iii
HENNI MARLINAH
PEMIKIRAN ISLAM RASIONAL
DAN TRADISIONAL DI INDONESIA (Study Pemikiran Harun Nasution dan M. Rasyidi)
Pustakapedia
2018
iv
PEMIKIRAN ISLAM RASIONAL DAN TRADISIONAL DI INDONESIA
(Study Pemikiran Harun Nasution dan M. Rasyidi)
Henni Marlinah
©2018, Henni Marlinah
Hak cipta dilindungi undang-undang
Tata Letak : Tim Pustakapedia
Layout Cover :Fadhilla
ISBN 978-602-6719-58-4
Cetakan ke-I, Maret 2018
Diterbitkan oleh:
Pustakapedia
(CV Pustakapedia Indonesia)
Jl. Kertamukti No.80 Pisangan
Ciputat Timur, Tangerang Selatan 15419
Email: [email protected]
Website: http://pustakapedia.com
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan
dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari Penulis
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan Rahmat, Taufik,
dan Hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga penulis telah dapat
menyelesaikan penyusunan Buku yang berjudul: Pemikiran Islam
Tradisional dan Modern di Indonesia (Study Komparatif Pemikiran
Harun Nasution dan Rasyidi dalam Perspektif Teologis), Buku ini ditulis
sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Program Studi Magister
Agama di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Alhamdulillah buku ini dapat diselesaikan dengan segala keterbatasan dan
kemampuan, penulis sangat menyadari banyak pihak yang telah turut serta
membantu baik secara moril, materil dan doa. Sebab, tanpa bantuan dan
bimbingan serta dorongan dari semua pihak penulis tidak dapat
menyelesaikan buku ini tepat pada waktunya. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada berbagai pihak.
Ucapan terima kasih penulis sampaikai kepada Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Dekan Fakultas Ushuluddin beserta semua
jajarannya. Terima kasih juga kepada seluruh Dosen Pasca Sarjana Fakultas
Ushuluddin, khususnya Dosen Filsafat Islam yang telah memberikan bekal
ilmu kepada penulis.
Ucapan terima kasih yang sangat besar kepada Prof. Dr. Zainun
Kamal Faqih, MA. yang telah memberikan bimbingan kepada penulis daam
menyelesaikan tesis ini dan telah meluangkan waktu ditengah kesibukannya.
Ucapan terima kasih yang terdalam penulis sampaikan kepada Ibu
saya Lili Herawati dan Bapak saya M. Rusyd yang telah membantu saya
iv
banyak hal baik materi maupun sprituil, serta terimakasih saya kepada suami
dan anak-anak saya tercinta yang telah berkorban dan menjadi motivasi bagi
penulis, serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang telah banyak membantu baik berupa bantuan moril maupun materiil
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini.
Sebagai manusia biasa penulis menyadari masih banyak keterbatasan
dan kekurangan dalam penyampaian atau penjabaran materi dalam buku ini.
Untuk itu penulis sangat membutuhkan masukan, saran dan kritik yang
bersifat membangun untuk menambah kesempurnaan buku ini, walaupun
demikian penulis mempunyai harapan agar buku ini dapat berguna bagi
semua pihak yang memerlukannya.
Jakarta, 28 Februari 2018
Penulis
HENNI MARLINAH
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................i
KATA PENGANTAR................................................................................. iii
DAFTAR ISI.................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN..................................................................1
A. Latar Belakang................................................................1
B. Permasalahan Penelitian................................................7
C. Signifikansi Penelitian....................................................9
D. Penelitian Terdahulu......................................................9
E. Metodologi Penelitian...................................................14
F. Sistematika Penulisan...................................................16
BAB II TEORI-TEORI TEOLOGI DALAM WACANA
RASIONAL DAN TRADISONAL.............................................................19
A. Pengertian Teologi........................................................19
B. Teologi dalam Rasionalitas dan Tradisional..............21
1. Teologi Rasional.......................................................21
2. Teologi Tradisional..................................................26
C. Teori Teologi Mu’tazilah.............................................30
vi
1. Sejarah Teologi Mu’tazilah...................................30
2. Teologi Mu’tazilah.................................................34
D. Teori Teologi Asy’ariyah ............................................ 37
1. Sejarah Teologi Asy’ariyah..................................37
2. Teologi Asy’ariyah.................................................39
BAB III PEMIKIRAN HARUN NASUTION DAN M. RASYIDI
A. Pemikiran Harun Nasution .........................................53
1. Biografi Harun Nasution................................................ 53
2. Teologi Harun Nasution.................................................. 58
a. Akal dan Wahyu........................................................ 66
b. Kebebasan Manusia..................................................75
c. Kekuasaan Mutlak Tuhan........................................ 80
3. Pengaruh dan Gagasan Harun Nasution dalam
Pemikiran Islam di Indonesia.........................................82
B. Pemikiran M. Rasyidi........................................................86
1. Biografi M. Rasyidi.......................................................86
2. Teologi M. Rasyidi.........................................................89
a. Akal dan Wahyu.......................................................91
b. Kebebasan Manusia..................................................93
c. Kekuasaan Mutlak Tuhan.......................................96
vii
3. Pengaruh dan Gagasan M. Rasyidi dalam
Pemikiran Islam di Indonesia...............................98
BAB IV CORAK PEMIKIRAN HARUN NASUTION DAN
M. RASYDI DALAM PEMIKIRAN ISLAM RASIONAL
DAN TRADISIONAL DI INDONESIA..........................109
A. Teologi..........................................................................109
B. Metodologi...................................................................114
C. Epistemologi.................................................................123
BAB V PENUTUP...........................................................................131
A. Kesimpulan..................................................................131
B. Saran.............................................................................132
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................135
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sangatlah penting memahami kerangka umum Islam bagi kehidupan
sehingga kita dapat memahami pemikiran dan metodologi Islam serta ruang
geraknya dan juga memahami hubungan-hubungan, konsep-konsep dan
landasan-landasan pokok yang mengatur dan memberi ciri pemikiran,
metodologi dan struktur kehidupan islam.1
Gagasan untuk mengkaji Islam sebagai nilai alternatif baik dalam
perspektif interpretasi tekstual maupun kajian kontekstual mengenai
kemampuan Islam memberikan solusi baru kepada temuan-temuan disemua
dimensi kehidupan akhir-akhir ini semakin merebak luas. Penguasaan lebih
mendalam mengenai wawasan pemikiran secara filosofis, terutama
penjelajahan intelaktual terhadap gagasan-gagasan berpikir Barat yang
seakan tak terbendung lagi datangnya bagi kaum muslimin sudah dimulai
sejak abad ke-19, dan dipenghujung abad ke-20 serta memasuki abad ke-21,
pemikir-pemikir muslim sedang bergelut kuat untuk menemukan jati diri
pemikirannya agar bisa memanfaatkan ide-ide yang yang merayap tak
terhingga sebagai akibat modernisasi berpikir radikal yang diterapkan Barat.2
Islam adalah pandangan dunia yang berorientasi kemasa depan. Suatu
sistem pemikiran dan tindakan yang mengandung keabsahan abadi pasti
memiliki pula komponen-komponen yang dirancang untuk menghadapi
1
Abdul Hamid Abu Sulayman, Azmah Al-Aql Al Muslim, Terj oleh Rifyal Ka‟bah,
(Jakarta: Media Da‟wah, 1994), hlm 161.
2Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 235.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
2
tantangan dimasa yang akan datang. Suatu ideologi universal yang terus
menerus berupaya untuk mewujudkan sepenuhnya ajaran-ajarn dasarnya
harus memusatkan perhatiannya pada pembentukan masa depan. Suatu
peradaban dengan sejarah yang gemilang harus memandang ke masa depan
untuk meraih kembali kejayaan-kejayaan masa silamnya. Karenanya, sebagai
sebuah agama, ideologi, dan peradaban, Islam memberikan suatu pandangan
dunia yang terutama ditujukan untuk pembangunan masa depan baik di dunia
maupun diakhirat nanti.3
Seiring dengan maraknya industri penerbitan buku di Tanah Air,
perkembangan pemikiran Islam bergejolak tanpa henti dan dan menimbulkan
gelombang kontroversi yang tak habis-habisnya. Keadaan semacam ini tentu
tak mungkin terjadi jika tak ada kombinasi tiga faktor sekaligus: munculnya
kelas terdidik Islam dengan derajat keterdedahan yang tinggi pada ragam
informasi yang berjenis-jenis, tumbuhnya industri penerbitan yang
bersemangat, dan lingkungan diskursif yang makin terlembaga untuk
memperdebatkan pelbagai ragam penafsiran yang muncul.4 Diantara
perkembangan pemikiran Islam yang marak dibahas adalan tentang ilmu kala
atau teologi, Ilmu kalam atau teologi dari masa ke masa mengalami
perkembangan yang cukup pesat, banyak tokoh-tokoh pemikir ilmu kalam
bermunculan. Dan memiliki argumentasi yang berbeda-beda, sehingga
persoalan-persoalan yang mengenai ilmu kalam atau teologi itu sendiri
semakin serius untuk dibahas. Karena dari permasalahan tersebut akan
memicu timbulnya pemikiran-pemikiran yang baru dan tanggapan dari
3Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape ofIdeas to Came, terj oleh Rahmani
Astuti, (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 1
4Luthfi Assyaukanie, Wajah Liberal Islam di Indonesia, (Jakarta: Akbar Media,
2002), hlm. 76.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
3
berbagai tokoh-tokoh ilmu kalam itu sendiri. Diantara para tokoh tersebut
yaitu: Harun Nasution dan M. Rasyidi.
Pemikiran Islam Harun dilatar-belakangi oleh suatu keprihatinan atas
realitas umat Islam pada waktu itu yang secara kuantitas menduduki posisi
mayoritas, akan tetapi secara kualitas pada aspek kontribusi dalam
pembangunan nasional bersifat minoritas. Realitas tersebutlah yang
kemudian mendorong para pembaharu (termasuk Harun) untuk menelusuri
akar penyebabnya secara mendasar. Tidak berhenti di situ, akan tetapi juga
menawarkan solusinya.
Berkaitan dengan hal ini, Harun Nasution menilai bahwa faktor
yang melatar belakangi realitas tersebut, yakni adanya korelasi antara sikap
umat Islam dengan paham teologi yang dipilih dan dihayatinya. Dengan
kata lain, sikap atau perilaku tersebut merupakan refleksi dari pemikiran
teologisnya. Maka dari itu, konsep teologi rasional sebuah solusi yang
ditawarkan oleh Harun diharapkan dapat menumbuhkan sikap dinamis,
sebaliknya teologi yang bersifat tradisional hanya akan menumbuhkan
sikap dan perilaku yang cenderung fatalistis dan statis.5
Pemikiran rasional Harun Nasution telah memberikan pengaruh
besar dalam khazanah pemikiran Islam di Indonesia. Harun dengan
kemampuan intelektualnya berusaha agar teologi yang sebelumnya
dianggap sebagai ilmu langit dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sosial.
Dalam hal ini, Harun memandang bahwa teologi rasional sesuai untuk
diaplikasikan pada konteks masyarakat modern karena memiliki konsekuensi
erat dengan perbuatan manusia dalam hidup keseharian yang mencakup
5Nurhadi, “Harun Nasution : Islam Rasional dalam Gagasan dan Pemikiran” 45.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
4
berbagai aspek, seperti halnya aspek pendidikan, politik, budaya, dan sosial
kemasyarakatan.6
Pada masanya, Harun mengalami banyak tantangan karena
banyaknya counter penolakan dari berbagai kelompok Islam di segenap
tanah air. Namun ketika itu Harun tidak sendirian. Pada kurun waktu yang
sama juga bermunculan gagasan-gagasan liberal dari para pemikir muslim
lain. Dalam hal ini, Deliar Noer mencatat tejradi perbedaan metodologi
antara Harun dengan sarjana dan pemikir lainnya yang terlibat pada masa
pergerakan. Mereka pada umumnya lebih ideologis sedangkan Harun lebih
terbuka.
Salah satu metode pembaharuan Harun dalam sistem pendidikan di
kampus yang dapat dilihat, yakni merubah cara mengajar mahasiswa. Bila
yang lain pada masanya masih menggunakan metode ceramah, Harun
mengganti dengan presentasi. Mahasiswa juga diperintahkan untuk menulis
makalah untuk melatih berfikir sistematis. Di samping itu, mahasiswa juga
diberi kebebasan berfikir sekaligus kesempatan untuk menganalisa
problematika yang dibahas. Soal interaksi antar umat beragama juga tak
lepas dari pengamatan Harun. Ia dikenal juga sebagai tokoh yang berpikiran
terbuka. Ketika ramai dibicarakan tentang dialog antar agama pada tahun
1975, Harun mengusulkan pembentukan wadah musyawarah antar agama,
yang bertujuan untuk menghilangkan rasa saling curiga.
6Muhammad Arifin, “Relevansi dan Aktualisasi Teologi dalam Kehidupan Sosial
Menurut Harun Nasution” Substantia, Vol. 16, No. 1(2014) h. 101. Selain Harun Nasution
yang dikenal dengan “Islam Rasional”-nya. Nurcholish Madjid (Cak Nur) juga dikenal
dengan ide “Sekularisasi”-nya yang kemudian kedua tokoh tersebut dikenal sebagai
penggerak „pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia pada era tahun 1970-an. Baca
Khoirul Huda “Fenomena Pergeseran Konflik Pemikiran Islam dari Tradisionalis Vs
Modernis ke Fndamentalis Vs Liberalis”, Islamica, Vol.3, No.2 (2009), h. 32.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
5
Selanjutnya, Harun merupakan intelektual muslim Indonesia yang
banyak memperhatikan masalah pembaharuan dalam Islam dalam arti
yang seluas-luasnya, terutama pada bidang teologi, filsafat dan tasawuf
serta berbagai masalah kehidupan muslim lainnya. Seluruh ilmu dan
pengalamannya berusaha ia tuangkan dalam aplikasi melalui bidang
akademisi sebagai dosen, dekan dan rektor di IAIN melalui
nasionalisasi ajaran agama dan Islamisasi ilmu-ilmu umum.
Bagi Harun, penafsiran dan pemikiran ke-Islaman itu tidak
bersifat mutlak. Semuanya dipandang masih dalam koridor kebenaran selama
tidak bertentangan dengan prinsip ajaran dasar Islam yang termaktub dalam
al-Qur‟an dan Hadits. Pemikiran Islam modernis merupakan pemikiran Islam
yang menghendaki agar ajaran Islam mampu memberikan kontribusi yang
riil dan faktual dalam memecahkan berbagai problem sosial sepanjang
zaman dan di manapun problem tersebut harus dipecahkan. Hal tersebut
penting dilakukan, karena sesuai dengan misi Islam itu sendiri, yakni
untuk memberi rahmat bagi seluruh alam dan sepanjang zaman
dimanapun berada. Maka dari itu, ajaran Islam yang digali dari al-Qur‟an
dan Hadits harus ditinjau ulang setiap zaman untuk dilihat secara kritis
apakah pemikiran itu masih cocok atau sudah tertinggal.
Sejalan dengan itu, maka pemikiran Islam modernis menghendaki
agar pintu ijtihad tetap terbuka. Tidak hanya itu, umat Islam yang memiliki
kemampuan dan kepribadian yang baik agar tidak ragu-ragu untuk
berijtihad bagi kepentingan umat Islam. Dengan cara tersebut, ajaran Islam
akan tetap relevan sepanjang zaman. Keinginan untuk melihat persoalan
secara komprehensif seakan terhalang oleh kemampuan dan waktu.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
6
Agaknya di sinilah kesempatan Harun Nasution muncul lebih kurang 25
tahun sesudah Indonesia merdeka.7
Harun Nasution memandang bahwa realisasi pemikiran Mu‟tazilah
sangat penting bagi perkembangan modenisasi Islam di Indonesia. Ia
berpendapat bahwa rasionalisasi teologi Islam merupakan komponen
esensial dalam program modernisasi yang lebih luas dalam masyarakat
Islam. Harun Nasution memiliki kesempatan untuk menerapkan teorinya ke
dalam praktek. Tujuan Harun Nasution adalah untuk mengembangkan
kemampuan modernitas Islam untuk bersaing dengan komunitas Barat
dengan tetap memperhatikan karakteristik akhlaq mulia Islam trasdisional.
Harun Nasution memiliki kesimpulan bahwa masyarakat Islam yang akan
bersentuhan dengan moderenitas agar menggeser kalam Asy‟ari dengan
kalam Mu‟tazilah. Harun menegaskan bahwa rasionalisme merupakan
diantara tema sentral al-Qur‟an. Dalam hal ini, Hermeneutika Nasution
berbeda dari penafsir klasik dan kontemporer, Harun tidak melakukan
penafsiran makna ayat per ayat, akan tetapi ia lebih berusaha untuk
mengeluarkan tema umum dari sejumlah besar ayat.
Harun Nasution menemukan akar esensial dari pandangan
rasionalisme Islam dalam teks-teks al-Qur‟an. Dalam bukunya Akal dan
Wahyu Dalam Islam, Harun mengutip tidak kurang dari 30 ayat yang
menurut pandangannya manusia diperintahkan untuk berfikir rasional
dalam mengetahui Tuhan dan dunia. Harun menegaskan bahwa al-Qur‟an
7Muhammad Husnol Hidayat “Harun Nasution dan Pembaharuan Pemikiran
Pendidikann Islam di Indonesia”, h. 31-33.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
7
mengajarkan doktrin Mu‟tazilah yang mendasar tentang kebebasan
berkehendak, kebebasan berbuat dan pertanggungjawaban manusia.8
Sementara itu M. Rasyidi dikenal sebagai tokoh yang aktif dalam
mengkritik setiap pandangan yang dianggap tidak sesuai dengan dasar
pemikiran Islam. Salah satu kritikannya itu ia ajukan kepada Harun
Nasution, dengan menerbitkan sebuah buku Koreksi Terhadap Harun
Nasution tentang Islam di tinjau dari Berbagai Aspeknya. Dalam bukunya
tersebat M. Rasyidi terlihat sekali bahwa pemikiran Harun Nasution bertolak
belakang dengan pemikiran M. Rasyidi. Melihat latar belakang pendidikan
Harun Nasution dan M.Rasyidi dapat dikatakan bahwa keduanya memiliki
diaspora intelektual yang sama, yakni sama-sama pernah menuntut Ilmu di
Timur dan Barat. Namun corak pemikiran keduanya berkaitan dengan
pembaharuan pemikiran ke-Islaman di Indonesia bertentangan, yakni tidak
sejalan. Maka dari itu, dalam tesis ini, penulis tertarik ingin menemukan
corak pemikiran ke-Islaman dari keduannya dan juga melihat bagaimana
relevansi pemikiran kedua tokoh tersebut dengan perkembangan
pembaharuan pemikiran ke-Islaman pada masanya di Indonesia. Adapun
judul tesis ini, yakni: Pemikiran Islam Rasional dan Tradisional di
Indonesia (Study Pemikiran Harun Nasution dan M. Rasyidi).
B. Permasalahan Penelitian
1. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dalam penelitian corak pemikiran kalam/teologi Harun Nasution
dan M. Rasyidi penulis membatasi pembahasan pada;
8Baca Zulhelmi,“Epistemologi Pemikiran Mu‟tazilah: Pengaruhnya Terhadap
Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia”, JIA, Vol. XIV, No.2 (2013), h. 136-138.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
8
Pertama corak kalam/teologi Islam rasional dan tradisional.
Harun Nasution sebagaimana yang dikutip oleh Masri Mansoer bahwa
dalam sejarah perkembangan teologi Islam (kalam) dikenal dua corak
pemikiran kalam. Corak kalam tradisonal dan corak kalam liberal
(rasional). Kategori ini didasarkan kepda akal dan keterikatan atau
kelengketan dalam memberi arti (makna) teks dari ayat-ayat kalam yang
dijadikan sandaran oleh kedua corak pemikiran kalam ini. Kalangan
kalam tradisonal memberikan posisi lemah kepada akal dan lebih
menekankan pada makna harfi dan kalangan rasional (liberal)
memberikan posisi kuat pada akal dan lebih menekankan makna majasi
(metafor). Dengan kata lain kalangan pertama agak mmenekankan makna
tekstual dan kalangan kdua makna kontekstual dan karenanya agak
cenderung memberi takwil.9
Kedua, masalah kalam/teologi yang dibahas dalam pemikiran
Harun Nasution dan M. Rasyidi dalam tesis ini, penulis membatasi pada
tiga tema, yaitu tentang akal dan wahyu, kebebasan manusia dan
kekuasaan mutlak Tuhan.
2. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Dari pembatasan masalah di atas, maka dirumuskanlah masalah
penelitian tesis ini, yakni; Bagaimana corak pemikiran teologis antara
Harun Nasution dan M. Rasyidi?
9 Masri Mansoer, Karakteristik Penafsiran Ayat-ayat Kalam Al-Qur‟an dan
Tafsirnya Karya Departemen Agama, (Tesis Program Pascasarjana Program Magister Studi
Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta 2001) h. 3
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
9
Selanjutnya, tujuan penelitian dalam tesis ini adalah untuk
menemukan corak pemikiran teologis Harun Nasution dan M. Rasyidi
dalam pemikiran Islam di Indonesia.
C. Signifikansi Penelitian
Terdapat dua signifikansi atau manfaat dari penelitian tesis ini, yakni
manfaat teoritis dan praktis. Adapun manfaat teoritis penelitian tesis ini
diharapkan dapat menjadi telaah ilmiah tentang pemikiran ke-Islaman,
khususnya terkait teologi, filsafat dan pembaharuan Islam. Sementara itu,
secara praktis diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi
pemangku kebijakan kurikulum di lembaga pendidikan Islam di Indonesia,
khususnya terkait kajian perkembangan pemikiran Islam di Indonesia.
D. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Adapun penelitian terdahulu yang sesuai dengan tema penelitian ini
yang dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain:
Pertama, M. Imron Abdullah, dalam bentuk disertasi yang berjudul
“Perkembangan Teologi Rasional di Indonesia; Studi atas Pemikran
Pembaharuan Islam Harun Nasution”10
. Disertasi ini mengangkat beberapa
tema penting tentang teologi rasional yang dimunculkan dengan iman, ajaran
absolut dan relatif dalam al-Qur‟an, teologi sunnah Allah, Free Will dan
Predestination, dan kekuasaan serta keadilan Tuhan.
10
M. Imron Abdullah, Perkembangan Teologi Rasional di Indonesia; Studi atas
Pemikran Pembaharuan Islam Harun Nasution(Disertasi Program Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1999).
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
10
Kedua, Agus Mahmud, dalam bentuk tesis yang berjudul
“Pembaharuan Islam di Indonesia; Suatu Tinjauan atas Gagasan Ijtihad Harun
Nasution.”11
Tesis tersebut melihat gagasan dan pembaharuan yang dilakukan
Harun Nasution.
Ketiga, “Pemikiran Harun Nasution tentang Islam Rasional.”12
Sebuah
disertasi yang ditulis oleh Ariendonika. Disertasi tersebut menjelaskan
substansi pemikiran teologi rasional, proses penyebaran dan pengaruhnya.
Keempat, “Pergulatan Pemikiran Islam di indonesia; Studi terhadap
Pemikiran Harun Nasution, Munawir Sjadzali dan Nurcholish Madjid”13
.
sebuah disertasi yang ditulis oleh Alkhendra. Disertasi tersebut merupakan
studi komparatif terhadap pemikiran Harun Nasution, munawir Sjadzali, dan
Nurcholish madjid dalam persoalan teologi, fiqh dan politik.
Kelima, “Peranan Harun Nasution dalam Pembaharuan Pendidikan
Tinggi Islam di indonesia.”14
Sebuah disertasi yang di tulis oleh Achmad
Ruslan Efendi. Disertasi tersebut menyimpulkan bahwa Harun Nasution
memiliki kontribusi besar terhadap pembaharuan pendidikan tinggi Islam di
indonesia, meskipun disisi lain mendapat tuduhan-tuduhan miring karena
pemikirannya melawan arus.
11
Agus Mahmud, Pembaharuan Islam di Indonesia: Suatu Tinjauan atas Gagasan
Ijtihad Harun Nasution (Tesis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998) 12
Ariendonika, Pemikiran Harun Nasution tentang Islam Rasional (Disertasi
Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002). 13
Alkhendra, Pergulatan Pemikiran Islam di indonesia; Studi terhadap Pemikiran
Harun Nasution, Munawir Sjadzali dan Nurcholish Madjid (Disertasi Program Pascasarjana
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006) 14
Achmad Ruslan Afendi, Peranan Harun Nasution dalam Pembaharuan
Pendidikan Tinggi Islam di indonesia (Disertasi Program Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010)
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
11
Keenam, “Pendidikan Akal Perspektif Harun Nasution.”15
Sebuah tesis
yang ditulis oleh Junni. Tesis tersebut menjelaskan hubungan antara akal dan
pendidikan dalam perspektif Harun Nasution. Pendidikan akal secara aplikatif
dihubungkan dengan beberapa tema penting dalam kajian Islam, yakni sejarah,
teologi, falsafat, tasawuf, hukum, politik dan pembaharuan dalam Islam.
Ketujuh, “Pembaharuan Islam di Indonesia; Suatu Tinjauan atas
Gagaan Ijtihad Harun Nasution.”16
Sebuah tesis yang ditulis oleh Agus
Mahmud. Tesis tersebut melihat gagasan dan pembaharuan yang dilakukan
Harun Nasution.
Kedelapan, “Konsep Pendidikan Islam menurut Harun Nasution.”17
Sebuah tesisi yang ditulis oleh Dicky Salahuddin. Tesis tersebut menjelaskan
pendidikan dalam perspektif Harun Nasution.
Kesembilan, “Akal dan Wahyu dalam Perspektif Harun Nasution.”18
Sebuah skripsi yang ditulis oleh Ach. Khomaidi. Skripsi tersebut membahas
pandangan Harun Nasution tentang hubungan akal dan wahyu. Akan tetapi
penelitian tersebut tidak menganalisis pemikiran Harun Nasution mengenai
empat persoalan yang dibahas penelitian ini.
Sedangkan tulisan yang membahas M. Rasyidi diantaranya adalah
sebagai berikut:
15
Junni, Pendidikan Akal Perspektif Harun Nasution (Tesis, Program Pascasarjana
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004). 16
Agus Mahmud, Pembaharuan Islam di Indonesia; Suatu Tinjauan atas Gagaan
Ijtihad Harun Nasution (Tesis, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998). 17
Dicky Salahuddin, Konsep Pendidikan Islam menurut Harun Nasution (Tesis
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2000). 18
Ach. Kumaidi, Akal dan Wahyu dalam Perspektif Harun Nasution (Skripsi
Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005).
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
12
Pertama, “Revitalisasi Etika: Analisis Nurcholish Madjid dan M.
Rasyidi tentang Sekularisasi.19
” Sebuah buku yang berasal dari disertasi
ditulis oleh Syefriyeni. Buku tersebut menjelaskan pergulatan pemikiran
antara Nurcholish Madjid dan M. Rasyidi tentang sekularisasi dan
implikasinya terhadap aspek sosial.
Kedua, “Pandangan M. Rasyidi tentang Kebatinan: Studi atas Buku
„Islam dan Kebathinan‟ Karya M. Rasyidi.”20
Sebuah skripsi yang ditulis oleh
Muklis Koiruddin. Skripsi tersebut mengulas pandangan M. Rasyidi tentang
kebatinan ditinjau dari perspektif Islam.
Ketiga, “Pemikiran M. Rasyidi tentang Metodologi Pendidikan Islam
di indonesia.”21
Sebuah disertasi yang ditulis oleh Nasruddin Syarief. Disertasi
tersebut secara tidak langsung merupakan studi komparatif terhadap pemikran
Harun Nasution dan M. Rasyidi. Disertasi itu menyimpulkan bahwa
metodologi pendidikan yang dibawa Harun Nasution yang disebut dengan
metodologi pendidikan “Islam Liberal” perlu ditinjau kembali dengan
bertumpu kepada metodologi yang ditawarkan oleh M. Rasyidi.
Dari berbagai tinjauan pustaka diatas ditemukan dua tulisan yang
melakukan studi komparatif terhadap pemikiran Harun Nasution dan M.
Rasyidi, yaitu:
19
Syefriyeni, Revitalisasi Etika: Analisis Nurcholish Madjid dan H.M. Rasyidi
tentang Sekularisasi (Ciputat: Pustaka Anak Negeri, 2013) 20
Muklis Koirudin, Pandangan H.M. Rasyidi tentang Kebatinan: Studi atas Buku
„Islam dan Kebathinan‟ Karya H.M. Rasyidi (Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2009). 21
Nasruddin Syarief, Pemikiran H.M. Rasyidi tentang Metodologi Pendidikan Islam
di indonesia, (Program Doktor Universitas Ibnu Khaldun Bogor, 2013)
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
13
Pertama, “Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia: Studi Pemikiran
Harun Nasution dan M. Rasyidi.”22
Sebuah skripsi yang ditulis oleh Eka
Sumanja. Tema yang diangkat dalam penelitian ini merupakan studi
komparatif atas salah satu tema dari 14 aspek yang dibicarakan oleh Harun
Nasution dan M. Rasyidi dalam Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.
Skripsi tersebut membicarakan relevansi ide pembaharuan hukum yang
ditawarkan oleh Harun Nasution dan M. Rasyidi.
Kedua, “Polemik Harun Nasution dan M. Rasyidi”23
. Sebuah skripsi
yang ditulis oleh Abdus Syakur. Penelitian ini hanya fokus pada dua aspek
dari polemik yang terjadi antara Harun Nasution dan M. Rasyidi. Itu pun
hanya fokus pada persoalan tertentu dari masing-masing tersebut.
Berdasarkan penelusuran penulis dari berbagai penelitian terdahulu
belum ditemukan penelitian yang fokus membahas tentang corak pemikiran
ke-Islaman Harun Nasution dan Rasyidi dalam pembaharuan pemikiran
Islam di Indonesia khususnya dibidang teologi, filsafat dan tasawuf. Maka
dari itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitan lebih mendalam terkait
pembahasan tersebut.
