ii
MAK: 1800.202.006.054
PROPOSAL PENELITIAN
PENELITIAN PENGELOLAAN LAHAN SUBOPTIMAL DAN LAHAN TERDEGRADASI UNTUK
MENDUKUNG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA
Dr. Maswar, M.Agric., Sc
BALAI PENELITIAN TANAH BALAI BESAR LITBANG SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTRIAN PERTANIAN
2017
iii
LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul RPRP Penelitian Pengelolaan Lahan Suboptimal dan Lahan Terdegradasi untuk Mendukung Peningkatan Produktivitas Tanaman Pangan dan Hortikultura
2. Unit kerja Balai Penelitian Tanah 3. Alamat unit kerja Jl. Tentara Pelajar No. 12, Cimanggu, Bogor 4. Sumber Dana DIPA/RKAKL Satker Balai Penelitian Tanah 5. Status Penelitian Lanjutan 6. Penanggung Jawab
a. Nama b. Pangkat/Golongan c. Jabatan
Dr. Ir. Maswar, M.Agric,Sc. IV.a/Pembina Peneliti Madya
7. Lokasi Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan 8. Agroekosistem Lahan kering Masam, Lahan Gambut, dan Lahan terdegradasi 9. Tahun Mulai 2016 10. Tahun Selesai 2019 11 Output tahunan 1. Teknologi olah tanah konservasi pada pola tanam padi
gogo–jagung yang mampu meningkatkan karbon tanah terhumufikasi dan agregat tahan air (water stable aggregate).
2. Komponen teknologi pengelolaan tanah untuk perbaikan kualitas tanah dan pengembangan tanaman cabai merah pada lahan kering masam terdegradasi.
3. Komponen teknologi perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah gambut dan mitigasi emisi GRK, yang mendukung budidaya bawang merah di lahan gambut.
4. Informasi pengaruh teknologi mulsa dan pembenah tanah terhadap sifat fisik dan kimia tanah, pertumbuhan dan produksi bawang merah di lahan kering dataran tinggi.
5. (empat) draft KTI (Karya tulis ilmiah) 12 Output akhir Teknologi pengelolaan lahan suboptimal dan pemulihan
lahan terdegradasi untuk peningkatan produksi tanaman pangan dan hortikultura
13 Biaya Rp. 492.500.000,- (Empat ratus sembilan puluh dua juta lima ratus ribu rupiah).
Koordinator Program
Dr. Ir. I Wayan Suastika, M.Si NIP.19610815 199003 1001
Penanggungjawab RPTP
Dr. Maswar,M. Agric Sc. NIP. 19620527 199303 1 001
Mengetahui, Kepala Balai Besar Litbang
Sumberdaya Lahan Pertanian
Dr. Ir. Dedi Nursyamsi, M.Agr. NIP. 19640623 198903 1 002
Kepala Balai Penelitian Tanah
Dr. Husnain, SP., MP NIP. 19730910 200112 2 001
iv
RINGKASAN
1. Judul Kegiatan RPRP : Penelitian Pengelolaan Lahan Suboptimal dan Lahan terdegradasi untuk Mendukung Peningkatan Produktivitas TanamanPangan dan Hortikultura
2. Nama dan alamat unit kerja : Balai Penelitian Tanah Jl. Tentara Pelajar No. 12, Cimanggu, Bogor
3. Sifat usulan penelitian : Lanjutan 4. Penanggungjawab : Dr. Maswar 5. Justifikasi : Pemanfaatan dan sekaligus peningkatan
produktivitas lahan suboptimal, utamanya lahan kering masam, gambut dan lahan-lahan terdegradasi yang relatif luas sebarannya, merupakan salah satu opsi pencapaian swasembada pangan dan peningkatan produksi tanaman pangan dan hortikultura. Penanganan faktor pembatas (fisik, kimia dan biologi tanah) merupakan kunci utama pemberdayaan lahan suboptimal, lahan gambut dan lahan terdegradasi. Inovasi teknologi yang diterapkan juga sekaligus harus ditujukan untuk peningkatan adaptasi system budidaya terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, diperlukan teknologi yang adaptif yang mampu mengkonservasi dan/atau meningkatkan status karbon tanah, menanggulangi kemasaman tanah, dan meningkatkan ketersediaan air pada lahan kering, serta memperbaiki sifat fisik dan kimia gambut untuk budidaya tanaman pangan dan/atau hortikultura.
6. Tujuan Penelitian : 1. Mendapatkan teknologi olah tanah konservasi pada pola tanam padi gogo–jagung di lahan kering yang mampu meningkatkan karbon tanah terhumifikasi dan agregat tahan air (water stable aggregate).
2. Mempelajari efek residu dari pembenah tanah terhadap: (a) perbaikan kualitas tanah, khususnya dalam penangulangan faktor pembatas lahan kering masam terdegradasi, dan (b) peningkatan produktivitas tanaman cabai merah.
3. Mempelajari dampak perbaikan sifat fisika, kimia dan biologi tanah gambut terhadap produktivitas bawang merah
4. Mengetahui pengaruh teknologi mulsa dan pembenah tanah terhadap sifat fisik dan kimia tanah, pertumbuhan dan produksi bawang merah di lahan kering dataran tinggi
7. Luaran yang diharapkan : (1) Teknologi olah tanah konservasi pada pola tanam padi gogo – jagung di lahan kering yang mampu meningkatkan karbon tanah
v
terhumifikasi dan agregat tahan air (water stable aggregate).
(2) Komponen teknologi pengelolaan tanah untuk perbaikan kualitas tanah dan pengembangan tanaman cabai merah pada lahan kering masam terdegradasi.
(3) Komponen teknologi perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah gambut dan mitigasi emisi GRK dari lahan gambut yang mendukung budidaya bawang merah di lahan gambut.
(4) Informasi pengaruh teknologi mulsa dan pembenah tanah terhadap sifat fisik dan kimia tanah, pertumbuhan dan produksi bawang merah.
(5) 4 (empat) draft KTI (Karya tulis ilmiah)
8. Outcome : Peningkatan produktivitas lahan suboptimal khususnya lahan kering masam, lahan gambut,dan lahan terdegradasi.
9. Sasaran akhir Optimalisasi lahan suboptimal untuk mendukung pembangunan pertanian terkait swasembada dan ketahanan pangan
10. Lokasi penelitian Jawa, Sumatera, dan Kalimantan
11. Jangka waktu : Mulai TA 2016-2019
12. Suber dana DIPA/RKAKL Satker: Balai Penelitian Tanah, TA. 2017
vi
SUMMARY
1 Title of RPTP/RDHP : Research on Marginal and Degraded Land Management to improve food crops and horticulture crops productivity
2 Implementation unit : Indonesia Soil Research Institute (ISRI), Jl. Tentara Pelajar No. 12, Cimanggu, Bogor
3 Location : Java, Sumatera and Kalimantan 4 Objective a. Short term
(1) To find the tillageconservation technology on rice – maize cropping systems in dry land that able to improve soil carbon and water stable aggregate.
(2) To study the residual effects of soil ameliorant to: (a) improving soil quality particularly soil limiting factor of drylands, and (b) increasing the chilli productivity.
(3) To study the impact of improvement physical, chemical and biological properties of peat soil on the onion productivity.
(4) To determine the influence of mulch and ameliorant technology on soil physical and chemical properties, and onion production on upland plateau.
b. Longterm To find the technologies that improve the productivity of sub-optimal dryland, peatlands, and degraded land, in support of sustainable food self-sufficiency, and an increase the horticultural and food crops productivity
5 Expected output a. Short term
: (1) The conservation tillage technology on rice – maize cropping systems in dry land that able to improve soil carbon and water stable aggregate.
(2) Information the residual effects of soil ameliorant to: (a) improving soil quality particularly soil limiting factor of dry lands, and (b) increasing the chilli productivity.
(4) The technology that improve physical, chemical, and biological properties of peatrelated to increase the union productivity.
(5) The mulch and ameliorant technologies that improve soil physical and chemical properties and onion production on upland plateau.
(6) Four draft scientific papers b. Long term : The technologies that improve the productivity of sub-
optimaldryland, peatlands, and degraded land, in support of sustainable food self-sufficiency, and an increase the horticultural cropsproductivity
6 Discription of methodology
Research will be conducted on suboptimal (marginal) lands, peatlands, and degraded land in Sumatera, Java, and Kalimantan island. The combination among conservation tillage, fertilization and mulching
vii
technology will be implemented to improve soil physical and chemical properties and crops productionon rice – maize cropping systems in dry land acid soils.The soil quality will be improved with soil ameliorant made from compost and biochar for chilli produntion in dry land acid soils. Amelioran, and peat fertilizer (pugam) will be use to improve phyisical, chemical, and biological properties of peat soil and onion production. The combination mulch with amelioran and fertilizer will be implemented on onion croping system on pleteau upland.
7 Duration 4 (four) years
8 Budget/fiscal year Rp 500.000.000 (Five hundred million rupiahs)
9 Source of budget : DIPA/RKAKL 648680 Indonesia Soil Research Institute (ISRI), Fiscal Year 2017
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tantangan pembangunan pertanian masa depan terfokus pada bagaimana upaya
mewujudkan swasembada pangan dan sekaligus memantapkan ketahanan pangan nasional
yang berkelanjutan melalui peningkatan produksi. Peningkatan produksi pertanian tersebut
dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan/atau perluasan areal lahan budidaya
baik untuk tanaman pangan maupun hortikultura.Berkaitan dengan hal ini, upaya yang dapat
dilakukan salah satunya adalah melalui pemanfaatan lahan suboptimaldan lahan terdegradasi
seperti lahan kering masam, lahan gambut, dan lahan kritis. Pengembangan pertanian pada
lahan suboptimal khususnya lahan kering masam, lahan gambut, dan/atau lahan kritis tidak
mungkin lagi dapat dihindari, karena ketersediaan lahan subur semakin terbatas.
Lahan suboptimal merupakan lahan yang secara alamiah mempunyai produktivitas
rendah disebabkan oleh kendala faktor internal (intrinsik) seperi bahan induk , sifat fisika,
kimia, dan biologi tanah yang kurang mendukung pertumbuhan tanaman, disamping itu faktor
eksternal seperti curah hujan dan suhu yang ekstrim (Las et al., 2012). Lahan terdegradasi
dan/atau kritis juga sering dikategorikan sebagai lahan suboptimal, meskipun yang menjadi
faktor pembatas produksi bukan bersifat alami.Lahan suboptimal dengan faktor pembatas
alami dapat digolongkan dalam beberapa tipologi lahan yaitu: lahan kering masam, lahan
kering iklim kering, lahan rawa pasang surut, lahan rawa lebak, lahan kritis, dan lahan gambut
(Puslitbangtanak, 2000, Mulyani dan Sarwani; 2013).
Khusus lahan kering masam (LKM),lahan kritis, dan lahan gambut adalah merupakan
lahan suboptimal yang berpotensi untuk dijadikan pendukung pembangunan pertanian
dimasa yang akan datang, baik dari segi potensi luasan maupun resiko lingkungan. Total luas
LKM sekitar 108,8 juta ha (sekitar 69% dari total luas lahan Indonesia), dan yang berpotensi
untuk pertanian sekitar 62,65 juta ha (Mulyani dan Sarwani, 2013), sedangkan luas lahan
gambut ada sekitar 14,9 juta hektar. Namun demikian, didalamnya masih terdapat areal-
areal dengan status areal yang tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan untuk pertanian
(dalam status tidak tersedia). Dari total luasan lahan sub optimal (lahan kering dan lahan
rawa) yaitu sekitar 189 juta ha (Mulyani dan Sarwani, 2013), yang dalam status tersedia hanya
sekitar 21,1 juta ha (Sofyan dan Mulyani, 2013). Oleh karena itu, di tengah upaya
ekstensifikasi lahan yang masih perlu terus dilakukan, upaya optimalisasi lahan suboptimal
merupakan hal yang perlu menjadi prioritas. Dukungan inovasi teknologi untuk
menanggulangi faktor pembatas lahan (baik bersifat alami maupun akibat degradasi lahan)
2
merupakan kunci pemberdayaan lahan suboptimal sebagai pendukung pembangunan
pertanian kedepan.
