Download - Pembaruan Keagamaan Dalam ah
LAPORAN KEMUHAMMADIYAHAN
‘PEMBARUAN KEAGAMAAN DALAM MUHAMMADIYAH’
Di susun oleh:
Rizki Dwi Sukardi
Rhafaela Mutiara Virgina
Pembimbing: dr. Yose Rizal, SKM.
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah
yang diberikan olehNya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Kemuhammadiyahan ini
untuk menunjang proses belajar di Fakultas Kedokteran Dan Kesehatan Program Studi
Pendidikan Dokter Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Dalam penyusunan laporan ini penulis menyadari masih banyak kekurangan dan juga
banyak menemui berbagai macam hambatan dan kesulitan karena masih terbatasnya ilmu
pengetahuan yang penulis miliki, namun berkat adanya bimbingan, bantuan serta pengarahan
dari berbagai pihak maka, penulis dapat menyelesaikan laporan ini tepat pada waktunya. Oleh
karena itu dengan seusainya penyusunan laporan Kemuhammadiyahan ini penulis
mengucapakan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang
telah membantu dalam menyelesaikan laporan Kemuhammadiyahan ini terutama kepada yang
terhormat:
1. dr. Yose Rizal, SKM. selaku dosen mata kuliah Kemuhammadiyahan yang telah
memberikan bimbingan, bantuan serta pengarahan.
2. Rekan-rekan mahasiswa program studi pendidikan dokter Universitas Muhammadiyah
Jakarta.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
mengharapakan saran dan kritik dari semua pihak guna menyempurnakan laporan dan semoga
laporan ini berguna bagi pembaca pada umumnya dan mahasiswa kedokteran pada khususnya.
Wassalamualakum Wr Wb.
Jakarta, Februari 2011
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN 3
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Tujuan 4
BAB II PEMBAHASAN
2. Pembaruan Keagamaan dalam Muhammadiyah 5
2.1 Pemikiran tentang Ijtihad 6
2.2 Bidang Aqidah
10
2.3 Bidang Akhlaq 26
2.4 Bidang Syari’ah 32
BAB III PENUTUP
3. Kesimpulan 39
DAFTAR PUSTAKA 41
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama
organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW. sehingga Muhammadiyah juga dapat
dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW. Atau seperti yang
dikatakan oleh H. Djarnawi Hadikusuma, penisbahan nama tersebut mengandung pengertian
sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung
organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu
Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang
ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani
kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan
benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Kemudian tepatnya pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M,
Muhammadiyah didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji
Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta. Dengan tujuan
utamanya adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah.
Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah
tertentu dengan alasan adaptasi.
Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan
merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun
1903, Kyai Ahmad Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan
pembaruan itu diperoleh Kyai Ahmad Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia
yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari
Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah
4
membaca pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil
Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal
kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Saudi Arabia dan bacaan atas karya-karya
para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri Kyai
Ahmad Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Ahmad Dahlan justru membawa ide
dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.
1.2 Tujuan
Menjelaskan mengenai Pembaruan Keagamaan dalam Muhammadiyah
5
BAB II
PEMBAHASAN
2. Pembaruan Keagamaan dalam Muhammadiyah
Munculnya Muhammadiyah sebagai organisasi sosial-keagamaan dengan predikat
“modernis” pada awal abad ke-20 M dipandang sebagai kemajuan besar bagi umat Islam
Indonesia. Misi utama organisasi ini adalah sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar.
Misi tersebut ssuai dengan perintah dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104. Yaitu untuk
mengembalikan umat islam kepada ajaran yang sebenarnya (al-Qur’an dan as-Sunnah) melalui
perbaikan cara berfikir, penanaman kesadaran dan rasa bangga terhadap ajaran islam. Usaha
tersebut disertai dengan seperangkat amal usaha sosial yang kelihatan tampil berbeda dari
kebiasaan umat Islam sebelumnya. Semua usaha itu kemudian smakin memperjelas visi
organisasi ini sebagai “gerakan pembaruan” (tajdid).
Identitas gerakan tajdid juga disertai dengan pemikiran keagamaan yang berbeda dari
khazanah pemahaman Islam yang telah lama berkembang dan diwariskan secara turun-temurun.
Perbedaan tersebut bukan hanya terletak pada substansi pemikiran atau pemahaman keagamaan
itu saja, melainkan secara teknis orang-orang yang merumuskan pemikiran itu juga berbeda.
Lembaga yang dibentuk untuk menangani masalah-masalah yang berkenaan dengan
pemikiran atau pemahaman keagamaan dalam Muhammadiyah adalah Majlis Tarjih. Yaitu suatu
badan atau lembaga yang mempunyai tugas-tugas sebagai berikut:
1. Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh kemurniannya.
2. Menyusun tuntunan Aqidah, Akhlak, Ibadah dan Mu’amalah Duniawiyah.
3. Memberikan fatwa dan nasehat, baik atas permintaan maupun dari tarjih sendiri.
4. Menyalurkan perbedaan pendapat dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih
maslahat.
5. Mempertinggi mutu ulama
6
6. Hal-hal lain dalam keagamaan yang diserahkan oleh pimpinan persyarikatan.
Beradasarkan rincian tugas-tugas dari Majlis Tarjih Muhammadiyah diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa majlis ini merupakan badan yang berkompeten dalam merumuskan
pemahaman keagamaan di Muhammadiyah sebagai dasar gerakan organisasinya. Dari sini pula
dapat diketahui bahwa pemahaman keagamaan di Muhammadiyah secara garis besarnya meliputi
bidang; Aqidah, Akhlaq dan Syari’ah. Di bidang Syari’ah mencakup dua bidang, yaitu Ibadah
dan Mu’amalah.
Karena Majlis Tarjih mrupakan badan yang memiliki kewenangan mempelajari,
merumuskan dan memfatwakan masalah-masalah agama, maka badan ini juga sekaligus
merupakan Lembaga Ijtihad bagi Muhammadiyah. Dengan demikian, maka pembahasan
mengenai pemahaman keagamaan Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari pembahasan
mengenai masalah ijtihad. Karena pada dasarnya pemahaman keagamaan yang dihasilkan oleh
Majlis Tarjih itu juga merupakan hasil ijtihadnya.
2.1 Pemikiran Tentang Ijtihad
Di kalangan para ulama masih terdapat perbedaan pendapat mengenai persoalan ijtihad.
Perbedaan itu muncul karena adanya perbedaan pemahaman tentang Syari’ah yang menjadi
lapangan ijtihad itu sendiri. Ulama yang berpikiran holistik dan integral berpendapat bahwa
ijtihad bukan hanya terbatas pada bidang Fiqh saja, melainkan juga meliputi berbagai bidang
ilmu, termasuk bidang Teologi, Filsafat dan Tasawuf. Pendapat ini kelihatannya mirip dengan
pendapat ulama Salaf yang berpendapat bahwa Syari’ah meliputi ketiga unsur. Pertama, hal-hal
yang berkenaan dengan unsur-unsur keimanan (Aqidah). Kedua, hal-hal yang berkenaan dengan
perbuatan moral (Akhlaq). Ketiga, hal-hal yang berkenaan dengan perbuatan atau tingkah laku
orang dewasa (Syari’ah dalam pengertian hokum Fiqh). Sementara di kalangan ahli Ushul Fiqh
yang berpendapat bahwa ijtihad hanya terbatas pada lapangan Fiqh saja. Kelihatannya mewarisi
pendapat ulama Khalaf yang berpendapat bahwa Syari’ah dimaksudkan hanya terbatas pada
persoalan-persoalan yang berkenaan dengan tingkah laku atau perbuatan orang dewasa yang
biasa disebut hokum ‘amali.
Kedua pendapat tersebut sebenarnya masih dapat dikompromikan. Dengan alasan para
ulama Ushul Fiqh yang berpendapat bahwa ijtihad hamya terbatas dalam lapangan Fiqh,
7
sebenarnya ini merupakan ijtihad dalam lapangan hokum yang bersifat praktis (‘amali).
Sedangkan ijtihad yang dilakukan oleh ulama di luar kalangan Fuqaha (Ahli Fiqh) adalah ijtihad
yang berkenaan dengan masalah-masalah teoritis (‘ilmi), oleh karena secara tidak langsung
berhubungan dengan perbuatan atau tingkah laku mukallaf.
Fakhruddin ar-Razi, sebagaimana dikutip oleh Jalaludin Rahmat, memberikan pengertian
bahwa ijtihad adalah sebagai pengerahan kemampuan untuk memikirkan apa saja yang tidak
mendatangkan calaan. Dengan perkataan “apa saja”, maka berarti ijtihad mencakup masalah
Fiqh, Ilmu Kalam, dan Tasawuf. Sementara asy-Syaukani dengan memahami kata ‘amali
menandaskan bahwa kata ‘amali mengandung pengertian pada pengerahan kemampuan dalam
menghasilkan hokum ‘ilmi (teoritis), yang tidak disebut di kalangan Fuqaha, tetapi disebut
ijtihad dikalangan ahli Ilmu Kalam. Dari sini kelihatan jelas bahwa asy-Syaukani mengakui
adanya ijtihad di kalangan Mutakallimin. Pembahasan mengenai cakupan lapangan ijtihad ini
penting untuk dijelaskan, karena pemahaman keagamaan Muhammadiyah yang selalu
dinisbahkan kepada pemikiran ulama Salaf itu. Sehingga dalam hal ini tentu terdapat juga
beberapa karakteristik yang sama antara pemahaman keagamaan Muhammadiyah dalam
pemikiran Salaf.
Ide tentang ijtihad memang telah menjadi agenda tersendiri dalam gerakan
Muhammadiyah. Karena sebagaimana diketahui bahwa ketika Muhammadiyah lahir, keyakinan
tentang tertutupnya pintu ijtihad telah menjadi bagian dalam kehidupan umat Islam. Agaknya,
hal ini merupakan konsekunsi logis dari kerakan tajdid yang dikumandangkannya. Apalagi
setelah identitas tajdid itu secara lebih jelas dirumuskan dalam Muktamar Tarjih ke-22 di
Malang, Jawa Timur, pada tahun 1989. Perumusan mengenai pengertian tajdid yang melingkupi
kedua pengertian istilah itu, secara pelaksanaannya yang melibatkan aktualisasi akal secara
optimal dengan didasari al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shahihah, mengisyaratkan bahwa ijtihad
dalam Muhammadiyah dapat dilakukan bukan hanya pada kasus-kasus yang telah disebut secara
ekplisit di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang belum memiliki pengertian dan maksud yang
jelas. Akan tetapi ijtihad juga dimaksudkan pada kasus-kasus yang belum disinggung secara
ekplisit oleh kedua sumber ajaran Islam yang utama itu.
Pada kasus yang pertama, ijtihad dilakukan dengan menafsirkan kembali al-Qur’an
maupun al-Hadits, disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekarang secara kontekstual.
8
Sedangkan pada kasus yang kedua perlu pengarahan kemampuan akal yang optimal. Meskipun
keduanya, baik ijtihad melalui penafsiran kembali secara kontekstual maupun merumuskan
hukum-hukum secara analogis atau mencari persesuaian ‘illah, sama-sama memerlukan
aktualisasi akal, namun pada cara yang kedua pnggunaan akan diharapkan lebih intensif.
Dari kedua cara ijtihad dalam penyelesaian kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa akal
memegang peranan penting dalam memahami al-Qur’an dan as-Sunnah. Mengenai peranan akal
ini juga telah diformulasikan baik dalam rumusan tajdid maupun dalam Manhaj Tarjih.
Walaupun sebenarnya dengan perkataan “yang dijiwai ajaran Islam”, mengesankan adanya
keterbatasan akal dalam penyelesaian masalah-masalah yang muncul. Dengan demikian, maka
kehendak nash harus didahulukan daripada akal.
Namun, sebagaimana dikemukakan dalam Manhaj Tarjih, bahwa benturan aktualisasi
akal dalam ijtihad hanya apabila berhadapan dengan masalah-masalah bersifat ta’abuddi.
