BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Neonatal Intensive Care Unit atau biasa disingkat dengan NICU adalah
ruang perawatan intensif di rumah sakit yang difungsikan untuk merawat bayi
pematur dan bayi baru lahir sampai usia 30 hari yang memerlukan pengobatan dan
perawatan khusus dibawah pemantauan tim dokter, guna mencegah dan
mengobati terjadinya kegagalan organ-organ vital. Bayi-bayi yang berada di
NICU umumnya adalah bayi dengan risiko tinggi. Bayi risiko tinggi adalah bayi
yang mempunyai kemungkinan lebih besar untuk menderita sakit atau kematian
daripada bayi lain misalnya pada bayi dengan sindrom distress nafas (A., Etika,
Sylvia, Fatimah, & Harianto, 2004).
Angka kematian bayi prematur di Provinsi Jawa Tengah 2, 66 % dari
angka kematian bayi. Kejadian kematian bayi premature umumnya diakibatkan
oleh beberapa komplikasi yang tidak tertangani dengan baik seperti RDS
(Apriliana, 2012).
Bayi prematur adalah bayi yang dilahirkan dalam usia gestasi kurang dari
37 minggu., Secara fisiologis, kondisi bayi prematur adalah sebagian masih
sebagai janin dan sebagai bayi baru lahir. Respiratory Distress Syndrome (RDS)
disebut juga Hyaline Membrane Disease (HMD), merupakan sindrom gawat
napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi premature.
Pada bayi dengan RDS mengalami ketidaknyamanan karena gangguan
pada frekuensi pernapasan. Oleh karena itu, dalam makalah ini juga akan
membahas tentang penerapan terapi music pada bayi premature dengan
komplikasi RDS.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah konsep NICU, pengkajian di NICU dan inovasi intervensi di
NICU?
1.1 Tujuan
1.3.1Tujuan Umum
Mengetahui konsep NICU dan menyusun pengkajian dan inovasi intervensi di
NICU
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan pengertian NICU
2. Menjelaskan konsep sedasi di NICU
3. Menjelaskan konsep RDS pada bayi premature di NICU
4. Menjelaskan analisa penelitian terkait pengkajian di NICU
5. Menjelaskan Alternatif terapi pada bayi premature dengan RDS di
NICU
6. Menjelaskan analisa penenlitian terkait terapi music di NICU
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Institusi
Menjadi salah satu acuan pembelajaran bagi Advanced Nursing Practice
1.4.2 Bagi Mahasiswa
Menjadi salah satu sumber acuan pembelajaran mengenai konsep NICU,
intervensi dan inovasi pengkajian di NICU
BAB 2
TINJUAN PUSTAKA
2.1 NICU (Neonatus Intensive Care Unit)
Neonatal Intensive Care Unit atau biasa disingkat dengan NICU adalah
ruang perawatan intensif di rumah sakit yang difungsikan untuk merawat bayi
pematur dan bayi baru lahir sampai usia 30 hari yang memerlukan pengobatan dan
perawatan khusus dibawah pemantauan tim dokter, guna mencegah dan
mengobati terjadinya kegagalan organ-organ vital. Bayi-bayi yang berada di
NICU umumnya adalah bayi dengan risiko tinggi. Bayi risiko tinggi adalah bayi
yang mempunyai kemungkinan lebih besar untuk menderita sakit atau kematian
daripada bayi lain misalnya pada bayi dengan sindrom distress nafas (A., Etika,
Sylvia, Fatimah, & Harianto, 2004).
2.2 Bayi Prematur
Bayi prematur adalah bayi yang dilahirkan dalam usia gestasi kurang dari
37 minggu., Secara fisiologis, kondisi bayi prematur adalah sebagian masih
sebagai janin dan sebagai bayi baru lahir. Bayi pematur yang dilahirkan dalam
usia gestasi <37 minggu mempunyai resiko tinggi terhadap pernyakit-penyakit
yang berhubungan dengan prematuritas, antara lain sindroma gangguan
pernafasan idiopatik (penyakit membran hialin/RDS), aspirasi pneumonia karena
refleksi menelan dan batuk belum sempurna, perdarahan spontan dalam ventrikel
otak lateral (Tobing, 2004).
