Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki posisi geografis yang unik, berada didaerah
tropis dalam posisi silang antara dua benua: Asia dan Australia; dan dua
Samudra: Pasifik dan Hindia. Posisi dititik silang ini yang menyebabkan
kondisi laut di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi
yangberkembang dikedua benua dan kedua samudra tersebut. Perubahan
musim sera tekanan udara di benua Asia dan Australia misalnya,
menyebabkan berkembangan angin musim (moson) di Indonesia yang
selanjutnya menentukan musim hujan dan musim kemarau. Pola angin
musim dapat mempegaruhi arus air laut dipermukaan. Hubungan
antarasamudra Pasifik dan samudra hindia hanya dapat terjadi melalui
perairan Indonesia. Pertukaran massa air antara kedua samudra melewati
banyak selat yang bertebaran diantara pulau-pulau Nusantara. Kondisi
yang unik ini selanjutnya mempengaruhi kehidupan dalam laut.
Kekayaan akan jenis biota laut atau keanekaragaman hayati laut di
Indonesia juga sangat besar yaitu 10-25% dari kekayaan hayati di dunia.
Pemanfaatan sumberdaya laut untuk perikanan merupakan hal yang amat
penting sebagai sumber pangan dari komoditi perdagangan. Perikanan
disini dimaksud dalam arti yang luas mencakup penangkapan dan
pembudidayaan ikan, kerang dan sebagainya.
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 2
Udang merupakan salah satu potensi sumberdaya hayati laut yang
banyak terdapat di Indonesia memegang peranan penting sebagai
komoditif ekspor yang cukup diandalkan dalam peningkatan devisa Negara
dari subsector perikanan. Udang yang diperdagangkan umumnya terdiri
dari udang penaeid (udang windu, udang lamboh), sedangkan komoditi
udang lainnya masih belum banyak diusahakan, maka dilakukan
penganekaragaman. Salah satunya adalah udang karang atau lobster
(Spiny Lobster) yang mempunyai nilai ekonomis yang sangat penting.
Pemanfaatan lobster di Aceh sebagian besar berasal dari kegiatan
penangkapan dari alam yang produksinya sangat dipengaruhi oleh musim,
dimana perikanan lobster/udang karang di Aceh belum berkembang. Hal
ini dikarenakan usaha penangkapan lobster dilakukan secara sambilan dan
pemasarannya masih tergantung pada pengumpul, sehingga harga
jualnya sangat rendah. Padahal sebagai komoditi ekspor, lobster
mempunyai prospek yang cerah dan belum dapat dipenui oleh Negara-
negara pemasok.
Tujuan Penelitian
Kegiatan penangkapan lobster yang terus meningkat akan
berpengaruh terhadap keseimbangan populasi dan ketersediaan stock
lobster di alam. Pemanfaatan demikian itu akan berakibat menurunnya
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 3
stock, kepunahan spesies, ketidak seimbangan ratio antar jantan dan
betina, serta aspek biologi lainnya. Untuk mencegah kerusakan stock perlu
dilakukan dengan lebih dahulu mengkaji kondisi sumberdaya saat ini di
Aceh. Peneitian ini juga bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis lobster
yang ada di perairan Aceh, hubungan panjang-berat serta potensi lestari
dan tingkat pemanfaatan sumberdaya lobster di perairan Aceh.
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 4
GAMBARAN UMUM
Klasifikasi dan Morfologi Lobster
Lobster termasuk dalam famili Palinuridae. Menurut Kanna (2006),
sistematika lobster telah banyak diungkapkan oleh para peneliti, meskipun
terdapat berbagai perbedaan. Klasifikasi lobster dijelaskan oleh Waterman
dan Chace (1960) dalam Moosa dan Aswandy (1982), dengan penjabaran
sebagai berikut; Crustacea (Superkelas) – Malacostraca (Kelas) –
Eumalacostraca (Subkelas) – Eucarida (Superordo) – Decapoda (Ordo) –
Reptantia (Subordo) – Scyllaridae (Superfamili) – Palinuridae (Famili) –
Panulirus (Genus) – Panulirus homarus, P. penicillatus, P. longipes, P.
versicolor, P. ornatus, P. Polyphagus (Spesies). Masyarakat Indonesia
mengenal lobster (spiny lobster) dalam berbagai nama, diantaranya
adalah udang karang (Aceh) urang takka (Makasar), koloura (Kendari),
loppa tasu (Bone), hurang karang (Sunda), bongko (Pangkep), udang
puyuh (Padang), udang topeng (Karawang) dan lain-lain. Umumnya
lobster dikenal sebagai udang barong atau karang (Kanna 2006).
Secara umum telah diketahui bahwa lobster terdiri atas 49 spesies
lobster. Perairan Indo-Pasifik Barat terdapat 11 jenis udang karang dari
marga Panulirus, 6 diantaranya terdapat di perairan Indonesia. enam
jenis lobster yang terdapat di Indonesia merupakan jenis yang menghuni
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 5
perairan tropika yaitu: Panulirus versicolor (Lobster hijau), Panulirus
penicillatus (Lobster batu), Panulirus longipes (Lobster bunga), Panulirus
homarus (Lobster hijau pasir), Panulirus ornatus (Lobster mutiara) dan
Panulirus polyphagus (Lobster bamboo coklat).
