PEMANFAATAN DAUN KELOR (Moringa oleifera) GUNA MENINGKATKAN LIBIDO DAN KUALITAS SEMEN
PEJANTAN SAPI BALI
UTILIZATION OF MORINGA OLEIFERA LEAF FOR IMPROVING LIBIDO AND SEMEN QUALITY
OF BALI BULLS
NURSYAM ANDI SYARIFUDDIN
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
i
PEMANFAATAN DAUN KELOR (Moringa oleifera) GUNA MENINGKATKAN LIBIDO DAN KUALITAS SEMEN
PEJANTAN SAPI BALI
Disertasi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Doktor
Program Studi
Ilmu Pertanian
Disusun dan diajukan oleh
NURSYAM ANDI SYARIFUDDIN
kepada
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
ii
DISERTASI
PEMANFAATAN DAUN KELOR (Moringa oleifera) GUNA MENINGKATKAN LIBIDO DAN KUALITAS SEMEN
PEJANTAN SAPI BALI
Disusun dan diajukan oleh
NURSYAM ANDI SYARIFUDDIN
Nomor Pokok P0100313404
telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Disertasi
pada tanggal 15 Januari 2018
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui
Komisi Penasehat,
Prof. Dr. Ir. H. Abd. Latief Toleng, M.Sc.
Promotor
Prof. Dr. Ir.Djoni Prawira Rahardja, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Ismartoyo, M.Agr.S.
Kopromotor Kopromotor
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pertanian, Universitas Hasanuddin,
Prof. Dr. Ir. Darmawan Salman, M.S. Prof. Dr. Muhammad Ali, S.E, M.S.
iii
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : NURSYAM ANDI SYARIFUDDIN Nomor Mahasiswa : P0100313404 Program Studi : Ilmu Pertanian
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbuki atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan disertasi ini hasil karya orang lain saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut. Makassar, 15 Januari 2018 Yang menyatakan, Nursyam Andi Syarifuddin
iv
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
limpahan rahmat kesehatan, kekuatan, dan petunjuk-Nya sehingga
disertasi ini dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan banyak
terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. H. Abd Latief Toleng, M.Sc selaku Promotor, Prof. Dr. Ir.
Djoni Prawira Rahardja, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Ismartoyo, M.Agr.S
masing selaku Kopromotor atas bimbingan, petunjuk dan arahannya,
selama pendidikan hingga penyelesaian studi.
2. Prof. Dr. Ir. H. Herry Sonjaya, DEA, Prof. Dr. Ir. H. Syamsuddin Hasan,
M.Sc, Prof. Dr. Ir. Asmuddin Natsir, M.Sc, Prof. Dr. Muhammad Yusuf,
S.Pt selaku tim penguji internal serta Dr. Ir. Abd. Muas, M.Si selaku
penguji eksternal, yang telah banyak meluangkan waktu untuk
memberikan arahan, saran, dan koreksi guna penyempurnaan dan
dalam penulisan disertasi ini.
3. Rektor dan Wakil Rektor Universitas Hasanuddin, Dekan dan Wakil
Dekan Sekolah Pascasarjana, Ketua Program Studi Ilmu Pertanian,
Dosen dan segenap Pengelola atas kesempatan yang telah diberikan
kepada penulis untuk melanjutkan studi S3 di Sekolah Pascasarjana
Universitas Hasanuddin, Makassar.
4. Rektor Universitas Lambung Mangkurat, Dekan Fakultas Pertanian, dan
Ketua Jurusan Peternakan, atas izin dan dukungan yang diberikan
selama melanjutkan studi S3 di Sekolah Pascasarjana Universitas
Hasanuddin, Makassar.
5. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi atas dukungan
Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) bagi
penulis selama studi dan dukungan biaya penelitian melalui Penelitian
Disertasi Doktor dengan Kontrak Penelitian Disertasi Doktor Tahun
Anggaran 2017 Nomor : 119/UN8.2/PL/2017 tanggal 4 Mei 2017.
v
6. Kepada Samata Integrated Farming System (SIFS), Kabupaten Gowa,
Provinsi Sulawesi Selatan beserta crew yang telah menyediakan
kandang beserta sapi percobaan dan membantu dalam pemeliharaan
sapi percobaan dan pengambilan data.
7. Ayahanda Andi Syarifuddin dan Ibunda Sitti Nurhasanah dan kedua
Mertuaku H. Tahang dan Hj. Maifa (almarhumah), serta Tante Hj.
Indrawati, SPd yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan
moril dan materil selama menempuh studi.
8. Isteriku tercinta Batria H. Tahang dan anak-anakku tersayang Andi Mufli
Nur, S.Pt, Andi Jusri Razak Nur, dan Andi Majdah Rahmadhani Syam
atas kesabaran, pengorbanan, pengertian, semangat dan doa diberikan
kepada penulis selama menempuh studi.
9. Kepada seluruh Keluarga Besar penulis di Kota Makassar, Kabupaten
Soppeng dan Kabupaten Sidrap tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu atas bantuan moril dan materil serta tenaga selama penulis
menempuh studi.
10. Kepada seluruh teman-teman Program Studi Ilmu Pertanian terkhusus
Angkatan 2013 atas segala bantuan, motivasi dan kerjasamanya
sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.
11. Semua pihak yang telah membantu, mulai dari persiapan hingga
penyelesaian studi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penulisan disertasi ini masih terdapat
kekurangan, oleh karena itu diperlukan kritik dan saran yang konstruktif
untuk kesempurnaannya. Semoga disertasi ini dapat menjadi bahan
informasi yang bermanfaat dalam memanfaatkan daun kelor sebagai upaya
meningkatkan libido dan kualitas semen sapi pejantan khususnya sapi Bali.
Makassar, 15 Januari 2018
Penulis
vi
ABSTRAK NURSYAM ANDI SYARIFUDDIN. Pemanfaatan Daun Kelor (Moringa oleifera) Guna Meningkatkan Libido dan Kualitas Semen Pejantan Sapi Bali (dibimbing oleh H. Abd. Latief Toleng, Djoni Prawira Rahardja, dan Ismartoyo). Penelitian ini bertujuan (1) mengkaji pemanfaatan daun kelor sebagai pakan suplemen guna meningkatkan libido dan kualitas semen pejantan sapi Bali, dan (2) mengkaji pengaruh suplementasi mineral Zn anorganik terhadap libido dan kualitas semen pejantan sapi Bali, guna memperkuat dugaan bahwa mineral Zn pada daun kelor berperan meningkatkan libido dan kualitas semen pejantan sapi Bali. Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama, mengevaluasi libido dan kualitas semen pejantan sapi Bali dengan memanfaatkan daun kelor dosis rendah (5% dari bobot konsentrat dengan penggunaan konsentrat 1% dari bobot badan) dan dosis tinggi (15% dari bobot konsentrat dengan penggunaan konsentrat 1% dari bobot badan) sebagai pakan suplemen. Tahap kedua membandingkan libido dan kualitas semen pejantan sapi Bali yang tidak disuplementasi (kontrol), disuplementasi dengan daun kelor, dan disuplementasi dengan mineral Zn anorganik, guna memperkuat dugaan bahwa mineral Zn pada daun kelor berperan dalam meningkatkan libido dan kualitas semen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, suplementasi daun kelor sebanyak 1,50 g BK/kg bobot badan nyata meningkatkan libido, kekentalan semen, gerakan massa, motilitas total, motilitas progresif sperma, memperbaiki karakteristik motilitas sperma dan meningkatkan post thawing motility (motilitas total dan motilitas progresif) sperma beku pejantan sapi Bali. Suplementasi mineral Zn anorganik 0,02 mg/kg bobot badan (setara 1,50 g BK daun kelor) nyata meningkatkan libido, volume dan kekentalan semen, motilitas total, dan motilitas progresif serta memperbaiki karakterisitik motilitas sperma pejantan sapi Bali. Hal ini dapat memperkuat dugaan bahwa mineral Zn pada daun kelor berperan dalam meningkatkan libido, volume dan kekentalan semen, motilitas total, motilitas progresif dan memperbaiki karakterisitik motilitas sperma pejantan sapi Bali.
vii
ABSTRACT NURSYAM ANDI SYARIFUDDIN. Utilization of Moringa oleifera Leaf for Improving Libido and Semen Quality of Bali Bulls (supervised by H. Abd Latief Toleng, Djoni Prawira Rahardja, and Ismartoyo). The aims of the study were (1) to examine the use of Moringa leaf as the feed supplement to increase libido and semen quality of Bali bulls, and (2) to examine the effect of inorganic mineral Zn supplementation on libido and the semen quality of Bali bulls to strengthen the assumption that Zn mineral on Moringa leaves play a role to enhance libido and the semen quality of Bali bulls. This research was conducted in two stages. The first phase study evaluated libido and the semen quality of the Bali bulls with the use of low-dose Moringa leaves (5% of concentrate weight with the use of 1% concentrate of body weight) and high doses (15% of concentrate weight with the use of 1% concentrate of body weight) as the feed supplement. The second phase of the study compared libido and the semen quality of un-supplemented Bali bulls, supplemented with Moringa leaf, and supplemented with inorganic Zn minerals, to strengthen the assumption that Zn mineral on Moringa leaves play a role to enhancing libido and the semen quality of Bali bulls. The results showed that, supplementation of Moringa leaf 1.5 g DM/ kg of body weight markedly increased libido, semen viscosity, mass movement, the total and progressive motilities of sperm, improved sperm motility characteristics and increased post-thawing motility (total and progressive motilities) sperm of the frozen semen Bali bulls. Inorganic mineral supplementation of 0.02 mg/ kg body weight (equivalent to 1.50 g DM of Moringa leaf) markedly increased libido, semen volume and viscosity, total and progressive motilitis and improved sperm motility characteristics of Bali bulls. This can strengthen the assumption that Zn mineral on Moringa leaves play a role to enhancing libido, semen volume and viscosity, the total and progressive motilities and improving the sperm motility characteristics of Bali bulls.
viii
DAFTAR ISI
PRAKATA …………………………………………………………………
ABSTRAK ………………………………………………………………….
ABSTRACT ………………………………………………………………..
DAFTAR ISI ………………………………………………………………
DAFTAR TABEL …………………………………………………………
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….
BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………………….
A. Latar Belakang Masalah …………………………………..
B. Rumusan Masalah …………………………………………
C. Tujuan Penelitian …………………………………………..
D. Manfaat Penelitian ………………………………………….
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………
A. Pemanfaatan Daun Kelor Sebagai Pakan Ternak ……...
B. Kandungan Nutrisi Daun Kelor ……………………………
C. Libido ………………………………………………………...
D. Komponen Penilaian Semen ……………………………...
1. Kualitas Semen Segar …………………………………
a. Volume ………………………………………………
b. Warna ……………………………………………….
c. Konsistensi ………………………………………….
d. Derajat Keasaman (pH) ..………………………….
e. Konsentrasi Spermatozoa …………………………
f. Motilitas ………………………………………………
g. Penilaian Motilitas dengan Computer Assisted
Semen Analysis (CASA) …………………………..
2. Kualitas Semen Beku ………………………………….
E. Faktor-faktor Mempengaruhi Kualitas Semen …………..
iv
v
vi
vii
ix
xiii
xiv
1
1
5
6
6
7
7
12
16
20
20
20
21
22
23
24
25
28
32
34
ix
F. Peran Nutrisi Terhadap Kualitas Semen ………………..
G. Kandungan Nutrisi pada Daun Kelor yang Dapat Ber-
peran Terhadap Libido dan Kualitas Semen ……….......
H. Peranan Mineral Seng (Zn) terhadap Kualitas Semen …
I. Evaluasi Profil Biokimia Darah sebagai Pendukung
Evaluasi Libido dan Kualitas Semen ……………………
a. Urea Plasma Darah ……………………………………
b. Glukosa Darah …………………………………………
c. Kolesterol Darah ……………………………………….
J. Kerangka Konseptual ……………………………………..
K. Hipotesis …………………………………………………….
BAB III. METODE PENELITIAN ………………………………………...
A. Waktu dan Lokasi Penelitian ……………………………..
B. Materi dan Prosedur Penelitian …………………………..
1. Penelitian Tahap Pertama …………………………….
Meningkatkan Libido dan Kualitas Semen Pejantan
Sapi Bali dengan Suplementasi Daun Daun Kelor ….
a. Kualitas Semen Segar Pejantan Sapi Bali dengan
Suplementasi Daun Kelor Dosis Rendah ………...
b. Libido dan Kualitas Semen Pejantan Sapi Bali
dengan Suplementasi Daun Daun Kelor Dosis
Tinggi ………………………………………………….
2. Penelitian Tahap Kedua ………………………………
Libido dan Kualitas Semen Pejantan Sapi Bali yang
Disuplementasi Mineral Zn Anorganik dan
Disuplementasi Daun Kelor ……………………………
C. Defenisi Operasional ……………………………………….
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………..
A. Meningkatkan Libido dan Kualitas Semen Pejantan sapi
Bali dengan Suplementasi Daun Kelor …………………..
1. Kualitas Semen Segar Pejantan sapi Bali dengan
34
34
36
38
41
41
42
44
46
50
51
51
52
52
52
53
57
64
64
67
69
69
x
Suplementasi Daun Kelor Dosisi Tinggi …………….
a. Hasil ………………………………………………….
b. Pembahasan ………………………………………..
2.Libido dan Kualitas Semen Pejantan sapi Bali dengan
Suplementasi Daun Kelor Dosisi Tinggi ………………
a. Hasil …………………………………………………...
Kadar Hormon Testosteron dan Libido ………
Kualitas Semen Segar ………………………….
Karakteristik Motilitas Semen Segar …………
Kualitas Semen Beku …………………………...
Konsumsi Bahan Kering Ransum, Konsumsi
Nutrien, dan Pertumbuhan ……………………..
Profil Biokimia Darah dan Plasma Semen …..
b. Pembahasan …………………………………………
Kadar Hormon Testosteron dan Libido ………
Kualitas Semen Segar ………………………….
Karakteristik Motilitas Semen Segar …………
Kualitas Semen Beku …………………………..
Konsumsi Ransum, Konsumsi Nutrien, dan
Pertumbuhan …………………………………….
Profil Biokimia Darah dan Plasma Semen …..
B. Libido dan Kualitas Semen Pejantan Sapi Bali yang
Disuplementasi Mineral Zn Anorganik dan
Disuplementasi Daun Kelor………………………………
1. Hasil ……………………………………………………..
Libido dan Kualitas Semen Segar …………….
Karakteristik Motilitas Sperma ……..…………
Kualitas Semen Beku …………………………..
Status Mineral Zn Pejantan sapi Bali yang
Diberi Daun Kelor dan Mineral Zn …………….
2. Pembahasan ……………………………………………
69
69
70
75
75
75
76
77
79
81
82
83
83
88
94
96
99
102
112
112
112
114
116
118
121
xi
Libido dan Kualitas Semen Segar …………….
Karakteristik Motilitas Sperma ……..…………
Kualitas Semen Beku …………………………..
Status Mineral Zn Pejantan sapi Bali yang
Diberi Daun Kelor dan Mineral Zn …………….
C. Pembahasan Umum ………………………………………
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………….
A. Kesimpulan ………………………………………………….
B. Saran-saran …………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………
LAMPIRAN ………………………………………………………………...
121
130
131
133
140
144
144
144
146
169
xii
DAFTAR TABEL
nomor halaman
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Komposisi kimia daun kering Moringa oleifera …………………. Komposisi asam amino daun kering Moringa oleifera …………. Kandungan mineral daun kering Moringa oleifera……………… Komposisi asam lemak daun kering Moringa oleifera………….. Kandungan vitamin daun Moringa oleifera …………………….. Volume semen beberapa bangsa sapi potong …………………. Komposisi pakan konsentrat ……………………………………… Kandungan nutrisi pakan konsentrat …………………………….. Komposisi pakan konsentrat ……………………………………… Kandungan nutrisi pakan konsentrat, daun kelor, dan jerami
padi ……………………………………………………………. Kualitas semen segar pejantan sapi Bali pada periode kontrol,
pemberian daun kelor, dan pemberian daun kelor dihentikan………………………………………………………
Hasil penilaian kualitas semen segar pejantan sapi Bali pada
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan ………………. Karakteristik motilitas sperma pejantan sapi Bali pada
kelompok kontrol dan perlakuan……………………………. Hasil penilaian kualitas semen beku pejantan sapi Bali pada
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan……………….. Perbandingan motilitas sperma segar dan beku pada kelompok
kontrol dan perlakuan ……………………………………….. Konsumsi ransum, konsumsi nutrien dan pertumbuhan
pejantan sapi Bali pada kelompok kontrol dan kelompok
13
13
14
14
15
21
53
53
57
58
69
77
78
80
81
xiii
17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
perlakuan……………………………………………………… Profil biokimia darah sapi Bali pada kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan …………………………………………. Biokimia plasma semen sapi Bali pada kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan …………………………………………. Kualitas semen segar pejantan sapi Bali pada kelompok
kontrol dan perlakuan ……………………………………….. Karakteristik motilitas sperma pejantan sapi Bali pada
kelompok kontrol dan perlakuan …………………………… Kualitas semen beku pejantan sapi Bali pada kelompok kontrol
dan perlakuan ………………………………………………... Perbandingan motilitas sperma segar dan beku pejantan sapi
Bali pada kelompok kontrol dan perlakuan ……………….. Konsumsi ransum, konsumsi mineral Zn dan kandungan
mineral Zn pada plasma darah, urin, feses dan plasma semen pejantan sapi Bali pada kelompok kontrol dan perlakuan………………………………………………………
82
83
83
114
115
116
117
120
xiv
DAFTAR GAMBAR
nomor halaman
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. .
Terminologi standar untuk variabel yang diukur oleh sistem CASA dimodifikasi dari WHO (2010)……………………….
Kerangka konseptual penelitian …………………………………. Rata-rata volume semen pada setiap periode ……………… Kadar hormon testosteron sapi Bali pada kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan ……………………………………. Libido pejantan sapi Bali pada kelompok kontrol dan
perlakuan……………………………………………………… Libido pejantan sapi Bali pada kelompok kontrol dan perlakuan
yang dilakukan penampungan semen selama delapan minggu ……………………………………………………….
Libido pejantan sapi Bali pada kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan……………………………………………………….
31
46
71
75
76
88
113
xv
DAFTAR LAMPIRAN
nomor halaman
1. 2. 3.
Hasil analisis ragam libido dan motilitas sperma pejantan sapi Bali …………………………………………………………….
Daftar Publikasi yang terkait dengan Disertasi …………………. Daftar riwayat hidup ………………………………………………...
169
172
173
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Libido dan kualitas semen yang rendah sering dialami oleh sapi
pejantan yang biasa digunakan sebagai sumber semen cair dan semen
beku serta pejantan pada kawin alam (Ratnawati dkk., 2008; Affandhy
dkk., 2009; Ratnawati et al, 2012; Sariubang dan Kallo, 2014). Sapi
pejantan untuk sumber semen dan kawin alam harus memiliki libido dan
kualitas semen yang baik, karena akan mempengaruhi efisiensi reproduksi
sapi induk. Ketidaksuburan pejantan seperti libido dan kualitas semen
yang rendah menyebabkan penundaan konsepsi dan memperpanjang
musim kawin, sehingga mengakibatkan kerugian secara ekonomi dan
mengancam keberlanjutan usaha peternakan (Kastelic, 2013).
Perilaku seksual (libido dan kemampuan penunggangan) sapi
pejantan tergantung pada interaksi sosial, yang didasarkan pada faktor
genetik, lingkungan, nutrisi dan hormon, serta ketajaman sensorik, umur,
dan pengalaman (Menegassi et al., 2011). Kualitas semen seekor
pejantan dipengaruhi oleh faktor gizi (Martin et al., 2010), umur dan musim
(Bhakat et al., 2011), serta bangsa (Lemma and Shemsu, 2015). Nutrisi
mengontrol produksi sperma, sekresi gonadotropin dan perkembangan
seksual pejantan. Testis pada hewan jantan dewasa memproduksi
2
spermatozoa dan hormon testosteron dipengaruhi oleh kemampuan
tubulus seminiferous dan sel-sel Leydig atau sel interstitial, dirangsang
oleh Follicle Stimulating Hormon (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH)
(Martin et al., 2010).
Proses terjadinya libido dapat dipengaruhi oleh level hormon
testosteron (Prabsattroo et al., 2012). Proses sintesis testosteron
tergantung pada kecukupan mineral Zn dalam makanan. Mineral Zn
merangsang sel-sel Leydig testis untuk memproduksi testosteron (Roy et
al., 2013). Proses spermatogenesis untuk menghasilkan semen
berkualitas baik, membutuhkan asam amino metionin, sistein (Ebisch et
al., 2006; Young et al., 2008), dan arginin (Wu et al., 2009), asam lemak α-
linoleat (Zalata et al., 1998; Conquer et al., 2000), vitamin A, C, dan E
serta mineral Zn dan Se (Mason et al., 1982; Hidiroglou and Knipfel, 1984
Cheah and Yang, 2011). Salah satu tanaman yang mengandung semua
nutrisi yang diperlukan untuk merangsang terjadinya libido dan proses
spermatogenesis adalah daun kelor (Moringa oleifera).
Daun kelor kaya akan nilai gizi. Nilai-nilai asam amino, asam lemak,
mineral dan vitaminnya mencerminkan keseimbangan gizi yang diinginkan
(Moyo et al., 2011). Daun kelor sebagai sebagai sumber protein pada
ternak ruminansia mempunyai nilai kecernaan berupa: rumen degradable
protein (RDP) 177 g/kg BK, acid detergent insoluble protein (ADIP) 72
g/kg BK, pepsin soluble protein (PESP) 200 g/kg BK, protein potentially
digested in the intestine (PDI) 16 g/kg BK, non-protein nitrogen (NPN)
3
8.3%, dan total soluble protein (TSP) 265 g/kg BK (Kakengi et al., 2005).
Selain itu, daun kelor mengandung tannin 21g/kg BK dan pytat 21g/kg BK
yang dapat diabaikan sebagai anti-nutrisi untuk ternak ruminansia, dan
tidak mengandung tripsin dan amilase inhibitor, lektin, glikosida
sianogenik, dan glukosinolat (Ferreira et al., 2008).
Moringa oleifera adalah tanaman pohon, ditemukan di negara-
negara tropis berpotensi untuk digunakan sebagai pakan. Daun kelor
adalah pakan alternatif yang baik pada musim kemarau karena kelor
tahan kekeringan (Nouman et al., 2013). Produksi biomassanya mencapai
4,2 - 8,2 ton BK/ha, dapat digunakan untuk mensubstitusi ransum
komersial (Nouman et al., 2014) dan pakan aditif yang baik (Fitri et al.,
2015.).
Berbagai penelitian telah dilakukan dengan memanfaatkan daun
kelor sebagai bahan pakan, tetapi untuk tujuan meningkatkan libido dan
kualitas semen masih terbatas. Hasil penelitian Abu et al., (2013)
menunjukkan bahwa tepung daun kelor (MOLM) tidak berpengaruh buruk
terhadap morfometri testis dan kualitas sperma epididimis kelinci pejantan
hingga pada tingkat penggunaan 15%. Disarankan bahwa daun kelor
dapat digunakan dalam ransum kelinci. Raji and Njidda (2014) telah
mengamati bahwa suplementasi dengan daun kelor pada tingkat
penggunaan 50% bisa meningkatkan sperma gonad dan cadangan
sperma extragonadal pada kambing Red Sokoto. Oleh karena itu,
4
penelitian ini mencoba menggunakan daun kelor sebagai pakan suplemen
guna meningkatkan libido dan kualitas semen pada pejantan sapi Bali.
Daun kelor mengandung mineral mikro dan makro yang tinggi
diantaranya Zn sebesar 31,03 mg/kg, Se sebesar 363,00 mg/kg, Ca
sebesar 65% dan 0,30% (Moyo, 2011), sehingga berpotensi digunakan
untuk meningkatkan libido dan kualitas semen. Mineral Zn merupakan
salah satu mineral yang berperan penting dalam mengaktifkan sekresi dan
aksi terstosteron, dapat meningkatkan efisiensi mesin spermatogenik, dan
meningkatkan jumlah sel-sel germinal pada tubulus seminiferous untuk
proses spermatogenesis (Abdella et al., 2011). Oleh karena itu, pada
penelitian ini juga mencoba melihat pengaruh suplementasi mineral Zn
anorganik (ZnSO4.2H2O) terhadap libido dan kualitas semen pejantan sapi
Bali, guna memperkuat dugaan bahwa mineral Zn pada daun kelor yang
berperan dalam meningkatkan libido dan kualitas semen.
Hasil akhir penelitian ini adalah diperoleh hasil penilaian libido dan
kualitas semen segar serta kualitas semen beku pejantan sapi Bali yang
disuplementasi daun kelor. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
dasar dalam pemanfaatan daun kelor sebagai pakan suplemen guna
meningkatkan libido dan kualitas semen pejantan sapi Bali, baik untuk
sumber semen beku dan semen cair maupun untuk pejantan kawin alam.
5
B. Rumusan Masalah
Libido dan kualitas semen yang rendah sering dialami oleh sapi
pejantan yang biasa digunakan sebagai sumber semen cair dan semen
beku serta pejantan pada kawin alam. Libido dan kualitas semen yang
rendah menyebabkan penundaan konsepsi dan memperpanjang musim
kawin, sehingga mengakibatkan kerugian secara ekonomi dan
mengancam keberlanjutan usaha peternakan. Salah satu penyebab libido
dan kualitas semen yang rendah, adalah pemberian pakan yang kurang
berkualitas, sehingga perlu diberi pakan tambahan (suplementasi).
Kelor dapat tumbuh di daerah tropis dan subtropis serta tahan
kekeringan, mempunyai produksi biomassa perhektar pertahun yang
tinggi, sehingga berpotensi digunakan sebagai pakan. Daun kelor kaya
akan nilai gizi. Daun kelor mengandung salah satu mineral yang cukup
tinggi yang penting untuk meningkatkan libido dan proses sperma-
togenesis yaitu mineral Zn. Oleh karena itu, pemanfaatan daun kelor
sebagai pakan suplemen dapat merupakan sebuah strategi untuk
meningkatkan libido dan kualitas semen pejantan sapi Bali, sehingga
penelitian ini dilakukan.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengkaji pemanfaatan daun kelor sebagai pakan suplemen guna
meningkatkan libido dan kualitas semen pejantan sapi Bali.
6
2. Mengkaji pengaruh suplementasi mineral Zn anorganik terhadap libido
dan kualitas semen pejantan sapi Bali, guna memperkuat dugaan
bahwa mineral Zn pada daun kelor berperan meningkatkan libido dan
kualitas semen pejantan sapi Bali.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
tentang pemanfaatan daun kelor sebagai pakan suplemen, khususnya
pejantan sapi Bali terutama untuk meningkatkan libido dan kualitas
semennya. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar dalam
memanfaatkan daun kelor sebagai pakan suplemen guna meningkatkan
libido dan kualitas semen pejantan sapi Bali, baik untuk program kawin
alam maupun untuk inseminasi buatan.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pemanfaatan Daun Kelor Sebagai Pakan
Moringa (Moringa oleifera, Moringaceae) merupakan tumbuhan di daerah
tropis dan subtropis (Anwar et al., 2007), toleran terhadap kekeringan dan dapat
tumbuh selama musim kemarau (Duke, 1983). Nouman et al., (2013)
menyatakan bahwa, Moringa oleifera dikenal sebagai salah satu tanaman
pakan terbaik untuk daerah kering, karena hanya memerlukan sedikit air.
Kandungan mineral dan aktivitas antioksidannya lebih tinggi, sehingga
kelor dapat dibudidayakan sebagai tanaman alternatif yang baik untuk
pakan. Menurut Moyo et al., (2011), Moringa oleifera Lam. merupakan
tanaman yang sangat dihargai, telah banyak digunakan untuk makanan,
obat-obatan dan keperluan industri.
Beberapa penelitian pemanfaatan daun kelor sebagai pakan untuk
meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas ternak ruminansia
terutama pada peternakan rakyat, sebagai berikut:
Aregheore (2002) memperoleh pertambahan bobot badan kambing
rata-rata 78 – 86 g/hari yang disuplementasi daun kelor, sedangkan
yang tidak disuplementasi hanya 55 g/hari.
Soetanto dkk., (2011) telah menerapkan teknologi suplementasi ber-
basis daun kelor dan molases pada peternakan kambing rakyat,
8
memperoleh pertambahan bobot badan 100 gr/ekor/hari yang memberi-
kan tambahan keuntungan per ekor selama empat bulan sebesar Rp.
125.000,-
Asaoulu and Okewoye (2013) telah mensuplementasi kambing Dwarf
Afrika Barat yang diberi kulit singkong dengan kelor multinutrisi blok.
Hasilnya secara signifikan meningkatkan asupan bahan kering kulit
singkong sekitar 29% (191,66 vs 148,66 g/ekor/hari), asupan protein
kasar sebesar (16,66 vs 4,87 g/ekor/hari), serta kecernaan bahan
kering (74,58%) dan protein kasar (69,10%).
Adegun et al., (2011) telah membandingkan pakan suplemen kelor
mineral blok, gamal mineral blok dan lamtoro mineral blok dan kontrol
pada domba di Nigeria Barat-Daya. Hasilnya menunjukkan bahwa,
suplementasi berbasis kelor multinutrisi blok dapat meningkatkan
kinerja yang lebih baik dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan
pada domba. Konversi pakan yang diperoleh masing-masing adalah
11,6, 12,6, 12,4. dan 18,3.
Raji and Njidda (2014) telah mensuplementasi pejantan kambing Red
Sokoto dengan daun kelor sampai 50%, dapat meningkatkan cadangan
sperma gonadal dan extragonadal, motilitas sperma dan pH semen.
Rahardja dkk., (2010) telah memanfaatkan daun kelor sebagai pakan
guna meningkatkan efisiensi reproduksi sapi potong pada peternakan
rakyat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pemberian daun kelor
memberikan pertambahan bobot badan induk nyata lebih tinggi
9
dibanding dengan yang tanpa pemberian daun kelor (0,48 kg vs 0,39
kg). Bobot lahir anak pada kelompok perlakuan nyata lebih tinggi
dibanding dengan kontrol (16,2 kg vs 13,4 kg), namun tingkat kematian
anak tidak berbeda nyata antar kedua perlakuan. Data ini menunjukkan
bahwa perlakuan daun kelor memberi dampak positif terhadap
pertambahan bobot badan bagi induk yang bunting dan bobot lahir
anak yang dilahirkan.
Toleng dkk., (2010) juga telah memanfaatkan daun kelor sebagai pakan
pada induk sapi Bali guna mempercepat berahi post partum. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa, berahi post partum induk sapi Bali
yang diberi daun kelor lebih cepat dibandingkan tanpa diberi daun kelor
(128,3 ± 10,3 hari vs 148,7 ± 10,0 hari).
Araica et al., (2011) telah membandingkan pemberian daun kelor segar
dan silase daun kelor terhadap produksi dan cita rasa susu sapi perah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, produksi susu tidak berbeda
antara perlakuan dengan produksi rata-rata 13,7 kg/ekor/hari. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan daun kelor segar maupun dalam
bentuk silase dapat dimanfaatkan sebagai sumber hijauan pada saat
musim paceklik. Komposisi, warna dan penampilan air susu adalah
sama, walaupun pada pemberian daun kelor segar memiliki citarasa
dan aroma rumput, tetapi tidak berbeda secara organoleptik.
Sarwatt et al., (2004) telah mensubstitusi biji kapas dengan daun kelor
dalam bentuk kue daun kelor dan kue biji kapas sebagai pakan
10
suplemen pada sapi perah di peternakan rakyat yang diberi rumput
gajah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, daun kelor dapat
digunakan sampai 1,65 kgBK bisa menggantikan biji kapas 1,23%
dalam ransum sapi perah tanpa mempengaruhi produksi susu.
Penggantian biji kapas dengan daun kelor tidak berpengaruh terhadap
total padatan, lemak, protein susu dan kandungan abu dari susu yang
dihasilkan. Daun kelor mempunyai kecernaan bahan kering lebih tinggi
(820 g/kgBK) dari pada biji kapas (697 g/kgBK). Degdradasi Bahan
kering daun kelor lebih tinggi dari pada biji kapas. Dengan demikian,
penggunaan daun kelor dapat mensubstitusi biji kapas yang harganya
lebih mahal yang dapat meningkatkan total padatan, lemak, protein
susu dan kandungan abu dari susu.
Sánchez et al., (2005) telah meneliti pengaruh tingkat pemberian daun
kelor dalam pakan terhadap asupan, kecernaan, produksi dan kompo-
sisi susu sapi perah dual purpose bangsa Creole Reyna. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa, pemberian daun kelor 2 kg BK/hari dan
3 kg BK/hari secara signifikan meningkatkan asupan bahan kering,
kecernaan zat-zat gizi dan produksi susu pada sapi perah tanpa
mempengaruhi komposisi susu (lemak, protein, dan total padatan) atau
karakteristik organoleptik dari susu (bau, rasa, dan warna). Dengan
demikian, daun kelor dapat digunakan sebagai suplemen protein pada
ransum berkualitas rendah terutama pada sapi perah dual purpose
selama musim kemarau.
11
Nisa et al., (2013), telah melakukan penelitian pada kerbau Nili-Ravi
dengan pemberian hay daun kelor pada awal laktasi, ternyata tidak
hanya meningkatkan asupan zat-zat gizi dan kecernaan, tetapi juga
meningkatkan produksi susu pada awal laktasi.
Nuhu (2010) telah meneliti pengaruh penggunaan tepung daun kelor
terhadap kecernaan zat-zat gizi, pertumbuhan, karkas dan indeks darah
pada kelinci lepas sapih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, tepung
daun kelor dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian,
kecernaan bahan kering dan protein kasar. Penggunaan tepung daun
kelor sampai pada tingkat 20% tidak bersifat racun terhadap kelinci.
Tepung daun kelor berpotensi menurunkan kolesterol dalam darah dan
daging, berpotensi memproduksi lemak karkas dan menurunkan
deposisi lemak pada otot kelinci.
Abu et al., (2013) telah melakukan penelitian pada kelinci dengan
menilai morfometri testes dan kualitas sperma kelinci pejantan yang
ransumnya diberi berbagai tingkat daun kelor. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian daun kelor tidak memberikan efek
merugikan pada morfometri testes dan kualitas sperma epididimis
kelinci pejantan hingga tingkat 15%. Disarankan bahwa daun kelor
dapat digunakan dalam ransum kelinci.
12
B. Kandungan Nutrisi Daun Kelor
Menurut Juliani et al., (2008), daun kelor menunjukkan kadar air
persentase fenol yang lebih rendah (3-4%), kandungan protein (13-14%)
dan mineral (11-13%) yang tinggi. Daun kelor juga mengandung: kalsium
(2,9 - 3%), kalium (1%) dan besi (50 - 80mg/100g daun kering).
Sedangkan menurut Moyo et al., (2011) bahwa, daun kering
Moringa oleifera mengandung protein kasar 30,29% (Tabel 1) dengan 19
asam amino (Tabel 2). Kandungan asam amino tertinggi adalah alanin
(3,03%) dan terendah sistein (0,01%). Daun kering mengandung mineral
makro dan mikro (Tabel 3), tertinggi masing-masing Ca (3,65%) dan Fe
(490 mg/kg). Daun kering mengandung 17 asam lemak dengan
kandungan tertinggi asam α-linolenic (44.57%) (Tabel 4). Kandungan
antinutrisi yang rendah berupa tannin dan total polyphenol (Tabel 1). Hasil
analisis kandungan vitamin daun kelor oleh United States Department of
Agriculture (2015) disajikan pada Tabel 5.
13
Tabel 1. Komposisi kimia daun kering Moringa oleifera
Kandungan Nutrisi Daun Kering Standard Error Kadar air (%) Protein kasar (%) Lemak (%) Abu (%) NDF Neutral detergent fibre (%) ADF Acid detergent fibre (%) ADL Acid detergent lignin (%) ADS Acid detergent cellulose (%) Tanin (mg/g) Total polifenol (%)
9,533 30,29 6,50 7,64
11,40 8,49 1,8
4,01 3,12 2,02
0,194 1,480 1,042 0,433 0,425 0,348 2,204 0,101 0,104 0,390
Sumber : Moyo et al., (2011). Tabel 2. Komposisi asam amino daun kering Moringa oleifera.
Asam amino Jumlah (rata-rata %) Standard Error Arginin Serin Asam apartat Asam glutamat Glisin Treonin*
1,78 1,087 1,43 2,53
1,533 1,35
0,010 0,035 0,045 0,062 0,060 0,124
Alanin Tirosin* Prolin HO-Prolin Metionin* Valin* Fenilalanin* Isoleusin* Leusin* Histidin* Lisin* Sistein* Triptopan*
3,033 2,650 1,203 0,093 0,297 1,413 1,64 1,77 1,96
0,716 1,637 0,01
0,486
0,006 0,015 0,006 0,006 0,006 0,021 0,006 0,006 0,010 0,006 0,006 0,000 0,001
Keterangan : * = Asam amino esensial Sumber : Moyo et al., (2011).
14
Tabel 3. Kandungan mineral daun kering Moringa oleifera.
Kandungan Nutrisi Daun Kering Standard Error Mineral Makro (%) : Kalsium (Ca) Phosphor (P) Magnesium (Mg) Kalium (K) Natrium (Na) Sulfur (S) Mineral mikro (mg/kg) : Seng (Zn) Tembaga (Cu) Mangan (Mn) Besi (Fe) Selenium (Se) Boron (Bo)
3,65 0,30 0,50 1,50
0,164 0,63
31,03 8,25 86,8 490
363,00 49,93
0,036 0,004 0,005 0,019 0,017 0,146
3,410 0,143 3,940
49,645 0,413 2,302
Sumber : Moyo et al., (2011).
Tabel 4. Komposisi asam lemak daun kering Moringa oleifera.
Asam lemak Jumlah (rata-rata %)
Standard Error
Ether extract Capric (C10:0) Lauric (C12:0) Myritic (C14:0) Palmitic (C16:0) Palmitoleic (C16:1c9) Margaric (C17:0) Stearic acid (C18:0) Oleic (C18:1c9) Vaccenic (C18:1c7) Linoleic (C18;2c9,12(n-6) α-Linolenic (C18:3c9,12,15(n-3) g-Linolenic (C18:3c6,9,12 (n-6) Arachidic (C20:0) Heneicosanoic (C21:0) Behenic (C22:0) Tricosanoic (C23:0) Lignoceric (24:0) Total saturated fatty acids (SFA) Total mono unsaturated fatty acids (MUFA)
6,50 0,07 0,58 3,66
11,79 0,17 3,19 2,13 3,96 0,36 7,44
44,57 0,20 1,61
14,41 1,24 0,66 2,91
43,31 4,48
0,041 0,064 0,402 1,633 0,625 0,056 0,155 0,406 2,000 0,038 0,014 2,803 0,013 0,105 0,194 0,383 0,025 0,000 0,815 1,984
15
Sambungan Tabel 4. Asam lemak Jumlah (rata-
rata %) Standard
Error Total poly unsaturated fatty acids (PUFA) Total Omega-6 fatty acids (n-6) Total Omega-3 fatty acids (n-3) PUFA: SFA (PUFA:SFA) n-6/n-3 PUFA: MUFA (PUFA:MUFA)
52,21 7,64
44,57 1,21 0,17
14,80
2,792 0,012 2,805 0,096 0,016 7,168
Sumber : Moyo et al., (2011). Tabel 5. Kandungan vitamin daun Moringa oleifera
Vitamin Satuan Kandungan per 100 g Vitamin C, total asam askorbat Mg 51,700 Tiamin - Vitamin B1 Mg 0,257 Riboflafin - Vitamin B2 Mg 0,660 Niasin - Vitamin B3 Mg 2,220 Asam Panotenat - Vitamin B5 Mg 0,125 Piridoksin - Vitamin B-6 Mg 1,200 Folate, total µg 40 Asam Folat µg 0 Folat, food µg 40 Folat, DFE µg 40 Vitamin B-12 µg 0 Vitamin A, RAE µg 378 Retinol µg 0 Vitamin A, IU IU 7564 Vitamin D (D2 + D3) µg 0 Vitamin D IU 0 Sumber : USDA (2015). http://ndb.nal.usda.gov
Krisnadi (2015) mengutip Dr. Gary Bracey, seorang penulis,
pengusaha, motivator, dan ahli kesehatan di Afrika, mempublikasikan
dalam moringadirect.com, bahwa serbuk daun kelor mengandung :
Vitamin A, 10 kali lebih banyak dibanding wortel.