Walaupun dalam Manhaj Tarjih tersebut tidak jelas apa yang dimaksud dengan masalah
ta’abuddi itu, namun dapat diduga bahwa hal tersebut adalah yang berkenaan dengan masalah
ibadah dalam arti khusus. Yaitu segala bentuk ibadah yang telah ditentukan oleh nash tentang
cara pelaksanaannya, yang kemudian sering disebut Ibadah Mahdhah. Sedangkan masalah-
masalah yang tidak bersifat ta’abuddi adalah hal-hal yang berkenaan dengan Mu’amalah
Duniawiyah. Yaitu segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi, seperti perkara-
perkara, pekerjaan-pekerjaan, urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan
manusia.
Apalagi jika makna ijtihad dalam Muhammadiyah itu dilihat dari tujuan dan dimenji
tajdid. Di situ semakin jelas bahwa cakupan ijtihad Muhammadiyah mempunyai jangkauan yang
luas. Bahkan klihatan lebih luas dari Ulama Salaf seprti halnya Ibn Taimiyah, yang
mengisyaratkan bahwa ijtihad juga digunakan dalam bidang Tasawuf.
Pemikiran tentang ijtihad memiliki cakupan luas itu kelihatan merupakan konsekuensi
logis dari pandangannya tentang islam yang integral dan holistik, setidak-tidaknya apabila
ditinjau dari Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKCH) organisasi ini. Namun demikian,
dikalangan anggota atau bahkan tokoh-tokoh Muhammadiyah masih terdapat perbedaan
pendapat tentang ijtihad.
9
M. Amin Rais misalnya, ia menyetujui adanya kontekstualisasi interpretasi dalam ijtihad,
dengan catatan harus tetap bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Namun ia tidak sependapat
dengan adanya upaya untuk menjadikan sebuah hokum yang telah qath’I dalam al-Qur’an untuk
disesuaikan panafsirannya dengan praktik kehidupan modern. Pendapat serupa juga
dikemukakan oleh A. Mukti Ali, ia menyatakan bahwa untuk menghadapi dunia yang serba
berubah ini, teks al-Qur’an dan al-Hadits harus dipahami dengan memperhatikan keadaan di
sekitarnya. Lebih jauh ia menegaskan bahwa memahami agama secara kontekstual merupakan
keharusan. Sebagian warga Muhammadiyah, bahkan ada yang menginginkan agar ijtihad dalam
Muhammadiyah dilakukan secara menyeluruh, seperti yang dilakukan oleh Muhammad Abduh.
Namun sebagian warga Muhammadiyah juga masih ada yang berpendapat bahwa ijtihad
itu hanya terbatas pada bidang Fiqh saja. Sedangkan bidang Aqidah termasuk termasuk masalah
yang tidak boleh diijtihadkan lagi, apalagi jika dikaji secara rasional. Akan tetapi pendapat ini
kelihatannya bertentangan dengan Manhaj Tarjih yang menyatakan bahwa dalam masalah
Aqidah (Tauhid) hanya digunakan dalil-dalil mutawir. Pernyataan ini secara implisit
mengisyaratkan adanya ijtihad juga dalam bidang Aqidah, hanya sifatnya yang berbeda dari
ijtihad-ijtihad dalam bidang lainnya. Ijtihad dalam bidang Aqidah ini kelihatannya lebih bersifat
“purifikatif”. Sementara ijtihad dalam bidang Fiqh atau bidang Mu’amalah Duniawiyah boleh
jadi bersifat “eksploratif”.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ijtihad dalam Muhammadiyah mencakup
bidang-bidang agama secara keseluruhan, yaitu meliputi bidang Aqidah (purifikatif), Akhlaq,
Ibadah, dan Mu’amalah Duniawiyah (eksploratif). Dengan adanya cakupan yang luas itu,
dimungkinkan dapat membrikan peluang yang besar bagi Muhammadiyah untuk lebih dinamis
dalam gerakannya, terutama gerakan sosialnya. Karena pada dasarnya pemikiran tentang ijtihad
adalah merupakan upaya meresponi masalah-masalah umat yang muncul akibat kemajuan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi. Kompleksitas persoalan-persoalan umat itulah yang mau tidak mau
memerlukan pendekatan inter-disipliner dalam penyelesaiannya. Pendekatan ini kelihatannya
telah ditawarkan Muhammadiyah, melalui lembaga Ijtihad Jama’i (Majlis Tarjih) yang
melibatkan banyak pakar dari berbagai disiplin ilmu. Secara substansial, mekanisme ijtihad
semacam ini secara tidak langsung merupakan upaya reinterpretasi dan reaktualisasi ajaran islam
itu sendiri.
10
Jika dilihat dari kacamata historis, pemikiran ijtihad Muhammadiyah merupakan langkah
pembaharuan yang tidak ditemukan pada kurun waktu klasik. Perkembangan ijtihad pada waktu
itu hanya dimonopoli oleh kalangan Ulama Fiqh. Oleh sebab itu, maka ijtihad-pun hanya
terbatas pada lapangan Fiqh saja. Di samping itu, mekanisme ijtihad hanya menjadi otoritas bagi
seorang mujtahid secara pribadi atau disebut juga ijtihad fardli.
2.2 Bidang Aqidah
Aqidah merupakan salah satu aspek ajaran islam yang paling pokok. Bahkan ajaran ini
diyakini sebagai titik awal seseorang dalam meyakini kebenaran Islam. Hasan al-Banna
memberikan pengertian tentang Aqidah sebagai berikut : “Aqaid (bentuk jamak dari aqidah)
adalah perkara-perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati(mu), dan mendatangkan
ketentraman jiwa(mu) serta menjadikan keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan
keragu-raguan. Sedangkan Abu Bakar Jabir al-Jazairi memberikan pengertian Aqidah adalah:
“Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (aksioma) oleh manusia
berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. (Kebenaran itu) terpatri dalam hati manusia serta diyakini
kebenaran dan keberadaannya (secara pasti) dan menolak segala sesuatu yang bertentangan
dengan kebenaran itu.
Berdasarkan dua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Aqidah merupakan
keyakinan hati tentang kebenaran yang diperoleh melalui akal, fitrah (potensi dasar), dan wahyu,
di mana keyakinan itu dapat mendatangkan ketenangan. Kebenaran yang diyakini itu dapat
diperoleh melalui akal, karena ia merupakan alat untuk menguji kebenaran, dan juga dengan
fitrah (potensi dasar), seperti panca indera atau fungsi-fungsi jiwa lainnya. Demikian juga
dengan wahyu sebagai pedoman untuk menentukan, mana yang benar dan mana yang salah.
Seperti tentang adanya tuhan, misalnya. Setiap manusia memiliki fitrah ber-Tuhan. Dengan
panca indera dan akalnya, ia dapat membuktikan kebenaran adanya Tuhan itu. Tetapi hanya
wahyulah yang dapat menunjukan “siapa” Tuhan yang sebenarnya. Definisi atau pengertian
tentang Tuhan hanya akan benar jika Tuhan sendiri yang memberitahukan “keadaan” dan
“keberadaan-Nya”.
Pengertian tentang Tuhan yang dirumuskan berdasarkan kemampuan akal fikiran
manusia sendiri hanya akan menimbulkan perbedaan yang berkepanjangan. Dan yang lebih
11
hakiki lagi adalah bahwa hal tersebut tidak akan pernah menyentuh pada hakikat Tuhan yang
sebenarnya. Sebab relativitas institusi manusia tersebut akan menghasilkan buah pemikiran yang
relatif pula.
Aqidah merupakan dasar pokok keyakinan beragama. Oleh sebab itu ia menjadi titik awal
dalam membahas tentang keimanan. Pembahasan masalah Aqidah ini pada umumnya meliputi
persoalan-persoalan sebagai berikut:
Pertama, Illahiyyah. Yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilah (Tuhan, Allah),
seperti Wujud Allah, Nama-nama dan Sifat-sifat Allah, Af’al Allah, Kehendak dan Ketentuan
Allah, dan lain-lain.
Kedua, Nubbuwwah. Yaitu pembahasan mengenai segala sesuatu yang berkenaan dengan
Nabi dan Rasul, termasuk pembahasan tentang kitab-kitab Allah, mu’jizat, keramat, dan lain-
lain.
Ketiga, Ruhaniyah. Yaitu pembahasan tentang segala yang berhubungan dengan alam
meta-fisik seperti; Malaikat, Jin, Iblis, Syetan, ruh atau nyawa manusia, dan lain-lain.
Keempat, Sam’iyah. Yaitu pembahasan tentang segala yang hanya dapat diketahui lewat
sam’i (mendengar berita dari dalil naqli berupa al-Qur’an dan Sunnah Rasul), seperti; Alam
Barzakh, Akhirat, Azab Kubur, Surga, Neraka, dan lain-lain.
Pokok-pokok Aqidah yang secara global mencakup empat hal tersebut. Walaupun telah
diberitakan melalui wahyu, namun tidak begitu saja dapat diterima oleh sebagian manusia, untuk
menjadi keyakinan mereka secara penuh. Hal ini dikarenakan adanya karunia Allah yang lain,
berupa akal yang memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk membuktikan kebenaran wahyu
Allah itu sehingga keyakinannya menjadi kuat terhadap kebenaran wahyu itu sendiri. Dari usaha
pembuktian kebenaran wahyu melalui akal ini, muncullah apa yang disebut dengan Ilmu Kalam
atau Teologi. Yaitu ilmu yang berusaha menetapkan keyakinan (Aqidah) dan menjelaskan ajaran
yang dibawa oleh para Nabi.
Baik Ilmu Kalam maupun Teologi, keduanya mempunyai konotasi pengertian yang sama,
sebagaimana dikemukakan di atas. Kedua istilah itu muncul dari adanya debat kata yang
bermuatan filosofis untuk saling membuktikan dan mempertahankan keyakinan (Aqidah)
12
masing-masing. Dari sini dapat diketahui bahwa akal telah turut berperan penting dalam
menegakkan dasar-dasar keyakinan (Aqidah) Islam. Sebagai akibat dari munculnya debat
teologis ini, akhirnya muncullah corak baru Aqidah Islam yang dialektis.
Secara historis corak Aqidah Islam yang berkembang di kalangan umat Islam
terpolarisasi ke dalam dua kelompok. Pertama, Aqidah Salaf. Yaitu corak Aqidah yang dibangun
semata-mata berdasarkan informasi wahyu, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, tanpa interpretasi
filosofis yang mewarnainya. Aqidah ini dianut oleh kaum Muslimin pada masa awal, yaitu masa
Nabi, sahabat, dan tabi’in yang hidup hingga abad ketiga hijriyah. Kelompok ini sering disebut
dengan kelompok as-Salaf ash-Shalih. Sedangkan para penganut Aqidah yang serupa itu, tetapi
hidup setelah tiga kurun pertama disebut Salafiah. Ciri utama Aqidah Salaf ini adalah berdasar
sepenuhnya pada nash. Oleh sebab itu rumusan Aqidahnya sangat sederhana, karena belum
diwarnai oleh debat kalamiyah atau teologis.
Kedua, Aqidah Islam yang dibangun atas campur tangan pemikiran filosofis. Kelompok
ini secara garis besar diwakili al-Qadariyah dan al-Jabbariyah. Kedua aliran ini muncul seiring
dengan meluasnya daerah kekuasaan Islam keluar Jazirah Arab, sehingga ajaran Islam mulai
bersentuhan dengan ajaran-ajaran non-Islam, seperti filsafat Yunani, system kepercayaan Majusi,
Atheis, dan lain-lain. Sengguhpun kedua aliran ini (al-Qadariyah dan al-Jabbariyah) dalam
sejarah Islam secara formal tidak memperoleh bentuk dan mampu bertahan lama, namun masing-
masing telah menjadi pondasi bagi munculnya dua aliran teologi yang besar berikutnya. Al-
Qadariyah menjadi dasar pemikiran teologi Mu’tazilah, sementara al-Jabbariyah menjadi
pondasi pemikiran teologi Asy’ariyah.
