karena bisa jadi
penyimpangan yang terjadi akibat ketidakrelevanan sebuah standar.
c. Tidak melakukan apa-apa
14 Ibrahim Lubis, Pengendalian dan Pengawasan Proyek dalam Manajemen, h. 160.
28
Selain kedua tindakan di atas, dapat juga manajerial membiarkan
penyimpangan tersebut terjadi. Asalkan penyimpangan tersebut tidak
berdampak terlalu besar terhadap perusahaan/organisasi15.
7. Pengawasan yang Efektif
Untuk menjadi efektif, sistem pengawasan harus memenuhi
kriteria tertentu. Kriteria-kriteria utama adalah bahwa sistem seharusnya
mengawasi kegiatan-kegiatan yang benar, tepat waktu, dengan biaya
yang efektif, tepat-akurat dan dapat diterima oleh yang bersangkutan.
Semakin dipenuhinya kriteria-kriteria tersebut semakin efektif sistem
pengawasan. Karakteristik-karakterstik pengawasan yang efektif menurut
Indra Iman dan Siswandi ini dapat lebih diperinci sebagai berikut:
a. Akurat. Informasi tentang pelaksanaan kegiatan harus akurat. Data
yang tidak akurat dari sistem pengawasan dapat menyebabkan
organisasi mengambil tindakan koreksi yang keliru atau bahan
menciptakan masalah yang sebenarnya tidak ada.
b. Tepat waktu. Informasi harus dikumpulkan, disampaikan dan
dievaluasi secepatnya bila kegiatan perbaikan harus dilakukan segera.
c. Objektif dan menyeluruh. Informasi harus mudah difahami dan
bersifat objektif serta lengkap.
d. Terpusat pada titik-titik pengawasan strategik. Sistem pengawasan
harus memusatkan perhatian pada bidang-bidang di mana
penyimpangan dari standar paling sering terjadi atau yang akan
mengakibatkan kerusakan paling fatal.
15 Ismail Solihin, Pengantar Manajemen, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), h. 195.
29
e. Realistik secara ekonomis. Biaya pelaksanaan pengawasan harus lebih
rendah atau paling tidak sama dengan kegunaan yang diperoleh dari
sistem tersebut.
f. Realistik secara organisational. Sistem pengawasan harus cocok atau
harmonis dengan kenyataan-kenyataan organisasi.
g. Terkoordinasi dengan aliran kerja organisasi. Informasi pengawasan
harus terkordinasi dengan aliran kerja organisasi karena setiap tahap
dari proses pekerjaan dapat epengaruhi sukses atau kegagalan
keseluruhan operasi dan informasi pengawasan harus sampai pada
seluruh personalia yang memerlukannya.
h. Fleksibel. Pengawasan harus mempunyai fleksibelitas untuk
memberikan tanggapan atau reaksi terhadap ancaman ataupun
kesempatan dari lingkungan.
i. Bersifat sebagai petunjuk dan operasional. Sistem pengawasan efektif
harus menunjukkan baik deteksi atau deviasi dari standar, tindakan
koreksi apa yang seharusnya diambil.
j. Diterima para anggota organisasi. Sistem pengawasan harus mampu
mengarahkan pelaksanaan kerja para anggota organisasi dengan
mendorong perasaan otonomi, tanggungjawab dan berprestasi16.
k. Pengawasan yang efektif harus memberi petunjuk tentang
kemungkinan adanya deviasi/penyimpangan.17
16 Indra Iman dan Siswandi, Aplikasi Manajemen Perusahaan (Analisis Kasus dan
Pemecahannya), Edisi 2, (Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media, 2009), h.207-208. 17 Sondang P. Siagian, Fungsi-Fungsi Manajerial, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), h.
130.
30
C. Pengawasan KPHI
1. Objek Pengawasan
Dalam pembahasan skripsi ini, objek pengawasan KPHI adalah:
Pertama, Kementerian Agama RI khususnya Direktorat Jendral
Penyelenggara Haji dan Umroh (Ditjen PHU) beserta jajarannya. Kedua,
Kementerian Perhubungan RI. Ketiga, Kementerian Kesehatan RI dan
yang terakhir adalah Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK), bahkan
Kementerian Hukum dan HAM juga sebenarnya terlibat untuk masalah
imigrasi. Lalu untuk PIHK juga sebenarnya bagian dari satuan kerja
Kemenag, namun PIHK hanya mengatur urusan haji khusus saja.18
Semua aspek perhajian diawasi KPHI dalam penyelenggaraan
haji di Indonesia baik dari penyelenggaraan haji regular maupun haji
khusus dimulai dari pendaftaran, bimbingan ibadah, akomodasi,
transportasi, katering, peribadatan, perlindungan jamaah dan
sebagainya.19
KPHI melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga yang juga
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan haji. Pada tahap awal
KPHI melakukan pertemuan koordinasi dengan KPK, Omdusman,
BPKP, BPK dan Inspektorat Jendral Kementerian Agama (Irjen
Kemenag). Laporan hasil pengawasan dari masing-masing lembaga
dimaksud dianalisis dan disinkronkan dengan program pengawasan
KPHI. Style KPHI adalah proaktif, yaitu dengan melakukan silaturahim
18 Wawancara pribadi dengan Syamsul Ma’arif (Komisioner KPHI) pada 27 Agustus 2015
pukul 13:00-15:00 WIB di Kantor KPHI. 19 Wawancara langsung dengan Ahmet Machfud (Komisioner KPHI) pada 21 Juni 2015
pukul 11:00-1500 WIB di Kantor KPHI.
31
ke sejumlah lembaga pengawasan dan berdialog secara kemitraan dalam
posisi KPHI sebagai leading sector dalam kepengawasan perhajian.20
2. Bentuk Pengawasan
Pengawasan yang dilakukan yaitu dengan melakukan koreksi
terhadap pelayanan yang diberikan kepada jamaah. Dengan berpedoman
pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan kebijakan pada tahun
berjalan, dengan demikian dapat dikatakan bahwasanya pengawasan ini
dilakukan oleh pihak terkait di luar pemerintahan/organisasi. Jika
pengawasan pada umumnya dilakukan oleh sistem manajerial organisasi
itu sendiri yang biasa disebut pengawasan internal, tetapi di sini tidak.
Pengawasan justru dilakukan oleh pihak di luar penyelenggara ibadah
haji yang dikenal dengan pengawasan eksternal.
Pengawasan dalam manajerial perusahaan secara umum, tujuan
antara pengawasan internal dan eksternal sama yaitu untuk kepentingan
perusahaan agar tidak ada penyelewengan dan terjadinya kerugian yang
tidak diinginkan. Akan tetapi pengawasan eksternal yang dilakukan
KPHI terhadap penyelenggara ibadah haji di Indonesia ini bukan untuk
kepentingan lembaga namun kepentingan masyarakat banyak agar hak-
hak jamaah haji dapat terjamin, ketika ditemukan kesalahan-kesalahan
maka hal ini akan menjadi catatan bagi KPHI untuk perbaikan ke
depannya. Di sini dapat difahami bahwa paling tidak pihak
penyelenggara haji memberikan pelayanan kepada jamaah sesuai dengan
SPM yang sudah ditetapkan. Dari uraian ini kita ketahui bahwa bentuk
20 Buletin KPHI (Media Komunikasi & Informasi), (KPHI; 2014), Edisi 2, h.23.
32
pengawasan KPHI terhadap penyelenggara haji merupakan pengawasan
eksternal.
3. Metode Pengawasan
Metode pengawasan KPHI dalam penyelenggaraan haji
menggunakan metode pengawasan langsung dan tidak langsung.
Pengawasan langsung dilakukan oleh komisioner KPHI saat melakukan
peninjauan langsung terkait pelayanan yang diberikan di Tanah Air
maupun di Arab Saudi. Untuk melihat apakah penyelenggaraan haji telah
sesuai dengan program dan standar atau belum dan untuk mencari berbagai
penyimpangan yang terjadi. Saat melakukan pengawasan, komisioner
KPHI juga melakukan sinkronisasi pelayanan terhadap kebijakan-
kebijakan yang sudah ditetapkan.
Pengawasan tidak langsung dilakukan komisioner KPHI dengan
menganalisa laporan-laporan yang masuk ke Komisi Pengawas Haji
Indonesia (KPHI). Laporan-laporan tersebut selanjutnya disinkronkan
dengan fakta-fakta lapangan dan kemudian komisioner KPHI melakukan
cross check apakah pelayanan tersebut sesuai dengan standar kebijakan-
kebijakan tahun tersebut atau tidak. Jika tidak maka ini akan menjadi
catatan bagi KPHI yang akan dilaporkan pada presiden.
Penggunaan metode pengawasan juga tergantung kepada bentuk
dari pelayanan tersebut. Melihat dari keseluruhan pelayanan, terdapat 2
kategori pelayanan. Pelayanan yang berupa kegiatan lapangan dan
pelayanan yang diberikan berupa data-data administratif. KPHI melakukan
pengawasan dengan menggunakan kedua metode tersebut. Meski
33
menggunakan keduanya, tetapi selama ini metode yang sepenuhnya
diterapkan yaitu metode pengawasan langsung dengan cara meninjau
langsung di Tanah Air maupun di Arab Saudi.
Pengawasan yang efektif harus memberi petunjuk tentang
kemungkinan adanya deviasi/penyimpangan21, dan pelayanan berupa
kegiatan lapangan inilah yang lebih banyak adanya kemungkinan
penyimpangan yang terjadi dan harus diawasi secara langsung. Misalkan
saja pelayanan berupa akomodasi, sebagai contoh pada tahun 2013 ada
hotel yang menurut kami tidak layak karena levelnya satu dan listriknya
sering mati padahal jamaah harus dipenuhi segala haknya untuk
melancarkan ibadah haji, itukan tidak memungkinkan untuk dihuni
terlebih kapasitas hotel tersebut kecil, hal tersebut oleh KPHI diawasi dan
diberikan rekomendasi untuk ke depannya bahwa hotel ini tidak boleh
untuk dipergunakan lagi22. Kemungkinan-kemungkinan seperti ini yang
seharusnya dilakukan peninjauan secara langsung.
Berikut point singkat bahan dan data pengawasan KPHI tentang
penyelenggaraan ibadah haji tahun 2013 diperoleh dari:23
a. Data primer yang diperoleh berdasarkan survei lapangan dengan
instrumen yang bersifat kuantitatif dan kualitatif;
1) Observasi lapangan
2) Pengamatan mendalam
21 Sondang P. Siagian, Fungsi-Fungsi Manajerial, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), h.
130. 22 Wawancara Pribadi dengan Ahmed Machfud pada 26 Juni 2015 pukul 11:00-15:00
WIB di Kantor KPHI. 23 Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1434 H / 2013 M
Komisi Pengawas Haji Indonesia, h.8 BAB I.
34
3) Wawancara
b. Kajian data sekunder
1) Bahan dari Kementerian Agama
2) Bahan dari sumber lain
4. Waktu Pengawasan
KPHI melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan ibadah
haji tahun 2013. Pengawasan operasional penyelenggaraan ibadah haji di
Arab Saudi dilakukan saat awal musim haji pada 4-10 September 2013
oleh seorang Komisioner KPHI 12-21 September 2013 oleh enam
Komisioner KPHI. Seluruh Komisioner KPHI mengawasi langsung
penyelenggaraan ibadah haji pada 5 Oktober hingga 2 November 2015.
Berdasarkan waktu pengawasan, M Manullang dalam bukunya
Dasar-Dasar Manajemen menjelaskan bahwa pengawasan dibedakan atas
dua hal yaitu pengawasan preventif dan pengawasan repressip, maka
penulis mengklasifiksikan pengawasan yang dilakukan KPHI adalah
pengawasan repressif yang tujuannya yaitu untuk mengukur hasil-hasil
yang sudah dicapai dalam penyelenggaraan haji di Indonesia.
5. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat
Dukungan pelaksanaan pengawasan KPHI terhadap
penyelenggaraan haji tidak lepas dari beberapa pihak yang terkait. Yang
pertama pengaduan jamaah haji atas pelayanan selama menjalankan
ibadah haji yang ditujukan kepada KPHI. Dengan adanya pengaduan ini
KPHI dapat mengetahui penyimpangan dari penyelenggaraan haji tahun
tersebut. Dukungan lainnya yaitu motivasi masyarakat yang selalu
35
menginginkan penyelenggaraan ibadah haji setiap tahunnya mengalami
perbaikan. Hal ini akan terus menjadi amunisi KPHI dalam menjalankan
tugas dan fungsinya. Lalu adapun dukungan-dukungan dari beberapa
lembaga terkait yang akan membantu KPHI dalam melakukan
pengawasan dengan cara menganalisa laporan dari badan-badan tersebut.
Meskipun upaya perbaikan peningkatan penyelenggaraan ibadah
haji sudah dilakukan secara optimal, KPHI masih terkendala dengan
beberapa hal. Hambatan dan masalah yang dihadapi KPHI dalam
melaksanakan tugasnya sebagai lembaga mengawasi dan memantau
penyelenggaraan haji di Indonesia antara lain:
a) Kondisi KPHI sebagai lembaga masih bersifat formatif sehingga
berbagai rancangan kegiatan masih terhambat oleh persoalan teknis
yang sifatnya struktural seperti kesekretariatan yang masih
diposisikan sebagai Subdit pada Ditjen Penyelenggaraan Haji dan
Umrah, anggaran belanja menempel di PHU dan nomenklatur Subdit
Fasilitasi KPHI sangat sensitif dengan objek kerja projustica KPK.
b) Keterbatasan anggaran yang berdampak pada jangkauan objek
pengawasan, kedalaman masalah dan penyediaan instrument
pengawasan. Karena anggarannya terlalu kecil maka kami hanya
melakukan pengawasan sekali sampai dua kali ke Arab Saudi.
Padahal pada pengawasan awal seharusnya harus ditindaklanjuti.
Paling tidak empat kali pengawasan dari semenjak persiapan awal,
persiapan kedua, operasional dan yang terakhir evaluasi. Hingga saat
36
ini bahkan honorarium komisioner belum ada dan saya belum pernah
menerima satu rupiah pun.
c) Unit penyelenggara administrasi, yaitu sekretariat. Gedung
kesekretariatan kami masih punya kemenag, bahkan operasionalnya
pun masih dibiayai oleh Kemenag. KPHI belum mempunyai satuan
kerja (satker) sendiri.
d) Kurangnya SDM yang concern terhadap peninjauan langsung ke
lapangan. KPHI merupakan lembaga yang seharusnya mendapatkan
fasilitas yang cukup. Bukan berarti fasilitas pribadi, namun fasilitas
lembaga yang nantinya akan dipergunakan untuk mejalankan tugas-
tugasnya sesuai denga aturan yang berlaku yaitu kepentingan
pengawasan. Itu yang belum sepenuhnya kami miliki, baru sebagian
saja. Misalnya KPHI kemarin melakukan pengawasan hanya oleh 9
orang komisioner dibantu 3 orang staff sementara inspektorat bisa
lima kali lipat dari kami.
e) Kurangnya kepercayaan pemerintah dalam pengambilan keputusan
yang bersumber dari rekomendasi KPHI, karena sejauh ini
pemerintah masih lebih mempercayai DPR dalam mengambil
keputusan.24
24 Akumulasi hasil wawancara pribadi dengan Syamsul Ma’arif (Komisioner KPHI) pada
27 Agustus 2015 dan Buletin KPHI edisi pertama.
37
D. Penyelenggaraan Haji di Indonesia
Sejarah penyelenggaraan haji di Indonesia mengalami masa yang
panjang, dimulai sejak masuknya agama Islam ke Indonesia, masa
penjajahan, masa orde lama, masa orde baru hingga sekarang. Dari masa ke
masa penyelenggaraan haji banyak mengalami dinamika yang bermuara pada
persoalan pokok, yaitu peraturan yang menyangkut hubungan bilateral antara
dua negara yang memiliki perbedaan sosio-budaya, bentuk pemerintahan dan
status kenegaraan, Indonesia yang menganut sistem Republik dan Saudi
Arabia yang berbentuk Kerajaan. Pada masa penjajahan, permasalahan
utamanya adalah keamanan dan terbatasnya fasilitas. Kini pada saat dunia
telah aman dan fasilitas semakin canggih, besarnya jumlah jamaah haji terkait
dengan keterbatasan kuota dan kemampuan sarana dan prasarana menjadi
persoalan utama.
