i
PENGANTAR
Laporan kegiatan koordinasi ini disusun sebagai hasil akhir dari pelaksanaan kegiatan Koordinasi Deputi
Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup tahun 2011. Laporan ini merupakan kumpulan hasil dari berbagai kegiatan koordinasi baik berupa rapat koordinasi dan diskusi dengan para pakar, yang
melibatkan praktisi dan lembaga perguruan tinggi di bidang sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Diskusi diarahkan untuk membicarakan mengenai tindak lanjut pemerintah setelah adanya komitmen
Bapak Presiden untuk penurunan emisi gas rumah kaca yang diikuti dengan disusunnya rencana aksi
penurunan emisi gas rumah kaca (RAN GRK) yang telah diterbitkan dalam bentuk Peraturan Presiden No. 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK). Untuk
melaksanakan RAN GRK, Kementerian PPN/Bappenas membentuk Tim Koordinasi Perubahan Iklim
yang beranggotakan kementerian/lembaga terkait dengan pelaksanaan RAN GRK. Untuk pelaksanaan di
tingkat daerah, sedang disusun RAD GRK oleh Pemda Provinsi sesuai mandat Perpres No. 61/2011
tersebut. Untuk membantu Pemda dalam menyusun RAD GRK, Kementerian PPN/Bappenas
mengkoordinasikan penyusunan Pedoman Penyusunan RAD GRK dan melakukan bimbingan dan pelatihan untuk mengawal penyusunan RAD GRK yang dijadualkan selesai pada bulan September 2012.
Sejalan dengan akan selesainya kerangka kerja pelaksanaan RAN GRK, Kementerian PPN/Bappenas mulai memikirkan langkah ke depan untuk menyusun konsep Ekonomi Hijau Indonesia. Sehubungan
dengan itu, kegiatan koordinasi kedeputian SDA dan LH diarahkan untuk melakukan eksplorasi dan
pendalaman mengenai ekonomi hijau dan hubungannya dengan pelaksanaan RAN GRK. Pendalaman berbagai bahan dari lembaga internasional dan bahan pustaka lain memberikan gambaran tersendiri
mengenai definisi dan cakupan ekonomi hijau. sementara pengalaman berbagai negara lain menginspirasi
untuk memulai langkah menuju ekonomi hijau. Diskusi dengan para pakar memberikan landasan mengenai langkah-langkah yang dapat dilakukan Indonesia, terutama terkait dengan akan selesainya
kerangka pelaksaaan RAN GRK. Bahan dari berbagai diskusi tersebut digunakan sebagai masukan untuk
mengembangkan pemikiran mengenai langkah ke depan yang dapat dilakukan dalam rangka menyusun konsep ekonomi hijau. Pemikiran ke depan yang dikonsepkan masih membutuhkan diskusi lebih lanjut,
terutama apabila akan disusun sebagai suatu roadmap pembangunan ekonomi hijau. Namun demikian,
pemikiran dalam laporan ini setidaknya dapat menjadi pijakan untuk menyusun dan merencanakan langkah membentuk ekonomi hijau, yang sekaligus akan menjembatani dengan RAN GRK yang sedang
dalam tahap awal pelaksanaan.
Laporan ini dirasakan masih memiliki berbagai keterbatasan dan akan terus dikembangkan dan
disempurnakan sejalan dengan perkembangan pelaksanaan RAN GRK dan RAD GRK, serta sejalan dengan dapat terukurnya hasil penurunan emisi dalam beberapa tahun ke depan.
Jakarta, Juli 2012
Deputi Bidang SDA dan LH Endah Murniningtyas
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... ii
I. Latar Belakang ................................................................................................................. 1
II. Konsep Ekonomi Hijau (Green Economy) ....................................................................... 3
III. Pengalaman Beberapa Negara Dalam Memulai Ekonomi Hijau ..................................... 9
IV. Upaya Mewujudkan Ekonomi Hijau Indonesia ............................................................... 12
4.1 Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia ................................................................... 12
4.1.1 Agenda 21 ............................................................................................................... 12 4.1.2 Pelayanan Dasar dan Pencapaian Target MDG ...................................................... 13
4.1.3 Perkembangan Pengarustamaan Pembangunan Berkelanjutan ke dalam
Pembangunan .......................................................................................................
16
4.2 Komitmen Penurunan Emisi GRK- Momentum untuk Pembentukan Ekonomi
Rendah Karbon ..........................................................................................................
17
4.2.1 Penjabaran Komitmen Penurunan Emisi GRK ........................................................ 19 4.2.2 Pelaksanaan dan Penjabaran di Tingkat Sektoral .................................................... 22
4.2.3 Pelaksanaan di Tingkat Daerah ............................................................................... 24
4.3 Kebijakan dan Langkah Pendukung untuk Efektivitas RAN GRK .............................. 29
4.3.1 Pengukuran dan Monitoring RAN GRK ................................................................. 29
4.3.2 Pembentukan Sistem dan Instrumen Insentif/Disinsentif ........................................ 30 4.3.3 Peningkatan Kapasitas Lembaga dan Sumber Daya Manusia ................................. 31
V. Ekonomi Rendah Karbon, Ekonomi Hijau dan Pembangunan Berkelanjutan ................. 34
5.1 RAN GRK dan Momentum untuk adanya Pengukuran Jasa Lingkungan .................. 37
5.2 Ekonomi Rendah Karbon ............................................................................................ 38
5.3 Transisi selanjutnya ke Ekonomi Hijau ...................................................................... 33
5.4 “Closing The Loop” menuju Pembangunan Berkelanjutan ........................................ 43
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 53
I. LATAR BELAKANG
Keberhasilan pembangunan Indonesia. Pembangunan Indonesia sudah
berlangsung secara terencana sejak tahun 1967 yang dikenal dengan pembangunan terencana.
Bappenas atau Dewan Perantjang Pembangunan Nasional pada waktu itu adalah lembaga
yang diberi tugas untuk menyusun rancangan pembangunan nasional untuk memenuhi
tuntutan Trikora terutama terkait dengan tuntutan penurunan harga. Jalan satu-satunya yang
berkelanjutan untuk menurunkan inflasi adalah meningkatkan kapasitas produksi. Pangan
sebagai kebutuhan pokok utama kehidupan adalah sasaran utama. Oleh sebab itu, pemerintah
berupaya keras untuk melakukan langkah-langkah peningkatan produksi pangan. Beberapa
hal yang ditempuh dalam peningkatan produksi pangan adalah mengadopsi teknologi benih
unggul dan membawa teknologi benih tersebut ke tingkat petani produsen melalui penyuluh
pertanian. Langkah ini didukung dengan pendirian pabrik pupuk untuk menopang upaya
peningkatan produksi serta membangun infrastruktur irigasi untuk sawah. Semua langkah
tersebut bertujuan untuk meningkatkan produksi beras menuju swasembada beras. Segala
langkah tersebut mencapai puncaknya pada saat swasebada beras pertama kali yang terjadi
pada tahun 1984/85.
Langkah-langkah untuk mengamankan dan memenuhi kebutuhan pangan atau
disebut dengan ketahanan pangan, diiringi pula dengan peningkatan pemanfaatan sumberdaya
alam terutama minyak dan gas untuk penyediaan energi bagi pembangunan sekaligus juga
sebagai sumber devisa Negara untuk membiayai kelangsungan kehidupan Negara dan
kesejahteraan masyarakat. Peningkatan industri/sektor ekstraksi sumberdaya alam ini telah
berhasil menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor minyak bumi (anggota
OPEC). Selain itu, ekspor pertambangan juga menjadi andalan penghasil devisa Negara.
Dalam rangka penciptaan lapangan pekerjaan, selain dikembangkan industri pendukung
pertanian, juga dikembangkan industri pengganti barang-barang impor untuk menekan inflasi
dan menyediakan kebutuhan barang konsumsi secara berkesinambungan. Pembangunan
ekonomi ini diiringi pula dengan pembangunan kualitas sumberdaya manusia, dengan
melakukan investasi besar-besaran pada bidang pendidikan, terutama pendidikan dasar dan
bidang kesehatan dengan memperluas layanan kesehatan ke seluruh pelosok tanah air.
Pembangunan yang terlalu berorientasi pada bidang ekonomi dan dampaknya
terhadap lingkungan dan ekosistem. Keberhasilan pembangunan ekonomi tersebut di atas,
pada akhirnya menimbulkan pemanfaatan sumberdaya alam yang melebihi daya reproduksi
dan melebihi ambang serap alam terhadap limbah/sampah, baik sampah padat, cair maupun
udara. Dalam Country Natural Resources and Environment/CNREA1 (Bappenas, 2007)
dinyatakan bahwa apabila pemanfaatan sumberdaya alam masih terus dilakukan secara
ekstraktif dan dengan cara-cara lama yang kurang ramah lingkungan dan ekosistem, maka di
masa depan Indonesia akan menghadapi 3 (tiga) krisis besar, yaitu (i) krisis air, (ii) krisis
pangan, dan (iii) krisis energi. Krisis-krisis sumber daya alam tersebut sebagai akibat
terjadinya pemanfaatan sumberdaya alam yang sudah melebihi daya regenerasi dan
reproduksi serta daya dukung ekosistemnya.
