BUKU KERJA PRAKTIKUMFISIOLOGI HEWAN AKUAKULTUR
SISTEM PENCERNAAN
NAMA :
NIM :
KELOMPOK :
NAMA ASISTEN :
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pakan merupakan salah satu komponen penting dalam kegiatan budidaya
ikan. Pakan juga merupakan unsur terpenting dalam menunjang pertumbuhan
dan kelangsungan hidup ikan. Sumber materi dan energi dari pakan yang
digunakan untuk menopang kelangsungan hidup serta pertumbuhan ikan
merupakan komponen terbesar (50-70%) dari biaya produksi (Yanuar, 2017).
Salah satu faktor yang mempengaruhi efisiensi pakan adalah tingkat kecernaan
pakan oleh ikan. Tingkat kecernaan pakan oleh ikan bergantung pada jenis atau
spesies serta lingkungan.
Pencernaan menurut Hartono, et al. (2015), merupakan proses yang terjadi
di dalam saluran pencernaan dengan memecah makanan menjadi bagian-bagian
yang lebih sederhana. Pemecahan senyawa kompleks menjadi senyawa
sederhana dapat diabsorpsi melalui dinding saluran pencernaan. Senyawa ini
kemudian masuk ke dalam darah dan diedarkan keseluruh tubuh. Proses ini
dilakukan karena ikan membutuhkan materi (nutrien) dan energi untuk bertahan
hidup. Nutrien yang dibutuhkan dalam hal ini berupa protein, lemak dan
karbohidrat.
Sistem pencernaan sama pentingnya dengan makanan yaitu untuk
bertahan hidup pada hewan. Karakteristik anatomi dari sistem pencernaan ini
tergantung pada makanan. Karakteristik anatomi juga bergantung pada habitat
dan kandungan nutrisi pada organisme. Morfologi saluran pencernaan ikan
menjelaskan bagaimana makanan diperoleh dan dicerna oleh ikan (Nawulawa, et
al., 2013). Proses pencernaan makanan dipercepat oleh enzim pencernaan.
Enzim ini dihasilkan oleh kelenjar pencernaan. Sekresi enzim yang dihasilkan oleh
kelenjar pencernaan berasal dari hati, kantong empedu, lambung, dan usus.
Saluran pencernaan pada ikan secara umum dari awal hingga akhir yaitu mulut,
rongga mulut, pharynx, esophagus, lambung, pylorus, usus dan anus.
Daya cerna ikan nila (Oreochromis niloticus) atau ikan omnivora selama 5-
6 jam. Hal ini dibuktikan dengan penelitian Wicaksono, et al. (2013). Penelitian
tersebut menyatakan bahwa jumlah feses terbanyak terdapat pada usus setelah
pemberian pakan selama 5-6 jam. Nilai kecernaan suatu bahan makanan atau
suatu makanan sangat penting sebagai dasar dalam menilai mutu makanan.
Disamping itu, nilai kecernaan dapat menggambarkan kemampuan ikan dan
kualitas bahan makanan yang dikonsumsi oleh ikan.
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari praktikum ini adalah untuk mengenali dan menjelaskan
organ- organ sistem pencernaan dan mengetahui sistem pencernaan,
mengetahui daya cerna ikan dan menghitung waktu pengosongan lambung.
Tujuan dari praktikum ini adalah agar praktikan (mahasiswa)
mengetahui dan dapat menjelaskan mekanisme pencernaan, mengerti cara
penentuan daya cerna ikan tehadap makanan dan waktu pengosongan
lambung serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
1.3 Waktu dan Tempat
Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Sistem Pencernaan
dilaksanakan pada hari Sabtu, 10 Oktober 2020 melalui video conference Google
Meet.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Pencernaan
Burhanuddin (2014), menyatakan bahwa mencerna makanan merupakan
suatu proses di dalam tubuh organisme yang mengubah atau menyederhanakan
bahan-bahan makanan agar dapat diserap oleh dinding usus sehingga berguna
bagi tubuh. Pencernaan adalah proses pemecahan komponen makanan berupa
karbohidrat, protein dan lemak yang dikonsumsi oleh organisme dari bentuk
kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana. Pencernaan makanan dapat
terjadi secara mekanis dengan bantuan gigi atau penggantinya dan secara kimia
dengan bantuan enzim pencernaan atau senyawa kimia yang dihasilkan oleh
mikroorganisme.
2.2 Fungsi Saluran Pencernaan
Beberapa fungsi saluran pencernaan diantaranya yaitu:
Mendorong atau mengaduk isi dari gastrointestin (Burhanuddin, 2014).
Mensekresi cairan-cairan pencernaan (Setiawati, et al., 2013).
Mencerna makanan (Ahmadi, et al., 2012).
Mengabsorbsi makanan (Ahmadi, et al., 2012).
2.3 Urutan Saluran Pencernaan Ikan
Fungsi dari masing-masing saluran pencernaan ikan menurut
Burhanuddin (2014), yaitu sebagai berikut:
1. Mulut berfungsi sebagai alat untuk mengambil dan menghisap makanan.
2. Rongga mulut berfungsi untuk mempermudah jalannya makanan ke
saluran pencernaan berikutnya, penerima rasa dan penyeleksi makanan.
