PEKERJA PENYANDANG DISABILITAS PADA PT SINAR JAYA
LANGGENG UTAMA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8
TAHUN 2016
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
ADE ANSAH MUHAMAD FAUZI
NIM: 11150480000098
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
i
PEKERJA PENYANDANG DISABILITAS PADA PT SINAR JAYA
LANGGENG UTAMA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8
TAHUN 2016
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
ADE ANSAH MUHAMAD FAUZI
NIM : 11150480000098
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
v
ABSTRAK
Ade Ansah Muhamad Fauzi. NIM 11150480000098. PEKERJA
PENYANDANG DISABILITAS PADA PT SINAR JAYA LANGGENG
UTAMA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2016.
Program Studi Ilmu Hukum, Kosentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1440 H/2019 M.
Perseroan terbatas memiliki kewajiban untuk mempekerjakan 1%
penyandang disabilitas pada perusahaannya, selain itu terdapat pula kewajiban-
kewajiban lainnya seperti memberikan kesempatan kerja, memberikan akomodasi
yang memadai, memberikan jaminan kerja, dan juga menempatkan posisi kerja
yang sesuai bagi para penyandang disabilitas sebagaimana telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, namun
PT Sinar Jaya Langgeng Utama tersebut belum menjalankan keseluruhan
kewajiban-kewajiban tersebut.
Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
perundang-undangan (Statuting Aproach). Jenis penelitian yang digunakan adalah
Penelitian hukum normatif serta teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian lapangan (Field Research).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah dengan adanya Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2016 berpengaruh terhadap kesadaran PT Sinar Jaya Langgeng
Utama untuk melakukan hal-hal yang telah diperintahkan oleh peraturan tersebut,
seperti membuka kesempatan kerja, menempatkan posisi kerja yang sesuai serta
memberikan jaminan kerja kepada penyandang disabilitas. Namun jumlah pekerja
penyandang disabilitas diperusahaan tersebut kurang dari 1% dan juga belum
tersedianya fasilitas-fasilitas perusahaan yang ramah terhadap penyandang
disabilitas, sehingga perusahaan tersebut belum secara penuh menjalankan
kewajiban-kewajiban yang diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2016.
Kata Kunci : Kewajiban Mempekerjakan, Penyandang Disabilitas,
Perusahaan Swasta
Pembimbing Skripsi : M. Yasir, S.H., M.H.
Sumber rujukan Tahun 1971 sampai Tahun 2019
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji serta syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan berbagai macam nikmat serta karuniaNya sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “PEKERJA PENYANDANG DISABILITAS
PADA PT SINAR JAYA LANGGENG UTAMA MENURUT UNDANG-
UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2016”. Peneliti Haturkan shalawat serta salam
kepada junjungan besar kita Nabi Muhammad SAW yang telah menghantarkan
kita dari jaman kegelapan hingga jaman yang terang benderang dengan ilmu
pengetahuan seperti sekarang ini.
Pencapaian ini tidak dapat diraih tanpa bantuan, dorongan serta motivasi dari
berbagai macam pihak. Dalam kesempatan kali ini, peneliti ingin mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum.
3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. M. Yasir, S.H., M.H. pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan
masukan sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Pimpinan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang telah menyediakan berbagai macam fasilitas yang memudahkan
peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini.
6. Khairul Hermawan yang telah bersedia menjadi narasumber guna membantu
peneliti untuk memperoleh data penelitian dalam skripsi ini.
7. Semua pihak yang telah terlibat secara langsung maupun tidak langsung
dalam proses penulisan skripsi ini, yang tidak dapat peneliti sebutkan satu
vii
persatu. Hanya doa serta ucapan terima kasih yang dapat peneliti sampaikan,
semoga Allah SWT membalas semua kebaikan-kebaikan kalian.
Akhir kata peneliti berharap agar skripsi ini dapat memberi manfaat serta
inspirasi bagi semua pihak.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, 3 Juli 2019
Ade Ansah Muhamad Fauzi
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA .................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 6
D. Metode Penelitian ........................................................................ 7
E. Sistematika Penulisan .................................................................. 9
BAB II KEPASTIAN DAN KEMANFAATAN DALAM
MEMPEKERJAKAN PENYANDANG DISABILITAS PADA
PERSEROAN TERBATAS ........................................................... 11
A. Kerangka Teori .......................................................................... 11
B. Kerangka Konseptual ................................................................. 14
C. Kajian (Riview) Terdahulu ......................................................... 21
BAB III PT SINAR JAYA LANGGENG UTAMA DALAM
MEMPEKERJAKAN PENYANDANG DISABILITAS .............. 27
A. Profil PT Sinar Jaya Langgeng Utama ...................................... 27
B. Upaya PT Sinar Jaya Langgeng Utama dalam Mempekerjakan
Penyandang Disabilitas .............................................................. 27
viii
BAB IV TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN TERHADAP
KEWAJIBAN MEMPEKERJAKAN PENYANDANG
DISABILITAS ............................................................................... 32
A. Kepastian Akses Kerja bagi Penyandang Disabilitas ................ 32
B. Hak Penyandang Disabilitas dalam Dunia Kerja ....................... 33
C. Kemanfaatan Bagi Penyandang Disabilitas Melalui Kewajiban
Perusahaan ................................................................................. 41
D. Implementasi PT Sinar Jaya Langgeng Utama Terhadap
Perintah Mempekerjakan Penyandang Disabilitas .................... 51
E. Analisis Mengenai Perintah Mempekerjakan Penyandang
Disabilitas pada Perusahaan Swasta .......................................... 55
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 61
A. Kesimpulan ................................................................................ 61
B. Rekomendasi .............................................................................. 61
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 63
LAMPIRAN ........................................................................................................... 68
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pasal 27 Ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
menjelaskan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pasal tersebut telah sangat
eksplisit menjelaskan mengenai hak setiap warga negara untuk memperoleh
pekerjaan dan penghidupan yang layak. Termasuk didalamnya hak bagi setiap
warga negara penyandang disabilitas atas pekerjaan yang layak. Disabilitas
merupakan kata serapan dari Bahasa Inggris yaitu disability (jamak:
disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan.1 Penyandang disabilitas
juga dapat diartikan sebagai orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental,
intelektual atau sensorik.2
Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas menjelaskan bahwa “Penyandang disabilitas
merupakan setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual,
mental/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi
dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk
berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya
berdasarkan persamaan hak”.
Menurut data yang dihimpun oleh International Labour Organization
(ILO) lebih dari satu miliar orang atau 15 persen penduduk dunia adalah
penyandang disabilitas dan lebih dari 70 persen merupakan penduduk dalam
usia kerja.3 Dikalangan orang berusia 15 tahun ke atas, terdapat 12,15 persen
orang yang hidup dengan disabilitas (sekitar 22,8 juta orang),
1 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2008, edisi 4)
2 Eta Yunita, Slamet Sumarto dan Noorochmat Isdaryanto, “Pemenuhan Hak Bagi
Penyandang Disabilitas Di Kabupaten Semarang Melalui Imolementasi Convention On The
Rights Of Person With Disabilities (CPRD) Dalam Bidang Pendidikan”, Integralistik, 1,
XXVIII, (Januari - Juni, 2018), h. 1
3 Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia, Laporan Akhir Memetakan Penyandang Disabilitas (PD) di Pasar
Tenaga Kerja Indonesia, (Jakarta: ILO, 2017), h. 1
2
mempertimbangkan tingkat disabilitas, terdapat 1,87 persen penyandang
disabilitas berat dan 10,29 persen penyandang disabilitas ringan.4 Terdapat
414.222 penyandang disabilitas yang memerlukan pekerjaan.5
Berikut data mengenai penyandang disabilitas di Indonesia berdasarkan
kategori gangguangnya:
Kategori Gangguan6
NO Ketegori Gangguan Disabilitas Ringan Disabilitas Berat
1 Gangguan Penglihatan 18% 37%
2 Gangguan Pendengaran 10% 6%
3 Gangguan Mobilitas 19.2% 7.8%
4 Gangguan Genggaman 2.7% 1.7%
5 Gangguan Bicara /
Komunikasi
3.4% 1.6%
6 Disabilitas Majemuk 39% 40%
Walaupun kekurangan, para penyandang disabilitas memiliki hak untuk
menjadi pekerja seperti warga negara lainnya sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakertaan
yang berbunyi “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa
diskriminas untuk memperoleh pekerjaan”. Selain itu hak penyandang
didabilitas untuk mendapatkan pekerjaan tercantum juga dalam Pasal 53
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, menjelaskan bahwa “Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik
Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) penyandang
disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja serta perusahaan swasta wajib
mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) penyandang disabilitas dari
4 Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia, Laporan Akhir Memetakan Penyandang Disabilitas (PD) di Pasar
Tenaga Kerja Indonesia, … h. 9
5 Catatan Pemerintah, Sebanyak 414.222 Penyandang Disabilitas Butuh Kerja, Jaringan
Pemberitaan Pemerintah, (Jakarta), 11 April 2018
6 Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia, Laporan Akhir Memetakan Penyandang Disabilitas (PD) di Pasar
Tenaga Kerja Indonesia, … h. 42
3
jumlah pegawai atau pekerja”. Dilihat dari ketentuan tersebut maka sudah
jelas para pihak yang memiliki tanggung jawab mempekerjakan penyandang
disabilitas. Diharapkan dengan adanya peraturan tersebut dapat menyerap
banyak tenaga kerja penyandang disabilitas, sehingga dapat menekan angka
pengangguran bagi penyandang disabilitas.
Pekerja atau buruh sendiri adalah seorang yang menjalankan pekerjaan
untuk majikan dalam hubungan kerja dengan menerima upah.7 Sedangkan
Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menjelaskan bahwa
“pekerja/buruh merupakan setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain”. Yang berarti penyandang disabilitas berhak
untuk mendapatkan pekerjaan dan menerima imbalan dalam suatu hubungan
kerja. Namun kenyataannya masih ada pihak yang memiliki tanggung jawab
untuk mepekerjakan penyandang disabilitas namun belum melakukan
kewajibannya tersebut, terutama pada perusahaan swasta. Peran perusahaan
swasta dalam mempekerjakan penyandang disabilitas sangat diperlukan untuk
menyerap tenaga kerja penyandang disabilitas, sebab jika seluruh perusahaan
swasta dapat menjalankan perintah Pasal 53 Undang-undang Nomor 8 Tahun
2016 maka dapat menyerap sangat banyak tenaga kerja penyandang
disabilitas yang memerlukan pekerjaan.
Dalam dunia kerja penyandang disabilitas berhak atas penempatan kerja
yang sesuai tingkat kecacatannya atau sesuai kemampuannya, sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 5 Angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia, yang menjelaskan bahwa “Setiap orang yang
termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan
dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”. Selain itu
penyandang disabilitas berhak atas perlindungan yang diberikan oleh pemberi
kerja yang sesuai dengan kecacatannya sebagaimana yang ditegaskan dalam
Pasal 67 Angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, menjelaskan bahwa “Pengusaha yang mempekerjakan
7 Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta; Djambatan, 1999, Cetakan
Kedua Belas), h. 36
4
tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai
dengan jenis dan derajat kecacatannya”. Yang tidak kalah pentingnya juga
penyandang disabilitas tidak boleh mendapatkan perlakuan yang
diskriminatif, sebagaimana tegaskan dalam Pasal 28I Ayat (2) Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjelaskan
bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa
pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu”.
Penelitian ini menjadikan PT Sinar Jaya Langgeng Utama sebagai objek
penelitian, hal ini didasari bahwa perusahaan tersebut merupakan salah satu
perusahaan yang mampu mempekerjakan penyandang disabilitas di
Kabupaten Bekasi, yang dimana belum banyak perusahaan yang menjalankan
kewajibannya untuk mempekerjakan penyandang disabilitas, sehingga
menjadi hal yang menarik untuk melihat sejauh mana perusahaan tersebut
menjalankan kewajibannya untuk mempekerjakan penyandang disabilitas.
PT Sinar Jaya Langgeng Utama selain memiliki kewajiban untuk
mempekerjakan 1% penyandang disabilitas pada perusahaannya, memiliki
kewajiban-kewajiban lainnya seperti memberikan kesempatan kerja,
memberikan akomodasi yang memadai, memberikan jaminan kerja, dan juga
menempatkan posisi kerja yang sesuai bagi para penyandang disabilitas
sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
Tentang Penyandang Disabilitas, namun perusahaan tersebut belum
menjalankan keseluruhan kewajiban-kewajiban tersebut. Sehingga peneliti
tertarik untuk mengkaji permasalahan tersebut serta mencari solusi dari
permasalahan tersebut, karena penelitian ini merupakan penelitian terapan,
dengan harapan hasil dari penelitian ini dapat memberikan solusi bagi PT
Sinar Jaya Langgeng Utama serta Perusahaan lainnya dalam mempekerjakan
penyandang disabilitas sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
Tentang Penyandang Disabilitas.
Dari uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti permasalahan terkait
tanggung jawab perseroan terbatas untuk mempekerjakan penyandang
5
disabilitas, dari hasil penelitian tersebut selanjutnya dituliskan dalam bentuk
skripsi dengan judul “PEKERJA PENYANDANG DISABILITAS PADA
PT SINAR JAYA LANGGENG UTAMA MENURUT UNDANG-
UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2016”.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
a. PT. Sinar Jaya Langgeng Utama belum menjalankan sepenuhnya
kewajiban-kewajiban yang diperintahkan oleh Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas.
b. Belum adanya sanksi yang tegas terhadap Perseroan Terbatas yang
tidak taat terhadap perintah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
Tentang Penyandang Disabilitas.
c. Sulitnya mencari penyandang disabilitas yang sesuai dengan
kompetensi yang diinginkan perusahaan.
d. Jumlah penyandang disabilitas yang melamar kerja pada PT Sinar
Jaya Langgeng Utama masih sedikit.
e. Kurangnya pengawasan dari pemerintah terhadap perusahaan swasta
terkait dengan kewajiban mempekerjakan pekerja penyandang
disabilitas.
2. Batasan Masalah
Dari sekian banyak identifikasi masalah yang ada, peneliti membatasi
pembahasan hanya terkait pada PT. Sinar Jaya Langgeng Utama belum
menjalankan sepenuhnya kewajiban-kewajiban yang diperintahkan oleh
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas.
3. Perumusan Masalah
Masalah dalam penelitian ini mengenai implementasi PT. Sinar Jaya
Langgeng Utama terhadap kewajiban mempekerjakan penyandang
disabilitas serta hal-hal lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, maka dari itu
masalah dalam penelitian ini akan dirumuskan dalam pertanyaan-
pertanyaan sebagai berikut:
6
a. Bagaimana pengaruh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas pada PT Sinar Jaya Langgeng Utama?
b. Bagaimana PT Sinar Jaya Langgeng Utama menjalankan perintah
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Disabilitas?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pengaruh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
Tentang Penyandang Disabilitas pada PT Sinar Jaya Langgeng Utama.
b. Untuk mengetahui PT Sinar Jaya Langgeng Utama dalam menjalankan
perintah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Disabilitas.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari skripsi ini sebagai berikut:
a. Secara Teoritis
Secara teoritis, penelitian dapat memperkaya ilmu pengetahuan
dalam bidang hukum Ketenagakerjaan. Terutama dalam bidang hukum
pekerja penyandang disabilitas. serta memberikan gambaran secara
lebih luas terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pekerja penyandang
disabilitas beserta hak-haknya.
b. Secara Praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi acuan dan kerangka
untuk penelitian lanjutan, selain itu diharapkan penelitian ini dapat
menjawab permasalahan-permasalahan terkait dengan kedudukan
pekerja penyandang disabilitas, dikarenakan terhadap permasalahan
tersebut belum ditemukan solusi yang kongkrit dan tepat sasaran, maka
dari itu penelitian ini dapat menjadi solusi dari permasalahan tersebut,
sehingga hak penyandang disabilitas untuk memperoleh pekerjaan
dapat terealisasikan dan tidak ada tindakan diskriminasi terhadap
penyandang disabilitas serta dapat memudahkan perusahaan dalam
mempekerjakan penyandang disabilitas
7
c. Secara Akademis
Secara akademis, penelitian ini berkontribusi terhadap
perkembangan hukum ketenagakerjaan di Indonesia dan juga dapat
menjadi rujukan ataupun bahan referensi dari penelitian lanjutan terkait
permasalahan dibidang hukum ketenagakerjaan yang berkaitan dengan
tenaga kerja penyandang disabilitas.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang bertujuan
untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan
diteliti. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah
pendekatan perundang-undangan (Statuting Aproach). Pendekatan
perundang-undangan (Statuting Aproach) dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu
hukum yang sedang ditangani.8
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan
peneliitan hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder belaka.9
3. Data Penelitian
Penelitian ini berdasarkan pada data sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan data utama yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu
Peraturan Perundang-undangan yang ada di Indonesia, seperti:
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, Cetakan Keempat), h.
