Download - PatfisNND
BAB I
PENDAHULUAN
Neuropati diabetika (ND) merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
penderita diabetes melitus (DM) tipe I ( insulin dependent diabetes melitus- IDDM),
maupun tipe II ( non insulin dependent diabetes melitus- NIDDM), dimana kelainan ini
mempengaruhi saraf perifer. Neuropati diabetika merupakan komplikasi kronis yang
termasuk dalam komplikasi mikrovaskular. Kejadian neuropati ini meningkat sejalan
dengan lamanya penyakit dan tingginya hiperglikemia. 1,2,3
Prevalensi neuropati diabetika dalam berbagai literatur sangat bervariasi.
Penelitian di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa 10-20% pasien saat ditegakkan DM
telah mengalami neuropati, dan prevalensi tersebut meningkat menjadi 50% pada pasien
yang telah menderita DM > 25 tahun. 4 Kebanyakan studi umumnya menyatakan
prevalensinya berkisar 30 % pada pasien diabetes. Kemungkinan terjadi neuropati pada
kedua jenis kelamin sama. 2
Nyeri neuropati diabetika merupakan penyebab utama nyeri neuropatik. Definisi
neuropati diabetika menurut International Consesus Meeting for Outpatient Superfision
of Neuropathy adalah adanya gejala dan / atau tanda dari disfungsi saraf pada penderita
diabetes tanpa ditemukan penyebab lain. 4,5 Definisi tersebut menunjukkan bahwa
diagnosa nyeri neuropati diabetika harus dilakukan dengan menyingkirkan berbagai
kemungkinan penyebab neuropati lainnya. 4
Nyeri neuropati diabetika merupakan salah satu komplikasi tersering diabetes
pada saraf tepi. Pada pasien yang menderita diabetes lebih dari 25 tahun dilaporkan 50 %
mengalami neuropati diabetika dan 5% nya menderita nyeri neuropati diabetika.5 Dari
salah satu studi prospektif dikemukakan bahwa 13,3% pasien diabetes mengeluh nyeri
atau parastesi atau keduanya pada saat dini. Peneliti sebelumnya menemukan 45%
mengeluh nyeri, parestesi dan hilangnya sensibilitas, sedangkan kelemahan motorik
hanya 5-10% pasien diabetes.2 Manifestasi klinik nyeri neuropati diabetika dapat berupa
rasa terbakar (burning), rasa ditikam, kesetrum, disobek, diikat, hiperalgesia dan alodinia. 4,5
1
Nyeri neuropatik dapat disebabkan kerusakan, penyakit atau disfungsi susunan
saraf. Patofisiologi nyeri neuropati diabetika sangat komplek dan belum sepenuhnya
diketahui. Pada percobaan binatang diduga melalui mekanisme perifer dan sentral.
Mekanisme perifer meliputi aktifitas ektopik, sensitisasi nosiseptor, interaksi serabut
saraf dan sensitifitas terhadap katekolamin, sedangkan mekanisme sentral meliputi
sensitisasi sentral, disinhibisi dan reorganisasi sentral. 5
Pada tinjauan kepustakaan ini akan diuraikan tentang "Patofisiologi Nyeri
Neuropati Diabetika", dengan harapan dapat lebih mengenal tanda dan gejalanya lebih
dini dan dasar pertimbangan pemberian terapi pada kasus nyeri neuropati diabetika.
2
BAB II
ANATOMI NYERI NEUROPATIK
Bagian dari saraf diseluruh jaringan tubuh yang menerima stimulus atau impuls
disebut reseptor. Kepadatan reseptor dijaringan tubuh berbeda beda. Jenis reseptorpun
cukup banyak. Ada yang peka terhadap peregangan , suhu , zat kimia, ada pula yang peka
terhadap berbagai stimuli disebut reseptor polimodal. Reseptor inilah yang paling banyak
berperan dalam proses terjadinya nyeri, lebih sering disebut nosiseptor. Kepekaan
nosiseptor sering berubah, oleh sebab itu sering disebut sleeping nosiseptor. Disamping
sebagai penerima stimulus , nosiseptor dapat juga berperan sebagai neuroefektor yang
mampu melepaskan neuropeptid: substansi P dan Calsitonin Gene Related Peptide
(CRGP) pasca trauma dan inflamasi , yang mempunyai efek mencegah atau mengurangi
efek yang merugikan dari trauma dan memepercepat penyembuhan, namun dalam
keadaan patologik menyebabkan nyeri yang patologik.6,28
1. Sistem Saraf Tepi
Susunan saraf tepi terdiri dari : 1) saraf kranial 2) saraf spinal 3) susunan visceral
aferen dan susunan visceral otonom. 7 Suatu saraf terdiri dari satu atau lebih berkas
serabut saraf (akson). Sebuah saraf berukuran sedang , dapat mengandung beribu-ribu
serat saraf, beberapa tak bermielin, dan yang lainnya dikelilingi oleh selubung mielin
dengan berbagai ketebalan. 8
Satu sel saraf (neuron) mempunyai satu akson akan tetapi dapat mempunyai satu
atau lebih bahkan sering banyak dendrit. Diameter akson menunjukkan variasi yang
cukup luas dengan ukuran dari kurang 1 mikron sampai 30 mikron. Semua akson baik
didalam susunan saraf pusat maupun perifer kecuali akson yang paling halus (diameter
3
kurang dari 1 mikron) dibungkus oleh selubung mielin. 7 Selubung mielin ini dibentuk
oleh sel-sel Schwann dengan membentuk lapisan-lapisan konsentrik sekitar akson. 8,9
Gambar 1. Serat saraf bermielin
Dikutip dari Peter Duus
Selubung Schwann dan selubung mielin yang dikandungnya, dikelilingi setiap 1-2
mm oleh konstriksi berbentuk cincin yang disebut nodus Ranvier. Nodus ini memainkan
peranan penting dalam perkembangan efek rangsangan dari reseptor ke medula spinalis
atau sebaliknya dengan mengadakan konduksi cepat dari impuls melalui konduksi
meloncat (saltatory conduction). Makin tebal selubung mielin, makin cepat konduksi
serat saraf. 8
Serabut saraf aferen dapat dikelompokkan menurut ukuran, selubung mielin dan
kecepatan hantar sarafnya. Serabut saraf sensorik berukuran besar dan kecil mempunyai
fungsi yang berbeda. Serabut saraf sensorik berukuran besar mempunyai selubung mielin
dan menghantarkan stimulus getar dan propioseptif (A). Serabut berukuran kecil
menghantarkan sensasi nyeri suhu dan nyeri tajam ke medula spinalis, yaitu serabut
A(bermielin) dan serabut C (tidak bermielin). Serabut A dan C sering disebut
nosiseptor. 6,28
4
Tabel 1 . Karakteristik Serabut Saraf Sensorik
Nama
Serabut
Reseptor Stimulus Sensasi Mielin Diameter
m
KHST
m/dtk
A Rufini,Merkl,
Meissner, Paccini
Posisi,
gerak,
getar
Tekan,
getar
+ 6-12 30-70
A Mekanik, dingin,
Nyeri mekanik,
nyeri suhu
(polimodal),
reseptor rambut,
reseptor viscera
Dingin,
gerak,
nyeri
mekanik,
nyeri suhu
Dingin,
nyeri
tajam
+ 1-6 5-30
C Panas, dingin,
polimodal, nyeri
mekanik, nyeri
suhu
Panas,
dingin,
mekanik,
nyeri
suhu,
nyeri
kimiawi,
nyeri
mekanik
Panas,
dingin,
nyeri
terbakar
- <15 0,5-20
Di Kutip : Patofisiologi Nyeri Neuropatik
5
Gambar 2 : Jenis serabut aferen primer
Di Kutip : Conduction Velocity
Bila serabut saraf mengalami lesi , akan terjadi impuls ektopik yang persisten
pada sisi yang mengalami lesi sampai ke ganglion radik dorsalis. Hal ini menunjukkan
adanya aktivasi kanal natrium. Sehingga lebih peka terhadap beberapa zat neurokimiawi.
Bila zat-zat tersebut berada pada daerah lesi akan meningkatkan aktifitas ektopik, inilah
yang disebut sensitisasi perifer yang dapat memberikan manifestasi klinik sebagai
hiperalgesia (primer). . 6,,28
2. Kornu Dorsalis Medula Spinalis
Bror Rexed pada tahun 1952 membagi substansia grasia medula spinalis menjadi
10 lamina berdasarkan struktur neuron. Lamina I-VI terletak di kornu dorsalis yang
banyak berperan dalam proses nyeri, sebab dilamina tersebut kebanyakan berakhir
serabut A, A dan C. Serabut A umumnya berakhir dilamina I-V. Serabut A
kebanyakan berakhir di lamina I, lamina II bagian luar dan sebagian ke lamina V dan X.
6
Serabut C kebanyakan berakhir dilamina I dan II bagian luar dan sebagian khususnya
aferen visceral berakhir dilamina V. 6,28
Gambar 3. Skema akhiran saraf pada lamina kornu dorsalis
Di Kutip : Patofisiologi Nyeri Neuropatik
Semua aferen nosiseptif berhubungan dengan langsung maupun tidak langsung
dengan 3 jenis neuron di kornu dorsalis yaitu : . 6,28
1. Neuron proyeksi yang meneruskan informasi sensorik ke pusat diotak.
2. Interneuron eksitasi lokal yang meneruskan impuls sensorik ke neuron
proyeksi.
3. Interneuron inhibisi yang mengatur aliran informasi nosiseptif ke otak.
Perjalanan impuls nosiseptif dari kornu dorsalis medula spinalis ke otak melalui
neuron proyeksi. Ada 5 jalur utama yaitu :
a. Traktus spinotalamikus
b. Traktus spinoretikularis
c. Traktus spinomensesephalik
d. Traktus spinoservikalis
e. Traktus kuneatus dan nukleus gracilis.
Dari ke lima jalur tersebut yang terpenting dan terbanyak dipelajari adalah traktus
spinotalamikus. Dalam perjalanannya ke talamus mempercabangkan menjadi traktus
7
spinotalamikus lateral dan traktus spinotalamikus medial/ventral. Traktus spinotalamikus
ventral terutama berasal dari serabut C dan diteruskan nukleus intralaminaris talami dan
kemudian didistribusikan ke kortek bilateral dan luas dan tidak mempunyai organisasi
somatotropik. Traktus spinotalamikus lateral menuju area somatosensorik primer maupun
sekunder di kortek serebri. . 6,28
Medula spinalis juga mengalami perubahan dalam merespon adanya impuls
ektopik yang diterima dari lesi/kerusakan saraf perifer. 6
3. Otak
Dari medula spinalis, impuls nosiseptif diteruskan ke talamus melalui traktus
spinotalamikus, yang kemudian diteruskan ke beberapa daerah otak. Hal ini menjadi
bukti bahwa impuls nyeri berhubungan dengan daerah batang otak seperti reticular
activating system. Tanpa otak tidak akan terjadi persepsi mengenai nyeri Melalui otak
sensasi nyeri dan emosi dapat dirasakan. Beberapa bagian otak akan berperan dalam
berbagai tugas yang berbeda.Oleh karenanya dikatakan pengontrolan impuls nyeri terjadi
dari otak ke medula spinalis , hal ini disebut sebagai mekanisme sentral yang antara lain
melalui jalur serabut-serabut descenden medula oblongata ke kornu dorsalis yang bersifat
inhibisi dan juga berperan opioid endogen (enkapalin,beta-endomorphin,dynorphin)
yang banyak diregio perikuaduktal dan medula oblongata. . 6,28
Gambar 4 : Lintasan asenderen
Di Kutip : Patofisiologi Nyeri Neuropatik
8
BAB III
PATOF ISIOLOGI NYERI NEUROPATI DIABETIKA
3.1 Definisi Nyeri Neuropati Diabetika
Definisi nyeri menurut “The International Association for Study of Pain” (IASP)
pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan
baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut .
