Download - MPKT A Buku Ajar I.pdf
-
i
PROGRAM PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN PENDIDIKAN TINGGI
MATA KULIAH
PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN TERINTEGRASI A
BUKU AJAR I
Kekuatan dan Keutamaan Karakter,
Filsafat, Logika, dan Etika
Bagus Takwin Fristian Hadinata Saraswati Putri
-
ii
UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2012
BUKU AJAR I
Filsafat, Logika, Etika, dan
Kekuatan dan Keutamaan Karakter
-
iii
Pengantar Buku Ajar MPKT A
Pendidikan yang Mengembangkan Kapabilitas dan Memerdekakan Manusia Indonesia
Bagus Takwin
1. Pendahuluan Konsep pendidikan yang memadai mensyaratkan konsep manusia yang memadai.
Manusia sebagai makhluk yang dididik dan makhluk yang mendidik merupakan ihwal atau
isu sentral dalam pendidikan. Berbicara tentang pendidikan pada dasarnya adalah berbicara
tentang manusia.
Siapa manusia dalam konsep pendidikan Indonesia dan apa yang ditujunya?
Pertanyaan ini jarang dibahas dewasa ini. Sudah beberapa kali sistem pendidikan Indonesia
diubah tetapi konsep tentang manusia yang semestinya mendasarinya malah makin kabur.
Idealnya, pendidikan adalah proses menjadi dan menentukan diri sebagai pribadi.
Pengertian ini mengindikasikan adanya penguatan daya-daya subjektif dalam pendidikan.
Subjektivitas adalah potensi khas manusia, yang hanya mungkin muncul pada manusia.
Subjektivitas adalah syarat kemerdekaan. Orang yang merdeka, ketika ia secara subjektif
menentukan tindakan-tindakannya, menginterupsi status quo dan mampu mempertanggung-
jawabkan dirinya.
Ki Hadjar Dewantara1 mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menghasilkan
manusia merdeka. Sejalan dengan Ki Hadjar, Slamet Iman Santoso2 mengemukakan bahwa
tugas pendidikan adalah pembinaan watak atau karakter (Santoso, 1979). Sebagai kepribadian
yang dievaluasi berdasarkan nilai dan norma tertentu, watak juga mengandung unsur
subjektivitas. Karakter adalah hasil aktualisasi subjektivitas.
Kita teringat kepada Muhammad Hatta (1932/1998) yang menyatakan bahwa
pendidikan nasional Indonesia diselenggarakan untuk menuju Indonesia Merdeka. Ia
1 Tokoh pergerakan nasional yang hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional Indonesia. 2 Pelopor Pendidikan Psikologi di Indonesia dan pemrakarsa IKIP Jakarta.
-
iv
menganggap pendidikan sebagai ikhtiar pembentukan karakter di tataran individual dan
pembangunan bangsa di tataran kolektif. Meskipun tak mengabaikan perlunya kecakapan dan
keterampilan untuk menafkahi hidup, Hatta sangat mementingkan pembentukan karakter
melalui pendidikan. Orang yang berkarakter kuat adalah orang yang memiliki keutamaan
dan mampu menggunakan kekuatan-kekuatan pribadinya untuk memutuskan dan mengambil
tindakan yang baik untuk dirinya dan sekaligus untuk lingkungannya. Dengan kata lain,
orang yang berkarakter kuat adalah orang yang merdeka, orang yang memanfaatkan daya-
daya subjektifnya, karena dia memiliki keleluasaan dan pilihan-pilihan dalam hidupnya dan
mampu mencari alternatif-alternatif baru dari apa yang sedang terjadi. Itulah sebabnya
mengapa Hatta menekankan bahwa pendidikan nasional Indonesia mendidik rakyat supaya
insaf akan kedaulatan dirinya dan paham akan makna dan maksud dasar kedaulatan rakyat.
Istilah Bildung dalam bahasa Jerman, yang dalam bahasa Inggris berarti becoming
and being somebody dapat mewakili pendidikan secara lebih memadai. Dalam Bahasa,
Indonesia, Bildung dapat diartikan mengembangkan dan menjaga kesatuan diri, serangkaian
proses yang juga mensyaratkan subjektivitas. Dengan demikian, pendidikan lebih dari
sekadar pemerolehan pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan adalah proses yang
bertujuan memfasilitasi individu untuk membentuk dan mengembangkan dirinya.
Kemampuan membentuk dan mengembangkan diri sendiri hanya mungkin dilakukan oleh
orang-orang yang merdeka.
Universitas Indonesia3 melalui program-program pendidikannya berusaha untuk
mencapai tujuan pendidikan, memfasilitasi mahasiswanya menjadi manusia-manusia yang
merdeka, menjadi orang-orang yang mempunyai karakter yang kuat. Kekuatan itu dapat
digolongkan atas enam kelompok, yakni rasa ingin tahu atau minat terhadap dunia, rasa cinta
pemelajaran, pikiran yang kritis dan terbuka, orisinalitas dan kecerdasan praktis, kecerdasan
sosial atau kecerdasan emosional, dan perspektif atau kemampuan memahami beragam
perspektif yang berbeda dan memadukannya secara sinergis untuk pencapaian hidup yang
baik. Keenam kekuatan itu sekaligus juga merupakan nilai yang mendasari, memandu dan
menjadi patokan penyelenggaraan pendidikan di UI.
Salah satu wujud usaha UI untuk menghasilkan orang-orang yang berkarakter kuat
adalah penyelenggaraan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadiaan Terintegrasi.4 Tulisan ini
merupakan pengantar yang sekaligus memuat kerangka pikir dari penyelenggaraan MPKT di
UI. 3 Untuk selanjutnya disingkat menjadi UI. 4 Untuk selanjutnya disingkat menjadi MPKT.
-
v
2. Memerdekakan dan Meningkatkan Kapabilitas Pendidikan bagi Ki Hadjar Dewantara (2004) adalah aktivitas untuk menghasilkan
manusia merdeka, dalam pengertian tidak hidup terperintah; berdiri tegak karena kekuatan
sendiri; dan cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Merdeka di sini mencakup pengertian
merdeka secara fisik, mental, dan rohani. Namun kemerdekaan pribadi itu dibatasi oleh tertib
damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan,
kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggung jawab, dan disiplin.
Lebih khusus lagi, yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah orang yang
mampu berkembang secara utuh dan selaras dalam segala aspek kemanusiaannya, serta
mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu, bagi Ki
Hadjar, dalam konteks pendidikan, pepatah educate the head, the heart, and the hand
sangat tepat (Dewantara, 2004).
Kita dapat menelururi konsep manusia yang mendasari konsep pendidikan Ki Hadjar
Dewantara. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa, dan karya.
Pengembangan manusia menuntut pengembangan semua daya secara seimbang.
Pengembangan yang terlalu menitikberatkan satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan
perkembangan sebagai manusia. Pendidikan yang menekankan aspek intelektual belaka
hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Payung pendidikan mencakup
payung nasionalistik, yaitu budaya nasional, bangsa yang merdeka dan mandiribaik secara
politis, ekonomis, maupun spiritual; dan payung universal, yaitu hukum alam yang berlaku
atas segala sesuatu yang merupakan wujud dari kehendak Tuhan.
Konsep manusia merdeka dari Ki Hadjar Dewantara memiliki implikasi dalam
ranah pendidikan. Ia menyatakan bahwa prinsip dasar pendidikan adalah kemerdekaan,
merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian yang tumbuh
dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana
yang berprinsip kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cinta kasih, dan penghargaan terhadap
setiap orang yang terlibat di dalamnya. Dengan dasar itu maka hak setiap individu hendaknya
dihormati.
Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan
independen secara fisik, mental, dan spiritual. Pendidikan tidak boleh hanya mengembangkan
aspek intelektual sebab hal itu akan memisahkan peserta didik dari orang kebanyakan.
Pendidikan juga hendaknya memperkaya setiap individu, memperkuat rasa percaya diri, dan
-
vi
mengembangkan harga diri. Dalam pada itu, perbedaan di antara pribadi-pribadi harus tetap
dipertimbangkan. Lulusan didik yang dihasilkan adalah lulusan yang berkepribadian
merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan
bertanggung jawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Dengan kata lain,
pendidikan menghasilkan pribadi yang berkarakter kuat.
Metode pendidikan yang memerdekakan didasari oleh kepedulian, dedikasi, dan
kecintaan kepada sesama manusia. Pendidikan harus dapat memfasilitasi siswa untuk
memperoleh pengalaman yang dapat dijadikan media pemelajaran yang mencakup
pemelajaran tentang konsekuensi logis dari tindakansesuai dengan hukum sebab-akibat
dan kesadaran akan pentingnya belajar bagi kehidupan siswa dalam keseharian mereka.
Orang yang belajar tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang yang diajarkan,
melainkan menciptakan sendiri pengertian.
Sejalan dengan pandangan pendidikan Ki Hadjar, pendidikan di UI menekankan
pentingnya mahasiswa menyadari alasan dan tujuan dia belajar. Ia perlu dihindarkan dari
pendidikan yang hanya menghasilkan orang yang sekadar menurut dan melakukan perintah.
Dari Ki Hadjar Dewantara (2004) kita mendapat pemahaman bahwa mendidik merupakan
daya-upaya yang sengaja dilakukan untuk memajukan hidup dan menumbuhkan budi-pekerti
(yang mencakup rasa, pikiran, dan roh) dan badan peserta didik dengan jalan pengajaran,
teladan dan pembiasaan. Menurutnya, tidak boleh ada perintah dan paksaan dalam
pendidikan.
Pemikiran yang lebih operasional tentang pendidikan adalah pemikiran Amartya Sen.5
Menurut Sen, pendidikan bertujuan untuk menghasilkan kapabilitas (capability) pada peserta
didik (Walker dan Unterhalter, 2007). Meskipun istilah yang digunakan Sen adalah
kapabilitas, implikasi logisnya sama dengan istilah merdeka dalam pemikiran Ki Hadjar
Dewantara, yaitu orang yang berkarakter kuat.
Sen mendefinisikan kapabilitas sebagai a persons ability to do valuable acts or
reach valuable states of being; [it] represents the alternative combinations of things a person
is able to do or be (Sen 1993:30). Kapabilitas merujuk kepada kemampuan pribadi untuk
melakukan tindakan berharga atau mencapai keadaan diri yang berharga. Kapabilitas
mewakili adanya kemungkinan atau keleluasaan pada diri seseorang untuk menemukan
kombinasi alternatif dari hal-hal yang dapat dilakukan atau dicapainya. Dengan demikian,
kapabilitas adalah kesempatan atau kemerdekaan untuk mencapai apa yang secara reflektif
5 Ekonom India kelahiran Bengali, pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998.
-
vii
dinilai berharga oleh individu. Kapabilitas dalam terminologi Sen merupakan inti dari
kemerdekaan (Dreze dan Sen 1995).
Dalam pemikiran awalnya, Sen (1985) mengajukan lima komponen yang terkait erat
dengan kapabilitas:
1. kemerdekaan nyata, yaitu adanya pilihan dan alternatif bagi setiap orang yang
membuatnya leluasa menjalani dan mencapai tujuan hidupnya
2. kemampuan mengelola dan mengubah sumber daya menjadi kegiatan-kegiatan yang
bernilai
3. kegiatan-kegiatan yang menghasilkan kebahagiaan
4. keseimbangan faktor materialistik dan nonmaterialistik dalam mencapai kesejahteraan, dan
5. distribusi kesempatan dalam masyarakat.
Pendekatan ini menekankan kapabilitas fungsional, yaitu kemerdekaan substantif
seperti kemampuan untuk hidup sampai hari tua, keterlibatan dalam transaksi ekonomi, atau
partisipasi dalam kegiatan politik. Hal-hal yang terkandung dalam makna kemerdekaan
substantif, menurut pendekatan ini, lebih beralasan untuk dinilai berharga ketimbang
kegunaan (utility) seperti kesenangan, pemenuhan hasrat atau pilihan. Kemerdekaan subtantif
juga dinilai lebih berharga daripada akses ke sumber daya seperti penghasilan, komoditi, dan
aset.
