FORUM ILMU SOSIAL
FIS41 (1) (2014)
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/FIS
InfoArtikel Abstrak
Sejarah ArtikelDiterima Mei 2014Disetujui Juni 2014Dipublikasikan Juni 2014
Keywords :
JURNALFORUM ILMU SOSIAL
Bintang Aulia Pradnya ParamitaSubdit Evaluasi Kinerja, Direktorat Bina Program dan Kemitraan, Ditjen Penataan Ruang - Kementerian Pekerjaan UmumdanEva BanowatiDosen Jurusan Geografi-FIS Unnes
Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengkaji pola tanam pada ruang hutan produksi, 2) mengkaji struktur pemanfaatan ruang hutan kemitraan, dan 3) menemukan optimasi pemanfaatan ruang hutan produksi yang berkelanjutan.
Penelitian ini dilaksanakan di hutan Kawasan Muria - Kabupaten Pati, pada tiga wilayah administrasi berhutan produksi dan pola pemanfaatan hutan bervariasi. Populasinya adalah para pesanggem, digunakan analisis keruangan untuk mengkaji struktur pemanfaatan ruang hutan kemitraan, analisis kebutuhan fisik minimum (KFM) dan kebutuhan hidup layak (KHL) dari kegiatan bertani di ruang hutan.
Diketahui pola pemanfaatan ruang hutan produksi belum sesuai kaidah kemitraan di Wilayah Pembangunan (WP) I, namum sudah sesuai di wilayah II dan III. Capaian hasil pesanggem wilayah I dan III mampu mencukupi KHL, pesanggem di WP II hanya untuk mencukupi KFM. Pola dan struktur pemanfaatan untuk menjaga kualitas ruang yang berkelanjutan belum dilakukan secara berdaulat oleh para mitra. Hal ini dapat dilihat dari pola tanam yang dijalankan pada masing-masing wilayah. Pola monokultur di WP I, ketela pohon menempati 90% luas ruang borgan. Pola polikultur di WP II dan pola compound di WP III. Saran yang dikemukakan adalah perlu penataan kembali ruang kemitraan pada hutan produksi agar berkelanjtan ekonomis dan ekologis.
MODEL POLA TANAM DAN STRUKTUR PEMANFAATAN
RUANG KEMITRAAN PADA HUTAN PRODUKSI
Abstract
The purpose of this study were: 1) assess the cropping pattern in the space of production forests, 2) assess the spatial structure of forest partnerships, and 3)
The research was carried out in the forest of Muria Area - Pati Regency, in three areas of production forest administration and varied forest utilization patterns. The population is the pesanggem, spatial analysis was used to assess forest spatial structure of the partnership, the analysis of the Minimum Necessities of Life (KFM –Kebutuhan Hidup Minimum) and the
find the optimized utilization of sustainable production forest area.
cropping patterns, partnershipspace, pesanggem, structure,stands
28 Forum Ilmu Sosial, Vol. 41 No. 1 Juni 2014
*
2014 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensiEmail: [email protected]: [email protected]
Proper Necessities of Life (KHL-Kebutuhan Hidup Layak) from farming activities in the forest.
There were found that the patterns of space utilization of production forest do not meet the rules of partnership in Region Development (WP-Wilayah Pembangunan) I, yet it was appropriate in areas II and III. Pesanggem in regions I and III could cover the KHL, while the pesanggem in WP II were just to cover the KFM. Utilization patterns and structures to maintain a sustainable spatial quality have not made sovereign by the partners. It can be seen from the cropping pattern executed in each region in which the pattern of monoculture in WP I, 90% of total borgan area was occupied by cassava plantation, polyculture pattern in the WP II and compound pattern in the WP III. The suggestion is that the need to reform the partnership space on the production forest for economically and ecologically sustainable.
PENDAHULUAN
Penataan ruang hutan produksi sebagai
bagian dari pengelolaan hutan tidak terlepas
dari pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan atas ruangnya. Hal ini harus
dilakukan sesuai dengan kaidah penataan
ruang agar efektif dan efisien, serta terjaga
kualitas ruang yang berkelanjutan. Penataan
ruang hutan berdasarkan fungsi utama terdiri
atas hutan lindung dan kawasan budi daya
(UU Nomor 26 Tahun 2007, dalam Bintang
Aulia, 2009), serta memperhatikan pasal 20
ayat (2), menetapkan rencana pola ruang
wilayah nasional yang meliputi kawasan
lindung nasional dan kawasan budi daya yang
memiliki nilai strategis nasional.
