1
Moral Ekonomi Para Pedagang Pasar Terapung Di Sungai Martapura, Lok Baintan, Banjarmasin
M. Fauzan Kurnia dan J. Emmed M. P
Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak Penelitian ini membahas mengenai kegiatan ekonomi para pedagang pasar terapung di Lok Baintan yang berlandaskan moral ekonomi dalam kebudayaan Banjar. Mereka umumnya merupakan ibu-ibu rumah tangga yang bekerja untuk membantu ekonomi rumah tangganya. Oleh karena itu, penerapan moral ekonomi tidak hanya diterapkan pada kegiatan ekonomi yang dilakukan di pasar terapung saja, tetapi juga dalam ekonomi rumah tangga. Moral ekonomi yang diterapkan oleh para pedagang pasar terapung adalah berhutang, prinsip timbal balik, suami bertindak sebagai pengambil keputusan dalam rumah tangga, menabung (saving), tawar menawar, kepercayaan (trust). Dalam konteks moral ekonomi ini, terdapat suatu konsep yang seharusnya tidak diterapkan oleh para pedagang, yaitu riba. Saya menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif dalam kegiatan penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pengamatan, wawancara mendalam, dan studi pustaka.
Kata Kunci: Kegiatan ekonomi, moral ekonomi, ekonomi rumah tangga, prinsip timbal balik, berhutang, tawar-menawar, menabung, kepercayaan, riba
The Moral Economy of Floating Market Traders at Martapura River, Lok Baintan,
Banjarmasin
Abstract This undergraduate thesis explains the economic activities which are based on the moral economy of floating market traders at Lok Baintan. Those traders are housewives who works to support their household economy. Therefore, the moral economy isn’t applied on economic activities in the floating market, but also in their household economy. Moral economy is applied by the traders in particular matters namely debt, reciprocal principle, husband act as decision maker in the household, saving, bargaining, and trust. In the context of moral economy, there is a concept that shouldn't be applied by traders, that is riba. This research was carried out based on qualitative approach and the datas were collected through observation, in-depth interview, and literature study.
Keywords : Economic activity, moral economy, household economy, reciprocal principle, debt, bargaining, saving, trust, riba
Pendahuluan
Beberapa aspek kehidupan masyarakat kota Banjarmasin berkaitan erat dengan keberadaan
sungai-sungai yang mengairi di wilayah kota Banjarmasin. Hal ini menyebabkan sungai memiliki
peran penting bagi kehidupan mereka. Masyarakat kota Banjarmasin tidak hanya membangun
rumah di bantaran sungai, tetapi mereka juga memanfaatkan sungai-sungai sebagai sarana
Moral ekonomi para..., Muhammad Fauzan Kurnia, FISIP UI, 2014
2
transportasi yang dilakukan dengan menggunakan jukung1atau sampan. Sungai-sungai ini
dimanfaatkan pula untuk mengairi sawah dan kebun yang mereka miliki. Para nelayan
memanfaatkan pula sungai-sungai sebagai sumber mata pencaharian untuk menangkap ikan-ikan
dan udang. Selain itu, di lokasi tertentu sungai-sungai dimanfaatkan sebagai lokasi transaksi jual
beli sebuah pasar tradisional oleh masyarakat kota Banjarmasin. Para pedagang yang terlibat
dalam kegiatan ekonomi di pasar tradisional atau pasar terapung tersebut berdagang
menggunakan perahu berupa jukung atau sampan. Mereka membawa beragam komoditi dagang
mereka untuk melakukan transaksi jual beli dengan pedagang lain. Kegiatan ekonomi pasar
tersebut berlangsung mulai dari setelah Sholat Subuh, yaitu sekitar pukul 05.00 WITA sampai
menjelang siang sekitar pukul 09.00-10.00 WITA. Barang dagangan yang biasa dijajakan di
pasar terapung adalah sayur-sayuran, buah-buahan, aneka macam ikan, aneka kue-kue basah serta
bahan-bahan kebutuhan pokok sehari-hari lainnya seperti beras, gula, minyak goreng, dan lain
sebagainya.
Pasar terapung adalah arena kegiatan ekonomi yang penting bagi para pedagang karena
menjadi lokasi mata pencaharian mereka. Kegiatan yang dilakukan oleh para pedagang di pasar
terapung adalah menawarkan barang dagangan, mendatangi rumah-rumah penduduk, dan
membeli komoditi dari pedagang lain. Kegiatan tersebut tentu tidak hanya melibatkan antara
pedagang dan pembeli, tetapi juga melibatkan pihak lain karena dalam berdagang terdapat hal-hal
yang harus diperhatikan seperti menyiapkan modal berdagang, membeli barang dagangan,
sampai menjual barang dagangan. Dalam menyiapkan modal berdagang, tentu akan melibatkan
peran kepala keluarga karena berkaitan dengan ekonomi rumah tangga para pedagang. Para
pedagang pasar terapung sebagian besar adalah ibu rumah tangga, oleh karena itu mereka akan
melibatkan para suami mereka terkait dengan pengambilan keputusan mengenai keuangan rumah
tangga yang akan digunakan sebagai modal untuk berdagang, sedangkan untuk menyiapkan
barang dagangan, mereka melibatkan pedagang lain atau orang yang memiliki kebun. Para
pedagang pasar terapung umumnya menjajakan barang dagangan berupa sembako seperti beras,
gula, minyak goreng, sayur-mayur, buah-buahan, dan kue-kue basah. Mereka membeli barang
dagangan tersebut dari orang-orang yang memiliki kebun ataupun para pedagang lain. Dalam hal
transaksi jual-beli, ada pedagang yang merangkap sebagai pembeli. Pedagang membeli barang
1Jukung merupakan perahu tradisional masyarakat Banjar
Moral ekonomi para..., Muhammad Fauzan Kurnia, FISIP UI, 2014
3
dagangan pedagang lain untuk konsumsi keluarganya. Ada juga yang membeli disebabkan
barang dagangannya sudah habis dan ia masih ingin berdagang pada hari itu.
Para pedagang memiliki perangkat nilai-nilai budaya yang dijadikan pedoman dalam
melakukan tindakan berkaitan dengan kegiatan berdagang di pasar terapung. Pedoman tersebut
merupakan dasar dari moral ekonomi para pedagang. Moral ekonomi dalam hal ini menjadi
landasan para pedagang dalam berdagang, yang mencakup hal berhutang, tolong menolong,
pengambilan keputusan dalam pengelolaan keuangan keluarga, menabung (saving), tawar
menawar, dan kepercayaan (trust). Dalam konteks moral ekonomi ini, konsep riba merupakan
sebuah hal yang seharusnya tidak diterapkan oleh para pedagang ketika mereka melakukan
kegiatan ekonomi di pasar terapung. Kebudayaan Banjar yang banyak dipengaruhi oleh ajaran
agama Islam mengharamkan adanya riba atau melebihkan jumlah pinjaman dalam berhutang. Hal
ini tentu mempengaruhi tindakan para pedagang perihal hutang piutang. Mereka yang berhutang
tidak akan membayar jumlah hutang lebih dari yang dipinjam dan pihak yang dipiutangkan tidak
akan menagih melebihi jumlah yang dipinjamkan.
Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan deskripsi etnografi mengenai penerapan
moral ekonomi para pedagang pasar terapung dalam kegiatan ekonomi di pasar terapung maupun
rumah tangga. Signifikansi dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi terhadap dunia
antropologi dalam melihat moral ekonomi yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan
kegiatan ekonomi.