1 Country Natural Resources and Environment Assessment, Bappenas, 2007
2
UNEP2 memperkirakan apabila dengan pola pemanfaatan sumberdaya alam untuk
pemenuhan kebutuhan ekonomi manusia tetap mengikuti pola seperti tersebut di atas, maka
permintaan energi global pada tahun 2030 akan meningkat sampai dengan 45%. Peningkatan
konsumsi energi tersebut akan diperkirakan juga mengakibatkan dampak pada peningkatan
harga minyak bumi. Sebagai akibat meningkatnya konsumsi energi tersebut, maka emisi gas
rumah kaca diperkirakan akan mencapai 45% dan suhu bumi akan meningkat sampai dengan
6 derajat Celcius. Dampak lain dari peningkatan konsumsi energi juga adalah akan
menyebabkan terjadinya peningkatan harga pangan, rusaknya ekosistem sebagai akibat
hilangnya keanekaragaman hayati yang diperkirakan senilai EUR 50 miliar. Solusi yang
kemudian ditawarkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca tersebut adalah pembentukan
ekonomi hijau.
2 John Scanton, UNEP. The Green Economy and International Environmental
Governance. Presentation.
3
II. KONSEP EKONOMI HIJAU (GREEN ECONOMY)
Pada Oktober 2008, UNEP mencetuskan gagasan mengenai “Green Economy”
dalam rangka mendukung upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Gagasan “green economy”
tersebut bertujuan memberikan peluang yang besar bagaimana upaya memanfaatkan konsepsi
“green economy” dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan yang berorientasi
pada aspek lingkungan dan ekosistem. Terkait dengan gagasan konsepsi “green economy”
tersebut, hal ini terdapat dua hal yang ingin dicapai. Pertama, ekonomi hijau mencoba untuk
membuat konsep ekonomi yang bukan hanya sekedar mempertimbangkan masalah makro
ekonomi, khususnya investasi di sektor-sektor yang memproduksi produk ramah lingkungan
maupun produksi barang dan jasa yang lebih ramah lingkungan (“green investment/investasi
hijau”), namun juga difokuskan pada bagaimana kontribusi investasi hijau tersebut terhadap
produksi barang dan jasa serta dan pertumbuhan lapangan pekerjaan di bidang yang terkait
dengan ramah lingkungan (green job). Kedua, green economy mencoba untuk menyiapkan
panduan pro-poor green investment, atau investasi hijau yang mampu mendorong
pengentasan masalah kemiskinan. Tujuan utamanya adalah untuk mendorong agar para
pembuat kebijakan mampu membuat semua jajaran pemerintahan dan sektor swasta ikut serta
untuk mendukung peningkatan investasi hijau.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, konsep Green Economy semakin mendapat
perhatian karena hal ini sejalan dengan upaya masyarakat dunia dalam rangka mencari solusi
terhadap berbagai tantangan global yang terjadi saat ini. Namun demikian, perlu ditandaskan
bahwa hubungan antara konsep ekonomi hijau ini dengan konsep yang berkaitan dengan
aspek-aspek lainnya, belum dapat diartikulasikan dengan jelas. Oleh karena itu, hal ini
membuat banyak orang, bahkan dari pencetus konsep ekonomi hijau itu sendiri terus
mempertanyakan apa arti sesungguhnya konsep Green Economy itu. Ketidakjelasan dari
konsep tersebut membawa salah pada pertanyaan apakah konsep ekonomi hijau ini
sebenarnya hanya sebuah alat untuk membatasi ruang gerak negara-negara berkembang untuk
maju dan mengurangi kemiskinan. Ataukah, konsep tersebut hanya merupakan politik
ekonomi dalam kaitannya dengan perkembangan perekonomian global yang masing-masing
negara mempertahankan kepentingan ekonomi negaranya!
Konsep modern Green Economy merupakan konsep yang dikenalkan untuk
melengkapi sekaligus mengembangkan konsep Green Economy yang telah ada dengan aspek
pembahasan yang lebih membatasi pada ekonomi untuk hal-hal yang bersifat ramah
lingkungan (economy to green requirements). Konsep modern dalam perspektif ini Green
Economy tidak hanya memberi penekanan pada berbagai kebijakan standar, seperti
bagaimana menilai lingkungan secara ekonomi dan pemberian sanksi terhadap aktivitas-
aktivitas yang membahayakan dan berpotensi merusak lingkungan; tetapi yang lebih penting
adalah bagaimana konsep ekonomi hijau tersebut mampu mendorong pelaku ekonomi untuk
memproduksi barang, perdagangan, dan mengkonsumsi hal-hal yang ramah lingkungan atau
produk barang dan jasa yang lebih ramah lingkungan. Pendapatan dan lapangan pekerjaan
yang dihasilkan dari Green Economy pada gilirannya diharapkan mampu membuat para
4
pelaku ekonomi menjadi lebih termotivasi untuk melakukan kegiatan yang ramah lingkungan.
Perspektif instrumental dari konsep modern ini mengakui bahwa melalui investasi, baik yang
dilakukan oleh pemerintah maupun swasta, dalam hal inovasi, teknologi, infrastruktur, dan
kelembagaan, adalah hal-hal yang dapat mengubah perekonomian atau mencapai perubahan
struktur yang fundamental.
Dengan pengertian tersebut di atas, konsep Green Economy telah mengalami
evolusi dari perpekstif lama yang bersifat regulasi untuk “menghijaukan” kegiatan ekonomi
“coklat” menjadi konsep baru yang lebih fokus pada pembangunan ekonomi dan pembukaan
lapangan pekerjaan (green jobs) dengan investasi hijau (green investment), produksi,
perdagangan, dan konsumsi. Hal tersebut nantinya akan memberikan kontribusi pada
peningkatan kesadaran lingkungan dan meningkatnya permintaan pasar untuk produk yang
ramah lingkungan serta barang dan jasa yang lebih ramah lingkungan. Adanya potensi
permintaan ini mengindikasikan bahwa Green Economy tidak hanya berperan dalam
mengatasi masalah-masalah “coklat”, seperti mengurangi emisi karbon, namun juga dapat
ditekankan pada isu bagaimana memperoleh penghasilan dan terbukanya lapangan pekerjaan
baru. Dengan demikian, Green Economy merupakan suatu alat/sarana yang diharapkan
mampu memberikan tiga keluaran, yaitu 1) adanya sumber-sumber penghasilan serta
lapangan pekerjaan yang baru; 2) emisi karbon yang rendah, mengurangi penggunaan sumber
daya alam, dan mengurangi peningkatan polusi dan limbah; serta 3) memberikan kontribusi
untuk tujuan sosial yang lebih luas melalui pelaksanaan pembangunan berkelanjutan,
kesetaraan sosial, dan pengurangan kemiskinan, meskipun tujuan sosial tersebut kadang-
kadang tidak terjadi secara otomatis. Namun, tujuan sosial tersebut memerlukan kebijakan
kelembagaan yang spesifik dan harus melekat pada kegiatan green economy.
Sehubungan dengan itu semua, maka ekonomi hijau secara singkat dicirikan
sebagai: (i) peningkatan investasi hijau; (ii) peningkatan kuantitas dan kualitas lapangan
pekerjaan pada sektor hijau; (iii) peningkatan pangsa sektor hijau; (iv) penurunan
energi/sumberdaya yang digunakan dalam setiap unit produksi; (v) penurunan CO2 dan
tingkat polusi per GDP yang dihasilkan; serta (vi) penurunan konsumsi yang menghasilkan sampah (decrease in wasteful consumption).
Selanjutnya, untuk memberikan contoh-contoh riil penerapan konsep ekonomi
hijau, dalam berbagai literatur tentang ekonomi hijau disebutkan paling tidak terdapat 11
(sebelas) sektor yang berkaitan dengan ekonomi hijau, yaitu pertanian, bangunan, perkotaan,
energi, perikanan, kehutanan, industri pengolahan/manufakturing, pariwisata, transportasi,
limbah, dan air. Kesebelas sektor ini sangat penting untuk membentuk atau menentukan
terjadinya ekonomi hijau di suatu negara. Kekeliruan dalam pengembangan di dalam sektor-
sektor ini dan keterkaitan diantaranya akan berpengaruh besar terhadap proses pembentukan
ekonomi hijau di suatu negara.
