1
PAJAK DI DALAM PEREKONOMIAN DAERAH: KOTA PEKANBARU
Dahlan TAMPUBOLON, Ph.D
Disampaikan Di Dalam Seminar “Regulasi Perpajakan untuk Menopang
Pertumbuhan Ekonomi” 30 Desember 2013
Fakultas Ekonomi dan Sosial, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru
PENDAHULUAN
Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi (economic growth and development)
selalu menjadi perhatian yang besar di dalam membicarakan masalah ekonomi sejak
berabad-abad yang lampau. Pertumbuhan ekonomi diperlukan dan merupakan ukuran
utama di dalam penentuan standar hidup (standard of living) penduduk yang jumlahnya
terus meningkat.
Pertumbuhan ekonomi didorong oleh adanya investasi yang dilakukan oleh pihak
swasta dan pemerintah yang dibelanjakan untuk keperluan modal. Investasi pihak
pemerintah diwujudkan di dalam pembelanjaan yang bersumber dari penerimaan-
penerimaan yang ada. Untuk menjalankan aktivitasnya, pemerintah selalu meningkatkan
belanja langsungnya atau untuk pembangunan serta belanja tidak langsung. Peningkatan
ini diperlukan karena adanya pembangunan sarana dan prasarana yang baru bagi
memenuhi kebutuhan masyarakat, dan juga perawatan dan perbaikan sarana yang telah
dibangun pada periode sebelumnya.
Pemerintah daerah di dalam memperoleh sumber pembiayaan dari pendapatan asli
daerah dan penerimaan transfer dari pemerintah pusat. Sesuai dengan Undang Undang
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
Pendapatan Asli Daerah dapat bersumber dari penerimaan yang berasal dari : Hasil pajak
daerah, Hasil retribusi daerah, Keuntungan perusahaan daerah (BUMD), dan pendapatan
lain-lain daerah yang sah.
2
Implikasinya adalah bagi daerah kabupaten dan kota, untuk tidak hanya terfokus
pada dana perimbangan keuangan, namun lebih kepada penggalian dan mengembangkan
potensi ekonomi daerahnya sehingga sumber dana pembangunan bagi daerah yang
bersumber dari Pendapatan Asli daerah dapat lebih dioptimalkan serta menjadi
kontributor dana pembangunan daerah kedepan.
Pada tanggal 15 September 2009 dikeluarkan dan diundangkan dasar hukum yang
baru mengenai pajak daerah dan retribusi daerah yakni UU No. 28 tahun 2009 pengganti
UU No. 34 tahun 2000 dimana, pajak dan retribusi diharapkan menjadi salah satu sumber
pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah serta untuk
meningkatkan dan meratakan kesejahteraan masyarakat.
Pajak merupakan pungutan yang dipaksakan oleh pemerintah untuk tujuan-tujuan
tertentu. Misalnya untuk membiayai penyediaan barang dan jasa publik, untuk mengatur
perekonomian dan juga untuk mengatur konsumsi masyarakat. Karena sifatnya yang
dipaksakan tersebut maka pajak akan mempengaruhi perilaku ekonomi masyarakat atau
seseorang.
PAJAK DALAM PEMBANGUNAN
Pajak merupakan kontra produktif bagi pertumbuhan output. Romer dan Romer
(2010) menemukan efek negatif pajak dimana kenaikan pajak dari 1 persen dari PDB
menurunkan PDB riil sekitar 3 persen setelah sekitar dua tahun. Arnold et al. (2011)
menyebutkan pajak berbahaya bagi pertumbuhan ekonomi, terutama pajak korporasi,
pajak pribadi penghasilan, pajak konsumsi, dan pajak properti. Barro dan Redlick (2011)
melihat, faktor perubahan di dalam pajak marjinal lebih berpengaruh dibandingkan rata-
rata tarif pajak terhadap penerimaan negara. Ferede dan Dahlby (2012) menemukan
potongan pajak perusahaan 10 poin akan menaikkan tingkat pertumbuhan per kapita
tahunan sebesar 1 sampai 2 poin.
Gemmell et al. (2011) menemukan menemukan bahwa pajak distorsi yang paling
merusak pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, diikuti oleh defisit, dan pajak non-
distortif. Reed (2008a, 2008b) juga mendapati adanya hubungan negatif yang signifikan
antara pajak dan pertumbuhan ekonomi negara di berbagai spesifikasi dan estimasi
3
prosedur. Masih banyak lagi kajian-kajian yang mengemukakan adanya trade-off antara
pajak dan pertumbuhan seperti Holcombe dan Lacombe (2004), Poulson dan Kaplan
(2008) serta Gabe dan Bell (2004).
Di sisi lain, pajak merupakan modal dasar pembangunan. Lebih dari dua pertiga
modal dasar pembangunan adalah berasal dari pajak. Mekanisme bekerjanya sistem pajak
seperti ini dapat dijelaskan seperti berikut. Pada saat pemerintah melakukan belanja
barang dan jasa terjadi aliran pendapatan dari pemerintah ke dalam masyarakat.
Termasuk juga dalam hal ini beberapa multiplier effect dalam bentuk, misalnya
employment creation dan peningkatan output. Kenaikan pendapatan masyarakat ini akan
merangsang peningkatan permintaan dan dalam kondisi penawaran yang relatif terbatas
akan terjadi kecenderungan kenaikan harga (untuk selanjutnya mengarah pada inflasi).
Dalam situasi seperti ini sebagian dari pendapatan masyarakat yang meningkat itu diambil
oleh pemerintah melalui pajak untuk membiayai defisit anggaran berikutnya. Hal inilah
yang dikatakan sebagai forced saving, yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk
pembentukan modal.
Fungsi pertama perda pajak dan retribusi adalah fungsi anggaran yang erat
kaitannya dengan fungsi perencanaan. Dengan fungsinya yang demikian, maka pajak dan
retribusi mempunyai posisi yang strategis bagi kegiatan pembangunan yang diinginkan di
daerah. Kegagalan memenuhi target penerimaan sesuai dengan anggaran, akan
berpengaruh terhadap pelaksanaan perencanaan pembangunan yang telah ditetapkan.
Muara akhir semuanya ini adalah kegagalan bagi daerah dalam melaksanakan misinya
mengembangkan dan meningkatkan pembangunan dalam rangka kesejahteraan rakyat di
daerah.