Kemiskinan dipahami sebagai kapabilitas yang tercerabut (deprived capability). Patut
dicatat, penekanan pendekatan ini tidak hanya pada bagaimana orang secara aktual berfungsi,
melainkan juga pada kapabilitasnya, yaitu pilihan praktis untuk berfungsi dalam hal-hal
penting jika ia menginginkannya. Seseorang dapat mengalami kapabilitas yang tercerabut,
misalnya dalam hal pengabaian, penindasan oleh pemerintah, kurangnya sumber daya
finansial, atau kesadaran palsu. Sebaliknya, perlu ditekankan pula, kesejahteraan seseorang
juga dipengaruhi oleh keberadaan orang lain. Sen (1993) menekankan, kebebasan memilih
cara hidup yang memungkinkan seseorang mencapai kesejahteraan, dalam banyak hal
dibantu oleh pilihan-pilihan orang lain. Salah jika kita berpikir bahwa pencapaian prestasi
kita masing-masing merupakan hasil pilihan pribadi semata. Pencapaian prestasi setiap orang
membutuhkan kebersamaan dengan orang lain.
Signifikansi dari ide Sen ini terletak pada kontrasnya dengan ide lain tentang
bagaimana kita memutuskan apa yang adil (fair) dalam distribusi sumber daya. Kapabilitas
atau kemerdekaan dan keadilan adalah setali tiga uang. Keadilan hanya bermakna pada orang
yang merdeka, pada orang yang memiliki kapabilitas untuk menentukan apa yang penting
dan berharga baginya.
-
viii
Ki Hadjar dan Sen sama-sama melihat pendidikan dari hal yang paling mendasar,
yakni dari konsep manusia, tujuan akhir pendidikan, dan apa yang terbaik bagi kehidupan
bersama. Ini membedakan pendekatan mereka dengan pendekatan lainnya yang tampaknya
memisahkan pendidikan dari aspek-aspek lain dari kemanusiaan.
Sebagai contoh dari perbedaan itu, konsep pendidikan lain menggunakan ide tentang
distribusi yang diletakkan pada apa yang ditentukan oleh pihak luar sebagai yang terbaik
untuk menciptakan kesempatan maksimum atau mencapai hasil yang memadai. Umpamanya,
menurut konsep ini, sekolah bagi siswa adalah alat untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dunia
kerja. Sementara menurut Ki Hadjar dan Sen, pendidikan merupakan proses yang
memfasilitasi pertemuan peserta didik dengan dunia, khususnya dengan masyarakat, sehingga
nantinya ia dapat hidup di masyarakatnya secara bermakna dan memberikan kontribusi dalam
pengembangan masyarakat itu. Peserta didik juga difasilitasi untuk dapat memberi makna
kepada dirinya sendiri dan kepada dunia. Keberfungsiannya dalam masyarakat didasari oleh
kebebasan kesempatan yang meleluasakannya memilih cara hidup dan kontribusinya dalam
masyarakat (Unterhalter 2003).
3. Kapabilitas dan Fungsi Kapabilitas berbeda dengan fungsi. Fungsi bertujuan untuk memperoleh manfaat sedangkan
kapabilitas adalah potensi untuk mencapai fungsi (Sen 1980). Membaca, berbicara
menyampaikan gagasan, mengambil peran dalam masyarakat, menjawab pertanyaan,
bertindak hati-hati dan cermat, serta menggunakan alat untuk membuat kerajinan tangan
adalah fungsi. Mendapat kesempatan untuk belajar dan keleluasaan untuk berpikir,
kesempatan untuk bekerja dengan kondisi yang memungkinkan untuk menjadi produktif dan
memperoleh penghargaan merupakan contoh dari kapabilitas. Secara konseptual, kapabilitas
dapat dipahami sebagai refleksi kebebasan untuk mencapai fungsi-fungsi yang bernilai (Sen,
1992). Perbedaan fungsi dan kapabilitas dapat juga dipahami sebagai perbedaan antara
pencapaian prestasi aktual dan kesempatan untuk berprestasi.
Pembedaan fungsi dari kapabilitas sangat penting terutama dalam evaluasi pendidikan
(Walker dan Unterhalter, 2007). Evaluasi hanya atas fungsi dari pendidikan saja memberikan
terlalu sedikit informasi tentang seberapa baik seseorang berlaku dalam kehidupannya.
Pencapaian yang sama oleh dua orang yang berbeda bisa saja memiliki cerita yang berbeda di
belakangnya. Misalnya, yang satu mencapainya dengan mudah karena kesempatan dan
fasilitasnya tersedia, sedangkan yang lain mengorbankan banyak hal untuk mencapai itu.
Sebagai contoh, untuk mencapai nilai ujian nasional di atas standar kelulusan, boleh jadi
-
ix
siswa-siswa di satu sekolah mencapainya dengan cara belajar seperti yang biasa mereka
lakukan sehari-hari, sementara di sekolah lain para siswa dipaksa mengabaikan pelajaran lain
yang tidak disertakan dalam ujian nasional agar dapat memperoleh nilai yang baik dalam
ujian nasional.
Kemerdekaan dan keagenan (agency) merupakan dua konsep sentral dalam
pendekatan kapabilitas (Walker dan Unterhalter, 2007). Dua konsep ini perlu diperjelas
dalam kerangka pendekatan kapabilitas. Dalam kerangka ini, orang dipahami sebagai
partisipan aktif dalam perkembangan ketimbang sebagai pengamat yang pasif. Keagenan
berarti bahwa setiap orang adalah manusia yang terhormat, yang bertanggung jawab
membentuk hidupnya dalam arahan tujuan yang berarti. Dengan kata lain, orang tidak
dibentuk atau diinstruksikan untuk berpikir, melainkan membentuk dan mengelola dirinya
sendiri untuk menjalani hidup yang mengarahkan kepada pencapaian tujuan-tujuannya.
Tujuan-tujuan itu boleh jadi tidak niscaya membuat individu lebih senang atau lebih nyaman,
tetapi hal itu dicapai melalui penalaran reflektif. Dalam pendidikan, setiap orang
diperlakukan sebagai agen dari pemelajarannya, menjadi agen atau instrumen bagi
pemelajaran orang lain, dan menjadi penerima dari keagenan orang lain.
Sebagai agen, peserta didik layak memperoleh perhatian dari pendidik dan sekolah
dalam ikhtiar-ikhtiar untuk mengembangkan mereka sebagai manusia yang merdeka. Bagi Ki
Hadjar dan Sen, keterlibatan siswa dalam pembentukan kehidupan dan perolehan kesempatan
untuk merefleksikan keagenannya merupakan hal yang sangat penting untuk perubahan sosial
yang positif. Keagenan pada dirinya sendiri penting untuk kemerdekaan individu, juga secara
instrumental dibutuhkan untuk tindakan kolektif dan partisipasi demokrasi. Dengan kata lain,
keagenan pada individu diperlukan untuk perkembangan masyarakat (Sen, 1990). Orang
melatih dan mengembangkan keagenannya secara individual serta lewat kerja sama dengan
orang lain (Walker dan Unterhalter, 2007). Melalui kesempatan pendidikan dan proses yang
memadai, setiap orang dapat belajar menguatkan keagenan dan kemerdekaannya.
Keagenan juga merupakan kunci bagi kebahagiaan atau kesejahteraan (well-being)
seseorang (Alkire, 2002). Sama halnya dengan pemelajaran, pemahaman diri sendiri sebagai
agen, yang tindakan-tindakan dan kontribusinya diperhitungkan dalam dunia pendidikan,
tidak berlangsung sekali jadi dalam waktu yang cepat. Pembentukan kesadaran tentang diri
sendiri sebagai agen berlangsung dalam proses yang panjang dan lama, proses yang sekaligus
meng-ada (being) dan menjadi (becoming). Dengan membangun keagenan di dalam dan
melalui praktik pendidikan, kita membuka kemungkinan untuk menginterupsi hubungan yang
-
x
dipaksakan dalam pendidikan yang cenderung mengaitkan sumber-sumber yang dimiliki
pemelajar dengan manfaat (Walker dan Unterhalter, 2007).
4. Pendekatan Yang Digunakan Penyelenggara Pendidikan di UI Dengan dasar pertimbangan keagenan, perlu dipertanyakan apakah pemelajar yang berbeda
diakuisecara sosial dan edukasionalmemiliki klaim yang setara terhadap sumber daya
dan kesempatan. Ini merupakan persoalan yang saat ini sedang dihadapi Indonesia. UI
berusaha menyelesaikan persoalan ini. Marilah kita cermati apa yang berlangsung umum
dalam proses pendidikan di Indonesia.
Pada kenyataannya, di Indonesia terdapat perbedaan akses ke sumber dan
kesempatan, di antara para lulusan dari sekolah yang dianggap bermutu dan yang kurang
bermutu, terutama lulusan perguruan tinggi. Secara sosial tuntutan fungsional terhadap para
lulusan perguruan tinggi jauh lebih tinggi daripada tuntutan terhadap kapabilitas mereka.
Mereka diharapkan sudah siap berfungsi begitu mereka memasuki dunia kerja. Fungsi yang
dituntut dari lulusan itu adalah fungsi yang sudah ditentukan oleh pemberi kerja. Mereka
harus siap bekerja dengan fungsi yang sangat khusus. Ternyata, tidak semua lulusan
perguruan tinggiseperti juga lulusan SMAdapat diserap oleh dunia kerja yang
membutuhkan fungsi khusus. Di sisi lain, selama dalam pendidikan mereka tidak
dipersiapkan untuk memiliki kapabilitas sehingga mereka seperti tak punya kesempatan dan
tak mampu melihat kemungkinan lain di luar menjadi orang bayaran, yakni orang yang
bekerja pada orang lain, misalnya pemerintah atau perusahaan.
Perguruan tinggi di Indonesia umumnya menjadikan keterserapan lulusannya oleh
dunia kerja sebagai salah satu indikasi keberhasilan mereka mendididik. Semakin banyak dan
semakin cepat lulusan mereka terserap oleh perusahaan atau lembaga pemberi kerja, semakin
besar rasa keberhasilan mereka mendidik mahasiswa-mahasiswanya. Dari situ dapat kita lihat
bahwa kebanyakankalau tidak dapat dikatakan semuaperguruan tinggi di Indonesia
masih menggunakan pendekatan utilitarian yang mementingkan pengajaran fungsi dan
mengejar manfaat yang spesifik. Pendidikan yang berikhtiar untuk menghasilkan kapabilitas
atau kemerdekaan pada siswa-siswanya masih sangat langka.
Dalam kajian penelusuran (tracer study) atas sejauh mana efektivitas proses
pendidikan melalui identifikasi kegiatan-kegiatan para lulusannya, informasi yang digali ialah
sejauh mana fungsi-fungsi dimiliki oleh lulusan. Umumnya dalam kajian itu hanya
ditanyakan waktu tunggu untuk mendapatkan pekerjaan pertama, besarnya gaji pertama,
posisi atau jabatan di tempat kerja awal dan saat ini, kesesuaian ilmu dengan bidang
-
xi
pekerjaan, kebutuhan keilmuan dalam melaksanakan pekerjaannya, serta saran dan kritik
untuk kebutuhan pengembangan jurusan. Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan
kapabilitas sangat jarang.
