BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Acuan Teori Subtansi Mata Pelajaran
1. Pengertian Belajar
Pendidikan merupakan suatu proses kegiatan yang mengaitkan banyak
faktor. Dalam menyukseskan pendidikan tidak terlepas dari kegiatan belajar
mengajar, ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Hudoyo (1990 : 1) bahwa :
“Pendidikan sebenarnya merupakan suatu rangkaian peristiwa yang kompleks, peristiwa tersebut merupakan rangkaian kegiatan komunikasi antar manusia, sehingga manusia itu sebagai pribadi yang utuh. Manusia yang tumbuh melalui belajar, karena itu kalau kita berbicara tentang belajar tidak dapat melepaskan diri dari mengajar. Belajar merupakan proses kegiatan yang tidak dapat dipisahkan”.
Belajar merupakan suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri
seseorang. Perubahan-perubahan itu sebagai hasil belajar yang dapat ditunjukkan
dengan berbagai bentuk perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah
laku. Keterampilan, kecakapan, dan kemampuan serta perubahan-perubahan pada
aspek lain yang ada pada setiap individu yang belajar.
Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses
perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh (Slamet,
1991 : 12) bahwa :
“Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman itu sendiri dalam interkasi dengan lingkungannya”.
Cronbach (Yusuf, 2003 : 22), menyatakan bahwa belajar adalah
perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman. Sedangkan Geoch (Yusuf,
2003 : 22) juga mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan dalam
perpormarsi sebagai hasil dari praktek-praktek.
Belajar metematika memerlukan kesiapan mental yang tinggi karena
matematika berkenaan dengan ide-ide abstrak yang diberi simbol-simbol itu
tersusun secara hirarkis dan penalarannya yang bersifat deduktif. Sebagaimana
yang dikemukakan Hudoyo (1990 : 4) bahwa:
“Matematika berkenaan dengan ide-ide/konsep-konsep abstrak yang
tersusun secara hirarkis dan penalarannya deduktif”.
Dari uraian di atas dapat diartikan bahwa belajar matematika adalah suatu proses
yang dilakukan individu secara bertahap dan berurutan serta berdasarkan
pengalaman belajar sebelumnya, yang memerlukan kesiapan mental yang tinggi
untuk memperoleh suatu percobaan tingkah laku.
2. Matematika Sekolah
Matematika sekolah adalah matematika yang diajarkan di sekolah, yaitu
matematika yang diajarkan pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.
Sering juga dikatakan bahwa matematika sekolah adalah unsur-unsur atau bagian-
bagian dari matematika yang dipilih berdasarkan atau berorientasi pada
kepentingan kependidikan dan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK). Hal ini berarti, bahwa yang dimaksud dengan kurikulum matematika
adalah kurikulum pelajaran matematika yang diberikan di jenjang pendidikan
16
pendidikan menengah ke bawah, bukan diberikan di jenjang pendidikn tinggi.
Dijelaskan, bahwa matematika sekolah tersebut terdiri atas bagian-bagian
matematika yang dipilih guna menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan
dan membentuk pribadi-pribadi serta mengarah pada perkembangan IPTEK. Hal
ini menunjukkan bahwa matematika sekolah tetap memiliki cirri-ciri yang
dimiliki matematika, yaitu memiliki objek kejadian yang abstrak serta bepola
pikir deduktif konsisten.
Menurut Suraharta. (2005:21) menyatakan bahwa matematika sekolah
tidaklah sepenuhnya sama dengan matematika sebagai ilmu. Dikatakan tidak
sepenuhnya sama karena memiliki perbedaan antara lain dalam hal:
a. Penyajian Matematika.
Penyajian dan pengungkapan matematika di sekolah disesuaikan dengan
perkiraan perkembangan intelektual peserta didik. Mungkin dengan mengaitkan
butir yang akan disampaikan dengan realitas di sekitar siswa atau disesuaikan
dengan pemakaiannya. Jadi penyajiannya tidak langsung berupa butir-butir
matematika.
Tentu dapat dipahami bahwa penyajian matematika pada Sekolah
Menengah Atas (SMA) berbeda dengan penyajian matematika pada Sekolah
Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Dasar (SD). Hal ini didasarkan pada
tahap perkembangan intelektual siswa SMA yang semestinya berada pada tahap
operasional formal. Jadi tidak banyak butir matematika sekolah disajikan secara
induktif, kecuali bagi siswa yang lemah.
17
b. Pola Pikir Matematika
Pola pikir matematika sebagai ilmu deduktif. Tidaklah demikian halnya
dengan matematika sekolah. Meskipun siswa pada umumnya diharapkan mampu
berpikir deduktif namun pada proses pembelajarannya dapat digunakan pola pikir
deduktif. Pola pikir deduktif yang digunakan dimaksukan untuk menyesuaikan
dengan tahap perkembangan intelektual siswa.
c. Keterbatasan Semesta
Sebagai akibat dipilihnya unsur atau elemen matematika sekolah dengan
memperhatikan aspek kependidikan, dapat terjadi penyederhanaan yang
kompleks. Pengertian semesta pembicaraan tetap diperlukan namun mungkin
sekali lebih dipersempit. Selanjutnya semakin meningkat usia siswa, yang berarti
meningkatnya juga tahap perkembangannya, maka semesta itu berangsur lebih
diperluas lagi.
d. Tingkat Keabstrakan
Sifat abstrak matematika tetap ada pada matematika sekolah. Hal ini
merupakan salah satu penyebab sulitnya seorang guru mengajarkan matematika
sekolah, karena itu guru matematika harus berusaha mengurangi sifat abstrak dari
objek matematika itu sehingga memudahkan siswa menangkap pelajaran
matematika sekolah.
Fungsi matapelajaran matematika sebagai: alat, pola pikir, dan ilmu atau
pengetahuan. Ketiga fungsi matematika tersebut hendaknya dijadikan sebagai
acuan dalam pembelajaran matematika sekolah. Belajar matematika bagi para
18
siswa, juga merupakan pembentukan pola pikir dalam pemahaman suatu
pengertian maupun dalam penalaran suatu hubungan di antara pengertian-
pengertian itu.
Dalam pembelajaran matematika, para siswa dibiasakan untuk
memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan
tidak dimiliki dari sekumpulan objek (abstraksi). Dengan pengalaman terhadap
contoh-contoh dan bukan contoh diharapkan siswa mampu menangkap pengertian
suatu konsep. Selanjutnya dengan abstraksi ini, siswa dilatih untuk membuat
perkiraan, terkaan, atau kecenderungan berdasarkan kepada pengalaman
pengetahuan yang dikembangkan pola pikir induktif dan pola pikir deduktif.
Namun tentu dari semua itu harus diselesaikan dengan perkembangan kemampuan
siswa, sehingga pada akhirnya akan sangat membantu kelancaran proses
pembelajaran matematika sekolah.
Sedangkan tujuan umum diberikannya matematika pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah meliputi dua hal, yaitu sebagai berikut:
(1) Mempersiapkan siswa agar sanggup untuk menghadapi perubahan keadaan
di dalam kehidupan dunia dan di dunia yang selalu berkembang, melalui
latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat,
jujur, efektif dan efesien.
(2) Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir
matematika dalam kehidupan sehari, dan dalam mempelajari berbagai ilmu
pengetahuan.
19
Menurut Suraharta, (2003 : 27) adapun tujuan khusus pembelajaran
matematika pada jenjang pendidikan dasar ini terbagi menjadi dua bagian besar.
Pertama, tujuan pengajaram matematika di SD dan tujuan pengajaran matematika
di SMP, sedangkan tujuan khusus pembelajaran matematika di SMA secara
tersendiri dimuat dalam kurikulum pendidikan menegah.
3. Belajar dan Prestasi Belajar Matematika
a. Pengertian belajar matematika.
Gagne (Akib, 2001) yang mengemukan bahwa belajar adalah proses
perubahan tingkah laku seseorang yang disebabkan oleh adanya pengalaman.
Slameto (Akib, 2001) mengemukakan bahwa belajar adalah proses usaha yang
dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu dalam interaksi dengan
lingkungannya. Sedangkan Abdullah (Ahmad, 2006) berpendapat bahwa belajar
adalah proses untuk mencapai perubahan tingkah laku dalam bentuk sikap,
pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu
kegiatan yang dapat membawa perubahan tingkah laku seseorang ke tingkat dan
arah yang lebih baik, terutama dari segi pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Secara khusus Bruner (Hudoyo, 1988) mengemukakan belajar
matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur matematika yang
terdapat di dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antara
konsep-konsep dan struktur-struktur matematika itu.
20
b. Pengertian Prestasi Belajar Matematika
Winkel (Muhkal, 1998) mendefenisikan prestasi sebagai bukti
keberhasilan usaha yang dicapai. Jadi prestasi adalah bukti usaha yang digunakan
untuk memenjukkan tingkat keberhasilan yang dapat dicapai seseorang setelah
melakukan usaha tertentu dalam suatu penggalan waktu tertentu pula. Dengan
demikian, jika tujuan pembelajaran dipandang sebagai suatu harapan yang akan
diperoleh siswa setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar, maka prestasi
belajar dapat disajikan sebagai ukuran sebarapa jauh tujuan pembelajaran tersebut
tercapai. Dalam kaitannya dengan belajar matematika maka prestasi belajar
matematika dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai seseorang setelah melalui
proses pembelajaran matematika.