2.3 Respiratory Distress Syndrome (RDS)
Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane
Disease (HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi
surfaktan terutama pada bayi premature. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru
yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap
berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan
masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi
akan mengalami sesak napas. Kondisi bayi prematur merupakan faktor resiko
terbesar terjadinya RDS. Insidensi RDS juga berhubungan dengan berat lahir bayi
(Tabel 1). Selain itu, ada beberapa faktor yang menyebabkan RDS pada bayi baru
lahir (Tabel 2).
Tabel 1. Insidensi RDS dengan Berat Lahir
Berat Lahir (Kg) Insidensi RDS
501-750 86%
751-1000 79%
1001-1250 48%
1251-1500 27%
Tabel 2. Faktor Resiko Penyebab RDS
Resiko Tinggi Resiko Rendah
Prematur Chronic Intra-uerine stress
Laki-Laki Rupture membrane
Kecenderungan genetic Hipertensi maternal atau toksemia
Asfiksia perinatal IUGR
Ras Kauskasoid Antenatal Glucocorticoids
Ibu dengan diabetes Penggunaan NAPZA
Chorioamnionitis Kelainan hemolitik
(UCSF Children's Hospital, 2004)
2.3. Surfaktan
Suatu bahan senyawa kimia yang memiliki sifat permukaan aktif.
Surfaktan pada paru manusia merupakan senyawa lipoprotein dengan komposisi
yang kompleks. Surfaktan dibuat oleh sel alveolus tipe II yang mulai tumbuh pada
gestasi 22-24 minggu dan mulai mengeluarkan keaktifan pada gestasi 24-26
minggu, yang mulai berfungsi pada masa gestasi 32-36 minggu. Produksi
surfaktan pada janin dikontrol oleh kortisol melalui reseptor kortisol yang terdapat
pada sel alveolus type II. Produksi surfaktan dapat dipercepat lebih dini dengan
meningkatnya pengeluaran kortisol janin yang disebabkan oleh stres, atau oleh
pengobatan deksamethason yang diberikan pada ibu yang diduga akan melahirkan
bayi dengan defisiensi surfaktan. Kurangnya surfaktan adalah penyebab terjadinya
atelektasis secara progresif dan menyebabkan meningkatnya distres pernafasan
pada 24-48 jam pasca lahir (A., Etika, Sylvia, Fatimah, & Harianto, 2004)
2.4 Perkembangan Paru Normal
Tabel 3. Tahap Pertumbuhan Paru (Tobing, 2004)
2.5 Tes Kematangan Paru
Tes Kematangan Paru yang biasanya dilakukan pada bayi prematur yang
mengancam jiwa untuk mencegah terjadinya Neonatal Respiratory Distress
Syndrome (RDS). Tes tersebut diklasifikasikan sebagai tes biokimia dan biofisika.
a. Tes Biokimia (Lesithin - Sfingomyelin rasio)
b. Test Biofisika : Shake test
c. TDX- Maturasi paru janin (FLM II) (Tobing, 2004).
2.7 Manifestasi Klinis
Gejala klinis RDS dapat muncul setelah lahir selama 4 jam. Gejala klinis
RDs adalah :
a. Takipnea (RR >60/menit), normal 40 kali/menit
b. Retraksi intercostals dan subcostal
c. Pernapasan cuping hidung
d. Suara merintih saat ekspirasi (grunting)
e. Sianosis dalam suhu ruangan
f. Hipotensi
g. Asidosis
h. Hiperkalemia
Gambaran radiologis kelainan paru pada PMH dibagi atas 4 derajat yaitu
derajat 1 pola retikulogranular (PRG), derajat 2 bronkogram udara (BGU),
derajat 3 sama dengan derajat 2 namun lebih beratdengan mediastinum melebar,
derajat 4 kolaps seluruh paru sehingga paru tampak putih (white lung) (Tobing,
2004).
2.6 Patofisiologi
Gambar 1. Patofisiologi RDS (UCSF Children's Hospital, 2004)
2.8. Komplikasi
1. Ruptur alveoli
2. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang
memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni.
