PENETAPAN BAGIAN WARISAN NON MUSLIM DENGAN WASIAT
WAJIBAH DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT DALAM
PERSFEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM
(Analisis Penetapan Nomor.86/Pdt.p/2012/PA.JB)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh:
NENENG KHOSYATILLAH
NIM.1110044100070
K O S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H / 2015 M
PENETAPAN BAGIAN WARISAN NON MUSLIM DENGAN WASIAT
WAJIBAH DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT DALAM
PERSFEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM
(Analisis Penetapan Nomor.86/Pdt.p/2012/PA.JB)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh:
NENENG KHOSYATILLAH
NIM.1110044100070
Di Bawah Bimbingan:
Dr. Isnawati Rais, MA
NIP: 195710271985032001
K O S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H / 2014 M
vi
ABSTRAK
Neneng Khosyatillah. NIM: 1110044100070. Penetapan Bagian Warisan
Bagi Non Muslim Dengan Wasiat Wajibah di Pengadilan Agama Jakarta Barat
Dalam Persfektif Kompilasi Hukum Islam (Analisis Penetapan Nomor.
86/Pdt.p/2012/PA.JB). Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum
Keluarga (Ahwal al-Syakhshiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435H/2014M. X+ 78 halaman + 30
halaman lampiran.
Skripsi ini menyimpulkan bahwa: Pertama, Berdasarkan pertimbangan
perkara No. 86/Pdt.P/2012/PA.JB hakim menetapkan perkara warisan Non-Muslim
secara tekstual berdasarkan KHI Pasal 209 dan Hadis. Majelis hakim Pengadilan
Agama Jakarta Barat memberikan penetapan kepada anak non-Muslim dengan jalan
wasiat wajibah. Kedua, Dasar pembagian wasiat wajibah menurut Kompilasi Hukum
Islam, menetapkan bahwa antara anak angkat dan orang tua angkat terbina hubungan
saling berwasiat. Dalam Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi: (1). Harta
peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di
atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat wajibah diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. (2)
Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. Ketiga, Pandangan hukum
Islam terhadap penetapan No. 86/Pdt.p/2012/PA.JB bahwa ahli waris non-Muslim
tidak mendapatkan bagian ahli waris dari pewaris karena terhalang perbedaan agama,
maka sesuai ketentuan pasal 174 Kompilasi Hukum Islam dan Al-Qur’an surah An-
Nisa ayat 11, pengadilan berpendapat bahwa ahli waris almarhum pewaris yang sah
menurut hukum hanyalah seorang istri dan 5 orang anak kandungnya. Maka dari itu
hakim tidak menjadikan anak non-Muslim sebagai ahli waris, akan tetapi hakim
memutuskan anak non-Muslim tersebut berhak menerima bagian dari harta warisan
dengan jalan wasiat wajibah yang ketentuan diatur di dalam Pasal 209 KHI.
Kata Kunci : Hukum Warisan, Wasiat Wajibah, Kewarisan Non Muslim.
Pembimbing : Dr. Isnawati Rais, MA.
Daftar Pustaka : Tahun 1973 s.d Tahun 2014.
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa pula penulis haturkan kepada junjungan kita
Nabi besar Muhammad saw beserta kerabat dan para sahabatnya.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda Almarhum H. Rain dan
Ibunda Hj. Iyum Yati yang selalu memberikan dukungan baik materil ataupun moril
serta bimbingan, kasih sayang, dan do’a tanpa kenal lelah dan bosan. Somoga Allah
senantiasa membalas kasih sayang tulus mereka serta memberikan kesehatan, panjang
umur dan senantiasa memberikan perlindungan kepada mereka.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis
temukan. Namun, syukur Alhamdulillah atas rahmat, inayah dan izin-Nya, serta
kesungguhan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung
maupun tidak langsung segala kesulitan dan hambatan yang penulis rasakan dapat
diatasi dengan baik, sehingga pada akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
Maka dari itu, sudah sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin
mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Dr. H. J.M. Muslimin, MA., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
viii
2. Bapak Kamarusdiana, S.Ag, MH dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag. selaku Ketua
Program Studi dan Sekretaris Program studi Hukum Keluarga Islam Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Isnawati Rais, MA. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu, tenaga dan pikiran selama membimbing penulis.
4. Penguji I Bapak Prof. Dr. H. M Atho Mudhar dan Penguji II Ibu Hj. Hotnida
Nasution MA selaku dosen penguji munaqosah terimakasih banyak atas tambahan
ilmunya yang telah merevisi dan memberikan nilai yang memuaskan kepada
penulis, terimakasih banyak atas semuanya.
5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program Studi
Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya
kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.
6. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam pengadaan
referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
7. Kepada kakak-kakak dan adik-adikku yang senantiasa ada dan berupaya
membantuku dalam menempuh kuliah baik berupa semangat, canda tawa, serta
waktu. Terima kasih untuk selalu memberikan semangat dan membantu penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis : Rifki Abdurrahman, NengUzma, Sainah,
Inayah Maily, Khoirunnisa, Arinie, Rena Soraya, Aulia, Fauzan, Fajrul, Zidni,
ix
Fadhilatunisa, Irfan, dan semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2010
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memeberikan semangat
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang
berlipat ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas ketulusan,
kebaikan dan kasih sayang yang telah mereka berikan kepada penulis dengan balasan
yang setimpal.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun senantiasa penulis harapkan untuk perbaikan skripsi ini.
Ciputat, 5 Januari 2015
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................. iv
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... v
ABSTRAK .............................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ............................................................................................ vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ............................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 7
D. Metode Penelitian.......................................................................... 8
E. Review Studi Terdahulu ................................................................ 11
F. Sistematika Penulisan ................................................................... 12
BAB II TEORI MENGENAI WARISAN DAN WASIAT WAJIBAH ...... ..14
A. Pengertian dan Dasar Hukum Warisan ......................................... 14
B. Rukun, Syarat dan Penghalang Mewarisi ..................................... ..20
C. Pengertian Wasiat dan Dasar Hukum Wasiat ............................... 28
D. Wasiat Wajibah menurut Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
....................................................................................................... 33
xi
BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT .............. . 45
A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Jakarta Barat ........................ 45
B. Visi Dan Misa ............................................................................... 48
C. Struktur Organisasi ....................................................................... 49
D. Letak Geografis ............................................................................. 51
E. Laporan Tahunan Perkara 2012 dan 2013 .................................... 52
BAB IV ANALISA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA ........................... 54
A. Duduk Perkara Dan Pihak Yang Terlibat...................................... 54
B. Pertimbangan Dan Putusan Majelis Hakim.... .............................. 61
C. Tinjauan Kompilasi Hukum Islam Terhadap Penetapan Nomor.
86/Pdt.p/2012/PA.JB ..................................................................... 67
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 73
A. Kesimpulan ................................................................................... 73
B. Saran .............................................................................................. 76
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 77
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Surat Mohon Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi
2. Surat Keterangan Permohonan Data/Wawancara
3. Surat Jawaban Pengadilan Agama Jakarta Barat
4. Salinan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat No. 86/Pdt.p/2012/PA.JB
5. Hasil Wawancara Skripsi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah telah menetapkan aturan main bagi kehidupan manusia di atas dunia
ini. Aturan ini dituangkan dalam bentuk titah atau kehendak Allah tentang perbuatan
yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh manusia. Aturan Allah tentang tingkah
laku manusia secara sederhana adalah syariah atau hukum syara’ yang sekarang ini
disebut hukum Islam.
Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan
Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul
sebagai akibat dari suatu kematian. Harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang
telah meninggal memerlukan pengaturan tentang siapa yang berhak menerimanya,
berapa jumlahnya dan bagaimana cara mendapatkannya.1
Pada dasarnya semua harta adalah milik Allah SWT. Manusia diberi harta dan
hak seluas-luasnya atas harta itu sebagai suatu titipan dan sekaligus ujian untuk
digunakan dijalan Allah SWT. Jika harta tersebut digunakan di jalan Allah, maka
Allah akan memberikan pahala yang berlipat-lipat, pahala itulah yang sebelumnya
1 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, cet. 1 2004), h.3.
2
harus dicari. Sementara harta hanyalah sebatas sarana atau alat untuk mendapatkan
pahala tersebut.2
Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam hukum Islam. Ayat-ayat
Al-Quran mengatur waris dengan jelas dan terperinci. Hal ini dapat dimengerti sebab
masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang.3
Aturan tentang waris tersebut ditetapkan oleh Allah melalui Firman-Nya yang
terdapat dalam Al-Quran Surah An-Nisa ayat:7
Artinya: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
karib kerabat; dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bagian yang telah ditetapkan”.
Sebab-sebab kewarisan itu meliputi: pertama, adanya hubungan kekerabatan
atau nasab, seperti ayah, ibu, anak, cucu, saudara-saudara kandung, seayah, seibu, dan
sebagainya. Kedua, adanya hubungan perkawinan yaitu suami istri, meskipun belum
pernah berkumpul, atau telah bercerai, tetapi dalam masa iddah talak raj’i. Ketiga,
adanya hubungan wala’ yaitu hubungan antara bekas budak dengan orang yang
merdekakannya, apabila bekas budak itu tidak mempunyai ahli waris yang berhak
menghabiskan seluruh harta warisan. Dan yang keempat, hubungan sesama Islam,
yaitu baitu mal yang menampung harta warisan orang yang tidak meninggalkan ahli
2 Otje Salman dan Mustafa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung: PT Rafika Aditama,
2006), h. 18.
3 Al-Utsmain dan Syaikh Muhammad bin Shalih, Panduan Praktis Hukum Waris Menurut Al-
Quran dan As-Sunnah Yang Shahi, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2006), h.2.
3
waris sama sekali dengan sebab-sebab tersebut sebelumnya. Dengan demikian, harta
orang Islam yang tidak mempunyai ahli waris itu diwarisi oleh umat Islam.4
Adapun penghalang mewarisi ialah tindakan atau hal-hal yang dapat
menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi beserta adanya sebab-sebab dan syarat-
syarat mewarisi. Penghalang-penghalang kewarisan tersebut meliputi:
Pertama, Perbudakan. Para ulama klasik sepakat bahwa budak tidak berhak
waris karena dianggap tidak cakap mengurusi harta miliknya. Segala sesuatu yang
dimiliki budak secara langsung menjadi milik tuannya, hal ini didasarkan pada nash
Al-Quran dalam Surah An-Nahl ayat: 75.Kedua, Pembunuhan. Para fukaha klasik
sepakat bahwa pembunuhan menjadi penghalang mewarisi bagi si pembunuh
terhadap harta peninggalan orang yang telah dibunuhnya. Hal ini didasarkan pada
sabda Nabi yang mengatakan: “Tidak sesuatu pun bagi pembunuh hak dari
warisan”.Ketiga, Perbedaan Agama. Ketentuan penghalang ketiga ini didasarkan pada
Hadis Nabi yang mengatakan: “Tidak mewarisi seorang muslim terhadap orang kafir,
dan tidak mewarisi orang kafir terhadap orang muslim”.5
Terkait berbeda agama yang dimaksud bagi non Muslim terlarang mewarisi
harta orang Islam, sebaliknya mereka berbeda pendapat tentang boleh tidaknya orang
Islam mewarisi kepada orang non Islam. Jika pada kasus pertama menunjuk
kemungkinan terjadinya murtadnya seorang muslim dari agama Islam berarti
4 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum
Positif di Indonesia, cet. II,(Jakarta: Sinar Grafindo, 2011), h. 74-75.
5 Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2011, h.19
4
terhadap ayah saudara dan anaknya yang beragama Islam ia tidak ada lagi hak
mewarisinya, maka pada kasus kedua boleh jadi dalam keluarga seorang yang bukan
Islam seperti seorang anak laki-lakinya masuk Islam maka bagi kelompok sunni
hubungan kewarisan tetap menjadi terputus dan sebaliknya bagi kelompok Syiah
Imamiyah berpendapat bahwa ia tetap berhak untuk mewarisi orang tuanya yang kafir
(tanpa berhak untuk diwarisi oleh orang kafir).6
Pada dasarnya ketentuan Allah yang berkenaan dengan warisan telah jelas
maksud, arah dan tujuannya. Hal-hal yang memerlukan penjelasan, baik yang sifatnya
menegaskan ataupun merinci, telah disampaikan oleh Rasulullah saw. Melalui
hadisnya. Namun demikian penerapannya masih menimbulkan wacana pemikiran dan
pembahasan di kalangan para pakar hukum Islam yang kemudian dirumuskan dalam
ajaran yang bersifat normatif. Aturan tersebut yang kemudian diabadikan dalam
lembaran kitab fiqih serta menjadi pedoman bagi umat muslim dalam menyelesaikan
permasalahan yang berkenaan dengan kewarisan.7
Para ahli hukum Islam (jumhur ulama) sepakat bahwa orang non Islam (kafir)
tidak dapat mewarisi harta orang Islam lantaran status orang non muslim (kafir) lebih
rendah. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam surah An-Nisa ayat 141:
Artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang
kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”.
6 A. sukri Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, cet. I, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 1997), h. 29.
7Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 5.
5
Dari teori-teori yang telah penulis sampaikan, penulis melihat praktik di
Pengadilan Agama Jakarta Barat yang memutuskan pembagian harta warisan kepada
pewaris non Muslim dengan jalan wasiat wajibah yang besarnya maksimal sepertiga
bagian tetapi tidak boleh lebih besar dari bagian ahli waris yang sederajat.
Berdasarkan pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam perkara No.
86/Pdt.P/2012/PA.JB, setelah dilakukan proses persidangan dan para pemohon hadir
serta telah mengajukan bukti-bukti dan keterangan para saksi yang dinyatakan sah
oleh Majelis Hakim sesuai dengan pasal 165 HIR, bukti-bukti serta keterangan para
saksi dari para pemohon tersebut telah menerangkan secara jelas dan saling berkaitan
satu sama lain dan juga berdasarkan pengakuan dari para pemohon itu sendiri yang
menerangkan bahwa ada salah satu ahli waris yang bernama Pemohon I terbukti
bukan beragama Islam akan tetapi beragama Katolik sampai waktu pewaris
meninggal dunia.
Dalam penetapannya, perkara No. 86/Pdt.P/2012/PA.JB tidak memberikan
bagian waris kepada saudara atau ahli waris yang berbeda agama melalui Kewarisan
Islam dengan alasan yang jelas sesuai dengan hadits Nabi Muhammad saw. yaitu:
ال يرث المسلم الكافر وال الكافر المسلم.
