MODERNITAS DALAM PEMBELAJARAN SASTRA PADA BACAAN ANAK MASA KOLONIAL
Asep Yusup Hudayat
Universitas Padjadjaran [email protected]
.
Abstrak
Wacana kolonial tentang praktik-praktik kekuasaan dalam kajian poskolonial merupakan topik-topik mutakhir yang penting untuk diteliti melalui representasi-representasinya. Salah satu representasi dari praktik-praktik kekuasaan pada masa kolonial adalah buku bacaan anak yang diterbitkan untuk murid-murid kaum pribumi di SakolaDesa atau Sakola Rakyat. Buku bacaan Roesdi djeung Misnem (RdM)untuk murid sekolah Sunda merupakan buku yang paling representatif menggambarkan geliat modernitas yang diusung pihak kolonialis bagi pembentukan kesadaran menuju manusia modern.RdM mempertentangkan keyakinan-keyakinan masyarakat pribumi dengan rasionalitas yang diusung kaum kolonialis. Hal ini pun menyiratkan adanya negosiasi modernitas terhadap kehidupan tradisional kaum pribumi. Loomba (2003: 87) menegaskan bahwa produksi pengetahuan kolonialis dilakukan dengan pemarginalan sistem-sistem pengetahuan dan keyakinan pihak yang ditaklukkan atau juga melalui negosiasi atas gagasan-gagasan pribumi. Untuk mengungkap keberakaran dari sistem-sistem pengetahuan “modern” dalam praktik-praktik kolonial, kita harus memulai proses yang disebut Raymond Williams (dalam Loomba, 2003: 87) sebagai proses “pencuci-belajaran” (unlearning) dengan mempertanyakan kebenaran-kebenaran yang kita terima. Wacana-wacana utama menyangkut nilai-nilai modernitas dalam RdM dapat dianggap sebagai proyek kolonialis dalam menggunakan pengetahuan lokal sekaligus menerapkan gagasan-gagasan Barat kepada kaum pribumi sebagai pihak terjajahnya. Dengan demikian, riset ini berupaya untuk mengungkapnilai-nilai modernitas dalam pembelajaran sastrapada buku RdM yang mampu membentuk kesadaran modernitas bagi murid-murid kaum pribumi. Metode riset ini adalah metode eksploratif dengan berfokus kepada pembongkaran teks dengan mempertimbangkan hubungan-hubungan di dalamnya menyangkut kekuasaan kolonial. Teks yang dimaksud adalah lahan berharga yang perlu dijejak untuk mengungkap bagaimana identitas dibentuk atau diciptakan melalui ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah-sekolah bagi kaum pribumi.
Kata kunci: pembelajaran sastra, bacaan anak, kolonial
PENDAHULUAN
Roesdi djeung Misnem(RdM) adalah salah satu buku bacaan (leesboek) yang
ditujukan bagi para murid sekolah dasar di ‘Sakola Soenda’ – sekolah yang menjadikan
bahasa Sunda sebagai bahasa pengantarnya. Seperti dikatakan penulisnya, RdM bacaan
persiapan untuk melanjutkan bacaan di sekolah rendah dan di sekolah-sakolah desa.
Sebagai sebuah buku bacaan murid sekolah dasar, RdM lebih menekankan pada fungsi
menggugah anak-anak agar gemar membaca dan menghayati bacaan tersebut. Buku ini
banyak diisi oleh petuah ke arah perilaku yang baik.RdM adalah salah satu realisasi dari
kebijakan pendidikan pemerintah colonial pada awal abad ke-20.RdM ditulis oleh A.C.
Deenik dan R. Djajadiredja. Buku ini juga disertai dengan ilustrasi karya W.K. de Bruin dan
terdiri atas 4 jilid. Buku tersebut tercatat terbit di Den Haag pada 1930 dengan terbitan
pertama pada sekitar tahun 1911.
Dalam keempat jilid buku tersebut diceritakan serba-serbi kehidupan sehari-hari
kakak beradik Rusdi dan Misnem, yang diselingi dengan berbagai cerita singkat,dongeng,
gambaran kehidupan di tempat-tempat yang jauh, dsb., tak ubahnya dengan rangkaian
cerita bersambung yang dituturkan dari sudut pandang orang ketiga. Secara keseluruhan,
alur penceritaan buku ini sejalan dengan perkembangan diri Rusdi sebagai protagonisnya,
mulai dari masa prasekolah di kampung hingga memasukimasa sekolah di kota yang
sebagian besar menunjukkan bagaimana pengetahuan modern diperkenalkan melalui tokoh
anak-anak dalam lingkungan tradisionalnya.
Pengetahuan yang dibawa kaum kolonialis di negeri jajahannya mengusung spirit
modernitas yang mengacu kepada bentuk kehidupan sosial atau organisasi yang muncul di
eropa pada kira-kira abad ke-17 dan sesudahnya dan yang pada gilirannya menancapkan
pengaruhnya ke seluruh dunia (Giddens, 2005: 1).