Fungsi kedua perda pajak dan retribusi sehu-bungan dengan anggaran adalah
fungsi pengaturan. Dalam hal ini pemerintah daerah harus menetapkan pengaturan yang
jelas tentang jenis maupun besarnya tarif pajak dan retribusi yang dibebankan kepada
rakyat. Pengaturan yang dituangkan dalam perda harus dapat menjamin kepastian hukum
bagi rakyat di daerah. Makna kepastian hukum dalam fungsi pengaturan adalah tidak
boleh ada tumpang tindih antara sebuah jenis pajak atau retribusi lainnya yang diikuti
dengan kejelasan wewenang pemerintah provinsi dan wewenang kabupaten atau kota.
4
Fungsi ketiga perda pajak dan retribusi sebagai instrumen anggaran adalah fungsi
distribusi. Pemda memainkan peran sebagai fasilitator yang baik dalam distribusi
kenyamanan kepada rakyat dengan prinsip “saling dukung” (subsidi silang). Peranan ini
tidak dapat lepas dari rasionalitas “prinsip keadilan” dalam proses distribusi penikmatan
fasilitas yang dibiayai dari pajak dan retribusi.
Adanya pajak pula sebagai upaya untuk mengatur alokasi pendapatan masyarakat.
Dengan menarik pajak sesuai mekanismenya, maka pemerintah dapat mengalokasikan
pendapatan pada upaya-upaya investasi yang dapat dinikmati banyak orang. Dengan
tersedianya banyak investasi, maka akan timbul lapangan pekerja. Sehingga secara tidak
langsung pemerintah telah melakukan realokasi dan redistribusi pendapatan. Jadi secara
tidak langsung adanya penarikan pajak yang tepat akan membuka peluang bagi
kemakmuran masyarakat serta menjaga stabilitas dengan penciptaan lapangan kerja.
Pemerintah, termasuk pemerintah daerah perlu melaksanakan perpajakan yang
dapat memenuhi kebutuhan APDB, namun tidak bersifat kontraproduktif yang dapat
memacu munculnya high cost economy (ekonomi biaya tinggi). Karena pajak selain
mampu menjadi penopang utama sumber pembiayaan pemerintah daerah, juga dapat
mengurangi daya saing daerah serta menghambat pertumbuhan ekonomi.
5
Prinsip Pengenaan Pajak
Pengenaan pajak yang terbaik dipandang dari sudut pandangan ilmu ekonomi
adalah sistem perpajakan yang memiliki pengaruh-pengaruh ekonomi paling baik atau
setidaknya walaupun memberikan pengaruh tidak baik, adalah yang paling sedikit. Soal
prinsip pengenaan pajak agar dapat dihasilkan suatu kebaikan telah dikemukakan oleh
Adam Smith dengan cannon of taxation. Suatu sistem pajak yang baik haruslah memenuhi
beberapa kriteria di antaranya adalah (1) Distribusi dari beban pajak harus adil, setiap
orang harus membayar sesuai dengan bagiannya yang wajar; (2) Pajak-pajak harus sedikit
mungkin mencampuri keputusan-keputusan ekonomi; (3) Pajak-pajak haruslah
memperbaiki ketidakefisienan yang terjadi di sektor swasta, apabila instrumen pajak dapat
melakukannya; (4) Struktur pajak haruslah mampu digunakan dalam kebijakan fiskal
untuk tujuan stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi; (5) Sistem pajak harus dimengerti
wajib pajak; (6) Administrasi pajak dan biaya pelaksanaannya haruslah sesedikit mungkin;
(7) Pasti; (8) Dapat dilaksanakan; dan (9) Dapat diterima. Konsep keadilan pada kriteria
(1) sifatnya relatif. Dalam perpajakan konsep dibedakan menjadi dua klasifikasi yaitu
keadilan datar (horizontal equity) dan keadilan tegak (vertical equity). Yang dimaksud
dengan keadilan datar adalah pengenaan pajak di mana setiap orang yang keadaannya
sama haruslah menderita beban yang sama pula besarnya. Sedangkan keadilan tegak
adalah situasi di mana orang yang keadaannya berbeda haruslah menderita beban pajak
yang berbeda pula. Bisa dimaklumi bahwa konsep keadilan ini sangat kabur karena tidak
jelas apa yang dimaksud dengan orang yang keadaannya sama.
DAMPAK PAJAK DALAM EKONOMI
Terhadap kesejahteraan (welfare)
Apabila suatu barang dikenakan pajak maka harga yang dibayar konsumen lebih
tinggi daripada harga yang diterima oleh produsen atau penjual, karena sebagian harga
dibayarkan kepada pemerintah. Dalam beberapa hal kadang-kadang suatu pajak akan
menimbulkan beban yang lebih berat dibandingkan nilai yang dipungut. Kelebihan beban
yang ditimbulkan oleh pajak itulah yang disebut kesejahteraan yang hilang karena pajak
(welfare cost of taxation). Penting sekali membedakan secara jelas antara biaya tak
6
langsung (the welfare cost taxation) dan biaya langsung (direct cost of taxation) dalam
hubungannya dengan penarikan sumber-sumber produktif dari sektor swasta.
Perbedaan ini dapat diilustrasikan secara jelas dengan contoh sebagai berikut:
misalnya suatu pajak penjualan dikenakan pada produk tertentu, tetapi pajak tersebut
dikenakan sedemikian tinggi sehingga produk tersebut menurun sampai nol. Dalam hal
demikian berarti tidak ada biaya langsung dari suatu pajak sebab tidak ada penerimaan
pajak yang dapat dikumpulkan oleh pemerintah. Tetapi jelas ada beban bagi masyarakat
karena pajak yaitu produk tersebut tidak diproduksi padahal sangat dibutuhkan
masyarakat.
Dengan demikian ada mis-alokasi sumber-sumber produksi sehingga konsumen
menjadi kurang senang dan kehilangan kesejahteraan, yang berarti mereka memikul
beban pajak. Jadi dalam hal ini ada welfare cost of taxation meskipun tidak ada direct cost
of taxation. Apabila pajak penjualan tersebut dipungut pada tingkat tertentu yang masih
menghasilkan sejumlah penerimaan pajak berarti akan timbul baik welfare cost of
taxation maupun direct cost of taxation. Lebih jelasnya dapat diikuti pada gambar
berikut:
Gambar 1. Dampak Pajak Terhadap Welfare.
7
Gambar 1 memperlihatkan bahwa harga mula-mula sebelum dikenakan pajak
terhadap produk tersebut adalah Po dan kurva supply adalah S, namun ketika dikenakan
pajak pada produk tersebut maka kurva supply bergeser dari S ke S+T sehingga harga
menjadi naik dari Po menjadi P1 sedangkan produksi turun dari Qo menjadi Q1.