Artinya:“Tidaklah seorang muslim mewarisi seorang non muslim (kafir) dan
tidak pula seorang non muslim (kafir) mewarisi seorang muslim.”
Dan juga di dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf (c)
yang menyatakan bahwa ahli waris adalah “Orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
6
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”8 Ketentuan
keberagamaan seseorang dapat ditentukan lewat identitasnya, hal ini jelas dalam pasal
172 yang berbunyi “Ahli waris dilihat beragama Islam apabila diketahui dari Kartu
Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bayi yang baru lahir
atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.”9
Penulis tertarik melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk skripsi
yang berjudul: Penetapan Bagian Warisan Bagi Anak Non Muslim Dengan
Wasiat Wajibah di Pengadilan Agama Jakarta Barat Dalam Persfektif
Kompilasi Hukum Islam (Analisis Penetapan Nomor. 86/Pdt.p/2012/PA.JB).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak meluas dan menimbulkan
interprestasi yang berbeda dari tujuan penulisan skripsi, maka penulis membatasi
masalah berkenaan dengan wasiat wajibah kepada ahli waris yang berbeda agama
dalam analisis penetapan bagian warisan bagi anak non muslim denganwasiat
wajibah dalam penetapan perkara No. 86/Pdt.p/2012/PA.JB.
2. Perumusan Masalah
Menurut peraturan yang berlaku di dalam Al-Quran, Hadis, maupun
Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa pembagian wasiat wajibah kepada ahli waris
8Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan &
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h.290
9Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan &
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h.290
7
yang berbeda agama tidak dapat diberikan. Dasar hukum berbeda agama sebagai
pengahalang saling mewarisi dalam Al-Quran surah An-Nisa ayat 141:
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang
kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman”.
Sedangkan kenyataan yang ada di lapangan wasiat wajibah dapat diberikan
kepada ahli waris yang berbeda agama seperti yang diputuskan Pengadilan Agama
Jakarta Barat dalam penetapan perkara No. 86/ Pdt.p/2012/ PA.JB.
Rumusan masalah di atas, penulis merinci dalam beberapa pertanyaan sebagai
berikut:
a. Apa dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat
dalam memutuskan Perkara Nomor. 86/Pdt.p/2012/PA.JB?
b. Apa dasar pembagian wasiat wajibah menurut Kompilasi Hukum
Islam?
c. Bagaimana pandangan hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam
terhadap penetapan Nomor. 86/Pdt.p/2012/PA.JB?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Agama
Jakarta Barat dalam memutuskan Perkara No. 86/Pdt.p/2012/PA.JB.
b. Untuk mengetahui dasar pembagian wasiat wajibah menurut
Kompilasi Hukum Islam (KHI).
8
c. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam dan Kompilasi Hukum
Islam terhadap penetapan Nomor. 86/Pdt.p/2012/PA.JB.
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas, hasil studi ini diharapkan bermanfaat bagi:
a. Memperluas pengetahuan hukum, khususnya hukum keperdataan
Islam dibidang kewarisan. Khususnya kewarisan anak non muslim
menurut hukum Islam.
b. Pengembangan wawasan hukum tentang pengetahuan hukum
khususnya perkara-perkara yang menyangkut permaslahan perkara
waris agar menyikapinya secara lebih objektif dengan mengadakan
sosialisasi terhadap masyarakat selalu pelaksana hukum.
c. Dengan adanya penelitian ini akan diperoleh informasi mengenai
penyelesaian kasus tentang pembagian harta waris yang non muslim.
D. Metode Penelitian
Dalam menyususn penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan beberapa
metode, yaitu:
1. Pendekatan Masalah
Penelitian ini merupakan penggabungan dari penelitian pendekatan normative
dan penelitian empiris. Penelitian normative dilakukan dengan cara mempelajari data
sekunder berupa buku-buku dan Kompilasi Hukum Islam yang berkaitan dengan
9
masalah yang dibahas.10
Sedangkan penelitian empiris dilakukan dengan menganalisa
putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat.
2. Jenis Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder, yaitu:
a. Data Primer, yaitu data yang bersifat utama dan penting yang
memungkinkan untuk mendapatkan sejumlah informasi berkaitan
dengan penelitian, yaitu:
1) Salinan putusan atau berkas perkara gugat waris Pengadilan
Agama Jakarta Barat Nomor Perkara 86/Pdt.P/2012/PA.JB.
2) Informasi dari hakim dan atau panitera yang menangani perkara
gugat waris perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor
Perkara 86/Pdt.P/2012/PA.JB.
Kemudian data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan
menghubungkan dengan masalah yang dikaji.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara mengadakan studi
pustaka atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan.
Dokumen yang dimaksud adalah Al-Quran, Al-Hadis, Undang-undang, Kompilasi
10
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta:PT RajawaliPers, 1995), h. 13-14.
10
Hukum Islam dan Peraturan-peraturan lainnya, buku-buku karangan ilmiah serta
buku-buku lainnya yang berkaitan dengan masalah ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a. Menganalisis Putusan pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor Perkara
86/Pdt.P/2012/PA.JB.
b. Interview atau wawancara dengan mengumpulkan data dari responden
yang dipilih yaitu Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat yang
menangani masalah ini.
4. Teknik Analisa Data
Bahan yang telah diperolah lalu diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa
sehingga agar menjadi sistematis dalam menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan. Data-data yang ada dianalisis sehingga dapat membantu sebagai dasar
acuan dan pertimbangan hukum yang berguna dalam pengambilan keputusan
penetapan konsep pembagian waris anak non muslim di Pengadilan Agama Jakarta
Barat.11
Metode penelitian ini juga bersumber dari buku pedoman penulisan
skripsiyang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2012.
11
Burhan Bungi, Metode Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologi Ke Arah Ragam
Varian Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h.36.
11
E. Review Studi Terdahulu
Beberapa penelitian yang penulis temukan yang membahas tentang kajian
yang terkait dengan penelitian ini antara lain adalah:
1. Penulis yang bernama Hilma Yuniasti tahun 2012, dengan judul
skripsi “Pembagian wasiat wajibah kepada ahli waris yang berbeda
agama (Studi analisis putusan Pengadilan Agama perkara Nomor.
339/Pdt.G/2000/PA.JB)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
dasar pertimbangan hakim dalam putusan Nomor
339/Pdt.G/2000/PA.JB serta untuk mengetahui pembagian wasiat
wajibah kepada ahli waris beda agama. Perbedaan dengan penulis
bahas adalah tidak membahas masalah pembagian wasiat wajibah bagi
ahli waris non muslim penulis hanya membahas status ahli waris anak
non muslim menurut pengadilan agama Jakarta Barat No.
86/Pdt.p/2012/PA.JB.
2. Penulis yang bernama Ahya Burhani tahun 2012, dengan judul skripsi
“Status ahli waris non muslim dalam pembagian waris (Analisis
komprarasi penetapan Nomor. 42/P3HP/2007/PA.JS dengan Nomor.
165/Pdt.p/2009/PA.JS)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam
menetapkan perkara komprarasi no. 42/P3HP/2007/PA.JS dengan No.
165/Pdt.p/2009/PA.JS) serta bagaimana status ahli waris non muslim
dalam pembagian harta waris. Perbedaan dengan yang penulis bahas
12
penulis tidak menggunakan analisa komprarasi tetapi penulis hanya
menganalisa dari satu putusan yaitu penetapan pengadilan agama
Jakarta Barat No. 86/Pdt.p/2012/PA.JB.
3. Penulis yang bernama Syarifuddin tahun 2010, dengan judul skripsi
“Praktik pembagian waris beda agama di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan (analisis penetapan perkara No. P3HP/2007/PA.JS).penelitian
ini menganalisa tentang dasar pertimbangan waris beda agama, faktor-
faktor, serta pertimbangan hakim dalam penetapan perkara No.
P3HP/2007/PA.JS). perbedaan dengan penulis adalah tidak membahas
secara meluas tentang penetapan ahli waris beda agama akan tetapi
penulis hanya terbatas pada penetapan ahli waris anak non muslim.
F. Sistematika Penulisan
Sebagai pertimbangan dalam mempermudah penulisan skripsi saya ini,
penulis menyusun melalui sistematika penulisan yang terdiri dari beberapa bab,
dimana pada setiap babnya dibagi atas sub-sub bab, dengan penjelasan yang terinci,
agar memudahkan pembaca.
Berdasarkan pada materi skripsi yang penulis bahas, secara sistematis
penyusun skripsi ini terbagi sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan, berisikan latar belakang masalah, batasan dan rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, studi riview dan
sistematika penulisan.
13
Bab II: Tinjauan teori mengenai warisan anak non muslim, berisikan
pengertian dan dasar hukum warisan, rukun dan syarat waris, pengertian wasiat dan
dasar hukum wasiat dan wasiat wajibah menurut fiqih dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI).
Bab III: Berisikan mengenai pemaparan profil Pengadilan Agama Jakarta
Barat yaitu sejarah singkat Pengadilan Agama Jakarata Barat, visi dan misi, letak
geografis, struktuk organisasi, dan laporan tahunan perkara.
Bab IV: Berisikan mengenai analisis putusan Pengadilan Agama yaitu duduk
perkara dan pihak yang terlibat, pertimbangan dan putusan majelis hakim, dan
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penetapan Nomor. 86/Pdt.p/2012/PA.JB.
BabV: Penutup, berisikan kesimpulan dan saran-saran.
14
BAB II
TINJAUAN TEORI MENGENAI WARISAN NON MUSLIM
A. PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM WARISAN
1. Pengertian Warisan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia warisan adalah sesuatu yang
diwariskan, seperti harta, nama baik, harta pustaka, mendapatkan yang tidak
sedikit jumlahnya.1
Menurut istilah warisan adalah harta diambil dari kata at-tirkah, yaitu
harta yang ditinggalkan mayit secara mutlak. Ibni Hazm menetapkan ini dan
berkata, “Sesungguhnya Allah mewajibkan warisan terkait harta yang
ditinggalkan manusia setelah dia mati, bukan terkait sesuatu yang bukan harta.
Adapun dengan hak-hak, maka tidak ada yang diwariskan kecuali yang
berkaitan dengan harta atau termasuk dalam makna harta. Seperti hak
kebersamaan, pengembangan, dan hak tinggal di tanah yang dimonopoli
untuk bangunan dan penanaman. Ini menurut Madzhab Maliki, Madzhab
Syafi‟i dan Madzhab Hambali mencakup seluruh harta dan hak yang
ditinggalkan oleh mayit, baik hak-hak itu berkaitan dengan harta maupun
yang tidak berkaitan dengan harta.2
1 Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia,
2008), ed.IV, h. 1557.
2 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 5, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), cet-1, h.
605.
15
Dalam rangka memahami kaidah-kaidah serta seluk beluk hukum
waris, hampir tidak dapat dihindarkan untuk terlebih dahulu memahami
beberapa istilah yang lazim dijumpai dan dikenal. Istilah-istilah dimaksud
tentu saja merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengertian hukum
waris itu sendiri. Beberapa istilah tersebut beserta pengertiannya seperti dapat
disimak berikut ini:
a. Waris berarti orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan) orang
yang telah meninggal.
b. Warisan berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat.
c. Pewaris adalah orang yang memberi pusaka, yakni orang yang meninggal
dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun surat
wasiat.
d. Ahli waris yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang
yang berhak menerima harta peninggalan pewaris.
e. Mewarisi yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalah
mewarisi harta peninggalan pewarisnya.3
f. Proses pewarisan istilah proses pewarisan mempunyai dua pengertian atau
dua makna, yaitu:
1) Berarti penerusan atau penunjukan para waris ketika pewaris masih
hidup;
3Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia,
2008), ed.IV, h. 1556-1557.
16
2) Berarti pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.
Dalam rumusan Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf a tentang
hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
kepemilikan harta peninggalan (Tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa
yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Dan
tentang ahli waris Pasal 171 huruf c adalah orang yang pada saat meninggal
dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum menjadi ahli waris.4
2. Sumber Hukum Warisan
Dasar dan sumber utama dari hukum Islam, sebagai hukum agama
Islam adalah nash atau teks yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah
Nabi. Ayat-ayat Al-Qur‟an dan As-Sunnah Nabi yang secara langsung
mengatur kewarisan itu adalah sebagai berikut:5
a. Al-Qur‟an, merupakan sebagian besar sumber hukum waris yang banyak
menjelaskan ketentuan-ketentuan tiap-tiap ahli waris, seperti tercantum
dalam surat An-Nisa ayat 11, 12, dan 176:
1) Surah An-Nisa ayat 11:
4Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (
Jakarta: Direktorat PembinaanPeradilan Agama, 2002), h. 81.
5 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 7.
17
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama
dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,
Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari
Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(QS. An-Nisa : 11).
2) Surah An-Nisa ayat 12:
18
Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.
jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat
yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-
hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan
yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara
seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada
ahli waris). (QS. An-Nisa : 12).
3) Surat An-Nisa ayat 176:
Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu):
jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta
19
yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian
seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu
tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nisa
: 176).
Pada ayat di atas, Allah Swt, menyebutkan bagian warisan untuk
saudara laki-laki dan saudara perempuan yang tidak seibu, di mana keadaan
mereka terbagi menjadi tiga: pertama, bersama-sama tanpa ketentuan bagian
yang tetap. Kedua, jika yang mewarisi perempuan dan dia sendirian, dia
akan mendapatkan ½ (seperdua). Sedangkan bila ahli waris itu dua orang
anak perempuan atau lebih, bagian mereka adalah 2/3 (dua pertiga). Ketiga,
jika yang mewarisi harta peninggalan adalah anak laki-laki dan perempuan,
mereka dapat mewarisi dengan ketetapan anak laki-laki mendapat dua kali
lipat bagian anak perempuan.6
b. Sunnah Nabi
Hadis Nabi Muhammad SAW. Yang secara langsung mengatur
kewarisan adalah sebagai berikut:
1. Hadis Nabi dari Abdullah Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari:
6 Aldizar Addys dan Fathurrahman, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2004), cet. 1, h. 18.
7 Al-Bukhori, Shahih Bukhariy, Juz. IV, (Cairo: Daar wa Mathba‟ Asy-Sya‟biy. t.t.),
h. 181.
20
Artinya: “Berikanlah faraidh (bagian yang ditentukan) itu kepada
yang berhak dan selebihnya berikanlah kepada laki-laki dari
keturunan laki-laki yang terdekat”. (Riwayat Bukhori).
