Download - MODUL4 kel4
SISTEM GEH
LAPORAN DISKUSI TUTORIAL
MODUL KONSTIPASI
Kelompok 4
Tutor : dr. M. Fachri Sp.P
Anggota : Ahmad Abqari (2012730124)
Depy Itasari (2012730122)
Gisni Luthviatul Zachra (2012730128)
Muhammad Firsan (2012730137)
Ilhami Muttaqin (2012730133)
Melisa Ramadhani (2012730139)
Nadhifayanti Fauziah (2012730143)
Riza Alisha Sibua (2012730152)
Syarifah Zahrotulhaj (2010730157)
Andi Silpia Pasdar (2011730122)
Muhammad Kamardi (2011730152)
FAKULTAS KESEHATAN DAN KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
PENDIDIKAN KEDOKTERAN
2013-2014
1
KATA PENGANTAR
Assalammualaikum wr,wb.
Segala puji bagi ALLAH SWT yang telah melimpahkan ilmu dan hikmah kepada kita
semua, sehingga kita dapat menjalankan tugas-tugas dengan baik. Semoga ALLAH berkenan
senatiasa menambahkan ilmu dan iman kita, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas laporan
Sistem GASTROENTEROHEPATOLOGI mengenai skenario Konstipasi.
Pada laporan hasil diskusi kami ini membahas tentang modul KONSTIPASI Setelah
selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang patogenesis,
penyebab, diagnosis kerja, diagnosis banding serta penanganan (kegawatdaruratan dan non
kegawatdaruratan) dan pencegahan dari penyakit dengan keluhan konstipasi ini. Problem base
learning merupakan salah satu metode yang digunakan untuk melatih mahasiswa mampu
berpikir kritis apabila diberikan suatu kasus atau masalah.
Terima kasih kepada dr. M. Fachri Sp.P selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing dan memberikan arahan kepada kelompok empat (4) sehingga berjalan dengan
baik kegiatan diskusi ini. Kami menyadari bahwa laporan kami belum sampai titik
kesempurnaan, karena kesempurnaan hanya milik Allah. Kami mengharapkan saran dan kritik
yang membangun untuk perbaikan laporan kami kedepannya. Terimakasih kepada dosen-dosen
yang telah banyak membantu kami sehingga laporan ini dapat tersusun.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membaca.
Wassalamuallaikum wr,wb.
Jakarta, September 2014
Penulis
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................3
BAB I............................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................4
I.5 Mind map.........................................................................................................................................5
I.6 Pertanyaan.......................................................................................................................................6
3
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Tujuan pembelajaran
Tujuan Instruksional umum (TIU)
Setelah memepelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan
menjelaskan tentang patogenesis, penyebab, diagnostik kerja, diagnosis banding serta
penanganan (kegawatdaruratan dan non-kegawatdaruratan) dan pencegahan dari penyakit
dengan keluhan konstipasi.
I.2 Skenario
Seorang anak laki-laki 5 tahun diantar orang tuanya ke klinik dengan keluhan utama
sudah 3 hari belum buang air besar dan muntah beberapa kali. Beberapa hari terakhir anak
tersebut selalu merasa mual, tidak nafsu makan dan demam terutama dirasakan pada malam
hari. Seminggu sebelumnya anak tersebut pernah BAB dan terdapat cacing pada kotorannya.
Anak tersebut kurus, terlihat lemas dan agak pucat.
I.3 Kata Sulit
Tidak ada kata sulit
I.4 Kata Kunci
• Anak laki-laki umur 5 tahun
• Sudah 3 hari belum BAB dan muntah beberapa kali
• Selalu merasa mual, tidak nafsu makan dan demam terutama pada malam hari
• Seminggu sebelumnya terdapt cacing pada fesesnya
• Anak tersebut kurus, lemas dan terlihat pucat
4
I.5 Mind map
I.6 Pertanyaan
1. Jelaskan definisi dan klasifikasi dan perbedaannya dengan obstipasi?
2. Jelaskan etiologi darn patomekanisme dari konstipasi?
3. Jelaskan fisiologi defekasi dan anatominya?
4. Jelaskan hubungan antar gejala pada skenario?
5. Apakah hubungan keluarnya cacing pada feses dengan KU pada skenario?
6. Jelaskan Alur diagnosis pada skenario?
7. Jelaskan mekanisme mual dan muntah yang disebabkan oleh parasit?
8. Kapankah konstipasi dapat dinyatakan sebagai kegawatdaruratan?
9. DD 1
5
KONSTIPASI DAN OBSTRUKSI
DefinisiKlasifik
asiPatomekani
smeEtiologi
Epidemiologi
Anak laki-laki 5 tahunKeadaan
umum:Kurus Lemas
Agak pucat
3 hari tidak BAB
Muntah beberapa kali
Mual & Anoreksia
Demam malam hari
Di kotoran terdapat cacing
seminggu yll
Anamnesis & Pemfis
DDPemeriksa
an penunjang
Penatalaksanaan
WD
Med&Non Med. Preventif, Promotif, Rehabilitatif
10. DD 2
11. DD3
Nama : Muhammad Kamardi Tutor : dr. M. Fachri Sp.P
NIM : 2011730152
Pertanyaan : 1. Jelaskan definisi dan klasifikasi dan perbedaannya dengan obstipasi?
Definisi Konstipasi
Sembelit (Konstipasi) adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami kesulitan buang air
besar atau jarang buang air besar. Konstipasi akut dimulai secara tiba-tiba dan tampak dengan
jelas.
Konstipasi menahun (kronik), kapan mulainya tidak jelas dan menetap selama beberapa bulan
atau tahun. Konstipasi adalah kondisi di mana feses memiliki konsistensi keras dan sulit
dikeluarkan. Masalah ini umum ditemui pada anak-anak. Buang air besar mungkin disertai rasa
sakit dan menjadi lebih jarang dari biasa.
Dengan demikian frekuensi BAB yang lebih jarang atau konsistensi feses yang sedikit lebih
padat dari biasa tidak selalu harus ditangani sebagai konstipasi. Definisi kontipasi bersifat relatif,
tergantung pada konsistensi tinja, frekuensi buang air besar dan kesulitan keluarnya tinja.
Pada anak normal yang hanya berak setiap 2-3 hari dengan tinja yang lunak tanpa kesulitan,
bukan disebut konstipasi. Konstipasi adalah persepsi gangguan buang air besar berupa
berkurangnya frekuensi buang air besar, sensasi tidak puasnya buang air besar, terdapat rasa
sakit, harus mengejan atau feses keras.
Konstipasi berarti bahwa perjalanan tinja melalui kolon dan rectum mengalami penghambatan
dan biasanya disertai kesulitan defekasi . Disebut konstipasi bila tinja yang keluar jumlahnya
hanya sedikit, keras, kering, dan gerakan usus hanya terjadi kurang dari 3x dalam 1 mnggu.
Kriteria baku untuk menentukan ada tidak nya konstipasi telah ditetapkan, meliputi minimal 2
keluhan dari beberapa keluhan berikut yang di derita penderita minimal 25 % selama minimal 3
bulan : (1) tinja yang keras, (2) mengejan pada saat defekasi, (3) perasaan kurang puas setelah
defekasi, dan (4) defekasi hanya 2 x atau kurang dalam seminggu.
6
Berdasarkan patofisiologis, konstipasi dapat diklasifikasikan menjadi konstipasi akibat kelainan
structural dan konstipasi fungsional. Konstipasi akibat kelainan struktur alat atau gangguan
motilitas yaitu, terjadi melalui proses obstruksi aliran tinja, sedangkan konstipasi fungsional
berhubungan dengan gangguan motilitas kolon atau anorektal. Konstipasi yang dikeluhkan oleh
sebagian besar pasien umumnya merupakan konstipasi fungsional. Pada awalnya beberapa istilah
pernah digunakan untuk menerangkan konstipasi fungsional, seperti retensi tinja fungsional,
konstipasi retentive atau mega kolon psikogenik. Istilah tersebut diberikan karena adanya usaha
anak untuk menahan buang air besar akibat adanya rasa takut untuk berdefekasi. Retensi tinja
fungsional umumnya mempunyai dua puncak kejadian, yaitu pada saat latihan berhajat dan pada
saat anak mulai bersekolah.
Definisi Obstipasi
Obstipasi berasal dari bahasa Latin, Ob berarti in the way = perjalanan, Stipare berarti to
compress = menekan. Secara istilah obstipasi adalah bentuk konstipasi parah dimana biasanya
disebabkan oleh terhalangnya pergerakan feses dalam usus (adanyaobstruksiusus). Gejala antara
obstipasi dan konstipasi sangat mirip dimana terdapat kesukaran mengeluarkan feses (defekasi).
Namun obstipasi dibedakan dari konstipasi berdasarkan penyebabnya ialah dimana konstipasi
disebabkan selain dari obstruksi intestinal sedangkan obstipasi karena adanya obstruksi
intestinal. Gejala obstipasi berupa pengeluaran feses yang keras dalam jangka waktu tiap 3-5
hari, kadang disertai adanya perasaan perut penuh akibat adanya feses atau gas dalam perut.
Sebab dari obstipasi ada 2 yaitu:
1. Obstipasi akibat obstruksi dari intralumen usus meliputi akibat adanya kanker dalam dinding
usus
2. Obstipasi akibat obstruksi dari ekstra lumen usus, biasanya akibat penekanan usus oleh massa
intra abdomen misalnya adanya tumor dalam abdomen yang menekan rectum.
Obstipasi ada dua macam :
1. Obstipasi obstruksi total
7
Memiliki cirri tidak keluarnya feses atau flatus dan pada pemeriksaan colok dubur didapatkan
rectum yang kosong, kecuali jika obstruksi terdapat pada rectum.
2. Obstipasi obstruksi parsial.
Memiliki cirri pasien tidak dapat buang air besar selama beberapa hari tetapi kemudian dapat
mengeluarkan feses disertai gas. Keadaan obstruksi parsial kurang darurat dari pada obstruksi
total.
8
Nama : Melisa Ramadhani Tutor : dr. M. Fachri Sp.P
NIM : 2012730139
Pertanyaan : 2. Jelaskan etiologi darn patomekanisme dari konstipasi?
ETIOLOGI KONSTIPASI PADA ANAK
Konstipasi dapat disebabkan oleh:
1. Kecenderungan alami gerakan usus yang lebih lambat, misalnya pada anak
dengan riwayat feses yang lebih padat dari normal pada minggu-minggu awal
setelah lahir.
2. Nutrisi yang buruk, misalnya yang tinggi lemak hewani dan gula (pencuci mulut,
makanan-makanan manis), serta rendah serat (sayuran, buah-buahan, whole
grains).
3. Beberapa obat dapat menyebabkan konstipasi, misalnya antasid, fenobarbital
(obat kejang), obat pereda nyeri, dan obat batuk yang mengandung kodein.
4. Kebiasaan BAB yang tidak baik, misalnya tidak tersedianya cukup waktu untuk
BAB dengan tuntas.