16
Vitamin B1, 4 kali lebih banyak dibanding daging babi.
Vitamin B2, 50 kali lebih banyak dibanding sardines,
Vitamin B3, 50 kali lebih banyak dibanding kacang,
Vitamin E, 4 kali lebih banyak dibanding minyak Jagung,
Beta Carotene, 4 kali lebih banyak dibanding wortel,
Zat Besi, 25 kali lebih banyak dibanding bayam,
Zinc, 6 kali lebih banyak dibanding almond,
Kalium, 15 kali lebih banyak dibanding pisang,
Kalsium, 17 kali lebih banyak dibanding Susu,
Protein, 9 kali lebih banyak dibanding Yogurt,
Asam Amino, 6 kali lebih banyak dibanding bawang putih,
Poly Phenol, 2 kali lebih banyak dibanding anggur merah.
Serat (Dietary Fiber), 5 kali lebih banyak dibanding sayuran pada
umumnya.
GABA (gamma-aminobutyric acid), 100 kali lebih banyak dibanding
beras merah.
C. Libido
Chenoweth (1994) menjelaskan bahwa, libido didefinisikan sebagai
"kemauan dan keinginan "seekor pejantan untuk mencoba menaiki dan
melayani, sedangkan kemampuan mengawini mengacu pada kemampuan
dan kompetensi pejantan dalam memenuhi aspirasi ini. Kemampuan
kawin adalah ukuran jumlah layanan yang diraih oleh seekor pejantan di
17
bawah kondisi yang ditetapkan, sehingga mencakup aspek libido dan
kemampuan mengawini. Sedangkan menurut Brito (2014) libido adalah
kemauan dan keinginan seekor pejantan untuk menunggangi dan
melayani seekor betina, sedangkan kapasitas pelayanan adalah
kemampuan untuk menyelesaikan sebuah layanan.
Menurut Petherick (2005), faktor-faktor mempengaruhi libido sapi
potong adalah genetik dan bangsa, rasio jantan dan betina, macam
pejantan dan macam perkawinan, hubungan sosial diantara pejantan,
umur pejantan, pengalaman seksual pejantan, iklim/ lingkungan thermal,
nutrisi, berbagai penyebab stress hubungannya dengan relokasi,
perbedaan genotipe dan fenotipe, topografi dan penyebaran kelompok,
dan temperamen pada situasi yang baru. Sedangkan menurut Chenoweth
(1994), faktor-faktor mempengaruhi libido seekor pejantan adalah: umur
dan pengalaman, rasio pejantan terhadap betina, pengaruh sosial, dan
perbedaan genetik.
Pengujian libido dapat dilakukan dengan: (1) menguji kegelisahan
pejantan,(2) uji terdahap penggunaan prosedur seperti elektroejakulator,
vaksinasi, dan pengendalian parasit, (3) diuji pada cuaca buruk seperti
suhu panas dan dingin yang ekstrim, (4) pengujian sapi jantan dalam
kelompok di mana di dalam kelompok terdapat satu atau lebih sapi jantan
sangat dominan, (5) uji terhadap rangsangan yang tidak memadai, (6) uji
penyebaran penyakit kelamin, dan (7) uji terhadap cedera atau stres yang
tidak semestinya. Pengukuran libido yang spesifik dapat berupa waktu
18
reaksi, waktu latency, frekuensi menjilat dan respon flehmen (Henney et
al., 1990).
Libido/kemampuan mengawini seekor pejantan paling baik diamati
pada saat segera dilepas dari kandang bersama betina ke padang rumput
pengembangbiakan. Sapi pejantan yang mempunyai libido/ kemampuan
mengawini lebih tinggi mencapai angka kebuntingan lebih tinggi daripada
sapi jantan yang memiliki libido/ kemampuan mengawini rendah. Sapi
pejantan yang mempunyai libido yang tinggi mencapai tingkat konsepsi
yang lebih tinggi (51,5%) dibandingkan dengan libido rendah (30,6%)
selama periode kawin 21 hari (Kasimanickam, 2015).
Libido atau dorongan seks penting dalam kemampuan seekor
pejantan dalam melayani sejumlah besar sapi induk. Penilaian
kemampuan libido dan kemampuan mengawini penting untuk membantu
mendeteksi kelainan fisik dan mencegah seekor pejantan yang
mempunyai kualitas semen yang baik untuk melayani sapi induk (Parker
et al., 1999).
Menurut Chauhan et al., (2014), gairah seksual tergantung pada
saraf (sensoris dan kognitif), hormonal, dan faktor genetik. Otak dan
neurokimia, Nitric Oxide (NO) dan androgen dapat merupakan mekanisme
dasar perilaku seksual. Androgen memainkan peran penting dalam
perkembangan organ seksual jantan sekunder seperti epididimis, vas
deferens, vesikula seminalis, prostat, dan penis. Selanjutnya, androgen
dibutuhkan untuk pubertas, kesuburan jantan, dan fungsi seksual jantan.
19
Testosteron adalah androgen utama disekresikan oleh testis. Testosteron
disintesis dalam sel-sel Leydig dari testis, dirangsang oleh Luteinizing
Hormone (LH). Salah satu efek utama testosteron di dalam testis adalah
stimulasi spermatogenesis dalam tubulus seminiferous. Reseptor testos-
teron atau dihidrotestosteron kompleks selanjutnya melintasi inti membran
mengikat DNA dan merangsang sintesis mRNA baru dan protein baru.
Dengan demikian, efek testosteron terhadap libido memerlukan konversi
testosteron menjadi estradiol di hipotalamus. Androgen diketahui mem-
pengaruhi produksi NO di otak maupun di perifer. NO disintesis oleh enzim
nitric oksida sintase (NOS) yang memegang peranan penting fungsi otak
tidak berfungsi sebagai neurotransmiter dan NOS hadir di daerah otak
yang mengatur fungsi seksual. Mekanisme ini bisa merupakan salah satu
cara androgen menstimulasi gairah seksual.
Libido dapat dipengaruhi oleh level testosteron, aktivitas monoamine
oxide type B (MAOB) dan enzim phosphodiesterase type 5 (PDE 5
(Prabsattroo et al., 2012), hormone prolaktin dan Nitric oxide (NO) (Andini,
2014). Level hormone testosteron dapat dipengaruhi mineral Zn. Mineral
Zn memicu libido melalui stimulasi sel-sel Leydig pada testis memproduksi
testosteron untuk fungsi normal kerja sumbu hipotalamus-hipofisis-testes.
Sel Leydig mensintesis testosterone tergantung pada kecukupan Zn
dalam pakan. Kekurangan Zn menyebabkan kerusakan pada mekanisme
reseptor LH dalam pengendalian, penyimpanan, dan pelepasan testos-
teron (Roy et al., 2013). Saponin, flavonoid, and senyawa phenol juga
20
dapat sebagai pemicu produksi hormon testosteron. Saponin melalui aksi
sentralnya meningkatkan kadar LH dan FSH, serta berperan dalam
biosintesis dehydroepiandrosteron (DHEA), sehingga meningkatkan kadar
testosterone dalam tubuh dan memacu libido. Flavonoid berperan
meningkatkan kadar DHEA sehingga meningkatkan kadar hormon
testosteron dan mendorong perilaku seksual (Andini, 2014). Senyawa
phenol berupa firulic acid dan chlorogenic acid menghambat enzim
pendegradasi testosteron sehingga meningkatkan kadar hormon
testosteron (Park and Han, 2013).
Menurut Susilawati (2011), libido pejantan sapi Bali rata-rata 4,5
menit. Libido sapi Bali di perkebunan kelapa sawit yang diberi pakan
utama limbah sawit rata-rata 336,3 ± 206,5 detik atau 5,6 menit (Ratnawati
dan Affandhy, 2013).
D. Komponen Penilaian Kualitas Semen
1. Kualitas Semen Segar
a. Volume
Menurut Salisbury dan VanDemark (1985) bahwa, volume semen
akan meningkat dengan meningkatnya umur. Sedangkan menurut
Partodihardjo (1992) bahwa, volume semen yang dipancarkan oleh
pejantan dapat berbeda-beda menurut umur, ras, besar dan berat,
frekuensi penampungan dan beberapa faktor lainnya. Sedang menurut
21
Susilawati (2011) bahwa, volume yang diejakulasikan dipengaruhi umur
pejantan, kondisi fisik, musim, keterampilan kolektor dan frekuensi
penampungan.
Volume semen per ejakulasi pada sapi dewasa rata-rata 4 – 5 ml
(Partodihardjo, 1992), 5 – 8 (1 – 15) ml (Toilehere, 1993), 2 - 8 ml
(Barszcz et al., 2012), 2 – 10 ml (Setchell, 2014). Volume semen
beberapa bangsa sapi potong disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Volume semen beberapa bangsa sapi potong.
Nomor Bangsa sapi Volume (ml) Sumber 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Simmental Limousin F H Bali Brahman Peranakan Ongole Aceh Jawa
6,23 – 8,75 7,49 ± 2,25
8,8 ± 2,3 4,5 ± 2,3
4,72 ± 1,82 3,5 - 6,3
2,90 ± 1,10 3,90 – 7,15
Wahyuningsih dkk., (2013) Lestari dkk., (2013b) Komariah dkk., (2013 Ratnawati dkk., (2008) Kuswahyuni (2009) Affandhy dkk., (2009) Melita dkk., (2014) Dewi dkk., (2012)
b. Warna
Semen sapi normal berwarna seperti krem sampai putih susu
(Salisbury dan VanDemark, 1985; Toilehere, 1993; Garner and Hafez,
2000, Feradis, 2010; dan Barszcz et al., 2012), 10% diantaranya berwarna
kuning (Salisbury dan VanDemark, 1985). Hasil penelitian Susilawati dkk.
(1993), juga menunjukkan bahwa 10% ejakulasi normal sapi FH dan Bali
berwarna krem dan sisanya berwarna putih susu. Warna semen yang
22
diperoleh (Komariah dkk., 2013) dari sapi Limmousin, Simmental, dan FH
adalah putih susu.
Barszcz et al., (2012) menyatakan bahwa, biasanya terjadi
perubahan warna patologis pada semen adalah :
Merah muda atau merah, menunjukkan adanya darah (yang muncul
sebagai akibat dari abrasi penis, fistula dari cavernosus, batu kemih).
Hijau, menunjukkan adanya nanah.
Kuning, menunjukkan adanya urin.
Putih berair, menunjukkan jumlah yang lebih rendah dari spermatozoa
atau air yang sampai ke semen saat ditampung dari vagina buatan.
c. Konsistensi
Konsistensi atau derajat kekentalan dapat diperiksa dengan
menggoyangkan tabung berisi semen secara perlahan-lahan (Toilehere,
1993). Demikian pula menurut Rizal dan Herdis (2008) bahwa, secara
sederhana, kekentalan semen dapat diketahui dengan memiringkan
tabung penampung berisi semen, kemudian ditegakkan kembali untuk
mengamati pergerakan semen ke bawah melewati dinding tabung. Jika
pergerakan semen cepat digolongkan encer, pergerakan lambat dika-
tegorikan kental, dan diantara keduanya digolongkan sedang atau agak
kental. Semen yang digolongkan baik adalah yang memiliki konsistensi
antara sedang dan kental.
23
Semen sapi yang normal memiliki konsistensi dari sedang sampai
kental (Feradis, 2010). Hasil penelitian Komariah dkk., (2013) pada sapi
Limmousin, Simmental, dan FH adalah konsistensi sedang. Sedangkan
hasil penelitian Ratnawati dkk., (2008) diperoleh konsistensi semen sapi
Bali sedang sampai kental.
d. Derajat keasaman (pH)
Menurut Garner and Hafez (2000) bahwa, pH semen sapi adalah
6,4 - 7,8. Hasil penelitian Aerens (2012) diperoleh rata–rata pH semen
segar bangsa sapi Limousin, Simmental, Ongole, Brahman, dan Bali
berturut-turut adalah 6,5 ± 0,14, 6,4 ± 0,14, 6,4 ± 0,35, 6,5 ± 0,147 dan 6,5
± 0,33. Feradis (2010) menyatakan bahwa, setiap bangsa sapi mem-
punyai nilai pH semen segar yang berbeda-beda.
Sorensen (1979) menyatakan bahwa, pH merupakan ukuran
aktivitas metabolism spermatozoa. Motilitas spermatozoa akan menurun
seiring penurunan pH. Penurunan pH semen ditentukan oleh metabolisme
anaerobik, sehingga terbentuk asam laktat yang tergantung pada tingkat
aktivitas dari masing-masing ternak (Salisbury dan VanDemark, 1985).
Menurut Rizal dan Herdis (2008) bahwa, derajat keasaman semen
dipengaruhi oleh konsentrasi spermatozoa yang terkandung di dalamnya.
Semakin tinggi konsentrasi spermatozoa, semakin rendah pH semen. Hal
ini disebabkan oleh spermatozoa dalam jumlah banyak akan menghasil-
24
kan asam laktat dalam jumlah banyak pula, sehingga semen semakin
asam (pH semakin rendah).
e. Konsentrasi spermatozoa
Konsentrasi spermatozoa adalah jumlah sel spermatozoa per
milliliter semen (Rizal dan Herdis, 2008 dan Komariah dkk., 2013).
Salisbury dan VanDemark (1985) menjelaskan bahwa, pada umumnya
konsentrasi spermatozoa dalam semen sejalan dengan perkembangan
seksual dan kedewasaan sapi jantan, sesuai dengan kualitas pakan yang
diberikan dan pengaruh kesehatan reproduksi. Hasil review Melita dkk.,
(2014) menunjukkan bahwa, konsentrasi spermatozoa dipengaruhi oleh
umur pejantan dan mempunyai kecenderungan untuk meningkat seiring
dengan meningkatnya umur sampai umur 22 bulan. Produksi spermatozoa
juga tergantung pada jumlah jaringan aktif testis, yang sebaliknya
tergantung pada besar badan (Salisbury dan VanDemark, 1985).
Kemungkinan lain karena faktor teknis penampungan, pengaruh genetika,
dan lingkungan ternak dipelihara (Toelihere, 1993).
Menurut Garner and Hafez (2000) bahwa, konsentrasi spermatozoa
yang normal berada dalam kisaran sebesar 800 – 2.000 x 106 ml-1. Hasil
penelitian Komariah dkk., (2013) diperoleh konsentrasi spermatozoa segar
pada bangsa sapi Simmental, Limousin dan FH adalah 1.561,87 sampai
dengan 1.899,3 juta ml-1. Konsentrasi spermatozoa ketiga bangsa sapi
tersebut sangat tinggi, mengingat bahwa konsentrasi spermatozoa pada
25
sapi jantan dewasa berkisar antara 800 - 1200 juta ml-1 spermatozoa
(Susilawati, 2011).
Toelihere (1993) menyatakan bahwa, penilaian konsentrasi sper-
matozoa per mililiter semen sangatlah penting, karena faktor inilah yang
menggambarkan sifat-sifat semen dan dipakai sebagai salah satu penentu
kualitas semen. Peran testis sebagai organ reproduksi primer yang mem-
produksi spermatozoa menjadi sangat penting. Selanjutnya dijelaskan
bahwa, konsentrasi spermatozoa, volume dan persentase motilitas sangat
menentukan banyaknya betina yang dapat diinseminasi.
Menurut Rizal dan Herdis (2008) bahwa, terdapat hubungan yang
positif antara warna, kekentalan dan konsentrasi spermatozoa. Semen
yang baik akan memiliki spermatozoa yang banyak (konsentrasi tinggi)
sekaligus akan termanifestasikan pada tingkat kekentalan yang tinggi dan
warna yang lebih pekat. Sebaliknya, semen dengan jumlah spermatozoa
sedikit (konsentrasi rendah) akan mengakibatkan semen lebih encer dan
warna lebih buram.
f. Motilitas
Gerakan massa merupakan gerakan spermatozoa secara bersama-
sama ke satu arah membentuk gelombang yang tebal atau tipis. Cepat
lambatnya gerakan tersebut tergantung kepada konsentrasi hidup yang
ada didalamnya (Toelihere, 1993). Motilitas sperma adalah jumlah
pergerakan spermatozoa hidup dan bergerak maju/progresif yang nilainya
26
berkisar antara 0-100% (SNI 01-4869.1-2005). Menurut Salisbury dan
VanDemark (1985) bahwa, motilitas telah lama dikenal sebagai
kemampuan spermatozoa untuk melewati saluran reproduksi betina.
Menurut Susilawati (2011), kriteria penilaian gerakan massa
spermatozoa antara lain: 1). Sangat baik (+++) terlihat adanya gelombang
besar, banyak, gelap, tebal, dan aktif seperti gumpalan awan hitam dekat
waktu hujan yang bergerak cepat berpindah-pindah tempat; 2). Baik (++)
bila terdapat gelombang-gelombang kecil, tipis, jarang, kurang jelas dan
bergerak lamban; 3). Kurang baik (+), jika tidak terlihat gelombang
melainkan gerakan-gerakan individual aktif progresif; dan 4). Buruk (0),
bila hanya sedikit ada gerakan-gerakan individual. Menurut Campbell et
al., (2003) bahwa, kisaran normal gerakan massa pada spermatozoa sapi
adalah ++ sampai dengan +++.
Menurut Zulfan (2008) bahwa, aktivitas gerakan spermatozoa
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain bentuk anatomi spermatozoa
yang meliputi bentuk kepala, leher dan ekor. Apabila bentuk anatomis
normal maka spermatozoa akan bergerak dengan normal. Menurut
Susilawati (2011), faktor-faktor endogenous yang mempengaruhi motilitas
spermatozoa adalah: 1) Umur (penyimpanan dalam epididimis, umur
donor, dan waktu antara setelah ejakulasi); 2) Pematangan sperma
(morfolorgi, fisiologi dan biokimia); 3) Penyimpanan energi (ATP)
(transport membran, tranport ion, pergerakan flagella, dan kontraktil
protein); 4) Bahan aktif di permukaan sperma (faktor aglutinasi, antibodi,
27
deterjen, integritas membran, dan reseptor). Selanjutnya dijelaskan bahwa
faktor-faktor eksogenous yang mempengaruhi motilitas spermatozoa
adalah: 1) Faktor biofisika dan fisiologi (hidrodinamik, viskositas, osmo-
laritas, pH, temperatur, dan komposisi ion); 2) Media cairan pendukung
(cairan epididimus, seminal plasma, lingkungan vagina, lendir serviks,
cairan uterus, cairan oviduk, dan bagian perivitelium); dan 3) Stimulasi
penghambat (ion-ion inorganic: Cu, Zn, Cd, Mn, dan Hg), produk sekretori,
neuro-phormacolgicals, hormon, siklus nukleotida, kinin, prostaglandin,
polusi lingkungan, dan faktor imuno kimia).
Susilawati (2011) menjelaskan bahwa, motilitas adalah semua sel
yang motil tidak termasuk sel yang tidak motil. Motilitas progresif adalah
semua sel yang bergerak maju ke depan tidak termasuk yang bergerak
local (motil lokal). Lokal motil adalah sel yang hidup tetapi bergerak maju
sangat sedikit. Selanjutnya dijelaskan bahwa, spermatozoa juga
diklassifikasikan dalam tiga grup berdasarkan kecepatannya, yaitu total
motil (semua spermatozoa yang bergerak lebih dari 10 µm per detik),
progresif motil (semua spermatozoa yang bergerak maju lebih dari 20 µm
per detik) dan lokal motil (semua spermatozoa yang bergerak pada 10 - 20
µm per detik).
Hasil penelitian Komariah dkk., (2013), diperoleh nilai motilitas
spermatozoa segar sapi Simmental adalah 80,16 ± 7,80%, nilai ini lebih
tinggi dibandingkan dengan sapi Limousin dan FH masing-masing hanya
75,31 ± 6,47 dan 73,29 ± 5,01. Nilai motilitas spermatozoa dari ketiga
28
bangsa tersebut termasuk normal, karena menurut Garner dan Hafez
(2000) bahwa, motilitas spermatozoa pada sapi tropis berkisar antara 40-
75%. Sedangkan menurut Susilawati (2011) bahwa, motilitas semen segar
sapi potong berkisar antara 70 - 90%. Hasil penelitian Aerens (2012)
menunjukkan perbedaan motilitas individu spermatozoa pada bangsa sapi
Limousin, Simental, Brahman, Ongole, dan Bali. Banyak faktor yang
mempengaruhi perbedaan nilai motilitas spermatozoa diantaranya umur,
bangsa, kematangan spermatozoa, dan kualitas plasma semen (Garner
and Hafez, 2000).
g. Penilaian motilitas dengan Computer Assisted Semen Analysis (CASA)
Pengujian motilitas spermatozoa yang umum dilakukan saat ini
adalah pengujian secara visual mikroskopik menggunakan mikroskop
cahaya. Hal ini memiliki nilai subyektifitas yang cukup tinggi sehingga
diperlukan pengalaman, keterampilan, dan keahlian penguji dalam menilai
gerakan spermatozoa agar mendapatkan hasil yang lebih obyektif
(Sarastina dkk., 2007). Penggunaan CASA dalam pengujian motilitas
spermatozoa dimaksudkan untuk mengatasi subyektifitas penilaian.
Penggunaan metode ini didasarkan atas pengembangan teknologi digital-
image untuk mendapatkan hasil analisa spermatozoa yang cepat, akurat,
mampu meningkatkan dan menstandarkan pengujian parameter motilitas
spermatozoa yang relevan untuk menilai fertilitasnya (Simmet, 2004).
29
Evaluasi mengggunakan CASA dapat diketahui persentase total
spermatozoa motil dan progresif serta dapat memberikan informasi
karakteristik spermatozoa motil yang lengkap, seperti distance average
path (DAP), distance curved line (DCL), distance straight line (DSL),
velocity average path (VAP), velocity curved line (VCL), velocity straight
line (VSL), straightness (STR), linearity (LIN), wobble (WOB), amplitude
lateral head displacement (ALH), dan beat cross frequency (BCF). Dari ke-
13 karakteristik motilitas spermatozoa tersebut yang paling sering
dilaporkan adalah total motil, progresif motil dan VCL (Kostaman dan
Setioko, 2011).
Park (2013) menjelaskan pengertian masing-masing parameter
motilitas spermatozoa dengan dengan menggunakan CASA sebagai
berikut :
1. DCL (distance curved line) adalah jarak yang dapat ditempuh oleh
sperma dalam satu detik pada lintasan curve dari awal sampai akhir
periode analisis (mikron).
2. DAP (distance average path) adalah jarak yang dapat ditempuh oleh
sperma dalam satu detik pada lintasan rata-rata alurnya dari awal
sampai akhir periode analisis (mikron).
3. DSL (distance straight line) adalah adalah jarak yang dapat ditempuh
oleh sperma dalam satu detik pada pada lintasan straight dari awal
sampai akhir periode analisis (mikron).
30
4. VCL (velocity curved line) adalah kecepatan sperma melakukan
perjalanan melintasi garis melengkung (kurva) dari awal sampai akhir
periode analisis (mikron per detik).
5. VAP (velocity average path) adalah kecepatan rata-rata sel sperma
melakukan perjalanan melintasi jalan (rata-rata alurnya) dari awal
sampai akhir periode analisis (mikron per detik).
6. VSL (velocity straight line) adalah kecepatan sel sperma melakukan
perjalanan pada garis lurus dari awal sampai akhir periode analisis
(mikron per detik).
7. ALH (amplitude lateral head displacement) adalah jarak lateral gerakan
kepala sperma pada setiap rata-rata alurnya (mikron). Hal ini
dinyatakan sebagai perpindahan maksimum.
8. BCF (beat cross frequency) adalah kecepatan diukur dalam Hertz
bahwa kepala sel sperma bergerak dari sisi ke sisi selama periode
pengukuran (frekuensi gerakan sperma).
9. STR (straightness) = VSL / VAP adalah hubungan antara kecepatan
dari garis lurus dengan kecepatan pada rata-rata alurnya selama
periode pengukuran.
10. WOB (wobble) = VAP/VCL adalah hubungan antara rata-rata kecepatan
jalan dengan kecepatan garis melengkung selama periode pengukuran.
11. LIN (linearity) = VSL/VCL adalah hubungan antara kecepatan garis
lurus dan kecepatan garis melengkung selama periode pengukuran.
31
12. Rata-rata Perubahan Orientasi (AOC): rata-rata perubahan orientasi
kepala dari sel sperma antara frame selama periode pengukuran diukur
dalam derajat.
Gambar 1. Terminologi standar untuk variabel yang diukur oleh sistem CASA dimodifikasi dari WHO (2010).
Menurut Susilawati (2011) terdapat tiga kelompok pola motilitas
spermatozoa yang dapat dianalisis dengan CASA yaitu kelompok
hiperaktifasi yang memiliki nilai VCL ≥ 100 µm/detik, LIN < 60%, dan ALH
≥ 5 µm/detik; kelompok non hyperaktifasi apabilai nilai VSL ≥ 40 µm/detik,
LIN > 60%, dan ALH < 5 µm/detik; serta kelompok transisi yang memiliki
nilai diantaranya.
Karakteristik motilitas sperma berkorelasi positif dengan fertilitas
(Januškauskas and Žilinskas, 2002 dan Perumal at al., 2014), sehingga
dapat digunakan untuk memprediksi kemampuan fertilisasi sperma. Nilai
VAP, VSL, dan LIN merupakan indikator motilitas progresif dan nilai VCL,
ALH, dan BCF merupakan indikator rigor sperma. Nilai VAP dan VCL
32
merupakan prediksi yang baik untuk kemampuan fertilisasi sperma secara
in vitro (Susilawati, 2011).
2. Kualitas semen beku
Semen beku adalah semen yang telah diencerkan dan selanjutnya
dibekukan pada suhu tertentu yang bertujuan untuk menghambat aktifitas
dan metabolisme spermatozoa (Hoesni, 2013). Semen beku menurut
Aprilina dkk., (2014) adalah semen yang telah diencerkan dan selanjutnya
dibekukan jauh di bawah titik beku air yang bertujuan untuk penghentian
sementara kegiatan hidup dari sel tanpa mematikan fungsi sel. Thawing
dimaksudkan mencairkan kembali semen beku dengan menggunakan
media. Suhu dan lama thawing mempunyai pengaruh besar terhadap
keadaan spermatozoa khususnya keutuhan spermatozoa dalam semen.
Kombinasi suhu dan lama thawing yang baik adalah yang dapat
mencegah kerusakan spermatozoa, sehingga tetap memiliki kemampuan
membuahi ovum yang tinggi.
Menurut Toelihere (1993) bahwa, selama proses pembekuan terjadi
20 - 80% dengan rata-rata 50% spermatozoa akan mati. Sedangkan
menurut Hafez (2000), bahwa spermatozoa yang dibekukan akan
mengalami kerusakan sekitar 40%. Oleh karena itu, untuk
mempertahankan kehidupan spermatozoa, maka semen beku harus
selalu tersimpan dalam bejana vakum atau container berisi nitrogen cair
yang bersuhu -196˚C dan terus dipertahankan pada suhu tersebut sampai
33
waktu dipakai. Semen beku yang sudah dicairkan tidak dapat dibekukan
kembali (Toelihere, 1993). Penurunan kualitas semen beku sangat
ditentukan oleh pemrosesan spermatozoa dari saat koleksi, pengenceran
sampai dengan dibekukan, sehingga dapat menaikkan angka kebuntingan
(Pratiwi dkk., 2007).
Post thawing motility (PTM) yaitu pengujian motilitas spermatozoa
setelah dibekukan dengan cara melakukan thawing sperma beku pada air
dengan temperatur 37°C selama 30 detik (Komariah dkk., 2013). Nilai
PTM tersebut dapat dipengaruhi oleh ketersediaan N2 cair, temperatur
selama equilibrasi dalam proses pembuatan semen beku, serta handling
straw (Pratiwi dkk., 2007). Nilai post thawing motility masing-masing
bangsa sapi Limousin, Simmental, dan FH masing-masing adalah 44,06 ±
3,46, 44,69 ± 2,98, dan 42,97 ± 2,80% tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan (Komariah dkk., 2013).
Recovery Rate (RR) adalah kemampuan pemulihan spermatozoa
setelah pembekuan dengan membandingkan motilitas spermatozoa
setelah thawing dengan motilitas spermatozoa segar (Hafez, 2000). Nilai
RR pada sapi Limousin, Simmental, dan FH adalah 58,87 ± 6,37; 56,27 ±
7,08 dan 58,87 ± 5,31% tidak menunjukkan perbedaan (Komariah dkk.,
2013).
34
E. Faktor-faktor Mempengaruhi Kualitas Semen
Semen segar yang diproduksi oleh tiap pejantan berbeda-beda
kualitas dan kuantitasnya (Lestari dkk., 2013b). Kualitas semen seekor
sapi pejantan dipengaruhi oleh faktor umur (Lestari dkk., 2013a; Lestari
dkk., 2013b dan Melita dkk., 2014), bangsa (Ramsiyati dkk., 2004 dan
Sumeidiana dkk., 2007), ukuran tubuh (Frandson,1992), frekuensi
ejakulasi (Melita dkk., 2014), suhu, musim, dan pakan (Salisbury dan
VanDemark, 1985; Susilawati dkk,. 1993).
Menurut Gordon (2004) bahwa: warna, volume, konsentrasi,
konsistensi, gerakan massa, pH, dan motilitas spermatozoa segar seekor
pejantan sangat bervariasi. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor antara
lain kondisi masing-masing individu, seperti kualitas organ reproduksi,
umur ternak, kondisi manajemen peternakan, jenis pakan yang diberikan,
dan bangsa sapi yang digunakan.
F. Peranan Nutrisi Terhadap Kualitas Semen
Faktor nutrisi merupakan faktor yang lebih kritis berpengaruh
langsung maupun tidak langsung terhadap fenomena reproduksi
dibanding faktor lainnya. Nutrisi yang cukup dapat mendorong proses
biologis untuk mencapai potensi genetiknya, mengurangi pengaruh negatif
lingkungan yang tidak nyaman dan meminimalkan pengaruh teknik
manajemen yang kurang baik. Nutrisi yang kurang baik tidak hanya akan
mengurangi performans dibawah potensi genetiknya, tetapi juga
35
memperbesar pengaruh negatif dari lingkungan. Faktor nutrisi juga lebih
siap dimanipulasi untuk menjamin luaran/ produk yang positif dibanding
faktor-faktor lainya. Oleh karena itu, perlu mendapat perhatian yang serius
terhadap interaksi antara nutrisi dan reproduksi terutama di daerah tropika
(Sonjaya, 2009).
Menurut Cheah and Yang (2011) bahwa, kekurangan gizi menimbul-
kan efek buruk pada kemampuan reproduksi jantan. Pembatasan asupan
gizi atau kekurangan nutrisi tertentu akan menunda kematangan seksual
dan menyebabkan perubahan regresif yang cepat pada aksesoris organ
reproduksi pada pejantan. Oleh karena itu, untuk keberhasilan proses
reproduksi diperlukan makro dan mikronutrien lengkap, berupa: seng, vit A
(retinol), vit B12, vit B9, vit E, vit D, folat, selenium, nikel, mangan,
kromium, tembaga, asam lemak, protein, arginin, dan karnitin.
Spermatogenesis adalah proses pembentukan sel sperma yang
terjadi di tubuli seminefri dibawah kontrol hormon gonadothropin di
hipofisis anterior. Tubuli seminefri ini terdiri atas sel sertoli dan sel
germinalis (Susilawati, 2011). Cheah and Yang (2011) selanjutnya
menjelaskan bahwa, spermatogenesis adalah proses yang sangat rumit
yang membutuhkan kondisi yang ketat dan kaku untuk membentuk
spermatozoa matang dan sehat. Salah satu kondisi yang perlu dipenuhi
adalah kelimpahan pasokan gizi yang penting selama spermatogenesis.
Selama inisiasi spermatogenesis, folat dan Vit B12 yang sangat penting
karena peran penting mereka dalam sintesis RNA dan DNA. Selenium dan
36
Seng sebagai kofaktor penting yang menggabungkan enzim dalam proses
polimerisasi dan transkripsi. Glutathione peroxidases 4 (GPXs4) juga
merupakan elemen penting yang bekerja dengan selenium untuk
melindungi sel-sel germinal rentan dari stres oksidatif. Vitamin A berperan
dalam mengatur spermatogenesis, terutama selama fase awal.
Kekurangan vitamin B9 dan vitamin E berdampak negatif terhadap
produksi sperma. Vitamin C dan Vitamin E melindungi sperma dari
serangan oksidatif. Unsur gizi ini juga memainkan peran penting dalam
meningkatkan motilitas sperma, kualitas sperma, dan pengembangan sel
Sertoli dan sel Leydig. Selain itu, bagian dari unsur-unsur gizi ini terlibat
dalam proses kapasitasi dan fertilisasi. Hasil penelitian Khairi (2014)
menunjukkan bahwa, suplementasi vitamin E, mineral selenium dan seng
dapat mencegah terjadinya penurunan konsentrasi dan jumlah motilitas
spermatozoa.
G. Kandungan Nutrisi pada Daun Kelor yang Dapat Berperan Terhadap Libido dan Kualitas Semen
Daun kelor mengandung mineral Zn 31,03 mg/kg (Moyo et al.,
2011), berfungsi menstimulasi sel-sel Leydig pada testes untuk
memproduksi hormon testosteron. Daun kelor mengandung Saponin 80
g/kg (Ferriera et al., 2008), senyawa fenol 8 mg/ml, flavonoid 27 ug/ml
(Rajanandh and Kavitha, 2010), dan alkaloid 0,07% (Madukwe et al.,
2013), asam firulat 46,8 mg/g, dan asam klorogenat 18,0 mg/g (Fitri et al.,
2015) sebagai pemicu produksi hormon testosteron (Andini, 2014).
37
Daun kelor mengandung asam amino metionin dan sistein (43,6
g/kg protein) (Ferreira, 2008) berfungsi penting untuk perkembangan sel-
sel germinal (Ebisch et al., 2006; Young et al., 2008) serta asam amino
arginin (30,28 mg/g bahan kering) (Nouman et al., 2014) untuk proses
spermatogenesis, prekursor putresin, spermidin, dan sintesis spermin
yang penting untuk motilitas sperma (Wu, 2009).
Daun kelor mengandung asam lemak rantai panjang tidak jenuh
(poly unsaturated fatty accid/PUFA) -linolenic sebesar 44,57% (Moyo et
al., 2011) berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup sel sperma,
pematangan sperma dan fertilitas (Zalata et al., 1998; Conquer et al.,
2000).
Daun kelor mengandung mineral Zn dan Se 363,00 mg/kg (Moyo et
al., 2011) yang penting untuk proses spermatogenesis (Cheah and Yang,
2011). Mineral Zn berperanan dalam aktivitas ribonuklease pada awal
spermatogenesis dan pematangan spermatozoa selama spermatogenesis
serta meningkatkan motilitas sperma pada akhir spermatogenesis
(Hidiroglou and Knipfel, 1984), mempertahankan epitel germinatif dan
tubulus seminiferus pada proses spermatogenesis (Mason et al., 1982).
Mineral Se berfungsi sebagai aktioksidan kuat bergabung dengan asam
amino membentuk seleno-protein dan enzim membentuk selenoenzim
mempengaruhi kualitas sperma dengan mencegah kerusakan oksidatif
(Cheah and Yang, 2011).
38
Daun kelor mengandung vitamin A (16,3 mg/100 g), vitamin C (17,3
mg/100g) dan vitamin E (113,0 mg/100g) (Argarwal, 2014) berperanan
penting dalam proses spermatogenesis (Cheah and Yang, 2011). Vitamin
A berfungsi untuk diferensiasi spermatogonium dan pengaturan adhesi
spermatid (Abdu, 2008), vitamin C berfungsi untuk melindungi sperma dari
stres oksidatif (Begum et al., 2009) dan Vitamin E berfungsi untuk
meningkatkan kesehatan organ reproduksi, mencegah membran sel
sperma dari lemak peroksidasi dan mempertahankan sperma dari
peristiwa reaksi oksidatif (Wang et al., 2007). Vitamin E merupakan salah
satu vitamin yang larut dalam lemak yang melindungi tubuh dari radikal
bebas, mempunyai peran dalam mencegah sterilitas dan distrofi otot.
Serangan radikal bebas pada spermatozoa kemungkinan dapat
menyebabkan sel tersebut cacat, misalnya terjadi abnormalitas pada
bagian ekor atau kepala sehingga mempengaruhi mobilitasnya (daya
gerak) dalam mencapai dan membuahi sel telur. Kekurangan vitamin E
dapat menyebabkan degenerasi organ reproduksi dan aktifitas seksual
menurun (Ratnawati dkk., 2008).
H. Peran Mineral Seng (Zn) terhadap Libido dan Kualitas Semen
Seng memainkan beberapa peran dalam sistem reproduksi jantan,
salah satunya adalah partisipasi aktivitas ribonuklease yang sangat aktif
selama mitosis spermatogonium dan meiosis dari spermatosit (Hidiroglou
dan Knipfel, 1984, Cheah and Yang, 2011, dan Widhyari dkk., 2015).
39
Mineral Zn menstimulir sel Leydig pada testes untuk memproduksi
testosteron karena mineral ini merupakan komponen protein yang terlibat
dalam sintesis dan sekresi testosteron (Kumar et al., 2006 dan Widhyari
dkk., 2015).
Seng tidak hanya terlibat dalam pengembangan anatomi dan fungsi
normal dari organ reproduksi jantan, tetapi juga meningkatkan sperma-
togenesis dengan aktif berpartisipasi dalam pematangan spermatozoa dan
pelestarian epitel germinatif. Kekurangan Zn menyebabkan turunnya asam
ribonukleat (RNA) dan asam deoksiribonukleat (DNA). Oleh karena itu, Zn
memainkan peran dalam proses pertumbuhan sel sebagai kofaktor untuk
aktivitas DNA dan RNA polimerase. Terlepas dari RNA dan DNA
polimerase, Zn juga dikaitkan dengan metalloenzymes seperti fosfatase,
karbonat anhidrase, dan alkohol dehidrogenase. Terkait erat dengan
kelompok sulfihidril dan ikatan disulfida. Zn terkonsentrasi pada ekor
spermatozoa matang dan terlibat dalam motilitas sperma dengan
mengendalikan pemanfaatan energi melalui sistem adenosin trifosfat dan
regulasi fosfolipid. Seng bekerja sebagai pengatur aktivitas enzim dalam
semen sebagai media pengatur metabolisme sperma (Cheah and Yang,
2011).
Seng merupakan komponen penting lebih dari 200 sistem enzim
yang mana aktivitas metabolik mencakup metabolisme karbohidrat dan
metabolisme protein, sintesis protein, metabolisme asam nukleat,
integritas jaringan epitel, perbaikan sel dan pembelahan, transportasi dan
40
pemanfaatan vitamin A dan E. Selain itu, Zn memainkan peran utama
dalam sistem kekebalan tubuh dan hormon reproduksi tertentu. Seng
dikenal sangat penting untuk ketepatan kematangan seksual. Pada
pejantan, kekurangan Zn dapat menurunkan kualitas semen dan
mengurangi ukuran testis dan libido. Suplementasi Zn menyebabkan
peningkatan rata-rata volume ejakulasi, konsentrasi sperma, persentase
motilitas dan persentase hidup (Bindari et al., 2013).
Hasil penelitian Zhinian (1998) menunjukkan bahwa, suplementasi
Zn secara signifikan dapat meningkatkan motilitas spermatozoa segar
atau beku, konsentrasi spermatozoa dan persentase integritas akrosom,
tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan dalam volume ejakulasi dan
persentase abnormalitas spermatozoa pejantan sapi Holstein. Demikian
pula hasil penelitian Widhyari dkk., (2015) menunjukkan bahwa,
suplementasi Zn nyata meningkatkan motilitas dan konsentrasi sperma,
namun suplementasi Zn tidak berpengaruh pada volume semen, pH,
persentase hidup, dan abnormalitas spermatozoa.
Pemberian mineral Zn dapat meningkatkan motilitas spermatozoa.
Hal ini erat kaitannya dengan fungsi mineral Zn yang dapat menyediakan
energi gerak bagi spermatozoa sehingga spermatozoa lebih aktif. Mineral
Zn berfungsi terhadap kerja enzim-enzim metabolisme sel sperma untuk
menghasilkan energi (ATP) (Iwasaki and Gagnon, 1992).