Optimalisasi lahan suboptimal selain ditujukan untuk mendukung ketahanan dan
kemadirian pangan, juga perlu dilakukan untuk peningkatan produksi komoditas lainnya
misalnya tanaman hortikultura. Ketergantungan Indonesia akan produk hortikultura impor
seperti bawang putih,bawangmerah, cabaimasih sangat tinggi. Dengan demikian, diperlukan
teknologi unggulan agar komoditas tersebut dapat berproduksi sepanjang tahun, sehingga
jumlah impor dapat dikurangi.Budidaya tanaman pangan dan hortikulturapada lahan
suboptimal memerlukan manajemen pengelolaan lahan yang lebih spesifik, khususnya
pengelolaan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Untuk itu, teknologi pengelolaan lahan untuk
meningkatkan kualitas fisik, kimia, dan biologi tanah diperlukan agar dapat meningkatkan
produksi tanaman yang dibudidayakan.
DasarPertimbangan
(1) Perbedaan pengolahan tanah akan mempunyai pengaruh yang spesifik terhadap kadar
dan turn over bahan organik tanah karena adanya perbedaan produksi bahan kering yang
dihasilkan dan penempatan residu tanaman pada masing-masing pengolahan tanah
(Angers et al., 1995). Perbedaan jumlah residu yang dikembalikan ke dalam tanah sangat
berkaitan dengan rotasi tanaman yang diusahakan. Upaya pengurangan intensitas
pengolahan tanah dan adanya penutupan lapisan atas dengan sisa tanaman pangan dalam
satu rotasi tanam melalui pengembalian sisa tanaman akan menghambat hilangnya bahan
organik tanah. Tanpa olah tanah mampu mengakumulasi BO di permukaan tanah (lapisan
atas), meningkatkan stabilitas agregat dan mempunyai indeks humifikasi rendah yang
menentukan lebih besarnya ketersediaan hara untuk tanaman.
(2) Kemerosotan status C-organik tanah merupakan bentuk degragasi yang sering dialami
LKM. Oleh karena itu pemeliharaan dan perbaikan status C organik tanah merupakan opsi
utama lainnya yang perlu dilakukan untuk meningkatakan produktivitas lahan kering
masam yang telah dikelola secara intensif. Peningkatan status C organik > 2% perlu
diupayakan untuk menjaga tingkat kesuburan tanah dan produktivitas tanaman.
Pemanfaatan sumber bahan organik yang bersifat insitu harus diupayakan seoptimal
mungkin, sehingga dicapai suatu sisitem pengelolaan lahan yang bersifat zerowaste.
(3) Potensi lahan gambut yang sudah terdegradasi untuk dapat dimanfaatkan sebagai
lahan pertanian di Indonesia cukup luas, yaitu sekitar 3,5 juta/ha dari total 14,93 juta ha
luas lahan gambut Indonesia. Luasan 3,5 juta hektar tersebut saat ini tergolong pada
3
“lahan gambut terlantar (semak belukar)”. Lahan gambut semak belukar ini jika tidak
dimanfaakan akan menjadi lahan tidur yang luas di Indonesia dan berpotensi untuk
terjadinya kebakaran gambut setiap musim kemarau. Pemanfaatan lahan gambut untuk
lahan pertanian berpotensi besar, karena gambut mengandung bahan organik yang tinggi.
Bagaimanapun, lahan gambut tergolong pada lahan suboptimal yang tingkat
produktivitasnya rendah, karena memiliki kendala antara lain: sifat fisik, kimia, dan biologi
yang kurang mendukung untuk pertumbuhan tanaman yang baik atau normal. Untuk itu,
pada pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan pertanian khususnya untuk budidaya
bawang merah memerlukan perencanaan yang cermat dan teliti, penerapan teknologi
budidaya dan pengelolaan lahan yang tepat, dan teknik adaptasi yang sesuai untuk kondisi
iklim dan lingkungan lahan gambut yang spesifik.
(4) Teknologi peningkatan retensi dan ketersedian air tanah, serta pengelolaan hara
merupakan kunci keberhasilan usahatani bawang merah. Aplikasi mulsa merupakan salah
satu teknologi efisiensi penggunaan air melalui pengurangan evaporasi. Mulsa yang
diintegrasikan dengan pembenah tanah berfungsi meningkatkan kapasitas memegang air
(water holding capasity = WHC) tanah,yang menciptakan kondisi lingkungan tanah yang
baik untuk pertumbuhan tanaman. Periode musim hujan antara Indonesia dan negara-
negara pengimpor bawang merah berlawanan, sehingga berdampak pada musim panen
bawang merah di kedua wilayah. Saat di Indonesia kekurangan bawang merah, justru di
negara-negara tersebut produksi melimpah. Saat di selatan khatulistiwa (Pulau Jawa)
musim hujan, maka negara-negara di utara kering dan sebaliknya. Dengan demikian
terjadi keseimbangan antara volume impor dan ekspor, sehingga apabila impor 20 % dari
kebutuhan demikian juga halnya dengan ekspor bawang merah (Suhendra, 2014). Agar
dapat memenuhi kebutuhan dan meningkatkan ekspor bawang merah, diperlukan
peningkatan produksi dan produktivitas baik dari segi media tanam (tanah) maupun
tanaman bawang merah itu sendiri. Untuk itu diperlukan perluasan areal tanam dan
teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas baik tanah maupun tanamannya (dalam
hal ini bawang merah). Salah satu daerah sasaran perluasan usaha bawang merah adalah
lahan kering di dataran tinggi dengan kondisi tanah sudah terdegradasi, sehingga
diperlukan teknologi peningkatan produktivitas tanah. Selain itu diperlukan pula teknoogi
konservasi air untuk pemeliharaan kelembapan tanah pada saat tanaman memerlukan air.
4
1.2. Tujuan Penelitian
Tahunan
(1) Mendapatkan teknologi olah tanah konservasi dan rotasi tanaman pangan di lahan
kering yang mampu meningkatkan karbon tanah terhumufikasi dan agregat tahan air
(water stable aggregate) pada pola tanam jagung-kedelai.
(2) Mempelajari efek residu dari pembenah tanah terhadap: (a) perbaikan kualitas tanah,
khususnya dalam penangulangan faktor pembatas lahan kering masam terdegradasi,
dan (b) peningkatan produktivitas tanaman cabai merah.
(3) Mempelajari dampak perbaikan sifat fisika, kimia dan biologi tanah gambut terhadap
produktivitas bawang merah
(4) Mengetahui pengaruh teknologi mulsa dan pembenah tanah terhadap sifat fisik dan kimia
tanah, pertumbuhan dan produksi bawang merah di lahan kering dataran tinggi
Jangka Panjang
Meningkatkan produktivitas lahan kering suboptimal, lahan gambut dan lahan
terdegradasi, untuk mendukung swasembada pangan berkelanjutan
1.3. Keluaran yang diharapkan
Tahunan
(1) Teknologi olah tanah konservasi pada pola tanam padi gogo – jagung di lahan kering
yang mampu meningkatkan karbon tanah terhumufikasi dan agregat tahan air
(water stable aggregate).
(2) Komponen teknologi pengelolaan tanah untuk perbaikan kualitas tanah dan
pengembangan tanaman cabai merah pada lahan kering masam terdegradasi
(3) Komponen teknologi perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah gambut dan mitigasi
emisi GRK dari lahan gambut yang mendukung budidaya bawang merah di lahan
gambut.
(4) Informasi pengaruh teknologi mulsa dan pembenah tanah terhadap sifat fisik dan
kimia tanah, pertumbuhan dan produksi bawang merah.
(5) Empat draft karya tulis ilmiah (KTI)
Jangka Panjang
Teknologi untuk meningkatkan produktivitas lahan kering suboptimal, lahan gambut, dan
lahan terdegradasi mendukung swasembada pangan berkelanjutan dan peningkatan
produktivitas tanaman hortikultura.
5
1.4. Perkiraan manfaat dan dampak dari kegiatan yang dirancang
Upaya peningkatan kualitas tanah pada lahan suboptimal baik di lahan kering maupun
gambut melalui pengurangan olah tanah (olah tanah konservasi), peningkatan status bahan
organik, penanggulangan kemasaman dan penyakit endemik setempat, peningkatan retensi
air dan pengelolaan hara terpadu diharapkan akan meningkatkan optimalisasi lahan yang
dianggap sub optimal dan/atau sudah terdegradasi dalam mendukung swasembada tanaman
pangan (padi, jagung dan kedelai) serta meningkatkan produktivitas tanaman hortikultura
(bawang merah dan cabe merah). Mengingat luasnya lahan suboptimal dan/atau lahan
terdegradasi, maka dampak dari perbaikan kualitas lahan tersebut melalui inovasi teknologi
akan mampu meningkatkan ketersediaan pangan dan produk tanaman hortikultura yang
sangat dibutuhkan masyarakat baik di tingkat lokal, regional maupun nasional.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian olah tanah konservasi dan rotasi tanaman pangan di lahan kering yang adaptif perubahan iklim
Perbedaan pengolahan tanah akan mempunyai pengaruh yang spesifik terhadap kadar
dan turn over bahan organik tanah karena adanya perbedaan produksi bahan kering yang
dihasilkan dan penempatan residu tanaman pada masing-masing pengolahan tanah (Angers
et al., 1995). Perbedaan jumlah residu yang dikembalikan ke dalam tanah sangat berkaitan
dengan rotasi tanaman yang diusahakan. Upaya pengurangan intensitas pengolahan tanah
dan adanya penutupan lapisan atas dengan sisa tanaman pangan dalam satu rotasi tanam
melalui pengembalian sisa tanaman akan menghambat hilangnya bahan organik tanah. Tanpa
olah tanah mampu mengakumulasi BO di permukaan tanah (lapisan atas), meningkatkan
stabilitas agregat dan mempunyai indeks humifikasi rendah yang menentukan lebih besarnya
ketersediaan hara untuk tanaman.
Pengolahan tanah menyebabkan hancurnya agregat makro atau menurunkan proporsi
agregat makro di lapisan atas tanah (Balesdent et al., 2000) dan mampu merubah proses
perlindunganterhadap bahan organiktanah (Yun et al., 2014). Hal tersebut akan
meningkatkan mineralisasi bahan organik yang semula terlindungi secara fisik di dalam
mikroagregat menjadi terbuka terhadap serangan mikroorganisme. Menurut Six et al, (2004)
agregat tanah merupakan unit struktural dalam tanah yang mengontrol dinamika bahan
organik tanah dan siklus hara. Tanpa olah tanah lapisan 0-5 cm terdapat kandungan karbon
tertinggi yang menunjukkan tingginya stabilitas agregat dan rendahnya derajat humufikasi
(Martin et al., 2011; Milori et al., 2006). Rendahnya derajat humifikasi pada areal yang alami
tidak diolah sebagai akibat tingginya bahan organik fraksi ringan atau bahan organik tanah
berada pada tahap awal dekomposisi proses.
Pembentukan dan stabilisasi makro-agregat pada perlakuan tanpa olah
merepresentasikan pentingnya mekanisme untuk melindungi dan memelihara bahan organik
tanah yang mungkin hilang bila tanah diolah secara konvensional dan sekaligus akan
meningkatkan sekuestrasi karbon lebih optimal. Stabilitas makroagregat pada aplikasi olah
tanah konservasi (tanpa olah tanah dan olah tanah minimum) juga mencerminkan efektivitas
dalam mensekuestrasi karbon (Six et al., 2002). Yan et al (2007) menginformasikan bahwa
Aplikasi di daratan China memperlihatkan bahwa bila hanya mengembalikan sisa tanaman
tanpa penerapan tanpa olah tanah (TOT), maka rata-rata sekuetrasi karbon potensial hanya
23,3-57,1 Tg C th-1, sedangkan bila hanya menerapkan TOT, potensi mensekuestrasi karbon
7
berkisar 21,5-43,0 Tg C th-1. Bila seluruh sisa tanaman dikembalikan ke dalam tanah dan
diterapkan TOT, maka rata-rata sekuestrasi karbon akan meningkat menjadi 71,7 Tg C th-1.
