SISTEM KETATANEGARAAN KESULTANAN BUTON PADA ABAD 15 M
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Nidaul Hasanah (1112045200015)
Sudirwan (1112045200003)
Disusun Oleh:
Sudirwan
NIM: 1112045200003
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016 M/1437 H
iv
ABSTRAK
SUDIRWAN, NIM: 1112045200003. SISTEM KETATANEGARAAN
KESULTANAN BUTON PADA ABAD 15 M DALAM PERSPEKTIF ISLAM.
Skripsi Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kesultanan Buton merupakan salah satu di antara sejumlah kesultanan di
Nusantara pada masa lalu. Wilayah kekuasaannya meliputi gugusan pulau-pulau di
kawasan tenggara Jazirah Sulawesi Tenggara. Berdasarkan struktur pemerintahannya,
wilayahnya dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, pusat pemerintahan yang
bernama Wolio atau keraton. Tempat ini hanya dihuni oleh golongan penguasa, yang
terdiri atas golongan kaumu dan walaka. Kedua, wilayah kekuasaan di luar Keraton
yang disebut wilayah kadie. Wilayah ini merupakan milik golongan penguasa yang
bermukim di Keraton. Penghuni wilayah ini adalah masyarakat tingkat bawah yang
dikenal dengan golongan papara. Ketiga, kerajaan-kerajaan kecil yang memiliki
struktur pemerintahan dan masyarakat sendiri dan berada di bawah kekuasaan
pemerintah pusat. Wilayah ini dikenal dengan wilayah barata.
Kekuasaan kesultanan dipegang oleh golongan kaumu dan walaka yang
bermukim di Keraton. Penguasa tertinggi bagi seluruh wilayah kesultanan (pusat,
kadie dan barata) bergelar sultan. Di bawah sultan terdapat pejabat-pejabat tinggi
kesultanan yang disebut pangka, yang terdiri atas golongan kaumu dan walaka.
Pejabat pusat yang memegang kekuasaan terhadap wilayah kadie disebut bonto dan
bobato. Yang disebut pertama diangkat dari golongan walaka, dan yang kedua dari
golongan kaumu.
Karena letaknya pada jalur pelayaran antara Nusantara bagian barat dan
kepulauan rempah-rempah di Nusantra bagian timur, maka Kesultanan Buton ini
diperebutkan oleh kerajaan-kerajaan besar lain yang ingin menguasai perdagangan di
Nusantara bagian timur, antara lain Goa dan Ternate serta Belanda berlomba
menanamkan pengarunya di kesultanan ini. Dampak dari pengaruh perebutan
kekuasaan terhadap penguasa negeri ini menyebabkan sistem pengangkatan sultan
bukan sistem warisan (monarki), tetapi melalui pemilihan. Sultan dipilih dari
golongan kaumu, dan yang memilih sultan adalah suatu badan yang terdiri atas
Sembilan bonto (menteri), dan dua orang bonto ogena (menteri besar, keduanya dari
golongan walaka.
Dalam skripsi ini penulis melakukan satu jenis penelitian pustaka (library
research) dengan cara melakukan pendekatan kualitatif. Sumber data dan jenis data
v
dalam penelitian ini diperoleh dari bahan penelitian yang digunakan berupa buku-
buku, tulisan-tulisan, artikel, jurnal dan dari laporan-laporan yang dapat mengetahui
gambaran-gambaran secara khusus yang mengategorikan sistem ketatanegaraan
kesultanan Buton. Data yang diperoleh kemuadian diolah, yang kemudian dianalisis
secara logis dan sistematis guna mendapatkan suatu kesimpulan.
Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan yang baku
dalam Islam, dikarenakan dalam Islam itu sendiri tidak dijelaskan mengenai sistem
ketatanegaraan secara eksplisit, namun setidaknya kesultanan merupakan salah satu
sistem ketatanegaraan yang pernah diterapkan dalam Negara Islam (Turki Usmani)
dan kesultanan Buton mengadopsi itu, walaupun tidak secara keseluruhan.
Adapaun sistematika pemilihan sultan Buton dalam perspektif pemilihan
pemimpin dalam Islam adalah berdasarkan pendapat al-Mawardi yang mengatakan
bahwasanya pemilihan kepala negara harus memenuhi dua unsur, yaitu al-ikhtiar dan
ahl al-imamah.
Kata Kunci: Sistem Ketatanegaraan, Kesultanan Buton, Perspektif Islam.
Pembimbing: Atep Abdurrofiq, M.Si
vi
بسم هللا الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan seluruh
alam raya ini. Berkat nikmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan judul “SISTEM KETATANEGARAAN KESULTANAN BUTON
PADA ABAD 15 M DALAM PERSPEKTIF ISLAM”. Shalawat teriring salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan alam, panutan seluruh umat,
Rasulullah SAW yang telah membawa umatnya dari alam jahiliyah ke alam yang
penuh dengan hidayah Islamiyah.
Dalam rangka penyelesaian skripsi ini, terdapat banyak kesulitan dan
hambatan yang harus penulis hadapi. Ini disebabkan oleh keterbatasan ilmu dan
kekurangan pengalaman dalam penulisan skripsi, namun penulisan skripsi ini pada
akhirnya dapat penulis tuntaskan. Proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan dan bimbingan berbagai pihak, dan pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada para pihak tersebut yang
diantaranya:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
2. Ibu Dra. Hj. Maskufa, M.A, dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, ketua dan sekertaris
Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), yang telah memberikan arahan,
motivasi dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Atep Abdurrofiq, M.Si, dosen pembimbing yang telah rela
meluangkan waktunya untuk penulis, dan selalu memberikan masukan,
arahan dan kritikkan yang konstruktif pada penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
4. Pimpinan perpustakaan umum dan perpustakaan Fakultas yang telah
memberikan fasilitas untuk mempermudah akses penulis dalam melakukan
studi kepustakaan berupa buku dan literature lainnya sehingga penulis dapat
memperoleh informasi yang dibutuhkan.
5. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum, atas semua pengetahuan yang telah
diberikan kepada penulis selama masa pendidikan.
6. Terima kasih kepada Ayahanda Abdillah dan Ibunda Sitti Samidah tercinta,
yang telah mengajarkan arti semangat hidup dan memberikan rasah kasih
sayang serta doa tulus yang tiada henti-hentinya kepada penulis.
7. Kepada Organisasi HIPPMIB (Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa
Indonesia Buton) Bersatu Jakarta dan Satuan Tugas Gerakan Anti Narkoba
(SATGAS GAN) UIN Jakarta sebagai wadah pengetahuan dan pengalaman
penulis dalam mencari jati diri dan kedewasaan.
viii
8. Teman-teman Hukum Tata Negara (Siyasah) dan Hukum Pidana Islam
angkatan 2012, yang telah penulis anggap sebagai keluarga sendiri yang
menjadi saksi perjuangan penulis selama dibangku kuliah.
9. Teman-teman seperjuangan dalam menyelesaikan skripsi ini bersama-sama,
terhusus untuk sahabat Eko Saputra, Jamaluddin, Mujahiddin, Lukman
Hakim, dan teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu-
persatu, yang telah memberikan motivasi agar penulis dapat menyelesaikan
tugas akhir ini.
Semoga atas segala bantuan, dukungan, motivasi dan do’a untuk penulis,
mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah swt, dan semoga skripsi ini berguna
bagi wacana keislaman, kepada-Nya kita memohon rahmat dan hidayah-Nya. Amin
ya Robbal’ Alamin.
Jakarta, 13 Oktober 2016
Sudirwan
ix
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ....................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................... iii
ABSTRAK .................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................................. vi
DAFTAR ISI................................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................... 9
C. Tujuan dan Kegunaan ........................................................... 9
D. Tinjauan Pustaka .................................................................. 10
E. Metode Penelitia ................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ........................................................... 14
BAB II TINJAUAN TEORITIS PEMBAGIAN KEKUASAAN DALAM
SISTEM KETATANEGARAAN ISLAM ....................................... 16
A. Pembagian Kekuasaan dalam Sistem Ketatanegaraan
Islam ..................................................................................... 16
B. Praktek Pembagiaan Kekuasaan dalam Sejarah
Ketatanegaraan Islam ....................................................... 26
BAB III PANDANGAN UMUM TENTANG KESULTANAN BUTON ..... 36
A. Sejarah Masyarakat Buton .................................................... 38
B. Sejarah Lahirnya Kesultanan Buton ..................................... 42
C. Sistem Pemerintahan di Kesultanan Buton .......................... 47
D. Sistem Pemilihan dan Pengangkatan Sultan di Kesultanan
x
Buton ................................................................................... 54
BAB IV KONSEP PEMBAGIAAN KEKUASAAN DALAM ISLAM
DAN PRAKTEKNYA DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN KESULTANAN BUTON .......................... 61
A. Perspektif Politik Islam dalam Sistem Pemerintahan di
Kesultanan Buton ................................................................ 61
B. Mekanisme Pemilihan Sultan Buton dalam Perspektif
Pemilihan Pemimpin dalam Islam ........................................ 70
C. Sistem Ketatanegaraan Islam dan Sistem Ketatanegaraan
Kesultanan Buton ................................................................ 75
BAB V PENUTUP .................................................................................. 83
A. Kesimpulan ........................................................................... 83
B. Saran ..................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 86
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara merupakan gejala kehidupan umat manusia di sepanjang sejarah umat
manusia. Konsep negara berkembang mulai dari bentuknya yang paling sederhana
sampai yang paling kompleks di zaman sekarang. Sebagai bentuk organisasi
kehidupan bersama dalam masyarakat, negara selalau menjadi pusat perhatian dan
objek kajian bersamaan dengan perkembangannya ilmu pengetahuan umat manusia.1
Banyak cabang ilmu pengetahuan yang menjadikan negara sebagai objek kajiannya.
Misalnya, ilmu politik, ilmu negara, ilmu hukum kenegaraan, ilmu hukum tata
negara, hukum admisnistrasi negara, dan ilmu administrasi pemerintahan, semua
menjadikan negara sebagai pusat perhatiannya.
Pada dasarnya, ilmu negara adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
pokok-pokok dan pengertian tentang negara. Ilmu negara tidak mementingkan
bagaimana caranya hukum itu harus dijalankan, karena ilmu negara mementingkan
teoritisnya. Hukum tata negara dan hukum administrasi negara lebih mementingkan
nilai-nilai praktisnya. Tak heran, jika hasil penyelidikan langsung dapat dipergunakan
dalam praktik oleh para ahli hukum dan pemerintah. Hukum tata negara dan hukum
administrasi negara meneliti hukum positif yang berlaku di suatu negara. Namun
1 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 9
2
demikian, dalam banyak hal, untuk mengetahui latar belakang dari hukum positif
yang berlaku di suatu negara di perlukan ilmu-ilmu yang sebagaimana di atas.2
Negara sebenarnya merupakan konstruksi yang diciptakan oleh umat manusia
(human creation) tentang pola hubungan antar manusia dalam kehidupan
bermasyarakat yang diorganisasikan sedemikian rupa untuk maksud memenuhi
kepentingan dan mencapai tujuan bersama. Apabila perkumpulan orang
bermasyarakat itu diorganisasikan untuk mencapai tujuan sebagai satu unit
pemerintahan tertentu, maka perkumpulan itu dapat dikatakan diorganisasikan secara
politik, dan disebut body politic atau negara (state) sebagai a society politically
organized. 3
Sedangkan dalam dunia Islam, sejumlah pemikir Muslim seperti Ibn Abi al-
Arabi, al-Mawardi, al-Ghazali, al-Baqillani, Ibn Rusyd, Ibn Khaldun, dan Taimiyyah
juga telah memperdebatkan tentang negara. Al-Mawardi misalnya dalam al-Ahkam
al-Sulthaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah (hukum pemerintahan dan kekuasaan
keagamaan) mengatakan bahwa negara dilembagakan untuk melanjutkan misi
kenabian dalam rangka menjaga agama dan mengatur dunia. Al-Ghazali dalam al-
Iqtishad fi al-I’tiqad juga berpendapat bahwa kekuasaan politik adalah wajib untuk
ketertiban dunia. Ketertiban dunia wajib untuk ketertiban agama dan ketertiban
agama wajib untuk keberhasilan di akhirat. Ibn Khaldun di dalam Muqaddimah juga
2 Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam Prespektif
Fikih Siyasah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 3
3 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.
11
3
sama dengan pemikiran al-Mawardi dan al-Ghazali. Menurut Ibn Khaldun, negara
memiliki kewajiban untuk menjaga agama dan mengatur dunia. Pemikiran mereka
tentang negara tampak mengintegrasikan agama dan negara.4
Begitupun dengan ketatanegaraan di Kesultanan Buton mengingat kesultanan
merupakan salah satu ciri khas ketatanegaraan yang berasal dari Islam melalui
sejumlah pemikir Muslim yang telah saya sebutkan sebelumnya.
Sebelum terbentuknya Kesultanan Buton, terlebih dahulu kesultanan tersebut
merupakan Kerajaan Buton. Kerajaan ini diperkirakan ada sebelum abad ke-14, di
mana terdapat enam raja yang tercatat memimpin kerajaan Buton, yaitu: Raja puteri
Wa Kaakaa, Raja puteri Bulawambona, Raja Bataraguru, Raja Turade, Raja Mulae,
dan Raja Murhum yang sekaligus menjadi sultan Buton pertama.5 Menurut sumber
dan tradisi setempat, Kerajaan Buton berawal dari empat kelompok imigran dari
malaka yang datang ke Buton pada akhir abad ke-13 atau awal abad ke-14. Disinyalir
kedatangan mereka tidak berbarengan. Tiap-tiap ketua kelompok yang dikenal
dengan sebutan “mia patamia” yang berarti si empat orang yaitu: Sipanjonga yang
berasal dari Johor Malasyia, Simalui yang berasal dari Melayu/Sumatera,
Sitamananjo yang berasal dari Manado Sulawesi Utara dan Sijawangkaati yang
4 Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam Prespektif
Fikih Siyasah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 2
5 Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton), (Jakarta: Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), h. 51
4
berasal dari pulau Jawa6 -tersebut menyapakati untuk tinggal di daratan perbukitan
dan membuat pemukiman tetap. Pemukiman tersebutlah yang kemudian hari menjadi
pusat kerajaan.7
Selanjutnya, seperti dalam kebanyakan mitos asal-usul negeri di wilayah
nusantara, dikisahkan adanya puteri buluh gading bernama Wa Kaa kaa dan seorang
pemudah anak raja Majapahit bernama Sibatara, ditemukan oleh Betoambari.
Keduanya dikawinkan dan dari merekalah diturunkan kaum bangsawan yang disebut
kaomu. Puteri Wa Kaa kaa adalah raja Wolio yang pertama. Puterinya, bernama
Bulawambona berputera Bataraguru yang menjadi raja ketiga. Dari sejarah awal
Buton yang kini di turunkan dalam bentuk tradisi ini berawal dari pembagian
masyarakat Buton dalam empat lapis. Lapis teratas adalah kaomu: dari golongan
bangsawan inilah sultan dipilih, untuk beberapa jabatan tinggi juga diisi dari
golongan bangsawan ini. Lapis kedua disebut Walaka, atau bangsawan tingkat dua.
Dari kedua golongan bangsawan itulah pemerintahan dijalankan. Dari walaka inilah,
sebuah dewan yang terdiri atas sembilan menteri (bonto) atau siolimbona dibentuk
dan berfungsi memilih sultan. Mereka adalah para ahli di bidang adat dan sekaligus
berfungsi memeliharanya.8 Dalam kedudukan mereka itulah keseimbangan kekuasaan
6 Rustam Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun,
2004, h. 16
7 Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada
Abad ke-19, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies INIS, 1995), h. 17
8 Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), h. 81
5
harus dijaga di antara keduanya. Dan untuk lapis ketiga dan terakhir yaitu papara
(rakyat biasa) dan batua (budak) yang tidak diturunkan oleh para pendiri kerajaan.9
Kelompok walaka yang merupakan keturunan dari Sipanjonga yang memiliki
tugas untuk mengumpulkan bibit-bibit unggul untuk dilatih dan dididik sedemikian
rupa sehingga para calon raja memiliki bekal yang cukup ketika berkuasa nanti.
Berdasarkan penelitian, ratu Waa Kaa Kaa adalah proyek percobaan pertama
kelompok walaka ini selain sistem pemilihan raja yang unik, sistem pemerintahannya
juga bisa dikatakan lebih maju dari jamannya. Sistem pemerintahan
kerajaan/kesultanan Buton dibagi dalam tiga bentuk kekuasaan. Sara Pangka sebagai
lembaga eksekutif, Sara Gau sebagai lembaga legislatif, dan Sara Bhitara sebagai
lembaga yudikatif. Beberapa ahli berani melakukan klaim kalau sistem ini sudah
muncul seratus tahun sebelum Montesquieu mencetuskan konsep trias politica.
Peraturan hukum diterapkan tanpa diskriminasi, berlaku sama bagi rakyat jelata
hingga sultan. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12
di antaranya diganjar hukuman karena melanggar sumpah jabatan.
Berkaitan dengan hal di atas, maka tampak bahwa pemerintahan kesultanan
buton dibentuk oleh dua golongan bangasawan yaitu kaomu dan walaka. Kedua
golongan bangsawan itu membentuk suatu kelompok penguasa yang
membedakannya secara tajam dengan papara. Meskipun demikian, mengingat
kedudukan papara sangat penting, sultan dituntut untuk memerintah secara adil dan
bijaksana.
9 Achadiati Ikram, Istiadat Tanah Negeri Buton, (Jakarta: PT Penerbit Djambatan, 2005), h. 8
6
Sementara itu untuk memperkuat kedudukan kaomu, sultan La Elangi (1567-
1631 H) menetapkan bahwa seorang laki-laki kaomu tidak diperbolehkan kawin
dengan perempuan walaka. Cara kedua, La Elangi memanfaatkan hubungannya
dengan VOC meminta dukungan dari Pieter Both agar jabatan sultan sesudah dirinya
diserahkan kepada anak dan kemudian keturunannya. Hal itu, dilakukan dengan dalih
agar kerajaan tetap kuat dalam menghadapi pengaruh dan tekanan Kerajaan Gowa.10
Lebih jauh lagi, untuk memperkuat keinginanya, seperti disebut di atas, La
Elangi bersama sapati (perdana Menteri) La Singa dan Kenepulu11
La Bula membuat
kesepakatan untuk membagi tiga jabatan tertinggi kesultanan kepada anak keturunan
mereka masing-masing. Keturunan La Elangi membentuk cabang bangsawan kaomu,
tanailandu, keturunan La Singa membantuk cabang bangsawan keluarga tapi-tapi,
dan keturunan La Bula membantuk cabang keluarga kumbewaha. Dalam penetapan
itu disebut bahwa tanailandu berhak menduduki jabatan sultan, tapi-tapi menduduki
jabatan sapati, dan kumbewaha menduduki jabatan kenepulu. Dasar pemikiran
mereka bertiga seperti dikatakan oleh tradisi lokal, agar tidak terjadi pertikaian yang
tajam di antara golongan kaomu.12
Mengenai sumber tradisi lokal di atas, terdapat
perbedaan pendapat. Hal itu, diakaui oleh beberapa ahli adat, meskipun tidak
dibenarkan oleh pihak yang lain. Dalam kenyataannya, sepuluh orang sultan setelah
10
Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), h. 83
11
Raja hukum pejabat kedua setelah sapati dalam kesultanan.
12
Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton), (Jakarta: Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), h. 61
7
wafatnya La Elangi, hanya dua orang sultan yang tidak termasuk dalam keluarga
tanailandu.
Sebagai konsekuensi dari tidak berlakunya kesepakatan lalaki talu palena,
maka jabatan sultan tidak diwariskan. Sultan buton dipilih melalui proses yang
dijlankan oleh siolimbona.13
Hanya pada kasus, jika seorang anak laki-laki yang
dilahirkan dari istri pertama dari sultan yang sedang menjabat, ia adalah putra
mahkota dan berhak meneruskan jabatan ayahnya kelak. Anak laki-laki seperti ini di
sebut anana bangule.14
Abdul Rahim Yunus menyebut sistem pemilihan sultan Buton
sebagai “demokrasi-aristokrasi”. Pendapat itu tampaknya didukung oleh proses
pemilihan, tetapi istilah itu tidak tepat. Ia memberi istilah yang kontradiktif.