1. Penyelenggaraan Haji pada masa Pasca Kemerdekaan
Pada tahun 1945, Syekh Hasyim Asyhari dari Masyumi,
mengeluarkan fatwa kepada seluruh umat Islam Indonesia bahwa “haram
bagi umat Islam meninggalkan tanah airnya dalam keadaan melakukan
perang melawan agama; tidak wajib pergi haji, dimana berlaku fardhu
‘ain bagi umat Islam melakukan peran melawan penjajah bangsa dan
agama”. Pada tahun 1948 pemerintah Indonesia mengirimkan misi haji,
yang terdiri dari K.R.H. Moh. Adnan, H. Ismail Banda, H. Saleh Suady
dan H. Samsir Sutan Ameh, ke Makkah menghadap Raja Arab Saudi,
misi tersebur mendapat sambutan hangat dari Baginda Raja Ibnu Saud
dan pada tahun itu juga bendera Merah Putih pertama kali dikibarkan di
38
Arafah. Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah tersebut
semakin mendorong ke arah penyelenggaraan haji yang lebih baik
sehingga calon jamaah haji yang berangkat tahun 1949 cukup banyak.
Pada waktu itu jamaah haji yang berhasil diberangkatkan oleh
Pemerintah mencapai 9.892 orang, sedangkan yang wafat sebanyak 320
orang atau 3,23%-nya, sedangkan panitia yang dilibatkan guna
membantu jamaah haji dalam bidang administrasi dan pengurusan di
tanah suci sebanyak 27 orang, adapun tim kesehatan yang juga ikut
diberangkatkan sebanyak 14 orang.
Kemudian pada tahun 1950-an, kaum muslimin Indonesia yang
mampu melaksanakan ibadah haji sebanyak 10.000 orang, (memang
hanya daerah-daerah tertentu yang penduduknya hampir mayoritas
beragama Islam, dan berpenghasilan dari sumber daya alam seperti
bertani dan nelayan yang pada waktu itu memiliki kesempatan
perdagangan yang lebih luas, sehingga memungkinkan mereka untuk
melaksanakan ibadah haji). Di samping 10.000 orang yang berangkat
haji, pemerintah memiliki data lain yaitu jamaah haji yang berangkat
secara mandiri sebanyak 1.843 orang, wafat 42 orang atau 2,28%,
sedangkan petugas administrasi 6 orang, tim kesehatan 15 orang.
Pada awal kemerdekaan penyelenggaraan ibadah haji dilakukan
oleh Penyelenggara Haji Indonesia (PHI) yang berada pada setiap
keresidenan atau pemerintahan daerah. Dalam perkembangan
selanjutnya, Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) mendirikan
sebuah yayasan yang secara khusus menangani ibadah haji yaitu Panitia
39
Perbaikan Perjalanan Haji Indonesia (PPHI) yang diketuai oleh K.H.M.
Sudjak. Kedudukan PPHI semakin kuat tatkala Menteri Agama
mengeluarkan Surat Kementerian Agama RIS No. 3170 Tahun 1950 dan
Surat Edaran Menteri Agama RIS No. A. III/I/648 Tahun 1950 yang
menunjuk PPHI sebagai lembaga yang sah di samping pemerintah untuk
mengurus dan menyelenggarakan Ibadah Haji di Indonesia. Pada masa
itu salah satu langkah penting pembenahan penyelenggaraan Ibadah Haji
oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Agama adalah dialihkannya
transportasi laut ke transportasi udara yang lebih modern agar
mengurangi penderitaan jamaah haji apabila menaiki kapal laut yang
penuh dengan bahaya. Pada masa tahun 1950-an tersebut penanganan
haji secara langsung tidak dilakukan oleh Departemen Agama melainkan
oleh panitia haji.
Hampir setiap tahun umat Islam yang berminat untuk menunaikan
ibadah haji tidak pernah surut, bahkan laju perkembangannya
menunjukkan grafik yang meningkat walaupun biaya yang ditetapkan
oleh pemerintah selalu menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan
setiap tahunnya, yaitu sejak tahun 1949 sebesar Rp. 3.395,14 meningkat
dua kali lipat pada tahun 1950 dan tahun 1951 sebesar Rp. 6.487,25 atau
sekitar 52,3%. Biaya perjalanan ibadah haji justru mengalami kenaikan
hanya sekitar 10%, yaitu pada tahun 1951 sebesar Rp. 6.487,25. Jumlah
jamaah haji Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 1951 sebanyak
9.502 orang, petugas haji Indonesia 20 orang, jamaah haji yang wafat
sebanyak 384 orang atau 4,04%
40
Membaiknya kehidupan perekonomian negara dan kemajuan
teknologi yang melanda dunia berpengaruh pula terhadap pengelolaan
perhajian di Indonesia sehingga mulai tahun 1952 transportasi jamaah
haji pemerintah menyediakan kesempatan kepada calon jamaah haji
untuk mempergunakan transportasi udara. Tentunya terdapat perbedaan
tarif angkutan haji yang cukup besar, hampir dua kali lipat, yaitu untuk
tarif haji udara sebesar Rp. 16.691, sedangkan haji laut sebesar Rp.
7.500.
Dengan adanya transportasi jamaah haji udara maka pada tahun
1952 jumlah jamaah haji meningkat sebanyak 14.324 orang, dengan
perincian yang menggunakan kapal laut sebanyak 14.031 orang, pesawat
udara 293 orang, jumlah jamaah haji yang wafat 278 orang atau 1,94%,
sedangkan petugas haji yang diberangkatkan sebanyak 32 orang, tim
kesehatan haji sebanyak 28 orang.25
Pada tahun 1964 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 122
tahun 1964 yang berisi tentang upaya mengatasi pengangkutan jamaah
haji (laut) dari Indonesia, maka pada tanggal 1 Desember 1964 berdirilah
PT. Arafat yang bergerak di bidang pelayanan ibadah haji dengan kapal
laut. Tujuan didirikannya PT. Arafat adalah:
a) Menyelenggarakan pengangkutan para jamaah haji (laut);
b) Menjalankan segala upaya dalam rangka membantu usaha
pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung yang
berkenaan dengan bidang pelayanan.
25 Achmad Nidjam dan Alatief Hanan, Manajemen Haji, (Jakarta: Media Cita), 2006, h.
37
41
c) Armada kapal laut yang digunakan untuk pengangkutan jamaah
haji antara lain KM. Gunung Jati, KM. Tjut Nyak Dien, KM.
Ambulombo, KM. Pasific Abeto, KM. Belle Abetto, KM. Le Havre
Abeto dan KM. La Grande Abeto. Kapal laut untuk pengangkutan
jamaah haji ini termasuk kapal laut yang memiliki keunggulan
teknologi pada saat itu dan dapat berlayar untuk jangka waktu satu
bulan. Di kapal ini seluruh calon jamaah haji Indonesia melakukan
kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan masalah manasik haji
dan pengkajian agama secara mendalam.26
2. Penyelenggaraan Haji pada Masa Orde Baru
Tugas awal penguasa orde baru sebagai pucuk pimpinan
Negara pada tahun 1966 adalah membenahi dan menormalkan sistem
kenegaraan yang porak-poranda akibat G 30S PKI dan kekuasaan orde
lama. Pembenahan sistem pemerintahan ini berpengaruh pula terhadap
penyelenngaraan haji dengan dibentuknya Departemen Agama,
selanjutnya mengubah struktur dan tata kerja organisasi Menteri Usaha
haji dan mengalihkan tugas penyelenggaraan ibadah haji di bawah
wewenang Direktur Jenderal Urusan Haji, termasuk besarnya biaya,
sistem manajerial dan bentuk organisasi yang kemudian ditetapkan dalam
keputusan Dirjen Urusan Haji Nomor 105 tahun 1966. Pada tahun itu
ditetapkan pula biaya perjalanan ibadah haji dalam tiga kategori, yaitu
haji dengan kapal laut sebesar Rp. 27.000, haji berdikari sebesar Rp.
67.500, haji dengan pesawat udara sebesar Rp. 110.000. Jumlah jamaah
26 Ibid, h.42-43.
42
haji yang diberangkatkan seluruhnya mencapai 15.983 orang, yaitu
dengan kapal laut sebanyak 15.610 orang, dengan pesawat udara 373
orang, sedangkan jumlah haji kapal laut yang wafat 114 orang, dan 2
orang jamaah haji udara, atau 0,73%.27
Pemerintah ikut bertanggung jawab secara penuh dalam
penyelenggaraan ibadah haji, sejak penentuan biaya hingga pelaksanaan
serta hubungan antara dua negara yang mulai dilaksanakan pada tahun
1970. Dengan keputusan tersebut, maka rakyat merasa diperhatikan
langsung oleh pemerintah. Dalam rangka mengefisienkan pelaksanaan
penyelenggaraan haji, maka pada tahun tersebut biaya perjalanan ibadah
haji ditetapkan oleh presiden berdasarkan kriteria penggunaan
transportasi melalui Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 1970, yaitu
biaya perjalanan pesawat terbang sebesar Rp. 380.000, sedangkan
berdikari sebesar Rp. 336.000. Secara resmi pemerintah tidak
menetapkan biaya haji dengan kapal laut karena jumlah calon jamaah
haji yang menggunakan kapal laut mengalami penurunan yang
signifikan. Sekalipun demikian, pemerintah memberikan kebebasan
kepada jamaah haji berdikari tetap menggunakan kapal laut. Sesuai data
tahun tersebut jamaah haji berdikari yang menggunakan kapal laut
sebanyak 12.845 orang, sedangkan yang menggunakan pesawat terbang
sebanyak 1.229 orang. Dalam tahun-tahun berikutnya, antara tahun 1971-
1973 penyelenggaraan ibadah haji tidak banyak mengalami perubahan-
perubahan kebijakan.
27 Ibid, h.44-45.
43
Pada tahun 1974, sebuah peristiwa besar menghentikan
sanubari bangsa Indonesia dan mengejutkan dunia ketika pesawat udara
Martin Air yang mengangkut jumlah haji mengalami kecelakaan di
Colombo. Kecelakaan ini menewaskan 1.126 orang dan merupakan
peristiwa besar yang tak terlupakan dalam sejarah perhajian Indonesia.
Penyebab kecelakaan tersebut tidak diketahui secara pasti, yang jelas
pesawat tersebut menabrak gunung. Ada pula kejadian yang berada di
luar perhitungan pemerintah sebanyak 79 orang jamaah melahirkan.
Dengan kejadian tersebut pemerintah semakin selektif alat transportasi
udara yang akan dipergunakan untuk menyelenggarakan haji, dan
diharapkan kejadian tersebut tidak terulang kembali. Pada tahun 1974,
Keputusan Presiden menetapkan biaya perjalanan ibadah haji berdikari
sebesar Rp. 556.000, dan pesawat terbang sebesar Rp. 560.000. Pada
waktu itu jumlah ibadah haji berdikari kapal laut sebanyak 15.396 orang
dan pesawat udara sebanyak 53.752 orang.28
Banyaknya problema perjalanan haji dengan kapal laut yang
tidak dapat diselesaikan, termasuk pailitnya PT. Arafat, mulai tahun 1979
pemerintah melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: SK-
72/OT.001/Phb79, memutuskan untuk meniadakan pengangkutan jamaah
haji dengan kapal laut dan menetapkan bahwa penyelenggaraan angkutan
haji dilaksanakan dengan menggunakan pesawat udara.
Pada awal penghapusan jamaah haji laut, bangsa Indonesia
kembali ditimpa kedukaan yang luar biasa akibat terjadinya kecelakaan
28 Ibid, 47-48.
44
pesawat udara yang mengangkut jamaah haji untuk kedua kalinya.
Kecelakaan ini juga terjadi di Colombo yang disebabkan oleh kesalahan
navigasi pesawat Loft Leider. Jamaah haji yang wafat seluruhnya 960
orang, termasuk yang wafat bukan karena kecelakaan ini. Dengan
banyaknya pengalaman dalam penyelenggaraan ibadah haji pada tahun-
tahun sebelumnya, maka pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama,
mengkaji ulang penyelenggaraan ibadah haji agar lebih terjamin. Pada
tahun 1979, bersama Menteri Kehakiman, Menteri Agama mengeluarkan
Keputusan tentang penyelenggaraan Umroh, peraturan ini merupakan
cikal bakal dari peraturan penyelenggaraan ibadah haji. Pada saat itu
banyak di antara para jamaah haji yang mencari jalan pintas akibat gagal
melaksanakan ibadah haji, yakni melaksanakan ibadah umroh lebih dulu
kemudian tinggal sementara untuk menunggu waktu haji tiba. Hal ini
banyak menimbulkan persoalan bagi pemerintah Arab Saudi. Banyak di
antara jamaah haji yang kemudian tidak bisa kembali ke kampung
halaman karena kehabisan bekal (biaya).29
Dasawarsa 1980-an terjadi perkembangan menarik dimana
pemerintah mulai memberi peluang (kembali) swasta dalam
penyelenggaraan urusan haji, khususnya untuk pelayanan eksklusif yang
dikenal dengan nama program ONH Plus. Pihak swasta sendiri menyebut
kegiatan itu merupakan sub-sistem atau bagian dari penyelenggaraan haji
oleh pemerintah. Disebut subsistem karena otoritas mengenai ketentuan
perusahaan mana saja, kuota, dan harga paket ONH Plus masih di tangan
29Achmad Nidjam dan Alatief Hanan, Manajemen Haji, h. 50-51
45
pemerintah hingga kini. Selain melibatkan perusahaan yang bergerak di
bidang ONH Plus, pemerintah juga memberi kesempatan kepada
berbagai yayasan, majelis ta’lim, ormas, milik masyarakat mengorganisir
jamaah haji di lingkungannya. Kegiatan itu tidak lepas dari kontrol
pemerintah dan tetap tergabung dalam paket penyelenggaraan urusan haji
yang dikelola pemerintah30.
Meningkatnya jamaah haji setiap tahunnya dapat dijadikan
sebagai parameter peningkatan pembangunan manusia seutuhnya dalam
sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan beragama. Besarnya jumlah
jamaah haji ini mengakibatkan makin berat pula beban pemerintah
karena penyelanggaraan ibadah haji merupakan kegiatan yang terus-
menerus rutin, teknis dan fungsional, apalagi meningkatnya taraf hidup
dan daya kritis masyarakat akan menimbulkan tuntutan yang makin
tinggi terhadap kualitas pelayanan ibadah haji.
Bertambahnya jumlah jamaah haji menimbulkan suatu
permasalahan tersendiri karena tempat atau wilayah peribadatan haji di
Arab Saudi tetap yaitu Makkah, Mina, Arafah, Muzdalifah dan Madinah.