5. Kurangnya asupan cairan, feses akan lebih keras
karena absorbsi cairan meningkat
6. Kurangnya aktivitas fisik.
7. Adanya kondisi anus yang menyebabkan nyeri, misalnya robekan pada lapisan
mukosa anus (anal fissure). Hal ini seperti lingkaran setan karena mengedan
untuk mengeluarkan feses yang keras dapat menyebabkan terjadinya fissure, dan
nyeri yang disebabkan fissure menyebabkan anak menahan kebutuhan BAB
yang memperparah konstipasi.
Patofisiologi konstipasi fungsional pada anak berhubungan dengan kebiasaan anak
menahan defekasi akibat pengalaman nyeri pada defekasi sebelumnya, biasanya disertai
fissura ani. Pengalaman nyeri berhajat ini menimbulkan penahanan tinja ketika ada hasrat
untuk defekasi. Kebiasaan menahan tinja yang berulang akan meregangkan rektum dan
kemudian kolon sigmoid yang menampung tinja berikutnya. Tinja yang berada di kolon
9
akan terus mengalami reabsorbsi air dan elektrolit dan membentuk skibala. Seluruh proses
akan berulang dengan sendirinya, yaitu tinja yang keras dan besar menjadi lebih sulit
dikeluarkan melalui kanal anus, menimbulkan rasa sakit dan kemudian retensi tinja
selanjutnya
10
Nama : Muhammad Firsan Tutor : dr. M. Fachri Sp.P
NIM : 2012730137
Pertanyaan : 3. Jelaskan fisiologi defekasi dan anatominya?
Jelaskan fisiologi pasase makanan dan defekasi serta anatominya!
JAWABAN :Anatomi saluran cerna
11
Fisiologi saluran cerna dan defekasi
Proses passage makanan di saluran cernaPada sistem pencernaan manusia makanan mengalami proses pencernaan pada saat makanan berada di dalam mulut hingga proses pengeluaran sisa-sisa makanan hasil pencernaan. Berikut ini merupakan proses pencernaan makanan, diantaranya:
1. Ingesti : memasukkan makanan ke dalam tubuh melalui mulut2. Mastikasi : proses mengunyah makanan oleh gigi3. Deglutisi : proses menelan makanan di kerongkongan4. Digesti : proses pengubahan makanan menjadi molekul yang lebih sederhana yang
terjadi di lambung dengan bantuan enzim5. Defekasi : pengeluaran sisa-sisa makanan yang sudah tidak berguna untuk tubuh
melalui anus
Usus halus merupakan saluran yang berbelok-belok dengan lebar 25 mm dan panjang 5 sampai 8 m dan terdapat lipatan yang disebut vili atau jonjot-jonjot usus. Vili ini berfungsi memperluas permukaan usus halus yang berpengaruh terhadap proses penyerapan makanan.
Kolon atau disebut juga dengan usus besar yang memiliki panjang sekitar 1 m, dan terdiri dari kolon transversum, kolon descendes, dan kolon ascendens. Terdapat sekum (Usus buntu) diantara intestinum tenue (Usus halus) dan intestinum crassum (Usus besar). Pada ujung sekum terdapat tonjolan kecil disebut dengan appendiks (Umbai cacing). Dalam keadaan normal, setiap harinya, kolon menerima sekitar 500 mL kimus dari usus halus melalui katup ileosekal dengan waktu yang dibutuhkan 8-15 jam. Oleh karena itu sebagian besar pencernaan berlangsung di usus halus.
Gerakan kontraksi pada kolon disebut kontraksi haustra yang lama interval antara dua kontraksi adalah 30 menit, sedangkan usus halus berkontraksi 9-12 kali dalam semenit. Kontraksi haustra berupa gerakan maju-mundur yang menyebabkan isi kolon terpajan ke mukosa absorptif yang melibatkan pleksus intrinsik. Kontraksi lambat ini pula yang menyebabkan bakterit dapat tumbuh di usus besar.
12
Peningkatan nyata motilitas berupa kontraksi simultan usus besar terjadi 3 sampai 4 kali sehari. Kontraksi ini disebut gerakan massa yang mampu mendorong feses sejauh 1/3 sampai 3/4 dari panjang kolon hingga mencapai bagian distal usus besar, tempat penyimpanan feses. Refleks gastrokolon, yang diperantarai oleh gastrin dari lambung ke kolon dan oleh saraf otonom ekstrinik, terjadi ketika makanan masuk ke lambung dan akan memicu refleks defekasi. Oleh karena itu, sebagian besar prang akan merasakan keinginan untuk buang air besar setelah makan pagi. Hal ini karena refleks tersebut mendorong isi kolon untuk masuk ke rectum sehingga tersedia tempat di dalam usus untuk makanan yang baru dikonsumsi. Selanjutnya, isi usus halus akan didorong ke usus besar melalui refleks gastroileum.
Gerakan massa mendorong isi kolon ke dalam rektum sehingga rektum meregang. Peregangan ini menimbulkan refleks defekasi yang disebabkan oleh aktivasi refleks intrinsik. Refleks intrinsik, lebih tepatnya pleksus mienterikus, menimbulkan gerakan peristaltik sepanjang kolon desendens, sigmoid, dan rectum yang memaksa feses memasuki anus dan membuat sfingter anus berelaksasi. Namun, defekasi dapat dicegah jika sfingter anus eksternus yang berupa otot rangka tetap berkontraksi yang dikontrol secara sadar. Dinding rektum yang semula meregang akan perlahan-lahan melemas dan keinginan untuk buang air besar mereda hingga akhirnya datang gerakan massa berikutnya. Gerakan peristaltis yang dipicu oleh refleks intrinsik yang bersifat lemah. Oleh karena itu, terdapat refleks parasimpatik untuk memperkuatnya. Sinyal dari rektum dilanjutkan terlebih dahulu ke korda spinalis lalu dikirim balik ke kolon, sigmoid, dan rektum melalui nervus pelvis sehingga gerakan peristaltis bersifat kuat. Sinyal defekasi yang memasuki korda spinalis menimbulkan efek lain seperti tarikan nafas yang dalam, penutupan glotis, dan kontraksi abdomen yaang mendorong feses keluar.
Pengubahan sisa makanan menjadi feses. Di dalam usus besar, tidak terjadi proses pencernaan karena ketiadaan enzim pecernaan dan penyerapan yang terjadi lebih rendah daripada usus halus akibat luas permukaan yang lebih sempit. Dalam keadaan normal, kolon menyerap sebagian garam (NaCl) dan H2O. Natrium adalah zat paling aktif diserap, Cl- secara pasif menuruni gradien listrik, dan H2O berpindah melalui osmosis. Melalui penyerapan keduanya maka terbentuk feses yang padat. Sekitar 500 ml bahan masuk ke kolon, 350 ml diserap dan 150 g feses dikeluarkan. Feses ini terdiri dari 100 g H2O dan 50 g bahan padat seperti selulosa, bilirubin, bakteri, dan sejumlah kecil garam. Dengan demikian, produk sisa utama yang dieksresikan melalui feses adalah bilirubin, serta makanan yang pada dasarnya tidak dapat diserap oleh tubuh.
Anatomi dan fungsi sistem Pencernaan
MULUT
Bibir dan pipi: mengatur posisi makanan saat dikunyah.
Gigi : menghancurkan makanan sehingga mudah dicerna secara enzimatis
Lidah : merasa makanan, memposisikan makanan untuk dikunyah gigi, membentuk bolus, mendorong makanan ke pharynx.
13
Kelenjar ludah: sekresi saliva yang terdiri dari air, mukus, amilase (ptialin), Garam (bicarbonat dan phosphat menjaga pH, chlorid mengaktifkan amilase, urea, asam urat), IgA
Pharynx : melanjutkan penelanan dari mulut ke esophagus
Esophagus: sekresi mukus memudahkan menelan
REFLEKS SALIVA
Refleks terkondisi: membayangkan, melihat, mencium makanan → korteks serebri →Pusat salivasi medula → neuron parasimpatik → kel. Saliva →sekresi saliva
Refleks tak terkondisi : makanan dalam mulut, rangsangan lain → reseptor mulut dan lidah → Pusat saliva medula → dan seterusnya idem
Mekanisme menelan
Menelan adalah mekanisme yang kompleks, terutama karena faring pada hampir setiap saat melakukan fungsi lain di samping menelan dan hanya diubah dalam bebrapa detik ke dalam traktus digestivus utnuk mendorong makanan.
Yang terutama penting adalah bahwa respirasi tidak terganggu akibat menelan. Menelan merupakan rangkaian gerakan otot yang sangat terkoordinasi, mulai dari pergerakan volunteer lidah dan dilanjutkan serangkaian refleks dalam faring dan esophagus. Bagian aferen lengkung refleks ini merupakan serabut-serabut yang terdapat dalam saraf V, IX dan X. Pusat menelan (deglutisi) ada di medulla oblongata. Di bawah koordinasi pusat ini, impuls-impuls berjalan ke luar dalam rangkaian waktu yang sempurna melalui saraf cranial V,X dan XII menuju ke otot-otot lidah, faring, laring dan esophagus.
Pada umumnya menelan dapat dibagi menjadi :
1. Tahap volunter, yang mencetuskan proses menelan2. Tahap faringeal, yang bersifat involunter dan membantu jalannya makanan melalui
faring kedalam esofagus3. Tahap esofageal, fase involunter lain yang mempermudah jalannya makanan dari faring
ke lambung.
Seluruh tahap faringeal dari penelanan terjadi dalam waktu kurang dari 2 detik, dengan demikian mengganggu respirasi hanya sekejap saja dalam siklus respirasi yang biasa. Pusat menelan secara
14
khusus menghambat pusat respirasi medula selama waktu ini, menghentikan pernapasan pada titik tertentu dalam siklusnya untuk memungkinkan berlangsungnya penelanan.
Proses berbicara tidak hanya melibatkan system pernapasan saja tetapi juga (1) pusat pengatur saraf bicara spesifik dalam korteks cerebri (2) pusat pengatur pernapasan di otak (3) struktur artikulasi dan resonansi pada rongga mulut dan hidung. Berbicara diatur oleh 2 fungsi mekanis (1) fonasi, yang dilakukan oleh laring dan (2) artikulasi yang dilakukan oleh struktur pada mulut.
Fonasi
laring khususnya berperan sebagai penggetar (vibrator). Elemen yang bergetar adalah pita suara, yang umumnya disebut tali suara. Selama pernapasan normal, pita akan terbuka lebar sehingga aliran udara mudah lewat. Selama fonasi, pita menutup bersama-sama sehingga aliran udara di antara mereka akan menghasilkan getaran.
Bila proses menelan dan bersuara terjadi bersamaan, dimana proses respirasi dan menelan pada tahap faringeal terjadi dalam waktu yang sama, dapat menyebabkan masuknya makanan/minuman ke saluran pernapasan.