3. Faring, pada ikan herbivora berfungsi sebagai penyaring plankton. Faring
pada ikan karnivora dan omnivora berfungsi sebagai penghalus makanan
karena terdapat gigi faring. Lapisan permukaan faring hampir sama
dengan rongga mulut, masih ditemukan organ pengecap (paringeal).
4. Esofagus berfungsi sebagai alat untuk menelan makanan dan penyerapan
garam melalui difusi (ikan air laut).
5. Lambung berfungsi sebagai penampung makanan dan mencerna
makanan secara kimiawi. Lambung pada ikan herbivora terdapat gizard
(lambung khusus) berfungsi untuk menggerus makanan (pencernaan
secara fisik). Lambung ditutupi oleh sel mukus yang mengandung
mukopolisakarida yang agak asam sebagai pelindung dinding lambung
dari kerja asam klorida.
6. Pilorus berfungsi sebagai katup pengatur pengeluaran makanan dari
lambung menuju usus. Beberapa ikan memiliki pyloric caeca sebagai
perluasan bidang untuk penyerapan sari makanan.
7. Usus berfungsi sebagai tempat penyerapan sari-sari makanan dan
kemudian diedarkan melalui darah.
8. Rektum berfungsi sebagai tempat penyerapan air dan ion-ion sehingga
feses ikan lebih padat.
9. Kloaka berfungsi sebagai tempat berakhirnya saluran pencernaan dan
saluran urogenital. Ikan bertulang sejati tidak memiliki kloaka, sedangkan
ikan bertulang rawan memiliki kloaka.
10. Anus merupakan ujung saluran pencernaan yang berfungsi sebagai
tempat pengeluran feses.
2.4 Organ Pencernaan
Organ pencernaan merupakan organ yang menghasilkan enzim untuk
proses pencernaan. Adapun organ pencernaan meliputi:
1. Lambung
Fujaya (2008), menyatakan bahwa di dalam lambung menghasilkan
beberapa enzim antara lain:
HCl berfungsi untuk memecah jaringan (makanan), mempertahankan
osmolaritas lambung, mengaktifkan pepsinogen menjadi pepsin,
menurunkan pH sesuai dengan aktivitas enzim pepsin dan mencegah
pertumbuhan bakteri.
Enzim pepsin berfungsi untuk menguraikan ikatan peptida.
2. Hati dan Kantung Empedu
Hati berwarna merah kecoklatan, letaknya di bagian depan rongga
badan dan meluas mengelilingi usus. Hati mempunyai saluran empedu
yang menuju ke dalam kantong empedu. Hati berfungsi sebagai tempat
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak serta memproduksi cairan
empedu. Kantung empedu (vesica velea) berfungsi menampung cairan
empedu yang disekresikan oleh organ hati (Burhanuddin, 2014).
3. Pankreas
Letak pankreas berada setelah lambung dan enzim yang
diekskresikan menuju usus. Pankreas menurut Fujaya (2008),
menghasilkan beberapa enzim antara lain:
Enzim proteolytic berfungsi untuk melanjutkan dan menguraikan
protein yang dimulai dari lambung oleh pepsin.
Enzim amylolytic berfungsi untuk menguraikan ikatan polisakarida.
Enzim lipolytic berfungsi untuk menguraikan 2 ikatan triasilgliserol
menjadi 2 asam lemak bebas dan 1 monogliserol. Enzim lipolytic
dibagi menjadi 3:
a. Enzim tripsin berfungsi untuk menguraikan ikatan peptida.
b. Enzim amilase berfungsi untuk menguraikan ikatan
polisakarida.
c. Enzim lipase berfungsi untuk menguraikan lemak menjadi asam
lemak melalui pemecahan ikatan ester.
4. Usus
Driskell (2008), menyatakan bahwa enzim-enzim didalam usus terdiri
dari:
Enzim phosphatase alkaline berfungsi untuk melepas fosfat dari
komponen organik seperti protein.
Enzim tri peptidase berfungsi untuk menguraikan ikatan peptida.
Enzim sellulase, amilase berfungsi untuk menguraikan dekstrin
(polisakarida). Enzim sellulase lebih banyak ditemukan pada ikan
herbivora, sedangkan enzim amilase lebih banyak ditemukan pada
ikan karnivora dan omnivora.
2.5 Prinsip Pencernaan
Prinsip pencernaan berdasarkan mekanismenya dibagi menjadi dua
menurut Zidni, et al. (2018) antara lain:
Pencernaan secara mekanik
Proses pencernaan bahan makanan secara mekanik atau fisik dimulai
dari bagian rongga mulut, yaitu dengan berperannya gigi dalam proses
pemotongan dan penggerusan makanan.
Pencernaan secara kimiawi
Proses pencernaan secara kimiawi dipercepat oleh sekresi kelenjar
pencernaan, seperti lambung dan usus. Kelenjar pencernaan ini menghasilkan
enzim pencernaan yang berguna dalam membantu proses penghancuran
makanan.