5
Pertanian. Pertanian merupakan sektor memegang peranan penting dalam
membentuk ekonomi hijau, karena dari sektor inilah sumber pangan diproduksi. Sektor
pertanian ini menyerap sebagian besar tenaga kerja dan menjadi sumber pendapatan, baik
secara rata-rata di suatu negara maupun secara global. Dengan demikian, pengelolaan
pertanian yang berkelanjutan (sustainable farming) akan membentuk atau berperan besar
dalam pembentukan ekonomi hijau di suatu negara. Hal lain yang lebih penting lagi, adalah
bahwa komposisi kemiskinan dalam sektor pertanian juga sangat besar, sehingga
pembentukan sustainable farming akan menjadi peluang baru sebagai sarana menurunkan
kemiskinan di sektor pertanian.
Bangunan. Bangunan merupakan bagian penting, karena sektor bangunan
(biuildings) mendominasi dalam konsumsi energi, baik bangunan publik, swasta dan
perkantoran, maupun rumah tangga. Jumlah bangunan dan industri real estate cenderung
tumbuh seiring dengan pertumbuhan populasi dalam suatu negara. Konsumsi lahan dan air
yang perlu disediakan menjadi faktor penentu dari pertumbuhan bangunan. Dengan
demikian, desain bangunan hijau (green buildings) menjadi bagian penting pula dalam
membentuk ekonomi hijau di suatu negara.
Perkotaan. Sejalan dengan pertumbuhan bangunan, maka perkembangan
perkotaan merupakan trend yang terus meningkat di berbagai negara.
Urbanisasi/perkembangan perkotaan di dunia juga menuntut tidak hanya akan kebutuhan
penyediaan lahan, namun juga air dimana apabila tidak direncanakan dengan baik akan
mengganggu kualitas hidup dan kelangsungan kehidupan. Perkembangan perkotaan juga
menuntut adanya peningkatan transportasi, konsumsi energi, dan infrastruktur lainnya. Selain
itu, seiring dengan berkembangnya masyarakat kelas menengah, perkembangan perkotaan
terus dituntut untuk misalnya berbagai kebutuhan konsumsi dan fasilitas perkotaan baik
dalam aspek kualitas maupun kuantitasnya.
Energi. Seiring dengan berkembangnya jumlah populasi dunia, yang lebih dari 7
miliar penduduk, kebutuhan energi baik untuk komoditas konsumsi maupun fasilitas
kehidupan terus semakin bertambah baik dari kuantitas dan kualitasnya. Penyediaan energi
yang terus meningkat, hal ini akan mendorong pencarian dan penggunaan sumber energi dari
berbagai sumber, baik sumber energi yang terbarukan maupun tidak terbarukan. Dengan
demikian, dengan mengetahui jumlah konsumsi energi tersebut hal ini akan dapat
memperkirakan adanya sejauhmana peningkatan emisi dari energi dan dampak lingkungan
lainnya akibat eksploitasi sumberdaya energi, apabila hal tersebut tidak direncanakan dengan
baik.
6
Perikanan. Sebagai salah satu sumber pangan, peningkatan populasi penduduk
akan menuntut eksploitasi sumberdaya perikanan yang terus meningkat. Kelangsungan
ketersediaan sumberdaya perikanan perlu dijaga dengan baik, baik melalui eksploitasi yang
sesuai pertumbuhan (maximum sustainable yield) maupun menggunakan cara-cara
penangkapan yang lestari, seperti adanya upaya restocking, dan pemeliharaan ekosistem laut.
Terkait dengan ekosistem laut, pengendalian polusi yang berasal dari sungai menjadi sangat
penting untuk menjaga ekosistem laut agar baik kebersihan dan keamanan untuk kehidupan
ikan.
Kehutanan. Dalam kaitan dengan ekonomi hijau, jumlah dan kualitas hutan sangat
penting untuk dipelihara, dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem dan daya dukung
fisik lahan serta menjaga biodiversitas yang ada di dalamnya. Hutan sebagai penjaga
sumberdaya air dan juga fungsi konservasi dan jasa lingkungan lainnya menjadi faktor yang
sangat penting untuk menentukan terbentuknya ekonomi hijau, termasuk pembentukan
komoditas karbon untuk “ditransaksikan” di kemudian hari. Dengan demikian, penggunaan
lahan hutan untuk kegiatan pertanian, pertambangan, dan pemanfaatan kegiatan lainnya perlu
dijaga melalui tata ruang yang ketat dan konsisten. Potensi hutan selama ini hanya
memfokuskan pada hasil produk kayu dan belum memperhatikan akan manfaat nilai jasa
lingkungan dan nilai biodiversitas yang ada. Padahal, jasa lingkungan dan nilai biodiversitas
dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan baik negara, daerah maupun
masyarakat yang sangat strategis dan bahkan dapat dikembangkan sejalan dengan
pembentukan ekonomi hijau.
Industri pengolahan/manufakturing. Peningkatan populasi dan kebutuhan hidup
baik secara kuantitas maupun kualitas akan mendorong pertumbuhan industri manufakturing.
Selain hal itu akan meningkatkan kebutuhan bahan baku untuk industri manufakturing
melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang ada, pertumbuhan industri manufakturing akan
berpotensi menimbulkan polusi apabila tidak dijaga dengan baik melalui prinsip-prinsip
keberlanjutan. Pengembangan industri yang menggunakan sumberdaya alam secara lebih
efisien, termasuk konsumsi energi dan bahkan energi bersih akan sangat berkontribusi pada
pembentukan ekonomi hijau. Dalam kaitan dengan pengembangan industri, potensi yang
besar dari kekayaan biodiversitas dapat dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai bahan baru
dalam pengobatan (bio-farmaka) maupun bahan baru yang lebih mengarah pada produk-
produk yang ramah lingkungan (bio-prospecting). Potensi kekayaan biodivesitas itu dapat
dijadikan sumber pendapatan baru bagi penerimaan negara dengan syarat bahwa pemanfaatan
biodiversitas itu tetap dilandasi dengan prinsip-prinsip keberlanjutan melalui pemeliharaan
sumberdaya alam dan lingkungan ke arah yang lebih baik dan ramah lingkungan.
7
Pariwisata. Pariwisata selama ini masih terbatas pada pemanfaatan sumber daya
yang terkait dengan kekayaan sight (pemandangan) keindahan alam. Di masa depan,
pariwisata mempunyai banyak peluang untuk dikelola dan ditumbuhkan sebagai komponen
ekonomi hijau. Alam dan ekosistemnya merupakan sumber kekayaan yang akan menjadi
daya tarik tourism, termasuk di dalamnya kekayaan biodiversitas sebagai kekayaan yang unik
dan spesifik lokasi alam. Pola pengelolaan kekayaan alam seperti pariwisata ekologi, wisata
keanekaragaman hayati, dan bahkan wisata ilmiah yang terkait dengan upaya mempelajari
kekayaan keanekaragaman hayati di tempatnya (in-situ) merupakan potensi yang belum
tergali dan dikelola dengan baik.
Transportasi. Transportasi merupakan bidang yang sangat penting untuk dapat
dikelola dengan baik. Jumlah populasi penduduk yang terus berkembang dan tingkat
mobilitas penduduk dalam frekuensi dan jarak yang semakin meningkat memerlukan layanan
transportasi yang besar jumlahnya dan tinggi frekuensinya. Peningkatan kebutuhan konsumsi
masyarakat serta berkembangnya sektor yang memerlukan mobilitas, misalnya pariwisata dan
sektor produksi lain menuntut sistem transportasi yang efisien dan bersih. Peningkatan
frekuensi mobilitas penduduk memerlukan sumberdaya energi yang harus dipersiapkan dalam
menunjang transportasi serta jenis transportasi yang ramah lingkungan. Transportasi harus
dapat dikelola dengan baik dan sesuai dengan tuntutan kelestarian lingkungan dan ekosistem.
Pengembangan sistem transportasi yang ramah lingkungan dapat juga terkait dengan tata kota
dan tata ruang secara lebih luas. Oleh karena itu, pengembangan penataan perkotaan dan
hubungan urban-rural serta antar wilayah perlu dikembangkan secara terpadu dengan
berbagai sektor lain, mengingat transportasi diperlukan hampir di semua sektor penting di
dalam ekonomi hijau.
Limbah. Sejalan dengan perkembangan seluruh kegiatan di dalam sektor-sektor di
atas, hal ini akan berimplikasi pada meningkatnya produksi limbah, baik jumlah maupun jenis
dan kulitas limbah yang dihasilkan. Pengelolaan dan pengaturan pengeluaran limbah perlu
ditetapkan sejak awal pada setiap kegiatan baik ekonomi maupun sosial. Penetapan
pengelolaan dan pengaturan hasil limbah ini akan sangat membantu tidak saja terkait dengan
perhitungan biaya pengelolaannya, namun juga terkait dengan penggunaan sumber alam
secara efisien dan hemat, terutama yang terkait dengan sumberdaya alam yang tidak
terbarukan. Pemanfaatan sumber daya alam secara hemat perlu terus dilakukan mengingat
masa produksi sumber daya alam yang tidak terbarukan memiliki masa yang sangat panjang.