Bagaimanapun yang namanya demokrasi adalah proses keterlibatan rakyat dalam arti
luas tanpa dibatasi oleh tingkatan kelas sosial tertentu untuk menyatakan kehendak.
Jadi, sistemnya tidak demokratis. Proses itu dapat dikatakan sebagai “pemilihan
terbatas” dengan calon yang sudah disiapkan dari golongan kaomu.
Seperti yang telah disebutkan di atas, pola pemerintahan dibentuk oleh
golongan kaomu dan walaka. Berikut ini dikemukakan struktur birokrasi Buton.
Berturut-turut sesudah jabatan sultan dan sapati, jabatan ketiga dan seterusnya ke
bawah adalah: kenepulu, kapitalao atau kapita raja dan bonto-ogena (menteri besar).
kapitalao dan bonto-ogena masing-masing terdiri atas dua orang. Sebagai pemegang
13
Siolimbona adalah dewan yang terdiri atas sembilan (sio) menteri yang mengepalai negeri
(lipu).
14
Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton), (Jakarta: Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), h. 142
8
komando armada laut dan penguasa perang, kapitalao matanaeo15
bertanggung jawab
di kawasan timur, sedangkan kapitalao sukanaeo16
di kawasan barat. Sebagaimana
kapitalao, bonto-ogena juga mempunyai wilayah tanggung jawab di timur
(matanaeo) dan di barat (sukanaeo). Jabatan-jabatan yang berjumlah delapan itu
dikenal juga dengan istilah pangka (pangkat).
Dalam dokumen VOC, istilah pangka disebut rijksgroten (pembesar-
pembesar kerajaan). Sultan tidak termasuk kedalam pangka. Dari kedelapan
pembesar kerajaan itu, enam pejabat berasal dari kaomu dan yang dua dari walaka.
Selain dewan kerajaan (siolimbona), terdapat juga menteri dalam (kerajaan) yang
terdiri atas delapan orang, dan menteri lencina kanjawari yang berjumlah delapan
orang. Selain pangka, sebagaimana yang disebutkan rijksgroten oleh VOC, dikenal
pula dewan kerajaan yang berjumlah tiga puluh orang. Penjumlahan itu dihitung dari
bonto-ogena (dua orang), menteri siolimbona (Sembilan orang), menteri dalam
(sebelas orang), menteri lencina kanjawari (delapan orang).17
Mengenai struktur
pemerintahan yang dipaparkan di atas, dikuatkan oleh keterangan sumber VOC yang
mengatakan bahwa kesultanan Buton terdiri atas seorang raja (en koning), seorang
15
Matana-eo artinya „matahari terbit‟
16
Sukana-eo artinya „matahari terbenam‟
17
Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton), (Jakarta: Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), h. 72-73
9
perdana menteri (rijksbestierder) dan tiga puluh anggota dewan kerajaan
(rijksgroten).18
Berangkat dari latar belakang ini sangat menarik untuk dikaji lebih jauh dan
mendalam lagi bagaimana sebenarnya “Sistem Ketatanegaraan Kesultanan Buton
pada abad 15 M Dalam Perspektif Islam” dalam sebuah skripsi sebagai tugas akhir
jenjang Strata satu yang ditempuh penulis.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pokok permasalahan dalam studi ini hanya dibatasi dalam Sistem
Ketatanegaraan Kesultanan Buton pada Abad 15 M dalam Perspektif Islam.
Dari masalah pokok di atas dapat disimpulkan menjadi dua (2) sub masalah
yang dirumuskan dengan pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep persamaan pemerintahan di Kesultanan Buton pada
abad 15 M dengan Pembagian Kekuasaan dalam Islam?
2. Bagaimana sistematika pemilihan sultan di Kesultanan Buton dalam sudut
pandang pemilihan pemimpin dalam Islam?
C. Tujuan Dan Kegunaan
Tujuan penulisan skripsi ini antara lain:
18
MvO Frederick Gobius kepada Jozua van Arrewejine Gouverneour en Directur van
Makassar, 20 Maij 1782:15. Arsip Makassar No. 163/3. ANRI Jakarta.
10
1. Untuk memaparkan konsep persamaan kekuasaan yang berlaku di
Kesultanan Buton abad 15 M dan Pembagian kekuasaan dalam Islam.
2. Untuk menjelaskan sistematika pemilihan sultan di Kesultanan Buton dari
sudut pandang pemilihan pemimpin dalam Islam.
Kegunaan dari penulisan skripsi ini antara lain:
1. Dapat dijadikan sebagai salah satu upaya untuk menyumbangkan
pemikiran dalam rangka memberikan andil bagi perkembangan ilmu
pengetahuan terutama dalam bidang fiqh siyasah, sebagai bagian dari
mata kuliah yang diajarkan di Fakultas Syari`ah dan Hukum.
2. Dapat merupakan salah satu sumbangan pemikiran untuk memperkaya
kepustakaan hukum Islam pada umumnya dan ilmu hukum tata
pemerintahan pada khususnya.
D. Tinjauan Pustaka
Untuk menghindari duplikasi karya tulis ilmiah serta untuk menunjukkan
keaslian penelitian ini, maka dirasa perlu mengkaji berbagai pustaka yang berkaitan
dengan penelitian dalam skripsi ini.
Karya Susanto Zuhdi yang berjudul Sejarah Buton yang Terabaikan Labu
Rope Labu Wana. Fokus kajian ini adalah membahas mengenai sejarah kerajaan dan
kesultanan Buton yang terlupakan oleh sejarah nasional, yang mana meliputi kondisi
demografis Masyarakat Buton hingga sejarah berubahnya Kerajaan Buton menjadi
Kesultanan Buton.
11
Karya Abdul Mulku Zahari yang berjudul Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni
(Buton). Fokus kajian ini adalah tidak jauh berbeda dengan apa yang telah di bahas
oleh Susanto Zuhdi mengenai sejarah, akan tetapi yang menjadi perbedaan dengan
karya Susanto Zuhdi adalah Abdul Mulku Zahari lebih spesifik mengkaji tentang adat
istiadat yang ada dalam Masyarakat Buton.
Karya Abdul Rahim Yunus yang berjudul Posisi Tasawuf dalam Sistem
Kekuasaan di Kesultanan Buton Pada Abad ke-19. Yang mana fokus kajian dalam
buku ini adalah lebih fokus pada posisi tasawuf yang ada dalam kesultanan Buton.
Karya prof. Dr. Achadiati Ikram yang berjudul Istiadat Tanah Negeri Butun.
Ini adalah Buku karya ibu Achadiati yang merupakan dosen Program Pascasarjana
Universitas Indonesia, yang mana fokus dalam kajian buku ini adalah pengaturan
kekuasaan Negeri Buton berdasarkan Undang-undang yang secara resmi disebut
“Murtabat Tujuh”. Yang mana ideology dari undang-undang Negeri Butun ini
didasarkan pada ajaran Sufi.
Dan adapun perbedaan tulisan dalam penelitian ini dengan karya-karya tulisan
yang penulis sebutkan diatas yaitu Sistem Ketatanegaraan Kesultanan Buton yang
dalam hal ini dilihat dari sudut pandang sitem ketatanegaraan dalam Islam.
E. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data dan penjelasan segala sesuatu yang berhubungan
dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian yang di sebut
metode penelitian, yang di maksud metode penelitian adalah cara meluruskan sesuatu
12
dengan menggunakan pikiran sesama untuk mencapai tujuan19
metode adalah
pedoman cara seorang ilmuan untuk mempelajari dan memahami langkah-langkah
yang di hadapi20
.
Sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan yang di laksanakan dengan suatu
sistematika metodologi ilmiah dengan tujuan untuk memperoleh sesuatu yang baru
atau asli dalam memecahkan suatu masalah yang setiap saat dapat timbul di
masyarakat21
dalam skripsi ini penulis melakukan satu jenis penelitian, yaitu
penelitian pustaka (library research).
1. Pendekatan dan jenis penelitian
Pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan kualitatif. Dalam buku
Basrowi dan Suwandi yang Berjudul Memahami Penilitian Kualitatif, disebutkan
bodgan dan Taylor mendefinisikan kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan prilaku yang dapat
diamati22
karakter khusus penelitian kualitatif berupaya mengungkap keunikan
individu, kelompok, masyarakat, atau organisasi tertentu dalam kehidupanya sehari-
hari. Di lihat dari segi tujuan dalam penelitian ini termasuk dalam metode penelitian
yang bersifat deskriptif yaitu metode yang dapat diartikan sebagai prosedur
19
Cholid Arboko dan Abu Ahmadi, Metode Penelitian, (Jakarta: Bumi Pustaka, 1999), h.1
20
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1989), h.6
21
Sukandar Rumidi, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Universitas Gadja Mada Press,
2004), h.111
22
Basrowi dan Suwandi, Memahami Penilitian Kualitatif, .(Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h.21
13
pemecahan masalah yang sedikit dengan menggambarkan/melukiskan keadaan
subyek atau obyek penelitian (seseorang, masyarakat, lembaga dan lain-lain) pada
saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak, atau sebagaimana adanya.23
2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Sumber data yang di gunakan merupakan bagian yang terpenting dalam
penelitian ini, maka pencarian data yang di pergunakan dari penelitian ini di peroleh
dari:
a. Bahan Primer.
Peraturan undang-undang di Kesultanan Buton (Murtabat Tujuh) serta dalil-
dalil yang berkaitan dengan ketatanegaraan Islam yang ada dalam al-Qur‟an maupun
Hadis.
b. Bahan Sekunder.
Bahan sekunder yang digunakan berupa buku-buku, tulisan-tulisan, makalah,
surat kabar, artikel, mengambil berdasarkan sumber yang di himpun dari media masa
maupun dari laporan-laporan yang dapat mengetahui gambaran-gambaran secara
khusus yang mengkategorikan sistem ketatanegaraan di kesultanan Buton, serta
berdasarkan sumber kepustakaan yang berasal dari buku-buku dari berbagai
narasumber di bidang kesultanan Buton.
3. Teknik Analisis Data
23
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2007), h. 68
14
Setelah memperoleh data, maka penulis akan mengolah data dengan
menggunakan metode deskriptif yaitu memberikan pemaparan dan penjelasan data
yang di temukan dalam penelitian secara logis dan sistematis. Dengan menyajikan
dan menggambarkan data secara alamiah dan tanpa merubah apapun atau
memanipulasi data-data di dalam menyajikan data tersebut akan di komparasikan
menurut hukum ketatanegaraan Islam dan hukum ketatanegaraan umum dan penulis
hanya memberikan kualifikasi khusus yang di kategorikan sistem ketatnegaraan Islam
yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
4. Teknik penulisan
Dalam hal teknik penulisan, penulis mengacu pada buku pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Agar dalam penulisan skripsi ini menjadi terarah dan tidak mengambang,
penulis menggunakan sistematika penulisan yang disusun perbab, dan setiap bab
memiliki sub bab yang menjadi penjelasan dari masing-masing bab tersebut. Skripsi
ini di akhiri oleh daftar pustaka yang menjadi rujukan penulis dalam penulisan skripsi
ini dan lampiran-lampiran. Adapun sistematika tersebut ialah sebagai berikut:
Sebelum mengadakan suatu penelitian, maka hal-hal yang penting
dirumuskan untuk memperjelas dan memperkokoh penelitian, adalah dengan
memaparkan latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
15
kegunaan, tinjauan pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika
penulisan. Seluruh poin ini dibahas tuntas oleh penulis pada bab pertama skripsi ini.
Untuk menjawab dan mendeskripsikan sebagian dari pokok masalah pertama,
maka di bab kedua, penulis memaparkan tentang tinjauan teoritis Pembagian
Kekuasaan dalam Sistem Ketatanegaraan Islam dengan rincian: Pembagian
Kekuasaan dalam Sistem Ketatanegaraan Islam, dan Praktek pembagian kekuasaan
dalam sejarah Ketatanegaraan Islam.
Untuk menjawab dan mendeskripsikan sebagian dari pokok masalah kedua,
maka di bab ketiga, penulis memaparkan konsep pandangan umum tentang
Kesultanan Buton dengan rincian: sejarah masyarakat Buton, sejarah lahirnya
Kesultanan Buton, sistem Pemerintahan di Kesultanan Buton dan sistem pemulihan
dan pengangkatan sultan di Kesultanan Buton.
Untuk menjawab dan mendeskripsikan pokok masalah pertama dan kedua,
maka di Bab keempat, penulis memaparkan tentang Konsep Pembagian Kekuasan
dalam Islam dan Prakteknya terhadap Sistem Ketatanegaraan Kesultanan Buton
dengan rincian: Perspektif politik Islam dalam sistem Pemerintahan di Kesultanan
Buton, mekanisme pemilihan sultan Buton dalam perspektif pemilihan pemimpin
dalam Islam, Sistem Ketatanegaraan Islam dan Sistem Ketatanegaraan Kesultanan
Buton.
Untuk menarik kesimpulan yang jelas mengenai hasil penelitian skripsi ini,
maka pada bab kelima, penulis memaparkan kesimpulan secara singkat dan padat,
ditambah dengan beberapa saran.
16
BAB II
TINJAUAN TEORITIS PEMBAGIAN KEKUASAAN DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN ISLAM
A. Pembagian Kekuasaan dalam Sistem Ketatanegaraan Islam
Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seorang atau kelompok
guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan,
kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau
kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau
kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku. Kekuasaan itu dapat dipusatkan
ataupun dibagi-bagi oleh pemegang kekuasaan itu sendiri. Tetapi para ahli
pemerintahan mencoba mengusulkan pendapat untuk membagi ataupun memisahkan
kekuasaan, walaupun pada prinsipnya tidak pernah secara keseluruhan diikuti oleh
para birokrat.1
Pendapat-pendapat tersebut dapat digolongkan serta diberi istilah sebagai
berikut:2
Eka Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh suatu badan. Bentuk ini
sudah tentu diktator (authokrasi) karena tidak ada balance (tandingan) dalam era
pemerintahannya. Jadi yang ada hanya pihak eksekutif saja, dan bisa muncul pada
suatu kerajaan absolut atau pemerintahan facisme.
1 Inu Kencana Syafiie, Al-Qur’an dan Ilmu Politik, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), h. 100
2 Inu Kencana Syafiie, Al-Qur’an dan Ilmu Politik, h. 100-101
17
Dwi Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh dua badan. Bentuk ini oleh
Wodrow Wilson dan Frank J. Goodnow dikategorikan sebagai lembaga administrasi
(unsur penyelenggara pemerintahan) dan lembaga politik (unsur pengatur undang-
undang).
Tri Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh tiga badan. Bentuk ini
banyak diusulkan oleh para pakar yang menginginkan demokrasi murni, yaitu dengan
pemisahan atas lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tokohnya Montesquieu
dan John Locke, serta yang agak identik Gabriel Almond.
Catur Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh empat badan. Bentuk ini
baik apabila benar-benar dijalankan dengan konsekuen, bila tidak akan tampak
kemubaziran. Van Vollenhoven pernah mengategorikan bentuk ini menjadi regeling,
bestuur, politie, dan rechsspraak.
Panca Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh lima badan. Bentuk ini
sekarang dianut oleh indonesia karena walaupun dalam hitungan tampak enam badan
yaitu konsultatif, eksekutif, legislatif, yudikatif, inspektif, konsultatif dan eksekutif,
namun dalam kenyataannya konsultatif (MPR) anggota-anggotannya terdiri dari
anggota legislatif bahkan ketuanya sampai saat ini dipegang oleh satu orang.
Berbeda dengan Islam, dalam al-Quran tidak menentukan bentuk lembaga-
lembaga politik dan prosedur politik tertentu untuk dilaksanakan oleh umat Islam.
Lembaga-lembaga politik yang pernah dimiliki umat Islam muncul dan berkembang
sejalan dengan meluasnya wilayah kekuasaan kaum muslim dan kebutuhan mereka
18
untuk mengorganisasi diri.3 Ekspedisi militer dan penakhlukan wilayah kekuasaan
Kerajaan Byzantium dan Sasaniyah telah mengharuskan umat Islam mengadopsi
beberapa praktik dan lembaga politik yang dimiliki masyarakat yang ditaklukan. Nur
Mufid dalam bukunya Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Al-mawardi mengutib bahwa
Ayubi menyatakan dikarenakan sangat sedikitnya ajaran politik yang terdapat dalam
al-Quran dan Hadis, maka sejak awal kaum muslim telah mengembangkan sistem
politik mereka atas dasar inspirasi dari beberapa ajaran dari al-Quran dan Hadis,
tradisi kesukuan Arab dan warisan politik dari wilayah-wilayah yang mereka kuasai
terutama kawasan yang pernah berada dibawah kekuasaan Byzantium dan Sasaniyah.
Menurutnya, pengaruh dari al-Quran dan Hadis tampak terutama dalam praktik
politik selama masa Khulafaurrasyidin, sedangkan tradisi Byzantium banyak
mempengaruhi praktik politik pada masa Umayyah, dan tradisi Persia banyak
mewarnai politik Dinasti Abbasiyah. Meskipun demikian, praktik politik dan
pemerintahan umat Islam sesungguhnya lebih merupakan rangkaian proses penafsiran
dan akomodasi ajaran dan realitas sosial politik yang ada.4
Sejak pertama kali nabi Muhammad SAW memulai dakwahnya sampai
dengan beliau wafat, disebut masa kenabian yaitu yang merupakan masa keagungan
Islam. Tetapi untuk melihat pemerintahan nabi Muhammad SAW adalah setelah
beliau hijrah dari Mekkah ke Madinah, karena setelah terbentuknya pemerintahan
3 Nur Mufid & A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2000), h. 39
4 Nur Mufid & A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, h. 40
19
Islam di Madinah itulah, jamaah islamiyah memperoleh kedaulatan yang sempurna,
kemerdekaan yang penuh dan konsep-konsep Islam mulai diterapkan. Pada periode
Mekkah belum banyak mencatat hal ikhwal pemerintahan karena pada periode ini
umat Islam difokuskan pada mengagungkan nama Allah, pensucian jiwa dan pikiran
dari kebiasaan-kebiasaan buruk di zaman jahiliah. Sedangkan pada periode Madinah
barulah umat Islam melaksanakan hal ikhwal kenegaraan, karena untuk keleluasaan
menjalankan agama diperlukan negara yang kokoh dan pemerintahanpun dibentuk,
pajak dijalankan berdasarkan al-Quran, perekonomian berdasarkan al-Quran dan
sebagainya. 5
Namun untuk melihat lebih mendalam lembaga-lembaga pemerintahan seperti
badan legislatif (majelis syûrâ), badan eksekutif (ulîl amri), badan yudikatif (qâdhî
syuraîh), pemerintah daerah (seperti kegubernuran Basra, Kufa, Damaskus, Zabaid
dan Aden serta lain-lainnya) kesemuanya akan lebih jelas dibahas pada masa
Khulafaurrasidin, karena di saat Rasulullah hidup pembaca harus merasakan bahwa
beliau sebagai nabi dan Rasul Allah yang menerima wahyu dan pesuruh Allah
(Messenger of God) walaupun Allah menurunkan surat khusus tentang musyawarah
(as-syûrâ) tetapi Rasul tidak memusyawarakan wahyu, karena bukanlah manusia
(yang diberi tahu) dan Allah yang Maha Tahu (al-khabîr) memberitahukan manusia
dengan menurunkan wahyu melalui Rasul-Nya.6
5 Inu Kencana Syafiie, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h.
172
6 Inu Kencana Syafiie, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, h. 173-174
20
Atas alasan tersebut di atas, maka badan legislatif, badan eksekutif, badan
yudikatif dan badan konsultatif dalam pemerintahan Rasulullah akan lebih
berkembang pada zaman Khulafaurrasidin. Namun kita catat pula bahwa para
khalifah berpatokan pada bagaimana Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabat,
misalnya sewaktu sebagai berikut:
1. Dalam kasus Ghanimah suku Hawazin.
2. Sebelum penyerangan terhadap orang-orang musyrik di Uhud.
3. Tentang masalah perdamaian dengan suku Ghatfan dan lain-lain
banyak lagi.
