Nomor: RISALAHDPD/BAP-RDPU/III/2018
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
RISALAH
RAPAT DENGAR PENDAPAT BADAN AKUNTABILITAS PUBLIK
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
MASA SIDANG I TAHUN SIDANG 2018-2019
I. KETERANGAN
1. Hari : Kamis
2. Tanggal : 15 Maret 2018
3. Waktu : 10.27 WIB – selesai
4. Tempat : R. Rapat DPD RI
5. Pimpinan Rapat : Drs. H. Abdul Gafar Usman, M.M. (Ketua BAP DPD RI)
6. Sekretaris Rapat : Sekretariat BAP DPD RI
7. Acara : Terkait Status Grondkaart Atas Lahan yang Diklaim Milik
PT KAI
8. Hadir : Orang
9. Tidak hadir : Orang
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 1
II. JALANNYA RAPAT:
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. ABDUL GAFAR USMAN, M.M. (KETUA BAP DPD RI)
Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh.
Selamat pagi.
Salam sejahtera untuk kita semua.
Yang saya hormati Narasumber kita, Ibu Yuli Indrawati beserta Bapak Kurnia
Warman yang kami hormati, Bapak-bapak Anggota Tim Badan Akuntabilitas Publik,
beserta Staf Ahli yang kami hormati.
Sekarang di jam dinding jam 10.25 WIB, kita punya agenda ditargetkan sampai jam
13.00 WIB. Oleh karena itu, saya minta saran dari Pak Ayi dan Pak Lalu, apa bisa kita
lanjutkan? Kawan-kawan sedang menuju ke sini. Kita lanjut. Dengan mengucapkan
Bismillahirrahmanirrahim Rapat Dengar Pendapat Umum dengan para narasumber yang
memang sengaja kita undang di sini, dengan resmi saya buka dengan berdoa sesuai agama
dan kepercayaan kita masing-masing. Berdoa mulai.
Maka dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim Rapat Dengar Pendapat
Umum kita mulai.
KETOK 2X
Ibu Yuli dengan Pak Kurnia yang kami hormati sebagai narasumber yang memang
memberikan sesuatu informasi baik masalah… (tidak jelas terdengar, red.) dasar-dasar
hukum yang akan memperkaya kita Anggota BAP, karena mungkin banyak informasi dan
banyak dasar-dasar yang belum kita miliki akan mempermudah kita untuk menghadapi
berbagai persoalan yang disampaikan oleh masyarakat.
Kepada narasumber yang kani hormati, kami DPD ini disumpah dua kali. Jadi, yang
disumpah dua kali ini hanya lembaga parlemen, kalau eksekutif rata-rata satu kali. Kalau
kami ini disumpah dua kali. Jam 10 tanggal 1 Oktober dan jam 11. Jam 10 selaku Anggota
Dewan Perwakilan Daerah, jam 11 selaku Anggota MPR. Bunyi sumpahnya sama, saya kutip
sebagian sumpah saja, “berkewajiban melaksanakan Undang-Undang serta memperjuangkan
aspirasi daerah yang diwakili” jadi sama bunyinya Pak, baik selaku Anggota MPR maupun
Anggota DPD. Nah, artinya ini kan tercantum dalam Undang-Undang, sumpah dengan teks
itu dipuji karena Undang-Undang dan diucapkan dimuka Ketua Mahkamah Agung dan tidak
boleh diwakili, kecuali Ketuanya berhalangan datang. Berdasarkan dari ketentuan tersebut,
maka tidak ada alasan bagi kami di Dewan Perwakilan Daerah ini tidak menindak lanjuti
hasil asprasi dari masyarakat. Nah, untuk sebagai gambaran, BAP (Badan Akuntabilitas
Publik) ini merupakan parlemen ombudsman yang memang rata-rata di Negara yang
memiliki senator itu rata-rata punya parlemen ombudsman termasuk kita di Indonesia ini,
maka Dewan Perwakilan Daerah punya alat kelengkapan namanya BAP (badan Akuntabilitas
Publik).
Berdasarkan surat tugas yang diberikan kepada kita, maka kita selalu berhadapan
dengan masyarakat, ternyata persoalan-persoalan kemasyarakatan ini tidak terlepas dari
persoalan-persoalan kebijakan aturan dan kebijakan-kebijakan pemerintah, serta kebijakan-
kebijakan lain yang terkait kepada, atau unsur-unsur yang memberikan pelayanan yang
terbaik kepada masyarakat. Berdasarkan pengalaman kami dan kami berharap nanti dengan
RAPAT DIBUKA PUKUL 10.27 WIB
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 2
Rapat Dengar Pendapat Umum dapat kita memberikan gambaran kepada kami selaku
Anggota Tim untuk mencari solusi yang terbaik, karena metode yang kami pakai setiap kami
melakukan mediasi itu dua prinsip yang kami pegang. Pertama, tidak menyalahkan faktor
kemana-mana, tidak menyalahkan masyarakat, tidak menyalahkan pemerintah, tidak
menyalahkan perusahaan tapi mencari solusi yang terbaik dan kita selalu berpikir kedepan,
tidak berpikir kebelakang. Namun demikian, kami terbentur kadang-kadang, dengan
argumentasi-argumentasi yang memang menyangkut kepentingan masing-masing. Oleh
karena itu kami memerlukan pengayaan, informasi dan pengayaan aturan, maka dilakukanlah
acara ini. Kami mohon kiranya kepada Bapak dan Ibu sebagai narasumber dapat memberikan
gambaran kepada kami.
Fokusnya permasalahan yang sampai hari ini yang belum dapat dituntaskan, itu
adalah persoalan masyarakat dengan PT KAI. Secara faktual masyarakat ini bisa, kita melihat
secara factual dia telah menempati tempat itu secara turun temurun, tapi KAI menyatakan
bahwa itu adalah tanah KAI dengan alasannya ada semacam grondkaart atau peta ukur yang
dimiliki oleh PT KAI, sehingga ini menjadikan suatu dasar oleh PT KAI untuk mengklaim
bahwa itu pemiliknya PT KAI. Setelah kita coba melakukan peninjauan di lapangan, maka
kita bisa melihat rumah itu sudah berapa lama di sana, bisa kita lihat secara mata terbuka,
bahwa rumah itu adalah rumah yang telah berpuluh-puluh tahun, artinya masyarakat sudah
berada di tanah tersebut. Di sisi lain juga kita melihat informasi-informasi dari Kepala-kepala
Desa/Lurah memberikan informasi kepada kita, bahwa masyarakat itu sudah mendiami
tempat itu. Tapi dari pihak lain, setelah kita lakukan dengar pendapat, baik dengan
pemerintah secara struktural dari pusat sampai ke daerah belum ada yang berani mengambil
sikap, baik dari pihak Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat tentang penyelesaian
persoalan-persoalan yang dihadapi, bahkan di Jawa Tengah, di Semarang kalau tidak salah
sudah dikeluarkan sertifikat oleh BPN. BPN telah mengeluarkan sertifikat kepada rakyat, tapi
PT KAI juga mengklaim bahwa itu juga milik dia. Oleh karena itu, sekilas pemahaman kami,
hak itu ada namanya alas hak adanya suatu hak, tapi sampai hari ini kami belum bisa
memberikan suatu kata putus dan kami memerlukan semacam informasi keilmuan, baik
secara hukum, secara keuangan.
Maka pada hari ini kami mohon kiranya kepada Bu Yuli dan saya minta kepada
teman-teman, apa kita panel, apa kita satu-satu Pak? Panel? Panel nanti. Nah, oleh karena itu,
metode kita, pertama nanti kita minta kepada Bu Yuli Indrawati, S.H. Nah, ini Ahli Hukum
Anggaran Negara dan Keuangan Publik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang akan
memaparkan kepada kita tentang status hukum tanah yang diklaim milik PT. Kereta Api
Indonesia Persero dalam perspektif hukum anggaran negara dan keuangan publik. Ini
barangkali setelah sampai ditangan Bapak-bapak dan Ibu. Yang kedua, nanti kita minta
kepada Pak Dr. Kurnia Warman, Ahli hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas yang
akan memberikan informasi kepada kita tentang konversi hak atas tanah negara menurut
hukum Agraria Nasional. Setelah nanti kedua narasumber menyampaikan kepada kita dan
kepada para Anggota dan Tim Ahli, Staf Ahli nanti bisa melakukan pendalaman atau tanya
jawab dalam…, jika kita sepakati kira-kira waktu sekarang jam 10 lewat, kira-kira bisa tidak
20 menit Bu? Kalau bisa 20 menit atau lebih kurang bisa kita toleransi nanti. Jadi, nanti kita
minta Bu Yuli dulu menyampaikan kepada kita, setelah itu nanti Pak Kurnia secara panel,
nah, setelah itu nanti pendalaman kepada Bapak.
Dan kami perkenalkan kepada Ibu, Pak Idris dari Kalimantan Timur, Pak Lalu dari
NTB, Pak Ayi dari Jawa Barat Pak Ayi Hambali, Pak Iskandar Lopa dari Sulawesi Barat,
Saya dari Provinsi Riau. Jadi Unsur wilayah barat, wilayah tengah, dan timur ini memenuhi
unsur Bu, karena DPD ini ada unsur wilayah barat, timur, tengah ini Bu. Jadi, wilayah barat
saya Bu, mewakili wilayah barat, wilayah timur Pak Iskandar, Pak Lalu juga wilayah timur.
Dan kami sebagai pejabat Negara juga dilengkapi oleh Staf Ahli. Jadi, kami memiliki Staf
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 3
Ahli secara personal, dan juga Staf Ahli secara kelembagaan. Ini Staf Ahli secara
kelembagaan kita memiliki empat Staf Ahli dan rencana kami akan menambah satu Staf Ahli
lagi dari Ahli Pertanahan. Kalau ini, Bapak-bapak ini ini ada dari BPKP, ada dari BPK, ada
dari KPK, ada dari Kepolisian. Pak Ali ini dari BPKP, Pak Edy Karim dari BPK, Pak Giri
dari BPK juga. Baik untuk efektif waktu kita mulai, kita persilahkan kepada Bu Yuli, tolong
mic, fasilitas dibantu oleh Sekretariat. Kami persilakan.
PEMBICARA: YULI INDRAWATI, S.H., LL.M. (NARASUMBER)
Terima kasih kepada Bapak Pimpinan Rapat.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Saya sangat senang sekali, karena saya bisa sedikit sharing. Hasil kajian kami sesuai
ini adalah hasil kajian kami bidang studi hukum administrasi Negara mengenai pertanahan
yang dikuasai oleh PT KAI. Izinkan saya Bapak Anggota, Bapak Staf Ahli, dan Bapak
Pimpinan untuk menyampaikan hal ini. Memang mengenai tanah PT KAI kalau dari sisi
saya, dari hukum anggaran Negara dan keuangan publik akan ditinjau dari segi asetnya,
mohon maaf kami lanjutkan. Jadi, memang waktu itu kami bidang studi HAN diminta untuk
membuat kajian bersama dengan.. saya dari segi huku anggaran Negara dan keuangan publik
bersama Pak… Prof. Ari selaku Ketua bidang kajian, yaitu melakukan kajian terhadap tanah-
tanah yang dinyatakan atau diklaim sebagai kepunyaan PT KAI. Memang sebetulnya
masalah ini sudah meresahkan masyarakat cukup lama, kami waktu itu juga pernah
menangani dari masyarakat Manggarai, lalu Kemayoran, Bandung sama Semarang kami
pernah juga. Jadi, berdasarkan kajian ini kami peroleh bahwa sebetulnya kita bicara masalah
asas di sini, karena memang itu sudut pandang kami. Jadi, kalau riwayat dari perusahaan
Kereta Api itu kan Indonesia, Negara Indonesia mengnasionalisasi dua perusahaan, dua jenis
perusahaan.
Yaitu pertama adalah Perusahaan Negara milik Pemerintahan Belanda yaitu biasa
dikenal dengan SS, lalu yang kedua adalah dari perusahaan swastanya. Kalau yang dari
instansi pemerintah, karena dia punya pemerintah Belanda otomatis dia adalah asset Negara.
Sedangkan untuk dari perusahaan swasta itu berarti masih swasta, tapi kan dilakukan
nasionalisasi, waktu itu bentuk perusahaannya adalah Jawatan Kereta Api, nah di sini
dikatakan karena sudah di nasionalisasi maka asetnya adalah asset Negara yang dikuasai
Jawatan Kereta Api, padahal sebetulnya tidak lain masih ada masalah. Mari kita lihat berikut,
nasionalisasi itu dasarnya adalah dari Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958, dalam
Undang-Undang tersebut terkandung asas adanya perlindungan. Disini kami melihat, bahwa
sebetulnya ada dua prosedur yang harus dilakukan oleh negara ketika mereka melakukan
nasionalisasi. Yang pertama adalah penetapan PT Perusahaan yang akan dinasionalisasi. Jadi
PP apa saja, maksud saya perusahaan apa saja yang akan di nasionalisasi, itu harus
ditetapkan.
Dan yang kedua, ada pemberian ganti kerugian, nah di sini sebetulnya masalahnya.
Jadi, kenapa sih penting ada PP Penetapan, karena:
1. Dia akan menjadikan landasan hukum bagi pemerintah untuk melakukan tindakan
nasionalisasi atau pengalihan aset dari perusahaan-perusahaan tersebut.
2. Ini terkait dengan kewajiban dari pihak ketiga, baik itu hak, kewajiban, maupun
asetnya, karena pada saat itu perusahaan pasti bekerja/beroperasi sehingga pasti ada
kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan pihak ketiga,
3. Fungsinya adalah (17.04) untuk melakukan tindakan pemberian ganti kerugian. Nah,
untuk pihak ketiga dan pemilik akan dijadikan dasar, untuk meminta mereka
mengajukan permohonan “ini lho, perusahaan diambil kami perlu (17.20)
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 4
Saya langsung saja, memang sudah ada penetapan PP Nomor 40 Tahun 1949 dan PP
Nomor 41 Tahun 1949. Jadi, waktu itu sekitar 11 perusahaan yang sudah di nasionalisasi.
Berdasarkan prosedur adalah harusnya dilakukan pemberian ganti rugi, maka kini kita punya
ada dua skema. Skema yang pertama, kita andaikan Negara memberikan ganti rugi kerugian
kepada pemilik dan pihak ketiga, maka konsekuensi hukumnya adalah negara berbicara sah,
memiliki kepastian eksekusi badan usaha tersebut dan akhirnya secara otomatis berubah
menjadi aset negara.
Kemudian tindak lanjut yang dapat dilakukan Negara, Negara mempunyai
kewenangan selanjutnya untuk melakukan pengelolaan dan pengalihan terhadap asset
tersebut. Tapi skema kedua, nah di sini skema kedua adalah jadi ketika prosedur pertama
ditetapkan yaitu ada penetapan PP, dalam bentuk PP mengenai perusahaan-perusahaan yang
berada dalam nasionalisasi. Yang membedakan adalah pada prosedur keduanya dimana
pemerintah tidak memberikan ganti kerugian kepada pemilik dan pihak ketiga. Mengapa
kami mengajukan skema ini? Karena memang ada indikasi seperti itu. Jadi, sampai saat ini
PT KAI ataupun Kementerian Keuangan itu belum dapat membuktikan mereka itu apakah
sudah sepenuhnya memberikan ganti kerugian? Nah, ini kalau saya melihat, kenapa saya
ajukan ini? Karena itu adalah suatu potensi nantinya akan timbul suatu masalah, karena
dengan pemerintah tidak memberikan ganti kerugian kepada pemilik maupun pihak ketiga,
maka Negara tidak secara sah memiliki asset tersebut atau menguasainya.
Dengan demikian misalkan negara menjadi cacat secara prosedural. Kalau di dalam
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dikatakan tindakan yang cacat itu bisa batal atau
dibatalkan, maka konsekuensinya negara tidak mempunyai kewenangan dalam pengelolaan
aset tersebut maupun dalam pengalihan aset. Jadi, ini adalah kemungkinan potensi,
kemungkinan suatu permasalahannya. Kita andaikan di sini adalah tidak ada masalah pada
tahap yang pertama tadi, maka kita melanjut berikut pada bentuk usaha perusahaan
Perkeretaapian. Sejarahnya terdapat berbagai perubahan untuk pengusaha. Yang pertama
adalah Jawatan Kereta Api (20.17) sebetulnya pembentukan jawatan kereta api ini juga agak
sedikit unik, karena didasarkan pada hanya pengumuman Menteri Perhubungan Tenaga
Kerja dan Pekerjaan Umum. Jadi, itu bukan suatu landasan hukum yang tepat, yang kuat.
Makanya, akhirnya waktu itu pada tahun 1950 banyak juga yang digugat. “Hanya
berdasarkan pengumuman kok kita dinasionalisasi”, maka munculah kemudian adalah
Undang-Undang tadi, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 1959. Berdasarkan itu, lalu pada
tahun 1963 dari jawatan kereta api tersebut diubah bentuknya menjadi Perusahaan Negara
Kereta Api atau kita kenal dengan PNKA, ini dasarnya adalah PP Nomor 22 Tahun 1963.