Bronkhus dan trachea sedemikian sensitifnya terhadap sentuhan halus, sehingga benda asing dalam jumlah berapapun atau penyebab iritasi lainnya akan menimbulkan refleks batuk. Laring dan karina (tempat percabangan trachea) adalah yang paling sensitive, dan bronkhiolus terminalis dan bahkan alveoli bersifat sensitive terhadap rangsang kimia yang korosif. Impuls aferen yang berasal dari saluran napas terutama berjalan melalui n. vagus ke medulla dan terjadilah refleks batuk.
Inhibisi pernapasan dan penutupan glottis merupakan bagian dari refleks menelan. Menelan sulit atau tidak dapat dilakukan apabila mulut terbuka. Seorang dewasa normal sering menelan selama makan juga di antara makan. Jumlah total menelan perhari sekitar 600 kali = 200 kali sewaktu makan dan minum, 350 kali sewaktu terjaga tanpa makan dan 50 kali sewaktu tidur.
Apabila inhibisi pernapasan tidak ada dan atau glottis tidak menutup atau tidak menutup sempurna selama proses menelan, maka akan terjadi refleks tersedak. Hal ini penting untuk melindungi selama pernapasan dari bolus dan bahan-bahan lainnya yang seharusnya melalui saluran pencernaan. Tersedak dapat terjadi antara lain saat makan sambil berbicara, makan terlalu cepat, dll.
Fungsi Motorik Lambung
Menyimpan Mengaduk : gelombang konstriktor peristaltik lemah menuju antrum per 20 detik Mencerna : enzimatis
15
Absorbsi: sangat sedikit, yaitu substansi sangat larut lemak seperti alkohol, obat-obat tertentu (aspirin) tapi secara umum absorbsi belum terjadi
Pengosongan lambung
Sekresi Lambung
Mukus: pelumas dan menjaga mukosa Gastrin : merangsang pembentukan HCl dan pepsin HCl
membunuh kuman, melarutkan mineral, membantu perubahan pepsinogen menjadi pepsin
pepsin : mencerna protein lipase : mencerna lemak intrinsik faktor
membantu penyerapan Vit B12 untuk pembentukan eritrosit
Pengaturan Sekresi Lambung
1. Fase sefalik : sekresi terjadi bahkan sebelum makanan sampai lambung. Makin kuat nafsu makan makin banyak sekresinya
2. Fase Gastrik
Rangsang regangan dinding lambung dan kimiawi makanan merangsang nukleus motorik
dorsalis vagus dan sekresi gastrin
Kimiawi khusus merangsang gastrin : sekretagogue, alkohol, kafein
Rangsang vagus: sekresi pepsin, gastrin dan asam
Rangsang gastrin: meningkatkan sekresi asam lambung dan pepsin
Fase intestinal: keberadaan makanan pada bagian usus kecil merangsang sejumlah kecil gastrin
Pengosongan Lambung
Dirangsang oleh: n.vagus, penuruna simpatis, alkohol, kafein, protein yang tercerna sebagian, distensi dinding lambung →peningkatan kontraksi pompa pilorus → penurunan resistensi spingter pilorus → peningkatan pengosongan lambung
16
Dihambat oleh Penurunan vagus, peningkatan simpatis, distensi duodenum, adanya lemak, antikolinergik gastrointestinal, antasid, belladona →perlehahan kontraksi pompa pilorus → peningkatan resistensi sfingter pilorus →penurunan pengosongan lambung
Pergerakan Usus
Kontraksi mencampur: regangan satu bagian akan menyebabkan kontraksi konsentris. Panjang kontraksi 1 cm (segmentasi). Kontraksi segmen memotong chyme
Gerakan mendorong; gerakan segmentasi bendorong chyme ke tatub ileosekal dan mendorong melewati katub tsb
Fungsi katub ileosekal: mencegah kembalinya fecal dari kolon ke usus halus
Sekresi dan Pencernaan di Usus kecil
1. Sekresi:
peptidase, maltase, lactase, sukrase, amilase, lipase, garam, air, mukus , hormon kolesistokinin, GIP, sekretinPencernaan enzimatis oleh enzim dari sekresi usus sendiri juga menerima sekresi dari pankreas (tripsin, kimotripsin, amilase, lipase, nuklease, carboxypeptidase, mukus) liver (empedu, bicarbonat)
2. Bicarbonat dari pankreas dan liver menetralkan asam lambung3. Empedu mengubah lemak menjadi terlarut dalam air (water soluble)4. Kolesistokinin : merangsang sekresi amilase pankreas dan kontraksi kantong empedu5. Sekretin : merangsang sekresi bikarbonat pankreas
Absorbsi Usus
1. Asam amino: masuk p. darah dengan transport aktif2. Glukosa, gal;aktosa, fruktosa : masuk p. darah dengan transport aktif3. Lemak
60-70 % dalam emulsi dengan garam empedu, diabsorsi dalam bentuk asam lemak dan gliserol masuk ke dalam duktus limfatik
Absorbsi mineral di usus
1. Bicarbonat: diabsorsi oleh sel mucosal ketika kadar dalam lumen yang tinggi, dan disekresi dalam lumen ketika kadarnya tinggi dalam darah
2. Calcium: diabsorbsi secara transport aktif dengan stimulus Vit D3. Chlorid: dengan difusi pasif mengikuti ion natrium4. Copper: Transport aktif
17
5. Besi
Transport aktif. Dipercepat oleh Vit.C. disimpan sementara di sel usus sebelum ke plasma.Disimpan di hepar dalam bentuk feritin.
6. Phosphat: seluruh bagian intestin. Secara aktif dan pasif.7. Kalium: Difusi pasif dan aktif8. Natrium : difusi pasif dan aktif
Pengaturan sekresi pankreas
Asam lambung melepaskan sekretin dari duodenum →peningkatan cairan pankreas dan bikarbonat
Lemak dan makanan lain merangsang pelepasan kolesistokinin →peningkatan sekresi Rangsang Vagus →peningkatan sekresi enzim
Garam Empedu
Dibuat di hepar 0,5 g per hari. Kolesterol (prekursor) →asam kolik, dikombinasi dengan glisin dan taurin →gliko/
tauro-asam empedu Fungsi emulsifikasi lemak dan membantu absorbsi lemak, mono gliserid, kolesterol, dan
lipid lain Tidak ada garan empedu :40 % lemak tak diabsorbsi →menurunkan vitamin larut lemak 94% empedu diabsorbsi dan digunakan kembali
Komposisi empedu
Air 97,5 (%)
Garam empedu 1,1
Bilirubin 0,04
Kolesterol 0,1
Asam lemak 0,12
Lesitin 0,04
Mineral: Na, K, Ca, Cl, HCO3
Pengaturan sekresi empedu
Sekretin sedikit merangsang hepar.
18
Disimpan dan dikonsentrasikan sampai 12 kali di kantong empedu
Rangsang vagus: kontraksi lemah kantong empedu
Kolesistokinin menyebabkan kontraksi kandung empedu dan relaksasi kantong empedu
Pengaturan sekresi usus halus
Rangsang setempat: berupa taktil oleh kimus(utama) dan iritasi
Pengaturan hormonal : sekretin dan Kolesistokinin
Efek toksin kolera
meningkatkan kecepatan sekresi ion Cl dan diikuti sekresi cairan, terutana di jejunum
Hari pertama kolera dapat mengeluarkan 15 L cairan diare.
Toksin bacilus colon dan desentri meningkatkan sekresi cairan dengan cara sama
Respon rangsang selain hipersekresi juga terjadi hiperperistaltik
USUS BESAR
Sekresi : mukus Aktifitas pencernaan tidak ada Absorbsi KH, protein, lemak, telah selesai. Absorbsi terjadi untuk air, elektrolit, dan
vitamin. Glukosa dan obat dapat diabsorbsi jika diberikan melalui rektum Iritasi akan mengakibatkan peningkatan sekresi air dan elektrolit
Pergerakan kolon
Gerakan mencampur dan mendorong Kontraksi sfingter ani internus menghalangi rangsangan feses ke anus secara terus
menerus Sfingter ani eksternus dipersarafi n pudendus (saraf somatik) volumter Refleks defekasi terjasi oleh rangsang regang feses menimbulkan gelombang peristaltik
kolon dan rektum memaksa feses menuju anus.
Penyerapan air dan elektrolit
Setiap hari usus halus terisi sekitar 2000 ml cairan dari makanan dan minuman, 7000 ml sekresi dari mukosa saluran cerna dan kelenjar-kelenjar yang berkaitan. 98% cairan diabsorbsi. Cairan yang diekskresi melalui feces adalah 200 ml. Hanya sejumlah kecil air bergerak melalui mukosa lambung, tetapi air bergerak dalam 2 arah melalui mukosa usus halus dan usus besar sebagai respon terhadap perbedaan osmotik.
19
Sebagian natrium berdifusi ke dalam atau ke luar usus halus tergantung pada beda konsentrasi. Oleh karena membran luminal eritrosit dalam usus halus dan kolon permeabel terhadap natrium dan membran basolateralnya mengandung Na, K ATP ase, Na juga diserap secara aktif sepanjang usus halus dan usus besar.
Di dalam usus halus, transport aktif sekunder Na penting untuk penyerapan glukosa , beberapa asam amino, dan zat-zat lain.Adanya glukosa di dalam usus akan mempermudah penyerapan kembali Na. Hal ini merupakan dasar fisiologis untuk pengobatan kehilangan Na dan air pada diare dengan pemberian larutan yang mengandungNaCl dan glukosa
Refleks lapar :
Istilah “lapar” berarti keinginan terhadap makanan, dan berkaitan dengan sejumlah perasaan obyektif. Misalnya, pada seseorang yang tidak makan selama berjam-jam, lambung mengalami kontraksi berirama yang kuat yang di sebut kontraksi lapar. Kontraksi ini menyebabkan rasa penuh atau perih di ulu hati dan kadang-kadang menyebabkan nyeri yang di sebut sebagai perih perut karena lapar (hunger pangs).
Faktor yang mempengaruhi jumlah asupan makanan :
1. Pengaturan energi (pengaturan jangka panjang, berkaitan dengan cadangan makanan dalam tubuh, kadar glukosa, asam amino dan lemak tubuh), yang berhubungan terutama dengan pemeliharaan jangka panjang jumlah normal energi yang disimpan dalam tubuh. Jika cadangan energi tubuh jauh di bawah normal, maka pusat makan dipothalamus dan daerah lain di otak menjadi sangat aktif, dan orang tersebut memperlihatkan rasa lapar yang menigkat demikian juga dengan mencari makanan; sebaliknya jika cadangan energi (teritama cadangan lemak) sudah berlimpah, maka orang tersebut akan kehilangan rasa lapar dan menjadi kenyang.