Wilayah ini juga tidak mungkin akan mampu menampung jumlah jamaah
haji yang terus bertambah dari negara-negara lain. Hal ini jelas akan
membebani masing-masing jamaah haji secara fisik, seperti kelelahan,
kebisingan, serta kemacetan, dan bahkan kemungkinan besar dapat
mengganggu kekhusyukan jamaah haji dalam melaksanakan ibadah
hajinya.31
30 http://www.hamline.edu diakses pada 19 Agustus 2015 Pukul 17:38 WIB. 31 Achmad Nidjam dan Alatief Hanan, Manajemen Haji, h. 59-60
46
3. Penyelenggaraan Haji pada Masa Reformasi
Pada masa reformasi tepatnya pada tahun 1999 akhirnya
dimulailah era baru pada penyelenggaraan haji di Indonesia dengan
keluarnya UU No. 17 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Dengan keluarnya Undang-Undang ini diharapkan Penyelenggaraan
Ibadah Haji di Indonesia dapat dilakukan dengan lebih berkualitas. Pasal
5 UU No. 17 Tahun 1999 mengatur bahwa ”Penyelenggaraan ibadah haji
bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan
yang sebaik-baiknya melalui sistem dan manajemen penyelenggaraan
yang baik agar pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan aman,
tertib, lancar, dan nyaman sesuai dengan tuntunan agama serta jemaah
haji dapat melaksanakan ibadah secara mandiri sehingga diperoleh haji
mabrur” inilah hal yang dituju dalam Undang-Undang tersebut dalam hal
penyelenggaraan Ibadah Haji, yaitu memberikan pembinaan, pelayanan,
dan perlindungan yang sebaik-baiknya melalui sistem dan manajemen
penyelenggaraan yang baik. Tetapi, apa yang dicanangkan dalam
Undang-Undang ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dari
tahun ke tahun tidak ada gebrakan pembenahan sistem dan manajemen
penyelenggaraan Ibadah Haji yang lebih baik. Hal tersebut diperparah
oleh kejadian pada musim haji tahun 2006 Masehi/1427 Hijriyah dimana
terjadi kelaparan pada jamaah haji reguler disebabkan keterlambatan
yang amat sangat lama dalam menyediakan dan membawa makanan oleh
pihak penyedia katering makanan bagi jamaah haji reguler.
47
Dengan berbagai pertimbangan diatas UU nomor 17/1999 di
revisi dengan UU nomor 13/2008 yang menegaskan bahwa Pemerintah
dalam hal ini Depag masih menjadi Operator penyelenggaraan ibadah
haji Indonesia. Hal itu tertuang jelas dalam Pasal 10 ayat (1) yang
berbunyi “Pemerintah sebagai penyelenggara Ibadah Haji berkewajiban
mengelola dan melaksanakan Penyelenggaraan Ibadah Haji.32
Untuk pencapaian kualitas dalam pelayanan penyelenggaraan
operasional haji, maka dibutuhkan karyawan/pegawai atau dengan kata
lain sumber daya manusia yang professional (mampu bersaing era
globalisasi) dan berdedikasi (mempunyai naluri inovasi, motivasi, pro
aktif) yang tinggi, adanya sistem dan manajemen yang tersusun rapih
serta dibutuhkannya metode pengawasan terhadap institusi terkait yang
dilaksanakan secara efektif. Di samping itu, terciptanya hubungan kerja
yang baik di antara beberapa unit terkait dalam penyelenggaraan ibadah
haji, yaitu Departemen Agama Pusat, kantor Wilayah Departemen
Agama, Kantor Departemen Kabupaten/Kota, kemudian dengan instansi
lain di luar Departemen Agama seperti Departemen Kehakiman dan
HAM, Departemen Luar Negeri, Departemen Perhubungan, Departemen
Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kesehatan, lembaga
keuangan dan unsur-unsur pemerintahan daerah serta kedutaan besar
Kerajaan Arab Saudi dalam hal ijin masuk (visa) ke Negara Arab Saudi
dan ketentuan tentang penyelenggaraan haji yang ditetapkan oleh
Pemerintah Arab Saudi.
32 www.rasio.wordpress.com diakses pada 19 Agustus 2015 Pukul 17:38 WIB.
48
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG
KOMISI PENGAWAS HAJI INDONESIA (KPHI)
A. Sejarah
Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji. Sesuai dengan namanya, KPHI adalah sebuah
komisi yang melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan ibadah haji.
KPHI merupakan lembaga mandiri yang dibentuk dalam rangka
meningkatkan pelayanan penyelenggaran ibadah haji Indonesia. Hampir dua
setengah tahun proses untuk mencari anggota Komisi Pengawas Haji
Indonesia (KPHI) periode pertama. Proses pendaftaran calon anggota KPHI
dari berbagai tes telah dimulai sejak Oktober 2010. Namun Komisioner KPHI
baru ditetapkan pada Maret 2013.1
Calon anggota KPHI ini mengikuti Pasal 14 UU PIH. (1) Terdiri
atas Sembilan orang anggota. (2) Keanggotaan terdiri atas unsur masyarakat
enam orang dan unsur pemerintah tiga orang. (3) Unsur masyarakat terdiri
atas unsur Majelis Ulama Indonesia (MUI), organisasi masyarakat Islam, dan
tokoh masyarakat Islam. (4) Unsur pemerintah dapat ditunjuk dari
departemen/instansi yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Ibadah Haji
(Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perhubungan).
Proses selanjutnya, presiden menyampaiakan calon anggota KPHI kepada
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendapat pertimbangan.
1 Buletin KPHI: Media Komunikasi & Informasi, (Jakarta: KPHI), 2014, Edisi, h.1.
49
Setahun lebih tanpa ada kabar, pada 6 hingga 8 Februari 2012
Komisi VIII DPR mengundang dan mendengarkan paparan dari masing-
masing calon anggota KPHI di ruang sidang komisi VIII DPR. Melalui rapat,
komisi VIII menyampaikan hasil pertimbangan kepada presiden. Karena
wakil dari Kementerian Kesehatan (Dr. H. Chalik Marsulili, MSc.) wafat,
Kementerian Kesehatan mengajukan nama pengganti untuk mendapat
pertimbangan DPR.
Setelah melalui proses panjang yang ditunggu calon dan
masyarakat, setahun kemudian pada awal 2013 presiden menetapkan
sembilan anggota KPHI melalui Keppres No. 13 P Tahun 2013 tanggal 13
Februari 2013. Selanjutnya, Menteri Agama mengambil sumpah jabatan
sembilan anggota KPHI pada 26 Maret 2013 di Aula Kantor Kemenag Jalan
M.H Thamrin.
Adapun anggota KPHI periode pertama yang bertugas selama tiga
tahun (2013-2016) adalah enam unsur dari masyarakat: Drs. H. Slamet
Effendy Yusuf, M.Si; Drs. H. Imam Addaruquthni, SQ, MA; Ir. H. Agus
Priyanto; Dr. H. Syamsul Ma’arif, MA; Drs. H. M. Samidin Nashir, MM;
Drs. H. Mohammad Thoha, M.Si. Sementara tiga Komisioner unsur
pemerintah adalah: Drs. H. Ahmed Machfudh, MPA (Kementerian Agama);
Dr.H. Abidinsyah Siregar, DHSM, M.Kes (Kementerian Kesehatan); Dra. Hj.
Lilien Ambarwiyati (Kementerian Perhubungan).
Sesuai dengan ketentuan, Ketua dan Wakil Ketua KPHI dipilih dari
dan oleh anggota Komisi. Komisioner KPHI periode pertama telah memilih
50
Slamet Effendy Yusuf sebagai ketua dan Imam Addaruquthni sebagai Wakil
Ketua.2
Terbentuknya Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) sesuai
dengan amanah Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH). KPHI semestinya terbentuk setahun
setelah UU PIH diundangkan pada 2008. Dorongan untuk pembentukan
KPHI mencuat dalam Evaluasi Nasional Penyelenggaraan Ibadah Haji pada
Januari 2010.
Secara historis, pembentukan KPHI sebagai institusi mandiri
merupakan sejarah baru dalam penyelenggaraan ibadah haji Indonesia
sebagai wujud pemisahan fungsi kebijakan, penyelenggaraan, dan
pengawasan. Sejarah baru bersifat reformatif terhadap penyelenggaraan
ibadah haji yang dikelola pemerintah sejalan dengan prinsip-prinsip tata
kelola pemerintahan yang baik dan transparan. Dengan lahirnya KPHI
sebagai komisi pengawas, fungsi Kemenag terbatas pada fungsi pembuat
kebijakan dan penyelenggara operasional haji.
Fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan ibadah haji menjadi
sangat penting untuk memastikan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan
tersebut telah sesuai dengan aturan dan standar yang berlaku sesuai
perencanaan. Dari pengawasan dengan standar dan indikator yang telah
ditetapkan itu dapat diketahui, apakah ada penyimpangan untuk mengambil
tindakan perbaikan.
2 Agus Priyanto, Komisioner KPHI dalam Buletin KPHI; Media Komunikasi &
Informasi, Edisi 1, (Jakarta: KPHI) , 2014, h. 7-8.
51
Selama ini pengawasan penyelenggaraan ibadah haji dilakukan
secara paralel dan simultan oleh berbagai instansi pengawasan, antara lain
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Ombudsman
Republik Indonesia (ORI), dan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama
(Itjen Kemenag). Dari sisi justisia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
ikut mengawasi penyimpangan dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Dengan terbentuknya KPHI, pengawasan terhadap penyelenggaran
ibadah haji menjadi lebih komprehensif. Pengawasan penyelenggaraan ibadah
haji yang menjadi tugas dan tanggung jawab KPHI dilakukan mulai dari
tahap perencanaan hingga tahap operasional. KPHI juga bertugas
menghimpun berbagai masukan, saran, dan pertimbangan dari berbagai pihak
dalam rangka penyempurnaan manajemen dan peningkatan mutu pelayanan
penyelenggaraan ibadah haji Indonesia.3
B. Tugas dan Fungsi
Sesuai dengan UU PIH Pasal 12 ayat (3), KPHI bertugas
melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap penyelenggaraan ibadah
haji serta merumuskan perimbangan untuk penyempurnaan penyelenggaraan
ibadah haji. Sementara menurut pasal 12 ayat (4), KPHI memiliki empat
fungsi. Pertama, memantau dan menganalisis kebijakan operasional
penyelenggaraan ibadah haji Indonesia. Kedua, menganalisis hasil
3 Webste resmi KPHI www.kphi.go.id diakses pada 20 Agustus 2015 pukul 20:40 WIB
52
pengawasan dari berbagai lembaga pengawasan dan masyarakat. Ketiga,
menerima masukan dan saran masyarakat mengenai penyelenggaraan ibadah
haji. Keempat, merumuskan pertimbangan dan saran penyempurnaan
kebijakan operasional penyelenggaraan ibadah haji.
Sebelum KPHI terbentuk, pengawasan penyelenggaraan ibadah
haji dilakukan secara pararel dan simultan oleh berbagai instansi pengawasan,
antara lain Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP),
Omdusman Republik Indonesia (ORI) dan Inspektorat Jendral Kementerian
Agama (Itjen Kemenag). Dari sisi justisia, Komisi Pemberantas Korupsi
(KPK) ikut mengawasi penyimpangan dalam penyelenggaraan haji.
Dengan pembentukan KPHI, pengawasan terhadap
penyelenggaraan ibadah haji menjadi lebih komprehensif. Pengawasan yang
menjadi tugas dan tanggung jawab KPHI dilakukan mulai dari tahap
perencanaan hingga tahap operasional. KPHI juga bertugas menghimpun
berbagai masukan, saran dan pertimbangan dari berbagai pihak dalam rangka
penyempurnaan manajemen dan peningkatan mutu pelayanan
penyelenggaraan ibadah haji Indonesia4
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, sesuai dengan UU PIH
Pasal 12 ayat (5), KPHI dapat bekerja sama dengan pihak-pihak terkait sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. KPHI melaporkan hasil pelaksanaan
4 Ibid, h.3.
53
tugasnya secara tertulis kepada Presiden dan DPR paling sedikit satu kali
dalam setahun.
Tugas pokok dan fungsi ini mengharuskan KPHI benar-benar dapat
berjalan sesuai dengan asas keadilan, profesionalitas dan akuntabilitas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU PIH. Asas keadilan berarti
penyelenggaran ibadah haji berpegang pada kebenaran, tidak berat sebelah,
tidak memihak dan tidak sewenang-wenang dalam penyelenggaraan ibadah
haji. Kunci agar pengawasan berjalan efektif terletak pada transparansi atau
keterbukaan dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Adapun yang dimaksud dengan asas “profesionalitas” adalah
penyelenggaraan ibadah haji harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan
keahlian para penyelenggaranya. Pengawas haji memerlukan profesional
yang memenuhi syarat: (1) menguasai bidang (kompeten), (2) memiliki spirit
dan motivasi (loyalitas), (3) mempunyai nilai kejujuran, kebenaran dan
keadilan (integritas) dan (4) berpegang teguh pada professionalisme
(komitmen).
Sementara, asas “akuntabilitas dengan prinsip nirlaba”
mengharuskan penyelenggaraan ibadah haji dilakukan secara terbuka dan
dapat dipertanggung jawabkan secara etik dan hukum dengan prinsip tidak
untuk mencari keuntungan . Akuntabilitas berkaitan erat dengan
petanggungjawaban terhadap efektivitas pengawasan kegiatan dalam
pencapaian sasaran, target kebijaksanaan atau program.5
5 Ibid, Edisi 1, h.4.
54
C. Kedudukan dan Peran
Sesuai dengan namanya, KPHI adalah sebuah komisi yang
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan ibadah haji. KPHI
merupakan lembaga mandiri yang dibentuk dalam rangka meningkatkan
pelayanan penyelenggaran ibadah haji Indonesia. Hasil pengawasan KPHI
diharapkan dapat mendorong penyelenggara untuk melakukan perbaikan-
perbaikan sehingga jamaah haji merasa aman dan nyaman dalam
menunaikan ibadah sesuai syariat guna mencapai haji mabrur.
Sebagai institusi baru, KPHI merupakan lembaga mandiri yang
bertanggung jawab kepada Presiden. Keanggotaannya bersifat komisioner
yang terdiri atas unsure masyarakat dan pemerintah. Melalui proses panjang
selama dua setengah tahun dengan berbagai tahapan. Komisioner KPHI
periode pertama diambil sumpahnya pada 26 Maret 2013. Saat pengambilan
sumpah, Menteri Agama berharap dengan adanya KPHI nantinya
pengawasan independen dapat dilaksanakan dengan baik. Selain itu, KPHI
juga diharapkan dapat merangkul semua pihak, termasuk tokoh masyarakat,
akademisi, praktisi dan organisasi masyarakat untuk mewujudkan
penyempurnaan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia yang lebih baik dan
kredibel.6
Imam Addaruquthni menjelaskan bahwa peran KPHI dalam
memastikan optimalisasi layanan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia
adalah dengan melakukan telaah mendalam dan kritis terhadap kebijakan
perencanaan layanan penyelenggaraan ibadah haji dari Menteri Agama.
6 Buletin KPHI: Media Komunikasi & Informasi, (Jakarta: KPHI), 2014, Edisi I, h.3-4.
55
Telah dimaksud ditempuh dengan menimbang relevansi kebijakan dengan
instrumen organisasional di Kementerian Agama yaitu workability,
practicability dan applicability. Pertimbangan kebijakan juga terkait dengan
kualitas layanan penyelenggaraan haji; dan apakah saran atau rekomendasi
dari berbagai lembaga pengawasan sudah ditindaklanjuti.