2.6 Proses Pencernaan
Proses pencernaan menurut Fujaya (2008), terdiri dari 3 proses yaitu
meliputi:
Pencernaan Karbohidrat
Pencernaan karbohidrat dimulai pada lambung. Hal ini dikarenakan ikan
tidak memiliki air liur. Makanan didalam lambung akan bercampur dengan enzim
amilase yang mengubah pati menjadi dekstrin, kemudian dari lambung makanan
akan masuk ke usus. Amilase pada pankreas memecah pati menjadi disakarida.
Enzim laktase dalam usus mengubah disakarida menjadi galaktosa dan fruktosa.
Galaktosa dan fruktosa pada dinding usus diubah menjadi glukosa. Terdapat pula
enzim sellulase (mengubah sellulosa menjadi sellobiose), kemudian oleh enzim
sellobiase (sellobiose dihidrolisis menjadi glukosa). Bentuk glukosa pada
karbohidrat dapat diserap oleh sel dinding usus (entrocyte).
Pencernaan Protein
Pencernaan protein dimulai di lambung ditandai dengan adanya enzim
pepsin yang mengubah protein menjadi peptida. Peptida dihidrolisis menjadi
oligopeptida oleh enzim tripsin di segmen usus, selanjutnya oligopeptida
dihidrolisis oleh enzim peptidase menjadi asam amino.
Pencernaan Lemak
Pencernaan lemak dimulai dari lambung, triasilgliserol dalam makanan
mengalami emulsifikasi di usus. Lipase pankreas mengubah triasilgliserol dalam
usus menjadi 2 asam lemak dan 1 monoasilgliserol.
2.7 Digestibility
Geremew, et al. (2015), menyatakan bahwa digestibility merupakan
banyaknya nutrisi pakan yang mampu dicerna di dalam pencernaan. Daya cerna
makanan yang semakin tinggi menunjukan semakin banyak nutrisi yang diserap.
Pengetahuan tentang gizi bagi daya cerna sangat penting karena dapat
mengetahui potensi bahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan.
2.8 Faktor yang Mempengaruhi Digestibility
Cepat lambatnya proses digestibility yang terjadi pada ikan dipengaruhi
oleh dua faktor menurut Boangmanalu, et al. (2016) antara lain:
Faktor Internal: kondisi fisiologis ikan, stadia, umur, jenis kelamin dan
jenis ikan (herbivora, karnivora, omnivora).
Faktor Eksternal: kondisi lingkungan, komposisi pakan, waktu dan
frekuensi pemberian pakan serta padat tebar.
2.9 Gastric Evacuation Time (GET)
Rogge dan Taft (2010), menyatakan bahwa Gastric Evacuation Time
(GET) adalah waktu yang dibutuhkan perut atau lambung untuk mengosongkan
pencernaan hingga dikeluarkannya feses pertama kali. Waktu pengosongan
lambung pada ikan berhubungan dengan frekuensi pemberian pakan. Frekuensi
pakan dan komposisi pakan merupakan hal yang berpengaruh pada GET.
2.10 Faktor yang Mempengaruhi Gastric Evacuation Time (GET)
Faktor yang mempengaruhi GET menurut Rogge dan Taft (2010), terdiri
atas 2 faktor yaitu:
1. Faktor internal: umur ikan, organ pencernaan, digestibility, kondisi fisiologi
ikan dan ukuran ikan.
2. Faktor eksternal: jenis pakan, waktu pemberian pakan dan suhu.
2.11 Hubungan Gastric Evacuation Time (GET) dan Digestibility
Currie, et al. (2015), menyatakan bahwa Gastric Evacuation Time (GET)
merupakan hal yang penting. Hal ini dikarenakan cepat lambatnya GET
menunjukkan efektivitas pakan yang diserap. Proses pencernaan termasuk
sebuah fase dimana sebagian besar makanan dicerna dan kemudian sisa
makanan dikeluarkan secara perlahan sebagai feses. Hubungan Gastric
Evacuation Time dan Digestibility adalah ketika digestibility tinggi, maka GET
akan semakin cepat, sedangkan ketika digestibility rendah maka GET akan
semakin lama.
2.12 Jenis pakan
Pakan terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu pakan alami, pakan buatan,
dan pakan tambahan.
Pakan alami: pakan yang berasal dari alam. Contoh: fitoplankton dan
zooplankton (Setyawan, et al., 2014).
Pakan buatan: pakan yang sengaja dibuat, misal oleh pabrik tertentu yang
kadar nutrisinya sudah ditentukan. Contohnya pelet (Niode, et al., 2017).
Pakan tambahan: pakan yang hanya diberikan sebagai alternatif atau
tambahan nutrisi. Contoh: keong mas, bekicot, daun pepaya (Roy, 2013).