41
I. Evaluasi Profil Biokimia Darah sebagai Pendukung Evaluasi Libido dan Kualitas Semen
1. Urea Plasma Darah
Dewasa ini pengukuran konsentrasi urea plasma darah ternak
ruminansia telah menjadi suatu cara yang umum untuk mengetahui status
protein, baik untuk penelitian produksi ternak maupun untuk penjagaan
kesehatan (Hammond, 1983). Urea plasma darah merupakan salah satu
indikator untuk mengetahui metabolisme nitrogen dalam rumen. Urea
plasma darah merupakan salah satu tempat pengumpulan urea yang
berasal dari sintesis urea pada hati dan jaringan ginjal serta tempat
pengeluaran urea yang akan masuk ke dalam sistem urinaria.
Konsentrasi urea plasma darah selanjutnya dapat digunakan sebagai satu
indeks status nitrogen pada ternak sapi dan domba (Preston, 1965 dalam
Owens dan Bergen, 1983).
Urea merupakan hasil akhir dari metabolisme protein dalam tubuh
ternak dan diekskresikan melalui urin. Apabila kecepatan pembentukan
amonia (NH3) lebih besar dari pada penggunaannya, maka NH3 akan
diserap ke dalam darah dan diubah menjadi urea. Apabila protein ransum
bertambah, akan menyebabkan bertambahnya produksi NH3 dalam
rumen. Apabila NH3 yang dimanfaatkan mikrobia untuk membentuk
protein tubuh dalam rumen rendah, maka NH3 yang akan diabsorsi oleh
darah tinggi, sehingga produksi urea darah di hati bertambah (Tillman
dkk., 1991). Pakan yang berlebihan protein yang terdegradasi dalam
42
rumen akan menghasilkan konsentrasi urea yang tinggi dalam darah,
karena sebanyak 20% dari degradasi protein dalam rumen akan masuk
ke dalam darah (Setiadi dkk., 2003). Menurut Bindari et al., (2013) bahwa,
level protein yang berlebih dalam ransum menyebabkan tingginya kadar
urea dalam darah yang memiliki efek toksik pada sperma, ovum, dan
embrio berkembang.
Menurut Swenson (1977), konsentrasi normal urea plasma darah
pada ternak ruminansia berkisar antara 2 – 27 mg/ 100 ml. Selanjutnya
menurut Jackson and Crockcroft (2002) bahwa, kadar normal urea plasma
darah pada sapi adalah 6,0 – 27 mg/ dL.
2. Glukosa Darah
Pemeriksaan glukosa darah dilakukan karena hasil penelitian para
ahli menunjukkan bahwa ternak ruminansia memerlukan glukosa dalam
seluruh phase kehidupannya dan kebutuhannya itu menunjukkan pola
yang sama dengan kebutuhan protein (Rahardja, 2008). Selanjutnya
dijelaskan bahwa, glukosa dibutuhkan dalam jumlah yang banyak oleh
ternak ruminansia untuk kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan tubuh dan
pertumbuhan fetus, pertumbuhan jaringan (plasenta, ambing) dan
produksi susu.
Glukosa darah berasal dari beberapa sumber, antara lain: dari
karbohidrat makanan, dari senyawa glikogenik melalui glikoneogenesis,
dan dari glikogen hati oleh glikogenesis (Harper et al., 1979). Pada ternak
43
ruminansia, dikenal adanya sistem penjaga kadar glukosa dalam darah
melalui proses glikolisis, glikogenesis dan sebagainya, sehingga
konsentrasi glukosa darah relatif konstan (Purbowati dan Purnomoadi,
2005).
Konsentrasi glukosa plasma darah dikontrol oleh hormon insulin
yang dihasilkan oleh pulau Langerhans dari pankreas, setiap
pertambahan glukosa plasma darah akan meransang pelepasan insulin
30 – 60 detik (Harper et al., 1979), sehingga konsentrasi glukosa plasma
darah relatif konstan, selain itu konsentrasi terbesar glukosa darah
dipengaruhi oleh tipe karbohidrat (Setiadi dkk., 2003).
Glukosa pada ruminansia digunakan sebagai sumber energi yang
dapat memenuhi kebutuhan jaringan terutama untuk ruminansia produksi
tinggi. Selain untuk energi, glukosa penting untuk pemeliharaan sel-sel
tubuh terutama darah dan saraf, prekusor berbagai komponen sel,
pembentukan beberapa komponen air susu pada hewan berlaktasi
(Mc.Donald et al.,1996).
Rendahnya kadar glukosa dalam serum pada sapi, selain dapat
menghambat sintesis atau pelepasan gonadothropin releasing hormone
(GnRH) juga menghambat pelepasan follicle stimulating hormone (FSH)
dan luteinizing hormone (LH). Glukosa salah satu substrat metabolisme
paling utama yang diperlukan untuk fungsi yang sesuai dengan proses
reproduktif pada sapi (Prihatno, 2013).
44
Glukosa plasma darah dapat dibentuk melalui proses glukoneo-
genesis yaitu proses pembentukan glukosa yang bukan berasal dari
karbohidrat. Peningkatan jumlah undegraded protein dalam ransum akan
mengakibatkan asam amino dalam usus halus menjadi lebih tinggi yang
kemungkinan besar akan menyebabkan konsentrasi glukosa plasma
darah menjadi lebih tinggi (Setiadi dkk., 2003).
Beberapa karbohidrat seperti fruktosa, glukosa dan sorbitol
merupakan sumber energi bagi spermatozoa. Ion-ion organik dan
anorganik terutama berperan sebagai buffer, menjaga tekanan osmotik,
mempertahankan membran dan motilitas spermatozoa (Toelihere, 1993).
Menurut Rahardja (2008), kadar gula darah normal pada ternak
ruminansia bervariasi antara 40 – 60 mg/100 ml. Menurut Harper et al.,
(1977), kadar glukosa darah pada ruminansia berkisar 70 – 120 mg/dl.
3. Kolesterol Darah
Kolesterol ialah suatu zat lemak yang beredar di dalam darah dan
diproduksi oleh hati (Murray et al., 2003). Kolesterol juga merupakan
unsur penting dalam membran plasma, yakni kolesterol merupakan
senyawa induk bagi semua steroid lainnya yang disintesis dalam tubuh
seperti hormon korteks adrenal serta hormon seks, vitamin D, dan asam
empedu.
Kolesterol adalah salah satu lipid plasma yang utama dibutuhkan
tubuh karena merupakan komponen struktural membran sel dan bahan
45
awal pembentukan asam empedu serta hormon steroid. Senyawa ini
diperoleh tubuh dari kolesterol yang terdapat dalam makanan dan dari
biosintesis dalam tubuh terutama di hati. Sumber pembentukan kolesterol
adalah asetil-KoA yang dapat berasal dari senyawa karbohidrat (glukosa)
dan lemak, terutama asam lemak jenuh (Dharma, 2013).
46
J. Kerangka Konseptual
Keterangan : = Input = Tempat Proses = Ekskresi = Output = Alur proses produksi
Gambar 2. Kerangka konseptual penelitian
SALURAN PENCERNAAN : Rumen, retikulum Protein KH Lemak Vitamin Mineral Hidrolisa enzim hidrolisa (lipase) Oligopeptida Piruvat Asam lemak, gliserol, galaktosa Peptida Asam amino Asam lemak tidak jenuh (linoleat dan linolenat) deaminasi fermentasi hidrogenasi Amonia, VFA, CO2 VFA VFA Asam lemak jenuh Provitamin Zn,Se (stearat)
Feses
Ginjal
Darah: asam amino, urea, β-hidroksibutirat,asam asetat, asam laktat, Zn, Se
Hati: asam amino, urea, glukosa, vit.A (retinol) vit.E (tokoferol), vit.C, Zn, Se
Omasum abomasum usus halus : (Asam-asam amino), (VFA),(triasil gliserol, fosfolipid,kolesterol), Zn, Se
Darah: asam amino, urea, β-hidroksibutirat,asam asetat, asam laktat, vit.A (retinol), vit.E (tokoferol), vit.C (as.askorbat), Zn, Se
Kelenjar assesoris Pembentukan Plasma Semen: Asam-asam amino Phospholipid Asam sitrat Kolin plasmalogen Fruktosa Urea Glukosa Vit C dan E Zn, Se
Feses
Urine
Libido dan Kualitas Semen
Omasum abomasum usus halus : (Asam-asam amino), (VFA),(triasil gliserol, fosfolipid,kolesterol), Zn, Se
Testes (Tubulus seminiferous) Pembentukan Spermatozoa Metionon, sistein, Arginin α-linolenic Vit. A dan E Zn
DAUN KELOR : As.amino : Metionin Sistein Arginin
Asam lemak (PUFA) : -linolenic
Mineral : Zn Se
Senyawa lain : Fitonutrien : Fito-estrogen Senyawa fenol
Antioksidan
Vit : A C E
47
Libido dan kualitas semen yang rendah sering dialami oleh sapi
pejantan yang biasa digunakan sebagai sumber semen cair dan semen
beku serta pejantan pada kawin alam. Libido dan kualitas semen yang
rendah menyebabkan penundaan konsepsi dan memperpanjang musim
kawin, sehingga mengakibatkan kerugian secara ekonomi dan
mengancam keberlanjutan usaha peternakan.
Libido dipengaruhi oleh level hormon testosteron, aktivitas
monoamine oxide type B (MAOB) dan enzim phosphodiesterase type 5
(PDE 5, hormone prolaktin serta Nitric oxide (NO). Level hormon
testosteron dapat dipengaruhi mineral Zn, saponin, flavonoid, and
senyawa phenol. Kualitas semen segar yang diejakulasikan oleh pejantan
dipengaruhi proses spermatogenesis di tubulus seminiferous dan
pembentukan seminal plasma di kelenjar assesoris. Proses produksi dan
kualitas semen tersebut dipengaruhi nutrisi tertentu yaitu asam amino
metionin, sistein, dan arginin, asam lemak -linolenic, vitamin A, C, dan E,
mineral Zn dan Se, fitonutrien (fitoestrogen dan senyawa fenol) serta
antioksidan.
Daun kelor mengandung semua senyawa-senyawa tersebut,
sehingga pemanfaatan daun kelor sebagai pakan suplemen diharapkan
dapat meningkatkan libido dan kualitas semen yang dihasilkan. Daun kelor
mengandung senyawa-senyawa penting yang diperlukan untuk mening-
katkan libido dan proses pembentukan semen, sebagai berikut:
48
Daun kelor mengandung Zn, saponin, flavonoid, dan senyawa phenol
yang bersifat merangsang hormone testosterone sehingga dapat
meningkatkan libido.
Daun kelor mengandung 19 macam asam amino, diantaranya asam
amino metionin dan sistein yang berfungsi penting untuk perkem-
bangan sel-sel germinal serta asam amino arginin untuk proses
spermatogenesis sebagai prekursor putresin, spermidin dan sintesis
spermin yang penting untuk motilitas sperma.
Daun kelor mengandung 17 macam asam lemak, salah satunya asam
lemak rantai panjang tidak jenuh (poly unsaturated fatty accid/PUFA)
yaitu -linolenic dengan kandungan tertinggi yang berfungsi untuk
menjaga kelangsungan hidup sel sperma, pematangan sperma dan
fertilitas.
Daun kelor mengandung 12 macam mineral, diantaranya mineral Zn,
Se, Ca, dan P dengan kandungan yang cukup tinggi yang berperanan
penting untuk proses peningkatan libido dan kualitas semen. Mineral Zn
berperan dalam aktivitas ribonuklease pada awal spermatogenesis dan
pematangan spermatozoa selama spermatogenesis serta meningkat-
kan motilitas sperma pada akhir spermatogenesis, mempertahankan
epitel germinatif dan tubulus seminiferus pada proses spermatogenesis.
Mineral Se berfungsi sebagai aktioksidan kuat bergabung dengan asam
amino membentuk seleno-protein dan enzim membentuk selenoenzim
mempengaruhi kualitas sperma dengan mencegah kerusakan oksidatif.
49
Daun kelor mengandung 14 macam vitamin, diantaranya vitamin A, C
dan E yang berperan penting dalam proses spermatogenesis. Vitamin A
berfungsi untuk diferensiasi spermatogonium dan pengaturan adhesi
spermatid. Vitamin C berfungsi untuk melindungi sperma dari stres
oksidatif. Vitamin E berfungsi untuk meningkatkan kesehatan organ
reproduksi, mencegah membran sel sperma dari lemak peroksidasi dan
mempertahankan sperma dari peristiwa reaksi oksidatif.
Kualitas semen beku untuk inseminasi buatan dipengaruhi oleh
proses pembuatan semen beku yang meliputi pengenceran, pembekuan
dan thawing pada saat akan dilakukan IB. Vitamin C dan vitamin E serta
antioksidan berperanan penting dalam mempertahankan kualitas semen
beku. Daun kelor mengandung vitamin C dan E serta antioksidan yang
cukup tinggi, sehingga sapi pejantan yang pakannya telah diberi daun
kelor diharapkan kualitas semen bekunya juga lebih baik.
Daun kelor mengandung sejumlah mineral mikro dan makro yang
cukup tinggi diantaranya Zn, Se, Ca dan P yang telah terbukti dapat
meningkatkan libido dan kualitas semen. Suplementasi daun kelor dosis
tinggi telah terbukti meningkatkan libido dan motilitas spermatozoa. Oleh
karena itu, penelitian ini juga melihat pengaruh suplementasi mineral Zn
anorganik (ZnSO4.2H2O) yang jumlahnya setara jumlah mineral Zn pada
daun kelor terhadap libido dan kualitas semen segar serta semen beku
pejantan sapi Bali. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk
50
memperkuat dugaan bahwa mineral Zn pada daun kelor berperan dalam
meningkatkan libido dan kualitas semen pejantan sapi Bali tersebut.
Hasil akhir penelitian ini adalah diperoleh hasil penilaian libido,
kualitas semen segar dan kualitas semen beku pejantan sapi Bali, sebagai
pengaruh pemberian pakan suplemen daun kelor. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi dasar dalam pemanfaatan daun kelor sebagai
pakan guna meningkatkan libido dan memperbaiki kualitas semen
pejantan sapi Bali.
K. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah :
1. Pemanfaatan daun kelor sebagai pakan suplemen dapat meningkatkan
libido, kualitas semen segar dan semen beku pejantan sapi Bali.
2. Mineral Zn anorganik dapat meningkatkan libido dan kualitas semen
segar dan semen beku pejantan sapi Bali, sehingga mineral Zn pada
daun kelor diduga kuat berperan meningkatkan libido, kualitas semen
segar dan semen beku pejantan sapi Bali.
51
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu :
1. Penelitian tahap pertama, mengkaji pemanfaatan daun kelor sebagai
pakan suplemen guna meningkatkan libido dan kualitas semen
pejantan sapi Bali. Penelitian ini terdiri atas dua penelitian, yaitu :
a. Memanfaatkan daun kelor sebagai pakan suplemen dosis rendah
(5% dari bobot konsentrat dengan penggunaan konsentrat 1% dari
bobot badan).
b. Memanfaatkan daun kelor sebagai pakan suplemen dosis tinggi
(15% dari bobot konsentrat dengan penggunaan konsentrat 1% dari
bobot badan).
2. Penelitian tahap kedua, mengkaji pemanfaatan mineral Zn anorganik
guna meningkatkan libido dan kualitas semen pejantan sapi Bali untuk
memperkuat dugaan bahwa mineral Zn pada daun kelor berperan
dalam meningkatkan libido dan kualitas semen.
Penelitian pemanfaatan daun kelor sebagai pakan suplemen dosis
rendah dilaksanakan pada bulan Mei sampai Nopember 2014. Peme-
liharaan sapi percobaan dilaksanakan di Unit Kandang Sapi Potong
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Penelitian
52
pemanfaatan daun kelor sebagai pakan suplemen dosis tinggi dilaksana-
kan pada bulan Maret sampai Juli 2015. Pemeliharaan sapi percobaan
dilaksanakan di Samata Integrated Farming System, Kecamatan Samata
Kabupaten Gowa. Penelitian perbandingan libido dan kualitas semen
pejantan sapi Bali yang disuplementasi mineral Zn anorganik dengan daun
kelor dilaksanakan pada bulan September sampai Pebruari 2015.
Pemeliharaan sapi percobaan dilaksanakan di Samata Integrated Farming
System, Kecamatan Samata Kabupaten Gowa. Penilaian semen secara
mikroskopis dan prosessing semen beku dilaksanakan di Unit Prosessing
Semen, Laboratorium Reproduksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas
Hasanuddin, Makassar.
B. Materi dan Prosedur Penelitian
1. Penelitian Tahap Pertama
Judul : Meningkatkan Libido dan Kualitas Semen Pejantan Sapi Bali
dengan Suplementasi Daun Kelor.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan:
1. Mengevaluasi kualitas semen segar pejantan sapi Bali dengan
suplementasi daun kelor dosis rendah.
2. Mengevaluasi libido, kualitas semen segar dan semen beku pejantan
sapi Bali dengan suplementasi daun kelor dosis tinggi.
53
a. Kualitas Semen Segar Pejantan Sapi Bali dengan Suplementasi Daun Kelor Dosis Rendah
Materi Penelitian
Sapi Percobaan. Penelitian ini menggunakan tiga ekor pejantan
sapi Bali dalam kondisi sehat, umur 5 tahun, bobot badan 230 - 350 kg,
dan satu ekor sapi induk Bali sebagai pemancing.
Bahan Pakan. Bahan pakan yang digunakan berupa pakan
konsentrat dengan komposisi dan kandungan nutrisi seperti pada Tabel 7
dan Tabel 8, daun kelor, dan jerami padi.
Tabel 7. Komposisi pakan konsentrat.
No Bahan Pakan Jumlah (%) 1. Dedak 65 2. Tepung kulit coklat 15 3. Molases 10 4. Garam 5 5. Tepung bulu ayam 3 6. Mineral mix untuk sapi potong 2
Total 100
Tabel 8. Kandungan nutrisi pakan konsentrat.
No Zat-zat makanan Jumlah (%) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kadar air Protein Kasar Lemak Serat Kasar BETN Abu Ca P
21,61 13,17 5,49
25,34 38,45 22,06 1,92 0,65
Keterangan : * = Hasil analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak,
Fakultas Peternakan Unhas.
54
Daun kelor diperoleh dari Kabupaten Soppeng dan Sidrap,
sedangkan bahan pakan konsentrat lainnya diperoleh dari Kabupaten
Bantaeng. Jerami padi di peroleh dari Kecamatan Samata, Kabupaten
Gowa.
Peralatan. Peralatan utama yang digunakan pada penelitian ini
adalah :
Timbangan digital dengan skala angka terkecil 0,1 kg untuk menimbang
bobot badan sapi.
Timbangan gantung kapasitas 25 kg dengan skala terkecil 0,1 kg untuk
menimbang bahan pakan.
Vagina buatan untuk sapi yang digunakan untuk penampungan semen.
Shaker water bath digunakan untuk menyimpan semen segar agar
dapat bertahan hidup setelah penampungan sebelum prosessing
semen.
Mikroskop cahaya yang dihubungkan dengan Personal Komputer yang
berisi Program Sperm Vision Versi 3.7.5. May 2011, Produksi Minitube
of America. Inc. Copyright 2003 – 2011, digunakan untuk penilaian
mikroskopis semen.
Pemeliharaan Sapi Penelitian
Sapi percobaan diberi air minum secara ad libitum selama periode
pemeliharaan. Pemeliharaan kesehatan sapi secara umum, pada awal
penelitian diberi obat cacing dan dimandikan obat caplak untuk pengen-
dalian endoparasit dan ektoparasit. Pemberian vitamin B Kompleks
55
setelah pemberian obat cacing untuk mengurangi stres dan menjaga
nafsu makan.
Penampungan Semen
Penampungan semen dilakukan dua kali seminggu, pada pagi hari
jam 07.00 wita. Sapi induk ditempatkan pada kandang kawin sebagai
pemancing. Sapi pejantan selanjutnya dibawa ke kandang kawin dan
dipertemukan dengan betina pemancing untuk merangsang libidonya.
Vagina buatan yang telah disiapkan, apabila pejantan menaiki betina
pemancing maka penisnya diarahkan masuk ke vagina buatan untuk
berejakulasi. Sapi pejantan sebelum berejakulasi di vagina buatan
dilakukan pengekangan (false mount) sebanyak dua kali untuk
memperoleh kualitas semen yang lebih baik.
Penilaian Semen
Semen yang tertampung pada vagina buatan, selanjutnya di bawa
ke Unit Prosessing Semen, Laboratorium Reproduksi Ternak untuk
penilaian kualitas secara makroskopis dan mikroskopis.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dibagi atas tiga periode, yaitu Periode Awal (Kontrol),
Periode Suplementasi Daun Kelor dan Periode Suplementasi Daun Kelor
Dihentikan.
Periode Awal (Kontrol). Sapi pejantan dipelihara selama empat
minggu diberi pakan konsentrat dan pakan hijauan berupa jerami padi.
56
Pemberian pakan konsentrat dan hijauan disesuaikan dengan standar
kebutuhan untuk pejantan sapi potong (Nutrient Requirements of Beef Cattle,
2000). Pemberian pakan konsentrat sebanyak 1% dari bobot badan,
sedangkan pemberian jerami padi secara ad libitum.
Periode Suplementasi Daun Kelor. Sapi pejantan dipelihara
selama 11 minggu, diberi pakan seperti pada periode kontrol kemudian
ditambah daun kelor 5% dari bobot konsentrat.
Periode Suplementasi Daun Kelor Dihentikan. Sapi pejantan
dipelihara selama tujuh minggu, diberi pakan konsentrat dan pakan
hijauan seperti pada Periode Kontrol.
Pengamatan :
Peubah kualitas semen segar yang diamati :
1. Evaluasi Makroskopis semen, berupa: volume, warna, pH, dan
kekentalan.
Volume semen adalah volume yang ditunjukkan oleh skala pada
tabung vagina buatan.
Warna semen adalah kekuningan, putih susu sampai krem, dan
bening.
Keketalan semen adalah kental/ pekat, sedang dan encer.
2. Evaluasi Mikroskopis semen, berupa: gerakan massa dan motilitas total
sperma. Evaluasi gerakan massa mengikuti petunjuk Susilawati (2011),
yaitu: (+++), (++), (+) dan (0). Evaluasi motilitas total sperma
menggunakan Program Sperm Vision Versi 3.7.5.
57
Analisis Data
Semua data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan One
Way Anova dibantu Program SPSS (Statistical Product and Service
Solution) Versi 21 menurut petunjuk Santoso (2013).
b. Libido dan Kualitas Semen Pejantan Sapi Bali dengan
Suplementasi Daun Kelor Dosis Tinggi Materi Penelitian
Sapi Percobaan. Penelitian ini menggunakan empat ekor pejantan
sapi Bali dalam kondisi sehat, umur 4 – 6 tahun, bobot badan 230 - 350
kg, dan satu ekor sapi induk Bali sebagai pemancing.
Bahan Pakan. Bahan pakan yang digunakan berupa pakan
konsentrat dengan komposisi seperti pada Tabel 9, daun kelor dan jerami
padi. Kandungan nutrisi pakan konsentrat, daun kelor dan jerami padi
yang digunakan disajikan pada Tabel 10.
Tabel 9. Komposisi pakan konsentrat.
No Bahan Pakan Jumlah (%) 1. Dedak 25 2. Tepung kulit coklat 12 3. Tepung kepala udang 15 4. Ampas tahu 40 5. Garam 5 6. Mineral mix untuk sapi potong 3
Total 100
58
Tabel 10. Kandungan nutrisi pakan konsentrat, daun kelor, dan jerami padi
No Zat-zat makanan Jumlah (%) Konsentrat Daun Kelor Jerami Padi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kadar air* Protein Kasar* Lemak* Serat Kasar* BETN* Abu* Ca* P* Zn (mg/kg)**
36,38 13,47 5,64
21,69 34,76 24,76 2,53 0,67
21,77
11,84 25,70 10,20 9,48
41,56 13,06 3,34 0,39
12,56
10,14 4,12 1,35
33,25 44,89 16,39 0,46 0,10
68,96 Keterangan : * = Hasil analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak,
Fakultas Peternakan Unhas. ** = Hasil Analisis Balai Besar Laboratorium Kesehatan,
Makassar.
Bahan penyusun pakan konsentrat diperoleh dari Kabupaten
Bantaeng, daun kelor diperoleh dari Kabupaten Soppeng dan Sidrap.
Jerami padi di peroleh dari Kecamatan Samata, Kabupaten Gowa.
Peralatan. Peralatan utama yang digunakan pada penelitian ini
sama dengan yang digunakan pada penelitian sebelumnya.
Pemeliharaan Sapi Penelitian, Penampungan Semen dan Penilaian
Semen
Pemeliharaan sapi penelitian, penampungan semen dan penilaian
semen sama dengan penelitian sebelumnya.
Pembuatan Semen Beku
Penampungan semen dilakukan dua kali seminggu untuk
pengamatan kualitas semen dan pembuatan semen beku. Semen yang
59
telah ditampung,dilakukan penilaian secara makroskopis dan mikroskopis.
Semen yang memenuhi standar untuk produksi semen beku dilakukan
prosessing pembuatan semen beku. Pembuatan semen beku dilakukan di
Unit Prosessing Semen, Laboratorium Reproduksi Ternak. Jumlah straw
yang dihasilkan dari proses pembuatan semen beku disesuaikan dengan
volume semen yang tertampung. Straw yang dihasilkan, disimpan selama
satu minggu pada kontainer menggunakan N2 cair pada suhu -196oC.
Semen beku kemudian dilakukan thawing untuk dilakukan evaluasi
kualitasnya.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dibagi atas dua periode yaitu Periode Awal (Kontrol)
dan Periode Suplementasi Daun Kelor.
Periode Awal (Kontrol). Sapi pejantan dipelihara selama delapan
minggu diberi pakan konsentrat dan pakan hijauan berupa jerami padi.
Jumlah pemberian pakan konsentrat dan hijauan disesuaikan dengan
standar kebutuhan untuk pejantan sapi potong (Nutrient Requirements of
Beef Cattle, 2000). Pemberian pakan konsentrat sebanyak 1% dari bobot
badan, sedang pemberian jerami padi secara ad libitum.
Periode Suplementasi Daun Kelor. Sapi pejantan dipelihara
selama delapan minggu, diberi pakan konsentrat 1% dari bobot badan
kemudian ditambah daun kelor 15% dari bobot pakan konsentrat.
Pemberian jerami secara ad libitum.
60
Pengamatan
Peubah yang diamati :
1. Kadar hormon testosteron. Pengambilan sampel darah dilakukan pada
minggu 1, 4, dan 8 pada periode suplementasi daun kelor.
Pengambilan sampel darah dilakukan tiga kali dalam 24 jam dengan
interval waktu 8 jam yaitu pada jam 06.00, 14.00, dan 22.00 wita.
Sampel darah diambil pada vena jugularis segera di sentrifuge dengan
kecepatan 2.500 rpm selama 20 menit. Plasma darah yang diperoleh
kemudian disimpan di refrigerator sampai semua sampel darah
terkumpul. Sampel darah selanjutnya di kirim ke Laboratorium Riset
Terpadu, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda
Aceh untuk analisis kadar hormon testosteron dengan metode ELISA.
2. Libido yaitu waktu yang diperlukan oleh pejantan mulai dipertemukan
dengan pemancing di kandang kawin, dilakukan pengekangan dua kali
sampai menunggangi dan berejakulasi pada vagina buatan. Satuan
waktu yang digunakan adalah menit.
3. Kualitas Semen Segar:
a. Evaluasi Makroskopis semen, berupa : volume, warna, pH, dan
kekentalan.
b. Evaluasi Mikroskopis semen, berupa : gerakan massa, motilitas
sperma (motilitas total, motilitas progresif, dan karakteristik motilitas
berupa DCL = distance curved line; DSL = distance straight line;
DAP = distance average path; VCL = velocity curved linear; VSL =
61
velocity straight line; VAP = velocity average path; LIN = linearity =
(VSL/VCL); STR = straightness (VSL/VAP); ALH = amplitude of
lateral head movement; BCF = beat cross frequency; dan WOB =
wobble = (VAP/VCL), dan konsentrasi.
Evaluasi gerakan massa mengikuti petunjuk Susilawati (2011),
yaitu : (+++), (++), (+) dan (0).
Evaluasi mikroskopis sperma menggunakan Program Sperm
Vision Versi 3.7.5.
Konsentrasi spermatozoa dihitung menggunakan hemocyto-
meter dengan kamar hitung Neubauer improved. Semen hasil
penampungan diencerkan sebanyak 10µl ditambahkan ke dalam
air sebanyak 190 µl, dicampur homogen. Semen yang telah
diencerkan dimasukkan ke dalam hemocytometer. Ujung
mikropipet yang berisi semen disentuhkan pada sisi gelas
penutup dan cairan tersebut dibiarkan mengalir di bawah gelas
penutup sampai kamar hitung terisi. Spermatozoa dihitung pada
kamar hitung sebanyak 5 kotak dengan pola huruf L.
Konsentrasi spermatozoa adalah jumlah spermatozoa yang
diperoleh dikalikan 10.000.000 (106).
4. Kualitas Semen Beku, berupa: post thawing motility (PTM) berupa
motilitas total dan motilitas progresif serta karakteristik motilitas sperma
setelah thawing, dan Recovery Rate (RR) yaitu laju pemulihan sperma
setelah pencairan. Nilai RR dihitung sesuai dengan Hafez (2000):
62
Motilitas setelah pembekuan RR (%) = -------------------------------------------- x 100% Motilitas awal sebelum pembekuan
Evaluasi PTM sperma menggunakan Program Sperm Vision Versi
3.7.5.
5. Konsumsi zat-zat gizi berupa: konsumsi bahan kering, protein kasar,
TDN (Total Digestible Nutrient), Ca dan P. Konsumsi zat-zat gizi
dihitung berdasarkan konsumsi ransum. Konsumsi ransum dihitung
dengan menimbang jumlah pemberian dikurangi sisa ransum yang
diberikan selama 24 jam. Penimbangan jumlah pemberian ransum
dilakukan selama tiga minggu terakhir setiap periode untuk mengetahui
rata-rata konsumsi ransum.
Konsumsi Bahan Kering (kg) = Total Konsumsi Bahan Segar X
Persentase Bahan Kering Ransum (%)
Konsumsi Protein (kg) = Konsumsi Bahan Kering (kg) X Protein
Ransum (%).
TDN dihitung dengan sesuai Harris et al (1972) dalam Hartadi dkk.,
(1980):
% TDN = 92.464 - 3.338 (CF) - 6.945 (EE) - 0.762 (NFE) + 1.115
(Pr) + 0.031 (CF)2 - 0.133 (EE)2 + 0.036 (CF) (NFE) +
0.207 (EE) (NFE) + 0.100 (EE) (Pr) - 0.022 (EE)2 (Pr)
EE = Ekstrak Ether, Pr = Protein, CF = Serat Kasar, dan NFE = Bahan Ekstrak Tanpa N (BETN)
6. Pertambahan bobot badan, efisiensi ransum dan pertambahan lingkar
skrotum.
63
7. Profil Biokimia Darah: urea plasma darah, glukosa darah dan
kolesterol. Pengambilan sampel darah dilakukan untuk mengevaluasi
profil biokimia darah sebagai indikator status fisiologis ternak dalam
proses metabolisme. Pengambilan sampel darah dilakukan setiap
minggu sebanyak tiga kali, yaitu pada minggu ke 6, 7 dan 8 pada
masing-masing periode. Waktu pengambilan sampel darah darah jam
06.30 wita sebelum pemberian pakan dan tiga jam setelah pemberian
pakan
Analisis glukosa dan kolesterol darah dilakukan dengan
menggunakan Easy Touch® GCU Digital. Strip dimasukkan ke
dalam slot yang terdapat pada alat sampai alat menyala pada layar
terdapat tanda tetesan darah yang menunjukkan strip siap untuk
diteteskan darah. Darah yang diambil dari vena jugularis dengan
menggunakan venoject diaplikasikan pada strip. Hasil yang keluar
pada layar digital menunjukkan kadar glukosa atau kolesterol yang
dicari.
Analisis urea plasma darah dilakukan dengan cara sampel darah
yang diambil di vena jugularis segera di sentrifuge dengan
kecepatan 2.500 rpm selama 20 menit. Plasma darah yang di-
peroleh kemudian disimpan di refrigerator sampai semua sampel
darah terkumpul. Sampel darah selanjutnya di bawa ke Balai Besar
Laboratorium Kesehatan, Makassar untuk analisis urea plasma
darah.
64
Analisis Data:
Semua data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Paired
T-Test dengan dibantu Program SPSS Versi 21 menurut petunjuk Santoso
(2013).
2. Penelitian Tahap Kedua
Judul: Libido dan Kualitas Semen Pejantan Sapi Bali yang
Disuplementasi Mineral Zn Anorganik dan Disuplementasi
Daun Kelor.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan libido dan kualitas
semen pejantan sapi Bali yang disuplementasi mineral Zn anorganik
dengan disuplementasi daun kelor. Hasil perbandingan ini dapat dijadikan
sebagai dasar untuk memperkuat dugaan bahwa mineral Zn pada daun
kelor berperan dalam meningkatkan libido dan kualitas semen pejantan
sapi Bali.
Materi Penelitian
Sapi Percobaan. Penelitian ini menggunakan dua ekor pejantan
sapi Bali dalam kondisi sehat, umur 4 – 6 tahun, bobot badan 280 - 325
kg, dan satu ekor sapi induk Bali sebagai pemancing.
Bahan Pakan. Bahan pakan yang digunakan berupa pakan
konsentrat seperti pada Tabel 9, mineral Zn anorganik (Seng Sulfat –
ZnSO4.7H2O Produksi PT. Indofarma, Bekasi, Indonesia), dan jerami
padi.
65
Peralatan. Peralatan utama yang digunakan pada penelitian ini
sama dengan digunakan pada penelitian tahap pertama.
Pemeliharaan Sapi Penelitian, Penampungan Semen, Penilaian Semen
dan Pembuatan Semen Beku:
Pemeliharaan sapi penelitian, penampungan semen, penilaian
semen dan pembuatan semen beku sama dengan penelitian sebelumnya.
Prosedur Penelitian :
Penelitian ini terdiri atas tiga periode, yaitu Periode Kontrol, Periode
Suplementasi Daun Kelor, dan Periode Suplementasi Mineral Zn.
Periode Kontrol dan Suplementasi Daun Kelor. Periode kontrol
dan suplementasi daun kelor adalah periode kontrol dan suplementasi
daun kelor sebagai pakan suplemen dosis tinggi pada penelitian tahap
pertama.
Periode Suplementasi Mineral Zn. Sapi pejantan dipelihara
selama delapan minggu, diberi pakan konsentrat 1% dari bobot badan,
kemudian disuplementasi dengan mineral Zn. Jumlah mineral Zn yang
ditambahkan sebesar (ekuivalen) kandungan mineral Zn yang terdapat
pada daun kelor apabila diberikan sebesar 15% dari bobot pakan
konsentrat pada penelitian kedua tahap pertama. Pemberian pakan
hijauan jerami padi secara ad libitum.
Pengamatan
Peubah yang diamati:
1. Libido.
66
2. Kualitas Semen Segar:
a. Evaluasi Makroskopis semen, berupa: volume, warna, pH, dan
kekentalan.
b. Evaluasi Mikroskopis semen, berupa: gerakan massa, motilitas
sperma (motilitas total, motilitas progresif, dan karakteristik motilitas
(DCL, DSL, DAP, VCL,VSL,VAP, LIN, STR, ALH, BCF dan WOB),
dan konsentrasi.
Evaluasi gerakan massa mengikuti petunjuk Susilawati (2011),
yaitu : (+++), (++), (+) dan (0).
Evaluasi mikroskopis sperma menggunakan Program Sperm
Vision Versi 3.7.5.
Konsentrasi spermatozoa dihitung menggunakan hemocyto-
meter dengan kamar hitung Neubauer improved.
3. Kualitas Semen Beku, berupa: post thawing motility (PTM), dan
karakteristik motilitas sperma. Evaluasi PTM sperma menggunakan
Program Sperm Vision Versi 3.7.5.
4. Konsumsi ransum, konsumsi protein, dan konsumsi mineral Zn.
Prosedur dan perhitungan konsumsi ransum dan konsumsi mineral Zn
seperti pada penelitian kedua tahap pertama.
5. Kandungan mineral Zn pada darah, feses, urine dan semen. Evaluasi
kandungan mineral Zn dalam darah, feces, urine dan semen sebagai
indikator status fisiologis dalam proses metabolism Zn. Pengambilan
sampel darah, feses dan urin dilakukan pada minggu ke 6, 7 dan 8,
67
pada masing-masing periode. Waktu pengambilan sampel darah, feses
dan urine jam 06.30 wita sebelum pemberian pakan.
Analisis Data
Semua data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan One
Way Anova dibantu dengan Program SPSS Versi 21 menurut petunjuk
Santoso (2013).
C. Definisi Operasional
1. Libido yaitu waktu yang diperlukan oleh pejantan mulai dipertemukan
dengan pemancing di kandang kawin, dilakukan pengekangan dua kali
sampai menunggangi dan berejakulasi pada vagina buatan. Satuan
waktu yang digunakan adalah menit.
2. Kualitas semen adalah adalah hasil penilaian secara makroskopis dan
mikroskopis semen segar dan hasil penilaian mikroskopis semen beku.
3. Volume semen adalah volume yang ditunjukkan oleh skala pada tabung
vagina buatan pada waktu penampungan semen.
4. Warna semen pada waktu penampungan adalah kekuningan, putih
susu sampai krem, dan bening.
5. Keketalan semen adalah kental/pekat, sedang dan encer.
6. Konsentrasi spermatozoa merupakan jumlah spermatozoa per ml
semen. Konsentrasi adalah jumlah hasil perhitungan spermatozoa pada
lima kotak kamar hitung Neubauer improved dikali 10.000.000 (106).
68
7. Hasil penilaian gerakan massa, dan hasil perhitungan motilitas semen
segar dan semen beku adalah hasil perhitungan dengan menggunakan
Program Sperm Vision Versi 3.7.5.
69
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Meningkatkan Libido dan Kualitas Semen Pejantan Sapi Bali dengan Suplementasi Daun Kelor.
1. Kualitas Semen Segar Pejantan Sapi Bali dengan Suplementasi Daun Kelor Dosis Rendah
a. Hasil
Hasil pengamatan kualitas semen segar pejantan sapi Bali pada
periode kontrol, suplementasi daun kelor, dan suplementasi daun kelor
dihentikan disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Kualitas semen segar pejantan sapi Bali pada periode kontrol, suplementasi daun kelor, dan suplementasi daun kelor dihentikan.
No Peubah
Kontrol
Suplementasi daun kelor
Suplementasi daun kelor dihentikan
Rata-rata (± SEM) 1. Volume (ml) 4,3 ± 0,52a 3,8 ± 0,21ab 3,0 ± 0,32b 2. Warna 100% = Krem 100% = Krem 100% = Krem 3. Kekentalan 100% = Kental
100% = Kental
80,95% = Kental 9,52% = Sedang 9,52% = Encer
4. pH 6,0 ± 0,00 6,0 ± 0,00 6,3 ± 0,16
5. Gerakan massa 50,00%= +++ 41,67%= ++ 8,33% = +
62,50% = +++ 31,25% = ++ 6,25% = +
52,38% = +++ 42,86% = ++ 4,76% = +
6. Motilitas total (%) 73,93 ± 2,19 75,19 ± 2,07 82,90 ± 4,86
Keterangan : a.b Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang signifikan (P<0,05).
70
Volume semen tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan
(P>0,05) antara kelompok kontrol dengan kelompok suplementasi daun
kelor dan antara kelompok suplementasi daun kelor dengan kelompok
suplementasi daun kelor dihentikan, namun menunjukkan perbedaan yang
signifikan (P<0,05) antara kelompok kontrol dengan kelompok
suplementasi daun kelor dihentikan. Warna, kekentalan, pH, gerakan
massa, dan motilitas total tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan
(P>0,05) antara kelompok kontrol, kelompok suplementasi daun kelor dan
kelompok suplementasi daun kelor dihentikan.
b. Pembahasan
Suplementasi daun kelor dosis rendah tidak meningkatkan volume
semen, namun volume yang diperoleh masih termasuk kategori normal.