Dari definisi tersebut, nyeri terdiri atas dua komponen utama, yaitu komponen
sensorik(fisik) dan emosional (psikis). 6,11
Kerusakan jaringan dapat berupa rangkaian peristiwa yang terjadi di nosiseptor
disebut nyeri nosisepsif atau nyeri inflamasi atau terjadi dijaringan saraf , baik serabut
saraf pusat maupun perifer yang disebut nyeri neuropatik. 11
Nyeri neuropatik menurut IASP didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan oleh
lesi atau disfungsi primer susunan saraf tepi atau pusat.6 Nyeri neuropati diabetika adalah
nyeri yang disebabkan lesi pada jaringan saraf tepi, sebagai komplikasi dari diabetes
melitus. 11 Deskripsi nyeri neuropati diabetika ditandai dengan rasa terbakar terbakar
(burning), rasa ditikam, kesetrum, disobek, diikat, hiperalgesia dan alodinia. 4 Tidak
semua penderita diabetes melitus mengalami nyeri. Hal ini diduga karena adanya proses
patofisiologi lain yang belum jelas diketahui. 12
3.2. Kelainan Patologik pada Neuropati Diabetika.
Neuropati diabetika disebabkan adanya lesi kronik pada saraf tepi. Neuropati
perifer terdapat pada pada penderita diabetes melitus tipe I dan tipe II, sehingga
mekanisme penyebabnya berdasarkan adanya hiperglikemia kronis. Peranan
hiperglikemia dalam neuropati perifer tidak diragukan lagi berdasarkan data yang kuat
dari Diabetes Control and Complication Trial (DCCT). Neuropati ditandai dengan adanya
kerusakan yang progresif dan hal itu dapat dinilai dengan test fungsi saraf, yaitu
elektrofisiologi, test fungsi sensorik, dan test fungsi otonom.10 Gejalanya sangat
tergantung dari jenis serabut saraf yang mengalami lesi. Seperti diketahui lesi serabut
saraf dapat terjadi di bagian proksimal atau distal, fokal atau difus, mengenai serabut
kecil atau besar, mengenai serabut saraf motorik, sensorik atau otonom. 4
Secara morfologik kelainan sel saraf pada neuropati diabetika ini terdapat pada
sel-sel schwann selain mielin dan akson. Kelainan yang terjadi terutama tergantung pada
9
derajat dan lamanya menginap DM. Perubahan patologis dasar dalam hubungannya
dengan patofisiologi neuropati diabetik meliputi demielinisasi segmental, degenerasi
aksonal, dan degenerasi wallerian. 14,15,16
3.2.1. Demielinisasi segmental
Segmen-segmen internodal saraf perifer mengalami demielinisasi, sedang akson
masih dalam keadaan utuh. Meskipun demielinisasi telah terjadi secara luas , namun
sering kali aksonnya tidak mengalami perubahan degenerasi. 17
Serabut saraf setelah mengalami demielinisasi seringkali menunjukkan adanya
proses regenerasi berupa remielinisasi, jumlah sel schwan akan bertambah banyak. Jika
proses patologis tersebut berlangsung secara kronis dengan proses dimielinisasi dan
remielinisasi yang berulang-ulang, akan terjadi proliferasi yang konsentrik dari sel
schwann, sehingga sau struktur seperti lapisan bawang merah yang disebut “onion bulp”,
yang dengan palpasi akan teraba benjolan-benjolan pada saraf. 15,18
3.2.2. Degenerasi aksonal
Penyebab degenerasi aksonal berupa gangguan nutrisi, metabolik atau toksik
sehinga mengakibatkan gangguan metabolisme badan sel, transpor aksonal serta fungsi –
fungsi lainnya.Bagian ujung distal akson yang pertama mengalami degenerasi dan
apabila proses berlanjut degenerasi akan berjalan ke arah proksimal. Proses ini
menimbulkan suatu keadaan yang dikenal sebagai “dying back neuropathy”. 15,16,18
3.2.3. Degenerasi Wallerian
Suatu trauma mekanik, khemis, termis ataupun iskemik lokal yang menyebabkan
terputusnya satu serabut saraf secara mendadak, akan diikuti oleh suatu proses degenerasi
aksonal disebelah distal tempat terjadinya perlukaan, yang kemudian diikuti terputusnya
mielin secara sekunder. Proses tersebut terkenal dengan degenerasi walerian. Kelainan ini
mulai timbul antara 12-36 jam setelah setelah terjadi perlukaan saraf . Perubahan awal
didapatkan pada akson yang terletak di dalam atau disekitar nodus Renvier sepanjang
saraf disebelah distal dari tempat perlukaan. Perubahan yang sama juga terjadi pada
akson disekeliling nodus Renvier tepat disebelah proksimal dari tempat perlukaan. 14,15,18
Sel Schwann pada bagian ini akan mengalami proliferasi hebat. Makrofag
endoneuron akan membantu sel Schwann dalam menghancurkan mielin yang rusak.
Selubung mielin akan mulai pecah dan berbentuk oval (ellipsoid). Ukuran mielin yang
10
mengalami kerusakan dapat berguna untuk melihat lamanya lesi (dengan biopsi saraf).
Lamina basalis sen schwann pada bagian distal dari lesi yang rusak, sehingga
permukaannya dilapisi langsung galaktoserebrosida. Jumlah protein mielin dari sel
schwann menurun drastis. Akson sebelah distal dari lesi hancur, aksoplasma dan
aksolema berubah menjadi butir butir debris dalam 24-48 jam setelah terjadinya lesi dan
butiran tersebut dikelilingi mielin yang pecah, selanjutnya akan dihancurkan oleh
makrofag. 15,19
Perubahan degenerasi yang mengikuti robekan aksonal biasanya membaik dengan
rangkaian respon perbaikan. Dalam menyelubungi akson yang tumbuh, sel schwann
akan memperbaiki lamina basalis dan mengaktifkan reseptor pertumbuhan saraf sehingga
terjadi adhesi molekul-molekul sel fibroblas pada daerah lesi akan memperbesar produksi
kolagen intersisial dan membentuk kerangka kolagen yang dibutuhkan untuk
menyelubungi akson dan sel schwann.19
Gambar 5. Gambar skematis representasi dari saraf, axon dan selubung mielin
Di kutip dari : Kimura J.
Dari aspek patologi, neuropati diabetika dapat dibedakan menjadi neuropati yang
lebih menonjol mengenai serabut saraf besar (predominantly large fiber desease) dan
neuropati yang lebih menonjol mengenai serabu saraf kecil (predominantly small fiber
desease). 12
11
Pada gangguan serabut saraf besar lebih nyata terjadinya demielinisasi segmental
dan remielinisasi dari pada degnerasi aksonal. Sebaliknya tipe gangguan serabut saraf
kecil lebih jelas terlihat adanya degenerasi aksonal, dan demielinisasi biasanya terjadi
sekunder. 12
Kerusakan serabut saraf pada umumnya dimulai dari distal sampai proksimal ,
sedangkan proses perbaikan dimulai dari proksimal ke distal. Oleh karena itu pada
umumnya lesi distal paling banyak ditemukan, seperti pada distal symmetric
polyneuropathy dan saraf terpanjang seperti yang terlihat pada pasien dengan lesi pada
ibu jari kaki yang kemudian menjalar ke bagian proksimal. Dibandingkan dengan serabut
saraf dengan diameter besar, terlihat bahwa pada awalnya lesi adalah serabut saraf kecil. 4
Penderita neuropati diabetika dengan keluhan nyeri yang berat (terutama pada
kaki) umumnya menunjukkan kelainan neurologik yang ringan berupa gangguan sensorik
bagian distal kaki sedangkan refleks tendo masih dalam batas normal. Pasien neuropati
diabetika tanpa nyeri sering menunjukkan gejala neurologik seperti refleks tendo yang
negatif. 4
Apakah hal tersebut sesuai dengan dinamika proses degenerasi, masih menjadi
pertanyaan. Fungsi serabut saraf adalah sebagai penghantar impuls. Adanya gangguan
fungsi penghantar impuls memacu atau mengaktivasi program survival atau kematian.
