1
PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN CTL UNTUK MENINGKATKAN
PRESTASI BELAJAR IPA PADA POKOK BAHASAN TEMPAT HIDUP
MAKHLUK HIDUP SISWA KELAS II SLB-B YAAT KLATEN
TAHUN PELAJARAN 2008 / 2009
SKRIPSI
Oleh :
Susmiyati X.5107666
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR BIASA JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2009
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Perkembangan ilmu dan teknologi serta perkembangan sosial budaya
yang berlangsung dengan cepat telah memberikan tantangan kepada setiap
individu. Setiap individu dituntut untuk terus belajar untuk menyesuaikan diri
sebaik-baiknya. Pada masyarakat terbuka setiap individu mempunyai kesempatan
yang sama untuk berkembang di segala aspek kehidupannya dan berkompetisi
untuk maju mengikuti kemajuan di luar dirinya, karena jika tidak memiliki
pengetahuan dan ketrampilan yang memadai akan tertinggal. Jalan untuk menuju
kesana adalah dengan pendidikan, karena dengan pendidikan dapat dikembangkan
sumber daya manusia, sehingga setiap jenjang perlu ditingkatkan kualitas
lulusannya.
Dalam kaitannya dengan kepentingan untuk meningkatkan kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM), serangkaian proses pendidikan perlu terus
menerus diupayakan peningkatan kualitasnya untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional. Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman, dan
bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Anak tuna rungu mempunyai hak yang sama untuk mengenyam
pendidikan dengan anak normal lainnya. Hal ini sesuai dengan UU No 20 tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional khususnya pasal 5 ayat 1 yang berbunyi :
‘setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu’.
Masalah pokok yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia adalah
masalah yang berhubungan dengan mutu atau kualitas pendidikan yang masih
rendah. Rendahnya kualitas pendidikan ini terlihat dari capaian daya serap siswa
terhadap materi pelajaran. Peningkatan kualitas pendidikan dilakukan melalui
1
3
pendekatan belajar tuntas (mastery learning). Pendekatan ini mensyaratkan para
peserta didik untuk dapat belajar pada setiap tahapan hingga mencapai tahap
penguasaan tertinggi. (Radno Harsanto, 2007: 11).
Salah satu cara untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah menerapkan
kurikulum berbasis kompetensi (KBK) di semua jenjang pendidikan. Sedangkan
baru-baru ini mulai dikembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Pada kedua kurikulum ini, tidak lagi menggunakan pendekatan yang
dalam pembelajarannya didominasi oleh guru (teacher centered), tetapi guru
lebih banyak menempatkan siswa sebagai subyek didik, sehingga kurikulum ini
menuntut diterapkannya penggunaan metode pembelajaran yang lebih berpusat
pada siswa (student centered). Dengan kurikulum ini, guru dituntut untuk
berperan sebagai seseorang yang merancang pembelajaran. Agar suasana dalam
kelas menjadi ‘hidup’, maka guru sebagai pendidik harus bisa memilih metode
maupun model pembelajaran yang tepat bagi peserta didiknya.
Dengan desentralisasi kurikulum terutama pada pengembangan silabus
dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang didukung oleh manajemen berbasis
sekolah memungkinkan tiap-tiap sekolah untuk merancang dan mengembangkan
pembelajaran yang disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan siswa, keadaan
sekolah, dan kondisi daerah masing-masing. Hasil pengembangan tersebut akan
menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang akan diselenggarakan
pada sekolah masing-masing. Hal ini mengacu pada standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang dikeluarkan oleh badan standar nasional pendidikan
(BSNP). Pendidikan luar biasa untuk anak tuna rungu mempunyai dasar dan
tujuan yang tidak jauh berbeda dengan dasar dan tujuan pendidikan bagi anak
normal pada umumnya. Perbedaan yang ada disebabkan kondisi fisik anak tuna
rungu yang mengalami kelainan dalam pendengarannya. akibat kelainan dari
pendengaran dapat menghambat perkembangan bicara dan bahasanya.
Seorang guru atau pendidik harus banyak mengoleksi alternatif metode
dalam pembelajaran. Guru akan memilih metode mana yang terbaik dipakai dalam
situasi yang tepat pada saat itu. Guru tidak hanya mengembangkan metode
4
mengajar konvensional atau ceramah saja tetapi guru lebih banyak memakai
metode yang secara intensif menggali potensi anak didik.
Dengan prinsip acting freely (kemerdekaan bertindak) mengisyaratkan
guru lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan
potensi dan menggunakan kebebasan yang dimilikinya secara bertanggung jawab.
Dengan demikian guru diharapkan mampu menciptakan suasana kondusif.
Banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap
materi ajar yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka tidak
memahaminya. Sebagian besar dari siswa tidak mampu menghubungkan antara
apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan
dipergunakan/dimanfaatkan. Siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep
akademik sebagaimana mereka biasa diajarkan yaitu dengan menggunakan
sesuatu yang abstrak dan metode ceramah. Padahal mereka sangat butuh untuk
dapat memahami konsep-konsep yang berhubungan dengan tempat kerja dan
masyarakat pada umumnya dimana mereka akan hidup.
Siswa sekolah dasar luar biasa khususnya anak tuna rungu merupakan
anak yang miskin akan kosakata, dan kurang cakap dalam memikirkan yang
bersifat abstrak, dan sering terjadi kesalahpahaman dalam berkomunikasi.
Sehingga mereka memerlukan metode pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik mereka.
Berdasarkan perolehan hasil belajar IPA dengan metode konvensiaonal /
ceramah biasa, mayoritas siswa memperoleh nilai yang kurang memuaskan. Dari
4 siswa, 3 anak mendapatkan nilai di bawah 6, dengan kata lain sebanyak 75 %
siswa belum tuntas dalam mengikuti pembelajaran.
Metode CTL (Contextual Teaching and Learning) merupakan konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan
situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari mereka
sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu hasil pembelajaran
diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung secara
alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan tranfer
5
pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan
daripada hasil (Nurhadi, 2002: 1).
Kontekstual juga mengarahkan pemikiran kita pada pengalaman. Ketika
gagasan-gagasan dialami, digunakan di dalam konteks, mereka akan memiliki
makna (Elaine B Johnson, 2009: 46).
Dalam Sosialisasi Pembelajaran Kontekstual Oleh Diknas: 2007,
dinyatakan bahwa : Pengalaman di negara lain menunjukkan bahwa minat dan
prestasi siswa dalam bidang matematika, sains, dan bahasa meningkat secara
drastis pada saat; 1. Mereka dibantu untuk membangun keterkaitan antara informasi
(pengetahuan) baru dengan pengalaman (pengetahuan lain) yang telah mereka
miliki atau mereka kuasai.
2. Mereka diajarkan bagaimana mereka mempelajari konsep, dan bagaimana
konsep tersebut dapat dipergunakan di luar kelas.
3. Mereka diperkenankan untuk bekerja secara bersama-sama (cooperative)
Meningkatnya minat dan prestasi siswa tersebut dicapai, karena guru
menggunakan suatu pendekatan pembelajaran dan pengajaran kontekstual.
• Karakteristik Pembelajaran Berbasis CTL
1. Kerjasama
2. Saling menunjang
3. Menyenangkan
4. Tidak membosankan
5. Belajar dengan bergairah
6. Pembelajaran terintegrasi
7. Menggunakan berbagai sumber
8. Siswa aktif
Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti akan melakukan penelitian
tindakan kelas dengan judul : Penerapan pembelajaran berbasis CTL untuk
meningkatkan prestasi belajar IPA siswa kelas II SLB-B YAAT Klaten pada
pokok bahasan tempat hidup makhluk hidup Tahun Pelajaran 2008 / 2009.
6
B. Perumusan Permasalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut:
Apakah pembelajaran berbasis CTL dapat meningkatkan prestasi belajar
IPA pada pokok bahasan tempat hidup makhluk hidup siswa kelas II SLB-B
YAAT Klaten Tahun Pelajaran 2008/2009?
C. Tujuan penelitian
Sejalan dengan perumusan masalah yang ada, maka penelitian ini
bertujuan untuk:
Meningkatkan prestasi belajar IPA pada pokok bahasan tempat hidup
makhluk hidup siswa kelas II SLB-B YAAT Klaten Tahun Pelajaran 2008/2009.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai:
a. Memberikan konsep secara nyata kepada siswa sesuai dengan keadaan
lingkungan sekitar.
b. Memudahkan proses belajar siswa, karena siswa melihat dan membangun
pengetahuannya sendiri sesuai dengan pengamatan yang dilakukannya.
7
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Tentang Anak Tuna Rungu
a. Pengertian anak tuna rungu
Pada dasarnya anak tuna rungu merupakan anak yang tidak jauh
berbeda dengan anak normal, hanya saja mereka mempunyai keterbatasan
dalam pendengaran.