Menurut Barszcz et al., (2012) volume semen yang normal adalah 2 - 8
ml, sedangkan menurut Setchell (2014) adalah 2 – 10 ml. Hasil ini serupa
dengan yang diperoleh Ratnawati dkk., (2008), bahwa pemberian
suplemen tradisional yang mengandung telur ayam, madu, temu kunci
dan vitamin E tidak meningkatkan volume semen sapi Bali. Walaupun
demikian, volume semen yang diperoleh masih lebih rendah dibandingkan
dengan yang diperoleh Ratnawati dkk., (2008). Volume semen yang
rendah mungkin disebabkan oleh perbedaan frekuensi penampungan.
Penampungan semen pada penelitian ini dilakukan dua kali seminggu
sedangkan pada penelitian Ratnawati dkk., (2008) hanya satu kali
71
seminggu. Disamping itu, kemungkinan ia menggunakan sapi pejantan
yang bobot badannya lebih besar, karena sapi pejantan di BIB mempunyai
bobot badan di atas rata-rata. Frekuensi penampungan dan bobot badan
dapat mempengaruhi volume semen (Partodihardjo, 1992 dan Susilawati,
2011).
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11Kontrol 5.3 4.9 4.1 2.5Daun Kelor 4.7 2.4 3.6 3.3 4.1 5.2 2.7 3.3 4.2 3.3 3.0Dihentikan 3.7 4.3 3.4 3.0 2.3 2.0 2.3
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
Voum
e (m
l)
Gambar 3. Rata-rata volume semen pada setiap periode.
Gambar 3 menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan suplemen-
tasi daun kelor dapat mempekecil penurunan volume semen selama
periode penampungan, dibandingkan dengan kontrol dan setelah
suplementasi daun kelor dihentikan. Hal ini mungkin karena peran mineral
Zn pada daun kelor dalam peningkatan volume semen, sehingga dapat
menekan laju penurunan volume semen tersebut.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Oliveira et al., (2004),
bahwa suplementasi ZnO meningkatkan volume semen kelinci pembibit.
72
Demikian pula hasil penelitian Kumar et al., (2006) bahwa suplementasi
Zn organik dan anorganik dapat meningkatkan volume semen sapi
pejantan persilangan (Bos indicus × Bos taurus).
Warna, kekentalan, pH, gerakan massa dan motilitas total semen
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan diantara ketiga kelompok
perlakuan. Warna semen yang diperoleh pada masing-masing periode
adalah krem, merupakan kategori normal. Warna semen normal menurut
Toilehere (1993), Feradis (2010) dan (Barszcz et al., 2012) adalah krem
sampai putih susu. Hasil yang sama ditunjukkan oleh Komariah dkk.,
(2013), pada semen sapi Limmousin, Simmental, dan FH adalah putih
susu, krem sampai putih susu pada sapi Jawa (Dewi dkk., 2012), putih
susu pada sapi PO (Affandhy dkk., 2009), dan krem pada sapi PO, putih
pada sapi persilangan PO × Limousin, serta kream sampai putih pada sapi
persilangan PO × Simmental (Ramsiyati dkk., 2004).
Kekentalan semen yang diperoleh pada masing-masing periode
adalah kental. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
Ratnawati et al., (2008) juga diperoleh kekentalan semen sapi Bali,
sedang sampai kental. Demikian pula hasil penelitian Komariah dkk.,
(2013) pada semen sapi Limmousin, Simmental, dan FH diperoleh
kekentalan sedang (medium). Menurut Feradis (2010), semen sapi yang
normal memiliki kekentalan dari sedang sampai kental.
Derajat keasaman (pH) semen yang diperoleh pada masing-masing
periode lebih rendah dibandingkan dengan standar Garner and Hafez
73
(2000) yaitu 6,4 – 7,8. Hasil yang diperoleh juga lebih rendah
dibandingkan dengan hasil penelitian Ratnawati dkk., (2008) dan
Komariah dkk., (2013). Menurut Salisbury dan VanDemark (1985),
penurunan pH semen ini ditentukan oleh metabolisme anaerobik,
sehingga terbentuk asam laktat yang tergantung pada tingkat aktivitas dari
masing-masing ternak. Variasi nilai pH ini juga dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya adalah adanya aktivitas spermatozoa dalam
menguraikan fruktosa, sehingga pH menjadi turun, kontaminasi dengan
kuman sehingga pH naik, dan adanya perbedaan cara mengoleksi semen.
Menurut Rizal dan Herdis (2008) bahwa, derajat keasaman semen
dipengaruhi oleh konsentrasi spermatozoa yang terkandung di dalamnya.
Semakin tinggi konsentrasi spermatozoa, semakin rendah pH semen. Hal
ini disebabkan oleh spermatozoa dalam jumlah banyak akan menghasil-
kan asam laktat dalam jumlah banyak pula, sehingga semen semakin
asam (pH semakin rendah). pH semen yang mencapai 7,0 atau lebih
ditemukan pada sapi yang terlalu sering dipakai, pada ejakulasi yang tidak
sempurna dan pada kondisi-kondisi patologik atau perdarahan pada
testes, epididimis, ampula, atau kelenjar-kelenjar vesikularis. Apabila pH
semen lebih cenderung bersifat alkali, maka hal ini disebabkan oleh
cairan-cairan yang lebih banyak dihasilkan oleh kelenjar aksesoris,
sedangkan pH semen yang tinggi disebabkan banyak spermatozoa yang
mati (Toelihere, 1985; Dewi, 2004). pH semen yang diperoleh lebih
rendah kemungkinan peneliti belum seterampil tenaga terlatih di BIB
74
dalam menampung semen serta kemungkinan sapi digunakan belum
terlatih seperti pada sapi-sapi di BIB.
Gerakan massa sperma pada masing-masing periode yang
menunjukkan ++ dan +++ atau layak untuk diproses menjadi semen beku
sebanyak 91,67% ejakulat pada periode kontrol, 93,75% pada pemberian
daun kelor dan 95,24% pada periode pemberian daun kelor dihentikan.
Gerakan massa ketiga kelompok tersebut tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan.
Motilitas total sperma yang diperoleh pada masing-masing periode
termasuk kategori normal dan layak untuk diproses menjadi semen beku.
Menurut Susilawati (2011), standar motilitas total sperma yang layak untuk
diproses menjadi semen beku adalah 70 - 90%. Hasil penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian Ratnawati dkk., (2008) dan Komariah dkk., (2013).
Menurut Gordon (2004) bahwa: warna, volume, pH, konsistensi
konsentrasi, gerakan massa, dan motilitas spermatozoa segar dari seekor
pejantan sangat bervariasi. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor antara
lain kondisi masing-masing individu, seperti kualitas organ reproduksi,
umur ternak, kondisi manajemen peternakan, jenis pakan yang diberikan,
dan bangsa sapi yang digunakan.
Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa suplementasi
daun kelor dosis rendah berpengaruh terhadap penurunan volume semen.
Suplementasi daun kelor menunjukkan kecenderungan memperkecil
penurunan volume semen selama periode penampungan. Oleh karena itu,
75
masih perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan daun
kelor dosis tinggi untuk melihat pengaruh signifikan daun kelor terhadap
kualitas semen.
2. Libido dan Kualitas Semen Pejantan Sapi Bali dengan Suplementasi Daun Kelor Dosis Tinggi
a. Hasil
Kadar Hormon Testosteron dan Libido. Perubahan diurnal kadar
hormon testosteron pejantan sapi Bali tanpa (kontrol) dan disuplementasi
daun kelor (perlakuan) dengan interval waktu delapan jam disajikan pada
Gambar 4. Kadar hormon testosteron pejantan sapi Bali pada kelompok
perlakuan lebih tinggi pada pagi, siang, dan malam hari dibandingkan
dengan kelompok kontrol.
Gambar 4. Kadar hormon testosteron sapi Bali pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
06.00 14.00 22.00
Test
osto
ster
on (
ng/m
l)
Waktu pengambilan (pukul)
Kontrol Perlakuan
76
Rata-rata libido pejantan sapi Bali pada kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan selama delapan minggu pemeliharaan disajikan pada
Gambar 5. Libido pejantan sapi Bali kelompok perlakuan signifikan lebih
tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Gambar 5. Libido pejantan sapi Bali pada kelompok kontrol dan perlakuan.
Kualitas Semen Segar. Kualitas semen segar secara makroskopis
dan mikroskopis pejantan sapi Bali pada kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan disajikan pada Tabel 12. Hasil penilaian secara makroskopis
berupa volume, pH, dan warna tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan (P>0,05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan.
Kekentalan semen kelompok perlakuan signifikan lebih kental (P<0,05)
daripada kelompok kontrol. Hasil penilaian secara mikroskopis berupa
konsentrasi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,05) antara
kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Gerakan massa semen
7.20 a
3.49 b
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
10.00Kontrol Daun Kelor
Libi
do (m
enit)
77
kelompok perlakuan signifikan lebih cepat (P<0,05) dari pada kelompok
kontrol. Motilitas total dan motilitas progresif semen kelompok perlakuan
signifikan lebih besar (P<0,05) dari pada kelompok kontrol.
Tabel 12. Hasil penilaian kualitas semen segar pejantan sapi Bali pada
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. No Kualitas Semen Kontrol Perlakuan
Rata-rata (± SEM) Makroskopis : 1. Volume (ml) 3,1 ± 0.21 3,4 ± 0,26 2. pH 7,0 ± 0.00 7,0 ± 0,00 3. Warna 100%
= putih susu – krem
100% = putih susu – krem
4. Kekentalan 67,86% 10,71% 21,43%
= kentala
= sedang = encer
100%
= kentalb
Mikroskopis : 1. Konsentrasi (juta/ml) 791 ± 96,78 817 ± 58,48 2. Gerakan massa 50%
39,29% 10,71%
= +++a
= ++ = +
80,00% 16,00%
4,00%
= +++b
= ++ = +
3. Motilitas total (%) 71,60 ± 8,03a 83,59 ± 9,49b 4. Motilitas progresif (%) 52,77 ± 1,76a 67,03 ± 3,74b Keterangan : a.b Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (P< 0,05).
Karakteristik Motilitas Semen Segar. Karakteristik motilitas
sperma pejantan sapi Bali pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
disajikan pada Tabel 13. Jarak yang dapat ditempuh oleh sperma dalam
satu detik pada lintasan curve (DCL), pada lintasan straight (DSL), dan
pada lintasan rata-rata alurnya (DAP), signifikan lebih jauh pada kelompok
perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol (P<0,05). Velocity
78
(kecepatan) sperma pada lintasan curve (VCL), pada lintasan straight
(VSL), dan pada lintasan rata-rata alurnya (VAP), juga signifikan lebih
cepat pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol
(P<0,05). Persentase LIN, STR, dan WOB signifikan lebih rendah pada
kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol (P<0,05).
Frekuensi gerakan sperma (BCF) atau rata-rata alur curve linear sperma
melewati rata-rata alurnya, pada kelompok perlakuan dan kontrol tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,05). Jarak lateral gerakan
kepala sperma pada setiap rata-rata alurnya (ALH) signifikan lebih jauh
pada kelompok perlakuan dibanding dengan kontrol (P<0,05).
Tabel 13. Karakteristik motilitas sperma pejantan sapi Bali pada kelompok
kontrol dan perlakuan.
No. Parameter Kontrol Perlakuan Rata-rata (± SEM)
1. DCL (µm/s) 30,02 ± 0,91a 38,46 ± 1,74b 2. DSL (µm/s) 12,88 ± 0,22a 14,72 ± 0,38b 3. DAP (µm/s) 17,90 ± 0,47a 21,57 ± 0,85b 4. VCL (µm/s) 71,78 ± 2,07a 91,24 ± 4,32b 5. VSL (µm/s) 31,18 ± 0,48a 35,14 ± 0,84b 6. VAP (µm/s) 43,10 ± 1,05a 51,66 ± 1,70b 7. LIN (%) 43,50 ± 0,01a 39,25 ± 0,01b 8. STR (%) 0,72 ± 0,01a 0,68 ± 0,01b 9. ALH (µm) 5,47 ± 0,12a 6,23 ± 0,20b 10. BCF (Hz) 19,37 ± 0,25 19,70 ± 0,28 11. WOB (%) 0,60 ± 0,01a 0,57 ± 0,01b Keterangan : a.b Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (P< 0,05).
79
Kualitas Semen Beku. Hasil penilaian kualitas semen beku sapi
Bali pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan disajikan pada Tabel
14. Perbandingan nilai motilitas semen segar dan semen beku pada
kelompok kontrol dan perlakuan disajikan pada Tabel 15. Nilai post
thawing motility berupa motilitas total and motilitas progressif sperma
signifikan lebih tinggi (P<0,05) pada kelompok perlakuan dibandingkan
dengan kelompok kontrol. RR sperma tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan (P>0,05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan.
Jarak yang dapat ditempuh oleh sperma dalam satu detik pada lintasan
curve (DCL), pada lintasan straight (DSL), dan pada lintasan rata-rata
alurnya (DAP), tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,05)
antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan.Velocity (kecepatan)
sperma pada lintasan curve (VCL), pada lintasan straight (VSL), dan pada
lintasan rata-rata alurnya (VAP), juga tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan (P>0,05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan.
Persentase LIN, STR, dan WOB tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan (P>0,05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan.
Frekuensi gerakan sperma (BCF) pada kelompok perlakuan dan kontrol
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,05). Jarak lateral
gerakan kepala sperma pada setiap rata-rata alurnya (ALH) tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,05) antara kelompok kontrol
dengan kelompok perlakuan.
80
Tabel 14. Hasil penilaian kualitas semen beku pejantan sapi Bali pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
No Kualitas Semen Beku Kontrol Perlakuan
Rata-rata (± SEM) 1. Motilitas total (%) 72,79 ± 1,17a 80,57 ± 3,16b 2. Motilitas progresif (%) 56,06 ± 1,62a 65,96 ± 3,30b 3. Recovery Rate (%) 87,66 ± 2,15 88,85 ± 3,72 4. Karakteristik motilitas: DAP (µm/s) 20,11 ± 0.25 21,42 ± 0,66 DCL (µm/s) 41,03 ± 0.85 43,28 ± 1,38 DSL (µm/s) 13,29 ± 0.08 13,82 ± 0,28 VCL (µm/s) 102,38 ± 1.94 107,78 ± 3,20 VAP (µm/s) 50,63 ± 0.56 53,89 ± 1,53 VSL (µm/s) 33,73 ± 0.25 35,09 ± 0,63 LIN (%) 32,67 ± 0.01 32,13 ± 0,00 ALH (µm) 5,82 ± 0.09 5,84 ± 0,10 STR (%) 0,66 ± 0.01 0,65 ± 0,01 BCF (Hz) 20,55 ± 0.15 20,69 ± 0,23 WOB (%) 0,49 ± 0.00 0.49 ± 0.00 Keterangan : a.b Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (P< 0,05).
Nilai motilitas total dan motilitas progresif sperma segar dan sperma
beku baik pada kelompok kontrol maupun perlakuan tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan. Sedangkan nilai-nilai karakteristik motilitas
menunjukkan perbedaan yang signifikan antara sperma segar dengan
sperma beku baik pada kelompok kontrol maupun perlakuan, kecuali pada
DAP, VSL dan ALH pada kelompok perlakuan, dan DSL pada kelompok
kontrol dan perlakuan.
81
Tabel 15. Perbandingan motilitas sperma segar dan beku pada kelompok kontrol dan perlakuan.
No
Motilitas Sperma Kontrol Perlakuan Segar Beku Segar Beku
Rata-rata (± SEM) 1. Motilitas (%) 71,60 ± 8,03 72.79 ± 1.17 83,59 ± 9,49 80.57 ± 3.16 2. Progresif (%) 52.77 ± 1.76 56.06 ± 1.62 67.03 ± 3.74 65.96 ± 3.30 3 Karakteristik
motilitas:
DAP (µm/s) 17.90 ± 0.47a 20.11 ± 0.25b 21.57 ± 0.85 21.42 ± 0.66 DCL (µm/s) 30.02 ± 0.91a 41.03 ± 0.85b 38.46 ± 1.74a 43.28 ± 1.38b
DSL (µm/s) 12.88 ± 0.22 13.29 ± 0.08 14.72 ± 0.38 13.82 ± 0.28 VCL (µm/s) 71.78 ± 2.07a 102.38 ± 1.94b 91.24 ± 4.32a 107.78±3.20b
VAP (µm/s) 43.10 ± 1.05a 50.63 ± 0.56b 51.66 ± 1.70a 53.89 ± 1.53b
VSL (µm/s) 31.18 ± 0.48a 33.73 ± 0.25b 35.14 ± 0.84 35.09 ± 0.63 LIN (%) 43,50 ± 0.01a 32,67 ± 0.01b 39,25 ± 0.01a 32,13 ± 0.00b
ALH (µm) 5.42 ± 0.12a 5.82 ± 0.09b 6.23 ± 0.20 5.84 ± 0.10 STR (%) 0.72 ± 0.01a 0.66 ± 0.01b 0.68 ± 0.01a 0.65 ± 0.01b
BCF (Hz) 19.37 ± 0.15a 20.55 ± 0.15b 19.70 ± 0.28a 20.69 ± 0.23b
WOB (%) 0.60 ± 0.01a 0.49 ± 0.00b 0.57± 0.01a 0.50 ± 0.00b
Keterangan : a.b Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (P< 0,05).
Konsumsi Bahan Kering Ransum, Konsumsi Nutrien dan
Pertumbuhan. Konsumsi bahan kering ransum, konsumsi bahan kering
berdasarkan bobot badan, konsumsi nutrien, dan pertumbuhan pejantan
sapi Bali pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan disajikan pada
Tabel 16. Konsumsi bahan kering ransum, konsumsi metabolisme, dan
konsumsi TDN tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,05)
antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Konsumsi Protein
kasar, Ca, dan P menunjukkan perbedaan yang signifikan (P<0,05) antara
kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Pertambahan bobot
badan, efisensi ransum dan pertambahan lingkar skrotum tidak
82
menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,05) antara kelompok kontrol
dengan kelompok perlakuan.
Tabel 16. Konsumsi ransum, konsumsi metabolisme, konsumsi nutrien dan pertumbuhan pejantan sapi Bali pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
No. Konsumsi ransum dan pertumbuhan
Kontrol Perlakuan Rata-rata (± SEM)
1. Konsumsi bahan kering (kg/hari) 13,86 ± 0,27 13,29 ± 0,29 2. Konsumsi/BB0,75/hari
(kg BK/BB0,75/hari) 0,22 ± 0,01 0,21± 0,01
3. Konsumsi protein kasar (kg/hari) 0,72±0,011a 0,78±0,012b 4. Konsumsi TDN (kg/hari) 6,03±0,12 5,79±0,12 5. Ca (kg/hari) 0,098±0,002a 0,107±0,002b 6. P (kg/hari) 0,023±0,0003a 0,024±0,0003b 7. Pertambahan bobot badan
(kg/hari) 0,26 ± 0,67 0,32 ± 0,10
8. Effisiensi ransum 1,91± 0,56 2,44 ± 0,85
9. Pertambahan lingkar skrotum (cm) 0,26 ± 0,07 0,32 ± 0,10
Keterangan : a.b Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (P< 0,05).
Profil Biokimia Darah dan Plasma Semen. Profil biokimia darah
dan plasma semen pejantan sapi Bali pada kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan disajikan pada Tabel 17 dan 18. Urea plasma darah,
glukosa darah dan kolesterol tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan (P>0,05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan.
Kadar glukosa dan kolesterol pada plasma semen, juga tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,05) antara kelompok kontrol
dengan kelompok perlakuan.
83
Table 17. Profil biokimia darah sapi Bali pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
No Profil biokimia darah Kontrol Perlakuan Referensi
Rata-rata (± SEM) standar 1. Urea plasma darah
(mg/dL) 6.87 ± 0,70 7,94 ± 1,32 6 – 271
2. Glukosa darah (mg/dL)
55.34 ± 1.68 44.58 ± 4.09 40 – 602 45 -751
4. Kolesterol (mg/dL) 123.50 ± 7.25 139.08 ± 19.24 65–2201
Referensi standar: 1. Jackson and Cockcroft (2002) 2. Rahardja (2008).
Table 18. Biokimia plasma semen sapi Bali pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
No Biokimia plasma semen
Kontrol Perlakuan Referensi Rata-rata (± SEM) Standar
1. Glukosa (mg/dL) 63.33 ± 5.97 72.22 ± 9.45 301 (3002)
2. Kolesterol (mg/dL) 210.67 ± 47.46 237.92 ± 23.06 2001(312,162)
Referensi Standar: 1. Polakoski and Kopta (1981) 2. Juyena and Stelletta (2012)
b. Pembahasan
Kadar Hormon Testosteron dan Libido. Hasil penelitian ini me-
nunjukkan bahwa suplementasi daun kelor meningkatkan kadar hormon
testosteron pejantan sapi Bali sepanjang hari selama periode perlakuan.
Testosteron terutama bertanggung jawab untuk libido (Hafez, 2000).
Menurut Astuti dkk., (2006) bahwa, sekresi testosteron berfluktuasi secara
diurnal mempunyai fungsi antara lain untuk menimbulkan libido. Fluktuasi
hormon testosteron terjadi karena adanya mekanisme umpan balik
84
hormon LH dari hipofisis serta GnRH dari hipotalamus. Testis dalam waktu
24 jam akan melepaskan denyutan testosteron sebanyak 12 hingga 24
kali. Dengan adanya denyutan-denyutan hormon akan timbul suatu pola
harian dengan fluktuasi tertentu.
Puncak dan konsentrasi basal testosteron pada sapi jantan
bervariasi (Sekoni et al., 2010). Secara umum, ritme diurnal tesosteron
ditandai oleh tingkat testosteron tertinggi pada pagi hari, kemudian
menurun tajam sebelum tengah hari, terus menurun sampai pada sore
hari, dan mencapai tingkat terendah pada malam hari (Endendijk, 2016).
Pada ternak kerbau, kadar hormon testosteron tertinggi pada musim
panas terjadi pada jam 06.00 pagi kemudian turun menjadi terendah pada
jam 12.00 siang, selanjutnya meningkat jam 06.00 sore dan menurun
kembali pada jam 12.00 malam. Kadar hormon testosteron pada musim
panas, tertinggi terjadi pada jam 06.00 pagi kemudian turun pada jam
12.00 siang dan meningkat kembali jam 06.00 sore kemudian turun
kembali sampai tingkat terendah pada jam 12.00 malam (Barnabe et al.,
(1995). Sedangkan pada Bunaji dan N’Dama puncak konsentrasi
testosteron tertinggi jam 08.00 – 10.00 (Sekoni et al., 2010). Pada Owa
Jawa (Hylobates moloch), kadar hormon testosteron tertinggi dalam
plasma maupun feses terjadi pada malam hari sampai pukul 06.00,
namun aktivitas seksual serta kopulasi dilakukan pada siang hari (Astuti
dkk., 2006). Oleh karena itu, tingginnya kadar hormon testosteron tersebut
85
bertanggung jawab terhadap tingginya libido, baik pada pagi, siang,
maupun malam hari.
Kadar hormon testosteron yang lebih tinggi selama periode
perlakuan sesuai dengan hasil penelitian Prabsattroo et al., (2015) dan
Dafaalla et al., (2016) pada tikus. Mereka melaporkan bahwa pemberian
daun kelor secara signifikan meningkatkan serum testosteron pada tikus.
Suplementasi daun kelor juga dapat meningkatkan sel Leydig (Prabsattroo
et al., 2015) dan kadar hormon FSH dan LH (Dafaalla et al., 2016).
Menurut Roy et al., (2013) bahwa, sintesis testosteron yang dilakukan
oleh sel Leydig pada testis tergantung pada kecukupan Zn dalam
makanan. Mineral Zn merangsang sel Leydig untuk memproduksi
testosteron untuk fungsi normal sumbu hipotalamus-hipofisis-testis.
Kurangnya Zn menyebabkan kerusakan pada mekanisme reseptor LH
dalam pengendalian, penyimpanan, dan pelepasan testosteron. Hasil
penelitian Batra et al., (2004) menunjukkan bahwa pemberian Zn
melindungi kerusakan testes terhadap pengaruh logam berat Pb. Logam
Pb menghambat proses spermatogenesis yang dapat menyebabkan
kekurangan testosteron, sehingga pemberian Zn dapat meningkatkan
hormon testosteron yang dapat memicu libido. Selanjutnya hasil penelitian
Egwurugwu et al., (2013) menunjukkan bahwa, pemberian Zn sulfat pada
tikus wistar jantan albino signifikan meningkatkan kadar hormon
testosteronnya sehingga meningkatkan libidonya. Demikian pula hasil
penelitian Kumar et al., (2006) menunjukkan bahwa, suplementasi Zn
86
secara signifikan meningkatkan serum testosteron pada sapi jantan
persilangan (Bos indicus × Bos taurus). Hasil serupa juga dilaporkan oleh
Roy et al., (2013) pada sapi, kerbau, dan kelinci.
Oleh karena itu, kandungan Zn yang tinggi pada daun kelor yang
digunakan pada penelitian ini dianggap sebagai salah satu kemungkinan
yang mempengaruhi level testosteron lebih tinggi sepanjang hari selama
periode perlakuan. Kondisi ini juga didukung oleh Kumar et al., (2006)
yang menyatakan bahwa, Zn adalah komponen penting protein yang
terlibat dalam sintesis dan sekresi testosteron. Hasil penelitian ini juga
menunjukkan bahwa suplementasi daun kelor secara signifikan
meningkatkan konsumsi protein kasar (Tabel 16), sehingga kandungan
protein yang tinggi pada daun kelor juga dapat diduga memicu proses
sintesis dan sekresi testosteron selama masa perlakuan.
Menurut Chenoweth (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi libido
seekor pejantan adalah: umur dan pengalaman, rasio pejantan terhadap
betina, pengaruh sosial, dan perbedaan genetik. Sapi pejantan yang
digunakan pada penelitian ini berumur 4 – 5 tahun sehingga libidonya
sudah stabil, dipelihara secara besama-sama dengan betina pemancing
pada kandang individu. Sapi pejantan sebanyak 4 ekor merupakan hasil
seleksi dari 25 ekor sapi pejantan yang telah digunakan oleh Toleng et al.,
(2014) untuk mengevaluasi hubungan antara parameter kualitas sperma
sapi Bali di peternakan rakyat. Toleng et al., (2014) melakukan seleksi
dengan menggunakan Bull Breeding Soundness Evaluation Guidelines
87
Established by Society for Theriogenology (2010). Keempat ekor sapi
pejantan tersebut telah dilatih penampungan semen dua kali seminggu
selama dua bulan sebelum penelitian dan telah digunakan pada penelitian
tahap pertama, sehingga dianggap sudah terlatih dalam penampungan
semen. Sapi induk Bali sebanyak satu ekor digunakan sebagai
pemancing, merupakan sapi induk yang tidak bersiklus dan terdapat
kelainan pada alat reproduksinya, sehingga pengaruh siklus berahi
terhadap libido dapat diminimalisir. Dengan demikian, libido sapi pejantan
yang diukur tidak dipengaruhi oleh faktor pengalaman pejantan, rasio
pejantan dengan betina, pengaruh sosial, dan betina pemancing.
Libido (waktu yang dibutuhkan mulai mendekati betina pemancing
sampai ejakulasi) pada pejantan sapi Bali selama perlakuan lebih pendek
dibandingkan dengan kontrol yaitu 3,49±0,40 vs 7,20±1,49 menit. Menurut
Susilawati, (2011), libido sapi Bali rata-rata 4,5 menit. Oleh karena libido
dipengaruhi oleh kadar hormon testosteron (Prabsattroo et al., 2012 dan
Roy et al., 2013), maka peningkatan libido pejantan sapi Bali pada
penelitian ini disebabkan oleh peningkatan kadar testosteron. Suplemen-
tasi daun kelor dosis tinggi dapat meningkatkan kadar hormon
testosteronnya sehingga meningkatkan libidonya.
Gambar 6 menunjukkan bahwa, sapi pejantan yang dilakukan
penampungan semen selama delapan minggu pada periode kontrol,
waktu yang diperlukan untuk ejakulasi tidak stabil. Waktu yang diperlukan
cenderungan mengalami peningkatan, sehingga libidonya juga cenderung
88
mengalami penurunan. Sedangkan pada periode perlakuan, waktu yang
diperlukan untuk ejakulasi lebih stabil, dan waktu yang diperlukan
cederung lebih singkat, sehingga libidonya cenderung mengalami
peningkatan. Hal ini dapat berarti bahwa, suplementasi daun kelor dosis
tinggi dapat mempertahankan libido pejantan sapi Bali apabila dilakukan
penampungan semen setiap minggu.
1 2 3 4 5 6 7 8Kontrol 13.33 5.75 3.00 5.75 5.75 4.00 5.67 14.33Kelor 5.08 2.50 2.67 5.00 2.67 3.03 4.38 2.60
0.002.004.006.008.00
10.0012.0014.0016.00
Libi
do (m
enit)
Gambar 6. Libido pejantan sapi Bali pada kelompok kontrol dan perlakuan yang dilakukan penampungan semen selama delapan minggu.
Kualitas Semen Segar. Kualitas semen segar secara makroskopis
dan mikroskopis kelompok perlakuan lebih baik dari pada kelompok
kontrol. Rata-rata volume semen pada kelompok kontrol adalah 3,1±0,21
ml, sedangkan pada kelompok perlakuan adalah 3,4±0.26 ml. Volume
tersebut termasuk kategori normal menurut Setchell (2014), yaitu volume
semen sapi yang normal adalah 2 - 10 ml. Warna semen yang diperoleh
pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan 100% putih susu sampai
89
krem. Warna tersebut adalah normal menurut Garner and Hafez (2000),
yaitu warna normal semen sapi adalah putih susu sampai krem. Derajat
keasaman (pH) semen kelompok kontrol dan perlakuan adalah 7,0. Nilai
ini termasuk kategori normal menurut Garner and Hafez (2000), yaitu
kisaran pH semen sapi yang normal adalah 6.4 - 7.8. Konsistensi semen
sapi pada kelompok kontrol terdapat 67,86%, 10,71%, dan 21,43%
ejakulat yang memiliki konsistensi kental, sedang, dan encer, sedangkan
pada kelompok perlakuan 100% ejakulat konsistrensinya kental. Menurut
Feradis (2010), semen sapi yang normal memiliki konsistensi dari sedang
sampai kental, sehingga hanya 78,57% ejakulat pada kelompok kontrol
yang normal.
Rata-rata konsentrasi semen kelompok kontrol sebanyak 791
juta/ml sedangkan kelompok perlakuan sebanyak 817 juta/ml. Konsentrasi
tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, namun termasuk
kategori normal menurut (Setchell, 2014), yaitu konsentrasi normal semen
sapi adalah 300 – 2.000 juta/ml. Gerakan massa sperma yang normal dan
layak untuk diproses menjadi semen beku adalah positif 2 (++) dan positif
3 (+++) pada skala 0 - 3 (- sampai +++) (Susilawati 2011). Terdapat
89,29% ejakulat pada kelompok kontrol dan 96% ejakulat pada kelompok
perlakuan yang mempunyai gerakan massa yang normal dan layak untuk
diproses menjadi semen beku. Rata-rata motilitas total kelompok kontrol
adalah 71,60% sedangkan kelompok perlakuan adalah 83,59%. Motilitas
total merupakan indikator penilaian kualitas semen sebelum dibekukan.
90
Menurut Susilawati (2011) semen yang normal mengandung spermatozoa
motil 70 - 90%, sehingga semen dari kedua kelompok tersebut layak untuk
diproses menjadi semen beku. Rata-rata motilitas progresif pada
kelompok kontrol adalah 45,16%, sedangkan pada kelompok perlakuan
adalah 66,36%. Motilitas progresif merupakan indikator fertilitas sperma.
Pejantan fertil mempunyai motilitas progresif 50 - 80% (Feradis 2010).
Hasil penelitian ini dapat menunjukkan bahwa, suplementasi daun kelor
dosis tinggi dapat meningkatkan fertilitas pejantan sapi Bali.
Warna, pH, kekentalan dan gerakan massa yang diperoleh selaras
dengan hasil penelitian Rachmawati (2011) di Balai Besar Inseminasi
Buatan (BBIB) Singosari dan Said et al., (2014) di Balai Inseminasi Buatan
Daerah (BIBD) Banyumulek Nusa Tenggara Barat (NTB) yang juga
menggunakan pejantan sapi Bali.
Volume semen yang diperoleh serupa dengan yang hasil penelitian
Ratnawati dkk (2008), bahwa pemberian suplemen tradisional yang
mengandung telur ayam, madu, temu kunci dan vitamin E tidak
meningkatkan volume semen sapi Bali secara signifikan, namun volume
tersebut masih dalam kategori normal. Walaupun demikian, volume
semen yang diperoleh masih lebih rendah dibandingkan dengan yang
diperoleh Ratnawati dkk (2008) tersebut. Volume semen yang rendah
mungkin disebabkan oleh perbedaan frekuensi penampungan. Penam-
pungan semen pada penelitian ini dilakukan dua kali seminggu sedangkan
pada penelitian Ratnawati dkk (2008) hanya satu kali seminggu. Frekuensi
91
penampungan dapat mempengaruhi volume semen (Partodihardjo, 1992).
Volume semen yang diperoleh juga masih lebih rendah dibandingkan
dengan Rachmawati (2011) dan Said et al., (2014). Hal ini mungkin
disebabkan oleh kondisi fisik pejantan yang digunakan yaitu bobot badan
yang lebih besar, karena sapi pejantan di BIB adalah pejantan unggul dan
terseleksi. Menurut Susilawati (2011) bahwa, volume semen yang
diejakulasikan dipengaruhi umur pejantan, kondisi fisik, musim,
keterampilan kolektor dan frekuensi penampungan.
Motilitas total sperma kelompok kontrol hanya 71,60%, sedangkan
kelompok perlakuan 83,59%. Hasil penelitian Rachmawati (2011) adalah
70% dan Said et al., (2014) adalah 75%. Hal ini menunjukkan bahwa
suplementasi daun kelor dosis tinggi signifikan meningkatkan motilitas
total sperma pejantan sapi Bali.
Suplementasi daun kelor dosis tinggi dapat mempertahankan
konsentrasi sperma sapi jantan Bali pada tingkat normal. Hasil penelitian
ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Priyadarshani dan Varma (2014)
dan Prabsattroo et al., (2015) pada tikus. Mereka menemukan bahwa
pada tikus hiperglikemik dan tikus yang mengalami stres, suplementasi
daun kelor secara signifikan meningkatkan konsentrasi spermanya.
Konsentrasi sperma tikus yang mengalami hiperglikemik dan stress
menjadi normal kembali setelah pemberian tepung daun kelor. Hasil ini
menunjukkan bahwa, suplementasi daun kelor dosis tinggi dapat
mempertahankan dan mengembalikan konsentrasi normal sperma.
92
Suplementasi daun kelor dosis tinggi signifikan meningkatkan
motilitas total dan motilitas progresif sperma pejantan sapi Bali. Motilitas
total dan motilitas progresif sperma pada penelitian ini serupa dengan
yang dilaporkan pada pejantan sapi Bali BBIB Singosari sebesar 83,46 ±
4,27% dan 70,68 ± 8,92% (Sarastina et al., 2007). Hasil penelitian Eghbali
et al., (2010) menunjukkan bahwa, kandungan Ca total plasma semen
kerbau berkorelasi positif dengan motilitas total dan motilitas progresif
sperma. Princewill et al., (2015) juga menyatakan bahwa, P diperlukan
untuk motilitas sperma. Konsentrasi fosfor yang terdeteksi pada plasma
semen sapi berkorelasi positif dengan parameter kuantitas dan kualitas
semen sapi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, suplementasi daun
kelor dosis tinggi signifikan meningkatkan konsumsi Ca dan P (Tabel 16),
sehingga kandungan Ca dan P yang tinggi pada daun kelor dapat diduga
sebagai penyebab peningkatan motilitas sperma selama masa perlakuan.
Selain itu, hasil studi Begum et al., (2009) menunjukkan bahwa,
beberapa nutrisi yang berkontribusi terhadap motilitas sperma seperti
arginin, karnitin, Zn, vitamin B12, vitamin C, vitamin E, glutathione dan
selenium dan Coenzyme Q-10. Nutrisi yang ditemukan pada daun kelor
adalah arginin, Zn, Se, vitamin C dan E. Daun kelor mengandung 1,78%
asam amino arginin, mineral Zn 31,03 mg/kg, mineral Se 363 mg/kg
(Moyo et al., 2011), Vitamin C 225 mg/100g (Dhakar et al., 2011), dan
Vitamin E 77 mg/100g (Moyo et al., 2011).
93
Asam amino arginin merupakan prekursor penting untuk sintesis
putrescine, spermidine, dan spermine yang esensial untuk motilitas
sperma (Wu et al., 2009 dan Sinclair, 2000). Studi Al-Ebady et al., (2012)
menunjukkan bahwa, terdapat korelasi antara defisiensi arginin dengan
penurunan motilitas sperma. Arginine berperan penting dalam pemelihara-
an motilitas sperma dan aktivitas metabolismenya di dalam saluran
reproduksi atau selama penyimpanan, mencegah peroksidasi membran
fosfolipid bilayer. Arginin meningkatkan metabolisme sperma, sehingga
meningkatkan laju glikolisis dan sintesis ATP, senyawa kaya energi yang
penting untuk motilitas sperma.
Mineral Zn dapat menyediakan energi gerak bagi sperma sehingga
lebih aktif (Iwasaki dan Gagnon, 1992). Zinc berperan meningkatkan
motilitas sperma dengan sistem adenosin trifosfat dan regulasi fosfolipid,
yang terkonsentrasi pada ekor spermatozoa matang (Cheah and Yang,
2011). Suplementasi Zn secara signifikan meningkatkan motilitas sperma
segar atau beku (Zhinian 1998 dan Bindari et al., 2013).
Se berfungsi sebagai antioksidan kuat, bergabung dengan seleno-
asam amino, (L-seleno-methionine, L-selenocysteine) dan seleno-enzim
secara kritis mempengaruhi kualitas sperma dan kesuburan pejantan
dalam bentuk glutathione peroksidase 4 (GPXs4), sehingga spermatozoa
lebih rentan terhadap stres oksidatif jika kandungan Se dalam
selenoprotein rendah (Cheah and Yang, 2011).
94
Vitamin C dan E berfungsi melindungi sperma dari stres oksidatif.
Vitamin C atau asam askorbat termasuk antioksidan yang mampu
memutus rantai reaksi radikal bebas. Vitamin C mempunyai kemampuan
menguatkan kestabilan jaringan pelindung membran plasma terhadap
peroksida lipid, sehingga dapat mempertahankan kualitas dan fertilitas
semen. Vitamin E berfungsi sebagai antioksidan pemutus rantai yang
menangkap radikal bebas di membran sel dan lipoprotein plasma dengan
bereaksi dengan radikal peroksida lipid yang dibentuk oleh peroksidasi
asam lemak tak jenuh ganda. Defisiensi mineral selenium dan vitamin E
berpengaruh terhadap motilitas spermatozoa (Cheah and Yang, 2011
dan Azawi and Hussein, 2013).
Motilitas total dan motilitas progresif sperma yang lebih tinggi pada
pejantan sapi Bali yang disuplementasi daun kelor dosis tinggi, mungkin
disebabkan oleh kandungan gizi ini. Oleh karena itu, masih diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk mengklarifikasi nutrisi utama yang secara
signifikan mempengaruhi motilitas sperma tersebut.
Karakteristik Motilitas Semen Segar. Penilaian karakteristik
motilitas sperma merupakan penilaian lanjutan setelah motilitas total dan
motilitas progresif sperma. Hasil penilaian karakteristik motilitas sperma
dengan menggunakan CASA menunjukkan bahwa, suplementasi daun
kelor dosis tinggi meningkatkan jarak tempuh sperma dalam satu detik
pada DCL, DSL, dan DAP, kecepatan sperma pada VCL, VSL, dan VAP
serta amplitudo (ALH) sperma pejantan sapi Bali. Menurut Susilawati
95
(2011), terdapat tiga pola motilitas sperma, yaitu kelompok hiperaktifasi
memiliki nilai VCL ≥ 100 µm/detik, LIN < 60% dan ALH ≥ 5 µm/detik, non
hiperaktifasi apabila memiliki nilai VSL ≥ 40 µm/detik, LIN ≥ 60% dan ALH
< 5 µm/detik, serta kelompok transisi yang memiliki nilai diantaranya.
