PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AKHLAK (KARAKTER)
PERSPEKTIF TEORI BEHAVIORISME
Fathul Khoiriyah
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Madura E mail: [email protected]
Abstrak: Sekolah sebagai lembaga pendidikan diharapakan dapat
membangun karakter yang luhur dengan menciptakan lingkungan belajar
yang yang baik untuk menyiapkan generasi muda penerus bangsa yang
handal dan berahklah mulia. Namun, maraknya prilaku menyimpang yang
justru banyak terjadi dalam dunia pendidikan dewasa ini semakin
menguatkan asumsi bahwa sekolah sebagai lembaga yang bertugas untuk
membentuk akhlak siswa sudah semakin kehilangan kepercayaan dari
masyrakat. Oleh karenanya perlu dikaji faktor-faktor yang menjadi penyebab
untuk mencari pemecahannya. Tulisan ini mengkaji pembelajaran pendidikan
akhlak (karakter) dalam perspektif teori behavioris sebagai teori dasar dalam
perkembangan ilmu pembelajaran, namun masih memiliki relevansi dengan
model-model pembelajaran, terutama pembelajaran yang bersifat
pembentukan prilaku (behavioral code system).
Kata kunci: teori behaviorisme, pembelajaran akhlak (karakter).
PENDAHULUAN
Akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu [خلق] jamaknya [أخلاق] yang
artinya tingkah laku, perangai tabi’at, watak, moral atau budi pekerti. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, akhlak dapat diartikan budi pekerti, kelakuan.
Jadi, akhlak merupakan sikap yang telah melekat pada diri seseorang yang
diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan. Jika tindakan tersebut baik
menurut pandangan akal dan ajaran agama, maka disebut akhlak yang baik atau
akhlaqul karimah, atau akhlak mahmudah. Akan tetapi, apabila tindakan tersebut
berupa perbuatan-perbuatan yang jelek, maka disebut akhlak tercela atau akhlakul
madzmumah.
Dalam konteks pembalajaran, akhlak atau sering pula disebut dengan
karakter, dimaksudkan untuk memperkokoh integrasi dan kredibilitas pribadi,
memperkokoh kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bersedia
melanjutkan misi utama Rasulullah Saw dalam membawa perdamaian,
menghindari prilaku tercela yang dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat,
berbangsa dan bernegara. Menurut Nucci & Narvaes (2008: 147) istilah karakter
sering dihubungkan dengan istilah etika, ahlak, dan atau nilai yang berkaitan
dengan kekuatan moral dan berkonotasi positif. Secara umum karakter memiliki
makna nilai yang baik dalam diri seseorang dan tercermin dalam perilaku atau
sering diasosiasikan dengan temperamen yang lebih memberi penekanan pada
definisi psikososial.
Berdasar pada pendapat tersebut, Lickona (2012: 25-27) berpendapat
bahwa masalah kepribadian selalu mengacu kepada pembentukan karakteristik
seseorang yang menyebabkan munculnya konsistensi perasaan, pemikiran, dan
prilaku. Oleh karenanya tujuan utama dari pembelajaran karakter adalah untuk
membentuk kepribadian karena karakter merupakan sesuatu yang mengevaluasi
seorang pribadi atau individu serta dapat memberi kesatuan atas kekuatan dalam
mengambil sikap di setiap situasi. pembelajaran karakter juga dapat dijadikan
sebagai strategi untuk mengatasi pengalaman yang selalu berubah sehingga
mampu membentuk identitas yang kokoh dari setiap individu. Karenanya,
pembelajaran karakter bagi individu seharusnya bertujuan untuk mengetahui
berbagai karakter manusia, dapat mengartikan dan menjelaskan berbagai karakter,
menunjukkan contoh prilaku berkarakter dalam kehidupan sehari-hari, dan
memahami sisi baik prilaku berkarakter.