D. Tata Kerja
KPHI melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga yang juga
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan haji. Pada tahap awal
KPHI melakukan pertemuan koordinasi dengan KPK, Omdusman, BPKP,
BPK dan Inspektorat Jendral Kementerian Agama (Irjen Kemenag). Laporan
hasil pengawasan dari masing-masing lembaga dimaksud dianalisis dan
disinkronkan dengan program pengawasan KPHI. Style KPHI adalah proaktif,
yaitu dengan melakukan silaturahim ke sejumlah lembaga pengawasan dan
berdialog secara kemitraan dalam posisi KPHI sebagai leading sector dalam
kepengawasan perhajian.7
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam KPHI
wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi baik secara
internal maupun eksternal sesuai dengan bidang tugas masing-masing. KPHI
melakukan rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1(satu) bulan atau sewaktu-
waktu jika diperlukan.Dalam rapat sebagaimana dimaksud pada KPHI dapat
mengundang instansi dan/atau pihak terkait. Pengambilan keputusan KPHI
dilakukan secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam hal
7 Buletin KPHI: Media Komunikasi & Informasi, (Jakarta: KPHI), 2014, Edisi 2, h.23.
56
pengambilan keputusan secara musyawarah untuk mencapai mufakat tidak
tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Keputusan
sebagaimana dimaksud dinyatakan sah apabila rapat KPHI dihadiri paling
sedikit 5 (lima) orang anggota KPHI dengan keterwakilan unsur pemerintah
dan masyarakat. Lalu KPHI melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara
tertulis kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
E. Perkembangan
Pada tahun pertama, KPHI menyiapkan kelembagaan dan
infrastruktur pendukung, meskipun dengan keterbatasan sumber daya (staf
kesekretariatan dan dana). Selama tiga bulan pertama, KPHI menumpang
kantor dengan fasilitas seadanya hingga pada pertengahan tahun 2013 KPHI
menempati gedung kantor di Jalan Kramat Raya No. 85, Jakarta Pusat.
Keterbatasan yang ada menjadi tantangan bagi Komisioner KPHI
dalam menjalankan tugasnya. KPHI bersama sekretariat menyiapkan berbagai
instrumen pengawasan, tata tertib organisasi dan kode etik. Komisioner juga
melakukan fungsi monitoring dan pengawasan penyelenggaraan ibadah haji
tahun 2013 di Tanah Air maupun di Tanah Suci serta menyusun laporan
sebagai pertanggung jawaban tugas kepada presiden.
Dengan modal pengalaman pengawasan pada tahun pertama, KPHI
lebih mantap melakukan fungsi pengawasan pada tahun 2014. Modalnya
tentu pemahaman terhadap kebijakan, isu strategis, situasi dan kondisi di
embarkasi dan Arab Saudi serta perbaikan instrumen pengawasan. Dalam
57
menjalankan fungsinya, KPHI telah bertemu dengan pemangku kepentingan
ibadah haji dari lembaga pengawasan (DPD, BPK, BPKP, KPK, Omdusman,
Itjen Kementerian Agama) serta pemangku kepentingan lain dari asosiasi
penyelenggara ibadah haji khusus dan kelompok bimbingan ibadah haji.
Keterbatasan jumlah staf justru menjadi tantangan bagi Komisioner
KPHI untuk melakukan pengawasan langsung (ainul yaqin). Dengan
pengamatan langsung ke obyek serta bertemu dan berdialog dengan
narasumber, Komisioner KPHI benar-benar yakin terhadap fakta dan temuan
di lapangan. Misalnya, Tim Pengawas KPHI menemukan rencana pemadatan
jamaah di beberapa hotel Mekkah pada saat pengawasan pra operasional
penyelenggaraan ibadah haji. Ketika dilaporkan tidak ada lagi pemadatan
karena ada reposisi saat operasional, Komisioner KPHI masih menemukan
ada pemadatan, sehingga langsung disampaikan kepada penyelenggara untuk
perbaikan.
Tidak mudah membangun lembaga baru. KPHI periode pertama
telah berjuang dan membuat pijakan bagi KPHI periode berikutnya, Hasil
spirit perjuangan periode pertama itu berupa pondasi organisasi beserta
perangkatnya yang kelak akan dilanjutkan pada periode berikutnya agar
KPHI menjadi lembaga pengawas haji yang kuat dan disegani.8
8 Slamet Effendy Yusuf (Ketua KPHI), dalam Buletin KPHI; Media Komunikasi & Informasi,
Edisi 1, (Jakarta: KPHI), 2014, h. 5.
58
F. Visi, Misi dan Motto
1. Visi : “Terwujudnya KPHI yang Kredibel untuk Pengawasan Efektif
Penyelenggaraan Ibadah Haji.”
2. Misi
a. Memujudkan Pengawasan Efektif untuk Ketersediaan Pembinaan
Jemaah Haji.
b. Meningkatkan Pengawasan Efektif untuk Kualitas Pelayanan
Jemaah Haji.
c. Memperluas Pengawasan Efektif untuk Keterjaminan Perlindungan
Jemaah Haji.
d. Mendorong Pengawasan Efektif untuk Keberlanjutan Manajemen
PIH.
3. Motto : “Pengawasan Haji yang Kredibel dan Akuntabel”.9
G. Struktur Organisasi Periode 2013-2016
KPHI dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua.
Beranggotakan 9 (sembilan) orang yang terdiri dari unsur:
1. Masyarakat sebanyak 6 (enam) orang terdiri atas unsur Majelis Ulama
Indonesia, organisasi masyarakat Islam, dan tokoh masyarakat Islam.
2. Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang yang dapat ditunjuk dari
kementerian/instansi yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Ibadah
Haji.
9 Webste resmi KPHI www.kphi.go.id diakses pada 20 Agustus 2015 pukul 20:40 WIB.
59
3. Anggota KPHI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul
Menteri setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pada halaman berikutnya penulis sajikan Struktur Komisi Pengawas
Haji Indonesia (KPHI) periode tahun 2013-2016.
Tabel 3.1 Struktur KPHI Periode Pertama
Sumber : Buletin KPHI Edisi I Tahun 2014
Anggota Komisi:Drs. H. Slamet Effendy Yusuf, M.Si (Ketua)Drs. H. Imam Addaruquthni, SQ, MA. (Wakil)Drs. H. Muhammad Samidin Nashir, MM.Dr. H. Syamsul Ma'arif, MA.Ir. H. Agus PriyantoDrs. H. M Thoha, M.Sidr. H. Abidin Syah Siregar, DHSM, M.Kes.Drs. H. Ahmed Machfud, MMC, MPA.Dra. Hj. Lilien Ambarwiyati
Subdit Fasilitas KPHI(PMA 80 Tahun 2013)
Seksi Fasilitas Administrasi
Seksi Pengaduan Masyarakat,
Informasi dan Komunikasi
Seksi Analisis dan Pelaporan
60
BAB IV
MEKANISME PENGAWASAN KPHI DALAM OPERASIONAL
PENYELENGGARAAN HAJI DI INDONESIA
A. Mekanisme Pengawasan KPHI
Langkah-langkah yang diterapkan dalam pengawasan dalam
penyelenggaraan ibadah haji meliputi penetapan ukuran standar, penilaian
kinerja dengan standar serta pencatatan terhadap penyimpangan yang terjadi
yang kemudian akan dilaporkan pada presiden guna perbaikan ke depannya.
Berikut ini adalah gambaran dari skema langkah-langkah pengawasan
KPHI dalam penyelenggaraan haji di Indonesia.
Gambar 4.1
Tahapan Pengawasan KPHI dalam Penyelenggaraan Haji di Indonesia
Sumber point : Dr. H. Syamsul Ma’arif, MA (wawancara pribadi)
Membuat instrumen
pengawasan.
Melakukan sidak dan mendatangi Panitia PPIH sesuai dengan kapasitas
masing-masing
Pembuktian di lapangan
61
1. Membuat Instrumen Pengawasan (Penetapan Ukuran Standar)
Instrumen ini sudah baku yang selalu digunakan dari tahun ke
tahun kecuali ada penambahan-penambahan.1 Pemerintah bertanggung
jawab atas kebijakan penyelenggaraan ibadah haji secara nasional.
Kebijakan tersebut ditetapkan oleh Menteri Agama berkoordinasi dengan
kementerian/instansi terkait. Dalam Pasal 7 UU PIH dikatakan, jemaah
haji berhak memperoleh pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dalam
menjalankan ibadah haji yang meliputi :
a. Pembimbingan manasik haji dan/atau materi lainnya, baik di Tanah
Air, di perjalanan, maupun di Arab Saudi;
b. Pelayanan akomodasi, konsumsi, transportasi, dan pelayanan
kesehatan yang memadai di Tanah Air, selama di perjalanan,
maupun di Arab Saudi;
c. Perlindungan sebagai Warga Negara Indonesia;
d. Penggunaan paspor haji dan dokumen lainnya yang diperlukan untuk
pelaksanaan ibadah haji; dan
e. Pemberian kenyamanan transportasi dan pemondokan selama di
Tanah Air, di Arab Saudi, dan saat kepulangan ke Tanah Air.
Untuk memberikan pelayanan kepada jemaah haji, Kementerian
Agama bekerja sama dengan kementerian dan lembaga lainnya, misalnya
Kementerian Kesehatan, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian
Hukum dan HAM RI. Penyelenggaraan ibadah haji mempunyai landasan
yang diatur dalam sejumlah Undang-Undang, Peraturan Menteri Agama,
1 Wawancara pribadi dengan Syamsul Ma’arif (Komisioner KPHI) pada 27 Agustus 2015
pukul 13:00-15:00 WIB di Kantor KPHI.
62
Peraturan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah
Kementerian Agama di ti ngkat pusat sampai peraturan lainnya di tingkat
provinsi dan kabupatn/kota.
Dalam pengawasan harus ada sebuah pedoman sebagai tolak
ukur penilaian atas kinerja atau kegiatan yang terjadi. Sebagai pelaku
pengawasan eksternal, dalam mengawasi penyelenggaraan haji di
Indonesia KPHI sudah mempunyai pedoman penilaian sebagai acuan
dasar berupa:
a. Organisasi, Tata Kerja dan Petugas
Dalam rangka penyelenggaraan ibadah haji, Menteri Agama
menunjuk petugas yang menyertai jamaah haji yang terdiri atas Tim
Pemandu Haji Indonesia (TPHI), Tim Pembimbing Ibadah Haji
Indonesia (TPIHI) dan Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI). Petugas
yang tergabung dalam kelompok terbang (kloter) ada dua komponen
yang berasal dari unsur jamaah, yaitu Ketua Rombongan (Karom) dan
Ketua Regu (Karu).
Penyelengggaraan ibadah haji dilaksanakan oleh organisasi yang
sifatnya permanen dan organisasi kepanitiaan. Organisasi permanen
terdiri dari tingkat nasional oleh Direktorat Jendral (Ditjen)
Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU), tingkat provinsi oleh Kantor
Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) dan tingkat
kabupaten/kota oleh Kantor Kementerian Agama (Kankemenag).
Penyelenggaraan ibadah haji di Arab Saudi (perencanaan, persiapan,
pelaksanaan dan evaluasi) dilaksanakan oleh Kantor Urusan Haji (KUH)
63
yang secara organisatoris administratif berada di bawah Konsulat Jendral
Republik Indonesia di Jeddah.
Organisasi penyelenggara ibadah haji yang sifatnya kepanitiaan
meliputi Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Indonesia dan PPIH
Arab Saudi. PPIH Arab Saudi dibentuk oleh Menteri Agama sebelum
pelaksanaan ibadah haji dimulai yang terdiri atas unsur Kementerian
Agama, Kementerian Kesehatan dan unsure terkait di Arab Saudi. Untuk
memberikan pelayanan kepada jamaah haji di Arab Saudi, PPIH Arab
Saudi membentuk tiga Daerah Kerja (Daker); Daker Jeddah, Makkah dan
Madinah yang membawahi beberapa sektor.
b. Bimbingan Ibadah
Undang-undang Nomor 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji Pasal 3 mengamanatkan bahwa “Penyelenggaraan Ibadah
Haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan dan
perlindungan yang sebaik-baiknya bagi jamaah haji, sehingga jamaah
haji dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan ketentuan ajaran agama
Islam”, Untuk itu, segala hal yang mendukung terwujudnya tujuan
tersebut harus diupayakan semaksimal mungkin.
UU PIH menegaskan Pemerintah berkewajiban memberikan
bimbingan kepada jamaah haji. Tujuan bimbingan untuk memberikan
bekal pengetahuan kepada jamaah tentang pelaksanaan dan tata cara
ibadah haji di Tanah Air dan Arab Saudi. Ruang lingkup bimbingan
berupa manasik haji, proses perjalanan haji, akhlakul karimah dan
64
panduan di Arab Saudi agar jamaah haji dapat melaksanakan ibadah haji
dengan tertib, lancar, aman dan nyaman sesuai tuntutan syariat.
c. Pelayanan Akomodasi
Pasal 37 UU Nomor 13 Tahun 2008 Ayat (1) menyatakan
bahwa Menteri Agama wajib menyediakan akomodasi bagi jamaah haji
tanpa memungut biaya tambahan dari jamaah haji di luar BPIH yang
telah ditetapkan. Dalam ketentuan ayat (2), akomodasi bagi jamaah haji
harus memenuhi standar kelayakan dengan memperhatikan aspek
kesehatan, keamanan, kenyamanan dan kemudahan jamaah haji beserta
barang bawaannya.
Pelayanan akomodasi diberikan kepada jamaah haji di asrama
haji embarkasi dan di Arab Saudi. Pemondokan jamaah haji di Arab
Saudi meliputi pemondokan berupa hotel di Makkah, Madinah dan
Jeddah (transito). Pemondokan di Makkah dilakukan dengan sistem sewa
kontrak langsung kepada pemilik hotel, sedangkan pemondokan di
Madinah dilakukan melalui majmu’ah (service group atau kelompok
pengusaha hotel dan penginapan).
d. Pelayanan Transportasi
Penyediaan fasilitas dan pelayanan transportasi dalam
penyelenggaraan ibadah haji merupakan amanat UU Nomor 13 Tahun
2008 Pasal 33 Ayat (1) yang menyatakan, pelayanan transportasi jamaah
haji ke Arab Saudi dan pemulangannya ke tempat embarkasi asal
Indonesia menjadi tanggung jawab Menteri Agama dan berkoordinasi
dengan menteri yang ruang lingkuo tugas dan tanggung jawabnya di
65
bidang perhubungan dengan memperhatikan aspek keamanan,
keselamatan, kenyamanan dan efisiensi.
Transportasi udara harus memenuhi persyaratan standar
kelayakudaraan, persyaratan administrative, kapasitas pesawat dan
standar teknis lainnya. Sementara transportasi darat yang dihubungkan
selama di Arab Saudi sebagai sarana angkutan jamaah haji antar kota
perhajian Jeddah, Makkah dan Madinah, antara pemondokan di Makkah
ke Masjidil Haram (shalawat) serta antara Arafah, Muzdalifah dan Mina
(Masyair) dengan bus taraddudi.
e. Pelayanan Konsumsi
Menurut Pasal 26 PP Nomor 79 Tahun 2012, pemerintah
memberikan pelayanan konsumsi kepada para jamaah haji di asrama haji
embarkasi dan di Arab Saudi. Pelayanan konsumsi di Arab Saudi harus
memenuhi kualitas standar gizi yang memperhatikan aspek kesehatan,
keamanan dan kenyamanan. Penyedia konsumsi juga harus memiliki
persyaratan administratif, peralatan, tenaga, bahan baku, pengolah,
distribusi, pelayanan, pengawasan dan penjaminan mutu.