Berdasarkan interpretasi citra SPOT 4
tahun 2007 diketahui penutup lahan Kawasan
Muria berupa hutan, semakin ke bawah
kerapatan semakin jarang dan area terbangun
yang dikenali sebagai permukiman. Pada
beberapa petak hutan terdapat singkapan
tanah tanpa vegetasi. Interpretasi dengan
menggunakan Citra Landsat tahun 2001 pada
lokasi yang sama diketahui vegetasi lebih
rapat. Pengamatan pada dua citra multi
temporal yang waktu perekaman kedua citra
tersebut pada bulan yang sama (Agustus)
digunakan sebagai dasar asumsi untuk
mengetahui hutan melalui tiga (dari tujuh)
unsur interpretasi yakni bentuk, situs dan
asosiasi. Dasar interpretasi ini tidak terlepas
dari local knowledge daerah penelitian yang
dilakukan dalam kegiatan lapangan tahun
2007, 2008, dan 2009 diketahui bahwa pada
petak hutan produksi di Kawasan Muria
teragih tanaman ketela pohon, kacang tanah
dan tanaman pertanian lainnya. Meng-
indikasikan adanya pemanfaatan sebagai
hutan dan non hutan (Banowati 2011). Hal itu
dipengaruhi oleh dinamika sosial setempat,
artinya telah terjadi fenomena alih orientasi
pemanfaatan ruang hutan. Kondisi demikian
berpotensi mendatangkan kerusakan lanjut
atas sumber daya hutan maupun area
terpengaruhnya. Untuk itulah diperlukan
pengkajian kelayakan ruang kemitraan pada
29Forum Ilmu Sosial, Vol. 41 No. 1 Juni 2014
hutan produksi agar berfungsi optimal dan
berkelanjutan.
Kemitraan dalam penataan ruang
secara umum bukan sekedar aturan main
yang tertulis dan formal atas atau suatu
kontrak kerja, melainkan lebih menunjukkan
perilaku hubungan yang saling membantu
untuk mencapai tujuan bersama dengan
memegang teguh prinsip berkearifan
terhadap alam lingkungan. Kemitraan
merupakan tingkatan yang lebih tinggi dari
partisipasi. Melalui kemitraan, para
pemangku kepentingan tidak sekadar
dilibatkan dalam suatu kegiatan, namun juga
menempatkan pihak-pihak dalam kesetaraan
saling membutuhkan (bersinergis). Masing-
masing mendapat manfaat yang seimbang
sesuai dengan hak dan kewajibannya yang
telah disepakatkan. Kemitraan didefinisikan
sebagai keterkaitan yang seimbang dan
sejajar serta kerjasama saling menguntung-
kan antara pelakunya untuk mencapai
manfaat bersama (Banowati, 2011; Ichwan,
2011).
Pengaruh peningkatan jumlah pen-
duduk desa sekitar hutan secara otomatis
menyebabkan peningkatan kebutuhan dan
peningkatan “alat” pemuas kebutuhan yang
berupa barang dan jasa. Cara paling
memungkinkan adalah memanfaatkan lahan
hutan. Secara alami pengaruh perubahan
struktur kependudukan dan meningkatnya
jumlah penduduk adalah peningkatan pencari
kerja. Lapangan kerja di pedesaan masih
bertumpu pada sektor pertanian (farm) untuk
itu status penguasaan lahan baik yang
berdasarkan hukum formal maupun
berdasarkan hukum adat sangat dibutuhkan
oleh petani. Masyarakat setempat secara
budaya punya hak “merasa” kehilangan
akses terhadap hutan yang dikelola negara
(hutan negara). Dipicu oleh kebutuhan hidup
yang terus mendesak dan keinginan yang
meningkat, mendorong masyarakat untuk
manfaatkan hutan sebagai lahan pertanian.
Kondisi tersebut dapat dijelaskan Simon
(1993) bahwa faktor utama penyebab
timbulnya kemunduran potensi hutan
produksi (Jati = tectonagrandis) di Jawa
adalah adanya kemiskinan di pedesaan.
Kawasan Muria telah ditetapkan
sebagai hutan sesuai Peraturan Pemerintah
No. 44 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah
No. 6 Tahun 2007 yang mengatur
pengelolaannya dalam Kesatuan Pe-
mangkuan Hutan (KPH), merupakan bagian
dari penguatan sistem pengurusan hutan
nasional, provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota. Pengelolaan hutan
mencakup kegiatan tata hutan dan pe-
nyusunan rencana pengelolaan hutan,
pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan
hutan, rehabilitasi hutan dan reklamasi hutan,
serta perlindungan hutan dan konservasi
alam. Aktivitas pengelolaan hutan me-
rupakan seperangkat kegiatan pengusahaan
hutan dan prinsip-prinsip untuk meng-
operasikan fungsi hutan. Pengelolaan hutan
mencakup kegiatan yang terdiri dari strategi,
sistem, dan manajemen pengelolaan.
