3
PENDAHULUAN
Tak bisa dipungkiri, teknologi informasi berkembang kian pesat.
Kreatifitas berbasis teknologi tidak pernah berhenti
meluangkan hasrat untuk mempermudah kehidupan manusia.
Internet misalnya, untuk berkomunikasi dengan siapapun dapat
dengan mudah dan murah dibanding teknologi telepon di masa
lalu. Itu sekelumit dari sekian banyak perkembangan teknologi
yang telah mengubah hidup kita.
Teknologi informasi juga menjadi tulang punggung pendukung
kegiatan ekonomi. Yang paling terasa adalah dalam kegiatan
bayar membayar dimana saat ini bisa dilakukan dengan cepat
dan mudah. Dampaknya perputaran ekonomi pun menjadi
semakin efisien dan cepat. Transaksi ekonomi tidak hanya
difasilitasi dengan uang tunai tapi telah merambah dengan
menggunakan instrument non tunai buah dari perkembangan
teknologi seperti transfer, kartu kredit, kartu ATM dan terakhir
mulai muncul uang elektronik.
4
Variasi lain adalah di sisi saluran atau cara melakukan
pembayaran. Peran teller bank mulai tergantikan oleh mesin
seperti Authomatic Teller Machine (ATM). Kegiatan yang biasa
dilakukan teller seperti transfer, pindah buku, melihat saldo
dan pembayaran gaji dapat dilakukan melalui ATM. Sekarang
pun dengan perkembangan teknologi ATM dapat pula berfungsi
layaknya merchant (toko) untuk melakukan pembelian tiket,
pulsa, atau layanan pembayaran untuk membayar listrik, air
dan lain-lain. Dalam perkembangannya saat ini beberapa
layanan tersebut juga sudah dapat dilakukan melalui mesin
Electronic Data Capture (EDC), yang dulu hanya digunakan
untuk alat baca kartu di merchant saja.
Selain ATM dan EDC, saluran pembayaran
yang mulai diminati karena fleksibilitasnya adalah internet dan
mobile banking. Nasabah bank atau pemegang kartu dapat
melakukan trasanksi perbankan, jual beli barang dengan
memanfaatkan jaringan internet atau mobile phone yang
mereka miliki. Nampaknya untuk masyarakat di kota besar yang
5
sibuk dan sehari-hari tidak lepas dari kemacetan, saluran
pembayaran ini menjadi solusi utama bagi mereka.
PERKEMBANGAN TRANSAKSI
Teknologi pembayaran juga berdampak pada peningkatan
transaksi ekonomi. Hal ini terlihat antara lain pada transaksi
transfer dana melalui sistem kliring yang diselenggarakan Bank
Indonesia yaitu Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
dan melalui sistem transfer dana nilai besar yang kita kenal
dengan istilah sistem Bank Indonesia Real Time Gross
Settlement (BI-RTGS), serta dalam kegiatan bayar membayar
menggunakan sistem pemroses Alat Pembayaran
Menggunakan Kartu (APMK).
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, masyarakat semakin
sering menggunakan alat pembayaran non tunai berbasis
teknologi ini. Transfer kredit di SKNBI selama 5 tahun terakhir
menunjukkan peningkatan penggunaan rata-rata 20%.
Sedangkan yang menggunakan sistem BI-RTGS khusus transfer
masyarakat meningkat 5,8%. Terakhir, APMK yang meliputi
6
kartu ATM/Debet dan kredit menunjukkan tren peningkatan
16%. Belum lagi jumlah transaksi pemindahbukuan dalam satu
bank yang juga diperkirakan meningkat pesat karena pada
umumnya masyarakat yang memiliki “saling ketergantungan”
transaksi yang tinggi antar mereka akan memelihara rekening
pada bank yang sama.
Dari perputaran nilai yang ditransaksikan, pada kurun waktu
5 tahun terakhir juga mengalami peningkatan. SKNBI
menunjukkan peningkatan rata-rata 10%. Lalu yang melalui
sistem BI-RTGS 21%. Terakhir pada APMK mencapai 15%. Hal
yang sama juga mungkin terjadi pada transaksi satu bank untuk
kelompok masyarakat yang memiliki saling ketergantungan
dalam transaksi ekonominya.
Tidak seperti sistem pembayaran yang didominasi oleh
teknologi, perkembangan transaksi pembayaran non tunai yang
berbasis kertas yakni cek dan BG pada 5 tahun terakhir
perkembangannya relatif stagnan. 1,12% dan di sisi nilai 9,78%.
Apabila dilihat dari prosentasenya jauh lebih kecil dibanding
perkembangan pada instrumen non tunai berbasis teknologi.
7
Hal ini ditengarai karena sudah mulai banyak masyarakat yang
beralih ke intrumen lain baik APMK maupun transfer kredit
secara pindah buku, melalui SKNBI atau Sistem BI-RTGS.
Secara jelas perkembangan transaksi disajikan dalam lampiran
buku ini.
PERAN BANK INDONESIA
Kalau dilihat dari statistik pembayaran tersebut terlihat jelas
begitu krusialnya peran sistem pembayaran saat ini. Apalagi
dengan tren kebutuhan ekonomi yang semakin mensyaratkan
kecepatan dan kemudahan dalam melakukan transaksi, sistem
pembayaran non tunai dapat saling bahu membahu bersama
intrumen tunai untuk memfasilitasi kebutuhan masyarakat
tersebut.
Khusus untuk instrumen non tunai terlebih yang berbasis
teknologi, layaknya terhadap uang tunai, instrumen ini perlu
dijaga agar kepercayaan masyarakat tidak hilang.
Disinilah peran Bank Indonesia sebagai regulator di bidang
sistem pembayaran sebagaimana diamanatkan dalam Undang-
8
Undang Bank Indonesia harus dapat menjaga kelancaran sistem
pembayaran. Sistem pembayaran di masyarakat harus dapat
menjamin terlaksananya perpindahan uang secara efisien dan
aman sehingga masyarakat semakin nyaman dalam melakukan
kegiatan ekonomi.
Untuk mewujudkan hal tersebut, terdapat 4 prinsip dasar yang
harus dipenuhi baik dalam penyelenggaraan, pengembangan
dan pengawasan sistem pembayaran. Prinsip tersebut adalah
pengendalian risiko, efisiensi, kesetaraan akses dan
perlindungan konsumen.
Prinsip pertama, berkaitan dengan pengendalian risiko.
Aktifitas pemindahan dana dari satu pihak ke pihak lain
berpotensi terhadap berbagai risiko. Secara umum, BIS
membagi risiko sistem pembayaran kedalam 5 (lima) jenis
yaitu:
1. risiko kredit, yaitu risiko yang muncul ketika terdapat pihak
yang tidak mampu untuk memenuhi kewajiban
keuangannya baik pada saat jatuh tempo maupun di masa
mendatang.
9
2. risiko likuiditas, yaitu risiko yang muncul ketika terdapat
pihak yang tidak dapat memenuhi kewajiban keuangannya
baik saat ini maupun di masa mendatang karena tidak
memiliki cukup dana.
3. risiko hukum, yaitu risiko karena lemahnya dasar hukum
atau adanya ketidakpastian hukum pada kerangka kerja
sehingga menyebabkan munculnya risiko kredit dan risiko
likuiditas.
4. risiko operasional, yaitu risiko karena tidak berfungsinya
perangkat teknis atau terjadinya kekeliruan kegiatan
operasional sehingga menimbulkan terjadinya risiko kredit
dan risiko likuiditas.
5. risiko sistemik, yaitu risiko yang disebabkan karena satu
peserta tidak dapat memenuhi kewajibannya atau karena
terjadinya gangguan pada sistem, yang akan berdampak
pada munculnya ketidakmampuan seluruh
peserta/lembaga keuangan dalam sistem untuk memenuhi
kewajibannya, yang kemudian menimbulkan risiko kredit
dan likuiditas yang lebih luas dan dapat mengancam
kestabilan sistem dan pasar keuangan.
10
Prinsip kedua berkaitan dengan efisiensi. Pengembangan
sistem pembayaran diupayakan pada penyempurnaan
mekanisme operasional dalam rangka pengurangan biaya
khususnya biaya transaksi dan waktu proses setelmen.
Meskipun prinsip efisiensi terkadang berseberangan dengan
prinsip kecepatan dan keamanan, namun fokus efisiensi secara
ekonomi ditekankan pada aspek economics scope and scale.
Prinsip ketiga adalah kesetaraan akses. Dalam hal ini bank
sentral harus memperhatikan agar semua penyelenggaraan
sistem pembayaran menerapkan asas kesetaraan. Berarti,
memberikan keseimbangan hak dan kewajiban antar seluruh
pelaku sistem pembayaran baik penyedia jasa pembayaran
maupun pengguna jasa pembayaran, termasuk kesempatan
untuk memperoleh layanan yang sama antar berbagai wilayah
baik itu di dalam maupun luar negeri. Prinsip ini penting agar
layanan jasa pembayaran ritel juga dapat dinikmati oleh
pengguna jasa pembayaran, termasuk yang berada di wilayah
terpencil (remote area).
