Pelaksanaan Prinsip-prinsip Good Governance dan Reinventing Government dalam Pelayanan Publik pada era Otonomi Daerah
PERSPEKTIF PARADIGMA BARU ADMINISTRASI NEGARA DALAM
MENGHADAPI PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN
(Suatu Tinjauan Pelaksanaan Prinsip-prinsip Good Governance dan Reinventing
Government dalam Pelayanan Publik pada era Otonomi Daerah)
Pendahuluan
Selama ini, Public Administration selalu diterjemahkan dengan Administrasi Negara.
Akibat dari terjemahan seperti itu, selama beberapa dekade di Indonesia, orientasi administrasi
negara adalah bagaimana pelayanan kepada negara, dan masyarakat harus melayani negara,
semuanya serba negara sehingga muncul istilah “abdi negara”. Apabila segala sesuatu
diatasnamakan negara, maka hal tersebut sudah harus tuntas, dan direlakan; semua orang harus
berkorban demi negaranya. Dengan demikian, pelayanan yang semula dikonsep untuk
masyarakat umum, terbalik menjadi pelayanan untuk negara. Padahal konsep awal dari Public
Administration sesuai dengan terjemahannya adalah “Administrasi Publik” yaitu berorientasi
kepada masyarakat. Perkembangan terbaru paradigma administrasi publik, mengarah kepada
masyarakat dan berorientasi kepada masyarakat serta berupaya bagaimana strategi melakukan
atau melayani masyarakat (publik). Hal ini sejalan dengan hakekat pelaksanaa era otonomi,
yakni peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Pada dasarnya masyarakat tidak terlalu peduli dengan more regulated atau less
regulated, less governed atau more governed karena kepedulian utama mereka terletak pada
terselesaikannya beragam masalah yang mereka hadapi. Bagi administrasi publik, kondisi ini
merupakan tantangan besar yang harus dihadapi mengingat kebutuhan masyarakat yang
semakin kompleks sementara sumber daya dan kapasitas birokrasi yang berkembang tidak
sebanding dengan perkembangan kebutuhan tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir ini,
berkembang beragam pendekatan dalam menghadapi tuntutan ini. Isu manajemen publik dan
public governance (kepemerintahan publik) terus meluas dan menjadi perdebatan hangat
(Khairul Muluk, 2004).
Paradigma Good Governance dalam Pelayanan Publik
Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik yang dilakukan oleh
pemerintah atau pemerintah daerah, selama ini didasarkan pada paradigma rule government
(pendekatan legalitas). Dalam merumuskan, menyusun dan menetapkan kebijakan senantiasa
didasarkan pada pendekatan prosedur dan keluaran (out put), serta dalam prosesnya
menyandarkan atau berlindung pada peraturan perundang-undangan atau mendasarkan pada
pendekatan legalitas. Penggunan paradigma rule government atau pendekatan legalitas, dewasa
ini cenderung mengedepankan prosedur, hak dan kewenangan atas urusan yang dimiliki
(kepentingan pemerintah daerah), dan kurang memperhatikan prosesnya. Pengertiannya, dalam
proses merumuskan, menyusun dan menetapkan kebijakan, kurang optimal melibatkan
stakeholder (pemangku kepentingan di lingkungan birokrasi, maupun masyarakat).
Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menurut paradigma
good governance, dalam prosesnya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan
pendekatan rule government (legalitas), atau hanya untuk kepentingan pemeintahan daerah.
Paradigma good governance, mengedepankan proses dan prosedur, dimana dalam proses
persiapan, perencanaan, perumusan dan penyusunan suatu kebijakan senantiasa mengedepankan
kebersamaan dan dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Pelibatan elemen pemangku kepentingan di lingkungan birokrasi sangat penting, karena
merekalah yang memiliki kompetensi untuk mendukung keberhasilan dalam pelaksanaan
kebijakan. Pelibatan masyarakat juga harus dilakukan, dan seharusnya tidak dilakukan
formalitas, penjaringan aspirasi masyarakat (jaring asmara) tehadap para pemangku kepentingan
dilakukan secara optimal melalui berbagai teknik dan kegiatan, termasuk di dalam proses
perumusan dan penyusunan kebijakan.
Penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, pada dasarnya menuntut keterlibatan
seluruh komponen pemangku kepentingan, baik di lingkungan birokrasi maupun di lingkungan
masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, adalah pemerintah yang dekat dengan
masyarakat dan dalam memberikan pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Esensi kepemerintahan yang baik (good governance) dicirikan dengan terselenggaranya
pelayanan publik yang baik, hal ini sejalan dengan esensi kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah yang ditujukan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah mengatur dan mengurus
masyarakat setempat, dan meningkatkan pelayanan publik.
Kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah sangat strategis dalam upaya
mewujudkan kepemerintahan yang baik, dengan demikian pelayanan publik memiliki nilai
strategis dan menjadi prioritas untuk dilaksanakan. Menjadi pertanyaan, apakah fungsi
pemerintahan yang lainnya tidak strategis dan tidak prioritas? Bukankah dalam penyelenggaraan
pemerintahan juga banyak masalah yang mendesak yang harus ditangani? Jawabannya tidak
sederhana. Tetapi kalau kita memahami essensi kepemerintahan yang baik dan hubungannya
dengan tujuan pemberian otonomi daerah, maka sebenarnya jelas arahnya, yaitu pemerintah
daerah diberi tugas dan fungsi, serta tanggungjawab dan kewajiban untuk menyelenggarakan
pelayanan publik yang baik.
Beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik (khususnya dibidang perizinan dan
non perizinan) menjadi strategis, dan menjadi prioritas sebagai kunci masuk untuk melaksanakan
kepemerintahan yang baik di Indonesia. Salah satu pertimbangan mengapa pelayanan publik
menjadi strategis dan prioritas untuk ditangani adalah, karena dewasa ini penyelenggaraan
pelayanan publik sangat buruk dan signifikan dengan buruknya penyelenggaraan good
governance. Dampak pelayanan publik yang buruk sangat dirasakan oleh warga dan masyarakat
luas, sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap kinerja pelayanan
pemerintah. Buruknya pelayanan publik, mengindikasikan kinerja manajemen pemerintahan
yang kurang baik.
Kinerja manajemen pemerintahan yang buruk, dapat disebabkan berbagai faktor, antara
lain: ketidakpedulian dan rendahnya komitmen top pimpinan, pimpinan manajerial atas,
menengah dan bawah, serta aparatur penyelenggara pemerintahan lainnya untuk berama-sama
mewujudkan tujuan otonomi daerah. Selain itu, kurangnya komitmen untuk menetapkan dan
melaksanakan strategi dan kebijakan meningkatkan kualitas manajemen kinerja dan kualitas
pelayanan publik. Contoh: Banyak Pemerintah Daerah yang gagal dan/atau tidak optimal
melaksanakan kebijakan pelayanan terpadu satu atap, tetapi banyak yang berhasil menerapkan
kebijakan pelayanan terpadu satu atap (seperti; Jembrana, Solok, Sragen dan daerah lainnya)
Meningkatnya kualitas pelayanan publik, sangat dipengaruhi oleh kepedulian dan
komitmen pimpinan/top manajer dan aparat penyelenggara pemerintahan untuk
menyelenggarakan kepemerintahan yang baik. Perubahan signifikan pelayanan publik, akan
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan berpengaruh terhadap meningkatnya kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah daerah.
Terselenggaranya pelayanan publik yang baik, memberikan indikasi membaiknya kinerja
manajemen pemerintahan, disisi lain menunjukan adanya perubahan pola pikir yang berpengaruh
terhadap perubahan yang lebih baik terhadap sikap mental dan perilaku aparat pemerintahan
yang berorientasi pada pelayanan publik.
Tidak kalah pentingnya, pelayanan publik yang baik akan berpengaruh untuk
menurunkan atau mempersempit terjadinya KKN dan pungli yang dewasa ini telah merebak di
semua lini ranah pelayanan publik, serta dapat menghilangkan diskriminasi dalam pemberian
pelayanan. Dalam kontek pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat, perbaikan atau
peningkatan pelayanan publik yang dilakukan pada jalur yang benar, memiliki nilai strategis dan
bermanfaat bagi peningkatan dan pengembangan investasi dan mendorong kegiatan
pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat luas (masyarakat dan swasta).
Paradigma good governance, dewasa ini merasuk di dalam pikiran sebagian besar
stakeholder pemerintahan di pusat dan daerah, dan menumbuhkan semangat pemerintah daerah
untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja mamajemen pemerintahan daerah, guna
meningkatkan kualitas pelayanan publik. Banyak pemerintah daerah yang telah mengambil
langkah-langkah positif didalam menetapkan kebijakan peningkatan kualitas pelayanan publik
berdasarkan prinsip-prinsip good governance.
Paradigma good governance menjadi relevan dan menjiwai kebijakan pelayanan publik
di era otonomi daerah yang diarahkan untuk meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan,
mengubah sikap mental, perilaku aparat penyelenggara pelayanan serta membangun kepedulian
dan komitmen pimpinan daerah dan aparatnya untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan
publik yang berkualitas.
Desentralisasi dan Reformasi Pelayanan Publik
Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah kewenangan
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan. Dengan
otonomi daerah berarti telah dipindahkan sebagian besar kewenangan yang tadinya berada di
pemerintah pusat kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom dapat lebih cepat
dalam merespon tuntutan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Karena
kewenangan membuat kebijakan (perda) sepenuhnya menjadi wewenang daerah otonom, maka
dengan otonomi daerah pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan diharapkan
akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas.
Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian serius dalam pelaksanaan otonomi daerah
antara lain pelayanan publik, formasi jabatan, pengawasan keuangan daerah dan pengawasan
independen. Yang perlu dikedepankan oleh pemerintah daerah adalah bagaimana pemerintah
daerah mampu membangun kelembagaan daerah yang kondusif, sehingga dapat mendesain
standar Pelayanan Publik yang mudah, murah dan cepat. Pelayanan publik merupakan bagian
dari pemerintahan yang baik (good governance) yang salah satu parameternya adalah cara
aparatur pemerintah memberikan pelayanan kepada rakyat. Prinsip good governance bisa
terwujud jika pemerintahan diselenggarakan secara transparan, responsif, partisipatif, taat hukum
(rule of law), sesuai konsensus, nondiskriminasi, akuntabel, serta memiliki visi yang strategis.
Bila kita mengamati lebih dalam praktik negara atau pemerintah kita terkait dengan
pelayanan publik, maka tampak jelas bahwa arah dan kebijakan layanannya tidak pasti.
Masyarakat atau rakyat pada dasarnya memiliki hak-hak dasar, yang harus menjadi tanggung
jawab pemerintah untuk memenuhinya atau paling tidak terjamin pelaksanaannya. Akan tetapi,
dalam realitasnya, banyak arah dan kebijakan layanan publik tidak ditujukan guna peningkatan
kesejahteraan publik. Namun sebaliknya, layanan publik mendorong masyarakat atau rakyat
untuk “melayani” elit penguasa.
Pemerintah melahirkan berbagai kebijakan dalam bentuk hukum, perundang-undangan,
peraturan-peraturan dan lainnya bertalian dengan layanan publik. Berbagai kebijakan itu katanya
bermaksud hendak melindungi hak-hak warga negara, meskipun dalam praktiknya banyak yang
melanggar kepentingan warga negara, misalnya penggusuran lahan rakyat untuk bangunan super
market. Pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi lahan perumahan dan industri adalah
kebijakan layanan publik yang melanggar hak-hak warga, khususnya kaum tani. Pelayanan
publik yang buruk merupakan salah satu bentuk penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, dan
maladministrasi.
Maladministrasi adalah tindakan atau perilaku penyelenggara administrasi negara dalam
pemberian pelayanan publik yang bertentangan dengan kaidah serta hukum yang berlaku. Atau,
menyalahgunakan wewenang (detournement de pouvoir) yang menimbulkan kerugian serta
ketidakadilan. Prinsip "kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah" salah satunya juga
dimotivasi perilaku mencari keuntungan sesaat kalangan aparatur pemerintah yang bertugas
memberikan pelayanan publik. Masyarakat yang tidak tahan diperlakukan demikian oleh
pemberi pelayanan publik akhirnya terjebak ikut berbuat tercela dengan memberikan suap
kepada aparat selaku pemberi layanan.