Dengan demikian dapat dimengerti , bila lesi yang diderita pasien cukup berat maka yang
aktif adalah program kematian neuron. Kematian neuron menyebabkan timbulnya gejala
negatif dari sistem saraf seperti gangguan sensorik dengan manifestasi berupa anestesi ,
analgesi, gangguan motorik berupa kelumpuhan atau gangguan otonom berupa
impotensi. Akan tetapi bila lesi ringan yang biasa terjadi pada pasien neuropati atau
berupa demielinasi segmental dapat timbul degenerasi akson . Respon ini menyebabkan
terjadinya perubahan fenotip untuk mempersiapkan proses regenerasi. 4
Proses regenerasi menimbulkan distorsi dari signal, seperti munculnya reseptor,
saluran ion baru, sprouting ujung saraf dengan neuromanya, yang kesemuanya dapat
menimbulkan nyeri. Proses tersebut pada pemeriksaan biopsi saraf pada penderita
neuropati diabetika dengan nyeri berat, di mana tampak adanya degenerasi serabut saraf
afferen yang dengan atau tanpa mielin dengan tunas-tunas barunya. 4
12
3.3. Patofisiologi Neuropati diabetika
Banyak teori yang dikemukan oleh para ahli tentang patofisiologi terjadinya
neuropati diabetika, namun semuanya sampai sekarang diketahui sepenuhnya. Faktor-
faktor etiologik daripada diabetes neuropati diduga adalah vaskular, berkenaan dengan
metabolisme, neurotrofik dan imunologik. Studi terbaru cenderung suatu multifaktorial
patogenesis yang terjadi pada neuropati diabetik. Beberapa teori yang diterima adalah :
3.3.1. Teori vaskular (iskemia-hipoksia)
Pada pasien neuropati diabetika dapat terjadi penurunan darah ke endoneurium
yang disebabkan oleh adanya resistensi pembuluh darah akibat hiperglikemia. Diabetes
secara selektif merusak sel seperti endotelial sel dan mesangeal sel, dimana kecepatan
pengangkutan glukosa tidak merosot dengan cepat seperti halnya peningkatan kadar
gula , hal ini mendorong kearah penumpukan glukosa tinggi di dalam sel. Biopsi nervus
suralis pada pasien neuropati diabetika ditemukan adanya penebalan pembuluh darah,
agregasi platelet, hiperplasi sel endotelial dan pembuluh darah, yang kesemuanya dapat
menyebabkan iskemia. Iskemia juga dapat menyebabkan terganggunya transport
aksonal, aktifitas NA+/K+ ATPase yan akhirnya menimbulkan degenerasi akson. 4,20
Pada iskemia lokal ditunjukkan dengan adanya gangguan vaskularisasi saraf
secara lokal. Ganguan tersebut meliputi penebalan membrana basalis, proliferasi sel
endotel, dan oklusi pembuluh darah. Terdapat juga bukti tentang penurunan tekanan
oksigen endoneural pada sural nerve penderita DM dengan polineuropati lanjut. Iskemia
sendiri mempunyai konsekuensi metabolik yang dapat dieksaserbasi oleh defisiensi
insulin atau hiperglikemia. Iskemia juga dapat menimbulkan stres oksidatif pada saraf,
peningkatan spesies oksigen reaktif, dan menyebabkan jejas pada saraf. 1,21,22
3.3.2. Teori Metabolik
3.3.2.a. The polyol pathway ( jalur aldose reduktase – AR )
Teori the polyol pathway berperan dalam beberapa perubahan dengan
metabolisme ini. Di dalam status yang normoglikemik, kebanyakan glukosa intraseluler
di phosphorilated ke glukosa -6- phosphate oleh hexokinase. Hanya sebagian kecil dari
glukosa masuk jalur polyol . Dibawah kondisi- kondisi hiperglikemia , hexokinase
disaturasi, maka akan terjadi influks glukosa ke dalam jalur polyol. Aldose reduktase
yang secara normal mempunyai fungsi mengurangi aldehid beracun di dalam sel ke
13
dalam alkohol non aktif , tetapi ketika konsentrasi glukosa di dalam sel menjadi terlalu
tinggi, aldose reduktase juga mengurangi glukosa ke dalam sorbitol , yang mana
kemudian dioksidasi menjadi fruktosa. 20,27 Sedang dalam proses mengurangi glukosa
intraseluler tinggi ke sorbitol , aldose reduktase mengkonsumsi co-faktor NADPH
(nicotinamide adenine dinucleotide phosphat hydrolase). NADPH adalah co-faktor yang
penting untuk memperbaharui suatu intracelluler critical anti oxidant, dan pegurangan
glutathione. Dengan mengurangi jumlah glutathione, polyol pathway meningkatkan
kepekaan ke intracelluler oxidative stress. Oxidative stress berperan utama di dalam
patogenesis diabetik peripheral neuropati. 20,21,23,24 Ada bukti peningkatan oksigen radikal
bebas dan peningkatan beberapa penanda oxidative stress seperti malondialdehide dan
lipid hydroksiperoksida pada penderita neuropati diabetika.20
Indikator kuat untuk membuktikan bagaimana peran oxydative stress dalam
neuropati diabetika, dibuktikan oleh beberapa penelitian mengenai penggunaan
antioksidan baik pada binatang percobaan maupun pada pasien. 24
Gambar 6. Jalur Polyol
Dikutip dari : Indian Academy of Clinical Medicine, 2001
Serabut saraf dikelilingi oleh sel , seperti halnya suatu kawat elektris dibalut oleh
isolasi. Sel yang melingkupi suatu saraf di sebut sel Schwann. Suatu teori menyatakan
bahwa gula berlebihan didalam sirkulasi darah di tubuh berinteraksi dengan suatu enzim
di dalam sel Schwan, yang disebut aldose reduktase. Aldose reduktase mengubah bentuk
gula ke dalam sorbitol, yang pada gilirannya menarik air ke dalam sel Schwan,
14
menyebabkan sel Schwan menjadi bengkak. Hal ini akan menyebabkan serabut saraf
terjepit dan menyebabkan kerusakan serabut saraf dan menimbulkan nyeri. Pada
akhirnya sel Schwan dan serabut saraf tersebut terjadi nekrosis. 20,21
Sorbitol sesudah itu dikurangi oleh sorbitol dehydrogenase ke fruktose, setelah
itu sorbitol mengalami degradasi secara perlahan dan tidak cukup menebus ke membran
sel . Akumulasi sorbitol intraseluler mengakibatkan perubahan osmotik yang berpotensi
ke arah kerusakan sel. Adanya peningkatan osmolalitas intraseluler, dalam kaitan aliran
glukosa kedalam jalur polyol dan akumulasi sorbitol, sebagai akibatnya akan terjadi
kompensasi pengurangan endoneural osmolit taurine dan myoinositol dalam rangka
memelihara keseimbangan osmotik. Metabolit intraseluler , seperti myoinositol menjadi
akan berkurang dan mendorong ke arah kerusakan sel saraf. 20,21 Pada percobaan binatang
penurunan myoinositol berkaitan dengan penurunan aktivitas Na+/ K+-ATP ase dan
memperlambat velositas konduksi saraf. 1,17
3.3.2.b. Teori Advanced Glycation End Product (AGEs)
Peningkatan glukosa intraseluler menyebabkan pembentukan advanced
glycosilation products (AGEs) melalui glikosilasi nonenzymatik pada protein seluler.
Glikosilasi dan protein jaringan menyebabkan pembentukan AGEs. Glikosilasi non
enzimatik ini merupakan hasil interaksi glukosa dengan kelompok amino pada protein.
Pada hiperglikemia kronis beberapa kelebihan glukosa berkombinasi dengan asam amino
pada sirkulasi atau protein jaringan. Proses ini pada awalnya membentuk produk
glikosilasi awal yang reversibel dan selanjutnya membentuk AGEs yang ireversibel.
Konsentrasi AGEs meningkat pada penderita DM. 1 Pada endotel mikrovaskular
manusia , AGEs menghambat produksi prostasiklin dan menginduksi PAI-1(Plasminogen
Activator Inhibitor-1) dan akibatnya terjadi agregasi trombosit dan stabilisasi fibrin,
memudahkan trombosis. Mirotrombus yang dirangsang oleh AGEs berakibat hipoksia
lokal dan meningkatkan angiogenesis dan akhirnya mikroangiopati. 27 Secara spesifik
AGEs juga mempercepat aterosklerosis, menyebabkan disfugsi glomerulus, menurunkan
sintesis nitrit oksida, menginduksi disfungsi endotel, dan mengganggu komposisi dan
struktur matriks ekstrasel. 1
3.3.2.c. Activation Protein Kinase C pathway
Aktivasi Protein Kinase C (PKC) juga berperan dalam patogenesis neuropati
15
perifer diabetika. Hiperglikemia didalam sel meningkatkan sintesis atau pembentukan
diacylglyserol (DAG) yaitu suatu critical activating cofaktor untuk isoform protein
kinase–C,-β,-δ dan–α.Protein kinase C juga diaktifkan oleh oxidative stres dan advanced
glycationendproduct(AGE) 14,23,25,26
Gambar 7. Proses Hipperglikemi dalam Induksi PKC
Dikutip dari : Diabetes 2005, American Diabetes Inc
Aktivasi protein kinase C menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular,
gangguan sintesis nitric oxyde (NOS) dan perubahan aliran darah. Ketika PKC diaktifkan
oleh hiperglikemia intraseluler, mempunyai efek pada beberapa ekspresi genetik.
Vasodilator yang memproduksi endothelial nitric oxyde synthase (eNOS) berkurang,
sedangkan vasokonstriktor endothelin-1 (ET-1) akan meningkat. Transformasi Growth
Factor β (TGF- β) dan plasminogen inhibitor -1 (PAI-1) juga meningkat. Di dalam
endothelial sel, PKC juga mengaktifkan nuclear factor kB (NFkB), suatu faktor
transkripsi yang dirinya sendiri mengaktifkan banyak proinflamatory gen di dalam
vasculature. 20,25
Meningkatnya aksi PKC pada pembuluh darah retina , ginjal dan saraf
menyebabkan kerusakan vaskular: (a) permeabilitas meningkat (b) ada disregulasi NO (c)
terjadi adhesi lekosit (d) gangguan aliran darah (e) induksi growth factors (Vascular
16
endotelium Growth Factor(VEGF), TGF- β), angiogenesis dan sinyal (VEGF,ET-1),
kontraktiltas, kontraksi dan koagulasi meningkat sehingga kemungkinan re-stenosis pun
naik, (f) penebalan membran basal. 26,27
3.3.2.d. The hexosamine pathway
Bilamana glukosa tinggi di dalam suatu sel, kebanyakan dari glukosa
dimetabolisme melaluin glycolisis, menjadi glucose-6 phosphate, kemudian menjadi
fructosa -6 phosphate, dan seterusnya menjadi akhir dari glycolitic pathway.
Bagaimanapun , sebagian dari fructosa -6 phosphat dialihkan ke dalam suatu signyaling
pathway dimana suatu enzim glutamine fructosa -6 phosphate amidotransferase
(GFAT) mengkonversi fructosa -6 phosphate ke glucosamine-6 phosphate dan akhirnya
ke uridine diphosphate (UDP) N-asetyl glucosamine, setelah itu N-asetyl glucosamine
ditaruh ke serine dan theorine residu dari transkripsi faktor, seperti halnya proses
phosphorylation yang umum telah dikenal, dan overmodification oleh glucosamine ini
sering mengakibatkan perubahan patologik di dalam gen expresion. Modifikasi transkrisi
faktor Sp1 mengakibatkan peningkatan expression transformation growth factor β1(TGF-
β1)dan plasminogen actifator inhibitor 1(PAI-1) dimana kedua-duanya tidak baik untuk
pembuluh darah diabetes. Didalam plague arteri carotis penderita DM tipe 2 tampak
adanya pertambahan modifkasi endothelial protein sel oleh jalur hexaosamine secara
signifikan. 20,25
Gambar 8. Kondisi Hiperglikemi pada Jalur Hexosamine
Dikutip dari : Diabetes 2005, American Diabetes Inc
3.3.3. Altered neurotrophic support theory
Faktor neurotrophic adalah penting untuk pemeliharaan, pengembangan, dan
17
regenerasi unsur-unsur yang responsif dari saraf. Neurotrophic factor (NF) sangat
penting untuk saraf dalam mempertahankan perkembangan dan respon regenerasi. Nerve
Growth Factor (NGF) misalnya berupa protein yang memberi dukungan besar terhadap
kehidupan serabut saraf dan neuron simpatis. 1,4,13,14 Telah banyak dilakukan penelitian
mengenai adanya faktor pertumbuhan saraf, yaitu suatu protein yang berperan pada
ketahanan hidup neuron sensorik serabut kecil dan neuron simpatik sistem saraf perifer .
Beberapa penelitian pada binatang menunjukkan adanya defisiensi neurotropik sehingga
menurunkan proses regenerasi saraf dan mengganggu pemeliharaan saraf. Dalam banyak
kasus, defisit yang paling awal, melibatkan serabut saraf yang kecil. Kelainan
morfologik yang telah dihubungkan dengan nyeri neuropatik meliputi axonal sprouting,
degenerasi axonal akut, degenerasi aktif serabut bermielin, dan tidak sebandingnya
pengurangan kaliber serabut saraf besar. 1,4,20
Pada pasien dengan DM terjadi penurunan NGF sehingga transport aksonal yang
retrograde ( dari organ target menuju badan sel) terganggu. Penurunan kadar NGF pada
kulit pasien DM berkorelasi positif dengan adanya gejala awal small fibers sensory
neuropathy. 4
3.3.4. Teori Autoimun
Faktor autoimun diduga berperanan dalam sebagian kejadian neuropati diabetika
terutama neuropati otonom. Berbagai autoantibodi terhadap komponen sel telah
dideteksi pada pasien DM. Bukti yang menyokong peran antibodi dalam mekanisme
patogenik neuropati diabetika adalah adanya antineural antibodies pada serum sebagian
penyandang DM. Autoantibodi yang beredar ini secara langsung dapat merusak struktur
saraf motorik dan sensorik. Peneliti-peneliti berpendapat bahwa pada neuropati diabetika
sistem imun memiliki target suatu antigen spesifik terhadap saraf perifer, dan
kemungkinan juga pankreas. Mekanisme humoral juga bisa berperan melalui aktivasi
komplemen yang menyebabkan jejas mikrovaskularisasi saraf. Adanya infiltrasi limfosit
pada saraf beberapa penderita DM dengan neuropati membuktikan patogenesis
imunogenik. Selain itu pada sebagian pasien dengan sindrom neuropati klinis proksimal
ditemukan autoantibodi yang tertuju langsung pada struktur saraf motorik dan sensorik. 1
Peran faktor imunologi juga ditujukan antibodi antifosfolipid pada 88% populasi
neuropati diabetika dibanding 32% populasi tanpa komplikasi neurologis dan 2%
18
populasi normal. Terdapat bukti bahwa antibodi antifosfosfolipid dapat menyebabkan
jejas terhadap jaringan saraf. Karena antibodi antifosfosfolipid berkaitan dengan
kecenderungan trombosis vaskular, keberadaan antibodi ini dapat menggambarkan
hubungan antara teori autoimun dengan teori vaskular pada patogenesis neuropati
diabetika. 1
3.4. Patofisiologi Nyeri Neuropati Diabetika
Patofisiologi nyeri neuropati diabetika sangat komplek dan belum sepenuhnya
diketahui. Nyeri neuropati dibagi atas nyeri neuropati perifer dan nyeri neuropati sentral.