Pelaksanaan pengelolaan hutan produksi,
Perhutani menghadapi permasalahan yang
bersifat internal dan eksternal. Masalah
internal antara lain berupa budaya yang
bersifat feodalistik dan birokratis, serta pro-
fesionalisme sumberdaya manusianya,
masalah eksternalnya adalah kependudukan
antara lain berupa terbatasnya kesempatan
dan lapangan kerja, kebutuhan yang semakin
meningkat, dan kemiskinan di pedesaan
30 Forum Ilmu Sosial, Vol. 41 No. 1 Juni 2014
hutan mengakibatkan konflik antara
Perhutani dengan masyarakat (Salim, 2006;
Simon, 1993; Indriyanto, 2008).
Berdasarkan fenomena tersebut
permasalahan dalam tulisan ini adalah
bagaimanakah pemanfaatan ruang kemitraan
pada hutan produksi yang berkelanjutan
sesuai fungsinya.Tujuan penelitian:1)
mengkaji pola tanam pada ruang hutan
produksi, 2) mengkaji struktur pemanfaatan
ruang, dan 3) menemukan optimasi
pemanfaatan ruang hutan produksi yang
berkelanjutan.
METODE PENELITIAN
Metode utama yang digunakan adalah
survei, teknik pengumpulan data meng-
gunakan kuesioner, observasi, wawancara,
diskusi kelompok terfokus (FGD) ,
wawancara mendalam, dan studi do-
kumentasi. Penelitian dilaksanakan di hutan
Kawasan Muria - Kabupaten Pati. Pemilihan
field sites didasarkan pada wilayah
administrasi yang memiliki hutan produksi.
Populasinya adalah para wanatani atau
pesanggem di tiga Wilayah Pembangunan
(WP), yakni: I Kecamatan Cluwak, II
Kecamatan Gembong, dan WP III
Kecamatan Tlogowungu.
Teknik analisis data digunakan analisis
keruangan untuk mengkaji pola tanam dan
struktur pemanfaatan ruang hutan, analisis
Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) dan
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dari
kegiatan bertani di lahan hutan (borgan) dan
analisis kuantitatif tabel silang (Effendi dan
Manning, 1989; Banuwa, 2009). Penekanan
kualitatif bersifat deduktif merujuk teori
tertentu untuk menganalisis aktivitas
pesanggem seca ra /da lam kon teks
keruangan, dimaksudkan medapat suatu
bahan dalam membuat generalisasi kondisi
sosekbud sebagai saran untuk perumusan
kebijakan tata ruang hutan kemitraan yang
berkelanjutan.
HASIL PENELITIAN DAN PEM-
BAHASAN
Interrelasi kondisi biofisik hutan dan
pesanggem direpresentasikan pada
karakteristik petak hutan di WP. Secara rinci
dapat diketahui dari ragam tanaman
pertanian yang diusahakan pada lahan
borgan, pola tanam, struktur pemanfaatan
borgan, dan hasil yang diharapkan. Ketela
pohon dipilih pesanggem menjadi tanaman
musiman, karena tahan hama, mudah
pengembangbiakan, biaya perawatan
rendah, harga ubi kayu relatif stabil, untuk
mempercepat pengisian ubi digunakan
pupuk kimia pabrikan, dan mudah
pemasarannya. Penanaman ketela pohon
(cassava) dilakukan sepanjang tahun tanpa
ada jeda. Jenis ketela pohon varietas
margona memiliki umur tanam 8 - 9 bulan.
Kegiatan penanaman secara terus menerus
tanpa adanya rotasi dan masa istirahat.
Tindakan demikian berpotensi merusak
lahan yang mengarah pada lahan kritis,
karena micro organisma dan cacing tanah
(Lumbricus terrestris) tidak berkesempatan
hidup, tanah semakin pejal mempengaruhi
daya resap tanah terhadap air menurun
sehingga kandungan air tanah berkurang
yang mengakibatkan kesuburan tanah
menurun. Akbiat lanjut berupa kekeringan di
musim kemarau, banjir dan longsor pada
musim hujan.
31Forum Ilmu Sosial, Vol. 41 No. 1 Juni 2014
Pola Tanam dan Struktur Pemanfaatan
Ruang. Kekosongan ruang hutanKawasan
Muriaakibat penjarahan (illegal logging)
yang terjadi sekitar satu dekade lalu. Selain
itu kosong pada areal bekas tebangan (pasca
panen) sebelum direboisasi dimanfaatkan
oleh masyarakat setempat yakni para
pesanggem sebagai areal bertani. Perhutani
sebagai pengelola hutan Negara menyikapi
dengan jalan meluncurkan berbagai program
kemitraan, diantaranya adalah pola
Pemanfaatan Lahan Di bawah Tegakan
(PLDT). Bertujuan member kesempatan
pada masyarakat dapat bertani memanfaat-
kan ruang vertikal di bawah (diantara)
tegakan hutan. Pemanfataan ruang hutan
yang teridiri dari tegakan hutan (tanaman
berkayu) dan tanaman pangan jenis palawija
maupun padi. Kondisi demikian dipersepsi-
kan berbeda antar WP, hal ini berpengaruh
terhadap dinamika pemanfaatan lahan yang
tercermin dari pola tanam yang dijalankan
dan pemilihan jenis tanaman pertanian.
