Download - Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
1/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
2/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
3/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
4/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
5/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
6/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
7/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
8/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
9/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
10/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
11/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
12/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
13/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
14/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
15/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
16/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
17/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
18/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
19/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
20/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
21/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
22/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
23/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
24/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
25/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
26/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
27/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
28/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
29/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
30/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
31/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
32/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
33/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
34/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
35/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
36/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
37/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
38/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
39/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
40/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
41/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
42/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
43/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
44/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
45/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
46/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
47/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
48/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
49/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
50/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
51/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
52/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
53/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
54/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
55/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
56/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
57/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
58/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
59/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
60/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
61/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
62/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
63/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
64/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
65/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
66/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
67/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
68/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
69/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
70/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
71/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
72/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
73/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
74/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
75/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
76/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
77/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
78/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
79/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
80/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
81/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
82/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
83/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
84/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
85/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
86/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
87/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
88/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
89/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
90/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
91/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
92/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
93/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
94/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
95/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
96/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
97/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
98/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
99/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
100/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
101/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
102/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
103/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
dapat dipisahkan atau ditunda. Dengan pemeliharaan yang baik, selain dapat dicegah kerusakan
dini dari prasarana dan sarana kerja, juga diharapkan dapat meningkatkan dayaguna, hasilguna
dan manfaat yang optimal, serta memperpanjang umur ekonomis dari investasi yang telah
ditanamkan, yang pada gilirannya diharapkan dapat mempertahankan dan meningkatkan efisiensidan produktivitas sehingga mampu menunjang kelangsungan pembangunan nasional.
Sekalipun pembiayaan operasional dan pemeliharaan cenderung mengalami peningkatan
setiap tahunnya, namun pengalokasian dana tersebut senantiasa diupayakan tetap mengarah
kepada tercapainya dayaguna dan hasilguna yang optimal, sehingga keterbatasan kemampuan
keuangan negara dalam menyediakan dana tersebut tidak menjadi kendala dalam mendukung
kelancaran pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Dalam pengeluaran
rutin, pembiayaan operasional dan pemeliharaan dialokasikan untuk belanja barang, baik belanjabarang dalam negeri maupun belanja barang luar negeri, belanja nonpegawai daerah, dan lain-
lain pengeluaran rutin di luar subsidi BBM.
Belanja Belanjabarang ai
SDO
REPELITA IV1984/85 1.182,80 203,2 32,9 1.418,901985/86 1.367,10 241,4 379,8 1.988,301986/87 1.366,50 239,5 174,4 1.780,401987/88 1.329,30 223,3 113,3 1.665,701988/89 1.491,60 259,1 138,2 1.888,90REPELITA V1989/90 1.701,60 228,3 217 2.146,901990/91 1.830,30 275,2 181,7 2.287,201991/92 2.372,70 314,4 454,7 3.141,801992/93 2.870,10 376,9 503,3 3.750,301993/94 3.042,40 377,6 459,3 3.879,30REPELITA VI1994/95 2) 3.750,50 429,6 525,2 4.705,30
2) A P B N
JumlahlainnyaTahun
1) Tidak termasuk subsidi BBM
rutin
Tabel II.10PEMBIAYAAN OPERASIONAL DAN PEMELIHARAAN, 1984/85 - 1994/95
(dalam miliar rupiah)Pengeluaran
Sejak awal pelaksanaan Repelita I (1969/1970) sampai dengan tahun pertama Repelita VI
(1994/1995), perkembangan belanja barang cenderung mengalami peningkatan sesuai dengan
perkembangan pembangunan yang memerlukan lebih banyak pembiayaan bagi kegiatan
Departemen Keuangan RI 103
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
104/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
operasional dan pemeliharaan. Apabila dalam tahun 1969/70 realisasi belanja barang baru
mencapai sebesar Rp 50,3 miliar, maka dalam APBN 1994/95 dianggarkan sebesar Rp 3.750,5
miliar, yang berarti selama kurun waktu tersebut belanja barang mengalami peningkatan rata-rata
sebesar 18,8 persen setiap tahunnya. Sebagian besar dari peningkatan belanja barang tersebutdiperuntukkan bagi belanja barang dalam negeri, yang mengalami peningkatan untuk mendukung
ketersediaan sarana dan prasarana kerja, baik perangkat keras maupun perangkat lunak serta
pengadaan peralatan kantor guna memenuhi kebutuhan administrasi yang semakin meningkat di
berbagai instansi. Selain untuk belanja barang dalam negeri, peningkatan belanja barang juga
diperuntukkan bagi belanja barang luar negeri yang mengalami peningkatan sehubungan dengan
penambahan berbagai kantor perwakilan pemerintah di luar negeri, dan perkembangan nilai tukar
matauang dunia.
Selain disebabkan oleh peningkatan belanja barang, baik belanja barang dalam negeri
maupun belanja barang luar negeri, peningkatan pembiayaan operasional dan pemeliharaan juga
disebabkan oleh peningkatan anggaran untuk belanja nonpegawai daerah otonom. Peningkatan
anggaran tersebut berkaitan erat dengan semakin meningkatnya kebutuhan anggaran untuk
membantu pemerintah daerah, baik dalam membiayai kegiatan operasionalnya maupun bagi
pelayanan yang semakin meningkat kepada masyarakat umum, pengembangan perekonomian
daerah, serta penyediaan dan pemeliharaan prasarana dan sarana yang merupakan wewenang dan
tanggung jawab pemerintah daerah. Pengalokasian dana tersebut antara lain dipergunakan untuk
subsidi belanja penyelenggaraan urusan dekonsentrasi dan pembantuan, untuk ganjaran daerah
tingkat I/daerah tingkat II/kotamadya/kota administratif, biaya dekonsentrasi kecamatan,
tunjangan kurang penghasilan aparat pemerintah desa, subsidi belanja pengembangan institusi,
serta lain-lain belanja nonpegawai daerah. Di samping itu peningkatan subsidi belanja
nonpegawai daerah otonom juga diperlukan untuk menampung subsidi belanja penyelenggaraan
urusan desentralisasi, terutama bagi subsidi/bantuan penyelenggaraan sekolah dasar negeri,
bantuan biaya operasional rumah sakit umum daerah, serta bantuan biaya pemetaan bahan galian
untuk menunjang usaha pertambangan daerah.
Subsidi/bantuan penyelenggaraan sekolah dasar negeri merupakan kelanjutan dari
kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan penghapusan sumbangan pembinaan
pendidikan sekolah dasar (SPP-SD). Sedangkan subsidi atau bantuan biaya operasional rumah
sakit umum daerah (SBBO-RSUD) digunakan untuk membantu pemerintah daerah dalam
Departemen Keuangan RI 104
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
105/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
meningkatkan pelayanan di bidang kesehatan kepada masyarakat dan meningkatkan peranan
RSUD sebagai tempat memperoleh pelayanan kesehatan dengan penampilan dan lingkungan
yang bersih, sehat, tertib, dan terpelihara.
Selanjutnya selain menampung belanja barang dan belanja nonpegawai daerah, anggaran
pembiayaan operasional dan pemeliharaan juga menampung pengeluaran untuk lain-lain
pengeluaran rutin, di luar subsidi BBM. Anggaran tersebut penggunaannya diarahkan untuk
menunjang roda pemerintahan dan beberapa kegiatan lainnya, yaitu antara lain untuk biaya jasa
pos dan giro serta pengeluaran bebas porto, biaya penyelenggaraan Pemilu, serta bantuan lain-
lain, seperti bantuan rutin kepada KONI Pusat dan bantuan penanggulangan bencana alam.
Gambaran lebih rinci mengenai pembiayaan operasional dan pemeliharaan dapat diikuti dalam
Tabel II.10.
2.2.4.3. Pembayaran bunga dan cicilan hutang
2.2.4.3.1. Pembayaran hutang dalam negeri
Pembayaran hutang dalam negeri pada dasamya merupakan kewajiban pemerintah yang
timbul dari adanya hubungan kerja atau keterkaitan antara pemerintah dengan pihak-pihak lain di
dalam negeri, yang dalam beberapa hal mengakibatkan timbulnya hutang pemerintah.Sejakawal Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita VI, perkembangan
pembayaran hutang dalam negeri cenderung mengalami peningkatan, sejalan dengan peningkatan
kegiatan operasional pemerintahan dan pembangunan. Apabila dalam tahun 1969/70 realisasi
pembayaran hutang dalam negeri baru mencapai sebesar Rp 1,7 miliar, maka dalam APBN
1994/95 telah meningkat menjadi sebesar Rp 317,4 miliar, yang berarti selama kurun waktu
tersebut pembayaran hutang dalam negeri mengalami peningkatan rata-rata sebesar 23,3 persen
per tahun. Meskipun sejak awal PJP I sampai dengan tahun pertama PJP II, pembayaran hutang
dalam negeri mempunyai kecenderungan meningkat setiap tahunnya, namun peranan jenis
pengeluaran ini terhadap pengeluaran rutin relatif sangat kecil, yaitu rata-rata sekitar 0,6 persen.
2.2.4.3.2. Pembayaran hutang luar negeri
Selain menampung kewajiban pembayaran kembali atas hutang pemerintah kepada pihak
Departemen Keuangan RI 105
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
106/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
ketiga di dalam negeri, pembayaran bunga dan cicilan hutang juga menampung kewajiban
pembayaran kembali bunga dan cicilan hutang pemerintah kepada pihak lain di luar negeri, yakni
negara-negara atau lembaga-lembaga keuangan internasional yang telah memberikan
bantuan/pinjaman dana bagi pembiayaan pembangunan. Kewajiban tersebut timbul sebagaiakibat dari pemanfaatan hutang luar negeri untuk membiayai proyek-proyek pembangunan di
masa lalu, yang harus dibayar berhubung dengan berakhirnya masa tenggang waktu, dan telah
jatuh temponya masa pembayaran.
Pemanfaatan bantuan/pinjaman luar negeri untuk membiayai pembangunan merupakan
salah satu alternatif pembiayaan yang potensial bagi setiap negara. Indonesia yang telah
melaksanakan pembangunan nasionalnya secara terarah dan bertahap sejak awal Repelita I, juga
telah memanfaatkan bantuan luar negeri sebagai pelengkap bagi dana pembangunan yangbersumber dari dalam negeri, yang pemanfaatannya diutamakan untuk pembangunan proyek-
proyek vital dan menyentuh kepentingan masyarakat luas, seperti prasarana dan sarana ekonomi.