Disebut perifer bilamana kelainan primernya terjadi di saraf perifer, yaitu sensorik
perifer, radiks dan ganglion dorsalis; dan disebut sentral bilamana lokasi kelainannya
disusunan saraf sentral, yaitu di medula spinalis, batang otak, talamus sampai kortek
serebri . Keduanya mempunyai mekanisme yang berbeda. Pada percobaan pada binatang
diduga melalui 2 mekanisme, yaitu: 5,28,29
1. Mekanisme perifer :
- Aktivitas ektopik
- Sensitisasi nosiseptor
- Interaksi abnormal antar serabut saraf
- Sensitifitas terhadap katekolamin
2. Mekanisme sentral :
- Sensitisasitisasi sentral
- Reorganisasi sentral
- Hilangnya kontrol inhibisi
3.4.1. Mekanisme Perifer
Aktifitas Ektopik
Diabetes melitus akan menyebabkan disfungsi atau gangguan pada serabut saraf
tepi dan menyebabkan remodeling dan hipereksitabilitas membran. Kerusakan akson
akan menyebabkan akumulasi saluran natrium pada tempat cedera dan sepanjang akson.
Pada bagian proksimal lesi akan tumuh tunas-tunas baru (sprouting) yang sebagian
diantaranya mampu mencapai organ target, dan sebagian lagi akan berakhir sebagai
tonjolan yang disebut neuroma. Pada neuroma akan berakumulasi ion channel (terutama
Na+ channel). Akumulasi saluran natrium ini akan memunculkan aktivitas listrik ektopik
19
dan hipereksitabilitas.4,5,28 Pada rekaman elektrofisiologik tunas baru tersebut
menunjukkan aktivitas listrik yang berkepanjangan, kepekaan abnormal terutama pada
serabut saraf C. 5
Lesi saraf akan menyebabkan pula molekul-molekul reseptor dan tranduser baru.
Munculnya ion-ion channel , molekul-molekul reseptor, dan tranduser akan menjadi
penyebab munculnya impuls ektopik yang spontan dan dibangkitkan (evoked) seperti
hiperalgesia. 4,5
Sensitisasi nosiseptor
Nyeri inflamasi dapat juga terjadi pada penderita neuropati diabetika. Lesi serabut
saraf aferen akan menyebabkan munculnya mediator inflamasi seperti proastatglandin E2
(PGE2), bradikinin, histamin dan sebagainya. Mediator inflamasi tersebut dapat secara
langsung mengaktivasi nosiseptor atau sensitisasi nosiseptor, sehingga timbul nyeri
spontan atau hiperalgesia primer. Hal inilah yang bertanggungjawab terhadap timbulnya
nyeri muskuloskeletal dan nyeri arthropati pada pasien dengan DM. 4,5
Interaksi abnormal antar serabut saraf . 5,28
Aliran impuls-impuls di serabut saraf pada umumnya berjalan sendiri-sendiri
tidak saling mempengaruhi. Hilangnya isolasi glia akibat lesi dapat menyebabkan :
- Ephatic cross talk, short sirkuit antar serabut saraf. Serabut saraf yang lesi
mengaktivasi serabut saraf sehat disekitarnya. Bila serabut saraf A β mengalami
lesi dan mengaktivasi serabut saraf C atau A δ akan timbul alodinia.
- Cross after discharge (CAD), Pada CAD medianya adalah zat kimiawi dan
terjadi segera setelah lesi. Impuls tunggal CAD tidak berarti impuls berulang
yang bersamaan dengan adanya hipereksabilitas neuron memungkinkan
terjadinya hiperalgesia. CAD pada umumnya menyebabkan gejala nyeri
seperti kesetrum (ectopic shock-like pain) yang paroksismal.
Sensitivitas terhadap katekolamin 5,28
Pada keadaan normal nosiseptor tidak sensitif terhadap katekolamin yang
menyebar secara sistemik, akan tetapi bila terjadi lesi di sistem saraf terutama yang
parsial maka akan muncul α 2 adrenergik yang peka terhadap katekolamin yang
dilepaskan oleh saraf simpatis. Reseptor ini akan memacu munculnya ectopic discharge
pada keadaan stres. Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa akson disekitar tempat
20
lesi juga akan memunculkan aktivitas listrik spontan.4,5
3.4.2. Mekanisme Sentral
Sensitisasi sentral
Aktivitas listrik spontan dan yang dibangkitkan akan membanjiri neuron sensoris
di kornu dorsalis terutama pada neuron Wide Dynamic Range (WDR), sehingga neuron
menjadi lebih sensitif. Sensitisasi sentral dapat berlangsung beberapa detik (wind up)
sampai beberapa jam atau beberapa hari (long term potentiation). Fenomena wind-up
adalah peningkatan secara progresif potensial aksi neuron di kornu dorsalis akibat
banjirnya stimulasi dari serabut C sehingga terjadi sensitisasi sentral . Sensitisasi neuron
WDR akan menyebabkan daerah penerimaan impuls noksious meluas dan jumlah
potensial aksi sebagai respon terhadap impuls yang masuk meningkat secara progresif. 4,5,12,28 Stimulasi saraf yang persisten akan mengakibatkan lepasnya glutamat dari pre
sinaps dan mengaktifkan mengaktifkan N-Methyl D Aspartate (NMDA) yang terletak
pada membran post sinaptik medula spinalis. Pacuan glutamat berulang akan
memperpanjang depolarisasi dengan masuknya kalsium dan natrium. Hal ini
menyebabkan potensial post sinaptik yang lebih besar (potensiasi sinaptik). Paparan
potensiasi sinaptik yang terus menerus akan menyebabkan fenomena wind-up. Sensitisasi
sentral atau wind up mampu menimbulkan hiperalgesia, sebab impuls yang dihantarkan
oleh serabut C akan direspon secara berlebihan. 4,5
Reorganisasi sentral
Serabut saraf c biasanya berakhir dengan sinap di lamina I dan II dari medula
spinalis. Lesi serabut saraf akibat neuropati diabetika akan menyebabkan kematian
serabut saraf C. Hilangnya serabut saraf C di lamina I dan II akan memacu sprouting
serabut A β untuk mengirimkan cabang-cabangnya ke lamina tersebut untuk mengisi
kekosongan sinapsis . Hal ini berakibat impuls sentuhan ringan yang dihantarkan oleh
serabut saraf A β untuk lamina I dan II akan diterjemahkan sebagai nyeri, sebab impuls
yang berasal dari lamina I dan II adalah impuls nyeri. Peristiwa ini dikenal dengan
neuronal plasticity. 4,5 Fenomena plastisitas tersebut menjelaskan terjadinya allodinia
taktil pada penderita nyeri neuropati diabetika. Proses sprouting terjadi 1 minggu setelah
jejas saraf dan dapat berlangsung sampai 6 bulan setelah jejas. 4,5
Pada lesi serabut saraf dapat pula terjadi perubahan fenotip serabut saraf A
21
sehingga mampu mengeluarkan substansi P di kornu dorsalis ( yang pada keadaan normal
hanya dilepaskan oleh serabut saraf C ), sehingga terjadi alodinia taktil, dimana stimuli
intensitas rendah ( rabaan, sentuhan) yang dibawa serabut A diterjemahkan (oleh
substansi P) sebagai nyeri. 4,5
Hilangnya kontrol inhibisi
Nyeri terjadi oleh karena adanya gangguan keseimbangan antara eksitasi dan
inhibisi yang terdapat pada kerusakan jaringan (inflamasi) atau sistem saraf (neuropati).
Eksitasi meningkat pada kedua jenis nyeri tersebut. Impuls yang datang dari perifer
biasanya bersifat eksitator. Impuls tersebut sebelum disampaikan ke otak dimodulasi
dulu oleh neuron intersegmental atau neuron yang turun dari otak (descenden inhibition).
Neurotransmiter inhibisi biasanya GABA atau glisin. Pada neuropati diabetika seringkali
terjadi apoptosis sel-sel inhibisi di ganglion radik dorsalis. Disinhibisi dapat disebabkan
oleh karena penurunan GABA / glisin akibat kematian neuron-neuron penghasil kedua
zat tersebut. Disinhibisi dapat menimbulkan gejala allodinia.4,11,27 Hiperglikemia juga
dapat menurunkan nilai ambang nyeri pada pasien neuropati diabetika, dan pengurangan
efek opioid sebagai efek analgetik. Hal ini disebakan pengaruh glukosa pada reseptor
opioid. 4,12
BAB IV
KLASIFIKASI DAN MANIFESTASI KLINIS NEUROPATI DIABETIKA
22
4.1. Klasifikasi Neuropati Diabetika
Neuropati diabetika mempunyai manifestasi klinis yang sangat luas, sehingga
banyak lasifikasi yang diajukan para ahli. Beberapa klasifikasi antara lain :
Klasifikasi neuropati diabetika : 2
A. Neuropati Simetris Distal
1. Predominal serabut ukuran kecil (nyeri atau anestesi)
2. Predominan serabut ukuran besar
3. Neuropati otonom
B. Neuropati asimetris
1. Neuropati kranial
2. Pleksopati
3. Mononeuropati atau radikulopati
4. Parese akibat kerentanan terhadap tekanan.
Klasifikasi yang diusulkan Thomas 1997
Classifikation of Diabetic Neuropathy : 4,15
.A. Diffuse Neuropathy
1. Distal Symetric sensorimotor polineuropathy
2. Autonomic polyneuropathy
a. Sudomotor neuropathy
b. Cardiovascular otonomic neuropathy
c. Gastrointestinal neuropathy
d. Genitourine neuropathy
3. Psymetric proximal lower limb motor neuropathy (Amiotrophy)
B. Focal neuropathy
1. Cranial neuropathy
2. Radiculopathy/plexopathy
3. Entrapment neuropathy
Klasifikasi tersebut berdasarkan anatomi dari serabut saraf perifer atau sistem
saraf perifer (SSP).SSP secara kasar dapat dibagi 3 sistem, yaitu sistem motorik, sistem
sensorik dan sistem otonom. Neuron motorik berasal dari kornu anterior medulla spinalis,
23
dimana terletak badan selnya. Serabut saraf motorik keluar dari radik ventralis dan
menginervasi organ target melalui saraf perifer. 4
Pada pasien dengan DM , dapat terjadi lesi dari neuron sampai ke akhiran organ
target. Salah satu sindroma yang mengenai sistem saraf motorik pada DM ialah diabetic
amyotrophy yang pada umumnya terjadi pada laki-laki dengan DM, usia diatas 50 tahun,
dengan pengontrolan gula yang jelek. 4
Sistem saraf sensorik dimulai dengan badan sel di ganglion radiks dorsalis yang
mengirimkan serabut aferen ke perifer menuju organ terget bersama serabut motorik dan
otonom, dan juga mengirim serabt ke sentral melalui radiks dorsalis yang berakhir pada
sinaps di kornu dorsalis medula spinalis. Sepanjang serabut saraf sensorik dapat terjadi
lesi oleh DM dengan berbagai gejala, baik gejala positif berupa nyeri atau gejala negatif
hipestesi dan sebagainya. Sistem saraf otonom terdiri dari sistem saraf simpatis dan
parasimpatis. Pada DM lesi sering terjadi juga pada saraf otonom. 4
4.2. Manifestasi Klinis Neuropati Diabetika
Pada stadium dini neuropati diabetika dapat asimtomatis dan baru diketahui pada
pemeriksaan fisik. Polineuropati sensorik distal paling sering ditemukan terutama pada
pria dekade keenam dengan IDDM atau NIDDM.