B. RUKUN, SYARAT DAN PENGHALANG MEWARISI
1. Rukun Waris
Rukun menurut bahasa, sesuatu dianggap rukun apabila posisinya kuat
dan dijadikan sandaran, seperti ucapan: “saya berukun kepada Umar”.
Maksudnya adalah “saya bersandar pada pendapat Umar”.
Menurut istilah, rukun adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagian
atas keberadaan sesuatu yang lain. Dengan kata lain, rukun adalah sesuatu
yang keberadaannya mampu menggambarkan sesuatu yang lain, baik sesuatu
itu hanya bagian dari sesuatu yang lain maupun yang mengkhususkan sesuatu
itu.
Dengan demikian, rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk
mewujudkan bagian harta waris di mana bagian harta waris tidak akan
ditemukan bila tidak ada rukun-rukunnya. Rukun-rukun untuk mewarisi ada 3
(tiga):8
1. Al-Muwarrits (الموّرث(, yaitu orang yang meninggal dunia atau mati, baik
mati hakiki maupun mati hukmiy suatu kematian yang dinyatakan oleh
keputusan hakim atas dasar beberapa sebab, kendati sebenarnya ia belum
mati, yang meninggalkan harta atau hak.
8 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Ahkamul-Muwaarits fil
Fiqhil-Islami, (Mesir: Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, 2001), h. 27-28.
21
2. Al-Wa`rits (الوارث), adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan si
Muwarrits lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mewarisi. Pengertian
ahli waris di sini adalah orang yang mendapat harta waris, karena memang
haknya dari lingkungan keluarga pewaris. Namun, tidak semua keluarga
dari pewaris dinamakan ahli waris. Demikian pula orang yang berhak
menerima harta warisan mungkin saja di luar ahli waris.
Dalam Al-Qur‟an surah An-Nisa ayat 8 Allah berfirman:
Artinya: “dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim
dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan
ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik”.(QS. An-Nisa: 8).
3. Al-Mauruts (الموروث), yaitu harta benda yang menjadi warisan. Sebagian
ulama faraidh menyebutkan dengan mirats atau irts. Termasuk dalam
kategori warisan adalah harta-harta atau hak-hak yang mungkin dapat
diwariskan, seperti hak qishash (perdata), hak menahan barang yang
belum dilunasi pembayarannya, dan hak menahan barang gadaian.
Itulah tiga rukun waris. Jika salah satu dari rukun tersebut tidak ada,
waris-mewarisi pun tidak bisa dilakukan. Barang siapa yang meninggal
dunia dan tidak mempunyai harta waris, maka waris-mewarisi pun tidak
bias dilakukan karena tidak terpenuhuinya rukun-rukun waris.
22
2. Syarat Warisan
Lafal syuruth‟ syarat-syarat adalah jamak dari syarth „syarat‟. Menurut
bahasa, syarat berarti tanda, seperti syarth as-sa‟ah „tanda-tanda hari kiamat‟.
Allah Swt berfirman dalah surah Muhammad ayat 18:
Artinya: Maka tidaklah yang mereka tunggu-tunggu melainkan hari kiamat
(yaitu) kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba, karena
Sesungguhnya telah datang tanda-tandanya. Maka Apakah faedahnya bagi
mereka kesadaran mereka itu apabila kiamat sudah datang?
(QS.Muhammad: 8).
Lafazh syarth juga diartikan „pasukan yang menjaga keamanan dengan
tanda‟ karena mereka mempunyai tanda yang mereka ketahui. Sedangkan
syarat menurut istilah adalah sesuatu yang karena ketiadaannya, tidak akan
ada hukum. Misalnya, thaharah „bersuci‟ adalah syarat sahnya solat. Jika tidak
bersuci sebelum melakukan solat, niscaya solatnya tidak sah. Akan tetapi,
melakukan thaharah bukan berarti ketika hendak sholat saja.9
Dengan demikian, apabila tidak ada syarat-syarat waris, berarti tidak
ada pembagian harta waris. Meskipun syarat-syarat waris terpenuhi, tidak
serta merta harta waris dapat langsung dibagikan. Contoh untuk kasus ini
adalah keberadaan ahli waris yang masih hidup merupakan salah satu syarat
untuk mewarisi harta si mayit. Jika syarat hidupnya ahli waris tidak terpenuhi,
9 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Ahkamul-Muwaarits fil
Fiqhil-Islami,h. 28-29.
23
tentunya pembagian harta waris juga tidak bisa dilakukan. Meskipun syarat-
syarat itu telah terpenuhui, tidak serta-merta ahli waris mendapatkan harta
waris, karena ahli waris dapat terhalang oleh ahli waris yang lain untuk
mendapatkan bagian dari harta waris kendati syarat mendapatkan harta waris
telah terpenuhi. Oleh karena itu, persoalan warisan memerlukan syarat-syarat
sebagai berikut.
a. Kematian pihak yang mewariskan dengan kematian yang hakiki atau
berdasarkan penetapan hukum. Misalnya hakim menetapkan kematian
orang yang dinyatakan hilang. Ketetapan hukum ini menjadikannya
seperti orang yang benar-benar sudah mati. Atau kematiannya didasarkan
pada prediksi. Misalnya seseorang melakukan tindak pemukulan terhadap
seorang wanita hamil hingga akibatnya janinnya gugur dalam keadaan
mati. Dalam perkara ini diprediksi bahwa janin yang gugur tersebut
sempat hidup sebelum gugur meskipun belum benar-benar terwujud
setelah itu.
b. Kehidupan ahli waris setelah kematian pemberi warisan meskipun
ditetapkan secara hukum. Seperti janin yang dikandung, dia dinyatakan
hidup dalam pandangan hukum (bukan hakikatnya) tidak lain karena
dimungkinkan bahwa nyawanya masih belum ditiupkan ke dalam dirinya.
Jika kehidupan ahli waris belum diketahui setelah kematian pemberi
warisan, seperti orang yang tenggelam, terbakar, dan tertimpa reruntuhan,
maka tidak ada saling mewarisi di antara mereka jika mereka termasuk
24
orang-orang yang saling mewarisi, dan harta masing-masing dari mereka
dibagikan kepada ahli warisnya yang hidup.
c. Mengetahui sebab-sebab yang mengikat ahli waris dengan si mayit,
seperti garis kekerabatan, perkawinan dan perwalian. Maksudnya, ahli
waris harus mengetahui bahwa dirinya adalah termasuk ahli waris dari
garis kerabat nasab (kerabat yang tidak memperoleh bagian tertentu, tetapi
mendapatkan sisa dari ashab Al-furudh atau mendapat seluruh
peninggalan bila tidak ada ashab Al-furudh seorang pun), atau garis
perkawinan, atau dari garis kerabat nasab dan perkawinan, atau dari garis
wala‟. Hal yang seperti itu diberlakukan karena setiap garis keturunan
memiliki hokum yang berbeda-beda.10
3. Penghalang Mewarisi
Orang yang terhalang hak pewarisannya adalah orang yang memenuhi
sebab pewarisan namun memiliki suatu status pada dirinya yang
menghilangkan keberhakan terhadap warisan darinya. Orang seperti ini
disebut mahrum (orang yang tidak mendapatkan bagian). Faktor-faktor yang
menghalangi mewarisi ada tiga:11
10 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 5, h. 607.
11 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 5, h. 608.
25
a. Perbudakan (hamba sahaya)
Sebagai budak, baik statusnya sebagai budak itu penuh maupun tidak
penuh. Para ulama sepakat bahwa perbudakan merupakan suatu hal yang
menjadi penghalang mewarisi berdasarkan petunjuk umum dari nash
sharih yang menafikan kecakapan bertindak seorang hamba dalam segala
bidang, yaitu Firman Allah Swt surah An-Nahl ayat 76:
Artinya: Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang
seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan Dia menjadi beban atas
penanggungnya, ke mana saja Dia disuruh oleh penanggungnya itu, Dia
tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. samakah orang itu dengan
orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan Dia berada pula di atas
jalan yang lurus? (QS. An-Nahl: 76).
b. Pembunuhan
Pembunuh disengaja yang dilarang. Jika hali waris membunuh
pemberi warisan kepadanya secara zalim, maka menurut kesepakatan
ulama pembunuh itu tidak berhak mendapatkan warisan darinya. Ini
berdasarkan hadis yang diriwayatkan Nasai bahwa Rasulullah Saw
bersabda:
Artinya: “Pembunuh tidak mendapat apa-apa”.
26
Kecuali pembunuhan disengaja lantaran adanya permusuhan. Para
ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Syafi‟i mengatakan, “Setiap
pembunuhan menghalangi warisan meskipun dilakukan oleh anak kecil
atau orang gila, dan walaupun dengan alasan yang dibenarkan, seperti
penerapan sanksi hukum atau qishash”. Mazhab Maliki mengatakan,
“Pembunuhan yang menghalangi warisan adalah pembunuhan disengaja
lantaran permusuhan, baik pembunuhan itu dilakukan secara langsung
maupun dengan perantara”. Undang-undang yang berlaku menerapkan
Mazhab Maliki ini yang tertera pada butir kelima darinya yang berbunyi:
“Di antara faktor-faktor yang menghalangi warisan adalah pembunuhan
terhadap pemberi warisan dengan disengaja, baik pembunuhan itu yang
melakukannya sendiri, sebagai salah seorang yang terlibat dalam
pembunuhan itu yang melakukannya sendiri, sebagai salah seorang yang
terlibat dalam pembunuhan, maupun sebagai saksi palsu yang secara
hukum kesaksiannya berkonsekwensi pada hukuman mati dan
pelaksanaanya, jika pembunuhan itu tidak dibenarkan tidak pula dengan
alasan tertentu. Dengan ketentuan, pembunuh berakal sehat, baligh yang
telah mencapai usia lima belas tahun. Yang dikategorikan sebagai alasan
adalah pembelaan yang dilindungi secara hukum terhadap tindak
kesewenang-wenangan.
27
c. Perbedaan Agama
Perbedaan agama. Muslim tidak dapat mewarisi kafir, dan kafir
pun tidak dapat mewarisi muslim. Ini berdasarkan hadis yang
diriwayatkan Bukhari Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah dari
Usamah bin Zaid, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
Artinya: “Muslim tidak mewarisi kafir, dan kafir tidak mewarisi
muslim”.
Ada riwayat lain dari Mu‟adz, Mu‟awiyah, Ibnu Musayyab,
Masruq, dan Nakha‟I bahwa sesungguhnya seorang muslim itu mewarisi
dari seorang kafir namun tidak sebaliknya. Sama seperti seorang muslim
laki-laki boleh menikah dengan kafir perempuan dan seorang muslim
perempuan tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir. Orang-orang non
muslim boleh saling mewarisi satu sama lain karena dianggap memeluk
satu agama.12
Dari pemaparan teori tentang penghalang mewarisi terdapat tiga hal
yang menyebabkan seseorang tidak berhak mewarisi harta si pewaris yakni,
berbudakan, pembunuhan, dan perbedaan agama. Salah satunya dari ketiga
hal tersebut yaitu perbedaan agama, penulis mengangkatnya dengan judul
dalam pokok bahasan penelitian penulis di Pengadilan Agama.
12
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 5, h. 609
28
C. PENGERTIAN WASIAT DAN DASAR HUKUM WASIAT
1. Pengertian Wasiat
Istilah wasiat berasal dari bahasa Arab yang berarti taushiyah, kata
kerjanya berasal dari ausha, dan secara etimologi wasiat berarti pesan, nasehat
dan juga diartikan mensyariatkan.13
Diartikan juga oleh Wahbah Zuhaili
dalam bukunya Fiqih Islam Wa Adillatuhu sebagai janji kepada orang lain
untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu semasa hidupnya atau setelah
meninggalnya: aushaitu lahu au ilaih; aku memberikan pesan atau perintah
untuknya; berarti aku menjadikannya sebagai washi (pelaksana) yang akan
menguasai orang setelahnya (pihak penerima/ mushaa „alaih). Artinya ini
popular dengan istilah kata washaayah.14
Secara terminologis, Sayyid Sabiq mengemukakan wasiat adalah
pemberian seorang kepada orang lain, berupa benda, piutang, atau manfaat,
agar si penerima memiliki pemberian itu setelah si pewasiat meninggal
dunia.15
Dalam pengertian syara`, wasiat adalah pernyataan atau perkataan
seseorang kepada orang lain bahwa ia memberikan hartanya kepada orang
13
Sidik Tono, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan,
(Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia, 2012), h. 43.
14
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Jilid. X, Penerjemah. Abdul Hayyie
al-Kattani, dkk, Cet.I, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 154.
15
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 5, h. 588.
29
lain, membebaskan utang orang itu atau memberi manfaat sesuatu barang
kepunyaan setelah ia meninggal dunia.16
Dalam kamus besar bahasa Indonesia wasiat adalah pesan terakhir
yang disampaikan oleh orang yang akan meninggal (biasanya berkenaan
dengan harta kekayaan dan sebagainya).17
Wasiat dalam pengertian ilmu fiqih (hukum Islam) adalah sebagai
berikut:
a. Menurut al-Ibyani, wasiat adalah system kepemilikan yang disandarkan
kepada keadaan sesudah matinya orang yang berwasiat secara sukarela,
dapat berupa benda atau manfaatnya.
b. Menurut Sayid Sabiq, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang
lain, baik berupa benda, hutang atau manfaat dengan syarat orang yang
menerima wasiat itu memiliki kemampuan menerima hibbah setelah
matinya orang yang berwasiat. Sedangkan pengertian wasiat menurut
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 171 huruf (f), yaitu “pemberian
suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan
berlaku setelah pewaris meninggal dunia”. 18
16
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 5, cet.IV, (Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 194.
17
Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), h. 1270.
18
Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang
Kompilasi Hukum Islam, cet. II, (Bandung, Fokusmedia, 2007), h. 56.
30
Dapat disimpulkan bahwa wasiat adalah pesan terakhir yang
disampaikan oleh orang yang akan meninggal (biasanya berkenaan dengan
harta kekayaan dan sebgainya), sedangkan wasiat wajibah adalah tindakan
yang dilakukan pengusa atau hakim sebagai aparat Negara untuk memaksa
atau memberi putusan wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia, yang
diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula. Maka wasiat dan
wasiat wajibah memiliki titik temu yakni kedua-duanya berupa perintah untuk
melaksanakan suatu pekerjaan tertentu yang pelaksanaannya berlaku setelah
meninggalnya pewasiat atau ahli waris.