Reformasi pelayanan publik ternyata masih tertinggal dibanding reformasi di berbagai
bidang lainnya. Sistem dan filsafat yang mendasari pelayanan publik di Indonesia tidak hanya
ketinggalan jaman, tetapi juga menghasilkan kinerja dibawah standar dalam masyarakat yang
berubah secara cepat. Kita masih jauh tertinggal dibanding Filipina, Malaysia dan Thailand
dalam indikator-indikator gabungan kualitas birokrasi, korupsi, dan kondisi sosial ekonomi.
Pendidikan, Kesehatan dan Hukum (administrasi) adalah tiga komponen dasar pelayanan
publik yang harus diberikan oleh penyelenggaran negara (pemerintah) kepada rakyat. Hingga
saat ini, pelayanan tersebut tampak belum maksimal. Kondisi iklim investasi, kesehatan, dan
pendidikan saat ini sangat tidak memuaskan, sebagai akibat tidak jelasnya dan rendahnya
kualitas pelayanan yang ditawarkan oleh institusi-institusi pemerintahan. Bahkan muncul
berbagai permasalahan; masih terjadinya diskriminasi pelayanan, tidak adanya kepastian
pelayanan, birokrasi yang terkesan berbelit-belit serta rendahnya tingkat kepuasan masyarakat.
Faktor-faktor penyebab buruknya pelayanan publik selama ini antara lain:
a. Kebijakan dan keputusan yang cenderung menguntungkan para elit politik dan sama
sekali tidak pro rakyat.
b. Kelembagaan yang dibangun selalu menekankan sekedar teknis-mekanis saja dan bukan
pedekatan pe-martabat-an kemanusiaan.
c. Kecenderungan masyarakat yang mempertahankan sikap nrima (pasrah) apa adanya yang
telah diberikan oleh pemerintah sehingga berdampak pada sikap kritis masyarakat yang
tumpul.
d. Adanya sikap-sikap pemerintah yang berkecenderungan mengedepankan informality
birokrasi dan mengalahkan proses formalnya dengan asas mendapatkan keuntungan
pribadi.
Salah satu faktor penyebab utama dari keterpurukan sektor perekonomian adalah masih
kuatnya prilaku koruptif di dalam berbagai aspek kehidupan, terutama di sektor birokrasi dengan
salah satu fokus utamanya di sektor pelayanan publik. Konsekuensinya, timbullah biaya ekonomi
tinggi yang berdampak kepada rendahnya daya saing Indonesia dibandingkan negara
berkembang lainnya dalam menarik investasi dan dalam memasarkan komoditinya baik di dalam
negeri maupun ke luar negeri. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat, yang
kemudian bermuara pada stagnannya proses peningkatan kesejahteraan rakyat.
Masih kuatnya perilaku koruptif ini salah satunya dibuktikan dengan dari masih
rendahnya Corruption Perception Index (CPI) Indonesia tahun 2006 yang dikeluarkan oleh
Transparency International Indonesia (TII) , yaitu 2,4 – naik 0,2 point dari CPI tahun 2005.
Sensus pegawai negeri yang baru-baru ini dilakukan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN)
menunjukkan bahwa ada Penyelanggaraan Pemerintahan kita melibatkan 3,6 juta pegawai
negeri, tetapi anggaran negara menunjukan bahwa jumlahnya hanya sedikit kurang dari 4 juta.
Dengan kata lain, hampir 400 ribu pegawai negeri yang ada dalam daftar gaji tidak bekerja untuk
negara. Kenyataan ini memberikan dasar yang kuat untuk menelaah kembali anggaran
kepegawaian, berbagai posisi dan fungsi kepegawaian, serta untuk membangun rencana strategis
menghadapi berbagai ketidakwajaran yang ada, yang memperburuk kondisi anggaran dan
berpengaruh terhadap pelayanan publik.
Pemerintah perlu menyusun Standar Pelayanan bagi setiap institusi di daerah yang
bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Deregulasi dan Debirokratisasi mutlak
harus terus menerus dilakukan oleh Pemda, serta perlu dilakukan evaluasi secara berkala agar
pelayanan publik senantiasa memuaskan masyarakat. Ada lima cara perbaikan di sektor
pelayanan publik yang patut dipertimbangkan: Mempercepat terbentuknya UU Pelayanan Publik,
Pembentukan pelayanan publik satu atap (one stop services), Transparansi biaya pengurusan
pelayanan publik, Membuat Standar Operasional Prosedur (SOP), dan reformasi pegawai yang
berkecimpung di pelayanan publik.
Pelaksanaan Otonomi Daerah memungkinkan pelaksanaan tugas umum Pemerintahan
dan tugas Pembangunan berjalan lebih efektif dan efisien serta dapat menjadi sarana perekat
Integrasi bangsa. Untuk menjamin agar pelaksanaan otonomi daerah benar-benar mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, maka segenap lapisan masyarakat baik
mahasiswa, LSM, Pers maupun para pengamat harus secara terus menerus memantau kinerja
Pemda dengan mitranya DPRD agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan mereka sendiri,
transparansi, demokratisasi dan akuntabilitas harus menjadi kunci penyelenggaraan
pemerintahan yang Good dan Clean Government.
Pemerintah memang tidak memiliki paradigma yang jelas dalam soal layanan publik dan
mempertahankan birokrasi yang feodal. Transformasi paradigmatik, disain ulang sistem dan
organisasi layanan publik harus dilakukan agar pemerintah menjadi handal melakukan kewajiban
publiknya. Sejatinya, Excelent Service harus menjadi acuan dalam mendesain struktur organisasi
di pemerintah daerah. Bila semua daerah otonom dapat menyelenggarakan pemerintahan secara
bersih dan demokratis, maka pemerintah kita secara nasional pada suatu saat nanti akan dapat
menjadi birokrasi yang bersih dan profesional sehingga mampu menjadi negara besar yang
diakui dunia.
Dunia saat ini telah berada dalam era yang disebut globalisasi, kondisi dimana terjadi
perubahan signifikan dalam kehidupan suatu masyarakat yang tidak lagi dapat dibatasi oleh
sekedar batas administrasi kewilayahan, karena pesatnya penemuan-penemuan teknologi.
Globalisasi dipengaruhi oleh inovasi teknologi di satu sisi dan persaingan dalam era perdagangan
bebas di sisi lain”. Sementara W.W. Rostow (1960) dengan teorinya tentang 5 tahapan
pertumbuhan menunjukkan bahwa suatu komunitas bangsa tingkatan pertumbuhannya dapat
dilihat dari sudut pandang ekonomi dalam lima kategori: "It is possible to identify all societies, in
their economic dimensions, as lying within one of five categories: the traditional society, the
preconditions for take-off, the take-off, the drive to maturity, and the age of high mass-
consumption".
Sejalan dengan pendapat Rostow, era globalisasi saat ini mengindikasikan bahwa
masyarakat dunia pada umumnya telah memasuki tahapan the age of high mass-consumption
atau tingkatan kelima. Kondisi dimana terjadi pergeseran pada sektor-sektor dominan terhadap
kebutuhan barang dan jasa sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Sebagian besar
masyarakat telah terpenuhi kebutuhan dasarnya yakni sandang, pangan dan papan serta
berubahnya struktur angkatan kerja yang meningkat tidak hanya proporsi jumlah penduduk
perkotaan melainkan juga jumlah angkatan kerja yang terampil.
Menghadapi kondisi masyarakat tersebut di atas, maka diperlukan peran administrasi
negara dan pemerintahan dalam memberikan pelayanan secara efiktif, efisien dan secara
profesional. Tantangan perubahan masyarakat dan tantangan terhadap kinerja pemerintahan
selain menghadapi masyarakat yang semakin cerdas dan masyarakat yang semakin banyak
tuntutannya/variatif serta memenuhi standar kualitatif sangatlah terbatas, pada akhir kekuasaan
Orde Baru pun, birokrasi pernah dikritik habis-habisan oleh kalangan gerakan pro-reformasi.
“Birokrasi dianggap sebagai salah satu ”penyakit” yang menghambat akselerasi kesejahteraan
masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan yang sehat“ (Edi Siswadi, 2005). Ungkapan
klasik dan kritis seperti “kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah”, misalnya, berkembang
seiring dengan penampakan kinerja aparatur yang kurang baik di mata masyarakat. Ungkapan itu
menggambarkan betapa buruknya perilaku pelayanan birokrasi kita yang berpotensi
menyuburkan praktik percaloan dan pungutan liar (rent seeking). Kondisi inilah yang sebetulnya
memunculkan iklim investasi di daerah kurang kompetitif. Kondisi pelayanan seperti ini perlu
segera direformasi guna mewujudkan kinerja birokrasi dan kinerja pelayanan publik yang
berkualitas.
Menghadapi kondisi ini maka pemerintah sebagai pelayan public perlu mengupayakan
untuk menekan sekecil mungkin terjadinya kesenjangan antara tuntutan pelayanan masyarakat
dengan kemampuan aparatur pemerintah untuk memenuhinya, sebab keterbatasan sarana dan
prasarana yang telah ada tidak dapat dijadikan sebagai alasan pembenar tentang rendahnya
kualitas pelayanan kepada masyarakat. Kemandirian dan kemampuan yang handal dari
pemerintah merupakan syarat tetap terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah
untuk memenuhi segala kebutuhan pelayanan umumnya.
Dalam kaitan inilah maka pemerintah perlu memiliki semangat kewirausahaan
(entrepreneurship). Ide penataan ulang pemerintahan ini sejalan dengan pemikiran dan
perkembangan administrasi negara yang berusaha melakukan reinventing government pada awal
tahun 1990-an. Salah satu ide pokok dari perubahan administrasi negara tersebut adalah
pentingnya public service sebagai orientasi dari birokrasi pemerintahan.
Perubahan mendasar dalam struktur birokrasi berlangsung sangat cepat. Semenjak
reformasi, pemerintah pusat telah merekonstruksi struktur birokrasi pemerintah daerah dua kali.
Masing-masing melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004. Penataan
birokrasi pemerintah daerah, secara normatif merupakan bagian dari rekayasa sosial guna
mengatasi krisis multidimensi yang melanda. Dalam skala kecil atau mikro, hal ini dilakukan
untuk kepentingan memulihkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi. Dalam skala
makro untuk menciptakan lingkungan kerja dan budaya organisasi yang sehat dan kondusif,
sehingga tingkat kepuasaan masyarakat (customer satisfaction) meningkat dan iklim investasi
menyehat (Edi Siswadi, dalam Pikiran Rakyat, 2005).
Untuk mewujudkan tujuan itu, perlu ada penataan administrasi negara dan birokrasi
pemerintahan dalam rangka membangun kinerja pemerintahan yang efektif, efisien, dan
profesional. Setidaknya, “stempel” yang diberikan masyarakat mengenai buruk dan berbelit-
belitnya birokrasi pada pemerintah baik pusat ataupun di daerah dapat dikurangi. Peran
administrasi negara dan pemerintahan di masa mendatang dengan melihat beberapa tuntutan
masyarakat diatas dengan kondisi pemerintah sebagai pelayan masyarakat saat ini yaitu : (1)
Pemerintahan dengan system Birokrasi yang lamban dan terpusat; (2) Pemenuhan terhadap
ketentuan dan peraturan (bukannya berorientasi misi); (3) Rantai hierarki/komando yang rigid;
maka pemerintah saat ini harus berupaya merubah perannya untuk masa yang akan datang yaitu
melalui penerapan konsep Reinventing Government.