Cansercaoet al. (2013) mendapatkan besarnya sekuestrasi karbon per tahun sebesar 23-26,3
Mg ha-1 pada pengolahan tanah konvensional, sedangkan dengan tanpa olah tanah sebesar
25,5-29,1 Mg ha-1 pada lempung liat berpasil di Brazil.
Penggurangan intensitas pengolahan tanah dan pengembalian sisa tanaman sering
menjadi alat pengukur peningkatan sequestrasi karbon pada lahan pertanian dan sebagai
salah satu indicator pengelolaan lahan yang adaptif terhadap perubahan iklim. Upaya
meningkatkan daya adaptasi terhadap perubahan iklim melalui pengelolahan tanah dan rotasi
tanaman yang tepat, perlu dilakukan agar uasahatni tanaman pangan yang dilakukan
menguntungkan secara ekonomi dan lingkungan.
2.2. Perbaikan Kualitas Tanah untuk Meningkatkan Produktivitas Tanaman
Cabai Merah pada Lahan Kering Masam Terdegradasi
Produksi komoditas utama hortikultura selama kurun waktu 2010–2014 menunjukkan
pola yang berfluktuatif. Laju pertumbuhan produksi terkecil diantaranya terjadi pada cabai
merah yang pertumbuhannya di bawah 4,13%/tahun (Kementan, 2015), sehingga hampir
setiap tahun senantiasa terjadi gejolak harga dan memiliki andil terhadap inflasi Indonesia
(Badan Ketahanan Pangan, 2014). Untuk memenuhi kebutuhan akan komoditas ini diperlukan
penambahan areal baru untuk pengembangan tanaman cabai. Namun demikian, karena
ketersediaan lahan subur sudah semakin terbatas maka pengembangan komoditas pertanian
termasuk untuk tanaman hortikultura seperti cabai merah harus mengarah ke lahan-lahan
suboptimal, dan lahan yang tersedia seringkali sudah dalam kondisi terdegradasi (Wahyunto
dan Dariah, 2014). Salah satu lahan suboptimal yang potensial untuk dikembangkan, baik
dari segi luasan maupun resiko lingkungan adalah lahan kering masam(LKM) (Rochayati dan
Dariah, 2012; Subiksa et al., 2013).
Total luas LKM adalah sekitar 108,8 juta ha atau sekitar 60% dari total luas lahan
Indonesia. Sebaran lahan ini terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia, terluas terdapat
di Sumatera, Kalimantan dan Papua. LKM yang berpotensi untuk pengembagan pertanian
adalah sekitar 62,6 juta ha. Namun tidak sampai 50% dari total lahan yang berpotensi tersbut
dalam kondisi tersedia (Balitbangtan, 2014).
Penciri utama dari lahan kering masam adalah pH tanah yang tergolong masam
(<5,5). Kemasaman tanah yang tinggi berkaitan dengan kadar Al yang tinggi, yang
berdampak terhadap fiksasi P sehingga unsur ini menjadi tidak tersedia untuk tanaman.
8
Kandungan basa-basa dan KTK tanah juga tergolong rendah, kandungan Fe dan Mn seringkali
berada pada kondisi yang dapat meracuni tanaman. Tingkat kesuburan tanah yang relatif
rendah menyebabkan tanah menjadi miskin elemen biotik (Soepardi, 2001; Rochayati dan
Dariah, 2012).
Kemerosotan status karbon tanah merupakan bentuk degradasi lahan yang banyak
ditemui di LKM. Hasil pemantauan status bahan organik tanah di areal pertanian pada lahan
kering masam menunjukkan rata-rata kandungan bahan organik tanah <2% ( Rachman et
al., 2008; Nurida, 2010; 2012). Secara alamiah penurunan kadar bahan organik tanah di
daerah tropis relatif cepat, dapat mencapai 30-60% dalam waktu 10 tahun (Brown dan Lugo,
1990).
Selain faktor lingkungan, faktor manajemen sangat berpengaruh terhadap kandungan
karbon tanah. Kedua faktor tersebut menentukan tingkat keseimbangan antara masukan
(input) karbon ke dalam tanah (dalam bentuk bahan organik) dan tingkat kehilangan karbon
dari dalam tanah dalam bentuk CO2 (proses emisi), karbon terlarut dan erosi (Metay et al.,
2006; Dixon et al., 1994).Intensitas penggunaan juga berpengaruh terhadap dinamika
cadangan karbon dalam tanah (Houet al., 2012; Schrumpf et al., 2011; Youkhana dan Idol,
2009; Tan et al., 2007; IPCC, 2006; Metay et al., 2006). Misalnya dampak gangguan mekanis
yang timbul akibat pengolahan tanah dapat menyebabkan terjadinya peningkatan aerasi
tanah dan perubahan iklim mikro (tempetarur, kelebaban) tanah lapisan atas (top soil), yang
berdampak terhadap peningkatan laju dekomposisi bahan organik tanah (Balesdent et al.,
2000). Peningkatan intensitas pengolahan tanah juga dapat merusak struktur tanah,
sehingga kehilangan C organik tanah baik akibat dekomposisi maupun erosi berpotensi
meningkat.
Karbon organik tanah merupakan salah satu komponen penting penentu kualitas tanah
(Doran dan Parkin, 1994; Larson dan Pierce, 1994; Islam dan Weil, 2000). Oleh karena itu
pemulihan status bahan organik tanah merupakan salah satu opsi penting dalam upaya
rehabilitasi lahan (termasuk LKM) terdegradasi. Pemulihan status bahan organik tanah juga
akan berkonribusi dalam menanggulangi faktor pembatas alami LKM yaitu kemasaman tanah.
Menurut Sutono dan Undang Kurnia (2012) standar kualitas tanah bagi kandungan C-organik
untuk mempertahankan sifat fisika dan kimia tanah, serta produksi jagung dalam kondisi
optimum berada pada kisaran 1,7% - 2,3% atau setara dengan kandungan bahan organik
tanah sebesar 2,9 – 4,0 %.
Pemulihan status bahan organik selama ini umumnya dilakukan dengan menggunakan
kompos, yang seringkali jumlahnya terbatas. Penggunaan bahan organik sulit lapuk yang
9
telah diproses menjadi arang (biochar) belum banyak dilakukan petani. Beberapa hasil
penelitian menunjukkan efek positif biochar dalam meningkatkan pH tanah dan KTK
(Kapasitas tukar kation) (Novak et al., 2009; Nurida et al., 2012; 2013; Zhu et al., 2014).
Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan dampak positif penggunaan biochar terhadap
produktivitas tanaman pada kering masam (Dariah et al. 2012, Nurida et al., 2012, 2013),
diharapkan hasil yang sama akan didapatkan jika biochar digunakan pada lahan kering masam
berbasis tanaman hortikultura misalnya cabai merah.
2.3. Teknik pengelolaan lahan, bahan organik, pupuk dan mikroba pada
usahatani bawang merah di lahan gambut
Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dan usaha-usaha yang berkaitan dengan
pertanian berkembang cukup pesat karena semakin terbatasnya ketersedian lahan tanah
mineral yang dapat dimanfaatkan. Pada sisi lain, budidaya pertanian di lahan gambut juga
berpotensi besar mengemisikan GRK terutama gas CO2, N2O dan CH4. Tanah gambut tropis
mempunyai kandungan mineral yang rendah dengan kandungan bahan organik lebih
dari 90% sehingga berpotensi untuk dikembangkan untuk budidaya tanaman.
Tanah gambut umumnya memiliki pH rendah, kapasitas tukar kation (KTK) tinggi,
kejenuhan basa rendah, kandungan K, Ca, Mg, P rendah, kandungan unsur mikro (Cu, Zn,
Mn, dan B) rendah. Secara umum sifat kimia tanah gambut didominasi oleh asam-asam
organik yang merupakan suatu hasil akumulasi sisa-sisa tanaman (Rachim, 1995; Praseyo,
1996; Salampak, 1999). Asam organik yang dihasilkan selama proses dekomposisi tersebut
merupakan bahan yang bersifat toksik bagi tanaman, sehingga mengganggu proses
metabolisme tanaman yang akan berakibat langsung terhadap produktifitasnya.
Untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah gambut dapat diberikan
amelioran. Bahan amelioran dapat berupa bahan organik atau anorganik. Secara teoritis,
bahan amelioran yang ideal adalah yang mempunyai sifat-sifat kejenuhan basa tinggi, dapat
meningkatkan pH gambut, serta memiliki kandungan unsur hara yang lengkap, sehingga juga
dapat berfungsi sebagai pupuk dan mempunyai kemampuan memperbaiki struktur tanah
gambut. Jenis amelioran yang telah banyak diujicoba di Indonesia khususnya pada lokasi-
lokasi transmigrasi di lahan gambut adalah abu vulkan, kapur, tanah mineral, abu
kayu/serasah hasil pembakaran, abu limbah pertanian dan pupuk kandang (Djoko Sidik
Pramono, 2004). Karakteristik dari bahan amelioran untuk lahan gambut yang umum
digunakan tersebut adalah:
10
a. Abu Vulkan
Abu Vulkan (Pugas) merupakan penyubur tanah gambut dengan bahan dasar abu
vulkan. Bahan ini dapat memperbaiki kesuburan gambut, menaikkan pH, pematangan bahan
organik, penurunan nisbah C/N, penambahan hara phosfor, kalium, kalsium, Mg dan
meningkatkan kejenuhan basa. Rata-rata dosis pemakaian abu vulkan 4 ton/ha. Kendala
pemanfaatan abu vulkan adalah masalah transportasi karena tidak terdapat di sekitar lokasi
dan masih harus diikuti dengan penambahan kapur dan pupuk NPK.
b. Kapur
Kapur dapat menaikkan pH gambut, mengusir asam organik, mensuplai unsur K, Ca
dan atau Mg, dan meningkatkan kejenuhan basa. Menurut Widjaja Adhi (1986) kapur
merupakan syarat pertama dalam memperbaiki kesuburan tanah gambut. Beberapa hasil
penelitian menunjukkan pemakaian kapur antara 3-5 ton/ha telah menunjukkan peningkatan
hasil yang nyata di tanah gambut. Kapur umumnya mudah diperoleh di sekitar lokasi
transmigrasi, jika jumlahnya tidak terlalu banyak. Kelemahan kapur adalah kandungan unsur
hara tidak lengkap, sehingga harus diikuti dengan pemupukan lainnya seperti NPK dan unsur
mikro, tidak dapat membentuk kompleks jerapan dan kurang memperbaiki struktur tanah.
Kapur cenderung menggumpal jika diberikan di tanah gambut yang kelembabannya kurang,
sehingga mempercepat terjadinya kering tak balik.
c. Tanah Mineral
Tanah mineral atau tanah anorganik bisa digunakan sebagai amelioran karena
mempunyai kejenuhan basa lebih tinggi dibanding gambut serta kandungan unsur haranya
lebih komplit. Penambahan bahan ini selain memperbaiki sifat kimia, juga sifat fisik gambut
terutama tekstur tanahnya. Kelemahan tanah mineral adalah kemampuannya menaikkan pH
sangat rendah, sehingga memerlukan tanah mineral sangat banyak. Dosis tanah mineral yang
pernah diberikan antara 1-4 ton/ha.
d. Abu hasil pembakaran
Abu merupakan sisa hasil pembakaran bahan organik seperti kayu, sampah, gulma,
abu gergaji kayu, sisa hasil pertanian seperti sekam dan serasah. Kelebihan abu adalah
mengandung unsur hara yang lengkap baik makro maupun mikro, mempunyai pH tinggi (8,5-
10,0), kandungan kation K, Ca dan Mg tinggi. Namun demikian dibanding kapur, kemampuan
menaikkan pH lebih rendah. Abu banyak mengandung silikat (Si) dalam bentuk tersedia,
11
sehingga berpengaruh positif terhadap produktivitas tanaman terutama pada tanaman padi.