Pembicaraan mengenai modernitas juga menyangkut dimensi institusionalnya, yakni
kapitalisme dan industrialisme. Kapitalisme adalah sistem produksi komoditas yang
terpusat pada relasi antara kepemilikan modal pribadi dan pekerja upahan yang tidak
menguasai hak milik, relasi ini membentuk poros utama sistem kelas. Sedangkan
industrialisasi adalah pemakaian sumber-sumber kekuasaan material yang tak berjiwa
dalam produksi barang, yang dipadukan dengan peran sentral mesin dalam proses
produksi. Kondisi ini memunculkan masyarakat yang dikenali sebagai masyarakat kapitalis
sebagai suatu subtipe khas dalam masyarakat modern secara umum. Menurut Giddens
(2005: 83), ada tiga hal yang menjadi pangkal dari dinamisme modernitas, yakni penjarakan
ruang dan waktu, pemisahan, dan refleksivitas. Mereka terlibat dan dikondisikan oleh
dimensi institusional modernitas.
Giddens (2005) menyarankan untuk menelaah karakter-karakter modernitas, agar
ciri utama modernitas dapat tampil sebagai pembicaraan utama dalam kajian-kajian
mengenai modernitas. Bagi Giddens, diskusi mengenai tema keamanan versus bahaya dan
kepercayaan versus risiko menjadi penting untuk menyingkap fenomena modernitas yang
memiliki dua ujung, yakni optimisme-optimisme dan ironi-ironinya. Penelaahan ini
tentunya tanpa melepaskan pembicaraan mengenai tiga sumber dinamisme modernitas.
Dalam kondisi modernitas, level penjarakan ruang dan waktu semakin lebar (Giddens,
2005: 19). Sistem-sistem sosial biasa terikat pada ruang dan waktu. Ruang dan waktu ditata
sedemikian rupa untuk menghubungkan kehadiran dan kemangkiran. Penting untuk
memahami hubungan erat antara modernitas dengan transformasi ruang dan waktu.
Dalam masyarakat pramodern, ruang dan waktu adalah sesuatu yang, hampir selalu,
terikat. Mengatakan waktu pada suatu hari biasanya sekaligus mengacu pada tanda-tanda
sosio-spasial. Waktu masih dikaitkan dengan ruang (dan tempat). Kerangka kerja
konseptual penjarakan ruang-waktu mengarahkan perhatian kita kepada relasi kompleks
antara keterlibatan lokal (situasi yang menghadirkan kedua pihak) dan interaksi lintas jarak
(hubungan kehadiran dan kemangkiran)
Modernitas mengadakan pemisahan ruang dan waktu. Pemisahan ini menjadi krusial
bagi dinamisme modernitas karena ini adalah syarat utama pemisahan. Pemisahan ruang
dan waktu dan pembentukan mereka menjadi dimensi kosong yang terstandarisasi
memotong hubungan antara aktivitas sosial dengan “penyatuan” mereka pada ciri khas
konteks kehadiran. Fenomena ini membuka berbagai kemungkinan perubahan dengan cara
membebaskan diri dari segala kekangan perilaku dan praktik pada level lokal.
Selanjutnya, pemisahan ruang dan waktu menjadi penting bagi modernitas karena
pemisahan ini menyediakan sejumlah mekanisme penghubung ciri organisasi rasional.
Pemisahan ruang dan waktu ini membuka kemungkinan historisitas radikal. Sistem
penanggalan standar menyediakan penjelasan tentang masa lalu yang satu, meski dalam
sejarah tersebut bisa terjadi interpretasi yang saling berlawanan. Pemetaan bola dunia,
yang kini diterima apa adanya, telah juga menjadikan masa lalu sebagai masa lalu yang
melanglang buana. Modernitas telah mengombinasi ulang ruang dan waktu untuk
membentuk kerangka kerja bagi tindakan dan pengalaman.
RdM memang bukan satu-satunya dan bukan pula buku bacaan bagi murid sekolah
dasar berbahasa Sunda yang pertama terbit. Akan tetapi buku ini menjadi menarik untuk
dibicarakan, karena buku ini, bisa dikatakan, buku bacaan yang cukup popular bila
dibandingkan buku sejenis yang mendahului atau yang mengikutinya. Alasan lainnya,
penokohan, alur cerita, pola dasar buku ini sepertinya menjadi ‘model’ bagi buku bacaan
berbahasa Sunda yang terbit kemudian.
Dalam kepentingan menelusuri nilai modernitas dalam naskah literer, membaca RdM
menjadi penting untuk memperoleh gambaran bagaimana melalui buku bacaan,
modernitas berusaha dirasukkan pada kehidupan seluruh masyarakat yang dapat
mengakses pendidikan kolonial – karena RdM nampaknya adalah buku bacaan yang
ditujukan bagi murid-murid yang berasal dari keluarga rakyat jelata. Dengan demikian,
dapat diasumsikan bahwa nilai-nilai modernitas tidak hanya (harus) diadopsi oleh golongan
menak semata, nilai-nilai modernitas, kemungkinan dicitrakan tampak pula dalam
kehidupan sehari-hari rakyat jelata.
Seluruh peristiwa di dalam RdM tidak terpisah dari wacana lokalitas sekaligus
menyediakan ruang-ruang pengetahuan-pengetahuan yang dibawa oleh pihak kolonialis.
Namun demikian, melalui penelaahan oposisi biner antara perspektif lokal/tradisional
dengan modern, kedua perspektif tersebut tidak selalu tampak tegas pembedanya
sehingga gagasan-gagasan modernitas masih perlu dijejaki melalui bagian-bagian yang
berada di wilayah arsiran atau peleburan kedua perspektif tersebut. Kondisi demikian
menegaskan bahwa produksi pengetahuan kolonialis yang memarginalkan sistem-sistem
pengetahuan dan keyakinan pihak yang ditaklukan akan ditemukan dalam bentuk negasi
di mana perspektif pengetahuan kolonialis lebih ditonjolkan atau mendominasi teks.