UI berupaya mengubah kecenderungan itu. Pemikiran tentang pengembangan
kapabilitas dan bukan melulu pembentukan fungsi yang menjadi tujuan pendidikan tinggi
diindikasikan oleh kajian penelusuran yang dilakukan oleh UI. Dari kuesioner dan laporan
hasil kajian itu, ada indikasi bahwa pendidikan di UI menekankan juga pentingnya
pengembangan kapabilitas dalam pendidikan. Mahasiswanya diberi kesempatan dan
difasilitasi untuk meningkatkan kapabilitasnya melalui berbagai pengalaman belajar: selain
pengalaman belajar di dalam kelas dan di laboratorium, ada juga pengalaman belajar di
masyarakat, di perusahaan atau di instansi pemerintah; belajar dalam organisasi dan dalam
pergaulan; serta belajar mandiri. Pendidikan yang memungkinkan terbentuknya keterampilan
hidup, keterampilan generik atau keterampikan lunak (soft-skill) pun dilakukan oleh UI.
Beberapa pelajaran juga disajikan dengan metode yang memungkinkan mahasiswa
memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kapabilitasnya, seperti keterlibatan dalam
penelitian sebagai bagian dari mata ajar metodologi penelitian, pengalaman bekerja sama
dalam tim, fasilitasi keterampilan komunikasi lisan dan tertulis, kepemimpinan, manajemen
organisasi, serta kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pemberdayaan masyarakat.
Metode pemelajaran yang digunakan pun beragam dan memungkinkan pengembangan
kapabilitas mahasiswa. Melalui kajian penelusuran, UI mencoba melihat sejauh mana
pendidikan yang bertujuan meningkatkan kapabilitas itu berpengaruh dan berperan dalam
kehidupan lulusannya di masyarakat. Kini usaha untuk menekankan pengembangan
kapabilitas pada mahasiswa UI dalam keseluruhan kurikulumnya semakin besar porsinya.
Sebagai wacana, pendidikan yang bertujuan meningkatkan dan menyetarakan
kapabilitas sudah sering dikemukakan di Indonesia. Namun pada praktiknya, belum banyak
penyelenggara pendidikan yang sungguh-sungguh berikhtiar meningkatkan dan
menyetarakan kapabilitas. Umumnya pendidikan di Indonesia belum ditujukan untuk
menghasilkan manusia yang merdeka atau berkarakter kuat. Dalam banyak hal pendidikan
dilakukan semata-mata untuk menghasilkan penguasaan fungsi oleh para siswa; itu pun
masih belum efektif.
Di tingkat pendidikan yang lebih rendah (SMA, SMP, dan SD), bahkan pendidikan
yang menghasilkan fungsi pun, pengembangan kapabilitas belum berjalan. Kecenderungan
guru-guru mencekoki murid dengan informasi yang harus dihafal, atau menunjukkan cara-
cara tertentu yang tak boleh ditawar atau dikritik mendorong siswa untuk sekadar menghafal,
-
xii
menjadi orang yang pasif menyerap informasi, dan kurang memiliki inisiatif, apalagi
kreativitas. Praktik pendidikan, baik penyekolahan, pembiasaan, maupun peneladanan, jauh
dari pencapaian tujuan menghasilkan manusia merdeka. Bahkan, kapabilitas terkesan tak
terpikirkan oleh kebanyakan penyelenggara sekolah, guru, dan orang tua.
5. UI Memperjuangkan Kapabilitas dan Kemerdekaan Untuk mengubah kecenderungan pendidikan di Indonesia yang lebih mementingkan fungsi
ketimbang kapabilitas, UI memulainya dengan evaluasi yang menekankan pentingnya
pengembangan kapabilitas, misalnya melalui kajian penelusuran. Kemudian, pemelajaran
diarahkan kepada usaha pengembangan kapabilitas dengan menggunakan pelbagai metode
pembelajaran. Metode-metode itu ialah kolaborasi (collaborative learning) dalam
membentuk pengetahuan dan menyelesaikan masalah; pemelajaran berdasarkan masalah
(problem-based learning); pemagangan; penyelesaian proyek bersama; penugasan
(internship) di beberapa lembaga atau komunitas di masyarakat seperti kuliah kerja nyata
(KKN); fasilitasi untuk terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler, seminar dan diskusi lainnya;
pelibatan mahasiswa dalam kegiatan riset; serta pemanfaatan mahasiswa dalam
penyelenggaraan administrasi pendidikan.
Evaluasi terhadap pemelajaran pun mulai ditekankan pada sejauh mana kapabilitas
mahasiswa berkembang. Penekanan evaluasi pada kapabilitas ketimbang pada fungsi
merupakan kontribusi berarti untuk pembahasan keadilan sosial dalam pendidikan, termasuk
peningkatan perhatian kepada gagasan keagenan dan identitas. Dengan evaluasi terhadap
kapabilitas, kita dapat menemukan hal-hal yang memperlemah dan memperkuat kapabilitas.
Temuan-temuan dalam kajian penelusuran yang dilakukan telah memberikan banyak
masukan bagi perbaikan kualitas pendidikan di UI. Temuan itu memungkinkan UI untuk
memikirkan strategi, metode, dan teknik peningkatan kapabilitas yang sekaligus merupakan
peningkatan keagenan dan kemerdekaan.
Evaluasi kapabilitas juga memungkinkan penyelenggara pendidikan memahami
persoalan-persoalan yang ada pada para peserta didik dengan identitas tertentu, baik
individual maupun kolektif. Pemahaman terhadap permasalahan identitas itu dapat membantu
penentuan strategi dan rancangan pendidikan yang sesuai dengan identitas peserta didik.
Dengan demikian persoalan identitas mereka dapat diselesaikan bersamaan dengan
peningkatan penghargaan mereka terhadap identitas kolektif dan identitas diri mereka
masing-masing.
-
xiii
Bagaimana evaluasi itu dilakukan? Dengan kerangka apa? UI belajar dari para
pemikir yang bergulat dengan persoalan pendidikan dan evaluasinya. Pelbagai pemikiran
tentang pendidikan dapat dikelompokkan menjadi dua arus. Pertama, arus pemikiran yang
fokus pada bagaimana sekolah mereproduksi ketaksetaraan dan ketakadilan sosial melalui
maldistribusi dan pembungkaman (di antaranya Bowles dan Gintis, 1976, Bourdieu dan
Passeron, 1977; Aikman, 1999; Bowles dan Gintis, 2002; Kwesiga, 2002; Ball 2003). Kedua,
mereka yang menyadari bagaimana kondisi di sekolah atau situs pemelajaran lainnya
menawarkan sumber daya atau kondisi yang melaluinya pemelajar dapat melawan atau
mengubah ketaksetaraan (di antaranya Stromquist, 1998; Brighouse, 2002; Lynch dan Baker
2005; McLeod, 2005).
UI memadukan kedua pendekatan itu dengan satu tujuan yang memiliki dua sisi.
Tujuan itu, yang mensyaratkan kesetaraan dan keadilan sosial, adalah kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia yang di dalamnya tercakup kapabilitas dan kemerdekaan. Tidak
tercapainya kesejahteraan, juga kapabilitas dan kemerdekaan, boleh jadi karena ada
ketidaksetaraan dan ketidakadilan, tetapi bisa juga karena upaya-upaya untuk mencapai
kesetaraan dan keadilan memang tidak dilakukan. Perlu ditekankan di sini, hilangnya
ketidaksetaraan dan ketidakadilan tidak dengan sendirinya berarti tercapainya kesetaraan dan
keadilan. Oleh karena itu, usaha untuk menghilangkan ketaksetaraan dan ketidakadilan usaha
untuk menghadirkan kesetaraan dan keadilan harus dilakukan secara bersama-sama. Di satu
sisi, tujuan itu dicapai dengan mengurangi ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial. Di sisi
lain, hal itu dicapai dengan meningkatkan kesetaraan dan keadilan sosial.
Sejalan dengan beberapa pemikir yang mengedepankan kapabilitas (di antaranya Sen,
1992, 1993; Nussbaum, 1997, 2002, 2004, 2006), di tataran individu, pendidikan di UI dan
evaluasinya diselenggarakan dengan dasar kesejahteran dan kebahagiaan manusia sebagai
tujuan. Secara operasional, kapabilitas dan kemerdekaan dapat ditingkatkan melalui
pendidikan dengan memfasilitasi peserta didik menjadi orang yang belajar sepanjang hayat,
memiliki gairah menjalani kehidupan, berani mengambil risiko, mampu berpikir kritis, dan
memecahkan masalah, mampu melihat sesuatu secara berbeda, mampu bekerja (baik secara
independen maupun bersama orang lain), kreatif, peduli dan rela memberikan kontribusi
kepada komunitas, merawat hal-hal yang baik, memiliki integritas dan menghargai diri
sendiri, memiliki keberanian moral, mampu menggunakan dunia di sekelilingnya secara
konstruktif, mampu berbicara, menulis, membaca dan bekerja secara baik, serta sungguh-
sungguh menikmati hidup dan pekerjaannya. Semua itu merupakan kapabilitas yang
-
xiv
diperlukan manusia untuk dapat menjadi sejahtera dan bahagia. Evaluasi pendidikan di
tataran individu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana hal itu semua telah dicapai.
UI mendorong berkembangnya kapabilitas para mahasiswa dan dosennya. Di
antaranya dengan memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang kurang mampu secara
finansial, menyediakan pelayanan kesehatan dan fasilitas fisik dengan dasar kesetaraan,
memberlakukan sistem biaya operasional pendidikan (BOP) berkeadilan yang menggunakan
prosedur subsidi silang, melibatkan mahasiswa dalam riset, dan mendorong dan memfasilitasi
dosen-dosen melakukan riset sesuai dengan bidang minatnya.
Dasar dari kebijakan itu adalah kesadaran bahwa meskipun setiap orang memiliki
potensi untuk memperoleh kapabilitas dan kemerdekaan, aktualisasinya memerlukan
perjuangan yang tak ringan. Dengan kata lain, kapabilitas dan kemerdekaan harus
diperjuangkan. Pendidikan yang merupakan bagian dari aktivitas mengembangkan dan
menjaga kesatuan diri setiap pribadi dalam rangka partisipasi mengembangkan dunia pun
harus diperjuangkan. UI mengupayakan agar kesetaraan pendidikan itu dapat dicapai secara
aktual. Pembedaan BOP, sebagai contoh, dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan
mahasiswa yang kurang mampu secara finansial dengan memberikan keringanan biaya kuliah
atau beasiswa penuh kepada mereka.
UI juga mengupayakan kemerdekaan dari tuntutan dan penindasan rezim manfaat,
kekuasaan industri, dan pasar tenaga kerja dengan meleluasakan dosen-dosennya melakukan
riset-riset sesuai dengan minat dan bidang keahliannya, terlepas dari apakah riset-riset itu
dibutuhkan oleh pasar atau tidak. Lalu, dengan bekal hasil riset mereka, para dosen itu
mengajar dan mengembangkan kapabilitas mahasiswa. UI, tentu saja, juga mementingkan
manfaat, bekerja sama dengan industri, dan ikut mendukung tersedianya tenaga kerja yang
kompeten. Namun, di atas semua itu, UI terutama mendidik mahasiswa agar berkarakter kuat,
mempunyai kapabilitas, dan merdeka sebagai tujuan utamanya.
6. MPKT Sebagai Usaha Pengembangan Kapabilitas Mahasiswa UI Dengan dasar konsep pendidikan sebagai usaha pengembangan kapabilitas dan bertujuan
menghasilkan manusia merdeka, maka MPKT diselenggarakan. Penyelenggaraannya
merupakan wujud dari komitmen UI untuk mengembangkan kapabilitas mahasiswanya.