Untuk mengetahui seberapa jauh tingkat keberhasilan siswa dalam
menguasai bahan pelajaran matematika yang dipelajarinya, diperlukan suatu alat
ukur berupa tes. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ratumanan
(Ahmad, 2006) bahwa tes merupakan bagian dari pengukuran yang dilanjutkan
dengan kegiatan penilaian. Tes merupakan pengukuran terencana yang digunakan
guru untuk memberikan kesempatan bagi siswa untuk memperlihatkan prestasi
mereka dalam kaitannya dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan uraian tersebut maka yang dimaksud dengan prestasi belajar
dalam penelitian ini adalah tingkat keberhasilan siswa dalam menguasai bahan
pelajaran matematika setelah mengikuti kegiatan belajar matematika dalam kurun
waktu tertentu yang diukur dengan tes prestasi belajar. Tes tersebut hanya
21
mengukur aspek kognitif yang lebih diharapkan pada kemampuan ingatan dan
aplikasi atau penerapanya.
4. Hasil Belajar Matematika
Hasil belajar adalah istilah yang digunakan untuk mencapai tingkat
keberhasilan yang dicapai seseorang setelah melakukan usaha tertentu. Menurut
Sudjana (Ahmad, 2006:35) bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan
yang dimilki siswa setelah ia menerima pengalaman belajar. Sedangkan
Ratumanan (Muhkal, 1998 : 10) menyatakan bahwa belajar akan lebih berhasil
jika keseluruhan potensi siswa dilibatkan secara optimal, sehingga menghasilkan
kemampuan baru yang bersifat permanen pada siswa.
Matematika merupakan ilmu terstruktur yang pokok bahasannya
berkesinambungan, memiliki suatu keteraturan dan struktur yang terorganisir.
Berdasarkan pengertian hasil belajar di atas maka dapat dikatakan bahwa hasil
belajar matematika adalah hasil yang dicapai oleh siswa dalam waktu tertentu
dalam belajar matematika yang diukur dengan menggunakan tes hasil belajar
matematika.
5. Hakekat Pembelajaran Matematika
Pembelajaran merupakan suatu upaya untuk membuat siswa belajar
yaitu suatu usaha yang dilakukan guru dalam memilih, menetapkan, dan
mengembangkan metode untuk mencapai hasil yang diinginkan. Miarso (Akib,
2001) mengemukakan bahwa pembelajaran menaruh perhatian pada bagaimana
22
membelajarkan siswa bukan pada apa yang dipelajari oleh siswa. Hal ini berarti,
bahwa pembelajaran pada hakekatnya merupakan suatu rancangan membelajarkan
siswa.
Berkaitan dengan pembelajaran matematika, Soedjadi (Akib, 2001)
mengemukakan bahwa tujuan pembelajaran matematika di sekolah pada dasarnya
terdiri dari tujuan fomal dan tujuan material. Tujuan formal menekankan pada
penataan nalar dan pembentukan sikap, sedangkan tujuan material menekankan
pada kemampuan menerapkan matematika dan keterampilan matematika. Hal ini
menunjukkan bahwa pembelajaran matematika di sekolah tidak cukup hanya
melatih keterampilan berhitung dan menghafal fakta, tetapi juga menekankan
pada kemampuan penalaran. Sedangkan Nickson (Akib, 2001) mengatakan bahwa
pembelajaran matematika adalah suatu upaya membantu siswa untuk
mengkontruksikan konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika dengan
keterampilannya sendiri melalui internalisasi sehingga konsep itu terbangun
kembali.
Dalam pembelajaran matematika di sekolah, guru hendaknya memilih
dan menggunakan strategi, pendekatan, metode, ataupun teknik yang banyak
melibatkan siswa secara aktif dalam belajar baik secara mental, fisik, maupun
sosial. Prinsip belajar aktif inilah yang diharapkan menumbuhkan sasaran
pembelajaran matematika yang kreatif dan kritis untuk membantu siswa dalam
membangun sendiri konsep dan prinsip yang dipelajarinya.
23
6. Materi Diferensial di Sekolah Menengah Atas
a. Turunan Fungsi Aljabar
1) Definisi dan Notasi Turunan
a) Definisi
Turunan (differential) dari sebuah fungsi f adalah fungsi yang
diberi lambang f ' (dibaca f} { ¿ aksen } {¿) dan didefinisikan sebagai:
dengan menganggap nilai limit ada. Jika f ' ( x ) dapat diperoleh, f
dikatakan dapat diturunkan (differentiable). f ' ( x ) disebut turunan dari
f terhadap x . Proses mencari turunan disebut penurunan
(differentiation).
b) Notasi Lain dari Turunan
Selain notasi f ' ( x ) , notasi lain yang sering digunakan untuk
menyatakan turunan dari y=f ( x ) di x adalah:
1.
dydx (dibaca “de y , de x ”)
2.
ddx
[ f (x )] (dibaca “de f ( x ) , de x )
3. y ' (dibaca “ y aksen”)
f ' ( x )=limh→0
f (x+h )−f ( x )h
24
2) Turunan Fungsi Aljabar
a) Turunan Fungsi Konstan
Jika suatu fungsi f dengan f ( x )=k , di mana k merupakan
suatu konstan. Maka untuk menentukan turunan fungsi f berlaku aturan
sebaga berikut:
b) Turunan Fungsi Identitas
Jika suatu fungsi f dengan f ( x )=x . Maka untuk
menentukan turunan fungsi f berlaku aturan sebaga berikut:
c) Turunan Fungsi Eksponen
Jika suatu fungsi f dengan f ( x )=xn, di mana n merupakan
bilangan real. Maka untuk menentukan turunan fungsi f berlaku aturan
sebagai berikut:
f ( x )=k maka f ' ( x )=0 atau ddx
( k )=0
f ( x )=x maka f ' ( x )=1 atau ddx
( x )=1
f ( x )=xn maka f ' ( x )=nxn−1
atau ddx
( xn )=nxn−1
25
b. Rumus-rumus Turunan Fungsi Aljabar dan Trigonometri
1) Rumus-rumus Turunan Fungsi Aljabar
a) Turunan Hasil Kali Konstanta dengan Suatu Fungsi
Jika f adalah fungsi yang dapat diturunkan dan k adalah suatu
konstanta maka fungsi g( x )=k⋅f ( x )dapat diturunkan dengan aturan:
b) Turunan Jumlah dan Selisih dari Fungsi-fungsi Aljabar
Jika u dan v adalah fungsi-fungsi dari variabel x yang dapat
diturunkan, maka u+v dan u−v juga dapat diturunkan.
Misalkan, f ( x )=u( x )+v ( x ) dan g( x )=u( x )−v ( x ), maka fungsi
f ( x ) dan g( x ) dapat diturunkan dengan aturan:
g '( x )=k⋅f '( x )atau ddx
[k ( f ( x )) ]=k⋅f ' ( x )
1. Jika f ( x )=u( x )+v ( x ) , maka f ' ( x )=u ' (x )+v '( x )
atau
ddx
[u( x )+v ( x )]=u '( x )+v ' ( x ).
2. Jika g( x )=u( x )−v ( x ), maka g '( x )=u' ( x )−v ' ( x )
atau
ddx
[u( x )−v ( x )]=u ' ( x )−v ' ( x ).
26
c) Turunan Hasil Kali Fungsi-fungsi Aljabar
Jika u dan v adalah fungsi-fungsi dari variabel x yang dapat
diturunkan, maka hasil kali u⋅v juga dapat diturunkan.
Misalkan, f ( x )=u( x )⋅v ( x ) maka fungsi f ( x ) dapat diturunkan
dengan aturan:
Dari aturan di atas tampak bahwa turunan dua fungsi adalah fungsi
pertama dikali dengan turunan dari fungsi kedua ditambah fungsi kedua
dikali dengan turunan fungsi pertama.
d) Turunan Hasil Bagi Fungsi-fungsi Aljabar
Jika u dan v adalah fungsi-fungsi dari variabel x yang dapat
diturunkan, maka hasil pembagian
uv juga dapat diturunkan.
Misalkan, f ( x )=
u( x )v ( x ) , syarat v (x )≠0 . Dalam hal ini, u( x )
disebut fungsi pembilang dan v (x ) disebut fungsi penyebut, maka fungsi
f ( x ) dapat diturunkan dengan aturan:
Jika f ( x )=u( x )⋅v ( x ) maka f ' ( x )=u( x )⋅v '( x )+v ( x )⋅u '( x )
Jika f ( x )=
u( x )v ( x ) maka
f ' ( x )=v ( x )⋅u' ( x )−u (x )v ' ( x )
( v ( x ))2
27
Dari aturan di atas bahwa turunan dari pembagian dua fungsi
adalah penyebut dikali dengan turunan pembilang dikurangi dengan
pembilang dikali dengan turunan penyebut. Kemudian, hasilnya dibagi
dengan kuadrat penyebut.