Penerimaan pajak (the direct cost taxation) sama dengan PoP1BA. Harga bagi konsumen
sekarang adalah P1 di atas harga awal yaitu Po dan inilah sumber mis-alokasi yang
menyebabkan adanya welfare cost. Pengurangan konsumsi atas produk tersebut dari Qo ke
Q1 berarti hilangnya manfaat sebesar BCQoQ1. Sumber-sumber produktif yang dipakai
untuk memproduksi Qo dan Q1 dapat digunakan untuk memproduksi barang-barang lain
yang lebih banyak. Jadi pajak membatasi produksi barang-barang yang dikenakan pajak
dan mendorong sumber-sumber ptoduktif berpindah ke pemakaian lain. Tetapi nilai
barang lain yang diproduksi (ACQoQ1) lebih sedikit dibanding dengan hilangnya nilai
barang-barang yang dikenakan pajak (BCQoQ1). Perbedaan atau selisih antara BCQoQ1 dan
ACQoQ1 = BAC merupakan welfare cost sebab ini merupakan besarnya kehilangan neto
akan manfaat.
Dengan mengetahui welfare cost maka dapat dibandingkan pajak yang satu dengan
yang lain dan menentukan mana yang memberikan beban lebih besar kepada masyarakat
sehingga pemerintah dapat membuat alternatif lain di bidang perpajakan. Demikian pula
besarnya welfare cost dapat memberi petunjuk kepada pemerintah untuk mengalokasikan
sumberdaya produktif seefisien mungkin.
Terhadap produksi
Dampak pajak terhadap produksi dapat dibagi dalam pengaruh pajak terhadap
produksi keseluruhan dan komposisi produksi. Pengaruhnya terhadap produksi secara
keseluruhan berlangsung melalui pengaruhnya terhadap kerja, tabungan dan investasi.
Lebih jauh dampak pajak ini terlihat dari kemampuan dan keinginan untuk bekerja,
menabung dan mengadakan investasi.
Menurut Suparmoko (1997) kemampuan seseorang untuk bekerja akan berkurang
apabila dikenai pajak yang dapat mengurangi efisiensi kerjanya. Oleh karena itu suatu
pajak yang dikenakan kepada golongan yang mempunyai tingkat penghasilan yang rendah
dalam suatu masyarakat hanya akan menurunkan tingkat efisiensi kerjanya.
8
Kemampuan menabung juga akan berkurang akibat dikenakannya pajak. Orang
yang dikenakan pajak penghasilan, kemampuannya untuk menabung akan berkurang
sebesar marginal propensity to save (mps) dikalikan dengan jumlah pajak yang
dikenakan. Bagi orang-orang yang tergolong mempunyai pengahasilan rendah, pengenaan
pajak tidak akan mengurangi kemampuannya untuk menabung karena memang biasanya
mereka itu sudah tidak mempunyai tabungan walaupun belum dikenakan pajak. Sehingga
kalau dikenakan pajak tidak akan mengurangi tabungannya melainkan akan mengurangi
konsumsinya. Dengan alasan yang demikian ini maka masuk akal jika kemudian pajak
yang dikenakan terhadap petani yang sebagian besar berpenghasilan rendah tidak
dilakukan.
Kemampuan untuk mengadakan investasi tergantung pada sumber-sumber dana
yang akan digunakan untuk mengadakan investasi itu. Jelaslah kiranya bahwa
kemampuan untuk mengadakan investasi ini akan berkurang dengan adanya pajak yang
mengurangi kemampuan untuk mengadakan tabungan. Karena tabungan adalah sumber
dana untuk investasi maka dengan sendirinya kemampuan untuk mengadakan investasi
juga akan berkurang bila kemampuan untuk menabung berkurang dengan adanya pajak.
Pengaruh pajak juga dapat mengakibatkan adanya penyimpangan dalam
penggunaan faktor produksi yaitu penggunaan faktor produksi yang seharusnya dapat
menghasilkan produksi maksimum menuju ke arah penggunaan yang menghasilkan
produksi yang lebih sedikit. Oleh karenanya pajak yang dikenakan jangan sampai
mengakibatkan adanya penyimpangan penggunaan faktor-faktor produksi atau kalau
memang tidak dapat dihindarkan, pajak yang dikenakan jangan sampai menimbulkan
banyak penyimpangan-penyimpangan.
Terhadap distribusi pendapatan
Baik atau tidaknya suatu kebijakan haruslah dipertimbangkan dari beberapa segi.
Hendaknya diketahui pula bahwa tujuan pembangunan suatu negara pada umumnya
adalah berupa peningkatan pendapatan nasional per kapita, penciptaan lapangan kerja,
distribusi pendapatan yang merata dan keseimbangan dalam neraca pembayaran
internasional. Keempat tujuan umum pembangunan ini tidak sejalan dan selaras dalam
pencapaiannya, melainkan seringkali untuk mencapai tujuan yang satu terpaksa harus
9
mengurangi keberhasilan dari tujuan yang lain. Sebagai misal untuk mencapai laju
pertumbuhan ekonomi yang tinggi seringkali terjadi ketidakmerataan pendapatan.
Tingkat pajak yang regresif cenderung untuk memperbesar ketidakmerataan
penghasilan dalam masyarakat. Sebaliknya semakin progresif sistem pajak yang dianut
oleh suatu perekonomian akan semakin berkuranglah perbedaan penghasilan yang
terdapat dalam perekonomian, sehingga sistem pajak yang digunakan hendaklah bersifat
progresif tajam. Suatu pajak dikatakan mempunyai struktur yang progresif apabila
persentase beban pajak terhadap pendapatan naik dengan meningkatnya pendapatan.
Sedangkan struktur pajak dikatakan bersifat regresif apabila persentase beban pajak
terhadap pendapatan menurun denagan meningkatnya pendapatan.
Terhadap keinginan untuk bekerja
Pajak dan retribusi sebenarnya merupakan ekses/nilai tambah dari lebih
optimalnya sektor industri ini (Kadjatmiko, 2001). Dengan kata lain pertumbuhan output
domestik dari sektor ini dapat digunakan untuk mengestimasi besarnya PAD (pajak dan
restribusi) yang akan diterima.
Jika pajak progresif dikenakan pada pendapatan tenaga kerja maka tenaga kerja
tersebut akan berkurang keinginannya untuk bekerja. Tenaga kerja yang bersangkutan
akan kurang berkehendak untuk bekerja giat, sebab apabila penghasilannya bertambah
maka sebagian besar hanya akan dipungut oleh pemerintah saja. Jadi pajak progresif akan
mengurangi insentif kerja. Sedangkan pajak regresif merupakan pajak dengan
perkembangan yang kurang dari sebanding dengan perkembangan taxable capacity,
persentase pajak yang harus dibayar menjadi semakin kecil atau average tax rate
menurun pada setiap peningkatan tax base. Pajak regresif ini akan menambah insentif
kerja, karena dengan semakin tingginya penghasilan yang diperoleh, maka pajak yang
harus dibayarnya semakin rendah persentasenya. Para pekerja akan bekerja lebih giat agar
memperoleh penghasilan yang lebih besar dan dengan demikian pajak yang harus
dibayarnya akan menjadi semakin kecil persenatasenya.