22
Eka Sumanja, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia: Studi Pemikiran Harun
Nasution dan H.M. Rasyidi, (Skripsi Fakultas Syari‟ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2010). 23
Abdus Syakur, Polemik Harun Nasution dan H.M. Rasyidi (Skripsi Fakiltas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016).
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
14
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis dan Sumber Data
Metode atau jenis penelitian yang digunakan dalam kajian buku
ini yaitu metode kualitatif yang berupa kajian pustaka (library
research).
Salah satu bentuk penelitian kualitatif bertujuan untk memahami
sebuah fenomena yang menyangkut konsep, perilaku, dan persepsi
seseorang atau kelompok. Penelitian ini secara umum bersifat
deskriptif.24
Oleh karena itu, penelitian ini sepenuhnya bersifat
deskriptif-analisis. Sumber data yang terkumpul kemudian
dideskripsikan secara sistematis dan dianalisis secara cermat dan
obyektif.
Sumber data yang digunakan dalam tesis ini terdiri dari dua
sumber (sumber primer dan skunder). Adapun sumber primer yang
digunakan dalam tesis ini, yakni buku yang berjudul Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspek karya Harun Nasution dan buku yang berjudul Koreksi
Terhadap Dr.Harun Nasution Tentang Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspek karya M. Rasyidi.
Selain dua sumber diatas, penulis juga mengacu kepada karya-
karya Harun Nasution dan M. Rasyidi yang lain untuk menganalisis
pemikiran mereka secara komprihensif. Karya-karya Harun Nasution
yang lain diantaranya: (1) Falsafat Agama; (2) Falsafat dan mistisisme
dalam Islam; (3) Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran; (4) Teologi
Islam: Aliran-aliran, Sejarah dan Analisa Perbandingan; (5)
24
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2013), h.3-4
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
15
Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan;(6) Akal
dan Wahyu dalam Islam; (7) Kedudukan Akal dalam Islam; (8)
Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu‟Tazilah; dan (9) Mu‟tazilah
dalam Pandangan Rasionalnya. Sementara karya-karya M. Rasyidi di
antaranya: (1) Koreksi Prof. Dr. H.M. Rasyidi kepada Prof. Dr. Harun
Nasution tentang Ajaran Akal dan Akhlak dalam Islam; (2) Koreksi
terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi; (3) Empat kuliah
Agama Islam pada Perguruan Tinggi (4) Islam dan Kebathinan; (5)
Islam dan Indonesia di Zaman Modern; (6) Mengapa Aku Tetap
Memeluk Islam (7) Apa Itu Syiah; (8) Falsafat Agama (9) Keutamaan
Hukum Islam; dan (10) Hukum Islam dan Pelaksanaannya dalam
Sejarah.
Sedangkan sumber sekunder yang digunakan dalam tesis ini,
antara lain seperti tesis, disertasi, jurnal. Teknik penulisan dalam
penelitian ini mengacu kepada Pedoman Penulisan Karya Ilmiah tahun
2007.
2. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data dalam kajian tesis ini menggunakan teknik
dokumenter, yakni dengan mendokumentasikan sumber-sumber data, baik
primer atau sekunder yang terkait dengan objek kajian. Kemudian penulis
menganalisisnya dengan metode deskriptif analitis kritis yaitu dengan
menggambarkan, menganalisis serta memberikan interpretasi terhadap data
objek kajian. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan metode content
analysis yaitu digunakan untuk menganalisa secara ilmiah terkait inti
pesan ke dalam sebuah gagasan.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
16
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian tesis ini terbagi menjadi lima
bab, yakni sebagai berikut :
Bab I, dalam bab ini akan menjelaskan latar belakang masalah yang
menjadi kegelisahan akademik penulis sehingga tertarik utuk melakukann
penelitian objek kajian dalam tesis ini. Kemudian dilanjutkan dengan
penjelasan permasalahan penelitian yang terdiri identifikasi, pembatasan
dan perumusan masalah. Selanjutnya penjelasan tujuan dan signifikansi
penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan apa yang diharapkan dari
tujuan dan manfaat, baik teoritis maupun praktis dari penelitian tesis ini.
Selanjutnnya, penjelasan beberapa penelitian terdahulu yang relevan.
Penjelasan tersebut bertujuan untuk menyajikan beberapa kajian
sebelumnya yang sudah pernah mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan
objek penelitian tesis ini, sehingga diharapkan dapat menemukan beberapa
hal apa saja yang belum pernah dikaji sebelumnya atau agar dapat
mengetahui distingsi dari penelitian yang terdahulu. Kemudian penjelasan
terkait metodologi penelitian tesis ini yang terdiri dari penjelasan jenis dan
sumber data, teori pendekatan serta teknik pengolahan data. Yang terakhir,
yakni sub bab penjelasan terkait sistematika penulisan guna menjelaskan
alur pembahasan dalam penelitian tesis ini.
Bab II, dalam bab ini akan menjelaskan tentang Teori-teori Teologi
dalam Wacana Rasional dan Tradisonal, yang terdiri dari empat sub bab
pembahasan, yakni pengertian teologi, teologi rasional, teologi tradisional,
teologi Mu’tazilah dan teologi Asy’ariyah.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
17
Bab III, dalam bab ini akan menjelaskan tentang Islam rasional dan
tradisonal Indonesia dalam pemikiran Harun Nasution dan M. Rasyidi yang
terdiri dari dua sub bab pembahasan. Sub bab pertama akan menjelaskan
tentang pemikiran Harun Nasution, Sub bab kedua tentang pemikiran M.
Rasyidi.
BAB IV, dalam bab ini akan menjelaskan tentang Corak Pemikiran
Harun Nasution dan M. Rasyidi dalam Pemikiran Islam Rasional dan Islam
Tradisional di Indonesia. Bab ini menjelaskan tentang corak pemikiran
Islam Harun Nasution dan M. Rasyidi dilihat dari teologi, Metodologi dan
Epistemologi.
BAB V, bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan
penelitian tesis dan rekomendasi (saran) penulis terkait dari hasil penelitian
tesis agar dapat dilakukan penelitian selanjutnya oleh pembaca atau peneliti
lainnya.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
18
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
19
BAB II
TEORI-TEORI TEOLOGI
DALAM WACANA RASIONAL DAN TRADISIONAL
A. Pengertian Teologi
Teologi, sebagaimana diketahuai, membahas tentang ajaran-ajaran
dasar dari suatu agama. Arti kata teologi dari segi etimologis maupun
terminologis yaitu, kata teologi berasal dari bahasa Yunani yaitu theologia
yang terdiri dari kata “Theos” yang artinya “Tuhan” dan “Logos” yang
artinya “Ilmu”. Jadi, teologi yaitu ilmu tantang Tuhan atau ilmu Ketuhanan.1
Teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan pertaliannya
dengan manusia, baik berdasarkan kebenaran wahyu ataupun berdasarkan
penyelidikan akal murni. Kata teologi yang tidak bisa dipisahkan dengan
Islam merupakan ilmu yang membahas tentang fakta-fakta dan gejala-gejala
agama dan hubungan-hubungan antara Tuhan dan manusia.2
Berbicara mengenai teologi dalam Islam, tidak terlepas dari apa yang
disebut dengan ilmu kalam, ilmu kalam adalah sains Islam yang membahas
berbagai persoalan ketuhanan yang berhubungan dengan manusia dan
kehidupan akhirat. Kalau yang dimaksud dengan kalam ialah sabda Tuhan
maka teologi dalam Islam disebut „ilm al-kalam, karena sabda Tuhan atau
Alquran pernah menimbulkan pertentangan-pertentangan keras di kalangan
1Nico Syukur Dister, Pengantar Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 17. Lihat
juga dalam A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, (Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995), h.
11. 2A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, hlm. 11-12.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
20
umat Islam di abad IX dan X Masehi, sehingga timbul penganiyayaan dan
pembunuhan-pembunuhan terhadap sesama muslim di waktu itu.
Kalau yang dimaksud dengan kalam ialah kata-kata manusia, maka
teologi dalam Islam disebut „ilm al-kalam, karena kaum teolog Islam bersilat
dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendirian masing-
masing.3 Dalam menjalankan agamanya umat Islam dilandasi dengan ajaran
pokok yang disebut dengan akidah, sebagai pedoman bagi seluruh rangkaian
keyakinan manusia terhadap Tuhan. Ajaran pokok ini disosialisasikan lewat
berbagai macam keilmuan Islam diantaranya melalui ilmu kalam.
Teologi Islam adalah ilmu yang secara sistematis membicarakan
tentang persoalan ketuhanan dan alam semesta menurut perspektif Islam
yang harus diimani, dan hal-hal lain yang terkait dengan ajaran Islam yang
harus diamalkan, guna mendapatkan keselamatan hidup (dunia dan akhirat).
A. Hanafi mengatakan bahwa, kepercayaan suatu agama merupakan
pokok dasar sebab-sebab lahirnya teologi. Islam sebagai agama yang
mengingkari agama-agama Yahudi dan Nasrani serta agama-agama berhala,
merasa perlu menjelaskan pokok dasar ajarannya dan segi-segi dakwah yang
menjadi tujuan al-Qur‟an dan Hadits Nabi Muhammad banyak berisi
pembicaraan tentang wujud Tuhan, keagungan dan keesaan Tuhan. Kita
tidak dapat mengatakan bahwa al-Qur‟an dan Hadits Nabi berisi uraian
teratur dan sistimatis tentang soal kepercayaan dan meletakkan metode yang
lengkap serta mencakup untuk ilmu tauhid (teologi Islam).4
3
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandinga,
(Jakarta: UI Press, 1986), h. ix.
4A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, hlm. 18
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
21
Agak aneh kiranya kalau dikatakan bahwa dalam Islam, sebagai
agama, persoalan yang pertama-tama timbul adalah dalam bidang politik dan
bukan dalam bidang teologi. Akan tetapi, persoalan politik ini segera
meningkat menjadi persoalan teologi.5 Isu pertama yang berakibat langsung
pada keretakan masyarakat muslim sesaat setelah wafatnya Nabi Muhammad
Saw. adalah perkara keabsahan pengganti Nabi Saw. atau khalifah. Setelah
khalifah Utsman bin Affan terbunuh pada tahun 656, isu pengganti Nabi
Saw. ini semakin mengemuka. Puncaknya, bentrokan antara pendukung Ali
ibn Abi Thalib yang juga menantu Nabi Saw. dan Mu‟awiyah sebagai
kerabat khalifah yang terbunuh dan Gubernur Damaskus tak dapat
dielakkan.6
Berawal dari perseteruan tersebut, mulai muncul aliran-aliran atau
sekte-sekte yang setiap sekte atau aliran tersebut mempunyai paham sendiri-
sendiri. Di antara aliran-aliran tersebut yaitu, Khawarij, Syi‟ah, Jabariyah,
Mur‟jiah, Mu‟tazilah, Asy‟ariyah, dan Maturidiyah.
B. Teologi dalam Rasionalitas dan Tradisional
1. Teologi Rasional
Kata rasional berasal dari bahasa Inggris ratio yang berarti akal atau
pikiran. Ada beberapa kata dalam bahasa Indonesia yang akar katanya dari
ratio ini, misalnya rasional, rasionalisasi dan rasionalisme. Kata rasional
5Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 3.
6Madjid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis (Bandung: Mizan,
1997), hlm. 13.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
22
mengandung makna sifat, kata rasionalisasi mengandung arti proses dan kata
rasionalisme mengandung pengertian paham.7
Dalam sejarahnya, rasionalisme pernah menjadi tema aktual di dunia
Barat pada abad ke-17, bahkan menjadi suatu aliran, yakni aliran
rasionalisme yang ajarannya menitikberatkan kemampuan rasio atau akal
budi dalam segala macam pengetahuan. Menurut pendapat mereka,
pengetahuan manusia berasal dari akal budi. Konsep-konsep yang merupakan
pusat pemikiran filsafat, seperti ketuhanan, jiwa, substansi dan sebagainya
tidak dapat disaring dari pengalaman indrawi, melainkan bersumber pada
akal budi. Konsep-konsep ini merupakan pembawaan yang telah berakar
dalam batinmanusia sejak lahir.8
sedangkan menurut Adi Negoro,
rasionalisme adalah suatu aliran yang mengutamakan akal, segala sesuatu
diukur dengan pandangan akal dan tidak percahaya bahwa segala sesuatu
telah ditentukan Tuhan.9 Karena itu, aliran rasionalisme berpendapat bahwa
sumber pengetahuan yang mencukupi danyang dapat dipercaya adalah rasio
atau akal. Hanya pengetahuan yang diperoleh dari akallah yang memenuhi
syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat
yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Akal tidak memerlukan
7 Kafrawi Ridwan, dkk. (ed.), Ensiklopedi Islam, Cet.IX, (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 1999) h. 98
8C.A. Van Peursen, Filosofische Orientatie, diterjemahkan oleh Dik Hartono,
Orientasi di Alam Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1980), h. 22
9
Adi Negoro, Ensiklopedi Umum dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta:Bulan
Bintang, 1954) h. 306.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
23
pengalaman. Akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu
atas dasar asas-asas pertama yang pasti.10
Dengan demikian, kata rasionalisme di dunia Barat tidak punya
hubungan dengan agama, bahkan kata itu mengingkari adanya penomena
agama dalam kehidupan manusia. Berbeda dari itu, di dunia islam pengertian
kata rasionalisme yang terlepas dari agama tidak ada, sehingga bila
menggunakan “rasionalisme” di dunia Islam harus mempunyai terminologi
yang berbeda dari terminologi yang ada di Barat. Ini berarti rasionalisme
yang ada di Barat tidak sama dengan rasionalisme yang ada di dunia Islam.11
Dalam Islam, kata rasionalisme bisa dipahami berasal dan berakar
dari kata ‘aql yang berarti akal. Kata ‘aql dizaman jahiliyah dipakai dalam
arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi
modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity).
Ini berarti, orang berakal adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk
menyelesaikan masalah; setiap kali dia dihadapkan dengan problema, dia
dapat menyelesaikan diri dari bahaya yang mungkin terjadi. Setelah Islam
datang, kata akal itu tidak pernah lepas dari agama. Dalam hal ini, akal
dipandang oleh agama sebagai alat untuk mendalami agama. Karenanya, akal
tidak pernah bertentangan dengan agama, akal senantiasa sejalan dengan
agama, bahkan akal dan agama saling mendukung.
10 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980),
h. 18-39
11
Dengan konsep seperti ini, sehinga ahli ada yang berpendapat bahwa
rasionalisme tidak ada di dunia Islam, yang ada hanya rasional, rasionalitas, dan
rasionalisasi.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
24
Orang yang sering menggunakan akalnya dalam menelaah sesuatu
biasa disebut orang rasional. Rasional disini mengandung beberapa unsur
seperti dinamis, filosofis dan sistematis. Sedangkan dalam kajian ilmu kalam
dikenal dengan istilah teologi rasional atau Islam rasional.
Dalam ilmu kalam, kelompok yang termasuk dalam rasional adalah
kelompok yang menganut paham atau pemikiran teologi yang banyak
mengandalkan kekuatan rasio. Mereka mengatakan bahwa akal mempunyai
daya yang kuat serta memberikan interpretasi secara lebih luas terhadap teks
ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis. Interpretasi secara lebih luas dalam ilmu
kalam dilakukan oleh aliran Mu‟tazilah dan Maturidiah Samarkand. Penganut
teologi ini hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas lagi tegas
disebut dalam al-Qur‟an atau hadis, yaitu teks-teks ayat al-Qur‟an atau hadis
yang tidak dapat diinterpretasikan lagi kepada arti lain selain arti teks yang
terkandung didalamnya (biasa disebut dengan istilah qath’i). Ayat-ayat yang
dianggap mempunyai arti qath’i ini tidak banyak terdapat dalam al-Qur‟an.12
Teologi rasional dikenal dengan penggunaan akal secara bebas, yaitu
dengan menggunakan rasional dalam memahami Islam. Pemahaman dalam
teologi rasional berarti aliran teologi yang mengandalkan kekuatan akal atau
rasio karena akal mempunyai daya yang kuat serta dapat memberikan
interpretasi secara rasional terhadap teks-teks, ayat-ayat Alquran dan hadis.
Pengertian rasional secara sosiologis ini sejalan dengan pengertian
12 Lawan dari qath’i ini adalah zhanni, Istilah qath’i dan zhanni, masing-masing
terdiri atas dua bagian, yaitu yang menyangkut al-tsubut (kebenaran sumber) dan al-dalalah
(kandungan makna). Dengan demikian, ada qath’i al-tsubut, zhanni al-tsubut, qath’i al-
dalalah dan ada zhannial-dalalah. Uraian lebih lanjut lihat, M.Quraish Shihab,
Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
(Bandung: Mizan, 1993), h. 137-142.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
25
modernisasi ialah rasionalisasi.13
Teologi modern adalah pembicaraan tentang
keyakinan yang berhubungan dengan Ilahiyat untuk menyelaraskan dengan
pemahaman selera baru yang bersifat rasional atau ilmiah. Menurut Joesoef
Sou„yb bahwa teologi modern adalah pandangan maupun metode baru,
kecendrungannya khusus dalam masalah kepercayaan keagamaan untuk
menundukkan tradisi dalam upaya penyelarasan dengan pemikiran baru.
Menurut Ahmad Hasan, modernisme adalah aliran pemikiran
keagamaan yang menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk
menyesuaikannya dengan perkembangan zaman. Dengan demikian Islam
harus beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di dunia modern. Hampir
serupa dengan rumusan Hasan, Mukti Ali tampaknya setuju dengan
pengertian ini, tetapi dia lebih menekankan defenisi modernisme pada usaha
purifikasi agama dan kebebasan berfikir.14
Sedangkan menurut Abuddin Nata, Islam rasional adalah Islam yang
menghargai pendapat akal pikiran dan menggunakannya untuk memperkuat
dalil-dalil agama.15
Dengan demikian teologi rasional atau Islam rasional merupakan
paham yang menggunakan akal dalam menyelesaikan setiap persoalan
dengan menggunakan akal. Islam rasional adalah aliran teologi yang
mengandalkan kekuatan akal atau rasio karena akal mempunyai daya yang
13 Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan,
1993), h. 183
14
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam
(Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1999), h. 12.
15
Abudin Nata, Peta Keagamaan Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001) h. 62
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
26
kuat serta dapat memberikan interpretasi secara rasional terhadap teks-teks
wahyu.
2. Teologi Tradisional
Tradisi dalam kamus bahasa Indonesia adalah segala sesuatu seperti
adat, kepercayaan, kebiasaan, dan ajaran yang turun temurun dari leluhur.16
Dalam bahasa Arab kata tradisi adalah salah satu makna dari kata sunnah
selain makna norma, aturan, dan kebiasaan.17
Sedangkan kata sunnah
merupakan, ucapan, ketetapan, serta perbuatan rosulullah.
Ketika berbicara mengenai masyarakat Islam tradisional, yang
terbayang adalah sebuah gambaran mengenai masyarakat yang terbelakang,
masyarakat Islam yang kolot, masyarakat yang anti atau menolak perubahan
(anti progresivitas), konservatif (staid approach), dan diliputi oleh
sikap taqlid. Mereka adalah kelompok yang membaca dan belajar “kitab
kuning”, termasuk karya al-Ghazali dan ulama‟ fiqh klasik, dan tokoh-tokoh
sufi pada zaman pertengahan Islam.18
Terma tradisional merupakan terma
untuk sesuatu yang irrational, pandangan dunia yang tidak ilmiah, lawan
dari segala bentuk kemodernan.Tradisionalisme dianggap sebagai aliran
yang berpegang teguh pada fundamen Agama melalui penafsiran terhadap
kitab suci Agama secara rigid dan literalis.19
16W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1991), cet. XII, h. 1088.
17
Munir Baalbaki, Rohi Baalbaki, Kamus Al-Maurid Arab-Inggris-Indonesia,
(Surabaya: Halim Jaya, 2006) h.483.
18
Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 2000), h. 2
19
Fundamentalis”, dalam The Oxford English Dictionary, 1988.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
27
Secara etimologis, tradisional berarti kecenderungan untuk
melakukan sesuatu yang telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang
masa lampau sebagai otoritas dari segala bentuk yang telah mapan. Menurut
Achmad Jainuri, kaum tradisionalis adalah mereka yang pada umumnya
diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, serta kaum elit kultur tradisional
yang tidak tertarik dengan perubahan dalam pemikiran serta praktik Islam
Teologi tradisional, merupakan salah satu corak paham keislaman
yang telah membudaya atau hal ini sudah menjadi kebiasaan dan melekat
pada sebuah kelompok tertentu yang menganggap bahwa paham yang
dianutnya merupakan paham yang paling benar diantara paham-paham yang
lainnya. Berbicara mengenai teologi tradisional, dalam konteks teologi
berarti mengambil sikap terikat, tidak hanya kepada dogma yang jelas dan
tegas di dalam Alquran dan Hadist, tetap juga pada ayat-ayat yang
mempunyai zhanni, yaitu ayat-ayat yang mempunyai arti harfiah dari teks-
teks ayat Alquran dan kurang menggunakan logika.20
Paham tradisional ini merupakan paham yang paling populer dan
banyak dianut oleh masyarakat Indonesia, seperti mazhab Syafi„i yang sudah
menjadi tradisi dari generasi ke generasi. Paham keislaman ini sering
dikonfrontasikan dengan teologi modernis, yang menklaim teologi tradisional
sebagai penghambat kemajuan dan membawa kemunduran umat Islam.
Berbagai pemikiran yang dilakukan kaum modernis untuk membawa umat
Islam kepada kemajuan, salah satunya yaitu mengajak untuk meninggalkan
sikap atau paham tradisionalnya.
20
Al-Munawwar, Ahmad Warson, Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: Pustaka
Progresif, 1984), h. 716.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
28
Jika kita amati dari ciri-ciri teologi tradisional ini, bahwa kedudukan
akal yang rendah membuat pemikiran para pengikutnya tidak berkembang
atau disebut dengan kaku dalam segala aspek, sehingga sikap taklid semakin
mengakar dan berkembang didalam masyarakat. Contohnya saja dalam
perbuatan manusia, paham ini mengklaim bahwa manusia tidak bebas dalam
berbuat, takdir bagi pengikut aliran ini tidak dapat dielakkan. Pandangan
teologi tradisional, manusia adalah makhluk yang lemah, manusia tidak dapat
berbuat sesuai dengan kemaunnya karena kehendak dan kekuasaan Tuhan
atas manusia bersifat mutlak.Dalam teologi ini dinyatakan bahwa di atas
Tuhan tidak ada satu zat pun yang dapat menghukum atau menentukan apa
yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat oleh Tuhan. Tuhan
bersifat absolute, dalam kehendak dan kekuasaan-Nya.21
Menurut Harun Nasution membagi kriteria teologi tradisional yaitu,
Pertama, mengakui kelemahan akal untuk mengetahui sesuatu, kedua,
mengakui ketidak bebasan dan ketidak pastian manusia dalam berkehendak
dan berbuat, dan ketiga, mengakui ketidakpastian sunatullah dan hukum
kausalitas sebab ssemua yang terjadi di alam semesta ini adalah menurut
kehendak mutlak Allah yang tidak diketahui oleh manusia.22
Sedangkan di Indonesia Dalam konteks sosial-budaya, unsur-unsur
yang terdapat pada Islam tradisional Indonesia meliputi adanya lembaga
pesantren, peranan dan kepribadian kyai yang sangat menentukan dan
kharismatik. Basis masa kaum tradisionalis semacam ini pada umumnya
berada di pedesaan.Begitu lekatnya Islam tradisionalis di Indonesia dengan
21
Harun Nasution, Teologi Islam Rasional: Apresiasi Terhadap Wacana dan
PraktikHarun Nasution (Jakarta: Ciputat Press, 2001), h. 126. 22
Harun Nasution, Islam Rasional...h. 345.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
29
kalangan pedesaan, sampai-sampai dikatakan bahwa Islam tradionalis adalah
Islam pedesaan.23
Islam tradisional secara religi bersifat kultural, secara intelektual
sederhana, secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politis bersifat
oportunis.24
Meskipun untuk saat ini banyak kaum tradisionalis yang
kontroversial dengan yang konservatif, akan tetapi peran warna
konservatifme sangat kuat sekali di tingkat lokal.25
Kaum tradisionalis Indonesia sering digolongkan ke dalam organisasi
sosial keagamaan terbesar26
bernama NU, sebuah organisasi keagamaan yang
didirikan pada tahun 1926 di Surabaya, oleh beberapa ulama‟ pengasuh
pesantren, di antaranya K.H. Hasyim Asy'ari (Tebu Ireng) dan K. Wahab
Hasbullah (Tambak Beras).27
Golongan tradisi banyak menghiraukan soal-soal ibadah belaka. Bagi
mereka Islam seakan sama dengan fiqh, dan dalam hubungan ini mereka
mengakui taqlid dan menolak ijtihad. Sikap ini sering menyebabkan mereka
menjadi patuh buta, sebab imam madzhab fiqh atay kyai dianggap ma'sum,
bebas dari kesalahan. Dalam situasi seperti itu Islam dan tafsiran tentangnya
23 Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 1992), 38.
24
Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 1992), 38
25
Zainuddin Maliki, Agama Priyayi (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), 41.
26
Greg Fealy, Percikan Api Muktamar 1994;Gus Dur, Suksesi dan Perlawanan NU
Terhadap Kontrol Negara, dalam Greg Fealy, Greg Barton (ed), Tradisionalisme
Radikan;Persinggungan Nahdatul Ulama’ Negara, ter. Ahmad Suaedy (Yogyakarta;LKiS,
1997), h. 220.
27
Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad, 124.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
30
merupakan monopoli kyai belaka, sehingga fatwa kyai dianggap mutlak,
final dan tidak dapat dipertanyakan lagi.28
C. Teologi Mu’tazilah
1. Sejarah Teologi Mu’tazilah
Pada awalnya Mu‟tazilah merupakan aliran teologi yang hanya dianut
oleh masyarakat biasa. Tapi kemudian teologi yang bercorak rasional dan
liberal ini menarik perhatian kalangan intelektual dan juga lingkungan
pemerintah kerajaan Abbasiyah. Melihat hal demikian, khalifah Al-Makmun
(813-833 M) putera Harun al-Rasyid (766-809 M), pada tahun 827 M
menjadikan teologi Mu‟ta zilah sebagai mazhab resmi Negara.29
Sejak itu
resmilah aliran Mu‟tazilah menjadi satu-satunya aliran teologi yang boleh
dianut oleh umat Islam dalam wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
Dengan mendapat pengakuan resmi dari pemerintah, maka otomatis
aliran ini mendapat dukungan sekaligus perlindungan dari penguasa waktu
itu. Selanjutnya aliran ini pun dengan leluasa dan berani menyebarkan
paham-pahamnya secara terbuka kepada public. Penyebaran tersebut mereka
lakukan mulai cara lemah lembut sampai pemaksaan dan kekerasan. Puncak
kekerasan dan pemaksaan itu berkenaan dengan paham “Al-Quran
makhluk”. Masalah ini sampai menimbulkan peristiwa al-Mihnah yaitu
pemeriksaan terhadap para ulama ahli Hadits dan ahli fikih oleh Khalifah Al-
Makmun pada Dinasti Abbasiyah.
28 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3S,
1996), h. 320-321. 29
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, h. 8.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
31
Mula-mula Khalifah Al-Makmun mengirimkan surat kepada Ishaq
ibn Ibrahim (gubernur Bagdad) agar memerintahkan kepada para pejabat
untuk mengakui paham bahwa Al-Qur‟an makhluk. Ada tiga langkah yang
harus diambil, pertama memberhentikan pejabat-pejabat yang tidak mau
mengakui kemakhlukan Al-Quran. Kedua memerintahkan untuk melakukan
pemeriksaan terhadap para ulama ahli fikih dan ahli Hadits serta yang terkait
dengan urusan fatwa tentang makhluk tidaknya Al-Quran. Bila upaya kedua
ini tidak membawa hasil (mereka tawaqquf), maka perlu dilakukan langkah
ketiga yaitu mereka harus disiksa bahkan diancam hukuman mati.30
Dalam peristiwa al-Mihnah, Ishaq telah memeriksa sekitar 30 orang
hakim, ulama ahli hadis dan ahli fikih, mereka sepakat mengakui
kemakhlukan Al-Quran. Namun ada empat orang ulama yang tawaqquf yaitu
Ahmad ibn Hanbal, Sajjadah, al -Qawariri dan Muhammad ibn
Nuh.3123
Karena itu, keempat ulama tadi dimasukkan ke dalam tahanan dalam
keadaan diborgol. Keesokan harinya Sajjadah mau mengakui dan ia pun
dibebaskan. Pada hari-hari berikutnya ketiga ulama yang masih ditahan tadi
terus dipaksa dan diancam agar mau mengakui kemakhlukan Al-Quran,
hingga akhirnya al-Qawariri mengakuinya dan iapun dibebaskan. Sementara
dua lainnya dikirim kepada khalifah Al-Makmun di Thurus. Muhammad ibn
Nuh meninggal dunia dalam perjalanan. Di tengah perjalanan tersiar kabar
bahwa Al-Makmun meninggal dunia, namun sebelumnya ia sempat
berwasiat kepada penggantinya yaitu al-Mu‟tashim agar melanjutkan
30
Abu Zahrah, Tarikh Mazahib al-Islamiyah, h.180-181. 31
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, , h. 176
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
32
kebijakannya itu.32
Atas wasiat tersebut, Al-Mu‟tashim pun melanjutkan al-
Mihnah terhadap mereka yang belum mengakui kemakhlukan Al-Quran
termasuk yang masih tawaqquf. Ahmad ibn Hanbal karena tetap tawaqquf,
iapun dipenjarakan dan disiksa sampai beberapa tahun baru ia dibebaskan.33
Setelah al-Mu‟tashim meninggal, kekhalifahan diganti oleh al-Wasiq
(842-847 M). Kebijakan melakukan al-Mihnah tampaknya tidak dihentikan,
namun tidak lagi terlalu keras seperti pendahulunya. Namun demikian, ada
informasi bahwa khalifah terakhir ini telah memancung seorang ulama
terkenal Ahmad ibn Naser al-Khuza‟i karena tidak mengakui kemakhlukan
Al-Qur‟an.34 26
Setelah Al-Wasiq meninggal, kekhalifahan digantikan oleh
Al-Mutawakkil ( 232-247 H). Berbeda dengan khalifah-khalifah sebelumnya,
Al-Mutawakkil tidak menudukung aliran Mu‟tazilah, sehingga masalah al
Mihnah tidak lagi ia teruskan. Sejak itu al-Mihnah pun terhenti, ia bahkan
berusaha meredam ketegangan situasi dan membebaskan semua ulama yang
ditahan sebelumnya.35
Kalau semula aliran Mu‟tazilah mengalami kemajuan dan dapat
meraih zaman keemasan karena mendapat dukungan penguasa dan ajarannya
disenangi kaum intelektual, namun setelah mereka melancarkan kekerasan
dan penyiksaan , terlebih lagi pemenjaraan terhadap para ulama, maka sejak
itu kaum muslimin mulai membenci aliran Mu‟tazilah. Merekapun mulai
meninggalkan aliran tersebut.
