BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut pengamatan penulis sebagian orang menganggap kematian
merupakan awal menuju kehidupan yang kekal. Oleh karena itu mereka tidak
menanggapi persoalan kematian dengan mendalam dan menjauhkannya dari
pikiran. Sebagian orang yang lain menganggap peristiwa kematian merupakan
bagian akhir dari kehidupan. Oleh sebab itu, mereka cenderung menghindari
dan menganggap kematian sebagai peristiwa yang menakutkan. Dalam hal
keengganan untuk membahas kematian secara terbuka ini, Totok
S.Wiryasaputra, seorang konselor kedukaan berpendapat bahwa:
Kematian merupakan bukti kefanaan dan kerentanan kita. Kita berusaha menolak kefanaan itu dengan berbagai cara. Kematian memang sangat menakutkan, menyusahkan, dan menekan jiwa sehingga kita cenderung menghindari atau menutupinya dengan satu dan lain cara.1
Menurut penulis kematian adalah bagian dari kehidupan, sehingga
harus ditempatkan di tengah-tengah kehidupan. Memperbincangkan kematian
bukanlah sesuatu yang tabu, tidak seperti anggapan sebagian orang yang
1Totok S.Wiryasaputra, Pendampingan Menjelang Ajal, Terminal Illness (Jakarta:
PELKESI, 2007),9.
mengatakan ora ilok dan nggege mangsa (tidak pantas dan terlalu tergesa-
gesa) jika memperbincangkan kematian. Kematian adalah sesuatu yang pasti
sehingga perlu disiapkan sejak dini, sebelum kematian itu datang. Dalam hal
menyikapi peristiwa kematian, A.Sudiarja,SJ seorang teolog Katolik
menyebut dengan istilah necrocultura.2 Dari sudut pandang necrokultura,
kematian menjadi bagian dalam ruang lingkup kehidupan, menjadi pemikiran
sehari-hari, dan tidak dipandang sebagai sesuatu yang harus dihindari karena
mengganggu kehidupan normal.3
Ketika kita berfikir dengan lebih dalam, sesungguhnya kita justru
dapat belajar tentang kehidupan dari peristiwa kematian. Terkait dengan hal
tersebut seorang Samurai dari Jepang menyatakan“Barangsiapa mengenal
kematian akan mengenal kehidupan, dan barangsiapa melalaikan kematian
juga melalaikan kehidupan.”4 Dengan demikian belajar mengenali kehidupan
harus berjalan seiring dengan mengenali kematian.
Pemerintah Republik Indonesia menetapan kelompok lanjut usia di
mulai dari umur 60 tahun.5 Kelompok lansia ini, pada tahun 2020 jumlahnya
2A. Sudiarja,SJ, Matinya Kematian. Retorik ( November 2002), 193. 3Ibid. 4Darmaningtyas, Pulung Gantung, Menyingkap tragedi Bunuh Diri di Gunung Kidul
(Yogyakarta: Salwa Press, 2002), 48. 5Undang-Undan nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri nomor 60 tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan Komisi Daerah Lanjut Usia dan Pemberdayaan Masyarakat dalam penanganan Lanjut Usia di Daerah.
diperkirakan mencapai 11,34 % dari jumlah penduduk di Indonesia.6
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan periode lanjut usia
umur 60 sampai 74 tahun dalam tahap elderly (lanjut usia), umur 75 sampai
90 tahun tahap old (lanjut usia tua) dan umur lebih dari 90 tahun tahap very
old (usia sangat tua).7Totok S.Wiryasaputra menggolongkan warga lanjut usia
umur 60 sampai 69 tahun dalam tahap pratama, umur 70 sampai 79 tahun
tahap madya dan umur 80 tahun atau lebih tahap purna.8 The National
Council On Aging di Amerika Serikat membagi tahapan usia lanjut dengan
istilah young-old (usia 60 sampai 75 tahun), middle-old (umur 75 sampai 85
tahun) dan old-old (umur 85 tahun atau lebih).9 Oleh karena para ahli
berpendapat bahwa usia lanjut dimulai dari usia 60 tahun, maka penulis
menggunakannya sebagai dasar untuk menentukan batasan usia subyek
penelitian.