Definisi anak tuna rungu menurut Moores (1982: 6) dalam buku
Muljono Abdurrachman dan Sudjadi S (1995: 59) dijelaskan pengertian
mengenai orang yang tuli adalah sebagai berikut: “Orang dikatakan tuli jika
pendengarannya rusak, sampai pada syaraf tertentu (biasanya 70 dB atau
lebih) sehingga menghalangi pengertian terhadap suatu pembicaraan melalui
indra pendengaran, baik tanpa maupun dengan alat bantu dengar (hearing
Aid)”.
Sedangkan menurut Heward dan Orlansky (1988) dalam buku
Muljono Abdurrachman dan Sudjadi S (1995: 60), dijelaskan bahwa :“Tuli
merupakan kerusakan sensori, akibatnya, suara atau bunyi tersebut tidak
mempunyai arti dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang tuli tidak dapat
menggunakan pendengarannya untuk mengerti pembicaraan, walaupun
sebagian suara dapat diterima, baik tanpa maupun dengan alat bantu dengar”.
Pengertian tersebut sekaligus menunjukkan adanya rentang
ketidakmampuan seseorang dalam menerima informasi melalui pendengaran,
dari yang mengalami ketidakmampuan taraf ringan hingga taraf berat (tuli
total). Di sini juga menunjukkan adanya klasifikasi penyandang tuna rungu,
yaitu yang tergolong kurang dengar dan tuli berat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anak tuna rungu adalah
seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar, sehingga tidak mengerti
pembicaraan orang lain, tanpa menggunakan alat bantu dengar.
8
b. Sebab-sebab ketunarunguan
Ketunarunguan tidak terjadi secara begitu saja, tetapi ketunarunguan
terjadi dengan adanya beberapa penyebab, diantaranya adalah sebgaimana
disebutkan oleh beberapa ahli berikut:
Menurut Brown, dikutib oleh Heward dan Orlansky (1998) dalam
buku Muljono Abdurahman dan Sudjadi S (1995: 71), dijelaskan penyebab
kerusakan pendengaran itu, antara lain:
1) Materna rubella (campak), pada waktu ibu mengandung muda, terkena penyakit campak sehingga dapat menyebabkan rusaknya pendengaran anak.
2) Faktor keturunan, yang tampak dari adanya anggota keluarga yang mengalami kerusakan pendengaran.
3) Ada komplikasi pada saat dalam kandungan dan kelahiran prematur, berat badan kurang, bayi lahir biru dan sebagainya.
4) Meningtis (radang otak), sehingga ada semacam bakteri yang dapat merusak sensitivitas alat dengar di bagian dalam telinga.
5) Kecelakaan / trauma / penyakit. Jika seorang ibu yang sedang mengandung mengidap penyakit ini pada masa tiga bulan pertama kehamilannya, dia mungkin tidak akan merasa sakit sama sekali, tetapi penyakit tersebut dapat berdampak kepada bayi di dalam kandungannya melalui placenta, dengan akibat yang serius.
Menurut waktu terjadinya: 1) Sebelum lahir (prenatal)
Kondisi ibu yang terkena infeksi atau campak juga dapat menyebabkan rusaknya pendengaran anak, terutama pada 3 bulan pertama usia kandungan. Sebab – sebab pada saat sebelum lahir ini, termasuk juga faktor darah.
2) Pada saat kelahiran (natal) Pada saat terjadi kecacatan seperti pada bagian luar telinga, gendang suara bagian tengah, dan perkembangan mekanisme saraf yang terhambat. Penurunan fungsi saraf yang dibawa, karena keturunan dapat terjadi pada saat anak lahir, atau terjadi segera sesudah anak lahir. Penyebabnya antara lain adalah tertekan oleh pinggul ibu atau akibat penggunaan alat yang meyebabkan pendarahan otak sehingga merusak sistem saraf, anoxia, dan lain-lain.
3) Pada saat sesudah kelahiran (post natal) Misalnya karena penyakit atau kecelakaan . apabila terjadinya pada tahun-tahun awal, yaitu sebelum anak berbahasa maka pelayanan pendidikan bagi anak ini sama seperti anak tuli sejak lahir.
6
9
Sedangkan menurut Trybus (1985) dalam buku Dra. H.T. Sutjihati
Soemantri, PsyCIL (1996: 32), ada 6 penyebab ketunarunguan.
1) Keturunan 2) Penyakit campak dari ibu 3) Komplikasi selama kehamilan dan kelahiran 4) Radang selaput otak (meningitis) 5) Otitis media (radang pada bagian telinga tengah) 6) Penyakit anak – anak, radang dan luka – luka.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut di atas, dapat peneliti simpulkan
bahwa penyebab ketunarunguan antara lain :
1) Keturunan
2) Penyakit campak waktu ibu mengandung
3) Komplikasi waktu dalam kandungan atau kelahiran
4) Meningitis
5) Penyakit dari anak tersebut atau karena kecelakaan.
c. Klasifikasi ketunarunguan
Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan
pendengaran dan percakapan dengan derajat pendengaran yang bervariasi.
Klasifikasi anak tuna rungu menurut Andreas Dwijosumarto (1995:
29): dalam buku Dra. H.T. Sutjihati Soemantri, PsyCIL adalah sebagai
berikut:
1) 0 dB : menunjukkan pendengaran yang optimal 2) 0 - 26 dB : menunjukkan seseorang masih mempunyai pendengaran
yang normal 3) 27 – 40 dB : menunjukkan mempunyai kesulitan mendengar bunyi –
bunyi yang jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi bicara ( tergolong tuna rungu ringan)
4) 41 – 55 dB : mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara (tergolong tuna rungu sedang)
5) 56 – 70 dB : hanya bisa mendengar suara dari jarak dekat, masih mempunyai sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu mendengar serta dengan cara yang khusus (tergolong tuna rungu agak berat)
6) 71 – 90 dB : hanya mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang – kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan luar biasa
10
yang intensif, membutuhkan alat bantu dengar dan latihan bicara secara khusus (tergolong tuna rungu berat)
7) 91 dB ke atas : mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak tergantung pada penglihatan daripada pendengaran untuk proses menerima informasi dan yang bersangkutan dianggap tuli (berat sekali)
Adapun klasifikasi anak tuna rungu menurut Andreas
Dwidjosumarto (1991) dalam buku Dra. H. T Sutjihati Somantri, PsyCH
(1996:76), mengemukakan :
Tingkat I, Kehilangan kemampuan mendengar antara 35 sampai 54dB, penderita hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar secara khusus.
Tingkat II, Kehilangan kemampuan mendengar antara 55 sampai 69 dB penderitanya kandang-kadang memerlukan penempatan sekolah secara khusus dalam kebiasaan sehari-hari memerlukan latihan berbicara, dan bantuan latihan bebahasa secara khusus.
Tingkat III, Kehilangan kemampuan mendengar antara 70 sampai 89 dB, dan
Tingkat IV, Kehilangan kemampuan mendengar 90 dB keatas.
Dari kedua pendapat di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa:
klasifikasi anak tuna rungu berdasarkan tingkatan gangguan pendengaran
yang dialami anak tuna rungu dapat dibagi menjadi:
1) Tuna rungu dengan tingkatan gangguan pendengaran Sangat Ringan.
2) Tuna rungu dengan tingkatan gangguan pendengaran Ringan.
3) Tuna rungu dengan tingkatan gangguan pendengaran Sedang.
4) Tuna rungu dengan tingkatan gangguan pendengaran Berat.
5) Tuna rungu dengan tingkatan gangguan pendengaran Sangat Berat.
d. Karakteristik anak tuna rungu
karakteristik anak tuna rungu bersifat komplek dan saling
mempengaruhi antara karakter satu dengan yang lainnya. Secara lahiriyah
penampilan anak tuna rungu tidak berbeda dengan anak normal. Namun bila
diperhatikan secara teliti, maka akan terlihat karakteristik tersendiri, yaitu:
1) Intelegensi
11
Perkembangan intelegensi anak tuna rungu terhambat, yang disebabkan
oleh tidak dapatnya menyerap informasi secara penuh melalui indera
pendengaran. Sedangkan segala sesuatunya yang didengarkan merupakan
latihan berfikir, dan ini tidak terjadi pada anak tuna rungu, sehingga
prestasinya rendah. Prestasi rendah juga disebabkan oleh perkembangan
bahasa yang terlambat, sehingga kesulitan memahami bahasa. Padahal
kemampuan intelektual secara potensial anak tuna rungu umumnya sama
seperti yang normal pendengarannya, yaitu ada yang memiliki intelegensi
tinggi, rata – rata atau rendah.
Rendahnya tingkat prestasi anak tunarungu bukan berasal dari kemampuan
intelektualnya yang rendah, tetapi umumnya disebabkan karena
intelegensinya. Tidak dapat kesempatan untuk berkembang secara
maksimal.
2) Perkembangan Bahasa dan Bicara
Kemampuan berbahasa dan bicara anak tuna rungu berbeda dengan anak
yang mendengar. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan mendengar.