Udang barong/lobster (Spiny Lobster) disebut juga udang karang
karena hidup di batubatu karang dan dasar laut yang berpasir halus.
Lobster memilki bentuk yang lebih besar dibandingkan dengan jesnis
udang lainnya, berat perekor dapat mencapai lebih dari 1 kg dan hampir
seluruh tubuhnya ditutupi dengan kulit keras berzat kapur dan penuh
ditumbuhi duri-duri tajam dank eras terutama pada bagian atas kepala
dan atena atau sungut. Lobster memiliki warna yang bermacam-macam,
seperti ungu, hijau, merah, dan abu-abu, serta membentuk pola yang
indah. Kerangka kulit lobster yang keras tersebut sebenarnya tidak
mengandung zat-zat warna hidup. Sifat-sifat pewarnaan yang indah tidak
lain disebabkan oleh zat warna yang dipancarkan oleh butir-butir warna
(chromatoblast) pada lapisan kulit lunak yang ada di bawahnya (Subani,
1978). Antena pada lobster tumbuh baik terutama antena kedua yang
panjangnya melebihi panjang tubuhnya. Pasangan kaki jalannya tidak
mempunyai chela atau capit, kecuali pasangan kaki lima pada lobster
betina. Dalam periode pertumbuhannya, lobster selalu berganti kulit
(moulting). Lobster mudah dibedakan dari jenis udang lain karena kulitnya
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 6
yang kaku, keras, dan berzat kapur, sementara udang biasanya berkulit
tipis, bening, dan tembus cahaya yang terdiri atas chitine.
Secara morfologi seluruh tubuh lobster terbagi atas ruas-ruas yang
tertutup oleh kerangka luar yang keras dan tubuh lobster terdiri atas dua
bagian utama, yaitu bagian depan (cephalotorax) dimana kepala menyatu
dengan dada dan bagian belakang (abdomen atau badan). Cephalotorax
tertutup oleh cangkang yang keras (carapas) dengan bentuk memanjang
ke arah depan. Bagian kepala terdiri atas 13 ruas dan bagian dada terdiri
atas 6 ruas. Sisi kanan dan kiri kepala ditutupi oleh kelopak kepala dan di
bagian bawah dalamnya terdapat insang. Pada bagian ujung cangkang
tersebut terdapat bagian runcing yang disebut cucuk kepala (rostrum).
Mulut terletak pada kepala bagian bawah di antara rahang-rahang
(mandibula).
Mata terletak di bawah rostrum, berupa mata majemuk bertangkai
yang dapat digerak-gerakkan. Pada bagian kepala terdapat beberapa
anggota tubuh yang berpasang-pasangan, antara lain antenulla, sirip
kepala (scophent), sungut besar (antena), rahang (mandibula), dua
pasang alat pembantu rahang (maxilla), tiga pasang maxilliped dan lima
pasang kaki jalan (pereiopoda). Tiga dari lima pasang pereiopoda
dilengkapi dengan jepitan (chela). Pada bagian badan terdapat lima
pasang kaki renang (pleopoda) yang terletak pada masing-masing ruas.
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 7
Pleopoda pada ruas keenam membentuk ekor kipas atau sirip ekor
(uropoda) dan bagian ujungnya membentuk ekor (telson).
Gambar 1. Morfologi spiny lobster
Berdasarkan daerah penyebarannya, ruang lingkup lobster pesisir
hanya berada pada dua wilayah yaitu;
1. Continental species spiny lobster, yaitu lobster yang hidup diperaran
karang pantai dangkal. Jenis-jenis lobster yang terasuk dalam
kelompok ini serta karakteristiknya adalah Scalopped spiny lobster
(Panulirus homarus) yang memiliki bagian punggungnya didominasi
oleh warna kehijau-hijauan atau cokelat kemerah-merahan, dan
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 8
terdapat bintik-bintik besar dan kecil berwarna kuning terang. Pada
bagian badan terdapat garis kuning, melintang pada tiap bagian sisi
belakang segmen abdomen. Selain itu, terdapat bercak-bercak putih
pada bagian kakinya. Pada bagian muka terdapat lempeng antenulla
dengan dua buah duri besar. Di belakang masing-masing duri tersebut
terdapat sebaris duri yang terdiri atas 2-6 buah duri kecil. Duri yang
terletak paling belakang berukuran lebih besar, namun masih lebih
kecil dibandingkan dengan duri besar yang terletak di bagian muka.
Bagian belakang sternum dada, baik pada lobster jantan maupun
betina berbentuk lempengan dan bertepi lurus dan Pronghorn spiny
lobster (Panulirus penicillatus) dimana bagian badannya berwarna
hijau tua dan hijau kehitam-hitaman, dengan warna cokelat melintang.
Lobster jantan biasanya berwarna lebih gelap. Jenis ini banyak ditemui
di perairan karang yang tidak jauh dari pantai. Pada bagian abdomen
terdapat bintik-bintik yang tidak terlalu jelas. Kaki jalan bergaris putih,
memanjang pada setiap ruas kaki. Bintik-bintik yang tampak lebih jelas
terdapat pada bagian pleura. Pada lempeng antenulla terdapat enam
buah duri besar dengan dasar saling berhubungan, tanpa duri-duri
tambahan dibelakangnya. Bagian belakang sternum dada berbentuk
gigi, berjumlah dua buah dan terletak saling berdekatan.