Tinjauan Teoritis
Pasar adalah sebuah institusi sosial ekonomi yang ada di dalam masyarakat. Pasar
memiliki unsur sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, dan lain-lain serta merupakan tempat
pembeli dan penjual saling bertemu dan mengadakan transaksi (Belshaw, 1981: 10), sedangkan
pengertian pasar menurut Geertz adalah suatu pranata ekonomi sekaligus cara hidup dan kegiatan
ekonomi yang mencapai segala aspek kehidupan masyarakat. Pasar merupakan tempat orang
bertemu untuk melakukan transaksi ekonomi. Selain itu, pasar juga merupakan arena sosial yang
menggabungkan segala aspek kehidupan manusia menjadi satu waktu dan tempat. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Plattner (1989: 179) “marketplace is a space where people exchange goods
along terms other than kinship or tribute, the famous "silent trade" qualifies”. Dalam
perkembangannya, transaksi yang dilakukan di dalam pasar menggunakan alat bantu berupa
Moral ekonomi para..., Muhammad Fauzan Kurnia, FISIP UI, 2014
4
uang2. Para pedagang menjual barang yang mereka miliki untuk ditukarkan dengan uang sesuai
nominal yang ditentukan. Setelah barang dagangan mereka terjual, mereka akan memperoleh
uang yang akan digunakan untuk membeli barang kebutuhan yang lain.
Pasar terus berkembang berdasarkan kebutuhan manusianya. Bentuk-bentuk pasar dapat
diketahui dari barang yang diperdagangkan, cara penyerahan barang, pembayaran, hubungan
pihak pembeli dan penjual, dan intensitas kebutuhan barang yang diperdagangkan. Pasar dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pasar tradisional dan pasar modern. Perbedaan dari kedua
jenis pasar tersebut adalah pasar modern dikelola oleh pihak swasta, sedangkan pasar tradisional
dikelola oleh pemerintah atau berdiri dengan sendirinya tanpa adanya pengelola (Silalahi, 2010:
5). Dengan begitu, pasar terapung yang berada di kota Banjarmasin tergolong jenis pasar
tradisional.
Dalam pasar tradisional, umumnya berlaku moral ekonomi yang dijadikan pedoman bagi
para pedagang untuk melakukan aktifitas sosial dan ekonomi. Setiap pasar tradisional memiliki
moral ekonomi yang berbeda berdasarkan kebudayaan yang mereka miliki masing-masing. Salah
satu contohnya adalah para pedagang di Jawa memiliki pandangan bahwa kejujuran dalam
berdagang itu harus dijunjung tinggi (Robert Hefner, 1999: 290-298). Informasi mengenai barang
dagangan harus diberikan kepada konsumen secara lengkap dan tepat. Berbeda dengan
masyarakat Madura yang berjualan dengan hanya memberikan sedikit informasi mengenai
barang dagangannya.
Moral ekonomi tersebut tidak hanya memberi pedoman ketika bertransaksi jual beli di
pasar terapung saja, tetapi juga digunakan dalam kehidupan ekonomi rumah tangga para
pedagang. Jika mengacu kepada Wilk (1989: 13-14), pengertian moral ekonomi adalah norma-
norma tradisional yang mendefinisikan kedua status sosial individu dalam melakukan pertukaran
ekonomi. Pertukaran akan lebih mengacu kepada nilai sosial dibandingkan nilai ekonominya,
sedangkan menurut Scott (1981: 255) moral ekonomi dalam kehidupan masyarakat peasant3
pedesaan dipandu oleh dua prinsip utama, yaitu hubungan timbal balik (the norm of reciprocity)
dan hak atas subsistensi (the right to subsistence). Hubungan timbal balik tersebut berfungsi
sebagai pedoman moral yang utama dalam hubungan sosial, sedangkan hak atas subsistensi
menetapkan atas kebutuhan hidup minimal yang harus terpenuhi. Scott juga menjelaskan
2 “Money is so fundamental to modern commercial life that it is hard to conceive of any societies without it” Plattner (1989:175) 3 Mengacu pada Firth (1969), peasant tidak hanya sebatas pada petani, tetapi juga nelayan, pengrajin, dan pedagang
Moral ekonomi para..., Muhammad Fauzan Kurnia, FISIP UI, 2014
5
mengenai perimbangan dalam hubungan timbal balik tersebut. Menurut Scott, dalam prinsip
resiprositas terdapat kemungkinan adanya pihak yang lebih kuat untuk mengambil keuntungan
dari pihak yang lebih lemah. Hal ini tentu melanggar norma tentang resiprositas yang sepadan.
Namun, hal tersebut dapat dihindari apabila pihak yang beresiprositas memiliki kedudukan yang
kurang lebih sama. Seorang pedagang membantu pedagang lainnya yang sedang mengalami
kesusahan karena ia sendiri juga akan membutuhkan bantuan tersebut nanti. Menurut Dalton
(1971), resiprositas merupakan pola pertukaran sosial-ekonomi. Dalam pertukaran tersebut,
individu memberikan dan menerima barang atau jasa karena kewajiban sosial. Terdapat
kewajiban untuk memberi, menerima, dan mengembalikan kembali pemberian dalam bentuk
yang sama atau berbeda. Terdapat tiga macam bentuk resiprositas, yaitu resiprositas umum,
resiprositas sebanding, dan resiprositas negatif. Bentuk resiprositas yang sesuai dengan kegiatan
ekonomi para pedagang pasar terapung adalah resiprositas sebanding. Dalam pertukaran ini,
masing-masing pihak tidak akan memberikan nilai lebih dibandingkan dengan yang akan
diterima. Ciri resiprositas tersebut ditunjukkan dengan adanya norma-norma, aturan-aturan, atau
bahkan sanksi-sanksi sosial untuk mengontrol individu-individu dalam melakukan transaksi jual-
beli, sedangkan menurut Polanyi (1968), resiprositas merupakan pola pertukaran dalam sistem
ekonomi sederhana. Oleh karena itu, resiprositas menjadi ciri masyarakat primitif dan peasant.
Dalam pandangan Firth (1969:18), peasant tidak hanya sebatas pada petani, tetapi juga termasuk
nelayan, pengrajin, dan pedagang. Pengertian peasant tidak mengacu pada jenis mata
pencaharian hidupnya, tetapi mengacu kepada pengertian sistem ekonomi secara umum. Firth
menjelaskan lebih lanjut (1950:504-510) bahwa sistem ekonomi peasant adalah satu sistem
ekonomi dengan teknologi dan keterampilan sederhana, produktifitas rendah, atau skala produksi
kecil, hubungan sosial yang bersifat lebih personal, serta mementingkan aspek sosial dan
keagamaan daripada aspek materi.
Dalam pandangan Popkins (1979) sistem moral ekonomi yang dilakukan peasant bukan
karena mempertahankan tradisi yang ada. Peasant adalah orang-orang kreatif yang penuh dengan
perhitungan rasional. Pada prinsipnya, peasant bersikap mengambil posisi yang menguntungkan
dirinya. Peasant merupakan masyarakat yang penuh perhitungan untung rugi bukan hanya
manusia yang diikat oleh nilai-nilai moral. Berdasarkan kedua pendapat mengenai moral
ekonomi yang dikemukakan oleh Scott dan Popkins, Hayami dan Kikuchi (1981) berpendapat
bahwa kecenderungan peasant pada dasarnya adalah saling tolong menolong dan hak untuk
Moral ekonomi para..., Muhammad Fauzan Kurnia, FISIP UI, 2014
6
hidup pada arah subsisten, tetapi mereka juga menganut pemikiran rasional. Saya akan
membahas kegiatan ekonomi berdasarkan moral ekonomi dalam kebudayaan Banjar yang
dimiliki para pedagang pasar terapung.