2. Dasar Hukum Wasiat
Dasar hukum wasiat itu ialah Al-Qur‟an, As-Sunnah, Ijma serta dalam
konteks hukum Islam di Indonesia Kompilasi Hukum Islam merupakan aturan
yang dipedomani.19
Dasar hukum wasiat yaitu:
a. Al-Qur‟an
Sebagaimana Firman Allah SWT surah Al-baqarah ayat 180:
Artinya: “diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah,2:
180).
19
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. VI, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003), h. 440.
31
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu
menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah
(wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua
orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan
dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian”. (QS. Al-Ma‟idah, 5:
106).
Ayat tersebut memberikan petunjuk perlunya persaksian yang adil
dalam wasiat, yakni pemberian kesaksian yang sebenarnya, dan akan lebih
memberi keyakinan apabila saksi itu disumpah terlebih dahulu sebelum
memberikan kesaksiannya, tetapi apabila terdapat kecurigaan dalam
persaksian tersebut maka ahli waris boleh mengganti saksi sampai
ditemukan saksi yang adil meskipun berlainan agama.20
b. As-Sunnah
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya: “Rasulullah SAW bersabda: bukanlah hak seorang muslim yang
mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat)
selama dua malam, kecuali wasiatnya telah dicatat disisi-Nya”. (Mutafaq
Alaih).
20
Sidik Tono, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, h.
50. 21
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz. III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h. 186.
32
Selain itu hadis yang diriwayatkan oleh Sa‟ad bin Abi Waqqas r.a.
ujarnya:
Artinya: “Rasulullah Saw datang mengunjungi saya ketika berada di
Mekkah (kota yang ditinggalkan Nabi tidak suka mati didalamnya) pada
saat saya menderita sakit keras. Rasulullah mendoakan: semoga Allah
Merahmati mu wahai Ibn „Afra. Saya bertanya kepada Rasul: bolehkah
saya mewasiatkan seluruhnya harta? Rasulullah menjawab: tidak, saya
pun bertanya kembali: separuh wahai Rasul? Rasulullah menjawab:
tidak. Saya pun bertanya kembali: sepertiga wahai Rasulullah?
Rasulullah menjawab: berikanlah sepertiga, karena sepertiga sudah
banyak adalah lebih baik meninggalkan ahli waris dalam keadaan kaya
dari pada dalam keadaan miskin yang menadahkan tangan kepada orang
banyak. (HR. Bukhori).
Hadis-hadis tersebut yang bersumber dari sanad yang sama, yaitu
Sa‟ad bin Abi Waqqas, meskipun redaksi yang berbeda, dengan melihat
perawinya Imam al-Bukhari dan Muslim, cukup kuat dijadikan dasar
hukum pelaksanaan wasiat. Dengan demikian dapat dipahami wasiat itu
penting, selain sebagai pelaksanaan ibadah dan juga untuk investasi
kehidupan di akhirat, ia akan memberi manfaat bagi kepentingan orang
lain atau masyarakat pada umumnya. Meskipun realisasinya dibatasi
maksimal 1/3 dari harta si pewaris. Ini dimaksudkan agar hak-hak ahli
22
Abi „abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah Al-Bukhori,
Shohih al-Bukhori, Juz, 5 (Mesir: 1985), h. 5.
33
waris tidak terkurangi, sehingga mengakibatkan kehidupan mereka
terlantar.23
c. Ijma
Kaum muslimin sepakat bahwa pelaksanaan wasiat merupakan
syariat Allah dan Rasul-Nya. Ijma demikian di dasarkan pada ayat-ayat
Al-Qur‟an dan as-Sunnah seperti dikutip diatas.24
Menurut penulis dasar hukum wasiat di atas dengan wasiat
wajibah masih berkaitan dikarenakan dasar hukum wasiat wajibah sama
dengan seperti dasar hukum wasiat. Dikarenakan wasiat wajibah adalah
salah satu pembaruan hukum Islam dan secara tekstual tidak terdapat
dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah.
D. Wasiat Wajibah Menurut Fiqih Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
1. Wasiat Wajibah Menurut Fiqih
Wasiat wajibah adalah wasiat yang harus dilaksanakan otomatis oleh
Pengadilan Agama sekalipun tidak diwasiatkan sebelum orang yang berwasiat
meninggal. Di Indonesia sendiri konsep wasiat wajibah ini dipakai untuk
menyelesaikan permasalahan anak angkat.25
23
Al-Faqih Abdul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd,
Biyadatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid. Penerjemah Imam Ghazali Said, dkk,
(Jakarta: Pustaka Amani, 2007), h. 369-370.
24
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 445.
25
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, cet. VIII, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), h. 110.
34
Sedangkan di kalangan ulama Imam Mazhab istilah al-wasiyyah al-
wajibah (wasiat wajibah), yaitu suatu wasiat yang diperuntukan kepada para
ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari
orang yang wafat, karena adanya halangan syarak, misalnya berwasiat kepada
ibu atau ayah yang beragama non Muslim, karena berbeda agama menjadi
penghalang bagi seseorang untuk menerima warisan.26
Pada dasarnya memberikan wasiat merupakan tindakan ikhtiyariyah,
yakni suatu tindakan yang dilakukan atas dorongan kemauan sendiri dalam
keadaan bagaimanapun. Dengan demikian, pada dasarnya seseorang bebas
apakah membuat atau tidak membuat wasiat. Akan tetapi, sebagian ulama
berpendapat bahwa kebebasan untuk membuat wasiat atau tidak, itu hanya
berlaku untuk orang-orang yang bukan kerabat dekat. Mereka berpendapat
bahwa untuk kerabat dekat yang tidak mendapatkan warisan, seseorang wajib
membuat wasiat.27
Dalam menetapkan hukum wasiat wajibah ini terdapat perbedaan
pendapat ulama. Jumhur ulama, termasuk mazhab yang empat, berpendapat
wasiat seperti ini sifatnya hanya dianjurkan, bukan wajib, dengan tujuan untuk
membantu meringankan yang bersangkutan dalam menghadapi kesulitan
26
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. VI, (Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve), h. 1930.
27
Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di
Indonesia, cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 148.
35
hidup. Akan tetapi sebagian ulama fikih lainnya, seperti Ibnu Hazm, Imam
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir at-Tabari dan Abu Bakr bin Abdul Aziz
berpendapat bahwa wasiat seperti ini hukumnya wajib, dengan alasan Surah
Al-Baqarah ayat 180. Menurut mereka, perintah untuk berwasiat dalam ayat
itu adalah untuk para ahli waris yang terhalang mendapatkan warisan.28
2. Pembagian Wasiat Wajibah Menurut Fiqih
a. Pendapat yang Memberlakukan Wasiat Wajibah
Sebagian ulama berpendapat wasiat kepada ibu, bapak dan kerabat
masih tetap diberlakukan. Mereka yang berpendapat demikian diantaranya
yaitu Abi Abdillah Muhammad bin Umar al-Razi, Sayyid Qutub,
Muhammad Abduh, Qatadah, Muqattil bin Hayya, Ibnu Abbas dan al-
Hasan.29
Ulama yang memberlakukan wasiat wajibah tersebut mengemukakan
alasan kebolehannya dapat dikategorikan pada tiga kelompok, yaitu:
1) Kelompok yang menyatakan seluruh ayat al-Qur‟an adalah muhkamat,
artinya tidak ada nasakh (nasikh mansukh) dalam al-Qur‟an. Jadi ayat
180 surat al-Baqarah tersebut (ayat wasiat) tidak dinasakh (dihapus
atau dihilangkan hukumnya) baik oleh ayat-ayat (mawaris) al-Qur‟an
maupun al-Hadis.
28 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. VI, h. 1930.
29 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris: Hukum Kewarisan
Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 164.
36
2) Kelompok yang menyatakan bahwa ayat washiyat tersebut (QS. Al-
Baqarah ayat 180) yang bersifat umum yakni meliputi ibu bapak dan
kerabat, ditakhsis oleh ayat mawaris (QS.An-Nisa ayat 11-12) dan
hadis menyatakan bahwa tidak ada wasiat bagi ahli waris. Jadi
menurut mereka ayat 180 surat Al-Baqarah tersebut hanya berlaku
untuk ibu bapak dan kerabat yang menurut ketentuan umum pewaris
tidak mendapat bagian (penerimaan) harta peninggalan pewaris.
Sedangkan ibu bapak dan kerabat yang mendapatkan warisan
dikeluarkan keumuman ayat wasiat diatas.
3) Kelompok yang menyatakan surat Al-Baqarah ayat 180 tersebut
dinasakh oleh ayat mawaris tetapi hanya sebagian yakni sebatas ibu,
bapak dan kerabat yang mendapatkan harta peninggalan. Jadi, ayat
tersebut masih berlaku bagi ibu bapak dan kerabat yang tidak menjadi
ahli waris atau tidak menerima bagian warisan (mereka tidak termasuk
bagian yang dinasakh). Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, al-Hasan,
Masruq, al-Dhahak, Muslim bin Yassar dan al-„Ala bin Ziyad.30
b. Pendapat Yang Tidak Memberlakukan Wasiat Wajibah
Menurut pendapat Ibnu Umar dan Baidhawi menyatakan bahwa
ketentuan wasiat wajibah bagi walidain dan aqrabin yang tidak
mendapatkan bagian (penerimaan) harta peninggalan, dalam ayat 180
30
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata Fiqh Mawaris : Hukum Kewarisan
Islam, h. 165.
37
surah Al-Baqarah, tetap ada dan diberlakukan, ada pula yang menyatakan
bahwa ketentuan tersebut telah dinasakh, dan dinyatakan tidak berlaku
lagi.
Ulama yang menyatakan tidak ada ketentuan wasiat wajibah,
dalam mengemukakan ketidakberlakuannya, dapat dikategorikan ke dalam
empat kelompok, yaitu:
1) Kelompok yang menyatakan bahwa ketentuan wasiat wajibah, dalam
ayat 180 surat al-Baqarah tidak dapat diberlakukan karena ayat-ayat
tersebut telah dinasakh oleh ayat-ayat mawaris.
2) Kelompok yang menyatakan bahwa ketentuan wasiat wajibah dalam
ayat 180 surat Al-Baqarah tidak dapat diterapkan dan dilaksanakan
karena ayat tersebut telah dinasakh oleh hadis la washiyyata li
waritsin, bukan oleh ayat-ayat mawaris.
3) Kelompok yang menyatakan wasiat wajibah dalam ayat 180 surat Al-
Baqarah tidak dapat diberlakukan karena telah dinasakh oleh ayat
mawaris dan hadis Rasulullah SAW. Ini adalah pendapat al-Baidhawi.
4) Kelompok yang menyatakan bahwa ketentuan wasiat wajibah dalam
ayat 180 surat Al-Baqarah tidak dapat diterapkan dan dilaksanakan
karena ayat tersebut telah dinasakh oleh ijma‟. Ini adalah pendapat
Ibnu Katsir.
Dari uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa perbedaan pendapat para
ulama mengenai keberadaan ketentuan wasiat wajibah terletak pada
38
pemberlakuan mereka mengenai nasakh (dihapus atau dihilangkan hukumnya)
terhadap nash (Al-Qur‟an). Mereka yang menyatakan ayat Al-Qur‟an
(termasuk ayat 180 surah Al-Baqarah) dapat dinasakh, baik oleh ayat Al-
Qur‟an, al-Hadis, maupun Ijma‟, sama sekali tidak membolehkan wasiat
wajibah. Sedangkan mereka yang tidak memberlakukan nasakh, mereka yang
memberlakukan nasakh tetapi terhadap ayat 180 surah Al-Baqarah tersebut
hanya nasakh sebagian, dan mereka yang menyatakan bahwa ayat tersebut
hanya ditakhshish oleh ayat mawaris, membolehkan pemberian wasiat
wajibah terhadap walidain dan aqrabin yang tidak mendapatkan bagian
(penerimaan) harta peninggalan pewaris.
Pembagian Wasiat Wajibah Menurut Kompilasi Hukum Islam
Ketentuan wasiat wajibah, pada hakikatnya diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) di Indonesia, yaitu untuk anak atau orang tua angkat
diatur bagiannya sebagaimana ahli waris lainnya. Adapun bagiannya seperti
yang tertera dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa:
a. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176 sampai
dengan 193 KHI. Sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak
menerima wasiat diberi wasiat wajibah, sebanyak-banyaknya 1/3 dari
harta warisan anaknya.
b. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat, diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
39
Kutipan di atas untuk menunjukkan bahwa KHI hanya membatasi
pemberian wasiat wajibah pada anak angkat atau orang tua angkat.31
Menurut penjelasan diatas penulis dapat menyimpulkan Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia mempunyai ketentuan tersendiri tentang konsep
wasiat wajibah ini, yaitu membatasi orang berhak menerima wasiat wajibah
ini hanya kepada anak angkat dan orang tua angkat saja. Dalam Pasal 209
Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa harta peninggalan anak angkat
dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193. Terhadap orang tua
angkat yang tidak menerima wasiat diberikan wasiat wajibah sebanyak
sepertiga dari harta warisan anak angkatnya. Sedangkan terhadap anak angkat
yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak sepertiga dari
harta orang tua angkatnya. Tidak diketahui pasti mengapa Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia memberikan konsep wasiat wajibah ini hanya terbatas
kepada anak angkat dan orang tua angkat saja.
Ketentuan wasiat wajibah, sampai saat ini, masih belum dilaksanakan
oleh umat Islam, khususnya di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan
yang berkembang di tengah-tengah masyarakat yang menunjukkan bahwa
ketentuan wasiat wajibah tersebut belum memasyarakat, dan banyak
Pengadilan Agama yang masih tetap berpegang pada prinsip Hajb mahjub
serta tidak memberikan bagian kepada dzawil ahram selama masih ada
31
Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang
Kompilasi Hukum Islam, cet. II, (Bandung, Fokusmedia, 2007), h. 66.
40
ashhabul furudh dan `ashabah (kalaupun ada beberapa pengadilan yang telah
melaksanakannya, itu pun tidak secara tegas mengikuti prinsip wasiat
wajibah).
Kenyataan yang terjadi di Indonesia, agaknya juga dialami oleh
Negara-negara mayoritas Islam lainnya. Karena menurut pendapat Suparman
Usman hanya ada lima Negara, yakni Mesir, Pakistan, Tunisia, Syiria dan
Maroko, yang telah melaksanakan ketentuan wasiat wajibah tersebut
(memasukannya dalam perundang-undangan).32
Sedangkan menurut Tahir
Mahmood ada enam Negara, yakni Mesir, Pakistan, Tunisia, Syiria, Maroko
dan Jordania.