2. Pengaturan pencernaan (pengaturan jangka pendek) yang berhubungan terutama dengan mencegah kelebihan makan pada setiap waktu makan, sehingga mekanisme pencernaan dan absorpsinya dapat bekerja pada kecepatan optimal dan tidak menjadi terlalu berat secara periodik. Dipengaruhi oleh peregangan dan pengkerutan saluran cerna/lambung, hormone saluran cerna gastrin dan kolesistokinin
3. Suhu4. Palatabilitas (cita rasa)5. Psikis
Refleks haus :
Asupan cairan diatur oleh mekanisme rasa haus, yang bersama dengan mekanisme osmoreseptor-ADH, mempertahankan kontrol osmolaritas cairan ekstra seluler dan konsentrasi natrium dengan tepat. Pusat rasa haus berada di sepanjang dinding anteroventral dari ventrikel ketiga (yang juga meningkatkan pelepasan ADH) dan di anterolateral dari nukleus preoptik.
20
Pengaturan rasa haus
Peningkatan rasa haus Penurunan rasa haus
Peningkatan osmolalitas Penurunan osmolalitas
Penurunan volume darah Peningkatan volume darah
penurunan tekanan darah Peningkatan tekanan darah
Peningkatan angiotensin II Penurunan angiotensin II
Kekeringan mulut Distensi lambung
21
Nama : Gisni Luthviatul Zachra Tutor : dr. M. Fachri Sp.P
NIM : 2012730128
Pertanyaan : 4. Mengapa terjadi demam dan mengapa pasien terlihat lemas dan agak pucat?
Pada kasus askariasis, gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing
dewasa dan larva. Selama bermigrasi larva dapat menimbulkan gejala bila merusak kapiler atau
dinding alveolus paru. Keadaan tersebut akan menyebabkan terjadinya perdarahan,
penggumpalan sel leukosit dan eksudat, yang akan menghasilkan konsolidasi paru dengan gejala
panas, batuk, batukdarah, sesak napas dan pneumonitis Askaris.
Setiap 20 cacing dewasa, per hari akan merampas 2.8 gram karbohidrat dan 0.7 gram
protein sehingga terutama pada anak ana ksering kali menimbulkan perut buncit, pucat, lesu,
rambut jarang berwarna merah serta badan kurus, apalagi jika anak sebelumnya sudah menderita
undernutrisi . Gambaran ini disebabkan oleh defisiensi gizi yang juga dapat menimbulkan
keadaan anemi.
Mekanisme Terjadinya Demam
Demam (pireksia) keadaan tubuh di atas normal sebagai akibat peningkatan pusat
pengatur suhu di hipotalamus yang dipengaruhi oleh IL-1. Pengaturan suhu pada keadaan sehat
atau demam merupakan keseimbangan antara produksi dan pelepasan panas.
Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat dua jenis pirogen yaitu
pirogen eksogen dan endogen. Zat pirogen dapat berupa protein, pecahan protein.
Pirogen eksogen biasanya merangsang demam dalam 2 jam setelah terpapar. Umumnya
pirogen berinteraksi dengan sel fagosit, makrofag atau monosit, untuk merangsang sintesis IL-1.
Mekanisme lain yang mungkin berperan sebagai pirogen eksogen (misalnya endotoksin) bekerja
langsung pada hipotalamus untuk mengubah pengatur suhu.
22
Mekanisme virus memproduksi demam antara lain dengan cara melakukan invansi
langsung ke dalam makrofag.
Pada mekanisme ini, mikroorganisme akan difagositosis oleh leukosit, makrofag
jaringan, dan limfosit pembunuh bergranula besar. Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil
pemecahan dan melepaskan interleukin-1 ke dalam cairan tubuh, yang disebut juga pirogen
endogen.
Daerah spesifikdari IL-1 preoptik dan hipotalamus anterior, yang mengandung
sekelompok saraf termosentif yang berda di dinding rostral ventrikel III, yang disebut juga
sebagai organosumva sculorum lamina terminalis(OVTL), yaitu batas antara sirkulasi dan otak.
Selama demam, IL-1 masuk kedalam ruang perivaskular OVTL melalui jendela kapiler untuk
merangsang sel memproduksi PGE-2, secara difusi masuk ke hipotalamus untuk menyebabkan
demam.
23
Nama : Ahmad Abqari Tutor : dr. M. Fachri Sp.P
NIM : 2012730115
Pertanyaan : 5. Apakah hubungan keluarnya cacing pada feses dengan KU pada skenario?
A. Cacing Dewasa
Cacing dewasa biasanya hidup diusus halus. Gejala klinis yang paling menonjol
adalah rasa tidak enak diperut, kolik akut pada daerah epigastrium, gangguan selera
makan, mencret. Ini biasanya terjadi pada saat proses peradangan pada dinding usus.
Pada anak kejadian ini bias diikuti demam. Komplikasi yang ditakuti adalah bila
cacing dewasa menjalar ketempat lain dan menimbulkan gejala akut. Pada keadaan
infeksi yang berat, paling ditakuti bila terjadi muntah cacing, yang akan dapat
menimbulkan komplikasi penyumbatan saluran nafas oleh cacing dewasa. Pada
keadaan lain dapat terjadi ileus oleh karena sumbatan pada usus oleh massa cacing,
ataupun apendisitis sebagai akibat masuknya cacing ke dalam lumen apendiks. Bisa
dijumpai penyumbatan ampulla vateriataupun saluran empedu dan terkadang masuk
kejaringanhati.(Djuanda,2010).
Gejala lain adalahn sewaktu masa inkubasi dan pada saat cacing menjadi dewasa di
dalam usus halus, yang mana hasil metabolisme cacing dapat menimbulkan fenomena
sensitisasi seperti urtikaria, asam bronchial, konjungtivitisakut, foto fobia dan
terkadang hematuria. Eosinofilia 10% atau lebih sering pada infeksi dengan
Ascarislumbricoides, tetapi hal ini tidak menggambarkan beratnya penyakit, tetapi
lebih banyak menggambarkan proses sensitisasi dan eosinofilia ini tidak
patognomonis untuk infeksi Ascarislumbricoide.
Diagnosis
Dari gejala klinis sering kali susah untuk menegakkan diagnosis, karena tidak ada gejala klinis
yang spesifik sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis ascariasis ditegakkan
berdasarkan menemukan telur cacing dalam tinja (melalui pemeriksaan langsung atau
metodekonsenntrasi), larva dalam sputum, cacing dewasa keluar dari mulut, anus, atau dari
hidung. Tingkat infeksi ascariasis dapat ditentukan dengan memeriksa jumlah telur per gram
tinja atau jumlah cacing betina yang ada dalam tubuh penderita. Satu ekor cacing betina per-hari
24
menghasilkan lebih kurang 200.000 telur, atau 2.000-3.000 telur per-gram tinja. Jika infeksi
hanya oleh cacing jantan atau cacing yang belum dewasa sehingga tidak ditemukan telur dalam
tinja penderita, untuk diagnosis dianjurkan dilakukan pemeriksaan foto thorax.
25
Nama : Nadhifayanti Fauziah Tutor : dr. M. Fachri Sp.P
NIM : 2012730143
Pertanyaan : 6. Jelaskan Alur diagnosis pada skenario?
I. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Ditanyakan tentang BABnya secara detail. Tentang onset, durasi, frekuensi,
apakah disertai lender/darah, nyeri, dll
a. Sejak kapan terjadi konstipasi/susah BAB? Berapa lama? Berulang, kasus
baru atau sejak lama?(lahir)?
Utuk melihat tingkat keparahan dan stadium (akut/kronik)
b. Kapan terakhir buang air besar?
c. Berapa kali frekuensi buang air besar dalam seminggu?
d. Bagaimana bentuk dan konsistensi fesenya?
e. Apakah butuh waktu mengejan yang lebih keras saat BAB?
f. Apakah butuh waktu yang lebih panjang pada saat BAB?
g. Apakah telah disertai perdarahan? Jika ‘iya’, darahnya keluar bersamaan
dengan dengan feses atau tidak?
h. Apakah disertai dengan lendir?
BAB dengan lender biasanya terjadi pada diare
i. Bagaimana baunya? (amis, asam, busuk)?
j. Apakah rasa nyeri saat defekasi/BAB?
Untuk menunjukkan apakah sudah terjadinya keganasan
k. Bagaimana bentuk dan warna fesesnya?
Pada keganasan bentuk fesenya bulat kecil berwarna hitam (seperti feses
kambing)
l. Apakah anusnya terasa nyeri? Jika ‘iya’ seperti apa rasanya (panas, terbakar)?
Terasanya pada saat apa?
2. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Adakah demam?
26
Untuk menghilangkan DD, karena pada konstipasi tidak terjadi demam.
Demam biasanya terjadi karena adanya infeksi contohnya diare.
b. Adakah rasa kembung?
c. Adakah pembesaran perut?
d. Adakah keluhan pada kentutnya (frekuensi, susah/tidak?)
e. Apakah pasien merasa nyeri abdomen?
f. Apakah ada penurunan berat badan?
g. Adakah riwayat sering haus, lapar, mengantuk dan BAK?
h. Adakah masalah berkemih? (susah)?
i. Apakah anus pasien terasa panas terutama saat duduk?
Untuk mengidentifikasi penyakit hemoroid
j. Apakah pasien mengalami gangguan pengelihatan (kabur, diplopia, juling)?
Untuk mengidentifikasi gejala diabetes mellitus yaitu retinopati dengan gejala
khas berupa kaburnya pengelihatan atau gejala sklerosis multiple yang disertai
dengan diplopia/mata julig.
k. Apakah disertai mual?
Pada hemoroid disertai dengan muntah
l. Apakah disertai muntah?
Pada obstruksi usus disertai dengan muntah
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Apakah pernah sebelumnya terjadi gejala yang sama?
b. Adakah riwayat kanker?
c. Adakah riwayat diabetes?
d. Adakah riwayat hipotiroidisme (gangguan mental, gangguan menstruasi)?
e. Adakah riwayat penyakit Parkinson (tremor, kaku, masalah dalam berjalan)?
f. Adakah riwayat oprasi abdomen?
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Adakah riwayat keganasan dalam keluarga?
b. Adakah riwayat diabetes dalam keluarga
27
5. Riwayat Psikososial
a. Bagaimana aktivitas fisik pasien (sering olahraga/tidak)?
b. Bagaimana pola makannan yang sering dikonsumsi (rendah serat, sedikit
minum)?
6. Riwayat Pengobatan
a. Sudah pernah berobat belum? Diberi obat apa? Reaksinya?
b. Apakah sedang mengkonsumsi obat lainnya?
Kemungkinan efek samping dari obat-obatan
II. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik bisa ditemukan:
1. Inspeksi
Distensi abdomen
2. Auskultasi
Bising usus normal, berkurang atau meningkat
3. Perkusi
4. Palpasi
Massa abdomen teraba pada palpasi abdomen kiri dan kanan bawah dan daerah
suprapubis. Pada kasus berat, massa tinja kadang dapat teraba di daerah
epigastrium.