Beberapa gambaran klinis neuropati diabetika :
Polineuropati Simetris Distal
Polineuropati distal yang terbanyak adalah polineuropati sensoris simetris distal.
Merupakan 75% dari neuropati diabetika. Gangguan sensorik selalu lebih nyata
dibanding kelainan motorik dan sudah terlihat pada awal penyakit. Ditandai dengan
hilangnya akson dan serabut saraf terpanjang terkena terlebih dulu. Umumnya gejala
nyeri, parastesi dan hilang rasa timbul ketika malam hari. Khas diawali dari jari kaki
berjalan ke proksimal tungkai. Dengan memberatnya penyakit jari tangan dan lengan
terkena sehingga memberi gambaran “sarung tangan dan kaos kaki”. Dapat mengenai
saraf sensori, motor dan fungsi otonomik dengan bermacam-macam derajat tingkat,
dengan predominan terutama disfungsi sensoris. Kelemahan otot-otot tunkai dan
penurunan reflek lutut dan tumit terjadi lebih lambat. Adanya nyeri dan menurunnya rasa
terhadap temperatur melibatkan serabut sarabut saraf keci(small fiber neuropathy)l dan
merupakan predisposisi terjadinya ulkus kaki. Gangguan propioseptif, rasa getar dan gaya
24
berjalan (sensory ataxia gait) menunjukkan keterlibatan dari serabut saraf ukuran besar
(large fiber neuropathy). Disfungsi otonom yang timbul adalah adanya anhidrosis, atonia
kandung kencing dan pupil reaksi lambat. Awitan gejala perlahan sebagai gejala negatif
dan atau positif. Serabut saraf berukuran besar dan kecil terkena walaupun manifestasi
dini yang muncul mungkin dari serabut kecil.2,20,31
Neuropati serabut kecil (small-fiber neuropathy)
Bila serabut berukuran kecil(serabut A delta dan C) terkena timbul gejala positif
berupa nyeri neuropatik spontan atau dibangkitkan. Nyeri spontan berupa rasa terbakar
dan pedih konstan, nyeri seperti ditusuk, ditekan, kesetrum, disobek, parastesi, disestesi.
Nyeri dibangkitkan dengan stimulus berupa hiperalgesia dan alodinia. Hilangnya sensasi
nyeri dan sensasi temperatur, maka kaki akan dingin, mempunyai resiko terjadinya foot
ulcer. Umumnya gejala positif berupa nyeri ringan sampai sedang. Awitan subakut atau
perlahan kemudian progresif, menetap atau mereda walaupun dapat akut dan kemudian
remisi. Gejala intermiten terasa malam hari atau saat istirahat. 2,20,31
Neuropati serabut besar (large-fiber neuropathy)
Terkenanya serabut ukuran besar menimbulkan gejala negatif berupa baal yang
progresif. Pasien rentan cedera, ulkus atau luka bakar. Pada stadium lanjut
mengakibatkan gangguan propioseptif. Presepsi getar melemah, hilangnya sensasi posisi,
kehilangan keseimbangan, hilangnya atau menurunnya reflek tendon . Keseimbangan
terganggu terutama malam hari atau saat mata tertutup. Manifestasi klinis lain, deformitas
claw toe, neuroarthropati, disertai nyeri relatif ringan. 2,20,31
Gangguan motorik pada stadium lanjut. Dimulai parese dorsofleksi jari kaki dan
otot intrinsik tangan . Secara bertahap akan mengenai tunkai bawah. Jarang parese bagian
proksimal lutut dan siku. Atrofi ditemukan pada otot intriksik tangan dan kaki. Bila
gangguan motorik lebih berat perlu dipikirkan cronic inflammatory demyelinating
polineuropathy. 2,31
Neuropati otonom
Neuropati otonom ditemukan pada 40% pasien diabetes lebih dari 10 thn. Ada
yang berpendapat gangguan otonom selalu dijumpai pada IDDM dengan polineuropati
25
sensoris distal. Kelainan saraf parasimpatis lebih dini dan berat dibanding saraf simpatis.
Gangguan otonom berupa abnormalitas pupil, gangguan fungsi sudomotor, sistem
kardiavaskular, sistem genitourinaria dan fungsi seksual yang menurun serta gangguan
pada traktus gastrointestinal. 2,31
Nyeri Neuropati Diabetika Akut
Acute painful neuropathy (nyeri neuropati perifer akut) adalah variasi dari
polineuropati simetris distal. Gejala berupa nyeri hebat dan akut seperti terbakar,pedih,
tersetrum atau alodinia yang tiada henti pada tungkai dan memburuk pada malam hari.
Pasien bisa menjadi depresi, anoreksia dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan
hanya ditemukan gangguan minimal rasa suhu, sedangkan reflek tendon tetap baik,tidak
dijumpai baal dan parese . 2,31
Keadaan ini dijumpai pada diabetes tidak terkendali atau tidak terdiagnosis atau
timbul saat penanganan diabetes dengan pengendalian kadar glukosa secara ketat. Diduga
gangguan metabolisme sebagai faktor pencetus. Nyeri mereda dalam beberapa bulan
dengan pengendalian kadar glukosa secara lebih perlahan kearah normoglikemia dan
sejalan dengan regenerasi aksonal. Diduga gangguan metabolisme merupakan faktor
pencetus. 2,31
Pleksopati, Amiotropi Diabetika
Nama lainnya adalah neuropati motorik proksimal, neuropati femoral. Khas pada
usia pertengahan atau orang tua dengan NIDDM. Awitan alam beberapa hari atau
minggu, timbul nyeri tajam, menusuk didaerah lumbosakral serta paha yang simetris.
Diikuti parese dan atrofi otot proksimal quadriceps femoris, ileopsoas, dan otot abductor
paha disertai reflek patela menurun. Pada pemeriksaan dapat ditemukan hipestesi yang
minimal pada persarafan nervus femoralis.Perbaikan yang terjadi 12 bulan, mungkin
dengan gejala sisa. 2,31,33
Neuropati Kranial
Sering pada pasien NIDDM dengan pengendalian glukosa yang buruk. Saraf yang
mungkin terkena nervus III, nervus IV, nervus VI ,dan nervus VII. Paling sering terjadi
opthalmoplegi nervus III akut tanpa kontriksi pupil dan lebih 50% disertai nyeri
periorbital serta dahi. Umumnya diatas 50 thn. Patogenesisnya adalah iskemia dibagian
sentral fasikulus saraf sehingga serabut parasimpatis yang terletak lebih perifer selamat.
26
Remisi dapat terjadi dalam 3 - 6 bulan. 17,20,31
Mononeuropati Kompresi
Sering dijumpai pada pasien diabetes wanita usia lebih dari 40 tahun. Sindroma
terowongan karpal yang mengenai nervus medianus paling sering diumpai(5,8%). Saraf
lain yang mungkin terkena nervus ulnaris(2,1%), n.radialis (0,6%) dan nervus peroneus
komunis. 20,31 Ada dua jenis kerusakan , yaitu pertama adalah saraf yang terjepit pada
tempat dimana mereka harus melewati terowongan atau diatas tonjolan tulang. Sistem
saraf penderita diabetes lebih cenderung terkena kompresi. Fokal neuropaties di
ektremitas disebabkan oleh entrapment maupun kompresi saraf. Sedangkan jenis yang
kedua adalah kerusakan muncul karena adanya penyakit pembuluh darah yang
disebabkan oleh diabetes sehingga timbul iskemi atau infark pembuluh darah. Neuropati
yang disebabkan oleh infark saraf menunjukkan gejala nyeri fokal sehubungan dengan
kelemahan dan berkurangnya sensoris yang bervariasi di distribusi saraf yang
bersangkutan..31
Radikulopati / Poliradikulopati Dabetika
Jarang dijumpai pada pasien usia dibawah 40 tahun dan setengahnya disertai
penurunan berat badan. Monoradikulopati paling sering didaerah torakal dan lumbal atas
unilateral. Gejala utama berupa nyeri terbakar, hiperalgesia atau nyeri dalam akut, atau
subakut. Gejala sensorik negatif minimal atau tidak ada dan umumnya tanpa
kelumpuhan.Sebagian kecil pasien alami rekurensi pada radiks berbeda berbeda setelah
beberapa bulan atau tahun. Beberapa radiks saraf dapat terkena sekaligus
(poliradikulopati). 20,31 Melibatkan saraf tunggal atau lebih, biasanya multiple spinal
roots. Meliputi 2 sindrom yaitu thorakoabdominal neuropati dan lumbosakral
radikuloplexopati. 20
Neuropati torakoabdominal.
Jarang dijumpai. Terutama pada orang tua yang lama menderita DM dan mungkin
disertai penurunan berat badan nyata. Timbul rasa nyeri akut di dada atau abdomen.Nyeri
dirasakan seperti terbakar, menikam seperti dibor, mengikat atau nyeri dalam yang parah
pada malam hari. Serangan nyeri umumnya unilateral kemudian dapat menjadi bilateral.
Hipersensitif terhadap sentuhan, kontak dengan pakaian terasa nyeri atau tidak enak.
Defisit sensoris berupa hipestesi sesuai distribusi dermatomal, terutama distribusi
27
interkostal. Sering dijumpai bersamaan dengan polineuropati simetris distal. Pada
pemeriksaan elektrodiagnostik diduga kelainan pada radiks saraf. 20,31
Lumbosakral radikuloplexopati
Sering terjadi pada pasien usia tua > 50 tahun dengan diabetes yang tidak
terkontrol. 50% penderita berat badannya berkurang. Gejala mulai secara unilateral
kemudian menyebar ke arah kontralateral.Dimulai dari nyeri unilateral pinggul bawah
belakang, atau punggung bawah dan menyebar ke paha bagian depan. Bisa terjadi
kelemahan yang progresif pada pinggul dan otot paha, dapat terjadi atrofi otot proksimal
otot tungkai bawah. Reflek lutut umumnya menghilang, sedangkan ankle reflek.
BAB V
DIAGNOSIS , TERAPI DAN PROGNOSIS
28
Prosedur diagnosis nyeri neuropati diabetika mencakup anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
5.1. Anamnesis
Diagnosis nyeri neuropatik diabetika terutama didasarkan pada anamnesis yang
typikal. Pemeriksaan neurologis dan penunjang hanya sedikit membantu dalam
diagnosis, tetapi diperlukan untuk menyingkirkan penyebab penyebab nyeri yang lain. 5
Gejala nyeri neuropatik diabetika biasanya mulainya pelan-pelan, yang khas
berawal dari jari-jari kaki kemudian menjalar ke proksimal sampai tunkai bawah.
Tangan jarang terkena dan biasanya tidak begitu berat dan terjadinya lebih akhir dari
kaki. Tidak ada hubungan antara beratnya neuropati dengan intensitas nyeri. Sifat nyeri
pada nyeri neuropatik diabetika sangat bervariasi dan berbeda-beda antara pasien yang
satu dengan pasien yang lain dan dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu pada pasien
yang sama. Nyeri dapat muncul spontan atau dibangkitkan oleh rangsang tertentu. Nyeri
spontan dapat berlangsung terus menerus, meskipun intensitas bervariasi, seperti
terbakar, berdenyut, atau intermitent/paroksismal yang biasanya berlangsung singkat
seperti kesetrum, ditusuk atau ditembak. 5
Penderita dapat mengalami alodinia dengan keluhan sprei tempat tidurnya
mengiritasi kaki sehingga mengganggu tidurnya, tidak jarang penderita tidur dengan kaki
menggantung diluar tempat tidurnya. 5
Pasien sering sulit menggambarkan dengan jelas keadaan nyerinya, oleh karena
itu sebaiknya melakukukan penilaian nyeri dibantu dengan pertanyaan-pertanyaan
sebagai berikut . 5,30
- Kapan dan dimana mulai nyerinya (lokasi nyeri, penjalaran)
- Berapa lama sudah menderita nyeri?