93
9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif suatu TInjauan
Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h. 13-14
8
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Disabilitas;
3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas;
5) Undang-Undang Nomor 39 Tentang Hak Asasi Manusia;
6) Peraturan Perundang-undangan lainnya serta hasil konvensi
international yang terkait dengan permasalah yang dibahas dalam
penelitian ini.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data yang menjelaskan terkait dengan penelitian ini, seperti buku-buku,
jurnal, skripsi, tesis, disertasi, ataupun bahan bacaan lainnya yang
terkait dengan pembahasan penelitian ini yang dapat menjadi rujukan
tambahan bagi peneliti.
a. Bahan Non Hukum
Data tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah merupakan data
yang memberikan penjelasan mengenai data primer dan data skunder
penelitian ini seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), artikel
dan lain-lain.
4. Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penelitian ini, peneliti mengacu kepada
pendekatan dalam penelitian ini, yang dimana pendekatan dari penelitian
ini adalah pendekatan empiris, yang berarti teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan (Field
Research), yakni upaya pengumpulan data melalui wawancara dan
pengamatan yang berkaitan dengan pembahasan penelitian ini.
5. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif.
Analisis deskriptis kualitatif adalah bahwa data yang diperoleh oleh
peneliti akan dianalisis secara kualitatif dan selanjutnya akan diuraikan
dalam bentuk deskriptif.
9
6. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini peneliti menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku
Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, tahun 2017.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-
masing terdiri dari sub bab guna memperjelas cakupan permasalahan yang
menjadi objek penelitian. Urutan masing-masing bab dijabarkan sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai: latar belakang
masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan
BAB II KEPASTIAN HUKUM DAN KEMANFAATAN DALAM
MEMPEKERJAKAN PEKERJA PENYANDANG
DISABILITAS PADA PERUSAHAAN SWASTA.
Dalam bab ini memaparkan mengenai kerangka konseptual
serta kerangka teori yang digunakan untuk menganalisis dan
menginterpretasi data penelitian dan juga review studi
terdahulu.
BAB III KEWAJIBAN MEMPEKERJAKAN PENYANDANG
DISABILITAS PADA PT SINAR JAYA LANGGENG
UTAMA
Dalam bab ini akan menguraikan tentang data penelitian,
berupa deskripsi data berkenaan dengan objek terkait
kewajiban mempekerjakan penyandang disabilitas menurut
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 pada perusahaan
swasta.
10
BAB IV Dalam bab ini akan membahas tentang tanggung jawab
perusahaan swasta terhadap kewajiban mempekerjakan
penyandang disabilitas pada perusahaan swasta.
BAB V Bab ini merupakan bagian akhir dari seluruh kegiatan
penulisan, yang berisi kesimpulan dan rekomendasi yang
didapatkan berdasarkan paparan dari bab-bab sebelumnya.
11
BAB II
KEPASTIAN DAN KEMANFAATAN DALAM MEMPEKERJAKAN
PENYANDANG DISABILITAS PADA PERSEROAN TERBATAS
A. Kerangka Teori
1. Kepastian Hukum
Kepastian hukum diartikan sebagai kejelasan norma sehingga dapat
dijadikan pedoman bagi masyarakat yang dikenakan peraturan ini.
Pengertian kepastian tersebut dapat dimaknai bahwa ada kejelasan dan
ketegasan terhadap berlakunya hukum didalam masyarakat. Hal ini untuk
tidak menimbulkan banyak salah tafsir. Kepastian hukum yaitu adanya
kejelasan skenario perilaku yang bersifat umum dan mengikat semua warga
masyarakat termasuk konsekuensi-konsekuensi hukumnya.1 Kepastian
hukum dapat juga berarti hal yang dapat ditentukan oleh hukum adalah hal-
hal yang konkret.2 Undang-undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat
umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam
bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun
hubungan dengan masyarakat. Aturan-aturan ini menjadi batasan bagi
masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu.
Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian
hukum.3
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat
dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas
dalam artian tidak menimbulkan keraguan-keraguan (multi tafsir) dan logis,
jelas dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain
sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Kepastian
hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten
1 Tata Wijayanta, “Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam
Kaitannya dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga”, Jurnal Dinamika Hukum, 14, 2
(Mei, 2014), h. 219
2 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Pratama, 1990, Cetakan
Kedua), h. 24-25 3 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 158
12
dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-
keadaan yang sifatnya subjektif. Kepastian dan keadilan bukanlah sekedar
tuntunan moral, melainkan secara factual mencirikan hukum. Suatu hukum
yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk.4
Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa
yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan
dapat dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel
terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa seseorang akan
dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Hukum
bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk menciptakan
ketertiban dalam masyarakat. Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak
dapat dipisahkan dari hukum terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum
tanpa nilai kepastian hukum akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat
dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang.5
Kepastian hukum sebagai perlindungan terhadap tindakan kesewenang-
wenangan, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu
yang diharapkannya dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan
adanya kepastian hukum, masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas
menciptakan kepastian hukum karena dengan adanya kepastian bertujuan
ketertiban masyarakat.6
2. Kemanfaatan Hukum
Kemanfaatan dapat diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Baik
buruknya suatu hukum bergantung pada apakah hukum itu memberikan
kebahagiaan atau tidak pada manusia. Hukum yang baik adalah hukum yang
dapat memberi manfaat kepada setiap subjek hukum. Hukum sudah dapat
dikategorikan baik apabila mampu memberikan kebahagiaan kepada bagian
terbesar masyarakat. Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan
4 Cst Kansil, dkk, Kamus Istilah Hukum, (Jakarta: Jala Permata, 2009), h. 385
5 France M. Wantu, “Antinomi dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim”, Jurnal Berkala
Mimbar Hukum, 19, 3 (Oktober, 2007), h. 193
6 Sulardi dan Yohana Pusoitasari Wardoyo, “Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan
Keadilan Terhadap Perkara Pidana Anak”, Jurnal Yudisial, 8, 3 (Desember, 2015), h. 259
13
dan penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia maka pelaksanaan
hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi
masyarakat. Pelaksanaan dan penegakkan hukum harus dapat
menghindarkan timbulnya kerusuhan didalam masyarakat. Hukum yang
baik adalah hukum yang membawa kemanfaatan bagi manusia.
Kemanfaatan disini dapat juga diartikan dengan kebahagiaan.7 Masyarakat
mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum
itu untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum harus
memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru
karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan malah timbul keresahan di
dalam masyarakat itu sendiri.8
3. Acces To Justice
Acces To Justice atau akses keadilan adalah keadaan yang menerangkan
kemampuan seseorang, terutama orang miskin dan kelompok yang tidak
beruntung (disadvantaged group), untuk mencari keadilan, dan
mendapatkan kompensasi, atau ganti rugi, rehabilitasi dalam kasus-kasus
tertentu, melalui sistem peradilan formal dan informal, sesuai dengan
prinsip dan standar hak asasi manusia internasional.9 Setiap orang memiliki
kehormatan yang berdasar pada keadilam, sehingga seluruh masyarakat
sekalipun tidak dapat membatalkannya, maka berdasarkan hal itu keadilan
menolak jika lenyapnya kebebasan bagi sejumlah orang.10
Konsep acces to justice terhadap keadilan tidak semata terbatas pada
akses terhadap advokat ataupun akses terhadap pengadilan, tetapi juga akses
terhadap Ombudsman dan lembaga-lembaga “keadilan yang lain”. Konsep
acces to justice yang ada di Indonesia bertitik tumpu kepada tujuan yakni
sistem hukum yang dapat diakses oleh seluruh kalangan warga negara serta
7 Tata Wijayanta, “Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam
Kaitannya dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga”, … h. 222
8 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar , (Yogyakarta: Liberty,
2005), h. 160
9 Saifuddin, “Akses Keadilan Bagi Anak”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 54, XIII
(Agustus, 2011), h. 64.
10
John Rawls, A Theory Of Justice. Penerjemah Uzair dan Heru Prasetyo. Teori
Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011), h. 3.
14
tujuan bahwa sistem hukum yang dapat diakses oleh seluruh kalangan
warga negara serta tujuan bahwa sistem hukum seharusnya dapat
menghasilkan ketentuan atau keputusan yang adil bagi seluruh kalangan
warga negara baik individu maupun kelompok.11
Di dalam konsep Acces To Justice ini pula, keadilan diartikan sebagai
sebuah keadaan dan proses dimana negara menjamin akan terpenuhinya
hak-hak dasar bagi warga negaranya yakni hak dasar berdasarkan UUD
1945 serta prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dan menjamin akses
bagi setiap warga negara agar dapat memiliki kemampuan untuk
mengetahui, memahami, menyadari dan menggunakan hak-hak dasar
tersebut melalui lembaga-lembaga formal maupun informal yang didukung
oleh mekanisme keluhan publik yang responsif agar diperoleh manfaat yang
optimal dan memperbaiki kualitas hidupnya sendiri.12
B. Kerangka Konseptual
1. Penyandang Disabilitas
Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 menjelaskan
bahwa penyandang disabilitas merupakan setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental/atau sensorik dalam jangka waktu
lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami
hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif
dengan warga negara lainnya berdasarkan persamaan hak.
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 menjelaskan pembagian
kategori penyandang disabilitas, sebagai berikut:
a. Penyandang disabilitas fisik, yaitu terganggunya fungsi fisik gerak,
antara lain amputasi, lumpuh layu atau kaku, paraplegi, celebral palsy
(CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil.
11 Mustika Prabaningrum Kusumawati, “Peranan Kedudukan Lembaga Bantuan Hukum
sebagai Acces To Justice Bagi Orang Miskin”, Arena Hukum, 9, 2 (Agustus, 2016) h. 195-196
12
Mustika Prabaningrum Kusumawati, “Peranan Kedudukan Lembaga Bantuan Hukum
sebagai Acces To Justice Bagi Orang Miskin”, … h. 196
15
b. Penyandang disabiltas intelektual, yaitu terganggunya fungsi pikir karena
tingkat kecerdasan dibawah rata-rata, antara lain lambat belajar,
disabilitas grahita dan down syndrome.
c. Penyandang disabilitas mental, yaitu terganggunya fungsi fikir, emosi
dan perilaku, antara lain : Psikososial, seperti bipolar, anxietas, depresi,
skizorfenia dan gangguan kepribadian dan juga disabilitas perkembagan
yang dipengaruhi pada kemampuan interaksi sosial, seperti hiperaktif dan
autis.
d. Penyandang disabilitas sensorik, yaitu terganggunya salah satu atau lebih
fungi dari panca indra, seperti tunanetra, tunawicara dan tunarungu.13
Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO)
memberikan definisi disabilitas sebagai keadaan terbatasnya kemampuan
untuk melakukan aktivitas dalam batas-batas yang dianggap normal. WHO
memberi tiga kategori disabilitas, yaitu:
a. Impairment, yaitu kondisi ketidaknormalan atau hilangnya struktur atau
fungsi psikoligis, atau anatomis.
b. Disability, yaitu ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai akibat
adanya Impairment untuk melakukan aktivitas dengan cara yang
dianggap normal bagi manusia.
c. Handicap, yaitu keadaan yang merugikan bagi seseorang akibat adanya
impairment, disability yang mencegahnya dari pemenuhan peranan yang
normal (dalam konteks usia, jenis kelamin, serta faktor budaya) bagi
orang yang bersangkutan.14
2. Tenaga Kerja
Pekerja atau buruh adalah seorang yang menjalankan pekerjaan untuk
majikan dalam hubungan kerja dengan menerima upah.15
Munir Fuady
menjelaskan bahwa tenaga kerja adalah setiap laki-laki atau perempuan
13 Ismail Shaleh, “Implementasi Pemenuhan Hak Bagi Penyandang Disabilitas
Ketenagakerjaan di Semarang”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 20, 1 (April, 2018), h. 67
14 Ismail Shaleh, “Implementasi Pemenuhan Hak Bagi Penyandang Disabilitas
Ketenagakerjaan di Semarang” … h. 67-68
15
Iman Soepomo, Pengantat Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, 1999, Cetakan
Kedua Belas), h. 36
16
yang sedang dalam dan/atau akan melakukan pekerjaan, baik didalam
maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat.16
Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 Menjelaskan bahwa pekerja atau buruh adalah setiap
orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Berdasarkan pasar kerja, pekerja dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
a. Sektor formal, diartikan sebagai sektor dimana pekerja/buruh
dipekerjakan melalui hubungan kerja, dan diatur oleh/menjadi subjek dari
peraturan perundang-undangan perburuhan.
b. Sektor informal, diartikan diartikan sebagai sektor di mana kegiatan-
kegiatan tersebut mudah dimasuki (setiap orang dapat kapan saja
memasuki kegiatan-kegiatan tersebut), berbasis sumber daya local
(umumnya usaha keluarga, skala kecil dan bersifat padat karya),
keterampilan yang diperlukan biasanya diperoleh dari luar sistem
pendidikan formal/sekolah, tidak/belum menjadi subjek pengaturan dan
merupakan pasar yang kompetitif.17
3. Perseroan Terbatas
a. Pengertian Perseroan Terbatas
Pengertian tentang Perseroan Terbatas (Limited Company atau
Limited Liability Company, atau Naamloze Venootschap, lebih lanjut
disingkat PT, di dalam KUHD tidak diatur secara sempurna, tetapi hanya
memberikan sedikit gambarang tentang PT, terutama dari segi
penanaman, dan bila ditafsirkan lebih jauh akan menyentuh persoalan
tanggung jawab terbatas dari perseroan (Pemegang Saham).18
Perseroan Terbatas merupakan bentuk badan usaha yang paling
sempurna di antara berbagai bentuk badan usaha lainnya seperti
maatschap, Firma maupun Persekutuan Komanditer (CV). Namun
16 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2012,
Cetakan Keempat), h. 191
17
Aloysius Uwiyono dkk, Asas-asas Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT Rajagrafindo,
2014, Cetakan Kedua), h 30
18
Mulhadi, Hukum Perusahaan: Bentuk-bentuk Badan Usaha Di Indonesia, (Depok: Raja
Grafindo Persada, Cetakan Kedua, 2018), h. 98-97
17
demikian, keberadaan PT tidak bisa dilepaskan dari bentuk-bentuk badan
usaha yang lebih sederhana tersebut di atas, walaupun ada pendapat yang
mengatakan bahwa PT (karena berkembang lebih maju) sudah bukan
spesies dari bentuk-bentuk badan usaha sederhana di atas.19
Status perseroan terbatas adalah sebagai badan hukum, oleh karena
itu memperlakukan pemilik atau pemegang saham dan pengurus atau
direksi sebagai terpisah dari perseroan terbatas itu sendiri, yang dikenal
dengan istilah separate legal personality, yaitu sebagai individu yang
berdiri sendiri.20
Disamping itu, apabila perseroan terbatas tersebut merupakan
perusahaan publik atau perusahaan yang telah go public, maka
terhadapnya berlaku juga Undang-Undang Pasar Modal dan peraturan
pelaksanaannya. Jika perseroan terbatas tersebut merupakan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), maka terhadapnya berlaku pula berbagai
aturan yang khusus mengatur tentang BUMN tersebut.21
Tempat kedudukan suatu PT ini dapat dibedakan dalam 3 (tiga)
macam, yaitu:
1) Tempat kedudukan formal/status:
Adalah yang dinyatakan di dalam akte pendirian, di mana tempat ini
mengikat perseroan dalam segala hal sebagaimana yang dimaksud
dalam undang-undang.