Abu relatif mudah diperoleh jika dalam jumlah sedikit. Bila lokasi transmigrasi dekat dengan
sawmill, dapat memanfaatkan abu gergajian kayu, tetapi harus ada biaya angkutnya. Dosis
pemakaian abu relatif lebih banyak dari bahan amelioran lainnya.
e. Pupuk kandang
Jika dilihat kemampuannya menaikkan pH, pupuk kandang kurang baik sebagai
amelioran, karena kandungan kation basanya dan kemampuan menaikkan pH-nya relatif
rendah. Namun ternyata bahan ini banyak digunakan oleh transmigran di lahan gambut.
Pupuk kandang dapat mempercepat proses pematangan gambut, sehingga dapat
memperbaiki kondisi fisik dan kimia gambut. Disamping penambahan unsur hara, pupuk
kandang yang mengandung mikroorganisme dapat menguraikan gambut menjadi lebih
matang, sehingga beberapa unsur hara lainnya menjadi lebih tersedia bagi tanaman.
Ketersediaan pupuk kandang cenderung tidak menjadi masalah di lokasi transmigrasi gambut.
Pemberian pupuk kandang harus disertai bahan lain seperti kapur/dolomit dan pupuk lainnya.
Dosis yang diberikan berjumlah banyak untuk meningkatkan produksi tanaman, sekitar 20
ton/ha. Untuk memutuskan pemakaian bahan amelioran yang sesuai sebagai penyubur lahan
gambut, perlu dipertimbangkan apakah bahan tersebut mudah diperoleh dekat lokasi,
mengetahui kualitas bahan, dan ketersediaan bahan apabila dimanfaatkan terus-menerus
tanpa merusak lingkungan.
Bawang merah dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran rendah sampai
dataran tinggi ± 1.100 m (ideal 0-800 m) diatas permukaan laut, tetapi produksi terbaik
dihasilkan dari dataran rendah<450 m dpl, yang didukung keadaan iklim meliputi suhu udara
antara 25-320 C dan iklim kering, membutuhkan penyinaran cahaya matahari yang maksimal
(minimal 70% penyinaran), suhu udara 25º-32ºC serta kelembaban nisbi yang rendah (Sutaya
et al, 1995)
Bawang merahmenghendaki tanah yang subur, gembur, dan banyakmengandung
humus dengan radiasi sinar matahari 70%dan suhu udara 25−32ºC (Rukmana 1994; Siswadi
2006).Denganmengadopsi teknologi budi daya yang tepat, bawang merah dapat
dikembangkan di lahan gambut, khususnya yang telah melapuk (saprik), yang mana
produktivitasnya berkisar antara 11–12 t/ha umbi kering (Purbiati, 2012).Di Kalimantan Barat,
varietas bawang merah yang cocok dan berdaya hasil tinggi di lahan gambut ialah Sumenep,
Moujung, dan Bali Karet (Purbiati et al. 2010).
12
2.4. Penelitian Teknologi Pengelolaan Lahan Untuk Meningkatkan Retensi Air Tanah Pada SistemUsahatani Bawang Merah di Dataran Tinggi
Kegiatan impor komoditas hortikultura termasuk bawang merah tidak bisa dihindari,
ksrens keberlangsungan pasokan di dalam negri yang tidak kontinyu.Menurut Direktur Jendral
Hortikultura Kementrian Pertanian (Kementan) Indonesia sering mengimpor bawang merah
dari negara-negara di utara khatulistiwa seperti Vietnam, India dan Thailand yang disebabkan
oleh perbedaan musim panen (Suhendra, 2014).
Saat ini, bawang merah yang diimpor sebanyak 20 % dari total kebutuhan dan pada
bulan Maret 2014 terjadi lonjakan impor hampir 2 kali lipat bulan sebelumnya(Suhendra,
2014). Berdasarkan data (BPS 2014) impor bawang merah volumenya mencapai 22.908 ton
atau senilai 9,8 juta US dolar,pada bulan Februari impor bawang merah adalah 14.315 ton
atau senilai 6.5 juta US dolar,selama 3 bulan dalam tahun 2014 impor bawang merah 43.470
ton atau senilai 19.4 juta US dolar yang berasal dari beberapa negara. Impor bawang merah
terbesar berasal dari negara Thailand sebanyak 9.468 ton atau senilai 4,5 juta US dolar,
kemudian Vietnam 7.566 ton atau 3,5 juta US dolar dan India 5.873 ton atau 1.78 juta US
dolar (Suhendra, 2014).
Lahan kering dataran tinggi merupakan kawasan budidaya hortikultura bernilai ekonomi
tinggi yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi. Kawasan ini juga merupakan
sumberdaya tanah yang mempunyai potensi yang cukup tinggi ditinjau dari segi luasan,
namun tingkat degradasi lahan kering ini cukup tinggi, sehingga apabila akan dipergunakan
sebagai areal pertanian diperlukan teknologi untuk memperbaiki kwalitas lahan tersebut.
Kondisi lahan kering terdegradasi umumnya ditandai dengan struktur tanah yang jelek,
kandungan C-organik sangat rendah, dan kemampuan meretensi air dan hara yang rendah.
Agar lahan kering tersebut dapat berproduksi secara normal perlu upaya rehabilitasi atau
pemulihan lahan.
Pembenah tanah merupakan suatu bahan yang dapat digunakan untuk mempercepat
pemulihan/perbaikan kualitas tanah. Bahan organik selain dapat berfungsi sebagai sumber
hara, fungsinya sebagai pembenah tanah juga telah banyak dibuktikan (Suriadikarta et al.,
2005; Rachman et al., 2006; Dariah dan Nurida, 2011). Aplikasi pembenah tanah berupa
formulasi pupuk kandang dan 20 % zeolit (Beta) dapat meningkatkan stabilitas agregat tanah
dan permeabilitas dan KTK (Dariah et al., 2010).
Pembenah tanah adalah bahan alami atau sintetik mineral atau organik untuk
menanggulangi kerusakan atau degradasi tanah. Kegiatan rehabilitasi lahan salah satunya
diarahkan untuk memperbaiki kualitas tanah (sifat fisik, kimia dan biologi tanah). Pemulihan
13
sifat tanah dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai bahan amelioran (pembenah
tanah/soil conditioner), yang salah satunya adalah biochar atau arang.
Biochar atau arang merupakan pembenah tanah alami berbahan baku hasil pembakaran
tidak sempurna (pirolisis) dari residu atau limbah pertanian yang sulit didekomposisi, seperti
kayu-kayuan, tempurung kelapa sawit, sekam padi, kulit buah kakao dan lain-lain.
Pembakaran tidak sempurna dilakukan dengan menggunakan alat pembakaran atau
pirolisator suhu sekitar 250o – 350o, selama 2 – 3,5 jam, sehinga diperoleh arang yang
mengandung karbon tinggi dan dapat diaplikasikan sebagai pembenah tanah (Balai Penelitian
Tanah, 2012).
Manfaat penggunaan Biochar pada lahan kering antara lain : a) Meningkatkan pH
dan KTK tanah, b) Meningkatkan kemampuan tanah meretensi air dan hara, c) Meningkatkan
kandungan C-total tanah (carbon sink). Dibandingkan dengan bahan pembenah tanah yang
lain, Biochar mempunyai keunggulan antara lain : a) Dapat mengurangi laju emisi CO2, b)
Bentuknya yang stabil (sulit didekomposisi) dalam tanah, mampu bertahan dalam tanah untuk
jangka waktu yang lama (> 400 tahun) dan berfungsi sebagai konservasi karbon, c) Dapat
membentuk habitat yang baik bagi mikro organisme (lingkungan bersifat netral pada tanah
masam) (Balai Penelitian Tanah, 2012).
Penggunaan mulsa sisa tanaman untuk usahatani di lahan kering telah terbukti dapat
mengkonservasi kelembapan tanah melalui pengurangan penguapan dari tanah (evaporasi)
karena fungsi penutupannya pada permukaan tanah (Suwardjo, 1981;Gupta and Rajput,
1999; Scholes et al., 1997; Brata, 1995 a dan b; Noeralam, 2002; Haryati et al., 2006; Haryati,
2010)
Bawang merah (Allium cepa Var. ascalonicum) tergolong komoditas pertanian bernilai
ekonomi tinggi karena potensi keuntungan yang diperoleh sangat besar. Namun demikian,
komoditas ini juga memiliki resiko kerugian yang tinggi karena sangat rentan terhadap kondisi
cuaca ekstrim. Tanaman bawang merah memiliki sistem perakaran serabut yang dangkal,
sehingga pengelolaan air dan hara menjadi faktor penentu keberhasilan usahatani bawang
merah (Subiksa dan Nurjaya, 2012). Kebutuhan hara bawang merah cukup tinggi meliputi
hara makro N, P, K Ca, dan Mg. Selanjutnya Subiksa dan Noerjaya, (2012) juga menyatakan
bahwa hasil analisis tanaman menunjukkan serapan hara bawang merah mencapai 102 kg N,
41 kg P2O5, 112 kg K2O, 29 kg CaO dan 17 kg MgO pada tingkat produksi 40 ton umbi
bawang/ha. Hara yang diserap ini harus diberikan melalui pemupukan.
Wawancara dengan petani bawang merah menunjukkan bahwa petani memberikan
pupuk sangat berlebihan. Untuk luas areal 1 ha, petani di daerah Tegal memberikan antara
14
1350 – 1500 kg NPK. Karena luas efektif lahan yang ditanami hanya 70% (30% untuk parit)
maka perhitungan dosis pupuk yang dipakai petani bisa mencapai 2.150 kg/ha. Jenis pupuk
NPK yang dipakai adalah 50% NPK dalam negeri (Ponska, Kujang) dan 50% lagi
menggunakan NPK Mutiara atau impor yang harganya mencapai Rp.12.000/kg. Dengan
jumlah pupuk yang diberikan tersebut, hasil bawang merah bisa mencapai 12-15 ton/ha
(Subiksa dan Nurjaya, 2012).
15
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Penelitian olah tanah konservasi dan rotasi tanaman pangan di lahan kering yang adaptif perubahan iklim
Penelitian bersifat jangka panjang, dimulai TA 2015 hingga TA 2019 sehingga
dibutuhkan plot penelitian untuk jangka panjang. Penelitian dilakukan pada skala research
(dengan tidak melibatkan petani) di Kebun Percobaan Taman Bogo, Kecamatan Purbolinggo,
Lampung Timur. Pada umumnya penelitian olah tanah hanya bersifat parsial, namun pada
penelitian ini aplikasi olah tanah konservasi dikaitkan dengan rortasi tanaman pangan untuk
melihat kontinuitas suplai bahan organik dan kemampuannya memelihara agregat tanah.
Pada tahun 2017, kegiatan akan dilaksanakan pada pola tanam padi gogo-jagung, setelah
pada tahun 2015 diterapkan pada pola tanam jagung-kedelai.
Selain olah tanah, teknologi pemupukan dan pemberian mulsa permukaan merupakan
paket komplemen yang harus selalu diberikan. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan
rancangan acak kelompok (Randomized block design), dengan empat ulangan. Perlakuan olah
tanah yang diuji adalah:
1. Olah tanah konvensional (olah tanah sempurna) tanpa biomas
2. Olah tanah konvensional+biomas jagung 6 t ha-1 (diinkorporasikan saat pengolahan
tanah)
3. Olah tanah konservasi (olah tanah dalam larikan)+ mulsa biomas jagung 6 t ha-1
4. Tanpa olah tanah+mulsa biomas jagung 6 t ha-1
Ukuran masing-masing petak adalah 5 m x 4,5 m dan tanaman padi gogo (varietas
Situ Patenggang) dan jagung (varietas P27) ditanam dengan menggunakan sistem jajar
legowo 2:1. Saat tanam diberi pupuk sesuai perlakuan yang diuji dengan mempertimbangkan
dosis rekomendasi (PUTK).Seluruh sisa tanaman diaplikasikan sebagai mulsa permukaan
sesuai perlakuan.