Metode Penelitian
Saya menerapkan metode dan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini. Pendekatan ini akan
menjelaskan hasil pengamatan atau observasi dan wawancara mendalam terhadap suatu
fenomena dan kemudian dideskripsikan ke dalam sebuah tulisan (Cresswell, 1994). Penelitian
kualitatif ini menyajikan data-data yang akan mengungkap fenomena sosial yang menjadi fokus
penelitian ini. Fenomena sosial berupa kegiatan ekonomi dan moral ekonomi pedagang pasar
terapung akan dibahas secara mendalam.
Teknik pengumpulan data yang saya gunakan adalah observasi, wawancara mendalam,
dan studi literatur. Observasi dilakukan untuk mengamati gejala-gejala yang terwujud dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat yang diteliti (Suparlan, 1994: 6). Saat melakukan peneltian,
saya mengamati kegiatan ekonomi para pedagang pasar terapung. Berdasarkan hasil observasi
tersebut saya kemudian melakukan wawancara mendalam kepada beberapa pedagang yang
dijadikan informan kunci. Saya menggunakan pedoman wawancara sebagai penuntun dalam
melakukan wawancara mendalam. Wawancara dengan pedoman adalah suatu teknik wawancara
yang bertujuan untuk mendapatkan informasi dari para anggota masyarakat mengenai suatu
masalah khusus dengan menggunakan teknik bertanya yang bebas tetapi tetap berdasarkan
pedoman wawancara (Suparlan, 1994: 9). Saya menggunakan handphone untuk merekam hasil
wawancara dan mendokumentasi foto informan dan tempat penelitian. Selain itu, saya juga
menggunakan buku untuk melakukan pencatatan hal-hal penting (scratch note) dan laptop untuk
mengolah hasil wawancara yang terekam di handphone menjadi bentuk tulisan.
Proses Berdagang
Proses menyiapkan barang dagangan ini dilakukan pada satu hari sebelum berdagang
ataupun pada hari sebelum pedagang tersebut mulai berdagang. Jika persiapan barang dagangan
itu dilakukan satu hari sebelumnya, maka itu dilakukan pada sore hari, sedangkan jika dilakukan
pada hari yang sama di waktu mereka berdagang, maka itu dilakukan pada dini hari mengingat
aktifitas pasar terapung itu dimulai ketika pagi hari. Kebanyakan para pedagang yang menjual
Moral ekonomi para..., Muhammad Fauzan Kurnia, FISIP UI, 2014
7
sayur-sayuran dan buah-buahan membeli barang dagangannya sebelum mereka berjualan kepada
pedagang yang lain atau langsung membelinya dari petani. Para pedagang tersebut membeli hasil
kebun tersebut untuk dijual kembali di pasar terapung. Alasan membeli barang dagangan kepada
orang yang memiliki kebun adalah harganya lebih murah daripada membeli ke penadah.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bu Niah;
“…Beli barang dagangan langsung kepada orang yang punya kebun itu lebih murah dibandingkan harus beli di pasar subuh/pasar darat karena orang yang punya kebun itu kan tangan pertama. Mereka modalnya ga besar. Kalau pedagang di pasar subuh kan sebenarnya kan sama saja dengan pedagang di pasar terapung…”
(Catatan Lapangan, 2014)
Selain membeli barang dagangan kepada orang yang memiliki kebun atau ke pasar darat
yang biasa disebut pasar subuh, para pedagang juga dapat membelinya ke sesama pedagang lain.
Pedagang menunggu para pedagang lain yang lewat di depan rumahnya dan kemudian membeli
barang dagangan pedagang tersebut. Membeli barang dagangan di pasar darat atau pasar subuh
memang lebih mahal, tetapi variasi barang dagangan lebih banyak. Jika barang dagangan lebih
bervariasai, maka kemungkinan untuk barang dagangan terbeli lebih besar. Hal ini seperti yang
dikatakan oleh Bu Berlian;
“…Di pasar subuh atau di pedagang pasar terapung juga, biasanya lewat depan rumah, saya berhentikan untuk beli barang dagangannya. Kadang supaya mudah beli di pedagang yang lewat itu aja…Beli di pasar subuh banyak macemnya dan lebih murah. Kalo beli di pedagang itu buat nambah-nambahin jenis dagangan aja yang ga ada dapet di pasar subuh…”
(Catatan Lapangan, 2014) Jika para pedagang sayur-sayuran dan buah-buahan menyiapkan barang dagangannya di
hari mereka berdagang, pedagang yang berjualan kue memiliki metode yang berbeda. Mereka
menyiapkan barang dagangan tersebut sehari sebelum mereka berdagang. Hal ini disebabkan
proses pembuatan kue itu tidak mudah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bu Restu;
“…Mempersiapkan barang dagangan dari satu hari sebelumnya. Sekitar jam empat atau lima sore, harus nyiapkan bahan baku yang digunakan untuk adonan. Setelah dipersiapkan/dipilah kemudian di masukkan kembali ke dalam kulkas…Besoknya harus bangun pukul empat pagi untuk membuat adonan dan kemudian dimasak supaya menjadi kue. Semuanya butuh waktu hampir dua jam. Jadi, sekitar jam setengah enam pagi semua kue sudah siap untuk dijual di pasar terapung…”
(Catatan Lapangan, 2014)
Moral ekonomi para..., Muhammad Fauzan Kurnia, FISIP UI, 2014
8
Beberapa pedagang membuat adonan kue pada sore hari dan memasak adonan kue
tersebut pada keesokan harinya tepat sebelum mereka berdagang. Hal ini seperti yang dikatakan
oleh Bu Rusmaniah;
…Saya kan jualan kue. Untuk membuat adonan biasanya sore hari terus besok harinya saya bangun pagi untuk menggoreng adonan tersebut jadi kue. Saya jualan unthuk sama pisang molen. Kalau unthuk saya goreng pagi-pagi itu. Sedangkan molen ya pas di pasar terapung aja sambil berkayuh gorengnya...Biasanya bikin jam empat atau jam lima sore, itu bikin adonannya dulu. Terus baru besoknya bangun pagi jam tiga atau jam empatan untuk bikin adonannya jadi kue…
(Catatan Lapangan, 2014)
Dalam membeli barang dagangan tersebut, para pedagang pasar terapung memiliki
langganan. Konsep langganan berarti para pedagang lain yang sudah terbiasa melakukan
transaksi jual-beli dengan pedagang di pasar terapung tersebut. Terdapat keuntungan yang
diperoleh para pedagang yang memiliki langganan. Mereka dapat memperoleh barang dagangan
dengan harga yang murah atau bahkan dapat berhutang. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan
oleh Bu Berlian:
…Ya ada tempat langganan…Enaknya bisa dimurahin. Bisa diutangkan juga. Jadi ya bisa ambil dulu barang yang mau kita jual, setelah barangnya laku baru deh kita bayar. Bayarnya itu bisa sehabis jualan atau besoknya…
(Catatan Lapangan, 2014) Kebiasaan pedagang membeli barang dagangan di tempat yang sama mengakibatkan
intensitas interaksi antar para pedagang tersebut meningkat. Hal ini tentu mempengaruhi pola
transaksi mereka. Jika mengacu kepada Plattner (1989), model transaksi yang dilakukan para
pedagang pasar terapung adalah model transaksi personal. Dalam model transaksi ini, nilai sosial
yang dihasilkan dalam suatu transaksi dianggap lebih penting dibandingkan keuntungan
ekonomis. Mereka tidak peduli apabila terdapat orang yang menjadi langganannya membeli
dengan harga murah. Bagi mereka, apabila hubungan penjual dan pembeli terjalin dengan baik,
mereka tidak akan mengalami kerugian karena tetap memiliki pembeli yang akan selalu membeli
barang dagangannya. Hal ini dikarenakan adanya kepercayaan (trust) pada hubungan sosial yang
telah terjalin antara penjual dan pembeli.