Tetapi kita ingat pula bagaimana para sahabat dan kaum muslimin lainnya heran akan
tindakan Rasulullah tanpa kompromi menerima perjanjian Hudaibiyah yang dibuat
pihak Quraisy secara sepihak dan sangat subyektif sifatnya. Jadi bila Ali Abdul Raziq
menanyakan dengan sinis patokan apa yang diberikan Rasulullah tentang
pemerintahan, maka jawabannya adalah patokan dasar kenegaraan, dan sasaran utama
dari ilmu pemerintahan bagi al-Quran adalah mental manusia karena manusia yang
menjadi penguasa di muka bumi ini dan mental manusialah yang mempengaruhi
perilaku.7
Ibnu al-„Atsir di dalam kitabnya al-Kâmil fî Tarîkh menceritakan salah satu
peristiwa sejarah yang sangat penting, yaitu pengangkatan Abu Bakar r.a sebagai
khalifah. Ketika Umar dan Abu Ubaidah akan membaiat Abu Bakar didahului oleh
7 Inu Kencana Syafiie, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h.
17
21
Basyir bin Sa‟ad yang membaiat Abu Bakar. Setelah suku Aus melihat apa yang
dilakukan Basyir, maka merekapun membaiat Abu Bakar.8
Rasyid Ridla berkaitan dengan perwakilan ini telah berkata, “Demikianlah,
dikalangan umat harus ada orang-orang yang memiliki kearifan dan kecerdasan di
dalam mengatur kemaslahatan-kemaslahatan, serta mampu menyelesaikan masalah-
masalah pertahanan dan ketahanan, serta masalah-masalah kemasyarakatan dan
politik. Itulah yang disebut dengan ahlu syura atau ahl al-hall wa al-‘aqd di dalam
Islam. Pengangkatan khalifah tidaklah dibenarkan, kecuali apabila mereka itulah yang
memilihnya serta membaiatnya dengan kerelaannya. Mereka itulah yang disebut
dengan wakil masyarakat pada bangsa-bangsa yang lainnya.9
Al-Mawardi,10
menyebutkan orang-orang yang memilih khalifah ini dengan
ahlul ihktiar yang harus memenuhi tiga syarat, yaitu: pertama, keadilan yang
memenuhi segala persyaratan, kedua, memiliki ilmu pengetahuan tentang orang yang
berhak menjadi imam dan persyaratan-persyaratannya, ketiga, memiliki kecerdasan
dan kearifan yang menyebabkan dia mampu memilih imam yang paling maslahat dan
paling mampu serta paling tahu tentang kebijakan-kebijakan yang membawa
kemaslahatan bagi umat.
8 A. Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah,
(Jakarta: Kencana, 2009), h. 74
9 Akhmad Taufiq, M. Dimyati Huda & Binti Maunah, Sejarah Pemikiran dan Tokoh
Modernisme Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 105
10
Al-Mawardi, al-Ahkam Asulthaniyah wal Wilayatuldiniyah, (Mesir: Mustafa al-Babi al-
Halabi, 1985), h. 6
22
Djazuli dalam bukunya Fiqh Siyasah menyebutkan bahwa Abu A‟la al-
Maududi, di samping menyebutnya dengan ahl al-hall wa al-aqd, ahl syura’, juga
menyebutnya dengan “dewan penasehat”. Dari uraian para ulama tentang ahl al-hall
wa al-aqd ini tampak hal-hal sebagai berikut:
1. Ahl al-Hall wa al-Aqd adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang
mempunyai wewenang untuk memilih dan membaiat imam.
2. Ahl al-Hall wa al-aqd mempunyai wewenang mengarahkan kehidupan
masyarakat kepada yang maslahat.
3. Ahl al-Hall wa al-aqd mempunyai wewenang membuat undang-undang
yang mengikat kepada seluruh umat di dalam hal-hal yang tidak diatur
secara tegas oleh Al-Quran dan Hadis.
4. Ahl al-Hall wa al-aqd tempat konsultasi imam didalam menentukan
kebijakannya.
5. Ahl al-Hall wa al-aqd mengawasi jalannya pemerintahan.
Abdul Kadir Audah menyebut lima macam kelembagaan, yaitu:11
1. Al-sulthah al-Tanfidhiyyah (eksekutif);
2. Al-sulthah al-Tasyrî’iyah (legislatif);
3. Al-sulthah al-Qadlâiyah (yudikatif);
4. Al-sulthah al-Mâliyah (bank sentral);
5. Al-sulthah al-Murâqabah (lembaga pengawasan);
11
A. Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah,
(Jakarta: Kencana, 2009), h. 77
23
Lembaga yang pertama dipimpin oleh imam, lembaga kedua dipegang oleh
ulil amri, lembaga ketiga dipegang oleh para hakim, lembaga keempat dipegang oleh
imam, dan lembaga kelima yaitu pengawasan dipegang oleh ahlu syura’ ulama, dan
fuqaha.
Dalam kajian fiqh siyasah, legislasi atau kekuasaan legislative disebut juga
dengan al-sulthah al-tasyrî’iyah, yaitu kekuasaan pemerintahan Islam dalam
membuat dan menetapkan hukum. Menurut Islam, tidak seorang pun berhak
menetapkan suatu hukum yang akan diberlakukan bagi umat Islam. Hal ini
ditegaskan sendiri oleh Allah ayat 57 sebagai berikut:
م كح إن الح جلون به ت عح ما عنحدي ما تسح ب حتمح به نة منح ربي وكذ قلح إني على ب ي ير الحفاصلي )األنعام: ( وهو خي ح ق ي قص الح إل لله
Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran)
dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang
kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah
hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang
paling baik". (Q.S. al-An’am: 57)
Akan tetapi, dalam wacana fiqh siyasah, istilah al-sulthah al-tasyri’iyah
digunakan untuk menunjukan salah satu kewenangan atau kekuasaan pemerintahan
Islam dalam mengatur masalah kenegaraan, disamping kekuasaan eksekutif (Al-
sulthah al-Tanfidhiyyah) dan kekuasaan yudikatif (Al-sulthah al-Qadlâiyah). Dalam
konteks ini, kekuasaan legislatif (Al-sulthah al-Tasyrî’iyah) berarti kekuasaan atau
kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan
dilaksanakan oleh masyarakatnya berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan Allah
24
SWT dalam syariat Islam.12
Dengan demikian, unsur-unsur legislasi dalam Islam
meliputi:13
1. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum yang
akan diberlakuakn dalam masyarakat Islam.
2. Masyarakat Islam yang akan melaksanakannya.
3. Isi peraturan atau hukum itu sendiri yang harus sesuai dengan nilai-nilai dasar
syariat Islam.
Dalam pelaksanaan pemerintahan, menurut Muhammad Iqbal dalam bukunya
Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, mengatakan bahwa Maududi
membagi kekuasaan lembaga negara ke dalam badan-badan eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Namun pandangannya tentang tiga lembaga ini berbeda dengan konsep
trias politika barat. Dalam uraiannya, Maududi menjelaskan bahwa badan eksekutif
dipimpin oleh kepala negara. Untuk melaksanakan tuganya, kepala negara harus
melakukan konsultasi dengan lembaga legislatif yang dipilih oleh umat Islam.
Lembaga legislatif inilah yang merumuskan perundang-undangan untuk diterapkan
dalam masyarakat Islam. Dalam susunannya, ketua lembaga legislatif ini dipegang
sendiri oleh kepala negara, sementara dalam hubungan antara kepala negara dan
12
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001), h. 161
13
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 162
25
lembaga legislatif, Maududi tidak mengharuskan kepala negara mengikuti keputusan
lembaga legislatif, meskipun didukung oleh suara terbanyak.14
Secara lebih konkret, persentuhan yang lebih dekat umat Islam dengan praktik
Imperium Romawi dan Byzantium di provinsi-provinsi yang dikuasai oleh umat
Islam telah membawa banyak sekali istilah institusi-institusi politik dan pemerintahan
ke dalam kehidupan masyarakat Islam. Sebagian diantaranya mudah dikenali, seperti
Syurtah, yaitu kelompok orang yang ditugaskan untuk menjalankan tugas kepolisian.
Sebagian lainnya menggunakan bungkus Arab-Islam, seperti Muhtasib, semacam
pengawas untuk bidang moral dan perdagangan, yang mewarisi fungsi agoranomos
Byzantium. Terdapat juga pinjaman sejenis dari provinsi-provinsi timur. Kantor
pemerintahan, di mana pegawai negara menjalankan tugas mereka, dalam bahasa
Arab disebut, diwan. Sebutan ini diambil dari sebutan yang sama untuk menunjuk
obyek yang sama dalam bahasa Persia. Kepala para pegawai diwan di atas, seorang
yang dipanggil wazir, adalah panggilan yang secara etimologis diambil dari bahasa
Arab, tetapi berhutang dalam banyak perkembangannya kepada presedennya di
imperium Iran.15
Sementara itu, negara (state) itu sendiri merupakan sebuah konsep yang lahir
dan berkembang di Eropa Barat sejak abad ke-16 dalam kaitannya dengan fenomena
seperti renaissance dan pertumbuhan kapitalisme dan individualisme. Konsep
14
Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, Pimikiran Politik Islam Dari Masa Klasik
Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 180
15
Nur Mufid & A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2000), h. 40-41
26
pembagian kekuasaan menjadi tiga: eksekutif, legislatif dan yudikatif juga merupakan
fenomena Eropa modern. Lahirnya konsep tersebut pada dasarnya dimaksudkan
untuk membatasi kekuasaan penguasa (raja-raja di Eropa) yang cenderung kuat,
menghilangkan praktik feodalisme dan menjadikan rakyat sebagai pemegang
kedaulatan (demokrasi). Maka wajar jika kita tidak menemukan konsep tersebut
dalam pemikiran politik Islam pada abad-abad pertama, pertengahan bahkan abad-
abad pra-modern. Tetapi, pemikiran politik Islam sesungguhnya banyak berbicara
tentang badan politik (body-politic), penguasa (ruler) dan pemerintahan (goverment).
Jika konsep negara di barat tidak bisa dipisahkan dari konsep-konsep tentang
individualisme, kebebasan dan hukum, maka konsep Islam tentang body-politic tidak
bisa dipisahkan dari konsep-konsep tentang kelompok (jama’ah atau ummah),
keadilan (‘adl atau ‘adalah) dan kepemimpinan (imamah atau khilafah).16
B. Praktek Pembagian Kekuasaan dalam Sejarah Ketatanegaraan Islam
1. Periode Nabi
Praktek pembagian kekuasaan dalam sejarah ketatanegaraan Islam pertama
kali muncul pada masa kenabian Rasulullah SAW, kekuasan Islam ini sendiri nampak
jelas di negara Madinah yang berdirih setelah nabi Muhammad hijrah. Sebab
Rasulullah SAW mempersaudarakan kaum Muhajirin dari Makkah dan kaum Anshar
dari Madinah dengan cara pendekatan yang terindah dalam sejarah. Kekuasaan ini
16
Nur Mufid & A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2000), h. 41-42
27
nampak dalam pendirian nabi Muhammad SAW terhadap pilar-pilar negara baru,
pengokohan kekuasaannya, menjelaskan sistemnya, manajemen para pegawainya,
pemilihan para komandan tentara, gubernur dan hakim di dalamnya, dan pengarahan
rakyat dan para pemimpin dengan pengarahan yang merealisasikan kemenangan
dalam dakwah mereka dan kesuksesan di negara mereka.17
Segi lain yang perlu diperhatikan ialah pada masa Rasulullah SAW orang
belum mengenal teori pemisahan ataupun pembagian kekuasaan, dikarenakan pada
zaman tersebut nabi belum mempraktekan pembagian kekuasaan. Kekuasaan
sepenuhnya masih dipegang oleh nabi seorang diri, baik itu kekuasaan eksekutif,
legistalif dan yudikatif. Karena nabi lah yang langsung memerintah pemerintahan,
membuat peraturan-peraturan dan sekaligus menghakimi atau mengadili. Akan tetapi
dalam hal ini nabi tetap mendistribusikan sebagian kekuasaannya kepada para
sahabat, diantaranya dengan cara menunjuk para sahabat untuk menjadi wali, qadhi
(hakim) dan ‘amil (pengelola zakat) di daerah-daerah dan menunjuk wakil nabi bila
nabi bertugas keluar, melaksanakan musyawarah dan sebagainya. Mereka
mempunyai kewenangan yang mandiri sesuai dengan tugas mereka masing-masing.
Seorang qadhi misalnya, adalah seorang pejabat yang secara struktural tidak berada
dibawah wali. Seorang qadhi memiliki kekuasaan penuh dalam memutuskan setiap
perkara. Untuk dapat diangkat sebagai seorang qadhi, seseorang harus mempunyai
kualifikasi tertentu, yaitu: ia dikenal sebagai orang yang berilmu luas, menguasai
17
Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan dan Adat dalam Islam, (Jakarta: Khalifa,
2004), h. 45
28
masalah-masalah hukum, shalih, adil, jujur, takwa, cerdas dan mempunyai
kemampuan konsiderasi.18
2. Periode al-Khulafa al-Rasyidin.
Begitupun pada masa Khulafa al-Rasyidin, dalam pelaksaan tugas
pemerintahannya Abu Bakar telah mengadakan pembagian tugas kenegaraan dan
mengikutsertakan para sahabat untuk berpartisipasi dalam penyelengaraan negara itu.
Inisiatif ini barangkali dapat ditafsirkan sebagai penciptaan struktur sebuah negara.
Abu Bakar selain sebagai khalifah juga menjabat sebagai panglima angkatan
bersenjata, ini dapat dilihat dengan mengangkat dan menugaskan panglima-panglima
perang unutuk mengamankan daerah-daerah tertentu, baik dalam rangka memerangi
orang-orang murtad maupun penyerangan musuh Islam yang kerap mengancam
keamanan negara dan dakwah Islam. Untuk menjalankan pemerintahan dipusat Abu
Bakar mengangkat Ali ibn Thalib, Usman ibn Affan dan Zaid ibn Sabit sebagai
sekretaris negara. Abu Ubaidah diangkat sebagai menteri keuangan yang mengurus
bait al-mal, dan untuk tugas pengadilan Abu Bakar mengangkat Umar ibn Khattab
sebagai hakim agung.19
Selanjutnya pada masa Kekhalifaan Umar ibn Khattab, karena wilayah
kekuasaan negara Madinah pada masa khalifah Umar makin menjadi luas maka
wilayah Negara dibagi menjadi unit-unit administratif sebagai berikut: provinsi,
18
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 169
19
M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: UII
Press, 2006), h. 59
29
distrik dan sub distrik. Pada masa khalifah Umar sekurang-kurangnya ada delapan
provinsi di bawah yuridiksi kepemerintahannya. Di setiap provinsi Umar mengangkat
seorang Gubernur (wali) dan sekretaris (katib). Kecuali itu ada pula katib al-diwan
yaitu sekretaris kepala dari kesekretariatan tentara, sahib al-kharaj (pejabat pajak),
sahib al-abdats (pejabat kepolisian), sahib al-bait al-mal (pejabat keuangan) dan qadi
(hakim). Dengan demikian Umar jauh sebelum lahirnya teori trias politika dari
Montesquieu (1688-1755) telah mengatur administrasi pemerintahannya dengan
pembagian atau pemisahan kekuasaan antara tiga kekuasan yaitu eksekutif, yang ia
pimpin, kekuasan yudikatif yang ia limpahkan kepada hakim dan kekuasaan legislatif
yang ada pada majelis permusyawaratan.20
Pada masa pemerintahan Umar terdapat pula petugas pengawas yang
melaporkan kepadanya tentang kemungkinan terjadinya penyelewengan baik yang
dilakukan oleh pejabat sipil maupun pejabat militer. Setiap kasus penyelewengan
beliau selesaikan secara hukum, dan untuk hal ini tiada seorangpun dikecualikan.21
Selanjutnya setelah masa kekhalifaan Umar ibn Khattab, maka kekhalifaan
dilanjutkan oleh Usman ibn Affan. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Usman
agaknya tidak merubah kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Umar. Khalifah
Usman masih dibantu oleh pejabat-pejabat diwan al-kharaj (perpajakan), bait al-mal
(bendahara negara), ahdats (kepolisian), nafi’at (pekerjaan umum), jund (militer).
Dalam hal ini Usman hanya melanjutkan pendahulunya saja. Untuk jabatan di daerah,
20
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 180
21
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, h. 181
30
Usman juga dibantu oleh gubernur-gubernur. Di samping itu pada awal
pemerintahanya, Usman juga mengadakan konsultasi dengan beberapa sahabat
tentang berbagai masalah pemerintahan.22
Berbeda dengan kepemimpinann pada masa Khulafaur Rasiyin sebelumnya,
pada masa pemerintahan Ali yang kurang lebih lima tahun, tidak pernah sunyi dari
pergolakan politik, tidak ada waktu sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat
dikatakan stabil. Akhirnya praktis selama memerintah, Ali lebih banyak mengurus
masalah pemberontakan di berbagai wilayah kekuasaanya, ketimbang mengerus
masalah pembagian kekuasaanya. Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki
kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang mengalami kesulitan dalam
administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan
sebelumnya. Dalam menjalankan kepemerintahan, Ali melakukan kebijakan politik
seperti sebagai berikut:23
1. Menegakkan hukum finansial yang dinilai nepotisme yang hampir
menguasai seluruh sektor bisnis.
2. Memecat gubernur yang diangkat Usman bin Affan dan menggantinya
dengan gubernur yang baru.
3. Menagmbil kembali tanah-tanah negara yang dibagi-bagikan Usman
ibn Affan kepada keluarganya, seperti hibah dan pemberian yang tidak
22
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratana, 2001), h. 70
23
Ali Audah, Ali bin Abi Thalib Sampai Kepada Hasan dan Husein, (Jakarta: Litera Antar
Nusa Pustaka Nasional, 2010), h. 206
31
diketahui alasannya secara jelas dan memfungsikan kembali baitul
maal.
3. Periode Dinasti-dinasti Islam.
Dalam praktek, kekuasaan politik semakin tersentralisasi di tangan khalifah
meskipun organisasi politik mengalami perluasan dengan dibentuknya lembaga
admisnistrasi pemerintahan. Penguasa pertama dinasti Umayyah, Mu‟awiyah
(berkuasa 661-680) melakukan rekonstruksi otoritas politik khalifah, dan melakukan
perubahan dari sebuah koalisi di kalangan suku-suku Arab menjadi sebuah monarki
(kerajaan) yang terpusat. Singkat kata, rezim Umayyah bertumpu pada kekuasaan
keluarga raja (khalifah) yang didukung oleh kekuatan militer dan birokrat sipil yang
terdidik dalam tradisi administrasi kerajaan Byzantium.24
Suksesi kepemimpinan
secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk
menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh
monarki di Persia dan Byzantium. Dia tetap menggunakan istilah khalifah, namun,
dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan
tersebut.25
Berbeda dari dekade-dekade awal dinasti Umayah, instansi-instansi atau biro
pemerintahan dibentuk. Biro-biro tersebut dibentuk untuk mengatasi kebutuhan dan
sebagai kelanjutan dari tradisi yang sudah berkembang di wilayah takhlukan. Urusan
24
Nur Mufid & A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2000), h. 47
25
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 42
32
pemerintahan tidak hanya lagi ditangani oleh pemuka-pemuka Arab saja, melaikan
juga oleh sebuah kelas professional (administrator) yang terdidik, meski tetap dengan
keharusan memiliki loyalitas terhadap penguasa (khalifah).26
Setelah pemerintahan dinasti Umayah jatuh, kekuasaan khilafah jatuh
ketangan Bani Abbas, keturunan Bani Hasyim yang kemudian membangun Dinasti
Abbasiyah. Adapun bentuk dan sistem pemerintahan, struktur organisasi
pemerintahan dan administrasi pemerintahan dinasti ini pada dasarnya sama dengan
dinasti Umayah, hanya ada beberapa perubahan dan penambahan saja. Bentuk
negaranya tetap monarki dan gelar kepala negaranya tetap khalifah hanya saja ada
penambahan gelar khalifah sebagai zhulullahi fil ardhi (bayangan Allah di bumi).