III. Pemeriksaan Penujang
1. Rectal Toucher
a. Fisura Ani dan Ampula Rekti yang besar dan lebar
Tanda penting pada konstipasi
b. Konsitensi tinja yang keras
2. Kadar tiroksin dan TSH
Untuk menyingkirkan hipotiroid
3. Tes Serologi
Untuk mengyingkirkan Celiac disease
28
4. Foto Polos Abdomen
Untuk melihat kabiler kolon dan massa tinja dalam kolon (pemeriksaan ini
dilakukan bila pemeriksaan colok dubur tidak dapat dilakukan atau pada
pemeriksaan colok dubur tidak teraba adanya distensi rectum oleh massa tinja)
5. Barium Enema
Untuk screening penyakit Hirschprung
6. Manometri anorektal
Untuk mendiagnosis Hirschprung disease atau akalasia anal, dengan karakteristik
tidak ada relasi sfingter ani interna pada rectum yang distensi (pemeriksaan ini
juga dapat memberikan informasi sensai rectum, sfingter ani pada saat istirahat
dan sewaktu defekasi, apakah normal atau anismus)
7. Biopsi rectum
Untuk mendiagnosis Hirschprung diasease
8. Transit marker radioopaque
Untuk mendiagnosis inersia kolon atau abnormalitas transit pada kolon
9. Manometer kolon
Untuk menilai motilitas kolon
10. USG& MRI Abdomen
Untuk mencari penyebab organic lain
29
Nama : Depy Itasari Tutor : dr. M. Fachri Sp.P
NIM : 2012730122
Pertanyaan : 7. Jelaskan mekanisme mual dan muntah yang disebabkan oleh parasit?
Muntah berada dibawah kendali sistem saraf pusat dan 2 daerah dimedula oblongata yaitu
nukleus soliter dan formasi retikular lateral yang dikenal sebagai pusat muntah. Pusat muntah
dimedula diaktifkan oleh impuls yang berasal dari chemoreceptor trigger zone(CTZ) yang
berada di dasar ventrikel IV. Chemoreceptor trigger zone merupakan tempat berkumpulnya
impuls aferen yang berasal dari bahan endogen/eksogen atau impuls dari saluran cerna atau
tempat lainnya yang dihantarkan melalui nervus vagus. Pada CTZ juga ditemukan berbagai
neurotransmiter, reseptor dan enzim. Reseptor terhadap dopamin ditemukan pada daerah ini.
Proses muntah sendiri mempunyai 3 tahap, yaitu nausea, retching, dan emesis. Nausea
merupakan sensasi psikis yang disebabkan oleh berbagai stimulus baik pada organ visera, labirin
atau emosi. Fase ini ditandai oleh adanya rasa ingin muntah pada perut atau kerongkongan dan
disertai berbagai gejala otonom seperti bertambahnya produksi air liur, berkeringat, pucat,
takikardi atau anoreksia. Pada saat nausea, gerakan peristaltik aktif berhenti dan terjadi
penurunan kurvatura mayor lambung bagian bawah secara mendadak. Tekanan pada fundus dan
korpus menurun, sedangkan kontraksi didaerah antrum sampai pars desendens duodenum
meningkat. Bulbus duodenum menjadi distensi sehingga dapat menyebabkan refluks
duodenogaster. Selain itu juga terjadi peristaltik retrograd mulai dari jejenum sampai ke
lambung. Adanya refluks duodenogaster tersebut menerangkan bahwa muntah yang bercampur
empedu tidak selalu disebabkan obstruksi usus. Fase ini juga tidak selalu berlanjut ke fase
retching dan emesis. Muntah yang disebabkan oleh tekanan intrakranial meninggi dan obstruksi
usus tidak memperlihatkan gejala nausea.
Pada fase retching terjadi inspirasi dengan gerakan otot napas spasmodik yang diikuti
dengan penutupan glotis. Keadaan ini menyebabkan tekanan intratoraks negatif dan pada saat
yang sama terjadi pula kontraksi otot perut dan diafragma. Fundus mengalami dilatasi,
sedangkan antrum dan pilorus mengalami kontraksi. Sfingter esofagus bagian bawah membuka
tetapi sfingter bagian atas masih menutup. Fase retching pun dapat terjadi tanpa harus diikuti
oleh fase emesis.
30
Fase emesis ditandai dengan adanya isi lambung yang dikeluarkan melalui mulut. Pada
keadaan ini terjadi relaksasi diafragma, perubahan tekanan intratoraks dari negatif menjadi
positif dan relaksasi sfingter esofagus bagian atas yang mungkin disebabkan oleh peningkatan
tekanan intralumal esofagus.
Muntah merupakan koordinasi berbagai sistem organ seperti neural, humoral, otot somatik dan
aktivitas otot lambung. Tidak seperti muntah yang masih dapat terjadi pada keadaan deserebrasi,
mual membutuhkan aktivitas didaerah korteks serebri tertentu. Muntah dapat terjadi sebgai hasil
stimulasi struktur susunan saraf pusat dan perifer.
Pada saraf pusat yaitu:
Area postrema permukaan dorsal dari medula diaspek kaudal dari ventrikel keempat
Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ)
Area lainnya sebagai aktivator muntah di sitem saraf pusat terdapat pada nuklei
vestibularis di batang otak melalui jalur independen menuju area postrema menyebabkan
muntah pada kasus motion sickness, meniere disease, labirynth, tumor atau infeksi.
Beberapa pencetus diluar lambung seperti distensi usus halus, kolon, duktus choledocus,
inflamasi dari peritoneum dan oklusi vaskularisasi mesenterik juga dapat menyebabkan
muntah.
Infeksi traktusintestinal oleh virus,bakteri dan parasit secara khas akan disertai dengan
nausea dan vomitus yang berat, yang sering terjadi bersama diare. Infeksi sistemik akut
dengan gejala panas khususnya pada anak kecil seringkali disertai dengan vomitus dan sering
dengan diare yang hebat. Mekanisme untuk infeksi yang jauh dari traktus gastrointestinal
menyebabkan manifestasi ini mungkin berhubungan dengan zona pencentus kemoreseptor
medula oleh toksin atau metabolit abnormal.
Pada skenario sendiri karena kasus dicurigakan adanya obstruksi usus yang disebabakan oleh
parasit. Frekuensi muntah bervariasi bergantung pada letak obstruksi bila letak obstruksi
terjadi pada usus halus bagian atas, maka muntah akan lebih sering terjadi dibandingkan
dengan obstruksi yang terjadi pada ileum atau usus besar.
31
Nama : Ilhami Mutaqqin Tutor : dr. M. Fachri Sp.P
NIM : 2012730133
Pertanyaan : 8. Kapankah konstipasi dapat dinyatakan sebagai kegawatdaruratan?
Kadang-kadang, sembelit jangka panjang berkembang menjadi impaksi tinja, yang
merupakan usus diblokir dari massa feses yang tidak dapat digerakkan oleh kontraksi usus
besar. Impaksi fekal dapat menyebabkan rasa sakit dan muntah, dan orang dengan impaksi
fekal mungkin memerlukan perawatan darurat atau rawat inap.
a. Jika Anda mengalami sembelit bersama-sama dengan perdarahan rektum, nyeri
perut atau distensi perut (kembung).
b. Konstipasi lebih dari beberapa minggu.
c. Terdapat darah dalam tinja.
d. Tiba-tiba perubahan dalam buang air besar ( buang air besar berhenti tiba-tiba dan
sepenuhnya).
e. Sering kembung, mual, muntah atau sakit perut tanpa diketahui penyebabnya.
f. Adanya tekanan hebat pada perut (distensi).
g. Meningkatkan asupan serat dan cairan, tetapi konstipasi tidak membaik.
h. Kadang sampai penurunan berat badan dan nafsu makan.
32
Nama : Syarifah Zahrotulhaj Tutor : dr. M. Fachri Sp.P
NIM : 2012730157
Pertanyaan : 9. Diferential Diagnosis1?
Ileus Obstruktif et causa Ascariasis
DEFINISI
Ileus obstruktif adalah obstruksi usus akibat dari penghambatan motilitas usus yang dapat
ditimbulkan oleh banyak penyebab
KLASIFIKASI ILEUS OBSTRUKTIF
Berdasarkan lokasi obstruksinya, ileus obstrukif atau ileus mekanik dibedakan menjadi,
antara lain:
1. Ileus obstruktif letak tinggi : obstruksi mengenai usus halus (dari gaster sampai ileum
terminal).
2. Ileus obstruktif letak rendah : obstruksi mengenai usus besar (dari ileum terminal sampai
rectum).
Selain itu, ileus obstruktif dapat dibedakan menjadi 3 berdasarkan stadiumnya, antara lain :
1. Obstruksi sebagian (partial obstruction) : obstruksi terjadi sebagian sehingga makanan masih
bisa sedikit lewat, dapat flatus dan defekasi sedikit.
2. Obstruksi sederhana ( simple obstruction) : tidak disertai terjepitnya pembuluh darah (tidak
disertai gangguan aliran darah).
3. Obstruksi strangulasi (strangulated obstruction) : obstruksi disertai dengan terjepitnya
pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir dengan nekrosis ataugangren.
ETIOLOGI
Penyebab obstruksi mekanis berkaitan dengan kelompok usia yang terserang dan letak obstruksi.
Sekitar 50% obstruksi terjadi pada kelompok usia pertengahan dan tua, dan terjadi akibat
perlekatan yang disebabkan oleh pembedahan sebelumnya. Tumor ganas dan volvulus
merupakan penyebab tersering obstruksi usus besar pada usia pertengahan dan orang tua. Kanker
33
kolon merupakan penyebab 90% obstruksi yang terjadi. Volvulus adalah usus yang terpelintir,
paling sering terjadi pada pria usia tua dan biasanya mengenai kolon sigmoid. Inkarserasi
lengkung usus pada hernia inguinalis atau femoralis sangat sering menyebabkan terjadinya
obstruksi usus halus. Intususepsi adalah invaginasi salah satu bagian usus ke dalam bagian
berikutnya dan merupakan penyebab obstruksi yang hampir selalu ditemukan pada bayi dan
balita. Intususepsi sering terjadi pada ileum terminalis yang masuk ke dalam sekum. Benda asing
dan kelainan kongenital merupakan penyebab lain obstruksi yang terjadi pada anak dan bayi.
Ileus obstruktif dapat disebabkan oleh :
1. Adhesi (perlekatan usus halus) merupakan penyebab tersering ileus obstruktif, sekitar 50-70%
dari semua kasus. Adhesi bisa disebabkan oleh riwayat operasi intraabdominal sebelumnya atau
proses inflamasi intraabdominal. Obstruksi yang disebabkan oleh adhesi berkembang sekitar 5%
dari pasien yang mengalami operasi abdomen dalam hidupnya. Perlengketan kongenital juga
dapat menimbulkan ileus obstruktif di dalam masa anak-anak.
2. Hernia inkarserata eksternal (inguinal, femoral, umbilikal, insisional, atau parastomal)
merupakan yang terbanyak kedua sebagai penyebab ileus obstruktif , dan merupakan penyebab
tersering pada pasien yang tidak mempunyai riwayat operasi abdomen. Hernia interna
(paraduodenal, kecacatan mesentericus, dan hernia foramen Winslow) juga bisa menyebabkan
hernia.