Berdasarkan kategori tersebut, maka sperma yang diamati belum
termasuk dalam kelompok hiperaktifasi, tetapi mendekati hiperaktifasi,
karena nilai VCLnya hanya 91.24 µm/detik. Pengujian pola motilitas
hiperaktifasi menggunakan CASA dapat menjadi upaya yang baik untuk
memprediksi kemampuan fertilisasi spermatozoa. Hiperaktifasi sperma-
tozoa diperlukan sesaat sebelum reaksi akrosom secara in vitro yaitu
pergerakan dalam oviduct saat fertilisasi.
Karakteristik motilitas sperma berkorelasi positif dengan fertilitas
(Perumal at al., 2014), sehingga dapat digunakan untuk memprediksi
kemampuan fertilisasi sperma. Nilai VAP, VSL, dan LIN merupakan
indikator motilitas progresif dan nilai VCL, ALH, dan BCF merupakan
indikator rigor sperma. Nilai VAP dan VCL merupakan prediksi yang baik
untuk kemampuan fertilisasi sperma secara in vitro (Susilawati, 2011).
Nilai-nilai parameter tersebut pada kelompok perlakuan lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok kontrol, sehingga suplementasi daun
kelor dosis tinggi kemungkinan menghasilkan sperma yang lebih fertil.
Nilai karakteristik motilitas sperma yang diperoleh masih lebih
rendah dibandingkan dengan pejantan di BBIB Singosari. Menurut Garner
and Hafez (2000), bahwa banyak faktor yang mempengaruhi perbedaan
96
nilai motilitas spermatozoa diantaranya umur, bangsa, kematangan
spermatozoa, dan kualitas plasma semen. Nilai karakteristik motilitas
sperma yang lebih tinggi di BBIB Singosari kemungkinan karena sapi
pejantan tersebut umurnya lebih tua sehingga spermanya lebih matang.
Disamping itu, menggunakan pejantan unggul yang terseleksi serta
pemberian pakan yang berkualitas.
Kualitas Semen Beku. Suplementasi daun kelor meningkatkan
post thawing motility berupa motilitas total dan motilitas progresif semen
beku pejantan sapi Bali. Post thawing motility semen beku yang diperoleh
juga lebih tinggi dibandingkan dengan standar menurut Vincent et al.,
(2012) yaitu 40% dan 15%. Hasil ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan
sapi Bali di perusahaan peternakan di Malaysia masing-masing 67,90%
dan 56,73% (Sarsaifi et al., 2013). Demikian pula motilitas total semen
beku sapi Bali, Madura, dan PO di BBIB Singosari masing-masing 42%,
44% and 40% (Salim et al., 2012), sapi Limousin 44,06%, Simmental
44,69 dan Friesian Holstein 42,97 di BIB Lembang, Bandung, Jawa Barat
(Komariah et al., 2013), dan sapi Brahman 40,0% (Pratiwi et al., 2007).
Hasil yang sama pada bangsa-bangsa sapi di Bangladesh yaitu sapi
pejantan Lokal (L) 62,2%, Friesian (F) 62,3%, Sahiwal (SL) 63,6%,
Local×Friesian (L×F) 62,6%, Sahiwal×Friesian (SL×F) 62,9%, Local×
Friesian×Friesian (LF1×F) 62,6%, Local×Friesian×Friesian×Friesian
(LF2×F) 63,6% (Hossain et al., 2012).
97
Post thawing motility yang tinggi tersebut mungkin akibat
pemberian daun kelor yang mengandung nutrisi yang penting untuk
motilitas seperti pada semen segar, juga berpengaruh terhadap semen
beku. Ditambahkan oleh Zhinian (1998) dan Bindari et al., (2013) bahwa,
suplementasi Zn secara signifikan meningkatkan motilitas sperma segar
dan beku. Asadpour et al., (2011) juga menjelaskan bahwa penambahan
vitamin C dan E dalam pengencer dapat meningkatkan motilitas sperma
setelah pencairan (thawing). Oleh karena itu, peningkatan nilai post
thawing motility sperma sapi Bali diduga karena daun kelor mengandung
berbagai nutrisi yang berperanan terhadap motilitas sperma segar dan
setelah pembekuan diantaranya vitamin C dan E. Penelitian lebih lanjut
masih diperlukan untuk mengetahui nutrisi yang paling berperan terhadap
motilitas tersebut.
Suplementasi daun kelor tidak meningkatkan nilai RR semen beku
secara signifikan. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Komariah et al.,
(2013) juga tidak menunjukkan perbedaan yang siginifikan pada bangsa
sapi Limousin, Simmental, dan Friesian Holstein di BIB Lembang, masing-
masing 58,87±6,37%, 56,27±7,08% dan 58,87±5,31%. Walaupun
demikian, nilai RR yang diperoleh masih lebih tinggi, mungkin karena
motilitas semen segar yang diperoleh juga lebih tinggi.
Hafez (2000) menyatakan bahwa spermatozoa yang dibekukan
akan mengalami kerusakan sekitar 40%. Hilangnya daya motilitas
spermatozoa selama proses pembekuan akan berpengaruh terhadap laju
98
pemulihan (recovery rate) sperma setelah mengalami pencairan kembali.
Keberhasilan pembekuan semen tidak hanya dinilai dari persentase
motilitas setelah thawing, persentase spermatozoa yang dapat pulih
kembali setelah pembekuan yang memberikan gambaran keberhasilan
dari proses pembekuan (Zelpina dkk., 2012).
Suplementasi daun kelor tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap karakteristik motilitas sperma yaitu jarak tempuh (DCL, DSL, dan
DAP), kecepatan (VCL, VSL, dan VAP), persentase LIN, STR dan WOB,
amplitudo (ALH), dan frekuensi perpindahan sperma (BCF) semen beku
sapi Bali. Nilai-nilai parameter yang diperoleh masih lebih rendah
dibandingkan dengan yang diperoleh Sarsaifi et al., (2013), mungkin
karena perbedaan umur, waktu penampungan semen, waktu antara
ejakulasi, atau energi penyimpanan sperma (Perumal et al., 2014).
Berdasarkan Susilawati (2011), maka semen beku yang diamati
termasuk dalam kategori hiperaktifasi. Motilitas hiperaktifasi adalah pola
renang sperma mamalia di oviduk, essensial untuk fertilisasi in vivo (Han-
Chen et al., 2002). Penggunaan CASA, motilitas dan karakteristik
pergerakan spermatozoa berkorelasi dengan fertilisasi in vivo
(Januškauskas and Žilinskas, 2002). Dengan demikian, suplementasi
daun kelor kemungkinan dapat mempertahankan fertilitas semen beku
sapi Bali yang diberi pakan utama jerami padi dan pakan konsentrat.
Nilai motilitas total dan motilitas progresif sperma segar dan sperma
beku baik pada kelompok kontrol maupun perlakuan tidak menunjukkan
99
perbedaan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa suplementasi
daun kelor tidak mempengaruhi motilitas total dan motilitas progresif
sperma setelah pembekuan. Berdasarkan Susilawati (2011) sperma
setelah mengalami proses pembekuan baik pada kelompok kontrol
maupun kelompok perlakuan mengalami hiperaktifasi. Hal ini
menunjukkan bahwa suplementasi daun kelor tidak mempengaruhi proses
hiperaktifasi sperma setelah pembekuan. Fenomena ini masih perlu kajian
lebih lanjut.
Konsumsi Bahan Kering Ransum dan Pertumbuhan.
Suplementasi daun kelor menurunkan konsumsi bahan kering ransum dan
konsumsi bahan kering berdasarkan bobot badan, namun tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan. Konsumsi bahan kering
berdasarkan bobot badan merupakan jumlah konsumsi konsumsi ransum
pada setiap bobot badan metabolisme (BB0,75). Menurut Parakkasi (1999)
bahwa, konsumsi bahan kering hewan disesuaikan dengan tingkat
kegemukan (kompoisisi tubuh) dan atau kebutuhan untuk bertumbuh. Hal
ini menunjukkan bahwa suplementasi daun kelor tidak menurunkan
secara signifikan konsumsi bahan kering pada setiap bobot badan sapi
pejantan tersebut. Penurunan konsumsi bahan kering ransum, mungkin
disebabkan oleh kandungan nutrisi daun kelor yang lengkap terutama
kandungan energi yang tinggi sebesar 329 kalori per 100 gr daun kering
(Gopalakrishnan et al., 2015). Penambahan daun kelor menyebabkan
kebutuhan energi terpenuhi, sehingga mengurangi konsumsi bahan
100
kering. Konsumsi bahan kering pada kontrol sebesar 13,86 kg/hari sedang
pada perlakuan sebesar 13,29 kg/ hari, berada diatas standar kebutuhan
konsumsi bahan kering untuk pejantan sapi potong (Nutrient
Requirements of Beef Cattle, 2000) yaitu sebesar 6,30 kg/hari.
Walaupun konsumsi bahan kering tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan, namun karena kandungan protein kasar pada daun kelor
yang tinggi sebesar 25,70%, maka suplementasi daun kelor tersebut
signifikan meningkatkan konsumsi protein kasar 0,72 menjadi 0,78 kg/hari.
Konsumsi protein kasar tersebut juga berada diatas standar kebutuhan
konsumsi bahan kering untuk pejantan sapi potong (Nutrient
Requirements of Beef Cattle, 2000) yaitu sebesar 0,59 kg/hari.
Suplementasi daun kelor tidak signifikan menurunkan konsumsi
TDN (6,03 vs 5,79 kg/hari). Hal ini mungkin seiring dengan menurunnya
konsumsi bahan kering. Walaupun demikian, konsumsi TDN tersebut
masih berada di atas standar kebutuhan TDN pejantan sapi potong
(Nutrient Requirements of Beef Cattle, 2000) yaitu sebesar 3,67 kg/hari.
Suplementasi daun kelor signifikan meningkatkan konsumsi mineral
Ca dan P. Hal ini disebabkan karena kandungan Ca dan P yang tinggi
pada daun kelor sebesar 3,34% dan 0,39%. Konsumsi Ca pada penelitian
sebesar 0,098 dan 0,107 kg/hari dan P sebesar 0,023 dan 0,0024 kg/hari
berada di atas standar kebutuhan Ca dan P untuk pejantan sapi potong
(Nutrient Requirements of Beef Cattle, 2000) yaitu sebesar 0,015 dan
0,009 kg/hari.
101
Suplementasi daun kelor tidak signifikan meningkatkan bobot
badan (0,26 vs 0,32 kg/hari). Hal ini mungkin karena dosis yang
digunakan masih rendah dibandingkan dengan yang digunakan untuk
penggemukan. Target utama pada penelitian ini, bukan untuk
pertambahan bobot badan seperti pada penelitian Aregheore (2002)
menggunakan 20, 50 dan 80% daun kelor dari total kebutuhan hijauan,
signifikan meningkatkan pertambahan bobot badan pada kambing Anglo-
Nubian×Local Fiji. Demikian pula pada penelitian Adegun et al.,(2011)
menggunakan 30% tepung daun daun kelor pada Moringa Multinutrient
Block (MMNB) signifikan meningkatkan bobot badan domba. Oleh karena
itu, pada efisiensi ransum suplementasi daun kelor juga tidak efisien
dibandingkan dengan kontrol (0,32 vs 0,26) walaupun tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan. Semakin kecil nilai konversi ransum semakin
efisien ternak menggunakan pakan (Hafid dan Rugayah. 2010).
Testes merupakan tempat pembentukan spermatozoa. Testes
dibungkus oleh skrotum yang mencerminkan ukuran testes dan
menyatakan banyaknya jaringan atau tubuli seminiferous yang berfungsi
untuk memproduksi spermatozoa. Suplementasi daun kelor tidak
signifikan meningkatkan ukuran lingkar skrotum (0,26 vs 0,32 cm). Hal ini
mungkin karena faktor umur pejantan yang digunakan sudah berumur 5
tahun dimana perkembangan skrotum sudah maksimal, sehingga
suplementasi daun kelor tidak memberikan tambahan yang signifikan.
Noviana dkk., (2009) menyatakan bahwa ukuran testis akan terus
102
meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. Akan tetapi, pada saat
hewan mencapai dewasa tubuh ukuran testis akan mencapai angka yang
tetap dan tidak berubah. Hasil penelitian Aku dkk., (2017) juga
menunjukkan bahwa kelompok umur sapi Bali umur 4 tahun diperoleh
rataan berat testes, epididimis, dan cauda epididimis tertinggi. Hal ini
membuktikan bahwa umur mempengaruhi perkembangan testes.
Profil Biokimia Darah dan Plasma Semen. Kadar urea plasma
darah, kadar glukosa darah dan kolesterol darah mencerminkan
pemberian pakan pada sapi, proses pecernaan dalam saluran pencernaan
hingga absorbsi dan masuk dalam darah dan beredar ke seluruh tubuh.
Kadar urea dalam darah mencerminkan hasil metabolisme protein. Urea
dihasilkan oleh hati sebagai sisa deaminasi asam amino, bila kadar tinggi
dalam darah akan dibuang melalui ginjal. Kadar glukosa dalam darah
merefleksikan sumber energi dalam tubuh yang digunakan untuk proses
metabolisme. Kolesterol merupakan senyawa induk bagi semua steroid
yang disintesis dalam tubuh seperti hormon korteks adrenal, hormon seks,
vitamin D, dan asam empedu.
Hasil studi Wahjuni dan Bijanti (2006) menunjukkan bahwa, bahan
pakan sebelum diterapkan secara luas sebagai pakan hewan terlebih
dahulu perlu diperiksa pengaruhnya pada fungsi ginjal dan fungsi hati.
Pemeriksaan fungsi ginjal didasarkan pada peneraan kadar Blood Urea
Nitrogen (BUN) dan kreatinin dalam serum, sedangkan pemeriksaan
103
fungsi hati didasarkan pada peneraan kadar Aspartat Transaminase (AST)
dan Alanin Transaminase (ALT) dalam serum.
Penelitian ini mencoba memeriksa fungsi ginjal dengan mengukur
kadar urea plasma darah. Suplementasi daun kelor tidak signifikan
meningkatkan kadar urea plasma darah pejantan sapi Bali (6,87 vs 7,94
mg/dL). Kadar urea plasma darah yang normal pada ternak ruminansia
berkisar antara 2 – 27 mg/100 ml (Swenson, 1977), atau 6,0 – 27 mg/dL
(Jackson and Cockcroft, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa kadar urea
plasma darah pada sapi Bali tersebut adalah normal dan suplementasi
daun kelor kemungkinan tidak menimbulkan ganguan fungsi ginjal.
Adanya kerusakan pada ginjal menyebabkan ginjal tidak dapat meng–
ekskresikan hasil metabolisme yang tidak berguna terutama urea.
Menurut Wahjuni dan Bijanti (2006) bahwa, ginjal merupakan suatu
sistem filtrasi alami tubuh yang mempunyai beberapa fungsi utama yaitu
menyaring produk hasil metabolisme yang tidak berguna bagi tubuh,
menjaga keseimbangan cairan tubuh dan mempertahankan pH cairan
tubuh. Ginjal dalam menjalankan fungsinya banyak kondisi yang dapat
mempengaruhi fungsi kerjanya, baik secara akut maupun secara kronis.
Beberapa pemeriksaan laboratorium klinik yang menggambarkan kadar
bahan-bahan yang secara normal difiltrasi oleh ginjal dapat membantu
menemukan penyebab gangguan pada fungsi ginjal dan dapat
menunjukkan tingkat kerusakan dari ginjal.
104
Walaupun demikian, selanjutnya dijelaskan bahwa tingginya kadar
BUN tidak selalu menjadi tanda kerusakan ginjal. Dehidrasi atau shock
dapat berakibat jumlah urea yang dikeluarkan akan menurun sehingga
kadar BUN dalam sirkulasi meningkat. Pada kondisi penelitian ini sapi
percobaan diberi air minum secara ad libitum (tersedia setiap saat),
sehingga tidak mengalami dehidrasi. Kondisi kandang juga sejuk dengan
suhu terendah rata-rata 26°C pada jam 06.00 dan suhu tertinggi rata-rata
31°C pada jam 14.00. Kondisi lingkungan ini tidak terlalu ekstrim dimana
ternak poikiloterm maupun homeoterm menyukai suhu 35 – 40°C
(Rahardja, 2010). Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat
menunjukkan bahwa proses metabolisme protein terutama siklus urea
berjalan secara normal di dalam tubuh pejantan sapi Bali dan
suplementasi daun kelor tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan.
Suplementasi daun kelor pada pejantan sapi Bali telah berhasil
meningkatkan secara signifikan libido dan kualitas semen berupa: warna,
kekentalan, gerakan massa, motilitas total, motilitas progesif, karakteristik
motilitas sperma, dan post thawing motility semen beku (motilitas total dan
motilitas progresif). Suplementasi daun kelor signifikan meningkatkan
konsumsi protein kasar (Tabel 16). Hal ini mungkin menyebabkan kadar
urea plasma darah sapi pejantan yang disuplementasi daun kelor lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol, walaupun tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan. Kandungan protein kasar yang tinggi pada
daun kelor, dapat menyebabkan jumlah protein terdegdradasi dalam
105
rumen menghasilkan konsentrasi urea yang tinggi dalam darah (Setiadi
dkk., 2003) sehingga dapat meningkatkan kadar BUN (Wahjuni dan
Bijanti, 2006). Kadar BUN yang lebih tinggi, namun masih dalam batas
normal dapat menunjukkan bahwa ginjal berfungsi dengan normal. Salah
satu akibat gangguan fungsi ginjal adalah penurunan libido (Sasmito Adi
dkk., 2013). Suplementasi daun kelor yang dilakukan masih dalam batas
fungsi normal ginjal, sehingga libidonya lebih tinggi.
Hasil studi Irfan (2014) menunjukkan bahwa, konsentrasi BUN
merupakan indikator yang sensitif dari keseimbangan antara jumlah
dengan ketersediaan protein kasar tercerna dan energi yang dihasilkan
dan BUN membantu mengukur efisiensi pemanfaatan protein. Konsentrasi
urea yang tinggi dalam darah dapat menekan sistem imun, menurunkan
pH uterus, menurunkan produksi hormon prostaglandin, mempengaruhi
aksis hipofisis-pituitari-indung telur, memiliki efek toksik pada sperma, sel
telur dan embrio dan mengakibatkan penurunan fertilitas. Demikian pula
hasil review Bindari et al., (2013) menunjukkan bahwa, level protein yang
berlebih dalam ransum menyebabkan tingginya kadar urea plasma darah
yang menyebabkan efek toksik pada sperma. Berdasarkan hal tersebut,
maka kadar urea plasma darah yang diperoleh masih dalam kategori
normal. Suplementasi daun kelor tidak menghasilkan urea plasma darah
yang dapat memberikan efek toksik terhadap spermatozoa, sehingga
tetap aktif bergerak. Kondisi ini kemungkinan menyebabkan sehingga
diperoleh motilitas spermatozoa lebih tinggi.
106
Suplementasi daun kelor tidak signifikan menurunkan kadar
glukosa darah pejantan sapi Bali. Kadar glukosa darah yang diperoleh
termasuk kategori normal menurut Rahardja (2008), yaitu kadar glukosa
darah yang normal pada ternak ruminansia berkisar antara 40 – 60 mg/dL.
Hal ini menunjukkan bahwa, suplementasi daun kelor dapat memper-
tahankan kadar glokosa darah pada level normal. Hasil penelitian ini dapat
menunjukkan bahwa, proses metabolisme karbohidrat terutama glukosa
berjalan secara normal di dalam tubuh pejantan sapi Bali dan terbukti
meningkatkan libido dan motilitas sperma secara signifikan. Menurut
Safdar et al. (2016), glukosa salah satu bahan terpenting untuk kinerja
reproduksi, dan mempengaruhi Poros Hipotalamus-Pituitari-Testes.
Suplemen gizi signifikan meningkatkan glukosa darah. Ndlovu et al.(2007)
selanjutnya menjelaskan bahwa, glukosa merupakan salah satu substrat
metabolisme paling utama yang diperlukan untuk proses reproduktif pada
sapi jantan. Rendahnya kadar serum glukosa dapat menyebabkan
tingginya konsentrasi non esterified fatty acids (NEFA) dan menurunnya
sekresi GnRH oleh hipotalamus. Penurunan GnRH menghambat sintesis
LH dan FSH dan menyebabkan rendahnya libido dan menghambat proses
spermatogenesis. Pengaturan sintesis dan sekresi testosteron adalah
melalui Poros Hipotalamus-Pituitari-Testes. Hipothalamus mensekresi
Gonadotrophin-Releasing Hormone (GnRH) yang mengatur sekresi LH
dan FSH (Follicle-Stimulating Hormone) dari hipofisis (pituitary) anterior.
LH menstimulasi sekresi testosteron dari sel Leydig dengan meningkatkan
107
cyclic adenosine monophosphate (cAMP) dan level kalsium intraseluler.
Bila level testosteron sudah mencukupi, maka testosteron akan
menimbulkan negative-feed back ke hipofisis dan hipothalamus.
Sedangkan FSH utamanya berpengaruh terhadap sel Sertoli untuk
menginisiasi dan pemeliharaan proses spermatogenesis. FSH juga
menstimulasi sintesis dan pelepasan hormon inhibin dan activin dari sel
Sertoli. Inhibin menyebabkan negative-feed back ke hipofisis sehingga
menekan pelepasan FSH.
Suplementasi daun kelor tidak signifikan meningkatkan kadar
kolesterol pada darah pejantan sapi Bali (123,50 vs 139,08 mg/dL). Kadar
kolesterol darah tersebut masih dalam kisaran normal menurut Jackson
and Cockcroft (2002), yaitu kadar kolesterol darah sapi yang normal
berkisar antara 65 – 220 mg/dL. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
proses metabolisme lemak terutama kolesterol berjalan secara normal di
dalam tubuh pejantan sapi Bali dan suplementasi daun kelor tidak
menunjukkan pengaruh yang signifikan.
Kadar kolesterol yang normal pada sapi pejantan tersebut, mungkin
merupakan salah satu penyebab tingginya libido pada sapi jantan yang
disuplementasi daun kelor. Kolesterol merupakan prekursor semua
hormon steroid (Miller et al., 2007). Kolesterol tersebut merupakan salah
satu sumber pembentukan hormon testosteron, sehingga menyebabkan
libido tinggi.
108
Menurut Barter et al., (2007), metabolisme kolesterol dilakukan oleh
organ hati. Kolesterol yang berasal dari asupan makanan akan dibawa
kilomikron ke dalam hati untuk dimetabolisme. Kolesterol sebagian
mengalami sirkulasi enterohepatik membentuk asam empedu dan
sebagian lainnya menjadi satu dengan Very Low Density Lipoprotein
(VLDL). VLDL kemudian dimetabolisme oleh lipoprotein lipase menjadi
Low Density Lipoprotein (LDL) melalui zat antara IDL secara endositosis.
Vesikel-vesikel yang mengandung IDL bergabung dengan lisosom dan
enzim lisosom guna menghidrolisis IDL menjadi kolesterol. Kolesterol
diubah menjadi ester kolesterol ke dalam aparat golgi dan berdifusi ke
dalam membran sel. Hal ini mampu meningkatkan kadar kolesterol dalam
darah. Selanjutnya, kolesterol yang berlebih di sel atau jaringan dibawa
kembali ke hati oleh High Density Lipoprotein (HDL). Hal ini mampu
menurunkan kadar kolesterol dalam darah dan mencegah hiperkolesterol.
Kolesterol sebagai bahan dasar untuk biosintesis testosteron tersebut
berasal dari plasma darah dalam bentuk LDL dan sebagian disintesis di
dalam sel-sel Leydig. Masuknya kolesterol LDL adalah melalui
penangkapan kolesterol LDL reseptor pada permukaan sel Leydig. Jalur
sintesis testosteron adalah melalui pregnenolon diubah menjadi 17α-
Hydroxy-pregnenolon, kemudian Dehydroepiandrosterone, berubah lagi
menjadi androstenediol dan akhirnya tersintesis testosteron (Hu et al.,
2010).
109
Seminal plasma mamalia adalah bagian non-gamet dari ejakulasi
dan terdiri dari sel-sel, partikel seluler, cairan dari testis, saluran
ekskretoris, dan kelenjar seks aksesori jantan (Polakoski and Kopta,
1981). Plasma semen berfungsi sebagai medium transport spermatozoa
dari saluran reproduksi jantan ke traktus reproduksi betina selama
ejakulasi, sebagai medium penyangga dan kaya akan makanan yang
penting untuk hidup spermatozoa setelah deposisi ke saluran reproduksi
betina (Partodiharjo, 1992).
Plasma semen mamalia dari sudut pandang biokimia, adalah
sekresi menarik, karena mengandung banyak zat yang tidak biasa,
beberapa di antaranya tidak terukur dalam cairan tubuh lain atau jaringan.
Penekanan pada studi seminal plasma semen sapi pejantan telah
menentukan indeks fertilitas dan meningkatkan kualitas semen beku untuk
digunakan untuk inseminasi buatan. Plasma semen tidak lebih dari satu
penyangga fisiologis berfungsi sebagai pengencer. Tidak semua sekresi
dari kelenjar aksesori seks jantan diperlukan untuk fertilitas. Oleh karena
itu, seminal plasma bukan merupakan syarat mutlak untuk pembuahan.
Seminal plasma tidak diperlukan untuk konsepsi tetapi mungkin bahkan
memiliki efek yang merugikan pada kesuburan. Seminal plasma mungkin
memiliki fungsi lain selain terlibat dalam proses pembuahan. Juyena and
Stelletta (2012) secara lengkap menjelaskan peran plasma semen yaitu:
1) untuk motilitas spermatozoa; 2) penyangga untuk menyediakan media
osmotik dan nutrisi yang optimal bagi spermatozoa; 3) pencegahan
110
aktivasi dini selama transpor fisiologis spermatozoa dan stabilisasi
membran plasma; 4) perlindungan spermatozoa dari fagositosis; 5)
regulasi transportasi dan eliminasi spermatozoa dan induksi ovulasi; 7)
bantuan dalam interaksi diantara spermatozoa-spermatozoa; 8)
memfasilitasi perubahan kekebalan tubuh yang diperlukan untuk
mengakomodasi kebuntingan; dan 9) mempengaruhi kesuburan; serta 10)
memainkan peran imunoregulasi yang bermanfaat untuk kelangsungan
hidup spermatozoa di dalam saluran reproduksi betina.
Plasma semen mamalia mengandung banyak karbohidrat, baik
dalam bentuk terikat maupun bebas, antara lain arabinosa, fruktosa,
galaktosa, dan glukosa (Polakoski and Kopta, 1981). Karbohidrat dalam
plasma seperti fruktosa, glukosa, dan sorbitol merupakan sumber energi
bagi spermatozoa (Toelihere, 1993). Penggunaan glukosa oleh sperma-
tozoa juga sangat penting selama tinggal di dalam saluran reproduksi
betina (Polakoski and Kopta, 1981).
Suplementasi daun kelor tidak signifikan meningkatkan kadar
glukosa dalam plasma semen pejantan sapi Bali (63,33 dan 72,22 mg/dL).
Kadar glukosa tersebut termasuk dalam kategori normal, karena kadar
glukosa yang normal dalam semen sapi adalah 30 - 300 mg/dL (Polakoski
and Kopta, 1981 dan Juyena and Stelletta, 2012). Suplementasi daun
kelor dapat meningkatkan kadar glukosa dalam plasma semen, sehingga
dapat dimanfaatkan spermatozoa sebagai sumber energi terutama untuk
motilitas (Juyena and Stelletta, 2012). Kandungan glukosa yang tinggi
111
pada plasma semen ini juga mungkin merupakan salah satu penyebab
peubah motilitas spermatozoa pada pejantan sapi Bali yang disuplemen-
tasi daun kelor signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.
Suplementasi daun kelor juga tidak signifikan meningkatkan kadar
kolesterol dalam plasma semen pejantan sapi Bali (210,67 vs 237,92
mg/dL). Kadar kolesterol tersebut termasuk dalam kategori normal, karena
kadar kolesterol yang normal dalam semen sapi adalah 200 – 312,16
mg/dL (Polakoski and Kopta, 1981 dan Juyena and Stelletta, 2012).
Menurut Aurich et al., (1996), meningkatnya kerusakan sperma akibat
kejutan dingin berhubungan dengan rendahnya kandungan kolesterol
membran plasma sehingga penambahan kolesterol efektif melindungi
spermatozoa selama pembekuan. Kolesterol berfungsi menstabilkan
membran plasma. Kolesterol plasma semen berperan penting dalam
pembentukan impermiabilitas dan kohesivitas struktur membran (White,
1993). Kadar kolesterol yang rendah pada plasma semen sapi jantan dan
domba jantan, sensitif terhadap pendinginan (Bailey et al., 2000).
Kolesterol berfungsi memperkuat ikatan ganda asam lemak tak jenuh
sehingga tidak mudah rusak. Rantai panjang asam lemak tak jenuh ganda
(PUFA) omega-3 yang penting untuk integritas membran sperma, motilitas
sperma dan kelangsungan hidup sperma (Gholami et al., 2011). Seperti
halnya glukosa, kandungan kolesterol yang lebih tinggi pada plasma
semen ini juga mungkin merupakan penyebab motilitas spermatozoa pada
112
pejantan sapi Bali yang disuplementasi daun kelor signifikan lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol.
Dengan demikian, pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
suplementasi daun kelor dosis tinggi signifikan meningkatkan kadar
hormon testosteron, libido, kekentalan semen, gerakan massa, motilitas
total, motilitas progresif sperma dan memperbaiki karakteristik motilitas
sperma serta meningkatkan post thawing motility (motilitas total dan
motilitas progresif) sperma pejantan sapi sapi Bali. Pertanyaan
selanjutnya adalah faktor apakah yang menyebabkan sehingga daun kelor
dapat meningkatkan libido dan kualitas semen? mengingat bahwa daun
kelor mengandung mineral mikro Zn, Se, dan mineral makro Ca dan P
yang tinggi. Oleh karena itu, pada penelitian selanjutnya akan melihat
pengaruh mineral Zn terhadap libido dan kualitas semen pada pejantan
sapi Bali. Oleh karena keterbatasan mengekstrak mineral Zn dari daun
kelor, maka pada penelitian selanjutnya digunakan mineral Zn anorganik
(ZnSO4.2H2O).
B.Libido dan Kualitas Semen Pejantan Sapi Bali yang Disuplementasi Mineral Zn Anorganik dan Disuplementasi Daun Kelor
1. Hasil
Libido dan Kualitas Semen Segar. Rata-rata libido pejantan sapi
Bali sebelum disuplementasi (kontrol) dan setelah disuplementasi daun
kelor dan disuplementasi mineral Zn (perlakuan) disajikan pada Gambar
7. Libido pejantan sapi Bali yang diberi perlakuan signifikan (P<0,05) lebih
113
tinggi dibandingkan dengan kontrol, namun tidak terdapat perbedaan yang
signifikan (P>0,05) antara suplementasi daun kelor dengan suplementasi
mineral Zn.
Gambar 7. Libido pejantan sapi Bali pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
Kualitas semen segar pejantan sapi Bali pada kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan disajikan pada Tabel 19. Volume semen, motilitas
total, dan motilitas progresif sperma pejantan sapi Bali signifikan (P<0,05)
lebih tinggi pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok
kontrol, namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan (P>0,05) antara
suplementasi daun kelor dengan suplementasi mineral Zn. Derajat
keasaman (pH), warna semen dan konsentrasi sperma, tidak menunjuk-
kan perbedaan yang signifikan (P>0,05) antara kelompok kontrol,
suplementasi daun kelor, dan suplementasi mineral Zn.
5.53a
3.21bc
2.53bc
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00Kontrol Daun Kelor Mineral Zn
Libi
do (m
enit)
114
Tabel 19. Kualitas semen segar pejantan sapi Bali pada kelompok kontrol dan perlakuan.
Keterangan : a.b Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (P< 0,05).
Karakteristik Motilitas Sperma. Karakteristik motilitas sperma
pejantan sapi Bali pada kelompok kontrol dan perlakuan disajikan pada
Tabel 20. Jarak yang dapat ditempuh oleh sperma dalam satu detik pada
lintasan curve (DCL), pada lintasan straight (DSL), dan pada lintasan rata-
rata alurnya (DAP), signifikan lebih jauh pada kelompok perlakuan
dibandingkan dengan kontrol (P<0,05), namun tidak terdapat perbedaan
yang signifikan (P>0,05) antara suplementasi daun kelor dengan
suplementasi mineral Zn.
No
Kualitas Semen Kontrol Suplementasi (Perlakuan)
Daun kelor Mineral Zn Rata-rata (± SEM)
Makroskopis : 1. Volume (ml) 2,71 ± 0,26a 3,78 ± 0,22b 4,19 ± 0,35bc
2. pH 7,0 ± 0,00a 6,7 ± 0,07a 7,0 ± 0,00a 3. Warna 100% = putih
susu – krem
100% = putih susu – krem
100% = putih susu
4. Kekentalanab 47% = kental 24% = sedang 29% = encer
73% = kental 20% = sedang 7% = encer
100% = kental
Mikroskopis : 1. Konsentrasi
(juta/ml) 871 ± 24,34 1,091 ± 58,05 969 ± 107,94
2. Gerakan massa 44% = +++ 50% = ++ 6% = +
81% = +++ 16% = ++ 3% = +
81% = +++ 19% = ++
3. Motilitas total (%) 70,32 ± 4,59a 85,49 ± 3,74b 89,37 ± 1,73bc 4. Motilitas Progresif (%) 58,14 ± 3,49a 77,12 ± 2,19b 76,43 ± 1,97bc
115
Tabel 20. Karakteristik motilitas sperma pejantan sapi Bali pada kelompok kontrol dan perlakuan.
No. Karakteristik
motilitas sperma Kontrol Suplementasi (Perlakuan) Daun kelor Mineral Zn
Rata-rata (± SEM) 1. DCL (µm/s) 30,41 ± 1,19a 54,01 ± 1,65b 54,57 ± 2,81bc 2. DSL (µm/s) 13,00 ± 0,28a 16,28 ± 0,35b 15,68 ± 0,34bc 3. DAP (µm/s) 18,08 ± 0,59a 26,24 ± 0,67b 25,92 ± 0,86bc 4. VCL (µm/s) 72,74 ± 2,67a 126,61 ± 3,15b 136,47 ± 7,05bc 5. VSL (µm/s) 31,48 ± 0,62a 40,22 ± 0,77b 39,88 ± 0,88bc 6. VAP (µm/s) 43,55 ± 1,30a 64,89 ± 1,48b 65,32 ± 2,20bc 7. LIN (%) 44,63 ± 0,01a 31,88 ± 0,01b 29,63 ± 0,01bc 8. STR (%) 0,72 ± 0,01a 0,63 ± 0,01b 0,61 ± 0,01bc 9. ALH (µm) 5,56 ± 0,14a 7,01 ± 0,15b 6,77 ± 0,18bc 10. BCF (Hz) 19,78 ± 0,30a 20,63 ± 0,11b 20,71 ± 0,25bc 11. WOB (%) 0,60 ± 0,01a 0,51 ± 0,01b 0,48 ± 0,00bc
Keterangan : a.b Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (P< 0,05).
Velocity (kecepatan) sperma pada lintasan curve (VCL), pada
lintasan straight (VSL), dan pada lintasan rata-rata alurnya (VAP),
signifikan lebih cepat pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan
kontrol (P<0,05), namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan
(P>0,05) antara suplementasi daun kelor dengan suplementasi mineral
Zn. Persentase LIN, STR, dan WOB signifikan lebih rendah pada
kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol (P<0,05),
namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan (P>0,05) antara
suplementasi daun kelor dengan suplementasi mineral Zn. Jarak lateral
gerakan kepala sperma pada setiap rata-rata alurnya (ALH) signifikan
lebih jauh pada kelompok perlakuan dibanding dengan kontrol (P<0,05),
namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan (P>0,05) antara
116
suplementasi daun kelor dengan suplementasi mineral Zn. Frekuensi
gerakan sperma (BCF) atau rata-rata alur curve linear sperma melewati
rata-rata alurnya, signifikan lebih tinggi pada kelompok perlakuan
dibandingkan dengan kontrol (P<0,05), namun tidak terdapat perbedaan
yang signifikan (P>0,05) antara suplementasi daun kelor dengan
suplementasi mineral Zn.
Kualitas Semen Beku. Hasil penilaian kualitas semen beku
pejantan sapi Bali pada kelompok kontrol dan perlakuan disajikan pada
Tabel 21.
Tabel 21. Kualitas semen beku pejantan sapi Bali pada kelompok kontrol dan perlakuan.
No
Kualitas Semen Beku Kontrol Suplementasi (Perlakuan)
Daun kelor Mineral Zn Rata-rata (± SEM)
1. Motilitas total (%) 74,65 ± 1,44 80,37 ± 4.93 73.33 ± 1.59 2. Motilitas Progresif (%) 59,30 ± 1,53 66,20 ± 4.93 58.95 ± 1.48 3. Karakteristik motilitas: DAP (µm/s) 20,35 ± 0,42 21,56 ± 0,81 19,85 ± 0,45 DCL (µm/s) 41,43 ± 1,33 43,95 ± 1,26 38,88 ± 1,12 DSL (µm/s) 13,43 ± 0,06 13,90 ± 0,30 13,13 ± 0,24 VCL (µm/s) 103,52 ± 2,74 109,57 ± 3,07 97,38 ± 2,80 VAP (µm/s) 51,36 ± 0,74 54,27 ± 1,92 50,13 ± 1,08 VSL (µm/s) 34,20 ± 0,09 35,30 ± 0,68 33,44 ± 0,57 LIN (%) 32,33 ± 0,01 32,75 ± 0,00 34,21 ± 0,01 ALH (µm) 5,83 ± 0,15 5,90 ± 0,04 5,47 ± 0,10 STR (%) 0,66 ± 0,01 0,65 ± 0,01 0,66 ± 0,00 BCF (Hz) 20,71 ± 0,16 20,91 ± 0,19 20,40 ± 0,12 WOB (%) 0,49 ± 0,00 0,49 ± 0,00 0,51 ± 0,01
117
Nilai post thawing motility berupa motilitas total and motilitas
progressif sperma serta karakteristik motilitas post thawing motility tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,05) antara kelompok
kontrol, suplementasi daun kelor, dan suplementasi mineral Zn.
Tabel 22. Perbandingan motilitas sperma segar dengan beku pejantan sapi Bali pada kelompok kontrol dan perlakuan.
Keterangan : a.b Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (P< 0,05).
No
Kualitas Semen Beku
Kontrol Suplementasi (Perlakuan)
Segar Beku Daun kelor Mineral Zn Segar Beku Segar Beku
Rata-rata (± SEM) 1. Motilitas
total (%) 70,32 ±
4,59 74,65 ±
1,44 85,49 ±
3,74a 80,37 ± 4.93b
89,37 ± 1,73a
73.33 ± 1.59b
2. Motilitas Progresif (%)
58,14 ± 3,49
59,30 ± 1,53
77,12 ± 2,19a
66,20 ± 4.93b
76,43 ± 1,97a
58.95 ± 1.48b
3. Karakteristik motilitas: DAP
(µm/s) 30,41 ± 1,19a
20,35 ± 0,42b
54,01 ± 1,65a
21,56 ± 0,81b
54,57 ± 2,81a
19,85 ± 0,45b
DCL (µm/s)
18,08 ± 0,59a
41,43 ± 1,33b
26,24 ± 0,67a
43,95 ± 1,26b
25,92 ± 0,86a
38,88 ± 1,12b
DSL (µm/s)
13,00 ± 0,28
13,43 ± 0,06
16,28 ± 0,35a
13,90 ± 0,30b
15,68 ± 0,34a
13,13 ± 0,24b
VCL (µm/s)
72,74 ± 2,67a
103,52±2,74b
126,61 ± 3,15a
109,57 ± 3,07b
136,47 ± 7,05a
97,38 ± 2,80b
VAP (µm/s)
43,55 ± 1,30a
51,36 ± 0,74b
64,89 ± 1,48a
54,27 ± 1,92b
65,32 ± 2,20a
50,13 ± 1,08b
VSL (µm/s)
31,48 ± 0,62a
34,20 ± 0,09b
40,22 ± 0,77a
35,30 ± 0,68b
39,88 ± 0,88a
33,44 ± 0,57b
LIN (%) 44,63 ± 0,01a
32,33 ± 0,01b
31,88 ± 0,01
31,75 ± 0,00
29,63 ± 0,01a
34,21 ± 0,01b
ALH (µm)
5,56 ± 0,14
5,83 ± 0,15
7,01 ± 0,15a
5,90 ± 0,04b
6,77 ± 0,18a
5,47 ± 0,10b
STR (%)
0,72 ± 0,01a
0,66 ± 0,01b
0,63 ± 0,01
0,65 ± 0,01
0,61 ± 0,01a
0,66 ± 0,00b
BCF (Hz)
19,78 ± 0,30
20,71 ± 0,16
20,63 ± 0,11
20,91 ± 0,19
20,71 ± 0,25
20,40 ± 0,12
WOB (%)
0,60 ± 0,01a
0,49 ± 0,00b
0,51 ± 0,01
0,49 ± 0,00
0,48 ± 0,01
0,51 ± 0,01
118
Perbadingan motilitas sperma segar dan sperma beku pada
kelompok kontrol dan perlakuan disajikan pada Tabel 22. Motiltas total
dan motilitas progresif sperma segar dan sperma beku pada kelompok
kontrol tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Sedangkan pada
kelompok perlakuan, motilitas total dan motilitas progresif suplementasi
daun kelor dan suplementasi mineral Zn pada sperma segar signifikan
lebih tinggi dari pada sperma beku. Nilai-nilai karakteristik motilitas pada
kelompok kontrol, menunjukkan pada sperma buku terjadi hiperaktifasi.