Hasil dari pemanfaatan bantuan/pinjaman luar negeri yang diterima selama ini tidak saja
menciptakan landasan yang lebih kuat dan memberikan manfaat yang luas bagi kesejahteraan
masyarakat, tetapi juga mampu memperkukuh struktur dan meningkatkan pertumbuhan
perekonomian Indonesia pada tingkat yang cukup tinggi.
Menyadari besarnya manfaat hutang luar negeri bagi pencapaian berbagai sasaranpembangunan, Pemerintah terus mengupayakan agar negara-negara dan lembaga-lembaga
keuangan internasional pemberi pinjaman tetap memiliki kepercayaan yang besar kepada
Indonesia. Upayaupaya tersebut dilaksanakan melalui pemanfaatan hutang luar negeri secara
baik, terutama untuk menunjang kegiatan ekonomi dan pembangunan proyek-proyek yang
berprioritas tinggi, produktif, dan berorientasi ekspor. Pemanfaatan hutang luar negeri yang
dilakukan secara bijaksana tersebut, selain dimaksudkan untuk menjaga kredibilitas dan martabat
Indonesia di mata dunia internasional, juga dimaksudkan agar beban pembayaran kembali bunga
dan cicilan hutang luar negeri di masamasa mendatang tetap dalam batas kemampuan ekonomi
dan tidak menimbulkan tekanan terhadap neraca pembayaran Indonesia. Selain daripada itu
upaya mempertahankan kepercayaan pemberi pinjaman juga dilakukan dengan cara memenuhi
kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri secara tepat waktu dan jumlah,
sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Kebijaksanaan tersebut ditempuh mengingat
penundaan pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri akan menimbulkan berbagai
Departemen Keuangan RI 106
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
107/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
108/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
anggaran 1983/84 menjadi sebesar 52,4 persen dalam tahun anggaran 1988/89.
Sementara itu selama Repelita V realisasi pembayaran bunga dan cicilan hutang luar
negeri juga mengalami peningkatan dari Rp 11.789,9 miliar dalam tahun 1989/90 menjadi
sebesar Rp 17.167,1 miliar dalam tahun 1993/94. Dengan demikian selama periode tersebut
pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri telah mengalami peningkatan rata-rata sekitar
10 persen setiap tahunnya. Sebagaimana dalam Repelita IV, peningkatan pembayaran bunga dan
cicilan hutang luar negeri selama Repelita V tersebut, di samping disebabkan oleh semakin
banyaknya hutang luar negeri yang telah jatuh tempo, juga diakibatkan oleh apresiasi Yen
terhadap Dolar Amerika Serikat dan Dolar Amerika Serikat terhadap rupiah, sehingga jumlah
rupiah yang harus disediakan untuk pembayaran hutang tersebut juga semakin meningkat.
Sekalipun demikian, dalam rentang waktu Repelita V, peranan pembayaran bunga dan cicilanhutang luar negeri terhadap realisasi pengeluaran rutin mengalami penurunan dari sebesar 48,5
persen dalam tahun anggaran 1989/90 menjadi sebesar 44,2 persen dalam tahun anggaran
1993/94. Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh lebih cepatnya peningkatan pengeluaran
rutin keseluruhan dibandingkan dengan peningkatan pembayaran bunga dan cicilan hutang luar
negeri. Sementara itu dalam APBN 1994/95, pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri
mencapai sebesar Rp 17.652,3 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar 2,8 persen
bila dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun mengalami peningkatan dalam jumlah, namun
peranannya terhadap pengeluaran rutin secara keseluruhan mengalami penurunan dari tahun
sebelumnya, yaitu menjadi sebesar 41,7 persen. Perkembangan realisasi pembayaran bunga dan
cicilan hutang luar negeri serta peranannya terhadap pengeluaran rutin dan anggaran belanja
negara secara keseluruhan dapat diikuti dalam Tabel II.11.
Departemen Keuangan RI 108
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
109/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Bunga dan Pengeluaran Anggaranhutang rutin belanja
luar negeri negara
-1 -2 -3 -5 -6REPELITA I1969/70 12,7 216,5 334,7 3,81970/71 23,6 288,2 457,9 5,21971/72 41 349,1 545 7,51972/73 46 438,1 736,3 6,21973/74 62,5 713,3 1.164,20 5,4REPELITA II
1974/75 67,3 1.016,10 1.977,90 3,41975/76 71,7 1.332,60 2.730,30 2,61976/77 165,1 1.629,80 3.684,30 4,51977/78 221 2.148,90 4.305,70 5,11978/79 525,7 2.743,70 5.299,30 9,9REPELITA III1979/80 647,6 4.061,80 8.076,00 81980/81 754 5.800,00 11.716,10 6,41981/82 915,3 6.977,60 13.917,70 6,61982/83 1.204,70 6.996,30 14.355,90 8,41983/84 2.072,80 8.411,80 18.311,00 11,3REPELITA IV
1984/85 2.737,20 9.429,00 19.380,90 14,11985/86 3.303,10 11.951,50 22.824,60 14,51986/87 5.058,10 13.559,30 21.891,30 23,11987/88 8.165,50 17.481,50 26.958,90 30,31988/89 10.862,60 20.739,00 32.989,70 32,9REPELITA V1989/90 11.789,90 24.331,10 38.165,40 30,91990/91 13.145,10 29.997,70 49.449,70 26,21991/92 13.182,50 30.227,60 51.991,80 25,41992/93 14.942,00 34.031,20 58.166,00 25,71993/94 17.167,10 38.799,30 64.460,40 26,6REPELITA VI1994/95 17.652,30 42.350,80 69.749,10 25,3*) A P B N
46,752,4
48,543,8
24,6
2927,637,3
10,319,2
15,913
8,8
6,65,410,1
5,98,2
11,710,5
Tabel II.11PERANAN PEMBAYARAN BUNGA DAN CICILAN HUTANG LUAR NEGERITERHADAP PENGELUARAN RUTIN DAN ANGGARAN BELANJA NEGARA
1969/70 - 1994/95(dalam miliar rupiah)
Tahun
43,643,944,2
41,7
% %
13,117,2
-4
2.2.4.4. Subsidi
Pada dasarnya pemberian subsidi ditujukan untuk memantapkan stabilitas perekonomian,
khususnya stabilitas harga. Salah satu program pemerintah di dalam menjaga stabilitas ekonomi
adalah dengan memberikan subsidi terhadap beberapa komoditi strategis, terutama bahan-bahan
Departemen Keuangan RI 109
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
110/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
kebutuhan pokok masyarakat, yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan laju inflasi.
Pemberian subsidi tersebut diharapkan dapat menjamin tersedianya bahan-bahan kebutuhan
pokok masyarakat dalam jumlah yang mencukupi dan harga yang stabil dan terjangkau oleh daya
beli masyarakat. Namun demikian, mengingat setiap pemberian subsidi berarti pula berkurangnyadana bagi peningkatan kegiatan pembangunan, maka subsidi tersebut harus diberikan dalam
batas-batas kewajaran dan hanya untuk hal-hal yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak serta
disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara.
Selama PJP I, Pemerintah pernah memberikan subsidi pangan, antara lain subsidi teras
dan subsidi impor gandum. Sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat, persediaan beras
nasional perlu dijaga agar tersedia dalam jumlah yang cukup dan diusahakan agar harganya dapat
dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena produksi beras nasional belummencukupi, maka untuk memenuhi kebutuhan teras dalam negeri masih diperlukan impor.
Subsidi beras tersebut diberikan untuk menjaga harga beras tetap stabil dan pada tingkat yang
dapat terjangkau oleh seluruh rakyat, terutama golongan ekonomi lemah.
Selain subsidi beras, subsidi pangan diberikan melalui subsidi impor gandum, yang
dimaksudkan untuk menjaga harga gandum yang sesuai dengan daya beli masyarakat dan
dimaksudkan untuk mendukung upaya penganekaragaman bahan makanan serta mengurangi
ketergantungan pada konsumsi beras. Selain itu, pemberian subsidi impor gandum juga ditujukanuntuk mendorong pertumbuhan industri makanan dalam negeri, yang sebagian besar bahan
bakunya adalah gandum. Subsidi beras dan gandum tersebut pertama kali diberikan dalam tahun
1973/74 dan mencapai tingkat tertinggi dalam tahun 1980/81, yaitu sebesar Rp 281,7 miliar.
Tingginya subsidi pangan dalam tahun 1980/81 tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan
harga beras di luar negeri dan lebih tingginya impor beras yang diperlukan karena terbatasnya
produksi di dalam negeri. Dengan tercapainya swasembada beras dan semakin meningkatnya
daya beli masyarakat, maka sejak tahun terakhir Repelita III (1983/84), alokasi pengeluaran rutin
untuk subsidi pangan tidak disediakan lagi.
Di samping pemberian subsidi pangan, selama PJP I telah pula diberikan subsidi bahan
bakar minyak (BBM). Subsidi BBM diberikan karena BBM merupakan sumber energi yang
cukup strategis bagi penggerak roda perekonomian nasional, mengingat peningkatan harga BBM
mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap stabilitas ekonomi. Subsidi BBM merupakan
Departemen Keuangan RI 110
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
111/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
selisih antara hasil penjualan BBM dalam negeri dengan seluruh biaya pengadaan BBM yang
harus dikeluarkan. Oleh karena itu, besar kecilnya subsidi BBM sangat ditentukan oleh hasil
penjualan BBM dalam negeri, yang besarnya tergantung kepada harga penjualan dan jumlah
konsumsi BBM di dalam negeri. Selain daripada itu subsidi BBM juga ditentukan oleh biayapengadaan BBM, yang besarnya dipengaruhi oleh biaya pembelian minyak mentah, biaya
pengolahan, dan biaya distribusi BBM. Mengingat biaya pembelian minyak mentah merupakan
komponen terbesar dalam pengadaan BBM, maka subsidi BBM yang diberikan seringkali
berbeda dengan perhitungan semula karena pengaruh gejolak harga minyak mentah di pasar
internasional yang sulit diduga arahnya.
Subsidi BBM diberikan sejak tahun 1977/78, namun kebutuhan subsidi BBM yang cukup
besar mulai dirasakan sejak awal Repelita III, sehubungan dengan harga minyak mentah yangterus meningkat dengan cukup cepat. Sementara itu dalam Repelita IV, subsidi BBM cenderung
mengalami penurunan, sebagai akibat dari penurunan harga minyak mentah dunia dan kenaikan
harga penjualan BBM dalam negeri. Bahkan dalam tahun 1986/87, dimana harga minyak mentah
jauh lebih rendah dari harga yang ditetapkan dalam APBN, diperoleh laba bersih minyak (LBM)
sebesar Rp 1.010,0 miliar. Subsidi BBM terbesar diperoleh dalam tahun 1990/91 yang mencapai
Rp 3.301,0 miliar. Besarnya subsidi BBM tersebut selain disebabkan oleh peningkatan harga
minyak mentah di pasar internasional akibat terjadinya krisis teluk, juga disebabkan
meningkatnya konsumsi BBM dalam negeri yang cukup tinggi.
Dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektivitas pengeluaran rutin, penghematan
pemakaian devisa negara, serta mencegah pemborosan penggunaan energi dan mendukung
kebijaksanaan diversifikasi energi, maka secara berkala telah diupayakan pengurangan subsidi
BBM melalui penyesuaian harga jual BBM dalam negeri pada tingkat yang wajar. Penyesuaian
harga jual BBM selama Repelita V telah dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu dalam tahun 1990,
1991, dari 1993. Dengan berbagai upaya tersebut dan dengan adanya kecenderungan penurunan
harga minyak mentah dalam beberapa tahun terakhir Repelita V, maka realisasi subsidi BBM
dalam tahun 1991/92 dari 1992/93 cenderung mengalami penurunan pula, bahkan dalam tahun
1993/94 diperoleh LBM sebesar Rp 2.519,0 miliar. Sementara itu dalam APBN 1994/95 alokasi
pengeluaran rutin untuk subsidi BBM tidak disediakan. Perkembangan subsidi pangan dari
subsidi BBM sejak tahun anggaran 1969/70 sampai dengan tahun anggaran 1994/95 dapat dilihat
pada Tabel II.12.
Departemen Keuangan RI 111
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
112/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Subsidi SubsidiPangan bahan bakar
minyak
REPELITA I1969/70 - -1970/71 - -1971/72 - -1972/73 - -1973/74 153,4 -REPELITA II1974/75 141 -1975/76 50 -1976/77 39,1 -1977/78 - 65,11978/79 43,5 197REPELITA III1979/80 124,9 534,91980/81 281,7 1.021,701981/82 223,5 1.316,401982/83 1,1 961,51983/84 - 928,1REPELITA IV1984/85 - 506,71985/86 - 374,21986/87 - -1987/88 - 401,81988/89 - 133,1REPELITA V1989/90 - 705,91990/91 - 3.301,001991/92 - 1.029,701992/93 - 691,81993/94 - -REPELITA VI1994/95 - -*)
A P B N
Tabel II.12SUBSIDI PANGAN DAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK,
1969/70 - 1994/95(dalam miliar rupiah)
Tahun
2.2.5. Tabungan pemerintah
Selama 25 tahun pertama, pembangunan nasional telah berhasil meletakkan landasan
yang kukuh bagi kelanjutan pelaksanaan pembangunan tahap berikutnya. Keberhasilan
pembangunan tersebut tidaklah terlepas dari dana pembangunan yang dapat dihimpun melalui
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dalam jumlah yang cukup besar selama
Departemen Keuangan RI 112
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
113/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
pelaksanaan pembangunan jangka panjang pertama. Hasil-hasil yang telah dicapai ini merupakan
modal dasar dalam memasuki era tinggal landas dalam Repelita VI, yang juga merupakan
kerangka landasan bagi pembangunan jangka panjang kedua. Dana pembangunan yang dapat
dihimpun tersebut, dalam setiap tahunnya selalu berpedoman pada GBHN, yaitu diutamakanbersumber dari dalam negeri, dengan sumber dari luar negeri hanya sebagai pelengkap dan
digunakan untuk pembiayaan kegiatan pembangunan yang produktif sesuai prioritas dan
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Sebagai salah satu sumber
dana dari dalam negeri, besarnya tabungan pemerintah yang dapat dihimpun, yang merupakan
selisih antara penerimaan dalam negeri dari pengeluaran rutin, sangat berkaitan erat dengan
upaya untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri dari efisiensi pengeluaran rutin.
Peningkatan tabungan pemerintah setiap tahunnya menunjukkan peningkatan kemampuansektor pemerintah dalam meningkatkan pembiayaan pembangunan melalui pengerahan dana yang
bersumber dari dalam negeri, dan dalam upaya peningkatan efisiensi dari efektivitas pengeluaran
rutin. Peningkatan tabungan pemerintah hanya dapat terjadi apabila tingkat kenaikan penerimaan
dalam negeri lebih besar dari tingkat kenaikan pengeluaran rutin. Selama PJP I, selisih yang
paling tinggi antara rata-rata kenaikan penerimaan dalam negeri dengan rata-rata kenaikan
pengeluaran rutin terjadi dalam Repelita I, yaitu sebesar 6,5 persen. Sedangkan dalam Repelita II
dari Repelita III selisih angka tersebut menurun, masing-masing menjadi sebesar negatif 3,3
persen dari 1,2 persen. Penurunan tersebut disebabkan tingkat perkembangan penerimaan dalam
negeri yang lebih rendat dibandingkan dengan tingkat perkembangan pengeluaran rutin.
Menurunnya harga minyak mentah di pasar internasional yang mulai terjadi sejak akhir Repelita
III dari terus memburuk hingga mencapai tingkat terendahnya dalam tahun 1986, telah
menyebabkan penerimaan dalam negeri yang pada saat itu masih bertumpu pada penerimaan
migas menurun dengan tajam. Dengan keadaan ini, selisih antara rata-rata kenaikan penerimaan
dalam negeri dengan rata-rata kenaikan pengeluaran rutin dalam Repelita IV menjadi sebesar
negatif 12,1 persen, dimana selisih negatif terbesar terjadi dalam tahun 1986/87 yaitu sebesar
negatif 29,7 persen. Dengan semakin stabilnya penerimaan dalam negeri yang didukung oleh
penerimaan pajak dalam Repelita V, selisih rata-rata kenaikan penerimaan dalam negeri dan rata-
rata kenaikan pengeluaran rutin kembali meningkat menjadi sebesar 3,7 persen. Secara
keseluruhan selisih antara rata-rata kenaikan penerimaan dalam negeri dengan rata-rata kenaikan
penge1uaran rutin selama pembangunan jangka panjang pertama adalah sebesar 1,0 persen.
Departemen Keuangan RI 113
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
114/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Kenaikan tabungan pemerintah yang cepat pada awal pembangunan jangka panjang
pertama berkaitan erat dengan peningkatan penerimaan dalam negeri yang didukung oleh
peningkatan harga minyak mentah. Sedangkan makin rendahnya peningkatan tabungan
pemerintah dalam Repelita III dan Repelita IV terutama disebabkan oleh merosotnya hargaminyak mentah dan belum dapat diandalkannya penerirnaan sektor nonmigas, terutama yang
berasal dari sektor perpajakan. Tabungan pemerintah dalam Repelita I mengalami kenaikan rata-
rata sebesar 74,9 persen per tahun, sedangkan dalam RepeIita II, Repelita III, dan Repe1ita IV
peningkatan tabungan pemerintah rnenurun menjadi masing-masing sebesar 19,9 persen, 22,9
persen, dan negatif 23,1 persen per tahun. Menghadapi situasi demikian, untuk memperkuat
struktur perekonomian nasional, sejak tahun 1983 Pemerintah mengambil berbagai langkah
kebijalan ekonomi. Dalam kaitannya dengan upaya peningkatan penerimaan dalam negeri, dalam
tahun 1983 Pemerintah melakukan reformasi di bidang perpajakan. Di masa mendatang, berbagai
kebijaksanaan tersebut diharapkan akan meningkatkan penerimaan nonmigas, terutama yang
berasal dari sektor perpajakan. Harapan tersebut tidak sia-sia, bahkan dalam Repelita V berbagai
upaya tersebut telah membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Peningkatan tabungan
pemerintah yang dalam Repelita IV sempat berkembang negatif, dalam Repelita V telah
membaik kembali menjadi sebesar 32,2 persen. Dalam perkernbangannya, tabungan pemerintah
yang berhasil dihimpun dalam Repelita I, Repelita II, dan Repelita III, masing-masing mencapai
sebesarRp 566,9 miliar, Rp 5.832,0 miliar, dan Rp 23.739,9 miliar. Sedangkan dalam Repelita
IV, tabungan pemerintah yang berhasil dihimpun mengalami sedikit penurunan, yaitu hanya
mencapai Rp 21.946,2 miliar atau sekitar 92 persen dari realisasinya dalam Repelita sebelumnya.
Namun demikian, dalam Repelita V tabungan pemerintah telah rnenjadi lebih 2 kali lipat dari
realisasinya dalam Repelita sebelumnya, yaitu mencapai sebesar Rp 52.216,4 miliar. Peningkatan
yang cukup pesat ini merupakan hasil dari pelaksanaan kebijaksanaan, penyempurnaan dan
pemantapan kelembagaan, serta langkah-langkah kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi
selama pembangunan jangka panjang pertama.
Khusus dalam Repelita V, berbagai penyempurnaan kebijaksanaan dalam upaya untuk
mendorong peningkatan kemandirian pembiayaan pembangunan telah menunjukkan hasilnya.
Dalam mendukung peningkatan penerimaan dalam negeri, peranan penerimaan di luar migas
telah dapat menggantikan peranan penerimaan migas. Keberhasilan ini terutama disebabkan oleh
meningkatnya kemampuan sektor perpajakan dalam memobilisir berbagai potensi objek dan
Departemen Keuangan RI 114
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
115/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
subjek pajak, di samping relatif stabilnya harga minyak mentah di pasar internasional. Selain itu,
peningkatan efisiensi dalam alokasi penge1uaran rutin juga telah mendorong tingkat kenaikan
penerimaan dalam negeri lebih besar dari tingkat kenaikan pengeluaran rutin. Keberhasilan ini
menyebabkan tabungan pemerintah dalam tahun pertama Repelita V telah menjadi hampir 2 kalilipat dibandingkan dengan realisasi dalam tahun sebelumnya, yaitu mencapai sebesar Rp 4.408,7
miliar atau meningkat sebesar 94,6 persen. Dalam tahun 1990/91, yang merupakan tahun kedua
Repelita V, tabungan pemerintah bahkan telah menjadi lebih dari 2 kali lipat dibandingkan
dengan realisasinya pada awal Repelita V, yaitu menjadi sebesar Rp 9.548,7 miliar atau
meningkat sebesar 116,6 persen.