Konsumsi bagi jamaah haji Indonesia di Arab Saangan didk
deudi diberikan di Madinah, Jeddah dan Armina serta di Makkah pada
tahun 2015. Mekanisme pengadaannya berupa: pengumuman,
pendaftaran, penilaian administrasi, teknis, peninjauan lapangan
(kasyfiah), uslan penetapan perusahaan, pengumuman calon pelaksana
katering dan penandatanganan kontrak dengan didampingi
supervise/konsultan hukum.
66
f. Pelayanan Kesehatan
Sesuai Pasal 31 UU PIH, pembinaan dan pelayanan kesehatan
ibadah haji baik pada saat persiapan maupun pelaksanaan PIH dilakukan
oleh Kementerian Kesehatan yang dikoordinasi oleh Menteri Kesehatan.
Pembinaan dan pelayanan kesehatan jamaah haji diberikan sebelum
keberangkatan, selama pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji dan
setelah kembali ke Indonesia. Pelayanan kesehatan jamaah haji sebelum
keberangkatan meliputi medical check up dan vaksinasi sesuai ketentuan
Pemerintah Arab Saudi.
Pemerintah membentuk panitia khusus untuk memberikan
pelayanan kesehatan yang bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan,
yakni Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) dan Tim Kesehatan Haji
Daerah (TKHD) oleh gubernur atau bupati/walikota. Tim kesehatan haji
Indonesia adalah petugas yang menyertai jamaah haji dalam kelompok
terbang yang bertugas memberikan pelayanan kesehatan bagi jamaah
haji. TKHI yang lulus seleksi ditetapkan oleh Menteri Kesehatan setelah
berkoordinasi dengan Menteri Agama.
g. Perlindungan dan Keamanan Jamaah
Pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan dan
menjamin keamanan jamaah haji Indonesia. Perlindungan hukum
terhadap berbagai persoalan yang dihadapi para jamaah haji di Arab
Saudi merupakan tanggung jawab pemerintah melalui Kedutaan Besar
Republik Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi.
67
PPIH melakukan berbagai upaya untuk memberikan
perlindungan dan keamanan jamaah haji Indonesia. Pertama,
mendapatkan personel pengamanan pada tiga daker sesuai dengan
prioritas keamanan. Kedua, mencegah, mengatasi dan menyelsaikan
kasus-kasus yang menimpa jamaah haji (kehilangan uang/barang,
tersesat jalan, penyalahgunaan barang bawaan dan lain lain).
h. Penyelenggara Ibadah Haji Khusus
Keberadaan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK)
diatur oleh beberapa peraturan, mulai dari Undang-Undang (UU),
Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri Agama (KMA) hingga
Keputusan Direktur Jendral Haji dan Umrah (Kepdirjen PHU). UU
Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH) Pasal
38 hingga 42 telah mengatur PIHK. Disebut khusus karena sesuai Pasal
38 (1) dan (2) UU PIH, PIHK diperuntunkan bagi masyarakat yang
membutuhkan pelayanan khusus dengan pengelolaan dan pembiayaan
bersifat khusus yang dijalankan oleh PIHK yang telah mendapat izin dari
Menteri Agama.
Persyaratan dan kewajiban PIHK tertuang dalam Pasal 39
dan 40 UU PIH serta Peraturan Pemerintah (PP) No.79 Tahun 2012
tentang pelaksanaan UU PIH. Lebih lanjut kewajiban PIHK tertuang
dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 22 Tahun 2011 tentang
Standar Pelayanan Minimal (SPM) PIHK. Kebijakan lainnya adalah
PMA No. 15 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
68
i. Kebijakan Pemerintah Arab Saudi
Selain berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia,
penyelenggaraan ibadah haji terkait dengan kebijakan Pemerintah Arab
Saudi. Penyelenggaraan ibadah haji di Arab Saudi didasarkan pula oleh
Ta’limatul Hajj. Misalnya, mulai tahun 2009 Pemerintah Arab Saudi
dalam Ta’limatul Hajj menyatakan jamaah haji dari seluruh dunia harus
menggunakan paspor internasional. Pemerintah Arab Saudi tidak
melayani visa, kecuali yang memiliki paspor hijau.
Pada 6 Juni 2013 Pemerintah Arab Saudi memberlakukan
kebijakan pemotongan kuota haji 20 persen tanpa terkecuali untuk setiap
Negara di dunia karena adanya proses pemugaran Masjidil Haram.
Akibat renovasi Masjidil Haram, kapasitas daya tamping tawaf 48.000
jamaah per jam berkurang menjadi 22.000 jamaah per jam. Selain itu,
fasilitas tawaf temporer hanya menampung 7.000-10.000 jamaah per
jam. Pengembangan Masjidil Haram dan fasilitas tawaf selama tiga tahun
akan menambah kapasitas menjadi 105.000 jamaah/jam.
Kebijakan Pemerintah Arab Saudi ini jelas berdampak pada
perencanaan penyelenggaraan haji Indonesia. Akibat pemotongan kuota
haji, jumlah jamaah haji dan petugas haji Indonesia ikut dipotong 20
persen. Dampak lebih lanjut, antrean jumlah jamaah haji Indonesia
semakin panjang. Untuk itu, Kementerian Agama melakukan
penyesuaiana dengan pemotongan 20 persen dengan meningkatkan
pelayanan serta memprioritas jamaah usia lanjut untuk berangkat lebih
dulu.
69
Tabel 4.1 Dampak Kebijakan Pengurangan Kuota Tahun 2013
Semula Menjadi
Haji reguler 194.000 155.200
Haji khusus 17.000 13.800
Kloter 484 387
Maktab 72 48
Petugas nonkloter 836 736
Sumber: PPIH 2013 yang dikutip pada Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan
Ibadah Haji Tahun 2013
Kebijakan baru di Arab Saudi dalam penyelenggaraan ibadah haji
tahun 2013 yang terkait maupun tidak terkait dengan pemotongan kuota 20
persen jemaah haji adalah:
1) Penomoran maktab oleh Muassasah tetap menggunakan angka 1
hingga 72, tapi tidak berurutan. Dengan demikian, terjadi perubahan
beberapa nomor maktab hasil undian (qur’ah).
2) Perubahan kebijakan mengenai kendaraan operasional haji.
3) Peningkatan pelayanan katering (nilai, kualitas, pelayanan dan boks
Armina).
4) Tambahan kepulangan slot Madinah (Medan).
5) Larangan transit di Jeddah (secara gradual).
6) Jarak maksimal pemondokan di Mekkah 2.750 meter dan Madinah
650 meter.
70
7) Layanan kantor sektor, termasuk kesehatan, melekat di pemondokan
Madinah.
8) Upgrading transportasi Shalawat dan antarkota perhajian.
9) Sektor Khusus di sekitar Masjidil Haram.
10) Himbauan untuk pencegahan penyakit virus Corona.2
Mulai tahun 2015 Pemerintah Arab Saudi menerapkan sistem e-hajj
secara penuh. Melalui sistem e-hajj in setiap jamaah haji mendapat
informasi lebih awal/sebelum tiba di Arab Saudi tentang pelayanan paket
seperti penginapan, transportasi dan pelayanan katering. Pihak otoritas dapat
memantau dan menindaklanjuti apakah pelayanan yang diberikan sesuai
dengan yang tertera di dalam dokumen visa melalui sistem yang
terintegrasi. Dengan sistem ini, diharapkan penyimpangan pelayanan tidak
terjadi dan pelayanan diberikan sesuai dengan kebijakan dan peraturan yang
berlaku.
Penerapan sistem e-hajj akan berpengaruh pada penyesuaian
kebijakan penyelenggaraan ibadah haji pada tahun ini. Dokumen jamaah
(paspor) harus disiapkan lebih awal (Rabiul Awal) sehingga permintaan
input data jamaah ke dalam sistem e-hajj bisa dipenuhi; pelayanan
akomodasi jamaah haji di Madinah dengan sistem sewa satu musim atau
sewa pada tanggal tertentu dengan syarat jadual kedatangan jamaah sudah
pasti; pelayanan konsumsi jamaah diberikan di Madinah, Makkah dan
Armina; sistem pengadaan pelayanan (akomodasi, konsumsi dan
2 Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1434 H / 2013 M Komisi
Pengawas Haji Indonesia, h.6-9, BAB II.
71
transportasi) dan pembayaran melalui jalur elektronik (e-punchrasing e-
payment).
2. Melakukan sidak dan mendatangi Panitia PPIH sesuai dengan kapasitas
masing-masing.3
Sidak ini dilakukan KPHI untuk mengetahui sejauh mana
rencana penyelenggaraan haji pada tahun 2013 yang akan dilaksanakan
dan seperti apa. Sidak yang dilakukan KPHI kepada PPIH ini dilakukan
pada PPIH di Tanah Air maupun PPIH di Arab Saudi dengan cara
menggali dengan pertanyaan-pertanyan untuk mengetahui perencanaan-
perencanaan seperti apa yang akan dilakukan dalam penyelenggaraan
haji pada tahun berjalan pada kapasitasnya masing-masing, seperti pada
akomodasi, konsumsi, transportasi, kesehatan, perlindungan jamaah,
organisasi-organisasi haji bahkan sidak ini pun dilakukan pada
penyelenggara haji khusus. Pada umumnya perencanaan haji setiap
tahunnya dalam segi operasional sama seperti tahun-tahun sebelumnya
karena perencanaan ini mengacu pada kebijakan penyelenggaraan tahun
berjalan.4
3. Pembuktian di lapangan
Inilah inti dari pengawasan yakni menyesuaikan kegiatan
penyelenggaraan dengan standar dan perencanaan yang sudah dilakukan
(pembuktian lapangan). Dalam pengawasan KPHI, kegiatan ini
3 Wawancara pribadi dengan Syamsul Ma’arif (Komisioner KPHI) pada 27 Agustus 2015 pukul 13:00-15:00 WIB di Kantor KPHI.
4 Ibid.
72
merupakan proses sinkronisasi antara peraturan yang berlaku beserta
kebijakan-kebijakannya dengan penyelenggaraan yang terjadi. Dengan
peraturan itu, komisioner pengawas dapat melakukan verifikasi terhadap
daftar program perjalanan para penyelenggara haji yang nantinya
digunakan sebagai instrument pengawasan. Proses verifikasi ini untuk
mengetahui apakah pelayanan dan penyelenggaraan ibadah haji
menyimpang atau tidak dengan standar atau sesuai atau tidak dengan
daftar program pnyelenggaraan Ditjen PHU dan PIHK.
Pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 1434H/2013, KPHI
melakukan serangkaian pengawasan sejak pemberangkatan dan
pemulangan jemaah haji di Tanah Air dan operasional penyelenggaraan
di Arab Saudi. Dari monitoring dan pengawasan yang dilakukan sejak
September hingga November 2013, KPHI menemukan sejumlah masalah
yang terkait organisasi, tata kerja dan petugas, bimbingan ibadah,
pelayanan transportasi, pelayanan pemondokan, pelayanan konsumsi,
pelayanan kesehatan, perlindungan dan pengamanan jemaah,
penyelenggaraan ibadah haji khusus, dan beberapa hasil temuan lainnya.
Dampak dari permasalahan tersebut telah dianalisis dan dilengkapi
dengan rekomendasi dan saran langkah yang akan terus dipantau oleh
KPHI. Informasi dan hasil analisis diuraikan secara detail dalam
“Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun
1434H/2013” yang terdiri atas lima bab. Khusus analisis hasil
pengawasan dari berbagai lembaga pengawas dan masyarakat akan
disajikan dalam laporan terpisah.
73
a. Secara umum, organisasi dan tata kerja PPIH dapat berjalan, namun
masih terdapat beberapa kendala. Misalnya, organisasi PPIH
embarkasi dan di Arab Saudi belum optimal, pemahaman terhadap
SOP dan kinerja petugas belum maksimal. Selain itu, terdapat
jabatan di TUH yang tumpang tindih (inefisiensi), petugas yang
beban tugasnya melebihi kapasitas jabatan aslinya, jumlah petugas di
sebagian unsur PPIH ti dak seimbang dengan beban tugasnya, mutasi
petugas yang belum diikuti dengan SOP yang jelas, perekrutan
tenaga musiman (mukimin dan mahasiswa Timur Tengah) yang
perlu penajaman aspek integritas dan kompetensinya.
b. Bimbingan ibadah haji merupakan hal yang paling penting dalam
proses penyelenggaraan ibadah haji. Sementara Pemerintah masih
memprioritaskan aspek pelayanan yang bersifat material, yaitu
pelayanan akomodasi, transportasi, dan konsumsi. Jumlah pelatihan
bimbingan ibadah masih kurang, sehingga bekal pemahaman
manasik jemaah masih kurang. Ketidaksempurnaan bimbingan haji
ini telah menyebabkan banyak kasus seperti jemaah tersesat saat
tawaf dan sa’i karena mengandalkan pembimbing ibadah dalam
menjalankan syarat rukun dan wajib haji. Kebingungan membayar
dam, perbedaan paham tentang Mina Jadid, pelaksanaan ritual
Tarwiyah, serta kasus-kasus lain yang mengindikasikan jemaah ti
dak mandiri dalam beribadah.
c. Transportasi merupakan salah satu tonggak penyangga yang besar
pengaruhnya terhadap sukses dan lancarnya penyelenggaraan ibadah
74
haji. Kursi kosong pesawat pada fase pemberangkatan dan
pemulangan masih banyak yang mengindikasikan inefi siensi dan
kontradiksi dengan daftar tunggu jemaah untuk bisa berangkat haji
yang hingga saat ini ada yang mencapai lebih dari 15 tahun. Di sisi
lain, masih terdapat keterlambatan penerbangan karena masalah
operasional. Pada saat pemulangan masih banyak jemaah yang tidak
mentaati peraturan yang telah ditetapkan terkait berat bagasi dan isi
bagasi. Untuk angkutan darat di Arab Saudi, PPIH kurang dapat
memilih bus maupun sopir bus karena kontrak dengan Naqabah
kurang detail. Bus untuk angkutan Salawat masih terdapat
keterlambatan dan penumpukan jemaah di terminal setelah salat
Isya.
d. Dalam hal pemondokan untuk jemaah, kasus lama terus terulang.
Kekisruhan penempatan jemaah dalam pemondokan, baik di
Madinah maupun di Makkah, selalu menjadi ti ti k lemah. Jarak jauh
dan dekat kini menjadi relati f, lokasi sulit ditemukan, serta
kondisi/kualitas bangunan pemondokan yang kurang memadai, juga
menjadi kendala. Faktor negosiasi dan kontrak dengan Muassasah
dan Majmu’ah menjadi hal yang harus diperbaiki segera. Masalah
pemondokan harus dievaluasi dan diaudit secara ketat agar rumah
atau hotel yang disewa untuk pemondokan jemaah haji Indonesia
lebih berkualitas dan nyaman serta ti dak hanya mengandalkan dekat
masjid, tapi minim fasilitas.