Sejauh pemahaman penulis, kelompok lanjut usia merupakan
kelompok yang dekat dengan kematian. Oleh karena faktor kerentaan dan
menurunnya fungsi organ-organ tubuh, maka kematian menjadi bagian yang
6R.Siti Maryam, Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya (Jakarta:Salem Medika,
2008), 9. 7Slameto, Stres, Depresi, serta Problema Psiko sosial yang dialami Lansia, Lembaga-
Lembaga Yang Dimanfaatkan Dan Faktor-Faktor Demografik Yang Terkait (Salatiga: Bimbingan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan Pusat Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial- LPU Universitas Satya Wacana, 1999), 3.
8Totok S. Wiryasaputra, Materi kuliah di kelas Bacaan Khusus, UKSW Salatiga, 2011 9Lynne Ann DeSpelder and Albert Lee Strickland, The Last Dance (NewYork: McGraw
Hill, 2005), 404.
tak terhindarkan. Siti Partini Suardiman seorang guru besar dari Universitas
Negeri Yogyakarta menyatakan bahwa kelompok lanjut usia memang berada
dalam tahap penurunan kondisi kesehatan. Masalah kesehatan ini bersumber
dari menurunnya fungsi organ-organ tubuh seperti jantung, ginjal, paru-paru,
serta kekebalan tubuh yang merosot, sehingga mempermudah datangnya
penyakit pada tubuh.10 Hana Santosa dan Andar Ismail, pengarang buku seri
selamat berpendapat bahwa kelompok lanjut usia adalah manusia yang mulai
masuk dalam proses tahap hidup Menua. Dalam hal ini, menua dipahami
sebagai suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki kerusakan atau mengganti diri, dan
mempertahankan struktur serta fungsi normalnya sehingga tidak dapat
bertahan terhadap infeksi.11
Masa lanjut usia juga dipahami sebagai masa terjadinya penurunan
fungsi organ-organ tubuh. Tubuh dan sel-selnya rusak karena banyak terpakai
dan digunakan secara terus menerus sepanjang hidup dan akan mengakibatkan
tubuh menjadi lemah serta mengalami kerusakan. Organ tubuh antara lain
hati, ginjal, lambung, kulit menurun fungsinya karena racun di dalam
makanan dan lingkungan kita yang dikonsumsi setiap hari. Dalam hal ini
10Siti Partini Suardiman, Psikologi Usia Lanjut (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), 48. 11Hana Santosa dan Andar Ismail, Memahami Krisis Lanjut Usia, Uraian Medis dan Pedagogis Pastoral ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009 ), 1-5.
proses menua, dipahami sebagai suatu proses menghilangnya secara perlahan-
lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri, mengganti diri dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap
penyakit yang menyerang. Menurut pendapat penulis pada masa tua tersebut
para lansia kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan menyebabkan makin
banyak kerusakan yang menyebabkan melemahnya organ tubuh. Ketika
fungsi jasmani telah merosot pada titik yang tidak dapat dipertahankan lagi,
maka kematian sebagai bagian akhir dari tahap usia lanjut tidak akan dapat
dihindari.
Dalam mendiskusikan tentang usia lanjut tersebut, Erik H. Erikson ahli
psikoanalisis kelahiran Frankfurt berpendapat bahwa tahap usia lanjut berada
pada fase integritas melawan keputusasaan.12 Seseorang akan merasakan
kepuasan hidup, jika fase-fase hidup sebelumnya dapat dilalui dengan baik
sehingga akan memunculkan harapan-harapan positif sampai menjelang akhir
hidup. Keadaan yang berbeda dialami ketika masa-masa yang telah dilalui
mengalami hambatan-hambatan, sehingga menimbulkan keraguan,
kemurungan dan keputusasaan. Rasa takut terhadap kematian ini akan menjadi
beban yang berat pada masa akhir kehidupan manusia.13 Dengan demikian
12Erik H.Erikson, Childhood and Society (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010), 318. 13John W.Santrock, Life-Span Development-Perkembangan Masa Hidup (Jakarta:
Erlangga, 2002), 250.