Meningkatnya tabungan pemerintah dalam tahun 1990/91 bahkan telah memungkinkan
dihimpunnya cadangan anggaran pembangunan (CAP) sebesar Rp 2.000,0 miliar. Peningkatantabungan pemerintah ini terus berlanjut, dan dalam tahun ketiga Repelita V tabungan pemerintah
meningkat sebesar 18,9 persen menjadi sebesar Rp 11.357,2 miliar, sehingga berhasil pula
dihimpun CAP sebesar Rp 1.500,0 miliar. Dengan keberhasilan menghimpun CAP dalam tahun
1990/91 dan 1991/92 menjadi berjumlah sebesar Rp 3.500,0 miliar, berarti Pemerintah memiliki
cadangan anggaran pembangunan guna berjaga-jaga, dan dipergunakan apabila diperlukan
tambahan anggaran akibat tidak tercapainya rencana penerimaan migas, dan/atau tidak dapat
direalisasikannya rencana penerimaan negara yang bersumber dari bantuan luar negeri.
Selanjutnyadalam tahun keempat Repelita V tabungan pemerintah yang berhasil
dihimpun meningkat sebesar 18,2 persen menjadi sebesar Rp 13.421,3 miliar. Sedangkan dalam
tahun terakhir Repelita V tabungan pemerintah meningkat menjadi sebesar Rp 13.480,5 miliar,
atau meningkat hanya sebesar 0,4 persen dibandingkan dengan realisasi dalam tahun sebelumnya.
Rendahnya peningkatan tabungan pemerintah tersebut disebabkan oleh tidak tercapainya rencana
penerimaan migas. Dalam kaitan ini, penggunaan sebagian CAP yang berhasil dihimpun dalam
tahun 1990/91 dan 1991/92 telah memungkinkan program pembagunan dalam tahun tersebut
tetap berjalan sesuai dengan yang direncanakan.
Sejalan dengan meningkatnya tabungan pemerintah, kemampuan keuangan negara dalam
membiayai pembangunan juga cendernng meningkat pula. Hal ini tercermin dari peningkatan
peranan tabungan pemerintah dalam dana pembangunan, dan komposisi pembiayaan
pembangunan yang lebih bertumpu pada pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri. Peranan
Departemen Keuangan RI 115
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
116/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
tabungan pemerintah dalam dana pembangunan dalam Repelita I, Repelita II, dan Repelita III,
masing-masing adalah sebesar 44,5 persen, 63,7 persen, dan 69,5 persen. Sedangkan dalam
Repelita IV peranan tabungan pemerintah dalam dana pembangunan sedikit mengalami
penurunan menjadi sebesar 43,1 persen. Hal ini disebabkan oleh turunnya laju kenaikanpenerimaan dalam negeri, khususnya dari sektor migas sebagai akibat turunnya harga minyak
mentah yang cukup tajam. Sementara itu dengan membaiknya harga migas dan makin mantapnya
penerimaan dalam negeri dari sektor pajak dan penerimaan nonmigas lainnya, peranan tabungan
pemerintah dalam dana pembangunan selama pelaksanaan Repelita V telah meningkat kembali
menjadi sebesar 50,7 persen, sehingga dana pembangunan yang berhasil dihimpun dalam
Repelita V mencapai sebesar Rp 103.047,0 miliar, atau meningkat sebesar 102,5 persen dari
realisasi Repelita sebelumnya.
Tabungan pemerintah sebesar Rp 52.216,4 miliar yang berhasil dihimpun dalam Repelita
V berasal dari selisih antara penerimaan dalam negeri sebesar Rp 209.603,3 miliar dan
pengeluaran rutin sebesar Rp 157.386,9 miliar, dimana bila dibandingkan dengan Repelita
sebelumnya tabungan pemerintah tersebut mengalami peningkatan sebesar 137,9 persen, atau
mencapai lebih dua kali lipat dari realisasi Repelita sebelumnya. Sementara itu dalam tahun
1994/95, yang merupakan tahun pertama Repelita VI, tabungan pemerintah yang dapat dihimpun
direncanakan mencapai sebesar Rp 17.386,3 miliar atau mengalami peningkatan sebesar 29,0
persen bila dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun sebelumnya. Dalam Tabel 11.13 dapat
diikuti perkembangan tabungan pemerintah sejak Repelita I sampai dengan Repelita V dan tahun
pertama Repelita VI (APBN 1994/95).
2.2.6. Pengeluaran pembangunan
Anggaran belanja pembangunan, di dalam kerangka manajemen pembangunan nasional,
mempunyai peranan yang sangat penting dalam mencapai sasaran-sasaran pokok pembangunansebagaimana yang direncanakan di dalam setiap tahapan pembangunan lima tahun (Repelita). Hal
ini terutama karena melalui anggaran belanja pembangunan, berbagai program pembangunan dan
sasaran-sasaran indikatif yang tercantum di dalam Repelita dijabarkan secara operasional di
dalam bentuk proyek-proyek pembangunan dan rencana pembiayaan yang lebih konkrit dan
realistis sesuai dengan kemampuan pengerahan sumber-sumber keuangan negara. Sebagai piranti,
Departemen Keuangan RI 116
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
117/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
utama kebijaksanaan fiskal, anggaran belanja pembangunan di dalam APBN mempunyai
pengaruh yang cukup kuat di dalam menentukan, baik arah dan pola alokasi sumber daya
ekonomi antar bidang, antar sektor, dan antar kegiatan dalam masyarakat, maupun distribusi hasil
pembangunan. Demikian pula dari segi jumlah maupun dari strategi alokasinya, pengeluaranpembangunan mempunyai pengaruh terhadap arah perkembangan ekonomi di berbagai bidang,
baik produksi dan kesempatan kerja, maupun distribusi pendapatan dan pemerataan
pembangunan, serta kestabilan nasional.
Sejalan dengan bertambah besarnya kemampuan keuangan negara dan semakin
meluasnya program pembangunan yang dilaksanakan dalam sektor pemerintah, jumlah anggaran
pembangunan senantiasa menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Apabila dalam Repelita
I realisasi anggaran pembangunan baru mencapai sebesar Rp 1.232,9 miliar, maka dalam RepelitaV jumlah anggaran pembangunan telah mencapai sebesar Rp 101.346,4 miliar. Ini berarti bahwa
dalam kurun waktu dua puluh lima tahun pembangunan jangka panjang tahap pertama, yaitu dari
periode Repelita I sampai dengan Repelita V, realisasi anggaran pembangunan telah meningkat
lebih dari 82 kali lipat. Dengan perkembangan tersebut, maka secara keseluruhan realisasi
anggaran pembangunan selama PJP I mencapai sebesar Rp 196.720,0 miliar, atau mengalami
kenaikan rata-rata 25,1 persen pertahun. Sementara itu dalam tahun pertama PJP II, anggaran
belanja pembangunan diperkirakan mencapai sebesar Rp 27.398,3 millar, yang berarti naik
sebesar Rp 1.737,2 miliar atau sekitar 7 persen apabila dibandingkan dengan realisasinya dalam
tahun terakhir PJP I (1993/94).
Departemen Keuangan RI 117
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
118/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
-1 -2REPELITA I1969/70 27,21970/71 53,9 26,71971/72 78,9 251972/73 152,5 73,61973/74 254,4 101,9REPELITA II1974/75 737,6 483,21975/76 909,3 171,71976/77 1.276,20 366,9
1977/78 1.386,50 110,31978/79 1.522,40 135,9REPELITA III1979/80 2.635,101980/81 4.427,001981/82 5.235,00 8081982/83 5.422,00 1871983/84 6.020,90 598,9REPELITA IV1984/85 6.476,50 455,61985/86 7.301,30 824,81986/87 2.581,30
1987/88 3.321,80 740,51988/89 2.265,30 -1.056,50REPELITA V1989/90 4.408,701990/91 9.548,701991/92 11.357,201992/93 13.421,301993/94 13.480,50 59,2REPELITA VI1994/95 17.386,30*) A P B N
JumlahKenaikan (+) /Penurunan (-)
2.143,405.140,001.808,502.064,10
-4.720,00
1.112,601.792,00
3.905,80
Tahun-3
Tabel II.13TABUNGAN PEMERINTAH, 1969/70 -1994/95
(dalam miliar rupiah)
Dengan terbatasnya dana pembangunan bila dibandingkan dengan kebutuhan investasi,
maka anggaran pembangunan diarahkan pemanfaatannya bagi proyek-proyek yang produktif,
dalam arti menghasilkan nilai produksi yang lebih besar daripada nilai investasinya. Dalam
pelaksanaan fungsi alokasi tersebut, penentuan skala prioritas senantiasa didasarkan kepada
strategi pembangunan seperti yang tertuang dalam GBHN dan Repelita, dimana prioritas
pembangunan dititikberatkan pada pembangunan sektor-sektor di bidang ekonomi dengan
Departemen Keuangan RI 118
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
119/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
keterkaitan antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya. Dengan kerangka
acuan tersebut, prioritas pengeluaran pembangunan diberikan kepada penyediaan prasaraha dasar,
yang berguna untuk mendorong berkembangnya kegiatan ekonomi masyarakat, baik secara
langsung maupun tidak langsung, seperti pembangunan prasarana perhubungan, pengairan,kelistrikan, telekomunikasi, serta pendidikan. Dengan tersedianya prasarana dasar tersebut
diharapkan kegiatan perekonomian masyarakat, seperti perdagangan, penanaman modal, dan
kegiatan ekonomi lainnya dapat lebih didorong, sehingga mampu pula menunjang penciptaan
kesempatan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu dalam usaha mendayagunakan sumber-sumber ekonomi yang tersedia
seoptimal mungkin dan untuk mendorong peningkatan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), berbagai ketentuan tentang pelaksanaananggaran dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1984 telah disesuaikan
dan disempurnakan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1994
tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara. Berdasarkan kepada ketentuan
baru tersebut, pelaksanaan anggaran belanja negara didasarkan atas prinsip-prinsip (a) hemat,
tidak mewah, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang dipersyaratkan, (b) terarah dan
terkendali sesuai dengan rencana, program/kegiatan, serta fungsi setiap departemen/lembaga,
serta (c) semaksimal mungkin menggunakan hasil produksi dalam negeri dengan memperhatikan
kemampuan/potensi nasional.
Selanjutnya dalam rangka pelaksanaan fungsi distribusi, alokasi anggaran pembangunan
diarahkan antara lain kepada berbagai program bantuan pembangunan daerah yang tercakup
dalam program Inpres serta pembangunan daerah yang dibiayai dengan dana PBB. Di samping
secara langsung menjangkau golongan masyarakat berpendapatan rendah, proyek-pfoyek
pembangunan yang tercakup dalam program Inpres tersebut sejauh mungkin diusahakan agar
sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, dan dalam pelaksanaannya sejauh mungkin
melibatkan pengusaha dan masyarakat daerah.