Kedua aliran teologi yang terakhir inilah yang secara intensif mewarisi tradisi debat
teologis yang hingga sekarang tidak terselesaikan. Tema-tema teologis yang dipersoalkan
terutama berkisar tentang perbuatan manusia (af’al al-‘ibad), sifat Tuhan serta Qadha dan Qadar
Tuhan. Bagi Aqidah Salaf yang dengan tegas menolak segala bentuk pemikiran teologis, seperti
al-Khawarij, al-Mu’tazilah, dan lain-lain, bukan berarti paham ini dapat terlepas dari tema-tema
teologis yang diperdebatkan di kalangan teolog aliran itu. Bagaimanapun juga perdebatan
teologis yang menyangkut tema-tema Aqidah itu pada akhirnya juga dapat mendudukkan Aqidah
Salaf pada suatu kutub tertentu. Beberapa pendapat mengelompokkan bahwa Aqidah Kaum Salaf
serupa dengan teologi al-‘Asy’riyah yang dibangun di atas pondasi al-Jabbariyah itu. Terutama
13
dapat dilihat dalam tiga persoalan, yaitu: perbuatan manusia (af’al al-‘ibad), sifat-sifat Tuhan
serta Qadha dan Qadar. Pada gilirannya Aqidah Salaf juga dikategorikan ke dalam Aqidah yang
bercorak al-Jabbariyah. Sebab Kaum Salaf berkeyakinan bahwa perbuatan manusia tidak bebas,
Allah berkehendak mutlak dan mengisbatkan sifat-sifat Allah.
Akan tetapi pengelompokan semacam ini kelihatannya tidak begitu cepat. Karena dalam
berbagai hal, Aqidah Salaf tidak dapat dikategorikan bercorak al-Jabbariyah secara mutlak, dan
tidak pula bercorak al-Qadariyah secara keseluruhan. Beberapa karakteristik yang mendasari
Aqidah Salaf itu diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, persoalan Aqidah tidak termasuk
bidang ijtihad. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah tertutupnya kemungkinan adanya
perumusan Aqidah melalui pandangan pemikiran filosofis, diperkuat dengan kenisbian akal
dalam masalah Aqidah yang diakui oleh Kaum Salaf. Pada hal penggunaan akal yang optimal
merupakan unsur penting dalam ber-ijtihad. Dengan kata lain, persoalan-persoalan Aqidah hanya
dapat diterima secara “teken for granted”, tanpa perlu komentar dari akal manusia.
Kedua, menolak ta’wil. Bila kalangan Mutakallimin menghendaki dijadikannya rasio
sebagai dasar penakwilan sehingga mengalahkan kehendak syara’, maka Kaum Salaf menolak
ta’wil semacam itu, karena dianggap dapat mengakibatkan peniadaan (isi) nash. Pada umumnya
kalangan Salaf menggunakan ta’wil dalam arti tafsir, yaitu menerangkan arti kata atau kalimat
sehingga jelas pengertiannya. Menurut Ibn Taimiyah, ta’wil seperti itulah yang dikenal di
kalangan ahli tafsir Salaf. Sedangkan ta’wil al-‘aqli seperti yang dikenal di kalangan teolog
masih dipertanyakan keabsahannya.
Persoalan ta’wil ini selalu muncul, terutama dalam memahami ayat-ayat yang
menjelaskan tentang sifat-sifat jasmaniah yang digambarkan dalam al-Qur’an. Dalam hal ini
Kaum Salaf menrimanya dengan arti apa adanya, seperti Tuhan mempunyai mata, muka, tangan,
dan lain-lain secara literal tanpa mempertanyakan hakikat sifat tersebut (billa kaifa). Mereka
menolak kemampuan manusia untuk dapat mengetahui hakikat Sifat Allah, seperti dikatakan
oleh Ibn Taimiyah: “La ya’lamu kaifa Allah illa Allah. Falla ya’lamu Huwa illa Huwa (tidak ada
yang tahu bagaimana Allah kecuali Allah, maka tidak ada yang mengetahui hakikat-Nya
melainkan Dia sendiri).
14
Ketiga, membatasi akal dari memikirkan persoalan yang bukan bidangnya. Menurut
Aqidah Salaf, akal merupakan media pengetahuan yang terbatas yang tidak mampu menjangkau
masalah-masalah ghaib, melainkan hanya gambaran semata. Kaum Salaf mengimani hal-hal
yang ghaib yang diberikan oleh nash, tanpa mencoba memikirkan hakikat yang sebenarnya,
karena hal itu berada di luar jangkauan akal. Kaum Salaf tidak mengunggulkan akal, tidak
menuhankannya, dan tidak menganggapnya cukup dan berdiri sendiri, tetapi mereka
menempatkan akal sesuai kedudukannya. Mereka menempatkan akal pada batas-batas
wilayahnya, seperti dalam pemikiran akal, dalam masalah-masalah hukum (Fiqh Amaliyah) dan
dalam ilmu-ilmu yang bersifat kebendaan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
manusia.
Dari sini dapat dilihat bahwa Kaum Salaf bersikap tawaquf (mengembalikan sesuatu
kepada nash tanpa mempersoalkannya) terhadap hal-hal yang berkenaan dengan masalah
Aqidah. Sementara terhadap persoalan-persoalan di luar Aqidah bersikap kritis dalam
menggunakan segala kemampuan akalnya secara sungguh-sungguh. Di sisi lain, keteguhan kaum
Salaf dalam memegang dan mengamalkan nash tanpa menyangkal hakikatnya, dapat membuka
kemungkinan harapan yang tinggi untuk berfikir, beramal, dan beribadah menurut keridhaan
Allah.
Kaum Salaf pada ketiga kurun pertama --masa Nabi, sahabat, dan Tabi’in—Abu
Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ibn Taimiyah, Muhammad Ibn Abdul
Wahab, dan lain-lain. Mereka adalah generasi Salafiah yang memiliki iltizam (komitmen) tinggi
terhadap Aqidah Salaf, di samping mempunyai kesungguhan dalam mengembangkan potensi
akal sebagai karunia Allah pula.
Melalui mereka Aqidah Salaf dipertahankan dan dihidupkan kembali setelah kurun waktu
perdebatan teologis di kalangan ahli kalam, dan diwariskan kembali kepada generasi berikutnya,
teerutama melalui karya-karya mereka yang tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam. Salah satu
yang menamakan diri mewarisi Aqidah Salaf itu adalah Muhammadiyah. Sebuah organisasi
dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar yang secara normatif merujuk langsung kepada al-
Qur’an dan as-Sunnah. Pengakuan ini setidaknya dapat dipahami berdasarkan pernyataan
sebagaimana yang terdapat dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT).
15
“Kemudian daripada itu, maka kalangan umat yang terdahulu (Salaf), yaitu yang terjamin
keselamatannya. Mereka telah sependapat atas kepercayaan bahwa seluruh alam kejadian itu
mengalami masa permulaan, dijadikan oleh Allah dari ketidakadaan dan mempunyai sifat akan
punah. Mereka berpendapat bahwa memperdalam ilmu pengetahuan tentang alam untuk
mendapatkan pengertian tentang Allah adalah wajib menurut ajaran agama. Demikianlah, maka
kita hendak mulai menerangkan pokok-pokok kepercayaan yang benar itu.”
Penjelasan diatas walaupun tidak secara eksplisit menyatakan bahwa Muhammadiyah
beraqidah sebagaimana Aqidah Salaf, namun dengan adanya kata kunci, “Wa ha nasyra’u fi
bayani ushuli al-aqaidi al-shahihati” menjadi jelas bahwa yang dimaksud dengan al-‘aqaidi al-
shahihati itu adalah Aqidah Salaf.
Bila dilihat dari susunan pokok Aqidah seperti yang dijelaskan dalam Himpunan Putusan
Tarjih, sistematikanya juga tidak berbeda dari apa yang diungkapkan oleh Ibn Taimiyah dalam
Majmu’-nya, yaitu terdiri dari:
1. Iman kepada Allah
2. Iman kepada Malaikat
3. Iman kepada Kitab
4. Iman kepada Rasul
5. Iman kepada Hari Akhirat
6. Iman kepada Qadha dan Qadar.
Bedasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Aqidah Muhammadiyah mirip
dengan apa yang telah menjadi keyakinan Kaum Salaf. Hal ini juga diperkuat dengan pendapat
yang dikemukakan oleh K.H. Mas Mansyur, sebagaimana dikitup oleh Yusram Asrofi, bahwa
dalam masalah Teologi (Aqidah), Kyai Dahlan kembali kepada Ulama Salaf. Dalam hal ini Kyai
Dahlan nampaknya lebih dekat kepada Rasyid Ridha.
Perumusan pokok-pokok Aqidah Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dari kondisi
paham keagamaan yang berkembang di ketika Muhammadiyah lahir. Paham syirik, takhayul, dan
khurafat merupakan perwujudan penyimpangan Aqidah Islam yang dipegangi umat Islam.
Bentuk-bentuk penyimpangan Aqidah itu muncul karena rujukan dasar ajaran sebagai sumber
Aqidah itu tidak tepat. Orang lebih suka merujuk kepada pendapat atau kitab-kitab karangan
16
ulama, kyai, syekh, atau bahkan para pujangga kerajaan daripada langsung mempelajari dan
mengambil hujah dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Pengambilan sumber ajaran yang bersifat sekunder tersebut bukan hanya memiliki
kemungkinan penyimpangan dalam bidang Ibadah, tetapi hal yang lebih fatal juga akan terjadi
dalam bidang Aqidah. Pada hal Aqidah merupakan pondasi utama dalam agama, karena pada
dasarnya perbuatan atau amaliyah hanyalah merupakan wujud nyata dari ssuatu yang
diyakininya. Tidak benarmya Aqidah seseorang dapat mengancam eksistensi amal ibadahnya.
Sebaliknya juga, amal ibadah yang baik merupakan pancaran Aqidah yang benar.
Aqidah Muhammadiyah dirumuskan sebagai konsekuensi dari gerakannya. Formulasi
Aqidah yang dirumuskan dengan merujuk langsung kepada sumber utama ajaran Islam itu
dinamakan al-Aqidah ash-Shahihah, yang menolak segala bentuk campur tangan pemikiran
teologis. Karakteristik Aqidah Muhammadiyah itu secara umum dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Pertama, nash (al-Qur’an dan as-Sunnah) sebagai dasar rujukan. Semangat kembali
kepada al-Qur’an dan as-Sunnah sebenarnya sudah menjadi tema umum pada setiap gerakan
pembaruan. Karena diyakini sepenuhnya bahwa hanya dengan berpedoman pada kedua sumber
utama itulah ajaran Islam dapat hidup dan berkembang secara dinamis. Muhammadiyah juga
menjadikan hal ini sebagai tema sentral gerakannya, terlebih-lebih dalam masalah Aqidah,
seperti dinyatakan:
“Inilah pokok-pokok Aqidah benar itu, yang terdapat dalam al-Qur’an dan dikuatkan dengan
pemberitaan-pemberitaan yang mutawatir.”
Berdasar pernyataan diatas, jelaslah bahwa sember Aqidah Muhammadiyah adalah al-
Qur’an dan as-Sunnah yang dikuatkan dengan berita-berita yang mutawatir. Ketentuan ini juga
dijelaskan lagi dalam pokok-pokok Manhaj Tarjih sebagai berikut:
- Di dalam masalah Aqidah (Tauhid) hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir.
Dalil-dalil umum al-Qur’an dapat ditakhsiskan dengan Hadits Ahad, kecuali dalam
bidang Aqidah.
17
- Dalam memahami nash, makna dzahir didahulukan daripada ta’wil dalam bidang Aqidah
dan takwil sahabat dalam hal itu tidak harus diterima.
Ketentuan-ketentuan diatas jelas menggambarkan bahwa secara tegas Aqidah
Muhammadiyah bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa interpretasi filosofis seperti yang
terdapat dalam aliran-aliran teologi pada umumnya. Sebagai konsekuensi dari penolakannya
terhadap pemikiran filosofis ini, maka dalam menghadapi ayat-ayat yang berkonotasi
mengundang perdebatan teologis dalam pemaknaannya, Muhammadiyah bersikap tawaquf
seperti halnya Kaum Salaf.
Kedua, keterbatasan peranan akala dalam soal Aqidah. Muhammadiyah termasuk
kelompok yang memandang kenisbian akal dalam masalah Aqidah. Formulasi tentang posisi akal
itu sebagai berikut:
“Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak tercapai oleh akal dalam hal
kepercayaan. Sebab akal manusia tidak mungkin mencapai pengertian tentang Dzat Allah dan
hubungan-Nya dengan sifat-sifat yang ada pada-Nya.”