Penggunaan sumberdaya alam (ekstraksi) yang terlalu cepat dan tidak efisien, tidak saja akan
menghasilkan limbah yang besar dan mungkin tidak ramah lingkungan namun juga hal
tersebut akan menghabiskan bahan dalam waktu pendek. Penggunaan sumberdaya alam
tersebut tentu saja tidak memperhatikan aspek keberlanjutan dan juga tidak sejalan dengan
kaidah pembentukkan ekonomi hijau secara baik.
Air. Alam yang menjadi penghasil sekaligus tempat membuang air perlu dijaga
keseimbangannya. Hutan sebagai sumber mata air perlu dijaga agar hutan mampu
menghasilkan jumlah air dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Perkembangan
populasi penduduk dan konsumsi air perlu didukung dengan adanya pemeliharaan
sumber/mata air alam yang baik. Sementara itu, kebutuhan akan ruang cenderung
8
menghilangkan sumber mata air dan daerah resapan air dimana kedua lokasi tersebut yang
bisa dianggap sebagai tempat yang mampu menjaga siklus air agar dapat terpelihara secara
seimbang sepanjang waktu dan sepanjang tempat (space). Untuk itu, penataan ruang dan
penjagaan keseimbangan fisik muka lahan perlu diperhitungkan dan dijaga dengan baik, agar
alam tetap menghasilkan air dalam jumlah dan kualitas yang dibutuhkan. Selain itu, alam
juga memiliki kemampuan untuk mendaur ulang atau menjaga siklus air sehingga jumlah air
yang dihasilkan dapat dijaga secara antar waktu dan antar tempat. Sehubungan dengan itu,
keseimbangan keberadaan dan eksistensi kesebelas sektor di atas termasuk air, yang menjadi
penyedia air, pengkonsumsi air, dan berpotensi sebagai pencemar air, sangat penting untuk
membentuk dan menyambungkan adanya ekonomi hijau yang lestari.
Uraian di atas menggambarkan pentingnya masing-masing sektor untuk
pembentukan atau pengembangan ekonomi hijau. Hal yang lebih penting lagi adalah
keterpaduan seluruh sektor tersebut untuk membentuk keseimbangan terhadap alam dan
ekosistem serta keberlanjutan fungsinya. Selanjutnya untu mengelola dan mengembangkan
potensi yang timbul dari semua sektor dibutuhkannya adanya profesi atau keahlian baru
profesi hijau (green jobs) di semua sektor tersebut. Dari sisi makro, banyaknya kesempatan
baru tersebut juga memungkinkan timbulnya sumber pendapatan baru yang berasal dari
perluasan sektor atau kegiatan dalam sektor yang selama ini belum ada, baik bagi masyarakat
dan negara.
9
III. PENGALAMAN BEBERAPA NEGARA DALAM MEMULAI EKONOMI
HIJAU
Dengan masih “kenyalnya” definisi ekonomi hijau, sampai saat ini belum ada satu
negarapun yang secara komprehensif telah menerapkan konsep ekonomi hijau. Meskipun
demikian, beberapa negara sudah mulai melakukan langkah-langkah untuk “menghijaukan”
pembangunan di berbagai bidang, seperti di Cina, Kenya, India dan terakhir adalah Korea
Selatan.
Cina memulai pembentukan ekonomi hijau melalui pengembangan renewable
energy. Pada akhir tahun 2005, Pemerintah Cina mengeluarkan undang-undang renewable
energy sebagai kerangka utama untuk pembangunan sektor berkelanjutan. Pemerintah Cina
menawarkan insentif keuangan untuk mendukung terbentuknya proyek renewable energy,
khususnya energi dari tenaga angin dan tenaga surya/matahari. Dukungan lain yang
diberikan oleh Pemerintah Cina adalah melalui pembentukan joint venture dan keharusan
menggunakan mesin tenaga angin produksi dalam negeri. Pendanaan khusus disediakan
untuk penelitian serta penyediaan dana untuk renewable energy diberikan (renewable energy
fund) untuk subsidi bunga dan pengurangan pajak atas pengembangan renewable energy.
Selain itu, penyedia energi grid diharuskan membeli dari produsen renewable energy yang
sudah terdaftar. Sebagai hasil dari kebijakan ini, Cina telah berhasil mengembangkan industri
renewable energy senilai 17 milyar dollar Amerika dan menambah kesempatan kerja
sebanyak 1,5 juta orang di industri energi tenaga biomassa dan tenaga angin. Untuk tahun
2009 saja jumlah kesempatan kerja baru dari ketiga industri tersebut adalah sebesar 300 ribu
orang.
Kenya. Pemerintah Kenya yang semula sangat tergantung pada sumber energi
minyak bumi yang diimpor dan biomasa akhir-akhir ini, berusaha keras untuk
mengembangkan renewable energy. Pada tahun 2008, Pemerintah Kenya menerapkan Feed-
in Tariff (FIT) yang mengharuskan perusahaan energi yang menyediakan energi dengan
sistem grid membeli sumber daya listrik dari produsen renewable energy pada harga yang
ditetapkan. Dengan cara ini, produsen listrik akan mendapatkan harga yang pasti dan
penyedia untuk produsen renewable energy juga mendapatkan harga yang pasti dan dapat
menutupi biaya produksinya. Pengembangan FIT ini bermanfaat untuk: (i) memfasilitasi
adanya jaminan investasi dan stabilitas pasar untuk investor; (ii) menurunkan biaya transaksi
dan proses tender yang panjang; (iii) mendorong produsen energi untuk merencanakan
pengembangan energi secara hati-hati dan efisien. Fasilitas ini disediakan dalam jangka
waktu 20 tahun dalam rangka memberikan kelonggaran waktu yang cukup untuk
pengembangan renewable energy di Kenya.
Brazil. Kota Curitiba, salah satu ibukota negara bagian di Brazil melakukan
pengembangan ekonomi hijau yang dimulai melalui pengelolaan tata kota dan sistem
transportasi perkotaan. Penataan kota dimulai dengan kombinasi pengaturan zona
pemanfaatan ruang dan pengelolaan transportasi dilaksanakan dengan cara melalui
10
menjauhkan tempat permukiman dari pusat kota. Selain itu, wilayah-wilayah yang terkena
banjir juga dialihkan menjadi daerah hijau, dalam rangka menjaga keseimbangan antara
kepadatan dan jasa lingkungan hijau. Prinsip penataan kota yang dituju adalah perencanaan
yang “pintar” agar dapat menghemat biaya di kemudian hari, meningkatkan efisiensi,
produktivitas dan kualitas hidup masyarakat di perkotaan.
India. India kegiatan ekonomi hijau dimulai dengan melakukan investasi
infrastruktur perdesaan secara ekologis. Yang dimaksud dengan ekonomi hijau adalah
memperkuat pengelolaan sumberdaya alam di perdesaan, dengan membiayai kegiatan
infrastruktur untuk mengatasi masalah kekeringan dan erosi melalui upaya konservasi
ekosistem sumberdaya alam yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat.
Ketersediaan air dan konservasi sumberdaya air sangat penting bagi kehidupan perdesaan dan
perkotaan serta mengamankan ketahanan pangan. Dalam kurun waktu tahun 2005-2008 telah
dilakukan sebanyak 850 ribu kegiatan infrastruktur sumberdaya air dan diperkirakan dapat
melestarikan 5 juta liter air dan meningkatkan 25 persen kesempatan kerja di perdesaan.
Green Growth Korea. Pendekatan yang lebih konkrit dalam menentukan kegiatan
ekonomi hijau di Korea pelaksanaannya dilakukan dengan dukungan dari Green Growth
Institute. Korea mencanangkan komitmen untuk membentuk green growth melalui Low
Carbon, Green Growth sebagaimana telah ditetapkan dalam visi nasional pada Agustus 2008.
Melalui low carbon green ini Korea ingin tetap melakukan pertumbuhan ekonomi dan
sekaligus menangani perubahan iklim. Langkah yang dilakukan oleh Korea adalah menyusun
Basic Act on Green Growth sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Lima Tahunan dan
akan mengalokasikan 2 (dua) persen dari GDP setiap tahun untuk penerapan green growth.
Selain tekad tersebut di atas, Korea Selatan juga melakukan penyadaran (awareness) ke
seluruh lapisan masyarakat dan menyediakan insentif dan disinsentif melalui kebijakan
carbon pricing dan tax.