10
IMPLIKASI UNDANG-UNDANG PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH
Di dalam Undang-Undang Pajak dan Retribusi Daerah Tahun 2009 telah
ditetapkan beberapa jenis pajak daerah yang dapat dipungut oleh daerah. Jenis pajak
tersebut antara lain: Pertama, Pajak Hotel dan Restoran; Kedua, Pajak Hiburan; Ketiga,
Pajak Reklame; Keempat, Pajak Penerangan Jalan; Kelima, Pajak Pengambilan dan
Pengelolaan Bahan Galian Golongan C; Keenam, Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan
Air Permukaan.
Selain jenis pajak di atas, pemerintah daerah dilarang melakukan pungutan vide
Pasal 2 ayat (3) dan jika potensinya kurang memadai juga tidak perlu dilakukan
pemungutan vide Pasal 2 ayat (4). Posisi dilematis terdapat pada konteks ketentuan ini
sangat membatasi kreasi daerah yang dalam realitas sering dilakukan, dan di sisi lain hal
ini cukup memberikan perlindungan hukum bagi rakyat untuk tidak dipungut berbagai
jenis pajak daerah yang tidak mempunyai validitas normatif dan legitimasi dari
masyarakat.
Sementara itu, penetapan jenis Retribusi yang berlaku untuk suatu daerah dalam
hal-hal tertentu harus sama. Prinsip keadilan harus diberlakukan dalam menetapkan jenis
retribusi. Penetapan berlakunya jenis retribusi dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu
faktor sumber daya alam (geografis) dan faktor sumber daya manusia yang akan menjadi
objek dan wajib retribusi. Meskipun Undang-Undang Pajak dan Retribusi Daerah telah
menetapkan jenis Retribusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 108 ayat (1), penerapan di
masing-masing daerah akan berbeda-beda sesuai dengan kemampuan yang ada di daerah
tersebut. Pendapatan daerah dari sumber retribusi ini bergantung pada seberapa cepat
dan tepat aparat pemerintah di daerah menyusun strategi penarikannya.
Objek retribusi adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh
pemerintah daerah. Namun, tidak semua jenis jasa yang diberikan oleh pemerintah
daerah dapat dipungut retribusi. Hal tersebut tentunya berkaitan dengan pertimbangan
sosisal ekonomi, layak atau tidak dijadikan objek retribusi. Jasa tersebut menurut
ketentuan Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Pajak dan Retribusi Daerah dibedakan
kedalam: Pertama, Jasa Umum; Kedua, Jasa Usaha; Ketiga, Perizinan Tertentu.
Pajak dan Retribusi daerah merupakan bagian pendapat yang strategis bagi daerah
untuk biaya penyelenggaraan pemerintahan. Dalam upaya mengelola urusan,
11
pemerintahan daerah harus mampu mengumpulkan uang sebagai instrumen pembiayaan.
Berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Daerah, diatur pembagian urusan yang sifatnya
wajib dan urusan yang sifatnya pilihan yang harus diselenggarakan oleh pemerintah
daerah. Untuk mencapai target anggaran, pemerintah setempat harus repaidly merevisi
semua peraturan daerah (Bagijo, 2011).
Salah satu instrumen dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal dilakukan melalui
pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak (taxing
power). Kebijakan taxing power kepada daerah dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 28
Tahun 2009, di mana dalam UU tersebut antara lain diatur:
1. Perubahan penetapan pajak daerah dan retribusi daerah dari open-list system
menjadi closed-list system. Salah satu pertimbangan penerapan closed-list system
adalah untuk memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha mengenai jenis
pungutan daerah yang wajib dibayar, serta meningkatkan efisiensi pemungutan pajak
daerah dan retribusi daerah. Dengan closed-list system, pemerintah daerah hanya
dapat memungut jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang ditetapkan sesuai
undang-undang.
2. Pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah di bidang perpajakan dan
retribusi daerah (local taxing empowerment), dilakukan melalui beberapa kebijakan,
yaitu:
a. Perluasan basis pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah ada, seperti
perluasan basis Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor,
Pajak Hotel, Pajak Restoran dan Retribusi Izin Gangguan.
b. Penambahan jenis pajak daerah dan retribusi daerah, seperti Pajak Rokok, Pajak
Sarang Burung Walet, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), Retribusi
Pelayanan Tera/Tera Ulang, Retribusi Pelayanan Pendidikan, Retribusi
Pengendalian Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan.
c. Kenaikan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, seperti Pajak Kendaraan
Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor, Pajak Hiburan, Pajak Parkir, dan Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan;
12
d. Pemberian diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah kecuali Pajak Rokok.
Daerah diberikan kewenangan sepenuhnya untuk menetapkan besaran tarif pajak
daerah untuk diberlakukan di daerahnya sepanjang tidak melampaui tarif
minimum dan maksimum yang tercantum dalam UU Nomor 28 Tahun 2009.
Kewenangan yang lebih luas di bidang perpajakan daerah ini diharapkan dapat
meningkatkan pendapatan daerah sehingga dapat mengkompensasi hilangnya
penerimaan dari beberapa jenis pungutan daerah sebagai akibat dari adanya
kebijakan closed-list system. Dalam kaitan ini, daerah didorong untuk
mengoptimalkan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dengan landasan
hukum yang kuat dan tidak menciptakan jenis pungutan baru yang potensinya
relatif kecil dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3. Memperbaiki sistem pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah melalui kebijakan
bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota yang lebih pasti, serta kebijakan
earmarking untuk jenis pajak daerah tertentu. Kebijakan bagi hasil pajak ini
mencerminkan bentuk tanggung jawab pemerintah provinsi untuk ikut serta
menanggung beban biaya yang diperlukan oleh kabupaten/kota dalam melaksanakan
fungsinya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sementara itu, dengan adanya
kebijakan earmarking, sebagian hasil pendapatan pajak daerah tertentu dialokasikan
untuk mendanai kegiatan yang dapat dirasakan secara langsung oleh pembayar pajak
tersebut.