2) Tempat kedudukan usaha:
Adalah tempat di mana usahanya/kegiatan usahanya berkedudukan,
misalnya: menurut anggaran dasar PT tersebut berkedudukan di
Jakarta dan tempat kedudukan usahanya berada di Surakarta (Jawa
Tengah).
3) Tempat dimana pengurusnya berkantor:
19 Mulhadi, Hukum Perusahaan: Bentuk-bentuk Badan Usaha Di Indonesia, … h. 97
20
Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan kepailitan, (Jakarta:
Erlangga, 2012), h. 70
21
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, … h. 36
18
Biasanya sama dengan tempat kedudukan statutairnya PT namun
dapat juga berbeda, misalnya karena kepindahan tanpa mengubah
nama akte.22
b. Jenis-jenis Perseroan Terbatas
Jenis- jenis perseroan terbatas dapat dibedakan menjadi beberapa
jenis, yaitu: perseroan terbatas terbuka, perseroan terbatas publik,
perseroan terbatas tertutup dan perseroan terbatas kosong.23
Berikut
penjelasan mengenai jenis-jenis perseroan terbatas tersebut:
1) Perseroan terbatas terbuka, menurut pasal 7 Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 adalah bahwa perseroan terbatas terbuka adalah
perseroan terbatas publik atau perseroan terbatas yang melakukan
penawaran umum saham sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2) Perseroan terbatas publik, menurut Pasal 1 Angka 8 Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 adalah perseroan terbatas dengan jumlah
pemegang saham dan modal disetornya memenuhi kriteria dari
ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang pasar modal.
3) Perseroan terbatas tertutup adalah perseroan terbatas yang saham
perusahaannya hanya bisa dimiliki oleh orang-orang tertentu yang
telah ditentukan dan tidak menerima pemodal dari luar secara
sembarangan.24
4) Perseroan terbatas kosong adalah perseroan terbatas yang sudah ada
izin usaha dan lainnya, namun tidak atau belum melakukan kegiatan.25
c. Unsur-unsur Perseroan Terbatas
1) Perseroan terbatas merupakan badan hukum;
2) Perseroan terbatas merupakan persekutuan modal;
22 R.T Sutantya R dan Sumantoro, Pengertian Pokok Hukum Perusahaan: Bentuk-bentuk
Perusahaan yang Berlaku di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cetakan Keempat,
1996), h. 50
23
Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan kepailitan, (Jakarta:
Erlangga, 2012), h. 75
24 Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan kepailitan, … h. 76
25
Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan kepailitan, … h. 76
19
3) Didirikan berdasarkan perjanjian;
4) Melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar;
5) Modal dasarnya dibagi dalam saham-saham; dan
6) Pendiriannya (PT) harus memenuhi persyaratan yanh diatur dalam
Undang-Undang PT dan peraturan pelaksananya.26
d. Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum
Konsep bahwa Perseroan Terbatas sebagai badan hukum melahirkan
keberadaan Perseroan Terbatas sebagai subjek hukum mandiri, dengan
keberadaan yang terpisah dari para pemegang sahamnya. Keberpisahan
ini mengakibatkan bahwa Perseroan Terbatas mutlak memerlukan organ-
organ (seperti direksi) sebagai wakilnya. Berbeda dengan manusia,
karena Perseroan Terbatas adalah suatu articial person, maka dia hanya
dapat melakukan perbuatan hukum dengan perantaraan manusia sebagai
wakilnya.27
Chatamarrasjid berpendapat bahwa perseroan terbatas merupakan
artificial person, suatu badan hukum yang dengan sengaja diciptakan.
Karenanya perseroan terbatas adalah suatu subjek hukum yang mandiri,
memiliki hak dan kewajiban, yang pada dasarnya tidak berbeda dengan
hak dan kewajiban subjek hukum manusia.28
Sebagai sebuah badan hukum, Perseroan Terbatas telah memenuhi
unsur-unsur sebagai badan hukum sebagaimana diatur dalam UU PT.
Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:
1) Memiliki pengurus dan organisasi teratur.
2) Dapat melakukan perbuatan hukum (recht handeling) dalam
hubungan-hubungan hukum (rechts betrekking), termasuk dalam hal
ini dapat digugat atau menggugat didepan pengadilan.
3) Mempunyai harta kekayaan sendiri.
26 Mulhadi, Hukum Perusahaan: Bentuk-bentuk Badan Usaha Di Indonesia, (Depok: Raja
Grafindo Persada, Cetakan Kedua, 2018), h. 98
27 Mulhadi, Hukum Perusahaan: Bentuk-bentuk Badan Usaha Di Indonesia, … h. 99
28
Chatamarrasjid Ais, Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing the Corporate Veil) Kapita
Selekta Hukum Perusahaan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), h. 25
20
4) Mempunyai hak dan kewajiban.
5) Memiliki tujuan sendiri.29
Menurut Pasal 7 Ayat (6) jo Pasal 9 UU PT 1995 atau Pasal 7 Ayat
(4) jo Pasal 9 (1) UU PT 2007, menyatakan bahwa perseroan
memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan
Menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan (Menteri
Kehakiman bagi UU PT 1995 dan Menteri Hukum dan HAM bagi UU
PT 2007). Ketentuan yang sama (tetapi tidak memiliki makna yang sama)
ditemukan dalam Pasal 36 ayat (2) KUHD yang menyatakan: “Sebelum
suatu Perseroan Terbatas bisa berdiri dengan sah (sebagai badan hukum),
maka akta pendiriannya atau naskah dari akta tersebut harus disampaikan
terlebih dahulu kepada Menteri Kehakiman untuk mendapatkan
Pengesahannya.30
Ketentuan KUHD menentukan bahwa status badan hukum perseroan
sejak didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat dan
diumumkan dalam berita Negara Republik Indonesia. Sedangkan
menurut UU PT, status badan hukum PT diperoleh sejak dikeluarkannya
Keputusan Menteri tentang pengesahan badan hukum PT. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa KUHD lebih menekankan pada asas
pendaftaran dan publisitas, sedangkan UU PT menekankan pada asas
pengesahan.31
e. Tanggung Jawab Perseroan Terbatas
Tanggung jawab dalam suatu Perseroan Terbatas pada prinsip
sebatas atas harga yang ada dalam perseroan tersebut. Itu pula sebabnya
disebut “terbatas” (limited), yakni terbatas dari segi tanggung jawabnya.
Dengan demikian, pada prinsipnya pihak pemegang saham, direksi atau
komisaris tidak pernah bertanggung jawab secara pribadi. Artinya, jika
ada gugatan dari pihak manapun, pihak pemegang harta pribadi dari
29 Mulhadi, Hukum Perusahaan: Bentuk-bentuk Badan Usaha Di Indonesia, … h. 99
30
Mulhadi, Hukum Perusahaan: Bentuk-bentuk Badan Usaha Di Indonesia, (Depok: Raja
Grafindo Persada, Cetakan Kedua, 2018), h. 100 31 Mulhadi, Hukum Perusahaan: Bentuk-bentuk Badan Usaha Di Indonesia, … h. 100
21
pemegang saham, direksi atau komisaris pada prinsipnya tidak boleh ikut
disita.32
Namun demikian, prinsip-prinsip tanggung jawab terbatas tersebut
tidak berlaku dalam hal-hal berikut ini:
1) Persyaratan perseroan terbatas sebagai badan hukum belum atau tidak
terpenuhi.
2) Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung atau tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan terbatas
semata-mata untuk kepentingan pribadi.
3) Pemegang saham dari perseroan terbatas terlibat dalam perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan.
4) Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung atau tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan,
yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk
melunasi hutang perseroan terbatas tersebut.
5) Direksi akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia bersalah atau
lalai dalam menjalankan tugasnya selaku direksi.
6) Komisaris akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia bersalah
atau lalai dalam menjalankan tugasnya selaku komisaris.33
C. Tinjauan (Riview) Kajian Terdahulu
Sebagai pertimbangan dalam penelitian ini, peneliti akan menyertakan
beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan kajian materi yang
akan dibahas sebagai berikut:
1. Ahmad Tosirin Anaessaburi, Judul Skripsi “Pelaksanaan Pemberian
Kesempatan Kerja Bagi Penyandang Disabilitas Netra di Daerah Istimewa
Yogyakarta”, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun
2017.
Skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan juga
pendekatan yuridis empiris. Rumusan masalah dalam skripsi ini, yaitu
32 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, … h. 38
33 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, … h. 39
22
mengenai hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pemberian kesempatan
kerja bagi penyandang disabilitas netra di Daerah Istimewa Yogyakarta
serta upaya yang bisa dilakukan mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
Melihat pada rumusan masalah tersebut, maka dalam skripsi ini
pembahasan utamanya mengenai hambatan pemberian kerja kepada
penyandang disabilitas, khususnya disabilitas netra di Daerah Istimewa
Yogyakarta, hambatan-hambatan tersebut bisa terjadi karena faktor dari
dalam ataupun faktor dari luar diri penyandang disabilitas netra. Hak untuk
bekerja bagi penyandang disabilitas sudah dijamin dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, Peraturan Daerah
Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Perlindungan
dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas dan peraturan lainnya.
Gambaran mengenai kondisi pelaksanaan pemberian kesempatan di Daerah
Istimewa Yogyakarta bagi penyandang disabilitas netra dijelaskan melalui
hasil wawancara peneliti. Dari hasil wawancara tersebut menjelaskan bahwa
baru terdapat 3 (tiga) institusi pemerintah yang mempekerjakan penyandang
disabilitas netra yaitu Kementrian Agama, Kementrian Sosial dan
Kementrian Pendidikan. Selain itu hanya ada 1 (satu) perusahaan swasta
yang mempekerjakan penyandang disabilitas netra, yaitu Hotel
Ambarukmo.
Selain penjabaran mengenai apa saja hambatan-hambatan pelaksanaan
pemberian kesempatan kerja bagi disabilitas netra di Daerah Istimewa
Yogyakarta, dibahas juga mengenai upaya yang dapat dilakukan untuk
mengatasi hambatan-hambatan tersebut, agar pelaksanaan pemberian kerja
bagi penyandang disabilitas netra dapat berjalan sesuai dengan peraturan
yang berlaku.
2. Erwin Gope, judul skripsi ” Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja
Penyandang Disabilitas di Daerah Istimewa Yogyakarta (Perspektif UU No.
13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan)”, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Tahun 2015.
23
Skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan juga
pendekatan yuridis empiris yang dimana peeliti melakukan penelitian
lapangan (field research) untuk mendapatkan data primer dan sekunder.
Rumusan masalah dalam skripsi ini meliputi bentuk perlindungan kepada
tenaga kerja disabilitas serta kendala-kendala yang dihadapi oleh Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) untuk memberikan
perlindungan terhadap tenaga kerja disabilitas di Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Melihat pada rumusan masalah diatas maka skripsi ini memberikan
penjabaran mengenai perlindungan bagi penyandang disabilitas di Daerah
Istimewa Yogyakarta yang meliputi pemberian pelatihan kerja, pengawasan
langsung kepada perusahaan-perusahaan, memberikan sosialisasi kepada
perusahaan untuk membuka lowongan kerja bagi penyandang disabilitas
dan juga pemberian penghargaan kepada perusahaan yang peduli terhadap
tenaga kerja disabilitas serta memberikan sanksi kepada perusahaan yang
mengabaikan hak-hak tenaga kerja disabilitas.
Selanjutnya pembahasan mengenai kendala yang dihadapi oleh
Disnakertrans untuk menghadapi kendala untuk memberikan perlindungan
kepada tenaga kerja disabilitas, kendala tersebut diantaranya ialah
Disnakertrans Daerah Istimewa Yogyakarta kekurangnya Sumber Daya
Manusia (SDM) untuk melakukan pengawasan, aksebilitas terhadap tenaga
kerja penyandang disabilitas tidak benar-benar terpenuhi dan juga kurang
maksimalnya kerjasama antara Disnakertrans dengan perusahaan-
perusahaan.
3. Ismail Shaleh, judul skripsi “Implementasi Pemenuhan Hak Bagi
Penyandang Disabilitas Ketenagakerjaan di Semarang”, Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, Tahun 2018.
Jurnal ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris, yang berarti
dalam jurnal ini melihat implementasi pelaksanaan peraturan perundang-
undangan (Pasal 53 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas) dalam kenyataan dilapangan. Pembahasan utama
24
dalam jurnal ini meliputi 2 (dua) hal yaitu implementasi pemenuhan hak di
Kota Semarang pada bidang ketenagakerjaan terhadap penyandang
disabilitas belum dapat terpenuhi sebagai mana mestinya serta faktor
penghambat pemerintah Kota Semarang untuk memenuhi hak-hak pada
bidang ketenagakerjaan terhadap penyandang disabilitas di wilayahnya.
Melihat pada pembahasan mengenai pemenuhan hak di Kota Semarang
pada bidang ketenagakerjaan terhadap penyandang disabilitas, hal ini dapat
dilihat jelas jika melihat data yang dikeluarkan oleh Disnakertrans Kota
Semarang, yang menyebutkan bahwa dari 10 perusahaan yang dijadikan
sampel, dari perusahaan-perusahaan tersebut belum mampu mempekerjakan
penyandang disabilitas dengan jumlah yang sudah diperintahkan oleh Pasal
53 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas.
Selanjutnya ketiadaan Peraturan daerah Kota Semarang yang mengatur
mengenai perlindungan hak bagi penyandang disabilitas serta wewenang
pengawasan terhadap ketenagakerjaan dialihkan dari pemerintah Kota
Semarang kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Hal-hal tersebut
menjadi faktor penghambat pemerintah Kota Semarang untuk memenuhi
hak-hak pada bidang ketenagakerjaan bagi para penyandang disabilitas.
4. Abdul Latief Danu Aji dan Tiyas Nur Haryanti, judul skripsi “Diversitas
dalam Dunia Kerja: Peluang dan Tantangan Bagi Disabilitas”, Universitas
Sebelas Maret, Tahun 2017.
Jurnal ini bertujuan untuk menggambarkan peluang kerja bagi
penyandang disabilitas terutama bagi penyandang disabilitas untuk wilayah
Kota Surakarta. Peluang kerja bagi penyandang disabilitas sudah dijamin
oleh Peraturan Perundang-undangan seperti Pasal 28i Ayat (2) Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of
Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang
Disabilitas), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang
Penyandang Cacat, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang
25
Penyandang Disabilitas dan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2
Tahun 2008 Tentang Kesetaraan Disabilitas.
Faktor penghambat pemberian lapangan kerja bagi penyandang
disabilitas disebabkan karena beberapa hal diantaranya masih adanya
perlakuan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, sterotip negatif
terhadap penyandang disabilitas dan juga proses seleksi kerja yang ketat.