Kesulitan berbahasa adalah masalah pokok bagi anak tuna rungu, sehingga
memiliki prestasi ketinggalan bila dibandingkan dengan anak normal
seusianya. Bahasa merupakan alat untuk mengetahui makna kata, aturan
atau kaedah bahasa secara serta penerapannya. Sedangkan kemampuan
membaca, menulis, berbicara dan mendengar sebagai alat komunikasi
bahasa. Anak yang mendengar umumnya memperoleh kemampuan
berbahasa dengan sendirinya bila dibesarkan dalam lingkungan berbahasa
dan selanjutnya anak akan mengetahui makna kata atau aturan atau kaedah
bahasanya. Kalimat yang diungkapkan anak tuna rungu baik lisan maupun
tulisan adalah berbelit – belit, relatif kaku, kesatuan bahasanya kurang atau
tidak menunjukkan hubungan untuk mengikuti kesatuan yang lain dan
sedikit tumpang tindih. Maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan
anak tuna rungu tertinggal bila dibandingkan anak mendengar, hal ini
disebabkan karena kurang atau tidak berfungsinya pendengaran. Sehingga
mereka hanya memiliki sedikit kosakata serta struktur kalimatnya sangat
12
sederhana dan sulit difahami. Dengan melihat keterlambatan
perkembangan bahasa dan bicara anak tuna rungu yang tidak sesuai
kaedah tata bahasa. Keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan
menulis yang setiap aspek akan mempengaruhi dan tidak terpisahkan.
Anak tuna rungu tidak dapat mendengar dengan bahasa yang baik, maka
kemampuan bahasanya kurang. Oleh karena itu perlu mendapat latihan
atau pendidikan.
Sedangkan menurut kurikulum pendidikan luar biasa tentang
pedoman pembimbingan di sekolah, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan dan Kebudayaan (1994: 51) karakteristik anak tuna rungu adalah
sebagai berikut:
1) Gangguan dalam segi bahasa bicara dan bahasa 2) Perbendaharaan bahasa terbatas 3) Konsep diri negative yang dapat berakibat rendah diri 4) Cenderung lebih suka berkelompok dengan tuna rungu 5) Penyesuaian sosial terhambat 6) Kepekaan dalam bidang music dan irama terganggu
Dari pendapat di atas, peneliti simpulkan bahwa karakteristik anak
tuna rungu meliputi segi intelegensi, segi bahasa dan bicara, segi emosional
dan sosial, segi pendidikan.
2. Prestasi Belajar
Belajar merupakan suatu proses, hasil dari belajar berupa suatu bentuk
perubahan di mana besarnya perubahan itu dapat dicapai atau diketahui dari
prestasi belajar sebagai wujud keberhasilan proses tersebut.
Prestasi belajar merupakan hasil yang dicapai oleh siswa selama
mengikuti proses balajar mengajar. Prestasi belajar ini dapat digunakan sebagai
masukan bagi pengajar untuk mengetahui tingkat kemampuan siswa dalam
menguasai materi yang diberikan.
Menurut Slameto (2003:93) ada lima kemampuan manusia yang
merupakan hasil dari belajar, yaitu :
a. Ketrampilan intelektual, sebagai hasil belajar yang terpenting
b. Strategi kognitif, mengatur cara belajar dan berfikir seseorang
13
c. Informasi verbal, pengetahuan dalam arti informasi dan fakta
d. Keterampilan motorik yang diperoleh di sekolah
e. Sikap dan nilai berhubungan dengan arah serta intensitas emosional
yang dimiliki seseorang.
Prestasi belajar yang dicapai masing-masing individu tidak sama.
Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor, baik dalam maupun dari luar
individu. Faktor dari dalam individu atau sering disebut faktor internal antara lain:
motivasi, kreativitas, kematangan fisik maupun mental dan sebagainya, sedangkan
faktor dari luar atau faktor eksternal contohnya : faktor lingkungan keluarga,
sekolah, masyarakat, budaya dan sebagainya.
Pemerintah telah melakukan berbagai macam cara untuk meningkatkan
hasil belajar dan mutu pendidikan di Indonesia salah satunya adalah dengan
menggulirkan program Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada sekitar
tahun 2004 dimulai dari beberapa sekolah. Pelaksanaan KBK mengharuskan
semua guru untuk menerapkan sistem penilaian berbasis kompetensi. Dengan
sistem ini diharapkan penilaian tidak hanya menitik beratkan pada kemampuan
kognitif tetapi juga mencakup ranah psikomotor dan afektif. Hal ini selaras
dengan ayat 4 pasal 3 Keputusan Mendiknas Nomor 012/U/2002 tanggal 28
Januari 2002 yang menyatakan bahwa penilaian kelas dan ujian meliputi aspek
atau ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Tipikal berpikir berkaitan dengan
ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotor, dan tipikal
perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Ketiga ranah tersebut merupakan
karakteristik manusia dan dalam bidang pendidikan ketiga ranah tersebut
merupakan hasil belajar.
1. Ranah Kognitif
Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berpikir yang meliputi kemampuan menghafal, menerapkan, menganalisis, dan mensistesis serta mengevaluasi. Kemampuan yang penting pada ranah kognitif adalah kemampuan menerapkan konsep-konsep untuk memecahkan masalah yang ada di lapangan. Kemampuan ini sering disebut dengan kemampuan mentransfer pengetahuan ke berbagai situasi sesuai dengan konteksnya. Hal ini berkaitan dengan pembelajaran kontekstual. Hampir semua mata pelajaran berkaitan dengan kemampuan kognitif, karena di dalamnya diperlukan kemampuan berpikir untuk memahaminya (Depdiknas, 2003:1).
14
2. Ranah Afektif
Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap,
emosi dan nilai. Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk
diklasifikasikan sebagai ranah afektif. Pertama, perilaku ini melibatkan perasaan
dan emosi seseorang. Kedua perilaku ini harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria
lain yang termasuk ranah afektif ini adalah intensitas, arah dan target. Intensitas
menyatakan derajat atau kekuatan dari perasaan. Beberapa perasaan lebih kuat
dari yang lain, misalnya cinta lebih kuat dari senang atau suka. Selain itu sebagian
orang kemungkinan mempunyai perasaan yang lebih kuat dibanding yang lain.
Arah menunjukkan apakah perasaan itu baik atau buruk. Misalnya senang dengan
pelajaran dimaknai positif, sedang kecemasan dimaknai negatif. Bila intensitas
dan arah perasaan ditinjau bersama-sama, maka karakteristik afektif berada dalam
suatu skala yang kontinum.
Target mengacu pada objek, aktivitas atau ide sebagai arah dari perasaan. Bila kecemasan merupakan karakteristik afektif yang ditinjau, ada beberapa kemungkinan target. Setiap peserta didik mungkin bereaksi terhadap sekolah, situasi sosial, atau pengajaran. Tiap unsur ini bila merupakan target dari kecemasan, Kadang-kadang target ini diketahui oleh seseorang namun kadang-kadang tidak diketahui. (Depdiknas, 2003:5).
3. Ranah Psikomotorik
Keterampilan psikomotorik yaitu kemampuan yang berhubungan dengan
aktifitas fisik misalnya lari, melompat, melukis, menari, memukul dan lain
sebagainya. Aspek psikomotorik sering disebut juga dengan aspek keterampilan.
Dalam hubungannya dengan kegiatan praktikum di laboratorium, aspek
keterampilan ini pengukuran keberhasilannya ditunjukkan pada keterampilan
dalam praktikum, misalnya keterampilan dalam merangkai alat, keterampilan
kerja, dan ketelitian dalam mendapat hasil dari praktikum (Mulyati Arifin, 1995 :
197).
Adanya evaluasi pada aspek psikomotorik yang dimiliki oleh siswa /
praktikan bertujuan untuk mengukur sejauh mana praktikan telah dapat menguasai
teknik-teknik dalam praktikum, khususnya dalam hal penggunaan alat dan bahan,
pengumpulan data, klasifikasi data, generalisasi data, meramalkan, dan
15
menyimpulkan. Atau dapat dikatakan ingin diketahui sejauh mana praktikan telah
menguasai keterampilan proses IPA, dan penilaian/pengukuran penguasaan
terhadap aspek keterampilan ini dapat dilakukan melalui tes observasi yang
dilakukan langsung pada praktikan yaitu dengan mengamati cara praktikan
bekerja di laboratorium.
3. Contextual Teaching and Learning (CTL)
Sejauh ini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa
pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih
terfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah
menjadi pilihan utama strategi belajar. Untuk itu diperlukan sebuah strategi
belajar baru yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak
mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang
mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.
Melalui landasan filosofis konstruktivisme, CTL diharapkan dapat menjadi
alternatif strategi belajar baru sehingga melalui strategi CTL siswa diharapkan
belajar melalui mengalami bukan menghafal.