kekurangan atau kehilangan integritas diri mengakibatkan timbulnya
ketakutan kepada kematian sebagai akhir dari kehidupannya.14
Setiap orang memang memiliki sistem kepercayaan yang arahnya
menuju hidup yang kekal, namun demikian kepercayaan tersebut tidak akan
mampu menghilangkan sifat gawat dan dramatis suatu kematian.15 Louis
Leahy, ahli filsafat Jesuit menggambarkan situasi menghadapi kematian
sebagai berikut:
Suatu peralihan jiwa dari dunia spasio temporal kepada suatu hidup baru yang bentuk konkretnya tidak bisa dibayangkan sehingga menyebabkan rasa kuatir karena merasa direnggut dari orang-orang yang dicintai dan mencintainya serta dilemparkan dalam kegelapan dan kesunyian.16
Menurut pendapat penulis membahas soal kematian sesungguhnya
tidak hanya terpaku pada kematian itu sendiri, melainkan juga pada proses
menjelang kematian. Bagi orang Jawa proses ini disebut lelaku.17 Menurut
Y.Tri Subagya, antropolog lulusan Universitas Gajah Mada, proses lelaku ini
merupakan proses pada saat menjelang kematian ketika orang menderita
14Erik H.Erikson, Identitas dan Siklus Hidup Manusia (Jakarta: PT Gramedia, 1989), 304. 15Louis Leahy,S.J, Misteri Kematian, Suatu Pendekatan Filosofis (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1996 ),126. 16Ibid. 17Y.Tri Subagya, Menemui Ajal, Etnografi Jawa Tentang Kematian, (Yogyakarta: Kepel
Press, 2005), 137.
penyakit yang tidak segera sembuh. Proses ini juga terjadi pada masa usia
tua.18
Menurut Zoetmulder lelaku berasal dari kata dasar laku yang berarti
jalan, cara-gaya, gerak maju, kemajuan, perjalanan, cara bertindak, tingkah
laku dan kelakuan.19 Sudarmanto menjelaskan kata lelaku sebagai sekarat.20
Pemahaman yang sama diungkapkan oleh Mangunsuwito.21 Lelaku juga
dipahami sebagai lelungan adoh (perjalanan yang jauh), tetapi juga bisa
berarti sekarat atau wis dungkap mati.22 Dengan demikian, secara khusus kata
lelaku dapat dipahami sebagai proses menjelang kematian. Namun demikian,
secara umum lelaku juga dipahami sebagai seluruh tahap demi tahap
perjalanan kehidupan manusia di dunia ini, mulai dari lahir sampai mati.
Setiap bagian kehidupan tersebut dijalankan dengan cara dan gaya yang khas
pada setiap individu. Proses menjelang kematian sebagai sebuah lelaku,
terkait erat dengan lelaku-lelaku lain yang telah dijalankan. Lelaku-lelaku
yang telah dijalani tersebut akan mempengaruhi lelaku menjelang kematian.
Yeniar Indriana, peneliti dari Universitas Diponegoro Semarang
berpendapat bahwa seperti kelahiran yang perlu dipersiapkan dengan
18Ibid. 19Zoetmulder, P.J. Kamus Jawa Kuna-Indonesia (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,
1995), 386. 20Sudarmanto, Kamus Lengkap Bahasa Jawa (Semarang: CV Widya Karya, 2008) , 432. 21SA Mangunsuwito, Kamus Bahasa Jawa ( Bandung: CV Yrama Widya, 2007), 304. 22Tim Balai Bahasa, Bau Sastra Jawa (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 415.
matang, sesungguhnya demikian juga dengan kematian, sehingga kematian
menjadi peristiwa yang disambut dengan tenang dan bahagia.23 Dengan
demikian, bobot proses kematian sebagai akhir kehidupan sesungguhnya sama
pentingnya dengan proses kelahiran sebagai awal kehidupan. Penulis
berpendapat bahwa pembahasan tentang proses kelahiran sudah banyak
dilakukan, maka proses menjelang kematian pun layak untuk diteliti. Pada sisi
yang lain, dengan memahami pengalaman-pengalaman para lansia pada saat
menjelang kematian akan berguna dalam melakukan pendampingan yang
tepat sehingga para lansia tersebut bisa berdamai dengan kematian yang
dihadapinya.24
Dengan pemikiran demikian, penulis tertarik dan tertantang untuk
melakukan penelitian dengan judul: Lelaku (Suatu Studi Tentang Pengalaman
Menjelang Kematian Lansia Jawa). Pilihan lansia Jawa dipilih karena lingkup
Gereja Kristen Jawa (GKJ) sebagai tempat peneliti berpelayanan adalah
jemaat yang berbasis budaya Jawa, sehingga masih terdapat warga jemaat
yang menggunakan nilai-nilai dalam budaya Jawa sebagai pegangan hidup,
termasuk dalam proses kematiannya.