Untuk selanjutnya perkembangan atau perubahan mengenai bentuk-bentuk usaha dari Badan
Usaha Milik Negara, maka kita menghadapi tiga jenis bentuk usaha yaitu; perusahaan
jawatan, perusahaan umum dan perusahaan perseroan. Waktu itu dinilai kereta api itu cocok
untuk diberikan bentuk sebagai perusahaan jawatan, karena dia adalah moda utama dari
masyarakat.
Tapi pada perkembangan selanjutnya pada tahun 1990, perusahaan jawatan tersebut
diubah bentuknya menjadi perusahaan umum, dan pada tahun 1998 dengan adanya
perubahan mengenai bentuk usaha, badan usaha milik Negara yang hanya tinggal jadi dua, ya
itu kembali lagi ditingkatkan statusnya, bentuk usahanya diganti menjadi perseroan. Nah,
sekarang kita lihat apa konsekuensi hukumnya terhadap asetnya. Sebelum kesana, aset itu
selalu terkait dengan delik hukum, status kelembagaan, maka di sini saya sampaikan bahwa
untuk tiga bentuk yang pertama yaitu Jawatan Kereta Api, Perusahaan Negara Kereta Api
dan Perusahaan Jawatan Kereta Api itu adalah instansi pemerintah di lingkungan
Departemen Perhubungan. Jadi, dia bagian dari pemerintahan, tapi untuk perusahaan umum
kereta api dan perseroan kereta api, mereka adalah badan hukum tersendiri, jadi terpisah. Apa
konsekuensinya bagi pengalihan aset?.Sekarang kita lihat dulu satu-persatu dulu dari
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 5
peraturan-peraturan yang terkait yang menjadi dasar dari perusahaan tersebut. Kalau kita
bicara masalah perusahaan negara kereta api, maka dikatakan secara langsung dalam PP 22
Tahun 1963 bahwa PNKA itu merupakan unit dari Departemen Perhubungan Darat, pos
dalam hal ini adalah Pariwisata. Sudah jelas tadi seperti yang saya katakan, ini adalah bagian
dari Instansi Pemerintah. Lalu bagaimana dengan asetnya? Dengan demikian, karena dia
adalah Instansi Pemerintah, maka asetnya tidak terpisah dari anggaran negara, asetnya adalah
aset negara. Lalu bagaimana dengan Perja (Perusahaan Jawatan)? Ketika dialihkan menjadi
PerJa berdasarkan PP Nomor 61 Tahun 1971, dikatakan bahwa kekayaan PerJa itu adalah
kekayaan negara yang tertanam pada Perja yang bersangkutan. Ini adalah merupakan
pengalihan dari aset PNKA dan Perja juga berada dalam lingkungan Departemen
Perhubungan. Apa yang menjadi dasar hukumnya? Sama, aset yang ditanam pada PerJa tetap
merupakan aset Negara. Pengalihan, untuk Perja ada pengaturannya, yaitu kalau mau
diadakan pengalihan maka harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan selaku
bendahara umum negara. Ini PerJa kita tinggalkan, karena itu tahun 1971.
Berikutnya Perum, di sini sebetulnya mulai terjadi perbedaan, karena seperti tadi saya
sampaikan, Perum ini adalah badan hukum, dia bukan merupakan instansi pemerintah.
Dalam PP Nomor 57 Tahun 1990 dikatakan bahwa aset PJKA dialihkan menjadi modal
Perum dan modal tersebut dipisahkan dari APBN dan tidak terbagi atas saham. Jadi, dia
adalah kekayaan Negara yang dipisahkan, besarnya modal Perum KA sama dengan nilai
yang dialihkan tersebut, akan tetapi tidak semua aset dialihkan. Jadi, di pasal 8 ada, dikatakan
bahwa modal yang dialihkan itu tidak termasuk prasarana pokok berupa jalan kereta api,
perlintasan, jembatan, terowongan, perangkat persinyalan dan telekomunikasi, instalansi
sentral listrik beserta aliran atas dan tanah dimana bangunan tersebut terletak serta tanah
daerah milik dan manfaat kereta api. Jadi, tanah tidak diikut sertakan untuk dialihkan. Kami
mencari dasarnya adalah karena untuk pemisahan kekayaan negara ini kalau mau
diikutsertakan tanah itu harus ada prosedur tersendiri, itu agak rumit, karena ini sudah beda
UD, kalau ketika dari PN ke PerJa itu tidak masalah, karena dia masih instansi pemerintah,
tapi kok ini bukan, dia sudah beda lagi, karena dia sudah badan hukum. Maka implikasinya
adalah bahwa tanah yang menjadi aset PJKA tidak ikut dialihkan dan tetap menjadi aset
Negara, pada saat itu di bawah penguasaan Departemen Perhubungan, dimana pada waktu itu
PJKA bernaung. Jadi, untuk Perum, mereka hanya menggunakan saja, dikuasakan untuk
menggunakan. Hal tersebut berlanjut ketika kita bicara Persero, dalam PP Nomor 12 Tahun
1998 juga dikatakan bahwa aset dari Perum itu beralih ke Persero, tetapi harus diingatkan di
sini bahwa aset yang dialihkan kepada PT KAI itu hanya aset Perum, berarti tidak termasuk
tanah, karena tanah tadi itu kan punya negara. Jadi, implikasinya tanah yang digunakan tidak
dapat dialihkan, karena memang bukan asetnya dia.
Jadi, sebetulnya kita punya aturan mengenai pengalihan aset Negara kepada BUMN,
pertama kita lihat dari tindakannya yaitu kalau dia itu akan dialihkan kepada BUMN maka
harus dilakukan tindakan yang namanya pemisahan kekayaan Negara atau … (menit 27.30
kurang jelas, red.) sebagai wujud bentuk penambahan penyertaan modal, dengan adanya
pemisahan ini maka pengelolaannya tidak akan sama dengan pengelolaan pada APBN. Lalu,
harus ditetapkan dengan PP, jadi ini syarat penting, kalau tidak ada PP-nya berarti tidak ada
penyertaan tidak ada pemisahan. Lalu pada sertifikat tanahnya seandainya ini dilakukan,
maka nama pada sertifikat tersebut harus diganti. Tadinya kan ada namanya tertulis
Departemen Perhubungan, Menkeu, PJKA. Nah, nanti harus diganti menjadi nama si BUMN
yang menerima, kalau misalnya itu Perum atau PJKAI misalnya dan sekarang berikutnya
adalah harus dicatat sebagai aktiva tetap dalam neraca perusahaan, itu adalah syarat-
syaratnya. Mata hukum yang ada, tidak ada PP yang mengalihkan tanah yang digunakan
PJKA menjadi penambahan penyertaan modal Negara kepada Perum KA ataupun PJKAI,
yang kedua tanah yang digunakan Perum KA atau PJKAI bersetifikat masih hak pakai atas
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 6
nama Departemen Perhubungan, Menkeu, PJKA, berarti ini membuktikan memang itu masih
aset negara. Tanah yang digunakan Perum KA atau PT KAI tidak pernah dibukukan sebagai
aktiva tetap (modal) perusahaan Perum KA atau PT KAI dalam neraca perusahaan. Jadi,
semuanya tidak dilakukan, disini memang berpikir bahwa dia memang masih aset negara,
jadi, implikasi yuridisnya, mohon maaf ini agak terlalu kecil, sertifikat hak pakai atas nama
Departemen, sekarang dikenalnya Kementerian, Perhubungan, Depkeu, PT. PJKA tidak
dapat dijadikan dasar bagi kepemilikan tanah oleh PT KAI. Jadi dia tidak punya alasan untuk
mengklaim, karena secara hukum masih dimiliki oleh Kementerian Perhubungan, karena dia
aset negara, lalu PT KAI dengan demikian tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan
tindakan hukum apapun. Yang punya kewenangan siapa? Kementerian Perhubungan dan
Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Jadi, tindakan hukum atas tanah
hanya dapat dilakukan atas perintah, delegasi atau mandat dari Kementerian Perhubungan
atau Kementerian Keuangan yang sebagai pengelola barang milik negara dan regulasinya,
regulasi mengenai pemindahan tangan dan penghapusan dari tanah tetap tunduk kepada
regulasi publik. Jadi, yang berlaku pada aset negara. Ketentuan dalam proses
pengambilalihan dan lainnya terhadap barang tidak bergerak milik negara pada PT KAI harus
tunduk pada prinsip-prinsip perbendaharaan negara, yaitu misalnya Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2004 itu kan ada ketentuan mengenai, batas nilainya berapa? Harus dengan
persetujuan siapa?
Yang berikutnya adalah resiko atas tuntutan tersebut itu sebetulnya tidak menjadi
resiko dan kerugian dari PT KAI sebagaimana selalu dijadikan dasar atau untuk mengklaim,
begitukan? Itu adalah kerugian dia. Tapi ada resiko dan kerugian Negara, karena ini adalah
aset Negara. Yang berikutnya, sengketa atas hukum tanah tersebut harus mengikuti prosedur
dalam Peraturan Menteri BUMN, Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Pendayagunaan Aset Tetap
BUMN, itu harus diikuti. Mohon maaf saya sampaikan di sini, kecenderungan dari PT KAI
adalah tidak mengikuti tahapan tersebut. Untuk itu kami ada beberapa rekomendasi, sengaja
saya pisah-pisahkan karena memang ada cukup banyak.
Rekomendasi pertama, bahwa penyelesaian perselisihan atas tanah perusahaan kereta
api sudah seharusnya dilakukan menurut prosedur, syarat dan prinsip yang mengatur yang
beradab, berkeadilan dan mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat. Jadi, disini
kami melibatkan pemerintah melalui Kementerian Keuangan selaku pengelola barang dan
Kementerian Perhubungan selaku pengguna barang sebaiknya menjadi mediator untuk
menengahi dan menyelesaikan perselisihan ini, sehingga semua pihak dapat memahami
posisi hukum dan haknya sebaik-baiknya, baik dari PT KAI maupun dari masyarakat. Jadi,
disini netral sifatnya.
Rekomendasi yang kedua adalah kami melibatkan disini ada Komisi Hak Asasi
Manusia dan Komisi Ombudsman, karena mereka yang mempunyai kewenangan untuk
mengawasi atau memantau pelaksanaan dari good governance. Jadi semua tindakan
administrasi dan tindakan hukum yang telah dan kemungkinan terjadi dalam perselisihan ini
bisa diselesaikan secara beradab, jangan model bar-bar sekarang, kan dibeberapa tempat
modelnya bar-bar begitu yaa, mohon maaf. Tapi berkeadilan, bermartabat, tunjukanlah ini
adalah suatu perusahaan yang professional, tahu aturan juga memberikan perlindungan
kepada hak daripada masyarakat, karena inti dari aset Negara atau maupun dari tanah itukan
adalah perlindungan kepada warga masyarakat, kita tidak bisa melepaskan itu.
Rekomendasi yang ketiga adalah bahwa semua pihak tanpa kecuali, baik dari PT KAI
maupun dari masyarakat atau pihak terkait lainnya seperti yang dikemukakan tadi ada dari
BPN, dari Kementerian Keuangan serta Kementerian Perhubungan itu harus mengutamakan
jalan penyelesaian secara musyawarah dan menghindari atau bahkan menghilangkan segala
bentuk tindakan kekerasan dan tindakan melawan hukum yang akan menimbulkan masalah
baru.
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 7
Rekomendasi yang keempat adalah bahwa penyelesaian melalui jalur hukum dan
mediasi itu harus dijunjung tinggi, karena dalam beberapa praktek ternyata para pihak ada
yang tidak mengikuti putusan dari pengadilan, masing-masing harus menghormati putusan
hukum sampai berkekuatan hukum tetap dan tidak ada tindakan yang berupaya melawan
putusan pengadilan tanpa sah dan tanpa dasar hukum. Yang berikutnya, Pengadilan dalam
memeriksa, mengadili dan memutus perselisihan sebaiknya mengambil pertimbangan yang
komperehensif, sesuai, tidak hanya prosedural formal, peraturan perundang-undangan, tetapi
juga perlindungan kepada kepentingan umum dan kepentingan kesejahteraan masyarakat
yang harus menjadi kewajiban negara untuk melindunginya.
Rekomendasi yang keenam adalah bahwa mengingat masalah ini sudah berdampak
sangat luas, tadi ada beberapa perkara yang lihat terjadi, kami saja melihat empat perkara,
mungkin Bapak Anggota yang terhormat sudah mengetahui lebih banyak dari itu. Maka
dalam rangka melindungi kepentingan umum dan kepentingan nasional, justru Presiden yang
harus turun tangan menetapkan Keputusan Strategis dan penting agar warga masyarakat tidak
dirugikan dan PT KAI dapat memberikan penghormatan yang layak dan sah sesuai peraturan
perundang-undangan dan tadi harkat dan martabat manusia.
Demikian secara singkat yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan sedikit
menambah cerita dari kami. Terima kasih.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. ABDUL GAFAR USMAN, M.M. (KETUA BAP DPD RI)
Terima kasih. Mungkin sesuai dengan kesepakatan tadi kita panel saja dulu, nanti
baru ada pendalaman dari masing-masing Tim dengan Staf. Apakah kita panel dua sesuai
kesepakatan, barulah Ibu Profesor atau ketiga-tiganya sekaligus? Mohon maaf Bu Prof,
memang rencana kami tadi kan ada empat narasumber tapi kebetulan Pak Marbun mendadak
masuk rumah sakit dan tidak ada untuk penggantinya. Oleh karena itu, mungkin kita setelah
Pak Dr. Kurnia Warman menyampaikan pemaparannya, kita langsung nanti minta kepada Bu
Profesor. Jadi, kita panel ketiga-tiganya dan sekarang kita minta kepada Pak Doktor Kurnia
untuk menyampaikan pemaparannya sesuai dengan topik yang telah kita sepakati. Kami
persilahkan kepada Pak Kurnia Warman.
Kami persilakan Pak.
PEMBICARA: Dr. KURNIA WARMAN, S.H., M.Hum. (NARASUMBER)
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Selamat pagi.
Salam sejahtera untuk kita semua.
Mohon izin Prof. Ari, karena saya dengan Bu Yuli murid Beliau. Hanya beda tempat,
saya di Andalas, Bu Yuli di UI, jadi anunya sedikit berbeda, tapi bidangnya sama.
Pak Ketua dan Anggota BAP DPD RI yang kami hormati.
Saya juga sangat berterima kasih dapat kesempatan untuk menambah diskusi dalam
RDP pada saat ini, karena bagi saya pribadi isu ini dalam pengajaran hukum agraria menjadi
penyakit yang tidak tahu dokternya kemana mau dicari. Jadi, dokter spesialisnya tidak tahu
itu obatnya. Apa obatnya? Apa sakitnya itu? Sakitnya itu adalah terjadi ketidaktaatan hukum
para pengguna tanah Negara di Negara ini. Tidak tahu obatnya, tidak ada dokternya. Ada
petunjuk tapi tidak ikuti petunjuk itu. Jadi, yang ingin saya sampaikan, saya sangat senang
pada diskusi ini. Kemarin saya juga mohon izin Pak Idris, kemarin waktu di Masyarakat Adat
saya diam saja, karena memang untuk isu itu saya tidak sepakat dengan deputi uang lain
saya.
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 8
Saya sengaja mengambil tema ini untuk kita melihat posisi grondkaart itu dimana?
Sebab kalau kita langsung ke grondkaart kita disodorkan dengan grondkaart sejarah yang
kita bisa terbawa arusnya, tapi kita tidak bisa melihat dimana posisinya grondkaart di dalam
hukum agraria, makanya tema umumnya itu sebetulnya saya pilih Konversi Hak Tanah
Negara. Konversi hak tanah Negara ini menurut hukum agrarian nasional yang sudah
meninggalkan hukum agraria kolonial tempat grondkaart itu diperoleh. Dasar grondkaart
diperoleh itu sudah ditinggalkan oleh hukum nasional kita. Konversi hak tanah ini ditujukan
terhadap tanah yang sudah diperoleh sebelumnya. Misalnya konversi, untuk tanah yang akan
diperoleh itu namanya pengadaan. Jadi, jika Negara hari ini belum memperoleh tanah dan
butuh tanah itu namanya pengadaan tanah. Ini konversi tidak, konversi untuk tanah yang
sudah diperoleh tapi perlu ditegaskan, ditata, dipastikan. Kalau ini tidak ditaati, maka besar
kemungkinan akan menimbulkan sengketa dan mal praktek. Gambaran bahan yang singkat
ini sebetulnya tidak banyak sebetulnya, uraiannya. Ini pengertian konversi secara hukum
yang dasarnya, kalau teknis pengertiannya itu penyesuaian ha katas tanah yang sudah
sebelum UUPA, kepada jenis atas tanah yang ada dalam UUPA. Untuk apa tujuannya?