Melalui anggaran belanja pembangunan juga selalu diusahakan terpeliharanya kestabilan
ekonomi, antara lain dengan membentuk cadangan anggaran pembangunan (CAP), dalam hal
terdapat kelebihan penerimaan negara dari yang diperkirakan dalam jumlah yang cukup besar,
dan memanfaatkan dana cadangan tersebut dalam hal realisasi penerimaan negara tidak mencapai
Departemen Keuangan RI 119
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
120/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
sasaran yang diperkirakan dalam APBN-nya. Selama PJP I, dana CAP yang berhasil dihimpun
berjumlah Rp 3,5 triliun, yang berasal dari dana CAP tahun anggaran 1990/91 sebesar Rp 2,0
triliun dan dana CAP tahun anggaran 1991/92 sebesar Rp 1,5 triliun. Dana CAP tersebut sebagian
telah digunakan untuk menutup defisit anggaran 1991/92 sebesar Rp 1,5 triliun. Dana CAPtersebut sebagiantelah digunakan untuk menutup defisit anggaran yang timbul dalam pclaksanaan
APBN 1993/94 sebesar Rp 1,8 triliun, sehingga posisi dana CAP pada awal tahun Repelita VI
menunjukkan jumlah sebesar Rp 1,7 triliun. Keseluruhan alokasi anggaran pembangunan tersebut
secara lebih rinci dapat dilihat pada alokasi anggaran pembangunan berdasarkan sektor dan
subsektor, berdasarkan jenis pembiayaan, serta pengeluaran pembangunan atas dasar sumber
pembiayaan.
2.2.6.1. Pengeluaran pembangunan berdasarkan sektor dan subsektor
Sebagai rencana operasional tahunan Repelita di sektor pemerintah, anggaran belanja
pembangunan dalam APBN secara sektoral dialokasikan ke berbagai sektor dan subsektor sesuai
dengan urutan prioritas kebijaksanaan pembangunan sebagaimana yang ditetapkan di dalam
GBHN dan Repelita. Dalam Repelita I, sesuai dengan arah kebijaksanaan pembangunan yang
menitikberatkan pada upaya pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, peningkatan kesejahteraan
masyarakat, serta penyediaan sarana dan prasarana dasar guna menunjang pertumbuhan ekonomi,
dengan penekanan pada program rehabilitasi produksi dan program stabilisasi ekonomi, prioritas
alokasi anggaran pembangunan terutama diarahkan pada upaya peningkatan produksi hasil-hasil
pertanian, khususnya beras, melalui pembukaan dan perluasan areal persawahan, pembangunan
jaringan irigasi dan bendungan, serta penyediaan dan pembangunan sarana dan prasarana dasar
yang dibutuhkan masyarakat secara luas.
Dalam Repelita kedua, dalam rangka memperluas kesempatan kerja dan kesempatan
berusaha, mendorong pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan penyediaansarana dan prasarana dasar, serta memperluas penyediaan fasilitas pelayanan umum bagi
masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan, prioritas alokasi anggaran pembangunan dalam
periode tersebut diberikan pada sektor pertanian, sektor perhubungan dan pariwisata, sektor
pembangunan daerah, desa dan kota, sektor pertambangan dan energi, sektor pengembangan
dunia usaha, serta sektor pendidikan dan kebudayaan.
Departemen Keuangan RI 120
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
121/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Selanjutnya guna mewujudkan tercapainya swasembada pangan, dalam Repelita III
anggaran belanja pembangunan tetap diprioritaskan pada sektor pertanian dan sektor industri
yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi. Di samping itu dalam upaya pemerataan hasil-
hasil pembangunan, perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, serta peningkatankesejahteraan rakyat banyak, prioritas alokasi belanja pembangunan juga diarahkan untuk
mendukung berbagai program-program pemerataan sebagai penjabarandan wujud nyata dari
program 8 jalur pemerataan.
Dengan berbekal keberhasilan dalam pencapaian swasembada pangan di sektor pertanian
pada akhir Repelita III, maka sebagai kelanjutan dan peningkatan dari Repelita-repelita
sebelumnya, anggaran belanja pembangunan dalam Repelita IV tetap diletakkan pada sektor
pertanian untuk memantapkan swasembada pangan di samping untuk meningkatkan industri yangdapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri, baik industri berat maupun industri ringan,
yang terus dikembangkan dalam Repelita-repelita selanjutnya. Kemudian, sebagai tahap terakhir
dari pelaksanaan PJP I, dalam rangka mewujudkan terciptanya struktur ekonomi yang seimbang
antara industri dan pertanian, dalam Repelita V alokasi anggaran belanja pembangunan
diprioritaskan pada pembangunan ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian untuk
melanjutkan usaha-usaha memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil
pertanian lainnya, di samping pembangunan sektor industri, khususnya industri yang banyak
menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, serta industri yang dapat
menghasilkan mesin-mesin industri.
Berdasarkan kebijaksanaan pembangunan nasional sebagaimana diuraikan di atas, selama
PJP I bagian terbesar alokasi anggaran belanja pembangunan diarahkan kepada lima sektor
prioritas, yaitu sektor perhubungan dan pariwisata, sektor pertanian dan pengairan, sektor
pertambangan dan energi, sektor pembangunan daerah, desa dan kota, serta sektor pendidikan,
generasi muda, kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagai salah satu faktor penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan,
pengembangan dan penyediaan prasarana dan sarana perhubungan dan komunikasi senantiasa
ditingkatkan dan diperluas agar mampu memperlancar mobilitas barang, jasa, manusia, dan
informasi yang mampu menjangkau ke seluruh wilayah tanah air. Untuk menunjang tercapainya
sasaran tersebut, alokasi pengeluaran pembangunan di sektor perhubungan dan pariwisata dari
Departemen Keuangan RI 121
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
122/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
123/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Sebagai salah satu sasaran utama dalam pembangunan sektor perhubungan,
pengembangan perhubungan laut juga semakin ditingkatkan guna menunjang distribusi barang
dan jasa, serta mobilisasi manusia, baik antar pulau maupun antar negara. Sejak awal Repelita I,
anggaran pembangunan di subsektor tersebut diprioritaskan terutama untuk menunjangpeningkatan fasilitas pelabuhan melalui upaya rehabilitasi, penggantian, perluasan dari
pembangunan berbagai fasilitas pelabuhan, seperti pelabuhan, guuang, lapangan penumpukan,
serta peralatan bongkar muat pelabuhan. Melalui berbagai program peningkatan dan
pembangunan di subsektor perhubungan laut yang dilaksanakan secara konsisten dan
berkesinambungan tersebut, transportasi laut semakin lancar berkat tersedianya prasarana dari
sarana yang makin meningkat dan meluas jaringannya. Sampai dengan tahun anggaran 1993/94
telah berhasil dibangun dermaga sepanjang 47.992 meter, gudang seluas 260.301 meter persegi,
lapangan penumpukan seluas 712.572 meter persegi, serta lapangan peti kemas seluas 723.400
meter persegi.
Di subsektor perhubungan udara, anggaran pembangunan dimanfaatkan antara lain untuk
menambah sarana angkutan, membangun landasan pendaratan baru, serta meningkatkan
pelayanan angkutan perlutis ke daerah-daerah terpencil yang tersebar di seluruh wilayah
nusantara. Apabila dalam Repelita I jaringan penerbangan masih terbatas pada 38 pelabuhan
udara, maka dalam Repelita V jumlah bandar udara telah meningkat menjadi 146 buah, 88 buah
diantaranya melayani daerah-daerah terpencil. Dalam periode yang sama, jaringan pelayanan
penerbangan telah mencakup 240 rule yang menjangkau seluruh propinsi dan beberapa kawasan
dunia diantaranya sebanyak 19 bandar udara yang berfungsi sebagai pintu masuk bagi
penerbangan internasional.
Selanjutnya untuk memperlancar penyampaian informasi, baik antar daerah, antar kota,
maupun antar negara, anggaran pembangunan di subsektor pos dari telekomunikasi dipergunakan
untuk peningkatan dan perluasan jaringan pos dan telekomunikasi, baik dalam jumlah maupun
mutu pelayanan yang diberikan. Melalui berbagai program pengembangan jasa pos dan giro yang
didukung dengan alokasi anggaran yang memadai, hingga akhir Repelita V jaringan jasa pos dan
giro telah menjangkau ke seluruh wilayah tanah air. Sampai dengan tahun anggaran 1993/94,
pelayanan pas dan giro telah dapat menjangkau 3.774 ibukota kecamatan dari 970 daerah lokasi
transmigrasi. Sedangkan di bidang telekomunikasi, dalam periode tersebut telah dibangun
jaringan sentral telepon otomat sebanyak 3.012,9 ribu satuan sambungan yang tersebar di seluruh
Departemen Keuangan RI 123
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
124/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
tanah air, penambahan telepon-telepon umum, dari pendirian warung-warung telekomunikasi.
Pembangunan dari pengembangan sarana dan prasarana perhubungan tersebut selain telah
memperluas kesempatan kerja karena kegiatannya yang bersifat padat karya, juga telah
memperlancar mobilitas arus barang dari jasa antar daerah, sehingga mempermudah distribusikebutuhan hidup masyarakat. Demikian pula dengan semakin tersebarnya sarana dari luasnya
jangkauan komunikasi, kebutuhan informasi bagi masyarakat makin terpenuhi, sehingga
menunjang berkembangnya perekonomian dan membuka kesempatan kerja lebih luas.
Sementara itu dalam rangka pembangunan dan pengembangan sumber dan potensi
kepariwisataan nasional sebagai salah satu sumber penerimaan devisa negara, anggaran
pembangunan di subsektor pariwisata digunakan antara lain untuk membiayai program
pembinaan lingkungan wisata dan promosi wisata, baik di dalam negeri maupun di beberapanegara lainnya. Dengan dilaksanakannya berbagai program kepariwisataan tersebut, jumlah
wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia dari tahun ke tahun mengalami kenaikan
yang cukup menggembirakan. ApabiIa pada awal Repelita I jumlah wisatawan mancanegara
yang berkunjung ke Indonesia baru sekitar 86 ribu orang, maka dalam tahun anggaran 1993/94
jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia telah mencapai 3,4 juta orang,
yang berarti melampaui sasaran Repelita V sebesar 2,5 juta orang. Sedangkan penerimaan devisa
yang diperoleh dari kegiatan pariwisata dalam tahun anggaran 1993/94 mencapai hampir US$ 4
miliar.