Selanjutnya, dirumuskan pula dalam Manhaj Tarjih sebagai berikut: Dalam bidang
ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, pemahamannya
dapat menggunakan akal sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya, mesikipun diakui
bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki
kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi.
Jika kedua pernyataan diatas diperhatikan, terlihat bahwa keduanya saling menguatkan
atas kenisbian akal terhadap persoalan Aqidah. Tetapi akal memiliki kemungkinan peran yang
lebih besar terhadap bidang-bidang lain, seperti bidang Ibadah dan Mu’amalah Duniawiyah. Hal
ini berarti bahwa kemungkinan peran akal untuk melakukan interpretasi yang sesuai dengan
tuntutan situasi dan kondisi lebih dituntut kepada bidang-bidang selain Aqidah.
Sungguhpun Muhammadiyah telah meletakan akal sebagai landasan operasional dalam
memahami al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana pesan Kyai Dahlan, bahwa untuk memahami
al-Qur’an manusia harus dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling pokok, yakni akal.
Dan akal hanya dapat berguna dan berkembang dengan menggunakan metode berfikir Ilmu
18
Mantiq atau logika. Hal ini tidak mencakup seluruh aspek bahasan dalam Islam. Akan tetapi ada
hal-hal yang berada di luar jangkauan akal. Dan oleh sebab itu, maka argument-argumen teologis
yang cenderung filosofis tidak menjadi dasar Aqidah Muhammadiyah.
Ketiga, kecenderungan berpandangan ganda terhadap perbuatan manusia. Mengenai
manusia, apakah ia bebas dalam menenukan perbuatannya, atau apakah perbuatan manusia itu
diciptakan Tuhan, sikap Muhammadiyah dapat dilihat dalam rumusan berikut ini:
”Adapun segala yang dilakukan manusia itu, semuanya atas Qadha dan Qadar-Nya, sedang
manusia sendiri hanya dapat beriktiar. Dengan demikian, maka segala ketentuan adalah dari
Allah dan usaha adalah bagian manusia, Perbuatan manusia ditilik dari segi kuasanya
dinamakan hasil usaha sendiri, tetapi ditilik dari segi kekuasaan Allah, perbuatan manusia itu
adalah ciptaan Allah”.
Secara garis besarnya, pernyataan diatas dapat dikelompokkan menjadi dua persoalan
pokok. Pertama, perbuatan telah ditentukan oleh Allah, dan manusia hanya dapat ber-ikhtiar.
Kedua, jika ditinjau dari sisi manusia merupakan hasil usaha sendiri. Sedangkan bila ditinjau dari
sisi Tuhan, perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan.
Pada pokok persoalan yang pertama, kelihatan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan
dalam berbuat, walaupun diformulasikan juga dalam kata ikhtiar atau juga kasb. Bagaimanapun
juga, baik ikhtiar maupun kasb, dalam rumusan itu tetap menggambarkan kelemahan manusia.
Dan oleh sebab itu, maka baik ikhtiar maupun kasb tidak akan member pengaruh kepada
ketentuan Allah (Qadha dan Qadar). Dengan kata lain, paham seperti ini menggambarkan
adanya kehendak mutlak Tuhan untuk menentukan segala perbuatan manusia.
Pernyataan tersebut beralasan pada dalil yang dikemukakan, yaitu Surat ash-Shaffat: 96
dan al-Qashash: 69 yang artinya:
“Allah yang telah mnjadikan kamu dan segala apa yang kamu kerjakan.” (Q.S ash-Shaffat: 96)
“Dan Allah itu yang telah menjadikan apa yang telah Ia kehendaki dan yang Dia pilih. Tidak
ada pilihan bagi mereka, Maha Suci Allah, dan Maha Luhut dari pada apa yang mereka
sekutukan.” (Q.S al-Qashash: 69)
19
Akan tetapi pada persoalan pokok yang kedua, kelihatan adanya pandangan yang
mendua. Yaitu satu sisi manusia dipandang sebagai makhluk mukhyar. Artinya memiliki
kebebasan untuk menerima atau menolak ungkapan kasban lahu (hasil usaha sendiri). Sementara
pada sisi lain, manusia juga dipandang sebagai makhluk musayar. Artinya tidak memiliki
kebebasan untuk menerima atau menolak, tetapi harus menerima, dengan ungkapan khalqan
(ciptaan Allah).
Sebagai pendukung pandangan yang pertama, yaitu manusia sebagai makhluk mukhayar,
kelihatannya menunjuk kepada surat al-Balad: 10 yang artinya (”dan Kami telah menunjukkan
kepada manusia dua jalan.”). Sedangkan untuk pandangan yang kedua, yaitu manusia sebagai
mahkluk musayar menunjuk kepada dua dalil yang menyatakan kehendak mutlak Tuhan,
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Dari alasan-alasan yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang mukhayar-nya manusia
dalam perbuatannya, dapat diambil pengertian bahwa manusia mmiliki kehendak bebas dalam
menentukan perbuatannya. Kesimpulan ini menjadi mungkin oleh karena Muhammadiyah
sendiri tidak menjelaskan tentang ikhtiar atau juga kasb itu yang sebenarnya. Sedangkan pada
Surat al-Balad: 10, yang artinya: (”dan Kami telah menunjukkan kepada manusia dua jalan.”).
Kelihatan bahwa Allah member kebebasan kepada manusia untuk memilih dan berbuat pada
salah satu dari dua jalan, yaitu jalan kebajikan dan jalan kejahatan. Pada ayat lain yang artinya:
(“Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula
yang inkar.” (Al-Insan: 3)).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka tidak tepat apabila dikatakan bahwa dalam masalah
perbuatan manusia Aqidah Muhammadiyah cenderung kepada paham Asy’aruyah. Dan dengan
demikian, maka Muhammadiyah termasuk ke dalam kutub Jabbariyah. Kesimidakpulan bahwa
Aqidah Muhammadiyah cenderung kepada paham Asy’ariyah dalam masalah perbuatan manusia
ini hanya mungkin apabila tanpa memandang dalil tentang kasb yang dikemukakan oleh
Muhammadiyah, tetapi hanya bersandar pada rumusan umum yang terdapat dalam Himpunan
Putusan Tarjih.
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa tidak adanya penjelasan tentang ikhtiar dan
kasb secara rinci seperti halnya dalam aliran teologi itu. Justru karena konsistenti
20
Muhammadiyah terhadap paham Salaf-nya sehingga enggan memberikan rumusan secara
filosifis. Karena dengan rumusan semacam itu hanya akan menggiring Muhammadiyah kepada
paham teologi tertentu. Dan apabila demikian halnya, maka semangat merujuk kepada ajaran
Islam yang sebenarnya (al-Qur’an dan as-Sunnah) tidak akan mempunyai makna apa-apa.
Sementara, banyak ayat al-Qur’an menunjukkan secara proporsional atas adanya kecenderungan
untuk menimbulkan dua sikap: Jabbariyah atau Qadariyah.
Keempat, percaya kepada Qadha dan Qadar. Kata Qadha adalah bentuk masdar dari kata
kerja Qadha yang berarti ketentuan atau keputusan. Sedangkan Qadar berasal dari kata Qadara
yang berarti ukuran atau juga ketentuan. Jika kedua kata tersebut dilihat maknanya secara
Lughawi kelihatannya antara keduanya tidak terdapat perbedaan secara mendasar. Oleh sebab
itu, dalam memberikan pengertian kedua kata tersebut di kalangan ulama ada yang
membedakannya dan ada pula yang menyamakannya.
Bagi yang membedakan pengertian Qadha dan Qadar itu, pengertian Qadha adalah
penciptaan segala sesuai dengan Ilmu dan Iradah-Nya. Sedangkan Qadar adalah Ilmu Allah
tentang apa-apa yang akan terjadi pada seluruh makhluk-Nya pada masa yang akan datang.
Adapun ulama yang berpendapat bahwa istilah Qadha dan Qadar itu mempunyai pengertian
sama. Qadha dan Qadar adalah segala ketentuan, undang-undang, peraturan dan hukum yang
ditetapkan secara pasti oleh Allah untuk segala yang ada (wujud), yang mengikat antara sebab
dan akibat segala sesuatu yang terjadi.
Baik pengertian Qadha dan Qadar itu dibedakan atau disamakan, kelihatannya tidak
terdapat perbedaan pengertian secara tegas, karena pada intinya semua menggambarkan
kekuasaan Allah terhadap segala makhluk-Nya, apakah itu berupa ilmu, ketentuan, peraturan-
Nya dan lain-lain.
Dalam Aqidah Muhammadiyah, Qadha dan Qadar diyakini sebagai salah satu pokok
Aqidah yang terakhir dari formulasi rukun imannya, dengan mengikuti formulasi yang diberikan
hadits mengenai pengertian Islam, Iman, dan Ihsan. Perumusan keyakinan Muhammadiyah
terhadap Qadha dan Qadar itu, yang artinya:
“Kita wajib percaya bahwa Allah-lah yang telah menciptakan segala sesuatu. Dan Dia telah
menyuruh dan melarang. Dan perintah Allah adalah kepastian yang telah ditentukan. Dan
21
bahwasanya Allah telah menentukan segala sesuatu sebelum Dia menciptakan segala kejadian
dan mengatur segala yang ada dengan pengetahuan, ketentuan, kebijaksanaan, dan kehendak-
Nya. Adapun segala yang dilakukan manusia itu semuanya atas Qadha dan Qadar-Nya.”
Dari rumusan di atas dapat dilihat bahwa pengertian Qadha dan Qadar dalam Aqidah
Muhammadiyah cenderung sama. Artinya Muhammadiyah tidak memberikan perbedaan
pengertian antara keduanya. Meskipun begitu, Muhammadiyah juga tidak memberikan
pengertian Qadha dan Qadar itu secara jelas. Hal itu dapat dilihat dari pemaknaan Qadha dan
Qadar tersebut saling bergantian. Selain itu, bila melihat perumusan dan pemaknaan Qadha dan
Qadar tersebut dapat dikatakan bahwa pengertiannya tidak berbeda dari apa yang dikemukakan
oleh ulama yang tidak membedakan antara keduanya, sebagai mana dijelaskan diatas.
Keyakinan terhadap Qadha dan Qadar dalam Muhammadiyah erat sekali kaitannya
dengan ketentuan, ukuran, serta kepastian segala makhluk yang diciptakan Allah. Termasuk di
dalamnya perbuatan manusia yang dalam rumusan disebutkan, “Adapun segala yang dilakukan
manusia itu semuanya atas Qadha dan Qadar-Nya.” Apalagi dalam perumusan tentang
perbuatan manusia itu secara eksplisit dimasukkan dalam persoalan Qadha dan Qadar. Maka
terdapat kemungkinan bahwa hal itu sekaligus dimaksudkan untuk menjembatani perbuatan
manusia itu sendiri agar sejalan dengan keyakinan Qadha dan Qadar.
Tinjauan sepintas, bila persoalan Qadha dan Qadar dihubungkan dengan perbuatan
manusia, maka walaupun manusia diberi kesempatan ber-ikhtiar, namun ikhtiar itu juga
merupakan ketentuan Allah. Dengan demikian, walaupun manusia ber-ikhtiar, maka yang
berlaku tetaplah kehendak mutlak Allah.
Tetapi bila menelusuri dalil-dalil keyakinan tentang Qadha dan Qadar itu, di antaranya
ada yang menyinggung tentang Sunnatullah, yang tercantum dalam dalil no. 63, Surat al-Ahzab:
38, yang artinya:
“Sama sekali tiada rasa sempit bagi nabi terhadap apa yang ditentukan oleh Allah. Demikianlah
Sunnah Allah (hukum Qadrat-Iradat) terhadap orang-orang yang lampau sebelumnya. Dan
hukum Allah itu ketentuan yang pasti” (Q.S al-Ahzab: 38)
22
Maka menjadi tidak tepat untuk menyimpulkan bahwa dalam masalah Qadha dan Qadar,
Muhammadiyah cenderung secara simetris terhadap salah satu aliran teologi tertentu, terutama
Asy’ariyah yang bercorak Jabariyah.