3. Neoplasma. Tumor primer usus halus dapat menyebabkan obstruksi intralumen, sedangkan
tumor metastase atau tumor intraabdominal dapat menyebabkan obstruksi melalui kompresi
eksternal.
4. Intususepsi usus halus menimbulkan obstruksi dan iskhemia terhadap bagian usus yang
mengalami intususepsi. Tumor, polip, atau pembesaran limphanodus mesentericus dapat sebagai
petunjuk awal adanya intususepsi.
5. Penyakit Crohn dapat menyebabkan obstruksi sekunder sampai inflamasi akut selama masa
infeksi atau karena striktur yang kronik.
6. Volvulus sering disebabkan oleh adhesi atau kelainan kongenital, seperti malrotasi usus..
34
7. Batu empedu yang masuk ke ileus. Inflamasi yang berat dari kantong empedu menyebabkan
fistul dari saluran empedu ke duodenum atau usus halus yang menyebabkan batu empedu masuk
ke traktus gastrointestinal. Batu empedu yang besar dapat terjepit di usus halus, umumnya pada
bagian ileum terminal atau katup ileocaecal yang menyebabkan obstruksi.
8. Striktur yang sekunder yang berhubungan dengan iskhemia, inflamasi, terapi radiasi, atau
trauma operasi.
9. Penekanan eksternal oleh tumor, abses, hematoma, intususepsi, atau penumpukan cairan.
10. Benda asing, seperti bezoar.
11. Divertikulum Meckel yang bisa menyebabkan volvulus, intususepsi, atau hernia Littre.
12. Fibrosis kistik dapat menyebabkan obstruksi parsial kronik pada ileum distalis dan kolon
kanan sebagai akibat adanya benda seperti mekonium
13. Penyakit parasit, seperti Ascariasis mungkin dapat ditemukan
GEJALA KLINIS
Gejala utama dari ileus obstruksi antara lain nyeri kolik abdomen, mual, muntah, perut distensi
dan tidak bisa buang air besar (obstipasi). Mual muntah umumnya terjadi pada obstruksi letak
tinggi. Bila lokasi obstruksi di bagian distal maka gejala yang dominant adalah nyeri abdomen.
Distensi abdomen terjadi bila obstruksi terus berlanjut dan bagian proksimal usus menjadi sangat
dilatasi
Pada obstruksi bagian proksimal usus halus biasanya muncul gejala muntah. Nyeri perut
bervariasi dan bersifat intermittent atau kolik dengan pola naik turun. Jika obstruksi terletak di
bagian tengah atau letak tinggi dari usus halus (jejenum dan ileum bagian proksimal) maka nyeri
bersifat konstan/menetap. Pada tahap awal, tanda vital normal. Seiring dengan kehilangan cairan
dan elektrolit, maka akan terjadi dehidrasi dengan manifestasi klinis takikardi dan hipotensi
postural. Suhu tubuh biasanya normal tetapi kadang – kadang dapat meningkat.10
35
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya demam, takikardi, hipotensi dan gejala dehidrasi yang
berat. Demam menunjukkan adanya obstruksi strangulate. Pada pemeriksaan abdomen
didapatkan abdomen tampak distensi dan peristaltic meningkat (bunyi Borborigmi). Pada tahap
lanjut dimana obstruksi terus berlanjut, peristaltic akan melemah dan hilang. Adanya feces
bercampur darah pada pemeriksaan rectal toucher dapat dicurigai adanya keganasan dan
intusepsi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Radiologi.
Foto polos abdomen dengan posisi terlentang dan tegak (lateral dekubitus) memperlihatkan
dilatasi lengkung usus halus disertai adanya batas antara air dan udara atau gas (air-fluid
level) yang membentuk pola bagaikan tangga.
Pemeriksaan radiologi dengan Barium Enema mempunyai suatu peran terbatas pada pasien
dengan obstruksi usus halus. Pengujian Enema Barium terutama sekali bermanfaat jika suatu
obstruksi letak rendah yang tidak dapat pada pemeriksaan foto polos abdomen. Pada anak-anak
dengan intussuscepsi, pemeriksaan enema barium tidaklah haany sebagai diagnostik tetapi juga
mungkin sebagai terapi.
CT–Scan. Pemeriksaan ini dikerjakan jika secara klinis dan foto polos abdomen dicurigai
adanya starngulasi. CT–Scan akan mempertunjukkan secara lebih teliti adanya kelainan-kelainan
dinding usus, mesenterikus, dan peritoneum.
CT–Scan harus dilakukan dengan memasukkan zat kontras kedalam pembuluh darah. Pada
pemeriksaan ini dapat diketahui derajat dan lokasi dari obstruksi.
USG. Pemeriksaan ini akan mempertunjukkan gambaran dan penyebab dari obstruksi.
MRI. Walaupun pemeriksaan ini dapat digunakan. Tetapi tehnik dan kontras yang ada sekarang
ini belum secara penuh mapan. Tehnik ini digunakan untuk mengevaluasi iskemia mesenterik
kronis.
Angiografi. Angiografi mesenterik superior telah digunakan untuk mendiagnosis adanya
herniasi internal, intussuscepsi, volvulus, malrotation, dan adhesi
36
2. Pemeriksaan Laboratorium.
Leukositosis mungkin menunjukkan adanya strangulasi, pada urinalisa mungkin menunjukkan
dehidrasi.
PENATALAKSANAAN
Dasar pengobatan obstruksi usus adalah koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit,
menghilangkan peregangan dan muntah dengan intubasi dan kompresi, memperbaiki peritonitis
dan syok bila ada, serta menghilangkan obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi
usus kembali normal
Farmakologis : Pemberian obat – obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan sebagai
profilaksis. Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah.
Obstruksi usus halus
Selain beberapa perkecualian, obstruksi usus harus ditangani dengan operasi, karena adanya
risiko strangulasi. Selama masih ada obstruksi, strangulasi tidak dapat dicegah secara
meyakinkan.
Persiapan-persiapan sebelum operasi:
1. Pemasangan pipa nasogastrik. Tujuannya adalah untuk mencegah muntah, mengurangi
aspirasi dan jangan sampai usus terus menerus meregang akibat tertelannya udara
(mencegah distensi abdomen).
2. Resusitasi cairan dan elektrolit. Bertujuan untuk mengganti cairan dan elektrolit yang
hilang dan memperbaiki keadaan umum pasien.
3. Pemberian antibiotik, terutama jika terdapat strangulasi.
Operasi: Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organ vital berfungsi
secara memuaskan. Kalau obstruksi disebabkan karena hernia skrotalis, maka daerah tersebut
harus disayat. Kalau tidak terpaksa harus dilakukan penyayatan abdomen secara luas. Perincian
operatif tergantung dari penyebab obstruksi tersebut. Perlengketan dilepaskan atau bagian yang
mengalami obstruksi dibuang. Usus yang mengalami strangulasi dipotong.
37
Pasca Bedah: Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan dan elektrolit.
Harus dicegah terjadinya gagal ginjal dan harus memberikan kalori dan protein yang cukup.
Perlu diingat bahwa pasca bedah, usus pasien masih dalam keadaan paralitik
Obstruksi usus besar (letak rendah)
Tujuan pengobatan yang paling utama adalah dekompresi kolon yang mengalami obstruksi
sehingga kolon tidak perforasi, tujuan kedua adalah pemotongan bagian yang mengalami
obstruksi
KOMPLIKASI
a. Strangulasi menjadi penyebab dari kebanyakan kasus kematian akibat obstruksi usus.
Isi lumen merupakan campuran bakteri yang mematikan, hasilhasil produksi bakteri,
jaringan nekrolitik, dan darah.Usus yang mengalami strangulasi mungkin mengalami
perforasi dan mengeluarkan materi tersebut kedalam rongga peritoneium. Tetapi
meskipun usus tidak mengalami perforasi bakteri dapat melintasi usus yang
permeable tersebut dan masuk kedalam sirkulasi tubuh melalui cairan getah bening
dan mengakibatkan syok septic
PROGNOSIS
Mortalitas ileus obstruktif ini dipengaruhi banyak faktor seperti umur, etiologi, tempatdan
lamanya obstruksi. Jika umur penderita sangat muda ataupun tua maka toleransinya terhadap
penyakit maupun tindakan operatif yang dilakukan sangat rendah sehingga meningkatkan
mortalitas. Pada obstruksi kolon mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan obstruksi usus halus
38
Nama : Andi Silpia Pasdar Tutor : dr. M. Fachri Sp.P
NIM : 2011730122
Pertanyaan : 10. Diferential Diagnosis 2?
Thypoid Fever
DEFINISI
Demam tifoid atau typhus abdominalis adalah suatu infeksi akut yang terjadi pada usus
kecil yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Demam tipoid ialah penyakit infeksi
akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam
satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa
gangguan kesadaran
EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia penderita demam tifoid cukup banyak diperkirakan 800 /100.000 penduduk
per tahun dan tersebar di mana-mana. Ditemukan hampir sepanjang tahun, tetapi
terutama pada musim panas. Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi
yang paling sering pada anak besar,umur 5- 9 tahun dan laki-laki lebih banyak dari
perempuan dengan perbandingan 2-3 : 1.
Penularan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, sejak usia seseorang mulai dapat
mengkonsumsi makanan dari luar, apabila makanan atau minuman yang dikonsumsi
kurang bersih. Biasanya baru dipikirkan suatu demam tifoid bila terdapat demam terus
menerus lebih dari 1 minggu yang tidak dapat turun dengan obat demam dan diperkuat
dengan kesan anak baring pasif, nampak pucat, sakit perut, tidak buang air besar atau
diare beberapa hari.
Makin cepat demam tifoid dapat didiagnosis makin baik. Pengobatan dalam taraf dini
akan sangat menguntungkan mengingat mekanisme kerja daya tahan tubuh masih cukup
baik dan kuman masih terlokalisasi hanya di beberapa tempat saja.
PATOFISIOLOGI
39
Penularan demam tifoid terjadi melalui mulut, kuman S.typhy masuk kedalam tubuh
melalui makanan/minuman yang tercemar ke dalam lambung, ke kelenjar limfoid usus
kecil kemudian masuk kedalam peredaran darah. Kuman dalam peredaran darah yang
pertama berlangsung singkat, terjadi 24-72 jam setelah kuman masuk, meskipun belum
menimbulkan gejala tetapi telah mencapai organ-organ hati, kandung empedu, limpa,
sumsum tulang dan ginjal. Pada akhir masa inkubasi 5 – 9 hari kuman kembali masuk ke
aliran darah (kedua kali) dimana terjadi pelepasan endoktoksin menyebar ke seluruh
tubuh dan menimbulkan gejala demam tifoid.
MENIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi Salmonella typhi antara 3-21 hari, tergantung dari status kesehatan dan
kekebalan tubuh penderita. Pada fase awal penyakit, penderita demam tifoid selalu
menderita demam dan banyak yang melaporkan bahwa demam terasa lebih tinggi saat
sore atau malam hari dibandingkan pagi harinya. Ada juga yang menyebut karakteristik
demam pada penyakit ini dengan istilah ”step ladder temperature chart”, yang ditandai
dengan demam yang naik bertahap tiap hari, mencapai titik tertinggi pada akhir minggu
pertama kemudian bertahan tinggi, dan selanjutnya akan turun perlahan pada minggu
keempat bila tidak terdapat fokus infeksi.