2. coral species spiny lobster, merupakan lobster yang hidup di perairan
pantai maupun lepas pantai agak dalam. Salah satu jenis lobster yang
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 9
termasuk dalam kelompok ini adalah Long legged spiny lobster
(Panulirus longipes). Lobster jenis ini memiliki warna dasar kecokelat-
cokelatan dengan warna kebiru-biruan pada antena. Namun, ada juga
yang berwarna merah cokelat cerah sampai gelap atau hitam
kemerah-merahan dengan bintik-bintik putih tersebar di seluruh
tubuhnya. Bagian kaki juga berbintik-bintik putih dan setiap ruas kaki
bergaris-garis cokelat atau kekuning-kuningan memanjang. Pada
bagian muka terdapat lempeng antenulla dengan dua buah duri besar.
Di belakang masing-masing duri terdapat sebaris duri kecil sebanyak 1-
6 buah. Bagian belakang sternum dada berbentuk gigi berjumlah dua
buah dan terletak berdekatan.
Menurut FAO (1991), panjang baku maksimum Panulirus versicolor
(Lobster hijau) dapat mencapai panjang baku 40 cm tetapi rata-rata yang
dicapai umumnya kurang dari 30 cm. Panjang baku Panulirus longipes
(Lobster bunga) dapat mencapai 20-25 cm, dimana panjang karapas
maksimum 12 cm dengan rata-rat 8-10 cm. Panulirus homarus (Lobster
hijau pasir)dapat mencapai 31 cm, panjang karapas 12 cm, dan rata-rat
panjang total antara 20-25 cm. Panulirus ornatus (Lobster mutiara)
merupakan lobster yang terbesar, panjangnya dapat mencapai panjang
baku maksimum 50 cm. Panulirus polyphagus (Lobster bamboo coklat)
adalah lobster yang menyukai dasar berlumpur dekat dengan terumbu
karang.
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 10
Ciri-ciri lobster/udang karang secara morfologi antara lain:
- badan besar dan dilindungi kulit keras yang berzat kapur;
- mempunyai duri-duri keras dan tajam, terutama dibagian atas kepala
dan antena atau sungut;
- pasangan kaki jalan tidak mempunyai chela atau capit, kecuali
pasangan kaki lima pada betina;
- dalam periode pertumbuhan lobster selalu berganti kulit (molting);
- memilki warna bermacam-macam yaitu ungu, hiaju, merah dan abu-
abu serta membentuk pola yang indah;
- antena tubuh baik, terutama antena kedua yang lebih panjang dari
pada panjang tubuhnya.
Lobster mencari makan pada malam hari di sekitar karang yang
lebih dangkal. Lobster bergerak di tempat yang aman pada lubang-lubang
karang, merayap untuk mencari makan. Apabila terkena sinar lampu,
lobster akan diam sejenak, kemudian melakukan gerakan mundur dan
menghindar. Pada saat tertentu, biasanya lobster akan berpindah ke
perairan yang lebih dalam untuk melakukan pemijahan. Lobster betina
yang telah matang telur biasanya berukuran (dari ujung telson sampai
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 11
ujung rostrum) sekitar 16 cm, sedangkan lobster jantan sekitar 20 cm
(Kanna 2006).
Makanan yang digemari terdiri dari moluska dan echinodermata.
moluska yang dimakan terdiri dari Gastropoda (sebangsa keong/siput
laut) dan bivalvia (bangsa kerang-kerangan). Echinodermata yang
dimakan terdiri dari ekinoid (bangsa bulu babi), asteroid (bangsa bintang
laut), ofirnoid (bangsa bintang laut mengular), holoturid (tripang) dan
krinoid (lili laut).
Habitat dan Penyebaran
Habitat lobster banyak di temukan pada daerah-daerah yang
terdapat karang, terumbu karang atau batuan yang berbatu karang,
batuan granit atau batuan vulkanik. Terkadang lobster juda dapat
ditemukan di dasar perairan yang berpasir halus. Pada siang hari lobster
akan berlindung pada lubang-lubang atau gua-gua karang. Kebanyakan
lobster hidup pada daerah tropis dan subtropics. sunggut/antena tumbuh
sempurna, panjang sungut kedua dapat melebihi panjang tubhnya.
Daerah sebaran lobster cukup luas, hampir terdapat diseluruh perairan
karang Indonesia.
Perairan Indonesia termasuk daerah penyebaran lobster.
Penyebarannyapun sangat luas. Indonesia diperkirakan memiliki luas
sebaran lobster mencapai 6.799.000 km2 yang tersebar di 21 propinsi.
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 12
Propinsi-propinsi yang produktif adalah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera
Selatan, Bengkulu, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali,
Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Perairan wilayah Indonesia
bagian barat yang potensial akan sumberdaya lobster menurut Direktorat
Jendral Perikanan (1992) meliputi Perairan Barat Sumatra, sebagian
Selatan Bengkulu, Perairan Selatan Jawa, dan Perairan Bali. Penyebaran
lobster di Perairan Selatan Jawa meliputi Pangandaran, Pameungpeuk,
dan Pelabuhan Ratu (Subani, 1983).