2) Rumus-rumus Turunan Fungsi Trigonometri
a) Turunan Sinus
b) Turunan Cosinus
c) Turunan Tangen
d) Turunan Cotangen
Jika y=f ( x )=sin x , maka y '=f '( x )=cos x atau
dfdx
= ddx
(sin x )=cos x
Jika y=f ( x )=cos x , maka y '=f '( x )=−sin x atau
dfdx
= ddx
(cos x )=−sin x
Jika y=f ( x )=tan x , maka y '=f '( x )=sec2 x
atau
dfdx
= ddx
( tan x )=sec2 x
Jika y=f ( x )=cot x , maka y '= f '( x )=−cosec 2 x atau
dfdx
= ddx
(cot x )=−cos ec2 x
28
e) Turunan Secan
f) Turunan Cosecan
c. Menentukan Turunan Suatu Fungsi dengan Aturan Rantai dan
Pemangkatan
1) Aturan Rantai
Jika y=f (u ) adalah fungsi yang dapat diturunkan terhadap u dan
u=g ( x ) adalah fungsi yang dapat diturunkan terhadap x , ditulis sebagai:
y=f {g( x )} atau y=f ∘g , maka berlalu aturan:
2) Aturan Pemangkatan
Jika y=f ( x )=sec x , maka y '=f '( x )=sec x⋅tan x atau
dfdx
= ddx
(sec x )=sec x⋅tan x
Jika y=f ( x )=cosecx , maka y '=f '( x )=−cosecx⋅cot x atau
dfdx
= ddx
(cosecx )=−cosecx sin x
dydx
=dydu
⋅dudx atau
29
Jika u adalah fungsi yang dapat diturunkan terhadap x dan n
adalah bilangan sebarang, maka berlalu aturan:
d. Persamaan Garis Singgung pada Suatu Kurva
1) Tafsiran Geometri dari Turunan Pertama di Suatu Titik
Definisi:
Misalkan gradien kurva y=f ( x ) di suatu titik ( x1 , y1) sama dengan
gradien dari garis singgung kurva di titik ( x1 , y1) yang diberikan oleh:
Bentuk limit pada ruas kanan dari bentuk di atas tak lain adalah turunan
fungsi y=f ( x ) di titik ( x1 , y1) . Dengan demikian, gradien garis
singgung m dapat dituliskan sebagai:
ddx
(un )=n⋅un−1 .dudx atau
Untuk y=un dan u=f ( x ) maka:
y '( x )=n [u ( x )]n−1⋅u '( x )
m=limh→0
f ( x1+h)−f ( x1 )h
m= y '( x1 )=f ' ( x1) atau m=dy
dx|x=x1
30
Untuk menentukan persamaan garis singgung pada suatu kurva yang
melalui titik P( x1 , y1) dengan gradien m adalah:
2) Persamaan Garis Singgung dan Garis Normal
Definisi:
Misalkan fungsi f terdeferensialkan pada selang terbuka I yang memuat
c dan turunan pertama f ' kontinu pada I . Persamaan garis singgung
pada fungsi f di c didefinisikan sebagai garis yang melalui titik
(c ,( f (c )) dengan gradien mgs=f '( c ) yang dirumuskan sebagai:
Sedangkan persamaan garis normal pada grafik fungsi f di c
didefinisikan sebagai garis yang melalui (c ,( f (c )) dan tegak lurus pada
garis singgungnya atau mempunyai gradien mgn=− 1
f '(c )=− 1
mgs , yang
dapat dirumuskan sebagai:
3) Persamaan Garis Singgung dan Garis Normal pada Situasi Khusus
y−f ( x )=mgs( x−c )
y−f ( x )=mgn( x−c ) atau y−f (c )=− 1
mgs
( x−c )
y− y1=m( x−x1 )
31
Definisi:
Misalkan fungsi f terdeferensialkan pada selang terbuka I yang memuat
c , kecuali di c sendiri dan fungsi f ' kontinu pada I−{c } , dengan:
Garis singgung pada kurva f di c didefinisikan sebagai garis x=c dan
garis normalnya adalah garis y=f (c ).
e. Fungsi Naik, Fungsi Turun
1) Pengertian Fungsi Naik dan Fungsi Turun
Secara matematis, pengertian fungsi naik dan fungsi turun adalah
sebagai berikut:
a. Fungsi f ( x ) dikatakan fungsi naik dalam selang interval I apabila
untuk setiap x1 dan x2 dalam selang interval I dan x1<x2 maka
berlaku f ( x1 )< f ( x2) . Dalam notasi matematika dapat ditulis:
b. Fungsi f ( x ) dikatakan fungsi turun dalam selang interval I apabila
untuk setiap x1 dan x2 dalam selang interval I dan x1<x2 maka
berlaku f ( x1 )> f ( x2) . Dalam notasi matematika dapat ditulis:
f ' (c )=limx→c
f ( x )−f (c )x−c
=±∞
f naik jika x1<x2 maka
f naik jika x1<x2 maka
32
2) Syarat Fungsi Naik dan Fungsi Turun
Dari definisi di atas, syarat agar fungsi f ( x ) dikatakan fungsi
naik dan fungsi turun di setiap titik dalam selang interval I adalah:
f. Nilai Stasioner Suatu Fungsi dan Jenis-jenisnya
1) Pengertian Nilai Stasioner dan Titik Stasioner Suatu Fungsi
a. Titik stasioner atau titik ekstrim suatu fungsi adalah titik pada kurva
f ( x ) di mana gradien garis singgung kurva di titik tersebut bernilai
nol.
b. Nilai stasioner atau nilai ekstrim suatu fungsi adalah nilai fungsi f di
titik stasioner itu.
2) Jenis-jenis Stasioner
Jenis titik stasioner (titik ekstrem) bergantung pada gradien dari kedua sisi
dari titik stasioner. Secara umum ada tiga jenis stasioner, yaitu titik balik
minimum, titik balik maksimum, dan titik belok horizontal.
g. Turunan Kedua Suatu Fungsi
a. Fungsi f ( x )dikatakan fungsi naik dalam interval I ,
jika f ' ( x )>0 untuk setiap x dalam interval I .
b. Fungsi f ( x )dikatakan fungsi turun dalam interval I ,
jika f ' ( x )<0 untuk setiap x dalam interval I .
33
Turunan kedua suatu fungsi y adalah nilai turunan pertama fungsi y yang
diturunkan lagi. Notasi dari turunan kedua adalah:
y } {¿ dibaca y dua aksen dan f left (x right )} {¿ dibaca f dua aksen x .
h. Nilai Minimum dan Maksimum Suatu Fungsi
Misalkan, y=f ( x ) terdefinisi pada selang a< x<b yang memuat c , dan
f ' ( x ) dan f ''( x ) ada untuk setiap titik pada selang a< x<b . Misalkan, pula
f ' (c )=0 sehingga:
1) Jika f ''( c )<0 (negatif), f (c ) adalah nilai balik maksimum.
2) Jika f ''( c )>0 (positif), f (c ) adalah nilai balik minimum.
i. Titik Belok Suatu Fungsi
Teorema:
Jika diberikan kurva y=f ( x ) yang kontinu, maka:
a)
dydx
=0 pada x=c ⇒(c , f (c )) adalah titik stasioner.
c.
d2 ydx2
berasal dari
ddx [ dy
dx ], yaitu turunan
dydx terhadap x .
d.
d2 fdx2
berasal dari
ddx [ df
dx ], yaitu turunan
dfdx terhadap x .
y } {¿, d2 ydx2
,
d2 fdx2
, atau f left (x right )} {¿
34
b) Titik stasioner (c , f ( c )) disebut titik belok jika
d2 ydx2
=0 untuk x=c .
c) Secara umum, syarat untuk menentukan titik belok adalah f \( x \) =0} { ¿.
Dengan menyelesaikan f \( x \) =0} { ¿ ini akan diperoleh absis titik belok.
j. Aplikasi Turunan dalam Masalah-masalah Ekstrem.
Pembahasan masalah ekstrem fungsi akan diawali dengan
mengemukakan dua masalah ekstrem yang berkaitan dengan geometri dan
aljabar. Melalui contoh-contoh soal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-
hari. Dan menyelesaikannya dengan menggunakan konsep dan aturan
differensial (turunan).
B. Acuan Teori Tindakan yang Dipilih
1. Model Cooperative Learning
Menurut Slavin pembelajaran kooperatif sebagai:
“cooperative learning method share the idea that students work together to learn ad are responsible for one another’s learning as well as their own” (2007:73 dalam Rahayu)
Definisi ini mengandung pengertian bahwa dalam pembelajaran kooperatif
siswa belajar bersama, saling menyumbangkan pikiran dan bertanggung jawab
terhadap pencapaian hasil belajar secara individu maupun kelompok. Perasaan
saling bertanggung jawab ini sering diistilahkan dengan “swim and sink together”.