Pembangunan di sektor pertanian dan pengairan sebagai salah satu sektor andalan, baik
sebagai penggerak utama perekonomian maupun sebagai sumber kehidupan terbesar dari
penduduk Indonesia, juga senantiasa ditingkatkan, baik dalam penanganannya maupun alokasi
anggaran yang diberikan. Apabila dalam Repelita I jumlah anggaran pembangunan sektor
pertanian dan pengairan baru mencapai sebesar Rp 267,8 miliar, maka dalam Repelita V jumlah
anggaran pembangunan tersebut telah mencapai sebesar Rp 13.287,5 miliar, yang berarti
mengalami kenaikan sekitar 49kali lipat. Dengan perkembangan tersebut, selama PJP I jumlah
pengeluaran pembangunan di sektor pertanian dan pengairan secara keseluruhan mencapai
sebesar Rp 26.813,4 miliar. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, khususnya
pangan, memperluas kesempatan kerja, serta meningkatkan pendapatan masyarakat, anggaran
pembangunan sektor pertanian dan pengairan diarahkan pemanfaatannya bagi upaya peningkatan
hasil-hasil produksi pertanian, melalui upaya intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan
Departemen Keuangan RI 124
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
125/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
126/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
produksi perikanan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat, telah semakin mencukupi.
Pada akhir Repelita V produksi beras per jiwa telah meneapai 216,6 kilogram, produksi dasing
per jiwa mencapai sekitar 7 kilogram, produksi telor meneapai 3,1 kilogram per jiwa, serta
produksi ikan mencapai 19,8 kilogram per jiwa. Dalam pada itu jaringan irigasi sebagai prasaranayang sangat penting danalam mendukung upaya peningkatan produksi pangan, khususnya beras,
dalam periode tersebut juga mengalami peningkatan dengan pesat, yaitu meneapai 1,7 juta hektar
pada akhir Repelita V atau 26 kali bila dibandingkan dengan prasarana irigasi yang ada pada awal
pelaksanaan Repelita I.
Dalam rangka mendayagunakan dan mengoptimalkan sumber daya mineral, baik untuk
keperluan bahan baku industri, maupun konsumsi rumah tangga, sektor pertambangan dan energi
jugadiberikan prioritas pembiayaan yangcukup besar. Dalam PJPI, jumlah anggaranpembangunan sektor pertambangan dan energi diperkirakan meneapai sebesar Rp 26.064,1
miliar. Anggaran tersebut dimanfaatkan untuk menunjang upaya peningkatan produksi
pertambangan, penganekaragaman hasil produksi pertambangan dan energi, serta pemetaan
geologi bagi penyelidikan sumber daya mineral dan sumber daya energi. Dengan dukungan
alokasi anggaran pembangunan yang memadai, produksi berbagai hasil pertambangan, baik dari
segi jenis maupun jumlahnya telah meningkat, sehingga kemampuan dalam menyediakan bahan
baku bagi industri dalam negeri dan ekspor juga semakin meningkat. Di samping itu dengan
dikembangkannya sumber energi alternatif seperti batu bara, gas bumi, dan gas alam cair,
ketergantungan terhadap sumber daya minyak juga semakin berkurang. Demikian pula jaringan
prasarana listrik telah meningkat dan meluas serta merata ke seluruh tanah air. Hingga akhir
Repelita V produksi listrik telah mencapai 46,8 juta megawatt hour, dengan daya tersambung
sebesar 21,2 juta kilovolt ampere. Sementara itu jumlah desa yang telah mendapat aliran listrik
meneapai 30,4 ribu desa, atau sekitar 49 persen dari jumlah seluruh desa yang ada.
Sejalan dengan itu, pembangunan daerah, desa dan kota juga semakin ditingkatkan, baik
dalam alokasi pembiayaannya maupun strategi penanganannya. Dalam Repelita terakhir dari
tahap pembangunan duapuluh lima tahun yang pertama jumlah anggaran pembangunan sektor
pembangunan daerah, desa, dan kota meneapai sebesar Rp 12.337,8 miliar atau mengalami
peningkatan sekitar 58 kali lipat bila dibandingkan dengan realisasinya sebesar Rp 210,0 miliar
dalam periode Repelita I. Sedangkan selama pelaksanaan PJP I, jumlah anggaran pembangunan
sektor pembangunan daerah, desa, dan kota secara keseluruhan mencapai sebesar Rp 21.113,6
Departemen Keuangan RI 126
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
127/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
miliar.
Dalam rangka mewujudkan asas pemerataan pembangunan antar wilayah, memperluas
otonomi daerah, dan mendorong peningkatan kemampuan keuangan daerah, bagian terbesar
daripada anggaran pembangunan sektor tersebut dialokasikan dalam bentuk berbagai program
bantuan pembangunan daerah, baik dalam bentuk berbagai proyek Inpres maupun dalam bentuk
dana bagi hasil penerimaan PBB.
Program bantuan bagi pembangunan daerah yang dilaksanakan melalui Instruksi Presiden
(Inpres) tersebut, dalam Repelita I baru terdiri dari program bantuan pembangunan desa, program
bantuan pembangunan daerah tingkat II, program bantuan pembangunan daerah tingkat I, serta
program bantuan pembangunan daerah Irian Jaya. Selanjutnya dalam Repelita II program
bantuan pembangunan bagi daerah tersebut telah semakin berkembang dengan ditambahkan pula
program pengembangan wilayah yang ditujukan bagi daerah-daerah tertinggal atau miskin, dan
program khusus bagi propinsi Irian Jaya dan Timor Timur. Kemudian, sejalan dengan semakin
luas dan beragamnya ruang lingkup dan cakupan kegiatan pembangunan, maka bantuan
pembangunan kepada daerah juga semakin meningkat, baik jenis maupun jumlah alokasi
anggaran yang diberikan.
Berbagai program tersebut di samping dimaksudkan untuk meningkatkan laju
pertumbuhan ekonomi antar daerah yang lebih merata, juga diarahkan untuk mendorong prakarsa
dan partisipasi masyarakat di daerah, memperluas kesempatan kerja, serta mengentaskan
kemiskinan di pedesaan, daerah terpencil di pedalaman, dan daerah terbelakang/terisolir. Bantuan
tersebut ditujukan terutama bagi daerah-daerah yang belum terjangkau oleh pembangunan yang
dilaksanakan oleh pemerintah pusat, dan dipergunakan antara lain untuk membiayai berbagai
proyek daerah, baik ekonomi maupun sosial-budaya yang dianggap penting oleh daerah. Dengan
semakin bertambah baiknya infrastruktur dan fasilitas komunikasi serta angkutan antar daerah,
maka daerah yang terisolasi semakin berkurang dan lalu-lintas barang dan orang semakin lancar.Selanjutnya dalam rangka mempercepat penanggulangan dan pengentasan kemiskinan,
melalui anggaran pembangunan sektor pembangunan daerah, desa dan kota sejak awal Repelita V
telah dilaksanakan program pengembangan kawasan terpadu (PKT), program pembangunan
prasarana kota terpadu (P3KT), serta program perbaikan kampung. Dengan dilaksanakannya
berbagai program tersebut, maka kesejahteraan masyarakat pedesaan telah mengalami
Departemen Keuangan RI 127
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
128/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
peningkatan, yang tercermin antara lain dari semakin menurunnya jumlah penduduk dan desa
miskin, sejalan dengan semakin baiknya tingkat pendapatan dan pemerataan pendapatan
masyarakat. Dalam pada itu kemampuan daerah dalam merencanakan dan melaksanakan
pembangunan juga semakin meningkat, sehingga semakin mendorong gairah dan partisipasimasyarakat dalam upaya meningkatkan kegiatan pembangunan di daerah masing-masing.
Dalam rangka meningkatkan kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi akhlak dan budi
pekerti, serta memperkuat kepribadian bangsa, maka pembangunan dan pengembangan sumber
daya manusia senantiasa ditingkatkan kuantitas dan kualitas penanganannya. Apabila dalam
Repelita I jumlah pengeluaran pembangunan sektor tersebut baru mencapai sebesar Rp 83,8
miliar, maka dalam Repelita V jumlah tersebut telah mencapai sebesar Rp 12.385,7 miliar, atau
mengalami peningkatan sekitar 147 kali lipat. Sementara itu selama PJP I jumlah anggaranpembangunan sektor pendidikan, generasi muda, kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa secara keseluruhan mencapai sebesar Rp 23.239,8 miliar. Anggaran
tersebut diprioritaskan untuk membiayai pembinaan pendidikan di berbagai jenjang pendidikan,
pembinaan masyarakat dan kedinasan, serta pembinaan generasi muda dan olah raga. Di samping
itu anggaran tersebut juga dialokasikan untuk membiayai penelitian dan pengembangan
kepurbakalaan, kesejarahan dan permuseuman, pengembangan seni budaya, serta pembinaan bagi
penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Di subsektor pendidikan umum dan generasi muda, dalam rangka perluasan pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan, peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenjang/tingkat
pendidikan, serta pemeliharaan fasilitas pendidikan, anggaran pembangunan dipergunakan antara
lain untuk penyediaan sarana dan prasarana belajar mengajar, seperti pembangunan gedung baru,
ruang kelas, dan rehabilitasi gedung, baik di tingkat SD dan madrasah ibtidaiyah, maupun di
tingkat SLTP, SLTA, dan perguruan tinggi. Di samping itu anggaran pembangunan tersebut
selain dimanfaatkan untuk pengadaan buku-buku pelajaran pokok dan buku dasar perpustakaan,
alat-alat laboratorium, olah raga, dan alat kesenian, juga dipergunakan untuk penataran tenaga
pengajar dan pengiriman dosen ke luar negeri. Selanjutnya untuk memantapkan landasan
perundang-undangan di bidang pendidikan, dalam tahun pertama Repelita V telah ditetapkan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang antara lain
mewajibkan pendidikan dasar 9 tahun, mencakup SD 6 tahun dan SLTP 3 tahun. Untuk
mempersiapkan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun tersebut, melalui anggaran pembangunan telah
Departemen Keuangan RI 128
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
129/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
diusahakan pengembangan kurikulum serta penelitian mengenai kemampuan berbagai daerah
dalam mendukung pelaksanaan wajib belajar 9 tahun. Sejalan dengan hal tersebut, dikembangkan
pula model penuntasan anak usia pendidikan dasar dalam rangka program wajib belajar dan
pemetaan sekolah tingkat lanjutan pertama.
Sementara itu di subsektor pendidikan kedinasan, anggaran pembangunan antara lain
dimanfaatkan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan aparatur pemerintah sesuai
dengan prioritas bidang-bidang pembangunan. Sedangkan di subsektor kebudayaan nasional dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, anggaran pembangunan dipergunakan untuk
menunjang inventarisasi dan pembinaan nilai-nilai budaya, dengan pemberian bimbingan teknis
perekaman dan analisis naskah, pembakuan kebahasaan, penyusunan naskah dan nilai sastra
nusantara, serta pengembangan minat kebahasaan melalui TVRI dan RRI.