Sedangkan pada kelompok perlakuan suplementasi daun kelor dan
suplementasi mineral Zn, terjadi hiperaktifasi baik pada sperma beku
maupun pada sperma segar.
Status Mineral Zn Pejantan Sapi Bali yang diberi Daun Kelor
dan Mineral Zn. Konsumsi bahan kering ransum, konsumsi bahan kering
berdasarkan bobot badan, konsumsi mineral Zn, kandungan mineral Zn
pada plasma darah, urin, feses dan plasma semen pejantan sapi Bali
pada kelompok kontrol dan perlakuan disajikan pada Tabel 23. Konsumsi
ransum, konsumsi metabolis, dan konsumsi mineral Zn tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan (P>0,05) antara kelompok kontrol dengan
suplementasi daun kelor, namun terdapat perbedaan yang signifikan (P<
0,05) pada suplementasi mineral Zn. Kandungan mineral Zn pada plasma
darah tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,05) antara
kelompok kontrol dengan suplementasi daun kelor dan suplementasi
mineral Zn. Kandungan mineral Zn pada urin terdapat perbedaan yang
119
signifikan (P<0,05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan,
namun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,05) antara
antara suplementasi daun kelor dengan suplementasi mineral Zn.
Kandungan mineral Zn pada feces menunjukkan perbedaan yang
signifikan (P>0,05) antara antara kelompok kontrol dengan suplementasi
daun kelor, namun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,05)
dengan suplementasi mineral Zn. Terdapat perbedaan yang signifikan
antara suplementasi daun kelor dengan suplementasi mineral Zn.
Kandungan mineral Zn pada plasma semen tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan (P>0,05) antara kelompok kontrol dengan
kelompok perlakuan.
Konsumsi bahan kering ransum, konsumsi bahan kering
berdasarkan bobot badan, dan konsumsi mineral Zn tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan (P>0,05) antara kelompok kontrol dengan
suplementasi daun kelor, namun terdapat perbedaan yang signifikan
(P<0,05) pada suplementasi mineral Zn. Kandungan mineral Zn pada
plasma darah tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,05)
antara kelompok kontrol dengan suplementasi daun kelor dan
suplementasi mineral Zn. Kandungan mineral Zn pada urin terdapat
perbedaan yang signifikan (P<0,05) antara kelompok kontrol dengan
kelompok perlakuan, namun tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan (P>0,05) antara antara suplementasi daun kelor dengan
suplementasi mineral Zn. Kandungan mineral Zn pada feces menunjukkan
120
perbedaan yang signifikan (P>0,05) antara antara kelompok kontrol
dengan suplementasi daun kelor, namun tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan (P>0,05) dengan suplementasi mineral Zn. Terdapat
perbedaan yang signifikan antara suplementasi daun kelor dengan
suplementasi mineral Zn. Kandungan mineral Zn pada plasma semen
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,05) antara kelompok
kontrol dengan kelompok perlakuan.
Tabel 23. Konsumsi ransum, konsumsi metabolis, konsumsi mineral Zn dan kandungan mineral Zn pada plasma darah, urin, feses dan plasma semen pejantan sapi Bali pada kelompok kontrol dan perlakuan.
No. Status mineral Zn Kontrol Perlakuan
Daun kelor Mineral Zn Rata-rata (± SEM)
1. Konsumsi ransum (kg bahan kering/ hari)
13.86 ± 0.27a
13.26 ± 0.29a
11.66 ± 0.48b
2. Konsumsi/BB0,75 (kg BK/BB0,75)
0,22 ± 0,00a 0,21 ± 0,00a 0,17 ± 0,00b
3. Konsumsi mineral Zn (mg/kg BK ransum/ hari)
88 ± 0,001a
82 ± 0,001a
72 ± 0,003b
4. Plasma darah (mg/l) 50,38 ± 13,59 30,88 ± 4,34 58,61 ± 3,46 5. Urin (mg/l) 1,72 ± 0,56a 9,35 ± 0,14b 7,24 ± 1,68b 6. Feses (µg/g) 211,52±5,98a 240,34±10,19b 206,33±3,02a 7. Plasma semen (mg/l) 10,22 ± 0,00 12,79 ± 5,18 10,05 ± 2,52 Keterangan : a.b Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (P< 0,05).
121
b. Pembahasan
Libido dan Kualitas Semen Segar. Suplementasi daun kelor dan
suplementasi mineral Zn meningkatkan libido pejantan sapi Bali. Hal ini
ditunjukkan dengan waktu yang diperlukan oleh sapi pejantan mulai
mendekati betina pemancing sampai ejakulasi lebih singkat, yaitu dari
5,53 menit menjadi 3,21 menit dan 2,53 menit. Libido pejantan sapi Bali
yang disuplementasi daun kelor dan disuplementasi mineral Zn tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini dapat memperkuat
dugaan bahwa, mineral Zn yang terdapat pada daun kelor berperan dalam
meningkatkan libido pejantan sapi Bali.
Libido pejantan sapi Bali yang disuplementasi lebih tinggi
dibandingkan hasil penelitian Ratnawati dan Affandhy (2013) pada sapi
Bali yang diberi pakan utama limbah sawit yaitu 5,61 menit, namun tidak
berbeda jauh dengan kontrol. Menurut Ratnawati dkk., (2008) libido
pejantan sapi Bali rata-rata 4,7 menit sedangkan menurut Susilawati
(2011) adalah 4.5 menit. Hal ini dapat menunjukkan bahwa, suplementasi
daun kelor dapat mengembalikan libido pejantan sapi Bali apabila diberi
pakan berkualitas rendah seperti jerami padi atau limbah sawit. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Prabsattroo et al., (2015)
menggunakan ekstrak daun kelor pada tikus wistar jantan fertil yang
mengalami stress dapat menurunkan intromisi latency dan meningkatkan
frekuensi intromisi. Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Zade
et al., (2013a) dan Zade et al., (2013b) menggunakan ekstrak buah kelor
122
yang diekstraksi dengan air, alkohol, dan kloroform, secara signifikan
meningkatkan perilaku seksual dan libido tikus wistar jantan albino.
Menurut Widhyari (2012), bahwa mineral Zn yang terdapat dalam
pakan dapat berperan meningkatkan libido diawali dengan proses
pemecahan di dalam saluran pencernaan. Absorpsi Zn terjadi di usus
halus melalui transport aktif dan transport pasif. Proses absorpsi Zn terjadi
di duodenum, ileum, jejenum, dan hanya sedikit di kolon ataupun
lambung, terbesar terjadi di ileum. Selanjutnya Suprijati (2013) menjelas-
kan bahwa, Zn yang terabsorpsi akan masuk ke sistem peredaran darah
dan yang tidak terabsorpsi akan dieksresikan melalui urin dan feces. Zn
yang diabsobsi di bawah ke seluruh tubuh. Zn berpengaruh pada fungsi
reproduksi jantan antara lain memberikan efek pada hormon androgen. Zn
berperan pada pertumbuhan dan perkembangan testes. Kemudian
Chauhan et al., (2014) menjelaskan bahwa, Zn yang masuk ke dalam
sistem peredaran darah dibawah ke testes merangsang pembentukan
hormon testosteron melalui mekanisme kerja sumbu hipotalamus-
hipofisis-testes. Testosteron adalah androgen utama disintesis oleh sel-sel
Leydig, dirangsang oleh hormon luteinizing (LH). Salah satu efek
utamanya adalah stimulasi spermatogenesis pada tubulus seminiferous.
Kadar hormon testosteron memiliki hubungan dengan LH dan FSH,
seperti peningkatan kadar gonadotropin bersamaan dengan peningkatan
kadar testosteron (Andersen and Tufik, 2006). Kadar hormon testosteron
123
berkorelasi positif dengan tingkat libido, yaitu semakin tinggi kadar hormon
testosteron maka semakin tinggi tingkat libido (Rachmawati et al., 2014).
Suplementasi daun kelor dan suplementasi mineral Zn meningkat-
kan volume semen pejantan sapi Bali dari 2,71 ml menjadi 3,78 ml dan
4,19 ml. Volume semen pejantan sapi Bali yang disuplementasi daun kelor
dan disuplementasi mineral Zn tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan. Hal ini dapat memperkuat dugaan bahwa mineral Zn yang
terdapat pada daun kelor berperan dalam meningkatkan volume semen
pejantan sapi Bali. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Kumar et
al., (2006) pada sapi pejantan persilangan (Bos indicus × Bos taurus),
suplementasi Zn organik dan anorganik signifikan meningkatkan volume
semen. Hasil penelitian Janicki and Cygan-Szczegielniak (2008) juga
menunjukkan bahwa, terdapat korelasi positif antara peningkatan
konsentrasi Zn dengan volume semen pada sapi pejantan. Bindari et al.,
(2013) juga menyatakan bahwa, suplementasi Zn menyebabkan
peningkatan rata-rata volume ejakulasi. Demikian pula hasil penelitian
Horký et al., (2011) menunjukkan bahwa, suplementasi Zn organik dan
anorganik signifikan meningkatkan volume semen pada babi. Hasil review
Roy et al., (2013) juga menunjukkan bahwa suplementasi mineral Zn
meningkatkan volume ejakulasi beberapa spesies mamalia, seperti: sapi,
kambing, kelinci, dan kerbau. Namun, hasil penelitian Widhyari et al.,
(2015) pada sapi FH jantan muda, suplementasi mineral Zn tidak
menunjukkan perbedaan volume semen yang signifikan. Hal ini mungkin
124
karena sapi jantan yang digunakan masih berumur muda, sehingga
produksi semennya belum optimal.
Menurut Martin et al., (1994) bahwa, volume semen merupakan
sekresi testis, epididimis, dan kelenjar aksesori terutama kelenjar prostat.
Zn telah dilaporkan merangsang pertumbuhan dan perkembangan organ
sex primer, sekunder dan aksesori. Hal ini dibuktikan dengan atrofi organ
ini pada domba jantan saat diberi pakan kekurangan Zn dalam
ransumnya. Sumber utama Zn dalam semen adalah kelenjar prostat
dimana terdapat konsentrasi Zn yang tertinggi dan sebagai penanda
bahwa kelenjar prostat berfungsi dengan baik (Ebisch et al., 2007).
Dengan demikian, peningkatan volume semen mungkin karena mineral Zn
dalam daun kelor dan suplementasi mineral Zn dikaitkan dengan
peningkatan aktivitas sekretori sel-sel prostat, karena 35 - 40% volume
semen disumbangkan oleh kelenjar prostat (Kumar et al., 2006).
Volume semen yang diperoleh masih lebih rendah dibandingkan
dengan volume semen pada sapi Bali yang diperoleh Arifiantini et al.,
(2006) sebanyak 6,3 ml, Ratnawati et al. (2008) sebanyak 4,5 ml, Aerens
et al. (2013) sebanyak 7,4 ml, dan Savitri et al, (2014) sebanyak 5,5 ml.
Walaupun demikian, volume semen yang diperoleh tersebut masih dalam
kategori normal, menurut Barszcz et al., (2012), yaitu volume normal
semen sapi bekisar antara 2 - 8 ml, dan Setchell (2014) yaitu berkisar
antara 2 - 10 ml. Perbedaan volume semen per ejakulasi dapat berbeda-
125
beda menurut bangsa, umur, ukuran badan, tingkatan pakan, frekuensi
koleksi, dan berbagai faktor lain (Susilawati, 2011).
Suplementasi daun kelor dan suplementasi mineral Zn tidak
mempengaruhi pH semen pejantan sapi Bali. Derajat keasaman (pH) yang
diperoleh 6,7 – 7,0 termasuk kategori normal, sesuai dengan Garner and
Hafez (2000), bahwa kisaran pH semen sapi yang normal adalah 6,4 –
7,8. Nilai pH yang netral menandakan metabolism aktif spermatozoa
berjalan dengan baik. Hal ini dapat menunjukkan bahwa ransum yang
diberikan mendukung proses metabolisme sperma secara normal
(Widhyari dkk., 2015).
Suplementasi daun kelor dan suplementasi mineral Zn tidak
mempengaruhi warna semen pejantan sapi Bali. Warna semen yang
diperoleh semuanya berwarna putih susu sampai krem. Warna tersebut
normal menurut Garner and Hafez (2000), warna normal semen sapi
adalah putih susu sampai krem. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil
penelitian Susilawati dkk., (1993) yang menunjukkan bahwa 10% ejakulasi
normal pada sapi FH dan Bali berwarna krem dan sisanya berwarna putih
susu. Hal ini dapat menunjukkan bahwa mineral Zn tidak berperan dalam
perubahan warna semen pejantan sapi Bali.
Suplementasi daun kelor dan suplementasi mineral Zn meningkat-
kan konsistensi semen pejantan sapi Bali. Semen sapi yang normal
memiliki konsistensi dari sedang sampai kental (Feradis, 2010), demikian
pula pada sapi Bali (Ratnawati dkk., 2008). Terdapat 61% ejakulat pada
126
kelompok kontrol yang memiliki konsistensi normal, 93% ejakulat pada
kelompok disuplementasi daun kelor, dan 100% pada kelompok yang
disuplementasi mineral Zn. Hal ini memperkuat dugaan bahwa mineral Zn
pada daun kelor dapat berperan meningkatkan konsistensi semen.
Mekanisme mineral Zn dapat meningkatkan konsistensi semen masih
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Suplementasi daun kelor dan suplementasi mineral Zn tidak
meningkatkan konsentrasi sperma pejantan sapi Bali secara signifikan.
Hal ini dapat membuktikan bahwa mineral Zn tidak berperan dalam
meningkatkan konsentrasi sperma pejantan sapi Bali. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Horký et al, (2011) pada babi, namun berbeda
dengan penelitian Kumar et al., (2006) pada sapi persilangan dan
Widhyari et al., (2015) pada sapi FH jantan muda. Konsentrasi
spermatozoa dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kematangan
seksual pejantan, volume ejakulat, interval penampungan, kualitas pakan,
kesehatan reproduksi, besar testis, umur, musim, dan perbedaan
geografis (Widhyari et al., 2015). Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh
kedua kelompok peneliti ini menggunakan sapi jantan muda yang masih
dalam proses pertumbuhan sehingga produksi spermanya mengalami
penambahan yang signifikan dibanding pejantan sapi Bali yang digunakan
pada penelitian ini pada puncak produksi umur 4 – 6 tahun dengan
produksi yang sudah stabil. Konsentrasi sperma yang diperoleh termasuk
dalam kategori normal, karena konsentrasi normal sperma sapi jantan
127
adalah 800 – 2.000 juta/ml (Garner and Hafez, 2000), 800 – 1.200 juta/ml
(Susilawati, 2011), atau 300 – 2.000 juta/ml (Setchell, 2014).
Suplementasi daun kelor dan suplementasi mineral Zn meningkat-
kan gerakan massa sperma pejantan sapi Bali. Gerakan massa sperma
yang normal dan layak untuk diproses menjadi semen beku adalah (++)
dan (+++) pada skala (-) sampai (+++) (Susilawati, 2011). Terdapat 94%
ejakulat pada kelompok kontrol, 97% ejakulat pada kelompok sapi yang
disuplementasi daun kelor serta 100% pada kelompok sapi yang
disuplementasi mineral Zn mempunyai gerakan massa yang normal dan
layak untuk diproses menjadi semen beku. Walaupun demikian,
peningkatan gerakan massa tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan. Hal ini dapat menunjukkan bahwa mineral Zn tidak berperan
terhadap peningkatan gerakan massa sperma pejantan sapi Bali. Menurut
Toelihere (1993), gerakan massa merupakan cerminan dari motilitas dan
konsentrasi spermatozoa. Kecepatan bergeraknya satu kelompok
spermatozoa membentuk gelombang-gelombang bergantung pada
konsentrasi, motilitas, dan abnormalitas. Menurut Widhyari (2015),
gerakan massa dapat dipengaruhi oleh bangsa, suhu lingkungan, dan
faktor nutrisi atau status gizi ternak. Oleh karena itu, gerakan massa yang
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, mungkin karena
konsentrasi juga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Suplementasi daun kelor dan suplementasi mineral Zn meningkat-
kan motilitas total sperma pejantan sapi Bali dari 70,32% menjadi 85,49%
128
dan 89,37%. Motilitas total sperma pejantan sapi Bali yang disuplementasi
daun kelor dan disuplementasi mineral Zn tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan. Hal ini dapat memperkuat dugaan bahwa mineral Zn yang
terdapat pada daun kelor berperan dalam meningkatkan motilitas total
sperma pejantan sapi Bali. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
Kumar et al., (2006) pada sapi pejantan persilangan (Bos indicus × Bos
taurus), suplementasi Zn organik dan anorganik signifikan meningkatkan
motilitas sperma. Demikian pula hasil penelitian Widhyari et al., (2015)
pada sapi FH jantan muda. Hasil penelitian Zhinian (1998) juga menunjuk-
kan bahwa, suplementasi Zn secara signifikan dapat meningkatkan
motilitas sperma segar dan beku. Hal ini didukung oleh pernyataan Bindari
et al., (2013) bahwa, suplementasi Zn menyebabkan peningkatan
persentase motilitas sperma.
Menurut Iwasaki and Gagnon (1992), bahwa mineral Zn dapat
meningkatkan motilitas total sperma karena mineral Zn dapat menyedia-
kan energi gerak bagi sperma sehingga lebih aktif. Mineral Zn berfungsi
terhadap kerja enzim-enzim metabolisme sel sperma untuk menghasilkan
energi (ATP). Kumar et at., (2006) juga menjelaskan bahwa peningkatan
motilitas sperma karena pendonor utama energi yang dibutuhkan oleh
flagella sperma untuk bergerak adalah ATP dan Zn mengontrol motilitas
sperma dengan cara mengendalikan pemanfaatan energi melalui sistem
ATP, melalui regulasi fosfolipid cadangan energi dan peningkatan
penyerapan oksigen oleh sperma. Alasan lain adalah aktivitas Zn
129
mengandung enzim yaitu sorbitol dehidrogenase dan laktat dehidro-
genase yang memainkan peran penting dalam motilitas sperma. Zn juga
pemangsa radikal bebas oksigen dan melindungi sperma dari kerusakan
oksidatif dan lipid per oksidasi dengan menghambat fosfolipase. Dengan
demikian, tindakan anti-oksidan dari Zn mungkin bertanggung jawab atas
peningkatan motilitas sperma pada kelompok yang disuplementasi daun
kelor dan disuplementasi mineral Zn.
Menurut Hafez and Hafez (2000) bahwa, kisaran normal motilitas
total sperma yang layak untuk diproses menjadi semen beku adalah 60 -
80%. Oleh karena itu, ketiga kelompok semen pada penelitian ini layak
untuk diproses menjadi semen beku.
Suplementasi daun kelor dan suplementasi mineral Zn signifikan
meningkatkan motilitas progresif sperma pejantan sapi Bali dari 58,14%
menjadi 77,12 dan 76,43%. Motilitas progresif sperma pejantan sapi Bali
yang disuplementasi daun kelor dan disuplementasi mineral Zn tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini dapat memperkuat
dugaan bahwa mineral Zn yang terdapat pada daun kelor berperan dalam
meningkatkan motilitas progresif sperma pejantan sapi Bali. Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Janicki and Cygan-
Szczegielniak (2008) bahwa, terdapat korelasi positif antara peningkatan
konsentrasi Zn dengan motilitas sperma pada sapi pejantan. Demikian
pula hasil penelitian Cupic et al., (1998) bahwa, pemberian mineral Zn
sebesar 50, 100, dan 150 ppm pada pejantan sapi FH, signifikan
130
meningkatkan motilitas progresif sperma dari 69.72% menjadi 77.78% dan
84.44%. Motilitas progresif berperanan penting untuk keberhasilan
fertilisasi. Menurut Feradis (2010) bahwa, pejantan fertil mempunyai
sperma motil progresif 50 - 80%, sehingga hasil penelitian ini menunjuk-
kan bahwa, pejantan sapi Bali yang digunakan adalah sapi pejantan yang
fertil dan suplementasi daun kelor kemungkinan dapat meningkatkan
fertilitasnya.
Karakteristik Motilitas Sperma. Suplementasi daun kelor dan
suplementasi mineral Zn meningkatkan jarak tempuh sperma dalam satu
detik pada DCL, DSL, dan DAP, kecepatan sperma pada VCL, VSL, dan
VAP serta frekuensi (BCF) dan amplitudo (ALH) sperma pejantan sapi
Bali, namun tidak terdapat perbedaan antara suplementasi daun kelor
dengan suplementasi mineral Zn. Berdasarkan Susilawati (2011), maka
sperma pada kelompok perlakuan mengalami hiperaktifasi, karena nilai
VCLnya ≥ 100 µm/detik, LIN < 60% dan ALH ≥ 5 µm/detik. Hasil pengujian
pola motilitas hiperaktifasi menggunakan CASA dapat menjadi upaya
yang baik untuk memprediksi kemampuan fertilisasi spermatozoa.
Hiperaktifasi spermatozoa diperlukan sesaat sebelum reaksi akrosom
secara in vitro yaitu pergerakan dalam oviduct saat fertilisasi. Motilitas
sperma terhiperaktifasi berkorelasi positif dengan kemampuan untuk
menembus zona. Angka fertilitas kelompok hiperaktifasi memiliki
keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok non
hiperaktifasi (Susilawati, 2011). Hal ini dapat memperkuat dugaan bahwa
131
mineral Zn yang terdapat pada daun kelor berperan dalam meningkatkan
nilai karakteristik motilitas sperma pejantan sapi Bali, sehingga mengalami
hiperaktifasi yang kemungkinan dapat menghasilkan sperma yang lebih
fertil.
Nilai-nilai karakteristik motilitas sperma yang diperoleh masih lebih
rendah dibandingkan dengan nilai-nilai karakteristik motilitas sperma
pejantan sapi Bali, Madura, Brahman, Ongole, Limousin dan Simmental
sumber semen di Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari
(Sarastina et al., 2007). Hal ini mungkin disebabkan oleh sapi pejantan
yang digunakan BBIB adalah pejantan unggul dan terseleksi serta
pemberian pakan yang berkualitas. Faktor-faktor yang spesifik mempe-
ngaruhi nilai-nilai karakteristik motilitas sperma masih perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut.
Kualitas Semen Beku. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap post thawing motility
berupa motilitas total and motilitas progressif sperma antara kelompok
kontrol, suplementasi daun kelor, dan suplementasi mineral Zn. Motilitas
total and motilitas progressif sperma segar dan beku pada kelompok
kontrol tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, walaupun di
kelompok perlakuan terjadi penurunan yang signifikan (Tabel 22). Hal ini
menunjukkan bahwa mineral Zn tidak berperan dalam meningkatkan post
thawing motility. Walaupun demikian, nilai-nilai post thawing motility
semen beku yang diperoleh masih lebih tinggi dibandingkan dengan
132
standar menurut Vincent et al., (2012), sapi Bali di perusahaan peternakan
di Malaysia (Sarsaifi et al., 2013), sapi Bali, Madura, dan PO di BBIB
Singosari (Salim et al., 2012), sapi Limousin, Simmental, dan Friesian
Holstein di BIB Lembang, Bandung, Jawa Barat (Komariah et al., 2013),
dan sapi Brahman (Pratiwi et al., 2009). Demikian pula terhadap bangsa-
bangsa sapi di Bangladesh yaitu sapi pejantan Lokal (L), Friesian (F),
Sahiwal (SL), Local×Friesian (L×F), Sahiwal×Friesian (SL×F),
Local×Friesian× Friesian (LF1×F), Local ×Friesian×Friesian×Friesian
(LF2×F) (Hossain et al., 2012). Nilai karakteristik motilitas yang diperoleh
masih lebih rendah dibandingkan dengan sapi Bali di perusahaan
peternakan di Malaysia (Sarsaifi et al., 2013). Hal ini mungkin disebabkan
oleh perbedaan metode penampungan semen yang digunakan. Penelitian
ini menggunakan metode vagina buatan, sedangkan penelitian Sarsaifi et
al., (2013) menggunakan metode pengurutan pada ampula (RM) yang
dilanjutkan dengan metode elektroejakulator (EE). Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa, kombinasi RM dan EE pada pejantan sapi Bali
ternyata lebih berhasil dibandingkan metode RM. Penggunaan RM
sebelum EE mengakibatkan mungkin adanya pergerakan sperma masuk
ke panggul uretra sehingga mengurangi jumlah rangsangan diperlukan
untuk ejakulasi. Walaupun demikian, dinyatakan bahwa, hasil metode ini
tidak konsisten dan motilitas sperma yang beragam, sehingga hal ini
kemungkinan hasil yang diperoleh lebih tinggi.
133
Nilai-nilai karakteristik motilitas post thawing motility sperma antara
kelompok kontrol, suplementasi daun kelor, dan suplementasi mineral Zn
juga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Berdasarkan
Susilawati (2011), nilai-nilai karakteristik motilitas tersebut menunjukkan
sperma telah mengalami hiperaktifasi. Demikian pula pada Tabel 22, juga
menunjukkan bahwa nilai-nilai karakteristik motilitas sperma segar dan
beku telah mengalami hiperaktifasi. Hal ini dapat menunjukkan bahwa
mineral Zn tidak berperan terhadap karakteristik motilitas sperma setelah
pembekuan.
Status Mineral Zn Pejantan Sapi Bali yang Disuplementasi
Daun Kelor dan Disuplementasi Mineral Zn. Suplementasi daun kelor
tidak nyata menurunkan konsumsi bahan kering, namun suplementasi
mineral Zn nyata menurunkan konsumsi bahan kering dibandingkan
dengan kontrol dan suplementasi daun kelor. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa, mineral Zn tidak berperan dalam meningkatkan
konsumsi bahan kering pada pejantan sapi Bali. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Mendeita-Araica et al., (2011) yang menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan konsumsi bahan kering
rumput gajah dengan konsumsi bahan kering daun kelor pada sapi perah.
Demikian pula hasil penelitian Babeker and Bdalbagi (2015), yang tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan konsumsi bahan kering pada
kambing Nubian Sudan yang diberi perlakuan daun kelor 0% + hay
sorghum 54%, daun kelor 20% + hay sorghum 34%, dan daun kelor
134
50% + hay sorghum 4%. Namun, hasil penelitian ini berlawanan dengan
hasil penelitian Roy et al., (2016) bahwa suplementasi daun kelor
signifikan meningkatkan konsumsi bahan kering pakan hijauan berkualitas
rendah pada sapi jantan lokal BCB-1. Hal ini mungkin karena kualitas
nutrisi ransum yang diberikan lebih rendah, sehingga dengan
penambahan daun kelor yang kaya asam amino, vitamin, dan mineral
akan membantu mikroorganisme rumen untuk proses pencernaan dan
metabolisme, sehingga lebih banyak bahan kering yang dapat dikonsumsi
dan dicerna serta dimetabolisme.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian El Ashry et
al., (2012) bahwa, konsumsi bahan kering pada sapi perah awal laktasi
yang berproduksi tinggi yang disuplementasi dengan Zn organik signifikan
lebih tinggi daripada yang disuplementasi Zn anorganik. Konsumsi bahan
kering pejantan sapi Bali yang diberi daun kelor signifikan lebih tinggi
dibandingkan dengan yang diberi mineral Zn. Hal ini mungkin karena daun
kelor mengandung mineral Zn tinggi yang juga kaya akan asam amino
yang dapat membentuk ikatan Zn-asam amino tertentu yang dapat
meningkatkan aktivitas fermentasi mikroba rumen yang diikuti dengan
meningkatnya produksi enzim pemecah serat (Suprijati, 2013). Aktivitas
fermentasi mikroba rumen yang meningkat akan menyebabkan
meningkatnya jumlah konsumsi bahan kering. Namun, hasil penelitian ini
berlawanan dengan hasil penelitian Hassan et al., (2011) bahwa, tidak
terdapat perbedaan yang signifikan konsumsi bahan kering pada domba
135
Barky yang diberi pakan Zn sufat dan Zn metionin yang diberi ransum
basal jerami padi. Demikian pula hasil penelitian Kessler et al., (2003)
bahwa, tidak terdapat perbedaan yang signifikan konsumsi bahan kering
ransum sapi pejantan persilangan Red Holstein yang diberi pakan kontrol,
Zn proteinat, Zn polisakarida dan Zn oksida. Winter et al., (2014) juga
menunjukkan bahwa, tidak terdapat perbedaan yang signifikan konsumsi
bahan kering sapi pejantan German Holstein yang diberi pakan
mengandung Phospor-Zn, dan Phospor-Zn-phytase.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, sapi pejantan yang
disuplementasi mineral Zn anorganik diperoleh konsumsi bahan kering
paling rendah. Menurut Parakkasi (1999) bahwa, dalam tubuh ternak
mempunyai mekanisme homeostatik untuk Zn guna menghindari
terlampau banyak Zn dalam tubuh. Mungkin dengan mekanisme ini
sehingga sapi pejantan tersebut mengurangi konsumsi bahan keringnya,
karena di dalam jerami padi sudah terdapat konsentrasi Zn yang tinggi
(68,96 mg/kg) guna mengurangi konsumsi Zn. Walaupun demikian,
suplementasi daun kelor dan suplementasi mineral Zn tidak mem-
pengaruhi kecukupan konsumsi bahan kering. Jumlah konsumsi bahan
kering ketiga kelompok perlakuan (Tabel 23) masih berada di atas standar
kebutuhan untuk pejantan sapi potong yaitu 6,30 kg/hari (Nutrient
Requirements of Beef Cattle, 2000).
Konsumsi bahan kering berdasarkan bobot badan sejalan dengan
konsumsi bahan kering ransum. Suplementasi daun kelor tidak nyata
136
menurunkan konsumsi bahan kering berdasarkan bobot badan, namun
suplementasi mineral Zn nyata menurunkan konsumsi bahan kering
berdasarkan bobot badan dibandingkan dengan kontrol dan suplementasi
daun kelor. Ternak mengkonsumsi ransum sesuai kebutuhan fisiologisnya
untuk hidup pokok, dan produksinya sesuai dengan kapasitas saluran
pencernaannya yang antara lain dipengaruhi bobot badan (Parakkasi,
1999). Dengan demikian, ternak akan mengkonsumsi ransum sesuai
dengan bobot badannya.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa konsumsi mineral Zn
sejalan konsumsi bahan kering. Konsumsi mineral Zn yang diperoleh
berada di atas standar kebutuhan mineral Zn untuk sapi potong yaitu 30
mg/kg, namun belum melewati batas toksitas yaitu 500 mg/kg (Nutrient
Requirements of Beef Cattle, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa ransum
yang diberikan masih dalam batas toleransi kebutuhan mineral Zn pada
sapi potong. Mineral Zn yang berlebih akan dikeluarkan melalui keringat,
urin, dan feces, namun apabila melewati ambang batas maksimum akan
menyebabkan keracunan. Konsumsi mineral Zn yang tinggi disebabkan
oleh kandungan mineral Zn yang tinggi pada jerami padi yaitu 68,96
mg/kg (Tabel 10). Walaupun demikian, kandungan mineral Zn yang tinggi
pada jerami padi tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh ternak
karena kemungkinan terikat dengan silika yang sukar untuk dicerna.
Suplementasi daun kelor dan suplementasi mineral Zn tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap kandungan mineral Zn
137
pada plasma darah dengan kelompok kontrol. Kandungan mineral Zn
dalam darah merupakan refleksi dari total Zn dalam tubuh (Li et al., 2017).
Hal ini menunjukkan bahwa kandungan mineral Zn dalam ransum sesuai
dengan kebutuhan pada ternak, sehingga perlakuan tidak menunjukkan
perbedaan. Konsentrasi Zn dalam plasma darah berkorelasi langsung
dengan konsentrasi Zn dalam makanan (Habeeb et al., 2013). Absorpsi
Zn merupakan refleksi kebutuhan fisiologis tubuh akan Zn. Ternak yang
kekurangan Zn akan mengabsorpsi sebagian besar Zn yang diberikan
dalam pakan. Ternak apabila kekurangan Zn yang besar, mengakibatkan
turunnya kandungan Zn pada rambut, tulang, hati, paru-paru, ginjal,
pankreas dan plasma darah (Suprijati, 2013). Kandungan mineral Zn
dalam plasma darah yang tidak berbeda, mungkin karena tingkat
konsumsi mineral masing-masing perlakuan jauh di atas standar
kebutuhan. Kadar plasma Zn normal pada sapi antara 0,8 -1,2 µg/ ml
(Mpofu et al., 1999, Widhyari, 2012). Kadar plasma Zn yang diperoleh
masing-masing perlakuan adalah 50,38 ± 13,59 mg/l, 30,88 ± 4,34 mg/l,
dan 58,61 ± 3,46 mg/l lebih tinggi daripada standar normal.
Kandungan mineral Zn dalam plasma darah tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan, sejalan dengan hasil penelitian Spears and
Kegley (2002) bahwa supplementasi seng oksida dan seng proteinat tidak
berpengaruh nyata terhadap kadar mineral Zn dalam plasma darah sapi
pejantan Angus dan Angus×Hereford pada fase pertumbuhan dan fase
akhir. Demikian pula hasil penelitian Hartati et al., (2009) yang melakukan
138
penambahan ZnSO4 dan Hartati et al., (2012), melakukan penambahan
ZnSO4 dan Zn-Cu Isoleusinat tidak berpengaruh nyata terhadap
konsentrasi seng dalam plasma darah sapi Bali. Hasil penelitian Pavlata et
al., (2011) juga menunjukkan bahwa, tidak ada perbedaan yang signifikan
kandungan mineral Zn dalam plasma darah kambing yang diberi Zn
organik dan Zn anorganik selama tiga bulan terus-menerus. Walaupun
demikian, hasil yang diperoleh masih lebih tinggi dibandingkan dengan
Spears and Kegley (2002), Pavlata et al., (2005), Hartati et al., (2009), dan
Hartati et al., (2012). Peningkatan kadar Zn dalam serum ataupun plasma
mungkin disebabkan oleh pengaruh suplementasi mineral mikro yang
berdampak pada meningkatnya absorpsi dan retensi Zn dalam jaringan
(Suprijati, 2013).
Suplementasi daun kelor signifikan meningkatkan kandungan
mineral Zn dalam urin dan feses pada pejantan sapi Bali. Hal ini
menunjukkan bahwa, jumlah Zn yang diekresikan semakin besar,
sehingga jumlah retensi Zn semakin kecil. Jumlah Zn yang meningkat
pada urin dan feces kemungkinan karena daun kelor mengandung nutrisi
yang lengkap sehingga proses pencernaan ransum yang disuplementasi
daun kelor berjalan dengan baik. Intake bahan kering dan mineral Zn yang
berlebih, namun proses pencernaan berjalan dengan baik, retensi Zn
dalam tubuh sesuai kebutuhan, sehingga Zn yang berlebih dikeluarkan
bersama dengan urin dan feses. Menurut Suprijati (2013) bahwa, ternak
ruminansia mempunyai mekanisme kontrol homeostatis yang mengatur
139
absorpsi Zn dan re-ekskresi endogen ke dalam saluran pencernaannya.
Absorpsi Zn dan retensi Zn yang tinggi dapat diindikasikan dengan kadar
Zn yang rendah dalam feses. Selanjutnya Widhyari (2012) menyatakan
bahwa, Zn dieksreksi melalui empedu, keringat dan urin. Zn tidak
disimpan permanen dan mudah hilang dalam tubuh. Zn juga dibawa ke
dalam pankreas dan digunakan untuk membuat enzim pencernaan, yang
akan dikeluarkan ke dalam saluran pencernaan pada waktunya jika
diperlukan. Dengan demikian saluran cerna memiliki dua sumber Zn, yaitu
dari makanan dan cairan pencernaan pankreas. Kume et al., (1984)
menjelaskan bahwa, konsentrasi Zn dalam feces meningkat dengan
meningkatnya Zn dalam ransum, kebanyakan Zn dalam ransum akan
diekskresikan dalam feses. Konsentrasi Zn pada jaringan biasanya
dipertahankan konstan, meskipun asupan Zn sedikit tidak memadai.
Suplementasi daun kelor dan suplementasi mineral Zn tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan kandungan mineral Zn pada
plasma semen pada kelompok kontrol dan perlakuan (10,22 ± 0,00 vs
12,79 ± 5,18 vs 10,05 ± 2,52 mg/L). Hasil studi Roy et al., (2013)
menunjukkan bahwa kadar Zn dalam plasma semen sapi pejantan
bervariasi antara 1,69 – 25,57 mg/L (ppm). Hal ini menunjukkan bahwa
kandungan mineral Zn pada semen sapi percobaan adalah normal dan
pakan yang diberikan tercukupi kebutuhan mineral Zn-nya. Walaupun
demikian, hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Kumar
(2013) bahwa suplementasi Zn pada 0, 60, 75, 90 dan 105 hari siginifikan
140
meningkatkan kandungan seminal plasma semen pejantan kambing
Barbari. Perbedaan ini mungkin pengaruh waktu suplementasi yang lebih
lama yaitu lebih 60 hari sedangkan pada penelitian ini hanya 8 minggu (56
hari).
Dengan demikian, berdasarkan hasil penelitian pada tahap ini, maka
suplementasi mineral Zn anorganik signifikan meningkatkan libido, volume
semen, motilitas total, motilitas progresif, dan memperbaiki karakteristik
motilitas sperma pejantan sapi Bali, sehingga memperkuat dugaan bahwa
mineral Zn pada daun kelor berperan terhadap peningkatan peubah
tersebut. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan membandingkan
libido dan kualitas semen pejantan sapi Bali yang diberi mineral Zn yang
diekstrak dari daun kelor dan diberi daun kelor untuk membuktikan bahwa
mineral Zn pada daun kelor berperan dalam meningkatkan libido dan
kualitas semen.
C. Pembahasan Umum
Libido dan kualitas semen yang rendah sering dialami oleh sapi
pejantan yang biasa digunakan sebagai sumber semen cair dan semen
beku serta pejantan pada kawin alam. Libido dan kualitas semen yang
rendah menyebabkan penundaan konsepsi dan memperpanjang musim
kawin, sehingga mengakibatkan kerugian secara ekonomi dan
mengancam keberlanjutan usaha peternakan.
141
Libido dapat dipengaruhi oleh level hormon testosteron. Proses
sintesis hormon testosteron oleh sel sel Leydig pada testes tergantung
pada kecukupan Zn dalam makanan. Mineral Zn merangsang sel Leydig
memproduksi testosteron untuk fungsi normal sumbu hipothalamus-
hipofisis-testes. Kualitas semen segar yang diejakulasikan oleh pejantan
dipengaruhi proses spermatogenesis di tubulus seminiferous dan pem-
bentukan seminal plasma di kelenjar assesoris. Proses produksi dan
kualitas semen dipengaruhi nutrisi tertentu yaitu asam amino metionin,
sistein, dan arginin, asam lemak -linolenic, vitamin A, C, dan E, mineral
Zn dan Se, fitonutrien (fitoestrogen dan senyawa fenol) serta antioksidan.