Sedangkan Cohen menggambarkan pembelajaran kooperatif sebagai:
“cooperative learning will be defined as students working; together in a group small enough that everyone can participate on a collective task that has been clearly assigned. Moreover, student are expected to carry out their task
35
without direct and immediate supervision of the teacher” (1994:3 dalam Rahayu )
Definisi ini disamping memiliki pengertian luas yang meliputi belajar
berkolaborasi, belajar kooperatif dan kerja kelompok, juga menunjukkan ciri
sosiologis yaitu penekanannya pada aspek tugas-tugas kolektif yang harus
dikerjakan bersama dalam kelompok dan pendelegasian wewenang (authority)
dari guru kepada siswa. Guru berperan sebagai fasilitator dalam membimbing
siswa menyelesaikan materi tugas. Dalam model pembelajaran belajar kooperatif
diharapkan siswa bekerja sama, satu sama lainnya berdiskusi dan berdebat,
menilai kemampuan pengetahuan dan mengisi kekurangan anggota lainnya. Bila
diorganisasikan dengan tepat, siswa dapat bekerja sama dengan yang lainnya
untuk memastikan bahwa setiap siswa dalam kelompok tersebut telah menguasai
konsep yang telah diajarkan. Kelompok kooperatif yang terdiri dari anggota siswa
yang heterogen baik tingkat kepandaian, jenis kelamin, suku dan etnis, diharapkan
dapat meningkatkan hubungan antar sosial diantara siswa. Siswa yang
kemampuan tinggi dapat membantu temannya yang berkemampuan rendah
memahami materi pelajaran dengan tutor sebaya. Sehingga siswa dapat mudah
mempelajari materi yang kompleks dan sulit dalam kelompok kooperatif. Proses
belajar dalam kelompok akan membantu siswa menemukan dan membangun
sendiri pemahaman mereka tentang materi pelajaran yang tidak dapat ditemui
pada metode konvensional.
Penekanan model pembelajaran ini adalah meningkatkan keaktifan siswa
membangun pengetahuan dibandingkan siswa pasif mendengarkan guru. Situasi
pembelajaran secara kooperatif di kelas adalah siswa bekerja sama untuk
36
mencapai tujuan bersama-sama. Cooperative Learning adalah sturuktur
pembelajaran yang menggunakan kelompok kecil sehingga siswa dapat bekerja
sama untuk memaksimalkan apa yang mereka pelajari.
Pandangan konstruktivistik yang merupakan pijakan atau landasan belajar
kooperatif baik secara filosofis maupun pedagogi memberikan wawasan tentang
bagaimana siswa mengkontruksi konsep, mencari makna yang lebih mendalam,
menggali pemahaman baru, dan mengajukan serta menyelesaikan masalah
(Felder, R. M. 1996).
Menurut pandangan ini pada hakekatnya meyakini bahwa pebelajar
merespon pengalaman pancaindera dengan membangun suatu skema atau struktur
kognitif dalam otak mereka. Pokok pikiran pandangan konstruktivis adalah bahwa
pengetahuan diperoleh sebagai akibat dari proses konstruksi yang terus menerus
dimana dicoba mengatur, menyusun dan menata kembali pengalaman-pengalaman
yang dikaitkan dengan struktur kognitif yang dimiliki sehingga struktur kognitif
tersebut sedikit demi sedikit dimodifikasi dan dikembangkan. Oleh karena
pengetahuan diciptakan dalam pikiran siswa sebagai hasil interaksi pancaindera
siswa dengan dunianya, maka pengetahuan tidak dapat semata-mata diucapkan
atau ditransfer oleh guru kepada siswa (Piaget dalam Felder, R. M. 1996).
Piaget dalam pembahasan konstruktivis ini menggunakan istilah asimilasi,
akomodasi dan equilibrasi yang digambarkan sebagai mekanisme “self-regulating
internal” yang bekerja melalui dua proses biologis yang saling melengkapi yaitu
asimilasi dan akomodasi. Asimilasi dimaksudkan bahwa kita mengasimilasi dunia
dengan pengertian bahwa kita dalam memandang dunia adalah dengan cara kita
37
sendiri. Asimilasi dari pola pancaindera ke dalam struktur kognitif merupakan
proses yang konstan sepanjang hidup. Disequilibrasi terjadi bila kita tidak
mengasimilasi pengalaman kita dalam struktur kognitif awal ketika kita
menjumpai permasalahan karena kita tak dapat mencapai tujuan. Equilibrasi
disimpan dengan cara memodifikasi struktur kognitif awal sampai ketidakcocokan
tersebut dapat diatasi. Proses dimana struktur kognitif awal dimodifikasi untuk
disesuaikan dengan data yang baru diasimilasi disebut akomodasi.
Teori konstruktivisme yang dikembangkan oleh Vygotsky dinamakan
konstruktivisme sosial karena menitikberatkan pada interaksi antara individu
dengan lingkungan sosialnya. Melalui interaksi dengan lingkungannya misalnya
melalui diskusi dalam belajar kelompok dapat terjadi rekonstruksi pengetahuan
seseorang. Perubahan konsepsi anak dari prakonsepsi yaitu konsepsi yang
diperoleh dari pengalaman sehari-hari, teman atau orang tua, dapat juga
direkonstruksi setelah ia menjalani proses belajar melalui guru pada pendidikan
formal. Manusia menggunakan bahasa yang merupakan konstruksi sosial untuk
mengungkapkan apa yang telah dilakukan dan apa yang diketahui. Belajar
matematik hanya mungkin karena adanya perkembangan bahasa dan simbol untuk
mnggambarkan konsep-konsep matematika itu sendiri. Pengetahuan bukan
merupakan pikiran seseorang yang bertindak terpisah dari orang lain dalam
masyarakat, melainkan hasil dari kepemilikan kultur, mencoba mengerti
kehidupan dalam kultur tersebut, menggunakan bahasa dan konsep-konsep yang
muncul untuk mengkonstruksi model-model teoritis dalam domain matematika.
38
Untuk belajar dan paham apa yang terjadi terletak pada si pebelajar itu
sendiri, yang memerlukan waktu untuk mengalami, merefleksikaan pengalaman
yang dikaitkan dengan pengetahuan awal mereka untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan yang muncul. Tentunya hal ini bagi pebelajar memerlukan waktu
untuk mengklarifikasi, mengelaborasi, mendeskripsikan, membandingkan,
menegosiasikan dan mencapai konsensus mengenai makna suatu pengalaman bagi
mereka yang melibatkan bahasa yang dapat disumbangkan melalui diskusi dengan
pebelajar lainnya.
Dalam pembelajaran kooperatif siswa belajar dan bekerja sama dalam
kelompok- kelompok kecil yang terdiri dari tiga sampai empat orang. Hal ini
dimaksudkan agar interaksi siswa menjadi maksimal dan efektif. Harus disadari
juga bahwa tidak semua kelompok menjadi kelompok kooperatif. Ada kelompok
semu, dan kelompok tradisional. Sebagai contoh kelompok belajar biasa,
kelompok kerja di laboratorium, dan kelompok membaca merupakan merupakan
suatu kelompok namun tidak selalu merupakan kelompok kooperatif.
Pembelajaran kooperatif tidak semata-mata meminta siswa bekerja secara
kelompok dengan cara mereka sendiri. Siswa yang bekerja dalam kelompok
mungkin akan menunjukkkan hasil belajar yang rendah, karena hanya beberapa
siswa saja yang bekerja keras dalam menyelesaikan materi tugas sedangkan siswa
lainnya bersikap pasif. Oleh karena itu, tugas seorang guru adalah mengatur siswa
dalam kelompok belajar yang benar-benar kooperatif.
2. Karakteristik dan Prinsip-prinsip Model Cooperative Learning
a. Karakteristik Model Cooperative Learning
39
Model cooperative learning berbeda dengan model pembelajaran yang
lain. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari proses pembelajaran yang lebih
menekankan kepada proses kerja sama dalam kelomppok. Tujuan yang ingin
dicapai tidak hanya kemampuan akademik dalam penguasaan bahan pelajaran,
tetapi juga adanya unsur kerja sama untuk penguasaan materi tersebut. Adanya
kerja sama inilah yang merupakan ciri khas dari pembelajaran kooperatif.
Slavin, Abrani, dan Chambers (2006:244 dalam Sanjaya) berpendapat
bahwa belajar secara kooperatif dapat dijelaskan dari beberapa perspektif,
perspektif motivasi, perspektif sosial, perspektif perkembangan kognitif, dan
perspektif elaborasi kognitif. Dengan demikian, karakteristik model cooperative
learning dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Pembelajaran secara tim
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran secara tim. Tim merupakan
tempat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, tim harus mampu membuat setiap
siswa belajar. Semua anggota tim (anggota kelompok) harus saling membantu
untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Setiap kelompok bersifat heterogen. Artinya, kelompok terdiri atas
anggota yang memiliki kemampuan akademik, jenis kelamin, dan latar belakang
sosial yang berbeda. Hal ini dimaksudkan agar setiap anggota kelompok dapat
saling memberi dan menerima (memberi pengalaman), sehingga dapat memberi
kontribusi terhadap keberhasilan kelompok.
2) Didasarkan pada manajemen kooperatif
40
Seperti pada umumnya, manajemen memiliki empat fungsi pokok, yaitu
fungsi perencanaan, organisasi, pelaksanaan, dan kontrol. Demikian juga dalam
model cooperative learning. Fungsi perencanaan menunjukkan bahwa
pembelajaran kooperatif memerlukan perencanaan dan persiapan yang matang
agar proses pembelajaran berjalan secara efektif. Fungsi pelaksanaan
menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif harus dilaksanakan sesuai dengan
perencanaa, melalui langkah-langkah pembelajaran yang telah ditentukan. Fungsi
organisasi menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan pekerjaan
bersama oleh setiap anggota kelompok. Fungsi kontrol menunjukkan bahwa
dalam pembelajaran kooperatif perlu ditentukan kriteria keberhasilan yang akan
dicapai.
3) Kemampuan untuk bekerja sama
Keberhasilan pembelajaran kooperatif ditentukan oleh keberhasilan secara
kelompok. Oleh karena itu, prinsip bekerja sama perlu ditekankan dalam proses
pembelajaran kooperatif. Setiap anggota kelompok bukan saja harus diatur oleh
tugas dan tanggung jawab masing-masing, akan tetapi juga ditanamkan perlunya
saling membantu. Misalnya, yang pintar membantu yang kurang pintar.