Tabel 1. Roadmap output penelitian dan pola tanam tahun 2015-2019
OUTPUT OUTPUT TAHUNAN
2015 2016 2017 2018 2019
Teknologi olah tanah konservasi dan rotasi tanaman pangan yang adaptif terhadap perubahan iklim
Komponen teknologi olah tanah konservasi untuk efisiensi karbon pada pertanaman jagung
Tertunda dilaksanakan, karena keterbatasan anggaran
Teknologi olah tanah konservasi untuk efisiensi karbon pada pertanaman padi gogo-jagungi
Teknologi olah tanah konservasi untuk efisiensi karbon pada pertanaman padi gogo-kedelai
Teknologi olah tanah konservasi untuk efisiensi karbonpada pertanaman kedele
Pola tanam Jagung-kedelai Padi gogo-jagung Padi gogo-kedelai Kedelai-kedelai
16
Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan terdiri dari1)Sifat fisik tanah: teksur tanah, water stable
aggregate (WSA), mean weight diamter (MWD), bulk density (BD) dan ketahanan tanah, 2)
sifat kimia tanah: pH (H2O dan KCl), kandungan C-organik dan N-total untuk setiap ukuran
agregat, dan 3) pertumbuhan dan hasil tanaman. Parameter tekstur hanya diukur sebelum
aplikasi perlakuan, sedangkan parameter WSA, MWD, BD, ketahanan tanah, pH, C-organik
dan N-total diukur sebelum dan sesudah aplikasi perlakuan.
Pengolahan data
Analisis data dilakukan secara statistik terhadap variabel yang diamati, menggunakan
analysis of variance (ANOVA) atau uji keragaman dengan selang kepercayaan 95%. Untuk
melihat pengaruh beda nyata dari peubah akibat perlakuan serta interaksinya dilakukan uji
jarak berganda Duncan (DMRT= Duncan Multiple Range Test), pada taraf nyata 95% ( =
5%). Selain itu akan dilakukan analisis deskriptif sifat tanah untuk mengetahui perubahan
sifat tanah setelah aplikasi perlakuan dibandingkan kondisi tanah awal.
3.2. Perbaikan Kualitas Tanah untuk Meningkatkan Produktivitas Tanaman Cabai Merah pada Lahan Kering Masam Terdegradasi
Pendekatan:
Penelitian dilakukan dalam bentuk pecobaan skala plot, pada lahan kering masam
(pH<5), terletak di KP Taman Bogo, Lampung Timur. Untuk mendapatkan media tumbuh
yang sesuai untuk pengembangan tanaman cabai merah, dilakukan perbaikan kualitas tanah
dengan menggunakan pembenah tanah berbahan baku kompos dan biochar. Pada tahun
kedua akan dipelajari efek residu dari masing-masing pembenah tanah.
Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Benih cabai merah, pupuk
urea, SP-36, KCl, obat-obatan, polybag, mulsa plastik, atap plastik, bahan kimia (untuk analisis
laboratorium). Bahan penunjang penelitian meliputi alat tulis (flash disk, tinta komputer,
kertas HVS, ball point, pointer, penggaris, spidol kecil/besar, dll.), alat bantu pengukuran
parameter yang diukur seperti: bahan dan alat pengidentifikasi plot, papan nama, ember,
penangkar hujan (Ombrometer), gelas ukur, timbangan, kantong plastik, karung dan lainnya.
17
Metode Penelitian:
Percobaan dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak lengkap dengan tujuh
perlakuan dan 3 ulangan, ukuran petak 5 x 4 m (atau tergantung kondisi lapangan),
perlakuannya adalah:
P0=Kontrol (tanpa pembenah tanah dan mulsa)
P1=Residu Biochar dosis 20 t/ha
P2=Residu Biochar dosis 20 t/ha+mulsa
P3=Residu Kompos dosis 20 t/ha
P4=Residu Kompos dosis 20 t/ha+mulsa
P5=Residu Pembenah K-50 dosis 20 t/ha
P6=Residu Pembenah K-50 dosis 20 t/ha+mulsa
Tanaman indikator yang digunakan adalah tanaman cabai merah
Pelaksanaan di Lapang
a. Menyiapkan benih tanaman cabai merah:
Sebelum disemai, benih cabai merah direndam dalam air hangat (50 °C) atau larutan
Previcur N (1 ml/l) selama 1 jam. Biji yang mengambang disingkirkan, sedangkan yang
tenggelam merupakan benih yang memenuhi syarat untuk disemai.
Benih disemai di bedengan berukuran lebar 1 cm dan panjangnya tergantung pada
kebutuhan. Media persemaian terdiri atas campuran tanah halus dan pupuk kandang
(1:1) yang telah disterilkan dengan uap air panas selama 6 jam. Bedengan persemaian
diberi naungan atau atap plastik transparan untuk melindungi bibit yang masih muda
dari terpaan air hujan dan terik matahari. Atap harus menghadap ke arah Timur agar
bibit mendapat sinar matahari yang cukup di pagi hari.
Benih cabai merah disebar merata pada bedengan dan ditutup tipis dengan tanah halus,
kemudian ditutupi lagi dengan daun pisang. Setelah benih berkecambah ± 7-8 hari sejak
semai, tutup daun pisang dibuka. Selanjutnya setelah membentuk 2 helai daun ± 12-
14 hari sejak semai, bibit dipindahkan ke dalam bumbungan daun pisang atau polybag
yang berisi media yang sama, yaitu campuran tanah halus dan pupuk kandang steril
(1:1), jika tersedia diberi inokulasi mikoriza (Glomus sp.) sebanyak 10 g per bibit.
Penyiraman dilakukan secukupnya setiap pagi hari.
Sebelum bibit dipindahkan ke lapangan, sebaiknya dilakukan penguatan bibit
(“hardening”) dengan jalan membuka atap persemaian supaya bibit menerima langsung
18
sinar matahari dan mengurangi penyiraman secara bertahap. Selama penguatan, proses
pertumbuhan bibit menjadi lebih lambat tetapi jaringan menjadi lebih kuat. Penguatan
bibit berlangsung ± 7 hari. Bibit yang sehat dan siap dipindahkan ke lapangan adalah
bibit yang telah berumur 3-4 minggu sejak dibumbung. Pada umur tersebut bibit sudah
membentuk 4-5 helai daun dengan tinggi bibit antara 5-10 cm
b. Penyiapan lahan:
Lahan dicangkul sedalam 20-30 cm sampai gembur. Dibuat bedengan-bedengan dengan
lebar 1-1,2 m, panjang 5 m, tinggi sekitar 30 cm, dan jarak antar bedengan 25-30 cm. -
Dibuat garitan-garitan dan lubang-lubang tanam dengan jarak 40 x 75 cm atau sesuai
varietas yang digunakan. Pada tiap bedengan terdapat 2 baris tanaman. Setiap petak
perlakuan terdapat 3 bedengan,jarak antar petak perlakuan sekitar 50 cm..
c. Tanaman cabai ditanam pada jarak tanam 40 cm x 75 cm atau sesuai dengan rekomendasi
varietas yang digunakan.
d. Pupuk dasar diberikan sesuai taraf rekomendasi pupuk untuk tanaman cabai merah.
Alternatifnya adalah : pupuk N 117 kg/ha N (260 kg/ha urea), P2O5 adalah 40 kg/ha (112
kg SP-36), dan K2O 131 kg/ ha (218 kg/ha KCl). Namun demikian kebutuhan pupuk
tersebut bervariasi tergantung pada jenis lahan, varietas, dan waktu tanam (Sumarni dan
Muharam, 2005).
e. Melakukan penyulaman: paling lambat pada umur 7 hari setelah tanam (HST).
f. Melakukan penyemprotan hama dan penyakit sesuai jenis serangan.
g. Penyiangan dilakukan sesuai kebutuhan.
h. Pengambilan contoh tanah komposit dan contoh tanah tidak terganggu dilakukan sebelum
diberi perlakuan. Pengambilan sample tanah setelah perlakuan dilakukan satu minggu
sebelum masa panen. Contoh tanah diambil pada kedalaman tanah 0-20 cm. Pengambilan
contoh tanah utuh (tanah tidak terganggu) menggunakan ring sample berukuran diameter
7,5 cm dan tinggi 4 cm. Contoh tanah komposit dengan menggunakan bor berukuran 1
inci dan diambil dari enam titik pengambilan sampai kedalaman 20 cm kemudian dicampur,
bagian tanaman dibuang kemudian diambil ± 0,5 kg.
Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan terdiri dari (1) Sifat fisik tanah yang dianalisa mencakup
BD (bulk density), kadar air pada pF 1; 2; 2,54 dan 4,2, (2) sifat kimia tanah mencakup pH
(H2O dan KCl), kation dapat ditukar, dan kapasitas tukar kation (KTK), C-organik, N, P dan K,
dan Al-dd dan kejenuhan Al, (3) pertumbuhan dan hasil tanaman.
19
Pengolahan data
Analisis data dilakukan secara statistik terhadap sifat fisik tanah, sifat kimia tanah,
pertumbuhan dan hasil tanaman, menggunakan analysis of variance (ANOVA) atau uji
keragaman dengan selang kepercayaan 95%. Untuk melihat pengaruh beda nyata dari
peubah akibat perlakuan serta interaksinya dilakukan uji LSD, pada taraf nyata 5%.
3.3. Teknik pengelolaan lahan, bahan organik, pupuk dan mikroba pada
usahatani bawang merah di lahan gambut
Penelitian akan dilaksanakan pada lahan gambut di Desa Kalampangan, Kecamatan
Sebangau, Kodya Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah.
Kegiatan penelitian pada tahun 2017 merupakan penelitian lapang di lahan gambut,
yang akan melanjutkan dan sekaligus memodifikasi perlakuan terpilih (2 atau 3 perlakuan
terbaik) dari hasil penelitian tahun 2016. Berdasarkan hasil kegiatan tahun 2016 tersebut,
terlihat bahwa masalah utama budidaya bawang merah pada lahan gambut adalah penyakit
akibat serangan jamur (Fusarium oxysporum, Alternariaporii, dan Colletroticum gloespoodes).
Jamur tersebut diperkirakan telah eksis ada di lahan gambut (inherent), karena kondisi
gambut yang mengandung banyak bahan organik, lembab dan masam ideal sebagai habitat
tumbuh dan berkembangnya jamur. Untuk itu, pada kegiatan tahun 2017 perlu dilakukan
tindakan preventif agar jamur yang berpotensi menyerang tanaman cabe tersebut dapat
dikendalikan. Perlakuan pengendalian yang dimaksudkan adalah dengan introduksi
Tricoderma sp yang secara teoritis mampu mengendalikan jamur-jamur sumber utama
penyakit bawang merah di lahan gambut. Pada sisi lain, dari kegiatan tahun 2016 juga terlihat
bahwa aplikasi mulsa pada permukaan tanah nyata dapat menekan serangan penyakit dari
jenis jamur-jamur tersebut.
Perlakuan yang akan diuji pada kegiatan tahun 2017 adalah:
T1 = Aplikasi Pugam dosis 1 ton/ha
T2 = Aplikasi Pugam dosis 1 ton/ha + mulsa dipermukan tanah
T3 = Aplikasi pupuk hayati
T4 = Aplikasi pupuk hayati + mulsa dipermukaan tanah
T5 = Aplikasi pupuk hayati + Pugam 1 ton/ha
T6 = Aplikasi pupuk hayati + Pugam 1 ton/ha + mulsa dipermukaan tanah
T7 = Kontrol (NPK rekomendasi)
20
Pada semua perlakuan, untuk masing-masing plot diaplikasikan: a) tanah mineral
dengan dosis 10 ton/ha, b) kapur (dolomit) dengan dosis 4 ton/ha, c) aplikasi pupuk kandang
dosis 5 ton/ha, d) aplikasi Tricoderma sp. Pada perlakuan T1 sampai T6 aplikasi pupuk NPK
berdasarkan “manajemen atau pola petani”.