Indonesia. Di Indonesia sudah banyak langkah konkrit yang dilakukan oleh
berbagai sektor untuk mendukung pelaksanaan ekonomi hijau. Berbagai kegiatan dalam
bidang pertanian, misalnya metoda pertanaman hemat air (System Rice Intensification/SRI),
pengelolaan limbah ternak untuk biogas dan pupuk organik, pemanfaatan limbah perkebunan
untuk pupuk organik serta pemanfaatan minyak sawit untuk biosolar sudah dilakukan. Selain
itu, penggunaan energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat dan publik
melalui pengembangan mikro-hidro skala masyarakat, serta penggunaan listrik tenaga surya
untuk rumah tangga maupun lampu jalan sudah diterapkan di berbagai daerah. Penggunaan
gas sebagai langkah mendukung gerakan ekonomi hijau untuk kendaraan umum juga sudah
dimulai.
11
Langkah secara terpadu dalam menerapkan ekonomi hijau, mulai dilakukan dengan
dikenalkannya Komitmen Presiden dalam rangka menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen
pada tahun 2020, dari business as usual saat ini. Komitmen tersebut kemudian dijabarkan ke
dalam Rencana Aksi Penurunan Emisi GRK sebagaimana telah diterbitkan pada bulan
September tahun 2011. Saat ini, Rencana Aksi ini sedang disosialisasikan ke daerah-daerah
dalam rangka mendorong tersusunnya Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi GRK. RAD
GRK diharapkan akan selesai pada akhir tahun2012, dan diharapkan kerangka pelaksanaan
penurunan emisi GRK dari pusat sampai ke daerah juga sudah tersedia. Dengan adanya RAD
GRK ini, kegiatan-kegiatan yang sudah dimulai di berbagai sekor tersebut di atas, akan dapat
dilakukan secara lebih terstruktur dan terpadu dalam rangka membentuk kegiatan rendah
emisi (karbon).
12
IV. UPAYA MEWUJUDKAN EKONOMI HIJAU INDONESIA
4.1. PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA
Indonesia telah mempertimbangkan tentang pentingnya pembangunan
berkelanjutan sejak diperkenalkannya pembangunan berkelanjutan pada tahun 1972. Sejalan
dengan itu dan sejalan dengan dimulainya dengan KTT Bumi di Rio tahun 1992, pada tahun
1997 Indonesia sudah menyusun Dokumen Agenda 21 Indonesia. Penyusunan dokumen ini
didasari oleh kesadaran akan pentingnya menyeimbangkan antara pembangunan lingkungan,
ekonomi, dan sosial sebagai satu kesatuan. Agenda 21 juga menyusun rencana pelaksanaan
untuk menyatukan pembangunan lingkungan, ekonomi, dan sosial dalam satu paket terpadu
untuk terwujudnya pembangunan berkelanjutan.
4.1.1. Agenda 21
Agenda 21 Indonesia terdiri atas 4 (empat) bagian, yaitu:
a. Bagian I: Pelayanan masyarakat (community services), yang terdiri dari 6 (enam)
Bab, yaitu: Bab 1 tentang Pengentasan Kemiskinan; Bab 2 tentang Perubahan Pola
Konsumsi; Bab 3 tentang Dinamika Kependudukan; Bab 4 tentang Pengelolaan dan
Peningkatan Kesehatan; Bab 5 tentang Pengembangan Perumahan dan Pemukiman;
dan Bab 6 tentang Sistem Perdagangan Global, Instrumen Ekonomi, serta Neraca
Ekonomi dan Lingkungan Terpadu.
b. Bagian II adalah: Pengelolaan Limbah, yang terdiri dari 5 (lima) Bab, yaitu: Bab
(7) Perlindungan Atmosfir; Bab (8) Pengelolaan Bahan Kimia Beracun; Bab (9)
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun; Bab (10) Pengelolaan Limbah
Radioaktif ; dan Bab (11) Pengelolaan Limbah Padat dan Cair.
c. Bagian III tentang Pengelolaan Sumber Daya Tanah, yang terdiri dari 4 (empat)
Bab, yaitu: Bab (12) Perencanaan Sumber Daya Tanah; Bab (13) Pengelolaan
Hutan; dan Bab (14) Pengembangan Pertanian dan Pedesaan; dan Bab (15)
Pengelolaan Sumber Daya air.
d. Bagian IV: Pengelolaan Sumber Daya Alam, dibagi ke dalam 3 (tiga) Bab, yaitu
Bab (16) Konservasi Keanekaragaman Hayati; Bab (17) Pengembangan Teknologi;
dan Bab (18) Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir dan Lautan.
Pelayanan Masyarakat pada dasarnya menjabarkan tentang pelayanan dasar
kepada masyarakat yang perlu diwujudkan kepada masyarakat sebagai bagian dari hak dasar
mereka. Unsur-unsur di dalam pelayanan dasar ini merupakan pencerminan dari prinsip-
prinsip sosial ekonomi dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam perkembangan
13
selanjutnya, butir-butir pelayanan dasar ini menjadi indikator dalam Pembangunan Milenium
(Millenium Development Goals).
Bagian kedua dari Agenda 21 adalah Pengelolaan Limbah yang terdiri dari
perlindungan atmofir, pengelolaan limbah kimia beracun, pengelolaan limbah padat dan cair.
Pengelolaan limbah-limbah yang dilakukan dengan baik akan dapat menjaga kebersihan dan
kelestarian lingkungan, dalam rangka lingkungan dengan ekosistemnya dalam mendukung
kehidupan kita semua. Pengelolaan limbah ini dalam tataran pelaksanaannya dituangkan ke
dalam peraturan lingkungan hidup yang sudah diperbarui beberapa kali dan yang terakhir
adalah dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009.
Bagian ketiga adalah Pengelolaan Sumber Daya Tanah yang mengatur tentang
Perencanaan Sumber Daya Tanah, pengelolaan hutan, pengembangan pertanian dan
perdesaan serta pengelolaan sumber daya air. Bab ini selain berkaitan erat dengan Bab yang
kedua, juga pembahasan dalam rangka mengendalikan secara seimbang tentang pengelolaan
tanah baik dari sisi kuantitas dan ruang (space) untuk berbagai penggunaan dan sisi kualitas
tanah yang terutama dalam kaitannya untuk menjaga sumber mata air dan ruang reasapan air
yang sangat menentukan keberlanjutan ketersediaan air bagi kelangusngan kehidupan di
muka bumi.
Bagian keempat adalah tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam yang mencakup
tentang konservasi keanekaragaman hayati yang merupakan sumber kehidupan penting baik
pada saat ini maupun saat mendatang; pengembangan teknologi yang perlu memperhatikan
aspek ramah lingkungan dan menjaga efisiensi pemanfaatan sumber daya alam, terutama
yang tidak terbarukan; serta arah untuk mengatur pengelolaan pesisir dan lautan secara
terpadu. Keempat bagian ini merupakan cikal bakal dan dasar untuk mengarahkan
pemanfaatan lingkungan dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya untuk
kelangsungan kehidupan saat ini dan keberlanjutan hidup ke depan.
4.1.2. Pelayanan Dasar dan Pencapaian Target MDG
Melihat komponen di dalam Agenda 21, Rencana Pembangunan Nasional yang
dituangkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) dan setiap
tahunnya dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Tahunan dan ke dalam Undang-undang
APBN sudah memuat komponen-komponen tersebut. Demikian pula ketiga pilar ekonomi,
sosial dan lingkungan hidup juga sudah tercantum di dalamnya. Namun demikian,
pelaksanaan ketiga komponen tersebut belum seimbang dan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan yang ada belum terinternalisasikan ke dalam setiap pilar dengan baik. Hal ini
selanjutnya berpengaruh di dalam hasil dan dampak pembangunan meskipun Indonesia telah
berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang terus terjaga dan meningkat. Pada saat yang
bersamaan tersebut hasil pertumbuhan ekonomi juga telah menimbulkan banyak
permasalahan lingkungan. Namun demikian, Indonesia juga mencatat perkembangan yang
signifikan dalam berbagai komponen yang digariskan di dalam Agenda 21.
14
Pelayanan Dasar telah tercermin dalam indikator MDG. Indonesia melaksanakan
pembangunan sosial khususnya pelayanan dasar dengan sangat serius. Pembangunan sektor
pendidikan dan kesehatan serta keluarga berencana, yang telah dimulai sejak Pembangunan
secara terencana (dalam era Orde Baru), telah berhasil membangun infrastruktur pendidikan
dan kesehatan secara meluas melalui pembangunan SD Inpres dan penempatan Guru Inpres
serta pembangunan Puskesmas dan penempatan dokter Inpres di seluruh pelosok tanah air.