Daun kelor mengandung semua senyawa-senyawa tersebut, sehingga
pemanfaatan daun kelor sebagai pakan suplemen diharapkan dapat
meningkatkan libido dan kualitas semen. Daun kelor mengandung mineral
Zn yang tinggi, sehingga pada tahap penelitian ini mencoba mengkaji
pemanfaatan mineral Zn anorganik guna memperkuat dugaan bahwa
mineral Zn pada daun kelor berperan terhadap terhadap libido dan
kualitas semen pejantan sapi Bali.
Kualitas semen beku untuk inseminasi buatan dipengaruhi oleh
proses pembuatan semen beku yang meliputi pengenceran, pembekuan
dan thawing pada saat akan dilakukan IB. Vitamin C dan vitamin E serta
antioksidan berperanan penting dalam mempertahankan kualitas semen
beku. Daun kelor mengandung vitamin C dan E serta antioksidan yang
142
cukup tinggi, sehingga sapi pejantan yang pakannya diberi daun kelor
dapat menghasil semen beku yang kualitasnya lebih baik.
Suplementasi daun kelor sebesar 0,69 g BK/kg bobot badan/ hari
(dosis rendah) belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
kualitas semen berupa volume, warna, kekentalan, pH, gerakan massa,
motilitas total sperma pejantan sapi Bali. Walupun demikian, kualitas
semen yang dihasilkan sudah termasuk kategori normal. Selama periode
penampungan semen, terdapat kecenderungan suplementasi daun kelor
memperlambat penurunan volume semen tersebut. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa mineral Zn dapat meningkatkan volume semen,
sehingga kemungkinan mineral Zn yang terdapat pada daun kelor
berperan dalam memperlambat penurunan volume semen tersebut. Oleh
karena itu, masih perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk membuktikan
dugaan tersebut dengan menggunakan daun kelor dosis tinggi untuk
melihat pengaruh yang signifikan terhadap kualitas semen.
Suplementasi daun kelor sebesar 1,50 g BK/kg bobot badan/hari
(dosis tinggi) signifikan meningkatkan libido, kekentalan semen, gerakan
massa, motilitas total, motilitas progresif, memperbaiki karakteristik
motilitas sperma dan meningkatkan post thawing motility (motilitas total
dan motilitas progresif semen beku) sperma pejantan sapi sapi Bali.
Suplementasi daun kelor meningkatkan serum testosteron sepanjang hari
selama perlakuan, sehingga libidonya lebih tinggi. Suplementasi daun
kelor meningkatkan motilitas sperma segar dan beku, mungkin karena
143
pengaruh protein, mineral Zn, Ca, dan P, serta vitamin C, dan vitamin E,
pada daun kelor. Penelitian ini masih perlu dilanjutkan untuk menentukan
nutrisi yang paling berperan terhadap motilitas sperma tersebut.
Suplementasi mineral Zn anorganik 0,02 mg/kg bobot badan (setara
1,50 g BK/kg bobot badan daun kelor) signifikan meningkatkan libido,
volume dan kekentalan semen, motilitas total, motilitas progresif, dan
memperbaiki karakteristik motilitas sperma pejantan sapi Bali, sehingga
memperkuat dugaan bahwa mineral Zn pada daun kelor berperan dalam
meningkatkan peubah tersebut. Namun, untuk membuktikan dugaan
tersebut, masih perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan
mineral Zn yang diekstraksi dari daun kelor dibandingan dengan yang
diberi daun kelor.
144
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Suplementasi daun kelor sebanyak 1,50 g BK/kg bobot badan nyata
meningkatkan libido, kekentalan semen, gerakan massa, motilitas total,
motilitas progresif sperma, memperbaiki karakteristik motilitas sperma
dan meningkatkan post thawing motility (motilitas total dan motilitas
progresif) sperma beku pejantan sapi Bali.
2. Suplementasi mineral Zn anorganik 0,02 mg/kg bobot badan nyata
meningkatkan libido, volume dan kekentalan semen, motilitas total, dan
motilitas progresif serta memperbaiki karakterisitik motilitas sperma
pejantan sapi Bali. Suplementasi tersebut setara dengan suplementasi
1,50 g BK daun kelor/kg bobot badan, sehingga mineral Zn pada daun
kelor diduga kuat berperan dalam meningkatkan libido, volume dan
kekentalan semen, motilitas total, motilitas progresif dan memperbaiki
karakterisitik motilitas sperma pejantan sapi Bali.
B. Saran-saran
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan membandingkan libido dan
kualitas semen pejantan sapi Bali yang diberi mineral Zn yang
diekstrak dari daun kelor dan diberi daun kelor untuk membuktikan
145
mineral Zn pada daun kelor berperan dalam meningkatkan libido dan
kualitas semen.
2. Masih perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat peran mineral
Se, Ca, dan P dalam meningkatkan kualitas semen.
3. Masih perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menguji fertilitas
sperma yang dihasilkan oleh pejantan yang disuplementasi daun kelor,
baik dengan kawin alam maupun dengan inseminasi buatan.
146
DAFTAR PUSTAKA Abdella, A. M., B. H. Elabed, A. O. Bakhiet, W. S. A. Gadir and S. E. I.
Adam. 2011. In vivo study on Lead, Cadmium and Zinc supplementations on spermatogenesis in Albino rats. Journal of Pharmacology and Toxicology, 6: 141-148.
Abu, A. H., T. Ahemen and P. Ikpechukwu. 2013. The Testicular
Morphometry and Sperm Quality Of Rabbit Bucks Fed Graded Levels of Moringa oleifera Leaf Meal (MOLM). Agrosearch 13 (1) : 49 – 56. http://dx.DOI.org/10.4314/agrosh.v13i1.5.
Abdu, S. B. 2008. Effect of vitamins deficiencies on the histological
structure of the testis of albino mice Mus musculus. Saudi Journal of Biological Sciences (15) : 269 - 278.
Adegun, M. K, , P.A. Aye, and F. A. S. Dairo. 2011. Evaluation of Moringa
oleifera, Gliricidia sepium and Leucaena leucocephala - based multinutrient blocks as feed supplements for sheep in South Western Nigeria. Agric. Biol. J. N. Am. Vol 2(11): 1395-1401. DOI:10.5251/abjna.2011.2.11.1395.1401. © 2011, ScienceHuβ, http://www.scihub.org/ABJNA
Aerens, C. D. C., M. N. Ihsan dan N Isnaini. 2013. Perbedaan Kuantitatif
dan Kualitatif Semen Segar pada Berbagai Bangsa Sapi Potong.http://fapet.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/04/Perbedaan-Kuantitatif-Dan-Kualitatif-Semen-Segar-Pada-Berbagai-Bangsa-Sapi-Potong.pdf. Diakses pada tanggal14 Desember 2014.
Affandhy, L., W.C. Pratiwi, dan D. Ratnawati. 2009. Kualitas Semen
Pejantan Sapi Peranakan Ongole dengan Perlakuan Pemberian Suplemen Berbeda. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009. Bogor, 13 - 14 Agustus 2009: 173 - 180
Agarwal, V. 2014. The Magical Moringa. https://www.ayurvedacollege.com/articles/students/MagicalMoringa.
Diakses tanggal 14 Juli 2014. Aku, A. S., S. Marsina, T. Saili. 2017. Pengaruh berat testis dan cauda
epididimis terhadap konsentrasi spermatozoa sapi Bali dengan tingkatan umur yang berbeda. https://www.researchgate.net/profile/Saili_Takdir/publication/259849490_Pengaruh_Berat_Testis_dan_Cauda_Epididimis_terhadap/links/00b4952e237fad485a000000.pdf. Diakses tanggal 12 Oktober 2017.
147
AL-Ebady, A.S., S.O. Hussain, K.I. AL-Badry and B.A. Rajab. 2012. Effect of adding arginine in different concentrations on some physical properties of poor motile bull sperms during different months. J. Vet. Med. Anim. Health. 4(9):130-135. DOI: 10.5897/JVMAH12.051. http://www.academicjournals.org/JVMAH.
Andersen, M.L. and S. Tufik. 2006. Does male sexual behaviour require
progesterone. Brain Res Rev.51:136 – 143. Andini, D. 2014. Potential of Katuk Leaf (Sauropus androgynus L. Merr)
as aphrodisiac. J. Majority 3(7):17-22. Anwar, F., S. Latif, M. Ashraf and A. H. Gilani. 2007. Review Article
Moringa oleifera: A Food Plant with Multiple Medicinal Uses. Phytother. Res. (21) : 17 – 25. www.interscience.wiley.com. DOI: 10.1002/ptr.2023.
Aprilina, N., S. Suharyati, dan P. E. Santosa. 2014. Pengaruh suhu dan
lama thawing di dataran rendah terhadap kualitas semen beku sapi simmental. http://jurnal.fp.unila.ac.id/index.php/JIPT/article/viewFile/508/480. Diakses tanggal 7 Desember 2015.
Araica, B. M., E. Spörndly, N. R. Sánchez and R. Spörndly. 2011.
Feeding Moringa oleifera fresh or ensiled to dairy cows effects on milk yield and milk flavor. Trop Anim Health Prod. DOI: 10.1007/s11250-011-9803-7.
Aregheore E.M. 2002. Intake and digestibility of Moringa oleifera-batiki
grass mixtures for growing goats. Small Rum. Res. 46: 23–28. Arifiantini, R. I., T. Wresdiyati, dan E. F. Retnani. 2006. Pengujian
morfologi spermatozoa sapi Bali (Bos sondaicus) menggunakan pewarnaan "Williams". J. Indon.Trop.Anim.Agric. 31 (2): 105 – 110.
Arman, A. 2006. Faktor-faktor yang mempengaruhi lama kebuntingan
pada sapi Hissar Sumbawa. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Nopember. Vol. IX. (4): 235 – 241.
Asadpour, R., R. Jafari, and H. Tayef-Nasrabadi. 2011. Influence of added
vitamin C and vitamin E on frozen-thawed bovine sperm cryopreserved in citrate and tris-based extenders. Veterinary Research Forum 2(1):37 - 44
Asaolu, V. O. and A. T. Okewoye. 2013. Moringa multinutrient block
supplementation effects on feed utilization by West African Dwarf
148
goats fed a basal diet of cassava peels. Science Focus Vol. 18 (1) : 63 – 72.
Astuti, P, T. L. Yusuf, E. Hayes, H. Maheshwari, L. Sjahfirdi, D. Sajuthi.
2006. Pola diurnal metabolit testosteron dan kortisol di dalam feses Owa Jawa (Hylobates moloch) di penangkaran. Hayati. 13(2):69-72.
Aurich, J.E., A. Kuhne, H. Hoppe, And C. Aurich. 1996. Seminal plasma
effects membrane integrity and motility of equine spermatozoa after cryopreservation.Theriogenology 46:791-797.
Azawi, O. I. and E. K. Hussein. 2013. Effect of vitamins C or E
supplementation to tris diluent on the semen quality of Awassi rams preserved at 5˚C. Vet Res Forum. Summer. 4(3): 157–160. PMCID: PMC4312374.
Babeker, E. A and Y. M. A Bdalbagi. 2015. Effect of feeding different
levels of Moringa oleifera leaves on performance, haematological, biochemical and some physiological parameters of Sudan Nubian goats. Online J. Anim. Feed Res., 5 (2): 50-61. http://www.science-line.com/index/; http://www.ojafr.ir.
Bailey, J. L., J-F. Bilodeau, and N. Cormier. 2000. Minireview. Semen
Cryopreservation in domestic animals: a damaging and capacitating phenomenon. Journal of Andrology 21(1):1-7.
Barnabe, V. H, R. C. Barnabe, C. A. de Oliveira. M. L. Gambarini, M. C.
Guido, R. Valentim. 1995.Testosterone concentration in blood serum of buffalo bulls during 24 hours in winter and summer seasons. Braz. J. vet. Res. anim. 32(3): 191-193.
Barszcz, K., D. Wiesetek., M. Wąsowicz., and M. Kupczyńska. 2012. Bull
semen collection and analysis for artificial insemination. Journal of Agricultural Science Vol. 4 (3): 1 – 10.
Barter, P., A. M. Gotto, J. C. LaRosa, J. Maroni, M. Szarek, S. M.
Grundy, J. J. P. Kastelein, V. Bittner, and J. C Fruchart. 2007. HDL cholesterol, very low levels of LDL cholesterol, and cardiovascular events. N Engl J Med 2007;357:1301-10.
Batra, N., Nehru, B., and Bansal, M.P. 2004. Reproductive potential of
male Portan rats exposed to various levels of lead with regard to zinc status. British J. of Nutr. 91:387-391.
Begum, H., A. B. M. Moniruddin and K. Nahar. 2009. Environmental and
nutritional aspect in male infertility. Journal of Medicine (10) : 16 - 19.
149
Bhakat, M., T. K. Mohanty, V. S. Raina, A. K. Gupta, H. M. Khan, R. K.
Mahapatra, and M. Sarkar. 2011. Effect of age and season on semen quality parameters in Sahiwal bulls. Trop Anim Health Prod 43:1161-1168. DOI: 10.1007/s11250-011-9817-1.
Bindari, Y.R., S. Shrestha, N. Shrestha and T. N. Gaire. 2013. Effects of
Nutrition on Reproduction- A Review. Adv. Appl. Sci. Res. 4(1) : 421 - 429 . www.pelagiaresearchlibrary.com
Bitik, B. and M. A. Öztürk. 2014. An old disease with new insights: Update
on diagnosis and treatment of gout. Eur. J. Rheumatol.1:72-77. DOI: 10.5152/eurjrheumatol.2014.021
Brito, L. F. C. 2014. Applied Andrology in Cattle (Bos taurus): In Animal
Andrology Theories and Applications. Eds. P. J. Chenoweth and S. P. Lorton. CAB International, Boston, USA.
Campbell, J. R., K. L. Campbell and M. D. Kenealy. 2003. Anatomy and
physiology of reproduction and related technologies in farm mammals. In: Animal Sciences. 4th ed. New York, Mc Graw-Hill.
Chauhan, N. S., V. Sharma, V. K. Dixit, and M. Thakur. 2014. A review on
plants used for improvement of sexual performance and virility. BioMed Res Int (2014) Article ID 868062, 19 pages. http://dx.DOI.org/10.1155/2014/868062.
Cheah, Y and W. Yang. 2011. Functions of essential nutrition for high
quality spermatogenesis. Advances in Bioscience and Biotechnology (2) : 182-197. DOI:10.4236/abb.2011.24029.
Chenoweth, P. J. 1981. Libido and mating behavior in bulls, boars and
rams. A review. Theriogenology.16(2):155-177. Chenoweth, P. J. 1994. Bull Behavior, Sex-Drive and Management.
https://www.researchgate.net/publication/237412899_Bull_Behavior_Sex-Drive_and_Management. Diakses tanggal 10 Oktober 2017
Church, D. C. and J. P. Fontenot. 1979. Digestive Physiology and
Nutrition of Ruminant. Oxford Press Inc, Portland. Conquer, J.A., J. B. Martin, I. Tummon, L. Watson and F. Tekpetey. 2000.
Effect of DHA supplementation on DHA status and sperm motility in asthenozoospermic males. Lipids (35) : 149-154. DOI:10.1007/BF02664764.
150
Cupic, Z., Z. Sinovec , V. Snezana, I. Olivera, S. Veselinovic, D. Medic, N Ivancev, and S. Grubac. 1998. The effect of dietary zinc, on semen quality in Holstein-Friesian bulls. Proc. 4th International Symposium on Animal Reproduction, Ohrid, Macedonia: 96.
Dafaalla, M.M., A. W. Hassan, O. F. Idris, S. Abdoun, G. A. Modawe and
A. S. Kabbashi. 2016. Effect of ethanol extract of Moringa oleifera leaves on fertility hormone and sperm quality of Male albino rats. World J Pharm Res 5(1):1-11.
Dewi, A. S., Y. S. Ondho, dan E. Kurnianto. 2012. Kualitas semen
berdasarkan umur pada sapi jantan Jawa. Animal Agriculture Journal, Vol. 1. (2) : 126 – 133. Online at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj.
Dhakar, R.C., S.D. Maurya, B.K. Pooniya, N. Bairwa, M. Gupta, and
Sanwarma. 2011. Moringa: The herbal gold to combat malnutrition. Chron. Young Sci. 2(3): 119-125. DOI: 10.4103/2229-5186.90887.
Dharma, S., D. C. Fitri dan E. Fitrianda. 2013. Uji efek ekstrak etanol
daun tapak dara (Catharantus roseus l) terhadap kadar kolesterol total darah mencit putih jantan. Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik III : 311 – 315.
Duke, J. 1983. Handbook of energy crops. Updated January 7th 1998,
Retrieved October 5th 2010 from http://www.hort.purdue.edu/newcrop/duke_energy/Moringa_oleifera.html. Diakses tanggal 08Oktober 2015.
Ebisch, I.M., Peters, W.H., Thomas, C.M., Wetzels, A.M., Peer, P.G. and
Steegers-Theunissen, R.P. 2006. Homo-cysteine, glutathione and related thiols affect fertility pa-rameters in the (sub)fertile couple. Human Reproduction, 21, 1725-1733. DOI.org/10.1093/humrep/del081.
Eghbali, M., S. M. Alavi-Shoushtari, S. Asri-Rezaei, and M. H. K. Ansari.
2010. Calcium, magnesium and Total Antioxidant Capacity (TAC) in seminal plasma of Water Buffalo (Bubalus bubalis) bulls and their relationships with semen characteristics. Vet. Res. Forum 1:12-20.
Egwurugwu, J.N., Ifedi, C.U., Uchefuna, R.C., Ezeokafor, E.N., and
Alagwu, E.A. 2013. Effects of zinc on male sex hormones and semen quality in rats. Niger. J. Physiol. Sci. 28:017-022.
El Ashry, G. M., A. A. M. Hassan, S. M. Soliman. 2012. Effect of Feeding a
Combination of Zinc, Manganese and Copper Methionine Chelates of
151
Early Lactation High Producing Dairy Cow. Food and Nutrition Sciences. 3: 084-1091. http://dx.DOI.org/10.4236/fns.2012.38144.
Endendijk, J. J., E. T. Hallers-Haalboom, M. G. Groeneveld, S. R. van
Berkel, L. D. van der Pol, M. J. Bakermans-Kranenburg, J. Mesman. 2016. Diurnal testosterone variability is differentially associated with parenting quality in mothers and fathers. Hormones and Behavior 80:68–75. http://dx.doi.org/10.1016/j.yhbeh.2016.01.016.
Feradis. 2010. Bioteknologi Reproduksi Pada Ternak. Alfabeta. Bandung. Ferreira, P. M. P., D. F. Farias, J. T. A. Oliveira and A. F. U. Carvalho.
2008. Moringa oleifera: Bioactive Compounds and Nutritional Potential. Rev. Nutr., Campinas, 21(4) : 431-437.
Fitri, A, T. Toharmat, D. A. Astuti and H. Tamura. 2015. The potential use
of secondary metabolites in Moringa oleifera as an antioxidant source. Med. Pet. 38(3):169-175. DOI:10.5398/medpet.2015. 38.3.169. http://medpet.journal.ipb.ac.id/.
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi Keempat. Gajah
Mada University Press, Yogyakarta. Garner, D. L. and E. S. E. Hafez. 2000. Spermatozoa and Seminal
Plasma. In Reproduction in Farm Animals. E.S.E. Hafez (Eds.). 6th ed. Lea and Febiger, Philadelphia.
Gholami, H., M. Chamani, A Towhidi, and M. H. Fazeli. 2011.
Improvement of semen quality in holstein bulls during heat stress by dietary supplementation of Omega-3 fatty acids. International Journal of Fertility and Sterility. 4(4): 160-167.
Gopalakrishnan, L., K. Doriya, and D. S. Kumar. 2016. Moringa oleifera: A
review on nutritive importance and its medicinal application. Food Science and Human Wellness 5:49–56. http://dx.DOI.org/10.1016/j.fshw.2016.04.001
Gordon, I. 2004. Artificial insemination. In: Reproductive Technologies in
Farm Animals. CABI publishing, Wallingford. Gurung, N. K., D. L. Rankins, R. A. Shelby, and S. Goel. 1998. Effects of
fumonisin B1-contaminated feeds on weanling Angora goats. J. Anim. Sci. 76:2863–2870.
Habeeb, A. A. M., A. A. EL-Tarabany, and A. E. Gad. 2013. Effect of zinc
levels in diet of goats on reproductive efficiency, hormonal levels,
152
milk yield and growth aspects of their kids. Global Veterinaria 10 (5): 556-564. DOI: 10.5829/idosi.gv. 2013.10.5.7367.
Hafez, E. S. E. 2000. Preservation and cryopreservation of gametes and
embryos. In: Reproduction in Farm Animals. 7th ed. E. S. E. Hafez and B. Hafez (eds). Lippincot Williams & Wilkins, Philadelphia.
Hafid, H dan N. Rugayah. 2010. Pengukuran pertumbuhan sapi Bali
dengan ransum berbahan baku local. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010, Bogor 3 - 4 Agustus 2010: 151-160
Hammond, C. A. 1983. The Use of Blood Urea Nitrogen as an indicator of
Protein Status in Cattle. The Bovine Practioner 18 : 114 – 118. Han-Chen, H., K. A. Granish, and S. S. Suarez. 2002. Hyperactivated
motility of bull bperm is triggered at the axoneme by Ca2+ and not cAMP. Developmental Biology (250):208–217. DOI: 10.1006/2002.dbio.2002.079.
Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, A.D. Tillman. 1986. Tabel Komposisi
Pakan Indonesia. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Hartati, E., A. Saleh, E.D. Sulistijo and J. J. A. Ratuwaloe. 2012.
Supplementation of ZnSO4 and Zn-Cu Isoleucinate in ration to improve growth and body immunity of young male Bali cattle. Animal Production 14(3):180-186.
Hassan, A. A., G. M. El Ashry, S. M. Soliman. 2011. Effect of
Supplementation of Chelated Zinc on Milk Production in Ewes. Food and Nutrition Sciences. 2:706-713. DOI:10.4236/fns.2011.27097. http://www.SciRP.org/journal/fns.
Harper, H.A., V.W. Redwell dan P.A. Mayes. 1979. Review of Phisiological
Chemistry. 17th Edition. Lauge Publication. Los Altos, California. Henney, S. R., G. J. Killian and D. R. Deaver. 1990. Libido, hormone
concentrations in blood plasma and semen characteristics in Holstein bulls. J. Anim. Sci. 68:2784 – 2792.
Hidiroglou, M. and J.E. Knipfel. 1984. Zinc in mammalian sperm: A
review. Journal of Dairy Science (67) : 1147 - 1156. DOI:10.3168/jds.S0022-0302(84)81416-2.
Hoesni, F. 2013. Pengaruh penggunaan metode thawing yang berbeda
terhadap kualitas spermatozoa semen sapi perah berpengencer tris
153
sitrat kuning telur. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. Vol.13 (4) : 118 -126.
Hopper, R. M. 2015. Breeding Soundness Examination in the Bulls:
Concepts and Historical Perspective. In: Bovine Reproduction 1st ed. R. M. Hopper (ed). John Wiley & Sons, Inc.
Horký P., Jančíková P., Zeman L. 2011. The influence of the organic and
inorganic form of Zinc on volume ejaculate, sperm – concentration and percentage of pathologic sperms. Research In Pig Breeding. 5(1):22-27.
Hossain, M.E., M.M. Khatun, M.M. Islam and O.F. Miazi. 2012. Semen
characteristics of breeding bulls at the Central Cattle Breeding and Dairy Farm of Bangladesh. Bang. J. Anim. Sci. 41(1):1-5.
Hu, J., Z. Zhang, W. Shen and S. Azhar. 2010. Cellular cholesterol
delivery, intracellular processing and utilization for biosynthesis of steroid hormones. Nutrition & Metabolism. 7:47. https://doi.org/10.1186/1743-7075-7-47
Irfan, I. Z. 2014. Profil Metabolik Sapi Pejantan Bibit Berdasarkan Bangsa,
Umur dan BCS (Body Condition Score). Thesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Iwasaki, A and C. Gagnon. 1992. Formation of reactive oxygen species in
spermatozoa of infertile patients. Fertil Steril (57) : 409 – 416. Jackson, P. G. G. and P. D. Cockcroft. 2002. Clinical Examination of
Farm Animals. Blackwell Science Ltd. Janicki, B., and D. Cygan-Szczegielniak. 2008. Zn and Pb concentration in
seminal plasma in reference to selected parameters of semiological assessment of bull semen. Folia Biol (Krakow). 56(1-2):97-101.
Januškauskas, A and H. Žilinskas. 2002. Bull semen evaluation post-thaw
and relation of semen characteristics to bull’s fertility. Veterinarija Ir Zootechnika. 17(39).
Juliani, H. R., Y. Fonseca, M. Diatta, B. Diouf, J. E. Simon. 2008.
Nutritional value of Moringa oleifera leaves from Senegal. African Journal of Traditional, Complementary and Alternative Medicines (AJTCAM), Abstracts Of The World Congress on Medicinal and Aromatic Plants, Cape Town November 2008.
154
Juyena, N. S. and C. Stelletta. 2012. Review. Seminal Plasma: An Essential attribute to spermatozoa. Journal of Andrology 33(4):536-551.
Kakengi, A. M. V., M. N. Shem, S. V. Sarwatt, and T. Fujihara. 2005. Can
Moringa be used as a protein supplement for ruminants? Asian-Australas. J. Anim. Sci. 18(1):42-47.
Kasimanickam, R. 2015. Getting Your Bull Checked For a Successful
Breeding Season http://vetextension.wsu.edu/wp-content/uploads/sites/8/2015/03/GettingyourBullCheckedforaSuccessfulBreedingSeason1.pdf.
Kastelic, J. P. 2013. Male involvement in fertility and factors affecting
semen quality in bulls. Animal Frontiers. Vol. 3(4): 20-25. DOI:10.2527/af.2013-0029.
Keaney, J. F. Jr., M. G. Larson, R. S. Vasan, P. W. F. Wilson, I. Lipinska,
D. Corey, J. M. Massaro, P. Sutherland, J. A. Vita, and E. J. Benjamin. 2003. Obesity and Systemic Oxidative Stress Clinical Correlates of Oxidative Stress in The Framingham Study. Arterioscler Thromb. Vasc. Biol. 23:434-439.
Kendran, A. A. S., I. M. Damriyasa, N. S. Darmawan, I. B. K. Ardana, L.
D. Anggreni. 2012. Profil kimia klinik darah sapi Bali. Jurnal Veteriner 13(4): 410-415
Kessler, J., I. Morela, P-A. Dufey, A. Gutzwiller, A. Stern, H. Geyer. 2003.
Effect of organic zinc sources on performance, zinc status and carcass, meat and claw quality in fattening bulls. Livestock Production Science 81 161–171. DOI:10.1016/S0301-6226(02)00262-2.
Khairi, F., A. Muktiani dan Y. S. Ondho. 2014. Pengaruh Suplementasi
Vitamin E, Mineral Selenium dan Zink Terhadap Konsumsi Nutrien, Produksi dan Kualitas Semen Sapi Simental. Agripet : Vol (14) No. 1 : 6-16.
Khotijah, L., K. G. Wiryawan. M. A. Setiadi, and D. A. Astuti. 2015.
Reproductive performance, cholesterol, and progesterone status of Garust ewe fed ration containing different levels of sun flower oil. Pakistan Journal of Nutrition 14(7):388:391.
Komariah, I. Arifiantini, dan F. W. Nugraha. 2013. Kaji Banding Kualitas
Spermatozoa Sapi Simmental, Limousin, Dan Friesian Holstein
155
Terhadap Proses Pembekuan. Buletin Peternakan. Vol. 37(3): 143-147.
Kostaman, T. dan A. R. Setioko. 2011. Perkembangan penelitian teknik
kriopreservasi untuk penyimpanan semen unggas. Wartazoa. Vol. 21 (3) : 145 -152.
Krisnadi, A. D. 2015. Kelor Super Nutrisi. Kelorina.Com. Pusat Informasi
dan Pengembangan Tanaman Kelor Indonesia. Lembaga Swadaya Masyarakat – Media Peduli Lingkungan (LSM-MEPELING). http://kelorina.com/ebook-2/.
Kumar, N., R. P. Verma, L. P. Singh, V. P. Varshney, and R. S. Dass.
2006. Effect of different levels and sources of zinc supplementation on quantitative and qualitative semen attributes and serum testosterone level in crossbred cattle (Bos indicus × Bos taurus) bulls. Reprod Nutr Dev 46:663–675. DOI:10.1051/ rnd:2006041.
Kumar, P., B. Yadav, and S Yadav. 2013a. Effect of zinc and selenium
supplementation on antioxidative status of seminal plasma and testosterone, T4 and T3 level in goat blood serum. Journal of Applied Animal Research, 41:4, 382-386. http://dx.DOI.org/10.1080/09712119.2013.783482.
Kumar, P. K. and R. T. Mandapaka. 2013b. Effect of Moringa oleifera on
blood glucose, LDL levels in types II diabetic obese people. Innovative Journal of Medical and Health Science 3(1):23 - 25.
Kume, S., A. Mukai and M. Shibata. 1984. Effect of zinc level in rations on
zinc concentration in liver and kidney of Holstein cattle. Jpn. J. Zootech. Sci. 55(3):183-190.
Kuswahyuni, I. S. 2009. Pengaruh lingkar scrotum dan volume testis
terhadap volume semen dan konsentrasi sperma pejantan Simmental, Limousine dan Brahman. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Tahun 2009 Bogor, 13 - 14 Agustus 2009 : 157 – 162.
Lemma, A. and T. Shemsu. 2015. Effect of age and breed on semen
quality and breeding soundness evaluation of pre-service young bulls. J Reprod Infertil 6 (2): 35-40. DOI: 10.5829/idosi.jri.2015.6.2.94131.
Lestari, S. D., T. R. Tagama dan D. M. Saleh. 2013a. Profil produksi
semen segar sapi Simmental pada tingkat umur yang berbeda di
156
Balai Inseminasi Buatan Lembang Jawa Barat. Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3) : 897-906.
Lestari, S. D., M. Saleh, dan Maidaswar. 2013b. Profil kualitas semen
segar sapi pejantan Limousin dengan umur yang berbeda di Balai Inseminasi Buatan Lembang Jawa Barat. Jurnal Ilmiah Peternakan. Vol. 1(3) : 1165 - 1172.
Li, L., G. Xu, H. Shao, Zhi-Hu Zhang, Xing-Fu Pan, and Jin-Ye Li. 2017.
Analysis of blood concentrations of zinc, germanium, and lead and relevant environmental factors in a population sample from Shandong Province, China. Int. J. Environ. Res. Public Health. 14(3): 227. Doi: 10.3390/ijerph14030227. PMCID: PMC5369063.
Madukwe, E. U., J. O. Ezeugwu, and P. E. Eme. 2013. Nutrient
composition and sensory evaluation of dry Moringa oleifera aqueous extract. Int. J. Sci. Basic Appl. Res. 13: 100-102.
Makkar, H. P. S and K. Becker. 1996. Nutrional value and antinutritional
components of whole and ethanol extracted Moringa oleifera leaves. Animal Feed Science and Technology (63) : 211–228. http://dx.DOI.org/10.1016/S0377-8401(96)01023-1.
Manh, L. H., N. N. X. Dung and T. P. Ngoi. 2005. Introduction and
evaluation of Moringa oleifera for biomass production and as feed for goats in the Mekong Delta. Livestock Research for Rural Development 17 (9) : 1 – 8: http://www.lrrd.org/lrrd17/9/manh17104.htm.
Martin, G. B., C. L. White, C. M. Markey, and M. A. Blackberry. 1994.
Effect of dietary zinc deficiency on the reproductive system of young male sheep: testicular growth and the secretion of inhibin and testosterone. J. Reprod. Fertil. 101:87–96.
Martin, G. B., D. Blache, D. W. Miller, and E. Vercoe. 2010. Interactions
between nutrition and reproduction in the management of the mature male ruminant. Animal 4(7):1214–1226. DOI:10.1017/S1751731109991674.
Mason, K.E., W.A. Burns and J.C. Smith Jr. 1982. Testicular damage
associated with zinc deficiency in pre- and postpubertal rats: Response to zinc repletion. The Journal of Nutrition (112) : 1019 – 1028.
Mc.Donald, P., R.A. Edward., J.F.G.. Greenhalg., C.A. Morgan. 1996.
Animal Nutrition, 5th. Logman Singapore.
157
Melita, D., Dasrul, dan M. Adam. 2014. Pengaruh Umur Pejantan dan
Frekuensi Ejakulasi Terhadap Kualitas Spermatozoa Sapi Aceh. Jurnal Medika Veterinaria Vol. 8 (1) : 15 – 19.
Mendeita-Araica, B., E. Spörndly, N. Reyes-Sánchez and R. Spörndly.
2011. Feeding Moringa oleifera fresh or ensiled to dairy cows effects on milk yield and milk flavor. Trop. Anim. Health Prod. DOI : 10.1007/s11250-011-9803-7.
Menegassi, S. R. O., J. O. J. Barcellos, V. Peripolli, and C. M. Camargo.
2011. Behavioral assessment during breeding soundness evaluation of beef bulls in Rio Grande do Sul. Anim Reprod 8(3/4):77-80.
Miller, W. L., D. H. Geller, and M. Rosen. 2007. Polycystic Ovary
Syndrome and other Disorders Ovarian and Adrenal Androgen Biosynthesis and Metabolism. In: Androgen Excess Disorders in Women. R. Azziz (Ed) 2nd Edition. Humana Press Inc., Totowa, NJ.
Mitruka, B. M., H. M. Rawnsley, and B.V. Vadehra. 1977. Clinical and
Hematological Reference Values in Normal Experimental Animals. Masson Publishing, Inc., New York.
Moyo, B., P. J. Masika, A. Hugo and V. Muchenje. 2011. Nutritional
characterization of Moringa (Moringa oleifera Lam.) Leaves. African Journal of Biotechnology Vol. 10 (60) : 12925-12933. Online at http://www.academicjournals.org/AJB. DOI: 10.5897/AJB10.1599.
Mpofu, I. D. T., L. R. Ndlovu, and N. H. Casey. 1999. The copper, cobalt,
iron, selenium and zinc status of cattle in the Sanyati and Chinambora Smallhorder grazing areas of Zimbabwe. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 12(4): 579-584.
Murray, R. K., D. K. Granner, P. A. Mayes, dan V. W. Rodwell. 2003.
Biokimia Harper. Edisi ke-25. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Nisa, M., M. Imran, M. Sarwar, and M. A. Shahzad. 2013. Effect of
feeding Moringa oleifera on dry matter intake, digestibility, milk production and milk composition in Nili Ravi buffaloes. International Livestock Nutrition Confrence. Nutritionists Association of Pakistan University of Veterinary and Animal Science, Lahore – 54000, Pakistan.
Ndlovu, T., M. Chimonyo, A. I. Okoh, V. Muchenje, K. Dzama, J.G. Raats.
2007. Review. Assessing the nutritional status of beef cattle: current
158
practices and future prospects. Afr. J. Biotechnol. 6 (24):2727-2734. http://www.academicjournals.org/AJB.
Noviana, C., A. Boediono dan T. Wresdiyati. 2000. Morfologi dan
histomorfometri testis dan epididymis kambing kacang (Capra sp.) dan domba lokal (Ovis sp.). Media Veteriner. 2000. 7(2): 12-1 6.
Nouman, W., M. T. Siddiqui, S. M. A. Basra, H. Farooq, M. Zubair, T. Gull.
2013. Biomass production and nutritional quality of Moringa oleifera as a field crop. Turk J Agric For. Vol. 37: 410-419. http://journals.tubitak.gov.tr/agriculture/. DOI:10.3906/tar-1206-29.
Nouman, W, S. M. A. Basra, M. T. Siddiqui, A. Yasmeen, T. Gull, & M. A.
C. Alcayde. 2014. Potential of Moringa oleifera L. as livestock fodder crop: a review. Turk J Agric For. 38:1-14.
Nuhu, F. 2010. Effect of Moringa Leaf Meal (MOLM) on Nutrient
Digestibility, Growth, Carcass and Blood Indices Of Weaner Rabbits. Thesis. Department of Animal Science, Faculty of Agriculture and Natural Resources. Kwame Nkrumah University of Science And Technology, Kumasi.
Nutrient Requirements of Beef Cattle. 2000. Seventh Revised Edition:
Update Subcommittee on Beef Cattle Nutrition, Committee on Animal Nutrition, National Research Council. http://www.nap.edu/catalog/9791.html.
Oliveira C. E. A., C. A. Badú., W. M. Ferreira, E. B. Kamwa, and A. M. Q.
Lana. 2004. Effects of dietary zinc supplementation on spermatic characteristics of rabbit breeders. Proceedings 8th World Rabbit Congress, September 7 - 10, 2004 – Puebla, Mexico
Owens, F. N. and G.W. Bergen. 1983. Nitrogen Metabolism of Ruminant
Animals : Historial perspective, current understanding and future implication. J. of Anim. Sci. Vol. 57 : 499 – 518. DOI:10.2134/animalsci1983.57Supplement_2498x
Palada, M. C., L. C. Chang, R. Y. Yang and L. M. Engle. 2007.
Introduction and varietal screening of drumstick tree (Moringa spp.) for horticultural traits and adaptation in Taiwan. Acta Hort 752: 249 –253.
Paliwal, R., V. Sharma and Pracheta. 2011. A Review on Horse Radish
Tree (Moringa oleifera): A Multipurpose tree with high economic and commercial importance. Asian Journal of Biotechnology 3 (4) : 317 – 328. DOI : 10.3923/ajbkr.2011.317.328.
159
Pamungkas, D., L. Affandhy, D.B. Wijono, A. Rasyid dan T. Susilawati
2004. Kualitas spermatozoa sapi PO hasil sexing dengan teknik sentrifugasi menggunakan gradien putih telur dalam beberapa imbangan tris-buffer : semen. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004. Hal 36 – 43.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan.
Universitas Indonesia Press (UI Press), Jakarta. Park, J. S. and K. Han. 2013. The spermatogenic effect of yacon extract
and its constituents and their inhibition effect of testosterone metabolism. Biomol. Ther. 21(2): 153-160.
Park, S. 2013. Effects of Sow, Boar, and Semen Traits on Sow
Reproduction. Thesis. University of Nebraska, Lincoln. Parker, R., C. Mathis, and D. Hawkins. 1999. Evaluating the Breeding
Soundness of Beef Bulls. Guide B-216. http://aces.nmsu.edu/pubs/_b/B216.pdf
Partodihardjo S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Penerbit Mutiara, Jakarta. Pastika, M. dan D .Darmaja, 1976. Performan reproduksi sapi Bali. Pros.
Seminar Reproduksi dan Performance Sapi Bali. Dinas Peternakan Daerah TK I Bali. Denpasar.
Pavlata, L., A. Podhorsky, A. Pechova, and P. Chomat. 2005. Differences
in the occurrence of selenium, copper and zinc deficiencies in dairy cows, calves, heifers and bulls. Vet. Med. – Czech, 50, (9):390–400.
Pavlata, L., M. Chomat, A. Pechova, L. Misurova, and R. Dvorak. 2011.
Impact of long-term supplementation of zinc and selenium on their content in blood and hair in goats. Veterinarni Medicina, 56, 2011 (2): 63–74.
Perumal, P., S.K. Srivastava, S.K. Ghosh and K.K. Baruah. 2014.
Computer-Assisted Sperm Analysis of freezable and nonfreezable Mithun (Bos frontalis) semen. J. Anim. Volume 2014, Article ID 675031, 6 pages. http://dx.DOI.org/ 10.1155/2014/675031.
Petherick, J. C. 2005. A review of some factors affecting the expression of
libido in beef cattle, and individual bull and herd fertility. Applied Animal Behaviour Science. 90(3–4): 185-205. https://DOI.org/10.1016/j.applanim.2004.08.021
160
Polakoski K. L. and N. Kopta. 1981. Seminal Plasma. In Gilmore, D and B. Cook Eds. Environmental Factors In Mammal Reproduction. The Scientific and Medical Division Macmillan Publishers Ltd, Hong Kong.
Prabsattroo, T., J. Wattanathorn, S. Iamsaard, S. Muchimapura, and W.
Thukhammee. 2012. Moringa oleifera leaves extract attenuates male sexual dysfunction. Am. J. Neurosci. 3:17-24. https://DOI.org/10.3844/amjnsp.2012.17.24.