Buku ajar yang memuat bahan-bahan bacaan ini merupakan satu alat pendidikan yang
dimaksudkan untuk menjadi salah satu rujukan yang dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa,
khususnya dalam bagian MPKT A yang lebih menekankan dasar-dasar ilmu pengetahuan
-
xv
sosial dan humaniora. Bahan bacaan ini hanyalah salah satu alat yang melengkapi metode
pemelajaran yang mengutamakan keaktifan mahasiswa dalam proses belajar-mengajar. Ada
banyak alat bantu lain seperti disain instruksional dalam bentuk buku rancangan
pembelajaran, formulir evaluasi, peralatan pendukung presentasi, laboratorium, peralatan
komputer dan internet, serta alat-alat lain yang disesuaikan dengan jenis dan bentuk
pemelajaran mahasiswa. Selain itu, buku ajar ini hanya memuat informasi yang terbatas dan
oleh karena itu mahasiswa diharapkan dan didorong untuk juga memanfaatkan sumber-
sumber bacaan lain untuk memperkaya pengetahuan mereka.
Buku ajar ini memuat bahan-bahan bacaan mengenai kekuatan dan keutamaan
karakter, filsafat, logika yang sekaligus juga memuat materi berpikir kritis, etika,
pengembangan diri individu, kehidupan sosial yang mencakup masyarakat dan bangsa, dan
kebudayaan. Bahan-bahan itu dimasukkan ke dalam tiga buku. Buku I memuat dasar-dasar
yang dibutuhkan dalam usaha perolehan dan penerapan pengetahuan, yaitu Filsafat, Logika,
Etika, dan Kekuatan dan Keutamaan Karakter. Buku II berisi pokok-pokok Manusia,
Masyarakat, dan Kesadaran Lingkungan. Buku III memuat materi tentang Bangsa dan
Negara, khususnya Bangsa dan Negara Indonesia.
MPKT A sebagai bagian dari MPKT keseluruhan merupakan usaha untuk
mengembangkan kapabilitas mahasiswa UI. Pelajaran-pelajaran yang dapat diperoleh di
dalamnya bukan hanya mengenai fungsi yang harus dimiliki mahasiswa dalam memenuhi
tuntutan masyarakatnya, melainkan lebih daripada itu, yakni pelajaran tentang bagaimana
kapabilitas mahasiswa dapat dikembangkan sehingga ia dapat mengembangkan dirinya
sendiri dan masyarakatnya.
-
xvi
DAFTAR PUSTAKA untuk Pengantar
Aikman, S. 1999. Intercultural Education and Literacy: An Ethnographic Study of Indigenous Knowledge and Learning in the Peruvian Amazon Studies in Written Language and Literacy 7. Amsterdam: John Benjamins.
Alkire, S. 2002. Valuing Freedoms: Sens Capability Approach and Poverty Reduction. Oxford: Oxford University Press.
Ball, S. 2003. Class Strategies and the Education Market: The Middle Classes and Social Advantage. London: Routledge Falmer.
Bourdieu, P. dan Passeron, J.-C. 1977 (cet. ke-2). Reproduction in Education, Society and Culture. London: Sage.
Bowles, S. dan Gintis, H. 1976. Schooling in Capitalist America. New York: Basic Books.
. 2002. Schooling in Capitalist America Revisited. Dalam Sociology of Education, 75 (2): 118.
Brighouse, H. 2002. What Rights (if any) Do Children Have? Dalam The Moral and Political Status of Children (suntingan A. Archard dan C. MacLeod). Oxford: Oxford University Press.
Brighouse, H. dan Swift, A. 2003. Defending Liberalism in Education Theory. Dalam Journal of Education Policy, 18:355373.
Dewantara, K. H. 2004. Karya K. H. Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Dreze, J. dan Sen, A. 1995. India: Economic Development and Social Opportunity. Oxford: Oxford University Press.
Hatta, M. 1932/1988. Ke Arah Indonesia Merdeka: Karya Lengkap Bung Hatta, Buku 1: Kebangsaan dan Kerakyatan, hlm. 2130. Jakarta: Penerbit PT Pustaka LP3ES Indonesia.
Kwesiga, J. 2002. Womens Access to Higher Education in Africa: Ugandas Experience. Kampala: Fountain Publishers.
Lynch, K. dan Baker, J. 2005. Equality in Education: An Equality of Condition Perspective. Dalam Theory and Research in Education 3:131164.
-
xvii
McLeod, Julie. 2005. Feminists Re-reading Bourdieu: Old Debates and New Questions about Gender Habitus and Gender Change. Dalam Theory and Research in Education, 3:79.
Nussbaum, M. C. 2000. Women and Human Development: The Capabilities Approach. Cambridge: Cambridge University Press.
Robeyns, I. 2005. The Capability Approach: A Theoretical Survey. Dalam Journal of Human Development, 6(1) 93-114.
Santoso, S. I. 1979. Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan. Jakarta: Univeritas Indonesia.
Sen, Amartya. 1979. Utilitarianism and Welfarism. Dalam The Journal of Philosophy, LXXVI, 463-489.
. 1980. Equality of What? Dalam The Tanner Lectures on Human Values (suntingan S. McMurrin). Salt Lake City: University of Utah Press.
. 1985. Commodities and Capabilities. Oxford: Oxford University Press
. 1992. Inequality Re-examined. Oxford: Oxford University Press.
. 1993. Capability and Well-being dalam Nussbaum dan Sen, The Quality of Life.
. 1999. Development as Freedom. Oxford: Oxford University Press.
. 2002. Rationality and Freedom. Cambridge, MA: Harvard University Press.
. 2004. Capabilities, Lists and Public Reason: Continuing the Conversation. Dalam Feminist Economics, 10:7780.
Stromquist, Nelly. 1998. Empowering Women through Knowledge: Politics and Practices dalam International Cooperation in Basic Education. Stanford, CA: SIDEC.
Unterhalter, E. 2003. The Capabilities Approach and Gendered Education: An Examination of South African Complexities. Dalam Theory and Research in Education, 1 (1): 722.
Walker, M. dan Unterhalter, E. (editor). 2007. Amartya Sens Capability Approach and Social Justice in Education. New York: Palgrave MacMillan.
-
xviii
DAFTAR ISI
PENGANTAR .. iii
DAFTAR PUSTAKA untuk Pengantar ... xvi
DAFTAR ISI.. xviii
BAB I: KEKUATAN DAN KEUTAMAAN KARAKTER
1. Pendahuluan... 1
2. Kepribadian dan Karakter...... 2
3. Kekuatan dan Keutamaan Karakter.... 4
4. Membedakan Keutamaan, Kekuatan Karakter dan Tema Situasional. 4
5. Kriteria Karakter yang Kuat. 6
6. Keutamaan dan Kekuatan Karakter yang Membentuknya. 7
7. Karakter dan Spiritualitas.. 12
8. Keutamaan Karakter dan Kebahagiaan. 15
DAFTAR PUSTAKA untuk Bab I.................................................................... 17
BAB II: DASAR-DASAR FILSAFAT
1. Pendahuluan ...... 18
2. Pengertian Filsafat...... 20
3. Cabang dan Aliran Filsafat..... 26
4. Alternatif Langkah Belajar Filsafat.... 34
DAFTAR PUSTAKA untuk Bab II ............................................................. 38
BAB III: DASAR-DASAR LOGIKA.... 39
1. Apakah Logika Itu?...................................... 39
2. Kategori......... 43
3. Term, Definisi dan Divisi... 48
Allifna
-
xix
3.1 Term..... 48
3.2 Definisi. 49
3.2.1 Penggolongan Definisi 50
3.2.2 Aturan Membuat Definisi 51
3.3 Divisi. 52
3.3.1 Divisi Real atau Aktual 52
3.3.2 Divisi Logis.. 53
3.3.3 Aturan Pembuatan Divisi. 53
4. Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi.... 54
4.1 Pengertian Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi... 54
4.2 Pernyataan Sederhana dan Pernyataan Kompleks 56
4.3 Jenis-Jenis Pernyataan Kompleks. 58
4.3.1 Negasi... 58
4.3.2 Konjungsi. 59
4.3.3 Disjungsi.. 61
4.3.4 Kondisional.. 62
4.3.5 Hubungan Kondisional: Kondisi Niscaya dan Kondisi yang
Mencukupi 64
4.4 Hubungan Antar-pernyataan..... 65
4.4.1 Kesimpulan Langsung: Oposisi dan Proposisi 66
4.4.2 Konsistensi dan Inkonsistensi. 68
4.4.3 Implikasi, Ekuivalensi, dan Independensi Logis. 68
5. Penalaran.... 70
5.1 Penyimpulan Langsung...... 70
5.2 Penyimpulan Tak Langsung..... 71
5.3 Dua Jenis Penalaran.. 72
5.4 Kesalahan Penyimpulan 72
5.5 Argumentasi.. 73
6. Argumen Deduktif... 74
6.1 Definisi Penalaran Deduktif (Deduksi). 74
6.2 Karakteristik Penalaran Deduktif.. 74
6.3 Silogisme... 75
6.3.1 Silogisme Kategoris. 76
6.3.2 Delapan Hukum Silogisme.. 76
-
xx
6.3.3 Silogisme Hipotetis. 79
6.3.4 Bentuk-bentuk Umum Argumen yang Sahih. 79
7. Argumen Induktif... 81
7.1 Definisi Induksi 81
7.1.1 Induksi Enumeratif (Generalisasi Induktif). 84
7.1.2 Spesifikasi Induktif: Silogisme Statistikal.. 88
7.1.3 Induksi Eliminatif atau Diagnostik.. 92
8. Sesat Pikir.... 100
8.1 Pengertian Sesat Pikir (Fallacies).. 100
8.2 Sesat Pikir Formal. 101
8.3 Sesat Pikir Nonformal.. 104
9. Kesalahan Umum Dalam Penalaran Induktif. 109
9.1 Menilai Penalaran Induktif dengan Standar Deduktif.. 110
9.2 Kesalahan Generalisasi. 112
9.2.1 Generalisasi yang Terburu-buru (Kebalikan dari Kesalahan
Kecelakaan). 112
9.2.2 Kesalahan Kecelakaan. 113
9.3 Kesalahan Penggunaan Bukti Secara Salah. 116
9.3.1 Kesimpulan yang Tidak Relevan. 116
9.3.2 Kesalahan Bukti yang Ditahan 117
9.4 Kesalahan Statistikal 119
9.4.1 Kesalahan Sampel yang Bias (Statistik yang Bias). 119
9.4.2 Kesalahan Percontoh yang Kecil (Ststistik yang Tidak Cukup). 120
9.4.3 Kesalahan Penjudi (Gamblers Fallacy)...... 122
9.5 Kesalahan Kausal. 123
9.5.1 Mengacaukan Sebab dan Akibat. 124
9.5.2 Mengabaikan Penyebab Bersama 125
9.5.3 Kesalahan Penyebab yang Salah (Kesalahan Post Hoc). 126
9.5.4 Mengacaukan Penyebab yang Berupa Necessary Condition dengan
Sufficient Condition 127
9.6 Kesalahan Analogi 129
DAFTAR PUSTAKA untuk Bab III................................................... 132
BAB IV: DASAR-DASAR ETIKA. 133
-
xxi
1. Perbedaan Etika dan Moralitas...................................................................... 133
2. Klasifikasi Etika.. 135
2.1 Etika Normatif.. 136
2.2 Etika Terapan 137
2.3 Etika Deskriptif. 138
2.4 Metaetika.. 140
3. Realisme Etis dan Non-Realisme Etis.... 141
3.1 Realisme Etis. 141
3.2 Nonrealisme Etis... 142
4. Empat Jenis Pernyataan Etika. 143
5. Kegunaan Etika... 145
6. Immanual Kant dan Etika Kewajiban. 146
7. John Stuart Mill dan Konsep Etika Utilitarian.. 149
8. W.D Ross; Intuisi dan Kewajiban.. 152
DAFTAR PUSTAKA untuk Bab IV ........................................ 156
-
1
BAB I KEKUATAN DAN KEUTAMAAN KARAKTER
Bagus Takwin 1. Pendahuluan
Persoalan karakter belakangan ini mencuat kembali. Ada banyak pembahasan tentang
karakter di dalam diskusi dan seminar. Bermunculan juga lembaga pendidikan yang diberi
label pendidikan karakter. Program-program pendidikan dari pemerintah pun mulai banyak
memberi penekanan pada pendidikan karakter. Kecenderungan ini adalah kecenderungan
yang baik jika memang persoalan karakter dibidik secara tepat, dan juga jika pendidikan
karakter yang dimaksud bukan label saja.