11
Dalam konteks kesetaraan ini termasuk diantaranya asas
resiprositas antar negara. Maksudnya adalah kesamaan
kesempatan yang diberikan bagi penyelenggara sistem
pembayaran untuk beroperasi di suatu negara. Sehingga peran
bank sentral disini harus dapat memastikan hak-hak yang sama
bagi pelaku industri sistem pembayaran untuk beroperasi di
antara negara yang saling bekerjasama.
Prinsip keempat, bank sentral perlu memperhatikan aspek
perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan sistem
pembayaran. Artinya, setiap penyelenggaraan wajib
menerapkan asas perlindungan konsumen secara wajar dalam
kegiatan operasionalnya. Prinsip ini sebenarnya memberikan
keseimbangan hak dan kewajiban antara penyedia dan
penyelenggara dengan pengguna layanan jasa pembayaran.
KEBIJAKAN YANG DIJALANKAN
Prinsip di atas menjadi dasar pijak dalam setiap kebijakan yang
dikeluarkan Bank Indonesia. Sepanjang 2011, beberapa
12
kebijakan yang telah diambil terkait peran Bank Indonesia
sebagai pengatur, pengembang, dan pemantau/pengawas
sistem pembayaran mengacu pada 4 prinsip tadi.
Kebijakan Penyelenggaraan Operasional
Di sisi penyelenggara, Bank Indonesia telah menetapkan
kebijakan standar pelayanan yang diberikan kepada peserta
sistem pembayaran. Standar tersebut diterjemahkan dalam
tingkat penyediaan sistem minimal 99,9% dari seluruh waktu
operasional yang dipakai. Sepanjang tahun angka tersebut
dapat dipenuhi yakni mencapai 100%.
Banyak upaya yang telah dilakukan untuk menjaga
ketersediaan sistem tersebut. Manajemen kelangsungan bisnis
(business continuity management) yang dituangkan dalam
prosedur baku penyelenggaraan sistem menjadi mutlak sesuatu
yang harus ditaati. Untuk memitigasi risiko kegagalan sistem
utama, secara rutin dilakukan uji coba penggunaan transaksi
dengan infrastuktur back up. Uji coba ini sekaligus melihat
kesiapan seluruh perangkat operasional termasuk seluruh
peserta guna mengantisipasi gangguan yang terjadi pada sistem
13
utama. Sepanjang tahun ini telah dilakukan 3 kali uji coba
dalam kerangka tersebut.
Selain dari sistem utama, Bank Indonesia juga menyediakan
fasilitas guest bank sebagai back up bagi peserta sistem
pembayaran yang sistem internalnya mengalami gangguan.
Tujuannya tidak lain adalah tetap memberikan standar
pelayanan yang sama bagi masyarakat nasabah perbankan.
Dalam kerangka menjaga kepatuhan peserta sistem
pembayaran, Bank Indonesia secara aktif juga melakukan
pengawasan peserta termasuk dalam kerangka member
certification. Hal ini dimaksudkan agar peserta sistem
senantiasa menjaga standar pelayanan kepada para pengguna
jasa.
Kebijakan lain di sisi penyelenggaraan adalah memperpanjang
layanan waktu operasional terkait kebutuhan peserta pada
waktu tertentu untuk melayani nasabah mereka. Kebijakan ini
biasanya terjadi pada saat libur menjelang hari besar
keagamaan seperti Idul Fitri, Natal, dan tahun baru.
14
Pada masa-masa tersebut secara musiman terjadi peningkatan
transaksi yang sangat tinggi sehingga memerlukan tambahan
waktu operasional untuk menyelesaikan seluruh transaksi
masyarakat di perbankan. Selain di hari-hari khusus tersebut,
kebijakan perpanjangan waktu juga digunakan untuk
mengakomodir peningkatan transaksi beberapa peserta sistem
pembayaran yang memiliki pola peningkatan pada hari-hari
tertentu misalnya pada saat pembayaran gaji.
Kebijakan Pengembangan Sistem Bank Indonesia
Di sisi pengembangan, fokus yang dilakukan pada 2011 adalah
dalam rangka peningkatan efisiensi dan kehandalan dalam
mitigasi risiko. Pada sistem yang diselenggarakan oleh Bank
Indonesia, peningkatan kehandalan dititikberatkan pada
pengembangan lanjutan sistem BI-RTGS dan BI-SSSS generasi II.
Sistem ini akan mengganti sistem lama yang telah berusia 11
tahun dan dipandang akan mulai lambat dalam
mengakomodasi peningkatan transaksi. Pada sistem baru akan
dilengkapi fitur-fitur penghemat likuiditas sehingga mampu
15
memitigasi risiko likuiditas bagi peserta pada saat
kebutuhannya meningkat. Juga, sistem baru ini akan didesain
untuk menggunakan standar platform yang digunakan secara
internasional, yang tentunya akan meningkatkan efisiensi bagi
peserta yang memiliki exposure transaksi secara cross border.
Sementara itu pada SKNBI sepanjang 2011 tidak ada
pengembangan yang berdampak pengubahan sistem secara
struktural. Fokus di tahun ini adalah melakukan edukasi
terhadap efisiensi penyelesaian transaksi di SKNBI melalui
penambahan siklus setelmen yang semula hanya 2 kali menjadi
4 kali sepanjang waktu operasional.
Penambahan siklus tersebut memungkinkan terjadinya
percepatan hasil transfer sehingga dapat efektif pada rekening
nasabah penerima di hari yang sama dengan waktu lebih cepat.
Namun demikian, pengefektifan hasil kliring di level bank masih
banyak yang dilakukan pada esok hari sehingga walaupun
sudah ada fasilitas ini, mindset masyarakat masih menganggap
transfer lewat kliring lebih lama dari BI-RTGS.
16
Untuk peningkatan efisiensi nasional, SKNBI terus diupayakan
untuk menjadi salah satu sistem pembayaran yang diharapkan
mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Concern untuk
memperluas layanan pembayaran ditujukan pula bagi segmen
masyarakat yang belum tersentuh layanan bank umum
(unbanked people). Guna menjembatani ini access policy pada
SKNBI diperluas yakni dengan memungkinkan BPR dapat
menjadi peserta kliring walaupun secara tidak langsung dengan
bank umum sebagai jangkar.
Mengapa BPR? Hal ini didasarkan pada kondisi dimana industri
BPR sangat dekat dengan lembaga keuangan mikro dan
golongan masyarakat yang enggan dengan formalitas apabila
berhadapan dengan industri bank umum. Kedekatan tersebut
dijembatani oleh perbankan untuk menjadi jangkar atau
penghubung bagi layanan jasa pembayaran khususnya kliring
antarbank. Untuk merealisasikan hal tersebut, salah satu bank
peserta SKNBI di Jawa Timur telah menjadi bank jangkar atau
sering dikenal dengan Apex bank bagi BPR yang berada di
wilayah Jawa Timur. Inisiasi ini diharapkan dapat diikuti pula
17
oleh bank umum lainnya untuk menjangkau transfer dana
melalui SKNBI antar BPR di wilayah lain. Sehingga ke depan
upaya meningkatkan inklusivitas bagi lembaga keuangan mikro
maupun unbanked people dalam memanfaatkan layanan
pembayaran semakin meningkat.
Kebijakan Pengembangan oleh Industri
Kebijakan pengembangan lain adalah terkait dengan penataan
infrastruktur pembayaran retail yang dilakukan oleh industri.
Hal ini juga dilakukan dalam rangka mendorong terciptanya
efisiensi infrastruktur secara nasional. Saat ini pengembangan
di sektor ritel pun masih bersifat parsial. Perbankan sebagai
motor penggerak industri ini masih melihat dari aspek bisnis
secara mikro. Oleh karenanya hanya beberapa bank atau
kelompok bank saja yang mampu mengembangkan berbagai
infrastruktur pembayaran. Ujung-ujungnya karena hanya
melihat secara mikro, masing-masing pengembangan dilakukan
sendiri-sendiri.
18
Kondisi ini terjadi sudah sejak lama bahkan sebelum Bank
Indonesia melihat ini sebagai titik berat regulasi yang
digulirkan. Kartu kredit misalnya, instrumen ini telah muncul
sejak lama, dan mulai marak di Indonesia sekitar tahun 80-an.
Pengembangannya pun dilakukan oleh pemain industri asing.
Perbankan domestik hanya sebagai penerbit dari 4 prinsipal
asing kala itu.