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular
4. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan
komplikasi bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi
surfaktannya.
Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik
yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36
minggu.
2. Retinopathy premature
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang
berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi
intrakranial, dan adanya infeksi (The Texas Neonatal Research Group,
2004).
2.9 Pemeriksaan Penunjang
Tabel 4. Pemeriksaan Penunjang RDS (Tobing, 2004)
2.10 Mengukur Derajat Sesak Napas
Gambar 2. Sistem Skoring Downes (Jackson, 2007)
Gambar 3. Silverman Retraction Score (Jackson, 2007)
2.11 Pengkajian Pada Bayi Prematur
1. Tentukan Usia Gestasional
2. Kaji sistem respiratori
Pengkajian dan Perawatan Segera (30 menit pertama setelah kelahiran)
a. Hitung RR bayi selama 1 menit penuh. Frekuensi nafas neonates
normanya adalah 30-60 kali/menit. Frekuensi Pernapasan mungkin
tidak teratur 15 menit pertama setelah kelahiran dan bisa mencapai
100x/menit.
b. Perhatikan tanda-tanda sesak nafas seperti retraksi dada, grunting,
pernapasan cuping hidung, takipnea, takikardi dan pergerakan dada
yang asimetris. Pada bayi dengan RDS maka manifestasi klinis di atas
akan muncul, oleh karena itu segera lakukan:
- Terapi oksigen
- Pasang monitor pulse oxymetry (pertahankan 85%-95%)
- Sediakan penghangat, incubator atau matras termal
- Periksa kadar serum glukosa
- Jika memungkinkan tetap lakukan kangaroo care
Pengkajian Masa Transisi (6-12 jam pertama setelah lahir) dan Lanjutan
a. Lanjutkan untuk observasi status respirasi, detak jantung setiap 4 jam
sekali selama 24 jam pertama setelah kelahiran
b. Berikan dukungan pada ibu untuk melakukan kangaroo care
c. Pertahankan suhu ruangan netral/ neutral thermal environment (NTE).
3. Kondisi Termoregulasi
Pengkajian dan Perawatan Segera (30 menit pertama setelah kelahiran)
- Keringkan badan neonates dan selimuti dengan selimut hangat serta
pasang dry cap pada kepala neonates jika tidak memungkinkan segera
rawat didalam incubator.
- Sediakan skin to skin contact segera bila memungkinkan untuk
membantu sistem adaptasi bayi
- Pertahankan suhu aksila 36.50-37.40 C dan ukur secara teratur setiap 30
menit.
- Pastikan suhu di sekitar 260-270 C
4. Kaji kemungkinan Hipoglikemi
- Lakukan screening tes plasma glukosa dalam 2 jam pertama setelah
kelahiran
- Jika kadar glukosa kurang dari 40-45 mg/dL maka segera konfirmasi ke
laboratorium
5. Kaji Kemungkinan sepsis
Kemungkinan sepsis akan meningkat bila usia gestasi <37 minggu,
ada infeksi intra amniotic, demam intrapartum > 38o C dan berat <2500
gram. Berikut tanda-tanda sepsis yang perlu diperhatikan :
- Suhu tidak stabil
- Letargi
- Iritabilitas
- Jitterness
- Hipotonia
- Hipotensi dan perfusi buruk.
Lakukan monitor tanda-tanda infeksi minimal selama 48 jam setelah
kelahiran (Association of Women's Health Obstetric and Neonatal Nurses,
2010)
2.12 Penatalaksanaan RDS
Tujuan Manajemen RDS
Tujuan manajemen penanganan bayi premature dengan RDS adalah :
a. Mencegah hipoksemia dan asidosis
b. Mengoptimalkan manajemen cairan : mencegah kelebihan intake cairan
atau edema saat menangani hipovolemia dan hipotensi
c. Mengurangi kebutuhan metabolic dan memaksimalkan intake nutrisi
d. Meminimlakan kerusakan sekunder pada paru akibat volutrauma dan
keracunan oksigen (UCSF Children's Hospital, 2004).