Jurnal ini pun menjabarkan cara untuk mendorong perusahaan-
perusahaan untuk melaksanakan Pasal 14 Undang-undang Nomor 4 Tahun
1997 dan Pasal 19 Peraturan Daerah Surakarta Nomor 2 Tahun 2008, yaitu
dengan beberapa cara misalnya memberikan penghargaan kepada
perusahaan yang dapat menjalankan aturan tersebut, serta memberikan
hukuman bagi perusahaan yang tidak menjalankan aturan tersebut. Selain itu
perlu juga ditingkatkan kemampuan manajer sumber daya manusia agar
dapat memberikan ruang bagi penyandang disabilitas dalam dunia kerja.
5. Jazim Hamidi, judul jurnal “Perlindungan Hukum Terhadap Disabilitas
dalam Memenuhi Hak Mendapatkan Pendidikan dan Pekerjaan”, jurnal
hukum Ius Quia Iustum, Tahun 2016.
Metode penelitian dalam jurnal adalah penelitian hukum normatif dan
pendekatan yang digunakan dalam jurnal ini adalah pendekatan perundang-
undangan, yaitu dengan cara mengkaji regulasi yang berhubungan dengan
objek penelitian, selain itu teknik pengumpulan data yang digunakan oleh
peneliti yaitu studi kepustakaan. Masalah utama dalam jurnal ini mengenai
perlindungan hukum terhadap upaya pemenuhan hak terhadap penyandang
disabilitas atas pendidikan dan pekerjaan. Dan juga permasalahan kebijakan
terkait aksebilitas terhadap penyadang disabilitas dalam dunia kerja.
Melihat permasalah utama dalam jurnal ini terkait dengan perlindungan
hukum terhadap upaya pemenuhan hak penyandang disabilitas atas
pendidikan dan pekerjaan, dalam jurnal ini dijelaskan bahwa pemerintah
masih terkesan diskriminasi dalam memberikan perlindungan hukum atas
pendidikan dan pekerjaan bagi penyandang disabilitas, padahal hal tersebut
tidak boleh terjadi mengingat setiap warga Negara Indonesia memiliki hak
26
atas pendidikan dan pekerjaan sebagaimana yang diamanatkan oleh
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selanjutnya permasalahan kebijakan terkait dengan aksebilitas terhadap
penyandang disabilitas dalam dunia, perlu adanya perubahan bahkan
pembaharuan terhadap regulasi yang ada saat ini, seperti halnya mengubah
atau memperbaiki regulasi yang sudah ada agar menjadi lebih baik,
membuat regulasi terkait hal-hal yang belum diatur sebelumnya dan juga
menyempurnakan regulasi yang ada sehingga menjadi lebih baik lagi.
27
BAB III
KEWAJIBAN MEMPEKERJAKAN PENYANDANG DISABILITAS PADA
PT SINAR JAYA LANGGENG UTAMA
A. Profil PT Sinar Jaya Langgeng Utama
PT Sinar Jaya langgeng Utama merupakan perusahaan dibawah Sinar Jaya
Grup, beralamat di Jalan Diponegoro Nomor 70, Kelurahan Jati Mulya,
Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat 17510. Perusahaan
ini merupakan perusahaan yang menyediakan jasa antar jemput karyawan,
pariwisata, dan ekspedisi. Perusahaan tersebut berstatus sebagai Badan Usaha
Milik Swasta (BUMS) yang dimana jumlah pekerja diperusahaan tersebut
kurang lebih berjumlah 150 pekerja dan salah satu pekerjanya merupakan
penyandang disabilitas.
Visi Misi Perusahaan tersebut sebagai berikut:
1. Visi
“Kenyamanan bertransportasi yang aman, terjangkau, dan terpercaya.”
2. Misi
a. Memberikan pelayanan yang terbaik kepada pengguna jasa sinar jaya
group.
b. Senantiasa memelihara dan meningkatkan sarana, prasarana serta
professional karyawan dan crew bus.
c. Menciptakan dan memelihara kerjasama yang baik dengan perusahaan
lain maupun mitra kerja.
d. Ikut menciptakan lingkungan hidup sehat, bersih, dan rapih dengan
menerapkan konsep 5S dan kaizen.
e. Memberikan kontribusi sosial kepada masyarakat sebagai bentuk
kepedulian dan tanggung jawab sosial perusahaan melalui kegiatan CRS
yang terprogram dan berkelanjutan.
B. Upaya PT Sinar Jaya Langgeng Utama dalam Mempekerjakan
Penyandang Disabilitas
PT Sinar Jaya Langgeng Utama merupakan perusahaan yang telah
memiliki kesadaran hukum untuk mempekerjakan penyandang disabilitas,
28
sebagaimana telah diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2016 Tentang Penyandang Disabilitas, menjelaskan bahwa “Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik
Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) penyandang
disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja serta perusahaan swasta wajib
mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) penyandang disabilitas dari
jumlah pegawai atau pekerja”. Menurut narasumber bahwa perusahaan tersebut
mempekerjakan penyandang disabilitas merupakan suatu kewajiban yang telah
diperintahkan oleh undang-undang, selain itu dengan mempekerjakan
penyandang disabilitas merupakan bentuk edukasi dan motivasi kepada pekerja
lainnya untuk tetap semangat dan bersungguh-sungguh dalam melakukan
pekerjaan.1 Peneliti menjabarkan aspek-aspek apa saja di dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2016 yang sudah dipenuhi oleh PT Sinar Jaya
Langgeng Utama, diantaranya sebagai berikut :
1. Kesempatan Kerja bagi Penyandang Disabilitas
Kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas merupakan suatu
kewajiban yang harus dijalankan oleh perusahaan sebagaimana ditentukan
oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016. Memberikan kesempatan kerja
bagi penyandang disabilitas untuk bekerja pada perusahaan beragam
bentuknya, seperti halnya yang dilakukan oleh PT Sinar Jaya Langgeng
Utama.
Perusahaan tersebut memberikan toleransi terhadap kekurangan yang
dimiliki oleh pekerja penyandang disabilitas pada perusahaannya sehingga
penyandang disabilitas tersebut dapat bekerja di perusahaan itu. Hal ini
merupakan gambaran bahwa perusahaan tersebut telah memberikan
kesempatan kerja kepada penyandang disabilitas, Atas dasar itulah peneliti
beranggapan bahwa perusahaan tersebut telah memberikan kesempatan
kerja kepada penyandang disabilitas.
1 Khairul Hermawan, SPV Teknik PT Sinar Jaya Langgeng Utama, Interview Pribadi,
Bekasi, 07 Agustus 2019
29
2. Menempatkan posisi yang sesuai
PT Sinar Jaya Langgeng Utama menganggap bahwa kunci utama dalam
mempekerjakan penyandang disabilitas yaitu mengetahui keterbatasan serta
kemampuan dari pekerja itu sendiri dan dengan begitu perusahaan akan
mudah untuk menempatkan pekerja tersebut pada posisi yang sesuai dengan
kondisi dan kemampuan pekerja tersebut sehingga kehadiran pekerja
penyandang disabilitas tersebut dapat meningkatkan produktifitas
perusahaan.
Penyandang disabilitas yang bekerja di PT Sinar Jaya Langgeng Utama
merupakan disabilitas gerak yang memiliki gangguan pada struktur tulang
belakang, yang dimana pekerja tersebut bekerja sebagai office boy di
perusahaan tersebut. Penempatan posisi tersebut bukan tanpa alasan,
perusahaan telah melakukan penyesuain terhadap kondisi serta keterampilan
pekerja tersebut. Pihak perusahaan menganggap bahwa selama penyandang
disabilitas ditempatkan pada posisi kerja yang sesuai, dapat menjadi solusi
mempekerjakan penyandang disabilitas karena Pada umumnya pekerjaan
yang ada pada PT Sinar Jaya Langgeng Utama dilakukan oleh pekerja yang
bukan penyandang disabilitas, sehingga para penyandang disabilitas akan
menghadapi kesulitan serta hambatan dalam melakukan pekerjaan pada
perusahaan tersebut, sehingga penyesuaian penempatan posisi kerja menjadi
suatu hal yang harus diperhatikan.
3. Memberikan jaminan kerja
Memberikan jaminan kerja kepada penyandang disabilitas dapat
diartikan memberikan jaminan bahwa penyandang disabilitas dapat bekerja
di perusahaan tersebut dan mendapatkan hak-haknya sebagaimana pekerja
semestinya. Selain Peraturan Perundang-undangan sebagai dasar daripada
jaminan kerja, terdapat pula perjanjian kerja antara pekerja dengan
pengusaha sebagai rujukan dan dasar dari suatu hubungan kerja, yang
dimana perjanjian kerja ini berisi hak dan kewajiban para pihak. Seperti
30
yang kita ketahui bahwa perjanjian kerja dapat dibagi menjadi 2 (dua)
macam, diantaranya:
a. Perjanjian kerja waktu tertentu, yaitu bahwa waktu untuk melakukan
telah ditentukan dalam perjanjian. Semula ketentuan mengenai perjanjian
kerja waktu tertentu ini dimaksudkan untuk membatasi kesewenang-
wenangan pihak pemberi kerja yang beranggapan bahwa pekerja (yang
bekerja di bawah perintahnya) dapat diperlakukan sama dengan budak.
Perkembangan selanjutnya, adanya batasan dalam jangka waktu
hubungan kerja, agar penggunaan waktu tertentu ini tidak mengganggu
kelancaran pelaksanaan kerja.2
b. Perjanjian kerja waktu tidak tertentu, bilamana dalam perjanjian kerja
tidak ditentukan waktu berlakunya perjanjian, maka perjanjian tersebut
termasuk dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Hal penting dalam
hubungan kerja waktu tidak tertentu ini adalah masa pemutusan
hubungan kerja atau kapan berakhirnya hubungan kerja tersebut.3
Apapun bentuk perjanjian kerjanya baik Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) ataupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
(PKWTT), perjanji kerja merupakan bentuk dari jaminan kerja, sebab dalam
perjanjian kerja bukan hanya mengatur mengenai waktu kerja semata,
melainkan mengatur pula mengenai besaran upah, jam kerja dan hal-hal
lainnya berkaitan dengan hak dan kewajiban pekerja dan juga pengusaha.
Sehingga peneliti beranggapan bahwa dengan adanya perjanjian kerja
antara pekerja penyandang disabilitas dengan perusahaan dapat menjadi
wujud jaminan kerja yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerja
penyandang disabilitas.
PT Sinar Jaya langgeng Utama saat ini memiliki 1 (satu) pekerja
penyandang disabilitas, yang dimana pasti ada suatu perjanjian kerja antar
pekerja penyandang disabilitas dengan perusahaan tersebut. Dengan adanya
suatu perjanjian kerja antara perusahaan dengan pekerja penyandang
2 Aloysius Uwiyono dkk, Asas-asas Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2014,
Cetakan Kedua), h. 59 3 Aloysius Uwiyono dkk, Asas-asas Hukum Perburuhan, … h. 60
31
disabilitas tersebut, dapat menjadi suatu jaminan hukum terhadap hak-hak
pekerja penyandang disabilitas di perusahaan itu. Langkah ini lah sebagai
bentuk nyata pemberian jaminan kerja kepada pekerja penyandang
disabilitas oleh PT Sinar Jaya Langgeng Utama. Jaminan kerja seperti ini
merupakan hal yang mutlak diberikan kepada pekerja penyandang
disabilitas karena sudah ditentukan oleh hukum dan dapat meningkatkan
kesejahteraan dari pekerja itu sendiri.
Hal-hal di atas dilakukan oleh PT Sinar Jaya Langgeng Utama sebagai
langkah untuk pemerataan kesempatan kerja bukan hanya kepada orang yang
non disabilitas, tetapi juga kepada penyandang disabilitas serta sebagai upaya
untuk menjalankan perintah undang-undang.4
Melihat itikad baik yang dilakukan oleh perusahaan tersebut untuk
mempekerjakan penyandang disabilitas, perlu diberikan apresiasi sebab
mempekerjakan penyandang disabilitas bukalnlah perkara mudah, karena
memerlukan penyesuain-penyesuain kondisi perusahaan dengan kondisi
penyandang disabilitas, agar pekerja tersebut tetap dapat melakukan
pekerjaannya dengan produktif. Terlebih lagi tidak semua perusahaan memiliki
kesadaran untuk menjalankan kewajibannya untuk mempekerjakan
penyandang disabilitas.
4 Khairul Hermawan, SPV Teknik PT Sinar Jaya Langgeng Utama, Interview Pribadi,
Bekasi, 07 Agustus 2019
32
BAB IV
TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN TERHADAP KEWAJIBAN
MEMPEKERJAKAN PENYANDANG DISABILITAS
A. Kepastian Akses Kerja bagi Penyandang Disabilitas
Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang
berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya serta yang memiliki
kewajiban menurut hukum, harus melaksanakan kewajiban tersebut.
Kepastian hukum merupakan suatu hal yang mutlak ada dalam suatu
penegakan hukum. Peneliti akan melihat sejauh mana kepastian hukum
berperan dalam akses kerja kepada penyandang disabilitas.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia telah melegistimasi akses
kerja kepada penyandang disabilitas, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 27
Ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonsia Tahun 1945 yang
berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan”, berangkat dari ketentuan tersebut dapat dilihat
bahwa secara keseluruhan setiap warga negara Indonesia berhak atas
pekerjaan yang layak tanpa terkeculi, termasuk para warga negara
penyandang disabilitas.
Konstitusi telah menjamin akses kerja kepada para penyandang
disabilitas, yang dimana hal tersebut sangat diperlukan, mengingat kondisi
penyandang disabilitas yang memiliki keterbatasan sehingga membutuhkan
bantuan serta dorongan dari berbagai macam aspek, termasuk dukungan dari
sisi hukum. Dengan begitu kepastian terhadap akses kerja kepada penyandang
disabilitas akan terwujud.
Selain dari pada Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yang
menjamin akses kerja bagi para penyandang disabilitas, terdapat juga
ketentuan lain yang memperkuat akses kerja bagi para penyandang
disabilitas, ketentuan tersebut tertuang di dalam Pasal 53 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas yang berbunyi
“Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara dan Badan
Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen)
33
penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja serta perusahaan
swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) penyandang
disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja”. Berdasarkan ketentuan tersebut
dapat dilihat bahwa terdapat beberapa pihak yang wajib memberikan akses
kerja bagi para penyandang disabilitas dengan jumlah yang sudah ditentukan
oleh undang-undang.
Jika Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia menjelaskan
mengenai akses kerja bagi para penyandang disabilitas, ketentuan Pasal 53
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 menjelaskan mengenai pihak mana
saja yang berkewajiban memberikan akses kerja tersebut kepada para
penyandang disabilitas. ketentuan-ketentuan di atas merupakan jaminan yang
diberikan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan mengenai akses
kerja bagi para penyandang disabilitas.
Secara hukum akses kerja bagi penyandang disabilitas di Indonesia
merupakan cerminan dari kepastian yang diberikan kepada para penyandang
disabilitas atas akses kerja. maka dari itu para pihak yang memiliki kewajiban
untuk memberikan akses kerja kepada para penyandang disabilitas, harus
membuka seluas-luasnya akses tersbut sebab hal tersebut merupakan
tanggung jawab yang telah ditetapkan oleh peraturan-perundang-undangan.
B. Hak Penyandang Disabilitas dalam Dunia Kerja
1. Hak Terbebas dari Diskriminasi
Pasal 6 Ayat 1 Konvensi ILO Nomor 168 Tentang Promosi
Kesempatan Kerja dan Perlindungan Terhadap Pengangguran yang
menjelaskan bahwa “Setiap anggota harus menjamin kesetaraan perlakuan
bagi semua orang yang dilindungi, tanpa diskriminasi berdasarkan ras,
warna kulit, jenis kelamin, agama, pendapat politik, asal kebangsaan,
kebangsaan, asal etnis atau sosial, disabilitas atau usia”. Berdasarkan
konvensi di atas maka sudah sangat jelas bahwa negara seharusnya
memberikan jaminan terhadap penyandang disabilitas untuk terbebas dari
segala macam bentuk diskriminasi.