Sebelum membahas lebih dalam topik reinventing government, terlebih dahulu kita
meninjau pengertian dari reinventing. Menurut David Osborne dan Peter Plastrik (1997) dalam
bukunya “Memangkas Birokrasi”, Reinventing Government adalah “transformasi system dan
organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam
efektifitas, efesiensi, dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Transformasi ini dicapai
dengan mengubah tujuan, system insentif, pertanggungjawaban, struktur kekuasaan dan budaya
system dan organisasi pemerintahan”. Pembaharuan adalah dengan penggantian system yang
birokratis menjadi system yang bersifat wirausaha. Pembaharuan dengan kata lain membuat
pemerintah siap untuk menghadapi tantangan-tantangan dalam hal pelayanan terhadap
masyarakat, menciptakan organisasi-organisasi yang mampu memperbaiki efektifitas dan
efisiensi pada saat sekarang dan di masa yang akan datang.
Dalam rangka mewujudkan konsep reinventing government, tidak ada salahnya kalau
kita mencoba untuk mengetahui bagaimana proses perubahan yang terjadi pada negara-negara
maju seperti: Australia, Selandia baru, Amerika serikat, Kanada, Inggris dsb yang berhasil
melakukan reformasi birokrasi. Di Inggris pembaharuan mulai dilakukan pada awal tahun 1980
pada saat Margareth Thatcher menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris. Pada masa awal
pemerintahannya, ia mengumumkan penyetopan rekrutmen pegawai dan pemotongan tiga persen
dalam tubuh pamong praja, dan beberapa bulan kemudian menetapkan pemotongan lagi sebesar
lima persen.
Disamping itu Thatcher juga meminta Darek Rayner yang pada saat itu menjabat sebagai
pimpinan perusahaan ritel terkenal, Marks & Spencer untuk memimpin perang melawan
pemborosan dan inefisiensi. Thatcher juga melakukan perubahan pada serikat pegawai sektor
pemerintah, mendorong reformasi dengan melarang kerja piket tambahan. Tapi senjata besar
Thatcher adalah privatisasi, yang mana dalam 11 tahun masa kepemimpinannya, pemerintah
menjual lebih dari 40 BUMN utama dan banyak perusahaan kecil yang pada akhir tahun 1987
penjualan ini menghasilkan 5 milyar Poundsterling pertahunnya (Osborne dan Plastrik, 1997).
Prinsip-prinsip Reinventing Government
1. Mengarahkan Ketimbang Mengayuh (Steering Rather Than Rowing) Berfokus
pada pengarahan, bukan pada produksi pelayanan public. •Memisahkan
fungsi ”mengarahkan” (kebijaksanaan dan regulasi) dari fungsi ”mengayuh”
(pemberian layanan dan compliance). •Peranan pemerintah lebih sebagai
fasilitator dari pada langsung melakukan semua kegiatan operasional;
•Metode-metode yang digunakan antara lain : privatisasi, lisensi, konsesi,
kerjasama operasional, kontrak, voucher, insentif pajak, dll. Pemerintah
harus menyediakan (providing) beragam pelayanan publik, tetapi tidak harus
terlibat secara langsung dengan proses produksinya (producing). Pemerintah
memfokuskan pada pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan
publik diserahkan kepada swasta atau pihak ketiga. Produksi pelayanan
publik oleh Pemerintah harus dijadikan sebagai perkecualian, bukan suatu
keharusan. Pemerintah hanya memproduksi pelayanan publik yang belum
dapat dilakukan pihak non publik.
2. Pemerintah adalah Milik Masyarakat : Memberdayakan Ketimbang Melayani
(Empowering raher than Serving ). •Mendorong mekanisme control atas
pelayanan lepas dari birokrasi dan diserahkan kepada masyarakat;
•Masyarakat dapat membangkitkan komitmen mereka yang lebih kuat,
perhatian lebih baik dan lebih kreatif dalam memecahkan masalah;
•Mengurangi ketergantungan masyarakat kepada pemerintah. Dengan
adanya prinsip ini, Pemerintah sebaiknya memberi wewenang kepada
masyarakat, sehingga menjadi masyarakat yang mampu menolong dirinya
sendiri (community self-help).
3. Pemerintah yang kompetitif : Menyuntikkan persaingan dalam pemberian
pelayanan (Injecting Competition into service Delivery) •Pemberian
jasa/layanan harus bersaing dalam usaha berdasarkan kinerja dan harga
•Persaingan adalah kekuatan yang fundamental yang tidak memberikan
pilihan lain yang harus dilakukan oleh organisasi public; •Pelayanan public
yang dilaksanakan oleh Pemerintah tidak bersifat monopoli tetapi harus
bersaing •Masyarakat dapat memilih pelayanan yang disukainya.Oleh sebab
itu pelayanan sebaiknya mempunyai alternative. Kompetisi merupakan satu-
satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas
pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat
ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya.
4. Pemerintah Digerakkan oleh Misi : Mengubah organisasi yang digerakkan
oleh peraturan (Transforming Rule-Driven Organizations) menjadi digerakkan
oleh misi (mission-driven). •Secara internal, dapat dimulai dengan
mengeliminasi peraturan internal dan secara radikal menyederhanakan
system administrasi. •Perlu ditinjau kembali visi tentang apa yang harus
dilakukan oleh pemerintah •Misi pemerintah harus jelas dan peraturan
perundangan tidak boleh bertentangan dengan misi tersebut. Apa yang
dapat dan tidak dapat dilakukan oleh Pemerintah diatur dalam mandatnya.
Tujuan Pemerintah bukan mandatnya, tetapi misinya. Contoh: Cara
penyusunan APBD. APBD memang harus disusun berdasarkan suatu
prosedur yang benar dan baku, tetapi pemenuhan prosedur bukanlah tujuan.
Tujuan APBD adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
5. Pemerintah yang berorientasi hasil: Membiayai hasil bukan masukan
(Funding outcomes, Not input). a.Berusaha mengubah bentuk penghargaan
dan insentif: membiayai hasil dan bukan masukan. b.Mengembangkan
standar kerja, yang mengukur seberapa baik mampu memecahkan masalah.
c.Semakin baik kinerja, semakin banyak dana yang dialokasikan untuk
mengganti dana yang dikeluarkan unit kerja.
6. Pemerintah berorientasi pada pelanggan: Memenuhi kebutuhan pelanggan,
bukan birokrasi (Meeting the Needs of Customer, not be Bureaucracy)
•Mengidentifikasi pelanggan yang sesungguhnya. •Pelayanan masyarakat
harus berdasarkan pada kebutuhan riil, dalam arti apa yang diminta
masyarakat •Instansi pemerintah harus responsif terhadap perubahan
kebutuhan dan selera konsumen; •Perlu dilakukan penelitian untuk
mendengarkan pelanggan mereka, •Perlu penetapan standar pelayanan
kepada pelanggan •Pemerintah perlu meredesain organisasi mereka untuk
memberikan nilai maksimum kepada para pelanggannya. •Menciptakan dual
accountability (masyarakat dan bisnis, serta DPRD dan pejabat).
7. Pemerintah wirausaha: Menghasilkan ketimbang membelanjakan (Earning
Rather than Spending) •Pemerintah wirausaha memfokuskan energinya
bukan hanya membelanjakan uang (melakukan pengeluaran uang)
melainkan memperolehnya. •Dapat diperoleh dari biaya yang dibayarkan
pengguna dan biaya dampaknya (impact fees); pendapatan atas
investasinya dan dapat menggunakan insentif seperti dana usaha (swadana)
•Partisipasi pihak swasta perlu ditingkatkan sehingga dapat meringankan
beban pemerintah. Contoh pelaksanaan : a.Dapat mengembangkan
beberapa pusat pendapatan, misal : BPS dan Bappeda dapat menjual
informasi tentang daerahnya kepada pusat-pusat penelitian. b.BUMD
menjual barang maupun jasa c.Memberi hak guna usaha, menyertakan
modal dan lain-lain.
8. Pemerintah antisipatif (anticipatory government): Mencegah ketimbang
Mengobati (Preventon Rather than Cure) •Bersikap proaktif •Menggunakan
perencanaan strategis untuk menciptakan visi daerah. •Visi membantu
meraih peluang tidak terduga, menghadapi krisis tidak terduga, tanpa
menunggu perintah.
9. Pemerintah desentralisasi (decentralized government): Dari hierarki menuju
partisipasi dan tim kerja (From Hierarchy to Participation and Teamwork)
Dengan melihat beberapa tantangan dari masyarakat, diantaranya : (a)
Perkembangan teknologi sudah sangat maju. (b) Kebutuhan masyarakat dan
bisnis semakin kompleks. (c) Staf banyak yang berpendidikan tinggi Maka
pemerintah perlu untuk : •Menurunkan wewenang melalui organisasi,
dengan mendorong mereka yang berurusan langsung dengan pelanggan
untuk lebih banyak membuat keputusan (Pengambilan keputusan bergeser
kepada masyarakat, asosiasi, pelanggan, LSM.) •Tujuan : Untuk
memudahkan partisipasi masyarakat, serta terciptanya suasana kerja Tim.
•Pejabat yang langsung berhubungan dengan masyarakat (from-line
workers) harus diberi kewenangan yang sesuai. Karena dengan kewenangan
yang diberikan akan memeungkikan terjadinya koordinasi “cross functional”
antar semua instansi yang terkait.
10. Pemerintah berorientasi pada mekanisme pasar (market oriented
government) : Mendongkrak perubahan melalui pasar (Leveraging change
throught the Market) Mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar
( sistem insentif ) dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem
prosedur dan pemaksaan). Ada dua cara alokasi sumberdaya, yaitu
mekanisme pasar dan mekanisme administratif. Mekanisme pasar terbukti
yang terbaik di dalam mengalokasi sumberdaya. (a) Pemerintah wirausaha
menggunakan mekanisme pasar, tidak memerintah dan mengawasi, tetapi
mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar tidak merugikan
masyarakat. (b) Lebih baik merekstrukturisasi pasar guna memecahkan
masalah daripada menggunakan mekanisme administrasi seperti pemberian
layanan atau regulasi, komando dan control; (c) Tidak semua pelayanan
public harus dilakukan oleh pemerintah sendiri. (d) Kebijaksanaan public
harus dapat memanfaatkan mekanisme pasar untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. (e) Partisipasi pihak swasta perlu ditingkatkan.
Relevansi Reinventing Government dengan Administrasi Publik di Indonesia.
Birokrasi memainkan peranan utama dalam pembangunan dan semakin kuat
menunjukkan kecenderungan yang kurang baik: Sulit ditembus; Sentralistis; Top down; dan
Hierarki sangat panjang. Birokrasi justru menyebabkan kelambanan, terlalu bertele-tele dan
mematikan kreativitas. Birokrasi dianggap mengganggu mekanisme pasar, karena menciptakan
distorsi ekonomi dan pada akhirnya menyebabkan inefisiensi organisasi. Era turbulance and
uncertainty, teknologi informasi yang canggih, demanding community, dan persaingan ketat,
menjadikan birokrasi tidak dapat bekerja dengan baik. Era globalisasi dan knowledge based
economy, birokrasi perlu melakukan perubahan menuju profesionalisme birokrasi dan
menekankan efisiensi.
Di Indonesia upaya deregulasi dan debirokratisasi sudah mulai dilakukan sejak tahun
1983, namun baru menyentuh sektor riil dan moneter, sementara debirokratisasi belum
menyentuh sisi kelembagaan. Krisis sejak pertengahan 1997 telah menyebabkan: Jumah orang
miskin meningkat; Pengangguran meningkat; Kriminalitas meningkat; dan Kualitas kesehatan
menurun. Praktik Manajemen dan Administrasi Publik di Indonesia ditandai oleh Public service
yang buruk; Ekonomi sangat birokratis; Kebocoran anggaran; dan Budaya KKN.
Rethinking the government merupakan upaya untuk menjadikan pemerintah lebih
bertorientasi pada strategic thinking, strategic vision, and strategic management. Salah satu
bentuk New Public Management adalah model pemerintahan Osborne and Gaebler (1992) yang
tertuang di dalam konsep “Reinventing Government”.
Tantangan yang timbul dari prinsip reinventing antara lain:
1. Bagaimana mengimplementasikan konsep tersebut tanpa menimbulkan friksi
yang justru akan menghambat efisiensi dan efektivitas birokrasi. Sebab
prinsip reinventing government sesungguhnya baru mengena pada dimensi
normatif, tetapi belum teruji secara empiris.