2.13 Manajemen RDS
Tiga pilar utama dalam pencegahan dan penanganan RDS pada adalah
antenatal glukokortikoid, CPAP (Continuous Positive Airway Pressure), serta
Terapi Pengganti Surfaktan.
1. Antenatal Glikokortikoid
Membantu mempercepat proses maturitas paru pada janin.
Pemberian kortikosteroid dilakukan pada ibu minimal 24 sampai 48 jam
(maksimal 7 hari) sebelum jadwal kelahiran (The Texas Neonatal
Research Group, 2004).
2. Eksogenus Surfaktan
Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutin yang
diberikan pada bayi prematur dengan RDS. Sampai saat ini ada dua pilihan
terapi surfaktan, yaitu natural surfaktan yang berasal dari hewan dan
surfaktan sintetik bebas protein, dimana surfaktan natural secara klinik
lebih efektif. Hasil dari studi meta analisis dengan Randomised Control
Trial (Soll,2003) menunjukkan bahwa hampir 40% menurunkan angka
kematian dan 30-70% menurunkan insiden pneumothorax pada RD. Pada
suatu studi meta analisis yang membandingkan antara penggunaan
surfaktan derifat binatang dengan surfaktan sintetik bebas protein pada
5500 bayi yang terdaftar dalam 16 penelitian random, 11 penelitian
memberikan hasil yang signifikan bahwa surfaktan derifat binatang lebih
banyak menurunkan angka kematian dan pneumothorak dibandingkan
dengan surfaktan sintetik bebas protein (Soll and Blanco, 2003).
Dosis dan Cara Pemberian Surfaktan
Dosis yang digunakan bervariasi antara 100mg/kg sampai
200mg/kg. Dengan dosis 100mg/kg sudah dapat memberikan oksigenasi
dan ventilasi yang baik, dan menurunkan angka kematian neonatus
dibandingkan dosis kecil, tapi dosis yang lebih besar dari 100mg/kg tidak
memberikan keuntungan tambahan. Saat ini dosis optimum surfaktan yang
digunakan adalah 100mg/kg.
Sampai saat ini surfaktan diberikan secara injeksi bolus
intratrakeal, karena diharapkan dapat menyebarkan sampai saluran napas
bagian bawah. Dengan pemberian secara bolus dapatmempengaruhi
tekanan darah pulmonar dan sistemik secara fluktuatif.
Surfaktan dapat juga diberikan secara intratrakeal melalui
endotrakeal tube (ETT) dengan bantuan NG tube. Cateter (NG tube) dapat
dimasukkan tanpa melepas ventilator dengan melalui lubang penghisap
sekret pada ETT. Sebagai alternatif, NGT dapat dimasukkan dengan
terlebih dahulu melepas dengan cepat sambugan antara ETT dengan slang
ventilator. Dosis diberikan secara terbagi menjadi 4 dosis supaya
pemberiannya homogen sampai ke lobus paru bagian bawah. Setiap
seperempat dosis diberikan dengan posisi yang berbeda. Sebelum
surfaktan dimasukkan ke dalam ETT melalui NGT pastikan bahwa ETT
berada pada posisi yang benar dan ventilator di atur pada kecepatan
60x/menit, waktu inspirasi 0,5 detik, dan FiO21,0. ETT dilepaskan dari
ventilator dan kemudian :
a. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke bawah kepala menoleh ke
kanan, masukkan surfaktan seperempat dosis pertama melalui NGT
selama 2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual
untuk mencegah sianosis selama 30 detik,
b. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke bawah kepala menoleh ke
kiri, masukkan surfaktan seperempat dosis kedua melalui NGT selama 2-3
detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual untuk
mencegah sianosis selama 30 detik,
c. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke atas kepala menoleh ke
kanan, masukkan surfaktan seperempat dosis ketiga melalui NGT selama
2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual untuk
mencegah sianosis selama 30 detik,
d. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke atas kepala menoleh ke kiri,
masukkan surfaktan seperempat dosis keempat melalui NGT selama 2-3
detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual untuk
mencegah sianosis selama 30 detik (A., Etika, Sylvia, Fatimah, &
Harianto, 2004)
3. Terapi Oksigen
Suplementasi oksigen sangat dibutuhkan oleh bayi dengan masalah
pernapasan. Pemantauan saturasi oksigen dan atau tekanan oksigen arteri
perlu dilakukan, terapi oksigen tanpa penilaian tekanan oksigen dan atau
saturasi oksigen akan sangat bahaya. Pertahankan tekanan oksigen arteri
40-80 mmHg dan atau tingkat saturasi oksigen 88-92%. Tujuan terapi
oksigen ini adalah untuk menangani hipoksemi, mengurangi kerja otot
pernapasan, dan menurunkan beban kerja miokardium. Terapi oksigen
dapat diberikan melalui incubator, head box, nasal kanul, nasal CPAP,
nasal intermittent positive pressure ventilation (NIPPV), dan ventilator
(Miall & Wallis, 2011).