Barang dagangan yang sudah disiapkan sehari sebelumnya atau di hari yang sama ketika
mereka berdagang, diletakkan oleh para pedagang di atas jukung mereka. Para pedagang tersebut
menata barang dagangan mereka dengan sederhana. Mereka meletakkan barang dagangannya di
atas wadah atau keranjang yang terbuat dari rotan. Setelah itu, barang dagangan siap dibawa ke
Moral ekonomi para..., Muhammad Fauzan Kurnia, FISIP UI, 2014
9
pasar terapung. Para pedagang biasanya mendayung perahu mereka setelah subuh. Biasanya para
pedagang baru akan sampai di lokasi berdagang ketika hari sudah mulai terang. Hal ini sesuai
dengan yang diceritakan oleh Bu Restu;
“…Jam setengah enam pagi mempersiapkan semua kue dan segala yang dibutuhkan seperti wadah untuk kue, air minum, dan lain sebagainya untuk dimasukkan ke dalam jukung. Kira-kira jam enam pagi semuanya selesai dipersiapkan dan berangkat ke pasar terapung…Berangkat dalam keadaan masih gelap dan sampai di lokasi pasar terapung sudah terang…”
(Catatan Lapangan, 2014)
Sesampainya di pasar terapung, para pedagang mulai merapatkan jukung-nya dengan
jukung pedagang lain. Sesudah merapatkan jukung mereka, para pedagang menawarkan barang
dagangannya. Beberapa dari mereka merapatkan jukung/sampan karena mereka ingin membeli
barang dagangan dari pedagang yang dipepetnya. Sebagaimana yang dituturkan oleh Bu Niah;
“…Sesampainya di pasar terapung, itu langsung berjualan. Caranya ya para pedagang menempelkan jukung-nya dengan jukung lain. Harus berkayuh sana sini. Dari jukung tersebut kemudian mereka jual-beli. Tanya harga barang dagangan yang diperjualbelikan. Setelah sesuai baru terjadi tukar menukar…”
(Catatan Lapangan, 2014)
Sebagian para pedagang pulang ke rumahnya masing-masing untuk melanjutkan aktifitas
mereka setelah berdagang. Beberapa pedagang tidak pulang ke rumah setelah berjualan di pasar
terapung, melainkan melanjutkan berdagang dengan menyusuri anak-anak sungai yang ada di
Banjarmasin apabila masih memiliki sisa dagangan. Sebagian lagi melanjutkan kegiatan
berdagang di pasar darat. Hal ini dilakukan dengan tujuan memperoleh keuntungan lebih atau
karena barang dagangannya belum habis terjual. Hal ini mungkin saja terjadi karena waktu
berdagang di pasar terapung cukup singkat. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Bu Niah;
“…Ada pedagang yang berjanjian dengan rekan-rekannya untuk melanjutkan aktifitas dagangnya di darat…Jual di sini dulu kalau tidak habis kadang sama teman-teman pergi ke darat. Jadi ya patungan nyarter klotok sama yang lainnya untuk di tarik pergi ke darat. Di sana mereka naik ke darat untuk melanjutkan aktifitas dagang mereka…”
(Catatan Lapangan, 2014)
Bu Berlian merupakan pedagang yang terkadang tetap berdagang setelah berjualan di
pasar terapung. Selain itu Bu Berlian juga suka berdagang di depan rumahnya. Beliau meletakkan
barang dagangannya di depan rumahnya dan menunggu ada pembeli yang datang.
Moral ekonomi para..., Muhammad Fauzan Kurnia, FISIP UI, 2014
10
Berikut adalah penuturan Bu Berlian;
“…Ya biasanya sih kalo di pasar tidak habis, saya berkayuh terus ke sungai-sungai kecil itu sampai uangnya cukup untuk bertukar…Kalo sudah berjualan di pasar terapung ya pulang. Jualan lagi di rumah. Biasanya yang beli orang-orang sekitar sini juga. Lagipula bisa sambil istirahat, santai-santai, tidur, sama bersih-bersih rumah…”
(Catatan Lapangan, 2014)
Tidak banyak pedagang yang melanjutkan kegiatan berdagang di pasar darat setelah
berjualan di pasar terapung. Hal tersebut disebabkan para pedagang harus mengerjakan pekerjaan
utamanya dalam keluarga, yaitu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Oleh karena itu setelah
berjualan di pasar terapung mereka langsung pulang ke rumahnya masing-masing. Sekalipun
mereka tetap berjualan, mereka berjualan di depan rumah mereka. Jika berjualan di depan rumah
mereka tinggal menunggu pembeli yang datang. Dengan begitu mereka dapat berdagang
sekaligus mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, memasak, dan yang lainnya.
Jumlah pendapatan yang diperoleh para pedagang pasar terapung akan dibahas dalam sub-bab
penghasilan ekonomi.
Moral Ekonomi
Moral ekonomi yang dijelaskan oleh Wilk (1989) bahwa kehidupan ekonomi para pedagang
pasar terapung dipandu oleh nilai-nilai sosial tertentu, sedangkan pengertian moral ekonomi
menurut Scott (1981:255) adalah kehidupan masyarakat peasant pedesaan dipandu oleh dua
prinsip utama, yaitu the norm of reciprocity (hubungan timbal balik) dan the right to subsistence
(hak atas subsistensi). Hubungan timbal balik tersebut berfungsi sebagai pedoman moral yang
utama dalam hubungan sosial, sedangkan hak atas subsistensi menetapkan atas kebutuhan hidup
minimal yang harus terpenuhi. Mengacu apa yang dijelaskan Dalton (1971), resiprositas
merupakan pola pertukaran sosial-ekonomi. Dalam pertukaran tersebut, individu memberikan dan
menerima barang atau jasa karena kewajiban sosial. Bentuk resiprositas yang sesuai dengan
kegiatan ekonomi para pedagang pasar terapung adalah resiprositas sebanding. Dalam pertukaran
ini, masing-masing pihak tidak akan memberikan nilai lebih dibandingkan dengan yang akan
diterima. Ciri resiprositas tersebut ditunjukkan dengan adanya norma-norma, aturan-aturan, atau
bahkan sanksi-sanksi sosial untuk mengontrol individu-individu dalam melakukan transaksi jual-
beli. Para pedagang pasar terapung memiliki pemahaman mengenai riba yang mengontrol para
Moral ekonomi para..., Muhammad Fauzan Kurnia, FISIP UI, 2014
11
pedagang dalam transaksi jual-beli. Dalam berhutang yang dilakukan oleh para pedagang, mereka
tidak diperbolehkan melebihkan jumlah pengembalian pinjaman. Apabila mereka melebihkan
jumlah pengembalian pinjaman, maka mereka telah melakukan riba dan akan mendapat tekanan
moral dari masyarakat.
Menurut Polanyi (1968), resiprositas merupakan pola pertukaran dalam sistem ekonomi
sederhana yang menjadi ciri masyarakat primitif dan peasant, sedangkan menurut Firth
(1969:18), peasant tidak hanya sebatas pada petani, tetapi juga termasuk nelayan, pengrajin, dan
pedagang. Pengertian peasant tidak mengacu pada jenis mata pencaharian hidupnya, tetapi
mengacu kepada pengertian sistem ekonomi secara umum. Firth menjelaskan lebih lanjut
(1950:504-510) bahwa sistem ekonomi peasant adalah satu sistem ekonomi dengan teknologi
dan keterampilan sederhana, produktifitas rendah, atau skala produksi kecil, hubungan sosial
yang bersifat lebih personal, serta mementingkan aspek sosial dan keagamaan daripada aspek
materi. Hal tersebut yang ditemukan dalam kegiatan ekonomi para pedagang pasar terapung.