Jika dalam industri kartu kredit, pengelola jaringan atau
prinsipalnya didominasi asing, lain dengan kartu ATM dan
Debet. Awalnya dimulai oleh bank-bank berkapitalisasi besar
yang ingin memperluas jaringan dengan menggunakan
perangkat elektronik. Pertama dengan mengembangkan
jaringan ATM kemudian diikuti dengan jaringan Debet yang
ditopang oleh alat Point of Sales (POS) atau EDC.
Untuk meningkatkan skala ekonominya bank-bank besar tadi
mulai mengoptimalisasikan infrastruktur yang dimilikinya dan
bergerak ke bisnis penyedia jaringan (prinsipal) layaknya
prinsipal kartu kredit kala itu. Model bisnis lain adalah dengan
membentuk konsorsium dari beberapa bank membentuk satu
19
penyedia jaringan. Terakhir, perusahaan yang memang
memfokuskan untuk menjalankan bisnis sebagai prinsipal mulai
memanfaatkan kebutuhan bank yang skala ekonominya masih
kecil namun ingin memiliki pendapatan lain selain dari
intermediasi. Kadang-kadang pengembangan ini dilakukan
dalam rangka menarik dana pihak ketiga untuk mendukung
peningkatan dana murah.
Instrumen lain yang baru berkembang awal 2007 adalah uang
elektronik. Alat pembayaran ini pun awal pengembangannya
sampai saat ini masih dikembangkan sendiri oleh masing-
masing penerbit. Tiap penerbit mengembangkan
infrastrukturnya didasarkan pada kebutuhan dan analisis
individualnya. Konvergensi minimal pada alat baca instrumen
juga belum terjawab di sisi industri.
Self Regulatory Organization
Terhadap kondisi pengembangan sistem pembayaran oleh
industri yang masih bersifat parsial tersebut, Bank Indonesia
melalui fungsi fasilitator menjembatani dengan membentuk
20
mekanisme koordinasi melalui pembentukan Self Regulatory
Organization (SRO). Cikal bakal yang sebelumnya diwadahi
dalam Forum Komunikasi Sistem Pembayaran (FKSPN) ini mulai
memiliki payung hukum yakni Surat Edaran Bank Indonesia
No.13/7/DASP yang diterbitkan tanggal 25 Februari 2011.
Payung hukum tersebut diharapkan dapat mengatur hubungan
koordinasi antara Bank Indonesia dengan industri pembayaran.
Peran industri sebagai mitra menjadi sangat penting dalam
mewujudkan kebijakan yang diharapkan dapat mendukung
pengembangan industri secara optimal tanpa mengurangi
aspek perlindungan konsumen.
Model koordinasi yang telah sukses diadopsi beberapa negara
seperti Korea Selatan ini diharapkan dapat meminimalisir
distorsi kebijakan yang dapat menghambat pengembangan
sistem pembayaran di suatu negara. Bank Indonesia nantinya
cukup mengatur kebijakan umum dan bersifat makro.
Sementara aturan main dapat dibuat oleh industri tentunya
melalui koordinasi dengan Bank Indonesia. Harapannya selain
dari sisi efisiensi pengembangan, efisiensi birokrasi pun dapat
21
tercapai agar pengembangan sistem pembayaran dapat
mengikuti kecepatan kebutuhan konsumen dan perkembangan
teknologi.
Selanjutnya, setelah terbentuknya SRO, Bank Indonesia dan
industri secara aktif mulai membahas dan menggagas upaya-
upaya perbaikan industri pembayaran nasional. Di sisi
pengembangan sistem untuk transaksi nilai besar khususnya BI-
RTGS dan BI-SSSS, peran perbankan yang menjadi komite
sangat aktif dalam memberikan masukan dan menjembatani
kebutuhan industri untuk dapat diakomodasi dalam sistem
generasi II mendatang. Demikian pula sebaliknya, kepentingan
Bank Indonesia sebagai regulator terutama terkait kepentingan
makroprudensial disampaikan dalam forum ini agar industri
dapat memahami hal tersebut sejak awal.
Di sisi pengembangan retail khususnya yang dilakukan industri,
pembahasan dititikberatkan pada efisiensi nasional dan mitigasi
risiko untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap alat
bayar yang dikembangkan industri.
22
Efisiensi nasional ditekankan pada pengembangan National
Payment Gateway (NPG) yang ujung-ujungnya untuk saling
menghubungkan sistem pembayaran APMK di seluruh
Indonesia. Upaya efisiensi nasional lain adalah mendorong
industri uang elektronik agar saling terhubung satu sama lain
(interoperable).
Di sisi penjagaan kepercayaan terhadap alat bayar, khususnya
APMK, Bank Indonesia telah mewajibkan industri untuk
menerapkan chip dan PIN paling kurang 6 digit bagi industri
kartu ATM dan Debet. Penerapan chip bertujuan untuk
mengurangi risiko fraud pencuriaan data yang terdapat pada
kartu ATM dan Debet berbasis magnetic stripe seperti halnya
kebijakan migrasi chip pada kartu kredit di 2010 lalu. Berbagai
kasus fraud yang pernah terjadi seperti pencurian data kartu
ATM dan Debet di Bali beberapa waktu lalu merupakan contoh
mudahnya pencurian data pada teknologi magnetic yang
memang datanya tidak terlindungi (enkripsi) seperti pada
teknologi chip.
23
Di sisi lain, untuk lebih memperkuat keamanan instumen ini
dilakukan pengetatan pada otentikasi, yakni penerapan PIN
paling kurang 6 digit. Penerapan ini akan lebih mempersulit
bagi pelaku kejahatan dalam menemukan kombinasi yang tepat
nomor PIN yang benar. Penggunaan PIN kurang dari 6 digit
dinilai masih relatif lebih mudah bagi pelaku kejahatan setelah
ditemukannya kunci pemecah PIN rahasia melalui trial and
error secara algoritma menggunakan teknologi komputer.
Dengan 6 digit paling tidak jumlah kombinasinya menjadi jauh
lebih banyak dan mempersulit bagi pelaku kejahatan.
Kebijakan di sisi oversight (pemantauan) dilakukan melalui
serangkaian monitoring, assessment dan inducing change
terhadap kepatuhan penyelenggara akan ketentuan dan aturan
main yang telah digariskan. Secara garis besar adalah untuk
menilai praktek yang dilakukan oleh penyelenggara sistem
pembayaran baik secara makro prudential maupun mikro
prudensial dalam bentuk pengawasan individual
penyelenggara.
24
Area yang menjadi cakupan pengawasan adalah sistem yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan penyelenggara di luar
Bank Indonesia. Di Bank Indonesia pemantauan dilakukan
terhadap sistem BI-RTGS, BI-SSSS dan SKNBI. Sementara untuk
industri pembayaran di luar Bank Indonesia dilakukan terhadap
penyelenggara APMK, Uang Elektronik (E-Money) dan Kegiatan
Usaha Pengiriman Uang (KUPU).
Secara umum penyelenggaraan sistem di 2011 telah dilakukan
sesuai dengan aturan yang telah digariskan. Kasus yang menjadi
pemantauan khusus adalah terkait dengan penggunaan jasa
collecting agent atau debt collector dalam penagihan kartu
kredit.
Sebagai tindak lanjut permasalahan yang terjadi di Citibank
terkait dengan kartu kredit, Bank Indonesia telah melakukan
pemeriksaan khusus terhadap Citibank. Dari hasil pemeriksaan
tersebut Bank Indonesia telah melarang Citibank untuk
melakukan penerbitan kartu kredit kepada nasabah baru
selama 2 tahun dan melarang penggunaan jasa penagihan kartu
25
kredit oleh pihak ketiga selama 2 tahun. Sanksi tersebut di atas
berlaku sejak tanggal 6 Mei 2011.
Selain pengenaan sanksi dalam upaya untuk mendorong
perubahan (inducing change), Bank Indonesia telah
menginstruksikan manajemen Citibank untuk meningkatkan
implementasi manajemen risiko dan pengendalian intern.
Selanjutnya, meminta kantor pusat Citibank New York
melakukan evaluasi menyeluruh terhadap fungsi pengendalian
intern Citibank Jakarta.
Selain pemeriksaan kepada Citibank, Bank Indonesia juga
melakukan hal yang sama kepada seluruh penerbit kartu kredit.
Harapannya, langkah yang ditempuh ini dapat melindungi
kepentingan nasabah dan kredibilitas industri pembayaran
dapat tetap terjaga.
APA KAITAN SISTEM PEMBAYARAN BAGI PEREKONOMIAN?
Menilik ilustrasi di atas mengenai perkembangan sistem
pembayaran, pengaruh teknologi informasi, sampai pada
26
bagaimana Bank Indonesia selaku regulator meresponnya serta
melakukan oversight, perlu dicari benang merah kaitannya
dengan perekonomian.