Namun, fenomena yang berkembang sampai saat ini, tampaknya ajaran
mulia akhlak masih belum hadir secara utuh dalam kehidupan masyarakat. Salah
satu faktor penyebabnya adalah kegagalan sistem pendidikan nasional dalam
membentuk mentalitas dan moralitas bangsa. Maraknya tawuran antar pelajar,
mahasiswa, kelompok masyarakat dan kelompok agama merupakan indikator
yang mengarah pada kerusakan dan desintegrasi bangsa. Menurut Woolfolk
(2008:10) kegagalan dalam system pembelajaran terjadi karena pembelajaran
yang dilaksanakan tidak memiliki basis teori yang kokoh dan tidak reflektif dalam
mengaplikasikan kurikulum. SedangkanWingkel (2009:65) berpendapat bahwa
kegagalan dalam pembelajaran bisa terjadi akibat sekolah tidak dapat menjalankan
fungsi sebagai pembuka kemampuan emosional siswa di samping kemampuan
intelektual, di mana kemampuan emosional dapat memberikan bantuan kepada
tiap siswa untuk mencapai kedewasaan dan membantu mempelajari keterampilan
dan sikap yang esensial atau disebut dengan akhlak (karakter).
Pendapat-pendapat tersebut menunjuk pada pentingnya kemampuan
sekolah dalam mendesain dan mengolah pembelajaran yang dapat memudahkan
proses pembelajaran yang berkarakter. Menurut Degeng (2013: 54) strategi selalu
berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang pengorganisasian dan
penyampaian mana yang digunakan dalam proses pembelajaran sehingga
mencapai hasil sesuai cita-cita yang diinginkan, yaitu tercapainya masyarakat
madani yang cerdas dan berkarakter mulia sesuai dengan Pancasila dan UUD
1945.
Untuk mencapai cita-cita tersebut maka perlu adanya kebersamaan
seluruh komponen bangsa untuk ikut memikirkan dan mengembangkan upaya-
upaya yang dapat mempercepat keberhasilan pembelajaran karakter sejak dini. Di
sekolah dasar dapat dilakukan pembangunan lingkungan belajar yang dapat
memberikan kondosi belajar yang memungkinkan siswa memiliki karakter yang
baik dan bermartabat sebagai penerus pembangunan Indonesia di masa yang
akan datang. Asumsi tersebut mengarahkan pemikiran pada pentingnya mengkaji
ulang pendidikan Akhlak yang selama ini dilaksanakan. Tipologi pendidikan
Akhlak merupakan keilmuan yang bersifat deduktif yang menuntun berpikir
aksiomatis apriori dari dalil-dalil yang umum, kemudian menjadi tugas guru untuk
membuat hal yang abstrak tersebut menjadi mudah bagi siswa dan yang paling
penting teraplikasi dengan baik dalam kehidupan sehari-hari. Jika disederhanakan
tujuan pembelajaran Akhlak sebenarnya “bagaimana membentuk manusia
berprilaku baik sesuai ajaran agama sehingga dapat berguna bagi masyarakat.
PEMBAHASAN
Peran Pendidikan dalam Membentuk Akhlak
Secara filosofis, pendidikan bukan sekedar sistem belajar-mengajar untuk
mentransformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga proses penciptaan
gagasan-gagasan, konsep-konsep, nilai-nilai, ide-ide, doktrin-doktrin dan impian-
impian yang mengarahkan dan memberikan pengertian tentang tujuan untuk apa
sistem itu dibentuk. Dalam teori Gagne tahun 1977, belajar merupakan
seperangkat proses yang bersifat internal bagi setiap pribadi yang merupakan hasil
transformasi rangsangan yang berasal dari peristiwa eksternal atau kondisi di
lingkungan pribadi yang bersangkutan (dalam Miarso 2004: 174).
Dewasa ini sekolah semakin kehilangan makna sebagai wahana
pendidikan yang dibutuhkan masyarakat. Berbagai masalah krusial yang meletup
seperti kekerasan, anarkisme, dekadensi moral dan bahkan disintegrasi bangsa
justru banyak terjadi di lembaga sekolah. Hal tersebut menunjukkan bahwa
masalah moralitas sudah sangat mengkhawatirkan, di mana sekolah yang disebut
sebagai produsen pendidikan telah gagal membentuk karakter bangsa yang ideal.
Di pihak lain, persoalan pendidikan karakter sejauh ini hanya menyangkut
pendidikan moral dan dalam aplikasinya hanya membentuk satu sudut kurikulum
yang diringkas ke dalam formula menu siap saji tanpa melihat proses
pembelajaran yang dijalani.
Berkaitan dengan proses pembelajaran, guru harus mampu mendesain
sebuah pembelajaran yang komprehensif. Menurut Woolfolk (2008: 76) dalam
kegiatan belajar mengajar, guru harus mengetahui basis teorinya, reflektif,
bijaksana dan dapat mengaplikasikan dalam praktik pembelajaran secara efektif.