Tabel 1. Crop Calender di KHM
Sumber: Banowati, 2011 KetelaPohon 288 orang 83,45% Jagung 29 orang 8,41% Kacang Tanah 114 orang 33,04% Padi 5 orang 1,45%
WP
Tahun I Tahun II Tahun III
Cawu 1 Cawu 2 Cawu 3 Cawu 1 Cawu 2 Cawu 3 Cawu 1 I
II
III
Pada WP I bertegakan pokok Jati,
Akasia, dan Mindi yang berumur muda yaitu
ditanam tahun 2000 menjadikan ruang hutan
berkerapatan rendah. Kondisi biofisik
demikian digunakan oleh masyarakat
pesanggem bertani secara monokultur
dengan teknis blok. Ukuran blok hampir
sama dengan luasan penguasaan borgan
masing-masing pesanggem, mereka hanya
mengusahakan satu jenis palawija yaitu
ketela pohon (cassava). Tanaman ini
dibudidayakan diantara tegakan hutan sistem
intercropping.Teknis ini banyak diminati
karena memudahkan dalam pengelolaan,
terutama saat panen ubi kayu. Mengingat
pengguna adalah pabrik pengolahan tepung
tapioka, maka dibutuhkan ubi kayu dalam
jumlah besar dan berkelanjutan (kuantitas
dan kontinuitas) sebagai pasokan industri.
Pesanggem menjual hasil panen dalam teknis
32 Forum Ilmu Sosial, Vol. 41 No. 1 Juni 2014
porto lahan artinya yang melakukan aktivitas
memanen adalah tengkulak.
Pada WP II, umur tegakan yang
bervariasi ditanggapi secara arif oleh
pesanggem dengan jalan memilih teknis
bertani campuran, hanya pada beberapa
ruang hutan memungkinkan secara fisik
dilakukan teknis blok. Polikultur sistem mix
cropping terdiri dari beberapa tanaman
pangan diusahakan secara bersamaan tanpa
diatur jarak maupun larikannya. Tumbuh
menempati satu ruang dalam waktu
bersamaan, meskipun daur hidup berlainan.
Penanaman teknis blok diterapkan pada
lahan berpotensi dijadikan sawah.Pada
musim penghujan diusahakan penanaman
padi, di pinggir blok ditanami kacang
panjang yang menghasilkan sayuran untuk
mencukupi kebutuhan harian. Pada musim
kemarau jenis tanaman yang diusahakan padi
gogo dan jagung, dikombinasikan dengan
tanaman yang diunggulkan dalam sistem
blok tidaklah sama.Pada WP III, blok
diusahakan untuk budidaya kacang tanah
menggunakan pola tanam polikultur sistem
compound. Pola ini dilakukan pesanggem
pada ruang lahan yang sama dengan jalan
menyisipkan satu atau beberapa jenis
tanaman selain tanaman pokok secara
bergantianwaktu (relay cropping) antara
tanaman jagung dan kacang panjang.
Berdasarkan hasil studi lapangan pola
tanam dalam pemanfaatan lahan oleh
pesanggem masing-masing WP dapat
diilustrasikan secara grafis pada Gambar 1.
= Kacang Panjang = Padi = Tegakan Hutan
= Ketela Pohon = Kacang Tanah
Gambar 1. Model Tumpangsari Di Wilayah Pembangunan (Banowati, 2011)
Ketela pohon merupakan tanaman
unggulan, pada WP I menempati ruang
sekitar 90%, pesanggem tidak mengusahakan
tanaman pertanian lainnya. Tegakan pokok
hanya menempati ruang hutan 10%.
Demikian pula di WP II, ketela pohon
menempati ruang pengusahaan mendekati
52%, selain itu ditanam pula Kacang Tanah
(Arachis hypogaea), padi (Oryza sativa L),
dan sebagian kecil (3,87%) Jagung (Zea
mays). Sedangkan di WP III agihan ketela
pohon hanya menempati ruang kemitraan
sekitar 8%, pemanfaatan terbesar untuk
kacang tanah yakni mendekati 90%, dan
sebagian kecil (2,56%) diusahakan jagung.