Pembentukan karakter memang menjadi salah satu kunci dari kemajuan dan
pembangunan bangsa. Jauh-jauh hari Bung Hatta (1932/1988) sudah menekankan pentingnya
pembentukan karakter bersama dengan pembangunan rasa kebangsaan dan peningkatan
pengetahuan serta keterampilan (Hatta, 1988). Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa
tujuan pendidikan adalah memerdekakan manusia. Manusia yang merdeka adalah manusia
dengan karakter yang kuat (Dewantara, 2004). Pembentukan karakter juga merupakan isu
penting dalam pendidikan mengingat tujuan pendidikan adalah pembentukan watak atau
karakter (Santoso, 1979).
Dalam psikologi, khususnya psikologi positif, belakangan ini pembahasan tentang
karakter dengan kekuatan dan keutamaannya cukup menonjol. Dalam rangka memahami
kebahagiaan, mereka sampai pada pengertian bahwa kebahagiaan yang otentik adalah
perpaduan perasaan-perasaan positif dan penilaian-penilaian terhadap hidup yang memuaskan
berdasarkan kekuatan dan keutamaan karakter. Kebahagian otentik bersumber pada diri
sendiri dan pada kekuatan dan keutamaan karakter, tetapi bukan berasal dari hal-hal lain di
luar diri sendiri. Dengan kekuatan dan keutamaan karakter, orang dapat menghasilkan
perasaan-perasaan positif dalam situasi apa pun. Ia juga dapat melihat sisi-sisi baik dari
hidupnya sehingga ia dapat memberikan penilaian positif pula kepada hidupnya. Oleh sebab
itu, pendidikan karakter juga merupakan usaha untuk membantu peserta didik mencapai
kebahagiaan.
-
2
Jika kita pikirkan dengan lebih mendalam lagi, kekuatan karakter bersumber pada
keberadaan manusia sebagai makhluk spiritual. Manusia memiliki daya-daya spiritual yang
memberikan kebebasan kepadanya untuk melampaui apa yang ada di sini dan saat ini.
Dengan spiritualitasnya, manusia mengatasi dan melampaui keterbatasannya sebagai
makhluk alamiah. Spiritualitas manusia merupakan dasar dari kekuatan karakter.
Kemampuan manusia untuk memperbaiki diri dan dunianya dari waktu ke waktu bersumber
pada daya-daya spiritualnya.
Dalam bab ini akan dibahas pengertian karakter dengan merujuk kepada Allport
(1937;1961). Selanjutnya akan dibahas kekuatan dan keutamaan karakter yang sudah
dihimpun oleh Peterson dan Seligman (2004) dari pendekatan psikologi positif. Kemudian
dibahas spiritualitas sebagai dasar kekuatan karakter.
2. Kepribadian dan Karakter Karakter bukan kepribadian meskipun keduanya berkaitan erat. Perlu dibahas lebih
dulu apa yang dimaksud dengan kepribadian mengingat istilah ini sering dipertukarkan
dengan karakter. Selain itu, penjelasan tentang karakter akan lebih mudah dilakukan dengan
menjelaskan kepribadian terlebih dahulu.
Allport (1937:48) mendefinisikan kepribadian sebagai ...the dynamic organization
within the individual of those psychophysical system that determine his unique adjustment to
his environment (organisasi dinamis dari keseluruhan sistem psiko-fisik dalam diri
individu yang menentukan penyesuaian dirinya yang unik terhadap lingkungannya).
Dari definisi itu dapat dipahami bahwa kerpibadian manusiasebagai hal yang
terorganisasitidak acak, dan unsur-unsurnya tidak bekerja sendiri-sendiri. Kepribadian
manusia adalah kesatuan yang teratur dengan unsur-unsur yang berkaitan satu sama lain.
Allport juga memandang kepribadian manusia sebagai sesuatu yang dinamis. Artinya,
kepribadian manusia terus bergerak dan berkembang, tidak berhenti atau terhenti pada satu
titik. Kepribadian manusia tampil dalam perilaku yang melibatkan aspek psikis seperti
berpikir, mempercayai dan merasakan sesuatu. Kepribadian juga tampil dalam perilaku yang
melibatkan aspek fisik manusia seperti berjalan, berbicara dan melakukan tindakan-tindakan
motorik.
Organisasi, dinamika, dan interaksi antara psikis dan fisik manusia dalam
kepribadiannya menentukan penyesuaian dirinya yang unik terhadap lingkungannya. Di sini
terkandung pengertian bahwa baik faktor internal diri manusia maupun faktor eksternal
(lingkungan)-nya mempengaruhi kepribadian manusia. Manusia memiliki otonomi dalam
-
3
dirinya tetapi, di sisi lain, ia juga menyesuaikan diri dengan lingkungannya secara unik.
Dengan keunikan itu, seorang manusia berbeda dari manusia lainnya.
Allport (1937; 1961) menambahkan beberapa pengertian yang menyangkut kepribadian
sebagai berikut. Pertama, kepribadian dapat dipahami sebagai perpaduan dari sifat-sifat
(traits) mayor dan minor yang masing-masing dapat berdiri sendiri dan dikenali. Kedua, sifat
kepribadian (personality trait) merupakan suatu mekanisme paduan antara faktor-faktor
biologis, psikologis, dan sosial yang mengarahkan individu kepada kegiatan-kegiatan spesifik
dalam suatu keadaan yang spesifik. Ketiga, seorang ahli psikologi dapat mengatakan bahwa
dirinya memahami orang lain hanya jika keseluruhan sejarah hidup orang itu telah
ditelitinya, hanya jika hidup orang itu diamati, dan hanya jika orang itu sendiri ikut
berkontribusi dalam proses penilaian terhadap dirinya sendiri (self-evaluation).
Allport cenderung untuk tidak memilah-milah dan menganalisis motif, keinginan, dan
perilaku sebagai hal yang terpisah satu sama lain, melainkan menganggapnya sebagai hal-hal
yang saling mempengaruhi. Allport (1961) melihat manusia sebagai keseluruhan yang utuh
berdasarkan pembentukan sifat-sifat dasarnya. Oleh karena itu, dalam memahami kepribadian
seseorang perlu diketahui sejarah hidup, latar belakang budaya, ambisi, cita-cita, karakter,
motif, dan sifatnya serta keterkaitan semua itu dalam pembentukan kepribadiannya.
Pemahaman tentang unsur-unsur kepribadian berdasarkan analisis terhadap unsur-unsurnya
masing-masing itu baru merupakan langkah awal untuk membantu pemahaman tentang
keseluruhan kepribadian. Pada akhirnya, sintesis dari unsur-unsur itulah yang merupakan
gambaran kepribadian.
Allport (1937) mendefinisikan karakter sebagai kepribadian yang dievaluasi. Artinya,
karakter adalah segi-segi kepribadian yang ditampilkan keluar dari, dan disesuaikan dengan
nilai dan norma tertentu. Karakter, dengan demikian, adalah kumpulan sifat mental dan etis
yang menandai seseorang. Kumpulan ini menentukan orang seperti apa pemiliknya. Karakter
juga menentukan apakah seseorang akan mencapai tujuan secara efektif, apakah ia apa
adanya dalam berurusan dengan orang lain, apakah ia akan taat kepada hukum, dan
sebagainya.
Karakter diperoleh melalui pengasuhan dan pendidikan meskipun potensialitasnya ada
pada setiap orang. Untuk membentuk karakter yang kuat, orang perlu menjalani serangkaian
proses pemelajaran, pelatihan dan peneladanan. Seperti yang sudah disebutkan di atas,
pendidikan pada intinya merupakan proses pembentukan karakter.
-
4
3. Kekuatan dan Keutamaan Karakter Identifikasi karakter yang merupakan pengenalan terhadap keutamaan tertentu pada
diri seseorang dapat dilakukan melalui pengenalan terhadap ciri-ciri keutamaaan yang tampil
dalam perilaku khusus dan respons secara umum dari orang itu. Peterson dan Seligman
(2004) mengembangkan klasifikasi keutamaan beserta pendekatan metodik untuk
mengidentifikasinya. Mereka mengatakan bahwa karakter yang kuat adalah karakter yang
bercirikan keutamaan-keutamaan yang merupakan keunggulan manusia. Di sini keutamaan
sebagai kekuatan karakter dibedakan dari bakat dan kemampuan. Mereka juga menjelaskan
kondisi situasional yang dapat memunculkan atau menyurutkan kekuatan-kekuatan itu,
pelatihan atau pembinaan yang dapat dilakukan untuk mengembangkan karakter yang kuat,
serta hasil-hasil positif yang dapat diperoleh seseorang yang memiliki keutamaan.
Penggalian, pengenalan, dan pengukuran keutamaan dapat dilakukan melalui teknik
inventori, skala sikap, wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah (focus-group
discussion) dan simulasi. Pada prinsipnya, semua teknik itu membutuhkan ahli yang
memahami konstruk karakter dan keutamaan, terutama dalam proses penafsiran dan
pemaparan keseluruhan karakter subjek yang diteliti. Tetapi, dalam pelaksanaannya, beberapa
teknik dapat digunakan oleh lebih banyak orang yang terlebih dahulu dilatih dalam waktu
singkat.
4. Membedakan Keutamaan, Kekuatan Karakter dan Tema Situasional
Peterson dan Seligman (2004) mengemukaan tiga level konseptual dari karakter, yaitu
keutamaan, kekuatan dan tema situasional dari karakter. Pembedaan ini berguna untuk
kepentingan pengenalan, pengukuran dan pendidikan karakter. Komponen karakter yang baik
tampil dalam level abstraksi yang berbeda sehingga pengenalannya dalam kenyataan praktis
pun memerlukan pendekatan yang berbeda. Cara mengenali keutamaan berbeda dengan cara
mengenali kekuatan karakter, juga berbeda dengan cara mengenali tema situasional.
Hubungan antara keutamaan, kekuatan dan tema situasional karakter bersifat
hierarkis. Keutamaan berada di level atas, lalu kekuatan di level tengah, dan tema situasional
di level bawah. Dalam keseharian, kita terlebih dahulu mengenali tema situasional dari
karakter. Ketika orang menampilkan serangkaian perilaku dalam situasi tertentu, kita dapat
mengenai tema situasional tertentu dari karakter, tetapi kita belum dapat menyimpulkan
bahwa orang itu memiliki kekuatan tertentu. Kita dapat lebih memastikan kekuatan apa yang
dimiliki orang itu jika kita dapat mengenali bahwa orang itu juga menampilkan perilaku-
perilaku sesuai tema situasional tertentu dalam beberapa situasi. Kemudian, jika dalam
Allifna
Allifna
Allifna
Allifna
Allifna
Allifna
Allifna
Allifna
Allifna
-
5
berbagai situasi dan dalam rentang waktu yang relatif lama, seseorang menunjukkan berbagai
kekuatan tertentu secara konsisten, baru kita dapat mengenali keutamaan orang itu.
Keutamaan merupakan karakteristik utama dari karakter (Peterson & Seligman,
2004). Para filsuf dan agamawan menjadikan keutamaan sebagai nilai moral oleh karena itu
keutamaan dianggap sebagai dasar dari tindakan yang baik. Berbagai perilaku dapat dinilai
berdasarkan keutamaan yang secara umum terdiri dari: kebijaksanaan, courage (kesatriaan),
kemanusiaan, keadilan, pengendalian atau pengelolaan diri, dan transendensi. Enam kategori
besar keutamaan ini muncul secara konsisten dalam survei sejarah sehingga dinilai sebagai
keutamaan universal. Peterson dan Seligman (2004) pun menegaskan bahwa enam
keutamaan ini universal dan mungkin memiliki dasar pada manusia secara biologis. Enam
keutamaan ini harus ada di atas batas nilai standar pada individu yang dipercaya sebagai
orang yang memiliki karakter yang baik.