32
Abu Zahrah, Tarikh Mazahib al-Islamiyah, h.182. 33
Abu Zahrah, Tarikh Mazahib al-Islamiyah, h.183. 34
Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlussunnah Waljamaah?
(Surabaya: Bina Ilmu, 1987).h. 44. 35
Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk, h.44.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
33
Kebencian mereka itu seakan didukung oleh sikap
khalifah Al-Mutawakkil yang juga tidak senang dengan aliran Mu‟tazilah.
Aliran ini perlahan-lahan mulai mengalami kemunduran dan kehilangan
kekuatannya. Lebih-lebih setelah Muhammad al-Ghazwani, seorang
pengikut mazhab Sunny dan Syafi‟i berkuasa sampai ke wilayah Irak tahun
395 H mengeluarkan pengumuman larangan terhadap aliran Mu‟tazilah di
wilayahnya, buku-bukunya banyak yang dibakar dan ajaran-ajarannya tak
boleh lagi dianut.36
Akhirnya Al-Mutawakkil pun membatalkan aliran
Mu‟tazilah sebagai mazhab resmi Negara pada tahun 848 M.37
Umat Islam yang telah lama meras tertekan akibat pemaksaan dan
kekerasan yang dilancarkan kaum Mu‟tazilah, begitu mengetahui khalifah
telah membatalkan aliran Mu‟tazilah sebagi mazhab resmi negara, maka
kaum muslimin pun mulai berani angkat bicara, mendiskusikan, mengkritisi
bahkan membantah paham-paham Mu‟tazilah dengan berbagai argumentasi.
Situasi ini juga didukung oleh mulai berkembangnya aliran Asy‟ariyah yang
telah digagas oleh seorang ulama besar, tokoh sentral kaum Ahlusunnah
Waljamaah yaitu Abu al-Hasan al-Asy‟ari (260-324 H).
Dengan kharisma Al-Asy‟ari dan ditambah dengan ajaran-ajaran
yang dibawanya agak moderat dan tradisional serta merupakan jalan tengah
antara dua pemikiran yang ekstrim, akhirnya semakin mendapat simpati dan
dukungan masyarakat luas bahkan juga pihak penguasa, semakin membuat
aliran Mu‟tazilah tidak berdaya lagi sampai datangnya pasukan Mongolia
36
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, h.102. 37
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 60.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
34
yang meluluhlantakkan kota Baghdad dan kota-kota lainnya tahun 1258 M,
aliran inipun lenyap.38
Kalau kita perhatikan masa perkembangan aliran ini yaitu dimulai
sekitar awal abad kedua Hijrah bertepatan dengan awal abad ke-8 Masehi,
kemudian mengalami kemajuan dan kejayaan hingga masa khalifah Al-
Mutawakkil pada abad ke-3 Hijrah. Setelah itu mengalami kemunduran
sekitar abad ke-5 Hijrah bertepatan dengan abad ke-11 M. Aliran rasional ini
akhirnya lenyap sama sekali seiring dengan hancurnya kota Bagdad dan kota
lainnya akibat serangan tentara Mongolia pada abad ke-7 Hijrah atau 13
Masehi.
2. Teologi Mu’tazilah
Menurut Abu Zahrah, dalam menetapkan akidah, Mu‟tazilah
berpegang pada premis-premis logika, kecuali dalm masalah-masalah yang
tidak dapat dijangkau akal. Mereka mempercayai kemampuan dan kekuatan
akal. Setiap masalah yang timbul mereka hadapkan kepada akal. Yang dapat
diterima akal, mereka terima, dan yang tidak dapat diterima akal mereka
tolak.39
Mu‟tazilah banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani dan
logika dalam menemukan landasan-landasan paham mereka. Penyebabnya
ada dua yaitu:
1. Mereka menemukan di dalam filsafat Yunani keserasian dengan
kecenderungan pikiran mereka. Kemudian mereka jadikan sebagai metode
38
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, h.103. 39
Abu Zahrah, Tarikh Mazahib al-Islamiyah ( Cairo Mesir: Dar al-Fikr al-Araby,
t.th), h. 144.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
35
berpikir yang membuat mereka lebih lancar dan kuat dalam
berargumentasi.
2. Ketika para filosof dan pihak lain berusaha meruntuhkan dasar-dasar
ajaran Islam dengan argumentasi-argumentasi logis,
Mu‟tazilah dengan gigih menolak mereka dengan menggunakan
metode diskusi dan debat mereka. Kaum Mu‟tazilah memang banyak
mempelajari filsafat untuk dijadikan senjata mengalahkan serangan para
filosof dan pihak lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kaum
Mu‟tazilah adalah filosof-filosof Islam.40
Dalam menemukan pemikiran akidahnya, Mu‟tazilah menggunakan
metode logika murni dengan tetap berusaha agar tidak menyimpang dari nas-
nas al-Quran. Jika kelihatan adanya pertentangan antara paham mereka dan
nash al-Qur‟an yang mereka baca, maka nas itu mereka takwilkan sehingga
tidak bertentangan dengan paham mereka sekaligus tidak bertentangan
dengan makna al-Qur‟an.41
Di dalam sejarah pemikiran Islam, kaum Mu‟tazilah merupakan
golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam
dan bersifat filosofis dibanding aliran-aliran teologi lainnya. Hal ini
sebagaimana dikatakan di atas karena mereka banyak dipengaruhi filsafat
dan logika. Dalam membahas dan memecahkan masalah-masalah teologi
mereka lebih banyak menggunkan kemampuan akal.. Karenanya maka
40
Abu Zahrah, Tarikh Mazahib al-Islamiyah, h. 145. 41
Abu Zahrah, Tarikh Mazahib al-Islamiyah, h. 149
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
36
teologi yang mereka kembangkan lebih bercorak rasional dan liberal. Mereka
pun dinamakan juga dengan sebutan “kaum rasionalis Islam”42
.
Kaum Mu‟tazilah mempunyai lima doktrin pokok yang populer
dengan sebutan al -Ushul al-Khamsah. Kelima doktrin itu adalah al-Tauhid,
al-Adl, al-Wa’d wa al-Wa’id, al-Manzilah bain al-Manzilatain, dan al-Amr
bi al-ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar.
1. Al-Tauhid, yaitu mengesakan Tuhan. Dalam mengesakan Tuhan, kaum
Mu‟tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat yang
berdiri sendiri di luar zat, karena akan berakibat banyaknya yang qadim.
Mereka juga menolak sifat-sifat jasmaniyah (antropomorfisme) bagi
Tuhan karena akan membawa tajsim dan tasybih.
2. Al’Adlu, yaitu keadilan Tuhan. Keadilan Tuhan menurut amu‟tazilah
mengandung arti bahwa Tuhan wajib berbuat baik dan terbaik bagi
hamba-Nya (al-shalah wal ashlah), Tuhan wajib menepati janji Tuhan
wajib berbuat sesuai norma dan aturan yang ditetapkan-Nya, dan Tuhan
tidak akan member beban dluar kemampan hamba.
3. Al-Wa’d wa al-Wa’id, yaitu janji dan ancaman. Kaum Mu‟tazilah
meyakini bahwa janji dan ancaman Tuhan untuk membalas perbuatan
hamba-Nya pasti akan terlaksana. Ini bagian dari keadilan Tuhan.
4. Al-Manzilah bain al-Manzilatain, yaitu tempat di antara dua
tempat.Kaum Mu‟tazilah berpendapat bahwa orang mukmin yang
berdosa besar, statusnya tidak lagi mukmin dan juga tidak kafir, ia
berada di antara keduanya. Doktrin inilah yang kemudian melahirkan
aliran Mu‟tazilah yang digagas oleh Washil ibn Atha.
42
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 38
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
37
5. Al-Amr bi al-ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-munkar., yaitu perintah
melaksanakan perbuatan baik dan larangan perbuatan munkar.
Ini merupakan kewajiban dakwah bagi setiap orang Mu‟tazilah.
Menurut salah seorang pemuka Mu‟tazilah, Abu al-Husain al-Khayyat,
seseorang belum bisa diakui sebagai anggota Mu‟tazilah kecuali jika sudah
menganut kelima doktrin tersebut.43
D. Teologi Asy’ariyah
1. Sejarah Teologi Asy’ariyah
Teologi Asy‟ariyah muncul karena tidak terlepas dari, atau malah
dipicu oleh situasi sosial politik yang berkembang pada saat itu. Teologi
Asy‟ari muncul sebagai teologi tandingan dari aliran Mu‟tazilah yang
bercorak rasionil. Aliran Mu‟tazilah ini mendapat tantangan keras dari
golongan tradisionil Islam terutama golongan Hanbali. Hal ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
Pada tahun 827 M. Khalifah Abbasiyah, al-Makmun, menerima
doktrin Mu‟tazilah secara resmi, dan dilanjutkan pada pemerintahan dua
khalifah setelahnya. Orang-orang yang teguh memegang tradisi, khususnya
Ahmad bin Hanbal disiksa bahkan lebih dari itu, orang- orang yang tidak
memahami defenisi dogmatis Mu‟tazilah yang cerdas atau menolak
menerima mereka, dan kadang-kadang sebagian besar dianggap kafir.44
43
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, juz III, (Cairo Al-Nahdhah al-
Mishriyah, 1966), h. 22. 44
Annemarie Schimmel, Islam Interpretatif. (Cet. I; Depok: Inisiasi Press, 2003), h.
100.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
38
Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun, serangan Mu‟tazilah
terhadap para fuqaha’ dan muhadditsin semakin gencar. Tak seorang pun
pakar fiqh yang populer dan pakar hadis yang mashur luput dari gempuran
mereka. Serangan dalam bentuk pemikiran, disertai dengan penyiksaan fisik
oleh penguasa dalam bentuk suasana al-mihnah (inkuisisi).45
Banyak tokoh
dan ulama yang menjadi panutan umat menjadi korban gerakan mihnah,
mulai dari penyiksaan fisik, pemenjaraan bahkan sampai pada hukuman
mati.46
Sebagai akibat dari hal itu, timbul kebencian masyarakat terhadap
Mu‟tazilah, dan berkembang menjadi permusuhan. Masyarakat tidak senang
dengan hasutan-hasutan mereka untuk melakukan inkuisisi (mihnah)
terhadap setiap imam dan ahli hadis yang bertaqwa. Isu sentral yang menjadi
topik mihnah waktu itu adalah tentang “Alquran sebagai mahluk bukan
kalamullah yang qadîm”.
Keadaan berbalik setelah Al-Mutawakkil naik menduduki tahta
kekhalifahan. Setelah kurun pemerintahan khalifah al-Makmun, al-Mu‟tasim
dan al-Wasiq dari Dinasti Abbasiyah (813M-847M) paham Mu‟tazilah
mencapai puncaknya. Akhirnya al-Mutawakkil membantalkan pemakaian
aliran Mu‟tazilah sebagai mazhab negara ditahun 848 M. Dengan demikian
selesailah riwayat mihnah yang ditimbulkan kaum Mu‟tazilah dan dari ketika
45
Kata al-mihnah berasal dari bahasa Arab yang bermakna cobaan, bencana. Lihat
A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Cet. XIV; Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 1315 46
Nukman Abbas, al-Asy’ari: Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan
(Jakarta: Penerbit Erlangga, t.th), h. 103.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
39
itu mulailah menurun pengaruh dan arti kaum Mu‟tazilah.47
Beliau sebagai
khalifah menjauhkan pengaruh Mu‟tazilah dari pemerintahan. Sebaliknya dia
mendekati lawan-lawan mereka, dan membebaskan para ulama yang
dipenjarakan oleh khalifah terdahulu.
Pada akhir abad ke 3 Hijriah muncul dua tokoh yang menonjol, yaitu
Abu al-Hasan al-Asy‟ari di Bashrah dan Abu Mansyur al-Maturidi di
Samarkand. Keduanya bersatu dalam melakukan bantahan terhadap
Mu‟tazilah, kendatipun diantara mereka terdapat pula perbedaan.
Selanjutnya, yang akan dibicarakn hanyalah mengenai al-Asy‟ari yang
merupakan tokoh sentral dan pendiri aliran Asy‟ariyah.48
2. Teologi Asy’ariyah
Formulasi pemikiran al-Asy‟ari, secara esensial, menampilkan
sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan
Mu‟tazilah di sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki
semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat
reaksionis terhadap Mu‟tazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya.
Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut Watt, barangkali dipengaruhi
teologi Kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori Ibn Kullab; w. 854 M).49
47
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan
(Cet.V; Jakarta: UI Press),h. 64.
48
Muhammad Abu> Zahrah, Tarikh al-Maza>hib al-Islamiyyah, terj.
Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam (Jakarta:
Logos Publishing House, 1996), h. 189.
49
W. Montgomery Watt, Islam Philosophy and Theology (Edinbrugh: Edinbrugh
University Press, 1985), h. 58.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
40
Adapun pokok-pokok ajaran Abu Hasan al-Asy‟ary adalah sebagai
berikut:
1. Zat dan sifat-sifat Tuhan
Persoalan sifat-sifat Allah, merupakan maslaha yang banyak
dibicarakan oleh ahli teologi Islam. Berkaitan dengan itu berkembang dua
teori yaitu: teori isbat al-sifat dan naïf al-sifat. Teori pertama mengajarkan
bahwa Allah memiliki sifat-sifat, seperti, mendengar, melihat dan berbicara.
Teori inilah yang dianut oleh kaum Asy‟ariyah. Sementara teori kedua
mengajarkan bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat. Teori tersebut dianut
oleh kaum Mu‟tazilah dan para ahli ahli falsafah.
Paham kaum Asy‟ariyah berlawanan dengan paham Mu‟tazilah.
golongan Asy‟ariyah berpendapat bahwa Allah itu mempunyai sifat di
antaranya, al-‘ilm, al-qudrat, al-sama’ al-bas}ar, al-hayah, iradah, dan
lainnya. Namun semua ini dikatakan la yukayyaf wa la yuhadd (tanpa
diketahui bagaimana cara dan batasnya).
Menurut al-Asy‟ari, Allah mempunyai ilmu karena alam yang
diciptakan demikian teratur, alam tidak aka nada kecuali diciptakan oleh
Allah yang memiliki ilmu. Argumen ini antara lain diperkuat oleh firman
Allah dalam QS. al-Nisa/ 4: 166.
كن أزنٱلل بأزلإنيك ۥيشهدب ئكتوۦبعه
ه بٱن وكفى يشهدو ٱلل
٦١١شهيدا
Artinya: “(Mereka tidak mau mengakui yang diturunkan kepadamu
itu), tetapi Allah mengakui Al Quran yang diturunkan-Nya
kepadamu. Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya; dan
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
41
malaikat-malaikat pun menjadi saksi (pula). Cukuplah Allah
yang mengakuinya.”50
Menurut al-Asy‟ari ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah
mengetahui dengan ilmu. Oleh karena itu, mustahil ilmu Allah itu zat-Nya.
Jika Allah mengetahui dengan zat-Nya, maka zat-Nya itu merupakan
pengetahuan. Dan mustahil al-‘ilm (pengetahuan) merupaka ‘Alim (Yang
Mengetahui), atau al’Alim (Yang Mengetahui) merupakan al-‘ilm
(pengetahuan) atau zat Allah diartikan sebagai sifat-sifatnya. Oleh karena
mustahil Allah mengetahui dengan zat-Nya sendiri, karena dengan demikian
zat-Nya adalah pengetahuan dan Allah sendiri adalah pengeathuan. Allah
bukan pengetehuan („ilm) tetapi yang Mengetahui („Alim) . Dengan demikian
menurut al-Asy‟ari, Allah mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-
Nya bukanlah zat-Nya.
Kaum Asy‟ariyah juga meyakini akan sifat-sifat Allah yang bersifat
khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya.
Dalam hal ini al-Asya‟ariyah mengartikannya secara sombolis serta tidak
melakukan takyif (menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki
Allah), ta'til (menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki ), tams\il
(menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu) serta tahrif
(menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna
lainnya).51
50 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Penerbit al-Qur‟an
Hilal,2010), h. 104. 51
C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam (Cet. I; Jakarta:
Yayasan Obor, 1991), h. 67-68.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
42
Argumen al-Asy‟ariyah tersebut diperkuat dengan firman Allah, di
antaranya QS. Al-Rahman/55: 27:
موجزبكذوويبقى كساووٱنجه ٧٢ٱل
Artinya: Tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan
kemuliaan tetap kekal.52
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil sebuah konklusi bahwa,
dalam paham Asy‟ariyah sifat-sifat Allah adalah sebagaimana yang tertera
dalam al-Qur‟an dan hadis. Sifat-sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang
sesuai dengan zat Allah sendiri dan sekali-kali tidak menyerupai sifat-sifat
makhluk. Allah melihat tidak seperti makhluk. Begitu pula Allah mendengar
tidak seperti makhluk. Bahkan al-Asy‟ariyah berpendapat bahwa Allah
mempunyai muka, tangan, mata dan sebagainya tanpa ditentukan
bagaimananya (bila kaifa).
2. Kebebasan dalam berkehendak
Pada dasarnya al-Asy'ari, menggambarkan manusia sebagai seorang
yang lemah, tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa disaat berhadapan
dengan kekuasaan absolut mutlak.53
Karena manusia dipandang lemah, maka
paham al-Asy'ari dalam hal ini lebih dekat kepada faham Jabariyah
(fatalisme) dari faham Qadariyah (Free Will). Manusia dalam kelemahannya
banyak tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk
52
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, h. 532.
53 Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), h. 122.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
43
menggambarkan hubungan perbuatan dengan kemauan dan kekuasaan
mutlak Tuhan al-Asy‟ari memakai istilah al-kasb (acquisition, perolehan).
Menurut para ahli bahasa, kata kasb mempunyai makna dasar yang
meliputi “menginginkan, mencari, dan memperoleh”. Dari sini kemudian
muncul, makna “mencari rezeki (usaha), “berjalan untuk mencari rezeki”,
dan “mencari sesuatu yang diduga mendatangkan manfaat (keuntungan), dan
ternyata mendatangkan mudharat (kerugian)”. Anak juga disebut kasb karena
bapaknya menginginkannya dan berusaha untuk mendapatkannya.54
Al-Asy‟ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah
adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang
mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan
segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
Al-Kasb dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang timbul dari
manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan oleh Allah. Tentang
faham kasb ini, al-Asy'ari memberi penjelasan yang sulit ditangkap. Di satu
pihak ia ingin melukiskan peran manusia dalam perbuatannya. Namun dalam
penjelasannya tertangkap bahwa kasb itu pada hakekatnya adalah ciptaan
Tuhan. Jadi, dalam teori kasb manusia tidak mempunyai pengaruh efektif
dalam perbuatannya. Kasb, kata al-Asy'ari, adalah sesuatu yang timbul dari
yang berbuat (al-muhtasib) dengan perantaraan daya yang diciptakan.
Melihat kepada pengertian,"sesuatu yang timbul dari yang berbuat"
mengandung atas perbuatannya. Tetapi keterangan bahwa "kasb itu adalah
ciptaan Tuhan" menghilangkan arti keaktifan itu, sehingga akhirnya manusia
54
M. Quraish Shihab, et.al (Ed.), Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 431.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
44
bersifat pasif dalam perbuatan-perbuatannya. Argumen yang dimajukan oleh
al-Asy'ari tentang diciptakannya kasb oleh Tuhan adalah QS. Al-Saffat/37:
96:
و ٱلل هى ٦١خهقكىويبتع
Artinya: Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan
kamu.55
31
Jadi dalam paham al-Asy'ari, perbuatan-perbuatan manusia adalah
diciptakan Tuhan. Dan tidak ada pembuat (agen) bagi kasb kecuali Allah.
Dengan perkataan lain, yang mewujudkan kasb atau perbuatan manusia,
menurut al-Asy'ari, sebenarnya adalah Tuhan sendiri.
Bahwa perbuatan manusia sebenarnya adalah perbuatan Allah, dapat
dilihat dari pendapat al-Asy'ari tentang kehendak dan daya yang
menyebabkan perbuatan menjadi wujud. Al-Asy'ari menegaskan bahwa
Tuhan menghendaki segala apa yang mungkin dikehendaki. Tidak satupun di
alam ini terwujud lepas dari kekuasaan dan kehendak Tuhan. Jika Tuhan
menghendaki sesuatu, ia pasti ada, dan jika Allah tidak menghendakinya
niscaya ia tiada.56
Firman Allah dalam QS. al-Insan/76:30:
أيشبءويب إل تشبءو ٨٣...ٱلل
Artinya: Kamu tidak menghendaki kecuali Allah menghendaki"
55
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, h. 449.
56 Abul Hasan al-Asy‟ari, al-Ibanah ‘an ushul Addiyanah, ter. Abu Ihsan al-As|ari,
Alibanah Buku Putih Imam Al-Asy’ari (Solo: At-Tibyan, tth.), h. 51
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
45
Ayat ini diartikan oleh al-Asy'ari bahwa manusia tak bisa
menghendaki sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki manusia supaya
menghendaki sesuatu itu. Ini mengandung arti bahwa kehendak manusia
adalah satu dengan kehendak Allah, dan kehendak yang ada dalam diri
manusia, sebenarnya tidak lain dari kehendak Allah.
Dalam teori kasb, untuk terwujudnya suatu perbuatan dalam
perbuatan manusia, terdapat dua perbuatan,yaitu perbuatan Tuhan dan
perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan adalah hakiki dan perbuatan manusia
adalah majazi (sebagai lambang). Walaupun manusia itu tidak mempunyai
pengaruh yang efektif, namun dapat dipahami bahwa ia tidak mutlak pasif
tetapi justeru aktif walau dalam kadar minimum. Tuhan dan manusia dalam
suatu perbuatan adalah seperti dua orang yang mengangkat batu besar; yang
seorang mampu mengangkatnya sendirian, sedangkan yang seorang lagi tidak
mampu. Kalau kedua orang tersebut sama- sama mengangkat batu besar itu,
maka terangkatnya batu itu adalah oleh yang kuat tadi,namun tidak berarti
bahwa orang yang tidak sanggup itu tidak turut mengangkat. Demikian
pulalah perbuatan manusia. Perbuatan pada hakekatnya terjadi dengan
perantaraannya daya Tuhan, tetapi manusia dalam pada itu tidak kehilangan
sifat sebagai pembuat.57
Berangkat dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa sebenarnya al-
Asy‟ari tidak menginginkan umat manusia terjatuh dalam lingkaran
Jabariyah dan juga Qadariyah. Oleh sebab itulah dia mengemukakan sebuah
ajaran yang mengambil jalan tengah melalui teori al -kasbnya. Sebagai ajaran
pertengahan, yang dimaksud oleh al-Asy‟ari adalah bahwa manusia dalam
57
Hamzah Harun, Trend moderasi Asy’ariyah di Bidang ketuhanan, h. 35-36.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
46
perbuatannya bebas namun terikat; terpaksa tapi masih mempunyai
kebebasan.
3. Akal dan wahyu
Pada dasarnya golongan Asy‟ary dan Mu‟tazilah mengakui
pentingnya akal dan wahyu.58
Namun mereka berbeda pendapat dalam
menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal
dan wahyu. Al-Asy‟ari mengutamakan wahyu sementara Mu‟tazilah
mengutamakan akal. Mu‟tazilah memandang bahwa mengetahui Tuhan,
kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk, kewajiban
mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah dapat diketahui
lewat akal tanpa membutuhkan wahyu. 59
Sementara dalam pandangan al-Asya‟ariyah semua kewajiban agama
manusia hanya dapat diketahui melalui informasi wahyu. Akal menurut al-
Asya‟ariyah tidak mampu menjadikan sesuatu menjadi wajib dan tak dapat
mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah
wajib bagi manusia. Wajib mengenal Allah ditetapkan melalui wahyu
hanyalah sebagai alat untuk mengenal, sedangkan yang mewajibkan
mengenal Allah ditetapkan melalui wahyu. Bahkan dengan wahyu pulalah
untuk dapat mengetahui ganjaran kebaikan dari Tuhan bagi yang berbuat
ketaatan, serta ganjaran keburukan bagi yang tidak melakukan ketaatan.60
58
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), h. 122. 59
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h.
83-84.
60 Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal, (Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi
dalam Sejarah Umat Manusia), h. 85-86
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
47
Berdasarkan konsepsi di atas, dapat dipahami bahwa dalam teologi
Asy‟ariyah, institusi akal tidak memilki otoritas dalam mengetahui semua
kewajiban manusia. Oleh karena itu, otoritas wahyulah dalam menjelaskan
semua itu, atau dengan kata lain lewat wahyulah semua kewajiban
keagamaan manusia itu diketahui.
4. Qadimnya kalam Allah (al-Qur’an)
Masalah Qadimnya al-Qur‟an golongan Asy‟ariyah memiliki
pandangan tersendiri. Asy‟ari mengatakan bahwa walaupun al-Qur‟an terdiri
atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah
dan karenanya tidak qadim.
Pemikiran kalam al-Asy‟ari tentang Kalam Allah (al-Qur‟an) ini
dibedakannya menjadi dua, Kalam Nafsi yakni firman Allah yang bersifat
abstrak tidak berbentuk yang ada pada Zat (Diri) Tuhan, Ia bersifat Qadim
dan Azali serta tidak berubah oleh adanya perubahan ruang, waktu dan
tempat. Maka al-Qur‟an sebagai kalam Tuhan dalam artian ini bukanlah
makhluk. Sedangkan kalam Lafzi adalah kalam Allah yang diturunkan
kepada para Rasul yang dalam bentuk huruf atau kata-kata yang dapat
ditulis, dibaca atau disuarakan oleh makhluk-Nya, yakni berupa al-Qur‟an
yang dapat dibaca sehari-hari. Maka kalam dalam artian ini bersifat hadis
(baru) dan termasuk makhluk.61
Sebagai reaksi atas pandangan Mu‟tazilah, yang mengatakan bahw
kalam Allah tidak bersifat kekal tetapi bersifat baru dan diciptakan Allah,
61
Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan
Tradisi NU (Cet. Ke-7; Jakarta: Lantabora Press, 2005), 37-38.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
48
maka al-Asy‟ari berpendapat bahwa kalam Allah tidaklah diciptakan, sebab
kalau diciptakan, maka bertentangan dengan firman Allah QS. Al-
Nahl/16:40.
ب أ قىلنإ ۥقىنبنشيءإذاأزد ٩٣كفيكى
Artinya: Sesungguhnya terhadap sesuatu apabila kami
menghendakinya, kami hanya mengatakan kepadanya,
“jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu.62
Menurut al-Asy‟ari, ayat tersebut menegaskan bahwa untuk
menciptakan itu perlu kata „kun’, dan untuk terciptanya „kun’ ini perlu pula
kata „kun’ yang lain, begitu seterusnya, sehingga terdapat rentetan kata ‘kun’
yang tidak berkesudahan. Ini, menurut al-Asy‟ari, tidak mungkin. Oleh
karena itu al-Qur‟an tidak mungkin diciptakan.63
Argumen ini berdasarkan
QS. al-Rum/30: 25
وي ت بءأتقىوۦءاي ...ۦبأيسٱلزضوٱنس
Artinya: Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah
berdirinya langit dan bumi dengan kehendaknya.64
Dalam ayat di atas, disebutkan bahwa langit dan bumi terjadi dengan
perintah Allah. Perintah mempunyai wujud dalam bentuk kalam. Dengan
62
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 271.
63 Hamzah Harun, Trend Moderasi Asyariyyah di Bidang Ketuhanan (Makassar:
Alauddin Press, 2012), h. 112-113 64
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, h. 407
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
49
demikian, kata al-Asy‟ari, perintah Allah adalah kalam Allah dan kalam
Allah merupakan sifat, dan sebagai sifat Allah maka mestilah ia kekal.
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa
kalam Allah, menurut aliran Asy‟ariyah adalah sifat, dan sebagai sifat Allah,
maka mestilah ia kekal. Namun, untuk mengatasi persoalan bahwa yang
tersusun tidak boleh bersifat kekal atau qadim, seperti yang dikemukakan
Mu‟tazilah, al-Asy‟ariyah memberikan dua defiisi yang berbeda. Kalam
yang tersusun disebut sebagai firman dalam arti kiasan (kalam lafzi).
Sedangkan kalam yang sesungguhnya adalah apa yang terletak di balik yang
tersusun tersebut (kalam nafsi).
5. Melihat Allah
Al-Asy‟ari berpendapat bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi
tidak digambarkan. Karena boleh saja itu terjadi bila Allah sendiri yang
menyebabkan dapat dilihat sesuai kehendaknya. Firman Allah dalam QS. Al-
Qiyamah/75: 22:
٧٧يىيئر بضسةوجى
Artinya : Wajah-wajah (orang-orang mu'min) pada hari itu berseri-seri.
Kepada Tuhannyalah mereka melihat.65
Argumen logika yang dikemukakan ialah bahwa Tuhan itu ada, maka
melihat-Nya pada hari kiamat dengan mata kepala adalah hal yang mungkin.
65
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, h. 578.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
50
Karena sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan mata kepala, itu tidak bias
diakui adanya, sama seperti sesuatu yang tidak ada. Padahal Tuhan pasti ada.
Pada hari kiamat, Allah dapat dilihat seperti melihat bulan purnama.
Dia dapat dilihat oleh orang yang beriman, dan bukan oleh orang kafir.