Mengapa demikian? Ini karena tugas utama Bank Indonesia
yang diamanatkan Undang-Undang adalah untuk mencapai
kestabilan nilai rupiah yang ujung-ujungnya adalah
pembangunan ekonomi yang berkualitas. Pertanyaan
selanjutnya adalah bagaimana kaitannya dengan kestabilan
nilai rupiah? Apakah efisiensi dan kehandalan sistem
pembayaran berkorelasi langsung dengan hal tersebut?.
Meskipun sedikit rumit untuk membuktikan secara empiris,
namun secara umum keterkaitan langsung antara sistem
pembayaran dan pengendalian kebijaksanaan moneter adalah
karena pelaksanaan sistem pembayaran dapat berpengaruh
terhadap penggunaan uang di masyarakat. Transaksi
pembayaran diantara pelaku ekonomi modern seringkali
menggunakan dana di rekening bank. Hasil dari proses kliring
dan settlement yaitu rekening satu pihak bertambah atas
beban rekening pihak lain.
27
Dengan demikian sistem pembayaran sebagai penghubung
aktivitas ekonomi dan uang. Efisiensi penggunaan uang sangat
tergantung dari efisiensi sistem pembayaran. Sebagai contoh,
time lag yang terjadi antara waktu dilakukannya instruksi
dengan penyelesaian pembayaran sangat bervariasi, dan hal ini
berpengaruh terhadap saldo rekening di bank serta
kemampuan pelaku untuk melakukan transaksi lainnya.
Pengaruh saldo rekening akibat dari time lag dikenal sebagai
float, yang merupakan faktor penting dalam keseimbangan
money supply dan demand. Dalam disain sistem pembayaran
yang modern dimana instruksi pembayaran banyak dilakukan
secara elektronik, yang dapat memberikan manfaat yang besar
baik bagi pelaku maupun bank-bank.
Dalam disain pembayaran elektronik maupun cek (paper-
based) diperlukan settlement pada hari yang sama (same day
settlement). Artinya begitu instruksi pembayaran dikirim,
settlement dilakukan pada waktu yang sama, yang
mempengaruhi saldo rekening bank-bank di bank sentral.
28
Disain same day settlement dikenal dengan istilah real time
gross settlement, yang merupakan penjabaran dari prinsip
pendebitan dan pengkreditan rekening bank penerima dan
pengirim (proses settlement) dalam waktu yang sama, sehingga
mempengaruhi saldo rekening bank penerima dan pengirim di
bank sentral.
Berkaitan dengan fungsi bank sentral dalam mengendalikan
kebijakan moneter, perhatian utama bank sentral adalah
pelaksanaan settlement di bank sentral mengingat settlement
merupakan muara seluruh transaksi keuangan. Melalui same
day settlement bank-bank dapat memperkirakan kebutuhan
likuiditasnya dengan cepat, demikian pula dengan bank sentral
dapat mengetahui money supply dan demand yang sebenarnya.
Pengoperasian transfer uang antar bank secara otomasi,
khususnya yang berjumlah besar (automated large value
interbank funds transfer) merupakan komponen infrastruktur
penting dalam pasar keuangan yang modern. Fungsi utamanya
adalah mempercepat komunikasi, pemrosesan dan
pelaksanaan sistem settlement pembayaran. Dari sudut
29
pandang makro ekonomi, automated large value interbank
funds transfer dapat menjembatani kebutuhan pasar uang dan
secara keseluruhan mempengaruhi kondisi moneter suatu
negara.
Karena melalui otomasi transfer dana antar bank dalam jumlah
besar (automated large value interbank transfer system),
informasi mengenai kondisi moneter negara dapat diketahui
secara akurat.
Dari sudut pandang mikro ekonomi penerapan automated
large value interbank transfer system akan meningkatkan
kemampuan likuiditas bagi bank-bank maupun individu
lainnya. Pasar yang likuid dapat mengurangi ketergantungan
bank-bank terhadap bank sentral, dan meningkatkan
penerapan reserve requirement yang berorientasi pada pasar.
Selain itu pasar uang antar bank yang likuid dapat
meningkatkan fleksibilitas penerapan kebijaksaan moneter
bank sentral. Kondisi pasar uang yang likuid memungkinkan
bank sentral dapat menerapkan kebijaksanaan moneter secara
30
langsung dan akurat, selain itu memungkinkan bank-bank
dengan cepat menyesuaikan posisi reserve requirement-nya.
Disamping itu, perlu disadari bahwa sistem pembayaran
mengandung pula risiko instabilitas yang apabila tidak ditangani
secara tepat akan mengakibatkan instabilitas yang lain. Risiko-
risiko yang terkandung dalam setiap sistem pembayaran,
terutama sistem yang menghandle pembayaran antar bank
yang bernilai besar cukup beragam yaitu mulai dari risiko
likuiditas dan risiko kredit sampai risiko hukum dan risiko
reputasi.
Yang paling ditakuti adalah resiko sistemik (systemic risk). Kalau
yang terakhir ini terjadi maka ia bisa menumbangkan atau
paling tidak menimbulkan kerugian yang tidak sedikit terhadap
para players-nya, dan bahkan bisa mengakibatkan kerugian
besar bagi penyelenggara sistem itu sendiri. Oleh karenanya,
suatu sistem dalam transaksi pembayaran harus di disain
secara tepat dan hati-hati.
Bicara disain sistem pembayaran adalah bicara totalitas, mulai
dari policy aspects sampai kepada penterjemahan kebijakan-
31
kebijakan itu dalam detil teknisnya. Ini adalah suatu hal yang
tidak terelakkan. Hanya apabila sistem pembayaran dipahami
secara comprehensive mulai dari policy aspects sampai detil
teknisnya, maka risiko bisa dimitigasi dengan baik. Ini tentunya
prinsip yang berlaku umum, tidak hanya untuk sistem
pembayaran saja.
KAITAN DENGAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN
Selain perspektif makro ekonomi, di sisi stabilitas sistem
keuangan pun tak kalah pentingnya. Ini karena sistem
keuangan dan sistem pembayaran merupakan satu kesatuan
utuh. Bahkan bagi sebagian orang mungkin agak samar
membedakan sistem keuangan dengan sistem pembayaran.
Kalau diibaratkan uang koin kedua aspek ini merupakan kedua
sisi mata uang yang saling menyatu dan tidak terpisahkan.
Gangguan pada sistem pembayaran dapat menimbulkan
keterlambatan atau kegagalan kewajiban pembayaran.
32
Kegagalan kewajiban pembayaran dalam jumlah signifikan
dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap
likuiditas perekonomian dan stabilitas sistem keuangan
maupun perbankan.
Demikian pula sebaliknya. Gangguan pada sistem keuangan
seperti terjadinya krisis keuangan yang berdampak pada satu
atau lebih bank peserta sistem pembayaran, tak pelak akan
berdampak pada likuiditas sistem pembayaran. Hal yang paling
ditakutkan dampak krisis tersebut terjadi pada bank-bank
berskala besar dan punya peran sistemik. Ini akan
mempengaruhi kemampuan pembayaran kewajiban mereka
terhadap bank peserta lainnya, dan pada gilirannya akan
merembet pada kemampuan bayar kepada bank peserta pada
layer berikutnya sehingga menimbulkan kemacetan
penyelesaian transaksi atau dalam istilah sistem pembayaran
dikenal dengan istilah gridlock.
Ilustrasi di atas cocok untuk menggambarkan transaksi
keuangan bernilai besar. Lantas apakah untuk yang bernilai
kecil juga dapat berdampak signifikan terhadap stabilitas sistem
33
keuangan? Sudah sering kita dengar kasus fraud yang
sistematis terhadap alat-alat pembayaran retail, ternyata dapat
berpengaruh pada kepercayaan terhadap sistem keuangan
secara umum. Misalnya kasus kegagalan bayar dalam jumlah
besar pada industri kartu kredit di Korea Selatan beberapa
waktu lampau.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup kala itu telah membuat
penerbit kartu kredit jor joran memberikan fasilitas outstanding
kredit cukup besar. Bahkan ketika itu orang bisa memiliki
beberapa kartu kredit. Petaka datang pada saat terjadi krisis
ekonomi yang melanda hampir seluruh negara Asia dan ketika
itu Korea menjadi salah satu yang terparah. Kita ingat banyak
perusahaan kolaps, pengangguran sangat tinggi, daya beli turun
sampai pada titik terendah, akhirnya banyak dari pemegang
kartu tidak mampu melunasi kewajibannya. Karena nilai
outstanding kewajiban kartu secara industri yang sangat tinggi,
pada gilirannya turut menyumbang kegagalan pada sistem
keuangan di Korea Selatan.
34
APA MANFAAT PENGEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN BAGI
PEREKONOMIAN?