Untuk ada tertib administrasi hak atas tanah, yang dalam UUPA disebut dengan unitifikasi
hak atas tanah. Dalam pelaksanaan atas konversi itu memang selalu diikuti dengan
pendaftaran tanah. Jadi, oleh karena itu, konversi tidak ada gunanya kalau tidak diikuti
dengan pendaftaran tanah. Oleh karena itu makanya ujung dari kegiatan konversi adalah
sertifikat tanah sebagai bukti hak. Yang lain dari sertifikat itu bukan bukti hak, tapi alas hak
namanya. Sebelum dia memperoleh bukti hak, maka dia mengajukan berbagai alas hak
dengan alas hak itulah yang diperiksa, diverifikasi, dibuktikan, dipastikan sebelum dia diberi
sertifikat. Jadi, kalau ada dua alat bukti yang dibawa kepengadilan, bersengketa, rakyat
membawa sertifikat hak digugat oleh yang lain yang membawa alas hak, katakanlah PT KAI
membawa grondkaart, secara hukum sebetulnya sertifikat yang benar. Kenapa? Karena ini
adalah bukti hak. Oleh karena itu, perlu diperiksa proses pemberian haknya kalau memang
dia digugat, karena memang bisa digugat. Hukum itu tidak, apa namanya, setiap orang yang
kepentingannya dirugikan dia berhak menggugat, tapi pada saat itulah nanti dia diperiksa.
Apa tujuan dari konversi itu? Seperti yang tadi saya sampaikan:
1. Dia memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah sendiri, kalau
pemegang hak atas tanah itu adalah Negara, memberikan kepastian hukum kepada
pengguna tanah Negara itu sendiri. Jadi, artinya kalau pengguna tanah Negara tidak
melakukan konversi, kepastian hukumnya tidak diperoleh;
2. Mencocokan hak atas tanah tersebut dengan hak yang ada di UUPA untuk unifikasi.
Tadi saya sampaikan juga;
3. Memastikan kesesuaian hak tersebut dengan landasan filosofis, yuridis, sosiologis
hukum agraria nasional, karena ada hak atas tanah yang sudah ada sebelum UUPA
tidak cocok dengan filosofis itu, sehingga dia harus diganti. Contoh, pada zaman
kolonial, ada.. Prof. Ari nanti akan…mohon izin Prof. Ari, hak milik (eigendom) bisa
diberikan kepada orang asing, bahkan kepada Negara asing, bahkan kepada badan
hukum asing, tetapi karena itu bertentangan dengan filosofis hukum agraria nasional,
bahwa Negara tidak memilih tanah, maka hak seperti itu tidak dipakai lagi dan dia
disesuaikan dengan hukum agraria nasional, tentu yang saya maksud dengan untuk
memastikan kecocokan hak itu dengan hukum agraria nasional;
4. Untuk menertibkan penggunaan hak atas tanah itu, dengan konversi penggunaannya
menjadi tertib. Jadi, kalau tanah Negara itu digunakan oleh penggunanya tidak
dikonversi itu sudah pertanda bahwa dia tidak mau menertibkan, dia tidak mau
ditertibkan. Kalau tidak mau ditertibkan maka konsekuensinya dia memperoleh
kepastian hukum, tapi perlu ditelusuri, Apa penyebab dia tidak mau ditertibkan?
Biasanya kalau terjadi ketidak tertiban, maka orang bisa mengambil keuntungan
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 9
pribadi. Jadi, orang bisa menggelapkan, orang bisa macam-macam, apa
namanya…modusnya;
5. Melindungi hak atas tanah yang diperoleh secara sah. Jadi, tidak hukum…ini sebagai
turunan dari asas nonretroaktif, prinsip Pak. Jadi, undang-undang tidak berlaku surut.
Oleh karena itu, orang yang memperoleh hak yang sah menurut undang-undang
sebelumnya itu harus dilindungi oleh undang-undang yang baru. Yang terakhir;
6. Untuk mewujudkan tertib administrasi pertanahan yang merupakan cita-cita dari
UUPA.
Bapak-bapak sekalian. Secara sederhana saja, berdasarkan jenis kelompok hak atas
yang sudah ada itu (dulu), maka secara hukum agraria dapat dikelompokan dua bentuknya
konversi hak itu, tetapi karena didalamnya masuk tanah Negara jadi tiga. Apa yang tiga itu?
1. Konversi hak atas tanah adat (Indonesia). Jadi, tanah-tanah adat yang diperoleh, orang
Indonesia memperoleh tanah secara adat itu sebelum UUPA dan selamanya. Oleh karena
itu, tanah-tanah adat itu adalah sasaran dari konversi. Jadi, kalau saya punya tanah secara
adat maka saya akan datang ke BPN, “tolong Pak saya daftarkan”. Tapi sebetulnya
sebelum didaftarkan dikonversi dulu. Hak apa sebetulnya yang didaftarkan oleh bapak
ini? Hak milik? Pada (tidak jelas) maka kepadanya diberikan hak milik, karena ini
merupakan hak bangsa Indonesia, maka dalam hukum agraria pelaksanaan konversi tanah
adat ini, ini tidak mempunyai batas waktu. Kapan saja orang adat boleh datang ke BPN
untuk mengkonversi haknya dan mendaftarkannya memperoleh sertifikat. Itulah yang
dicantumkan dasar hukumnya dalam ketentuan konversi dibagian kedua UUPA dan
termasuk di dalamnya adalah tanah-tanah yang dikuasai atas dasar hukum so tantra, ada
di bagian ketiga. Tanah-tanah so tantra itu pada umumnya tanah yang dikuasai oleh
pemerintahan kesultanannya itu menjadi tanah Negara, karena fungsi pemerintah dikuasai
oleh Negara, tapi tanah yang dimiliki oleh rakyatnya jadi hak milik, seperti grand sultan
misalnya, grand sultan itu tanah yang diberikan hadiah oleh sultan kepada warganya itu
menurut undang-undang agraria dikonversi menjadi hak milik. Tapi kalau tanah
kesultanannya, tanah publik yang dikuasai oleh sultan sebagai pemerintah sebelumnya itu
sebagai tanah Negara didasar hukumnya bagian keempat UUPA itu dasar. Sampai
sekarang pun itu harus…ini saja belum tertib sekarang ini, masih belum semua. Jadi
kalau kita ingin menertibkan tanah-tanah adat, tanah Indonesia, tanah so tantra lakukan
konversi yang pertama, tetapi tidak termasuk didalamnya tanah negara dari awalnya.
2. Konversi hak atas tanah barat namanya, disebut begitu kenapa? Karena hak atas tanah
barat ini, hak atas tanah itu adalah hak atas tanah yang diberikan kepada orang atau badan
hukum pada masa kolonial sebelum UUPA berdasarkan hukum Belanda, hukum barat
disebut hukum barat atau secara spesifik didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(BW). Karena ketentuan ini bertentangan dengan asas kebangsaan, maka konversi hak
atas tanah-tanah barat ini mempunyai batas waktu, hak atas tanah barat ini misalnya
eigendom, erfpacht, opstal, itu hak yang tidak terkena. Batas waktunya berapa? 20 tahun.
Jadi, kalau misalnya pada tahun 60 itu sisa waktu hak erfpacht-nya masih 45 tahun, dia
dikonversi menjadi menjadi hak guna usaha, tapi jangka waktu maksimalnya boleh hanya
menjadi hak guna usaha 20 tahun. Jadi, 24 September tahun 80, habis semua konversi
hak barat, semua tanahnya menjadi tanah negara, itu sebagai konsekuensi dari asas
kebangsaan, dari UUPA. Fokus kita diskusi hari ini yang,
3. Konversi hak atas tanah negara. Apa yang dimaksud hak atas tanah negara? Konversi hak
atas tanah yang telah diperoleh oleh negara kolonial. Jadi, negara kolonial dulu, kolonial
itu, negara dulu cuma negara bagian dari negara kolonial. Lalu yang diambil alih atau
yang diteruskan atau yang diwarisi oleh negara Republik Indonesia. Jadi grondkaart itu
sesuatunya datang dari kolonial, diambil alih, itu juga dikonversi. Ketentuan konversi ini
juga berlaku tanpa batas waktu. Kenapa? Karena ini kan tanah negara, oleh karena itu
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 10
tidak boleh dibatasi jangka waktunya, kecuali kalau instansi Pemerintah yang
mewarisinya sudah dibubarkan. Dulu ada Menteri Penerangan misalnya, pada saat
Menteri Penerangan tidak ada tidak perlu di…, harus dikembalikan kepada negara dan
digunakan untuk Kementerian yang lain. Dasar hukum konversi yang ketiga ini tidak
semuanya di UUPA. Nah ini Prof. Ari pasti ini…, tidak semua di UUPA. Ada dasar
hukum di luar UUPA, utamanya adalah PP Nomor 8 Tahun 5193 yang judulnya tentang
Penguasaan Tanah Negara. PP Nomor 8 Tahun 1953 ini adalah Peraturan Pemerintah
yang keluar sebelum UUPA, UUPA kan memang keluar tahun 1960, tapi proses
pembentukannya itu sejak tahun 1948, disahkannya lama karena proses, karena tidak apa
namanya ini…, kalau saya katakan psikologisnya tidak sabar menunggu UUPA untuk
menyelesaikan tanah-tanah negara yang penggunaannya tidak tertib pada saat itu,
akhirnya Pemerintah mengambil jalan cepat mengeluarkan PP khusus untuk itu. Jadi, PP
ini keluar, ini latar belakangnya adalah kondisi hari ini terjadi, pada masa lalu juga.
Terjadi ketidaktertiban, ketidaktaatan oleh pengguna-pengguna tanah negara dalam
mengunakan tanah negara yang diwarisi itu, sehingga Presiden Sukarno pada saat itu
merasa perlu untuk mengintrupsi ini walaupun UUPA belum keluar sehingga lahirlah PP
8/1953. Oleh karena itu, PP 8/1953 ini sebagai dasar utama untuk penguasaan tanah
negara. Sampai sekarang PP ini belum pernah dicabut, karena tetap berlaku, belum
pernah dicabut. Nah, untuk itu, karena isunya konversi tanah negara itu, saya ingi sedikit
menggambarkan sedikit. Separti apa sih tanah yang ada pada zaman kolonial itu
gambarannya dan apa bedanya dengan tanah yang ada pada zaman nasional, khus tanah
yang dikuasai oleh negara?. Bapak-bapak sekalian, terjadi perbedaan yang sangat
mendasar untuk hak atas tanah yang dipegang oleh pemerintah antara zaman kolonial
dengan zaman nasional. Kalau untuk warga negara tidak terlalu besar perbedaanya,
kenapa? Karena tetap ada hak milik. Tapi untuk tanah negara terjadi perbedaan yang
sangat mendasar. Apa perbedaan yang mendasar? Pada zaman kolonial dulu itu,
berdasarkan asas domein verklaring yang sejalan dengan ICW (Indische
Comptabiliteitswet) dan IBW (Indische Bedrijvenwet), itu arahan beliau sebetilnya, itu
adalah Undang-Undang Perbendaharaan Negara pada zaman kolonial yang
memposisikan negara sebagai eigenaar (tanah). Oleh karena itu, negara punya hak
eigendom, Pemerintah punya hak eigendom, rakyat juga punya hak eigendom, menurut
hukum agraria nasional itu tidak lagi, standing itu dicabut. Karena negara punya hak
eigendom, maka negara berhak mengunakan tanah tersebut untuk membangun gedung
untuk berhak….bahkan menyewakan, bahkan berhak menjual. Artinya negara pada masa
itu, pada masa kolonial itu termasuk yang ikut mengkomersialisasikan tanah. Yang ikut
mengkomersialisasikan tanah, posisi inilah yang pada zaman nasional dicabut. Apa yang
mencabut? Yang mencabut bukan UUPA Pak, yang mencabutnya itu pasal 33 aya (3)
Undang-Undang Dasar 1945. Apa yang mencabut? Standing negara sebagai pemilik atas
tanah itu digantikan dengan hak menguasai negara sebagian masuk pasal 33 ayat (3).
Jadi, bukan UUPA yang mencabut, UUPA hanya menggantikan normanya saja,
pencabutan deklarasi khusus tanah itu ada di pasal 33 ayat (3). Jadi, artinya prinsip
negara sebagai pemilik tanah sejak berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 dia sudah
kehilangan landasan filosofis, yuridis, dan sosioligis Indonesia. Timbul pertanyaan
bapak-bapak sekalian, karena standing negara hanya sebagai hak menguasai negara,
bukan pemilik lagi. apa dasar dari Pemerintah menggunakan tanah negara untuk
membangun prasarana, infrastuktur publik. Ini pertanyaan yang tidak bisa dihjawab oleh
UUPA sendiri, kenapa? Karena UUPA memberikan kewenangan kepada negara sebagai
penguasa tanah negara itu di pasal 2 ayat (2) UUPA. Pertama, mengatur dan
menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, pemeliharaan bumi air, satu
kewenangannya. Dua, menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dengan
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 11
bumi, air. Kalau dengan tanah namanya hak atas tanah. Hubungan hukum antara orang
dengan kekayaan alam namanya izin, itu negara yang mengatur. Yang ketiga, negara,
menentukan, mengatur hubungan hukum antara orang-orang dari perbuatan hukum yang
mengenai bumi. Kalau orang mau menjual tanah tidak boleh seperti menjual ayam, harus
ada prosedur yang diikuti. Kenapa? Karena tanah itu perlu ada kepastian hukum, apa lagi
dia ke PPAT lalu balik nama ke BPN, itu prosedur yang diatur.
Dari pertanyaan itu tidak satupun kewenangan yang ada di situ yang diberikan oleh
Undang-Undang kepada negara untuk menggunakan tanah itu. Oleh karena itu, timbul
pertanyaan. Kalau begitu, apa hak atas tanah negara yang digunakan oleh instansi
Pemerintah? karena kewenangan yang ada di pasal 2 ayat 2 UUPA itu tidak menentukan ada
kewenangan menggunakan jangankan menyewakan menjualkan gitu ya menggunakan tidak
ada di situ ada dasar itulah di slide berikutnya, berdasarkan pada kondisi seperti itu lalu
dalam hukum agraria dasar hukum pasal 16 ayat 1 UUPA ketentuan konversi UUPA serta
peraturan perundangan diluar UUPA, peraturan perundangan diluar UUPA itu setidaknya ada
empat yang utama tapi ada tiga sebetulnya ada juga pelaksanaan termasuk PP 853 tentang
penguasaan tanah negara, peraturan Kementerian Agraria Nomor 965 tentang pelaksanaan
konversi hak pengusaan dan ketentuan kebijakan tersebut atas tanah negara, Peraturan
Kementerian Agraria nomor 1 undang-undang tentang pendaftaran hak pakai dan hak
pengelolaan yang tanah negara tadi termasuk PP 40 Tahun 1996 dan sebagainya.
Berdasarkan betentuan-ketentuan tersebut diatas hak atas tanah negara yang
dipergunakan instansi pemerintah yang disimpulkan dua, sebetulnya yang betul-betul hak
hanya ada satu yang tapi dua dalam prakteknya, satu hak pakai namanya. Jadi ibu ini
mengatakan sertifikat hak pakainya masih nama menteri perhubungan itu memang padahal
pada masa kolonial itu hak venom itu tapi karena tidak cocok jadi maka jadi hak pakai hak
pakai tapi hak pakai publik yaitu hak pakai yang tidak ada batas waktu, hak pakai non
komersial, hak pakai tidak boleh diperjualbelikan apalagi disewakan berbeda dengan hak
pakai privat yang ada dalam pasal PP 40 Tahun 1996 yang dalam jangka waktunya dua puluh
lima tahun isi dari hak pakai ini maksudnya kewenangan dari instansi pemerintah yang hak
pakai ini adalah hak pemanfaatan untuk kepentingan tugas pemerintahannya. Jadi dia hanya
berhak menggunakan tanah itu kalau dia tidak menggunakan tanah itu dia berarti sebetulnya
kehilangan hak. Oleh karena itu kepadanya tidak boleh diberikan haknya lebih dari
kebutuhan. Kalau ada yang disewakan kepada orang lain berarti dia tidak butuh tanah itu
sesungguhnya. Jadi dia hanya menggunakan.
2. Hak pengelolaan. Hak pengelolaan ini pada zaman kolonial namanya behirse. Hak
pakai itu zaman kolonial namanya ekhendom hak pengelolaan ini, ada tanah-tanah negara
tertentu yang disamping digunakan instansi pemerintah tapi kewenangan instansi pemerintah
itu juga memberikan bidang-bidangnya bagian-bagiannya kepada pihak ketiga untuk
pembangunan kawasan tertentu, misalnya kawasan pelabuhan, kawasan industri, termasuk
sekarang contohnya kawasan pulau batam pulau karimun dan sebagainya itu disamping dia
menggunakan tapi dia juga merencakan penggunaan dan dalam perencanaan itu pengelolaan
kawasan tertentu maka dia juga diberikan kewenangan untuk menyerahkan bagian-bagian
kepada hak tertentu, kalau begitu isi kewenangan yang dipergunakan tanah negara yang
dipergunakan oleh instansi pemerintah kepada instansi pemerintah itu konversinya
didaftarkan hak pengelolaan jadi nama hak sertifikatnya hak pengelolaan, dalam hukum
perbendaharaan negara ini mohon diluruskan Bu Yuli dalam hukum perbendaharaan negara
tanah yang dicatat sebagai barang milik negara ini adalah tanah yang haknya dua ini jadi
kalau kita ingin mencek ketaatan penggunaan tanah negara terhadap permasalahan
pertanahan kalau dia mencatat sebagai neraca aset apakah dia sudah punya antara salah satu
dua ini jika belum secara hukum agraria dia belum bisa dikatakan yaa nyambung tidak yang
tadi Bu Yuli sampaikan inilah yang saya katakan wujud ketaatan kepada hukum jadi
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 12
bagaimana kita bisa mengimbau rakyat taat hukum kalau penyelenggara negara tidak taat
hukum ini sesuatu yang ironis dalam kita bernegara hukum mestinya penyelenggara negara
dulu yang mencontohkan kepada rakyat taat pada hukum daftarkan lah tanah-tanah yang kita
kuasai supaya tertib taat hukum lalu beri contoh kepada rakyat biar rakyat itu didorong untuk
mendaftarkan tanahnya juga jadi suatu yang ironis.