Walaupun konsep tentang Sunnatullah yang diberi makna sinonim dengan hukum
Qadrat-Iradat Allah, numun juga belum dijelaskan maksud yang sebenarnya, sehingga hal ini
akan menungundang penafsiran yang berbeda, baik di kalangan non-Muhammadiyah. Seperti
K.H Mas Mansyur, kelihatannya ia menghubungkan Qadha dan Qadar dengan Sunnah Allah.
Menurutnya, ketidaktahuan manusia tentang apa yang menjadi ketentuan Allah terhadap dirinya
menjadi besar bagi manusia untuk bersikap sesuai dengan Sunnah Allah. Artinya, jika manusia
taat kepada Allah, maka kebahagiaan yang akan ditemuinya, demikian pula sebaliknya. Ia
mengungkapkan sebagai berikut: “Apa Qadha dan Qadar yang tergenggam ileh Tuhan, tidaklah
kita sebagai makhluk dapat mengetahui. Tidaklah kita tahu akan sifat isinya, melainkan tahu
kita akan kebiasaan dan ketentuannya perjalanan Qadha dan Qadar di dalam sunnah-Nya, yang
berlaku atas makhluk seluruhnnya. Artinya, kita bisa melihat kenyataannya, tetapi tidak mungkin
menduga-duga apa hakikat yang sebenarnya.”.
Senada dengan K.H Mas Mansyur, H.A. Malik Ahmad, walaupun ia memisahkan antara
pengertian Qadha dan Qadar, namun kelihatannya keduanya merupakan rangkaian dari Sunnah
Allah atau balasan yang diterima seseorang dari hasil pekerjaan yang diterimanya. Sedangkan
Qadar adalah merupakan ketetapan, ketentuan-ketentuan, perundang-undangan dan peraturan
(nizam) yang telah dibuat Tuhan untuk seluruh alam ini. Qadha adalah nizam tetap diadakan
Tuhan untuk segala yang wujud, peraturan, undang-undang umum, Sunnah (ketentuan) yang
menghubungkan sebab-musabab. Sehubungan dengan itu, maka Qadar Tuhan bagi manusia
bukan dalam bentuk penetapan perbuatan, melainkan ketentuan-ketentuan dalam perbuatan dan
manusia bebas memilih perbuatannya, untuk kemudian dapat menerima balasan sesuai dengan
hukum sebab akibat. Sedangkan Tuhan memiliki kekuasaan yang dapat membalas sesuai dengan
perbuatan yang dilakukan oleh manusia, baik atau buruk.
Dalam pandangan H.A. Malik Ahmad, kelihatannya kekuasaan mutlak Tuhan adalah
merupakan potensi Tuhan. Sementara dalam pelaksanaannya dibatasi oleh Sunnatullah, yaitu
23
hukum sebab akibat yang diciptakan-Nya. Pandangan ini menampakkan kecenderungannya
kepada Mu’tazilah. Namun karena kekuasaan mutlak Tuhan masih diakui sebagai batas terakhir
dari perbuatan yang dilakukan manusia, maka pendapat ini tidak dapat dikatakan senada dengan
keyakinan Mu’tazilah, walaupun jelas berbeda dari Asy’ariyah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kecenderungan para tokoh
Muhammadiyah untuk mengaitkan masalah Qadha dan Qadar dengan Sunnatullah, agaknya
tidak bertentangan dengan apa yang dirumuskan dalam pokok-pokok Aqidah Muhammadiyah.
Karena perumusan tersebut bersifat umum, sehingga kemungkinan untuk cenderung kepada
paham Sunnatullah tidak dapat dibatasi. Di samping itu, karena adanya rujukan dalil tersebut,
kelihatannya semakin memperkuat adanya paham Sunnatullah. Akan tetapi, paham Sunnatullah
yang berkembang dalam Muhammadiyah tidaklah sebebas sebagaimana yang berkembang di
kalangan Mu’tazilah. Karena baik dari Muhammadiyah sendiri maupun dari kalangan tokoh-
tokohnya tidak menyatakan bahwa Sunnatullah merupakan salah satu pembatas bagi kemutlakan
kehendak Tuhan. Dengan demikian, berarti Muhammadiyah masih tetap berkeyakinan bahwa
sesungguhnya Allah telah membuat ketentuan-ketentuan bagi makhluk-Nya, tetapi tidak ada
halangan bagi Allah untuk membuat ketentuan lain yang hakikatnya tidak diketahui oleh
manusia.
Bila pandangan tentang Sunnatullah ini dikaitkan dengan ikhtiar manusia, kelihatannya
paham tentang Sunnatullah itu dimaksudkan untuk memberikan kedinamisan manusia dalam
berbuat, dengan tanpa dihantui oleh kecemasan. Karena ketentuan yang sudah ada sehingga
manusia tidak terjebak ke dalam paham fatalism atau sikap Jabbariyah. Kecenderungan seperti
ini terlihat dari ungkapan K.H. Mas Mansyur yang menyatakan bahwa ketidaktahuan terhadap
ketentuan dan aturan Allah menjadi dasar atas keharusan untuk berbuat sesuai dengan
Sunnatullah, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Padangan semacam ini juga dikemukakan
oleh Hamka. Menurutnya, manusia memiliki kebebasan dalam lingkungan Qadrat-Iradat Tuhan.
Qadrat-Iradat Tuhan terpecah kepada beberapa jalan yang dinamai Sunnatullah, atau
kadang-kadang dinamai “sebab-akibat”, di mana ketentuan-ketentuan ini tidak semuanya
diketahui oleh manusia, karena hal itu merupakan rahasia Tuhan. Manusia dengan akal yang
diberikan oleh Tuhan dapat berusaha dengan bebas (Ikhtiar) untuk mencapai rahasia-rahasia
Tuhan tersebut (Sunnatullah).
24
Kelima, mengitsbatkan (menetapkan) sifat-sifat Tuhan. Dalam kajian teologis terdapat
dua kelompok aliran yang memiliki pandangan berbeda terhadap sifat-sifat Tuhan, yaitu
kelompok yang menolak adanya sifat-sifat Tuhan dan kelompok yang menganut paham
Sifatiyah. Kelompok pertama dipelopori oleh teologi Mu’tazilah, sementara kelompok kedua
oleh Asy’ariyah.
Seperti pada aspek-aspek teologis lainnya, sebagaimana telah dijelaskan di atas, kedua
kelompok ini masing-masing terus mempertahankan pendapat mereka dengan mengemukakan
argumen-argumen yang bersifat filosofis. Selanjutnya, pandangan terhadap sifat-sifat Tuhan
dengan argumentasi filosofis inilah yang banyak mewarnai Aqidah umat Islam.
Aqidah Muhammadiyah tentang sifat-sifat Tuhan selengkapnya dijelaskan pada urutan
pertama pokok-pokok Iman yang telah dirumuskan sebagai berikut:
“Wajib kita percaya akan Allah Tuhan kita. Dan dialah Tuhan yang sebenarnya, yang
menciptakan segala sesuatu dan Dialah yang pasti adanya. Dialah yang pertama tanpa
permulaan dan yang akhir tanpa penghabisan. Tiada sesuatu yang menyamai-Nya. Yang Esa
tentang Ketuhanan-Nya, Sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. Yang hidup dan pasti ada dan
mengadakan segala yang ada. Yang mendengar dan melihat. Dan Dialah yang berkuasa atas
segala sesuatu. Perihal-Nya apabila menghendaki sesuatu Ia sabdakan “jadilah”! maka jadilah
sesuatu itu. Dan Dia mengetahui segala yang mereka kerjakan. Yang bersabda dan memiliki
segala sifat kesempurnaan. Yang Suci dari sifat mustahil dan segala kekurangan. Dialah yang
menjadikan sesuatu menurut kemauan dan kehendak-Nya. Segala sesuatu ada di tangan-Nya
dan kepada-Nya akan kembali.”
Seperti halnya pada aspek-aspek Aqidah lainnya, pandangan Muhammadiyah mengenai
sifat-sifat Tuhan-pun juga tidak dijelaskan secara mendetail. Bila memperhatikan rumusan
diatas, dapat disimpulkan bahwa Muhammadiyah termasuk golongan Sifatiyah (yang
mengitsbatkan sifat-sifat Allah). Secara substansial perumusan tersebut menggambarkan
kecenderungan pada paham Asy’ariyah, atau boleh jadi dalam hal ini Muhammadiyah
mengambil sistematika sifat-sifat wajib Tuhan yang dirumuskan oleh Asy’ariyah.
Kecenderungan itu dapat dilihat pada rumusan sifat-sifat wajib Tuhan yang berjumlah tiga belas,
25
dimana hal itu juga dapat dilihat dengan jelas pada buku-buku pelajaran Aqidah yang diajarkan
di sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Tetapi dengan memandang substansi dan sistematika itu belum cukup alasan untuk untuk
mengatakan bahwa dalam persoalan sifat-sifat Tuhan, Muhammadiyah berpaham Asy’ariyah.
Hal ini dikarenakan adanya aspek lain yang lebih penting, yang sering menjadi topic perdebatan
di kalangan ahli kalam, yaitu hubungan antara sifat dengan Dzat Tuhan. Dalam hal ini jelas
bahwa Asy’ariyah terlibat perdebatan yang sengit dengan Mu’tazilah untuk menentukan pada
kutub mana ia berpijak. Sementara itu, Muhammadiyah kelihatannya menghindari perdebatan
tersebut. Dengan sikap seperti ini, terlihat bahwa masalah menentukan sifat-sifat Tuhan,
Muhammadiyah tetap konsisten dengan metode kaum Salaf, yaitu cukup mengimani secara bulat
apa yang diberikan oleh nash, tanpa mempersoalkan lebih lanjut. Karena di samping hal ini
bukan bidang akal (rasio), Muhammadiyah juga berkeyakinan bahwa akal tidak mungkin
menjangkau hakikat sifat-sifat Tuhan itu, sebagaimana dirumuskan dalam pokok-pokok
Aqidahnya yang artinya:
“Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak tercapai oleh akal dalam hal
kepercayaan. Sebab akal manusia tidak mungkin mencapai pengertian tentang Dzat Allah dan
hubungannya dengan sifat-sifat Allah yang ada pada-Nya.”
Untuk mengetahui lebih jauh tentang sifat-sifat Tuhan dalam Aqidah Muhammadiyah,
akan lebih lengkap jika melihat pula pendapat-pendapat para tokoh Muhammadiyah seperti K.H.
Mas Mansyur, Hamka, dan H.A. Malik Ahmad. Dalam masalah ini K.H. Mas Mansyur
berpendapat bahwa masalah-masalah Sifat-sifat Tuhan itu tidak perlu diketahui dan dibahas
secara mendalam, sehingga jika seseorang ditanya tentang hakikat sifat dan Dzat Tuhan, maka
jawabannya adalah “tidak tahu”, tetapi dengan cukup tunduk kepada Syari’at. Artinya meyakini
apa yang dibawa dan diberikan oleh nash.
Sejalan dengan itu, Hamka juga berpendapat bahwa sifat-sifat Tuhan tidak perlu
dipermasalahkan dengan panjang lebar. Sikap Hamka dalam hal ini adalah tunduk dan menyerah
serta menerima dengan baik tanpa mencari tafsir tentang sifat-sifat Allah, tidak tasybih
(menyerupakan Tuhan dengan alam), tidak ditakwilkan dan tidak tajsim (member tubuh pada
tuhan).
26
Sedangkan H.A. Malik Ahmad menyatakan bahwa Dzat Allah Maha Sempurna lagi
Maha Mulia, tidak layak diotak-atik dengan pembicaraan yang panjang lebar. Menurutnya,
kewajiban orang Islam dalam mengimani pokok-pokok Aqidah, sedangkan hakikat yang lebih
mendalam hanya Allah yang mengetahui. Selanjutnya, ia membantah bahwa pembahasan yang
ditujukan untuk mencari hubungan antara Dzat dan Sifat Tuhan adalah pembicaraan yang
dipengaruhi oleh pikiran-pikiran di luar Islam. Oleh sebab itu, membicarakannya adalah
perbuatan bid’ah.