Pertanyaan di atas mencoba menghubungkan apa yang telah
dilakukan Bank Indonesia tentunya bersama dengan industri
sistem pembayaran dengan uraian singkat keterkaitan sistem
pembayaran bagi perekonomian. Sebelum menjawab
pertanyaan ini mari kita urai apa saja yang telah, sedang dan
akan dilakukan.
Pada 2011, Bank Indonesia memfokuskan 4 pengembangan
sistem pembayaran. Pertama melanjutkan tahapan
pengembangan Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II. Kedua,
melanjutkan inisiasi pengembangan National Payment
Gateway (NPG). Ketiga, mendorong interoperabilitas industri
uang elektronik. Keempat, penerapan chip dan PIN paling
kurang 6 digit untuk kartu ATM/Debet.
35
Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II: Efisiensi Likuiditas bagi
Perekonomian
Pengembangan sistem yang merupakan kegiatan lanjutan sejak
inisiatif ini digulirkan pada tahun 2008, telah mulai pada
tahapan pengembangan sistem dan penyiapan perangkat
peraturan. Dalam pengembangan sistem, Bank Indonesia selalu
melibatkan anggota kelompok kerja dari industri untuk
menyelaraskan dengan kebutuhan perbankan. Sedangkan dari
sisi ketentuan, saat ini sedang dilakukan pemetaan ketentuan
yang perlu dihormonisasikan dengan sistem yang baru dan
sistem terkait lainnya.
Pengembangan sistem ini diharapkan mampu mendukung
kebutuhan perekonomian dan sistem keuangan, terutama
karena dalam sistem baru nantinya terdapat mekanisme hybrid
dan tidak murni gross basis seperti saat ini. Dengan mekanisme
ini dimungkinkan dilakukan offsetting pada sistem generasi II.
Dengan mekanisme tersebut, kedepan peserta sistem dapat
melakukan optimalisasi penggunaan likuiditas. Hal ini ditujukan
untuk antisipasi kebutuhan perkembangan perekonomian yang
36
membutuhkan likuiditas tinggi seperti adanya pendalaman
pasar keuangan.
Penghematan Social Cost Melalui NPG
Penyelenggaraan sistem pembayaran terus berkembang dan
berevolusi. Berbagai jenis instrumen pembayaran serta delivery
channel disediakan oleh penyelenggara untuk memberi
kemudahan kepada nasabah dalam melakukan berbagai
transaksi pembayaran dengan lebih cepat dan efisien.
Namun demikian dalam perkembangannya terdapat faktor
kompetisi antar penyelenggara dalam penyediaan infrastruktur
sistem pembayaran. Ini menyebabkan adanya duplikasi yang
mengarah pada in-efisiensi. Ujung-ujungnya adalah
meningkatnya social cost yang harus dihadapi oleh masyarakat.
Konsep NPG mengedepankan efisiensi infrastruktur
pembayaran retail sehingga dapat digunakan oleh industri
secara bersama. Kalau diibaratkan, infrastruktur ini adalah jalan
menuju komplek industri yang dapat digunakan oleh seluruh
individual perusahaan sehingga mereka tidak perlu melakukan
37
investasi sendiri untuk membuat jalan yang hasilnya belum
tentu bagus dan mungkin lebih ruwet. Dengan NPG, cukup satu
jalan atau dalam terminologi sistem pembayaran berarti
jaringan yang dibuat lebih besar kapasitasnya sehingga bisa
lebih cepat dan dapat digunakan bersama.
Konsep seperti ini pernah dianut oleh beberapa negara di
kawasan Eropa dan Asia. Meskipun secara terminologi tidak
selalu disebut sebagai NPG, namun karakteristik dari model
bisnis yang dijalankan dapat dijadikan sebagai referensi dalam
pengembangan NPG di Indonesia. Dalam prakteknya, cakupan
model bisnis NPG untuk layanan transaksi antar bank yang
dijalankan berbeda antara satu negara dengan negara lainnya.
Ada yang sudah memiliki cakupan layanan yang cukup luas
yang mencakup berbagai jenis layanan switching dan delivery
channel (Korea, Taiwan), namun ada juga yang terbatas pada
layanan untuk transaksi antar bank via ATM (Thailand,
Singapore).
Harapannya dengan sharing infrastruktur, biaya investasi
masing-masing penyelenggara switching bisa ditekan. Bagi bank
38
atau peserta switching pun tidak perlu menjadi anggota di
setiap penyelenggara switching yang ujung-ujungnya dapat
meningkatkan social cost bagi nasabah mereka. Pada gilirannya
apabila hal ini bisa diwujudkan maka efisiensi dan skala
ekonomi bisa dicapai dan perekonomian pun bisa lebih efisien.
Ke depan dengan adanya NPG, diharapkan persaingan bukan
lagi dalam koridor efisiensi biaya infrastruktur tetapi lebih
kepada layanan bagi masyarakat.
Interoperabilitas Uang Elektronik
Mirip dengan industri APMK, industri uang elektronik pun
dihadapkan pada kondisi yang sama dimana masing-masing
penerbit membangun infrastruktur sendiri-sendiri. Dengan
memanfaatkan kondisi industri uang elektronik yang belum
berkembang besar, masih sangat memungkinkan untuk
dibangun infrastruktur yang standar sehingga memungkinkan
setiap penerbit dapat saling terhubung satu dengan lainnya.
Sejak muncul di 2009, sampai saat ini sudah ada 11 penerbit
uang elektronik. Penerbit tersebut mengembangkan sistem dan
39
infrastrukturnya masing-masing. Hal ini menyebabkan
ketidakefisienan secara nasional. Sampai sekarang belum ada
inisiatif masing-masing penerbit untuk menginterkoneksikan
sistemnya. Spesifikasi instrumen dan alat baca (reader)
bervariasi tipenya. Melihat kecenderungan tersebut, Bank
Indonesia mewacanakan untuk menerapkan kebijakan
standarisasi uang elektronik.
Dengan adanya standar kembali lagi diharapkan investasi dapat
dilakukan lebih optimal. Industri dapat sharing investasi
infrastruktur sehingga lebih efisien. Anggaran justru bisa
difokuskan untuk penetrasi ke wilayah yang masih relatif
terbelakang dari sisi infrastruktur. Selain itu, industri juga akan
diuntungkan dari efisiensi cash handling dan berkurangnya
potensi kebocoran pendapatan.
Jika dilihat dari perspektif masyarakat, mereka juga ikut
diuntungkan. Mereka cukup memiliki satu kartu yang dapat
digunakan dimanapun. Dari aspek penetrasi pun lebih luas,
sehingga jangkauan merchant lebih banyak yang dapat
menerima uang elektronik. Selain itu lagi-lagi dampak social
40
cost-nya dapat dihemat agar ada insentif lebih bagi masyarakat
untuk menggunakan uang elektronik. Bagi Bank Indonesia,
adanya standar tentunya akan meningkatkan efisiensi
pembayaran secara nasional. Ujung-ujungnya, penggunaan
uang elektronik secara masif dapat mengurangi beban
pengelolaan uang tunai.
Terkait dengan rencana standarisasi tersebut, Bank Indonesia
akan melakukan pentahapan dalam pelaksanaannya. Fokus
pertama adalah pada jenis uang elektronik berbasis chip. Chip
based lebih diprioritaskan pada sektor transportasi mengingat
sektor ini yang akan memiliki dampak signifikan pada
peningkatan penggunaan uang elektronik, meskipun apabila
dilihat dari penggunaannya relative terfokus pada transaksi
kecil dan mikro.
Pengalaman yang sama terjadi di beberapa negara yang sukses
mengembangkan industri uang elektroniknya seperti Hong
Kong, Malaysia dan Singapura. Pada tahap pengembangan
awal, sebagai killer application adalah sektor transportasi
publik. Baru setelah tingkat awareness masyarakat meningkat,
41
mereka merambah ke sektor lain seperti convenient store,
perparkiran sampai rumah makan.
Untuk mendukung langkah tersebut, pada Oktober 2011
Gubernur Bank Indonesia bersama Kementerian Perhubungan
dan Kementerian Komunikasi dan Informasi telah
menandatangani MoU untuk penerapan uang elektronik di
sektor transportasi. Untuk itu telah disepakati adanya
penyesuaian model bisnis yang telah berjalan. Selain itu
diperlukan penyiapan lembaga yang akan bertindak sebagai
prinsipal selaku pengelola standar baik dari aspek bisnis
maupun teknisnya.
Penandatanganan Kesepakatan Bersama ini merupakan
langkah awal dimana nantinya akan segera disusun program
kerja bersama antar otoritas untuk dapat saling mendukung
dan bersinergi, sehingga dalam waktu dekat akan segera
tercapai bentuk sinkronisasi penyusunan standar uang
elektronik. Pada akhirnya masyarakat tidak perlu memiliki
banyak uang elektronik untuk bertransaksi.