Kekuatan karakter adalah unsur psikologis, lebih tepatnya, proses yang
mendefinisikan keutamaan. Dengan kata lain, keutamaan dapat dicapai melalui pencapaian
kekuatan karakter. Untuk kepentingan pengukuran dan pendidikan karakter, kekuatan
karakter adalah karakteristik yang dijadikan indikator untuk mengenali adanya satu atau lebih
keutamaan pada diri seseorang. Peterson dan Seligman (2004) memberi contoh berikut ini.
Keutamaan kebijaksanaan dapat dicapai melalui kekuatan seperti kreativitas, rasa ingin tahu,
cinta pembelajaran, keterbukaan pikiran, dan perspektif (memiliki gambaran besar
mengenai kehidupan). Untuk memiliki keutamaan kebijaksanaan, orang harus memiliki
kekuatan-kekuatan ini. Kekuatan karakter ini memiliki kesamaan peran dan pengaruh dalam
keterlibatannya menghasilkan pengetahuan. Perolehan dan penggunaan pengetahuan
melibatkan kekuatan-kekuatan ini. Tetapi, kekuatan-kekuatan ini juga berbeda satu sama lain.
Sekali lagi, kita mengenali semua kekuatan ini di setiap tempat dan dihargai meski jarang
orang menampilkannya. Selain itu, tidak harus semua kekuatan tampil untuk dapat menyebut
seseorang berkarakter baik. Orang yang memiliki satu atau dua kekuatan ini saja dapat
dikatakan berkarakter baik, bahkan dapat disebut memiliki keutamaan kebijaksanaan.
Tema situasional dari karakter adalah kebiasaan khusus yang mengarahkan orang
untuk mewujudkan kekuatan karakter dalam situasi tertentu. Pengenalan rinci terhadap tema
situasional membutuhkan pengenalan terhadap situasi dari satu tempat ke tempat lain.
Sebagai contoh, survei oleh The Gallup Organization mengenali ratusan tema yang relevan
dengan kinerja prima di tempat kerja, di antaranya empati, inklusivitas (menghargai
perbedaan dan terbuka pada siapa saja), dan positivitas (berpikir positif) yang mencerminkan
kebaikan hati yang tercakup dalam kekuatan cinta dan kecerdasan sosial, serta tercakup
Allifna
Allifna
Allifna
Allifna
Allifna
Allifna
Allifna
Allifna
Allifna
Allifna
Allifna
Allifna
Allifna
Allifna
-
6
dalam keutamaan kemanusiaan (Peterson dan Seligman, 2004). Munculnya tema situasional
bergantung pada karakteristik tempat beradanya seseorang. Tema situasional dapat muncul
dalam lingkungan yang meleluasakan individu tampil apa adanya, jujur dan tulus. Dari sini
dapat dipahami bahwa lingkungan juga berperanan penting dalam memfasilitasi munculnya
kekuatan karakter melalui pemunculan tema situasional. Semakin banyak dan sering tema
situasional ditampilkan semakin terbentuk kekuatan karakter. Dalam pendidikan karakter,
perancangan lingkungan yang memfasilitasi tampilnya tema situasional menjadi faktor
penting untuk pembentukan karakter yang baik.
5. Kriteria karakter yang kuat
Apa yang menjadi kualitas dari kekuatan karakter pribadi dan bagaimana
mengenalinya?
Peterson dan Seligman (2004) mengemukakan kriteria dari karakter yang kuat
sehingga kita dapat mengenalinya dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ialah kriteria dari
karakter yang kuat.
1. Karakter yang ciri-cirinya (keutamaan yang dikandungnya) memberikan sumbangan
terhadap pembentukan kehidupan yang baik untuk diri sendiri dan sekaligus untuk orang
lain.
2. Ciri-ciri atau kekuatan yang dikandungnya secara moral bernilai sebagai sesuatu yang
baik bagi diri sendiri dan orang lain, bahkan walaupun tak ada keuntungan langsung yang
dihasilkannya.
3. Penampilan ciri-ciri itu tidak mengganggu, membatasi atau menghambat orang-orang di
sekitarnya.
4. Kekuatan karakter tampil dalam rentang tingkah laku individu yang mencakup pikiran,
perasaan, dan tindakan, serta dapat dikenali, dievaluasi dan diperbandingkan derajat kuat-
lemahnya.
5. Karakter yang kuat dapat dibedakan dari ciri-ciri yang berlawanan dengannya.
6. Kekuatan karakter diwadahi oleh model atau kerangka pikir ideal.
7. Kekuatan karakter dapat dibedakan dari sifat positif yang lain tetapi yang saling terkait
secara erat.
8. Dalam konteks dan ruang lingkup tertentu, kekuatan karakter tertentu menjadi ciri yang
mengagumkan bagi orang-orang yang mempersepsinya.
9. Boleh jadi tidak semua ciri karakter yang kuat muncul pada seseorang, tetapi kebanyakan
dari ciri-ciri karakter yang kuat tampil pada orang itu.
Allifna
Allifna
-
7
10. Kekuatan karakter memiliki akar psiko-sosial; potensinya ada dalam diri sendiri, dan
aktualitanya dipengaruhi oleh lingkungan sosial.
Peterson (2006) percaya bahwa orang memiliki tanda kekuatan yang sama dengan
yang disebut Allport sebagai personal traits (sifat pribadi) satu dekade lalu. Kekuatan
karakter itu yang dimiliki, dihargai, dan seringkali dilatih orang. Dalam penelitian Peterson,
ditemukan bahwa hampir setiap orang dapat secara cepat mengenali sekumpulan kekuatan
yang mereka ia miliki, sekita 2 sampai 5 kekuatan pada setiap orang.
6. Keutamaan dan Kekuatan Karakter Yang Membentuknya
Dalam usaha membentuk karakter, diperlukan pemahaman mengenai apa yang saja
keutamaan dan kekuatan karakter yang sejauh ini sudah dikembangkan oleh manusia.
Peterson dan Seligman (2004) berusaha untuk membuat daftar kekuatan karakter pribadi.
Daftar ini masih terus dilengkapi dan tidak tertutup terhadap penambahan. Seperti teori
ilmiah lainnya, teori tentang kekuatan karakter adalah subyek yang siap untuk diubah sesuai
dengan bukti yang ditemukan dari waktu ke waktu. Berikut ini 24 kekuatan karakter yang
tercakup dalam 6 kategori keutamaan.
Kebijaksanaan dan Pengetahuan
Kebijaksanaan dan pengetahuan merupakan keutamaan yang berkaitan dengan fungsi
kognitif, yaitu tentang bagaimana mendapatkan dan menggunakan pengetahuan. Ada enam
kekuatan yang tercakup dalam keutamaan ini, yaitu (1) kreativitas, orisinalitas dan
kecerdasan praktis, (2) rasa ingin tahu atau minat terhadap dunia, (3) cinta akan
pembelajaran, (4) pikiran yang kritis dan terbuka, dan (5) perspektif atau kemampuan
memahami beragam perspektif yang berbeda dan memadukannya secara sinergis untuk
pencapaian hidup yang baik.
Kreativitas memberikan kemampuan untuk berpikir dengan cara baru dan produktif
dalam membuat konsep dan menyelesaikan pekerjaan. Bersama dengan kekuatan orisinalitas
dan kecerdasan praktis, kreativitas memungkinkan orang yang memilikinya untuk dapat
menemukan solusi atau produk orisinal serta mampu menemukan cara-cara yang cerdik
untuk untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Keingintahuan mencakup minat, dorongan untuk mencari kebaruan, keterbukaan
terhadap pengalaman. Kekuatan ini menjadikan orang memiliki minat dalam pengalaman
Allifna
Allifna
-
8
yang sedang berlangsung baik untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain, serta
melakukan penjelajahan dan penemuan.
Keterbukaan pikiran mencakup kemampuan membuat penilaian dan berpikir kritis.
Kekuatan ini memampukan orang yang memilikinya untuk berpikir mendalam dan
menyeluruh tentang berbagai hal, memeriksa mereka dari semua sisi, serta menimbang semua
bukti memadai.
Cinta pembelajaran memampukan orang yang memilikinya menguasai keterampilan,
topik, dan cabang pengetahuan baru, baik dengan cara belajar sendiri maupun secara formal
dalam lembaga pendidikan. Dengan kekuatan ini, orang mau terus belajar dan terus menerus
mengembangkan dirinya menjadi lebih.
Kekuatan perspektif menjadikan orang yang memilikinya mampu memberikan nasihat
bijak kepada orang lain serta memiliki cara untuk melihat dunia yang masuk akal bagi diri
sendiri dan orang lain. Dengan keutamaan ini, orang dapat memahami berbagai perspektif
yang ada dan menemukan benang merah di antara perspektif.
Kemanusiaan dan Cinta
Kemanusiaan dan cinta merupakan keutamaan yang mencakup kemampuan
interpersonal dan bagaimana menjalin pertemanan dengan orang lain. Keutamaan ini terdiri
atas kekuatan (1) baik dan murah hati, (2) selalu memiliki waktu dan tenaga untuk membantu
orang lain, mencintai dan membolehkan diri sendiri untuk dicintai, serta (3) kecerdasan sosial
dan kecerdasan emosional.
Kekuatan Kemanusiaan adalah kekuatan interpersonal yang melibatkan
kecenderungan dekat dan berteman dengan orang lain. Kekuatan cinta membuat orang
mampu menjalin hubungan dekat dengan orang lain, khususnya yang bercirikan kegiatan
berbagi dan peduli yang saling membalas.
Kekuatan kebaikan hati mencakup kedermawanan, pemeliharaan, perawatan, kasih
sayang, dan altruistik menjadikan orang mau berbagi kesenangan dan kebaikan dengan orang
lain. Orang dengan kekuatan ini menjadi berbuat baik sebagai bagian dari pengembangan
dirinya.
Kecerdasan sosial mencakup kecerdasan emosional dan kecerdasan intrapersonal
memampukan orang yang memilikinya memahami motif dan perasaan orang lain, serta
memahami motif dan perasaan diri sendiri. Orang dengan kekuatan ini dapat menempatkan
diri sesuai dengan kebutuhan orang lain tanpa mengorbankan kebutuhan diri sendiri. Mereka
mengembangkan dirinya sekaligus juga mengembangkan orang lain.
Allifna
Allifna
-
9
Kesatriaan (Courage)
Keutamaan kesatriaan (courage) merupakan kekuatan emosional yang melibatkan
kemauan kuat untuk mencapai suatu tujuan meskipun mendapat halangan atau tentangan,
baik eksternal maupun internal. Keutamaan ini mencakup empat kekuatan, yaitu (1) untuk
menyatakan kebenaran dan mengakui kesalahan, (2) ketabahan atau kegigihan, tegus dan keras
hati, (3) integritas, kejujuran, dan penampilan diri dengan wajar, serta (4) vitalitas,
bersemangat dan antusias.
Kekuatan Keberanian mencakup kekuatan emosional yang melibatkan pelaksanaan
kehendak untuk mencapai tujuan dalam menghadapi oposisi eksternal dan internal membuat
orang tahan menghadapi ancaman dan tantangan. Orang dengan kekuatan ini kehendaknya
tidak menyusut ketika berhadapan dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi seperti rasa nyeri
atau keletihan. Kekuatan ini memampukan orang bertindak atas keyakinan meskipun tidak
populer.
Ketabahan atau kegigihan mencakup ketekunan dan kerajinan adalah kekuatan yang
memampukan orang untuk menyelesaikan apa sudah dimulai, bertahan dalam suatu
rangkaian pencapaian tindakan meskipun ada hambatan. Orang dengan kekuatan ini mampu
menyesuaikan kata-kata dan perbuatan, serta berpegang pada prinsip dalam berbagai situasi,
bahkan situasi yang menghambat dan mengancam.