4. Meningkatkan efektivitas pengawasan pungutan daerah dengan mengubah
mekanisme pengawasan dari sistem represif (berdasarkan UU Nomor 34 Tahun
2000) menjadi sistem preventif dan korektif.
Sebagai salah satu bentuk continuous improvement, Pemerintah secara konsisten
berupaya memperkuat dan menyempurnakan kebijakan desentralisasi fiskal untuk
mendukung tercapainya peningkatan layanan publik di daerah. Konsistensi tersebut
diwujudkan tidak hanya melalui penguatan desentralisasi fiskal dari sisi pengeluaran,
tetapi juga dari sisi penerimaan berupa perluasan local taxing power. Salah satu wujud
nyata komitmen tersebut adalah dengan mengalihkan beberapa pajak dan retribusi daerah
menjadi penerimaan badan pengelola kawasan. Pengalihan jenis pajak dan retribusi
tersebut merupakan langkah fundamental yang dilakukan dalam rangka memperbaiki
struktur keuangan daerah dan kemandirian badan pengelola kawasan. Apabila dilihat dari
13
karakteristiknya, yakni dari sisi kepada siapa sebagian besar penerimaannya diserahkan,
kedua pajak dan retribusi tersebut merupakan pajak daerah. Namun, kewenangan dalam
hal penentuan basis pajak, pentarifan, pemberian hasil penerimaan (tax sharing) dan
pengelolaan administrasinya masih berada pada Pemerintah Pusat.
Dasar pemikiran dan alasan pokok pengalihan pajak dan retribusi daerah, antara
lain: pertama berdasarkan teori, property tax lebih bersifat lokal (local origin), visibilitas,
objek pajak tidak berpindah-pindah (immobile), dan terdapat hubungan erat antara
pembayar pajak dan yang menikmati hasil pajak tersebut (the benefit tax-link principle).
Kedua, pengalihan pajak dan retribusi daerah diharapkan akan meningkatkan PAD dan
sekaligus memperbaiki struktur APBD. Ketiga, untuk meningkatkan pelayanan
masyarakat (public services), akuntabilitas, dan transparasi dalam pengelolaan pajak dan
retribusi daerah di dalam kawasan. Keempat, bahwa berdasarkan praktek di banyak
negara, pajak dan retribusi daerah di kawasan ekonomi khusus termasuk dalam jenis local
tax.
Agar kualitas layanan kepada Wajib Pajak dan stakeholders tetap terjaga selama
masa peralihan, maka proses peralihan pajak dan retribusi daerah di dalam kawasan
kepada badan pengelola kawasan perlu dilakukan agar memenuhi kondisi sebagai berikut:
1. Proses peralihan kewenangan pemungutan pajak dan retribusi daerah di dalam
kawasan dapat berjalan lancar (smooth) dengan harga (cost) yang minimal, baik
untuk pihak yang mengalihkan maupun pihak yang menerima pengalihan;
2. Stabilitas penerimaan pajak dan retribusi di dalam kawasan bagi Pemerintah
Daerah tetap terjaga dengan tingkat deviasi yang dapat ditekan seminimal mungkin
sehingga daerah tidak banyak kehilangan penerimaan dengan adanya pengalihan
tersebut;
3. Perusahaan di dalam kawasan sebagai Wajib Pajak tidak merasakan adanya
perubahan pelayanan atau bahkan dapat merasakan adanya peningkatan yang
signifikan dalam hal kualitas dan kecepatan pelayanan.
PAJAK DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH: KOTA PEKANBARU
Pelaksanaan desentralisasi fiskal membawa konsekuensi pada pengelolaan sumber
dana, dan pemerintah daerah harus semakin mampu menghadapinya dengan menggali
14
potensi penerimaan pajak daerah. Peranan pajak di dalam pembangunan daerah menjadi
sangat penting sejak pelaksanaan otonomi daerah.
Sampai saat ini pemerintah masih cenderung menambah biaya investasi kepada
pengusaha dengan berbagai pungutan retribusi. Selama peningkatan PAD masih menjadi
titik tolak pembuatan kebijakan daerah, maka persoalan high cost economy akan
menghantui pengusaha, karena di dalam prakteknya di luar biaya yang resmi ditanggung
pengusaha masih harus mengeluarkan biaya-biaya ekstra di luar pajak dan retribusi.
Perkembangan Keuangan Daerah
Perkembangan pajak daerah di dalam PAD sejak tahun 1994 hingga 2012 telah
meningkat dari Rp.2.232 juta menjadi Rp.309,5 milyar. Perkembangan ini tidak terlepas
dari kemajuan ekonomi yang dicapai Kota Pekanbaru.
Tabel 1 : Realisasi Penerimaan Dari Pajak Daerah Di Dalam PAD Kota
Pekanbaru Tahun 1994 – 2012 (Jutaan Rupiah)
Tahun Pajak Daerah PAD Penerimaan
1994 2,231.98 5,830.97 35,805.26 1995 2,445.73 7,235.91 41,731.50 1996 3,229.04 8,561.63 50,409.54 1997 3,940.11 12,570.89 44,789.43 1998 4,389.63 9,411.87 66,756.81 1999 7,900.61 12,794.93 77,768.09 2000 8,166.40 15,572.35 123,749.80 2001 17,296.66 37,615.52 346,226.97 2002 22,727.38 48,294.83 440,773.05 2003 30,153.08 58,701.85 519,204.01 2004 38,215.44 71,907.18 644,257.81 2005 46,745.68 86,945.16 846,071.92 2006 49,901.09 104,449.43 1,141,718.57 2007 56,281.86 109,039.13 976,145.59 2008 60,622.24 147,875.83 1,137,672.88 2009 69,865.36 129,859.97 1,034,499.83 2010 80,117.87 158,580.43 1,183,103.11 2011 145,090.88 223,231.57 1,536,062.76 2012 221,993.00 309,534.00 1,284,920.00
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan Republik
Indonesia, 2013
15
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Pekanbaru mengalami perkembangan yang
sangat pesat selama periode penelitian. Tahun 1994 jumlah realisasi PAD hanya mencapai
Rp. 5,8 milyar dengan pertumbuhan yang mengesankan hingga tahun 1997 menjadi sekitar
Rp. 12,5 milyar. Namun akibat krisis moneter yang berlanjut menjadi krisis ekonomi,
terjadi penurunan realisasi menjadi hanya Rp. 9,4 milyar.
Sejak tahun 1999 realisasi penerimaan terus mengalami peningkatan dan
jumlahnya di atas Rp. 10 milyar. Peningkatan terbesar terjadi di tahun 2001, yaitu tahun
pertama pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia. Banyak potensi penerimaan yang
dapat digali sehingga terjadi kenaikan yang drastis, dan di tahun-tahun berikutnya terus
mengalami kenaikan rata-rata lebih dari 20% per tahunnya. Secara grafis disajikan di
dalam Gambar 2.