Melalui berbagai program pembinaan pendidikan yang telah dilaksanakan sejak Repelita
I, termasuk pelaksanaan wajib belajar enam tahun dalam Repelita IV dan program wajib belajar
sembilan tahun dalam Repelita V, maka kesempatan untuk memperoleh pendidikan semakin luas,
sehingga kualitas rakyat Indonesia, baik taraf kecerdasan maupun tingkat pendidikannya juga
semakin tinggi. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh semakin meningkatnya angka partisipasi
kasar di berbagai jenjang pendidikan, meningkatnya mutu tenaga pengajar, serta menurunnya
jumlah penduduk berusia di atas 10 tahun yang buta aksara, yakni dari 39,1 persen pada awal PJPI menjadi 15,8 persen dalam tahun 1990. Di tingkat pendidikan dasar, angka partisipasi murni
(APM), yaitu rasio jumlah murid SD termasuk madrasah ibtidaiyah (SD-MI) usia 7-12 tahun
dengan jumlah penduduk kelompok usia tersebut, dalam tahun anggaran 1993/94 telah mencapai
93,5 persen. Dalam periode yang sama, angka partisipasi kasar (APK), yaitu rasio murid SD-MI
terhadap penduduk kelompok usia 7-12 tahun mencapai 110,4 persen. Sejalan dengan itu, angka
partisipasi kasar SLTP termasuk madrasah tsanawiyah (MTs) telah mencapai sebesar 52,7 persen,
dan angka partisipasi kasar tingkat SLTA termasuk madrasah aliyah (MAN) telah mencapai 33,6
persen. Sedangkan angka partisipasi kasar di tingkat pendidikan tinggi termasuk pendidikan
tinggi agama mencapai 10,8 persen pada akhir Repelita V.
Memasuki Repelita VI sebagai awal periode pembangunan jangka panjang kedua (PJP
II), prioritas pembangunan diletakkan pada pembangunan sektor-sektor di bidang ekonomi
dengan keterkaitan antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya, seiring
Departemen Keuangan RI 129
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
130/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
dengan peningkatan sumberdaya manusia. Sesuai dengan arah dan strategi dasar kebijaksanaan
pembangunan yang ditetapkan dalam GBHN 1993 dan Repelita VI, kebijaksanaan anggaran
belanja pembangunan dalam tahun pertama Repelita VI (1994/95) diarahkan terutama untuk
menunjang pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang makin adil dan meluas,meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, serta menjaga stabilitas nasional
yang sehat dan dinamis, sejalan dengan upaya peningkatan kualitas manusiadan kualitas
kehidupan masyarakat. Sedangkan alokasi anggaran sektoral dalam tahun pertama Repelita VI
telah diperluas menjadi 20 sektor, dibandingkan dengan 18 sektor dalam Repelita sebelumnya.
Sejalan dengan prioritas dalam tahun anggaran 1994/95, penyediaan anggaran belanja
pembangunan yang cukup besar diberikan kepada sektor pembangunan daerah dan transmigrasi,
sektor transportasi, meteorologi dan geofisika, sektor pertambangan dan energi, sektor
pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pemuda dan
olah raga, serta sektor pengairan.
Di sektor pembangunan daerah dan transmigrasi, dalam rangka mengembangkan dan
menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah, membuka daerah terisolasi dan mempercepat
pembangunan kawasan timur Indonesia, serta menyelaraskan pembangunan sektoral dan
regional, anggaran pembangunan dimanfaatkan untuk menunjang program bantuan pembangunan
desa, program bantuan pembangunan daerah tingkat II, program bantuan pembangunan daerah
tingkat I, dan program pengembangan kawasan khusus. Di samping itu guna mempercepat upaya
pengentasan kemiskinan terutama di daerah perdesaan, melalui anggaran pembangunan yang
sama juga dilaksanakan program pembangunan desa tertinggal yang menjangkau 18.321 desa
tertinggal dengan alokasi bantuan sebesar Rp 20 juta per desa. Sementara itu di subsektor
transmigrasi dan pemukiman perambah hutan, melalui program pemukiman dan lingkungan
transmigrasi serta program pengerahan dan pembinaan transmigran antara lain diupayakan
persiapan pemukiman bagi sekitar 50 ribu kepala keluarga (KK) dari Jawa, Bali dan Nusa
Tenggara, termasuk pemukiman bagi perambah hutan sebanyak 35 persen dari jumlah
keseluruhan, serta direncanakan penyiapan sekitar 46.200 hektar lahan pemukiman transmigran
dan 52 ribu unit rumah transmigran lengkap dengan fasilitas umum yang menunjang.
Di sektor transportasi, meteorologi dan geofisika, anggaran pembangunan diarahkan
terutama untuk menunjang berbagai program di subsektor prasarana jalan, subsektor transportasi
darat, subsektor transportasi laut, subsektor transportasi udara, serta subsektor meteorologi,
Departemen Keuangan RI 130
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
131/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
132/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
(kms), pembangunan gardu induk dengan kapasitas 2.520 megavolt ampere (MVA), serta
perluasan jaringan distribusi tegangan menengah dan tegangan rendah, masing-masing sepanjang
3.346,5 kms dan sepanjang 6.159 kms untuk daerah perkotaan. Di samping itu dalam rangka
program listrik perdesaan telah dilakukan pembangunan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD)dengan kapasitas 9,52 megawatt (MW), serta penyambungan aliran listrik bagi sebanyak 3.419
desa.
Selanjutnya di sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, pemuda dan olah raga, dalam rangka mempercepat pembangunan dan
peningkatan kualitas manusia Indonesia, anggaran pembangunan dimanfaatkan antara lain untuk
menunjang upaya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dasar melalui pelaksanaan
wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, perluasan daya tampung pendidikan danpeningkatan pendidikan kejuruan, serta peningkatan kualitas pendidikan semua jenis. jalur dan
jenjang pendidikan. Sehubungan dengan itu untuk meningkatkan daya tampung dan memperluas
pemerataan kesempatan belajar tingkat sekotab dasar (SD), dalam tahun anggaran 1994/95
diupayakan pembangunan 700 gcdung SD di daerah pemukiman baru dan daerah transmigrasi,
rehabilitasi sejumlah ruang kelas SD, dan penambahan 2.650 ruang kelas SD beserta
perlengkapannya. Sedangkan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dasar, dalam
periode yang sama diupayakan pencetakan dan pendistribusian sekitar 36 juta eksemplar buku
pelajaran dan buku bacaan, pengadaan 20 ribu alat peraga pendidikan, serta peningkatan kualitas
kemampuan tenaga edukasi bagi sekitar 140 ribu guru melalui penyetaraan guru setara D- 2, serta
penataran bagi kepala sekolah, penilik, dan pembina SD. Sementara itu untuk mendukung
pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun, khususnya dalam memperluas daya tampung sekolah
lanjutan tingkat pertama (SLTP), dalam periode yang sama diupayakan pembangunan sejumlah
gedung SL TP baru, penambahan 5.400 ruang kelas, rehabilitasi sejumlah ruang kelas, dan
penggantian perabot pendidikan. Di samping itu khusus bagi daerah-daerah tertentu yang tidak
memungkinkan pelaksanaan sekolah biasa, diupayakan penyelenggaraan pendidikan jarak jauh
melalui SLTP Terbuka dan SLTP Kecil. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan kemampuan
dasar serta memperluas kesempatan belajar dan berusaha bagi anggota masyarakat, anggaran
pembangunan di subsektor pendidikan luar sekolah dan kedinasan antara lain dimanfaatkan untuk
menunjang upaya pemberantasan tiga buta, yaitu buta aksara dan angka, buta bahasa Indonesia,
dan buta pengetahuan dasar, yang dilaksanakan antara lain melalui pengembangan kelompok
Departemen Keuangan RI 132
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
133/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
134/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Kalimantan, Sumatera dan Irian Jaya, serta pembangunan dan peningkatan tambak seluas 6 ribu
hektar, yang tersebar di Aceh, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, dan Sulawesi Selatan.
Di samping kelima sektor prioritas tersebut, dalam tahun anggaran 1994/95 berbagai
sektor lainnya juga memperoleh perhatian yang cukup memadai. Di sektor pertanian dan
kehutanan, dalam rangka mengoptimalkan sarana dan prasarana pertanian yang telah dibangun
serta melengkapi sarana dan prasarana pertanian yang diperlukan, dalam tahun anggaran 1994/95
diupayakan pengembangan sumber daya lahan tadah hujan/pasang surut seluas 13.000 hektar,
usaha konservasi terhadap sekitar 12.000 hektar lahan kering dan sekitar 3.500 hektar padang
penggembalaan, serta pengembangan pelabuhan perikanan. Sementara itu anggaran
pembangunan untuk subsektor kehutanan telah dialokasikan bagi program pembinaan kehutanan
serta program pengembangan usaha perhutanan rakyat.
Di sektor industri, guna menunjang upaya penataan dan pemantapan industri nasional
yang mengarah pada penguatan, pendalaman, peningkatan, perluasan, dan penyebaran industri ke
seluruh wilayah Indonesia, alokasi anggaran pembangunan dalam tahun anggaran 1994/95
diarahkan penggunaannya bagi program pengembangan industri rumah tangga, industri kecil dan
menengah, program peningkatan kemampuan teknologi industri, serta program penataan struktur
industri. Melalui program pengembangan industri rumah tangga, industri kecil dan menengah,
dalam tahun anggaran 1994/95 diupayakan peningkatan pelatihan teknologi dan manajemen,serta perluasan penerapan standar industri, termasuk pemasyarakatan dan penerapan ISO-9000.
Sedangkan melalui program peningkatan kemampuan teknologi industri, antara lain diupayakan
pengembangan teknologi produk dan teknologi manufaktur, pengembangan rancang bangun dan
perekayasaan industri, serta pengembangan teknologi akrab lingkungan, alih teknologi, dan
diseminasi teknologi. Di samping itu dalam rangka program penataan struktur industri
diupayakan perluasan dan penguatan basis produksi, antara lain melalui pengembangan
agroindustri, pengembangan industri pengolahan hasil tambang dan penganekaragaman produk
industri yang berorientasi ekspor, pengembangan sumber daya manusia industri, penataan
organisasi industri, serta penataan struktur penyebaran industri. Perkembangan realisasi
pengeluaran pembangunan atas dasar sektor dari Repelita I hingga Repelita VI secara terinci
dapat diikuti dalam Tabel II.14 dan Tabel II.15.