Pernyataan ini mengandung arti bahwa khalifah memperoleh kekuasaan dan
kedaulatan dari Allah.27
Sistem pemerintahan yang dikembangkan oleh Bani Abbas merupakan
pengembangan dari bentuk yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Ada beberapa hal
penting yang dilakukan khalifah-khalifah Bani Abbas dalam menjalankan
pemerintahan. Bani Abbas mengembangkan sistem pemerintahan dengan mengacu
pada empat aspek, yaitu aspek khilafah, wizarah, hijabah, dan kitabah.28
26
Nur Mufid & A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2000), h. 48
27
M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: UII
Press, 2006), h.73
28
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratana, 2001), h. 87
33
Lembaga khilafat dijabat oleh seorang khalifah sebagai telah disebut di atas,
dan suksesi khalifah berjalan secara turun temurun di lingkungan keluarga Dinasti
Abbasiah. Lembaga al-wizarat (kementerian) di pimpin oleh seorang wazir, seperti
menteri pada zaman sekarang. Lembaga dan jabatan ini baru dalam sejarah
pemerintahan Islam yang diciptakan oleh khalifah Abu Ja‟far al-Mansur. Wazir
membawahi kepala-kepala departemen.29
Wazir adalah pembantu dan penasehat
utama khalifah; mewakilinya dalam melaksanakan pemerintahan, mengangkat para
pejabat Negara atas persetujuan khalifah. Wazir juga berkedudukan sebagai kepala
pemerintahan eksekutif dan pemimpi angkatan bersenjata.30
Setelah runtuhnya Dinasti Abasiah, maka roda pemerintahan Islam beralih
kepada Turki Usmani. Dalam pelaksanaan pemerintahan, penguasa-penguasa
imperium Usmani bergelar sultan dan khalifah sekaligus. Sultan adalah gelar mereka
untuk masalah-masalah duniawi, sedangkan khalifah merupakan gelar untuk urusan
keagamaan. Sistem pemerintahan Usmani banyak mengadopsi praktik kenegaraan
yang berlaku di Byzantium dan Persia. Untuk menjalankan kedua fungsi ini,
penguasa Usmani dibantu oleh tiga kekuasaan, yaitu administrasi birokrasi (men of
the pen), militer (men of the sword), dan kekuasaan agama (men of religion). Dalam
hal yang pertama, kebijaksanaan yang akan diambil Negara terlebih dahulu
didiskusikan dan dibicarakan dalam lembaga divan-i humayun (imperial council).
29
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari berbagai Aspeknya, Jilid I. (Jakarta: UI Press, 1974),
h. 67
30
M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: UII
Press, 2006), h.74
34
Lembaga ini merupakan pusat organisasi pemerintahan Usmani dan berasal dari
konsep pemerintahan Turki Saljuk dan Anotalia. Pada awalnya, divan-i humayun
dipimpin langsung oleh sultan. Dialah yang lebih banyak berperan membuat
keputusan-keputusan penting kenegaraan. Namun sejalan dengan perkembangan
dinasti yang semakin luas dan kompleksitas masalah-masalah kenegaraan, sultan
kemudian mengangkat salah seorang anggota divan-i humayun menjadi ketuanya.
Kepadanyalah sultan menyerahkan sebagian tugas-tugas kenegaraan dan berfungsi
sebagai pemimpin eksekutif sejak 1360. Pemegang kekuasaan ini disebut sadrazam.31
Dibawah divan-i humayun terdapat defterdar yang bertugas di bidang
finansial-moneter. Defterdar antara lain berwenang mengurus dan mengumpulkan
zakat, pajak perdagangan investor asing, jizyah dari berbagai daerah yang dikuasai
Usmani. Defterdar berada di bawah pengawasan sadrazam. Dalam pelaksanaan
kekuasaan yang begitu luas di daerah, kerajaan ini mengangkat gubernur (pasha) di
tingkat satu dan bupati (zanaziq) di tingkat dua.32
Dalam masalah-masalah agama penguasa Usmani dibantu oleh para mufti dan
qadi (qadhi). Mufti berperan sebagai penafsir hukum, sedangkan kadi berperan
sebagai pelaksaannya. Merekalah yang bertanggung jawab dalam pelaksaan syariat
Islam didalam kehidupan dinasti Usmani. Diantara mufti ini ada yang menjadi kepala
yang disebut Syaikh al-Islam. Dia adalah pemimpin ulama yang memiliki kekuasaan
31
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratana, 2001), h. 98
32
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 99
35
keagamaan yang luas. Syaikh al-Islam dapat mengajukan permohonan kepada
sadrazam untuk mengangkat, memberhentikan atau mempromosikan pejabat-pejabat
agama. Sejak abad ke-16 Syaikh al-Islam memiliki kewenangan mengangkat dan
memberhentikan kadi-kadi di daerah yang penting. Syaikh al-Islam juga mempunyai
kekuasan mengontrol semua organisasi ulama. Sebagaimana sadrazam menjadi
reprentasi kekuasaan absolut sultan dalam masalah kenegaraan.33
Dalam kekuasaan agama ini, sultan atau khalifah dapat membuat perundang-
undangan atas inisiatifnya sendiri. Hukum atau peraturan yang dibuat sultan (negara)
tersebut dinamakan kanun (qanun).
Dari paparan diatas, dalam sejarahnya lembaga-lembaga politik Islam
awalnya tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan
pembagian kekuasaan tersebut. Demikian pula pemetaan praktik politik dalam sejarah
Islam tidak selalu bisa dilihat dari kerangka pendekatan di atas. Selain itu, lembaga-
lembaga tersebut akan ditelaah dari sudut praktik dan teori-teori yang dirumuskan
oleh beberapa yuris (terutama pada abad pertegahan), meskipun teori itu sendiri
seringkali merupakan produk dari pengamatan terhadap praktik politik yang terjadi
dalam sejarah.34
33
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratana, 2001), h. 99
34
Nur Mufid & A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2000), h. 42
36
BAB III
PANDANGAN UMUM TENTANG KESULTANAN BUTON
Kata “Buton” memiliki empat pengertian. Pertama sebagai nama pulau, maka
kata ini mengacu kepada satu pulau dengan panjang sekitar 100 Km yang terletak di
dalam kepulauan jazirah tenggara pulau Sulawesi. Pulau Buton ini termasuk ke dalam
wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara, dan terletak persis di sebelah tenggara tanjung
Sulawesi.1
Kedua, sebagai nama sebuah kesultanan, yang sebelum masuknya Islam
masih terbentuk kerajaaan, dan diperkirakan telah ada sebelum abad ke-14.
Kekuasaan kesultanan ini meliputi pulau-pulau utama, seperti Buton. Muna dan
Kabaena, serta kepulauan tukang besi (Wakatobi) dan dua daerah di bagian tenggara
pulau Sulawesi, yakni Rumbia dan Poleang. Pada sekitar tahun 1542, kerajaan ini
berubah menjadi kesultanan ketika raja keenam yang bernama Lakilaponto masuk
Islam.2
Ketiga, kata ini mengacu kepada penduduk yang tinggal di pulau Buton.
Keempat sebagai nama sebuah kabupaten, maka kata ini mengacu pada satu wilayah
kabupaten,3 yang terletak di bagian selatan garis khatulistiwa, memanjang dari utara
1 Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap
Budaya¸(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 42
2 Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap
Budaya, h. 42
3 Dulu Buton memang merupakan nama sebuah kabupaten, yaitu Kabupaten Buton yang
dibentuk berdasarkan UU No. 29 Tahun 1959 Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tk. II di Sulawesi
dengan Ibukota Bau-Bau. Wilayahnya mencakup hampir seluruh eks wilayah kekuasaan kesultanan
37
ke selatan di antara 4, 960– 6,25
0 lintang selatan, dan membentang dari barat ke timur
di antara 120,000 – 123,34
0 bujur timur.
Selain itu, Buton juga dikenal dengan nama wolio. Seperti penyebutan bahasa
Buton dengan bahasa Wolio, tulisan khas Buton –aksara Arab Melayu- disebut
dengan buri wolio atau tulisan Wolio. Sampai sekarang kedua kata tersebut masih
terpakai, Buton sebagai salah satu nama kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara
dan Wolio sebagai kecamatan di kota Baubau –pemekaran dari kabupaten Buton.4
Kata Wolio juga seringkali digunakan oleh penduduk setempat untuk
menunjuk nama kerajaan yang sama. Dalam tulisan ini, Tony Rudiansjah lebih suka
menggunakan kata kesultanan Wolio untuk menyebut nama kerajaan atau kesultanan
ini, karena kata itu memperlihatkan kesinambungan sejarah dengan komunitas orang
Wolio yang menjadi cikal bakal dari monarki ini. Dalam istilah adat, komunitas orang
Wolio ini terkenal pertama kali dengan istilah patalimbona (artinya: empat kampung)
dan kemudian berkembang menjadi sembilan kampung dengan istilah siolimpuna
Buton, meliputi: Di sebelah Timur yaitu Pulau Wanci, Kaledupa, Tomia dan Binongko (Wakatobi)
berbatasan dengan Laut Banda. Di sebelah Barat Pulau Kabaena, Rumbia dan Poleang (berada di
daratan Sulawesi Tenggara). Di sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Bone dan sebagian Pulau
Buton di bagian Selatan dan sebagian Pulau Muna di bagian Selatan berbatasan dengan Laut Flores.
Seiring berjalanya waktu, Kabupaten tersebut kemudian mekar menjadi beberapa daerah otonom. Bau-
Bau menjadi daerah otonom (UU No. 13 Thn. 2001), Bombana dan Wakatobi dimekarkan menjadi 2
kabupaten baru (UU No. 29 Thn 2003). Kemudian, pada 24 Juli 2014 Kabupaten Buton dimekarkan
lagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Buton Tengah dan Buton Selatan (UU No. 15 Thn 2014
dan UU NO. 16 Thn 2014). kini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buton memindahkan aktifitas
pemerintahannya ke Pasarwajo sebagai ibukota yang baru (PP No. 19 Thn 2003). Selengkapnya,
kunjungi situs: http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/74/name/sulawesi-
tenggara/detail/7404/buton,dan www.dpr.go.id/dokjdih/do cument/uu/1597.pdf. (diunduh pada Rabu,
25 mei 2016, Pukul 09:00 WIB).
4 Falah Sabirin, Tarekat Samaniyah di kesultanan Buton, (Tesis: UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011), h. 51
38
(artinya: sembilan kampung). Pemukiman siolimpuna ini, yang terdiri dari kampung
Baluwu, Peropa, Gundu-Gundu, Barangkatopa, Gama, Siompu, Wandailolo, Rakia,
dan Melai, masih dapat kita temukan sampai sekarang di dalam benteng keraton
Wolio di kota Baubau. Benteng keraton Wolio terletak di dalam kecamatan Murhum
dan kecamatan Wolio di kotamadya Baubau.5
A. Sejarah Masyarakat Buton
Dalam pembahasan tentang masyarakat, maka otomatis kita akan membahas
dari segi-segi etnis, bahasa, kehidupan ekonomi, dan golongan sosial. Penyebutan
orang Buton, sebagai suatu kesatuan kelompok etnis, sebenarnya tidaklah tepat
karena mereka yang mendiami wilayah Buton merupakan penduduk yang beragam
etnis dan suku bangsanya, antara lain dari Toraja, Bugis, dan Makasssar. Penduduk
Buton dapat diklasifikasi menjadi lima kelompok besar: orang Buton yang mendiami
pulau Buton, orang Muna yang mendiami pulau Muna, orang Maronene yang
mendiami pulau Poleang dan Rumbia, orang Kabaena yang mendiami pulau
Kabaena, dan penduduk yang mendiami pulau tukang besi (Wakatobi). Oleh sebab
itu, orang Buton adalah kelompok sosial yang sulit dirumuskan. Mereka juga tidak
menggunakan satu bahasa, tetapi beberapa bahasa yang berbeda.6
5 Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap
Budaya¸(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 44
6 Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang trabaikan Labu rope Labu Wana, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), h. 43
39
Selain kelompok etnis yang menghuni di berbagai pulau di wilayah kekuasaan
kesultanan Buton yang sudah disebut di atas, terdapat pula kelompok orang yang
dikenal dengan sebutan orang Bajo, Bajau, atau Bajao. Ketika Portugis menaklukan
Malaka, Tome Pires mencampuradukan pedagang Bugis yang datang dari Makassar
dengan orang Bajo yang ia katakan sebagai bajak laut. Tampaknya ada pengaruh
jatuhnya Malaka dengan pengembaraan orang Bajo. Mereka mendiami wilayah
pantai di pulau Kabaena, Poleang, Muna timur, kepulauan tukang besi, terutama di
Kaledupa, dan di kepulauan Tiworo. Selain itu, mereka juga terdapat di Pasar Wajo7
(sekarang menjadi ibu kota kabupaten Buton) di bagian selatan pulau Buton.
Mengenai keberadaan orang Bajo ini bukan suatu kebetulan. Mereka tampaknya
mempunyai peranan tersendiri bagi kesultanan Buton. Pada salah satu dari dua belas
pintu gerbang benteng keraton Buton terdapat nama lawana wajo8. Pintu-pintu itu
diberi nama sesuai dengan nama atau gelar petugas yang mengawasinya.9
Rahman dalam tesisnya mengutip bahwa Djarudju10
berpandangan bahwa
masyarakat Buton jika dilihat dari ciri-ciri fisiknya pada umunya berasal dari
perpaduan dari ciri-ciri Austro-Melanesoid, Vedoid, Mongoloid, dan Papua
7 Wajo dalam bahasa Wolio adalah Bajo. Jadi Pasar wajo adalah Pasar (orang) Bajo. Lihat
Anceaux, 1987: 19. Wajo bukan mengacu pada nama tempat di Sulawesi Selatan, tetapi pasarnya
orang Bajo. Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang trabaikan Labu rope Labu Wana, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), h. 43
8 Lawana Wajo adalah bahasa Wolio, Lawana artinya pintu gerbang dan Wajo adalah sebutan
untuk orang Bajo.
9 Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang trabaikan Labu rope Labu Wana, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), h. 43-44
10
Penulis buku Naskah dan Sejarah Kerajaan Buton dan Muna (dalam naskah Buton naskah
Dunia), (Baubau: Respect, 2009)
40
Melanosoid. Persebaran orang dengan ciri-ciri Austro-Melonoid ialah dari Jawa ke
barat kemudian membelok ke utara hingga Vietnam, selanjutnya ke Jepang, Riukiyu,
Taiwan, dan masuk ke Buton. Orang dengan ciri-ciri Mongoloid, datangnya dari Asia
Timur, Jepang, Fhilipina, Sulawesi, dan masuk ke Buton. Orang dengan ciri-ciri
Vedoid berasal dari Ceylon (Srilangka), kemudian masuk ke Sulawesi melalui arah
barat yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan masuk ke Buton.11
Sedangkan menurut tradisi lisan masyarakat setempat menyatakan bahwa
penduduk Buton sekarang ini merupakan hasil perkembangan dari empat asal
masyarakat, yaitu: (1) Simalui yang berasal dari Melayu/Sumatera, (2) Sijawangkati
yang berasal dari Jawa, (3) Sitamannajo yang berasal dari Manado Sulawesi Utara,
(4) Sipanjongan yang berasal dari Johor Malaysia.12
Adapun dari segi bahasa, berdasarkan hasil penelitian seorang antropologi
Jerman Prof. Dr. Devosmer menunjukan bahwa terdapat lima kelompok bahasa yaitu:
(1) bahasa pancana, meliputi penduduk yang berdiam di daerah perbatasan Buton
Muna, (2) Bahasa Moronene, bagi penduduk yang berdiam di pulau Kabaena dan
wilayah Buton di daratan pulau Sulawesi, (3) bahasa sui (cia-cia), meliputi penduduk
yang berdiam di Batauga, Sampolawa, Pasarwajo dan Lasalimu, (4) bahasa Liwuta,
11
Rahman, Kelisanan Dalam tradisi Maataa Pada Masyarakat Laporo di Kabupaten Buton,
(Tesis: Universitas Indonesia, 2011), h. 28
12
Rustam Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun,
2004, h. 16
41
meliputi penduduk kepulau tukang besi (wakatobi), (5) bahasa Wolio, meliputi
penduduk Wolio dan Betoambari kecuali Katobengke.13
Dengan paparan penulis diatas, masyarakat Buton dengan segala bentuk,
model, ciri dan coraknya seperti yang tampak sekarang terbentuk oleh sejarah dan
budaya yang mereka bangun, dan berada dalam proses tarik menarik interen
(pengaruh dalam) dan eksteren (pengaruh luar). Pengaruh yang bersifat interen adalah
hasil dari kreasi budaya yang tercipta dalam lingkungan mereka sendiri, sedangkan
pengaruh yang bersifat eksteren adalah budaya yang datang dan terbentuk di tengah
masyarakat, baik yang dibawa oleh para pendatang melalui arus migrasi maupun
yang didatangkan oleh orang Buton sendiri dari rantau, demikian juga dengan
pengaruh modernisasi yang terjadi sekarang.14
Salah satu fakta terpenting yang menjadi ciri dan corak masyarakat Buton
hingga hari ini adalah nilai-nilai Islam. Islam sebagai realitas yang tak terelakkan
dalam sejarah dan kehidupan masyarakat Buton, selama beberapa abad telah
mengubah berbagai dimensi hidup mereka, dan menyebabkan terjadinya suatu
transformasi di tengah masyarakat yang kemudian mempengaruhi pandangan dan
perilaku masyarakat di wilayah ini. Transformasi nilai-nilai Islam dalam tubuh
budaya masyarakat Buton terkait erat dengan penetapan Islam sebagai agama resmi
kerajaan pada awal abad ke-16. Kondisi tersebut dengan sendirinya memberikan
13
Rustam Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun,
2004, h. 16
14
M. Alifuddin, Transformasi Islam dalam Sistem Sosial Budaya Orang Buton: Tinjauan
Historis, (Jurnal Fakultas Agama Islam: IAIN Sultan Qaimuddin Kendari, 2008), h. 9
42
ruang gerak yang “leluasa” bagi nilai-nilai Islam untuk melakukan penetrasi dalam
sistem sosial budaya masyarakat setempat.
B. Sejarah Lahirnya Kesultanan Buton
Sebagaimana yang telah penulis singgung pada Bab I, bahwa sebelum
kesultanan Buton terbentuk, terlebih dahulu kesultanan tersebut berbentuk sebuah
Kerajaan. Kerajaan ini di perkirakan ada sebelum abad ke-14, di mana terdapat enam
raja yang tercatat memimpin Kerajaan Buton.15
Pada masa kekuasaan raja-raja, dari
raja pertama hingga raja kelima, tidak ditemukan tanda-tanda pengaruh Islam.
Bahkan yang tampak pengaruhnya adalah kebudayaan Hindu.16
Pengaruh Hindu dapat di lihat dalam silsilah raja-raja. Nama raja-raja tampak
Hinduistik. Nama Sibatara, suami Wakaka, boleh jadi berasal dari kata “bhattara”,
bahasa sangsakerta. Kata ini adalah nama suatu Dewa dalam Hindu. Demikian pula
nama Bataraguru, raja ketiga, nama Turade, raja keempat, nama raja Mulae, raja
kelima, semuanya berkaitan dengan kebudayaan Hindu.17
Di samping itu, dalam
aspek keyakinan juga dijumpai pengaruh ini. Paham “reingkarnasi” yang masih kuat
15
Raja-raja Buton tersebut sebagai berikut: 1. Putri Raja Wa kaa kaa. 2. Putri Raja
Buwalambona. 3. Raja Bataraguru. 4. Raja Turade. 5. Raja Mulae. 6. Raja Murhum, yang sekaligus
menjadi Sultan Buton Pertama. Abdul Mulku zahari, Sejarah Dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton) I,
(Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan – Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1977), h. 51
16
Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada
Abad ke-19, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies INIS, 1995), h. 19
17
Nama Bataraguru adalah nama Dewa Agung dalam Hindu; nama Tuarade berasal dari kata
“tuan” dan “raden”, sedang kata “raden” adalah gelar bangsawan Jawa; nama Raja Mulae dari kata
“raja” dan “mulae”, sedangkan kata “mulae” dari kata “mulya” berasal dari kata sangsakerta yang
artinya bangsawan.