2. Bagaimana menemukan strategi praktis untuk mengadopsi prinsip
reinventing government ke dalam system dan mekanisme pemerintah, baik
pusat maupun daerah.
Penataan Kelembagaan pemerintah melalui reinventing (Sunarno, 2008) antara lain :
1. REORIENTASI. Meredefenisikan visi, misi, peran, strategi, implementasi, dan
evaluasi kelembagaan pemerintah.
2. RESTRUKTURISASI. Menata ulang kelembagaan pemerintah, membangun
organisasi sesuai kebutuhan dan tuntutan publik.
3. ALIANSI. Mensinergikan seluruh aktor, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan
masyarakat dalam tim yang solid.
Tujuan reformasi birokrasi adalah untuk mewujudkan good government yang didukung
oleh penyelenggara Negara yang profesional dan bebas korupsi, kolusi, nepotisme serta
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sehingga tercapai pelayanan prima (Sunarno, 2008).
Sasaran reformasi birokrasi menurut Sunarno adalah terwujudnya birokrasi yang profesional,
netral dan sejahtera yang mampu menempatkan dirinya sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat
guna mewujudkan pelayanan masyarakat yang lebih baik; terwujudnya kelembagaan pemerintah
yang profesional, fleksibel, efisien dan efektif baik di lingkungan pemerintah pusat maupun
daerah; terwujudnya ketatalaksanaan (pelayanan publik) yang lebih cepat, tidak berbelit-belit,
mudah dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani.
Dari beberapa penjelasan diatas, maka bentuk dan peranan pemerintahan di masa
mendatang adalah: Pemerintahan yang mendorong kompetisi antar pemberi jasa; Memberi
wewenang kepada warga; Mengukur kinerja perwakilannya dengan memusatkan pada hasil,
bukan masukan; Digerakkan oleh tujuan/missi, bukan oleh peraturan; Menempatkan klien
sebagai pelanggan dan menawarkan kepada mereka banyak pilihan; Lebih baik mencegah
masalah ketimbang hanya memberi servis sesudah masalah muncul; Mencurahkan energinya
untuk memperoleh uang, tidak hanya membelanjakan; Mendesentralisasikan wewenang dengan
menjalankan manajemen partisipasi; Lebih menyukai mekanisme pasar ketimbang mekanisme
birokratis; Memfokuskan pada mengkatalisasi semua sector – pemerintah, swasta, dan lembaga
sukarela – kedalam tindakan untuk memecahkan masalah. Seluruh bentuk peranan pemerintahan
yang diharapkan dimasa yang akan datang ini sesuai dengan Prinsip-prinsip dari Reinventing
Government.
Peraturan Perundang-undangan
Fungsi utama pemerintah adalah memberikan pelayanan, menyelenggarakan
pembangunan dan menyelenggarakan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus
masyarakatnya, dengan menciptakan ketentraman dan ketertiban yang mengayomi dan
mensejahterakan masyarakatnya. Penyelenggaraan pelayanan publik memiliki aspek
dimensional, oleh karena itu dalam pembahasan dan menerapkan strategi pelaksanaannya tidak
dapat hanya didasarkan pada satu aspek saja, misalnya hanya aspek ekonomi atau aspek politik.
Pendekatannya harus terintegrasi melingkupi aspek lainnya, seperti aspek sosial budaya, kondisi
geografis dan aspek hukum/peraturan perundang-undangan.
Pendekatan penyelenggaraan pelayanan publik berdasarkan pada satu aspek, hanya akan
menghasilkan solusi parsial bagi pembenahan dan peningkatan pelayanan publik. Aspek
hukum/peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan yang mengatur pelayanan publik
menjadi salah satu aspek penting sebagai landasan pijak penyelenggaraan pelayanan publik.
Dalam konteks good governance, untuk mewujudkan pelayanan publik yang baik, selain
didasarkan pada kriteria atau unsur-unsur kepemerintahan yang baik, diperlukan kebijakan
pemerintahan dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan
operasionalnya. Oleh karena itu, aspek hukum dan peraturan perundang-undangan menjadi dasar
pendekatan utama di dalam membahas pelayanan publik.
Dengan demikian dalam membahas pelayanan publik, seharusnya kita terlebih dahulu
mengetahui dan memahami landasan hukum dan peraturan perundang-undangan yang mengatur
penyelenggaraan pelayanan publik. Untuk memberikan tambahan pengetahuan, ada beberapa
teori yang menjelaskan peran pemerintah daerah sebagai penyedia pelayanan publik dan sebagai
lembaga politik. Penyediaan pelayanan publik oleh pemerintah daerah harus berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Diantaranya dikemukakan pendapat seorang pakar, yaitu; Steve Leach dkk, dalam
bukunya The Changing Organization And Management Of Local Government, hal 4,
menyatakan “ The most fundamental of these key differences is that the local authority is not
merely a provider of goods services, it is also both a governmental and a political institution,
constituted by local election”
“Local authorities are not only providers of services; they are also political institutions
for local choice and local voice.The key issue for management of local government is how to
achieve an organization that not merely carries out one role but carries out both roles , not
separately but in interaction”. As a services provider the organization of local authority aims to
meet the demands, needs or aspirations of those for whom the service is provided. But the service
has to be provided in accordance with public policy as determined by the local authority or
defined by national legislation.
Pemerintahan daerah pada dasarnya mempunyai dua peran, yaitu sebagai lembaga
penyedia pelayanan dan sebagai institusi politik, pelaksanaan kedua peran tersebut harus
terintegrasi. Dalam memberikan pelayanan publik, Pemerintahan Daerah harus mengetahui dan
memahami kebutuhan, serta memperhatikan aspirasi masyarakat pemilihnya. Penyediaan
pelayanan, disesuaikan dengan kebijakan publik yang ditetapkan oleh pemerintah daerah atau
pemerintah, artinya penyelenggaraan pelayanan harus didasarkan pada aturan hukum dan
peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Daerah atau Pemerintah.
Dalam kontek di Indonesia, pengaturan pelayanan publik diatur dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945, pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan Sektoral, diantaranya dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang pemerintahan Daerah dan perubahannya. Pemerintahan Daerah menurut Undang Undang
nomor 32 tahun 2004, adalah Pemerintah Daerah dan DPRD atau dikenal dengan eksekutif dan
legislative, kedua lembaga ini yang memiliki fungsi menyelenggarakan pelayanan publik dan
fungsi sebagai lembaga politik. Pada hakekatnya, Kepala Daerah adalah lembaga politik yang
harus dipahami bahwa keberadaannya sebagai Top Pimpinan Daerah, adalah karena dipilih oleh
masyarakat (konstituen) melalui proses politik. Dengan pengertian lain, dalam prosesnya
diajukan oleh kereta Partai Politik untuk dipilih oleh masyarakat, melalui proses pemilihan
Kepala Daerah Langsung (PILKADAL).
Oleh karenanya, kebijakan penyelenggaraan pelayanan publik di daerah, dalam
prakteknya dipengaruhi oleh komitmen politik dari Kepala Daerah terhadap partai politik
pengusungnya dan konstituennya.
a. Kebijakan pelayanan publik, saat ini diatur dan tersebar di berbagai peraturan
perundang-undangan antara lain;
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan peraturan
perundang- undangan sektoral dan kebijakan lainnya;
4) Beberapa peraturan perundang-undangan dan pedoman yang dikeluarkan oleh
Pemerintah (kurun waktu 1993-1998) dan berkaitan dengan kebijakan
pelayanan publik antara lain;
a) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan
Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah kepada Masyarakat;
b) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1993 Tentang Izin
Mendirikan Bangunan dan Izin Undang-undang Gangguan Bagi Perusahaan
Industri;
c) Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan
Pemberian Izin Mendirikan Bangunan dan Izin Undang-Undang Gangguan
Bagi Perusahaan Industri;
d) Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 1996 tentang Penyusunan
Buku Petunjuk Pelayanan Perizinan Terpadu;
e) Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 1998 tentang Pelayanan
Satu Atap di Daerah;
f) Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Apartur Negara Nomor 81 Tahun
1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum;
g) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 503/2931/PUOD perihal
PetunjukTeknis Pelaksanaan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 20
Tahun 1996 tentang Penyusunan Bukuk Petunjuk Pelayanan Perizinan
Terpadu;
h) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 503/125/PUOD perihal
Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Perizinan di Daerah, dan Peraturan
perundang-undangan dan pedonan/ petunjuk lainnya yang dikeluarkan oleh
Pemerintah (Departemen, Kementerian, Badan dan Lembaga yang terkait
dengan peningkatan pelayanan publik).
Memperhatikan peraturan perundang-undangan dan kebijakan dari pemerintah tersebut,
menunjukan arah kebijakan pelayanan publik adalah untuk mewujudkan kepemerintahan yang
baik. Diharapkan dengan kinerja manajemen pelayanan yang baik, dapat memperbaiki dan
meningkatkan pelayanan kualitas layanan. Disamping itu, dapat memperbaiki citra pelayanan
publik yang buruk, memperkuat daya saing daerah, mendorong peningkatan investasi dan
pengembangan perekonomian daerah, serta menciptakan efisiensi dan efektfitas pelayanan
umum. Sehingga pada gilirannya mampu mewujudkan kepemerintahan yang baik dan dpercaya
oleh masyarakat. Kebijakan pemerintah tersebut, mendapat respon positif dari Daerah, dan lebih
100 daerah Kabupaten dan Kota (s/d tahun 2003), telah membentuk Unit Pelayanan Terpadu
(UPT) atau Unit Pelayanan Tepadu Satu Atap (UPTSA) atau Unit Pelayanan Satu Pintu.
Dalam perkembangannya, sebagian besar UPT/UPTSA/Unit Pelayanan Satu Pintu di
daerah, mati suri dan bahkan tidak berfungsi, atau berubah kembali ke kegiatan pelayanan
tradisional yang secara fungsional dilaksanakan oleh masing Dinas/Instansi yang membidangi
pelayanan perizinan dan non perizinan. Kondisi tersebut disebabkan antara lain: memudarnya
komitmen top pimpinan dan jajarannya, kurangnya rasa memiliki dan tanggung jawab bersama
untuk mencapai visi, misi dan tujuan organisasi, dan kuatnya ego atau kepentingan unit
organisasi tertentu untuk mempertahankan kewenangan pemberian izin. Disisi lain, masalah
legalitas organisasi, regulasi dan sumber daya manusia serta dukungan biaya operasional dan
sarana pendukung yang tidak memadai, menjadi faktor penyebab lembaga pelayanan terpadu
dibeberapa daerah tidak berfungsi optimal.
Memperhatikan kondisi tersebut diatas, dengan semangat reformasi dan upaya
melaksanakan kepemerintahan yang baik (good governance), serta untuk mengerakkan kembali
semangat memperbaiki dan meningkatkan kinerja pelayanan umum, khususnya pelayanan
perizinan, pemerintah memperbaharui kebijakan di bidang pelayanan umum, dengan
mengeluarkan berbagai peraturan perundangan dan pedoman antara lain:
1) Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan
Korupsi.
2) Keputusan MENPAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik;
3) Keputusan MENPAN Nomor KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum
Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Instansi Pelayanan Pemerintah;
4) Keputusan MENPAN Nomor KEP/26/M.PAN/2004 tentang Petunjuk Teknis
Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaran Pelayanan Publik;
5) Peraturan MENPAN Nomor PER/20/M.PAN/04/2006 tentang Pedoman
Penyusunan Standar Pelayanan Publik;
6) Peraturan MENDAGRI Nomor 24 Tahu 2006 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
Paradigma Kebijakan Pelayanan Publik di
Era Otonomi Daerah Konsepsi Kebijakan
Otonomi Daerah
Kebijakan desentralisasi pada hakekatnya memiliki tujuan utama, yaitu tujuan politik dan
tujuan administratif. Tujuan politik, diarahkan untuk memberi ruang gerak masyarakat dalam
tataran pemgembangan partisipasi, akuntabilitas, transparansi dan demokrasi. Disisi lain dari
pendekatan aspek pemdemokrasian daerah, memposisikan Pemerintahan Daerah sebagai
medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal. Diharapkan pada saatnya, secara
agregat daerah memberikan kontribusi signifikan tehadap perkembangan pendidikan politik
secara nasional, dan terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan administratif, memposisikan
Pemerintah Daerah sebagai unit pelayanan yang dekat dengan masyarakat yang diharapkan dapat
berfungsi maksimal dalam menyediakan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
Berdasarkan tujuan politik dan administratif tersebut diatas, menjadi jelas bahwa misi
utama dari keberadaan Pemerintahan Daerah, adalah bagaimana mensejahterakan warga dan
masyarakatnya melalui penyediaan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis,
dengan cara-cara yang demokratis.