Di bawah ini di jelaskan ketentuan wasiat wajibah yang diberlakukan
di tiga Neagara (dari lima negara tersebut):33
1. Ketentuan wasiat wajibah di Mesir termuat dalam “Qanunul Wasiat”
(Egyption Law of Bequest), yaitu Undang-undang Wasiat Mesir Nomor
71 Tahun 1946.
Pasal 76
“Maka wajiblah diberikan wasiat kepada keturunan tersebut sebesar
bagian ini (yaitu bagian warisan yang mestinya diterima oleh orang
tuanya seandainya ia masih hidup) dalam batas maksimal 1/3, dengan
32 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata Fiqh Mawaris : Hukum Kewarisan
Islam, h. 176.
33 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata Fiqh Mawaris : Hukum Kewarisan
Islam, h. 177-179.
41
syarat ia bukan ahli waris dan tidak pernah mendapat hadiah dari
pewaris sebesar kewajiban tersebut, apabila nilainya lebih kecil dari
jumlah kewajiban tersebut, maka wajib diberikan kepadanya wasiat
sekedar menyempurnakan atau melengkapi jumlah bagian yang
diwajibkan tersebut”.
Pasal 77
“Apabila si mayit berwasiat kepada orang yang wajib baginya wasiat
melebihi dari jumlah yang seharusnya ia terima, maka kelebihannya itu
adalah wasiat ikhtiyariyah. Sedangkan apabila wasiatnya kurang dari
apa yang seharusnya ia terima, maka wajiblah untuk disempurnakan atau
dipenuhi bagiannya itu”.
Pasal 78
“wasiat wajibah didahulukan dari wasiat yang lainnya. Apabila mayit
tidak berwasiat kepada orang yang wajib baginya berwasiat, dan ia
berwasiat kepada yang lainnya, maka orang yang wajib baginya wasiat
tersebut berhak menerima bagian yang seharusnya ia terima dari sisa 1/3
tirkah seandainya mencukupi. Apabila tidak, maka baginya dan bagi
yang diberi wasiat lainnya dalam batas 1/3 tersebut.
2. Prinsip-prinsip ketentuan wasiat wajibah yang diberlakukan di Mesir,
dengan sedikit perubahan, dimuat dalam perundang-undangan Maroko,
yakni Code of Personal Status, yang tercantum pada Pasal 266 sampai
dengan 269.
42
Perbedaan mendasar dari kedua perundang-undangan tersebut terletak
pada cucu yang mana sajakah yang berhak menerima wasiat wajibah. Hal
ini sebagaimana dikemukakan Abdullah Siddik sebagai berikut:
“Menurut Undang-undang Maroko wasiat wajibah dilakukan terhadap
keturunan dari seluruh generasi, tetapi hanya dari anak laki-laki yang
mati lebih dahulu dari si mayit”.
Dari uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa menurut Undang-undang
Maroko orang yang berhak menerima wasiat wajibah hanyalah para cucu
(dan seterusnya ke bawah) dari keturunan anak laki-laki, sedangkan cucu
atau para cucu dari keturunan anak perempuan (sekalipun dalam tingkat
pertama) tidak berhak menerimanya. Ketentuan wasiat wajibah yang
diberlakukan di Maroko tersebut sama dengan ketentuan yang
diberlakukan di Suriah.
3. Sebagaimana di Maroko, prinsip-prinsip ketentuan wasiat wajibah yang
diberlakukan di Mesir, dengan sedikit perubahan, dimuat dan
diberlakukan pula di Tunisia, yakni dalam Qanunul ahwalussyahsiyah
(Tunisia Law Personal Status).
Perbedaannya terletak pada ketentuan yang menyatakan bahwa
penerimaan wasiat wajibah hanya diberikan kepada cucu atau para cucu,
baik laki-laki maupun perempuan dari anak laki-laki atau anak
perempuan dalam tingkat pertama (first generation).
43
“Mengenai wasiat wajibah artikel 192 menetapkan yang menyimpang
sedikit dari ketentuan Undang-undnag Mesir bahwa wasiat wajib dapat
dilakukan hanya terhadap para cucu, baik laki-laki maupun perempuan
yang mati lebih dulu dari si pewaris, yaitu lelaki mendapat dua bagian
dan perempuan satu bagian”.
4. prinsip-prinsip ketentuan wasiat wajibah yang diberlakukan di Jordania
jika seseorang meninggal dan anak laki-lakinya telah telah meninggal
sebelum atau bersanya meninggalkan anak-anak sendiri, aka nada
kewajiban bagi anak cucunya tersebut dari 1/3 warisan sahnya dihibahkan
sebanyak yang ditentukan dibawah ini:
(a) kewajiban Hibah untuk anak cucu tersebut harus setara dengan
pembagian yang ayahnya miliki di dalam warisan jika dia masih
hidup; tetapi tidak melebihi 1/3 dari warisan
(b) anak cucu tersebut tidak berhak terhadap hibah jika mereka adalah ahli
waris dari leluhur ayahnya, kake atau nenek; atau dimana dia telah
diwariskan atau dihadiahi oleh mereka semasa hidupnya bila dia telah
diwariskan oleh mereka kurang dari itu, saldo akan jatuh tempo, dan
jika dia telah diwariskan lebih dari itu maka kelebihannya harus
dianggap sebagai warisan tambahan; dan jika dia telah diwariskan oleh
hanya beberapa dari mereka, yang lain harus diberikan jatuh
temponya;
44
(c) warisan itu harus untuk anak laki-laki dan anak dari anaknya anak
laki-laki, betapapun kecilnya, satu atau lebih, harus memenuhi aturan
pembagian ganda untuk laki-laki dan pengecualian oleh masing-
masing leluhur dari keturunannya tetapi bukan dari yang lain; dan
setiap keturunan mendapatkan bagian dari leluhurnya saja.
(d) Kewajiban hibah tersebut harus diprioritaskan diatas warisan
tambahan dalam pembuangan dari 1/3 warisan.34
Dari uraian di atas, dapat dipahami Pertama, menurut Undang-undang
Mesir yang berhak menerima wasiat wajibah adalah keturunan dari anak laki-
laki seluruh generasi sedangkan keturunan dari anak perempuan hanya
generasi pertama saja. Kedua, menurut Undang-undang Maroko dan Suriah
yang berhak menerima wasiat wajibah hanyalah keturunan dari anak laki-laki
sedangkan keturunan dari anak perempuan sekalipun generasi pertama tidak
berhak menerima wasiat wajibah tersebut. Sedangkan yang Ketiga, menurut
Undang-undang Tunisia orang yang berhak menerima wasiat wajibah hanya
keturunan generasi pertama dari anak laki-laki maupun perempuan.
34
Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries, (New Delhi: Times Press,
1987), h. 86.
45
BAB III
PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT
A. SEJARAH SINGKAT PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT
Sebagai salah satu Pengadilan Agama yang berada di wilayah Jawa-
Madura, semula eksistensi dan kewenangan absolutnya berdasarkan Stbl.1882
No. 152 dan Stbl 1937 No.116 dan 610, berada diawah Mahkamah Islam Tinggi
Surakarta. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 71
Tahun 1976 dengan telah dibentuknya Cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung,
maka Pengadilan Agama Jakarta Barat berada dibawah cabang Mahkamah Islam
Tinggi Bandung tersebut.
Selanjutnya istilah Mahkamah Islam Tinggi dirubah menjadi Pengadilan
Tinggi (PTA). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 61 Tahun
1985 tanggal 16 Juli 1985 Pengadilan Tinggi Agama Surakarta dipindahkan ke
Jakarta yang realisasi perpindahan tersebut baru terlaksana pada tanggal 30
Oktober 1987. Dengan demikian secara otomatis wilayah hukum Pengadilan
Agama yang ada di Jakarta yang semula termasuk wilayah hukum Pengadilan
Tinggi Agama Bandung menjadi wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama
Jakarta.
Berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 69 Tahun 1963 kantor
Pengadilan Agama Jakarta Barat di bentuk, sejak ditetapkan menjadi Pengadilan
Agama Jakarta Barat yang berdiri sendiri, semula Pengadilan Agama Jakarta
Barat berkantor di Bendungan Hilir, kemudian pindah kantor ke Gedung
46
Fatahilah (sekarang gedung museum fatahilah) milik Pemda DKI Jakarta, dan
setelah itu kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat pindah dan menempati tanah
wakaf yang dipinjamkan oleh ahli waris dari Yayasan Pendidikan Al Islamiyah
yang berada di wilayah Kampung Kecil Kebayoran Lama selama kurang lebih 20
tahun, setelah itu baru menempati gedung Pemerintah daerah DKI Jakarta yang
terletak di wilayah Cengkareng Barat hingga saat ini. Sejak diundangkannya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana
telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, maka
makin jelas peran dan kewenangan Pengadilan Agama umumnya dan khususnya
Pengadilan Agama Jakarta Barat di wilayah yuridiksinya.
Sejak ditetapkanya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 yang
merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka pembinaan administrasi
dan financial Pengadilan Agama khususnya Pengadilan Agama Jakarta Barat
yang semula berada di bawah Departemen Agama dialihkan ke Mahkamah
Agung beserta badan-badan peradilan lainnya. Berdasarkan Kepres Nomor 21
Tahun 2004 bagi peradilan agama, peralihan tersebut efektif mulai tahun 2004.
Pengadilan Agama Jakarta Barat sejak berdirinya hingga saat ini telah dipimpin
oleh 14 (empat belas) orang Ketua yaitu :
47
No. Nama Pimpinan Periode
1 KH. A.Rafie bin M.Toha Periode 1967 hingga 1973;
2 H. Alimi, B.A Periode 1973 hingga 1982;
3 Drs. H. Muhail Periode 1982 hingga 1988;
4 H. Abdullah, S.H. Periode 1988 hingga 1993;
5 Drs. H.W.S. Mustofa, S.H.,M.H. Periode 1993 hingga 1997;
6 Drs. H.M.Kosasih, S.H.,M.H. Periode 1997 hingga 1999;
7 Drs. H.M.Yamin A., S.H.,M.H. Periode 1999 hingga 2002;
8 Drs. H.M.Harahaf, S.H., M.H. Periode 2002 hingga 2004;
9 Drs. Purwosusilo, S.H., M.H. Periode 2004;
10 Drs. H.M. Samun Abduh, SQ Periode 2004 hingga 2006;
11 Drs. H. Harun, S.H. Periode 2006 hingga 2008;
12 Drs. H. Musfizal Musa, S.H.,M.H. Periode 2008 hingga 2011;
13 Drs. H. Yusuf Buchori, SH., MSI Periode 2011 hingga 2013;
14 Drs. H. Abd. Hakim, MHI. Periode 2013 hingga saat ini;
Pengadilan agama Jakarta Barat sebagaimana instansi yang melaksanakan
tugas kekuasaan kehakiman dalam menjalankan tugasnya yang menjadi landasan
hukum dan landasan kerjanya adalah:
1. Undang-undang Dasar 1945
2. Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan
kehakiman
3. Undnag-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
4. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tetang Perkawinan
5. Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama
6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan
undang-undang Nomor 1 tahun 1974.
48
7. Keputusan Menteri Agama RI Nomor KMA/ 004/ SK/ II/ 1992 tanggal 24
Februari 1992 tentang susunan organisasi dan tata kerja kepaniteraan
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dan Keputusan Menteri
Agama RI Nomor 303 tahun 1990 tentang susunan organisasi dan tata kerja
kesekertariatan Pengdilan Agama dan Pengadilan TinggiAgama.
8. Keputusan Menteri Agama RI Nomor KMA/ 001/ SK/ I/ 1991 tanggal 24
Januari 1991 tentang pola pidana dalam Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama.
9. Keputusan Menteri Agama RI Nomor KMA/006/ SK/ III/ 1994 tentang
pengawasan dan evaluasi atas hasil pengawasan oleh pengadilan tingkat
banding dan pengadilan tingkat pertama.
10. Undang-undang dan Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan
dengan tugas dan wewenang Pengadilan Agama.
11. Keputusan Presiden Nomor 21 tahun 2004 tentang perubahan satu bab
dibawah Mahkamah Agung RI.1
B. VISI DAN MISI
A. VISI
Mewujudkan Badan Peradilan Yang Agung
B. MISI
Memberikan pelayanan terhadap masyarakat dengan proses sederhana,
cepat dan biaya ringan serta ramah dalam melayani masyarakat pencari
1 Pengadilan Agama Jakarta Barat, artikel diakses pada 29 Juni 2014 dari http://pajb.net
49
keadilan. Mewujudkan rasa keadilan pada masyarakat pencari keadilan sesuai
dengan UU dan Peraturan hukum yang berlaku. Melakukan kekuasaan
kehakiman yang mandiri dan tidak memihak serta terhindar dari campur
tangan pihak lain.
Memperbaiki akses pelayanan agar masyarakat dapat mudah untuk
mendapatkan informasi. Mewujudkan institusi peradilan yang bermatabat dan
moralitas agar masyarakat dapat dipercaya dan menghormatinya. Membuka
akses informasi secara luas dengan mengunakan sarana informasi teknologi.