Sedangkan, Semiawan (2000: 33-47) berpendapat bahwa guru selain mengajar
juga berfungsi mendidik untuk membuka kemampuan setiap orang dengan
optimal, memberikan bantuan kepada tiap orang untuk mencapai kedewasaannya
dan menggunakan praktik terbaik untuk membantu siswa memelajari
keterampilan dan sikap yang esensial.
Pendapat di atas didukung oleh temuan Benson (1977: 149) bahwa
kontribusi komunitas bagi perkembangan moral anak sangat penting karena
lingkungan yang kuat akan menjadi arena yang dapat membekali anak-anak
dengan sensetivitas identitas dan kepemilikan. Oleh karena itu dalam bentuknya
yang terbaik, dukungan lingkungan atau komunitas dapat membekali anak-anak
dengan tujuan-tujuan positif dalam kehidupan sehingga memotivasi mereka untuk
bertindak dengan cara-cara yang sangat etis. Sekolah harus bersedia
berkomunikasi dengan orang tua perihal tujuan dan aktivitas sekolah terkait
dengan pengembangan karakter dan bagaimana bantuan dapat diberikan oleh
keluarga dan efektifitas kemitraan antara sekolah dan keluarga dapat meningkat
jika keduanya merekrut bantuan dari komunitas yang lebih luas—kelompok
bisnis, institusi agama, organisasi pemuda, pemerintah dan media—dalam
menunjukkan nilai-nilai inti etika.
Pendapat tersebut menunjuk pada pentingnya kemampuan guru dalam
mendesain dan mengolah pembelajaran yang dapat memudahkan proses belajar
dan mencapai hasil sesuai dengan konsep-konsep dan teori-teori pembelajaran.
Menurut Degeng (1989: 34) strategi pengelolaan pembelajaran merupakan
komponen variabel yang berurusan dengan bagaimana menata interaksi antara si-
belajar dengan variabel-variabel metode lainnya dan strategi selalu berkaitan
dengan pengambilan keputusan tentang pengorganisasian dan penyampaian mana
yang digunakan dalam proses pembelajaran.
Teori Behavioris dalam Pembelajaran Akhlak
Teori pembelajaran adalah goal oriented, artinya teori pembelajaran
dimaksudkan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, variabel yang diamati
dalam teori pembelajaran adalah metode yang optimal untuk mencapai tujuan.
Hasil pembelajaran yang diamati dalam pengembangan teori pembelajaran adalah
hasil pembelajaran yang diinginkan (desired outcomes) yang telah ditetapkan
lebih dulu. Karananya teori pembelajaran berisi seperangkat preskriptif untuk
mengoptimalkan hasil pembelajaran yang diinginkan di bawah kondisi tertentu
(Degeng, 2003: 45).
Berkaitan dengan pendidikan Akhlak, atau yang sering disebut karakter
seharusnya didasarkan pada kometmen dan etika kebajikan. Dengan kata lain
perkembangan dan pembentukan karakter memerlukan keteladanan yang
ditularkan melalui proses pembelajaran, pelatihan, pembiasaan dalam jangka
panjang yang dilakukan secara konsisten dan penguatan serta harus dibarengi
dengan nilai-nilai luhur. Lickona (2012: 80) berpendapat pendidikan karakter
harus selalu berhubungan dengan penggunaan nilai-nilai etis, antara lain:
trustworthiness, recpect, responsibility, fairness, caring, dan citizenship.
Jika dicermati, pendapat-pendapat tersebut lebih mengarahkan
pendidikan karakter pada pendekatan behavioris. Artinya metode-metode yang
digunakan untuk memeroleh hasil pembelajaran yang optimal lebih mengacu pada
teori behavioris. Teori behaviori adalah teori yang memandang individu hanya
dari sisi fenomena jasmaniyah. Menurut Bahruddin dan Nurwahyuni (2015:90)
belajar adalah melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi
kebiasaan yang dikuasai individu dan belajar merupakan perubahan tingkah laku
yang bisa di amati, di ukur dan di nilai secara kongkrit, karena adanya interaksi
antara stimulus dan respon, sedangkann hasil belajar dimaksudkan agar pebelajar
menjadi mampu berfikir dan melakukan sesuatu.