Konsep kebijakan pemberian otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab pada dasarnya
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Melalui peningkatan
pelayanan publik dan pemberdayaan peran serta masyarakat, daerah diharapkan mampu
mengembangkan kreativitas, inovasi, dan dengan komitmennya berupaya untuk meningkatkan
kualitas pelayanan publik. Pada pada saatnya, daerah diharapkan mampu mengembangkan
potensi unggulannya dan mendorong peningkatan daya saing daerah, dan pada gilirannya mampu
meningkatkan perkonomian daerah.
Prinsip otonomi yang nyata, adalah memberikan diskresi atau keleluasaan kepada daerah
untuk menyelenggarakan urusan atau kewenangan bidang pemerintahan tertentu yang secara
nyata ada dan diperlukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan urusan yang secara nyata
hidup dan berkembang, di masyarakat daerah yang bersangkutan. Prinsip otonomi yang
bertanggung jawab, berkaitan dengan tugas, fungsi, tanggungjawab dan kewajiban daerah di
dalam pelaksanaan penyelenggaraan otonomi daerah. Artinya Pemerintahan Daerah harus
mempertanggung-jawabkan hak dan kewajibannya kepada masyarakat atas pencapaian tujuan
otonomi daerah. Wujud tanggung jawab tersebut harus tercermin dan dibuktikan dengan
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik berdasarkan prinsip-
prinsip pelayanan publik, pengembangan demokrasi, keadilan dan pemerataan bagi masyarakat
daerahnya.
Otonomi daerah yang luas, tidak bermakna bahwa daerah semena-mena atau sebebas-
bebasnya melakukan tindakan dan perbuatan hukum berdasarkan selera, keinginan yang
mengedepankan ego daerah. Penyelenggaraan otonomi yang luas, harus sejalan, selaras dan
dilaksanakan bersama-sama dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, dan
memperhatikan keserasian hubungan antar pemerintahan daerah dan pemerintah nasional.
Konsep otonomi daerah yang luas inilah yang pada umumnya belum dipahami secara utuh di
daerah.
Konsepsi Kebijakan Pelayanan Publik di Era Otonomi
Daerah
Paradigma kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah yang diatur melalui berbagai
macam peraturan perundang-undangan, hakekatnya untuk mewujudkan kepemerintahan yang
baik. Konsep pemberian otonomi kepada daerah dan konsep desentralisasi yang telah diuraikan
diatas, mengandung pemahaman bahwa kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah,
adalah dalam kerangka terselenggaranya kepemerintahan yang baik. Perwujudannya, adalah
tanggung jawab dan kewajiban daerah untuk meningkatkan pelayanan publik guna
mensejahterakan masyarakat di daerahnya.
Otonomi daerah adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat…”. Daerah
otonom selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-
batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
NKRI.
Definisi tersebut dapat diartikan, bahwa otonomi daerah sebenarnya diberikan kepada
kesatuan masyarakat hukum untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan guna
kepentingan mensejahterakan masyarakatnya sendiri. Pengertian kesatuan masyarakat hukum
dapat diartikan, sekelompok masyarakat yang melembaga yang memiliki tatanan hubungan,
aturan, adat istiadat, kebiasaan dan tata cara untuk mengatur dan mengurus kehidupannya dalam
batas wilayah tertentu. Dalam kontek Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, yang diberi hak,wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas-batas wilayah dan selanjutnya disebut Daerah.
Dengan demikian, penyelenggara otonomi daerah sebenarnya adalah perwujudan dari
kesatuan masyarakat hukum, dan selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 32/2004 disebut
Pemerintahan Daerah. Pemerintahan Daerah. Disini, mengandung dua pengertian; yaitu dalam
arti institusi adalah Pemerintah Daerah dan DPRD, dan dalam arti proses adalah kegiatan
penyelenggaran pemerintahan daerah.
Pemerintah Daerah dan DPRD adalah penanggung jawab peyelenggaraan urusan
pemerintahan daerah, dalam pelaksanaannya sesuai dengan fungsinya seharusnya berorientasi
dan/atau didasarkan pendekatan kesejahteraan, untuk memberikan pelayanan yang prima sesuai
dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat.
Konsep otonomi daerah telah membuka sekat komunikasi, transparansi, akuntabilitas dan
persamaan hak masyarakat di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah. Artinya
otonomi daerah, memberikan dan membuka kesempatan luas kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan semakin memahami hak-
haknya mendapatkan pelayanan dari pemerintah daerah. Otonomi daerah juga, membuka
kesempatan kepada kaum perempuan (pengarusutamaan gender) untuk berperan di dalam
birokrasi pemerintahan dan mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan.
Masyarakat semakin kritis dan berani untuk menyampaikan aspirasi dan melakukan
kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah daerahnya. Harus diakui, pelaksanaan
otonomi daerah, dengan kekurangan dan kelebihannya berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat, terutama dalam proses memberdayakan masyarakat (empowering) dan memberikan
pendidikan politik (demokrasi).
Dilihat dari tujuan pemberian otonomi, kondisi dan perkembangan masyarakat yang
dinamis tersebut, memberikan sinyal peringatan bagi pemerintah daerah, dan merupakan
tantangan tersendiri yang harus disikapi positif oleh para pemimpin/pengambil kebijakan dan
jajaran aparat penyelenggara pelayanan publik. Konsep kebijakan pelayanan publik yang
dikemas melalui produk hukum dan/atau kebijakan daerah, umumnya masih didasarkan pada
pendekatan kekuasaan atau kewenangan (rule government) yang lebih mengedepankan
kepentingan pemerintah daerah dan/atau birokrasi, dan kurang berorientasi pada kepentingan dan
kebutuhan yang diharapkan masyarakat. Konsep kebijakan pelayanan publik apakah berorientasi
pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat (pelanggan) atau berorientasi pada kepentingan
pemerintah daerah dan/atau aparat birokrasi (PAD = pendapatan asli daerah atau pendapatan diri
sendiri) sangat dipengaruhi dan tergantung dari konsep manajemen pemerintahan yang
digunakan. Penggunaan manajemen pemerintahan by kekuasaan atau kewenangan dan
pendekatan pangreh praja (kebiasaan dilayani, memerintah dan menyalahkan) seharusnya sudah
ditinggalkan.
Konsep kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah yang berorientasi pelayanan,
pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (pelanggan) dan
memberdayakan (empowerment) staf penyelenggara pelayanan dan masyarakat. Oleh karena itu,
bobot orientasi pelayanan publik, seharusnya untuk kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang
kurang mampu atau miskin, Apapun alasannya, tidak seharusnya pelayanan mengutamakan hak-
hak atau kepentingan kalangan yang berkemampuan atau pengusaha. Diperlukan keseimbangan
pola pikir dari para penyelenggara pelayanan di dalam menyikapi kondisi nyata di daerah.
Konsep Pembagian Urusan dan Kewenangan Pelayanan Dasar
Esensi dasar dari keberadaan pemerintah, adalah untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban
(maintain law and order) serta sebagai instrumen untuk mensejahterakan rakyat. Dalam kaitan
dengan Pemerintah Daerah (Pemda), mengindikasikan bahwa adanya Pemda adalah untuk
mensejahterakan masyarakatnya yang secara universal diukur dengan kemampuan untuk
meningkatkan pencapaian indeks pembangunan manusia (Human Development Index/HDI).
Indikator HDI, diantaranya dapat diketahui dari keadaan dan kondisi kesehatan, pendidikan,
pendapatan masyarakat, kondisi lingkungan dan lainnya.
Untuk mencapai indeks HDI yang lebih tinggi ; Kata kuncinya adalah “pelayanan publik”
(public services), yaitu sejauhmana kemampuan Pemda untuk memberikan pelayanan publik
yang optimal kepada masyarakatnya. Pelayanan publik seyogyanya sesuai dengan kebutuhan
masyarakatnya.
Konsekuensi pemberian urusan dan kewenangan
Keberadaan Pemda adalah untuk menciptakan keterntraman dan ketertiban (maintain law
and order) serta sebagai instrumen untuk mensejahterakan rakyat. Dengan demikian,
konsekuensi keberadaan Pemerintahan Daerah adalah untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan keberagaman daerah. Konsekuensi dari
keberagaman daerah, adalah bahwa urusan yang dilimpahkan berbeda atau tidak sama persis
antara satu daerah dengan daerah yang lain. Seharusnya urusan yang dilimpahkan disesuaikan
dengan perbedaan karakter geografis, potensi, keunikan sosial budaya dan mata pencaharian
utama penduduknya.
Dengan demikian, jenis dan jumlah urusan dan kewenangan yang diserahkan kepada
daerah seharusnya beragam atau tidak sama. Namun demikian, ada urusan yang sama dan mutlak
harus diselenggarakan oleh semua daerah Kabupaten/Kota, yaitu urusan atau kewenangan wajib
di bidang pelayanan dasar yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat (basic need), dengan
gradasi yang berbeda. Sedangkan yang membedakan jumlah dan jenis urusan dan kewenangan
antara satu daerah dengan daerah lainnya adalah urusan dan kewenangan pilihan yang menjadi
unggulan daerah (core competence).
Pemberian otonomi daerah, selain menimbulkan konsekuensi adanya perbedaaan jumlah
dan jenis urusan pilihan antara satu daerah dengan daerah yang lainnya, juga menimbulkan
konsekuensi bagi daerah untuk berusaha bagaimana dapat menghidupi kegiatan
pemerintahannya. Ironisnya, konsekuensi tersebut dibebankan kepada masyarakat, dengan
berbagai kebijakan pajak, retribusi dan pungutan lainnya, seperti biaya pembuatan KTP, Kartu
Keluarga, dan biaya perizinan dan non perizinan yang hakekatnya tidak berkait dengan prinsip
pengenaan retribusi. Seharusnya, daerah dituntut mengembangkan kreativitas, inovasi untuk
menciptakan peluang untuk mengembangkan potensi sumber daya manusia dan daerahnya,
dengan membuat kebijakan-kebijakan yang memberi peluang kepada masyarakat untuk berperan
sebagai subjek pembangunan, mengembangkan dan mengelola potensi daerahnya, serta
meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan. Contoh; Kabupaten Jembrana dan Sragen,
dengan keterbatasan potensi sumber daya alam dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang
relative rendah, mengembangkan kreativitas dan inovasi, melalui berbagai kebijakannya mampu
meningkatkan kinerja manajemen pemerintahannya yang efesien dan efektif. Kebijakan dan
inovasi tersebut, memberikan peluang kepada masyarakat kurang mampu/miskin untuk
mendapatkan kesempatan meningkatkan kesejahteraannya, melalui kebijakan pendidikan,
kesehatan dan kesempatan berusaha.
Pelayanan yang dibutuhkan Masyarakat
Pada dasarnya kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dapat
dikelompokkan kedalam dua hal: (a) Kebutuhan dasar (basic needs) seperti kesehatan,
pendidikan, air, lingkungan, keamanan, sarana dan prasarana perhubungan dan sebagainya; (b)
Kebutuhan pengembangan sektor unggulan (core competence) masyarakat seperti pertanian,
perkebunan, perdagangan, industri dan sebagainya, sesuai dengan potensi dan karakter
daerahnya masing-masing.