34
Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi asas kemanusiaan
telah mengakomidir perlindungan penyandang disabilitas terhadap
perlakuan diskriminasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 28I Ayat (2)
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Merujuk pada 2 (dua)
ketentuan di atas maka sudah sangat eksplisit bahwa perlakuan
diskriminatif terhadap penyandang disabilitas tidak dibenarkan baik di
Indonesia maupun di dunia Internasional.
Keberadaan penyandang disabilitas dalam lingkungan sosial
masyarakat rentan terjadi perlakuan diskriminasi sebab kondisi
penyandang disabilitas yang memiliki keterbatasan dan hambatan dalam
berinteraksi dengan masyarakat menjadikan keberadaan disabilitas sering
kali dikesampingkan. Maka dari itu perlindungan dan jaminan terhadap
penyandang disabilitas untuk terlindung dari berbagai macam perlakuan
diskriminasi adalah suatu keharusan. Termasuk diskriminasi terhadap
penyandang disabilitas didalam dunia kerja.
Bentuk diskriminasi dilingkungan kerja pada penyandang disabilitas
bisa secara langsung maupun tidak langsung. Diskriminasi langsung
merupakan suatu keadaan atau situasi yang dengan jelas
mengesampingkan hak-hak penyandang disabilitas. Sedangkan
diskriminasi tidak langsung adalah keadaan, peraturan atau tindakan yang
tampaknya tidak memihak, namun pada kenyataannya menimbulkan
perlakuan tidak setara atas orang dengan ciri-ciri tertentu.1
Dalam dunia kerja yang memerlukan keterampilan serta produktifitas
yang tinggi, memaksa setiap orang berlomba-lomba untuk meningkatkan
kualitas diri, agar mampu bersaing dalam dunia kerja. Maka bagi para
penyandang disabilitas yang memiliki keterbatasan serta hambatan,
1
Internasional Labour Organization, Pengelolaan Disabilitas Di Tempat Kerja,
(Jakarta: ILO, 2013), h. 17
35
menghadapi persaingan dunia kerja yang kian pesat merupakan tantangan
serta kesulitan tersendiri. Kesulitan bersaing inilah yang dapat
menimbulkan perlakuan diskriminatif. Karena dapat memunculkan
pandangan yang menganggap bahwa pekerja penyandang disabilitas dapat
mengurangi produktifitas suatu kegiatan ekomomi, yang berakibat pada
dikesampingkannya keterlibatan penyandang disabilitas dalam kegiatan
ekonomi. Diyakini bahwa mengecualikan penyandang disabilitas di pasar
tenaga kerja akan mengurangi manfaat yang dihasilkan dari kegiatan
ekonomi.2
Pengecualian keterlibatan penyandang disabilitas dalam kegiatan
ekonomi merupakan bentuk diskriminasi yang dapat merenggut hak
penyandang disabilitas atas pekerjaan. Maka perlu dipahami bersama
bahwa melibatkan penyandang disabilitas dalam kegiatan ekonomi adalah
suatu keharusan dan merupakan tanggung jawab yang telah ditetapkan
oleh undang-undang.
Selain itu tidak tersedianya fasilitas yang ramah disabilitas
dilingkungan kerja pula merupakan bentuk diskriminasi terhadap
penyandang disabilitas, sebab menimbulkan kondisi yang tidak memihak
kepada penyandang disabilitas. Dengan demikan membangun lingkungan
kerja yang ramah terhadap penyandang disabilitas merupakan bentuk
tanggung jawab perusahaan yang sudah diperintahkan oleh Undang-
undang.
Penyandang disabilitas dijamin oleh hukum untuk terbebas dari
perlakuan diskriminasi dimana pun berada, termasuk didalam dunia kerja.
Sebab hal tersebut merupakan suatu hambatan nyata terhadap terpenuhi
hak atas pekerjaan yang layak terhadap penyandang disabilitas.
Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas didalam dunia kerja
merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak-hak dasar para penyandang
2 Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia, Laporan Akhir Memetakan Penyandang Disabilitas (PD) di Pasar
Tenaga Kerja Indonesia, (Jakarta: ILO, 2017), h. 1
36
disabilitas yang tidak boleh dilakukan pembiaran. Maka dari itu penegakan
hukum menjadi harga mati guna menjamin kepastian hukum kepada
penyandang disabilitas untuk terbebas dari segala macam bentuk
diskriminasi yang ada dilingkungan masyakat termasuk didalam dunia
kerja.
2. Hak Atas Perlindungan Kerja
Pada dasarnya setiap pekerja berhak atas perlindungan kerja guna
menjamin keberlangsungan hidup bagi pekerja itu sendiri dan juga
keluarganya. Iman Soepomo membagi perlindungan pekerja ini menjadi 3
(tiga) macam, yaitu perlindungan ekonomi, perlindungan sosial, dan
perlindungan teknis.3 Perlindungan ini wajib diberikan oleh pngusaha
kepada para pekerjanya, termasuk kepada pekerja penyandang disabilitas.
Perlindungan kerja merupakan hak mendasar bagi para pekerja
termasuk kepada pekerja penyandang disabilitas, maka dari itu peneliti
akan membahas lebih lanjut mengenai perlindungan kerja terhadap
penyandang disabilitas, sebagai berikut:
a. Perlindungan Ekonomi
Perlindungan ekonomis adalah suatu perlindungan yang bertujuan
agar buruh dapat menikmati penghasilan secara layak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari baik bagi dirinya sendiri
maupun bagi anggota keluarganya secara layak.4 Meskipun
produktivitas pekerja penyandang disabilitas tidak sebanding dengan
pekerja pada umumnya, namun persoalan terkait dengan upah tidak
boleh terdapat perbedaan diantara pekerja penyandang disabilitas
dengan pekerja yang bukan penyandang disabilitas. Selain berhak atas
upah yang cukup, penyandang disabilitas pun berhak atas upah
tambahan yang diberikan oleh pengusaha, seperti tunjangan hari raya,
tunjangan pensiun, upah lembur ataupun upah tambahan lainnya.
3 Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan: Dinamika dan kajian Teori, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010), h. 61
4 Aloysius Uwiyono dkk, Asas-asas Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT Rajagrafindo,
2014, Cetakan Kedua), h. 25
37
Penyandang disabilitas yang bekerja pada sektor formal lebih
terjamin haknya untuk menerima upah yang layak, sebab pada
pekerjaan sektor formal seperti halnya bekerja di Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), Pemerintah
Pusat ataupun Pemerintah daerah, menerapkan aturan mengenai upah
minimum yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi dan juga
Pemerintah Kota atau Kabupaten. Namun menjadi permasalahan lain
jika penyandang disabilitas bekerja pada sektor informal yang pada
umumnya merupakan kegiatan ekonomi yang berskala kecil seperti
halnya Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), ataupun bidang lain
yang merupakan kegiatan ekonomo berskala kecil.
Maka pemerintah sebagai lembaga yang berwenang dapat
mengarahkan serta mendorong para penyandang disabilitas untuk
bekerja pasa sektor-sektor formal, semata-mata agar mudah dalam hal
pengawasan serta menjamin perlindungan ekonomi kepada para
penyandang disabilitas. Meskipun demikian, tidak bisa dilakukan
pembiaran atas jaminan ekonomi bagi penyandang disabilitas yang
bekerja pada sektor informal, perlu adanya pengawasan serta dorongan
dari pihak terkait kepada penyandang disabilitas yang bekerja pada
sektor informal agar jaminan ekomoni kepada penyandang disabilitas
dapat terealisasikan.
b. Pelindungan Sosial
Perlindungan sosial yang bertujuan agar buruh atau pekerja dapat
menikmati dan mengembangkan perikehidupannya sebagai manusia
pada umumnya dan khususnya sebagai anggota keluarga.5 Pengusaha
harus memperlakukan pekerja penyandang disabilitas sebagai manusia
yang memiliki harkat dan martabat bukan hanya sekedar sebagai alat
produksi, maka dari itu pengusaha wajib memberikan ruang kepada
pekerja penyandang disabilitas untuk dapat mengembangkan diri
didalam masyarakat sebagaimana mestinya.
5
Aloysius Uwiyono dkk, Asas-asas Hukum Perburuhan, … h. 24
38
Perlindungan sosial merupakan hak dasar yang harus diberikan
kepada penyandang disabilitas, agar penyandang disabilitas dapat
menikmati tumbuh kembang sebagai manusia sesuai dengan harkat dan
martabatnya, misalnya seorang wanita penyandang disabilitas yang
merupakan seorang pekerja di perusahaan tertentu, tidak kehilangan
haknya untuk menjadi seorang istri dan juga menjadi seorang ibu.
Ataupun seorang pemuda penyandang disabilitas yang merupakan
pekerja di perusahaan tertentu, tidak kehilangan haknya untuk berbakti
kepada kedua orang tuanya ataupun tidak kehilangan haknya untuk
berpartisipasi di dalam kegiatan-kegiatan dimasyarakat.
Melihat begitu pentingnya perlindungan sosial bagi pekerja
penyandang disabilitas, maka pengusaha tidak boleh menghambat atau
mengurangi hak tersebut serta peran hukum harus dapat menjamin
kepastian hak tersebut kepada penyandang disabilitas tanpa kurang
sedikitpun.
c. Perlindungan Teknis
Perlindungan teknis adalah suatu perlindungan perburuhan yang
bertujuan agar buruh atau pekerja terhindar dari resiko-resiko
kecelakaan kerja ditempat kerja, baik disebabkan oleh alat-alat kerja
atau bahan-bahan yang dikerjakan oleh buruh atau pekerja.6
Perlindungan teknis menjadi hal yang tidak bisa dianggap remeh, sebab
hal tersebut menyangkut keselamatan bagi pekerja itu sendiri. Maka
pengusaha harus menjamin perlindungan teknis kepada pekerjanya.
Memberikan perlindungan teknis kepada penyandang disabilitas
menjadi hal yang lebih rumit dibandingkan dengan memberikan
perlindungan teknis kepada pekerja yang non disabilitas, sebab selain
memperhitungkan sisi keselamatan kerja, pengusaha pun wajib
memperhitungkan kondisi kecacatan dari penyandang disabilitas itu
sendiri. Maka dari itu perlindungan teknis kepada penyandang
6 Aloysius Uwiyono dkk, Asas-asas Hukum Perburuhan, … h. 25
39
disabilitas dianggap lebih rumit karena harus menyesuaikan dengan
kondisi penyandang disabilitas itu sendiri.
Meskipun demikian, perlindungan teknis merupakan tanggung
jawab yang harus diberikan oleh pengusaha kepada pekerja penyandang
disabilitas. Sebab perlindungan teknis sudah menjadi kebutuhan setiap
pekerja yang harus dipenuhi oleh pengusaha sebagai bentuk tanggung
jawabnya.
3. Hak Atas Aksebilitas
Pasal 12 Konvensi ILO Nomor 159, menjelaskan bahwa “Untuk bisa
memungkinkan seorang penyandang disabilitas untuk tetap aman, bertahan
dan berkembang di dalam pekerjaan yang sesuai dan dengan demikian
akan lebih jauh lagi mengintegrasikan atau lebih mengintegrasikan orang
tersebut di masyarakat”. Berdasarkan Ketentuan dari konvensi ini peneliti
menafsirkan bahwa aksebilitas merupakan hak dasar bagi penyandang
disabilitas di dalam dunia kerja. Aksebilitas sendiri merupakan
kemudahan-kemudahan yang diberikan kepada penyandang disabilitas
guna menunjang aktivitas penyandang disabilitas sehingga penyandang
disabilitas tidak menemui kesulitan-kesulitan dalam menjalankan aktivitas
kehidupannya sehari-hari. kesempatan untuk mendapatkan kesamaan
kedudukan, hak dan kewajiban bagi penyandang cacat hanya dapat
diwujudkan jika tersedia aksebilitas, yaitu kemudahan bagi penyandang
disabilitas untuk mencapai kesamaan kedudukan, hak dan kewajiban.7
Pasal 67 Angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, menjelaskan bahwa “Pengusaha yang mempekerjakan
tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai
dengan jenis dan derajat kecacatannya”. Ketentuan dalam aturan ini pun
senada dengan isi dalam konvensi di atas, yang menegaskan bahwa dalam
mempekerjakan penyandang disabilitas haruslah sesuai dengan jenis dan
7 Ismail Shaleh, “Implementasi Pemenuhan Hak Bagi Penyandang Disabilitas
Ketenagakerjaan Di Semarang”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 20, 1 (April, 2018), h. 68.
40
tingkat kecacatannya sebagai bentuk aksebilitas terhadap penyandang
disabilitas didalam dunia kerja.
Pasal 5 Angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia, yang menjelaskan bahwa “Setiap orang yang termasuk
kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”. Ketentuan ini
merupakan aturan lainnya yang mengatur tentang yang berkenanaan
dengan perlindungan terhadap kekhususan penyandang disabilitas, hal
tersebut dapat digolongkan sebagai aksebilitas terhadap penyandang
disabilitas.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas peneliti akan membahas
lebih lanjut mengenai hak atas aksebilitas bagi penyandang disabilitas
didalam dunia kerja. Aksebilitas terhadap penyandang disabilitas dapat
berupa Peraturan Perundang-undangan yang memihak pada penyandang
disabilitas, perlakuan istimewa terhadap penyandang disabilitas sehingga
menimbulkan kondisi yang memihak kepada para penyandang disabilitas
ataupun fasilitas yang ramah disabilitas.
Keberadaan berbagai macam aturan yang mengharuskan para
pengusaha untuk mempekerjakan penyandang pada perusahaannya,
sebagai contoh Pasal 53 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas yang mewajibkan Pemerintah, Pemerintah Daerah,
Badan Usaha Milik Daerah dan Badan Usaha Milik Negara untuk
mempekerjakan paling sedikit 2% penyandang disabilitas dari jumlah
pekerjanya serta perintah kepada Badan Usaha Milik Swasta untuk
mempekerjakan 1% penyandang disabilitas dari jumlah pekerjanya.
Dengan adanya ketentuan ini maka dapat menjadi dasar hukum untuk
menjamin kedudukan penyandang disabilitas dalam pasar kerja di
Indonesia. Hal ini lah yang dapat dikategorikan sebagai aksebilitas
terhadap penyandang disabilitas melalu peraturan-peraturan yang memihak
kepada penyandang disabilitas didalam dunia kerja.
41
Dalam dunia kerja keberadaan pekerja penyandang dapat menjadi
hambatan jika pekerja tersebut ditempatkan pada posisi yang tidak sesuai
dengan kondisi kecacatannya dan keterampilannya, begitu pula sebaliknya
jika pengusaha mampu menempatkan pekerja penyandang disabilitas
sesuai dengan keahlian dan kecacatannya maka keberadaan penyandang
disabilitas dapat meningkatkan kinerja perusahaan, maka dari itu dalam
dunia kerja penyandang disabilitas haruslah ditempatkan pada posisi yang
sesuai dengan kecacatannya dan juga keterampilannya. Menempatkan
pekerja penyandang disabilitas sesuai dengan tingkat kecacatannya serta
keterampilannya merupakan bentuk aksebilitas dengan menciptakan suatu
kondisi yang memihak kepada penyandang disabilitas.
Selain itu perusahaan wajib menciptakan lingkungan kerja yang ramah
kepada para penyandang disabilitas sehingga para pekerja penyandang
disabilitas dapat mendapatkan kemudahan dalam melakukan pekerjaannya.