Psikologi behavioris disebut juga psikologi stimulus respon karena
behavioristik melihat adanya hubungan sebab akibat. Hubungan ini adalah
hubungan antara unsur terkecil yang ada di lingkungan (environment) dan unsur
terkecil dari tingkah laku (behavior). Behavioristik melakukan reduksi, di mana
unsur terkecil dari tingkah laku direduksi menjadi respon, dan unsur terkecil dari
lingkungan direduksi menjadi stimulus. Menurut Hergenhahn & Olson, terdapat
empat macam pandangan pendekatan behavioristik, yaitu; (1) contiguity dan
association, (2) clasical conditioning, (3) operant conditioning, dan (4) social
cognition (dalam Sagala, 2009: 42-44).
Untuk mendukung argumentasi bahwa pendidikan karakter, diajukan
beberapa temuan penelitian yang memiliki relevansi dengan teori behavioris
antara lain: Pertama, temuan Ryan (1986) menyatakan bahwa pendekatan
pembelajaran tradisional yang melibatkan nilai-nilai keteladanan, arahan langsung
dan kesempatan untuk memraktekkan nilai-nilai dan penerapan secara bijaksana
penghargaan dan hukuman untuk mendorong prilaku yang sesuai dengan nilai-
nilai dasar, adalah cocok dengan pendekatan arahan langsung pada pembelajaran
karakter. Kedua, hasil penelitian Power (1989) menemukan empat hal: (1)
didasarkan pada model perkembangan yang kuat; (2) ada pedoman khusus tentang
cara model harus berjalan, di mana ruang kelas dan sekolah harus mejadi
komunitas interaktif yang menggunakan praktik-praktik demokrasi pertisipatif
dan pertemuan kelas, (3) menghindari bahasa kepatuhan dan internalisasi dengan
mendukung bahasa penyesuaian dan pembangunan moral; dan (4) model ini
dibuktikan kebenarannya oleh literatur penting yang mendokumentasikan
efektifitas suasana moral untuk memromosikan tanggung jawab dan mengurangi
perilaku menyimpang. Ketiga, temuan Kohn (1992) menunjukkan bahwa iklim
sekolah yang bermoral akan mengurangi persaingan yang tidak sehat tanpa
menghilangkan kompetensi, guru mungkin mengadopsi sikap tidak mentoleransi
perilaku yang menyakiti orang lain, tetapi guru tidak menetapkan aturan tidak ada
toleransi. Aturan bukan untuk meniadakan penilaian. Guru harus bisa
memutuskan kapan perilaku yang dilarang hanya karena kesalahan biasa dan
kapan hal tersebut menjadi pelanggaran yang berbahaya dan disengaja.
Penerapan Pembelajaran Akhlah (karakter) dalam Satuan Pendidikan
Satuan pendidikan sebenarnya sudah mengembangkan dan melaksanakan
nilai-nilai pembentuk karakter melalui program operasional satuan pendidikan
masing-masing. Hal ini merupakan prakondisi pembelajaran karakter pada satuan
pendidikan yang untuk selanjutnya pada saat ini diperkuat dengan 18 nilai hasil
kajian empirik Pusat Kurikulum. Nilai prakondisi (the existing values) yang
dimaksud antara lain takwa, bersih, rapih, nyaman, dan santun. Dalam rangka
lebih memperkuat pelaksanaan pembelajaran karakter telah teridentifikasi 18 nilai
yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional,
yaitu: jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin
tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta
damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab, dan
religius (Puskur, 2009).
Meskipun telah terdapat 18 nilai pembentuk karakter bangsa, namun
satuan pendidikan dapat menentukan prioritas pengembangannya dengan cara
melanjutkan nilai prakondisi yang diperkuat dengan beberapa nilai yang
diprioritaskan dari 18 nilai di atas. Dalam implementasinya jumlah dan jenis
karakter yang dipilih tentu akan dapat berbeda antara satu daerah atau sekolah
yang satu dengan yang lain. Hal itu tergantung pada kepentingan dan kondisi
satuan pendidikan masing-masing. Di antara berbagai nilai yang dikembangkan,
dalam pelaksanaannya dapat dimulai dari nilai yang esensial, sederhana, dan
mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah.
