Download - Orde Blackhole
ORDE BLACKHOLE
”...tentang limit tak terhingga yang pernah aku katakan waktu itu? Jarak pandang
yang tak terdefinisi, pengelabuan terhadap mata. Pasal alam yang rumit, limit tak
terhingga per tak terhingga. Namun ada kalanya limit itu mencapai titik nol. Nol yang
berarti tak ada dengan unsur pengaburan. Dengan demikian intuisi alam dapat
disimpulkan, f(x) mendekati 0 bilamana x mendekati tak terhingga...
30 September
“…97, 98, 99…sudah belum?” Anak laki-laki itu berteriak melengking. Mata
coklatnya yang bulat cerah menyapu ke sekeliling padang rumput. Ia bernama Noah,
umurnya menginjak tiga belas tahun namun ia memiliki pengetahuan yang membentang
tak terduga. Ia selalu menyebut dirinya sebagai Mr. Stephen Noah Hawking. Panggil aku
Hawking, elang langit, begitulah ocehnya. Ia dilahirkan pada tanggal 8 Januari,
bertepatan dengan tanggal kelahiran Stephen Hawking sekaligus tanggal kematian
Galileo.
Rambut hitam ikalnya bersembunyi di balik topi coklat, jaket putih dengan tulisan
blackhole di lengan kanannya melekat pada tubuhnya yang semampai. Sejenak ia
tersenyum sambil meletakkan ibu jari dan telunjuk pada dagu belahnya. Disusurinya
rerumputan yang berbaring damai di atas tanah, menyibak gerombolan benggala dan ia
tergelak saat menemukan Jerico Nino menungging dengan tubuh yang dipenuhi semak-
semak dan ranting.
”Kau tidak bisa mengelabui mata elang.” Ia masih terbahak-bahak dengan puas.
Jerico menyeringai sambil membersihkan kotoran di kepalanya.
”eh?”
”Apa kau ingat tentang limit tak terhingga yang pernah aku katakan waktu itu?
Jarak pandang yang tak terdefinisi, pengelabuan terhadap mata. Pasal alam yang rumit,
limit tak terhingga per tak terhingga...”
“...Namun ada kalanya limit itu mencapai titik nol. Nol yang berarti tak ada
dengan unsur pengaburan. Dengan demikian intuisi alam dapat disimpulkan, f(x)
mendekati 0 bilamana x mendekati tak terhingga...” Jerico melanjutkan sambil pura-pura
pilek.
“Tuh kau bisa hafal juga...”
“Kau kan mengatakannya setiap hari.” Ia mendengus lalu beberapa saat kemudian
berbalik memandang Noah. ”Apa Denisha sudah kau temukan?”
Anak laki-laki berkacamata itu menengadahkan lengannya lalu menggeleng pelan.
”Kupikir dia memakai rumus limit...” kata Jerico sambil merebahkan tubuhnya di
atas rumput. Ia tiba-tiba tergelak sambil membayangkan Denisha dengan nilai dua di
kertas ulangan matematikanya.
”See! ingatannya sangat luar biasa. Ia bisa menghafal sejarah dunia yang bertele-
tele, nama-nama rasi bintang, bahkan...”
Jerico melecutkan mata pada Noah. “Bahkan aku tak memiliki kehebatan
apapun...” Ia menelan pembicaraannya lalu meringis dalam-dalam. Seseorang telah
melempar kerikil sebesar kelereng ke kepalanya.
”Hei, Jerico! kau tidak mencariku...” protes seorang gadis dengan nada meletup-
letup. Rambutnya yang panjang terurai menjadikannya tampak seperti putri hutan yang
muncul dari istana perdu.
”Otakku bisa bocor, tauh?” Jerico mendengus.
”Lemparanku terlalu keras, ya?”
”Sangat luar biasa keras sekali.”
”Maaf...tapi kau membuatku menunggu...”
”Noah tahu kau pasti akan muncul dengan sendirinya tanpa perlu dicari,” potong
Jerico sambil menjulurkan lidahnya.
Denisha menjitak kepala Jerico. Anak itu meringis kesakitan tapi kemudian ia
tergelak. Jerico tiba-tiba menggamit lengan Denisha dan Noah.
”Kita balapan lari. Siapa yang menyentuh Blackhole terakhir kali harus memberi
contekan PR matematika.”