Demikian pula pembangunan keluarga berencana yang tidak hanya mencanangkan pada
pelayanan kesehatan keluarga namun juga mensosialisasikan “2 (dua) anak cukup” dalam
setiap keluarga, telah cukup berhasil menempatkan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan
keluarga sebagai prioritas dalam pembangunan keluarga sejahtera. Hasil dari pelaksanaan
program yang sudah dimulai dan terus dilaksanakan secara konsisten dalam setiap tahap
rencana pembangunan telah mencapai banyak keberhasilan. Dengan langkah konsisten ini,
maka Indonesia pada tahun 2000 termasuk salah satu negara yang menyetujui disepakatinya
MDG, yang mengglobalkan pembangunan nasional menjadi agenda global.
Sejak deklarasi MDG tersebut, Indonesia telah pula mengarusutamakan indikator MDG ke
dalam rencana pembangunan. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan pembangunan yang
sekaligus menyelesaikan agenda pembangunan MDG dan kemajuan pencapaian MDG adalah
bagian dari pencapaian pembangunan nasional, yang kemajuannya dapat dilaporkan setiap
tahun. Dalam laporan MDG pada tahun 2010, Indonesia telah mencapai sasaran MDG1
kemiskinan USD1/kapita. MDG3 kesetaraan jender dan MDG 6 prevalensi TB akan dicapai
sebelum tahun 2015. Selanjutnya, sasaran MDG yang on track dan akan dapat dicapai pada
tahun 2015 adalah MDG 1 prevalensi balita kekurangan gizi, MDG 2 APM pendidikan dasar
dan tingkat melek huruf, MDG 3, MDG 4, dan MDG 8. Sementara itu, beberapa sasaran
yang akan tercapai namun masih memerlukan kerja keras adalah sasaran MDG 1 - target
pengurangan kemiskinan dengan menggunakan ukuran garis kemiskinan nasional; MDG 5 -
Angka kematian ibu; MDG 6 - Jumlah penderita HIV/AIDS yang meningkat, khususnya di
antara kelompok risiko tinggi pengguna narkoba suntik dan pekerja seks; MDG 7 - Indonesia
memiliki tingkat emisi gas rumah kaca yang tinggi (Tabel 1).
Tabel 1. Perkembangan Pencapaian sasaran MDG Tahun 2010
No Target MDG Status 2010
I TELAH TERCAPAI SEBELUM 2015
1
MDG 1 - Proporsi
penduduk yang hidup
dengan pendapatan
per kapita kurang dari
USD 1 per hari
Telah menurun dari 20,6 persen pada tahun 1990
menjadi 5,9 persen pada tahun 2008.
15
2
MDG 3 - Kesetaraan
gender dalam semua
jenis dan jenjang
pendidikan
Telah hampir tercapai, yang ditunjukkan oleh:
Rasio angka partisipasi murni (APM) perempuan
terhadap laki-laki di SD/MI/Paket A dan
SMP/MTs/Paket B berturut-turut sebesar 99,73 dan
101,99, dan
Rasio angka melek huruf perempuan terhadap laki-
laki pada kelompok usia 15-24 tahun sebesar 99,85
pada tahun 2009.
3 MDG 6 - Prevalensi
tuberkulosis
Menurun dari 443 kasus pada 1990 menjadi 244 kasus
per 100.000 penduduk pada tahun tahun 2009.
II ON TRACK DAN AKAN TERCAPAI TAHUN 2015
1 MDG 1 - Prevalensi
balita kekurangan gizi
Telah berkurang hampir setengahnya, dari 31 persen
pada tahun 1989 menjadi 18,4 persen pada tahun 2007.
Target 2015 sebesar 15,5 persen diperkirakan akan
tercapai.
2
MDG 2 - Angka
partisipasi murni
untuk pendidikan
dasar
Mendekati 100 persen dan tingkat melek huruf
penduduk melebihi 99,47 persen pada 2009.
3
MDG 3 - Rasio APM
perempuan terhadap
laki-laki di
SMA/MA/Paket C
dan pendidikan tinggi
Pada tahun 2009 berturut-turut 96,16 dan 102,95.
Dengan demikian maka target 2015 sebesar 100
diperkirakan akan tercapai.
4
MDG 4 - Angka
kematian balita telah
menurun dari 97 per
1.000 kelahiran
Pada tahun 1991 menjadi 44 per 1.000 kelahiran pada
tahun 2007 dan diperkirakan target 32 per 1.000
kelahiran pada tahun 2015 dapat tercapai.
5
MDG 8 - Indonesia
telah berhasil
mengembangkan
perdagangan serta
sistem keuangan yang
terbuka,
Ditunjukkan dengan adanya kecenderungan positif
dalam indikator yang berhubungan dengan
perdagangan dan sistem perbankan nasional. Kemajuan
signifikan telah dicapai dalam mengurangi rasio
pinjaman luar negeri terhadap PDB dari 24,6 persen
pada 1996 menjadi 10,9 persen pada 2009. Debt
Service Ratio juga telah berkurang dari 51 persen pada
tahun 1996 menjadi 22 persen pada tahun 2009.
III TERCAPAI TAHUN 2015 DENGAN KERJA KERAS
1
MDG 1 – target
pengurangan
kemiskinan dengan
ukuran garis
kemiskinan nasional
Dengan ukuran target pengurangan kemiskinan
nasional dari 13,33 persen (2010) menjadi 8-10 persen
pada tahun 2014.
16
2 MDG 5 - Angka
kematian ibu
Menurun dari 390 tahun 1991 menjadi 228 per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 2007. Diperlukan upaya
keras untuk mencapai target pada tahun 2015 sebesar
102 per 100.000 kelahiran hidup.
3 MDG 6 – HIV/AIDS
Jumlah penderita HIV/AIDS meningkat, khususnya di
antara kelompok risiko tinggi pengguna narkoba suntik
dan pekerja seks.
4 MDG 7 –
Lingkungan Hidup
Tingkat emisi gas rumah kaca masih tinggi, namun
tetap berkomitmen untuk meningkatkan tutupan
hutan, memberantas pembalakan liar.
Dengan adanya RAN GRK ditargetkan untuk
mengurangi emisi karbon dioksida paling sedikit
26 persen selama 20 tahun ke depan.
Saat ini hanya 47,73 persen rumah tangga yang
memiliki akses berkelanjutan terhadap air minum
layak dan 51,19 persen yang memiliki akses
sanitasi yang layak.
Diperlukan perhatian khusus, untuk mencapai
target MDG pada tahun 2015.
Sumber: LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM
INDONESIA 2010, Kementerian PPN/Bappenas, 2010
4.1.3. Perkembangan Pengarusutamaan Pembangunan Berkelanjutan ke Dalam
Pembangunan
Upaya untuk menginternalisasikan prinsip pembangunan berkelanjutan masih terus
dilakukan. Setelah era desentralisasi, pembangunan berkelanjutan secara konkrit
dicantumkan dalam RPJPN 2005-2025 sebagai salah satu misi pembangunan jangka panjang.
Rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) 2005-2025 menggariskan visi
pembangunan Indonesia adalah Indonesia mandiri, maju, adil, dan makmur. Kondisi yang
digambarkan dalam visi ini dicirikan oleh tingkat kemandirian, kemajuan, keadilan, dan
kemakmuran yang ingin dicapai. Pembangunan sebagai usaha untuk mengisi kemerdekaan
haruslah merupakan upaya membangun kemandirian. Dalam satu dari 8 (delapan) misi
pembangunan untuk mencapai kondisi yang digambarkan dalam visi tersebut terutama terkait
dengan pembangunan berkelanjutan adalah visi ke-6 yaitu: Indonesia Asri dan Lestari. Misi
ini akan ditempuh dengan:
“Mewujudkan Indonesia asri dan lestari, yaitu: (i) memperbaiki pengelolaan
pelaksanaan pembangunan yang dapat menjaga keseimbangan antara
pemanfaatan, keberlanjutan; (ii) keberadaan dan kegunaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup dengan tetap menjaga fungsi, daya dukung dan kenyamanan
dalam kehidupan pada masa kini dan masa depan melalui pemanfaatan ruang yang
17
serasi antara penggunaan untuk permukiman, kegiatan sosial ekonomi dan upaya
konservasi, meningkatkan pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan
Iingkungan yang berkesinambungan; (iii) memperbaiki pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan hidup untuk mendukung kualitas kehidupan, memberikan
keindahan dan kenyamanan kehidupan, serta meningkatkan pemeliharaan dan
pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai modal dasar pembangunan”.