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan isi pelajaran dengan
situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga
Negara, dan tenaga kerja (U.S. Department of Education and the National School
to Work Office yang dikutip oleh Blanchard dalam Nurhadi, 2002:7). CTL
melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: kontrukstivisme
(Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat
belajar(Learning Community), pemodelan (Modelling), dan penilaian sebenarnya
(Authentic Assesment).
a. CTL ditinjau dari Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisme (constructivism) merupakan landasan berfikir (filosofi)
pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi
sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan
16
tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta,
konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus
mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu
yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu
memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan
pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide
bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi
kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik
mereka sendiri.
Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses
menkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa
membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses
belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru.
b. Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis
CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil
mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru
harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan,
apapun materi yang diajarkannya.
Adapun siklus inquiry adalah sebagai berikut:
1) Observasi (Observation)
2) Bertanya (Questioning)
3) Mengajukan dugaan (Hyphotesis)
4) Pengumpulan data (Data gathering)
5) Penyimpulan (Conclussion)
Pembelajaran berbasis inquiry merupakan strategi pembelajaran yang
berpola pada metode-metode sains dan memberikan kesempatan siswa untuk
pembelajaran bermakna. Suatu masalah diajukan dan metode ilmiah digunakan
untuk memecahkan masalah tersebut.
17
Langkah-langkah dalam pembelajaran inquiry antara lain:
1) Merumuskan masalah (dalam pembelajaran apapun)
2) Mengamati atau melakukan observasi
3) Menganalisa dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan,
tabel, dan karya lainnya.
4) Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman
sekelas, guru, atau audien lain.
c. Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari ‘bertanya’.
Questioning (bertanya) merupakan strategi pembelajaran CTL. Bertanya dalam
pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing
dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa kegiatan bertanya merupakan
bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiry, yaitu
menggali informasi, menginformasikan apa yang sudah diketahui, dan
mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna
untuk:
1) menggali informasi baik administrasi maupun akademis
2) mengecek pemahaman siswa
3) membangkitkan respon kepada siswa
4) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa
5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa
6) memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru
7) untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa
8) untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa
Hampir pada semua aktivitas belajar questioning dapat diterapkan: antara
siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara
siswa dengan orang lain yang didatangkan di kelas, dan sebagainya. Aktivitas
bertanya juga ditemukan saat siswa berdiskusi, bekerja dalam kelompok, ketika
menemui kesulitan, ketika mengamati dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan itu dapat
menimbulkan keinginan untuk bertanya.
18
d. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran
diperoleh dari hasil kerjasama dengan orang lain. Ketika seorang anak baru
belajar meraut pensil dengan peraut elektronik, ia bertanya kepada temannya
“Bagaimana caranya? Tolong bantuin aku!” Lalu temannya yang sudah biasa,
menunjukkan cara mengoperasikan alat itu. Maka dua orang anak itu sudah
membentuk masyarakat belajar (learning community)
Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok, dan
antara yang tahu dan belum tahu. Di ruang kelas, orang-orang yang ada di luar
kelas, semua adalah anggota masyarakat belajar. Di kelas CTL guru disarankan
selalu melaksanakan pembelajaran dalam bentuk kelompok-kelompok belajar.
Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen. Yang
pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu, yang
cepat menangkap mengajari temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan
segera memberi usul, dan seterusnya. Kelompok siswa dapat sangat bervariasi
bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan bisa melibatkan siswa di kelas
atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang ahli ke
kelas.
e. Permodelan (Modelling)
Pada saat pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu
berlangsung, sebaiknya ada model yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara
mengoperasikan sesuatu, atau guru memberi contoh cara mengerjakan sesuatu,
dengan demikian guru memberi model tentang bagaimana cara belajar.
Dalam pembelajaran CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat
dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang siswa dapat ditunjuk untuk memberi
contoh mendemonstrasikan keahliannya. Siswa “contoh” tersebut dapat dikatakan
sebagai model. Siswa lain dapat menggunakan model tersebut sebagai “standar”
kompetensi yang harus dicapainya, model juga dapat didatangkan dari luar.
f. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau
berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Refleksi
19
merupakan respon terhadap suatu kejadian, aktivitas atau pengetahuan yang baru
diterima, dengan demikian siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi
dirinya. Realisasi dalam pembelajaran berupa: rangkuman tentang apa yang
dipelajari, catatan atau jurnal di buku siswa, kesan dan saran tentang pembelajaran
dan lain-lain.
g. Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assesment)
Assesment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa
memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan
siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami
proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan oleh guru
mengidentifikasi bahwa siswa mengalami kemacetan belajar, maka guru bisa
segera mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan belajar.
Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan sepanjang proses
pembelajaran, maka assesment tidak dilakukan di akhir periode (cawu/semester)
pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar (seperti
EBTA/EBTANAS), tetapi dilakukan bersama dengan secara terintegrasi (tidak
terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran.
Data yang dikumpulkan melalui kegiatan penilaian (assessment),
bukanlah untuk mencari informasi tentang belajar siswa. Pembelajaran yang benar
memang seharusnya ditekankan pada upaya membentuk siswa agar mampu
mempelajari (learning how to learn), bukan ditekankan pada diperolehnya
sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran.
Karena assessment menekankan pada proses pembelajaran, maka data
yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada
saat melaksanakan proses pembelajaran bukan semata-mata hasil.
Menurut Nurhadi (2002: 9) Dalam pembelajaran CTL, langkah-langkah
yang ditempuh secara garis besarnya antara lain:
1) Mengembangkan penilaian bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan
cara bekerja sendiri dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan
keterampilan barunya
2) Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topik
20
3) Mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya
4) Menciptakan ‘masyarakat belajar’ (belajar dalam kelompok)
5) Menghadirkan ‘model’ sebagai contoh pembelajaran
6) Melakukan refleksi di akhir pertemuan
7) Melakukan penilaian autentik
Dalam pengelolaannya metode CTL ini dilakukan dengan model daur
belajar yang dikemukakan oleh Martin dkk:
1) Kegiatan awal (eksplorasi), guru menyajikan fenomena untuk menggali
pengetahuan awal siswa
2) Kegiatan inti (eksplanasi), guru membimbing siswa merumuskan masalah dan
hipotesis, melakukan kegiatan eksperimen, mencatat data, menganalisis dan
menyimpulkan data
3) Pemantapan (ekspansi), guru mengaplikasikan penguasaan konsep melalui
kegiatan menjawab pertanyaan dalam penuntun belajar
4) Penilaian (evaluasi), guru melakukan penilaian melalui kegiatan presentasi
dan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat reflektif.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa metode pembelajaran CTL
memiliki kelebihan antara lain:
1) Meningkatkan akademik siswa
2) Siswa menjadi lebih aktif
3) Siswa praktik, bukan menghafal
4) Siswa dilatih untuk berfikir kritis
5) Siswa dibiasakan untuk memecahkan masalah
Disamping memiliki kelebihan, metode pembelajaran CTL juga
memiliki beberapa kekurangan yaitu:
1) Kegiatan belajar mengajar membutuhkan waktu yang lebih lama
2) Keadaan kelas yang cenderung ramai jika siswa kurang memanfaatkan waktu
sebaik mungkin untuk belajar dalam kelompok
3) Memerlukan persiapan rumit untuk melaksanakannya
21
4. Materi Tempat Hidup Makhluk Hidup
Lihatlah gambar di bawah ini!
Gambar 1. Tempat hidup makhluk hidup
Ikan dan angsa berenang di air
Katak duduk di daun teratai
Kelinci berkejaran di lapangan rumput
Burung bertengger di dahan
Hewan-hewan itu tampak senang
Teratai terlihat subur di air
Ada juga pohon besar di sekitarnya
Kelinci hidup di darat
Kelinci makan tumbuhan, misalnya wortel
dan kangkung
Kelinci mencari makanannya di darat
Kelinci membuat rumahnya di tanah
Kelinci tinggal di lubang tanah.
22
Bebek hidup di darat
Bebek senang makan cacing
Bebek mencari cacing di tanah berair
Bebek sering berenang di air mencari makanan
Bebek tinggal di sarangnya di darat
Ikan hidup di air
Ikan mencari makanan di air
Ikan tinggal di air
Katak hidup di darat dan di air
Katak dapat mencari makanan di
darat
Katak dapat makan nyamuk
Katak dapat mencari makanan di air
Katak makan hewan kecil di air
Katak tinggal di darat, akan tetapi katak tidak dapat terus ada di darat
Kulit katak harus basah
Jika kulitnya mulai kering, katak segera melompat ke air
Lihatlah alam sekitarmu
Di halaman sekolah tumbuh rumput
Di kebun ada pohon pisang dan pohon mangga
Di taman tumbuh bunga mawar dan melati
Banyak sekali tumbuhan yang hidup di darat
23
Dapatkah kamu menyebutkan nama-nama tumbuhan lain yang
hidup di darat?
Pernahkah kamu melihat teratai?