3. METODE PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat dan Fungsi
a. Digestibility
Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi
Sistem Pencernaan Digestibility adalah:
Toples Kapasitas 5L :
Akuarium :
Timbangan digital :
Sectio set :
Kaca arloji :
Desikator :
Oven :
Loyang :
Beaker glass :
Stopwatch :
Aerator :
T aerator :
Selang aerator :
Batu aerator :
Kain lap :
Nampan :
Seser :
Saringan teh :
Kabel roll :
Kamera digital :
Gunting :
Pinset :
Cutter :
Kalkulator :
Selang sifon :
b. Gastric Evacuation Time (GET)
Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi
Sistem Pencernaan Gastric Evacuation Time (GET) adalah:
Toples Kapasitas 5L :
Bak :
Akuarium :
Timbangan digital :
Sectio set :
Kaca arloji :
Stopwatch :
Aerator :
T aerator :
Selang aerator :
Batu aerator :
Kain Lap :
Nampan :
Seser :
Kamera digital :
Kabel rol :
3.1.2 Bahan dan Fungsi
a. Digestibility
Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi
Sistem Pencernaan Digestibility adalah :
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) :
Lumut jaring (Chaetomorfa sp.) :
Cacing sutra (Tubifex sp.) :
Trash Bag :
Pelet :
Kertas label :
Tisu :
Kain saring (15 cm x 15 cm) :
Kertas buram :
Air :
b. Gastric Evacuation Time (GET)
Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi
Sistem Pencernaan Gastric Evacuation Time (GET) adalah :
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) :
Lumut jaring (Chaetomorfa sp.) :
Cacing sutra (Tubifex sp.) :
Trash Bag :
Pelet :
Kertas label :
Tisu :
Kertas buram :
Air :
3.2 Skema Kerja
3.2.1 Daya Cerna (Digestibility)
Toples
Keterangan:BTM = Berat Total Makanan (gram)
= Total pakan diberikan – (sisa pakan kering+sisa pakan di perairan)
BTF = Berat Total Feses (gram)
BTM−BTFBTM
Kain 15 x 15 cm
Hasil
Pakan
Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
- Dipuasakan selama >24 jam
- Diisi air 34 bagian
- Diberi aerasi- Ditimbang ikan nila (Oreochromis niloticus)- Dimasukkan ke toples
- Ditimbang 5% dari berat tubuh ikanPerlakuan jenis pakan: 1 = Lumut Jaring (Chaetomorfa sp.)
2 = Cacing Sutra (Tubifex sp.)3 = Pellet
- Diberi pada ikan secara terus menerus hingga kenyang (ad libitum)- Ditunggu dengan lama waktu 6 jam
- Dioven dengan suhu 100ºC selama 15 menit- Didesikator selama 15 menit- Kain ditimbang - Kain diletakkan dalam saringan- Diambil sisa pakan dan feses dengan saring berbeda- Dioven sisa pakan dan feses kemudian ditimbang- Dihitung Digestibility dengan rumus:
Digestibility:
GET (jam) = Berat Lambung Ikan yangTidak MengeluarkanFeses
x( grjam
)
3.2.2. Waktu Pengosongan Lambung (Gastric Evacuation Time)
Toples
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) 2, 3, 4 sebagai ikan uji
Hasil
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) 1, sebagai ikan kontrol
Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
- Dipuasakan selama >24 jam
- Diisi air 34 bagian
- Diberi aerasi- Diambil 4 ekor ikan dan ditimbang ikan nila (Oreochromis niloticus)
- Ditimbang berat tubuh- Dibedah - Ditimbang berat lambung
- Ditimbang berat tubuh - Diberi pakan 5% dari berat tubuh ikan
Perlakuan jenis pakan: 1 = Lumut Jaring (Chaetomorfa sp.)2 = Cacing Sutra (Tubifex sp.)3 = Pellet
- Diamati selama 6 jam- Dibedah masing-masing sesuai perlakuan ketika feses keluar pertama
kali dan ditetapkan sebagai GET x jam- Diambil lambung dan ditimbang- Dihitung GET dengan rumus:
Rumus Ikan yang Tidak Mengeluarkan Feses Setelah 6 jam
X (gr/jam) = Berat Lambung Ikan yangTidak MengeluarkanFeses−Berat Lambung IkanKontrol
6 Jam
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Hasil
4.1.1 Digestibility
4.1.2 Gastric Evacuation Time (GET)
4.2 Analisis Grafik
4.2.1 Digestibility
4.2.2 Gastric Evacuation Time (GET)
4.3 Hubungan Digestibility dengan Gastric Evacuation Time (GET)
4.4 Faktor Koreksi
4.5 Manfaat di Bidang Perikanan
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, H., Iskandar dan N. Kurniawati. 2012. Pemberian probiotik dalam pakan terhadap pertumbuhan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) pada pendederan II. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3(4): 99-107.
Boangmanalu, R., T. H. Wahyuni dan S. Umar. 2016. Kecernaan bahan kering,
bahan organik dan protein kasar langsung yang mengandung tepung limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) sebagai subsitusi tepung ikan pada boiler. Jurnal Peternakan Integratif. 4(3): 329-340.
Burhanuddin, A. I. 2014. Ikhtiologi, Ikan dan Segala Aspek Kehidupannya. Deepublish: Yogyakarta. 430 hlm.