Berdasar kajian teori behaviorisme dalam pembelajaran akhlak, dapat
disimpulkan beberapa hal yang harus dikembangkan, yaitu (1) siswa harus
memelajari muatan moral dari warisan budaya yang dapat dimanipulasi
berdasarkan perubahan yang terjadi di mana siswa dapat belajar memutuskan
secara rasional, (2) domain efektif yang mencakup perasaan, simpati, kepedulian,
dan cinta pada orang lain sebagai jembatan penting bagi tindakan moral, (3)
siswa harus belajar menghormati norma-norma yang ada, membangun rasa
percaya diri dan keberanian dengan menjadi pribadi yang teguh pendirian dan
tidak takut resiko setiap menghadapi situasi baru, dan (4) memiliki otonomi
dalam menghayati dan mengamalkan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai
bagi pribadinya sehingga mampu mengambil keputusan mandiri tanpa
dipengaruhi oleh desakan dari pihak luar.
Beberapa hal yang dapat dilakukan satuan pendidikan dalam
mengaplikasikan teori behaviorisme dalam membentuk akhlak (karakter) siswa,
yaitu:
1. Komunitas Moral di Sekolah
Kontribusi komunitas bagi perkembangan moral anak sangat penting karena
lingkungan yang kuat akan menjadi arena yang dapat membekali anak-anak
dengan sensetivitas identitas dan kepemilikan. Oleh karena itu dalam
bentuknya yang terbaik, dukungan lingkungan atau komunitas dapat
membekali anak-anak dengan tujuan-tujuan positif dalam kehidupan sehingga
memotivasi mereka untuk bertindak dengan cara-cara yang sangat etis.
Sekolah harus bersedia berkomunikasi dengan orang tua perihal tujuan dan
aktivitas sekolah terkait dengan pengembangan karakter dan bagaimana
bantuan dapat diberikan oleh keluarga dan efektifitas kemitraan antara
sekolah dan keluarga dapat meningkat jika keduanya merekrut bantuan dari
komunitas yang lebih luas—kelompok bisnis, institusi agama, organisasi
pemuda, pemerintah dan media—dalam menunjukkan nilai-nilai inti etika.
2. Hidden Curriculum
Kurikulum tersembunyi sangat penting untuk mendapatkan perhatian yang
serius dari pihak sekolah dalam upaya pengembangan moral siswa yang
terwujud dalam lingkungan interpersonal sekolah dan ruang kelas karena
memang tampak sangat sedikit pembelajaran moral yang jelas terjadi di
sekolah tercatat dalam rencana pembelajaran, panduan kurikulum atau tujuan
perilaku, sebaliknya siswa mengembangkan sendiri konsepsi mereka apa
artinya menjadi orang yang baik. Di samping itu, pendekatan pembelajaran
tradisional yang melibatkan nilai-nilai keteladanan, arahan langsung dan
kesempatan untuk memraktekkan nilai-nilai dan penerapan secara bijaksana
penghargaan dan hukuman untuk mendorong prilaku yang sesuai dengan
nilai-nilai dasar, mudah dilakukan oleh sekolah daripada pendekatan yang
rumit dan terlalu berbelit-belit.
3. Kometmen dan Cita-cita Moral
Sekolah harus mendorong para siswa untuk memiliki kometmen pada cita-
cita dan norma-norma moral. Model-model pembelajaran yang mengacu pada
pendekatan teladan moral dan sistem dapat menghasilkan teladan moral yang
mendukung jenis kometmen prososial yang ditujunjukkan oleh teladan yang
peduli terhadap kepentingan bersama sebagai tujuan. Sekolah harus
memikirkan bagaimana siswa bisa menyelaraskan tujuan pribadi dengan
tujuan-tujuan moral; atau mengidentifikasi diri dengan tujuan-tujuan ideal.
Bagaimana anak-anak terserap oleh jaringan sosial yang memiliki tujuan
moral. Oleh karena itu introgasi orang tua juga bisa mencakup acuan pada
norma, standar dan nilai-nilai moral diri yang ideal yang menjadi bagian dari
narasi otobiografi anak. Dengan cara ini, orang tua membantu anak-anak
mengenali jenis pengalaman mereka yang mempunyai relevansi moral dan
mendorong terbentuknya skema kognitif sosial yang dapat diakses secara
berkesinambungan.