Dalam konteks otonomi, daerah harus mempunyai kewenangan untuk mengatur dan
mengurus urusan-urusan yang berkaitan dengan kedua kelompok kebutuhan diatas. Kebutuhan
dasar (basic needs) adalah hampir sama di seluruh daerah otonom di Indonesia, hanya gradasi
kebutuhannya saja yang berbeda. Sedangkan kebutuhan pengembangan sektor unggulan dan
penduduk, sangat erat kaitannya dengan potensi, karakter, pola pemanfaatan dan mata
pencaharian penduduknya. Dengan demikian, yang membedakan jumlah, jenis urusan dan
kewenangan antara daerah adalah, urusan pilihan yang berkaitan kewenangan pengembangan
sektor unggulan.
Esensi pemberian urusan dan kewenangan
Dari uraian diatas, terlihat bahwa esensi dari pemberian urusan dan kewenangan
pemerintahan kepada daerah, berapapun luasnya, harus diterjemahkan menjadi kewenangan
untuk “melayani” sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan kebutuhan masyarakat
adalah pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) dan kebutuhan pengembanan sector unggulan
(core competence). Kewenangan dibutuhkan daerah untuk menjalankan urusannya, guna
memungkinkan daerah mampu menyediakan pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar dan
pengembangan sektor unggulan. Dengan demikian, esensi otonomi riil yang diberikan kepada
daerah adalah, kewenangan untuk memberikan pelayanan yang riil dibutuhkan masyarakat. Kata
kunci otonomi daerah adalah adanya Kewenangan Daerah untuk “melayani” masyarakatnya
agar sejahtera.
Distribusi Urusan dan Kewenangan
Menjadi persoalan krusial bagaimana mendistribusikan Urusan dan Kewenangan. Urusan
dan Kewenangan ibarat mata uang logam yang memiliki dua sisi berbeda dan tidak dapat
dipisahkan di dalam pelaksanannya, artinya ada urusan tapi tidak punya kewenangan dan atau
sebaliknya, sama dengan tidak memiliki urusan dan kewenangan.
Distribusi urusan dan kewenangan kepada masing-masing pemerintahan yang ada yaitu:
Pusat, Provinsi, Kabupaten dan Kota, pada hakekatnya untuk menjamin keberlangsungan
pemberian pelayanan publik. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, dalam kontek pemberian
otonomi dan desentralisasi, esesensi distribusi urusan dan kewenangan adalah membagi
tanggung jawab pelayanan kepada masyarakat di daerah sesuai dengan susunan pemerintahan.
Artinya ada bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota atau kewenangan bersama (concurrent), dan ada yang menjadi
kewenangan mutlak Pemerintah. Kabupaten dan Kota, pada dasarnya hanya memiliki
kewenangan yang terbatas dan berskala lokalitas sesuai batasan dampak eksternalitas dan
tanggungjawabnya, seperti; penyediaan air minum, kebersihan, pertamanan, pemakaman, saluran
limbah (sewage) dan pemadam kebakaran.
Urusan-urusan yang menjadi kewenangan bersama (concurrent function) adalah urusan
yang memiliki keterkaitan langsung antar susunan pemerintahan dan/atau urusan yang menjadi
kewenangan bersama antar susunan pemerintahan yang pengaturan dan pengurusannya
dilakukan bersama. Pengaturan dan pengurusan urusan tersebut, sesuai dengan pembagiannya,
seperti dibidang; pendidikan, kesehatan, perhubungan, kehutanan, pertambangan,
ketenagakerjaan, penanaman modal dan seterusnya.
Untuk mengatur distribusi kewenangan tersebut, diperlukan ukuran atau kriteria yang
dapat dijadikan dasar dan pedoman pembagian kewenangan, terutama kriteria untuk mengatur
kewenangan yang bersifat concurrent, yaitu: (1) Externalitas. Siapa yang terkena dampak
(externalitas) langsung, dialah yang berwenang mengurus, contohnya seperti; air minum,
sampah, pertamanan, dampaknya lokalitas dan menjadi urusan, kewenangan dan tanggung jawab
daerah Kabupaten/Kota; (2) Akuntabilitas. Unit pemerintahan yang menangani urusan yang
paling dekat dampaknya dengan masyarakat, akaan lebih akuntabel daripada urusan tersebut
ditangani oleh unit pemerintahan yang lebih tinggi atau jauh dari masyarakat; (3) Efisiensi,
prinsip pemberian urusan dan kewenangan adalah untuk menciptakan efisiensi, efektifitas dan
ekonomis dalam penyelenggaraan pelayanan. Diperlukan kesesuaian antara skala ekonomis
dengan cakupa area layanan (catchment area), kalau cakupan layanannya lokalitas menjadi
urusan daerah kalau cakupan layanannya lebih luas (regional) menjadi urusan Provinsi seperti;
pengelolaan aliran sungai; kehutanan dan lainnya. (4) Keserasian hubungan pemerintahan antar
susunan pemerintahan. Terdapat hubungan antar kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi dan
Kabupaten dan Kota yang bersifat interelasi, interkoneksi serta interdependensi, namun tidak ada
hierarkhi.
Kewenangan dari masing-masing susunan pemerintahan berhubungan dan saling
tergantung, namun tidak membawahi satu dengan yang lain. Dalam melaksanakan
kewenangannya, masing-masing memiliki diskresi dan independensi. Intervensi dari Pemerintah
Pusat lebih bersifat fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas (capacity building) manakala daerah
tidak mampu melaksanakan kewenangannya sesuai norma dan standar yang ditetapkan.
Setiap bidang kewenangan concurrent yang menjadi domain dari suatu susunan
pemerintahan tidak bisa berdiri sendiri atau terlepas satu dengan lainnya, oleh karenanya dalam
pelaksanaannya harus saling mengisi dan menunjang agar dicapai keserasian hubungan antar
susuna pemerintahan, dalam kerangka ikatan NKRI. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah menetapkan distribusi urusan kewenangan berdasarkan keempat
kriteria tersebut diatas, dan diatur dalam pasal 13 dan 14 yang dikenal dengan urusan pelayanan
dasar yang wajib dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK
Pelayanan Publik
Pelayanan Umum menurut Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan: “Sebagai segala
bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintahan di Pusat dan
Daerah, dan di lingkungan BUMN/BUMD dalam bentuk barang dan/atau jasa, baik dalam
pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangkat pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan”.
Departemen Dalam Negeri (Pengembangan Kelembagaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, 2004)
menyebutkan bahwa; “Pelayanan Publik adalah Pelayanan Umum”, dan mendefinisikan
“Pelayanan Umum adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu
yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal tercipta kepuasan dan keberhasilan.
Setiap pelayanan menghasilkan produk, baik berupa barang dan jasa”.
Black (1979) mendefinisikan Pelayanan Publik sebagai berikut “Something in which the public,
the community at large, has some pecuniary interest, or some interest by which their legalrights
or liabilities are affected. It does not mean anything so narrow as mere, or as the interest of
particular localities”. Sedangkan Davit Mc Kevitt; dalam bukunya Managing Core Public
Services (1998), membahas secara spesifik mengenai inti pelayanan publik yang menjadi tugas
pemerintah dan pemerintah daerah, menyatakan bahwa “Core Public Services my be defined as
those sevices which are important for the protection and promotion of citizen well-being, but are
in areas where the market is incapable of reaching or even approaching a socially optimal state;
heatlh, education, welfare and security provide the most obvious best know example”.
Dari beberapa pengertian pelayanan dan pelayanan publik yang diuraikan tersebut, dalam kontek
pemerintah daerah, pelayanan publik dapat disimpulkan sebagai pemberian layanan atau
melayani keperluan orang atau masyarakat dan/atau organisasi lain yang mempunyai
kepentingan pada organisasi itu, sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditentukan dan
ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada penerima pelayanan.
Dengan demikian, terdapat 3 unsur penting dalam pelayanan publik, yaitu unsur pertama,
adalah organisasi pemberi (penyelenggara) pelayanan yaitu Pemerintah Daerah, unsur kedua,
adalah penerima layanan (pelanggan) yaitu orang atau masyarakat atau organisasi yang
berkepentingan, dan unsur ketiga, adalah kepuasan yang diberikan dan/atau diterima oleh
penerima layanan (pelanggan).
Unsur pertama menunjukkan bahwa pemerintah daerah memiliki posisi kuat sebagai
(regulator) dan sebagai pemegang monopoli layanan, dan menjadikan Pemda bersikap statis
dalam memberikan layanan, karena layanannya memang dibutuhkan atau diperlukan oleh orang
atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan. Posisi ganda inilah yang menjadi salah
satu faktor penyebab buruknya pelayanan publik yang dilakukan pemerintah daerah, karena akan
sulit untuk memilah antara kepentingan menjalankan fungsi regulator dan melaksanakan fungsi
meningkatkan pelayanan.
Unsur kedua, adalah orang, masyarakat atau organisasi yang berkepentingan atau
memerlukan layanan (penerima layanan), pada dasarnya tidak memiliki daya tawar atau tidak
dalam posisi yang setara untuk menerima layanan, sehingga tidak memiliki akses untuk
mendapatkan pelayanan yang baik. Posisi inilah yang mendorong terjadinya komunikasi dua
arah untuk melakukan KKN dan memperburuk citra pelayanan dengan mewabahnya Pungli, dan
ironisnya dianggap saling menguntungkan.
Unsur ketiga, adalah kepuasan pelanggan menerima pelayanan, unsur kepuasan
pelanggan menjadi perhatian penyelenggara pelayanan (Pemerintah), untuk menetapkan arah
kebijakan pelayanan publik yang berorienntasi untuk memuaskan pelanggan, dan dilakukan
melalui upaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan daerah.
Paradigma kebijakan publik di era otonomi daerah yang berorientasi pada kepuasan
pelanggan, memberikan arah untuk dilakukannya perubahan pola pikir aparatur pemerintah
daerah, di dalam menyikapi perubahan dan/atau pergeseran paridgma penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang lebih berorientasi pelayanan. Kebijakan penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang semula didasarkan pada paradigma rule government yang
mengedepankan prosedur, berubah dan/atau bergeser menjadi paradigma good governance yang
mengedepankan kebersamaan, transparansi, akuntabilitas, keadilan, kesetaraan dan kepastian
hukum.
Dengan demikian, pemerintah daerah dalam menjalankan monopoli pelayanan publik,
sebagai regulator (rule government) harus mengubah pola pikir dan kinerja penyelenggaranya,
disesuaikan dengan tujuan pemberian otonomi daerah, yaitu memberikan dan meningkatkan
pelayanan yang memuaskan masyarakat. Untuk terwujudnya good governance, dalam
menjalankan pelayanan publik, Pemerintah Daerah juga harus memberikan kesempatan luas
kepada warga dan masyarakat, mendapatkan akses pelayanan publik, berdasarkan prinsip-prinsip
kesetaraan, transparansi, akuntabilitas, keadilan dan kepastian hukum.
Konsepsi Pelayanan Publik
Konsepsi pelayanan publik, berhubungan dengan bagaimana meningkatkan kapasitas dan
kemampuan pemerintah dan/atau pemerintahan daerah menjalankan fungsi pelayanan, dalam
kontek pendekatan ekonomi, menyediakan kebutuhan pokok (dasar) bagi seluruh masyarakat.
Kebutuhan pokok masyarakat akan terus berkembang seiring dengan tingkat perkembangan
sosio-ekonomi masyarakat. Artinya, pada tingkat perkembangan tertentu, sesuatu jenis barang
dan jasa yang sebelumnya dianggap sebagai barang mewah, dan terbatas kepemilikannya atau
tidak menjadi kebutuhan pokok, dapat berubah menjadi barang pokok yang diperlukan bagi
sebagian besar masyarakat.
Dengan demikian, perubahan dan perkembangan konsep kebutuhan pokok masyarakat,
terkait erat dengan tingkat perkembangan sosial-ekonomi masyarakat yang dipengaruhi oleh
pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, serta perubahan politik.