Currie, K., B. Lange, E. W. Herbert, J. O. Harris and D. A. J. Stone. 2015. Gastrointestinal evacuation time, but not nutrient digestibility of greenlip abalone, Haliotis laevigata Donovan, is affected by water temperature and age. Aquaculture. 448: 219-228.
Driskell, J. A. 2008. Nutrition and exercise concerns of middle age. CRC Press: New York. 278 page.
Fujaya, Y. 2008. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknologi Perikanan. Rineka Cipta: Jakarta. 180 hlm.
Geremew, A. 2015. Digestibility of soybean cake, niger seed cake and linseed cake in juvenile nile tilapia, Oreochromis niloticus L. Aquaculture Research and Development. 6(5): 1-5.
Hartono, R., Y. Fenita dan E. Sulistyowati. 2015. Uji in vitro kecernaan bahan kering, bahan organik dan produksin-nh3 pada kulit buah durian (Durio zibethinus) yang difermentasi jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) dengan perbedaan waktu inkubasi. Jurnal Sains Perternakan Indonesia. 10(2): 87-94.
Mahyuddin, K. 2008. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Penebar Swadaya. Jakarta. 168 hlm.
Nawulawa, V. T., C. D. Kato, J. Rutaisire, N. Beukes, B. Pletschke and C. Whiteley. 2013. Enzyme activity in the nile perch gut: implications to nile perch culture. International Journal of Fisheries and Aquaculture. 5(9): 221-228.
Niode, A. R., Nasriani dan A. M. Irdja. 2017. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan nila (Oreochromis niloticus) pada pakan buatan yang berbeda. AKADEMIKA. 6(2): 99-112.
Rogge, C. M. and D. R. Taft. 2010. Preclinical Drug Development. CRC Press: USA. 376 page.
Roy, R. 2013. Budi Daya Sidat. Agro Media Pustaka. Jakarta Selatan. 70 hlm.
Setiawati, J. E., Tarsim, Y.T. Adiputra dan S. Hudaidah. 2013. Pengaruh penambahan probiotik pada pakan dengan dosis berbeda terhadap pertumbuhan, kelulushidupan, efisiensi pakan dan retensi protein ikan patin (Pangasius hypophthalmus). JURNAL REKAYASA DAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PERAIRAN. 1(2): 151-162.
Setyawan, T., L. Sugiarti dan S. E. Wardoyo. 2014. Kajian banyaknya pupuk kandang terhadap perkembangbiakan kutu air (Daphnia sp.) di rumah kaca sebagai pakan alami dalam budidaya ikan. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Biologi dan Kimia. 4(1): 1-10.
Wicaksono, R., Agustono dan W. P. Lokapirnasari. 2013. Pengukuran kecernaan lemak kasar, bahan organik dan energi pada pakan ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan menggunakan teknik pembedahan. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 5(2): 201-204.
Yanuar, V. 2017. Pengaruh pemberian jenis pakan yang berbeda terhadap laju pertumbuhan benih ikan nila (Oreochromis niloticus) dan kualitas air di akuarium pemeliharaan. ZIRAA’AH. 42(2): 91-99.
Zidni, I., E. Afrianto, I. Mahdiana, H. Herawati dan B. S. Ibnu. 2018. Laju pengosongan lambung ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan nila (Oreochoromis niloticus). Jurnal Perikanan dan Kelautan. 9(2): 147-151.
BUKU KERJA PRAKTIKUMFISIOLOGI HEWAN AKUAKULTUR
PEWARNAAN TUBUH DAN FOTOTAKSIS
NAMA :
NIM :
KELOMPOK :
NAMA ASISTEN :
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan yang hidup d i l i n g k u n g a n p e r a i r a n dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti cahaya, suhu, salinitas dan sebagainya. Proses
mengidentifikasi ikan juga perlu kita ketahui mengenai warna tubuh ikan itu
sendiri serta proses terjadinya warna tubuh ikan tersebut. Selain itu juga untuk
mengetahui bagaimana pengaruh faktor-faktor luar (lingkungan) terhadap
warna serta perubahan warna pada ikan seperti cahaya atau sinar, predator
dan lain sebagainya (Putriana, et al., 2015).
Khoo, et al. (2013), menyatakan bahwa warna pada ikan disebabkan oleh
adanya sel kromatofora. Sel kromatofora dibagi menjadi 5 kategori yaitu
melanophora menghasilkan warna hitam, iridophora memantulkan refleksi
cahaya, xanthophora menghasilkan warna kuning, eritrophora menghasilkan
warna orange dan merah, dan leukophora menghasilkan warna putih.
Warna tubuh ikan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat ikan
tersebut hidup. Warna ikan yang hidup di permukaan akan berbeda dengan
warna tubuh ikan yang hidup di perairan dasar. Warna tubuh ikan dapat
digunakan sebagai salah satu alternatif identifikasi kehidupan ikan, baik
kebiasaan ataupun tingkah laku hidup ikan. Selain itu, warna tubuh ikan dapat
digunakan sebagai ciri tersendiri bagi kondisi ikan tersebut, misalnya saat
memijah warna tubuh ikan akan berbeda dengan saat ikan setelah memijah,
sebagai contoh ikan nila.