23Yeniar Indriana, Gerontologi dan Progeria (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 90. 24Komaruddin Hidayat, Berdamai Dengan Kematian (Jakarta: PT MIzan Publika, 2009),
125.
Penelitian ini dianggap penting karena sepengetahuan peneliti, belum
pernah dilakukan penelitian yang secara khusus membahas tentang
pengalaman menjelang kematian yang dialami oleh lansia Jawa.
B. Batasan Masalah
Supaya penelitian berjalan terarah dan tetap fokus pada permasalahan
dan tujuannya, perlu ada pembatasan-pembatasan sebagai berikut:
1. Dalam penelitian ini, peneliti memahami kata lelaku secara khusus sebagai
proses menjelang kematian. Proses menjelang kematian tersebut menjadi
bagian tak terpisahkan dari seluruh rentetan perjalanan kehidupan yang
sudah dilalui oleh semua manusia, termasuk kelompok lanjut usia. Lelaku
menjelang kematian adalah bagian utuh dari lelaku-lelaku lain yang telah
dijalankan.
2. Penulis memahami kata pengalaman sebagai hal-hal yang pernah dialami,
dirasai, dijalani, dan ditanggung.25
3. Banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk orang yang sudah tua,
misalnya warga jompo, wulan (warga usia lanjut), glamur (golongan
lanjut umur), usila (usia lanjut), manula (manusia usia lanjut) atau adi
yuswa. Penelitian ini menggunakan istilah lansia karena sudah menjadi
25Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008), 35.
istilah yang dibakukan untuk menunjukkan manusia yang sudah tua. Hal
ini tertuang dalam berbagai peraturan yang diterbitkan tentang warga
lansia.26 Warga lansia Jawa yang diteliti berumur 60 tahun atau lebih.
4. Lansia Jawa dalam penelitian ini adalah lansia yang masih memegang
nilai-nilai budaya Jawa dan memiliki usaha untuk menjaga dan
meneruskan tradisi Jawa dari para leluhurnya.27
5. Jenis kematian yang diamati bukan karena kecelakaan, pembunuhan atau
bunuh diri, melainkan kematian yang diakibatkan oleh faktor kerentaan
dan menurunnya fungsi organ-organ tubuh karena penyakit yang tak
tersembuhkan.
6. Penulis memahami budaya sebagai aturan-aturan dan jalan hidup yang
membentuk pola dan tindakan yang kongkret serta seperangkat nilai-nilai
yang dianut dan dapat dialih-turunkan dari generasi satu ke generasi
berikutnya sehingga tetap bertahan dari waktu ke waktu.
7. Penulis melakukan penelitian di Kalurahan Rejosari, Kecamatan
Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Pilihan lokasi penelitian
disebabkan karena masih kuatnya pengaruh budaya Jawa di wilayah
tersebut.
26Undang-Undang no 13 tahun 1998, Keputusan Presiden RI no 52 tahun 2004, Peraturan
Menteri Dalam Negeri no 60 tahun 2008. 27Y.Tri Subagya, Menemui Ajal.,62.
C. Rumusan Masalah Penelitian
Permasalahan yang menjadi fokus dan arah dalam penelitian ini adalah:
bagaimana pengalaman lansia Jawa pada saat menjelang kematiannya?
Pengalaman yang dimaksud adalah apa yang dipikirkan, dirasakan dan
dilakukan lansia pada saat menjelang kematian tersebut.
D. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti akan mendeskripsikan apa dipikirkan, dirasakan
dan dilakukan lansia Jawa pada saat menjelang kematiannya.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:
1. Dapat dipakai sebagai sumber informasi tentang apa yang dipikirkan,
dirasakan, dan dilakukan lansia Jawa pada saat menjelang kematiaanya.
2. Proses kematian lansia Jawa tersebut dapat menjadi pertimbangan
penyusunan pola pendampingan yang lebih tepat.
F. Metode Penelitian
Penulis melakukan penelitian menggunakan metode kualitatif dengan
pendekatan fenomenologis. Teknik Pengumpulan data dilakukan dengan
melakukan wawancara, observasi langsung serta studi kepustakaan.
Dalam penelitian ini, subyek penelitiannya adalah:
1. Lansia Jawa yang berada pada fase penyakit terminal yang masih
memungkinkan untuk diajak wawancara dan dijadikan sebagai sumber
informasi utama. Peneliti mungkin hanya mendapatkan data yang terbatas
karena lansia Jawa berada dalam keadaan penyakit terminal, tetapi data
tersebut sangat penting karena bisa menggambarkan langsung keadaan
yang sedang dialami.