Gambar 1
Perkembangan Penerimaan Pajak Daerah Kota Pekanbaru (Rp. 109)
2.23 2.45 3.23 3.94 4.39 7.90 8.17 17.30
22.73 30.15
38.22 46.75 49.90
56.28 60.62
69.87 80.12
145.09
221.99
-
50.00
100.00
150.00
200.00
250.00
16
Sumber penerimaan Pemerintah Kota Pekanbaru berasal dari pendapatan asli
daerah dan juga transfer dari pemerintah pusat dan pemerintahan provinsi. Tahun 2001
dimulainya implementasi otonomi daerah secara luas, dan pajak dan retribusi daerah UU
No. 34 tahun 2000 mendorong penerimaan Pemerintah Kota Pekanbaru tumbuh
mencapai 179,78% dibandingkan tahun sebelumnya.
Perkembangan Output Daerah
Perkembangan output regional identik dengan perkembangan ekonomi daerah.
PDRB Kota Pekanbaru ADH 2000 menunjukkan peningkatan yang relatif tinggi berkisar
8,87%. Kecondongan yang terjadi di dalam PDRB Kota Pekanbaru selalu meningkat
kecuali di tahun 1998 sebagai akibat dari krisis ekonomi yang meluas ke segala aspek.
Selepas krisis ekonomi, PDRB Kota Pekanbaru kembali meningkat bahkan sejak tahun
2001 pertumbuhannyan di atas 10% sebagai akibat dari diimplementasikan otonomi
daerah secara luas. Kemudian peningkatan PDRB yang beasar pada tahun 2001 ini
dikarenakan terjadi nya peningktan APBD dan pertumbuhan investasi swasta dan
berkembanya daerag kabupaten sekitar. Secara rinci disajikan di dalam Tabel 2.
Tahun 2003 terjadi perlambatan ekonomi yang menyebabkan turunnya tingkat
pertumbuhan menjadi 9,82% namun nilainya masih terus naik cukup besar. Tahun 2004
hingga 2011 PDRB Kota Pekanbaru kembali tumbuh di atas 8%, hal ini menujukkan bahwa
penurunan di tahun sebelumnya tidak mengganggu tren yang terjadi di dalam jangka
menengah.
Di dalam situasi ekonomi makro yang stabil penerimaan dari pajak daerah akan
memiliki trend positif. Situasi ini menggarisbawahi keyakinan para ahli ekonomi, bahwa
“macro-economic stability is an important condition for economic growth” (Loehr,
Guess, dan Martinez, 1998). Hasil analisis terhadap pengaruh output daerah Kota
Pekanbaru terhadap penerimaan pajak menunjukkan hubungan yang positip dengan
derajat kepekaan sebesar 3,49 atau peningkatan output daerah sekitar1% akan mendorong
penerimaan pajak sekitar 3,49%. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan pajak sangat
peka terhadap perubahan kondisi makro ekonomi Kota Pekanbaru, dengan demikian
pengenaan pajak haruslah mempertimbangkan kondisi perekonomian terkini.
17
Tabel 2 : Produk Domestik Regional Bruto Kota Pekanbaru ADH 2000
Tahun 1994 – 2011 (triliun Rupiah)
Tahun PDRB Pert. (%)
1994 2.32 - 1995 2.52 8.90 1996 2.78 10.08 1997 3.02 8.93 1998 2.90 (4.08) 1999 3.18 9.54 2000 3.46 8.94 2001 3.83 10.74 2002 4.30 12.05 2003 4.72 9.82 2004 5.25 11.36 2005 5.78 10.05 2006 6.37 10.15 2007 7.00 9.89 2008 7.63 9.05 2009 8.30 8.81 2010 9.04 8.88 2011 9.86 9.07
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Pekanbaru, 2013 (berbagai tahun terbitan)
Tingkat absorpsi pajak (tax effort) yang diukur dari prosentase penerimaan pajak
terhadap PDB menunjukkan kecenderungan berikut. Tingkat absorpsi pajak negara
industri signifikan lebih tinggi dari tingkat absorpsi pajak negara berkembang. Rata-rata
penerimaan pajak negara berkembang hanya di bawah 10 % dari PDB. Sementara untuk
negara industri angka ini terletak antara 30 hingga 49 % di negara industri (Musgrave,
1993). Terdapat korelasi yang positif antara tingkat absorpsi pajak dan tingkat
pendapatan. Artinya semakin tinggi tingkat pendapatan suatu negara, maka prosentase
penerimaan pajak terhadap PDB cenderung meningkat (semakin tinggi pendapatan
nasional, tax effort juga semakin tinggi).
Berbagai perda yang ada, terlihat masih ada ketidaksesuaian antara potensi
ekonomi dengan obyek pajak yang diatur dalam perda. Walaupun PDRB Kota Pekanbaru
dominan di sektor jasa-jasa dan perdagangan, namun potensi tersebut masih belum
sepenuhnya digali. Kenyataannya masih banyak potensi penerimaan sektor ini masih
luput dari pengenaan pajak, walaupun prinsip-prinsip pajak sebagaimana diajukan oleh
18
Stiglitz (1988), Musgrave (1993) dan Aronson (1985), masih terpenuhi yang pada
prinsipnya menekankan : economic efficieny, administrative simplicit, flexibility,
political responsibility dan fairness.
Lin dan Liu (2000) menyatakan bahwa pemerintah perlu untuk meningkatkan
investasi modal guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Mereka menemukan
adanya korelasi yang kuat antara share (belanja) investasi pada infrastruktur dengan
tingkat desentralisasi. Strategi alokasi anggaran pembangunan ini pada gilirannya mampu
mendorong dan mempercepat pembangunan ekonomi nasional, sekaligus menjadi alat
untuk mengurangi disparitas regional (Madjidi, 1997).
Secara umum, besarnya pengeluaran pemerintah sebagai instrumen kebijakan
fiscal, akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Kebijakan fiskal bertujuan untuk
mengarahkan perekonomian pada kondisi yang lebih baik yang berdampak terhadap
keseimbangan ekonomi. Alat yang digunakan adalah penerimaan pemerintah melalui
pajak (tax) dengan simbol T dan pengeluaran pemerintah (G). Strategi yang dilakukan
dibedakan menjadi anggaran berimbang dan anggaran tidak berimbang. Hasil yang
dicapai dari kebijakan fiskal merupakan interaksi (resultante) dari dampak pajak dan
pengeluaran pemerintah terhadap output (Y).