.Jadi kalau secara akademik sebetulnya ini sudah tidak disebut statland tapi
government land tanah pemerintah sesungguhnya tidak lagi sebagai statland tanah negara
jadi kalau begitu government land adalah tanah negara yang diperuntukan kepada instansi
pemerintah tertentu untuk dipergunakan dalam penyegaran tugasnya yang diberikan hak
diantaranya hak pakai atau hak pengelola atas dasar ini lah dia mencatat sebagai di neraca
aset, nah kalau gak salah di intrumen hukum audit di BPK sudah menggunakan ini bapak dari
BPK mungkin sudah, di BPK sudah menggunakan ini sebagai instrumen untuk mengecek
ketaatan hukum pengguna barang tapi apakah instrumen ini bisa apa maksud saya apakah
efektif untuk pengguna barang untuk mencatat barangnya atau tidak ini perlu dijelaskan
didiskusikan berikutnya jadi inilah yang dimaksud dengan hasil konfersi itu, bagaimana
pengaturan konfersi itu secara umum jadi tanah negara secara umum pengaturannya karena
hak tanah negara kolonial yang diwarisi tidak cocok lagi dengan hukum agraria nasional
maka bentuk-bentuk penguasaan tanah negara perlu disesuaikan dengan hukum agraria
nasional agar terwujud tertib administrasi pertanahan menurut hukum agraria nasional jadi
tertib administrasi pertanahan yang kita pakai sekarang ini adalah hukum agraria nasional,
berdasarkan konversi tersebut diatas dilakukan pendaftaran tanahnya sehingga data
pertanahan yang dicatat jadi data pertanahan tadi itu data pertanahan yang awalnya hanya
menjadi milik dari internal dari pengguna tanah negara data yang dipunyai oleh KAI data
yang dipunyai oleh Tentara data yang dipunyai oleh Polisi data yang dunyai kementerian
data yang dipunyai BUMN dan sebagainya itu data internal dia bagaimana data internal dia
mengikat publik ada asas publisitas namanya dia harus memindahkan data itu ke buku tanah
ke BPN dan kepada dia diberikan salinan buku tanah namanya sertifikat kalau itu
dilakukannya maka tidak perlu dia secara fisik mempertahankan kenapa karena sudah
berlaku asas publisitas jadi ada keuntungan yang luar biasa dari pendaftaran tanah itu asas
publisitas namanya asas publisitas mengatakan begini kalau tanahnya sudah terdaftar dan
dicatat dibuku tanah yang melindungi kepastian hukum atas tanahnya itu tidak lagi pemegang
hak tapi negara yang melindunginya atas dasar buku tanah itulah publisitas publik yang
melindunginya publisitas itu publik yang melindungi haknya tapi kalu itu tidak dilakukannya
maka justru haknya bertentangan dengan publik kan bisa dia sepihak ini tanah saya tapi tidak
teruji secara publik pengujian itu dilakukan pada saat konfersi dan pendaftarannya itulah
makanya kalau kita mendaftarkan tanah tanah yang kita ajukan itu diukur ke lapangan
diundang para saksi sepadan dan sebagainya dan dinyatakan betul setelah itu baru dia
dipindahkan ke buku tanah setelah dipindahkan ke buku tanah kepada kita dibuat salinan
buku tanah namanya sertifikat setelah itu barulah negara melindungi haknya itu dan itulah
asas publisitas..publisitas hukum jadi kalu sudah di buku tanah dia sekalian kegiatan
pendaftaran tanah ini sejarahnya panjang juga panjang, mengapa sekarang saya buat BPN
BPN itu ada sejak tahun 1988 ya Pak tari ya keputusan presiden tahun 1988 kegiatan
pendaftaran tanah sudah dilakukan sebelumnya siapa yang melakukan dirjen agraria
dikementerian dalam negeri jadi oleh karena itu PP 853 yang tadi memberikan kewenang
menteri dalam negeri itu sebetulnya dirjen agraria itu tapi sejak tahun 1988 karena dirjen
agraria keluar dari kemendagri dan menjadi BPN seakan-akan menteri dalam negeri tidak
lagi menggunakan tidak merasa berwenang lagi atas tanah negara dan BPN yang keluar dari
kemendagri hanya seakan-akan bertugas mencatat catat sehingga fungsi pengawasan yang
ada di PP 853 tidak berjalan yakni suatu problem jadi saya sebut sekarang BPN sebetulnya
sekarang saja namanya BPN dulu bukan BPN dulu namanya dirjen agraria sebelum tahun 88,
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 13
hukum agraria nasional menentukan konfersi hak tanah negara dengan menertibkan
penguasaan tanahnya dulu baru setelah itu didaftarkan utamanya berdasarkan PP 853
pengaturan ini bahkan mendahului UUPA UUPA itu disahkan sampai dengan tahun 60
proses 88 karena urgennya penertipan tanah negara yang tadi saya katakan sebelum itu tanah
negara itu cenderung tidak tertib pengunaannya bagaimana pengusaan tanah negara yang ada
dalam ketentuan konfensi tanah negara itu di slade berikutnya, secara hukum tanah negara itu
pengertiannya tanah yang dikuasai penuh oleh negara ada dua ketentuan yang redaksinya
berbeda satu di PP Nomor 8 Tahun 53 dua PP 2497 tapi serinya sama tanah yang dikuasai
langsung atau penuh oleh negara atau tanah yang tidak dipunyai dengan hak tanah yang lain
itu namanya tanah negara, jika pengertian tanah negara di PP 2497 kita pakai maka stat
government land tadi tidak lagi termasuk tanah negara sesungguhnya jika pengertia PP 2497
tadi kita pakai maka government land yang tanah negara yang sertifikatnya hak pakai atau
pengelolaan sebetulnya secara hukum tidak lagi tanah negara karena sudah ada haknya hak
pakai dan pengelolaan tapi jika kita pakai pengertian pasal 1 huruf a PP 853 dia masih
termasuk tanah negara karena dia tanah yang dikuasai penuh oleh negara, ini agak setikit tapi
secara prinsip tidak ada pertentangan hanya penegasan saja, bahwa ada tanah negara yang
dicatat diberikan hak, namanya hak pakai dan pengelolaan. Penguasaan tanah negara yang
tersebut di atas ditentukan berdasarkan... jadi, siapa yang menguasai tanah negara tadi?
Tanah yang tidak ada haknya itu.
Penguasaan tanah negara itu ditentukan berdasarkan penyerahan penggunaannya
kepada instansi pemerintah atas nama negara. Saya ulangi, penguasaan tanah negara itu
didasarkan pada penyerahan penggunaannya kepada instansi pemerintah yang melaksanakan
tugas atas nama negara, kalau tidak ada penyerahan berarti tidak bisa dikatakan dia, pasal 2
dan pasal 3 PP 8 Tahun 1953 mengatakan sebagai berikut:
1. Tanah negara yang telah diserahkan penggunaannya oleh peraturan perundang-
undangan kepada instansi tertentu dikuasai oleh instansi pemerintah bersangkutan.
Yang telah diserahkan penggunaannya itu baca angka tahunnya, tahun 1953
maksudnya. Jadi, pada tahun 1953 itu pada saat PP Nomor 8 Tahun 1953 itu dibuat,
instansi pemerintah yang menguasai tanah negara sudah ada, PP ini mengatakan,
“kalau sudah ada penyerahannya itu, penyerahannya kepada instansi pemerintah atau
kepada tentara juga, kepada Kementerian, kepada BUMN, kepada Perja, kepada
Perum namanya. Kalau sudah ada itu, berdasarkan peraturan perundangan, entah
undang-undang, entah PP, itu menurut PP Nomor 8 Tahun 1953 penguasaannya
adalahinstansi pemerintah jawatan yang ditunjuk penyerahannya itu, satu.
2. Jika tanah negara pada saat PP Nomor 8 Tahun 1953 itu dikeluarkan belum ditunjuk
instansi pemerintah yang menggunakannya maka yang berhak, yang berwenang
menunjuk penggunaannya itu adalah Menteri Dalam Negeri. Nah, inilah yang saya
katakan, yang saya maksud itu pada saat ini di Kementerian Dalam Negeri itu ada
Dirjen Agraria, Dirjen Agraria itulah yang mengurus penjukkan penggunaan tanah
negara ini, tahun 1988 dia keluar jadi BPN. Apakah masih ada penunjukkan itu
dilakukan oleh BPN atau tidak? Itu perlu dicek. Apa kewenangan dari Menteri Dalam
Negeri sebagai yang berkuasa menyerahkan penguasaan itu?.Pertama, menyerahkan
penguasaan itu kepada instansi tertentu untuk pelaksanaan tugas pokok dan fungsi
instansi itu. Untuk pelaksanaan fungsi dan tugas instansi itu, bukan untuk disewakan
oleh instansinya untuk tugas fungsinya. Oleh karena itu, penyerahannya tidak boleh
melebihi. Yang kedua, mengawasi agar tanah negara tersebut yang digunakan sesuai
dengan peruntukkannya. Jadi, tidak boleh dia digunakan untuk peruntukkan lain
selain dari urusan yang ditugaskan. Misalnya, BUMN di bidang perkebunan, dia tidak
boleh menggunakan tanah ini menjadi properti Pak, karena tugas pokoknya dari
negara adalah perkebunan. BUMN yang ditugaskan di bidang perkeretaapian, dia
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 14
tidak boleh menggunakan tanahnya diluar tugas pokoknya sebagai instansi perkereta
apian, tidak boleh digunakannya untuk bangun hotel, apalagi disewakan. Berarti dia
tidak butuh tanah itu sebetulnya. Itu tanah negara, bukan tanah miliknya. Negara ini
urusannya banyak, bukan hanya untuk instansi itu. Yang ketiga, jika tidak digunakan
lagi oleh instansi yang diserahkan itu, dia wajib menyerahkan kembali kepada
Menteri Dalam Negeri, bukan dikomersialkan oleh instansi itu. Jadi, apalagi dilelang.
Jadi, dia diserahkan kembali ke Kementerian Dalam Negeri. Untuk apa diserahkan?
Untuk diserahkan kepada instansi negara lain yang tugasnya dibidang lain yang butuh
tanah itu, karena negara susah memperoleh tanah, memperoleh tanah itu susah. Oleh
karena itu, tanah negara tidak boleh lepas, harus dipertahankan, kalau tidak butuh dia
serahkan kepada penguasanya, yaitu Menteri Dalam Negeri.
Saya mengutip sedikit yang menurut saya penting di PP 8/1953 itu adalah
pengawasan penggunaan tanah negara, kan kita bicara aspek penertiban. Atas kewenangan,
pengawasan penggunaan tanah negara, Mendagri berhak mencabut penguasaan tanah negara
itu dalam hal. Jadi begitu besar kewenangannya Menteri Dalam Negeri yang dalam hal ini.
Yang tadi saya katakan, dulu Dirjen Agraria sekarang sudah menjadi BPN. Apakah Mendagri
masih punya kewenangan ini atau tidak? Atau Kewenangan ini dianggap Mendagri sudah
dibawa oleh BPN. Lalu tanya BPN, apakah BPN merasa punya kewenangan ini atau tidak?
Itu memang perlu kita koordinasikan. Apa kewenangannya Menteri Dalam Negeri dalam
rangka pengawasan itu? Dia berwenang mencabut penguasaannya yang diserahkannya tadi.
Apa dasarnya dicabut?. Pertama, penyerahan penguasaan itu ternyata keliru dan tidak tepat
lagi. Keliru dan tidak tepat lagi itu adalh penilaian dari yang berwenang, yaitu Menteri
Dalam Negeri. Yang kedua, luas tanah yang diserahkanpenguasaannya itu ternyata sangat
melebihi keperluan terhadap instansi yang diserahkan. Jadi, kalau dia tidak butuh tanah
seluas itu, untuk apa bagi dia? Kembalikan sisanya. Apa bukti dari dia tidak perlu? Dia
menyewakan, kan tanah dia tidak pelu tanah itu, atau dia mau mengkerjasamakan pihak
ketiga. Kan tidak perlu lagi, kecuali kalau untuk kerja sama terkait dengan bidang urusan
tugas pokoknya. Misalnya, dalam pengawasan pelabuhan perlu ada terminal, perlu ada
gudang, perlu ada ruko, maka itu boleh. Tapi kalau tidak terkait, tidak ada lagi disitu kereta
api tapi kok dia membangun hotel. Hotel itu bukan urusan kereta api. Itu yang saya maksud.
Yang ketiga, tanah itu tidak dipelihara atau tidak digunakan sebagaimana mestinya, itu dasar
bisa dicabut kembali. Ketentuannya memang konsekuensi dari apa? Prinsip hukum agraria
nasional, bahwa negara bukan pemilik tanah. Negara saja bukan pemilik tanah, apalagi
instansi negara. Merasa jadi pemilik berarti lebih besar perasaan daripada negara itu. Negara
saja tidak menjadi pemilik tanah menurut hukum agraria nasional, apalagi hanya instansi
pengguna tanah negara, sudah pasti dia tidak..(72.36). dia tidak boleh mengkomersialkan dan
menggelapkan tanah-tanah negara itu.
Nah untuk itulah rekomendasi saya tadi, Bu Yuli memberikan rekomendasi.
Rekomendasi saya adalah perlu tertib administrasi tanah negara, perlu tertib administrasi
tanah negara. Bagaimana caranya? Tanah-tanah negara itu wajib didaftarkan pendaftaran
tanah negara dalam hal ini adalah pendaftaran tanah negara yang sudah diserahkan
peruntukannya pengusaannya kepada instansi pemerintah tertentu bukan tanah negara yang
bebas, jadi bukan tanah negara yang belum diperuntukkan kepada instansi tertentu tidak
perlu dicatat, dia tidak perlu diberi sertifikat, cukup dicatat saja. Contoh jalan umum, jalan
umum itu Pak, kan tanah negara itu, tapi dia pendaftarannya cukup mencatat di buku tanah,
tidak perlu diberi sertifikat kepada Menteri Perhubungan. Kenapa? Karena tanah jalan umum
itu publik domain, dalam organisasi namanya publik domain, tanah yang menjadi milik
publik yang setiap orang boleh mengakses. Jadi, tanah negara yang bersertifikat dua tadi itu
hanya tanah negara yang negara menggunakan sendiri, bukan digunakan oleh publik, karena
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 15
menggunakan sendiri maka dia tutup akses atas dasar itulah makanya Undang-Undang 23
tahun 2007 Tentang Perkeretaapian, mewajibkan kepada pemerintah mendaftarkan tanah
jalur rel yang tertutup untuk umum. Mendaftarkan tanah jalur rel yang tertutup untuk umum.
Kenapa? Karena itu bukan lagi umum, kalau yang terbuka untuk umum tidak perlu
didaftarkan. Jadi, taman ruang terbuka hijau, jalan umum, pantai hutan tidak perlu
didaftarkan, karena itu umum bisa mengaksesnya, itu namanya publik domain. Berdasarkan
kewenangan penguasaan tanah negara itu didaftarkan seperti yang saya sampaikan. Hak,
pertama, hak penguasaan atas tanah negara yang hanya digunakan untuk kepentigan instansi
itu sendiri dikonversi menjadi hak pakai sebagai maksud dalam Undang-Undang Agraria
yang berlangsung selama tanah itu dipergunakan. Jadi, hak pakainya itu tidak pakai dengan
batas waktu kepada instansi pemerintah yang bersangkutan diberikan sertifikat hak pakai
(catat di Indonesia Aset). Dua, jika tanah negara tersebut di.. selain digunakan untuk
kepentingan instansi itu, juga digunakan , dapat diberikan kepada pihak ketiga dengan hak-
hak tertentu dikonversi menjadi hak pengelolaan yang berlangsung selama digunakan kepada
instansi pemerintah hak pengelolaan (catat di Indonesia aset).