33Forum Ilmu Sosial, Vol. 41 No. 1 Juni 2014
Tabel 2. Pola Tanam Dan Struktur Pemanfaatan Borgan
WP Pola Tanam Struktur Pemanfaatan Borgan I
Intercropping
Ketela pohon menempati 90% dari total luas lahan borgan
II
Mixed Cropping
No Jenis Tanaman Struktur (%)
1. Ketela 51,83 2. Kacang Tanah 36,15 3. Jagung 3,87 4. Padi 8,15
Total 100
III
Relay Cropping
No Jenis Tanaman Struktur (%)
1. Kacang Tanah 89,4 2. Ketela Pohon 8,04 3. Jagung 2,56
Total 100
Sumber: Banowati, 2009, 2010, 2011
Pola tanam dan struktur pemanfaatan
borgan yang dimanfaatakan untuk areal
tumpangsari, pada luasan 0,1 - 0,25 hektar
per pesanggem menghasilkan pendapatan
yang tidak sama antar WP. Pendapatan satu
kali musim panen ketela pohon di WP I yang
diusahakan pada luasan total 52, 585 hektar
sebesar Rp. 841.360.000,00 per daur (8-9
bulan), di tahun 2012 setara dengan 210.340
kg beras (setara 24.745,9 kg beras atau
sebesar Rp. 437.980,22 per bulan). Kondisi
demikian secara ekonomis (belum mem-
pertimbangan keberlanjutan ekologis) sangat
menguntungkan, sebab ubi ketela selalu
ditunggu oleh konsumen tengkulak maupun
pabrik pengolahan tepung tapioka yang
banyak beroperasi sekitar wilayah ini.
Tabel 3. Pendapatan Dari Lahan Borgan Pada WP II dan III
Komoditas
Pendapatan WP II WP III
Rp./ daur Rp./ bulan Rp./ daur Rp./ bulan Padi 20.880.000 5.220.000 - - Kc.Tanah 20.134.400 5.033.600 105.280.000 26.320.000 Jagung 2.926.000 365.750 1.645.000 205.625 Ketela 166.384.000 19.574.588 28.400.000 3.341.176,5
Total 210.324.400 30.193.938 135.325.000 29.866.801
Sumber: Banowati, dkk., 2010; Banowati, 2011
Rerata pendapatan bersih dari pola
mixed cropping yang diusahakan ditotal
luasan lahan 30, 287 hektar di WP II dan WP
III satu kali daur/panen yang berasal dari 3 - 4
jenis komoditas. Pendapatan dari hasil
borgan WP II yang diusahakan oleh 67 orang
sebesar Rp. 30.193.938 per bulan atau
sebesar Rp. 450.665 per orang/bulan. Hasil
bertani hanya berkutat di ranah need, karena
sebagian besar hasilnya untuk pangan
34 Forum Ilmu Sosial, Vol. 41 No. 1 Juni 2014
keluarga (subsisten), selain itu kacang
panjang yang ditanaman diantara petak
kacang tanah didagangkan di pasar lokal.
Pendapatan pesanggem WP III sebesar Rp.
29.866.801 diusahakan oleh 52 orang atau
Rp. 574.361 per orang/bulan. Selain itu
pesanggem mendapat bagi hasil (sharing)
dari tebangan. Pada WP ini terwujud manfaat
ekonomis untuk berkelanjutan fungsi hutan
produksi sebagai penghasil kayu.
Pendapatan pesanggem dari lahan
brogan hanya dapat dinikmati selama 2
tahun, namun kenyataannya mereka telah
melakukan pengulangan perpanjangan
kontrak bermitra dengan Perhutani lebih dari
3 kali atau dari 6 tahun. Ini berarti keberadaan
brogan telah terbukti berkontribusi terhadap
pendapatan.
Hasil indept interview diketahui
pendapatan yang dapat diterima oleh
pesanggem tidak meningkat, karena
produksi tanaman relatif rendah. Pesanggem
WP I yang bertani ketela pohon (cassava),
hasilnya tinggi karena lahan pertaniannya
tidak ternaungi oleh tegakan yang ber-
kerapatan rendah yang berumur umur sekitar
10 tahun
Gambar 2 . Ketela Pohon Di bawah Tegakan Akasia Pada petak 102 Di WP I Desa Gesengan-Kecamatan Cluwak
(Sumber: Banowati, 2011)
Pembudidayaan tanaman ini perlu
ditinjau kembali, bila menghendaki hutan
produksi dapat berfungsi sebagai penghasil
kayu dan penghasil sumber daya hutan yang
lain, seperti pengatur tata iklim dan tata air,
memperkecil bahaya erosi dan bahaya angin
ribut. Solusinya pengelola mencari tanaman
pengganti yang ramah lingkungan. Besarnya
pendapatan dari lahan borgan oleh
pesanggem hanya dapat dinikmatiselama
menjadi pesanggem (lebih kurang 2 tahun
atau selama tanaman pangan masih
diusahakan). Hingga saat ini pesanggem
telah melakukan perpanjangan penggarapan
selama 3 kali atau 6 tahun. Keberadaan
borgan sebagai ruang kemitraan berkontri-
busi terhadap penghidupan pesanggem.