Mereka tidak melakukan produksi besar-besaran, hanya menjual sisa-sisa hasil panen atau
membeli sisa tersebut dari para petani. Keterampilan yang mereka butuhkan pun cukup
sederhana. Selain terampil mendayung, para pedagang tersebut memiliki keterampilan dalam
menawarkan barang dagangan mereka. Dalam transaksi mereka pun lebih mengutamakan kepada
aspek sosial dan keagamaan. Mereka tidak mau apabila transaksi yang mereka lakukan
berseberangan dengan nilai agama yang dianut atau transaksi yang mereka lakukan menimbulkan
konflik di antara para pedagang.
Berbeda dengan Scott, Popkins mengemukakan sistem moral ekonomi dengan sudut
pandang yang sedikit berbeda. Popkins (1979) mengemukakan bahwa sistem moral ekonomi
yang dilakukan peasant bukan karena mempertahankan tradisi yang ada. Peasant adalah orang-
orang kreatif yang penuh dengan perhitungan rasional. Pada prinsipnya, peasant bersikap
mengambil posisi yang menguntungkan dirinya. Peasant merupakan masyarakat yang penuh
perhitungan untung rugi bukan hanya manusia yang diikat oleh nilai-nilai moral. Mereka akan
bereaksi terhadap faktor-faktor yang menekan mereka. Jadi, prinsip para peasant dalam
melakukan kegiatan ekonomi bukan pada tradisi mereka, tetapi lebih disebabkan mereka ingin
memperoleh kesempatan hidup dalam tatanan ekonomi yang ada. Berdasarkan perbedaan
pendapat antara Scott dan Popkins, Hayami dan Kikuchi (1981:19-24) mengaku tidak menolak
pendekatan moral ekonomi Scott dan pendekatan rasional Popkins. Hayami dan Kikuchi
Moral ekonomi para..., Muhammad Fauzan Kurnia, FISIP UI, 2014
12
berpendapat bahwa kecenderungan peasant pada dasarnya adalah saling tolong menolong dan
hak untuk hidup pada arah subsisten, tetapi mereka juga menganut pemikiran rasional. Para
pedagang pasar terapung tentu percaya apabila memberi hutang kepada sesama pedagang atau
tetangga yang membutuhkan, maka suatu saat terjadi kondisi yang sebaliknya, mereka akan
dengan mudah memperoleh pertolongan.
Moral ekonomi yang tercakup dalam kebudayaan Banjar menjadi pedoman dalam
kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh para pedagang pasar terapung. Hal itu terlihat dari konsep
berhutang yang mereka miliki, tolong menolong sesama pedagang ataupun rumah tangga,
pengambilan keputusan dalam pengelolaan keuangan rumah tangga, menabung, tawar menawar,
kepercayaan (trust), dan riba.
Berhutang merupakan hal yang biasa bagi pedagang pasar terapung. Para pedagang pasar
terapung biasanya berhutang dengan mengambil barang dagangan kepada pedagang lain. Barang
yang diambil sebagai hutang itu yang kemudian dijual di pasar terapung. Setelah mendapat
keuntungan dari menjual barang dagangan tersebut, para pedagang membayar atau melunasi
hutangnya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Bu Rusmaniah;
“...Biasanya pedagang B berhutang ke pedagang A. Pedagang B mengambil dulu barangnya ke pedagang A. terus berjualanlah pedagang B, setelah pedagang B mendapat untung baru membayar hutangnya ke pedagang A...Ya dibayar terus sih. Kalau tidak bayar hutang tidak bisa berhutang lagi. Ya orangnya yang dihutangkan tidak mau menghutangkan lagi kalau hutangnya tidak dibayar. Lagipula kalau tidak membayar hutang, yang berhutang pun menjadi tidak enak kepada yang dihutangkan…”
(Catatan Lapangan, 2014) Kebiasaan berhutang bagi pedagang pasar terapung tidak hanya ada karena pengeluaran
untuk berdagang saja. Pengeluaran mendesak seperti adanya anggota keluarga yang sakit juga
menjadi alasan untuk berhutang. Tidak ada tenggat waktu yang pasti dalam pembayaran
berhutang. Namun, satu hal yang pasti adalah bahwa para pedagang selalu berusaha untuk
melunasi hutangnya. Pedagang juga tidak akan berhutang kepada orang yang belum ia bayar
hutangnya. Walaupun tidak ada tenggat waktu yang pasti dalam pembayaran hutang, tetapi
terlihat bahwa pola waktu pembayaran hutang tidak begitu jauh dari waktu berhutang itu sendiri.
Tak bisa dipungkiri bahwa kebiasaan berhutang memberikan kemudahan bagi pedagang. Bagi
pedagang yang sedang mengalami kesulitan keuangan tidak perlu pusing memikirkan modal
karena mereka dapat berhutang terlebih dahulu untuk memperoleh keuntungan. Memang,
Moral ekonomi para..., Muhammad Fauzan Kurnia, FISIP UI, 2014
13
keuntungan yang diperoleh dalam berdagang menjadi tidak maksimal karena sebagian
keuntungan digunakan untuk membayar hutang. Namun, keuntungan yang sedikit demi sedikit
diperoleh tersebut tentu tetap membantu perekonomian pedagang.
Mengacu apa yang dijelaskan Wilk (1989) mengenai moral ekonomi, berhutang
merupakan hal yang lazim dilakukan oleh para pedagang. Hal tersebut merupakan pedoman
mereka dalam melakukan kegiatan berdagang dan sebagaimana dijelaskan oleh Dalton (1971),
para pedagang saling membantu dalam hal hutang-piutang karena ada kemungkinan pedagang
yang memberikan piutang akan mengalami kondisi yang sama dengan yang pedagang yang
berhutang. Pedagang tersebut tentu membutuhkan bantuan yang sama seperti yang ia berikan
kepada pedagang yang berhutang sekarang. Memang pada dasarnya para pedagang berpikir
rasional mengenai perhitungan kerugian akibat memberikan piutang kepada sesama pedagang
atau tetangganya4. Namun, kerugian yang dialaminya sekarang justru memberikan keuntungan
tersendiri di masa mendatang. Pedagang atau tetangga yang ia bantu sekarang akan memberi
bantuan yang kurang lebih sama nantinya. Dengan kata lain, sesuai apa yang dikatakan oleh
Hayami dan Kikuchi (1981) bahwa pedagang memang berpikir rasional mengenai keuntungan
dan kerugian dalam berdagang, tetapi tidak dapat dipungkiri juga bahwa mereka memiliki
kewajiban sosial untuk membantu orang lain yang sedang mengalami kesulitan.
Dalam kegiatan ekonomi para pedagang, tolong menolong menjadi bentuk pengaturan
yang mengatur hubungan sosial pedagang. Tolong menolong terjadi antara para pedagang dengan
orang-orang yang berada di sekitarnya. Bentuk tolong menolong yang paling mudah dilihat
adalah kebiasaan berhutang yang sudah dijelaskan sebelumnya. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Bu Berlian;
“...Ya itu kalau kita lagi susah. Kita minta bantuan ke tetangga atau terkadang kita tidak meminta pun kalau kita lagi susah tetangga nawarkan bantuan sendiri. Misalkan lagi tidak punya uang, tetangga suka minjamkan uang atau memberi barang yang kita butuh. Di sini tolong menolongnya mah kuat…”
(Catatan Lapangan, 2014) Bentuk lain dari tolong menolong juga dapat ditemukan di pasar terapung. Para pedagang
tidak menganggap pedagang lainnya sebagai saingan, mereka justru saling membantu dalam
berjualan. Hal ini mengacu dari apa yang dikatakan oleh Bu Rusmaniah;
4 Mengacu pada penjelasan Popkins mengenai pemikiran rasional peasant yang penuh dengan perhitungan untung rugi
Moral ekonomi para..., Muhammad Fauzan Kurnia, FISIP UI, 2014
14
“...Iya karena kan sering tolong menolong juga di pasar terapung. Nih misalnya, plastik untuk kita berjualan habis terus kita minta aja sama kawan kita. Kita memang sama-sama pedagang tetapi bukan berarti jadi bermusuhan, apa yang bisa dibantu ya bantu aja...Ada juga tolong menolong di pasar terapung seperti misalkan kalau ada orang yang membeli pisang molen suka dilebihkan pisang molennya. Apalagi kalau dia sudah sering membeli kadang ya dikasih bonus saja pisang molennya…”
(Catatan Lapangan, 2014) Dalam memperlakukan pembeli, para pedagang juga bersikap sangat baik dengan
melebihkan barang dagangan yang dibeli. Para pedagang tidak takut mengalami kerugian. Bagi
mereka, berhubungan baik dengan orang yang membeli barang dagangan mereka itu perlu.