Pada umumnya, jenis-jenis udang mampu bertahan hidup pada
perairan dengan kondisi salinitas yang berubah-ubah (berfluktuasi). Sifat
seperti ini disebut sifat eurihaline. Akan tetapi, beberapa jenis udang
termasuk udang barong atau lobster, merupakan biota laut yang sangat
sensitif terhadap perubahan salinitas dan suhu. Oleh karena itu, budidaya
lobster harus dilakukan di tempat yang beratap sehingga air hujan tidak
dapat masuk ke dalam media budidaya. Hal ini diperlukan untuk
mencegah terjadinya fluktuasi salinitas dan suhu yang terlalu tinggi. Jenis
Panulirus sp. Lebih toleran terhadap salinitas antara 25-45o/oo (Kanna
2006).
Lobster berdiam di dalam lubang-lubang karang atau menempel
pada dinding karang. Aktivitas organisme ini relatif rendah. Lobster yang
masih muda biasanya hidup di perairan karang di pantai dengan
kedalaman 0,5-3 meter. Habitat yang paling disukai adalah perairan
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 13
dengan dasar pasir berkarang yang ditumbuhi rumput laut (seagrass).
Setelah dewasa, lobster akan bergerak ke perairan yang lebih dalam,
dengan kedalaman antara 7-40 meter. Perpindahan ini biasanya
berlangsung pada siang dan sore hari. Menurut Moosa dan Aswandy
(1984), lobster mendiami suatu perairan tertentu menurut jenisnya
(Kanna 2006).
Jenis Panulirus penicillatus biasanya mendiami perairan dangkal
berkarang di bagian luar terumbu karang, pada kedalaman 1-4 meter
dengan air yang jernih dan berarus kuat. Jenis Panulirus hommarus
biasanya ditemukan hidup di perairan karang pada kedalaman belasan
meter, dalam lubang-lubang batu granit atau vulkanis. Jenis ini sering
ditemukan berkelompok dalam jumlah banyak. Pada saat muda, Panulirus
hommarus lebih toleran terhadap perairan yang keruh. Setelah mencapai
usia dewasa lebih menyukai perairan yang jernih dengan kedalaman 1-5
meter (Kanna 2006).
Panulirus longipes mampu beradaptasi pada berbagai habitat,
namun lebih menyukai perairan yang lebih dalam pada lubang-lubang
batu karang. Pada malam hari, jenis ini sering ditemukan pada tubir-tubir
batuan dan kadang-kadang tertangkap di perairan yang relatif dangkal
(sekitar 1 meter) dengan air yang jernih dan berarus kuat. Jenis Panulirus
ornatus lebih menyukai terumbu karang yang agak dangkal dan sering
tertangkap di perairan yang agak keruh, pada karang-karang yang tidak
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 14
tumbuh dengan baik di kedalamn 1-8 meter. Panulirus versicolor senang
berdiam di tempat-tempat yang terlindung di antara batu-batu karang
pada kedalaman hingga 16 meter. Jenis ini jarang terlihat berkelompok
dalam jumlah yang banyak. Jenis Panulirus poliphagus banyak ditemukan
hidup di perairan karang yang keruh dan sering kali juga ditemukan di
dasar perairan yang berlumpur agak dalam (Kanna 2006).
Menurut Martasuganda (2003), keberadaan ikan dasar, kepiting,
dan udang bisa dideteksi dengan fish finder, berdasarkan kepada data
hasil tangkapan sebelumnya di suatu lokasi atau informasi daerah
penangkapan dari instansi terkait maupun berdasarkan pada catatan
mengenai keberadaan ikan dasar, kepiting atau udang di daerah
penangkapan. Menurut Kanna (2006), tingkah laku lobster dapat
digambarkan melalui beberapa sifatnya yaitu bersifat nokturnal, bersifat
ganti kulit (moulting atau ecdysis), dan bersifat kanibal. Sifat nokturnal
merupakan sifat lobster yang melakukan aktifitasnya pada malam hari,
terutama aktifitas mencari makan. Pada siang hari lobster beristirahat dan
tinggal di tepi laut berkarang di dekat rumput laut yang subur, bersama
golongan karang. Lobster senang bersembunyi di tempat gelap pada
lubang-lubang yang terdapat di sisi terumbu karang (Kanna 2006).
Peristiwa moulting pada crustacea adalah peristiwa pergantian atau
penanggalan rangka luar untuk diganti dengan yang baru. Proses ini
biasanya diikuti dengan pertumbuhan dan pertambahan berat badan.
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 15
Proses pergantian kulit pada lobser hampir sama dengan udang penaeid,
misalnya udang windu. Sebelum moulting, lobster mencari tempat
persembunyian terlebih dahulu tanpa melakukan aktifitas makan dan
tidur. Pada hari ketiga, bagian kepala sudah mulai retak, kemudian
dilepaskan dengan gerakan meloncat. Setelah berganti kulit, lobster akan
mengisap air sebanyak-banyaknya sehingga tubuhnya terlihat
membengkak untuk mengeraskan kulit barunya, lobster membutuhkan gizi
yang cukup dan jumlah makanan yang lebih banyak. Proses pengerasan
kulit biasanya berlangsung selama satu sampai dua minggu (Kanna 2006).