Integritas yang mencakup otentisitas (keaslian), kejujuran dan penampilan diri yang
wajar adalah kekuatan yang membuat orang mampu menampilkan diri secara tulus. Orang
dengan kekuatan ini mengambil tanggung jawab atas perasaan dan tindakannya. Ia mau
bertanggung jawab untuk semua perbuatannya dan menjalankan tugas-tugas secara jujur.
Vitalitas mencakup semangat, antusiasme, semangat, dan penuh energi adalah
kekuatan yang membuat orang dapat menjalani kehidupan penuh dengan kegembiraan,
semangat dan energi. Orang dengan kekuatan ini merasa hidup, aktif dan penuh daya juang.
Keadilan
Keutamaan keadilan (justice) mendasari kehidupan yang sehat dalam suatu
masyarakat. Ada tiga kekuatan yang tercakup di sini, yakni 1) kewarganegaraan atau
kemampuan mengemban tugas, dedikasi dan kesetiaan demi keberhasilan bersama, 2)
kesetaraan (equity dan fairness) perlakuan terhadap orang lain atau tidak membeda-bedakan
perlakuan yang diberikan kepada satu orang dengan yang diberikan kepada orang lain, dan 3)
Allifna
Allifna
Allifna
Allifna
-
10
kepemimpinan. Keadilan adalah kekuatan sipil yang mendasari kehidupan masyarakat yang
sehat.
Kewarganegaraan mencakup tanggung jawab sosial, loyalitas dan kesiapan kerja
dalam tim membuat orang dapat bekerja dengan baik sebagai anggota kelompok yang setia
kepada kelompok.
Kesetaraan adalah kekuatan yang membuat orang memperlakukan semua orang sama
di hadapan keadilan, bukan membiarkan keputusan atau perasaan pribadi yang bias tentang
orang lain. Kekuatan ini menghindarkan orang dari prasangka primordial seperti rasisme dan
stereotipe. Orang dengan kekuatan ini mementingkan kesejahteraan orang lain seperti
kesejahteraannya sendiri.
Kepemimpinan adalah kekuatan yang mendorong orang sebagai anggota kelompok
atau sebagai pemimpin untuk menyelesaikan tugas dan pada saat yang sama menjaga
hubungan yang baik dengan orang lain dalam kelompok. Orang dengan kekuatan ini dapat
menempatkan diri dan bekerja secara prima baik sebagai pemimpin maupun sebagai
bawahan.
Pengelolaan Diri
Pengelolaan diri (temperance) adalah keutamaan untuk melindungi diri dari segala
akibat buruk yang mungkin terjadi di kemudian hari karena perbuatan sendiri. Di dalamnya
tercakup kekuatan (1) pemaaf dan pengampun, (2) pengendalian diri, (3) kerendahan hati, dan
(4) kehati-hatian (prudence). Keutamaan ini melindungi terhadap kemungkinan hidup
berlebihan atau berkurangan, serta menjaga orang berada di situasi yang tepat. Kata lain yang
dapat digunakan untuk keutamaan ini adalah ugahari.
Pengampunan dan belas kasihan adalah kekuatan yang memberikan orang
kemampuan untuk mengampuni mereka yang telah berbuat salah, menerima kekurangan
orang lain, memberikan orang kesempatan kedua, dan tidak pendendam. Kekuatan ini
membuat orang percaya kepada kemampuan manusia untuk berbuat baik dan menghindarkan
diri dari pesimisme terhadap kebaikan manusia.
Pengendalian diri adalah kekuatan yang memampukan orang mengetahui apa yang
masuk akal dan tidak masuk akal untuk dilakukan sehingga dapat memilih hal-hal yang
masuk akan untuk dilakukannya. Kekuatan ini membuat orang dapat disiplin, mengendalikan
selera dan emosi mereka. Orang dengan kekuatan ini dapat menentukan tindakan-tindakan
yang tepat bagi dirinya sehingga tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.
Allifna
Allifna
Allifna
-
11
Kerendahan hati atau kesederhanaan adalah kekuatan yang membuat orang
mengedepankan prestasi daripada pengakuan atas keberhasilan. Orang dengan kekuatan ini
tidak melakukan kebaikan hanya untuk diri mereka sendiri. Prestasi bagi orang dengan
kekuatan ini bukan tentang diri sendiri, melainkan untuk sebanyak mungkin orang. Mereka
tida menilai diri sendiri sebagai lebih atau khusus dibandingkan orang lain.
Kehati-hatian adalah kekuatan yang membuat orang selalu berhati-hati dalam memilih
seseorang, tidak mengambil risiko yang tidak semestinya, tidak mengatakan atau melakukan
hal-hal yang nantinya mungkin akan disesali.
Transendensi
Transendensi merupakan keutamaan yang menghubungkan kehidupan manusia
dengan seluruh alam semesta dan memberi makna kepada kehidupan. Di dalam keutamaan
ini tercakup kekuatan (1) penghargaan terhadap keindahan dan kesempurnaan; (2)
kebersyukuran (gratitude) atas segala hal yang baik, (3) penuh harapan, optimis, dan
berorientasi ke masa depan, semangat dan gairah besar untuk menyongsong hari demi hari;
(4) spiritualitas: memiliki tujuan yang menuntun kepada kebersatuan dengan alam semesta,
serta (5) menikmati hidup dan selera humor yang memadai. Keutamaan Transendensi adalah
kekuatan yang menempa orang untuk dapat memahami koneksi yang ada di alam semesta,
memahami daya-daya yang lebih besar dari manusia, serta memperoleh dan memberikan
makna.
Penghargaan terhadap keindahan dan keunggulan yang mencakup kekaguman,
keheranan, peningkatan kesadaran adalah kekuatan yang membuat orang mampu menghargai
keindahan, keunggulan, keterampilan, dan kinerja yang baik dalam berbagai ranah
kehidupan. Pada diri sendiri, orang dengan kekuatan ini terdorong juga untuk menghasilkan
keindahan, keunggulan, keterampilan dan kinerja yang baik. Kekuatan ini juga membuat
orang mampu menangkap inspirasi atau gugahan untuk menampilkan diri lebih baik.
Syukur adalah kekuatan yang menbuat orang dapat menyadari dan berterima kasih
atas hal baik yang terjadi, serta meluangkan waktu untuk mengungkapkan terima kasih.
Orang dengan kekuatan ini menerima apa yang ada dalam kehidupan sebagai anugrah dan
berkah sehingga selalu berusaha menampilkan perilaku yang baik sebagai ungkapan terima
kasihnya.
Harapan mencakup optimisme, menjalani hidup secara positif dari waktu ke waktu,
dan pikiran yang berorientasi ke masa depan adalah kekuatan yang membuat orang selalu
mengharapkan yang terbaik di masa depan dan bekerja untuk mencapainya. Orang dengan
Allifna
Allifna
Allifna
-
12
kekuatan ini selalu optimistik menjalan hidup, berusaha terus menerus untuk lebih baik, dan
percaya bahwa yang baik selalu dapat dicapai dalam hidup.
Spiritualitas mencakup religiusitas, iman, dan adanya tujuan hidup adalah kekuatan
yang membuat orang memiliki keyakinan koheren tentang tujuan yang lebih tinggi, makna
hidup, dan makna alam semesta. Orang dengan kekuatan ini menampilkan perilaku yang
konsisten dan koheren sebagai bagian dari usaha mencapai tujuan hidupnya dan berusaha
menyesuaikan diri dan aktivitasnya dengan daya-daya yang lebih besar di alam semesta.
Kekuatan menikmati hidup dan humor membuat orang dapat menjalani hidup yang
penuh suka-cita, menyukai tertawa dan menggoda orang untuk menghasilkan keceriaan,
membawa dirinya dan orang lain kepada situasi yang membuat tersenyum, serta melihat sisi
terang dari kehidupan. Orang dengan kekuatan ini menjalani hidup secara ringan meski
dalam situasi-situasi yang sulit dan berat.
Tabel 4.1: Kekuatan dan Keutamaan Karakter No. Keutamaan Kekuatan 1.
Kognitif: Kebijaksanaan dan pengetahuan
kreativitas, rasa ingin tahu, keterbukaan pikiran, mencintai kegiatan belajar, perspektif (memiliki gambaran besar mengenai kehidupan).
2. Interpersonal: Kemanusiaan
cinta kasih, kebaikan hati (murah hati, dermawan, peduli, sabar, penyayang, menyenangkan dan cinta altruisitik), serta memiliki kecerdasan sosial.
3. Emosional: Kesatriaan
keberanian untuk menyatakan kebenaran dan mengakui kesalahan, teguh dan keras hati, integritas (otentisitas, jujur), serta bersemangat dan antusias.
4. Kewarganegaraan (Civic): Berkeadilan
citizenship (tanggung jawab sosial, kesetiaan, mampu bekerjasama), fairness (memperlakukan orang setara dan adil), serta kepemimpinan.
5. Menghadapi dan mengatasi hal-hal yang tak menyenangkan: Pengelolaan-diri (Temperance)
pemaaf dan pengampun, kerendahatian, hati-hati dan penuh pertimbangan, serta regulasi-diri.
6. Spiritual: Transendensi
apresiasi keindahan dan kesempurnaan, penuh rasa terima kasih, harapan (optimis, berorientasi ke masa depan), spritualitas (religiusitas, keyakinan, tujuan hidup), serta menikmati hidup dan humor,
7. Karakter dan Spiritualitas
Manusia memiliki kemampuan untuk memahami keterkaitan dirinya dengan seluruh
alam semesta, juga keterkaitan semua hal yang ada di alam semesta. Kekuatan-kekuatan yang
-
13
tercakup dalam keutamaan karakter transendensi memungkinkan manusia memahami
keterkaitan itu. Dengan kekuatan-kekuatan itu manusia dapat memaknai apa yang ada di
dunia dalam hubungannya dengan hal lain dan dalam konteks keseluruhan semesta.
Pemaknaan terhadap keseluruhan alam ini dimungkinkan adanya pada manusia meskipun
secara fisik ia terbatas dan tak pernah dapat mengenali keseluruhan dunia secara empirik.
Kekuatan dalam keutamaan transendensi ditandai oleh kemampuan untuk
membayangkan apa yang mungkin ada di luar situasi yang dialami kini dan di sini.
Pembayangan itu dapat menggerakkan manusia untuk melampaui situasi kini dan di sini,
mewujudkan apa yang dibayangkannya itu menjadi situasi nyata yang memberikan kebaruan
bagi dunia. Kemampuan membayangkan apa yang mungkin ada dan kemampuan melampaui
situasi kini dan di sini mensyaratkan adanya kemampuan memahami keterkaitan semua unsur
alam semesta. Daya yang memungkinkan manusia untuk melakukan itu semua disebut
spiritualitas.
Istilah spiritualitas mempunyai pengertian yang luas dan menghasilkan penafsiran
yang berbeda-beda. Meskipun tak ada kesatuan pengertian, secara umum kita dapat
memahami fenomena spiritualitas dari berbagai pengertian yang ada dan pernah diajukan
oleh beberapa ahli. Dengan pertimbangan itu, pemaparan beberapa pengertian spiritualitas di
sini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang apa itu spiritualitas. Dalam salah satu
pengertiannya, spiritualitas merujuk kepada sesuatu yang teramat religius, sesuatu yang
berkaitan dengan roh (spirit) dan hal-hal yang sakral. Pembicaraan tentang spiritualitas
merujuk kepada hal-hal yang berhubungan dengan roh dan hal-hal sakral lainnya yang
dianggap berkaitan dengan roh, misalnya Tuhan dan makhluk-makhluk di luar manusia yang
memiliki sifat dan kekuatan gaib. Di dalamnya juga terkandung pengertian tentang
bagaimana kita bersikap dan memperlakukan hal-hal yang gaib dan sakral itu.
