PENAFSIRAN SUFISTIK SA‘ID H}AWWA
DALAM AL–ASA<S FI< AT-TAFSI<R
DISERTASI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh
Gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Agama Islam
Oleh
SEPTIAWADI NP. 05.300.1.05.01.0019
Promotor
PROF. DR. M. ARDANI
PROF. DR. RIF‘AT SYAUQI NAWAWI, MA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010 M/1431 H
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Disertasi yang berjudul “PENAFSIRAN SUFISTIK SA‘ID H}AWWA DALAM
AL–ASA<S FI< AT–TAFSI<R “ yang ditulis oleh Sdr. Septiawadi, nomor pokok :
05.300.1.05.01.0019 disetujui untuk dibawa ke sidang ujian pendahuluan.
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. M. Ardani Prof. Dr. Rif‘at Syauqi Nawawi, MA
Tanggal : Tanggal : __________________
iii
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Septiawadi
NIM : 05.300.1.05.01.0019
Judul Disertasi : Penafsiran Sufistik Sa„id H{awwa dalam al-Asa>s fi>
at-Tafsi>r
menyatakan, bahwa disertasi ini merupakan hasil karya asli saya kecuali kutipan-
kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila ternyata dikemudian hari tidak benar
maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar.
Jakarta, 13 Nopember 2010
Saya yang bersangkutan
Septiawadi
iv
LEMBAR PERSETUJUAN
Disertasi yang berjudul: Penafsiran Sufistik Sa„id H{awwa dalam al-Asas fi
at-Tafsir yang ditulis oleh Sdr. Septiawadi, nomor pokok: 05.300.1.05.01.0019 telah
dinyatakan lulus dalam ujian pendahuluan pada hari Rabu, 8 Desember 2010/ 2
Muharram 1432.
Disertasi ini telah diperbaiki sesuai arahan dan saran tim penguji dan disetujui untuk
diajukan pada ujian promosi doktor.
Penguji/ Promotor
Prof. Dr. M. Ardani
Tanggal:
v
LEMBAR PERSETUJUAN
Disertasi yang berjudul: Penafsiran Sufistik Sa„id H{awwa dalam al-Asas fi
at-Tafsir yang ditulis oleh Sdr. Septiawadi, nomor pokok: 05.300.1.05.01.0019 telah
dinyatakan lulus dalam ujian pendahuluan pada hari Rabu, 8 Desember 2010/ 2
Muharram 1432.
Disertasi ini telah diperbaiki sesuai arahan dan saran tim penguji dan disetujui untuk
diajukan pada ujian promosi doktor.
Penguji/ Promotor
Prof. Dr. Rif„at Syauqi Nawawi, MA
Tanggal:
vi
LEMBAR PERSETUJUAN
Disertasi yang berjudul: Penafsiran Sufistik Sa„id H{awwa dalam al-Asas fi
at-Tafsir yang ditulis oleh Sdr. Septiawadi, nomor pokok: 05.300.1.05.01.0019 telah
dinyatakan lulus dalam ujian pendahuluan pada hari Rabu, 8 Desember 2010/ 2
Muharram 1432.
Disertasi ini telah diperbaiki sesuai arahan dan saran tim penguji dan disetujui untuk
diajukan pada ujian promosi doktor.
Penguji / Ketua Sidang
Prof. Dr. Suwito, MA
Tanggal:
vii
LEMBAR PERSETUJUAN
Disertasi yang berjudul: Penafsiran Sufistik Sa„id H{awwa dalam al-Asas fi
at-Tafsir yang ditulis oleh Sdr. Septiawadi, nomor pokok: 05.300.1.05.01.0019 telah
dinyatakan lulus dalam ujian pendahuluan pada hari Rabu, 8 Desember 2010/ 2
Muharram 1432.
Disertasi ini telah diperbaiki sesuai arahan dan saran tim penguji dan disetujui untuk
diajukan pada ujian promosi doktor.
Penguji
Prof. Dr. Salman Harun
Tanggal:
viii
LEMBAR PERSETUJUAN
Disertasi yang berjudul: Penafsiran Sufistik Sa„id H{awwa dalam al-Asas fi
at-Tafsir yang ditulis oleh Sdr. Septiawadi, nomor pokok: 05.300.1.05.01.0019 telah
dinyatakan lulus dalam ujian pendahuluan pada hari Rabu, 8 Desember 2010/ 2
Muharram 1432.
Disertasi ini telah diperbaiki sesuai arahan dan saran tim penguji dan disetujui untuk
diajukan pada ujian promosi doktor.
Penguji
Prof. Dr. Yunasril Ali
Tanggal:
ix
LEMBAR PERSETUJUAN
Disertasi yang berjudul Penafsiran Sufistik Sa„id H{awwa dalam al-Asas fi at-
Tafsir yang ditulis oleh Sdr. Septiawadi, nomor pokok: 05.300.1.05.01.0019 telah
dinyatakan lulus dalam ujian pendahuluan pada hari Rabu, 8 Desember 2010/ 2
Muharram 1432.
Disertasi ini telah diperbaiki sesuai arahan dan saran tim penguji dan disetujui untuk
diajukan pada ujian promosi doktor.
Penguji
Dr. Akhyar Yusuf, MA
Tanggal:
x
PENGESAHAN
Disertasi dengan judul “Penafsiran Sufistik Sa„id H{awwa dalam al-Asa>s fi}
at-Tafsi>r” yang ditulis oleh sdr. Septiawadi, nomor pokok: 05.300.1.05.01.0019
telah lulus dalam ujian promosi doktor yang dilaksanakan pada hari dan telah
diperbaiki sesuai saran tim penguji.
Selanjutnya disertasi ini, disahkan oleh tim penguji promosi doktor.
Tim Penguji
Prof. ( ) Tanggal:
Ketua Sidang/Penguji
Prof.
Penguji
xi
ABSTRAK
Judul disertasi ” Penafsiran Sufistik Sa„id H{awwa dalam al-Asa>s fi> at-Tafsi>r”.
Kesimpulan besar dari penelitian disertasi ini menunjukkan bahwa penafsiran
sufistik terhadap Alquran yang dilakukan oleh mufasir adalah menggunakan makna
isha>ri dengan tetap mengacu pada makna zahir. Kesimpulan penelitian ini
membuktikan akan hal itu dengan mengambil kasus penafsiran sufistik Sa„id
H{awwa yang ditemukan didalamnya menggunakan makna isha>ri dengan tetap
berpegang pada makna zahir dalam menafsirkan ayat-ayat terkait dengan maqa>m-
maqa>m tasawuf dan dimensi ajarannya.
Kesimpulan besar ini mendukung pandangan Zarqani yang mengatakan
bahwa penafsiran sufistik diimplementasikan dengan menakwilkan ayat diluar makna
zahir berdasarkan isyarat tersembunyi dan juga dapat menggunakan makna zahir di
samping makna isha>ri. Pendapat yang senada dengan ini, dikemukakan juga antara
lain adh-Dhahabi, Alexander D. Knysh dan G. Bowering.
Sementara itu, kesimpulan penelitian disertasi ini bertentangan dengan
pendapat yang menolak tafsir sufistik. Kelompok ini berpendapat bahwa penafsiran
sufistik dianggap tidak berlandaskan pada makna zahir ayat bahkan dapat disebut
sebagai aliran tafsir ba>t}iniyyah. Mereka yang berpandangan demikian antara lain;
Ibnu S}alah dan Abu Hasan al-Wa>h}idi.
Berkenaan dengan tafsir Sa„id H{awwa yang diteliti ini, penulis menemukan
bahwa penafsiran sufistik Sa„id H{awwa tergolong sebagai tafsir sufi isha>ri bukan
tafsir sufi naz}ari. Dengan demikian penelitian ini sekaligus membuktikan bahwa
tafsir Sa„id H{awwa merupakan bagian dari tafsir yang berorientasi sufistik yang
selama ini belum pernah dikategorikan demikian. Untuk itu, tafsir Sa„id Hawwa dapat
disejajarkan dengan kita-kitab tafsir yang memiliki orientasi sufistik seperti tafsir al-
Alusi.
Penelitian ini menggunakan sumber utamanya adalah kitab al-Asa>s fi> at-
Tafsi>r karya Sa„id H{awwa. Selain itu, karangan Sa„id H{awwa yang lainnya juga
dijadikan sebagai sumber pendukung. Metode yang digunakan dalam membaca
sumber utama adalah metode tah}li>li>. Penafsiran-penafsiran Sa„id H{awwa terkait
dengan objek penelitian merupakan sebagai data pokok yang dianalisis kemudian
dikomparasikan dengan kitab tafsir sufi lain dan pandangan para ahli tasawuf. Untuk
menarik kesimpulan dalam penelitian ini digunakan metode induktif yaitu setelah
mengkaji data-data tersebut kemudian diperoleh suatu kesimpulan secara umum.
________
xii
اخص
ارفغ١ش اصف غؼ١ذ ح ف األعاط ف ارفغ١ش : زا اثحس تؼا
٠م زا اثحس تاخالصح اإلظا١ح أ افغش اصف ف ذفغ١ش امشا اىش٠ أ ٠مذ
ذه افىشج أ ذصثد رفغ١ش عؼ١ذ ح تح١س ٠ظذ ف١ , اإلشاس ادا أ لذ ٠غرذ اظاش
اإلشاس از ٠غرذ اظاش وا ٠فغش ا٠اخ امشا اىش٠ اح١ح اصف ذرؼك
. تامااخ ف ارصف ذؼا١
إ اخالصح اإلظا١ح ار روشخ ػا رؤوذ ارث اضسلا أ ارفغ١ش اصف
ذأ٠ ا٠اخ امشا اىش٠ ػ خالف ا ٠ظش ا تمرع إشاساخ خف١ح ٠ى ارطث١ك ت١
: لذ لذ اذاسع١ ف ارفغ١ش ػ امي از اافك ف١ صال. اإلشاس اظاش اشاد
تاإلظافح إ ره فئ ز خالصح . تاس٠غ غ١شا. و١ظ ض. ازث ػ١ك عذ٠ش د
اثحس ذشد أ٠عا اساء تؼط اصمف١ ف الا ات صالغ أ ارفغ١ش اصف ا وا
. تاػراد ظاش ت لاي إ افغش اصف لذ عه غه اثاط١ح
أا ارفغ١ش اصف غؼ١ذ ح ػ ظء ع ف زا اثحس فظذ اثاحس أ
ره فئ زا . عؼ١ذ ح افغش اصف اإلشاس ١ظ افغش اصف اظش
اثحس ٠ذي ػ ذفغ١ش عؼ١ذ ح ٠ى ٠ؼرثشتاذعاح صف١ح غ ره أ ذفغ١ش عؼ١ذ ح
. ع ورة ارفغ١ش ٠رص ف١ا تالذعاح اصف١ح وص ذفغ١ش سغ اؼا ألع
إ ف زا اثحس ٠غرخذ اثاحس وراب األعاط ف ارفغ١ش غؼ١ذ ح صذسا سئ١غ١ا
طش٠مح ف زا اثحس ٠غرؼ اثاحس . أا اىرة األخش غؼ١ذ ح فعؼا صذسا شا٠ا
طش٠مح ارفغ١ش ارح١ ح١س أ ٠ذسط اثاحس ا فغش عؼ١ذ ح ػ ظع ٠رؼك
أا اطش٠مح . تا٠اخ ارصف ش ٠ماس تىرة ارفغ١ش اصف غ األفىاس ارصف١
. اإلعرمشائ١ح فرى ٠غرخذا اثاحس تؼذ أ دسط ذه امعا٠ا العرخشاض رائط اثحس
______
xiii
ABSTRACT
This Dissertation entitled“ Mystical Interpretation of Sa„id H{awwa in al-Asa>s fi at-
Tafsi>r”.
As the general conclusion of this research shows that mystical interpretation
conducted by mufasir uses the isha>ri meaning while at the same time considers the
zahir meaning. Such a conclusion was made after investigating the case of mystical
interpretation of Sa„id H{awwa in which he uses the isha>ri meaning in addition to
the zahir meaning to interprete the Quranic verses related to tasawuf maqa>m-
maqa>m and its teaching dimension.
The conclusion also confirms Zarqani‟s view saying that mystical
interpretation is to explain Alquran out of its zahir meaning based on the hidden
meaning as well as to use the zahir meaning beside the isha>ri meaning. The
findings also support another views like: adh-Dhahabi‟s, Alexander D.Knysh‟s and
G. Bowering‟s.
Meanwhile, the conclusion differs from views refusing mystical
interpretation. Reason these views argue that mystical interpretation is not based on
the zahir meaning, even can be mentioned of ba>t}iniyyah interpretation. Such views
can be traced on: Ibnu S{alah}‟s} and Abu Hasan Al-Wah}idi‟s.
This study also finds that of Sa„id Hawwa‟s interpretation, can be categorized
as exegesis of sufi isha>ri and not exegesis of sufi naz}ari. Therefore, this research,
at the same time also prove that exegesis of Sa„id H{awwa represent the part of
mystical-oriented interpretations which during the time have never been categorized.
In short the exegesis of Sa„id H{awwa can be considered as similar with the some of
Quranic exegesis owning mystical orientation like al-Alusi exegesis of his Ru>h}ul
Ma‘a>ni.
The main source of this research is al-Asa>s fi at-Tafsi>r of Sa„id H{awwa,
including other, Sa„id Hawwa works made as secondary source. The method used in
reading the main source is tahli>li method or content analysis. Sa„id H{awwa‟s
interpretation related to research object is analysed and compared with other books of
exegesis and sufistical views. To obtain a conclusion this research uses inductive
thinking method, that is studying the whole specific data to obtain a general
conclusion.
xiv
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt yang telah
memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi
ini. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada nabi Muhammad Saw, sahabat
dan keluarganya sekalian.
Sejauh pengetahuan penulis, pembahasan disertasi tentang tafsir sufistik
jarang dilakukan, beda halnya dengan kajian aspek kalam atau hukum. Dalam
disertasi ini penulis mencoba membahas penafsiran Sa„id H}awwa dengan menyorot
corak sufistiknya. Melihat kecenderungan sufistik pada sebuah tafsir antara lain dapat
diketahui dari kata pengantar pengarangnya atau didukung oleh karya–karya
tasawufnya. Berkenaan dengan Sa„id H{awwa, berdasarkan pada buku–bukunya
yang berkaitan dengan tasawuf dan informasi mukaddimah pengarangnya maka
penulis melihat tafsirnya memiliki kecendrungan sufistik.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan disertasi ini banyak mengalami
kesulitan dan rintangan terutama dalam mengeksplorasi data. Sungguhpun begitu,
berkat rahmat Allah jua serta arahan dari dosen pembimbing yang tulus maka pada
akhirnya kesulitan–kesulitan tersebut dapat terlewatkan.
Berkenaan dengan hal itu, penulis sampaikan ucapan terimakasih yang
sedalam-dalamnya kepada Bapak Prof. Dr. M. Ardani sebagai pembimbing pertama
dan Bapak Prof. Dr. Rif„at Syauqi Nawawi, MA sebagai pembimbing kedua. Beliau
berdua telah mencurahkan tenaga, pikiran dan waktunya untuk memberikan
bimbingan, saran dan arahan kepada penulis sehingga disertasi ini dapat
dirampungkan. Semoga Allah Swt memberikan balasan pahala yang sepadan kepada
mereka.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada:
xv
1. Rektor IAIN Raden Intan Lampung yang telah memberikan izin serta
memberikan bantuan moril dan materil kepada penulis dalam rangka
melanjutkan studi program Doktor (S3) untuk meningkatkan kualitas diri
sebagai tenaga edukatif.
2. Pimpinan Sekolah Pascasarjana, dosen serta para penguji dalam ujian disertasi
dan tak lupa kepada para staf di lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas
Islam Negeri Ciputat yang selalu menyampaikan gagasan serta petunjuk dan
memberikan pelayanan akademik dan administrasi dengan hati ikhlas.
3. Kepala dan karyawan perpustakaan Pascasarjana Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat-Jakarta yang telah memberikan pelayanan
yang maksimal disaat penulis membutuhkan data-data terkait dengan
penelitian disertasi ini.
4. Berbagai pihak dan kawan–kawan serta kerabat sanak famili yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, mereka semua yang ikut memberikan motivasi
selama penulis menyelesaikan pendidikan Doktor (S3) ini.
Selanjutnya terimakasih dan penghormatan tiada terkira penulis sampaikan
kepada orang tua penulis; Karlis Sutan Saidi (ayah) yang telah tiada-rad}iyaalla>hu
‘anhu- dan Janimar Guci (ibunda) yang selalu mendoakan puteranya. Mereka berdua
telah mendidik dan menanamkan kegigihan dalam menempuh kehidupan ini.
Terakhir, tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada isteri; Novlia Sufrita, S.Pd
dan putera penulis; Dhiyaulhaq Kari serta Arkazulhaq Kari yang telah turut tabah
menghadapi liku-liku perjuangan penulis selama menjalani pendidikan di S3.
Untuk semua pihak yang penulis sebutkan, semoga Allah Swt menerima jasa
baik mereka dan mendapatkan imbalan yang berlipat ganda. Amin!
Sebagai kata penghujung dalam pengantar ini, perlu penulis sampaikan bahwa
karya disertasi ini ibarat setangkai padi yang masih terdapat padanya padi yang
hampa. Oleh karena itu dalam disertasi ini tentu masih dijumpai kekurangan–
kekurangan baik dari bahasa ataupun analisisnya. Karena itu kepada semua pihak
xvi
diharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan disertasi ini. Di samping itu, penulis
juga mengharapkan bahwa dengan kemunculan disertasi ini turut memperkaya kajian
keislaman.
Jakarta, September 2010
Penulis,
xvii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Konsonan
h = ج , {s = ص ’ = ء
d} = y = ض b = ب
: t} Vokal Panjang = غ t = خ
a> contoh = ا_ {z = ظ th = ز
_ ، = ع j = ض = i>
<gh _ = u = ؽ {h = غ
f = ف kh = خ
q = ق d = د
k = ن dh = ر
l = ي r = س
z = m = ص
s = n = ط
sh = w = ػ
Catatan;
Kata – kata asing yang sudah jadi bahasa Indonesia ( kata serapan ) ditulis menurut
ejaan Indonesia. Contoh :
ikhlas = إخالص Allah = اهلل
sufi = صف Abdurrahman = ػثذ اشح
Muhammad = حذ
Khusus penulisan latin tentang “Alquran“ sebagai nama kitab dan bila berdiri sendiri
“al” tidak dipisah yaitu Alquran, kecuali sebagai sifat atau nisbah dari kata lain.
Contoh al-Burha>n fi> Ulu>m al–Qura>n.
xviii
Sehubungan dengan penggabungan al (اي) dengan huruf syamsiyah dan qamariyah
diawal kata tetap mengikuti bacaannya. Contoh: اغال = as-sala>m
al-kari>m = اىش٠
_________
xix
محفوظة
)
:17)
DAFTAR ISI
xx
HALAMAN JUDUL ………………………….…… i
HALAMAN PERSETUJUAN ………………………………. ii
HALAMAN PERNYATAAN ………………………………. iii
LEMBAR PERSETUJUAN ………………………………. iv
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………. x
ABSTRAK DISERTASI ………………………………. xi
KATA PENGANTAR ………………………………. xiv
PEDOMAN TRANSLITERASI ……………………………… xvii
MAHFUZ{AT ……………………………….
xix
DAFTAR ISI ………………………………. xx
BAB I. PENDAHULUAN ………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah ………………………………… 1
B. Rumusan dan Batasan masalah ………………………………… 14
C. Signifikansi Penelitian ………………………………… 15
D. Kajian Kepustakaan ………………………………… 17
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………………………………… 21
F. Sumber dan Metodologi Penelitian ………………………………… 22
G. Sistematika Pembahasan ………………………………… 25
BAB II. SEJARAH SINGKAT SA‘ID H{AWWA DAN KITAB
TAFSIRNYA ……………………….……….. 27
A. Seting Sejarah Syria Sebelum dan Masa Sa„id H{awwa …………… 27
B. Sejarah Kehidupan Sa„id H{awwa ………………………………… 34
C. Perkembangan Intelektual Sa„id H{awwa ………………………….. 39
1. Pemikiran Keagamaannya ………………………………… 39
2. Karya–karyanya ………………………………… 46
D. Kajian Umum tentang Kitab Tafsir Sa„id H{awwa ………………… 51
1. Nama Kitab dan Sistematika Penulisan ……………………… 51
2. Metode Tafsir Sa„id H{awwa dan Sumber Penafsirannya ……. 54
3. Karakteristik Tafsir Sa„id H{awwa …………………………… 58
BAB III. CORAK SUFISTIK DALAM PENAFSIRAN ALQURAN ……….. 63
A. Keberadaan Corak Tafsir Sufistik …………………………………. 63
1. Pengertian Tafsir Sufistik …………………………………. 63
2. Pertumbuhan dan Perkembangan Corak Tafsir Sufi ………….. 66
B. Macam–macam Corak Tafsir Sufi …………………………………. 80
1. Tafsir Sufi Isha>riy …………………………………. 81
2. Tafsir Sufi Naz}ariy …………………………………. 84
C. Perdebatan Tentang Tafsir Sufi …………………………………. 86
1. Kontroversi Makna Isha>riy …………………………………. 87
xxi
2. Makna Zahir dan Makna Batin dalam Tafsir Sufi ……………. 91
D. Aspek Kajian Tasawuf dalam Penafsiran Sufistik …………………. 94
BAB IV. METODOLOGI PENAFSIRAN AYAT DAN PEMIKIRAN SUFISTIK
SA‘ID H{AWWA TENTANG MAQA<M TASAWUF …………….
96
A. Tafsir tentang ayat-ayat Tobat ………….………………………. 97
B. Tafsir tentang ayat-ayat Zuhud ...…….…………………………. 119
C. Tafsir tentang ayat-ayat Sabar ..………………………………. 144
D. Tafsir tentang ayat-ayat Tawakal ………………………………. 164
E. Tafsir tentang ayat-ayat Rid}a …………………………………. 180
F. Tafsir tentang ayat-ayat Mah}abbah ..……………………………
191
BAB V. METODOLOGI PENAFSIRAN AYAT DAN PEMIKIRAN SUFISTIK
SA‘ID H{AWWA TENTANG METAFISIS AJARAN
TASAWUF ………………………………… 203 A. Tafsir ayat tentang Mujahadah …………………………………. 203
B. Tafsir ayat tentang Kashf …………………………………. 216
C. Tafsir ayat tentang Ittih}a>d …………………………………. 227
D. Tafsir ayat tentang Kara>mah …………………………………. 237
BAB VI. KESIMPULAN …………………………………. 252
A. Kesimpulan …………………………………. 252
B. Implikasi Penelitian …………………………………. 255
DAFTAR PUSTAKA ………………………………….
256
RIWAYAT HIDUP PENULIS
SKM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbagai upaya telah banyak dilakukan oleh ilmuwan atau ahli tafsir untuk
menjelaskan kandungan Alquran, agar mudah dipahami dan dapat dijadikan pedoman
dalam kehidupan. Supaya manusia dapat hidup selamat di dunia dan akhirat. Sudah
tidak terhitung kitab-kitab tafsir yang dihasilkan para mufasir. Artinya studi tentang
Alquran tidak akan berhenti dilakukan, ibaratnya Alquran selalu hadir dalam setiap
masa1 yang tentunya membutuhkan penafsiran sesuai perkembangan zaman dan
kemajuan peradaban. Para pengkaji Alquran senantiasa menafsirkan Alquran dengan
menyesuaikan dengan keahlian bidang ilmu pengetahuan serta kecenderungan
pemikirannya.
Keahlian dan kecenderungan pemikiran ini paling tidak memberikan pengaruh
langsung bagi mufasir dalam rangka memahami dan menjelaskan petunjuk Alquran
dalam kitab tafsirnya. Contohnya, Tafsir yang ditulis oleh Zamakhshari (w.538 H)
yang memiliki keahlian bahasa Arab dan balaghah, ia menggunakan ilmu kebahasaan
dan sasteranya tersebut sebagai alat untuk mengupas makna Alquran. Tersebutlah
kitab tafsirnya sebagai tafsir yang beraliran lughawi (bahasa dan sastera Arab).
Sedangkan dari segi pemikiran, ia cenderung ke Mu„tazilah maka mewarnai pula
dalam tafsirnya sebagai kitab tafsir yang bercorak kalam. Bila kita analisa dan teliti
berbagai kitab tafsir, ditemukan di dalamnya aliran atau corak tafsir yang merupakan
cerminan dua hal diatas atau bisa lebih.2 Ada kita jumpai pula kitab tafsir yang
1 Alquran tidak akan lenyap ditelan masa, tidak akan punah diterpa zaman dan senantiasa baru
dalam penerapan artinya berbagai persoalan kehidupan didunia yang senantiasa berubah maka Alquran
dengan pembaruan pemikiran tafsir dapat dijadikan solusi. Ibarat kata; baju dipakai usang, Alquran
dijalankan (pakai) baru. Hal ini terbukti dengan munculnya bermacam kitab tafsir sejalan dengan
masing–masing situasi yang dihadapi. Menurut Moh. Arkoun, Alquran memberikan kemungkinan arti
yang tak terbatas, kesan yang ditimbulkan ayatnya mengenai pemikiran dan penafsiran pada tingkat
wujud adalah mutlak. Lihat, M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran (Bandung: Mizan,1993),
Cet.ke-5,72 2 Disinilah kita harus membedakan antara pendekatan tafsir dan nuansa pemikiran yang
dikembangkan. Jika dalam penafsiran Alquran, seseorang menggunakan keahlian bahasa Arab serta
1
2
memfokuskan bahasan dari aspek ilmu Alquran disamping mengandung corak tafsir
tertentu seperti tafsir yang ditulis oleh Sa„id H{awwa3 yang dijadikan objek
penelitian ini. Sa„id H{awwa menjelaskan dalam pendahuluan kitabnya bahwa ia
menggunakan pendekatan kajian tafsirnya dengan memperkenalkan teori al–
Wah}dah al–Qura>niyyah. Teori yang dikembangkan ini termasuk bagian dari ilmu
muna>sabah Alquran yang nota bene rumpun dari ilmu Alquran.4 Kemudian dari
aspek pemikiran atau corak tafsir teridentifikasi ada kecenderungan tasawuf di dalam
penafsirannya yang dapat pula disebut tafsir ini dengan corak tasawuf. Sa„id H{awwa
juga menyatakan dalam pendahuluan kitab tafsirnya bahwa ia berupaya menjelaskan
dalam tafsirnya dari segi aqidah, fiqh, tasawuf, sulu>kiyyah dan usuluddin.5 Paling
tidak ini mencerminkan bahwa Sa„id H{awwa seorang mufasir disamping
balaghahnya maka disebut kitab tafsirnya dengan aliran lughawi. Bila seseorang menggunakan
keahlian dari aspek ilmu Alquran maka disebutlah kitab tafsirnya dengan pendekatan ilmu Alquran. Ini
dapat dirinci lagi bagian ilmu Alquran yang mana yang lebih ditekankan, seperti mengkaji aspek
muna>sabah, konsep nasakh, pendekatan kisah dan seterusnya. Pendekatan seperti ini dapat disebut
dengan manhaj penafsiran. Sedangkan yang terkait dengan nuansa atau orientasi pemikiran maksudnya
kecenderungan pada suatu bidang kajian yang mendominasi uraiannya, seperti ahli tafsir yang
cenderung membahas bidang kalam, teologi maka disebutlah kitab tafsirnya dengan corak kalam.
Begitu pula bila kecenderungannya dengan ayat–ayat hukum maka disebut kitab tafsirnya dengan
corak fiqh (tafsir ahkam).
Selanjutnya bila cenderung membahas ayat–ayat tasawuf maka disebutlah kitab tafsirnya
dengan corak tafsir sufi. Sama halnya dengan pendekatan tafsir diatas, pemikiran tafsir juga dapat
dirinci, seperti corak kalam mu‟tazilah, khawarij, corak tafsir sufi naz}ari, tafsir isha>ri dan
seterusnya. 3 Nama lengkapnya adalah Syaikh Sa„id bin Muhammad Dib H{awwa. Ia lahir di kota
Hamah, Suriah pada tahun 1935 M. Wafat tahun 1411 H/1990 M. Periode beliau tumbuh dan
berkembang disaat negerinya dikuasai rezim kolonial Perancis. Dicuplik dari al–Mustasyar Abdullah
al–Aqil, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam Kontemporer (Jakarta:
Al-I‟tisham Cahaya Umat, 2003),401. Lihat juga, Sayyid Muhammad Ali Iyazi, al–Mufassiru>n
H{aya>tuhum wa Manhajuhum (Teheran:Wazarah ath–Thaqa>fah wa al–Irsha>d, 1414 H/1992 M),
132. 4 Sa„id H{awwa menegaskan bahwa dari segi pendekatan dalam menafsirkan Alquran, ia
mempunyai konsep tentang muna>sabah yaitu teori baru al-Wah}dah al-Qura>niyyah. Lihat Sa„id
H{awwa,al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo:Darussalam, 1424 H/2003 M), Cet. Ke–6 juz 1, 30. Teori
inilah yang akan diterapkan dalam penafsiran yang dikenal juga dengan sebutan Manhaj. Sedangkan
metode (t}ari>qah) tafsir, itu terkait dengan penyajian dalam kitab tafsir ibaratnya kulit seperti metode
tahli>li, maud}u> ’i, ijma>li dan muqa>ran. 5 Lihat mukaddimah al-Asa>s fi at–Tafsi>r; Sa„id H{awwa,al–Asa>s fi at–Tafsi>r, juz 1, h.
30, lihat juga penggolongan M. Aqil al-Mahdini yang memasukkan Sa‟id Hawwa diantara ulama yang
berperan mengkaji tasawuf, seperti Taftazani, Dr. Muhammad Mustafa, Syaikh Abu Hasan Ali Hasani
an–Nadwi dan lain–lain. Sayid M. Aqil bin Ali al–Mahdini, Madkhal ila> at–Tas}awwuf al–Isla>mi
(Kairo:Darul Hadith, tth), Cet. Ke–2,29
3
menggunakan ilmu muna>sabah dan juga memiliki pandangan tasawuf dalam
bahasan tafsirnya.
Keberadaan corak tasawuf dalam tafsir tidak bisa dipungkiri sebab Islam
mengajarkan bahwa diri manusia terbagi dalam jasmani dan ruhani maka tinjauan
tasawuf dalam penafsiran sangat berhubungan dengan aspek ruhani manusia itu
sendiri. Alquran yang menjadi dasar ajaran Islam sering mendorong manusia untuk
membersihkan aspek ruhani tersebut. Karena aspek ruhani ini pula yang dapat
mengenal Tuhan dan merasakan kedekatan diharibaanNya. Ayat–ayat Alquran yang
berorientasi tasawuf yang menjadi dasar amalan kelompok sufi lebih terbuka
ditafsirkan dengan pendekatan isha>riy.
Bila dipandang mengenai sejarah penafsiran diketahui bahwa ulama pada
zaman generasi awal perkembangan Islam sudah menafsirkan Alquran dengan
menggali aspek tasawuf.6 Dalam sejarah tafsir sufi, ulama yang populer dalam hal ini
adalah Ibnu Arabi yang lebih terkenal sebagai filosof sufi atau tasawuf falsafiy
dengan paham wujudiyyahnya ketimbang sebagai mufasir. Nama tafsirnya yaitu
Alquran al-Karim atau yang disebut juga dengan nama tafsir Ibnu Arabi.7 Sebagai
referensi pendukung bagi kita untuk memudahkan dalam memahami tafsirnya dapat
dianalisa 2 karangannya yang lain seperti al-Futu>h}a>t al-Makkiyah dan Fus}u>s}
al-H{ikam. Didalam kedua buku tersebut pembahasan tasawufnya sering mengutip
bagian ayat–ayat Alquran.
Menurut pelaku tasawuf, penafsiran secara makna zahir belum membuka
isyarat yang tersembunyi dibalik makna batin Alquran.8 Ketika menjelaskan makna
6 Adh–Dhahabi ketika mengategorikan tafsir ini kepada tafsir sufi dikemukakannya tafsir
Tustari sebagai tafsir awal yang membahas dengan pendekatan sufistik yaitu tafsi>r al–Quran al-
‘Az}i>m. Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Sahl bin Abdullah bin Yunus bin Isa bin
Abdullah at–Tustari, lahir tahun 200 H di Tustari negeri Ahwaz. Ia meninggal di Basrah tahun 283 H.
Lihat, adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2,281. 7 Ibnu Arabi, Tafsir Alqura>n al–Kari>m (Beirut: Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H /2006
M), Cet.Ke–2, halaman depan. Tafsir ini terdiri dari 2 juz tebal. Ibnu Arabi Lahir di Mursiyah-Andalus
tahun 560 H /1165 M, wafat tahun 638 H. 8 Kalangan pengkaji tasawuf sangat mengenal hadis Nabi Muhammad yang menyatakan
tentang Alquran mempunyai makna zahir dan makna batin. Makna batin sering bertalian dengan
penafsiran sufistik yang dipahami oleh pelaku suluk/Tasawuf. Hadis tentang makna zahir dan batin ini
acap kali disinggung oleh penulis buku–buku ilmu Alquran, seperti adh–Dhahabi dalam at–Tafsi>r wa
4
batin ini sering terjadi kesalahpahaman bagi orang lain khususnya diluar pelaku
tasawuf.
Ada anggapan bahwa pendekatan isha>riy yang digunakan oleh mufasir sufi
tersebut keluar dari maksud Alquran atau sudah terjadi penyimpangan makna. Ibnu
S{ala>h} misalnya, dalam melihat tafsir isha>riy ini dikatakannya tafsir tersebut
tidak layak disebut tafsir. Orang yang menafsirkan tersebut sesungguhnya masuk
golongan bat}iniyyah.9
Bahkan dijelaskan juga oleh Ibnu S{ala>h}, Imam Abu H{asan al–Wa}h}idi
seorang mufasir, pernah mengungkapkan ketidaksetujuannya terkait dengan tafsir
karya Abu Abdurrahman as–Sulami yang menggunakan pendekatan isha>riy. Lebih
dari itu dikatakannya siapa yang mempercayai tafsir as–Sulami tersebut berarti ia
sudah kufur.10
Dalam istilah G. Bowering menyebutnya dengan outright-unbelief
(kufur).11
Tokoh lain yang dikenal sebagai seorang pembaharu pemikiran Islam yang
terkenal dengan rasionalitasnya, Muhammad Abduh pernah mencela tafsir Ibnu Arabi
dan dianggapnya sudah menyimpang dari kitab yang mulia (Alquran) dan jauh dari
agama Islam. Masih menurutnya, tafsir Ibnu Arabi ini adalah tafsirnya al–Qasha}ni
penganut bat}iniyyah.12
Penafsiran sufistik tidak bisa dilepaskan dari pengalaman kesufian mufasirnya
yang sulit dipahami oleh orang yang tidak memasuki dunia itu. Berkenaan dengan
pendekatan isha>riy dalam penafsiran sufi, itu sangat berhubungan dengan aktifitas
latihan rohani pelaku sulu>k.13
Sebagaimana dipahami bahwa aspek tasawuf dalam
kajian pemikiran tafsir merupakan salah satu aspek ajaran yang dikandung Alquran
al–Mufassiru>n, Manna„ al–Qat}t}an dalam Mabahi>th fi Ulu>m al–Quran, Abdul Warith M.Ali
dalam pengantar tafsi>r Ibnu Arabi. Az–Zahabi, at–Tafsir …, (Beirut:tp, 1976), Cet. Ke – 2,353. 9 Disebutkan oleh Syaikh Abdul Warith M.Ali dalam Pengantar Tafsi>r Ibnu Arabi
(Beirut:Darul Kutub al–Ilmiyah, 2006 / 1428), Cet. Ke–2, 16. 10
Syaikh Abdul Warith, Pengantar …, 16 11
G.Bowering, Sufi Hermeneutics: dalam Alexander D. Knysh, Encyclopaedia of the Quran
(Leiden: MNP, 2006), V.5, 143. 12
Adh-Dhahabi, at–Tafsi>r wa al-Mufassirun (Beirut: tp, 1976), 400 13
Sulu>k merupakan istilah lain dalam tasawuf artinya yang menunjuk orang yang
menempuh jalan kesufian.
5
disamping aspek hukum, kalam, politik dan seterusnya. Penafsiran terhadap aspek–
aspek ajaran Alquran sangat berkaitan dengan kemampuan teoritis ataupun praktis
dan kecenderungan mufasirnya.
Menurut Zarqani penafsiran sufistik atau tafsir isha>riy diperoleh dengan
menakwilkan ayat diluar makna zahir yang dapat diungkap melalui jalan sulu>k dan
riya>d}ah tasawuf. Tafsir isha>riy dapat saja menggabungkan makna z}ahir dengan
makna isha>riy yang tersembunyi.14
Adh-Dhahabi sependapat dengan pernyataan
diatas dengan menambahkan bahwa ahli tafsir sufi menafsirkan Alquran sesuai
dengan teori dan ajaran tasawuf yang dijalaninya.15
Kontroversi penafsiran sufistik terjadi karena ketidaksamaan dalam
memahami kerangka tasawuf. Selain itu pihak yang kontra beranggapan pendekatan
isha>riy terlalu jauh dipakai dalam memahami aspek tasawuf ajaran Alquran bahkan
sudah masuk dalam ruang aliran bat}iniyyah.
Penafsiran sufistik awal sebagaimana dijelaskan adh-Dhahabi16
bahwa yang
berbentuk kitab tafsir pernah dilakukan Tustari (w.283 H) dengan nama tafsirnya
Tafsi>r Alqura>n al–‘Az}i>m. Zaman berikutnya muncul ahli sufi dengan tafsirnya
H{aqa>iq at–Tafsi>r yang disusun oleh as–Sullamiy (w.412 H) Selanjutnya pada
abad VII H Abu Muhammad as–Shairazi (w.666 H) menulis tafsir ‘Ara>isu al–
Bayan fi H{aqa>iq al–Qura>n. Masih pada abad yang sama muncul seorang guru
besar sufi dari Andalus yaitu Ibnu Arabi (w.638 H) dengan Tafsi>r Alqura>n al –
‘Azhi>m atau dikenal juga dengan Tafsi>r Ibnu Arabi.
Selain demikian, terkait dengan pendekatan isha>riy dalam penafsiran perlu
disebutkan juga disini yang juga menjadi rujukan dalam tafsir Sa„id H{awwa yaitu
tafsir Ru>h al–Ma‘a>ni yang ditulis oleh al–Alu>siy (w.1270 H) serta tafsir an–
Nasafiy (w.701 H), dikenal juga dengan Mada>rik at–Tanzi>l wa H{aqa>iq at–
14
Zarqani, Mana>hil al-‘Irfa>n, dikutip oleh Abdul Warith M.Ali, Tafsi>r Ibnu Arabi
(Beirut:Darul Kutub, 2006), 8 15
Adh–Dhahabi, at–Tafsi>r wa al–Mufassiru>n (Beirut: tp, 1976), 352 . 16
Adh–Dhahabi, at–Tafsi>r wa al–Mufassiru>n (Beirut: tp, 1976), 380 - 400 .
6
Ta’wi>l. Kedua tafsir yang juga kategori tafsir bi ar–ra’yi ini sangat berpengaruh
pada tafsir Sa„id H{awwa.
Pola penafsiran Sa„id H{awwa sementara dapat tergambar bahwa ia tidak
memberikan tema–tema terkait pengelompokkan ayat–ayat dalam suatu surat.
Penafsiran tasawuf dikemukakannya baik melalui riwayat atau analisanya dengan
menafsirkan ayat–ayat yang bernuansa sufistik dan memerlukan penjelasan tasawuf.
Penafsiran melalui ayat dengan ayat yaitu menghubungkan ayat pokok dengan ayat
lain yang saling mendukung (muna>sabah ayat). Setiap ayat yang terkait dengan
ajaran tasawuf, Sa„id H{awwa menguraikan makna tasawuf yang dikandungnya.
Dalam tafsirnya, Sa„id H{awwa sering merujuk kepada athar Nabi atau
sahabat bahkan pendapat ulama. Ketika menafsirkan ayat terakhir surat al-‘Ankabu>t
(29):69 misalnya;
69 ) (. وانره جاهدوا فىا نىهدىهم سثهىا وإن اهلل نمع انمحسىه
Artinya; Dan orang–orang yang berjihad untuk mencari keridhaan kami,
sungguh akan kami tunjukkan kepada mereka jalan–jalan kami.
Sesungguhnya Allah benar beserta orang–orang yang berbuat baik.
Biasa ayat ini dipahami sebagai motivasi bagi orang yang mengalami
kesulitan dalam pekerjaan, menghadapi persoalan dalam usaha dan sejenisnya.
Justeru Sa„id H{awwa menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ayat ini bagian ajaran
tasawuf dimana hal itu merupakan tangga menuju kedekatan dengan Allah. Lebih
jauh dikatakannya bahwa siapa yang memahami ayat ini secara komprehensif dan
mengenali maknanya serta mengamalkannya niscaya ia memperoleh kebaikan yang
banyak. Dengan mengutip hadis Nabi, siapa yang berjihad semata–mata karena Allah
maka Dia akan menunjuki jalan agar sampai kepadaNya.17
Ini contoh ayat tasawuf yang dipahami lebih dalam oleh Sa„id H{awwa bahwa
muja>hadah dalam ayat diatas merupakan penghubung hidayah hati menuju Allah
dan ridhaNya. Ayat tersebut membentuk keterkaitan erat, dengan muja>hadahlah
17
Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8, Cet.
Ke–6, 4237–8
7
maka hidayah akan turun kepada orang yang berkehendak kepada taqwa. Urutannya;
Muja>hadah – Hidayah – Taqwa – sampai pada (jalan) Allah/terbuka hijab
Usaha yang dilakukan ulama dalam menafsirkan Alquran senantiasa dituntut
agar mengalami perkembangan pemikiran supaya wahyu Allah ini lebih mudah
dimengerti dan diamalkan serta dapat menjawab persoalan dalam masyarakat yang
selalu berubah dari masa ke masa. Dari masa awal perkembangan Islam sampai
sekarang sudah bermacam–macam orientasi penafsiran yang muncul. Mulai dari jenis
tafsir bi al-Ma’thu>r kemudian ada penafsiran yang menekankan aspek bahasa
gramatikal, ada yang menekankan kepada ayat–ayat hukum yang dikenal dengan
tafsir ah}ka>m, ada yang memfokuskan menafsirkan ayat–ayat tasawuf yang
melahirkan tafsir sufi, ada juga yang menyorot fenomena sosial yang melahirkan
tafsir adab ijtima>‘i, dan banyak lagi.
Memperhatikan dari fenomena ulama tafsir dengan menyorot berbagai kitab
tafsirnya, dipahami bahwa ada dua kategori penafsiran. Ada kitab tafsir yang memang
ditulis oleh seorang mufasir kemudian ada ulama yang termasuk kategori penulis
tafsir. Kelompok pertama, mengindikasikan bahwa mereka memang ahli tafsir yang
menguasai ilmu tafsir dan ilmu Alquran (ulu>mul Qura>n). Ini akan terlihat dalam
uraian penafsirannya bahwa mereka mengungkapkan berbagai konsep–konsep ilmu
tafsir. Diantara konsep ilmu tafsir tersebut akan terlihat pula, konsep mana yang
dominan dalam penafsirannya. Sebagai contoh tafsir Sa„id H{awwa, salah satu
indikator bahwa ia seorang mufasir adalah konsep ilmu muna>sabah yang
dikembangkan dalam tafsirnya. Disamping tidak menutupi dalam tafsirnya analisa
kecenderungan pemikiran tafsir seperti bidang tasawuf.
Adapun kelompok kedua yaitu ulama yang dianggap sebagai penulis tafsir.
Sebagai indikatornya ulama tersebut terdeteksi tidak banyak menguasai serta
mendalami persoalan tentang ilmu tafsir dan ilmu Alquran. Ini akan terlihat ketika
dalam penafsirannya jarang membahas seputar ilmu Alquran apalagi dengan
menawarkan salah satu konsep ilmu Alquran. Mereka hanya sebatas menjelaskan
maksud Alquran sesuai kapasitas dan kecenderungan ilmu yang dimiliki. Pandangan
8
seperti ini menguatkan pernyataan Quraish Shihab bahwa diantara ulama terdapat
perbedaan dalam memahami arti tafsir.18
Sebagai implikasi dari kelompok akhir ini, memunculkan buku tafsir
pendidikan, tafsir politik, tafsir sosial, tafsir tentang hak asasi manusia dan
sebagainya.19
Penafsiran berbagai bidang tersebut dilakukan oleh mereka yang bukan
“ mufasir “ melainkan berangkat hanya dari latar belakang keilmuannya. Karena tidak
dikemas dengan menggunakan analisis kerangka ilmu tafsir atau ilmu Alquran maka
wujud tafsirnya tidak memberikan uraian yang komprehensif dan bahkan cenderung
sebagai bahan legitimasi dasar keilmuan. Disertasi ini merupakan salah satu cerminan
mengatasi persoalan di atas untuk mengkaji satu aspek pemikiran tokoh tafsir yaitu
tentang ayat–ayat tasawuf dengan tetap memperhatikan kerangka ilmu tafsir dalam
proses pembahasan penelitian.20
Sekalipun yang dibahas aspeknya ayat tasawuf
namun tetap disinggung juga aspek ilmu tafsir ketika Sa„id H{awwa menafsirkan
ayatnya. Ini akan beda halnya bila penelitian yang sengaja memfokuskan kajiannya
18
Ada dua macam pengertian yang dikemukakan oleh ulama tentang arti tafsir pertama,
Tafsir: sebagai penjelasan tentang firman Allah atau menjelaskan arti dan maksud lafal Alquran. Bagi
golongan ini tafsir bukan merupakan suatu cabang ilmu. Golongan kedua berpendapat, tafsir adalah
suatu ilmu yang membahas tentang maksud Alquran, mengeluarkan hukum dan hikmahnya sesuai
dengan kemampuan manusia. Bagi mereka ini tafsir itu ada ilmunya atau kaedah–kaedah tafsir yang
harus dikuasai. Lihat: M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran (Bandung: Mizan, 1993), Cet. Ke-5,
152. Implikasinya kita temukan ada cendekiawan muslim yang berani menafsirkan Alquran walau
bukan ahli ilmu tafsir bahkan ada yang mengatakan sehubungan dengan menafsirkan Alquran tidak
harus menguasai kaedah–kaedah tafsir yang detil dan seterusnya.
19
Perguruan tinggi agama Islam khususnya IAIN/UIN dengan wajah baru memang
membutuhkan buku–buku terkait berbagai program studi beberapa kecenderungan tafsir semacam itu
dalam rangka menghadirkan mata kuliah tafsir bagi mahasiswa agar sejalan dengan program studi
yang ditempuh. Untuk menjembatani persoalan diatas maka perlu di kembangkan arah baru kajian
tafsir, maka bagi pengkaji atau ahli tafsir juga perlu mempelajari ilmu pendukung dalam bahasan tafsir
sesuai konsenterasi diatas. Mereka yang mendalami disiplin tafsir juga harus menambah
pengetahuannya dengan konsenterasi tertentu. Kini IAIN/UIN sudah membuka program studi “ umum
“ yang tentu harus mengambil mata kuliah tafsir yang disesuaikan dengan program studi masing–
masing. Disamping itu bagi program studi lama bidang agama juga memerlukan pengembangan mata
kuliah tafsir sesuai keahliannya. Seperti tafsir ayat–ayat hukum, ayat ekonomi (mu„a>malah), ayat
tasawuf, pendidikan ( tarbiyah ) dan seterusnya. 20
Diantara kitab tafsir yang dapat kita temukan dalam uraian tafsirannya menyangkut
berbagai orientasi. Ada yang dominan penafsirannya tentang politik seperti tafsir al-Maududi, ada
yang orientasi tasawuf seperti tafsir Ibnu Arabi, tafsir Sa„id Hawa, Tustari, ada yang ke dakwah,
sosial-politik seperti tafsir Sayyid Qutb, begitu seterusnya.
9
untuk meneliti konsep ilmu Alquran dalam sebuah kitab tafsir, misal konsep na>sikh
dan mansu>kh dalam tafsir al–Mara>ghi.
Pengkajian mengenai Alquran dapat dilakukan dari berbagai sudut pandang
seperti mengkaji aspek pemikiran tafsir, aspek tema–tema dalam Alquran (tafsir
maud}u>‘i) , meneliti konsep ilmu Alquran atau studi mengenai seputar Alquran itu
sendiri semacam sejarah penulisannya atau sejarah turun dan seterusnya. Penelitian
disertasi ini akan melakukan kajian menyangkut aspek pemikiran tafsir dengan fokus
kajian pemikiran tasawuf dalam tafsir Sa„id H{awwa.
Aspek tasawuf yang dikaji dalam disertasi ini dilatar belakangi oleh kondisi
manusia di abad modern ini yang hanyut dalam arus modernitas yang salah dan ada
pula yang salah mencari jalan sendiri dan keliru untuk meraih kebahagiaan rohani.
Prilaku sebagaian masyarakat yang hanyut dalam hedonisme, hidup berfoya–foya,
arogansi kekuasaan, frustasi menghadapi persoalan kehidupan dan seterusnya
seakan–akan lupa bahwa ada bagian dirinya yang belum terpenuhi yaitu kepuasan
rohani. Sebaliknya, ada prilaku manusia yang jenuh dengan kesibukan, hidup serba
cukup maka dicari solusinya dengan mengurung diri tanpa beribadah yang benar.
Disamping itu ada orang yang ditimpa kemiskinan lalu ingin mencari kebahagiaan
sendiri demi kepuasan rohani namun dengan cara yang keliru pula seperti bunuh diri
atau bunuh diri masal dan sebagainya.
Pengkajian ayat tasawuf akan memberikan jalan untuk menyadarkan kembali
akan jati diri manusia sebagai hamba Allah serta memberi motivasi agar selalu
membersihkan rohani dan supaya lebih dekat denganNya. Syariat yang dijalankan
sebagai sarana lahir, harus diimbangi dengan jalan tasawuf sebagai aspek batin demi
menuju kebahagiaan rohani. Sebab dalam beragama harus ada peningkatan
pemahaman dan pengamalan, jadi setelah syariah naik ke hakikat: Rukun Islam aspek
lahir agama (akal/teori dan praktek ibadah), terus Iman dan Ihsan sebagai aspek batin
agama (prilaku sebagai perwujudan qalbu). Dari akal terus ke hati. Kalau sudah
terbiasa di jalan datar maka lanjutkan menempuh jalan mendaki, demikian adagium
tasawuf. Dunia global dan pesat informasi membuat orang haus kebahagiaan rohani
10
dan mencari kepuasan batin. Disamping berguna untuk membentengi diri dan sebagai
perisai (preventif) dalam berkarya didunia dan memberikan ketenangan lahir batin
juga berimplikasi baik ke orang lain.
Aspek tasawuf dalam Islam lebih mencerminkan ekspresi ajaran Islam yang
sangat universal karena bersentuhan dengan rasa, hati yang semua orang tentu
menginginkan ketenangan hati. Karena itu, ajaran tasawuf paling gampang diterima
bahkan oleh orang yang tidak dibesarkan dalam tradisi Islam.21
Terkadang ajaran
tasawuf dapat melampaui keyakinan parsial, jadi ia dapat berdiri diatas ibadah zahir
yang sering mengundang perselisihan pendapat karena bermain di ranah logika.
Sehingga dalam perkembangan ajaran Islam misalnya di Nusantara, aspek tasawuf
mudah diterima masyarakat Indonesia22
karena tidak banyak mempersoalkan ibadah
zahir dan kesannya sangat egalitarian.
Bila ditelusuri prinsip ajaran tasawuf sebetulnya dalam Alquran ditemukan
isyarat–isyarat tentang landasan tasawuf. Dalam Islam tujuan bertasawuf untuk
membersihkan hati dan prilaku agar memperoleh hubungan yang dekat sekali bahkan
tanpa batas dengan Allah maha pencipta. Ibadah yang dilakukan terutama ibadah
pokok (mah}d}ah) merupakan jalan untuk membersihkan diri/rohani agar dapat
merasakan kehadiran Allah disisi mana saja berada. Diantara ayat yang dijadikan
dasar utama yang dipahami sebagai pokok tasawuf yaitu surat al-Baqarah (2):186,
Qaf (50):16.
. وإذا سأنل عثادي عىى فئوى قسة أجة دعىج انداع إذا دعاوى فهستجثىن ونؤمىىات نعههم سشدون
. ونقدخهقىا اإلوسان و وعهم ما تىسىس ته وفسه ووحه أقسب إنه مه حثم انىزد
Artinya; Bila hambaku bertanya kepadamu tentang aku maka bahwasanya aku
adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia
21
Ini merupakan pernyataan Karel Steenbrink, sarjana Islamolog dari Belanda, ketika menjawab
pertanyaan yang diajukan kepadanya seputar aspek Islam yang bercorak sempalan, ajaran asing–unik
(seperti doktrin tasawuf atau semacam shat}ah}a>t) yang lebih disukai orientalis mempelajarinya.
Dapat ditemukan pada pengantar buku Tasawuf Falsafi Hamzah Fansuri. Lihat, Karel Steenbrink,
pengantar dalam, Afif Anshori, Tasawuf Falsafi Hamzah Fansuri (Yogyakarta: Gelombang Pasang,
2004 ), vi 22
Secara historis periode awal Islam Nusantara bercorak tasawuf. Lihat, Sri Mulyati(et.al),
Oman Faturrahman, Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana PMG,2004), Cet.Ke-
3,152
11
memohon kepadaku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintahku
dan hendaklah mereka beriman kepadaku agar mereka selalu berada dalam
kebenaran.
Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat
lehernya.
Untuk memahami ayat–ayat yang berkenaan dengan tasawuf, ulama telah
memberikan perhatian besar dengan menafsirkan ayat tasawuf seperti terlihat dari
beberapa kitab tafsir yang membahas tentang hal tersebut. Berdasarkan potret sejarah
dan pemikiran tafsir, teridentifikasi bahwa kitab tafsir Alquranul Karim karya Ibnu
Arabi (560–638 H) merupakan perintis kitab tafsir bercorak tasawuf khususnya
tasawuf naz}ariy.23
Pada zaman modern ini perhatian untuk mengkaji penafsiran ayat–ayat
tasawuf suatu hal yang sejalan dengan kebutuhan manusia itu sendiri yang merasakan
kegersangan dalam kehidupan atau istilah lain kehampaan spiritual. Penulis tafsir ini
dikenal sebagai tokoh pergerakan Islam dan pejuang melawan penjajahan atas
negerinya dari pengaruh asing. Bila diperhatikan ada beberapa konsep pemikiran
yang direfleksikannya lewat penafsiran ayat–ayat Alquran baik menyangkut politik,
sosial, tasawuf dan hukum fiqh. Sa„id H{awwa disamping tokoh pergerakan lahiriyah
juga dikenal sebagai penyiram rohani dengan pendekatan tasawuf. Karya–karya
beliau banyak yang menyentuh dan mengajak kemerdekaan diri, kemerdekaan
beribadah, kebersihan rohani yang tertuang dalam buku tarbiyatuna> ar-ru>hiyyah.
Karya beliau yang monumental adalah Kitab tafsir al–Asa>s fi at–Tafsi>r. Disini
23
Ulama yang cenderung ke tasawuf memasukkan teori dan ajaran falsafat yang dimiliki
dalam tafsirnya ketika memahami ayat-ayat Alquran. Adh-Dhahabi menyebutkan bahwa Ibnu Arabi
merupakan seorang ahli tasawuf yang menggunakan berbagai teori diatas dalam tafsirnya. Tersebutlah
tafsir Ibnu Arabi sebagai tafsir sufi naz}ariy, dari tafsir sufi naz}ariy teridentifikasi pula ia
menggunakan teori (naz}ariyyah) wah}datul wuju>d sebagai situasi perjalanan sufi yang diperoleh.
Penafsiran yang dilakukan berdasarkan pengalaman ruhani (riya>d}ah ru>hiyyah) seseorang tersebut
maka tafsirnya dapat pula disebut dengan tafsir sufi isha>riy, kenyataan ini tampak pula pada
penafsiran Ibnu Arabi. Karena itu, adh–Dhahabi menggolongkan tafsir Ibnu Arabi kepada tafsir sufi
naz}ariy dan juga sebagai tafsir sufi isha>riy. Uraian rinci dapat ditelusuri, Muhammad Husein adh-
Dhahabi, at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo, tp, 1396 H/1976), Cet. Ke–2, 340–379.
12
beliau wujudkan kemampuan menafsirkan Alquran dengan pendekatan ilmu
muna>sabah serta kecenderungan tasawuf dalam pemikiran yang dikuasainya.
Pandangan tasawuf Sa„id H{awwa dapat ditelusuri lebih jauh dalam
penafsirannya terkait dengan ayat–ayat tasawuf. Disini juga akan terlihat kerangka
metodologi tafsir yang digunakannya. Dan memang dua hal ini menjadi perhatian
pokok peneliti dalam disertasi ini. Sehubungan dengan penafsiran tasawufnya, Sa„id
H{awwa sangat dalam pandangannya ketika memahami ayat–ayat tasawuf secara
implisit apalagi yang jelas (eksplisit) bermakna tasawuf.
Ketika menjelaskan kedudukan Maryam yang sering mengalami peristiwa
luar biasa, salah satunya ketika didatangi oleh malaikat Jibril. Sa„id H{awwa tetap
berkeyakinan dengan berpegang pada dasar Alquran bahwa Maryam hanyalah
seorang wanita s}a>lih}ah dan s}iddi>qiyyah dan tidak mencapai predikat sebagai
Nabi sebagaimana ditegaskan dalam surat Yusuf (12):109, “ Kami tidak mengutus
seorangpun sebagai Nabi atau Rasul melainkan kepada laki–laki yang diberikan
wahyu”. Dalam surat al-Ma>idah (5):75 dijelaskan bahwa Isa AS adalah seorang
Rasul seperti rasul–rasul terdahulu sedangkan ibunya adalah seorang wanita
S{iddi>qah.24
Keistimewaan yang dialami Maryam memunculkan beberapa pemahaman,
menurut Sa„id H{awwa bahwa jalan untuk berdialog (mukha>t}abah) dengan
malaikat dapat dialami oleh selain Nabi. Seseorang dapat mencapai kashf
(muka>shafah) dengan memperoleh pengetahuan dari alam gaib sebagai suatu
keramat (pintu keramat) yang dibukakan Allah. Hal ini merupakan dalil bahwa
kemuliaan (keramat) dapat terjadi pada manusia selain Nabi/Rasul. Siapa yang sering
melakukan amalan–amalan sunat dengan ikhlas maka Allah akan membukakan pintu
baginya.25
24
Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at-Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.
Ke–6, 2713–14 Dapat diselaraskan keterangan ini dengan uraiannya tentang kashf yang terdapat
dalam bab 14 dalam buku Tarbiyatuna> ar-Ru>hiyyah. Lihat, Sa„id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–
Ru>hiyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9,163 25
Sa„id H{awwa, al-Asa>s fi at-Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke–6, 765-766
13
Untuk memperkuat keterangan ini Sa„id H{awwa mengemukakan hadis Nabi
yang diriwayatkan oleh Muslim. Nabi pernah memberitahukan kepada Abu Bakar
dan H{anz}alah bahwa kalau kamu senantiasa mencontoh dengan mengikuti aku dan
melakukan zikir niscaya kamu dapat bersalaman dengan malaikat.26
Bersalaman yang
dinyatakan Nabi Saw diatas menandakan bahwa untuk berhubungan langsung dengan
malaikat dapat terwujud dengan memperbanyak zikir terutama untuk menjaga
kekosongan hati dari mengingat Allah. Ini merupakan indikasi bahwa malaikat dapat
dijumpai dan wujudnya dapat dirasakan.
Contoh penafsiran Sa„id H{awwa diatas menggambarkan sisi tasawuf dan
juga kerangka muna>sabah ilmu Alquran. Sisi metodologisnya; pertama, Sa„id
H{awwa menukil beberapa ayat untuk memperjelas penafsirannya yang dikenal
sebagai muna>sabah Alquran. Seperti, Surat Ali Imran (3):4227
dikorelasikan dengan
surat Yusuf (12):109 kemudian disebutkan juga penjelasannya dalam surat al-
Ma>idah (5):75. ,Sisi tasawufnya . مانمسح اته مسم إال زسىل قد خهت مه قثهه انسسم وأمه صدقح
Sa„id H{awwa menggali makna tasawuf misal diatas yaitu tentang kashf salah satu
ajaran tasawuf. Kedalaman pikiran tasawufnya dalam menafsirkan Alquran terlihat
ketika pengidentifikasian yaitu menghubungkan ayat–ayat yang mengandung
kesamaan makna kedua memahami aspek tasawuf tentang ayat tersebut. Penafsiran
seperti ini tidak mudah dilakukan tanpa menekuni kedua bidang tersebut yaitu
muna>sabah Alquran serta pemahaman tasawuf yang mendalam.
Seperti dijelaskan diatas bahwa sebuah kitab tafsir mengandung berbagai
pemikiran yang dikonsep oleh penulisnya dengan menganalisa ayat–ayat Alquran.
Melihat beberapa karya Sa„id H{awwa tentang tasawuf dan masih jarang kajian
penafsiran tasawuf, menjadikan tafsirnya penting untuk dikaji khususnya aspek
tasawufnya. Penelitian ini akan berupaya menggali pemikiran tasawuf yang tercermin
dalam kitab tafsir Sa„id H{awwa. Tema tasawuf yang dikaji menurut hemat peneliti
26
Sa„id Hawwa, al-Asa>s fi at-Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke–6,766
27
وإذ قانت انمالئكه ا مسم إن اهلل اصطفاك وطهسك واصطفاك عهى وساءانعانمه
14
lebih aplikatif dan sangat bersentuhan dengan kehidupan nyata sehari–hari serta
berkait langsung dengan rasa setiap orang. Selain itu, tema tasawuf dalam penafsiran
tidak saja mencerminkan pemikiran mufasir tapi juga meliputi pengalaman
kerohaniannya. Aspek praktis28
inilah yang membedakan kajian ayat tasawuf
dibanding tema lain. Apalagi kajian konsep ilmu tafsir yang selam ini dijadikan
penelitian, cenderung teoritis dan sangat relatif, seperti konsep takwil, hermeneutik,
nasakh, muna>sabah dan seterusnya.
Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin tegaskan bahwa sangat menarik
diteliti lebih jauh mengenai penafsiran sufistik Sa„id Hawwa dalam kitabnya yaitu al–
Asa>s fi at–Tafsi>r.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Dengan melihat judul di atas maka masalah pokok yang diangkat dalam
penelitian ini dapat dirumuskan dalam sebuah pertanyaan penelitian yaitu :
Bagaimanakah metodologi penafsiran dan pemikiran sufistik Sa‘id H{awwa
dalam kitab al-Asa>s fi at-Tafsi>r? Melihat lapangan kajian tafsir sufi yang begitu
luas maka penulis tentu tidak akan mampu membahas semuanya. Dari masalah pokok
ini maka pembahasan dibatasi pada penafsiran Sa„id Hawwa yang terkait dengan
enam maqa>m-maqa>m dan dimensi metafisis ajaran tasawuf.
Sesuai dengan masalah pokok di atas kemudian ditetapkanlah beberapa sub
masalah dengan pertanyaan penelitian yaitu :
a. Bagaimanakah metodologi penafsiran dan pemikiran sufistik Sa„id H{awwa
mengenai konsep maqam dalam tasawuf?
b. Bagaimanakah metodologi penafsiran dan pemikiran sufistik Sa„id H{awwa
mengenai dimensi metafisis ajaran tasawuf?
c. Dimanakah posisi penafsiran sufistik Sa„id H{awwa dalam peta tafsir sufi?
28
Pemikiran yang digagas dalam tafsir tersebut tidak lagi sebatas konsep tapi sudah
diamalkan. Ini akan beda sekali dengan kajian tafsir maud}u‟i seperti yang sudah–sudah.
15
C. Signifikansi Penelitian
Sebelum mengemukakan arti penting penelitian ini terlebih dahulu dijelaskan
kenapa judul ini diangkat? Adapun judul yang ditetapkan dalam penelitian disertasi
ini adalah “Penafsiran Sufistik Sa‘id H{awwa dalam al–Asa>s fi at–Tafsi>r “.
Analisis penafsiran ayat–ayat tasawuf adalah mengkaji hasil penafsiran Sa„id
H{awwa sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab tafsirnya al-Asa>s fi at–Tafsi>r.
Kajian ini dimaksudkan untuk mengetahui pandangan penafsiran ayat tasawuf oleh
Sa„id H{awwa dalam rangka pengembangan kehidupan spiritual keagamaan. Selain
mengetahui dasar metodologi tafsirnya digali juga kerangka pemikiran tafsirnya
tentang ayat–ayat tasawuf.
Kajian aspek tasawuf merupakan bagian dari studi pemikiran tafsir.29
Aspek
tasawuf sebagai bingkai kajian dalam penelitian digunakan untuk menemukan corak
tasawuf Sa„id H{awwa. Setelah membahas penafsiran aspek tasawuf dalam tafsir
Sa„id H{awwa kemudian dihubungkan dengan landasan teori yang dibahas pada bab
sebelumnya. Langkah ini dilakukan sebagai dasar dalam menganalisis wujud
penafsiran ayat.
Sehubungan dengan tafsir al-Asa>s fi at–Tafsi>r karya Sa„id H{awwa yang
diteliti karena tafsir ini termasuk kelompok tafsir kontemporer yang sejalan dengan
situasi dan persoalan kekinian. Disamping itu kemunculan tafsir ini ditengah situasi
negara dalam cengkeraman hegemoni asing dan sedang terjadi konflik dengan
penjajah Barat.30
Dengan demikian semangat yang terkandung dalam tafsir ini dapat
29
Pemikiran tafsir merupakan nama mata kuliah yang pernah disajikan pada program
pascasarjana dengan nama Sejarah dan Pemikiran Tafsir yang diasuh oleh Prof. Dr. Salman Harun.
Mata kuliah yang awalnya dirancang untuk program Doktor dan kemudian dijadikan sebagai
matakuliah pilihan bagi program S2 sekitar tahun 1999/2000 dan terakhir masih ditawarkan sampai
tahun 2004. 30
Penulisan tafsir ini tahun 1398 H/1977 M, cetakan I tahun 1405 H/1985 M. Bahkan pada
awalnya tafsir ini ditulis sewaktu Sa„id H{awwa berada dalam penjara. Menurut Sa„id H{awwa dalam
pengantarnya yang juga dikutip oleh Iyazi bahwa ketika dalam penjara tersebut Sa„id H{awwa
menyandarkan penulisann tafsirnya hanya kepada 2 kitab tafsir yaitu tafsir Ibnu Katsir yang berjpola
riwayat terutama penjelasan al-Quran bi al–Quran, kedua tafsir an–Nasafi dalam melihat makna
h}arfiyah (linguistik) dan aspek aqidah. Kemudian dilengkapi dengan 2 tafsir lain disamping 2 kitab
tafsir sebelumnya yaitu tafsir Sayyid Qut}b dan al–Alu>si. Lihat, Sa„id H{awwa, mukaddimah tafsir,
al-Asa>s fi at-Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, juga Iyazi, al–Mufassiru>n
16
menjadi inspirasi bagi daerah yang „dikuasai‟ oleh asing untuk bangkit menghadapi
berbagai himpitan yang melanda.
Sosok Sa„id H{awwa yang diangkat dalam penelitian ini dengan
pertimbangan bahwa ia merupakan tokoh pergerakan. Sebagai tokoh pergerakan ia
memilki semangat perjuangan yang gigih dalam rangka mempertahankan kebenaran
dan menegakkannya senantiasa menyertai dan diwujudkan dalam keseharian.
Terkait dengan tema tasawuf yang diteliti dalam tafsir ini bukan artian bahwa
inilah aspek yang penting dikaji sedangkan aspek lain tidak. Signifikansi aspek
tasawuf yang dijadikan sebagai fokus penelitian didasarkan kepada kecenderungan
peneliti untuk mengembangkan ajaran tasawuf Islam agar dapat diamalkan oleh
semua orang yang ingin memperoleh kebahagiaan sejati serta meningkatkan kualitas
diri. Diri yang berkualitas mendorong orang untuk sungguh sungguh mengenali
dirinya yang ditunjukkan dengan peningkatan kualitas beribadah. Mengkaji aspek
tasawuf dalam tafsir merupakan bagian dari pemikiran tafsir seorang mufasir. Disini
peneliti bukan lagi mewacanakan ilmu Alquran tapi secara tidak langsung peneliti
akan membahas ilmu Alquran dalam sebuah pemikiran tafsir. Pembahasan tafsir mau
gak mau harus melewati ilmu Alquran.31
Ketika membahas pemikiran tafsir, teori–
teori ilmu Alquran akan menjadi pendukung dalam memahami dan meneliti uraian
mufasir.
Sisi ayat tasawuf yang menjadi objek penelitian yang terkandung dalam judul
diatas sebagaimana identifikasi yang dilakukan bahwa gagasan mufasir Sa„id
H{awwa banyak tertuang dalam karangannya yang berbicara tentang tasawuf Islam.
Sa„id H{awwa ingin memberikan nuansa baru dan kontemporer dalam ajaran tasawuf
maka untuk mengembangkan di dunia nyata peneliti perlu menggali dasar dan
pemahaman Tasawuf Sa„id H{awwa dalam tafsirnya. Disamping itu juga setentangan
aspek tasawuf ini masih jarang dilakukan penelitian khususnya penelitian tafsir.
H{aya>tuhum wa Manhajuhum (Teheran:Wazarah ath–Thaqa>fah wa al–Irsha>d, 1414 H/1992 M),
134 31
Dalam teori pembelajaran studi Alquran di perguruan tinggi agama, mata kuliah tafsir
disajikan setelah menempuh mata kuliah ulumul Quran. Artinya ulumul Quran sebagai mata kuliah
prasyarat sebelum masuk mata kuliah tafsir.
17
Sementara ini penelitian tafsir lebih cenderung ke aspek fiqh, kalam, menyangkut
tema Alquran (tafsir maud}u>‘i)32
atau hanya mengkaji aspek ilmu Alquran.
Ibaratnya kilauan Alquran itu memancarkan warna warni yang dapat ditelusuri
masing–masingnya sesuai kecenderungan dan kemampuan pengkaji Alquran untuk
menangkap kilauan tersebut. Dengan demikian pesan Alquran dapat dipahami lebih
terarah dan terfokus apalagi disesuaikan dengan perkembangan ilmu yang sangat
butuh landasan keilmuan dalam Alquran.
Penelitian ini tidak menafikan kemampuan ilmu fiqh mufasir Sa„id H{awwa
atau keilmuan lain yang melekat padanya namun lebih kepada kemampuan peneliti
yang cenderung kepada menggali aspek tasawuf dalam tafsirnya. Bahkan kalau ingin
digali dari aspek politik atau bidang lain memungkinkan saja bila dihadapkan kepada
aktifitas Sa„id H{awwa semasa hidupnya.
Faktor pendukung dari sudut akademik terkait dengan penelitian ini bahwa
sebelumnya peneliti pernah melakukan pengkajian tentang pemikiran tasawuf dalam
bentuk makalah, jurnal. Selain itu peneliti pernah mengikuti kuliah tasawuf dan
falsafat Islam. Faktor demikian cukup membekali peneliti dalam mengkaji ayat–ayat
tasawuf yang berbentuk penelitian disertasi ini, disamping membahas metodologi
tafsirnya.
D. Kajian Kepustakaan
Bahasan pokok yang menjadi sentral disertasi ini adalah penafsiran ayat
tasawuf atau dikenal juga dengan penafsiran sufistik.33
Munculnya tafsir sufistik ini
sebagai konsekuensi pemahaman ahli sufi ketika menafsirkan ayat Alquran yang
bercorak tasawuf dengan melakukan pendekatan isha>riy. Pendekatan isha>riy erat
32
Pemikiran politik al-Maududui dalam tafsirnya, pemikiran politik dalam tafsir fath}ul
qadi>r (disertasi), aspek kalam dll. 33
Ada juga yang menggunakan istilah tafsir sufi atau tafsir isha>riy. Kata lain dari sufistik
adalah tasawuf atau mistisisme Islam. Bila Syariah dianggap sebagai ibadah aspek lahiriyah dalam
Islam maka tasawuf merupakan ibadah dari aspek batin (rohani) nya.
18
kaitannya dengan penggunaan metode takwil.34
Semakin besar perhatian mufasir sufi
memahami ayat–ayat secara sufistik semakin terbuka ia menggunakan pendekatan
isha>riy.
Tersebut dalam sejarah penafsiran sufistik bahwa nama Tustari dikenal
sebagai mufasir sufi generasi awal.35
Dalam menafsirkan ayat tasawuf ia
menggunakan pendekatan isha>riy dan juga pendekatan makna zahir ayat. Sementara
itu dalam tafsir karya as–Sullamiy orientasinya didominasi penafsiran ayat dengan
pendekatan isha>riy. Dalam mukaddimah tafsirnya ditegaskan bahwa ia lebih suka
mengumpulkan penafsiran dari ahli hakikat.36
Berbeda dengan di atas, Ibnu Arabi dalam tafsir sufinya menurut adh-Dhahabi
tidak punya kecenderungan memahami zahir ayat tapi ia menafsirkan Alquran dengan
menggabungkan antara penafsiran sufi falsafi dengan penafsiran sufi secara isha>riy.
Teori falsafat dalam pemikiran sufinya yang dikembangkan dalam tafsir yaitu paham
wah}datul wuju>d.
Memperhatikan beberapa penafsiran sufistik yang pernah muncul
mengindikasikan bahwa pendekatan isha>riy menjadi faktor utama dalam
menafsirkan ayat–ayat tasawuf. Sekalipun ada diantara mufasir yang juga
memperhatikan makna zahir ayat. Disinilah perlu keseimbangan dalam memahami
makna zahir ayat dengan makna isha>riy yang dikandungnya.
Penafsiran Sa„id Hawwa yang diangkat dalam penelitian ini, apakah termasuk
dalam pendekatan isha>riy atau pendekatan naz}ariy yang dikenal juga dengan tafsir
sufi naz}ariy dan tafsir sufi isha>riy. Berdasarkan pengamatan sementara dari
beberapa ayat yang ditafsirkan Sa‟id H{awwa, ia menerima pendekatan isha>riy dan
makna zahir dan ini perlu pembahasan mendalam untuk membuktikannya. Faktor
34
Tafsir dan takwil secara umum dapat dibedakan bahwa tafsir lebih luas dari pada takwil.
Tafsir cenderung pemahaman berdasarkan riwayat, sedangkan kecenderungan takwil memahami
Alquran secara dirayah. Lihat, Manna‟ al–Qat}t}a>n, Mabah}i>th fi Ulu>m al–Qura>n (tt: tp, t.th),
327. 35
Nama lengkapnya, Abu Muhammad Sahl bin Abdullah bin Yunus bin Isa bin Abdullah at–
Tustari. Lahir tahun 200 H di Tustar bagian dari daerah Ahwaz. Sedangkan wafat di Basrah tahun 273
H. Adh–Dhahabi, at-Tafsîr wa al-Mufassiru>n (Beirut: tp, 1976),380. 36
Adh–Dhahabi, at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Beirut: tp, 1976), 384
19
lain, menurut Sa„id H{awwa, bahwa tasawuf itu mempunyai dua bentuk ada aspek
‘amali dan aspek naz}ariy. Ia berupaya menjadikan tasawuf sesuai dengan Alquran
dan Sunnah.
Sehubungan dengan objek penelitian yaitu tentang Sa„id H{awwa, penulis
telah mempelajari buku–buku yang berkaitan dengannya dalam rangka untuk
menjaga orisinalitas penelitian ini. Adapun buku–buku yang membahas atau
menyinggung tentang tafsirnya belum banyak dijumpai. Sementara ini penulis baru
menemukan 2 buku yang ada pembahasan mengenai tafsir Sa„id H{awwa, yaitu
karya Muhammad Ali Iyazi dan karya ilmiyah Skripsi Asep Ali. Kitab tafsir Sa‟id
H{awwa termasuk mutakhir dari kitab tafsir lainnya yang dikategorikan beberapa
penulis pada zaman kontemporer, jadi banyak diantara mereka belum mencantumkan
profil tafsir Sa„id H{awwa dalam daftar karangannya.37
Iyazi tidak ada yang
memfokuskan kajian menyangkut aspek tafsir Sa‟id H{awwa, umumnya menjelaskan
berbagai macam metode tafsir dan sistematika penulisannya dari para mufasir
termasuk tafsir al–Asa>s karya Sa„id H{awwa, itupun uraiannya sangat terbatas.
Iyazi misalnya, ketika membahas Sa„id H{awwa menjelaskan bahwa tafsir
Sa„id H{awwa merupakan tafsir model baru dengan sorotan pembahasan
muna>sabah antar ayat secara keseluruhan yang menjadikan Alquran membentuk
kesatuan tema yang sempurna.38
Selain itu dijelaskan juga bahwa keistimewaan tafsir
ini terlihat dari penjelasan Sa„id H{awwa tentang kemukjizatan ilmiyah Alquran
dimana ia mengaitkan ayat–ayat Alquran dengan ilmu–ilmu modern yang sedang
berkembang.39
Dalam uraian Iyazi tidak mengungkapkan sisi tasawuf yang terdapat dalam
tafsir Sa„id H{awwa. Padahal melihat posisi Sa„id H{awwa sebagai tokoh pergerakan
37
Lihat misalnya, Thameem Ushama, Methodologis of the Quranic Exegesis, Gamal al –
Banna, Tafsir al – Quran al – Karim bain al – Qudama>’ wa al–Muh}addithi>n (Kairo: Dar al–Fikri
al- Islami, 2003 Ter. Evolusi Tafsir. Lihat juga. Muhammad Sayyid Jibril, Madkhal ila> Mana>hij
al–Mufassiri>n, 1987 M/1408 H. Begitu pula buku–buku lain tentang metode para mufasir yang
penulis jumpai tidak memuat tentang tafsir Sa„d H{awwa. 38
Iyazi, al–Mufassiru>n H{aya>tuhum wa Manhajuhum (Teheran:Wazarah ath–Thaqa>fah
wa al–Irsha>d, 1414 H/1992 M), 134 39
Iyazi, al–Mufassiru>n H{aya>tuhum wa Manhajuhum (Teheran:Wazarah ath–Thaqa>fah
wa al–Irsha>d, 1414 H/1992 M), 136
20
membangun akhlak dan terkenal dengan sikap wara‘ dan sikap zuhudnya tentu ia
memiliki kemampuan dan kecenderungan menafsirkan ayat dengan pendekatan
tasawuf. Sebagai indikator lainnya, Sa„id H{awwa menggunakan salah satu dari
rujukan tafsirnya yaitu kitab tafsir yang bercorak tafsir isha>riy yaitu Ru>hul
Ma‘a>ni karya al–Alu>siy dan tafsir an–Nasafi40
dengan orientasi aqidah dan
tasawuf. Tidak menutup kemungkinan ia menafsirkan ayat yang bernuansa sufistik
merujuk ke Ru>hul Ma‘a>ni untuk kemudian dikembangkan sesuai dengan masa
yang dihadapinya ketika itu.
Bila di atas yang membicarakan tentang Sa„id H{awwa ada yang berbentuk
buku namun tidak menyorot aspek tasawufnya hanya menyinggung metode tafsirnya
saja walau sekilas. Buku Iyazi ini menjelaskan berbagai macam metode tafsir para
mufasir yang diklasifikasikannya kepada beberapa corak tafsir. Sedangkan penelitian
tentang tafsirnya sebagai karya ilmiyah berbentuk skripsi pernah dilakukan oleh Asep
Ali dengan meneliti aspek muna>sabah antara surat al–Fa>tih}ah dan surat Sab‘ut}
T{iwa>l. Kemudian ia juga menjelaskan tentang mukjizat Alquran dari segi
muna>sabah tema (kesatuan tema).
Kesimpulan yang ditegaskan penulisnya bahwa surat al-Fa>tih}ah, al–
Baqarah dan enam surat berikutnya menurut mushaf mempunyai hubungan yang erat
yang membentuk kesatuan tema. Alquran yang disusun sesuai mushaf sekarang yang
nota bene turun sedikit–sedikit sesuai dengan berbagai kondisi dan kejadian beragam
yang dihadapi sekitar 23 tahun ternyata saling mempunyai hubungan. Alquran yang
turun terpisah oleh waktu tersebut lalu membentuk satu kesatuan yang tak
40
Nama lengkap tokoh tafsir ini adalah Abu al–Barakat Abdullah bin Ahmad bin Mahmud
an–Nasafiy. Terkadang ditambahkan juga dibelakang namanya dengan al–Hanafiy al-Ash‟ariy. Nama
kitab tafsirnya adalah Madarik at- Tanzi>l wa H{aqaiq at – Ta’wi>l. Sehubungan dengan penyebutan
an-Nasafiy diakhir namanya merupakan nisbah kepada Nasaf suatu negeri yang berada antara Jayhun
dan Samarkand. Daerah Nasaf juga berada diseberang sebuah sungai. Disinilah ia dibesarkan (w. 701
H). Lihat; Muni‟ Abdul Halim M, Mana>hij al–Mufassiri>n (Kairo: Darul Kitab fi>> al–Mishriy,
1978), 93, Hasan Yunus Ubaidu, Dira>sa>t wa Maba>h}i>th fi> Ta>ri>kh Tafsi>r wa Mana>hij
al–Mufassiri>n (Kairo: tp, 1991 / 1411),130
21
terpisahkan, inilah satu segi kemukjizatan Alquran.41
Dalam pembahasannya tidak
ada menyinggung tentang pemikiran tafsir Sa„id H{awwa dari aspek tasawuf.42
F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Sehubungan dengan rumusan masalah yang telah dinyatakan di atas maka
tujuan bahasan penelitian ini hendak menjawab masalah tersebut yang dapat
dirumuskan sebagai tujuan utama yaitu: Untuk memperoleh dan menganalisis data
dalam rangka mengetahui keberadaan makna zahir dan pendekatan isha>riy dalam
penafsiran sufistik Sa‟id H{awwa. Tujuan ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui metodologi penafsiran dan pemikiran sufistik Sa„id
H{awwa berdasarkan data yang diperoleh terkait dengan konsep maqa>m
tasawuf.
b. Untuk mengetahui metodologi penafsiran dan pemikiran sufistik Sa„id
H{awwa berdasarkan data yang diperoleh terkait dengan dimensi
metafisis ajaran tasawuf.
c. Untuk menemukan kecenderungan penafsiran sufistik Sa„id H{awwa.
Penelitian dalam bentuk disertasi ini digunakan untuk persyaratan
penyelesaian studi program Doktor pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kegunaan lain penelitian ini untuk memberikan informasi tentang keberadaan
tafsir ini sebagai tafsir yang bercorak tasawuf berdasarkan data–data yang dianalisis
terkait dengan ayat–ayat tasawuf. Dari penelitian ini dapat mendorong para pengkaji
tafsir untuk menemukan serta mengkaji corak tafsir tasawuf pada kitab–kitab tafsir.
Semakin banyak kitab tafsir corak tasawuf yang diteliti akan memperkaya nuansa
tasawuf dalam kehidupan nyata. Dengan demikian Alquran menjadi hidup dan
41
Ada 2 kesimpulan yang dinyatakan oleh penulisnya, pertama tentang munas>abah antar
surat Alquran dan hubungan yang membentuk kesatuan Alquran itu merupakan kemukjizatan Alquran
pula. Skripsi a.n. Asep Ali, Kesatuan tema Alquran sebagai Mukjizat;Telaah Muna>sabah antara
surat al–Fa>tih}ah dan surat Sab‘ut} T{iwa>l dalam Tafsir al–Asa>s karya Sa’id H{awwa, (Jakarta:
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004 M/1425 H), 87–90. 42
Penelitian yang sangat deskriptif ini sengaja membatasi bahasan tentang hubungan delapan
surat pertama dalam mus}h}af.
22
penafsiran aspek tasawuf akan dinamis tidak harus terkungkung oleh suatu zaman
pandangan tertentu.
Sebagai kontribusi penulis, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan
pengajaran dalam materi tafsir tasawuf dengan tinjauan kerangka ilmu Alquran.43
Selain itu penelitian ini turut mengembangkan wawasan tasawuf dari aspek
penafsiran melalui ayat–ayat Alquran.
G. Sumber dan Metodologi Penelitian
a. Sumber Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian pemikiran tafsir maka sumber utamanya tentu
saja pada kitabnya. Karena itu sebagai sumber primer yang dijadikan bahan penelitian
ini adalah al–Asa>s fi at–Tafsi>r karya Sa„id H{awwa. Tafsir yang ada ditangan
peneliti terdiri dari 11 jilid besar yang diterbitkan oleh penerbit Darussalam, Kairo
dengan tahun terbit yang tertera di kaver dalam yaitu 1424 H/2003 M merupakan
cetakan ke 6.44
Sementara itu sebagai sumber rujukan kedua adalah karya–karya Sa„id
H{awwa pada berbagai bidang kajian. Beberapa karangan beliau tidak terlepas dari
refleksi dari predikatnya sebagai mufasir maka memahami uraiannya dalam buku–
buku tersebut menjadi hal yang penting dalam penelitian ini.
Sedangkan buku–buku lain yang membicarakan tentang Sa‟id H{awwa atau
pandangan ulama tentang tafsirnya dapat dijadikan sebagai sumber pendukung dalam
penelitian ini.
b. Metodologi Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Menurut jenisnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Data–data
yang diperoleh semuanya berdasarkan kepada bahan bacaan yaitu dengan
43
Seperti tafsir Tarbawi, tafsir Ahkam 44
Tafsir ini mudah diperoleh, di perpustakaan Pascasarjana sendiri ada koleksinya dan
kebetulan Peneliti memiliki tafsir tersebut. Identitas lengkapnya tertulis; Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi
at–Tafsi>r (Kairo:Darussalam, 1424 H/2003 M ), Jilid 1, Cet. Ke–6, 3
23
mengungkap penafsiran ayat–ayat tasawuf dalam kitab tafsir Sa„id H{awwa. Bentuk
penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, data-data dianalisis dan diinterpretasikan.
Penelitian ini, menggali pemikiran mufasir tentang aspek tasawuf yang
tertuang dalam kitab tafsirnya sebagai data utama. Pengumpulan data menggunakan
metode dokumentasi.45
Pertama akan dilakukan identifikasi ayat–ayat yang terkait
dengan tasawuf yang mencerminkan ajaran pokok serta landasan tentang tasawuf.
Dalam hal pengumpulan data ini peneliti menggunakan metode maud}u‘i (tematik).
Kemudian diteruskan dengan melacak penafsiran Sa„id H{awwa tentang ayat–ayat
tersebut untuk dilakukan kategorisasi mengenai aspek tasawuf. Hasil penafsiran Sa„id
H{awwa akan dikemukakan seperti adanya sebagaimana tercantum dalam kitab
tafsirnya.