43
di Buton hingga sekarang, diperkirakan sebagai pengaruh ajaran Hindu sebelum
Islam.18
Sesuai keterangan yang diperoleh, Islam sudah sampai di daerah ini pada awal
abad ke-15. Hal itu didasarkan pada informasi yang diperoleh dalam manuskrip Wan
Muhammad Sagir yang memberitakan bahwa pada tahun 1412 M. Seorang Ulama
patani berada di Buton untuk menyebarkan agama Islam di bagian timur pulau ini.
Hanya saja waktu itu, Islam belum diterima di Kerajaan Buton sebagai agama
Kerajaan.19
Islam diterima sebagai agama kerajaan oleh kerajaan Buton pada masa
pemerintahan raja keenam, Lakilaponto20
, pada tahun 948 H, atau 1540 M,
sebagaimana disebut di atas.21
Menurut sumber setempat dan informasi dari Ahmadi,
Raja Buton ketika itu diislamkan oleh Syaikh Abd al-Wahid bin Sulaiman.
Kesultanan Buton terbentuk tidak lain berkat jasa Syaikh Abd al-Wahid22
yang datang ke Buton dengan Wa Ode Solo istrinya dan juga anaknya Ledi Penghulu.
18
Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada
Abad ke-19, h. 19
19
Abd. Rahman al-Ahmadi, Sejarah Hubungan Kelantan/Patani dengan Sulawesi Selatan,
dalam Nik Mohamed bin Nik Mohamed Saleh, (Warisan Kelantan III, 1984), h. 70.
20
Dikenal juga dengan nama Sultan Qaimoeddin Khalifatulhazmi, Sultan Murhum dan
Haluoleo.
21
Lakilaponto menerima Islam setelah mendengar bahwa kerajaan-kerajaan di jawa, Solor,
dan Bone telah menerima Islam.
22
Diriwayatkan Syaikh Abd al-Wahid bin Sulaiman berkembangsaan Arab dan datang dari
Gujarat sebagai pedagang melalui Johor tanah semenanjung dan juga bertugas sebagai penyiar agama
Islam. Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy darul Butuni (Buton) I, (Jakarta: Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan – Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), h. 51
44
Seluruh komponen kerajaan dari raja sampai menteri-menterinya masuk Islam23
dan
dinobatkan menjadi Sultan pada hari senin, 1 Ramadhan 948 H/ 19 Desember 1541
M.24
Selain dilantik oleh Syaikh Abd al-Wahid, Raja Lakilaponto mendapat gelar
Sultan Qa‟im al-Din al-Khalifah al-Khamis yang juga memiliki hubungan dengan
Sultan Rum di Turki.25
Gelar “Sultan” dan nama penghormatan yang “kearaban”, yang digunakan
oleh Lakilaponto, merupakan pengaruh kultur Islam yang juga berlaku di kerajaan-
kerajaan lain di Nusantara yang sudah menerima Islam. Hal ini menjadi tradisi bagi
raja-raja Buton selanjutnya hingga hapusnya kesultanan ini pada pertengahan abad
ke-20. Penggunaan gelar “Sultan” dan nama kehormatan yang “kearaban”, menurut
sumber setempat, terjadi setelah diperoleh persetujuan dari Sultan Turki (ada juga
yang menyebutkan dari Raja Mekah). Hal ini menunjukan suatu sikap kultur yang
meletakan dasar-dasar kosmopolitanisme Islam yang menjadikan diri sebagai bagian
23
Dalam tradisi setempat dikatakan, sebelum Syaikh Abd al-Wahid mengislamkan raja dan
seluruh menteri-menterinya, Islam sudah ada di tanah Buton. Hal tersebut dikarenakan Buton termasuk
tempat persinggahan yang menghubungkan dari dan ke Ternate –Nusantara bagian Timur- sebagai
jalur dagang yang menyebabkan adanya kontak dangang oleh bangsa-bangsa lain, atau diperkirakan
pada masa pemerintahan Raja Buton kelima Mulae. Juga diriwayatkan raja Mulae memeluk Islam
yang dikenal Umar Idam. Pada saat itu Islam mulai berkembang di lingkungan Istana, namun belum
menjadi agama yang resmi sebagaimana pada pemerintahan Raja Lakilaponto/Sultan Murhum. Rustam
Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun, 2004, h. 16
24
Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada
Abad ke-19, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies INIS, 1995), h. 20
25
Falah Sabirin, Tarekat Samaniyah di kesultanan Buton, (Tesis: UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011), h. 55
45
dari masyarakat yang kosmopolitan dengan referensi kebudayaan Islam. Sikap seperti
ini merupakan sikap masyarakat pada masa awal proses islamisasi di Nusantara.26
Pengaruh Islam yang lebih jauh terjadi nanti setelah kesultanan ini memasuki
abad ke-17. Sumber setempat menyebutkan bahwa pada masa pemerintahannya,
Laelangi, bergelar Sultan Dayyan Ihsan ad-Din (1597-1631), meletakkan undang-
undang kerajaan, yang disebut dengan “martabat tujuh”. Disebut demikian karena
berisi ajaran “martabat tujuh”, suatu ajaran yang dikenal dalam dunia tasawuf.
Tidak diperoleh bahan tertulis dari masa Laelangi mengenai undang-undang
kerajaan itu. Teks tertua undang-undang Martabat Tujuh hanya berasal dari masa
Sultan Muhammad „Aidrus (1824-1851). Menurut sumber ini, diwarisi dari Sultan
Laelangi. Sumber Belanda memberi petunjuk adanya suatu peraturan kerajaan yang
berlaku pada perempat pertama abad ke-17. Hal ini dipahami dari perjanjian yang
disepakati oleh Belanda dan Buton pada tahun 1613 yang isinya antara lain
menyatakan kebebasan Buton untuk menganut agamanya dan melaksanakan sistem
pemerintahannya. Sistem pemerintahan yang dimaksud di sini adalah yang menurut
adat setempat. Dan satu-satunya adat yang secara resmi mengatur pembagian
kekuasaan pada saat itu adalah undang-undang Martabat tujuh. Ketika Pieter Both
berada di Buton pada tahun 1613 dan mengadakan perjanjian dengan Sultan Buton,
Pieter Both merestui undang-undang Martabat Tujuh tersebut. Dengan demikian,
karena Buton pada masa perempat pertama abad ke-17 ini telah memiliki undang-
26
Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada
Abad ke-19, h. 20
46
undang yang bersifat Islam, pada masa itu kerajaan ini layak dikategorikan sebagai
kesultanan atau kerajaan Islam.27
Masa kesultanan di Buton berlangsung selama kurang lebih 420 tahun (empat
abad) dengan menghasilkan 38 orang Sultan yang memimpin kesultanan Buton
dengan wilayah yang cukup luas.28
Dengan rincian 32 orang Sultan di zaman sarana
Wolio yang berlangsung selama kurang lebih 360 tahun (1538-1898), dan 6 orang
Sultan di zaman penjajahan Belanda/pendudukan Jepang yang belangsung hingga
merdeka, kurang lebih 60 tahun (1898-1960). Sultan pertama yang bernama
Lakilaponto/Murhum dan diakhiri dengan la Ode Muhammad Falihi sebagai Sultan
ke 38 dengan gelar Sultan Oputa Yi Baadia. Beliau adalah ayah Drs. La Ode Manarfa
yang oleh masyarakat Buton masih memanggil beliau sebagai Sultan Buton
Terakhir.29
27
Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada
Abad ke-19, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies INIS, 1995), h. 21
28
Wilayah kesultanan meliputi gugusan kepulauan dan kawasan bagian tenggara jazirah
Sulawesi, yang terdiri atas pulau Buton, pulau Muna, Pulau Kabaena, Pulau Wawoni, Pulau yang
berjejer di sebelah tenggara pulau Buton yang dikenal dengan kepulauan tukang besi (Wakatobi) dan
sejumlah pulau-pulau kecil di dekat pulau Buton dan Muna juga Poleang dan Rumbia yang terletak di
jazirah Sulawesi Tenggara bagian tenggrara. Dari keseluruhan wilayah tersebut terdapat empat
kekuasaan barata: (1) Barata Muna yang berpusat di Raha. (2) Barata Tiworo yang berpusat di pulau
Tiworo. (3) Barata Kalingsusu berpusat di pesisir timur bagian utara pulau Buton. (4) Barata Kaledupa
yang berpusat di pulau Kaledupa Wakatobi. Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem
Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in
Islamic Studies INIS), hlm. 22. Dalam wilayah kekuasaan ini, Susanto Zuhdi berpendapat lain. Yakni,
konsep wilayah tidak dipahami dalam arti ruang melainkan kepada Rakyat Buton yang dalam hal ini
papara. Papara adalah orang yang mendiami komunitas yang disebut kadie, suatu wilayah hukum yang
kecil dalam tata Negara tradisional. Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang trabaikan Labu rope Labu
Wana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 75
29
Rustam Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun,
2004, h. 22
47
C. Sistem Pemerintahan di Kesultanan Buton
Setelah suatu kelompok orang yang melakukan perjalanan tiba di suatu
tempat, sebagaimana kisahnya banyak dijumpai di berbagai masyarakat di Asia
Tenggara Kepulauan, maka tahap berikutnya adalah proses pembentukan suatu
tatanan sosial dan politik tertentu. Terbentuknya pola pemerintahan kesultanan Buton
dilandasi oleh tradisi lokal dan Islam. Struktur kekuasaan yang memperlihatkan
berjalannya mekanisme pemerintahan tidak dapat dilepaskan dari pelapisan sosial
yang mengisinya.30
Ada empat lapisan sosial di dalam masyarakat kesultanan Buton. Lapis teratas
adalah kaomu: yaitu keturunan garis bapak dari pasangan Raja Buton pertama, laki-
laki dari golongan ini mempunyai nama depan La Ode dan wanitanya Wa Ode.31
Dari
golongan bangsawan inilah sultan dipilih, untuk beberapa jabatan tinggi juga diisi
dari golongan bangsawan ini. Lapis kedua disebut Walaka, atau bangsawan tingkat
dua. Yaitu keturunan menurut garis bapak dari founding fathers kerajaan Buton (mia
patamia), dari kedua golongan bangsawan itulah pemerintahan dijalankan. Dari
Walaka inilah, sebuah dewan yang terdiri atas Sembilan menteri (bonto) atau
siolimbona dibentuk dan berfungsi memilih sultan. Mereka adalah para ahli di bidang
adat dan sekaligus berfungsi memeliharanya.32
Dalam kedudukan mereka itulah
30
Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), h. 81
31
Suryadi, Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi
Universiteitsbibliotheek, Belanda, (Jurnal Humaniora: Volume 19, No. 3 Oktober 2007), h. 288.
32
Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana, h. 81
48
keseimbangan kekuasaan harus dijaga di antara keduanya. Hubungan keduanya
seperti yang diungkapkan dalam sebuah naskah Undang-Undang Kesultanan (sarana
wolio) menyebutkan: “Adapun istiadat yang telah memiliki dan memandang
melainkan hendak mendirikan dua payung yakni suatu payung berkekalan dan satu
payung berubah-ubah. Maka yang berubah-ubah itu daripada nama sultan. Maka
yang berkekalan itu atas jalan istiadat yang sangat teguh lagi tetap selama-
lamanya”.33
Awal penetapan garis keturunan ini bermula pada masa pemerintahan Sultan
keeempat, yaitu Dayyan Ihsan Ad-Din (La Elangi). Pada masa kekuasaannya, Sultan
Dayyan Ihsan ad-din sepakat dengan sapatinya, sapati Lasinga dan kenepulunya,
kenepulu La Bula, menetapkan bahwa hanya keturunan mereka yang berhak
menduduki tiga jabatan tinggi kerajaan (Sultan, sapati, dan kenepulu). Keturunan
mereka bertiga inilah yang dikenal dengan golongan kaumu atau disebut juga lalaki
atau lakina. Dan keturunan para bonto atau kepala-kepala kampung pada masa itu
yang menjadi golongan walaka atau maradika.34
Jika ditarik garis keturunan ke atas,
golongan kaoumu dan walaka ini bertemu pada satu nenek, La Baluwa dan
Bulawambona. Keturunanya melalui Bataraguru melahirkan golongan kaumu,
33
Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana, h. 82
34
Dalam hal ini, Zahari berbeda dengan Vonk. Menurut Zahari, Bataraguru dengan saudara-
saudaranya yang menjadi pangkal keturunan walaka, adalah saudara seayah saja. Tetapi menurut
Vonk, mereka saudarah seayah dan seibu.
49
sementara keturunannya melalui saudara-saudara Bataraguru menurunkan golongan
walaka.35
Stratifikasi ini dipertajam lagi dengan faktor domisili. Karena faktor domisili,
lahirlah lapisan-lapisan baru dalam tubuh kaumu dan walaka. Karena alasan domisili
ini, kaumu dan walaka dapat dibedakan menjadi bebrapa macam:36
a. Kaumu dan walaka yang menetap di Keraton, pusat kerajaan.
b. Kaumu dan walaka yang menetap di daerah kekuasaan kerajaan dan tidak
kembali ke Keraton pada waktu Sultan ke-6, Dayyan Ihsan ad-Din,
membagikan daerah kekuasaan kepada para pembesar kaumu. Hak mereka
sebagai kaumu atau walaka hilang. Derajat mereka turun, dan dalam
stratifikasi sosial mereka disebut analalaki atau limbo. Yang pertama adalah
orang yang berasal dari kaumu, sementara yang kedua dari golongan walaka.
Meskipun hak mereka hilang, derajat mereka tidak turun jadi golongan
papara.
c. Kaumu isambali, yaitu kaumu yang lahir dari kaumu yang sudah menetap di
luar Keraton dan beristri orang biasa. Jika mereka kawin dengan kaumu dan
kembali menetap di Keraton, mereka tetap dianggap sebagai kaumu.
Sebaliknya, jika mereka tetap di kadie (kampung), hak mereka untuk
menduduki kekuasaan hilang, seperti halnya kaumu yang menetap di Keraton.
35
Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada
Abad ke-19, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies INIS, 1995), h. 25
36
Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada
Abad ke-19, h. 26
50
Kaumu, walaka yang sudah lama menetap di luar Keraton dan kawin dengan
orang kadie, kehilangan hak mereka sebagai seorang walaka yang menetap di
Keraton.
Mereka yang tidak mempunyai garis keturunan dari kedua golongan di atas
masuk golongan papara. Mereka adalah penghuni daerah kekuasaan kerajaan yang
dikenal dengan limbo atau kadie. Sesuai asal usulnya, ada papara keturunan dari
masyarakat asli sebelum berdirinya kerajaan, dan ada pula yang datang dari luar dan
tunduk dibawah kekuasaan kerajaan dengan sukarela.37
Golongan Papara juga
disebut “orang gunung”. Suryadi dalam karya ilmiahnya Surat-surat Sultan Buton,
Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi Universiteitsbibliotheek, Belanda,
mengutip tulisan Schoorl yang menyatakan bahwa mereka disebut juga budak adat
dan dipertimbangkan untuk menduduki jabatan tertentu di wilayah kadie, tapi sama
sekali tidak punya akses kepada kekuasaan pusat (Keraton).38
Lapisan terbawah adalah budak. Dikenai dengan nama golongan batua.
Masuk dalam kategori lapisan ini ialah orang yang diturunkan dari ibu-bapak yang
budak. Dan jika ibunya saja yang budak, maka keturunannya tidak masuk kategori
ini, tetapi mengikuti derajat bapaknya. Sedangkan yang masuk golongan budak
adalah: orang papara yang tunduk di bawah kekuasaan kerajaan dengan paksa, yang
disebut dalam adat dengan bante; musuh kerajaan yang kalah dalam peperangan;
37
Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada
Abad ke-19, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies INIS, 1995), h. 25
38
Suryadi, Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi
Universiteitsbibliotheek, Belanda, (Jurnal Humaniora: Volume 19, No. 3 Oktober 2007), h. 288.
51
orang luar kerajaan yang dirampas dan dijual kepada golongan pertama atau kedua di
atas.39
Berkaitan dengan hal di atas, maka tampak bahwa pemerintahan kesultanan
buton dibentuk oleh dua golongan bangsawan yaitu kaomu dan Walaka. Kedua
golongan bangsawan itu membentuk suatu kelompok penguasa yang
membedakannya secara tajam dengan papara. Meskipun demikian, mengingat
kedudukan papara sangat penting, sultan dituntut untuk memerintah secara adil dan
bijaksana.40
Selanjutnya berdasarkan struktur pemerintahannya wilayah kesultanan Buton
terdiri atas tiga bagian. Pertama, wilayah wolio atau keraton yang menjadi pusat
pemerintahan dan pengembangan Islam ke seluruh wilayah kesultanan. Wilayah
wolio hanya boleh dihuni oleh golongan kaumu dan walaka (bangsawan). Kedua,
wilayah kadie (wilayah di luar keraton, seluruhnya berjumlah 72 kadie) yang dimiliki
oleh golongan penguasa dan dihuni oleh golongan papara. Ketiga, kerajaan-kerajaan
kecil yang disebut „wilayah barata‟, yang memiliki pemerintahan sendiri tapi tunduk
di bawah kekuasaan pemerintah pusat setelah ditakhlukan.41
Kekuasaan di pusat dipegang oleh golongan kaumu dan walaka yang
berkedudukan di keraton wolio di Baubau. Mereka menjadi penguasa tertinggi untuk
39
Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada
Abad ke-19, h. 25
40
Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), h. 82
41
Suryadi, Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi
Universiteitsbibliotheek, Belanda, (Jurnal Humaniora: Volume 19, No. 3 Oktober 2007), h. 288
52
ketiga wilayah itu (wolio, kadie, dan barata). Sultan sebagai penguasa tertinggi
kerajaan dibantu oleh beberapa pejabat tinggi di pusat dan pejabat-pejabat di daerah.
Secara umum, sistem pemerintahan kesultanan Buton adalah sebagai berikut:42
1. Pangka (pejabat teratas) atau dewan swapraja yang dijabat oleh golongan
kaumu dan walaka, yang terdiri dari sapati (kaumu), kenepulu (kaumu), lakina
sorawolio (kaomu), lakina baadia (kaumu), dua orang kapitalao: kapitalao
sukanayo dan kapitalao matanayo (kaumu)43
, dua orang bonto ogena (Menteri
Besar): bonto ogena sukanayo dan matanayo (walaka).
2. Sarana (Dewan) wolio yang terdiri dari semua bobato (kaumu) dan bonto
(walaka).44
3. Siolimbona (Sembilan kepala wilayah pemerintahan daerah) dari golongan
walaka yang sangat menguasai adat dan bertugas menjaganya.
42
Suryadi, Surat-surat Sultan Buton, h. 288-289
43
Kapitalao atau kapiten laut dalam bahasa Melayu adalah jabatan panglima perang di
Kesultanan Buton. Kata matanayo berarti „dari matahari terbit‟ dan sukanayo berarti „menuju matahari
terbenam‟. Istilah itu dilekatkan kepada jabatan kapitalao dan bonto ogena untuk menunjuk wilayah-
wilayah kerajaan di sebelah timur dan sebelah barat yang menjadi wewenang masing-masing. Suryadi,
Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi Universiteitsbibliotheek,
Belanda, (Jurnal Humaniora: Volume 19, No. 3 Oktober 2007), h. 289
44
Semua bobato dan bonto diberi sebuah desa atau sebidang tanah dalam 72 wilayah kadie
untuk diawasi. Semula jumlah bonto 30 orang dan bobato 40 orang. Namun, jumlah itu bertambah
seiring pemekaran wilayah kadie. Manarfa mencatat jumlah bobato 57 orang. Sembilan diantaranya
disebut siolipuna, yang berarti Sembilan Negara kecil yang dibawah perintah seorang raja, yang
membentuk sekutu asli. Dalam surat-surat Raja Buton terefleksi bahwa bobato adalah salah satu unsur
petinggi kerajaan yang selalu diajak serta dalam hubungan diplomasi antara Kesultanan Buton dengan
kuasa luar (dalam hal ini Belanda). Istilah Bobato, yang berarti pemimpin, mungkin diadopsi dari
sistem politik kerajaan Ternate atau Tidore; dalam sistem politik kerajaan Ternate, misalnya dikenal
istilah bobato dunia dan bobato akhirat. Kata bobato adalah derivasi dari bahasa Tidore Fato yang
berarti „mengatur‟. Suryadi, Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi
Universiteitsbibliotheek, Belanda, h. 289
53
4. Sarana Hukumu, yaitu badan yang mengurusi dan mengawasi masalah-
masalah yang berhubungan dengan ajaran Islam dan ibadah. Mereka adalah
lakina agama, imamu (imam) dan hatibi (khatib), semua dari golongan
kaomu.