Sifat kanibalisme terjadi ketika jumlah mangsa atau ketersediaan
makanan bagi lobster mulai menurun. Mangsa yang disukai lobster adalah
berbagai jenis kepiting, moluska dan ikan. Jika persediaan makanan tidak
memadai, lobster akan memangsa sesamanya. Sifat lobster yang saling
memakan sesama jenisnya disebut sifat kanibalisme. Peristiwa ini terjadi
terutama jika ada lobster yang sedang dalam kondisi lemah (sedang
berganti kulit) atau pakan yang diberikan kurang tepat, baik jenis, jumlah,
frekuensi, maupun waktu (Kanna, 2006).
Alat Tangkap
Alat tangkap lobster yang digunakan di Indonesia umumnya masih
bersifat tradisional, seperti tombak, pancing, bubu, jaring udang karang
(spinny lobster), atau dengan cara menyelam. Alat tangkap yang paling
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 16
efisien dari segi kuantitas adalah jaring insang karang, tetapi lobster yang
ditangkap umumnya sudah cacat sehingga mengurangi kualitasnya
(Subani, 1983). Sedangkan alat tangkap yang paling baik dari segi kualitas
adalah bubu.
Menurut Martasuganda (1990), bubu merupakan alat tangkap
tradisional yang memiliki banyak keistimewaan, antara lain pembuatan
alat tangkap mudah dan murah, pengoperasian mudah, kesegaran hasil
tangkapan bagus, tidak merusak sumberdaya, baik secara ekologi maupun
teknik, dan dapat dioperasikan di tempat-tempat yang alat tangkap lain
tidak dapat dioperasikan.
Perangkap atau bubu lobster adalah alat tangkap yang bersifat
pasif cara pengoperasiannya, yaitu dengan cara menarik perhatian ikan
agar masuk ke dalamnya. Prinsip penangkapan menggunakan bubu
adalah membuat ikan atau lobster dapat masuk ke dalam dan tidak dapat
keluar dari bubu. Faktor yang menyebabkan ikan karang atau lobster
terperangkap ke dalam bubu adalah karena tertarik oleh bau umpan,
untuk tempat berlindung, sebagai tempat beristirahat, dan karena sifat
thigmotaxis dari ikan itu sendiri (Monintja dan Martasuganda, 1990).
Keefektifan metode penangkapan bubu tergantung pada tingkah
laku ikan sebagai obyek penangkapan, besar kecilnya ukuran celah pada
bubu, dan mulut bubu yang dioperasikan (Reppi, 1989 diacu dalam Suci,
1993). Ukuran pintu masuk berhubungan langsung dengan ukuran dan
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 17
sifat lobster yang ditangkap. Jarak jeruji atau ukuran mata jaring juga
berpengaruh terhadap lobster yang ditangkap (BPPI, 1991). Ukuran pintu
masuk yang umum digunakan untuk perangkap lobster adalah 100 – 230
mm, sedangkan ukuran mata jaringnya berkisar antara 30 – 40 mbar.
METODELOGI
Lokasi dan Tempat
Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulan data biologi dan data
penangkapan lobster yang akan dilaksanakan pada bulan Agustus hingga
Oktober 2014. Tempat penelitian ini adalah Kabupaten Simeulue.
Metode Penelitian
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
1.) Metode pengumpulan data yang meliputi: data produksi yang
diperoleh dari perusahaan pengumpul lobster atau pengusaha
tambak. data keadaan umum lokasi penelitian yang diambil secara
insitu maupun yang diperoleh dari pemerintah setempat. Identifikasi
jenis lobster dengan menggunakan buku identifikasi atau foto. Jenis
kelamin yang ditentukan dengan melihat letak gonopores. Gonopores
lobster jantan terletak pada kaki jalan kelima sedangkanlobster betina
terletak pada kaki jalan ketiga.
2.) Metode pengukuran: meliputi data panjang-berat yang diperoleh dari
pengukuran langsung dengan menggunakan alat ukur (penggaris) 30
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 18
cm dengan ketelitian 0,1 cm dan timbangan digital kapasitas 2000 g
dengan ketelitian 1 g. ukuran panjang yang digunakan adalah
panjang karapas, yaiu panjang garis lurus antara posterior mata
hingga bagian tepi posterior karapas.
3.) Metode wawancara: dilakukan untuk mendapatkan keterangan
mengenai pasca panen dan distribusi dari lobster.
4.) Metode design keramba jaring apung (KJA): meliputi rancangan
keramba, luasan keramba dan analisis usaha.
Analisis Data
Hubungan panjang-berat; persamaan umum hubungan panjang
berat menurut effendie (1979) adaah:
W=aLb
Dimana: W = berat (g)
L = Panjang (mm)
a dan b= konstanta
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas Perairan
Kualitas air di setiap lokasi pemeliharaan udang lobster diukur
berdasarkan parameter pH, salinitas, suhu dan DO dapat dilihat pada
Tabel 1. Kondisi kualitas air pada keramba jaring apung menunjukkan
kisaran normal air laut dan belum mengindikasikan terjadinya pencemaran
dan sedangkan untuk kodisi kualitas air pada lokasi kolam beton rata-rata
diatas baku mutu yang sesuai dengan Kepmen LH Nomor 51 Tahun 2004.
pH rata-rata perairan pada keramba jaring apung berkisar antara 7 sampai
9 pada Kabupaten Simeulue sedangkan pada kodisi kolam beton pH rata-
rata mencapai 8 sampai 11.7.