Selain warna tubuh ikan menurut Rosyidah, et al. (2009), identifikasi
dapat dilakukan dengan mengamati pola tingkah laku ikan yang berhubungan
dengan kepekaan ikan terhadap sinar atau cahaya lingkungannya. Kepekaan
tersebut disebut dengan fototaksis. Ikan mendekati lampu karena dua hal,
pertama ikan tersebut memang bersifat fototaksis positif dan kedua ikan tersebut
datang untuk mencari makan karena cahaya merupakan indikasi adanya
makanan. Saat siang hari umumnya dijumpai ikan yang bersifat diurnal (aktif
mencari makan pada siang hari). Ikan-ikan tersebut memiliki sifat fototaksis
positif. Ikan yang tidak menyukai adanya cahaya matahari umumnya merupakan
ikan nokturnal yang aktif pada malam hari dan ikan tersebut bersifat fototaksis
negatif.
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari praktikum ini adalah mahasiswa (praktikan) dapat mengerti
dan memahami peranan warna tubuh (pigmen) dan fototaksis dalam kehidupan
ikan.
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui perubahan warna
pada ikan dan sifat fototaksis ikan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
1.3 Waktu dan Tempat
Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi pewarnaan tubuh dan
fototaksis dilaksanakan pada hari Sabtu, 10 Oktober 2020 melalui video
conference Google Meet.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pewarnaan Tubuh
2.1.1. Pembagian Warna Tubuh
Shukla (2009), menyatakan bahwa ikan memiliki warna tubuh yang
berwarna warni karena adanya pigmen atau warna pada kulitnya. Warna pada
tubuh ikan dibagi menjadi dua yaitu:
1. Schemachrome : dipengaruhi oleh lingkungan
2. Biochrome : pembawa warna
Biochrome dibagi menjadi dua yaitu:
a. Cromathophore
Solichin, et al. (2012), menyatakan bahwa warna pada ikan disebabkan
oleh adanya sel kromatofora yang terdapat pada kulit bagian dermis. Sel ini
diklasifikasikan menjadi lima kategori warna dasar, yaitu:
eritrophore yang menghasilkan warna merah dan oranye
xanthophore yang menghasilkan warna kuning
melanophore yang menghasilkan warna hitam
leukophore yang menghasilkan warna putih
iridophore yang memantulkan refleksi cahaya
b. Guanophore
Guanophore merupakan warna bening pada ikan dimana menyerap sinar
yang diterima untuk dipantulkan dalam spektrum warna yang ada di sel sisik
ikan. Pigmen iridophores yang mirip dengan pigmen guanophore tetapi lebih
banyak memantulkan warna yang terlihat berpendar saat disinari spektrum
dengan kadar UV tinggi (Khoo, et al., 2013).
2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Pewarnaan
Faktor yang mempengaruhi pewarnaan tubuh dibagi menjadi dua yaitu
faktor internal dan faktor eksternal.
a. Faktor Internal
Prayogo, et al. (2012), menyatakan bahwa beberapa faktor yang
mempengaruhi pigmentasi pada ikan antara lain ukuran ikan, jumlah sel pigmen
warna, kedalaman pigmen warna, usia, genetik, tingkat kematangan gonad dan
jenis kelamin.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang mempengaruhi pewarnaan yaitu habitat. Ikan yang
hidup di terumbu karang memiliki warna tubuh berwarna warni, sedangkan untuk
ikan pelagis memiliki warna lebih hitam pada punggungnya (Price, et al., 2008).
Faktor kedua yaitu terdapat pada pakan. Menurut Indarti, et al. (2012),
astaxantine yang ditambahkan ke dalam pakan ikan merupakan karotenoid yang
efektif untuk meningkatkan kecerahan warna ikan. Selain itu faktor lingkungan
juga mempengaruhi pewarnaan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sembiring
et al. (2013), bahwa ikan yang dipelihara pada kondisi terang akan memberikan
reaksi warna yang berbeda dengan ikan yang dipelihara ditempat gelap.
2.1.3 Panjang Gelombang Cahaya
Pembagian panjang gelombang menurut Bruno dan Svoronos (2006),
adalah sebagai berikut:
- Warna merah : 620 - 750 nanometer.
- Warna oranye : 590 - 620 nanometer.
- Warna kuning : 570 - 590 nanometer.
- Warna hijau : 495 - 570 nanometer.
- Warna biru : 450 - 495 nanometer.
- Warna ungu : 380 - 450 nanometer.
2.2 Fototaksis
2.2.1 Pengertian Fototaksis
Fototaksis menurut Yuda, et al. (2012), merupakan gerak taksis yang
disebabkan oleh adanya rangsangan berupa cahaya. Ikan tertarik pada cahaya
melalui penglihatan serta rangsangan melalui otak. Ikan yang tertarik oleh
cahaya hanyalah ikan fotofilik, yang umumnya adalah ikan-ikan pelagis dan
sebagian kecil ikan demersal, sedangkan ikan yang tidak tertarik oleh cahaya
atau menjauhi cahaya biasa disebut fotofobik.