Tanpa dua ini tidak..,belum bisa dicatat, boleh dicatat tapi belum mengikat publik,
belum ada publiksitas. Jadi, catatannya itu secara sepihak saja. Oleh karena itulah makanya
saya sengaja tidak menyinggung Grondkaart Pak, karena saya menganggap itu, posisi
dipaling ujung nanti. Secara empiris, saat ini penguasaan tanah-tanah negara itu banyak
menghadapi masalah, termasuk dengan masyarakat yang memang semakin hari semakin
membutuhkan tanah. Presiden Jokowi itu menawacitakan reforma agraria Pak. Artinya
Presiden itu butuh tanah-tanah negara yang akan diretribusi kepada rakyat yang tidak punya
tanah, kalau negara ada tanah yang hari ini kuasai oleh instansi pemerintah, kenapa tidak
tanah itu yang dijadikan salah satu objek reforma agraria yang tidak perlu lagi kita ganti rugi,
itu bukan untuk dikomersialkan tanah itu, dia menjadi sasaran utama tersedianya tanah objek
reforma agraria. Dua, akibatnya kepastian hukum atas tanah negara itu menjadi terancam,
bahkan negara berpotensi akan kehilangan aset yang sangat berharga.
Bapak Ibu sekalian, saya mohon, mungkin ini off the record juga yaa. kepada saya
kemarin juga diberi tentang kasus basko di Padang, mungkin Bu Emma di sini. kasus Basko
itu, itu hanya salah satu contoh betapa negara rapuh kehilangan aset gara-gara tidak
dicatatkannya aset itu. Di kawasan yang dulu pada zaman sebelumnya memang sudah
di...tercantum, katakanlah di grondkaart, dapat keluar sertifikat hak guna bangunan atas
nama seseorang, lalu itu yang digugat ke BPN. Apa sebabnya? Karena di BPN itu tidak
punya data, data grondkaart itu tidak masuk ke BPN, sehingga BPN tidak bisa menghalangi
permohonan orang atas dasar tanah itu sudah dikuasai negara, karena di buku tanah tidak ada,
di buku tanah, tanah itu tanah negara bebas. Oleh karena itu, kalau tanah negara bebas,
negara bisa memberikan HGB kepada orang. Jadi, oleh karena itu, ini sebagai bukti. Coba
kalau sebelum permohonan HGB itu sudah didaftarkan tanah itu ke BPN, pasti peta tanah itu
pindah ke BPN dan orang BPN mengatakan “Pak, bapak tidak bisa lagi memohon HGB di
sini, karena ini tanahnya sudah aset kereta api”. Apakah secara hukum negara rugi dengan
diberikannya HGB kepada orang? Belum tentu Pak. Negara memberikan HGB kepada orang
itu tidak gratis, negara memperoleh uang pemasukan, memperoleh PNBP, memperoleh
BPHTB, memperoleh pajak. Jadi, itulah makanya mereka bersengketa dan disengketa TUN-
nya PT KAI kalah. Yang dieksekusi kemarin itu sebetulnya dia ingin melawan eksekusi atas
dasar hak GB itu. Sempat jadi polemik di itu. Saya tidak bisa bicara, karena... itu sebagai
bukti saja, bahwa akibat dari ketidaktaatan negara ini berpotensi kehilangan aset. Ini pemicu,
pemicu biasanya terjadi ketidaktaatan dalam pengelolaan tanah negara ini. Persoalan itu
dipicu karena ketidaktaatan. Misalnya disewakan, penyewaan tanah itu wujud ketidaktaatan
itu Pak, menurut hukum agraria, yang boleh menyewakan tanah itu hanya pemilik, pemegang
hak milik. Pemegang hak selain hak milik tidak boleh menyewakan tanah. Mengapa? Karena
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 16
pemegang hak selain dari hak milik, haknya itu ada atas pemberian dari negara. Pemengang
hak selain hak milik haknya itu ada atas pemberian dari negara. Hanya hak milik saja yang
adanya tidak atas pemberian dari negara semuanya. Oleh karena itu, negara tidak akan
memberikan hak kepada orang/badan hukum melebihi kebutuhannya. Jadi, orang memohon
hak ke negara itu sesuai kebutuhannya, atas dasar itulah makanya dia tidak boleh
menyewakan. Kalau dia boleh menyewakan tanah yang sudah diberikan negara kepadanya,
itu artinya dia bohong pada saat permohonan. Kenapa bohong? Dia tidak butuh tanah seluas
itu kok diberi, kok seluas itu. Apa bukti dia tidak butuh? Disewakan kok. Disewakan karena
dia tidak butuh tanah itu digunakan. Jadi, dia tidak boleh menyewakan dan penyewaan hak
milik itu pun hanya boleh untuk bagunan, tidak boleh untuk pertanian. Karena dalam hukum
agraria, pemegang hak yanah pertanian wajib mengolah sendiri tanahnya.
Jadi, hukum agraria Indonesia ini memang semangatnya sangat populis dan land
reform. Jadi, agak ketat memang. Pendaftaran tanahnya menurut saya merupakan salah satu
upaya untuk memberikan kepastian hukum kepada tanah negara itu dan sekaligus
menertibkan tanah negara. Jadi, kalau ada instansi pemerintah atas nama negara mengklaim
tanah sepihak, klaim sepihak itu belum bisa dijadikan mengikat publik. Pada saat pendaftaran
konversi inilah klaimnya diuji dan dipastikan, kalau ternyata di situ sudah dia bertentangan
klaim dengan orang lain, berarti pada saat itu diselesaikan klaimnya itu. Mengapa? Karena
dalam hukum kebendaan, penguasaan atas benda bergerak seperti HP ini berbeda prinsipnya
dengan penguasaan atas tanah sebagai benda tetap. Apa bedanya? Penguasa atas benda
bergerak itu berlaku asas bezitter namanya, Prof. Ari ya. barang siapa yang menguasai benda
bergerak dianggap pemilik, dianggap pemilik. Oleh siapa? Oleh orang yang melihatnya. Oleh
karena itu benda bergerak bisa dicuri, karena polisi menganggap pencuri itu pemiliknya dan
hukum juga menganggap. Tapi untuk tanah, prisip bezitter tidak berlaku. Kenapa tidak
berlaku? Penguasa tanah/fisik tanah, tidak boleh dianggap pemilik. Kalau ini berlaku untuk
tanah, bahaya Pak, kita tidak berani keluar dari rumah, karena kalau kita keluar dari rumah,
waktu kita pulang rumah kita dikuasai orang lain dianggap pemilik. Ini kan berbahaya. Oleh
karena itu, kalau kita menonjolkan penguasaan fisik saja dengan kekuatan fisik saja bahkan
dengan kekerasan, tadi dikatakan pemerasan, penindasan, dengan kekuatan, bahkan dengan
senjata, itu tidak dasar hukum penguasaan tanah secara hukum agraria. Dasar hukum
penguasaan tanah, benda tetap atau tanah adalah bukti yuridis kepemilikannya. Jadi, kalau
kita sudah mendaftarkan tanah kita, tidak perlu kita menunggui rumah kita, pergi sajalah,
tidak apa-apa. Karena kalau nanti ada orang menguasai, ini sertifikat saya. Atas dasar itulah
negara perlu mengamankan asetnya dengan menertibkan pendaftarannya, supaya negara
tidak kehilangan aset akibat dari berbagai macam kondisi di lapangan. Pada saat konvensi
dan pendaftaran tanah inilah perlu data yuridis. Jadi, apa data yuridisnya? Kalau ada mic saya
mohon berdiri.
Terima kasih Pak, mohon izin.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. ABDUL GAFAR USMAN, M.M. (KETUA BAP DPD RI)
Terima kasih Pak Kurnia. Kira-kira kita telah mendapatkan suatu input dan akan lebih
tajam lagi kita minta kepada Profesor Hj. Ari Sukanti Hutagalung untuk menyampaikan
pemikiran dan makalahnya kepada kita, sehingga demikian nanti pendalaman-pendalaman
kita, akan kita lakukan dan penajaman akan kita lakukan setelah ini. Sesuai dengan
kesepakatan kita kita serahkan kepada Ibu Prof. untuk menyampaikan. Silakan Bu.
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 17
PEMBICARA: Prof. Hj. ARIE SUKANTI HUTAGALUNG (NARASUMBER)
Terima kasih Pak Ketua. Saya mohon maaf, sepertinya bagian saya sebagian besar
sudah dijelaskan oleh Pak Kurnia Warman dan sebagian lagi sudah oleh Bu Yuli. Jadi, saya
hanya mengisi saja supaya lebih sistematis. Mungkin ini bisa dibaca saja ya. Jadi, memang
bagaimana landasan penguasaan tanah dari pada aset PT KAI, cerita sejarahnya. Dulu ada
dua perusahaan kereta api yang pemerintah yang namanya staatsspoor en tramwegen itu
mendapatkan penguasaan tanahnya, kata Pak Kurnia tidak sah. Kalau dulu staatsspoor en
tramwegen itu mendapat bezttemin (86.28) tidak perlu dengan SK. Kemudian dia
mendapatkan penguasaan berada di (86.36) van ss gitu, ini staatsspoor en tramwegen.
Sedangkan yang satu lagi, mungkin saya tulis itu semua perusahaan, ada 12 perusahaan. Jadi
namanya (86.52) ini termasuk trem yaa. Kalau yang seumur saya itu masih ngalamin trem di
Jatinegara. Ada trem yaa. Itu saya tahun 1967 ke Belanda, saya juga naik trem. Jadi itu
memang mereka digabung menjadi satu. Ini ada yang di Semarang, ada yang...saya jadi geli,
kalau mereka orang Belanda bilang Cirebon pantas saja, “Cheriboon” dan yang di Sumatera
ini hanya Deli “sepurway” ini yang menjadi kasus juga sampai Pak Yoghan pergi ke Belanda
untuk mencari groudkaart-nya, ternyata ada di Belanda, tidak ada di sini, tidak ada di tempat
KAI yang di Medan. Nah itu saya sering begitu, kebetulan yang kena itu eks Walikota
Medan, masuk lho eks Walikotanya, kasihan juga. Jadi, ituh tanah KAI tapi mau
dikerjasamakan dengan swasta, sekarang sih sudah jadi maal, karena KAI tidak dapat
mempunyai hak pengelolaan karena tupoksinya tidak ke arah sana, maka kerjasama dengan
Pemda. Di situ ada perjanjian bahwa Pemda kalau akan memberikan HGB di atas HPL harus
dengan persetujuan KAI. Ternyata tidak. Akhirnya dihitung-hitung ada kerugian negara,
mungkin BPK tahu kasus yang di Medan. Saya sudah bosan menghadapi itu. Jadi, ada dua,
jadi sudah ada SS dan VS, kalau berdasarkan hukum sana, yang VS itu haknya hak-hak
swasta, seperti eigendom, opstal, untuk empachement dan bangunan lainnya. Sedangkan
prasarana pokoknya konsesi masing-masing badan hukum perusahaan kereta api swasta itu.
Tadi sudah di jelaskan, inbegheir pada tahun 1953 dengan PP 8/1953 ditulis “dibawah
penguasaan”. Dibawah penguasaan. Jadi, hak penguasaan. Kemudian tahun 1965 itu
dikonversi tergantung dari penggunaannya, kalau untuk pergundangan dimana dia bisa
memberikan hak-hak lain diatas. Karena itu, itu boleh dengan hak pengelolaan yang
merencanakan itu dan sesuai isi hak pengelolaan. Tetapi untuk rel kereta apinya itu hanya
dengan hak pakai. Seharusnya dua hak itu yang dipunyai, tapi ini pergerakan dari permulaan
PNKA sampai PT KAI itu sudah bergerak, itu bukan...kasusnya bukan tanah pemerintah lagi.
Seharusnya lapor ke BPN, diganti. Jadi, haknya itu dicoret atau diberi suatu penegasan
menjadi hak pakai yang berjangka waktu. 35 tahun kalau misalkan untuk bangunan yaa hak
guna bangunan, karena badan hukum bisa mempunyai hak pakai dan hak guna bangunan. Ini
yang terjadi waktu saya jadi Ahli BPN, PETUN waktu itu. Di sertifikatnya masih pemegang
haknya PT KAI, di sertifikatnya masih, selama masih dipergunakan. Ini sudah salah, waktu
itu saya diminta oleh pihak penghuninya, di Manggarai itu yaa? Akhirnya kami membuat
kajian di Hukum Administrasi Negara, ada hasil kajian kami. Tapi sebelunya juga saya ada
cerita, bahwa teman-teman yang di Depok, istilahnya di bawah rel kereta (Barel), itukan
banyak fotocopy-an, toko buku, kalau mau beli makan tidak bisa di sana. Datang melalui
LBH DKI, mereka digusur dengan cara kekerasan, pakai tentara, pakai apa oleh PT KAI.
Setelah saya periksa berkasnya, ada perjanjian sewa-menyewa tanah yang ditandatangani
Kepala Stasiun, untuk dan atas nama PT KAI. Lalu bangunannya itu didirikan oleh developer
yang tanda kutipnya sebetulnya dipunyai oleh pegawai-pegawai KAI itu dijual. Kalau
menurut hukum sana itu atas pemisahan horizontal itu bangunannya bangunan mereka. Tapi
itu lho, kasihan sekali Pak saya lihat. Di bawah rel. Itu caranya. Jadi, eksekusinya saya tidak
tahu ini, di Padang, eksekusinya seperti apa. Padahal rumah makan padang itu ya? Kasihan
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 18
juga. Rumah, maal, oh ya memang begitu Pak. Itu caranya di Medan juga yang tadinya
diperuntukkan untuk pegawai, membuat perumahan untuk pegawai KAI menjadi maal yang
terkenal. Pokoknya terkenal sekali. Dua Walikota dan bekas Walikota Masuk di Medan. Itu
gara-gara PT KAI, lagipula di Jakaarta juga ada teman saya BPN masuk juga, ada sertifikat
hak pakai PT KAI, ternyata tetapi ada pelepasan oleh siapa, yang katanya bertindak untuk
nama PT KAI. Jadi, itu adalah fakta-fakta yang ada. Jadi, mengenai grondkaart itu Pak,
mengenai grondkaart karena ini pemerintah Belanda, khususnya untuk perusahaan yang
pemerintah Belanda, grondkaart itu sama dengan surat ukur atau gambar situasi, itu tidak
perlu lagi imbegheir itu dengan ditulis dalam bentuk Surat Keputusan Pemberian Hak pada
masa itu. Jadi, memang tidak ada suatu bestimingnya itu tidak terlihat pada saat pengalihan
itu. Seharusnya tidak berhenti pada grondkaart, mereka harus mengajukan hak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Tapi beginilah kalau...namanya juga ...sekarang banyak, namanya
Indonesia jadi memang begini. Sekarang seperti UI pun banyak kehilangan tanahnya karena
tidak ada berkas apa-apa ditangannya. Tetapi saya beberapa waktu yang lalu dipanggil
sebagai narasumber di Kementerian Keuangan sama-sama teman saya, namanya Ari juga,
beliau Dirjen Pengadaan Tanah. Yaa memang di BPN dan Dirjen.. apa namanya... DKN,
sudah membentuk pasword untuk mengurus semua. Tapi kalau...saya rasa kalau tanah di sini
cukup … (kurang jelas, red.). Ada sertifikatnya, soalnya hak pengelolaan yang dibawah
sekretariat negara. Jadi, UI saja sampai sekarang saya belum bisa membereskan, karena tidak
ada berkas-berkas yang menyatakan ini tanah UI. Malah sekarang dimungkinkan oleh Pak
Menteri Sofyan Djalil, “sudah, buat saja suatu pernyataan ditandatangani oleh Menteri yang
bertanggungjawab. Nah ini, Rektor saya mau tanda tangan takut. Jangan-jangan bukan tanah
UI. Itu sulinya di sana, tapi kalau tidak disertifikatkan memang ini juga sudah proyeknya Pak
Jokowi supaya kita, istilahnya melegalisasi tanah-tanah pemerintah. Itu bukan legalisasi itu,
legalisasi itu Notaris. Tetapi mendaftarkan semua tanah-tanah pemerintah.
Jadi, memang kalau KAI, TELKOM, kemarin Pertamina lagi. Dulu ada pipa di
bawahnya, pipa-pipa diklaim ada hak milik di atasnya. Saya tanya sama Pertamina. Mana
bukti-bukti pembebasan? Karena masukin pipa itu harus membayar, harus bayar ganti rugi.
Saya bilang, kwitansi pun tidak ada, bagaimana negara itu bisa membuktikan ini tanah
Pertamina. Memang saya minta, bagaimana pejabatnya membuat pernyataan? Tidak ada
yang berani. Karena memang pipa itu sudah ada di sana puluhan tahun. Makanya juga
developer banyak yang nakal, tanah-tanah yang diminta untuk kuburan diberikanlah tanah di
bawah tegangan tinggi (sutet) dengan alasan kalau orang mati tidak akan mati lagi kena
tegangan tinggi. Begitu saja Pak, ini sudah jelas semua oleh Pak Kurnia, peraturannya PP
8/1953, Peraturan Menteri Agraria 9/1965, kemudian memakai PP 24/1997. Bedanya kalau
saya ada cerita-cerita dulu tentang Belanda. Grondkaart itu buatan Belandadan yang di
Medan itu akhirnya sampai waktu itu Dirutnya waktu Pak Yunan harus pergi ke Belanda,
baru menemukan. Karena mereka tidak dapat membuktikan pengusaan dari pada tanah
tersebut. Jadi, kalau seperti yang di Jakaarta Utara memang terus dijual kepada PT, dibuat
hotel. Nah itu memang sebetulnya adalah hanya penyelewengan-penyelewengan. Tapi
dasarnya harus ada tanda bukti yang kuat supaya dapat mempertahankan tanah-tanah
pemerintah. Saya rasa itu saja Pak.