Sebab mereka dihalangi untuk melihat-Nya. Musa pernah meminta agar
diperkenankan melihat Allah di dunia, kemudian gunung pun bergetar
sebagai penjelmaan kekuasaan-Nya. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa Dia tidak dapat dilihat di dunia, sebaliknya di akhirat dapat dilihat.66
6. Keadilan
Asy‟ari tidak sependapat dengan Mu‟tazilah yang mengharuskan
Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan
memberi pahala orang yang berbuat baik. Menurutnya Allah tidak memiliki
keharusan apapun karena Ia adalah penguasa mutlak.
Puncak perselisihan antara Asy‟ariyah dan Mu‟tazilah dalam masalah
keadilan Tuhan adalah ketika Mu‟tazilah tidak mampu menjawab kritik yang
dilontarkan Asy‟ariyah, bahwa jika keadilan mencakup ikhtiar, baik dan
buruk logistik serta keterikatan tindakan Tuhan dengan tujuan-tujuan semua
tindakan-Nya, maka pendapat ini akan bertentangan dengan ke-Esaan
tindakan Tuhan (Tauhid fil Af’al) bahkan bertentang dengan ke-Esaan Tuhan
itu sendiri. Karena ikhtiar menurut Mu‟tazilah merupakan bentuk penyerahan
ikhtiar yang ekstrim dan juga menafikan ikhtiar dari Zat-Nya.67
66
Abu Hasan Al-Asya‟ari, al-Ibanah Buku Putih Imam Al-Asy’ari, h. 87-93.
67 Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, Juz 4 (Cet. V; Beirut: Da>r al-Misriah, 1965), h.
81.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
51
Dalam pandangan Asy‟ariyah, Tuhan itu adil, sedangkan pandangan
Mu‟tazilah standar adil dan tidak adil dalam pandangan manusia untuk
menghukumi Tuhan, sebab segala sesuatu yang bekenaan dengan kebaikan
manusia hukumnya wajib bagi Allah.
Keadilan dalam pandangan al-Asy‟ariyah sebagaimana dikutip al-
Syahrastani, adalah menempatkan ssuatu pada tempat yang sebenarnya. Oleh
karena alam dan segala yang ada di dalamnya adalah milik Allah, maka Dia
dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya meskipun dalam pandangan
manusia tidak adil. Dengan demikian, jika Allah menambah beban yang
telah ada pada manusia, atau menguranginya, dalam pandangan al-
Asya‟ariyah, Allah tetap adil. Bahkan Dia tetap adil walaupun memasukkan
semua orang ke dalam surga atau nerakanya, baik yang jahat maupun yang
taat dan banyak amalnya.68
Dan hal ini tidak memberi kesan bahwa Allah
berlaku zalim pada hamba-Nya, karena yang dinamakan zalim ialah
mempergunakan sesuatu yang bukan haknya atau meletakkkan sesuatu
bukan pada tempatnya.
Berdasarkan keterangan tersebut, dapat dipahami bahwa keadilan
Allah menurut pemahaman Asy‟ariyah adalah bersifat absolut, Dia memberi
hukuman menurut kehendak mutlak-Nya, tidak terikat pada sesuatu
kekuasan, kecuali kekuasaan-Nya sendiri.
68
Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal, (Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi
dalam Sejarah Umat Manusia), h. 85
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
52
7. Kedudukan orang yang berbuat dosa
Al-Asy‟ari mengatakan bahwa orang mukmin yang mengesakan
Tuhan tetapi fasik, terserah kepada Tuhan, apakah akan diampuni-Nya dan
langsung masuk syurga atau akan dijatuhi siksa karena kefasikannya, tetapi
dimasukkan-Nya kedalam surga.
Dalam hal ini, al-Asy‟ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat
dosa besar adalah mukmin yang fasiq, sebab iman tidak mungkin hilang
karena dosa selain kufur.69
Berdasarkan pokok-pokok ajaran Asy‟ariyah, maka ciri-ciri orang
yang menganut aliran Asy‟ariyah adalah sebagai berikut:
a. Mereka berpikir sesuai dengan Undang-undang alam dan mereka juga
mempelajari ajaran itu.
b. Iman adalah membenarkan dengan hati, amal perbuatan adalah
kewajiban untuk berbaut baik dan terbaik bagi manusia. dan mereka
tidak mengkafirkan orang yang berdosa besar.
c. Kehadiran Tuhan dalam konsep Asy‟ariyah terletak pada kehendak
mutlak-Nya.
69
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, h. 124
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
53
BAB III
PEMIKIRAN HARUN NASUTION DAN M. RASYIDI
Pada bagian ini penulis akan membahas tentang bagaimana pemikiran
Harun Nasution dan M. Rasyidi tentang teologi Islam. Dalam aspek teologi
terdapat tema-tema pokok yang dipermasalahkan oleh hampir semua aliran
teologi dalam Islam, yakni akal dan wahyu, kebebasan manusia, kekuasaan
mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, sifat Tuhan, perbuatan Tuhan dan konsep
iman. Namun pembahasan teologi Harun dan M.Rasyidi dalam bab ini
penulis akan membatasi hanya pada masalah akal dan wahyu, perbuatan
manusia, dan kekuasaan mutlak Tuhan.
A. Pemikiran Islam Harun Nasution
1. Biografi Harun Nasution
Harun Nasution (selanjutnya di Tulis Harun) lahir pada hari selasa
tepatnya pada tanggal 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatera
Utara. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama kelahiran
Mandailing yang berkecukupan serta pernah menduduki jabatan sebagai
qadi, penghulu, kepala agama, hakim agama dan imam masjid di kabupaten
Simalungun. Sementara itu, ibunya bernama Maimunah yang berasal dari
Tanah Bato adalah seorang putri ulama asal boru Mandailing Tapanuli, dan
masa gadisnya pernah bermukim di Makkah dan pandai bahasa Arab.
Harun merupakan putra dari lima bersaudara. Saudaranya yang tertua
yakni Mohammad Ayyub yang kemudian disusul oleh Khalil, Sa‟idah dan
adik perempuannya Hafshah. Kedua orang tua Harun yang berpendidikan
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
54
agama tinggi telah memberikan sumbangan dan peran amat besar dalam
menanamkan pendidikan agama anak-anaknya.
Sebagaimana pendidikan yang ditempuh oleh Harun Nasution dengan
memulai pada Sekolah Dasar milik Belanda, Hollandsch Inlandsch School
(HIS) selama 7 tahun dan selesai tahun 1934 yang pada waktu itu ia berusia
14 tahun. Selama belajar di Sekolah Dasar ini, Harun berkesempatan
mempelajari bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum. Setelah itu, ia
meneruskan studinya ke Moderns Islamietische Kweekschool (MIK), yakni
sebuah sekolah guru menengah pertama swasta modern. Selama tiga tahun,
Harun belajar di sana dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Di sekolah
inilah, Harun mulai terlihat daya kritisnya terhadap hukum-hukum Islam
yang bertolak belakang dengan apa yang dianut oleh kedua orang tua dan
masyarakat sekitarnya.1
Setelah pengetahuan umum yang diperolehnya dari sekolah Belanda
dirasa sudah cukup, Harun pergi ke Mekkah untuk mendalami ilmu agama
Islam dan menunaikan ibadah Haji. Akan tetapi, setelah lebih dari kurang
satu tahun lamanya, Harun merasa tidak betah berada di Makkah. Oleh
karenanya, pada tahun 1938 Harun memutuskan pergi ke Mesir. Pada tahun
tersebutlah Harun melanjutkan studinya di al-Azhar. Alasan Harun tertarik
untuk belajar di Mesir, karena sejumlah pemikir Muslim progresif yang ia
temukan pada saat di Bukit Tinggi merupakan lulusan universitas di Mesir.
Dengan pertimbangan untuk mencari tempat belajar yang sesuai
akhirnya orang tuanya merelakannya ia pergi ke Mesir. Di Mesir, Harun
1Muhammad Husnol Hidayat “Harun Nasution dan Pembaharuan Pemikiran
Pendidikann Islam di Indonesia”, (Tadrîs, Vol.10 No.1, 2015), h. 25-26.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
55
kuliah di Fakultas Ushuluddin pada Universitas Al-Azhar. Di sinilah Harun
mulai mencoba mendalami Islam. Di fakultas Ushuludin tersebutlah, Harun
juga belajar berbagai ilmu umum, seperti halnya, filsafat, ilmu jiwa, etika.
Tidak hanya itu, selain berbahasa Arab, ia juga belajar bahasa Inggris dan
Prancis.2 Namun studinya tidak membuat Harun merasa puas meskipun
mendapatkan nilai yang tinggi. Dengan alasan ketidakpuasan inilah, Harun
Nasution juga melanjutkan studi di Universitas Amerika di Kairo. Di
universitas ini, Harun tidak lagi mendalami studi Islam, melainkan ilmu
pendidikan dan ilmu-ilmu sosial. Dari American University Kairo ini harun
memperoleh gelar Bachelor Of Art (BA) dalam bidang Social Studies pada
tahun 1952.3
Dengan bekal gelar BA dari American University serta ditambah
dengan pengalaman sebagai aktivis di PERPINDOM serta didukung oleh
kemampuan berbahasa Arab, Inggris dan Belanda, Harun untuk sementara
waktu tidak melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Ia memilih
bekerja di sebuah perusahaan swasta di Mesir. Dalam kesempatan ini pula ia
menikah dengan seorang wanita Mesir dan beberapa tahun kemudian
diangkat sebagai pegawai di konsulat.
Beberapa tahun kemudian Harun dipanggil pulang untuk bekerja di
Departemen Luar Negeri Jakarta, hingga akhirnya ia di tempatkan sebagai
Sekretaris di Kedutaan Besar Indonesia di Brussel Belgia. Ketika bekerja di
Brussel terjadi gejolak politik yang berimplikasi pada keadaan yang kurang
menguntungkan bagi Harun, akhirnya ia kembali ke Mesir dan melanjutkan
2Nurhidayat Muh Said, Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia : Studi
Pemikiran Harun Nasution”(Jakarta : Pustaka Mapan, 2006), h. 12. 3Nurhidayat Muh Said, Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia:, h. 12.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
56
kuliahnya. Pada saat itu, Harun masuk di Sekolah Tinggi Studi Islam
(Dirâsah Islâmiyyah) di bawah bimbingan seorang ulama berkebangsaan
Mesir yang terkemuka, yakni Muhammad bin Abi Zahrah. Pada saat belajar
di Mesir putaran kedua inilah, Harun memperoleh tawaran studi Islam di
McGill University, Monteral, Kanada. Selama studi di McGill, ia mengambil
konsentrasi kajian tentang modernisasi dalam Islam.4
Setelah menyelesaikan masternya (MA), Harun melanjutkan studi
doktornya selama dua setengah tahun untuk memperoleh gelar Ph.D dengan
menyelesaikan disertasi di bidang ilmu kalam (teologi) pada bulan Mei tahun
19685 melalui disertasinya setebal 174 halaman tentang konsep akal dalam
pemikiran Muhammad Abduh.6 Setelah meraih gelar Doktor, Harun kembali
ke tanah air dan mencurahkan perhatiannya pada pengembangan pemikiran
Islam di Indonesia.
4Beberapa waktu kemudian Harun berhasil mengantongi ijazah B.A. Selama
beberapa tahunsempat bekerja di perusahaan swasta. Selanjutnya Harun bekerja di Konsulat
Indonesia Kairo. Berawal dari sinilah Harun memulai karir politiknya. Kemudian putra
Batak yang menikahi putri Mesir bernama Sayedah ini ditarik ke Jakarta. Tidak lama
berselang ia bekerja sebagai sekretaris pada Kedutaan Besar Indonesia di Brussel. Supandi
“Membaca Ulang Pemikiran dan Pembaruan Islam Harun Nasution”, Dinika, Vol.12. No
2(2014), h.102. 5Pada tahun 1968, ia melanjutkan studi untuk memperoleh Ph.D. Sebagai
objek kajian terakhirnya adalah Islam di Turki, Arab dan India, yaitu Islam yang
dianut oleh Muhammad Abduh dan Sayyid Ahmad Khan. Menurut Harun, metode
berpikir mereka bisa dipakai untuk perkembangan dunia Islam modern. Akhirnya, ia
secara konsekuen memilih Muhammad Abduh. Kekagumannya terhadap Muhammad
Abduh menyoroti pemikirannya yang sangat terpola ide-ide pembaharuannya. Lewat
kajian inilah ia ingin melihat sosok Abduh sebagai pembaharu dalam Islam melalui
kajian ilmu kalam yang cenderung pada Mu‟tazilah. Sisi lain, kenapa ia lebih
cenderung kepada pola pikir Abduh adalah karena kemodernannya, maksudnya
Muhammad Abduh itu adalah pemikiran modern. Sesuai dengan keinginannya dan
bidangnya, yaitu mempelajari modernis, yang berkaitan dengan ilmu kalam modern,
tapi tidak mengabaikan ilmu kalam klasik. Nurhadi, “Harun Nasution : Islam Rasional
dalam Gagasan dan Pemikiran” Edukasi, Vol. 1, No.1(201 3), h. 47. 6Abdul Halim Ed, Teologi Islam Rasional (Jakarta: Ciputat Press, 2001), h. 115.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
57
Melalui Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta. Pada tahun pertama di IAIN, kehadiran Harun belum dapat diterima
sepenuhnya. Namun Harun didukung penuh oleh para pimpinan dan pejabat
di lingkungan Departemen Agama, khususnya ketika Mukti Ali, lulusan
McGill diangkat menjadi Menteri Agama. Harun sendiri diangkat menjadi
rektor beberapa tahun (1973-1984). Selesai tugasnya sebagai rektor, Harun
dipercaya sebagai Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
hingga akhir hayatnya. Berkat ketekunannya mengelola Pascasarjana ini
telah lahir ratusan doktor dalam bidang ilmu agama Islam yang kini telah
banyak menjadi orang nomor satu di lembaga pendidikan yang dipimpinnya.
Di tengah-tengah kesibukannya memberi kuliah dan memimpin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Harun juga tercatat sebagai ilmuwan yang produktif
dalam menulis karya ilmiah. Di antara karya ilmiah yang dihasilkannya
adalah:
1. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya;
2. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan;
3. Filsafat Agama;
4. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam;
5. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan;
6. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu‟tazilah;
7. Akal dan Wahyu dalam Islam; dan
8. Islam Rasional.7
7Muhammad Husnol Hidayat “Harun Nasution dan Pembaharuan Pemikiran
Pendidikann Islam di Indonesia”, Tadrîs, 27-28. Dengan mengantongi ijazah doktor, Harun
kembali ke tanah air. Di bumi pertiwiini Harun mencurahkan perhatiannya pada
pengembangan pemikiran Islam lewat corong IAIN. Harun pernah menjabat rektor IAIN
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
58
2. Teologi Harun Nasution
Pada awal abad XX ide tentang kebebasan, pemikiran rasional, serta
pemikiran ilmiah tidak dijumpai dikalangan para pembaharu Indonesia. Hal
ini terjadi karena pemikiran Islam di Indonesia masih bersifat tradisional
yang kental dengan paham teologi Asy‟ariyah, yakni pemikiran tradisional
atau kepercayaan kepada qadha dan qadhar8. sehingga pintu ijtihad dengan
kembali kepada al-Qur‟an dan hadits yang dianut oleh para pembaharu tidak
dapat berkembang di Indonesia, karena pada hakikatnya masih terikat pada
hasil ijtihad ulama masa silam.
Dalam hal ini Harun mengatakan:
“Teologi Islam yang diajarkan di Indonesia pada umumnya adalah
teologi dalam bentuk ilmu tauhid. Ilmu tauhid biasanya kurang
mendalam dalam pembahasan dan kurang bersifat filosofis. Ilmu
tawhid biasanya memberi pembahasan sepihak dan tidak
mengemukakan pendapat dan paham dari aliran-aliran atau golongan-
golongan lain yang ada dalam teologi Islam. Dan ilmu tauhid
diajarkan dan dikenal di Indonesia pada umumnya ialah ilmu tauhid
menurut aliran Asy‟ariyah, sehingga timbullah kesan dikalangan
Syarif Hidayatullah Jakarta selama dua periode (1974-1982). Harun juga memelopori
berdirinya pascasarjanauntuk studi Islam di IAIN. Ia pun pernah menjabat sebagai dekan
Fakultas Pascasarjana IAIN Jakarta.Harun mewakafkan dirinya hingga akhir hayat di
lingkungan IAIN. Ia mengajar dan membimbing mahasiswa dari jenjang S1 hingga doktor.
Saat ini, tidak sedikit murid-muridnya yang menjadi guru besar dan tersebar di berbagai
perguruan tinggi di tanah air. Mereka meneruskan gagasan-gagasan gurunya di tempat
mereka mengajar. Supandi “Membaca Ulang Pemikiran dan Pembaruan Islam Harun
Nasution”, Dinika, 103
8Harun Nasution, Islam Rasional, h.154.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
59
sementara umat Islam Indonesia, bahwa inilah satu-satunya yang ada
dalam Islam.”9
Dari kutipan diatas, bahwa pandangan Harun tentang kajian Islam di
Indonesia lebih bersifat dogmatis dan hanya terpaku pada mazhab tertentu,
yakni hanya terpaku pada pendapat-pendapat ahlus sunnah wal‟jamaah yang
didominasi oleh paham Asy-ariyah, inilah yang membuat pemikiran umat
Islam menjadi mandek.
Menurut Harun umat Islam Indonesia kebanyakan mengutamakan
hidup spiritual keakhiratan dari pada hidup material di dunia. Islam di
Indonesia banyak di identikan dengan shalat, puasa, zakat, dan haji, sungguh
pun menurut ajaran dasar Islam yaitu Al-qur‟an dan hadits. Sementara urusan
dunia dikesampingkan padahal menurut Harun urusan dunia seperti
menuntut ilmu berusaha untuk kepentingan masyarakat termasuk ekonomi,
industri, dan pertanian tidak kalah pentingnya.10
Hal ini berarti terjadi
ketidakseimbangan antara kehidupan spiritual akhirat dan kehidupan
material dunia. Produktivitas dikalangan umat Islam Indonesia terasa sangat
rendah sebagai akibat dari pandangan teologi tradisional dan orientasi yang
sangat dominan.
Harun Nasution mengusulkan supaya teologi sunnatullah dengan
pemikiran rasional, filosofis, dan ilmiah harus ditanamkan dan
dikembangkan dikalangan umat Islam Indonesia untuk mengggantikan
9 Harun Nasution, Teologi Islam, h. ix-x
10Harun Nasution, Islam Rasional, h. 120.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
60
teologi tradisional yang olehnya disebut teologi kehendak Tuhan.11
Harun
juga menyarankan agar umat Islam Indonesia menganut paham
keseimbangan antara orientasi spiritual keakhiratan dan orientasi
keduniaan.12
Dengan demikian dari pemikiran Harun tersebut dapat dikatakan
bahwa orientasi keakhiratan umat Islam harus diimbangi dengan orientasi
keduniaan, sehingga umat Islam juga mementingkan hidup kemasyarakatan
dan berusaha mencapai kemajuan dalam kehidupan duniawi. Umat Islam
harus di bawa kembali ke teologi yang mengandung paham dinamika dan
kepercayaan kepada rasio dalam batas-batas yang ditentukan wahyu. Umat
Islam harus dirangsang untuk berpikir dan berusaha secara maksimal untuk
mencapai kemajuan dalam bidang kehidupan duniawi seperti umat Islam
pada masa keemasan. Hal ini berarti bahwa teologi yang ada harus dirubah
dengan teologi baru yang dapat mencapai keseimbangan dan kemajuan
kehidupan umat islam.
Untuk mencapai keseimbangan dan kemajuan kehidupan umat islam
tersebut Harun menawarkan gagasan penggunaan teologi rasional.13
Menurut
Harun teologi rasional dapat membawa kemajuan. Dengan mengubah teologi
11
Harun Nasution, Islam Rasional, h. 121 12
Harun Nasution, Islam Rasional, h. 121 13
Harun Nasution merupakan pemikir muslim rasional Indonesia yang
memberiakan pengaruh besar dalam khazanah pemikiran Islam di Indonesia. Dengan
kemampuan intelektualnya, Harun berusaha agar teologi yang sebelumnya dianggap
sebagai ilmu langit dapat dibumikan dan diaktualisasikan dalam kehidupan sosial.
Harun Nasution memandang teologi rasional sesuai untuk masyarakat modern karena
memiliki konsekuensi erat dengan perbuatan manusia dalam hidup keseharian yang
mencakup aspek pendidikan, politik, budaya dan sosial kemasyarakatan.Muhammad Arifin,
“Relevansi dan Aktualisasi Teologi Dalam Kehidupan Sosial Menurut Harun Nasution”,
Substantia, Vol 16, No1(2014), h. 101.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
61
tradisional menjadi teologi rasional, maka cita-cita umat Islam untuk
mencapai peradaban yang tinggi, tanpa terkecuali di indonesia akan tercapai.
Sebagaimana Harun mengungkapkan, bahwa dengan bertambah
berkembangnya teologi rasional itu dikalangan umat Islam, cita-cita untuk
memperoleh peradaban tinggi Islam di zaman modern ini akan bisa
tercapai.14
Lebih lanjut Harun mengatakan:
“Teologi atau falafat hidup Asy-ariyah yang memiliki corak
tradisional kurang sesuai dengan pandangan hidup mereka (kaum
terpelajar), yang lebih dapat mereka terma ialah teologi atau falsafat
hidup Mu‟tazilah yang lebih banyak memiliki corak liberal.”15
Teologi rasional yang dimaksud adalah bahwa kita harus
mempergunakan rasio (akal) dalam urusan-urusan dunia dan agama tanpa
harus mengenyampingkan wahyu. Menurutnya, di dalam Al-Qur‟an ada dua
bentuk kandungan yaitu qath’iy al dalalah dan zhanniy al-dalalah. Qath‟iy
al dalalah adalah kandungan yang sudah jelas sehingga tidak lagi dibutuhkan
interpretasi. Zhanniy al-dalalah adalah kandungan dalam Al-Qur‟an yang
masih belum jelas sehingga menimbulkan interpretasi yang berlainan.16
14 Harun Nasution, “Kata Sambutan” dalam Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat0ayat
Kalam: Tafsir al-Maraghi (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. VII
15
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, h. 43 16
Qat„i dan Zanni merupakan suatu masalah pokok yang dibahas dalam ilmu us{ul
fikih yang berkaitan erat dengan hukum-hukum syariat. Qat‟i yaitu suatu dalil yang sudah
pasti penjelasan maknanya dan meyakinkan sehingga tidak ada kemungkinan penjelasan
lain. Sedangkan Zanni yaitu suatu dalil yang belum pasti maknanya, sehingga masih
menimbulkan penjelasan lain. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir : Syarat, Ketentuan dan
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
62
Untuk mendobrak tradisi mengekor (taklid). Dalam melakukan reinterpretasi
ajaran Islam, Harun terlebih dahulu membedakan mana wilayah absolut
(qath‟iy) yang tidak bisa ditafsir ulang dan mana yang relatif (zhanniy).
Terhadap yang kedua ini, ia sering melakukan terobosan makna.17
Dari pemikiran Harun tersebut dapat dipahami bahwa jika hendak
memperbaiki kondisi umat Islam, yang mendesak dilakukan adalah
membuang teologi fatalistik menuju teologi yang berwatak rasional serta
mandiri. Dan jika dilihat sepertinya Harun Nasution banyak dipengaruhi oleh
pemikiran teologi rasional Mu‟tazilah, karena dalam teologi Mu‟tazilah
bahwa akal sangat berperan dalam kehidupan. Sebagaimana dijelaskan
Harun bahwa:
“Teologi mu'tazilah memberi penghargaan tertinggi terhadap akal
akan mengantarkan manusia untuk dapat berpikir secara rasional.
Penghargaan yang tinggi pada akal itu memunculkan teologi atau
falsafah hidup yang bercorak rasional dalam Islam. akal adalah
lambang kekuatan manusia. Islam memberikan kedudukan yang
tinggi pada akal karena mempunyai daya yang kuat. Pentingnya
peranan akal dalam kehidupan manusia ini perlu dipelajari kedudukan
akal dalam ajaran Islam.”18
Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an ( Tanggerang :
Lentera Hati, 2013), cet.ke12, h.166. 17
Harun mengemukakan bahwa jika ingin melakukan pemmbaharuan pemikiran ke-
Islaman, terlebih dahulu kita membedakan antara ajaran yang bersifat qat’i dan dhanni. Baca
Nurhidayat Muh Said, Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia: Studi Pemikiran Harun
Nasution, h.4. 18
Harun Nasution, Islam Rasional, h. 139.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
63
Dari kutipan di atas, tergambar bahwa pengakuan Harun terhadap
teologi Mu‟tazilah yang menempatkan penghargaan akal pada posisi
tertinggi, kecenderungan Harun terhadap Mu‟tazilah juga dapat dilihat dari
pernyataannya berikut:
“Madzhab berfikir muktazilah adalah solusi. Sementara aliran
Asy‟ariyah yang telah lebih dulu dianut kaum Muslim Indonesia
dipandang racun yang mematikan. Karena itu, menggeser teologi
fatalis Asy‟ariyah oleh teologi rasional Mu‟tazilah tidak bisa
dielakan.”19
Aku melihat pemikiran Mu‟tazilah maju sekali. Kaum Mu‟tazilahlah
yang bisa mengadakan suatu gerakan pemikiran dan peradaban Islam.
Ini yang membuat aku berpikir, kalau zaman dulu begitu, mengapa
Islam sekarang tidak. Sebaliknya Islam zaman sekarang lebih
didorong lagi kearah sana.”20
Dari pemikiran Harun diatas, terlihat jelas bahwa Harun hendak
mengganti teologi tradisional kearah teologi rasional ini dapat dipahami
bahwa teologi yang berkembang di Indonesia yang dimaksud adalah teologi
Asy‟ariyah, sedangkan teologi rasional adalah teologi Mu‟tazilah. Harun
Nasution dalam pemikirannya sangat jelas bahwa pemikirannya terpengaruh
dengan pemikiran Mu‟tazilah yang mengutamakan akal.
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam ajaran Islam akal
mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam
19Har un Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II, h.42
20
Harun Nasution, “Mencari Islam di McGill” dalam Aqib Suminto (ed.), Refleksi
Pembaharuan Pemikiran Islam, (Jakarta: LSAF, 1989) h. 37
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
64
perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam
perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Ketinggian,
keutamaan dan kelebihan manusia dari makhluk lain terletak pada akal yang
dianugerahkan Tuhan kepadanya. Akallah yang membuat manusia
mempunyai kebudayaan dan peradaban yang tinggi. Akal manusialah yang
mewujudkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya ilmu pengetahuan
dan teknologi yang membuat manusia dapat mengubah dan mengatur alam
sekitarnya untuk kesejahteraan dan kebahagiaannya baik pada masa kini
maupun pada masa mendatang. Memang akallah yang membuat manusia
berbeda dengan hewan dan karena itu dalam filsafat manusia disebut sebagai
binatang berbicara atau berpikir.21
Harun melihat adanya bahaya besar yang mengancam umat Islam
jika sikap selalu nrimo, fatalistik, pesimistis senantiasa dipelihara oleh umat
Islam, yakni mereka akan semakin terisolasi dari kancah pembangunan
bangsa dan negara. Mereka akan seperti tikus mati di lumbung padi. Inilah
yang merisaukan Harun.
Harun sangat gigih memperjuangkan teologi rasional dan menentang
keras teologi ortodok yang mencengkram kebebasan akal untuk berfikir.
Keseluruhan pemikirannya dibangun untuk mengokohkan gagasannya bahwa
penyebab mundurnya umat Islam, khususnya di Indonesia adalah akibat
mereka memegangi teologi tradisional.
Tampak kecenderungan Harun kepada teologi rasional yang menjadi
madzhab kelompok Mu‟tazilah. Ia menulis: Hal-hal inilah antara lain yang
membuat aliran Asy‟ariyah kurang sesuai dengan jiwa kaum terpelajar Islam
21
Harun Nasution, Islam Rasional, h. 139.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
65
yang banyak mendapat pendidikan Barat. Dalam suasana serupa inilah orang
mulai kembali ke faham-faham rasional yang dibawa kaum Muktazilah.
Teologi atau falsafat hidup Asy‟ariyah yang mempunyai corak tradisional itu
kurang sesuai dengan pandangan hidup mereka. Yang lebih dapat mereka
terima ialah teologi atau falsafat hidup Muktazilah yang lebih banyak
mempunyai corak modern.
Harun menambahkan bahwa untuk membangun peradaban suatu
bangsa dan negara tidak hanya pada wilayah objek fisik pembangunan saja,
melainkan juga dalam wilayah teologi agama yang diyakini oleh masyarakat.
Teologi tersebut sangat berkaitan dengan sikap dan mentalitas masyarakat
dalam mengahadapi perubahan dan pembangunan peradaban. Oleh
karenanya, yang terpenting dalam pembangunan teologi agama, yakni upaya
mengubah sikap mental tradisional menjadi sikap mental rasional dan liberal.
Menurut Harun, dengan pendekatan filsafat rasional dan liberal,
problematika pembangunan dan sosial serta keagamaan dapat mudah
diselesaikan.22
Di Indonesia, menurut Harun Nasution, sebagian besar umat Islam
hanya percaya dengan aspek fikih saja, padahal Islam mempunyai banyak
aspek lain yang perlu diketahui dan di pelajari, salah satunya dengan
mengenal Islam dari aspek teologi atau ilmu kalam. Dengan demikian,
tinjauan teologi akan memberikan pandangan yang lebih lapang dan sikap
yang lebih toleran dari tinjauan hukum atau fikih.
Beberapa tema yang sering dipermasalahkan oleh hampir semua
aliran teologi yaitu tentang akal dan wahyu, kebebasan manusia, kekuasaan
22
Harun Nasution, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran, h.139-146.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
66
mutlak tuhan, keadilan tuhan, sifat tuhan, perbuatan tuhan dan konsep iman.