Teratai hidup di air tawar, misalnya danau
Teratai hidup di air tawar
Bentuk daun teratai bundar
Teratai berbunga indah
Daun dan bunga teratai muncul ke
permukaan air
Akar dan batang teratai ada di dalam air
Tahukah kamu tumbuhan enceng gondok?
Enceng gondok hidup di air tawar
Enceng gondok mudah tumbuh di rawa
Enceng gondok berbunga indah
Bunga, daun dan batang muncul ke
permukaan
Akar enceng gondok ada di dalam air
Di batang pohon besar itu ada tumbuhan lain
Namanya tumbuhan paku
Tumbuhan paku menempel pada pohon besar
Tumbuhan seperti ini banyak dijumpai di
hutan lebat
Anggrek juga dapat menempel pada pohon
lain
Tahukah kamu tumbuhan tali putri?
Bentuk tali putri seperti mi kuning
Tali putri hidup di tumbuhan lain
Tali putri mengambil makanan tumbuhan itu
Akibatnya tumbuhan itu menjadi tidak subur
24
B. Kerangka Pemikiran
Dengan metode konvensional, siswa hanya mendapatkan pengetahuan
yang bersifat sementara, dengan kata lain prestasi belajar yang telah diberikan
guru belum tertanam secara mantap. Karena siswa hanya dijadikan sebagai obyek
belajar.
Karakteristik pembelajaran IPA seyogianya tidak hanya mengacu pada
hasil atau nilai kognitif saja, tetapi juga perlu mengacu pada bagaimana
pengetahuan itu didapat oleh siswa.
Dengan penerapan model pembelajaran kontekstual ini, proses perolehan
pengetahuan oleh siswa juga diperhatikan, pelibatan indera siswa dalam proses
belajar lebih banyak. sehingga siswa dapat membangun pengetahuannya sendiri.
Hal ini akan lebih memperdalam kepahaman siswa, karena pelibatan siswa dalam
proses belajar lebih ditonjolkan. Siswa bukan lagi sebagai obyek belajar yang
hanya disuruh untuk menghafal, tetapi siswa dijadikan sebagai subyek belajar
yang aktif membangun sendiri pengetahuannya, melakukan proses belajar dengan
aktif, tidak membosankan.
Dengan metode CTL diharapkan prestasi siswa meningkat. Adapun
skema kerangka pemikirannya adalah sebagai berikut:
Gambar 2. Skema kerangka pemikiran
C. Hipotesis Tindakan
Dalam penelitian ini, hipotesis yang peneliti ajukan adalah sebagai
berikut:
Penggunaan metode pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan
prestasi belajar IPA pada pokok bahasan tempat hidup makhluk hidup siswa kelas
II SLB-B YAAT Klaten Tahun Pelajaran 2008/2009.
Kondisi awal prestasi siswa
Pembelajaran dengan metode
CTL
Kondisi akhir prestasi siswa
25
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Setting penelitian
Penelitian ini dilakukan di kelas II SLB-B YAAT Klaten, pada bulan
Maret - Juni 2009.
B. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas II SLB-B YAAT Klaten yang
berjumlah 4 siswa.
C. Data dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data tentang
keadaan siswa yang meliputi aspek kualitatif, yaitu tentang perilaku siswa di
lingkungan pembelajaran, misalnya mengenai antusiasme siswa dalam
melaksanakan kegiatan belajar, keaktifan siswa dalam bertanya dan sebagainya.
sedangkan data kuantitatif tentang prestasi belajar IPA setelah penerapan model
pembelajaran IPA berbasis CTL.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi
Observasi juga dapat disebut pengamatan terhadap obyek kajian
tertentu.
Menurut suharsimi Arikunto (2001: 75), observasi dilakukan dalam proses penelitian untuk memperoleh gambaran secara umum maupun khusus tentang anak tuna rungu serta pola penanganannya. Adapun fungsi pengamatan dalam penelitian kualitatif adalah: a. Teknik pengamatan ini didasarkan atas pengamatan secara langsung. b. Teknik pengamatan juga memungkinkan melihat dan mengamati sendiri,
kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi dalam keadaan sebenarnya.
c. Mengecek kepercayaan dan penanganan langsung.
26
d. Teknik pengamatan memungkinkan peneliti mampu memahami situasi rumit.
e. Dalam kasus-kasus tertentu, dimana teknik komunikasi lainnya yang tidak
memungkinkan pengamatan dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat.
Adapun yang ingin peneliti peroleh dalam melakukan observasi ini adalah:
a. Untuk memperoleh gambaran terhadap subyek penelitian, khususnya
mengenai gambaran perilaku anak dalam lingkungan.
b. Untuk memperoleh gambaran terhadap subyek penelitian, khususnya
mengenai respon mereka terhadap lingkungan.
c. Untuk memperoleh gambaran terhadap subyek penelitian, khususnya
mengenai sifat ketertarikan mereka untuk belajar dengan lingkungan.
2. Tes
Hasil tes dapat digunakan untuk mengetahui sejauhmana daya
serap siswa terhadap materi yang telah disampaikan guru dengan
memperhatikan nilai yang diperoleh untuk mencapai tujuan pembelajaran
yang ingin dicapai.
E. Validitas Data
Trianggulasi yaitu teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain diluar data itu, yaitu observasi dan wawancara. Menurut Elliot
trianggulasi dilakukan berdasarkan tiga sudut pandang yaitu sudut pandang guru,
sudut pandang siswa dan sudut pandang yang melakukan pengawasan atau
observan (Rochiati, 2005:169). Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan
data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik trianggulasi yang
digunakan adalah trianggulasi metode. Teknik triangulasi metode dilakukan
dengan mengumpulkan data tetap, menggunakan metode pengumpulan data yang
berbeda-beda. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode pengumpulan
data melalui teknik arsip, observasi, dan tes prestasi.
27
Adapun skema dari pemeriksaan validitas data yang digunakan dapat
dilihat dalam gambar berikut ini:
F.
Gambar 3. Skema Pemeriksaan Validitas Data
F. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif
komparatif, artinya membandingkan hasil belajar melalui metode CTL dari setiap
siklus.
Jika peningkatan hasil belajar siswa belum memenuhi target, peneliti
perlu melanjutkan tindakan pada siklus berikutnya dengan mengatasi segala
hambatan dan kekurangan yang ditemukan pada siklus sebelumnya.
Hasil pengamatan dan refleksi pada siklus pertama digunakan sebagai
dasar pelaksanaan pembelajaran pada siklus ke dua, agar terjadi peningkatan lebih
signifikan.
G. Indikator Kinerja.
Dalam penelitian ini, peneliti merumuskan indikator kinerjanya adalah :
75% siswa mendapat nilai lebih besar atau sama dengan 60.
H. Prosedur Penelitian
Prosedur dan langkah-langkah yang digunakan dalam melaksanakan
penelitian ini mengikuti model yang dikembangkan oleh Kemmis dan Mc.
Taggart yaitu model spiral. Perencanaan Kemmis menggunakan sistem spiral
refleksi diri yang dimulai dengan rencana tindakan (planning), tindakan (acting),
Data Observasi
Tes
Arsip
Sumber Data
28
pengamatan (observing) dan refleksi (reflecting). Kegiatan ini disebut dengan satu
siklus kegiatan pemecahan masalah (Suharsimi Arikunto dkk, 2001: 117).
Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu kali
pre test dan dua kali siklus. Dalam masing – masing siklus, terdiri dari
perencanaan, pelaksanaan, pengamatan (observasi), dan refleksi.
Adapun rancangan pelaksanaan penelitian tindakan kelasnya adalah
sebagai berikut:
Tabel 1. Rancangan pelaksanaan penelitian tindakan kelas Perencanaan Merencanakan pembuatan soal
Perenca
naan Pelaksanaan 1. Melaksanakan pre test
2. Mengevaluasi
Perencanaan I
1. Merencanakan pembelajaran IPA pokok bahasan
tempat hidup hewan
2. Merencanakan pembelajaran IPA pokok bahasan
tempat hidup tumbuhan
Tindakan I Pembelajaran menggunakan metode CTL
Pengamatan I
1. Melaksanakan pengamatan dengan memakai
format observasi
2. Menilai hasil tes siswa
Siklus
I
Refleksi I Melakukan evaluasi tindakan yang telah
dilaksanakan selama proses pembelajaran
Perencanaan II
1. Menyelesaikan masalah dan menambah
kekurangan yang ada pada siklus I
2. Pengembangan dan penyempurnaan pembelajaran
ada siklus II
Tindakan II Melaksanakan tindakan kelas ke II dengan metode
CTL
Pengamatan II Pengumpulan data tindakan ke II
Siklus
II
Refleksi II Evaluasi tindakan ke II
29
Adapun prosedur penelitian secara skematis dapat dilihat pada gambar
sebagai berikut:
Gambar 4. Skema Prosedur Penelitian
Pelaksanaan Tindakan I
Refleksi I
Perencanaan Tindakan II
Pelaksanaan Tindakan II
Observasi II
Refleksi II
SIKLUS I
SIKLUS II
Observasi I
Permasalahan
Belum terselesaikan/
muncul masalah baru
Terselesaikan
Terselesaikan
Perencanaan Tindakan I
30
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Kondisi Awal Kelas
Kegiatan belajar mengajar di kelas II SLB-B YAAT Klaten sebelum
diterapkannya metode pembelajaran Contextual Teaching and Learning terlihat
pasif, karena guru hanya menyampaikan materi pelajaran secara klasikal,
meskipun diselingi dengan pertanyaan yang diajukan kepada murid. Sehingga
yang terjadi adalah suasana pembelajaran yang monoton, kurang variatif,
penyampaian materi yang terkesan searah sehingga mengakibatkan belum
optimalnya prestasi belajar yang didapat oleh anak didik. Hal ini dapat dilihat dari
prestasi hasil belajar siswa.