Terima kasih.
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 19
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. ABDUL GAFAR USMAN, M.M. (KETUA BAP DPD RI)
Baik terima kasih. Pak Kurnia, Bu Yuli dan Bu Prof. yang kami hormati, Sesuai
dengan...kita beri waktu kepada Bapak-bapak untuk pendalaman atau pertanyaan. Kami
persilakan siapa yang dulu, Pak Idris. Silakan berurut, Pak Idris kami persilakan.
PEMBICARA: MUHAMMAD IDRIS (KALIMANTAN TIMUR)
Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ketua BAP yang kami hormati, teman-teman senasib, sepenanggungan di BAP yang
tidak pernah bisa tenang sebelum selesai setiap persoalan yang dihadapkan kepada kami.
Narasumber yang sangat kami muliakan, semoga ilmu yang disampaikan buat kami ini Pak,
dijadikan amal jariyah, karena ini merupakan senjata yang sangat berguna buat menghadapi
banyak masyarakat atau oknum yang ingin memiliki tanah-tanah yang sesungguhnya tidak
perlu dia miliki.
Apa yang disampaikan ketiga narasumber ini, seperti Bapak berbicara di sini, kami
terbayang saat kami ada di Semarang bapak ngomong lagi kami terbayang seperti kami
terbayang di Kalimantan Timur bapak ngomong ini seperti kami ada di lampung ibu
ngomong disini seperti ada diberbagai tempat yang selama ini kita datangi karena pengaduan
masyarakat yang ingin memilikinya yang sampai saat ini bukan baru sekarang tapi ini
mereka sudah memiliki menempati berpuluh-puluh tahun sebelumnya para narasumber yang
sangat kami hormati sudah ada kejelasan bagi kita semua yang baik itu siapa yang berhak
untuk menyewakan siapa yang tidak berhak kemudian berapa banyak berapa banyak luasan
yang dimiliki oleh tentara misalnya atau pihak kereta api sudah jelas semuanya dengan
penjelasan ibu ini kita sudah punya alat penangkis bahwa seperti ini solusinya kami sepakat
bahwa terkadang pemangku kepentingan ini atau pemegang kewenangan dan kekuasaan ini
terjadinya persoalan ditengah-tengah masyarakat itu karena ketikmauan untuk mentaati
aturan yang sudah jelas satu contoh misalnya saya ini saya ini mengambil pak karena saya
dari Kalimantan Timur Kalimantan Utara tentu saya mengambil contoh yang ada disana tapi
pemanfaatannya secara makro hampir terjadi di semua diseluruh Republik kita yang pernah
kami kunjungi contohnya misalnya di kabupaten pasir provinsi kalimantan timur disana ada
35 desa dari 139 desa mereka sudah menempati tanah-tanah mereka yang sudah punya
sertifikat tapi lalu kemudian yang ini mau dirubah lagi oleh pemerintah menjadi cagar alam
sementara sepengetahuan kami bahawa cagar alam itu tidak bisa diapa apakan nah jumlah
sertifikat pun besar sekali ini belum kita datangi pak kesana tapi saya selaku orang dari sana
ini pengaduannya sudah sampai, ada 8139 sertifikat kala itu ditetapkan betul sebagai cagar
alam maka sertifikat sejumlah ini akan sia-sia seperti itu nah ini kondisi yang terjadi belum
lagi antara kota Balikpapan dan Samarinda dan itu masuk di kabupaten kutainegara nah ini
juga sudah sekian luas tanahnya itu jalanan pun itu sudah ditetapkan hutan lindung sementara
juga hutan namanya hutan lindung tapi ya habis juga hanya 100 200 meter ke belakang itu
sudah habis juga di tambang nah penambangnya juga orang-orang gedean pak tidak bisa
tidak mungkin kami mengatasinya. Bapak-bapak selaku narasumber pasti kalau gitu kalau
saya sebutkan hutan lindung pasti terbayang, oh yang menguasai ini yang punya tambang ini.
Jadi seperti ini lah kondisi di republik kita ini yang ketiga sebagai laporan juga di Kalimantan
Utara ya ini daerah perbatasan kami sambut baik dengan adanya keinginan Pak Jokowi untuk
memperjelas di tahun 2025 seluruh tanah di republik kita ini harus diperjelas kepemilikannya
nah oleh karenanya buru-buru saya mohon kepada Ketua DPD RI melalui wakil Pak Jenderal
Nono Sampono supaya cepat-cepat kita ke Lumbis Ugung karena di sana ada 154 ribu hektar
ada 21 desa didalamnya sampai saat ini sudah masuk 72 tahun Indonesia merdeka itu masih
menjadi sengketa antara malaysia Indonesia, oleh karenanya dengan kunjungan ini mudah-
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 20
mudahan pihak BPN ini bisa melaksanakan sebagaimana mestinya, saya kira ini curhat pak
karena baru sekarang kita menemukan apa penjelasan yang seperti bisa menjadikan rujukan
untuk mengatasi berbagai konflik tanah yang disodorkan buat kita semua, saya kira mohon
diterima sebagai curhat ya mohon juga diberikan klasifikasi seperti perubahan tanah-tanah
masyarakat yang sudah dihuni puluhan tahun lalu mau dirubah menjadi cagar alam lalu mau
dirubah menjadi hutan lindung ini padahal bukan hak hutan saya tidak tahu siapa penguasa
nantinya ini masih banyak lagi bu persoalan-persoalan di kalimantan timur yang notabennya
ini bercampur baur antara hutan tanah yang dikuasai oleh kesultanan yang sekarang ini sudah
digunakan oleh hak guna usaha oleh para pengusaha sementara masyarakatnya juga condong
yang menempati berpuluh-puluh tahun di sana condong agak tergeser kepinggiran saya kira
seperti ini Pak, Pak Ketua terima kasih, kurang lebihnya mohon di maaf.
Wabilahi taufik walhidayah.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. ABDUL GAFAR USMAN, M.M. (KETUA BAP DPD RI)
Baik, bapak-bapak para anggota yang kami hormati karena kita akan mengagendakan
nanti RDPU kita dengan topik-topik yang memang sudah kita agendakan sekarang kita fokus
aja dulu kepada topik yang kita bahas sesuai dengan narasumber yang hadir sehingga
mungkin ada pendalaman Bapak-bapak dengan fokus yang kita bicarakan atau ada yang
perlu dipertanyakan. Nah kita persilakan Pak jadi kita mengarah kepada yang kita bicarakan
hari ini dan kita sudah mengagendakan ada lagi agenda-agenda setelah ini kami persilakan
Pak.
PEMBICARA: Drs. H. ANDI SURYA (LAMPUNG)
Terima kasih Pimpinan. Oh iya maaf-maaf.
PEMBICARA: Drs. H. LALU SUHAIMY ISMY (NUSA TENGGARA BARAT)
Karena Bapak belakang datangnya jadi belakang.
Terima kasih Pimpinan Bapak Ibu narasumber Bapak-bapak Anggota.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Seperti yang disampaikan Pak Kiai Idris sungguh pada hari ini kami mendapatkan
berapa SKS ini Pak dari yang disampaikan karena selama ini kita apa namanya dihadapkan
dengan problematika yang jelimet begitu dari komentar-komentar mafia itu untuk Pak Andi
saya ingin bertanya satu saja kepada siapa saja yang tertuju boleh, Pak Kurnia juga boleh,
jadi kami pernah menjadi tim analisis ke Lampung Pak ya, nah kemudian masyarakat kita
mau digusur nah mereka sudah menempati lahan itu sudah puluhan tahun ada yang 40, 60
tahun jadi sudah beranak cucu di situ. Nah kemudian kehendak pengusurannya itu justru
bukan untuk kepentingan kereta api, karena relnya sudah bagus kemudian jarak antara rel
dengan perumahan juga sudah cukup memadai karena memang pemukiman lama, nah kalau
kita mendengar tadi ini peruntukannya biasa lah gitu Pak, jadi kalau mau diambil oleh KAI
sendiri kemudian untuk disewakan itu kan salah menurut perundang-undangan, nah dalam
hal ini siapa yang paling berhak untuk mengajukan gugatan baik untuk mengangkat
permasalahan ini supaya kembali kepada aturan main sesuai dengan Undang-Undang, apakah
masyarakat itu atau kah pertanyaan itu aja Pak ya. Kemudian yang kedua, kalau saya ini usul
Pak Ketua untuk tindak lanjut dari permasalahan yang banyak sekali disampaikan oleh kita,
terutama dengan KAI ini, menurut saya dan ini mungkin satu usul untuk sebagai peran DPD
dalam menyikapi permasalahan masyarakat supaya kembali ke Undang-Undang, itu perlu
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 21
dibentuk pansusnya pak, kalau saya BAP mengusulkan kepada pimpinan untuk kita
membentuk pansus khusus supaya penanganan terhadap pertanahan-pertanahan yang seperti
banyak kasusnya yang masuk ke kita itu bisa lebih jelas dan bisa tuntas dan mohon maaf ini
muncul oleh karena pemikiran saya atau pendapat saya, jangan sampai ada anggota BAP ya
terus terang saja Pak Andi dengan Pak Ketua ini terus dipojokan oleh orang-orang ya
katakanlah menurut saya “tidak bertanggung jawab” di katakan kita yang tidak paham
Undang-Undang dan seterusnya, padahal kita ini sedang melaksanakan tugas konstitusi kita
sebagai lembaga tinggi negara, nah itu intinya adalah perlu diusulkan ke depan untuk lebih
mengkongkritkan peran kita terhadap penyelesaian permasalahan ini untuk ada pansus
khusus yang dimotori oleh BAP dan saya kira pansus itu nanti juga perlu ada semacam ya
disamping staf ahli kita yang sudah ada untuk juga lebih dalam lagi mendapatkan informasi
pendalaman dari para pakar yang kita undang sekarang, terima kasih Pak.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. ABDUL GAFAR USMAN, M.M. (KETUA BAP DPD RI)
Terima kasih Pak. Lanjutnya Pak Andi silakan.
PEMBICARA: Drs. H. ANDI SURYA (LAMPUNG)
Terima kasih.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Terima kasih pimpinan dan terima kasih kepada seluruh ahli yang hadir pagi hari ini.
Pertama saya ingin menyampaikan kronologis juga, 7 tahun yang lalu kita sudah
mengadvokasi masyarakat terkait dengan tanah-tanah masyarakat, tanah-tanah masyarakat
yang sudah ditempati bahkan lebih dari 3 generasi, ada yang 50, ada yang 70 tahun di tanah-
tanah yang terkategori Grondkaart di mulai dari Bandar Lampung, saya Andi Surya bapak-
ibu sekalian dari Dapil Lampung DPD RI dari Dapil Lampung. Nah 3 tahun yang lalu sudah
berjalan sampai sekarang bapak-ibu sekalian, pada saat itu masyarakat terdepresiasi oleh
BPKI karena tanah harus di patok-patok datang orang matok di belakang depan segala
macam di ukur-ukur bahkan sampai ke saya pada saat itu akan di bulldozer pak disatu tempat
di Bandar Lampung di tengah kota di Jalan Protokol yang teratok kuri tanah. Saya tidak bisa
membiarkan itu, saya pulang ke Lampung karena ketika saya masuk ke dalam situ, banyak
orang-orang yang tinggal, apakah dia itu memang asli orang situ ataupun yang bersangkutan
itu anak cucu daripada pegawai-pegawai BPKI yang lama bapak-ibu sekalian, ukurannya
5x10 9x7 kavling-kavling yang ada disitu dan sebagian itu ya orang susah lah kalau saya
lihat, bayangkan saja kalau orang-orang itu tergusur dari tanah kelahirannya, berapa banyak
yang terjadi masalah sosial dan penyakit sosial yang muncul itu satu kondisi yang ada di
Bandar Lampung, belum di Kota Medan, belum di Padang dan lain sebagainya bapak-ibu
sekalian, maka kami tergerak untuk melakukan advokasi kesitu dan dilawan dan saya
membaca-baca bahwa pada intinya secara umum Grondkaart ini tidak memiliki dasar hukum
yang jelas bapak-ibu sekalian, maka saya berani untuk melakukan itu dengan saya lapor
kepada pimpinan. Nah ini sudah berjalan 30 tahun dan hasil perjuangan itu ya kami banyak
dikatakan orang tidak paham hukum bapak-ibu sekalian bahkan saya sempat dilaporkan ke
kepolisian dengan tuduhan penghasutan oleh pihak BPKI dipanggil sanksi-sanksi dengan
sebagainya. 3 minggu yang lalu saya dengan Pak Gafar dilaporkan oleh pengacara PPKI
Basco, saya Andi Surya mungkin bapak kenal saya yang dilaporkan oleh pihak pengacara itu
ke dewan etik badan kehormatan disini, kemudian juga kalau bapak-ibu baca masuk ke
kompasiana hampir setiap minggu ada tulisan-tulisan ahli yang membela BPKI dengan
mendiskreditkan DPD RI dan saya khususnya bapak-ibu sekalian hampir setiap minggu, ada
tim dari mereka, yang luar biasa isi daripada blok-blok yang mereka ajukan itu dan saya tidak
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 22
bereaksi saya diamkan saja, kemudian staf ahli saya kita di sini menyarankan jangan di
tanggapi dibuat transkip saja, nanti suatu saat kita bisa gunakan transkip itu untuk
membalikan tuduhan-tuduhan itu kepada kita disini. Nah bapak-ibu sekalian itu yang sudah
kami perjuangkan terakhir di Basco, saya ingin bertanya juga pada bapak-ibu sekalian
terutama kepada pak Dr.Kurniawati ini, saya melihat ada satu tadi dua hal kepemilikan dan
data-data yuridis dan data-data fisik ya, nah yang ingin saya tanyakan itu adalah bahwa ini
kan pada saat peralihan status konversi tanah atau hak-hak dari barat itu ke Republik itukan
ada pengalihan pak ya, hak eigendom, hak opstal dan hak erpah ya, kepemilikan hgu dan hak
pakai kalau tidak salah pak ya, nah didalamnya kan tidak ada sama sekali dicantumkan
masalah Grondkaart bapak-ibu sekalian, sama sekali tidak ada bahasan Grondkaart disitu,
kalaupun PT KAI menarik-narik Grondkaart itu mereka menarik-narik pada sejarah
konferensi meja bundar dulu tapi secara hukum saya pernah berbicara dengan pakar hukum
juga terutama di tempat saya di Lampung di Unila, itu sudah terlalu jauh katanya, tidak
mungkin sampai kesana pak, jadi yang menjadi momentumnya adalah Undang-Undang
pokok Agraria No 5 Tahun 60, nah pada saat itu juga diberikan kesempatan untuk
menyelesaikan dengan hak-hak republik tapi PT KAI sampai dengan batas 20 tahun tidak
melakukan itu, lalu ada perjanjian sewa menyewa dan lain sebagainya, nah ini bagaimana
status dalam kerangka yang terjadi sekarang ini kenapa banyak masyarakat sekarang ini
sebagian ada menandatangani surat sewa menyewa pak dengan pihak PT KAI, statusnya itu
bagaimana surat sewa menyewa itu apakah dibenarkan atau cacat hukum kalau cacat hukum
berarti batal demi hukum gitu pak.
Kemudian di Kementerian Keuangan juga kami sudah berkoordinasi ternyata tanah-
tanah grondkaart yang katanya mirip PT KAI ini, sama sekali setelah kita konfir masih
dengan Kementerian Keuangan itu adalah katanya adalah aset negara yang dipisahkan,
pengertiannya kita tidak paham tapi ketika kita minta di definisikan itu aset-aset yang tercatat
di Kementerian itu adalah yang tercantum dalam APBN, nah sementara ini kan tidak,
grondkaart yang katanya dimiliki oleh yang PT KAI tidak, tidak termasuk disitu maka oleh
karena itu dengan fakta-fakta seperti ini tentu harus ada penegasan bahwa grondkaart ini
sebetulnya bukan milik daripada BPKI dan dia tidak ikut dalam proses konversi yang
diamanatkan Undang-Undang. Kemudian bapak-ibu sekalian ada FGD yang terjadi di
Lampung di lakukan oleh PT KAI memanggil juga KPK dan Kementerian, terus disitu
disebutkan bahwa punya dua kekuatan hukum dari hasil FGD itu versi mereka gitu Pak.
Yang pertama kepemilikan ini didasari oleh surat ukur tanah yang bahasa Belandanya mit
brief yang diterbitkan oleh kadaster, sekarang ini namanya BPN pak dulu kadaster.