Dalam aspek teologi yang diuraikan oleh Harun Nasution ini, penulis
membatasi tema yang dibahas yakni tentang akal dan wahyu, kebebasan
manusia dan kekuasaan mutlak Tuhan.
a. Akal dan Wahyu
Dalam pembahasan ini berkenaan dengan pemahaman tentang
hubungan akal dan wahyu. Menurut Harun, penggunaan akal dalam
memahami teks wahyu tidak bermaksud untuk menentangnya, melainkan
hanya sebagai media yang digunakan untuk memahami teks wahyu yang ada
dengan memberikan interpretasi atau penafsiran sesuai dengan berbagai
pertimbangan konteks yang ada bagi terwujudnya kemaslahatan umat.23
Harun Nasution menegaskan bahwa, pemakaian kata-kata rasional,
rasionalisme dan rasionalis dalam Islam –rasio/rasional adalah penggunaan
akal dalam interpretasi wahyu- harus dilepaskan dari arti kata sebenarnya,
yaitu percaya kepada rasio semata-mata dan mengesampingkan wahyu,
dengan kata lain membuat akal lebih tinggi dari pada wahyu, sehingga
wahyu dapat dibatalkan oleh akal. Akal dipakai hanya untuk memahami teks
wahyu dan sekali-kali tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi
interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan
kesanggupan pemberi interpretasi.24
Pemikiran Harun Nasution, berangkat dari pemikiran kaum
Mu‟tazilah, golongan yang sering disebut sebagai kaum rasionalis Islam.
23
Nurhidayat Muh Said, Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia, h.53-54. 24
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, h. 101.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
67
Harun Nasution mengungkapkan keyakinan, bahwa akal dan iman
seharusnya tidak ada pertentangan, bahkan sebaliknya iman justru akan
diperdalam apabila akal dipergunakan sepenuhnya.25
Menurut Mu‟tazilah,
segala pengetahuan dapat diperoleh menggunakan perantara akal, dan
kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam.
Dengan demikian, berterimakasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu
adalah wajib. Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula
mengerjakannya, yang baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib.26
Sementara aliran Asy‟ariah, menolak sebagian besar dari pendapat
kaum Mu‟tazilah. Di dalam pendapatnya, segala kewajiban manusia hanya
dapat diketahui melalui wahyu. Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi
wajib dan tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan
menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Akal dapat mengetahui
Tuhan, tetapi wahyu yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan
berterimakasih kepada-Nya.27
Dari penjelasan tersebut, Asy‟ariah secara
tidak langsung mengatakan bahwa, akal dan wahyu tidak dapat dipisahkan,
keduanya saling berkaitan.
Sebagaimana Al-Ghazali yang dikutip Harun dalam bukunya al-
iqtisad fi al-I’tiqad, seperti Asy‟ariah berpendapat bahwa, akal tidak bisa
membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia, kewajiban-kewajiban
ditentukan oleh wahyu. Dengan demikian, kewajiban manusia mengetahui
Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat hanya dapat
25
Franz Magnis Suseno, “Sumbangan Filsafat Agama di Indonesia”, dalam Refleksi
Pembaharuan Pemikiran 70 Tahun Harun Nasution, h. 179 26
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 82. 27
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 83-84.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
68
diketahui dengan perantara wahyu. Adapun soal mengetahui Tuhan, maka
uraian al-Ghazali bahwa wujud Tuhan dapat diketahui melalui pemikiran
tentang alam yang bersifat dijadikan, mengandung arti bahwa soal itu dapat
diketahui dengan akal. Hal ini diperkuat oleh keterangan al-Ghazali
selanjutnya bahwa objek pengetahuan terbagi tiga yaitu, yang dapat
diketahui dengan akal saja, yang dapat diketahui dengan wahyu saja dan
yang dapat diketahui dengan akal dan wahyu. Wujud Tuhan dimasukkan al-
Ghazali dalam kategori ketiga yaitu kategori yang dapat diketahui dengan
akal dan wahyu.28
Demikian juga Mu‟tazilah, dalam pemikiran teologis mereka, tidak
menentang nas atau teks ayat. Semuanya tunduk kapada nas atau teks Al-
Quran; hanya nas itu diberi interpretasi yang sesuai dengan pendapat akal.
Perbedaannya hanyalah bahwa golongan Mu‟tazilah memberikan interpretasi
yang sesuai dengan pendapat akal. Perbedaannya hanyalah bahwa golongan
Asy‟ariah, penafsirannya dekat kepada arti lafdzi sedang penafsiran
Mu‟tazilah jauh dari arti lafdzi. Tetapi sesungguhnya kedua aliran tersebut,
mempergunakan akal dalam memahami ayat-ayat Al-Quran.29
Harun menyatakan bahwa akal melambangkan kekuatan manusia.
Keutamaan dan kelebihan manusia dari makhluk lainnya, yakni terletak pada
potensi akal yang dimilikinya. Yang demikian karena berdasarkan potensi
akal, manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan
makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggi
pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah
28
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 85-86. 29
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, h. 81.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
69
kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk
menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.30
Hubungan antara akal dan wahyu memang menimbulkan berbagai
pertanyaan, akan tetapi keduanya tidak bertentangan,31
keduanya saling
berhubungan. Di dalam ajaran agama yang diwahyukan ada dua jalan untuk
memperoleh pengetahuan, pertama dengan jalan wahyu, dalam arti
komunikasi dari Tuhan kepada manusia, dan kedua jalan akal, yang
dianugerahkan Tuhan kepada manusia, dengan memakai kesan-kesan yang
diperoleh pancaindera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada
kesimpulan. Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan
30
Harun Nasution, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran,139-140. Harun
sangat menekankan pentingnya akal dan kebebasan manusia dalam pemikiran
teologinya. Manusia, kata Harun, melalui akalnya mampu mempertimbangkan baik dan
buruknya suatu perbuatan, kemudian dengan kehendaknya sendiri ia mengambil suatu
keputusan, selanjutnya dengan daya yang demikian ia wujudkan dalam perbuatan
nyata. Terkait dengan itu, lebih lanjut Harun, mengedepankan konsepsinya tentang
keadilan Tuhan. Dimana Tuhan kata Harun, Maha Adil. Karena keadilan itu manusia
diberi kebebasan berkehendak dan berbuat. Dengan demikian manusia, kata Harun,
akan dihukum menurut perbuatan dan dosanya sendiri, begitu sebaliknya, manusia
akan diberi pahala dari kebaikan karena amal yang dilakukannya sendiri. Sungguhpun
Harun menempatkan posisi manusia pada posisi bebas, tapi kebebasannya itu tidaklah
mutlak. Hal itu nampak dalam uraiannya ketika ia menjelaskan pandangannya terhadap
asuransi. Dengan merujuk kepada qadariyah yang nampaknya juga merupakan
pemikiran teologisnya Harun menyatakan bahwa, manusia itu dibatasi oleh hal-hal
yang tidak bisa dikuasainya, hal-hal yang tidak dapat disangka-sangka datang secara
tiba-tiba. Jika digunakan kerangka Abduh, pernyataan Harun, identik dengan istilah
Taqshir (kelalaian manusia) dan al-Asbab al-Kauniyat (sebab-sebab alami, sunnatullah).
Dua hal itu nampaknya juga dipandang Harun sebagai pembatas kebebasan manusia,
sehingga jika manusia itu mengalami kegagalan dalam usaha untuk mewujudkan
rencananya, hal itu dikarenakan kekeliruannya dalam menangkap dan memperhitungkan
langkah-langkahnya, tidak sejalan dengan sunnatullah, dan begitu pula sebaliknya.
Nurhadi, “Harun Nasution : Islam Rasional dalam Gagasan dan Pemikiran” h.51-52. 31
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu‟tazilah, h. 46.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
70
mutlak benar, sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat
relatif, mungkin benar dan mungkin salah.32
Harun Nasution juga tidak terlepas dari pengaruh muhammad Abduh
dalam pemikirannya tentang akal dan wahyu. Muhammad Abduh
berpendapat bahwa, jalan yang dipakai untuk mengetahui Tuhan, sebagai
telah dijelaskan dalam falsafah wujudnya, bukanlah wahyu saja tetapi juga
akal. Akal, dengan kekuatan yang ada dalam dirinya, berusaha memperoleh
pengetahuan tentang Tuhan dan wahyu turun untuk memperkuat
pengetahuan akal itu dan untuk menyampaikan kepada manusia apa yang
tidak diketahui akalnya.33
Jalan untuk memperoleh pengetahuan menurut Muhammad Abduh
ada dua, yaitu akal dan wahyu. Wahyu diartikan “pengetahuan” yang
diperoleh seseorang dalam dirinya sendiri dengan keyakinan bahwa itu
berasal dari Allah, baik dengan perantara maupun tidak. Abduh kelihatannya
menganut falsafah emanasi yang mengatakan bahwa jiwa manusia dapat
mengadakan kominukasi dengan alam abstrak. Di dalam Risalah, Abduh
menjelaskan bahwa Allah memilih manusia tertentu, yang jiwanya mencapai
puncak kesempurnaan, sehingga mereka dapat menerima pancaran ilmu yang
disinarkan-Nya.34
Selanjutnya menurut Harun, Tuhan berdiri di puncak alam wujud dan
manusia di kakinya berusaha dengan akalnya untuk sampai kepada Tuhan,
32
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1982), h. 5.
Lihat pula di dalam Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu‟tazilah,
h. 44. 33
Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 43. 34
Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 44.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
71
dan Tuhan sendiri dengan belas kasihan-Nya terhadap kelemahan manusia,
diperbandingkan dengan kemahakuasaan Tuhan, menolong manusia dengan
menurunkan wahyu melalui Nabi-nabi dan Rasul-rasul-Nya.35
Konsepsi ini
merupakan sistem teologi yang dapat digunakan terhadap aliran-aliran
teologi Islam yang berpendapat bahwa akal manusia bisa sampai kepada
Tuhan.
Harun Nasution juga menyatakan bahwa para filosof Islam
berkeyakinan bahwa, antara akal dan wahyu, tidak ada pertentangan.
Keduanya terlihat sejalan dan serasi.36
Seperti Al-Kindi, filosof Islam
pertama menjelaskan bahwa, tiada pertentangan antara agama dan filsafat.
Titik pertemuan antara keduanya terletak pada kebenaran (al- haq). Filsafat
dalam pengertian al-Kindi adalah pembahasan tentang kebenaran, bukan
untuk diketahui saja tapi juga untuk diamalkan. Agama datang juga untuk
kebenaran. Agama dan filsafat membahas tentang kebenaran dan kebaikan
dengan membawa argument-argumen yang kuat. Agama dan filsafat
membahas subjek yang sama dan memakai metode yang sama.
Perbedaannya hanyalah bahwa filsafat memperoleh kebenaran melalui akal,
sedangkan agama melalui wahyu.37
Di dalam filsafat Ibn Tufail yang terkandung dalam buku Hayy Ibn
Yaqzan, yang menceritakan bagaimana Hayy, sungguhpun dari semenjak
bayi hidup sendiri di suatu pulau terasing dan dibesarkan oleh seekor rusa,
dapat memperoleh pengetahuan-pengetahuan. Pemikiran akal akhirnya dapat
35
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 81. 36
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, h. 82. 37
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), h. 15.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
72
membawa Hayy kepada pengetahuan dan pengakuan adanya Tuhan. Akalnya
menghasilkan agama yang bersifta folosofis. Dari cerita tersebuat yang ingin
digambarkan Ibn Tufail kelihatannya adalah pendapat para filosof bahwa
pengetahuan yang diperoleh akal dan pengetahuan yang dibawa wahyu tidak
bertentangan. Kedua pengetahuan itu bersumber dari Tuhan.38
Begitu juga Ibn Rusyd mengatakan bahwa tugas filsafat tidak lain
dari berfikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta semua yang ada ini.
Manusia harus berpikir tentang wujud dan alam sekitarnya untuk mengetahui
Tuhan. Bagi Ibn Rusyd jika pendapat akal bertentangan dengan wahyu, teks
wahyu harus diberi interpretasi begitu sehingga sesuai dengan pendapat
akal.39
Ibn Rusyd dalam bukunya Fashl al-Maqal berpendapat bahwa karena
filsafat berbicara tentang kebenaran entitas sejauh ia dicipta dan menunjuk
kepada sang pencipta, mempelajarinya tidak hanya dianjurkan, tetapi juga
diwajibkan oleh al-Qur‟an sebagai bagian dari merenungkan kebenaran
tanda-tanda sang pencipta.40
Dengan demikian, mengenai penjelasan terkait akal dan wahyu,
Harun Nasution memberi kesimpulan bahwa, dalam ajaran Islam akal
mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam
perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Akal sebagai
penyempurna wahyu dalam memecahkan berbagai permasalahan yang ada
pada saat ini.
38
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, h. 55. 39
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, h. 58. 40
Majid Fakhry, Sejarah afailsafat Islam Sebuah Peta Kronologis (Bandung:
Mizan, 2002), h. 110.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
73
Menurut Harun, pemakaian akal dalam sejarah Islam bukan terjadi
pada soal-soal keduniawian saja, tetapi juga dalam soal-soal keagamaan
sendiri. Karena ayat-ayat Al Qur‟an yang mengandung masalah keimanan,
ibadah dan hidup kemasyarakatan manusia dikenal dengan muamalah yang
berjumlah kurang lebih hanya 500 ayat, dan itupun hanya pada umumnya
datang dalam bentuk prinsip-prinsip dan garis-garis besar tanpa penjelasan
lebih lanjut mengenai perincian maupun cara pelaksanaannya, maka akal
banyak dipakai dalam masalah iman, ibadah dan muamalah. Pemakaian akal
yang dilakukan ulama terhadap teks ayat Al Qur‟an dan hadits disebut ijtihad
dan ijtihad-tegasnya merupakan sumber ketiga dalam Islam. Jelasnya,
sumber ajaran Islam adalah tiga: Al Qur‟an, hadits dan akal. Harun
menegaskan bahwa jumlah ayat ahkam sedikit dan tidak semua persoalan
yang timbul dapat dikembalikan kepada Al Qur‟an atau sunah. Karena itu
para khalifah dan sahabat dahulu berijtihad dengan menggunakan akal.41
Dari penjelasan pemikiran Harun dapat disimpulkan bahwa hubungan
akal dan wahyu keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan
yang tinggi dalam Al-Qur‟an. Orang yang beriman tidak perlu menerima
bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak
menjelaskan semua permasalahan keagamaan. Dalam banyak tulisan, Harun
sering menyebut keunggulan kelompok Muktazilah yang mampu
memosisikan akal dan wahyu secara tepat. Bagi dia, kelompok Muktazilah
yang rasionalis ini adalah model ideal bagi acuan memfungsikan akal
sekaligus menjelaskan secara praktis posisi akal terhadap wahyu. Wahyu
41
Supandi “Membaca Ulang Pemikiran dan Pembaruan Islam Harun Nasution”,
Dinika, h. 106.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
74
adalah sumber utama pedoman hidup manusia. Tanpa wahyu, manusia sulit
mencapai kebenaran hakiki meski ia seorang jenius.
Namun bagi Harun, wahyu saja tidak cukup. Jika wahyu itu tidak
dipahami dan dijelaskan oleh akal, maka ia belum bisa menjadi petunjuk
dalam menyelesaikan problem-problem kehidupan. Itulah sebabnya Harun
menolak paham jabariyah yang mengandalkan segala petunjuk pada wahyu
dan cenderung menafikan akal. Harun melihat, dalam pemikiran tradisional
peran akal tidak begitu menentukan dalam memahami ajaran Al Qur‟an dan
hadits. Seperti telah disinggung, pemikiran tradisional terikat bukan hanya
pada Al Qur‟an dan hadits tetapi juga pada ajaran-ajaran hasil ijtihad ulama
zaman klasik yang jumlahnya amat banyak. Di samping itu pemikiran
tradisional terikat pada arti lafzhi dari teks ayat Al Qur‟an dan hadits.
Pemikiran tradisional karena itu sulit sekali menyesuaikan diri dengan
perkembangan modern sebagai hasil dari filsafat, sains dan teknologi.
Harun menuturkan bahwa terdapat kecemasan bagi kalangan umat
Islam ketika berusaha mengoptimalisasikan penggunaan akal (nalar) dalam
memahami teks wahyu. Kecemasan tersebut berasal dari rasa takut akan hasil
pemikiran atau pemahaman yang bertentangan dengan teks wahyu. Kondisi
demikian menyebabkan umat Islam dewasa ini masih menerima pemahaman
harfiah dari teks wahyu yang ada. Sedangkan faktanya pemahaman harfiah
tersebut tidak menjadi pemahaman solutif untuk menyelesaikan problematika
yang ada.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
75
b. Kebebasan Manusia
Harun Nasution ternyata juga telah memakai taktik Muhammad
Abduh mengenai kebebasan manusia, di antaranya menyebarkan ide-ide
tetapi tidak terlalu bertele-tele dan tidak memakai etiket seperti Muhammad
Abduh atau Mu‟tazilah, kalau ada dugaan bahwa kelompok tertentu tidak
senang terhadap etiket itu.42
Bagi Harun Nasution, jasa paling penting dari
pemikiran Muhammad Abduh adalah pintu ijtihad dan kebebasan berpikir
dan dibuka untuk dipikirkan kembali adalah pokok persoalan aqidah, seperti
kehendak Tuhan, qadar manusia, hubungan akal dan wahyu.43
Tidak jauh berbeda dengan kaum Mu‟tazilah, karena Muhammad
Abduh juga salah seorang yang juga mengunggulkan kekuatan akal. Akan
tetapi dalam pemikiran Abduh ini lebih ke dalam pemikiran pembaharuan
Islam, dengan ia melihat berbagai persoalan yang terjadi pada masanya
maupun sebelumnya. Menurut Abduh, kekuatan akal membawa kepada
faham bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan,
faham inilah yang mengantarkan pada pemikiran pembaharuannya.
Kepercayaan kepada kekuatan akal membawa Muhammad Abduh
selanjutnya kepada faham bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam
kemauan dan perbuatan (free will dan free act atau qadariah).44
Faham ini
dapat dilihat dari uraiannya menganai perbuatan manusia dalam Risalah Al-
Tauhid. Di dalam karya tersebut, Abduh mengatakan bahwa manusia
42
Karel A. Steenbrink, “Dari Kairo hingga Kanada dan Kampung Utan:
Perkembangan Pemikiran Teologis Prof. Dr. Harun Nasution”, dalam Refleksi Pembaharuan
Pemikiran 70 Tahun Harun Nasution, h. 158. 43
Karel A. Steenbrink, “Refleksi Pembaharuan Pemikiran 70 Tahun Harun
Nasution, h. 159. 44
Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 64.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
76
mewujudkan perbuatannya dengan kemauan dan usahanya sendiri, dengan
tidak melupakan bahwa di atasnya masih ada kekuasaan yang lebih tinggi.
Di dalam Al-Urwah Al-Wusqa, Abduh bersama-sama dengan
Jamaluddin Al-Afghani menjelaskan bahwa qadha dan qadar telah
diselewengkan menjadi fatalisme, sedang faham itu sebenarnya mengandung
faham dinamis yang membuat umat Islam di zaman klasik dapat membawa
Islam sampai ke Sepanyol dan dapat memunculkan peradaban yang tinggi.
Faham fatalisme yang terdapat di kalangan umat Islam perlu dirubah dengan
faham kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan. Inilah yang akan
menimbulkan dinamika umat Islam kembali.45
Dalam uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa, pemikiran
Muhammad Abduh banyak persamaannya dengan pemikiran teologi kaum
Mu‟tazilah. Karena semua pemikiran Muhammad Abduh berkisar kepada
kekuatan akal, bahwa akal memiliki kedudukan terpenting, dibandingkan
dengan wahyu. Walaupun demikian, Muhammad Abduh mengatakan bahwa,
akal dan wahyu tidak dapat dipisahkan, keduanya saling melengkapi dan
saling membutuhkan.
Bagi harun, di sini terdapat dua paham yang secara radikal
bertentangan, yakni paham Qadariah dan Jabariah, istilah qadariah berasal
dari qadar yang berarti ketetapan, hukum, ukuran dan kekuatan; juga berarti
apa yang dikehendaki Tuhan atas hambaNya dan ketergantungan kehendak
kepada sesuatu pada waktunya.46
Akan tetapi, istilah qadar juga berarti
45
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 66. 46
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, UI-Press,
Jakarta h. 64-65
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
77
ketergantungan perbuatan hamba pada kekuatannya sendiri.47
Karena itulah,
Mu‟tazilah disebut berpaham Qadariah karena menurut mereka setiap orang
adalah pencipta bagi perbuatannya sendiri. Namun, kaum Mu‟tazilah sendiri
menolak sebutan Qadariah yang dikenakan kepada mereka.menurut mereka,
nama itu hanya cocok untuk orang-orang yang percaya pada qadar (takdir)
Tuhan. Kemungkinan besar istilah Qadariah diberikan kepada Mu‟tazilah
oleh lawan-lawannya, seperti Asy‟ariyah.
Sedangkan, Jabariah adalah paham yang berpendapat bahwa manusia
itu lemah, dan setiap yang terjadi pada diri manusia telah ditentukan atasnya
oleh Tuhan sejak zaman azali. Karena itu, manusia tidak bebas memilih
untuk melakukan atau menhindar dari suatu perbuatan. Paham Jabariah
dibawah oleh Jaham ibn Shafwan yang berpendapat bahwa manusia tidak
punya daya dan tidak kuaa berikhtiar atas perbuatannya sendiri. Jika paham
Qadariah (free will) dianut oleh Mu‟tazilah,48
maka paham Jabariah dianut
oeh Asy‟ariyah.49
Karena itu, menurut Harun, Mu‟tazilah berpendapat bahwa perbuatan
manusia diciptakan oleh manusia sendiri; misalnya berbuat baik atau jahat,
patuh dan ingkar kepada Tuhan, semuanya terjadi atas kehendak manusia
sendiri dengan daya yang sudah ada dlam dirinya. Daya itu sendiri
diciptakan Tuhan pada diri manusia, sehingga manusia dapat berbuat.
Meskipun demikian, Tuhan tidaklah turut campur dalam melakukan
perbuatan yang dilakukan manusia. Dengan demikian, kehendak dan daya
47
Harun Nasution, Muhammad Abduh h. 187
48
Harun Nasution, Teologi Islam, 103 49
Harun Nasution, Teologi Islam , h.107
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
78
yang melahirkan perbuatan manusia adalah kehendak dan daya manusia itu
sendiri, tuhan tidak ikut campur dalam penggunaan daya itu.50
Dalam mengemukakan pahamnya itu, Mu‟tazilah memakai argumen-
argumen logis yang didukung pula dengan ayat-ayat al-Qur‟an. Salah satu
argumennya bertumpu ada teori tanggung jawab. Manusia akan dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatannya, dan kelak akan mendapatkan
balasan sesuai dengan sifat (baik atau buruk) perbuatan yang dilakukannya
itu. Hal ini sesuai dengan firman Tuhan dalam QS. 32:17
ة أعيي جزاء بوا كاىا يعولىى ي قر ا أخفي لهن ه ٧١فل تعلن فس ه
Artinya: “Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang
menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi
mereka, atas apa yang mereka kerjakan.”51
Seandainya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan sendiri, maka
perbuatannya itu tidak perlu diberi balasan, karena perbuatan apapun
sifatnya, baik atau jahat, yang dilakukan manusia adalah perbuatan Tuhan
yang tentunya tidak perlu dipertanggungjawabkan oleh manusia.52
Sementara itu, kaum Asy‟ariyah sebagai aliran yang berpaham
Jabariah, memandang manusia itu lemah, dan karena itu manusia bergantung
50
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 105 51
Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-
Qur‟an, Jakarta, 1992, h. 662 (lihat juga Harun Nasution, Teologi Islam, h. 106) 52
Harun Nasution, Teologi Islam,h. 110-111
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
79
sepenuhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan. Bagi mereka,
Tuhan adalah pencipta segala sesuatu dan tak ada pencipta selain Dia.
Segenap perbuatan manusia adalah ciptaanTuhan sebagaimana Firman
Tuhan dalam Qs. 37:96:
خلقكن وها تعولىى ٦٩وٱلل
Artinya: Dan Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu"53
Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa bagi Asy‟ariyah untuk
menunjukkan tanggung jawab manusia atas perbuatannya, dan hak untuk
memperoleh pahala dan balasan atas perbuatannya itu, maka Asy‟ariyah
memakai istilah al-kasb.54
Sehingga ada kesan seolah-olah manusia berperan
aktif dalam melakukan perbuatannya. Akan tetapi, menurut Harun Nasution,
jika ditelusuri pengertian kasb menurut Asy‟ariyah, ternyata manusia hanya
semata-mata menerima perbuatannya yang diciptakan Tuhan untuknya.55
Dari penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa pemikiran Harun
Nasution tentang kebebasan manusia lebih cenderung pada pemikiran
Mu‟tazilah.
53
Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahnya h. 724. (lihat juga Harun Nasution,
Teologi Islam, h. 108) 54
Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, Juz IV, t.pn.,Beirut, 1969, h. 79. (lihat juga Harun
Nasution, Teologi Islam, h. 108) 55
Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 68-69
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
80
c. Kekuasaan Mutlak Tuhan
Kecenderungan pemikiran Harun Nasution terhadap teologi
Mu‟tazilah juga mempengaruhi pemikirran Harun tentang kekuasaan mutlak
Tuhan. Harun Nasution memberikan pandangan tentang kekuasaan mutlak
Tuhan dengan merujuk pada pendapat kaum Mu‟tazilah. Bagi Harun aliran
Mu‟tazilah berpendapat kekuasaan Tuhan tidak bersifat absolut. Hal itu
disebabkan oleh bebrapa hal. Pertama, adanya kebebasan yang diberikan
Tuhan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatannya
sendiri. Kedua, bahwa Tuhan bersifat adil karena itu Dia mustahil berbuat
sewenang-wenang terhadap hambaNya. Ketiga, bahwa menurut kaum
Mu‟tazilah, Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap hambaNya.
Dan keempat, ada hukum alam atau natur yang diciptakan Tuhan dalam
mengatur alam semesta yang harus berlaku sebagaimana mestenya.
Selanjutnya Mu‟tazilah mengakui ada hukum alam yang disebut sunnatullah,
yang tak dapat berubah-ubah (QS. 33:62). Dengan sunnatullah itu, Tuhan
mustahil berbuat sewenang-wenang yang dapat mengacaukan alam
ciptaanNya sendiri.56
Menurut Harun, kaum Mu‟tazilah percaya pada hukum alam atau
sunnah Allah yang menganut perjalanan kosmos dan dengan demikian
menganut paham determinisme dan diterminisme ini bagi mereka, tidak
berubah-ubah sama dengan keadaan Tuhan yang juga tidak berubah-ubah.57
Harun memberikan penjelasan tentang paham sunnah Allah yang tak
berubah-ubah dan diterminisme ini dengan mengutip uraian Tafsir al-Manar.
56 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 119-120.
57
Harun Nasution, Teologi Islam,h.120
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
81
Segala sesuatu di alam ini, demikian al-Manar, berjalan menurut sunnah
Allah dan Sunnah Allah itu dibuat Tuhan sedemikian rupa sehingga sebab
dan musabab di dalamnya mempunyai hubungan yang erat. Bagi tiap sesuatu
Tuhan menciptakan sunnah tertentu. Umpamanya sunnah yang mengatur
hidup manusia berlainan dengan sunnah yang mengatur hidup tumbuh-
tumbuhan. Bahkan juga ada sunnah yang tidak berubah-ubah untuk
mencapai kemenangan. Jika seseorang mengikuti jalan yang ditentukan
sunnah ini, orang akan mencapai kemenangan, tetapi jika menyimpng dari
jalan yang ditentukan sunnah itu ia akan mengalami kekalahan.58
Selanjutnya, Harun menyatakan dalam paham Mu‟tazilah tentang
kekuasaaan mutlak Tuhan mempunyai batasan-batasan, dan Tuhan sendiri
tidak bersikap absolut seperti halnya dengan Raja Absolut yang menjatuhkan
hukuman menurut kehendaknya semata-mata. Keadaan Tuhan, dalam paham
ini, lebih dekat menyerupai keadaan Raja Konstitusional, yang kekuasaannya
dan kehendaknya dibatasi oleh konstitusi.59
Dari kutipan diatas,maka dapat disimpulkan bahwa kekuasaan mutlak
Tuhan menurut Harun bahwa sunnah Allah yang tidak mengalami perubahan
atas kehendak Tuhan sendiri merupakan batasan bagi kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan.
58 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 121
59
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 121
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
82
3. Pengaruh dan Gagasan Harun Nasution dalam Pemikiran Islam di
Indonesia
Harun Nasution sosok pemikir Islam di Indonesia adalah prototipe
cendikiawan Muslim yang dibesarkan dalam dua tradisi keilmuan yaitu
Timur Tengah “tradisional” dan tradisi keilmuan Barat “modern”.