Metode tafsir yang digunakan mengkaji ayat–ayat tersebut nantinya adalah
metode tah}li>li (analisis ayat). Menganalisis setiap hasil penafsiran Sa„id H{awwa
secara rinci dan komprehensif terkait dengan ayat–ayat tasawuf yang ditafsirkan.
2. Metode Analisis data
Penelitian ini termasuk penelitian analisis tafsir. Penafsiran Sa„id H{awwa
terkait dengan ayat-ayat tasawuf, dianalisis setelah dideskripsikan secara mentah apa
adanya. Metode analisis terhadap data–data tersebut merupakan kualitatif karena
dalam penelitian ini lebih mengedepankan interpretasi peneliti tentang data–data yang
diperoleh.46
Dalam melakukan analisis data, peneliti akan mengkaji data–data
tersebut dengan serta merta mengolah data dengan karya–karya Sa„id H{awwa yang
lain.
45
Metode Dokumentasi bagian dari teknik pengumpulan data. Dan metode ini sangat cocok
untuk penelitian kepustakaan yang diamati adalah benda permanen tidak bergerak seperti karya tulis,
buku–buku, catatan–catatan dan sejenisnya. Lihat; Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu
Pendekatan Praktek (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), Edisi Revisi V, Cet. Ke–12, 206 46
Dengan demikian penelitian ini dapat dikategorikan sebagai metode kualitatif. Kualitatif
dimaksudkan mengkualifikasikan data–data dengan analisis dan penafsiran data tanpa hitungan atau
angka. Metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data mengandung
makna. Makna adalah data yang sebenarnya, inilah yang dituntut maka metode analisisnya disebut
dengan metode interpretatif untuk mendapatkan makna tersebut. Dipahami dari, Sugiyono, Metode
Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D (Bandung:Alfabeta, cv, 2006), Cet. Ke–1, 7-10
24
Kajian pokok disertasi ini membahas ayat tasawuf maka metodologi tafsir
yang digunakan dalam penelitian ini mengacu kepada disiplin ilmu tersebut yaitu
pendekatan tasawuf . Pendekatan tasawuf dipakai sebagai pintu masuk untuk
melakukan penelitian tafsir. Sebagai diterangkan oleh Suprayogo pendekatan tasawuf
merupakan salah satu pendekatan yang ada dalam penelitian tafsir.47
Data–data yang terkumpul akan dikaji bersamaan dengan penafsiran pada
tafsir lain. Penganalisisan data seperti demikian dikenal juga dengan metode
komparatif yaitu membandingkan penafsiran Sa„id H{awwa dengan beberapa kitab
tafsir yang diidentifikasi sebagai kitab tafsir tasawuf. Di samping itu, akan
dikemukakan juga rumusan-rumusan ahli tasawuf terkait dengan tema-tema yang
dikaji. Teknik seperti di atas digunakan untuk membuktikan aspek sufistik penafsiran
Sa„id Hawwa. Metode komparasi perlu dilakukan dalam menganalisis substansi
permasalahan supaya dapat dipahami keberadaan makna zahir dan makna isha>ri
dalam penafsiran Sa„id H{awwa . Kerangka dari hasil analisa tersebut akan berguna
dalam rangka menarik kesimpulan.
Untuk mengambil suatu kesimpulan dalam pembahasan maka dilakukan
dengan metode induktif yaitu suatu kerangka analisis yang mengkaji data–data yang
khusus untuk mendapatkan kaedah yang umum.48
Jadi setelah dilakukan analisa
47
Ada beberapa pendekatan seperti dijelaskan oleh Suprayogo bahwa dalam melakukan
penelitian tafsir dapat disesuaikan dengan pendekatan disiplin ilmu yaitu :
1. Pendekatan sastera dan bahasa
2. Pendekatan filosofis
3. Pendekatan teologis
4. Pendekatan ilmiah
5. Pendekatan hukum / fiqh
6. Pendekatan tasawuf
7. Pendekatan sosiologis
8. Pendekatan kultural
Ini Menunjukkan bahwa ayat yang sama apabila ditafsirkan dengan pendekatan berbeda akan
menghasilkan isi pesan yang berbeda pula.
Lebih jelas lihat, Imam Suprayogo dan Tobroni, M.Si, Metodologi Penelitian Sosial–Agama
(Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001), Cet. Ke–1, 70. Bila dikaitkan dengan berbagai disiplin
ilmu lainnya maka pendekatan penelitian tafsir dapat saja dikembangkan atau ditambah berdasarkan
bidang kajian ilmu. Jadi pendekatannya tidak terbatas pada bidang keilmuan diatas saja. 48
Sudjarwo, Metodologi Penelitian Sosial ( Bandung: Mandar Maju, 2001 ), Cet. ke- 1. 19
25
komparatif dari masing–masing penafsiran tersebut lalu diambil suatu kesimpulan
umum.
Dasar dalam pengambilan kesimpulan dapat dilakukan dengan menggali
metodologi Sa„id H{awwa dalam menafsirkan ayat–ayat tasawuf secara khusus dan
juga memperhatikan metodologi tafsirnya secara umum.
H. Sistematika Pembahasan
Bahasan penelitian ini disusun dalam enam bab yang masing–masing bab
terdiri dari bagian yang tak terpisahkan dan saling terkait. Sistematikanya adalah
sebagai berikut :
Bab pertama pendahuluan, meliputi uraian tentang latar belakang masalah
penelitian, ruang lingkup penelitian mencakup didalamnya berbagai masalah
penelitian yang harus dibatasi dan dirumuskan menjadi rumusan masalah pokok.
Mengiringi permasalahan diatas, peneliti menjelaskan juga pada bab ini tentang
signifikansi penelitian dengan mengungkap dasar penafsiran serta aspek tasawuf
dalam tafsir Sa„id H{awwa dikembangkan untuk dapat menjadi inspirasi bagi
kehidupan masyarakat. Selanjutnya kajian kepustakaan untuk menunjukkan distingsi
dan orisinalitas penelitian. Setelah itu disebutkan tujuan dan kegunaan penelitian,
sumber dan metode penelitian dan diakhiri dengan sub bab sistematika pembahasan.
Bab kedua menyangkut sejarah singkat Sa„id H{awwa dan metode tafsirnya
yang dibagi dalam beberapa poin yaitu kondisi sosial serta kehidupan Sa„id H{awwa.
Kemudian perjalanan intelektualnya khususnya pemikiran tasawufnya, perlu juga
dikemukakan karya–karya ilmiahnya. Setelah itu dilakukan kajian secara umum
tentang tafsir al-Asas karya Sa„id H{awwa. Bagian pada bab ini bertujuan untuk
menjelaskan objek penelitian dari disertasi.
Bab ketiga berisi deskripsi corak pemikiran tafsir sufi sebagai landasan teori
untuk melakukan pembahasan pada bab berikutnya. Dijelaskan tentang corak
pemikiran tafsir sufi yang berkembang dengan berbagai kategorinya seperti tafsir sufi
naz}ariy, falsafiy dan isha>riy. Selain itu masih dalam bab ini dijelaskan tentang
26
perdebatan tafsir sufi, terakhir dijelaskan tentang kriteria ayat–ayat yang bercorak
tasawuf.
Bab keempat dan kelima ini merupakan kajian pokok dalam penelitian yaitu
analisis metodologi dan pemikiran tafsir Sa„id H{awwa terhadap ayat–ayat tasawuf
dalam tafsirnya. Hal pokok yang terkandung padanya menyangkut penafsiran tentang
ayat–ayat tentang konsep maqa>m dimensi ajaran tasawuf. Pada bab ini diungkap
sejauh mana pendekatan isha>riy dan makna zahir yang digunakan Sa‟id H{awwa
dalam tafsirnya, serta karakteristik pemikirannya agar diketahui kecenderungan
orientasi tafsirnya.
Bab keenam merupakan kesimpulan yang menyajikan hasil atau jawaban
dalam pertanyaan penelitian ini. Dalam bab ini peneliti juga mengemukakan beberapa
saran serta kontribusi penelitian.
SKM
BAB II
SEJARAH SINGKAT SA‘ID H{AWWA DAN KITAB TAFSIRNYA
Pembahasan dalam bab ini akan mengungkap sejarah tokoh Sa‘id H{awwa
dan tafsir al-Asa>s fi at-Tafsi>r yang disusunnya. Uraian ini perlu dikemukakan
dalam sebuah penelitian untuk menggambarkan objek penelitian dalam pembahasan
disertasi. Data-data berupa informasi tertulis dihimpun dalam bahasan ini yang
meliputi tentang kondisi sosial politik Syria pada masa modern, sejarah kehidupan
Sa‘id H{awwa dan deskripsi tentang tafsir al-Asa>s fi at-Tafsi>r.
A. Seting Sejarah Syria Sebelum dan Masa Sa‘id H{awwa
Posisi Islam dalam masyarakat Syria telah berubah secara mendasar pada
masa-masa modern (abad XX ). Pada awal abad XIX ( kesembilan belas ) dan masa
sebelumnya, kaum elit politik dan sosial di kesultanan Usmaniyah mempersatukan
institusi–institusi, simbol–simbol dan kaum ulama Islam. Berbeda halnya pada abad
XX dimana kecenderungan sekular mulai mendominasi di Syria.1 Pada dekade awal
abad XIX kemapanan paham keagamaan Syria memperlihatkan kesetiaannya kepada
Sultan Usmaniyah dengan menolak seruan untuk memberontak yang dikeluarkan
oleh para propagandis gerakan pembaharu Wahabiyah di Arab Tengah. Selain
dimensi politik ini, kebencian kaum Wahabi2 terhadap sesama muslim berbenturan
dengan semangat toleransi yang menandai hubungan diantara kaum muslim dari
1 David Commins dalam John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj)
(Bandung: Mizan, 2002), Jilid 5, Cet. Ke–2, 269. Selama Era Usmaniyah (1517–1918), para Sultan
melegitimasi otoritas mereka dengan mengklaim menjalankan pemerintahan sesuai dengan Islam.
Legitimasi keagamaan ini selaras dengan posisi ulama lebih menonjol dikalangan elit urban Syria,
yang menengahi hubungan antara provinsi–provinsi dan ibu kota. Lihat, David Commins, dalam John,
Ensiklopedi, Jilid 5,269. 2 Pada dasarnya ajaran Wahabi (bukan mazhab Wahabi) dari segi aqidah adalah pengikut
Ahlus Sunnah wa al–Jama’ah, mazhab fiqhnya penganut Hanbali. Ia Muhammad bin Abdul Wahab
(1703-1792) pendiri gerakan Wahabi, adalah sahabat karib Muhammad bin Sa’ud pendiri kerajaan
Saudi Arabia bahkan dia pula yang membai‘atnya menjadi Raja. Lihat, Pendapat Ibrahim Hoesen,
Benarkah Pemerintah Saudi Arabia Mengikuti Mazhab Wahabi?, Jakarta: 1989/1409 dalam Mimbar
Ulama No. 138 Th. XII. Sebagaimana dikutip oleh Toha Andiko, Disertasi;Ijtihad Ibrahim Hoesen dan
Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta:SPS UIN Jakarta, 2008), 40.
27
28
beragam mazhab hukum dan tarekat sufi. Semangat toleransi ini tercermin dengan
dijalankan berbagai mazhab; Syafi’i, Hanafi bahkan Hanbali yang bebas dipraktekkan
di tengah masyarakat. Keragaman ini juga terjadi dalam afiliasi tarekat misal seorang
muslim ingin mengamalkan beberapa aliran seperti Qadiriyah, Naqshabandiyah,
Rifa>’iyah dan Khalwatiyah. Kaum ulama Syria terbukti lebih mudah menerima
sufisme reformis model syaikh Khalid, yang menghidupkan kembali tarekat
Naqshabandiyah ketika ia bermukim di Damaskus pada era 1820-an.3
Ajakan kaum Wahabi menentang pemerintah lebih kepada praktek sufi dan
tarekat yang dijalankan kerajaan.4 Sementara itu ulama Syria tidak mau menuruti
ajakan tersebut karena mereka juga menjalankan tarekat demikian. Paham kehidupan
tarekat yang fanatik dalam organisasi sufi dan sangat berlebihan memuja syaikh (guru
sufi) sebuah tindakan yang berlawanan dengan kaum Wahabi. Kaum Wahabi sangat
menekankan pemurnian dalam beribadah berdasarkan petunjuk tegas dalam Alquran
dan Hadis bahwa dalam beribadah, berdoa tidak harus terikat dengan syaikh serta
prilaku–prilaku yang dapat mengarah pada unsur syirik. Kegagalan pengaruh Wahabi
mengikis aliran tarekat menunjukkan bahwa kehidupan sufisme mempunyai akar kuat
bagi muslim Syria. Salah satu faktornya pihak Istana sangat mendukung aliran tarekat
tersebut. Tidak menutup kemungkinan bahwa dengan melemahnya keberadaan
kerajaan Turki Usmani, aliran tarekat inilah yang kuat mendukung pemerintahannya.
Kehidupan sufisme ini menjadi suatu hal yang melekat pada masa–masa berikutnya
khususnya masa kehidupan Sa‘id H{awwa (1935–1989).
Pada tahun 1831–1840 negeri Syria dibawah kekuasaan Mesir dengan
pengawasan militernya. Para pemuka agama merasa terancam ketika otoritas Mesir
mengurangi peran mereka secara drastis dalam urusan kedaerahan dibanding dibawah
3 John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),
Jilid 5, Cet. Ke–2, 270 4 Sebagai penyangga gerakan puritan Islam, disamping memurnikan ajaran Islam dari unsur
khurafat, syirik, tradisi sinkretisme yang berkembang di masyarakat Islam, gerakan Wahabi juga
menolak amalan tasawuf. Inilah pula salah satu titik beda antara gerakan Wahabi di Arab Saudi dan
Muhammadiyah di Indonesia. Muhammadiyah sebagai gerakan puritan Islam mempunyai kesamaan
visi dengan Wahabisme namun dalam menyikapi tasawuf, Muhammadiyah dapat menerima ajaran
tasawuf. Lihat, Alwi Shihab, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, 1998), Cet. Ke–4, 304–305.
29
kedaulatan Usmani.5 Periode abad XIX merupakan masa–masa melemahnya
kekuasaan Turki Usmani yang ditandai banyaknya negeri–negeri yang lepas dari
otoritas pusat dan beberapa daerah yang saling berebut kekuasaan dan ingin
menguasai pula. Mesir merupakan contoh dari peristiwa yang disebut terakhir.
Menjelang pertengahan abad ini muncul elit birokrasi sekular di Istambul dan
kehadiran misi keagamaan dan komersial Eropa yang bertentangan dengan ulama
Syria. Sentimen anti Eropa meledak pada 1850, anti Kristen terjadi di Aleppo. Pada
tahun 1860 massa muslim membantai orang–orang Kristen di Damaskus. Penyidik
Usmaniyah6 menuduh ulama berada dibelakang peristiwa tersebut dengan
mengganjar mereka berupa pengasingan dan kurungan. Ulama tidak mendapat tempat
lagi pada posisi berpengaruh seperti sebelumnya.7 Pamor ulama Syria menurun
drastis semenjak peristiwa itu. Peran ulama menjadi terpinggirkan dari lingkaran
kekuasaan Usmani.
Keberadaan ulama mulai bangkit lagi ketika pemerintahan Usmani dipegang
oleh Sultan Abdul Hamid II (berkuasa 1876–1909).8 Ia menangkal penyusupan
orang–orang Eropa dan perselisihan politik dalam negeri dengan menyatakan bahwa
Sultan adalah khalifah seluruh muslim.9 Dibawah kekuasaannya, pemerintahan
Usmani sudah menampakkan benih dualisme kepemimpinan. Selain Sultan, para elit
birokrasi dibawah pengaruh Eropa sebelumnya yang sekular belum dibersihkan dari
kerajaan Usmani. Akhirnya pada tahun 1878 Sultan membatalkan pemerintahan
5 John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),
Jilid 5, Cet. Ke–2, 270 6 Pemerintahan kerajaan Turki Usmani waktu itu dipegang oleh Sultan Mahmud II (hidup
1785–1876). Sultan Mahmud II naik tahta tahun 1807. Pada masa ini benih sekularisasi mulai tampak
dalam pemerintahan. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Pemikiran dan Gerakan) (Jakarta:
Bulan Bintang, 1986), Cet. Ke–4, 90. 7 John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),
Jilid 5, Cet. Ke–2, 270 8 Kekuasaannya yang berakhir tahun 1909 dilanjutkan oleh saudaranya Sultan Mahmud V.
Periode Abdul Hamid II dan Mahmud Vdihadapkan pada tokoh Turki Muda. Harun Nasution,
Pembaharuan Dalam Islam (Pemikiran dan Gerakan) (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), Cet. Ke–4, 123.
Dalam percaturan sejarah dunia, masa ini ditandai dengan PD II 1914-1918, dimana Turki bersekutu
dengan Jerman. 9 John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),
Jilid 5, Cet. Ke–2, 270
30
konstitusional bentukan Eropa. Sultan kembali mengangkat penasehat agamanya
seorang sufi asal Syria dari tarekat Rifa’iyah, Abu al–Huda as–Sayyadi (1849–1909).
Bukan tidak ada alasan kelompok tarekat ini dipilih justeru tarekat Rifa’iyah adalah
pendukung utama Sultan.10
Kesultanan Abdul Hamid merupakan masa–masa rawan
kehancuran kerajaan Turki Usmani. Berbagai permusuhan, pertentangan juga konflik
dalam negeri menggerogoti kekuasaannya.
Kelompok yang menentang atas kepemimpinan Sultan datang dari gerakan
pembaharu keagamaan, seperti T{ahir al–Jazairi (1852–1920) dan Jamaluddin al–
Qasimi (1866–1914). Ulama pembaharu ini malah mendukung pemerintahan secara
konstitusional yang pernah dibubarkan Sultan pada 1878. Selain mengangkat isu
politik tokoh pembaharu ini juga ingin meluruskan paham keagamaan dengan
menolak taklid dan mengembangkan ijtihad dalam hal teori hukum Islam. Perseteruan
masalah keagamaan dan politik bertambah kuat sehingga pada tahun 1908 konstitusi
Usmaniyah diadakan kembali dan kekuasaan Sultan Abdul Hamid II dicabut pada
tahun 1909.11
Dengan berakhirnya kesultanan Usmaniyah maka dasar perpolitikan di
Syriapun menjadi berubah.12
Perjalanan kehidupan politik negeri Syria setelah
berpisah dari Turki Usmani semakin sering menghadapi konflik dan perlawanan baik
dengan pihak asing yang menjajah Arab dan juga dengan kalangan dalam negeri
sendiri. Muslim Syria tidak sepakat meletakkan dasar–dasar perpolitikan mereka dan
tidak sama dalam menghadapi pihak asing.
Kekuasaan Usmani hilang di Syria, negeri tersebut di pimpin oleh Amir Faisal
dari Bani Hashim Makkah yang berjuang melawan Perancis. Namun pada tahun 1920
Syria jatuh ke tangan Perancis dan Faisal diusir dari Syria. Berdasarkan mandat Liga
Bangsa–Bangsa, Perancis membentuk pemerintahan sejak mengalahkan Amir Faisal
10
John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),
Jilid 5, Cet. Ke–2, 270 11
Adapun pusat pemerintahan Turki Usmani yang dipimpin oleh Sultan Abdul Majid
diasingkan oleh pemerintahan transisi ke Swiss, maka kerajaan masih sempat bertahan pada Sultan
Abdul Aziz sebelum akhirnya hilang. Inilah akhir penghapusan kekhalifahan yang bertepatan pada
tahun 1924 dengan lawan politik waktu itu nasionalis sekuler pimpinan Mustafa Kemal Attaturk.
Nasution, Pembaharuan, h. 24. 12
John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),
Jilid 5, Cet. Ke–2, 271
31
sampai tahun 1946. Dibawah pemerintahan Perancis banyak terjadi ketidakadilan
yang merugikan warga muslim. Hukum, perekonomian, hak sipil semuanya berpihak
pada asing. Di bidang pendidikan pengaruh ulama dipersempit sementara itu sistem
pendidikan Barat modern terus berkembang. Dampak dari ketimpangan ini berbagai
perhimpunan Islam muncul di kota–kota Syria. Perhimpunan amal Islam (jam‘iyyat)
muncul di Damaskus, Aleppo dan Hama dalam rentang 1920–1930, yang mempunyai
visi memperbarui moral dan agama, lembaga pendidikan dan publikasi. Dalam
bidang politik, kaum muslim menolak penyetaraan agama dalam rancangan konstitusi
1928 seperti peralihan agama dari Islam ke agama lain, perkawinan wanita muslim
dengan laki–laki non muslim.13
Kehidupan warga Muslim sangat tidak kondusif dibawah kekuasaan Perancis.
Benih sekular yang ditanam sangat tampak di pemerintahan, ditambah dengan
penguasaan asing yang sangat dominan semakin membangkitkan rasa nasionalisme
Arab rakyat Syria. Implikasi dari ketidak puasan dengan pihak kolonial, rakyat Syria
tergerak untuk membentuk gerakan dan memberikan perlawanan agar dapat terlepas
dari bangsa asing.
Pada tahun sekitar 1940, Partai Ba’th Sosialis Arab berdiri di Syria oleh para
tokoh gerakan Ihya al-Arabi yaitu Mikhail Aflaq (seorang kristen ortodoks),
Shalahuddin Bait}ar serta pengikut filosof Zaki al–Arsuzi (orang Antiokia).14
Disamping itu juga sudah berdiri Da>rul Arqa>m (+1942) yang berasal dari
perhimpunan yang dibentuk pemuda (jam‘iyyat) sebagai bagian dari organisasi sosial
politik. Pada tahun 1944 organisasi ini pindah dari Aleppo ke Damaskus. Pada tahun
1946 (sumber lain 1945) organisasi ini resmi berubah dan menjadi organisasi Ikhwan
al–Muslimin15
dengan pemimpin umum Mustafa as–Siba‘i (1915–1964), Tahun 1961
dilanjutkan oleh Is}am al-At}t}a>r. 16
13
John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),
Jilid 5, Cet. Ke–2, 272 14
John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),
Jilid 1, Cet. Ke–2, 274 15
Organisasi Ikhwan al–Muslimi>n didirikan pertama kali oleh H{asan al–Banna tahun 1928 di
Ismailiyah Mesir. Al–Banna lahir di Mah}mu>diyah dekat Iskandariyah, Mesir tahun 1906 wafat
32
Pada tahun 1946 Syria merdeka dari Perancis namun kecenderungan sekular
tetap mewarnai Syria merdeka. Sejak tahun 1946–1963 timbul serangkaian kudeta
militer, pemberontakan kerap terjadi. Pada 8 maret 1963 kudeta militer meresmikan
era pemerintahan Ba‘th. Pemerintahan ini didukung minoritas Alawiyah Shi‘ah
dengan presiden H{a>fiz} al–Asad, ia tidak mendapat tempat dihati mayoritas rakyat
Syria yang Sunni. Selain itu, isu sekularisme serta paham sosialismenya mendapat
tantangan dari Ikhwan Syria. Pemberontakan Islam kelompok Ikhwan pertama pecah
tahun 1964 di Hama17
Dari sinilah awal kemelut perseteruan pemerintah dengan
kelompok Ikhwan. Berbagai bentuk perlawanan seperti nuansa sektarian sampai
pemberontakan motif politik menjadi akrab dalam perjalanan pemerintahan rezim al-
Asad. Mulai tahun 1963 sampai 1982 merupakan masa pergolakan rezim dengan
Ikhwan al–Muslimi>n Syria.
Rezim Syria tetap bersikukuh pada pemisahan tegas agama dari politik, dilain
pihak ia tidak berusaha memperlemah posisi agama dalam budaya dan masyarakat
Syria. Universitas Damaskus masih memiliki fakultas hukum Islam yang berkembang
1949. Awalnya (1928) organisasi ini sebelum menjadi Ikhwan merupakan organisasi sufistik
keagamaan amar ma’ruf nahi mungkar satu cabang dari tarekat H{ashafiyah, tidak heran sebutan
murshid tetap melekat pada pimpinannya walaupun ketika berubah menjadi gerakan politik (1933).
Kemudian organisasi ini diberi nama Jam’iyyah al–Ikhwan al–Muslimin (1929). Lihat; John L.
Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002), Jilid 1, Cet. Ke–2,
264. Pada tahun 1937, organisasi pemuda Islam dan serikat yang lain di syria dilebur ke dalam Ikhwan.
Selanjutnya nama organisasi ini populer dengan sebutan Ikhwan al-Muslimi>n. Lihat juga; Ishak
Mussa al-Husaini, Ikhwanul muslimun (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), Cet.ke-1, 3&96
16
John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),
Jilid 5, Cet. Ke–2, 272. Mustafa as–Siba‘i seorang panglima bataliyon Ikhwan al–Muslimi>n Syria
lahir di kota Himsh, Syria tahun 1915. Pada tahun 1945 Mustafa as–Siba’i terpilih sebagai Mura>qib
‘A<m Ikhwan al–Muslimi>n Syria. Lihat; Al–Mustasyar Abdullah al–Aqil, Min A‘lam al–Harakah wa
ad- Dakwah al–Islamiyah al–Mu’as}irah, (Pen. Khozin Abu Faqih Lc, Fakhruddin Lc, Mereka yang
telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam Kontemporer) (Jakarta: Al-I’tisham Cahaya
Umat, 2003), 487-9. 17
John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),
Jilid 5, Cet. Ke–2, 272. Sekitar tahun 1975 Sa’id H{awwa bersama Adnan Sa’aduddin (penyelia
Ikhwan) memimpin Ikhwan faksi militan kurang lebih 7 tahun, dari Utara Hama melawan rezim al-
Asad. John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),
Jilid 2, Cet. Ke–2, 276- 7
33
dengan baik. Pengajaran agama masih boleh diberlakukan pada sekolah–sekolah
umum walaupun bukan pada sekolah khusus keagamaan.18
Pergolakan ini agak surut dengan dikeluarkan dekrit oleh pemerintah yang
mengancam dan memperlemah keberadaan Ikhwan disamping para petinggi Ikhwan
ditahan dan ada yang hidup dipengasingan. Puncak perlawanan Ikhwan pada tahun
1982 setelah pemberontakan di Hama yang banyak memakan korban.19
Selain itu
organisasi Ikhwan juga pecah antara yang ekstrim dan moderat. Kesemua faktor
diatas ikut memperlemah keberadaan Ikhwan di Syria.
Sejak dikeluarkan dekrit (Juli 1980), kelompok oposisi termasuk Ikhwan
membentuk Front Islam Syria (Oktober 1980) yang digagas oleh Sa‘id H{awwa
tokoh utama, bersama Adnan Sa‘aduddin serta sekretaris jenderalnya Syaikh
Muhammad al–Baya>nu>niy. FIS yang dibentuk ini merupakan wadah kelompok
oposisi Islam yang dipimpin orang Ikhwan namun tidak banyak membawa pengaruh
bagi kelangsungan perjuangan oposisi Islam. Disamping hubungan FIS dengan
negara tetangga yang belum mendapat dukungan, ditambah dengan keberpihakan
Ayatullah Khomeini pada rezim Syria.20
Dengan demikian perjuangan pengikut
Ikhwan tidak tampak lagi di permukaan. Sementara itu rezim al–Asad di Syria dan
pendukungnya kelompok Alawiyah melanjutkan pemerintahannya.
Kekalahan Irak dalam perang teluk tahun 1991 mengurangi ancaman ke Syria
(sebagai saingan partai Ba‘th). Namun demikian Syria tidak lagi mendapat
perlindungan dari Uni Soviet yang sudah bubar. Kondisi Syria menjadi kurang
menguntungkan setelah mendapat tekanan dari Amerika terkait perundingan masalah
Israel apalagi setelah inisiatif perdamaian Palestina-Israel tahun 1993. Selain itu dari
segi perekonomian masih rapuh, kondisi ini dapat mengurangi dukungan terhadap
18
John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),
Jilid 5, Cet. Ke–2, 273 19
Cara militer pemerintah berhasil menekan Ikhwan. Sebelum pemberontakan Hama
jumlahnya kurang dari 5 ribu, setelah peristiwa Hama semakin berkurang. John L. Esposito, Dunia
Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002), Jilid 2, Cet. Ke–2, 278 20
Ketika perang antara Irak dan Iran (1980–1988), rezim Syria merupakan negara yang
membela Iran waktu itu. John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung:
Mizan, 2002), Jilid 2, Cet. Ke–2, 279.
34
rezim al–Asad.21
Keadaan politik dan ekonomi pemerintahan yang tidak stabil ini
bisa saja memicu kembali konflik di dalam negeri.
Sejarah panjang Syria sejak menjadi bagian kekuasaan Turki Usmani sampai
punya pemerintahan sendiri terakhir rezim al–Asad belum menampakkan
keberhasilan dalam membangun Syria. Kemajuan hanya dirasakan kelompok
minoritas agama seperti Alawiyah, Kristen, Ismailiyah yang umumnya daerah miskin
pedesaan. Kondisi politik senantiasa tidak stabil sejak kemerdekaan tahun 1946
sampai tahun 1982 yang ditandai pada saat gerakan Ikhwan tidak aktif lagi.
Konfrontasi antara pemerintah dengan Ikhwan sangat menonjol dalam sejarah
kemerdekaan Syria. Pergolakan dalam negeri Syria tidak dapat dilepaskan dari tokoh
pergerakan Ikhwan Sa‘id H{awwa dan Mustafa as–Siba‘i. Pergolakan tersebut dapat
dikatakan sebagai perseteruan antara sekularisme dengan Islam. Ikhwan ingin
menerapkan hukum Islam dalam negara atau politik berdasarkan hukum Islam
sementara kalangan modernis sekular tidak mau mencampurkan agama dalam urusan
negara. Peta perpolitikan di Syria menggambarkan paling tidak tiga paham yang
berkembang; Nasionalis Sekular-Mikhail Aflaq, Modernis–al-Qasimi dan Islam
tradisional–Ikhwan al-Muslimi>n. Belum lagi ditambah dengan persaingan sekte–
sekte keagamaan. 22
B. Sejarah Kehidupan Sa‘id Hawwa
Wilayah Syria yang dahulunya (permulaan abad XX) masih bagian dari
kerajaan Turki Usmani namun saat pasukan Perancis dari Eropa menyerang Syria dan
berhasil menguasainya pada tahun 1920, Syiria sudah lepas dari pusat. Dari tahun
1920 sampai 1946 Syria dibawah otoritas mandat Perancis. Rakyat Syria waktu itu
sudah mengadakan perlawanan, sekitar tahun 1930 orang–orang Syria berjuang untuk
21
John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),
Jilid 2, Cet. Ke–2, 279 22
Misalnya, perselisihan antara shi‘ah-sunni
35
mendapatkan kemerdekaan dari Perancis.23
Pada tahun 1931 orang muda yaitu
Mustafa as–Siba’i membagikan selebaran anti politik Perancis, berpidato dan
memimpin demonstrasi di kota Hims yang mengakibatkan ia ditangkap oleh orang
Perancis.24
Perlawanan ini merupakan awal pergerakan benih Ikhwan al–Muslimi>n
di Syria.
Dalam situasi politik Syria dibawah kekuasaan Perancis demikian, Sa‘id
H{awwa lahir yang kemudian menjadi tokoh pergerakan, da‘i dan juga dikenal
sebagai seorang zuhud. Nama lengkapnya adalah Sa‘id bin Muhammad Dib H{awwa,
lahir tahun 1935 di kota Hamah, Syria. Dalam usia 2 tahun, ia sudah ditinggal wafat
oleh ibunya. Pendidikan dan bimbingan masa kecil dilanjutkan oleh ayahnya dan
mereka pindah tinggal dirumah neneknya. Ayahnya seorang pemberani dan pejuang
dalam melawan kolonial Perancis.25
Darah pejuang dalam dirinya mengalir dari
ayahnya ditambah situasi Syria yang sedang menghadapi penjajahan Perancis
membuat Sa‘id H{awwa tumbuh menjadi pemuda yang tegar.
Perjalanan intelelektualnya diawali dengan menggali ilmu kepada beberapa
orang shaikh di Syria. Diantara ulama yang terkenal adalah shaikh dari kota Hamah,
yaitu; shaikh Muhammad al–H{a>mid, shaikh Muhammad al–Hashimi, shaikh Abdul
Wahab Dabas Wazit, shaikh Abdul Karim ar–Rifa’i, shaikh Ahmad al–Murad dan
shaikh Muhammad Ali al–Murad. Selain itu, Sa‘id H{awwa juga belajar kepada
Mustafa as–Siba‘i, Mustafa az–Zarqa, Fauzi Faid}ullah dan beberapa orang ustadz
lainnya.26
Karakter kesufian Sa‘id Hawwa tampaknya diawali dari bimbingan
beberapa syaikh yang dijumpainya sehingga membekas dalam kehidupannya.
23
John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),
Jilid 2, Cet. Ke–2, 276 24
Al–Mustasyar Abdullah al–Aqil, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun
Pergerakan Islam Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tisham Cahaya Umat, 2003), 488. 25
al–Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam
Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tisham Cahaya Umat, 2003), 401 26
Diantara ustadh lain yang pernah menjadi pembimbing Sa‘id H{awwa di usrah Ikhwan
adalah ustadh Must}afa as}–S{airafi, al–Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh
Pembangun Pergerakan Islam Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tisham Cahaya Umat, 2003), 401
36
Pada tahun 1952 ia bergabung dalam Jam‘iyyah al-Ikhwan al–Muslimi>n.27
Beberapa tahun setelah itu, ia mengikuti kuliah di Universitas Syria dan lulus pada
tahun 1961. Kemudian mengikuti wajib militer dan lulus sebagai perwira tahun 1963.
Setahun kemudian ia melaksanakan pernikahan dan dikarunia empat orang anak.28
Menurut pengakuan al–Mustasyar Abdullah al–Aqil29
yang sempat bertemu
dengan Sa‘id H{awwa bahwa Sa‘id H{awwa dikenal sebagai penyabar, ramah dan
memiliki sifat tawad}u‘, wara‘dan zuhud. Kecenderungan sufi lebih dominan dalam
hidupnya. Sikap kesederhanan sangat tampak seperti dalam penampilan ataupun di
tempat kediamannya yang bersahaja jauh dari kemewahan. Sikapnya yang ramah dan
wara‘ membuatnya bersikap longgar bagi siapa saja yang ingin mencetak bukunya
atas izin atau tanpa izin.30
Kehidupan sufi yang dijalaninya menjadikan buku–buku
serta tafsir yang ditulis memiliki kecenderungan sufistik. Karya–karya sufinya
menyangkut tema terutama dalam rangka membersihkan jiwa dan memurnikan
ibadah kepada Allah.
Kiprahnya di dunia pendidikan dimanifestasikan dalam lembaga–lembaga
pendidikan, seperti pada al–Ma‘had al–Ilmi di kota al–Hufuf wilayah Ihsa selama dua
tahun. Selain itu Sa’id H{awwa juga mengajar di Madinah tiga tahun dan di Saudi
Arabia sekitar 5 tahun. Pengetahuan dan ilmu yang dimilikinya juga disampaikan
lewat ceramah, diskusi dan juga dituangkan dalam beberapa buku. Ia termasuk
penulis besar pada masa modern ini, kemampuan menulisnya mengambil tema;
27
Al-Banna sebagai pendiri Ikhwan adalah termasuk pengikut ajaran sufi Hasafiyah
(semacam tarekat) dan Al-Banna sendiri pernah melakukan uzlah dan hidup zuhud. Kecenderungan
spiritual pengikutnya tidak bisa lepas dari pengaruh al-Banna. Ishak Mussa al-Husaini, Ikhwanul
muslimun (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), Cet.ke-1, 5 28
al–Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam
Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tisham Cahaya Umat, 2003), 401 29
Ia juga sebagai penulis buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia; Mereka telah
Pergi. Al–Mustasyar al–Aqil adalah alumnus fakultas Shari’ah al–Azhar tahun 1954. Sebelumnya ia
belajar di Irak (negeri kelahirannya di az–Zubair). Sekembali dari pendidikan al–Azhar Kairo ia
pernah mengajar di az–Zubair dan kemudian banyak memegang jabatan di berbagai negara. Terakhir
ia menjabat sebagai sekjen OKI. al–Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun
Pergerakan Islam Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tis}am Cahaya Umat, 2003), iv 30
al–Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam
Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tis}am Cahaya Umat, 2003), 403
37
dakwah dan gerakan, fiqh, tentang pembinaan jiwa (ru>h}iyyah–tasawuf).31
Salah
satu karyanya menyangkut tema tasawuf yaitu Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah.
Kelebihan buku ini tidak saja berbicara tasawuf pasif tapi tasawuf untuk
membangkitkan jiwa supaya membangun masyarakat yang berjiwa kokoh, semangat
dan bersih.32
Selain memberikan kuliah, Sa‘id H{awwa dikenal juga sebagai da‘i. Aktifitas
dakwahnya tidak hanya di Syria tapi umumnya meliputi negara–negara Arab seperti
Mesir, Qatar, Yordania dan seterusnya bahkan pernah di Jerman dan Amerika. Hal itu
dilakukan ketika ia berkunjung ke Amerika, daerah Eropa. Semangat dakwahnya
sangat melekat pada dirinya apalagi ia termasuk sebagai pemimpin Ikhwan al–
Muslimi>n Syria.33
Organisasi Ikhwan membawa ia bertambah tegar untuk
memperjuangkan agama Islam lewat jalan politik. Ia termasuk tokoh pimpinan
militan Ikhwan di Hama bersama dengan Adnan Sa‘aduddin.
Pendidikan militer yang diselesaikan Sa’id H{awwa pada tahun 1963 tidak
menjadikan ia masuk dalam jajaran tentara pemerintah. Dilihat dari sejarah
kemerdekaan Syria bahwa tahun 1963 merupakan akhir kudeta yang dilakukan
militer dan pemerintahan dipegang partai Ba’th dengan presiden H{a>fiz al-Asad
nasionalis sekular.34
Perhatian pemerintah sekarang lebih dihadapkan kepada
kelompok Ikhwan yang dari dulu menginginkan pemerintah menjalankan hukum–
hukum Islam dalam undang–undang negara.
Sa‘id H{awwa pernah memimpin demonstrasi menentang undang-undang
Syria tahun 1973.35
Konsekuensinya ia ditangkap dan dipenjara sejak 5 maret 1973–
31
al–Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam
Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tis}am Cahaya Umat, 2003), 402 32
Sa’id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 2007/1428), Cet. Ke–9,
5 33
al–Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam
Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tisham Cahaya Umat, 2003), 402 34
Bersamaan dengan berkuasanya Ba’th di Syria pada bulan Maret 1963, sebelumnya bulan
Pebruari 1963 di Irak juga partai Ba’th sedang memegang pemerintahan. Peristiwa ini terjadi ketika
bubarnya Republik Persatuan Arab. Syria memisahkan diri dari Irak. Disarikan dari; John L. Esposito,
Ensiklopedi, Jilid 1, h. 275 35
Tercatat ada tiga demonstrasi yang dipimpin oleh Sa’id H{awwa; pertama, ketika Ikhwanul
Muslimi>n Syria menuntut pemerintah agar memasukkan pendidikan kepanduan di sekolah
38
29 Januari 1978. Dalam masa tahanan ini digunakan untuk menulis kitab tafsir dan
buku–buku dakwah/gerakan.36
Pada waktu itu pemerintahan al–Asad membuat
undang – undang baru yang menghilangkan penyebutan Islam sebagai agama negara.
Ketidak puasan Ikhwan bukan saja hal demikian namun yang lebih utama lagi karena
al–Asad berasal dari golongan sekte Alawiyah yang dianggap sesat.37
Selesai menjalani kurungan, pada tahun 1979 Sa‘id H{awwa mengadakan
perjalanan ke Pakistan, ke Iran. Sewaktu kunjungan kedua di Pakistan ia menghadiri
pemakaman Abul A‘la al–Maudu>di. Pada kesempatan lain Sai‘d H{awwa bersama
delegasi Islam Syria bertemu Khomeini serta Menteri Luar Negeri Iran Ibrahim Yazdi
untuk membicarakan bantuan terhadap saudara–saudara muslim di Syria. Ia
sampaikan keadaan yang sesungguhnya yang diperjuangkan oleh Ikhwan di Syria
kepada Khomeini dalam rangka mempererat ukhuwah Islamiyah.38
Pada tahun 1980 atas prakarsa Sa‘id H{awwa, dibentuklah Front Islam Syria
(FIS) sebagai sarana untuk menata dan mengevaluasi perjuangan Ikhwan yang gagal
menentang rezim al–Asad karena sudah banyak anggota Ikhwan yang jadi korban.
Kekuatan Ikhwan dan FIS waktu itu sudah kurang berpengaruh sebagai gerakan
oposisi. Iran dengan terang–terangan justeru mendukung pemerintahan rezim al-
Asad. Baik FIS dan Ikhwan, tokoh–tokohnya banyak di pengasingan karena diburu
oleh tentara rezim al–Asad. Disamping itu dekrit pemerintah mengancam keberadaan
Thanawiyah. Kedua, pembelaan terhadap pembantaian Ikhwanul Muslimi>n Mesir (PM Mesir setelah
Mustafa Nuhas Pasya (sebelumnya Husein Sirry) yaitu Ahmad Mahir tewas diculik, PM dilanjutkan
oleh an-Nuqrashi yang tewas tahun 1948 penggantinya Abdul Hadi Pasha. disini Ikhwan mendapat
perlakuan kejam). Ketiga, peringatan duka atas perjanjian Boulfour. al–Mustasyar, Mereka yang telah
Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tis}am Cahaya Umat,
2003), 402 36
Al–Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam
Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tis}am Cahaya Umat, 2003), 402 37
John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),
Jilid 5, Cet. Ke–2,272 38
Al–Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam
Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tis}am Cahaya Umat, 2003), 403
39
Ikhwan. Peristiwa demikian dipicu oleh demonstrasi dan pemboikotan besa–besaran
tahun 1980 di Aleppo, Hama, Homs serta ada upaya pembunuhan terhadap al–Asad.39
Pada pertengahan tahun 1980–an aktifitas Sa’id H{awwa dengan Ikhwan
tidak terdengar lagi. Apalagi setelah kecewa terhadap sikap Khomeini yang kurang
menguntungkan bagi Ikhwan dan FIS.
Pada tahun 1987 Sa’id H{awwa terserang stroke hingga sebagian anggota
tubuhnya lumpuh. Ia juga mengalami komplikasi penyakit; tekanan darah, gula,
ginjal dan sakit mata. Keadaan demikian membuat ia tidak dapat hadir bersama
masyarakat lagi karena diopname. Pada bulan Desember tahun 1988 kondisinya tak
kunjung membaik dan masih dirawat di rumah sakit. Tiga bulan kemudian tepatnya
tanggal 9 Maret 1989 sang pejuang itu wafat di rumah sakit Amman, Yordania.40
Tokoh pembela Islam, seorang Sufi, pejuang berhati lembut tersebut sudah pergi
selama–lamanya dengan banyak meninggalkan buku–buku karyanya yang dapat
dikembangkan dan dipelajari.
C. Perkembangan Intelektual Sa‘id H{awwa
1. Pemikiran Keagamaannya
Pada usianya masih muda, Sa‘id H{awwa untuk pertama kalinya berkenalan
dengan pergerakan jama‘ah Ikhwanul Muslimi>n. Pikiran–pikiran dari gerakan
Ikhwan sangat membentuk kepribadian dan pola pikir Sa‘id H{awwa yang kemudian
hari ia ikut terlibat bahkan sebagai tokoh dalam pergerakan Ikhwan di Syria. Selain
itu pemikirannya di manifestasikan lewat buku–buku yang tersebar dan dapat dibaca
dan dijangkau oleh siapapun. Dari beberapa karya Sa‘id H{awwa bisa dikategorikan
bahwa pandangan gerakan Islam Sa‘id H{awwa sealiran dengan tokoh pendiri
Ikhwan Hasan al–Banna. Faktor guru yang mendidik Sa‘id H{awwa juga
berpengaruh membentuk pemikiran keagamaannya. Secara umum pemikiran
39
John L. Esposito, Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford (Terj) (Bandung: Mizan, 2002),
Jilid 2, Cet. Ke–2,277 40
Al–Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam
Kontemporer (Jakarta: Al-I‘tis}am Cahaya Umat, 2003), 409
40
keagamaan Sa‘id H{awwa bagian dari kelompok Islam Sunni yang dikenal sebagai
Ahli Sunnah wa al-Jama’ah.41
Pola pemikiran Sa‘id H{awwa dapat dilihat melalui
penafsirannya tentang fiqh, aqidah, tasawuf dalam kitab tafsir yang terdiri dari 11
jilid besar.
Diantara paham keagamaan yang populer seperti paham teologi atau kalam,
paham mazhab Fiqh dan aliran tasawuf. Berdasarkan pemikiran ulama yang sering
dikutip Sa‘id H{awwa dalam tafsirnya maka tampak misalnya dari aspek teologi
kecenderungan Sa‘id H{awwa sejalan dengan an–Nasafi yaitu pengikut Ash‘ariyah.42
Aspek Fiqh juga dapat dikatakan, Sa‘id H{awwa sejalan dengan an–Nasafi yang
bermazhab Hanafi. Dua paham keagamaan diatas sebetulnya tidak menjadi dominan
dalam pemikiran keagamaan Sa‘id H{awwa. Karena itu ia tidak banyak
membicarakannya. Hal itu dapat dilihat dari beberapa karyanya yang kurang
menyinggung dua hal tersebut secara mendalam. Adapun dari aspek tasawuf, Sa‘id
H{awwa banyak mencurahkan perhatian sehingga karya–karyanya lebih
mencerminkan tasawuf dan pembinaan akhlak.
a. Pemikiran Kalam
Sehubungan dengan kebebasan manusia yang merupakan salah satu poin
perdebatan aliran kalam dapat dilihat dalam penafsiran ayat 29 surat al-Kahfi.
وقم انحق مه زبكم قمه شبء فهيؤمه ومه شبء فهيكفس إوب أعتدوب نهظبنميه وبزا أحبط بهم
... سسادقهب
Katakanlah,” Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka siapa yang ingin
beriman hendaklah ia beriman dan siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir.
Sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang–orang zalim itu neraka yang
gejolaknya mengepung mereka.
41
Bila disebut Ahli Sunnah atau Sunni memberi pengertian bukan kelompok Shi’ah.
42 An–Nasafi adalah pengarang tafsir Mada>rik at–Tanzi>l wa H{aqâ>iq at–Ta’wil yang
dijadikan sebagai salah satu rujukan utama bagi Sa‘id H{awwa dalam menyusun tafsirnya. An–Nasafi
dikenal pengikut Ash‘ariyah dalam paham teologi dan pengikut Hanafi dalam Mazhab Fiqh.
41
Sa‘id H{awwa menjelaskan bahwa manusia bebas memilih apa yang
dikehendaki untuk dirinya, apa mau mengambil jalan menuju keselamatan atau
memilih jalan menuju kehancuran. Kemudian Allah kemukakan ancaman bagi orang
yang memilih kekufuran yaitu neraka dengan api yang bergejolak.43
Penafsiran Sa‘id
H{awwa terkait ayat diatas terlihat, manusialah yang menentukan pilihan hidupnya,
bebas menggunakan daya yang ada dalam dirinya. Kalau begitu manusia juga siap
dengan segala akibat yang ditimbulkan seperti mendapat pahala dari pilihan baiknya
dan menerima hukuman atau azab dari pilihan salah yang diambilnya. Kebebasan
memilih oleh manusia muncul dari diri sendiri, bukan Tuhan yang mengarahkan.
Pandangan Sa‘id H{awwa diatas ada kesejalanan dengan paham Mu‘tazilah bahwa
perbuatan manusia diwujudkan oleh manusia sendiri yang bebas menentukan pilihan.
Walaupun penafsiran Sa‘id H{awwa tentang ayat tersebut cenderung ke aliran
Mu‘tazilah namun ia tidak menyebut bahwa ia mengikuti Mu‘tazilah. Artinya ia tidak
mempersoalkan antara Mu‘tazilah atau Ash‘ariyah tentang penafsiran ayat–ayat
kalam. Sama halnya ketika ia menafsirkan ayat 96 as}-S{affa>t (37) tentang
perbuatan manusia juga.
. واهلل خهقكم ومب تعمهىن
Dan Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.
Sa‘id H{awwa menjelaskan, Allah sebagai pencipta (Khalik) mu dan pencipta
perbuatan–perbuatanmu (a‘malu kum), maka mengapa kamu menyembah juga
selainNya?44
Bila diperhatikan ada kesan Sa‘id H{awwa menilai perbuatan manusia
diciptakan oleh Allah seperti yang pernah dikemukakan oleh aliran Ash‘ariyah bahwa
perbuatan manusia diwujudkan oleh Tuhan. (Al–Ibanah h. 48). Berbeda sekali
43
Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet.
Ke–6, 3175. Penjelasan senada dikemukakan juga oleh Sa‘id H{awwa ketika menafsirkan ayat 2 surat
at–Tagha>bu>n. Intinya;Allah maha melihat dan maha mengetahui kekufuran atau keimananmu yang
muncul dari amalmu (perbuatan) sendiri. Lihat; Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo:
Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10, Cet. Ke–6, 5951. 44
Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8, Cet.
Ke–6, 4714
42
dengan aliran Qadariyah/Mu‘tazilah yang memandang perbuatan manusia
diwujudkan oleh daya yang ada pada mereka sendiri bukan diwujudkan oleh
Tuhan.(al-Ibanah).
Terkait penafsiran Sa‘id H{awwa terhadap ayat diatas yang cenderung ke
paham Ash‘ariyah, Sa‘id H{awwa tidak menyebutkan bahwa pendapatnya mengikuti
Ash‘ariyah atau mencela aliran Mu‘tazilah. Ini merupakan indikator bahwa Sa‘id
H{awwa tidak tertarik memperdebatkan persoalan kalam sebagaimana yang populer
terjadi diantara mutakallimin. Melalui penafsiran–penafsiran ayat kalam diatas
terlihat Sa‘id H{awwa tidak menegaskan bahwa ia penganut salah satu aliran kalam.
Memperhatikan rujukan tafsirnya yang sering mengutip an–Nasafi seorang pengikut
Ash‘ariyah bisa digambarkan Sa‘id H{awwa bisa menerima paham Ash‘ariyah
walaupun ia tidak menyebut aliran tersebut dalam menafsirkan ayat.
Indikator lain yang mendukung pernyataan ini dapat ditelusuri penafsiran
Sa‘id H{awwa terhadap surat al-Qiya>mah (75):22-23.
. إنى زبهب وبظسة . وجىي يىمئر وبضسة
Wajah–wajah orang mukmin pada hari itu berseri–seri. Kepada Tuhannyalah
mereka melihat.
Wajah orang mukmin senang karena memperoleh nikmat yaitu melihat Tuhan
dengan mata kepala sendiri. Ia memperkuat pendapatnya dengan mengutip tafsir Ibnu
Kathir ketika menafsirkan na>z}irah, ( yaitu tara>hu ‘iya<nan – تساي عيبوب ) melihat
dengan mata sendiri. Disamping itu Ibnu Kathir mengungkapkan sebuah hadis Nabi
yang diriwayatkan Bukhari mengatakan Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu
dengan mata sendiri.45
Penafsiran Sa‘id H{awwa tentang ayat melihat Tuhan sejalan
dengan yang dipegang oleh paham Ash‘ariyah bahwa setiap yang mempunyai wujud
pasti dapat dilihat, Tuhan berwujud karena itu dapat dilihat. (Ibanah. h.76).
Pandangan Sa‘id H{awwa dalam hal ini sangat berbeda dengan yang
dipegang oleh aliran Mu‘tazilah yang mengatakan Tuhan tidak dapat dilihat di
45
Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11, Cet.
Ke–6, 6268 dan 6276.
43
akhirat. Surat al–Qiya>mah diatas mengenai kata na>z}irah menurut Mu‘tazilah
bermakna menunggu. Jadi orang mukmin menunggu pahala dari Tuhannya. Alasan
lain adalah Tuhan tidak mengambil tempat karena itu tidak bisa dilihat sebab yang
dapat dilihat hanyalah sesuatu yang mengambil tempat. Pendapat Mutazilah ini
sejalan dengan paham mereka yang meniadakan sifat tajassum (antropomorfisme)
pada Tuhan. Setentangan sifat Tuhan–berbeda dengan pandangan diluar Mu‘tazilah–
bagi mereka, Tuhan mengetahui dengan pengetahuan sedangkan pengetahuan itu
adalah zatNya sendiri. 46
Walaupun berbeda pemahaman dengan Mu‘tazilah, Sa‘id H{awwa dalam
tafsirnya tidak menyebut kecenderungan paham Mu‘tazilah atau Ash‘ariyah yang
menjadi dasar pemikirannya. Namun demikian dari penafsirannya terkait ayat diatas
membuktikan secara implisit Sa‘id H{awwa bukanlah pengikut aliran Mu‘tazilah.
Penafsirannya menyangkut ayat–ayat yang bernuansa kalam tidak pula secara tegas ia
mengikuti pandangan Ash‘ariyah . Artinya Sa‘id H{awwa tidak terikat dengan
aliran–aliran kalam yang berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa Sa‘id H{awwa
tidak memberikan perhatian besar kepada pemikiran kalam dalam tafsirnya.
b. Pemikiran Fiqh
Berkenaan dengan pemikiran fiqh Sa‘id H{awwa dalam tafsirnya seperti
dijelaskan diawal bahwa ia tidak terlalu mempersoalkan perbedaan mazhab baik
hukum atau teologi/kalam. Terkait ayat hukum misalnya tentang ayat bersuci, QS.
an–Nisa’(4):43.
وإن كىتم مسضى أو عهى سفس أو جبء أحد مىكم مه انغبئط أوالمستم انىسبء فهم تجدوا مبء ...
...فتيممىا صعيداطيبب
46
Bagi Ash‘ariyah sifat Tuhan bukanlah Tuhan tapi tidak pula lain dari Tuhan. Sifat qudrat,
iradat, sama’, bas}ar dan seterusnya azali dan berdiri pada zat Allah. Senada dengan ini, menurut al–
Ghazali sifat Tuhan tidak sama dengan esensi Tuhan , lain dari esensi Tuhan tapi berwujud dalam
esensi Tuhan. Lihat; Hasan Zaeni, Tafsir tematik ayat–ayat kalam–tafsir al-Maraghi (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1997),144 dan 155. Lihat juga;Machasin, al-Qad}i Abdul Jabba>r: Mutasha>bih
Alquran–Dalih Rasionalitas Alquran (Yogyakarta: LkiS, 2000), Cet. Ke–1, 143–144.
44
Dan jika kamu sakit, keadaan musafir atau selesai buang hajat atau
lâmastumun nisa>’, kemudian kamu tidak menjumpai air maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik.
Menurut penafsiran Sa‘id H{awwa kata la>mastumun nisa>’ menunjukkan
arti bersetubuh. Ini merupakan pendapat yang kuat dikalangan para mufasir,
sebagaimana Ibnu Kathir juga berpendapat demikian. Mengenai tafsiran tentang
tanah yang baik, disini Sa‘id H{awwa menjelaskan pendapat dari berbagai ulama
mazhab seperti menurut Imam Malik, S{a‘i>dan termasuk tanah padat, pasir, pohon,
batu, tumbuhan (nabat) artinya secara umum benda yang berada dimuka bumi.
Hampir sama dengan itu pendapat mazhab Hanifah, termasuk jenis tanah seperti
pasir, kapur (tanah kapur). Sedangkan menurut mazhab Syafi‘i dan Hanbali yang
dimaksud s}a‘i>dan adalah tanah saja.47
Disini Sa‘id H{awwa tidak menegaskan, Ia
mengikuti salah satu pendapat tersebut. Namun yang jelas ia terbuka dalam masalah
perbedaan mazhab dan tidak terlalu mempersoalkan perbedaan– perbedaan dalam
pemikiran keislaman baik yang terlihat juga ketika menyikapi persoalan kalam. Sa‘id
H{awwa tampaknya mengemukakan dalam penafsirannya pandangan–pandangan
yang menurutnya sesuai dengan pemikirannya, tidak harus terikat dengan salah satu
mazhab pemikiran apalagi fanatik dengan kelompok tertentu.
Melihat cara Sa‘id H{awwa mengungkapkan pendapat dari berbagai aliran,
seperti persoalan kalam Sa‘id H{awwa tidak menyebut nama aliran kalam ketika
menafsirkan ayat yang terkait masalah tersebut. Sementara itu menyangkut persoalan
fiqh, dikemukakan berbagai pandangan serta nama mazhabnya. Dengan demikian
bertambah jelas bahwa Sa‘id H{awwa tidak mau berpolemik masalah perbedaan
mazhab. Apalagi ia sering mengemukakan perbedaan pandangan mazhab tersebut
dengan menyandarkan kepada berbagai kitab tafsir sebagai rujukan utama yaitu Ibnu
Kathir dan an–Nasafi. Hal ini menunjukkan ia sepaham dengan aliran yang dianut
47
Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke–6, 1076 dan 8
45
oleh kedua mufasir tersebut. Suatu pendapat yang dikemukakan oleh seseorang dalam
uraiannya dan ia tidak ada persoalan berarti ia setuju dengan pendapat tersebut.48
Contoh lain, menyangkut persoalan haid sebagaimana tercantum dalam surat
al-Baqarah (2);222.
... والتقسبىا هه حتى يطهسن فئذا تطهسن فأتىهه ...
Janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka itu suci, bila mereka telah
suci maka campurilah …
Ayat diatas berkaitan dengan waktu suci, ditafsirkan oleh Sa‘id H{awwa
bahwa bolehnya mencampuri isteri yaitu bila selesainya haid dan telah mandi wajib
atau bertayammum bila ada uzur. Disamping itu, ia juga mengemukakan pendapat
Ibnu Kathir dimana ulama sepakat kecuali Abu Hanifah bahwa wanita yang sudah
selesai haid tidak halal dicampuri sebelum mensucikan diri dengan mandi. Adapun
menurut Abu Hanifah bila wanita telah selesai haid sudah boleh dicampuri. Bagi
wanita yang masa haidnya 10 hari bila berhenti haidnya kurang dari 10 hari
diwajibkan mandi sebelum bercampur.49
Berdasarkan keterangan Sa‘id H{awwa
terkait ayat tersebut dalam tafsirnya terlihat berbagai pendapat di kemukakannya dan
ia tidak secara tegas menyatakan ikut pada mazhab tertentu. Kalau diperhatikan
penafsirannya mengenai kata yat}-hurna ia sependapat dengan Ibnu Kathir.
Pada penjelasan berikutnya, ditambahkan oleh Sa‘id H{awwa untuk
membuktikan wanita betul–betul selesai haidnya yaitu dengan cara memasukkan
kapas kedalam farajnya. Jika kapas tersebut dikeluarkan dari faraj masih bersih tanpa
ada noda berarti suci.50
Penjelasan Sa‘id H{awwa ini mengulas dari pandangan Abu
48
Sama halnya dengan an–Nasafi ketika menafsirkan ayat–ayat hukum dalam tafsirnya, ia
juga tidak fanatik dalam menafsirkan ayat sesuai mazhabnya walaupun ia dikenal bermazhab Hanafi.
Hal ini berpengaruh pula pada Sa’id H{awwa yang dalam tafsirnya tidak tampak fanatik kepada suatu
mazhab. 49
Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6, 516. Lihat juga keterangan M. Ali as}–S{abu>ni, Tafsi>r A<ya>t al–Ah}ka>m, juz I, 301.
As}–S{abu>ni menyatakan pendapat Abu Hanifah, yang dimaksud dengan suci berhentinya darah
haid keluar maka bagi suami boleh mencampuri isteri sebelum mandi. 50
Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6, 517
46
Hanifah tentang berhentinya haid sebagai tanda suci. Disini sangat nyata bahwa Sa‘id
H{awwa tidak fanatik kepada mazhab fiqh tertentu walaupun dari penafsirannya
boleh dikatakan cenderung ke mazhab Hanafi. Bila dikatakan Sa‘id H{awwa
terpengaruh oleh mazhab Hanafi sebagaimana terlihat dalam tafsirnya sangat
mungkin terjadi karena an–Nasafi sebagai salah satu rujukan utama dalam tafsirnya
yang merupakan pengikut mazhab Hanafi dan berpaham teologi Ash‘ariyah.
Dalam masalah kalam dan fiqh, Sa‘id H{awwa bersikap netral dengan tidak
menegaskan kepada aliran mana ia memihak. Dalam masalah tasawuf, apakah Sa‘id
H{awwa memiliki sikap yang sama, tentu harus dikaji dengan serius dan
komprehensif. Sesuai dengan kajian pokok disertasi ini ingin melihat kecenderungan
corak tafsir Sa‘id H{awwa dalam penafsiran ayat yang bernuansa tasawuf. Sebab
penafsiran sufistik juga mempunyai aliran pemikiran tafsir sufi atau yang dikenal
corak tafsir sufi.
2. Karya – karyanya
Pada uraian sebelumnya disebutkan bahwa Sa‘id H{awwa disamping pejuang
agama dan berdakwah, ia juga sering menuangkan pikiran–pikirannya ke dalam
beberapa buku. Buku buah karya Sa‘id H{awwa cenderung berbicara sekitar tafsir,
tasawuf dan gerakan dakwah.
Diantara karya – karya Sa‘id H{awwa yaitu :
1. Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah
Pada awalnya buku ini diberi judul Tasawuf dalam Pergerakan Islam
Modern, kemudian ketika akan diterbitkan diganti dengan Pendidikan Jiwa Muslim.
Diduga, kata pergerakan yang tertera dibelakang tasawuf dikhawatirkan disalah
pahami oleh berbagai pihak terutama pemerintah Syria waktu itu maka judul buku
diarahkan seperti demikian. Melihat perkembangan politik yang tidak stabil dan
perseteruan antara pemerintah dengan kelompok Ikhwan, bila buku ini tetap dengan
judul aslinya dapat dianggap sebagai wahana agitatif bagi pejuang muslim. Namun
demikian sebagaimana dijelaskan penerbit, dengan berganti judul namun dari
47
kandungan buku tidak ada perubahan sama sekali.51
Buku ini berbicara banyak
tentang aspek tasawuf, pembentukan jiwa yang kuat dan bersih. Penjelasan tentang
jalan tasawuf dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah serta peristiwa yang
dialami dalam perjalanan tasawuf.52
Dijelaskan oleh penyusunnya, terkait dengan pergerakan Islam modern
membutuhkan teori yang jelas tentang tasawuf dan perjalanan roh menghampiri
menuju Allah. Sehubungan dengan perjalanan roh merupakan suatu yang mesti
dilakukan untuk membangun pergerakan Islam. 53
Perjalanan roh adalah proses yang
diupayakan manusia untuk membersihkan roh sesuai yang dirid}ai Allah.
Keberadaan buku ini sebetulnya tiga serangkai yang berbicara tentang
pembinaan rohani, penyucian dan proses perjalanannya terdiri dari tiga buku yang
merupakan satu kesatuan. Ini sebagai buku pertama tentang pendidikan rohani,
sedangkan duanya lagi yaitu buku al–Mustakhlas} fi Tazkiyah al–Anfus dan buku
Mudhakkira>t fi Mana>zil as}-S{iddi>qi>n wa ar-Rabba>niyyi>n.54
2. Al–Mustakhlas} fi Tazkiyah al–Anfus
Pembahasan buku ini berkaitan dengan inti penyucian jiwa dan sebagai salah
satu dari rangkaian dua buku lainnya.
3. As}–S{iddi>qi>na wa ar–Rabba>niyyi>na min Khila>l an–Nus}u>s} wa
H{ikam Ibnu ‘At}aillah as-Sakandari
Ini merupakan buku ketiga dari tiga buku yang berbicara khusus tentang
persoalan tasawuf dan tarekat. Pembahasan buku ketiga ini didasarkan kepada nash
51
Sa’id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 2007/1428), Cet. Ke–9,
4 52
Berdasarkan pada yang tercantum di daftar isi buku. Sa’id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–
Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 2007/1428), Cet. Ke–9,269. Sayid M. Aqil bin Ali al–Mahdi
menggolongkan Sa‘id H{awwa kepada pembaru kajian tasawuf dengan menjadikan tasawuf dapat
diterapkan didunia nyata guna memurnikan aqidah dan menjalankan shari‘ah yang sempurna. Salah
satu bukunya ini menjelaskan berbagai aspek tasawuf dan jalan menempuh kesufian. Sayid M. Aqil
bin Ali al–Mahdi, Madkhal ila> at–Tas}awwuf al–Isla>miy (Kairo: Darul Hadis, tth), Cet. Ke–2, 29 53
Sa’id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 2007/1428), Cet. Ke–9,
5 54
Sa’id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 2007/1428), Cet. Ke–9,
5
48
hadis Nabi dan buku h}ikam (hikmah) Ibnu ‘At}aillah as–Sakandari. Sebagaimana
dijelaskan diatas, buku ketiga ini bahasannya menyangkut praktek perjalanan tasawuf
atau suluk. Pokok materinya berasal dari hadis Nabi, komentar tokoh sufi dan untaian
hikmah Ibnu ‘At}aillah as- Sakandari.
Sistematika penyusunan buku ini terdiri dari 3 qism; qism I mengemukakan
hadis–hadis Nabi terkait dengan bahasan buku. Qism II, III dan IV mencakup
pedoman dalam menempuh jalan menuju Allah, pedoman Muri>d dan para
‘A<rifi>n serta Shaikh yang dibagi dalam beberapa bab dan sub bab. Dalam
uraiannya disebutkan pendapat beberapa tokoh sufi dan khusus satu bab setiap qism
penjelasan dari h}ikam Ibnu ‘At}aillah.55
4. Al–Islam56
Dalam buku ini Sa‘id H{awwa mengupas seluk beluk Islam yang didasarkan
kepada sebuah hadis Nabi. Hadis yang dimaksud adalah yang menerangkan tentang
rukun Islam, rukun Iman dan Ihsan. Menurut analisis Sa‘id H{awwa dalam Islam
memuat aqidah yang meliputi shahadat serta pilar Iman. Kedua Ibadah yang
tercermin pada pilar Islam. Dua hal ini disebutnya sebagai rukun Islam sedangkan
bangunan Islam berada diatas rukun–rukun yang disebut tadi. Bangunan Islam
meliputi berbagai sistem perihal kehidupan seperti sistem politik, ekonomi, militer,
akhlak, sosial, pendidikan dan seterusnya. Aspek Islam satu lagi yaitu kekuatan
bangunan Islam agar tetap berdiri kuat yang mencakup jihad, amar ma‘ruf nahi
mungkar serta penegakkan hukum.
Tema pokok yang disebut diatas, diuraikan dengan kajian mendalam yang
disusun dalam empat bab (juz). Buku Islam ini merupakan satu dari tiga karya lain
Sa‘id H{awwa yang membahas seputar prinsip kehidupan muslim. Dua buku yang
dimaksud yaitu dengan judul Allah dan ar–Rasu>l.
55
Diambil dari halaman belakang buku, Sa‘id H{awwa, ash–S{iddi>qi>na wa ar-
Rabba>niyyi>na min Khila>l an–Nus}us} wa H{ikam Ibnu ‘At}aillah as- Sakandari (Kairo:
Darussalam, 1999/1419), Cet. Ke–4, h. 523 56
Sa‘id H{awwa, al–Isla>m, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2004/1425), Cet. Ke-2
49
5. Ar–Rasu>l57
Pembahasan dalam buku ini dibagi dalam dua juz yang berbicara tentang
kepribadian nabi Muhammad dan misi kenabiannya. Mengenai kepribadiannya
seperti sifat dan keistimewaan prilaku nabi Muhammad disajikan dalam juz pertama.
Selanjutnya pada juz kedua dikemukakan tentang misi kenabian menyangkut
mukjizat dan tugas nabi Muhammad menjalankan risalah yang berasal dari Allah
Swt.
6. Al–Asa>s fi as-Sunnah
Sistematika penulisan buku ini dibagi kedalam lima qism (tema kajian). Qism
pertama, tentang sejarah kehidupan nabi Muhammad sejak berita kelahiran sampai
tahun ke 39 H. Dikemukakan kegiatan Muhammad sebelum diangkat jadi Rasul dan
peristiwa yang dialami dalam penyebaran Islam serta peperangan–peperangan dalam
Islam. Setelah itu dikemukakan biografi para sahabat, ada tercatat sebanyak 62
sahabat yang disusun pada bagian akhir dari qism ini. Qism kedua tentang persoalan
akidah yaitu hal–hal yang berkaitan dengan keimanan sebagai misi utama nabi
menegakkan akidah Islamiyah. Qism ketiga tentang ibadat seperti ibadah pokok yang
tercakup dalam rukun Islam dan yang terkait dengannya. Qism keempat tentang
akhlak, persoalan pergaulan hubungan sosial. Qism kelima tentang hukum
keperdataan dan persoalan muamalah.
Karakteristik buku ini terletak dari sumber dan cara pembahasannya. Dalam
membahas tema atau sub judul, selalu menggunakan hadis atau berdasarkan riwayat
Nabi, sahabat, tabi’in dan pendapat ulama. Sa‘id H{awwa tidak sekedar
mengemukakan riwayat tapi ada juga disertai dengan komentarnya atau komentar
ulama lain. Penyajian sumber khusus dari hadis Nabi diberi tanda dan diberi
penomoran.58
Berkenaan dengan cara pembahasan demikian sangat tepat bukunya
57
Sa‘id H{awwa, ar-Rasul (Kairo: Maktabah Wahbah, t.th),3-4 58
Lihat bagian pendahuluan buku. Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi as–Sunnah (Kairo:
Darussalam, 1995/1416), Cet. Ke–3, jilid I, 32
50
dinamai dengan al–Asa>s fi as–Sunnah. Artinya semua keterangan dalam buku
tersebut berdasar pada Sunnah Nabi.
Pembahasan–pembahasan seperti mengenai sejarah pertumbuhan Islam
dijelaskan dengan Sunnah, perkara menyangkut ibadah semuanya dijelaskan dengan
menyajikan Sunnah apa adanya. Analisa pengarangnya sangat terbatas bahkan untuk
memperkuat bahasan dikutip dari riwayat juga atau pendapat ulama yang adakalanya
juga mengutip dari riwayat. Untuk penjelasan dari pengarangnya dimulai dengan
menyatakan أقىل aqûlu. Bisa dikatakan pendekatan (madkhal) kitab al–Asa>s fi as-
Sunnah ini seperti penyusunan kitab tafsir bi al–Ma’thu>r, misal yang populer tafsir
karya at}-T{abari.
Sunnah yang menjadi dasar pembahasan buku ini menunjukkan bahwa Sa‘id
H{awwa juga menguasai bidang hadis disamping sebagai ahli tafsir. Kenyataan ini
berbanding lurus dengan uraian dalam tafsirnya yang sering menggunakan hadis
untuk memperkuat keterangannya.
7. Jaula>t fi al–Fiqhaini al–Kabi>r wa al–Akbar wa Us}u>lihima
8. S{ina>‘ah ash–Shabba>b
9. Akhla>qiyya>t wa Sulu>kiyya>t fil Qarnil Kha>mis ‘Asyar al–Hijri
10. Jundullah Takht}i>t}an wa Tanz}i>man
11. Hadhihi Tajribati> wa Hadhihi Shahadati>
12. Ihya>’ur Rabba>niyyah
13. Ija>zah Takhas}s}us} ad-Du‘a
14. Allah Jalla> lah
15. Al–Asa>s fi at–Tafsi>r
D. Kajian Umum tentang Kitab Tafsir Sa‘id H{awwa
1. Nama Kitab dan Sistematika Penulisan
Untuk mengenali lebih jauh tafsir Sa‘id H{awwa ini, pertama harus diketahui
nama asli kitabnya. Kitab tafsir karya Sa‘id H{awwa ini dinamakan oleh
penyusunnya dengan al–Asa>s fi at–Tafsi>r. Bila dipahami dengan pengertian
51
bahasa Indonesia berarti dasar dalam penafsiran. Pengertian ini bisa dimaksudkan
bahwa penafsiran yang digunakan kitab ini sangat memperhatikan hubungan antar
ayat yang ada kesesuaian yang dalam ilmu tafsir dikenal dengan munasabah Alquran.
Kedua, tafsir ini sering mengutip atsar baik dari Nabi atau sahabat. Dua hal diatas
merupakan pokok atau dasar dalam menafsirkan Alquran yang bagi Sa‘id H{awwa
menjadi perhatian utama dalam tafsirnya.
Kitab tafsir ini terdiri dari 11 (sebelas) jilid besar termasuk karya monumental
dari Sa‘id H{awwa yang mencerminkan bahwa ia seorang mufasir dengan berupaya
menggali hubungan ayat dan surat dalam Alquran. Kitab tafsir yang dijadikan
penelitian ini merupakan terbitan dari penerbit Darussalam, Mesir. Tahun terbit 2003
M/1424 H dengan cetakan keenam. Dalam jilid pertama kitab tersebut dicantumkan
pengantar penerbit oleh Abdul Qadir Mahmud al-Bukar yang terdiri dari dua
halaman. Kemudian disusul pengantar penyusun (al–Asa>s fi al–Manhaj) tentang
metode pembahasan mengenai uraian kitab tafsir yang digunakan oleh penulisnya.
Masih dalam jilid satu dikemukakan pengantar kitab tafsir al–Asa>s ( Muqaddimah
al–Asa>s fi at–Tafsi>r) yang memberikan penjelasan tentang karakteristik kitab
tafsir ini serta keistimewaannya dibandingkan kitab tafsir lain.
Tafsir ini disusun seperti kitab tafsir besar yang lain dengan menguraikan
penafsiran secara mendalam dan rinci yang mencapai 11 jilid tebal. Penulisan kitab
tafsir ini seperti diterangkan oleh Sa’id H{awwa dalam pendahuluan kitabnya yaitu
ketika ia menjalani masa tahanan politik semasa pemerintahan H{a>fiz} al–Asad
dalam kurun waktu sekitar 1973–1978.59
Cara penyajian uraian seperti ini dikenal
juga dalam dunia tafsir dengan metode tahli>li. Penulisan tafsir ini menggunakan 4
kitab tafsir sebagai rujukan utama yaitu tafsir Ibnu Kathi>r, an–Nasafi, al–Alu>siy
dan Sayyid Qut}b. Karakteristik kitab ini terletak pada analisis aspek muna>sabah60
59
Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6, 21 60
Ilmu Muna>sabah merupakan bagian cabang dari Ilmu Alquran seperti ilmu Na>sikh–
Mansu>kh, ilmu Qira>’at,ilmu Amtha>lul Quran, ilmu Aqsa>mul Quran dan sebagainya.
52
dengan konsep seperti ditegaskan penyusunnya yaitu kesatuan Alquran (al–Wah}dah
al–Qura>niyyah).61
Selain itu, dinyatakan juga dalam pendahuluan tafsir ini bahwa orientasi
penulisan tafsir ini berorientasi untuk menjelaskan aspek aqidah (ushuluddin), fiqh,
ru>h}iyyah, sulu>kiyyah. Dua hal terakhir berkenaan dengan kajian tasawuf dan
prilaku menempuh jalan tasawuf.62
Sistematika penulisan kitab tafsir secara umum yaitu dalam setiap jilid Sa‘id
H{awwa selalu mengemukakan pendahuluan sebelum masuk dalam penafsiran surat–
surat Alquran. Paparan menyangkut kategori surat sesuai yang dibagi menurut jumlah
ayat oleh Sa‘id H{awwa. Setiap surat yang ditafsirkan terlebih dahulu pada awal
surat dijelaskan munasabahnya dengan surat–surat lainnya. Biasanya dikutip dari
penjelasan Sayyid Qut}b dalam tafsir Fi> Z{ila>lil Quran dan al–Alu>siy dalam
tafsir Ru>h}ul Ma‘a>ni.
Runtutan penafsiran disesuaikan dengan urutan surat–surat seperti yang
terdapat dalam Mushaf.
Jilid kesatu, penafsiran diawali dengan surat al–Fa>tih}ah (1) dan al–Baqarah (2)
sampai ayat 286.
Jilid II, dari Surat Ali Imran (3) sampai an–Nisa>’ (4) ayat 176.
Jilid III, al-Ma>idah (5) sampai al–An‘a>m (6) ayat 165.
Jilid IV, al–A‘ra>f (7) sampai at–Taubah (9) ayat 129.
Jilid V, Yunus (10) sampai Ibrahim (14) ayat 52.
Jilid VI, al–H{ijr (15) sampai Maryam (19) ayat 98.
Jilid VII, T{a>ha (20) sampai al–Qas}as} (28) ayat 88.
Jilid VIII, al–‘Ankabu>t (29) sampai S{ad (38) ayat 88.
Jilid IX, az–Zumar (39) sampai Qaf (50) ayat 45
Jilid X, adz –Dhariya>t (51) sampai al–Qalam (68) ayat 52
61
Lihat pendahuluan kitab tafsir ini; Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo:
Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet. Ke–6, 21 62
Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6, 30
53
Jilid XI, al–Ha>qqah (69) sampai an-Na>s (114) ayat 663
Untuk memudahkan penyajiannya disusunlah sistematika dengan membagi
kelompok surat–surat dalam Alquran. Sa‘id H{awwa memberikan pengkategorisasian
pada 4 macam atau qism:pertama; T{iwa>l64
yaitu (al-Baqarah/2 sampai surat
Bara>-ah / 9 ), kedua; Mi-in yaitu (Yunus/10 sampai al–Qas}as}/28), kelompok ini
dibagi pula oleh Sa‘id H{awwa menjadi tiga bagian yang disebutnya dengan al-
Majmu‘a>t berdasarkan kepada makna yang dikandungnya.65
Ketiga; Matha>ni
yaitu (al–‘Ankabu>t/29 sampai surat Qaf /50).66
Keempat; Mufas}s}al67
yaitu (adh–
63
Berdasarkan penelusuran dari kitab tafsir Sa‘id H{awwa dari jilid 1-11 64
Menurut Sa‘id H{awwa yang termasuk kategori ini adalah tujuh surat panjang diawal
Alquran. Ketika menentukan qism t}iwal ini Sa‘id H{awwa menjadikan surat al-Anfa>l dan surat at–
Taubah sebagai yang ketujuhnya. Surat ini dianggap satu karena tidak dibatasi dengan lafaz
Bismilla>hir rahma>nir rahi>m. Ini sebatas digunakan untuk mengelompokkan bagian Alquran. Ia
mendasarkan pandangannya pada sebuah hadis dari Aisyah dan Abu Hurairah yang menyebutkan tujuh
surat pertama seperti demikian. Lihat, Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam,
1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet. Ke–6, 53 65
Untuk al-Majmu>‘ah pertama dimulai dari surat Yunus, Hud, Yu>suf, ar–Ra’d dan
Ibrahim. Al-Majmu>’ah kedua dimulai dari surat al–H{ijr, an–Nah}l, al–Isra’, al–Kahfi dan Maryam.
Al–Majmu>’ah ketiga dimulai dari surat T{a>ha, al–Anbiya>’, al–H{ajj, al–Mukminu>n, an–Nu>r,
al–Furqa>n, ash–Shu‘ara>’, an–Naml dan al-Qas}as}. Dijelaskan oleh Sa‘id H{awwa surat al–
Qas}as} terdiri dari 88 ayat yang mendekati mi-ah (100) مب ئت sedangkan setelah surat al-Qas}as} yaitu
surat al–‘Ankabu>t yang memuat 69 ayat. Dari itu dijadikanlah surat al–‘Ankabu>t ini sebagai awal
dari qism matha>ni. Lebih lanjut lihat; Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam,
1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet. Ke–6, 2407 66
Sama dengan qism mi’in yang sebelumnya, pada qism matha>ni ini juga dibagi menjadi 4
al-Majmu>‘at. Al–Majmu>‘ah I dari surat al–‘Ankabu>t sampai surat Ya>sin, al–Majmu>‘ah II dari
surat as}-S}affa>t dan surat S{ad, al–Majmu>‘ah III dari surat az-Zumar, al-Mukmin (Gha>fir) dan
Fus}s}ilat (ha>mim sajadah), al–Majmu>‘ah IV dari surat ash–Shu>ra sampai surat Qaf. Periksa;
Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8, Cet. Ke–6, 4149. 67
Qism Mufas}s}al ini terbagi pula kepada 15 al–Majmu>‘at. Al–Majmu>‘ah I dari surat
adh- Dhariyat sampai surat al–Wa>qi’ah, al–Majmu>‘ah II terdiri dari surat al–H{adi>d dan al–
Muja>dalah, al- Majmu>‘ah III terdiri dari surat al–H{ashr dan al–Mumtah}anah, al –Majmu>‘ah IV
dari surat as}–S}aff, al –Jumu‘ah dan al–Muna>fiqu>n, al–Majmu>‘ah V dari surat at–Tagha>bu>n,
at–T{alaq, at–Tah}ri>m, al–Mulk dan al–Qalam, al- Majmu>‘ah VI dari surat al–Ha>qqah sampai
al–Muddaththir. Sedangkan al – Majmu>‘ah VII terdiri dari surat al–Qiya>mah dan al–Insa>n, al–
Majmu>‘ah VIII terdiri dari al–Mursala>t dan an–Naba>’, al- Majmu>‘ah IX dari an–Na>zi‘a>t,
‘Abasa, at–Takwi>r dan al–Infit}a>r. Sementara itu al–Majmu>‘ah X terdiri dari surat al–Mut}affifin
dan al–Inshiqa>q, al–Majmu>‘ah XI dari surat al–Buru>j, at}–T{a>riq, al–A‘la dan al–Gha>shiyah,
al–Majmu>‘ah XII meliputi surat al–Fajr, al–Balad, ash–Shams, al–Layl, ad}–D{uh}a dan ash–
Sharh}. Adapun al–Majmu>‘ah XIII yaitu surat at–Ti>n, al–‘Alaq, al-Qadr, al–Bayyinah dan az–
Zalzalah. Al–Majmu>‘ah XIV terdiri dari surat al–‘A<diya>t, al-Qa>ri‘ah dan at–Taka>thur.
Kelompok terakhir al-Majmu>‘ah XV meliputi surat al-‘As}r, al–Humazah, al–Fi>l, Quraish, al–
Ma>’u>n, al–Kauthar, al–Ka>firu>n, an–Nas}r, al–Lahab (al-Masad), al–Ikhla>s}, al–Falaq dan
an–Na>s. Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11, Cet.
54
Dhariya>t/51 sampai surat an–Na>s/114 ).68
Pembagian seperti ini merupakan suatu
cara bagi Sa‘id H{awwa menyajikan susunan surat dengan pertimbangan melihat
aspek muna>sabahnya.
2. Metode Tafsir Sa‘id H{awwa dan Sumber Penafsirannya
Pembahasan dalam kitab tafsir ini, Sa‘id H{awwa menggunakan metode69
tahli>li. Penafsiran metode tahli>li dimulai dari al–Fa>tih}ah sampai surat terakhir
an–Na>s sesuai dengan urutan yang terdapat dalam Mushaf. Penjelasan uraian
penafsiran dikemukakan secara rinci dan panjang. Pertama dengan mengemukakan
pengertian global ayat kemudian menjelaskan makna ayat dari tinjauan bahasa,
menerangkan susunan uslub ayat (keterkaitan susunan ayat–ayat). Sa‘id H{awwa
sering mengemukakan hadis Nabi untuk memperkuat uraiannya disamping
menggunakan pendapat mufasir lain yang menjadi referensi utama dalam menyusun
kitab tafsir ini.
Penerapan tahli>li sebagai metode yang digunakan tafsir ini, misalnya
penafsiran surat al–Baqarah. Pertama Sa‘id H{awwa membagi surat al–Baqarah
dalam tiga kelompok yaitu mukaddimah, kandungan surat dan penutup. Untuk
mukaddimah terdiri dari 20 ayat pertama, bagian isi dari ayat 21 sampai ayat 284
Ke–6. Pembagian kelompok surat–surat diatas bertujuan dalam rangka mengidentifikasi muna>sabah
antar kelompok surat. 68
Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Mesir: Darussalam, 2003 M/1424 H), Cet. Ke–6,
30. Lihat pendahuluan kitab tafsir. 69
Selama ini yang umum dipahami sebagai metode adalah cara mufasir menyajikan
pembahasan penafsirannya. Dengan demikian metode dalam tafsir berhubungan dengan objek
penafsiran atau pembahasan, yang dalam bahasa Arab metode dapat disejajarkan dengan t}ari>qah.
Ada empat metode yang berkembang dan populer dikenal dalam dunia tafsir yaitu tahli>li, maud}u>’i,
ijma>li dan muqa>ran. Secara tampilan susunan antara tahlI>li dengan ijma>li penyajiannya hampir
sama yaitu menafsirkan Alquran dengan mengikuti susunan surat sebagaimana urutan dalam mushaf
hanya dibedakan dari uraian penafsiran ayat. Tahli>li uraian bahasannya panjang, banyak
mengemukakan berbagai analisis, pendapat dan lebih rinci, sedangkan ijma>li pembahasannya sangat
sederhana tidak banyak mengemukakan uraian atau pandangan mufasir lain dan lebih terkesan
uraiannya singkat. Bila disorot aspek metode tafsir maka tahli>li sebetulnya kontras dengan
maud}u>’i, bahkan maud}u>’i muncul untuk mengatasi kelemahan tahli>li yang terkadang uraiannya
dianggap cenderung parsial seperti tidak mengakomodir semua ayat yang terkait dengan kandungan
tema ayat yang dibahas. Sebagai ciri khas dari maud}u>’i yaitu koleksi ayat berdasarkan fokus
persoalan.
55
sedangkan 2 ayat terakhir sebagai penutup surat.70
Mukaddimahnya terdiri dari tiga
faqrah, untuk faqrah ketiga mengandung tiga majmu>‘ah. Bagian tengah al-Baqarah
terdiri dari tiga qism, yang mengandung beberapa maqt}a‘ dan faqrah. Ayat yang
ditafsirkan disusun dalam kelompok–kelompok ayat untuk memudahkan uraiannya.
Rangkaian metode penafsiran Sa‘id H{awwa dapat dirumuskan sebagai
berikut :
Pertama, menampilkan beberapa ayat sesuai kelompok muna>sabahnya.
Beberapa ayat tersebut bisa tergabung dalam satu maqt}a‘ dengan beberapa
faqrahnya. Ini biasanya ketika menafsirkan surat–surat yang panjang atau golongan
Madaniyah seperti al-Baqarah, Ali Imran dan seterusnya. Bila menafsirkan surat–
surat pendek atau ayat pendek surat Hu>d, Yu>suf, ar–Ra’d yang disebut sebagai
kelompok Mi-in, Matsa>ni juga mufas}s}al, maka ayat yang ditampilkan dibagi pada
maqt}a‘ atau faqrah saja.