C. STRUKTUR ORGANISASI
Berdasarkan surat keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 004
tahun 1992 tentang susunan organisasi serta surat keputusan Menteri Agama
RI Nomor 303 tahun 1990 tentang susunan organisasi ditetapkan bahwa
struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Barat sebgaimana berlaku pada
Pengadilan Agama di lingkungan Departemen Agama RI, adalah sebagai
berikut:
a. Ketua : Drs. Abdul Hakim, MH.
b. Wakil Ketua : Drs. H. Moch Sukkri, SH, MH
c. Dewan Hakim : 1. Drs. H. M. Ridwan Ustha E, MH
2. Drs. Masiran Malkan
3. Drs. Hafni Nalisa
4. Drs. H. Dahlan Siregar, SH, MH
5. Drs. H. Ahmad, M. Hum
50
6. Drs. H. Ubaidillah
7. Drs. H. Shonhaji, MH
8. Drs. H Badruddin, MH
9. Drs. M. Rizal, SH, MH
d. Panitera / Sekertaris : Eliakim Sihotang, SH
e. Wakil Sekertaris : Yuni Winarti, SHI
f. Wakil Panitera : Hj. Umi Salamah. T, SH, MH
g. Ka. Sub Keuangan : Siti Rohmah, SE, SH
h. Ka. Sub Kepegawaian : Suryatiningsih, SH
i. Ka. Sub Umum : Drs. Syamsuddin, MM
j. Panmud Permohonan : Gunadi, SH, MH
k. Panmud Gugatan : Syamsul Rizal, SH
l. Panmud Hukum : Adri Syarifuddin S, SH, MH
m. Panitera Pengganti : 1. Atiyah Shaufanah, SH
2. Patimah, SH
3. Muhlis, SH
n. Jurusita : Saparno, SH
o. Jurusita Pengganti : 1. Burhamzah
2. Abdul Ghofur
3. Imam Syabani Choir
51
D. Letak Geografis
Wilayah hukum Pengadilan Agama Jakarta Barat meliputi wilayah
kota Jakarta Barat yang terdiri dari 8 (delapan ) Kecamatan 57 (lima puluh
tujuh) kelurahan yaitu:
A. Kecamatan Kebun Jeruk
B. Kecamatan Cengkareng
C. Kecamatan Grogol Petamburan
D. Kecamatan Tambora
E. Kecamatan Taman Sari
F. Kecamatan Palmerah
G. Kecamatan Kembangan
H. Kecamatan Kalideres
Adapun batas wilayah Pengadilan Agama Jakarta Barat, yaitu:
1) Utara : Kabupaten Tangerang dan Kota Madya Jakarta Utara
2) Timur : Kota Madya Jakarta Utara da Kota Madya Jakarta Pusat
3) Selatan : Kota Madya Jakarta Selatan dan Kota Madya Tangerang
4) Barat : Kota Madya Tangerang.2
2 Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2014, h. 41
52
E. Laporan Rekapitulasi Perkara Tahunan 2012 Dan 2013
a. Laporan rekapitulasi perkara tahun 2012
Menurut data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Jakarta Barat jumlah
perkara yang diterima berjumlah 1904 dan yang diputus pada tahun 2012 berjumlah
1785 perkara sebagaimana terlihat table I.
Tabel. I. jumlah perkara yang diterima dan diputus oleh Pengadilan
Agama Jakarta Barat pada tahun 2012 menurut rincian bulan.
No. Bulan Sisa
bulan
lalu
Masuk
2012
Jumlah Cabut Putus Jumlah Sisa
Sisa Perkara Tahun 2011 376
1. Januari 376 149 525 9 108 117 408
2. Februari 408 161 569 5 131 136 433
3. Maret 433 132 565 2 145 147 418
4. April 418 176 594 5 126 131 463
5. Mei 463 190 653 13 186 199 454
6. Juni 454 149 603 12 145 157 446
7. Juli 446 122 568 7 154 161 407
8. Agustus 407 78 485 5 113 118 367
9. September 367 212 579 3 120 123 456
10. Oktober 456 214 670 8 157 165 505
11. November 505 162 667 6 185 191 476
12. Desember 476 159 635 9 131 140 495
Jumlah 376 1904 2280 84 1701 1785 495
Diolah dari data kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat.
53
b. Laporan rekapitulasi perkara tahun 2013
Menurut data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Jakarta Barat jumlah
perkara yang diterima berjumlah 2248 dan yang diputus pada tahun 2013 berjumlah
1558 perkara sebagaimana terlihat table II.
Tabel. II. Jumlah perkara yang diterima dan diputus oleh Pengadilan
Agama Jakarta Barat pada tahun 2012 menurut rincian bulan.
No Bulan Sisa
lalu
Terima Cabut Kabul Tolak NO Gugur Coret Sisa
kini
Sisa Perkara Tahun 2012 495
1. Januari 495 158 11 165 0 1 5 3 468
2. Februari 468 169 5 126 1 3 4 3 495
3. Maret 495 173 11 140 0 1 3 6 507
4. April 507 212 19 138 1 0 5 6 550
5. Mei 550 225 15 183 1 1 3 3 569
6. Juni 569 169 14 143 1 1 4 4 571
7. Juli 571 122 20 169 3 2 1 4 494
8. Agustus 494 162 4 108 1 1 4 10 528
9. September 528 245 18 157 1 1 3 5 588
10. Oktober 588 239 11 148 1 3 4 6 654
11. November 654 200 12 128 0 0 3 6 705
12. Desember 705 174 12 164 1 0 10 2 690
Jumlah 495 2248 152 1769 11 14 49 58 690
Diolah dari data kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat.
54
BAB IV
ANALISA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
A. DUDUK PERKARA DAN PIHAK YANG TERLIBAT
1. Duduk Perkara
Berdasarkan surat permohonannya tertanggal 03 Oktober 2012, telah
mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama Jakarta Barat dan selanjutnya
terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama tersebut dibawah perkara No.
86/Pdt.P/2012/PA.JB tanggal 05 Oktober 2012, dan dengan perubahan oleh kuasa
hukumnya tersebut, yang pada pokoknya telah mengemukakan hal-hal sebagai
berikut:
1) Bahwa pada tanggal 4 Februari 2011 telah meninggal dunia seorang laki-laki
bernama xxxx sebagai PEWARIS, agama Islam, pekerjaan pensiunan, sesuai
surat keterangan pelaporan kematian dari Kelurahan Palmerah Nomor: xxxx
tanggal 7 februari 2011, selanjutnya disebut Pewaris;
2) Bahwa pada waktu Pewaris meninggal dunia, ayahnya bernama kedua orang
tuanya telah meninggal terlebih dahulu dari Pewaris;
3) Bahwa pada masa hidupnya Pewaris menikah dua kali yaitu dengan ISTERI 1
PEWARIS 1, PEMOHON II, PEMOHON III dan PEMOHON IV, sedangkan
pernikahan kedua dengan ISTERI II PEWARIS, dan dalam perkawinan
tersebut telah lahir 2 orang anak yaitu: PEMOHON V dan PEMOHON VI;
55
4) Bahwa isteri pertama Pewaris bernama xxxx telah meninggal dunia pada
tanggal 24 April 2012, sedangkan isteri kedua Pewaris bernama xxxx telah
meninggal dunia pada tanggal 6 September 2008;
5) Bahwa dengan demikian ahli waris dari almarhum PEWARIS adalah seorang
isteri dan 6 orang anak yaitu:
a) ISTERI 1 PEWARIS (isteri)
b) PEMOHON 1
c) PEMOHON II
d) PEMOHON III
e) PEMOHON IV
f) PEMOHON V
g) PEMOHON VI
6) Bahwa Para Pemohon bermaksud memohon penetapan ahli waris dari
almarhun PEWARIS yaitu untuk mengurus harta peninggalan almarhum
tersebut;
7) Bahwa berdasarkan uraian dalil-dalil tersebut diatas, maka Para Pemohon
memohon dengan hormat kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Jakarta
Barat untuk mangabulkan permohonan Para Pemohon dengan menjatuhkan
penetapan sebagai berikut:
a) Mengabulkan permohonan Para Pemohon
b) Menetapkan ahli waris almarhum PEWARIS adalah seorang isteri dan 6
(enam) orang anak kandung yaitu:
56
a. ISTERI I PEWARIS (Isteri)
b. PEMOHON I
c. PEMOHON II
d. PEMOHON III
e. PEMOHON IV
f. PEMOHON V
g. PEMOHON VI
c) Menetapkan biaya perkara menurut hukum;
Menimbang, bahwa dalam persidangan Para Pemohon telah hadir dan
tetap pada permohonannya;
Menimbang, bahwa selanjutnya dibacakanlah permohonan Para
Pemohon tersebut diatas yang dimaksud dan tujuannya tetap dipertahankan
oleh Para Pemohon;
Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil-dalilnya, Para Pemohon
telah mengajukan bukti surat berupa:
1) Foto copy Surat Kutipan Akta Nikah atas nama PEWARIS dengan
ISTERI I PEWARIS, bermaterai cukup, sesuai aslinya, diberi tanda P-1;
2) Foto copy Surat Keterangan Kematian atas nama almarhum PEWARIS
dari lurah Palmerah, tertanggal 7 Februari 2011, bermaterai cukup, sesuai
aslinya, diberi tanda P-2;
57
3) Foto copy Surat Kematian atas nama Almarhumah ISTERI II PEWARIS
dari lurah Cempaka Baru, tertanggal 5 Februari 2010, bermaterai cukup,
sesuai aslinya, diberi tanda P-3
4) Foto copy Kartu Keluarga atas nama PEWARIS, No. xxxxxx tanggal 17
Desember 2010, bermaterai cukup, sesuai aslinya, diberi tanda P-4;
5) Foto copy Surat Sertifikat Medis Penyebab Kematian dari Dinas
Kesehatan DKI Jakarta, tanggal 22 April 2012, bermaterai cukup, sesuai
aslinya, diberi tanda P-5;
6) Foto copy Kutipan Akta Kelahiran atas nama PEMOHON I No. xxxxx,
tanggal 31 Desember 1983, bermaterai cukup, sesuai aslinya, diberi tanda
P-6;
7) Foto copy Kutipan Akta Kelahiran atas nama PEMOHON II No. xxxxx,
tanggal 31 Desember 1983, bermaterai cukup, sesuai aslinya, diberi tanda
P-7
8) Foto copy Kutipan Akta Kelahiran atas nama PEMOHON II No. xxxxx,
tanggal 31 Desember 1983, bermaterai cukup, sesuai aslinya, diberi tanda
P-8
9) Foto copy Kutipan Akta Kelahiran atas nama PEMOHON II No. xxxxx,
tanggal 31 Desember 1983, bermaterai cukup, sesuai aslinya, diberi tanda
P-9
10) Foto copy Kutipan Akta Kelahiran atas nama PEMOHON II No. xxxxx,
tanggal 8 Maret 1984, bermaterai cukup, sesuai aslinya, diberi tanda P-10
58
11) Foto copy Kutipan Akta Kelahiran atas nama PEMOHON II No. xxxxx,
tanggal 8 Maret 1984, bermaterai cukup, sesuai aslinya, diberi tanda P-11
12) Foto copy Surat Keterangan Warisan tertanggal 6 Juni 2011, bermaterai
cukup, sesuai aslinya, diberi tanda P-12.
Menimbang, bahwa selain bukti surat-surat, Para Pemohon juga telah
mengajukan saksi-saksi sebagai berikut:
1) SAKSI I, umur 61 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, tinggal di Kota
Jakarta Barat;
Bahwa saksi tersebut setelah bersumpah secara agama Islam, kemudian
memberikan keterangan pada pokoknya sebagai berikut:
a. Bahwa saksi adalah tetangga Para Pemohon;
b. Bahwa saksi kenal dengan PEWARIS dan ISTERI I PEWARIS serta
ISTERI II PEWARIS, mereka suami isteri sah dan sekarang mereka
telah meninggal dunia;
c. Bahwa PEWARIS mennggal dunia tanggal 4 Februari 2011 sedangkan
ISTERI II, meninggal dunia tahun 2008, dan ISTERI I PEWARIS
meninggal dunia tahun 2012;
d. Bahwa suami PEWARIS dengan ISTERI I PEWARIS dikaruniai 4
orang anak yaitu PEMOHON I, PEMOHON II, PEMOHON III dan
PEMOHON IV, sedangkan perkawinan PEWARIS dengan ISTERI II
PEWARIS, telah lahir dua orang anak yaitu PEMOHON V dan
PEMOHON VI;
59
e. Bahwa hubungan antara Para Pemohon dengan almarhum PEWARIS
semasa hidupnya adalah baik-baik dan tidak pernah ada permusuhan
atau perbuatan pidana tertentu diantara mereka;
f. Bahwa Para Pemohon beragama Islam, kecuali PEMOHON I
beragama Katolik, dan almarhum PEWARIS juga beragama Islam
sampai ia meninggal dunia, juga dalam keadaan muslim;
g. Bahwa almarhum PEWARIS meninggalkan harta warisan yang hingga
sekarang belum dibagi kepada ahli warisnya;
2) SAKSI 2, umur 30 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, tinggal di Kota
Jakarta Timur;
Bahwa saksi tersebut telah memberikan keterangan dibawah sumpahnya,
antara lain menerangkan:
a. Bahwa saksi kenal dengan Para Pemohon;
b. Bahwa saksi kenal dengan almarhum PEWARIS dan almarhumah
ISTERI II PEWARIS, mereka adalah suami isteri sah dan mempunyai
dua orang anak yaitu PEMOHON V dan PEMOHON VI;
c. Bahwa saksi pernah kerja dirumah PEWARIS dan ISTERI II
PEWARIS ketika mereka sebagai suami isteri, yaitu selama 3 tahun;
d. Bahwa ISTERI II PEWARIS meninggal dunia 2008, sedangkan
PEWARIS meninggal dunia tahun 2011;
60
e. Bahwa setahu saya PEWARIS mempunyai dua orang isteri, isteri
pertamanya bernama xxxx ISTERI II sebagai PEWARIS, dan
mempunyai 4 orang anak, hanya namanya saksi tidak tahu;
f. Bahwa hubungan antara almarhum PEWARIS dengan anak-anaknya
tidak pernah ada permusuhan atau perbuatan pidana tertentu;
Menimbang, bahwa Para Pemohon atau kuasanya menyatakan
tidak keberatan dengan keterangan saksi-saksi tersebut, dan menyatakan
sudah cukup dengan keterangan dan bukti-bukti yang diajukan;
Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini maka
ditunjuk hal ihwal sebagaimana tercatat dalam berita acara sidang.