Artinya, di dalam teks RdM ditemukan secara tegas adanya perspektif modernitas yang
dapat dijejak melalui keseluruhan tanda-tanda utamanya. Adapun bentuk-bentuk
negosiasi atau bahkan pemanfaatan perspektif lokal/tradisional pribumi mengarahkan
pengetahuan kolonialis menjadi bagian yang menempatkan teks tertentu dalam RdM
sebagai wujud kesepakatan atau persetujuan pihak kolonialis, dalam batas-batas
tertentu, yang dianggap masih berkontribusi kepada harapan-harapan kaum kolonialis
menyangkut kekuasaannya.
Terdapat penanda utama menyangkut modernitas dalam RdM yang menunjukkan
adanya oposisi biner di mana perspektif lokal/tradisional dinegasi oleh perspektif modern
terutama melalui pengetahuan modern. Penanda utama yang dimaksud adalah
menyangkut rasionalitas. Penanda tersebut setidaknya diturunkan ke dalam 3 hubungan
oposisi biner: (1) mitos-rasio, (2) penyatuan-keberjarakan, dan (3) keberuntungan-resiko,
Di dalam subbab berikut dideskripsikan oposisi biner sebagai penunjukkan adanya
kehadiran dua perspektif yang mengusung realitas lokal/tradisional dan modern.
MITOS-RASIO
Mitos-rasio merupakan dua perspektif yang kesadaran pribumi atas fenomena-
fenomena alam dan peristiwa fisik lainnya dinegosiasi ke dalam pertimbangan rasio.
Melalui narator, pada cerita pembaca diajak untuk mempertimbangkan sebuah
kepercayaan masyarakat pribumi. Dalam cerita Imahna, pembaca dihadapkan kepada
sebuah pilihan ketika narator mempertimbangkan mengenai kemurungan yang dialami
seekor kambing peliharaan Roesdi. Narator mempertanyakan apakah kemurungannya
disebabkan karena kambing tersebut sedih ditinggalkan majikannya, Roesdi, atau
kemurungannya karena lapar. Simak kutipan teks berikut:
Ari itoe, toehnoe di djero, kandangsiDjaloenjaetadombaRoesdi,
pamerebapana.
MindengnakěrdibawaoelinkoeRoesdisartasokditoempakansakapeungma
h, bariboentoetnadibebetotkoeMisněm.
AjeunasiDjaloetehsemoesoesaheunpisan,
sababdoenoengananaeuweuh, atawahajangeunnjatoe, kitoe?
(RdM I: 12-13)
Kalauitu yang di bagianbelakang,
kandangsiDjaloeyaitudombaRoesdi, pemberianbapaknya.
SeringsekalidibawabermainolehRoesdisertakadang-
kadangditunggangisambilekornyaditarik-tarikolehMisnem.
Sekarang si Djaloe tampak sangat murung, karena majikannya tidak ada ataukah ia ingin makan?
Pertimbangan narator tersebut tidak secara tegas menegasi kepercayaan
masyarakat pribumi yang dianggap intuitif, tetapi memberi ruang bagi pembaca untuk
menafsir ulang kepercayaan yang dimaksud untuk sampai di sebuah persetujuan bahwa
kemurungan seekor kambing adalah karena lapar. Kondisi tersebut dalam pengetahuan
modern dianggap sebagai alasan yang paling rasional dibandingkan dengan dugaan-
dugaan intuitif yang akal budi tidak mampu menjangkaunya menentukan apakah domba
tersebut benar-benar sedih karena ditinggalkan majikannya. Perbedaan perspektif ini
tentu saja berada dalam maksud negosiatif di mana masyarakat pembaca (murid-murid
Sunda) dipastikan berada dalam kedekatannya dengan aturan atau karakter tradisional
yang salah satunya memiliki potensi yang wajar menyangkut sikap empati terhadap
sesama makhluk Tuhan, termasuk kepada binatang. Maksud negosiatif tersebut
diekspresikan di dalam teks tidak berada dalam kapasitas menegasi langsung realitas
kepercayaan masyarakat Sunda, tetapi dengan menyajikan perspektif lain yang teks
tersebut mengajak pembacanya untuk mempertimbangkan perspektif lain sebagai
kemungkinan yang bisa diterima.
Pemberian ruang tafsir bagi pembaca tetapi sekaligus mengarahkan juga
perspektif pengetahuan modern dalam konteks rasional ditunjukkan pula dalam cerita
Kahoeroean. Di dalamnya ditunjukkan peristiwa yang digunakan sebagai alasan logis atau
sekedar mitos. Peristiwa yang dimaksud adalah kebakaran yang diatasi dengan air dan
kebakaran yang diatasi dengan “benda pusaka” dan jampi-jampi. Pada akhir cerita,
narator mempertanyakan padamnya api pada peristiwa kebakaran tersebut, apakah
karena disiram air atau hanya melalui “benda pusaka” dan jampi-jampi. Simak kutipan
peristiwa yang dimaksud:
Djĕlĕma-djelĕma, aja noe ngĕprakan koe gantar, ngaloeng-ngaloengkeun gĕbog kana seuneu djeung ngabandjoeran koe tjai tina lodong.