Kemudian yang kedua adalah aspek kepentingan ini didasarkan surat ketetapan atau base
yang tercantum dalam grondkaart dan semua arsip itu ada di dalam arsip nasional tapi saya
tidak yakin karena ketika saya di Lampung mempertemukan PT KAI kemudian Kementerian
antar BPN yang diwakili oleh direktur sengketanya, masyarakat yang masyarakat DPR kalau
di Bandar Lampung itu DPR namanya pak (Daerah Pinggir Rel), nah bertemu di kantor
gubernur, orang PPKI mengatakan mereka hak atas tanah grondkaart itu bahwa masyarakat
menyewa kalaupun mau beli gitu pak, saya sebutkan anda bisa membuktikan bahwa
grondkaart anda punya, anda pegang apa? Fotocopy pak, mana hasilnya, tidak bisa jawab
pak, barang itu tidak ada, barang itu di arsip nasional itu tidak ada kalau menurut saya,
adanya di Belanda, kalau kita mau lihat kita harus minta izin pemerintah Belanda, mungkin
raja Belanda ini mungkin.
Nah bapak-ibu sekalian itu kira-kira yang bisa saya sampaikan, mohon dapat
diberikan keterangan sehingga kami mendapatkan masukan yang sejelas-jelasnya sehingga
perjuangan yang menurut PT KAI di Indonesia ada 42 juta meter persegi yang tergabung
dalam grondkaart adalah punya mereka, nah ini yang harus kita uraikan dan kita berikan
alasan-alasan hukum sehingga jelas bahwa masyarakat yang menempati lebih daripada 20
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 23
tahun itu berhak atas lahan tanah yang dianggap tanah negara yang terlantar, tanah negara
yang tidak terpakai, rakyat yang masuk lebih dari 20 tahun sebagaimana amanat Undang-
Undang pokok Agraria itu bisa disertifikasi, demikian dari saya.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. ABDUL GAFAR USMAN, M.M. (KETUA BAP DPD RI)
Untuk dimaklumi Pak, kita sampai jam 13 toleransi waktu dengan toleransi sholat dan
toleransi makan, jadi mohon dipahami kita hanya sampai jam 13, kita sepakat toleransi
sholat, makan dan waktu kita, mungkin ada yang lain, kami persilakan coba fokus saja Pak,
silakan.
PEMBICARA: Ir. H. ISKANDAR MUDA BAHARUDDIN LOPA (SULAWESI
BARAT)
Ya terima kasih.
Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.
Bapak-bapak dan Ibu-ibu narasumber yang saya hormati, saya singkat saja bapak-
Bapak Ibu-ibu karena tadi Bapak-bapak, teman-teman sudah menyampaikannya, cuman
ingin tau kira-kira space untuk lokasi yang memang harus diperuntukan untuk kereta api itu
berapa meter dari rel ya, apakah 6 meter, apa 10 meter, apa 12 meter dan apakah itu sama di
seluruh wilayah yang ada di Indonesia untuk sepanjang jalur rel kereta api. Kalau memang
sepanjang jalur kereta api tetap panjanglah ya, apa yang disampaikan Pak Andi tadi sekian
juta meter persegi bisa masuk akal kalau memang sepanjang rel tapi bicaranya sepanjang rel
bukan daerah sekitar rel kan beda sekitar rel, nah itu saja yang ingin kita tahu, terima kasih.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. ABDUL GAFAR USMAN, M.M. (KETUA BAP DPD RI)
Ya baik, oke sudah. Baik Pak staf ahli ada yang mau didalami atau ditanya, silakan
Pak.
PEMBICARA: EDY KARIM (STAF AHLI)
Terima kasih.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Pada yang terhormat Pak Ketua BAP, para Anggota, para Ibu dan Bapak narasumber
dan juga bapak-bapak staf ahli rekan kami yang saya hormati. Kebetulan yang mendalami
betul terhadap tanah teman kami ini Pak Jaswardana, saya baru berapa akhir-akhir ini
mengikuti persoalan pertanahan ini, barangkali pertanyaannya ya mudah-mudahan saja bisa
memberikan suatu manfaat juga buat kita semua. Yang pertama Pak Kurnia saya ingin
menyampaikan pertanyaan tadi dari Pak Kurnia mengenai pencatatan di dalam neraca pak,
faktor yang menyatakan apakah itu kepatuhannya terhadap pernyataan neraca, didalam
hukum dan akuntansi memang beda Pak Kurnia, didalam akuntansi juga dia berpegangan
pada prinsip substance over legal form jadi apapun yang ada didalam dasar pencatatan itu,
dalam pengertian kekuasaan pun juga bisa dicatat didalam neraca jadi substance over legal
form, di kemarin juga dari Direktur Jenderal kekayaan negara menjelaskan dasar dari
pencatatan itu adalah buletin Nomor 15 mengenai standart akuntansi pemerintah, jadi
memang agak beda memang dengan hukum pak, jadi tanpa ada status kepemilikan bisa
masuk didalam neraca kalau ada persoalan itulah kandidatan siklus di laporan keuangan atau
ada catatan atas laporan keuangan, jadi demikian Pak Kurnia jadi tidak ada persoalan kalau
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 24
tanah itu dicatat walaupun dalam bukti selembar itu bisa dicatat, dicatat dulu kalau ada
persoalan baru nanti diselesaikan kemudian dan di laporan keuangan harus dicatat supaya
tidak menyesatkan bagi pembaca laporan keuangan. Yang kedua terkait dengan Ibu Yuli
yang mengatakan bahwa status barang milik negara itu belum bisa diakui selama status
hukum dari tanah itu menjadi jelas atau dengan kata lain Ibu Yuli berpendapat bahwa kalau
tidak salah Ibu ya, bahwa PT KAI belum berhak untuk mencatat aktivanya karena statusnya
masih status kepemilikan kementerian hukum karena itu masih dalam status barang milik
negara eh kementerian perhubungan, di halaman 17 yang ibu tanyakan di sini maaf, sertifikat
hak pakai ini juga dipertanyakan juga bu, apakah ada sertifikat hak pakai yang dikeluarkan
oleh BPN jadi saya tidak tau ibu sejauh mana melihat bahwa tanah yang dimaksud sudah
bersertifikat hak pakai karena kalau sudah bersertifikat barangkali ada pengakuan dari pihak
BPN terhadap tanah itu sebagai hak pakai yang bersangkutan, atas nama departemen
sekarang Menteri Perhubungan tidak dapat dijadikan dasar bagi kepemilikan tanah PT KAI
karena secara hukum masih dimiliki oleh perhubungan dan ini lain dari Ibu lain dari
statement yang disampaikan oleh Dirjen BUMN atas nama Menteri Keuangan, barangkali
ibu juga sudah membacanya yang dikeluarkan oleh Dirjen BUMN atas Menteri Keuangan
dengan Nomor B11 mungkin ini B11, M16 94 tanggal 1995 ini ibu banyak dipakai sebagai
referensi bagi nulis, jadi seolah-olah sudah menjadi hukum positif pernyataan ini bu, yang
menyatakan begini bu, tanah-tanah yang diuraikan dalam Grondkaart pada dasar surat ini
ditunjukan ke Menteri Agraria ya Bu tapi sampai saat ini khususnya saya belum bisa
mendapatkan respon Menteri Agraria terhadap surat ini. Bapak-Ibu ia mengatakan begini
tanah-tanah yang diuraikan dalam Grondkaart pada dasarnya adalah merupakan kekayaan
negara yang dipisahkan sebagai aktiva tetap perumka, berkenan dengan hal itu maka tanah-
tanah tersebut perlu dimantapkan statusnya menjadi milik negara atau perumka, yang kedua
terhadap tanah perumka yang diduduki pihak lain, yang tidak berdasarkan kerjasama dengan
perumka supaya tidak menerbitkan sertifikat atas nama pihak lain tersebut, jika tidak ada izin
persetujuan dari Menteri Keuangan jadi ini pernyataan ini saya pribadi sangat tidak sinkron
dengan apa yang tadi disampaikan oleh Ibu Yuli.
Kemudian pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh pihak pejabat yang
bersangkutan baik dari Menteri Keuangan maupun dari Menteri Perhubungan jelas catatan
terhadap tanah di kementerian tidak ada Bu, tidak dicatat ini pernyataan tapi kita belum bisa
membuktikan apakah ada atau tidak ya, tidak dicatat di dalam laporan keuangan Kementerian
Perhubungan jadi beranggap itu sudah diserahkan kepada PT KAI, ini suatu persoalan yang
mungkin akan lebih bagus kali kalau tadi hadir yang berhalangan dari Kementerian yang
bersangkutan supaya lebih bisa melihat pandangan-pandangan dari bapak-ibu semuanya,
terus yang kedua Pak Kurnia terkait dengan PP Nomor 8 Tahun 1953 Pak Kurnia saya
menanyakan tapi Pak Kurnia menanyakan juga Pak mengenai kewenangan Pak, itu di PP
Nomor 8 Tahun 1953 jelas ya Pak mengatakan bahwa Menteri dalam negeri yang dulunya
ada Dirjen Agraria, nah sekarang sudah menjadi Menteri Agraria berwenang menyerahkan
penguasaan itu kepada sesuatu instansi tertentu pelaksanaan tugas dan fungsinya mengawasi
agar supaya tanah negara tersebut dikuras sesuai dengan peruntukannya dan jika tidak
digunakan lagi wajib diserahkan kembali, bukan untuk dikomersialkan oleh instansi yang
bersangkutan, yang kedua Menteri dalam negeri juga berwenang atas kewenangan
pengawasan penggunaan tanah atas kewenangan pengawasannya, dia bisa melakukan
penyerahan penguasaan itu ternyata keliru, ada tidak tepat lagi dan luas tanah yang
penguasaan itu sangat melebihi dan tanah itu tidak dipenuhi sebagai mestinya, itu sangat
kuat-kuat sekali kewenangannya. Saya ingin bertanya tadinya apakah kewenangan itu masih
dimiliki oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang kepala BPN kalau itu dimiliki berarti istilah
gugatan-gugatan yang katanya harus diselesaikan melalui pengadilan sebenarnya sudah tidak
perlu lagi dan itu memang sangat tidak adil kalau segala sesuatu urusan dari tanah itu
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 25
diserahkan ke pengadilan karena ini yang menjadi persoalan rakyat ini, kalau rakyat disuruh
untuk nuntut gugatan ke pengadilan itu biaya cukup besar, saya berpikir apakah tidak
difasilitasi negara kalau pun itu di urus ke pengadilan apakah tidak sebaiknya rakyat itu
difasilitasi untuk dibiayai dalam proses pengadilannya kalau pun itu di pengadilan tapi kalau
dari PP Nomor 8 Tahun 1953 ini jelas Bapak-ibu, Bapak Ketua dan Bapak BAP, kewenangan
Menteri Agraria itu sangat-sangat kuat begitu, ini yang kita pertanyakan kenapa tidak hadir
didalam persoalan-persoalan ini ya pak, Pak Kurnia mengatakan bahwa ketidaktaatan terjadi
tapi siapa yang menegakan ketidaktaatan ini di negara ini kalau ada pemerintah, itu saya
menanyakan Pak Kurnia menanyakan juga jadi siapa yang menjawab, terima kasih Pak
Ketua, mohon maaf apabila ada hal yang kurang berkenan.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. ABDUL GAFAR USMAN, M.M. (KETUA BAP DPD RI)
Baik, Bapak dan Ibu yang kami hormati, saya kira apa yang disampaikan oleh kawan-
kawan ini bisa direspon atau diberi penjelasan mungkin secara berganti Bapak-bapak dan Ibu
kami persilakan dengan waktu yang tersedia, kami persilakan Bu, pertama tadi Ibu, silakan
kesepakatan dari Ibu-ibu, kami persilakan.
PEMBICARA: YULI INDRAWATI, S.H., LL.M. (NARASUMBER)
Saya mendapat perintah untuk menjawab. Terima kasih dan saya sebetulnya cukup
miris dengan yang disampaikan oleh Bapak-bapak dari DPD ternyata memang permasalahan
ini sudah ya kalau dibilang menjamur tidak bagus juga, menjamur dimana-mana gitu kan,
sudah menjadi seperti suatu masalah yang laten jadi di sini, ini memang seperti yang
disampaikan Pak Kurnia bahwa permasalah terjadi karena dimulai dari tidak tertibnya
administrasi seperti halnya dalam yang disampaikan oleh bapak staf ahli ya perihal sertifikat
atas nama departemen perhubungan nah ini memang ada pak, jadi kami memang menemukan
itu ya sertifikat hak pakai atas nama Departemen Perhubungan, nah jadi ketika bapak
menyatakan bahwa Kemeterian Perhubungan tidak pernah melaporkannya istilahnya begitu
ya dalam catatan itu karena menganggap itu sudah diserahkan kepada PT KAI ini menurut
saya itu kelalaian karena itu ada buktinya gitu kan, nah loh lalu kenapa tidak dicatat gitu kan,
karena memang ditemukan tidak hanya di Kementerian Perhubungan tetapi dibanyak instansi
pencatatan aset itu dalam kondisi yang sangat kritis dalam arti parah lah, banyak aset yang
tidak dicatatkan jadi menurut saya Kementerian Keuangan tidak bisa mendalilkan bahwa
karena dia tidak dilaporkan berarti sudah diserahkan tidak, karena secara hukum harus ada
proses lebih lanjut, misalnya kalau penyerahan seperti yang tadi saya sampaikan harus ada
PP penyerahannya yaitu dalam bentuk PP penyertaan penambahan modal nah tapi sampai
saat ini tidak ada PP tersebut. Nah demikian pula ketika dikatakan bahwa ada surat dari
Dirjen BUMN Menteri Keuangan bahwa yang menyatakan bahwa Grondkaart itu merupakan
kekayaan negara yang dipisahkan, yang dimanfaat kan oleh perhubungan, apa dasarnya, PP
nya mana, itu tidak bisa dilakukan begitu saja harus ada PP, itu bukan peraturan yang baru
bahkan peraturan di Undang-Undang Nomor 59 pun sudah disebutkan atau di PP berikutnya
mengenai pengalihan aset itu juga disebutkan bahwa untuk pengalihan aset, untuk
menambahan modal itu harus pada PP nya jadi tidak bisa dia hanya mengatakan seperti itu
bahwa Grondkaart adalah kekayaan besar itu tapi harus secara fisik dibuktikn apa dasar
hukumnya, PP nya mana, jadi saya cukup agar terkejut karena ketika kami waktu itu, kami
sempat mengadakan seminar hasil kajian ini dan kami mengundang salah seorang dirjen
kekayaan, nah mereka pun mengakui bahwa memang banyak aset negara yang itu tidak
dicatatkan dan perihal ini mereka pun agak sedikit lepas tangan sebetulnya, toh itu adalah
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 26
urusan dari Kemeterian Perhubungan karena selama ini di Kementerian Keuangan tidak ada
juga catatannya, loh ya gimana gitu kan, memang ada kelalaian dalam administrasi, nah
kelalaian itulah akhirnya membuahkan masalah-masalah itu. Nah kalau dari sisi kami aset itu
harus jelas dulu statusnya apa, nah bapak tadi mencatat bahwa PT KAI belum berhak untuk
mencatat aktiva tidak pak, jadi maksudnya begini aset itu harus jelas statusnya karena PT
KAI memang tidak menerima pelimpahan aset berupa tanah dari perumka, karena perumka
sendiri tidak menerima pelimpahan aset dari PJKA, hal ini dibuktikan dengan adanya
sertifikat hak pakai atas nama Kementerian Perhubungan, itu hanya bukti saja gitu, kalau
memang PT KAI merasa oh iya itu sudah menjadi milik dia, berarti dia harus mendaftarkan,
harus mengganti nama, lalu ada PP nya untuk penyertaan tersebut itu pak maksudnya.
Sepertinya catatan dari saya hanya itu Pak, nah dan saya juga meragukan Menteri Agraria
akan membuat tanggapan atas surat dari Dirjen BUMN karena yaitu Kementerian Agraria
pun munculnya belakangan gitu kan, sertifikat ini sudah dikeluarkan sebelum adanya BPN,
jadi seperti tadi bagaimana pengawasannya, pencatatannya, apakah memang dia sudah
berkoordinasi dengan Kementerian dalam negeri ya, itu saya meragukan karena kami juga
pernah berapa kali mengundang dari Kementerian Agraria mereka tidak pernah mau hadir
bahkan untuk di pengadilan pun mereka selalu tidak mau hadir gitu, itu saja, terima kasih.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. ABDUL GAFAR USMAN, M.M. (KETUA BAP DPD RI)
Oke dari Pak Kurnia ada komentar.