2.2.2 Jenis Fototaksis
Jenis fototaksis menurut Rudin, et al. (2017), dibagi menjadi dua yaitu
fototaksis positif dan fototaksis negatif. Fototaksis positif merupakan gerak taksis
mendekati cahaya. Fototaksis negatif merupakan gerak taksis menjauhi cahaya.
2.2.3 Faktor Fototaksis
Setiawan, et al. (2015), menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi
fototaksis dibagi menjadi dua yaitu:
a. Faktor Internal
Jenis kelamin, beberapa ikan betina bersifat fototaksis negatif ketika
matang gonad, sedangkan ikan jantan pada jenis yang sama akan
bersifat fototaksis positif ketika matang gonad.
Penuh atau tidak penuhnya perut ikan, ikan yang sedang lapar lebih
bersifat fototaksis positif daripada ikan yang kenyang.
b. Faktor Eksternal
Suhu air, ikan akan mempunyai sifat fototaksis yang kuat ketika berada
pada lingkungan dengan suhu air yang optimal (sekitar 28ºC).
Tingkat cahaya lingkungan, kondisi diwaktu siang hari atau pada saat
bulan purnama akan mengurangi sifat fototaksis pada ikan.
Intensitas dan warna sumber cahaya, jenis ikan yang berbeda maka
akan berbeda juga cara merespon intensitas dan warna cahaya yang
diberikan.
Ada atau tidaknya makanan, beberapa jenis ikan akan bersifat fototaksis
apabila terdapat makanan, sedangkan jenis ikan yang lain akan
berkurang sifat fototaksisnya.
Kehadiran predator akan mengurangi sifat fototaksis pada ikan.
2.2.4 Sel Cone dan Sel Rod
Sel-sel yang bekerja pada proses fototaksis menurut Adisendjaja (2003),
ada dua yaitu:
a. Sel Cone
Sel Cone (sel kerucut) berfungsi saat ada cukup cahaya, untuk
memberikan detail obyek beserta warnanya. Sel kerucut hanya dapat
dirangsang oleh cahaya terang sehingga mampu melihat warna.
b. Sel Rod
Sel Rod (sel batang) merupakan sel yang bekerja pada saat kondisi
minimum cahaya. Walaupun hanya ada sedikit cahaya (misalnya hanya ada satu
partikel foton), sel rod masih tetap dapat mendeteksi. Sel-sel batang tersebar
di bagian perifer (tepi, samping) dari retina dan dirangsang oleh cahaya redup.
Rangsangan ini penting untuk melihat cahaya pada saat redup dan dalam
keadaan gelap.
2.2 Mekanisme Kerja Sel Cone dan Sel Rod
Wade dan Tavris (2008), menyatakan bahwa sel cone akan bekerja
saat cahaya terang. Mekanisme sel cone bekerja saat terdapat cahaya terang
yaitu contractile myoid elemen akan menggerakkan sel cone untuk mendekati
lensa, dan sel rod menjauhi lensa. Sel rod akan bekerja pada saat cahaya gelap.
Mekanisme sel rod saat cahaya gelap yaitu contractile myoid elemen akan
menggerakkan sel rod untuk mendekati lensa, sedangkan sel cone akan
menjauhi lensa.
3. METODE PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat dan Fungsi
a. Pewarnaan Tubuh
Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi
Pewarnaan Tubuh dan Fototaksis tentang pewarnaan tubuh adalah:
Toples kapasitas 3L :
Seser :
Gunting :
Kabel rol :
Selang aerasi :
Batu aerasi :
Kamera digital :
Stopwatch :
T aerator :
Akuarium :
Lampu :
Nampan :
Fitting lampu :
b. Fototaksis
Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi
Pewarnaan Tubuh dan Fototaksis tentang fototaksis adalah:
Ember :
Akuarium :
Seser :
Aerator set :
Gunting :
Kabel rol :
Kamera digital :
Senter cahaya putih :
3.1.2 Bahan dan Fungsi
a. Pewarnaan Tubuh
Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi
Pewarnaan Tubuh dan Fototaksis tentang pewarnaan tubuh adalah:
Ikan Sepat Siam (Trichogaster tricopterus) :
Selotip bening :
Kertas label :
Skotlet warna hijau :
Skotlet warna biru :
Skotlet warna merah :
Skotlet warna kuning :
Skotlet warna ungu :
Air :
Trash Bag :
Karet gelang :
b. Fototaksis
Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi
Pewarnaan Tubuh dan Fototaksis tentang fototaksis adalah:
Ikan Mas Koki (Carrasius auratus) :
Ikan Black ghost (Apteronotus albifrons) :
Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) :
Ikan Guppy (Poecillia reticulata) :
Air :
Styrofoam :
Trash bag :
Selotip bening :
Kertas label :
3.2 Skema Kerja
3.2.1 Pewarnaan Tubuh
Toples 3 liter
-Disiapkan-Ditutupi skotlet dengan perlakuan:
Meja 1. HijauMeja 2. MerahMeja 3. BiruMeja 4. KuningMeja 5. Ungu
-Diisi air ¾ bagian-Diberi aerasi
Ikan Sepat Siam (Trichogaster tricopterus) 1, sebagai ikan kontrol
-Dimasukkan kedalam toples 1-Diberi aerasi-Diadaptasikan selama 15 menit
Ikan Sepat Siam (Trichogaster tricopterus) 2, sebagai ikan uji
-Dimasukkan kedalam toples 2 dengan perlakuan-Diberi aerasi-Diadaptasikan selama 15 menit-Dicatat warna awal tubuh-Diberikan pencahayaan-Dibiarkan selama 2 minggu-Dilakukan pemeliharaan-Dicatat waktu saat kembali normal-Diamati warna akhir
Hasil
3.2.2. Fototaksis
Akuarium
-Disiapkan-Diisi air ¾ bagian dan diberi aerasi-Dilapisi seluruh sisi akuarium dengan plastik gelap
Ikan Mas Koki (Carrasius auratus)Ikan Guppy (Poecilia reticulata)Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) Ikan Black Ghost (Apteronotus albifrons)
-Dimasukkan ke dalam akuarium-Ditunggu sampai keadaan gelap-Diberi biasan cahaya senter-Diamati tingkah laku
Hasil
4. HASIL DAN PEMBAHASAN4.1 Pewarnaan Tubuh
4.2 Fototaksis
4.2.1 Ikan Mas Koki (Carrasius auratus)
4.2.2 Ikan Guppy (Poecilia reticulata)
4.2.3 Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)
4.2.4 Ikan Black Ghost (Apteronotus albifrons)
4.3 Faktor Koreksi
4.4 Manfaat di Bidang Perikanan
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Adisenjaja, Y. H. 2003. Warna dan makanan alami dalam kehidupan. Bio-Upi. 1-8.
Bruno, T. J. dan P. D. N. Srovonos. 2006. CRC Handbook of Fundamental Spectroscopic Correlation Charts. CRC Press. Paris. 222 hlm.
Indarti, S., M. Muhaemin dan S. Hudaidah. 2012. Modified toca colour finder (M-TCF) dan kromatofor sebagai penduga tingkat kecerahan warna ikan komet (Carasius auratus auratus) yang diberi pakan dengan proporsi tepung kepala udang (TKU) yang berbeda. e-Jurnal Rekayasa Dan Teknologi Budidaya Perairan. 1 (1): 9-16.
Khoo, G., T. M. Lim and V. P. E. Phang. 2013. Cellular basisi of metallic iridescence in the siamase fighting, Betta splendends.The Israeli Journal of Aquaculture.1 (65): 1-10.
Ogherohwo, E. P., B. Barnabas and A. O. Alafiatyo. 2015. investigating the wavelength of light and its effects on the performance of a solar photovoltaic module. International Journal of Innovative Research in Computer Science & Technology. 3 (4): 61-65.
Prayogo, H. F., R. Rostika dan I. Nurruhwati. 2012. Pengakayaan pakan yang mengandung maggot dengan tepung kepala udang sebagai sumber karotenoid terhadap penampilan warna dan pertumbuhan benih rainbow kurumoi (Melanotaenia parva). Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3 (3): 210-205.
Price, A, C., C. J. Weadick, J. Shim and F. H. Rodd. 2008. Pigem patterns, and bahvior. Zebrafish. 5 (4): 297-307.
Rosyidah, I. N., A. Farid, A. Arisandi. 2009. Efektivitas alat tangkap mini purse seine menggunakan sumber cahaya berbeda terhadap hasil tangkap ikan kembung (Rastrelliger sp.). Jurnal Kelautan. 2(1): 50-56.
Rudin, M. J., R. Irnawati dan A. Rahmawati. 2017. Perbedaan hasil tangkapan bagan tancap dengan menggunakan lampu CFL dan LED dalam air (Leda) di Perairan Teluk Banten. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 7 (2): 167-180.
Sembiring, S. B.M., K. M. Setiawati, J.H. Hutapea dan W. Subamia. 2013. Pewarisan pola warna ikan klon biak, Amphiprion percula. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 5 (2): 343-351.
Setiawan, F., S. R. Sulistyanti dan A. Sadnowo. 2015. Analisis pengaruh media perambatan terhadap intensitas cahaya lacuba (lampu celup bawah air). Jurnal Rekayasa dan Teknologi Elektro. 9 (1): 23-29.
Shukla, A.N. 2009. Physiology of fishes. New Delhi. DPH. 267 hlm.
Solichin, I., K. Haetami dan H. Suherman. 2012. Pengaruh penambahan tepung rebon pada pakan bautan terhadap nilai chroma ikan mas koki (Carassius auratus). Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3 (4): 185-190.
Wade, C dan C. Tavris. 2008. Psikologi. Jakarta. Erlangga. 342 hlm.
Yuda, L. K., D. Iriani dan A. M. A. Khan. 2012. Tingkat keramahan lingkungan alat tangkap bagan di Perairan Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3(3): 7-13.