Di soehoenan-soehoenan imah reuteum noe marawa eunteung djeung kĕris, ditodjokeun kana seuneu. Anoe sawareh deui toembak diatjoeng-atjoengkeun. Pokna jelĕma jelĕma eta teh panjinglar seuneu.
Keur sakitoe riboetna kabĕnĕran gĕr deui hoedjan lewih gĕde batan tadi.
Seuneu noe ngoentab tea ngadak-ngadak pĕs pareum. Noe naroeloengan toeloej baralik ka saimah-imahna. ...
Tjik, baroedak, mana noe panghadena baris mareuman kahoeroean teh, koe tjai, atawa koe eunteung, atawa koe kĕris djeung panjinglar noe sedjen?
(RdM I: 32-33)
Orang-orang sibuk memukulkan galah, melemparkan batang
pisang ke api serta menyiramkan air dari lodong ‘ruas bambu
penampunga air’
Di atap-atap rumah berjajar orang yang membawa cermin dan keris, diarahkan ke api. Sebagian lagi ada yang mengacung-acungkan tombak. Orang-orang menyebutnya sebagai penangkal api.
Saat api berkecamuk, kebetulan hujan turun lebih besar dari yang tadi.
Api yang berkobar tiba-tiba padam. Orang-orang yang membantu memadamkan api pulang ke rumahnya masing-masing
...
Coba pikirkan, anak-anak, jalan terbaik untuk memadamkan api
apakah dengan air atau dengan cermin atau dengan keris dan jampi-
jampi penangkal yang lainnya?
Sama halnya dengan cerita Imahna, pada cerita Kahoeroen, pembaca diajak untuk
mempertimbangkan peristiwa di dalamnya secara rasional. Kepercayaan masyarakat
akan hal-hal mistis, termasuk kelekatan mereka dengan penggunaan perangkat mistis
seperti keris untuk kepentingan tertentu, ditempatkan di dalam cerita tersebut sebagai
jalan untuk menghadirkan kembali perspektif rasional dalam memahami sebuah
peristiwa kebakaran. Pada cerita Imahna, pembaca secara tidak langsung diajak untuk
mempertimbangkan dua perspektif yang berbeda: pembedayaan empati untuk turut
merasakan merasakan dan pembedayaan logika untuk memahami sebuah peristiwa
kemurungan. Pada cerita Kahoeroean, pembaca disapa langsung oleh narator untuk
mempertimbangkan jalan terbaik mengatasi kebakaran. Berdasarkan pemilihan
peristiwa, cerita Kahoeroean lebih mengarahkan pembaca untuk menghubungkan
langsung dengan peristiwa paling potensial sebagai alasan padamnya api dalam peristiwa
kebakaran tersebut.
Pada dua cerita Dongeng Paman dan Boehaja memiliki keruntutan dalam
menyajikan perspektif rasional. Di cerita pertama, resiko bahaya dalam alam liar di mana
buaya menjadi ancaman utama masyarakat sekitar sungai ditunjukkan secara lugas. Simak
kutipan peristiwa dalam cerita Dongéng Paman:
“Taoen katoekang ĕmang njaba ka pakidoelan tanah Priangan, waktoe njiar barang dagangan. Dina hidji poe nĕpi ka sisi waloengan noe rea boehajana. Sawareh ngadarakom marojan dina keusik. Sawareh aja noe teuteuleuman, ngan katembong goebar-geborna bae. Harita ĕmang teu wani deukeut ka sisi tjai, da sieun koe sakadang-sakadang noe sakitoe gĕdena, nĕpi ka rek nintjak sasak oge teu wani, da sieun dioedag.
Keur waktoe ĕmang leumpang, di beulah girang aja awewe ngelek boboko kasisi tjai. Koe ĕmang teu digeureuh-geureuh, da mana kitoe oge biasana, teu sieun koe boehaja. Eta awewe tea gog nagog dina batoe bari ngisikan. Sihoreng gigireun batoe aja boehaja gĕde pisan, keur galasar goeloesoer mojan. Koe eta awewe tea roepa-roepana teu kanjahoan.
Noe ngisikan tea ongkoh-ongkoh bae. Boehaja tea ti toekangeunana ngadodoho newak soekoena. Barang gĕp digegel, awewe teh gĕgĕroan menta toeloeng. Kabĕnĕran aja boedak noe njahoeun, Toeloej manehna loempat bebedja kakolot-kolot di lemboer eta. djĕlĕma-jĕlĕma ti lemboer ngabroel sapakarangna, rek noeloengan eta awewe tea. Tapi daratangna ĕlat teuing, awewe teh geus teu aja, digusur boehaja ka djero leuwi, ngan kari beasna bae awoer-awoeran loehoereun batoe.
... (RdM I, 40-42)
“Di tahun yang lalu, Paman bepergian ke wilayah selatan Priangan untuk mencari barang dagangan. Suatu hari sampailah di tepi sungai yang banyak buayanya. Sebagian buaya tampak berjemur di pasir, sebagian lagi menyelam, hanya tampak riak dan cipratan-cipratan airnya saja. Saat itu paman tak berani mendekat ke tepi sungai karena takut oleh buaya yang begitu besar, sampai urung melewati jembatan karena takut dikejar buaya.
Saat Paman berjalan, di hulu ada seorang perempuan yang membawa bakul ke tepi sungai. Paman tak melarangnya karena paman sangka perempuan tersebut sudah terbiasa, tak takut buaya. Ia jongkok di atas batu sambil mencuci beras. Ternyata di samping batu ada buaya besar sekali sedang merayap-rayap berjemur. Perempuan tersebut sepertinya tidak mengetahui buaya tersebut.