Gejala lain yang dapat menyertai demam tifoid adalah malaise, pusing, batuk, nyeri
tenggorokan, nyeri perut, konstipasi, diare, myalgia, hingga delirium dan penurunan
kesadaran. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan adanya lidah kotor (tampak putih di
bagian tengah dan kemerahan di tepi dan ujung), hepatomegali, splenomegali, distensi
abdominal, tenderness, bradikardia relatif, hingga ruam makulopapular berwarna merah
muda, berdiameter 2-3 mm yang disebut dengan rose spot.
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan adanya penurunan kadar hemoglobin,
trombositopenia, kenaikan LED, aneosinofilia, limfopenia, leukopenia, leukosit normal,
hingga leukositosis.
Gold standard untuk menegakkan diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan kultur
darah (biakan empedu) untuk Salmonella typhi. Pemeriksaan kultur darah biasanya akan
40
memberikan hasil positif pada minggu pertama penyakit. Hal ini bahkan dapat ditemukan
pada 80% pasien yang tidak diobati antibiotik. Pemeriksaan lain untuk demam tifoid
adalah uji serologi Widal dan deteksi antibodi IgM Salmonella typhi dalam serum.
Uji serologi widal mendeteksi adanya antibodi aglutinasi terhadap antigen O yang
berasal dari somatik dan antigen H yang berasal dari flagella Salmonella typhi. Diagnosis
demam tifoid dapat ditegakkan apabila ditemukan titer O aglutinin sekali periksa
mencapai ≥ 1/200 atau terdapat kenaikan 4 kali pada titer sepasang. Apabila hasil tes
widal menunjukkan hasil negatif, maka hal tersebut tidak menyingkirkan kemungkinan
diagnosis demam tifoid.
PENATALAKSANAAN
Hingga saat ini, kloramfenikol masih menjadi drug of choice bagi pengobatan demam
tifoid di Indonesia. Dosis yang diberikan pada pasien dewasa adalah 4 x 500 mg hingga 7
hari bebas demam. Alternatif lain selain kloramfenikol, yaitu: tiamfenikol (4 x 500 mg),
kotrimoksazol (2 x 2 tablet untuk 2 minggu), ampisilin atau amoksisilin (50-150
mg/kgBB selama 2 minggu), golongan sefalosporin generasi III (contoh: seftriakson 3-4
gram dalam dekstrosa 100 cc selama ½ jam per infus sekali sehari untuk 3-5 hari), dan
golongan fluorokuinolon (contoh: ciprofloxcacin 2 x 500 mg/hari untuk 6 hari).
Di Amerika Serikat, pemberian regimen ciprofloxcacin atau ceftriaxone menjadi first line
bagi infeksi Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol, ampisilin,
trimethoprim-sulfamethoxazole, streptomycin, sulfonamides, atau tetrasiklin.
Pada pasien anak, kloramfenikol diberikan dengan dosis 100 mg/kgBB/hari terbagi
dalam 4 kali pemberian selama 10-14 hari. Regimen lain yang dapat diberikan pada anak,
yaitu: ampisilin (200 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 kali pemberian IV), amoksisilin (100
mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 kali pemberian PO), trimethoprim (10 mg/kg/hari) atau
sulfametoksazol (50 mg/kg/hari) terbagi dalam 2 dosis, seftriakson 100 mg/kg/hari
terbagi dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 gram/hari) untuk 5-7 hari, dan sefotaksim 150-
200 mg/kg/hari terbagi dalam 3-4 dosis.
Pemberian steroid diindikasikan pada kasus toksik tifoid (disertai gangguan kesadaran
dengan atau tanpa kelainan neurologis dan hasil pemeriksaan CSF dalam batas normal)
41
atau pasien yang mengalami renjatan septik. Regimen yang dapat diberikan adalah
deksamethasone dengan dosis 3x5 mg. Sedangkan pada pasien anak dapat digunakan
deksametashone IV dengan dosis 3 mg/kg dalam 30 menit sebagai dosis awal yang
dilanjutkan dengan 1 mg/kg tiap 6 jam hingga 48 jam. Pengobatan lainnya bersifat
simtomatik.
KOMPLIKASI
Salah satu komplikasi demam tifoid yang dapat terjadi pada pasien yang tidak
mendapatkan pengobatan secara adekuat adalah perforasi dan perdarahan usus halus.
Komplikasi ini sering terjadi pada minggu ketiga yang ditandai dengan suhu tubuh yang
turun mendadak, adanya tanda-tanda syok dan perforasi intestinal seperti nyeri abdomen,
defance muscular, redup hepar menghilang. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah
miokarditis, perdarahan usus, kebocoran usus, infeksi selaput usus, renjatan
bronkopnemonia (peradangan paru), dan kelainan pada otak.
PENCEGAHAN
Pencegahan infeksi Salmonella typhi dapat dilakukan dengan penerapan pola hidup yang
bersih dan sehat. Berbagai hal sederhana namun efektif dapat mulai dibiasakan sejak dini
oleh setiap orang untuk menjaga higientias pribadi dan lingkungan, seperti membiasakan
cuci tangan dengan sabun sebelum makan atau menyentuh alat makan/minum,
mengkonsumsi makanan dan minuman bergizi yang sudah dimasak matang, menyimpan
makanan dengan benar agar tidak dihinggapi lalat atau terkena debu, memilih tempat
makan yang bersih dan memiliki sarana air memadai, membiasakan buang air di kamar
mandi, serta mengatur pembuangan sampah agar tidak mencemari lingkungan.
PROGNOSIS
Demam tifoid apabila tidak dideteksi dan diobati secara cepat dan tepat dapat
menyebabkan komplikasi yang berujuang pada kematian.
42
Nama : Riza Alisha Sibua Tutor : dr. M. Fachri Sp.P
NIM : 2012730152
Pertanyaan : 11. Diferential Diagnosis3?
ASKARIASIS
PENDAHULUAN
Askariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering ditemui.Diperikan prevalensinya di
dunia sekitar25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia.Biasanya bersifat asimtomatis.Prevalensi
paling besar pada daerah tropis dan di negara berkembang di mana sering terjadi kontaminasi
tanah oleh tinja sebagai pupuk. Gejala penyakitnya sering berupa pertumbuhan yang terhanbat,
pneumonitis, obstruksi intestinal atau hepatobiliar dan pancreatic injury.(soegeng
soegijanto,2005)
ETIOLOGI
Askariasis disebabkan oleh Ascariasis lumbricoides.Cacing Ascariasis lumbricoides dewasa
tinggal di dalam lumen usus kecil dan memiliki umur 10-2 bulan.Cacing betina dapat
menghasilkan 200.000 telur setiap hari. Telur fertil berbentuk oval dengan panjang 45-70 µm.
Setelah keluar bersama tinja, embrio dalam telur akan berkembang menjadi infektif dalam 5-
10hari pada kondisi lingkungan yang mendukung.
EPIDEMOLOGI
Askariasis merupakan infeksi cacing pada manusia yang angka kejadian sakitnya tinggi terutama
di daerah tropis dimana tanahnya memiliki kondisi yang sesuai untuk kematangan telur di dalam
tanah.Diperkirakan hampir 1 miliar penduduk yang terinfeksi dengan 4 juta kasus di Amerika
Serikat.Prevalensi pada komunitas-komunitas tertentu lebih besar dari 80%.Prevalensi dilapokan
terjadi di lembah sungai Yangtze di Cina.Masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi yang
43
rendah memiliki prevalensi infeksi yang tinggi, demikian juga pada masyarakat yang
menggunakan tinja sebagai pupuk dan dengan kondisi geografis yang mendukung. Walaupun
infeksi dapat menyerang semua usia, infeksi tertinggi terjadi pada anak-anak pada usia sebelum
sekolah dan usia sekolah. Penyebarannya terutama melalui tangan ke mulut (hand to mouth)
dapat juga melalui sayuran atau buah yang terkontaminasi. Telur askaris dapat bertahan selama 2
tahun pada suhu 5-10 ºC. Empat dari 10 orang di Afrika, Asia, dan Amerika Serikat terinfeksi
oleh cacing ini.
Prevalensi dan intensitas gejala simtomatis yang paling tinggi terjadi pada anak-anak.Pada anak-
anak obstruksi intestinal merupakan manifestasi penyakit yang paling sering ditemui. Diantara
anak-anak usia 1-12 tahun yang berada di rumah sakit Cape Town dengan keluhan abdominal
antara 1958-1962, 12.8 % dari infeksinya disebabkan oleh Ascariasis lumbricoides.Anak-anak
dengan askariasis kronis dapat menyebabkan pertumbuhan lambat berkaitan dengan penurunan
jumlah makanan yang dimakan.
Menurut World Health Organization (WHO), intestinal obstruction pada anak-anak
menyebabkan komplikasi fatal, menyebabkan 8000 sampai 100,000 kematian per tahun.
PATOFISIOLOGI
Ascariasis lumbricoides adalah nematoda terbesar yang umumnya menginfeksi manusia.Cacing
dewasa berwarna putih atau kuning sepanjang 15-35 cm dan hidup selama 10-24 bulan di
jejunum dan bagian tengah ileum.
44
Daur kehidupan Cacing Ascaris lumbricoides
1. Cacing betina menghasilkan 240.000 telur setiap hari yang akan terbawa bersama tinja.
2. Telur fertil jika jatuh pada kondisi tanah yang sesuai, dalam waktu 5-10 hari telur tersebut
dapat menginfeksi manusia.
3. Telur dapat bertahan hidup di dalam tanah selama 17 bulan. Infeksi umumnya terjadi melalui
kontaminasi tanah pada tangan atau makanan.
4. Kemudian masuk pada usus dan akan menetas pada usus kecil (deudenum).
5. Pada tahap kedua larva akan melewati dinding usus dan akan berpindah melalui sistem portal
menuju hepar (4d) dan kemudian paru.
6. Infeksi yang berat dapat di ikuti pneumonia dan eosinifilia. Larva kemudian dibatukkan dan
tertelan kembali menuju jejunum.
7. Diperlukan waktu 65 hari untuk menjadi cacing dewasa.
45
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis tergantung pada intensitas infeksi dan organ yang terlibat.Pada sebagian besar
penderita dengan infeksi rendah sampai sedang gejalanya asimtomatis atau simtomatis.Gejala
klinis paling sering ditemui berkaitan dengan penyakit paru atau sumbatan pada usus atau
saluran empedu. Gejala klinis yang nyata biasanya berupa nyeri perut, berupa kolik di daerah
pusat atau epigastrum, perut buncit (pot belly), rasa mual dan kadang-kadang muntah, cengeng,
anoreksia, susah tidur dan diare.