Pengalamannya dalam dua tradisi keilmuan itu, memberikan nilai tersendiri
dalam usahanya untuk melakukan pembaharuan pemikiran Islam.60
Menurut Harun, karena perkembangan modern menuntut pemikiran
kritis, maka untuk memecahkan berbagai persoalan yang muncul sebagai
akibat dari modernisasi, umat Islam dituntut untuk menumbuhkan semangat
berpikir. Hanya dengan mengubah cara berpikir tradisional kecara berpikir
rasional, umat Islam dapat memberikan andil terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan sains modern.61
Harun dalam pemikirannya sangat kuat “mengkampanyekan” tema
Islam Rasional. Karena dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, aliran
teologi yang bercorak rasional itu ditampilkan oleh Mu‟tazilah, maka Harun
sering dituduh sebagai “Neo Mu‟tazilah”62
di Indonesia Harun dikenal
sebagai seorang intelektual Muslim yang banyak mencurahkan perhatiannya
kepada pembaharuan dalam Islam, dalam arti yang seluas-luasnya, tidak
60
Nurhidayat Muh. Said, M.Ag, Pembaharuan Pemikiran Harun Nasution, h. iii 61
Nurhidayat Muh. Said, M.Ag, Pembaharuan Pemikiran Harun Nasution, h. iii 62
M. Yunus Yusuf, Mengenal Harun Nasution Melalui Tlisannya dalam refleksi
Pembaharuan Pemikiran Islam 70 tahun Harun Nasution, (Jakarta: Lembaga Studi Agama
dan Falsafat, 1982) h. 132
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
83
hanya terbatas dalam teologis, filsafat, mistisisme (tasawuf), tetapi berbagai
segi kehidupan kaum muslimin.63
Berbagai gagasan pembaruan Islam, menempatkan Harun menjadi
tokoh penting bagi terbentuknya madzhab Ciputat. Setidaknya ada dua
agenda yang hendak dicapai Harun. Pertama, bagaimana membawa umat
Islam ke arah rasionalitas. Kedua, bagaimana menumbuhkan pengakuan
qadariah (berkehendak) manusia. Dua agenda tersebut didasarkan pada fakta
umat Islam Indonesia saat itu yang cenderung ortodok, terkungkung oleh
doktrin-doktrin agama yang tidak proporsional dan terkesan ambigu. Sebagai
imbasnya, kaum muslim Indonesia apatis dan hidup penuh pesimis. Pada
taraf tertentu juga tidak berani berpendapat lepas dalam seminar dan kajian-
kajian ke-Islaman.64
1) Pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia
a) Perubahan Kurikulum IAIN
Sesaat setelah dilantik menjadi rektor, Harun Nasution
merumuskan empat langkah kebijaksanaan. Langkah tersebut; 1)
mendasarkan tujuan dan fungsi IAIN Jakarta atas dasar kebutuhan
masyarakat pada umumnya, dan DKI pada khususnya, 2) mengutamakan
kualitas dari pada kuantitas, 3) peningkatan mutu ilmiah, dan 4)
penyederhanaan dan penyempurnaan organisasi.65
63
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan,
1996) Cet.IV, h. 393 64
Supandi “Membaca Ulang Pemikiran dan Pembaruan Islam Harun Nasution”,
Dinika, h.104.
65
Aqib Suminto (ed.), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun
Nasution, (Jakarta: LSAF, 1989), h.41
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
84
b) Pengembangan Program Pascasarjana
Dalam usaha pembenahan dan peningkatan kualitas IAIN,
Harun kemudian menggagas berdirinya fakultas Pascasarjana IAIN
(sekarang bernama Sekolah Pascasarjana). Program pascasarjana IAIN
yang hendak digagas merupakan pendidikan tinggi agama tingkat
lanjutan diatas program tingkat sarjana (S1) yang menyiapkan peserta
didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan
akademik. Gagasan ini lahir berdasarkan pertimbangan akan pentingnya
lembaga yang menyelenggarakan pengkajian Islam secara komprehensif,
mendalam dan rasional sehingga dapat melahirkan ulama yang mampu
berijtihad untuk menjawab masalah-masalah yang timbul pada
zamannya. Ide ini kemudian mendapat respon positif dari para pendiri
dan civitas akademika IAIN Jakarta. Dukungan yang besar juga datang
dari Menteri Agama yang pada saat itu dijabat oleh Mukti Ali. Dengan
berbagai dukungan tersebut, akhirnya Ide dan pemikiran Harun Nasution
tersebut terealisasi dengan didirikannya Program Pascasarjana IAIN
Jakarta (1982). Program ini merupakan yang pertama dalam sejarah
IAIN Indoneisa, yang kemudian menginspirasi berdirinya program
pascasarjana lainnya di Indoneisa seperti; PPS IAIN Yogyakarta (1983),
IAIN Banda Aceh (1989), IAIN Ujung Pandang (1990), dan pada tahun
1994 berdiri pula PPS IAIN Surabaya, Padang, dan Medan, serta
kemudian disusul oleh IAIN lainnya secara bertahap.
Program yang digagas Harun ini mempunyai tujuan umum untuk
menghasilkan tenaga ilmu agama Islam yang merupakan inti dari tenaga
penggerak pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
85
di lingkungan IAIN. Sedangkan tujuan khususnya adalah: pertama,
mengembangkan kemampuan dan keahlian peserta untuk menguasai
bidang ilmu agama Islam termasuk ilmu bantu yang diperlukan dalam
rangka pengembangan ilmu pengetahuan agama Islam serta
mengamalkannya pada masyarakat, kedua, memiliki keterampilan dan
keahlian dalam bidang-bidang ilmu agama Islam dan penelitian sesuai
dengan bidang program yang bersangkutan. Ketiga, memiliki sikap
ilmiah dan amal ilmiah sebagai tenaga ahli di bidang ilmu agama Islam
yang bertanggung jawab.
c) Penggagas Transformasi IAIN ke UIN
Harun juga dikenal sebagai penggagas ide transformasi IAIN
menjadi UIN yang kini sudah terwujud dan tengah berkembang menjadi
salah satu universitas riset di dunia. Pada tahun 1973-1984, Harun
membentuk sebuah tim dan mengirimkannya ke Timur Tengah dan
Malaysia untuk melakukan studi komparatif mengenai format ideal
sebuah universitas Islam. Tokoh yang ketika itu dikirim ke Timur
Tengah adalah Komaruddin Hidayat, Atho Mudzhar, dan Mastuhu.
Sementara Zakiah Daradjat dikirim ke Malaysia. Alasan Harun Nasution
ingin mengembangkan IAIN menjadi UIN dikemukakan dalam sebuah
wawancara dengan Republika, pada Kamis, 28 Desember 1995. Saat itu
ia sudah menjadi Direktur Program Pascasarjana. “Kita merasa yang
diperlukan umat di zaman sekarang ini bukan hanya sarjana yang
mengetahui ilmu agama saja, tapi juga ilmu umum. Harus diakui tidak
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
86
banyak orang yang bisa menguasai keduanya secara mumpuni. Hanya
orang-orang jenius saja yang bisa melakukannya,” katanya.
Berangkat dari kebutuhan itu, Harun berpendapat, IAIN perlu
ditransformasikan menjadi universitas, sehingga dapat membuka
jurusan-jurusan umum. Harapannya tentu saja mampu mencetak sarjana
yang memiliki kompetensi agama namun tidak asing dengan
pengetahuan umum. Hal itu bagi Harun bukan mustahil. Sejarah
mencatat seorang Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina yang selain ahli filsafat,
syariah, juga seorang dokter yang masyhur. “Kalau pada masa lampau
mereka bisa menghasilkan tokoh seperti itu, kenapa kita tidak mampu
menghasilkannya. Inilah dasar pendirian kita sehingga ada keinginan
untuk mengubah IAIN menjadi UIN,” tegas Harun. Namun, gagasan itu
kandas lantaran terkendala aturan dan SDM yang belum memadai.
hingga ide tersebut akhirnya terealisasi pada 20 Mei 2002, periode
kepemimpinan Rektor Prof Dr Azyumardi Azra (1998-2006), yang telah
dibahas pada pertemuan sebelumnya.
B. Pemikiran Islam M. Rasyidi
1. Biografi M. Rasyidi
M. Rasyidi (selanjutnya ditulis Rasyidi) lahir di Kotagede
Yogyakarta pada Kamis 20 Mei 1915 atau 4 Rajab 1333 H. Ia merupakan
anak kedua dari Bapak Atmosugido. Ia menempuh sekolah dasar di
Muhammadiyah Yogyakarta. Kemudian Rasyidi melanjutkan sekolah
menengahnya di perguruan Al Irsyad al Islamiyah, Malang dibawah
pimpinan Syekh Ahmad Surkati. Semangat mencari ilmunya makin tinggi,
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
87
karena yang mengajar di situ bukan hanya guru-guru dari Indonesia, tapi
juga dari Mesir, Sudan dan Mekkah.
Perkenalannya dengan banyak guru-guru Timur Tengah itu,
menjadikan Rasyidi bersemangat untuk melanjutkan studinya di Mesir.
Ketika di Mesir, selain mempelajari ilmu-ilmu agama di Sekolah Persiapan
Darul Ulum (setingkat Sekolah Menengah), ia juga belajar ilmu aljabar, ilmu
bumi, sejarah dan lain-lain. Kemudian Rasyidi juga menguasai bahasa
Perancis, Inggris, Arab dan Belanda tentunya. Ia pun menjadi seorang hafizh,
hafal al Qur‟an 30 juz.
Selanjutnya, Rasyidi melanjutkan studi ke Universitas al Azhar,
Kairo. Di sana ia mengambil jurusan Filsafat dan Agama. Setelah empat
tahun belajar di situ, ia mendapat gelar Licence. Di kelas itu mahasiswanya
hanya tujuh orang. Ia menempati rangking satu mengalahkan mahasiswa dari
Mesir, Albania dan Sudan. Selanjutnya Rasyidi melanjutkan kuliahnya di
Fakultas Sastra, Universitas Sorbonne, Paris. Pada hari Jumat, 23 Maret
1956, Rasyidi akhirnya meraih gelar doktor di universitas terkemuka itu
dengan disertasi berjudul l‟Evolution de l‟Islam en Indonesie ou
Consideration Critique du Livre Centini (Evolusi Islam di Indonesia atau
Tinjauan Kritik terhadap Kitab Centini).
Umumnya, masyarakat Indonesia mengenal sosok Rasyidi sebagai
Menteri Agama pertama di Indonesia. Akan tetapi sebenarnya, Rasjdi
sebelumnya pernah menjabat sebagai menteri negara yang mengurusi
permasalahan umat Islam pada kabinet Syahrir I (14 Nopember 1945–12
Maret 1946). Ia diangkat menggantikan Wahid Hasjim sebagai menteri
agama pada kabinet sebelumnya, yaitu Kabinet Presidensil yang berusia
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
88
cukup singkat (2 September 1945–14 Nopember 1945) di bawah
pemerintahan Presiden Soekarno. Rasyidi pernah diangkat menjadi sekretaris
misi Diplomatik RI yang dipimpin oleh KH. Agus Salim ke beberapa negara
Arab dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan
memperoleh pengakuan dari negara lain sebagai negara merdeka dan
berdaulat.
Adapun jabatan yang penah diduduki Rasyidi lainnya adalah sebagai
berikut; Guru pada Islamitische Middelbaare School (Pesantren Luhur),
Surakarta (1939-1941), Pegawai Departemen P & K di zaman Jepang,
Pegawai RRI Jakarta, siaran luar negeri, Menteri Agama Kabinet Sjahrir
(1946) Sekretaris, kemudian ketua delegasi diplomatik RI ke negara- negara
Arab (1947-1949), Dubes RI di Mesir dan Arab (1950-1951), Dubes RI di
Pakistan (1956-1958), Associate Professor pada Institut Studi Islam,
Universitas McGill, Kanada (1959), Direktur Islamic Center, Washington,
AS Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Direktur kantor
Rabitah Alam Islami, Jakarta Anggota PP Muhammadiyah,Anggota Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia Pusat
Sedangkan karya-karya Rasyidi berupa karangan –karangan dan juga
hasil terjemahan-terjemahan Sebagai berikut:
1. Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid Tentang Sekulerisasi
2. Filsafat Agama
3. Islam di Indonesia Di Zaman Modern
4. Keutamaan Hukum Islam
5. Islam dan Kebatinan Islam Menentang Komunisme
6. Islam dan Sosialisme
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
89
7. Mengapa Aku tetap Memeluk Agama Islam
8. Dari Rasyidi dan Maududi Kepada Paus Paulus VI
9. Sikap umat Islam Indonesia terhadap Expansi Kristen
10. Agama dan Etik Disekitar Kebatinan Kasus RUU Perkawinan Dalam
Hubungan Islam dan Kristen
11. Empat kulia Agama Islam pada Perguruan Tinggi
12. Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Islam.
13. Sidang Raya Dewan Gereja Sedunia di Jakarta 1975 ( artinya bagi dunia
Islam)
14. Koreksi terhadap Dr, Harun Nasution tentang “ Islam ditinjau dari
berbagai Aspeknya”
15. Bibel Qur‟an dan Sains Modern ( judul Aslinya : la bible le coran et la
science oleh Dr. Maurice bucaille)
2. Teologi M. Rasyidi
Salah satu tema ilmu kalam Harun Nasution yang dikritik oleh
Rasyidi adalah deskripsi aliran-aliran kalam yang sudah tidak relevan lagi
dengan kondisi umat Islam sekarang, khususnya di Indonesia dengan maksud
mengganti teologi yang telah lama berkembang di Indonesia yaitu teologi
Asy‟Ariyah yang bersifat tardisional hendak digantikan dengan teologi
Mu‟tazilah. Teologi Mu‟tazilah yang merupakan salah satu aliran dalam
teologi Islam dengan menggunakan pemikiran rasional. Sehingga
menimbulkan perbedaan yang mendasar diantara kedua teologi tersebut.
Harun yang meyakini kebangkitan pemikiran Mu‟tazilah sangat penting bagi
modernisasi Islam dengan menyatakan bahwa rasionalisasi teologi Islam
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
90
merupakan komponen esensial dalam program modernisasi yang lebih luas
dalam tatanan masyarakat Islam. Harun beranggapan bahwa masyarakat
Islam yang akan bersentuhan dengan kemoderenan harus beralih dari kalam
Asy‟ari ke kalam Mu‟tazilah.66
Untuk itu, Rasyidi berpendapat bahwa menonjolnya perbedaan
pendapat antara Asy‟ariyah dan Mu‟tazilah, sebagaimana dilakukan Harun
Nasution, akan melemahkan iman para mahasiswa. Rasyidi mengakui
bahwa soal-soal yang pernah diperbincangkan pada dua belas abad yang lalu,
masih ada yang relevan untuk masa sekarang, tetapi ada pula yang sudah
tidak relevan.67
Sebagaimana yang dilakukan Harun menghidupkan kembali
teologi Mu‟tazilah belum tentu relevan bagi umat islam di Indonesia bahkan
boleh jadi membahayakan, hal ini sebagaimana dikatakan Rasyidi:
“Menghidupkan kembali golongan Mu‟tazilah sebagai nama bagi
orang-orang terpelajar yang menghayati Islam, tentu saja fikiran
semacam itu sangat berbahaya kepada umat Islam Indonesia.”68
Rasyidi berpendapat bahwa tidak perlu menghidupkan kembali
teologi Mu‟tazilah bagi umat Islam di Indonesia sebagaimana yang
dianjurkan oleh Harun dengan menggunakan istilah teologi rasional.69
Dari penjelasan pemikiran Rasyidi di atas, dapat dipahami bahwa
Rasyidi menolak gagasan Harun yang hendak mengganti teologi Asy‟ariyah
66
Harun Nasution, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran, h.139-146.
67
M. Rasyidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution…, h. 104
68
M. Rasyidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, Jakarta: Bulan Bintang, 1977, h.107 69
Nurhidayat Muh Said tentang reaksi Rasyidi terhadap pemikiran Harun Nasution
dalam Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia : Studi Pemikiran Harun Nasution, h.89.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
91
menjadi teologi Mu‟tazilah. Rasyidi sepertinya mempertahankan teologi
Asy‟ariyah yang telah lama berkembang di Indonesia, karena bagi Rasyidi
menghidupkan kembali teologi Mu‟tazilah sangat berbahaya bagi umat Islam
di Indonesia. Bagi Rasyidi umat Islam di Indonesia telah tertanam dalam
kehidupannya bahwa apa yang telah diajarkan Asy‟ariyah adalah paham
yang telah menyatu bagi umat sehingga jika hendak dirubah dengan
paham/teologi lain maka akan terjadi pergulatan/kekacauan baik dalam
bidang pemikiran ataupun ritual ibadah lainnya, khususnya kaum terpelajar.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Rasyidi lebih cenderung
pada pembelaanya terhadap faham Asy‟ariyah, hal ini berarti dalam
pendekatan teologi cenderung bermazhab Asy‟ariyah.
Selanjutnya, untuk melihat pandangan Rasyidi tentang teologi ini,
penulis juga membatasi tema pembahasan yakni tentang akal dan wahyu,
kebebasan manusia dan keadilan Tuhan. Sebagaimana tema ini juga
dijelaskan dalam pembahasan teologi Harun nasution sebelumnya, dan
dijadikan perbandingan atas pemikiran diantara keduanya.
a. Akal dan Wahyu
Dalam persoalan hubungan akal dan wahyu, dapat dilihat dalam
tanggapan Rasyidi tentang pemikiran Harun yang membicarakan tentang
kekuatan akal, bahwa:
“Kalau kaum Mu‟tazilah banyak percaya pada kekuatan akal manusia
sedangkan kaum Asy‟ariyah banyak bergantung kepada wahyu.
Sikap yang dipakai kaum Mu‟tazilah ialah mempergunakan akal dan
kemudian memberi interpretasi pada teks atau nas wahyu. Kaum
Asy‟ariyah sebaliknya pergi terlebih dahulu kepada teks wahyu dan
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
92
kemudian membawa argumen-argumen rasionil untuk teks wahyu
itu.”70
Rasyidi menanggapi kutipan Harun tersebut terlihat jelas bahwa
Islam menjunung tinggi akal atau pikiran dan Asy‟ariyah juga memakai akal.
Namun perbedaannya adalah titik berat dalam beberapa masalah, sehingga
tak dapat dikatakan bahwa Mu‟tazilah lebih rasional dari Asy‟ariyah dan
lebih menarik kepada kaum terpelajar.71
Meskipun Rasyidi menyatakan
bahwa Asy‟ariyah juga menggunakan akal namun maksudnya adalah bahwa
akal digunakan untuk membawa argumen-argumen rasional dalam
memahami teks wahyu.
Memang agama Islam menjunjung tinggi akal atau fikiran, tetapi
dengan menggambarkan bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk,
sedangkan wahyu hanya membuat nilai yang dihasilkan pikiran manusia
bersifat absolute-universal.72
Seharunya umat islam memahami makna ayat-
ayat al-Qur‟an seperti Q.S. Al-Baqarah ayat 232:
يعلن وأتن ل تعلوىى .... ٢٣٢وٱلل
Artinya: .....Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui
70 Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya jilid II, h. 42
71
M. Rasyidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution…, h.111
72
M. Rasyidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution…, h. 52
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
93
Dari kutipan ayat di atas, Rasyidi berpendapat bahwa akal tidak
mampu mengetahui baik dan buruk.73
Dengan menganggap akal dapat
mengetahui baik dan buruk berarti meremehkan ayat-ayat al Qur‟an
sebagimana dikutip diatas. Hal ini berarti meskipun Rasyidi menyatakan
bahwa golongan Asy‟ariyah tetap menggunakan akal, namun baginya akal
memiliki keterbatasan, karena tentunya wahyu merupakan pedoman utama
bagi umat islam dalam setiap pemikirannya.
b. Kebebasan Manusia
Kebebasan menurut Rasyidi dapat diartikan dengan kemerdekaan.
kemerdekaan yang dimaksud Rasyidi adalah:
Kemerdekaan terlibat dalam adanya dosa yang dikerjakan manusia,
oleh sebab itu hanya dapat menjadi baik dan berharga kalau ia
sebenarnya dapat mengerjakan kejahatan akan tetapi dapat
menghindarkan dirinya dari melakukan kejahatan tersebut. Karena
manusia merdeka tidak seperti binatang yang lain, maka ia dapat pula
menjadi lebih jahat daripada binatang sebagaimana dia juga dapat
menjadi jauh lebih utama.
Kemerdekaan manusia mengandung dua hal; yaitu memikir dan
memutuskan. Tindakan berpikir adalah suatu tindakan yang
mengherankan akan tetapi kita rasakan sebagai kejadian biasa, sebab
kita berpikir. Seorang yang mengingk ariadanya kemerdekaan
73
M. Rasyidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution, tentang “Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya”, (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 52
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
94
manusia, berkata, bahwa faktor-faktor lain pula menentukan tindakan
manusia dan faktor yang dikatakan kuat itulah yang menang.
Memang keputusan manusia yang merupakan tindakan seperti ini
merupakan kejadian yang amat penting akan tetapi hal ini tak berarti
bahwa badan atau materi itu tidak penting.”74
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa manusia mempunyai
hak dan kebebasan dalam kehidupannya untuk menuju ke arah yang lebih
baik yang diingininya. Begitu pula halnya kebebasan dalam beragama.
Berdasarkan informasi dan pedoman dari Al-Qur‟an bahwa manusia itu
bebas untuk memilih kepercayaan sesuai keyakinannya karena tidak ada
paksaan untuk memeluk suatu agama. Seperti yang terdapat dalam al-
Qur‟an, al-Baqarah (2: 256):
يي ٱإكراه في ل شد ٱقد تبيي لد غىت ٱفوي يكفر ب لغي ٱهي لر لط
ٱويؤهي ب ٱلها و فصام ٱل لىثقى ٱ لعروة ٱب ستوسك ٱفقد لل سويع لل
٢٥٩علين
Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada
jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar
kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang
74M. Rasyidi, Filsafat AgamaI, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983) h. 211
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
95
amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha
mendengar lagi Maha Mengetahui
Lebih lanjut Rasyidi mengatakan bahwa:
Kemerdekaan itu tak akan berarti kecuali kalau kita memandangnya
dengan kacamata yang dipengaruhi oleh wujud dan watak Tuhan.
Kita merdeka, dan kemerdekaan kita itu merupakan suatu
pengambilan dari sifat Tuhan; walaupun manusia merdeka
sebagaimana Tuhan merdeka, tetapi kemerdekaan manusia tak dapat
membuat orang lain yang merdeka. ... Hanya Allah Yang Maha Esa
dan Kuasa saja yang membuat manusia merdeka, merasa dalam diri
kita sendiri pengaruhnya kemauan yang dapat mengatur hal-hal yang
kecill yang di bawah kekuasaan kita.75
Dari kutipan di atas dapat dipahami, bahwa Rasyidi hendak
menjelaskan bahwa manusia memang memiliki kebebasan, akan tetapi
kebebasan manusia diperoleh atas kehendak Tuhan. Artinya kebebasan
manusia dikendalikan oleh Tuhan. Pemikiran Rasyidi tentang kebebasan
manusia ini cenderung pada pendapat yang diajarkan oleh kaum Asy‟ariyah.
Asy‟ariyah menggambarkan hubungan perbuatan dengan kemauan
dan kekuasaan mutlak Tuhan al-Asy‟ari memakai istilah al-kasb (acquisition,
75
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
96
perolehan). Al-Asy‟ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya,
Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia
sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah-lah yang mampu
menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
Dalam teori kasb, untuk terwujudnya suatu perbuatan dalam
perbuatan manusia, terdapat dua perbuatan,yaitu perbuatan Tuhan dan
perbuatan manusia. Perbuatan manusia pada hakekatnya terjadi dengan
perantaraannya daya Tuhan, tetapi manusia dalam pada itu tidak kehilangan
sifat sebagai pembuat.76
Dalam paham al-Asy'ari, perbuatan-perbuatan manusia adalah
diciptakan Tuhan. Dan tidak ada pembuat (agen) bagi kasb kecuali Allah.
Dengan perkataan lain, yang mewujudkan kasb atau perbuatan manusia,
menurut al-Asy'ari, sebenarnya adalah Tuhan sendiri.
Berangkat dari uraian tersebut diatas dapat dinyatakan bahwa
kebebasan manusia menurut Rasyidi tetap tidak terlepas dari perantara
/kehendak Tuhan.
c. Kekuasaan Mutlak Tuhan
Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa Rasyidi dalam teologi
lebih cenderung pada pemikiran mazhab Asy‟ariyah maka tentunya juga
memiliki kesamaan dalam pemikiran tentang kekuasaan mutlak Tuhan.
Prinsip ke-Maha Kuasaan Tuhan, Al-Asy‟ary berpendirian bahwa manusia tidak
memiliki kehendak dan daya untuk melakukan sebuah pekerjaan. Apa yang
dikerjakan manusia adalah merupakah kehendak dan ciptaan Tuhan. Tidak ada
76
Hamzah Harun, Trend moderasi Asy’ariyah di Bidang ketuhanan, h. 35-36.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
97
seorangpun yang mampu melakukan suatu perbuatan sebelum perbuatan itu
dikehendaki dan dicipta oleh Tuhan. Semua yang terjadi dialam ini atas
kehendak dan ketetapan Tuhan.77
Rasyidi menggambarkan tentang kekuasaan mutlak Tuhan bahwa:
Sesungguhnya anggapan bahwa Tuhan itu Maha Kuasa timbul dari
pada perasaan bahwa kita manusia itu mempunyai rasa kemerdekaan
dan kalau kita yang terbatas ini mempunyai kemerdekaan tentu
Tuhan yang tak terbatas mempunyai kemerdekaan yang penuh untuk
menjalankan hal-hal yang dikehendaki. Akan tetapi kita harus insaf
bahwa kemerdekaan tuhan lain dari pada kemerdekaan manusia.
Kemerdekaan Tuhan bukan untuk memilih dua hal; kemerdekaan
Tuhan berarti tidak ada sebab selain dirinya sendiri yang mendorong
untuk bertindak dan tak ada segala sesuatu di luar dirinya yang dapat
menghalangi kemauan-Nya.78
Dari kutipan diatas terlihat bahwa menurut Rasyidi Tuhan memiliki
kekuasaan dan kehendak mutlak terhadap perbuatan manusia dan segala
sesuatu yang terjadi dialam semesta. Pendapat Rasyidi ini sejalan dengan apa
yang Firman Allah dalam QS. al-Insan/76:30:
أى يشاء وها تشاءوى إل ٣٣ ... ٱلل
Artinya: Kamu tidak menghendaki kecuali Allah menghendaki"
77
Fathul Mufid, Menimbang Pokok-pokok Pemikiran Teologi Imam al-
Asy’ari dan Al-Maturidi, Jurnal Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013.
78 M. Rasyidi, Filsafat Agama, h. 188
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
98
Dan QS. 85:16:
ال لوا يريد ٧٩فع
Artinya: Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya
Ayat tersebut dapat dipahami bahwa Tuhan adalah pencipta yang
berkuasa mutlak atas ciptaanNya. Tuhan menghendaki segala apa yang
mungkin dikehendaki. Tidak satupun di alam ini terwujud lepas dari
kekuasaan dan kehendak Tuhan. Jika Tuhan menghendaki sesuatu, ia pasti
ada, dan jika Allah tidak menghendakinya niscaya ia tiada. Tuhan sebagai
pemilik atas ciptaannya berkuasa secara absolut, tanpa terikat kepada norma
dan batasan-batasan hukum, sebab tak ada zat lain yang mengaturNya,
memerintah dan melarangNya. Semua perbuatan Tuhan adalah adil sesuai
dengan kekuasaan mutlakNya.
3. Pengaruh dan Gagasan M. Rasyidi dalam pemikiran Islam di
Indonesia
Rasyidi sebagai seorang intelektual muslim yang telah
menyelamatkan dari ajaran-ajaran yang dianggapnya datang dari luar Islam.
Dia juga dikenal sebagai seorang pengkritik yang tajam, karena analisa
masalahnya yang tajam dan mendasar dia tidak segan-segan mengkritik
seorang yang dianggapnya telah salah dalam berpikir, dan ia juga telah ikut
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
99
membangkitkan pembaharuan pemikiran Islam dan mempertajam daya nalar
sarjana muslim Indonesia.79
Pemikiran Islam Rasyidi dapat di telusuri dari kritikan-kritikan yang
dialamatkan kepada Harun Nasution dan Nurcholis Madjid, dalam hal ini,
penulis menelusuri pemikiran Rasyidi dalam kritikannya terhadap Harun
nasution.
Dalam menyikapi karya Harun Nasution tentang Islam ditinjau dari
berbagai aspeknya, Rasyidi menolak keberadaan rekomendasi yang
diberikan DEPAG untuk menajdikan karya Harun tersebut salah satu
referensi penting bagi seluruh mahasiswa di IAIN. Buku ini mulai
disebarkan secara luas setelah hasil rapat rektor IAIN se-Indonesia pada
Agustus 1973 di Ciumbuluit, Bandung. Yang kemudian Departemen Agama
menjadikannya sebagai buku wajib mahasiswa IAIN. Namun penolakan
Rasyidi tidak digubris oleh Departemen Agama.
Pada mulanya, Rasyidi berinisiatif melakukan koreksi terhadap
berbagai pemikiran ke-Islaman yang ditulis oleh Harun, yakni diawali karena
banyaknya pengaduan dari mahasiswa dan dosen tentang perkuliahan yang
diajarkan oleh Harun Nasution tentang pemikiran-pemikirannya yang ditulis
dalam bukunya. Setelah membuktikan dengan membaca buku Harun
tersebut, Rasyidi semakin yakin bahwa berbagai pemikiran yang ditulis
dalam buku tersebut penuh dengan pengaruh pemikiran orientalis yang
membahayakan. Maka dari itu perlu adanya beberapa koreksi.80
79
Romdoni Muslim, 72 Tokoh Muslim Indonesia (Pola Pikir Gagasan Kiprah dan
Falsafah), (Jakarta : Restu Ilahi, 2005), hal. 103 80
Said Agil Husin Al-Munawar dkk, Teologi Islam Rasional : Apresiasi Terhadap
Wacana dan Praksis Harun Nasution (Ciputat : Ciputat Press, 2001), 18-22. Baca Rasyidi,
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
100
M. Rasyidi kemudian memberikan peringatan kepada Departemen
Agama sekaligus menunjukkan bahwa gambaran Harun tentang Islam itu
sangat berbahaya.Menurut Rasyidi, cara penyajian dalam buku ini adalah
cara pengarang Barat yang dalam fikiran mereka menyimpan suatu perasaan
bahwa semua agama itu pada dasarnya sama dan merupakan gejala sosial
yang dapat ditemukan pada tiap-tiap kelompok manusia. Penganjur
kelompok ini adalah sarjana Prancis yang bernama Emile Durkheim (1858-
1917). Namun Rasyidi gagal meminta perhatian Menteri Agama ( ketika itu
Mukti Ali) agar mengambil tindakan terhadap buku tersebut. Mengetahui
peringatannya tidak digubris, H.M Rasyidi, menulis koreksinya dalam
sebuah buku. Ia menerbitkan koreksi tersebut pada tahun 1977. Dan segera
saja mendapat sambutan antusias dari umat Islam. Prof. Rasyidi dianggap
sebagai pembela Islam oleh kaum Muslim mayoritas di Indonesia.81
Dalam konteks perkembangan peta pemikiran Islam di Indonesia,
sosok kehadiran Rasyidi dapat kita tempatkan. Suatu bentuk pemikiran yang
Koreksi Terhadap Dr.Harun Nasution Tentang Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek (Jakarta
: Bulan Bintang, 1977), Cet.Ke-1, h. 7-150. 81
Contoh koreksi H.M Rasyidi ialah saat Harun mengatakan bahwa pemikiran-
pemikiran Muktazilah mulai ditimbulkan kembali oleh pemuka-pemuka pembaharuan dalam
Islam periode abad kesembilan belas masehi, terutama Jamaluddin Al Afghani, Muhammad
Abduh dan Ahmad Khan di India. Di abad dua puluh ini, penonjolan pemikiran-pemikiran
Muktazilah diteruskan oleh pengikut-pengikut Muhammad Abduh di Mesir dan pengikut-
pengikut Ahmad Khan di India dan Pakistan. Menanggapi pernyataan tersebut, H.M Rasyidi
memberikan koreksi bahwa Jamaluddin Al Afghani atau Muhammad Abduh tidak pernah
mengatakan mereka itu kaum Muktazilah yang baru muncul kembali. Mereka adalah orang-
orang yang ingin membangkitkan umat Islam dari keterlambatan dan kebodohannya agar
mereka dapat mempertahankan diri dari imperialisme Barat. Sebenarnya, Harun dan Rasyidi
adalah kolega akrab. Keduanya adalah sahabat lama. Dalam biografi kedua tokoh ini, kisah
persahabatan mereka juga digambarkan. Ketika itulah dia membantu Harun Nasution untuk
melanjutkan kuliahnya McGill. Supandi “Membaca Ulang Pemikiran dan Pembaruan Islam
Harun Nasution”, Dinika, 107-108.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
101
intelektualistik tetapi relatif doktriner serta tidak terlalu bergairah untuk
mendialogkan pemikiran-pemikirannya dengan pemikiran luar Islam. Atau
dalam pengertian yang lebih sederhana, suatu pemikiran Islam yang
cenderung mempertahankan kemurnian ajaran yang dianggapnya telah
benar.82
Islam sebagai agama yang utuh, mengandung konsep yang
menyeluruh terhadap semua aspek kehidupan manusia dalam
mencapai hakikat dan tujuan hidupnya. Dorongan dan upaya untuk
mengimplementasikan ajaran- ajaran Al-Quran yang terkandung dalam Al-
Quran dan hadis tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan kemajuan
zaman. Sebagaimana diketahui setiap tindakan perilaku serta pola pikir
seseorang tidak luput dari pengaruh lingkungan, baik lingkungan keluarga
secara mikro maupun lingkungan tempat tinggal dan pendidikan secara
Makro.