5. Staf khusus kesultanan yang meliputi bonto inunca atau staf istana (walaka),
bontona lencina kanjawari, yaitu staf khusus yang membantu tugas-tugas
tertentu (termasuk di sini bonto isana dari golongan walaka); staf-staf lain,
yaitu jurubasa (walaka)45
, kapitalao sabandara (syahbandar) (kaumu)
sebagai otoritas pelabuhan. Talombo yang membantu bonto ogena (menteri
besar) sebagai penyampai maklumat dan pengumuman penting dari Sultan,
pangalasan yang bertugas membantu bonto ogena dalam pengumpulan pajak
(weti).
Roda pemerintahan pusat sehari-hari dijalankan oleh pangka yang langsung
dipimpin oleh Sultan sebagai otoritas tertinggi. Namun dalam urusan-urusan penting,
antara lain diplomasi ke luar, unsur bonto dan bobato wajib diajak serta dan dibawa
berunding. Hal ini terefleksi dalam surat-surat raja Buton yang tersimpan di UB
Leiden. 46
45
Jurubasa (Jurubahasa) bertanggung jawab kepada syahbandar. Dalam hubungan diplomatik
antara kerajaan Buton dan kuasa-kuasa luar (termasuk Belanda). Suryadi, Surat-surat Sultan Buton,
Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi Universiteitsbibliotheek, Belanda, (Jurnal Humaniora:
Volume 19, No. 3 Oktober 2007), h. 289
46
Suryadi, Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi
Universiteitsbibliotheek, Belanda, h. 289
54
Kesultanan Buton dihapuskan pada tahun 1960, tak lama setelah sultannya
yang terakhir, La Ode Falihi mangkat, dan dikarenakan pemerintahan Republik
Indonesia pada saat itu menghapus sistem pemerintahan Swapraja di Indonesia.47
D. Sistem Pemilihan dan Pengangkatan Sultan di Kesultan Buton
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap negara memiliki bentuk dan sistem
pemerintahan yang sistemnya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan negara.
Demikian halnya dengan Kesultanan Buton, bentuk dan sistem pemerintahannya
berpedoman pada Murtabat Tujuh (Sara Wolio) yang di dalam praktek
pemerintahannya terdapat unsur demokrasi. Akan tetapi pada masa pemerintahan
sultan pertama hingga sultan ketiga masih menggunakan sistem monarki absolute
dikarenakan dalam pemilihan sultannya masih mewariskan putra mahkota yang saling
turun temurun. Tata pemilihan sultannya pun tetap menggunakan tradisi yang
diturunkan dimasa Kerajaan, dan ajaran Konstitusi Kesultanan Buton (Murtabat
Tujuh) belum terbentuk.48
Barulah pada masa pemerintahan Sultan keempat yakni sultan Dayanu
Ihsanuddin (La Elangi) Murtabat Tujuh itu dibuat, dan di ubahnya sistem monarki
absolute ke sistem demokrasi.
47
Rustam Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun,
2004, h. 55
48
M. Ide Apurines, Praktik Pemerintahan Pada Kesultanan Buton Tahun 1540-1960 Masehi,
(Jurnal, Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP UB, 2005), Hlm. 7
55
Adapun kesultanan Buton berdasarkan Undang-undang kesultanan,
pelaksanaan pemerintahannya bersifat demokrasi, sebagai pembuktiannya adalah
terlihat dalam sistem pemilihan dan cara pelantikan sultan yang meliputi lima tahap:49
1. Pengajuan calon
2. Penentuan calon
3. Undian
4. Pengumuman
5. Pelantikan.
Manakala seorang sultan meninggal dunia ataupun diturunkan dari takhtanya
karena dianggap melakukan pelanggaran adat, maka sultan yang baru harus segera
dipilih dan dilantik untuk mengisi jabatan sultan yang kosong. Pertama-tama yang
dilakukan oleh anggota Syara Kerajaan (sarana Wolio)50
yang utama, yakni sapati,
kenepulu, bonto ogena dan siolimbona, adalah melakukan pertemuan untuk
membicarakan pengambilan alat-alat kelengkapan kemuliaan sultan dari kamali
(istana) sultan yang wafat atau diturunkan. Dalam bahasa Wolio, alat kelengkapan ini
disebut dengan istilah parintana baaluwu operopa. Dalam tradisi masyarakat Buton,
asal muasal parintana baaluwu operopa bermuara pada peristiwa ketika Betoambari
49
Rustam Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun,
2004, h. 28
50
Syara Kerajaan terdiri dari sultan sendiri, sapati, kenepulu, kapita lao (2 orang), bonto
ogena (2 orang), siolimbona (8 orang), bonto inunca (11 orang), bonto lencina (8 orang),
bobato/lakina (40 orang), dan sarana agama yang terdiri dari lakina agama (1 orang), imam (1 orang),
khotib (4 orang), moji (10 orang), dan mukimu (40 orang). Istilah lokal yang digunakan untuk
menyebut Syara kerajaan ini adalah sarana Wolio. Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan
Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap Budaya¸(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 113
56
dan Sangariana sebagai raja di kampung Baluwu dan Peropa mengembangkan alat-
alat kelengkapan kemuliaan ratu Wa KaaKaa dan raja Sibatara, yag berupa payung
kebesaran raja/ratu pertama monarki Wolio saat itu. Payung kebesaran raja dan ratu
pertama ini yang disebut dengan istilah huu.51
Pada pertemuan Syara Kerajaan yang kedua, semua anggota Syara kerajaan
secara lengkap hadir. Tentu tanpa kehadiran sultan, karena sultan yang lama telah
tiada dan yang baru belum terpilih. Setelah semua anggota Syara Kerajaan hadir di
baruga (balai pertemuan), maka kedua bonto ogena (menteri besar) mengirim
perutusan untuk mengambil alat kelengkapan kemuliaan sultan tersebut. Perutusan ini
terdiri dari delapan bonto/menteri dari siolimbona ditambah dengan delapan orang
lain yang sudah terpilih dari kelompok bobato52
sebagai wakil mereka. Dari baruga
alat kelengkapan kemuliaan sultan itu kemudian dihantarkan lagi ke rumah bonto
Peropa, dan disimpan di sana samapi waktu pelantikan sultan yang baru tiba. Sebagai
catatan perlu disampaikan di sini bahwa pengambilan alat kelengkapan kemuliaan
sultan dari istananya harus mempertimbangkan bahwa upacara peringatan malam ke-
40 atau ke-120 hari wafatnya sultan sudah selesai dilaksanakan. Terkandung
pengertian di sini bahwa “esensi dari sultan yang hakiki” harus rampung dilepaskan
51
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap
Budaya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 113
52
Bobato adalah penguasa-penguasa yang memerintah di beberapa kerajaan kecil di bawah
Kesultanan Buton.
57
(dimakzulkan dalam bahasa setempat) sebelum alat perlengkapan kemuliaan sultan
boleh ditanggalkan dari ranahnya sultan yang wafat itu.53
Dalam pertemuan selanjutnya untuk menentukan hari diadakan pencalonan,
rapat dipimpin oleh sapati dan dihadiri oleh pembesar kerajaan. Setelah diadakan
kesepakatan mengenai hari pencalonan, maka menteri besar yang tertua umurnya
mengundang kesembilan menteri siolimbona dan satu menteri besar lainnya untuk
hadir dalam penentuan calon sultan. Dalam penentuan calon sultan ini hanya hadir
mereka sebelas orang, yakni kedua menteri besar dan kesembilan menteri siolimbona.
Untuk pertemuan kali ini dipimpin oleh bonto ogena, dan calon yang dikemukakan
mereka wajib dari kalangan bangsawan (kaomu) keturunan kamborumboru Talu
Palena. Perlu disampaikan di sini bahwa pada masa sultan La Elangi (sultan keempat
1578-1615) ditetapkan ketentuan adat bahwa jabatan sultan, kenepulu dan sapati
hanya boleh dijabat oleh kaomu keturunan La Elangi, yang dikenal dengan istilah
kaomu cabnag Tanailandu, atau keturunan sapati saat itu, yang dikenal sebagai
kaomu cabang Tapi-tapi, maupun keturunan kenepulu waktu itu yang dikenal sebagai
kaomu cabang Kumbewaha. Dalam pertemuan yang bersifat tertutup dari kedua bonto
ogena dan kesembilan menteri siolimbona, maka dikemukakan di sana nama semua
calon dari masing-masing anggota siolimbona. Pada pertemuan itu para bonto dari
siolimbona mengemukakan calon mereka kepada bonto ogena. Nama orang yang
mereka calonkan boleh lebih dari satu namun kesemuanya maksimum hanya boleh
53
Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni III, (Jakarta: Depdiknas, 1997), h.
126
58
enam orang. Pada saat itu mereka juga mempertimbangkan nama calon yang
dikehendaki oleh para pembesar kerajaan, namun hal tersebut sifatnya tidak mengikat
mereka. Ketetapan yang diambil oleh bonto ogena dikenal dalam adat dengan istilah
„aprasoa‟, yang artinya dipaku atau diteguhkan. Nama para calon yang sudah
diteguhkan ini perlu dilakukan penyaringan lagi. Penyaringan ini dikenal dalam adat
dengan istilah „afalia‟ yang kira-kira berarti difirasatkan. Kegiata afalia ini
dimaksudkan untuk mendapatkan firasatnya: apakah calon sultan yang diterima itu
baik apa tidak? Pelaksanaan kegiatan afalia ini ditentukan dengan melihat petunjuk
hari baik atau buruk yang tercantum dalam buku Ja Afara Shadiqi.54
Maka setelah ditentukan hari baiknya maka diadakanlah pertemuan yang
biasanya diadakan pada malam hari di Masjid Agung keraton untuk memfirasatkan
baik buruknya nama-nama calon sultan yang diajukan. Pada malam yang baik itu,
kesembilan menteri siolimbona berkumpul di Masjid Agung Keraton. Setelah
berkumpul semua, maka salah satu dari mereka melakukan sembahyang, sedangkan
seorang yang lain membuka Al-Qur‟an sekehendak hatinya tanpa ditentukan terlebih
dahulu olehnya juz dan ayat mana yang mau dibuka. Setelah dibuka lalu dihiung
berapa banyak huruf “kh” pada halaman sebelah kanan dan berapa banyak huruf “sh”
pada halaman sebelah kiri. Huruf “kh” menunjukan makna kata khair yang berarti
54
Buku Ja Afara Shadiqi adalah buku yang berisikan petunjuk hari dari waktu yang baik dan
buruk berdasarkan perhitungan hari malam bulan menurut urutannya dari satu hingga tiga puluh hari.
Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan di sini bahwa hari ketiga bulan dinamakan „harimau‟. Dalam
buku Ja Afara Shadiqi, hari ini disebut . . “jahat lagi naas, karena tatkala itulah Nabi Adam as
dikeluarkan Allah dari surga pada malam itu juga.” (hal 3). Setiap hari dalam perhitungan ini dinamai
dengan kebanyakan istilah-istilah binatang, seperti harimau, kerbau, gajah, dan lain sebagainya. Tony
Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap Budaya¸(Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), h. 115
59
baik, sedangkan kata “sh” menunjukan makna “sharr” yang artinya buruk. Apabila
dalam perhitungan itu diperoleh lebih banyak “sh” daripada “kh” maka calon yang
bersangkutan lebih banyak buruknya dari pada baiknya, begitupun sebaliknya. Sangat
jarang terjadi bahwa diantara sekian calon yang difirasatkan, tidak ada satupun calon
yang memiliki kelebihan mutlak, sehingga kedua bonto ogena tidak dapat
menetapkan calon terpilih. Seandainya demikianpun terjadi, maka bonto ogena
menetapkan dua calon yang menonjol di antara calon-calon yang ada untuk dilakukan
afalia ulangan. Baru setelah afalia ulangan dilakukan, satu calon dengan hasil yang
terbaik dipilih. Calon yang terpilih ini secara adat masih dirahasiakan, dan tidak ada
satu orangpun yang boleh mengetahuinya kecuali pejabat-pejabat yang bertugas
untuk itu. Kerahasiaan nama calon terpilih ini disebut dalam adat dengan istilah
„ikokompoakana baaluwu operopa‟, artinya yang dikandung oleh Baluwu dan
Peropa. Istilah kandungan yang dirahasiakan merupakan satu konsep yang penting
untuk masyarakat Buton. Kata Buton sendiri oleh beberapa kalangan masyarakat
dianggap berasal dari kata „butuni‟ (bahasa Arab) yang berarti perut yang
mengandung. Pulau Buton ditamzilkan sebagai wanita yang sedang mengandung
dengan berbagai rahasia di dalam perutnya.55
Harus diingat bahwa Baluwu dan Peropa merupakan dua pemukiman yang
merupakan cikal bakal dari monarki yang ada di tanah Buton, dan ketua adat dari
kedua pemukiman inilah yang biasanya diangkat sebagai bonto ogena/menteri besar
55
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap
Budaya¸(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 119
60
maupun ketua para bonto/menteri yang ada dalam siolimbona. Karena alasan
keistimewaan kedua pemukiman ini dalam kehidupan adat di tanah Buton, maka
nama kedua pemikiman ini seringkali digunakan dalam istilah-istilah adat yang
penting.56
Setelah calon sultan ditetapkan, para menteri siolimbona dan Syara Kerajaan
lainnya mulai disibukkan dengan berbagai persiapan yang harsu dirampungkan
sebelum pelantikan dapat dilaksanakan. Pakaina sultan dan permaisurinya mulai
dikerjakan, dan alat kelengkapan kemuliaan sultan atau parintana baaluwu operopa
harus juga mulai diperbaharui. Pelaksanaan semua pekerjaan ini memakan waktu,
sehingga sesuai difirasatkan tidak langsung pelantikan sultan dapat diselenggarakan.
Dalam kasus sultan terakhir, La Ode Falihi, pengumuman dirinya sebagai calon
sultan terpilih dilakukan pada hari jumat tanggal 9 Maret 1938, sedangkan
pelantikan/pengangkatan sumpahnya dilakukan pada hari jumat tanggal 8 Juli 1938.57
Setelah semuanya telah dipersiapkan maka di tentukanlah hari pelantikan
sultan dengan merujuk pada buku Ja Afara Shadiqi. Adapun tradisi pelantikan sultan
bukan mengucapkan sumpah atau janji akan tetapi Sultan disumpah oleh Baluwu dan
Peropa.
56
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap
Budaya, h. 119
57
Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni III, (Jakarta: Depdiknas, 1997), h.
130
61
BAB IV
KONSEP PEMBAGIAN KEKUASAAN DALAM ISLAM DAN
PRAKTEKNYA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN KESULTANAN
BUTON
A. Perspektif Politik Islam Dalam Sistem Pemerintahan di Kesultanan Buton.
Para pemikir politik dalam Islam, baik al-Mawardi (al-Ahkamus Sultaniyah),
Ibnu Taimiyah (as-Siyasah as-Shar’iyah), Sayyid Rashid Ridha (al-Khilafah), Dr.
Taha Hussein (al-Fitnatul Kubra jilid 1), Sayyid Qutub (al-Adalah al-Ijtima’iyah)
ataupun Abdul Kadir Audah (al-Islam wa Audha’unal as-Siyasah), masing-masing
telah menjelaskan sifat-sifat dari Negara dan pemerintahan Islam dan perbedaannya
dengan Negara atau pemerintahan mana pun di dunia ini. Menurut pemikir-pemikir
politik Islam ini, bahwa ada tiga sifat pokok yang membedakan pemerintahan Islam
dengan pemerintahan-pemerintahan lain, yaitu bahwa pemerintahan Islam adalah
berdasarkan pada hukum al-Quran, shura dan secara khilafah.1
Begitupun sistem pemerintahan dalam Islam sangatlah berbeda dengan sistem
pemerintahan manapun di dunia ini, termasuk sistem pemerintahan demokrasi yang
dianut oleh orang-orang barat. Perbedaan sistem pemerintahan Islam dengan sistem
pemerintahan lain bisa dilihat dari asas yang membangun Negara, pemikiran-
pemikiran, konsep-konsep, standarisasi maupun hukum-hukum yang digunakan
untuk melayani kepentingan umat. Perbedaan sistem pemerintahan Islam dengan
1 A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam, (Aceh: Pt Bina Ilmu, 1984), h. 94
62
sistem pemerintahan yang lain juga bisa dilihat dari bentuk Negara, aparatusnya, serta
aspek-aspek pemerintahan lainnya.2
Para pakar politik Islam yang mayoritas sepakat bahwa pemerintahan Islam
adalah penting untuk menegakan keadilan dan mendirikan ajaran Islam. Namun
diantara mereka banyak yang berbeda pendapat tentang sistem pemerintahan mana
yang harus diikuti, terlebih lagi bila dilihat dari sisi pemikiran tokoh politik Islam
pada zaman klasik, pertengahan dan modern.3
Al-mawardi (364-450 M), yang hidup pada saat situasi politik Islam
mengalami kerusakan yang sangat riskan, yaitu pada abad X sampai pada abad
pertengahan XI M. al-Mawardi menyebutkan Bahwa “Imamah dibentuk untuk
menggantikan fungsi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia”,4 dan
kepada Negara Islam terikat oleh perjanjian dengan Tuhan untuk menegakkan
supremasi Islam.5 Al-Mawardi mendasarkan teori politiknya atas kenyataan yang ada
pada saat itu, dan kemudian secara realistik menawarkan saran-saran perbaikan dan
2 Syamsuddin Ramadhan, Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyah, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 2003), h. 29.
3 Zulham, Sistem Pemerintahan Islam Menurut al-Ghazali dan Abu al-A’la al-Maududi,
(Jurnal Al-Muqaranah, Fakultas Syariah, IAIN Sumatera Utara, Volume II No. 2 Januari-Desember
2014), h. 5
4 Al-Mawardi, al-Ahkam Asulthaniyah wal Wilayatuldiniyah, (Mesir: Mustafa al-Babi al-
Halabi, 1985), h. 5
5 Asgar Ali Engineer, Revolusi Negara Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 117
63
reformasi, dengan tujuan mempertahankan status quo dan mengamankan kekuasaan
politik Dinasti Abbasiyah.6
Ibnu Abi Rabi’, yang mempersembahkan buku Suluk al-Malik fi Tadbir al-
mamalik kepada Mu’tashim, khalifah Abbasiyah kedelapan yang memerintah pada
abad IX M. dia mengatakan, Allah telah memberikan keistimewaan kepada raja, telah
memperkokoh kedudukan mereka di bumi-Nya, dan mempercayakan hamba-hamba-
Nya kepada mereka. Kemudian Allah mewajibkan para ulama untuk menghormati,
mengagungkan dan taat kepada mereka.
Dari pernyataan Ibnu Abi Rabi’ tersebut tampak menurut dia bahwa
kekuasaan dan otoritas raja adalah mandat dari Tuhan, tentang siapa yang berhak
menjadi raja Ibnu Abi Rabi’ mensyaratkan: harus anggota dari keluarga raja, dan
mempunyai hubungan nasab yang dekat dengan raja sebelumnya,7 nyatalah bahwa
buku yang dipersembahkan oleh Ibnu Abi Rabi’ kepada Mu’tashim adalah legitimasi
sistem monarki yang ada pada Dinasti Abbasiyah saat itu.