Lin dan Liu (2000) yang membuktikan adanya hubungan yang positif dan
signifikan antara desentraliasasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi. Hasil ini
mendukung sintesa yang menyatakan bahwa, pemberian otonomi yang lebih besar
memberikan peluang bagi daerah untuk mengalokasikan secara lebih efisien berbagai
potensi lokal untuk kepentingan pelayanan publik (Lin dan Liu, 2000; Mardiasmo, 2002;
Wong, 2004).
PENUTUP
Pajak merupakan pungutan yang dipaksakan oleh pemerintah untuk tujuan-tujuan
tertentu. Pajak juga ditujukan sebagai forced saving, yang selanjutnya dapat
dimanfaatkan untuk pembentukan modal. Semakin banyak aktivitas ekonomi di daerah
akan mendorong semakin besarnya total output daerah, hal ini mendorong peningkatan
penerimaan.
19
Undang-undang pajak dan retribusi daerah telah mendorong ke arah kemandirian
daerah dengan semakin besarnya peran pajak dan retribusi daerah di dalam APBD.
REFERENSI TERPILIH
Arnold, J., B. Brys, C. Heady, Å. Johansson, C. Schwellnus, dan & L., Vartia, 2011 Tax Policy For Economic Recovery and Growth, Economic Journal 121: hal. F59 - F80
Aronson, J. R., 1985. Public Finance, McGraw-Hill. New York
Barro, R., dan & C.J. Redlick, 2011. Macroeconomic Effects of Government Purchases and Taxes, Quarterly Journal of Economics126: hal. 51 – 102.
Ferede, E., dan & B. Dahlby, 2012. The Impact of Tax Cuts on Economic Growth: Evidence from the Canadian Provinces, National Tax Journal 65: hal. 563 – 594.
Gabe, T. M., dan K.P. Bell, 2004. Tradeoffs between Local Taxes and Government Spending as Determinants of Business Location. Journal of Regional Science 44: hal. 21-41.
Gemmell, N., R. Kneller dan I Sanz, 2011. The Timing and Persistence of Fiscal Policy Impacts on Growth: Evidence from OECD Countries, ECONOMIC JOURNAL 121: hal: F33 - F58.
Holcombe, R. G., dan D.J. Lacombe, 2004. The Effect of State Income Taxation on per Capita Income Growth. Public Finance Review 32 (3): hal. 292 – 312.
Kadjatmiko, 2001. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah—Dana Alokasi Umum. Makalah Disampaikan pada Workshop Strategi Manajemen Sumber Keuangan Daerah, Malang, Indonesia.
Lin, J.Y., dan Z. Liu, 2000. Fiscal Decntralization and Economic Growth in China. Economic Development and Cultural Change. 49: hal. 1 – 21.
Loehr, W.G., dan J. Martinez, 1998. Fiscal Decentralisation Case Studies: Methodological Observations. Konferensi Kedua Manajemen Sektor Publik di Masyarakat Membangun dan Transisi. DAI and ACIPA. 6 November 1998: Bethesda, Madison.
Majidi, N., 1997. Anggaran Pembangunan dan Ketimpangan Ekonomi Antar Daerah. Prisma 3 LP3ES: hal. 3 – 22.
Mardiasmo, 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Andi. Yogyakarta.
Musgrave, R.A., dan P.B.Musgrave, 1993. Public Finance in Theory and Practice, Edisi Ke-5, McGraw-Hill Book Company, USA.
Poulson, B.W., dan J.G. Kaplan, 2008. State Income Taxes and Economic Growth. Cato Journal 28 (1): hal 53 – 71.
Reed, W. Robert. 2008a. The Robust Relationship between Taxes and U. S. State Income Growth. National Tax Journal 61 (1): hal. 57 – 80.
20
Reed, W. Robert. 2008b. The Determinants of U.S. State Economic Growth: A Less Extreme Bounds Analysis. Economic Inquiry 47 (4): hal. 685 – 700.
Romer, C., dan & D. Romer, 2010. The Macroeconomic Effects of Tax Changes: Estimates Based On A New Measure of Fiscal Shocks. American Economic Review 100: hal. 763 – 801
Stiglitz, J. E., 1988. Economics of the Public Sector, Edisi Ke-2, W. W. Norton. New York.
Suparmoko M. 1997. Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek. BPFE. Yogyakarta.
Wong, J.D., 2004. The Fiscal Impact of Economic Growth and Development on Local Government Capacity. Journal of Public Budgeting., Accounting and Financial Management16 (3): hal. 413 – 423.
21
Lampiran
Jenis Pajak Daerah
Jenis Pajak Tarif Nasional Prov Kab/Kota Desa
Biaya
pungut
Provinsi
1 Pajak kenderaan bermotor 5 70 30
2 Bea Balik Nama KB 10 70 30
3 Pajak bahan bakar KB 5 30 70
4 Pajak Air Permukaan 20 30 70
5 Pajak Rokok
Kabupaten/Kota
1 Pajak Hotel 10 90 10
2 Pajak Restoran 10 90 10
3 Pajak Hiburan 35 90 10
4 Pajak Reklame 25 90 10
5 Pajak Penerangan Jalan 10 90 10
6
Pajak Galian Mineral logal dan bukan
logam 20 90 10
7 Pajak Parkir 20 90 10
8 Pajak Sarang Burung Walet
9 PBB Pedesaan & Perkotaan 0.1 10 16.2 64.8 9
10 BPHTB 5 20 16 64
Penerimaan Pajak Daerah Kota Pekanbaru Tahun 2012
1. Pajak Hotel 13,699,567,259
2. Pajak Restoran 21,415,014,654
3. Pajak Hiburan 5,081,533,683
4. Pajak Reklame 9,054,986,892
5. Pajak Penerangan Jalan 37,228,364,787
6. Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C 232,054,759
7. Pajak Parkir 4,523,041,436
8. Pajak Air Bawah Tanah 363,418,620
9. Pajak Sarang Burung Walet 474,600,000
10. BPHTB 40,000,000,000
11. PBB sektor Perkotaan 30,000,000,000
22
Penerimaan Pajak Daerah Provinsi Riau Tahun 2012
1. Pajak Kendaraan Bermotor 530,094,085,062
2. Pajak Kendaraan Diatas air 150,000,000
3. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 611,800,000,093
4. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 330,850,000,000
5. Pajak Air Permukaan 30,000,000,000
Penerimaan Retribusi Provinsi Riau 2012
1. R Jasa Umum Retribusi Pelayanan Kesehatan 4,813,200,000