Dari empat siswa, semuanya mendapat nilai di bawah 6, artinya siswa
belum dapat dikatakan cukup menyerap pelajaran yang disampaikan oleh guru.
Adapun daftar nilai selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2. Daftar nilai hasil ulangan siswa semester 1 No. Nama Nilai Keterangan
1. N D H 45 Kurang
2. H D S 50 Hampir cukup
3. N I 55 Hampir cukup
4. S L 45 Kurang
Berdasarkan nilai di atas, maka perlu adanya peningkatan kualitas hasil
belajar siswa, sehingga semua siswa dapat menyerap pelajaran, aktif dalam
pembelajaran, dan mendapatkan nilai yang optimal. Salah satu cara yang dapat
diusahakan antara lain dengan menggunakan metode pembelajaran yang baru,
yaitu CTL. Dengan adanya pembelajaran CTL ini diharapkan siswa dapat aktif,
mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang mereka dapat dari pengamatan,
sehingga pengalaman belajar siswa ini dapat lebih terekam dalam memori (selalu
diingat), yang nantinya dapat meningkatkan prestasi belajar mereka.
29
31
Pada penelitian tindakan kelas ini, peneliti telah merencanakan penelitian
hanya sampai pada siklus II saja, karena menyesuaikan terhadap alokasi waktu
yang telah ditetapkan oleh peneliti. Diharapkan dengan pelaksanaan dua siklus
tersebut siswa sudah mampu meningkatkan hasil belajarnya sesuai dengan target
yang hendak dicapai, yaitu meningkatkan prestasi belajar siswa sehingga 75 %
siswa mendapatkan nilai lebih besar atau sama dengan 60.
B. Deskripsi Siklus I
1. Perencanaan Tindakan
Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan terhadap proses
pembelajaran dan prestasi siswa sebelumnya, serta konsultasi dengan kepala
sekolah dan guru lain, maka peneliti merencanakan untuk melaksanakan
pembelajaran kontekstual, yaitu pembelajaran yang sesuai untuk materi khususnya
IPA, karena dengan metode ini siswa dapat langsung melihat sendiri apa yang
sedang dipelajari, siswa dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, siswa
dapat termotivasi untuk aktif dalam kegiatan belajar mereka. Pada tahap ini
peneliti menyusun beberapa perencanaan.
Pertama, menyiapkan bahan ajar yang akan digunakan. Misalnya buku –
buku penunjang sebagai referensi bagi guru dan tempat yang dapat digunakan
sebagai sumber belajar terkait dengan materi tempat hidup makhluk hidup.
Kedua, perencanaan pembuatan silabus mata pelajaran IPA, khususnya
pada sub materi pokok tempat hidup makhluk hidup.
Ketiga, peneliti membuat rencana pembelajaran dengan menggunakan
metode Contextual Teaching and Learning.
Keempat, peneliti membuat lembar observasi mengenai kualitas proses
belajar mengajar di luar ruang kelas / di lingkungan sekitar yang memungkinkan
siswa untuk belajar dengan konsentrasi. Adapun indikator kualitas proses belajar
mengajar yang ada yaitu; keaktifan siswa dalam proses pengamatan terhadap
obyek belajar, keaktifan siswa dalam bertanya, dan konsentrasi siswa pada
pelajaran.
32
Kelima, soal yang digunakan dalam instumen kognitif sengaja dibuat
bervariasi, yaitu ada yang berbentuk pilihan ganda, isian, dan melengkapi kolom
pertanyaan, sehingga dengan adanya variasi soal tersebut, dapat mengurangi
kejenuhan anak dalam mengerjakan soal.
2. Pelaksanaan Tindakan
Sebagaimana yang tercantum dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP), maka dapat penulis kemukakan bahwa langkah – langkah yang ditempuh
dalam melaksanakan tindakan siklus 1 ini adalah sebagai berikut:
a. Kegiatan awal
1) Berdo’a
2) Guru memberikan pengantar tentang maksud pembelajaran kontekstual
kepada siswa, hal – hal apa saja yang akan dilakukan siswa selama proses
belajar mengajar. Dan sedikit memberikan contoh lembar kerja yang akan
diisi oleh siswa, berikut dengan tindak lanjut setelah pembelajaran selesai.
b. Kegiatan inti
1) Guru membimbing siswa untuk lebih memahami konsep materi tempat
hidup makhluk hidup dengan proses pembelajaran kontekstual yang
mendorong siswa untuk aktif menemukan sendiri pengetahuan yang
didapat dari lingkungan sekitar.
Adapun teknis pelaksanaannya adalah sebagai berikut; siswa diberi lembar
kerja yang nantinya harus diisi oleh masing-masing siswa sebagai panduan
dalam mereka berinteraksi dengan sumber belajar yang baru, yaitu
lingkungan sekitar.
Dengan adanya lembar kerja tersebut, maka kegiatan belajar siswa akan
semakin terarah, walaupun seakan-akan mereka belajar dengan sendirinya.
2) Secara bergilir, guru membimbing siswa untuk mencermati, dan
menemukan pengetahuan – pengetahuan yang didapat oleh siswa dari
proses pengamatan terhadap sumber belajar di lingkungan terbuka, untuk
diisikan pada lembar kerja yang telah diberikan.
33
c. Kegiatan akhir
Guru memberikan penjelasan tambahan terhadap konsep yang belum
sepenuhnya dipahami siswa (dari hasil pengamatan), dan memberikan pujian pada
siswa yang telah mengisi lembar kerja dengan lengkap.
3. Pengamatan
Pengamatan / observasi dilakukan oleh guru lain / teman sejawat, yaitu
Arini Wulansari, S.Pd pada saat berlangsungnya proses belajar mengajar.
Observasi ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui jalannya kegiatan belajar
mengajar, sekaligus mengetahui permasalahan – permasalahan yang muncul pada
saat proses pembelajaran berlangsung, baik permasalahan yang muncul dari siswa
ataupun dari guru, sehingga dapat digunakan untuk mencari solusi atas masalah –
masalah yang ada pada siklus berikutnya.
Adapun hasil pengamatan yang dilakukan oleh pengamat dapat dilihat
pada table berikut:
Table 3. hasil pengamatan terhadap siswa pada siklus I No. Nama Keaktifan Konsentrasi Antusiasme Nilai /
Prestasi 1. N D H Kurang Cukup Cukup 50
2. H D S Kurang Cukup Cukup 55
3. N I Cukup Cukup Cukup 60
4. S L Kurang Kurang Cukup 50
Keterangan:
1. Keaktifan siswa meliputi:
a. Keaktifan dalam mendengarkan penjelasan guru.
b. Keaktifan dalam mengamati obyek pembelajaran.
c. Keaktifan dalam bertanya kepada guru.
d. Keaktifan dalam mengerjakan lembar jawab yang telah disediakan.
2. Konsentrasi, yang dimaskud adalah konsentrasi siswa pada saat
berlangsungnya proses belajar mengajar.
34
3. Antusiasme, yang dimaksud adalah ketertarikan siswa dalam mengikuti
pembelajaran. Misalnya ketertarikan untuk mengamati lingkungan / sumber
belajar.
Apabila dibuat dalam bentuk tabel prestasi siswa adalah sebagai berikut:
50
55
60
50
44
46
48
50
52
54
56
58
60
Nilai
Nita Dwi H Henik DewiS
NurIstiqomah
SariLismawati
Nama Siswa
Nilai / Prestasi
Garfik 5. prestasi belajar siswa pada siklus I
Dari grafik di atas tampak bahwa hanya Nur Istiqomah yang mendapat
nilai 60 (nilai minimal target penelitian) sehingga masih ada 3 siswa lagi yang
perlu perhatian khusus agar nilai yang didapat pada siklus ke II dapat mencapai
kriteria ketuntasan yang telah ditentukan dalam penelitian ini.