Telur cacing askariasis akan menetas didalam usus. Larva kemudian menembus dinding usus dan
bermigrasi ke paru melalui sirkulasi dalam vena.Parasit dapat menyebabkan Pulmonari
ascariasis ketika memasuki alveoli dan bermigrasi melalui bronki dan trakea.Manifestasi infeksi
pada paru mirip dengan sindrom Loffler dengan gejala seperti batuk, sesak, adanya infiltrat pada
paru dan eosinofilia. Cacing dewasa akan memakan sari makanan hasil pencernaan host. Anak-
anak yang terinfeksi dan memiliki pola makanan yang tidak baik dapat mengalami kekurangan
protein, kalori, atau vitamin A, yang akhirnya dapat mengalami pertumbuhan
terlambat.Obstruksi usus, saluran empedu dan pankreas dapat terjadi akibat sumbatan oleh
cacing yang besar. Cacing ini tidak berkembang biak pada host. Infeksi dapat bertahan selama
umur cacing maksimal (2 tahun), serta mudah terjadi infeksi berulang.
46
Gambar 3. Cacing Ascariasis dewasa pada usus
KOMPLIKASI
1. Spoilative action. Anak yang menderita askariasis umumnya dalam keadaan distrofi. Pada
penyelidikan ternyata askariasis hanya mengambil sedikit karbohidrat ”hospes”,
sedangkan protein dan lemak tidak diambilnya. Juga askariasis tidak mengambil darah
hospes. Dapat ditarik kesimpulan bahwa distrofi pada penderita askariasis disebabkan
oleh diare dan anoreksia.
2. Toksin. Chimura dan Fuji berhasil menbuat ekstrak askaris yang disebut askaron yang
kemudian ketika disuntikkan pada binatang percobaan (kuda) menyebabkan renjatan dan
kematian, tetapi kemudian pada penyelidikan berikutnya tidak ditemukan toksin yang
spesifik dari askaris. Mungkin renjatan yang terjadi tersebut disebabkan oleh protein
asing.
3. Alergi. Terutama disebabkan larva yang dalam siklusnya masuk kedalam darah, sehingga
sesudah siklus pertama timbul alergi terhadap protein askaris. Karenanya pada siklus
berikut dapat timbul manifestasi alergi berupa asma bronkiale, ultikaria, hipereosinofilia,
dan sindrom Loffler. Simdrom Loffler merupakan kelainan dimana terdapat infiltrat
(eosinofil) dalam paru yang menyerupai bronkopneumonia atipik. Infiltrat cepat
menghilang sendiri dan cepat timbul lagi dibagian paru lain. Gambaran radiologisnya
menyerupai tuberkulosis miliaris.Disamping itu terdapat hiperesinofilia (40-70%).
Sindrom ini diduga disebabkan oleh larva yang masuk ke dalam lumen alveolus, diikuti
oleh sel eosinofil. Tetapi masih diragukan, karena misalnya di indonesia dengan infeksi
askaris yang sangat banyak, sindrom ini sangat jarang terdapat, sedangkan di daerah
denagn jumlah penderita askariasis yang rendah, kadang-kadang juga ditemukan sindrom
ini.
4. Traumatik action. Askaris dapat menyebabkan abses di dinding usus, perforasi dan kemudian
peritonitis. Yang lebih sering terjadi cacing-cacing askaris ini berkumpul dalam usus,
menyebabkan obstuksi usus dengan segala akibatnya. Anak dengan gejala demikian
47
segera dikirim ke bagian radiologi untuk dilakukan pemeriksaan dengan barium enema
guna mengetahui letak obstruksi. Biasanya dengan tindakan ini cacing-cacing juga dapat
terlepas dari gumpalannya sehingga obstruksi dapat dihilangkan. Jika cara ini tidak
menolong, maka dilakukan tindakan operatif. Pada foto rontgen akan tampak gambaran
garis-garis panjang dan gelap (filling defect).
5. Errantic action. Askaris dapat berada dalam lambung sehingga menimbulkan gejala mual,
muntah, nyeri perut terutama di daerah epigastrium, kolik. Gejala hilang bila cacing dapat
keluar bersama muntah. Dari nasofaring cacing dapat ke tuba Eustachii sehingga dapat
timbul otitis media akut (OMA) kemudian bila terjadi perforasi, cacing akan keluar.
Selain melalui jalan tersebut cacing dari nasofaring dapat menuju laring, kemudian trakea
dan bronkus sehingga terjadi afiksia. Askaris dapat menetap di dalam duktus koledopus
dan bila menyumbat saluran tersebut, dapat terjadi ikterus obstruktif. Cacing dapat juga
menyebabkan iritasi dan infeksi sekunder hati jika terdapat dalam jumlah banyak dalam
kolon maka dapat merangsang dan menyebabkan diare yang berat sehingga dapat timbul
apendisitis akut.
6. Irritative Action. Terutama terjadi jika terdapat banyak cacing dalam usus halus maupun
kolon. Akibat hal ini dapat terjadi diare dan muntah sehingga dapat terjadi dehidrasi dan
asidosis dan bila berlangsung menahun dapat terjadi malnutrisi.
7. Komplikasi lain. Dalam siklusnya larva dapat masuk ke otak sehingga timbul abses-abses
kecil; ke ginjal menyebabkan nefritis; ke hati menyebabkan abses-abses kecil dan
hepatitis. Di indonesia komplikasi ini jarang terjadi tetapi di srilangka dan Filipina
banyak menyebabkan kematian.
DIAGNOSIS
1) Ditegakkan dengan :
i. Menemukan telur Ascaris lumbricoides dalam tinja.
ii. Cacing ascaris keluar bersama muntah atau tinja penderita
48
2) Pemeriksaan Laboratorium
i. Pada pemeriksaan darah detemukan periferal eosinofilia.
ii. Detemukan larva pada lambung atau saluran pernafasan pada tenyakit paru.
iii. Pemeriksaan mikroskopik pada hapusan tinja dapat digunakan untuk memeriksa sejumlah
besar telur yang di ekskresikan melalui anus.
3) Pemeriksaan Foto
i. Foto thoraks menunjukkan gambaran otak pada lapang pandang paru seperti pada
sindrom Loeffler
ii. Penyakit pada saluran empedu
a) Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) memiliki sensitivitas 90%
dalam membantu mendiagnosis biliary ascariasis.
b) Ultrasonography memiliki sensitivitas 50% untuk membantu membuat diagnosis biliary
ascariasis.
49
Gambar 4. Telur Askariasis lumbricoides
PENGOBATAN
1. Obat pilihan: piperazin sitrat (antepar) 150 mg/kg BB/hari, dosis tunggal dengan dosis
maksimum 3 g/hari
2. Heksil resorsinol dengan dosis100 mg/tahun (umur)
3. Oleum kenopodii dengan dosis 1 tetes/tahun (umur)
4. Santonin : tidak membinasakan askaris tetapi hanya melemahkan. Biasanya dicampur
dengan kalomel (HgCl= laksans ringan) dalam jumlah yang sama diberikan selama 3 hari
berturut-turut.
Dosis : 0-1tahun = 3 x 5 mg
1-3 tahun = 3 x 10 mg
3-5 tahun = 3 x 15 mg
Lebih dari 5 tahun =3 x 20 mg
Dewasa = 3 x 25 mg
5. Pirantel pamoat (combantrin) dengan dosis 10 mg/ kg BB/hari dosis tunggal.
50
6. Papain yaitu fermen dari batang pepaya yang kerjanya menghancurkan cacing.
Preparatnya : Fellardon.
7. Pengobatan gastrointestinal ascariasis menggunakan albendazole (400 mg P.O. sekali
untuk semua usia), mabendazole (10 mg P.O. untuk 3 hari atau 500 mg P.O. sekali untuk segala
usia) atau yrantel pamoate (11 mg/kg P.O. sakali, dosis maksimum 1 g). Piperazinum citrate
(pertama : 150 mg/kg P.O. diikuti 6 kali dosis 6 mg/kg pada interval 12 hari)
Prognosis : baik, terutama jika tidak terdapat komplikasi dan cepat diberikan pengobatan.
PENCEGAHAN
Program pemberian antihilmitik yang dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1. Memberikan pengobatan pada semua individu pada daerah endemis
2. Memberikan pengobatan pada kelompok tertentu dengan frekuensi infeksi tinggi seperti
anak-anak sekolah dasar.
3. Memberikan pengobatan pada individu berdasarkan intensitas penyakit atau infeksi yang
telah lalu.
4. Peningkatan kondisi sanitasi
5. Menghentikan penggunaan tinja sebagai pupuk.
6. Memberikan pendidikan tentang cara-cara pencegahan ascariasis.
51
DAFTAR PUSTAKA
Soegijanto, Soegeng.2005.Kumpulan Makalah Penyakit Tropis Dan Infeksi Di Indonesia
Jilid 4. Surabaya: Airlangga University Press
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2002.
Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2.Jakarta :Percetakan Info Medika Jakarta
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31236/4/Chapter%20II.pdf
Buku ajar Gastroenterologi-Hepatologi jilid 1
Buku ajar Gastroenterologi edisi 1
Patofisiologi sylvia A.price volume 1 edisi 6
Sulaiman , H Ali. , Daldiyono . , dkk .1997 . GastroenterologiHepatologi Jakarta :
SagungSeto .
Price , Sylvia A. , Wilson , Lorraine M. 1995 . Patofisiologi :KonsepKlinis Proses –
Proses penyakit . Jakarta : EGC .
Amiruddin ,Rivai., dkk . 2003. Buku AjarIlmuPenyakitDalam . Ed. 3.Jakarta :Penerbit
FKUI
Levi , Daniel . 2003 .Infectious Diseases . Baltimore : Greater Baltimore Medical
Center
Sherwood L. Fisiologi manusia: Sistem pencernaan. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2001, hlm.
582-584.
Ganong WF, 2003, Review of Med. Phys, 21sd Ed.,
Guyton AC and Hall JE, 2000, Textbook of Med. Phys, 10th Ed, Saunders Philadelphia
http://medicine.uii.ac.id/index.php/Artikel/Demam-Tifoid.html
http://prodia.co.id/penyakit-dan-diagnosa/demam-tifoid-penyakit-tifus
http://mila110.tripod.com/tifoid.htm
Soemarsono, Widodo D. Patogenesis, patofisiologi dan gambaran klinik demam tifoid.
Simposium demam tifoid FK UI. Jakarta,1980; 11-24
Price , Sylvia A. , Wilson , Lorraine M. 1995 . Patofisiologi : Konsep Klinis Proses –
Proses penyakit . Jakarta : EGC
S.poorwoSoedarmo, Sumarno,dkk.2012. Buku Ajar InfeksidanPediatriTropis.ed 2. Jakarta: BadanPenerbit IDAI
Guyton dan Hall.2008.BukuAjarFisiologiKedokteran.ed 11. Jakarta: EGC
52
BukuAjarIlmuPenyakitDalamJilid III NatadisastraDjaenudin, RidadAgoes. 2009. ParasitologiKedokteran: ditinjaudari organ tubuh
yang diserang. Jakarta: EGC
53