Menurut al-Ghazali, kehidupan di dunia merupakan ladang di akhirat. Maka
Negara butuh seorang pemimpin yang menjamin terselenggaranya berbagai profesi
rakyat. Bagi al-Ghazali, agama dan Negara (penguasa) merupakan dua anak kembar
yang tidak terpisahkan, agama dipimpin oleh Nabi dan Negara dipimpin oleh Sultan
yang keduanya merupakan manusia pilihan Tuhan. Al-Ghazali juga mencetuskan
6 J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali Press,
1997), h. 255
7 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Edisi V
(Jakarta: UI Press, 1993), h. 47
64
bahwa sultan merupakan bayangan Allah di muka bumi (zhilullah fi al-ardhi), dengan
kata lain bahwa konsep dan pemikiran al-Ghazali tentang sistem pemerintahan ini
dapat dikatakan dengan sistem teokrasi.8
Al-Ghazali sebagai salah satu tokoh pemikir politik Islam, memberikan
sumbangan pemikiran yang bertitik tolak pada realitas sistem monarki yang ada,9
yang ia terima sebagai sistem yang tidak perlu dipertanyakan lagi keabsahannya, hal
ini terjadi dalam pemilihan kepala Negara. Namun dalam hal kedaulatan
pemerintahan atau sumber kekuasaaan, al-Ghazali menyatakan bahwa sumber
kekuasaan itu berasal dari Tuhan yang disebut dengan teokrasi.10
Pengangkatan kepala Negara dengan sistem monarki yang ditwarkan oleh al-
Ghazali, akan menimbulkan kecemburuan sosial dari kalanagan rakyat yang tidak
ikut dalam kompetisi pemilihan kepala Negara tersebut. Demikian juga halnya syarat
menjadi seorang kepala Negara haruslah berasal suku Quraisy. Sistem pemerintahan
teokrasi yang dipaparkan oleh al-Ghazali bahwa kekuasaan Negara berada pada
tuhan, kemungkinan akan menutup pintu ijtihad dan pembaharuan dalam
pemerintahan Islam yang selalu berkembang. 11
8 Zulham, Sistem Pemerintahan Islam Menurut al-Ghazali dan Abu al-A’la al-Maududi,
(Jurnal Al-Muqaranah, Fakultas Syariah, IAIN Sumatera Utara, Volume II No. 2 Januari-Desember
2014), h. 7
9 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Edisi V
(Jakarta: UI Press, 1993), h. 108
10
J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali
Press, 1997), h. 266
11
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Ajaran Islam, Sejarah, Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 208
65
Al-Afghani berpendapat, bahwa Islam dalam hal pemerintahan menghendaki
bentuk republik, sebab di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepada
Negara harus tunduk kepada UUD. Di dalam pemerintah absolute tidak ada
kebebasan berpendapat, kebebasan hanya ada pada raja/kepala Negara untuk
bertindak. Karena itu, corak pemerintahan otokrasi harus dirubah dengan corak
pemerintahan demokrasi.12
Pendapat ini baru dalam sejarah politik Islam, sebab
sebelumnya sampai pada masa al-Afghani umat Islam dan pemikirannya hanya
mengenal bentuk khalifah yang mempunyai kekuasaan absolute. Pendapat al-Afghani
ini juga tidak terlepas dari sentuhan pemikiran Barat yang dilandasi dengan pemikiran
ajaran Islam.
Sedangkan menurut Abu al-A’la al-Maududi, kekuasaan Negara dilakukan
oleh tiga bidang yang disebut sebagai trias politica yaitu: yudikatif, eksekutif, dan
legislative. Sistem pemerintahan menurut Abu al-A’la al-Maududi adalah teo-
demokrasi, yaitu suatu sistem pemerintahan demokrasi ilahi, karena di bawah
naungannya umat Islam telah diberi kedaulatan rakyat yang terbatas dibawah
pengawasan Tuhan.13
Abu al-A’la al-Maududi menjanjikan pemerintahan Islam paripurna tanpa
harus melihat kepada sistem Barat. Akan tetapi ketika sampai pada persoalan
12
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Ajaran Islam, Sejarah, Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 56
13
Zulham, Sistem Pemerintahan Islam Menurut al-Ghazali dan Abu al-A’la al-Maududi,
(Jurnal Al-Muqaranah, Fakultas Syariah, IAIN Sumatera Utara, Volume II No. 2 Januari-Desember
2014), h. 7
66
bagaimana cara memilih kepala Negara dan anggota-anggota majelis syura, dia
menyerahkan persoalan ini kepada umat Islam untuk menempuh jalan yang mereka
anggap terbaik untuk situasi dan kondisi mereka, Islam tidak mencontohkan cara
tertentu untuk itu. Sementara itu dia tidak menyatakan pendapatnya tentang masa
jabatan kepala Negara, pembatasan masa jabatan kepala Negara merupakan salah satu
jalan yang efektif untuk menghentikan penyelewengan seorang penguasa agar tidak
berkepanjangan.14
Berdasarkan beberapa uraian diatas mengenai perspektif politik Islam dalam
sistem pemerintahan, yang dalam hal ini penulis lebih mengutamakan pendapat para
tokoh politik Islam, maka dengan demikian ada kesesuaian di dalam sistem
pemerintahan kesultanan Buton dengan sistem-sistem pemerintahan yang telah
ditawarkan oleh para pemikir politik Islam jika dilihat dari perspektif politik Islam itu
sendiri.
Dalam hal sistem pemerintahan yang ditawarkan oleh para pemikir politik
Islam bolehlah berbeda-beda antara pemikir yang satu dengan pemikir yang lainnya.
Akan tetapi seperti yang telah penulis kutip di atas, yang membedakan sistem
pemerintahan Islam dengan sistem pemerintahan manapun, para pemikir politik Islam
sepakat bahwa ada tiga sifat pokok yang membedakannya, yaitu: berdasarkan pada
hukum Al-Qur’an, syura dan secara Khilafah.
14
Zulham, Sistem Pemerintahan Islam Menurut al-Ghazali dan Abu al-A’la al-Maududi,
(Jurnal Al-Muqaranah, Fakultas Syariah, IAIN Sumatera Utara, Volume II No. 2 Januari-Desember
2014), h. 9
67
1. Pemerintahan haruslah berdasarkan pada hukum Al-Qur’an.
Dalam hal ini hukum pemerintahan di kesultanan Buton juga berdasarkan
pada hukum Al-Qur’an, adalah sultan keempat yaitu Sultan Dayanu Ihsanuddin (La
Elangi) yang pertama menerapkan undang-undang pemerintahan di kesultanan Buton
yang berdasarkan agama Islam yang disebut juga Murtabat Tujuh. Undang-undang
ini bersumber dari ajaran Tasawuf bersifat wujudiyah yang mirip dengan ajaran
Hamzah Fansuri dan siswanya Syamsuddin Al-Sumaterani dari Aceh.15
Dalam
penyusunan Undang-undang Murtabat Tujuh, Dayanu Ihsanuddin mendapat bantuan
dana sehat dalam bidang agama dari Syeikh Said Muhammad seorang
berkembangsaan Arab. Sultan keempat dalam masa pemerintahannya mengadakan
reformasi yang progresif. Secara hirarki sistem perundang-undangan di Kesultanan
Buton, pada masa Sultan keempat tersusun sebagai berikut:16
a. Syara, yakni undang-undang dasar atau Murtabat Tujuh
b. Tuturaka peraturan pemerintah Kesultanan
c. Pitara pedoman dalam mengadili atau memutuskan suatu perkara
d. Gau masalah-masalah yang berhubungan dengan politik
Berdasarkan hirarki sistem perundang-undangan tersebut, undang-undang
Murtabat Tujuh menempati posisi teratas.
15
Rustam Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun,
2004, h. 31
16
Saidi, Studi Sosiologi Kultural dan Historis Tentang Dasar-Dasar Adat dan Budaya
Masyarakat Buton, (Baubau: Hasil Penelitian Inventarisasi adat dan budaya Masyarakat Buton, 2001),
h. 56
68
Untuk memantapkan roda pemerintahan yang berdasarkan agama Islam maka
diterapkan suatu prinsip pokok perjuangan hidup masyarakat yaitu:17
Korbankan harta benda demi keselamatan diri.
Korbankan diri demi keselamatan negeri.
Korbankan negeri demi keselamatan pemerintah.
Korbankan pemerintah demi keselamatan agama.
Prinsip tersebut menunjukan betapa pentingnya nilai-nilai agama yang harus
dipertahankan di atas segala-galanya dengan tidak memandang status sosial politik
seseorang.
2. Pemerintahan haruslah berdasarkan pada Syura.
Dalam hal ini kesultanan Buton juga telah menerapkan sistem syura atau
permusyawaratan, baik itu dalam pemilihan Sultan maupun dalam memutuskan suatu
kebijakan. Contoh kongkritnya dalam hal penentuan kebijakan yang menyangkut
negara dan masyarakat luas, seorang Sultan tidak dapat memutuskan kebijakan secara
sepihak seperti halnya raja-raja. Sistem ini bertujuan untuk meminimalkan bahaya
penyelewengan kekuasaan yang dampaknya bisa mengakibatkan tirani. Segala
sesuatu yang menyangkut kebijakan maupun keputusan yang akan dikeluarkan oleh
pemerintah, dalam hal pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab sebagai aparat
negara, diputuskan melalui musyawarah mufakat yang melibatkan seluruh lapisan
masyarakat Kesultanan Buton, baik dari jajaran perwakilan pemerintah pusat,
17
Rustam Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun,
2004, h. 32
69
pemerintah daerah (kadie), dan aliansi pemerintah (Barata) semua dilibatkan serta
mempunyai hak yang sama dalam proses musyawarah tersebut. 18
Beberapa contoh dalam hal peraturan pembagian pajak dalam sebuah
kecamatan (Kadie) pihak kesultanan akan meninjau kecamatan tersebut melihat
potensi apa yang dalam kecamatan tersebut setelah itu menentukan pajak apa yang
akan dikenakan oleh kecamatan, tentunya melalui proses tahap musyawarah yang
mempertemukan pihak pemerintahan pusat (Sultan dan Siolimbona) dan pihak
pemimpin kecamatan (Lakina dan Bonto) untuk membahas besaran pajak tersebut.19
Begitupun dengan halnya kelembagaan, kesultanan Buton juga mempunyai
suatu lembaga permusyawaratan (legislative), yang dalam hal ini disebut dengan
siolimbona, yang mana orang-orang yang menjabat di lembaga ini mereka yang
menguasi adat dan bertugas menjaganya, serta diberi wewenang dalam memilih
sultan.20
3. Pemerintahan haruslah secara Khilafah.
Adapaun mengenai hal ini, dengan telah diterapkannya undang-undang
pemerintahan di kesultanan Buton (Murtabat Tujuh) yang berdasarkan agama Islam,
dan juga kesultanan Buton telah menerapkan sistem syura di setiap pengambilan
keputusan serta adanya lembaga permusyawaratan (siolimbona), maka penulis merasa
18
M. Ide Apurines, Praktik Pemerintahan Pada Kesultanan Buton Tahun 1540-1960 Masehi,
(Jurnal, Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP UB, 2005), h. 9
19
A. Ikram, Katalog Naskah Buton¸(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), h. 10
20
Pim Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Terjemahan: G. Winaya dari J.W.
Schoorl, (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 82
70
sudah pantaslah kalau sistem pemerintahan di kesultanan Buton di sebut sebagai
sistem pemerintahan yang secara Khilafah.
B. Mekanisme Pemilihan Sultan Buton dalam Perspektif Sistem Pemilihan
dalam Islam.
Dalam sistem ketatanegaraan Islam, antara kedaulatan dan kekuasaan
dibedakan secara tegas. Kedaulatan dalam khilafah Islamiyyah ada di tangan syara’.
Sebab, Islam hanya mengakui Allah Swt sebagai satu-satunya pemilik otoritas untuk
membuat hukum (al-hakim) dan syariat (al-musyarri’), baik dalam perkara ibadah,
makanan, pakaian, akhlak, muamalah, maupun uqûbût (sanksi-sanksi). Islam tidak
memberikan peluang kepada manusia untuk menetapkan hukum, meski satu hukum
sekalipun. Justru manusia, apapun kedudukannya, baik rakyat atau khalifah,
semuanya berstatus sebagai mukallaf (pihak yang mendapat beban hukum) yang
wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang dibuat oleh Allah Swt.21
Sedangkan kekuasaan diberikan kepada umat. Artinya, umatlah yang diberi
hak untuk menentukan siapa yang menjadi penguasa yang akan menjalankan
kedaulatan syara’ itu. Tentu saja, penguasa atau pemimpin yang dipilih harus
memenuhi kriteria yang telah ditetapkan syara’. Kepala negara tersebut harus
21
Syamsuddin Ramadhan, Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyah, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 2003), h. 35
71
memenuhi syarat sah harus Muslim, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan
mampu menjalankan tugas kekhilafahan.22
Bahwa kekuasaan ada di tangan umat dipahami dari ketentuan syara’ tentang
baiat. Dalam ketentuan syara’, seorang khalifah hanya bisa memiliki kekuasaan
melalui bai’at. Berdasarkan nash-nash hadits, baiat merupakan satu-satunya metode
yang ditentukan oleh syara’ dalam pengangkatan khalifah.23
Hadits-hadits yang berkenaan dengan bai’at menunjukkan bahwa bai’at itu
diberikan oleh kaum Muslim kepada khalifah, bukan oleh khalifah kepada kaum
muslimin di antaranya. Dari Ubadah bin Shamit ra, ia berkata:
مع والطاعة ف العسر واليسر باي عنا رسول اللو صلى اللو عليو وسلم على الس
نا مسلم()رواه والمنشط والمكره وعلى أث رة علي
Kami membai’at Rasulullah saw untuk setia mendengarkan dan mentaati
perintahnya, baik dalam keadaan susah maupun mudah, baik dalam keadaan yang
kami senangi atau pun kami benci, dan benar-benar kami dahululukan (HR Muslim).
Berdasarkan hadits tersebut seorang khalifah mendapatkan kekuasaan semata-
mata dari umat melalui bai’at. Bahkan Rasulullah saw, meskipun beliau
berkedudukan sebagai rasul, tetap saja mengambil baiat dari umat, baik dari laki-laki
22
Syamsuddin Ramadhan, Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyah, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 2003), h. 36
23
Syamsuddin Ramadhan, Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyah, h. 36
72
maupun perempuan. Demikian juga yang dipraktikkan oleh al-Khalafa Rasidun.
Mereka semua menjadi khalifah setelah mendapatkan baiat dari umat.
Ketentuan baiat tersebut menunjukkan bahwa Islam telah menjadikan
kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka
pilih dan mereka baiat untuk menjadi khalifah. Dalam akad baiat tersebut, kekuasaan
yang dimiliki umat itu diserahkan kepada khalifah untuk mengatur urusan rakyat
berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dalam hal ini, khalifah merupakan
wakil umat untuk menjalankan hukum Islam (kedaulatan syara) dalam kehidupan
bernegara, bukan untuk menjalankan kedaulatan rakyat sebagaimana sistem sekular-
demokrasi.24
Sebagai pemimpin yang telah dibaiat oleh umat, mereka memiliki kekuasaan
yang wajib ditaati. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan wajibnya ketaatan
kepada khalifah. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash ra, bahwa dia pernah
mendengarkan Rasulullah saw bersabda:
جاء آخر ومن بايع إماما فأعطاه صفقة يده وثرة ق لبو ف ليطعو إن استطاع فإن
)رواه مسلم وابو داود( ي نازعو فاضربوا عنق الخر
Siapa saja yang telah membai’at seorang imam, lalu ia memberikan uluran
tangan dan buah hatinya, hendaklah mentaatinya jika mampu. Apabila ada orang
24
J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali
Press, 1997), h. 45
73
lain yang hendak merebutnya maka penggallah leher orang itu. (HR Muslim dan Abu
Daud).
Dan selanjutnya mengenai perihal ini al-Mawardi berpendapat bahwa
pemilihan kepala negara harus memenuhi dua unsur, yaitu al-ikhtiyar atau orang yang
berwenang memilih kepala negara, dan ahl-al-imamah atau oarng yang berhak
menduduki kepala negara. Unsur pertama harus memenuhi kualifikasi adil,
mengetahui dengan baik kandidat kepala negara dan memiliki wawasan yang luas
serta kebijakan, sehingga dapat mempertimbangkan hal-hal yang baik untuk negara.
Kemudian calon kepala negara harus memiliki tujuh persyaratan, yaitu: adil, memiliki
ilmu yang memadai untuk berjihad, sehat panca indranya, punya kemampuan
menjalankan pemerintahan demi kepentingan rakyat, berani melindungi wilayah
kekuasaan Islam, berjihad untuk memerangi musuh, serta keturunan suku Quraisy.25
Begitupun dengan al-Ghazali, dalam hal ini al-Gazali juga merumuskan
syarat-syarat kepala negara secara perinci. Menurutnya, kepala negara harus
memenuhi kualifikasi dewasa, otak yang sehat, merdeka, laki-laki, keturunan
Quraisy, pendengaran dan penglihatan yang sehat, kekuasaan yang nyata,
memperoleh hidayah, berilmu pengetahuan serta wara’. Bagi al-Ghazali, karena
kekuasaan kepala negara tidak datang dari rakyat, seperti al-Mawardi, tetapi dari
Tuhan, maka kekuasaan kepala negara tidak boleh dibantah.26
25
Al-Mawardi, al-Ahkam Asulthaniyah wal Wilayatuldiniyah, (Mesir: Mustafa al-Babi al-
Halabi, 1985), h. 5
26
Muhammad Iqbal & Anin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Kencana,
2013), h. 30
74
Berdasarkan uraian mengenai mekanisme pemilihan pemimpin dalam Islam
yang penulis paparkan diatas, tentu jelaslah bahwa sanya layaknya sistem
ketatanegaraan dalam Islam, mekanisme pemilihan pemimpin dalam Islam juga tidak
dijelaskan secara terperinci dan sistematis dalam al-Quran dan Sunah. Namun dalam
hal ini mengenai pemilihan seorang pemimpin haruslah berdasarkan pembaiatan oleh
rakyatnya terlebih dahulu. Adapun di Kesultanan Buton mengenai hal ini seorang
Sultan juga terpilih berdasarkan pembaitan rakyat, yang walaupun dalam proses
pembaitan tersebut rakyat diwakili oleh para siolimbona (sembilan menteri).
Selanjutnya berdasarkan pendapat al-Mawardi yang mengatakan
bahwasanya pemilihan kepala negara harus memenuhi dua unsur, yaitu: al-ikhtiar
(orang yang berwenang memilih kepala negara) dan ahl al-imamah (orang yang
berhak menjadi kepala negara).
1. Al-ikhtiyar.
Dalam hal ini Kesultanan Buton mempunyai lembaga yang berwenang
memilih kepala negara/sultan. Adalah golongan masyarakat lapisan kedua
yang disebut walaka, yang mana golongan ini adalah salah satu dari dua
golongan bangsawan di Kesultanan Buton, yang mana dari golongan ini
diangkatnya siolimbona (sembilan menteri) yang dapat memilih dan
memberhentikan seorang Sultan.
75
2. Ahl al-imamah.
Dalam hal ini juga Kesultanan Buton memepunyai orang-orang yang
berhak menjadi kepala negara. Adalah golongan masyarakat lapisan
teratas yang di sebut golongan kaumu, yang merupakan golongan ningrat
atau bangsawan dan memiliki gelar La Ode untuk kaum laki-laki, dan Wa
Ode untuk kaum perempuan. Dari golongan inilah seorang sultan dipilih.
selain itu, pada poin kedua ini tentang pemilihan pemimpin dalam Islam
terdapat kesamaan dengan pendapat al-Mawardi dan al-Ghazali yang
mengharuskan seorang pemimpin berasal dari golongan Quraisy, karena
kesultan Buton juga dalam hal pemilihan sultan haruslah berasal dari
golongan kaumu.
C. Sistem Ketatanegaraan Islam dan Sistem Ketatanegaraan Kesultanan
Buton.
Berbicara mengenai sistem ketatanegaraan dalam Islam, tentu banyak
menimbulkan keanekaragaman penafsiran terhadap nash-nash yang berkaitan dengan
sistem ketatanegaraan itu sendiri. Itulah sebabnya ditemukan dalam khazanah sejarah
politik Islam baik dalam pemikiran maupun praktik pemerintahan, bentuk dan
sistemnya sejak zaman Rasulullah sampai sekarang di dunia Islam, tidak satu macam
tetapi beragam; mulai dari Khilafah yang republik, demokratis, dan absolute;
76
kesultanan/keamiran yang monarki, hingga Negara-negara bangsa yang republik
demokratis atau absolute, monarki demokratis dan atau absolute.27
Dengan demikian, dalam Islam tidak ada sistem ketatanegaraan yang baku.