Optimasi Pemanfaatan Ruang Hutan
35Forum Ilmu Sosial, Vol. 41 No. 1 Juni 2014
Produksi Berkelanjutan. Pendapatan pe-
sanggem dipengaruhi oleh kuantitas panen
dan harga jualnya. Pemanfaatan ruang
borgan untuk budidaya ketela pohon pada
WP I, WP II dan WP III (Tabel 2) dengan
porsi berbeda. Berkenaan dengan pendapatan
(Tabel3), berdasarkan hasil wawancara
diketahui bahwa pesanggem WP III mampu
mencukupi Kebutuhan Hidup Layak (KHL)
dipengaruhi oleh kecermatan mereka
memilih jenis tanaman Kacang Tanah.
Semua pesanggem menanamnya, total luas
anagihannya antara 75%hingga 100%.
Sedangkan ketela pohon hanya dibudidaya-
kan sekitar 8% - 25% dari luas borgan.
Tabel 4. Pola Pemanfaatan Ruang Borgan Pada WP III (dalam m2)
Luas Borgan (m2) Luas Area Budidaya Pertanian
Total (m 2) Kc. Tanah Ketela
Ph. Jagung Kc.
Pjg. 2500 x 12 (30.000) 28875 1000 625 - 30500 5000 x 40 (200.000) 176750 17500 5250 - 199500
Jumlah 205625 (89,4%)
18500 (8,04%)
5875 (2,56%)
- (-%)
230000 (100%)
Sumber: Mustofa, dkk., 2010; Banowati, dkk., 2009;2010; Banowati, 2011
Keberhasilan pesanggem WP III perlu
dijadikan acuan para pemangku dalam
pemanfaatan dan penataan ruang hutan,
yakni kepentingan menempuh jalan
bermitra. Sehingga masing-masing pihak
mendapat manfaat yang seimbang. Bila di
ruang hutan kemitraan lokasi Pengelolaan
Hutan (sumberdaya hutan) Bersama
Masyarakat agihan tanaman pertanian lebih
luas dibandingkan dengan agihan tegakan,
niscaya hutan produksi menjadi tidak
produktif seperti di WP I (Gambar2).
Tabel 5. Proporsi Antara Areal Pertanian d an Tegakan
WP
Area PHBM
Agihan Tanaman Pertanian
Agihan Tegakan
Jml Petak Luas (Ha) Luas (Ha) % Luas (Ha) % I 3 107,5 95,7 89 11,8 11 II 2 52,8 23,2 44 29,6 56 III 2 38,9 26 67 12,9 33
Total 7 199,2 144,9 72,3 54,3 27,7
Sumber: KPH Pati, 2009; Banowati, 2011
Keberlanjutan penghidupan dari ruang
hutan. Hasil analisa kualitatif deduktif
merujuk teori motivasi diketahui pemenuhan
kebutuhan penghidupan dikaji menurut
tingkat pemenuhan kebutuhan, yakni: primer
untuk memenuhi kebutuhan biologis (need)
meliputi pencukupan pangan, papan atau
tempat tinggal, dan mata pencaharian.
Sekunder mengarah pada keinginan (want)
meliputi kegiatan melestarikan hutan, adanya
keajegan pendapatan, dan partisipasi.
Kebutuhan tersier yang mampu meng-
akomodir pemenuhan psikis (emotional).
Pemenuhan kebutuhan dicerminkan dalam
menempatkan hutan dan brogan untuk
melestarikan keberadannya atau keajegan
36 Forum Ilmu Sosial, Vol. 41 No. 1 Juni 2014
secara kualitas, keajegan secara kuantitas,
dan keinginan untuk mewujudkan keduanya
bersama-sama sebagai bagian dari mitra atau
para pemangku kepentingan (stakesholder)
.Hasil analisis ini digunakan sebagai bekal
untuk melakukan wawancara mendalam
kepada pesanggem maupun non pesanggem
sebagai kroscek untuk mendapatkan
simpulan yang dapat dipertanggung-
jawabkan. Kesemua data mengarah pada
kemauan masyarakat menata ruang hutan
optimal yang berkeajegan pendapatan untuk
pemenuhan KHL serta memungkinkan
mencapai kebutuhan hidup tambahan.