Departemen Keuangan RI 134
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
135/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Repelita II Repelita III Repelita IV Repelita V
-3 -4 -5 -6
1. Pertanian dan Pengairan 1.745,30 4.235,20 7.277,60 13.287,502. Industri 2) 686,1 2.320,10 2.692,10 2.417,003. Pertambangan dan Energi 3) 967,5 5.175,00 7.276,00 12.537,604. Perhubungan dan Pariwisata 1.631,80 4.457,00 7.652,10 20.388,405. Perdagangan dan Koperasi - 37,5 521,9 1.194,20 2.250,406. Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2,5 198,9 1.797,50 1.844,60 3.313,307. Pembangunan Daerah, Desa don Kota 4) 1.024,50 2.894,10 4.647,20 12.337,808. Agama 5) 3,7 26 195,9 211,3 265,39. Pendidikan, Generasi Muda, Kebudayaan Nasional dan
Kepercayaan TerhadapTuhan Yang Maha Esa 6) 758,1 3.397,10 6.615,10 12.385,70
10. Kesehatan, Kesejahteraan Sosial, Peranan Wanita,Kependudukan danKeluarga Berencana 262 1.184,00 1.608,20 4.186,50
11 Perumahan Rakyat dan Pemukiman 7) 195,3 845,9 1.808,30 3.887,1012. Hukum - 35,9 259,8 241,2 267,313. Pertahanan dan Keamanan Nasional 333,7 2.377,10 2.915,40 5.090,2014. Penerangan, POTS, dan Komunikasi Sosial - 87,9 178,5 204,6 43315. IImu Pengetahuan, Teknologi dan Penelitian 133,1 671,6 1.544,90 2.425,2016. Aparatur Pemerintah - 212,8 1.019,20 901,2 1.343,2017. Pengembangan Dunia Usaha 8) 790 1.758,50 1.180,70 2.142,9018. Sumber Alam dan Lingkungan Hidup - - 840,8 1.070,40 2.388,00
Jumlah 9.126,40 34.129,20 50.885,10 101.346,4 10)
Repelita I
Tabel II.14PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN SEKTOR,
REPELITA I - REPELITA V 1)
(dalam miliar rupiah)Sektor
1) Termasuk bantuan proyek;2) Dalam Repelita I dan II nama sektor adalah Industri dan Pembangunan;3) Dalam Repelita I dan II nama sektor adalah Tenaga Listrik;4) Dalam Repelita I dan II nama sektor adalah Pembangunan Regional dan Daerah;5) Dalam Repelita I nama sektor adalah Agama dan KepercayaanTerhadap Tuhan Yang Maha Esa;
-1
267,885,7108
261,6
210
83,8
27,3
60,2 9)
27,323,7
71,3
1.232,90Pembagian sektor dalam Repelita I : 13 sektor, Repelita II : 17 sektor, sejak Repelita III sampai dengan Repelita V: 18 sektor.Nama sektor dalam Repelita I t idak seluruhnya sama dengan Repelita berikutnya.
6) Dalam Repelita I nama sektor adalah Pendidikan dan Kebudayaan;7) Dalam Repelita I dan II nama sektor adalah Kesejahteraan Sosial;8) Dalam Repelita I nama sektor adalah Penyertaan Modal Pemerintah;9) Merupakan jumlah realisasi sektor-sektor 5,12, 14, 15 dan 16;10) Tidak termasuk Cadangan Anggaran Pembangunan sebesar Rp 3.500,0 mili ar.
-2
Departemen Keuangan RI 135
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
136/485
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
137/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
sehingga menjadi sebesar Rp 26.798,1 miliar, atau naik sekitar 12 persen dari realisasi
pembiayaan rupiah dalam Repelita III. Peningkatan tersebut, yang sejalan dengan meningkatnya
penerimaan negara, masih terus berlanjut dalam Repelita V, sehingga jumlah pembiayaan rupiah
dalam periode tersebut mencapai sebesar Rp 55.435,7 miliar, atau naik sekitar 107 persen jikadibandingkan dengan realisasinya dalam Repelita IV. Dengan berbagai perkembangan tersebut,
selama PJP I jumlah keseluruhan pembiayaan rupiah mencapai sebesar Rp 113.065,8 miliar, atau
naik rata-rata sekitar 24 persen per tahun. Memasuki tahun pertama Repelita VI, pembiayaan
rupiah dianggarkan sebesar Rp 17.386,3 miliar, atau naik sebesar Rp 1.656,3 miliar (10,5 persen)
dari realisasinya sebesar Rp 15.730,0 miliar dalam tahun terakhir Repelita V (1993/94).
Pembiayaan rupiah tersebut, di samping dimanfaatkan untuk membiayai proyek-proyek sektoral
melalui DIP-DIP departemen/lembaga negara,juga digunakan untuk membiayai proyek-proyek
pembangunan daerah serta proyek-proyek pembangunan lainnya. Perkembangan pembiayaan
rupiah berdasarkan jenis pembiayaannya selama periode PJP I dan tahun pertama Repelita VI
dapat diikuti dalam Tabel II.16.
2.2.6.2.1. Pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara
Pembiayaan bagi proyek-proyek pembangunan sektoral ditampung melalui pengeluaran
pembangunan departemen/lembaga negara, dan diarahkan agar sejauh mungkin dapat
mendukung pelaksanaan program-program pembangunan di berbagai sektor dan subsektor sesuai
dengan skala prioritas pembangunan dalam setiap tahapan pembangunan lima tahunan.
Pelaksanaan daripada berbagai program pembangunan sektoral tersebut dilakukan oleh masing-
masing departemen/lembaga negara sesuai dengan fungsi dan tanggung jawabnya, sedangkan
alokasi anggarannya disediakan melalui DIP departemen/lembaga negara yang bersangkutan.
Sesuai dengan arab kebijaksanaan pembangunan yang digariskan dalam GBHN dan Repelita,
alokasi pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode PJP I diarahkanterutama untuk membiayai program-program pembangunan di bidang ekonomi, dengan
senantiasa mengusahakan terdapatnya keseimbangan dan keserasian antara upaya pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dari stabilitas nasional yang schar
dan dinamis.
Departemen Keuangan RI 137
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
138/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Departemen/ Daerah/Lembaga Inpres
REPELITA I1969/70 79,8 5,5 7,6 92,91970/71 83 32,7 12,4 128,11971/72 102,6 37,3 11 150,91972/73 150 57,8 28,1 235,91973/74 167,3 85,7 83,8 336,8REPELITA II1974/75 221,6 158,3 386 765,91975/76 384,9 234,2 307,2 926,3
1976/77 590,9 285 405 1.280,901977/78 744,5 366,2 308,5 1.419,201978/79 851 431,1 286,2 1.568,30REPELITA III1979/80 1.480,30 548,9 668,7 2.697,901980/81 2.533,20 807,6 1.145,60 4.486,401981/82 2.724,60 1.134,00 1.417,60 5.276,201982/83 3.260,90 1.090,40 1.083,40 5.434,701983/84 3.219,50 1.447,50 1.364,60 6.031,60REPELITA IV1984/85 3.474,40 1.526,20 1.542,60 6.543,20
1985/86 4.466,50 1.502,60 1.400,60 7.369,701986/87 2.003,50 1.466,50 1.067,30 4.537,301987/88 1.384,60 1.334,30 1.328,30 4.047,201988/89 1.861,30 1.485,70 953,7 4.300,70REPELITA V1989/90 2.508,80 1.720,10 1.183,30 5.412,201990/91 4.853,70 2.997,70 1.092,80 8.944,2 5)
1991/92 5.971,40 3.953,30 1.493,80 11.418,5 6)
1992/93 7.858,00 5.040,30 1.032,50 13.930,801993/94 8.560,40 5.975,60 1.194,00 15.730,00REPELITA VI
1994/95 9.945,60 6.822,40 618,3 17.386,30
7) APBN.
Tabel II.16PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN JENIS PEMBIAYAAN 1)
1969/70 - 1994/95 2)
( dalam miliar rupiah)
Tahun Lainnya 4) Jumlah
1) Di luar bantuan proyek;
3) Termasuk Hankam;4) Terdiri dari PMP, LPP dan Subsidi Pupuk;
2) Untuk tahun anggaran 1969/70 s.d 1993/94 adalah angka realisasi sesuai dengan UU APBN T/Ptahun yang bersangkutan;
5) Tidak termasuk Cadangan Anggaran Pembangunan sebesar Rp 2.000,0 miliar;6) Tidak termasuk Cadangan Anggaran Pembangunan sebesar Rp 1.500,0 miliar;
Departemen Keuangan RI 138
-
8/7/2019 Nota Keuangan dan RAPBN Th. 1995-1996
139/485
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1995/1996
Seirama dengan makin meningkatnya jangkauan dari cakupan kegiatan pembangunan,
jumlah pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara selama pelaksanaan PJP I
senantiasa menunjukkan peningkatan, sejalan dengan bertambahnya volume anggaran belanja
pembangunan rupiah. Dalam Repelita I, jumlah keseluruhan pengeluaran pembangunan
departemen/lembaga negara baru mencapai sebesar Rp 582,7 miliar, atau sekitar 62 persen dari
seluruh pembiayaan pembangunan rupiah. Guna mendukung program stabilisasi ekonomi dan
rehabilitasi produksi, alokasi pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam
periode tersebut diprioritaskan bagi pembiayaan program-program pembangunan di bidang
ekonomi, dengan titik berat pada sektor pertanian dan industri yang menunjang sektor pertanian.
Pemenuhan kebutuhan pokok rakyat di bidang pangan, khususnya beras, dalam periode tersebutdiupayakan melalui pembangunan prasarana dari sarana pertanian, seperti pembukaan areal
persawahan, pembangunan jaringan irigasi dan bendungan, serta prasarana yang menunjang
usaha peningkatan produksi pangan Sedangkan guna memperlancar distribusi barang dari jasa,
alokasi pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode tersebut diarahkan
untuk pembangunan prasarana dan sarana perhubungan dan telekomunikasi, seperti
pembangunan jalan raya, rehabilitasi, penggantian dan perluasan transportasi darat, serta
pembangunan berbagai fasilitas pelabuhan. Selain itu guna memenuhi kebutuhan energi, alokasi
pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara dalam periode tersebut juga diarahkan
untuk pembangunan saranadan prasarana kelistrikan, seperti pembangkit tenaga listrik, berikut
jaringan transmisi dari distribusinya.
Dalam Repelita II, pengeluaran pembangunan departemen/lembaga negara mencapai
jumlah sebesar Rp 2.792,9 miliar, atau naik sekitar 379 persen jika dibandingkan dengan
realisasinya dalam Repelita I. Dalam rangka memperce