4. Iklim Sekolah yang Bermoral
Iklim sekolah yang bermoral akan mengurangi persaingan yang tidak sehat
tanpa menghilangkan semua kompetisi. Beberapa kreteria kompetisi yang
sehat, yaitu: kegiatan-kegitan harus tetap menyenangkan, membantu untuk
meningkatkan kinerja yang semakin lama semakin baik, dan harus
memungkinkan merasa senang dengan keberhasilan orang lain. Terdapat
beberapa model pembelajaran moral yang dapat dikembangkan dewasa ini,
yaitu: keteladanan, dialog, praktik, dan konfirmasi. Dari keempat model
tersebut ditemukan tiga model pembelajaran karakter yang diterapkan di
tempat penelitian, yaitu, keteladanan, praktik dan konfirmasi, meskipun
model-model tersebut dijalankan di luar perencanaan yang matang dan tidak
terstruktur dengan baik.Pembelajaran moral dari perspektif teori kepedulian
dan berkonsentrasi pada pembangunan iklim moral bagi pendididikan.
Pembelajaran moral adalah pembelajaran yang secara moral dapat dibenarkan
dalam struktur sosial, isi kurikulum, pedagogi dan interaksi manusia yang
disetujui. Ini memberikan iklim pembelajaran di mana ia diinginkan dan
dimungkinkan menjadi baik. Dalam struktur seperti itu, sekolah harus
menyediakan pembelajaran yang dirancang untuk menghasilkan siswa yang
bermoral melalui keteladan, praktik dan konfirmasi.
Implementasi Teori Behaviorisme dalam Pembelajaran Akhlak
Secara teoretik, pembelajaran Akhlak memiliki tipe model belajar sistem
perilaku (behavioral model of teaching), yaitu dibangun atas dasar kerangka
teori perubahan perilaku, melalui teori ini siswa dibimbing untuk dapat
memecahkan masalah belajar melalui penguraian perilaku ke dalam jumlah yang
kecil dan berurutan.
Pengertian dari modifikasi tingkah laku adalah apa yang orang lakukan.
Perilaku di sini dimaksudkan dalam arti luas, termasuk perilaku terbuka yang
mudah diamati, perilaku rahasia seperti pikiran yang umumnya disimpulkan dari
apa yang orang memberitahu, berbagai emosi, dan aktivitas halus dari sistem
saraf. Dalam semua kasus kita mendefinisikan perilaku seobjektif mungkin dalam
batas-batas kepraktisan situasi dan batas-batas teknologi.
Modifikasi perilaku atau disebut behavioris secara umum dapat
didefinisikan sebagai segala tindakan yang bertujuan mengubah perilaku. Definisi
yang tepat dari modifikasi perilaku adalah usaha untuk menerapkan prinsip-
prinsip proses belajar maupun prinsip-prinsip psikologis hasil eksperimen lain
pada perilaku manusia. Teori perilaku sering disebut stimulus-respon (S-R)
psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau
reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dalam tingkah laku
belajar terdapat jalinan erat antar reaksi-reaksi behavioral dengan stimulusnya.
Pendekatan pengubahan tingkah laku didasarkan pada teori prinsip
psikologi behavioral. Pada dasarnya bahwa semua tingkah laku itu dipelajari, baik
tingkah laku yang di sukai maupun tingkah laku yang tidak disukai. Seorang
melakukan tindakan menyimpang tersebut karena satu atau dua alasan, yaitu telah
mempelajari tingkah laku yang menyimpang itu, atau belum mempelajari tingkah
laku yang sebaiknya.
Joyce & Weil (2003), membagi unsur dalam pembelajaran menjadi lima,
yaitu: (1) syntax, langkah-langkah operasional pembelajaran, (2) social system,
adalah suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of
reaction, menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang,
memperlakukan, dan merespon siswa, (3) support system, segala sarana, bahan,
alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan (4) instructional
dan nurturant effects, hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan
(instructional effects) dan hasil belajar di luar yang ditetapkan (nurturant effects)
(dalam Fawaid, dkk. 2009:142)
Berdasarkan kajian teori behaviorisme dan pembelajaran Akhlak, maka
tahapan pembelajaran dapat disusun sebagai berikut:
Tahap 1: Mengondisikan pebelajar dalam sebuah lingkungan yang memungkinkan
penanaman ajaran moral. Sekolah menyiapkan lingkungan belajar yang sesuai
dengan rancangan rencana pembelajaran dan tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai dengan menggunakan kearifan lokal sebagai basis pembelajarannya.