Tidak adanya aksebilitas pada lingkungan kerja pun dapat tergolong
sebagai perlakuan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, sebab
mengesampingkan hak penyandang disabilitas atas fasilitas kerja yang
ramah. Memudahkan pekerjaan penyandang disabilitas dengan
menyediakan fasilitas kerja yang ramah disabilitas merupakan salah satu
bentuk aksebilitas dalam dunia kerja bagi para penyandang disabilitas.
Maka atas dasar kesamaan hak dan atas dasar rasa kemanusiaan,
ketentuan mengenai aksebilitas ini harus benar-benar dijalankan oleh para
pihak yang memiliki tanggung jawab, baik itu pihak pemerintah maupun
pihak swasta. Dengan Demikian peran hukum sangat diperlukan guna
memastikan para pihak tersebut menjalankan kewajibannya, guna
menjamin kepastian hukum kepada para penyandang disabilitas atas hak-
hak mereka didalam dunia kerja.
C. Kemanfaatan Bagi Penyandang Disabilitas Melalui Kewajiban
Perusahaan
Kemanfaatan hukum dapat dimaknai baik buruknya suatu hukum
bergantung pada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan atau tidak pada
42
manusia. Hukum yang baik adalah hukum yang dapat memberi manfaat
kepada setiap subjek hukum. Dalam hal ini peneliti menggambarkan
kemanfaatan hukum berdasarkan kewajiban-kewajiban perusahan yang harus
diberikan kepada penyandang disabilitas, sehingga kewajiban-kewajiban
tersebut dapat memberikan manfaat bagi para penyandang disabilitas
terutama dalam mendapatkan serta melakukan pekerjaan di perusahaan.
Perintah Pasal 53 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas mengenai kewajiban perusahaan swasta untuk
mempekerjakan penyandang disabilitas sebesar 1% dari keseluruhan jumlah
pekerjanya. Kewajiban untuk mempekerjakan penyandang disabilitas bukan
hanya semata-mata menempatkan penyandang disabilitas pada proses
produksi perusahaan, melainkan terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan oleh
pengusaha dalam mempekerjakan penyandang disabilitas.
Perusahaan tidak benar-benar dianggap menjalankan kewajibannya jika
hanya mempekerjakan penyandang disabilitas tanpa memperhatikan hak-hak
lain yang melekat di dalam kewajiban tersebut. Maka peneliti merasa perlu
untuk meneliti mengenai apa saja bentuk tanggung jawab perusahaan dalam
mempekerjakan penyandang disabilitas sehingga hak penyandang disabilitas
di dalam dunia kerja dapat benar-benar terjamin.
Secara umum perusahaan memiliki beberapa tanggung jawab hukum
untuk mempekerjakan penyandang disabilitas pada perusahaannya, namun
perusahaan memiliki tanggung jawab lainnya selain mempekerjakan
penyandang disabilitas, berikut beberapa tanggung jawab perusahaan
terhadap penyandang disabilitas:
1. Rekrutmen
Pasal 53 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, menjelaskan bahwa
“Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara dan Badan
Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen)
penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja serta perusahaan
swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) penyandang
disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja”. Berdasarkan aturan tersebut
43
maka menjadi tanggung jawab perusahaan swasta untuk mempekerjakan
penyandang disabilitas sebesar 1% dari keseluruhan jumlah pekerjanya
sebagaimana ditentukan oleh Peraturan Perundang-undangan.
Demi memenuhi kuota yang ditetapkan oleh undang-undang,
perusahaan mula mulanya harus melakukan proses rekrutmen sebagai
tahapan awal mempekerjakan penyandang disabilitas. Perekrutan terhadap
penyandang disabilitas tidak bisa disamakan dengan mekanisme
perekrutan pekerja pada umumnya. Perekrutan terhadap penyandang
disabilitas perlu dilakukan dengan menyesuaikan kondisi kecacatan
penyandang disabilitas itu sendiri, sebab perlakuan khusus terhadap
penyandang disabilitas dalam proses rekrutmen kerja semata-mata
memberikan kemudahan kepada penyandang disabilitas di dalam
melakukan seleksi kerja.
Dalam suatu proses perekrutan, Pengusaha harus memastikan bahwa
proses perekrutan mereka menarik pelamar sebanyak mungkin
penyandang disabilitas yang memiliki kemampuan.8 Maka pengusaha
harus mengupayakan penyebaran informasi seluas-luasnya mengenai
lowongan kerja bagi penyandang disabilitas sehingga informasi tersebut
nantinya banyak diketahui oleh penyandang disabilitas serta banyak
menarik perhatian para penyandang disabilitas. Pengusaha dapat
bekerjasama dengan lembaga penyalur pekerja penyandang disabilitas baik
lembaga pemerintah maupun swasta sehingga pengusaha dapat
dimudahkan dan terbantu dalam mendapatkan pekerja penyandang
disabilitas. Kerjasama pengusaha dengan lembaga penyalur pekerja
penyandang disabilitas dapat membantu pengusaha dalam menemukan
pekerja penyandang disabilitas yang sesuai dengan kriteria yang
diinginkan perusahaan, karena pada umumnya lembaga penyalur pekerja
penyandang disabilitas memiliki begitu banyak data mengenai banyak
penyandang disabilitas dengan berbagai macam kondisi dan keterampilan.
8 Internasional Labour Organization, Pengelolaan Disabilitas Di Tempat Kerja,
(Jakarta: ILO, 2013), h. 38
44
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh salah satu organisasi nirlaba
yaitu kerjabilitas yang beralamat di Jalan Sidikan Gang Wijaya Kusuma
Nomr 82 A, Sorosutan, Daerah Istimewa Yogyakarta, melalui akun
instragramnya organisasi ini banyak mempromosikan lowongan kerja bagi
penyandang disabilitas, diantaranya seperti di bawah ini:
a. Pada tanggal 20 Mei 2019 kerjabilitas mempromosikan lowongan kerja
khusus penyandang disabilitas, untuk bekerja dibidang film, televisi,
radio atau multimedia pada PT Akasa Bintang Uttara. Dengan kriteria
pendidikan minimal Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah
Kejuruan dan bersedia bekerja di Tangerang Provinsi Banten dengan
jenis disabilitasnya adalah semua ragam disabilitas.
b. Pada tanggal 11 Juni 2019 kerjabilitas mempromosikan lowongan kerja
khusus penyandang disabilitas, untuk bekerja dibidang staff filming atau
graphicker pada PT Cahaya Pelangi Creation. dengan kriteria bersedia
bekerja di Denpasar Provinsi Bali dengan jenis disabilitasnya adalah
semua ragam disabilitas.
c. Pada tanggal 20 Juli 2019 kerjabilitas mempromosikan lowongan kerja
khusus penyandang disabilitas, untuk bekerja dibidang akuntansi
perusahaan pada PT Sains Technilogies Indonesia. Dengan kriteria usia
maksimal 35 tahun, pendidikan minimal Diploma tiga jurusan akuntansi
dan bersedia bekerja di Jakarta Barat dengan jenis disabilitasnya adalah
tuna daksa.
d. Pada tanggal 22 Juni 2019 kerjabilitas mempromosikan lowongan kerja
khusus penyandang disabilitas, untuk bekerja dibidang front and
developer pada PT Ako Media Asia. Dengan kriteria usia maksimal 35
tahun, pendidikan minimal strata satu jurusan teknik informatika atau
komputer dan bersedia bekerja di Jakarta Barat dengan jenis
disabilitasnya adalah tuna daksa, tuna runggu atau grahita.
Langkah yang dilakukan oleh PT Akasa Bintang Uttara, PT Cahaya
Pelangi Creation, PT Sains Technilogies Indonesia dan PT Ako Media
Asia merupakan salah satu bentuk upaya untuk merekrut penyandang
45
disabilitas dengan cara bekerja sama dengan lembaga yang bergerak untuk
menyalurkan tenaga kerja penyandang disabilitas. Dapat dilihat bahwa
untuk menyebarkan informasi mengenai lowongan kerja khusus
penyandang disabilitas, harus pula mencantumkan kriteria penyandang
disabilitas yang dibutuhkan sesuai dengan kemampuan perusahaan untuk
menampungnya, sebab setiap jenis disabilitas memiliki kebutuhan yang
berbeda untuk membantu melaksanaakan pekerjaannya.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakertaan yang berbunyi “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan
yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan”. Berdasarkan
ketentuan tersebut seharusnya penyandang disabilitas tidak harus
menunggu bursa kerja khusus penyandang disabilitas untuk mendapatkan
pekerjaan. Penyandang disabilitas dapat bersaing dengan orang non
disabilitas dalam suatu bursa kerja umum yang dikeluarkan oleh
pengusaha. Dalam situasi ini pengusaha harus menjunjung tinggi asas
kesetaraan dan kesamaan hak bagi seluruh pelamar kerja termasuk
penyandang disabilitas. Hal ini menunjukkan bahwa penyandang
disabilitas tidak hanya dapat bersaing dalam bursa kerja khusus
penyandang disabilitas namun juga dapat bersaing dalam busa kerja
umum.
Jadi rekrutmen pekerja penyandang disabilitas dapat dilakukan
melalui bursa kerja khusus penyandang disabilitas ataupun bursa kerja
umum. Dengan adanya kewajiban perusahaan swasta merekrut
penyandang disabilitas maka masyarakat khususnya para penyandang
disabilitas dapat merasakan manfaat dari diberlakukannya aturan tersebut.
2. Jaminan Kerja
Jaminan kerja terhadap penyandang disabilitas dibagi menjadi 3 (tiga)
penbagian, sebagaimana akan dijelaskan dibawah ini:
a. Kesempatan Kerja
Pasal 27 Ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas
46
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Konstitusi
telah eksplisit menjelaskan mengenai hak atas pekerjaan bagi seluruh
warga negara termasuk diantaranya warga negara yang menjadi
penyandang disabilitas.
Maka perusahaan wajib memberikan kesempatan kerja kepada
penyandang disabilitas karena hal tersebut merupakan tanggung jawab
hukum perusahaan sebagaimana diamanatkan di dalam Undang-
undang. Maksud dari memberikan kesempatan kerja ialah perusahaan
mengangkat pekerja penyandang disabilitas yang sebelumnya belum
pernah bekarja.
Memberikan kesempatan kerja kepada penyandang disabilitas yang
belum pernah bekerja sebelumnya merupakan solusi konkret guna
mengurangi jumlah pengangguran dikalangan penyandang disabilitas.
Hal ini pula dapat memberikan pengalaman kerja kepada penyandang
disabilitas yang belum memiliki pengalaman di dalam dunia kerja.
Sehingga para penyandang disabilitas dapat lebih siap untuk
menghadapi dunia kerja serta akan berdampak langsung terhadap
peningkatan produktifitas bagi penyandang disabilitas itu sendiri.
Dalam proses pemberian kesempatan kerja pengusaha harus aktif
dengan melibatkan pihak lainnya, baik dari pihak pemerintah maupun
pihak swasta, sebab kehadiran pihak lain dapat mempermudah
pengusaha dalam mempekerjakan penyandang disabilitas. Pihak lain
seperti pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan ataupun
Kementerian Sosial dapat menyalurkan penyandang disabilitas yang
sudah memiliki keterampilan untuk melakukan pekerjaan, karena
memang pemerintah sebelum menyalurkan pekerja penyandang
disabilitas pemerintah melakukan pelatihan kerja terlebih dahulu agar
para penyandang disabilitas siap bersaing dalam dunia kerja. hal ini
justru sangat memudahkan pengusaha untuk memberikan kesempatan
kerja kepada penyandang disabilitas.
47
Selain melibatkan pihak pemerintah, keterlibatan melibatkan pihak
swasta seperti perusahaan outsourching yang menyalurkan tenaga kerja
penyandang disabilitas ataupun perusahaan atau organisasi-organisasi
masyarakat yang bergerak menyalurkan pekerja penyandang disabilitas.
Pengusaha dapat pula bekerjasama dengan pihak tersebut agar dapat
memperoleh pekerja penyandang disabilitas untuk bekerja pada
perusahaannya.
Kedua cara tersebut dapat menjadi pilihan para pengusaha guna
memberikan kesempatan kerja kepada penyandang disabilitas ataupun
melakukannya secara mandiri. Apapun metode yang digunakan oleh
pengusaha secara hukum sah-sah saja, yang terpenting adalah
pengusaha menjalankan tanggung jawabnya untuk memberikan
kesempatan kerja kepada penyandang disabilitas untuk bekerja pada
perusahaannya, sebab hal tersebut merupakan tanggung jawab hukum
yang harus dilaksanakan oleh perusahaan.
b. Jaminan Tetap Bekerja
Jaminan tetap kerja yang dimaksudkan kepada pekerja yang telah
bekerja pada perusahaan tersebut, namun mengalami kecelakaan baik
dalam kegiatan kerja maupun diluar kegiatan kerja. pada mulanya
pekerja tersebut merupakan pekerja pada umumnya namun mengalami
kecelakaan kerja ataupun kejadian lain yang menyebabkan pekerja
tersebut tergolong sebagai penyandang disabilitas, walaupun pekerja
tersebut menjadi seorang penyandang disabilitas bukan berarti pekerja
tersebut kehilangan haknya untuk tetap bekerja pada perusahaan tempat
dia bekerja, sebab hak penyandang disabilitas untuk bekerja diakui dan
dijamin oleh hukum nasional, sebagaimana yang tertuang didalam Pasal
11 Huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Disabilitas yang menjelaskan bahwa “Hak pekerjaan, kewirausahaan,
dan koperasi untuk penyandang disabilitas meliputi hak untuk tidak
diberhentikan karena alasan disabilitas”. Aturan inilah yang menjadi
48
dasar hukum seorang pekerja tetap dapat bekerja diperusahaannya
meskipun telah menjadi seorang penyandang disabilitas.
Dalam dunia kerja, hak pekerja yang mengalami hal demikian tetap
sama seperti sebelum terjadinya tragedi tersebut. Pengusaha harus
menjamin pekerja tersebut tetap dapat bekerja diperusahaannya.
Meskipun produktifitas pekerja tersebut mengalami penurunan yang
disebabkan karena kondisinya, namun hal tersebut tidak bisa dijadikan
alasan untuk memberhentikan pekerja tersebut dari pekerjaannya,
melainkan pengusaha berkewajiban menempatkan pekerja tersebut pada
posisi kerja yang sesuai dengan kondisi kecacatannya, serta
mendapatkan hak-hak lainnya yang tergolong sebagai hak pekerja
penyandang disabilitas di dalam dunia kerja.
Hal seperti ini sangat mungkin terjadi pada suatu kegiatan
ekonomi, baik yang disebabkan oleh kelalaian manusia ataupun
disebabkan oleh force majeure. Meskipun demikian pekerja tersebut
tetap mendapatkan jaminan akan pekerjaannya sebagaiman yang telah
ditetapkan dalam Pasal 11 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2016 Tentang Penyandang Disabilitas.
c. Jaminan Program Kembali Bekerja
Menurut Penjelasan Pasal 11 huruf e Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas menjelaskan bahwa
program kembali bekerja adalah rangkain tata laksana penanganan
kasus kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja melalui pelayanan
kesehatan, rehabilitasi, dan pekerja dapat kembali bekerja. Pasal 11
Huruf e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Disabiltas, menjelaskan bahwa “Hak pekerjaan, kewirausahaan, dan
koperasi untuk penyandang disabilitas meliputi hak untuk program
kembali bekerja”. Aturan inilah yang menjadi dasar bagi pengusaha
untuk memberikan program kembali bekerja kepada pekerjanya yang
mengalami kecelakaan kerja atau peristiwa lain yang menyebaban
dirinya menjadi penyandang disabilitas.