Prabsattroo, T., J. Wattanathorn, S. Iamsaard, P. Somsapt, O. Sritragool,
W. Thukhummee, & S. Muchimapura. 2015. Moringa oleifera extract enhances sexual performance in stressed rats. J. Zhejiang Univ. Sci. B 16:179-190. https://DOI.org/10.1631/jzus.B1400197.
Pratiwi, W.C., L. Affandhy dan D. Ratnawati. 2007. Pengaruh lama
thawing terhadap kualitas semen beku sapi Limousin dan Brahman. Animal Production 11 (1) : 48 ‐ 52.
Prihatno, S. A., A. Kusumawati, N. W. K. Karja, dan B. Sumiarto. 2013.
Profil biokimia darah pada sapi perah yang mengalami kawin berulang. Jurnal Kedokteran Hewan Vol. 7 (1) : 29 – 31.
Prisdiminggo, T. Panjaitan dan L.G.S. Astiti. 2013. Keragaan, produksi
dan kualitas kelor (Moringa oleifera L.) Yang ditanam dengan biji di Kebun Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat. Abstrak Hasil Penelitian Pertanian Indonesia Volume 30, No. 2 : 131. Kementerian Pertanian, Pusat Perpustakaan Dan Penyebaran Teknologi Pertanian.
Princewill, O. I., A. E. Uchenna, O. I. Charles, and I. M. Uwaezuoke. 2015.
Interactions between dietary minerals and reproduction in farm animal. Global Journal of Animal Scientific Research 3:524-535.
Priyadarshani, N, and M. C.Varma. 2014. Effect of Moringa oleifera leaf
powder on sperm count, histology of testis and epididymis of hyperglycaemic mice Mus musculus. Am Int J Res Form Appl Nat Sci 7(1):07-13.
Purbowati, E. dan Purnomoadi. 2005. Respon fisiologis domba lokal
jantan pada rentang bobot hidup yang lebar akibat pengangkutan dari dataran tinggi ke dataran rendah. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005. Bogor, 12 - 13 September 2005: 539 - 544.
161
Rachmawati, A. 2011. The capacitation pattern of Bali bull sperms filtrated by Sephadex G–200 using different diluters during freezing process. J. Appl. Environ. Biol. Sci. 1(11):552-556. www.textroad.com.
Rachmawati, L., Ismaya dan Astuti, P. 2014. Correlation between
testosterone, libido and sperm quality of bligon, kejobong and ettawa grade bucks. Bul. of Anim. Sci. 38(1):8-15.
Raharja, D. P. 2008. Strategi Pemberian Pakan Berkualitas Rendah
(Jerami Padi) untuk Produksi Ternak Ruminansia. http://disnaksulsel.info/index.php?option=com_docman&task=cat_view&gid=21&mosmsg=You+are+trying+to+access+from+a+non-authorized+domain. Diakses tanggal 1 Nopember 2008.
Rahardja, D. P., A. L. Fattah, dan A. L. Toleng. 2010. Pemanfaatan Daun
Kelor (Moringa oliefera) Sebagai Pakan Ternak Guna Meningkatkan Efisiensi Reproduksi Sapi Potong. http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/ 3880.
Rahardja, D. P. 2010. Ilmu Lingkungan Ternak. Masagena Press,
Makassar. Rajanandh, M. G. and J. Kavitha. 2010. Quantitative estimation of β-
sitosterol, total phenolic and flavonoid compound in the leaves of Moringa oleifera. Int J Pharmtech Res 2(2):1409-1414.
Raji, A.Y. and A. A. Njidda. 2014. Gonadal and extra-gonodal sperm
reserves of the Red Sokoto goats fed Moringa oleifera supplemented diets. Inter J Agri Biosci. Vol. 3 (2): 61-64.
Ramsiyati, D.T., Sriyana dan B. Sudarmadi. 2004. Evaluasi kualitas
semen sapi potong pada berbagai umur di peternakan rakyat. Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan : 82 - 87.
Ratnawati, D., L. Affandhy, W.C. Pratiwi, dan P.W. Prihandini. 2008.
Pengaruh pemberian suplemen tradisional terhadap kualitas semen pejantan sapi Bali. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008. Bogor, 11 - 12 Nopember 2008 : 116 – 121. http://kalteng.litbang.pertanian.go.id/eng/pdf/all-pdf/peternakan/fullteks/semnas/pro08-18.pdf. Diakses tanggal 28 Agustus 2015.
Ratnawati, D., M. Luthfi and L. Affandhy. 2012. Effect of traditional herbal
supplementation on performance of PO bull. Proc. International
162
Conference on Livestock Production and Veterinary Technology 2012:91-96.
Ratnawati, D. dan L. Affandhy. 2013. Performan reproduksi sapi jantan
dengan pakan berbasis limbah sawit. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013:49-52.
Restusari, L., H. Arifin, Dachriyanus dan Y. Yuliandra. 2014. Pengaruh
fraksi air ekstrak etanol daun salam (Syzygium polyanthum Wight.) terhadap kadar asam urat darah pada tikus putih jantan hiperurisemia – diabetes. Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” : 299 – 309.
Rizal, M. dan M. Herdis. 2008. Inseminasi Buatan pada Domba. PT.
Rineka Cipta, Jakarta. Roseler, D.K., J.D. Ferguson., C. J. Sniffen and J. Herrema. 1993.
Dietary protein degrability effect on milk urea nitrogen and non protein nitrogen in Holstein cows. J. Dairy Sci. 58 : 525 – 534.
Roy, B., B. Brahma, S. Gosh, P.K. Pankaj, and G. Mandal. 2011.
Evaluation of milik urea concentration as useful indicator for dairy herd management: A Review. Asian J. of Anim. Vet. Adv. 6(1):1-19. DOI:10.3923/ajava.2011.1.19.
Roy, B., R.P.S. Baghel, T.K. Mohanty and G. Mondal. 2013. Zinc and
male reproduction in domestic animals: A Review. Indian J Anim Nutr 30(4):339-350.
Roy, B. K., M. K. Bashar, S. M. J. Hossain, K. S. Huque and H. P. S.
Makkar. 2016. Performance evaluation of Moringa oleifera and available roughages (Maize and Australian Sweet Jumbo) on feeding values of growing BLRI Cattle Breed-1 (BCB-1) Bulls. American Journal of Experimental Agriculture 14(1):1-9, Article no.AJEA.29284. DOI: 10.9734/AJEA/2016/29284
Salisbury, G. W. dan N. L. VanDemark.1985. Alih Bahasa oleh R. Djanuar.
Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan Pada Sapi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Safdar, A. H. A, S. P. M. G. Maghami and A. E. Nejad. 2016. Effects of
different lipids and energy supplements on reproductive biological characteristics of ‘Afshari’ ewes in Iran. J. Livestock Sci. 7: 172-179
Said, S., C. Arman and B. Tappa. 2014. Conception rates and sex
concomitant of Bali calves following oestrus synchronization and
163
artificial insemination of frozensexed semen under farm conditions. J.Indonesian Trop.Anim.Agric. 39(1):10-16.
Salim, M.A., T. Susilawati dan S. Wahyuningsih. 2012. Effect of thawing
technique to quality frozen semen spermatozoa in Bali, Madura and PO cattle. Agripet Vol. 12 No. 2:14-1. https://DOI.org/10.17969/agripet.v12i2.197.
Sa´nchez, N. R., E. Spo¨rndly, I. Ledin. 2005. Effect of feeding different
levels of foliage of Moringa oleifera to Creole dairy cows on intake, digestibility, milk production and composition. LIVSCI-02810; No 1 – 8. DOI:10.1016/j.livprodsci.2005.09.010.
Santoso, S. 2013. Menguasai SPSS 21 di Era Informasi. PT. Elex Media
Komputindo, Jakarta. Sarastina, T. Susilawati, dan G. Ciptadi. 2007. Analisa beberapa
parameter motilitas spermatozoa pada berbagai bangsa sapi menggunakan Computer Assisted Semen Analysis (CASA). J. Ternak Tropika Vol. 6. No.2: 1-12.
Sariubang, M and R. Kallo. 2014. Traditional herbal to increase semen
quality of Bali cattle. Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial : 203 – 210.
Sarsaifi, K, Y. Rosnina, M.O. Ariff, H. Wahid, H. Hani, N. Yimer, J.
Vejayan, S. W. Naing and M.O. Abas. 2013. Effect of semen collection methods on the quality of pre- and post-thawed Bali cattle (Bos javanicus) spermatozoa. Reprod. Dom. Anim. 48:1006–1012. DOI: 10.1111/rda.12206.
Sarwatt, S.V., M. S. Milang'ha, F. P. Lekule and N. Madalla. 2004.
Moringa oleifera and cottonseed cake as supplements for smallholder dairy cows fed Napier grass. Livestock Research for Rural Development 16 (6) 2004. http://www.lrrd.org/lrrd16/6/sarw16038.htm.
Sasmito Adi, G., S. Teguh Hari dan D. Sofia Rhosma. 2013. Hubungan
lama menderita gagal ginjal kronik dengan pola seksualitas pada klien dengan terapi hemodialisa di instalasi hemodialisa RSUD Dr. Abdoer Rahem Situbondo. The Indonesian Journal of Health Science. 3(2):179-187.
Savitri, F.K., Suharyati, S. dan Siswanto. 2014. Kualitas semen beku sapi
bali dengan penambahan berbagai dosis vitamin C pada bahan
164
pengencer skim kuning telur. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. 2(3):30-36.
Sekoni, V. O., P. I. Rekwot, E. K. Bawa and P. P. Barje. 2010. Effect of
age and time of sampling on serum testosteron and spermiogram of Bunaji and N’Dama bulls. Research Journal of Veterinary Sciences 3(1):62-67. Doi: 10.3923/rjvs.2008.50.55.
Setchell, B.P. 2014. Semen and its Constituents. In: Chenoweth, P.J. and
S.P. Lorton (Eds). Animal Andrology: Theories and Applications. CAB International, Boston (USA). p.3-11.
Setiadi, A., B.P. Widyobroto dan B. Rustamaji. 2003. Konsentrasi
glukosa dan urea plasma darah pada sapi Peranakan Friesian Holstein yang diberi ransum dengan aras undegraded protein berbeda. J. Indom. Trop. Aim. Agric. 28 (4) : 211 – 217.
Simmet, C. 2004. The Great Vision Behind SpermVision. Sperm Notes.
The International AI Newsletter from Minitüb, Special Edition. Minitüb Germany. www.minitube.de.
Sinclair, S. 2000. Male Infertility: Nutritional and environmental
considerations. Altern. Med. Rev. 5(1):28-38. SNI 01-4869.1-2005. Semen Beku Sapi. Badan Standardisasi Nasional. Soetanto, H., E. Marhaenitanto dan S. Chuzaemi. 2011. Penerapan
teknologi suplementasi berbasis daun kelor dan molases pada peternakan kambing rakyat. Jurnal Buana Sains. Vol. 11 (1) : 25 – 34.
Sonjaya, H. 2009. Pengaruh nutrisi terhadap performans reproduksi ternak
sapi. SAINTIS-AKADEMIS: http://saintis-akademis.blogspot.com/ search/ label/ Nutrisi Performans Reproduksi Ternak. Diakses tanggal 11 Desember 2014.
Sorensen, M., Jr. 1979. Animal Reproduction Principles and Practices.
National Book Store Inc. Philipines. Spears, J. W. and E. B. Kegley. 2002. Effect of zinc source (zinc oxide vs
zinc proteinate) and level on performance, carcass characteristics, and immune response of growing and finishing steers. J. Anim. Sci. 80:2747–2752
165
Stevenson, J.S. and J.H. Britt. 1981. Interval to estrus in sows and performance of pigs after alteration of litter size during late lactation. J Anim. Sci. 53 : 177-181.
Sumeidiana, I., S. Wuwuh dan E. Mawarti. 2007. Volume Semen dan
Konsentrasi Sperma Sapi Simmental, Limousin dan Brahman di Balai Inseminasi Buatan Ungaran. J.Indon.Trop.Anim.Agric. No.32 (2) : 131 – 137.
Suprijati. 2013. Seng organik sebagai imbuhan pakan ruminansia.
Wartazoa 23(3):142-157. Susilawati, T. 2011. Spermatologi. Universitas Brawijaya Press, Malang. Susilawati, T., Suyadi, Nuryadi, N. Isnaini dan S. Wahyuningsih. 1993.
Kualitas semen sapi Fries Holland dan sapi Bali pada berbagai umur dan berat badan. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang.
Swenson, M. J. 1977. Physiological Properties and Celluler & Chemical
Constituent of Blood. In: Duke’s Physiologi of Domestic Animal. Comstock Cornell University Press, Ithaca and London.
Syahrir, S., K. G. Wiryawan, A. Parakkasi, dan M. Winugroho. 2010. Profil darah sapi potong yang mendapat tepung daun murbei menyubstitusi konsentrat pakan. JITP 1(1): 12-18.
Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan S.
Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Toelihere, M.R. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa,
Bandung. Toleng, A. L., A. L. Fattah dan D. P. Rahardja. 2010. Pemanfaatan daun
kelor (Moringa oliefera) sebagai pakan ternak guna meningkatkan efisiensi reproduksi sapi potong. Abstrak Penelitian Stranas DIKTI, LPPM. Unhas. http://www.unhas.ac.id/lppm/index.php?option=com_content&view=article&id=119:bidang-ilmu-kehutanan&catid=36:abstrak-penelitian-tahun-2010.
Toleng, A. L., M. Yusuf, D. P. Rahardja and R. Haryani. 2014.
Interrelationship of Some Parameters on the Quality of Bali Bulls Sperms Kept under Smallholder Farms. Proceedings of the 16th AAAP Animal Science Congress, 10 - 14 November 2014, Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia : Vol. II : 49 - 52.
166
USDA. 2015. http://ndb.nal.usda.gov Vincent, P., S.L. Underwood, C. Dolbec, N. Bouchard, T. Kroetsch and P.
Blondin. 2012. Bovine semen quality control in artificial insemination centers. Anim. Reprod. 9(3):153-165.
Wahyuni,. S. J., E. W. Kamara dan Alanda. 1981. Penggunaan beberapa
tingkat hijauan petai cina pada pertumbuhan sapi Ongole. Prosiding Seminar Penelitian Peternakan Bogor. Hal. 169-172.
Wahjuni, R. S. dan R. Bijanti. 2006. Uji efek samping formula pakan
komplit terhadap fungsi hati dan ginjal pedet sapi Friesian Holstein. Media Kedokteran Hewan. Vol. 22, No. 3, September 2006 : 174 – 179.
Wahyuningsih, A., D. M. Saleh, dan Sugiyatno. 2013. Pengaruh umur
pejantan dan frekuensi penampungan terhadap volume dan motilitas semen segar sapi Simmental di Balai Inseminasi Buatan Lembang. Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 947 - 953.
Wang, S., G. Wang, B.E. Barton, T. F. Murphy, and H.F. Huang. 2007
Beneficial effects of vitamin E in sperm functions in the rat after spinal cord injury. Journal of Andrology (28): 334-341. DOI:10.2164/jandrol.106.001164.
White, I. G. 1993. Lipids and calcium uptake of sperm in relation to cold
shock and preservation: a review. Reprod Fertil Dev. 5(6):639-58. WHO. 2010. WHO Laboratory Manual for the Examination and Processing
of Human Semen. Fifth Edition. World Health Organization, Switzerland.
Widyaningsih, W., A. Prabowo, Sumiasih. 2010. Pengaruh ekstrak etanol
daging bekicot (Achantina fulica) terhadap kadar kolesterol total, HDL, dan LDL serum darah tikus jantan galur wistar. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi 15(1):1410-0177.
Widhyari, S. D. 2012. Peran dan dampak defisiensi zinc (Zn) terhadap
sistem tanggap kebal. Wartazoa. 22(3):141-148. Widhyari, S. D., A. Esfandiari, A. Wijaya, R. Wulansari, S. Widodo, L.
Maylina. 2015. Tinjauan penambahan mineral Zn dalam pakan terhadap kualitas spermatozoa pada sapi Frisian Holstein jantan. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI). Vol. 20 (1): 72 – 77.
167
Winter,L, U. Meyer, L. Hüther, P. Lebzien, S. Dänicke. 2014. Effect of exogenous phytase on the phosphorus and zinc metabolism of fattening bulls. Journal of Biology and Life Science. Vol. 5, No. 1. DOI:10.5296/jbls.v5i1.4354. http://dx.DOI.org/10.5296/jbls.v5i1.4354.
Wu, G., Bazer, F.W., Davis, T.A., Kim, S.W., Li, P., Marc Rhoads, J.,
Satterfield, M.C., Smith, S.B., Spencer, T.E. and Yin, Y. 2009. Arginine metabolism and nutrition in growth, health and disease. Amino Acids (37) : 153 - 168. DOI:10.1196/annals.1320.017.
Young, S.S., B. Eskenazi, F.M. Marchetti,G. Block and A. J. Wyrobek.
2008. The association of folate, zinc and antioxidant intake with sperm aneuploidy in healthy non-smoking men. Human Reproduction (23) : 1014 - 1022. DOI:10.1093/humrep/den036.
Zade, V., D. Dabhadkar, V. Thakare and S. Pare. 2013a. Evaluation of
the potential aphrodisiac activity of Moringa oleifera seed in male albino rats. Int J Pharm Pharm Sci 5(4): 683-689.
Zade, V. S., D. K. Dabhadkar, V. G. Thakare, and S. R. Pare. 2013b.
Effect of Aqueous Extract of Moringa oleifera Seed on Sexual Activity of Male Albino Rats. Biol Forum 5(1): 129-140.
Zalata, A.A., A. B Christophe, C. E. Depuydt, F. Schoonjans and F.H.
Comhaire. 1998 The fatty acid composition of phospholipids of spermatozoa from infertile patients. Molecular Human Reproduction (4): 111-118. DOI:10.1093/molehr/4.2.111.
Zhinian, L. W. R. H. L. 1998. Effect of zinc supplemetation on semen
quality and some biochemical indexes in stud Holstein bulls. Chinese Journal of Animal Science. 1998-02. http://en.cnki.com.cn/Article_en/CJFDTOTAL-ZGXM802.001.htm. Diakses tanggal 27 April 2014.
Zulfan, M. 2008. Hubungan antara libido dengan kualitas semen segar
pada pejantan Bos Taurus. Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Malang, Malang.
Zelpina, E., B. Rosadi dan T. Sumarsono. 2012. Kualitas spermatozoa
post thawing dari semen beku sapi perah. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 15 (2):94–102.
168
LAMPIRAN
169
Lampiran 1. Hasil analisis ragam libido dan motilitas sperma pejantan sapi Bali.
A. Suplementasi daun kelor dosis tinggi
1. Libido
Paired Samples Statistics
Mean N Std.Deviation Std.Error
Mean Pair 1 Kontrol Kelor
7,20 3,49
8 8
4,22 1,13
1,49 0,40
Paired Sample Test
Paired Differences t df Sig.
(2-tailed) Mean Std.Deviation Std.Error Mean
95% Confidence interval of the Difference
Lower Upper Pair 1 Kontrol - Kelor 3,71 4,12 1,46 0,26 7,15 2,54 7 0,039
2. Motilitas Total
Paired Samples Statistics
Mean N Std.Deviation Std.Error
Mean Pair 1 Kontrol Kelor
71,60 83,58
8 8
8,03 9,49
2,84 3,36
Paired Sample Test
Paired Differences t df Sig.
(2-tailed) Mean Std.Deviation Std.Error Mean
95% Confidence interval of the Difference
Lower Upper Pair 1 Kontrol - Kelor -11,98 8,40 2,97 -19,01 -4,96 -4,03 7 0,005
3. Motilitas Progresif
Paired Samples Statistics
Mean N Std.Deviation Std.Error Mean
Pair 1 Kontrol Kelor
52,77 67,03
8 8
4,98 10,59
1,76 3,74
Paired Sample Test
Paired Differences t df Sig.
(2-tailed) Mean Std.Deviation Std.Error Mean
95% Confidence interval of the Difference
Lower Upper Pair 1 Kontrol - Kelor -14,26 6,86 2,42 -19,99 -8,52 -5,88 7 0,001
170
B. Suplementasi daun kelor dan Suplementasi Zn anorganik 1. Libido
Decriptives Libido
N
Mean Std.Deviation
Std.Error 95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum
Lower Bound
Upper Bound
Kontrol Kelor Zn Total
8 8 8 24
5,56 3,21 2,53 3,77
2,27 1,06 0,78 1,97
0,80 0,38 0,28 0,40
3,66 2,32 1,88 2,94
7,45 4,10 3,19 4,60
1,50 1,92 1,55 1,50
8,50 5,53 4,28 8,50
Anova
Libido Sum of Squares df Mean Squares F Sig. Between Groups Within Groups Total
40,41 48,43 88,84
2 21 23
20,20 2,31
8,76 0,002
Multiple Comparisons Dependent Variable: Libido (I)PERLAKUAN (J) PERLAKUAN Mean
Difference (I – J)
Std.Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound
Upper Bound
Tukey HSD Kontrol Kelor Zn
2,35* 3,03*
0,76 0,76
0,015 0,002
0,43 1,11
4,26 4,94
Kelor Kontrol Zn
-2,35* 0,68
0,76 0,76
0,015 0,649
-4,26 -1,23
-0,43 2,59
Zn Kontrol Kelor
-3,03* -0,68
0,76 0,76
0,002 0,649
-4,94 -2,59
-1,11 1,23
*. The mean difference is significant at the 0,05 level
2. Motilitas Total
Decriptives Motilitas Total
N
Mean Std.Deviation
Std.Error 95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum
Lower Bound
Upper Bound
Kontrol Kelor Zn Total
8 8 8 24
70,32 85,49 89,37 81,73
12,99 10,58 4,90 12,78
4,59 3,74 1,73 2,61
39,46 76,65 85,28 73,33
81,18 94,34 94,47 87,12
49,24 66,83 82,85 49,24
86,55 95,54 95,46 95,54
Anova
Motilitas Total Sum of Squares df Mean Squares F Sig. Between Groups Within Groups Total
1622,48 2133,37 3755,84
2 21 23
811,24 101,59
7,985 0,003
Multiple Comparisons Dependent Variable: Motilitas (I)PERLAKUAN (J) PERLAKUAN Mean
Difference (I – J)
Std.Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound
Upper Bound
Tukey HSD Kontrol Kelor Zn
-15,18* -19,06*
5,04 5,04
0,018 0,003
-27,88 -31,76
-2,47 -6,35
Kelor Kontrol Zn
15,18* -3,88
5,04 5,04
0,018 0,725
2,47 -16,58
27,88 8,82
Zn Kontrol Kelor
19,06* 3,88
5,04 5,04
0,003 0,725
6,35 -8,82
-31,76 16,58
*. The mean difference is significant at the 0,05 level
171
3. Motilitas Progresif
Decriptives Motilitas Progresif
N
Mean Std.Deviation
Std.Error 95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum
Lower Bound
Upper Bound
Kontrol Kelor Zn Total
8 8 8 24
58,14 77,12 76,43 70,56
9,87 6,20 5,55 11,46
3,49 2,19 1,97 2,34
49,89 71,94 71,79 65,73
66,39 82,30 81,08 75,40
45,15 68,19 69,00 45,15
69,40 84,70 84,23 84,70
Anova
Motilitas Progresif Sum of Squares df Mean Squares F Sig. Between Groups Within Groups Total
1853,57 1166,91 3020,48
2 21 23
926,78 55,57
16,68 0,000
Multiple Comparisons Dependent Variable: Motilitas (I)PERLAKUAN (J) PERLAKUAN Mean
Difference (I – J)
Std.Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound
Upper Bound
Tukey HSD Kontrol Kelor Zn
-18,98* -18,29*
3,73 3,73
0,000 0,000
-28,37 -27,69
-9,58 -8,90
Kelor Kontrol Zn
18,98* 0,68
3,73 3,73
0,000 0,982
9,58 -8,71
28,37 10,08
Zn Kontrol Kelor
18,29* -0,684
3,73 3,73
0,000 0,982
8,90 -10,08
27,69 8,71
*. The mean difference is significant at the 0,05 level
172
Lampiran 2. Daftar Publikasi yang terkait dengan Disertasi No Publikasi Judul Alamat (URL) 1. Jurnal
Intenasional Bereputasi Media Peternakan, August 2017, 40(2):88-93
Improving Libido and Sperm Quality of Bali Bulls by Supplementation of Moringa oleifera Leaves
DOI: https://doi.org/10.5398/medpet.2017.40.2.88 http://medpet.journal.ipb.ac.id/
2. Seminar Nasional: a. Seminar
Nasional Lahan-Basah ULM Tahun 2016.
b. Seminar Nasional Lahan-Basah ULM Tahun 2017.
a.Daun Kelor Sumber Mineral
Seng (Zn) untuk Mening-katkan Libido dan Kualitas Semen Pejantan Sapi Bali.
b.Analisis Semen Berbasis
Komputerisasi (Casa) untuk Memprediksi Fertilitas Sperma Sapi Bali
http://lppm.ulm.ac.id/id/semnaslb2017/
3. Buku ISBN 978-979-530-173-8
Daun Kelor sebagai Pakan Ternak
-
173
Lampiran 3. Daftar Riwayat Hidup
CURRICULUM VITAE A. Identitas Diri
1. Nama Lengkap
(dengan gelar) Ir. Nursyam Andi Syarifuddin, MP
2. Tempat dan Tanggal Lahir Madello (Soppeng), 13 April 1968 3. Jenis Kelamin Laki-laki 4. Pangkat/ Golongan Pembina Tk I/ IV-b 5. Jabatan Fungsional Lektor Kepala 6. NIP 19680413 199403 1 001 7. NIDN 0013046801 8. E-mail o [email protected]
o [email protected] 9. Nomor Telepon/HP 0511-4774437 / 0813 48 214 217
10. Alamat Rumah Komp. Wirapratama III Blok C No. 7 Banjarbaru, Kalimantan Selatan (70714)
11. Unit Kerja Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru – Kalimantan Selatan
12. Alamat Kantor Jl. A. Yani Km.36, Banjarbaru, Kal-Sel (70714)
13. Nomor Telepon/Fax 0511-4772254/0511-4772254
B. Keluarga
1. Isteri Batria H. Tahang 2. Anak 1. Andi Mufli Nur, S.Pt.
2. Andi Jusri Razak Nur 3. Andi Majdah Rahmadhani Syam
3. Orang Tua Andi Sjarifuddin Sitti Nurhasanah 4. Mertua H. Tahang Hj. Maifah (Alm) C. Riwayat Pendidikan
Tahun Masuk - Lulus Program
Pendidikan Perguruan Tinggi Jurusan
1987 - 1992 Sarjana (S1) Universitas Hasanuddin
Nutrisi dan Makanan Ternak
174
1998 - 2000 Magister (S2) Universitas Hasanuddin
Sistem-Sistem Pertanian (Peternakan)
D. Karya Ilmiah 10 tahun terakhir
Tahun Judul Jurnal/Prosiding 2017 Improving Libido and Sperm Quality of Bali
Bulls by Supplementation of Moringa Oleifera Leaves
Media Peternakan, August 2017, 40(2) :88-93. DOI:https://doi.org/10.5398/ medpet. 2017.40.2.88. http://medpet.journal. Ipb.ac.id/
Improving Sperm Motility of Frozen Semen Bali Bulls by Supplementation of Moringa oleifera Leaves
Journal of The ln-donesian Tropical Animal Agriculture (JITAA). (Sedang direview)
2017 Daun Kelor Sumber Mineral Seng (Zn) untuk Meningkatkan Libido dan Kualitas Semen Pejantan Sapi Bali
Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah Tahun 2016 Jilid 1: 180-186 ISBN: 978-602-6483-33-1
2017 Analisis Semen Berbasis Komputerisasi (CASA) untuk Memprediksi Fertilitas Sper-ma Sapi Bali.
Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah Tahun 2017.
2015 Pertumbuhan dan Produksi Hijauan Pakan Alami Ternak Kerbau Rawa Hasil Budidaya di Lahan Kering
Jurnal Penelitian Peternakan Lahan Basah. Vol. 2 No. 1 Juni 2015. ISSN 2442-7012.
2014 Kualitas Fisik, Kandungan Protein Kasar dan Serat Kasar Jerami Padi yang Di-fermentasi dengan Cairan Rumen
Jurnal Penelitian Peternakan Lahan Basah. Vol. 1 No. 1 Juni 2014. ISSN 2442-7012
2011 Peningkatan Reproduksi Sapi Induk Brah-man Cross Post Partum Dengan Pemberian Pakan Suplemen Multinutrient Block Plus Medicated
Aplikasi Isotop dan Radiasi. Vol. 7 No.2 Desember 2011.
175
2010 Kadar Glukosa Darah dan Urea Plasma Darah Sapi Induk Brahman Cross Menga-lami Anestrus Postpartum.
Prosiding PPI Standardisasi 2010 – Banjarmasin 4 Agustus 2010. ISSN 0853 – 9677.
2010 Kandungan Mineral (Na, Se, Co, dan Fe) Pakan Alami Ternak Kerbau Rawa di Kalimantan Selatan.
Media Sains. Volume 2 Nomor 1, April 2010 : 18 – 26.
2010 Pemanfaatan Kelimpahan Bekicot Pohon (Achatina, Sp) sebagai Sumber Protein Murni Itik Alabio Melalui Teknologi Bio Proses.
Ziraa’ah. Vol. 27 No. 1, Pebruari 2010 : 60 – 71
2010 Deteksi Gangguan Reproduksi Sapi Induk Brahman Cross Melalui Teknik Radio-immunoassay (RIA) dan Analisis Tata-laksana Pemeliharaan
Chlorophyl, Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Pertanian. Vol 6 No. 1 Pebruari 2010 : 62 - 67.
2009 Deteksi Gangguan Reproduksi Sapi Bali Melalui Teknik Radioimmunoassay (RIA) dan Analisis Tatalaksana Pemeliharaan
Kalimantan Scientiae. Nomor : 74 Th.XXVII Vol. Oktober 2009 : 84 – 96.
2009 Perbaikan Efisiensi Reproduksi Sapi Induk Brahman Cross Melalui Percepatan Berahi Post Partum dan Penerapan Teknologi Radioimmunoassay (RIA).
Kalimantan Scientiae. Nomor : 73 Th.XXVII Vol. April 2009 : 30 – 49.
2009 Kajian Kegagalan Kebuntingan Sapi Induk Brahman Cross Melalui Analisis Tata-laksana Reproduksi dan Profil Hormon Progesteron dengan Penerapan Teknologi Radioimmunoassay (RIA).
Ziraa’ah. Volume 24 No.1, Pebruari 2009. ISSN 1412-1468.
2007 Evaluasi Nilai Gizi Pakan Alami Ternak Kerbau Rawa di Kalimantan Selatan
Pengembangan Komunitas & Pem-berdayaan Masya-rakat Kalsel Mela-lui Pemanfaatan Hasil-hasil Perta-nian. Lemlit Unlam. ISBN 978-079-8128-62-2
176
E. Pengalaman Penelitian 10 tahun terakhir
Tahun Judul Penelitian Skim Penelitian/ Sumber Dana
Jabatan
2017 Peran Mineral Seng (Zn) pada Daun Kelor dalam Meningkat-kan Kualitas Semen Sapi Bali (Bagian dari Penelitian Diser-tasi)
Penelitian Disertasi Doktor/ Kemenristek Dikti
Ketua
2012 Budidaya Hijauan Pakan Alami untuk Meningkatkan Produktivitas dan Reproduk-tivitas Ternak Kerbau Rawa di Kalimantan Selatan
Hibah Bersaing/ Dikti
Ketua
2010 Strategi Pemberian Pakan Sup-lemen Multinutrient Block Plus Medicated untuk Mening-katkan Kinerja Reproduksi Sapi Induk Brahman Cross Post Partum.
Hibah Strategis Nasional/ Dikti
Ketua
2010 Pemanfaatan Kelimpahan Be-kicot Pohon (Achatina, Sp) sebagai Sumber Protein Mur-ni Itik Alabio Melalui Teknologi Bio Proses.
Sinta/ Kementan Anggota
2009 Percepatan Berahi Post Par-tum dan Peningkatan Angka Kebuntingan pada Sapi Induk Brahman Cross Melalui Pem-berian Pakan Suplemen Multi-nutrient Block yang Didukung oleh Penerapan Teknologi Radioimmunoassay (RIA).
Hibah Strategis Nasional/ Dikti
Ketua
2008 Perbaikan Efisiensi Reproduk-si Sapi Induk Brahman Cross Melalui Percepatan Berahi Post partum dan Penerapan Teknologi Radioimmunoassay (RIA).
Hibah Pekerti, Unlam - Unhas
Ketua
F. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat 10 tahun terakhir
Tahun Pengabdian Kepada Masyarakat Sumber
Dana Jabatan
2007 -2012
Konsultan Bidang Peternakan pada Program Pemberdayaan Masyara-
PT. Arutmin Indonesia
Ketua
177
kat PT. Arutmin Indonesia - Site Satui. Agustus 2007 – Desember 2012.
(Bakri Group)
2010 Narasumber Pelatihan Teknologi Pertanian Terpadu dengan Peter-nakan Berbasis Sumberdaya Lo-kal. Kerjasama: Kementerian Ristek – Faperta Unlam. Pelaihari, tanggal 21 - 23 Desember 2010
Kementerian Ristek
-
2009 Nara Sumber dan Dosen Pen-damping pada Kegiatan Pelatihan Usaha Integrasi Ternak Sapi Potong (Penggemukan dan Pembibitan Sa-pi Potong, Produksi Pupuk Organik serta Teknologi Pasca Panen) pada Pelatihan Peternak Sapi Potong Binaan Dinas Peternakan Kabu-paten Kapuas, Kalimantan Tengah. Kapuas-Pelaihari, 1 – 2 April 2009.
Dinas Peternakan Kabupaten
Kapuas,
-
2008 Pelatih pada Pelatihan Peternakan Terpadu Berbasis Sapi Potong. Kerjasama: Kementerian Ristek, Ba-tan, Unlam dan Pemda Kab. Tanah Bumbu. Pelaihari, 11 – 15 Agustus 2008.
Kementerian Ristek
-
2007 Kemitraan UMKM Masyarakat dan Perguruan Tinggi pada Usaha Integ-rasi (Integrated Farming) Perbibitan, Penggemukan Sapi Potong dan Produksi Pupuk Organik. Program Bottom Up Iptekda LIPI Tahun 2007
LIPI Anggota
2006 Program MKU 2006. Menumbuhkan Jiwa Wirausaha Berwawasan Agri-bisnis Melalui Magang Wirausaha Berbasis Sapi Potong.
Dikti Ketua
2006 Program Penerapan Ipteks 2006. Meningkatkan Kinerja Sapi Peng-gemukan Di Kelompok Ternak Man-diri dengan Suplementasi Urea Molasses Multinutrient Block (UMMB).
Dikti Ketua
178
G. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 10 Tahun Terakhir
Tahun Nama Temu Ilmiah/Seminar
Judul Artikel Ilmiah Tempat dan Waktu
2017 Seminar Nasional Ling-kungan Lahan Basah ULM Tahun 2017
Analisis Semen Berbasis Komputerisasi (CASA) untuk Memprediksi Fer-tilitas Sperma Sapi Bali.
Banjarmasin 11 Nopember 2017
2016 Seminar Nasional Ling-kungan Lahan Basah ULM Tahun 2016
Daun Kelor Sumber Mi-neral Seng (Zn) untuk Meningkatkan Libido dan Kualitas Semen Pejantan Sapi Bali
Banjarmasin5 Nopember 2016
2012 Apresiasi Pengemba-ngan Pakan Bagi Ke-lompok Integrasi Sapi - Sawit
Peranan Teknologi Pro-cessing dalam Mening-katkan Mutu dan Pe-ngembangan Pakan Ru-minansia Berbasis Hasil Samping Kelapa Sawit
Banjarmasin29 Februari – 2 Maret 2012
2011 Seminar Hasil Peneliti-an Strategis Nasional Tahun 2011
Strategi Pemberian Pa-kan Suplemen Multinut-rient Block Plus Medi-cated untuk Meningkat-kan Kinerja Reproduksi Sapi Induk Brahman Cross Post Partum.
Jakarta, 25–26 Juli 2011,
2010 Pertemuan dan Pre-sentasi Ilmiah Standar-disasi 2010.
Kadar Glukosa Darah dan Urea Plasma Darah Sapi Induk Brahman Cross Mengalami Anes-trus Postpartum
Banjarmasin4 Agustus 2010
2008 Seminar Nasional dan Lokakarya Bidang Fo-kus Riset 2008 dalam rangka Ulang Tahun Emas Unlam ke–50, dengan tema: Penga-rusutamaan Riset da-lam Mendukung Pem-bangunan Nasional yang Berkelanjutan.
Perbaikan Efisiensi Re-produksi Sapi Induk Brahman Cross Melalui Percepatan Berahi Post partum dan Penerapan Teknologi Radioimmuno-assay (RIA).
Banjarbaru 30 Oktober 2008
179
H. Pengalaman Sebagai Peserta Seminar/ Workshop/ Pelatihan 10 tahun terakhir
Tahun Nama Seminar/Workshop/ Pelatihan
Penyelenggara Tempat dan Waktu
2017 Workshop Penulisan Artikel Jurnal Internasional Berepu-tasi dan Klinik Draft Artikel Jurnal.
Sekolah Pascasarjana, Unhas
Makassar, 25 Nopember 2017
2017 Workshop dan Klinik Pening-katan Kualitas Hasil Penelitian Program Peningkatan Kapa-sitas Riset Tahun 2017
Ditjen Pengua-tan Riset dan Pengembangan, Kemenristek Dikti bekerja sama LPPM Unhas
Makassar, 24 – 26 Agustus 2017
2017 One Day Workshop Percepa-tan Publikasi Jurnal Interna-sional Bereputasi Scopus & Thomson Based
Sekolah Pascasarjana Unhas
Makassar, 20 Mei 2017
2016 International Seminar on Poli-tical Ecology of Sustainable Food Consumption and Pro-duction
Unhas bekerjasama Asian Rural Sociological Association (ARSA)
Makassar, 19 September 2016
2016 Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Unhas : Opti-malisasi Sumber Daya Lokal Peternakan Rakyat dalam Mendukung Pengem-bangan Badan Usaha Milik Rakyat (BUMR).
Fakultas Peternakan, Unhas
Makassar, 25 Agustus 2016
2104 Seminar Nasional Ketercerabutan (Embeddedness Pola Hubungan Petani Padi Sawah di Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan)
Sekolah Pascasarjana Unhas
Makassar, 11 Desember 2014
2014 The Fourth International Workshop on Preparing, Wri-ting, and Publishing Research Paper in International Journal
International Journal Agriculture System, Pascasarjana Unhas
Makassar, 24-27 Pebruari 2014
2013 Pelatihan HKI dan Drafting Pusat Informasi Makassar, 10
180
Paten dan HKI, LPPM Unhas
Oktober 2103
2013 International and Workshop on Wetland Environmental Management “Wetland Envi-ronmental Management and Green Economy”
Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin, 19 September 2013
2013 Buffalo International Confere-nce 2013 "Buffalo and Human Walfare"
Fakultas Peternakan, Unhas
Makassar, 4-5 September 2013
2013 Seminar Nasional Daya Sa-ing Bangsa: Perspektif Eko-nomi Digital dan Hegemoni Politik dalam Era ASEAN Community 2015
Universitas Hasanuddin
Makassar, 1 Maret 2013
I. Karya Buku
Tahun Judul Buku ISBN Penerbit 2017 Daun Kelor sebagai Pakan
Ternak 978-979-530-
173-8 Unhas Press
2003 Buku Ajar Ilmu Nutrisi Ternak Dasar
- Program Semi-QUE IV, Fak. Pertanian Unlam
2002 Buku Ajar Dasar Reproduksi Ternak
- Program Semi-QUE IV, Fak. Pertanian Unlam
181
Penghargaan dari pemerintah, asosiasi atau institusi lainnya
Tahun Jenis Penghargaan Pemberi Penghargaan
2006 Dosen Berprestasi Terbaik II Tingkat Universitas Lambung Mangkurat Tahun 2006
Rektor Unlam
2006 Dosen Berprestasi Terbaik I Tingkat Fakultas Pertanian Unlam Tahun 2006.
Dekan Faperta Unlam
2005 Penyaji Terbaik pada Seminar Nasional Hasil Pengembangan Budaya Kewirausahaan di Perguruan Tinggi Tahun 2004.
Direktur DP3M Dikti
Makassar, 15 Januari 2018 Penulis, (Ir. Nursyam Andi Syarifuddin, MP)