2. R Jasa Umum Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor 10,000,000
3. R Jasa Umum Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang 309,000,000
4. R Jasa Usaha Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah 703,413,200
5. R Jasa Usaha Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa 252,447,600
6. R Jasa Usaha Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah 206,000,000
7. R Perizinan tertentu Retribusi Izin Trayek 24,000,000
8. R Jasa Usaha Retribusi Usaha Pertanian 245,000,000
Penerimaan Retribusi Kota Pekanbaru 2013
1. R Jasa Umum Retribusi Pelayanan Kesehatan 409,244,404
2. R Jasa Umum Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor 3,703,654,350
3. R Jasa Umum Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan 2,390,073,206
4. R Jasa Umum Retribusi Penggantian Biaya KTP dan Akte Catatan Sipil 1,931,453,347
5. R Jasa Umum Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat 44,247,500
6. R Jasa Umum Retribusi Pelayanan Parkir di tepi jalan umum 5,731,010,000
7. R Jasa Umum Retribusi Pelayanan Pasar 245,968,175
8. R Jasa Umum Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran 305,880,580
9. R Jasa Usaha Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah 731,117,345
10. R Jasa Usaha Retribusi Pelayanan Kepelabuhan 1,270,158,000
11. R Jasa Usaha Retribusi Terminal 309,619,500
12. R Jasa Usaha Retribusi Rumah Potong Hewan 387,420,000
13. R Perizinan tertentu Retribusi Izin Trayek 61,680,000
14. R Perizinan tertentu Retribusi Izin Mendirikan Bangunan 31,440,022,816
15. R Perizinan tertentu Retribusi Izin Gangguan/Keramaian 12,986,506,546
23
Realisasi APBD Kota Pekanbaru
Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Pendapatan 976,146 1,137,673 1,034,500 1,183,103 1,536,063 1,284,920
PAD 109,039 147,876 129,860 158,580 223,232 309,534
Pajak daerah 56,282 60,622 69,865 80,118 145,091 221,993
Retribusi daerah 36,395 43,515 43,690 59,149 57,370 57,273
Hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan 3,626 1,916 2,766 2,794
3,091
2,500
Lain-lain PAD yang sah 12,737 41,823 13,539 16,519 17,680 27,769
Pendapatan Transfer 867,106 983,797 904,640 1,024,523 1,291,820 963,191
Transfer Pemerintah Pusat
- Dana Perimbangan 784,783 912,021 754,108 822,429
1,053,472
678,509
Dana Bagi Hasil Pajak 95,856 130,113 130,778 140,517 122,570 125,861
Dana Bagi Hasil Bukan Pajak
(SDA) 311,737 419,633 260,292 390,111
424,654
466,496
Dana alokasi umum 327,161 351,339 354,901 280,284 488,816 62,218
Dana alokasi khusus 50,029 10,935 8,137 11,517 17,432 23,934
Transfer Pemerintah Pusat
- Lainnya - 22,360 - 100,751
141,906
125,978
Dana Otonomi Khusus - - - - - -
Dana Penyesuaian - 22,360 - 100,751 141,906 125,978
Transfer Pemerintah
Provinsi 82,324 49,416 150,532 101,343
96,442
158,704
Pendapatan Bagi Hasil Pajak 82,324 49,416 147,576 101,343 96,442 158,704
Pendapatan Bagi Hasil
Lainnya - - 2,956 -
-
-
Lain-lain Pendapatan
yang sah - 6,000 - -
21,011
12,192
Pendapatan Hibah - - - - 1,789 -
Pendapatan Dana Darurat - - - - 18,477 -
Pendapatan Lainnya - 6,000 - - 744 12,192
Belanja 1,123,647 1,073,487 1,145,460 1,191,153 1,443,986 1,504,970
Belanja Operasi 806,354 899,828 920,330 984,853 1,204,811 1,219,240
Belanja Pegawai 577,191 656,653 660,546 704,906 837,271 888,257
Belanja Barang 177,041 189,751 185,431 202,580 248,395 251,121
Belanja Bunga - - - - - -
Belanja Subsidi 1,268 1,869 - - - 250
Belanja Hibah - 26,415 47,318 41,777 80,632 48,751
Belanja Bantuan sosial 50,854 25,141 27,035 35,591 38,512 29,959
Belanja Bantuan Keuangan - - - - - 900
Belanja Modal 317,253 173,660 225,129 206,299 238,613 285,730
Tanah 35,817 8,689 53,436 13,849 7,343 37,524
Peralatan dan Mesin 39,153 20,404 22,870 21,716 30,576 67,712
Gedung dan Bangunan 91,169 56,645 38,363 54,732 94,557 53,679
Jalan, irigasi dan jaringan 145,648 83,696 109,038 115,833 106,053 126,542
Aset tetap lainnya 5,465 4,226 1,423 169 86 271
24
Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Konstruksi Dalam
Pengerjaan - - - -
-
-
Aset lainnya - - - - - -
Belanja tidak terduga 40 - - - 562 -
Belanja tidak terduga 40 - - - 562 -
Transfer - - - - - -
Bagi Hasil Pajak ke
Kab/Kota/Desa - - - -
-
-
Bagi Hasil Retribusi ke
Kab/Kota/Desa - - - -
-
-
Bagi Hasil Lainnya ke
Kab/Kota/Desa - - - -
-
-
Transfer Lainnya ke
Kab/Kota/Desa - - - -
-
-
Belanja dan Transfer - - - 1,191,153 1,443,986 1,504,970
Pembiayaan 256,099 76,286 138,830 - 13,151 80,420
Penerimaan Pembiayaan 265,862 79,840 140,486 - 13,151 105,227
SiLPA TA sebelumnya 265,862 75,009 140,435 - 13,132 105,227
Pencairan dana cadangan - - - - - -
Hasil Penjualan Kekayaan
Daerah yang Dipisahkan - - - -
-
-
Penerimaan Pinjaman
Daerah dan Obligasi Daerah - - - -
-
-
Penerimaan Kembali
Pemberian Pinjaman - - 51 -
19
-
Penerimaan Piutang Daerah - 4,831 -
Pengeluaran Pembiayaan 9,763 3,554 1,656 - - 24,808
Pembentukan Dana
Cadangan - - - -
-
-
Penyertaan Modal
(Investasi) Daerah 4,700 3,554 1,656 -
-
15,647
Pembayaran Pokok Utang 5,063 - - - - -
Pemberian Pinjaman
Daerah - - - -
-
-
Pembayaran Kegiatan
Lanjutan - - - -
-
-
Pengeluaran Perhitungan
Pihak Ketiga - - - -
-
9,161
SILPA Tahun Berkenaan 256,099 140,472 27,870