Misi “Mewujudkan Indonesia asri dan lestari” tersebut selanjutnya secara bertahap
dijabarkan ke dalam RPJPM 2010-2014 dalam bentuk program pengarustamaan
(mainstreaming) pembangunan berkelanjutan. Yang dimaksudkan dengan Mainstreaming
pembangunan berkelanjutan dimaksudkan bahwa rencana pemabngunan di setiap bidang
harus menganut prinsip-prinsip berkelanjutan. Pada saat ini belum dikembangkan outcome
yang dihasilkan dalam mainstreaming pembangunan berkelanjutan tersebut dan perlu terus
diupayakan agar dapat diketahui dan diukur sejauh mana mainstreaming tersebut sudah
diterapkan dalam bidang-bidang pembangunan yang ada. Penuangan lebih konkrit lagi
adalah melalui program lintas bidang perubahan iklim. Perubahan iklim dinilai merupakan
tantangan besar dalam pelaksanaan pembangunan nasional, dan setiap bidang pembangunan
diharapkan memiliki program-program yang mendukung dan melaksanakan pengendalian
dampak perubahan iklim tersebut. Oleh sebab itu, agar dapat dilakukan koordinasi yang jelas
dan konkrit, maka dalam RPJPM 2010-2014 perubahan iklim ditetapkan sebagai program
lintas bidang. Hal ini berarti setiap bidang yang terkait dengan kegiatan mitigasi dan adaptasi
wajib mencantumkan kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan perubahan iklim.
4.2. KOMITMEN PENURUNAN EMISI GRK – MOMENTUM UNTUK
PEMBENTUKAN EKONOMI RENDAH KARBON
Sejalan dengan pertemuan UNFCC COP 13 tahun 2007 di Bali, Indonesia sebagai
tuan rumah pertemuan tersebut, telah berhasil memfasilitasi tersusunnya Bali Roadmap,
sebagai komitmen pemimpin negara dalam mengatasi perubahan iklim. Di dalam pertemuan
UNFCC COP tersebut, Indonesia sudah menyusun suatu country natural resources and
environment assessment (CNREA) sebagai langkah awal untuk mendeteksi kondisi sumber
daya alam dan lingkungan hidup terkait dengan upaya menyongsong meningkatnya isu
perubahan iklim.
Sesuai hasil pertemuan UNFCC COP tersebut dan menyadari pentingnya suatu
negara melakukan langkah-langkah konkrit dalam mengatasi masalah dan mengendalikan
dampak perubahan iklim, maka Indonesia menyatakan komitmen untuk menurunkan emisi
GRK yang menjadi penyebab pemanasan global dan yang mengakibatkan adanya perubahan
iklim. Terkait dengan hal tersebut di atas, dalam pertemuan G-20 di Pitsburg tahun 2009,
Indonesia mengumumkan target penurunan emisi GRK sebesar 26% dengan upaya sendiri
dan 41% dengan dukungan masyarakat internasional. Target ini disampaikan untuk
18
menunjukkan bahwa secara sukarela Indonesia melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan
kualitas pembangunan nasional dan sekaligus berkontribusi terhadap penurunan emisi gas
yang menjadi penyebab pemanasan global.
Indonesia Climate Change Sektoral Roadmap (ICCSR). ICCSR dipublikasikan
oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional pada Maret 2010. Dokumen ICCSR
diharapkan dapat memberikan panduan pedoman yang detail dan sebagai alat untuk
mengarusutamakan perubahan iklim di dalam setiap sektor ataupun lintas sektor
pembangunan. Dokumen ICCSR bertujuan untuk menjabarkan dan menjaga
keterkaitan antara target nasional, target sektoral, capaian dan prioritas aksi adaptasi
dan mitigasi perubahan iklim. Ruang lingkup ICCSR merupakan kombinasi roadmap
untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Beberapa pedoman pokok terkait mitigasi
emisi gas rumah kaca yang disediakan di dalam ICCSR setidaknya meliputi 5 (lima)
hal:(i) Inventori emisi CO2 yang akan direvisi serta penyesuaiannya pada 2015; (ii)
Penyediaan panduan kebijakan u ntuk pengurangan emisi gas rumah kaca dari proyeksi
skenario business as usual sebesar 26% pada tahun 2020 yang menggunakan sumber
daya nasional serta 41% dengan dukungan internasional; (iii) Implementasi mitigasi yang
mendukung pencapaian agenda pembangunan nasional 2025; (iv) Peningkatan energi
alternatif; dan (v) Adopsi low-carbon development bagi seluruh sektor yang berkontribusi
terhadap emisi gas rumah kaca. Secara konsepsual peta jalan untuk mengadopsi usaha
mitigasi terhadap sistem pembangunan yang disediakan oleh dokumen ICCSR meliputi: (i)
Penentuan sektor mitigasi; (ii) Penguatan basis ilmiah; (iii) Status emisi (inventory); (iv)
Penentuan potensi reduksi emisi gas rumah kaca; (v) Rekomendasi strategi mitigasi; dan (vi)
Integrasi ke dalam sistem pembangunan nasional.
Penyusunan prioritas mitigasi diharapkan berasal dari studi terkini mengenai
inventori emisi. Selain itu, ICCSR juga memberi catatan bahwa hal ini sangat mungkin
untuk diperbaharui sesuai perkembangan lebih lanjut pada konteks nasional maupun
internasional. Adapun pada dokumen ICCSR, sektor mitigasi emisi gas rumah kaca dibagi
atas sektor transportasi, kehutanan, industri, energi, dan pengelolaan persampahan. Dalam
pengaturan aktivitas mitigasi pada setiap sektor, dokumen ICCSR mengklasifikasikannya ke
dalam tiga kategori sebagai berikut: (i) Dalam pengaturan aktivitas mitigasi pada setiap
sektor, dokumen ICCSR mengklasifikasikannya ke dalam 3 ( tiga) kategori: (i) Kategori
1 Manajemen Data, Informasi, dan Pengetahuan; (ii) Kategori 2 Perencanaan dan
Kebijakan, Peraturan, dan Pengembangan Institusi; dan (iii) Kategori 3 Implementasi,
Kontrol, dan Evaluasi. Penyusunan strategi dan aktivitias mitigasi pada setiap sektor di
dalam ICCSR setidaknya meliputi penjelasan mengenai kegiatan, instansi terkait, lokasi
kegiatan, serta waktu pelaksanaan. Kerangka waktu pelaksanaan yang disusun terbagi ke
dalam kurun waktu 2010 – 2029.
“Yellow Book” National Development Planning: Indonesia’s Response to Climate
Change. Dokumen Yellow Book dipublikasikan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan
Nasional. Dokumen ini dimaksudkan untuk menjembatani isu sektoral dan lintas sektoral
yang sensitif terhadap perubahan iklim dan juga hubungannya dengan dokumen
19
perencanaan pembangunan nasional. Dokumen ini juga bertindak untuk mempertajam dan
melengkapi susbtansi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 –
2014. Secara umum maksud penyusunan dokumen ini meliputi : 1) integrasi program
adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dengan sistem perencanaan pembangunan, 2)
menyajikan prioritas sektoral dan lintas sektoral atas perubahan iklim di dalam kerangka
pembangunan berkelanjutan, 3) memberikan gambaran mekanisme pembiayaan dan institusi
untuk mengimplementasikan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, dan 4)
memberikan gambaran kerjasama di dalam kerangka perubahan iklim.
4.2.1. Penjabaran komitmen penurunan emisi GRK.
Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK). RAN GRK adalah dokumen kerja yang menjadi pedoman Pemerintah, Pemerintah Daerah,
masyarakat serta pelaku ekonomi untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara
langsung dan tidak langsung menurunkan emisi Gas Rumah Kaca dalam periode 2010-
2020 sesuai dengan komitmen Bapak Presiden (Gambar 1). RAN GRK merupakan acuan
utama bagi aktor pembangunan di tingkat nasional, provinsi, dan kota/kabupaten dalam
perencanaan, implementasi, monitor, dan evaluasi pengurangan emisi gas rumah kaca.
Prinsip Dasar pelaksanaan RAN GRK adalah bahwa penurunan emisi GRK; (i) Tidak
menghambat pertumbuhan ekonomi; (ii) Meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui
pembangunan yang berkelanjutan; dan (iii) Perlindungan terhadap masyarakat miskin dan
rentan. Isi pokok dari RAN GRK adalah: (i) membagi target sasaran penurunan emisi
sebesar 26% dan 41% ke dalam 5 (lima) sektor utama; (ii) mengidentifikasi strategi dan
program dan kegiatan pemerintah yang dapat digunakan untuk menurunkan emisi GRK.
Program dan kegiatan ini ada di dalam RPJM dan perlu dituangkan ke dalam RKP termasuk
penganggarannya setiap tahunnya, yang akan dilaksanakan oleh K/L.