Misal, mengajarkan pebelajar untuk dapat berperilaku santun dalam bertegur sapa,
maka sekolah akan mewajibkan para pebelajar untuk melakukan jabat tangan dan
menyapa sesuai tuntunan agama kepada guru dan sesama teman setiap masuk
sekolah dan pulang sekolah.
Tahap 2: Membuat program-program yang memungkinkan siswa untuk belajar
mengimplementasikan pembelajaran konsep menjadi praktik. Dapat dirancang
kegiatan pra pembelajar yang isinya mengacu pada pembelajaran, sejenis pilot
project yang akan dilaksanakan selama priode tertentu, di mana evalusi bisa
dilaksanakan setiap waktu dan pada akhir masa kegiatan.
Tahap 3: Melaksanakan pembelajaran dalam bentuk penanaman konsep. Pada
masa kegiatan dapat dilaksanakan di dalam kelas. guru harus dapat
mengintegrasikan pembelajaran yang dilakukan pada masa pra pembelajaran
sesuai dengan tema pembelajaran yang sudah diputuskan.
Tahap 4: Melakukan pemodelan pada saat pembelajaran. Pada tahap ini pebelajar
diarahkan untuk dapat mengaplikasikan konsep-konsep abstrak menjadi kongkrit
sehingga perilaku mereka dianggap dapat mewakili objek yang dimaksud.
Tahap 5: Evaluasi. Pada tahap evaluasi dilakukan selama proses pembelajaran
dengan penilaian autentik di mana guru harus memonitor secara intensif semua
perilaku pebelajar selama pembelajaran berlangsung. Hal ini untuk memastikan
bahwa perkembangan perilaku pebelajar dapat diukur dalam bentuk penilaian
kongkrit.
Langkah-Langkah Pembelajaran Model Behavior dalam Pembelajaran Akhlak
Langkah-langkah Pembelajaran Model Behavior
Bagian awal Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
Menyampaikan tujuan
pembelajaran
Guru menyampaiakan tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai.
Siswa memperhatikan dengan
seksama penjelasan guru.
Mempersiapkan peserta
didik untuk belajar
Guru membagi siswa menjadi
beberapa kelompok.
Siswa mengatur tempat duduk
berpasangan sesuai kelompok.
Bagian Inti
Mendemonstrasikan
pengetahuan atau
keterampilan.
Guru memberikan contoh dengan
mendemontarsikan pengetahuan
dan keterampilan yang harus
dikuasai siswa (tentang prilaku
akhlak yang baik).
Siswa menirukan prilaku yang
dicontohkan oleh guru secara
kelompok dan secara
perorangan (tentang prilaku
akhlak yang baik).
Memberikan latihan
terbimbing.
Guru memberikan pelatihan-
pelatihan secara terbimbing secara
kelompok maupun individu
(tentang prilaku akhlak yang baik).
Siswa melakukan hal-hal yang
dilatihkan oleh guru untuk
memperbaiki sikap dan
prialaku sesuai bimbingan
guru (tentang prilaku akhlak
yang baik).
Bagian akhir (evaluasi)
Mengecek pemahaman
dan memberikan umpan
balik.
Guru melakukan penilaian pada
masing-masing kelompok atau
individu dalam melakukan sikap
yang dipelajari.
Guru memberikan penguatan
(umpan balik) kepada siswa yang
dapat melakukan unjuk kerja
dengan baik.
Siswa melakukan unjuk kerja
secara kelompok atau individu
prilaku akhlak yang baik
sesuai petunjuk guru.
Siswa menerima umpak balik
yang dilakukan oleh guru dan
memperbaiki hal yang masih
kurang.
Memberikan penjelasan
atau penanaman konsep.
Guru memberikan penjelasan
tentang konsep prilaku akhlak baik
yang dipelajari
Guru memberikan kesempatan
untuk tanya jawab.
Siswa memperhatikan dan
mencatat penjelasan guru
Siswa bertanya hal-hal yang
dianggap belum dipahami
tentang konsep akhlak yang
dipelajari.