Pada setiap surat terlebih dahulu dijelaskan keberadaan surat tersebut baik
menyangkut identifikasi surat, tema surat, hubungan dengan surat lain atau
kandungan surat secara global. Biasanya disini ditampilkan riwayat bila menyangkut
sebab turun dari suatu surat.
Kedua, Menafsirkan ayat.
Bentuk penafsiran yang dikemukakan Sa‘id H{awwa mengenai ayat yang
sudah disusun dalam kelompok ayat yaitu dengan menjelaskan makna secara umum
atau memberikan pengertian secara global kemudian menerangkan pengertian teks
ayat (makna harfi) dengan tinjauan bahasa serta uslub ayat. Dalam hal ini ia sering
menggunakan rujukan dari kitab tafsir an–Nasafi dan Ibnu kathir juga tafsir Sayyid
Qut}b dan al–Alu>siy. Dengan demikian makna harfi yang dijelaskan cukup panjang
berbeda dengan tafsir Jala>lain yang sangat singkat. Penjelasan makna umum dan
70
Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6, 61
56
makna h}arfi dengan terlebih dahulu mencantumkan ayat atau potongan ayat yang
ditulis dalam kurung.71
Ketiga, Menjelaskan hubungan susunan ayat ( Muna>sabah ).
Disini Sa‘id H{awwa mengkaji struktur ayat dalam surat. Misalnya hubungan
dalam satu kelompok ayat seperti hubungan kesamaan tema dalam satu maqt}a‘, atau
satu faqrah. Menerangkan hubungan antar faqrah atau antar maqt}a‘ bahkan
dijelaskan hubungan dengan ayat lain pada surat yang berbeda. Uraiannya tentang ini
dikemukakan dengan istilah kalimah fi as–Siya>q .
Pada poin ini lebih merupakan analisa Sa‘id H{awwa baik menyambung ulasan
keterangan pada poin dua diatas atau dalam mengungkap hubungan antara berbagai
ayat.
Keempat, Menjelaskan hikmah ayat.
Bagian ini dikenal dalam rangkaian penafsirannya dengan fawaid. Dalam
poin ini ada juga dibahas tentang muna>sabah ayat khususnya hubungan suatu ayat
dengan beberapa ayat lain atau dengan hadis Nabi. Poin ini merupakan penafsiran
yang lebih luas dan komprehensif oleh Sa‘id H{awwa dengan memahami ayat
berdasarkan konteks. Ada diantara ayat–ayat yang dikemukakan diawal (poin
pertama) untuk ditafsirkan lebih mendalam dan memerlukan uraian tambahan. Disini
juga dijelaskan tentang ayat yang ada asbab nuzulnya. Karena itu bagian ini sering
mencantumkan riwayat untuk mendukung uraian penafsirannya.
Demikian langkah dari metode penafsiran Sa‘id H{awwa yang lebih banyak
menyorot aspek muna>sabah dalam tafsirnya. Dua poin terakhir ini merupakan
keunggulan dari tafsir Sa‘id H{awwa yang membedakannya dengan mufasir lain baik
dari sisi ide ataupun metode.
71
Sistem yang dilakukan Sa‘id H{awwa pada poin ini sama halnya dengan cara yang
diterapkan an–Nasafi dalam tafsirnya. Boleh jadi Sa‘id H{awwa menilai cara an–Nasafi menjelaskan
makna ayat lebih mudah dipahami dan tidak terlalu panjang. Apalagi penjelasan tafsiran ayat
dikemukakan mengikuti teks ayatnya.
57
Poin–poin diatas yang tersusun dalam rangkaian penafsiran Sa‘id H{awwa
merupakan hal pokok dalam penafsirannya yang diterapkan dalam menafsirkan setiap
surat. Terkadang urutannya tidak sama namun poin tersebut selalu di kemukakan
dalam menafsirkan kelompok ayat. Hal pokok dalam penafsirannya menjelaskan
makna umum dan makna h}arfi atau menggunakan istilah tafsir. Kemudian
menjelaskan aspek muna>sabahnya dan terakhir menyorot ayat–ayat tertentu yang
sudah ditafsirkan sebelumnya untuk dikembangkan lagi tafsirannya.
Ada perbedaan sistematika yang dilakukan Sa‘id H{awwa ketika menafsirkan
surat yang panjang dengan surat pendek. Ketika menafsirkan surat yang panjang
digunakan istilah qism, termasuk surat Yu>nus masih dipakai dalam
mengelompokkan ayat dengan istilah qism. Kalau surat pendek atau umumnya
golongan Makkiyah lebih banyak menggunakan istilah maqt}a‘, faqrah dan
majmu>‘ah. Istilah ini untuk mengelompokkan ayat berdasarkan pertimbangan
muna>sabah. Dengan demikian ada empat istilah khusus yang digunakan Sa‘id
H{awwa dalam tafsirnya ketika membagi kelompok–kelompok ayat berdasarkan
kesesuaian kandungan suatu surat.72
Berkaitan dengan sumber penafsiran yang dijadikan rujukan utama oleh Sa‘id
H{awwa adalah kitab tafsir an–Nasafi, tafsir Ibnu Kathir, tafsir Ru>h}ul Ma‘a>ni
dan tafsir Fi> Z{ila>lil Quran. Seperti dijelaskan juga oleh Iyazi mengenai
penyusunan tafsir yang dikerjakan oleh Sa‘id H{awwa bahwa dalam menggunakan
rujukan penafsirannya menempuh dua tahap. Pertama ia menggunakan sumber utama
penafsirannya pada kitab tafsir Ibnu Kathi>r (w.774 H) dan tafsir an–Nasafi
(w.701 H). Hal ini dilakukannya ketika ia masih berada dalam penjara. Pada tahap
berikutnya, Sa‘id H{awwa menggunakan kitab tafsir Ru>h}ul Ma’a>ni karya al–
Alu>siy (w.1270 H) dan tafsir Fi> Z{ila>lil Qura>n (w.abad 20/15 H) karya Sayyid
72
Ada empat istilah yang dikemukakan oleh Sa‘id H{awwa sebagai metode tafsirnya untuk
membagi kelompok ayat dimana istilah qism merupakan bagian terbesar, kemudian berurutan;
maqt}a‘, faqrah dan kelompok kecil majmu>‘ah. Jadi setiap majmu>‘ah tergabung dalam faqrah,
faqrah tergabung dalam maqt}a‘, maqt}a‘ tergabung dalam qism.
58
Qut}b disamping dua kitab tafsir terdahulu.73
Dengan begitu, kitab tafsir sandaran
utama yang dipakai Sa‘id H{awwa mencirikan dua spesifikasi. Dua kitab tafsir
pertama sebagai model kitab tafsir klasik sedangkan dua kitab tafsir terakhir
merupakan tafsir tergolong modern. Sa‘id H{awwa memadukan pemahamannya
melalui empat jenis kitab tafsir besar dan populer tersebut dalam karya kitab
tafsirnya.
Dengan demikian penafsiran Sa‘id H{awwa menggambarkan berbagai jenis
dan corak kitab tafsir yang menjadi dasar dalam penafsirannya. Corak tafsir itu
sebagaimana yang dimiliki oleh masing–masing kitab tafsir rujukan utama yang
digunakan Sa‘id H{awwa. Tidak berlebihan bila dikatakan tafsir Sa‘id H{awwa
menampakkan corak tasawuf, aqidah, adab ijtima>‘i (sosiologis), pola ra’yi dan
ma’thu>r juga memperkaya corak penafsiran Sa‘id H{awwa. Tafsir Ibnu Kathi>r
termasuk tafsir jenis ma’thu>r sedangkan tafsir an–Nasafi tergolong tafsir bi- ra’yi.74
Selain itu tafsir an–Nasafi berorientasi aqidah dan tasawuf, sementara itu tafsir
Ru>h}ul Ma‘a>ni merupakan tafsir corak tasawuf. Sedangkan tafsir Sayyid Qut}b
termasuk tafsir modern yang berorientasi politik, sosial dan dakwah.
3. Karakteristik Tafsir Sa‘id H{awwa
Sebagaimana kitab tafsir lainnya dalam hal menguraikan penafsirannya, Sa‘id
H{awwa berusaha mengungkap aspek hubungan dari ayat–ayat Alquran sebagaimana
susunan mush}af Usmani yang dalam ilmu tafsir dikenal dengan muna>sabah
Alquran. Gagasan ini muncul seperti dijelaskan Sa‘id H{awwa bahwa ia tidak puas
dengan bentuk muna>sabah yang pernah dikembangkan beberapa ahli tafsir.
Menurutnya, munasabah Alquran adalah membentuk kesatuan Alquran.
73
Iyazi, al–Mufassiru>n H{aya>tuhum wa Manhajuhum (Teheran:Wazarah ath–Thaqa>fah
wa al–Irsha>d, 1414 H/1992 M), 134 74
Rujukan pokok dalam tafsir an–Nasafi disebut juga Mada>rik at–Tanzi>l wa H{aqa>iq
at–Ta’wi>l ini mengambil dari tafsir karya Zamakhshari dengan al–Kash-sha>f dan Bayd}awiy
dengan Anwa>r at–Tanzi>l wa Asra>r at–Ta’wi>l.
59
Diterangkannya bahwa muna>sabah yang dijelaskan oleh pakar tafsir itu
terkait dengan; muna>sabah ayat dalam satu surat.75
Kemudian dari segi susunan
Alquran; yaitu muna>sabah akhir surat dengan awal surat berikutnya.76
Seperti
diakhir surat al-Fa>tih}ah dikemukakan permohonan manusia kepada Allah supaya
diberi hidayah ke jalan yang lurus, kemudian pada surat al–Baqarah dimulai dengan
menyatakan Alquran sebagai hidayah menuju jalan yang dimaksudkan pada surat al–
Fa>tih}ah tadi.77
Bentuk muna>sabah lain yang dijelaskan para ahli tafsir seperti hubungan
antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat. Misal, surat al-
Mukminu>n ayat pertama menyatakan bahwa orang mukmin itu sungguh telah
beruntung sedangkan pada ayat terakhirnya dinyatakan tentang orang kafir bahwa
mereka itu tidak beruntung.78
Ini menandakan surat dalam Alquran merupakan satu
kesatuan yang saling berkaitan.
Adapula muna>sabah ayat dengan ayat lain dalam satu tema seperti yang
terjadi dalam pembahasan tafsir maud}u>‘i. Oleh karena itu, Sa‘id H{awwa dalam
tafsirnya memperkenalkan muna>sabah ayat Alquran secara keseluruhan atau
muna>sabah kesatuan Alquran. Dengan demikian, munasabah Alquran tidak terbatas
sebagaimana yang dikenal selama ini antara lain seperti munasabah akhir surat
dengan awal surat sesudahnya.
Ditegaskan lebih lanjut oleh Sa‘id H{awwa, pandangannya tentang
muna>sabah ini merupakan teori baru yang disebutnya dengan al-Wah}dah al-
Quraniyyah.79
Dalam teorinya ini, Sa‘id H{awwa ingin menunjukkan bahwa Alquran
yang terdiri dari 114 surat merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Kajian
ini dalam tafsir mengambil keilmuan khusus atau cabang dari ulu>mul Quran yaitu
75
Hubungan antara suatu ayat dengan sebelum dan sesudahnya yang berada dalam satu surat. 76
Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6, 21. Lihat Mukaddimah al–Asa>s fi at- Tafsi>r. 77
Lihat penjelasan dalam Alquran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 6, Lihat juga,
Manna’ al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith Fi> Ulu>mil Qur’an, (Beirut: tp, t.th), 97-98. 78
Penjelasan ini dapat ditelusuri dalam; M. Quraish Shihab (Et.all), Sejarah dan Ulu>mul
Qura>n (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet. Ke- 3,75–76. 79
Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6, 21
60
Ilmu Muna>sabah. Kajian ini merupakan upaya mufasir dengan mengerahkan daya
pikir serta analisis untuk mencari rahasia dari korelasi yang menyeluruh terhadap ayat
Alquran. Berdasarkan teori dasar dari penafsiran tersebut yang diterapkan oleh Sa‘id
H{awwa maka tafsirnya ini berarti termasuk pola tafsir bi ar–ra’yi.
Muna>sabah Alquran ini dikembangkan melalui analisis mufasir dengan
pemahaman mendalam terhadap Alquran untuk mengungkap rahasia balaghah
Alquran, kemukjizatan Alquran. Beda dengan ilmu asbabun nuzu>l yang
berdasarkan riwayat sebagai rujukannya, atau ilmu qira>’at atau ilmu na>sikh wa al-
mansu>kh. Ilmu- ilmu ini tidak dapat dipahami dan dikembangkan tanpa
menggunakan riwayat. Kalau ilmu–ilmu ini berdasarkan kepada riwayat maka ilmu
muna>sabah berdasarkan dira>yah yaitu terkait pada ketinggian pengetahuan
mufasir melakukan analisis.
Gagasan muna>sabah Sa‘id H{awwa sebagai karakteristik penafsirannya, ia
memberi contoh penafsiran tentang bagian awal (5 ayat) surat al–Baqarah dimulai
dengan alif lam mim dan ditutup dengan وأونئك هم انمفهحىن . Sedangkan awal surat Ali
Imran dimulai juga dengan alif lam mim dan ditutup di akhir suratnya (ayat ke 200)
dengan نعهكم تفهحىن . Dijelaskan oleh Sa‘id H{awwa, Surat Ali Imran merupakan uraian
terhadap bagian awal (5 ayat) dari surat al-Baqarah.80
Kedua surat tersebut sama
diawali dengan alif lam mim dan diakhiri dengan menyebutkan tentang orang
beruntung.
Contoh lain penafsiran Sa‘id H{awwa sehubungan dengan teori muna>sabah
kesatuan Alquran yaitu ketika menjelaskan hubungan surat an–Na>s dengan surat al-
Baqarah. Pada surat al–Baqarah ayat 39 bercerita tentang kisah Adam dimana Allah
menjelaskan. Turunlah kamu semua dari surga itu, bagi siapa yang mengikuti
petunjukku (Allah) maka mereka akan bahagia sedangkan bagi mereka yang
mengingkari ayat–ayat kami maka mereka kekal dalam neraka.
80
Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6, 21 80
Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11, Cet.
Ke–6, 6768
61
Pelajaran dari kisah Adam diatas melarang kita mengikuti bisikan (waswasah)
syaitan yang telah menjerumuskan Adam keluar dari Surga. Dalam surat an–Na>s
disebutkan syaitan ada yang berasal dari jenis jin dan manusia. Dan mereka yang
mendustakan ayat kami (Allah ), sebagaimana dinyatakan ayat dari surat al–Baqarah
diatas termasuk golongan kafir. Karena itu Allah menyuruh kita agar berlindung
kepada Allah dari kejahatan mereka baik jin dan manusia. Perintah berlindung dari jin
supaya selamat dari bujukannya sebagaimana pernah terjadi pada nabi Adam.
Hubungan kedua surat ini tampak jelas bahwa kandungan surat an–Na>s merupakan
penjelas ayat 39 diatas.81
Ini membuktikan terhadap teori Sa‘id H{awwa tentang
muna>sabah kesatuan Alquran yaitu dengan diungkapkannya muna>sabah antara
surat pertama dari qism at-T{iwa>l dengan surat terakhir pada qism al-Mufas}s}al.
Melihat metode penafsiran Sa‘id H{awwa yang menerapkan teori
muna>sabah dalam tafsirnya ini menunjukkan bahwa Sa‘id H{awwa seorang mufasir
yang konsen dalam ilmu muna>sabah. Muna>sabah yang diwujudkan dalam
tafsirnya melampaui teori muna>sabah yang selama ini berkembang. Muna>sabah
merupakan salah satu bagian atau cabang dari ilmu Alquran sekaligus alat bagi ilmu
tafsir. Disinilah letak corak suatu kitab tafsir yaitu memiliki sifat khusus ( karakter),
sama halnya bila seorang mufasir yang konsen dalam ilmu qira>’at maka akan
dikembangkan pula dalam tafsirnya aliran-aliran qira>’at yang akan menjadi
karakter dari kitab tafsirnya . Begitu pula dengan ilmu–ilmu lain dalam kerangka ilmu
Alquran yang digunakan sebagai alat menafsirkan Alquran. Karakter yang dimiliki
suatu kitab tafsir dapat menambah pengakuan bagi penyusunnya sebagai seorang
mufasir. Demikian juga, bila pendekatan tafsir seperti pendekatan munasabah, qiraat,
asbab nuzul dan seterusnya yang digunakan dalam menafsirkan Alquran maka akan
membentuk suatu ciri khusus dalam penafsirannya. Ciri khusus tersebut merupakan
81
Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11, Cet.
Ke–6, 6768
62
refleksi dari ilmu–ilmu Quran yang dikuasai oleh penyusunnya yang akan
membentuk karakteristik dalam suatu kitab tafsir.
Hal yang dijelaskan diatas merupakan karakter metodologis tafsir Sa‘id
H{awwa, sedangkan menyangkut kecenderungan pemikiran penafsiran atau yang
dikenal dengan corak tafsir yaitu mencakup aspek aqidah (ushuluddin), fiqh,
ru>h}iyyah, sulu>kiyyah.82
Dua hal terakhir berkenaan dengan corak tasawuf. Karena
itu tafsirnya dapat disebut sebagai salah satu tafsir corak tasawuf. Ini mencerminkan
dirinya yang ahli tasawuf dan juga didukung oleh penggunaan rujukan tafsirnya yang
memiliki orientasi demikian seperti an–Nasafi dan al–Alu>siy.
Setiap kitab tafsir selalu memiliki karakteristik yang melekat pada tafsir
tersebut, baik karakter secara metodologis atau substansi penafsiran atau corak. Kitab
tafsir Sa‘id H{awwa ini dapat ditegaskan mengusung teori muna>sabah sebagai
karakter metodologis secara umum dan corak sufistik sebagai karakter substansi
penafsiran.
Sebelum kita menggali seperti apa substansi pemikiran tafsir sufistik Sa‘id
H{awwa, penulis akan mengkaji dulu tentang corak sufistik dan keberadaannya
dalam penafsiran. Kajian ini akan diketengahkan pada pembahasan bab berikut.
__________
82
Sebagaimana dikemukakan juga dalam pendahuluan tafsirnya bahwa orientasi penulisan
tafsir ini berorientasi untuk menjelaskan aspek aqidah ( ushuluddin ), fiqh, ruhiyah, sulukiyah. Sa‘id
H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet. Ke–6, 30
63
BAB III.
CORAK SUFISTIK DALAM PENAFSIRAN ALQURAN
A. Keberadaan corak tafsir sufistik
1. Pengertian tafsir sufistik
Sebelum menjelaskan tentang pengertian tafsir sufistik terlebih dahulu
dikemukakan pengertian mengenai tafsir. Tafsir1 menurut pengertian bahasa رفسش
adalah menerangkan اىطشح , menjelaskan إظبس , اىجب menyatakan.2 Sedangkan tafsir
dalam pengertian istilah sebagaimana disebutkan Abu H{ayyan dalam pendahuluan
tafsirnya yaitu suatu ilmu yang membahas tentang Alquran (menyangkut bacaan lafaz
dan maknanya), menjelaskan kaedah struktur kalimatnya, serta aspek lain dalam
ulu>m al-Quran, seperti naskh, asbab an-nuzu>l dan lain-lain.3 Menurut Zarkashi
tafsir adalah ilmu untuk memahami Alquran dan menerangkan maknanya serta
1 Istilah tafsir inipun sudah populer ditelinga masyarakat seperti ditemukan dalam media–
media cetak khususnya, atau dalam berbagai pembicaraan, diskusi dan sebagainya. Penggunaan kata
ini biasanya menunjukkan kepada penjelasan atas suatu pernyataan atau dengan mengemukakan
makna yang tidak harfiah. Sungguhpun demikian dalam tulisan ini penulis akan menggunakan makna
tafsir menurut istilah dan pengertian dalam ulu>m al-Qura>n. 2 Ibrahim Anis, dkk, al–Mu‘jam al–Wasi>t} (tt:tp,t.th), juz I, Cet. Ke–2, 688. Pengertian
senada seperti dengan kashf = menyingkapkan, menampakkan, lalu menjadi jelas seperti ibarat seorang
dokter mendiagnosa pasiennya kemudian ia jelaskan penyakitnya. Zarkashi, al–Burha>n fi> Ulu>m
al–Quran (Kairo:Da>rut Tura>th, t.th), juz 2, 148. Sebagai tambahan uraian oleh Mahmud Yunus,
yaitu ضشح اىسأ ىخ = menerangkan masalah ; اىطشح = keterangan (diluar/lawan matan) biasanya matan
ditulis didalam tanda kurung. Lihat, Mahmud Yunus, Kamus Arab–Indonesia (Jakarta:Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Alquran, 1973/1393), 194, atau ث, ثب . = nyata, terang, 75.
Syarh, tafsir = penjelasan, syarh = pemberian komentar pada buku. Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi
Muhdhor, Kamus Kontemporer Arab–Indonesia, (Yogyakarta:Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren
Krapyak, t.th), Cet. Ke–4, 1126.
Penggunaan kata tafsir diungkapkan sekali dalam Alquran surat al-Furqa>n ayat 33;
. تفسيراال أ رل ثثو إال جئبك ثبىذق أدس . Artinya; Tidaklah orang–orang kafir itu datang
kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar
dan paling baik penjelasannya. Hal yang ganjil dikemukakan mereka seperti usulan atau kecaman
maka Allah menolaknya dengan sesuatu yang benar dan nyata yaitu firmanNya. Departemen Agama,
Alquran dan Terjemahnya, 564. 3 Abu H{ayya>n (654-754H), al-Bah}r al-Muh}i>t fi> at-Tafsi>r (Beirut: Darul Fikri,
1992/1412), juz.1,Cet. Ke–3, 14
64
mengeluarkan hikmah dan hukum-hukumnya. Tidak sekedar menjelaskan lafaz,
makna zahir ayat juga mencakup maksud yang dikandung lafaz.4
Definisi yang dikemukakan oleh ulama tafsir pada intinya menjelaskan bahwa
yang dimaksud tafsir adalah upaya menjelaskan makna ayat Alquran dan hukum–
hukumnya. Artinya dengan menggali makna, hikmah dan struktur (uslub) ayat yang
dikandung Alquran guna mengungkap aspek–aspek yang berkaitan dengan Alquran
seperti ilmu–ilmu Alquran baik yang secara langsung diambil dari Alquran seperti
bahasan nasakh, qasam, kisah dan lainnya. Ada juga yang tidak tidak langsung yaitu
melalui analisis mendalam yang menghasilkan kaedah us}ul fiqh dan kaedah
kebahasaan. Kaedah yang dihasilkan dari mengkaji Alquran tersebut untuk kemudian
dijadikan pedoman oleh sebagian ulama dalam memahami Alquran.5 Bila hal
demikian dijadikan alat dan sebagai rambu–rambu dalam menafsirkan Alquran maka
tafsir merupakan sebuah ilmu yang mengandung teori dan prinsip penafsiran. Dari itu
tafsir memiliki dua pengertian yaitu sebagai suatu ilmu yang membahas Alquran dan
kandungan maknanya dari berbagai aspek. Kedua, tafsir dalam artian menjelaskan
maksud Alquran tanpa berpegang pada seperangkat ilmu tafsir yang terpisah tapi
berbagai bentuk ilmu–ilmu Alquran sudah inklud dan dibahas ketika menjelaskan
kandungan ayat Alquran.
Setelah kita memahami arti tentang tafsir, selanjutnya diterangkan disini arti
sufistik. Sufistik asal kata dari bahasa Arab yaitu s}afa> صفب – صف - . صب ف
4 Badruddin az–Zarkashi, al–Burha>n fi> Ulu>m al–Quran (Kairo:Darut Turath, t.th), juz II,
tah}qi>q; Muhammad Abu al–Fadhl Ibrahim, 149. Senada dengan ini seperti terungkap dalam at–
Taisi>r disebutkan juga bahwa tafsir sebagai membukakan makna Alquran dan menerangkan
maksudnya. Muhammad bin Sulaiman al–Ka>fijiy, at–Taisi>r fi> Qawa>‘id Ilm at–Tafsi>r
(Beirut:Da>rul Qalam, 1990/1410), Cet. ke-1, tah}qi>q; Nas}ir bin Muhammad al–Mat}ru>diy, 124.
Pengertian lain sejalan dengan ini ditemukan pula dalam al–Mu‘jam al-Wasi>t} bahwa tafsir al–Quran
merupakan bagian dari ilmu–ilmu keislaman. Maksud dari tafsir al–Quran yaitu رظخ menjelaskan
makna Alquran dan yang terkandung dalam ayat-ayatnya meliputi akidah, hukum–hukum, hikmah dan
rahasianya. Ibrahim Anis, al–Mu’jam, 688. 5 Inilah yang kemudian digunakan sebagai alat untuk menjelaskan Alquran. Disamping itu
ada pula golongan yang tidak terikat dengan pengertian alat untuk menafsirkan yang dijadikan sebagai
pedoman. Lihat; Bab I, Catatan No. 18
65
Tampak bulunya pada domba = صب ف اىنجص , maka domba itu disebut صب ئف artinya
yang memiliki bulu. اىصف artinya bulu yang menutupi kulit domba.6
Kata s}u>f صف kata benda diberi ya nisbah untuk menjadikannya kata sifat
atau عذ na’at7. S}u>fiy صف berarti makna asal berpakaian wol. Kata ini seperti
ditulis Harun Nasution, digunakan pada orang yang menjalani hidup sederhana dan
zuhud dengan tekun beribadah untuk membersihkan jiwa yang dikenal sekarang
dengan kaum sufi, mereka pada awalnya sering mengenakan pakaian kasar dari wol.
Memakai wol kasar adalah simbol kesederhanaan sebagai lawan dari orang kaya yang
memakai sutera.8 Kemudian orang yang mengikuti sikap mereka menjalani hidup
zuhud tersebut disebut dengan صف s}u>fiy, jadi mengalami perkembangan makna,
tidak hanya karena berpakaian wol. Dengan demikian maknanya berkembang orang
yang menempuh jalan tasawuf disebut صف s}u>fiy.9 Dari kata s}ufiy ini
mengandung pengertian seorang s}u>fi, bisa juga untuk mensifatkan yang berkaitan
dengan tasawuf. Artinya dipakai untuk menunjukkan pelaku dan juga kata sifat
sebagai fungsi dari ya nisbah, misal; alkita>b as}–s}u>fiy اىنزبة اىصف = buku
tentang tasawuf.
Dari sinilah kemudian ada istilah sufistik untuk memberikan kata sifat tentang
tasawuf dalam tulisan latin dengan meminjam gaya bahasa Inggris.10
Dengan
6 Ibrahim Anis, al–Mu’jam, h. 529. Jamak dari صف adalah أصاف bahasa inggrisnya wool
artinya bulu domba, woolen berarti pakaian wol. Lihat; Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written
Arabic (London:George Allen and Unwin Ltd, 1971), Cet. Ke–3, 531. Lihat juga;Jhon M. Echols dan
Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta:PT. Gramedia, 1996), Cet. Ke-23, 651. Dari
penelusuran akar kata tasawuf dan sejarah maka kata صف s}u>f lebih cocok dan maknanya sejalan
dengan tasawuf dari pada kata lain yang berkembang, seperti kata صف s}af ( barisan ), صف s}afa>
(jernih) 7 Dalam bahasa Arab, salah satu cara untuk menjadikan kata benda yang bukan sifat sebagai
kata sifat (na‘at) yaitu dengan menambahkan ya nisbah, seperti kata rumah ضه bila digunakan
sebagai sifat misal pekerjaan rumah (PR) اىاجت اىضى , masyarakat Islam ditambah ya اىجزع اإلسال . 8 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet.
Ke–8, 57 9 Ditambahkan juga bahwa s}u>fi disebut al –‘a>rif bi at-tas}awwuf . S}awwafa صف fulan
berarti upaya menjadikannya seorang sufi, tas}awwafa berarti sesorang menempuh kehidupan sufi
artinya sikap yang sudah melekat pada seseorang. Jadi tas}awwuf berarti jalan ibadah yang ditempuh
untuk membersihkan jiwa/rohani (agar merasa dekat dengan Allah). Ibrahim Anis, al–Mu‘jam, 529. 10
Sedangkan berkaitan dengan ajaran, aliran digunakan istilah sufisme (juga menyerap
bahasa Inggris), dalam bahasa Arab nya اىصفخ disebut juga dengan Islamic mysticism, adapun
pembahasan ilmunya disebut dengan ilmu tasawuf yaitu ilmu yang mempelajari jalan tasawuf yaitu
66
demikian istilah sufistik dipahami dari kata صف . Adh-Dhahabi menggunakan kata
ini (اىصف ( dalam menyebut tafsir sufi. Ia mengungkapkan bahwa tafsi>r s{u>fiy
:adalah رفسش صف
مو رصف ظش رصف عي مب ى أثش ف رفسش اىقشا اىنش ب جعو اىزفسش
11اىصف
Kedua jenis tasawuf yaitu naz}ari dan amali, mempunyai pengaruh dalam
penafsiran Alquran sehingga membentuk penafsiran sufistik.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penafsiran sufistik dibentuk dari
pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran yang bercorak tasawuf yang muncul dari
pemahaman tasawuf praktis (amali) dan kajian teori tasawuf (naz}ari). Dari
keterangan diatas dapat ditegaskan bahwa penafsiran sufistik disebut juga dengan
tafsir sufi yang maksudnya adalah menjelaskan makna ayat Alquran berdasarkan
tinjauan tasawuf.12
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penafsiran sufistik
adalah menjelaskan Alquran yang berdasarkan kepada tinjauan aspek tasawuf, baik
tasawuf naz}ari (teoritis) dan tasawuf amali (praktis).
2. Pertumbuhan dan perkembangan corak tafsir sufi
Berbicara tentang tafsir sufi tidak dapat dilepaskan dari perkembangan
tasawuf sendiri yang seiring juga dengan awal pertumbuhan Islam. Lebih lanjut
diterangkan oleh adh-Dhahabi mengenai corak tafsir terbagi pada isha>ri dan
naz}ari. Tafsir sufi isha>ri adalah;
jalan untuk membersihkan jiwa, rohani supaya merasakan dekat dengan Tuhan. Ibrahim Anis, al–
Mu‘jam, h. 529. Lihat juga, Hans Wehr, Dictionary, 531. Harun, Falsafat, 57. 11
Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2,251 12
Ini termasuk bagian dari corak tafsir, seperti corak kalam (aspek kalam), corak fiqh (aspek
fiqh). Inti tasawuf sendiri seperti terungkap dalam at-tafsi>r wa al–Mufassiru>n, dikutip dari Dairah
al–Ma‘arif adalah; komunikasi hati (qalb) dan dialog/hubungan langsung roh yang ketika itu naik ke
langit alam nur , malakut dan dunia ilham. Ini dialami bagi orang suci bersih rohaninya dari dosa,
noda. Menurut Ibnu Khaldun, substansi tasawuf merupakan naiknya jiwa manusia menuju Allah
sesuai yang dikehendakinya. adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz
2,250.
67
رأو ابد اىقشا اىنش عي خالف ب ظش ب ثقزع إضبساد خفخ رظش ألسثبة
.ن اىزطجق ثب ث اىظاش اىشادح, اىسيك13
Menakwilkan ayat Alquran dibalik makna zahirnya melalui isyarat
tersembunyi yang dipahami oleh pelaku tasawuf, dan dimungkinkan
menerapkan makna isha>ri dan makna zahir yang dimaksud ayat.
Definisi diatas memberi pengertian bahwa tafsir sufi ishari adalah penafsiran
yang dilakukan oleh ahli sufi terhadap ayat bercorak tasawuf dengan mengungkapkan
makna isha>ri. Para sufi juga dapat menggunakan makna zahir dalam penafsiran
sufistiknya. Selain itu dengan dimungkinkannya penggunaan makna zahir dalam
penafsiran sufistik mengindikasikan bahwa dalam mengemukakan makna isha>ri,
tetap berpedoman pada makna zahir. Istilah isha>ri diambil dari isyarat tersembunyi
dalam definisi diatas. Makna isha>ri dapat dipahami oleh pelaku tasawuf dalam
menjelaskan makna Alquran. Berdasarkan pendekatan isha>ri inilah maka
penafsirannya disebut dengan tafsir sufi isha>ri. Terkadang disebut juga dengan
tafsir ishar>i.
Sedangkan tafsir sufi nazhari adalah;
فنب اىجذ أ ظش ؤالء , رعبى فيسفخ, ث رصف عي جبدث ظشخ
14. اىزصفخ إى اىقشا ظشح رزط ع ظشبر رعبى
Ahli sufi yang mengembangkan tasawuf berdasarkan pembahasan teoritis dan
ajaran filsafat sehingga ia memahami Alquran sangat terikat dengan teori dan
ajaran filsafatnya.
Para sufi naz}ari menjelaskan makna sufistik Alquran berdasarkan pada
kajian teoritis dan ajaran filsafat. Proses memahami ayat baginya beranjak dari
pikiran dan pengetahuan teoritisnya yang kemudian diwujudkan dalam menjelaskan
13
Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2,261 14
Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2,251-2.
Pengertian senada dikemukakan oleh Sayyid Jibril yaitu mengalihkan makna zahir ayat kepada makna
yang berlandaskan pada ajaran filsafat dan fanatik mazhab aqidah. Lihat; Muhammad Sayyid Jibril,
Madkhal ila Mana>hij al-Mufassiri>n (Kairo: al-Ba>b al-Akhd}ar al-Mash-had, 1987/1408), Cet.ke-
1,211
68
ayat. Mufasir sufi isha>ri merupakan implementasi dari tasawuf amali sedangkan
mufasir sufi naz}ari berdasar pada tasawuf naz}ari.
Melihat perkembangan tasawuf dalam sejarah Islam dipahami bahwa aspek
praktis tasawuf lebih dulu berkembang dari pada aspek kajian tasawuf teoritis.15
Sejalan dengan itu bersinggungan dengan tafsir, juga samahalnya dengan tasawuf
dimana tafsir sufi isha>ri lebih dulu penerapannya dari tafsir sufi naz}ari. Tafsir sufi
isha>ri didasarkan pada latihan rohani dan ibadah pada diri sufi sehingga terbuka
hijab (kashf) baginya dan memperoleh pengetahuan rabbani lalu ia mampu
memahami ayat secara tersirat.16
Benih menjelaskan makna Alquran secara isha>ri sudah pernah terjadi pada
masa sahabat seperti penjelasan Umar bin Khattab tentang ayat 3 surat al-Maidah:
. اى أميذ ىن دن أرذ عين عز سظذ ىن اإلسال دب
Menurut Umar seperti dikemukakan oleh al-Alusi dalam tafsirnya;
.صذقذ: فقبه اىج, مب ف صبدح دب فأب إرا مو فئ ى نو ضئ قط إال قص17
Kami masih mengharapkan tambahan dari pengetahuan agama. Karena itu
apabila telah sempurna maka sesungguhnya sesuatu yang cukup itu belum
sempurna kecuali kekurangan. Nabi berkata: Engkau benar Umar.
Dijelaskan oleh al-Alusi bahwa Nabi tidak membantah penafsiran Umar
terkait ayat tersebut bahwa yang dimaksud dengan kesempurnaan agama itu adalah
terkait dirinya. Pernyataan Umar ini wujud dari kesedihannya bahwa maksud ayat ini
sebagai pertanda pengajaran Nabi tentang agama akan berakhir. Inilah yang dimaksud
oleh Umar dengan kekurangan.18
Takwil yang dikemukakan Umar tersebut
15
Hal ini juga sejalan dengan penyebaran Islam khususnya di Indonesia yang awal masuknya
didaerah Aceh. Menurut sejarahnya, pertumbuhan Islam dari Aceh terus berkembang ke wilayah lain
di Indonesia melalui jalan praktek tasawuf bahkan jalan tasawuf yang dikemas dengan aturan amalan
tertentu merujuk kepada ulama perintis amalan tersebut yang dikenal dengan tarekat. Cara tasawuf
yang dilakukan demikian lebih mudah diterima masyarakat dan dirasakan dari pada teori keislaman
lain seperti ilmu kalam atau fiqh. 16
Al–Alu>si, Ru>h} al-Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al–Quran al-‘Az}i>m wa as-Sab’i al-Matha>ni
(Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 1422/2001), Jilid I, Cet. Ke–1, 6 17
Al–Alu>si, Ru>h} al-Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al–Quran al-‘Az}i>m wa as-Sab’i al-Matha>ni
(Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 1422/2001), Jilid 3, Cet. Ke–1,328 18
Al–Alu>si, Ru>h} al-Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al–Quran al-‘Az}i>m wa as-Sab’i al-Matha>ni
(Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 1422/2001), Jilid 3, Cet. Ke–1,328
69
berdasarkan kemampuannya menangkap isyarat yang tersembunyi dari makna ayat.
Memahami ayat secara ishari, dapat dilakukan oleh orang yang mampu mengungkap
isyarat tersembunyi dengan didukung oleh latihan rohani (riya>d}ah) dan kualitas
ibadahnya, karena itu penafsirannya termasuk corak sufistik.
Pada zaman sahabat belum ada pemisahan tentang berbagai ilmu apalagi
pembukuan seperti yang dikenal sekarang. Bidang ilmu tafsir, fiqh, ilmu hadis,
termasuk tasawuf semuanya masih menyatu dalam hadis–hadis Nabi bahkan belum
sempurna penulisannya yang masih terpisah-pisah. Masa berikutnya, baru ada
perhatian ulama untuk membentuk keilmuan masing–masing dan membukukannya.19
Setelah dilakukan pembukuan hadis maka hadis–hadis yang terkait dengan tafsir
ditempatkan dalam kitab tafsir untuk disusun terpisah sehingga membentuk tafsir
yang utuh.20
Perkembangan penulisan tafsir selanjutnya memunculkan tafsir corak
tasawuf disamping corak lain seperti kalam, bahasa dan sebagainya. Contoh tafsir
corak tasawuf yaitu tafsir at-Tustari karya Tustari (200-283H), corak bahasa seperti
tafsir al-Muh}arrar al-Waji>z karya Ibnu „At}iyah (481-546H), corak kalam seperti
tafsir al-Kashsha>f karya Zamakhshari (467-538).
Selepas zaman sahabat sekitar abad III hijrah, ulama sufi yang menempuh
jalan tasawuf berupaya menafsirkan makna ayat secara sufistik dan menulis dalam
kitab tafsir. Salah satu ulama tersebut adalah Abu Muhammad Sahl bin Abdullah bin
Yunus bin Isa bin Abdullah at–Tustari lahir tahun 200 H di daerah Ahwaz dan wafat
di Bashrah tahun 283H. Ia termasuk orang ‘a>rifi>n21
terkenal dengan sikap wara‘22
19
Penyusunan tafsir terpisah dari hadis sejak dinasti Abbasiyah, maka disusunlah tafsir
menjadi ilmu berdiri sendiri. Lihat; Al-Farmawi, al-Bida>yah fi> at-Tafsi>r al-Maud}u>‘i ( Tt: tp,
1977/1397), 14 20
Tercatat kitab tafsir lengkap yang disusun pertama yaitu tafsir at}–T{abari (223–310 H)
yang dinamai dengan Ja>mi’ al–Baya>n fi> Tafsi>r al-Quran yang menghimpun berbagai macam
riwayat dalam penafsirannya. Adh–Dhahabi, at–Tafsir …, juz I, h.104 & 147. Lihat juga; Ibnu Jari>r
at}-T}abari, Ja>mi’ al–Baya>n fi> Tafsi>r al-Quran (Kairo: Darussalam, 1425/2005), Cet.Ke-1,24 21
Sebutan tertinggi bagi ulama tasawuf, bandingannya pada tataran; ilmu–‘a>lim, ma‘rifah–
‘a>rif. 22
Salah satu sifat yang dimiliki sufi yaitu memlihara diri dari hal–hal yang dapat
menimbulkan dosa seperti menjauhi shubhat, juga sangat menjaga muru-ah yang dapat menurunkan
martabat dirinya.
70
dan mendapat anugerah karamah.23
Dalam hidupnya, Tustari pernah bertemu dengan
sufi besar yaitu Dhunnu>n al-Mis}ri.24
Kitab tafsir yang disusun Tustari berjudul dengan Tafsi>r al–Quran al–
‘Az}i>m (Penafsiran Alquran yang Agung), dinamainya juga dengan tafsir at-Tustari.
Tustari dalam kitabnya tidak menafsirkan ayat per ayat sesuai mushaf Alquran, tapi
terbatas beberapa ayat dalam tiap surat yang disusun mengikuti urutan mushaf.
Penyusunan tafsirnya didasarkan pada pertanyaaan yang diajukan kepadanya terkait
perkara tasawuf lalu ia jelaskan berdasarkan ayat–ayat Alquran.25
Melihat kitabnya
yang ringkas dan tidak tebal mencerminkan bahwa penjelasan ayat dalam tafsirnya
sesuai dengan persoalan yang dikemukakan kepadanya. Usaha Tustari dalam
menyusun tafsir corak sufistik dapat disebut sebagai awal pertumbuhan tafsir sufistik.
Menurut Tustari untuk memahami ayat Alquran meliputi 4 makna yaitu zahir,
batin, h}ad dan mat}la‘. Zahir adalah tilawah (lafaz bacaan), batin adalah pemahaman
إضشاف اىقيت عي اىشاد ) h}ad adalah ketentuan halal dan haram dan mat}la‘ adalah (اىف)
(ثب فقب اهلل عضجو ( pengertian yang diperoleh hati sebagai anugerah dari Allah.26
Dalam tafsirnya, Tustari banyak menggunakan makna isha>ri walaupun ia juga tidak
menghilangkan tentang makna zahir. Makna isha>ri yang dikemukakannya tampak
dominan berpegang pada makna zahir.27
Berdasarkan kategori makna diatas,
menunjukkan bahwa penafsiran sufistik menurut at-Tustari tidak dapat lepas dari
makna zahir ayat.
23
Keistimewaan dan kelebihan yang dimiliki sufi sebagai bukti bahwa ia dekat dengan Allah.
Kelebihannya ini merupakan suatu kemuliaan yang datang dari Allah. Kara>mah adalah bahasa Arab
yang berarti mulia, orang–orang sufi adalah orang mulia baik karena prilaku dan karena ibadahnya. 24
Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2,281. Dhunnu>n
(w.860 M) dikenal peletak ajaran ma‘rifah. Pengetahuan sufi tentang Tuhan itu Esa, melalui
perantaraan hati sanubari. Inilah pengetahuan hakiki tentang Tuhan yang disebut dengan ma‘rifah.
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. Ke–8, 76. 25
At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut:Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–
I,12. 26
Lihat pengantar Tustari dalam tafsirnya. At–Tustari, Tafsir at–Tustari (Beirut:Darul Kutub
al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I,16 27
Apalagi menyangkut ayat yang tegas makna zahirnya maka takwil yang dikemukakan lebih
dekat kepada makna zahir tersebut. Misalnya QS>. Al-Fath:4, makna saki>nah artinya
t}uma’ni>nah.Lihat; Tustari dalam tafsirnya. At–Tustari, Tafsir at–Tustari (Beirut:Darul Kutub al–
Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 148
71
Sufi lain yang menyusun kitab tafsir adalah as–Sulami28
dengan nama
kitabnya H{aqa>iq at-Tafsi>r (Hakekat-hakekat Penafsiran). As–Sulami seorang
tokoh sufi Khurasan lahir 330 H dan wafat tahun 412 H, termasuk sufi periode abad
IV H. Menurut az–Zahabi, kitab tafsir as-Sulami ini polanya sama dengan tafsir at-
Tustari yaitu tidak setiap ayat yang diberi penafsiran. As–Sulami menyusun kitab
tafsir berdasarkan kumpulan penafsiran dari ahli hakikat/para sufi kemudian disusun
menurut tertib surat dalam Alquran. Nama kitabnya adalah H{aqa>iq at–Tafsi>r
terbatas pada menggunakan pola makna isha>ri dan tidak berlandaskan pada makna
zahir.29
Tafsir as–Sulami ini lebih lengkap ketimbang tafsir sebelumnya (tafsir at-
Tustari) karena merangkum penafsiran para sufi sebelumnya yang bercorak isha>ri
termasuk tafsir at-Tustari. Karya as–Sulami bisa disebut pengembangan dari tafsir at-
Tustari.
Pendapat-pendapat yang dihimpun dalam tafsir as–Sulami seperti Ja„far bin
Muhammad as–S{a>diq, Ibnu „At}aillah as–Sakandari, al–Junaid, Fud}ail bin „Iyad},
Sahl bin Abdullah at–Tustari dan tokoh sufi lainnya. Sementara itu as-Subki dalam
T{abaqa>t as–Shafi‘iyyah menyebutkan kitab H{aqa>iq at-Tafsi>r menghimpun
berbagai penafsiran sufi sebelumnya yang terbatas pada penggunaan takwil para sufi
yang keluar dari makna zahir.30
Demikian penilaian ulama terhadap tafsir as–Sulami
yang hanya mengedepankan penggunaan makna isha>ri dalam tafsirnya. Bahkan,
sebagian ulama mencela keberadaan tafsir as–Sulami, dengan alasan bahwa tafsir
tersebut hanya berisi takwil dan penjelasan secara isha>ri, tanpa terikat dengan
makna zahir.
Mufasir sufi berikutnya yaitu Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi (w.465
H) dengan kitab tafsirnya Lat}a>if al-Ishara>t. Tafsirnya ini mencerminkan tafsir
sufistik yang menyingkapkan tentang thauq dan memunculkan perasaan yang
diperoleh dalam muja>hadah. Didalamnya mengandung makna halus Alquran dari
28
Nama lengkapnya, Abu Abdurrahman Muhammad bin Husen bin Musa al-Azdi as–
Sullami. 29
Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 284 30
Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 286
72
penjelasan para ahli sufi. 31
Disebutkan oleh Iyazi bahwa al-Qusyairi juga pernah
belajar pada as-Sulami (w.412 H).32
Pemikiran sufistik dari as-Sulami memiliki
pengaruh pada tafsir yang disusun oleh al-Qusyairi yang sangat menonjolkan makna
isha>ri.
Tafsir sufistik yang muncul pada perkembangan berikutnya yaitu pada abad
VI H yang disusun oleh Ibnu Arabi dengan nama tafsir al-Quran al–‘Az}i>m. Ibnu
Arabi lahir di Murcia, Andalus pada tahun 560 H/1165 M dan lama tinggal di
Ishbi>liy yaitu sekitar 30 tahun. Di sini ia banyak menimba ilmu kepada beberapa
guru diantaranya Abu Muhammad Abdul Haq bin Abdurrahman al-Ishbi>liy dan al-
Qadi Abu Muhammad Abdullah al-Ba>zi>liy sehingga Ibnu Arabi dikenal dengan
ketinggian ilmunya.33
Dari perjalanan hidupnya di wilayah timur dan di saat itu
pulalah ia memperdalam pengetahuan tasawufnya maka daerah terakhir yang menjadi
ujung perjalanan hidupnya adalah di Damaskus. Ia wafat dan dikuburkan di kota itu
pada tahun 638 H/1240 M.34
Ibnu Arabi adalah seorang yang menguasai bermacam
ilmu pengetahuan disamping tasawuf. Ia juga dikenal mengarang kitab hukum,
sejarah, sastera dan yang mengesankan karangan tasawufnya yang bercorak filsafat
yaitu al–Futu>h}a>t al–Makkiyyah,35
Fus}u>s} al–H{ikam serta kitab tafsir yang
bercorak sufistik. Karena itu, ia dikenal dengan filosof sufi.36
31
Disebutkan juga dibelakang namanya dengan Naisyaburi dimana ia memang berasal dari
daerah Naisyabur (376-465H). Dalam mazhab fiqh, ia pengikut ajaran Shafi‟i dan dalam mazhab
kalam ia masuk aliran Ash„ari. Muhammad Ali Iyazi. al–Mufassiru>n: Haya>tuhum wa Manhajuhum
(Teheran: Wiza>rah Thaqa>fah Isla>miyah, 1414 H/1994 M), 603-605 32
Nama Al-Qusyairi sangat terkenal dengan kitab risalahnya yaitu Risalah al-Qusyairi.
Muhammad Ali Iyazi. al–Mufassiru>n: Haya>tuhum wa Manhajuhum (Teheran: Wiza>rah
Thaqa>fah Isla>miyah, 1414 H/1994 M), 604 33
Disini ia belajar hadis, qira‟at dan ilmu lainnya. Abdul wa>rith M.Ali, Pengantar Tafsir
Ibnu Arabi (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2006/1427),3 &10 34
Mustafa bin Sulaiman, Syarh Fus}u>s} al-H{ikam (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah,
1428/2007), kata pengantar, 9. Lihat juga; Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. Ke–8, 92. 35
Kitab ini semacam ensiklopedis sufistik menyangkut prinsip ajaran Islam yang dikupas
secara dalam, filosofis dengan mengungkap dalil Alquran. Susunannya terdiri dari 6 bagian (pasal) dan
560 bab. Lihat; Ibnu Arabi, Al-Futu>h}a>t al-Makkiyyah. Beirut: Darul Fikri, 1424 H/2004 M, Cet.
Ke-1 36
Dalam kitab Fusus al-Hikam, Ibnu Arabi menggali makna wujud dan fenomena alam yang
dikemukakan dengan seperti mutiara ilahiah yang dinisbahkan pada Adam. Maksudnya Adam
menggambarkan jenis alam manusia bukan Adam sebagai nenek moyang manusia. Dalam kitab ini ada
73
Tafsir yang disusun Ibnu Arabi terdiri dari 2 jilid cukup tebal sekitar 400 –an
halaman perjilid. Sistematika penyusunannya mengikuti susunan mushaf Alquran
walaupun yang ditafsirkan terbatas pada beberapa ayat. Metode Ibnu Arabi dalam
menafsirkan Alquran adalah dengan menyatakan beberapa bagian ayat dalam satu
surat kemudian dijelaskan maknanya terbatas pada potongan ayat yang dikutip.37
Misalnya, ketika menafsirkan ayat ke 10 surat al–Baqarah, yang diberi uraian
hanya sebagian dari ayatnya. ف قيث شض فضاد اهلل شظب ى عزاة أى ثب مبا نزث .
Ibnu Arabi menjelaskan tentang ف قيث شض kemudian bagian فضاد اهلل شظب setelah
itu langsung ke ayat 14 yaitu bagian awal إرا ىقااىز اا . Demikian metode Ibnu
Arabi menafsirkan Alquran yang difokuskan pada bagian–bagian ayat saja. Sekalipun
ayat yang disorot secara parsial terbatas pada bagian ayat tapi uraiannya bisa panjang.
Ibnu Arabi tidak sekedar menjelaskan makna kata tapi menafsirkan dengan jalan
menakwilkan ayat tersebut secara terurai. Metodologi demikian yang terdapat dalam
tafsir Ibnu Arabi diterapkan dalam kedua jilid tafsirnya.
Pahamnya tentang filasafat menyatakan bahwa pada hakikatnya yang ada itu
satu sedangkan yang banyak kelihatan merupakan bayangan. Semua wujud adalah
satu dalam realitas tiada sesuatupun bersama denganNya. Karena itu Ibnu Arabi
dikenal dengan paham filsafat wah}datul wuju>d (kesatuan wujud).38
Karya–karya
27 tema yang dinisbahkan kepada nama-nama Nabi. Lihat; Abul „Ala> „Afi>fiy, Ta‘li>q Fus}u>s} al-
H{ikam ( Beirut: Darul Kutub al-Arabi, 1400/1980),9& 228 37
Lihat; Ibnu Arabi, Tafsi>r Alquran al–‘Az}i>m (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427
H/2006 M), Cet. Ke–2. Mengenai hakikat tafsir Ibnu Arabi ini berkembang dua pandangan, pertama
pihak yang mengakui bahwa tafsir itu adalah karya Ibnu Arabi sendiri makanya dinisbahkan pada
namanya. Pandangan lain beranggapan tafsir Ibnu Arabi merupakan susunan Abdurrazaq al–Qasha>ni
lalu dinisbahkan kepada Ibnu Arabi (560–638 H) supaya mudah dikenal umum dan populer di
masyarakat karena kebesaran nama Ibnu Arabi. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abduh
yang dinyatakan dalam mukaddimah tafsir al–Manar. Menurut Muhammad Abduh, al–Qasha>ni
adalah seorang pengikut aliran Bat}i>niyyah, bagi masyarakat umum seperti dikata Abduh tidak bisa
membedakan antara pernyataan aliran bat}i>niyyah dan sufiyah. adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-
Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 295. Disebut juga bahwa al-Qasha>ni (w.730 H) seorang
sufi alim dan termasuk mufasir sufi terkemuka. Lihat uraian;Muhammad Hamdi Zaghlul, at–Tafsi>r bi
ar–Ra’yi (Dimaskus:Maktabah al Farabi, 1429/1999), Cet. Ke–1, 448 &452. 38
Paham wah}datul wuju>d pertama kali bangun oleh Ma„ruf al-Kharkhi (w.200/815)
seorang sufi dari Baghdad, menurut pahamnya; Tiada sesuatupun dalam wujud kecuali Allah.
Kemudian pada ajaran Ibnu Arabilah berkembangnya ide wah}datul wuju>d itu. Lihat; Kautsar
Azhari Noer, Ibnu Arabi: Wahdatul Wujud dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), Cet.ke-
1,34-5
74
tasawufnya dipengaruhi oleh paham filsafat tersebut sehingga ia dikenal dengan
aliran tasawuf falsafi. Paham filsafatnya ini menjadi dasar bagi Ibnu Arabi ketika
menafsirkan Alquran.
Menurut az–Zahabi, tafsir Ibnu Arabi ini mencerminkan dua aliran tafsir sufi
dimana terdapat didalamnya jenis tafsir sufi naz}a>ri dan tafsir sufi isha>ri. Dalam
tafsirnya lebih dominan makna ishari dan tidak nyata menggunakan makna zahir.
Banyak dari penafsiran isha>rinya yang sulit di pahami 39
Penafsiran sufistik Ibnu
Arabi dengan teori filsafat wahdatul wujud sebagai landasan dalam memahami ayat,
menjadikan tafsirnya tergolong tafsir sufi naz}ari.
Melihat pola penafsiran Ibnu Arabi diatas dapat ditegaskan bahwa
perkembangan tafsir sufi yang tercermin padanya berupa penggabungan tafsir sufi
naz}ari dan tafsir sufi isha>ri. Sekalipun ditemukan dalam tafsirnya kecenderungan
naz}arinya lebih menonjol.
Selain Ibnu Arabi, tafsir sufistik dengan pola isha>ri lain yaitu ‘Ara>is al–
Baya>n f>i H{aqa>iq al–Quran (Penjelasan Indah dalam Hakekat Alquran) yang
ditulis oleh Abu Muhammad Ruzbihan bin Abi Nas}r ash–Shira>zi as}–S{u>fi. Ia
wafat tahun 666 H atau hidup pada abad VII H (Ibnu Arabi w.638 H). Menurut adh–
Dhahabi tafsir Shairazi ini termasuk tafsir sufi isha>ri yang memegang makna
isha>ri dan tidak menonjol makna zahir.40
Sebagaimana dinyatakan dalam
mukaddimah kitab ‘Ara>is al–Baya>n f>i H{aqa>iq al–Quran, mengenai kalam
Allah tidak akan pernah usai bagi kita dalam mengungkap makna zahir dan batin.
Tidak ada pemahaman yang sempurna mengupas maknanya. Shira>zi menyusun
tafsirnya dengan penjelasan yang halus, mengungkap makna isha>ri dalam Alquran
yang halus bahasanya dan mulia ungkapannya. Ia menambahkan, barangkali
penafsirannya beda dengan mufasir sebelumnya karena mengungkap makna yang
dalam dan halus dari Alquran. Sekalipun ia juga mengakui bahwa makna kalimat
Alquran mengandung makna zahir dan batin.41
Dari penjelasan Shira>zi dalam
39
Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 296. 40
Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 288 41
Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 288
75
mukaddimah ‘Ara>is al-Baya>n fi> H{aqa>iq al-Qura>n, ia menyadari bahwa
memahami makna Alquran dapat diambil dari makna zahir atau batinnya. Namun
usaha mengungkap makna Alquran tersebut tidak akan pernah sempurna karena
begitu luas dan dalamnya makna “ kalimat Allah “. Setiap mufasir mencoba
menjelaskan makna Alquran secara dalam dan halus seperti yang dilakukannya agar
sejalan maknanya dengan tujuan Alquran sebagai kalamullah yang diturunkan kepada
manusia.
Pada abad VII ini juga muncul tafsir sufi lebih besar lagi yaitu terdiri dari 5
jilid yang disusun oleh dua orang sufi yaitu Najmuddin Da>yah dan „Alauddaulah as–
Samna>ni. Adapun Najmuddin berasal dari Khawarizmi. Nama lengkapnya adalah
Syaikh Najmuddin, Abu Bakar bin Abdullah bin Muhammad bin Shahid al–Asadi ar–
Razi yang populer dengan sebutan Da>yah. Ia wafat tahun 654 H di Baghdad.
Kedua, adalah Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad as–Samna>ni,
yang dijuluki „Alauddaulah. As-Samna>ni lahir tahun 659 H, dan wafat tahun 736 H
(abad VIII H) setelah ia berdomisili terakhir di daerah T{ibristan dan Baghdad. 42
Tafsir ini dinisbahkan kepada nama penulis pertamanya, Najmuddin yang
menjadi nama kitabnya, yaitu at–Ta’wila>t an–Najmiyyah (Takwil-takwil yang
Nyata) yang disusun dalam lima jilid besar. Najmuddin menyusun tafsir tersebut
hanya sampai jilid 4 yang berakhir pada surat adh–Dha>riya>t ayat 17–18. Sampai
surat tersebut Najmuddin meninggal dunia maka kemudian tafsirnya diteruskan oleh
„Alauddaulah sampai selesai yang merupakan jilid ke lima dan terakhir.43
42
Najmuddin Dayah adalah seorang sufi yang berguru pada Shaikh Najmuddin Abi al–Junab
yang dikenal dengan sebutan al–Bakri. adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp,
1396/1976),juz 2, 290 - 291 43
Sementara „Alauddaulah menurut beberapa sumber yang dikutip az–Zahabi menyebutkan,
„Alauddaulah seorang sufi yang pernah berguru pada Sadruddin bin Hamwiyah, Sirajuddin al-Qazwini
dan Imamuddin bin Ali Muba>rak al–Bakri. „Alauddaulah terkenal dengan keluasan ilmu, a>lim, budi
luhur dan memiliki wajah tampan. Karangannya banyak tentang tafsir dan tasawuf bahkan disinyalir ia
juga memiliki kara>mah. Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2,
291. Dari keterangan adh–Dhahabi ini penulis tidak memperoleh data tentang hubungan antara
Najmuddin Dayah (w.654 H) dengan „Alauddaulah as–Samna>ni (l.659 H) Kalau misal kedekatan
antara guru dan murid, mereka jelas tidak bertemu. Dari data akhir kehidupannya, masing–masing
sama meninggal di Baghdad.
76
Bentuk penafsiran Najmuddin adalah terkadang menyebutkan makna zahir
kemudian diikuti dengan penafsiran isha>ri, ia tidak menafsirkan berdasarkan teori
filsafat sufi. Berbeda dengan Najmuddin, as–Samnani dalam menafsirkan Alquran
berdasar pada filsafat sufi. Terakhir disebutkan adh–Dhahabi, tafsir ini termasuk
salah satu diantara beberapa kitab tafsir isha>ri.44
Tafsir at–Takwila>t an–Najmiyyah mengandung dua karakter pokok tafsir
yaitu bagian pertama menafsirkan ayat secara zahir kemudian diulas dengan makna
isha>ri, selain itu penafsirannya tidak terpengaruh oleh aliran pemikiran filsafat yang
masuk dalam penafsiran sufistik. Sedangkan bagian akhir kitab tafsir hanya
menggunakan penafsiran secara isha>ri yang ditulis oleh „Alauddaulah as-Samnani
tanpa mengambil makna zahir. Penafsiran sufistiknya didasarkan pada teori filsafat.
Corak tafsir sufistik yang terdapat dalam kitab at–Takwila>t an–Najmiyyah yang
disusun Najmuddin menggunakan makna zahir dan isha>ri. Adapun „Alauddaulah
as-Samna>ni dalam tafsir tersebut metodologinya menggunakan makna isha>ri saja
dan mengungkap rahasia ayat tasawuf berdasarkan teori filsafat sufistik.
Corak penafsiran Najmuddin termasuk tafsir sufi isha>ri sedangkan
penafsiran as–Samnani termasuk tafsir sufi naz}ari (teori filsafat sufistik) sekaligus
tafsir sufi isha>ri (pengalaman suluknya menjalani tasawuf). Dengan demikian tafsir
at–ta’wi>la>t an–Najmiyyah ini bercorak sufi naz}ari dan sufi isha>ri.45
Tafsir yang bercorak isha>ri lainnya yaitu yang disusun oleh Naisaburi46
yaitu Ghara>ib al–Quran wa Ragha>ib al–Furqa>n (Keunikan Alquran dan
44
Selintas teori penafsiran as–Samna>ni mirip dengan Ibnu Arabi namun bila didalami
agaknya teori filsafat dalam tasawuf as–Samna>ni tidak mengikuti paham Ibnu Arabi. Bahkan as–
Samna>ni termasuk orang yang turut mencela paham filsafat Ibnu Arabi, dan bahkan menuduh Ibnu
Arabi dengan kufur. az–Zahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 291-292. 45
Keberadaan penafsiran Najmuddin diatas membuka pikiran kita bahwa dari corak
penafsirannya tergolong tafsir sufi isha>ri, dari metodologinya, ia menggunakan makna isha>ri dan
mengambil juga makna zahir ayat. Ini menggambarkan bahwa tafsir sufi isha>ri tidak semata–mata
memegang makna isha>ri suatu ayat tapi dapat saja menerima makna zahir ayat. Alasan lain
mendukung tafsir sufistik Najmuddin sebagai corak sufi isha>ri dimana ia tidak terpengaruh dengan
ajaran tasawuf falsafi yang identik dengan tafsir sufi naz}ari. 46
Nama lengkapnya, Niz}amuddin Ibnu al–Hasan bin Muhammad bin Husein al–Khurasani
an–Naisaburi. Ia terkenal dengan sifat wara’, taqwa, zuhud dan sufi. Kedalaman ilmu dan kesalehan
dirinya tercermin dalam kitab tafsirnya yang menggunakan makna isha>ri dan pengetahuan rabba>ni.
77
Keinginan Al-Furqan). Tafsirnya ini disamping mengemukakan takwil ayat
berdasarkan isyarat yang diperoleh oleh para ahli hakikat, ia juga menafsirkan ayat–
ayat dari tinjauan aspek lain seperti aspek hukum dari bermacam mazhab, qira‟at,
aspek bahasa dan balaghah. Ia juga kadang mengutip pendapat dari tafsir
Zamakhshari atau Fakhrurazi namun ia kritis dan bebas dalam mengemukakan
pandangannya sendiri sekalipun berbeda dengan mufasir yang dikutip.47
Dengan
demikian aspek tersebut menjadi kecenderungan dari orientasi penafsirannya seperti
orientasi qira‟at, fiqh, kalam , tasawuf dan bahasa. Artinya pembahasan Naisaburi
dalam tafsirnya mengenai hal tersebut merupakan bagian dari manhaj penafsirannya.
Perkembangan berikutnya, muncul tafsir Ru>h}ul Baya>n (Penjelasan-
penjelasan halus), yang disusun oleh Ismail Haqqi al-Burusawi (w.1127 H). Adapun
manhaj tafsirnya termasuk lugawi, bayani dan sufistik. Didalamnya diungkapkan
berbagai aspek tafsir seperti asbab nuzul, riwayat-riwayat, aspek qira‟at, bahasa dan
penjelasan sufistik.48
Disebutkan oleh Iyazi, tafsir Ru>h}ul Baya>n bagian dari kitab
tafsir yang brcorak isha>ri yang tetap berpegang pada makna zahir dan analisa
bahasa.49
Selanjutnya tafsir yang dikategorikan sebagai tafsir isha>ri yaitu tafsir
Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al–Quran al–‘Az}i>m wa as–Sab‘i al–Matha>ni
(Makna-makna halus dalam penjelasan Alquran yang Agung dan Tujuh Ayat yang
diulang) yang disusun oleh Shihabuddin as–Sayyid Mahmud Afandi al–Alu>siy al–
Keturunannya berasal dari kota Qum, keluarganya hijrah dan muqim di daerah Naisabur. Informasi
kelahiran dan kematiannya tidak ada keterangan pasti diantaranya ada menyebut w. 728 H/1328M.
Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 1,228. Lihat juga; Ibnu
Arabi, Pengantar Abdul Warith M.Ali, Tafsir Ibnu Arabi, 19. Iyazi, al-Mufassirun, 524 47
Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976), juz I,231-32 48
Biasa juga dibelakang namanya dicantumkan at-Turki yang menunjukkan bahwa ia
keturunan Turki. Mengenai kehidupan sufistiknya, ia termasuk pengikut tarikat al-Khalwatiyyah. Al-
Burusawi menempuh pendidikan di Turki, kemudian hari ia pindah dari Turki ke Burusah dan
meninggal di sana tahun 1127/1715 M. Muhammad Ali Iyazi. al–Mufassiru>n: Haya>tuhum wa
Manhajuhum (Teheran: Wiza>rah Thaqa>fah Isla>miyah, 1414 H/1994 M), 475-6. 49
Muhammad Ali Iyazi. al–Mufassiru>n: Haya>tuhum wa Manhajuhum (Teheran: Wiza>rah
Thaqa>fah Isla>miyah, 1414 H/1994 M), 478 & 850
78
Baghdadi (w.1270 H).50
Ia terkenal sebagai muhadis cerminan sebagai ahli riwayat,
mufasir cerminan ahli dira>yah, menguasai perbedaan mazhab baik kalam atau fiqh.
Dalam fiqh ia lebih cenderung ke mazhab Hanafi.51
Pandangannya tentang tafsir
sama dengan para ulama lainnya seperti dikutip dari definisi Abu H{ayyan,52
sedangkan takwil menurutnya lebih rinci dari sekedar penjelasan terkait dengan
penggunaan dirayah. Takwil menurutnya adalah isyarat suci dan pengetahuan
rabba>ni yang turun kedalam hati para sa>lik dan ‘a>rifi>n sehingga terbuka
baginya tabir dalam memahami ayat secara isha>ri.53
Dari pengertian takwil yang
dikemukakan al–Alu>si menunjukkan bahwa ia memandang ayat–ayat tasawuf
memerlukan takwil melalui makna isha>ri yang diperoleh lewat latihan rohani para
sufi.
Sebagaimana dijelaskan dalam mukaddimah kitab tafsirnya, al–Alu>si sejak
mulai belajar Alquran selalu terobsesi untuk menyingkapkan rahasia ayat Alquran
yang tersembunyi. Keinginannya itu terwujud dengan menyusun kitab tafsir yang
dimulai tahun 1252 – 1267 yang diberi nama Ru>h} al–Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al–
Quran al-‘Az}i>m wa as–Sab‘i al-Matha>ni. Tafsirnya merupakan sebuah karya
monumental baginya, yang menyingkap salah satu rahasia yang tersembunyi.54
Tafsir
al–Alu>si ini juga membahas tafsir dari aspek kalam dan fiqh disamping aspek
tasawuf.55
Orientasi tafsir dapat dianalisis dari berbagai aspek untuk kemudian
ditemukan seberapa besar perhatian mufasir terhadap masing-masing aspek tersebut.
Perkembangan tafsir sufistik pada abad II–XIII H mengambil corak sesuai
dengan yang dikelompokkan oleh adh–Dhahabi yaitu tafsir sufi yang bercorak
50
Al–Alusi lahir di baghdad tepatnya di negeri Alus dekat sungai Eufrat tahun 1217 H dan
wafat di Baghdad tahun 1270 H. Lihat juga; Ibnu Arabi, Pengantar Abdul Warith M.Ali, Tafsir Ibnu
Arabi, 19 51
Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976), juz I, h. 251 52
Ilmu yang membahas tentang qiraat dan lafaz Quran serta maknanya, kaedah
kebahasaannya, dan ilmu yang tercakup dalamnya seperti ilmu naskh, asba>bun nuzu>l, qasam dan
seterusnya. 53
Al–Alu>si, Ru>h} al-Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al–Quran al-‘Az}i>m wa as-Sab’i al-Matha>ni
(Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 1422/2001), Jilid I, Cet. Ke–1, 6 54
Al–Alusi, Ru>h} al–Ma‘a>ni…, jilid I, 5. 55
Muhammad Hamdi Zaglul, at–Tafsi>r bi ar–Ra’yi (Dimaskus:Maktabah al–Farabi,
1420/1999), Cet. Ke–1, 394
79
naz}ari dan isha>ri. Dalam penafsiran sufi naz}ari didasarkan pada kajian tasawuf
serta pengaruh teori filsafat, memahami ayat dibalik makna zahir seperti tafsir Ibnu
Arabi ( w.638 H) juga penafsiran as–Samna>ni (w.736). Artinya tafsir sufi naz}ari
juga memberikan takwil dalam memahami ayat yang didasarkan pada kajian dan teori
filsafat sufistik. Sehubungan dengan bentuk penafsiran Ibnu Arabi dan as–Samna>ni
diatas kecil kemungkinan untuk menggunakan makna zahir ayat.
Sedangkan penafsiran sufi isha>ri yang memahami ayat dominan secara
isha>ri, berdasarkan pengalaman rohani sufi yang tercermin pada tafsir as–Sullami
(w.412 H), Shairazi (w.666 H). Sementara itu penafsiran sufi isha>ri disamping
menggunakan makna isha>ri ayat, tetap memperhatikan makna zahir ayat seperti
yang dilakukan oleh Tustari (w.283 H) dan Najmuddin ( w.654 H). Mereka setelah
menjelaskan makna ayat secara zahir lalu diikuti makna isha>rinya atau
menggunakan makna isha>ri dengan tetap berlandaskan pada makna zahir ayat.
Kelompok ini masih nyata menggunakan makna zahir ayat dalam penafsiran sufistik.
Adapun kelompok yang lebih cenderung ke makna zahir disamping ada juga
menggunakan makna isha>ri yaitu Naisaburi dan al–Alu>si. Mereka bukan pengikut
filsafat seperti Ibnu Arabi yang menggabungkan teori filsafat ke dalam tasawuf .
Penafsiran mereka terkait aspek tasawuf dikelompokkan pada penafsiran sufi
isha>ri.
Berbagai macam corak penafsiran sufistik yang pernah dilakukan oleh para
ulama sufi sangat berpengaruh pada perkembangan dunia tafsir khususnya penafsiran
sufistik. Suatu karya ilmiah atau pengetahuan tidak bisa lepas dari pengetahuan
sebelumnya walaupun mengalami perkembangan baru bahkan sangat banyak karya
yang dihasilkan ulama sekarang terinspirasi dari karya terdahulu. Tidak menutup
kemungkinan muncul bentuk lain dari perkembangan penafsiran sufistik ataupun
kritikan pada tafsir sebelumnya. Penafsiran sufistik akan semakin mengalami
perkembangan seiring perubahan masyarakat yang membutuhkan dasar pengetahuan
tasawuf yang bersumber dari penafsiran ayat Alquran.
80
Pada zaman modern ini kebutuhan masyarakat terasa sekali bagaimana
mencari kepuasan batin dibalik hingar bingarnya kesibukan mencari harta dan hidup
mengejar materi sehingga lupa apakah jalan memperolehnya dan pembelanjaannya
sesuai dengan petunjuk Alquran dan Hadis Nabi. Diantara masyarakat juga sudah
merasakan hampa menjalani hidup tanpa mengisi kepuasan rohani. Untuk itu
penafsiran sufistik terhadap ayat Alquran merupakan tuntutan supaya memenuhi
keinginan masyarakat modern. Penafsiran sufistik yang lebih realistis dan mudah
dipahami tentunya yang diharapkan dan dapat dilaksanakan. Sa„id H{awwa dalam
tafsirnya yang penulis teliti ini merupakan salah satu corak tafsir sufi yang muncul
pada abad modern ini.
B. Contoh Macam–macam Corak Tafsir Sufi
Untuk melihat corak sufistik dalam penafsiran sangat terkait dengan
perkembangan paham tasawuf. Adh–Dhahabi membagi corak tafsir sufi berdasarkan
kategori tasawuf yang dikemukakannya menjadi tasawuf amali dan tasawuf naz}ari.
Kedua aliran tasawuf ini membentuk jenis tafsir sufi isha>ri dan tafsir sufi naz}ari.56
1. Tafsir sufi isha>ri
Tafsir sufi isha>ri merupakan pengungkapan makna isha>ri ayat oleh para
sufi. Secara definitif dinyatakan bahwa;
ن , رأو ابد اىقشا اىنش عي خالف ب ظش ب ثقزع إضبساد خفخ رظش ألسثبة اىسيك
.اىزطجق ثب ث اىظاش اىشادح57
Definisi diatas dapat dipahami bahwa tafsir sufi isha>ri adalah menjelaskan
ayat Alquran dengan jalan menakwilkan ayat diluar makna zahirnya yang dipahami
56
Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 251. Tafsir
isha>ri disebut juga tafsir fayd}iy> فع , artinya berlimpah, mengalir sendiri ibarat berita tersebar
dengan sendirinya, muncul (ide) dari hatinya. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta:
Yayasan penyelenggara Penterjemah Alquran, 1973), 327. Maksud kata tersebut dikaitkan dengan
tafsir berarti tafsir isha>ri adalah penafsiran yang muncul, mengalir dari hati para sufi karena latihan
dan pengalaman kerohaniannya bukan berdasarkan nalar semata. Penafsiran mereka bisa berupa
pemahaman ayat yang disesuaikan dengan pengalaman kerohanian dalam ibadah yang dilakukan atau
bisa juga penafsiran lewat ilham yang diterima. 57
Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 261
81
oleh pelaku tasawuf (suluk) melalui isyarat yang terkandung (terselubung) didalam
susunan ayatnya. Disamping itu selain memahami ayat secara isha>ri diambil juga
makna zahirnya. Proses menafsirkan ayat baginya berangkat dari hati dengan latihan
rohani dan memperoleh pengetahuan rabba>ni, sehingga ia mampu menangkap
isyarat suci dari ayat. Bila dicermati penggunaan makna zahir dalam tafsir sufi, tidak
sama dalam implementasinya. Ada yang menggunakan makna zahir serta makna
isha>rinya, ada yang dominan pendekatan makna zahirnya bahkan ada yang
mengabaikan makna zahirnya.
Diantara penafsiran sufistik yang dikenal sebagai corak isha>ri adalah at-
Tustari (w.283 H)58
dengan tafsirnya Tafsi>r al–Qura>n al–‘Az}i>m, as–Sullami
(330–412 H)59
dengan tafsirnya H{aqa>iq at–Tafsi>r, Shairazi (w.666 H) dengan
tafsirnya ‘Ara>is al–Baya>n fi> H{aqa>iq al–Qura>n, Najmuddin Da>yah (w.654
H) dengan tafsir at–Ta’wi>la>t an–Najmiyyah, Naisaburi (+ abad VIII H) dengan
Ghara>ib al–Quran wa Ragha>ib al–Furqa>n, al–Alu>si (w.1270 H) dengan
Ru>h{ al–Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al–Qura>n al–‘Az}i>m wa as–Sab‘i al-Matha>ni.60
Contoh, penafsiran Tustari ayat 92 Ali Imran (3).
..ى ربىااىجشدز رفقا ب رذج
Artinya, Kamu sekali–kali tidak sampai kepada kebajikan sebelum
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.
Dinyatakan dalam tafsirnya;
أ ى رجيغا اىزق ميب دز رذبسثا أفسن فزفقاثعط برذج61
Tafsirannya, kamu tidak akan dapat mencapai ketaqwaan sempurna sebelum
kamu memerangi dirimu sendiri. Untuk itu infakkanlah sebagian harta yang kamu
cintai. Dalam memberikan infak harus ikhlas semata–mata mencari keridhaan
58
Sufi yang mengakui ada makna zahir dan menggunakannya juga dalam penafsirannya
seperti at-Tustari dan Najmuddin Da>yah 59
Tokoh Sufi yang dalam penafsirannya tidak menonjolkan makna zahir seperti; as–Sullami,
Shairazi, artinya mereka lebih tampak menggunakan makna isha>ri. 60
Dua tafsir terakhir merupakan tafsir yang tetap berpegang pada makna zahir dalam
pendekatan isha>rinya. Demikian disimpulkan oleh adh-Dhahabi, at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n
(Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 281 61
At–Tustari, Tafsir at–Tustari, (Beirut:Darul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 49
82
Allah.62
Orang yang hatinya ragu-ragu dalam memberikan sebagian harta yang
disukainya menurut Tustari orang tersebut belum bisa terlepas dari keterikatan
dengan harta. Karena taqwa yang sempurna harus bisa mencintai orang lain dari pada
mencintai harta sendiri.
. (al–Baqarah: 45) اسزعا ثبىصجش اىصالح إبىنجشح إال عي اىخبضع
Artinya; Mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat.
Sesungguhnya yang demikian itu sunguh berat kecuali bagi orang yang
khushu‘.
اىصالح صيخ اىعشفخ, اىصجش بب اىص 63
Tafsirannya, sabar yang dimaksud dalam ayat ini adalah puasa (s}aum)
sedangkan s}alat adalah media untuk menuju ma‘rifah. Bagi orang yang benar dalam
mendirikan salat maka ia akan sampai kepada ma‘rifah. Untuk sampai kepada
ma‘rifah memang tidak mudah seperti diisyaratkan dalam ayat. S{alat, untuk sampai
kepada ma‘rifah sungguh berat kecuali bagi orang yang khushu‘.64
S{alat yang
khushu„ bisa mengantarkan seseorang mencapai ma‘rifah seperti yang pernah
dilakukan oleh para sufi. Orang yang sampai pada ma‘rifah menurut pandangan sufi
berarti sudah merasa dekat dengan Allah. Oleh sebab itu doa yang dimohonkan
kepada Allah sudah tidak ada lagi penghalang antara hamba dengan Kha>liq. Dalam
pandangan sufi, ma‟rifah merupakan satu indikator yang membuktikan hubungan
yang dekat antara hamba dengan Tuhan.
Contoh penafsiran as–Sullami, surat ar–Ra‘d (13) ayat 3.
, اىز ذ األسض جعو فب ساس أبسا
Artinya; Dialah Allah yang telah membentangkan bumi dan menjadikan
gunung–gunung serta sungai–sungai padanya.
Menurut para ahli hakikat,
اىز ثسط األسض جعو فب أربدا أىبئ سبدح عجذ فئى اىيجأ ث اىجبح ف ظشة ف
. مب ثغز ىغش خبة خسش, األسض قصذ فبصجب
62
At–Tustari, Tafsir at–Tustari, (Beirut:Darul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 49 63
At–Tustari, Tafsir at–Tustari, (Beirut:Darul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 31 64
At–Tustari, Tafsir at–Tustari, (Beirut:Darul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 31
83
Allah telah menghamparkan bumi dan dijadikan pula pilarnya dari para wali
orang pilihan. Mereka menjadi tempat berlindung dan penyelamat bagi manusia.
Siapa yang berjalan dimuka bumi menuju mereka maka ia akan beruntung dan
selamat, kemudian siapa yang memusuhinya maka ia akan merugi.65
As–Sullami
mengungkapkan pandangan dari para sufi dalam tafsirnya bahwa Allah memilih dari
hambanya yaitu para wali untuk membimbing manusia di muka bumi. Wali Allah
merupakan tiang bumi yang diciptakan Allah sebagai menjaga keseimbangan bumi.
Posisi wali menurut penafsiran as–Sullami diatas berfungsi bagaikan gunung yang
menjadi penyangga bumi. Demikian contoh penafsiran isha>ri oleh as-Sullami yang
jauh dari makna zahir ayat sehingga sulit dipahami orang awam. Makna seperti ini
yang menjadikan tafsirnya disamakan dengan tafsir batiniyah.
Penafsiran ini termasuk menggunakan makna isha>ri yang tidak berlandaskan
pada makna zahir dan tidak didukung pula oleh pengertian ayat lain atau Sunnah.
Sa„id Hawwa pernah menyatakan bahwa para sufi amali ada yang sejalan dengan
Sunnah dan ada pula yang melanggar Sunnah. 66
Bila diperhatikan makna gunung
dengan para wali sebagai penyeimbang bumi barangkali sulit dimengerti. Karena itu
sinyalemen Sa„id H{awwa diatas boleh jadi ada benarnya.
2. Tafsir sufi naz}ari
Tafsir sufi naz}ari yaitu menjelaskan ayat Alquran dari aspek tasawuf
berdasarkan kajian teori dan ajaran filsafat. Secara definitif disebutkan;
فنب اىجذ أ ظش ؤالء اىزصفخ إى اىقشا , رعبى فيسفخ, ث رصف عي جبدث ظشخ
. ظشح رزط ع ظشبر رعبى67
Proses memahami ayat baginya beranjak dari nalar dan pengetahuan
teoritisnya yang kemudian diwujudkan dalam menafsirkan ayat. Adapun tafsir
sufistik yang termasuk kategori ini seperti yang dinisbahkan kepada Ibnu Arabi
65
Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 287 66
Sa‟id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet.
Ke–9, 11 67
Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2,251-2
84
(w.638 H)68
dengan kitabnya Tafsi>r Ibnu Arabi, „Alauddaulah as–Samnani (659–
736 H) yang bergabung dalam tafsir Najmuddin Da>yah yang berjudul; at–
Ta’wi>la>t an–Najmiyyah (as-Samna>ni melanjutkan jilid terakhir mulai dari surat
adh-Dha>riya>t sampai an-Na>s).
Contoh penafsiran Ibnu Arabi, surat Maryam (19) ayat 57.
. سفعب نبب عيب
Artinya; Dan kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.
Makna ayat ini dijelaskan sebagai berikut:
ف قب سدبخ إدسس عي , أعي األنخ اىنب اىز رذس عي سد عبى األفالك فيل اىطس
.رذز سجعخ أفالك فق سجعخ أفالك اىخبس عطش. اىسال69
Tempat-tempat yang paling tinggi adalah tempat yang dikelilingi (garis edar)
gugusan bintang-bintang, disitulah tempat matahari. Disitu terdapat
keberadaan rohani Idris as. Di bawah tempat matahari ada tujuh tempat
peredaran bintang dan di atasnya tujuh pula peredaran bintang-bintang.
Semuanya ada lima belas dengan matahari.
Uraian ini menjelaskan tentang keberadaan rohani Idris as yang berada pada
tempat tertinggi. Dalam pandangan Ibnu Arabi tempat tertinggi yang dimaksud
adalah a>lam afla>k عبى األفالك ( tempat matahari yang dikelilingi bintang-bintang).
Ini bagian dari tafsir sufi naz}ari yang dipengaruhi oleh teori filsafat ketika
menjelaskan tentang keberadaan roh. Penafsiran sufistik diatas tidak mudah
memahaminya apalagi dengan penggabungan pemikiran tasawuf dengan filsafat.
Makna isha>ri yang dikemukakan Ibnu Arabi terlihat jauh dari makna zahir ayat.
Dominannya penggunaan nalar sufistik dalam penafsiran tersebut, digolongkanlah
tafsirnya ke dalam tafsir sufi naz}ari.
Contoh penafsiran as–Samna>ni, surat ash–Shams ayat 11.
, فقبه ى سسه اهلل بقزخ اهلل سقبب – إر اجعث أضقبب – مزثذ ثد ثطغاب
Artinya; Kaum Tsamud telah mendustakan Rasulnya karena mereka telah
melampaui batas. Ketika bangkit orang yang paling celaka diantara mereka,
68
Sufi yang lebih melihat makna ayat secara isyari saja berdasarkan kajian teoritis filsafat
seperti Ibnu Arabi dan „Alauddaulah as–Samna>ni 69
Ibnu Arabi, Fus}u>s} al-H{ikam: Syarh oleh: Abu al-„Ala Afifi (Beirut: Darul Kitab al-
Arabi, 1980/1400),75.
85
lalu Rasulullah nabi Shaleh berkata kepada mereka, “ Biarkanlah unta betina
Allah dan minumannya”.
ع إر اجعثذ اىيطفخ أسشعذ إى اىطبغخ اجعث أضق ق اىفس عي إثش اىيطفخ : إر اجعث أضقبب–
. اىصبىذخ70
As–Samna>ni menjelaskan, ketika perasaan halus itu muncul dan segera
menuju orang yang melampaui batas, kemudian timbullah kekuatan nafsunya
mengalahkan perasaan baiknya kemudian ia menyemblih unta tersebut. Dalam jiwa
kita ada unsur yang halus bersih dapat dikalahkan oleh kekuatan nafsu yang sama–
sama halus. Sebagaimana diutarakan diatas bahwa makna isha>ri yang terdapat
dalam penafsiran as–Samna>ni dipengaruhi oleh filsafat sufi dan memang sulit
dipahami. Makna isha>ri yang dikemukakan tersebut, bernuansa nalar sufistik yang
membicarakan tentang daya nafsu.
Penafsiran as–Samna>ni diatas salah satu bentuk dari tafsir sufi naz}ari
dengan karakter memasukkan ajaran filsafat dalam penafsiran sufistiknya. Paham
filsafat merupakan yang pertama masuk dalam kajian tasawuf dan penafsiran dengan
teori filsafat membawa tafsir sufi kepada penafsiran sufi teoritis atau dikenal dengan
tafsir sufi naz}ari. Penafsiran sufi naz}ari yang berpegang pada ajaran filsafat seperti
terlihat diatas menimbulkan istilah tafsir sufi falsafi. Karena awalnya teori–teori
filsafatlah yang berkembang dalam ajaran tasawuf maka dapat dikatakan tafsir sufi
falsafi merupakan bagian dari tafsir sufi naz}ari.71
Pandangan diatas memberi pengertian bahwa tafsir sufi naz}ari berdasarkan
konsep tasawuf serta kajian filsafat sufistik. Kajian filsafat sufistik ini cenderung
menggunakan takwil memahami ayat diluar makna zahir dengan mengutamakan
aspek penalaran.
Dari uraian tentang contoh macam tafsir sufi dapat ditegaskan bahwa tafsir
sufi teoritis (naz}ari) /sufi falsafi bersandar pada nalar pengetahuan teoritis untuk
memahami ayat. Disini para sufi naz}ari menakwilkan ayat berdasarkan teori
70
Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 295 71
Bila didasarkan pada asalnya berarti dapat juga disebut tafsir sufi naz}ari falsafi atau juga
tafsir sufi naz}ari orientasi filsafat. Untuk menyederhanakan namanya cukup disebut dengan tafsir sufi
falsafi.
86
pengetahuannya. Sedangkan tafsir sufi praktis (isha>ri ) bersandar pada hati yang
memperoleh ma‘rifah untuk menafsirkan ayat dan makna yang diungkapkannya lebih
praktis untuk diamalkan. Kendatipun berdasarkan amalan praktis, bukan berarti tafsir
sufi isha>ri tanpa berlandaskan ilmu tapi lebih menekankan dimensi penerapannya.