Salinitas berada pada kisaran 33 – 44 ‰ pada lokasi keramba
jaring apug, dan 40 - 45 ‰ pada kolam beton, Sedangkan suhu
permukaan air pada KJA berkisar 29 - 31 °C serta untuk kolam beton
berkisar 26-29 °C. Selain itu juga diketahui bahwa kandungan oksigen
terlarut di perairan berkisar antara 4.1 s/d 8 mg/l untuk KJA dan 9.1 s/d
11.7 utuk kolam beton.
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 20
Tabel 1. Kondisi kualitas air
Parameter Simeulu Baku Mutu *)a bpH 7-8 9.1-11.7 7-8.5Suhu (°C) 29-31 27-29 AlamiSalinitas (‰) 34-44 39-45 33-34Do (mg/l) 4.61-6.19 9.1-11.7 >5
*) Kepmen LH Nomor 51 Tahun 2004
a: Keramba Jaring Apung; b: Kolam Beton
Secara umum, dari hasil pengukuran kualitas air laut di lapangan
berdasarkan parameter kualitas air laut tersebut dapat disimpulkan bahwa
kondisi dan karakteristik lingkungan laut di lokasi studi masih dalam batas
kisaran yang cukup baik atau masih dibawah standar baku mutu yang
ditetapkan sehingga bisa dipergunakan untuk pengembangan kegiatan
budidaya perikanan laut, pariwisata bahari, dan kegiatan lainnya.
Aspek Biologis Lobster (Panulirus spp.)
Jenis Lobster
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 21
Dari hasil idetifikasi lapangan, ditemukan jumlah lobster pada
wilayah Kabupaten simeulue sebanyak 69 ekor dengan 4 spesies (table
2.).
Tabel 2. Jenis-jenis lobster yang teridentifikasi pada Kabupaten Aceh Jaya
dan Simeulue
Jenis Lobster Aceh Jaya SimeulueJumlah Persentase Jumlah Persentase
Panulirus homarus 15 38.5 23 33.3panulirus polyphagus 1 2.6 0 0.0Panulirus ornatus 3 7.7 4 5.8Panulirus penicillatus 7 17.9 19 27.5Panulirus versicolor 13 33.3 23 33.3total 39 100 69 100
Lobster pada daerah Kabupaten Simeulue yang paling dominan
tertangkap adalah lobster pasir atau bambu bintik (Panulirus humarus)
dan lobster hijau atau bambu (Panulirus versicolor). Hal ini berdasarkan
hasil pengamatan dan wawancara dengan pengumpul dan nelayan yang
telah melakukan penangkapan lobster atau udang karang selama
bertahun-tahun.
Menurut Cobband (1980), udang karang atau lobster ini disebut
juga spiny lobster karena banyaknya terdapat duri-duri pada karapas dan
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 22
bagian dasarnya terdapat antenna kedua yang panjang. Ciri-ciri lain
sebagai berikut:
Panulirus humarus atau disebut juga dengan lobster pasir dan
bambu bintik mempuyai warna dasar kehijauan sampai kecoklatan,
memiliki bintik-bintik putih yang tersebar pada daerah abdomen. Kaki
jalan memiliki bercak-bercak putih serta karapas anterior dan atara
tangkai mataa berwarna orange tua dan bergaris biru.
Panulirus versicolor yang disebut juga dengan lobster hijau dan
bambu. Lobster dewasa umummnya berwarna biru dan hijau, pada
individu yang lebih besar dapat berwarna hijau. Abdomen berwarna hijau
dan memiliki garis putih yang diapit garis biru disetiap segmen. Karapas
dan duri orbit memiliki kombinasi warna hijau putih dan biru serta kaki
jalan berwarna biru dan bergaris putih.
Panulirus peicillatus merupakan lobster yang memiliki cirri-ciri tubuh
berwarna biru dan hitam gelap. Lobster yang jantan berwarna lebih gelap
dibanding lobster betina. Abdomen mempunyai bintik-bintik yang tidak
jelas serta ujung duri besar pada karapas berwarna kekuning-kuningan.
Tangkai antenna terdapat garis-garis putih, flagellium antena berwarna
kecoklatan dan pangkal tangkai berwarna biru serta memiliki kaki jalan.
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 23
Panulirus humarus Panulirus versicolor
Panulirus peicillatus Panulirus ornatus
Panulirus polyphagus
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 24
Panulirus ornatus merupakan lobster yang memiliki tubuh berwarna
kehijauan dan agak kebiruan pada bagian karapas. Setiap ruas abdomen
ditutupi garis tebal berwarna gelap yang terletak dibagian tengah dan
terdapat bercak berwarna kekuningan yang berukuran agak besar.
Flagellum antenula dan kaki jalan berwara kung muda dan hitam. Nama
lokal dari lobster ini adalah lobster mutiara atau lobster maradona.