40
45
50
55
60
65
70
Kat
ego
ri
Nita Dwi H Henik DewiS
NurIstiqomah
SariLismawati
Nama Siswa
Series1
Series2
Series3
keaktifan
konsentrasi
antusiasme
Grafik 6. keaktifan, konsentrasi, dan antusiasme siswa pada siklus I
C
K
B
kate
gori
35
Pada saat diterapkannya metode pembelajaran kontekstual selama siklus
I ini, secara umum antusiasme siswa cukup ada, karena mereka merasa senang
dengan metode pembelajaran yang dilakukan di luar kelas seperti pada saat
penerapan metode pembelajaran kontekstual ini. Mereka cukup antusias dalam
melakukan pengamatan terhadap lingkungan khususnya tentang tempat hidup
makhluk hidup. Mereka terlihat betah dengan suasana belajar di luar ruangan.
Keadaan ini berbeda ketika dibandingkan dengan suasana pembelajaran di dalam
kelas secara penuh.
Meskipun demikian, ada satu siswa yang kurang berkonsentrasi pada saat
pembelajaran berlangsung, yaitu Sari Lismawati. Siswa ini terkadang melakukan
hal – hal di luar kegiatan yang bertujuan untuk belajar, misalnya bermain air atau
menulis di tanah. Adapun ketiga siswa yang lain, yaitu Nita, Henik, dan Istiqomah
sudah menunjukkan konsentrasi yang cukup pada saat proses pembelajaran
berlangsung.
Keaktifan siswa pada pelaksanaan siklus I ini belum terlihat, meskipun
ada satu anak yang cukup aktif dalam mengikuti kegiatan pembelajaran, yaitu Nur
Istiqomah. Keaktifan Istiqomah ini ditunjukkan dengan sesekali waktu bertanya
mengenai nama – nama hewan yang ia belum mengerti, misalnya jenis tertentu
dari serangga (wawung). Tetapi siswa ini cukup lengkap dalam mengisi lembar
jawab yang disediakan oleh guru. Lain halnya dengan ketiga siswa yang lain,
yaitu Nita, Henik dan Sari kurang menunjukkan keaktifannya. Mereka terkesan
pasif, sehingga lembar jawabnyapun kurang terisi lengkap.
Adapun nilai yang diperoleh dari keempat siswa tersebut, ternyata yang
memperoleh nilai cukup hanyalah Nur Istiqomah, sedangkan yang lainnya
mendapat nilai kurang dari cukup, yaitu nilai 50 untuk nita dan sari, dan nilai 55
untuk Henik. Nilai ini ternyata sejalan dengan sikap yang mereka tunjukkan pada
saat pembelajaran. Mereka yang pada saat pembelajaran aktif, konsentrasi, dan
antusias cenderung memperoleh nilai yang lebih besar.
36
4. Refleksi Tindakan
Secara umum pelaksanaan tindakan 1 berjalan lancar. Meskipun
demikian, masih ada beberapa siswa yang belum melaksanakan kegiatan
pembelajaran secara optimal. Antara lain masih ada beberapa siswa yang kurang
aktif dalam mengamati sumber belajar, bertanya kepada guru, dan mendengarkan
penjelasan guru. Sehingga dengan adanya situasi yang belum kondusif ini
berdampak pada belum tercapainya indikator kinerja yang telah direncanakan,
yaitu sebesar 75 % siswa mendapat nilai lebih besar atau sama dengan 60.
Diagram 7. pie ketuntasan siswa pada siklus I
C. Deskripsi Siklus II
1. Perencanaan Tindakan
Sesuai dengan data yang telah didapat dari hasil pengamatan pada siklus
I, maka target yang belum tercapai pada siklus I akan berusaha untuk dicapai pada
siklus II ini.
Sebelum peneliti menyususn rencana pembelajaran yang akan
dilaksanakan pada siklus II, peneliti juga meminta pendapat dari pengamat siklus
I, yaitu Arini Wulansari, S.Pd mengenai hal – hal apa saja yang perlu ditekankan
pada siklus ke II, sehingga target yang hendak dicapai dalam penelitian ini dapat
terwujud.
25%
75% belum tuntas
tuntas
37
Adapun beberapa hal yang akan dibenahi dari pelaksanaan siklus I adalah
sebagai berikut:
1. Peneliti akan mengadakan evaluasi labih lanjut terhadap jalannya proses
pembelajaran pada siklus I, khususnya mengenai penekanan pada anak untuk
lebih cermat dalam mengamati lingkungan sebagai sumber belajar.
2. Peneliti akan lebih memberikan penjelasan kepada siswa terhadap apa dan
bagaimana siswa belajar dengan metode kontekstual ini.
3. Peneliti akan memberikan motivasi kepada siswa untuk secepat dan setepat
mungkin dalam menyelesaikan lembar kegiatan siswa.
4. Peneliti akan membimbing siswa secara lebih intensif, khususnya terhadap
siswa yang mengalami kesulitan belajar.
5. Peneliti akan menyusun RPP yang dapat mendukung pelaksanaan proses
pembelajaran pada siklus II ini.
Dengan demikian diharapkan dengan disusunnya rencana pelaksanaan
pembelajaran pada siklus II ini, target persentase ketuntasan sebesar 75% siswa
mendapatkan nilai lebih besar atau sama dengan 60 dapat tercapai.
2. Pelaksanaan Tindakan
Sebagaimana yang tercantum dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP), maka dapat penulis kemukakan bahwa langkah – langkah yang ditempuh
dalam melaksanakan tindakan siklus II ini adalah sebagai berikut:
a. Kegiatan awal
1) Berdo’a
2) Guru memberikan evaluasi dari pelaksanaan pembelajaran pada siklus I
kepada siswa, sehingga siswa lebih sadar mengenai bagaimana sikap yang
diperlukan pada saat pembelajaran dengan menggunakan metode
kontekstual ini.
3) Guru memberikan beberapa contoh kesalahan yang dilakukan pada saat
siklus I, dan menyampaikan kepada siswa bagaimana yang seharusnya.
4) Guru juga memberikan motivasi kepada siswa agar siswa lebih aktif dalam
mengikuti pembelajaran pada siklus II ini.
38
b. Kegiatan inti
1) Guru membimbing siswa untuk lebih memahami konsep materi tempat
hidup makhluk hidup dengan proses pembelajaran kontekstual yang
mendorong siswa untuk aktif menemukan sendiri pengetahuan yang
didapat dari lingkungan sekitar.
Adapun teknis pelaksanaannya adalah sebagai berikut; siswa diberi lembar
kerja yang nantinya harus diisi oleh masing-masing siswa sebagai panduan
dalam mereka berinteraksi dengan sumber belajar yang baru, yaitu
lingkungan sekitar.
Dengan adanya lembar kerja tersebut, maka kegiatan belajar siswa akan
semakin terarah, walaupun seakan-akan mereka belajar dengan sendirinya.
2) Secara bergilir, guru membimbing siswa untuk mencermati, dan
menemukan pengetahuan – pengetahuan yang didapat oleh siswa dari
proses pengamatan terhadap sumber belajar di lingkungan terbuka, untuk
diisikan pada lembar kerja yang telah diberikan.
c. Kegiatan akhir
Guru memberikan penjelasan tambahan terhadap konsep yang belum
sepenuhnya dipahami siswa (dari hasil pengamatan), dan memberikan pujian pada
siswa yang telah mengisi lembar kerja dengan lengkap.
3. Pengamatan
Pengamatan / observasi yang dilakukan pada siklus ke II ini masih
dilaksanakan oleh guru lain / teman sejawat, yaitu Arini Wulansari, S.Pd pada saat
berlangsungnya proses belajar mengajar. Observasi ini dilakukan dengan tujuan
untuk mengetahui jalannya kegiatan belajar mengajar, sekaligus mengetahui
permasalahan – permasalahan yang muncul pada saat proses pembelajaran
berlangsung, baik permasalahan yang muncul dari siswa ataupun dari guru.
39
Adapun hasil pengamatan yang dilakukan oleh pengamat dapat dilihat
pada table berikut:
Table 4. hasil pengamatan terhadap siswa pada siklus II No. Nama Keaktifan Konsentrasi Antusiasme Nilai /
Prestasi 1. N D H Cukup Cukup Baik 60
2. H D S Baik Baik Baik 65
3. N I Baik Baik Baik 70
4. S L Kurang Cukup Cukup 60
Apabila dibuat dalam bentuk tabel prestasi siswa adalah sebagai berikut:
60
65
70
60
54
5658
60
6264
66
6870
nilai
Nita Dwi H Henik DewiS
NurIstiqomah
SariLismawati
nama siswa
Grafik 8. prestasi belajar siswa pada siklus II
Dari grafik prestasi di atas dapat dilihat, ternyata pada siklus ke dua ini
semua anak telah mencapai criteria ketuntasan penelitian yaitu 75% siswa
mendapat nilai lebih besar atau sama dengan 60.