Ia asyik saja mencuci berasnya. Buaya di belakang mengintai untuk menerkam perempuan itu. Saat kakinya diterkam, perempuan tersebut berteriak meminta tolong. Kebetulan ada anak yang mengetahuinya. Anak tersebut berlari untuk memberitahu orang-orang di kampung. Orang-orang segera menuju tempat itu dengan membawa senjata masing-masing, maksud akan menolong perempuan tersebut. Tetapi mereka terlambar datang. Perempuan tersebut sudah tak tampak, digusur buaya ke dalam palung sungai. Yang tampak hanya berasnya saja yang berceceran di atas batu.
Peristiwa pada kutipan di atas secara tidak langsung beroposisi dengan
pengetahuan para murid saat itu tentang dongeng fabel. Cerita Dongéng Paman tersebut
menjadi penanda utama modernitas di mana pembaca (murid sekolah rakyat)
dihindarkan dari pengalaman-pengalaman lamanya mengenai kedekatan mereka dengan
kisah fabel. Kisah fabel bisanya mengajak pembaca berada dalam perspektif fiksional yang
dominan. Imajinasi-imajinasi di dalamnya secara tidak langsung mampu
mengesampingkan pengetahuan-pengetahuan rasional atas dunia binatang
sesungguhnya karena tujuan cerita lebih diarahkan kepada pemanfaatan binatang
sebagai tokoh yang memiliki sifat-sifat manusia dan sebagai perangkat dalam
menyampaikan pesan-pesan moral. Akan tetapi, dalam cerita Dongéng Paman, bahaya
karena ancaman buaya ditunjukkan secara tegas. Peristiwa kemalangan seorang
perempuan yang dimakan buaya ketika sedang mencuci beras di tepi sungai menegasi
dongeng tentang si kancil atau yang dikenal masyarakat Sunda sebagai cerita Sakadang
Peucang jeung Sakadang Buhaya. Fabel ini mengarahkan sebuah kecerdikan kancil ketika
menegosiasi sang buaya dalam upaya penyelamatan diri. Setidaknya Dongéng Paman
membuka ruang pengetahuan dalam pijakan rasional yang pengandalan kemampuan
instuisi manusia saja belum dianggap cukup bagi sebuah target keselamatan ketika alam
liar menunjukkan secara nyata resiko bahayanya.
Hal tersebut dipertegas dengan cerita lanjutannya dari Dongéng Paman yang
diberi judul Boehaja. Sepadan dengan Dongéng Paman, cerita Boehaja memberi ruang
bagi penolakan kepercayaan akan hal-hal mistis. Cerita ini secara tegas memberi pesan
atas pertanyaan Roesdi kepada pamannya tentang khasiat air mata buaya yang
dianggapnya, berdasarkan kepercayaan masyarakat, bisa dijadikan ajimat. Paman Roesdi
pun dengan tegas menjawab bahwa itu hanya mitos belaka. Cerita ini di dalamnya
melengkapi ilustrasi kisah tambahan yang perlu dipertimbangkan pembacanya. Kisah
yang dimaksud adalah mengenai anak sekolah yang berusaha menarik simpati di
lingkungan sekolahnya agar disayangi gurunya dan teman-temannya. Ia adalah murid
yang malas. Ia mencuri air mata buaya milik ayahnya untuk tujuan yang dimaksud. Tetapi
ia tidak berhasil menarik simpati orang-orang di sekolahnya karena ia tak mampu menjadi
murid yang pandai, termasuk untuk kemampuan hitungan. Di bagian akhir ditunjukkan
kesadarannya bahwa air mata buaya tak mampu menolongnya. Ia pun giat belajar untuk
meraih harapan-harapan prestasinya. Simak kutipan-kutipan peristiwa yang dimaksud:
Na ĕnja tjimata boehaja sok dipake djimat, mang? Tjeuk Roesdi. “Hih, oelah pertjaja” djawab pamanna, “eta mah kaomongan
djĕlĕma bae, da saĕnjana mah hĕnteu. Geura ĕmang rek njaritakeun lalampahan hidji boedak, ngaranna Sardjan.
Manehna sakolana geus doea tahun, tapi kakara kelas hidji, sabab ngĕdoel tara daek ngapalkeun. Koe hal eta, koe goeroe-goeroena sok rĕmĕn diseuseul, malah sakapeung mah disĕtrap.
Eta boedak geus ngadenge bedja, jen bapana boga djimat, tjimata boehaja, khasiatna matak diasih koe sagala djĕlĕma.
Isoek-isoek, waktoe bapana ka tjai djeung indoengna keur ngisikan, karajap manehna ka ĕnggon bapana, bari tjoengas tjingeus, rek njokot djimat.
Sanggeus kapanggih, djoet toeroen ti imah, los ka iskola sarta ngomong di djero atina: “Ah, sageuj, djuragan goeroe teh teu asiheun ajeuna mah ka aing”.
Saĕntasna ditongtrongan, boes asoep ka iskola sarta gek dioek dina bangkoe tĕmpatna. Leungeunna teu reureuh roempoe rampa kana soekoena, da sieun djimatna leungit.