a. Inkubator
Menggunakan selang dengan aliran tinggi
Butuh waktu + 10 menit untuk stabilisasi oksigen
Kadar O2 turun dengan cepat bila tutupnya dibuka
Tidak direkomendasikan untuk di ruang bersalin
Gambar 4. Alat Inkubator
b. Head box 02 Kec. Aliran 5 – 7 L /menit
Kec. Aliran > 7 L/menit dapat menyebabkan ↑ O2 , suara
bising, bayi muntah
Perlu kec. aliran tinggi untuk mencapai konsentrasi O2 yg
adekuat dan mencegah penumpukan CO2
Aliran gas 2-3L/menit diperlukan untuk mencegah rebreathing
CO2
Gambar 5. Head Box
c. Nasal kanul O2
Kec . Aliran rendah < 2L/menit ( low flow )
Untuk suplai O2 minimum
Metode yg disukai untuk CLD
Risiko kecil terjadi obstruksi oleh mukus
Tidak perlu humidifikasi
FiO2 tidak mudah ditentukan
Gambar 6. Nasal Kanul
d. CPAP( Continous Positive Airway Presure )
Merupakan alat yang mempertahankan tekanan positif pada jalan
napas neonates saat pernapasan spontan. Salah satu indikasi penggunaan
CPAP adalah pada bayi dengan RDS. CPAP dianggap gagal bila:
Tingkat FiO2 < 60%
PaCO2 > 60 mmHg
Asidosis metabolik menetap _ BE > -10
Retraksi yang jelas saat terapi CPAP
Sering terjadi episode apnea dan atau bradikardi (Kamlin et al, 2006)
Gambar 6. CPAP
BAB 3
ANALISIS
3.1 PICOT Framework
Populatio
n
Intervention Comparison Outcome Time
Bayi
Prematur
dengan
komplikasi
RDS
Berikut
beberapa
penelitian
terkait
innovative
care:
- Terapi
musik
rekaman
(Chou, Wang,
& Chen, 2003)
- Terapi
musik live
(Arnon &
Shapsa,
2006)
- Terapi
music
klasik
Mozart
(Apriliana
, 2012)
-30 bayi prematur
diberika terapi
music rekamana
“transition”
selama dilakukan
endotrachal
suctioning
-Pemberian music
secara live
kepada 31 bayi
prematur di
NICU selama 30
menit dengan
volume 55-70 dB
-Pemberian CD
musik klasik
Mozart terhadap
14 bayi prematur
di NICU selama
15-30 menit
dengan volume
<45 dB
- bayi
menunjukkan
peningkatan
SPO2 yang
signifikan
- Meningkatkan
kualitas tidur
bayi menuju
deep sleep
- Menstabilkan
frekuensi
pernapasan
bayi prematur
- Pemberian
dilakukan
selama bayi
prematur
dengan
RDS yang
dirawat di
NICU
terutama
saat
intervensi
keperawata
n
3.2 Terapi Musik Klasik Pada Bayi Prematur Dengan RDS
Berikut adalah penjelasan dari tiga penelitian tentang terapi musik pada
bayi prematur. Chou, Wang, & Chen,(2003) telah melakukan penelitian terhadap
30 bayi premature yang dirawat di NICU. Dilakukan intervensi dengan
memperdengarkan music “Transition” pada saat bayi di lakukan endotrakeal
sunctioning. Hasilnya menunjukkan bahwa bayi premature yang diberikan terapi
music saat dilakukan intervensi suction mengalami peningkatan SPO2 secara
signifikan dari pada yang tidak (p<0,1). Dari penelitian ini disimpulkan bahwa
pemberian terapi music pada bayi saat melakukan intervensi keperawatan dapat
meningkatkan kualitas perawatan dan kualitas hidup bayi.