Demikian juga halnya dengan Rasyidi sebagai seorang intelektual
muslim yang telah menyelamatkan dari ajaran-ajaran yang dianggapnya
datang dari luar Islam. sebagai seorang pengkritik yang tajam, karena analisa
masalahnya yang tajam dan mendasar dia tidak segan-segan mengkritik
seorang yang dianggapnya telah salah dalam berpikir, dan ia juga telah ikut
membangkitkan pembaharuan pemikiran Islam dan mempertajam daya nalar
sarjana muslim Indonesia.83
82 Fachry Ali, Pak Rasyidi dan Perkembangan Pemikiran Islam dalam
Penyunting Endang Basri Ananda, 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasyidi, Jakarta: Harian
Umum Pelita, h. 230.
83
Romdoni Muslim, 72 Tokoh Muslim Indonesia ( Pola Pikir Gagasan Kiprah dan
Falsafah), (Jakarta: Restu Ilahi, 2005), h. 103.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
102
Dunia Islam berhadapan dengan perkembangan dan kemajuan Barat
terutama dalam bidang pengetahuan dan tekhnologi. Dunia Islam tentu tidak
lepas dari sentuhan kemajuan Barat yang sangat menakjubkan baik dibidang
pengetahuan, teknologi dan filsafat, disinilah menurut Rasyidi letak
persoalan modernisme. Rasyidi mengoreksi Harun Nasution bahwa “umat
Islam mundur, karena agama Islam merupakan penghambat bagi kemajuan,
bukan karena agama Islam, tetapi karena umat Islam terikat pada tradisi
nenek moyang. Dalam tiap masyarakat tradisi memang merupakan
penghambat besar bagi tiap usaha-usaha modernisasi, apalagi kalau tradisi
itu dianggap mempunyai sifat sakral.” 84
Titik tolak pendapat Harun ini
adalah bahwa Islam itu ada, suatu fakta yang nyata dalam dunia ini. Kalau
kita menafsirkannya menurut kebutuhan sekarang, kita akan mendapat
kemajuan. Tetapi kalau kita terikat dengan faham dahulu yang kita anggap
sakral, kita tetap akan terbelakang.85
Menurut Rasyidi “seharusnya Harun tidak memberikan pernyataan
menyudutkan keadaan umat Islam yang ada di Indonesia, akan tetapi
menyampaikan pemikiran bahwa umat Islam hanya dapat maju dan kuat jika
melakukan ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan Hadis. Al-
Qur‟an menyuruh kita berpiki, maka ilmu pengetahuan harus dipelajari oleh
umat Islam.”86
Rasyidi menyatakan bahwa Islam adalah pegangan bagi umat
manusia. Kita umat Islam sedunia bukan berkewajiban memberi tafsiran baru
84M. Rasyidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Bulan Bintang), h. 146.
85
M. Rasyidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution, h. 146.
86
M. Rasyidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution, h. 147.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
103
dan memahami dalam konteks keadaan sekarang. Ada perbedaan besar
antara memberi tafsiran baru dan memahami dalam konteks keadaan
sekarang. Kalau memberikan tafsiran baru berarti bahwa kita harus
menyesuaikan diri dengan keadaan baru dan mencari dasar penyesuaian itu
dalam Al-Qur‟an dan Hadis. Kalau kita memahami Al-Qur‟an dalam konteks
keadaan sekarang ini berarti bahwa tidak semua yang terjadi dalam kemajuan
kehidupan dunia ini sesuai dengan Islam. Adat istiadat –kebiasaan- secara
Islam yang diberikan oleh Rasulullah memang ada sifat sakralnya, tetapi
justru di situlah terletak kekuatan Islam. Harun Nasution selalu
menggambarkan rasa kagumnya kepada Kebudayaan Barat seakan-akan
segala yang ada di Barat itu bersifat mutlak. Fikiran manusiapun dianggap
mutlak. padahal menurut Rasyidi orang Barat sedang bingung mencari
pegangan baru.87
Dengan demikian dapat dipahami bahwa menurut Rasyidi pemikiran
dalam Islam itu bukan berarti harus mengikuti modernisasi yang
didengungkan oleh dunia Barat, akan tetapi Umat Islam diserukan untuk
mempelajari ilmu pengetahuan seluas-luasnya dengan tetap berpedoman
pada Al-Qur‟an dan Hadis untuk mencapai kemajuan yang disebut dengan
modrenisasi tersenbut. Mengikuti perkembangan modrenisasi/pembaharuan
pemikiran dalam Islam bukan berarti ajaran yang terkandung dalam Al-
Qur‟an dan Hadis harus disesuaikan dengan kemajuaan modernisasi, akan
tetapi pembaharuan Islam dalam modernisasi harus tetap sesuai dengan
Islam.
87M. Rasyidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution, h. 147.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
104
Ketegasan Rasyidi dalam mempertahankan kemurnian ajaran Islam
yang berkaitan dengan perkembangan pembaharuan pemikiran Islam di
Indonesia juga dialamatkan pada Nurcholis Madjid atas pemikirannya
tentang konsep iman. Rasyidi menolak faham Cak Nur yang menganggap
akal itu mutlak dalam bidang-bidang kehidupan dunia. Hal ini beliau
bandingkan dengan kemutlakan fikiran pada filsafat Yunani yang dimulai
dari Socrates kemudian pada zaman pertengahan ketika Gereja Katolik
berkuasa pada abad 13. Bahwa yang perlu adalah iman bukan fikiran sebagai
semboyan pada zaman pertengahan “ Credo Ut Intelligam” yang artinya aku
percaya agar aku dapat mengerti, bukan aku mengerti, maka aku percaya.88
Deskripsi iman yang diberikan Nurcholis Madjid, yakni “percaya dan
menaruh kepercayaan kepada Tuhan. Dan sikap apresiatif kepada Tuhan
merupakan inti pengalaman keagamaan seseorang. Sikap ini disebut takwa.
Takwa diperkuat dengan kontak yang kontinu dengan Tuhan. Apresiasi
ketuhanan menumbuhkan kesadaran ketuhanan yang menyeluruh, sehingga
menumbuhkan keadaan bersatunya hamba dengan Tuhan.89
Menanggapi pernyataan di atas Rasyidi mengatakan bahwa iman
bukan sekedar menuju bersatunya manusia dengan Tuhan, tetapi dapat
dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungan dengan manusia dengan
manusia, yakni hidup dalam masyarakat. Bersatunya seseorang dengan
Tuhan tidak merupakan aspek yang mudah dicapai, mungkin hanya
seseorang saja dari sejuta orang. Jadi, yang terpenting dari aspek penyatuan
88 Rasyidi, Sekulerisasi Dalam Persoalan Lagi, Suatu Koreksi atas tulisan Drs.
Nurcholish Madjid tentang Sekulerisasi, (Jakarta : Yayasan Bangkit, 1972), h. 34.
89
M. Rasyidi, Koreksi terhadap DR. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi,
(Jakarta:Bulan Bintang,1997), h. 61.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
105
itu adalah kepercayaan, ibadah dan kemasyarakatan.90
Hal ini berarti bahwa
konsep iman merupakan hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan
manusia dengan manusia harus berjalan seimbang, karena manusia tidak
dapat melepaskan diri dari kehidupan sesama manusia. Setiap manusia akan
berinteraksi dengan sesamanya seiring dengan berkembangan dan kemajuan
zaman, baik ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan mistisisme tidak
terkecuali Islam itu sendiri.
Selanjutnya Rasyidi juga menolak keras pendapat Nurcholish Madjid
tentang sekularisasi. Nurcholish menyatakan bahwa sekularisasi di satu
kontek dapat bernilai lain pada konteks yang lain. Misalnya berperang
mempertahankan diri hukumnya wajib padahal dalam peperangan itu terjadi
bunuh-membunuh, sedang membunuh dalam konteks yang lain adalah
haram. Sebagai kelanjutan dari teorinya itu ia mengatakan bahwa
sekularisasi yang menjurus kepada sekularisme memang dilarang, sebab
menghapus dan meniadakan Tuhan. Tetapi sekularisasi yang tidak menjurus
kesana tidak dilarangbahkan disuruh, seperti ajaran tauhid adalah pangkal
tolak sekularisasi secara besar-besaran, sebab yang diimankan sebagai Tuhan
hanya Allah saja. Selain Dia adalah alam, makhluk yang dapat dan bahkan
harus dimengerti dan diteliti serta diperkembangkan oleh manusia sendiri
dengan menggunakan akal atau intelek yang dianugerahkan Allah
kepadanya. Akal dan kecerdasan serta kemampuan itu merupakan amanah
90M.Rasyidi, Koreksi terhadap DR. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, h. 61.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
106
Allah kepada manusia, dan manusia diangkat sebagai Khalifah Allah di bumi
sebagai mandataris untuk memakmurkan dunia.91
Bagi Rasyidi sekularisasi tidak mungkin dipisahkan dari sekularisme,
menurut sejarah dan arti yang sebenar-benarnya. Disamping itu Rasyidi juga
menolak teori Nurcholis tentang manusia sebagai Khalifah Allah yang
diartikan sebagai mandataris, yakni manusia sebagai Khalifah Allah telah
diberi wewenang Allah untuk mengelola dan mengembangkan kehidupan
dunia ini dengan akal, kecerdasan dan kemampuannya dengan bimbingan
Allah dalam garis besar sedang kebijaksanaan detailnya terserah kepada
manusia itu sendiri.92
Padahal, menurut Rasyidi, konsepsi manusia yang jelas menurut al-
Qur‟an ialah hamba Allah, dan itu telah menjadi pendirian umumnya uamt
Islam. Sedang terhadap Nabi Muhammad s.a.w. yang menerimah wahyu-Nya
dan diutus sebagai Rasul_Nya, Allah tidak pernah memanggila dia
“Khalifah-Ku”, bahkan dalam surah Isra‟ ayat pertama Allah menyebut
Rasul-Nya sebagai “hamba-Nya”. Lebih dari 250 kali dalam Al-Qur‟an
Allah memanggil manusia dengan “hamba-hamba-Ku”. Dengan istilah
manusia sebagai hamba Allah terkandung pengertian bahwa manusia harus
mengabdi, menyembah dan memohon pertolongan hanya kepada Allah.93
91Djarnawi Hadikusuma, Prof. Rasyidi, Pengritik Tajam, dalam Penyunting
Endang Basri Ananda, 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasyidi, Jakarta: Harian Umum Pelita, h.
140, lihat juga, M. Rasyidi, Koreksi terhadapa Drs. Nurcholis Madjid tenatng Sekularisasi,
Jakarta: Bualan Bintang, h. 32.
92
Djarnawi Hadikusuma, Prof. Rasyidi, Pengritik Tajam, h. 141.
93
dalam Penyunting Endang Basri Ananda, h. 14, lihat juga M. Rasyidi, Koreksi
terhadapa Drs. Nurcholis Madjid tenatng Sekularisasi, Jakarta: Bualan Bintang, h. 32.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
107
Selain sebagai penulis dan pengkritik, Rasyidi juga sebagai
penterjemah karya para sarjana Barat, diantara buku terjemahannya itu
adalah bible, Qur’an dan Sains Modren karya Maurice Bucaille,
Humanisme dalam Islam karya Marcel A. Boisard, dan Janji-janji Islam
terjemahan dari Promesses de l’Islam karya Roger Garaudy. Dalam ketiga
buku itu diuraikan penilaian ilmiah terhadap Islam yang amat positif oleh
ketiga sarjana Prancis tersebut. Tidak seperti kebanyakan sarjana Barat
tempo dulu yang selalu mencela, mengganggap palsu kewahyuan Qur‟an dan
kerasulan Muhammad s.a.w., dan menilai hukum Islam sebagai hukum yang
tajam. Kesegaran penilaian sarjana Barat terhadap Islam itulah yang agaknya
oleh Rasyidi digambarkan kepada umat Islam Indonesia –terutama angkatan
mudanya- agar supaya mereka bertambah yakin akan kebenaran agama
Islam, rasionalitas ajarannya, dan terutama sebagai pendorong agar mereka
meningkatkan himmahnya untuk menambah ilmu. Rasyidi mengekspresikan
pandangan-pandangannya lewat pemikir-pemikir Barat, tapi tidak lupa
membuat catatan-catatan kaki yang sifatnya mengoreksi pandangan-
pandangan atau interpretasi-interpretasi yang dianggapnya keliru.94
94 M. Dawam Rahardjo, Sedikit tentang Sejarah Intelektual dan Peranan Kaum
Terpelajar Muslim, dalam Penyunting Endang Basri Ananda, 70 Tahun Prof. Dr. H.M.
Rasyidi, Jakarta: Harian Umum Pelita, h. 208-209.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
108
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
109
BAB IV
CORAK PEMIKIRAN HARUN NASUTION DAN M. RASYIDI
DALAM PEMIKIRAN ISLAM RASIONAL DAN TRADISIONAL
DI INDONESIA
A. Teologi
Dalam aspek teologi, Harun menawarkan gagasan teologi rasional.1
Harun berkeyakinan bahwa jika hendak memperbaiki kondisi umat Islam,
yang mendesak dilakukan adalah membuang teologi fatalistik menuju teologi
yang berwatak rasional serta mandiri. Titik tolak pemikiran Harun Nasution
adalah pemikiran Mu’tazilah. Menurut harun bahwa:
―madzhab berfikir rasionalis sebagaimana mu’tazilah adalah solusi.
Oleh karenanya, menggeser teologi fatalis Asy’ariyah oleh teologi
rasional Mu’tazilah tidak bisa dielakan ketika ingin melakukan
pembaharuan pemikiran ke-Islaman dengan tetap harus menyadari
bahwa dalam ajaran Islam terdapat berbagai ajaran yang bersifat
mutlak, yakni tidak dapat dirubah (absolut).‖2
1Harun Nasution merupakan pemikir muslim rasional Indonesia yang memberiakan
pengaruh besar dalam khazanah pemikiran Islam di Indonesia. Dengan kemampuan
intelektualnya, Harun berusaha agar teologi yang sebelumnya dianggap sebagai ilmu
langit dapat dibumikan dan diaktualisasikan dalam kehidupan sosial. Harun Nasution
memandang teologi rasional sesuai untuk masyarakat modern karena memiliki
konsekuensi erat dengan perbuatan manusia dalam hidup keseharian yang mencakup
aspek pendidikan, politik, budaya dan sosial kemasyarakatan.Muhammad Arifin, ―Relevansi
dan Aktualisasi Teologi Dalam Kehidupan Sosial Menurut Harun Nasution‖, Substantia,
Vol 16, No1(2014), 101. 2Sementara itu, ajaran Islam yang dapat diperbaharui hanyalah ajaran yang tidak
bersifat mutlak, Harun menambahkan bahwa upaya pembaharuan dapat dilakukan terkait
interpretasi (penafsiran) dalam aspek teologi, hukum, politik dan lain. sebagainyaHarun
Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta : UI Press, 1985), 93-94. Harun
mengemukakan bahwa jika ingin melakukan pemmbaharuan pemikiran ke-Islaman, terlebih
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
110
Dari kutipan diatas dapat dipahami bahwa menurut Harun, untuk
membangun kemajuan peradaban bangsa Indonesia dalam kondisi
perkembangan zaman yang senantiasa dinamis, umat Islam di Indonesia
perlu menggeser falsafat hidup Asy’ariyah yang mempunyai corak
tradisional dengan teologi atau falsafat hidup Muktazilah yang lebih banyak
mempunyai corak rasionalis. Harun sangat gigih memperjuangkan teologi
rasional dan menentang keras teologi ortodok yang mencengkram kebebasan
akal untuk berfikir. Keseluruhan pemikirannya dibangun untuk
mengokohkan gagasannya bahwa penyebab mundurnya umat Islam,
khususnya di Indonesia adalah akibat mereka memegangi teologi tradisional.
Secara umum, pemikiran Harun tentang teologi rasional maksudnya
adalah bahwa kita harus mempergunakan rasio kita dalam menyikapi
masalah. Namun bukan berarti menyepelekan wahyu. Karena menurutnya, di
dalam Al-Qur’an hanya memuat sebagian kecil ayat ketentuan-ketentuan
tentang iman, ibadah, hidup bermasyarakat, serta hal-hal mengenai ilmu
pengetahuan dan fenomena natur. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an ada dua
bentuk kandungan yaitu qath’iy al dalalah dan zhanniy al-dalalah. Qath’iy
al dalalah adalah kandungan yang sudah jelas sehingga tidak lagi dibutuhkan
interpretasi. Zhanniy al-dalalah adalah kandungan di dalam Al-Qur’an yang
masih belum jelas sehingga menimbulkan interpretasi yang berlainan.
Disinilah dibutuhkan akal yang dapat berpikir tentang semua hal tersebut.
Dalam hal ini, keabsolutaan wahyu sering dipertentangkan dengan
kerelatifan akal.
dahulu kita membedakan antara ajaran yang bersifat qat’i dan dhanni.Baca Nurhidayat Muh
Said, Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia : Studi Pemikiran Harun Nasution, h. 4.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
111
Dengan demikian gagasan teologi rasional Harun yang identik
dengan teologi Mu’tazilah sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dapat
dikatakan memiliki relevansi dengan teologi rasional, yakni teologi rasional
dikenal dengan penggunaan akal secara bebas, yaitu dengan menggunakan
rasional dalam memahami Islam. Pemahaman dalam teologi rasional berarti
aliran teologi yang mengandalkan kekuatan akal atau rasio karena akal
mempunyai daya yang kuat serta dapat memberikan interpretasi secara
rasional terhadap teks-teks, ayat-ayat Alquran dan hadis. Hal ini sejalan
dengan pengertian rasional yakni rasionalisasi.3
Selanjutnya, Dalam banyak ceramahnya, Harun selalu menekankan
agar kaum Muslim Indonesia berpikir secara rasional. Harun mengemukakan
bahwa ketika ingin melakukan pembaharuan pemikiran ke-Islaman, kita
harus menyadari bahwa dalam ajaran Islam terdapat berbagai ajaran yang
bersifat mutlak, yakni tidak dapat dirubah (absolut). Oleh karena itu, ajaran
Islam yang dapat diperbaharui hanyalah ajaran yang tidak bersifat mutlak.
Harun menambahkan bahwa upaya pembaharuan dapat dilakukan terkait
interpretasi (penafsiran) dalam aspek teologi, hukum, politik dan lain
sebagainya.4
Deliar Noer mencatat perbedaan metodologi Harun dengan sarjana
dan pemikir yang terlibat pada masa pergerakan, yakni mereka pada
umumnya lebih ideologis sedangkan Harun lebih terbuka. Salah satu metode
Harun yang nampak adalah merubah cara mengajar mahasiswa. Bila yang
lain menggunakan metode ceramah, ia mengganti dengan presentasi.
3 Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan,
1993), h. 183 4Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta : UI Press,
1985), h. 93-94.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
112
Mahasiswa juga diperintahkan menulis makalah untuk melatih berfikir
sistematis. Di samping itu, mahasiswa juga diberi kebebasan berfikir
sekaligus kesempatan untuk menganalisis persoalan-persoalan yang dibahas
secara leluasa.5
Pada tataran pendidikan, Harun berusaha mengorientasikan
pendidikan agama yang terbuka (inklusif). Baginya, pluralitas beragama di
Indonesia merupakan sebuah keniscayaan. Semenjak kesadaran ini muncul,
Harun beserta Mukti Ali, Nurcholis Madjid dan lain-lain gencar menggagas
dialog antar agama. Menurut Azra, pada saat Harun memimpin IAIN Jakarta,
ia menjadikan lembaga ini berada pada garis depan gerakan pembaruan di
IAIN secara keseluruhan. Harun bercita-cita menjadikan IAIN Jakarta
sebagai pusat modernisasi umat Islam. Langkah konkrit yang dilakukannya
adalah merekonstruksi kurikulum IAIN secara menyeluruh.6
Dengan
demikian pemikiran teologi Harun Nasution bercorak rasional yang
cenderung dengan konsep teologi rasional mu’tazilah.
Sedangkan M. Rasyidi dalam bidang teologi, Rasyidi berusaha kuat
mempertahankan teologi Asy’ariyah, sebagaimana pembelannya terhadap
Harun yang meyatakan bahwa untuk membangun kemajuan peradaban
bangsa Indonesia dalam kondisi perkembangan zaman yang senantiasa
dinamis, umat Islam di Indonesia perlu menggeser teologi hidup Asy’ariyah
yang bercorak tradisional dengan teologi hidup Muktazilah yang bercorak
rasionalis. Oleh karenanya, yang terpenting dalam pembangunan teologi
5
Muhammad Husnol Hidayat, Harun Nasution dan Pembaharuan Pemikiran
Pendidikann Islam di Indonesia, Tadrîs, h.31-32. 6Supandi, Membaca Ulang Pemikiran dan Pembaruan Islam Harun Nasution, h.
105.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
113
agama, yakni upaya mengubah sikap mental tradisional menjadi sikap mental
rasional.7
Menurut M. Rasyidi, tidak perlu menghidupkan kembali teologi
Mu’tazilah bagi umat Islam di Indonesia sebagaimana yang dianjurkan oleh
Harun dengan menggunakan istilah teologi rasional. Teologi Asy’ariyah
merupakan teologi yang telah melebur dengan tradisi dan budaya lokal umat
Islam Indonesia, sehingga jika hal ini digeser kearah rasional Mu’tazilah
maka dampaknya akan membingungkan pemikiran kaum terpelajar yang
sebelumnya telah tertanam mazhab Asy’ariyah, hal ini sangat membayakan
bagi pemikiran umat Islam Indonesia.
Usaha yang dilakukan Rasyidi dalam mempertahankan teologi
Asy’ariyah bertujuan untuk menjaga aqiah umat Islam di Indonesia agar
tidak tergoyahkan, baik dalam segi pemikiran maupun keimanan. Menurut
Rasyidi merasionalkan umat pemikiran umat Islam bukan berarti harus
mengganti teologi yang telah ada akan tetapi sebaiknya mewarnai teologi
tersebut dengan pemikiran rasional dalam bentuk lain yang lebih netral,
sehingga dapat diterima oleh setiap kalangan umat Islam di Indonesia baik
kaum awam maupun kaum intelektual Islam. Teologi Asy’ariyah yang telah
melebur dalam tradisi umat Islam di Indonesia tidak dapat digantikan begitu
saja.
Pendapat Rasyidi yang demikian tersebut memiliki relevansi dengan
karakteristik pemikiran Islam tradisional. Teologi tradisional merupakan
salah satu corak paham keIslaman yang telah membudaya atau hal ini sudah
menjadi kebiasaan dan melekat pada sebuah kelompok tertentu yang
7Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1996)
Cet.IV, h. 139-146.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
114
menganggap bahwa paham yang di anutnya merupakan paham yang paling
benar diantara paham-paham yang lainnya. Teologi tradisional berarti
mengambil sikap terikat, tidak hanya kepada dogma yang jelas dan tegas di
dalam Alquran dan Hadist, tetap juga pada ayat-ayat yang mempunyai
zhanni, yaitu ayat-ayat yang mempunyai arti harfiah dari teks-teks ayat
Alquran dan kurang menggunakan logika.8Tradisional merupakan terma
untuk sesuatu yang irrational, pandangan dunia yang tidak ilmiah, lawan
dari segala bentuk kemodernan.Tradisionalisme dianggap sebagai aliran
yang berpegang teguh pada fundamen Agama melalui penafsiran terhadap
kitab suci Agama secara rigid dan literalis.9
Dengan demikian pemikiran teologi Rasyidi bercorak tradisional,
yaitu yang menempatkan segala persoalan berdasarkan teks wahyu, dengan
mazhab teologi Asy’ariyah dan identik dengan pemikiran Muhammadiyah.
B. Metodologi
Dalam ajaran agama yang diwahyukan ada dua jalan untuk
memperoleh pengetahuan, pertama dengan jalan wahyu, dalam arti
komunikasi dari Tuhan kepada manusia, dan kedua jalan akal, yang
dianugerahkan Tuhan kepada manusia, dengan memakai kesan-kesan yang
diperoleh pancaindera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada
kesimpulan. Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan
8 Al-Munawwar, Ahmad Warson, Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: Pustaka
Progresif, 1984), h. 716.
9 Fundamentalis‖, dalam The Oxford English Dictionary, 1988.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
115
mutlak benar, sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat
relatif, mungkin benar dan mungkin salah.10
Jika dilihat dari pemikiran teologi Harun yang cenderung pada
teologi Mu’tazilah dengan teologi rasionalnya maka metodologi Harun
dalam pemikiran Islam tidak jauh berbeda dengan metodologi yang
dikembangkan mazhab Mu’tazilah. Karena dalam teologi rasional Harun
dalam menyelesaikan persoalan/kemaslahatan umat serta dalam memahami
ayat-ayat al-Qur’an lebih dahulu merujuk pada akal yang kemudian
melakukan interpretasi terhadap kadungan ayat-ayat al-Qur’an tersebut, baru
kemudian wahyu berfungsi sebagai konfirmasi. Mu’tazilah banyak percaya
pada kekuatan akal manusia, sikap yang dipakai kaum Mu’tazilah ialah
mempergunakan akal dan kemudian memberi interpretasi pada teks atau nas
wahyu.11
Menurut Harun, penggunaan akal dalam memahami teks wahyu
tidak bermaksud untuk menentangnya, melainkan hanya sebagai media yang
digunakan untuk memahami teks wahyu yang ada dengan memberikan
interpretasi atau penafsiran sesuai dengan berbagai pertimbangan konteks
yang ada bagi terwujudnya kemaslahatan umat.12
Harun Nasution mengungkapkan keyakinan, bahwa akal dan iman
seharusnya tidak ada pertentangan, bahkan sebaliknya iman justru akan
diperdalam apabila akal dipergunakan sepenuhnya.13
Sejalan dengan
10
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1982), h. 5.
Lihat pula di dalam Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu‟tazilah,
h. 44.
11
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya jilid II, h. 42 12
Nurhidayat Muh Said, Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia, h.53-54. 13
Franz Magnis Suseno, ―Sumbangan Filsafat Agama di Indonesia‖, dalam Refleksi
Pembaharuan Pemikiran 70 Tahun Harun Nasution, h. 179
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
116
Mu’tazilah, bahwa segala pengetahuan dapat diperoleh menggunakan
perantara akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran
yang mendalam. Dengan demikian, berterimakasih kepada Tuhan sebelum
turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal
dan demikian pula mengerjakannya, yang baik dan menjauhi yang jahat
adalah wajib.14
Pemikiran Harun Nasution, berangkat dari pemikiran kaum
Mu’tazilah, golongan yang sering disebut sebagai kaum rasionalis Islam.
Harun Nasution mengungkapkan keyakinan, bahwa akal dan iman
seharusnya tidak ada pertentangan, bahkan sebaliknya iman justru akan
diperdalam apabila akal dipergunakan sepenuhnya.15
Menurut Mu’tazilah,
segala pengetahuan dapat diperoleh menggunakan perantara akal, dan
kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam.