Noah mengangkat alisnya, mulutnya megap-megap hendak memprotes tetapi dua
sahabatnya telah melesat meninggalkannya. Ia tidak suka berlari dan segala macam olah
raga yang membuatnya berkeringat. Mereka curang, gerutunya.
Ia memutuskan berjalan pelan menuju Blackhole. Dilihatnya Jerico dan Denisha
telah sampai di bawah Pohon Trembesi yang diberi nama Blackhole. Mereka
melambaikan tangan sambil mengikik ke arahnya.
”PR matematika, bung!”
Noah tidak mempedulikan itu. Dan sampai kapanpun ia tidak akan pernah
memberikan contekan PR. Pada siapapun!
Langkah Noah terhenti seketika. Matanya teralih pada bangkai burung pipit yang
tergeletak di ujung jari kakinya. Dipungutnya benda itu, diamati, lalu ia bergumam
dengan sedikit nada terkejut, ”rekayasa genetika.”
***
Esok pagi itu Noah berjalan terburu-buru sambil mencengkeram lengan Denisha
dan Jerico. Dua sahabatnya itu terpaksa mengikuti langkah Noah dengan kaki
tersandung-sandung dan mata masih ingin terpejam.
”Hei, kau tahu ini jam berapa?” protes Jerico sambil bersungut-sungut.
”Profesor Eliot sudah berada dikantornya jam setengah enam tiap pagi...”
”Dan jam sembilan tiap malam pun ia masih berada di kantornya,” Denisha
menyahut. “Demi apa pagi-pagi aku ke sekolah!”
Noah tidak lagi menggubris omelan sahabatnya. Mereka menyusuri jalan kecil
yang kanan dan kirinya terbentang sawah yang belum ditanami. Kicauan burung dari
hutan jalur utara menciap renyah ditelinga mereka. Sementara semburat matahari nampak
malu-malu naik ke singgasananya.
Mereka sampai di depan gerbang yang di atasnya terukir tulisan SEKOLAH
KAMELOT.
Noah melepaskan cengkeramannya sejenak, tapi kemudian menyambar lengan Denisha
dan Jerico lagi lalu membawa mereka ke sebuah bangunan paling pojok yang terpisah
dengan bangunan lainnya.
Pintu tua itu berderik ketika diayun terbuka. Kayunya hitam kecoklatan, namun
masih tampak kokoh. Di dalamnya, satu lampu kecil tergantung di atap, sinarnya tidak
menerangi secara sempurna tetapi Noah, Denisha, dan Jerico masih bisa melihat dua
belas ruangan gelap yang tertutup rapat dan satu ruangan dengan pintu terbuka diterangi
lampu baca. Lamat-lamat terdengar dengkuran halus.
Noah mengintip ruang yang bertuliskan GRANTO ELIOT terukir di atas batu
pualam yang digantung pada punggung pintunya. Suara dengkuran semakin terdengar
nyata. Semenit kemudian ia mengetuk dengan pelan namun tak ada jawaban, diketuknya
lagi dengan agak keras hingga suaranya menggema di sepanjang lorong.
Dengkuran itu tergantikan dengan suara berdebam beruntun diiringi dengan batuk
kecil.
”Profesor, maaf...tapi saya...”
Noah terdiam. Ia mendapati Pria tua itu sedang membetulkan kacamatanya yang
merosot hingga kejanggut. Buku-buku berserakan di bawahnya, tampaknya ia tertidur
dan sangat terkejut hingga sikunya menyenggol tumpukan buku di sampingnya. Cepat-
cepat pria tua itu menyambar buku yang masih terbuka di depannya, ditutup, lalu
disingkirkannya ke peti buku yang berdiri dibelakangnya.
”S-saya menemukan...”
Noah membuka ransel dengan tidak sabar, dipungutnya sebuah kotak kaca dari
dalamnya, kemudian disodorkannya kepada Eliot. Jerico dan Denisha mengintip dari
balik bahu Noah.
Mata Eliot menciut, mendelik, alisnya melesat tinggi seperti roket, sangat terkejut
hingga kacamatanya nyaris terjatuh lagi.
”Rekayasa Genetika,” kata Noah melanjutkan.
Tangan keriput pria itu meraih benda yang berisi bangkai burung. Dengan
gemetar dibukanya penutup kaca yang menghalanginya dan bau bahan kimia menyeruak
ke sela-sela hidung. Denisha terbatuk-batuk.