Hasil pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi erat kaitannya dengan partisipasi
masyarakat yang mendorong perhumbuhan tersebut, dan harus didistribusikan dan dialokasikan
secara adil dan merata kepada setiap anggota masyarakat sesuai dengan kebutuhannya.
Pengaturan distribusi dan alokasi tersebut, sesuai dengan fungsinya dijalankan oleh birokrasi
lembaga-lembaga pemerintahan dan /atau pemerintahan daerah, sebagai wujud dari fungsi
pelayanan berdasarkan kepentingan publik yang dilayani.
Penyediaan pelayanan dasar (core public services) dalam kontek pendekatan sosial,
berhubungan dengan penyediaan pelayanan dibidang pendidikan dan kesehatan. Secara
ekonomis, penyediaan pelayanan dasar tersebut tidak memberikan keuntungan finansial atau
PAD kepada Daerah, dan bahkan membutuhkan biaya dalam jumlah yang besar untuk
menyediakan pelayanan pendidikan dan kesehatan. Penyediaan pelayanan pendidikan dan
kesehatan harus dilihat sebagai investasi jangka panjang yang harus disikapi secara bijak dengan
pandangan dan pemikiran jauh kedepan, karena hasilnya baru akan dinikmati oleh masyarakat
dan pemerintah/pemerintah daerah dimas mendatang. Kebijakan penyediaan pelayanan dasar di
bidang pendidikan dan kesehatan, pada hakekatnya menjadi tugas dan kewajiban pemerintah dan
pemerintah daerah, untuk mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana diamanatkan dalam
pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Secara teoritik, Birokrasi Pemerintahan memiliki tiga fungsi utama, yaitu; fungsi
pelayanan, fungsi pembangunan dan fungsi pemerintahan umum.
a. Fungsi pelayanan, berhubungan dengan unit organisasi pemerintahan yang
berhubungan langsung dengan masyarakat. Fungsi utamanya, memberikan
pelayanan (service) langsung kepada masyarakat.
b. Fungsi pembangunan, berhubungan dengan unit oganisasi pemerintahan yang
menjalankan salah satu bidang tugas tertentu disektor pembangunan. Fungsi
pokoknya adalah development function dan adaptive function.
c. Fungsi pemerintahan umum, berhubungan dengan rangkaian kegiatan organisasi
pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum (regulasi),
temasuk di dalamnya menciptakan dan memelihara ketentraman dan ketertiban.
Fungsinya lebih dekat pada fungsi pengaturan (regulation function).
Ketiga fungsi birokrasi pemerintahan tersebut, menunjukan bahwa pelayanan publik yang
dilaksanakan oleh pemerintahan daerah, cakupannya sangat luas yaitu pelayanan yang
menghasilkan public good, seperti jalan, jembatan, pasar dan lain-lain, dan pelayanan yang
menghasilkan peraturan perundang-undangan atau kebijakan (fungsi regulasi), yang harus
dipatuhi oleh masyarakat seperti perizinan, KTP, SIM, IMB, dan lain-lain.
Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Penyelengaraan pelayanan publik, dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik, yaitu;
penyelenggara Negara/pemerintah, penyelenggara perekonomian dan pembangunan, lembaga
independen yang dibentuk oleh pemerintah, badan usaha/badan hukum yang diberi wewenang
melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pelayanan publik, badan usaha/badan hukum yang
bekerjasama dan/atau dikontrak untuk melaksanakan sebagaian tugas dan fungsi pelayanan
publik. Dan masyarakat umum atau swasta yang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi
pelayanan publik yang tidak mampu disediakan oleh pemerintah/ pemerintah daerah.
Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Sepuluh Prinsip pelayanan umum diatur dalam Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan
Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan Publik, kesepuluh prinsip tersebut adalah sebagai berikut; Kesederhanaan;
Kejelasan ;Kepastian waktu; Keamanan; Tanggung jawab; Kelengkapan sarana dan prasarana
kerja, peralatan kerja dan pendukung; Kemudahan Akses; Kedisiplinan, Kesopanan dan
Keramahan; Kenyamanan.
Standar Pelayanan Publik
a. Setiap Penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan, sebagai
jaminan adanya kepastian bagi pemberi didalam pelaksanaan tugas dan fungsinya
dan bagi penerima pelayanan dalam proses pengajuan permohonannya. Standar
pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan
publik sebagai pedoman yang wajib ditaati dan dilaksanakan oleh penyelenggara
pelayanan, dan menjadi pedoman bagi penerima pelayanan dalam proses pengajuan
permohonan, serta sebagai alat control masyarakat dan/atau penerima layanan atas
kinerja penyelenggara pelayanan.
Oleh karena itu perlu disusun dan ditetapkan standar pelayanan sesuai dengan sifat,
jenis dan karakteristik layanan yang diselenggarakan, serta memperhatikan
kebutuhan dan kondisi lingkungan.
Dalam proses perumusan dan penyusunannya melibatkan masyarakat dan/atau
stakeholder lainnya (termasuk aparat birokrasi) untuk mendapatkan saran dan
masukan, membangun kepedulian dan komitmen meningkatkan kualitas pelayanan.
b. Standar Pelayanan Publik menurut Keputusan Menteri PAN nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003, sekurang-kurangnya meliputi:
1) Prosedur pelayanan;
2) Waktu Penyelesaian;
3) Biaya Pelayanan;
4) Produk Pelayanan;
5) Sarana dan Prasarana;
6) Kompetensi petugas pelayanan;
Selanjutnya untuk melengkapi standar pelayanan tersebut diatas, ditambahkan materi
muatan yang dikutip dari rancangan Undang-Undang tentang Pelayanan Publik, karena
dianggap cukup realistis untuk menjadi materi muatan Standar Pelayanan Publik,
sehingga susunannya menjadi sebagai berikut;
a. Dasar Hukum
b. Persyaratan;
c. Prosedur pelayanan;
d. Waktu Penyelesaian;
e. Biaya Pelayanan;
f. Produk Pelayanan;
g. Sarana dan Prasarana;
h. Kompetensi petugas pelayanan;
i. Pengawasan intern;
j. Pengawasan extern;
k. Penanganan Pengaduan, saran dan masukan;
l. Jaminan pelayanan.
Tambahan materi muatan standar pelayanan publik tersebut diatas dimaksudkan untuk
melengkapi, pertimbangannya cukup realiistis dengan memasukan materi muatan dasar hukum
dapat memberikan kepastian adanya jaminan hukum/legalitas standar pelayanan tersebut.
Disamping itu, persyaratan, pengawasan, penanganan pengaduan dan jaminan pelayanan bagi
pelanggan perlu dijadikan materi muatan standar pelayanan publik.
Penyusunan standar pelayanan publik harus disusun dengan baik dan tidak rumit, untuk
itu harus mempertimbangkan aspek; kemampuan, kelembagaan dan aparat penyelenggara
pelayanan, serta potensi daerah dan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat. Dengan
demikian, standar pelayanan publik yang ditetapkan dapat dilaksanakan dengan baik, terutama
oleh para pelaksana operasional pelayanan yang berhadapan langsung dengan masyarakat, serta
mudah dimengerti dan diterima oleh masyarakat/stakeholder.
Dalam pembahasan, perumusan dan penyusunan standar pelayanan seharusnya
melibatkan aparat yang terkait dengan pelayanan, untuk tujuan membangun komitmen bersama
tercapainya tujuan yang ditetapkan dalam visi, misi organisasi. Tidak kalah pentingnya dalam
proses perumusan dan pembahasannya, melibatkan masyarakat/stakeholder, dan dilakukan tidak
bersifat formalitas
Maklumat Pelayanan Publik
Istilah maklumat pelayanan, dimaksudkan memiliki kesamaan dengan istilah Service
Charter, merupakan suatu dokumen yang memuat dan menjelaskan informasi mengenai
penyelenggaran pelayanan publik dan standar pelayanan publik yang dilaksanakan oleh
penyelenggara pelayanan publik, untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat.
Maklumat pelayanan juga sebagai salah satu cara pendekatan dalam penyelenggaraan pelayanan
yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, yang ditujukan untuk memuaskan pelanggan
atau penerima jasa pelayanan.
Maklumat pelayanan, pada dasarnya untuk mengikat penyelenggara pelayanan, dan
menjadi patokan atau pedoman bagi aparat penyelenggara pelayanan publik di dalam
menjalankan tugas dan fungsi menyediakan dan melaksanakan pelayanan kepada masyarakat.
Penyelenggara terikat dengan ketentuan dalam maklumat, seperti; disiplin dan ketaatan
melaksanakan prosedur operasioanal, menerapkan ketentuan persyaratan, biaya, waktu untuk
proses dan penyelesaian, mekanisme dan proses pengelolaan penyelesaian pengaduan/sengketa,
serta tanggungajawab pelaksanaan pelayanan publik.
Maklumat pelayanan, merupakan bentuk legalitas yang memberikan hak kepada
masyarakat untuk mendapatkan akses mendapatkan pelayanan publik yang sesuai dengan
harapan dan kebutuhannya, perlindungan atau pengayoman, kepastian biaya dan waktu
penyelesaian, mengajukan keluhan dan pengaduan dan melakukan pengawasan.
Maklumat pelayanan publik, merupakan salah satu wujud kesungguhan penyelenggara
pelayanan publik, untuk menerapkan prinsip-prinsip good governance yaitu; transparansi,
akuntabilitas, keterbukaan dan equalitas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya.
Maklumat pelayanan publik harus disebarluaskan secara terbuka kepada seluruh masyarakat, dan
memberikan akses untuk masyarakat menyapaikan keinginan dan sarannya, serta melakukan
pengawasan dan komplain terhadap ketidak sesuaian apa yang dijanjikan dengan praktek
pelaksanaannya.
Perumusan dan penyusunan Maklumat pelayanan publik mengacu pada standar
pelayanan publik yang telah di tetapkan dalam peraturan perundang-undangan, dan dalam
prosesnya harus dilakukan dengan hati-hati, disesuaikan dengan kemampuan kelembagaan,
kualitas dan kuantitas personil pelaksananya, serta dukungan pembiayaaan operasional
pelayanan publik.
Maklumat pelayanan tidak perlu disusun muluk-muluk atau copy paste daerah lain tanpa
pertimbangan kemampuan dan kondisi daerahnya. Maklumat pelayanan publik sebaiknya
dirumuskan dan disusun secara sederhana, tidak menyulitkan tetapi mudah dilaksanakan, dapat
dimengerti oleh aparat pelaksana penyelenggara dan masyarakat penerima pelayanan.
Untuk itu, Pemerintah/Pemerintah Daerah di dalam merumuskan dan menyusun
Maklumat pelayanan publik, dapat mengambil langkah untuk; (1) Melakukan identifikasi dan
analisis data, informasi mengenai jenis pelayanan yang perlu dan/atau seharusnya ditetapkan,
sesuai urusan dan kewenangannnya; (2) Melibatkan masyarakat untuk mendapatkan masukan,
saran, dan informasi jenis pelayanan yang nyata dibutuhkan oleh masyarakat daerahnya, serta
memberikan akses kepada masyarakat dalam proses perumusan dan penyusunan maklumat
pelayanan publik; (3) Mempertimbangkan keberagaman daerah, kondisi geografis, mata
pencaharian penduduk dan kehidupan sosial budaya masyarakat, sebagai bahan kajian dan bahan
perumusan serta penyusunan maklumat pelayanan publik.
Sebagai Contoh; Masyarakat perkotaan dengan non perkotaan (daerah yang luas dengan
persebaran penduduk yang tidak merata) berbeda kebutuhannya untuk megurus izin bangunan,
termasuk untuk memenuhi persyaratan seperti status hak kepemilikan tanah (untuk non
perkotaan mungkin sulit atau jarang yang memiliki surat tanah yang engkap, seperti sertifikat
tanah). Demikian pula, seperti Akte Kelahiran atau bahkan KTP, mungkin untuk daerah
perkotaan sangat dibutuhkan, tetapi untuk masyarakat di desa yang terpencil, atau di kepulaun
yang jarang berhubungan dengan kegiatan keluar desa, mereka merasa tidak memerlukan
dan/atau tidak merasakan manfaatnya untuk apa.