KESIMPULAN
Pembelajaran Akhlak (karakter) memiliki relevansi yang kuat dengan teori
belajar behavior karena akhlak anak dapat terbentuk melalui kebiasaan-kebiasaan
yang secara konsiten dilakukan, pengondisian lingkungan, dan iklim sekolah yang
mendukung, namun harus diperhatikan tentang kapan harus memutuskan bahwa
prilaku anak yang menyimpang dapat ditolerasi dan kapan sudah dianggap
berbahaya. Sekolah dapat membangun lingkungan pembelajaran untuk
membentuk akhlak (karakter) siswa dalam perspektif teori pembelajaran
behavorisme dalam beberapa pola, antara lain: (1) membangun komunitas moral
di sekolah, (2) memerhatikan Hidden Curriculum, (3) menanamkan kometmen
dan cita-cita moral, dan (4) mendesain iklim sekolah yang bermoral
Sedangkan langkah-langkah yang dilakukan dalam menerapkan
pembelajaran model behavior dalam pembelajaran akhlak, yaitu:
1. Bagian Awal
a. Menyampaikan tujuan pembelajaran
b. Menyiapkan perserta didik untuk belajar
2. Bagian Inti
a. Mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan
b. Memberikan latihan terbimbing.
3. Bagian akhir (evaluasi)
a. Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik.
b. Memberikan penjelasan atau penanaman konsep.
SARAN
Mencermati implementasi pembelajaran Akhlak (karakter) yang semakin
rumit, maka berdasarkan kajian teori behavioris dapat disarankan beberapa hal
sebagaai berikut:
1. Meneliti ulang pengtingnya pelajaran Akhlak (karakter) sebagai major subjek
dalam kurikulum.
2. Pendidikan Akhlak (karakter) harus mendapatkan porsi yang cukup, karena
akhlak adalah pondasi dari terciptanya civil society yang madani.
3. Secara teoeretik, anak-anak cenderung tidak terlalu memerhatikan apapun
yang diucapkan oleh guru dan orang tua, namun mereka tidak pernah gagal
meniru apa yang dilakukan orang lain). Oleh karena itu suri tauladan yang
baik adalah metode yang sangat relevan (behavioral code system). Suri
tauladan relevan dengan teori behaviorisme, yaitu dengan pemberian contoh
dan perbaikan-perbaikan langsung dalam pembelajaran (Stimulus dan
Respon/ Operant Conditioning)
DAFTAR PUSTAKA
Benson, L. P. 1977. All Kids are Our Kids: What communities must do to raise
caring and responsible children and adolescent. San Fransisco: Jossey-
Bass.
Degeng, Nyoman N. 2013. Ilmu Pembelajaran Klasifikasi Variabel untuk
Pengembangan Teori dan Penelitian. Bandung: Kalam Hidup.
Fawaid, Achmad et.al. 2009. Model-Model Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Kajian Puskur Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa. 2009.
Kohn, A. 1992. No Contest: The Case Againt Competititon. Boston: Houngton
Mifflin.
Lichona, Thomas. 2012. Pendidikan Karakter. terj. Daut Pasaribu. Bantul: Kreasi
Wacana Offset.
Nucci, L. & Narvaez, D. 2008. Handbook of Moral and Character Education.
NewYork: Routladge.
Nurwahyuni, Esa & Bahrudin. 2015. Teori Belajar & Pembelajaran. YokyaKarta:
AR-Ruzz Media.
Power, F.C. Higgins, A., & Kohlberg, L. 1989. Lawrence Kohlberg’s Approch to
Moral Education. New York: Colombia University Press.
Ryan, K. 1986. In Defense of Character Education. Dalam L. Nucci (Ed.) Moral
Development and Character Education: A Dialogue (hlm. 2-17).
Berkeley, CA.: Mccutchan.
Sagala, Saiful. 2009. Konsep dan Makna pembelajaran. Bandung: AlfaBeta cv.
Semiawan, Comy.2000. Relevansi Kurikulum Pendidikan Masa Depan. Dalam
Sindunata (Ed). Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita Mencari
Kurikulum Pendidikan Abat XXI. Yogyakarta: Kanisius.
Winkel, W.S. 2009. Psikologi Pengajaran. Jogjakarta: Media Abadi.
Woolfolk, Anita. 2008. Educational Psychology Active Learning Edition. terj.
Helly Prajitno Soetjipto & Srimulyani Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Yusuf, H. Miarso. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Prenada
Media.