Pendapat-pendapat tersebut dari para tokoh Muhammadiyah tersebut nampaknya semakin
memperkuat kecenderungan Aqidah Muhammadiyah, terutama dalam masalah sifat-sifat Tuhan,
kepada Aqidah kaum Salaf, walaupun dalam formulasinya lebih mirip dengan paham
Asy’ariyah. Dengan demikian, akan mendapat kesulitan secara metodologis bila disimpulkan
bahwa dalam masalah sifat-sifat Tuhan, Muhammadiyah berpaham Asy’ariyah. Kesimpulan
yang mendekati kebenaran agaknya, dalam keyakinan tentang sifat-sifat Tuhan, Muhammadiyah
tetap cenderung kepada Aqidah Salaf dengan sedikit “inovasi”, terutama dalam sistematika Sifat-
sifat Tuhan dari paham Asy’ariyah.
2.3 Bidang Akhlaq
Akhlaq merupakan salah satu aspek ajaran Islam yang terpenting pula. Banyak al-Qur’an
maupun al-Hadits yang membicarakan masalah Akhlaq ini, meskipun dalam redaksi yang
berbeda-beda, tetapi dalam konotasi yang sama.
“Sesungguhnya Engkau (Mukammad) benar-benar berakhlaq mulia” (Surat al-Qalam: 4).
“Siapa saja yang berprilaku (berbuat kebaikan) apakah ia laki-laki maupun perempuan,
sedangkan ia seorang yang beriman, maka kami pasti akan memberikan kehidupan yang baik”
(Surat al-Nahl: 97).
“Sesungguhnya aku ini diutus menjadi Rasul untuk memperbaiki budi pekerti (Akhlaq) yang
mulia; pada riwayat lain dengan perkataan; Akhlaq yang shalih” (Hadits al-Hakim dan Baihaqi
dari Abu Hurairah).
“Orang mukmin yang sempurna imannya ialah yang terbaik Akhlaq-nya” (Hadits riwayat al-
Tirmidzi)
27
Secara etimologis, kata Akhlaq adalah bentuk jamak dari kata mufrad; khuluqun, yang
berarti “tabi’at”, budi pekerti, atau juga perangai. Adapun pengertian Akhlaq sebagaimana
dikemukakan oleh al-Ghazali adalah:
“Akhlaq (perangai) adalah kebiasaan jiwa yang tetap yang terdapat dalam diri manusia, yang
menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku manusia dengan mudah dan tidak perlu
berfikir.”
Tingkah laku atau perbuatan yang muncul dari Akhlaq (perangai) itu boleh jadi tingkah
laku yang baik atau juga tingkah laku yang jahat. Tetapi yang dikehendaki oleh ajaran Islam
tentunya tingkah laku yang baik, yang berdasarkan ajaran Islam itu sendiri.
Pada prinsipnya tingkah laku (Akhlaq dalam pengertian luas) seorang Muslim itu
semestinya merupakan pencerminan dari keimanannya atau jiwa tauhidnya. Hal itu karena
“iman” tidak cukup hanya sekedar mengetahui dan membenarkan dalam hati saja. Walaupun
para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan tingkah laku (perbuatan) itu dalam kaitannya
dengan iman, apakah termasuk secara langsung ke dalam bagian Iman atau sebagai bukti Iman.
Yang jelas, mereka tidak ada yang menolak bahwa tingkah laku (perbuatan) mempunyai
hubungan yang erat dengan Iman. Bukti yang jelas untuk hal itu adalah banyaknya ayat al-
Qur’an maupun Hadits Rasul yang dalam menyatakan Iman selalu dibarengi dengan amal shaleh.
Dari sini dapat dikatakan bahwa Iman yang baik (benar) dapat mencerminkan tingkah laku
(Akhlaq) yang baik, sedangkan Iman yang tidak baik (tidak benar) dapat pula dilihat melalui
tingkah lakunya yang menyimpang (Akhlaq Mazmumah).
Mengingat pentingnya Akhlaq dalam kaitannya dalam keimanan seseorang, maka
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, juga dengan tegas
menempatkan Akhlaq sebagai salah satu sendi dasar keyakinan beragamanya. Dalam Matan
Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah dijelaskan: Muhammadiyah bekerja untuk
tegaknya nilai-nilai Akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran al-Qur’an dan
Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia.
Secara eksplisit, dalam pernyataan diatas menunjukkan bahwa Muhammadiyah
menjadikan tegaknya Akhlaq merupakan garis perjuangannya yang kedua setelah Aqidah,
dengan tidak mengesampingkan aspek-aspek lain, seperti Ibadah dan Mu’amalah. Karena
28
bagaimanapun juga keduanya mengandung unsur-unsur perilaku baik dan buruk sebagai standar
diterima amal oleh Allah s.w.t. Jadi pada hakikatnya Akhlaq merupakan tingkah laku (action)
ibadah yang sebaik-baiknya sebagai pencerminan Aqidah yang diyakininya.
Mengenai Muhammadiyah menjadikan Akhlaq sebagai garis perjuangannya, hal ini
selain secara tegas dinyatakan dalam nash, juga tidak dapat dipisahkan dari akar historis yang
melatarbelakangi kelahirannya. Kebodohan, perpecahan di antara sesama orang Islam,
melemahnya jiwa santun terhadap kaum dhu’afa, penghormatan yang berlebih-lebihan terhadap
orang yang dianggap suci dan lain-lain, adalah bentuk-bentuk realisasi tidak tegaknya ajaran
Akhlaq al-Karimah dari ajaran Islam.
Munculnya bentuk-bentuk penyimpangan dari Akhlaq al-Karimah seperti dikehendaki
oleh ajaran Islam yang sebenarnya itu bila dilihat berdasarkan pengertian Akhlaq yang
dikemukakan oleh al-Ghazali, hal itu berkaitan dengan kebiasaan jiwa yang dialami oleh umat
Islam Jawa khususnya, di mana Muhammadiyah lahir. Suatu contoh adalah kebiasaan untuk
berlaku atau berbuat ikut-ikutan dengan kyai tertentu, orang tua, atau nenek moyang, seperti
kegiatan “Selamatan” (Jawa: Slametan) dengan berbagai macam bentuknya, Grebeg dan lain-
lain. Dalam pandangan Islam, perbuatan ikut-ikutan itu disebut taqlid buta yang pada gilirannya
dapat memasuki jenjang sosio-kultural. Kebiasaan semacam ini dianggap sebagai praktek
peninggalan nenek moyang yang terus dipertahankan, yang dianggap tidak hormat terhadap para
leluhur itu bagi orang yang meninggalkannya. Bahkan lebih dari itu, ia akan mendapat celaka
dan bala-bencana jika meninggalkannya, Doktrin semacam ini muncul diluar kesadaran, dan
anehnya tidak ada orang yang mempertanyakan keabsahannya menurut ajaran agama yang
diyakininya (Islam).
Di lain pihak, para tokoh agama (kyai) dengan berbagai motivasinya sengaja
menciptakan sikap kepatuhan dari pada pendukungnya, sehingga muncul rasa hormat yang
berlebih-lebihan kepada sang guru (kyai). Hal ini bukan hanya berlangsung semasa hidupnya
sang tokoh atau guru itu, bahkan setelah wafatnya pun ia tetap dikuduskan dan kuburnya
dikeramatkan. Mereka beramai-ramai mengunjunginya, minta do’a restu dari kekuatan ruh yang
telah meninggal itu.
29
Sikap-sikap semacam ini bukan hanya melibatkan aktivitas lahiriyah saja, akan tetapi
yang lebih berbahaya adalah keterlibatan kebiasaan jiwa yang dengan yakin dan patuh terhadap
perbuatan-perbuatan tersebut, tanpa dibolehkan bertanya atau berkomentar. Dari sinilah
munculnya akhlaq yang tidak sejalan dengan ajaran Islam, terutama dengan karakteristiknya
yang kritis, dinamis, optimis dan lain-lain.
Untuk menghidupkan Akhlaq yang Islami itu, maka Muhammadiyah berusaha
memperbaiki dasar-dasar ajaran yang sudah lama menjadi keyakinan umat Islam, yaitu dengan
menyampaikan ajaran yang benar-benar berdasar pada ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah ash-
Shahihah, membersihkan jiwa dari keyakinan syirik, sehingga kepatuhan dan ketundukan hanya
semata-mata kepada Allah, bukan kepada yang lain-Nya, membina jiwa dinamis dan mandiri.
Usaha tersebut ditempuh melalui pendidikan, sehingga sifat bodoh dan inferioritas
berangsur-angsur habis, membiasakan berkurban, baik harta, fikiran, dan jiwa untuk
mempertahankan keyakinan sehingga timbul pula kecintaan terhadap keyakinan itu. Kemudian
membuna ukhuwah antara sesama Muslim yang disemangati oleh surat Ali Imran ayat 103, yang
artinya:
“’Berpegangteguhlah kamu sekalian dengan tali Allah (Agama Allah) dan jangan berpecah
belah.’ Kemudian memupuk jiwa santun serta kasih sayang terhadap kaum dhu’afa dengan
membiasakan mempertemukan antara teori dan praktik, ilmu dan amal.”
Dalam konteks masa awal munculnya gerakan ini, tema-tema di atas merupakan hal yang
baru, yang telah diwarnai oleh pemahaman baru atas ajaran akhlaq dalam Islam itu sendiri.
Pemahaman baru itu kelihatannya dimaksudkan agar sejalan dengan identitas yang disandang
oleh gerakan ini, yaitu “gerakan modernis.” Selain itu, interpretasi baru ajaran akhlaq dalam
Islam yang dikemukakan oleh Muhammadiyah tersebut bila dilihat secara sosio-historis, juga
merupakan suatu solusi terhadap kondisi kehidupan umat Islam yang secara internal didominasi
oleh kehidupan Sufisme dengan tarekat sebagai lembaganya. Sementara secara eksternal umat
Islam tertindas oleh kaum penjajah.
Strategi yang ditempuh oleh Muhammadiyah dalam menghadapi kedua kondisi itu
terlebih dahulu dengan menghidupkan kembali jiwa umat Islam dengan menegakkan Akhlaq al-
Karimah berdasarkan ajaran yang sebenarnya. Sebab hanya dengan cara demikian tantangan dari
30
luar akan diatasi secara berangsur-angsur. Tidak ada cara lain yang ditempuh oleh
Muhammadiyah untuk menegakkan Akhlaq Islam itu selain harus berhadapan dengan pahan Sufi
dan lembaga tarekatnya yang memandang rendah terhadap kehidupan duniawi. Dengan itu, maka
Muhammadiyah sejak dari awal telah menolak paham ini dan berusaha meluruskannya. Karena
dalam tahap tertentu paham ini telah memiliki andil besar dalam perkembangan Islam di
Nusantara. Bahkan ia diakui sebagai bentuk “pengalaman spiritualis Islam” yang telah tersistem.
Persoalan yang mengganjal bagi Muhammadiyah tentu bukan hanya istilah Tasawuf itu
saja yang tidak ditemukan dalam ajaran dasar Islam, al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan demikian
ia merupakan kata yang muncul kemudian, dan bahkan bukan berasal dari Islam. Bahkan tema-
tema yang terdapat dalam Tasawuf seperti: syathahat, ittihad, wihdatul wujud, dan lain-lain juga
tidak ditemukan dalam ajaran dasar Islam, bahkan dianggap bertentangan. Namun demikian,
beberapa tema Tasawuf seperti: zuhud, qana’ah, ikhlas, dan lain-lain masih tetap diakui dalam
ruang lingkup Akhlaq al-Karimah. Agaknya, dengan itulah maka Hamka memberikan
kesimpulan tentang Tasawuf itu terkesan moderat. Menurutnya, Tasawuf hanyalah suatu ikhtiar
yang setengahnya diizinkan oleh agama, dan setengahnya secara tidak sadar telah tergelincir dari
agama, atau karena terasa enaknya ajaran agama lain dan terikut dengan tanpa diingat. Dalam hal
ini, Hamka kelihatan menerima Tasawuf walaupun hanya dalam batas pengertian seperti yang
dikemukakan al-Junaid, yaitu “Tasawuf ialah keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk
kepada budi perangai yang terpuji.” Lebih tegas lagi, ia mengemukakan dalam bukunya sebagai
berikut: “Buku ini kita namai “Tasawuf”, ialah menuruti maksud Tasawuf yang asli,
sebagaimana kata al-Junaid, yaitu “keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk kepada budi
pekerti yang terpuji,” dengan keterangan “modern.” Kita tegakkan kembali maksud semua dari
Tasawuf, yaitu membersihkan jiwa, mendidik dan mempertinggi derajat budi, menekan segala
kelobaan dan kerakusan, memerangi syahwat yang terlebih dari keperluan untuk kesentosaan
diri.