4) Keterampilan bekerja sama
Kemampuan untuk bekerja sama itu kemudian diaplikasikan melalui
aktivitas dan kegiatan yang nampak dalam keterampilan bekerja sama. Sehingga,
siswa harus dimotivasi untuk ingin dan mampu untuk berinteraksi dan
berkomunikasi dengan anggota lain.
41
b. Prinsip-prinsip Model Cooperative Learning
Menurut Roger and Johnson (1988:6 dalam Lawrence Lyman dan Harvey
C .Foyle), terdapat lima prinsip dasar model cooperative learning, seperti yang
dijelaskan di bawah ini.
1. Saling Ketergantungan Positif (Positive Interdependence)
Siswa harus merasa bahwa mereka saling tergantung secara positif dan
saling terikat antar sesama anggota kelompok. Mereka merasa tidak akan sukses
bila siswa lainnya juga tidak sukses. Dengan demikian, materi tugas haruslah
mencerminkan aspek saling ketergantungan seperti dalam hal tujuan belajar,
sumber belajar, peran kelompok dan penghargaan.
Menurut Let Vygotsky (Lawrence Lyman, At All, 1988:7) ada lima aspek
dalam mengkondisikan Positive Interdependence, yaitu:
a) Ketergantungan tujuan (Goal Interdependence), setiap anggota kelompok
harus memberikan sumbangan kepada kelompoknya dengan cara
menyelesaikan bagian yang berbeda dalam tugas kelompoknya.
b) Ketergantungan peran (Role Interdependence), setiap anggota kelompok
memiliki peran dan setiap peran itu adalah penting
c) Ketergantungan sumber belajar (Resource Interdependence), setiap anggota
kelompok memiliki sumber belajar yang diperlukan dan diharapkan sumber
belajar tersebut berbeda satu dengan yang lainnya.
42
d) Ketergantungan lingkungan (Environment Interdependence), setiap anggota
kelompok menggunakan peralatan/sarana fisik secara bersama-sama. Misalnya
siswa menggunakan satu meja untuk setiap kelompok
e) Ketergantungan penghargaan (Reward Interdependence), penghargaan yang
diperoleh oleh salah satu kelompok akan mempengaruhi penghargaan pada
kelompoknya.
2. Interaksi Tatap Muka (Face-to-Face Promotive Interaction)
Hasil belajar yang terbaik dapat diperoleh dengan cara adanya komunikasi
verbal antar siswa yang didukung oleh saling ketergantungan positif. Belajar
kooperatif membutuhkan siswa untuk bertatap muka satu dengan yang lainnya
dan berinteraksi secara langsung. Siswa harus saling berhadapan dan saling
membantu dalam pencapaian tujuan belajar, dan sumbangan pemikiran dalam
pemecahan masalah. Selain itu siswa juga harus mengembangkan ketrampilan
ketrampilan berkomunikasi secara efektif.
3. Pertanggungjawaban Individu (Individual Accountability/Personal Responsibility)
Agar siswa dapat menyumbang, membantu satu sama lain, setiap siswa
harus menguasai materi ajar. Dengan demikian setiap angota kelompok
bertanggung jawab untuk mempelajari materi dan bertanggung jawab pula
terhadap hasil belajar kelompok. Dengan cara ini prestasi setiap siswa dapat
dimaksimalkan. Karena belajar kooperatif mirip dengan belajar tuntas, maka guru
perlu mengetahui kemampuan setiap siswa secara individu.
43
4. Ketrampilan Berinteraksi Antar Individu dan Kelompok (Interpersonal and Small-Group Skills)
Ketrampilan sosial sangat penting dalam pembelajaran kooperatif dan
harus diajarkan kepada siswa. Selain itu siswa harus dimotivasi untuk
menggunakan ketrampilan berinteraksi (keterampilan berkomunikasi) yang benar
sebagai bagian dari proses belajar, baik secara individu maupun dalam kelompok.
Sehingga siswa perlu dibekali dengan kemampuan-kemampuan berkomunikasi.
Misalnya, cara menyatakan ketidaksetujuan, cara menyanggah pendapat orang
lain secara santun, tidak memojokkan, dan cara menyampaikan ide/gagasan.
5. Keefektifan Proses Kelompok (Group Processing)
Siswa memproses kefektifan kelompk belajar mereka dengan cara
menjelaskan tindakan mana yang dapat menyumbang belajar dan mana yang
tidak, dan membuat keputusan terhadap tindakan yan bisa dianjutkan atau yang
perlu diubah. Proses kelompok terjadi baik dalam kelompok kecil maupun
diseluruh kelas. Fase- fase dalam proses ini meliputi umpan balik, refleksi dan
peningkatan kualitas kerja.
Menurut Lawrence Lyman, (1988: 25) model cooperative learning
memiliki tujuh unsur dasar yaitu : 1) setiap siswa/anggota kelompok harus merasa
bahwa mereka “sink or swim together”, 2) setiap anggota bertanggung jawab
terhadap tugas kelompoknya, 3) setiap anggota harus mengetahui bahwa mereka
mempunyai tujuan yang sama, 4) setiap anggota mempunyai tugas dan tanggung
44
jawab yang sama/seimbang di antara anggota kelompok, 5) evaluasi dan
penghargaan diberikan kepada semua anggota kelompok, 6) adanya
kepemimpinan kolektif, 7) setiap anggota bertanggung jawab terhadap
penyelesaian tugasnya dalam kelompok kooperatif.
3. Sintaks dan Jenis-Jenis Model Cooperative Learning
Agar pembelajar kooperatif dapat diterapkan dengan baik, seorang guru
perlu melakukan 3 langkah yaitu: persiapan, proses belajar dan evaluasi (Yusuf,
2003).
a. Persiapan
Sebelum siswa bekerja dalam kelompok guru harus melakukan persiapan
sebagai berikut:
1) Menentukan tujuan belajar
Dengan cara menentukan materi yang akan dipelajari atau tugas-tugas
yang harus diselesaikan dan ketrampilan kolaborasi yang digunakan dalam
kelompok.
2) Membagi siswa kedalam kelompok-kelompok
Guru harus memperhatikan variasi dalam kelompok berdasarkan
kemampuan akademik, jenis kelamin, dan latar belakang ras (suku). Guru
disarankan untuk memaksimalkan heterogenitas siswa dan kelompok, karena akan
45
timbul cara berpikir elaborasi, mendengar dan memberikan penjelasan lebih
sering dalam kelompok yang heterogen
3) Menjelaskan tugas
Dalam hal ini ada dua aspek tugas yaitu tugas akademik dan tugas sosial.
Tugas akademik mengacu pada hal-hal yang harus dimiliki siswa untuk
menyelesaikan materi tugas. Tugas sosial meliputi penentuan peran siswa dan
aturan-aturan yang harus diikuti oeh kelompok
b. Proses Belajar
Menurut Van der Kley dalam Yusuf (2003:37) peranan guru selama
belajar kooperatif adalah sebagai fasilitator yaitu:
1) Membantu siswa untuk menyelesaikan tugas
Secara khusus guru mengelilingi kelompok dan melakukan hal-hal berikut:
a. Mengusulkan cara lain dalam memecahkan masalah atau mencari jawaban.
b. Mengarahkan siswa untuk kembali ke sumber belajar semula dalam proses
pemecahan masalah.
c. Memberikan umpan balik yang positif terhadap usaha-usaha siswa dalam
menyelesaikan tugas.
2) Membantu siswa bekerja secara kooperatif
46
Kadang-kadang siswa cenderung bekerja secara individu daripada
kooperatif. Kecenderungan ini terjadi bila belajar kooperatif merupakan gaya
belajar yang baru bagi siswa. Untuk meningkatkan usaha kooperatif, guru harus
memacu siswa untuk:
a. Saling menyebut nama setiap anggota kelompok
b. Memusatkan pada tugas-tugas belajar
c. Saling menanyakan tugas antar siswa
d. Saling memberi semangat satu sama lain
e. Merefleksi dan mengecek pernyataan anggota kelompok
c. Evaluasi
Ada dua macam evaluasi yang harus dilakukan guru yaitu evaluasi hasil
belajar dan evaluasi ketrampilan berkolaborasi.
1) Evaluasi hasil belajar
Evaluasi jenis ini digunakan untuk menilai pencapaian tujuan belajar
kelompok dan memfokuskan pada penilaian aspek akademik. Hasil belajar yang
dinilai dari evaluasi ini mungkin berupa suatu laporan, satu set jawaban kelompok
yang disetujui oleh semua anggotanya, rata-rata skor ujian individu atau sejumlah
anggota kelompok yang mencapai kriteria tertentu. Cara untuk menilai hasil
belajar dalam belajar kooperatif yaitu:
a. Setiap anggota kelompok mendapat nilai yang sama dengan nilai kelompok
47
b. Setiap siswa diberikan tugas atau tes perorangan setelah kegiatan belajar
kooperatif berakhir
c. Seorang siswa atas nama kelompoknya bisa dipilih secara acak untuk
menjelaskan pemecahan materi tugas
d. Nilai setiap kelompok ditalus dan dibagi untuk mendapatkan nilai rata-rata
kelompok
e. Beberapa topik atau aktifitas yang menggunakan belajar kooperatif mungkin
tidak memerlukan nilai. Dalam hal ini penghargaan kepada siswa dapat
diberikan dalam bentuk lain misalnya memilih dan menunjukkan kepada
seluruh siswa salah satu tugas yang terbaik
2) Evaluasi ketrampilan berkolaborasi
Evaluasi ini bertujuan untuk menemukan seberapa baik siswa bekerja
dalam suatu kelompok. Untuk mengevaluasinya guru harus mengelilingi masing-
masing kelompok dan mencatat apakah kelompok telah menggunakan
ketrampilan kooperatif. Catatan nilai observasi dipersiapkan dalam hal bagaimana
anggota kelompok melaksanakan ketrampilan berkolaborasi seperti
mendengarkan dan melihat pada pembicara, memberi semangat pada anggota
kelompok yang lain, meninjau jawaban dan pertanyaan yang diberikan dan
sebagainya.