“Sardjan!”, tjeuk goeroena, “koemaha raraban teh, apal?” Sardjan ngabĕtĕm bae, teu lemek teu njarek da geus roemasa teu
ngapalkeun. Goeroena bĕndoe, sarta Sardjan waktoe bĕrĕnti teu meunang bidjil.
Manehna ngomong di djero atina “Beh na mah djimat teh euweuh gawean da ditjarekan mah teu boeroeng.”
Ti waktoe harita kakara eta boedak teh gĕtol sarta teu mangkoek saminggoe katjida nakĕr dipikanjaah koe goeroena.”
(RdM I: 44-46) “Apakah benar bahwa airmata buaya suka digunakan untuk jimat,
Paman?” “Ah, jangan percaya”, jawab pamannya, “itu hanya rumor saja,
sesungguhnya tidak. Baiklah paman akan menceritakan kisah seorang anak bernama Sardjan.”
Ia bersekolah sudah dua tahun tetapi baru duduk di kelas satu sebab malas belajar. Karenanya, guru-guru sering memarahinya, malah kadang-kadang dihukum.
Anak tersebut sudah mendengar kabar bahwa bapaknya memiliki jimat air mata buaya, khasiatnya untuk pekasih.
Pagi-pagi saat bapaknya ke sungai dan ibunya mencuci beras, ia mengendap-endap memasuki kamar bapaknya untuk mengambil jimat.
Setelah ditemukan, ia keluar rumah, pergi ke sekolah serta berbicara dalam hati: “Ah, bersiap-siap, pak guru yang tak menyayangi saya saat ini.”
Saat lonceng berbunyi, ia masuk ke kelas dan duduk di bangkunya. tangannya tak henti-henti meraba sakunya, takut jimatnya hilang.
“Sardjan!”, kata gurunya, “bagaimana perkalian itu, sudah hafal?’ Sardjan diam membisu karena tak menghafal. Gurunya marah, saat istirahat, Sardjan dihukum tak keluar kelas.
Sardjan berbicara dalam hati: “Ternyata jimat ini tak ada khasiatnya karena tetap saja dimarahi guru.”
Semenjak saat itu, ia mulai rajin belajar serta tak genap seminggu ia begitu disayangi gurunya.
Kepercayaan akan kekuatan magis yang terkandung dalam air mata buaya dinegasi
oleh rasio yang menghendaki bahwa bentuk penghargaan orang lain atas diri subjek lebih
disebabkan usaha dan kerja keras dalam meraih prestasi/ kemampuan. Teks yang dikutip
di atas menunjukkan upaya-upaya pengakuan logika modern dan upaya-upaya penolakan
atas kepercayaan tradisional menyangkut mistis.
Kepercayaan terhadap kekuatan mistik tampak pula pada cerita Lais. Di dalam
cerita ini dimunculkan peristiwa pertunjukan lais ‘atraksi akrobatik pada seutas tali yang
dibentangkan’. Sebagian penonton percaya, termasuk Ibu Roesdi bahwa kemampuan
akrobatik pemainnya karena sang pemain memiliki jampi monyet. Kelompok penonton
lainnya menganggap pertunjukan akrobatik tersebut dihasilkan dari proses berlatih.
Narator pun mengumpan kembali masalah tersebut dengan mempertanyakan apakah
benar lais memiliki jampi monyet?
Secara berulang di sejumlah cerita, masalah kepercayaan dinegasi secara langsung
atau tidak langsung dengan pertimbangan rasio. Pengenalan pengetahuan modern
dengan pertimbangan rasio
PENYATUAN-PENJARAKAN
Oposisi biner penyatuan-penjarakan yang dimaksudkan di sini adalah dua
perspektif yang terkait dengan ruang dan waktu dalam perspektif tradisional dan modern.
Penyatuan dalam perspektif tradisional mengarah kepada relasi sosial dalam konteks
lokal pada rentang waktu dan ruang yang terbatas. Adapun penjarakan sebagai
representasi modernitas yang mengandung maksud pembatasan atau bahkan pemisahan
dari konteks lokal pada rentang waktu dan ruang yang tidak terbatas.
Ekspresi-ekspresi penyatuan dalam RdM berpusat pada (1) kehadiran dalam
ruang dan waktu, (2) pengakuan kepada keberuntungan dan kebaikan alam, (3)
spontanitas/alamiah/intuitif, (4) penyatuan/kedekatan emosional: kejujuran, (5)
kerelaan, (6) religius, (7) pengetahuan lokal, dan (8) kelangsungan.
Adapun penjarakan dalam RdM berpusat pada (1) ketakhadiran pada ruang/waktu
secara bersamaan, (2) pengakuan akan resiko, (3) pengaturan dan pertimbangan logis, (4)
keberjarakan emosi: keterbukaan, (5) perencanaan, (6) duniawi, (7) pengetahuan
modern, dan (8) peningkatan produksi
Pada penyatuan dalam RdM, kehadiran tubuh secara fisik berkorelasi langsung
dengan konteks waktu. Artinya, kehadiran subjek dalam ruang/tempat tertentu secara
langsung menunjukkan pula keterhubungan waktu kehadirannya; satu waktu satu ruang
peristiwa. Cerita Semah yang mengisahkan kunjungan Paman Roesdi ke rumah keluarga
Roesdi menunjukkan secara nyata perspektif tersebut. Kondisi tersebut sepadan dengan
cerita Dilongok ku Akina yang mengisahkan kedatangan Kakek Roesdi untuk menjenguk
sekaligus menjemput Roesdi yang akan dibawa ke rumah kakeknya. Di sejumlah cerita
lainnya, penyatuan ruang dan waktu ditunjukkan melalui kehadiran tokoh-tokoh di
dalamnya dalam berbagai peristiwa yang menegaskan bahwa pembicaraan tempat secara
otomatis menyinggung pula perihal waktu yang terikat ke dalamnya atau sebaliknya.