Akan tetapi keengganan Muhammadiyah untuk menerima Tasawuf sebagai bentuk
spiritualitas Islam atau gambaran Akhlaq al-Karimah yang tersistem itu, tentu tidak hanya
terhenti pada maksud dan tujuan Tasawuf seperti semula. Boleh jadi apabila Tasawuf
sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Junaid dan Hamka itu masih dapat diterima oleh
Muhammadiyah. Namun apabila telah sampai kepada system (manhaj) dari Tasawuf
31
sebagaimana yang terjadi dalam pertumbuhan dan perkembangan sejarahnya, di mana banyak
ditemukan penyelewengan dari dasar-dasar nash, maka Muhammadiyah dengan tegas
menolaknya. Karena dalam pandangan Muhammadiyah, hal semacam ini dinilai sebagai
perbuatan yang mengada-ada. Dan dengan demikian, maka termasuk dalam kategori bid’ah.
Untuk melengkapi pandangan Muhammadiyah mengenai Tasawuf itu, ada baiknya
dikemukakan pandangan dari para tokoh lainnya, seperti Dr. Simuh, yang dikenal sebagai pakar
dalam bidang Tasawuf. Namun ia menolak Tasawuf sebagai bentuk spiritualitas Islam. Karena
Tasawuf lebih menekankan aspek spiritual kasyfi, tidak syar’i. Dalam bahasa awam, Tasawuf
lebih mementingkan hablun min Allah dan menjauhkan diri dari hablun min an-nas. Dari
pandangan ini dapat dilihat bahwa aspek syar’i yang cenderung ditinggalkan oleh Tasawuf dan
sikap isolasi diri dari hubungan sesama manusia menjadi alasan bagi Muhammadiyah untuk
tidak menerima Tasawuf.
Sedangkan H.A. Mukti Ali, ia bersikap moderat terhadap Tasawuf, asalkan spiritualitas
Tasawuf itu merupakan pengalaman langsung dari ikhsan. Tetapi ia mengingatkan, jika
seandainya Tasawuf akan dijadikan referensi yang longgar, hendaknya Muhammadiyah jangan
mengamalkan Tasawuf sebagaimana dikenal oleh kalangan umum. Sebaliknya, Tasawuf dalam
bentuk amalan kongkrit. Selanjutnya Mukti Ali menambahkan bahwa amal usaha
Muhammadiyah sendiri sebenarnya merupakan bukti spiritualitas Muhammadiyah.
Jika dikaji secara historis, sebenarnya Muhammadiyah telah memiliki pola kehidupan
spiritual yang berakar dari para tokoh dan warga Muhammadiyah dalam periode awal. Namun
pengalaman kehidupan spiritual itu dilebur dalam kehidupan kongkrit, tanpa harus
melembagakan dalam tharekat yang eksklusif dari yang lain. Dan pengalaman spiritual itu lebih
mencerminkan Akhlaq, baik bersifat individu maupun kolektif, seperti keshalehan pribadi
sekaligus keshalehan sosial. Itulah ciri khas Tasawuf Muhammadiyah.
Menurut analisis Prof. Farid Ma’ruf yang disampaikan dalam ceramahnya pada acara
peringatan Milad Akademi Tabligh Muhammadiyah (1960), yang selanjutnya dibukukan dengan
judul Analisa Akhlaq dalam Perkembangan Muhammadiyah, dinyatakan bahwa Kyai Dahlan
dan para pemimpin Muhammadiyah ketika itu, seperti K.H. Mas Mansyur, Ki Bagus
Hadikusuma, dan lain-lain, mereka semua berakhlaq bijaksana, perwira, berani, adil, dermawan,
32
ikhlas, tabah, dan tidak putus asa, cinta kepada Allah s.w.t., dan kasih sayang kepada
masyarakat.
Demikianlah pemahaman Muhammadiyah mengenai Akhlaq yang menjadi sendi dasar
kedua dari pahamnya tentang islam, setelah Aqidah, sekaligus menjadi keyakinan yang
diperjuangkan dalam gerakannya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa Muhammadiyah
dalam pahamnya mengenai Akhlaq, organisasi tetap berpegang pada nilai-nilai nash. Sepintas
lalu hal ini kelihatan kaku jika dibandingkan dengan cakupan Akhlaq yang begitu luas, sehingga
Tasawuf-pun termasuk di dalamnya, bahkan kedua istilah ini sering dipersamakan. Dalam hal ini
Muhammadiyah menghindari penggunaan istilah Tasawuf dan tetap menggunakan istilah
Akhlaq. Karena secara syar’i istilah yang terakhir ini banyak dijumpai dalam nash secara
eksplisit. Selain itu istilah Akhlaq tidak mempunyai tendensi makna yang melemahkan.
Sementara istilah Tasawuf selain tidak ditemukan dalam nash, jika dilihat secara historis, ia
memiliki kecenderungan besar terhadap sifat-sifat yang melemahkan.
2.4 Bidang Syari’ah
Dalam pengertian umum, Syari’ah berarti keseluruhan tata kehidupan dalam Islam, yaitu
sejumlah ketentuan hukum dan aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah,
hubungan antara sesama manusia dengan makhluk lain (alam). Sedangkan dalam pengertian
khusus, Syari’ah berkonotasi kepada Fiqh. Yaitu sejumlah ketetapan hukum yang dihasilkan
orang muslim melalui pemahamannya terhadap prinsip-prinsip al-Qur’an dan as-Sunnah.
Syari’ah dalam konotasi Fiqh ini secara teknis ada kalanya berkenaan dengan ketentuan-
ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, yang disebut ibadah, dan ada kalanya
berkenaan dengan hubungan sesama manusia, yang disebut Mu’amalah, atau dalam istilah
Muhammadiyah disebut Mu’amalah duniawi. Sebagai pemahaman Syari’ah yang bersifat global,
Fiqh memiliki beberapa corak, karena ia merupakan hasil ijtihad para Mujtahid yang mempunyai
latar belakang pengetahuan atau ilmu yang berbeda-beda.
Dalam sejarah, dikenal beberapa mazhab dalam Fiqh, di antaranya adalah: mazhab
Maliki, Hanafi, Hanbali, Syafi’I, Ja’fari (di kalangan Syi’ah), dan lain-lain. Pada umumnya
mazhab-mazhab dalam Fiqh seperti yang disebut ini masih memiliki banyak pengikut hingga
sekarang. Kaum Muslimin ada yang menyatakan diri mengikuti mazhab tertentu dan
33
menganggap talfiq bila didapati seseorang mangamalkan suatu perbuatan Ibadah di luar pendapat
yang diyakininya. Namun di antara kaum Muslimin ada juga yang menyatakan tidak bermazhab.
Bagi kelompok terakhir ini, dalam masalah hukum baik yang menyangkut persoalan Ibadah
maupun Mu’amalah, mereka merujuk langsung kepada sumber aslinya, yaitu al-Qur’an dan as-
Sunnah. Salah satu yang termasuk dalam kelompok ini adalah Muhammadiyah.
Untuk mengetahui paham Muhammadiyah tentang Syari’ah dalam konotasi Fiqh ini,
dalam hal ini akan ditelusuri kepahamannya mengenai Ibadah dan Mu’amalah yang mana
keduanya merupakan bahasan pokok dalam Fiqh itu sendiri.
Pertama, Ibadah. Yang dimaksud dengan Ibadah dalam bahasan ini adalah Ibadah dalam
pengertiannya yang khusus, yaitu aturan Ilahi yang mengatur hubungan ritual langsung antara
hamba dengan Tuhannya yang aturan dan tata caranya secara terperinci telah ditentukan dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah. Bahasan ini perlu diarahkan kepada persoalan Ibadah dalam pengertian
yang khusus, karena dalam pengertiannya yang luas secara umum telah disinggung dalam
berbagai tema yang telah diuraikan terdahulu dan akan dijelaskan kembali dalam bahasan
mengenai Mu’amalah dan amal usaha Muhammadiyah dalam uraian berikutnya.
Muhammadiyah dalam rumusan tentang Ibadah juga membaginya menjadi dua, seperti
tercantum dalam Himpunan Putusan Tarjih, yaitu:
“Ibadah ialah ber-taqarub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan jalan mentaati segala
perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan mengamalkan segala apa yang
diizinkan oleh Allah. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus.”
a. Yang umum ialah segala amalan yang diizinkan Allah
b. Yang Khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkah
dan cara-caranya tertentu.
Maksud Ibadah khusus sebagaimana yang diuraikan pengertiannya oleh Muhammadiyah,
kelihatannya menunjuk kepada beberapa jenis Ibadah yang secara eksplisit ditemukan dasar
hukumnya dalam nash mengenai tatacara pelaksanaannya, seperti Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji.
Para ulama dari berbagai Mazhab Fiqh tidak berbeda pendapat atas hukum wajibnya
pelaksanaan Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji itu. Karena secara qath’i persoalan tersebut
34
ditemukan dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah secara jelas. Akan tetapi mengenai masalah-
masalah tertentu yang tidak secara eksplisit ditemukan dalilnya dalam nash, maka para ulama
berijtihad untuk menentukan baik hukum maupum maupun tatacara pelaksanaannya.
Dari masalah yang berifat Ijtihadi inilah perbedaan pendapat antara sesama pengikut
mazhab dengan yang tidak bermazhab menjadi meruncing. Pertentangan pendapat bukan lagi
berkisar pada ada atau tidaknya suatu perkara ibadah itu ditemukan dalam nash, akan tetapi
sudah menginjak kepada metode pemahaman. Misalnya lebih mendahulukan pendapat imam
mazhab dari pada meneliti terlebih dahulu dalil nash. Mengenai tingkat kehujahan suatu dalil,
misalanya mendahulukan ayat dari pada Hadits, atau juga tingkat keshahihan dan kemaqbulan
suatu Hadits dan lain-lain. Sikap Muhammadiyah dalam masalah Ibadah ini, tidak berada dari
pandangannya terhadap dasar -dasar agama secara keseluruhan, yaitu dengan menjadikan al-
Qur’an dan as-Sunnah sebagai rujukan langsung. Pernyataan yang berkenaan dengan hal ini
berbunyi: Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan: a). al-Qur’an: Kitab Allah
yang diwahyukan kepada Muhammad s.a.w. b). Sunnah Rasul: Penjelasan dan pelaksanaan
ajaran-ajaran al-Qur’an yang diterima oleh Nabi Muhammad s.a.w. dengan menggunakan akal-
fikiran sesuai dengan ajaran Islam.
Selanjutnya, dalam Manhaj Tarjih disebutkan sebagai berikut: Di dalam ber-istidlal,
dasar utamanya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shahihah. Ijtihad dan Istinbat atas dasar
illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat dalam nash dapat dilakukan sepanjang tidak
menyangkut bidang ta’abbudi dan memang merupakan hal yang dihajatkan dalam memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majlis Tarjih menerima ijtihad termasuk qiyas
sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nash-nya secara langsung.
Berdasarkan pernyataan diatas, jelaslah bahwa dalam persoalan ibadah Muhammadiyah
mendasarkan secara ketat kepada nash dengan menolak ijtihad dan qiyas. Dan oleh sebab itu, ia
cenderung menolak inovasi atau tambahan baik menyangkut status hukumnya maupun tata
caranya. Persoalan ta’abbudi itu semuanya hanya dipaham berdasarkan bunyi teks nash itu.