Ia meyakini makna isha>ri terkandung dari zahir ayat. Untuk menjelaskan makna
zahir ayat tentu membutuhkan aspek ilmiah disamping aspek rasa. Karena itu
tafsirnya dikenal dengan pendekatan isha>ri. Artinya kedua macam corak tafsir sufi
tersebut naz}ari dan isha>ri pada dasarnya menggunakan takwil, hanya berbeda
dalam pendekatan.72
C. Perdebatan tentang tafsir Sufi
Kehadiran tafsir sufi yang menimbulkan kegusaran bagi pengkritiknya
sebangun dengan kemunculan tasawuf itu sendiri yang pada awalnya juga
diperselisihkan. Istilah dan ajaran tasawuf sendiri bermula dari prilaku zuhud yang
dipraktekkan sebelum adanya istilah tasawuf. Diantara tokoh yang menjalani zuhud
seperti Hasan Basri (w.110H), Sufyan Sauri (w.121H) dan Rabi„atul Adawiyah
(w.185H).73
Setelah praktek ajaran tasawuf berkembang, pertengahan abad III
Hijriyah muncul pula penafsiran Alquran dari para sufi yang dikenal dengan tafsir
sufi.74
Para sufi dalam menafsirkan Alquran, mereka berusaha dengan
menyingkapkan makna ishari melalui penakwilan ayat dengan menangkap isyarat
tersembunyi.
1. Kontroversi makna isha>ri
72
Itulah bedanya akal dan hati, akal hanya dapat berpikir sedangkan hati selain berpikir juga
dapat merasa. Seperti kata ayat menyindir orang yang tidak mau taat; mereka punya hati tapi tidak mau
mengerti. Kami jadikan isi neraka dari jin dan manusia; … ى قية الفق ثب … al – A’raf ( 7 ) : 179. 73
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), 71-
77 74
Tafsir sufi merupakan salah satu dari corak–corak tafsir dari jenis tafsir bi ar ra’yi seperti
corak fiqh, corak adabi-lugawi, corak adabi ijtima‘i, kalam, „ilmi dan lain–lain. Bahkan ada yang
menjadikan corak sufi sebagai jenis tersendiri atau ketiga, disamping bi al–ma’thu>r, bi ar–ra’yi
ketiga bi al–Isha>ri. Kitab tafsir sufi pertama muncul menurut sejarah adalah tafsir at-Tustari (200-
283H).
87
Persoalan tafsir sufi kalau diperhatikan dari beberapa tafsirnya terletak pada
penggunaan takwil baik aliran naz}ari atau isha>ri. Sehubungan dengan sufi naz}ari
penafsirannya terinspirasi oleh ajaran filsafat yang sulit dipahami awam. Sementara
sufi amali menakwilkan ayat sesuai pengalaman rohaninya yang sifatnya pengalaman
subjektif. corak tafsir sufi menimbulkan kontroversi terkait dengan pendekatan
isha>ri yang menghasilkan makna sufistiknya yang jauh dari makna zahir.
Penafsirannya lebih menonjolkan makna batin dari pada makna zahir apalagi seperti
dikatakan Shaikh Abdul Warith M.Ali makna batin terlalu jauh dari pengertian zahir
ayat.75
Memahami isyarat ayat diluar makna zahir inilah yang dimaksud makna
isha>ri. Makna ini yang sering diperselisihkan dan menjadi kontroversi bila jauh dari
makna zahir.
Selain alasan penggunaan makna isha>ri, persoalan tafsir sufi seringkali
mengabaikan kaedah–kaedah bahasa Arab.76
Padahal dasar pengambilan makna
zahir berawal dari pengertian lafaz. Adapun makna isha>ri muncul dari para sufi
rentan mengabaikan masalah ini karena para sufi mengemukakan makna tersirat ayat
dibalik makna lahirnya yang dalam istilah sufi pengetahuan rabba>ni yang tidak
diperoleh orang awam. Umumnya banyak terjadi pada penafsiran sufi naz}ari dengan
pengaruh ajaran filsafat.
Imam al–Alu>si menyatakan bahwa apa yang dijelaskan oleh para sufi
tentang Alquran merupakan isyarat yang berhasil diungkapkan oleh para pelaku
tasawuf dengan latihan rohani. Bila para sufi mengambil makna batin saja tanpa
berpegang pada makna zahir maka mereka bisa dituduh melupakan shari‘at.77
Namun
lanjut al–Alu>si, siapa yang tidak memahami makna isha>ri jangan mengingkari
bahwa Alquran memiliki bagian batin yang dilimpahkan Allah kepada batin
75
Abdul Warith M.Ali, Pengantar Tafsir Ibnu Arabi (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah,
1427/2006), Cet.ke-2,19. Kalau bahasa Jalaluddin Rakhmat, syari‟at bisa ditinggalkan lalu dengan
menerima takwil akhirnya meninggalkan tanzi>l. Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi al–Fa>tih}ah,
(Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1999), Cet. Ke–1, xv 76
Jalaluddin Rakhmat,Tafsir Sufi al–Fa>tih}ah (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1999),
Cet. Ke–1, xv 77
Bahasa al-Alusinya; رصيا ث إى ف اىطشعخ ثبىنيخ Al–Alu>si, Ru>h} al-Ma‘a>ni fi> Tafsi>r
al–Quran al-‘Az}i>m wa as-Sab’i al-Matha>ni (Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 1422/2001), Jilid I,
Cet. Ke–1, 28
88
hambaNya yang dikehendaki.78
Dalam pandangan al–Alu>si di atas dipahami bahwa
makna isha>ri yang diungkapkan para sufi diperlukan untuk memahami batin ayat
disamping memperhatikan makna zahir.
Pada umumnya tafsir sufi naz}ari menggunakan takwil tidak terikat dengan
makna zahir ayat dan bertolaknya dari konsep sufistik sehingga penafsirannya sering
dinisbahkan pada tafsir batini. Dalam prakteknya, tafsir sufi naz}ari berpedoman
pada ajaran filsafat dan kajian teoritis tasawuf yang memang karakter penafsirannya.
Biasanya kajian teoritis tasawuf juga dipengaruhi oleh ajaran filsafat makanya prinsip
dalam pendekatan naz}ari terhadap kedua faktor tersebut selalu sejalan. Sebagai
contohkan penafsiran Ibnu Arabi yang mendukung ajaran wah}datul wuju>dnya.
Misal penafsiran ayat 163 surat al–Baqarah.
. الإى إال اىشد اىشد, إىن إى ادذ
Artinya; Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak ada Tuhan yang
berhak disembah kecuali Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
ب : فيب قبىا . فب عجذا إال اهلل, اىز عجذا غش اهلل قشثخ إى اهلل . إ اهلل رعبى خبطت ف ز االخ اىسي
إ إىن اإلى اىز طيت اىطشك اىقشثخ إى ثعجبدح : فقبه اهلل ىب. عجذ إال ىقشثب إى اهلل فأمذا رمش اىعيخ
.مأن ب اخزيفز ف أدذز, زا اىز أضشك ث ادذ79
Menurut Ibnu Arabi, melalui ayat ini Allah berbicara pada kaum muslim
bahwa orang yang menyembah selain Allah dalam rangka mendekatkan diri
kepadaNya sebetulnya mereka menyembah Allah juga. Ingatlah, mereka
berkata: kami menyembah benda-benda ini tidak lain agar mendekatkan kami
kepada Allah. Selanjutnya Allah berkata: Sesungguhnya Tuhanmu dan Tuhan
orang-orang musyrik yang dijadikan sesembahan mereka adalah sama.
Berdasarkan penjelasan ini yang dipahami orang bahwa Ibnu Arabi
menyamakan semua agama dan masuk ke syirik. Dari pernyataan ini jelas
78
فال جغ ى ى أد عقو أ نش اضزبه اىقشا عي ثاط فعب اىجذأ اىفبض عي ثاط ضبء عجبد
Al–Alu>si, Ru>h} al-Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al–Quran al-‘Az}i>m wa as-Sab’i al-Matha>ni (Beirut:
Darul Kutub al–Ilmiyah, 1422/2001), Jilid I, Cet. Ke–1, 29 79
Ibnu Arabi, Al-Futu>h}a>t al-Makkiyyah. Beirut: Darul Fikri, 1424 H/2004 M, jilid.4, Cet.
Ke-1, 160. Dalam tafsir Ibnu Arabi,Bagaimana mungkin dikatakan syirik sebab selainNya tidak
memiliki wujud. فنف نن اىطشك ث غش اىعذ اىجذذ فال ضشك إال ىيجو ث. . Ibnu Arabi, Tafsir
Ibnu Arabi, Jilid 1, 84
89
menimbulkan pemahaman yang kacau bagi umat yang selama ini sangat berhati–hati
terjerumus mendekati syirik.
Untuk memahami pernyataan Ibnu Arabi diatas, kita harus kenal teori Ibnu
Arabi tentang Tuhan kepercayaan. Tuhan kepercayaan berarti Tuhan dalam
pengetahuan, konsep atau persepsi manusia. Itu Tuhan yang diciptakan oleh
pengetahuan manusia sedangkan Tuhan yang sebenarnya tidak dapat diketahui seperti
apa. Pengetahuan yang benar tentang Tuhan menurut Ibnu Arabi pengetahuan yang
tidak terikat oleh bentuk kepercayaan. Ini pengetahuan yang dimiliki para
‘A<rifu>n.80
Dari keterangan diatas, Ibnu Arabi ingin mengembangkan paham bahwa
Tuhan berbeda dengan makhluk. Tuhan tidaklah seperti yang disangkakan oleh
hamba, artinya Ibnu Arabi juga mentanzihkan Tuhan dari unsur antropomorfisme.
Selanjutnya bantahan mengenai tuduhan bahwa Ibnu Arabi menyamakan
semua agama. Hal yang harus dipahami dari ajaran Ibnu Arabi tentang perintah
Tuhan seperti dijelaskan Kautsar, bagi Ibnu Arabi ada dua kategori perintah Tuhan
yaitu perintah penciptaan yang disebut dengan kehendak Ilahi dan perintah kewajiban
yang disebut dengan keinginan Ilahi. Berdasarkan perintah pertama maka semua
agama sama sesuai dengan perintah penciptaan artinya tidak ada yang bertentangan
dengan kehendak Ilahi.81
Apakah agama semua yang tercipta itu diterima oleh Allah
pengabdiannya, tentu bukan ini yang dimaksud Ibnu Arabi. Karena itu kita akan lihat
selanjutnya tentang perintah yang kedua.
Dari segi perintah kewajiban ternyata tidak semua agama benar sebab yang
benar adalah yang sesuai dengan perintah kewajiban atau keinginan Tuhan. Agama
yang benar ajarannya harus sesuai dengan wahyu yang disampaikan Tuhan kepada
para nabi. Perintah pertama dapat terpenuhi oleh semua makhluk sedangkan perintah
80
Ditegaskan Kautsar dengan ungkapan; Tuhan disangka bukan diketahui. Selanjutnya ia
tampilkan ungkapan Xenophanes ( + 570 – 480 SM ) ketika mengkritik antropomorfisme Tuhan pada
waktu itu, katanya; Seandainya sapi, kuda dan singa pandai menggambar tentu mereka akan
menggambarkan Tuhan menyerupai diri mereka. Kautsar Azhari Noer, Memahami Sufisme; Suatu
Tanggapan terhadap Beberapa Tuduhan (Bandung:Penerbit Angkasa–UIN Jakarta, 2003), Cet. Ke–1,
88–89. Dalam rangka mentanzihkan Tuhan maka manusia jangan sampai terjebak seperti kelakuan
hewan diatas yang diimajinasikan oleh Xenophanes. Wahyu Tuhan diturunkan sebagai hidayah bagi
manusia, sekaligus cara Tuhan berkomunikasi dengan manusia. 81
Kautsar, Memahami…, h. 90
90
kewajiban ditujukan kepada manusia. Bagi yang mengingkari wahyu Tuhan tentu
akan celaka.82
Keterangan Ibnu Arabi ini terkait juga dengan kebebasan manusia
memilih jalan menuju keselamatan dunia akhirat. Bila semua agama memenuhi
perintah penciptaan berarti baru tahap diizinkan Tuhan sedangkan terhadap agama
yang memenuhi perintah kewajiban berarti masuk level diridhai Tuhan.
Tidak mudah memang untuk memahami makna isha>ri yang dimunculkan
para sufi, apalagi pemikiran sufi yang dipengaruhi ajaran filsafat. Sebetulnya para
sufi karena didorong kecintaan kepada Tuhan sehingga memunculkan pikiran–pikiran
mendalam yang dipahami lewat makna isha>ri yang sukar dipahami orang diluarnya.
Baik makna sufi isha>ri atau sufi naz}ari berusaha melihat makna batin ayat dengan
cara melakukan takwil. Dalam hal takwil yang digunakan para sufi dalam metode
penafsirannya bisa diklasifikasikan pada takwil jauh dan dekat.83
Bila sufi
menggunakan takwil terlalu jauh dari pengertian lafaz}nya maka penafsirannya
semakin sulit dipahami.
Bila diperhatikan tudingan yang ditujukan pada penafsiran sufistik karena
mengabaikan makna zahir dan itu seperti yang terjadi pada tafsir sufi naz}ari karena
terpengaruh ajaran filsafat. Sedangkan pada tafsir sufi isha>ri penafsiran mereka
cenderung mengakui makna zahir dan kemudian mengungkap isyarat yang yang
tersembunyi dibalik pengertian zahir. Ketidak setujuan pengkritik tafsir sufi lebih
diarahkan kepada penafsiran sufi naz}ari atau tafsir sufi falsafi seperti paham
ittih}a>d, h}ulu>l dan wah}datul wuju>d yang tidak bisa diterima para kelompok
salafi–sunni.
2. Makna zahir dan makna batin dalam tafsir sufi
Dasar yang dipegang oleh para sufi dalam memahami ayat bahwa mereka
sangat mengakui setiap ayat mengandung makna zahir dan batin. Seperti dijelaskan
82
Kautsar, Memahami Sufisme; Suatu Tanggapan terhadap Beberapa Tuduhan
(Bandung:Penerbit Angkasa–UIN Jakarta, 2003), Cet. Ke–1, 91 83
Abdul Warith M.Ali, Pengantar Tafsir Ibnu Arabi (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah,
1427/2006), Cet.ke-2,19.
91
adh–Dhahabi, para sufi mengakui akan makna zahir ayat sebagaimana mereka juga
mengakui makna batin ayat. Ketika menafsirkan makna batin mereka berpijak pada
amalan ibadah yang dilakukan. Berkenaan dengan ini ada hadis yang diriwayatkan
Daylami dari Abdurrahman bin „Auf bahwa Nabi mengatakan Alquran berada
dibawah ‘arsh, ia memiliki makna zahir dan batin.84
Adapun yang dimaksud dengan
zahir Alquran adalah lafaz Alquran yang tersusun dalam bahasa Arab, ini bisa
dipahami secara umum oleh yang mengerti bahasa Arab. Sedangkan batinnya adalah
maksud yang dikehendaki Allah diluar lafaz} dan struktur ayat.85
Untuk yang terakhir
hanya dapat dilakukan dengan menakwilkan ayat. Pernyataan yang disampaikan adh–
Dhahabi diatas dan juga disepakatinya bahwa para mufasir tidak akan meninggalkan
makna zahir dalam mengambil makna batin.
Persoalan mengenai makna batin dan zahir bersinggungan dalam hal porsi
yang diberikan masing–masing mufasir dalam mengakomodir makna zahir. Ada
diantara mereka yang memberikan perhatian besar pada makna zahir ayat ada pula
yang sebaliknya. Sehubungan dengan itu ada yang mengakui makna zahir tapi dalam
tafsirnya tidak diterapkan. Seperti diakui oleh as–Sulami dalam tafsirnya, bahwa ia
tidak menolak makna zahir tapi tafsir yang disusunnya hanya menghimpun berbagai
pendapat ahli hakikat.86
Untuk menafsirkan Alquran seseorang tidak dapat meninggalkan makna
zahirnya, bagaimana bisa memahami makna batin bila tidak memahami pengertian
lahirnya atau arti lafz}inya. Ibaratnya seperti kata ulama kalau ingin berada dalam
masjid tentu melewati pintunya, tidak mungkin langsung ada di masjid. Artinya kalau
mengaku berada dalam masjid tapi tidak melalui pintu berarti samahalnya
menafsirkan ayat meninggalkan makna zahir.
Adh–Dhahabi menegaskan, penafsiran tanpa melihat makna zahir adalah
termasuk kelompok tafsir bat}iniyyah. Aliran batiniyah tidak mengakui makna zahir
84
:Adh–Dhahabi, at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo اىقشا رذذ اىعشش ى ظش ثط ذبج اىعجبد
Tp, 1396/1976),juz 2, 262 dan 4 85
Adh–Dhahabi, at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 265 86
Lihat, Adh–Dhahabi, at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2,285
92
Alquran, mereka hanya mengakui makna batin saja. Disamping itu penafsiran
bat}iniyyah dalam menafsirkan Alquran juga bersandar hanya pada yang disepakati
aliran mereka. Bentuk tafsir seperti ini digolongkan adh-Dhahabi tafsir sesat dan
bid„ah.87
Senada dengan itu, an–Nasafi menjelaskan dalam kitab al–‘Aqa>id yang
diberi komentar oleh Taftazani mengatakan bahwa para ahli batiniyah mengakui
makna secara batin dan meninggalkan makna zahir. Sementara ahli hakikat
memahami ayat secara batin dan zahir, itulah yang sempurna iman dan memperoleh
pengetahuan ‘irfa>ni.88
Uraian diatas memberi kejelasan bahwa kekeliruan mufasir bat}iniyyah
terletak pada penolakan mereka terhadap makna zahir. Ini berbeda sekali dengan
metode tafsir sufi yang masih mengakui makna zahir. Alasan ini pula yang dapat kita
tangkap bahwa penafsiran sufistik tidak bisa dikatakan tafsir batiniyah. Tafsir sufi
lebih cenderung dikatakan dengan tafsir isha>ri untuk membedakan dengan tafsir
bat}ini. Karena penafsiran sufistik mengungkap makna batin sesuai dengan isyarat
yang terselubung yang dipahami oleh pelaku sulu>k disebutlah dengan tafsir sufi
isha>ri. Disamping itu penafsiran sufistik yang mengungkap makna batin melalui
kajian dan nalar maka disebut dengan tafsir sufi naz}ari.
Berkaitan dengan makna batin dalam tafsir sufi, dijelaskan oleh Ahmad
Abdurraziq al-Bakri sebagai muhaqqiq dalam tafsir at}-T{abari bahwa orientasi
mufasir sufi dan bat}ini dua hal yang berbeda. Orientasi sufi lebih kepada dhauq (
pengalaman ruhani, ibadah) yang bersandar pada zahir ayat.89
Sementara bat}ini tidak
melandaskan pada zahir ayat.
Ada tiga hal yang harus dipenuhi terkait dengan makna batin. Pertama, bahwa
makna batin masih sesuai dengan pemahaman secara makna zahir Alquran. Kedua
ada ayat atau dalil shar‘i lain yang mendukung akan makna batin tersebut sehingga
87
Adh–Dhahabi, at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 264 88
Adh–Dhahabi, at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 264 89
Ahmad Abdurraziq al-Bakri, dkk,. Dalam Ibnu Jari>r at}-T}abari, Ja>mi’ al–Baya>n fi>
Tafsi>r al-Quran (Kairo: Darussalam, 1425/2005), Cet.Ke-1,ii
93
makna batin tersebut tidak berlawanan dengan aturan shara‘. Ketiga, makna batin
tidak memberikan takwil menyimpang (jauh).90
Berkenaan dengan makna zahir dan makna batin dalam tafsir sufi melahirkan
tafsir sufi naz}ari dan isha>ri. Secara umum tafsir sufi memahami ayat tidak saja
berdasarkan pengertian lahir tapi juga menakwilkan ayat diluar makna zahir. Dalam
mneggunakan takwil muncul dua jenis penerapan, pertama terkait dengan teori
filsafat, kedua berangkat dari latihan rohani. Kalau dianalisis perkembangan tafsir
sufi maka yang pertama melahirkan tafsir sufi naz}ari yang menafsirkan ayat
berdasar teori filsafat dan pembahasan tasawuf bisa dikatakan ia kelompok sufi
falsafi. Kedua, kelompok yang menafsirkan ayat berdasar riya>d}ah ru>h}ani atau
menjalankan tarekat berarti ia dikatakan sufi isha>ri. Identifikasi ini dapat saja
dilakukan simultan dialami oleh para sufi artinya disamping mereka membahas
konsep tasawuf sekaligus juga sebagai pelaku tasawuf (pengamal tarekat).
D. Aspek Kajian Tasawuf dalam Penafsiran Sufistik
Memahami ayat tasawuf bukanlah hal yang mudah apalagi membuat
klasifikasi ayat–ayat dari aspek demikian. Samahalnya ketika memahami tentang ayat
mutasha>biha>t yang sering memunculkan perdebatan.91
Ayat yang terkait dengan
kajian aspek tasawuf adalah ayat–ayat Alquran yang dijadikan landasan ajaran
tasawuf. Secara umum, ayat–ayat Alquran dapat dikategorikan berdasarkan aspek
ajaran agama seperti aspek kalam-aqidah, fiqh, tasawuf, ibadah, muamalah dan
seterusnya. Kitab–kitab tafsir yang ditulis para ulama sudah barang tentu
mengandung kesemua unsur aspek tersebut hanya dengan fokus penafsiran yang
90
Abdul Warith M.Ali, Pengantar Tafsir Ibnu Arabi (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah,
1427/2006), Cet.ke-2,19. Lihat juga; Muhammad Hamdi Zaglul, at–Tafsi>r bi ar–Ra’ yi
(Dimaskus:Maktabah al–Farabi, 1420/1999), Cet. Ke–1,442-3 91
Paling tidak ada tiga hal yang terkait dengan persoalan mutasyâbihat yaitu; pengertian
mengenai apa itu ayat mutasha>biha>t, menentukan mana saja ayat yang tergolong mutasha>biha>t
kemudian mengenai pemahaman yang dikandung oleh ayat mutasha>biha>t itu. Lihat juga;Quraish
Shihab, (Et.all), Sejarah dan Ulumul Qura>n (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet. Ke-3, 64.
94
berbeda–beda.92
Ada juga ulama tafsir yang menafsirkan terbatas satu aspek saja
diantaranya tafsi>r ayat ah}ka>m karya ash–Shabuni bidang fiqh dan tafsi>r at–
Tustari karya Sahl at-Tustari bidang tasawuf.93
Untuk menentukan klasifikasi ayat–
ayat yang berhubungan dengan aspek ajaran agama tadi ada yang mudah dipahami
secara eksplisit dan ada yang samar. Untuk mengidentifikasi jenis terakhir akan
membawa banyak perbedaan dikalangan ulama.
Menyangkut penafsiran sufistik, para sufi sulit untuk seragam dalam
mengidentifikasikan ayat–ayat yang becorak tasawuf karena mereka memahami ayat
Alquran berdasarkan pengalaman ruhani dan berdasarkan praktek amalan ibadah.
Menyangkut pengalaman rohani itu sangat subjektif, begitu juga sufi naz}ari
memandang ayat sesuai pula dengan teorinya misalnya bidang filsafat.
Jika didasarkan kepada aspek pokok yang terkandung dalam menjalankan
tasawuf yaitu terkait dengan penyucian jiwa dan mendekatkan diri kepada Tuhan
sehingga akhirnya hati merasakan kehadiran Tuhan,94
maka dua hal tersebut menjadi
unsur dalam penafsiran sufistik . Paling tidak berdasarkan aspek pokok inti tasawuf
ini dapat digunakan dalam mengidentifikasi ayat-ayat yang bercorak tasawuf. Selain
itu, penelusuran ayat-ayat tasawuf dapat pula dilakukan dengan merujuk pada ajaran-
ajaran atau kajian tasawuf seperti menyangkut maqa>m atau h}a>l dan sebagainya.
Dengan demikian, untuk mengidentifikasi penafsiran sufistik juga dapat dilihat dari
uraian penafsirannya yang membahas tentang upaya mendekatkan diri kepada Tuhan
atau penyucian jiwa.
Mengenai tafsir Sa„id H{awwa yang dipandang memiliki kecenderungan
tasawuf disajikan lengkap seperti kitab tafsir lainnya, susunannya mencakup semua
92
Para sarjana telah melakukan kajian tentang aspek ini seperti meneliti Corak Kalam dalam
Tafsir al–Azhar, Corak Kalam Tafsir al–Maraghi, Penafsiran Isha>ri Tafsir Ru>h} al-Ma’a>ni dan
sebagainya. Penelitian ini mengkaji pemikiran mufasir terkait dengan aspek yang dimaksud. 93
Untuk tafsir dengan kecenderungan bidang fiqh yang disusun utuh meliputi semua ayat
dengan metode tahli>li seperti tafsir Muni>r karya Wah}bah Zuhaili. Penelitian mengenai kitab ini
berarti mengkaji tentang pemikiran fiqh Wahbah Zuh}aili. 94
Harun Nasution, Tasawuf, dalam Budhi Munawar-Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam
dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), Cet. Ke-2, 161
95
ayat yang ditafsirkan.95
Dalam hal ini penulis melakukan penelitian terbatas pada
ayat–ayat tasawuf dalam tafsir Sa„id H{awwa yang didasarkan kepada tema–tema
kajian tasawuf serta ajaran tasawuf seperti yang tercermin dalam maqa>m dalam
tasawuf. Mengenai maqa>m, penulis akan mengkaji beberapa ajaran tasawuf tersebut
yang populer dan disepakati para sufi. Menyangkut konsep mengenai tema kajian
dimensi ajaran tasawuf adalah seperti konsep kashaf, ittih}a>d, muja>hadah dan
kara>mah. Selanjutnya dua pokok bahasan tersebut akan dibahas dalam penelitian
ini, pada bab IV dan V.
__________
95
Cara menyajikan penafsiran Alquran secara utuh dari berbagai aspeknya sesuai urutan
mushaf disebut dengan metode tahlîli. Lihat; Abdul H{ayy al–Farmawi, al-Bida>yah fi> at–Tafsi>r
al–Maud}u>‘i (tt:tp, 1397/1977), Cet. Ke–2, 24. Termasuk padanya tafsir Sa„id H{awwa, tafsir
Munirnya Wah}bah Zuh}aili dan lainnya.
96
BAB IV
METODOLOGI PENAFSIRAN AYAT DAN PEMIKIRAN SUFISTIK
SA‘ID H{AWWA TENTANG MAQA<M TASAWUF
Pembahasan dalam bab ini mengkaji tentang penafsiran Sa‗id H{awwa terkait
dengan konsep maqa>m yang dijalani oleh para pengamal/pelaku tasawuf. Maqa>m
atau station merupakan tahapan–tahapan yang harus ditempuh oleh para sufi untuk
dapat meningkat terus mencapai hubungan yang dekat dengan Allah. Maqa>m–
maqa>m yang dikemukakan disini adalah yang secara tidak langsung disepakati para
ahli tasawuf, yang dikutip dari berbagai pendapat yang dinyatakan dalam buku
tasawuf.1 Maqa>m–maqa>m dimaksud mempunyai dasar pengambilan dalam
Alquran. Ini menunjukkan bahwa prinsip ajaran tasawuf muncul dalam Islam sesuai
dengan petunjuk ayat Alquran. Sebagai keperluan penelitian disertasi ini penulis
kemukakan maqa>m–maqa>m yang populer muncul dikalangan ahli tasawuf2 yaitu
tobat, zuhud, sabar, tawakal dan rid}a serta mah}abbah.3 Pembatasan kajian dengan
1 Dikalangan ahli tasawuf sebagaimana tercermin dalam buku–bukunya ada sedikit perbedaan
dalam menyatakan maqa>m-maqa>m yang harus dilalui oleh para suluk. Perbedaannya bisa dalam
urutan ataupun jumlah maqa>m yang ditempuh, seperti Abu Bakar al–Kalabazi dalam buku at-
Ta‘arruf li Mazhab Ahli Tasawuf menyebutkan maqa>m adalah; tobat, zuhud, sabar, faqir, tawa>d}u‘,
taqwa, tawakal, rid}a, mah}abbah. Lihat; Abu Bakar Muhammad Al-Kalabazi, At-Ta‘arruf li madh-
hab Ahli at-Tas}awwuf (Kairo: Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1388/1969), Cet.ke-1,194
Abu Nas}r at}–T{usi menyebutkan dalam al–Luma’; tobat, wara‘, zuhud, faqir, sabar,
tawakal dan rid}a. Al–Ghazali dalam Ih}ya’ ‘Ulu>muddin menyebutkan; tobat, sabar, faqir, zuhud,
tawakal, mah}abbah dan ma’rifah. Selain itu, Abu al–Qasim Abdul Karim al–Qushairi menyebut
maqa>ma>t itu ialah : tobat, wara‘, zuhud, tawakal, sabar dan rid}a. Ada banyak lagi pendapat tentang
maqa>m dikemukakan yang hampir senada dengan demikian. Harun Nasution, Falsafat dan
Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. Ke–8, 62. Al-Ghazali, Ih}ya’ Ulum ad-
Din (Mesir: Maktabah Must}afa al-Ba>bi al-H{alabi wa Aula>dihi, 1939/1358) Jilid 4
2 Maqa>m–maqa>m ini yang sering dikemukakan ahli tasawuf sebagaimana dinyatakan juga
oleh Harun Nasution. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1992), Cet. Ke–8, 63
3 Setentangan dengan mah}abbah dikelompokkan sebagai maqa>m untuk dikaji
penafsirannya karena banyak ayat–ayat secara eksplisit mengungkap masalah tersebut. Sekalipun
mah}abbah ini sebagaimana ma’rifah ada juga disebut sebagai h}a>l dalam ilmu tasawuf seperti
pendapat al–Junaid (w.381H). Bahkan diatas mah}abbah dan ma’rifah ada lagi keadaan jiwa dalam
bertasawuf yang masih kontroversial seperti keadaan ittih}a>d, h}ulu>l serta wahdatul wuju>d.
Lihat; Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. Ke–
8, 75. Lihat juga; Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1994), Cet. Ke–19, 90-98
97
pertimbangan bahwa tema tersebut yang sering diungkapkan oleh para ahli tasawuf
sebagai jenjang tahapan dalam bertasawuf. Mengingat tema–tema tersebut memiliki
landasan kuat yang terungkap dalam Alquran .
Maqa>m–maqa>m yang diangkat dalam penelitian ini akan dieksplorasi
secara tematis dalam Alquran. Tema–tema dari maqa>m tersebut diidentifikasi dalam
ayat–ayat melalui penafsiran Sa‗id H{awwa untuk kemudian dideskripsikan dan
dianalisis komparatif guna mengetahui metodologi penafsiran serta corak pemikiran
tafsir sufistik Sa‗id H{awwa.
A. Tafsir tentang Ayat-Ayat Tobat
Tobat menurut istilah para sufi adalah kembali kepada ketaatan dari perbuatan
maksiat, kembali dari nafsu kepada haq (jalan kebenaran).4 Dalam kitab ta’rifa>t
dijelaskan bahwa tobat adalah kembali kepada Allah dengan melepaskan ikatan yang
membungkus hati (mengekang) kemudian bangkit menuju ( memenuhi ) hak Rab
(Tuhan semesta alam).5 Sementara itu zunnun al-Misri membaginya bahwa tobat
orang awam dari dosa, tobat orang khusus dari kelalaian dan tobat para nabi ketika
melihat kelemahannya dalam ibadah dibandingkan dengan keberhasilan yang
dicapai.6 Sahl at-Tustari pernah ditanya; apakah tobat itu ? jawabnya; Tobat itu
maksudnya ialah jangan lupa terhadap dosamu.7 Jawaban Sahl ini mengisyaratkan
bahwa dalam bertobat kita harus menyadari sungguh–sungguh akan dosa yang
dilakukan baik terkait dengan Allah atau kaitannya dengan manusia lain dan selalu
mengharap ampunan Allah bahkan terhadap dosa apapun yang harus dihindari.
4 Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 64 5 Syarif Ali bin Muhammad al–Jarjani, Kitab Ta’rifa>t (Beirut: Darul Kutub Ilmiah,
1988/1408 H), Cet. Ke–3, 70. Terdapat juga dalam; Abi Khazam, Mu’jam …, 64
6 Abu Bakar Muhammad Al-Kalabazi, At-Ta‘arruf li madh-hab Ahli at-Tas}awwuf (Kairo:
Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1388/1969), Cet.ke-1,111
7 Abi Khazam, Mu’jam …, h. 64. Dari pengertian ini ditegaskannya tobat itu wajib setiap saat,
maka inilah yang disebut at–ta>ib ازبئت , Lihat juga; Sahl at-Tustari, At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy
(Beirut:Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 74
98
Sejalan dengan pemahaman tobat diatas, ditemukan dalam Alquran berbagai bentuk
penjelasan tentang tobat. Penulis akan uraikan penafsiran Sa‘id H{awwa tentang
ayat–ayat yang terkait dengannya.
1. Ayat delapan surat at- Tah}ri>m ( 66)
Sehubungan dengan perintah bertobat, ditemukan ayat yang ditujukan Allah
kepada orang beriman dengan menekankan tentang tobat murni yang terdapat dalam
ayat 8 surat at- Tah}ri>m ( 66 ).
.
Mengenai makna tobat nas}u>ha dikemukakan dalam tafsir Sa‗id Hawwa;
ر , رثخ صبدلخ جبصخ رذ ب لجب اغ١ئبد: لبي اث وض١ش. رثخ صبدلخ أ خبصخ: أ
.شؼش ازبئت رجؼ رىفش ػب وب ٠زؼبؼب اذبءاد9
Artinya: tobat yang benar atau yang murni. Ibnu Kathir mengatakan dengan
tobat yang benar dan memutuskan maksudnya menghapus kesalahan-
kesalahan sebelumnya. Menghimpun yang terserak atau mengumpulkannya
dan menghapuskan segala perbuatan yang hina.
Istilah tobat nas}u>h}a> dalam ayat diatas dimaknai oleh Sa‗id H{awwa
yaitu tobat s}a>diqah (jujur, benar) dan kha>lis}ah (murni, bersih, tulus).
Selanjutnya dijelaskannya dengan mengutip Ibnu Kathi>r bahwa taubat nas}u>h}a>
adalah tobat yang menghapus kesalahan yang lewat. Berbagai kekusutan ataupun
kesalahan yang membuat diri terhina dan rendah lalu dihimpun dan menjadi terhapus
8 Artinya; Hai orang yang beriman tobatlah kamu kepada Allah dengan tobat yang
sesungguhnya ( رثخ صدب ), Tuhanmu akan menghapus kesalahanmu dan memasukkan kamu ke
dalam surga yang mengalir sungai–sungai dibawahnya. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘
al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
9 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10, Cet.
Ke–6, 6004
99
dengan tobat.10
Artinya tobat tersebut berfungsi menghilangkan dan menghapus
kesalahan. Tobat juga dipahami dapat memutus rangkaian dosa ibarat memutus tali
yang mengikat suatu benda. Apabila ujung tali dekat benda tersebut dipotong maka
tidak ada lagi hubungan tali dengan benda tersebut. Begitulah tujuan yang
dikehendaki dari tobat nas}u>ha.
Selanjutnya dijelaskan oleh Sa‗id H{awwa dengan mengutip tafsir an-Nasafi;
رذػ ئ ضب ظس أصشب ف صبدجب اعزؼب اجذ : ٠شاد رثخ رصخ ابط أ
.اؼض٠خ ف اؼ ػ مزع١برب11
Dan yang dimaksud juga adalah tobat yang memberi pengaruh pada manusia
lain. Artinya dengan bertobat, dapat mendorong orang lain agar mengikuti
seperti demikian karena pengaruhnya tampak nyata dalam kehidupan orang
yang bertobat itu sendiri. Merealisasikan tobat dalam prilaku yang
ditunjukkan dalam aktifitasnya dengan kesungguhan dan keinginan kuat.
Tobat seperti ini secara langsung memberi pelajaran kepada manusia karena
pengaruhnya jelas bagi pelaku tobat dengan niatnya yang bulat dan ditunjukkan
dengan amal saleh yang dapat disaksikan. Orang yang betul–betul bertobat tidak
hanya memberi manfaat kepada dirinya sendiri tapi orang lain merasa terajak karena
prilaku yang ditampakkannya setelah melakukan tobat. Pengertian dari penafsiran
Sa‗id H{awwa ini menunjukkan bahwa prinsip dalam tasawufnya ingin membangun
manusia yang berhati bersih dan dekat dengan Tuhan secara kolektif. Proses untuk
membentuk masyarakat supaya berhati suci dan merasakan dekat dengan Tuhan
menurut Sa‗id H{awwa tidak perlu mengambil jalan tarikat. Ia menginginkan tasawuf
seperti yang dilakukan para salafi dengan berpedoman pada Alquran dan Sunnah.12
10
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10, Cet.
Ke–6, 6004
11 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10, Cet.
Ke–6, 6004
12 Disebutnya bahwa Ia bukan merusak hubungan para pelaku tarikat dengan shaikh. Ia juga
menjelaskan bahwa dirinya tidak ada keterkaitan dengan tarikat. اشزشؼذ ػ ازصف أ ال أل١ذ فغ
. غذ دش٠صب ػ أ ٠فط ابط ػ ش١خ. ثؽش٠مخ , Lihat; Sa‗id Hawwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah
(Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9, 12.
100
Tobat yang berimplikasi pada orang lain sehingga tercermin dalam prilaku
sehingga secara tidak langsung terbangun tobat secara kolektif. Selain itu, terlihat
juga bahwa Sa‗id H{awwa tidak menginginkan terkonsenterasi pada satu sistem
seperti guru tarikat. Artinya tasawuf dapat dilakukan oleh individu-individu tapi
bermakna kolektif. Bila masing-masing orang menjalankan aspek-aspek tasawuf tentu
akan tercipta gerakan tasawuf massal. Keinginan Sa‗id H{awwa ini tercermin dalam
tafsir sufistiknya yang menekankan aspek praktis dalam memahami ayat. Salah satu
indikatornya adalah dengan berpegang pada makna zahir ayat ketika menjelaskan
makna sufistiknya dan ia menghindari penjelasan yang abstrak.13
Seterusnya penjelasan mengenai janji Allah sebagaimana tercantum dalam
ayat bahwa Allah akan memasukkan orang yang bertobat kedalam surga, menurut
Sa‗id H{awwa hal itu terjadi jika melakukan tobat nas}u>h}a>.14
Sementara itu
Tustari dalam tafsirnya mengemukakan bahwa tobat nas}u>h}a> tidak berbuat
kembali kesalahan. Ibaratnya; Orang yang suka ( muh}ib / hamba ) tidak mau
menghampiri pada sesuatu yang tidak disukai kekasihnya (Allah). Tanda orang
bertobat menurut Tustari tidak menghiraukan bumi atau langit tapi jiwanya
menempati posisi berada di ’arsh dan disisi Allah sampai ia meninggal dunia. Bila
orang jarang bertobat, ketika saat didatangi malaikat maut maka ia akan berkata
tinggalkan aku, berikan aku kesempatan hidup untuk dapat berbuat baik. Selanjutnya
bagi orang yang bertobat mukhlis} ketika menghadapi maut, dikatakan baginya;
Alangkah cepatnya engkau datang, jawabnya; kami datang sekira / sebagaimana
engkau datang. 15
Selanjutnya ditegaskan Sa‗id H{awwa terkait taubat nas}u>h}a> dengan
mengutip perkataan Umar bin Khattab bahwa dalam bertobat artinya seseorang tobat
dari dosa kemudian tidak mengulanginya atau tidak ada keinginan kembali lagi pada
13
Salah satu syarat tafsir sufi isha>ri adalah tidak keluar dari makna zahir ayat. adh–
Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2,279.
14 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid10, Cet.
Ke–6, 6005
15 Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I, 171
101
dosa untuk selamanya.16
Menurut Sa‗id H{awwa tobat yang paling tinggi adalah yang
dilakukan secara istimra>r (berkelanjutan) sampai berpisah dengan dunia. Ini sesuai
dengan kandungan dari riwayat yang dikemukakan bahwa makna tobat tidak ingin
kembali pada dosa artinya bertobat terus menerus sehingga hati tertutup untuk
berbuat dosa. 17
Tidak saja terhadap dosa yang lewat, bahkan untuk berbuat dosa yang
baru tidak ada celah lagi karena dalam pikiran selalu ingat dosa.18
Dalam tafsirnya, Sa‗id H{awwa mengemukakan pandangan ulama terkait
dengan proses bertobat. Pertama, harus meninggalkan atau mencabut sedalamnya
akan perbuatan dosa. Kedua, menyesali perbuatan salah pada masa lalu dan bertekad
untuk tidak melakukan pada masa datang. Ketiga, berkenaan dengan hak dan
kesalahan dengan manusia harus diselesaikan haknya. Jadi tobat itu memutus
kesalahan masa lalu sebagaimana Islam memutus ajaran sebelumnya (jahiliyah).19
Penafsiran Sa‗id H{awwa dan Tustari dalam memaknai tobat nas}u>h}a> sebagai
maqa>m yang tetap pada seseorang sampai ia meninggal dan ditegaskan bahwa ia
tidak bakal kembali lagi. Hal beginilah yang menjadikan sesorang masuk surga sesuai
janji Allah pada ayat tersebut sebagai balasan dari tobat nas}u>h}a>.
Penafsiran Sa‗id H{awwa tentang tobat pada ayat ini lebih kepada perubahan
prilaku dan dapat ditunjukkan dengan amal saleh. Prilaku dan amal saleh bertujuan
agar kesadaran orang yang bertobat dapat berpengaruh pada orang lain. Nas}u>h}a>
dalam hal ini adalah tobat yang dilakukan sepanjang hayat. Sebab dengan tobat
begitulah dapat merasakan hubungan yang dekat dengan Allah. Disamping merasa
dekat juga menyucikan rohani, bila rohani senantiasa bersih dengan tobat maka dapat
16
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid10, Cet.
Ke–6, 6013 17
–Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at ششغ ازثخ اصح االعزشاس ػ ره ئ ابد ص ال ٠ؼد ف١ أثذا
Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid10, Cet. Ke–6, 6013
18–Tobat itu adalah kamu tidak lupa terhadap dosa. Sahl at-Tustari, At ازثخ أ ال رغ رجه
Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut:Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 74
19 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid10, Cet.
Ke–6, 6014
102
membuka tabir antara hamba dengan rahasia gaib yang dalam istilah tasawuf dikenal
dengan kashaf. 20
Makna tobat yang dijelaskan Sa‗id H{awwa sejalan dengan konteks ayat
secara zahir. Ia kemukakan juga riwayat serta pandangan ulama untuk mendukung
penafsirannya, seperti riwayat Umar bin Khat}t}ab, pandangan at-Tustari, Ibnu
Kathir dan an-Nasafi. Tobat yang berkelanjutan demikianlah yang bisa menghapus
kesalahan–kesalahan. Kesamaan pandangan Sa‗id H{awwa dengan at-Tustari dalam
penafsiran tersebut, menjadi indikasi bagi ciri sufistik penafsiran Sa‗id Hawwa.
Dijelaskan juga dalam tafsir Ibnu Arabi bahwa tobat nas}u>h}a> berfungsi
memperbaiki jiwa yang rusak, membetulkan yang salah atau menutup yang cacat,
sebab hal yang rusak, salah atau cacat tersebut tidak dapat baik kembali kecuali
dengan tobat. Tobat inilah yang disebut dengan tobat kha>lis}ah yaitu murni dari
ketercampuran atau tercemar dari kecenderungan kepada hal–hal yang mengandung
dosa kepada posisi ia bertobat ( .( رثخ خبصخ ػ شة ا١ ئ امب از ربة ػ21
Penafsiran Ibnu Arabi terkait dengan tobat nas}u>h}a> menegaskan bahwa dengan
tobat nas}u>h}a> seseorang terlepas dari dosa, naik (taraqqi) dari maqa>m yang
masih tercemar dengan dosa ke maqa>m tobat yang membuka hijab antara hamba
dengan Tuhan. Maqa>m ini memperbaiki dan menyempurnakan yang rusak dari
kesalahan dan dosa.22
Inti dari penafsiran Ibnu Arabi dengan Tustari dan Sa‗id H{awwa sama–sama
berlandaskan pada makna zahir, tobat nas}u>h}a>. Artinya penafsiran sufistik
mereka dalam hal ini masih tetap memperhatikan zahir ayat. Dengan tobat
nas}u>h}a> mereka sepakat bahwa kesalahan dan dosa yang diperbuat dapat bersih
dan membuat jiwa suci untuk kembali kepada Tuhan. Karena tobat dilakukan terus
20
Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 147.
21 Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,
Cet. Ke–2, 333
22 Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,
Cet. Ke–2, 333
103
menerus maka kedekatan dengan Tuhan dapat dirasakan yang diwujudkan dengan
terbuka h}ijab oleh Ibnu Arabi. Hanya dengan jiwa yang suci itulah menjadikan
hamba masuk surga sejalan dengan kandungan ayat diatas.
Menurut tafsir Ibnu Arabi, surga yang disiapkan tersebut mempunyai
tingkatan sesuai dengan tingkatan tobat seseorang. Awal dari tingkatan tobat
menurutnya adalah meninggalkan maksiat dan kembali kepada Allah, sedangkan
tingkatan terakhir adalah kembali kepada Allah dari menjauhi dosa apapun sesuai
pemahaman ahli hakikat yaitu dosa–dosa yang merupakan bagian dari induk dosa
besar.23
Disamping itu Sa‗id H{awwa juga mengenal tingkatan tobat bahwa yang
paling tinggi adalah istimra>r dalam bertobat dimana tidak terbatas pada tujuan
penghapusan dosa yang lalu tapi terus menerus bertobat sampai badan berpisah
dengan dunia.24
Kualifikasi tobat demikian berimplikasi kepada upaya menghindari
dosa–dosa lain (tidak semata–mata menutup dosa lampau) sehingga membentuk jiwa
yang suci yang selalu merasa dekat dengan Tuhan.
Makna utama dari penafsiran Tustari dan Ibnu Arabi tentang tobat
nas}u>h}a> dalam ayat diatas yaitu terbuka hijab antara hamba dan Allah. Tustari
memaknainya dengan berhubungan langsung dengan Allah dimana hamba tidak
merasa bergantung kepada bumi dan langit tapi melampaui keduanya yaitu berada
dekat disisi Allah. Adapun Ibnu Arabi menjelaskan bahwa tobat demikian
membukakan hijab dimana hamba naik menuju Tuhan dengan istilah taraqqinya.
Pandangan demikian tidak ditemukan dalam tafsir Sa‗id H{awwa baik istilah taraqqi
ataupun hijab. Tampak disini bahwa Sa‗id H{awwa lebih dekat pada makna zahir
dalam mengemukakan makna isha>rinya dibanding seperti yang ditunjukkan oleh
Tustari dan Ibnu Arabi. Satu sisi Sa‗id H{awwa dengan Ibnu Arabi dan Tustari
mempunyai kesamaan dalam tujuan dan implikasi tobat nas}u>h}a> serta tingkatan
tobat tapi pada sisi taraqqi dan hijab Sa‗id H{awwa tidak tegas menyatakan
demikian, padahal dengan istilah istimra>rnya dalam bertobat sebetulnya
23
Ibnu Arabi, Tafsir, Jilid 2, h. 333 24
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid10, Cet.
Ke–6, 6013
104
menunjukkan jiwa yang bersih dan merasakan hubungan yang dekat dengan Tuhan.25
Disini Sa‗id H{awwa tidak memberikan istilah demikian untuk menunjukkan makna
tobat supaya pengertiannya tidak abstrak. Karena makna abstrak tersebut sulit bagi
orang umum memahami dan mengamalkan apalagi tidak didukung oleh keterangan
lain sehingga maknanya terlihat jauh dari zahir ayat.
2. Ayat tiga surat Hud (11)
Perintah tobat pada ayat lain seperti surat Hud (11) ayat 3;
أ اعزغفشا سثى ص رث ئ١
Makna ayat ini dinyatakan oleh Sa‗id Hawwa yaitu;
اعزغفش ازت ص اسجؼا ئ١ ثبؼبػخ: ص رثا ئ١ أ26
.
Tobatlah kamu kepadaNya (Allah) maknanya adalah Mohon ampunlah
kepadaNya dari dosa kemudian kembalilah kepadaNya dengan ketaatan.
Tobat dalam pengertian Sa‗id Hawwa dalam hal ini sama dengan yang
dikemukakan dalam istilah para sufi. Seperti dijelaskan oleh Abi Khazam yaitu
kembali kepada ketaatan dari perbuatan maksiat.27
Pengertian mendalam dijelaskan oleh Sa‗id Hawwa bahwa tobat tidak cukup
hanya mohon ampun terhadap dosa yang lalu saja tapi dilakukan berkelanjutan;
. ازثخ ازة ئ اهلل ػضج ف١ب رغزمج أ رغزشا ػ ره28
Tobat dari segala dosa yang akan kamu hadapi masa datang dan lakukanlah
olehmu secara terus-menerus.
Penafsiran ini mengandung makna bahwa manusia dalam menjalani
kehidupan akan selalu menghadapi berbagai kesalahan dan kealpaan maka sudah
sewajarnya tobat dilakukan setiap hari (istimra>r). Dengan melakukan tobat
demikian, maka kesalahan-kesalahan dan maksiat lebih mudah terhindari terlebih
25
Dengan terhapusnya dosa, sesuai dengan makna ayat QS. At-Tah}ri>m: 66 26
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.
Ke–6, 2532 27
Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 64 28
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.
Ke–6, 2532
105
dahulu karena selalu ingat akan dosa. Dengan sering melakukan tobat, akan
meningkatkan kesucian jiwa dan terasa semakin dekat dengan Allah. Makna isha>ri
yang dikemukakan Sa‗id Hawwa diatas sejalan dengan kandungan zahir ayat. Tujuan
bertobat supaya menjadikan seseorang kembali kepada Allah dengan ketaatan yang
dicerminkan dengan tobat terus menerus. Penafsiran Sa‗id H{awwa tersebut
didukung oleh pengertian yang diberikan at-Tustari, ia menjelaskan dengan membuat
urutan pertama istighfa>r–ina>bah –taubat ; istighfa>r sifatnya secara zahir,
ina>bah dengan hati sedangkan taubat maknanya istighfa>r yang berkekalan (tetap)
dari dari pada kesalahan dan lalai.29
Penjelasan Sa‗id H{awwa dalam tafsirnya
memiliki kesamaan makna dengan yang dikemukakan at-Tustari. Penafsiran mereka
sama-sama menghendaki tobat dilakukan terus-menerus. Sementara itu makna tobat
dalam tafsir Ibnu Arabi رثا ئ١ berarti kembalilah kepada Allah dengan fana>’
dha>ti (meleburkan diri).30
Pengertian yang dikemukakan Ibnu Arabi ini sangat
berbeda dengan yang dipahami oleh Sa‗id H{awwa atau at-Tustari. Ibnu Arabi dalam
tafsirnya juga tidak menyertakan riwayat atau pandangan lain yang mendukung
penafsirannya.
Dari beberapa penafsiran tentang perintah tobat ini dipahami bahwa Sa‗id
H{awwa dan Tustari masih terlihat menafsirkan sufistik ayat sangat dekat berpegang
pada makna zahir. Makna tobat bagi mereka harus dilakukan terus menerus kekal
melekat pada hati yaitu dengan istighfa>r. Artinya mohon ampunan dari dosa yang
lalu dan tobat daripadanya kepada Allah terhadap apa yang dihadapi masa datang
artinya tobat terus menerus. Sedangkan Ibnu Arabi menafsirkannya dengan sikap
fana>’, artinya kembali kepada Allah dengan meleburkan diri yang merupakan
proses wus}u>l menuju baqa>’ dan sampai kepada Allah. Pendekatan ishari yang
digunakan Ibnu Arabi melampau pendekatan isha>ri Sa‗id H{awwa dan at-Tustari
dalam menafsirkan ayat secara sufistik. Penafsiran demikian mengandung kajian
29
Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I, 78 30
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,
Cet. Ke–2, h. 316
106
teoritis tasawuf dan mencerminkan kepada ajaran filsafat yang dianutnya.
Bahwasanya dengan kembali kepada Allah dalam fana‘ sehingga membentuk
kesatuan dengan Tuhan. Berdasar teori filsafat demikian maka jenis penafsiran
tersebut termasuk tafsir sufi naz}ari.
3. Ayat tujuh belas surat an–Nisa>’`
Dalam ayat 17 surat an–Nisa>’` dijelaskan tentang jenis tobat terkait dengan
dosa yang dilakukan. Tobat yang terkandung dalam ayat tersebut, terkait dengan yang
dilakukan oleh orang yang berbuat salah karena kejahilan.
Terkait dengan orang yang bertaubat dengan segera ( min qari>b ) dijelaskan:
Mereka melakukan tobat pada bagian waktu yang dekat dalam artian masa
bertobat berada diantara mengerjakan maksiat dan sebelum datangnya
kematian.
Berkenaan dengan tobat bagi orang yang berbuat dosa dilakukan sebelum
datangnya kematian, ini termasuk dalam pengertian qari>b. Artinya tobat itu
masanya sepanjang waktu sebelum nyawa sampai dikerongkongan. Menurut Sa‗id
H{awwa tobat harus muncul dari kesadaran atau merupakan ikhtiar (pilihan) bukan
karena terpaksa seperti muncul tanda–tanda dekatnya kematian. Makna tobat dalam
penjelasan Sa‗id Hawwa diatas, menunjukkan kesadaran bagi orang yang merasakan
hubungan yang dekat dengan Tuhan. Sebaliknya, orang yang menangguhkan tobatnya
31
Artinya; Sesungguhnya tobat disisi Allah hanyalah tobat bagi orang–orang yang
mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, kemudian mereka bertobat dengan segera maka mereka
itulah yang diterima Allah tobatnya. Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana. Alquran dan
Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
32 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke 6, 1018. Lihat juga; Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i
al-Matha>n, Tah}qi>q: Sayyid ‗Imran (Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid 2,620.
107
sampai timbul dekatnya kematian atau berhadapan dengan malaikat maut maka
tobatnya tidak diterima.33
Selanjutnya dijelaskan,
Orang yang bertobat kepada Allah berarti ia mengharapkan kehidupan, karena
itu tobatnya diterima.
Orang yang bertobat kepada Allah sebagai implikasi dari pilihannya berarti ia
mengharapkan kehidupan bukan karena mendekati kematian atau ingin mati. Ini
memberi kesan bahwa tobat itu harus dilakukan setiap saat tidak terbatas pada waktu
atau pengaruh kondisi apa pun. Sekalipun batasnya menjelang ajal menjemput tetapi
tiada seorangpun yang mengetahui akan ajalnya. Mengenai ini, Al-Jailani pernah
menyebutkan, manfaatkanlah pintu tobat dan masuklah kedalamnya selama pintu itu
terbuka untukmu. Pergunakanlah pintu doa maka ia dibukakan untukmu.35
Ungkapan
al-Jailani diatas mengisyaratkan bahwa bertobat jangan ditunda-tunda sebab pintunya
akan tertutup secara tiba-tiba sedangkan pintu doa sengaja dibuka kesannya tidak
terbatas. Ihwal bertobat seperti tergambar dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh
Muslim dari Aghar bin Yasa>r al–Muza>ni yang berbunyi :
.٠بأ٠بابط رثا ئ اهلل اعزغفش فا أرة ئ اهلل أعزغفش ف ا١ بئخ شح
Artinya; Wahai sekalian manusia, bertobatlah kalian kepada Allah dan
mohonlah ampunanNya. Sesungguhnya aku bertobat kepada Allah dalam
sehari semalam sebanyak seratus kali.36
Nabi Muhammad saw sendiri yang jauh dari dosa senantiasa melakukan tobat
dan menyuruh kita umatnya juga berbuat demikian, artinya tobat bukan karena hanya
33
Termasuk tobatnya orang kafir yang tetap dalam kekafirannya, atau orang yang murtad dan
ingin kembali pada iman tapi sudah terlambat karena datangnya tanda kematian. Sa‗id H{awwa, al–
Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet. Ke–6,1018. Demikian juga, M.
Husein T{abat}aba-i, Al–Mi>za>n fi> Tafsi>r al–Quran (Beirut: Muassasah al–A‘lami, 2006
M/1428 H), Juz 3-4, Cet. Ke-1, 466
34 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke 6, 1018 35
Abdul Qadir Al-Jailani, al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Faydu ar-Rahmaniy (Beirut: Darul
Kutub al-Ilmiyah, 1424/2003), Cet.ke-2, 31, Tahqi>q: Shaikh Anas Mihrah
36 Sahih Muslim, Lihat juga penjelasannya; Abdul Qadir Isa, H{aqa>iq at-Tasawwuf
(Jakarta: Qisthi Press, 2006), Cet. Ke–2, 201 (Terj. Khairul Amru Harahap, Lc dan Afrizal Lubis, Lc).
108
nyata mengerjakan salah. Hadis ini memperkuat penafsiran Sa‗id Hawwa diatas
bahwa dengan sering melakukan tobat maka dapat meningkatkan kesucian jiwa dan
bertambah dekat dengan Tuhan.
Pendekatan isha>ri yang dikemukakan Sa‗id H{awwa tersebut terlihat dekat
dengan makna zahir sebagaimana terkandung dalam kandungan ayat yang
menghendaki tobat dengan segera. Dengan mengharapkan kehidupan dalam bertobat
artinya seseorang dapat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya kepada
Tuhan. Semakin tinggi frekuensi ibadah yang dilakukan semakin terasa hubungan
yang dekat dengan Tuhan.
Implikasi dari makna tobat tersebut menjadikan seseorang menjalani
kehidupan terasa dinamis dan tidak pasif sebab orientasi tobatnya bukan karena
kematian sudah dekat. Bila seseorang bertobat karena menuju kematian maka akan
membawa pada kemalasan dan cara pandang yang pasif. Sebaliknya, dengan sering
melakukan tobat menumbuhkan rasa optimisme dalam meraih kedekatan hubungan
dengan Allah. Makna sufistik tentang tobat yang ditegaskan Sa‗id H{awwa tidak
akan menghambat beraktifitas justeru menumbuhkan kreatifitas sehingga mendorong
akal untuk selalu berpikir positif. Pandangan Sa‗id H{awwa diatas akan membawa
tasawuf berada dalam dunia nyata.
Di samping menjelaskan makna diatas, Sa‗id H{awwa juga melakukan
analisis terkait makna jahil dalam ayat diatas. Adapun tentang makna kejahilan terkait
dengan dosa dari orang yang bertobat dalam ayat diatas dijelaskan oleh Sa‗id
H{awwa, jahil yang dimaksud bukanlah jahil berhadapan dengan ilmu) ٠مبث ) اؼ
tapi jahil disini berhadapan dengan akal ,Karena jahil akal demikian .( (٠مبث اؼم
memberi pengertian bahwa ia memilih kesenangan sementara (fana`) dari kesenangan
yang abadi.37
Jahil dalam pandangan Sa‗id H{awwa tipe diatas adalah orang yang
berbuat dosa karena tidak mau berpikir (tidak memfungsikan akal) lalu ia
37
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke 6, 1017
109
menjatuhkan pilihan pada kesenangan sesaat karena nafsu semata. Ia menyadari akan
perbuatan salah yang dikerjakannya.
Disebutkan Sa‗id H{awwa pengertian lain dari jahil akal yaitu bukanlah yang
dimaksud kejahilannya itu karena sewaktu berbuat dosa tapi kejahilannya menjadikan
tertutup akalnya tentang akibat yang timbul dari perbuatan jahatnya.38
Kejahilan tipe
kedua ini, orang yang sengaja saat melakukan dosa tapi ia tidak menyadari akan
akibat yang muncul dari perbuatan dosa karena ditutupi oleh kejahilannya. Perbuatan
dosa yang dilakukan disebabkan kebodohannya yang tidak mengetahui akibat dari
perbuatannya.
Terkait dengan uraian diatas Sa‗id H{awwa mengemukakan riwayat
Abdurrazaq yang berasal dari Qatadah, ia mengatakan bahwa segala sesuatu yang
mendurhakai Allah baik sengaja atau tidak maka dikatakan jahil.39
Jadi pengertian
berdasarkan riwayat ini, keadaan orang yang berbuat dosa disebut jahil baik sadar
atau tidak sadar. Kejahilan disini lebih umum yaitu cenderung kepada jahil ilmu.
Dari penafsiran Sa‗id H{awwa diatas tentang kejahilan dapat disimpulkan
bahwa ada tiga kategori, dua diantaranya terkait jahil secara akal:
1. Perbuatan dosa karena jahil secara akal (sengaja). Si pelaku mengetahui kalau
perbuatan itu dosa dan bakal menanggung akibatnya, tetapi akalnya dikalahkan
oleh nafsunya lalu pilihannya tetap tertuju pada kesenangan sementara dengan
mengabaikan kesenangan yang sesungguhnya.
2. Perbuatan dosa karena kejahilannya pada akibat yang timbul dari perbuatannya. Ia
sadar ketika melakukan dosa tapi tidak menyadari akibat buruk dari perbuatanya
sehingga kejahatan itu tetap dilakukan. Termasuk juga dalam kategori ini yaitu
orang yang melakukan kejahatan tanpa menghiraukan hukuman.
3. Kejahilan ketiga terkait dengan perbuatan dosa yang dilakukan dengan sengaja
atau tidak maka pelakunya dikatakan jahil. Si pelaku boleh jadi mengetahui akan
38
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke 6, 1017 39
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke 6, 1017
110
perbuatan jahatnya atau tidak mengetahuinya ketika berbuat, maka dengan
perbuatannya disebut ia jahil disaat perbuatan dosa itu dilakukan. Pada level ini
tergambar bahwa siapa saja yang berbuat jahat disebut jahil tanpa kualifikasi.
Kategori ketiga ini sejalan dengan yang dijelaskan oleh T{aba>t}aba>-i dalam
tafsir al–Mi>za>n. Menurutnya jahil disini berhadapan dengan ilmu (kesadaran),
berarti orang yang mengerjakan kejahatan karena dorongan hawa nafsu atau syahwat.
Dari itu, pada dasarnya setiap maksiat yang dikerjakan termasuk kejahilan manusia.40
T{aba>t}aba>-i tidak membedakan jahil pada ayat ini sebagaimana Zamakhshari juga
demikian namun bagi Sa‗id H{awwa membagi jahil terkait akal dengan perbuatan
jahat manusia. Disinilah bedanya penafsiran Zamakhshari seorang mutakallim
ataupun T{aba>t}aba>-i yang cenderung tafsirnya ke filsafat dan ilmu pengetahuan
dengan tafsir Sa‗id H{awwa. Justeru terlihat perbandingan, bahwa sekalipun Sa‗id
H{awwa menyorot makna makna zahir ayat namun tetap memiliki nuansa sufistik.
Menurut pandangannya, secara akal manusia sadar dalam berbuat dosa namun
akalnya dikalahkan oleh nafsunya. Karena itu, sangat wajar manusia bersegera
bertaubat sebab perbuatan dosa tersebut merupakan unsur kesengajaan. Selain itu,
Sa‗id Hawwa menerima juga jahil secara ilmu sebagaimana terungkap dalam riwayat
yang dikutipnya. Mengenai riwayat ini, Sa‗id H{awwa tidak ada memberikan
komentar.
Pada dasarnya pemikiran Sa‗id H{awwa tentang makna kejahilan diatas yang
cenderung kepada jahil akal, mendukung terhadap makna tobat yang membentuk
hidup dinamis. Orang yang melakukan kesalahan merupakan orang yang tidak
menggunakan akalnya dengan sebaik-baiknya. Sementara manusia yang jahil ilmu
hanyalah yang tertutup akalnya (majnu>n) sehingga tidak bisa berpikir untuk
membedakan hal yang baik dan salah apalagi untuk memikirkan hubungan dengan
Tuhan. Karena itu, dalam pandangan Sa‗id H{awwa tentang jahil kategori ketiga
diatas pada hakikatnya tidak wajar dimiliki oleh orang yang sehat (normal).
40
M. Husein T{abat}aba-i, Al–Mi>za>n fi> Tafsi>r al–Quran (Beirut: Muassasah al–
A‘lami, 2006 M/1428 H), Juz 3-4, Cet. Ke-1, 463
111
Berkaitan dengan menerima tobat, Sa‗id H{awwa juga melakukan analisis
terhadap zahir ayat, bahwa Allah menerima tobat bagi pelaku dosa karena
kejahilannya. Ada dua hal terkait dengan masalah diatas, pertama tentang
kewenangan Allah menerima tobat dan makna kejahilan. Penggunaan ― ػ ‖ pada
ayat tersebut tidaklah bermakna wajib, karena tidak ada sesuatu yang mewajibkan
Allah untuk berbuat. Kata ―‘ala― ػ disini dimaksudkan sebagai ta`kid (memperkuat)
untuk اػذ (janji Allah) bahwa pengertiannya Allah tidak dapat tidak seperti wajib
yang tidak dapat ditinggalkan.41
Penjelasan Sa‗id H{awwa diatas tidak
menghilangkan makna wajib bagi Allah maksudnya sama saja yaitu Allah tidak dapat
tidak, melaksanakan janjinya dalam menerima tobat. Namun demikian Sa‗id H{awwa
tidak dengan tegas menyatakan wajib bagi Allah dalam menerima tobat. Ia tetap
mengakui hak prerogatif Allah untuk menerima tobat sebagai indikasi tidak ada unsur
lain yang mempengaruhi kehendakNya. Disini Sa‗id H{awwa sepertinya tidak mau
dianggap terlibat dalam polemik kalam mu‗tazilah sebab tentang kewajiban Allah
menepati janji termasuk dalam ajaran mu‗tazilah.
Sebagaimana terlihat dalam tafsir karya Zamakhshari (pengikut mu‗tazilah)
ketika menafsirkan ayat tersebut menyatakan, sesungguhnya menerima tobat dan
mengampuni orang yang bertobat wajib bagi Allah. Ini pemberitahuan oleh Allah
bahwa Allah mewajibkan pada dirinya seperti kewajiban hamba untuk taat.42
Menepati janji dan berbuat yang terbaik untuk manusia merupakan wajib bagi Tuhan.
Kewajiban Tuhan bersumber pada sifat kesempurnaanNya. Tidak melaksanakan janji
dan ancaman berarti ketidaksempurnaan dalam pengetahuan dan kemauan Tuhan.43
41
ئر ال ٠جت ػ اهلل ش١ئ ى زأ و١ذ اػذ ٠ؼ أ ٠ى ال ذبخ وباجت , ب ال رف١ذ اجة ػ اهلل" ػ"وخ
,Lihat; Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2 از ال ٠زشن
Cet. Ke–6, 1017
42 Zamakhshari, al–Kashshaf ‘an H{aqa>iq at–Tanzi>l wa ‘Uyu>n al–Aqa>wi>l fi>
Wuju>h at–Ta’wi>l (Mesir: Maktabah Mesir, t.th), juz 1, 427. Senada dengan ini juga dijelaskan oleh
T{abat{aba-i, Allah menjanjikan kepada hamba untuk menerima tobat orang yang tobat ( ازبئت ) karena
Allah tidak akan menyalahi janjiNya,lihat; M. Husein T{abat}aba-i, Al–Mi>za>n fi> Tafsi>r al–
Quran (Beirut: Muassasah al–A‘lami, 2006 M/1428 H), Juz 3-4, Cet. Ke-1, 462
43 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI-Press,
1987), Cet. Ke–1, 84-88
112
Kewajiban Tuhan melakukan demikian tidak ada pengaruh dari sesuatu tapi memang
sudah merupakan kesatuan yang terdapat pada diri Tuhan, demikian pendapat yang
dianut oleh mu‗tazilah. Sa‗id H{awwa secara tidak langsung juga menggunakan
pendapat demikian namun tidak tegas mengakui bahwa Allah wajib melakukan
demikian. Sa‗id H{awwa tidak menyebut dalam tafsirnya tentang mu‗tazilah atau
asy‗ariyah artinya ia tidak menaruh perhatian tentang wacana kalam.
Penafsiran sufistik Sa‗id H{awwa disamping menjelaskan makna tobat, ia
juga membahas ayat dari tinjauan bahasa. Bila diperhatikan dengan pandangan
Zamakhshari dalam tafsirnya yang dengan tegas mengatakan Allah berkewajiban
menerima tobat terhadap hambaNya. Sedangkan Sa‗id H{awwa tidak dengan tegas
mengatakan demikian, namun pada dasarnya sama saja dengan Zamakhshari, sebab
makna ‘ala> pada ayat tersebut menurut Sa‗id H{awwa hanya untuk menguatkan
akan janji Allah untuk menerima tobat. Kelihatannya Sa‗id H{awwa memahami bila
menggunakan kata wajib akan membawa persepsi pada paham mu‗tazilah, sekalipun
ia tidak menyatakan sebagai pengikut kepada aliran tertentu. Analisis kebahasaan
dalam penafsiran termasuk bagian dari pengungkapan makna zahir ayat.
4. Ayat 128 surat al–Baqarah
Selanjutnya Sa‗id H{awwa menjelaskan tentang tingkat implementasi tobat
seperti dikandung dalam ayat 128 surat al–Baqarah:
Ayat ini menerangkan tentang usaha Ibrahim dan Ismail membangun kembali
Ka‘bah lalu mereka menyampaikan doa kepada Allah agar menjadi orang yang
tunduk, berserah diri ( غ١ ( begitu juga keturunannya. Permohonan selanjutnya
44
Artinya; Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada engkau
dan jadikanlah diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada engkau dan tunjukkanlah pada
kami tentang peribadatan kami dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya engkaulah yang maha
penerima tobat lagi maha penyanyang. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd
al-Madinah al- Munawwarah, 1415 H
113
adalah agar tobat mereka diterima. Ini termasuk doa orang yang sungguh-sungguh
berserah diri yang dicontohkan Ibrahim dan Ismail;
ئه أذ اغ١غ ذػبئب اؼ١ ثعبئشب , ٠ب سثب ئب رمشثب ئ١ه ثجبء زا اج١ذ فزمج ػب: أ
١.45زب
Ya Tuhan kami, seungguhnya kami telah mendekatkan diri kepadaMu dengan
membangun rumah ini (ka‗bah) maka terimalah amal kami. Sesungguhnya
Engkau Maha Mendengar akan doa kami lagi maha mengetahui terhadap hati
dan niat kami.
Kemudian Sa ‗id Hawwa mengutip perkataan Wuhaib bin al-Ward bahwa ia
menangis ketika dia membaca ayat ini dan menyatakan;
٠.46ب خ١ اشد رشفغ لائ ث١ذ اشد أذ شفك أ ال ٠زمج ه
Wahai kekasih Allah (nabi Ibrahim), engkau tinggikan pondasi
baiturrah}ma>n (Ka‗bah) kemudian engkau bersedih bahwa pengabdianmu
tidak akan diterima.
Dalam penafsiran diatas Sa‗id Hawwa ingin menegaskan bahwa Ibrahim dan
Ismail merasakan pengabdian yang mereka lakukan itu masih kecil dibandingkan
nikmat yang dianugerahkan Allah. Padahal pengorbanan mereka membangun Ka‗bah
sebagai salah satu shi‘ar ibadah haji khususnya dan kiblat kaum muslimin adalah
suatu amal yang luar biasa. Bahkan Ibrahim digambarkan sebagai orang yang
merasakan kecemasan bahwa pengorbanannya yang mulia seakan-akan menurutnya
tidak ada artinya dimata Allah.
Ini merupakan pengajaran untuk umat dalam berbuat kebajikan jangan merasa
sudah berbuat baik padahal perbuatan itu tiada nilainya dihadapan Allah karena niat
yang tidak bersih. Sebaliknya, harapan untuk mendapatkan pahala justeru boleh jadi
akan mengurangi pahala yang ada. Sementara itu Ibrahim yang berbuat sangat luar
biasa masih merasakan penyerahan dirinya belum total.
45
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6, 273
46 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6, 272
114
Kemudian doa mereka diakhiri dengan terimalah tobat kami رت ػ١ب mereka
bermohon tobat kepada Allah. Sa‗id H{awwa menafsirkan watub ‘alaina> adalah;
.لبال ره ذب فغ١ب ئسشبدا زس٠زب خك, ب فشغ ب ازمص١ش47
Apa saja kelalaian yang luput dari kami. Ucapan mereka tersebut
menggambarkan dirinya luluh, hina rendah dan sebagai pengajaran untuk
keturunannya dan manusia seluruhnya.
Tobat dalam penafsiran Sa‗id Hawwa dalam hal ini dimaknai dengan tobat
dari kesalahan-kesalahan yang tidak disadari. Permohonan tobat mereka dari apa saja
kekurangan yang terlupakan atau kelalaian pada mereka. Tobat dalam doa mereka
mengandung pengertian bahwa mereka sungguh berserah diri dengan merasakan diri
mereka hancur luluh, hina ( (عب فغ١ب . Ibrahim dan Ismail menunjukkan
kepasrahan totalitas dirinya dalam bertobat kepada Allah. Ini menunjukkan
kesungguhan dan kesadaran yang kuat bahwa mereka takut bila mereka masih lalai
dari mengingat Allah.48
Tobat yang mereka lakukan bukan karena berbuat jahat atau
dosa justeru sebelum tobat dipanjatkan mereka melakukan amal saleh dengan
membangun Ka‗bah sebagai tempat peribadatan. Ungkapan muslimain dalam doanya
menunjukkan sebagai bentuk penyerahan diri secara utuh. Artinya mereka masih
merasa penyerahan dirinya belum sepenuhnya makanya mereka bertobat dari hal
yang mereka alpa. Dalam istilah al-Alusi, tobat yang mereka lakukan dalam rangka
lebih meninggikan kualitas iman dan juga sebagai pembelajaran untuk manusia dalam
bertobat.49
Makna muslimain sebagai penyerahan diri maksudnya supaya
berkesinambungan. Mereka khawatir bahwa hatinya berpaling sesaat dalam hal
ketundukkan kepada Allah.50
47
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6, 273 48
Dalam istilah zunnun al-Misri, ini termasuk tobat orang khusus yaitu tobat dari kealpaan
dan melihat kekurangan diri. Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{ufiyyah
(Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 64 49
Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n,
Tah}qi>q: Sayyid ‗Imran (Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid 1,530. 50
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6, 273
115
Istilah had}man dalam tafsir Sa‗id H{awwa sebagai cermin penyerahan diri
Ibrahim dan Ismail yang merasa dirinya sudah luluh, hanyut dalam tobat yang
dilakukan. Istilah luluh yang dikemukakan Sa‗id H{awwa menunjukkan bahwa
mereka merasakan hina seakan tiada arti di haribaan Tuhan. Dalam istilah tasawuf
kehinaan yang dalam dirasakan dalam bertobat bisa diartikan sebagai fana. Seperti
disebutkan oleh Hasan Sharqawi dalam buku Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah, tobat
dapat bermakna fana terhadap diri dan tetap bersama Allah.51
Namun demikian Sa‗id
H{awwa tidak menyebut dengan kefanaan. Tampak disini, Sa‗id H{awwa tidak ingin
mengemukakan istilah yang bisa mendatangkan makna kontroversial yang
mempersulit pemahaman. Istilah fana’ dalam tasawuf biasanya identik dengan paham
tasawuf teoritis. Sa‗id H{awwa dalam metodologi tafsir sufinya menghindari istilah-
istilah yang kontroversial dan dalam pandangannya disebut dengan ungkapan yang
tidak wajar.52
Karena itu, Sa‗id H{awwa berusaha memahami makna sufistik ayat
dengan tetap bersandar pada konteks ayat sehingga pemahaman mengandung makna
aplikatif. Intinya, Sa‗id Hawwa ingin menjelaskan bahwa perwujudan tobat yang
dilakukan Ibrahim dan Ismail supaya menjadi teladan dalam bertobat yang sungguh-
sungguh.
Penafsiran makna tobat sebagai merasakan diri luluh tersebut didukung oleh
ungkapan muslimain tersebut. Makna muslimain sebagai bukti bahwa jiwa raganya
setulusnya diserahkan kepada Allah sekalipun mereka statusnya sebagai Nabi yang
ma‘s}um (terjamin dari dosa). Setelah mereka menunjukkan berserah diri (muslimain)
kemudian mereka bertobat. Inilah tobat yang sesungguhnya supaya senantiasa
merasakan dekat dengan Allah. Makna demikian termasuk makna isha>ri yang dapat
dipahami dan pelajaran bagi orang yang sungguh-sungguh dalam bertobat.
51
Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-
1,89 52
Sebab, istilah fana pemahamannya bermuara kepada ittihad (kesatuan dengan Tuhan)
seperti yang dipahami para sufi falsafi. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), Cet. Ke–8, 80-83. Pemahaman seperti ini yang dihindari Sa‘id H{awwa. Sa‘id
H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9,5.
116
5. Ayat 70 surat al–Furqan (25)
Dalam melakukan tobat tidak cukup hanya kembali kepada Allah tapi harus
disertai dengan amal saleh sebagaimana terungkap dalam ayat 70 surat al–Furqan
(25).
Sa ‗id H{awwa menjelaskan bahwa makna tobat dalam ayat ini adalah;
ئب ثأ ٠فم اهلل ئ ػ اذغبد ثذي اغ١ئبد أ أ اغ١ئخ رمت , ازثخ اصح: أ
.دغبد54
Tobat yang dimaksud adalah at-taubah an-nas}u>h}} Dengan tobat nas}u>h}
(murni) maka Allah akan memberikan taufik kepada mereka yang tobat untuk
selalu melakukan amal baik sebagai pengganti kejahatan sebelumnya. Selain
itu dengan tobat yang murni ini maka dapat merubah kejahatan menjadi
kebaikan.
Makna tobat yang pahami dari penafsiran Sa‗id H{awwa diatas adalah tobat
yang bersih dari hati pelakunya, sehingga tobat demikianlah yang bisa menghapus
dosa-dosa yang pernah diperbuat. Sebagai indikator dari tobat nas}u>h} ( bersih,
murni) yaitu pelaku tobat mendapatkan taufik dari Allah yang mendorongnya untuk
mengerjakan yang baik sebagai penghapus kesalahan masa lalu. Taufik bagi para sufi
merupakan anugerah yang diperoleh oleh orang yang berhati suci sehingga
perbuatannya senantiasa mendapat bimbingan Tuhan.55
Makna taufik demikian akan
selalu memberikan banyak kemudahan hidup bagi orang yang betul-betul menjalani
tobat yang murni. Taufik yang diperoleh juga merupakan cerminan bagi orang yang
53
Artinya; Orang-orang yang berdosa pada ayat 68 akan mendapat azab pada hari kiamat,
kecuali orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh maka kejahatan mereka akan
diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang. Alquran
dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
54 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet.
Ke–6, 3879
55 Secara definitif makna taufik menurut para sufi adalah, Allah menjadikan perbuatan
hambanya sesuai dengan yang disukai dan dirid}aiNya ( Anwar .(جؼ اهلل فؼ ػجبد افمب ب ٠ذج ٠شظب
Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993),
Cet. Ke–1, 65
117
merasakan hubungan yang dekat dengan Tuhan. Kedekatan inilah yang membimbing
dalam perbuatannya.
Ibnu Arabi menafsirkan orang bertobat dalam ayat 70 diatas dengan kembali
kepada Allah dan membebaskan diri dari maksiat maka Dia mengganti syirik dengan
keimanan begitu juga keburukan diganti dengan kebaikan. Dengan demikian keadaan
diri sebelumnya yang berdosa terhapus dan tetaplah iman padanya. Inilah yang
disebut dengan tobat hakiki.56
Tustari menjelaskan dalam tafsirnya tobat tidak sah
sebelum seseorang itu banyak meninggalkan hal yang mubah (halal). Ia mengutip
hadis Aishah yang mengatakan, jadikanlah kehalalan itu sebagai dinding/ tutupan
antara kamu dan hal yang haram.57
Hal ini dapat dilakukan oleh orang yang dekat
dengan Tuhan dan merasakan terbimbing olehNya. Kalau Ibnu Arabi menyatakan
tobat hakiki dengan tetapnya keimanan dan lepas dari kemaksiatan, hal ini dikuatkan
oleh Tustari dengan sering meninggalkan hal yang halal sebagaimana layaknya ketika
menjauhi perkara yang haram. Ini sejalan dengan makna ayat sebagai pengakuan diri
bahwa tobatnya murni dan berharap tergantinya keburukan dengan kebaikan.
Sehubungan dengan ini, Sa‗id H{awwa menambahkan bahwa tobat harus
diiringi dengan amal saleh. Amal saleh sebagai realisasi dari tobat. Dengan demikian
kejahatannya betul–betul hapus dan berganti dengan kebaikan hanya dengan tobat
yang murni ( 58.) ازثخ اصح Sementara itu penafsiran Ibnu Arabi terkait ayat ini
hampir semakna dengan penafsiran Tustari dan Sa‗id H{awwa, dimana Ibnu Arabi
terlihat masih berpegang pada makna zahir ayat. Ide dasar penafsiran mereka dimana
tobat dari dosa yaitu kembali kepada keimanan dengan meninggalkan syirik yang
diikuti dengan berbuat kebajikan. Masing–masing tetap berpegang pada makna zahir
56
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,
Cet. Ke–2, 85
57 Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I, 114
58 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet.
Ke–6, 3879
118
ayat. Istilah Ibnu Arabi terkait dengan tobat diatas disebut sebagai tobat hakiki, Sa‗id
H{awwa menyebut sebagai tobat murni (nas}u>h}).
Sa‗id H{awwa menegaskan mengenai tobat yang murni harus terbukti dengan
amal saleh, karena itu amal jahat yang lampau akan berganti menjadi amal baik,
artinya amal jahat menjadi terhapus. Penafsiran Sa‗id H{awwa dan penafsiran at-
Tustari dan Ibnu Arabi saling mendukung pada penafsiran sufistik. Bila dianalisis
penafsiran Sa‗id H{awwa menghendaki tindak nyata dalam bertasawuf. Seperti
ditegaskannya tobat tidak mencapai sasaran yang diharapkan untuk mengganti
keburukan dengan kebaikan bila tidak ada usaha perbaikan termasuk perubahan
dalam masyarakat. Ini sebagai ciri dari tasawuf Sa‗id H{awwa yang ingin melakukan
perubahan dalam masyarakat melalui pendidikan ruhani.59
Dengan melihat
penafsiran–penafsiran Sa‗id H{awwa diatas secara metodologis ia menggunakan
makna isha>ri yang berdasar pada makna zahir sehingga penafsirannya dapat disebut
dengan tafsir sufi isha>ri.
Penafsiran sufistik masing–masing diatas dapat dipahami, masih berpegang
pada makna zahir ayat. Ini mengindikasikan bahwa tafsir Ibnu Arabi tidak selalu
meninggalkan makna zahir walaupun sering mengedepankan makna bat}iniyyah
apalagi dengan didukung oleh tinjauan filsafatnya.
B. Tafsir tentang Ayat-Ayat Zuhud
Dalam urutan yang dikemukakan terdahulu, zuhud merupakan jenjang kedua
setelah maqa>m tobat. Secara umum menurut para sufi, zuhud maksudnya berpaling
dari kenikmatan dunia, meninggalkan kesenangan dunia demi mencari kesenangan
akhirat. Abu Sulaiman ad–Darani menyatakan zuhud adalah meninggalkan apa saja
yang melalaikan dari mengingat Allah. Ali bin Abi Thalib pernah ditanya tentang
59
Makna ini dipaparkan dalam bukunya, lihat; Sa‘id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah
(Kairo: Darussalam, 2007 / 1428), Cet. Ke–9, 4. Lihat juga; Sayid M. Aqil bin Ali al–Mahdi, Madkhal
ila at–Tasawwuf al–Islami ( Kairo: Darul Hadis, tth), Cet. Ke–2, 29. Ia menjelaskan Sa‘id H{awwa
termasuk pengkaji tasawuf yang berupaya menjadikan tasawuf agar berpengaruh dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
119
zuhud, katanya jangan anda pedulikan terhadap keenakan dunia.60
Beberapa
penjelasan tentang zuhud memberi pengertian bahwa kehidupan akhirat menjadi lebih
utama dari kepentingan dunia. Berkaitan dengan istilah kata zuhud ditemukan dalam
surat Yusuf (12) ayat 20.61
Sekalipun dalam Alquran disebutkan hanya pada ayat
tersebut bukan berarti prilaku zuhud sebagai maqa>m dalam tasawuf tidak ada
anjuran dalam petunjuk ajaran agama. Bahkan melihat dari pengertian pokok dari
zuhud diatas banyak ayat-ayat Alquran digunakan sebagai dasar untuk mendukung
tentang prilaku zuhud tersebut. Diantaranya berbicara tentang keutamaan
memperhatikan akhirat dari kehidupan dunia, juga celaan Alquran terhadap orang
yang lebih mementingkan dunia.
1. Ayat 17 surat al –A‘la (87)
Ayat Alquran sering mendorong manusia lebih memperhatikan kehidupan
akhirat dari pada larut dalam kehidupan dunia dan bahkan kecintaan dunia dapat
melalaikan dari perintah agama. Ayat 17 surat al –A‘la (87) menggambarkan pilihan
orang yang terhadap kehidupan dunia.
Sa‗id Hawwa menyatakan dalam tafsirnya pendapat an-Nasafi dan Ibnu Kathir;
أ رمذب ػ أش : لبي اث وض١ش. ػ االخشح فال رفؼ ب ث رفذ: أ, لبي اغف
صاة اهلل ف اذاس االخشح خ١ش . االخشح رجذب ػ ب ف١ فؼى صالدى ف ؼبشى
60
Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 94, Lihat juga al–Jarjani, Syarif Ali bin Muhammad al–Jarjani, Kitab
Ta’rifa>t (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1988/1408 H), Cet. Ke–3,115 61
Ayat ini menerangkan sikap orang yang tidak berkecenderungan hati pada sesuatu
dinyatakan dengan pengertian zuhud secara bahasa. Bunyi ayat; شش ثض ثخظ دسا ؼذدح وب ا
artinya; Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah yaitu beberapa dirham , ف١ اضاذ٠
saja dan mereka merasa tidak tertarik hatinya pada Yusuf. 62
Artinya; Tetapi kamu memilih kehidupan dunia. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih
baik dan lebih kekal. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-
Munawwarah, 1415 H
120
فى١ف ٠إصش ػبل ب ٠ف ػ ب , اذ١ب أثم فا اذ١ب دا١خ فب١خ االخشح شش٠فخ ثبل١خ
.٠جم63
Artinya; Kamu mengutamakan kehidupan dunia dari pada akhirat maka hal
yang kamu lakukan itu tidaklah memberikan keuntungan bagimu. Sementara
itu Ibnu Kathir menyebutkan arti ayat; Kamu mendahulukan kehidupan dunia
dari urusan akhirat dan kamu tonjolkan kehidupan dunia yang memberikan
manfaat dan kebaikan dalam penghidupanmu. Pahala yang dijanjikan Allah di
akhirat lebih baik dari dunia dan lebih kekal. Sesungguhnya dunia ini sifatnya
sementara dan hancur (lenyap), sedangkan akhirat itu mulia dan kekal.