Adapun jenis-jenis pembelajaran kooperatif Student Team Achievement
Division (STAD), Jigsaw, Numbered Heads Together (NHT), Teams Games-
48
Tournament (TGT), Group Investigation (GI), dan Team Assisted
Individuallization atau Team Accelerated Instruction (TAI), (Krismanto, 2003).
a. Student Team Achievement Division (STAD)
Metode pengajaran STAD (Student Teams Achievement Division) adalah
salah satu metode pengajaran yang dikemukakan oleh Slavin, RE (1985). Metode
pengajaran ini merupakan teori belajar konstruktivisme yang berdasarkan pada
teori belajar kognitif. Dalam hal ini para pendidik berfungsi sebagai fasilitator
bukan sebagai pemberi informasi. Pendidik cukup menciptakan kondisi
lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didiknya.
Secara umum pembelajaran kooperatif STAD terdiri dari lima komponen
utama, yaitu :
1) Presentasi kelas
Materi dalam STAD adalah pengenalan awal dalam presentasi kelas.
Presentasi kelas ini bisa dilakukan secara pengajaran langsung / pengajaran
diskusi dengan guru, tetapi bisa juga dalam acara presentasi dengan
menggunakan audiovisual. Presentasi kelas dalam STAD berbeda dengan
pengajaran pada umumnya, karena dalam STAD ada penekanan suatu materi.
Dengan cara ini, siswa dituntut untuk bersungguh-sungguh dalam
memperhatikan materi yang diberikan oleh guru dalam presentasi kelas,
49
karena akan membantu dalam mengerjakan kuis dan menentukan skor dari
pengerjaan kuis yang nantinya akan mempengaruhi skor dari tim mereka.
2) Tim / kelompok
Tim terdiri dari 4 – 5 siswa yang mewakili bagiannya dari kelas dalam
menjalankan aktivitas, baik akademik, jenis kelamin, dan suku atau ethnik.
Fungsi utama dari tim adalah membentuk semua tim agar mengingat materi
yang telah diberikan dan lebih memahami materi yang nantinya digunakan
dalam persiapan mengerjakan kuis sehingga bisa mengerjakan dengan baik.
Sesudah guru mempresentasikan materi, tim segera mempelajari lembar kerja
atau materi yang lain. Dalam hal ini siswa biasanya menggunakan cara
pembelajaran diskusi tentang masalah-masalah yang ada, membandingkan
soal-soal yang ada dan mengoreksi beberapa miskonsepsi jika dalam tim
mengalami kesalahan. Tim merupakan hal yang penting yang perlu
ditonjolkan dalam STAD. Dalam setiap langkah, titik beratnya terletak pada
ingatan tim agar bisa bekerja yang terbaik demi timnya dan cara yang terbaik
dalam tim adalah dengan adanya kerja sama yang baik.
3) Kuis
Setelah kurang lebih 1 – 2 periode dari presentasi guru dan 1 – 2 periode dari
kerja tim, siswa mengerjakan kuis secara sendiri-sendiri / individu. Siswa
tidak diijinkan meminta bantuan pada siswa lain dalam mengerjakan kuis. Hal
ini digunakan untuk mengetahui pemahaman materi setiap individu.
4) Skor perbaikan individu
50
Maksud dari perbaikan skor individu ini adalah memberikan nilai pada setiap
siswa yang dapat dicapai jika mereka bekerja keras dan mengerjakannya
hingga selesai. Beberapa siswa dapat memperoleh nilai maksimal untuk
kelompoknya dalam memberikan skor, tetapi tidak semua siswa dapat
mengerjakan dengan baik. Masing-masing siswa diberikan skor “cukup” yang
berasal dari rata-rata siswa pada kuis yang sama. Setelah siswa mendapatkan
nilai, maka siswa berhak mendapatkan urutan tingkatan nilai dari skor kuis
dan berusaha untuk melampaui skor cukup.
5) Pengakuan kelompok
Tim akan mendapatkan sertifikat/penghargaan atau sejenisnya jika dapat
melampaui kriteria yang telah ditentukan. Skor tim siswa akan digunakan
untuk menentukan tingkatan kemampuan pemahaman mereka.
b. Jigsaw
Menurut Aronson dalam Krismanto (2005:16), teknik Jigsaw terdiri dari
beberapa langkah yaitu:
a. Membagi topik dalam beberapa bagian (sub topik).
b. Membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok yang terdiri atas 4 sampai 6
orang per kelompok dengan cara secara heterogen mungkin dengan memilih
salah satu siswa sebagai ketua kelompoknya (biasanya siswa yang cukup
menonjol).
c. Menugaskan setiap siswa untuk mempelajari satu sub topik pelajaran.
51
d. Memberi siswa waktu untuk mempelajari apa yang menjadi bagiannya.
e. Membentuk kelompok ahli (expert) sementara, yaitu siswa yang memiliki
bagian sub topik yang sama membentuk kelompok ahli. Pada tahap ini diberi
waktu kepada kelompok ahli ini untuk mendiskusikan konsep-konsep utama
yang ada dalam topik bagiannya dan berlatih menyajikan topik yang
dipelajari tersebut kepada temannya dalam kelompok semula.
f. Meminta siswa untuk kembali ke kelompoknya semula dan meminta setiap
siswa untuk mempresentasikan topik bagiannya. Siswa lain dibri kesempatan
untuk mengajukan pertanyaan sebagai klarifikasi. Guru mengelilingi satu
kelompok ke kelompok lain untuk mengamati proses. Jika ada kelompok yang
mengalami kesulitan (misalnya ada anggota yang mendominasi atau
mengganggu) guru dapat melakukan intervensi, namun yang terbaik adalah
ketua kelompok dapat melakukan tugas ini.
g. Pada akhir pelajaran, berikan soal/kuis untuk materi yang telah dipelajari.
h. Memberikan penghargaan kelompok seperti pada teknik STAD.
c. Numbered Heads Together (NHT)
Model ini dikembangkan oleh Spencer Kagan (dalam Nurhadi Senduk
2004) dengan melibatkan para siswa dalam mereview bahan yang tercakup dalam
suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka mengenai isi materi pelajaran
tersebut. Sebagai pengganti pertanyaan langsung kepada seluruh kelas, guru
menggunakan langkah sebagai berikut:
52
1) Langkah 1: Penomoran (Numbering)
Guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok yang beranggotakan 3-5
orang dan memberi mereka nomor sehingga setiap siswa dalam kelompok
tersebut mempunyai nomor yang berbeda
2) Langkah 2: Pengajuan Pertanyaan (Questioning)
Guru mengajukan pertanyaan kepada para siswa. Pertanyan dapat bervariasi
dari yang bersifat spesifik hingga yang bersifat umum
3) Langkah 3: Berpikir Bersama (Head Together)
Para siswa berpikir bersama untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa
tiap orang mengetahui jawaban tersebut
4) Langkah 4: Pemberian Jawaban (Answering)
Guru menyebut satu nomor dan para siswa setiap kelompok dari nomor yang
sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban untuk seluruh kelas.
d. Teams Games-Tournament (TGT)
Model pembelajaran ini pada dasarnya sama dengan STAD, perbedaannya
pada model TGT tidak terdapat kuis tapi ada pertandingan akademik atau
perlombaan. Aktifitas belajar dengan perlombaan yang dirancang memungkinkan
siswa dapat belajar lebih bersemangat dan bergairah disamping menumbuhkan
tanggungjawab, kerjasama, persaingan serta keterlibatan belajar. Pembelajaran
model TGT ini mempunyai kelebihan yaitu: keterlibatan siswa dalam belajar
tinggi, siswa menjadi bersemangat dalam belajar, pengetahuan siswa bukan hanya
semata-mata dari guru tapi melalui konstrukksi sendiri oleh siswa, dapat
53
menumbuhkan sikap-sikap positif dalam diri siswa seperti kerjasama, toleransi,
bisa menerima pendapat orang lain dan lain-lain, sedangkan kelemahannya bagi
para guru membutuhkan waktu yang relatif lama, butuh sarana prasarana yang
memadai, dapat menimbulkan suara gaduh dan siswa terbiasa belajar bila
diberikan hadiah.
e. Group Investigation (GI)
Model ini dirancang oleh Herbert Thelen dan dikembangkan oleh Sharan
dan kawan-kawan dari Universitas Tel Aviv. Dibanding dengan model kooperatif
lainnya, model GI dianggap paling kompleks dan paling sulit karena melibatkan
siswa sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk
mempelajarinya melalui investigasi. Metode ini menuntut para siswa untuk
memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun ketrampilan
proses kelompok. Para guru yang menggunakan metode GI umumnya membagi
kelas menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 5-6 orang dengan
karakteristik yang heterogen. Pembagian kelompok dapat juga berdasarkan
kesenangan berteman atau kesamaan minat terhadap topik tertentu. Para siswa
memilih topik yang akan dipelajarinya, mengikuti investigasi mendalam terhadap
sub topik yang dipilih, kemudian menyiapkan dan menyajikan laporan di depan
kelas secara keseluruhan. Langkah-langkah model GI dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1) Seleksi topik
54
Para siswa memilih berbagai sub topik dalam wilayah umum yang
digambarkan lebih dulu oleh guru. Selanjutnya siswa diorganisasi menjadi
kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas yang beranggotakan 2-6
orang
2) Merencanakan kerjasama
Para siswa dan guru merencanakan prosedur belajar khusus, tugas dan tujuan
umum yang konsisten dengan berbagai topik dan sub topik yang telah dipilih
pada langkah (a) di atas.