Mengenai sikap Muhammadiyah terhadap Fiqh dalam menetapkan hukum, dinyatakan
sebagai berikut: Tidak mengikatkan diri kepada suatu mazhab, tetapi pendapat-pendapat imam-
35
imam mazhab dapat menjadi pertimbangan dalam menetapkan hukum, sepanjang sesuai dengan
jiwa al-Qur’an dan as-Sunnah atau dasar –dasar yang lain yang dipandang kuat.
Kutipan itu menunjukkan bahwa sikap Muhammadiyah terhadap pendapat para imam
mazhab dalam menetapkan hukum-terutama yang ijtihadi-tidak diartikan bahwa Muhammadiyah
menolak pendapat para imam mazhab, tetapi juga sebaliknya bukan berarti Muhammadiyah
hanya memilik-milih pendapat Imam Mazhab yang dianggap cermat. Boleh jadi apa yang
diputuskan oleh Muhammadiyah pada akhirnya berbeda atau di luar dari apa yang telah
diputuskkan oleh para imam mazhab, atau juga boleh jadi sama dengan pendapat mereka, atau
salah satu di antara mereka.
Salah satu pendapat Muhammadiyah yang berbeda dari pendapat para imam mazhab
adalah mengenai jumlah hitungan raka’at Shalat Tarawih. Dalam hal ini Muhammadiyah
berpendapat bahwa jumlah raka’at Shalat Tarawih adalah 8 raka’at, di luar Shalat Witir 3
raka’at. Sedangkan Jumhur Ulama berpendapat bahwa jumlah raka’at Shalat Tarawih lebih dari
8 raka’at. Imam Syafi’i, mayoritas ulama Hanafiah dan Hanabilah serta sebagian ulama
Malikiah berpendapat bahwa jumlah raka’at Shalat Tarawih 20 raka’at, bahkan Imam Malik
berpendapat 36 raka’at, selain witir.
Adapun pendapat Muhammadiyah yang sama dengan pendapat para imam mazhab di
antaranya adalah Qunut Witir. Dalam hal ini Muhammadiyah berpendapat sama dengan
Hanafiah dan Hanabilah, yaitu dengan men-tawaqquf-kan dalil. Tentang Qunut Shubuh,
pendapat Muhammadiyah juga sama dengan Hanafiah, yaitu tidak setuju menjadikan Qunut
sebagai bagian khusus dalam Shalat Shubuh. Tentang at-talaffuz an-niyah, pendapat
Muhammadiyah sama dengan pendapat Malikiah, yaitu dengan tidak me-lafaz-kan niat pada
permulaan melaksanakan Ibadah, dan mengenai at-ta’awwudz, pendapat Muhammadiyah sama
dengan pendapat Syafi’iyah, yaitu dengan membaca at-ta’awwudz di awal membaca surat al-
Fatihah ketika Shalat pada raka’at pertama, dan lain-lain.
Walaupun pendapat Muhammadiyah dalam beberapa masalah memiliki kesamaan
dengan pendapat para imam mahzab, namun tidak dapat dikatakan bahwa Muhammadiyah
mengikuti pendapat imam mahzab itu. Hal itu karena pada setiap keputusan yang diambil oleh
Muhammadiyah selalu disertai secara langsung dalil yang mendasarinya, baik dari al-Qur’an
36
maupun as-Sunnah. Di samping itu, tidak satupun pendapat imam mahzab dicantumkan sebagai
penjelasan maupun dasar rujukan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam masalah Ibadah-dalam arti
khusus-Muhammadiyah bersikap ketat terhadap dalil-dalil yang digunakannya. Namun karena
dalam persoalan Ibadah, terutama cabang-cabangnya, masih terdapat hal-hal yang
diperselisihkan. Sementara masing-masing memiliki dasar yang dipegangi, maka dalam hal ini
Muhammadiyah bersikap terbuka untuk menerima dan menjadikan dasar yang dinilai paling
kuat. Gambaran tentang sikap itu dijelaskan sebagai berikut: Berprinsip terbuka dan toleran, dan
tidak beranggapan bahwa hanya keputusan Majlis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil
atas dasar dalil-dalil yang dipandang paling kuat yang didapatkan ketika keputusan diambil. Dan
koreksi dari siapapun akan diterima sepanjang dapat diberikan dalil-dalil yang lebih kuat.
Dengan demikian, Majlis Tarjih dimungkinkan merubah keputusan yang pernah ditetapkan.
Dari penjelasan di atas terlihat adanya iklim yang kondusif dalam paham
Muhammadiyah. Terutama masalah Ibadah, untuk menerima perubahan walaupun dalam taraf
pencarian dasar-dasar yang lebih kuat dan bukan bersifat inovatif terhadap perintah formal
Ibadah.
Kedua, Mu’amalah. Bagian kedua dari bahasan mengenai Syari’ah dalam konotasi Fiqh
adalah Mu’amalah, yaitu tata hubungan antara manusia dengan sesamanya dalam lalu-lintas
pergaulan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada dasarnya
Mu’amalah merupakan hal-hal yang menyangkut hak-hak makhluk (huquq al-‘ibad). Dan oleh
karena itu, maka ketentuan-ketentuannya tidak terperinci seperti dalam ketentuan-ketentuan
Ibadah, tetapi diberikan diberikan dalam ketentuan-ketentuan yang bersifat umum, yang
menggariskan suatu pola untuk dikembangkan lebih lanjut guna mewujudkan kemaslahatan dan
menegakkan ketertiban dalam pergaulan masyarakat, serta menjamin hak dan kewajiban masing-
masing individu yang berkepentingan secara adil.
Adanya ketentuan-ketentuan yang bersifat umum pada persoalan Mu’amalah ini
memungkinkan adanya perumusan tata cara baru yang dihasilkan oleh manusia untuk
kemaslahatan hidup. Berkenaan dengan ini, para Ahli Fiqh menetapkan kaidah hukum bahwa
asal dari segala sesuatu dalam bidang material dan hubungan antara sesama manusia
37
(Mu’amalah) adalah boleh, kecuali apabila dalil ada dalil yang menunjukkan atas terlarangnya.
Namun demikian, adanya beberapa bentuk Mu’amalah yang mempunyai nilai ta’abbudi seperti
diakui oleh al-Syathibi, mengisyaratkan adanya kemungkinan persoalan Mu’amalah yang
memiliki aturan rinci dari nash. Dengan demikian, maka keharusan ijtihad dalam Mu’amalah
inipun juga memiliki batas-batas tertentu, walaupun tidak seketat dalam masalah Ibadah. Dengan
kata lain, ruang lingkup ijtihad untuk memperoleh hukum atau tata cara dalam ber-mu’amalah
diizinkan oleh Syari’at Islam selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan jiwa Syari’at
Islam itu sendiri. Jiwa dan prinsip hukum Islam dalam Syari’at Islam seperti: “Dar’u al-mafasid
wa jalbu al-munafi’.” bersifat permanen, konstan dan tidak berubah dengan berubahnya
kehidupan manusia. Sedangkan peristiwa hukum, teknis dan cabang-cabangnya akan mengalami
perubahan bersama berkembangnya zaman.
Dengan tetapnya prinsip hukum itu pada satu sisidan kemungkinan berkembangnya
teknis dan cabang-cabangnya pada sisi lain, akan memberikan harapan bagi terbuka-lebarnya
perubahan, modernisasi, dan kemajuan ilmu pengetahuan secara leluasa, namun tetap dalam
control norma hukum yang ketat dan kuat. Agaknya, dari aspek Mu’amalah inilah yang
memberikan kesempatan umat Islam untuk memperoleh kemajuan yang seluas-luasnya.
Pemikiran Muhammadiyah dalam bidang Mu’amalah tidak berbeda dari prinsip-prinsip
yang telah dijelaskan di atas. Istilah Mu’amalah di kalangan Muhammadiyah kadang-kadang
disebut Mu’amalah duniawi. Secara jelas, Muhammadiyah memberikan uraian mengenai hal ini
dalam Himpunan Putusan Tarjih, sebagai berikut:
Yang dimaksud “urusan dunia” dalam sabda Rasulullah s.a.w., “kamu lebih tahu urusan
duniamu” ialah segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi (yaitu perkara-
perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan
manusia).
Pernyataan ini terkesan dikotomis-sekularistik bila dipahami secara parsial dari konteks
yang lain, karena dengan ungkapan “perkara-perkara atau urusan-urusan yang tidak menjadi
tugas diutusnya para Nabi,” akan memunculkan pemahaman yang memisahkan tindakan
manusia terlepas dari konteks Ibadah. Namun kelihatannya paham Muhammadiyah mengenai
Mu’amalah Duniawiyah itu tidak demikian halnya. Ungkapan tersebut tidak lebih dari hanya
38
sekedar untuk menjelaskan dan memahami secara sistematis antara persoalan Mu’amalah yang
bersifat ta’abbudi --memiliki petunjuk rinci dari nash-- dan yang tidak bersifat --hanya ada
petunjuk secara umum, atau bahkan tidak sama sekali petunjuk dari nash-- namun semuanya
adalah persoalan Ibadah dan memiliki aspek Ibadah dalam pengertiannya secara umum.
Sehubungan dengan itu, maka Muhammadiyah menjelaskan hal tersebut dalam Matan
Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKHC)-nya sebagai berikut: Muhammadiyah bekerja untuk
terlaksananya Mu’amalah Duniawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan
berdasarkan ajaran agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah
kepada Allah s.w.t.
39
BAB III
PENUTUP
3. Kesimpulan
Misi utama Muhammadiyah adalah sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar.
Yaitu untuk mengembalikan umat Islam pada ajaran yang sebenarnya (al-Qur’an dan as-Sunnah)
melalui perbaikan cara berfikir, penanaman kesadaran dan rasa bangga terhadap ajaran Islam.
Disertai dengan seperangkat amal usaha sosial yang kelihatan tampil berbeda dari kebiasaan
umat Islam sebelumnya. Visi dari Muhammadiyah: Gerakan pembaruan (tajdid). Di kalangan
para ulama perbedaan pendapat mengenai persoalan ijtihad. Karena adanya perbedaan
pemahaman tentang syari’ah yang menjadi lapangan ijtihad itu sendiri. Ulama yang berpikiran
holistik dan integral berpendapat bahwa ijtihad bukan hanya terbatas pada bidang fiqh saja,
melainkan juga bidang ilmu, bidang Teologi, filsafat dan Tasawuf. Ulama salaf, berpendapat
bahwa syari’ah meliputi unsur keimanan (Aqidah), perbuatan moral (Akhlaq), perbuatan /
tingkah laku (Syari’ah dalam pengertian hukum Fiqh). Dilihat dari kaca mata historis,
perkembangan ijtihad pada waktu itu hanya dimonopoli oleh kalangan Fiqh saja.
Muhammadiyah melakukan langkah pembaruan yang tidak ditemukan pada kurun waktu klasik.
Pemikiran tentang Ijtihad
M. Amin Rais dan A. Mukti Ali menyetujui adanya kontekstualisasi interpretasi dalam
ijtihad, dengan catatan harus tetap bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Namun ia tidak
sependapat dengan adanya upaya untuk menjadikan sebuah hukum yang telah qath’i dalam A-
Qur’an untuk disesuaikan penafsirannya dengan praktik kehidupan modern. Sebagian warga
Muhammadiyah, bahkan ada yang menginginkan agar ijtihad dalam Muhammadiyah dilakukan
secara menyeluruh, seperti yang dilakukan oleh Muhammad Abduh.
Bidang Aqidah
40
1. Nash (al-Qur’an dan as-Sunnah)
2. Keterbatasan peranan akal dalam dalam soal aqidah.
3. Kecendrungan berpandangan ganda terhadap perbuatan manusia.
4. Percaya kepada Qada dan Qadar.Mengitsbatkan.
5. Mengitsbatkan (menetapkan) Sifat-sifat Tuhan.
Bidang Akhlaq
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai Akhlaq mulia dengan berpedoman
kepada ajaran-ajaran al-Qur’an dan sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan
manusia.
Bidang syariah
Syari’ah menenai “ibadah dan muamalah”
- Ibadah: aturan ilahi yang mengatur hub. Ritual langsung antara hamba dengan Tuhannya
yang aturan dan tata caranya ditentukan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
- Mu’amalah: tata hub. Antara manusia dengan sesamanya.
41
DAFTAR PUSTAKA
42