Mengapa orang yang berakal justeru mengutamakan sesuatu yang akan lenyap
dari pada yang kekal.
Demikian pandangan an-Nasafi dan Ibnu Kathir yang menjelaskan bahwa
manusia yang lebih mengutamakan perhatian kehidupan dunia karena merasakan
kesenangan sesaat yang cepat dirasakan. Sedangkan kebaikan di akhirat yang
dijanjikan bagi orang yang memperhatikan urusan akhirat sifatnya kekal dan melebihi
kesenangan dunia.
Sa‗id Hawwa menegaskan akibat dari orang yang lebih mementingkan
kehidupan dunia sebagai berikut;
اؼخ اشئ١غ١خ شفط اززو١ش ازضو١خ اصالح ئ٠ضبساذ١بح اذ١ب 64
Alasan utamanya karena meninggalkan zikir, penyucian diri dan s}alat, itulah
yang menjadi penyebab kecenderungan untuk mengutamakan kehidupan
dunia.
Sebagai akibat dari perhatian dalam kehidupan dunia melebihi urusan akhirat
adalah akan melalaikan diri dari upaya menyucikan diri, berzikir dan s}alat. Dalam
penafsiran Sa‗id H{awwa ini dipahami bahwa ayat diatas mendorong manusia agar
lebih memperhatikan urusan akhirat dari pada kehidupan dunia. Orang yang
mengutamakan kepentingan akhirat senantiasa berusaha untuk menyucikan diri dan
merasakan supaya dekat dengan Allah. Untuk selalu merasakan dekat dengan Allah
63
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid11, Cet.
Ke–6, 6482
64 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid11, Cet.
Ke–6, 6482
121
ditunjukkan dengan berzikir dan s}alat. 65
Bila manusia lalai dari hal ini dan lebih
disibukkan dengan dunia, berarti ia menghijab dirinya dengan Tuhan.66
Sifat yang
dijelaskan diatas merupakan cerminan dari sikap zuhud.
Dijelaskan oleh Sa‗id H{awwa, kandungan ayat ini menerangkan tentang
nafsu (jiwa) bashariyyah افظ اجشش٠خ yang dimiliki oleh setiap manusia.67
Nafsu68
bashariyah harus dibersihkan yaitu dengan s}alat, karena dengan s}alat banyak aspek
terkandung didalamnya termasuk zikir, bertasbih (sesuai dengan bunyi ayat pertama
surat ini, menyucikan Allah, sucikanlah nama Tuhanmu) dan sekaligus jalan untuk
menyucikan diri.69
Penafsiran Sa‗id H{awwa diatas menekankan tentang nafsu
bashariyyah yang punya kecenderungan kepada kehidupan dunia sehingga
melupakan kehidupan akhirat yang lebih utama. Disamping itu, Sa‗id H{awwa
mementingkan penyucian diri manusia yang memberikan pengaruh positif pada
prilaku.
Nafsu bashariyyah jangan dibiarkan untuk memperturutkan keinginan rendah
dan fana itu, justru harus dapat dikendalikan dan ditahan. Nafsu bashariyyah harus
dibersihkan dari kecenderungan demikian agar meyakini akan kehidupan akhirat yang
kekal.70
Bertasbih dan kesucian manusia saling terkait, dengan selalu bertasbih
menjadikan kesucian tetap pada nafsu bashariyyah. Nafsu bashariyyah merupakan
65
Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-
1,143 66
Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-
1,143 67
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid11, Cet.
Ke–6, 6483 68
An-Nafs disebutkan oleh Sa‗id H{awwa, adalah roh setelah bercampur (bergabung) dengan
jasad. Nafs memiliki kecenderungan pada kekal hissi (materi/fisik) atau maknawi. Karena itu nafs
harus disucikan agar kembali ke sifat aslinya. Sa‗id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo:
Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9, 49
69 Bertasbih, menyucikanlah Allah supaya manusia berusaha meneladani kesucianNya dengan
memperbaiki ibadah dan berzikir. Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424
H/2003 M), Jilid11, Cet. Ke–6, 6483
70 Dilihat dari keadaan nafs pada manusia, dikatakan oleh Sa‗id Hawwa terbagi dua yaitu ذعبح
(kotor) dan ضوبح (suci). Sa‗id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428
H/2007 M), Cet. Ke–9, 51
122
lawan dari nafsu hayawa>niyyah افظ اذ١ا١خ , artinya nafsu bashariyyah sebagai
dorongan keinginan jiwa dalam diri manusia yang apabila tidak dikendalikan dapat
jatuh kepada nafsu hayawa>niyyah.71
Nafsu hayawa>niyyah tidak peduli akan
kehidupan akhirat.
Berkaitan dengan ayat diatas, Tustari menjelaskan bahwa tidak layak bagi
mukmin untuk memiliki kecenderungan kepada dunia. Bila ini terjadi, ia bagaikan
orang yang memegang (berada) pada sebatang kayu ditengah lautan sambil berseru
wahai Tuhan!, wahai Tuhan! Berharap semoga Tuhan menyelamatkannya dengan
tompangan kayu tersebut.72
Perumpamaan yang dikemukakan Tustari
menggambarkan kedudukan orang yang mengutamakan kehidupan dunia berada pada
posisi yang lemah dan membahayakan bagi keselamatan dirinya. Bila diperhatikan
penafsiran Tustari dan Sa‗id H{awwa sama berpijak pada makna zahir ayat bahwa
mementingkan kehidupan dunia akan mengotori jiwa manusia dan kedudukannya
tidak akan selamat. Kemegahan dunia menjadikan ia lalai dan terlena jauh dari
kesucian diri dan di akhirat hidupnya celaka.
Selanjutnya Tustari menjelaskan, bagi seorang hamba mukmin yang zuhud
pada dunia maka Allah mewakilkan untuknya malaikat yang bijaksana yang
menanam dalam hatinya bermacam–macam hikmah. Gambaran orang tersebut seperti
seseorang petani yang menanam banyak pohon di kebun–kebunnya.73
Ini suatu
keistimewaan yang dirasakan orang yang zuhud terhadap dunia, ia memperoleh
sebagian rahasia hikmah gaib seperti rahasia sunnatullah. Semakin menjauh ia dari
kesenangan duniawi akan bertambah hikmah yang diperolehnya yang membuat
hatinya dikelilingi dan dipenuhi pohon hikmah bagaikan petani yang menanam pohon
pada setiap kebunnya semakin lama akan berkembang. Begitupula seorang hamba
71
Jika nafs (jiwa) h{ayawaniyyah yang bergantung pada manusia maka ia bisa menyerupai
hewan, demikian Ibnu Sina yang dijelaskan oleh Harun Nasution. Harun Nasution, Falsafat dan
Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. Ke–8, 37
72 Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I,192 73
Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I,192
123
yang zuhud dari dunia akan dimudahkan Allah menangkap rahasia kejadian alam.
Orang seperti ini dapat dikatakan senantiasa mendapat taufik, artinya harapannya
selalu bersesuaian dengan takdir Allah karena telah dibukakan tabir oleh Allah untuk
memahami rahasia sunnatullah.
Zuhud dalam hal ini salah satu pembuka untuk dapat dapat berhubungan lebih
dekat dengan Allah karena hati dan rohani telah disucikan seperti penjelasan Sa‗id
H{awwa. Kalau rohani telah suci maka untuk berhubungan langsung dengan yang
maha suci lebih terbuka. Karena Tuhan itu suci maka ia dapat didekati oleh yang suci
pula.74
Surat al–A‘ala diatas tentang orang yang memilih kehidupan dunia lalu
tentang keutamaan akhirat dari dunia ditafsirkan oleh Ibnu Arabi dengan orang yang
lalai dan terhalang (terhijab) hatinya dari mengingat Allah dan s}alat. Mereka
dilalaikan oleh kehidupan lahir (dunia), kenikmatan dan keindahannya karena rohani
mereka tidak bersih (li‘adami at-tazkiyah). Kecenderungan mereka pada dunia
melebihi kecintaan pada kehidupan ru>h}a>niyyah yang hakiki dan kekal di
akhirat.75
Dalam tafsirnya tersebut, Ibnu Arabi menafsirkan tentang dua jenis
kehidupan dalam ayat itu dengan kehidupan h}issiyyah (lahir / dunia) berhadapan
dengan kehidupan ru>h}a>niyyah (akhirat / kekal). Nyata tersebut dalam
penafsirannya bahwa kehidupan diakhirat bersifat rohani dan kekal dan inilah
kehidupan yang sesungguhnya bagi rohani yang suci.
Mengenai gambaran kehidupan akhirat lebih utama dari kehidupan dunia dan
kecenderungan manusia lebih pada dunia menunjukkan tidak ada perbedaan diantara
Sa‗id H{awwa, Tustari dan Ibnu Arabi. Mereka memaknai kecenderungan manusia
mencintai kehidupan dunia membuat rohaninya tidak bersih. Sa‗id H{awwa
menyebut kecenderungan demikian dengan nafsu bashariyyah yang jatuh menjadi
nafsu h}ayawa>niyyah. Oleh sebab itu nafsu bashariyyah harus senantiasa disucikan
74
Harun Nasution, Tasawuf, dalam Budhi Munawar-Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam
dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), Cet. Ke-2, 161 75
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,
Cet. Ke–2, 398 - 9
124
dengan s}alat, bertasbih, berzikir76
karena semua itu bermuara pada kesucian rohani.
Bila nafsu bashariyyah dijaga selalu suci maka prilaku zuhud akan tercermin dalam
kehidupannya. Dalam istilah Tustari diatas orang yang zuhud demikian mendapat
kemuliaan dengan mengetahui bermacam hikmah gaib dalam perbuatan Allah di alam
ini yang dikenal sebagai sunnatullah. Sedangkan Ibnu Arabi sebagaimana ia jelaskan
dalam tafsirnya menyebut orang yang mencintai kehidupan dunia atau kehidupan
h}issiyyah berarti membuat hijab sendiri antara ia dengan Tuhan. Rohani kotor dalam
istilah Ibnu Arabi disebut sebagai Rohani yang terhijab artinya bila rohani itu suci
tentu hijab menjadi terbuka untuk berzikir dan berkomunikasi dengan Allah.
Kemudian yang lebih sempurna lagi diakhirat hijab tersebut tiada lagi bagi rohani
yang suci.
Berkaitan dengan sikap zuhud ini, Nabi pernah menganjurkannya agar
seseorang dapat dicintai oleh Allah dan disukai oleh manusia. Berdasarkan hadis
diriwayatkan oleh Sahal bin Sa‗ad –ra– ia berkata, seseorang pernah bertanya kepada
Nabi tentang amal yang dengan itu ia menjadi dicintai oleh Allah dan Manusia. Nabi
menjawab zuhudlah kamu.
اصذ ف اذ١ب ٠ذجه اهلل : فمبي, ٠ب سعي اهلل د ػ ػ ئرا ػز أدج اهلل أدج ابط
.سا اث بج غ١ش. اصذ ف١ب ػذ ابط ٠ذجه ابط77
Hai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amal yang bila dikerjakan maka
aku dicintai Allah dan disukai manusia. Jawab Nabi: Zuhudlah kamu pada
dunia niscaya Allah mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki
manusia niscaya manusia menyukaimu.
Penafsiran–penafsiran diatas pada dasarnya memberikan inti yang sama
terkait dengan kesucian rohani. Sa‗id H{awwa lebih tampak menekankan pada aspek
tingkah laku dimana sikap zuhud sebagai cerminan rohani yang suci, disamping itu
76
Dengan zikir akan merasakan kehadiran Tuhan di dalam hati, makanya hati akan membuka
tabir dengan zikir. Sebagaimana dikatakan al-Jailani; Lidah merupakan anaknya hati dan ia selalu
mengikutinya (hati). Abdul Qadir Al-Jailani,. al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Faydu ar-Rahmaniy.
Tahqi>q: Shaikh Anas Mihrah (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1424/2003), Cet.ke-2, 102, 77
Ibnu H{ajar al-Asqalani (L. 773 H), Bulu>ghul Maram (Bandung: Mat}ba‘ah al-Ma‘a>rif,
t.th), 301
125
Tustari menekankan aspek kara>mah yaitu menerima berbagai hikmah ilahi yang
dialami bagi orang yang zuhud. Pemahaman kesucian rohani demikian juga
ditemukan dalam tafsir Ibnu Arabi yang menekankan pada istilah terbukanya h}ijab
bila mengabaikan kesenangan dunia.
Jika diperhatikan lebih teliti penafsiran Sa‗id H{awwa mempunyai dimensi
sosial dan memberikan contoh prilaku yang mengajak orang lain untuk memperbaiki
diri menuju kesucian rohani. Bedahalnya dengan Tustari yang dipahami lebih
condong kepada perbaikan kualitas diri sendiri agar merasa dekat dengan Tuhan dan
merasakan hikmah ilahi. Begitu pula Ibnu Arabi, yang lebih menonjolkan pengertian
perbaikan pribadi bahwa orang yang mencintai dunia terh}ijab dari mengingat Allah
dan s}alat, sebaliknya dengan mencintai akhirat membawa pada kesucian rohani dan
terbuka hijab mendorong untuk selalu berzikir. Perbedaan diatas memberikan kesan
bahwa Sa‗id H{awwa berupaya memperjuangkan kesucian rohani menjadi suatu
gerakan massal dalam bertasawuf, tidak terbatas perbaikan diri sendiri tapi harus
dirasakan secara kolektif.
Penafsiran Sa‗id H{awwa yang memaknai cinta dunia dengan nafsu
bashariyyah yang tercemar oleh keinginan buruk. Makna ini sebagai pemahaman dari
keinginan manusia yang lebih terikat dengan kepentingan dunia sehingga tidak
dipikirkan kehidupan akhirat yang lebih utama. Nafsu bashariyyah beda dengan nafsu
h}ayawa>niyyah bahkan lebih tinggi namun bila nafsu bashariyyah tidak
dikendalikan dapat membawa manusia kepada prilaku hewan. Derjatnya turun
menjadi makhluk yang hina bahkan lebih rendah dari hewan.78
Hewan menjalani
hidup dunia tanpa memperdulikan kehidupan setelah ini. Dalam kaitan dengan zuhud
maka nafsu bashariyyah jangan diperturutkan namun harus diisi dengan zikir.
Tampak dari penafsiran Sa‗id H{awwa terhadap ayat diatas dengan nafsu
bashariyyah sejalan dengan makna zahir ayat dan didukung oleh hadis yang
dikemukakan diatas. Dengan mengutamakan kehidupan akhirat, itu menunjukkan
perilaku zuhud pada dunia. Penjelasan Sa‗id H{awwa di atas, didukung juga oleh
78
Lihat, QS. Al-A‘raf (7): 179, At-Ti>n (95): 4-5
126
penjelasan Tustari yang sama–sama berpegang pada makna zahir ayat. Kenyataan
demikian memperkuat tafsir Sa‗id Hawwa sebagai penafsiran berorientasi sufistik.
Selain itu, Ibnu Arabi dalam hal ini juga menafsirkan dengan tidak meninggalkan
makna zahir. Sekalipun ia menggunakan istilah lain tapi memiliki semangat yang
sama. Dengan demikian dari aspek pemikiran tafsir beberapa penafsiran diatas
termasuk pada pendekatan isya>ri yang berlandaskan makna zahir.
2. Ayat 4 surat ad}–D{uh>a (93)
Selanjutnya berkaitan dengan kelebihan akhirat dari dunia ditunjukkan juga
dalam surat ad}–D{uh>a (93) ayat 4;
.79
Makna keutamaan kehidupan akhirat menurut ayat ini ditafsirkan Sa‗id
H{awwa dengan mengutip an-Nasafi sebagai berikut;
أ ب أػذ اهلل ه ف االخشح امب اذد اذض اسد اخ١ش اػد خ١ش ب
80.أػججه ف اذ١ب
Artinya diantara yang disiapkan Allah diakhirat seperti kedudukan yang
terpuji (maqa>m mahmu>da), telaga yang disediakan dan kebaikan yang
dijanjikan adalah lebih baik dari apa yang mengagumkanmu di dunia.
Disebutkan oleh Sa‗id Hawwa bahwa keadaan yang dialami nabi Muhammad
yang mampu berhubungan dengan Allah lewat wahyu, yang disebut juga dengan
habibullah itu adalah kemuliaan yang paling agung yang tiada lagi kemuliaan dunia
lebih dari itu. Adapun di akhirat posisi nabi Muhammad memiliki derjat yang paling
tinggi diantara para Nabi begitu pula umat Muhammad menjadi saksi atas umat nabi
lain. Kemegahan dan kemuliaan yang dirasakan siapapun di dunia tidak sebanding
79
Artinya; Kehidupan akhirat lebih baik bagimu dari kehidupan dunia. Alquran dan
Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
80 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid11, Cet.
Ke–6, 6568
127
dengan kemuliaan yang disiapkan Allah di akhirat.81
Keutamaan akhirat itu karena
berada pada posisi maqa>m mah}mu>da yang diperoleh sebagai ganjarannya bagi
orang yang tidak cenderung pada kesenangan dunia. Bagi yang ingin mencapai
maqa>m mah}mu>da harus meyakini bahwa kebaikan akhirat melebihi apa yang ada
di dunia. Orang yang menjadikan kehidupan akhirat lebih utama dari kehidupan dunia
merupakan perwujudan sikap zuhud.
Sementara itu Tustari menafsirkan ayat diatas bahwa keutamaan akhirat
disamping sebagai maqa>m mah}mu>da juga sebagai tempat ( ذ اشفبػخ )
shafa>‘at. Hal demikian lebih tinggi dari predikat kenabian dan risalah yang
diberikan Allah di dunia.82
Prilaku zuhud pada dunia menjadikan diri sangat mulia di
akhirat. Kemuliaan akhirat menurut at-Tustari bila dibandingkan dengan kedudukan
sebagai nabi, masih mulia kehidupan akhirat yaitu maqa>m mah}mu>da tersebut.
Seterusnya Sa‗id H{awwa menyatakan dalam tafsirnya, prilaku nabi
Muhammad menunjukkan bahwa kehidupan akhirat itu lebih baik dari kehidupan
dunia. Ia adalah orang yang paling zuhud pada dunia dan jauh dari kemegahan hidup
duniawi. Nabi pernah mengatakan bahwa perumpamaan kehidupan dunia baginya
seperti petualang berkuda yang singgah dibawah pohon rindang untuk beristirahat
kemudian ia pergi meninggalkan pohon itu.83
Kehidupan dunia hanyalah tempat
persinggahan untuk melanjutkan perjalanan menuju kehidupan yang kekal di akhirat.
Tidak patut seseorang menjadikan tempat singgah sebagai tujuan dan menumpahkan
kesenangan padanya sehingga melupakan tujuan yang sebenarnya.
Penafsiran Sa‗id H{awwa dan Tustari menjadikan maqa>m mah}mu>da
sebagai kedudukan tertinggi di akhirat. Pemahaman sufistik ini diambil dari makna
81
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid11, Cet.
Ke–6, 6568. Pandangan serupa dinyatakan juga oleh al-Alusi tentang kedudukan nabi Muhammad
yang memberikan shafa‗at yang meninggikan derjat orang mukmin. Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi>
Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n, Tah}qi>q: Sayyid ‗Imran (Kairo: Darul
Hadis, 1426/2005), Jilid 15, 478. 82
Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I,197 83
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid11, Cet.
Ke–6, 6571
128
zahir ayat yang menyatakan kehidupan akhirat yang kekal lebih tinggi dari dunia
yang fana ini. Artinya penafsiran diatas tetap memperhatikan makna zahir ayat yang
mengandung bahwa akhirat lebih tinggi dari dunia. Dengan sikap zuhud demikian
kedudukan nabi sendiri di dunia, nanti mendapat tempat lebih mulia maqa>m
mah}mu.da yang lebih tinggi dari kehidupan dunia sekarang.
Sementara itu menurut tafsir Ibnu Arabi ayat diatas menjelaskan tentang
keadaan hidup di akhirat lebih baik dari hidup yang pertama (dunia) sebab
ketenangan hidup di akhirat dengan wujudnya yang kekal. Keadaan di akhirat
maksudnya adalah tercapainya tajalli84
setelah lama terhijab dan didorong kerinduan
yang dalam terhadap Allah.85
Selama di dunia masih merasakan h}ijab maka
diakhirat tajalli betul dapat dirasakan dan disadari. Inilah makna dari keutamaan
hidup akhirat dari dunia.
Penafsiran Ibnu Arabi terkait ayat ini lebih tegas menyatakan keutamaan
akhirat yaitu tidak sekedar menempati posisi mulia (maqa>m mah}mu>da) tapi
kemuliaannya terletak pada tajalli yang dirasakan manusia. Tajalli merupakan proses
tertinggi tasawuf dan merupakan idaman para pelaku tasawuf. Kedudukan seperti
inilah yang dalam istilah Sa‗id H{awwa dan Tustari menyebutkan dalam tafsirnya
sebagai maqa>m mah}mu>da. Sedangkan Ibnu Arabi tidak menyebut istilah
maqa>m mah}mu>da tapi dengan makna tajalli.
Memang bila diperhatikan istilah maqa>m mah}mu>da oleh Sa‗id H{awwa
dan Tustari masih bersifat umum, bahkan Sa‗id H{awwa menambahkan sebagai
kebaikan yang disiapkan ( khair mau‘u>d ), hawd} mauru>d - telaga yang disediakan
( اسد اذض ) atau disebut juga oleh Tustari sebagai tempat munculnya shafa‘at.
Disini terdapat perbedaan mendasar antara Ibnu Arabi dengan Tustari dan Sa‗id
84
Ada tingkatan-tingkatan tertentu sebagai proses dalam latihan ruhani yang dikenal di
kalangan sufi yaitu: takhalli (lepaskan diri dari pengaruh dunia) – tah}alli (isi jiwa dengan akhlak
mulia) – tajalli (terbuka hijab antara hamba dengan Tuhan). Penjelasan ini dipetik dari; Barmawie
Umarie, murid langsung Prof. Dr. Hamka dalam ilmu tasawuf. Barmawie Umarie, Systematik Tasawuf
( Sala: Penerbit AB. Sitti Sjamsijah, 1966), Cet. Ke-2, 12
85 Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,
Cet. Ke–2, 411
129
H{awwa dalam memaknai ― Sesungguhnya akhirat lebih baik bagimu dari dunia‖.
Bila dicermati lebih jauh maka Ibnu Arabi menafsirkannya dengan tajalli, Tustari
dengan adanya shafa‘at, sedangkan Sa‗id H{awwa kebaikan atau telaga yang indah.
Artinya Ibnu Arabi tidak lagi memahaminya sebagai kebahagiaan h}issiy tapi
merupakan kebahagiaan ruhani. Pemahaman Ibnu Arabi ini mendukung
penafsirannya pada surat al–A‘la terdahulu tentang kehidupan rohani yang hakiki di
akhirat. Berdasarkan pandangan demikian, rohani yang suci akan terbuka h}ijab
baginya terutama di akhirat kelak sebagaimana makna ayat tersebut.
Penafsiran Sa‗id H{awwa dan Tustari menunjukkan kebahagiaan akhirat
dengan bersifat nyata atau masih bersifat kesenangan fisik, sementara Ibnu Arabi
memahami dengan kesenangan rohani yaitu sebagai tajalli pada Tuhan. Bila
diperhatikan penafsiran Sa‗id H{awwa dan Tustari yang tidak menggunakan istilah
demikian karena memang tidak didukung secara zahir oleh ayat. Ini sebagai bentuk
ciri dari penafsiran sufi isha>ri. Sebaliknya, Ibnu Arabi mengemukakan demikian
sesuai dengan pemikiran filsafatnya yang dikenal dengan tasawuf naz}ari tentang
wujud di akhirat bersifat rohani, sebagai bentuk ciri dari penafsiran sufi naz}ari.
3. Ayat 77 surat al–Qas}as} (28)
Ayat lain yang mendukung bahwa kehidupan akhirat harus lebih diutamakan
dari kehidupan dunia seperti ayat 77 surat al–Qas}as} (28).
86
Artinya; Carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan dimuka bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. Alquran dan Terjemahnya,
Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
130
Sa‗id Hawwa menjelaskan bahwa diantara yang dikaruniakan Allah yaitu
kekayaan dan perbendaharaan harta ( digunakan untuk kepentingan ( اغ اضشح
hidup akhirat. Maksudnya dijelaskan lebih lanjut;
. ثأ رزصذق ػ افمشاء رص اشد رصشف ئ أثاة اخ١ش87
Kekayaan tersebut engkau gunakan dengan bersedekah kepada kaum miskin,
engkau mengembangkan tali silaturrahmi dan melakukan hal-hal yang
mendatangkan kebaikan.
Dengan demikian kekayaan yang dimiliki dapat dirasakan juga oleh orang lain
ditambah dengan menyambung hubungan persaudaraan merupakan upaya membuat
orang lain bahagia. Tindakan seperti ini sebagai sarana meraih kebahagiaan untuk
negeri akhirat.
Selain melakukan hal demikian, harus diwujudkan pula bahwa kecenderungan kepada
akhirat membuat diri merasakan lebih dekat kepada Allah, seperti dijelaskan dibawah
ini.
اعزؼ ب جه اهلل زا ابي اجض٠ اؼخ اؽبئخ ف ؼبػخ سثه ازمشة ئ١ ثأاع
. امشثبد88
Jadikanlah harta dan kenikmatan yang dilimpahkan Allah kepadamu sebagai
sarana untuk menjadikan taat kepadaNya dan menambah kedekatan diri serta
ketundukkan kepadaNya.
Allah mendorong manusia untuk bekerja memperhatikan keperluan dunia
disamping perintah untuk bekerja untuk kepentingan kehidupan akhirat. Sa‗id
H{awwa menafsirkan perintah ayat tersebut dengan segala bentuk karunia Allah
seperti nikmat yang luas digunakan sebagai perwujudan ketaatan dan taqarrub
(berusaha merasa dekat) kepada Allah. Hal demikian akan membawa kepada
kebahagiaan dunia dan akhirat.89
Disamping itu jangan lupa memperhatikan
87
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet.
Ke–6, 4113
88 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet.
Ke–6, 4112 89
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet.
Ke–6, 4113
131
keperluan terkait dengan urusan dunia bahwa ada bermacam–macam hak yang harus
dipenuhi seperti bagi Tuhan ada haknya, diri sendiri ada haknya, keluarga ada
haknya, suami/isteri ada haknya karena itu setiap hak tersebut harus ditunaikan
masing–masingnya.90
Dari ayat tersebut ada dua hal pokok yang dikemukakan yaitu
perintah untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan akhirat dan larangan agar
tidak mengabaikan keperluan kehidupan dunia dengan melaksanakan masing-masing
hak secara seimbang.
Bila diperhatikan penafsiran Sa‗id H{awwa diatas terkait ayat 77 tersebut,
mengindikasikan bahwa kehidupan akhirat adalah objek utama dari misi ayat
tersebut, karena yang disebut pertama dengan redaksi perintah sedangkan tentang
persoalan kehidupan dunia redaksinya lebih rendah. Artinya persoalan yang lebih
utama adalah mengejar kepentingan untuk kehidupan akhirat kelak. Seperti dijelaskan
Sa‗id H{awwa bahwa aktifitas memenuhi persoalan keduniaan juga tidak bisa lepas
dari kepentingan akhirat. Objek yang dilakukan zahirnya keperluan dunia tapi pada
dasarnya juga berkait dengan kebahagiaan di akhirat juga. Misalnya perkara
menyangkut hak–hak yang disebutkan diatas harus dilaksanakan sebagai kewajiban
pribadi manusia, bila diabaikan maka berarti termasuk bertindak zalim. Apapun
bentuk kezaliman, apakah pada diri sendiri, keluarga apalagi berhubungan dengan
Allah semuanya mengandung dosa.
Penafsiran Sa‗id H{awwa diatas prinsipnya mendorong manusia untuk selalu
mendekatkan diri kepada Allah baik itu menyangkut aktifitas perkara dunia yang bisa
langsung dirasakan hasilnya didunia ini atau menyangkut ibadah formal yang
ganjarannya diakhirat nanti. Ini merupakan dasar dari proses tasawuf yaitu
membentuk kesadaran diri agar merasa dekat dengan Allah dalam segala aktifitas
yang dilakukan.
Bila dilakukan analisis penafsiran terkait ayat 77 diatas dengan tafsir al-Alusi,
tidak ditemukan penafsiran sufistik seperti yang dilakukan Sa‗id Hawwa sebagaimana
90
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet.
Ke–6, 4113
132
terlihat di atas. Dalam tafsirnya, al-Alusi lebih melihat makna bahasa dari struktur
ayat.91
Ini menunjukkan bahwa tafsir al—Alusi sebagai salah satu rujukan utama
dalam penafsiran Sa‗id Hawwa tidak serta merta sama pandangan sufistiknya dalam
melihat ayat-ayat yang bercorak tasawuf. Ini sekaligus membuktikan akan
keberadaan tafsir Sa‗id Hawwa yang pada dasarnya memiliki kecenderungan sufistik.
Artinya pemikiran sufistik Sa‗id Hawwa tidak hanya mengambil dari para penafsir
terdahulu tetapi ia juga mengemukakan pandangan sendiri disamping melakukan
pengembangan pemikiran tafsir masa lalu.
Kecenderungan penafsiran Sa‗id H{awwa untuk lebih memperhatikan
kehidupan akhirat dari dunia sejalan dengan pengertian zuhud yang dikemukakan
para ahli sufi.92
Sikap zuhud dalam hal ini diwujudkan dengan menjadikan
kenikmatan dunia sebagai sarana agar lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Makna
sufistik yang diungkapkan Sa‗id Hawwa mudah diterapkan dan lebih kongkrit karena
sejalan dengan makna zahir ayat. Sa‗id Hawwa dalam menangkap isyarat ayat sesuai
dengan sikap zuhud yang dilakukannya. Kehidupan zuhudnya ditunjukkan dengan
kesederhanaan dan pengabdian hidupnya ditujukan untuk memperjuangkan syariat
Islam di Syria.93
Kenyataan ini sebagai cerminan bahwa pengorbanan Sa‗id Hawwa
didunia dalam rangka meraih kebahagiaan akhirat yang lebih kekal.
4. Ayat 38 -39 al–Mukmin (40)
Berkaitan dengan zuhud terhadap dunia, Sa‗id H{awwa menambahkan
penjelasan dengan mengutip ayat 38 -39 al–Mukmin (40).
91
Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n,
Tah}qi>q: Sayyid ‗Imran (Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid 10, 418. 92
Berpaling dari kenikmatan dunia demi mencari kesenangan akhirat. Kenikmatan dunia yang
diperoleh digunakan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam
al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 94
93 Al–Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam
Kontemporer (Jakarta: Al-I‗tis}am Cahaya Umat, 2003), 402-3
133
.
. 94
Disebutkan oleh Sa‗id Hawwa dalam tafsirnya tentang makna ayat diatas;
ثؼذ أ أج ف دػر فغش فبفززخ ثز اذ١ب فضذ ف١ب . عج١ اششبد م١ط اغ
.از لذ اصشبػ األخش95
Sabi>l ar-rasha>d adalah jalan yang benar lawan dari jalan yang sesat.
Setelah ia menghimpunkan dalam dakwah (ajakannya) maka keyakinannya
sudah jelas. Karena itu, ia terdorong dengan merendahkan kehidupan dunia
sehingga ia menjadikan mereka zuhud pada dunia yang dulu mereka lebih
mengutamakannya dari akhirat.
Ayat ini sebagaimana dijelaskan Sa‗id Hawwa, menceritakan tentang seorang
beriman diantara pengikut Fir‗aun yang menyerukan kepada golongannya bahwa
jalan Fir‗aun adalah sesat. Ia mengajak untuk tidak mencintai dunia dan mengikuti
jalan kebenaran yang disampaikan Musa agar mementingkan kehidupan akhirat.96
Zuhud dalam penafsiran Sa‗id Hawwa adalah memandang rendah kehidupan dunia
dan sikap zuhud terhadap dunia termasuk jalan yang benar.
Lebih jauh dijelaskan Sa‗id Hawwa;
.ف ره ئشبسح ئ أ ثذا٠خ اششبد ؼش٠م اضذ ف اذ١ب97
Mengikuti seruan ajakan bertauhid adalah isyarat (menunjukkan) kepada
permulaan jalan kebenaran dan sarananya adalah melakukan zuhud pada
dunia.
94
Artinya; Orang yang beriman itu berkata, ― Hai kaumku ikutilah aku, lalu aku akan
menunjukkan kepadamu jalan yang benar ( عج١ اششبد) . Hai kaumku sesungguhnya kehidupan dunia
ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal. Alquran dan
Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
95 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.
Ke–6, 4963.
96 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.
Ke–6, 4963. Penjelasan senada juga ditemukan dalam tafsir al-Alusi terkait dengan salah seorang
mukmin dari pengikut Musa yang mengajak kepada jalan yang disampaikan Musa. Al-Alu>si,
Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n, Tah}qi>q: Sayyid
‗Imran (Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid 12, 433 97
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.
Ke–6, 4963
134
Ayat ini menurut Sa‗id H{awwa mengajak manusia untuk menzuhudkan diri
pada dunia yaitu memandang rendah kehidupan dunia. Zuhud pada dunia merupakan
sarana menempuh kebenaran dan sebagai jalan menuju kebenaran (rasyad).98
Selanjutnya ayat berikut menjelaskan, kehidupan dunia adalah kesenangan sementara.
Dijelaskan oleh Sa‗id H{awwa bahwa larut dalam kesenangan dunia merupakan
pangkal kejahatan dan sumber bencana sedangkan akhirat adalah tempat yang kekal,
baik dalam bentuk kenikmatan atau kesengsaraan sesuai dengan amal perbuatan.99
Penjelasan Sa‗id H{awwa diatas menegaskan bahwa kekekalan akhirat mencakup dua
hal apakah kerugian dengan menanggung siksaan ataukah kemenangan dengan
mendapat ganjaran kebahagiaan yang dirasakan.
Sebagai cerminan orang yang zuhud adalah dengan memilih kehidupan
akhirat. Disebutkan oleh Sharqawi, zuhud adalah mengandung berbagai kebaikan
yang sempurna karena itu orang zuhud tidak peduli dengan dunia dan perhatiannya
tertuju pada akhirat.100
Zuhud merupakan awal menempuh kebenaran dalam agama
yang membawa kebahagiaan di akhirat. Jalan menuju Allah bukan melalui jalan fisik,
inderawi ( اؽش٠ك اذغ ( tapi jalan rohani dengan melaksanakan ajaran-ajarannya.101
Uraian Sa‗id Hawwa di atas yang didukung pula oleh penjelasan dari ahli tasawuf,
sehingga penafsiran Sa‗id Hawwa semakin tampak orientasi sufistiknya.
5. Ayat 77 surat an–Nisa>’ (4)
Mengenai orang yang lebih mengutamakan kesenangan dunia dan takut
ditimpa kematian yang berarti akan memisahkannya dari kesenangan dunia, termasuk
dalam prilaku yang dicela Alquran. Hal ini seperti ditunjukkan dalam surat an–
Nisa>’ (4) ayat 77.
98
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.
Ke–6, 4963 99
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.
Ke–6, 4963 100
Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-
1,168 101
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.
Ke–6, 4962
135
Kesenangan dunia dalam ayat diatas dijelaskan oleh Sa‗id H{awwa yaitu;
فى١ف . اىض١ش ئرا وب ػ ششف اضاي ف ل١, زبع اذ١ب ل١ صائ زبع االخشح دائ
.ثبم١ اضائ103
Kesenangan yang diperoleh di dunia itu dianggap sedikit (tingkatnya rendah)
dan akan hilang sedangkan kesenangan yang dijanjikan di akhirat sifatnya
tetap. Sekalipun kesenangan dunia itu banyak diraih tetapi bila kesenangan
tersebut hilang ketinggiannya (tidak langgeng) maka ia dipandang sedikit.
Kemudian, bagaimana jadinya bila yang sedikit itu pun lenyap.104
Sa‗id H{awwa menjelaskan tentang ayat diatas bahwa betapapun besar dan
banyaknya kekayaan didunia semuanya akan hilang, lenyap, sedangkan kenikmatan
akhirat itu tetap dan tidak berobah. Demikian gambaran kesenangan dunia yang
sifatnya sangat sementara.
Masalah mendalam terkait makna ayat itu adalah tentang kesenangan dunia.
105.ؼشفخ دم١مخ اذ١ب ثبغجخ الخشح ؼشفخ أ اد ال ٠زمذ ال ٠زأخش, دت اذ١بح
Maksudnya adalah cinta terhadap kehidupan. Terkait dengan cinta kehidupan,
ada dua hal yang harus diketahui. Pertama mengetahui hakikat dunia yang
sangat berkaitan dengan mengetahui akan hakikat akhirat. Kedua, mengetahui
bahwa kematian adalah hal yang tidak dapat dimajukan dan dimundurkan.
Maksudnya adalah orang yang mementingkan kehidupan dunia (h}ubbul
h}aya>h) dan tidak mempedulikan akan kepentingan hidup di akhirat. Ini yang
102 Artinya; Mereka berkata, ― Wahai Tuhan kami mengapa engkau wajibkan berperang pada
kami? mengapa tidak engkau tangguhkan kewajiban berperang pada kami beberapa waktu lagi.
Katakanlah, kesenangan di dunia ini hanyalah sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang bertakwa
dan kamu tidak dianiaya sedikitpun. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd
al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H 103
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke–6, 1130
104 Penjelasan Sa ‗id Hawwa ini, tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan al-Alusi dalam
tafsirnya. Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n,
Tah}qi>q: Sayyid ‗Imran (Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid 3,118. 105
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke–6, 1130
136
dikatakan oleh Sa‗id Hawwa bahwa orang yang tidak mengetahui hakikat dunia dan
hakikat akhirat hanya akan memperhatikan kehidupan yang sekarang saja. Ia tidak
mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan akhirat. Makna zuhud bagi Sa‗id
Hawwa dalam ayat ini yaitu memberikan perhatian yang besar kepada akhirat dari
pada mencintai kehidupan dunia. Ini dapat dijalani bila seseorang mengetahui hakikat
dunia dan akhirat. Orang yang zuhud mempunyai cara pandang yang optimis dalam
menjalani kehidupan, dapat berkarya dan beraktifitas tanpa melupakan hakikat
kehidupan akhirat.
Selain itu, kematian menurut Sa‗id H{awwa adalah sesuatu yang tidak dapat
dimajukan atau ditunda. Artinya, manusia senatiasa dituntut untuk menyucikan
jiwanya dan selalu menjaga dirinya dari hal-hal yang akan mengotorinya. Bagi orang
yang suci jiwanya, kematian bukanlah hal yang ditakutkan tapi proses untuk
menerima kesenangan yang sesungguhnya. Sehingga ia akan melakukan kebajikan
sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan ibadahnya. Pengertian ini sesuai dengan
ayat 9-10 surat asy-Syams (91);
.لذ خبة دعبب. لذ أفخ صوبب 106
Karena itulah untuk mengetahui hakikat dunia berhubungan dengan hakikat
akhirat dimana hakikat dunia fana sedangkan hakikat akhirat dawa>m (kekal).
Ibaratnya kematian merupakan hal yang tidak dapat ditunda dan dimajukan tapi pasti
terjadi. Larut dalam cinta pada kehidupan berarti tidak mengetahui hakikat dunia.
Menyinggung ayat ini tentang hakikat dunia pernah ditanyakan kepada
Tustari, ia mengatakan dunia itu adalah kebodohan kecuali majlis ilmu, ilmupun
hanyalah tempat wacana (berdebat) kecuali ilmu yang diamalkan. Amal yang
dikerjakan semuanya hampa bagaikan debu yang beterbangan kecuali amal yang
didasarkan kepada keikhlasan. Adapun keikhlasan tidak sempurna kecuali dengan
sunnah. Selanjutnya ditegaskan Tustari terkait pertanyaan ini bahwa duniamu adalah
106
Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan sungguh merugilah
orang yang mengotorinya. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah
al-Munawwarah, 1415 H, 1064.
137
dirimu bila dirimu mencapai fana maka tidak ada lagi dunia bagimu.107
Menurut
Tustari hakikat dunia terletak pada diri manusia sendiri. Dalam diri manusia ada
nafsu, dunia akan terasa fana seperti kefanaan diri. Kemudian bagi Sa‗id H{awwa
hakikat dunia adalah cinta pada kehidupan fana, yang disudahi dengan kematian
sebagai akhir kehidupan dunia (tidak kekal). Bila kematian datang berarti diri sudah
tidak ada lagi (fana) sama halnya dunia tidak lagi berhubungan dengan diri. Dunia
bagi diri sudah mengalami kefanaan.
Penafsiran Tustari dan Sa‗id H{awwa mengenai dunia mengarah pada
kefanaan diri bahwa bila diri sudah fana maka dunia tidak dirasakan lagi. Adapun
yang mengikat manusia dengan dunia menurut Sa‗id H{awwa adalah keadaannya
yang hanyut dalam cinta terhadap kehidupan. Orang yang zuhud tiada merasa
keterikatan dengan dunia.
Menurut Tustari sebagaimana dipahami dari tafsirnya, dunia dapat dilepaskan
dari diri manusia tanpa menunggu kematian sebab yang mengikat manusia dengan
dunia adalah dirinya. Sedangkan pandangan Sa‗id H{awwa, dunia dapat dilepaskan
dari diri seseorang bila ia tidak lagi cenderung kepada dunia. Sekiranya dirinya
mengalami fana yang sesungguhnya itulah mati yang lepas dari dunia. Sedangkan
cinta terhadap kehidupan itulah dorongan nafsu. Pandangan Sa‗id H{awwa sejalan
dengan tafsiran Tustari yang menyatakan bahwa nafsu itulah dunia itu sendiri.
Seseorang yang mengabaikan cinta kehidupan dunia berarti ia telah menghilangkan
(melakukan fana terhadap) dirinya dari dunia.
Penafsiran Sa‗id H{awwa menunjukkan bahwa manusia bisa lepas dari dunia
bila ia meninggalkan dorongan nafsu cinta dunia atau meninggalkan dunia. Terlihat
penafsiran Sa‗id H{awwa dalam hal ini berlandaskan pada makna zahir ayat. Melihat
penafsiran Sa‗id H{awwa demikian, menunjukkan kepada corak tasawuf amali.
Sementara itu menurut tafsir Ibnu Arabi, hakikat kehidupan dunia adalah
kehidupan h}issiyyah (perasaan indera, akal pikiran). Ibarat permainan yang tidak
107
Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I, 54
138
berasal dan tidak berhakikat, cepat lenyap,habis dan tidak abadi. Hal demikian beda
sekali dengan akhirat sebagai alam rohani.108
Kehidupan dunia sebagai perasaan
berdasarkan akal pikiran dan penggambaran secara makna. Penggambaran atau
pemunculan ide berdasarkan objek, tanda oleh akal pikiran.109
Karena demikian,
dunia ini sangat terikat dengan materi. Dalam hal ini, penafsiran Ibnu Arabi pada
dasarnya menyinggung tentang kefanaan di dunia. Ibnu Arabi menyorot juga bahwa
kehidupan akhirat tidak lagi mengenal materi, bahkan dengan tegas disebutnya
sebagai alam rohani, lawan dari kehidupan dunia yang menonjolkan materi.
Secara umum, penafsiran Ibnu Arabi juga menganggap kehidupan akhirat
lebih utama dari kehidupan dunia sebagai cerminan prilaku zuhud. Pengungkapan
makna sufistik oleh Ibnu Arabi terkait ayat diatas (an-Nisa‘: 77) masih sejalan dengan
makna zahir ayat, sebagaimana terkandung juga dalam penafsiran Sa‗id Hawwa dan
at-Tustari. Dari uraian penafsiran Sa‗id Hawwa tentang pandangannya terhadap
akhirat lebih utama dari pada dunia sejalan dengan rumusan yang dikemukakan oleh
para sufi. Diantaranya mengatakan, berpaling dari keenakan dunia.110
Metodologi
penafsiran makna isha>rinya terkait dengan ayat-ayat yang ditafsirkan berpedoman
pada makna zahir ayat. Kesejalanan penafsiran Sa‗id Hawwa dengan tafsir at-Tustari
merupakan salah satu indikasi penafsiran sufistik Sa‗id Hawwa.
6. Ayat 20 surat ash–Shu>ra
Allah Swt telah menjanjikan kepada siapa yang zuhud maka akan menerima
ganjaran lebih besar dari sekedar imbalan amalnya. Dasar dari pandangan ini
termaktub dalam surat ash–Shu>ra ayat 20.
108
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,
Cet. Ke–2, 221
109 Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,
Cet. Ke–2, 365
110 Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 94, Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah
Muhktar, 1987) Cet.ke-1,168
139
Menurut tafsir Sa‗id H{awwa tentang h}arthul a>khirah maksudnya adalah
amal untuk mengharap pahala demi kepentingan hidup akhirat. Selanjutnya
dijelaskan dengan mengutip Ibnu Kathir;
م٠ ؼ١ ػ ب ثصذد ىضش بء جض٠ ثبذغخ ػشش أضبب ئ عجؼبئخ ظؼف ئ ب ٠شبء : أ
.اهلل112
Artinya; Kami beri kekuatan dan kami menolongnya untuk mencapai
tujuannya. Kami kembangkan dan kami beri ganjaran amalnya dengan
kebaikan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat sesuai yang
dikehendaki.
Allah itu maha pemberi rezki (Razza>q) terhadap hambanya. Beramal untuk
akhirat merupakan kewajiban manusia sebagai hamba, bukan sebaliknya bahwa
beramal untuk akhirat menjadi penghalang untuk mendapatkan rezki. Justeru suatu
keuntungan bagi zahid dimana dengan amal orientasi akhirat tersebut ia mendapat
keistimewaan yaitu bagian di dunia dan di akhirat sekaligus.
Sa‗id Hawwa menerangkan dalam tafsirnya bahwa makna tambahan
keuntungan pada pangkal ayat adalah;
113 :أ ثبزف١ك ف ػ أ ازعؼ١ف ف ئدغب
Bentuk keistimewaan bagi orang yang mengutamakan akhirat adalah Allah akan
anugerahkan taufik dalam perbuatannya atau dilipatgandakan dalam keberkahannya.
111
Artinya; Siapa yang menginginkan keuntungan akhirat, kami tambah keuntungan itu
untuknya. Dan siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, kami berikan kepadanya sebagian dari
keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagianpun di akhirat. Alquran dan Terjemahnya,
Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
112 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.
Ke–6, 5080 113
Kami tanbah bagian keuntungan baginya, artinya: kami anugerahkan taufik dalam
perbuatannya dan dikembangkan keberkahannya. Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo:
Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet. Ke–6, 5080
140
Taufik114
dalam istilah sufi merupakan keuntungan yang luar biasa diperoleh bagi
orang yang zuhud. Apa saja perbuatan yang dilakukannya mendapat bimbingan dan
dirid}ai Tuhan. Banyak kemudahan yang akan diperoleh dan harapannya sejalan
dengan yang dikehendaki Tuhan. Segala sesuatu yang dilakukan didunia dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah. Dinyatakan oleh at-Tustari dalam tafsirnya
sebagai sikap qana>’ah di dunia dan rid}a di akhirat. Orang yang termasuk h}arthul
a>khirah (beramal orientasi akhirat), dalam melakukan kewajiban sebagai hamba
tidak menuntut bagian apapun seperti imbalan di dunia bahkan surga.115
Orang yang menginginkan h}arthul a>khirah memang tidak memikirkan
imbalan apapun karena ia merasa apa yang dinikmati sekarang datangnya tanpa
diminta melainkan anugerah Allah. Inilah rezki yang merata pada semua makhluk.
Keyakinan bagi orang yang tergolong h}artsul a>khirah, maka ia akan merasa sangat
puas di dunia dan di akhirat. Usaha yang dilakukan sejalan dengan keinginannya, ini
termasuk makna dari taufik. Pengertian ini merupakan makna dari firman Allah;
―kami tambahkan untuknya bagian akhiratnya‖.116
Kepuasan di dunia ditunjukkan
dengan keikhlasan sedangkan kepuasan di akhirat ia dapat melihat Tuhan.117
Bagi
Tustari dengan amal h}arthul a>khirah tersebut kebahagiaan dunia akhirat dapat
tercapai keduanya.
Taufik yang dianugerahkan Allah merupakan kesesuaian antara tindakan
hamba dengan ketentuan sunnatullah. Dalam pandangan tasawuf, seseorang yang
sudah terasa dekat dengan Allah terbuka baginya sebagian h}ijab rahasia sunnatullah.
114
Taufik seperti dikemukakan dalam Mu’jam istilah sufi adalah perbuatan hamba yang
dijadikan Allah sesuai dengan apa yang disukai dan dirid}aiNya. جؼ اهلل فؼ ػجبد افمب ب ٠ذج ٠شظب
Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan,
1993), Cet. Ke–1, 94, Kesesuaian taufik berlaku hanya dalam hal kebaikan, Lihat juga; Raghib
As}fahani, Mu’jam Mufradat Alfaz al – Quran (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 2004 / 1425 H), h. 601.
115 Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I,138 116
Lihat, QS. ash–Shura ayat 20. 117
Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I,138
141
Ia sendiri yang membuka hijab dengan sikap zuhud padanya,118
sehingga
keinginannya sejalan dengan ketentuan atau kehendak Allah.119
Kalau makna taufik
betul dirasakan seorang hamba maka kegagalan dalam kehidupan boleh jadi
menunjukkan akan prosesnya dialihkan kepada yang lebih baik.
Sebaliknya orang yang menginginkan bagian dunia, dijelaskan dalam tafsir
Sa‗id H{awwa dengan mengutip tafsir Ibnu Kathir sebagai berikut;
اجزخ دش اهلل االخشح وب ئب عؼ١ ١ذص ش١ئ اذ١ب ١ظ ئ االخشح
. أب اذ١ب ئ شبء أػؽب ب ئ ٠شبء ٠ذص ال ز120
Siapa yang berusaha untuk mengharapkan hasil terbatas di dunia dan bukan
untuk kepentingan akhirat maka Allah akan haramkan akhirat. Adapun yang
orientasi amal di dunia, jika dikehendakiNya, Dia berikan sebagiannya dan
jika tidak dikehendaki maka tidak akan menghasilkan apapun.
Mengenai harthud dunya adalah beramal untuk kepentingan dunia دشس اذ١ب
maka ia hanya akan mendapatkan bagian dunia yang memang telah menjadi rezki
untuknya sesuai usahanya. Sehubungan dengan keinginannya atau apa yang
dikehendakinya tidak masuk dalam kategori itu. Bila muncul kegagalan atau ketidak
sempurnaan yang dihadapinya merupakan hal yang wajar karena jauh dari makna
taufik sehingga tidak mendapat pengetahuan (hidayah) untuk memahami proses
hukum Allah. Inilah maksud dari tafsir yang dikemukakan Sa‗id Hawwa;
. وب ػ ذ١ب إر ش١ئب ب سصل از لغ ال ب ٠ش٠ذ ٠جزغ١: أ121
Lebih menyedihkan lagi, kenikmatan akhirat diharamkan baginya bahkan
siksaan yang diperoleh.122
Adapun rezki yang diperoleh oleh mereka yang menuntut
imbalan kehidupan dunia tak obahnya rezki yang dibagikan Allah kepada semua
118
Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-
1,169 119
Taufik itu hanya dari Allah; ب رف١م ئال ثبهلل . QS. Hud : 88 120
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.
Ke–6, 5080 121
Artinya; siapa yang beramal untuk tujuan di dunia, kami berikan sebagian dari padanya
yaitu rezki yang memang menjadi bagiannya. Itu bukanlah cerminan sebagai yang diinginkan atau
yang dicarinya. Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10,
Cet. Ke–6, 5080 122
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10,
Cet. Ke–6, 5080
142
makhluk. Artinya orang yang cinta kehidupan dunia ( h}arthud dunya دشس اذ١ب )
tidak mendapatkan taufik dari Allah sebagaimana dirasakan bagi para zahid. Taufik
yang dirasakan para zahid akan membuka hatinya untuk menjalani proses hukum
Allah (sunnatullah).
Demikianlah keistimewaan bagi zahid, pertama ia merasakan manisnya
beramal untuk hartsul akhirah karena mendapatkan kedua bagian dunia dan akhirat.
Di dunia ia merasakan qana>’ah dan di akhirat ia rid}a dari segala ganjaran.
Keistimewaan kedua menurut Tustari bagi zahid adalah melihat Allah123
di akhirat,124
dimana hal ini tidak dirasakan bagi orang yang h}arthud dunya. Sebagaimana
dikemukakan at-Tustari, Sa‗id H{awwa juga menegaskan bahwa orang yang beramal
h}arthul a>khirah tidak saja menerima pahala akhirat tapi memperoleh bagian
didunia dan diakhirat disamping juga menerima taufik dari Allah. Artinya penafsiran
Sa‗id H{awwa dan Tustari saling mendukung, bahwa dalam memahami makna
sufistiknya sejalan dengan makna zahir ayat.
Adapun tafsir Ibnu Arabi dalam memberikan penafsiran tentang orang yang
menginginkan h}arthul a>khirah pada ayat tersebut merupakan keinginan dan
tuntutan yang kuat mendapat tambahan bagian (ganjaran) akhirat dalam rangka
menuju al-H{aq agar merasakan dekat denganNya. Sebagai tambahan bagiannya, Dia
sempurnakan keadaannya di dunia dan di akhirat.125
Sebaliknya bagi orang yang memilih h}arthud dunya berarti ia menggiring
hawa nafsunya ke level yang rendah dan ia jauh dari al-Haq. Ia tetap mendapatkan
bagian dunia sesuai usahanya yang diperolehnya sebagai rezki sebagaimana posisi
kebanyakan makhluk tidak lebih dari itu; ب ص١ج ب لغ لذس الض٠ذ ػ١. 126
123
Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I,138 124
Mengenai melihat Tuhan, Sa ‗id Hawwa sependapat dengan at-Tustari bahwa orang
mukmin nanti di akhirat akan melihat Tuhan dengan mata kepala sendiri. Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi
at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11, Cet. Ke–6, 6268 dan 6276. 125
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,
Cet. Ke–2, 218
126 Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,
Cet. Ke–2, 218
143
Penafsiran Ibnu Arabi ini terkait h}arthud dunya memiliki makna yang sejalan
dengan penjelasan Sa‗id H{awwa bahwa rezki yang diterimanya merupakan
bagiannya; ٠ش٠ذ ٠جزغ١ سصل از لغ ال ب .127
Bagian yang diperolehnya di
dunia sebagai pilihan h}arthud dunyanya merupakan curahan dari sifat Rahman dari
Allah yang menimpa seluruh makhluk. Kesamaan lain terkait penafsiran tentang
h}arthul a>khirah bahwa orang yang memilih jalan tersebut tidak saja mendapat
imbalan akhirat tapi meraih bagian di dunia dan di akhirat, seperti terlihat uraian Ibnu
Arabi dan Sa‗id H{awwa diatas. Orang yang menginginkan keuntungan akhirat
merasakan hubungan yang dekat dengan Tuhan sebagaimana tercermin dalam
penafsiran Sa‗id H{awwa dan Ibnu Arabi.
Dari penafsiran–penafsiran tentang ayat 20 diatas, ditemukan kesamaan
pandangan bahwa orang yang menghendaki visi amalnya h}arthul a>khirah akan
memperoleh bagian keduanya, tidak saja bagian akhirat tapi juga mendapatkan bagian
di dunia. Artinya amal orientasi akhirat yang dilakukan sudah dapat dirasakan atau
mempunyai efek di dunia ini apalagi nanti di akhirat. Pandangan ini sesuai yang
dikemukakan oleh at-Tustari, Sa‗id H{awwa dan Ibnu Arabi. Adapun keistimewaan
lain yang dirasakan menurut at-Tustari adalah bagian di akhirat mendapat nikmat
lain yaitu melihat Tuhan, sedangkan bagi Sa‗id H{awwa keistimewaan itu adalah
mendapat taufik dari Allah. Adapun Ibnu Arabi mengistilahkan dengan hubungan
yang sangat dekat dengan Tuhan bagi orang yang zuhud tersebut. Inilah
kesempurnaan yang diterima oleh mereka yang menghendaki h}arthul a>khirah pada
ayat diatas.
Dari bentuk penafsiran demikian, dipahami bahwa penafsiran Sa‗id H{awwa,
at-Tustari dan Ibnu Arabi, terlihat pada pendekatan makna zahir dan ishari dalam
penafsiran mereka. Adanya kesamaan pandangan tasawuf demikian, maka hal itu
memperkuat akan penafsiran sufistik Sa‗id H{awwa.
C. Tafsir tentang Ayat-Ayat Sabar
127
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.
Ke–6, 5080
144
Dalam kitab Ta’ri>fa>t dijelaskan bahwa sabar adalah tidak mengeluh atau
mengadu bila ditimpa sakit melainkan menyerahkan kepada Allah, diberikan contoh
kasus yang dialami nabi Ayyu>b, أ٠ة ئر بد سث ئ غ اعش أذ أسد اشاد١
Seseorang hamba bila berdoa kepada Allah untuk menghilangkan sakit yang diderita,
hal itu tidaklah merusak akan arti kesabaran. Rasul bersabda, ― Siapa yang
memperoleh kebaikan hendaklah memuji Allah, bagi yang tidak memperoleh jangan
mencela kecuali pada diri sendiri.128
Sahl pernah menyatakan bahwa sabar yaitu
menanti datangnya kelapangan dari Allah (Allah melepaskan duka cita). Sabar adalah
pengabdian paling baik dan paling tinggi menghadapi sesuatu.129
Sementara itu
Raghib As}fahani mengatakan sabar ialah menahan diri dari hal–hal yang sekalipun
dibenarkan secara akal dan shara‘.130
Artinya dapat menahan diri sekalipun yang
dikehendaki itu tidak menyalahi secara akal dan aturan shara‘. Misal tidak melakukan
belanja yang melebihi keperluan walau dengan uang sendiri. Apalagi jika mendapat
musibah tidak mengeluh dan gelisah. Dengan demikian sabar mempunyai 2 cabang
yaitu menahan diri dari memperturutkan keinginan walaupun dalam tahap wajar
kedua menahan diri dari derita musibah tanpa mengeluh.
Mengenai sabar sebagai salah satu ajaran tasawuf banyak dijelaskan aspeknya
dalam Alquran. Berikut ini akan diuraikan penafsiran Sa‗id H{awwa terkait dengan
ayat–ayat yang membicarakan tentang sabar.
1. Ayat 45 surat al–Baqarah (2)
Dalam ayat ke 45 surat al–Baqarah (2), Allah mengemukakan sabar yang
diiringi dengan s}alat, digunakan sebagai media memohon pertolongan kepada Allah.
128
Syarif Ali bin Muhammad al–Jarjani, Kitab Ta’rifa>t (Beirut: Darul Kutub Ilmiah,
1988/1408 H), Cet. Ke–3, 131 129
Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 107. Lihat juga; Tustari, Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut:
Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 204 130
Raghib Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfaz al – Quran, Beirut : Darul Kutub Ilmiah, 2004
/ 1425 H, h. 306
145
Sa‗id H{awwa menafsirkan makna ayat diatas;
اعزؼ١ا ثبصجش اصالح ػ دائجى ئ اهلل ػ اجالء اائت ػ ام١ب ثأش اهلل
.و132
Mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan s}alat terhadap segala
kebutuhanmu, dalam menghadapi cobaan,bencana dan dalam melaksanakan
semua perintah Allah.
Untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupan ini senantiasalah untuk
bermohon kepada Allah supaya apa yang diharapkan dapat diwujudkan sesuai
kehendak Allah. Dengan sikap sabar dalam bermohon kepada Allah, diri merasakan
dekat denganNya dan hati memiliki ketergantungan kepada Allah. Disebutkan oleh
al-Jailani mengenai sabar karena Allah yaitu hati merasakan cinta dan dekat dengan
Allah.133
Melihat makna yang dikemukakan Sa‗id Hawwa selintas terlihat biasa
namun memiliki makna sufistik yang dalam bahwa sabar dalam melaksanakan
perintah Allah menjadikan hamba semakin dekat denganNya. Sa‗id Hawwa
mendorong agar manusia dalam beribadah selalu memohon pertolongan Allah untuk
dapat melaksanakan semua perintahNya.
Selanjutnya ditafsirkan oleh Sa‗id H{awwa tentang makna puasa;
134.فغش اصجش ب ثبص م ػ١ اغال اص صف اصجش
Makna sabar pada ayat tersebut adalah puasa sebagaimana Nabi saw pernah
mengatakan bahwa puasa itu setengah dari kesabaran.
131
Artinya; Mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan s}alat, sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang yang khushu’. Alquran dan Terjemahnya, Depag-
Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
132 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6, 139 133
Abdul Qadir Al-Jailani,. al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Faydu ar-Rahmaniy. Tahqi>q:
Shaikh Anas Mihrah (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1424/2003), Cet.ke-2,157
134 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6, 139
146
Berdasarkan penafsiran diatas yang menjadikan batin manusia terasa suci dan
dekat dengan Allah yaitu puasa.135
Pengertian sabar sebagai puasa juga dikemukakan
oleh Tustari dalam tafsirnya.136
Puasa yang benar, bertujuan untuk membentuk rohani
yang bersih. Dengan menjalankan puasa yang sesungguhnya mengharap rid}a Allah
maka kesucian hati semakin meningkat.
Dapat dipahami bahwa puasa merupakan sarana dalam memohon pertolongan
Allah. Makna dasar yang terkandung dalam puasa adalah menciptakan kesabaran
jiwa, sedangkan tujuan hakiki puasa untuk merasakan hubungan yang dekat dengan
Allah sebagai ciri orang bertaqwa.137
Dengan menjalankan puasa yang benar
(mengetahui rahasianya) maka seseorang terlatih untuk selalu merasakan kehadiran
Allah dimana saja berada. Makna inilah yang dikandung dalam istilah taqwa.138
Bila hati suci maka anggota tubuh menjadi suci. Hati yang bersih bagian dari
kebenaran rahasia antara manusia dan Tuhan. Rahasia itu ibarat burung dan hati
menjadi sangkarnya, demikian dijelaskan oleh al-Jailani.139
Rahasia antara Tuhan dan
manusia menurut pandangan al-Jailani diatas, terdapat dalam hati yang suci. Orang
yang memiliki hati bersih akan memperoleh pengetahuan tentang rahasia ketuhanan
(al-fath}u ar-rabba>niy). Untuk merasakan hubungan yang langsung atau wusu>l
kepada Allah dapat dirasakan dengan kesucian hati. Artinya kesucian inilah yang
dapat mengantar jiwa sampai menuju Allah.140
135
Hal yang sama tentang makna sabar dan salat juga dikemukakan oleh al-Alusi. Lihat; Al
Alu>si, Ru>h} al-Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al–Quran al-‘Az}i>m wa as-Sab’i al-Matha>ni (Beirut: Darul
Kutub al–Ilmiyah, 1422/2001), jilid 1, 352.
136 Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I, 31
137 Menjadi hamba bertaqwa merupakan tujuan dari melaksanakan ibadah puasa, lihat; QS.
Al- Baqarah : 183 138
menjauhkan segala sesuatu yang dapat menjauhkan engkau dari) جبجخ و ب ٠جؼذن ػ اهلل رؼب
Allah). Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 61
139 Abdul Qadir Al-Jailani,. al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Faydu ar-Rahmaniy. Beirut: Darul
Kutub al-Ilmiyah, 1424/2003, Cet.ke-2, 156, Tahqi>q: Shaikh Anas Mihrah
140 wus}u>l).زا اصي ئ اهلل از سأ٠ب ثؼط صشر اظش األػ صذخ امج١خ افغ١خ ف اإلعال
kepada Allah yang kami perhatikan sebagian buahnya (keistimewaannya) ialah kenyataan rahasia yang
147
Puasa dengan demikian menjadikan rohani suci kemudian bila rohani suci
jalan untuk berkomunikasi langsung dengan Allah dapat dirasakan. S{alat merupakan
cara untuk merasakan hubungan langsung dengan Allah. Rohani yang suci dan dapat
merasakan hubungan langsung dengan Allah, itulah puncak yang dituju dalam
kehidupan sufi.141
Hubungan yang dialami tidak dijelaskan dalam bentuk melihat
Tuhan karena hal itu hanya terjadi di akhirat.142
S{alat yang sempurna menjadikan
hati seseorang ikhlas kepada Allah terhindar dari waswas bisikan setan, pikiran kotor
yang terlintas dalam hati dan merasakan kehadiran Tuhan disisinya.143
Puasa harus
melahirkan kesabaran sebagai prasyarat dalam bermuna>jat sedangkan s}alat
merupakan wujud pelaksanaannya. S}alat sebagai media komunikasi dengan Allah
sangat tepat digunakan dalam bermohon kepada Allah.144
Puasa membentuk rohani suci merupakan jalan untuk mencapai ma‘rifah yang
diwujudkan dalam s}alat. Oleh karena itu sabar dan shalat sangat berkaitan menuju
hubungan langsung antara hamba dengan Tuhan.
Dari dua penafsiran diatas, disamping memaknai sabar dengan puasa mereka
juga memandang bahwa puasa merupakan tangga awal untuk menuju berhubungan
langsung dengan Allah. Pada dasarnya penafsiran Sa‗id H{awwa dan Tustari
memiliki satu pandangan, seperti disebutkan diatas juga tafsir Tustari banyak
kesamaan pemikiran dengan tafsir Sa‗id H{awwa.
Mengenai sabar dalam ayat diatas menurut tafsir Ibnu Arabi berarti sabar
terhadap hal yang tidak disukai. Dijelaskan bahwa sabar dalam penafsirannya ini
tertinggi yang dirasakan oleh hati dan jiwa yang suci). Sa‗id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah
(Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9, 154
141 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6,139
142 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11,
Cet. Ke–6, 6268 dan 6276. 143
Rasulullah bila ditimpa suatu musibah beliau mencari perlindungan dengan shalat. Dalam
ayat ini shalat dapat juga ditafsirkan dengan doa sebagai makna dasar dari shalat. Lihat; Sa‗id
H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet. Ke–6,139 144
S{alat adalah mi’raj al–muslimi>n.
148
menuju ke maqa>m rid}a,145
Sabar pada ayat tersebut tidak diberikan makna lain
oleh Ibnu Arabi namun ia menjelaskan bahwa bagi perjalanan suluk harus melewati
maqa>m sabar untuk menuju maqa>m rid}a. Sabar dan rid}a dua hal yang tidak
terpisah artinya bagi pelaku tasawuf bila berada dalam maqa>m sabar lanjutannya
menumbuhkan didalamnya sifat rid}a.
Pandangan Ibnu Arabi tentang ayat ini menyatakan bahwa sabar adalah
tangga untuk menuju rid}a. Sementara itu Tustari dan Sa‗id H{awwa menafsirkan
sabar sebagai puasa dan menjadi tangga menuju ma‘rifah bagi Tustari, sedangkan
Sa‗id H{awwa puasa landasan menyucikan jiwa menuju hubungan langsung dengan
Allah, yang terwujud dalam s}alat. Sa‗id H{awwa menyatakan kalau melihat Tuhan
dengan mata kepala hanya terjadi di akhirat.146
Pandangan tasawuf Sa‗id H{awwa ini
mendorong kepada amal yang dapat dirasakan pengaruhnya didunia dan realistis
dengan menghindari hal abstrak. Oleh karena itu penafsiran Sa‗id H{awwa lebih
memperhatikan makna zahir dalam mengungkap makna isha>ri.
2. Ayat 18 surat Yusuf (12)
Pada ayat lain diterangkan tentang kesabaran yang dialami oleh nabi Ya‗kub
terkait kasus yang menimpa nabi Yusuf seperti terdapat dalam surat Yusuf (12) ayat
18.
Sa‗id H{awwa menjelaskan;
145
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,
Cet. Ke–2, 51
146 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11,
Cet. Ke–6, 6268 dan 6276. 147
Artinya; Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu.
Ya‗kub berkata, ― Sebenarnya dirimulah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu, maka
kesabaran yang baik itulah kesabaranku, dan Allah sajalah yang dimohon pertolonganNya terhadap
apa yang kamu ceritakan‖. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah
al-Munawwarah, 1415 H
149
دز ٠فشج اهلل عأصجش صجشا ج١ال ػ زا األش, فصجش ج١ أج: فأش صجش ج١ أ
148.ثؼ ؽف
Maka kesabaran yang baik maksudnya kesabaran yang paling tinggi tingkat
kesabarannya. Aku benar-benar akan sabar dengan sebaik-baiknya terhadap
urusan ini sehingga Allah melapangkan dengan pertolongan dan
kelembutannya.
Demikian penafsiran Sa‗id Hawwa memahami ayat tentang kesabaran nabi
Ya‗kub, bahwa ia menunjukkan kesabaran yang sesungguhnya menghadapi tipuan
saudara-saudara Yusuf. Kesabaran nabi Ya‘kub yang dinyatakan dalam ayat diatas
merupakan kesabaran yang teguh. Ia benar–benar menunjukkan kesabaran seraya
mengharapkan pertolongan Allah sehingga Allah melepaskannya dari kesedihan.
Berkat kesabaran nabi Ya‗kub, kemudian Allah memberitahukan tentang peristiwa
yang menimpa Yusuf yang diperdayakan oleh saudaranya. Ini bentuk pertolongan
Allah yang dimohonkan nabi Ya‗kub dalam akhir ayat tersebut yang membuktikan
kebohongan perkataan para saudara Yusuf.149
Selanjutnya dijelaskan oleh Sa‗id H{awwa tentang makna sabar tersebut;
150. بالشى ف١ ئ اخك دز ٠فشط اهلل ثؼ ؽفاصجش اج١
Sabar yang sangat baik yaitu dalam artian tidak mengadukan persoalan
kepada yang lain tapi menyandarkan langsung kepada Allah sehingga Allah memberi
kelapangan. Dalam sabar ini mengandung tawakal dan rid}a.151
Pandangan Sa‗id
Hawwa tentang makna sabar diatas merupakan salah satu pengertian yang
148
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.
Ke–6,2638. Dikemukakan juga oleh al-Alusi; فصجش صجش ج١, فأش صجش ج١ . Al-Alu>si, Ru>h}ul
Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n, Tah}qi>q: Sayyid ‗Imran
(Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid 6, 530. Setelah itu, al-alusi menguraikan analisis kebahasaan
dengan rinci.
149 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.
Ke–6,2638 150
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.
Ke–6,2638. Makna ini terdapat juga dalam tafsir al-Alusi. Lihat; Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi>
Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n, Tah}qi>q: Sayyid ‗Imran (Kairo: Darul
Hadis, 1426/2005), Jilid 6, 530. 151
Sejalan dengan yang dikemukakan tafsir Ibnu Arabi bahwa dalam sabar pengantar menuju
rid}a. Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1, Cet.
Ke–2, 51
150
dikemukakan oleh para sufi.152
Sabar demikian mendorong seseorang untuk
senantiasa merasakan lebih dekat dengan Tuhan.
Kesabaran menyangkut nabi Ya‘kub berkaitan dengan objek yang dihadapi
yaitu persoalan yang menimpanya sesuatu yang tidak baik (musibah sayyi’ah ص١جخ
Musibah yang menimpanya dijadikan sebagai jalan untuk lebih mendekatkan .( ع١ئخ
diri kepada Allah yaitu dengan memohon langsung pertolongan hanya kepada Allah.
Sikap nabi Ya‘kub ini menunjukkan keterkaitan antara sabar dan datangnya
pertolongan Allah.153
Dalam ayat juga digambarkan terlebih dahulu kondisi tingkat
kesabaran nabi Ya‘kub kemudian dikemukakan sikapnya yang semata- mata
memohon pertolongan Allah.
Sabar dengan tidak mengadukan pada yang lain merupakan wujud tauhid
yang sangat murni. Contoh nabi Ya‘kub diatas menentang cara yang dilakukan bila
mengarah pada kemusyrikan. Biasa manusia bila menghadapi suatu musibah (seperti
kehilangan, kebangkrutan, sakit dan sebagainya) sering lupa diri sehingga minta
petunjuk pada orang ―sakti‖, mengorbankan akidah atau menempuh cara yang
bertentangan dengan akidah Islam. Mengatasi persoalan yang dihadapi dengan cara
seperti demikian sangat dilarang dalam Islam, sebab dalam prakteknya mengandung
rasa putus asa manusia dengan Tuhan. Melalui ayatnya Allah mencela perbuatan
demikian.
Artinya; Ia berkata,‖ Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat
Tuhannya kecuali orang yang sesat. al–H{ijr (15): 56)154
Kehilangan asa dari manusia terhadap Tuhan akan membuat hubungan dengan
Tuhan bertambah jauh, semakin jauh hubungan dengan Tuhan mengakibatkan hati
menjadi rusak (tidak suci). Keadaan seperti inilah yang dicela Tuhan, karena Tuhan
152
Lihat; Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut:
Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 107. 153
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.
Ke–6,2638. 154
Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-
Munawwarah, 1415 H
151
menjadi dikesampingkan. Mengapa manusia dapat menjauh dari Tuhan padahal
Tuhan begitu dekat.
, ئرا عأه ػجبد ػ فا لش٠ت أج١ت دػح اذاػ ئرا دػب
Apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku maka
sesungguhnya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdoa apabila ia berdoa kepadaKu.155
Persoalannya adalah bagaimana manusia dapat merasakan kedekatan dengan
Tuhan. Oleh karena itu, dengan memahami rahasia kesabaran secara hakiki akan
memunculkan jiwa yang suci dan merasakan berada dekat disisiNya. Disinilah makna
sufistik yang dibangun oleh sifat kesabaran yaitu terciptanya hubungan yang sangat
dekat dengan Tuhan. Sabar dalam makna ayat diatas termasuk yang dimaksud oleh
ahli hakikat, prilaku dan akhlak mereka tertanam kesabaran. Karena mereka melihat
sabar bagian dari tanda kemanusiaan dan sebagai salah satu sifat manusia.156
Adapun at-Tustari menafsirkan sabar dalam surat Yusuf ayat 18 yaitu غ اصجش
sabar mengandung rid}a. Tandanya adalah tidak mengeluh menghadapi اشظب
musibah apa saja. At-Tustari ditanya, dengan bagaimana sabar yang paling baik itu
diperoleh jawabnya yaitu dengan menyadari bahwa sesungguhnya Allah
menyertaimu.157
Artinya seseorang harus dapat menyadari dan merasakan bahwa
Allah sangat dekat denganNya. Dalam sabar tersebut hati senang menerima dan
menghadapi segala sesuatu yang menimpa. Sabar dan rid}a merupakan dua hal yang
menyatu dan saling mengisi. Dalam sabar menurut penafsiran at-Tustari mengandung
rid}a, karena itu rid}a tidak bisa dipisahkan dalam sabar.
Melihat makna sabar dalam ayat ini sebagaimana dijelaskan oleh at-Tustari
dalam tafsirnya mengandung pemahaman yang sama dengan yang dinyatakan Sa‗id
Hawwa. Pandangan Sa‗id Hawwa diatas berdasarkan penafsiran al-Alusi memiliki
155
Alquran surat al-Baqarah: 186, Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-
Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
156 Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-
1,187 157
Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I,81
152
makna yang sama. Pendapat yang dikemukakan Sa‗id H{awwa nya tidak bisa lepas
dari tafsir yang dijadikan rujukan. Makna isha>ri yang dikemukakannya masih
berlandaskan pada makna zahir ayat. Penafsiran mereka pada intinya memberikan
kesadaran kepada manusia agar selalu merasakan kedekatan dengan Tuhan. Sabar
yang sesungguhnya harus dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Pengertian yang
disampaikan ini sesuai dengan ajaran agama dan mudah memahami dan
melaksanakannya.
Kemudian Tustari mengatakan bahwa ia heran orang yang tidak memiliki sifat
sabar sebab bagaimana ada orang yang tidak bisa bersabar padahal Allah selalu
bersama orang yang sabar.158
Maknanya bahwa Allah itu sangat dekat dengan
hambanya yang bisa sabar, mengapa harus mengorbankan tauhid dengan meminta
pertolongan hal gaib atau perkara yang gaib kepada sesama makhluk. Ini
menunjukkan ketidaksabaran menghadapi musibah. Ditegaskan oleh al-Jailani, tidak
akan memberikan manfaat pengaduanmu kepada makhluk dan juga tidak
mendatangkan bahaya bila kamu menyandarkan kepadanya.159
Allah sangat mencela
orang seperti demikian yang ditegaskan dalam surat fus}s}ilat (41) ayat 49;
Artinya; Manusia tidak jemu memohon kebaikan dan jika mereka ditimpa
malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan.160
3. Ayat 5 surat al–Ma‘a>rij (70)
Berkaitan dengan kedudukan sabar ini ditemukan ayat yang diawali dengan
kalimat perintah seperti terdapat dalam surat al–Ma‘a>rij (70) ayat 5. Dari struktur
158
اجمشح ).ئ اهلل غ اصب ثش٠: سة اؼضح ٠مي , ػججذ ٠صجشا و١ف ٠صجشا ذبي )
:153 . Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–
I, 81 159
;Lihat . ٠ب ٠شى ئ اخك صبئج ئ٠ش ٠فؼه شىان ئ اخك ال ٠فؼه ال ٠عشه ئرا اػزذد ػ١
Abdul Qadir Al-Jailani,. al-Fath}u ar-Rabbaniy wa al-Fayd}u ar-Rah}ma>niy, Tahqi>q: Shaikh Anas
Mihrah (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1424/2003), Cet.ke-2, 111-112.
160 Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-
Munawwarah, 1415 H
153
ayat, sabar dalam hal ini merupakan sikap nabi Muhammad ketika menghadapi
pertanyaan seseorang tentang mendatangkan azab untuk orang kafir.
فبصجش صجشا ج١ال161
.ثال جضع ال شى: أ162 Dinyatakan oleh Sa‗id H{awwa dalam tafsirnya;
Secara zahirnya ayat ini mengajak bersabar dan jangan terburu-buru, seperti
dijelaskan al-Alusi. Makna ayat ini sekaligus memberi pengajaran kepada nabi
Muhammad dalam bersabar.163
Sa‗id H{awwa menafsirkan ayat ini dengan sabar
tanpa mengeluh ataupun mengadu (shakwa>).164
Sabar dalam ayat ini redaksinya
hampir sama dengan ayat yang dibahas pada ayat diatas. Makna sufistik yang
dikemukakan Sa‗id Hawwa memiliki semangat yang sama dengan makna ayat
tersebut. Bila dicermati lebih dalam, makna tidak mengeluh yang dikemukakan Sa‗id
Hawwa menunjukkan sikap rid}a. Seperti dijelaskan terdahulu rid}a dan sabar dalam
prakteknya sulit dipisahkan dalam tinjauan tasawuf. Bahkan at-Tustari menegaskan
seperti demikian dalam menafsirkan ayat 18 surat Yusuf yang diatas.165
Perintah sabar dalam ayat ini merupakan respon yang yang harus ditunjukkan
oleh nabi Muhammad terkait dengan orang yang meminta disegerakan azab. Karena
orang kafir memandang azab itu mustahil munculnya.166
Demikian Sa‗id H{awwa
memahami ayat diatas dengan mengutip Ibnu Kathir.
161
Artinya; Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik. Alquran dan Terjemahnya,
Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
162 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11,
Cet. Ke–6, 6133. Makna dasarnya terdapat dalam tafsir al-Alusi yang dikembangkan oleh Sa‗id
H{awwa.
163-Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as فبصجش ال رغزؼج
Sab‘i al-Matha>n, Tah}qi>q: Sayyid ‗Imran (Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid 6, 530.
164 Makna ini seperti diungkapkan al-Jarjani. Lihat; Syarif Ali bin Muhammad al–Jarjani,
Kitab Ta’rifa>t (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1988/1408 H), Cet. Ke–3, 131. Lihat juga; Abdul Qadir
Al-Jailani,. al-Fath}u ar-Rabbaniy wa al-Fayd}u ar-Rah}ma>niy, Tahqi>q: Shaikh Anas Mihrah
(Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1424/2003), Cet.ke-2, 111.
165 Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I, 81 166
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11,
Cet. Ke–6, 6133
154
Sementara itu Tustari juga menyatakan dalam tafsirnya bahwa sabar adalah
rid}a tanpa mengadukan سظب غ١ش شى sehingga tidak menjadi resah. Menurut
Tustari, seseorang mengadu dalam bersabar berarti itu suatu musibah / kecelakaan
baginya dalam pandangan Allah. Seseorang hamba bila masih mengadu, mengeluh
maka ia masih terikat dengan prilaku dirinya (kehendak nafsu) yang mendorongnya
berpaling pada kekuatan lain dari pada tetap dalam kesabaran.167
Sabar yang
dikehendaki ayat menurut Tustari adalah sifat sabar yang konsisten tidak dicemari
oleh keluhan yang menyebabkan hilangnya hakekat kesabaran. Sesuai dengan
penjelasannya tentang ayat 18 diatas, dalam sabar mengandung rid}a sebab sabar
demikianlah yang harus melekat pada diri dalam rangka mensucikan rohani.
Mengenai sabar dalam ayat diatas, Ibnu Arabi menjelaskan bahwa menurut
orang kafir azab yang dijanjikan kepadanya dianggap masih jauh bahkan bisa jadi
mustahil sebab pada mereka ada hijab.168
Ibnu Arabi dalam menafsirkan ayat ini
menyorot makna sabar dengan menjelaskan hal yang melatarbelakangi bersikap
sabar. Dalam penjelasannya, ia mengaitkan uraiannya dengan kandungan ayat
pertama dan kedua bahwa sabar dalam hal ini terkait dengan terealisasinya azab bagi
orang kafir. Artinya disini ia tidak eksplisit menjelaskan makna sabar. Dalam
pandangan Ibnu Arabi ayat tersebut boleh jadi tidak mengandung makna sufistik.
Penafsiran sufistik yang dikemukakan Sa‗id H{awwa tentang sabar diatas
saling mendukung. Tampak dari penafsirannya sangat berpegang dengan zahir ayat
dan sejalan dengan pengertian para sufi, seperti dikemukakan terdahulu. Makna dari
penafsiran Sa‗id Hawwa sejalan dengan yang dilakukan para sufi atau dikenal dengan
tasawuf praktis sehingga penafsiran yang selaras dengan amaliah tersebut identik
dikenal dengan tafsir sufi isha>ri.
Penafsiran Sa‗id H{awwa tentang sabar pada ayat tersebut mempunyai makna
yang sama dengan yang dikemukakan Tustari yang berpangkal pada tidak mengeluh
167
Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I, 177 168
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,
Cet. Ke–2, 348
155
dan mengadu dalam menghadapi musibah sebab bila mengadu itu justeru menjadi
musibah baru. Makna tiada mengadu atau mengeluh tersebut mengandung sikap
rid}a. Dalam mengungkap makna isha>ri sebagaimana terlihat dalam beberapa
penafsirannya, seperti Tustari, begitu juga Sa‗id H{awwa tidak secara terang
menyebutkan batas antara makna isha>ri dan makna zahir. Penafsiran sufistik yang
dikemukakan hanya diketahui dari kandungan maknanya. Penafsiran sufistik dapat
dikenali dengan membandingkan dengan penafsiran sufi lain atau pendapat para sufi.
4. Ayat 3 surat al–‘As}r
Pada ayat lain ditemukan petunjuk untuk bersabar, seperti yang terdapat
dalam surat al–‘As}r ayat 3.
.اذبد راصاثبذك راصاثبصجشصئال از٠ اا ػا اي169
Dengan mengutip tafsir an-Nasafi, makna sabar dikemukakan Sa‗id Hawwa;
. ػ اؽبػبد ػ ب ٠ج ث اهلل ػجبد, أ ػ اؼبص170
Artinya; Sabar dari kemaksiatan, dalam ketaatan dan dalam menghadapi ujian
Allah.
Sebagaimana dinyatakan diatas bahwa sabar itu ada tiga kategorinya; sabar
dalam ketaatan kepada Allah seperti melaksanakan ibadah fard}u dan sunat serta
berzikir. Sabar dalam menghadapi kemaksiatan yaitu tidak melakukan perbuatan
yang menimbulkan dosa dan sabar terhadap ujian Allah yaitu tidak mengeluh. Sabar
dalam menghadapi ujian termasuk didalamnya ketika mengalami rintangan dalam
menegakkan amar ma‘ruf nahi mungkar.171
Selanjutnya dijelaskan makna sabar lebih dalam oleh Sa‗id H{awwa;
169
Artinya; Kecuali orang yang beriman dan beramal saleh dan saling memberi nasehat
dengan kebenaran serta kesabaran. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-
Madinah al-Munawwarah, 1415 H
170 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11,
Cet. Ke–6, 6669
171 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11,
Cet. Ke–6, 6671
156
.اصجش ػ جبد افظ اصجش ػ رججخ اجبؼ172
Sabar disini sangat halus yaitu sabar dalam jihad menghadapi nafsu173
dan
sabar dalam suka cita yang tidak benar. Sa‗id Hawwa menekankan bahwa
menghadapi hawa nafsu bagian dari jihad. Orang yang mampu mengendalikan hawa
nafsu berarti berhasil dalam kesabaran berjihad. Dalam istilah at-Tustari pokok dari
kesabaran adalah mujahadah nafsu dalam menjalankan ketaatan.174
Salah satu contoh
jihad mengendalikan hawa nafsu adalah dengan berpuasa. Karena itu dalam
penafsiran ayat tentang sabar pada surat al-Baqarah terdahulu Sa‗id Hawwa
menyatakan makna sabar dengan puasa. Orang yang berhasil dalam berjihad nafsu
berarti berhasil dalam berpuasa maka akan menjadikan rohaninya suci sehingga
merasakan dekat dengan Tuhan.
Sabar yang halus dan sering diabaikan juga yaitu sabar menghadapi
kemegahan yang dapat menjerumuskan pada hal yang salah yang disebut Sa‗id
H{awwa dengan sabar atas kesenangan batil.175
Istilah lain adalah menahan diri dari
hal yang halal karena dapat membawa kemubaziran atau sekedar memperturutkan
hawa nafsu.176
Sabar menghadapi demikian adalah dengan menghindari hidup
berkelebihan atau berfoya-foya. Misalnya hidup bermewahan, hidup boros atau
fasilitas yang berlebihan, sehingga menimbulkan kesombongan. Semuanya itu bagian
dari sabar terhadap kesenangan dunia yang dapat melenakan manusia. Ini termasuk
sabar yang dirasakan oleh pelaku tasawuf.