3) Implementasi
Para siswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah (b).
Pembelajaran melibatkan berbagai aktifitas dan ketrampilan dengan
mendorong siswa untuk menggunakan berbagai sumber. Guru terus- menerus
mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan
4) Analisis dan sintesis
Para siswa menganalisis dan mensintesis berbagai informasi yang diperoleh
pada langkah (c) dan meringkasnya yang akan disajikan di depan kelas
5) Penyajian hasil akhir
Semua kelompok menyajikan hasilnya dari berbagai topik tersebut agar siswa
dalam kelas saling terlibat dengan guru mengkoordinasi presentasi kelompok-
kelompok tersebut.
6) Evaluasi
55
Guru dan siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok
terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup
tiap siswa secara individu, kelompok atau keduanya.
f. Team Assisted Individuallization atau Team Accelerated Instruction (TAI)
Merupakan gabungan pembelajaran individual dan kelompok belajar.
Dengan TAI siswa bekerja dalam tim yang heterogen bersama dengan siswa lain
yang bekerja dengan metode pembelajaran yang berbeda, tetapi siswa
mempelajari materi secara individual. Anggota tim saling memeriksa pekerjaan
dari masing-masing kertas jawaban. Model pembelajaran ini biasa digunakan
dalam pengajaran matematika. Skor tim didasarkan pada angka rata-rata dari
satuan yang diselesaikan setiap minggu oleh anggota tim dan didasarkan pada
akurasi satuan-satuan pelajaran.
4. Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah suatu model cooperative
learning yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang
bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu
mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya.
Model cooperative learning tipe Jigsaw merupakan model cooperative
learning, dengan siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4–6 orang
56
secara heterogen dan bekerjasama saling ketergantungan yang positif dan
bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari
dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain
Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap
pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya
mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan
dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan
demikian, “siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama
secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan” (Krismanto, 2003).
Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk
diskusi dalam tim ahli (ekspert) saling membantu satu sama lain tentang topik
pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa itu kembali
pada tim/kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain
tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli.
Pada model cooperative learning tipe jigsaw, terdapat “kelompok asal” dan
“kelompok ahli”. Kelompok asal, yaitu kelompok induk siswa yang
beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang
beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli,
yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang
ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan
tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan
kepada anggota kelompok asal. Hubungan antara kelompok asal dan kelompok
ahli diperlihatkan pada gambar 2.1 di bawah ini (Yusuf, 2003).
57
Kelompok Asal
Kelompok Ahli
Gambar 2.1: Ilustrasi Kelompok Jigsaw
Para anggota dari kelompok asal yang berbeda, bertemu dengan topik yang
sama dalam kelompok ahli untuk berdiskusi dan membahas materi yang
ditugaskan pada masing-masing anggota kelompok serta membantu satu sama lain
untuk mempelajari topik mereka tersebut. Setelah pembahasan selesai, para
anggota kelompok kemudian kembali pada kelompok asal dan mengajarkan pada
teman sekelompoknya apa yang telah mereka dapatkan pada saat pertemuan di
kelompok ahli. Jigsaw didesain selain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab
siswa secara mandiri juga dituntut saling ketergantungan yang positif (saling
memberi tahu) terhadap teman sekelompoknya. Selanjutnya di akhir
pembelajaran, siswa diberikan soal baik lisan maupun tulisan secara individu yang
mencakup topik materi yang telah dibahas. Kunci tipe Jigsaw ini adalah
interdependensi setiap siswa terhadap anggota tim yang memberikan informasi
♣ ♥
♠ ♦
♣ ♥
♠ ♦
♣ ♥
♠ ♦
♣ ♥
♠ ♦
♣ ♣
♣ ♣
♥ ♥
♥ ♥
♠ ♠
♠ ♠
♦ ♦
♦ ♦
58
yang diperlukan dengan tujuan agar dapat mengerjakan setiap soal yang diberikan
dengan baik.
Menurut Arends, R. (Khaeruddin dan Sujiono, 2008:39), sintaks
cooperative learning tipe jigsaw diperlihatkan pada tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1: Sintaks Model Cooperative Tipe Jigsaw
Fase Tingkah Laku Guru
Fase 1:
Menyampaikan tujuan
pembelajaran dan
memotivasi siswa.
Menyampaikan tujuan pembelajaran (atau indikator hasil belajar), pengalaman belajar yang akan dicapai oleh siswa, memotivasi siswa, dan mengaitkan pelajaran sekarang dengan yang terdahulu.
Fase 2:
Menyajikan informasi
Menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan
demontrasi atau melalui bacaan.
Fase 3:
Mengorganisasikan siswa ke
dalam kelompok-kelompok
belajar.
Menyampaikan kepada siswa bahwa akan dibentuk kelompok belajar.
Mengorganiasasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar secara heterogen.
Menyampaikan kepada siswa bahwa setiap anggota kelompok mempunyai tanggung jawab untuk mempelajari bagian tertentu dalam subpokok bahasan materi yang akan dipelajari.
Menginformasikan kepada siswa bahwa setiap anggota kelompok yang telah mempelajari salah satu bagian dari subpokok bahasan (topik) akan menjadi ahli dalam topik materi yang dipelajarinya.
Fase 4:
Diskusi kelompok
Mengelompokkan setiap anggota kelompok yang mempelajari topik (materi) yang sama menjadi kelompok expert (tim ahli), untuk membahas topik (materi) melalui diskusi.
Membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat siswa sedang mengadakan diskusi dalam kelompok ahli (tim ahli).
Menyampaikan kepada setiap anggota kelompok diskusi untuk kembali ke kelompok asal, setelah diskusi selesai.
Meminta siswa untuk mempresentasikan hasil diskusinya secara bergiliran dalam kelompok masing-masing, kemudian dilanjutkan dengan diskusi.
59
Fase 5:
Evaluasi
Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari.
Meminta siswa untuk membuat rangkuman dari hasil diskusi kelompoknya.
Fase 6:
Memberikan penghargaan
Guru memberikan penghargaan kepada siswa yang berprestasi untuk menghargai upaya dan hasil belajar siswa, baik secara individu maupun secara kelompok.
Sumber: Khaeruddin dan Sujiono, E.H. (2008). Model-Model Pembelajaran Sains (Modul Pendidikan dan Latihan Profesi Guru Rayon 24). Makassar: UNM.
Sehubungan dengan hal tersebut, Slavin (dalam Yusuf, 2003:60)
mengatakan bahwa untuk melaksanaan cooperative learning tipe jigsaw, disusun
langkah-langkah pokok sebagai berikut; (1) pembagian tugas, (2) pemberian
lembar ahli, (3) mengadakan diskusi, (4) mengadakan evaluasi, (5) memberi
penghargaan. Adapun rencana pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini diatur
secara instruksional sebagai berikut:
1. Membaca dan Mempelajari: siswa memperoleh topik-topik ahli dan membaca
materi tersebut untuk mendapatkan informasi.
2. Diskusi kelompok ahli: siswa dengan topik-topik ahli yang sama bertemu
untuk mendiskusikan topik tersebut.
3. Diskusi kelompok: ahli kembali ke kelompok asalnya untuk menjelaskan
topik pada kelompoknya.
4. Evaluasi: siswa memperoleh soal individu yang mencakup semua topik.
5. Penghargaan kelompok: penghitungan skor kelompok dan
menentukanpenghargaan kelompok.
60
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Lila, M. (2007), memberikan
langkah-langkah (sintaks) pembelajaran cooperatif learning tipe jigsaw sebagai
berikut:
Tabel 2.2: Langkah-langkah Model Cooperative Tipe Jigsaw
Sintaks Kegiatan Guru Kegiatan Siswa Waktu
1. PendahuluanEksplorasi
Menyampaikan tujuan pembelajaran dan memberi motivasi kepada siswa.
Menggali pengetahuan awal siswa
Memperhatikan dan mengingat kembali masalah-masalah yang pernah dialami terkait dengan materi yang disampaikan.
5’
2. Kegiatan IntiEkspansi I (Siswaberada pada kelompok asal I)
Meminta siswa untuk masuk pada kelompoknya masing-masing.
Membagi materi berupa Lembar Kegiatan Siswa (LKS) dan Buku Teks terkait materi pelajaran.