42
Penerapan Chip dan PIN paling kurang 6 Digit pada Kartu
ATM/Debet
Guna memitigasi risiko fraud berupa skimming terhadap data
pada kartu magnetic stripe, Bank Indonesia dan industri
berinisiatif untuk menerapkan kartu ATM dan Debet berbasis
chip. Inisiatif ini diawali dengan uji coba penerapan di 3 bank
piloting. Hasilnya setelah dirasa siap dan dapat
diimplementasikan, pada 18 Oktober 2011 Bank Indonesia
mengeluarkan Surat Edaran untuk implementasi chip dan PIN 6
digit pada kartu ATM/Debet bagi industri perbankan.
Tidak seperti penerapan chip pada industri kartu kredit tahun
lalu, waktu yang diperlukan untuk migrasi dari teknologi
magnetic stripe ke teknologi chip pada industri ATM dan Debet
lebih lama. Hal ini antara lain dikarenakan standar yang dipakai
di industri ATM dan Debet merupakan standar nasional yang
tentunya perlu disiapkan sendiri oleh industri mulai dari
pembentukan lembaga yang berwenang mengeluarkan
standar, penyusunan standar sampai dengan sertifikasi
terhadap pihak-pihak yang akan menggunakan standar
43
tersebut. Selain itu, jumlah kartu ATM dan kartu Debet yang
jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah kartu kredit saat
itu. Jumlah kartu ATM dan Debet saat ini 5 kali lipat dari jumlah
kartu kredit saat itu yang hanya mencapai 12,3 juta kartu.
Berdasarkan kondisi itu, Bank Indonesia menetapkan waktu
implementasi standar chip dan PIN 6 digit pada Kartu ATM dan
Debet paling lama 31 Desember 2015. Dengan demikian, sejak
1 Januari 2016 setiap Kartu ATM dan Debet yang diterbitkan
dan digunakan untuk transaksi di Indonesia harus diproses
dengan menggunakan standar teknologi chip dan PIN yang
baru. Rentang waktu yang cukup panjang ini sekaligus untuk
mengakomodir kebutuhan industri dalam menghitung ulang
investasi yang akan dikeluarkan dan tahapan migrasi yang
dilakukan.
Dalam proses migrasi tersebut sudah pasti terdapat
konsekuensi biaya yang cukup besar yang ditanggung oleh
industri ATM dan Debet. Mahal memang, namun dapat
dipastikan bahwa biaya tersebut merupakan biaya sementara
yang ke depan akan ter-cover dengan manfaat peningkatan
44
efisiensi industri dan tingkat keamanan yang lebih tinggi
dibanding infrastruktur yang digunakan saat ini.
Selain meningkatkan keamanan, penggunaan teknologi chip
dan PIN 6 digit pada instrumen ATM dan Debet juga berpotensi
dalam pengembangan layanan fitur-fitur baru. Oleh karenanya
perlu disadari oleh semua pihak bahwa implementasi standar
ini akan berdampak pada bisnis penerbitan dan aqcuiring kartu
pembayaran yang saat ini telah berjalan.
Dari pengalaman migrasi chip kartu kredit tahun lalu, terlihat
manfaat yang sangat besar terutama dari sisi tingkat fraud.
Setelah terjadinya migrasi chip pada kartu kredit, terdapat
penurunan tingkat fraud yang signifikan pada kartu kredit yang
disebabkan karena modus skimming. Data di bawah
menunjukkan tren penurunan tersebut.
45
0.0%
10.0%
20.0%
30.0%
40.0%
50.0%
60.0%
70.0%
80.0%
20
08
/Jan
20
08
/Mar
20
08
/May
20
08
/Ju
l
20
08
/Se
p
20
08
/No
v
20
09
/Jan
20
09
/Mar
20
09
/May
20
09
/Ju
l
20
09
/Se
p
20
09
/No
v
20
10
/Jan
20
10
/Mar
20
10
/May
20
10
/Ju
l
20
10
/Se
p
20
10
/No
v
20
11
/Jan
20
11
/Mar
20
11
/May
20
11
/Ju
l
JUMLAH KASUS
KERUGIAN
Grafik semua jenis Fraud pada kartu kredit
DUKUNGAN SISTEM PEMBAYARAN TERHADAP KEUANGAN
INKLUSIF
Keuangan Inklusif merupakan suatu kegiatan menyeluruh yang
bertujuan untuk meniadakan hambatan terhadap akses
masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan.
Terkait dengan hal tersebut, untuk keberhasilan program
tersebut perlu dukungan berbagai infrastruktur dimana salah
satunya adalah sistem pembayaran.
Isu yang muncul selanjutnya adalah bagaimana menjembatani
segmen masyarakat tertentu yang juga membutuhkan layanan
46
jasa pembayaran tapi belum bersentuhan dengan dunia
perbankan (unbanked people). Golongan ini belum tersentuh
oleh dunia perbankan karena beberapa faktor diantaranya
lokasi geografis yang jauh dari perbankan sehingga memang
tidak terjangkau secara ekonomis bagi bank, atau karena
topologi masyarakat tersebut yang enggan untuk masuk ke
bank, baik karena sungkan maupun enggan dengan formalitas
industri perbankan.
Masyarakat Indonesia yang masuk dalam kategori ini sangat
besar. Survey World Bank tahun 2010 menunjukkan sekitar
62% masyarakat Indonesia masuk dalam golongan tersebut.
Artinya dengan perkiraan penduduk saat ini yang berjumlah
kurang lebih 250 juta, 150 juta belum tersentuh perbankan,
apalagi menggunakan produk bank.
Potensi yang sedemikian besar tersebut menjadi pekerjaan
rumah baik bagi industri perbankan, sistem pembayaran dan
Bank Indonesia. Saat ini pembagian peran yang cukup efektif
telah dilakukan oleh kalangan perbankan dengan lembaga
47
selain bank yang memiliki basis jaringan distribusi luas sampai
ke pelosok seperti Kantor Pos Indonesia.
Pola kolaborasi ini bisa dikembangkan lagi dengan perusahaan
yang memiliki basis infrastruktur teknologi informasi, seperti
penyedia jaringan selular misalnya. Sebagaimana diketahui
bersama, penggunaan media telepon selular telah merambah
sampai ke pelosok. Apabila kita cermati, pola pola tersebut
telah dimanfaatkan oleh penyelenggara sistem pembayaran
khususnya non-bank yang memang memiliki jalur distribusi
ataupun jaringan infrastruktur telekomunikasi. Selain Kantor
Pos, sekarang pengadaian, perusahaan jasa titipan, dan toko
waralaba telah bekerjasama dengan perbankan atau menjadi
penyelenggara KUPU untuk memberikan jasa pembayaran di
daerah-daerah yang memang belum terdapat bank.
Harapannya dengan pola seperti ini, walaupun masih
digunakan oleh unbanked people, perlahan-lahan tingkat
awareness mereka akan meningkat baik terhadap produk
perbankan maupun jasa pembayaran.
48
AKTIVITAS SISTEM PEMBAYARAN
Aktivitas setelmen RTGS melalui sistem Bank Indonesia –Real Time
Gross Settlement
Perkembangan transaksi setelmen RTGS baik rupiah maupun
valas selama 2011 mencatat transaksi sebanyak 16 juta dan
dengan nilai sebesar Rp65 ribu triliun. Bisa dikatakan rata-rata
dalam sehari transaksi yang di settle melalui sistem BI-RTGS
adalah mencapai 64 ribu transaksi dengan nilai sebesar Rp264
triliun.
Sungguh nilai yang tidak sedikit. Melihat perkembangan tahun
sebelumnya, rata-rata dalam sehari hanya mencapai transaksi
sebesar 46,5 ribu transaksi dengan nilai sebesar Rp174 triliun.
Ini artinya, dalam kurun waktu setahun transaksi yang di-settle
melalui sistem BI-RTGS mengalami kenaikan masing-masing
sebesar 36% untuk volume dan 48% untuk nilai.
49
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
0
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
70,000
20
00
20
01
20
02
20
03
20
04
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
20
10
20
11
Juta TransaksiRp Miliar
Nilai (Rp Miliar) Volume
Perkembangan Transaksi RTGS
8.4%
19.9%
5.4%
3.2%
4.6%
45.2%
10.4%
3.0%Nilai
PUAB
Nasabah
Valas
Pasar Modal
Pemerintah
Pengelolaan Moneter
Kliring
Lainnya
Komposisi Jenis Transaksi Berdasarkan Nilai
0.61%
86.32%
0.72%
0.41%4.65%
0.49% 1.95% 4.85% Volume
PUAB
Nasabah
Valas
Pasar Modal
Pemerintah
Pengelolaan Moneter
Kliring
Lainnya
Komposisi Jenis Transaksi Berdasarkan volume
50
Grafik perkembangan transaksi RTGS menunjukkan kenaikan
transaksi yang signifikan dibanding dengan tahun sebelumnya.