Bentuk tolong menolong lain yang ada di kehidupan para pedagang adalah membantu orang di
sekitar mereka yang sedang mengalami kesulitan. Membantu dapat berupa memberikan sesuatu
yang dibutuhkan seperti barang atau bahkan tenaga kepada mereka yang membutuhkan.
Sebagaimana apa yang dituturkan oleh Bu Restu;
“...Kalau bantu sih biasanya kaya suka ngasih barang-barang aja. Kalau uang tidak pernah kasih. Misalnya kaya ngasih gula gitu. Kalau kaya gitu biasanya kalau orangnya lagi sakit. Sekaligus jenguk bawain barang-barang gitu…”
(Catatan Lapangan, 2014) Bagi para pedagang dan keluarganya, tolong menolong sesama manusia itu memang
sudah seharusnya dilakukan. Lebih lagi tolong menolong itu dilakukan dengan sesama
masyarakat kota Banjarmasin. Mereka merasa tinggal di lingkungan yang sama dan dengan
keadaan yang sama. Rasa ‘kemerasaan’5 seperti itulah yang mendorong mereka untuk saling
menolong satu sama lain. Sebagaimana yang dikatakan oleh Pak Rusmani;
“...Ya biasanya pada minta tolong atau mereka cerita kalau lagi ada masalah. Kalau sudah begitu ya kita berusaha bantu, kasihan kan. Pasti ada kemerasaan lah...Lagipula kalau kita menolong orang kan orang jadi menolong kita juga…”
(Catatan Lapangan, 2014) Rasa ‘kemerasaan’ ini mendasari hubungan timbal balik di antara para pedagang. Mereka
menyadari dalam hidup bermasyarakat, manusia membutuhkan satu sama lain. Oleh karena itu,
hubungan antar sesama pedagang atau tetangganya perlu terjalin dengan baik. Terwujudnya
hubungan baik tersebut tentu dengan saling memberikan pertolongan saat ada yang mengalami
kesulitan. Mengacu pada Wilk (1989), tolong-menolong sudah menjadi nilai yang mereka anut
dalam kehidupan ekonomi maupun sosial mereka. Hal ini terkait juga dengan yang dijelaskan
5 Istilah kemerasaan bagi masyarakat kota Banjarmasin berarti mengerti apa yang dirasakan oleh orang lain
Moral ekonomi para..., Muhammad Fauzan Kurnia, FISIP UI, 2014
15
oleh Dalton (1971) bahwa prinsip timbal balik merupakan bentuk pengaturan dalam hubungan
sosial pedagang. Pedagang menolong sesama pedagang dengan harapan akan mendapat
pertolongan serupa di masa mendatang.
Para pedagang di pasar terapung bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Mereka memang bukan pencari nafkah tunggal, mereka bekerja untuk membantu meringankan
pekerjaan suami. Pada masyarakata Banjar, umumnya laki-laki yang bertugas mencari nafkah dan
perempuan mengurus pekerjaan rumah tangga. Namun, perempuan diperbolehkan membantu
tugas laki-laki sebagai pencari nafkah dengan berjualan di pasar terapung. Dengan begitu, di
dalam satu keluarga terdapat dua orang yang mencari nafkah dan memperoleh pendapatan. Hal
yang akan dibahas di sini adalah mengenai pengelolaan uang dalam rumah tangga tersebut. Tidak
ada suatu ketentuan untuk menyerahkan uang hasil bekerja kepada suami atau istri. Biasanya
pedagang dan suaminya menyimpan pendapatan yang mereka peroleh sendiri. Walaupun uang
pendapatan disimpan sendiri oleh istri dan suami, uang tersebut tetap digunakan untuk
kepentingan bersama. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bu Rusmaniah;
“...Ya di simpen sendiri. Suami juga kalo punya penghasilan dari darat juga di simpen sendiri. Tapi ya itu untuk kebutuhan sama-sama juga walaupun disimpen sendiri. Saling percaya saja lah kan bersama-sama sudah dari dulu…”
(Catatan Lapangan, 2014)
Namun, adapula yang menyerahkannya pendapatan yang diperoleh kepada istrinya karena
suatu alasan. Bagi keluarga yang seperti itu, mereka menganggap bahwa perempuan memiliki
kemampuan untuk mengatur keuangan lebih baik daripada laki-laki. Hal ini mengacu kepada apa
yang dikatakan oleh Pak Yuni;
“...Saya kasihkan semua tetapi ya saya ambil juga sebagian untuk uang rokok...Kalau saya yang pegang pasti cepat sekali habisnya. Orang-orang bilang bodoh kalau begitu takut kepada istri tetapi tidak begitu buat aku, omong kosong aja itu. Saya begitu karena kalau dikasihkan istri uangnya jadi bisa diirit-irit…”
(Catatan Lapangan, 2014) Jadi, walaupun suami menyerahkan pendapatan yang diperolehnya kepada istri, bukan
berarti istri memiliki dominasi lebih dibandingkan suami dalam rumah tangga tersebut. Suami
tetap memiliki dominasi yang lebih dibandingkan istri. Hal tersebut terlihat dari pengambilan
keputusan dalam melakukan suatu pengeluaran rumah tangga.
Menabung merupakan salah satu kebiasaan yang dimiliki oleh keluarga pedagang pasar
terapung. Mereka selalu berusaha menyisihkan pendapatan yang diperoleh dan disimpan di
Moral ekonomi para..., Muhammad Fauzan Kurnia, FISIP UI, 2014
16
tempat penyimpanan dalam masing-masing rumah mereka. Hal ini bertujuan jika ada kebutuhan
tidak terduga, mereka tidak harus kelimpungan mencari uang. Selain untuk keperluan tak terduga,
biasanya menabung digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang membutuhkan biaya cukup
banyak seperti membetulkan rumah dan biaya masa depan anak. Hal ini mengacu kepada apa
yang dikatakan oleh Pak Rusmani;
“...Misalkan dua-duanya lagi dapat penghasilan banyak, ya salah satunya dipakai untuk beli untuk kebutuhan. Yang satu lagi atau sisa uangnya itu disimpan sedikit-sedikit untuk keperluan yang lain. Buat jaga-jaga juga kan kalau ada kebutuhan mendadak...Ya seperti untuk merapihkan rumah. Lihat saja itu kayu-kayu yang sudah tidak bagus diganti (menunjuk langit-langit rumahnya), tetapi itu jarang sih, kebanyakan ya disimpan sedikit-sedikit. Kalau ada kebutuhan yang benar-benar mendadak baru dipakai uangnya…”
(Catatan Lapangan, 2014)
Bagi pedagang dan keluarganya, menabung memang harus dilakukan mengingat
pendapatan mereka yang tidak menentu setiap harinya. Pekerjaan suami sebagai petani dan
nelayan tidak dapat memberikan pendapatan secara konsisten. Sedangkan pekerjaan sebagai
buruh tidak berapa pendapatannya. Bekerja sebagai pedagang pun pendapatannya tidak sama
setiap harinya. Untuk menutupi kekurangannya tersebut maka mereka membiasakan diri untuk
menabung. Jadi, sewaktu-waktu mereka memiliki pengeluaran mendadak yang harus dipenuhi
mereka tidak harus bingung mencari uang. Sekalipun uang tabungan mereka tidak mencukupi,
mereka tidak perlu berhutang terlalu banyak kepada orang lain.