Menyuruh siswa untuk membaca, dan mempelajari Buku Teks yang telah dibagikan.
Melakukan observasi dan mengamati aktivitas siswa.
Mencari dan mengenal anggota kelompoknya.
Berdiskusi dengan dalam kelompok masing-masing.
Berbagi tugas, di mana setiap siswa mendapat penggalan materi yang berbeda untuk dipelajari.
25’
3. Ekspansi II(Siswa berada dalam kelompok ahli/tim ahli (expert)
Meminta kepada setiap siswa untuk duduk dalam satu kelompok/tim ahli (expert) yang mendapat penggalan materi yang sama.
Menyuruh siswa menjawab masalah-masalah yang belum terpecahkan.
Memfasilitasi siwa selama berdiskusi dalam kelompok ahli/tim ahli (expert).
Melakukan observasi dan mengamati aktivitas siswa.
Berdiskusi dalam kelompok ahli/tim ahli (expert).
Memecahkan masalah yang belum terpecahkan dalam kelompok asal.
25’
61
4. Ekpansi III(Siswa berada dalam kelompok asal II)
Mengamati diskusi mengenai penjelasan siswa pada teman anggota sekelompoknya.
Menyuruh siswa untuk membuat rangkuman dari hasil diskusi kelompoknya.
Menyuruh perwakilan kelompok untuk menyampaikan kesimpulan diskusi.
Menjelaskan materi (mempresentasikan) hasil diskusi dalam kelompok ahli/tim ahli (expert) secara bergantian.
Membuat rangkuman. Berdiskusi mengenai
materi pelajaran terkait, jika ada permasalahan.
Membacakan hasil final/kesimpulan.
30’
5. PenutupRefleksi
Bertanya kepada siswa Memberikan tes kognitif,
angket skala sikap siswa dan respon siswa terhadap metode pembelajaran.
Menjawab pertanyan guru.
Mengerjakan tes secara mandiri.
Mengisi angket dan respon.
5’
Total waktu 90’
Sumber: Budi Utami, dkk. (2007). Model-Model Pembelajaran Kooperatif (Makalah). Malang: Universitas Negeri Malang.
C. Hasil-hasil Penelitian yang Relevan
Berikut ini akan di paparkan beberapa hasil penelitian yang relevan
dengan penelitian ini. Hasil penelitian pendukung yang dimaksudkan adalah hasil
penelitian dari penerapan model cooperative learning tipe jigsaw pada
pembelajaran matematika ataupun pada mata pelajaran lain, di antaranya:
1. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Budiningarti, H., (1998) yang
mengembangkan perangkat model cooperative learning tipe jigsaw pada
pengajaran fisika di SMU menunjukkan, bahwa peningkatan pengetahuan
untuk tes hasil belajar produk dan tes hasil belajar psikomotor. Hasil
penelitian ini juga menunjukkan bahwa guru dapat menerapkan model
62
cooperative learning tipe jigsaw dengan baik dan meningkatkan kooperatif
siswa selama proses belajar mengajar berlangsung.
2. Setyaningsih, S., (1999), melakukan penelitian dalam pembelajaran mata
pelajaran biologi pada kelas I SLTP yang berorientasi model cooperative
learning tipe jigsaw. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penerapan
model cooperative learning tipe jigsaw, dapat: 1) meningkatkan keterampilan
guru dalam mengelola kegiatan belajar mengajar (KBM), 2) meningkatkan
pengelolaan proses belajar mengajar oleh guru, 3) meningkatkan kualitas
interaksi siswa dengan lingkungan belajar, dan 4) meningkatkan prestasi
belajar siswa yang meliputi peningkatan nilai rata-rata dengan ketuntasan
belajar yang maksimal.
3. Penelitian yang dilakukan Widada W., (1999) mengungkapkan bahwa, dengan
pengembangan peragkat pembelajaran yang berorientasi pada model
cooperative learning tipe jigsaw ternyata 82,35% dari seluruh tujuan
pembelajaran yang diajarkan dipelajari oleh siswa pada mata pelajaran
matematika tingkat SMU.
4. Lila, M., (2007) melakukan penelitian pada mata pelajaran biologi kelas X
SMA Wahid Hasim Malang, dalam materi Animalia dan Ekosistem untuk
mengetahui: 1) apakah penerapan model cooperative learning tipe jigsaw
yang dipadukan dengan problem posing dapat meningkatkan proses dan hasil
belajar siswa, 2) sikap siswa kelas X SMA Wahid Hasim Malang terhadap
konsep animalia dan ekosistem melalui penerapan model cooperative learning
tipe jigsaw yang dipadukan dengan problem posing, 3) respon siswa terhadap
63
penerapan model cooperative learning tipe jigsaw yang dipadukan dengan
problem posing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model
cooperative learning tipe jigsaw yang dipadukan dengan problem posing
dapat: 1) meningkatkan proses pembelajaran, meningkatkan keaktifan siswa
dan meningkatkan kooperatif siswa, 2) meningkatkan hasil belajar siswa dan
meningkatkan kognitif siswa, 3) meningkatkan sikap positif siswa terhadap
materi, dan meningkatkan respon siswa terhadap materi pembelajaran.
5. Penelitian yang dilakukan oleh Priyanto, (2007) dalam pembelajaran Kimia
pada materi Alkana dan Alkena pada siswa kelas X Madrasah Aliyah Darut
Malang dengan tujuan untuk menngetahui: 1) persepsi siswa terhadap model
cooperative learning tipe jigsaw, dan 2) apakah ada perbedaan hasil belajar
antara siswa yang menggunakan model cooperative learning tipe jigsaw
dengan siswa yang belajar menggunakan metode ceramah. Dari hasil
penelitian tersebut diperoleh bahwa hasil belajar kelompok kooperatif lebih
baik daripada kelompok ceramah dan siswa X Madrasah Aliyah Darut Malang
yang memberi persepsi sangat baik terhadap model cooperative learning tipe
jigsaw.
D. Kerangka Pikir
Keberhasilan pendidikan Kristiani pada SMA Advent Mebali sangat
ditentukan oleh akademik intelektual dan penampilan moral seorang alumninya.
Bagaimanapun nilai raport dan hasil ujiannya, moral keagamaan yang melekat
pada sikap dan perilakunya akan menjadi tolok ukur bagi keberhasilan lembaga
64
pendidikan tempat ia belajar. Apabila dikaji lebih lanjut berdasarkan teori yang
telah ada maka salah satu alternatif peningkatan kualitas pembelajaran pada SMA
Advent Mebali yang menekankan pendidikan kecerdasan akademik dan moral
atau akhlak adalah penerapan teori kognitif. Teori belajar konstruktivis adalah
salah satu penerapan teori kognitif.
Salah satu implikasi teori belajar konstruktivis dalam pembelajaran adalah
penerapan pembelajaran kooperatif. Dalam pembelajaran kooperatif siswa atau
peserta didik lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit
apabila mereka saling mendiskuiskan masalah-masalah tersebut dengan temannya.
Melalui diskusi dalam pembelajaran kooperatif akan terjalin komunikasi di mana
siswa saling berbagi ide atau pendapat. Melalui diskusi akan terjadi elaborasi
kognitif yang baik, sehingga dapat meningkatkan daya nalar, keterlibatan siswa
dalam pembelajaran dan memberi kesempatan pada siswa untuk mengungkapkan
pendapatnya.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif
tipe jigsaw memiliki dampak yang positif terhadap kegiatan belajar mengajar,
yakni dapat meningkatkan aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran,
meningkatkan ketercapaian tujuan pembelajaran dan ketuntasan belajar siswa, dan
dapat meningkatkan minat siswa dalam mengikuti pembelajaran berikutnya.
Selain itu, pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan lingkungan belajar di
mana siswa belajar bersama dalam kelompok kecil yang heterogen, untuk
menyelesaikan tugas tugas pembelajaran. Siswa melakukan interaksi sosial untuk
mempelajari materi yang diberikan kepadanya, dan bertanggung jawab untuk
65
menjelaskan kepada anggota kelompoknya. Jadi, siswa dilatih untuk berani
berinteraksi dengan teman-temannya.
Keseluruhan aspek kooperatif yang dilakukan oleh siswa selama
pembelajaran yang berorientasi kooperatif merupakan bagian dari pendidikan
akhlak atau moral kepada peserta didik. Dan apabila keterampilan-keterampilan
kooperatif terus dilatihkan kepada siswa selama pembelajaran maka cermin siswa
yang berakhlak mulia yang ditunjukkan dengan sikap-sikap positif dapat tercapai.
Berdasarkan kerangka berfikir secara teoritis yang dikutip dari pendapat para ahli,
dan secara empiris dari hasil penelitian terdahulu, dapat dikatakan bahwa
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan kualitas pembelajaran.
Dengan demikian, diharapkan penerapan model pembelajaran kooperatif
tipe jigsaw dapat meningkatkan kualitas proses dan kualitas hasil belajar
matematika pokok bahasan Differensial pada siswa kelas XI IPA SMA Advent
Mebali.
E. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kerangka teoritik di atas maka hipotesis tindakan pada
penelitian ini adalah “Jika model Cooperative Learning Tipe Jigsaw diterapkan
pada siswa kelas XI IPA SMA Advent Mebali maka prestasi belajar matematika
siswa dalam pokok bahasan differensial akan meningkat”.
66
67