2. Orang-orang terdekat yang mendampingi lansia Jawa pada saat akan
meninggal dunia dan dijadikan sebagai sumber informasi tambahan.
Peneliti berharap data-data tambahan dari keluarga yang mendampingi
melengkapi keterangan dari sumber utama.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang yang dialami oleh subyek penelitian,
misalnya perilaku, persepsi, motivasi atau tindakan-tindakannya yang
disajikan secara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa.28 Penulis
memilih melakukan penelitian kualitatifkarena masalah penelitian masih
samar-samar, sehingga membutuhkan penjelajahan yang lebih luas dan
dalam terhadap subyek penelitian.29 Penelitian ini juga dapat digunakan
28Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2010),6. 29Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2010), 22-23.
untuk memahami sesuatu yang ada di balik sebuah peristiwa, sehingga
interaksi sosial dan perasaan subyek penelitian dapat diketahui. Lexy J.
Moleong, peneliti dan guru besar Universitas Negeri Jakarta berpendapat
bahwa penelitian kualitatif biasa menggunakan cara pengamatan,
wawancara dan penelahaan dokumen sebagai teknik pengumpulan data.
Data-data yang dikumpulkan tersebut berupa kata-kata dan gambar yang
diperoleh dari naskah wawancara, catatan-catatan lapangan, foto dan
dokumen-dokumen serta dideskripsikan secara runtut menjadi suatu
laporan ilmiah.30
Bagong Suyanto, seorang sosiolog Universitas Airlangga
berpendapat bahwa penelitian kualitatif ini dilakukan dengan berdasar
pada prosedur logika yang berawal dari hal-hal khusus sebagai hasil
pengamatan dan berakhir pada suatu kesimpulan yang sifatnya umum,
mempelajari manusia secara lengkap dengan situasi yang sedang dihadapi
sebagai kesatuan yang saling berhubungan, memahami perilaku manusia
dari sudut pandang mereka sendiri, lebih mementingkan proses daripada
hasil, bersifat humanistik dengan berempati sehingga memahami secara
30Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 8.
pribadi subyek penelitian serta Semua aspek kehidupan dianggap penting
dan dihargai sebagai suatu hal yang spesifik dan unik.31
Penulis melakukan pendekatan fenomenologis karena menekankan
pengalaman-pengalaman subyektif yang muncul dari suatu perspektif
kesadaran seseorang. Sesuai dengan akar katanya, fenomenon memiliki
akar yang sama dengan kata fantasi, fantom, fosfor atau foto yang berarti
sinar atau cahaya. Dengan demikian pendekatan ini dikerjakan dengan
mengamati sesuatu yang tampak karena bercahaya sehingga
menampakkan dirinya dengan gejala-gejala tertentu.32
Dalam rangka penelitian ini, Anton Boisen salah seorang perintis
pendidikan pastoral klinis berpendapat bahwa seorang manusia dapat
dipandang sebagai suatu dokumen hidup yang dapat dibaca dan
diinterpretasi dalam cara-cara yang sama dengan interpretasi terhadap
teks-teks historis. Menurut Boisen, setiap manusia memiliki depth
experience yang harus didengarkan, dipahami dan dihormati sebagai
sebagai pengalaman yang otentik.33 Pengalaman dunia dalam dari
dokumen yang hidup ini akan tersingkap di dalam bahasa dan tingkah laku
31Bagong Suyanto-Sutinah-Ed, Metode Penelitian Sosial-Berbagai Alternatif Pendekatan
(Jakarta,Kencana, 2010), 169-170. 32Driyarkara, Karya Lengkap Driyarkara, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006)
1322. 33Ch.V. Gerkin, “Dokumen Yang Hidup: Citra Boisen Sebagai Paradigma” dalam buku
Teologi dan Praksis Pastoral-Antologi Teologi Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 380-381.
yang harus dicermati oleh peneliti. Sejarah pribadi dan sosial, serta nilai-
nilai yang dianut akan diserap dengan observasi langsung serta dengan
melakukan wawancara.