- Bagaimana sifat nyerinya ? menusuk, panas, hiperalgesia, alodinia dll
- Faktor-faktor apa yang memperingan dan memperberat nyerinya?
- Apakah nyerinya mengganggu aktivitas sehari-hari?
- Apakah nyerinya mengganggu tidur?
- Bagaimana intensitas nyerinya?
- Riwayat pengobatan yang sedang atau yang sudah dilakukan untuk
mengurangi nyerinya?
29
- Riwayat penyakit sebelumnya.
5.2.Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien dengan nyeri neuropati diabetika dilakukan pada semua
tubuh, ini berkaitan dengan komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita DM.
Pemeriksaan neurologis rutin ditambah dengan perabaan denyut arteri perifer.
Berbeda dengan pemeriksaan rutin, disini yang lebih diutamakan mencari gejala positif
seperti alodinia dan hiperalgesia. 5
Pemeriksaan rasa getar rutin denga garputala 128 Hz, rasa getar ini dihantarkan
oleh serat saraf perifer besar bermielin. Gangguan pada fungsi ini sering mendahului
reflek tendon, rasa raba ringan, dan rasa posisi. Sekarang digunakan alat presepsi getar
yang canggih seperti biothesiometer dan vibrameter. Biothesiometer menggunakan
elektromagnet untuk mengaktifkan stimulator menggunakan pir menurut skala 0-50 volt.
Resiko ulserasi kaki bertambah 3-4 kali bila ambang presepsi getar >25 volt. Vibrameter
berdasarkan atas prinsip biothesiometer akan tetapi menggunakan skala milimeter. 5,31
Pemeriksaan adanya hiperalgesia dan alodinia (stimulus evoked pain) dengan
rangsang tusuk, suhu maupun raba. Pemeriksaan rasa suhu (rasa dingin dan panas)
memakai tabung air dingin (200C) dan air panas (400C), dianjurkan menggunakan
microprosessor- controlled thermode memakai termo lektrik unit. Dengan cara ini diukur
ambang rasa dingin dan panas untuk menilai fungsi aferen serat saraf mielin penampang
kecil dan tak bermielin. Rasa panas dan dingin harus ditest tersendiri. Rasa panas
disalurkan melalui serat saraf C tak bermielin sedangkan rasa dingin melalui serat saraf
Aό kecil bermielin. 5
Pemeriksaan rasa raba ringan dihantarkan oleh serat bermielin besar Aα dan Aβ.
Monofilamen Semmes-Weinstein yang digunakan untuk rasa raba ringan dan tekan
dalam mempunyai bermacam-macam ukuran diameter. Bila tidak dapat merasakan
filamen ukuran 10 g menunjukkan penderita cenderung mendapat ulserasi kaki. 5,
Penilaian fungsional motorik meliputi kemampuan berdiri dan berjalan. Dinilai
kekuatan dan tonus otot, adanya atropi dan fasikulasi. Hilangnya refleks tendon dapat
sebagai patokan lokasi lesi dan menandakan kelainan serabut sensorik ukuran besar. 31
Penilaian fungsi otonom dengan evaluasi hipotensi ortostatik antara lain dengan
pemeriksaan tekanan darah posisi terbaring, duduk dan berdiri setelah satu menit, secara
30
bersamaan dilakukan penilaian nadi dan denyut jantung , demikian pula saat tes Valsava.
Abnormal bila tekanan darah sistolik turun lebih dari 20% atau lebih dari 30 mmHg.
Penurunan tekanan darah akan disertai dengan refleks takikardia bila saraf simpatis
normal. Bila frekwensi nadi tidak meningkat, dicurigai kelainan saraf simpatis.
Takikardia yang tidak berkurang saat tes Valsava mengarah kelainan saraf parasimpatis
nervus vagus pada jantung. Evaluasi fungsi saraf otonom termasuk penilaian regulasi
suhu , vasokontriksi perifer , berkeringat atau kulit yang kering, perubahan trofik pada
kulit.31
Tabel 2. Anamnesis Gejala pada Pasien Diabetes Melitus 31
Sistem Keluhan pada
Sensorik
Gejala Negatif
Gejala Positif
Baal , geli , seperti pakai sarung tangan , hilang
keseimbangan (mata tertutup ) , kurang tangkas, sulit
menemukan atau mengenal barang di dalam kantong / tas
, cedera tanpa nyeri , borok.
Rasa terbakar , ditusuk , ditikam , kesetrum , disobek ,
tegang , diikat, kulit menjadi sensitif bila terusap.
Motorik
Kelumpuhan Distal
Kelumpuhan Proksimal
Gerakan halus tangan terganggu , sulit putar kunci / buka
stoples , jari tertekuk, tersandung, kedua kaki
bertabrakan.
Sulit naik tangga , sulit bangkit dari kursi atau lantai,
terjatuh, sulit bekerja dengan atau mengangkat lengan
atas diatas bahu.
Otonom
Sudomotor
Kardiovascular
Tidak berkeringat, keringat banyak setempat, berkeringat
saat makan, kulit kering.
Melayang pada posisi tegak, pingsan, sinkop saat b.a.k /
batuk/ kegiatan fisik.
31
Seksual
b.a.b/b.a.k.
pupil
Impoten, sulit ejakulasi, ejakulasi retrograd, sulit
orgasme.
Sulit menahan B.a.B / b.a.k., ngompol, anyang-
anyangan, muntah (terutama bila makan tertahan), diare
malam hari, sulit b.a.b (konstipasi).
Sulit adaptasi gelap / terang
Di Kutip : Nyeri Neuropati Diabetika
5.3.Pemeriksaan Penunjang
5.3.1. Pemeriksaan Elektrofisiologik
Pemeriksaan hantar saraf dan elektromiografi akan menambah informasi dalam
evaluasi klinis atau diperlukan dalam penelitian. Tetapi secara umum untuk dapat
mendiagnosis neuropati diabetika tidak harus diperlukan pemeriksaa elektrofisiologis
kecuali pada pasien dengan gejala tanda otonom murni atau hanya nyeri seperti pada
radikulopati dan nyeri neropatik simetris distal anggota gerak. 2,25 Walaupun pemeriksaan
elektrofisiologis standar sebenarnya tidak dapat mendeteksi serabut saraf berukuran kecil,
tetapi pada neuropati diabetika hampir tidak ada yang selektif mengenai serabut ukuran
kecil. 2,5,31
Alat elektrodiagnostik yang sangat berguna untuk menegakkan diagnosis penyakit
sistem saraf perifer adalah Elektroneuromiografi (ENMG) . Pemeriksaan ini merupakan
kombinasi antara pemeriksaan elektroneurografi (ENG) dan elektromiografi (EMG).
ENG disebut sebagai pemeriksaan konduksi saraf yang mencakup pemeriksaan kecepatan
hantar saraf (KHS) motorik, sensorik dan respon lambat. Sedangkan EMG adalah alat
yang digunakan untuk pemeriksaan aktifitas listrik otot. 7,31 Pemeriksaan KHS dikerjakan
dengan cara menstimulasi saraf perifer untuk membangkitkan respon motorik maupun
sensorik yang direkam dengan menggunakan elektrode permukaan (surface elektrode).
Saraf yang diperiksa pada KHS adalah n.medianus, n.ulnaris, n.perineus, n. tibialis dan n.
suralis.Abnormalitas dari KHS dan cetus potensial (evoked potensial) dapat
mengungkapkan patofisiologi yang mendasari gangguan saraf tepi. Pemeriksaan EMG
jarum berguna untuk menilai aktifitas listrik dari elektroda yang ditusukkan ke dalam otot
yang diperiksa. Dengan pemeriksaan EMG dapat diketahui adanya degenerasi aksonal,
32
adanya reinervasi maupun kelainan primer pada otot. 32
Pada polineuropati diabetika pemeriksaan KHS menunjukkan bahwa hantaran
sensorik yang terganggu berupa :penurunan kecepatan hantaran saraf sensorik, penurunan
amplitudo dan pemanjangan potensial aksi. 32
Tidak ada pemeriksaan neurofisiologis yang khas patognomonik untuk neuropati
diabetika. Walaupun demikian hasil pemeriksaan dapat menggambarkan neuropati
diabetika. Kelainan neurofisiologis yang dapat ditemui pada neuropati diabetika adalah
penurunan hantar saraf sensoris dan motoris, perubahan gelombang F, perubahan
potensial aksi otot, peningkatan latensi distal. 2,31
5.3.2. Quantitative Sensory Testing
Quantitative Sensory Testing (QST) berguna untuk menentukan beratnya penyakit
dan efek terapi pada serabut saraf ukuran kecil pada clinical trial. Dipakai pula untuk
diagnosis neuropati diabetika apabila gejala dan tanda serta pemeriksaan elektrofisiologis
minimal. 2,31
Untuk mendeteksi neuropati serabut berukuran kecil/small fiber diabetic
neuropathy (SFDN) , QST memiliki keuntungan jika dibanding dengan konduksi saraf.
Pertama, QST mendeteksi saraf sensorik kecil; kedua, ia juga mengevaluasi fungsi
sensoriknya; ketiga, ia mengevaluasi keseluruhan axis sensorik dan terakhir, ia lebih
mudah dan sederhana untuk dilakukan dan tidak menimbulkan rasa sakit. 3
5.3.3. Biopsi
Biopsi kulit dikerjakan pada neuropati serabut berukuran kecil termasuk neuropati
diabetika. Pada biopsi saraf antara lain ditemukan antara lain hilangnya akson, degenerasi
walerian, dan penebalan membrana basalis endoneural.Dengan neuropeptida serabut saraf
intraepidermal diwarnai untuk melihat gambaran ujung akhiran saraf. 2,31
5.4. TERAPI NYERI NEUROPATI DIABETIKA
Satu-satunya pengobatan yang ditujukan pada penyebab nyeri yang mendasari
nyeri neuropati diabetika adalah meningkatkan kontrol gula darah, meskipun harus
33
diingat bahwa hal tersebut sebenarnya diarahkan pada penyebab neuropati , bukan pada
penyebab nyeri. Sebagai pengobatan simtomatik terhadap nyeri dapat digunakan terapi
farmakologik dan non farmakologik. Terapi farmakologik yang sering dipakai untuk
mengatasi nyeri adalah antidepresan trisiklik, antikonvulsan, analgetik narkotik dan anti
aritmia. Selain terapi farkaologik terapi non farmakologik seperti edukasi terhadap pasien
juga penting. 12
5.4.1. PENGENDALIAN OPTIMAL KADAR GLUKOSA
Penaganan berdasarkan patomekanisme yang mendasari timbulnya neuropati
diabetika terutama dengan mengendalikan kadar glukosa secara optimal.Kadar HbA1c
dipertahankan sekitar 7%. Dengan cara ini dapat mencegah komplikasi mikrovaskular
termasuk neuropati atau memperambat awitan dan progresifitas neuropati.30,33,34,37
Penelitian dari The Diabetes Control dan Complication Control Trial (DCCT) dan United
Kindom Prospective Diabetic Study (UKPDS) menunjukan bahwa kendali gula darah
tidak hanya menurunkan resiko perkembangan neuropati namun juga memperlambat
progresivitasnya. Pada DCCT dilaporkan bahwa terapi intensif yang mengendalikan gula
darah sedekat mungkin dengan rentang normal selama 5 tahun menurunkan prevalensi
neuropati diabetika sebesar 60%.1
Hiperglikemia dan atau fluktuasi cepat kadar glukosa akan mengurangi toleransi
nyeri. Pengendalian kadar glukosa secara ketat dilaporkan akan meredakan nyeri hebat
pada neuropati diabetika kronik.Hasil terapi baik bila nyeri timbul saat diagnosis diabetes
baru ditegakkan dan pada nyeri akut diabetika dengan normalnya kadar glukosa darah.