172
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11,
Cet. Ke–6, 6671
173 An-Nafs totalitas diri mengandung baik-buruk ( (فظ ب عاب فأ فجسب رماب
disebutkan oleh Sa‗id Hawwa, nafs itu adalah roh setelah bercampur (bergabung) dengan jasad. Nafs
memiliki kecenderungan pada kekal hissi (materi/fisik) atau pada maknawi. Kecenderungan
duniawinya harus disucikan. Sa‗id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428
H/2007 M), Cet. Ke–9, 49
174 Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I, 204 175
Kegembiraan yang salah رججخ اجبؼ Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo:
Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11, Cet. Ke–6, 6671.
176 Raghib Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfaz al – Quran, Beirut : Darul Kutub Ilmiah, 2004
/ 1425 H, h. 306
157
Disamping itu Sa‗id H{awwa juga menghubungkan sabar sebagai salah satu
unsur untuk memperoleh keberuntungan atau menjadi manusia beruntung. Bahkan
dijelaskannya bahwa variabel–variabel manusia yang beruntung yang terungkap
dalam surat al–‘As}r merupakan rincian dari ayat ke lima surat al–Baqarah.177
Ini
merupakan salah satu metode penafsiran Sa‗id H{awwa yaitu mengemukakan
hubungan ayat dengan ayat lain dalam rangka mendukung penafsirannya. Selain itu
Sa‗id Hawwa juga mendasarkan penafsirannya pada tafsir an-Nasafi dan Ibnu Kathir.
Sejalan dengan Sa‗id H{awwa, at-Tustari menyebutkan dalam tafsirnya
manusia dalam bersikap sabar terbagi dua golongan. Sabar untuk dunia, kesabarannya
bertujuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan dirinya. Inilah sabar yang tercela.
Kedua sabar untuk akhirat, karena mencari pahala akhirat dan takut dari azabnya.
Sabar akhirat ini ada 4 macamnya yaitu sabar dalam ketaatan menjalankan perintah
Allah, sabar terhadap hal–hal maksiat, sabar dari berbagai musibah. Adapun sabar
keempat, terkait dengan perbuatan makhluk.178
Menurut at-Tustari ayat 126 (pada catatan kaki) menjelaskan tentang
keutamaan orang sabar. Adapun ayat 127 menerangkan bahwa Allah lah yang
menolong orang yang sabar dari berbagai persoalan.179
Dari penafsiran Sa‗id H{awwa dan Tustari diatas dipahami secara umum
bahwa jenis sabar ada tiga; sabar dalam melaksanakan perintah Agama, sabar
177
Mereka itulah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang yang
beruntung أئه ػ ذ سث أئه افذ . Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo:
Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11, Cet. Ke–6, 6669 178
Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423),
Cet. Ke–I, 204. Mengenai sabar jenis keempat yaitu sabar dari perbuatan manusia diterangkan Allah
dalam surat an–Nah}l ayat 126-127.
Artinya; Dan jika kamu memberikan balasan maka balaslah dengan balasan yang sama
dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar sesungguhnya itulah yang lebih
baik bagi orang–orang yang sabar. Bersabarlah, dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan
pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan janganlah kamu bersempit
dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.
179 Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I, 204
158
menghadapi kemaksiatan dan sabar menghadapi musibah. Selain itu, Tustari merinci
lagi sabar dengan orientasi dunia bahwa sabar untuk mendambakan keuntungan
dunia. Sabar jenis ini menurut tustari merupakan sabar yang cacat, buruk. Sabar
kategori terakhir ini dalam pandangan Sa‗id H{awwa termasuk sabar dari hal–hal
yang batil hanya demi kesenangan sesaat di dunia.
Melihat penafsiran Sa‗id H{awwa dan Tustari diatas mengenai ayat terakhir
al–‘As}r pada dasarnya memiliki pandangan yang sama dalam memaknai kesabaran.
Metodologi mereka menafsirkan ayat tetap mengacu pada makna zahir ayat, apalagi
dikemukakan juga munasabah ayat terkait. Penafsiran mereka terlihat mencerminkan
jenis tasawuf ‘amali.
Sehubungan dengan sabar dalam ayat ini, Ibnu Arabi menjelaskan bahwa
sikap sabar harus kokoh dan istiqa>mah (teguh pendirian) dalam ‘ubu>diyyah. Hal
ini memudahkan untuk menuju al-H{aq. Selain itu sikap sabar harus dipelihara dalam
menghadapi ujian musibah dan menjalani latihan rohani (riya>d}ah). Dalam hal ini ia
mengutip hadis nabi Muhammad yaitu ujian musibah merupakan salah satu cambuk
Allah untuk menggiring hamba kepadaNya agar merasa dekat.180
Pada dasarnya sabar
dalam ‘ubu>diyyah yang dikemukakan Ibnu Arabi mencakup sabar yang diuraikan
dalam penafsiran Sa‗id H{awwa dan Tustari diatas bahwa intinya sabar akan
mengantarkan hamba menjadi dekat dengan Allah bahkan sampai صي ئ١
kepadaNya.
Tafsiran Ibnu Arabi yang menjelaskan keberadaan sabar dan cakupannya
memiliki kesamaan dengan pandangan dengan Sa‗id H{awwa dan Tustari. Artinya
mereka sepakat bahwa sifat sabar pada seseorang dalam menjalankan ajaran agama
mendorong kesadaran untuk merasakan hubungan dekat dengan Allah. Apalagi sabar
juga bertujuan membersihkan rohani sebagai makna pokok puasa. Sabar menurut
Ibnu Arabi selain menjalankan ketaatan kepada Allah juga dalam rangka menjalani
latihan rohani untuk sampai kepada Allah.
180
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,
Cet. Ke–2, 428
159
Memperhatikan penafsiran Ibnu Arabi diatas, dipahami bahwa dalam hal ini ia
juga menggunakan makna zahir ayat terlebih dahulu untuk kemudian menakwilkan
berdasarkan teori tasawuf. Terkait dengan takwil Ibnu Arabi mengenai sabar sebagai
merupakan makna dari kedekatan hubungan antara hamba dengan اصي ئ اذك
Tuhan. Makna ini secara tidak langsung sejalan dengan penjelasan Sa‗id H{awwa
dan Tustari berkenaan dengan tafsir al–‘As}r ini. Di samping itu pada penafsiran
surat al-Baqarah: 45 pernah dikemukakan juga makna seperti demikian oleh Sa‗id
H{awwa dan Tustari dimana puasa dijadikan sebagai makna sabar untuk
membersihkan rohani sedangkan shalat merasakan wujud kedekatan hubungan hamba
dengan Allah. Penafsiran Sa‗id Hawwa dan at-Tustari lebih mencerminkan tasawuf
amali sementara Ibnu Arabi dengan istilah wus}ul (صي )yang dikemukakan
merupakan pengaruh teori filsafat sufistiknya, yang berlandaskan pada tasawuf
naz}ari.
5. Ayat 200 surat Ali Imran (3)
Bentuk lain dari sabar seperti perintah Allah kepada manusia dalam
menjalankan ajaran agama haruslah dengan sikap sabar dan itu dinyatakan Allah
dalam surat Ali Imran (3) ayat 200. Perintah bersabar disini dikaitkan dengan
perintah bertaqwa kepada Allah.
.٠ب أ٠ب از٠ اا اصجشا صبثشا ساثؽا ارماهلل ؼى رفذ181
Dikemukakan dalam tafsir Sa‗id H{awwa;
أ غبج ف اصجش ػ , صبثشا أػذاء اهلل ف اجبد, اصجشا ػ اذ٠ رىبف: أ
أل١ا ف اضغس زشصذ٠ مزبي أػذاء : ساثؽا أ, شذائذ اذشة ال رىا أل صجشا
.اهلل182
181
Artinya; Hai orang – orang yang beriman bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu
dan tetaplah bersiap siaga dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung. Alquran dan
Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
182 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke–6, 967
160
Menurut Sa‗id H{awwa makna ayat ini adalah bersabarlah dalam
melaksanakan ajaran agama dan menanggung perkara agama yang dipikulkan.
Dan kuatkanlah kesabaran dalam berjihad menghadapi musuh Allah, dalam
artian mengalahkan mereka dalam kesabaran ketika terjadi pertempuran hebat
dan janganlah kesabaranmu lebih rendah dari mereka. Selanjutnya ra>bit}u>
berjaga–jaga yaitu bersiap di (tempat) pangkalan sambil mengadakan ساثؽا
pengintaian dalam rangka memerangi musuh Allah.
Penafsiran sabar diatas menunjukkan pada kesabaran dalam menghadapi
musuh-musuh yang tidak menghendaki kehadiran Islam atau mengganggu dalam
pelaksanaan ibadah. Kesabaran merupakan hal yang utama dalam berjuang
menghadapi musuh. Makanya ditegaskan Sa‗id Hawwa dalam tafsirnya, jangan
sampai kekalahan disebabkan oleh kurangnya kesabaran.
Lebih dalam makna ayat dikemukakan Sa‗id Hawwa dengan mengutip
pendapat Hasan al-Basri seorang sufi, bahwa kesabaran harus selalu ada dalam
menjalankan perkara agama. Jangan pernah meninggalkan ajaran agama karena
sedang susah atau keadaaan senang hanyut dalam kegembiraan. Namun tetaplah
konsisten beragama sehingga mati dalam keadaan muslim.183
Ini merupakan isyarat
yang terkandung dalam ayat bahwa kesabaran termasuk jalan untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan sesuai dengan perintah diakhir ayat agar bertaqwa kepada Allah.
Sehingga dengan kesabaran yang teguh akan membawa seseorang dalam penyerahan
diri yang sesungguhnya kepada Tuhan. Kesabaran dalam menjalankan ajaran agama
menjadi bukti sebagai muslim, demikian yang ditegaskan Hasan al-Basri diatas.
Selanjutnya dijelaskan tentang arti اشاثؽخ :
184ف اذاخ ف ىب اؼجبدح ألب سثبغ ظذ اش١ؽب
Al-Mura>bat}ah adalah senantiasa berada dalam tempat peribadatan, sebab
beribadah merupakan benteng yang dapat mengalahkan setan. Disebutkan juga
makna mura>bat}ah adalah menguatkan hati berada di dalam masjid seraya
mempersiapkan diri memerangi setan,
183
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke–6, 967. Ini makna dari, QS. Ali Imran (3): 102 184
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke–6, 972
161
185ساثؽا ف اغبجذ غزؼذ٠ ذشة اش١ؽب
Masjid merupakan sentral dalam melakukan ibadah sebagai simbol sujud
artinya kesabaran harus ditunjukkan dengan keterikatan hati berhubungan langsung
dengan Allah dalam berbagai macam ibadah yang dilakukan dalam rangka
mendekatkan diri kepada Tuhan. Seperti dikatakan al-Alusi, mura>bat}ah merupakan
bagian dari kesabaran.186
Boleh jadi kata masjid merupakan cerminan ibadah khusus
seperti s}alat yang sering dilakukan di dalamnya agar lebih mendorong mendekatkan
diri kepada Tuhan. Substansinya adalah adanya keterpautan hati dengan Allah
sehingga membentuk jiwa yang bertaqwa kepada Allah. Seperti melaksanakan salat,
zikir, wirid, berdoa dan sejenisnya. Selain setan yang dihadapi termasuk juga
menghadapi nafsu yang akan mengganggu kesucian hati. Musuh yang berat adalah
melawan musuh yang tidak kelihatan baik nafsu atau godaan setan seperti dijelaskan
Sa‗id H{awwa bahwa kesabaran dikokohkan lagi untuk menghadapi musuh yang
tidak nyata ini. Dengan beribadah akan mengokohkan batin dalam melawan pengaruh
setan yang menggoda nafsu. Makna ini sejalan dengan penjelasan Sa‗id Hawwa
tentang kesabaran dalam surat al-‘Asr yaitu sabar dalam jihad melawan nafsu.187
Karena itu dikatakan oleh para sufi bahwa sabar adalah perbuatan yang agung dan
mulia. Ujian dalam kesabaran termasuk hal yang utama sebab dengan ujian lebih
melatih diri dan lebih menguatkan keyakinan (berpegang teguh dalam keimanan).188
Ketiga hal ini harus tertanam dan menjadi terpadu dalam diri agar hati selalu
suci dan dekat dengan Allah. Bila diperhatikan tiga komponen antara اصجشا ساثؽا –
-صبثشا tersebut merupakan sifat yang bertingkat artinya dari sabar meningkat
menjadi mus}a>barah terus meningkat menjadi mura>bat}ah. Pada tingkat
185
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke–6, 972 186
Pengkhususan lain, seperti kata jibril yang disebut ar-ru>h yang mengikuti kata malaikat
dalam surat az-Zalzalah. Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i
al-Matha>n, Tah}qi>q: Sayyid ‗Imran (Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid 2, 532. 187
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11,
Cet. Ke–6, 6671 188
Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-
1,187
162
mura>bat}ah, dua unsur lain tetap melekat dan tidak terpisah seperti maqa>m–
maqa>m tasawuf juga dimana ketika seseorang sampai pada suatu tingkat tertentu
maka tingkat yang dibawahnya tidak lepas dan inklud didalam maqa>m yang baru.
Menurut Tustari ayat ini berbicara tentang implementasi cakupan iman yaitu
tawakal kepada Allah, ketundukan terhadap perintahNya, rid}a dengan ketentuannya,
syukur atas nikmatNya dan taqwa kepadaNya.189
Penjelasan Tustari ini terpadu
kepada kepasrahan diri, taat kepada Allah. Makna pokok penafsiran Tustari ini
sejalan dengan makna sabar yang disampaikan Sa‗id H{awwa diatas bahwa bersabar
menjalankan ajaran Islam agama yang dirid}ai Allah dan jangan sampai
meninggalkannya baik dalam kondisi senang atau susah sehingga mati dalam keadaan
muslim. Ini menunjukkkan kepatuhan dan penyerahan totalitas diri kepada Allah.
Selanjutnya disebutkan bahwa kesabaran adalah tiang keimanan, keikhlasan
merupakan kesempurnaan iman.190
Iman digambarkan Tustari bagaikan bangunan
maka tiangnya adalah kesabaran sedangkan kesempurnaan bangunan iman adalah
ikhlas. Sabar dalam pengertian Tustari menjadi hal yang harus kuat, kokoh sesuai
dengan ayat 200 Ali Imran ini karena sabar nantinya akan menuju menjadi penopang
bangunan yang akan menampung berbagai unsur lain.
Penafsiran Tustari bila dihadapkan pada penafsiran Sa‗id H{awwa
mengandung prinsip yang sama memahami substansi ayat melalui pendekatan makna
zahirnya. Bagi Sa‗id H{awwa tiga komponen; sabar, mus}a>barah dan mura>bat}ah
dalam ayat tersebut menjadi unsur pokok untuk membentuk keimanan yang kokoh
yang diwujudkan dalam ketundukan, penyerahan diri secara totalitas kepada Allah.
Adapun dari penafsiran Tustari terlihat, menguraikan pemahaman isha>rinya masih
tetap berdasarkan pada zahir ayat sejalan dengan penafsiran Sa‗id H{awwa.
Sementara itu Ibnu Arabi menafsirkan ayat diatas sebagai berikut; pertama
sabar ( اصجشا ( artinya muja>hadah pada maqa>m nafs, kedua s}a>biru ( صبثشا (
189
Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I, 52 190
Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I, 52
163
artinya muka>shafah pada maqa>m qalbu serta dorongan kuat menuju tajalli sifat
Tuhan. Selanjutnya ra>bit}u> ( ساثؽا ( artinya musha>hadah berada pada maqa>m
ru>h}.191
Penafsiran Ibnu Arabi mengenai ayat di atas tidak terikat oleh makna zahir
ayat. Ibnu Arabi terlihat mengemukakan makna isha>ri sesuai pandangan filsafat
sufistik (tasawuf falsafi). Bila dipertemukan dengan penafsiran Sa‗id H{awwa dan
Tustari tampak sekali perbedaannya dengan tafsir Ibnu Arabi dalam hal pendekatan
makna isha>ri. Kecenderungan naz}arinya Ibnu Arabi lebih menonjol, dengan istilah
seperti tajalli, mukashafah dan mushahadah.
Penafsiran Sa‗id H{awwa dan Tustari masih mendukung pemahaman
lahiriyah sedangkan penafsiran Ibnu Arabi tidak nyata pemahaman lahiriyah tapi
melampaui itu semua. Artinya penafsiran Ibnu Arabi seakan terlepas dari struktur
ayat sebagaimana terlihat diatas.
Dari penafsiran–penafsiran di atas antara Sa‗id H{awwa dan Tustari memiliki
pandangan yang pada dasarnya saling terkait. Kedua penafsiran tersebut lebih
cenderung berpegang pada makna zahir dalam memberikan penafsiran isha>ri. Hal
ini menjadi faktor pendukung terhadap penafsiran sufistik Sa‗id Hawwa.
Perbedaannya dengan penafsiran Ibnu Arabi dalam hal ini di samping pengaruh
paham filsafat juga makna isha>ri terlihat jauh dari makna zahir. Penggunaan makna
isha>ri dan makna zahir ini yang membedakan penafsiran Ibnu Arabi dengan Sa‗id
H{awwa dan a-Tustari.
D. Tafsir tentang Ayat-Ayat Tawakal
Dalam shighat bahasa Arabnya disebut dengan tawakkul192
artinya bersandar
pada janji dan ancaman Allah dengan menghilangkan keinginan pada selainnya.193
Dikatakan oleh Ibnu Masruq tawakal berarti tunduk terhadap ketentuan hukum Allah
191
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,
Cet. Ke–2, 159 192
Asal kata (derivasinya) روال- ٠زو – رو tawakkala – yatawakkalu – tawakkulan. 193
Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 65
164
yang ditetapkanNya.194
Pengertian tawakal ini masing–masing sufi memiliki
pemahaman hampir sama yang secara umum disimpulkan yaitu menyandarkan
kepada Allah dengan menerima segala bentuk kejadian yang berlaku dan yakin
terhadap hukum Allah.
Beberapa ayat yang sangat terkait dengan tawakal sebagai bentuk penyerahan
diri, dalam rangka membersihkan rohani maka dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Ayat 159 surat Ali Imran (3)
Pada ayat 159 surat Ali Imran, Allah menjelaskan keberadaan tawakal bagi
manusia dalam menghadapi berbagai persoalan. Sikap tawakal dalam ayat ini
mengandung unsur yang disebut sebelumnya yaitu ‘azam pada ayat tersebut
sebagaimana terlihat berikut ini.
Dijelaskan oleh Sa‗id Hawwa terkait dengan tawakal dalam ayat;
196.فارا لؽؼذ اشأ ػ ش١ئ ثؼذ اشس فزو ػ اهلل ف ئعبئ: أ
Apabila keputusan dalam musyawarah sudah ditetapkan maka bertawakallah
kepada Allah mengenai hasilnya.
Tawakal yang diperintahkan dalam ayat dilakukan setelah ada ‘azam sebagai
wujud dari harapan dan tekad yang kuat. Keputusan yang diambil sebelum
bertawakal sudah melalui berbagai usaha pemikiran dan pertimbangan.
194
Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 65 195
Artinya; Maka disebabkan rahmat dari Allah, kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam suatu urusan. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad (‘azam) ػض maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang–orang
yang bertawakal kepadanya. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-
Madinah al-Munawwarah, 1415 H
196 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke–6,916
165
Selanjutnya dijelaskan Sa‗id H{awwa bahwa orang yang betul-betul
bertawakal adalah;
٠أخز ثبالعجبة ٠م ثذك اهلل رف١ز أش , اؼزذ٠ ػ١ افظ١ أس ئ١: أ
.ثبعزفبد اعغ ثزي اؽبلخ ال ٠ؼزذ ئال ػ اهلل197
Orang-orang yang menyandarkan dan menyerahkan segala urusan mereka
kepada Allah. Mereka memahami hukum sebab-akibat, melaksanakan
(memenuhi) hak Allah, melaksanakan perintahnya dengan menghabiskan
kekuatan (maksimal), mengerahkan segala kemampuan dan Mereka hanya
menyandarkan kepada Allah.
Inti tawakal menurut Sa‗id H{awwa adalah hanya kepada Allah bersandar dan
menyerahkan segala perkara (urusan) yang dikehendaki. Pengertian ini sejalan
dengan at-Tustari, dikatakannya sebagai sikap menyerahkan segala urusan kepada
Allah dan hanya kepadaNya berkehendak tidak kepada selainnya فض ئ١ ج١غ أس
dan افزمش ئ١ د غ١ش. 198
Makna ini terkandung dalam pengertian para ahli sufi seperti
terdapat dalam mu‘jam istilah sufi.199
Menurut Sa‗id H{awwa beberapa hal seperti disebut diatas harus dipenuhi
dalam menjalankan tawakal. Dalam bertawakal menunjukkan akan hubungan yang
dekat dengan Allah. Maknanya, adanya pengakuan yang tulus dalam menjalankan
kewajiban-kewajiban kepada Allah. Seseorang yang bertawakal, akan selalu
merasakan kehadiran Tuhan dalam kondisi apapun ia berada. Ibadah-ibadah yang
dilakukan menjadi pengikat batin antara ia dan Tuhan ( Seperti .(٠م ثذك اهلل
ditegaskan al-Ghazali bahwa dalam bertawakal mengandung unsur tauhid yang harus
197
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke–6,916. Dalam bahasa lain, dinyatakan juga yaitu dengan; االػزبد ػ اهلل ف و أش menyandarkan
segala perkara kepada Allah. Lihat juga, Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam,
1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet. Ke–6, 3876
198 Siapa yang melakukan musyawarah dan berserah diri kepada Allah tentang hasil dari apa
yang sudah diputuskan kemudian ia menyesali kenyataan yang dihadapi maka sesungguhnya ia telah
melakukan tuduhan salah kepada Allah. Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub
al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 51
199 Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 65
166
dirasakan.200
Hal itu dapat menyucikan jiwa dari pengaruh syirik sekecil apapun,
apabila jiwa suci maka hidayah Allah mudah diserap. Demikian makna tawakal
berdasarkan penafsiran sufistik Sa‗id Hawwa.
Penafsiran Sa ‗id Hawwa diatas menunjukkan kepada pandangan tasawufnya
dalam memahami ayat secara sufistik. Makna yang dikemukakannya menggali isyarat
yang tersembunyi dari semangat ayat tentang bentuk tawakal.
Adapun perintah tawakal dalam ayat, dijelaskan Sa‗id H{awwa bahwa contoh
dalam menjalankan tawakal yaitu tentang musyawarah. Ketetapan berbagai pendapat
mengenai sesuatu yang telah diputuskan setelah musyawarah, maka kesudahan
hasilnya diserahkan (tawakal) kepada Allah. Ini merupakan hasil sebagai konsekuensi
keputusan tersebut.201
Keputusan dalam musyawarah merupakan salah satu upaya
(‘azam) yang dilakukan dalam bertawakal. Dalam tawakal tersimpan makna
pengakuan bahwa Allah sebagai tumpuan yang menguasai hal gaib termasuk hasil
akhir dari apa yang diusahakan. Penyerahan total kepada Allah mengikat diri untuk
tidak bergantung kepada selainnya. Tidak ada yang bisa menentukan apa yang akan
berlaku masa berikut, manusia hanya bisa mengambil sebab seperti disebut Sa‗id
H{awwa.202
Mengenai tawakal ini at-Tustari juga memahami bahwa musyawarah dalam
ayat tersebut sebagai contoh bentuk ‘azam. Adapun keputusan yang telah diambil
dalam musyawarah maka diserahkan kepada Allah sebagai konsekuensi. 203
Selanjutnya pengaruh bagi orang tawakal disebutkan Tustari yaitu Allah
200
ال ئ ئال اهلل دذ ال شش٠ه : ئب ذزبط ئ بج ػ١ ازو ازد١ذ از ٠زشج له Al-Ghazali,
Ih}ya’ Ulum ad-Din (Mesir: Maktabah Must}afa al-Ba>bi al-H{alabi wa Aula>dihi, 1939/1358) Jilid
4, 240 201
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke–6, 916 202
Surat Luqma>n ( 31 ) ayat terakhir ( 34 ) menjelaskan 5 perkara dimana hanya Allah yang
mengetahui, diantaranya sesuatu yang akan terjadi masa nanti; ب رذس فظ ب را رىغت غذا ( Dan
tiada seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa saja yang akan diusahakannya besok ).
203 Siapa yang melakukan musyawarah dan berserah diri kepada Allah tentang hasil dari apa
yang sudah diputuskan kemudian ia menyesali kenyataan yang dihadapi maka sesungguhnya ia telah
melakukan tuduhan salah kepada Allah. Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub
al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 51
167
menyingkapkan (٠ىشف ( dalam hatinya berbagai ilmu sehingga antara hamba dan
Allah tidak ada perantara ثال اعؽخ ف١ب karena itu wajib menggunakan akal dan
merenung untuk mendapatkan hikmah disebabkan kekuasaan Tuhan dan juga supaya
memperoleh tambahan ilmu ( 11:ؼ )ل سث صد ػب .204
Dengan menjalankan
tawakal maka Allah akan membuka hijab bagi hambanya di dunia dengan berbagai
ilmu sehingga pertolongan Allah bagi orang yang bertawakal sangat dekat. Berkaitan
dengan datangnya pertolongan Allah atau tidak menurut Sa‗id H{awwa manusia tetap
bertawakal. Tawakal itu sifatnya meliputi setiap keadaan baik dalam menghadapi
pertolongan Allah atau tidak adanya pertolongan, baik dalam kecelakaan atau
keselamatan. Harus dipahami dalam tawakal bahwa pertolongan atau tidak diberi
pertolongan itu semua datangnya dari Allah.205
Bagi orang yang tawakal harus
meyakini bahwa bila Allah memberi pertolongan maka tidak ada yang dapat
menggagalkannya namun bila Allah (membiarkan) tidak memberi pertolongan siapa
yang dapat menolong selainNya.206
Artinya kalimat ― tidak memberi pertolongan‖
terbantahkan dengan kalimat setelahnya yaitu siapa yang sanggup mendatangkan
pertolongan selain kekuasaan Allah. Kalimat tersebut menambah keyakinan bagi
orang yang bertawakal dan memberikan motivasi untuk berserah diri kepada Allah
bahwa hanya kekuatan Allah yang dapat menolongnya.
Pada dasarnya penafsiran Tustari dengan Sa‗id H{awwa terdapat satu
pandangan mengenai keberadaan tawakal. Adapun akibat dari tawakal bagi
seseorang, Tustari memaknai dengan terbukanya kashaf dari Allah dengan
memperoleh berbagai ilmu sebagai pertanda dekatnya hubungan antara hamba
dengan Allah. Sedangkan bagi Sa‗id H{awwa pengaruh tawakal menjadikan
seseorang semakin menambah ketundukkan diri kepada Allah sehingga dalam
204
Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I, 51 205
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke–6, 921 206
Sesuai penjelasan Alquran ayat 160 surat Ali Imran sebagai motivasi dalam bertawakal. ئ
Artinya; Jika Allah menolong mu .٠صشو اهلل فال غبت ى ئ ٠خزى ف رااز ٠صشو ثؼذ
maka tiada yang dapat mengalahkan mu dan jika Allah membiarkan mu maka siapa yang dapat
menolong mu setelah itu (melainkan kekuasaan Allah).
168
bertawakal tidak menghiraukan kondisi yang dirasakan apakah baik atau tidak
menyenangkan karena semua datang dari sisi Allah. Artinya dengan tawakal tidak
ada penyesalan dalam menerima konsekuensi dari ‘azam yang telah diputuskan.
Bahkan bila dirujuk kepada penjelasan Tustari bahwa tidak datangnya pertolongan
Allah hanya menimpa orang yang berdosa, karena dosa yang dilakukanlah maka ia
dibiarkan. 207
Pertolongan inilah yang dimaksud sebagai hidayah dalam pandangan
Sa‗id Hawwa. Hidayah ini hanya akan diperoleh oleh orang yang konsisten
melaksanakan hak Allah ( ٠م اهلل ثذم ).
Tampak dari penafsiran Sa‗id H{awwa dalam hal ini bahwa pemaknaan yang
dinyatakannya sesuatu yang mungkin dicapai orang secara umum dan mudah
dipahami. Penafsiran Sa‗id H{awwa mengandung unsur yang sejalan dengan
pandangan para sufi tentang makna tawakal. Perbedaan istilah dengan at-Tustari yaitu
tentang mendapatkan berbagai pancaran ilmu dari Allah. Sementara itu Sa‗id
H{awwa memahami demikian sebagai anugerah yang diperoleh berkat kedekatan
dengan Allah dengan senantiasa melaksanakan hak-hakNya.
Sementara itu Ibnu Arabi dalam tafsirnya menyebutkan tawakal dalam ayat
itu mengaitkannya dengan musyawarah seperti peperangan. Tawakal yang dilakukan
setelah melihat berbagai kondisi yang meliputi pengetahuan, kekuatan, kecerdasan
kemudian diterapkan makna tawakal dan tauhid dalam perbuatan. Artinya bila telah
membulatkan tekad maka serahkan perkara itu kepada Allah dengan tawakal dan
dengan memperhatikan segala faktor yang mempengaruhinya ففض األش ئ اهلل ثبزو
سؤ٠خ ج١غ األفؼبي208
. Tawakal dan tauhid menurut Ibnu Arabi dijalankan serentak dan
tidak terpisah. Dalam tawakal mengandung nilai tauhid yang murni sebagaimana
dijelaskan Sa‗id H{awwa dengan; ٠م ثذك اهلل penyandaran yang utuh kepada Allah
dalam melaksanakan hak–hak Allah. Tawakal disini sangat dinamis artinya tidak
semata–mata menyerahkan kepada Allah tapi setelah melihat seluruh daya upaya.
207
Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I, 51 208
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,
Cet. Ke–2,152
169
Bila diperhatikan penafsiran sufistik Ibnu Arabi dalam hal ini sesuai dengan
makna zahir seperti yang dipahami oleh Sa‗id H{awwa diatas. Bahkan Ibnu Arabi
menyatakan juga secara eksplisit dalam tafsirnya contoh musyawarah dalam
peperangan yang sesuai dengan sejarah turun ayat. Dengan mengemukakan contoh
musyawarah tersebut menunjukkan pemahaman ayat sangat dekat dengan zahir ayat.
Dari beberapa bentuk penafsiran yang dikemukakan Ibnu Arabi dan at-Tustari diatas
yang sejalan dengan makna yang dijelaskan Sa‗id Hawwa, mendukung akan
keberadaan orientasi sufistik penafsiran Sa‗id Hawwa.
2. Ayat 58 surat al–Furqa>n (25)
Perintah untuk bertawakal diungkapkan dengan lebih tegas lagi sebagaimana
terdapat dalam surat al–Furqa>n (25): 58. Ayat ini tidak mengaitkan kepada suatu
objek sebagaimana terdapat dalam surat Ali Imran diatas dimana yang secara tidak
langsung perintah tawakal yang dikandungnya mengarah kepada keputusan bulat
(‘azam) dalam musyawarah.
Kandungan ayat ini menuntun untuk menguatkan keyakinan supaya
bertawakal kepada Allah semata dalam hal apa saja. Makna tawakal dijelaskan Sa‗id
H{awwa disini adalah; االػزبد ػ اهلل ف و أش210
Makna tawakal yang disebutkan Sa ‗id Hawwa ini sangat dasar dalam istilah ajaran
agama. Ada dua hal yang ditekankan dalam pengertian tersebut; pertama, menjadikan
Allah sebagai tempat bersandar, kedua, tawakal menyangkut segala macam
persoalan.
Makna tawakal diterangkan lebih lanjut bahwa;
209
Artinya; Dan bertawakallah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati dan
bertasbihlah dengan memujinya. Dan cukuplah Dia maha mengetahui dosa–dosa para hambaNya.
Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
210 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet.
Ke–6, 3876
170
صك ث اعذ أشن ا١ ال رزى ػ . و زوال ف أسن وب ػ اهلل از ال ٠د أثذا
.د ٠د211
Jadilah sebagai orang yang betul-betul dalam bertawakal terhadap semua
persoalan kepada Allah yang tidak akan mati selamanya. Kuatkanlah
bertawakal denganNya dan jangan menggantungkan persoalan kepada sesuatu
(makhluk ) yang akan mati.
Bila diperhatikan penafsiran diatas, memiliki makna tauhid yang tegas yaitu
agar manusia jangan sampai rusak akidah dalam menghadapi urusan dunia sehingga
menodai nilai ketauhidan. Orang yang kuat keyakinan dalam bertawakal dan tawakal
menjadi sifat yang melekat pada dirinya (mutawakkil) sehingga ia merasa dekat
dengan Tuhan. Keadaan orang yang bertawakal kepada Allah digambarkan oleh
Sharqawi seperti anak bayi bersama ibunya. Ia tidak mengenal selain ibunya, ia hanya
berlindung dan menyandarkan kebutuhan sama ibunya.212
Dengan demikian orang
yang bertawakal keterikatannya hanya kepada Allah.
Penjelasan Sa‗id H{awwa diatas mengkritisi prilaku manusia yang salah
dalam bertawakal atau mencampurkan dengan hal lain seperti menggantungkan
harapan, nasib kepada benda-benda atau manusia yang sudah pasti akan mati
(hancur). Prilaku seperti ini akan menjauhkan seseorang dari Tuhan dan membuat
jiwa jauh dari kesucian.
Makna penafsiran Sa‗id H{awwa tersimpul padanya tauhid yang
sesungguhnya, membatalkan kekuatan lain yang dapat merusak akidah dan tauhid
keislaman yang akhirnya membawa pada kemusyrikan,. Tidak layak benda yang
dapat musnah menjadi sandaran dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan.
Dinyatakan dalam tafsir Tustari, bahwa ayat diatas mengandung pengertian
tentang tawakal dan kasab. Tawakal merupakan keadaan (kondisi) Rasul sedangkan
211
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet.
Ke–6, 3876
212 Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-
1,94
171
kasab adalah sunnahnya. 213
Antara tawakal dan kasab dua hal yang tak terpisah, hal
ini diungkapkan oleh Tustari yaitu siapa yang mencela (mengabaikan) kasab berarti
ia mencela sunnah, siapa yang mencela tawakal berarti ia merusak keimanan.214
Penjelasan Tustari tersebut menguatkan akan hubungan tawakal dan kasab ibaratnya
antara kepribadian Muhammad dengan risalahnya menjadi satu padu yang memang
harus diikuti oleh umat muslim.
Konsep tawakal dan kasab yang dijelaskan at-Tustari diatas, sejalan dengan
makna tawakal Sa‗id H{awwa yang disebutnya dengan istilah memahami hukum
sebab akibat ( .( ٠أخز ثبألعجبة215
Pengertian kasab at-Tustari dan memahami sebab
Sa‗id H{awwa ini termasuk bagian dari ‘azam dalam bertawakal.
Sementara itu tawakal pada ayat ini diterangkan Ibnu Arabi bahwa tumbuhnya
tawakal itu tampak pada sifat hayatnya (al-H{aq) menjadi tumpuan hidup segala yang
hidup sebab sesuatu yang mati secara zatnya tidak hidup.216
Secara prinsip dalam hal
ini, penafsiran Ibnu Arabi memiliki makna yang sejalan dengan penafsiran Sa‗id
H{awwa diatas bahwa tempat sandaran bertawakal hanya kepada zat yang hidup dan
yang tak akan mati.217
Disebutkan oleh Ibnu Arabi bahwa dengan sifat hayat pada
Allah maka itu menjadi dasar kuat sebagai pendorong dalam bertawakal kepadaNya.
Adapun maqa>m tawakal yang sesungguhnya adalah dengan taraqqi (naik
mendaki) dari maqa>m fana>’ dalam perbuatan ( فبء األفؼبي ) kepada fana>’ dalam
sifat h}aya>t.218
Dijelaskan oleh Ibnu Arabi dengan mengutip pandangan para ahli
tasawuf bahwa tidak mungkin berada pada setiap maqa>m dapat dikatakan sah
213
Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I, 114 214
Mencela, merusak ( ؼؼ ) itu seumpama benda yang dilubangi, ditusuk – tusuk. Keimanan
yang dirusak demikian mengakibatkan kehancuran padanya. Sahl Tustari, Tafsir, h. 114 215
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke–6,916. 216
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,
Cet. Ke–2, 83 217
Rujuk penjelasan Sa‘id Hawwa terkait ayat ini terdapat pada catatan kaki no 133. Sa‗id
H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet. Ke–6, 3876 218
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,
Cet. Ke–2, 83
172
kecuali mengalami taraqqi (naik) kepada maqa>m yang diatasnya.219
Penafsiran
taraqqi yang abstrak dalam tawakal seperti yang dimaksud Ibnu Arabi tidak
ditemukan dalam penafsiran Tustari dan Sa‗id H{awwa. Penjelasan sufistik tentang
maqa>m tawakal oleh Ibnu Arabi dalam memahami ayat tersebut termasuk kajian
teori tasawuf dan dikemukakan setelah menjelaskan makna zahir. Sementara itu
penafsiran ishari Sa‗id H{awwa dan Tustari lebih dekat dengan pemahaman realistis
karena sangat dekat dengan makna zahir ayat.
Ditambahkan Sa‗id H{awwa bahwa dalam bertawakal tidak menggantungkan
urusan kepada selain Allah, karena dalam tawakal terhimpun padanya zikir (tasbi>h}
dan tahmid). Bertasbi>h} dengan memuji Tuhan dalam ayat itu mengiringi dalam
bertawakal.220
Demikian penjelasannya menyangkut akhir ayat diatas sebagai bukti
kemurnian tauhid.221
3. Ayat 81 surat an–Nisa>’ (4)
Selanjutnya perintah tawakal pada surat an–Nisa>’ (4): 81 menegaskan
supaya berpaling dari orang yang punya tipu daya sebab mereka tidak bisa jadi
teman. Karena itu dalam tawakal kepada Allah berarti sepenuhnya menjadikan Allah
sebagai wakil (pelindung).
219
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,
Cet. Ke–2, 83 220
Tawakal membuka pintu taufik dari Allah yang menandakan hubungan yang dekat dengan
Allah. QS. Hud : 88, ب رف١م ئال ثبهلل ػ١ روذ . Tidak ada taufik bagiku melainkan dengan pertolongan
Allah, hanya kepadaNya aku bertawakal. 221
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet.
Ke–6, 3876 222
Artinya; Dan mereka mengatakan, kewajiban kami hanyalah taat. Tetapi apabila mereka
telah pergi dari sisimu sebagian dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan)
lain dari yang telah diucapkannya. Allah merekam siasat yang mereka atur di malam hari itu, maka
berpalinglah kamu dari mereka dan tawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi wakil
(pelindung). Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-
Munawwarah, 1415 H
173
Sa‗id H{awwa memahami ayat ini dengan tetap mengacu pada struktur ayat
bahwa perintah tawakal diatas sebagai respon terhadap perbuatan orang munafik.
Karena itu dengan tawakal maka cukuplah Allah yang membalas dan menyiksa akan
perbuatan mereka.223
Selanjutnya bagi siapa yang bertawakal kepadaNya maka Allah
menjadi pelindungnya (wakil).224
Makna lain diterangkan Sa‗id H{awwa;
٠ االعجبغ اصذ١خ اؽبػخ , زا ٠ؼ أ ثمذس ب رشث االخ ػ ازذثش ىزبة اهلل
.اجصشح225
Maksud peristiwa diatas adalah dengan selalu mendidik umat dalam
memperhatikan Alquran (tadabbur li kita>billah), akan menumbuhkan
kepatuhan yang sesungguhnya kepada Allah serta ketaatan yang nyata.
Adanya rasa kepatuhan yang nyata menunjukkan bahwa manusia meyakini
akan pengawasan Tuhan yang sangat dekat keberadaannya.226
Memperteguh ketaatan
kepada Allah harus dilakukan dengan pemahaman Alquran. Abdul Qadir al-Jailani
pernah menegaskan agar selalu berpedoman kepada Alquran. Muliakanlah Alquran
dan laksanakanlah pendidikan bersama Alquran, sebab ia akan menghubungkan (
223
:Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo فا اهلل ٠ىف١ه عشر ٠زم ه ٠ز أش
Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet. Ke–6,1132.
224 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke–6,1132. Wakil dalam ayat ini beda dengan naib yang berarti sebagai pengganti. Shighat tawakkala
merupakan derivasi dari kata wakil - wakala; wakkala, و ئ١ األش ( menyerahkan urusan yang
didalamnya ada unsur ketundukkan kepadanya ). Dikutip dari; Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor,
Kamus Kontemporer Arab–Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak,
t.th), Cet. Ke–4, h. 2037.
Dengan demikian kata wakil memberikan makna sebagai pelindung yang diserahi urusan
kepadanya. Orang yang bertawakal berarti menyerahkan urusan kepada Allah dan menjadikan Allah
sebagai pelindung terhadap apa yang menjadi ‘azam ( tekad ) yang ditetapkan. Dalam bertawakal
berarti menunjukkan pada kelemahan manusia dihadapan Tuhan. 225
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke–6, 1132 226
Dijelaskan dalam surat al- Baqarah ayat 186 bahwa Allah memang dekat dengan manusia;
artinya; dan bila hamba–hambaku ...ئرا عأ ه ػجبد ػ فا لش٠ت أج١ت اذػح اذاع ئرا دػب
bertanya kepadamu tentang aku maka jawablah bahwa aku adalah dekat. Sejalan dengan ini pada ayat
16 surat Qaf dinyatakan bahwa Allah sangat dekat; ؼ ب رعط ث فغ ذ ألشة ئ١ دج
artinya; dan kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan kami lebih dekat kepadanya اس٠ذ
dari pada urat lehernya.
174
.antara kamu dan Allah (اصخ227
Alquran tidak sebatas media tapi menjadi
penghubung yang selalu menyertai terhadap orang yang selalu berhubungan dengan
Allah. Karena itu Alquran tidak bisa lepas bagi orang yang selalu berupaya untuk
semakin dekat dengan Allah.
Sebagai indikator kedekatan manusia dengan Tuhan salah satunya diwujudkan
dengan ketundukkan dalam bertawakal. Disamping itu, dalam berprilaku tidak
memperturutkan hawa nafsu yang akan mencemari rohaninya. Sebab ia merasakan
bahwa Allah selalu hadir dalam kondisi apapun. Ini termasuk bagian dari makna
penyerahan secara total dalam tawakal kepada Allah. Penyerahan diri secara total
kepada Allah menunjukkan kuatnya berpegang pada nilai ketauhidan. Karena itu,
kata al-Ghazali bahwa tawakal itu tidak sempurna kecuali dengan hati dan keyakinan
yang kuat kepada Allah sehingga melahirkan ketenangan dan ketentraman hati.228
Sehubungan dengan tawakal yang dikemukakan dalam ayat 81 surat an–
Nisa>’ (4) diatas dijelaskan dalam tafsir at-Tustari bahwa tawakal itu mengandung
makna mengosongkan badan (fisik) dalam penyembahan (beribadah–‘ubu>diyyah),
menggantungkan hati dalam ketaatan (rubu>biyyah) dan berlepas diri dari daya dan
kekuatan.229
Dijelaskan juga mengenai hakikat tawakal menurut Tustari adalah
pengakuan tauhid ( karena itu janganlah berkeluh kesah dalam (اإللشاس ثبزد١ذ
tawakal.230
Dalam hal ini penafsiran at-Tustari sejalan dengan yang dijelaskan Sa‗id
H{awwa pada ayat 58 surat al–Furqa>n (25) tentang kekuatan tauhid yang
. اصخ ث١ى ث١ اهلل ػضج, ادزشا وزبة اهلل ػضج رأدثا ؼ 227 Abdul Qadir al-
Jailani. al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Fayd}u ar-Rah}ma>niy (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah,
1424/2003), Tahqiq: Shaikh Anas Mihrah, Cet.ke-2, 55
228 Al-Ghazali, Ih}ya’ Ulum ad-Din (Mesir: Maktabah Must}afa al-Ba>bi al-H{alabi wa
Aula>dihi, 1939/1358) Jilid 4, 254
Pengertiannya yang ؼشح اجذ ف اؼجد٠خ رؼك امت ثبشثث١خ ازجش اذي امح 229
dikandungnya yaitu penyerahan seluruh jiwa raga secara utuh kepada Allah. Sahl At–Tustari, Tafsi>r
at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 54
230 Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I, 54
175
terkandung dalam tawakal.231
Artinya penafsiran isha>ri at-Tustari masih
berlandaskan pada makna zahir ayat sebagaimana Sa‗id H{awwa.
Penafsiran Tustari tentang karakter dalam tawakal yang meliputi pengosongan
jasmani, ikatan hati kepada Allah sebagai cerminan ketaatan dan menunjukkan
kelemahan dihadapanNya juga dipahami dalam tafsir Sa‗id H{awwa sebagai bentuk
ketaatan dan ketundukkan yang nyata kepada Allah. Dengan demikian terlihat at-
Tustari dan Sa‗id H{awwa sama-sama berpegang pada makna zahir ayat dalam
penafsiran sufistiknya.
Penafsiran makna lain dikemukakan oleh at-Tustari setelah penjelasan diatas
terkait ayat 81 yaitu; sesungguhnya orang yang bertawakal memiliki proses-proses
yang dilalui. Lebih lanjut dijelaskannya, bahwa harus dipahami prosesnya yaitu awal
sesuatu adalah al-ma‘rifah (mengenal) kemudian al-iqra>r (pengakuan), at-
tauh}i>d, al-isla>m, al-ih}sa>n, at–tafwi>d}, at–tawakkul (hal tawakal), kemudian
tenang/tetap kepada al-H{aq dalam semua keadaan232
اغى ئ اذك ج ػضف ج١غ )
(اذبالد
Penafsiran sufistik at-Tustari demikian lebih rinci sebagai tambahan
penjelasan terdahulu. Disini ia menggambarkan bahwa dengan tawakal yang
sesungguhnya akan membawa wusu>l kepada Tuhan. Bila dikaitkan dengan
penafsiran Sa‗id H{awwa tampak bahwa penjelasan seperti ini mendukung yang
dikemukakannya. Ini menunjukkan bahwa makna yang dikandung dalam penafsiran
Sa‗id H{awwa memiliki kesamaan pengertian dengan at-Tustari. Hanya saja at-
Tustari menjelaskan dengan mengemukakan proses yang terdapat dalam jalan
tawakal.
231
Lihat; Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid
7, Cet. Ke–6, 3876 232
Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I, 54. Makna yang tidak berkaitan langsung secara zahir ayat ditemukan juga dalam tafsir at-
Tustari yaitu: أي ضي اش ف ااء, ئ ازو أف ضي Orang yang bertawakal itu memiliki seribu
manzil, adapun manzil pertamanya adalah berjalan di udara. Ini merupakan level tinggi dan harus
menjalani berbagai proses. Karena itu disebutnya, tidak sah tawakal kecuali bagi orang yang bertaqwa.
Dari uraian at-Tustari di atas, dipahami bahwa tawakal dan taqwa sangat berpautan. Bagi orang yang
bertaqwa akan mudah merasakan tawakal kepada Allah.
176
Hal itu memberi pengertian bahwa penafsiran ayat–ayat tasawuf Sa‗id
H{awwa mendukung kecenderungan kepada orientasi sufistik. Makna yang
dikemukakannya terlihat dekat dengan zahir ayat supaya tidak terjadi kontradiksi
dengan ayat tapi sesuai dengan konteks dan makna zahirnya. Dalam bukunya juga
disebutkan bahwa tasawuf harus dibebaskan dari daki–daki yang selama ini
berkembang. Tasawuf harus dijelaskan kepada manusia bagaimana jalan yang benar
menuju Allah berdasarkan Alquran dan Sunnah.233
4. Ayat 3 surat at}–T{alaq (65)
Allah telah menjanjikan dan memberikan ganjaran kepada orang yang
bertawakal yaitu Dia akan mencukupkan nikmat kepadanya. Pengertian ini
dinyatakan dalam surat at}–T{alaq (65): 3.
. ٠زو ػ اهلل ف دغج ئ اهلل ثبغ أش لذ جؼ اهلل ى ش١ئ لذسا234
Dikemukakan oleh Sa‗id H{awwa terkait ayat ini;
235. ٠ى أش ئ اهلل رذث١ش فغ ف وبف١ ف اذاس٠: أ
Artinya; Siapa yang menyerahkan urusannya kepada Allah dan pengaturan
dirinya maka Dialah yang mencukupkan untuknya di dunia dan di akhirat.
Bentuk penyerahan urusan yang dihadapi kepada Allah sebagai wujud
tawakal, dijelaskan oleh Sa‗id H{awwa mencakup padanya keyakinan bahwa dirinya
juga dalam pengaturanNya. Ini bentuk penyerahan diri yang seutuhnya kepada Allah.
Artinya tidak saja mengakui hasil tawakal terkait dengan persoalan yang dihadapi
melainkan segala proses kehidupan dirinya juga diyakini bahwa Allah yang
mengatur. Sesuai dengan yang dijelaskan Sharqawi bahwa dalam bertawakal wajib
233
Sa‗id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>hiyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet.
Ke–9, 11-12 234
Artinya; Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusannya, Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-
Madinah al-Munawwarah, 1415 H
235 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10,
Cet. Ke–6, 5975
177
bagi hamba menyerahkan pengaturan diri kepada Allah sehingga dalam hatinya tidak
ada syak dan kelalaian. Selain itu orang bertawakal percaya kuat kepada Allah
sebagai wakilnya.236
Pandangan Sharqawi ini memperkuat kecenderungan sufistik
dalam penafsiran Sa‗id H{awwa tentang tawakal diatas.
Selanjutnya tergantung dengan kemampuan manusia dalam memahami dan
meyakini proses yang telah ditetapkan supaya dapat menjalani proses tersebut dengan
benar dengan tidak memperturutkan nafsu belaka. Untuk itu, dengan keyakinan
seperti demikian maka manusia dalam mengikuti proses yang telah ditetapkan tidak
merasakan kekecewaan dengan keadaan dan hasil yang diterima.237
Dengan
melakukan tawakal secara benarlah maka kepuasan dapat dirasakan. Kepuasan ini
mencakup di dunia dan di akhirat. Penjelasan ini sesuai dengan ayat 59 surat at-
Taubah tentang kerid}aan.238
Disinilah manusia mengharapkan taufi>k dari Allah sehingga apa yang
menjadi harapan manusia dapat sejalan dengan kehendak Allah supaya dibimbing
menentukan proses yang benar. Tidak terwujud segala sesuatu kecuali dengan
mengikuti takdir dan taufi>kNya.239
Karena itu tawakal dan at–tafwi>d} menjadi hal
236
Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-
1,94. Pandangan ini termasuk dalam kajian ilmu tasawuf yang merupakan bagian dari ruang lingkup
batasan tasawuf seperti dikemukakanAhmad al-Hasani yaitu; اعزشعبي ازفظ غ اهلل ػ ب ٠ش٠ذ penyerahan
diri bersama Allah terhadap apa saja yang dikehendaki. Lihat; Ahmad bin Muhammad al-Hasani,
I<qa>z} al-Himam fi Sharh} al-H{ikam li Ibni ‘At}a’ as-Sakandari (Tt: Darul Kutub al-
Islamiyah,t.th),Jilid 1, 4
237 Tawakal bukan tanpa berbuat tapi hasil perbuatan tersebut dipahami sebagai keseimbangan
dalam mensikapi peristiwa. QS. al-Hadi>d (57): 22-3. Tiada satupun dari keadaan yang menimpa
(terjadi) di bumi dan pada diri sendiri melainkan telah ditetapkan dalam kitab (lauh mahfuz) sebelum
kami melaksanakannya. Supaya kamu jangan berduka terhadap yang luput darimu dan tidak terlalu
gembira apa yang diperoleh. Allah tidak suka pada orang yang sombong dan membanggakan diri.
238 Lihat uraian Sa‗id H{awwa tentang keterpaduan rida dan tawakal. Sa‗id H{awwa, al–
Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 4, Cet. Ke–6,2305.
239 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10,
Cet. Ke–6,5975. Dalam menjalani kehidupan barangkali ada orang merasa bahwa suatu peristiwa yang
dianggap kebetulan namun dalam kacamata agama hal itu bukan kebetulan tapi implikasi kedekatan
hamba dengan Tuhan. Bukankah kita selalu memanjatkan doa, baik dalam s}alat atau dalam saat
tertentu. Segala sesuatu, baik itu rezki atau hal lain didunia sudah ada ukuran dan ketentuannya lalu
tugas manusialah berusaha memahami ukuran tersebut melalui sunnatullah.
178
yang wajib dilakukan agar manusia puas dengan segala sesuatu yang diciptakan
Tuhan menurut takdirnya, supaya tidak muncul penyesalan apalagi mencela Tuhan.240
Makna tawakal yang dikemukakan Sa‗id Hawwa diatas menyangkut
penyerahan diri yang sesungguhnya kemudian menghubungkan terjadinya segala
sesuatu dengan taufikNya, ini menunjukkan hubungan yang sangat dekat antara
hamba dengan Tuhan. Suatu kejadian yang dirasakan seseorang berdasarkan
taufikNya,241
adalah termasuk anugerah padanya berkat latihan ibadah dan senantiasa
berusaha dalam penyucian jiwa.
Makna yang sama dikemukakan Tustari dalam tafsirnya yakni siapa yang
menyerahkan segala urusannya kepada Tuhannya maka sesungguhnya Dia cukupkan
baginya keperluan, harapan di dunia dan akhirat. Ini sejalan dengan makna taufi>k
bahwa harapan hamba yang terpenuhi sejalan dengan kerid}aan Tuhan.242
Keinginan
yang dicitakan hamba diberikan Allah di dunia dan di akhirat bagi orang yang
bertawakal. Demikian menurut penafsiran sufistik Sa‗id H{awwa dan Tustari
sebagaimana dikemukakan dalam tafsirnya yang dinyatakan berdasarkan makna zahir
ayat. Penafsiran sufistik Sa‗id Hawwa diatas yang memaknai tawakal dengan
munculnya taufik dari Allah, didukung oleh tafsir at-Tustari yang juga mempunyai
semangat yangsama. Selain itu makna taufik yang dikemukakan Sa‗id Hawwa
didukung pula oleh ayat lain. Ini termasuk salah satu syarat tafsir sufi ishari yaitu ada
dalil shara‘ yang menguatkannya.243
E. Tafsir tentang Ayat-Ayat Rid}a
240
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10,
Cet. Ke–6,5975. Seperti yang dijelaskan Tustari ketika menafsirkan ayat 159 Ali Imran. Penafsiran
demikian juga terdapat dalam al-Alusi. Al–Alu>si, Ru>h} al-Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al–Quran al-
‘Az}i>m wa as-Sab’i al-Matha>ni (Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 1422/2001),Jilid 14, 442.
241 QS. Hud : 88, ب رف١م ئال ثبهلل ػ١ روذ
242 Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I,170 243
Abdul Warith M.Ali, Pengantar Tafsir Ibnu Arabi (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah,
1427/2006), Cet.ke-2,19. Lihat juga; Muhammad Hamdi Zaglul, at–Tafsi>r bi ar–Ra’ yi
(Dimaskus:Maktabah al–Farabi, 1420/1999), Cet. Ke–1,442-3
179
Menurut Jarjani rid}a ialah hati bahagia menghadapi segala ketentuan (qadha)
dari Allah.244
Senada dengan itu dikemukakan oleh H{arith Muh}asibi, rid}a adalah
hati damai menerima menghadapi berjalannya hukum ketetapan Allah عى امت رذذ
. جش٠ب اذى245
Ridha berarti apa saja ketentuan Allah yang diberlakukan kepada
hamba, dihadapi dengan hati gembira. Kesenangan hatinya karena ada objek yang
muncul bisa baik dan buruk tapi diterima dengan bahagia. Posisi rid}a masih
membedakan ketetapan baik atau buruk.
Petunjuk Alquran terkait dengan ridha sering dinyatakan dalam ayat mengenai
keadaan hamba yang dirid}ai dan sikap hamba yang juga rid}a dengan ketentuan
Allah, ini menunjukkan kepuasan hamba.
1. Ayat 22 surat al–Muja>dalah (58)
Keberadaan orang beriman di surga seperti digambarkan ayat ini terkait
dengan sikap rid}a mereka terhadap ketentuan Allah. Mereka puas dengan balasan
amalnya, sedangkan nikmat yang dirasakannya sebagai cerminan bahwa Allah ridha
kepada mereka. Makna ini terkandung dalam ayat 22 surat al–Muja>dalah (58).
244
Syarif Ali bin Muhammad al–Jarjani, Kitab Ta’rifa>t (Beirut: Darul Kutub Ilmiah,
1988/1408 H), Cet. Ke–3,111, ini pendapat Dhunnun al–Mis}ri yang dikutip oleh Jarjani, عشسامت
:Lihat juga Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut .ثش امعبء
Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 90
245 Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 90
246 Artinya; Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat, mereka saling berkasih sayang dengan orang – orang yang menentang Allah dan rasulNya
sekalipun orang–orang itu bapak–bapak, anak-anak, saudara–saudara atau ataupun keluarga mereka.
Mereka itulah orang–orang yang telah ditanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan
mereka dengan pertolongan yang datang dari padaNya. Dan dimasukkanNya mereka ke dalam surga
yang mengalir dibawahnya sungai–sungai, mereka kekal didalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan
180
Ayat ini menerangkan kondisi penghuni surga yang sangat damai dan
disebutkan keadaan mereka kekal didalamnya, Allah rid}a kepada mereka dan
mereka ridha padaNya. Kerid}aan Allah pada mereka dijelaskan Sa‗id H{awwa yaitu
disebabkan tauhid mereka yang murni dan ketaatan mereka kepada Allah. Kerid}aan
manusia terhadap Allah dijelaskan Sa‗id Hawwa;
.ثضاث اجغ١ ف االخشح أ ثب لع ػ١ ف اذ١ب247
Dengan pahala yang besar di akhirat atau dengan apa yang telah ditentukan
Allah kepada mereka di dunia.
Ada dua hal sebagai wujud dari keridaan manusia kepada Allah, pertama
karena menerima ganjaran pahala yang besar di akhirat( جغ١ ثضاثب) yaitu berada di
surga, kedua; mereka rid}a terhadap apa yang telah ditentukan (qad}a>’) Allah
kepada mereka di dunia. Penafsiran yang sama dikemukakan Tustari bahwa mengenai
kerid}aan Allah adalah disebabkan keikhlasan manusia dalam beramal. Adapun
mengenai manusia ridha kepada Allah yaitu terkait dengan luasnya pahala ( ثجض٠ صاث
) yang dianugerahkan Allah sebagai ganjaran amal mereka.248
Pada dasarnya
penafsiran Sa‗id H{awwa dan Tustari mengandung pengertian yang sama seperti
terlihat ketika menjelaskan makna kerid}aan Allah dan kerid}aan manusia. Namun
mengenai kerid}aan manusia terhadap Allah, Tustari dalam tafsirnya tidak
menjelaskan tentang kerid}aan manusia terkait qad}a>’ Allah di dunia. Ia hanya
menyatakan sikap rid}a manusia terkait dengan balasan amal yaitu surga di akhirat.
Penafsiran Sa‗id H{awwa terkait rid}a juga sejalan dengan pengertian yang
dikemukakan dalam istilah sufi yang lain, seperti Harith Muhasibi diatas bahwa rid}a
mereka ridha terhadapNya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan
Allah itulah orang yang beruntung. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-
Madinah al-Munawwarah, 1415 H
247 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10,
Cet. Ke–6, 5796
248 Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I,164
181
adalah hati damai menerima menghadapi berjalannya hukum ketetapan Allah.249
Menurut pendapat Muh}asibi ini, hukum Allah termasuk kehidupan di dunia.
Disebutkan oleh Sa‗id Hawwa dengan mengutip Ibnu Kathir bahwa sifat
keridaan merupakan cerminan keimanan yang kuat tertanam dalam hati orang yang
mulia. Kemuliaannya seperti dijelaskan berikut;
اخف١خ شخص , اػ أ اجب ٠جش٠ اهلل رؼب ػ أ٠ذ أ١بئ أل١بئ أ اخب روش
. مذ جبءد صفز ػ غب سعي اهلل250
Ketahuilah bahwa kemegahan itu diturunkan Allah kepada tangan para
waliNya untuk wali-waliNya. Mereka tidak terkenal, kepribadian mereka
tertutup, dan sesungguhnya sifat mereka tersebut dalam hadis Rasulullah.
Kemegahan yang disebut Sa‗id H{awwa merupakan keistimewaan yang
terdapat pada diri para wali Allah. Mereka inilah orang yang dirid}ai sebagaimana
dinyatakan dalam ayat, bahwa mereka sangat kuat memegang nilai tauhid dan taat
dalam menjalankan ajaran agama. Seperti dijelaskan Sa‗id H{awwa bahwa ketaatan
dalam menjalankan ajaran agama tidak terbatas pada ketentuan fiqh dan ibadah
fard}u tapi memperbanyak yang sunat juga dan mengikuti jalan tasawuf.251
Keterpaduan dalam menjalankan ajaran agama yaitu selaras antara shariah dan
tasawuf merupakan dasar untuk mendapatkan anugerah kemegahan yang dijelaskan
diatas. Sebagai disebut Sa‗id Hawwa, wali Allah yang mendapat kemegahan tersebut
memiliki kepribadian yang luhur, rendah hati dan bahkan tidak dikenal masyarakat
luas. Keridaan Allah pada mereka ditunjukkan dengan keistimewaan yang terdapat
pada mereka. Keridaan mereka ditunjukkan dengan keteguhan menjalankan ajaran
agama.
249
Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 90 250
Riwayat ini berasal dari Ibnu Abi Hatim. Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo:
Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10, Cet. Ke–6, 5805 251
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6, 353
182
Penafsiran Sa ‗id Hawwa mengenai kerid}aan pada wali Allah sejalan dengan
kandungan ayat terkait dengan pertolongan batin252
( (yang diberikan
Allah. Secara metodologis, penafsiran sufistik Sa‗id Hawwa tetap mengacu pada
zahir ayat sehingga makna isha>ri yang dikemukakan tidak keluar dari makna
zahirnya. Dalam penafsiran ayat 22 diatas, Sa‗id Hawwa mengemukakan pandangan
Ibnu Kathir untuk dasar penafsirannya. Ini merupakan metodologi Sa‗id Hawwa
dalam tafsir sufistiknya bahwa sering mengutip pendapat para mufasir dan
mencantumkan riwayat-riwayat untuk memelihara syarat tafsir sufi isha>ri supaya
terlihat makna yang dikemukakan didukung dalil shar‘i.253
Sementara itu Ibnu Arabi dalam tafsirnya menyatakan bahwa kerid}aan Allah
adalah terhapusnya sifat manusia dengan sifat Tuhan yaitu dengan tajalli. Sedangkan
kerid}aan manusia tercermin dengan bertemu dan terhubung antara manusia dengan
sifat–sifat Tuhan.254
Rid}a dalam pengertian Ibnu Arabi adalah terjadinya peleburan
antara sifat yang ada pada manusia dengan sifat Tuhan sehingga yang muncul hanya
sifat Tuhan karena sifat manusia sudah diliputkanNya. Dapat diistilahkan dengan
manusia bertajalli pada sifat-sifat Tuhan.
Penafsiran Ibnu Arabi diatas terlihat tidak mendekati paada makna zahir
seperti yang ditemukan pada penafsiran Sa‗id H{awwa dan Tustari. Penafsiran Ibnu
Arabi diatas lebih mencerminkan paham filsafatnya yaitu wahdatul wujud dimana
keridhaan manusia dalam ayat tersebut menurutnya bersatunya sifat manusia dengan
sifat Tuhan sehingga yang tinggal hanya sifat Tuhan. Adapun penafsiran Sa‗id
H{awwa dan Tustari pada intinya menyatakan bahwa kerid}aan manusia adalah
kepuasan dalam menerima balasan amal yaitu pahala yang besar dan hatinya senang
menerima apa yang telah menjadi ketentuan Allah sesuai dengan yang didefiniskan
252
Lihat; komentar terjemahan dalam; Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik
al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H , 912 253
Abdul Warith M.Ali, Pengantar dalam tafsir Ibnu Arabi. Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi
(Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1, Cet. Ke–2, 19 Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 اال رصبي ثصفبد اهلل 254
H/2006 M), Jilid 2, Cet. Ke–2, 308
183
para ahli tasawuf. Penafsiran sufistik Sa‗id H{awwa masih mengacu pada makna
zahir ayat sebagaimana dikemukakan juga oleh Tustari dalam tafsirnya.
2. Ayat 100 surat at–Taubah (9)
Bersamaan dengan penjelasan ini, dalam surat at–Taubah ayat 100
diterangkan tentang ganjaran dari sikap rid}a mereka yaitu dibalasi Allah dengan
surga yang kekal mereka didalamnya.
Penafsiran Sa‗id H{awwa terkait dengan kerid}aan Allah dan manusia rid}a
kepada Allah dalam ayat ini menambah uraian sebelumnya ketika menafsirkan ayat
22 surat al–Muja>dalah, bahwa Allah merid}ai mereka dikarenakan amal–amal baik
daripadanya.
Selanjutnya kerid}aan manusia kepada Allah ditafsirkan oleh Sa‗id Hawwa;
. ثب أفبض ػ١ ؼز اذ١٠خ اذ٠١خ256
Manusia rid}a kepada Allah dengan merasakan nikmat melaksanakan ajaran
agama dan menjalani segala hal kehidupan dunia yang didatangkan Allah.
Ini merupakan pengakuan yang tulus disampaikan oleh orang yang senang
menerima segala ketentuan Allah. Hatinya bahagia menerima beban agama sebagai
ketetapan dari Allah. Terkait dengan kehidupan dunia, manusia rid}a menerima
segala yang dihadapi dan dipandangnya sebagai bentuk nikmat dari Allah.257
Penjelasan ini mendukung kerid}aan manusia yang dikemukakan Sa‗id H{awwa
255
Artinya; Orang–orang yang terdahulu lagi yang pertama (masuk Islam) diantara orang
Muhajirin dan Ansar dan orang–orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rid}a kepada
mereka dan merekapun rid}a kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga yang mengalir
sungai – sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalam selamanya, itulah kemenangan yang besar.
Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
256 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 4, Cet.
Ke–6, 2343
257 Sebagaimana zunnun al-Misri menyebutkan demikian. Lihat; Anwar Fuad Abi Khaza>m,
Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 90
184
dalam hal menerima segala ketentuan Allah dengan bahagia.258
Pandangan Sa‗id
H{awwa tentang rid}a sejalan dengan makna rid}a dikalangan sufi. Keridaan yang
paling tinggi dirasakan manusia bila menghadapi segala ketentuan Allah dipandang
sebagai nikmat. Hal ini meliputi seperti ditegaskan Sharqawi yaitu semua yang
datang baik cobaan atau rezki, tetap senang dan cinta terhadap Allah.259
Dengan
demikian pandangan Sharqawi ini mendukung penafsiran rid}a yang dikemukakan
Sa‗id Hawwa.
Sementara itu Ibnu Arabi dalam menafsirkan ayat 100 ini menjelaskan bahwa
kerid}aan Allah pada mereka (orang beriman) karena keterpaduan mereka terhadap
tersingkap sifat–sifat dan sampai kepada maqa>m rid}a yaitu pintu Allah yang
sangat agung ( ثبة اهلل األػظ (.260
Maqa>m rid}a bagi orang beriman sebagaimana
dimaksud merupakan jalan tersingkapnya akan sifat–sifat al-H{aq. Keberadaan pada
tingkat ridha dengan munculnya kashaf adalah dua hal yang bersamaan. Allah
merid}ai mereka karena mereka sudah mencapai maqa>m rid}a dan juga mereka
mengalami kashaf. Penafsiran Ibnu Arabi diatas memberi pengertian bahwa
kedekatan yang dirasakan hamba dalam maqa>m rid}a menandakan tidak ada lagi
batas antara hamba dengan Allah.
Penafsiran Ibnu Arabi tentang rid}a dimaksudkan sebagai kashaf sejalan
dengan penafsirannya terdahulu bahwa rid}a menunjukkan larutnya sifat manusia
dalam sifat Tuhan sehingga maqa>m rid}a baginya membentuk hubungan padu
antara hamba dengan Tuhan. Penafsiran seperti demikian tidak sejalan denmgan
penafsiran Sa‗id H{awwa yang memahami kerid}aan manusia dengan menerima
segala yang ditetapkan Tuhan baik ganjaran akhirat ataupun keadaan di dunia. Bila
258
Uraian ini memperkuat bentuk keridhaan manusia kepada Allah, lihat; Sa‗id H{awwa, al–
Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10, Cet. Ke–6, 5796
259 Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-
1,153
260 Maqa>m rid}a yang disebutnya sebagai pintu Allah yang agung ثبة اهلل األػظ) ). Selain
itu, Ibnu Arabi menafsirkan kaum Muhajirin dengan orang yang hijrah dari tempat tinggal nafsu,
sedangkan kaum Ansar ditafsirkan sebagai orang–orang yang menolong hati dengan ilmu-ilmu hakikat
terhadap nafsu. Lihat, Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006
M), Jilid 1, Cet. Ke–2, 293
185
diperhatikan dalam rumusan–rumusan tasawuf, rid}a dalam pengertian Sa‗id
H{awwa yang mendekati pemahaman dan mudah diterapkan dan dirasakan.261
Sehubungan dengan kashaf, Sa‗id Hawwa tidak melihat adanya pemahaman yang
mengandung demikian. Sedangkan Tafsir Ibnu Arabi karena berangkat dari ajaran
filsafat sehingga mengarahkan pemahaman pada paham wah}datul wuju>dnya.
Penafsiran seperti inilah yang tergolong kepada tafsir sufi naz}ari dengan
berlandaskan pada teori filsafatnya.
3. Ayat 59 at-Taubah (9)
Mengenai kerid}aan manusia dalam menerima sesuatu dijelaskan juga dalam
ayat 59 at-Taubah bahwa manusia menerima apa yang telah ditentukan Allah kepada
mereka.
Sa‗id Hawwa menyebutkan dalam tafsirnya terkait kerid}aan manusia;
.أ سظا ب أصبث ث اشعي ؼبثذ ث فع ئ ل ص١ج ىب خ١شا 263
Mereka rid}a terhadap apa yang didatangkan RasulNya, jiwa mereka baik
menerimanya. Sekalipun secara lahirnya sangat sedikit sesungguhnya yang
demikian itulah yang lebih baik bagi mereka.
Kerid}aan yang ditunjukkan dalam penafsiran Sa‗id Hawwa terkait ayat diatas
adalah kerid}aan itu tidak memandang jumlah tapi menerimanya sebagai kebaikan
dan dengan hati senang.
Selanjutnya ditafsirkan lebih dalam;
261
Lihat definisi yang dikemukakan tentang pengertian rid}a, Anwar Fuad Abi Khaza>m,
Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 90
262 Artinya; Jikalau mereka sungguh–sungguh rid}a dengan apa yang diberikan Allah dan
RasulNya, mereka berkata, ― Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami
sebagian dari karuniaNya dan demikian pula RasulNya‖. Sesungguhnya kami adalah orang – orang
yang berharap kepada Allah ( tentu itu lebih baik bagi mereka ). Alquran dan Terjemahnya, Depag-
Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
263 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 4, Cet.
Ke–6,2304.
186
.اشظب ثؼؽبء اهلل ازو ػ اهلل دذ اشغت ئ اهلل دذ ف ازف١ك264
Rid}a dengan apa yang didatangkan Allah, bertawakal hanya kepada Allah
dan berharap taufik hanya kepada Allah.
Keridaan tercermin dengan sikap bertawakal dan selalu mengharapkan taufik
dari Allah. Tawakal dan rid}a bila sudah tetap pada seseorang maka hubungan yang
dekat dengan Tuhan akan dirasakan. Sebagai tanda dekatnya dengan Tuhan adalah
mendapat anugerah taufik dari Tuhan. Pandangan Sa‗id H{awwa tentang rid}a
berdasarkan penafsirannya adalah menerima dengan senang hati semua yang
dijadikan Allah untuknya. Makna rida ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh
zunnun al-Misri.265
Sa‗id H{awwa memahami antara rid}a dengan tawakal
merupakan dua hal yang saling terkait, dimana dalam rid}a terkandung padanya
tawakal. Ibarat sisi mata uang, dibalik rid}a tersimpan tawakal dan sebaliknya.
Terkait dengan rida dan tawakal ini al-Jailani pernah menyebutkan bahwa
siapa yang merasakan enak (talazzuz) dengan keridaan dalam menerima bencana
maka ia akan mendapat nikmat dari segala penjuru. Kelezatan rida akan muncul bila
selalu mengingat mati.266
Ini merupakan sikap yang dimiliki seseorang yang tidak
terpikat dengan kelezatan dunia. Prilakunya dibuktikan dengan sikap rid}a atas segala
ketentuan Allah sehingga bencana yang datang dihadapi dengan rid}a. Ia tidak
merasa terikat dengan kesenangan dunia. Penjelasan ini sangat berkaitan dengan rid}a
yang dinyatakan Sa‗id Hawwa diatas yaitu merasa senang apa saja yang menimpa
diri.
Berdasarkan penafsiran Sa‗id H{awwa tentang maqa>m-maqa>m pada uraian
yang lalu dipahami bahwa antara maqa>m-maqa>m tersebut bagaikan tali-tali
pengikat yang tidak terpisahkan. Dalam sifat sabar mengandung rid}a, dalam
264
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 4, Cet.
Ke–6,2305. 265
Lihat juga Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t .عشسامت ثش امعبء
as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 90
266 رزرد ثبشظبء ف دب ي , اشظبء ثمعبء اهلل ػض ج ف١ذ روش اد فارا دذ ػ ره جبءره زح اشظبء
-Abdul Qadir Al-Jailani,. al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Faydu ar اجالء جبءره اؼ و جبت ىب
Rahmaniy. Tahqi>q: Shaikh Anas Mihrah (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1424/2003), Cet.ke-2,211
187
kerid}aan terdapat didalamnya sikap tawakal. Semua maqa>m mencerminkan akan
hubungan yang dekat dengan Tuhan. Kedekatan orang bertawakal ditandai dengan
menerima taufik dari Allah. Begitu juga orang yang zuhud dan melakukan tobat yang
sesungguhnya mendapatkan taufik dari Allah sebagai wujud kedekatannya.
Bila diperhatikan penafsiran sufistik Sa‗id Hawwa tentang rid}a diatas secara
metodologis sejalan dengan pengertian para ahli sufi. Selain itu makna yang
dijelaskannya didukung oleh pengertian shara‘ seperti ditegaskannya bahwa
menjalankan ketentuan fiqh harus disejajarkan dengan tasawuf. Metode seperti ini
digunakan dalam mengemukakan makna sufistik sehingga tidak keluar dari makna
zahir ayat.
4. Ayat 28 surat al–Fajri (89)
Melalui surat al–Fajri (89) ayat 28 diterangkan tentang keadaan jiwa orang
mukmin yang rid}a (rad}iyatan mard}iyyah) dengan apa yang dialaminya,
digambarkan oleh Alquran sebagai jiwa yang damai, tenang.
.اسجؼ ئ سثه ساظ١خ شظ١خ267
Sa‗id H{awwa menjelaskan mengenai rid}a hamba dalam ayat diatas bahwa;
.ساظ١خ ف فغب أ ساظ١خ اهلل ثب أر١ذ: أ268
Artinya ia rid}a melihat keadaan dirinya atau dipahami juga ia rid}a terhadap
apa yang didatangkan Allah kepadanya.
Kerid}aan manusia ditunjukkan dengan bahagia menerima apa saja yang
didatangkan Allah kepadaNya. Inilah jiwa yang bersih, bila jiwa tidak bersih maka
tidak akan sampai pada jiwa yang tenang (mut}mainnah). Kerid}aan yang
ditampakkan merupakan saat akan menuju kehadirat Allah. Allah menggambarkan
267
Artinya; Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya. Alquran
dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
268 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11,
Cet. Ke–6,6519
188
jiwa hamba tersebut sebagai jiwa tenang (nafsu mut}mainnah).269
Disebutkan juga
oleh Sa‗id H{awwa sebagaimana dikutip dari tafsir al-Alusi bahwa jiwa yang
mut}mainnah itu adalah jiwa mu’minah, jiwa tersebut tenang sampai menuju al-H{aq
yaitu jiwa yang aman yaitu terhindar اآلخ - Artinya al–a>minah .(.ئ اذك ااصخ )
dari rasa takut, sedih dan tidak ada kebimbangan.270
Kondisi tersebut bisa terjadi saat
kematian, hari berbangkit atau saat masuk surga.271
Kerid}aan hamba tersebut
terkandung dalam jiwa mut}mainnah yang senang berjumpa dengan Allah. Disini
Sa‗id Hawwa tidak menjelaskan sampai menuju Allah itu mengambil posisi seperti
apa. Misalnya penyatuan zat atau sifat atau berbentuk rohani. Ini salah satu bukti
bahwa penafsiran sufistik Sa‗id Hawwa tidak mengarah kepada adanya paham
penyatuan antara hamba dan Tuhan. Selain itu Sa‗id Hawwa secara metodologis
menghindari penafsiran-penafsiran sufistik yang tidak didukung oleh dalil nas} atau
dipandang bertentangan dengan shara‘.272
Ayat ini menggambarkan bahwa kerid}aan seperti ini adalah yang paling
tinggi. Untuk menuju jiwa mut}mainnah yang rid}a menghadap Allah adalah dengan
menjaga kesucian rohani dan selalu merasakan dekat dengan Allah. Demikian
penafsiran Sa‗id H{awwa.
269
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11,
Cet. Ke–6,6519 270
Penafsiran yang sama disampaikan juga oleh al-Alusi yang dikutip oleh Sa‗id Hawwa.
Lihat juga; Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n,
Tah}qi>q: Sayyid ‗Imran (Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid 15, 438. Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi
at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11, Cet. Ke–6,6519
271 Dalam menafsirkan ayat diatas, Sa‘id Hawwa mengutip juga hadis Nabi Saw yang
mengajarkan berdoa agar mendapatkan jiwa muthmainnah. Diriwayatkan oleh Hafiz Ibnu ‗Asakir
dalam tarjamah Rawahah binti Abi Umar al–Auza‘i dari Abi Umamah bahwa Nabi Saw pernah
mengajarkan doa pada seseorang,‖ ل ا ئ أعأ ه فغب ثه ؽئخ رإ ثمب ئه رشظ ثمعب ئه
,Artinya; Ya Allah, aku bermohon jiwa yang tenang yang yakin berjumpa denganMu ― ". رمغ ثؼؽب ئه
ridha dengan ketentuanMu dan puas dengan pemberianMu. Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r
(Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11, Cet. Ke–6,6524.
272 Syarat tafsir sufi isha>ri diantaranya tidak bertentangan dengan shara‘. Lihat; Muhammad
Hamdi Zaglul, at–Tafsi>r bi ar–Ra’ yi (Dimaskus:Maktabah al–Farabi, 1420/1999), Cet. Ke–1,442-3
189
Tanda senang berjumpa dengan Allah tampak dari mukanya yang berseri–seri
merasa bahagia (rid}a) karena usahanya273
mencakup amal kebaikan dan ketaatannya
dirid}ai oleh Allah ( غؼ١ب ساظ١خ ). Jiwa tersebut bahagia merasakan kemuliaan dan
pahala yang membawanya menuju Allah.274
Keadaan ini cerminan calon penghuni
surga di akhirat sebagai balasan amal di dunia.
Sementara itu Tustari menjelaskan bahwa yang diseru adalah jiwa yang
tenang merupakan roh menempati nafsu dan yang mut}mainnah mus}addiqah (tenang
lagi yakin) akan pahala dan siksa. Jiwa yang rid}a adalah yang rid}a terhadap Allah
dan dirid}ai karena jiwa tersebut tenang menuju Ilahi ( غىب ئ اهلل ػضج ).275
Jiwa yang tenang sebagaimana disebut Sa‗id H{awwa adalah tidak ada keraguan
ataupun takut menghadapi perjumpaan dengan Allah, disebut juga dengan jiwa yang
yakin akan pahala dan siksa. Jiwa mut}mainnah merasakan rid}a dengan segala yang
didatangkan Allah kepadanya. Penafsiran Tustari dengan Sa‗id H{awwa sangat
berkaitan dan pada prinsipnya sama memahami dengan berpegang pada makna zahir
ayat.
Adapun Ibnu Arabi menafsirkan rid}a pada ayat diatas tertuju kepada
kesempurnaan sifat-sifat pada jiwa mut}mainnah. Dikatakannya, kembalilah kepada
Zat dalam keadaan rid}a yang sempurna keberadaan sifat–sifat. Rid}a terhadap Allah
tidak mungkin sebelum rid}a Allah kepadanya.276
Kerid}aan hamba akan muncul bila
273
Bentuk usahanya disebutkan oleh Ibnu Arabi yaitu senantiasa dalam jalan kebaikan dan
mendapatkan karunia dan menempuh jalan menuju Allah ( اغ١ش ف اهلل ( dalam keridaan yaitu selalu
bersyukurdan tiada menyesal atau mengeluh. Lihat; Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:
Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2, Cet. Ke–2, 400. Dalam hal ini penafsiran surat al–
Gha>shiyyah ini oleh Ibnu Arabi memiliki satu pandangan dengan yang dikemukakan Sa‘id H{awwa
dan Tustari.
274 Demikian Sa‘id H{awwa menafsirkan ayat 9 surat al – Ghasyiyah. Lihat; Sa‗id H{awwa,
al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 11, Cet. Ke–6,6495. Lihat juga
Tustari, bahwa keadaan ini sebagai gambaran di akhirat karena menerima balasan nikmat dan
kemuliaan. Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I,192 275
Jiwa yang tenang kembali kepada Tuhan dengan jalan akhirat ( ثؽش٠ك اآلخشح ). Sahl
Tustari, Tafsir, h. 194 276
Diperkuat dengan mengemukakan ayat 119 surat al–Ma>idah, سظ اهلل ػ سظا ػ ;
artinya Allah rid}a kepada mereka dan mereka rid}a kepadaNya. Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi
(Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2, Cet. Ke–2, 404
190
hamba tersebut telah menampung sifat–sifat Tuhan secara sempurna, pada kondisi
demikianlah ia disebut dengan jiwa mut}mainnah. Jiwa demikian yang disebut jiwa
yang kembali kepada Tuhan secara dhati sebab sifat–sifat Tuhan tercermin padanya.
Penafsiran Ibnu Arabi ini menguatkan akan paham wah}datul wuju>d yang
dianutnya. Jiwa mut}mainnah itulah yang dikatakan jiwa yang telah dirid}ai oleh
Allah maka ia rid}a kepada Allah yang diwujudkan dengan kembali ke asalnya.
Menurut Ibnu Arabi jiwa mut}mainnah adalah yang menyerap sifat–sifat
Tuhan secara sempurna sedangkan Sa‗id H{awwa dan Tustari menjelaskan jiwa
mut}mainnah277
adalah jiwa yang rid}a terhadap ketentuan Allah dan dirid}ai menuju
perjumpaan denganNya. Artinya jiwa mut}mainnah dapat dimiliki oleh semua
mukmin yang taat dan kembali menuju Tuhan tidak secara dhati seperti yang
diterangkan Ibnu Arabi.
Makna kembali kepada Tuhan ditafsirkan Ibnu Arabi dengan terjadinya
kesatuan antara jiwa mut}mainnah dengan zat Tuhan. Penafsiran demikian termasuk
menggunakan pendekatan makna isha>ri yang tidak mendekati makna zahir.
Sementara Sa‗id H{awwa masih berlandaskan pada makna zahir dalam tafsir
sufistiknya.
F. Tafsir tentang Ayat-Ayat Mah}abbah
Pengertian mah}abbah dijelaskan oleh al–Junaid yaitu kecenderungan hati,
maksudnya hati cenderung pada Allah dan kepada sesuatu karenaNya tanpa beban,
tanpa berat hati. Sahl mengatakan bahwa mah}abbah adalah siapa yang menjadikan
cinta kepada Allah maka ia hidup, maksudnya hidupnya menjadi baik karena al–
muh}ib (hamba) merasa enak dengan segala yang terjadi (datang) padanya berasal
dari al–Mah}bu>b (Allah) baik berupa kesenangan atau keburukan (menurut
277
Jiwa manusia sebagaimana dinyatakan oleh para sufi ketika menjalani maqa>m seperti
tobat, ikhlas dan seterusnya membawa perubahan pada keberadaan jiwa. Dari keadaan jiwa/nafs
bernoda ( افظ األبسح ) ke maqa>m al-lawwa>mah ( افظ ااخ ) kemudian jiwa mulhimah (افظ اخ
) menuju jiwa mut}mainnah ( .kemudian menjadi ra>d}iyah-mard}iyyah- ka>milah ,(افظ اؽئخ
Inilah maqa>m terakhir dan berakhirlah tujuan para sa>likin. Lihat uraian dalam; Hasan Sharqawi,
Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-1, 153
191
logika).278
Sementara itu menurut Ibnu Abdus} S{amad, mah}abbah itu dapat
membutakan dan menulikan, maksudnya membutakan terhadap sesuatu selain al–
Mah}bu>b (Allah), ia tidak berharap untuk melihat, menyaksikan selainNya.
Sebagaimana Rasul bersabda,‖ Kecintaanmu terhadap sesuatu dapat membutakan dan
menulikan.279
Berdasarkan pengertian diatas, mah}abbah berarti cinta hamba terhadap Allah
menutup hati untuk mencinta yang lain. Atas dasar cinta demikian, apa yang datang
dari Allah adalah baik seluruhnya. Kesenangan hati timbul (menuju) kepada objek
(Allah), tidak ada ruang pada hatinya untuk membenci sesuatu karena hati sudah
diliputi cinta kepada Allah. Dari itu, dalam hati tidak ada lagi beda baik dan buruk
yang terjadi pada diri (menurut pandangannya baik semua). Ayat–ayat Alquran dapat
menjadi dasar terkait dengan makna cinta kepada Allah.
1. Ayat 165 surat al–Baqarah (2)
Cinta atau mah}abbah menggambarkan akan kecintaan yang dilmpahkan
Allah. Berkaitan dengan keberadaan cinta ini, Allah menggambarkan keberadaan
cinta yang sesungguhnya tercermin pada orang–orang beriman sebagaimana
dinyatakan dalam surat al–Baqarah (2) ayat 165. Pernyataan Allah ini juga
dimaksudkan untuk mencela mereka yang tidak murni mencintai Allah.
278
Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 157
279 Riwayat Abu Dawud, Adab : 116, دجه اشئ ٠ؼ ٠ص . Anwar Fuad Abi Khaza>m,
Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 157 280
Artinya; Dan diantara manusia ada orang–orang yang menyembah tandingan–tandingan
selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang–orang yang
beriman sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang–orang yang berbuat zalim
mengetahui ketika mereka melihat siksa bahwa semua kekuatan itu milik Allah dan sesungguhnya
Allah sangat berat siksaanNya (tentu mereka menyesal). Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘
al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
192
Orang–orang beriman adalah mereka yang sangat dalam cintanya kepada
Allah ( ;Sa‗id Hawwa menjelaskan .) أشد حبا هلل
ذجخ اهلل رى . دجب هلل أ مزع١بد اإل٠ب ااظذخ اىج١شح ذجخ اهلل
.أصشا ػ اشؼس ثؼ281
Orang beriman sangat cinta kepada Allah, hal itu merupakan bagian dari
tuntutan iman yang nyata dan besar tentang mah}abbah terhadap Allah.