2. PIHAK YANG TELIBAT
1) PEMOHON I, umur 45 tahun, jenis kelamin perempuan, agama katolik,
Pendidikan SMA, pekerjaan ibu rumah tangga, Tempat tinggal di Kota Jakarta
Barat. Selanjutnya disebut sebagai PEMOHON I;
2) PEMOHON II, umur 43 tahun, jenis kelamin laki-laki, agama Islam,
Pendidikan SMA, Pekerjaan wiraswasta, Tempat tinggal di Kota Jakarta
Barat. Selanjutnya disebut sebagai PEMOHON II;
3) PEMOHON III, umur 41 tahun, jenis kelamin perempuan, agama Islam,
Pendidikan D3, Pekerjaan ibu rumah tangga, Tempat tinggal di Kota Jakarta
Barat. Selanjutnya disebut sebagai PEMOHON III;
61
4) PEMOHON IV, umur 38 tahun, jenis kelamin perempuan, agama Islam,
Pendidikan SI, pekerjaan Karyawan swasta, Tempat tinggal di Kota Jakarta
Pusat. Selanjutnya disebut sebagai PEMOHON IV;
5) PEMOHON V, umur 32 tahun, jenis kelamin laki-laki, agama Islam,
Pendidikan Diploma I, Pekerjaan wiraswasta, Tempat tinggal di Kota Jakarta
Utara. Selanjutnya disebut sebagai PEMOHON V;
6) PEMOHON VI, umur 31 tahun, jenis kelamin laki-laki, agama Islam,
Pendidikan SI, Pekerjaan Karyawan swasta, Tempat tinggal di Kota Jakarta
Utara. Selanjutnya disebut sebagai PEMOHON IV;
Pemohon I s/d VI dalam hal ini memberikan kuasa kepada JOKO UMBORO
R, SH. Advokat, sesuai surat kuasa khusus tertanggal 1 Oktober 2012,
selanjutnya disebut sebagai PARA PEMOHON.1
B. PERTIMBANGAN DAN PUTUSAN MAJELIS HAKIM
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Para Pemohon adalah
sebagaimana terurai diatas;
Menimbang, bahwa setelah diteliti surat permohonan Para Pemohon dan
dihubungkan dengan keterangannya dimuka sidang, maka yang menjadi pokok
perkara dalam permohonan ini adalah tentang penetapan ahli waris dari almarhum
PEWARIS, untuk kepentingan mengurus harta peninggalan almarhum tersebut;
Menimbang, bahwa pada dasarnya tugas pokok Pengadilan adalah
menyelesaikan sengketa diantara para pihak, namun demikian Pengadilan boleh
1 Salinan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat, Penetapan No. 86/Pdt.p/2012/PA.JB.
62
mengadili perkara permohonan (voluntair) jika perkara tersebut diatur oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan atau ada kepentingan
hukumnya;
Menimbang, bahwa perkara ini adalah perkara permohonan penetapan ahli
waris dari mereka yang beragama Islam, maka sesuai ketentuan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 49 dan
diubah dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, Pengadilan Agama secara
absolut berwenang untuk mengadili perkara ini, dan pula dalam perkara
permohonan aquo ada kepentingan hukumnya yaitu untuk mengurus harta
peninggalan almarhum PEWARIS;
Menimbang, bahwa bukti-bukti yang diajukan Pemohon pada dasarnya
telah memenuhi ketentuan hokum sebagaimana diatur dalam Pasal 164 HIR dan
Pasal 1866 KUHPerdata serta ketentuan hokum Syar’y yang berkaitan dengan
pembuktian perkara perdata, dan karenanya dapat dipertimbangkan;
Menimbang, bahwa sesuai surat permohonannya, Para Pemohon sebagian
besar berdomisili diwilayah hukum Pengadilan Agama Jakarta Barat, dan mereka
sepakat telah memilih berperkara di Pengadilan Agama Jakarta Barat, maka
sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009,
maka Pengadilan Agama Jakarta Barat berwenang secara relative untuk
memeriksa perkara ini;
63
Menimbang, bahwa sesuai bukti P-1 dan keterangan saksi-saksi telah
terbukti pula bahwa PEWARIS pada masa hidupnya beristeri dua orang dan
dalam perkawinan tersebut telah lahir 6 (enam) orang anak yaitu Para Pemohon;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-2, P-3 dan P-5 serta keterangan
saksi-saksi, telah terbukti pula bahwa PEWARIS telah meninggal dunia pada
tanggal 4 Februari 2011, selanjutnya disebut almarhum, dan isteri keduanya
bernama ISTERI II PEWARIS telah meninggal dunia terlebih dahulu yaitu pada
tanggal 6 September 2008, sedangkan isteri pertama bernama ISTERI I
PEWARIS telah meninggal dunia pada tanggal 24 April 2012;
Menimbang, bahwa selanjutnya siapakah yang menjadi ahli waris dari
almarhum PEWARIS, dan yang berhak untuk mewarisi harta peninggalan
almarhum, maka perlu diteliti lebih lanjut;
Menimbang, bahwa sesuai ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pasal 171 huruf (c), dinyatakan bahwa ahli waris adalah orang yang hidup pada
saat meninggalnya pewaris, mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang karena hokum
untuk menjadi ahli waris;
Menimbang, bahwa sesuai dengan keterangan Para Pemohon serta
kesaksian saksi-saksi telah terbukti bahwa ketika PEWARIS meninggal dunia
tanggal 4 Februari 2011, ahli waris yang hidup adalah seorang isteri yaitu ISTERI
I PEWARIS dan 6 orang anaknya yaitu Para Pemohon, sedangkan isteri
64
almarhum bernama ISTERI II PEWARIS dan kedua orang tua almarhum telah
dahulu meninggal dunia dari pada almarhum;
Menimbang, bahwa Pemohon I bernama xxxxx mengaku beragama
Katolik, maka meskipun Pemohon I adalah anak kandung almarhum PEWARIS,
namun karena berlainan agama dengan almarhum, maka Pemohon I terhalang
untuk menjadi ahli waris almarhum. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 171 huruf (c)
dan 172 Kompilasi Hukum Islam, serta sabda Rasulullah Saw riwayat Imam
Buchori dan Muslim yang berbunyi:
ال يرث المسلم الكافروالالكافر المسلم
“ Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang non Islam, dan
sebaliknya orang non Islam tidak dapat pula mewarisi harta orang Islam”.
Menimbang, bahwa sesuai keterangan saksi-saksi pula bahwa hubungan
kekeluargaan antara Pemohon II s/d VI dengan almarhum PEWARIS semasa
hidupnya tetap terjalin baik dan tidak ada tersangkut urusan pidana antara yang
satu kepada yang lainnya, mereka sama-sama beragama Islam dan tidak ada
halangan lainnya untuk saling mewaris sebagaimana dimaksud Pasal 173
Kompilasi Hukum Islam (KHI);
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut diatas, maka
sesuai ketentuan Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam dan al-Qur’an Surat an-Nisa
ayat 11, pengadilan berpendapat bahwa ahli waris almarhum PEWARIS yang sah
menurut hukum hanyalah seorang isteri dan 5 orang anak kandungnya yaitu
ISTERI I PEWARIS dan Pemohon II s/d VI;
65
Menimbang, bahwa meskipun Pemohon I tidak termasuk ahli waris dari
almarhum PEWARIS, namun Pemohon I berhak menerima bagian dari harta
warisan almarhum PEWARIS dengan jalan wasiat wajibah yang besarnya
maksimal sepertiga bagian dari harta yang ditinggalkan oleh pewaris tetapi tidak
boleh lebih besar dari bagian ahli waris yang sederajat yaitu Para Pemohon
selaku anak kandung almarhum PEWARIS;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
diatas, maka permohonan Para Pemohon patut dikabulkan;
Menimbang, bahwa oleh karena perkara ini adalah perkara permohonan
(voluntair), maka Para Pemohon patut dibebani membayar biaya perkara ini;
Mengingat segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
hokum syar’y yang berkaitan dengan perkara ini:
MENETAPKAN
1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon;
2. Menyatakan PEWARIS telah meninggal dunia pada tanggal 4 Februari 2011;
3. Menyatakan ahli waris almarhum PEWARIS yang meninggal dunia pada
tanggal 4 Februari 2011 adalah seorang isteri dan 5 (lima) orang anak
kandungnya, yaitu:
a. PEWARIS (isteri);
b. PEMOHON I (Anak);
c. PEMOHON II (Anak);
d. PEMOHON III (Anak);
66
e. PEMOHON IV (Anak);
f. PEMOHON V (Anak);
4. Menyatakan Pemohon I (Anak) berhak mendapat wasiat wajibah dari harta
warisan almarhum PEWARIS;
5. Membebankan kepada Para Pemohon untuk membayar biaya perkara yang
hingga kini dihitung sebesar Rp. 566.000,- (lima ratus enam puluh enam ribu
rupiah);
Demikian penetapan ini dijatuhkan di Jakarta Barat pada hari Rabu
tanggal 31 Oktober 2012 M, bertepatan tanggal 15 DzulHijjah 1433 H, oleh kami
Drs. H. Yusuf Buchori, SH, MSI. Sebagai Hakim Ketua, Drs. H. Shonhaji, MH
dan Drs. Sanusi, MH, masing-masing sebagai Hakim Anggota, penetapan mana
dibacakan pada hari itu juga oleh Hakim Ketua tersebut dalam sidang yang
terbuka untuk umum dengan dibantu oleh Gunadi, SH, MH sebagai Panitera
Pengganti, serta dihadiri oleh Para Pemohon atau Kuasanya;
Hakim Anggota I: Hakim Ketua:
DRS. SHONHAJI, MH DRS. H. YUSUF BUCHORI, SH, MSI
Hakim Anggota II:
DRS. SANUSI, MH
67
Panitera Pengganti
GUNADI, SH, MH
Perincian biaya perkara:
1. Biaya Pendaftaran ………. Rp. 30.000,-
2. Biaya Proses ……………. Rp. 75. 000,-
3. Biaya Panggilan ……….... Rp. 450.000,-
4. Biaya Redaksi …………... Rp. 5.000,-
5. Biaya Materai …………… Rp. 6.000,-
Jumlah …………… Rp. 566.000,-
C. TINJAUAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TERHADAP PENETAPAN
NOMOR. 86/Pdt.p/2012/PA.JB
Hakim sebagai penegak hukum mempunyai posisi sentral dalam
penerapan hukum. Hakim tidak hanya dituntut agar dapat berlaku adil tetapi ia
juga harus mampu menafsirkan undang-undang secara aktual sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan
masyarakat pencari keadilan dengan tetap mempertimbangan aspek keadilan,
kepastian hukum dan nilai kemanfaatannya.2 Melalui putusan-putusannya seorang
hakim tidak hanya menerapkan hukum yang ada dalam teks undang-undang tetapi
sesungguhnya ia juga melakukan pembaharuan-pembaharuan hukum ketika
2Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta:
Prenada Media Grup, 2008), h.278-285
68
dihadapkan pada masalah-masalah yang diajukan kepadanya dan belum diatur
dalam undang-undang ataupun telah ada aturan tetapi dipandang tidak relevan
dengan keadaan dan kondisi yang ada (hakim menciptakan hukum baru (jadge
made law).3
Pada dasarnya putusan itu dituntut untuk menciptakan keadilan dan untuk
itu hakim melakukan penilaian dan pemeriksaan berdasarkan peristiwa dan fakta-
fakta di dalam proses persidangan. Maka dalam putusan hakim yang perlu
diperhatikan adalah pertimbangan hukumnya, sehingga dapat dinilai apakah
putusan yang telah dijatuhkan cukup memenuhi alasan yang obyektif ataukah
tidak. Hakim di lingkungan Peradilan Agama di Indonesia sebagai salah satu
penegak hukum Islam ternyata juga telah melaksanakan fungsi menetapkan
putusan terhadap perkara-perkara yang diajukan kepadanya dengan terlebih
dahulu mengemukakan pertimbangan-pertimbangan hukum pada putusannya
tersebut.
Dalam hukum Islam warisan tidak dapat diberikan kepada ahli waris yang
berbeda Agama. Hal ini dijelaskan dengan pertimbangan hakim tidak hanya pada
hukum yuridis tapi memakai sosiologis dan filosofis.4 Dan asasnya menggunakan
kesepakatan.
Penulis akan menganalisis penetapan Pengadilan Agama Jakarta Barat
mengenai penetapan wasiat wajibah bagi ahli waris non Muslim.
3Moh. Muhibbin. Pembaharuan Hukum Waris Islam Di Indonesia. h.3
4 Wawancara Pribadi dengan Drs. M. Rizal. Jakarta, 12 Mai 2014.
69
Berdasarkan pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam perkara No.
86/Pdt.P/2012/PA.JB, setelah dilakukan proses persidangan dan para pemohon
hadir serta telah mengajukan bukti-bukti dan keterangan para saksi yang
dinyatakan sah oleh Majelis Hakim sesuai dengan pasal 165 HIR, bukti-bukti
serta keterangan para saksi dari para pemohon tersebut telah menerangkan secara
jelas dan saling berkaitan satu sama lain dan juga berdasarkan pengakuan dari
para pemohon itu sendiri yang menerangkan bahwa ada salah satu ahli waris yang
terbukti bukan beragama Islam akan tetapi beragama Katolik sampai waktu
pewaris meninggal dunia yaitu sebagai Pemohon I.
Dalam penetapannya, perkara No. 86/Pdt.P/2012/PA.JB tidak memberikan
bagian warisan kepada ahli waris yang berbeda agama melalui Kewarisan Islam
dengan alasan yang jelas sesuai dengan hadits Nabi Muhammad saw. yaitu:
Artinya: “Tidaklah seorang muslim mewarisi seorang non muslim (kafir)
dan tidak pula seorang non muslim (kafir) mewarisi seorang
muslim”.
Dan di dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf (c) yang
menyatakan bahwa ahli waris adalah “Orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”5
5Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan &
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h.290
70
Ketentuan keberagamaan seseorang dapat ditentukan lewat identitasnya, hal ini
jelas dalam pasal 172 yang berbunyi “Ahli waris yang dipandang beragama Islam
apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau
kesaksian, sedangkan bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa,
beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.”6
Adapun pembagian wasiat wajibah yang diputus oleh hakim Pengadilan
Agama Jakarta Barat, dalam memutuskan perkara No. 86/Pdt.P/2012/PA.JB yang
penulis teliti, berdasarkan pertimbangan Majelis Pengadilan Agama Jakarta Barat
memberikan bagian warisan berupa wasiat wajibah kepada ahli waris non
Muslim. Majelis berpendapat bahwa apabila yang lainnya bisa diberi wasiat
wajibah seperti yang diberikan kepada anak angkat atau orang tua angkat yang
dalam hukum Islam yang bukan merupakan ahli waris atau tidak mempunyai
hubungan darah, apalagi terhadap anak yang mempunyai hubungan darah maka
ia bisa mendapatkan wasiat wajibah, jika ahli waris yang lain tidak keberatan.
Majelis dalam penetapannya menggunakan metode qiyas untuk menafsirkan
Pasal 209 KHI ini7. Selain itu majelis lebih mengedepankan mashlahah yang
akan timbul setelah adanya penetapan dari perkara ini. Ketika ahli waris tidak
keberatan saudaranya yang berbeda agama diberikan warisan, maka diberilah
6Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan &
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h.290
7 Ayat 1: harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan 193
tersebut. Sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.
71
warisan tapi tidak dalam bentuk far’ul (bagian).