Pandangan lain menunjukkan bahwa spiritualitas tidak terpisah dari kehidupan sehari-
hari. Ia adalah pengalaman yang terjadi di tengah keseharian hidup manusia. Spiritualitas
memberikan kedalaman dan integritas kepada kehidupan manusia sebagai makhluk yang
hidup dalam kebudayaan, tempat, dan waktu tertentu. Perbedaan-perbedaan yang ada
antarmasyarakat hanya gejala yang tampil di permukaan. Di bagian yang lebih dalam, setiap
masyarakat memiliki dasar spiritualitas yang universal. Spiritualitas terpancar dari dalam
semua struktur sosial yang ada dalam setiap masyarakat dan dalam tampilan fisik. Setiap
peristiwa fisik dapat membawa manusia kepada aspek spiritual jika manusia meningkatkan
kepekaannya. Dengan menghayati kehidupan sehari-hari, seseorang dapat merasakan
pengalaman spiritual yang mendalam.
-
14
Narayanasamy (dalam McSherry, 1998) menegaskan bahwa tidak ada satu pun
definisi dari spiritualitas yang otoritatif. Burnard (1988, dalam McSherry, 1998) melihat
spiritualitas dapat merujuk kepada pengertian yang berbeda pada orang yang berbeda.
Menurutnya semua individu memiliki spiritualitas yang khas dan khusus bagi diri mereka,
terlepas dari orientasi religius dan kepercayaan yang dianutnya. Meskipun begitu, Burnard
menilai definisi spiritualitas yang dikemukakan oleh Murray dan Zentner (1989, dalam
McSherry, 1998) mendekati pengertian yang universal dan komprehensif. Mereka
mendefinisikan spiritualitas demikian:
. . . a quality that goes beyond religious affiliation, that strives for inspirations, reverence, awe, meaning and purpose, even in those who do not believe in any god. The spiritual dimension tries to be in harmony with the universe, and strives for answers about the infinite, and comes into focus when the person faces emotional stress, physical illness or death.
Definisi Murray dan Zentner tersebut mengusulkan spiritualitas harus ditempatkan
dalam konteks keseluruhan alam semesta dan keterkaitan isi dunia ini. Spiritualitas
melampaui afiliasi terhadap agama tertentu. Spiritualitas merupakan suatu kualitas yang juga
dapat dicapai bahkan oleh mereka yang tidak percaya kepada Tuhan. Pada intinya, dimensi
spiritual manusia selalu berusaha melakukan penyelarasan dengan alam semesta dan
menjawab pertanyaan tentang yang tak terbatas. Definisi ini menunjukkan spiritualitas
sebagai hal yang kompleks dan memiliki kaitan dengan banyak variabel. Segala hal yang ada
di alam semesta ini terkait dengan spiritualitas.
Dengan demikian, spiritualitas dapat dipahami sebagai dasar kekuatan dan keutamaan
karakter manusia. Kekuatan yang terkandung dalam keutamaan transendensi merupakan
kekuatan yang menghubungkan kehidupan manusia dengan seluruh alam semesta dan
memberi makna kepada kehidupan. Sebagaimana disebutkan di atas, dalam keutamaan
transendensi ada penghargaan terhadap keindahan dan kesempurnaan. Penghargaan ini
memberikan dasar bagi manusia untuk menjalani hidup secara bermakna, optimis, dan selalu
memperjuangkan kebaikan. Penghargaan ini juga menyebabkan kekuatan karakter yang lain
menjadi penting dalam rangka memperjuangkan kehidupan yang indah dan sempurna. Tanpa
penghargaan akan kehidupan yang indah dan sempurna, kita tidak dapat mengembangkan
kekuatan karakter pada diri kita sebab kita akan cenderung pesimis, masa bodoh, semena-
mena, dan membiarkan saja hal-hal buruk terjadi, jika kita memaknai hidup sebagai hal yang
buruk, jelek, dan kacau-balau. Kita memperjuangkan kehidupan yang baik jika kita percaya
bahwa dalam hidup kita ada yang baik, indah, dan sempurna yang perlu diperjuangkan terus.
-
15
Dengan pemaknaan terhadap hidup yang baik, indah dan mengandung kesempurnaan,
kita membangun rasa syukur dan terima kasih atas segala hal baik, indah dan sempurna itu.
Kita pun dapat hidup dengan penuh harapan, optimis dan berorientasi ke masa depan. Dengan
itu kita memaknai adanya tujuan kehidupan di masa depan. Kita meningkatkan spiritualitas,
menambah daya untuk mencapai tujuan yang menuntun kepada kebersatuan dengan alam
semesta. Harapan, rasa optimis, dan rasa syukur memberi kita kemampuan untuk memaafkan
dan mengampuni sebab kita tetap dapat melihat kemungkinan segala sesuatu akan menjadi
lebih baik lagi di masa depan. Kita pun dapat menikmati hidup dan mempunyai selera humor
yang memadai sebab pikiran-pikiran positif yang kita hasilkan selalu membantu kita
menemukan hal yang baik, indah, dan sempurna dalam hidup kita. Dengan kenikmatan dan
kepuasan hidup, kita menghasilkan semangat dan gairah besar dalam diri kita untuk
menyongsong hari demi hari. Integritas yang mencakup kejujuran dan kesiapan menghadapi
berbagai situasi secara teguh menjadi benang yang menjalin semua keutamaan lain dalam
menjalani kehidupan agar terus bergerak ke arah yang lebih baik.
Karakter selalu didasari oleh spirtualitas. Daya-daya spiritual menjadi kekuatan kita
untuk bertahan dan setia menuju satu tujuan. Daya-daya itu menghindarkan kita dari godaan
dan menguatkan kita saat berada dalam situasi yang sulit. Pikiran bahwa apa yang kita hadapi
saat ini dan di sini selalu dapat kita lampaui memberikan harapan kepada kita untuk menjadi
lebih baik dan lebih baik lagi. Dengan daya-daya spiritual, manusia dapat melampaui dirinya,
berkembang terus sebagai makhluk yang self-trancendence (selalu mampu berkembang
melampaui dirinya). Dengan demikian, ketika kita berbicara tentang karakter maka kita juga
berbicara tentang spiritualitas, tentang daya-daya yang menguatkan dan mengembangkan
manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
8. Keutamaan Karakter dan Kebahagiaan
Pembentukan karakter erat sekali hubungannya dengan pencapaian kebahagiaan. Pada
akhirnya, orang dengan watak atau karakter yang kuat adalah orang yang berbahagia,
mandiri, dan memberi sumbangan positif kepada masyarakatnya. Peterson dan Seligman
(2004) memaparkan berbagai hasil penelitian yang menunjukkan keberadaan potensi setiap
keutamaan karakter itu pada diri manusia. Dengan demikian, setiap orang memiliki potensi
untuk mencapai kebahagiaan, dan potensi untuk menjalani hidup yang baik; tinggal
bagaimana mengaktualisasikannya. Seligman (2004) menyebutkan tiga kebahagiaan, yaitu
memiliki makna dari semua tindakan yang dilakukan, mengetahui kekuatan tertinggi, dan
menggunakan kekuatan tertinggi untuk melayani sesuatu yang dipercayai sebagai hal yang
Allifna
-
16
lebih besar dari diri sendiri. Jelaslah bahwa ketiga bentuk kebahagiaan ini berkaitan erat
dengan keutamaan dan kekuatan karakter manusia. Jelas juga bahwa ketiga hal itu merupakan
kategori spiritual. Ketiganya dimungkinkan oleh daya-daya spiritual manusia. Singkatnya,
kebahagiaan manusia mensyaratkan pemanfaatan daya-daya spiritualnya.
Menurut Seligman, tidak ada jalan pintas untuk mempersingkat pencapaian
kebahagiaan. Kebahagiaan hanya dapat dicapai dengan memandang hidup sebagai hal yang
bermakna dan berharga, mengenali diri sendiri dan menemukan kekuatan-kekuatan kita, lalu
memanfaatkan kekuatan-kekuatan itu untuk kepentingan yang lebih besar. Jadi, jika kita
ingin bahagia, maka kita harus mulai dengan belajar berpikir positif, memandang hidup dan
orang lain sebagai hal yang baik, serta memaknai dunia dan seisinya sebagai kebaikan yang
dianugerahkan kepada kita.
Pendidikan harus diarahkan kepada ketiga kebahagiaan itu. Peserta didik difasilitasi
dan dilatih untuk selalu memaknai setiap tindakan yang dilakukannya. Mereka juga
difasilitasi untuk memahami kekuatan dan keutamaan tertinggi yang dimiliki manusia. Lalu
mereka difasilitasi dan dibiasakan untuk melayani atau mengerjakan hal-hal yang lebih besar
dari mereka sendiri. Perpaduan dari tiga kebahagiaan dan keutamaan-keutamaan karakter
merupakan bahan dari pendidikan karakter. Materi-materi itu yang diajarkan kepada peserta
didik dengan berbagai cara yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan dan
keterampilan, bahkan, lebih jauh lagi, sampai terbentuknya sifat-sifat yang merupakan
keutamaan.
Jika dipahami bahwa inti pendidikan adalah pembentukan karakter maka
seharusnyalah dicamkan pula bahwa setiap pendidikan adalah pembentukan karakter. Dengan
demikian tidak diperlukan pendidikan karakter khusus di luar pendidikan secara
keseluruhan; juga tak diperlukan pelatihan pembentukan karakter. Tetapi belakangan kita
menyaksikan pendidikan secara umum seperti dipisahkan dari pembentukan karakter
sehingga diperlukan usaha khusus untuk menyelenggarakan pendidikan karakter sebelum
nanti pembentukan karakter kembali menjadi inti dari pendidikan.
Allifna
Allifna
Allifna
Allifna
-
17
DAFTAR PUSTAKA
Allport, G. W. 1937. Personality: A Psychological Interpretation. New York: Holt.
Allport, G. W. 1961. Becoming: Basic Consideration for a Psychology of Personality. New Haven: Yale University Press.
Dewantara, K. H. 2004. Karya K. H. Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Hatta, M. 19932/1988. Ke Arah Indonesia Merdeka. Dalam Karya Lengkap Bung Hatta (Buku 1): Kebangsaan dan Kerakyatan, hlm. 21130. Jakarta: Penerbit PT Pustaka LP3ES Indonesia.
McSherry, W. 1998. Nurses Perceptions of Spirituality and Spiritual Care Nursing Standard. 13, 4, 36-40. Situs Web: http://www.nursing-standard.co.uk/archives/vol13-04/research.htm.
Peterson, C. (2006). A Primer in Positive Psychology. New York: Oxford University Press
Peterson, C. dan Seligman, M. E. P. 2004. Character Strengths and Virtues: A Handbook and Classification. Oxford: Oxford University Press.
Radhakrishnan, Sarvepalli, dll. (ed.). 1957. History of Philosophy: Eastern and Western, Vol. I. London: George Allen & Unwin.
Ross, L. 1995. The Spiritual Dimension: Its Importance to Patients Health, Well-being and Quality of Life and Its Implications for Nursing Practice. Dalam International. Journal of Nursing Studies, 32, 5, 451-468.
Santoso, S. I. 1979. Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan. Jakarta: Universitas Indonesia.
Seligman, M. P. E. 2004. Interview with Martin Seligman. Dalam Edge, 23 Maret 2004.
-
18
BAB II DASAR-DASAR FILSAFAT
Bagus Takwin
1. Pendahuluan
Tulisan ini menyajikan secara singkat hal-hal yang mendasar atau prinsip-prinsip dasar
tentang filsafat. Dengan demikian, materi yang disajikan di sini boleh dikatakan hanya berupa
pengantar filsafat disertai identitas utamanya sebagai perkenalan. Pokok bahasan yang termuat
dalam bab ini terdiri atas pengertian, cabang, dan aliran filsafat, serta