Mah}abbah kepada Allah menjadi berpengaruh dalam merasakan nikmat-
nikmat yang dianugerahkanNya.
Keimanan yang terpatri kuat dalam sanubari seseorang merefleksikan pada
jiwanya untuk mencintai Allah. Mah}abbah kepada Allah bukanlah merupakan
dorongan pikiran tapi kesucian hati dan latihan ibadahlah yang membangkitkan
mah}abbah tersebut pada seorang. Penjelasan ini didukung oleh hadis Nabi yaitu;
Tumbuhkanlah mah}abbahmu kepada Allah disaat Dia mendatangkan berbagai
nikmat kepadamu.282
Hati dapat merasakan demikian bila ia terbebas dari berbagai
penyakit seperti dengki, sombong dan sifat kemunafikan.283
Bila hati telah suci maka
akan mendorong untuk merasakan nikmat-nikmat Allah. Ketika hati merasakan
berbagai nikmat maka terkandung didalamnya mah}abbah.
Tumbuhnya mahabbah sangat terkait dengan terciptanya hubungan yang
sangat dekat dengan Tuhan yang tercermin sifat-sifat Tuhan pada manusia,
sebagaimana dijelaskan lebih lanjut oleh Sa‗id Hawwa.
.دجب هلل أػؽ صفبد األ١خ خصبئصب 284
Orang beriman sangat cinta kepada Allah adalah orang yang dianugerahkan
kepada mereka sifat-sifat ulu>hiyyah serta keistimewaannya.
281
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6, 353 282
–Dikutip oleh Sa‗id H{awwa dalam tafsirnya. Sa‗id H{awwa, al أدجا اهلل ب ٠غزو ؼ
Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet. Ke–6, 353
283 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6, 351
284 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6, 351
193
Menurut penafsiran Sa‗id H{awwa ada dua hal yang menjadikan orang-orang
beriman memiliki cinta yang kuat kepada Allah, pertama mereka merefleksikan sifat-
sifat ketuhanan yang diberikan. Kedua, mereka juga memperoleh berbagai
keistimewaan terkait sifat-sifat ketuhanan. Seperti mendapatkan pengetahuan hikmah
dari sifat ‘ali>m. Keistimewaan ini didukung oleh ketaatan dan kedekatan orang yang
cinta kepada Allah.285
Mereka mendapatkan anugerah akan sifat–sifat ulu>hiyyah dan
keistimewaan–keistimewaannya merupakan buah ketaatan mereka karena murninya
ibadah mereka kepada Allah. Demikian dikemukakan Sa‗id H{awwa dalam
menafsirkan ayat 165 diatas.286
Kecintaan kepada Allah sangat bergantung dengan
sifat-sifat ketuhanan tercermin pada diri orang mukmin. Dalam sebuah hadis qudsi
juga disebutkan tentang keistimewaan yang yang terjadi pada orang yang selalu
mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan sunat sehingga Allah sangat
mencintainya dan Dia menjadi bagian dari tindakannya. Hadis qudsi ini diriwayatkan
oleh Bukhari yang bersumber dari Abu Hurairah.
Artinya; Siapa yang memusuhi waliKu maka Aku nyatakan perang
kepadaNya. Dan tiada sesuatu yang dapat mendekatkan hambaKu kepadaKu
yang lebih Aku suka dari pada melaksanakan apa yang Aku wajibkan atasnya.
Senantiasa hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amal–amal sunat
sehingga Aku cinta padaNya, kemudian bila Aku cinta padanya maka Akulah
yang menjadi pendengaran yang ia dengar, menjadi penglihatan yang ia lihat,
tangan yang ia ayunkan dan kaki yang ia langkahkan. Jika ia minta kepadaKu,
285
Mah}abbah hamba kepada Tuhan adalah memuliakanNya ( dan berusaha ( رؼظ١
medekatkan diri sebagai cerminan ketaatan. Sebagaimana Allah juga mencintai hamba yang ikhlas.
Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-1,254 286
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6, 351
194
Aku beri dan jika mohon perlindungan maka Aku lindungi. Aku tidak ragu
dalam segala hal yang Aku perbuat sebagaimana ragu (Ku) dari mencabut roh
orang mukmin yang tidak suka mati dan masih ingin beribadah dan Aku tidak
suka mengganggunya.287
Kalau hamba sudah memperoleh mah}abbah dari Allah maka ia selalu
merasakan kehadiran Allah yang menuntunnya dalam segala aktifitas yang dilakukan.
Kehendaknya dengan kehendak Allah selalu sinergi, tingkah lakunya terpelihara
sehingga setiap yang dilakukannya mendapatkan rid}a dari Allah. Wujud dari rid}a
Allah seperti dijelaskan hadis qudsi diatas sebagai contoh bahwa ia mendengar
dengan pendengaran Allah. Hal ini membuktikan akan kedekatan hamba dengan
Allah dengan mempunyai keistimewaan sebagai hamba. Dalam ilmu tasawuf
keistimewaan yang diberikan tersebut terjadi pada hamba yang merasakan sangat
dekat antara dirinya dengan Allah. Sebagai dikatakan Sa‗id Hawwa, pada saat itu hati
memunculkan mah}abbah kepada Allah yang hanya dapat dipahami dan diketahui
oleh para sufi.288
Oleh karena itu, menurut Sa‗id H{awwa mah}abah kepada Allah ( ( ذجخ اهلل
merupakan puncak perjalanan ibadah menuju Allah ( Proses untuk .( رسح اغ١ش ئ اهلل
meraih hubungan mah}abbah tersebut adalah dengan melaksanakan ibadah fard}u
dan sunat.289
Terkait dengan mah>abbah, al-Ghazali juga menyebutnya sebagai akhir
dari maqa>m tasawuf dan puncak yang tinggi dari derjat kesufian.290
Dengan
memandang mah}abbah sebagai maqa>m tertinggi dalam pandangan Sa‗id Hawwa
samahalnya dengan al-Ghazali, menandakan bahwa kondisi yang dirasakan setelah
mahabbah berarti hanya sementara. Dalam istilah tasawuf disebut dengan hal, yang
287
Muhammad Tajuddin bin al–Manawi al–H{addadi, al–Ahadith al–Qudsiyyah (Terj), H.
Salim Bahreisy, 272 Hadis Qudsi (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1979), Cet. Ke–2, 81. Dalam hadis lain
disebutkan keadaan demikian bahwa prilaku mereka sesuai dengan akhlak Allah sebagaimana sabda
Nabi takhallaqu bi akhla>qillah.
288 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6, 353
289 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6, 353 290
-Al-Ghazali. Ih}ya’ Ulum ad-Din (Mesir: Maktabah Must}afa al. ازسح اؼ١ب اذسجبد
Ba>bi al-H{alabi wa Aula>dihi, 1939/1358) , Jilid 4, 286
195
secara tidak langsung disepakati oleh Sa‗id Hawwa berdasarkan pemahamannya
tentang mah}abbah, sekalipun ia tidak menyebut demikian.
Dalam menjalankan tasawuf tidak dapat dipisahkan dengan pemaknaan
ibadah formal baik itu sifatnya wajib atau sunat. Ibadah formal atau disebut juga
sebagai shari‘ah bagian dari eksoteris ajaran Islam tidak dipandang sebatas
memenuhi ketentuan fiqh tetapi harus memberikan pengaruh dalam batin sehingga
memperkokoh akidah dan akhlak.
Selanjutnya ibadah formal yang dilakukan dengan memahami makna
sufistiknya akan mengantarkan untuk mencapai mah}abbah kepada Allah. Pada
dasarnya ibadah yang dalam ajaran Islam semuanya tidak bisa lepas dari dimensi
tasawufnya. Karena itu tasawuf dan shariah harus sejalan dalam menjalankan ajaran
agama. Sebagai muara perjalanan tasawuf menurut Sa‗id H{awwa adalah tumbuhnya
mah}abbah dalam hati.
Dalam penafsiran Ibnu Arabi dijelaskan bahwa kuatnya cinta orang beriman
kepada Allah (أشد حبا هلل ) karena bagi mereka hanya Allah yang dicinta, cinta mereka
tidak bercampur dengan yang lain ( . ( ال ٠خزػ دج ال٠زغ١ش Mereka mencintai sesuatu
karena Allah dan karena cintanya kepada Allah ( ثذجخ اهلل هلل (. Selain itu mereka
mencintai sesuatu berdasarkan aspek ketuhanan yang terdapat padanya. Sebagaimana
yang mereka (ahli sufi) katakan, ― Al-H{aq h}abi>buna> dan al–Khalq
h}abi>buna>, bila timbul pertikaian keduanya maka al-H{aq lebih cinta kepada kami
‖.291
Maksudnya sebagaimana penjelasan Ibnu Arabi, bila tidak tetap aspek ketuhanan
pada mereka karena perselisihan tadi maka tidak tetap pula mah}abbah (cinta) kami
pada mereka. Ditambahkannya, orang mukmin mencintai Allah dengan roh dan hati
mereka bahkan dengan Allah, untuk Allah ( ث ثبهلل هلل (, cinta mereka tidak pernah
berobah karena keadaannya. Mereka meninggalkan semua kehendaknya demi
kehendakNya, mereka mencintai af‘alNya (perbuatanNya) sekalipun menyalahi
291
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,
Cet. Ke–2, 84
196
kehendak hawa nafsunya.292
Cinta orang mukmin yang sangat dalam kepada Allah
tidak tergantikan oleh yang lain, tidak ada ruang lagi dalam hati dan jiwanya celah
untuk selainNya. Menurut Ibnu Arabi cinta (mah}abbah) hamba kepada Allah selain
dengan hati dan rohnya juga dengan Allah, karena dalam diri hamba terdapat aspek
ketuhanan bahkan dalam diri makhluk lain juga terdapat aspek ketuhanan. Ketika
mencintai akan makhluk berarti sesungguhnya adalah mencintai Allah karena pada
makhluk tertampung aspek ketuhanan.
Selintas penafsiran Ibnu Arabi tentang mah}abbah tampak sejalan dengan
penafsiran Sa‗id H{awwa hanya perbedaan dalam istilah. Sa‗id H{awwa dalam
tafsirnya menyebutkan sifat ulu>hiyyah dapat terwujud pada hamba yang sangat cinta
kepada Allah sedangkan bagi Ibnu Arabi menyebutnya dengan istilah aspek
ketuhanan. Perbedaan ini membawa pengaruh dalam perwujudannya pada hamba,
bagi Ibnu Arabi penekanan aspek ketuhanannya lebih dimaksudkan kepada sisi dalam
( zat Tuhan ) sedangkan Sa‗id H{awwa menekankan sifat ulu>hiyyah pada sisi luar
(sifat Tuhan) yang terimplementasi dalam prilaku hamba. Perbedaan lain, bagi Ibnu
Arabi tentang aspek ketuhanan tidak saja pada orang mukmin tapi terdapat juga pada
semua makhluk. 293
Namun aspek ketuhanan antara orang mukmin dan makhluk lain
tidak sama. Bagi orang mukmin aspek ketuhanan dijadikan aktif (potensial) karena
bisa menumbuhkan cinta (mah}abbah), bagi selain mukmin aspek ketuhanan pada
dirinya masih pasif.294
Sementara menurut Sa‗id H{awwa sifat ulu>hiyyah hanya
dimiliki oleh orang mukmin karena sangat cintanya kepada Allah, seperti
292
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,
Cet. Ke–2, 84 293
Aspek ketuhanan pada makhluk secara umum berdasarkan penjelasan Ibnu Arabi, tidak
permanen artinya aspek ketuhanan bisa tetap ada dan bisa hilang. Jika aspek ketuhanan hilang pada
dirinya (makhluk) maka hilang pula kecintaan (mahabbah) kepada makhluk tersebut. Lihat penjelasan
Ibnu Arabi tentang ungkapan ahli sufi. Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah,
1427 H/2006 M), Jilid 1, Cet. Ke–2, 84 294
Pernyataan ini sekaligus mencela manusia yang tidak bisa menumbuhkan mahabbah
dalam jiwanya dan ini termasuk kerugian yang sangat besar karena hatinya sama saja dengan
keberadaan benda lain benda lain. Apalagi bila benda yang tidak bernyawa, tentu lebih rendah lagi
kualitas diri sebagai manusia.
197
dikemukakan diatas.295
Penafsiran Sa‗id H{awwa diatas didukung oleh hadis qudsi
yang dicantumkan diatas bahwa kemuliaan dan kelebihan yang diperoleh bagi mereka
yang merasakan mahabbah dengan Allah itu merupakan anugerah dari Allah.
Penafsiran sufistik Sa‗id H{awwa demikian dapat digolongkan pada tafsir sufi
isha>ri. Penafsiran Sa‗id H{awwa bila diperhatikan merupakan cerminan dari
pengalaman sikap zuhudnya.
Sementara itu tentang pandangan Ibnu Arabi diatas cocok dengan paham
tasawuf falsafinya seperti istilah al–H{aq dan al–Khalq.296
Bahwa dalam diri orang
mukmin tercermin kesempurnaan aspek ketuhanan disebut unsur khalq dibanding
makhluk lain yang tidak memiliki mah}abbah (cinta).
2. Ayat 54 surat al-Ma>idah (5)
Pada ayat lain Allah telah menegaskan bahwa siapa yang mencintaiNya maka
Ia pun lebih mencintainya. Siapa yang mendapatkan cinta dari Allah, itu merupakan
suatu karunia yang sesungguhnya. Hal demikian terungkap dalam ayat 54 surat al-
Ma>idah (5).
295
Lihat; Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid
1, Cet. Ke–6, 351
296 Al-H{aq adalah Tuhan dan al-khalq adalah alam. Alam adalah perbuatannya, karena itu ia
menjadi tampak (nyata) dengan sifat al-Haq. Maka dalam pengertian ini, ia (alam) adalah al-H{aq dan
sekaligus ia (alam) adalah ciptaan. Realitas adalah satu tapi mempunyai dua sifat yang berbeda; sifat
ketuhanan dan sifat kemakhlukan. Dualitas yang terjadi hanyalah dualitas nisbi atau semu . Dari
pengertian ini muncul istilah lahut (sifat ketuhanan) dan nasut (sifat kemanusiaan). Bedanya dengan
teori al-Hallaj dalam hal memahami dualitas. Menurutnya tetap ada terjadi dualitas (Tuhan dan
manusia). Lihat; Kautsar Azhari Noer, Ibnu Arabi: Wah}datul Wuju>d dalam Perdebatan (Jakarta:
Paramadina, 1995), Cet.ke-1, 46 & 49. 297
Artinya; Hai orang–orang yang beriman, barang siapa diantaramu yang murtad dari
agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
merekapun mencintaiNya. Sikapnya yang lemah lembut terhadap orang mukmin, bersikap keras
terhadap orang–orang kafir, yang berjihad di jalan Allah dan yang tidak takut kepada celaan orang
yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikanNya kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan
198
Sa ‗id Hawwa menafsirkan ayat ini terkait makna mah}abbah;
٠ؽ١ؼ ٠إصش سظب ٠غ١ش ف اؽشق اإد٠خ , ٠شظ أػب ٠ض ػ١ ثب: أ
.ئ ذجز ٠زخ ػ اؽشق از رإد ئ ب ٠جغط298
Maksudnya, Allah meridai amal mereka dan menyanjungnya. Mereka taat
kepadaNya dan mengutamakan sikap rida terhadap ketetapan Allah,
disamping itu mereka berprilaku pada jalan yang meningkatkan mah}abbah
terhadap Allah dan menghindari jalan yang tidak disukaiNya.
Dalam ayat ini, dipahami bahwa masalah keimanan merupakan pilihan
manusia oleh sebab itu siapa yang ingin kembali kepada kekafiran bagi Allah tidak
rugi justeru ia sendirilah yang celaka. Keimanan merupakan naluri ila>hiyyah yang
setiap manusia pada prinsipnya membutuhkannya makanya Allah melalui ayat ini
menjelaskan bahwa bagi siapa yang murtad silakan karena bakal ada kaum lain yang
naluri ila>hiyyahnya terpelihara lebih mencintai Allah dari selainNya dan Allah
mencintai mereka. Sa‗id H{awwa menafsirkan cinta Allah sebagai ridha dan
sanjungan ٠شظ أػب ٠ض ػ١ ثب) (. Maksudnya Allah merid}ai amal mereka dan
menyanjung mereka disebabkan amalnya tersebut. Kemudian cinta mereka kepada
Allah ( adalah mereka menampakkan ketaatan kepadaNya dan ( ويحبون اهلل
mengutamakan serta menonjolkan sikap rid}a terhadap ketetapan Allah ( ٠ؽ١ؼ
Wujud cinta hamba kepada Allah menurut Sa‗id H{awwa adalah.) ٠إصش سظب
ketaatan, rid}a dan akhlak mulia serta ibadah untuk menambah mah}abbah kepada
Allah.
Lebih jauh ditafsirkan Sa‗id Hawwa;
ئ دت اؼجذ شث أش لب . دت اؼجذ شث ؼخ زا اؼجذ ال ٠ذسوب وزاه ئال رالب
زا اجبة از رفق ف١ . اعزؽبػذ اؼجبسح أ رصس ئال ف فزبد ل١خ وال اذج١
299.ااص سجبي ازصف اصبدل١
Allah maha luas dan lagi maha mengetahui. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-
Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
298 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 3, Cet.
Ke–6,1430
199
Cinta hamba kepada Tuhannya merupakan kenikmatan yang dapat diketahui
oleh orang yang merasakannya. Cinta hamba kepada Tuhannya bukanlah
suatu perkara yang dapat digambarkan seperti tulisan melainkan munculnya
secara tiba-tiba dari ucapan para muh}ibbin. Ini merupakan pintu yang akan
mengantarkan para ahli sufi untuk mencapai wusu>l.
Makna lain dari cinta hamba kepada Tuhan seperti ditafsirkan Sa‗id Hawwa
adalah sebagai kenikmatan. Artinya orang yang mencapai tingkat mah}abbah akan
merasakan suatu kenikmatan yang tidak dirasakan oleh orang lain, selain para sufi.
Menurut para sufi merasakan kenikmatan dalam mah}abbah kepada Allah
mengalahkan kecenderungan kepada yang lain sehingga apa yang dialami dirinya
dipandang sebagai kenikmatan.300
Di samping memperoleh kenikmatan, mereka para
muh}ibbin mendapatkan keistimewaan yaitu mampu mengungkapkan berupa kata-
kata hikmah dari bibirnya tanpa melalui pemikiran. Sa‗id Hawwa menerangkan
bahwa hal demikian dapat dialami oleh mereka yang sampai menuju Allah
(wusu>l).301
Cinta kepada Allah juga membawa kepada hamba bagaimana merasakan cinta
Allah kepada dirinya. Bila diperhatikan uraian diatas, salah satu yang dapat dirasakan
oleh hamba akan cinta Allah kepadanya adalah kemampuan mengeluarkan kata-kata
hikmah. Hal ini diperoleh dengan selalu menyucikan diri dari segala bentuk yang
dapat mengotori jiwa. Para muh}ibbin adalah mereka yang selalu merasa dekat
dengan Allah. Demikian Sa ‗id H{awwa menjelaskan makna mah}abbah terkait ayat
diatas.
Menurut Ibnu Arabi, cinta Allah kepada hamba lebih tertuju kepada zatnya
dan mereka (hamba) mencintai Allah ( ويحبون اهلل ) pada zatNya tidak pada sifat–
sifatNya seperti Lat}i>f, Rah}i>m dan seterusnya. Mencintai sifat dapat berubah
299
Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 3, Cet.
Ke–6,1445
300 Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 157
301 Sa‗id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 3, Cet.
Ke–6,1445
200
seiring perbedaan tajalli sifat. Misal, siapa yang mencintai al-Lat}i>f maka
mah}abbahnya tidak bisa tetap bila terjadi tajalli dengan sifat al-Qahr, begitu juga
bila mencintai al–Mun‘im maka kecintaannya menjadi hapus dengan tajalli pada
sifat al–Muntaqim. Adapun dengan mencintai zatNya maka tidak akan berubah dan
tetap dengan kekekalan zatNya.302
Oleh sebab itu, lanjut Ibnu Arabi bahwa al-
Muh}ibb yang mencintai al-Qahhar ketika Qahr sebagaimana ia cinta pada al–
Lat}{i>f disaat keadaan Lut}f, begitu pula ketika mencintai al–Muntaqim pada
keadaan intiqa>m sebagaimana ia mencintai al–Mun’im dalam keadaan in’am. Tidak
terjadi perbedaan padanya, sama saja saat rid}a dan tidaknya. Tidak terjadi perubahan
cinta dalam berbagai keadaannya, ia bersyukur ketika menghadapi bala sebagaimana
ia bersyukur memperoleh nikmat.303
Cinta hamba dalam penafsiran Ibnu Arabi diatas ditujukan pada (diri) zat
Allah sebab dalam diriNya sudah terkandung semua sifat, karena itu dengan
mencintai zatNya maka tidak muncul perbedaan dalam melihat sifat–sifatNya. Untuk
mendekati Tuhan tidak perlu melalui sifat–sifatNya tapi langsung menuju zatNya.
Bagi Ibnu Arabi Tuhan tidak terpilah atau terbagi–bagi, melainkan wujudnya yang
satu, sehingga tidak timbul ada pertikaian. Pada saat mencintai satu sifat sekaligus
mencintai semua sifat pada diriNya, karena terjadinya tajalli pada zatNya bukan pada
sifatNya.
Bila diperhatikan penafsiran ayat diatas bahwa cinta hamba kepada Allah
dalam tafsir Sa‗id H{awwa diwujudkan dalam ketundukan, perbuatan nyata,
merasakan nikmat dalam mah}abbah, yang mencerminkan pada meningkatnya
mah}abbah kepada Allah. Mah}abbah dapat meningkat dengan meneladani sifat–
sifatNya sebagaimana sering dikemukakan dalam Alquran. Manusia mengenal Allah
melalui sifat-sifatnya sebab Allah memperkenalkan diriNya dengan sifat tersebut.
Disini Sa‗id H{awwa berbicara tentang pengaruh mah}abbah kepada Allah.
302
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,
Cet. Ke–2, 203
303 Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,
Cet. Ke–2, 203
201
Sementara Ibnu Arabi menafsirkan cinta hamba kepada Allah terjadi pada zatNya
bukan pada sifatNya. Ibnu Arabi berbicara tentang bentuk terjadinya mah}abbah
(cinta) yang timbul antara hamba dengan Allah. Tampak dari pandangan diatas
bahwa Ibnu Arabi mengarahkan penafsiran kepada paham wahdatul wuju>d dengan
terjadinya persatuan antara muh}ib dengan mah}bu>b melalui mah}abbah. Penafsiran
Ibnu Arabi sangat jelas memberikan gambaran dalam memahami ayat sufistik
berdasarkan teori–teori filsafat khsusnya paham wahdatul wuju>d. Dengan demikian
penafsirannya digolongkan kepada bentuk tafsir sufi naz}ari.
Sementara itu penafsiran Sa‗id H{awwa lebih kepada prilaku nyata dan dapat
direalisasikan dalam membentuk akhlak yang mulia. Penafsiran dengan
kecenderungan pada perbuatan nyata ini merupakan bentuk dari tasawuf amali. Selain
itu Sa‗id Hawwa dalam menggunakan makna isha>ri tetap berpegang dengan makna
zahir dan berlandaskan pada ibadah praktis. Karena itu penafsiran Sa‗id Hawwa
secara metodologis sangat memperhatikan dua hal tersebut di samping ia juga
mencantumkan riwayat atau pandangan para sufi. Faktor-faktor demikian yang
mendukung penafsiran sufistik Sa‗id Hawwa sebagai bentuk ciri tafsir sufi isha>ri.
_________
203
BAB V.
METODOLOGI PENAFSIRAN AYAT DAN PEMIKIRAN SUFISTIK SA‘ID
H{AWWA TENTANG DIMENSI METAFISIS AJARAN TASAWUF
Dalam rangka untuk mengetahui metodologi tafsir sufistik Sa„id H{awwa dan
corak pemikiran sufistiknya, penulis juga mengkaji penafsirannya tentang dimensi
ajaran tasawuf yang dialami para sa>lik. Ini penting dilakukan karena sering timbul
kontroversi pemahaman padanya maka dengan mengangkat persoalan ini penulis
ingin mengupasnya lewat penafsiran ayat–ayat Alquran. Persoalan ini pada dasarnya
masih berkaitan dan menjadi bagian dari pengkajian pada pembahasan sebelumnya
tentang maqa>m–maqa>m tasawuf. Aspek–aspek ajaran tasawuf yang dikemukakan
ini tidak secara eksplisit terungkap dalam Alquran melainkan melalui pemahaman
secara implisit sebagaimana terkandung dalam penafsiran ayat. Penelitian disertasi ini
akan mengungkap penafsiran Sa„id H{awwa terkait dengan aspek–aspek ajaran
tasawuf sebagai akan diuraikan dibawah ini.
A. Tafsir Ayat tentang Muja>hadah
Dalam proses menjalani tasawuf istilah muja>hadah sudah akrab dikenal
dikalangan dunia tasawuf. Secara definitif menurut Tahanawi yang dikutip oleh Abi
Khaza>m, muja>hadah adalah berjuang menghadapi nafsu dan setan sebagaimana
yang dilakukan para sa>lik. Dikatakan juga seperti pendapat Abu „Atha‟ bahwa
muja>hadah sebagai kehendak kuat (merasa bergantung) kepada Allah dengan
mengabaikan segala sesuatu selainnya. Menurut Ja„far S}a>diq yaitu mengerahkan
kemampuan diri dalam mencapai rid}a Allah.1 Selain itu dikemukakan juga
pengertian Ibnu Arabi tentang muja>hadah yaitu melatih diri menanggung
kepayahan badan dan mengendalikan hawa nafsu dari setiap keadaan.2 Dari beberapa
pengertian diatas dipahami bahwa makna yang terkandung dalam muja>hadah
1 Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 155 2 Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993), Cet. Ke–1,155
204
adalah kesungguhan dalam mendekatkan diri kepada Allah sehingga hati tidak mau
berpaling kepada selainNya.
Bentuk dan aspek muja>hadah memiliki dasar sebagaimana terungkap dalam
Alquran. Pada pembahasan berikut ini ayat–ayat tersebut akan dikaji melalui
penafsiran sufistik.
1. Ayat 69 surat al–‘Ankabu>t (29)
Allah menghubungkan muja>hadah dalam surat al–‘Ankabu>t (29) ayat 69
dengan hidayah. Artinya hidayah akan diperoleh bagi orang yang benar–benar dalam
bermuja>hadah kepada Allah.
Mengenai muja>hadah dalam ayat diatas, ditafsirkan oleh Sa„id Hawwa
dengan mengutip tafsir Ibnu Kathir;
جصش : أ, از٠ جبذا ف١ب ٠ؼ اشعي أصحب٠ أرجبػ ئ ٠ اذ٠ ذ٠ عجب
.طشلب ف اذ١ب االخشح4
Orang yang bermuja>hadah pada jalan kami yaitu ajaran Rasul Muhammad,
para sahabat dan pengikutnya sampai hari kiamat maka sesungguhnya akan
kami tampakkan jalan-jalan kami di dunia dan di akhirat.
Muja>hadah yang dilakukan dengan konsisten menjalankan ajaran nabi
Muhammad akan merasakan berbagai kemudahan dalam menempuh hidup di dunia
dan di akhirat. Sebagai bentuk muja>hadah yaitu dengan berpegang teguh mengikuti
petunjuk agama maka akan membawa kepada selamat dunia dan akhirat.
Sa„id H{awwa menegaskan bahwa muja>hadah harus dilandasi dengan
ikhlas;
3 Artinya; Dan orang–orang yang bermuja>hadah untuk mencapai kerid}aan Kami, benar–
benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan–jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar–benar
beserta orang–orang yang berbuat baik. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma„ al-Malik al-
Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
4 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8, Cet.
Ke–6, 4237
205
لذ أطك اجبذح ١زبي و ب , ف حمب أجب جب خبصب: از٠ جبذا ف١ب أ
.رجت جبذر افظ اش١طب أػذاء اذ٠5
Orang-orang yang melakukan muja>hadah adalah karena memenuhi hak
Allah dan murni (ikhlas) karena Allah semata. Muja>hadah yang dilakukan
meliputi muja>hadah terhadap hawa nafsu, menghadapi setan dan musuh
agama.
Makna dasar muja>hadah yang dikemukakan Sa„id hawwa terkait dengan
menghadapi hawa nafsu dan setan, memiliki pandangan yang sama dengan yang
dikemukakan Tahanawi. memiliki pandangan yang Muja>hadah menghadapi nafsu
dan setan lebih berat dari musuh yang nyata. Berbeda dengan musuh agama6 ( orang
yang memerangi agama), dua hal yang dihadapi diatas sifatnya abstrak maka
keberhasilan dari muja>hadah tersebutpun lebih dirasakan sebagai suatu yang
abstrak juga. Menghadapinya dengan cara lebih mengintensifkan ibadah dan
meningkatkan rasa ketergantungan kepada Allah.7 Dijelaskan Sa„id Hawwa bahwa
keutamaan melakukan muja>hadah yaitu akan ditambahkan hidayah menuju jalan
kebaikan dan mendapatkan taufik dari Allah.8 Taufik merupakan salah satu anugerah
yang diperoleh dalam melakukan muja>hadah, sebagai bukti yang dirasakan oleh
orang yang dekat dengan Allah. Bagi orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada
Allah akan sering menjumpai harapan yang dikehendakinya karena sesuainya antara
keinginannya dengan kehendak Tuhan.
Selain itu, dengan melakukan muja>hadah akan mendapat pengetahuan
langsung dari Allah seperti dinyatakan Sa„id Hawwa dengan mengutip tafsir an-
Nasafi;
5 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8, Cet.
Ke–6, 4229 6 Kecuali musuh agama seperti kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan dan sejenisnya, maka
ini dapat digolongkan sebagai hal yang abstrak tentunya. 7 Ini termasuk bagian dari kesabaran yang kokoh yaitu mura>bat}ah. Al-Mura>bat}ah adalah
senantiasa berada dalam tempat peribadatan, sebab beribadah merupakan benteng yang dapat
mengalahkan setan. Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid
2, Cet. Ke–6, 972 8 :Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo ض٠ذ ذا٠خ ئ عج اخ١ش رف١مب
Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8, Cet. Ke–6, 4229
206
از٠ جبذا ف١ب ػا ذ٠ ئ ب ٠ؼا9.
Orang-orang yang bermuja>hadah terhadap apa yang mereka ketahui maka
sesungguhnya akan ditunjukan pada mereka apa yang belum diketahui.
Melakukan ibadah-ibadah dengan kesungguhan akan membuka pintu untuk
memperoleh berbagai pengetahuan yang belum pernah dibayangkan. Pengetahuan
demikian menjadikan seseorang semakin dekat dengan Allah. Semakin tinggi
melakukan muja>hadah maka akan semakin bertambah pengetahuan yang diterima.
Pengetahuan demikian hanya diperoleh bagi orang yang mengenal Tuhan seperti
disebutkan Abdul Qadir al-Jailani bahwa siapa yang mengenal Tuhannya maka ia
akan mengetahui segala sesuatu yang akan membenarkan dalam ‘ubu>diyahnya dan
terbebas dari kecenderungan ‘ubu>diyah yang lain.10
Inilah pengetahuan rabba>ni
yang dipancarkan ke dalam sanubari orang-orang tertentu. Orang-orang yang
mengalami pada tingkat ini, hatinya tidak ingin berpaling melupakan Tuhan.
Selain penafsiran sufistik diatas, ada tiga makna sufistik lain tentang jenis
muja>hadah yang dikandung ayat diatas yang dikemukakan Sa„id H{awwa dengan
mengutip pandangan al–Junaid, pertama bahwa orang yang melakukan muja>hadah
dalam bertobat niscaya akan ditunjukkan Allah baginya jalan mencapai ikhlas.
Kedua, orang yang betul–betul bermuja>hadah dalam ketaatan (mengabdi) kepada
Kami akan terbuka baginya ( ابجبح ؼب 11
(pintu berkomunikasi langsung dengan
Allah dan akan merasakan sebagai teman dekat/intim dengan Allah ( األظ ثب ).
Ketiga, bagi yang bermuja>hadah dalam mencari kerid}aan Kami maka Kami
tunjukkan jalan–jalan untuk sampai ( .kepada Kami (اصي ئ١ب12
Dalam upaya
menempuh tasawuf, dengan muja>hadah yang sesungguhnya maka akan
9 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8, Cet.
Ke–6, 4237 10
Abdul Qadir al-Jailani. al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Fayd}u ar-Rah}ma>niy (Beirut: Darul
Kutub al-Ilmiyah, 1424/2003), Tahqiq: Shaikh Anas Mihrah, Cet.ke-2, 151 11
Munajah dalam istilah tasawuf adalah percakapan rahasia dengan Tuhan ketika keikhlasan
dalam berzikir. خبطجخ األعشاس ػذ صفبء األروبس ه اججبس Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–
Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 12
جبذا ف خذزب فزح ػ١ عج ابجبح ؼب , جبذا ف ازثخ ذ٠ عج اإلخالص
Sa„id H{awwa, al–Asa>s . .جبذا ف طجب رحش٠ب شضبب ذ٠ عج اصي ئ١ب, األظ ثب
fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8, Cet. Ke–6, 4237
207
membukakan berbagai jalan bagi pelaku tasawuf. Jalan dimaksud adalah sarana untuk
merasakan berhubungan langsung dengan Allah yaitu dalam bentuk berkomunikasi
dan keintiman, pada akhirnya sampai ئ١) .kepadaNya ( اصي
Ditegaskan Sa„id H{awwa, bagi siapa yang memahami makna ayat ini dan
betul–betul dalam melaksanakannya maka ia akan memperoleh kebaikan yang tidak
dikira (diluar pikiran biasa). Ia mengemukakan hadis Nabi bahwa seorang mujahid
adalah orang yang jiwanya bermuja>hadah pada zat Allah. Menurut ayat diatas kata
Sa„id H{awwa, siapa yang jiwanya bermuja>hadah pada zat Allah maka Allah akan
memberi hidayah kepada jalan yang mengantarkannya sampai menuju Allah ( جبذ )
(ف راد اهلل ذا اهلل ئ عج اصخ ئ١ .13
Hidayah tersebutlah yang diharapkan akan
mengantarkan seseorang menuju Allah. Hidayah merupakan pengaruh dari
muja>hadah, dengan hidayah membawa kepada jalan menuju Allah. Dengan
demikian dikatakan, Muja>hadah sebagai usaha manusia sedangkan hidayah
merupakan anugerah Allah. Karena itu, tidak sempurna keduanya ( muja>hadah dan
hidayah ) kecuali berkat taufik dan pertolongan dari Allah.14
Semakin jelas
pandangan sufistik Sa„id H{awwa terkait muja>hadah yaitu dengan muja>hadah
yang sesungguhnya dapat menjadikan seseorang merasakan sangat dekat dengan
Allah. Muja>hadah yang ditekankan Sa„id H{awwa adalah muja>hadah dengan jiwa
(abstrak) bukan muja>hadah secara fisik yang diutamakan. Karena muja>hadah
secara batin tersebutlah yang dapat merasakan hubungan langsung dengan Allah.
Berhubungan langsung dengan Allah merupakan hidayah yang paling besar yang
dirasakan di dunia. Sebagai diungkapkan Sa„id H{awwa, inilah yang disebut dengan
hidayah yang diperlihatkan (dibuktikan) di dunia.15
Sa„id H{awwa disini tidak
13
Kata Nabi saw; اجبذ جبذ فغ ف راد اهلل Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo:
Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet. Ke–6, 4237
14 Sa„id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet.
Ke–9,119
15 Hidayah akan diperlihatkan Allah yaitu berbagai jalan kebaikan di dunia dan di akhirat.
Lihat tafsiran Sa„id H{awwa tentang hidayah. Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo:
Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet. Ke–6, 4229
208
menjelaskan seperti apa bentuk hubungan langsung bagi orang yang wusu>l kepada
Allah.
Merasakan hubungan langsung dengan Allah ditandai dengan muna>jah, uns
dan wus}u>l, sebagaimana dikemukakan diatas namun hal ini juga tidak dijelaskan
lebih detil oleh Sa„id H{awwa. Karena ia memandang tidak berguna berpolemik
dalam masalah istilah, apalagi ini sangat berhubungan dengan pengalaman pelaku
tasawuf. Selain itu, dapat dipahami juga bahwa Sa„id H{awwa tidak pernah
menyatakan pengalamannnya tentang kondisi demikian. Namun dari pernyataan Sa„id
H{awwa bahwa siapa bermuja>hadah pada zat Allah pasti akan memperoleh hidayah
dengan sampai kepada Allah. Tentu yang dimaksud adalah sampai pada zatNya
kendatipun ia tidak terang mengatakan demikian. Tampak disini, Sa„id H{awwa tidak
mau terlibat jauh dalam masalah istilah dan ajaran tasawuf yang kontroversial. Ini
dapat dipahami bahwa secara implisit Sa„id H{awwa memahami hubungan langsung
antara hamba dengan Allah sekalipun ia tidak menyebut dengan istilah ittiha>d.
Boleh jadi yang dimaksudnya dalam hubungan tersebut tidak persis sama dengan
yang dipahami Abu Yazid.
Ini termasuk metodologi Sa„id H{awwa dalam penafsiran sufistiknya bahwa
ia tidak memberikan gambaran kongkrit tentang wus}u>l seperti apa yang dicapai
oleh pelaku tasawuf. Sebab hal itu bukanlah menjadi target yang harus dipaksakan
kecuali bagi yang mampu. Dengan tidak ditegaskannya kondisi yang harus dicapai
pelaku tasawuf, supaya manusia tidak merasakan berat melakukannya. Keberhasilan
atau pengalaman salik yang spesifik dialami oleh mereka yang sampai ke tingkat
yang tinggi dalam tasawuf, itupun sesuai dengan tingkat ibadahnya. Tujuan yang
sangat utama bagi Sa„id H{awwa adalah bagaimana praktek tasawuf tidak
memberatkan dan menghambat keinginan orang untuk menyucikan dirinya sesuai
dengan pedoman Alquran dan Sunnah.16
Makna tujuan ini adalah dengan
menjalankan tasawuf akan mengarahkan manusia agar berakhlak mulia sesuai
16
Sa„id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet.
Ke–9,11-12
209
tuntunan Alquran. Tampaknya orientasi tasawuf Sa„id H{awwa bukan menargetkan
untuk mencapai wusu>l atau musha>hadah dan sejenisnya tetapi bagaimana
seseorang merasakan taufik dari Allah yang akan membimbingnya dalam kehidupan
ini. Berkaitan dengan wusul atau bentuk-bentuk kedekatan hubungan dengan Allah
itu merupakan anugerah tergantung intensitas ibadahnya.
Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa Sa„id H{awwa melakukan muja>hadah
dalam tasawufnya supaya terciptanya peningkatan kesucian rohani tanpa
mempersoalkan pengalaman mistiknya. Hanya saja, bagi Sa„id Hawwa pengalaman
mistik demikian tidak pernah terungkap. Sebab pernah dijelaskan juga bahwa dalam
bermuja>hadah tidak ada batasnya, bahkan disebutnya sampai hari akhir.17
Mengalami wus}u>l tidak akan menyudahi perjalanan muja>hadah, bahkan hal itu
membuat kedekatan dengan Allah menjadi bertambah kuat. Itu bagian dari hidayah
Allah. Merasakan hidayah Allah tiada hentinya sebagaimana dinyatakan dalam
Alquran bahwa bagi orang yang telah mendapat hidayah, niscaya Allah tambahkan
hidayah kepadanya.18
Dengan mendapat hidayah semakin menjadikan seseorang
menginginkan hidayah tambahan sebagai bukti bertambah dekat ( rindu kuat - اؼشك
al–‘ishq ) dengan Allah.
Demikian penafsiran sufistik Sa„id H{awwa tentang ayat 69 surat al–
‘Ankabu>t (29) di atas. Tampak dari penafsirannya, Sa„id H{awwa menggunakan
riwayat dan berbagai pendapat ahli sufi dalam mendukung penafsirannya. Cara yang
dilakukannya merupakan bagian dari metodologi penafsiran sufistiknya yang
cenderung memperhatikan zahir ayat.
Sementara itu dalam tafsir Ibnu Arabi ditemukan juga penafsiran tentang ayat
69 tersebut dengan tinjauan sufistiknya. Dimana Ibnu Arabi menafsirkan orang yang
bermuja>hadah dalam ayat tersebut yang dimaksud adalah golongan ahli tarekat.
Dalam melakukan muja>hadah ini, para ahli tarekat mengadakan ritual qalbu dalam
17
Menjalani perintah Allah dan mengikuti Rasulnya sampai hari akhir. Sa„id H{awwa, al–
Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet. Ke–6, 4237 18
Hidayah senantiasa dirasakan dengan ditambah dan ditambah, از٠ ازذا صاد ذ
.رم ارب QS. Muhammad (47):17
210
suluknya dengan meneladani sifat–sifat Allah. Orang yang memulai perjalanan ritual
itu berada pada maqa>m nafs (jiwa/abstrak) dalam sulu>knya dengan melakukan
jihad kepada Allah. Adapun Muja>hadah pada perjalanan ini yaitu merasa hadir
dan istiqa>mah kepada Allah guna tetap pada ) اشالجخ) mendekatkan diri ,) احضس)
tajalli.19
Berkaitan dengan makna ini, penafsiran sufistik Ibnu Arabi memiliki
pandangan yang sama dengan Sa„id H{awwa.
Selanjutnya mengenai hidayah pada ayat tersebut ditafsirkan sebagai jalan
yang menghubungkan kepada zat Tuhan. Menurutnya jalan itu adalah sifat–sifat
ketuhanan sebab sifat–sifat itulah yang menghalangi pada zat Tuhan. Bagi pelaku
suluk dengan sifat–sifat tersebut mengantarkannya kepada hakikat Allah Ta„ala,
dimana Allah adalah sifat yang disifati dan itulah entitas zat yang Esa.20
Jalan
sebagai hidayah yang disebut Ibnu Arabi adalah sifat–sifat yang dianugerahkan Allah
kepada pelaku sulu>k. Bila sifat–sifat ini sudah tercakup maka pelaku sulu>k
bertemu dengan zat Tuhan. Proses menerima sifat–sifat Tuhan demikian dalam ilmu
tasawuf disebut dengan proses tahalli sebelum mencapai tajalli. Seperti dikatakan
Ibnu Arabi juga bahwa muja>hadah bagi pelaku suluk yang istiq>amah akan sampai
pada tajalli.
Istilah–istilah yang digunakan Ibnu Arabi ini seperti tajalli, bertemu sampai
pada zat Tuhan, sifat–sifat Tuhan sebagai jalan yang harus tercermin pada pelaku
sulu>k, tidak pernah muncul dalam penafsiran Sa„id H{awwa. Seperti dikatakan
sebelumnya, Sa„id H{awwa tidak menggunakan istilah–istilah yang menurut logika
sulit dirasakan dan mengganggu akan pandangan keesaan Tuhan bagi orang awam.
Pendekatan yang digunakan Ibnu Arabi dalam mengmukakan istilah–istilah tersebut
sesuai dengan paham dan teori filsafat yang dianutnya tentang kesatuan wujud.
Penafsiran Ibnu Arabi dalam tafsirnya tersebut termasuk pendekatan tafsir sufistik
naz}ari.
19
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,
Cet. Ke–2,129 20
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,
Cet. Ke–2,129
211
Sehubungan dengan pandangan filsafat wujudnya dapat juga dilihat ketika
menafsirkan akhir ayat. Orang muh}sini>n menurutnya adalah mereka yang
menyembah Allah atas musha>hadah. Muh}sin merupakan para sa>lik berada pada
sifat–sifat Allah dan menjadi tetap dengannya karena mereka menyembah dengan
merasakan mura>qabah dan berada pada musya>hadah. Berdasar pada hadis bahwa
menyembah Tuhan seakan melihatnya.21
Bagi para sulu>k dapat melakukan itu
karena sifat–sifat Tuhan sudah tercermin pada diri mereka.
Namun kata Ibnu Arabi, melihat dan menyaksikan ( ؤ٠خ اشدساي ( tidak dapat
dilakukan dengan mata ( اؼ١ ) melainkan melalui fana pada zat Tuhan. Hal itu
dapat terjadi karena sudah melewati taraf tahalli pada sifat–sifatNya.22
Orang
muh}sin bagi Ibnu Arabi adalah mereka yang merasakan fana>‟ dan baqa>’ pada zat
Tuhan. Penafsiran demikian gambaran dari paham wah}datul wuju>dnya terkait
menafsirkan ayat di atas. Ini menunjukkan bahwa penafsiran Ibnu Arabi selalu
berlandaskan pada paham filsafatnya dalam memahami ayat.
Sangat berbeda dengan Sa„id H{awwa yang memahami makna Muh}sini>n
dengan tetap dalam pendekatan makna zahir ayat yaitu mereka yang beramal dengan
apa yang mereka ketahui. Sedangkan penafsiran sufistiknya dikemukakan Sa„id
H{awwa yaitu pada orang muh}sin tersebut Allah memberikan hidayah kepada
mereka terhadap apa yang tidak mereka ketahui.23
Maksud Sa„id H{awwa disini
tampaknya berkaitan dengan keberhasilan dalam muja>hadah. Bila dihubungkan
dengan penjelasan Sa„id H{awwa tentang makna hidayah yang dimiliki oleh orang
yang berhasil dalam muja>hadah yaitu merasakan wus}u>l kepada Allah, dapat
dipahami bahwa sesuatu yang tidak diketahui, maksudnya adalah terbukanya perkara
gaib yang selama ini terh}ijab. Artinya muh}sini>n dalam hal ayat ini telah
mengalami keadaan kashaf. Berdasarkan kepada struktur ayat, makna ini semakin
21
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,
Cet. Ke–2,129 22
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,
Cet. Ke–2, 129 23
Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8, Cet.
Ke–6, 4237
212
terang bahwa orang muh}sin yang dimaksud dalam ayat salah satu cirinya adalah
orang yang melakukan muja>hadah dan telah mendapatkan berbagai jalan yang
dijanjikan Allah. Adapun makna jalan pada intinya sesuai pengertian Sa„id H{awwa
dan Ibnu Arabi adalah merasakan dekat sedekatnya dengan zat Allah.
Orang yang telah mencapai muh}sin sebagaimana disebut ayat diatas
merupakan orang yang telah mendapat hidayah yang tidak dimiliki orang umum.24
Dengan hidayah tersebut menjadikannya semakin bertambah dekat karena rindu
(‘ishq ) maka Allah akan tambah hidayah untuknya. Maka tidak heran bila Nabi yang
sudah ma‘s}u>m bertambah rajin ibadah karena Allah akan selalu menambahkan
hidayahNya. Dengan begitu manusia semakin haus akan hidayah seperti yang
dirasakan muh}sini>n dan yang dicontohkan Nabi.
2. Ayat 17 Surat Muhammad (47)
Sehubungan dengan bertambahnya hidayah bagi orang yang telah mendapat
hidayah dijelaskan oleh Allah dalam Surat Muhammad (47) ayat 17.
25
Orang yang mendapat hidayah akan meraih tambahan hidayah, seperti
disebutkan Sa„id H{awwa;
صاد اهلل ذ وشب أ : صاد ذ أ, از٠ ازذا ئ اهلل ثغن اطش٠ك اإد ئ ره
.أػب ػ١ب: ارب رما أ .اششاح صذس 26
Dan orang-orang yang telah mendapat hidayah dengan menempuh jalan yang
mengantarkan mereka menuju Allah maka ditambahkan kepada mereka
24
Pengalaman hidayah ini pernah dialami juga oleh pemuda kahfi. Lihat, QS. Al–Kahfi (18):
13. Mereka merasakan hidayah yang tidak dimiliki oleh orang umum, karena muja>hadah yang
sungguh–sungguh dilakukan.
25 Artinya; Dan orang–orang yang mendapat hidayah, Allah tambahkan hidayah kepada
mereka dan diberikan kepada mereka(balasan)akan ketakwaannya. Alquran dan Terjemahnya, Depag-
Mujamma‟ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
26 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.
Ke–6, 5312
213
hidayah yaitu kemuliaan serta dada yang lapang. Dan diberikan ketaqwaan
artinya menolong mereka.
Makna tambahan hidayah dipahami lebih dalam menurut Sa„id H{awwa
adalah: dilimpahkannya pengetahuan dan penyingkapan mata hati.
.صاد اهلل ثص١شح ػب27
Maksudnya ialah Allah melimpahkan kepadanya pengetahuan dan penyingkapan
mata hati menerima rahasia gaib/metafisik (bas}irah).28
Anugerah Allah ini melebihi
pengetahuan yang diperoleh bagi orang yang melakukan muja>hadah pada ayat 69
al-‘Ankabut diatas. Makna hidayah disini adalah setelah meraih hidayah seperti
penjelasan ayat 69 tersebut.
Taqwa menurut Sa„id Hawwa merupakan anugerah seperti dijelaskannya;
.ئ ز اال٠خ رج١ أ ازم حخ اهلل ىبفأح ؼجذ ػ ازذائ29
Sesungguhnya ayat di atas menyatakan bahwa ketaqwaan adalah anugerah
balasan dari Allah kepada hambanya sebagai hidayahNya.
Taqwa sebagai pemberian (anugerah) Allah yang muncul sebagai hadiah atas
usaha manusia. Ayat ini menurut Sa„id H{awwa sangat berkaitan dengan ayat
terdahulu al-‘Ankabut: 69, bahwa muja>hadah adalah sarana (alat) hidayah
qalbiyah menuju kepada Allah, sedangkan hidayah mukaddimah menuju taqwa.
Urutannya dapat dirumuskan yaitu muja>hadah mengantar sampai hidayah, hidayah
mengantar menuju taqwa.30
Melihat urutan ini predikat taqwa lebih tinggi dari
muh}sini>n, sebab tahapan hidayah berada di pertengahan dalam urutan di atas yang
menggambarkan predikat muh}sini>n. Muh}sin adalah sifat orang yang memperoleh
27
Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.
Ke–6, 5312 28
Menurut Tahanawi, hal ini dalam tasawuf bisa diketegorikan kepada musha>hadah
qulu>b; سؤ٠خ احك ثجصش امت غ١ش شجخ وأ سا ثبؼ١ . Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–
Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 163 29
Dengannkata lain, taqwa timbul setelah adanya hidayah, hidayah timbul sebagai pengaruh
muja>hadah. Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8,
Cet. Ke–6, 4237 30
Muja>hadah-menghasikkan Hidayah- kemudian hidayah menghasilkan Taqwa. Sa„id
H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9,119. Lihat
juga; Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8, Cet. Ke–6,
4237-8. Permulaannya adalah muja>hadah nafs yaitu tilawah Alquran, s}alat dan zikir,
214
hidayah. Pemahaman ini ada benarnya juga bila diperhatikan ayat Alquran yang
sering mengungkapkan dan menjanjikan bahwa surga disediakan bagi orang yang
bertaqwa.31
Namun ciri orang bertaqwa dalam ayat selanjutnya secara tidak langsung
juga merupakan bagian dari ciri orang muh}sin. 32
Dengan demikian dapat diambil
pengertian bahwa muh}sin dan muttaqi>n dua sifat yang tidak bisa dipisahkan.
Sebab dalam muh}sin mengandung sifat taqwa, sebaliknya dalam muttaqi>n
terdapat pula sifat–sifat muh}sin. Artinya dalam pribadi muttaqi>n sudah tersimpul
muh}sin.33
Selanjutnya ditegaskan Sa„id H{awwa bahwa muja>hadah merupakan
permulaan yang lurus/benar dalam menempuh perjalanan sulu>k menuju Allah.
Seperti kata Nabi, muja>hid adalah orang yang melakukan muja>hadah dirinya pada
Allah. Inilah yang disebut dengan muja>hid karena hidayah membawanya kepada
jalan ( ئ اغج ) termasuk padanya qita>l fisabilillah, tidak ada diperoleh subu>l
tanpa muja>hadah. Adapun qita>l memerangi nafsu tidak diterima kecuali setelah
hidayah. Inilah poin pertama dalam muja>hadah yaitu muja>hadah nafs.34
Muja>hid
menghadapi nafsu mendapatkan hidayah dari Allah, kemudian hidayah membuka
jalan sampai kepada Allah dengan keberhasilan dalam qita>l nafsu.
Adapun penafsiran Sa„id H{awwa terkait dengan muja>hadah berdasarkan
ayat 69 surat al–‘Ankabu>t diatas, pertama ia mengemukakan makna zahir ayat
dengan mengutip dari tafsir Ibnu Kathir dan dikembangkan dengan penjelasannya.
Kemudian ia mengemukakan pandangan mufasir lain mengungkap makna
31
Lihat QS. Ali Imran (3): 133, Muhammad (47): 15, al–Hijr (15): 45, an–Nahl (16): 30, ash–
Shu‘ara>’` (26): 90 32
Lihat QS. Ali Imran ( 3 ) : 134 33
Kalau dibuat tingkatannya; islam–muslim, iman–mukmin, ihsan–muhsin, taqwa–muttaqin.
Muh}sin jika dipahami termasuk sifat yang abstrak, sebagaimana petunjuk Nabi dalam hadis yang
menerangkan tentang islam, iman dan ihsan. Islam dan iman kualitas bisa terlihat, terukur berpedoman
pada rukun masing-masing, sedangkan ihsan tidak terukur karena sifatnya yang abstrak. 34
Menurut Sa„id H{awwa berkenaan dengan muja>hadah ini ada mencakup empat tingkatan.
Dasarnya iman kepada Allah serta keesaanNya dan iman kepada Muhammad Rasulullah. Dasar kedua,
melaksanakan segala kewajiban berbagai aspeknya yang diperintahkan. Tingkatan ketiga, menjadikan
hal-hal sunat sebagai kebutuhan diri. Tingkatan keempat, disebutnya sebagai rukun muja>hadah yaitu;
al–’uzlah, as}–s}amtu, as–sahru dan al–ju>’. Sa„id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo:
Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9,119-121
215
isha>rinya, di samping pendapat para sufi. Ia juga mengemukakan hadis Nabi untuk
mendukung penafsirannya.
Dalam teori Sa„id H{awwa, ia mengategorikan beberapa ayat di awal surat
sebagai mukaddimah surat. Setelah melihat hubungan tersebut kemudian
diperhatikan juga hubungan dengan ayat lain seperti mengaitkan dengan surat al–
Baqarah ayat ke 5. Pembahasan pada bagian ini lebih terarah kepada mengkaji
hubungan zahir ayat.
Selanjutnya langkah ketiga membahas penafsiran lebih luas dan dalam dari
pada makna ayat tersebut termasuk menjelaskan makna sufistiknya. Disini
dikemukakan berbagai argumen untuk mendukung penafsirannya. Mulai dari
pendapat mufasir, tokoh sufi, juga dikemukakan hadis Nabi bahkan disebutkan juga
ayat lain untuk memperkuat dan menambah penjelasannya.
Dalam menafsirkan ayat Sa„id H{awwa tidak mengklasifikasikan
penafsirannya atau menentukan antara makna zahir dan makna sufistiknya. Kedua
makna tersebut dikemukakan tanpa memberi penegasan masing–masingnya.
Dalam metode penafsiran ayat ini, Sa„id H{awwa tidak menyorot aspek lain
seperti, makkiyah dan madaniyah. Aspek ini bila dicermati akan menambah alasan
dalam memahami makna zahir ayat disamping aspek muna>sabah sebagai
metodologi pokok dalam penafsiran Sa„id H{awwa.
Melihat pembahasan Sa„id H{awwa dalam menafsirkan tema muja>hadah
dalam ayat diatas tampak bahwa ia menggunakan pendekatan makna zahir dan
makna isha>ri. Makna isha>ri dikemukakan setelah menjelaskan makna zahir ayat.
Dengan demikian, penafsiran Sa„id H{awwa dapat digolongkan pada tafsir sufi
isha>ri.
Pandangan Sa„id H{awwa dalam penafsirannya terkait muja>hadah, dipahami
bahwa muja>hadah adalah cerminan perjalanan sa>lik guna menuju sampai kepada
Allah.
Diantara muja>hadah yang utama menurutnya adalah muja>hadah
menghadapi nafsu yang ada pada diri. Hasil dari muja>hadah akan menimbulkan
216
hidayah berupa jalan sampai kepada Allah. Sa„id H{awwa tidak menjelaskan tentang
bentuk sampai kepada Allah, tapi secara implisit dipahami bahwa Sa„id H{awwa
mengakui bahwa Allah akan membuka jalan bagi hamba yang sungguh–sungguh
bermuja>hadah pada zatNya untuk sampai kepadaNya. Namun sekali lagi hubungan
antara hamba dan Tuhan tidak seperti yang digambarkan Ibnu Arabi. Berbeda dengan
Ibnu Arabi yang secara terang menyebutkan dengan istilah–istilah seperti tajalli pada
zat Tuhan setelah melalui fana>‟ pada sifat–sifat Tuhan.
Memperhatikan penafsiran Sa„id H{awwa terkait hasil muja>hadah yang
dilakukan hamba bisa disebut berada pada tingkat kashf dan ia tidak menyatakan
hubungan hamba membentuk kesatuan dengan Tuhan seperti pendapat para sufi
falsafi. Dengan demikian pandangan tasawuf Sa„id H{awwa dalam hal ini merupakan
cerminan aliran tasawuf amali.
B. Tafsir Ayat tentang Kashf
Pengertian kashf sebagaimana terungkap dalam mu‘jam istilah sufi adalah
suatu hal gaib yang tersembunyi dari pemahaman, menjadi terbuka bagi seorang
hamba seakan ia melihat dengan nyata. Dikatakan oleh Abu Muhammad al–Jurairi “
siapa yang tidak menjadikan amalan antara ia dan Allah membawanya pada taqwa
dan mura>qabah berarti ia tidak sampai pada kashf dan musha>hadah. Padahal
dengan kashaf terbuka makna gaib baginya yang selama ini terh}ijab.35
Ditambahkan
oleh an-Nuri bahwa muka>shafah ‘uyun (mata) diwujudkan dengan penglihatan,
muka>shafah qulu>b (hati) diwujudkan dengan ittis}a>l.36
Kashf atau muka>shafah
dapat dialami melalui penglihatan mata (kesadaran) tentang hal gaib yang terh}ijab
dan dapat terjadi bagi orang yang bertaqwa dan merasakan kedekatan dengan Allah.
35
Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993), Cet. Ke–1,147. Lihat juga; Syarif Ali bin Muhammad al–Jarjani, Kitab Ta’rifa>t
(Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1988/1408 H), Cet. Ke–3,184 36
Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993), Cet. Ke–1,147. Diantara pengertian ittis}a>l yaitu seorang hamba tidak menyaksikan
selain Allah. Abi Khazam, Mu‘jam …, 38
217
Hal itu bisa tumbuh dengan latihan amalan–amalan dan ibadah seperti puasa yang
pada prinsipnya bertujuan membentuk insan bertaqwa.
1. Ayat 42 surat Ali Imran (3)
Peristiwa yang dialami Maryam mengenai komunikasinya dengan malaikat,
menggambarkan bahwa manusia dapat berhubungan nyata dengan malaikat. Hal
tersebut terungkap dalam Alquran surat Ali Imran (3) : 42.
Sa„id H{awwa menyatakan dalam tafsirnya bahwa ayat diatas merupakan
komunikasi nyata antara malaikat dan Maryam. Bentuk kesucian Maryam
disebutkannya;
طشن ب ٠غزمزس األفؼبي األحاي , أ اهلل لذ اخزبسب ىثشح ػجبدرب صبدرب ششفب
38.األلاي األوذاس ااجظ اعاط
Sesungguhnya Allah telah memilihnya karena ia banyak melakukan ibadah,
memiliki sikap zuhud dan kemuliaan akhlaknya. Allah telah menyucikannya
dari berbagai kekotoran seperti perkataan, keadaan, perbuatan, hal yang tidak
suci, bisikan jahat ataupun khayalan.
Pada diri Maryam tercermin bermacam sifat mulia dan ia terpelihara dari hal-
hal salah yang sering dilakukan oleh kebanyakan manusia. Sebut misalnya dari segi
pembicaraan, perbuatan yang rawan menimbulkan dosa, sedangkan Maryam
terhindar dari itu semua. Faktor lain yang meninggikan derjat Maryam adalah sikap
zuhud pada dunia. Seperti dikatakan Abdul Qadir al-Jailani, bila cenderung pada
dunia maka mendapat dua kerugian (dunia-akhirat) dan siksaan. Al-Ja>hil (bodoh)
adalah orang yang semua harapannya untuk dunia, sedangkan al-‘Arif (sufi) semua
37
Artinya; Dan (ingatlah) ketika malaikat berkata, “Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah
memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita didunia.” Alquran dan
Terjemahnya, Depag-Mujamma‟ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
38 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke–6, 765
218
harapannya untuk akhirat.39
Sikap zuhud yang dimiliki maryam berdasarkan
penjelasan al-Jailani, sudah sampai pada tingkat ma‘rifah. Orang yang sampai pada
ma‘rifah akan terbuka baginya kashf seperti yang dialami Maryam yang
berkomunikasi dengan malaikat.
Menurut Sa„id Hawwa, dialog antara Maryam dan malaikat bukan hanya
terjadi saat bertemu Jibril saja, tapi sudah pernah sebelumnya;
ب ٠ش٠ذ اهلل ثب , ئ االئىخ أشب ثىثشح اؼجبدح اخشع اشوع اغجد اذأة ف اؼ
سفؼخ ف اذاس٠ ثب أظش اهلل ف١ب لذسر , األشاز لذس ب لضب ب ف١ حخ ب
40.اؼظ١خ ح١ث خك ب ذا غ١ش أة
Sesungguhnya malaikat telah memerintahkan Maryam agar memperbanyak
ibadah, khusyu„,ruku„, sujud dan sungguh-sungguh dalam beramal. Ketika
Allah menginginkan suatu perkara yang telah ditetapkanNya dalam rangka
menguji dan meninggikan derjatnya di dunia dan akhirat. Allah telah
menampakkan kekuasaanNya pada Maryam untuk menciptakan seorang anak
laki-laki tanpa bapak.
Penafsiran sufistik diatas menjelaskan bahwa sebelum Maryam mengalami
kejadian tersebut, ia telah rajin beribadah dan telah mendapat berbagai perintah dari
para malaikat. Ibadah yang dilakukan selama ini menjadikan ia seorang yang sangat
dekat dengan Allah bahkan istilah para sufi ia disebut dengan ‘arif. Predikat
kesalehannya diuji oleh Allah dengan menjadikan Maryam layaknya wanita hamil
tapi tidak memiliki suami. Akhirnya Maryam menanggung kehamilan sampai
melahirkan seorang rasul (Isa. as). Artinya Maryam berhasil menghadapi ujian berat
tersebut. Peristiwa Maryam ini menggambarkan bahwa semakin tinggi ketaqwaan
seseorang maka ia akan diberikan Allah ujian yang lebih berat pula.
Pengertian mendalam dari penafsiran Sa„id Hawwa diatas terkait dengan
kedudukannya sebagai orang yang dipilih dan disucikan. Allah telah memilih
Maryam ( ), sebagaimana disampaikan malaikat kepada
39
Abdul Qadir Al-Jailani, al-Fath}u ar-Rabba>niy wa al-Fayd}u ar-Rahma>niy (Beirut:
Darul Kutub al-Ilmiyah, 1424/2003), Tahqiq: Shaikh Anas Mihrah, Cet.ke-2, 63 40
Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke–6,765
219
Maryam dimaksudkan bahwa Allah akan mengujinya ( Adapun berkaitan .( حخ ب
dengan makna kesucian yang disampaikan malaikat ( ) menunjukkan bahwa
Allah akan memberikan seorang anak laki-laki yang suci untuk Maryam ( .(غالب صو١ب
Kesucian anak yang dimaksudkan kepada Maryam adalah kehamilannya tidak
didahului oleh pencampuran biologis antara Maryam dengan seorang pria.
Ketaatan dan sifat kesalehan yang dimiliki oleh Maryam yang bukan sebagai
seorang nabi/rasul sehingga mampu berkomunikasi dengan malaikat merupakan
pengalaman manusia biasa. Namun demikian, kualifikasi kesalehan Maryam diatas
kesalehan rata-rata manusia biasa. Keadaan Maryam yang diceritakan Alquran,
menggambarkan bahwa ketaatan serta ketekunan ibadah para nabi/rasul agar jangan
dilihat statusnya sebagai nabi tapi harus dilihat sebagai manusia biasa (basyar / ثشش).41
Sebab, manusia biasa (bukan nabi) seperti Maryam bisa juga mempunyai akhlak
mendekati akhlak para nabi. Oleh karena itu, dengan melihat kisah Maryam ini dapat
mendorong para mukmin lainnya meniru ketaatan dan akhlak Maryam tersebut.
Maryam sendiri sudah membuktikan bahwa setiap mukmin berpotensi mencapai
ketinggian akhlak dengan meneladani para nabi.
Kondisi maryam yang berkomunikasi dengan malaikat menjadi dasar bahwa
bagi orang biasa yang bukan seorang Nabi, mungkin saja melakukan dialog
(mukha>t}abah) berhadapan dengan malaikat atau terbuka kepadanya pintu
kara>mah dari alam gaib. Ayat ini salah satu dalil yang membuktikan akan hal itu
dimana Maryam hanyalah seorang s}iddiqah42
(teguh imannya atau salehah) dan
bukan tergolong Nabi. Siapa yang mendatangi Allah dengan ibadah sunat maka Allah
41
QS. Fus}s}ilat (41): 6, Katakanlah, sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa yang
diberikan wahyu untuk mengatakan bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang Esa, ل ئب أب ثشش ثى
...٠ح ئ أب ئى ئ احذ Lihat juga,QS. al-Kahfi (18): 110, al-Furqa>n (25): 20.
42 Pengertian sufistiknya adalah sangat benar keyakinannya mengikuti ajaran nabi
Muhammad; از و ف رصذ٠ك و ب جبء ث سعي اهلل ػب لال فؼال ثصفبء ثبط لشث جبط اج . Orang
yang sempurna dalam membenarkan semua yang berasal dari Nabi saw menyangkut pengetahuan,
perkataan dan perbuatan karena bersih dan merasa dekat batinnya dengan batin Nabi saw. Anwar Fuad
Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–
1,109
220
akan membukakan h}ijab baginya, jika dikehendaki.43
Allah memberikan kemuliaan
pada Maryam seperti demikian dikarenakan frekuensi ibadah yang selalu dilakukan
kepada Allah dan sikap zuhudnya. Kemudian Allah melebihkan Maryam dari wanita
di dunia dan sebagai kemuliaan baginya yaitu ia melahirkan seorang putera (Isa AS)
tanpa ayah.44
Tidak ada wanita lain yang melahirkan bayi menyerupai dengan proses
yang terjadi pada Maryam.
Melihat penafsiran Sa„id H{awwa terkait peristiwa Maryam diatas, secara
metodologis makna sufistik yang dikemukakannya mengikuti pengertian zahir ayat
sehingga penjelasannya tampak berpijak pada makna zahir. Makna yang
dijelaskannya didukung oleh ayat atau keterangan lain. Sa„id H{awwa memahami
bahwa kashaf yang terjadi pada orang mukmin biasa adalah sebagai anugerah Allah
dari kemurnian ibadah yang dilakukan. Sa„id H{awwa menafsirkan percakapan
Maryam dengan malaikat sebagai bentuk kashf. Penafsirannya ini sejalan dengan
makna zahir ayat, artinya Sa„id H{awwa memahami kashf berpegang pada konteks
ayatnya. Dengan demikian, penafsiran sufistik Sa„id H{awwa mencerminkan tafsir
sufi isha>ri.
Sementara itu Ibnu Arabi dalam tafsirnya menyebutkan Maryam yang ditemui
malaikat sebagai jiwa yang bersih, suci dimana Allah telah membersihkannya (
dari akhlak buruk serta ( طشن ) dari nafsu syahwat dan menyucikannya ( اصطفبن
sifat tercela. Lanjutan ayat maksudnya, membersihkan engkau dari nafsu–nafsu
43
Sebagaimana dipahami dalam ajaran Islam bahwa Allah tidak mengutus seorang Rasul
melainkan seorang laki–laki. Disebutkan dalam ayat 109 surat Yusuf; ب أسعب لجه ئال سجبال ح
artinya, Kami tidak pernah mengutus Rasul sebelummu kecuali dari golongan laki–laki yang ئ١
kami berikan wahyu kepadanya. Adapun Maryam bukanlah seorang Nabi ataupun seorang Rasul.
Lihat; Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet. Ke–
6,766. Lihat juga; Sa‟id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007
M), Cet. Ke–9,163. 44
Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.
Ke–6, 765
221
shahwa>niyyah diantara wanita lainnya demikian Ibnu Arabi.45
Dijelaskannya bahwa
nafsu shahwa>niyyah yaitu perbuatan keji, sifat–sifat buruk dan hina.46
Penafsiran Ibnu Arabi diatas terkait ayat 42 surat Ali Imran (3) terlihat masih
menggunakan pendekatan makna zahir ayat. Namun kemudian muncul perbedaan
dengan penafsiran Sa„id H{awwa terkait dengan istilah kashf. Dalam ayat tersebut,
Ibnu Arabi tidak menyebut hal itu sebagai bentuk kashf tentang peristiwa yang
dialami Maryam sebagai manusia biasa yang berjumpa dengan malaikat Jibril.
Tampaknya Ibnu Arabi tidak menyorot wujud komunikasi antara malaikat dengan
Maryam sebagai bentuk komunikasi verbal hakiki. Berdasarkan pandangan Ibnu
Arabi, Ia memahami bahwa peristiwa luar biasa seperti kashf bukan dalam bentuk
wujud nyata atau fisik tapi bersifat ru>h}ani. Karena itu menurut Ibnu Arabi
pengalaman sufistik tidak dapat dilukiskan (visualisasi) tapi hanya dirasakan.
Kenyataan ini terlihat ketika Ibnu Arabi menafsirkan rezki yang dihadapi
Maryam diruangannya yang diketahui oleh nabi Zakariya setiap masuk ke tempat
Maryam. Menurut Ibnu Arabi rezki itu adalah berbentuk rezki ru>h}ani yang
meliputi pengetahuan, ilmu hakekat–hakekat dan atau hikmah sufistik.47
Sekalipun
Ibnu Arabi seorang sufi tapi pemikiran sufistiknya banyak dipengaruhi oleh teori
filsafat. Sesuai dengan teori pemikiran filsafat yang berpikir secara logis, rasional
tidak khayalan. Ini akan berseberangan dengan keberadaan kara>mah atau hal yang
dianggap bersifat magic yang sepintas terkesan tidak rasional.
2. Ayat 19 surat Maryam (19)
Sekalipun Maryam bukan Nabi, menurut Sa„id H{awwa dengan berlandaskan
pada nas} Alquran, dapat saja Allah membukakan h}ijab sehingga ia bisa bertemu
45
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,
Cet. Ke–2, 127 46
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,
Cet. Ke–2, 127 47
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1,
Cet. Ke–2, 126
222
dengan malaikat. Berkaitan dengan ini, Sa„id H{awwa mengemukakan ayat 19 surat
Maryam (19);
Makna ayat diatas dijelaskan Sa„id Hawwa bahwa Maryam tinggal sendirian
pada tempat yang sangat tertutup. Tiba-tiba ia didatangi malaikat dan terjadi dialog
sebagaimana layaknya manusia.
فزث ب ججش٠ ػ .ججش٠ ػ١ اغال ئضبفخ اشح ئ اهلل زشش٠ف: ئ١ب سحب أ
. صسح ئغب رب وب غز اخك49
Istilah “ roh kami “ yang dimaksud adalah malaikat Jibril, penyandaran
(penisbahan) roh kepada Allah dimaksudkan untuk memuliakan
keberadaannya. Maka Jibril menyerupai manusia sempurna seperti manusia
biasa.
Dinamakan ru>h} karena agama hidup melalui perantaraan Jibril sebagai
pembawa wahyu.50
Perupaan malaikat saat itu seperti manusia sempurna agar
memudahkan dalam berkomunikasi dan Maryam tidak merasa takut
menghadapinya.51
Tidak takut dalam artian terkait dengan informasi yang akan
disampaikan (misi yang dibawa) malaikat yaitu tentang berita Maryam akan memiliki
anak. Kalau dalam hal berhadapan dengan malaikat, Maryam tidak gentar atau cemas
48
Artinya; Lalu kami mengutus roh kami kepadanya maka ia menjelma dihadapannya (dalam
bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata, “ Sesungguhnya aku berlindung dari padamu
kepada Tuhan yang pemurah, jika kamu seorang yang bertaqwa. Ia berkata, “ Sesungguhnya aku ini
hanyalah seorang utusan Tuhanmu untuk memberimu seorang anak laki–laki yang suci. Alquran dan
Terjemahnya, Depag-Mujamma‟ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
49 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet.
Ke–6, 3262 50
Untuk menyebutkan nama lain dari malaikat Jibril adalah Ru>h}. Penggunaan istilah ini
terdapat juga dalam Alquran surat al–Qadr (97): 4; رضي االئىخ اشح ف١ب ثار سث و أش artinya, pada malam itu turun malaikat–malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk
mengatur segala urusan. Istilah ruh ini mengandung kehidupan, manusia hidup karena ditiupkan ruh.
51 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet.
Ke–6, 3262
223
karena dia sudah pernah menghadapinya.52
Sikap biasa yang ditunjukkan Maryam
tercermin dalam dialognya.53
Penyerupaan malaikat yang dihadapi Maryam termasuk peristiwa luar biasa
(istimewa) yang dialami oleh jiwa yang suci. Ditegaskan oleh Sa„id H{awwa bahwa
yang dialami Maryam adalah kashf yang nyata.
ئر ف اى ششػب أ ٠ىشف اهلل ػضج غ١ش االج١بء اشع ػ االئىخ ثح١ث ٠غغ
54.ز احبخ ٠غ١ب اصف١خ وشفب, أ ٠ش ىب
Berdasarkan pada aturan shara‘ mungkin saja terjadi bahwa Allah membuka
tabir kepada selain dari para nabi dan rasul untuk mendengar atau melihat
akan malaikat. Keadaan yang dialami demikian menurut para sufi disebut
dengan peristiwa kashf.
Dari penjelasan ini dipahami bahwa peristiwa yang dialami Maryam
merupakan anugerah Allah pada orang biasa sebagai bukti kesalehannya. Dia
menghadapi malaikat Jibril dengan melihat dan mendengar suaranya sebagai sosok
seorang manusia. Peristiwa ini dalam istilah sufi disebut sebagai muka>shafah
‘uyu>n (mata).55
Sejalan dengan Sa„id H{awwa, Ibnu Arabi juga menyebut penjelmaan
malaikat tersebut sebagai manusia yang rupawan sebagaimana dipahami pada ayat 19
diatas untuk menjinakkan hati Maryam. Disebutkan bahwa kejadian yang dialami
Maryam ibarat orang bermimpi dan setelah peristiwa itu tiba–tiba ia mengandung.
Ibnu Arabi membandingkan bahwa munculnya wahyu juga sering dialami melalui
mimpi yang benar. Ibnu Arabi juga memahami bahwa penjelmaan Jibril menyerupai
52
Artinya bukan kejadian baru bagi Maryam, seperti dijelaskan Sa„id Hawwa. Lihat; Sa„id
H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet. Ke–6,765
53 Ketika Jibril menjelma sebagai sosok manusia dihadapan Maryam, dia hanya terheran
bercampur takut terhadap akibat dari berita yang disampaikannya. QS. Maryam (19): 18-20
54 Sa‟id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet.
Ke–9,163. 55
Biasanya istilah muka>shafah ada juga disebut dengan musha>hadah, demikian Tahanawi.
. Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan,
1993), Cet. Ke–1,147 & 167.
224
manusia sempurna supaya Maryam tidak gentar atau ketakutan.56
Terkait dengan
peristiwa yang dialami Maryam tersebut, dalam tafsir Ibnu Arabi tidak disebutkan
sebagai bentuk kashaf. Memang dalam penafsiran sufistik masing-masing sufi belum
tentu sama dalam memahami ayat sebab hal itu sangat berkaitan dengan pengalaman
ibadah dan tingkat kesufian.
Sehubungan dengan kashf menurut Ibnu Arabi dipahami dari ayat lain
diantaranya dalam surat Ali Imran (3) ayat 200. Sabar ( صبثشا ( dalam ayat tersebut
berkedudukan pada qalbu tempat merasakan kashf masuk (menyerbu) dalam tajalli
sifat Tuhan dengan proses muka>shafah.57
Kekuatan sabar yang dibina seseorang
intinya berada pada kekuatan qalbu yang dimiliki. Kekuatan sabar puncaknya akan
mengalami kashf dengan meningkat pada tajalli setelah berada pada tingkat tah}alli.
Selain itu, makna kashf ditemukan juga pada penafsiran tentang rid}a dalam ayat 100
surat at–Taubah. Menurut Ibnu Arabi kerid}aan hamba muncul ketika terjadinya
penyingkapan sifat–sifat Tuhan yang terwujud ketika mengalami kashf.58
Rid}a dan
kashf berjalan saling mendekati artinya kerid}aan hamba ditandai juga dengan
mengalami kashf.
Untuk memahami makna kashf dalam Alquran, para mufasir sufi tidak selalu
sama pandangannya seperti Ibnu Arabi diatas. Hal sama juga terlihat dalam
penafsiran Tustari ketika memahami kashf berdasarkan ayat 159 surat Ali Imran (3).
Kashf menurut at-Tustari dapat muncul dalam kondisi orang yang betul–betul
bertawakal kepada Allah sehingga Allah menyingkapkan hijab maka hamba
56
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2,
Cet. Ke–2, 5 57
.٠ب أ٠ب از٠ اا اصجشا صبثشا ساثطا ارماهلل ؼى رفح Lihat; Ibnu Arabi,
Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1, Cet. Ke–2, 159
58 Lihat penjelasan Ibnu Arabi tentang maqa>m rid}a; Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi
(Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1, Cet. Ke–2,293. Pemahaman Ibnu Arabi
tentang kashaf dapat juga dijumpai pada ayat lain. Masing–masing mufasir sufi tidak selalu sama
dalam melihat kandungan ayat–ayat tasawuf termasuk memaknai suatu ayat terkait aspek ajaran
tasawuf seperti kashaf diatas. اغبثم األ ابجش٠ األصبس از٠ ارجؼ ثاحغب سض
. اهلل ػ سضاػ أػذ جبد رجش رحزب األبس خبذ٠ ف١ب أثذا ره افص اؼظ١
225
memperoleh tambahan ilmu dan hikmah.59
Dengan demikian menurut at-Tustari
kashf merupakan implikasi dari tawakal. Sebagai implikasi dari tawakal yang
dimaknainya dengan terbukanya kashf dari Allah yaitu dengan memperoleh berbagai
ilmu sebagai pertanda dekatnya hubungan antara hamba dengan Allah. Kashf ini
merupakan kondisi yang dialami pelaku tasawuf sehingga perihalnya bisa dipahami
dengan menelusuri makna ayat yang mengandung pengertian demikian sesuai
pandangan masing–masing sufi.
Berkenaan dengan ayat 159 tersebut Sa‟id Hawwa tidak memahaminya
sebagai bentuk kashf. Ia menafsirkan kashf sesuai pendekatan makna zahir suatu ayat
yang memang mengandung pemahaman akan hal itu seperti ayat 42 surat Ali Imran
diatas. Sementara itu Tustari juga tidak menjelaskan ayat 42 surat Ali Imran (3)
sebagai bentuk peristiwa kashf sebagaimana yang dialami Maryam. Bahkan at-
Tustari tidak menyorot ayat tersebut sebagai ayat bercorak tasawuf justru ayat 43
yang menjadi perhatiannya.60
Untuk meninjau makna sufistik suatu ayat sering dipengaruhi oleh
pengalaman spiritual ataupun riyad}ah, sikap zuhud dan ketekunan ibadah. Adapun
makna kashf juga ditemukan dalam pandangan at-Tustari menyangkut ayat 17 surat
Sajadah (32).61
Ayat ini menceritakan tentang hal yang tersembunyi dari pandangan
mata. Menurut Tustari, mata hanya melihat fakta yang zahir. Sedangkan aspek batin
tersingkap bagi mereka yang sering bermuna>jat yaitu mengalami muka>shafah
maka mereka melihat diluar zahir sehingga hati menjadi damai sementara yang lain
tidak mengetahui apa yang disembunyikan bagi mereka.62
Berdasarkan ayat ini,
59
Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I, 51 فارا ػضذ فزو ػ اهلل ئ اهلل ٠حت ازو١. 60
Sebagai dijumpai dalam tafsirnya bahwa makna ٠ب ش٠ الز شثه اعجذ اسوؼ غ اشاوؼ١
taatlah ( الز ( dalam ayat 43 ditafsirkan Tustari yaitu s}alat karena Allah, menyembah dengan ikhlas
hanya kepadaNya dan memanjatkan doa kepadaNya. Lihat; Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy
(Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 48
61 Ayatnya; فال رؼ فظ ب أخف لشح أػ١
226
dalam pandangan at-Tustari peristiwa kashf dapat menangkap rahasia- rahasia dibalik
hal–hal zahir yang tidak diketahui oleh orang lain.
Ayat ini dipahami oleh Sa„id H{awwa sebagai suatu kara>mah bagi orang
yang melakukan amal saleh. Seseorang tiada mengetahui akan kara>mah pertanda
kemuliaan yang menyenangkan pandangan.63
Penafsiran Sa„id H{awwa ini ada kaitan
makna dengan yang dikemukakan Tustari diatas, hanya Sa„id H{awwa tidak
menyebut istilah muka>shafah tapi disebut sebagai kara>mah. Artinya kashaf adalah
bagian dari bentuk kara>mah yang dialami oleh orang yang memiliki kesucian jiwa.
Dari penafsiran sufistik Sa„id H{awwa terkait kashf, terlihat bahwa
pengalaman kashf dapat dirasakan oleh siapa saja yang bersih rohaninya dan
pengalaman sufistik demikian dapat dialami dalam kondisi nyata. Ia melihat peristiwa
Maryam sebagai bentuk kashf yang nyata. Sementara pandangan Ibnu Arabi dalam
penafsirannya menyebutkan bahwa pengalaman sufistik tidak dalam bentuk nyata
fisik tapi bersifat ruhani. Dari pandangan diatas dapat ditegaskan bahwa menurut
Ibnu Arabi muka>shafah terjadi dalam bentuk muka>shafah qalbu sementara Sa„id
H{awwa meyakini dua-duanya yaitu muka>shafah qalbu dan muka>shafah ‘ain.
Adapun Tustari dari penafsiran–penafsirannya juga bisa dipahami, bahwa ia
mengakui muka>shafah dapat terjadi didunia nyata sebagaimana dikemukakan pada
uraian diatas. Kesimpulan ini didukung juga dari penglamannya tentang kara>mah
yang yang diceritakan dalam tafsirnya, maka itu dapat dijadikan suatu bukti.
Berdasarkan pandangan Sa„id Hawwa dalam beberapa penafsirannya, dapat
disimpulkan bahwa penafsiran sufistik yang dikemukakan tentang kashf sejalan
dengan pandangan beberapa ahli sufi. Seperti pandangan an-Nuri yang membagi
mukashafah yang berhubungan dengan mata dan yang berhubungan dengan qalbu.64
Adanya kesamaan penjelasan Sa„id H{awwa dengan pengertian yang dinyatakan para
62
Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I, 125 63
Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 8, Cet.
Ke–6, 4365 64
Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993), Cet. Ke–1,147.
227
sufi, mendukung akan penafsiran Sa„id H{awwa sebagai tafsir yang berorientasi
sufistik.
C. Tafsir Ayat tentang Ittih}a>d
Salah satu ajaran dari aspek tasawuf yang dijalankan para pelaku sulu>k
adalah merasakan hubungan yang dekat dengan zat yang maha tunggal yaitu Allah
pencipta langit dan bumi. Hubungan yang dekat yang dirasakan tersebut secara sadar
dapat diwujudkan, dalam istilah tasawuf hubungan demikian dikenal dengan
ittih}a>d. Ajaran ittih}a>d dibahas dalam penelitian ini guna melihat pandangan
Sa„id Hawwa terhadap penggunaan istilah tersebut. Sebab istilah ini sering
menimbulkan polemik dikalangan umat Islam.
Makna ittih}a>d dikemukakan oleh al-Ka>shi yaitu menyadari segala yang
mauju>d timbul dari wujud al-H{aq al-Wah}i>d al-Mut}laq, maka bersatu
dengannya segala sesuatu mauju>d sehingga tiada hakikat dirinya. Persatuan
mustahil dengan wujud yang khusus atau berbeda dengan wujud mut}laq.65
Disebutkan oleh Tahanawi bahwa ittih}a>d merupakan pengungkapan tentang
keberadaan wujud mut}laq bahwa segala mauju>d disebabkan oleh wujud yang esa
yang meniadakan pada diri yang mauju>d. Karena itu pengertiannya bukan berarti
segala sesuatu memiliki wujud khusus yang dapat bersatu dengan al-H{aq.66
Inti
pengertian ittih}a>d yaitu persatuan antara wujud mutlak dan mauju>d karena yang
mauju>d berasal dari wujud mutlak tersebut. Dengan demikian persatuan antara
keduanya tidak berbatas ibarat bayangan cermin, sebab esensi mauju>d memiliki
hakikat yang sama dengan wujud mutlak. Persoalannya kemudian yaitu persatuan
antara keduanya dimanifestasikan dalam bentuk apa atau bagaimana dapat
digambarkan.
65
Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993), Cet. Ke–1,38
66 Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993), Cet. Ke–1,38
228
1. Ayat 16 surat Qaf (50)
Adapun ayat yang sering dijadikan landasan tentang ittih}a>d dalam kajian
para sufi, diantaranya surat Qaf (50) ayat 16.
Maksud bisikan dalam ayat ini, dijelaskan Sa„id Hawwa;
ععخ افظ ب ٠خطش ثجبي اإلغب ٠جظ ف ض١ش , اععخ اصد اخف: أ
.حذ٠ث افظ68
Artinya, suara yang tersembunyi, bisikan dalam jiwa seperti apa yang terlintas
dalam pikiran manusia dan yang terbayang dalam hatinya.
Ma tuwaswisu dipahami sebagai bisikan jiwa seperti yang timbul dalam
pikiran manusia dan apa saja yang terlintas dalam hati. Pengertian h}ablil wari>d
dijelaskan oleh Sa„id H{awwa sebagai urat leher bagian dalam69
.( ػشق ف ثبط اؼك )
Pada ayat ini Allah menerangkan kekuasaanNya dalam menjadikan manusia dan Dia
menguasai pula semua urusan manusia bahkan segala hal yang terbetik dalam
jiwanya, demikian Ibnu Kathi>r yang dikutip Sa„id H{awwa.70
Dalam ayat ini Allah
menunjukkan kepada manusia bahwa semua yang terjadi pada manusia dari
perbuatan hati, pikiran dan tingkah laku, tiada yang luput dalam pengawasanNya.