49
Secara sederhana program kembali bekerja dapat pahami sebagai
bentuk jaminan bagi pekerja yang mengalami suatu peristiwa ataupun
tragedi, baik yang terjadi karena faktor kelalaian manusia ataupun force
majeure sehingga pekerja tersebut menjadi penyandang disabilitas.
Namun pekerja tersebut tetap dapat bekerja kembali di tempat kerjanya
setelah beberapa saat tidak bekerja untuk proses penyembuhan,
pemulihan ataupun rehabilitasi.
Pengusaha diharuskan memperlakukan pekerja yang mengalami hal
tersebut sebagaimana memperlakukan pekerja penyandang disabilitas
dengan segala macam hak istimewanya. Perlakuan semacam ini
merupakan tanggung jawab pengusaha kepada pekerjanya, yang dimana
tanggung jawab tersebut sudah diatur dalam hukum.
3. Kesempatan Promosi
Pasal 11 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas menjelaskan bahwa “Hak pekerjaan,
kewirausahaan, dan koperasi untuk penyandang disabilitas meliputi hak
untuk memperoleh kesempatan untuk mengembangkan jenjang karier serta
segala hak normatif yang melekat didalamnya”. Berdasarkan aturan
tersebutlah peneliti menafsirkan bahwa perusahaan harus memberikan
kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk mengembangkan kariernya
sebagaimana pekerja lainnya.
Meskipun memiliki keterbatasan, pekerja penyandang disabilitas
mendapatan hak dan kesempatan yang sama untuk meningkatkan jenjang
kariernya di dalam dunia kerja. pengusaha wajib memberikan akses seluas-
luasnya untuk para pekerja penyandang disabilitas mengembangkan
kariernya. Pekerja penyandang disabilitas harus diberikan akses seluas-
luasnya terhadap aspek-aspek yang menunjang peningkatan karier pekerja.
Pengusaha pun harus mendorong para penyandang disabilitas untuk dapat
mengambil bagian untuk mengembangkan kariernya, selain itu pengusaha
pun wajib memberikan akses informasi yang jelas dan dapat dipahami oleh
penyandang disabilitas.
50
Pengembangan karier kepada penyandang disabilitas merupakan hal
yang harus dijamin keberlangsungannya oleh pengusaha, sebab hal itu
merupakan tanggung jawab hukum dari perusahaan yang harus
dilaksanakan sebagaimana mestinya.
4. Aksebilitas
Pasal 5 Angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia, yang menjelaskan bahwa “Setiap orang yang termasuk
kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”. Serta Pasal
67 Angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, menjelaskan bahwa “Pengusaha yang mempekerjakan
tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai
dengan jenis dan derajat kecacatannya”. Ketentuan ini merupakan dasar
hukum kewajiban perusahaan memberikan aksebilitas kepada pekerja
penyandang disabilitas.
Seperti yang sudah dijelasakan dalam pembahasan sebelumnya bahwa
pengabaian aksebilitas kepada penyandang disabilitas merupakan
pelanggaran hukum sekaligus bentuk diskriminasi kepada penyandang
disabilitas. pada umumnya aksebilitas yang terdapat di perusahaan
merupakan fasilitas-fasilitas perusahaan yang dapat menunjang serta
membantu para penyandang disabilitas, terlebih lagi perusahaan harus
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendukung dan tidak
menyudutkan ataupun mengesampingkan pekerja penyandang disabilitas.
Aksebilitas pada perusahaan bertujuan untuk memberikan kemudahan-
kemudahan kepada para pekerja penyandang disabilitas untuk
melaksanakan pekerjaannya.
Adapun beberapa fasilitas-fasilitas sebagai bentuk aksebilitas kepada
penyandang disabilitas yang wajib tersedia di perusahaan, sebagai berikut:
a. Toilet khusus bagi para penyandang disabilitas.
b. Tangga datar tanpa struktur, guna memudahkan penyandang disabilitas
yang menggunakan kursi roda.
51
c. Lift pada setiap lantai jika bangunan perusahaan tersebut bertingkat,
guna memudahkan penyandang disabilitas untuk berpindah lantai tanpa
harus melalui tangga.
d. Lantai brailer, guna memudahkan para penyandang disabilitas netra
untuk beraktifitas diperusahaan.
e. Akomondasi untuk mengantar jemput para pekerja, termasuk pekerja
penyandang disabilitas. Pada umumnya alat transportasi yang
digunakan adalah bus.
f. Kendaraan akomondasi yang memiliki alat otomatis untuk mengangkat
kursi roda hingga mempermudah bagi penyandang disabilitas pengguna
kursi roda untuk masuk ke dalam kendaraan tersebut.
Fasilitas-fasilitas di atas wajib disediakan oleh pengusaha sebagai
bentuk tanggung jawabnya untuk menyediakan aksebilitas bagi para
pekerja penyandang disabilitas, karena merupakan kebutuhan dasar para
penyandang disabilitas yang telah dijamin pelaksanaannya oleh hukum
sehingga dapat menghadirkan kemanfaatatan terutama bagi para
penyandang disabilitas dalam melakukan aktivitas pekerjaannya.
D. Implementasi PT Sinar Jaya Langgeng Utama Terhadap Perintah
Mempekerjakan Penyandang Disabilitas
PT Sinar Jaya Langgeng Utama menganggap bahwa mempekerjakan
penyandang disabilitas merupakan suatu tanggung jawab hukum yang harus
dilakukan oleh perusahaan, sehingga perusahaan tersebut melakukan berbagai
macam upaya untuk dapat menjalankan tanggung jawab tersebut. Sehingga
perusahaan tersebut mampu mempekerjakan penyandang disabilitas pada
perusahaannya.
walaupun demikian, terdapat beberapa aspek yang menjadi pembahasan
terutama terkait sejauh mana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
dilaksanakan oleh perusahaan tersebut. Maka dari itu terdapat beberapa aspek
yang menjadi perhatian peneliti mengenai hal tersebut. Seperti yang akan
dijelaskan dibawah ini:
52
1. Jumlah pekerja penyandang disabilitas
Pasal 53 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, menjelaskan bahwa
“Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara dan Badan
Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen)
penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja serta perusahaan
swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) penyandang
disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja”. Ketentuan ini sudah cukup
jelas mengatur mengenai jumlah pekerja penyandang disabilitas yang
harus dipenuhi oleh perusahan.
PT Sinar Jaya Langgeng Utama memiliki jumlah pekerja sebanyak
150 pekerja, jika merujuk pada ketentuan Pasal 53 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2016, sebagai perusahaan yang berstatus sebagai Badan
Usaha Milik Swasta (BUMS) maka paling sedikit PT Sinar Jaya Langgeng
Utama mempekerjakan 2 (dua) orang pekerja penyandang disabilitas,
namun perusahaan tersebut baru mempekerjakan 1 (satu) penyandang
disabilitas. Maka dari itu PT Sinar Jaya Langgeng Utama belum
sepenuhnya menjalankan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Pasal 53
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.
2. Fasilitas Perusahaan
Sudah menjadi suatu keharusan bahwa perusahaan harus
menyediakan fasilitas perusahaan yang ramah terhadap penyandang
disabilitas. sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 11 Huruf c Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2016 yang berbunyi “Hak pekerjaan,
kewirausahaan, dan koperasi untuk penyandang disabilitas meliputi hak
memperoleh akomodasi yang layak dalam pekerjaan” serta Pasal 50
Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 yang berbunyi ”pemberi
kerja wajib menyediakan akomondasi yang layak bagi dan fasilitas yang
mudah diakses oleh tenaga kerja penyandang disabilitas”. Ketentuan
inilah yang menjadi dasar bahwa perusahaan wajib menyediakan fasilitas
kerja yang ramah terhadap penyandang disabilitas.
53
Fasilitas perusahaan yang ramah terhadap penyandang disabilitas
merupakan suatu bentuk aksebilitas kepada penyandang disabilitas yang
harus dipenuhi oleh perusahaan. Aksebilitas seperti penyediaan
lingkungan kerja yang ramah terhadap penyandang disabilitas merupakan
suatu kebutuhan pokok yang diperlukan pekerja penyandang disabilitas
dalam suatu aktivitas perusahaan, sebab hal tersebut sangat berpengaruh
terhadap kinerja serta keberlangsungan penyandang disabilitas dalam
melakukan pekerjaannya.
Berikut beberapa fasilitas yang semestinya dimiliki oleh perusahaan
untuk mewujudkan lingkungan kerja yang ramah terhadap penyandang
disabilitas:
a. Toilet khusus bagi para penyandang disabilitas
b. Tangga datar tanpa struktur, guna memudahkan penyandang
disabilitas yang menggunakan kursi roda.
c. Lift pada setiap lantai jika bangunan perusahaan tersebut bertingkat,
guna memudahkan penyandang disabilitas untuk berpindah lantai
tanpa harus melalui tangga.
d. Lantai brailer, guna memudahkan para penyandang disabilitas netra
untuk beraktifitas diperusahaan.
e. Akomondasi untuk mengantar jemput para pekerja, termasuk pekerja
penyandang disabilitas. pada umumnya alat transportasi yang
digunakan adalah bus.
Fasilitas-fasilitas di atas merupakan hal yang diperlukan dalam
mewujudkan lingkungan kerja yang ramah terhadap penyandang
disabilitas. fasilitas tersebut sangat membantu penyandang disabilitas
untuk melakukan mobilitas di perusahaan. PT Sinar Jaya Langgeng
Utama belum memiliki fasilitas-fasilitas tersebut yang berdampak pada
hanya disabilitas dengan kategori-kategori tertentu saja yang dapat
berkerja pada perusahaan tersebut.
Fasilitas perusahaan yang ramah terhadap penyandang disabilitas
selain untuk memudahkan serta membantu para pekerja penyandang
54
disabilitas untuk melakukan pekerjaannya, hal tersebut merupakan
bentuk perlindungan serta perlakuan yang pantas terhadap kekhususan-
kekhususan yang dimiliki oleh para penyandang disabilitas. perlakuan
dan perlindungan terhadap penyandang disabilitas sudah diterangkan
dalam Pasal 5 Angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia, yang menjelaskan bahwa “Setiap orang yang
termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh
perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”.
Pemberian akomodasi serta fasilitas yang ramah terhadap penyandang
disabilitas bukan hanya sekedar menjalankan amanah yang telah
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan, namun jika
diperhatikan dengan seksama dan mendalam, memberikan hal-hal
tersebut adalah untuk menempatkan penyandang disabilitas pada
kedudukan yang bermartabat serta memberikan kesempatan kepada para
penyandang disabilitas untuk mengembangkan diri sebagaimana
angggota masyarakat lainnya.
Maka dari itu perusahaan wajib menghadirkan lingkungan kerja
yang ramah kepada penyandang disabilitas sebab bukan hanya
menjalankan perintah hukum semata, melainkan nilai-nilai kemanusiaan
yang terdapat di dalamnya. Jumlah pekerja penyandang disabilitas dan
juga fasilitas perusahaan merupakan kedua aspek yang merupakan hal
yang belum dipenuhi oleh PT Sinar Jaya Langgeng Utama terhadap
perintah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Disabilitas. dalam mempekerjakan penyandang disabilitas, perusahaan
harus menjalankan segala ketentuan yang berkaitan dengan penyandang
disabilitas beserta hak-hak yang melekat di dalamnya, terutama
menjalankan perintah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 secara utuh
dan menyeluruh, sehingga dapat mewujudkan nilai-nilai kepastian serta
kemanfaatan bagi semua pihak yang terlibat.
55
E. Analisis Mengenai Perintah Mempekerjakan Penyandang Disabilitas
pada Perusahaan Swasta
Peneliti menganalisis sejauh mana nilai-nilai kepastian serta kemanfaatan
yang terhadap perintah mempekerjakan penyandang disabilitas yang
dijelaskan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, terutama yang
berkaitan dengan perintah mempekerjakan penyandang disabilitas pada
perusahaan swasta. Adapun aspek-aspek yang menjadi fokus analisis dari
peneliti adalah aspek dari hukum atau aturan itu sendiri, aspek penerapan
aturan tersebut di dalam masyarakat, dan aspek penegakkan hukum terhadap
peraturan tersebut, yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Aturan
Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 karena menjunjung tinggi nilai keadilan
serta persamaan hak bagi setiap warga negara. Undang-undang ini
melegistimasi hak-hak dasar penyandang disabilitas agar dapat memiliki
pekerjaan yang layak.
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 telah membagi
tanggung jawab kepada pihak swasta untuk turut serta berkontribusi
memberikan pekerjaan yang layak bagi para penyandang disabilitas. hal ini
tentu positif sebab tidak melulu mengandalkan pihak pemerintah saja
untuk menyediakan pekerjaan yang layak bagi para penyandang
disabilitas, dan akan berdampak pada pembukaan lapangan kerja serta
peningkatan kesejahteraan bagi penyandang disabilitas.
Peneliti berpandangan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2016 Tentang Penyandang Disabilitas terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan sehingga tidak menjadi celah yang akan berdampak pada
tercederainya hak-hak para penyandang disabilitas, khususnya hak atas
pekerjaan yang layak. hal-hal tersebut akan dijabarkan sebagai berikut:
56
Pertama, Undang-undang ini menjelaskan kategori penyandang
disabilitas sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 Undang-undang tersebut,
namun Undang-undang ini tidak menjelaskan secara jelas kategori
penyandang disabilitas seperti apa yang dapat bekerja pada perusahaan.
Hal ini sebenarnya memberikan kebebasan kepada perusahaan swasta
untuk memilih kategori penyandang disabilitas untuk bekerja pada
perusahaannya, namun disisi lain ini merupakan ancaman bagi para
penyandang disabilitas berat. Secara harfiah perusahaan akan lebih
memilih mempekerjakan penyandang disabilitas ringan daripada
penyandang disabilitas berat, karena penyandang disabilitas ringan
cenderung lebih produktif serta tidak terlalu banyak membutuhkan alat
bantu sebagaimana penyandang disabilitas berat. Hal tersebutlah yang
berpotensi menimbulkan ancaman bagi para penyandang disabilitas berat
untuk mendapatkan haknya atas pekerjaan yang layak. Dalam situasi
seperti ini perlu adanya pengaturan secara jelas tentang kategori disabilitas
seperti apa yang wajib direkrut oleh perusahaan, serta pemerintah pun
bertanggung jawab terhadap penyandang disabilitas yang tidak tergolong
kategori tersebut. Misalnya Undang-undang mengatur mewajibkan
perusahaan mempekerjakan penyandang disabilitas yang tergolong sebagai
kategori disabilitas ringan dan memberikan tanggung jawab kepada
pemerintah atas pemberian pekerjaan yang layak bagi para penyandang
disabilitas berat.
Pengkategorian seperti ini semata-mata untuk memberikan jaminan
kepada semua penyandang disabilitas untuk mendapatkan haknya atas
pekerjaan yang layak, jangan sampai hal ini menjadi celah hukum yang
dapat mencederai hak para penyandang disabilitas.
Kedua, Pasal 53 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 menjelaskan
bahwa perusahaan swasta wajib mempekerjakan 1% penyandang
disabilitas dari jumlah pekerjanya. Yang menjadi perhatian peneliti adalah
jika suatu perusahaan memiliki jumlah pekerja kurang dari 100 pekerja
sehingga jika dihitung jumlah 1% dari keseluruhan jumlah pekerjanya
57
maka hasilnya akan kurang dari 1 (satu), lalu apakah perusahaan tersebut
tetap memiliki kewajiban untuk mempekerjakan penyandang disabilitas
ataukah kewajiban tersebut menjadi gugur dikarenakan jumlah pekerjanya
kurang dari 100 pekerja.