Berdasarkan jenis transaksi yang di-settle melalui sistem BI-
RTGS, selama tahun 2011 tercatat komposisi paling besar di sisi
nilai adalah transaksi pengelolaan moneter sebesar 45,2%.
Sedangkan di sisi volume komposisi terbesar transaksi
dilakukan oleh nasabah sebesar 86,3%.
Berdasarkan data di Bank Indonesia, tercatat peningkatan
transaksi pengelolaan moneter sebesar 45,6% di sisi nilai
transaksi dan peningkatan sebesar 26,8% di sisi volume
dibandingkan tahun sebelumnya.
2010 2011 Naik/Turun (%)
PUAB 4,368 5,205 19.2%
Nasabah 9,344 12,354 32.2%
Valas 3,029 3,324 9.7%
Pasar Modal 2,182 2,010 -7.9%
Pemerintah 2,070 2,858 38.1%
Pengelolaan Moneter 19,279 28,065 45.6%
Kliring 5,499 6,448 17.3%
Lainnya 1,422 1,848 29.9%
Sumber : EDW BI-SP
Jenis Transaksi Nilai (Rp triliun)
S u m b e r : E D W B I - S P
51
Jika dilihat dari komposisi kelompok transaksi per peserta,
maka transaksi RTGS paling banyak dilakukan oleh kelompok
bank swasta nasional yaitu menempati proporsi sebanyak
41,51%. Namun jika dilihat dari nilai transaksi, komposisi
terbanyak transaksi dilakukan oleh bank swasta nasional
dengan prosentase 38%.
7.44%
5.20%
33.17%
7.72%
41.51%
4.70%
0.26% 0.26% VolumeBANK ASING
BANK CAMPURAN
BANK PEMERINTAH
BANK PEMERINTAH DAERAH
BANK SWASTA NASIONAL
BANK SYARIAH DAN UUS
Komposisi Transaksi BI-RTGS (Volume)
52
20.56%
6.98%
24.76%
7.79%
38.00%
1.16%
0.74%Nilai Transaksi
BANK ASING
BANK CAMPURAN
BANK PEMERINTAH
BANK PEMERINTAH DAERAH
BANK SWASTA NASIONAL
BANK SYARIAH DAN UUS
Komposisi Transaksi BI-RTGS (Nilai)
Aktivitas kliring melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
(SKNBI)
Aktivitas kliring melalui SKNBI relative stabil dan tidak
mengindikasikan lonjakan transaksi secara signifikan. Selama
2011, transaksi yang dikliringkan melalui SKNBI berjumlah 95
juta dengan nilai transaksi mencapai Rp1,9 ribu triliun.
53
-
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
-
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
7,000
8,000
9,000
10,000
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Rp
Tri
lyu
n
Rib
u T
ran
saks
i
Volume Nilai Transaksi
Transaksi kliring melalui sistem SKNBI
Sebagian besar transaksi pada SKNBI merupakan transfer dana
elektronik antar nasabah bank dengan jumlah nilai yang
dibatasi yaitu kurang dari Rp100 juta. Dengan jumlah transaksi
yang diperkirakan rata-rata sehari mencapai 395 ribu transaksi
(naik 6,9% bila dibandingkan tahun lalu), bisa dibilang
merupakan jumlah yang sangat banyak. Hampir sebagian besar
aktivitas pembayaran dilakukan melalui kliring. Misalnya,
transaksi pembayaran melalui mesin ATM, internet banking,
mobile banking, maupun sms banking hampir sebagian besar
dilakukan melalui kliring. Apalagi sejak diimplementasikannya
mekanime close to real time dalam proses pembayaran melalui
kliring. Dengan biaya yang lebih murah dibanding transfer
dengan RTGS, saat ini transfer dana melalui kliring bisa
54
dilakukan dengan cepat, satu hari pun sudah bisa sampai di
penerima.
Dengan semakin efisien, murah dan cepat, bukannya tidak
mungkin dalam kurun waktu setahun semakin banyak transaksi
yang melalui sistem ini. Jika dilihat dari aspek bisnis,
merupakan peluang yang sangat menguntungkan bagi industri
yang menjalankannya. Terutama dilihat dari sisi penyelenggara
kliring yang saat ini dilakukan oleh baik institusi lokal maupun
manca negara yaitu Artajasa, Rintis, Alto, Visa. dan Mastercard.
Aktivitas Pembayaran Menggunakan Kartu Kredit
Potensi penggunaan kartu kredit oleh masyarakat Indonesia
masih cukup besar dikarenakan pangsa pasar di Indonesia yang
masih terbuka untuk pengembangan kartu kredit. Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS) saat ini terdapat kurang lebih
111 juta penduduk yang potensial untuk menjadi pemegang
kartu (sumber: data BPS, tenaga kerja usia 15 tahun ke atas).
Dari total Sementara itu, jumlah kartu kredit akhir tahun 2011
55
mencapai 14,6 juta kartu. Asumsi, 1 orang memiliki 2 kartu
kredit, maka saat ini jumlah pemegang kartu kredit di Indonesia
dibandingkan dengan potensi pasar yang ada (jumlah
penduduk usia produktif) baru mencapai 4,5%.
-
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
16,000
18,000
-
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
16,000
18,000
20,000
1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Rp
Mily
ar
Rib
u t
ran
saks
i
Volume Nilai Transaksi Perkembangan Volume dan Nilai Transaksi Kartu Kredit
Pesatnya pertumbuhan kartu kredit tercermin pada tren
peningkatan jumlah kartu beredar tiap tahunnya yang
mencapai rata-rata pertumbuhan pertahun sebesar 15%.
Naiknya tren jumlah kartu tersebut selama kurun waktu 5
tahun turut pula mendorong peningkatan penggunaannya. Di
sisi volume pertumbuhan per tahun rata-rata mencapai 12%,
sementara itu di sisi nilai mencapai 23%.
56
-
2
4
6
8
10
12
14
16
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Juta Kartu
Jumlah Pemegang Kartu Kredit
PerkembanganPemegang Kartu Kredit
Volume (juta)
Tahun Tunai Belanja Total
2005 5,26 91,31 96,57 2006 5,69 108,58 114,27 2007 4,80 124,49 129,29 2008 5,39 161,35 166,74 2009 4,81 177,82 182,62 2010 4,33 192,09 196,41 2011 3,74 186,89 190,63
Sumber: EDW BI-LKPBU/LSBU
Nilai Transaksi (Rp triliun)
Tahun Tunai Belanja Total
2005 2,75 42,94 45,69
2006 3,51 54,85 58,36
2007 3,30 69,30 72,60
2008 3,80 103,47 107,27
2009 4,04 132,65 136,69
2010 4,51 156,88 161,38
2011 4,08 161,52 165,60 Sumber: EDW BI-LKPBU/LSBU
PerkembanganTransaksi Kartu Kredit
57
Saat ini telah terdapat 20 penerbit kartu kredit dan 5 penyedia
jaringan yang disebut prinsipal. Kelima penyedia jaringan
seluruhnya merupakan institusi asing. Salah satu diantara
kelima prinsipal tersebut adalah PT. China Unionpay yang baru
memasuki industri kartu kredit di Indonesia tahun 2010. Saat
ini jaringan CUP tersebut beranggotakan PT. Bank ICBC
Indonesia dan PT. Bank of China.
Total transaksi kartu kredit yang melalui kelima jaringan
mencapai 190,6 juta transaksi dengan nilai sebesar Rp165,6
triliun. Coba kita sama-sama berhitung, jika principal A
menerapkan fee berupa Merchant Diskon Rate (MDR) 2,5% dari
setiap transaksi di toko. Si A melakukan transaksi sebesar
Rp2.400.000, maka didapat MDR sebesar Rp60.000. dari fee
Rp60.000 tadi dibagi-bagi kepada si toko, acquirer dan
prinsipal. Fee bersih principal A sebesar Rp20.000. Jika dalam
sehari terdapat transaksi sebanyak 250 ribu transaksi di satu
negara, maka keuntungan yang didapat selama setahun untuk
91 juta transaksi adalah sebesar Rp1,8 triliun.
58
Aktivitas Pembayaran Menggunakan Account Based Card (Kartu
ATM dan Kartu Debet)
Kartu ATM/Debet, merupakan salah satu alat bayar yang
penggunaannya melesat dari tahun ke tahun. Mungkin karena
penetrasi kepada masyarakat yang dinilai sukses. Sehingga
dalam kurun waktu 5 tahun, rata-rata pertumbuhan jumlah
kartu per tahun mencapai 16%, sedangkan di sisi nilai tumbuh
lebih tinggi lagi yaitu 19% dan di sisi volume mencapai 16%.