Keterangan: Manajemen pola petani adalah: Pemupukan dengan pupuk majemuk NPK (16:
16:16) diaplikasikan secara bertahap. Pemupukan dimulai pada minggu
pertama (7 hari setelah tanam), dengan cara melarutkan terlebih dahulu pupuk
majemuk NPK dalam air dengan dosis: a). 5 kg NPK dilarutkan dalam 20 liter
air untuk pemupukan minggu ke I dan II; b). 6 kg NPK dilarutkan dalam 20 liter
air untuk pemupukan minggu ke III dan IV; c). 7 kg NPK dilarutkan dalam 20
liter air untuk pemupukan minggu ke V; dan d). 8 kg NPK dilarutkan dalam 20
liter air untuk pemupukan minggu ke VI. Untuk setiap kali pemupukan 0,5 liter
dari larutan pupuk NPK diencerkan lagi dengan 5 liter air untuk diaplikasikan
pada plot seluas 10 m2 dengan system gelontor.
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok, masing-masing perlakuan diulang
sebanyak 4 kali, dan ukuran plot untuk masing-masing perlakuan adalah 1,5 m x 10m. Jarak
tanam bawang merah adalah 20 cm antar basisan x 15 cm dalam barisan
Pengamatan:
Pertumbuhan tanaman (tinggi dan jumlah umbi)
Jenis penyakit yang menyerang tanaman bawang merah,
Produksi tanaman (berat umbi).
Pengamatan sifat fisika (BD, kadar C, dan kadar abu gambut) dan kimia tanah (N,P,K, dan
kation-kation dapat ditukar yaitu: K, Ca, Mg, KB, KTK), sebelum tanam (kondisi tanah
gambut sebelum diolah) dan setelah panen bawang merah.
Nilai ekonomi atau rasio nilai ekonomi hasil (out put) dibandingkan biaya produksi (in put),
yaitu nilai perbandingan hasil yang diperoleh (produksi) di bagi dengan total tiaya yang
dikeluarkan selama proses usaha tani (B/C rasio).
Pengolahan data
Data-data hasil pengamatan dan pengukuran baik di lapang maupun di laboratorium
akan dianalisa statistik, menggunakan program SAS, sesuai dengan rancangan percobaan
yang diaplikasikan.
21
3.4. Penelitian Teknologi Konservasi Tanah untuk Peningkatan Produktivitas Tanah dan Tanaman Sayuran di Dataran Tinggi.
Pendekatan
Kegiatan penelitian diawali dengan pencarian lokasi untuk mencari tempat yang cocok
dan sesuai dengan agroekosistem yang dikehendaki untuk penelitian. Selanjutnya
dilaksanakan observasi lapang untuk mengetahui kondisi umum dan kondisi awal lokasi
penelitian serta teknologi budidaya existing di tingkat petani. Untuk mengetahui sifat fisik
dan kimia tanah awal dilakukan pengambilan ring sampel untuk analisis sifat fisik tanah dan
sampel tanah komposit untuk analisis sifat kimia tanah.
Kegiatan ini merupakan kegiatan penelitian lapang untuk menguji beberapa teknologi
pengelolaan kelembapan tanah pada usahatani bawang merah di dataran tinggi. Selain itu
akan dibandingkan teknologi yang biasa dilakukan oleh petani terhadap teknologi introduksi
hasil penelitian.
Bahan Penelitian
Untuk melaksanakan semua kegiatan dalam penelitian ini diperlukan bahan-bahan
berupa bahan penelitian pokok maupun bahan penunjang penelitian. Bahan pokok penelitian
meliputi bahan kimia untuk analisis sifat kimia, dan fisika tanah, sarana produksi seperti
benih/bibit, pupuk anorganik, organik, dan agen pengompos. Bahan penunjang penelitian
meliputi alat tulis (flash disk, tinta komputer, kertas HVS, ball point, pointer, penggaris, spidol
kecil/besar, dll.), alat bantu pengukuran parameter yang diukur seperti: bahan dan alat
pengidentifikasi plot, papan nama, ember, penangkar hujan (Ombrometer), gelas ukur,
timbangan, kantong plastik, karung dan lainnya.
Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada TA 2017 di sentra produksi bawang merah di lahan
kering dataran tinggi di Provinsi Jawa Barat . Penelitian menggunakan rancangan percobaan
petak terpisah (Split Plot Design) dengan 3 ulangan. Adapun perlakuannya adalah :
Main plot : Jenis mulsa (M)
1) Tanpa mulsa (M-0)
2) Mulsa plastik (M-1)
3) Mulsa jerami (M-2)
22
Sub-plot : Teknologi pembenah tanah (B)
1) Teknologi petani (B-1)
2) Teknologi petani , NPK rekomendasi (B-2)
3) Teknologi petani + 5 t/ha Dolomit (B-3)
4) Teknologi petani + 5,0 t/ha Biochar (B-4)
5) Teknologi petani + 5 t/ha Dolomit + 5,0 t/ha Biochar (B-5)
Teknologi petani adalah teknologi budidaya bawang merah yang biasa diterapkan oleh
petani setempat dimana penelitian ini akan dilaksanakan. Teknologi tersebut akan diketahui
setelah diadakan wawancara semitruktural dengan petani setempat sebelum penelitian ini
dilaksanakan. Pada tahun 2016, hasil wawancara semistruktural di Desa Bayongbong,
Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut menunjukkan bahwa petani memberikan pupuk
NPK-phonska, SP-36 dan ZA masing-masing sebanyak 250 kg/ha. Pupuk tersebut diberikan
2 kali selama pertanaman, yaitu pada saat 7 – 12 hari (masa inkubasi) sebelum tanam dan
pada 30 hari setelah tanam (HST). Obat-obatan diberikan sesuai dengan kebutuhan. Selain
itu petani memberikan pupuk kandang sebanyak 7 – 10 t/ha.
Teknologi rekomendasi adalah pemberian pupuk N, P dan K yang sesuai dengan
kebutuhan tanaman dan status hara tanah setempat. Sumber pupuk N yang digunakan adalah
yang berasal dari Urea dan ZA, Pupuk P dari TSP/SP-36 dan K dari KCl dengan dosis 500, 300
dan 200 masing-masing untuk Urea, TSP dan KCl (Rahayu dan Nur Berlian, 2004). Dengan
demikian hara yang diperlukan adalah 230 kg N/ha, 138 kg P2O5/ha dan 120 kg K2O/ha.
Pemberian pupuk Nitrogen diberikan 2 kali, yaitu ½ bagian bersamaan dengan pemberian
P2O5 dan K2O pada saat 2 minggu setelah tanam (MST) dan ½ bagian lagi pada saat 4 MST.
Sumber pupuk N dapat berasal dari Urea, NPK-majemuk dan ZA, sedangkan P2O5 dapat
berasal dari NPK-majemuk dan SP-36 serta K2O dari NPK-majemuk dan KCl.
Pupuk kandang 10 t/ha diberikan sebagai pupuk dasar. Dengan demikian pupuk
tersebut diberikan sama pada setiap perlakuan.
Plot percobaan berukuran 2 m x 10 m yang terdiri dari 2 bedeng @ 1 m X 10 m. Varietas
bawang merah yang digunakan dipilih varietas bawang merah yang sesuai dengan kondisi
agroekosistem setempat. Bawang merah ditanam dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm.
Variabel yang diamati dalam kegiatan penelitian ini adalah :
Pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman)
Hasil tanaman (berat segar umbi)
23
Sifat fisik tanah (Kadar air, BD, PD, distribusi ruang pori, agregat, permeabilitas)
Sifat kimia tanah (pH, C-organik, N-total, Kation-dd, KTK,KB, Al-dd, H-dd)
Nilai ekonomi (analisis usahatani) dari masing-masing perlakuan
24
IV. ANALISIS RESIKO
4.1. Daftar Risiko No. RISIKO PENYEBAB DAMPAK
1.
2.
3.
4
Sulit mendapatkan Lokasi yang
memenuhi syarat
Proses pengadaan bahan terhambat
Kendala musim
Faktor Biofisik
Kompromi dan negosiasi dengan petani tidak
tercapai
Kuantitas dan kualitas bahan bahan penelitian
yang dibutuhkan cukup
tinggi Musim hujan yang tidak
menentu
Kondisi lahan tidak seragam
Lokasi yang dipilih tidak ideal
Terlambatnya pelaksanaan penelitian di lapang
Terlambatnya jadwal tanam
Diperlukan tenaga dan dana
ektra untuk penanganan
kekurangan air dan penanggulangan hama
Gagal panen Data
hasil/produksi tanaman tidak
diperoleh
Pengaruh ketidakseragaman lahan lebih dominan (misalnya
akibat perlakuan sebelumnya)
dibanding perlakuan 5.
6
Serangan hama
Penyakit
Pemotongan anggaran
Bibit tanaman tanpa seed treatment, penyemprotan dengan dosis rendah
sedangkan sekitarnya
dosis tinggi.
Beberapa tahun terakhir terjadi pemotongan
anggaran untuk seluruh
kementrian
Produksi lebih rendah
dibandingkan dengan rata-rata petani
Beberapa kegiatan pengamatan harus dikurangimengurangi
output
25
4.2. Daftar Penanganan Risiko No. RISIKO PENYEBAB PENANGANAN RISIKO
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Sulit mendapatkan Lokasi yang memenuhi syarat
Proses pengadaan bahan
terhambat
Kendala musim
Faktor Biofisik
Serangan hama
Penyakit
Pemotongan anggaran
Kompromi dan negosiasi dengan petani tidak
tercapai
Kuantitas dan kualitas
bahan bahan penelitian
yang dibutuhkan cukup tinggi
Musim hujan yang tidak menentu
Ketidakseragaman lahan
Bibit tanaman tanpa
seed treatment,penyemprotan
dengan dosis rendah
sedangkan sekitarnya dosis tinggi.
Beberapa tahun terakhir terjadi pemotongan
anggaran untuk seluruh kementrian
Melibatkan Staf daerah untuk bernegosiasi dan mencari
berbagai lokasi alternatif
Menjalin kerjasama dengan
peneliti (inventor) tentang
produk yang akan dipakai Mempercepat proses
pengadaan bahan dan mencari proses alternatif lain
Mengusahakan agar jadwal
tanam tepat waktu, memilih tanaman varietas
genjah, pengamatan hingga fase vegetatif
Mempercepat pelaksanaan
penelitian, penyiapan
jaringan irigasi suplemen (kerjasama dengan
Balitklimat dan hidrologi)
Penyemprotan insektisida
secara berkala
Perbaikan metode pengolahan tanah dan ploting untuk untuk
meminimalisir faktor ketidak seragaman lahan penelitian.
Penerapan metode pengendalian hama terpadu
Menggunakan obat-obatan yang berisfat ramah
lingkungan (biopestisida), prioritas yang telah
dikembangkan Balitbang
Pertanian
Bekerjasama dengan BPTP untuk melakukan pihak yang
bertugas di lokasi penelitian
(BPTP, penyuluh) pengamatan.