Penulis mengumpulkan data dengan melakukan wawancara,
observasi langsung serta studi kepustakaan. Model wawancara yang
dipilih adalah wawancara tidak terstruktur. Model ini dipilih karena
penulis tertarik untuk menanyakan suatu hal secara lebih mendalam
sehingga menghasilkan penemuan tertentu. Kecuali itu terdapat maksud
untuk mengungkap motivasi, penjelasan serta pengertian dari suatu
keadaan tertentu dari subyek penelitian. Arah pertanyaan yang
disampaikan dalam wawancara menyangkut pengalaman atau perilaku
serta pendapat atau nilai. Demikian juga berkaitan dengan perasaan dan
pengetahuan yang dimiliki responden, termasuk latar belakang hidupnya.
Hal–hal yang lain juga diperhatikan adalah yang berkaitan dengan
pengalaman indrawi yaitu apa yang dilihat, diraba, dan dicium subyek
penelitian.34
Observasi atau pengamatan sebagai cara mengumpulkan data
dilakukan dengan terjun langsung ke lapangan untuk mengamati secara
34Lexy.J, Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 92-194.
langsung responden yang dalam penelitian ini disebut sebagai subyek
penelitian.35
Studi kepustakaan menyangkut dokumen-dokumen dan buku-buku
yang terkait dengan tema penelitian, dan berisi catatan atau karangan
seseorang secara tertulis tentang tindakan, pengalaman dan kepercayaannya.
Penulis akan mewawancarai lima orang lansia Jawa yang tinggal di
Kalurahan Rejosari Kecamatan Gondangrejo Kabupaten Karanganyar.
Pemilihan subyek penelitian didasarkan pada situasi khusus yang sedang
dialami oleh para lansia tersebut yaitu yang dalam situasi penyakit terminal
tanpa mempertimbangkan faktor agama dan jenis kelamin. Selain penulis
mengumpulkan data dari lima lansia tersebut, penulis juga akan
mewawancarai orang terdekat yang mendampingi para lansia tersebut
sehingga mendapatkan informasi-informasi tambahan.
Dalam penelitian ini yang ditekankan adalah aspek subjektif dari
lansia Jawa yang berada pada tahap menjelang kematian. Penulis berusaha
untuk masuk ke dalam dunia para lansia Jawa sedemikian rupa sehingga
mengerti apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh lansia Jawa
tersebut pada saat menjelang kematiannya.
35Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif., 72.
Setelah mendapatkan data penelitian, penulis akan melakukan
analisis data. Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh melalui wawancara, hasil pengamatan dan
dokomen-dokumen yang diperlukan. Penulis melakukan analisis data
dengan mengelompokan data ke dalam kategori- kategori tertentu. Analisa
data kualitatif bersifat induktif. Dari data yang diperoleh memungkinkan
menjadi hipotesis dan ketika hipotesis diterima dapat berkembang menjadi
suatu teori.36 Mengutip pendapat Miles dan Huberman, Sugiyono, guru
besar Universitas Negeri Yogyakarta menyatakan bahwa proses analisis data
mencakup Data Reduction (reduksi data), data display (penyajian data) dan
conclusion drawing (verifikasi data).37 Pada tahap reduksi, data penelitian
yang beragam dan rumit dirangkum, dipilih hal-hal pokok yang sesuai
dengan tema penelitian sehingga data terpilah-pilah sesuai dengan
kebutuhan penelitian.
Setelah proses reduksi dilakukan, data penelitian disajikan dengan
teks yang bersifat naratif. Melalui penyajian ini, data menjadi lebih
terorganisir, tersusun pola hubungan, sehingga semakin mudah dipahami
guna langkah selanjutnya. Penarikan kesimpulan dan verifikasi data
menghasilkan gambaran dari para subyek penelitian yang semakin jelas,
36Ibid.,89. 37Ibid.,99.
sehingga akan terlihat adanya perbedaan, persamaan, pola, dan urutan
pengalamannya. Kesimpulan ini diharapkan bisa menjawab rumusan
masalah penelitian yang telah ditentukan.
G. Susunan Penulisan
Dengan mempertimbangkan tujuan penelitian diatas, maka penulis
menyusun penulisan dalam lima bab, yakni (1) Latar Belakang Penelitian,
(2) Tahap-Tahap Menjelang Kematian Menurut Elisabeth Kübler-Ross
Sebagai Kerangka Teori Penelitian, (3) Temuan Lapangan, (4) Analisa Data
Penelitian, dan (5) Kesimpulan dan Penutup.