Jumlah tersebut masih dimungkinkan untuk tumbuh lebih pesat
lagi mengingat prosentase kartu per penduduk potensial untuk
menjadi pemegang kartu masih 48,7%. Kartu ATM/Debet
otomatis diberikan kepada nasabah ketika si nasabah membuka
rekening di bank. Dengan fungsi untuk memberikan
kemudahan si nasabah dalam menarik tunai dananya di
rekening tanpa harus melalui teller, dan iming-iming bisa
dipakai untuk berbelanja di toko-toko yang menyediakan
fasilitas tersebut, maka siapa yang menolak?
Mengambil manfaat dari kondisi tersebut, selama tahun 2011
mulai marak bermunculan pemain-pemain yang selama ini
59
berkecimpung di segment mikro dan kecil seperti Bank
Perkreditan Rakyat (BPR). Sampai dengan akhir tahun 2011
telah terdapat 8 BPR yang menyelenggarakan kartu ATM.
Pada tahun 2011, total account based card yang beredar
mencapai 61 juta kartu. Jumlah tersebut apabila dibandingkan
dengan tahun sebelumnya meningkat 19% (dari 51,6 juta
kartu). Dari jumlah tersebut 94% merupakan kartu ATM yang
sekaligus dapat digunakan sebagai kartu debet (kartu
ATM/Debet), yang diterbitkan oleh 46 bank. Sisanya 6%,
berupa kartu ATM murni atau hanya dapat digunakan untuk
tarik tunai, yang diterbitkan oleh 55 bank dan 8 Bank
Perkreditan Rakyat (BPR).
-
10
20
30
40
50
60
70
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Juta Kartu
Jumlah Kartu
Perkembangan Jumlah Account Based Card (juta kartu)
60
Peningkatan jumlah kartu tersebut turut pula mendorong
peningkatan aktivitas transaksi. Pada tahun 2011, nilai yang
ditransaksikan mencapai Rp2.238 triliun. Sementara itu, di sisi
volume mencapai 2.043 juta transaksi. Rata-rata setiap
bulannya transaksi menggunakan account based card
meningkat masing-masing sebesar 1,7% di sisi volume dan 1,4%
di sisi nilai.
Pola peningkatan penggunaan account based card juga dapat
menunjukkan perkembangan tingkat awareness masyarakat
akan instrumen pembayaran non tunai, atau dengan kata lain
dapat menunjukkan perkembangan less cash di masyarakat.
-
20
40
60
80
100
120
140
160
180
-
50.00
100.00
150.00
200.00
250.00
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Juta TransaksiRp Trilliun
Nilai (Rp Triliun) Volume (dalam Juta)
Perkembangan Volume dan Nilai Account Based Card
61
Meskipun porsi penarikan tunai masih jauh lebih besar dari
aktifitas transaksi lainnya, namun dalam kurun waktu 5 tahun
terakhir cenderung menurun. Apabila tahun 2005 porsi
penarikan tunai masih sebesar 78,3%, pada tahun 2011 porsi
tersebut menurun menjadi sebesar 71,5%. Apabila dilihat dari
transaksi transfer, terjadi peningkatan pada porsi transaksi
transfer (baik antarbank maupun interbank) menggunakan
kartu ATM/debet. Tahun 2005 porsinya masih sebsar 17%,
selama tahun 2011 meningkat porsinya menjadi sebesar 22,4%.
Kita lihat lagi trend teknologi saat ini, dimana jejaring sosial di
dunia maya mulai marak membuka “toko” online. Saat ini
kurang lebih 48 juta penduduk atau 43,2% dari total penduduk
Indonesia mulai “melek” internet (sumber: data Depkominfo
per Des 2011). Mereka mulai melihat adanya kemudahan dan
kenyamanan dalam bertransaksi melalui internet karena tidak
perlu datang langsung ke toko tersebut. Memang saat ini tidak
selalu secara online pembayarannya, namun cukup dengan
administrasi pembelian di internet kemudian pembayaran
cukup dilakukan melalui transfer di mesin ATM maupun secara
62
mobile banking. Selanjutnya si pembeli mengkonfirmasikan
pembayarannya dan barang pun dikirim. Faktor inilah yang
diindikasikan meningkatnya jumlah kegiatan transaksi transfer
melalui kartu ATM/debet. Hal ini juga mengindikasikan upaya
Bank Indonesia dalam mendorong less cash society mulai
menunjukkan hasilnya.
78.34%
77.86%
76.39%
74.80%
72.67%
71.92%
71.50%
4.61%
5.01%
5.48%
5.88%
6.29%
6.17%
6.10%
17.05%
16.71%
17.39%
18.06%
18.47%
18.57%
18.43%
0.00%
0.42%
0.73%
1.27%
2.57%
3.34%
3.98%
0% 20% 40% 60% 80% 100%
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tunai
Belanja
Transfer Interbank
Transfer Antarbank
Komposisi Jenis Transaksi Account Based Card (Volume)
63
39.03%
44.93%
33.29%
33.88%
43.72%
46.26%
46.72%
1.86%
2.13%
1.75%
2.08%
3.10%
3.26%
3.39%
58.55%
52.94%
64.03%
62.39%
49.28%
45.00%
43.42%
0.56%
0.00%
0.92%
1.66%
3.91%
5.48%
6.47%
0% 20% 40% 60% 80% 100%
2006
2005
2007
2008
2009
2010
2011
Tunai
Belanja
Transfer Interbank
Transfer Antarbank
Komposisi Jenis Transaksi Account Based Card (Nilai)
Dengan semakin menggiurkannya industri kartu ATM/debet ini,
selama tahun 2011, industri kartu ATM/debet di Indonesia
mulai diramaikan dengan masuknya pendatang baru dari
Negara China yaitu Bank of China sebagai penerbit dan China
Unionpay sebagai prinsipal. Sehingga sampai dengan akhir
2011, jumlah penerbit dan prinsipal kartu ATM/debet di
Indonesia masing-masing berjumlah 55 dan 5 penyelenggara.
64
UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY)
Meskipun baru 4 tahun yang lalu jenis pembayaran ini
diluncurkan, namun jika kita tengok jumlah uang elektronik
telah mencapai sekitar 12,8 juta kartu pada 2011. Penggunaan
uang elektronik pada tahun 2011 mencatatkan transaksi
sebesar 36,4 juta transaksi atau meningkat 37% dari tahun
sebelumnya dengan nilai transaksi sebesar Rp856,7 miliar atau
meningkat 24% dari tahun sebelumnya.
-
2,500
5,000
7,500
10,000
12,500
15,000
4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 12 2 4 6 8 10
2007 2008 2009 2010 2011
Ribu Kartu
Jumlah Kartu Beredar
Pertumbuhan Uang Elektronik
65
Industri uang elektronik menarik banyak sektor industri. Selain
perbankan, sektor telekomunikasi dan transportasi pun ikut
berkecimpung dalam bisnis yang terbilang baru ini. Sampai
dengan tahun 2011 telah ada 11 pemain yang menerbitkan
uang elektronik baik dalam bentuk kartu berbasis chip maupun
media berbasis server. Industri perbankan lebih memilih
menerbitkan uang elektronik dalam bentuk kartu yang relatif
lebih mudah pengembangannya. Karena sebelumnya mereka
pun rata-rata menerbitkan kartu kredit dengan menggunakan
chip. Sedangkan industri telekomunikasi yang memang
jawaranya aplikasi berbasis mobile yang tak lain juga adalah
-
500.00
1,000.00
1,500.00
2,000.00
2,500.00
3,000.00
3,500.00
4,000.00
4,500.00
5,000.00
0
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
70,000
80,000
90,000
100,000
110,000
120,000
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11
2007 2008 2009 2010 2011
Ribu TransaksiRp Juta
Nilai Volume
Perkembangan Transaksi Uang Elektronik
66
“bermain” server, maka mereka lebih memilih menerbitkan
produknya dalam bentuk media handphone (server based). Jika
dilihat dari perkembangan transaksi, dapat terlihat bahwa
proses penetrasi pasar terbilang cukup berhasil pada sektor
perbankan dan transportasi. Sedangkan di sisi lain, sektor
telekomunikasi relatif stagnan perkembangannya. Hal ini
diindikasikan bahwa walaupun terdapat 185 juta pengguna
handphone di Indonesia (sumber: data Kemenkominfo), namun
penetrasi uang elektronik hanya sebesar 3,9%.
-
5,000,000
10,000,000
15,000,000
20,000,000
25,000,000
30,000,000
35,000,000
40,000,000
2007 2008 2009 2010 2011
Perbankan dan Transportasi Vol Telekomunikasi Vol
Perkembangan Volume Transaksi Uang Elektronik per sektor