PEMBICARA: Dr. KURNIA WARMAN, S.H., M.Hum. (NARASUMBER)
Karena waktu sholat, masih ada waktu. Jadi terima kasih Pak Idris, Pak Lalu, Pak
Andi, Pak Iskandar tadi Pak staf ahli. Kalau untuk kasus kehutanan itu persoalannya lebih
dasar lagi karena menyangkut tanah yang sangat luas dan jumlah orang yang sangat banyak
dan bahkan jumlah desa yang sangat, itu sangat relevan nanti dengan isu perumahan agraria
kalau tanah di kawasan hutan dapat saya sampaikan persoalan itu juga merupakan buah dari
ketidaktaatan penyelenggara negara dalam melaksanakan Undang-Undang, apa yang saya
maksud Undang-Undang perhutanan itu sudah mengatakan bahwa status hutan itu
berdasarkan hukum agraria jadi oleh karena itu jika negara menetapkan kawasan hutan yang
statusnya menjadi tanah negara harus menghormati, harus mengikuti tata cara dalam hukum
agraria oleh karena itu lah makanya pengukuhan kawasan hutan itu ditetapkan ditentukan
oleh empat tahap, satu tahap menunjukan, dua tahap tata batas, tiga pemetaan, empat
penetapan, pada umumnya kawasan hutan di Indonesia hari ini baru tahap penunjukan,
penunjukan itu baru sepihak dari Menteri setelah ditunjuk seharusnya dilakukan tata batas,
tata batas itu yang paling utama kegiatannya adalah tata batas sebetulnya memastikan batas
yang ditunjuk lalu tunjuk itu sampai sehingga nyambung, apa yang ditata disitu, kalau
ketemu didalam garis pemetaan itu hak masyarakat, selesaikan hak itu. Hak masyarakat itu
hukum agraria itu, kalau ada didalam masyarakat selesaikan dulu baru di petakan ditetapkan
sebagai kawasan hutan, nah kalau itu itu sudah ditempuh sudah dijelaskan kalau itu belum
ditempuh empat tahap itu secara hukum sebetulnya belum sah dikatakan dia sebagai kawasan
hutan yang tanah negara kalau belum diselesaikan hak-hak ketiga karena Undang-Undang
kehutanan menunjukan pemetaan batas, pemetaan dan penetapan itu di Undang-Undang
kehutanan, mengapa instansi kehutanan tidak bersemangat, itu sudah diperintahkan juga oleh
Menteri, oleh Presiden segera percepatan pengukuhan karena pada saat pemeta batas, dia
akan berhadapan hak-hak masyarakat dan dia tidak mampu mengganti hak itu dan
seharusnya Undang-Undang mengatakan menyelesaikan hak itu baru dia bisa mengatakan itu
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 27
kawasan hutan, setelah di kukuh kan statusnya di kawasan hutan baru ditetapkan fungsinya
Pak Idris, apakah untuk taman nasional, apakah cagar alam, apa konservasi, apa lindung, apa
produksi baru tatakan fungsinya sehingga pada saat fungsi ditetapkan tidak perlu dipancang-
pancang karena sudah merupakan kawasan hutan, yang terjadi hari ini juga begitu baru
ditunjuk, baru dikatakan fungsinya sebagai cagar alam, pada saat itu jadi ini isunya
penyebabnya ketidaktaatan pada Undang-Undangnya sendiri padahal undang-undang itu dia
yang bikin, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan itu menjadi penyebab
konflik di kawasan hutan yang tadi pada umumnya. Kasus Lampung tadi saya juga ada
melihat ke sesama begitu tinggi pak, bukit tinggi itu tertera tidak ada hujan, tidak ada apa,
padahal kereta api itu dibangun berdasarkan rencana induk perkeretaapian, baru tanahnya
bahkan saya katakan kalau rencana induk perkeretaapian itu tidak tersedia tanah yang di
konversi, ada kan pengadaan tanah Undang-Undang tanah jadi negara menjamin pemilihan
tanah untuk pembangunan apalagi untuk modal transportasi kereta api tapi memang untuk
kereta api bukan untuk hotel, yang hotel-hotel ini yang bermasalah itu juga di bukit tinggi,
jadi nasib orang Lampung sama dengan nasib orang bukit tinggi sekarang mereka digusur.
Sudah turun temurun oleh karena itu makanya konversi ini menjadi penting untuk
memastikan memverifikasi kekuasaan itu, data pada saat dia dikonversi dan didaftarkan tadi
saya mengatakan bahwa pada saat itulah dibutuhkan dua data tadi, data yuridis kalau di
zaman kolonial namanya, kalau di jaman sekarang itu yang kabur Pak, jadi proses seperti
soalnya itu menjadi tergabung dengan proses pengadaan tanah, misalnya kalau negara
melalui instansi pemerintah tertentu memperoleh ingin butuh tanah untuk pembangunan
maka diadakan pusat pengadaan tanah setelah tanah itu diadakan dan tanah itu ganti dalam
negara langsung dipakai oleh instansi yang tanpa ada, jadi oleh karena itu memang suatu
problem tapi kalau dia merupakan tanah konversi dari kolonial pasti ada itu data yuridis
namanya apa dasar bagi dia atas nama negara sebagai pengguna tanah negara itu, jadi aset
negara lalu diamanahkan kepada instansinya yang ditunjuk kalau tidak ada bisa mengatakan
dia sebagai pengguna tanah negara itu satu, yang kedua baru data fisiknya, data fisik tentang
batas, tentang luas, tentang lokasi, tentang situasi, menurut saya data yang ada di grondkaart
itu data fisik bahwa dibuat berdasarkan silakan Ibu merasakan pada saat dia di konversi
ditunjukan dan grondkaart sebagai gambar ukurnya, data ukurnya itu dijadikan sebagai dasar
dan dipastikan batas-batasnya lagi sehingga pertanyaannya sekarang apakah semua peta di
grondkaart itu memang dibutuhkan sekarang oleh KAI untuk menjalankan kereta api karena
kereta itu dibuat di zaman Belanda yang luas tanah belum terbatas itu, kan bisa saja titik-titik
menurut ya sudah jadi peta dia sekarang, nah sekarang peta itu masih relevan tidak dengan
kondisi masyarakat kita hari ini, itu makanya tadi perlu jadi bisa jadi kalau grondkaart itu
jadikan sebagai data fisik untuk kedataran tanah mungkin tidak semua yang ada di
grondkaart itu akan menjadi didapatkan di buku tanah sertifikat pak, itu lah yang saya
maksud tadi itu dalam hukum pertanahan azas sebagai turunan dari penguasaan tanah sebagai
pemetaan tetap itu adalah kontradiksi dan limitasi, nah di kontradiksi dan limitasi orang atau
siapa saja yang mengatakan dirinya berhak atas di bidang tanah, baru dikatakan dia berhak
kalau pemilih tanah yang berbatasan dengan hak yang ditujukan itu mengatakan mengakui
bahwa betul itu hak orang mengatakan itu, kalau itu tidak berarti secara hukum tidak
diragukan penguasaannya pada saat itulah diukur itulah perlu ada sertifikat tanah nanti di
lampiri dengan surat ukur atau gambar situasi, belum tentu semua grondkaart itu jadi surat
ukur nyambung dengan pertanyaan Pak Iskandar tadi, berarap luas sekarang yang butuhkan
tanah untuk menjalankan tugas transportasi modal perkeretaapian kalau tentang luasnya itu
tentu ahli perkeretaapian itu yang paham ya, sebetulnya di Undang-Undang sudah ada jalur
pemanfaatan, daerah milik kereta api, jalur pengawasan, tiga itu yang ada, selain di stasiun
ya, kalau stasiun kan memang khusus rel itu ada jalur pemanfaatan, jalur yang digunakan
untuk kereta gerbongnya lewat jalur daerah milik kereta api, daerah yang berhubungan
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 28
langsung dengan ada perbaikan dan sebagainya, jalur pengawasan jalur untuk pengawasi,
menurut Undang-Undang perkeretaapian jalur pengawasan itu bisa oleh pihak lain. Berapa
ukurannya, saya akan lakukan itu diluar keahlian, oleh karena itu mungkin kita intip saja
Undang-Undang peraturan yang berlaku. Luasnya itu 9 meter dari 6 meter ya daerah
pengawasan, kalau 6 meter dari kereta api kan bisa kita, kalau diluar itu untuk apa, kalau dia
tidak butuh untuk take over kereta api sudah pasti dia sewakan itu, mengapa dia menyewakan
padahal instansi negara lain butuh tanah untuk menjalankan fungsi negara itu yang jauh lebih
penting. Jadi dia tidak boleh memverifikasi diri sebagai negara, dia hanya boleh verifikasi
sebagai perusahaan yang ditugaskan negara untuk menjalankan operasional kereta api karena
yang mengoperasional kereta api direl itu yang ada ss dan jumlahnya sangat banyak dan
jumlahnya di negara-negara maju kereta api itu tidak dimonopoli oleh satu perusahaan maju
dia, jadi negara menyediakan fasilitas perkeretaapian nanti para operatorlah yang bersaing
dijalur itu untuk melayani kebutuhan kereta api, mengapa menjadi milih operator jalan itu,
mengapa menjadi milih operator stasiun itu, stastiun itu milik negara makanya sertifikat itu
milik negara Menteri Perhubungan karena Menteri Perhubungan yang mengurus itu,
melayani operasional kereta api itu, nah ini menjadi catatan juga dan terima kasih pak,
mohon maaf pak, Pak Edi saya dapat tambahan pencerahan bahwa akuntansi itu jadi yang
penting dicatat saja walaupun ada catatan tentang mungkin itu hanya bisa dipakai
sepenuhnya untuk mencatat benda bergerak saja, untuk benda tetap yang saya katakan tadi,
mengapa? Karena dalam hukum penguasa benda bergerak dianggap pemilik oleh karena itu
silahkan dia mencatat neraca, mencatat sebagai tapi untuk benda tetap atas tanah utamanya
tidak berlaku oleh karena itu penguasaan dia harus dibuktikan secara hukum baru dia bisa
dikatakan sebagai pemilik atas itu, jadi memang serasi akuntansi untuk benda bergerak, tidak
bisa rata dengan benda tetap ya itulah, walaupun penguasaan itu merampas tanah rakyat ya
itu problemnya itulah gunanya konversi pak untuk memastikan status itu, makanya didalam
instrumen audit itu milih paling tinggi kalau dibuktikan dengan sertifikat hak pakai
pengelolaan kalau belum pakai itu berarti belum bisa PP ini salah satu hambatan daerah jadi
tidak penguasaan neraca asetnya di-close betul-betul, pertanyaan saya sama dengan Pak Edi
bahwa sejak BPN keluar dari Kementerian dalam negeri yang merupakan konversi dari
Dirjen Agraria menyalahkan kewenangan pasal 53 itu yang saya menjadi ragu pak, apa
ragunya? Apakah Menteri dalam negeri merasa kewenangannya mengawasi penggunaan
tanah negara itu dianggapnya sudah dibawa keluar oleh BPN bersama dengan keluarnya
Dirjen Agraria menjadi BPN, yang kedua kita tanya BPN apakah Menteri BPN menganggap
kewenangan itu ditinggalkannya di Mendagri akhirnya kewenangan pengawasan ini tidak
bertuan. Nah oleh menurut saya hari ini ada RUU pertanahan Pak, saya rasa RUU pertanahan
strategis untuk menegaskan kewenangan ini kembali supaya dia tidak menjadi, kalau RUU
pertanahan ini tidak bisa disahkan perlu ada instruksi Presiden untuk menertibkan tanah-
tanah negara ini, jadi Presiden yang memang mengintruksikan kepada Menterinya karena
Menterinya masing-masing punya presepsi yang berbeda atas penguasaannya. Mohon maaf
Pak.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. ABDUL GAFAR USMAN, M.M. (KETUA BAP DPD RI)
Ibu Prof ada Bu? Kalau ada mungkin kami beri waktu.
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 29
PEMBICARA: Prof. Hj. ARIE SUKANTI HUTAGALUNG (NARASUMBER)
Mungkin tadi yang penduduk yang sudah tinggal lama di sana itu bisa ada pertanyaan
apakah dia menduduki itu karena itu tanah adat atau itu tanah negara yang diduduki secara
ilegal tapi kalau itu sudah menduduki secara lama di PP 24 Tahun 1997 itu ada instrumen
yang namanya pendaftaran pengakuan hak. Jadi dengan membuat pernyataan yang
disaksikan oleh dua sanksi yang dapat dipertanggungjawabkan itu bisa dibawa ke kantor
pertanahan dan di data daripada mereka mendapatkan sertifikat. Nah kalau mereka sudah
mempunyai sertifikat, kedudukan mereka lebih kuat untuk mendapatkan ganti rugi andaikan
akan dipergunakan oleh kereta api tapi intinya Bapak-bapak dan Ibu-ibu intinya grondkaart
itu bukan tanda bukti hak, itu hanya tanda bukti fisik daripada tanah, grondkaart itu memang
saya belum pernah melihat tapi kalau zaman dulu karena ini adalah itu hanya mendapatkan
lalu dikuatkan dengan suatu itu karena dahulu tanah milik negara tapi kan kita sekarang
sudah berubah tentunya akan merubah juga, nah untuk yang dari swasta itu hak-haknya
mereka diberikan hak eigendom, hak opstal mustinya ada tanda buktinya, kalau dulu
pendaftaran-pendaftaran akta, ada akta itu juga didaftarkan dalam rangka pemungutan pajak,
ada juga seharusnya tapi saya kalau sepanjang yang saya tau KAI selalu membangga-
banggakan grondkaart yang notabenenya yang mengatakan itu belum tentu sudah melihat
apa itu grondkaart.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. ABDUL GAFAR USMAN, M.M. (KETUA BAP DPD RI)
Prof. saya potong sedikit Prof., kalau grondkaart itu bukan merupakan yuridis,
sebetulnya grondkaart itu problem tadi kan bahwa grondkaart bukan merupakan bukti
yuridis.
PEMBICARA: Prof. Hj. ARIE SUKANTI HUTAGALUNG (NARASUMBER)
Itu hanya bukti fisik yang merupakan surat ukur sama sekarang dengan surat ukur
sekarang atau dulu atau gambar situasi atau surat hukum itu sama fungsinya, sama juga
dengan peta kehutanan Pak, mereka memakai peta Belanda yang sudah lama, nah itu petanya
dipakai sampai-sampai saya pernah melihat bahwa yang dikatakan kawasan hutan itu sudah
ada kehidupan manusia, sekolah, sudah ada lain sebagainya, nah ini kerjaan orang hutan itu
begitu, jadi senang sekali memakai peta-peta zaman Hindia-Belanda dan itu dipergunakan,
sama dengan kereta api tapi kalau ditanya sama mereka sendiri tidak tahu Grondkaart itu,
yang menemukan berupa ionan di Belanda gitu jawabnya, jadi Grondkaart itu semacam surat
ukur, terima kasih, kita harus sholat sebelum dishalatkan.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. ABDUL GAFAR USMAN, M.M. (KETUA BAP DPD RI)
Baik. Berhubung karena waktu kita mau shalat, ada sedikit yang relevan terhadap tadi
sedikit saja pak barangkali bisa untuk pendalaman terkait dengan hak pakai tadi bu, bisa
memastikan tidak hak pakai itu ada kaitannya dengan grondkaart itu, apakah itu ada konversi
dari grondkaart itu bukan grondkaart Bu ya, jadi selama ini tidak ada, jadi bukan grondkaart
bu, terima kasih bu. Bapak-bapak dengan kita mendapat berbagai informasi baik berdasarkan
aturan dan maka saran Pak Lalu tadi memang perlu kita jadikan suatu catatan supaya formal
kita usulkan berbentuk pansus sehingga dengan demikian nanti bisa lebih keputusan kita dan
kita berharap pada Bapak dan Ibu jika kami memerlukan dalam pansus nanti kira-kira bapak
berkenan, memang tadi menarik dari Ibu Yuli dari perubahan-perubahan nama tadi memang
bu nama saya juga tiga bu, waktu sd nama saya Abdul Gafar, waktu saya PGA namanya
RDP BAP DPD RI MS I TS 2018-2019
KAMIS, 15 MARET 2018 30
Abdul Gafar, waktu kuliah Gafar itu ada empat dirubah lagi nama Abdul Gafar Usman
sehingga demikian Menteri tidak mau mengeluarkan SK saya kalau tidak ada keputusan
pengadilan mana yang sebetulnya Abdul Gafar itu. Nah artinya dari perubahan-perubahan
perumka itu harus juga, ada semacam dasar-dasar yang formal jadi saya bawa ke pengadilan
baru karena ijazah SD lain, ijazah PGA lain, sarjana lain, gimana orang ini. Baik, kami atas
nama tim dari BAP dan staf ahli mengucapkan terima kasih kepada Ibu Yuli, Ibu Doktor dan
Pak. Dr. Kurnia dengan Ibu Prof sehingga kami mendapatkan wawasan dan Insya Allah saran
Pak Lalu nanti kalau perlu kita sarankan untuk Pansus sehingga dia nanti untuk jadi
pegangan bagi kita dan juga mengikat untuk pemerintah sehingga demikian rapat ini dapat
saya tutup mengucapkan terima kasih dan mohon maaf yang sebesar-besarnya dan
mengundang bapak-ibu narasumber untuk makan bersama ala DPD, Pak Kurnia barangkali
bisa jam karena bapak dalam perjalanan, demikian rapat saya tutup dengan berdoa sesuai
dengan kepercayaan masing-masing, berdoa kita mulai, Alhamdulillahi rabbil’alamin.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
RAPAT DITUTUP PUKUL 13.09 WIB