Kemudian diperkuat lagi oleh para saksi pada saat proses persidangan
yang menyatakan bahwa Pemohon I beragama Katolik, sedangkan Pemohon II
sampai dengan Pemohon VI adalah beragama Islam, maka hakim dalam
penetapannya tidak menjadikan Pemohon I sebagai ahli waris yang mustahak
(orang yang berhak) karena terhalang oleh perbedaan agama.8
Jadi Pemohon I tidak termasuk ahli waris dari almarhum Pewaris, namun
Pemohon I berhak menerima bagian dari harta warisan almarhum Pewaris
dengan jalan wasiat wajibah yang besarnya maksimal 1/3 bagian tetapi tidak
boleh lebih besar dari bagian ahli waris yang sederajat yaitu para Pemohon
selaku anak kandung almarhum Pewaris.
Jadi berdasarkan apa yang diuraikan diatas dapat dikatakan konsep wasiat
wajibah dan siapapun yang berhak menerima wasiat wajibah terdapat perbedaan
pendapat antara putusan Pengadilan Agma Jakarta Barat dengan ketentuan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang sebelumnya sudah diuraikan oleh penulis
dengan tambahannya dalam Pasal 171 huruf (c ) yang menyatakan bahwa ahli
waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum untuk menjadi ahli waris.9
Karena konsep wasiat wajibah yang diatur dalam perundang-undangan di
8 Salinan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor. 86/Pdt.p/ 2012/ PA.JB.
9Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan &
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h.290
72
Indonesia, hanya diperuntukan bagi anak angkat atau orang tua angkat, dan
pembagiannya bagi mereka tidak melebihi dari 1/3 dari ahli waris yang lainnya.
Sekalipun Pengadilan Agama Jakarta Barat memberikan hak wasiat
wajibah kepada ahli waris non Muslim, namun patut dihargai sebagai suatu hasil
ijtihad dalam upaya mengaktualisasikan nilai-nilai hukum kewarisan Islam di
tengah-tengah masyarakat Indonesia yang majemuk dalam banyak hal, baik
social, budaya, hukum maupun agama. Agar hukum Islam tidak kehilangan jati
dirinya sebagai agama yang rahmatan lil’ alamin.
73
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan di uraian sebelumnya maka penulis dapat menarik
kesimpulan menjadi beberapa bagian, sebagai berikut:
1. Berdasarkan pertimbangan perkara No. 86/Pdt.P/2012/PA.JB hakim
menetapkan perkara warisan Non-Muslim secara tekstual berdasarkan KHI
Pasal 209 dan Hadis. Majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat
memberikan penetapan kepada anak non-Muslim dengan jalan wasiat
wajibah. Anak yang non-Muslim tersebut tidak bisa di jadikan sebagai ahli
waris di sebabkan perbedaan agama. Majelis hakim mengqiyaskan kepada
anak angkat yang di atur dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, dengan
alasan bahwa anak angkat dan orang tua angkat saja bisa menerima wasiat
wajibah padahal tidak ada hubungan darah dengan pewaris. Maka menurut
hakim ahli waris yang terhalang pun bisa untuk menerima wasiat wajibah,
karena dia masih memiliki hubungan darah hanya saja dia tidak berhak untuk
mendapatkan warisan melalui jalur dzawil arham, kemudian hakim tidak
hanya merujuk kepada landasan yuridis akan tetapi hakim memakai landasan
sosiologis dan filosofis, asasnya menggunakan kesepakatan. Adapun yang
dimaksud landasan yuridis yaitu ayat Al-Qur’an, hadits, Kompilasi Hukum
Islam, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hal ini yang
74
menjadikan ahli waris non muslim terhalang menjadi ahli waris yang berhak
sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 11, hadits dan
Pasal 171 huruf c, Pasal 172, Pasal 173 dan Pasal 174 Kompilasi Hukum
Islam.
2. Dasar pembagian wasiat wajibah di atur dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang menerangkan bahwa:
a. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal 173 sampai dengan
193 KHI. Sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat
diberi wasiat wajibah, sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anaknya.
b. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat, diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia mempunyai ketentuan tersendiri tentang konsep
wasiat wajibah ini, yaitu membatasi orang berhak menerima wasiat wajibah
ini hanya kepada anak angkat dan orang tua angkat saja.
Dasar pembagian wasiat wajibah menurut Kompilasi Hukum Islam,
menetapkan bahwa antara anak angkat dan orang tua angkat terbina hubungan
saling berwasiat. Dalam Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi: (1). Harta
peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan 193
tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima
wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
warisan anak angkatnya. (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima
75
wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang
tua angkatnya.
3. Pandangan hukum Islam terhadap penetapan No. 86/Pdt.p/2012/PA.JB bahwa
ahli waris non-Muslim tidak mendapatkan bagian ahli waris dari pewaris
karena terhalang perbedaan agama seperti sabda Rasulullah Saw yang
berbunyi:
ال يرث المسلم الكافر وال الكافر المسلم.
Artinya:“Tidaklah seorang muslim mewarisi seorang non muslim (kafir) dan
tidak pula seorang non muslim (kafir) mewarisi seorang muslim.”
Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut diatas, maka sesuai ketentuan pasal
174 Kompilasi Hukum Islam dan Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 11,
pengadilan berpendapat bahwa ahli waris almarhum pewaris yang sah
menurut hukum hanyalah seorang istri dan 5 orang anak kandungnya. Adapun
pandangan Kompilasi Hukum Islam (KHI) terhadap penetapan No.
86/Pdt.p/2012/PA.JB bahwa ahli waris non-Muslim tidak termasuk ahli waris,
hal ini diatur dalam Pasal 171 huruf (c) yang menyatakan seorang ahli waris
adalah orang yang hidup pada saat meninggalnya pewaris, mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam,
dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Maka dari itu
hakim tidak menjadikan anak non-Muslim sebagai ahli waris, akan tetapi
hakim memutuskan anak non-Muslim tersebut berhak menerima bagian dari
harta warisan dengan jalan wasiat wajibah yang ketentuan diatur di dalam
76
Pasal 209 KHI.
SARAN
Dari pemaparan di atas, saran penulis sebagai berikut:
1. Perlu adanya pelaksanaan penyuluhan mengeai pembagian wasiat wajibah
kepada ahli waris yang berbeda agama dengan cara mensosialisasikannya
melalui seminar-seminar, agar pembagian wasiat wajibah tersebut dapat
diketahui dan dijalankan oleh masyarakat dari berbagai kalangan.
2. Kepada Pengadilan Agama khususnya di Pengadilan Agama Jakarta Barat
dalam menerima, memeriksa, dan memutus perkara waris khususnya
mengenai perkara permohonan penetapan ahli waris yang terdapat ahli waris
non muslim didalamnya agar lebih cermat dan teliti dengan memberikan
alasan-alasan yang jelas sehingga penetapan tersebut menghasilkan kepastian
hukum serta rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.
3. Hakim dalam memberikan putusan, perlu memperhatikan faktor yang
seharusnya diterapkan profisional yaitu: keadilan, kepastian hukumnya dan
manfaat.
77
DAFTAR PUSTAKA
Al- Qur’an al-Karim.
Abi Abdillah, Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim al-Bukhari. Shahih Bukhari Juz
IV. Beirut: Daarul Ahya al-Kitab al-Arabiyah, 1985.
Al-Utsmain dan Syaikh Muhammad bin Shalih. Panduan Praktis Hukum Waris
Menurut Al-Quran dan As-Sunnah Yang Shahi. Bogor: Pustaka Ibnu Katsir,
2006.
Allusy, Syeh Abdillah Abdussalam. Ibanah al-Ahkam Fi Syarhi Bulughul Maram Juz
III. Beirut: Dar El-Fikr, 2004.
al-Shiddieqy, Hasbi. Fiqhul Mawaris: Hukum-Hukum Warisan dalam Syari’at Islam.
Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Pembagian Waris Menurut Islam. Penerjemah A.M.
Basmallah. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Bungi, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologi Ke Arah
Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers, 2004.
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Vol. VI. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve.
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Jakarta: Direktorat PembinaanPeradilan Agama, 2002.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam 5. cet.IV. Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Habiburrahman. Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta:
Kementerian Agama RI, 2011.
Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith. Jakarta: PT.
Tintamas Indonesia, 1982.
Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. ed.IV. Jakarta: PT. Gramedia,
2008.
78
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar. Ahkamul Mawaarits fil-Fiqhil-Islami.
Penerjemah Aldizar, Addys dan Fathurrahman. Hukum Waris. Jakarta:
Senayan Abadi Publishing, 2011.
Kementerian Agama RI. Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di
Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012.
Mahmood, Tahir. Personal Law In Islamic Countries. New Delhi: Times Press, 1987.
Majelis Ulama Indonesia. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975.
Jakarta: Erlangga, 2001.
Makinuddin.“Bagian Ahli Waris Non Muslim Melalui Wasiat Wajibah”. Artikel
diakses pada 24 Mei 2014 dari http://ejournal.sunan-ample.ac.id.
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama.
Jakarta: Prenada Media Grup, 2008.
Muhibbin, Mohammad dan Wahid Abdul. Hukum Kewarisan Islam: Sebagai
Pembaruan Hukum Positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet.
IV. Jakarta : Balai Pustaka, 2007.
Rahman, Fatchur. Ilmu Waris. Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1994.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. cet. VI. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. cet.I. Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009.
Sajuti, Thalib. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. cet. VIII. Jakarta: Sinar
Grafika, 2004.
Salman, Otje dan Mustafa Haffas. Hukum Waris Islam. Bandung: PT Rafika
Aditama, 2006.
Sarmadi A. Sukri, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, cet. I.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.
Suparman, Eman. Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW.
Bandung: refika aditama, 2007.
79
Suma, Muhammad Amin. Keadilan Hukum Waris Islam:Dalam Pendekatan Teks dan
Konteks. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Sofyan, Yayan. Islam Negara (Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam
Hukum Nasional). Jakarta: RMBooks, 2012.
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. cet. I. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Tim Penulis Fakultas Syari’ah dan Hukum. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2012.
Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang
Kompilasi Hukum Islam. cet. II. Bandung, Fokusmedia, 2007.
Tono, Sidik. Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan.
Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia, 2012.
Usman, Suparman dan Somawinata Yusuf, Fiqh Mawaris: Hukum Kewarisan Islam.
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan &
Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Citra Umbara, 2007.
Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adilatuhu. Jilid. X, Penerjemah. Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk, Cet.I. Jakarta: Gema Insani, 2011.
1
HASIL WAWANCARA
1. Siapa nama Bapak dan apa posisi bapak saat ini di Pengadilan Agama Jakarta
Barat?
Jawaban:
Nama saya Drs. M. Rizal, SH, MH. Posisi saya saat ini sebagai hakim
Pengadilan Agama Jakarta Barat.
2. Menurut bapak, apa pengertian dari wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum
Islam?
Jawaban:
Wasiat wajibah adalah sebuah ketentuan yang diberikan oleh hakim dalam
menetapkan atau memutuskan suatu perkara. Dalam memutuskan perkara
hakim pun tidak boleh berpaling dari konteks KHI yang ada.
3. Menurut bapak, bagaimana konsep wasiat wajibah di Indonesia?
Jawaban:
Konsep wasiat wajibah tidak hanya untuk anak angkat dan orang tua angkat
saka, akan tetapiu bergantung pula pada ijtihad hakim. Dalam memutuskan
hakim memandang kepada mashlahah yang akan timbul dan tidak boleh
bertentangan dengan syari’at Islam. Dan adapun pertimbangan hakim tidak
hanya pada hukum yuridis tetapi hakim memakai hukum sosiologis dan
filosofis. Dalam hukum Islam warisan tidak dapat diberikan kepada ahli waris
yang berbeda agama begitu pula pendapat majelis dalam menetapkan perkara
2
ini. Akan tetapi majelis memberikan terobosan lain berupa wasiat wajibah
kepada ahli waris yang tidak beragama Islam.
4. Apa yang melatarbelakangi wasiat wajibah dalam KHI diberikan hanya
kepada anak angkat dan orang tua angkat? Sedangkan di Negara Mesir dan
Negara-negara Islam lainnya wasiat wajibah diperuntukan bagi cucu yang
terhalang?
Jawaban:
Yang melatarbelakangi pembentukan wasiat wajibah berbeda dengan negara-
negara Islam adalah karena memiliki tujuan untuk membentuk hukum-hukum
baru sehingga dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang timbul
dimasyarakat. Berbedanya isi wasiat wajibah yang ada dalam KHI dengan
wasiat wajibah yang ada dalam negara muslim merupakan suatu warna dalam
studi keilmuan, sehingga civitas akademika dapat membahas mengenai
perbedaan tersebut.
5. Dalam KHI disebutkan bahwa wasiat wajibah hanya diperuntukan bagi anak
angkat dan orang tua angkat, kemudian mengapa majelis hakim menetapkan
ahli waris yang murtad untuk mendapat wasiat wajibah?
Jawaban:
Majelis berpendapat, Pasal 209 KHI yang menjadi dasar pertimbangan utama
mengapa majelis memberikan bagian warisan berupa wasiat wajibah, karena
majelis berpendapat bahwa apabila yang lainnya bisa diberi wasiat wajibah
seperti yang diberikan kepada anak angkat dan orang tua angkat yang dalam
3
hukum Islam bukan merupakan ahli waris atau tidak mempunyai hubungan
darah, akan tetapi KHI membuat terobosan hukum. Majelis berpendapat
bahwa anak yang non-Islam ini bisa juga untuk mendapatkan wasiat wajibah,
apalagi ahli waris yang lain tidak keberatan, yang menjadi pokok adalah ahli
waris yang lain tidak keberatan. Majelis dalam penetapannya menggunakan
metode qiyas untuk menafsirkan Pasal 209 KHI ini, selain itu majelis lebih
mengedepankan mashlahah yang akan timbul setelah adanya penetapan dari
perkara ini. Ketika ahli waris tidak keberatan saudaranya yang berbeda agama
diberikan warisan, maka diberilah warisan tapi tidak dalam bentuk far’ul.
Masing-masing mempunyai bagian, anak angkat mempunyai bagian begitu
pun ahli waris yang non-Islam. Akan tetapi ahli waris non-Islam disini hanya
mendapatkan harta warisnya saja tidak dapat dimasukkan sebagai ahli waris.
Sehingga tidak ada yang saling dikedepankan satu sama lain, karena keduanya
mendapatkan bagian masing-masing. Bagian untuk wasiat wajibah yaitu
maksimal 1/3 dari harta yang ditinggalkan untuk keduanya baik berserikat
ataupun tidak.
Narasumber
Drs. M. Rizal, SH, MH.