Adapun grafik mengenai sikap siswa pada saat pembelajaran berlangsung
dapat dilihat pada tabel di bawah:
40
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Kategori
Nita Dwi H Henik DewiS
NurIstiqomah
SariLismawati
Nama Siswa
Keaktifan
Konsentrasi
Antusiasme
Garfik 9. keaktifan, konsentrasi, dan antusiasme siswa pada siklus II
Pada saat diterapkannya metode pembelajaran kontekstual selama siklus
II ini, secara umum antusiasme siswa sudah mengalami peningkatan, karena
mereka merasa senang dengan metode pembelajaran yang dilakukan di luar kelas
seperti pada saat penerapan metode pembelajaran kontekstual ini. Mereka cukup
antusias dalam melakukan pengamatan terhadap lingkungan khususnya tentang
tempat hidup makhluk hidup. Mereka terlihat betah dengan suasana belajar di luar
ruangan. Keadaan ini berbeda ketika dibandingkan dengan suasana pembelajaran
di dalam kelas secara penuh.
Demikian pula halnya dengan konsentrasi siswa, semua siswa terlihat
berkonsentrasi pada saat pembelajaran berlangsung. Hal ini ditunjukkan dengan
sikap mereka yang terfokus pada obyek yang diamati. Meskipun demikian, ada
dua siswa yang konsentrasinya ‘cukup’, yaitu Sari Lismawati dan Nita Dwi. Hal
ini dikarenakan mereka berdua terkadang keasyikan dengan suatu obyek
pengamatan, sehingga sulit untuk beralih ke obyek pengamatan yang lain.
Keaktifan siswa pada pelaksanaan siklus II ini sudah mulai terlihat,
meskipun ada satu anak yang kurang aktif dalam mengikuti kegiatan
pembelajaran, yaitu Sari Lismawati, sedangkan ketiga siswa yang lain sudah
memiliki kecenderungan keaktifan yang baik. Hal ini ditunjukkan dengan
keaktifan dalam bertanya kepada guru mengenai hewan tertentu yang belum
mereka ketahui, ataupun bertanya mengenai hewan yang ternyata memiliki tempat
hidup di dua tempat.
C
K
B
41
4. Refleksi Tindakan
Pada siklus ke II ini, baik ditinjau dari proses pembelajaran maupun hasil
belajar siswa sudah cukup baik. Dilihat dari proses pembelajarannya, keaktifan,
konsentrasi, dan antusiasme siswa sudah menunjukkan kemajuan dari pada siklus
I. pada siklus ke II ini, hampir semua anak telah memiliki antusiasme dan
konsentrasi yang baik saat pemelajaran berlangsung. Hanya saja untuk keaktifan
siswa masih ada satu siswa yang kurang aktif, dikarenakan anak tersebut memang
cenderung untuk berlaku pasif.
Adapun peningkatan nilai siswa dari siklus I ke siklus II dapat dilihat
pada grafik berikut:
Table 5. peningkatan prestasi belajar siswa sampai pada siklus II Nama Nilai pada siklus I Nilai pada siklus II Peningkatan (%)
N D H 50 60 20 %
H D S 55 65 18 %
N I 60 70 17 %
S L 50 60 20 %
Jika dilihat dari prestasi atau nilai yang didapat setelah siklus II ini, maka
indikator keberhasilan kinerja penelitian ini sudah mencapai target, yaitu 75%
siswa mendapat nilai lebih besar atau sama dengan 60. Terlebih lagi Nur
Istiqomah, mampu mendapatkan nilai 70. Sehingga 100% siswa telah tuntas
dalam pembelajaran tempat hidup makhluk hidup, dengan metode kontekstual.
D. Hasil Penelitian
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka PTK yang dilakukan
menunjukkan bahwa hipotesis tindakan yang menyatakan bahwa penerapan
metode pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas
II SLB-B YAAT Klaten terbukti benar.
42
E. Pembahasan Hasil Penelitian
Secara keseluruhan, hasil penelitian ini dapat dikategorikan menjadi dua
bagian, yaitu, data tentang proses pembelajaan siswa dan hasil belajar siswa.
Adapun data tentang proses pembelajaran siswa secara keseluruhan dapat dilihat
pada tabel berikut ini:
Tabel 6. Rekapitulasi keadaan siswa pada saat pembelajaran Keaktifan Konsentrasi Antusiasme
No. Nama Siklus I Siklus II Siklus I Siklus II Siklus I Siklus II
1. N D H Kurang Cukup Cukup Cukup Cukup Baik
2. H D S Kurang Baik Cukup Baik Cukup Baik
3. N I Cukup Baik Cukup Baik Cukup Baik
4. S L Kurang Kurang Kurang Cukup Cukup Cukup
Sedangkan dari sisi pencapaian nilai siswa yang didapat dalam dua siklus
ini dibandingkan dengan kondisi awal adalah sebagai berikut:
Tabel 7. Rekapitulasi nilai siswa sebelum dan sesudah diterapkannya CTL Nama Nilai pada
kondisi awal Nilai pada
siklus I Nilai pada siklus II
Peningkatan (%)
N D H 45 50 60 33 %
H D S 50 55 65 30 %
N I 55 60 70 27 %
S L 45 50 60 33 %
Rata - rata 49 54 64 28 %
Dari data hasil penelitian yang tertulis di atas dapat dikatakan bahwa dari
sisi proses pembelajaran IPA khususnya pada pokok bahasan tempat hidup
makhluk hidup dengan menggunakan metode pembelajaran kontekstual dapat
meningkatkan antusiasme, konsentarsi, dan keaktifan siswa. Meningkatnya
antusiasme siswa dapat ditunjukkan dengan adanya ketertarikan siswa dalam
mengikuti pembelajaran. Misalnya ketertarikan untuk mengamati lingkungan /
sumber belajar.
43
Sedangkan meningkatnya keaktifan siswa dapat ditunjukkan dengan
beberapa hal, diantaranya:
a. Keaktifan dalam mendengarkan penjelasan guru.
b. Keaktifan dalam mengamati obyek pembelajaran.
c. Keaktifan dalam bertanya kepada guru.
d. Keaktifan dalam mengerjakan lembar jawab yang telah disediakan.
Dan peningkatan konsentrasi siswa dapat ditunjukkan dengan perhatian
siswa yang cukup terpusat pada apa yang disampaikan guru dan pada obyek
kajian pada saat berlangsungnya proses belajar mengajar.
Sedangkan dari sisi nilai atau hasil belajar siswa, rata – rata menunjukkan
peningkatan sebesar 28 % dibandingkan dengan nilai sebelum diterapkannya
metode pembelajaran kontekstual.
44
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian tindakan kelas yang telah dilakukan selama
dua siklus pada mata pelajaran IPA, pokok bahasan tempat hidup makhluk
hidup dengan menggunakan metode pembelajaran kontekstual pada siswa
kelas II SLB-B YAAT Klaten, dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:
Pembelajaran berbasis CTL dapat meningkatkan prestasi belajar IPA
pada pokok bahasan tempat hidup makhluk hidup siswa kelas II SLB-B
YAAT Klaten Tahun Pelajaran 2008/2009.
B. Implikasi
Sebagai upaya meningkatkan mutu pembelajaran siswa, khususnya
siswa kelas II SLB-B YAAT Klaten, maka penelitian tindakan kelas yang
berjudul ‘penerapan pembelajaran berbasis CTL untuk meningkatkan prestasi
belajar IPA siswa kelas II SLB-B YAAT Klaten pada pokok bahasan tempat
hidup makhluk hidup tahun pelajaran 2008 / 2009 mempunyai beberapa
implikasi sebagai berikut:
1. Penerapan metode pembelajaran kontekstual pada pokok bahasan tempat
hidup makhluk hidup dapat meningkatkan kualitas pembelajaran siswa,
dalam beberapa aspek, diantaranya antusiasme, keaktifan dan konsentrasi
siswa sehingga guru perlu mengembangkan metode pembelajaran tersebut.
2. Penerpan metode pembelajaran kontekstual perlu dikembangkan sesuai
dengan kondisi siswa dan lingkungan, sehingga penggunaannya dapat
lebih optimal.
C. Saran - saran
Sesuai dengan kesimpulan dan hasil penelitian, serta dalam rangka
ikut menyumbangkan pemikiran bagi guru untuk meningkatkan prestasi
45
belajar siswa khususnya mata pelajaran IPA, maka dapat disampaikan saran –
saran sebagai berikut:
1. Bagi guru
Guru yang mengajar mata pelajaran IPA, khususnya di kelas II
SLB-B YAAT Klaten, hendaknya menggunakan metode CTL, sehingga
akan mendukung peningkatan proses maupun hasil belajar siswa.
2. Bagi siswa
a. Bagi siswa yang sudah berhasil mencapai prestasi yang baik,
hendaknya diberikan pengayaan atau pendalaman materi dengan tetap
menggunakan metode CTL.
b. Bagi siswa yang belum berhasil mencapai prestasi yang baik,
hendaknya dilakukan penyederhanaan konsep, namun tetap
menggunakan metode CTL