75
e. Persoalan yang mengemuka dalam pelayanan konsumsi adalah
masih ditemukan kurang memadainya pelayanan katering. Terkait
dengan waktu distribusi konsumsi yang kadang ti dak sesuai dengan
jadwal makan bagi jemaah haji Indonesia, ketidaksesuaian atau
berkurangnya menu konsumsi yang diadakan oleh katering, makanan
kedaluwarsa, dan kurangnya pengawasan terhadap perusahaan
katering. Pilihan nasi boks untuk mengganti kan prasmanan di
Armina masih ada kendala dalam distribusi.
f. Kondisi kesehatan jemaah haji sangat menentukan kelancaran
pelaksanaan ibadah selama di Tanah Suci. Lama masa aktivitas yang
relatif panjang 41 hari membuat kondisi fisik jemaah secara perlahan
bisa semakin menurun. Ditemukan banyak faktor yang berhubungan
langsung maupun tidak langsung dan dapat mempengaruhi kesehatan
setiap jemaah, yakni pemeriksaan kesehatan jemaah di Tanah Air
belum sungguh-sungguh, tempat dan ruang pelayanan kesehatan
kloter di Makkah dan Madinah belum memadai, nutrisi jemaah di
Armina dan Madinah kurang dikontrol ketercukupan gizinya,
aktivitas jemaah yang kurang terkontrol dan melampaui kemampuan
fisik jemaah ketika di Makkah.
g. Perlindungan dan keamanan jemaah haji Indonesia ketika di Saudi
Arabia merupakan tugas dan tanggung jawab bersama antara
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
Realitanya masih banyak aspek-aspek dari perlindungan dan
keamanan jemaah haji yang kurang ditangani dengan baik oleh
76
pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Persoalan perlindungan jemaah
haji Indonesia mulai muncul di saat kedatangan di bandara Arab
Saudi dan proses pelayanan kedatangan jemaah di pemondokan.
Jumlah petugas yang kurang di titik-titik rawan kriminalitas dan
berpotensi membingungkan, berdampak pada terjadinya banyak
jemaah yang tersesat jalan dan kehilangan uang serta barang
berharga lainnya. Selain itu, kurang maksimalnya pengendalian
operasional Armina. Pengendalian PIHK sulit dilakukan karena
jumlah petugas di lapangan terbatas. Meskipun sudah membayar
lebih mahal, jemaah haji khusus ada yang mendapatkan pelayanan
(akomodasi dan konsumsi) tidak sesuai yang dijanjikan. Seperti
tahun sebelumnya, masih ada jemaah haji nonkuota yang tidak bisa
berangkat ke Arab Saudi atau dikembalikan ke tanah air.
h. Pengendalian PIHK sulit dilakukan karena jumlah petugas di
lapangan terbatas. Meskipun sudah membayar lebih mahal, jamaah
haji khusus ada yang mendapatkan pelayanan (akomodasi dan
konsumsi) tidak sesuai yang dijanjikan. Seperti tahun haji
sebelumnya masih ada jamaah nonkuota yang tidak bisa berangkat
ke Arab Saudi dan dikembalikan ke Tanah Air.5
5 Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1434 H / 2013 M
Komisi Pengawas Haji Indonesia, h.ix-xi.
77
B. Rekomendasi KPHI Pengawasan Haji Tahun 2013
Setelah melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap
penyelenggaraan ibadah haji serta menganalisis kebijakan operasional
penyelenggaraan ibadah haji guna peningkatan kualitas penyelenggaraan
ibadah haji, Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) berpendapat bahwa
penyelenggaraan ibadah haji Indonesia tahun 2013 dengan adanya
pengurangan kuota jemaah haji 20 persen berpengaruh signifikan
terhadap pelayanan jemaah sehingga hasilnya lebih baik dari tahun lalu.
Namun, masih ditemukan permasalahan yang memerlukan pembenahan
dengan sungguh-sungguh di masa depan. Untuk itu, KPHI
merekomendasikan kepada Presiden beberapa hal berikut.
1. Organisasi, Tata Kerja, dan Petugas
Pengorganisasian PPIH Arab Saudi dirasakan kurang
menerapkan prinsip efektif dan efisien, sehingga kinerja petugas
kurang optimal. Untuk itu, perlu penataan pengorganisasian PPIH
Arab Saudi dan rekruitmen petugas yang lebih profesional dan
transparan disertai standarisasi honor petugas tenaga musiman
(Temus) yang tersosialisasikan dengan baik sejak awal rekruitmen
2. Bimbingan Ibadah
Bimbingan ibadah haji merupakan inti keberhasilan
penyelenggaraan ibadah haji. Untuk itu, penyelenggara ibadah haji
harus meningkatkan bimbingan manasik dengan menambah jumlah
bimbingan manasik, kelengkapan sarana visualisasi bimbingan ibadah,
78
menambah biaya/anggaran manasik, menyiapkan pembimbing ibadah
tersertifikasi dan memberikan buku pedoman manasik lebih awal.
3. Pelayanan Transportasi
Transportasi udara dari dan ke Arab Saudi di masa depan perlu
mempertimbangkan penggunaan perusahaan penerbangan lainnya
dengan prinsip keterbukaan dan kompetisi. Dalam kontrak pelayanan
transportasi darat, perlu dibuat perjanjian lebih detail dengan sanksi
yang tegas kepada Naqabah di Arab Saudi.
4. Pelayanan Akomodasi
Jarak jauh atau dekat antara rumah pemondokan jemaah dengan
Masjidil Haram sudah tidak relevan menjadi pertimbangan dalam
penyewaan pemondokan/rumah. Dalam menyewa pemondokan,
penyelenggara haji agar lebih memperti mbangkan aspek
kenyamanan, keamanan, dan kemudahan akses rumah/pemondokan ke
Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
5. Pelayanan Konsumsi
PPIH Arab Saudi agar mewajibkan perusahaan katering di tiap
pemondokan/kemah untuk mencantumkan secara jelas menu dan
waktu penyajian (kualitas, rasa, keamanan dan ketepatan penyediaan
katering). Untuk mengatasi penurunan ketahanan fisik jemaah akibat
kurangnya asupan kalori selama di Mekah perlu langkah
penyeragaman pemberian makan bagi jemaah selama di Mekah
(minimal sehari sekali).
6. Pelayanan Kesehatan
79
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan haji perlu dijadikan satu
kesatuan sistem yang tercatat dan online secara nasional (termasuk
rekam medik) dengan didukung pelayanan kesehatan haji yang
akuntabel dan profesional. Aspek kesehatan jemaah calon haji agar
dijadikan sebagai salah satu unsur perti mbangan bagi keberangkatan
jemaah (isti tha’ah).
7. Perlindungan dan Keamanan Jemaah
Perlindungan dan keamanan jemaah haji Indonesia merupakan
salah satu kebutuhan dasar yang harus dijamin oleh pemerintah. Untuk
itu, pelayanan perlindungan dan keamanan jemaah haji Indonesia
selama di Arab Saudi wajib dipenuhi secara optimal dengan
meningkatkan kualitas dan kuantitas petugas yang memadai serta
koordinasi yang intens dengan Pemerintah Arab Saudi.
8. Penyelenggara Ibadah Haji Khusus
Untuk memenuhi standar pelayanan PIHK yang telah ditetapkan
oleh Ditjen PHU perlu penataan terhadap PIHK agar dapat
memberikan pelayanan yang baik kepada jemaah haji khusus. PIHK
yang belum terdaftar di Kemenag dan ternyata melayani
pemberangkatan jemaah haji khusus wajib ditindak secara tegas.6
6 Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1434 H / 2013 M
Komisi Pengawas Haji Indonesia, h. iv.2 – iv.3.
80
C. Perbaikan-Perbaikan yang Sudah Dilakukan dari Hasil Pengawasan
KPHI
Setelah rekomendasi tersebut sampai pada presiden, tindakan
selanjutnya dari pemerintah adalah tindakan perbaikan, revisis standar dan
tidak melakukan apa-apa. Kebijakan tidak lepas dari teori yang tertera
dalam buku Pengantar Manajemen karya Ismail Solihin, yang
menyatakan bahwa tindakan dalam manajerial perusahaan apabila terjadi
penyimpangan adalah tindakan perbaikan, revisi standar dan tidak
melakukan apa-apa.7
Secara singkat dari 2013 sampai 2015 hasil-hasil pengawasan
yang sudah dilaksanakan oleh KPHI (komisioner) ada beberapa
rekomendasi yang sudah ditindaklanjuti. Dalam artian ada rekomendasi
yang menjadi catatan KPHI direspon positif karena dalam pengawasan
KPHI selama ini, KPHI tidak semata-mata melakukan pengawasan tetapi
melihat bagaimana penyelenggaraan ibadah haji berjalan sesuai dengan
regulasi yang berlaku, kebijakan di Tanah Air maupun kebijakan di Arab
Saudi.
Beberapa rekomendasi yang sudah dilaksanakan: Pertama, terkait
dengan petugas yang ditugaskan untuk menjadi PPIH Arab Saudi,
rekomendasinya agar petugas dapat lebih berkonsentrasi terhadap
pelayanan jamaah, maka bagi petugas haji maupun petugas PPIH yang
sudah berhaji maka mulai tahun 2014 tidak diperkenankan dan sangat
disarankan untuk tidak berhaji melihat realisasinya di lapangan. Kedua,
7 Ismail Solihin, Pengantar Manajemen, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), h. 195.
81
untuk di Makkah karena selama ini yang diberikan kepada jamaah adalah
uang living cost untuk sehari-hari di sana, memang belum sama seperti di
Madinah yang diberikan makan dua kali sehari, maka mulai tahun ini
disarankan jamaah haji diberi makan satu kali di Makkah. Ini tidak
menutup kemungkinan ke depan akan disamakan dengan Madinah atau
tidak maka itu dalam perkembangan selanjutnya.8
Rekomendasi tersebut ada yang ditindaklanjuti dan ada yang
tidak. Pernah KPHI pernah merekomendasikan agar pembayaran DAM
Tamattu itu dikoordinir oleh pemerintah yang bekerjasama dengan
lembaga-lembaga tertentu yaitu seperti Islamic Development Bank (IDB)
agar hasil dari sembelih hewan dam dapat dikirim ke Indonesia, namun
sampai sekarang hal tersebut masih belum ditindaklanjuti.9
8 Wawancara langsung dengan Arif Nurrawi (Kepala Sekretariat KPHI) pada 2 September
2015 di Kantor KPHI. 9 Wawancara langsung dengan Syamsul Ma’arif (Komisioner KPHI) pada 27 Agustus 2015
pukul 13:00-15:00 di Kantor KPHI.
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh KPHI yaitu yang pertama
adalah membuat instrumen pengawasan atau penetapan ukuran standar,
kedua melakukan sidak dan mendatangi panitia PPIH sesuai dengan
kapasitasnya masing-masing untuk menanyakan sejauh mana
perencaaan-perencanaan yang dilakukan oleh PPIH, dan yang ketiga
adalah pembuktian di lapangan dimana sebuah proses verifikasi untuk
mengetahui apakah pelayanan dan penyelenggaraan ibadah haji
menyimpang atau tidak dengan standar atau sesuai atau tidak dengan
daftar program penyelenggaraan yang sudah direncanakan sebelumnya.
2. Rekomendasi yang diajukan KPHI setelah dilakukannya pengawasan
pada tahun 2013 sudah menyeluruh yaitu diantaranya dari aspek
pengorganisasian, bimbingan ibadah, transportasi, pemondokan,
katering, kesehatan, perlindungan dan keamanan jamaah serta tindakan
bagi PIHK nakal. Semua aspek tersebut sudah KPHI tuangkan dalam
laporan hasil pengawasan haji pada tahun 2013 kepada presiden guna
perbaikan penyelenggaraan haji ke depannya.
3. Perbaikan-perbaikan yang sudah dilakukan setelah adanya KPHI dalam
mengawasi penyelengaraan haji yaitu secara singkat dari 2013 sampai
2015 hasil-hasil pengawasan yang sudah dilaksanakan oleh KPHI ada
beberapa rekomendasi yang sudah ditindaklanjuti. Beberapa
rekomendasi yang sudah dilaksanakan: Pertama, terkait denga petugas
83
yang ditugaskan untuk menjadi PPIH Arab Saudi, rekomendasinya agar
petugas dapat lebih berkonsentrasi terhadap pelayanan jamaah, maka
bagi petugas haji maupun petugas PPIH yang sudah berhaji maka mulai
tahun 2014 tidak diperkenankan dan sangat disarankan untuk tidak
berhaji melihat realisasinya di lapangan. Kedua, untuk di Makkah
karena selama ini yang diberikan kepada jamaah adalah uang living cost
untuk sehari-hari di sana, memang belum sama seperti di Madinah yang
diberikan makan dua kali sehari, maka mulai tahun ini disarankan
jamaah haji diberi makan satu kali di Makkah.
84
B. Saran
Untuk mengembangkan dan meningkatkan kinerja Komisi Pengawas
Haji Indonesia (KPHI) dalam melakukan pengawasan, maka saran penulis
antara lain:
1. Untuk KPHI, perlunya sosialisasi yang lebih luas mengenai keberadaan
KPHI kepada masyarakat. Semakin banyak masyarakat yang
mengetahui keberadaan KPHI maka akan semakin akurat segala
informasi yang didapat karena sumber informasi pengawasan akan
bertambah. Masyarakat pun akan merasa mempunyai wadah untuk
memberikan pengaduan ketika ada permasalahan haji yang
menyimpang.
2. Kepada pemerintah untuk memberikan dana yang sudah seharusnya
menjadi anggaran untuk KPHI dalam menjalankan tugasnya serta untuk
membuat satuan kerja tersendiri untuk KPHI karena jika dilihat saat ini
yang posisi KPHI masih menempel pada PHU dalam segi
kesekretariatan, fasilitas dan staff maka ini akan mengindikasikan
bahwa KPHI belum independen.
3. Memberikan kepercayaan terhadap KPHI dalam menanggapi berbagai
persoalan dan masukan-masukan mengenai perhajian di Indonesia. Juga
memberikan perhatian yang lebih bagi KPHI demi terciptanya kinerja
yang maksimal.
85
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Jusuf. Penegakan Hukum dan Pengawasan Pasar Modal Indonesia, Bandung; Alumni. 2008.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Bulan Bintang. 2003.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 1996.
Basyuni, Muhammad M, Reformasi Manajemen Haji. Jakarta: FDK PRESS, 2008.
Fahmi, Irham. Manajemen (Teori, Kasus dan Solusi). Bandung; ALFABETA. 2012.
Handoko, T Tani. Manajemen. Cetakan ke-2. Yogyakarta: BPFE. 2014.
Hamzah dan Lamatenggo, Nina. Teori Kinerja dan Pengukurannya. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2012.
Iman, Indra dan Siswandi. Aplikasi Manajemen Perusahaan (Analisis Kasus dan Pemecahannya). Edisi 2. Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media. 2009.
Kadarman, A M. Pengantar Ilmu Manajemen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1996.
Lubis, Ibrahim. Pengendalian dan Pengawasan Proyek dalam Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1985.
Manullang, M. Dasar-Dasar Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1996.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2009.
Musfiraz-Zahrani, Nashir Ibn. Indahnya Ibadah Haji. Jakarta: Qisthi Press. 2007.
Nawawi, Hadari. Manajemen Strategi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2005.
Nidjam, Achmad. Hanan, Alatief. Manajemen Haji, Jakarta: Media Cita, 2006.
Ruslan, Rosady. Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003.
86
Siagian, Dergibson dan Sugiarto. Metode Statistik untuk Bisnis dan Ekonomi.. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2000.
Siagian. Sondang P. Fungsi-Fungsi Manajerial. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2007.
Simbolon, Maringin Masry. Dasar-Dasar Administrasi dan Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2004.
Solihin, Ismail. Pengantar Manajemen. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2009.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: ALFABETA. 2008.
Sule, Erni Tisnawati dan Saefullah. Kurniawan. Pengantar Manajemen. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2005.
Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta : CV Rajawali. 1993.
Usman, Husaini dan Setiady, Purnomo Akbar. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2003.
Sumber Lain:
Buletin KPHI (Media Komunikasi & Informasi). Jakarta: Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI). Edisi 1 dan Edisi 2. 2014.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Balai Pustaka. 2007.
Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji & Umrah. Haji dari Masa ke Masa, Jakarta: Dirjen PHU. 2012.
Kementerian Agama RI Direktorat Jendral Penyelenggaraan Haji & Umrah. Intisari Langkah-Langkah Pembenahan Haji. Jakarta: Dirjen PHU. 2010.
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1434 H / 2013 Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI).
Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2010 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Komisi Pengawas Haji Indonesia.
Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pengawas Haji Indonesia.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
87
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Ahmed Machfud, MMC. MPA. Jakarta 26 Juni 2015 di Kantor KPHI.
Wawancara Pribadi dengan Dr. H. Syamsul Ma’arif, MA Jakarta 27 Agustus 2015 di Kantor KPHI.
Wawancara Pribadi dengan H. Arif Nurrawi. Jakarta 2 September 2015 di Kantor KPHI.
Internet:
antaranews.com,, “Kinerja Komisi Pengawas Haji Indonesia Dinilai Belum Maksimal”, diakses pada 17 Desember 2014 pukul 21:48 WIB.
hamline.edu diakses pada 19 Agustus 2015 Pukul 17:38 WIB
islampos.com Juwani. Jazuli. Lima Masalah Haji di Indonesia Menurut Jazuli Juwani, diakses pada 17 Desember 2014 Pukul 22:11 WIB.
jurnalhaji.com, Suroso Kabag Tata Usaha Kanwil Kemenag Prov. Jateng “Sertifikasi Pembimbing Ibadah Haji Menuju Petugas Haji Yang Berkualitas”. Artikel diakses pada 15 September 2014.
www.rasio.wordpress.com diakses pada 19 Agustus 2015 Pukul 17:38 WIB.
tribunnews.com, “SBY Terbitkan Perpres Komisi Pengawas Haji Indonesia”. diakses pada 17 Desember 2014 pukul 22:00 WIB.
WAWANCARA TAHAP PERTAMA
Narasumber : Drs. H Ahmed Machfud, MMC. MPA.
Jabatan : Komisioner KPHI
Tanggal : 26 Juni 2015
Lokasi : Kantor KPHI
Waktu : 11:00-12:00 dan 13:00-15:00 WIB
1. Apa saja yang perlu diawasi oleh KPHI?
Seluruh aspek dalam perhajian
2. Yang diawasi haji regular saja atau sekaligus haji khusus?
Semuanya diawasi oleh KPHI
3. Apakah haji regular mempunyai Standar Pelayanan Minimum (SPM)
seperti halnya haji khusus?
Iya, haji regular juga mempunyai standar-standar pelayanan, standar
secara keseluruhan merupkan pada kepuasan jamaah. Jadi jika dibaca dari
UU No. 13 Tahun 2008 bahwa KPHI dalam perhajian ini adalah
bagaimana memberikan saran dan rekomendasi untuk meningkatkan
layanan ibadah haji. Sebagai contoh, tahun 2013 ada hotel yang menurut
kami tidak layak karena levelnya satu dan listriknya sering mati padahal
jamaah harus dipenuhi segala haknya untuk melancarkan ibadah haji,
itukan tidak memungkinkan untuk dihuni terlebih kapasitas hotel tersebut
kecil, hal tersebut oleh KPHI diawasi dan diberikan rekomendasi untuk ke
depannya bahwa hotel ini tidak boleh untuk dipergunakan lagi, seperti itu.
4. Bagaimana saja untuk tahapan-tahapan pengawasan KPHI?
Kami melihat dulu dari kebijakannya seperti apa, jika tidak ada kebijakan
maka kami tidak bisa mengawasi. Misal kebijakan tertulisnya adalah yang
penting jamaah haji sampai di Arab dan bisa pulang ke Indonesia lagi atau
seperti itu? Sehingga kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Dirjen
Haji mengenai petugas, hotel, transportasi, konsumsi bahkan sudah
ditetapkan standar pelayanannya seperti apa.
5. Lalu standar-standar haji regular itu seperti apa saja Pak?
a. Segi kebijakan umum : Orang yang sudah membayar BPIH bisa
diberangkatkan dan bisa dipulangkan dan ketika di sana berhak
mendapat akomodasi, konsumsi, bimbingan dsb yang layak
b. Standar akomodasi : Sesuai dengan aturan sistem informasi haji di
Arab Saudi bahwa 1 orang menempati sekitar 4m, artinya jika ada
suatu ruangan ditempati oleh berpuluh-puluh orang (tidak sesuai
dengan standar) maka itu tidak boleh. Masalah rumahnya bagaimana
dan seperti apa itu bukan masalah karena sekarang terdapat banyak
rumah seperti layaknya apartemen, ada yang bentuknya hotel, ada
yang mereka namakan perumahan namun bukan perumahan biasa
karena sekarang perumahan itu banyak yang versinya seperti bangunan
bertingkat dan ada liftnya. Semuanya tergantung dari bagaimana
penawarannya.
c. Standar jarak : Jika dahulu standar jarak antara penginapan ke Masjidil
Haram sekitar 2km, sekarang semenjak tahun 2013 tidak ada lagi
standar jarak, kenapa? Karena semua jamaah haji regular diberikan
fasilitas transportasi untuk menuju Masjidil Haram dan pulang ke
pemondokan. Transportasi ini ada selama 24 jam untuk mengangkut
semua jamaah Indonesia, bis ini diberi nama Bis Sholawat. Bis
Sholawat akan berhenti pada setiap penginapan yang ada bendera
merah-putihnya yang menandakan sebagai penginapan orang-orang
Indonesia. Bis tersebut akan terbuka pintunya pada setiap
pemberhentian baik ada yang menaiki ataupun tidak. Dan akan tertutup
kembali secara otomatis (tanpa gedoran). Sebenarnya segalanya
dipermudah dan kami buat senyaman mungkin, misalnya pada tahun
2014 bis yang mengangkut para jamaah didesain supaya ibu-ibu yang
memakai kain dapat melangkah tangga bis dengan leluasa.
d. Standar Katering : Katering kita menggunakan box karena lebih
mudah membagikannya dan tidak repot harus antri sampai panjang.
Madinah, Arafah dan Mina seperti itu. Konsumsi parasmanan
diberikan hanya kepada para pejabat-pejabat seperti Panitia PPIH.
e. Standar Pembinaan : Dahulu pembinaan dilakukan 7 kali di KUA dan
3 kali di Kantor Kementerian agama di Kota/Kabupaten, sekarang
sudah mungkred dananya untuk mengatasi ini dan sekarang 6 kali di
KUA dan 2 kali di Kantor Kementerian agama di Kota/Kabupaten.
Sayangya jatah dana kita untuk pembinaan itu begitu kecil dan
menurut pengakuan para jamaah, KBIH cenderung melarang
jamaahnya untuk mengikuti pembinaan di KUA karena ini merupakan
perbedaan saiangan antara fasilitator dan competitor. Bahkan
sebenarnya harusnya menurut para ulama, jamaah haji ini harus sudah
mendapat pembinaan haji sejak lunas membayar BPIH.
f. Standar Perlindungan : Memang betul PPIH betul-betul melindungi
jamaah-jamaah yang bermasalah misalnya jamaah hilang, jamaah
kecopetan, jamaah yang dirampok dsb, hal-hal ini akan dilindungi
layaknya hak sebagai Warga Negara Indonesia (WNI), misalnya
jamaah tersebut hilang maka jamaah tersebut akan dicari dan
dikembalikan ke tempat asalnya, jamaah yang sakit maka jamaah
tersebut akan dibawa ke rumah sakit dan jikalau jamaah itu meninggal
maka jamaah tersebut akan diurusi oleh maktab, dan segala
administrasi penggantiannya akan dapat diklaim.
6. Tahapan-tahapan pengawasannya seperti apa?
Dengan kondisi yang ada, kami mempunyai 3 macam pengawasan:
a. Pengawasan perencanaan penyelenggaraan ibadah haji
b. Pengawasan persiapan ibadah haji
c. Pengawasan pelaksanaan ibadah haji
7. Pembagian petugas KPHI sendiri bagaimana untuk mengawasi jalannya
ibadah haji?
Sekarang ini ada 9 komisioner, masing-masing ditugaskan satu bidang
tertentu yang mengawasi di dalam maupun di luar negeri misalkan saja:
a. Saya bagian perumahan (dari departemen agama), aspek-aspek yang
ada dalam perumahan adalah seperti asrama haji dan penginapan di
Arab Saudi, yang mengawasi aspek perumahan ini bersama-sama
namun leading sektornya dan yang membuat laporannya adalah saya
yang berarti saya harus lebih banyak memahami mengenai perumahan.
Hal-hal yang diawasi seperti: kamar yang terlalu sempit, tempat tidur
yang sudah tidak layak
g. Ada yang bagian transportasi (dari departemen perhubungan), hal-hal
yang diawasi seperti: transportasi dari embarkasi ke bandara, apakah
selalu tepat waktu atau tidak (on time performance) dan berapa waktu
yang sudah terbuang, transportasi di luar negeri terutama bagaimana
untuk mengangkut jamaah dari Madinah ke Mekkah, Mekkah ke
Jeddah dan juga bis sholawat, bis-bis ini dinilai dari keluhan atau
komentar-komentar para jamaah, dari segi kenyamanannya bejubel
atau tidak, dari sopirnya dinilai komunikatif atau tidak, dsb. Saya
pernah mengawasi aspek transportasi ini dengan ikut naik bis sholawat
dari jam 10 sampai jam 1, saya diam di sana dan ternyata ada kasus
ketika jamaah ingin berhenti dan terjadi kurangnya sopir yang
komunikatif, ketika masalah bahasa yang membuat tidak sefaham.
Kondisi seperti ini kami usulkan supaya sopirnya diganti dan usulan
untuk dalam bimbingan agar diberikan juga pengetahuan-pengetahuan
dasar berbahasa.
h. Kesehatan (dari departemen kesehatan),
i. Katering, kami mengecek dari mulai segi kehigienisan, ragam menu,
masakan dan chef Indonesia atau bukan, meal test yang dicoba layak
atau tidak, Katering ini dipilih berdasarkan tender, diukur seberapa
mampu mereka melayani jamaah kita, ada yang mampu 5 ribu orang,
ada yang mampu 17 ribu dan itu beragam.
j. Peribadatan, mengawasi bagaimana jalannya peribadatan ibadah haji
termasuk mengawasi pembimbing-pembimbing yang mengawasi
dalam membimbing jamaah haji di sana (TPIHI), mengawasi seperti
hal-hal memakai kain ihram sudah benar atau tidak, sudah thawaf
tujuh putaran atau belum,
k. Haji khusus, mengawasi pada jalannya pelaksanaan ibadah haji pada
biro perjalanan haji khusus. Ketika ada travel nakal maka akan kami
buat catatan pada buku hitam agar masauk pada daftar-daftar masukan
agar travel itu dapat diberikan sanksi yang layak. Ketika Presiden
sudah mengijinkan maka hal ini akan diurus lebih lanjut oleh
kementerian.
l. Perlindungan jamaah, misalnya ketika ada orang yang ditipu itu harus
kami bantu, ketika ada jamaah yang kehilangan uang itu harus
bagaimana.Pada tahun 2000 saya pernah diwawancarai oleh reporter
TVRI di Madinah “Pak apakah benar orang pelit ketika berhaji maka
uangnya akan hilang?”. Ada sebagian masyarakat berargumen bahwa
jika seseorang ketika di tanah air pelit maka ketika naik haji akan
kehilangan uang, hal-hal mitos tersebut bisa saja terjadi karena agar
dia tau kepelitan dia itu, bisa juga tidak karena ketika kita melihat
orang Malaysia naik haji dia tidak akan kehilangan uang karena
mereka tidak membawa uang (menggunakan ATM). Hal-hal seperti ini
(menggunakan fasilitas ATM ketika naik haji) sudah pernah saya
usulkan pada tahun 2013 ke Pak Dirjen namun belum dapat terealisasi
sampai sekarang oleh pemerintah karena beragam macam perbedaan
pendapat.
m. Organisasi, misalnya mengawasi-mengawasi seperti Panitia
Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Indonesia dan PPIH Arab Saudi
(Daker Jeddah, Daker Makkah dan Madinah)
8. KPHI sendiri memiliki kegiatan-kegiatan apa saja?
a. Rapat 1 minggu sekali (sesuai kebutuhan)
b. Pertemuan dengan steak holder ketika ada saran-saran maka akan kami
tampung, acara pertemuan ini diagendakan karena membutuhkan dana
yang besar dan ini merupakan pertemuan besar. Ada sekitar seratus
orang yang hadir yang akan memberikan komentar, saran dan sharing-
sharing mengenai perjalanan bagaimana peningkatan kualitas
perjalanann ibadah haji yang lebih baik. Jangka waktu pertemuan ini
dilakukan selama 1 tahun sekali dan disesuaikan sesuai dengan
anggaran yang diberikan.
WAWANCARA TAHAP KEDUA
Narasumber : Dr. H Syamsul Ma’arif, MA
Jabatan : Anggota Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI)
Tanggal : 27 Agustus 2015
Lokasi : Kantor KPHI
Waktu : 13:00-15:00 WIB
1. Bagaimana langkah-langkah pengawasan KPHI?
a. Membuat instrumen pengawasan. Instrumen ini sudah baku yang
selalu digunakan dari tahun ke tahun kecuali ada penambahan-
penambahan
b. Melakukan sidak dan mendatangi Panitia PPIH sesuai dengan
kapasitas masing-masing (kita gali dan kita tanya perencanaan
yang akan dilakukan)
c. Pembuktian di lapangan
Ada beberapa kali kami melakukan pengawasan untuk
penyelenggaraan ibadah haji.
- Persiapan,
- Operasional
- Evaluasi
Yang sudah kita lakukan adalah persiapan awal. Jadi
melakukan pengawawasan dalam hal kontrak seperti kontrak
akomodasi dengan pemilik rumah maupun dengan transportasi dan
katering. Dokumen juga kami awasi sudah sesuai atau belum. Dokumen
itu biasanya kita tahu ketika sudah ada permasalahan. Jika belum
terjadi, dokumen itu biasa-biasa saja.
2. Pengawasan yang dilakukan bagaimana?
- Persiapan awal
- Pelaksanaan
- Akhir
Pengawasan-pengawasan ini dilakukan dengan menggunakan
standar-standarnya
3. Objek pengawasan KPHI?
Jadi penyelenggara ibadah haji itu adalah pemerintah oleh Kementeriaan
Agama yang melibatkan kementerian-kementerian yang lainnya seperti
Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perhubungan bahkan
Kementerian Hukum dan HAM juga sebenarnya terlibat untuk masalah
imigrasi. Lalu kami juga melakukan kepada Penyelenggara Ibadah Haji
Khusus, PIHK juga sebenarnya bagian dari satuan kerja Kemenag, namun
PIHK hanya mengatur urusan haji khusus saja.
4. Untuk kasus-kasus PIHK ilegal (tidak berizin) apakah dibawah
pengawasan KPHI juga?
Jika PIHK tersebut terdaftar mendapatkan izin resmi namun tidak
bertindak sebagaimana mestinya (nakal) maka itu termasuk di bawah
pengawasan kami yang selanjutnya akan menjadi catatan KPHI untuk
perbaikan dan peminimalisiran PIHK nakal ke depannya. Namun jika
PIHK tersebut ilegal (tidak berizin) maka kami tidak mempunyai
kewenangan, kami mungkin bisa melaporkan PIHK tersebut, namun itu
adalah tanggung jawab pemerintah karena sudah termasuk penipuan dan
akan diserahkan pada kepolisian.