”Ini Xenotransnimorph, profesor,” katanya lagi ketika Eliot memberi sinyal
kepada Noah untuk meneruskan hipotesisnya. ”Sebuah dosa dalam ilmu pengetahuan.”
”Apa yang kau ketahui dari Xenotransnimorph?” Eliot mengatakannya dengan
nada yang dalam. ”Xenotransnimorph telah dilarang dan...”
”Tapi yang ada di depan anda ini adalah hasil Xenotransnimorph,” sergahnya
defensif. “Proyek hitam yang pernah beroperasi pada jaman penjajahan untuk membunuh
musuh dengan tanpa meninggalkan barang bukti melalui persenyawaan kimia karbit dan
merkurokrom.”
Eliot tampak menyembunyikan keterkejutannya. Ia kembali duduk di belakang
meja. Mata tuanya yang selalu waspada menatap sebuah pigura yang tergantung di
dinding kelabu. Noah turut menoleh, ia mendapati seorang wanita muda dengan jas
laboratorium sedang memeluk seekor kucing. Kelihatannya tidak ada yang istimewa dari
foto hitam putih itu dibandingkan dengan delapan pigura lain yang memenuhi dinding.
”Profesor... Profesor...” Noah mendesah tidak sabar. ”Anda akan mendapati
bangkai ini akan melapuk. Pada 40 hitungan mundur.”
Eliot melecutkan pandangan, menatapnya sejenak dengan dalam seolah sedang
menerkam penghuni mata lawan bicaranya.
”Hei, kenapa harus hitung mundur?” kata Denisha. ”Lebih mudah hitung maju.”
”Sst... orang yang menghitung mundur iramanya akan lebih lambat dari pada saat
ia berhitung maju.” Jerico berkata lamat-lamat. “Kata Noah seperti itu.”
Perlahan ada desisan yang menyergap diantara mereka.
Jerico dan Denisha membekap mulutnya rapat-rapat mendapati yang tak terlihat
melumatkan jasad makhluk itu.
”Seperti sedang dimakan angin.”
”Bukan. Seperti ada setan yang menggigitnya.”
Eliot menghempas kembali ke kursi busa tuanya.
”Orde Blackholes telah dibubarkan sepuluh tahun yang lalu,” katanya. ”Mustahil
produk rekayasa genetika ini masih ada.”
***
”Orde Blackholes?” Noah mengulang kata itu hingga tiga kali ketika mereka telah
keluar dari ruang Eliot.
Tiga anak itu berjalan melewati beberapa pengajar yang pagi itu datang tepat
waktu sebelum lonceng berdenting menggiring penghuninya menuju kelas masing-
masing.
”Senotransmorphi, persewaan kimia karbit, merkukokom...”
”Xenotransnimorph...pake X bukan S,” Denisha mengoreksi Jerico. ”Dan yang
tadi persenyawaan kimia karbit bukan persewaan. Satu lagi tadi merkukokom…” Ia
berhenti untuk tertawa dengan nyaring. ”yang benar merkurokrom.”
Jerico bersungut-sungut.
”Apa kau mengerti semua itu?” balasnya.
”Tidak.” Jericho tersenyum penuh kemenangan mendengar sahutan Denisha, tapi
perlahan luntur ketika gadis itu melanjutkan. ”Tapi aku masih ingat koran yang aku baca
dua tahun yang lalu, tepatnya tanggal 23 November. Orde Blackholes.” Noah melecutkan
pandangan ke arah Denisha. “Kasus bunuh diri Yola Vu dengan cara menyuntikkan racun
ke dalam tubuhnya sendiri.”
”Yola Vu artis ibu kota itu? Hei bukankah dia pernah dekat dengan presiden?”
Noah memberondongnya dengan tanya. “23 November berarti hari ini. Apa yang kau
ketahui dari berita itu? Apa kau masih menyimpan korannya?”
Denisha tampak terkejut dengan pertanyaan Noah yang sekonyong-konyong itu,
tapi ia berusaha tenang dan mengingat-ingat. Menggeleng.
”Aku tidak pernah menyimpan koran dan segala macamnya yang sudah kubaca.
Err...Orde Blackholes adalah organisasi hitam ilegal yang didirikan pada tahun 1930.”