Dengan demikian, berterimakasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu
adalah wajib. Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula
mengerjakannya, yang baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib.16
Mu’tazilah, dalam pemikiran teologis mereka, tidak menentang nas
atau teks ayat. Semuanya tunduk kapada nas atau teks Al-Quran; hanya nas
itu diberi interpretasi yang sesuai dengan pendapat akal. Akan tetapi
penafsiran Mu’tazilah jauh dari arti lafdzi dalam memahami ayat-ayat Al-
Quran.17
14
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 82. 15
Franz Magnis Suseno, ―Sumbangan Filsafat Agama di Indonesia‖, dalam Refleksi
Pembaharuan Pemikiran 70 Tahun Harun Nasution, h. 179 16
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 82. 17
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, h. 81.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
117
Salah satu argumen yang dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah yang
diikuti oleh Harun adalah tentang teori tanggung jawab manusia atas
perbuatannya. Menurutnya bahwa manusia akan dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatannya, dan kelak akan mendapatkan
balasan sesuai dengan sifat (baik atau buruk) perbuatan yang dilakukannya
itu. Hal ini sesuai dengan firman Tuhan dalam QS. 32:17
ة أعيه جزاء بما كاوىا يعملىن ه قر ا أخفي لهم م ٧١فل تعلم وفس م
Artinya: Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti,
yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas
apa yang mereka kerjakan18
Dari ayat tersebut menurut Harun, seandainya perbuatan manusia
adalah perbuatan Tuhan sendiri, maka perbuatannya itu tidak perlu diberi
balasan, karena perbuatan apapun sifatnya, baik atau jahat, yang dilakukan
manusia adalah perbuatan Tuhan yang tentunya tidak perlu
dipertanggungjawabkan oleh manusia.19
Metode memahami al-Qur’an yang digunakan Harun ini disebut
dengan pendekatan kontekstual, yakni metode yang menjadikan rasio atau
akal manusia sebagai alat yang paling dominan dalam memperoleh
18
Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-
Qur’an, Jakarta, 1992, h. 662 (lihat juga Harun Nasution, Teologi Islam, h. 106) 19
Harun Nasution, Teologi Islam,h. 110-111
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
118
pengetahuan dan pemahaman atas pelbagai ajaran Islam, karena itu seluruh
teks teks wahyu harus dibedah secara kontekstual, kritis, logis dan rasional.20
Model kontekstualis menurut Harun Nasution dapat diartikan
sebagai sebuah manhaj fikir yang memahami agama Islam sebagai
organisme yang hidup dan berkembang sesuai dengan denyut nadi
perkembangan manusia, karena itu didalam menafsirkan teks-teks suci
mereka menggunakan penafsiran yang kontekstual, substansial dan non
literal.21
Karakteristik yang paling nampak dalam model ini meliputi;
Penekanan pada semangat religio etik, bukan pada makna literal sebuah
teks, manhaj yang dikembangkan mereka adalah penafsiran Islam
berdasarkan semangat dan spirit teks, memahami latar teks secara
kontekstual, substansial dan non literal, menurut mereka hanya dengan
model tersebut, Islam akan hidup survive dan berkembang secara kreatif
menjadi bagian dari ―peradaban manusia‖ universal. Karena itu bagi
mereka pintu ijtihad mesti dibuka pada semua bidang sehingga
memungkinkan Islam mampu menjawab persoalan kemanusiaan yang terus
berubah, penutupan pintu ijtihad (baik secara terbatas atau secara
keseluruhan) adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian
Islam akan mengalami pembusukan.22
20Hefni Zayn, Berbagai Pendekatan Memahami Islam, Jurnal ,5 Desember 2013,
h.5
21
Hefni Zayn, Berbagai Pendekatan Memahami Islam, h.12
22
Hefni Zayn, Berbagai Pendekatan Memahami Islam, Jurnal ,5 Desember 2013,
h.16
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
119
Tradisi slametan, lagi-lagi, menjadi sebuah fenomena menarik untuk
memperkuat aplikasi teori ini yang mengasumsikan adanya hubungan
struktural antara slametan itu sendiri dengan mitos-mitos lokal tertentu
sehingga ia menjadi bagian integral dari kebudayaan Islam Jawa.
Sebagaimana yang pernah diteliti oleh Woodward, tradisi ritual slametan
terkait erat dengan mitos Majapahit-Demak sehubungan dengan
memburuknya kondisi agrikultur di awal masa kerajaan Demak.Menurut
hasil penelitian Woodward di wilayah Yogyakarta pada awal dekade 1980-
an, tradisi slametan pernah dipraktikkan oleh masyarakat Jawa jauh sebelum
Islam hadir di tanah Jawa, terutama pada masa Majapahit. Tradisi slametan
itu muncul sebagai sarana ampuh untuk "meminta" kepada "sang Pencipta"
agar hasil-hasil pertaniannya bisa melimpah dan tidak menemui kendala.
Ketika Jawa dikuasai oleh kerajaan Demak, praktik slametan ini tidak
dilanjutkan.
Namun demikian, pemutusan tradisi slametan ini ternyata tidak
memenuhi harapan masyarakat, bahkan fenomena kelaparan tidak mampu
untuk dielakkan meski tradisi itu diputus. Atas perintah sultan, Sunan
Kalijaga kemudian menghidupkan kembali tradisi slametan dengan
mengganti formatnya dengan komponen-komponen yang lebih Islami serta
dijadikan sarana efektif untuk mengajarkan Islam kepada khalayak ramai.
Dari situlah kemudian slametan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
kebudayaan –Islam—Jawa dan menjadi media akulturasi antara Islam
dengan budaya setempat.23
23Masdar Hilmy, Metodologi dalam Kajian Islam, 2011.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
120
Sedangkan Rasyidi yang berusaha mempertahankan teologi
Asy’ariyah, maka dengan demikian tentunya dalam metodologi memahami
persoalan/kemaslahatan umat Rasyidi tidak jauh berbeda dengan yang
dilakukan oleh kaum Asy’ariyah, yakni menyelesaikan persoalan
kemanusian/kemaslahatan umat selalu kembali pada makna teks wahyu, baru
kemudian menjadikan akal sebagai alat dalam mempertahankan kebenaran
wahyu dengan argumen-argumen rasional. Hal ini sejalan dengan metodologi
kaum Asy’ariyah. Kaum sy’ariyah pergi terlebih dahulu kepada teks wahyu
dan kemudian membawa argumen-argumen rasionil untuk teks wahyu itu.24
Salah satu contoh pendapatnya adalah tentang kewajiban manusia.
―Menurut Asy’ariyah segala kewajiban manusia hanya dapat
diketahui melalui wahyu. Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi
wajib dan tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan
menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Akal dapat
mengetahui Tuhan, tetapi wahyu yang mewajibkan orang mengetahui
Tuhan dan berterimakasih kepada-Nya.25
Dari kutipan diatas dapat dipahami bahwa kaum Asy’ariyah sebagai
aliran yang berpaham Jabariah, memandang manusia itu lemah, dan karena
itu manusia bergantung sepenuhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak
Tuhan. Bagi mereka, Tuhan adalah pencipta segala sesuatu dan tak ada
pencipta selain Dia. Segenap perbuatan manusia adalah ciptaanTUhan
sebagaimana Firman Tuhan dalam Qs. 37:96:
24 Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya jilid II, h. 42
25Harun Nasution, Teologi Islam, h. 83-84.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
121
خلقكم وما تعملىن ٦٩وٱلل
Artinya: Dan Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu"26
Barangkali untuk menunjukkan tanggung jawab manusia atas
perbuatannya, dan hak untuk memperoleh pahala dan balasan atas
perbuatannya itu, maka Asy’ariyah memakai istilah al-kasb.27
Menurut Rasyidi memang agama Islam menjunjung tinggi akal atau
fikiran, tetapi dengan menggambarkan bahwa akal dapat mengetahui baik
dan buruk, sedangkan wahyu hanya membuat nilai yang dihasilkan pikiran
manusia bersifat absolute-universal.28
Seharunya umat Islam memahami
makna ayat-ayat al-Qur’an seperti Q.S. Al-Baqarah ayat 232 dan ayat 216:
يعلم وأوتم ل تعلمىن .... ٢٣٢وٱلل
Artinya: .....Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui
Dari kutipan ayat di atas, Rasyidi berpendapat bahwa akal tidak
mampu mengetahui baik dan buruk.29
Dengan menganggap akal dapat
mengetahui baik dan buruk berarti meremehkan ayat-ayat al Qur’an
sebagimana dikutip diatas. Hal ini berarti meskipun Rasyidi menyatakan
bahwa golongan Asy’ariyah tetap menggunakan akal, namun baginya akal
26
Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahnya h. 724. (lihat juga Harun Nasution,
Teologi Islam, h. 108) 27
Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, Juz IV, t.pn.,Beirut, 1969, h. 79. (lihat juga Harun
Nasution, Teologi Islam, h. 108)
28
M. Rasyidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution…, h. 52 29
M. Rasyidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution, tentang “Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya”, (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 52
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
122
memiliki keterbatasan, karena tentunya wahyu merupakan pedoman utama
bagi umat Islam dalam setiap pemikirannya.
Dengan demikian metode yang dilakukan Rasyidi tersebut identik
dengan teologi Asy’ariyah yakni dengan menggunakan pendekatan tekstual.
Pendekatan tekstual adalah suatu model pemahaman yang berpegang pada
formal teks, berpedoman pada tradisi yang terbentuk dimasa silam dan
mengikatkannya secara ketat serta menganggap ajaran Islam yang mereka
yakini sebagai suatu kebenaran mutlak yang tidak perlu dirubah lagi karena
secara otoritatif telah dirumuskan oleh para ulama’ terdahulu secara final dan
tuntas, mereka kurang suka dengan perubahan karena hawatir menimbulkan
keresahan yang mengancam integrasi umat, karena itu dalam merespon tiap
perubahan, model pendekatan ini terkesan hati hati (untuk tidak mengatakan
lamban) dan selalu menempatkan konsep “Almuhafadatu ala al qodim as
soleh wal ahdu bil jadidil aslah” pada posisi bagaimana benang tak
terputus dan tepung tak terserak.
Dalam aplikasinya, pendekatan tekstual barangkali tidak menemui
kendala yang cukup berarti ketika dipakai untuk melihat dimensi Islam
normatif. Namun Persoalan baru muncul ketika pendekatan ini dihadapkan
pada realitas ibadah umat Islam yang tidak tertulis secara eksplisit, baik di
dalam al-Qur’an maupun Hadits, namun kehadirannya diakui dan, bahkan,
diamalkan oleh komunitas Muslim tertentu secara luas. Contoh yang paling
nyata adalah adanya ritual tertentu dalam komunitas Muslim yang sudah
mentradisi secara turun-temurun seperti slametan (tahlilan atau kenduren).30
Cukup dilematis, memang, bagi pendekatan tekstual untuk sekedar
30 Masdar Hilmy, Metodologi dalam Kajian Islam, 2011.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
123
menjustifikasi bahwa ritual-ritual tersebut merupakan bagian dari ajaran
Islam atau tidak. Sebagai bagian dari diskursus akademis, tujuan mengkaji
ritual-ritual populer dalam Islam memang bukan untuk membuktikan apakah
mereka merupakan bagian dari ajaran Islam atau tidak.
Jika dikaitkan dengan pemikiran Islam di Indonesia maka dapat
digambarkan bahwa metodologi pemikiran Rasyidi cenderung kearah teologi
tradisional Asy’ariyah yang tidak menerima segala bentuk ijtihad dan ijma
para ulama.
C. Epistemologi
Epistemologi yang di gunakan Harun Nasution dalam pemikiran
Islam adalah dengan cara berpikir rasional. Gagasan berfikir rasional terlihat
pada cara Harun yang merubah metode ceramah dalam mengajar mahasiswa
menjadi metode presentasi. Mahasiswa juga diperintahkan membuat makalah
untuk melatih berfikir sistematis serta diberi kebebasan berfikir sekaligus
kesempatan untuk menganilisis persoalan-persoalan yang dibahas secara
leluasa.31
Epistemologi pemikiran Islam Harun ini, sejalan dengan pemikiran
Islam rasional yang menekankan pengoptimalisasian rasionalitas (akal)
dalam melakukan reinterpretasi terhadap interpretasi landasan teologis yang
menjadi doktrin pemikiran ke-Islaman yang sudah ada dengan menyesuaikan
dengan fakta modernitas kehidupan yang ada.32
Menurut Harun, penggunaan akal dalam memahami teks wahyu
tidak bermaksud untuk menentangnya, melainkan hanya sebagai media yang
31
Muhammad Husnol Hidayat ―Harun Nasution dan Pembaharuan Pemikiran
Pendidikann Islam di Indonesia‖, Tadrîs, h. 31-32. 32
Atho Mudzhar, “Perkembangan Islam Liberal di Indonesia,” Jurnal
Multikultural & Multireligius, Vol. IX, No.33(2010), 10.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
124
digunakan untuk memahami teks wahyu yang ada dengan memberikan
interpretasi atau penafsiran sesuai dengan berbagai pertimbangan konteks
yang ada bagi terwujudnya kemaslahatan umat.33
Harun Nasution menegaskan bahwa, pemakaian kata-kata rasional,
rasionalisme dan rasionalis dalam Islam –rasio/rasional adalah penggunaan
akal dalam interpretasi wahyu- harus dilepaskan dari arti kata sebenarnya,
yaitu percaya kepada rasio semata-mata dan mengesampingkan wahyu,
dengan kata lain membuat akal lebih tinggi dari pada wahyu, sehingga
wahyu dapat dibatalkan oleh akal. Akal dipakai hanya untuk memahami teks
wahyu dan sekali-kali tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi
interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan
kesanggupan pemberi interpretasi.34
Harun menyatakan bahwa akal melambangkan kekuatan manusia.
Keutamaan dan kelebihan manusia dari makhluk lainnya, yakni terletak pada
potensi akal yang dimilikinya. Yang demikian karena berdasarkan potensi
akal, manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan
makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggi
pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah
kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk
menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.35
Harun Nasution juga tidak terlepas dari pengaruh muhammad Abduh
dalam pemikirannya tentang akal dan wahyu. Muhammad Abduh
berpendapat bahwa, jalan yang dipakai untuk mengetahui Tuhan, sebagai
33
Nurhidayat Muh Said, Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia, h.53-54. 34
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, h. 101. 35
Harun Nasution, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran,139-140
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
125
telah dijelaskan dalam falsafah wujudnya, bukanlah wahyu saja tetapi juga
akal. Akal, dengan kekuatan yang ada dalam dirinya, berusaha memperoleh
pengetahuan tentang Tuhan dan wahyu turun untuk memperkuat
pengetahuan akal itu dan untuk menyampaikan kepada manusia apa yang
tidak diketahui akalnya.36
Jalan untuk memperoleh pengetahuan menurut Muhammad Abduh
ada dua, yaitu akal dan wahyu. Wahyu diartikan ―pengetahuan‖ yang
diperoleh seseorang dalam dirinya sendiri dengan keyakinan bahwa itu
berasal dari Allah, baik dengan perantara maupun tidak. Abduh kelihatannya
menganut falsafah emanasi yang mengatakan bahwa jiwa manusia dapat
mengadakan kominukasi dengan alam abstrak. Di dalam Risalah, Abduh
menjelaskan bahwa Allah memilih manusia tertentu, yang jiwanya mencapai
puncak kesempurnaan, sehingga mereka dapat menerima pancaran ilmu yang
disinarkan-Nya.37
Menurut Harun, Tuhan berdiri di puncak alam wujud dan manusia di
kakinya berusaha dengan akalnya untuk sampai kepada Tuhan, dan Tuhan
sendiri dengan belas kasihan-Nya terhadap kelemahan manusia,
diperbandingkan dengan kemahakuasaan Tuhan, menolong manusia dengan
menurunkan wahyu melalui Nabi-nabi dan Rasul-rasul-Nya.38
Konsepsi ini
merupakan sistem teologi yang dapat digunakan terhadap aliran-aliran
teologi Islam yang berpendapat bahwa akal manusia bisa sampai kepada
Tuhan.
36
Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 43. 37
Harun Nasution, Muhammad Abduh, h. 44. 38
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 81.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
126
Dengan demikian epistemologi Harun memiliki kesamaan dengan
epistemologi Mu’tazilah dan dalam pemikiran Islam di Indonesia bercorak
rasional yang menerima ijtihad dan ijma para ulama.
Sedangkan Rasyidi lebih cenderung pada epistemologi Asy’ariyah,
bahwa sumber pengetahuan yang diyakini oleh manusia adalah Teks wahyu.
Yakni kebenaran mutlak ada dalam Al-Qur’an, pengetahuan dan kebenaran
yang ditimbulkan oleh hasil pemikiran manusia adalah kebenaran relatif.
Dalam konteks perkembangan peta pemikiran Islam di Indonesia, sosok
kehadiran Rasyidi dapat kita tempatkan. Suatu bentuk pemikiran yang
intelektualistik tetapi relatif doktriner serta tidak terlalu bergairah untuk
mendialogkan pemikiran-pemikirannya dengan pemikiran luar Islam. Atau
dalam pengertian yang lebih sederhana, suatu pemikiran Islam yang
cenderung mempertahankan kemurnian ajaran yang dianggapnya telah
benar.39
Islam sebagai agama yang utuh, mengandung konsep yang
menyeluruh terhadap semua aspek kehidupan manusia dalam
mencapai hakikat dan tujuan hidupnya. Dorongan dan upaya untuk
mengimplementasikan ajaran- ajaran Al-Quran yang terkandung dalam Al-
Quran dan hadis tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan kemajuan
zaman. Sebagaimana diketahui setiap tindakan perilaku serta pola pikir
seseorang tidak luput dari pengaruh lingkungan, baik lingkungan keluarga
secara mikro maupun lingkungan tempat tinggal dan pendidikan secara
Makro.
39 Fachry Ali, Pak Rasyidi dan Perkembangan Pemikiran Islam dalam
Penyunting Endang Basri Ananda, 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasyidi, Jakarta: Harian
Umum Pelita, h. 230.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
127
Demikian juga halnya dengan Rasyidi sebagai seorang intelektual
muslim yang telah menyelamatkan dari ajaran-ajaran yang dianggapnya
datang dari luar Islam. sebagai seorang pengkritik yang tajam, karena analisa
masalahnya yang tajam dan mendasar dia tidak segan-segan mengkritik
seorang yang dianggapnya telah salah dalam berpikir, dan ia juga telah ikut
membangkitkan pembaharuan pemikiran Islam dan mempertajam daya nalar
sarjana muslim Indonesia.40
Dunia Islam berhadapan dengan perkembangan dan kemajuan Barat
terutama dalam bidang pengetahuan dan tekhnologi. Dunia Islam tentu tidak
lepas dari sentuhan kemajuan Barat yang sangat menakjubkan baik dibidang
pengetahuan, teknologi dan filsafat, disinilah menurut Rasyidi letak
persoalan modernisme. Rasyidi mengoreksi Harun Nasution bahwa ―umat
Islam mundur, karena agama Islam merupakan penghambat bagi kemajuan,
bukan karena agama Islam, tetapi karena umat Islam terikat pada tradisi
nenek moyang. Dalam tiap masyarakat tradisi memang merupakan
penghambat besar bagi tiap usaha-usaha modernisasi, apalagi kalau tradisi
itu dianggap mempunyai sifat sakral.‖ 41
Titik tolak pendapat Harun ini
adalah bahwa Islam itu ada, suatu fakta yang nyata dalam dunia ini. Kalau
kita menafsirkannya menurut kebutuhan sekarang, kita akan mendapat
kemajuan. Tetapi kalau kita terikat dengan faham dahulu yang kita anggap
sakral, kita tetap akan terbelakang.42
40 Romdoni Muslim, 72 Tokoh Muslim Indonesia ( Pola Pikir Gagasan Kiprah dan
Falsafah), (Jakarta: Restu Ilahi, 2005), h. 103.
41
M. Rasyidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Bulan Bintang), h. 146.
42
M. Rasyidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution, h. 146.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
128
Menurut Rasyidi ―seharusnya Harun tidak memberikan pernyataan
menyudutkan keadaan umat Islam yang ada di Indonesia, akan tetapi
menyampaikan pemikiran bahwa umat Islam hanya dapat maju dan kuat jika
melakukan ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis. Al-
Qur’an menyuruh kita berpiki, maka ilmu pengetahuan harus dipelajari oleh
umat Islam.‖43
Rasyidi menyatakan bahwa Islam adalah pegangan bagi umat
manusia. Kita umat Islam sedunia bukan berkewajiban memberi tafsiran baru
dan memahami dalam konteks keadaan sekarang. Ada perbedaan besar
antara memberi tafsiran baru dan memahami dalam konteks keadaan
sekarang. Kalau memberikan tafsiran baru berarti bahwa kita harus
menyesuaikan diri dengan keadaan baru dan mencari dasar penyesuaian itu
dalam Al-Qur’an dan Hadis. Kalau kita memahami Al-Qur’an dalam konteks
keadaan sekarang ini berarti bahwa tidak semua yang terjadi dalam kemajuan
kehidupan dunia ini sesuai dengan Islam. Adat istiadat –kebiasaan- secara
Islam yang diberikan oleh Rasulullah memang ada sifat sakralnya, tetapi
justru di situlah terletak kekuatan Islam. Harun Nasution selalu
menggambarkan rasa kagumnya kepada Kebudayaan Barat seakan-akan
segala yang ada di Barat itu bersifat mutlak. Fikiran manusiapun dianggap
mutlak. padahal menurut Rasyidi orang Barat sedang bingung mencari
pegangan baru.44
Dengan demikian dapat dipahami bahwa menurut Rasyidi pemikiran
dalam Islam itu bukan berarti harus mengikuti modernisasi yang
didengungkan oleh dunia Barat, akan tetapi Umat Islam diserukan untuk
43M. Rasyidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution, h. 147.
44
M. Rasyidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution, h. 147.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
129
mempelajari ilmu pengetahuan seluas-luasnya dengan tetap berpedoman
pada Al-Qur’an dan Hadis untuk mencapai kemajuan yang disebut dengan
modrenisasi tersenbut. Mengikuti perkembangan modrenisasi/pembaharuan
pemikiran dalam Islam bukan berarti ajaran yang terkandung dalam Al-
Qur’an dan Hadis harus disesuaikan dengan kemajuaan modernisasi, akan
tetapi pembaharuan Islam dalam modernisasi harus tetap sesuai dengan
Islam.
Dengan demikian pemikiran Rasyidi secara epistemologi dapat
dikatakan bersifat tradisional. dalam konteks teologi berarti mengambil sikap
terikat, tidak hanya kepada dogma yang jelas dan tegas di dalam Alquran dan
Hadist, tetap juga pada ayat-ayat yang mempunyai zhanni, yaitu ayat-ayat
yang mempunyai arti harfiah dari teks-teks ayat Alquran dan kurang
menggunakan logika.45
45 Al-Munawwar, Ahmad Warson, Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta:
Pustaka Progresif, 1984), h. 716.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
130
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
131
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan Pemikiran Islam Rasional dan Tradisional di
Indonesia (study pemikiran Harun Nasution dan M. Rasydi) yang telah
dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya, maka penulis memberikan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemikiran Islam di Indonesia dalam perspektif teologis dapat
dipetakan kedalam teologi rasional dan teologi tradisional. Teologi
rasional diusung oleh aliran Mu’tazilah dan teologi tradisional diusung
oleh aliran Asy’ariyah.
2. Corak pemikiran teologi Harun Nasution dilihat dalam bidang akal dan
wahyu, kebebasan manusia dan kekuasaan mutlak Tuhan. Dalam
bidang akal dan wahyu menyatakan bahwa hubungan akal dan wahyu
keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi
dalam memberikan interpretasi wahyu atau penafsiran sesuai dengan
berbagai pertimbangan konteks yang ada bagi terwujudnya
kemaslahatan umat. Dalam hal kebebasan manusia Harun Nasution
berpendapat manusia mempunyai kebebasan dalam perbuatannya.
Dalam hal kekuasaan mutlak Tuhan, menurut Harun Nasution bahwa
kekuasaan Tuhan tidak bersifat absolut. Dengan demikian corak
pemikiran Harun Nasution dalam pemikiran Islam di Indonesia secara
teologis bercorak rasional dan identik dengan pemikiran Mu’tazilah.
Dengan menggunakan epistemologi rasional yang mengedepankan
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
132
akal dalam memahami teks wahyu, dan dalam menyelesaikan
persoalan/kemaslahatan umat.
3. Corak pemikiran teologi M. Rasyidi dilihat dalam bidang akal dan
wahyu, kebebasan manusia dan kekuasaan mutlak Tuhan. Dalam
bidang akal dan wahyu M. Rasyidi berpendapat bahwa akal tidak
memiliki kemampuan untuk menafsirkan wahyu. Dalam bidang
kebebasan manusia M. Rasyidi berpendapat bahwa manusia memiliki
kebebasan, akan tetapi kebebasan manusia diperoleh atas kehendak
Tuhan. Artinya kebebasan manusia dikendalikan oleh Tuhan. Dalam
hal kekuasaan mutlak Tuhan, menurut M. Rasyidi bahwa kekuasaan
Tuhan bersifat absolut. Tuhan memiliki kekuasaan dan kehendak mutlak
terhadap perbuatan manusia dan segala sesuatu yang terjadi dialam semesta.
Dengan demikian corak Pemikiran Rasyidi dalam pemikiran Islam di
Indonesia secara teologis bercorak tradisional yang cenderung pada
teologi Asy’ariyah. Dengan menggunakan epistemologi teks wahyu
sebagai pedoman dalam menyelesaikan segala persoalan dan
kemaslahatan umat. Akal hanyalah sebagai alat untuk memperkuat teks
wahyu dengan argumen-argumen raional.
B. Saran
Dalam rangka memahami Pemikiran Islam di Indonesia, baik secara
rasional maupun tradisional menimbulkan banyak perbedaan pemahaman
diantara para tokoh-tokoh agama, akan tetapi hal ini tidaklah menjadi
persoalan yang mendasar selagi kita masih berpedoman pada Al-Qur’an
dan hadis dan perbedaan tersebut merupakan bagian dari rahmat yang
diberikan Allah kepada manusia yang memiliki akal pikiran. Salah satu
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
133
contoh dalam penelitian tesis ini penulis mengangkat tentang perbedaan
pendapat antara dua tokoh yaitu pemikiran Islam Harun Nasution dan M.
Rasyidi. Namun demikian penelitian ini masih banyak kekurangan dan
keterbatasan, oleh karena itu penulis memberikan saran:
1. Kepada Akademisi
Insan akademis yang tertarik untuk mengkaji dan memahami
pemikiran Islam tradisional dan modern di Indonesia, khususnya dalam
study komparatif Harun Nasution dan M. Rasyidi, untuk dapat
meningkatkan cara berpikir dan ilmu pengetahuan, agar tidak terjebak
pada satu pemahaman yang sempit dan kultus kelompok serta individu
yang pada akhirnya dapat mengakibatkan pada kekeliruan dalam
pemikiran, pemahaman dan perbuatan serta perpecahan umat.
2. Kepada Pemerintah
Pemerintah dapat memberikan apresiasi pada setiap perbedaan
pemikiran-pemikiran dalam Islam dan memberikan perlindungan serta
penghargaan yang adil kepada setiap tokoh tanpa berpihak pada satu
individu.
3. Kepada Tokoh Agama
Selayaknya para tokoh agama menjadikan setiap perbedaan pemikiran
adalah bagian dari rahmat Allah, dan dapat menghargai setiap
perbedaan pemikiran tersebut. Sehingga perkembangan pemikiran
Islam di Indonesia dapat diterima oleh setiap lapisan masyarakat dan
tidak menimbulkan perpecahan umat.
4. Kepada Masyarakat
Dalam memahami perbedaan pemikiran Islam khususnya Harun
Nasution dan M. Rasyidi, hendaknya masyarakat dapat bersikap arif
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
134
dan tidak mengkultuskan salah satu diantara tokoh tersebut,akan tetapi
mengambil hal-hal positif dari pemikiran-pemikiran tokoh Islam. Dan
masyarakat mampu mengambil manfaat dari perbedaan pemikiran
dalam Islam
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
135
DAFTAR PUSTAKA
Amien Jaiz, M., Masalah Mistik Tasawuf Dan Kebatinan, Bandung: Al-
Ma’arif,1980.
Asymawi, M. Said, Menentang Islam Politik, Bandung: Alifya, 2004.
Abdul Halim Ed, Teologi Islam Rasional, Jakarta: Ciputat Press, 2001.
Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara
Penterjemah al-Qur’an, Jakarta, 1992,
Hanafi, A. Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995.
Hanafi, Hassan, Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam.Yogyakarta:
Islamika, 2003.
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia.Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Kaelan, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia,
Yogyakarta: Paradigma, 2002.
Madjid, Nurcholis, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina,
1977.
_______, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina, 1992.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
136
Majid Fakhry, Sejarah afailsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, Bandung:
Mizan, 2002.
Muh. Said, Nurhidayat, Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia: Studi
Pemikiran Harun Nasution” Jakarta : Pustaka Mapan, 2006.
Muslim, Romdoni, 72 Tokoh Muslim Indonesia (Pola Pikir Gagasan
Kiprah dan Falsafah), Jakarta : Restu Ilahi, 2005.
Nasr, Sayyed Hossein dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Filsafat Islam,
Bandung: Mizan, 2003.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Cet. VI
Jakarta: UI-Press 1986.
___________, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
___________, Filsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1973.
____-_______
,Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta: Bulan Bintang, 1928.
___________, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran, Cet. IV, Bandung:
Mizan, 1996.
___________, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1982.
___________, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1978.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
137
___________, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta:
UI-Press, 1997
___________, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
___________, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah dan Anlisa Perbandingan,
Jakarta: UI Press, 1986.
Rasyidi, M., Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution, tentang “Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”, Jakarta : Bulan Bintang, 1977.
_______, Islam dan Kebatinan, Jakarta : Yayasan Islam Studi Club
Indonesia, 1967.
_______, Sekali Lagi Ummat Islam Indonesia Menghadapi Persimpangan
Jalan, (PT. Sinar Hudaya, Jakarta, tth), h. 10
___________, Apa Itu Syiah?, Jakarta: Pelita, 1984.
___________, Hukum Islam dan Pelaksanaannya dalam Sejarah, Jakarta:
Bulan Bintang, 1976.
___________, Islam dan Socialisme, Jakarta: Yayasan Study Club Indonesia,
1966.
___________, Islam Menentang Komunisme, Jakarta: Yayasan Study Club
Indonesia, 1966.
___________, Koreksi Terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi,
Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
Pemikiran Islam Rasional Dan Tradisional Di Indonesia--- Henni Marlinah
138
Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa,
Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1996.
Syamsudin, M., Prof. DR. H.M. Rasjidi Perjuangan dan Pemikirannya,
Yogyakarta: Azizah, 2004.
Syahrustani, Al-Milal wa al-Nihal, Vol.I, Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1997.
Yusuf, M. Yunus, Mengenal Harun Nasution Melalui Tulisannya dalam
refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 tahun Harun Nasution,
Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Falsafat, 1982.