Tabel 6. Pemanfaatan Ruang Hutan Produksi Area Kemitraan
Keberlanjutan
Kebutuhan (%) WP I WP II WP III
P S T P S T P S T Hutan 3,9 21,3 10,26 12,8 23,21 15,48 12,9 18,98 18,49
Lahan Pertanian 21,35 22,17 21,02 9,13 23,21 16,17 12,9 19,35 17,38
Total 25,25 43,47 31,28 21,93 46,42 31,65 25,8 38,33 35,87
Sumber: Banowati, 2011 Keterangan: P = Primer S = Sekunder T = Tersier
Hasil analisis diketahui keberlanjutan
fungsi hutan produksi sebagai penghasil
kayu pada WP I sebesar 33,3%, WP II sebesar
51,5%, dan WP III sebesar 50,4%. Meskipun
selisih skor WP II dan III amat kecil, namun
pada WP III mampu menyeimbangkan
berkelanjutan fungsi ekonomis dan ekologis.
Hal ini sangat dipengaruhi oleh ketepatan
pemilihan tanaman pertanian dan pola tanam
bersisipan (Relay Croping) serta struktur
pemanfaatan ruang borgan yang dikuasai.
Kepadatan ruang hutan pada WP I 2rerata dalam 16 m terdapat 1 tegakan, angka
ini menunjukkan kerapatan atau kepadatan
rendah karena tegakan tersebut merupakan
hasil reboisasi tahun 1999-2001 atau tegakan
muda umur sekitar 10 tahun. Kerapatan tinggi 2pada WP II, yaitu rerata dalam 13 m ruang
hutan terdapat 1 pohon karena pada petak
hutan Desa Semirejo terdapat tegakan tua
yang bertahun tanam 1972 (canopy telah
lebar) dan tegakan bertahun tanam 2004 yang
menempati areal bekas pemanenan, selain itu
pada WP II telah terjadi penjarangan. 2
Meskipun pada WP III rerata dalam 42 m
ruang hutan terdapat 1 pohon atau paling
rendah diantara ketiga WP, hal ini disebabkan
telah dilakukan pemanenan sebanyak tiga
kali, dan telah pula dilakukan penanaman
(tanaman muda).
37Forum Ilmu Sosial, Vol. 41 No. 1 Juni 2014
Tabel 7. Keberlanjutan Hutan Produksi Area Kemitraan
Wilayah Pembangunan
Agihan (%) Kepadatan (m2)
Tahun Tanam Tegakan Pertanian
I 11,07 88,93 1: 16 1999 - 2001 II 56,06 44,04 1: 13 1972 - 2004 III 33,16 66,83 1: 42 1971 - 1989
Rerata 27,3 72,70 1: 23 1971 - 2001
Sumber: Banowati, 2011
Sebaran tegakan hutan di setiap WP,
baik dilihat dari persentase agihan tegakan
maupun kepadatan tegakan terhadap agihan
atau lahan pertanian. Seperti dalam sajian
Tabel 7 di atas dengan mengesampingkan 2umur tegakan secara rerata setiap 23 m
hanya terdapat 1 (satu) tegakan. Angka ini
mengindikasikan bahwa hutan produksi
sebagai sumber daya penghasil kayu dalam
kondisi tidak full stock atau kurang dari
seharusnya. Angka kepadatan maupun
agihan pada setiap WP. Sebagai satu satuan
kawasan kondisi tersebut berpotensi terjadi
kerusakan lingkungan. Dikaji dari umur
tegakan maupun sejarah pengelolaan
masing-masing WP yang tercermin dalam
pembangian tebangan (sharing) diketahui
bahwa WP I diperlukan penataan ulang.
Berkenaan dengan potensi biofisik
hutan, masyarakat pesanggem memperoleh
hasil dari keberadaan hutan. Antara lain dari
batang ketela pohon yang sehat digunakan
untuk stek tanaman baru (bibit) di musim
tanam mendatang, sisa batang lainnya
digunakan sebagai bahan bakar dapat
menghemat pengeluaran keluarga untuk
keperluan kayu bakar harian. Residu
tanaman jagung digunakan sebagai pakan
ternak sapi, dan janggelnya dapat digunakan
sebagai bahan bakar. Beberapa kali musim
panen didapatkan produksi pertanian
berkecenderungan terus menurun. Hal ini
disebabkan oleh pengaruh tanah yang makin
keras (rusak), terkena hama, dan penyakit
tanaman (Sabarnudin, 2006; Mustofa, dkk,
2009; Banowati, 2010; 2011). Selain itu juga
dipengaruhi oleh musim yang tidak menentu.
Kala tanah masih subur dan sinar matahari
cukup pesanggem bisa panen 4 bulanan,
namun kini umur 5 bulanan baru dapat
dipanen. Dibutuhkan perawatan intensif
dengan jalan mendangir agar tanahnya
gembur dan terbebas dari bakteri nematode,
serta memberi pupuk kandang dari kotoran
ternaknya agar micro organism dan cacing
tanah bekerja menggemburkan lahan
borgan. Saran yang peneliti kemukakan
adalah pesanggem dapat membuat kompos
dan bersedia menggunakannya serta
mengubah kebiasaan pesanggem karena
telah menggunakan pupuk kimia.