Mata Denisha menyipit. ”Memiliki tujuh puluh tujuh anggota yang memiliki predikat
mahaguru, lima puluh lima profesor, dan sembilan puluh sembilan peneliti. Tidak ada
yang tahu siapa anggota orde ini, mereka sangat tertutup. Hingga akhirnya berita
kematian Felix Catroinye terbongkar oleh media sehingga organisasi berbahaya ini
dibubarkan. Kasus ini telah dibawa ke Pengadilan Internasional, beberapa orang yang
diduga terlibat dalam organisasi ini divonis dengan hukuman yang berat.”
”Mengapa mereka bisa menuding organisasi itu berbahaya?” Noah tampak tidak
sabar.
”Felix Catroinye ditemukan tak bernyawa di laboratoriumnya. Asal tahu saja, bagi
dia laboratorium adalah istana paling megah.” Denisha begidik. Ia melempar ranselnya di
bangku belakang Jericho. “Semua proyek masa depan ditemukan di sana. Termasuk…”
Ia berbisik. “Xenotransnimorph.”
“Proyek masa depan?” Ia mengerutkan alis hingga keduanya nyaris menyatu.
Jericho mendesis, mengerling Noah. ”Bu Faye datang.”
Noah memperhatikan ambang pintu yang hanya tersisa lima senti pada bagian
pinggirnya ketika seorang wanita gemuk masuk dengan menyangga setumpuk buku
hingga wajahnya terbenam.
Serentak penghuni kelas terdiam ketika Faye mengetukkan tongkat panjangnya ke
papan tulis. Matanya yang mendelik dibalik kacamata bergagang selalu bisa membuat
anak-anak berjengit. Ia menggoreskan kapur hingga menimbulkan suara berdencit. Setiap
detik yang berlalu serasa satu jam. Setiap pasang mata bergantian memelototi jam
dinding yang menempel di atas papan tulis. Ingin rasanya tangan mereka menggapai
jarumnya lalu memutar menuju dua jam berikutnya.
”Eurel,” ia memanggil sebuah nama tanpa mengalihkan mata dari papan tulisnya.
Denisha menegang seperti baru saja disetrum. ”Bagaimana cara membuktikan kontradiksi
saat K maka X.”
Gadis itu terbengong beberapa saat menatap punggung Jericho yang sama sekali
tak membantunya memberikan jawaban. Tiba-tiba pemuda di depannya melemparkan
secarik kertas kecil lusuh yang sepertinya bekas bungkus permen karet. Denisha
menyeringai jijik tapi ia bersyukur dalam hati. ”Bukan K menyatakan bukan X.”
Faye mengangguk puas dengan jawaban yang ia terima. Ia berbalik memunggungi
papan tulis lalu melecutkan matanya pada setiap tatapan ketakutan muridnya. ”Perlu
kalian pahami, pembuktian dengan kontradiksi merupakan senjata paling ampuh untuk
membuat sebuah teorema. Di sinilah kita bisa menyimpulkan bahwa semua yang tak
rasional akan memberikan jumlah yang tak rasional. Hipotesis satu telah terselesaikan.”
Ia mengetuk tongkatnya ke papan tulis. ”Ada yang belum terselesaikan?”
Sebuah tangan mengacung tegak. ”Ya, Noah...”
”Apakah kita bisa menemukan bilangan tak rasional diantara dua bilangan
rasional berlainan yang berdiri rapat?”
”Kau sama saja bertanya padaku, apakah ada ketidakmustahilan diantara
kemustahilan yang merapat. Ada! Perlu kalian ingat, mustahil dan tidak mustahil berada
dalam lingkaran nyata. Demikian, bilangan tak rasional dan rasional masih berada dalam
situasi garis bilangan riil. Namun garis antara keduanya hanya perkiraan satu benang tipis
hingga kita tak menyadarinya.”
Pelajaran matematika usai dengan menegangkan menyisakan isi kepala yang
masih serasa kebas. Jericho dan Denisha menghambur pada Noah.
”Pertanyaanmu tadi membuat otakku masih berdengung-dengung sampai
sekarang.” Jericho menggerutu dengan tangannya membumbung mempraktekkan asap
kereta sedang meluncur ke langit. Denisha tergelak sambil memukul punggung Jericho
yang tegak.
Noah tak menggubris celotehan Jericho dan Denisha, ia keluar kelas dengan
terburu. Ia menyusuri lorong yang menghubungkan taman dan gedung sebelah.
....(Bersambung....) :D