Nyeri akan mereda setelah beberapa minggu setelah kadar gula darah terkendali dengan
baik.. 2,25 Hati-hati saat menurunkan kadar glukosa secara cepat dengan insulin karena
dapat menimbulkan rasa nyeri (painful insulin neuritis). Pengendalian glisemia yang
stabil dapat memodifikasi penyakit dengan meningkatkan fungsi saraf dan memperbaiki
gejala. 2,31,34,35
5.4.2. TERAPI FARMAKOLOGIK
Sebelum memberi terapi farmaka untuk nyeri yang kebanyakan berupa
simtomatis, diagnosis penyebab sebaiknya ditegakkan terlebih dahulu dan diretapi. Nyeri
oleh karena neuropati termasuk neuropati diabetika dapat sangat menyakitkan dan lebih
menyebabkan diasabilitas dari penyakit primernya. Sangat dianjurkan untuk memahami
34
mekanisme yang mendasari simtom nyeri, apakah parastesi, hiperalgesia mekanik,
alodinia dan lain sebagainya, untuk memberi terapi farmaka yang rasional. 4
Obat yang sering digunakan pada nyeri neuropatik mempunyai mekanisme kerja
sentral atau perifer. 12 Obat obat yang sering digunakan antikonvulsan, antidepresan
trisiklik dan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI), analgetik narkotik ,
antiaritmia, maupun obat topikal. 12
Antikonvulsan
Antikonvulsan berperan penting pada pengobatan periperal diabetik neuropati .
Telah dilakukan studi dalam penggunaan antikonvulsan dari beberapa klas untuk nyeri
neuropati diabetika. Ada 2 jenis antikonvulsan gabapentin dan pregabalin yang
tampaknya menunjukkan hasil yang signifikan dalam mengurangi nyeri dibandingkan
dengan antikonvulsan lainnya.
Gabapentin
Struktur gabapentin mirip gamma-aminobutiricacid (GABA),suatu
neurotransmiter diotak. 4,12Gabapentin mampu dengan mudah melewati sawar darah otak. 4
Gabapentin mempunyai onset kerja yang cepat , merperbaiki kualitas hidup,dan
ditoleransi dengan baik. 11 Dosis Gabapentin 900 -1200 mg/hr dalam dosis terbagi. 31
Gabapentin mampu menurunkan skor nyeri pada berbagai kasus neuropati.
Kemampuan tersebut sesuai dengan kemampuan gabapentin menghambat saluran
calsium a2d.4,34,36 Gabapentin dapat merubah aktivitas glutamic acid decarboxylase,
sehingga mampu meningkatkan GABA (inhibisi). 4
Backonja et al. (1998) meneliti penderita dengan 1-5 tahun dengan riwayat nyeri
yang berhubungan dengan neuropati diabetika. Didapati adanya perbakan dalam hal daily
pain severity, kualitas hidup, kesehatan menal serta vitalitas pada kelompok dengan
gabantin dibandingkan placebo. Perbaikan dalam hal tidur dalam minggu pertama
sedangkan perbaikan dalam nyeri terjadi dalam minggu kedua pengobatan. 12
Pregabalin
Pregabalin juga telah menunjukkan efektifitas di dalam hal mengurangi nyeri
yang berhubungan dengan neuropati diabetik. Pregabalin efektif dengan dosis dua kali
sehari. Mekanisme pregabalin belum diketahui dengan benar. Mekanisme kerja
pregabalin dihubungkan dengan neurotransmiter GABA, walaupun tidak ada bukti bahwa
35
mereka mengikat secara langsung ke GABA reseptor ataupun mereka terlibat
pengambilan atau pecahnya uraian GABA.20 Kemungkinan teori berdasarkan pada
pengamatan bahwa agen ini mengikat alpha 2 delta subunit dari voltage dependent Ca2+
channel, maka ,mungkin mereka mengatur neurotranmission di presynaps dorsal horn
neurons.20,36 Efek samping yang sering timbul adalah mengantuk, pening, kelelahan. Jika
kasus nyeri amat parah maka dianjurkan kombinasi antidepresan, antikonvulsan dan
topikal.20
Carbamazepine
Carmazepine merupakan obat antiepilepsi yang digunakan sebagai terapi adjuvan.
Carbamasepin memiliki mekanisme aksi:(1)blokade saluran Na yang menyebabkan
stabilisasi, menghambat cetusan listrik berulang, dan menghambat perjalanan impuls,
(2)memodulasi saluran calsium, (3) menghambat aksi glutamat post sinaps. 4,12, 36
Karbamasepin merupakan pilihan untuk trigeminal neuralgia dan dipakai pula pada nyeri
neuropati diabetika. Diberikan titrasi sampai dosis 200-1000 mg/hari. 31,37 Tentang
pemakaian karbamasepin pada nyeri neuropati diabetika, ada uji klinik buta dengan 30
penderita. Dengan dosis 600 mg/hr ternyata 63% penderita dengan obat menunjukkan
perbaikan sedang atau sepurna, sementara kelompok kontrol hanya 20%, ini
menunjukkan perbedaan yang bermakna. . 11 Efek samping karbamasepin adalah dizzines,
mual, ruam kulit , depresi sumsum tulang dan Sindrom Stevens-Jonson . 12,36
Okskarbamasepin
Okskarbamasepin merupakan suatu ketoanalog dengan karbamasepin. Disamping
bekerja diperifer dengan memblok kanal Na, disebutkan pula bahwa Okskarbamasepin
juga bekerja disentral dengan memblok influs Ca, dan juga menurunkan tranmisi
glutaminergik. 4,12,36
Beydoun, 2002 pada penelitiannya mendapatkan adanya perbaikan yang
bermakna pada skor VAS, skor nyeri Mc Gill total dan juga perbaikan kulaitas hidup
pada penderita yang mendapatkan okskarbamasepin. 11 Efek samping yang sering muncul
adalah mengantuk dan pusing.36
Fenitoin
Fenitoin bekerja dengan mengurangi letupan spontan serabut saraf berukuran
kecil dengan menghambat saluran ion Na dan penekanan aktifitas glutamat. 12,36 Fenitoin
36
jarang digunakan sebagai first line untuk neuropati diabetika. 12,24 Fenitoin menunjukkan
manfaat dibanding placebo pada dosis 300-600 mg/hr pada 60 penderita dengan
neuropati diabetika. Perbaikan nyeri dapat dilihat dalam 2 – 4 hari setelah terapi. Apabila
dalam periode tersebut penderita tidak merasakan efeknya, terapi yang diteruskan tidak
akan mengurangi gejala. Karena sebaikknya fenitoin dihentikan apabila dalam 5 hari
setelah terapi dimulai tidak tampak efek yang menguntungkan. 12
Tramadol
Tramadol merupakan analgetik sentral yang bekerja sebagai agonis reseptor
opioid dan menghambat ambilan kembali serotonin dan norepineprin. Penelitian
eksperimental memperlihatkan bahwa tamadol mampu memacu pelepasan 5-HT kedalam
celah sinaps. 4,20
Efek tramadol pada sistem monoaminergik merupakan dasar penggunaan
tramadol untuk nyeri neuropati. Uji klinik pada 45 pasien dengan nyeri neuropati
memperlihatkan bahwa pemberian sdiaan tramadol secara bermakna memperbaiki nyeri,
parastesi, dan alodinia dibanding placebo. Mekanisme tramadol untuk nyeri neuropati
diperkirakan melalui 2 cara:(1) hiperpolarisasi neuron post sinaps akibat perangsangan
reseptor opiat post sinaps, dan (2)memperkuat sistem inhibisi dengan menghambat
ambilan kembali serotonin dan norepineprin. Tramadol memiliki efek yang signifikan
untuk mengurangi parastesi dan alodinia. 4 Efek samping dari pengobatan ini meliputi
pening, mual, konstipasi, dan keadaan mengantuk.4 Dosis yang digunakan untuk nyeri
neuropatik dengan dosis awal 50 mg dititrasi sampai 400 mg/hari. 31
Antidepresan Trisiklik
Antidepresan trisiklik pernah merupakan obat utama untuk neuropati diabetika
simtomatis. Perannya dalam menghilangkan nyeri dilakukan dengan menghambat
reuptake dari serotonin dan noradrenalin dan mungkin juga dengan peningkatan endorfin. 12,24 Kerja dari neuroransmiter tersebut adalah menghambat jalur nosiseptif. Jadi pada
dasarnya trisiklik meningkatkan inhibisi dari batang otak ke medula spinalis. 12
Kegunaan obat antidepresan trisiklik seperti amitriptilin dan imipramin telah
dikonfirmasi dari beberapa studi randomised controlled trials. Walaupun manjur dan
murah untuk managemen nyeri neuropatik, efek samping, terutama sekali antikolinergik
(mulut kering, dizzines, konsipasi, retensio urine dan juga hipotensi postural yang
37
utamanya pada usia lanjut) dapat menyusahkan dan membatasi penggunaan obat tersebut
pada pasien. 12,20
Antidepresan trisiklik dibagi menjadi 2 kelompok : amin tertier seperti
amitriptilin dan imipramin serta amin sekunder seperti nortriptilin dan desipramin.13 Jenis
amin tersier seperti amitriptilin adalah terbaik untuk agen ini, telah ditunjukkan banyak
blind placebo controlled trials dengan hasil yang signifikan untuk nyeri neuropatik.
Agen ini meningkatkan norepineprin presinaptik dan serotonin, dan mereka juga
menghalangi Na voltage-gate+ channels . Efek samping agen ini meliputi keadaan
mengantuk, konstipasi, mulut kering, berat badab bertambah dan hipotensi ortostatik.
Jenis amine yang sekunder, nortriptilin dan desipramin, mempunyai lebih sedikit efek
samping. Oleh karena adanya laporan efek kardiotoksisitas, pemberian antidepresan
trisiklik harus hati-hati digunakan pada pasien dengan penyakit jantung. Suatu meta-
analysis studi penggunaan antidepresan randomized placebo controlled trials
mengungkapkan bahwa agen trisiklik menyajikan sedikitnya 50% pengurangan intensitas
rasa nyeri pada 30% pasien dengan nyeri neuropatik. 20
Pemberian antidepresan trisiklik sebaiknya , sebelum tidur dan dimulai dengan
dosis yang rendah. Misalnya pemberian amitiptilin dimulai dengan dosis 10 mg dan dapat
di titrasi sampai 25 mg untuk meminimalkan efek samping obat tersebut. Despiramin
dan nortriptilin memberikan efek samping sedasi dan kolinergik yang lebih kecil. 12
Selective Serotonine Reuptake Inhibitors (SSRI´s)
Selective Serotonine Reuptake Inhibitors seperi venlafaxine dan duloxetine, telah
membuktikan bermanfaat untuk manajemen pasien dengan nyeri periperal diabetik
neuropati. Agen ini menghalangi pengambilan kembali serotonin dan noreprineprin
tanpa efek samping yang muskarinik , histaminik adrenergik yang biasa terdapat pada
penggunaan trisiklik. Efek samping yang sering timbul meliputi hipertensi, gejala
gastrointestinal. 20
Beberapa SSRI´s juga pernah diteliti pada nyeri neuropati diabetika. Paroksetin
dan sitaprolam terbukti memperbaiki gejala neuropatik. Sindrup et al (1990) dalam
penelitiannya membandingkan paroksetin, imipramin dan plasebo. Dalam penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa paroksetin 40 mg/hari adalah efektif untuk pengobatan
neuropati diabetika. 12
38
Meksiletin
Meksiletin adalah obat antiaritmia klas 1b, juga menunjukkan gejala nyeri pada
neuropati diabetika. Satu dari kemungkinan nyeri neuropati diabetika adalah regenerasi
spontan dari serabut nosiseptif primeryang memerlukan influk natrium kedalam sel saraf.