PENUTUP
Pola tanam dan struktur pemanfaatan
borgan mengedepankan prinsip kemitraan
yang paling ideal adalah relay cropping pada
tegakan muda dan lahan bekas tebangan.
Optimasi atau pencarian nilai terbaik dari
beberapa pola pemanfaatan ruang hutan
produksi untuk keberlanjutan penghidupan
ekonomis dan ekologis dipengaruhi oleh
kecermatan pesanggem memilih jenis
tanaman pertanian yang disesuaikan dengan
38 Forum Ilmu Sosial, Vol. 41 No. 1 Juni 2014
kondisi biofisik hutan.
Berdasarkan kondisi lapangan maka
diperlukan penataan kembali ruang ke-
mitraan pada hutan produksi untuk recovery
agar berkelanjutan ekonomi dan ekologis.
Pada setiap wilayah kemitraan yang
memperhatikan karakteristik fisik dan sosial
setempat atau berdasarkan kesepahaman
para mitra terutama oleh masyarakat
pesanggem yang memanfaatkan ruang hutan
sebagai lingkungan hidupnya. Pemikiran ini
sejalan dengan Pusat Informasi Kehutanan
(dalam KPH Pati, 2009) salah satunya adalah
daerah membuat dan pengembangan kondisi
site specific areal hutan yang dikelola.
Seperti ruang hutan di Kawasan Muria
wilayah administrasi Kabupaten Pati. Suatu
wilayah berpenduduk padat, secara alami
masyarakatnya mengalami transformasi
sosial dari masa agraris–tradisional ke masa
industri-modern.
DAFTAR PUSTAKA
Aulia, Bintang Pradnya P. 2009. Studi
Tekanan Panas Lingkungan Kota
Semarang Menggunakan Citra Aster.
Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Geografi
UGM.
Banowati, Eva. 2009. Fenomena Alih
Orientasi Pemanfaatan Lahan Hutan
Di Lereng Gunung Muria. Artikel.
Forum Ilmu Sosial. Vol.36 No.1 ISSN:
1412-971X
----------- , 2010. Pola Tanam dan
Ketersediaan Sumberdaya Pangan di
Kawasan Hutan Muria (KHM).
Artikel. Forum Ilmu Sosial. No.2 /Vol.
37 ISSN: 1412-971X
Banowati, Eva, dkk. 2010. Model Pem-
berdayaan Masyarakat Pesanggem
Un tuk Akse l e ras i Pemu l ihan
Sumberdaya Hutan Di Kawasan
Muria Kab. Pati. Laporan Penelitian.
Jakarta: DP2M.
Banowati, Eva. 2011. Pembangunan Sumber
daya Hutan Berbasis Masyarakat di
Kawasan Hutan Muria Kabupaten
Pat i -Jawa Tengah . Diser tas i .
Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.
Banuwa, Irwan Sukri. 2009. Optimalisasi
Lahan Usahatani Untuk Pem-
bangunan Pertanian Berkelanjutan.
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Pada Fakultas Pertanian. Bandar
Lampung: UNILA
Effendi dan Manning. 1989. Metode
Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.
Ichwan, Rido Matari. 2011. Mencari Bentuk
Kemitraan Dalam Penyelenggaraan
Penataan Ruang. Artikel. Jakarta:
Ditjen Penataan Ruang, Kementerian
PU.
Indriyanto. 2008. Pengantar Budi Daya
Hutan. Jakarta: Bumi Aksara.
KPH Pati, 2009. Laporan Tahunan 2008.
Mustofa, S., Banowati, E., Eko Handoyo.
2009. Model Pemanfaatan Lahan Di
Bawah Tegakan (PLDT) Untuk
B u d i d a y a P a l a w i j a D a l a m
Mendukung Ketahanan Pangan Di
Kabupaten Pati. Laporan Penelitian.
Jakarta: DP2M.
Mustofa dan Banowati. 2010. Perilaku
Ekonomi Masyarakat Desa Hutan
dalam Memanfaatkan Lahan di Bawah
39Forum Ilmu Sosial, Vol. 41 No. 1 Juni 2014
Tegakan (PLDT) di Lahan Perhutani,
Kabupaten Pati. Artikel. Jurnal
Komunitas No.2/ Vol.4 ISSN: 2986-
5465
Pemerintah Kabupaten Pati. 2007. Peraturan
Pemerintah No. 44 Tahun 2004 dan
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun
2007 mengatur pengelolaannya dalam
Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH).
Salim, H.S. 2006. Dasar-Dasar Hukum
Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika.
Simon, Hasanu. 1993. Hutan Jati dan
Kemakmuran. Yogyakarta: Aditya
Media.
-----------. 1993. Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat. Yogyakarta: Bigraf
Publishing.
40 Forum Ilmu Sosial, Vol. 41 No. 1 Juni 2014