Panulirus polyphagus biasanya disebut juga dengan lobster
pakistan dengan ciri-ciri berwarna hijau muda kebiruan dengan garis
melintang berwarna putih kekuningan yang terdapat pada setiap segmen.
Memiliki kaki jalan bercak putih berwarna kekuningan.
Analisis Hubungan Panjang-Berat
Analisis hubungan panjang-berat ini bertujuan untuk melihat
pertumbuhan dari lobster. Menurut Effendi (1979) harga koefesien b
dapat ditafsirkan sebagai berikut : bila b<3 maka pertambahan panjang
tidak seimbang dengan pertambahan beratnya, pertambahan beratnya
tidak secepat pertambahan panjangnya. Bila b=3, pertambahan panjang
dan pertambahan berat seimbang. Pertambahan yang demikian ialah
pertumbuhan yang isometric yang lainya pertumbuhan allometrik.
Kemungkinan yang ketiga jika harga b>3, maka dapat ditafsirkan bahwa
pertambahan panjang lobster tidak secepat pertambahan beratnya.
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 25
Tabel 3. Rata-rata panjang dan berat lobster pada Kabupaten Simeulue
Jenis LobsterTotal
sample
Rata-rata
PT (cm)
Rata-rata
PK (cm)
Rata-rata
PB (cm)
Rata-rata
Berat (g)
Persetase
(%)
Panulirus homarus 23 18.8 9.3 13.9 389.2 33.3
Panulirus ornatus 4 18.8 8.4 8.3 290.3 5.8
Panulirus penicillatus 19 19.1 8.9 10.8 337.3 27.5
Panulirus versicolor 23 17.9 8.1 13.7 288.6 33.3
total 69 74.6 34.6 46.6 1305.3 100.0
Pada Kabupaten Simeulue jumlah spesies yang ditemukan hanya
empat spesies dengan total sample sebanyak 69 ekor, dimana jenis
Panulirus homarus dan Panulirus versicolor merupakan dua jenis spesies
yang paling banyak ditemukan yaitu 23 ekor, sedangkan jenis Panulirus
ornatus merupakan jenis spesies yang paling sedikit ditemukanyaitu hanya
4 ekor. Sedangkan jenis Panulirus penicillatus ditemukan 19 ekor. Panjang
total rata-rata spesies Panulirus humarus adalah 18.8 cm dengan Rata-
rata panjang karapas dan rata-rata panjang badan adalah 9.3 cm dan
13.9 cm. Sedangkan berat rata-rata mencapai 389.2 g, jenis ini bisa
mencapai ukuran panjang karapas mencapai 50-60 mm pada saat
dewasa. Untuk spesies Panulirus versicolor pajang total rata-rata
mencapai 17.9 cm dimana rata-rata panjang karapas 8.1 cm dan rata-rata
panjang badan 13.7 cm, sedangkan rata-rata berat mencapai 288.6 g.
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 26
Penelitian dari Tewfik et all., (2009) menjelaskan bahwa ditemukan
6 spesies Panulirus sp. pada daerah Lhok Kreut, Aceh Jaya dengan lama
penelitian dari Agustus 2007 hingga September 2008. Keenam spesies
tersebut antara lain Panulirus longipes, P. penicillatus, P. humarus, P.
ornatus, P. polyphagus dan P. versicolor. Lama penelitian juga dapat
mempengaruh terhadap jumlah spesies dan jumlah individu yang di
indentifikasi.
Gambar 3. Grafik hubungan panjang karapas dan berat udang Panulirushumarus pada Kabupaten Simeulue
y = 0,0078x + 6,9599R² = 0,7509
0
5
10
15
20
25
30
0 500 1000 1500 2000 2500 3000
Panj
ang
kara
pas (
cm)
Berat (g)
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 27
Gambar 4. Grafik hubungan panjang karapas dan berat udang Panulirusversicolor pada Kabupaten Simeulue
Adapun Pola pertumbuhan lobster yang ditemui adalah sebagai
berikut:
Panulirus humarus : W = 6.959 PK 0.006
Panulirus versicolor : W = 6.719 PK 0.007
Dengan: W = Berat (g), PK = Panjang Karapas dan r = Koefisien korelasi
y = 0,0063x + 6,7191R² = 0,7355
0
5
10
15
20
25
30
0 500 1000 1500 2000 2500
Panj
ang
kara
pas (
cm)
Berat (g)
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 28
Sebagaimana terlihat pada gambar 3 dan gambar 4 maka terdapat
hubungan yang linear pada antara panjang karapas dan berat dari kedua
lobster tersebut. Dimana koefisien korelasi Panulirus humarus mecapai
0.750 dan nilai koefisien korelasi Panulirus versicolor adalah 0.735.
Melalui penelitian ini, dilihat hubungan panjang berat pada lobster pasir
(Panulirus humarus) dan lobster hijau atau lobster bambu (Panulirus
versicolor) yang merupakan lobster yang paling dominan di temukan pada
saat survey di Kabupaten Simeulue.