Pemberian stimulasi music ternyata memberikan manfaat yang signifikan
bagi bayi prematur. Terapi music live lebih memberikan pengaruh positif daripada
music rekaman dan mampu memperbaiki parameter psikologi dan perilkau bayi
preamtur di NICU. Dengan masing-masing 31 sampel diberikan terapi music
langsung dan music rekaman selama 3 hari berturut-turut dengan durasi
pemebrian 30 menit dengan volume 55-70 dB.. Kriteria inklusi yang ditarik
adalah usia kurang atau samadengan 32 minggu, berat kurang atau sama
dengan1500 gram, mampu mendengar dengan distortion product otoacoustic
emissions (DPOAEs). Kesimpulan yang didapat adalah pemberian terapi music
secara live mampu menurunkan detak jantung dan membantu bayi prematur
untuk tidur yang dalam (deep sleep) (Arnon & Shapsa, 2006).
Penelitian lain terhadap 14 bayi prematur yang mengalami gangguan pada
sistem pernapasan setelah diberikan terapi musik klasik Mozart selama 15-30
menit setiap harinya dengan volume <45dB dapat memperbaiki frekuensi
pernapasan pada bayi prematur.
Dari tiga penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pemberian
terapi musik klasik baik secara live maupun recording dengan volume(dB)
tertentu mampu membantu dalam meningkatkan kualitas perawatan dan
kenyamanan bayi.
DAFTAR PUSTAKA
A., N., Etika, R., Sylvia, D., Fatimah, I., & Harianto, A. (2004). Pemberian
Surfaktan Pada Bayi Prematur Dengan Respiratory Distress Syndrome.
Surabaya: Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK. Unair/RSUD Dr. Soetomo.
Apriliana, S. (2012). Pengaruh Terapi Musik Klasik Mozart Terhadap Frekuensi
Pernapasan Bayi Prematur di Ruang Perinatologi RSUD Banyumas.
Purwokerto: Universitas Jendral Soedirman Fakultas Kedokteran dan Ilmu-
Imu Kesehatan.
Arnon, S., & Shapsa, A. (2006). Birth. J Pediatric , 33:131-136.
Association of Women's Health Obstetric and Neonatal Nurses. (2010).
Assessment and care of the late preterm infant. Evidence Based Clinical
Practical Guidelines , 51-54.
Chou, L., Wang, R., & Chen. (2003). Oxygen Saturation In Premature Infants
Receiving Endotracheal Suctioning. The Journal Of Nursing Research ,
11(3):209-216.
Jackson, M. R. (2007). Respiratory Assesment of Newborn. Dipetik maret 7, 2013,
dari http://puffnicu.tripod.com/rd.html
Kamlin. (2006). Oxygen Saturation In Healthy Infants Immediately After Birth. J
Pediatr , 148:585-9.
Miall, & Wallis. (2011). The Management Of Respiratory Distress In The
Moderately Preterm Infants. Arch Dis Child Educ Pract Ed , 1-8.
The Texas Neonatal Research Group. (2004). Early surfactant for neonates with
mild tomoderate respiratory distress syndrome: a multicenter, randomized
trial. J Pediatr , 144:804-810.
Tobing, R. (2004). Kelainan Kardiovaskular Pada Sindrom Gawat Napas
Neonatus. Sari Pediatri Vol. 6 No. 1 , 40-46.
UCSF Children's Hospital. (2004). Retrieved Maret 4, 2013, from
http://www.ucsfbenioffchildrens.org/pdf/manuals/25_RDS.pdf