5. KPHI mengawasi umroh juga atau tidak?
Nomenklatur kami hanya mengawasi bidang haji saja. Namun ke
depannya sedang kami diskusikan apakah pengawasan tersebut melibatkan
umroh juga atau tidak.
6. Kenapa KPHI belum begitu dikenal?
Lembaga ini baru 2 tahun. Kami masih butuh sosialisasi, butuh kerja dan
penyelsaian internal.
7. Para penyelenggara haji apakah mengirimkan laporan-laporan
penyelenggaraan haji atau tidak ke KPHI?
Seharusnya ada tembusan-tembusan. Seperti hal-hal tertentu dalam bidang
keuangan.
8. Salahsatu tugas dan fungsi KPHI adalah merekomendasikan hal-hal yang
sudah menjadi catatan untuk penyelenggaraan haji pada tahun
berikutnya. Sudah adakah rekomendasi-rekomendasi tersebut yang
ditindaklanjuti oleh pemerintah?
Ya, banyak yang sudah ditindaklanjuti walaupun tidak semuanya.
Misalnya, katakanlah kami pernah merekomendasikan jamaah untuk
diberikan makan di Makkah, tahun ini akan mulai dipraktekan walaupun
hanya sekali. Kemudian perbaikan-perbaikan tentang pelayanan
akomodasi banyak yang sudah ditindaklanjuti. Rekomendasi tersebut ada
yang ditindaklanjuti dan ada yang tidak.
Saya pernah merekomendasikan agar pembayaran DAM Tamattu itu
dikoordinir oleh pemerintah yang bekerjasama dengan lembaga-lembaga
tertentu, dan itu sampai sekarang masih belum ditindaklanjuti, mudah-
mudahan tahun depan..
9. Faktor penghambat dalam pengawasan selama ini apa saja Pak?
a. Sumber Daya. KPHI merupakan lembaga yang seharusnya mendapatkan
fasilitas yang cukup. Bukan berarti fasilitas pribadi, namun fasilitas
lembaga yang nantinya akan dipergunakan untuk mejalankan tugas-
tugasnya sesuai denga aturan yang berlaku yaitu kepentingan
pengawasan. Itu yang belum sepenuhnya kami miliki, baru sebagian saja.
Misalnya saya sebagai anggota komisi pengawas terkadang menjalankan
tudas merangkap menjadi TU, menjadi tukang ketik dan melayani yang
seestinya bukan urusan saya. Jadi SDMnya masih kurang. Misalnya
KPHI kemarin melakukan pengawasan hanya oleh 9 orang komisioner
dibantu 3 orang staff sementara inspektorat bisa lima kali lipat dari kami.
b. Sarana dan Prasarana
Gedung kesekretariatan kami masih punya kemenag, bahkan
operasionalnya pun masih dibiayai oleh Kemenag. KPHI
belummempunyai satuan kerja (satker) sendiri.
c. Pendanaan
Karena anggarannya terlalu kecil maka kami hanya melakukan
pengawasan sekali sampai dua kali ke Arab Saudi. Padahal pada
WAWANCARA TAHAP KETIGA
Narasumber : H. Arif Nurrawi
Jabatan : Ketua Sekretariat KPHI
Tanggal : 2 September 2015
Lokasi : Kantor KPHI
Waktu : 10:00 – 11:00 WIB
Apa saja rekomendasi KPHI yang sudah direalisasikan?
Sesuai dengan UU No 13 Tahun 2008, proses rekruitmen tahun 2010
kemudian pelantikan para komisioner pada tahun 2013, maka sejak itu KPHI
mulai melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pengawas penyelenggaraan
ibadah haji di Tanah Air mapun di Tanah Suci. Secara singkat dari 2013 sampai
2015 hasil-hasil pengawasan yang sudah dilaksanakan oleh KPHI (komisioner)
ada beberapa rekomendasi yang sudah ditindaklanjuti. Dalam artian ada
rekomendasi yang menjadi catatan KPHI direspon positif karena dalam
pengawasan KPHI selama ini, KPHI tidak semata-mata melakukan pengawasan
tetapi melihat bagaimana penyelenggaraan ibadah haji berjalan sesuai dengan
regulasi yang berlaku, kebijakan di Tanah Air maupun kebijakan di Arab Saudi.
Beberapa rekomendasi yang sudah dilaksanakan: Pertama, terkait denga
petugas yang ditugaskan untuk menjadi PPIH Arab Saudi, rekomendasinya agar
petugas dapat lebih berkonsentrasi terhadap pelayanan jamaah, maka bagi petugas
haji maupun petugas PPIH yang sudah berhaji maka mulai tahun 2014 tidak
diperkenankan dan sangat disarankan untuk tidak berhaji melihat realisasinya di
lapangan. Kedua, untuk di Makkah karena selama ini yang diberikan kepada
jamaah adalah uang living cost untuk sehari-hari di sana, memang belum sama
seperti di Madinah yang diberikan dua kali sehari, maka mulai tahun ini
disarankan jamaah haji diberi makan satu kali di Makkah. Ini tidak menutup
kemungkinan ke depan akan disamakan dengan Madinah atau tidak maka itu
dalam perkembangan selanjutnya.
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2010
TENTANG
TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
ANGGOTA KOMISI PENGAWAS HAJI INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, perlu
mengatur tata cara pengangkatan dan pemberhentian Anggota Komisi
Pengawas Haji Indonesia;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4845) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5061);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG TATA CARA
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN ANGGOTA
KOMISI PENGAWAS HAJI INDONESIA.
BAB I ...
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan :
1. Komisi Pengawas Haji Indonesia yang selanjutnya disebut KPHI
adalah lembaga mandiri yang dibentuk untuk melakukan
pengawasan dalam rangka meningkatkan pelayanan
Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia.
2. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang agama.
Pasal 2
Anggota KPHI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul
Menteri setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.
Pasal 3
(1) Anggota KPHI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berjumlah
9 (sembilan) orang yang terdiri atas unsur-unsur yang berasal
dari:
a. Unsur masyarakat 6 (enam) orang;
b. Unsur Pemerintah 3 (tiga) orang.
(2) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas unsur Majelis Ulama Indonesia, organisasi masyarakat
Islam, dan tokoh masyarakat Islam.
(3) Unsur ...
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
- 3 -
(3) Unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
ditunjuk dari Kementerian/Instansi yang berkaitan dengan
Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Pasal 4
(1) Dalam rangka pengusulan calon Anggota KPHI, Menteri
membentuk Panitia Seleksi calon Anggota KPHI.
(2) Panitia Seleksi calon Anggota KPHI sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diketuai oleh Menteri.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, susunan
keanggotaan, masa kerja, dan tata kerja Panitia Seleksi calon
Anggota KPHI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB II
TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
Bagian KesatuPengangkatan
Pasal 5
(1) Menteri mengusulkan calon Anggota KPHI sebanyak 2 (dua)
kali dari jumlah setiap unsur Keanggotaan KPHI kepada
Presiden paling lambat 2 (dua) bulan sebelum masa bakti
Anggota KPHI periode berjalan berakhir.
(2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan
keterangan bahwa calon Anggota KPHI yang bersangkutan telah
memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan data diri calon Anggota KPHI yang
bersangkutan.
Pasal 6 ...
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
- 4 -
Pasal 6
Presiden memilih 9 (sembilan) orang calon Anggota KPHI dan
mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
untuk memperoleh pertimbangan.
Pasal 7
Presiden mengangkat Anggota KPHI yang telah memperoleh
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 8
Sebelum memangku jabatannya, Anggota KPHI wajib mengucapkan
sumpah yang berbunyi sebagai berikut:
" Demi Allah saya bersumpah, bahwa saya akan memenuhi
kewajiban saya sebagai anggota Komisi Pengawas Haji Indonesia
dengan sebaik-baiknya, menjalankan tugas dan wewenang secara
sungguh-sungguh, seksama, obyektif, jujur, adil, amanah serta
bertanggung jawab sepenuhnya kepada masyarakat, bangsa, dan
negara ".
Pasal 9
(1) Anggota KPHI diangkat untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama
3 (tiga) tahun.
(2) Anggota KPHI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya
selama 3 (tiga) tahun sepanjang yang bersangkutan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 10 ...
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
- 5 -
Pasal 10
Anggota KPHI yang berasal dari unsur Pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dapat dijabat secara ex-officio oleh
pejabat struktural atau fungsional.
Bagian KeduaPemberhentian
Pasal 11
(1) Anggota KPHI diberhentikan karena :
a. berakhir masa jabatan sebagai anggota;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c. meninggal dunia;
d. bertempat tinggal tetap di luar wilayah Republik Indonesia;
e. sakit yang berkepanjangan dan/atau tidak mampu lagi
melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan secara terus-
menerus;
f. tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab se-
bagaimana mestinya;
g. dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
(2) Selain berhenti karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Anggota KPHI yang berasal dari unsur Pemerintah
diberhentikan apabila yang bersangkutan diberhentikan dari
Pegawai Negeri Sipil sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 12 ...
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
- 6 -
Pasal 12
(1) Anggota KPHI yang ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana
kejahatan diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) Pemberhentian sementara Anggota KPHI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPHI.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh KPHI.
Pasal 13
Anggota KPHI diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian KetigaAnggota KPHI Pengganti
Pasal 14
(1) Untuk mengisi kekosongan Anggota KPHI yang diberhentikan
karena alasan selain berakhirnya masa jabatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a, Presiden dapat
mengangkat Anggota KPHI Pengganti atas usul Menteri.
(2) Calon Anggota KPHI Pengganti yang diusulkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berasal dari unsur yang sama dengan
Anggota KPHI yang digantikan.
Pasal 15 ...
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
- 7 -
Pasal 15
Sebelum mengangkat Anggota KPHI Pengganti, Presiden meminta
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 16
Pengangkatan Anggota KPHI Pengganti dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 17
Masa jabatan Anggota KPHI Pengganti adalah sisa masa jabatan
Anggota KPHI yang digantikannya.
BAB III
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 18
Ketentuan mengenai batas waktu pengusulan calon Anggota KPHI
oleh Menteri kepada Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1), tidak berlaku untuk pengusulan calon Anggota KPHI yang
pertama kali.
BAB IV ...
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
- 8 -
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Mei 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Deputi Sekretaris KabinetBidang Hukum,
ttd
Dr. M. Iman Santoso
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 50 TAHUN 2014
TENTANG
ORGANISASI DAN TATA KERJA
KOMISI PENGAWAS HAJI INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka efektivitas pelaksanaan tugas
Komisi Pengawas Haji Indonesia, perlu diatur
mengenai Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pengawas
Haji Indonesia;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Presiden tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi
Pengawas Haji Indonesia;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4845),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5061);
MEMUTUSKAN: …
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG ORGANISASI DAN
TATA KERJA KOMISI PENGAWAS HAJI INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:
1. Komisi Pengawas Haji Indonesia yang selanjutnya disebut
KPHI adalah lembaga mandiri yang dibentuk untuk
melakukan pengawasan terhadap Penyelenggaraan Ibadah
Haji.
2. Penyelenggaraan Ibadah Haji adalah rangkaian kegiatan
pengelolaan pelaksanaan Ibadah Haji yang meliputi
pembinaan, pelayanan, dan perlindungan Jemaah Haji.
3. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang agama.
BAB II
KEDUDUKAN, TUGAS, DAN FUNGSI
Bagian Kesatu
Kedudukan
Pasal 2
KPHI berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden.
Bagian Kedua ...
- 3 -
Bagian Kedua
Tugas
Pasal 3
KPHI mempunyai tugas melakukan pengawasan dan
pemantauan terhadap Penyelenggaraan Ibadah Haji serta
memberikan pertimbangan untuk penyempurnaan
Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia.
Bagian Ketiga
Fungsi
Pasal 4
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, KPHI berfungsi:
a. memantau dan menganalisis kebijakan operasional
Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia;
b. menganalisis hasil pengawasan dari berbagai lembaga
pengawas dan masyarakat;
c. menerima masukan dan saran masyarakat mengenai
Penyelenggaraan Ibadah Haji; dan
d. merumuskan pertimbangan dan saran penyempurnaan
kebijakan operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji.
BAB III ...
- 4 -
BAB III
SUSUNAN ORGANISASI
Pasal 5
Susunan organisasi KPHI terdiri atas:
a. Ketua;
b. Wakil Ketua; dan
c. Anggota.
Pasal 6
KPHI dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua.
Pasal 7
(1) KPHI beranggotakan 9 (sembilan) orang yang terdiri dari
unsur:
a. Masyarakat; dan
b. Pemerintah.
(2) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a sebanyak 6 (enam) orang terdiri atas unsur Majelis
Ulama Indonesia, organisasi masyarakat Islam, dan tokoh
masyarakat Islam.
(3) Unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b sebanyak 3 (tiga) orang yang dapat ditunjuk dari
kementerian/instansi yang berkaitan dengan
Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Pasal 8 ...
- 5 -
Pasal 8
Anggota KPHI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri,
setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.
BAB IV
TATA KERJA
Pasal 9
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, Ketua, Wakil Ketua, dan anggota KPHI wajib
menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi
baik secara internal maupun eksternal sesuai dengan bidang
tugas masing-masing.
Pasal 10
(1) KPHI melakukan rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1
(satu) bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan.
(2) Dalam rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) KPHI
dapat mengundang instansi dan/atau pihak terkait.
Pasal 11
(1) Pengambilan keputusan KPHI dilakukan secara
musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2) Dalam ...
- 6 -
(2) Dalam hal pengambilan keputusan secara musyawarah
untuk mencapai mufakat tidak tercapai, keputusan
diambil berdasarkan suara terbanyak.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), sah apabila rapat KPHI dihadiri paling sedikit 5 (lima)
orang anggota KPHI dengan keterwakilan unsur
Pemerintah dan masyarakat.
Pasal 12
KPHI melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis
kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
BAB V
SEKRETARIAT KPHI
Pasal 13
(1) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, KPHI dibantu
Sekretariat.
(2) Sekretariat KPHI sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
secara fungsional dilaksanakan oleh satu unit organisasi di
lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang agama.
(3) Sekretariat KPHI mempunyai tugas memberikan dukungan
teknis dan administratif kepada KPHI.
Pasal 14 ...
- 7 -
Pasal 14
(1) Sekretariat KPHI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
dipimpin oleh seorang sekretaris.
(2) Sekretaris KPHI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atas
pertimbangan KPHI.
(3) Sekretaris dalam melaksanakan tugasnya secara
fungsional bertanggung jawab kepada pimpinan KPHI.
BAB VI
PENDANAAN DAN HONORARIUM
Pasal 15
Segala pendanaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas
dan fungsi KPHI dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara pada bagian anggaran kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
Pasal 16
(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, anggota KPHI
diberikan honorarium.
(2) Ketentuan mengenai honorarium sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB VII ...
- 8 -
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 17
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian tugas, fungsi, dan
tata kerja KPHI diatur dengan Peraturan Menteri.
(2) Rincian tugas, fungsi, dan tata kerja KPHI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh KPHI.
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan organisasi dan
tata kerja Sekretariat KPHI diatur dengan Peraturan Menteri
setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar ...
- 9 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Presiden ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Mei 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Juni 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 120
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Deputi Bidang Kesejahteraan Rakyat,
Siswanto Roesyidi
DOKUMENTASI PENGAWASAN KPHI DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN TERHADAP
PENYELENGGARAAN HAJI DI INDONESIA
Sidak lapangan
Pemantauan jamaah haji yang sakit di Arafah
Audiensi dengan BPK RI
Audiensi dengan DPR RI
Koordinasi KPHI
Pengawasan Persiapan Operasional
Rekomendasi KPHI ke Dirjen PHU