Dalam proses transaksi jual-beli di pasar terapung, mereka melakukan tawar menawar
antar para pedagang. Apabila tawar menawar terhadap barang dagangannya yang tidak sesuai
harapan maka pedagang akan memberitahu tentang modal yang dikeluarkan untuk berdagang.
Dengan begitu orang yang menawar akan mengerti kalau tawaran mereka dapat menyebabkan
kerugian kepada pedagang yang menjual barang tersebut. Proses tawar menawar di pasar
terapung seperti yang diceritakan oleh Bu Berlian;
“…Ya pertama kita nanya bisa kurang tidak. Lalu kalau bisa, kita memberi harga tawar kita. Misalnya harga rambutan satu ikat Rp.2.500,- , saya tawar Rp.1.000,-. Kalau yang jual menjadikan ya terjual kalau tidak terserah saya mau bertawar lagi tidak. Kalau tidak ya tidak jadi. Kalau mau ya saya memberi harga lagi. Misalnya 1.500 terus kalau sudah sama-sama mau ya jadi bertukar…”
(Catatan Lapangan, 2014)
Orang yang memberikan penawaran memiliki kebebasan menentukan harga tawar barang
yang ingin dibeli. Para pedagang tidak akan mempermasalahkan rendahnya harga tawar yang
Moral ekonomi para..., Muhammad Fauzan Kurnia, FISIP UI, 2014
17
diberikan. Hanya saja pedagang tersebut tidak akan mau menjual barangnya apabila harganya
tidak sesuai dengan yang diinginkan. Oleh karena itu dalam memberikan harga tawar terhadap
suatu barang umumn yang tidak terlalu jauh dengan harga pasar. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Bu Rusmaniah;
“…Ya boleh sih tetapi ya biasanya pada tau harga pasar juga…Ya nawarnya tidak jauh dari harga pasarnya. Misalkan harga pisang gorengnya Rp.6.000,- dapat 10 buah. Ada yang menawar Rp.5.000,- untuk 10 buah…”
(Catatan Lapangan, 2014) Para pedagang bernegosiasi satu sama lain agar menghasilkan transaksi yang
menguntungkan kedua belah pihak. Ada hal lain yang dianggap penting oleh pedagang pasar
terapung tersebut seperti menjalin hubungan baik antar para pedagang. Bagi mereka,
berhubungan baik dengan sesama pedagang merupakan hal yang penting. Mereka lebih memilih
untuk tidak mendapat keuntungan yang maksimal dibandingkan harus memiliki hubungan yang
buruk dengan pedagang yang lain. Hal ini mengacu pada yang dikatakan oleh Bu Restu;
“...Ya di sini rasa kekeluargaan antar pedagangnya tinggi...Pedagang akrab satu sama lain. Jadi ya diusahain pedagang yang ada di pasar terapung itu dapat untung semua lah. Kalau nawar harganya terlalu rendah kasihan pedagang yang berjualan jadi rugi kan…”
(Catatan Lapangan, 2014)
Pedagang pasar terapung ini mengenal konsep langganan dalam kegiatan berdagang
mereka. Bagi mereka yang sudah langganan, proses tawar menawar dapat lebih mudah dilakukan.
Bahkan tanpa ditawar beberapa pedagang memberikan bonus kepada pelanggannya. Pedagang
pasar terapung tersebut tidak hanya mementingkan keuntungan yang mereka peroleh, tetapi
mereka juga mementingkan hubungan personal yang terjalin dengan pembelinya. Menurut
Plattner (1989), model transaksi tersebut merupakan model transaksi personal. Model transaksi
personal mementingkan nilai sosial dalam bertransaksi. Pedagang memberikan jumlah barang
lebih banyak dari yang seharusnya kepada pembeli. Hal itu bertujuan untuk membangun
hubungan yang baik dengan pembeli. Hubungan baik itu yang diharapkan memberikan
keuntungan pada transaksi-transaksi selanjutnya. Apabila terjalin hubungan yang baik antara
pedagang dan pembeli, itu memungkinkan para pembeli kembali membeli barang dagangan
kepada pedagang yang sama dan akhirnya menjadi pelanggan tetap.
Kegiatan ekonomi di pasar terapung menyebabkan adanya interaksi di antara para
pedagang. Interaksi tersebut yang kemudian menghasilkan hubungan sosial di antara pedagang.
Moral ekonomi para..., Muhammad Fauzan Kurnia, FISIP UI, 2014
18
Hubungan sosial itu tumbuh dan berkembang di antara para pedagang menjadi sebuah solidaritas
sosial6. Mereka percaya bahwa sesama pedagang tidak akan merugikan satu sama lain.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Bu Berlian;
“...Utang itu dibayar paling lama yaa dua minggu setelah berhutang. Ya kalo sudah kenal begitu mah ya percaya saja. Tidak usah takut tidak dibayar. Lagipula yang berhutang kan orang-orang sini juga, kalau tidak membayar hutang dia sendiri yang tidak enak…”
(Catatan Lapangan, 2014)
Rasa percaya di antara para pedagang mendorong mereka untuk tolong menolong satu
sama lain. Perasaan moral yang sama sebagai pedagang membuat pedagang mengerti kesulitan
yang biasa dihadapi. Bagi mereka, lebih baik untuk membantu sesama pedagang daripada
membiarkannya dalam kesulitan. Dalam hal ini, para pedagang berpikir bahwa mereka akan
mengalami kesulitan yang sama juga nantinya. Jika begitu, mereka tentu membutuhkan bantuan
orang lain juga. Dengan pola pikir seperti itu, tumbuh nilai tolong menolong di antara para
pedagang. Sebagaimana yang dikatakan oleh Pak Rusmani;
“...Kalau kita menolong orang kan orang jadi menolong kita juga. Saya pernah 5 tahun yang lalu sedang membetulkan lampu kemudian kesetrum saya. Rubuh. Beruntung masih hidup saya. Waktu itu saya keamanan desa yang bertugas keliling desa. Kebetulan pas lagi keliling ada lampu mati. Saya coba membetulkan malah kesetrum. Waktu itu sedang tidak ada uang tetapi orang desa banyak yang membantu. Ada yang memberi uang, beras, dan obat…”
(Catatan Lapangan, 2014)
Latar belakang yang sama sebagai masyarakat Desa Lok Baintan juga memperkuat rasa
percaya di antara para pedagang. Bukti yang paling jelas dapat dilihat dari kebiasaan mereka
berhutang. Berhutang sudah menjadi suatu kelaziman bagi para pedagang pasar terapung. Mereka
yang memberikan piutang tidak takut apabila dihutangkan oleh teman atau kerabatnya. Bagi
mereka, memberikan hutang merupakan salah satu bentuk tolong menolong yang memang sudah
seharusnya dilakukan. Mereka percaya bahwa piutang yang mereka berikan akan dibayar oleh
orang yang berhutang. Sebagaimana yang dituturkan oleh Pak Yuni;
“...Ga takut ga dibayar. Percaya saja. Kan orang-orang sini juga. Lagipula orang-orang kampung mah sudah biasa tolong menolong seperti itu. Orang kampung masih saling peduli tidak seperti orang kota…”
6 Solidaritas sosial dikemukakan oleh Durkheim (dalam Lawang, 1994:181) adalah suatu keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Ikatan solidaritas sosial lebih mendasar daripada hubungan kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional.