Penunjukkannya dapat diukur melalui pertanyaan: Di mana tokoh berada pasti dengan
sendirinya terhubung pula ke konteks waktu di mana peristiwa yang melibatkan
penyertaan ruang/tempat tersebut terjadi, atau sebaliknya.
Adapun pada cerita Toekang Gambar, Wangkongan Paman Roesdi, dan Di Kebon
Pa Roesdi, mewakili nuansa modernitas di mana ruang dan waktu memiliki pemisahan
atau penjarakan, meski dalam kapasitas yang cukup terbatas. Pemisahan atau penjarakan
yang dimaksud ditandai dengan penghadiran ruang/tempat tertentu untuk kepentingan
pewacanaan kehadiran diri dalam ruang dan waktu riil berkontekstual dengan masa
depan di mana kemampuan menggambar Roesdi terhubung ke dalam harapan orang tua
dan pamannya untuk menyekolahkan Roesdi di sekolah kota. Pada cerita Wangkongan
Paman Roesdi dan Di Kebon Pa Roesdi, perspektif kualitas kota dihadirkan dalam dialog-
dialog menyangkut rencana perlakuan terhadap hasil bumi guna menampung harapan-
harapan menyangkut pengolahan dan hasil usaha. Kota menjadi tumpuan harapan.
Dengan demikian, tempat tersebut menjadi bagian yang dihadirkan sebagai bagian dari
masa depan. Wacana masa depan inilah yang paling tipikal hadir dalam cerita RdM
sebagai representasi modernitas dalam hal ruang dan waktu.
KEBERUNTUNGAN-RISIKO
Pengakuan kepada keberuntungan dan kebaikan alam merupakan penanda
lokal/tradisional di mana subjek di dalamnya yang terikat norma tradisional menyepakati
bahkan tunduk dan berserah terhadap kekuatan atau takdir alam. Adapun pada
perspektif modernitas, kondisi tersebut dinegasi ke dalam bentuk pengakuan akan
adanya resiko. Pada perspektif pertama cerita-cerita dalam RdM mengetengahkan
pengetahuan alamiah tokoh-tokohnya menyangkut alam, aktivitas keseharian, dan
keberlangsungan pengupayaan pemenuhan kebutuhan hidup (lahir bathin) dalam
kapasitas spontanitas, keterbatasan pengaturan diri, keterbatasan mengkontekstualkan
dengan kebersyaratan logis, dan kesadaran atas kebaik alam dan lingkungannya bagi
dirinya. Keterbatasan-keterbatasan tersebut menjadi tanda utama bagi subjek-subjek
yang terikat ruang dan waktu secara tradisional.
Pengetahuan terbatas Roesdi dan Misnem (bahkan dalam kepolosannya sebagai
anak-anak) dijadikan jembatan untuk sampai di pengenalan pengetahuan modern.
Kedekatan mereka dengan alam lingkungannya yang alamiah diarahkan kepada
pengenalan-pengenalan pengetahuan baru menyangkut kesehatan, tata ruang modern,
alat produksi modern, pembagian kerja secara gender, kemampuan mengenal resiko atas
suatu tindakan atau perilaku, kemampuan mempertimbangkan atau mengukur untung-
rugi, memprediksi secara logis peristiwa-peristiwa keseharian atau khusus (ritual
modern), dan kemampuan mengantisipasi resiko/bahaya.
Spontanitas dan kealamiahan Subjek-subjek di dalam RdM dipadupadankan
dengan kemunculan upaya-upaya pengaturan, pertimbangan, negosiasi, pemilihan, dan
keputusan yang dianggap logis menurut perspektif modern. Roesdi dan Misnem menjadi
subjek yang akrab dengan alam dan lingkungannya. Akan tetapi, keakraban tersebut tidak
identik dengan pengetahuan yang melekat pada diri subjek tersebut. Pada pengetahuan
modernlah teks RdM menawarkan ruang-ruangnya untuk dikenal dan selanjutnya
dipahami masyarakat pembaca. Pada cerita Imahna, diperkenalkan pemetaan konsep
ruang dalam perspektif modern dalam kapasitas pemerian detail berdasarkan konvensi
modern dalam pembagian ruang (jarak rumah dengan sungai di dekatnya, teras dan
pagar, halaman dengan tanaman hiasnya, pemandian yang diletakkan di belakang rumah,
kandang ternak yang berada di belakang rumah dan berjarak cukup jauh dari rumah, dll.).