Sementara mekanisme meksiletin belum jelas diketahui, diduga efek inhibisi terhadap
kanal natrium berperan pada pembebasan nyeri. 12
Obat Topikal
Beberapa keuntungan penggunaan obat topikal untuk nyeri neuropati diabetik
adalah efek samping sistemik yang minimal , tidak ada interaksi antar obat, dan pada
umumnya tidak usah memakai titrasi obat. Juga efek farmakoterapeutik diterapkan
secara langsung kepada lokasi sakit. 13Capsaicin yang merupakan bahan aktif dari
capsicum adalah ekstrak dari red chilli peppers. Capsaicin membebaskan nyeri pada
nyeri neuropati diabetik dengan meniadakan atau mengurangi substansi P, suatu
neurotransmiter untuk nyeri dari neuron sensorik perifer (serabut saraf aferen nosiseptif
tak bermielin tipe C) 12,13,26. Neuron tipe C adalah mediator untuk sensasi nyeri kutaneus.
Efek samping dari pengobatan ini adalah rasa terbakar pada kulit, batuk atau bersin dan
eritema. 1,20
Penelitian dilakukan oleh The capsaicin Study Group yang dilakukan terhadap
277 penderita diabetes melitus stabil dan neuropati perifer atau radikulopati untuk
menentukan kasiat kim 0,075% capsaicin dalam menghilangkan nyeri. Didapatkan bahwa
ada pembebasan nyeri dan perbaikan intensitas nyeri pada analisis akhir pada kelompok
terapi capsaicin dibanding dengan placebo. Perbedaan bermakna setelah 2-4 minggu
pengobatan. 12 Namun hasil trial pengobatan menggunakan capsaicin ini masih
kontroversial. 20
5.4.3. TERAPI NON FARMAKOLOGIK
Pengobatan nyeri neuropati diabetik boleh disebut berhasil jika penderita
merasakan penurunan nyeri. Hilangnya nyeri secara total adalah jarang. Karenanya
edukasi kepada pasien merupakan bagian yang penting dari penanganan nyeri.12,31
Fisioterapi dengan dengan transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS), sangat
membantu pasien dengan nyeri neuropati diabetik. Selain itu akupunktur dilaporkan
dapat mengurangi nyeri dan memperbaiki tidur. 31
39
5.5. PROGNOSIS
Nyeri neuropati diabetika jarang dapat hilang secara total. Sebaiknya dokter
menjelaskan sejak awal sehingga pasien dapat mempunyai harapan yang realistis.12 Nyeri
neuropati diabetika akan memberikan hasil terapi yang baik bila saat diagnosis diabetes
baru ditegakkan dan pada neuropati nyeri akut diabetika dengan normalnya kadar gula
darah. Nyeri akan mereda setelah beberapa minggu kadar gula darah terkendali dengan
baik.31
BAB VI
RINGKASAN
Nyeri neuropati diabetika merupakan salah satu komplikasi tersering diabetes
pada saraf tepi. Gejala yang sering muncul yaitu rasa terbakar (burning), rasa ditikam,
kesetrum, disobek, diikat, hiperalgesia dan alodinia.
Mekanisme nyeri neuropati diabetika sangat komplek dan belum sepenuhnya
diketahui. Mekanisme nyeri ini diduga melalui mekanisme perifer dan sentral.
Mekanisme perifer meliputi aktifitas ektopik, sensitisasi nosiseptor, interaksi serabut
saraf dan sensitifitas terhadap katekolamin, sedangkan mekanisme sentral meliputi
sensitisasi sentral, disinhibisi dan reorganisasi sentral.
Diagnosis nyeri neuropati diabetika didasarkan anamnesis yang khas,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan elektrodiagnostik sangat
berguna untuk membantu menegakkan diagnosis pada sistem saraf perifer termasuk
neuropati diabetika.
Penanganan nyeri neuropati diabetika didasarkan pada mekanisme terjadinya
nyeri. Penanganan nyeri neuropati diabetika meliputi pengendalian kadar glukosa dan
obat-obatan meliputi anti konvulsan, antidepresan, antiaritmia maupun obat topikal.
40
Usaha non farmakologik seperti edukasi , fisioterapi dan akupunktur membantu dalam
penanganan nyeri neuropati diabetika.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wiyono P. Etiopatogenesis Neuropati Diabetika. Dalam : Meliala L (ed), Terapi
Nyeri secara Rasional dalam Kumpulan Makalah pertemuan Ilmiah I Indonesia
Pain Sociey. Yogyakarta, 2003 : 105- 09.
2. Sadeli HA. Nyeri Neuropati Diabetika. Dalam Meliala L (ed), Nyeri Neuropatik
Patofisiologi dan Penatalaksanaan. Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI, 2001 : 67-
79.
3. Park ST, Baek SH, Park HJ. Advanced Diagnostic methods of small fiber diabetic
peripheral neuropathy. Diabetes Research and Clinical Practice2007 :191- 3..
Available from : www.elsevier.com/locate/diabres.
4. Meliala L. Penatalaksanaan Nyeri Neuropati Diabetika.Kumpulan Makalah
Toward Mechanism-Based Pain Treatment The Recent Trent and Current
Evidences. Yogyakarta, 2004 : 121- 8.
5. Thomas E. Mekanisme dan Diagnosis Nyeri Neuropati Diabetika.Naskah
Lengkap Pertemuan Ilmiah Nasional I Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI.
Manado, 2005 : 171- 80.
6. Dani R. Patofisiologi Nyeri Neuropatik. Berkala Neuro Sains Vol.5 No.2 Februari
2004: 93 – 100.
41
7. Sukardi. Neuroanatomia Medika. Penerbit Universitas Indonesia, 1984 :6-14.
8. Duus P. Diagnosis Topik Neurologi: Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 1994 : 1-29.
9. Snell R. Neuroanatomi Klinik . Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1996 :
97- 130.
10. Soliman E. Diabetic Neuropathy. URL:http://www.author.eMedicine
journal.com/neuro/topic.88.htm
11. Meliala L. Terapi Rasional Nyeri : Tinjauan Khusus Nyeri Neuropatik.
Yogyakarta :Aditya Media, 2004: 1-11
12. Suroto. Penanganan Nyeri Neuropati Diabetika. Meliala L (ed), Terapi Nyeri
secara Rasional dalam Kumpulan Makalah pertemuan Ilmiah I Indonesia Pain
Sociey. Yogyakarta, 2003 : 91-9.
13. Melancon.CH, 2000. Tip For Dialing With Neuropathy. Http: wwwovarian-
news.org
14. Adam RD, Victor M. Disease of the Periperal Nerve. In : Priciples of Neurology,
8th ed . United State of America: McGraw Hill,2005 :1110- 77
15. Thomas PK. The Patology of Diabetic Neuropathy. In : International Text Book
of Diabetic Melitus. Second Edition. London: John Wiley and Sons Ltd, 1997.
16. Kimura J. Anatomy and Physiology of the Peripheral Nerve and Muscle Principle
and Practise, 2 nd . Philadelphia: F A Davis Company, 1989:chap.4:55-77.
17. Gominak S, Parry G.J. Neuropathies and Diabetes.In Cross D (ed) Peripheral
Neuropathies, A Pratical Approach to Diagnosis and Management, Philadelpia:
Lippincot,2001: 141-56.
18. Vasculitis Neuropathy, http://www acron children.org/neuropathology.
19. Kimura J. Polyneuropathies in Electrodiagnosis in Desease of Nerve and Muscle
Principle and Practise, 2nd. Philadelphia: F A Davis Company, 1989:chap.22:463-
5.
20. Sjahrir H. Diabetic Neuropathy : The Pathoneubiology & Treantment Update.
USU Press, 2006.
21. Bhadada SK, Sahay RK, Jyotsna VP, Agrawal JK. Diabetic Neuropathy: Current
42
Concepts . Journal, Indian Academy of Clinical Medicine, Vol. 2, No. 4 ,October-
December 2001.
22. Sridar GR. Painful Diabetic Neuropathy. Int. J. Diab. Dev. Countries VOL. 19,
1999.
23. Hsueh A, Moore L, Bryer M. Hyperglycemia and Tissue Damage.Conteporary
Diagnosis and Management of Type 2 Diabetes, Second Edition. Handbooks in
Health Care Co. Newton< Pennsylvania, USA, 2004 :32-46.
24. Vincent AM, Russell JW, Low P, Feldman EL. Oxidative Stress in the
Pathogenesis osf Diabetic Neuropathy. Endocrine Review 25 (4) 2004: 612-28.
25. Brownlee M. The Pathology of Diabetic Complications: A Unifying Mechanism.
American Diabetes Association, Volume 54, June 2005 : 1615-25.
26. Clarke M. PKC Inhibition and Diabetic Microvasclar Complications. Best
Practice & Research Clinical Endokrinology & Metabolism, Vol. 21 No. 4, 2007 .
27. Djokomoeljanto R. Neuropati Diabetik. Dalam Darmono,Suhartono, Tjokorda
GD, Soemanto F (ed), Naskah Lengkap : Diabetes Melitus Ditinjau dari Berbagai
Aspek Penyakit Dalam. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007 : 1-14.
28. Meliala L. Patofisiologi Nyeri. Dalam Meliala L (ed), Nyeri Neuropatik
Patofisiologi dan Penatalaksanaan. Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI, 2001 : 1-
22.
29. Andradi S. Penatalaksanaan Praktis Nyeri Neuropatik. Dalam Meliala L
(ed),Kumpulan Makalah Toward Mechanism-Based Pain Treatment The Recent
Trent and Current Evidences. Yogyakarta, 2004 : 59-64.
30. Meliala L, Yudiyanta. Asessment Nyeri Neuropatik. Dalam : Meliala L (ed),
Nyeri Neuropatik. Yogyakarta : Medigama Press, 2008 : 51-62.
31. Sadeli HA.Nyeri Neuropatin Diabetika. Dalam : Meliala L (ed), Nyeri
Neuropatik. Yogyakarta : Medigama Press, 2008 : 77-90.
32. Kimura J. Priciples of Nerve Conduction Studies in Electrodiagnosis in Desease
of Nerve and Muscle Principle and Practise, 2nd. Philadelphia: F A Davis
Company, 1989:chap.5:78-93.
33. Gilroy J. Basic Neurology. New York : Pergamon Press Inc, 1990 : 523 -525
34. Veves A, Backonja M, Malik R. Painful Diabetic Neuropathy : Epidemiology,
43
Natural History, Early Diagnosis, and Treatment Options. American Academy of
Pain Medicine, 2007 : 1-15.
35. Jensen T, Backonja M, Hernandez S, Tesfaye S, Valensi P, Ziegler. New
Perspectives on The Management of Diabetic Peripheral Neuropatic Pain.
Diabetes and Vascular Desease Research, 2006 : 108-119.
36. Widjaja D. Mechanistic Aproach to the Treatment of Neuropatic Pain. Naskah
Lengkap Pertemuan Ilmiah Nasional I Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI.
Manado, 2005 : 96-116.
37. Mendell J, Sahenk Z. Painful Sensory Neuropathy. New England Jounal of
Medicine, March 2007: 1243- 55. Available from: www.nejm.org.
38. Kirby M. Painful Diabetic Neuropathy – Current Understanding and Management
for Primary Care Team. The British Journal of Diabetes and Vascular Desease,
Vol.3 Issue 2, 2003 : 138-44.
44
45