Menganalisis kelembagaan yang ada, kemampuan personil, jumlah personil, kemampuan
anggaran dan lainnya yang diperkirakanan akan mempengaruhi kualitas pelayanan,disiplin aparat
pelaksana untuk tepat waktu dalam proses dan penyelesaian pelayanan. Realistis dalam
merumuskan persyaratan, waktu, biaya, dan lainnya agar memberikan kemungkinan untuk bisa
dilaksanakan dengan baik oleh aparat penyelenggara, mudah dimengerti dan dipahami oleh
masyarakat, dan yang paling penting tidak membebani atau memberatkan masyarakat.
Materi muatan Maklumat Pelayanan Publik, disesuaikan dengan standar pelayanan yang
telah ditetapkan, kondisi dan potensi daerah, beberapa materi muatan yang dapat digunakan
sebagai bahan penyusunan maklumat pelayanan publik, antara lain: (1) Profil Penyelenggara; (2)
Tugas dan wewenang penyelenggara; (3) Siapa yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan
pelayanan; (4) Siapa yang bertanggungjawab dalam memproses dan menyelesaikan pengaduan
dan sengketa pelayanan; (5) Pihak mana saja yang dapat menerima pelayanan; (6) Prosedur dan
proses pemberian layanan (dapat dalam bentuk bagan/alur air); (7) Janji yang diberikan kepada
penerima pelayanan, termasuk di dalamnya seperti; hak masyarakat untuk memperoleh
pelayanan, kemudahan mendapat pelayanan (tidak sulit, tidak dipersulit, tidak berbelit-belit atau
membingungkan pemohon layanan), waktu yang ditetapkan untuk proses dan penyelesaian,
ketepatan waktu menerima produk layanan, biaya pelayanan, prodedur dan biaya peninjauan
lapangan (prakteknya sarat biaya yang dikeluarkan oleh penerima layanan, dan antisipasi
bargaining); (8) Persyaratan yang wajib dipenuhi oleh pemohon layanan (bila perlu dilakukan
penyederhanan atau pemangkasan persyaratan, terutama yang sifatnya yang sifatnya
pendukung); (9) Mekanisme pengajuan pengaduan atau keluhan (lisan tulisan) dari masyarakat,
organisasi masyarakat dan lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pelayanan, pengaduan
atas perilaku penyelenggara dan/atau aparat pelaksana pelayanan (seperti; sikap, sopan santun
dan lainnya, tindakan atau perlakuan diskriminatif, KKN, pungutan liar termasuk yang dilakukan
bekerjasama dengan perantara/calo dan biaya peninjauan lapangan), serta kepastian waktu proses
dan penyelesaian pengaduan dan pemberian informasi kepada pengadu; (10) Mekanisme
penyampaian saran, usulan masukan yang berkaitan dengan kepedulian masyarakat untuk
memperbaiki dan meningkatkan pelayanan; (11) Mekanisme pengawasan internal dan eksternal
terhadap penyelenggaraan pelayanan; (12) Uraian sanksi bagi penyelenggara dan/atau aparat
pelaksana pelayanan; (13) Pernyataan kesediaan penyelenggara untuk terus memperbaiki dan
menyempurnakan maklumat pelayanan berdasarkan masukan dan saran dari masyarakat; dan
(12) Informasi alamat, telefon, fax, email penyelenggara, dalam rangka mengembangkan
komunikasi, tukar informasi dan korespondensi masyarakat atau penerima pelayanan dengan
penyelenggara;
Penutup
Berdasarkan uraian tersebut di atas, bahwa Pemerintah perlu menyusun Standar
Pelayanan bagi setiap institusi di daerah yang bertugas memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Deregulasi dan Debirokratisasi mutlak harus terus menerus dilakukan oleh
Pemerintah/Pemda, serta perlu dilakukan evaluasi secara berkala agar pelayanan publik
senantiasa memuaskan masyarakat. Ada lima cara perbaikan di sektor pelayanan publik yang
patut dipertimbangkan: Mempercepat terbentuknya UU Pelayanan Publik, Pembentukan
pelayanan publik satu atap (one stop services), Transparansi biaya pengurusan pelayanan publik,
Membuat Standar Operasional Prosedur (SOP), dan reformasi pegawai yang berkecimpung di
pelayanan publik.
Pelaksanaan Otonomi Daerah memungkinkan pelaksanaan tugas umum Pemerintahan
dan tugas Pembangunan berjalan lebih efektif dan efisien serta dapat menjadi sarana perekat
Integrasi bangsa. Untuk menjamin agar pelaksanaan otonomi daerah benar-benar mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, maka segenap lapisan masyarakat baik
mahasiswa, LSM, Pers maupun para pengamat harus secara terus menerus memantau kinerja
Pemda dengan mitranya DPRD agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan mereka sendiri,
transparansi, demokratisasi dan akuntabilitas harus menjadi kunci penyelenggaraan
pemerintahan yang Good dan Clean Government.
Pemerintah memang tidak memiliki paradigma yang jelas dalam soal layanan publik dan
mempertahankan birokrasi yang feodal. Transformasi paradigmatik, disain ulang sistem dan
organisasi layanan publik harus dilakukan agar pemerintah menjadi handal melakukan kewajiban
publiknya. Sejatinya, prinsip-prinsip Good Governance dan Reinventing Government harus
menjadi acuan dalam mendesain struktur organisasi di pemerintah daerah. Bila semua daerah
otonom dapat menyelenggarakan pemerintahan secara bersih dan demokratis, maka pemerintah
kita secara nasional pada suatu saat nanti akan dapat menjadi birokrasi yang bersih dan
profesional sehingga mampu menjadi negara besar yang diakui dunia.
Dunia saat ini telah berada dalam era yang disebut globalisasi, kondisi dimana terjadi
perubahan signifikan dalam kehidupan suatu masyarakat yang tidak lagi dapat dibatasi oleh
sekedar batas administrasi kewilayahan, karena pesatnya penemuan-penemuan teknologi.
Globalisasi dipengaruhi oleh inovasi teknologi di satu sisi dan persaingan dalam era perdagangan
bebas di sisi lain”.
Era globalisasi saat ini mengindikasikan bahwa masyarakat dunia pada umumnya telah
memasuki tahapan the age of high mass-consumption atau tingkatan kelima. Kondisi dimana
terjadi pergeseran pada sektor-sektor dominan terhadap kebutuhan barang dan jasa sejalan
dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Sebagian besar masyarakat telah terpenuhi
kebutuhan dasarnya yakni sandang, pangan dan papan serta berubahnya struktur angkatan kerja
yang meningkat tidak hanya proporsi jumlah penduduk perkotaan melainkan juga jumlah
angkatan kerja yang terampil.
Menghadapi kondisi masyarakat tersebut di atas, maka diperlukan peran administrasi
negara dan pemerintahan dalam memberikan pelayanan secara efiktif, efisien dan secara
profesional. Tantangan perubahan masyarakat dan tantangan terhadap kinerja pemerintahan
selain menghadapi masyarakat yang semakin cerdas dan masyarakat yang semakin banyak
tuntutannya/variatif serta memenuhi standar kualitatif sangatlah terbatas, pada akhir kekuasaan
Orde Baru pun, birokrasi pernah dikritik habis-habisan oleh kalangan gerakan pro-reformasi.
“Birokrasi dianggap sebagai salah satu ”penyakit” yang menghambat akselerasi kesejahteraan
masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan yang sehat“. Ungkapan klasik dan kritis seperti
“kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah”, misalnya, berkembang seiring dengan
penampakan kinerja aparatur yang kurang baik di mata masyarakat. Ungkapan itu
menggambarkan betapa buruknya perilaku pelayanan birokrasi kita yang berpotensi
menyuburkan praktik percaloan dan pungutan liar (rent seeking). Kondisi inilah yang sebetulnya
memunculkan iklim investasi di daerah kurang kompetitif. Kondisi pelayanan seperti ini perlu
segera direformasi guna mewujudkan kinerja birokrasi dan kinerja pelayanan publik yang
berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Bacal, Robert, 1999. Performance Management, McGraw – Hill.
BKKSI, 2000. Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Atap, Panduan Praktis.
Buchari Zainun, 1995. Administrasi dan Manajemen Kepegawaian Pemerintah Negara
Indonesia, Gunung Agung, Jakarta.
Connellan, Thomas. K and Ron Zemke, 1993. Sustaining Knock Your Socks Off Service,
Amacom (American Management Association).
Depdagri, 2004. Modul Pengembangan Pelayanan Terpadu Satu Atap. LAN-RI Jakarta.
Gasperz, Vincent, 2006. Total Quality Management (TQM), untuk Praktisi Bisnis dan Industri,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Handoko, Hani T, 1987. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, BPFE, Yogyakarta,
1987.
Hening Widiatmoko, 2007. Pelayanan Publik melalui Pendekatan Sistem
dalam Penerapan Ekologi Administrasi Publik. dari
http://www.yahoo.co.id
Jurnal Desentralisasi, Lembaga Adminisrasi Negara Republik Indonesia, Volume 5 No. 3, Tahun
2004
Jurnal Ilmiah, Admnistrasi Publik, Birokrasi Era Reformasi, Vol. V No 1, September 2004 –
Februari 2005.
Jurnal Ilmu Pemerintahan, Penataan Kelembagaan Pemerintahan, Edisi 7, Tahun 2002,
Penerbit, Masyarakat Ilmu Pemerintahan.
Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 46 A Tahun 2003 Tanggal 21 Nopember
2003 tentang Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan Struktural Pegawai
Negeri Sipil.
Leach, Steve; Stewart, John and Kieron Walsh, 1994. The Changing Organization and
Management of Local Government, McMillan Press Ltd.
Lembaga Adminisrasi Negara Republik Indonesia, 2006. Strategi Peningkatan Kualitas
Pelayanan Publik, Jakarta, LAN.
Lembaga Adminisrasi Negara Republik Indonesia,2005. Penyusunan Standar Operating
Procedure, Jakarta, LAN.
McKevitt, David, 1998. Managing Core Public Services, Blockwell Publisher.
Milakovich Michaele, 1995. Improving Service Quality, St. Lucie Press, Florida.
Muluk, Khairul, 2004. Paradigma Baru Administrasi Publik : Dari "Public
Management" Menuju "Public Governance" Jurnal Vol. V, No. 1,
September 2004-Februari 2005
Osborne David, Ted Gabler, 1996. Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government),
Pustaka Binawan Pressindo.
Osborne, David and Peter Plastrik, 1997. Memangkas Birokrasi, Lima Strategi
Menuju Pemerintahan Wirausaha, Lembaga Manajemen PPM, Jakarta.
Osborne, David and Ted Gaebler, 2000. Mewirausahakan Birokrasi
(Reinventing Government). Lembaga Manajemen PPM, Jakarta.
Pasolong, Harbani, 2007. Teori Administrasi Publik, Penerbit Alfabeta, Bandung.
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Negeri
Sipil (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4019)
Rahardian, A.R. 2007. Silabus Enterpreneurship dan Etika Birokrasi, 26
Januari 2007.
Robert, Heller, 2002. Effective Leadership, Dian Rakyat, Jakarta.
Robert, Heller, 2006. Managing People, Dian Rakyat, Jakarta.
Sentana Aso, 2006. Exelent Service & Customer Satisfication, Elex Media Komputindo, Jakarta.
Sidin, 2002. Menuju Pembaharuan Birokrasi pemerintahan, Kupang Pos edisi
Kamis 3/10/2002.
Siswadi, Edi, 2005. Pikiran Rakyat Bandung. Edisi Kamis 22 Maret 2005.
Sunarno, 2008. Reformasi Birokrasi, 5 Maret 2008. dari
http://www.google.co.id.
Tri Widodo W. Utomo, internet, Reinventing Government dan Semangat
Kewirausahaan sektor publik. dari: http://www.apa.org/kurdek.html
Undang-Undang Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam
Jabatan Struktural (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 197, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4018) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13
Tahun 2002 (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4194)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041) sebagaimana diubah
dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890).