Pada cerita tersebut nuansa tradisional masih dipertahankan dengan tidak melenyapkan
alat tradisional seperti lumbung padi dan alunya dalam deskripsinya. Pada cerita
Wangkongan Paman Roesdi dan Di kebon Pa Roesdi intuisi untuk memberdayakan hasil
bumi guna mendapatkan keuntungan menjadi bagian teks yang menandai pengenalan
perihal pencapaian sebuah kemajuan dalam dukungan alat produksi modern dan
pengolahan serta distribusi pemasarannya. Pada cerita Dongéng Paman dan cerita
Boehaja, pengetahuan mengenai fauna menjadi bagian penting dalam membuka
wawasan baru perihal resiko ketika manusia dihadapkan pada kenyataan-kenyataan
alamiah yang tidak sertamerta menawarkan keuntungan saja tetapi juga bahaya yang
berada di dalamnya. Kecelakaan akibat kelalaian ditunjukkan dalam kedua cerita
tersebut. Bencana-bencana alam pun dimunculkan seperti bencana banjir dalam cerita
Tjaah dan kebakaran dalam cerita Kahoeroean. Bencana-bencana tersebut sebagai
resiko-resiko yang harus dihadapi dengan pertimbangan-pertimbangan logisnya.
PENUTUP
RdM adalah bahan penting bagi dunia pendidikan sekarang untuk melihat kembali
bagaimana modernitas diupayakan di dalam kultur tradisional dan bagaimana dunia
pendidikan sekarang harus berupaya secara optimal menerbitkan buku-buku bacaan
berkualitas yang diikat oleh kesadaran penuh menyangkut pentingnya kekuatan identitas
kultural bagi siswa-siswi jenjang pendidikan dasar maupun menengah. Kekuatan identitas
kultural yang dimaksud adalah kemampuan melindungi nilai-nilai lokalitas kultural yang
diwariskan dalam dunia pendidikan nasional. Kekuatan tersebut tentu sangat diperlukan
dalammenghadapi nilai-nilai global yang menjadi tuntutan dan tantangan di masa kini
dan masa mendatang dengan kemampuan bercermin dan belajar kepada pengalaman-
pengalaman pendidikan masa lalu.
Berdasarkan penjejakan nilai-nilai modernitas dalam pembelajaran sastra pada
buku RdM yang mampu membentuk kesadaran modernitas bagi murid-murid kaum
pribumi melalui RdMdisimpulkan:
1. Nilai-nilai modernitas ditunjukkan dalam RdM sebagaimakna modernitas yang
diproduksi dan diperkenalkan kepada kaum pribumi melalui bacaan anak
berdasarkan: (a) pertimbangan logis: pertimbangan pengetahuan modern dan
berpengharapan masa depan, (b) pertimbangan estetik: pertimbangan impresif:
fiksional dalam kualitas realitas yang perlu diterima sebagai pengetahuan baru bagi
kaum pribumi, dan (c) pertimbangan ideologis: pertimbangan kepentingan
kekuasaan: pengetahuan modern sebagai perangkat pembentukan dukungan atas
kekuasaan;
2. nilai-nilai modernitas diperkenalkan kepada kaum pribumi di dalam RdM melalui
penunjukkan oposisi binner. Penanda utamanya adalah penegasian antara nilai-nilai
tradisional oleh nilai-nilai modern. Perbedaan perspektifnya dalam RdM diarahkan
kepada pengenalan pengetahuan modern. Pengenalan nilai-nilai modernitas
diupayakan pula melalui pengolahan pesan teks melalui penonjolan pengetahuan-
pengetahuan modern dalam ruang lokalitas. Penegasan makna modernitas sebagai
upaya lain dalam pengenalan nilai-nilai modernitas ditunjukkan melalui alur
pembentukan pengetahuan modern dimulai dari pengetahuan domestic hingga
kewilayah publik, dari ranah fisik hingga ke mental/kesadaran.
3. Pengenalan nilai-nilai modernitas dilakukan kaum colonial melalui buku bacaan anak
untuk alasan-alasan berikut: (a) buku bacaan anak untuk kaum pribumi sebagai alat
penyaluran ilmu pengetahuan modern yang diproduksi kaum kolonialis, (b) buku
RdM sebagai buku bacaan pendamping dengan menggunakan perspektif imajinatif
dalam mengangkat realitas dijadikan alat untuk menstimulus secara impresif
kesadaran-kesadaran baru kaum pribumi agar bersinergi dengan kepentingan-
kepentingan kekuasaan kaum kolonialis, dan (c) buku RdM sebagai pembentuk
kesukacitaan barukaum pribumi dalam menghimpun dunia imajinasi dan riilnya.
****
DAFTAR PUSTAKA
Alcof, Linda Martin &Mendieta, Eduardo (ed.). 2003.Indentities: Ras, Gender, and
Nasionality. Malden-Melbourne-Berlin: Blackwell Publising.
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: TeoridanPraktik, Yogyakarta: Bentang.
Chernyshevsky, N.G. 2005. HubunganEstetikSenidenganRealitas.
DiterjemahkanolehSamanjayadaribukuThe Aesthetic Relation of Art to Reality.
Bandung: Ultimus.
Deenik, A.C danDajadiredja. -. RoesdidjeungMisnem: Boekoebatjaanpikeun Moerid2 di
SakolaSoenda. JilidKahidji. Dengaag: Rijswijk (Z.H.) Blankwaardt& Schoonhoven.
Giddens, Anthony. 2005. Konsekuensi-KonsekuensiModernitas.
DiterjemahkanNurhadidariBukuThe Consequences of Modernity. Bantul:
KreasiWacana
Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/pascakolonialisme. diterjemahkan Hartono
HadikusumodaribukuColonialism/Postcolonialism. Jogjakarta: BentangBudaya.
Nordholt, Henk Schulte. 2009. “Onafhankelijkheid of Moderniteit?
EenGeillustreerdeHypothese” dalamHet KolonialeBeschavingsoffensief. p: 105-
120. Leiden: KITLV