26
V. TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANAAN
5.1. Tenaga yang terlibat dalam penelitian
Nama lengkap. Gelar dan NIP
Jabatan Kedudukan dalam RPTP Alokasi waktu (OB)
Fungsional Struktural
Dr Maswar NIP. 196205271993031001
Penelitia Madya Ka. Kelti Png RPTP dan kegiatan 3 6
Dr. Neneng L. Nurida NIP. 196312291990032001
Penelitia Madya Png kegiatan 1 6
Dr. Ai Dariah NIP.196202101987032001
Penelitia Madya Png kegiatan 2 6
Dr. Umi Haryati NIP.196010171989032001
Penelitia Madya Png kegiatan 4 6
Sutono, Sp, MS NIP. 195408291981011001
Peneliti Madya Anggota 3
Yoyo Sulaeman, MS NIP.195402011982021001
Peneliti Madya Anggota 3
Ir. Nurjaya, MS NIP.196008261993031 001
Peneliti Madya Anggota 3
Ir. Jati Purwani, MS NIP.196203041992032 001
Peneliti Madya Anggota 3
Endang Windiyanti, SSi NIP.196209251998032001
Peneliti Madya Anggota 3
Denny Hikmatullah Peneliti Madya Anggota 3
Dr. Anang Firmansyah (Peneliti BPTP Kalteng)
Peneliti Madya Anggota 3
Ir. Enjang Suyitno, MS (Peneliti BPTP, Jabar)
Peneliti Madya Anggota 3
Ratri Ariani SP
NIP.198901072014032001
Calon Peneliti Anggota 3
Kartiwa NIP.196301141992031002
Litkayasa Anggota 3
Teknisi BPTP Kalteng/ pm Litkayasa Anggota 3
Teknisi BPTP Jabar/pm Litkayasa Anggota 3
Teknisi BPTP Jabar/pm Litkayasa Anggota 3
PUMK Administrasi Anggota 3
27
5.2. Jangka waktu kegiatan
Kegiatan Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1. Pembuatan proposal dan rencana kegiatan
xx
2. Kegiatan desk work xx xx
3. Pemilihan lokasi xx xx
4. Persiapan (bahan penelitian formulasi pupuk dan pembenah tanah
xx xx xx
5. Pelaksanaan penelitian lapangan xx xx xx xx xx xx xx xx
6. Pengamatan xx xx xx xx xx xx xx xx xx
7. Analisis data dan pelaporan xx xx xx xx xx
5.3. Pembiayaan
MAK Tolok ukur Triwullan (X 1000)
Total I II III IV
521211 Belanja Bahan 8.000
- Fotocopi, penggandaan, penjilidan 2000 2000 2000 2000 8.000
521213 Honor output kegiatan 93.000
Upah kerja lapang 20400 27200 13600 6800 68.000
Upah analisis 2500 2500 10000 10000 25.000
521219 Belanja Bahan non Operasional lainnya 24.000
Detasering 4000 12000 8000 0 24.000
521811 Belanja Barang untuk Persedian Barang Konsumsi 110.000
- ATK dan kompoter supplier 1250 3750 3750 3750 12.500
- Bahan penunjang lapang 34000 34000 17000 0 85.000
- Bahan kimia 1250 1250 5000 5000 12.500
524111 Biaya perjalanan biasa 257.500
79500 79500 53000 53000 257.500
Total 492.500
28
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, A. 2003. Degradasi tanah pertanian Indonesia tanggungjawab siapa ? Tabloid Sinar Tani, 11 Juni 2003.
Agus, F. 2012. Konservasi Tanah dan Karbon untuk Mitigasi Perubahan Iklim Mendukung Keberlanjutan Pembangunan Pertanian. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Hidrologi dan Konservasi Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementrian Pertanian. Bogor, 26 September 2012.
Amiruddin Syam. 2003. Sistem Pengelolaan Lahan Kering Di Daerah Aliran Sungai Bagian Hulu, Jurnal Litbang Pertanian, 22(4).
Angers, D. A., R. P. Voroney, and D Cote. 1995. Dynamics of soil organic matter and corn residue affected by tillage practices. Soil. Sci. Soc. Am. J. 59: 1311-1315.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2011. Pedoman Umum PTT Kedelai. Kementerian Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Balai Penelitian Tanah. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Balai Penelitian Tanah. 2009. Analisis kimia tanah , tanaman, air dan pupuk. Petunjuk Teknis edisi 2. Balai Penelitian Tanah, Bogor.
Balai Penelitian Tanah. 2011. Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Lahan Suboptimal untuk Meningkatkan Produktivitas Kedelai >20% Mendukung Swasembada Kedelai. Laporan Akhir Penelitian, Balai Penelitian Tanah, Bogor.
Balai Penelitian Tanah. 2012. Pembenah Tanah Biochar/Arang. Leaflet. Badan Litbang Pertanian. Kementrian Pertanian.
Balesdent, J., C. Chenue, dan M. Balabane. 2000. Relationship of soil organic matter dunamics to physical protection and tillage. Soil and Tillage Research 53:215-230.
Basri, I. H. dan Z. Zaini. 1992. Research at the upland farming system key site in Sitiung. P. 221-241. In Proceeding of Upland Rice-Based Farming Systems Research Planning Meeting, 18 April-1 May 1992. Chiangmay, Thailand. International Rice Research Institute. Manila. Philipines.
Brata, K. R. 1995 a. Efektivitas mulsa vertikal sebagai tindakan konservasi tanah dan air pada pertanian lahan kering di Latosol Darmaga. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 5 (1) : 13-19. Institut Pertanian Bogor.
Brata, K. R. 1995 b. Peningkatan efektivitas mulsa vertikal sebagai tindakan konservasi tanah dan air pada pertanian lahan kering dengan pemanfaatan bantuan cacing tanah. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 5 (2) : 69 – 75. Institut Pertanian Bogor.
Carsercao,P. C., J. Dieckow, and C. Bayer. 2013. Combined role of no tillage and cropping systems in soil carbon stock and stabilization. Soil & Tillage Research. p 40-47.
Dai, J. 1993. Identifikasi dan Karakterisasi Lapisan Sedimen di Tambang Batubara Bukit Asam. Laporan Akhir Reklamasi, Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Serta Pelatihan. Kerja Sama PTBA dengan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor. (Tidak dipublikasikan).
29
Dariah, A., Sutono dan N. L. Nurida. 2010. Penggunaan Pembenah Tanah Organik dan Mineral untuk Perbaikan Kualitas Tanah Typic Kanhapludults Tamanbogo Lampung. Jurnal Tanah dan Iklim No 31, Juli 2010. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Kementrian Pertanian.
Dariah, A., dan N. L. Nurida. 2011. Formula Pembenah Tanah Diperkaya Humat untuk Meningkatkan Produktivitas Tanah Ultisol Taman Bogo Lampung. Jurnal Tanah dan Iklim No 33, Juli 2011. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Kementrian Pertanian.
Dariah, A. 2013. Sistem Pertanian Efisien Karbon (CEF). Hlm. Hlm 187-206 dalam Politik Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim. Kementrian Pertanian. IAARD-PRESS.
Direktorat Jenderal Hortikultura. 2007. Profil Manggis Kabupaten 50 Kota. Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian.
Dixon, R.K., J.K. Winjun, K.J. Andrasko, J.J. Lee, and P.E. Schreeder. 1994. Integrated landuse system: Assesment of promising agroforest and alternative landuse practises to enhance carbon conservation and sequestration. Climatic Change 27: 71-92.
Doran, J.W., and T.B. Parkin. 1994. Defining and assessing soil quality. In J.W Doran, D.C. Coleman, D.F. Bezdicek., and B.A. Stewart (Ed.) Defining Soil Quality for Sustaibable Environment. SSSA. Madison, Wisconsin, USA. Special Publication. 35:3-21.
Erfandi, D., 2009. Laporan akhir Identifikasi dan Delineasi Tingkat Salinitas dan Reaksi Tanah Akibat Intrusi Air Laut pada Areal Persawahan di Pantura, Jawa Barat. SINTA TA 2009. Badan Litbang Pertanian.
Gupta, R. K. and R. P. Rajput. 1999. Crop- Water Relationship Studies in Dryland Agriculture. In Singh et al., (eds). Fifty Years of Dryland Agricultural Research in India. Central Research Institut for Dryland Agriculture. Santoshnagar, Hyderabad – 500 059.
Gomez, K.A., and A.A. Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agriculture Research. An International Rice Research Institute Book.John Wiley and Sons.
Haryati, U., K. Subagyono, S. H. Tala’ohu, Sutono, dan A. Adimihardja. 2006. Aplikasi mulsa dan teknik irigasi untuk tanaman cabai lahan kering pada Typic Kanhapludults Tamanbogo, Lampung. Hlm 31-46 Dalam Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor, 14 – 15 September 2006. Buku III. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Haryati, U. 2010. Peningkatan Efisiensi Penggunaan Air untuk Pertanian Lahan Kering Berkelanjutan melalui Berbagai Teknik Irigasi pada Typic Kanhapludult Lampung. Desertasi. Program Studi Ilmu Tanah, Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor.
Herlina, 2004. Melongok Aktivitas Pertambangan Batu Bara Di Tabalong, Reklamasi 100 Persen Mustahil. Banjarmasin Post, Banjarmasin.
Hermawan, B. 2011.Peningkatan kualitas lahan bekas tambang melalui revegetasi dan kesesuaiannya sebagai lahan pertanian tanaman pangan. Prosiding Seminar Nasional Budidaya Pertanian Urgensi dan Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Bengkulu.
Hidayat. H. 2003. Karakteristik dan genesis tanah Oxisols dari bahan induk ultra baik di Pelaihari, Kalimantan Selatan. Pros. Seminar Nasional Sumberdaya Lahan. Cisarua – Bogor, 6 – 7 Agustus 2002: 357 – 380. Pusat Penelitian dan PPengembangan Tanah dan Agroklimat.
30
Hou, R., Z.O.Y. Li, D.D. Tyler, F. Li, G.F. Wilson. Effect of Tillage and Residue management on Soil Organic Carbon and Total Nitrogen in the North China Plain. Soil&Water Management&Conservation. SSSAJ. 76(1).
IPCC. 2006. Agriculture, forestry and other landuse. In S. Eggleston, L. Buendia, K. Miwa, T. Ngara dan Tanabe (Eds.). Gudelines for National Greenhouse Gas Inventories (Vol.4). IGES. Japan.
Islam, K.R. and R.R. Weil. 2000. Soil quality indicator properties in Mid-Atlantic Soils as influenced by conservation management. J. Soil and water Cons., 55 (1):69-78.
Kasno, A. A.B. Siswanto dan Suwandi. 2005. Pemupukan kalium pada tanah Andisol untuk tanaaman jagung di Posuburan, Sumatera Utara. Seminar Nasional Sumberdaya Lahan. Cisarua-Bogor, 6 – 7 Agustus 2002: 359-368. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Larson, W.E. and F.J. Pierce. 1994. The dynamic of soil quality as a measure of sustainable management. Defining Soil Quality for a Sustainable Environment. SSSA Special Publication. 35: 38-51.
Martin, T., S.C. Saab, D.M.B.P. Milori, A.M. Brinatti, J.A. Rosa, F.A.M.Cassaro, L.F. Pires. 2011. Soil organic matter humification under different tillage managements evaluated by Laser Induced Flourescence (LIF) and C/N ratio. Soil &Tillage Research 111: 231-235.
Mettay, A., J.A.A. Mareira, M. Bernoux, T. Boyer, J.M. Douzet, B. Feigl, C. Feller, F. Maraux, R. Oliver, dan E. Scopel. 2006. Storage and form of organic carbon in no-tillage under cover cropsystem on clayey Oxisol in dryland rice production (Cerrados, Brazil). Soil Tillage Res. Doi:10.1016/j.still. 2006.07.009. Elsevier. ScienceDirect.
Milori, D.M.B.P., Galeti, H.V.A., Martin-Neto, L, Dieckow, J., Gonzalez Peres, M., Bayer, C., Salton, J., 2006. Organic matter study of whole soil samples using laser indused fluorescence spectroscopy. Soil. Sc. Soc. Am. J. 70, 57-63.
Mulyani, A. dan M. Sarwani. 2013. Karakteristik dan potensi lahan suboptimal untuk pengembangan pertanian di Indonesia. Jurnal Sumberdaya Lahan. 7 (1): 47-54.
Noeralam, A. 2002. Teknik Pemanenan Air yang Efektif dalam Pengelolaan Lengas Tanah Pada Usahatani Lahan Kering. Desertasi Doktor. Program Pasca Sarjana. Institut pertanian Bogor.ogyakarta.
Nurida, N.L. A. Dariah dan A, Rachman. 2008. Kualitas limbah pertanian sebagai bahan baku pembenah berupa biochar untuk rehabilitasi lahan. Prosiding Seminar Nasional dan dialog Sumberdaya Lahan Pertanian. Tahun 2008. Hal 209-215.
Nurida, N.L., Sutono, A. Dariah dan A. Rachman. 2010. Efikasi Formula pembenah tanah dalam berbagai bentuk (serbuk, granul, dan pelet) dalam meningkatkan kualitas lahan kering masam terdegradasi. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.