Sistem ketatanegaraan dalam Islam mengalami perkembangan dan perubahan
mengikuti situasi dan perkembangan zaman, serta kondisi sosio-historis dan sosio-
politik umat Islam di suatu daerah. Sistem ketatanegaraan Islam itu mengalami
perubahan yang diakibatkan oleh masuknya berbagai pengaruh budaya asing, seperti
budaya Persia, Romawi, Mesir, dan Eropa. Akibat pengaruh dari berbagai budaya
tersebut terjadi perubahan-perubahan dalam bentuk pemerintahan Islam yang bukan
hanya tidak sesuai, bahkan kontradiksi dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Berbagai
faktor tersebut telah mengubah sistem ketatanegaraan Islam yang pada awalnya
berbentuk khilafah menjadi berbentuk monarki pada masa Bani Umayah dan Bani
'Abbas. Selain itu, juga mempengaruhi bentuk pemerintahan Islam yang semula
bercorak demokratis dan konstitusional menjadi bercorak absolut dan teokratis.
Kedua bentuk pemerintahan yang disebutkan terakhir itu bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasar Islam. Sebab, kedua bentuk pemerintahan ini tidak lagi
memperhatikan nilai-nilai keruhanian yang merupakan ciri khas pemerintahan
Islam.28
27
Syuti Pulungan, Ide Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha Tentang
Negara dan Pemerintahan Dalam Islam, (Jurnal Fakultas Adab dan Humaniora: IAIN Raden Fatah
Palembang, 2003), h. 2
28
M. Fauzi, Sistem Pemerintahan Yang Baik Dalam Islam, (Jurnal Fakultas Syariah, IAIN
STS Jambi, 2009), h. 19
77
Dan faktor lain yang membuat sistem ketatanegaraan dalam Islam itu
berbeda-beda disebabkan bentuknya yang tidak ditentukan secara eksplisit dalam Al-
Qur’an dan Sunah Rasul. Karena esensinya tidak terletak pada bentuknya, akan tetapi
ada pada prinsip-prinsip umum yang sudah digariskan dalam Al-Qur’an dan Sunah
Rasul. Namun ada suatu isyarat yang diberikan Al-Qur’an agar umat Islam
membentuk negara kesatuan. Meskipun demikian, manusia diberi kewenangan dan
kebebasan untuk memilih dan menentukan sendiri bentuk negara yang paling baik
bagi mereka. Boleh saja bentuk pemerintahan suatu negara itu kerajaan, namun secara
faktual prinsip-prinsip syari’ah berjalan dan diterapkan secara konsekuen.
Sebaliknya, suatu bentuk pemerintahan republik, namun mengabaikan prinsip-prinsip
umum hukum Islam, jelas itu bukan merupakan suatu tipe negara ideal menurut Al-
Qur’an dan sunah, bahkan menjadi kontradiktif dengan jiwa syari’ah.29
Pada masa Khulafaul Rasyidin umat Islam memilih dan menggunakan sistem
khilafah, dengan pertimbangan bahwa sistem inilah yang paling cocok bagi mereka
saat itu.30
Sistem khilafah dapat disebut sebagai salah satu bentuk ijma’ (konsensus)
para sahabat nabi ketika itu. Namun konsensus itu bukan merupakan suatu konsep
yang kaku yang secara mutlak harus diterapkan pada setiap saat dan tempat. Pada
masa kontemporer dimungkinkan untuk diganti dengan sistem yang lain yang
memiliki karakteristik yang hampir sama atau berdekatan, misalnya bentuk republik.
29
Andi Herawati, Konsep Ketatanegaraan Dalam Islam, (Jurnal Fakultas Agama Islam: UIN
Alauddin Makassar, 2005), h. 3
30
T. M. Hasbi Asshiddieqy, Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqih Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1991), h. 33
78
Ibnu Taimiyah, salah seorang pelopor pembaharuan dalam Islam dan seorang
penganjur ijtihad dalam rangka kembali kepada Al-Qur’an dan sunah, dalam teori
kenegaraannya lebih mefokuskan pada peran syari’ah dalam negara. Beliau
memahami apapun bentuk pemerintahan dalam Islam ia semata-mata alat
syari’ah. Dengan demikian, beliau lebih menekankan pada supermasi hukum Islam
ketimbang bentuk pemerintahan yang formal.31
Berdasarkan fakta-fakta historis di atas terlihat, bahwa dalam sejarah Islam
terdapat nuansa corak "pemerintahan Islam" sehingga sulit dirumuskan suatu bentuk
pemerintahan Islam dalam satu rumusan yang lengkap hanya dengan mengamati
perkembangan yang ada sekarang, kecuali jika kita memandang bentuk yang ada
sekarang sebagai sesuatu yang final. Bentuk pemerintahan Islam sepanjang sejarah
telah dipengaruhi oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal, yang di
antaranya banyak yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang telah
diuraikan. Bentuk pemerintahan itu tidak semata-mata ditentukan oleh prinsip-prinsip
ajaran saja, melainkan juga oleh situasi lingkungan, sejarah, latar belakang budaya,
dan tingkat perkembangan intelektual masyarakat pada masanya.32
Adapun dengan sistem ketatanegaraan Kesultanan Buton, dalam penerapan
pemerintahannya kesultanan Buton menganut sistem pemisahan kekuasaan ke dalam
cabang-cabang yang luas seperti yang telah penulis paparkan di bab 3. Pemerintahan
31
A. Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Pencaturan dalam
Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 33
M. Fauzi, Sistem Pemerintahan Yang Baik Dalam Islam, (Jurnal Fakultas Syariah, IAIN STS
Jambi, 2009), h. 19
79
Kesultanan Buton dalam menjalankan tugas negara dibantu oleh jajaran birokrasi
yang berada pada wilayah ibukota kesultanan maupun birokrasi yang bertugas diluar
ibukota. Pemerintahan Kesultanan Buton diatur oleh satu konstitusi tertulis yang oleh
masyarakat Buton dikenal dengan undang-undang Murtabat Tujuh sara Wolio. Dalam
konstitusi Undang-undang Murtabat Tujuh, implementasi pemerintahan
menggunakan sistem “Respossible Government” (pemerintahan yang bertanggung
jawab). Sistem ketatanegaraan Kesultanan Buton menggunakan prinsip pemisahan
lembaga dan pemisahan daerah kekuasaan dengan tujuan untuk menghindari
kekuasaan yang tumpah tindih (separation of powers).33
Suatu hal yang penting dalam pembagian kekuasaan ialah jabatan sultan tidak
diwariskan. Hanya anak laki-laki dari istri pertama selama masa jabatan seorang
sultan yang berhak mengganti seorang sultan. Hal ini hanya terjadi dalam sedikit
kasus saja. Pembatasan kekuasaan juga tampak pada kenyataan bahwa seorang sultan
dapat dilengserkan atau bahkan dihukum mati. Saat sultan dilantik dengan upacara
sebagai penguasa, tali sejumbai digantung pada payung yang dipakai pada upacara
itu. Tali ini menggambarkan suatu peringatan bagi penguasa. Bila terbukti tidak
memuaskan, ia dapat dilengserkan dan dihukum mati dengan cara dicekik (darahnya
tidak boleh menodai tanah).34
33
M. Ide Apurines, Praktik Pemerintahan Pada Kesultanan Buton Tahun 1540-1960 Masehi,
(Jurnal, Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP UB, 2005), h. 12
34
Pim Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Terjemahan: G. Winaya dari J.W.
Schoorl, (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 84
80
Dengan gambaran seperti di atas, sistem ketatanegaraan kesultanan Buton di
tandai oleh suatu sistem pembagian kekuasaan (a system of power sharing) yang
disangga oleh kaomu dan walaka. Penting sekali bagi kaum kaomu dan walaka
menduduki atau pernah menduduki jabatan di kesultanan. Ini sebagian menentukan
status mereka dan status istri mereka. Dari sudut ini, Buton merupakan Negara
birokratik yang khas. Falsafah Negara, seperti terkandung dalam sarana Wolio,
berusaha mendorong kaumu dan walaka agar bekerja demi kepentingan seluruh
kesultanan.35
Dengan demikian, kekuasaan di dasarkan atas prinsip keseimbangan,
meskipun dalam realitas politik sukar dipertahankan. Salah satu upaya untuk
memecahkan pertikaian politik untuk mendapatkan kekuasaan, mungkin sekali
dilakukan dengan cara menjadikan Murtabat Tujuh sebagai landasan pembentukan
undang-undang kerajaan (sarana Wolio).36
Pembagian kekuasaan antara kaomu dan walaka mengakibatkan pembatasan
struktural terhadap kekuasaan sultan. Di satu pihak, ada gagasan tentang
kedudukannya yang dimuliakan, yang dipengaruhi pemikiran Hindu dan Islam. Di
sini sultan dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi, atau sebagai
bayangan/pencerminan Tuhan yang memberi sultan kekuasaan mutlak. Kedudukan
penguasa yang dimuliakan itu penting demi persatuan kerajaan. Dengan demikian,
perhatian yang besar pada upacara, dan menghatur sembah kepada penguasa itu,
35
Pim Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Terjemahan: G. Winaya dari J.W.
Schoorl, (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 120
36
Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), h. 86
81
masih berlanjut setelah masuknya Islam. Di pihak lain, ada beberapa ketentuan yang
merupakan mekanisme untuk melawan kerajaan absolut.37
Berdasarkan paparan mengenai sistem ketatanegaraan Islam di atas, penulis
dapat menganalisis bahwasanya ada keterpengaruhan sistem ketatanegaraan
kesultanan Buton dalam sistem ketatanegaraan Islam. Hal ini dapat dilihat dengan:
1. Demokratis dan konstitusional adalah sistem ketatanegaraan yang diterapkan
dalam kesultanan Buton. Dalam hal ini walaupun demokrasi yang diterapkan
dalam kesultanan Buton bukanlah demokrasi yang secara menyeluruh, dalam
artian bahwasanya suara masyarakat dalam hal pemilihan sultan diwakilkan
pada siolimbona. Akan tetapi setidaknya ketatanegaraan kesultanan tidak
bercorak absolut dan teokratis, yang mana seperti yang dikatakan oleh M.
Fauzi dalam jurnalnya yang berjudul Sistem Pemerintahan yang Baik dalam
Islam bahwasanya bentuk pemerintahan absolut dan teokrasi itu bertentangan
dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Sebab, kedua bentuk pemerintahan ini
tidak lagi memperhatikan nilai-nilai keruhanian yang merupakan ciri khas
pemerintahan Islam.
2. Sistem ketatanegaraan kesultanan Buton menerapkan prinsip-prinsip Syariah,
yang tercantum dalam Murtabat Tujuh yang mana nilai-nilainya menjamin
dan mengatur kehidupan masyarakat bukan hanya kehidupan dunia tapi juga
37
Pim Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Terjemahan: G. Winaya dari J.W.
Schrool, (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 121
82
kehidupan akhirat (bersifat horizontal dan vertical).38
Hal ini sejalan dengan
teori kenegaraan Ibnu Taimiyah yang lebih menfokuskan peran Syariah dalam
Negara. Dengan demikian, beliau lebih menekankan pada supremasi hukum
Islam ketimbang bentuk pemerintahan yang formal.
38
Achadiati Ikram, Istiadat Tanah Negeri Butun: Edisi Teks dan Komentar, (Jakarta:
Djambatan, 2005), h. 11
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam sejarahnya lembaga-lembaga dalam Islam awalnya tidak sepenuhnya
dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan pembagian kekuasaan,
dikarenakan pembagian kekuasaan dalam Islam mengalami perkembangan dan
perubahan mengikuti situasi dan perkembangan zaman, serta kondisi sosio-historis
dan sosio-politik umat Islam di suatu daerah.
Dengan demikian hasil kajian penulis menunjukan bahwa :
1. Yang paling mendekati dengan konsep pemerintahan di Kesultanan Buton
pada abad 15 M adalah pembagian kekuasaan pada masa pemerintahan
Turki Usmani. Karena gelar bagi para pemimpin Negara pada masa
pemerintahan Turki Usmani adalah Sultan, dan Kesultanan Buton juga
mengadopsi itu. Dan bukan hanya itu, Sultan pada masa pemerintahan
Turki Usmani dalam hal mengatur masalah keagamaan (syariat Islam)
dibantu oleh para Mufti dan Qadi. Seperti halnya Turki Usmani,
Kesultanan Buton juga memiliki persamaan yaitu seorang sultan di
kesultanan Buton dalam mengatur masalah keagaaman (syariat Islam) juga
dibantu oleh Sarana Hukumu. Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu
sistem ketatanegaraan yang baku dalam Islam, dikarenakan dalam Islam itu
sendiri tidak dijelaskan mengenai sistem ketatanegaraan secara eksplisit,
84
namun setidaknya kesultanan merupakan salah satu sistem ketatanegaraan
yang pernah diterapkan dalam Negara Islam (Turki Usmani) dan
kesultanan Buton mengadopsi itu, walaupun tidak secara keseluruhan.
2. Adapaun sistematika pemilihan sultan Buton dalam perspektif pemilihan
pemimpin dalam Islam adalah berdasarkan pendapat al-Mawardi yang
mengatakan bahwasanya pemilihan kepala negara harus memenuhi dua
unsur, yaitu:
a. al-ikhtiar (orang yang berwenang memilih kepala negara), dalam hal
ini Kesultanan Buton memiliki lembaga khusus yang berwenang
memilih dan mengangkat sultan yaitu melalui siolimbona (sembilan
menteri.
b. ahl al-imamah (orang yang berhak menjadi kepala negara), dan dalam
hal ini pun juga Kesultanan Buton orang-orang yang berhak dipilih
untuk menjadi sultan, dan mereka berasal dari golongan kaumu¸
golongan teratas dalam kelompok sosial masyarakat Buton.
85
B. Saran.
Dalam skripsi ini penulis menambah beberapa saran, yang bertujuan untuk
mencobah memberikan wawasan keilmuan mengenai Sistem Ketatanegaraan
Kesultanan Buton Pada Abad 15 M dalam Perspektif Islam, yang diharapkan
wawasan keilmuan ini bisa terus dikembangkan, adapun sarannya sebagai berikut:
1. Kepada para mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah yang mempelajari Hukum Ketatanegaraan Islam (Siyasah) agar
kajian ini bisa dijadikan suatau referensi wawasan keilmuan bagi para
mahasiswa untuk menambah ilmuan pengetahuan dibidang Siyasah pada
umumnya dan khusunya dibidang Sistem Ketatanegaraan Kesultanan Buton.
2. Kepada pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dan terlebih lagi pemerintah
daerah Kabupaten Buton agar tidak menganggap kajian ini sebagai suatu
kajian yang final, tetapi sebagai kajian yang secara terus-menerus ditumbuh
kembangkan oleh para penulis yang berada di Provinsi Sulawesi Tenggara.
86
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
al-Qurân al-Karîm.
Akhmad, Taufiq. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Jakarta: Rajawali
Pers, 2004.
Aliyah, Samir. Sistem Pemerintahan Peradilan dan Adat dalam Islam, Jakarta:
Khalifa, 2004.
Arboko, Cholid & Ahmadi, Abu. Metode Penelitian, Jakarta: Bumi Pustaka, 1997.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers,
2012.
Asshiddieqy, T. M. Hasbi Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1991.
Audah, Ali. Ali bin Abi Thalib Sampai Kepada Hasan dan Husein, Jakarta: Litera
Antar Nusa Pustaka Nasional, 2010.
Basrowi & Suwandi. Memahami Penelitian Kualitatif, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Djazuli, A. Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu
Syariah, Jakarta: Kencana, 2009.
Engineer, Asgar Ali. Revolusi Negara Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Hasbi, Amiruddin M. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, Yogyakarta:
UII Press, 2006.
Hasjmy, A. Di Mana Letaknya Negara Islam, Aceh: PT Bina Ilmu, 1984.
Ikram, Achadiati. Istiadat Tanah Negeri Buton. Jakarta: PT Penerbit Djambatan,
2005.
. . . . . . . , Katalog Naskah Buton, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001.
87
Iqbal, Muhammad & Nasution, Amin Husein. Pimikiran Politik Islam Dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2013.
Maarif, A. Syafii. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Pencaturan dalam
Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1985.
Mawardi, AL. al-Ahkam Asulthaniyah wal Wilayatuldiniyah, Mesir: Mustafa al-Babi
al-Halabi, 1985.
Mufid, Nur & Nur, A. Fuad. Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, Surabaya:
Pustaka Progressif, 2000.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari berbagai Aspeknya, Jilid I. Jakarta, UI Press,
1974.
. . . . . ., Pembaharuan dalam Ajaran Islam, Sejarah, Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada Press, 2007.
Pulungan, J. Suyuti. Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Rajawali
Press, 1997.
Rahman. Kelisanan dalam Tradisi Maataa pada Masyarakat Buton Laporo di
Kabupaten Buton, Tesis: Universitas Indonesia, 2011.
Ramadhan, Syamsuddin. Menegakkan Kembali Khalifah Islamiyah. Jakarta: Pustaka
Panjimas, 2003.
Rudyansjah, Tony. Kekuasaan, Sejarah dan Tindakan: Sebuah Kajian Tentang
Lanskap Budaya, Jakarta: Rajaawali Pers, 2009.
Rumidi, Sukandar. Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Press, 2004.
Sabirin, Falah. Tarekat Samaniyah di Kesultanan Buton, Tesis: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011.
Schoorl, J.W. Pim. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Jakarta:
Djambatan, 2003.
88
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Edisi V,
Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1989.
Sukardja, Ahmad. Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam
Prespektif Fikih Siyasah, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Syafiie, Inu Kencana. Al-Qur’an dan Ilmu Politik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996.
. . . . . . , Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Tamburaka, Rustam. et. al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra
membangun, 2004.
Tahir, Azhary Muhammad. Negara Hukum, Jakarta: Kencana, 2003.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Rajawali Pers, 2008.
Yunus, Abdul Rahim. Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di kesultanan Buton
pada Abad ke-19, Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation in Islamic
Studies (INIS), 1995.
Zahari, Abdul Mulku. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton), Jakarta: Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1997.
Zuhdi, Susanto. Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana, Jakarta:
Rajawali Pers, 2010.
JURNAL
Al-Ahmadi, Abdul Rahman. Sejarah Hubungan Kelantan/Patani dengan Sulawesi
Selatan, dalam Nik Mohamed bin Nik Mohamed Saleh, warisan Kelantan III,
1984.
89
Alifuddin, Muhammad. Transformasi Islam dalam Sistem Sosial Budaya Orang
Buton: Tinjauan Historis, dalam jurnal Fakultas Agama Islam IAIN Sultan
Qaimuddin Kendari 2008.
Apurines, M. Ide. Praktik Pemerintahan pada Kesultanan Buton Tahun 1540-1960
M, dalam jurnal Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP UB, 2005.
Fauzi, Muhammad. Sistem Pemerintahan yang Baik dalam Islam, dalam jurnal
Fakultas Syariah IAIN STS Jambi, 2009.
Pulungan. Suyuti. Ide Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
Tentang Negara dan Pemerintahan dalam Islam, dalam jurnal Fakultas Adab
dan Humaniora IAIN Raden Fatah Palembang, 2003.
Rudyansjah, Tony. Kaomu, Walaka dan Papara: Satu kajian mengenai
StrukturSosial dan Ideologi Kekuasaaan di Kesultanan Wolio, dalam jurnal
Berita Antropologi 52, tahun 1997.
Saidi. Studi Sosiologi Kultural dan Historis Tentang Dasar-Dasar Adat dan Budaya
Masyarakat Buton, dalam hasil penelitian inventarisasi adat dan budaya
masyarakat Buton, Baubau 2001.
Suryadi. Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi
Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda, dalam Jurnal Humaniora
Volume 19 No. 3 Oktober 2007.
Zulham. Sistem Pemerintahan Islam Menurut al-Ghazali dan Abu al-A’la al-
Maududi, dalam jurnal Al-Muqaranah, Fakultas Syariah, IAIN Sumatera
Utara, Volume II No. 2 Januari-Desember 2014.