Bila dibandingkan dengan bahasa manusia berarti Allah dan manusia tak ada
jarak yang membatasi dan tak ada celah bagi manusia berharap kepada yang lain.
Karena itu pada ujung ayat ditegaskan kembali bahwa kedekatan Allah dengan
manusia melebihi kedekatan manusia dengan urat lehernya sendiri. Penegasan akhir
ayat ini untuk menyadarkan manusia agar tidak berbuat hal–hal yang menimbulkkan
67
Artinya; Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan kami mengetahui apa
yang diniatkan dalam dirinya. Dan kami lebih dekat dengannya dari pada urat lehernya sendiri.
Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‟ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
68 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.
Ke–6, 5459
69 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.
Ke–6,5459 70
Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.
Ke–6,5459
229
dosa sebab sewaktu-waktu Allah bisa mencabut urat lehernya. Makna ayat ini
sekaligus mendorong manusia untuk selalu menebar kebaikan, berzikir dan
merasakan bahwa hubungan yang dekat denganNya.
Penegasan akhir ayat terkait kedekatan Allah dengan manusia dipahami juga
secara isha>ri oleh Sa„id H{awwa dengan menakwilkan ayat bahwa disamping Allah
juga ada makhluk lain yaitu malaikat yang dekat dan selalu mengawasi manusia.
Sa„id H{awwa menjelaskan dengan mengutip tafsir Ibnu Kathir;
, الئىز رؼب ألشة ئ اإلغب حج س٠ذ ئ١: ٠ؼ, ح ألشة ئ١ حج اس٠ذ
. رأ ػ اؼ فاب فش ئال ٠ض حي أ ارحبد ب ف١ب ثبالجبع رؼب اهلل رمذط
.ى افظ ال ٠مزض١ فا ٠م أب ألشة ئ١ ئب ح ألشة ئ١71
Kami lebih dekat maksudnya malaikat juga lebih dekat kepada manusia dari
urat lehernya. Siapa yang memberikan takwil pada ilmu (filsafat) maka
sesungguhnya jauh dari maknanya sebab pengertiannya tidak mesti h}ulu>l
atau ittih}a>d. Pengertian tersebut dapat menghilangkan kesucian pada
Tuhan yang telah disepakati para ulama. Sebetulnya kalimat (lafaz) pada ayat
tersebut tidak menunjukkan pengertian demikian, karena tidak menggunakan
kata ana aqrabu (أب ألشة ) tapi nah}nu aqrabu (ح ألشة ).
Oleh sebab itu makna ayat ini tidak mesti dipahami sebagai bentuk ittih}a>d
atau h}ulu>l antara Allah dan manusia seperti yang dianut para sufi falsafi.72
Lebih
jauh dijelaskan Sa„id H{awwa, dengan menganalisis bahasa bahwa lafaz yang
digunakan bukan ana aqrabu ( أب ألشة ) tapi nah}nu ( ح ). Penggunaan kata nah}nu
tidak berarti Allah saja tapi juga melibatkan yang lain artinya malaikat juga lebih
dekat dengan manusia dari pada urat lehernya (manusia) sendiri.73
Penafsiran Sa„id
{H{awwa diatas dipahami bahwa ia tidak menghendaki terjadinya pemahaman
ittih}a>d atau h}ulu>l antara Allah dan manusia berdasarkan ayat diatas.
71
Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.
Ke–6,5467 72
Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.
Ke–6,5459 73
Sa „id H{awwa mengemukakan ayat lain terkait penggunaan kata nah}nu seperti ayat 9
surat al-H{ijr (15): ئب ح ضب ازوش ئب حب فظ – Sesungguhnya Kami yang menurunkan Alquran dan
sungguh Kami benar-benar memeliharanya. Disini malaikat turun dengan membawa Alquran dan ikut
memliharanya. Lihat; Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M),
Jilid 9, Cet. Ke–6,5468
230
Secara tidak langsung Sa„id H{awwa menolak takwil ayat dengan
menyatakan bahwa maksud dekat dalam ayat ini menjadi dasar pengertian ittih}a>d
antara Allah dan manusia. Tampaknya Sa„id H{awwa melihat pada hubungan ayat
(muna>sabah) ini dengan ayat setelahnya yang menjelaskan makna kata nah}nu yaitu
menunjuk pada malaikat yang berada pada posisi kiri dan kanan.74
Dua hal ini
menggambarkan akan dua perbuatan berbeda yaitu terkait dengan hal baik dan buruk
atau dosa dan pahala.
Sekalipun malaikat juga dianggap dekat dalam pengertian ayat diatas, namun
Sa„id Hawwa tetap mengakui bahwa Allah yang sangat dekat lagi. Penjelasan ini
dikutipnya dari tafsir an-Nasafi bahwa;
ألشة اإلغب و , ئ ط١ف ٠زص ػ ئ خطشاد افظ ال شء أخف
.لش٠ت ح١ ٠زم احف١ظب ب ٠زفظ ث75
Sesungguhnya Dia maha halus, ilmuNya meliputi gerak jiwa manusia
sehingga tidak ada yang tersembunyi dariNya. Dia sangat dekat kepada
manusia dari setiap yang dekat (dua malaikat) yang selalu mengawasi
manusia.
Sekalipun malaikat juga dilibatkan dalam pengertian ayat diatas sebagai
bagian yang dekat dengan manusia tetapi kedekatan Allah melebihi malaikat.
Sungguhpun hubungan yang dekat antara Allah dengan manusia, namun tetap tidak
dalam bentuk ittih}a>d.
Dari penafsiran Sa„id H{awwa diatas juga tidak menolak terjadinya hubungan
yang sangat dekat antara Allah dan manusia, sebab Sa„id H{awwa mengakui tentang
wus}u>l kepada Allah namun juga tidak dalam bentuk ittih}a>d.76
Ia pun tidak
menjelaskan lebih rinci bentuk kedekatan yang dirasakan.
74
Sa„id H{awwa juga tidak sepakat tentang dua malaikat tersebut bernama dengan raqi>b
dan ‘ati>d. Menurutnya istilah itu merupakan sifat bagi mereka sesuai fungsinya yaitu raqi>b sebagai
pengawas ( حبفظ ) dan ‘ati>d yang selalu hadir ( حبضش ). Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo:
Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet. Ke–6,5460
75 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 9, Cet.
Ke–6,5459-60
76 Siapa yang jiwanya bermuja>hadah pada zat Allah maka Allah akan memberi hidayah
kepada jalan menuju Allah. Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003
M), Jilid 8, Cet. Ke–6,4237
231
Penafsiran Sa„id Hawwa diatas dapat dipahami, yaitu tidak jauh dari
pengertian makna zahir apalagi didukung dengan analisis kebahasaan. Pengungkapan
makna isha>ri dalam metodologi tafsir sufistik Sa„id Hawwa tidak terpengaruh
dengan teori filsafat. Penafsiran-penafsiran Sa„id Hawwa dalam mengungkapkan
makna isha>ri sebagaimana terlihat di atas, tetap berlandaskan pada makna zahir
ayat. Ini bukan berarti penafsirannya tidak mengandung makna sufistik namun makna
sufistik yang dikemukakan sesuai dengan rambu-rambu tafsir sufistik yang salah
satunya adalah makna isha>ri tidak jauh dari makna zahir.77
Karena itu, penafsiran
sufistiknya tergolong pada tafsir sufi isha>ri. Penafsiran sufistik Sa„id H{awwa
seperti ini sangat tampak ketika menafsirkan ayat-ayat terkait dengan maqa>m-
maqa>m tasawuf. Sesuai dengan lafaz ayatnya yang jelas, maka makna isha>ri yang
dikemukakan tidak menyimpang dari makna zahir ayat sehingga antara makna zahir
dan isha>ri ada kesejalanan.
Metode tafsir sufistik seperti demikian, memberikan kemudahan dalam
memahami ayat tasawuf. Bila diperhatikan dalam penafsiran sufistik, tercermin
padanya uraian yang menjelaskan untuk agar memperoleh hubungan yang sangat
dekat dengan Tuhan atau dorongan untuk meraih kesucian jiwa. Adapun makna
abstrak yang sering terdapat dalam penafsiran sufistik biasanya dipengaruhi oleh teori
atau ajaran filsafat. Karena itu penafsiran sufistik demikian disebut dengan tafsir sufi
naz}ari.
Berbeda dengan Sa„id H{awwa, menurut tafsir Ibnu Arabi ayat tersebut
adalah mencerminkan kedekatan secara maknawi dengan penggambaran wujud nyata.
Kedekatan antara wujud mutlak dengan mauju>d atau juz-un muttas}il tidak ada
jarak. Dengan demikian hubungan tersebut antara keduanya, menafikan keterpisahan
dan kegandaan.78
Hal ini dipertegas oleh Abi Khazam bahwa ittih}a>d menurut Ibnu
77
Muhammad Hamdi Zaglul, at–Tafsi>r bi ar–Ra’ yi (Dimaskus:Maktabah al–Farabi,
1420/1999), Cet. Ke–1,442-3
78أ ارصبي اجضء ثبشء ٠شذ ثبج١خ اإلث١١خ . ئب وب ألشة غ ػذ اغبفخ ث١ اجضء ازص ث ث١
. اشافؼخ الرحبد لشث ػجذ ١ظ وزه Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah,
1427 H/2006 M), Jilid 2, Cet. Ke–2, 263
232
Arabi adalah terjadinya dua zat menjadi satu dan tidak mungkin terjadi ittih}a>d
kecuali adanya dua esensi. Sementara Tuhan dan alam tidak membentuk jadi satu tapi
dalam wujud yang satu.79
Mengenai wujud ini, disebut oleh Ibnu Arabi dengan
realitas dari realitas-realitas (h}aqi>qat al-h}aqa>iq).80
Dalam penafsiran Ibnu Arabi tentang ayat di atas, ia tidak menyorot tentang
struktur bahasa dari ayat tersebut, misalnya terkait dengan penggunaan kata nah}nu.
Sebab kata nahnu secara bahasa dapat menunjukkan makna banyak. Namun
demikian, terkait dengan kata nah}nu, sebetulnya bisa dipahami bahwa didalamnya
pasti mengandung pengertian wujud Allah, walaupun sementara ahli tafsir
menyatakan, ada pihak lain yang dilibatkan.
Melihat penafsirannya pada ayat berikutnya, tampaknya Ibnu Arabi tidak
mengakui adanya pihak lain selain Allah. Ketika ia menafsirkan tentang dua pihak
yang berada disamping kanan dan kiri manusia bukanlah sebagai malaikat tapi
sebagai potensi pada diri manusia. Bagian kanan disebutnya sebagai kekuatan akal
yang membentuk kebaikan sedangkan bagian kiri disebutnya sebagai daya khayal
yang mendorong untuk pada hal-hal yang tidak baik dan cenderung kepada perbuatan
setan.81
Dengan demikian ittih}a>d yang terjadi antara wujud mutlak dengan
mauju>d yang juga merupakan bagian dari esensi wujud mutlak sesuatu yang dapat
terjadi.
Sementara itu, Tustari memahami urat ( اؼشق ) pada ayat tersebut sebagai
rongga hati (qalbu) sebab Allah lebih dapat dirasakan oleh hati. Karena itu apa saja
yang terbetik dalam hati terhadap sesuatu yang dikehendaki nafsu maka wajar sekali
manusia merasa malu memperturutkan. Manusia harus ingat bahwa Allah lebih dekat
79
ال ٠ى ئال ف اؼذد حبي, االرحبد رص١١ش ازار١ احذح Penjelasan ini dikutip Abi Khazam dari
kitab istilah sufi karya Ibnu Arabi halaman 31. Lihat; Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–
Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1,38
80 Dalam istilah lain disebut juga oleh Ibnu Arabi dengan Materi Pertama. Kautsar Azhari
Noer, Ibnu Arabi: Wah}datul Wuju>d dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), Cet.ke-1, 52 &
56
81 Sangat wajar ia berpendapat tentang ittihad sebab menurutnya tidak ada pengertian
malaikat dalam ayat tersebut. Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427
H/2006 M), Jilid 2, Cet. Ke–2, 263
233
daripada hatinya sendiri.82
Disini Tustari lebih memahami makna kedekatan Allah
dalam arti pengawasan hati manusia. Apa saja yang terbersit dalam hati manusia tidak
ada yang luput dalam pengawasanNya. Sama halnya dengan Sa„id H{awwa,
penafsiran Tustari tidak mengarahkan pada adanya ittih}a>d berdasarkan ayat ini.
Intinya ayat ini dipahami sebagai cerminan penguasaan Allah terhadap apa saja yang
dilakukan manusia. Posisi Allah lebih mengetahui apa yang akan ditimbulkan dari
hati dan pikiran manusia. Ini menunjukkan hubungan pengawasan yang sangat dekat
kepada manusia. Dengan demikian, bila manusia menyadari akan hal ini maka ia
akan malu berbuat yang tidak dikehendaki oleh Allah.
Dari penafsiran-penafsiran diatas, dipahami bahwa takwil yang dikemukakan
Sa„id H{awwa dan Tustari masih memperhatikan makna zahir ayat yang mengenai
kedekatan dalam hal pengawasan Allah. Sementara Ibnu Arabi memberikan takwil
dengan memahami sebagai kedekatan wujud maknawi (abstrak) dengan bentuk
keterpaduan wujud yang tidak ada batas. Pengertian ini secara zahir ayat tidak mudah
dipahami. Walaupun demikian Sa„id H{awwa dan Tustari mengakui hubungan dekat
secara ruhani dapat terjadi antara manusia dan Tuhan. Namun mereka tidak menyebut
dengan istilah ittih}a>d atau kesatuan wujud seperti yang dikemukakan Ibnu Arabi.
2. Ayat 115 surat al-Baqarah (2)
Selain ayat diatas, ayat lain yang dijadikan sebagai dasar oleh penganut ajaran
ittih}a>d yaitu ayat 115 dalam surat al-Baqarah.
.
Dalam tafsir Ibnu Arabi dijelaskan pengertian tentang wajah Allah bahwa zat
Allah bertajalli pada seluruh sifat-sifatNya. Makna walilla>hil mashri>q berarti
Allah yang memunculkan cahaya pada hati kamu sebagai tajalli dari sifat Jama>l
82
Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I, 75 83
Artinya; Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat maka kemanapun kamu menghadap
disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. Alquran dan
Terjemahnya, Depag-Mujamma‟ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
234
Tuhan dalam kefanaanmu. Sedangkan maghri>b berarti terbenam yaitu menutupi
dengan zatNya. KetersembunyianNya dengan sifat Jala>lNya padamu ketika
keadaanmubaqa>’ setelah fana>’.84
Pengertian ini menunjukkan bahwa ibaratnya
maghri>b dan mashri>q ada pada diri manusia maka kemana saja menghadap tetap
ada wajah Allah. Mashri>q sebagai bentuk tajalli sifat Tuhan pada hamba pada
kondisi fana>’ sedangkan maghri>b sebagai selubungan dari sifat-sifat Jalal Tuhan
pada hamba ketika baqa>’nya. Disini terbentuk penyatuan antara hamba dengan
Tuhan dalam dua hal yaitu dari sudut maghri>b dan dari sudut mashri>q. Gambaran
kesatuan wujud demikian dalam istilah Harun Nasution disebutnya melewati konsep
ittih}a>d dan hulu>l.85
Takwil yang dikemukakan dalam tafsir Ibnu Arabi diatas selaras dengan
konsep kesatuan wujud yang dianutnya bahwa esensi yang hakiki hanya wujud
mutlak Tuhan. Hal ini dapat diumpamakan bayangan dalam cermin. Penafsiran ini
akan dibandingkan dengan penafsiran Sa„id H{awwa yang juga memahami bahwa
keberadaan Allah meliputi timur dan barat.
Menurut Sa„id H{awwa makna ayat diatas pertama mengandung pengertian
tentang kiblat dalam s}alat. Dikemukakannya;
فف أ ىب فؼز از١خ فث ج . ثالد اششق اغشة وب هلل بىب ز١ب: أ
اهلل86
.
Artinya; wilayah timur dan barat semuanya kepunyaan Allah, Dia pemiliknya
dan pengaturnya. Maka pada tempat manapun kamu menghadapkan muka,
disitulah keberadaanNya.
Berkaitan arah salat, Sa„id Hawwa mengakui bahwa Allah menyaksikan
hambanya dimana saja memalingkan muka. Maksudnya, apabila ada sesuatu yang
84
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu راد اهلل ازج١خ ثج١غ صفبرخ أ هلل اإلششاق ػ لثى ازج ب ثصفخ جب
Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1, Cet. Ke–2, 71
85 Ittih}a>d diibaratkan hamba bergerak menuju Tuhan sedangkan h}ulu>l, Tuhan turun
memilih hamba. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1992), Cet. Ke–8, 89 86
Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6,224
235
menghalangi arah kiblat maka bumi ini dapat dijadikan tempat salat sekalipun
menghadap ke arah mana saja.87
Pandangan Sa„id Hawwa diatas masih menjadikan
Ka‟bah sebagai arah s}alat dalam keadaan normal. Sekalipun demikian, ia tetap
longgar dalam hal masalah kiblat. Syarat yang dikemukakannya yaitu bila terhalang
dari masjid, artinya diluar masjid atau dimana saja masih dibolehkan menghadapkan
muka.
Selanjutnya dikemukakannya penafsiran terkait zat Allah. Dalam tafsirnya
dinyatakan pendapat Ibnu Kathir;
أ رؼب ال ٠خ ىب فا ػ رؼب ح١ط ثج١غ اؼبد أب رار رؼب فال رى
.حصسح ف ش١ئ خم88
Bahwa sesungguhnya wujud Allah tidak kosong dari tempat manapun,
ilmunya meliputi seluruh yang diketahui. Adapun zatNya, tidak terbatas pada
sesuatu dari makhluk ciptaanNya.
Adapun makna ayat terkait dengan pengertian sufistik yaitu dalam hal
mengenal akan zat Allah ( bahwa timur dan barat mencerminkan (ؼشفخ ازاد اإل١خ
keberadaanNya.89
Adapun zat Allah tidak terbatas pada satu tempat dari
makhluknya. Dimanapun posisi seorang hamba memanjatkan doa, disitu ada wajah
Allah maka ia akan kabulkan doanya.90
Pengertian dari penafsiran ini membawa
pemahaman bahwa zat Allah meliputi pada semua alam namun Sa„id H{awwa tidak
menjelaskan lebih jauh bentuk hubungan antara keberadaan Allah yang meliputi alam
semesta. Secara tidak langsung penafsiran Sa„id H{awwa mengakui bahwa zat Allah
tercermin pada alam maka arah timur atau barat adalah menjadi tempat
menghadapkan muka menuju Allah. Pengertian menghadapkan muka ditakwilkan
87
Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6,224 88
Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6,254 89
Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6,224 90
Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet.
Ke–6,254
236
juga sebagai keadaan dalam berdoa. Takwil demikian sangat dekat dengan makna
zahir ayat.
Alam sebagai cerminan Allah tidak berarti ia juga menjadi kekal dengan
kekekalan Allah. Sa„id Hawwa memberi alasan dengan menyebut ayat 88 surat al-
Qas}as}, segala sesuatu pasti akan hancur melainkan wajah (zat) Allah tetap kekal.91
Bila alam dianggap sebagai penampakan (tajalli) sifat Tuhan berarti itu bukan wujud
Tuhan sesungguhnya sebab ia (alam) akan hancur sedangkan Tuhan tidak akan
hancur selamanya.
Bila di\cermati terhadap makna zahir ayat maka dipahami bahwa penafsiran
Sa„id H{awwa masih menggunakan takwil sejalan dengan pengertian ayat. Zat Allah
yang dimaksud tetap pada posisinya, bukan menyatu pada manusia atau alam.
Pengertian ini sesuai dengan kandungan ayat yang tidak tegas menunjukkan pada
makna ittih}a>d. Adapun Ibnu Arabi menggunakan takwilnya dengan memahami
bahwa locus tersebut ada pada diri manusia. Ibnu Arabi dalam mengemukakan
penafsirannya menggunakan pendekatan filsafat sehingga kesimpulan yang
diberikannya sejalan dengan teori filsafat tentang wujud.92
Sa„id Hawwa menjelaskan bahwa zat Allah meliputi alam semesta tapi tidak
ditegaskan dalam bentuk penyatuan artinya masih terpisah antara dua unsur. Hal ini
menunjukkan bahwa Sa „id Hawwa tidak memiliki kecenderungan mengkaji tasawuf
secara teoritis. Penafsiran sufistiknya ditujukan supaya mudah diamalkan, makanya
karakteristik tafsir sufinya dikenal dengan tasawuf amali. Sebaliknya pada tafsir Ibnu
Arabi, yang dipahami sebagai tasawuf falsafi dengan jelas menyatakan bahwa
terjadinya penyatuan dua unsur pada manusia adalah dalam bentuk tajalli sifat Tuhan.
91
Lihat; QS. Al-Qas}as}: 88. Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r
(Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet. Ke–6,254 92
Tiap-tiap sesuatu mempunyai dua aspek yaitu aspek luar al-Khalq dan aspek dalam al-Haq.
Al-Haq pada makhluk bersatu dengan al-Khalq pada Tuhan. Ibaratnya Tuhan melihat alam sebagai
cermin diriNya. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),
Cet. Ke–8, 92. Kesatuan antara al-Haq (Tuhan) dan al-Khalq (alam) terlihat dalam konsep ontologis
Ibnu Arabi. Disini tidak ada dualitas dalam arti yang sebenarnya tetapi dua aspek atau sifat dari satu
wujud, dapat diibaratkan dengan cermin. Sementara dalam teori al-Hallaj masih terdapat dualitas
(Tuhan dan manusia). Kautsar Azhari Noer, Ibnu Arabi: Wah}datul Wuju>d dalam Perdebatan
(Jakarta: Paramadina, 1995), Cet.ke-1, 52 & 56
237
Secara metodologis, Sa„id H{awwa sangat dekat dengan makna zahir dalam
mengemukakan penafsiran sufistiknya, sedangkan Ibnu Arabi tidak memperhatikan
demikian. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa metodologi penafsiran Sa„id
H{awwa dalam menggunakan makna isha>ri tetap berlandaskan pada makna zahir
ayat. Selain itu ia juga mengemukakan pendapat para mufasir seperti Ibnu Kathir,
untuk memperkaya penjelasannya.
D. Tafsir Ayat tentang Kara>mah
Istilah kara>mah dalam kajian tasawuf sering dibicarakan dan itu biasanya
dikaitkan dengan kesalehan para wali. Kara>mah adalah sesuatu yang terjadi diluar
kebiasaan seseorang yang bukan kapasitas sebagai Nabi tapi karena iman dan amal
salehnya. Tahanawi menyebutkan “Kara>mah merupakan bagian dari kejadian diluar
adat kebiasaan yang timbul pada diri para wali“.93
Kara>mah merupakan
keistimewaan diluar kebiasaan sebagai anugerah yang terjadi pada para wali berkat
kedekatannya dengan Allah karena iman dan ibadah yang dilakukan. Sesuai arti wali
salah satunya ialah amat dekat, yang selalu mengiringi.94
Wali adalah orang yang
sangat dekat dengan Allah, karena itu mereka disebut sebagai waliyullah atau wali
Allah.
1. Ayat 62–64 surat Yunus (10)
Alquran menjelaskan dalam surat Yunus (10) ayat 62–64 bahwa waliyullah
adalah mereka yang beriman teguh dan bertaqwa kepada Allah.
93
Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993), Cet. Ke–1,146, Lihat juga; Syarif Ali bin Muhammad al–Jarjani, Kitab Ta’rifa>t
(Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1988/1408 H), Cet. Ke–3, 184
94 Mahmud Yunus, Kamus Arab–Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah /
Pentafsir Alquran, 1973/1393), 506. Sedangkan dalam istilah sufi, wali adalah orang yang mengenal
Allah (al-‘a>rif billah) dan sifat–sifatNya, senantiasa berada dalam ketaatan dan jauh dari maksiat
serta berpaling dari larut dalam syahwat. Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-
S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 188
238
Makna ayat ini dijelaskan sebagai berikut;
. ث ػ ب ساء اذ١ب–أ ف١ب ٠غزمج أحاي االخشح
. أب أ١بؤ ف از٠ اا ثى ب ٠جت اإل٠ب ث وبا ٠زم اهلل ثبزثبي أش ١
.ف وب رم١ب وب هلل ١ب ال ال٠خ ئال ثزا96
Para wali Allah tidak ada rasa takut menghadapi berbagai keadaan di akhirat.
Tidak ada kesedihan buat mereka meninggalkan urusan dunia. Adapun para
wali Allah adalah mereka yang beriman dengan semua yang wajib diimani
dan mereka adalah orang yang bertaqwa kepada Allah.
Siapa yang bertaqwa maka ia menjadi wali Allah, dan tidak ada kemuliaan
kewalian kecuali dengan ketaqwaan.
Penafsiran Sa„id H{awwa diatas menggambarkan bahwa wali Allah tidak
takut menghadapi kehidupan akhirat dan tidak sedih meninggalkan keindahan
kehidupan dunia justeru mereka meninggal dengan sikap gembira, h}usnul
kha>timah. Ciri wali Allah adalah memegang teguh semua aspek menyangkut
keimanan. Kemudian, selalu menjaga perintah dan larangan Allah sehingga disebut
dengan muttaqin. Allah mensifatkan waliyullah yaitu orang yang tercermin padanya
iman dan taqwa. Dengan sifat ketaqwaan para Wali Allah, mereka mendapat
anugerah kemuliaan dari Allah yang hanya dimiliki oleh orang yang dekat
denganNya. Penjelasan ini didukung oleh hadis ketika Nabi ditanya tentang wali
Allah, beliau menjawab mereka adalah orang–orang yang bila mereka melihat,
disebut nama Allah (selalu ingat Allah).97
Ini menunjukkan hubungan yang sangat
dekat dengan Allah seakan–akan tidak ada ruang lagi untuk mengingat selain Allah.
95
Artinya; Ingatlah, sesungguhnya wali–wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang–orang yang beriman dan mereka selalu
bertaqwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan di dunia dan kehidupan akhirat, tidak ada
perobahan bagi kalimat (janji) Allah. Demikian itulah kemenangan yang besar. Alquran dan
Terjemahnya, Depag-Mujamma‟ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H 96
Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.
Ke–6,2482 97
Hadis bersumber dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan al – Bazzar, Lihat; Sa„id H{awwa, al–
Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet. Ke–6, 2486
239
Implikasi kedekatan para wali Allah dapat terjadi dalam bentuk kelebihan ataupun
keistimewaan mereka diluar kebiasaan nyata.
Sehubungan dengan wali Allah ini juga Nabi Saw pernah bersabda bahwa
sesungguhnya diantara hamba Allah ada yang mencita–citakan untuk memperoleh
kenikmatan seperti yang terdapat pada para Nabi dan shuhada>’`. Mereka itu adalah
suatu kaum yang lebih mencintai Allah dari pada harta atau keturunan. Wajah mereka
nur, mereka tidak merasa takut dikala manusia ketakutan, kemudian Nabi membaca
ayat ini.98
Selain mengemukakan kelebihan wali berdasarkan hadis diatas, Sa„id
H{awwa menjelaskan bahwa kara>mah yang terjadi pada wali timbul
kesalahpahaman. Disebutkannya;
ػ ثزاه ألا وث١ش حز , ف ضع اال٠خ لؼذ أخطبء وث١شح احشافبد خط١شح
.اػزذ وث١ش ابط لاػذ ف ضع اال٠خ ال أص ب, وفشا99
Berkenaan dengan keistimewaan pada wali sering timbul kesalahan dan
penyimpangan yang memprihatinkan. Sehubungan dengan hal ini, banyak
terjadi di masyarakat hingga membawa pada kekufuran. Banyak diantara
manusia menyandarkan kepada kaedah-kaedah yang terdapat dalam hal
keistimewaan wali tanpa memahami dasarnya.
Wali Allah memiliki kekuasaan kewalian yang disebut dengan kara>mah,
namun berkenaan dengan kara>mah yang terjadi padanya sering menimbulkan
kesalahpahaman pada kebanyakan manusia. Sebagaimana banyak terjadi dikalangan
masyarakat dimana hanya menginginkan kara>mahnya saja tanpa memenuhi
persyaratan sebagai wali Allah dan tidak memahami bagaimana hal tersebut dapat
terjadi pada wali. Ibaratnya, orang yang mau mendapatkan buahnya saja tanpa mau
menanamnya. Diakui oleh Sa„id H{awwa bahwa para wali Allah memiliki
kara>mah–kara>mah dan kelebihan-kelebihan sebagaimana tampak pada penjelasan
98
Hadis diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Abu Hurairah. Hadis tersebut juga
diriwayatkan oleh Abu Daud, Lihat; Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424
H/2003 M), Jilid 5, Cet. Ke–6, 2486 99
Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.
Ke–6,2486
240
diatas. Diantara tanda–tanda yang melekat pada wali Allah yaitu mereka yang sangat
mencintai Allah diatas segalanya sebagai bukti dekatnya hubungan dengan Allah.
Karamah pada para wali100
ada dua macam; sesuatu kejadian yang muncul
diluar kebiasaan yang berlaku, kedua; sesuatu kejadian tersebut yang muncul karena
tuntutan sebab tetapi tetap merupakan bagian dari taufik Ila>hi. Perlu kita ketahui
bahwa kara>mah diakui secara shara’ dan itu memang ada terjadi dalam lingkaran
dunia tasawuf.101
Ditegaskan lebih lanjut oleh Sa„id H{awwa bahwa kelompok diluar
tasawuf (musuh tasawuf) mengingkari adanya kara>mah yang dihubungkan dengan
dunia tasawuf bahkan mereka menudingnya dengan memberi nama atau istilah yang
bermacam–macam. Ini merupakan suatu kesalahan dan berlebihan.102
Peristiwa yang
muncul diluar kebiasaan yang dialami para wali Allah dalam dunia tasawuf
merupakan hal yang wajar sebagai kemuliaan yang dilimpahkan Allah karena
ketaatan mereka. Kejadian diluar kebiasaan tersebut ada yang datang tanpa diketahui
para wali tapi hanya langsung dirasakan, bentuk lain ada yang dikehendaki atas
pengharapan semacam memohon pertolongan, yang dalam istilah Sa„id H{awwa
karena tuntutan sebab dari wali tersebut.
Berkaitan dengan kara>mah ini pernah terjadi pada diri sahabat sebagaimana
diceritakan oleh Anas –ra– bahwa suatu malam yang gelap dua orang sahabat keluar
dari kediaman Nabi dan terlihat padanya bagaikan dua lampu ( ث اصجبح١ )
menyertai mereka. Ketika mereka berpisah menuju tempat masing–masing, lampu itu
pun berpencar mengikuti keduanya sampai mereka tiba dirumah.103
Kara>mah
seperti ini termasuk kategori yang disebutkan Sa„id H{awwa sebagai kejadian diluar
kebiasaan tanpa didahului sebab bahkan boleh jadi mereka tidak mengetahuinya.
100
Kara>mah pada para wali Allah disebut juga oleh Sa‟id H{awwa sebagai ( ازذاد ؼجضاد )
perpanjangan dari mukjizat yang dianugerahkan kerpada para Nabi. Sa‟id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–
Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9, 179 101
Sa‟id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet.
Ke–9, 179 102
Sa‟id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet.
Ke–9, 179 103
Diriwayatkan dari Bukhari. Menurut sebagian sumber disebutkan dua orang sahabat
tersebut adalah Usaid bin Hudhair dan ‟Abbad bin Bisyr. Sa„id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–
Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9,177
241
Munculnya kara>mah pada wali bukanlah menjadi syarat baginya
sebagaimana mukjizat menjadi syarat bagi para nabi. Sesungguhnya wali yang
sempurna kemuliaannya tidak menuntut adanya kara>mah baginya.104
Karamah
merupakan anugerah yang datang dari Allah tanpa diidam-idamkan oleh para wali
dan bukan juga sebagai tujuan dari latihan rohani dan ketekunan ibadahnya.
Mengenai status kewalian dalam rangka menjelaskan ayat diatas, ditafsirkan
oleh Sa„id H{awwa;
, اثبث مب اؼشك, اثب مب اشق, األي مب احجخ: ئ اال٠خ ال رز ئال ثأسثؼخ مببد
ال ٠ى اشق ئال ثبعزشبق غ١ , ال رى احجخ ئال ثىشف اجبي. اشاثغ مب اؼشفخ
.ال رى اؼشفخ ئال ثبصحجخ, ال ٠ى اؼشك ئال ثذ األاس, اصبي105
Sesungguhnya predikat kewalian tidak sempurna kecuali menjalani empat
macam maqa>m yaitu mahabbah, shauq, ‘ishq dan ma‘rifah. Tidak ada
mahabbah kecuali dengan tersingkapnya tabir keindahan(sifat jama>l)106
,
tidak ada kerinduan yang kuat kecuali merasakan (tercium) pengalaman batin
berhubungan langsung dengan Allah, tidak ada kecintaan yang kuat kecuali
merasa dikelilingi oleh cahaya-cahaya dan tidak ada ma‘rifah kecuali
merasakan sangat dekat dengan Allah (bersahabat).
Untuk mencapai kewalian tidak mudah apalagi berniat untuk mendapatkan
kara>mah. Adapun niat mengikuti jalan kewalian hanyalah agar merasakan
hubungan yang dekat dengan Allah. Empat maqa>m yang disebutkan Sa„id Hawwa
diatas menunjukkan kepada hubungan sangat dekat seakan tiada lagi batas antara
hamba dengan Tuhan. Kriteria kewalian yang dikemukakan ini merupakan bagian
dari pandangan Sa„id H{awwa terkait penafsiran sufistiknya mengenai ayat 62 surat
Yunus diatas. Predikat kewalian dapat dicapai dengan melewati tahapan–tahapan dan
104
Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.
Ke–6,2486
105 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.
Ke–6,2486 106
Menurut para sufi („arifi>n), mahabbah itu terkait dengan zat Allah. Mahabbah dengan
kecenderungan yang sangat kuat disebutlah dengan ‘ishq. Kalau mahabbah untuk mengharapkan
pahala maka turunlah derjatnya. Lihat; Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-
‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n, Tah}qi>q: Sayyid „Imran (Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid
2,174.
242
setiap tahapan mempunyai indikator masing–masing. Dari kriteria ini, Sa„id H{awwa
ingin menjelaskan bahwa bagi siapa yang mengikuti praktek demikian maka buah
dari tasawuf seperti kara>mah dapat dirasakan sebagai anugerah yang dilimpahkan
Allah. Dengan demikian, kekeliruan tidak lagi timbul dalam memahami kara>mah
yang terdapat pada wali Allah.
Wali Allah adalah orang mukmin yang bersih, murni (khalis}), karena
rohaninya dekat dengan Allah.107
Mereka termasuk orang yang konsisten
menjalankan syariat yang suci. Bila ada orang dipandang telah keluar dari syariat
walaupun sejengkal maka ia bukan termasuk tingkatan wali. Orang tersebut tidak
pantas dikatakan wali sekalipun ia mendatangkan seribu kejadian yang luar biasa.108
Ini membuktikan bahwa kejadian luar biasa bukan suatu yang dikehendaki para wali
tapi kesucian jiwalah yang menjadi ukuran dalam tingkat kewalian.
Sementara itu at-Tustari dalam tafsirnya menyebutkan bahwa wali Allah yang
dinyatakan dalam ayat 62 surat Yunus diatas adalah orang yang beriman dan
bertaqwa. Dijelaskan Tustari, mereka adalah orang–orang mukmin yang sebenarnya
sebagaimana dinyatakan dalam surat al–Anfa>l (8): 4, أئه اإ حمب . Mereka
disifatkan juga oleh Rasulullah sebagaimana dalam hadisnya, bila mereka melihat
disebut nama Allah (senantiasa zikir).109
Hadis ini juga dikemukakan oleh Sa„id
H{awwa dalam menafsirkan ayat yang sama.110
Dalam hal ini at-Tustari dan Sa„id
H{awwa tampak memiliki pandangan yang sama tentang tafsiran ayat dan sejalan
dengan makna zahir yang dikandung ayat tersebut.
Selanjutnya dijelaskan oleh at-Tustari bahwa ayat tersebut mengandung
makna tentang kelebihan para wali yaitu Allah mengisi hati mereka dengan nur dan
107
Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n,
Tah}qi>q: Sayyid „Imran (Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid 6,189.
108 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.
Ke–6,2486
109 Hadis sebagaimana dikutip dari Musnad Ahmad 6 / 459; “ از٠ ئرا سؤا روش اهلل ” Sahl At–
Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 77
110 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet.
Ke–6,2486, Lihat catatan kaki no. 21
243
lidahnya mengeluarkan kata–kata hikmah.111
Ini merupakan kelebihan yang
dianugerahkan Allah kepada para wali sebagai bukti kedekatan dan kesucian
jiwanya.Dalam pandangan Sa„id Hawwa, merupakan keistimewaan
dalammah}abbah.
Diantara tanda dan sifatnya adalah banyak bersyukur, berzikir, berpikir (افىش),
tidak banyak bicara dan pemurah ( عخ افظ ), berjaga malam dan tidak kenyang.112
Selain itu at-Tustari menyebutkan bahwa wali itu mempunyai marh}alah (kelas)
seperti wali abda>l, auta>d dan kelompok s}iddi>q.113
Penafsiran sufistik yang
dijelaskan menyangkut keistimewaan para wali, sifat–sifatnya bahkan ia juga
menjelaskan tentang tingkatan–tingkatan wali. Keistimewaan yang ada pada wali
Allah dan sifat–sifat yang dimiliki sebagaimana dijelaskan dalam tafsir Sa„id
H{awwa dan at-Tustari diatas sebagai bentuk penafsiran sufistik mereka yang
dipahami berdasarkan ayat 62 surat Yunus (10). Sekalipun sifat dan keistimewaan
yang terdapat pada wali seperti dikemukakan tidak persis sama antara kedua
penafsiran namun punya dasar pemikiran yang sama. Pada dasarnya penafsiran
sufistik at-Tustari dengan Sa„id H{awwa tetap memperhatikan makna zahir ayat.
Sementara itu dalam tafsir Ibnu Arabi mengenai ayat 62 surat Yunus (10)
dijelaskan bahwa wali Allah orang yang tenggelam dalam esensi Tuhan
(ah}a>diyyah) dengan mengalami fana>’ pada aniyyah (hakekat juziyyah) Bila
belum mengalami baqa>’ mereka takut. Tidak ada kesudahan terhadap apa yang
telah sampai mereka padaNya, maka mereka takut munculnya h}ijab. Mereka
menjadi sedih bilamana luput sesuatu dari sifat–sifat kesempurnaan dan kelezatan
111
Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I, 77 112
Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet.
Ke–I, 77. Sa„id Hawwa memandang sifat-sifat demikian harus selalu melekat dalam perjalanan latihan
ibadah para sufi. Lihat; Sa‟id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428
H/2007 M), Cet. Ke–9, 121
113 Mengenai tingakatan wali, Tustari memberikan ilustrasi sebagai berikut, Tustari pernah
menjumpai 1500 para s}iddi>q, diantara mereka ada 40 abda>l dan 7 auta>d. Artinya Auta>âd lebih
tinggi tingkatan dari abda>l dan s}iddi>q, sedangkan qut}b biasanya disekitar auta>d (qut}b antara
auta>d dan abda>l). Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah,
2002/1423), Cet. Ke–I,77
244
(dalam baqa’).114
Demikian penafsiran Ibnu Arabi menafsirkan ayat tersebut yang
bila dibandingkan dengan tafsir Sa„id H{awwa dan Tustari tidak sejalan
pengertiaannya. Penafsiran Ibnu Arabi ini terkesan jauh dari makna zahir ayat dan
penafsirannya sulit dipahami. Seperti pernah diungkapkan adh–Dhahabi bahwa tafsir
Ibnu Arabi sering tidak dimengerti maknanya dan terkadang tidak selaras dengan ayat
yang ditafsirkan.115
Untuk mendukung penafsirannya, Ibnu Arabi mengutip hadis Nabi, namun
tidak sepenuhnya sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam tafsirnya. Ia
mencantumkan hadis tentang sifat wali yang disampaikan Nabi yaitu mereka adalah
orang yang selalu ingat (zikir) kepada Allah.116
Akan tetapi hadis tersebut tidak
menguatkan keterangannya bahwa wali Allah adalah mereka yang tenggelam dalam
mata air telaga dengan fana>’.
Selain itu, Ibnu Arabi mengemukakan juga hadis Nabi terkait sifat wali yang
mencintai Allah diatas segalanya. Disebutkan oleh Nabi bahwa wajah mereka
bercahaya (nur) dan mereka berada pada tempat–tempat kediaman dari nur.
Kemudian Nabi membaca ayat 62 diatas.117
Maksud tempatnya dari nur menurut Ibnu
Arabi berarti ittis}a>l (merasakan hubungan sampai kepada Allah) dengan dasar–
dasar ruhani yang tinggi seperti akal pertama118
(dalam istilah filsafat emanasi).119
114
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid
1, Cet. Ke–2, 311. Mengenai uraiannya tentang ah}adiyyah terdapat dalam Fusus al-Hikam. Lihat;
Ibnu Arabi, Fus}us} al-H{ikam, disunting oleh.Abu al-„Ala „Afifi (Beirut: Darul Kitab al-Arabi,
1980/1400), Cet.ke-2, 119 115
Lihat; az–Zahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 297 116
Hadis Sa‟id bin Jubair, Nabi berkata “ از٠ ئرا سؤا روش اهلل “ , Ibnu Arabi, Tafsi>r
Ibnu Arabi (Beirut:Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1, Cet. Ke–2, 311
117 Hadis dari Umar, ia mendengar Nabi berkata, “ ئ ػجبد اهلل ػجبدا ب ثأ ج١بء ال شذاء
, ل رحبثا ف اهلل غ١ش أاي ال أغبة. ىب اهلل يوم القيامة ٠غجط األج١بء اشذاء
.ج س ئ ػ بثش س Dikutip oleh Ibnu Arabi, Lihat; Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi
(Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1, Cet. Ke–2, 311 118
Menurut al–Kindi akal pertama adalah akal yang selamanya dalam aktualitas, ia membuat
akal potensial dalam roh manusia menjadi aktual berpikir. Sedangkan menurut al–Farabi akal pertama
(tak bersifat materi) adalah sebagai wujud kedua setelah Tuhan (Tuhan wujud pertama). Wujud kedua
berpikir tentang wujud pertama, muncul wujud ketiga (akal kedua). Lihat; Harun Nasution, Falsafat
dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. Ke–8, 19&27. Tidak diketahui
maksud dari akal pertama yang disebut tafsir Ibnu Arabi diatas.
245
Hadis ini ditakwilkan oleh Ibnu Arabi dalam rangka memperkuat penafsiran ayat 62
tentang sifat wali Allah. Memperhatikan penafsiran ini dan penakwilan hadis oleh
Ibnu Arabi tersebut cenderung tidak berlandaskan kepada makna zahir ayat, apalagi
bila dihubungkan dengan penafsiran Sa„id H{awwa dan Tustari yang terlihat masih
menggunakan pendekatan makna zahir dalam tafsirnya.
Selanjutnya penafsiran Ibnu Arabi tentang ciri wali Allah yaitu beriman dan
bertaqwa maksudnya sebagai orang yang memiliki iman yang benar (hakiki)
membawa kepada iman yang yakin. Kedua selalu terpelihara, cerminan orang
bertaqwa yaitu terhindar dari sifat–sifat nafsu dan wasa>was (bisikan) setan.120
Penafsiran ini terkandung dalam makna zahir ayat dan memiliki nuansa yang sama
dengan yang dikemukakan Sa„id H{awwa diatas. Tampak disini bahwa tafsir Ibnu
Arabi disamping memberikan makna batin corak falsafi juga menggunakan
pendekatan makna zahir dalam menafsirkan ayat.
2. Ayat 16 surat al–Kahfi (18)
Berkaitan dengan pembahasan kara>mah, ditemukan peristiwa yang dialami
para wali Allah yang diabadikan Alquran seperti dalam surat al–Kahfi (18) ayat 16.
Bahwa Allah menunjukkan keistimewaan yang dianugerahkan kepada orang yang
teguh memegang keimanan kepadaNya.
Sa„id Hawwa menjelaskan dalam tafsirnya terkait dengan keteguhan tauhid;
119
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid
1, Cet. Ke–2, 311
120 Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid
1, Cet. Ke–2, 312
121 Artinya; Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain
Allah maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian
rahmatnya kepadamu dan menyempurnakan sesuatu yang berguna dalam urusanmu. Alquran dan
Terjemahnya, Depag-Mujamma‟ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
246
: أ, فأا ئ اىف. دي ػ أ ل وبا ٠ؼشف اهلل ى ٠ششو ؼ اخ أخش
.اجؼا اىف أاو زفبسل ثأثذاى وب فبسلز ف ػجبدرى122
Hal itu menunjukkan tentang masyarakat yang ditinggalkannya, bahwa
mereka itu mengenal Allah tapi mereka menyekutukan dengan sembahan lain.
Karena itu, berlindunglah ke gua; jadikanlah gua sebagai tempatmu
berlindung supaya kamu benar-benar berpisah dengan mereka sebagaimana
kamu meninggalkan mereka dalam ketauhidanmu.
Mereka (para pemuda kahfi) meninggalkan kaumnya karena tidak mau turut
dalam menyekutukan Allah dan mereka menjadikan gua sebagai tempat berlindung.
Dijelaskan oleh Sa„id H{awwa, makna ayat ini menunjukkan bahwa mereka
meninggalkan (فبسلخ) segala bentuk kekufuran dengan fisik mereka seperti
perpisahan mereka dengan roh dan qalbu.123
Para pemuda tersebut benar–benar tidak
mau kembali melihat perbuatan kaumnya sehingga mereka meninggalkan paham
kaumnya tersebut karena mereka takut dipaksa. Meninggalkan paham–paham yang
dapat mengurangi keimanan dan nilai tauhid kepada Allah harus dengan tekad yang
kuat seperti orang yang bertaubat dengan niat tidak bakal mengulangi perbuatan dosa.
Ayat ini menggambarkan suatu bentuk kara>mah yang dianugerahkan Allah
kepada para pemuda124
yang nyata murni keyakinannya, kuatnya harapan mereka
dalam bertawakal kepada Allah. Mereka yakin dan percaya dengan karunia Allah125
,
lalu Allah membentangkan rahmat dan memelihara mereka dari kejaran kaumnya.126
122
Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet.
Ke–6, 3168
123 Analogi dengan kematian. Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam,
1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet. Ke–6, 3168
124 Pemuda ini termasuk dalam wali–wali pembimbing ( األ١بء اششذ ( yang mendapat
hidayah dari Allah. Kara>mah pada pemuda ini disebut oleh Sa‟id H{awwa sebagai kara>mah
sunniyyah. Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet.
Ke–6, 3169
125 Perhatikan doa mereka, “ سثب ارب ذه سحخ ١ئ ب أشب سشذا “ artinya wahai
Tuhan kami Berikanlah rahmat kepada kami dari sisimu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang
lurus dalam urusan kami. Dicantumkan dalam ayat 10 surat al – Kahfi ( 10 ).
126 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet.
Ke–6, 3168
247
Allah menyempurnakan sesuatu yang berguna bagi mereka. Dengan rahmat Allah,
mereka tinggal (tidur) didalam gua selama 300 tahun lebih.127
Berdasarkan penafsiran diatas paling tidak ada tiga karakter yang dimiliki
para pemuda tersebut yaitu keimanan yang teguh, yakin dengan doa yang dipanjatkan
kepada Allah dan tulus dalam bertawakal kepada Allah. Dengan karakter yang
dimiliki tersebut, mereka merasakan sangat dekat dengan Allah. Peristiwa yang
mereka alami termasuk kara>mah yang dalam istilah Sa„id H{awwa karena ada
tuntutan sebab dengan doa yang dipanjatkan.128
Ini termasuk orang yang memperoleh
tambahan hidayah disebabkan muja>hadah mereka pada jalan Allah.129
Seperti
keistimewaan yang mereka rasakan bagian dari hidayah sesuai dengan doa yang
dipanjatkannya.130
Selanjutnya dijelaskan Sa„id H{awwa terkait makna ayat;
فأصجحا ػبسف١ ث حبال مبال , لذ دي زا ػ أ اهلل أوش صذل ثىبي ؼشفز
. وبي ؼشفز أ ػشفا أ اػزضاي ل ثبىف ع١مبث ػطبء اهلل . عوب131
Keadaan yang dialami para pemuda kahfi menunjukkan bahwa dengan
kebenaran mereka maka Allah memuliakan mereka dengan memperoleh
kesempurnaan ma‘rifah. Mereka menjadi golongan ‘arifi>n posisi ha>l,
maqa>l dan sulu>k. Sebagai bagian dari kesempurnaan ma‘rifah pada mereka
adalah pengetahuan mereka tentang anugerah yang akan didapat dari Allah
dengan berlindung ke gua dalam rangka menghindar dari kaumnya tersebut.
Menurut penafsiran diatas pemuda kahfi sudah mencapai ma‘rifah dalam
muja>hadah mereka kepada Allah. Mereka merasakan ma‘rifah yang sempurna,132
127
Lihat; ayat 25 surat al–Kahfi (10). 128
Lihat pembagian jenis kara>mah yang disebut Sa‟id H{awwa. Lihat; Sa„id H{awwa,
Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9, 179 129
Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet.
Ke–6, 3169 130
QS. al-Kahfi (18): 10 131
Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet.
Ke–6, 3168 132
Diantara makna ma‘rifah adalah; sesuatu menjadi jelas dengan ma‘rifah karena terbuka
kashaf dari hal batin. Ma‘rifah tidak ada baginya sebab kecuali Allah menjadikan ma‘rifah untuk
‘a>rifi>n. Menjadikan ma‘rifah untuk merasakan dekat dengan Allah. Anwar Fuad Abi Khaza>m,
Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1,165
248
sebagai orang arifi>n dan derjat itu bagi mereka merupakan bentuk ha>l, maqa>l133
,
dan sulu>k (proses dalam menempuh perjalanan tasawuf).134
Oleh karena itu dengan
sempurnanya ma‘rifah itulah mereka mengetahui bahwa mereka akan menghadapi
karunia Allah lantaran menyelamatkan diri dari kaumnya untuk menuju ke gua.135
Keadaan mereka ini disebut al–Ghazali merupakan bagian muka>shafah bil ‘ilmi
yaitu membenarkan kejadian dengan pemahaman.136
Berkat karunia Allah mereka
mengetahui rahasia gaib dengan mengalami suatu peristiwa.
Beberapa kata kunci disebut Sa„id H{awwa dalam tafsirnya untuk menyifati
pemuda kahfi seperti tawakal, ma„rifah, kepercayaan pada karunia Allah dan murni
keyakinannya. Hal itu dikemukakan dalam penafsiran sufistiknya. Ini menunjukkan
pada makna isha>ri dari ayat tersebut. Makna isha>ri yang dikemukakan Sa„id
H{awwa tidak meninggalkan makna zahir ayat seperti terlihat diatas. Peristiwa yang
dikandung ayat disebutkannya secara eksplisit yang dikaitkan dengan aspek ajaran
tasawuf. Artinya penafsiran sufistiknya dilakukan dengan memperhatikan konteks
ayat yang dapat dipahami hubungannya.
Keberadaan ma‘rifah sebagai diuraikan diatas, bila dicermati tampak bahwa
Sa„id H{awwa tidak terlalu mempersoalkan istilah dan teori tasawuf. Ia memandang
ma‘rifah137
yang terjadi pada ‘a>rifi>n merupakan bagian dari ha>l, maqa>l dan
sulu>k. Bagi Sa„id H{awwa penamaan istilah tidak prinsip, apakah termasuk ha>l
atau maqa>m atau ada istilah lain, yang penting maknanya mudah dipahami dan
133
Maqa>l berarti melihat, dalam tasawuf disebut juga muka>shafah ‘uyu>n. Lihat catatan
kaki no. 2. Lihat; Abi Khazam, Mu’jam …, h. 147. Istilah lain seperti yang disebut al–Ghazali sebagai
dikutip Abi Khazam, dengan muka>shafah bil ha>l yaitu penegasan kebenaran ru’yah sebagai
tambahan pada ha>l. Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut:
Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 167
134 Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet.
Ke–6, 3168 135
Sa„id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 6, Cet.
Ke–6, 3168 136
Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 167 137
Bagi al–Junaid (w. 381 H) ma‘rifah sebagai ha>l, sedangkan dalam Risa>lah al–
Qushairiyyah disebut dengan maqa>m. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. Ke–8, 75
249
diamalkan. Dalam tafsir Ibnu Arabi ditafsirkan ayat ini …
kamu meninggalkan jiwa–jiwanya dan memeliharanya dengan kekosongan.
Selanjutnya disebutkan berlindung ke gua ditafsirkan adalah kepada badan kamu
untuk memakai peralatan pada badan dalam rangka penyempurnaan ilmu dan amal.
Mereka terpotong menjadi pecahan–pecahan padanya ( –seakan ( اخضا ف١ ىغش٠
akan mereka mayat dengan meninggalkan gerakan–gerakan jiwa dan melompat,
menerkam cara binatang artinya dikatakan kepada mereka, matilah kamu sesuai
keadaan mati yang diinginkan ( را رب ئساد٠ب) . ).138
Penafsiran Ibnu Arabi ini tidak
melandaskan lagi pada makna zahir ayat, dimana dijelaskan tentang gua dimaksudkan
sebagai berlindung ke gua–gua badan sendiri. Setelah itu alat–alat di badan
digunakan untuk penyempurnaan ilmu dan amal. Melihat demikian penafsiran ini
dapat dikategorikan pada tafsir bat}ini atau paling tidak makna isha>ri ba‘i>d
(jauh).139
Hal semacam ini sering muncul dalam tafsirnya, seperti disebut az–Zahabi
juga bahwa penggunaan antara tafsir makna zahir sulit ditemukan didalamnya.
Namun demikian, menurutnya tafsir Ibnu Arabi ini tetap masih mengakui makna
zahir sekalipun jarang sekali terungkap di dalamnya.140
Makna ayat berikutnya tentang “ Tuhanmu akan melimpahkan rahmatNya
kepadamu “ maksudnya yaitu kehidupan yang sesungguhnya dengan ilmu141
dan
ma‘rifah ) ح١بح حم١م١خ ثبؼ اؼشفخ ). Sebagai tambahan kesempurnaan dan kekuatan
dengan pertolongan kekuasaan besar dan kekuatan suci.142
Suatu kelebihan yang
dianugerahkan Allah kepada mereka dengan memperoleh ilmu dan ma‘rifah yang
138
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid
1, Cet. Ke–2, 419-20 139
az–Zahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 297
140 Pandangan ini berdasar pada mukaddimah tafsirnya. Menurutnya makna zahir adalah tafsir
sedangkan batin baginya adalah takwil, karena itu disebut juga makna batinnya itu dengan takwil jauh.
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1, Cet. Ke–2,
24. Lihat juga, az–Zahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 297
141 Sesuatu yang zahir menjadi jelas dengan ilmu, sesuatu berdasarkan kashaf batinnya
menjadi jelas dengan ma’rifah. Ilmu tetap kokoh dengan ma’rifah, ma’rifah tetap dengan zatnya.Lihat;
Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan,
1993), Cet. Ke–1,165 142
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid
1, Cet. Ke–2, 420
250
disebut Ibnu Arabi sebagai kehidupan yang hakiki yang dirasakan. Dengan kelebihan
yang disebutkan itu mereka (pemuda kahfi) merasakan keamanan yang luar biasa.
Hanya saja Ibnu Arabi dalam tafsirnya ini tidak pernah menyebut kelebihan yang
dianugerahkan tersebut dengan kara>mah. Tampaknya Ibnu Arabi tidak ingin
menunjukkan kelebihan yang terlihat luar biasa/terukur (riil) yang disebut dengan
kara>mah.143
Berbeda dengan Sa„id H{awwa dan Tustari yang nyata–nyata
menerangkan tentang kara>mah pada orang–orang saleh (terlihat kongkrit).
Dilihat dari makna ma‘rifah sebagai kesempurnaan rahmat dari Allah sebagai
dijelaskan Ibnu Arabi diatas dapat dipahami adanya kesesuaian dengan makna zahir
ayat. Ini menunjukkan bahwa tafsir Ibnu Arabi tidak selalu menggunakan makna
batin yang jauh dari zahir ayat. Apalagi makna yang sama terdapat pula dalam tafsir
Sa„id H{awwa yang sangat nyata menggunakan pendekatan makna zahir dalam
menafsirkan ayat tersebut.
Selanjutnya ditafsirkan, Allah akan menyempurnakan pertolongannya atau
sesuatu yang berguna dalam urusanmu maksudnya seperti tidak memberi manfaat
dengan lahirnya kelebihan–kelebihan dan timbulnya cahaya–cahaya tajalli ( وب ال ٠زفغ
maka kamu merasakan kenikmatan dengan ,( ث ثظس افضبئ طع أاس ازج١بد
musha>hada>t144
serta merasa enak dengan sifat–sifat kesempurnaan ( فزز
.( ثبشبذاد رزؼ ثبىبالد145
Penafsiran tentang “ pertolongan yang berguna “ pada
akhir ayat 16 surat al–Kahfi diatas sebagai musha>hada>t dan sifat yang sempurna.
Tidak jelas hubungan apa yang dimaksud oleh Ibnu Arabi dalam penafsirannya
143
Begitu pula ketika memahami peristiwa yang dialami Maryam ketika mendapatkan rezki
di ruangannya. Ibnu Arabi dalam tafsirnya, menyatakan (sebagai hal abstrak) rezki ruhani,
pengetahuan–pengetahuan dan hikmah–hikmah isha>ri dari Allah. Keadaan yang dihadapi maryam
menunjukkan bagian dari rezki ladunniyah ( langsung dianugerahkan Allah ). QS. Ali Imran ( 3 ) : 37.
Lihat; Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1, Cet.
Ke–2, 126. 144
Musha>hada>t digunakan dalam hal terkait dengan yakin hakiki tanpa keraguan, dipakai
juga terhadap melihat sesuatu kebenaran dengan dalil-dalil tauhid. Musha>hada>t dan muka>shafah
berdampingan dalam makna, makanya kondisi itu dalam tasawuf muncul saling berkait. Anwar Fuad
Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–
1,163
145 Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid
1, Cet. Ke–2, 420
251
karena tidak didukung oleh ayat lain atau makna zahir ayat sendiri. Bahkan uraian
berikut juga yang lebih membingungkan yaitu “ Rahasia lain tentang tempat
berlindung ke gua waktu mereka pergi dari kaumnya dipahami dari masuknya Imam
Mahdi dalam gua apabila keluar dan turun Isa ” ( ( ف اأ ئ اىف ػذ فبسلز عش
(اهلل أػ , اخش ٠ف دخي اذ ف اغبس ئرا خشج ضي ػ١غ ( .146
Tampaknya Ibnu Arabi
menjelaskan keadaan gua tersebut dengan peristiwa imam Mahdi al–Muntaz}ar yang
berdiam di gua tersebut. Padahal diatas ia menyebutkan berlindung ke gua yang
dimaksud adalah ke badan. Dari makna tersebut semakin jauh takwil yang diberikan
Ibnu Arabi terkait akhir ayat diatas. Terang bagi kita bahwa dalam tafsir Ibnu Arabi
nuansa makna batinnya lebih menonjol.
Melihat dari penafsiran-penafsiran diatas, dapat dikatakan bahwa penafsiran
Sa„id Hawwa sangat dekat dengan pengertian yang diberikan para ahli sufi
sebagaimana terungkap dalam pengertian tentang kara>mah. Di samping itu
penafsirannya lebih nampak kesejalanan dengan makna ayat dan pandangan shara‘,
karena itu penafsiran demikian termasuk kepada tafsir sufi isha>ri.
__________
146
Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid
1, Cet. Ke–2, 420
252
BAB VI
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari uraian yang dikemukakan pada bab-bab terdahulu, dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Dasar metodologi penafsiran Sa‘id Hawwa dalam menafsirkan ayat-ayat yang
bercorak tasawuf adalah dengan mengungkapkan makna isha>rinya yang tetap
berpegang pada makna zahir ayat. Ini sesuai dengan syarat tafsir sufi isha>ri
yang disepakati ahli tafsir, seperti adh-Dhahabi. Kecenderungan Sa‘id Hawwa
dalam penafsiran sufistiknya sangat dipengaruhi oleh mufasir sebelumnya
terutama an-Nasafi, al-Alusi dan Ibnu Kathir. Berkenaan dengan penggunaan
makna isha>ri dan makna zahir, penafsiran sufistik Sa‘id Hawwa memiliki
kemiripan dengan tafsir at-Tustari yang juga memiliki orientasi penafsiran
sufistik dengan berpegang pada makna zahir. Bahkan pendekatan makna
zahirnya lebih tampak dari pada penafsiran Tustari.
Metodologi penafsiran Sa‘id Hawwa secara umum, yaitu menjelaskan makna
isha>ri setelah mengemukakan makna zahir ayat. Di samping itu ada yang
dijelaskan makna isha>rinya saja yang tetap sejalan dengan zahir ayat. Selain
itu, ia memperhatikan juga kandungan ayat yang nyata di dalamnya memiliki
unsur-unsur pemahaman yang sesuai dengan ajaran tasawuf. Makna sufistik
yang dikemukakan tidak keluar dari makna dasar yang dikandung suatu ayat.
2. Pemikiran sufistik Sa‘id H{awwa tergolong pada tasawuf amali. Hal itu terlihat
ketika ia menafsirkan ayat terkait dengan maqa>m dan dimensi ajaran tasawuf.
Secara historis penafsiran sufi isha>ri bersumber dari praktek tasawuf yang
disebut dengan tasawuf ‘amali.
Sehubungan dengan orientasi penafsiran atau pemikiran sufistik Sa‘id
H{awwa, ditemukan bahwa corak penafsiran sufistiknya termasuk pada tafsir
253
sufi isha>ri yang mendasarkan penafsiran pada latihan ibadah dan pengalaman
tasawuf dalam menjelaskan makna isha>ri. Dalam hal ini penafsiran sufistik
Sa‘id H{awwa lebih dekat kepada tafsir Tustari yang dikenal bercorak tafsir sufi
isha>ri. Namun demikian, penafsiran sufistik Sa‘id H{awwa memiliki
perbedaan dengan Tustari dalam hal keluasan penggunaan makna isha>ri. Bagi
Sa‘id H{awwa dalam mengungkapkan makna isha>ri sangat dekat dengan
pengertian zahir ayat dibandingkan dengan at-Tustari, yang masih terdapat
padanya makna isha>ri yang tidak dekat atau tidak berkaitan langsung dengan
makna zahir.
Pemikiran penafsiran Sa‘id H{awwa yang dikemukakan diatas, sejalan juga
dengan pengertian yang dirumuskan atau definisi yang diberikan para ahli sufi.
Dengan demikian penelitian ini telah membuktikan bahwa tafsir Sa‘id H{awwa
merupakan bagian dari tafsir berorientasi sufistik. Temuan ini menegaskan bahwa
tafsir Sa‘id H{awwa termasuk dalam kategori tafsir berorientasi sufistik, seperti
pola tafsir al-Alu>si atau tafsir Naisaburi.
3. Temuan penelitian ini mendukung pandangan yang menyatakan bahwa penafsiran
sufistik diwujudkan dengan menakwilkan ayat diluar makna zahir berdasarkan
isyarat tersembunyi dan juga dapat menggunakan makna zahir disamping makna
isha>ri. Mereka yang berpendapat demikian diantaranya; zarqani, adh-Dhahabi
dan Alexander D. Knysh.
Sementara itu, temuan penelitian ini juga menolak pandangan yang
mengatakan bahwa penafsiran sufistik dianggap tidak berlandaskan pada makna
zahir ayat bahkan dikategorikan sebagai aliran tafsir ba>t}iniyyah. Mereka yang
berpendapat demikian antara lain; Ibnu S{ala>h dan Abu Hasan al-Wahidi.
Temuan penelitian yang ditegaskan dalam kesimpulan disertasi ini
membuktikan akan hal itu dengan melakukan kajian tentang penafsiran sufistik
Sa‘id H{awwa. Kajian ini menemukan bahwa penafsiran sufistik Sa‘id Hawwa
dalamnya menggunakan makna isha>ri dengan tetap berpegang pada makna
254
zahir dalam menafsirkan ayat-ayat terkait dengan maqa>m-maqa>m tasawuf dan
dimensi ajarannya.
Sa‘id H{awwa secara metodologis mempunyai kecenderungan dalam
tafsirnya untuk menggunakan makna isha>ri dengan tetap memperhatikan makna
zahir agar tidak terjadi penyimpangan makna. Dalam penafsiran sufistiknya, Sa‘id
H{awwa memandang ayat tasawuf yang jelas kandungan sufistiknya. Misalnya,
terkait dengan istilah ajaran sufi yang tidak tegas dalam Alquran seperti istilah
kasha>f. Sa‘id Hawwa memahami kashaf sejalan dengan makna ayatnya secara
eksplisit memang mengarah pada pengertian kashaf.
Selain itu, metodo\logi penafsiran Sa‘id Hawwa tentang maqa>m-maqa>m
diatas tampak sangat dekat berpegang pada makna zahir sebab ayat-ayatnya
secara umum tergolong s}ari>h (jelas maknanya). Sementara itu, ayat-ayat
terkait dengan dimensi ajaran tasawuf umumnya tidak tergolong s}ari>h maka
penafsirannya juga agak abstrak namun tidak keluar dari makna zahir ayat.
Bila diperhatikan pengalaman tasawuf Sa‘id H{awwa dari hasil penafsiran
dan karya-karyanya di bidang tasawuf belum ditemukan informasi bahwa ia
memiliki pengalaman rohani (kesufian), namun ia dikenal sebagai seorang zuhud.
Barangkali Sa‘id Hawwa bisa disebut kelompok mutasawwif, sebutan bagi pelaku
tasawuf yang belum sampai pada tingkat yang disebut sufi, atau boleh jadi
peristiwa diluar kebiasaan atau keistimewaannya tidak diekspos olehnya. Artinya
Sa‘id Hawwa boleh jadi memiliki pengalaman spiritual khusus tapi tidak
terpublikasi atau ia masih dalam proses perjalanan mencapai puncak sufi. Fakta
ini didukung juga dalam penafsirannya bila terkait makna abstrak seperti kashaf,
musha>hadah, dan sejenisnya, Sa‘id H{awwa sering mengutip pendapat tokoh
sufi untuk mendukung penafsirannya. Dari sini bisa dimengerti Sa‘id Hawwa
tentu sepaham dengan pendapat yang dikutipnya tersebut. Namun demikian,
untuk mengetahui kualifikasi tentang kesufiannya diperlukan penelitian
mendalam terhadap semua karya-karya tasawufnya.
255
B. Implikasi Penelitian
Disertasi ini turut memberi pemahaman pada umat bahwa penafsiran sufistik
pada dasarnya tetap memelihara makna zahir dalam menggunakan makna
isha>ri. Melalui pemahaman seperti ini, masyarakat khususnya di Indonesia tidak
khawatir untuk memasuki dan mendalami tasawuf. Pada prinsipnya, ibadah dalam
ajaran Islam bertujuan membentuk jiwa sufistik yang diharapkan dapat merasakan
hubungan yang dekat dengan Tuhan, bila berusaha menangkap hikmah dari
ibadah yang dilakukan.
Penelitian ini memberikan informasi kepada umat dalam menjalankan tasawuf
agar sesuai dengan petunjuk Alquran. Dalam penelitian ini banyak dikupas ayat-
ayat terkait dengan maqa>m tasawuf dan aspek ajaran tasawuf yang tentunya
akan menambah wawasan untuk lebih mengenal ajaran tasawuf.
Penelitian ini ikut menambah khazanah kajian tasawuf yang berguna baik
pada lembaga akademik atau sekolah-sekolah. Tema-tema kajian didalamnya
dapat menjadi masukan dalam kajian tafsir sufi. Pembahasan didalamnya sangat
nuansif yang memperkaya perdebatan karena menampilkan juga penafsiran
sufistik corak falsafi.
Penafsiran sufistik seperti yang dilakukan Sa‘id H{awwa dengan
menggunakan pendekatan makna zahir dan isha>ri perlu dikembangkan agar
pemahaman ayat lebih membumi dan mudah dilaksanakan serta tidak putus
dengan dunia empirik.
________
260
DAFTAR PUSTAKA
Alquran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI
Abdul Baqi, Muhammad Fuad. Al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz} al-Quran al-
Kari>m. Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th.
Abdul Halim M, Muni‘. Mana>hij al–Mufassiri>n. Kairo: Darul Kitab fi> al–
Mishriy, 1978
Al–Alu>si. Ru>h} al-Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al–Quran al-‘Az}i>m wa as-Sab’i al-
Matha>ni. Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 1422/2001.
As}faha>ni, Raghib. Mu‘jam Mufrada>t Alfa>z} al–Quran. Beirut: Darul Kutub
Ilmiah, 2004 M/1425 H.
Al-Asqalani, Ibnu H{ajar. Bulu>ghul Mara>m. Bandung: Mathba’ah al- Ma’arif,
t.th.
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdhor. Kamus Kontemporer Arab–Indonesia.
Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, t.th, Cet. Ke–
4.
Anis, Ibrahim., dkk. Al–Mu’jam al–Wasi>t}. Tt: tp, Cet. Ke–2
Al–Aqil, Al–Mustashar Abdullah. Mereka yang telah Pergi: Tokoh–tokoh
Pembangun Pergerakan Islam Kontemporer. Jakarta: Al-I‘tis}am Cahaya
Umat, 2003.
Ali, Asep. Kesatuan tema Alquran sebagai Mukjizat: Telaah Muna>sabah antara
surat al–Fa>tih}ah dan surat Sab‘ut} T}iwa>l dalam Tafsir al–Asa>s karya
Sa‘id H{awwa. Jakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2004 M / 1425 H.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2002, Edisi Revisi V, Cet. Ke–12.
Al-Bakri, Ahmad Abdurraziq, dkk,. Dalam Ibnu Jari>r at}-T}abari. Ja>mi’ al–
Baya>n fi> Tafsi>r al-Quran. Kairo: Darussalam, 1425/2005.
Bowering, G. Sufi Hermeneutics: dalam Alexander D. Knysh. Encyclopaedia of the
Quran. Leiden: MNP, 2006, V.5
261
Commins, David, dalam John L. Esposito. Dunia Islam Modern–Ensiklopedi Oxford
(Terj). Bandung: Mizan, 2002, Jilid 5, Cet. Ke–2.
Echols, Jhon M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia, 1996, Cet. Ke-23.
Fairuzabadi. Tanwi>r al–Miqbas min Tafsi>r Ibn Abbas. Beirut: Darul Fikri,
1421/2001.
Al–Farmawi, Abdul Hayy. Al-Bida>yah fi> at–Tafsi>r al–Maud}u>‘i. Kairo: tp,
1397/1977, Cet. Ke–2.
Gamal al–Banna, Tafsi>r al–Quran al–Kari>m bain al–Qudama>’` wa al–
Muh}addithi>n. Terj. Evolusi Tafsir. Kairo: Dar al–Fikri al-Islami, 2003.
Al-Ghazali. Ih}ya’ Ulum ad-Din. Mesir: Maktabah Must}afa al-Ba>bi al-H{alabi wa
Aula>dihi, 1939/1358.
Al–H{addadi, Muhammad Tajuddin bin al–Manawi. al–Aha>di>th al–Qudsiyyah.
Terj. H. Salim Bahreisy. 272 Hadis Qudsi. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1979,
Cet. Ke–2.
al-Husaini, Ishak Mussa, Ikhwanul muslimun. Jakarta: Grafiti Pers, 1983, Cet.ke-1
H{awwa, Sa‘id. Al–Asa>s fi> at–Tafsi>r. Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M, Cet.
Ke–6.
_______. Al–Asa>s fi> as–Sunnah. Kairo: Darussalam, 1995/1416, Cet. Ke–3.
_______. Al–Islam. Kairo: Maktabah Wahbah, 2004/1425, Cet. Ke-2.
_______. Ar-Rasul. Kairo: Maktabah Wahbah, t.th.
_______. As}–S}iddi>qi>na wa ar-Rabba>niyyi>na min Khilal an–Nus}u>s} wa
H{ikam Ibn ‘At}aillah as-Sakandari. Kairo: Darussalam, 1999/1419,
Cet. Ke–4.
_______. Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah. Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M, Cet.
Ke–9.
Hamka. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas,
1994, Cet. Ke–19.
262
H{ayya>n, Abu. Al-Bah}r al-Muh}i>t} fi> at-Tafsi>r. Beirut: Darul Fikri,
1992/1412, Cet. Ke–3
Hoesen, Ibrahim. Benarkah Pemerintah Saudi Arabia Mengikuti Mazhab Wahabi?
dalam Mimbar Ulama No. 138 Th. XII. Jakarta: 1989/1409. Sebagaimana
dikutip oleh Toha Andiko. Disertasi: Ijtihad Ibrahim Hoesen dan
Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: SPS
UIN Jakarta, 2008.
At}-T}abari, Ibnu Jari>r. Ja>mi‘ al–Baya>n fi> Tafsi>r al-Quran. Kairo:
Darussalam, 1425/2005, Cet.Ke-1
Ibnu Arabi. Tafsi>r al-Quran al–Kari>m. Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427
H/2006 M , Cet. Ke–2.
_______ Al-Futu>h}a>t al-Makkiyyah. Beirut: Darul Fikri, 1424 H/2004 M, Cet. Ke-
1.
_______ Fus}u>s} al-H{ikam. Ta‘li>q oleh: Abu al-‘Ala Afifi. Beirut: Darul Kitab
al-Arabi, 1980/1400.
Isa, Abdul Qadir. H{aqa>iq at-Tas}awwuf. Terj. Khairul Amru Harahap, Lc dan
Afrizal Lubis, Lc. Jakarta: Qisthi Press, 2006, Cet. Ke–2.
Iyazi, Muhammad Ali. al–Mufassiru>n: Haya>tuhum wa Manhajuhum. Teheran:
Wiza>rah Thaqa>fah Isla>miyah, 1414 H/1994 M.
Al-Jailani, Abdul Qadir. al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Faydu ar-Rahmaniy. Beirut:
Darul Kutub al-Ilmiyah, 1424/2003, Cet.ke-2. Tahqiq: Shaikh Anas Mihrah
_______, Abdul Qadir. Al-Ghuniyyah li T{a>libi> T{ari>q al-Haq fi> al-Akhla>q
wa at-Tas}awwuf wa al-A<da>b al-Islamiyyah. Tt: Darul Kutub al-
Islamiyyah, t.th.
Al–Jarjani, Syarif Ali bin Muhammad. Kitab Ta‘rifa>t. Beirut: Darul Kutub Ilmiah,
1988/1408 H, Cet. Ke–3.
Jibril, Muhammad Sayyid. Madkhal ila Mana>hij al-Mufassiri>n. Kairo: al-Ba>b al-
Akhd}ar al-Mash-had, 1987/1408, Cet.ke-1
Al–Kafijiy, Muhammad bin Sulaiman. At–Taisi>r fi> Qawa‘id Ilm at–Tafsi>r.
tah}qi>q: Nas}ir bin Muhammad al–Mat}rudiy. Beirut: Dar al–Qalam,
1990/1410, Cet. ke-1.
263
Al-Kalabazi, Abu Bakar Muhammad. At-Ta‘arruf li madh-hab Ahli at-Tas}awwuf.
Kairo: Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1388/1969, Cet.ke-1.
Khazam, Anwar Fuad Abi. Mu‘jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S}u>fiyyah. Beirut:
Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke–1.
Knysh, Alexander D. Encyclopaedia of the Quran. Leiden: MNP, 2006.
Machasin. Al-Qa>d}i Abdul Jabba>r: Mutasha>bih al-Quran–Dalih Rasionalitas
Alquran. Yogyakarta: LkiS, 2000, Cet. Ke–1.
Al–Mahdi, Sayid M. Aqil bin Ali. Madkhal ila> at-Tas}awwuf al–Isla>mi. Kairo:
Darul Hadith, tth, Cet. Ke–2.
Mulyati, Sri (et.al), Oman Faturrahman. Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia.
Jakarta: Kencana PMG,2004, Cet. Ke-3.
Muslim. Sah}i>h} Muslim. Semarang: Toha Putera, t.th, Juz. 1.
An–Nasafi. Tafsi>r an-Nasafiy. Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 1421/2001
Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam : Pemikiran dan Gerakan. Jakarta:
Bulan Bintang, 1986, Cet. Ke–4.
_______. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992, Cet.
Ke–8.
_______. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazilah. Jakarta: UI-Press,
1987, Cet. Ke–1.
_______. Tasawuf, dalam Budhi Munawar-Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam
dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995, Cet. Ke-2
Noer, Kautsar Azhari. Ibnu Arabi: Wah}datul Wuju>d dalam Perdebatan. Jakarta:
Paramadina, 1995, Cet.ke-1
Noer, Kautsar Azhari. Memahami Sufisme: Suatu Tanggapan terhadap Beberapa
Tuduhan, dalam Amsal Bakhtiar (Ed). Tasawuf dan Gerakan Tarekat.
Bandung: Penerbit Angkasa–UIN Jakarta, 2003, Cet. Ke–1.
Al-Qa>sha>ni, Abdurrazaq. Syarh}: Fus}u>s al-H{ikam. Mesir: Must}afa al-Ba>biy
al-H{alabiy, 1966/1386, Cet.ke-2.
264
Al-Qat}t}a>n, Manna‘. Maba>h}ith fi> Ulu>m al-Qura>n. tt:tth, Cet. Ke-3.
Rakhmat, Jalaluddin. Tafsir Sufi al–Fa>tih}ah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1999, Cet. Ke-1.
As}–S}a>bu>ni, M. Ali. Tafsi>r A<ya>t al–Ahka>m. Tt: t.th.
Sharqawi, Hasan. Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah. Kairo: Muassasah Muhktar, 1987,
Cet.ke-1.
S}ih}ab, Alwi. Islam Inklusif. Bandung: Mizan, 1998, Cet.Ke–4.
S{ih}ab, M. Quraish. Membumikan Alquran. Bandung: Mizan, 1993, Cet. Ke-5.
_______. (Et.all). Sejarah dan Ulumul Qura>n. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, Cet.
Ke-3.
Steenbrink, Karel. Pengantar dalam: Afif Anshori. Tasawuf Falsafi Hamzah Fansuri.
Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2004.
Sudjarwo. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung: Mandar Maju, 2001, Cet. ke-1.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta,
CV, 2006, Cet. Ke–1.
Sulaiman, Mustafa. (Syarah) Fusus al-Hikam. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah,
1428/2007, Cet.ke-1.
Suma, Muhammad Amin. Karakteristik Ayat–ayat Hukum dalam Alquran: Pidato
Pengukuhan Guru Besar. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1418/1997.
Sunanto, Musyrifah. Asal Usul Tasawuf serta Perkembangannya di Indonesia. Dalam
Amsal Bakhtiar (Ed). Tasawuf dan Gerakan Tarekat. Bandung: Angkasa–UIN
Jakarta, 2003, Cet. Ke–1.
Suprayogo, Imam dan Tobroni, M.Si. Metodologi Penelitian Sosial–Agama.
Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001, Cet. Ke–1.
T{aba>t}aba>-i, M. Husein. Al–Mi>za>n fi> Tafsi>r al–Quran. Beirut: Muassasah
al–A‘lami, 2006 M/1428 H, Juz 3-4, Cet. Ke-1.
T}ameem Ushama. Methodologis of the Quranic Exegesis,
265
At–Tustari. Tafsi>r at–Tustari. Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423, Cet.Ke–
I.
Ubaidu, Hasan Yunus. Dira>sa>t wa Maba>h}i>ts fi> Ta>rikh Tafsi>r wa
Mana>hij al–Mufassiri>n. Kairo: tp, 1991 / 1411
Umarie, Barmawie. Systematik Tasawwuf. Sala: Penerbit AB. Sitti Sjamsijah, 1966,
Cet. Ke–2.
Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. London: George Allen and
Unwin Ltd, 1971, Cet. Ke–3.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab–Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Alquran, 1973 M/1393 H.
al-Hasani, Ahmad bin Muhammad I<qa>z} al-Himam fi Sharh} al-H{ikam li Ibni
‘At}a’ as-Sakandari. Tt: Darul Kutub al-Islamiyah,t.th.
Adh-Dhahabi, Muhammad Husein. At–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. Kairo: tp, 1396
H/1976 M, Cet. Ke–2.
_______, al–Ittija>ha>t al–Munh}arifah fi Tafsi>r al–Qura>n al–Kari>m. Tt:Darul
I’tisham, 1978/1398, Cet. Ke–2
Zaeni, Hasan. Tafsir tematik ayat–ayat kalam–tafsir al-Maraghi. Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1997.
Zaglul, Muhammad Hamdi. At–Tafsi>r bi ar–Ra’`yi. Dimaskus: Maktabah al–Farabi,
1420 /1999, Cet. Ke–1.
Zamakhshari. Al–Kashsha>f ‘an H{aqa>iq at–Tanzi>l wa ‘Uyu>n al–Aqa>wi>l fi>
Wuju>h at–Ta’wi>l. Mesir: Maktabah Mesir, t.th.
Az–Zarkashi, Badruddin. Al–Burha>n fi> Ulu>m al–Qura>n. tahqi>q: Muhammad
Abu al–Fad}l Ibrahim. Kairo: Dar at–Turats, t.th.
Az–Zarqani, Muhammad Abdul ‘Az}i>m. Mana>hil al–‘Irfa>n. Beirut: Darul Fikri,
t.th.
________
266
Abdul Qadir Mahmud. Al-Falsafah as-S{ufiyyah fi al-Islam. T.t: Darul Fikri al-
Arabi,t.th.
Valiudin, Mir. Tasawuf dalam Alquran. (Terj). Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002,
Cet.ke-3
Abdurrahman Ibnu Khaldun. Mukaddimah Ibnu Khaldun. Beirut: Darul Kutub al-
Ilmiyah, 1427/2006, Cet.ke-9, h.348.381
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Data Pribadi
1. Nama Lengkap : Septiawadi
2. Gelar Adat : Kari
3. Tempat / Tgl Lahir : Bukittinggi / 3 – 9 – 1974
4. Jenis Kelamin : Laki – laki
5. Agama : Islam
6. Kewarganegaraan : WNI
7. Pekerjaan : Dosen Fak. Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
8. Pangkat : Penata III d / Lektor
9. Alamat a. Lampung : Jalan Karimun Jawa No 16 Rt. 04 LK.01 Kel. Sukarame
Bandarlampung
b. Jakarta : Jalan Kerta Mukti (Samping Lentera Hati PSQ) Komplek
Perumahan Dosen UIN Ciputat
B. Keluarga
Orang Tua;1. Ayah : Karlis Sutan Saidi (Alm)
2. Ibu : Janimar Guci
Istri; 1. : Novlia Sufrita, S.Pd
Anak; 1. : Dhiyaulhaq Kari
2. : Arkazulhaq Kari
C. Pengalaman Pendidikan
1. Sekolah Dasar Negeri Tanjung Alam Bukittinggi tamat (1987)
2. Sekolah Lanjutan Tingkat Tsanawiyah–Aliyah Sumatera Thawalib Parabek
Bukittinggi tamat (1993)
3. Sarjana Pendidikan Bahasa Arab pada fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tamat (12 Januari 1998)
4. Magister Agama (MA) bidang Tafsir Hadis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tamat
(25 Juni 2000)
D. Pengalaman Pelatihan
1. Pelatihan Peneliti Tenaga Edukatif di Pusat Penelitian IAIN Raden Intan
Bandarlampung ( 2003 )
2. Work Shop Kurikulum Bahasa Asing (B.Arab) di Unit Pembinaan Bahasa IAIN
Raden Intan (2004)
3. Work Shop Pembelajaran Pendidikan Tinggi oleh Centre of Education
Development ( CED ) IAIN Raden Intan Lampung (2005)
4. Pelatihan Bahasa Inggris bagi Dosen di Pusat Pembinaan Bahasa IAIN Raden Intan
Bandarlampung ( 2008 )
5. Pelatihan Peneliti Tingkat Lanjut di Lembaga Penelitian IAIN Raden Intan Bandar
Lampung ( 2008 )
6. Work Shop Penyusunan SOP Standar Mutu IAIN Lampung pada PPMP IAIN
Lampung (2010)
E. Pengalaman Organisasi
1. Latihan Kader (LK) HMI Cabang Ciputat (1993)
2. Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa Arab Fak.Tarb. IAIN Jakarta
(1995/1996)
3. Kepala Biro Pers MENWA IAIN Jakarta (1996/1997)
4. Ketua mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) (1997)
5. Anggota Majlis Tarjih PWM Lampung (2005-2008)
F. Pengalaman Pekerjaan
1. Dosen Filsafat Pendidikan Fak. Tarbiyah Institut Agama Islam al-Aqidah Jakarta
(1999)
2. Dosen Tafsir Tarbawi (Pendidikan) Fak. Agama Islam Universitas Islam Djakarta
(2000–2001)
3. Dosen Tafsir (DLB) Fak. Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta
(2000–2002)
4. Dosen Tafsir di Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung (2002–sekarang)
G. Karya Tulis Akhir Studi
1. Dira>sah Tah}li>li>yyah ‘an Ma‘anil Amri fi> Su>ratil Kahfi wa Fikrah fi>
Tadri>sihi (Skripsi S1 / 1998)
2. Riwayat Isra>iliyya>t dalam Tafsir bi al–Ma’thu>r (Thesis S2 / 2000)
3. Karya Tulis Terkait a. Studi Kritis Tafsir an–Nasafi ( Jurnal Analisis, Pusat Penelitian IAIN Raden Intan,
Juli 2006 )
b. Menyelami Makna Dunia bagi Kehidupan Manusia; Kajian Tafsir Maudhu’i (Jurnal
ad –Dzikra, Januari 2007)
c. Buku; Studi Ilmu Hadis ; Kajian Takhrij, Tokoh Hadis dan Kitab Hadis
Kontemporer, Penerbit Yameka, Jakarta : 2006.
d. Pembaruan Tasawuf di Indonesia (studi tentang ar-Raniri dan as-Sinkili) makalah
tidak diterbitkan. (2006)
e. Pergolakan Pemikiran Tasawuf di Indonesia ( Jurnal Kalam, Desember 2008 )
f. Arah Baru Studi Tafsir di IAIN ( Jurnal Analisis, Lembaga Penelitian IAIN
Lampung, Desember 2009)
g. Kaedah Tafsir (kajian aspek dirayah) (Jurnal Kalam, Juni 2009 )
h. Analisis Orientasi Penafsiran Sa‘id H{awwa (Jurnal Tarbawi, Universitas
Muhammadiyah Lampung, April 2010)
_______