Moral ekonomi para..., Muhammad Fauzan Kurnia, FISIP UI, 2014
19
(Catatan Lapangan, 2014)
Kepercayaan yang tumbuh di antara para pedagang juga memberikan pengaruh terhadap
budaya berdagang mereka. Dalam kegiatan berdagang mereka, mereka menjunjung tinggi nilai
kejujuran. Mereka percaya bahwa tidak ada penipuan yang dilakukan oleh para pedagang. Rasa
saling percaya antar sesama pedagang ini juga yang melandasi adanya resiprositas dalam
hubungan sosial mereka. Mereka percaya apabila menolong sesama pedagang atau tetangganya,
mereka tidak akan mengalami kerugian, melainkan akan mendapat pertolongan serupa nantinya.
Riba merupakan salah satu hal yang tidak boleh dilakukan pada ajaran agama Islam. Para
pedagang pasar terapung memiliki pemahaman mengenai riba karena mayoritas masyarakatnya
adalah pemeluk agama Islam. Pengertian riba menurut para pedagang pasar terapung adalah
melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian atau mengambil keuntungan berlebihan. Nilai
yang tidak memperbolehkan pedagang melakukan riba tidak terlepas dari kebiasaan berhutang
para pedagang pasar terapung. Bagi mereka yang berhutang, membayar pinjaman harus sesuai
dengan jumlah yang dipinjam. Tidak boleh ada ketentuan tertentu yang mengharuskan peminjam
membayar melebihi jumlah yang dipinjam. Namun, apabila peminjam membayar pinjaman
melebihi jumlah yang dipinjam secara sukarela (tanpa ada ketentuan tertentu), maka itu tidak
termasuk riba. Simak kutipan wawancara dengan Pak Yuni berikut ini;
“...Kalau riba itu misalkan kamu berhutang kepada aku 300 ribu, terus kamu diharuskan bayar Rp.350.000,-. Rp.50.000,- itu riba. Beda kalau kamu berhutang Rp.300.000,- kemudian aku kamu bayar ke aku Rp.350.000,- tanpa aku haruskan segitu. Nah Rp.50.000,- itu bukan riba…”
(Catatan Lapangan, 2014) Moral ekonomi yang diterapkan oleh para pedagang pasar terapung memang tidak dapat
terlepas dari aspek-aspek kehidupan yang lain. Sebagaimana halnya riba yang ada karena serapan
dari ajaran agama Islam. Riba diterapkan oleh para pedagang dalam kehidupan sosial dan
ekonomi mereka. Dalam hal ini, riba juga menjadi bentuk pengaturan dalam resiprositas
berimbang. Menurut Scott (1981), ada kemungkinan eksploitasi dalam hubungan timbal balik.
Sebagai contoh, salah seorang anggota keluarga pedagang tersebut mengalami sakit yang cukup
parah dan pedagang tersebut tidak memiliki cukup uang sehingga harus meminjam kepada
tetangga atau pedagang lainnya. Pedagang yang sedang mengalami kesulitan tersebut tentu akan
melakukan apa saja demi mendapatkan pinjaman uang. Dalam hal ini, pedagang yang sedang
mengalami kesulitan tersebut menjadi pihak yang mudah untuk dieksploitasi. Hal tersebut
Moral ekonomi para..., Muhammad Fauzan Kurnia, FISIP UI, 2014
20
memungkinkan tetangga atau pedagang lain yang memberikan piutang mengajukan syarat-syarat
tertentu yang merugikan. Namun, hubungan timbal balik yang tidak berimbang itu tidak terjadi
karena adanya pemahaman pedagang mengenai riba.
Kesimpulan
Para pedagang menerapkan moral ekonomi dalam segala aktifitas berkaitan dengan kegiatan
ekonomi. Oleh karena itu, moral ekonomi tidak hanya diterapkan di pasar terapung saja, tetapi
juga dalam ekonomi rumah tangga para pedagang. Beberapa komponen moral ekonomi yang
diterapkan oleh para pedagang pasar terapung adalah berhutang, tolong menolong di antara para
pedagang, sikap empati atau memahami apa yang dirasakan oleh orang lain, pengambilan
keputusan dalam rumah tangga pedagang berada di bawah dominasi suami sebagai kepala
keluarga, menabung, tawar menawar, sikap saling percaya yang tumbuh dan berkembang di
antara sesama pedagang, riba yang merupakan nilai resapan dari ajaran agama Islam yang berarti
melebihkan jumlah pengembalian pinjaman dan mengambil keuntungan berlebih.
Moral ekonomi para..., Muhammad Fauzan Kurnia, FISIP UI, 2014
21
Referensi
Belshaw, Cyril 1965 Tukar Menukar Pasar Tradisional dan Pasar Modern. Jakarta: PT. Djaya Pirusa.
C.A. Gregory & J.C. Altman
1989 Observing The Economy. London & New York: Routledge. Creswell, John. W
2003 Research Design: Qualitative and Quantitative approaches, 2nd Edition London, New Delhi: Sage Publications.
Dalton, George 1971 Economic Anthropology and Development: Essay On Tribal and Peasant Economies.
London/Newyork: Basic Books, Inc., Publishers Firth, Raymond
1950 The Peasantry of South East Asia. Ternational Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944-), Vol. 26, No. 4(Oct., 1950), pp. 503-514
Geertz, Clifford
1974 The Interpretation of Culture. Basic Books 2000 Paperback 1989 Penjaja dan Raja. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hefner, Robert W
1999 Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas Dalam Kapitalisme Asia Baru. Jakarta: LP3ES.
Hayami, Yujiro & Kikuchi Masao
1987 Dilema Ekonomi Desa: Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Linblad, J. Thomas
2012 Antara Dayak dan Belanda: Sejarah Ekonomi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan 1880-1942. Jakarta: KITLV-Jakarta
M. Z. Lawang, Robert
1994 Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Moral ekonomi para..., Muhammad Fauzan Kurnia, FISIP UI, 2014
22
Polanyi, Karl 1968 “Societies and Economic System”, dalam George Dalton (ed). Primitive, Archaic, and
Modern Economies, Essays of Karl Polanyi. Boston: Beacon Press. Hlm 3-25. Popkins, Samuel. L
1979 The Rational Peasant. Berkeley: University of California Press. Saleh, M. Idwar
1983 Sekilas Mengenal Daerah Banjar dan Kebudayaan Sungainya Sampai Dengan Akhir Abad-19. Banjarbaru: Museum Lambung Mangkurat.
Scott, James
1981 Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. Suparlan, Parsudi
1986 Kebudayaan dan Pembangunan, dalam Media IKA, No.11 tahun XIV. 1994 Metodelogi Penelitian Kualitatif. Diktat Program Kajian Wilayah Amerika Program
Pasca Sarjana Universitas Indonesia
Plattner, Stuart 1989 Economic Anthropology. Stanford California: Stanford University Press.
Wilk, Richard R
1989 The Household Economy: Reconsidering The Domestic Mode of Production. Colorado: Westview Press.
Skripsi dan Disertasi:
Darmanto 2013 Konsep Ecomuseum di Kalimantan Selatan (Studi Kasus Pasar Terapung Lok Baintan).
Tesis-Universitas Indonesia: tidak diterbitkan. Silalahi, Ruth
2010 Identitas Etnik dan Strategi Bisnis Para Pedagang Batak Di Pasar Senen Blok VI. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia
Moral ekonomi para..., Muhammad Fauzan Kurnia, FISIP UI, 2014