Sex-ratio
Hasil survey menunjukkan sex-ratio sebesar 1.02:1 – 1.5:1 (tabel 5
dan tabel 6). Penelitian sex-ratio sudah banyak dilakukan dan
menunjukkan hasil yang bervariasi antara suatu daerah dengan daerah
lain. Sex-ratio lobster di Kabupaten Kebumen mencapai 1.06:1 (Kadafi,
2006) di perairan Aceh Barat sebesar 1:3.89 (sumen et al., 1993).
Tabel 4. Jumlah lobster jantan dan betina pada masing-masing jenis diKabupaten Simeulue
Jenis lobsterJantan Betina
Sex-ration % n %
Panulirus homarus 9 39.1 14 60.9 1:1.05
Panulirus ornatus 3 75.0 1 25.0 1.5:1
Panulirus penicillatus 9 47.4 10 52.6 1:1.01
Panulirus versicolor 10 43.5 13 56.5 1:1.03
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 29
Data Sex-ratio pada tabel 5 merupakan data jumlah perbandingan
lobster jantan dan betina pada Kabupaten Simeulue. Jika laju mortalitas
alami stabil sehingga lobster yang belum dewasa dapat tumbuh hingga
dewasa, maka kegiatan penangkapan lobster dapat menganggu
ketahanan populasi hingga punah pada jenis Panulirus longipes dan
Panulirus penicilatus untuk Kabupaten Aceh Jaya, serta Panulirus ornatus
pada Kabupaten Simeulue sebab jumlah jantan yang ditangkap lebih
banyak daripada betina. Penangkapan lobster jenis lain belum
menunjukkan kegiatan penangkapan yang mengganggu keseimbangan
populasi bila didasarkan pada sex-ratio. Hal ini menunjukkan data sex-
ratio perlu dicatat setiap waktu secara baik dan teratur sehinnga data ini
dapat digunakan untuk menentukan kebijakan dalam mengelola
penangkapan sumberdaya lobster.
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 30
KESIMPULAN DAN SARAN
Kegiatan penangkapan serta pembesaran lobster pada Kabupaten
Aceh Jaya dan Kabupaten Simeulue dilakukan masih dalam cara
tradisional yaitu dengan menyelam baik pada siang hari maupun pada
malam hari dengan menyelam tanpa menggunakan alat tangkap
(menyelam dengan kompresor atau skin). Selain dengan penyelaman
sebagian nelayan ada juga yang menangkap dengan menggunakan alat
tangkap berupa jaring insang dasar dan bubu yang di letakkan pada
habitat lobster.
Budidaya lobster pada daerah Aceh baru dapat dilakukan oleh
masyarakat yaitu pada tingkat pembesaran saja. Hal ini dikarenkan
kurangnya pemahaman atau ilmu tentang teknik pembudidayaan lobster
oleh masyarakat. Kegiatan pembesaran lobster pada kedua Kabupaten
tersebut dilakukan pada 2 metode yaitu dengan pembesaran pada
keramba jaring apung (KJA) dan pembesaran di dalam kolam beton. Dari
hasil survey yang dilakukan maka dapat direkomendasikan bahwa
keramba jaring apung merupakan teknik pembesaran yang efektif bagi
lobster, hal ini dikarenakan pada KJA sirkulasi perairan yang bagus serta
kualitas air yang sangat baik bagi lobster tersebut. Sedangkan untuk
kolam beton kurang direkomendasikan utuk pembesaran lobster jangka
panjang, karena kualitas air pada kolam beton dapat menurunkan kualitas
bagi lobster tersebut.
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 31
Dari hasil wawancara dengan para nelayan dikedua Kabupaten
tersebut, bibit atau anakan untuk pembesaran diperoleh dari alam.
Nelayan yang menangkap lobster akan menjual hasil tangkapan mereka
kepada pengumpul. Jika ukuran yang dijual sudah mencapai nilai
ekonomis atau berukuran besar, maka pengumpul akan langsung
menjualnya dengan pengekspor, dan jika lobster yang dijual oleh nelayan
masih ukuran kecil, maka akan di pelihara oleh si pengumpul hingga
ukuran sudah besar. Dari hasil wawancara dengan 30 nelayan disetiap
Kabupaten menyatakan bahwa, hasil produksi/hasil tangkapan para
nelyan 5 tahun terakhir ini sudah mengalami penurunan yang sangat
besar. Banyaknya para nelayan yang menangkap lobster dan tangkapan
yang terus menurus dapat mengakibatkan populasi lobster akan
mengalami penurunan dan dapat mengakibatkan kepunahan.
Laporan Studi Kelimpahan Lobster di Kabupaten SimeulueDinas Kelautan dan Perikanan Aceh – 2015 Page 32
Saran
Perlu dilakukan lagi identifikasi spesies selama 1 tahun guna untuk
mengetahui jenis-jenis lobster yang tertangkap dan produksi hasil
tangkapan yang mewakili 2 musim yaitu musim Barat dan musim Timur.
Serta mencatat sex-ratio setiap individu agar dapat diambil kebijakan
konservasi. Perlu dilakukan pelatihan teknik/cara pembudidayaan lobster
bagi masyarakat kususnya nelayan budidaya lobster dengan cara
mengirimkan nelayan atau study banding kedaerah budidaya lobster yang
sudah berpengalaman agar masyarakat tidak lagi mengambil lobster
diperairan sehingga populasi lobster dialam dapat terjaga dan tidak
punah.