Nurjaya, A. Kasno, dan D. setyorini. 2008. Pembandingan pemberian P-alam China dengan sumber P lain terhadap sifat kimia tanah Ultisol dan hasil jagung. Pros. Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian. Bogor, 7 – 8 November 2007: 113 – 124. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Nursyamsi, D. dan M.T. Sutriadi. 2003. Pemilihan metode ekstraksi fosfor pada Inceptisols, Ultisols, dan Vertisols untuk kedelai (Glycine Max L.). Seminar Nasional Sumberdaya Lahan. Cisarua-Bogor, 6 – 7 Agustus 2002: 265-281. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
31
Ogawa M. 1994. Symbiosis of people and nature in the tropics. III. Tropical agriculture using
PeraturanMenteriPertanian. 2007. PeraturanMenteriPertanian No. 40/Permentan/OT.140/4/2007.TentangRekomendasiPemupukan N, P dan K padaPadiSawahSpesifikLokasi. BadanPenelitiandanPengembanganPertanian, DepartemenPertanian.
Pusat Penelitian Tanah. 2000. Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
PusatPenelitiandanPengembanganTanamanPangan. 2010. VarietasUnggulKedelai, Kacang Tanah, KacangHijau, UbiKayudanUbiJalar.
Rachman, A., A. Dariah, dan E. Husen. Olah tanah konservasi. Dalam U. Kurnia, A. rachman, dan A. Dariah (Eds.). Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering. Hlm 189-210. Pusat Penelitian dan Pengambangan Tanah dan Agroklimat. Badal Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Rachman, A., A. Dariah, dan D. Santoso. 2006. Pupuk Hijau. Hlm 41-58 Dalam Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Rahmawaty, 2002. Restorasi Lahan Bekas Tambang berdasarkan Kaidah Ekologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Reijntjes, C.B. Haverkort, dan A. Water-Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah. ILEIA. Edisi Indonesia. Kanisius, Yogyakarta
Rochayati, S. dan A. Dariah. 2012. Pengembangan lahan kering masam. Hlm 187-206 dalam Prosfek Pertanian Lahan Kering dalam Mendukung Ketahanan Pangan. Badan Penenlitian dan Pengambangan Pertanian. Kementrian Pertanian. IAARD-PRESS.
Sadwiyanti, L, Ni Luh Putu Indriyani, Agus Susiloadi dan Titin Purnama. 2002. Pengaruh Jumlah Nodus dan Benzilaminopurine terhadap Pertumbuhan Bibit Manggis. Jurnal Hortikultura Vol. 12 No. 1, 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Santoso, D. dan A. Sofyan. 2005. Pengelolaan hara tanaman pada lahan kering. Hlm. 73-100 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkung. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Scholes, M. C., D. Powlson and G. Tian. 1997. Input control and organic matter dynamic. Geoderma. 79: 25 – 47.
Schuman, G.E., H.H. Janzen, dan J.E. Herrick. 2002. Soil carbon dynamic and potential carbon sequestration by rangeland. Envirinmental Pollution 116:391-396.
Setyorini, D., S. Rochayatidan L.R. Widowati. 2003. Seri 2 MonografSumberdaya Tanah Indonesia: Uji Tanah sebagaidasarRekomendasiPemupukan. BalaiPenelitian Tanah.
Shrestha, D.P. 1995. Land degradation assesment in a GIS and evaluation of remote sensing data integration. International Institute For Aerospace Survey and Earth Science (ITC). Enschede, The Netherlands.. Wolf (Eds.) Soils an Introduction Pearson Prentice Hall.
Sitorus, S.R.P. 2009. Kualitas degradasi dan rehabilitasi lahan. Edisi ketiga. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Hlm. 42.
32
Smith DM, Cusack S, Colman AW, Folland CK, Harris GR, Murphy JM (2007) Improved surface temperature prediction for the coming decade from a global climate model. Science 317:796–799. doi:10.1126/science.1139540
Soekardi. M., A. Mulyani dan A. Surya. 1995. Karakterisasi Tanah dan Penataan Ruang Kawasan Penambangan batubara Di PTBA Tanjung Enim. Laporan Akhir Pengujian dan Pengembangan Reklamasi, Sumberdaya Lahan serta Pelatihan Tahun II. Kerja Sama PTBA dengan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor. (Tidak dipublikasikan).
Sparks, D.L., and W.C. Leibhardt, 1981. Effect long-term lime and potassium application on quantity-intensity (Q/I) relationships in sandy soil. Soil Sci Soc. Am. J. : 45 : 786-790
Steiner, C., B. Glaser, W.G. Teixeira, J. Lehmann, W.E.H. Blum, and W. Zech. 2008. Nitrogen retention and plant uptake on a highly weathered central Amazonian Ferralsol amended with compost and charcoal. J. Plant. Nut. Soil. Sci. 171, 893-899.
Subiksa, I, G, M dan Nurjaya. 2012. Uji Efektivitas Formula Pupuk Majemuk NPK- Plus A dan NPK- Plus B Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Bawang Merah. Laporan Akhir Kerjasama Penelitian antara Balai Penelitian Tanah dan PT Pupuk Kujang. Balai Penelitian Tanah, Badan Litbang Pertanian .
Subiksa, I G.M., A. Dariah, dan S. Rochayati. 2013. Development of non lime ameliorant to improve productivity of acid upland. Prociding International Conference 11 th ESAF. Bogor, 22 Oktober 2013.
Sudaryono. 2009. Tingkat kesuburan tanah Ultisols pada lahan pertambangan BatuBara Sangatta Kalimantan Timur. J. Tek. Ling Vol.10 No.3 Hal. 337 - 346 Jakarta
Sudriatna, U. M.T. Sutriadi, H. Rahmat, dan J.S. Adiningsih. 2005. Tanggap pupuk kalium dan bahan organik terhadap pertumbuhan dan hasil jagung di tanah Oxisol Kalimantan Selatan. Pros. Seminar Nasional Inovasi Teknologi Sumberdaya Tanah dan Iklim. Bogor, 14 – 15 Oktober 2003: 123 – 142. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Suhendra. 2014. Ini Alasan Indonesia Harus Tetap Impor Bawang Merah. finance.detik.com. 06/05/2014. 25 Februari 2015.
Suriadikarta, D.A., T. Prihatini, D. Setyorini, dan W. Hartatiek. 2002. Teknologi Pengelolaan Bahan Organik Tanah. Buku Teknologi Pengelolaan Lahan Kering menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Puslitbangtanak.. Hal 183-238.
Suriadikarta, D. A., T. Prihatini, D. Setyorini, dan W. Hartatik. 2005. Teknologi pengelolaan bahan organik tanah. Hlm. 169 - 222 Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Sutono, S. dan N.L. Nurida. 2012. Kemampuan Biochar memegang air pada tanah bertekstur pasir. J. Ilmu Kealaman. Univ. Tribuana Tunggadewi. Malang
Sutono, S. dan U. Kurnia. 2012. Baku Mutu Tanah pada Lahan Terdegradasi di Daerah Aliran Sungai Citanduy, Provinsi Jawa Barat. J. Tanah dan Pupuk.
Sutono, S. dan Undang Kurnia. 2012. Identifikasi kerusakan lahan sawah di Rancaekek, Jawa Barat. Makalah Seminar BBSDLP.
Sutono, S. IGM Subiksa, dan A. Rachman. 2007. Remediasi Tanah Terpengaruh Tsunami terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jagung, sebuah Percobaan Pot. Pros. Sem. dan Kongres Nas. HITI IX, UPN Veteran Yogyakarta 5-7 Des. 2007.
33
Sutono, S.Y. Hadian, H. Kusnadi, dan A. Abdurachman. 2001. Pengaruh Air Limbah Industri Tekstil terhadap Perubahan Sifat Tanah dan Kualitas Beras. Seminar Nasional Pengelolaan Sumber daya Lahan dan Pupuk di Cisarua 30 – 31 Oktober 2001.
Sutono, S., A. Rahman, dan IGM. Subiksa. 2007. Perbaikan Lingkungan Perakaran Kacang Tanah (Arachis hipogea) pada Tanah Terkena Tsunami. Pros. Sem. dan Kongres Nas. MKTI VI, Cisarua, Bogor 17 – 18 Des. 2007
Sutriadi, M.T. dan D. Nursyamsi. 2003. Pemilihan metode ekstraksi hara K di Ultisols, Inceptisols, dan Vertisols untuk kedelai. Seminar Nasional Sumberdaya Lahan. Cisarua-Bogor, 6 – 7 Agustus 2002: 283-298. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Sutriadi, M.T. dan D. Nursyamsi. 2004. Rekomendasi pemupukan P untuk kedelai di Ultisols Sumatera Utara dan Inceptisols Jawa Barat. Pros. Seminar Nasional Inovasi Teknologi Sumberdaya Tanah dan Iklim. Bogor, 14 – 15 Oktober 2003: 87 – 101. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Sutriadi, M.T., D. Setyorini, dan D. Nursyamsi. 2008. Penentuan kebutuhan pupuk K dengan uji tanah untuk tanaman jagung di TypicHapludalfs. Pros. Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian. Bogor, 7 – 8 November 2007: 145 – 155. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Suwardjo. 1981. Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam konservasi Tanah dan Air pada Usahatani Tanaman Semusim. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana, IPB. Bogor.
Tain, Z., Suprapto, S.J., dan Suhandi, 2003. Pemantauan dan Evaluasi Konservasi Sumber Daya Mineral di Daerah Belang, Kabupaten Minasa, Sulawesi Utara, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Bandung
Tain, Z., Sutrisno, dan Suprapto, S.J., 2005. Pemantauan dan Evaluasi Konservasi Sumber Daya Mineral di Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Bandung
Tan, K.H. 1992. Dasar-dasar Kimia Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Tan, Z., S. Liu, Z. Li, T.R. Loveland. 2007. Simulated rensponses of soil organic carbon to tillage management scenarios in Northwest Great Palins. Carbon Balance and Management. Doi:10.1186/1750-0680-2-7.
Taylor, M.D., N.D. Kim, R.B. Hill, and R. Chapman, 2010. A review of soil quality indicators and five key issues after 12 yr soil quality monitoring in the Waikato region. Soil Use and Management 26: 212–224.
Utomo, W.H. 2013. Degradasi lahan di Indonesia dengan referensi penggunaan Phytomining untuk reklamasi lahan tambang. Prosiding Seminar nasional Teknologi Pemupukan dan Pemuliihan Lahan Terdegradasi dngan Topik Khusus Degradasi Lahan. Bogor 29 – 30 Juni 2013. Halaman 15 – 28. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Van Keulen, H. 1995. Sustainability and long-term dynamic of soil organic matter and nutrient under alternative management strategies. P 353-375. In J. Bouma et al. (Eds.). Ecoregional Approach for Sustainable Land Use and Food Production.
Wahono, 2002, Budidaya Tanaman Jati (Tectona grandis L. F), Dinas Kehutanan Dan Perkebunan Kabupaten Kapuas Hulu, Putussibau.
Widowati, L.R. dan D. Nursyamsi. 2002. Evaluasi kesuburan tanah lahan kering pada Vertisols, Inceptisols dan Ultisols. Pros. Seminar Nasional Sumberdaya Lahan. Cisarua-Bogor, 6 – 7 Agustus 2002: 299-313. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
34
Yan, H., M. Cao, J. Liu, and B. Tao. 2007. Potential and sustainability for carbon sequestration with improved in agricultural soil in China. Agriculture, Ecosystems and environment 121: 325-335.
Youkhana, A. dan T. Idol. 2009. Tree pruning mulch increase soil C and N in a shaded coffee agroecosystem in Hawaii. Soil Biol. Abd Biochemist. 41: 2527-
Yun L. M, Qing-Riu, Y. Qi, J. Liu dan T. Chen. 2014. Agregation and soil organic carbon fraction under different land uses on the tableland of the Loess Plateau of China. Catena 115: 19-28.