Jika melihat Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik
Indonesia Nomor: KEP-205/MEN/1999 Tentang Pelatihan Kerja dan
Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat, yang berbunyi “Untuk
setiap 100 (seratus) orang pekerja, maka pengusaha wajib mempekerjakan
sekurang-kurangnya 1 (satu) orang tenaga kerja penyandang cacat sesuai
dengan persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan. Pengusaha yang
menggunakan teknologi tinggi dan mempekerjakan tenaga kerja kurang
dari 100 (seratus) orang wajib mempekerjakan satu atau lebih tenaga kerja
penyandang cacat”. Dalam ketentuan ini dijelaskan secara eksplisit jika
jumlah pekerja pada suatu perusahaan kurang dari 100 pekerja, maka
perusahaan tersebut tetap berkewajiban kan minimal 1 penyandang
disabilitas pada perusahaannya. Namun ketentuan seperti ini tidak
ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas.
Melihat beberapa kekurangan di atas dapat dilihat bahwa masih
terdapat celah hukum yang dimana tidak melambangkan nilai kepastian
hukum, yang dimana seharusnya suatu aturan harus jelas dan tidak
menimbulkan kebingungan bagi subjek hukum terhadap ketentuan tersebut
sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang berpotensi menjadi
celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak ingin
menjalankan kewajibannya, padahal teori kepastian hukum menghendaki
bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya serta yang
memiliki kewajiban menurut hukum, harus melaksanakan kewajiban
tersebut.
2. Penerapan
Maksud dari penerapan ini adalah bahwa peraturan tersebut benar-
benar bisa diterapkan oleh masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari.
58
Dalam hal ini peneliti akan menganalisis mengenai penerapan Pasal 53
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 yang memerintahkan perusahaan
swasta untuk mempekerjakan minimal 1% penyandang disabilitas dari
jumlah pekerjanya.
Perusahaan swasta sebagai badan hukum yang menjalankan kegiatan
ekonominya guna memperoleh keuntungan sehingga meningkatkan
kegiatan produksi guna memaksimalkan keuntungan. Dengan demikian
perusahaan mencari pekerja yang produktif serta sesuai dengan
kompetensi yang dibutuhkan oleh perusahaan. Hal ini lah yang peneliti
yakini sebagai salah satu kesulitan perusahaan swasta untuk
mempekerjakan penyandang disabilitas, sebab pada umumnya penyandang
disabilitas tidak seproduktif orang yang bukan penyandang disabilitas,
karena mereka memiliki hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
Sedangkan perusahaan membutuhkan pekerja yang memiliki produktifitas
tinggi guna memaksimalkan proses produksi. Namun meskipun demikian,
perusahaan tidak dapat begitu saja mengabaikan perintah tersebut.
Perusahaan harus melakukan penyesuaian-penyesuaian pada
perusahaannya baik secara penempatan kerja maupun aksebilitas kepada
para penyandang disabilitas agar dapat melaksanakan kewajiban untuk
mempekerjakan penyandang disabiltas sebagai bentuk tanggung
perusahaan.
Penyesuaian-penyesuain mengenai penempatan kerja serta aksebilitas
bagi penyandang disabilitas harus dilakukan sebab dengan begitu dapat
memberikan manfaat terhadap kedua belah pihak, karena dengan adanya
penempatan kerja yang sesuai dengan kondisi serta keterampilan
penyandang disabilitas dan juga aksebilitas yang memadai, akan
memudahkan pekerja penyandang disabilitas untuk melakukan
pekerjaannya, dengan begitu produktifitas pekerja tersebut akan maksimal
dan akan berpengaruh terhadap peningkatan kinerja perusahaan sehingga
hal tersebut akan memberikan manfaat bagi perusahaan. Maka dari itu, jika
perusahaan melaksanakan perintah untuk mempekerjakan penyandang
59
disabilitas dengan penerapan yang tepat, maka akan memberikan manfaat
bagi kedua belah pihak, baik dari pihak penyandang disabilitas maupun
dari pihak perusahaan.
3. penegakan hukum
Penegakan hukum berdampak langsung pada kepatuhan masyarakat
terhadap hukum itu sendiri dan juga merupakan cerminan daripada
kepastian hukum yang dimana menekankan agar hukum atau peraturan itu
ditegakkan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya,
dalam hal ini ketegasan penegakan hukum terhadap aturan mengenai
perintah mempekerjakan penyandang disabilitas akan berdampak pada
kepatuhan perusahaan-perusahaan untuk mempekerjakan penyandang
disabilitas. ketegasan yang dimaksud yaitu pemberian sanksi yang sesuai
sebagaimana diatur oleh Undang-undang.
Sanksi terhadap pelanggaran ini terdapat pada Pasal 145 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2016, yang menjelaskan bahwa “Setiap orang
yang menghalang-halangi dan/atau melarang Penyandang Disabilitas
untuk mendapatkan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Untuk lebih memahami sanksi
tersebut maka perlu diketahui Pasal 143 huruf b Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2016, yang berbunyi “Setiap orang dilarang menghalang-halangi
dan/atau melarang Penyandang Disabilitas untuk mendapatkan Hak
pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi”. Merujuk pada aturan tersebut,
perusahaan-perusahaan yang tidak menjalankan kewajibannya untuk
mempekerjakan penyandang disabilitas dapat dikenakan sanksi pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) kepada direktur perusahaan tersebut
sebagai perwakilan dari perusahaan karena tidak memberikan hak atas
pekerjaan kepada penyandang disabilitas untuk bekerja di perusahaannya.
PT Sinar Jaya Langgeng Utama yang belum mempekerjakan pekerja
penyandang disabilitas sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan oleh
60
peraturan tersebut sudah selayaknya dikenakan sanksi. Selain itu tidak
tersedianya fasilitas perusahaan yang ramah terhadap penyandang
disabilitas, yang dimana merujuk pada Pasal 50 Angka 4 yang berbunyi
“Pemberi kerja yang tidak menyediakan akomodasi yang layak dan
fasilitas yang mudah diakses oleh tenaga kerja penyandang disabilitas
dikenasi sanksi administrative berupa: a. teguran tertulis, b. penghentian
kegiatan operasional, c.pembekuan izin usaha, dan d. pencabutan izin
usaha. Namun pada kenyataannya perusahaan tersebut tidak menerima
sanksi apapun untuk kedua pelanggaran yang dilakukan dari pihak terkait.
Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi
hukum tidak sepantasnya terjadi hal demikian. Hal ini dapat merusak citra
hukum dimasyarakat, sehingga berdampak pada turunnya wibawa hukum
dimasyarakat. Serta sangat berpotensi terjadi pelanggaran-pelanggaran
yang serupa. Dengan demikian pemberian sanksi kepada perusahaan yang
melanggar ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2016 menjadi keharusan agar terwujudnya kepastian hukum terhadap hak-
hak penyandang disabilitas, sehingga tidak menciderai nilai-nilai kepastian
hukum yang seharusnya dijunjung tinggi dalam suatu proses penegakkan
hukum.
Melihat penjabaran di atas kita dapat melihat sejauh mana nilai kepastian
dan kemanfaatan terhadap ketiga aspek di atas, serta dapat melihat seberapa
berpengaruhnya nilai-nilai kepastian dan kemanfaatan terhadap ketiga aspek
tersebut.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian hasil penelitian yang telah dipaparkan
dalam bab-bab sebelumnya, maka peneliti memberikan kesimpulan
sebagai berikut:
1. Undang-undang telah memerintahkan kepada perusahaan swasta untuk
mempekerjakan paling sedikit 1% penyandang disabilitas dari jumlah
pekerjanyanya. Dengan adanya ketentuan tersebut PT Sinar Jaya
Langgeng Utama memiliki kesadaran untuk menjalankan ketentuan
tersebut, sehingga melakukan upaya seperti memberi kesempatan kerja
bagi penyandang disabilitas, menempatkan penyandang disabilitas pada
posisi kerja yang sesuai dengan kondisi dan keterampilan pekerja
penyandang disabilitas, serta memberikan jaminan kerja kepada
penyandang disabilitas. hal-hal tersebut merupakan bentuk tanggung
jawab PT Sinar Jaya Langgeng Utama terhadap perintah Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2016.
2. PT Sinar Jaya Langgeng Utama telah melakukan hal-hal yang telah
diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, seperti
membuka kesempatan kerja, menempatkan posisi kerja yang sesuai
serta memberikan jaminan kerja kepada penyandang disabilitas. Namun
jumlah pekerja penyandang disabilitas diperusahaan tersebut kurang
dari 1% dan juga belum tersedianya fasilitas-fasilitas perusahaan yang
ramah terhadap penyandang disabilitas, sehingga perusahaan tersebut
belum secara penuh menjalankan kewajiban-kewajiban yang
diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.
B. Rekomendasi
Berdasarkan uraian-uraian hasil penelitian yang telah dipaparkan
dalam bab-bab sebelumnya, maka peneliti memberikan rekomendasi-
rekomendasi sebagai berikut:
62
1. Mempertegas pemberlakuan sanksi untuk pihak-pihak yang tidak
menjalankan kewajiban untuk mempekerjakan penyandang disabilitas.
2. Meningkatkan pengawasan oleh pemerintah yang dapat dimandatkan
kepada Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Sosial, dan
Kementerian Industri sehingga Kementerian-kementerian tersebut bisa
saling berkolaborasi untuk melakukan pengawasan kepada perusahaan
swasta yang memiliki tanggung jawab untuk mempekerjakan
penyandang disabilitas, agar pihak-pihak tersebut dapat menjalankan
kewajibannya untuk mempempekerjakan penyandang disabilitas.
3. Pemerintah memberikan bantuan hukum kepada para penyandang
disabilitas yang merasa hak atas pekerjaan tidak diberikan oleh
perusahaan.
4. Mengatur secara terperinci dan teknis mengenai ketentuan kewajiban
mempekerjakan penyandang disabilitas, agar dapat menjadi pedoman
bagi para pihak yang memiliki kewajiban untuk mempekerjakan
penyandang disabilitas.
63
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan: Dinamika dan kajian Teori. Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010.
Ais, Chatamarrasjid. Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing the Corporate Veil)
Kapita Selekta Hukum Perusahaan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2000.
Apeldoorn, Van. Pengantar Ilmu Hukum cet. 2, Jakarta: Pradnya Pratama, 1990.
Asyhadie, H. Zaeni dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan kepailitan,
Jakarta: Erlangga, 2012.
Fuady, Munir Pengantar Hukum Bisnis cet. 4, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2012.
International Labour Organization, Mewujudkan Peluang Kerja yang Setara bagi
Para Penyandang Disabilitas Melalui Perundang-Undangan:
Pelaksanaan, Jakarta: ILO, 2013.
Internasional Labour Organization, Pengelolaan Disabilitas Di Tempat Kerja,
Jakarta: ILO, 2013.
Kansil, Cst, dkk, Kamus Istilah Hukum, Jakarta: Jala Permata, 2009.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia, Laporan Akhir Memetakan Penyandang Disabilitas
(PD) di Pasar Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta: ILO, 2017.
Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2008.
Muhtaj, Majda El. Dimensi-dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Mulhadi. Hukum Perusahaan: Bentuk-bentuk Badan Usada di Indonesia, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2017.
64
Nawawi, Barda. Kapita Selekta Hukum Pudana cet. 3, Bandung: Citra Aditya,
2013.
Notonegoro. Pancasila Secara Ilmiah Populer, Jakarta: Pancoran Tujuh Bina
Aksara, 1971.
Rawl, John, A Theory Of Justice. Penerjemah Uzair dan Heru Prasetyo. Teori
Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011.
S, Salim H dan Erlia Septiani Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Tesis dan
Disertasi cet. 1, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Santoso, H. M Agus. Hukum, Moral dan Keadilan: Sebuah Pendekatan Filsafat
cet. 1, Jakarta : Prenadamedia Group, 2012.
Silalahi, Ulber. Metode Penelitian Sosial, Bandung: PT. Refika Aditama, 2009.
Silondae, Arus Akbar dan Wirawan B. Ilyas, Pokok-pokok Hukum Bisnis cet. 4,
Jakarta: Salemba Empat, 2014.
Soekanto, Soejono. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta:
Rajawali Pers,m,. 1982.
. Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif suatu TInjauan
Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.
Soepomo, Imam. Pengantar Hukum Perburuha, Jakarta; Djambatan, 1999.
Soeroso ,R. Pengantar Ilmu Hukum cet. 14, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Sutantya R.T dan Sumantoro, Pengertian Pokok Hukum Perusahaan: Bentuk-
bentuk Perusahaan yang Berlaku di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, Cet.akan Keempat, 1996.
65
Syah, Mudakir Iskandar. Ilmu Hukum dan Kemasyarakatan cet. 1, Jakarta: PT.
Tatanusa, 2017.
Uwiyono, Aloysius, dkk. Asas-asas Hukum Perburuhan cet. 2, Jakarta: PT.
Rajagrafindo, 2014.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
Wijayanti, Asri. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformas cet. 3, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013.
Windari, Ratna Artha. Pengantar Hukum Indonesia cet. 1, Depok: PT.
Rajagrafindo Persada, 2017.
Wiyono, Eka Hadi. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Jakarta: Akar Media,
2007.
Jurnal-jurnal
Aji, Abdul Latief Danu dan Tiyas Nur Haryani. “Diversitas Dalam Dunia Kerja;
Peluang dan Tantangan bagi Disabilitas”, Spirit Publik, 12, 2 (2017).
Hamidi, Jazim. “Perlindungan Hukum Terhadap Disablitas Dalam Memenuhi Hak
Mendapatkan Pendidikan Dan Pekerjaan”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum,
24, 4 (2016).
Kusumawati, Mustika Prabaningrum, “Peranan Kedudukan Lembaga Bantuan
Hukum sebagai Acces To Justice Bagi Orang Miskin”, Arena Hukum, 9, 2
(Agustus, 2016).
Sibuea, Haris Y. P. “Penegakan Hukum Pengaturan Minuman Beralkohol”,
Negara Hukum, 7, 1 (Juni, 2016).
Sonata, Depri Liber. “Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris:
Karakteristik Khas Dari Metode Penelitian Hukum”, Fiat Justisia
Jurnal Hukum, 8, 1 (Januari – Maret, 2014).
66
Shaleh, Ismail. “Implementasi Pemenuhan Hak Bagi Penyandang Disabilitas
Ketenagakerjaan Di Semarang”. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 20, 1 (2018).
Saifuddin, “Akses Keadilan Bagi Anak”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 54, XIII
(Agustus, 2011).
Muhtadi, Budiyono. Ade Arief Firmansyah, “Dekonstruksi Urusan Pemerintahan
Konkuren Dalam Undang-undanfg Pemerintah Daerah”. Kanul Jurnal
Ilmu Hukum, 67, XVII (2015).
Wantu, France M. “Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim”, Jurnal
Berkala Mimbar Hukum, 19, 3 (Oktober, 2007).
Wijaya, Tata. “Asas Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan Dalam
Kaitannya Dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga”, Jurnal
Dinamika Hukum, 14, 2 (Mei, 2014).
Yunita, Eka, dkk. “Pemenuhan Hak Bagi Penyandang Disabilitas Di Kabupaten
Semarang Melalui Imolementasi Convention On The Rights Of Person
With Disabilities (CPRD) Dalam Bidang Pendidikan”. Integralistik, 1,
XXVIII (2018).
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas.
Artikel Koran
Catatan Pemerintah, Sebanyak 414.222 Penyandang Disabilitas Butuh Kerja,
Jaringan Pemberitaan Pemerintah, 11 April 2018.
67
Cerita Penyandang Disabilitas yang Terharu Terima SK-CPNS dari Ganjar,
Kompas, 29 Maret 2019.
Indonesia Memiliki 12 Persen Penyandan Disabilitas, Republika , 16 Desember
2016.
68
LAMPIRAN-LAMPIRAN