Gambar 1. Komitmen Presiden mengenai RAN GRK
20
Untuk memberikan landasan hukum yang kuat bagi pelaksanaan RAN GRK,
Pemerintah menerbitkan dalam Peraturan Presiden dan telah ditandatangani pada tanggal 20
September 2011 menjadi Perpres No.61 tahun 2011, tentang Penurunan Emisi Gas Rumah
Kaca telah. Upaya penetapan landasan hukum ini menunjukkan bahwa komitmen pemerintah
tersebut secara serius dijabarkan dalam aksi nyata. Substansi dan kriteria kegiatan yang ada di
dalam RAN GRK adalah: (i) Terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Nasional dan ter-
update secara rutin; (ii) Kegiatan Inti yang mencakup 5 (lima) bidang untuk penurunan
emisi. Kegiatan tersebut menghasilkan penurunan emisi GRK dengan biaya satuan termurah
dan terintegrasi dalam rangka mencapai sasaran prioritas pembangunan (co-benefit); (iii)
Kegiatan pendukung dilakukan untuk mendukung kegiatan inti (secara tidak langsung
menurunkan emisi) melalui penguatan kerangka kebijakan, peningkatan kapasitas manusia
dan kelembagaan, sosialisasi, penelitian, dan kegiatan lain yang mempunyai andil
menurunkan emisi; (iv) Disusun berdasarkan kegiatan yang sudah ada, dan memiliki manfaat
tambahan dalam penurunan emisi gas rumah kaca (kegiatan-kegiatan pembangunan yang
rendah karbon); dan (v) Dalam bidang kehutanan dan lahan gambut ditempuh melalui
kegiatan-kegiatan pencegahan deforestasi, degradasi hutan, konservasi, serta kegiatan-
kegiatan lainnya.
Gambar 2: Target Penurunan Tingkat Emisi Sektoral
Kebijakan dan strategi yang tertuang di dalam RAN GRK untuk kelima sektor utama
dapat dijabarkan sebagai berikut. Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut. Langkah
kebijakan sektor kehutanan dan lahan gambut terkait penurunan emisi gas rumah kaca dapat
ditempuh melalui: (i) Penurunan emisi GRK sekaligus meningkatkan kenyamanan
21
lingkungan, mencegah bencana, menyerap tenaga kerja, dan menambah pendapatan
masyarakat serta negara; (ii) Pengelolaan sistem jaringan dan tata air pada rawa; (iii)
Pemeliharaan jaringan reklamasi rawa (termasuk lahan gambut yang sudah ada); (iv)
Peningkatan produktivitas dan efisiensi produksi pertanian pada lahan gambut dengan emisi
serendah mungkin dan mengabsorbsi CO2 secara optimal.
Strategi yang dilakukan sektor kehutanan dan lahan gambut melalui: (i) menekan laju
deforestasi dan degradasi hutan untuk menurunkan emisi GRK; (ii) Meningkatkan
penanaman hutan dan tumbuhan untuk meningkatkan penyerapan GRK; (iii) Meningkatkan
upaya pengamanan kawasan hutan dari kebakaran dan pembalakan liar dan penerapan
Sustainable Forest Management; (iv) Melakukan perbaikan tata air (jaringan) dan blok-blok
pembagi, serta menstabilkan elevasi muka air pada jaringan tata air rawa; (v)
Mengoptimalisasikan sumber daya lahan dan air tanpa melakukan deforestasi; (vi)
Menerapkan teknologi pengelolaan lahan dan budidaya pertanian dengan emisi GRK
serendah mungkin dan mengabsorbsi CO2 secara optimal.
Sektor Pertanian. Langkah kebijakan sektor pertanian dapat ditempuh melalui: (i)
Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional dan Peningkatan Produksi Pertanian dengan emisi
GRK yang rendah; dan (ii) Peningkatan fungsi dan pemeliharaan sistem irigasi. Strategi
dalam rangka penurunan emisi gas rumah kaca di sektor pertanian dilakukan dengan: (i)
Mengoptimalisasikan sumber daya lahan dan air; (ii) Menerapkan teknologi pengelolaan
lahan dan budidaya pertanian dengan emisi GRK serendah mungkin dan mengabsorbsi CO2
secara optimal; dan (iii) Menstabilkan elevasi muka air dan memperlancar sirkulasi air pada
jaringan irigasi.
Sektor Energi dan Transportasi. Langkah kebijakan sektor energi dan
transportasi dapat ditempuh melalui: (i) Peningkatan penghematan energi; (ii) Penggunaan
bahan bakar yang lebih bersih (fuel switching); (iii) Peningkatan penggunaan energi baru dan
terbarukan (EBT); (iv) Pemanfaatan teknologi bersih baik untuk pembangkit listrik dan
sarana transportasi; dan (iv) Pengembangan transportasi massal nasional yang rendah emisi,
berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Strategi dalam penurunan emisi gas rumah kaca di
sektor energi dan transportasi dilakukan dengan: (i) Menghemat penggunaan energi final baik
melalui penggunaan teknologi yang lebih bersih dan efisien maupun pengurangan konsumsi
energi tak terbarukan (fosil); (ii) Mendorong pemanfaatan energi baru tak terbarukan skala
kecil dan menengah; (iii) (Avoid) – mengurangi kebutuhan akan perjalanan terutama daerah
perkotaan (trip demand management) melalui penata-gunaan lahan dan mengurangi
perjalanan dan jarak perjalanan yang tidak perlu; (ii) (Shift) – menggeser pola penggunaan
kendaraan pribadi (sarana transportasi dengan konsumsi energi yang tinggi) ke pola
transportasi rendah karbon seperti sarana transportasi tidak bermotor, transportasi publik, dan
transportasi air; (iii) (Improve) – meningkatkan efisiensi energi dan pengurangan pengeluaran
karbon pada kendaraan bermotor pada sarana transportasi.
Sektor Industri. Langkah kebijakan sektor industri ditempuh dengan upaya
peningkatan pertumbuhan industri dengan mengoptimalkan pemakaian energi. Strategi dalam
22
rangka penurunan emisi gas rumah kaca sektor industri ini dilakukan dengan: Melaksanakan
audit energi khususnya pada industri-industri yang padat energi dan Memberikan insentif
pada program efisiensi energi.
Sektor Limbah. Langkah kebijakan yang diambil dalam rangka penurunan emisi
gas rumah kaca adalah dengan peningkatan pengelolaan sampah dan air limbah domestik.
Strategi yang akan dilakukan di sektor limbah ini mencakup: (i) Meningkatkan kapasitas
kelembagaan dan peraturan di daerah; (ii) Meningkatkan pengelolaan air limbah di perkotaan;
(iii) Mengurangi timbulan sampah melalui 3R (reduce, reuse, recycle); (iv) Memperbaiki
proses pengelolaan sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA); (v) Meningkatkan
pembangunan/ rehabilitasi TPA; dan (vi) Memanfaatkan limbah/sampah menjadi produksi
energi yang ramah lingkungan.
Penentuan program sektoral dan anggaran untuk mencapai sasaran skenario
(BAU atau dengan kerjasama). Secara lengkap deskripsi dari langkah-langkah kebijakan,
strategi, anggaran, dan kerjasama dengan berbagai pihak tertuang di dalam Perpres No.
61/2011 tentang RAN GRK.
4.2.2. Pelaksanaan dan penjabaran di tingkat sektoral.
Dengan adanya penjabaran alokasi target ke setiap 5 (lima) sektor utama dan
identifikasi program dan kegiatan yang berkontribusi dalam menurunkan emisi GRK, maka
pelaksanaan di masing-masing sektor memiliki tujuan sasaran serta peran pemerintah yang
jelas untuk mendorong pelaku usaha dan masyarakat di sektor masing-masing. Untuk itu, di
setiap sektor perlu disusun kebijakan lebih lanjut tentang bagaimana masing-masing K/L
sektor menyediakan fasilitasi baik berupa regulasi (standar, ukuran, dan kriteria) dan juga
berupa insentif dan disinsentif serta mekanisme apabila diperlukan penanggung jawab untuk
masayarakat dan swasta (Gambar 3).
Gambar 3: Rencana Aksi Sektoral
23
Sebagai contoh, untuk sektor kehutanan dan lahan gambut, telah disusun Strategi
Nasional REDD+ dimana penyusunan draft awalnya dilakukan oleh Kementerian
PPN/Bappenas bersama-sama dengan K/L terkait. Strategi nasional tersebut pada saat ini
sedang dalam tahap finalisasi oleh Satgas REDD+ yang nantinya akan dijadikan sebagai
landasan untuk pelaksanaan REDD+ dan pembentukan Lembaga REDD+ Nasional (Gambar
4).
Gambar 4: Implementasi Nasional
Sejalan dengan penyusunan strategi nasional REDD+ tersebut, juga sedang
dikembangkan berbagai persiapan pelaksanaan REDD+ antara lain: (i) penyiapan basis data
(peta) dan check kondisi hutan dan lahan gambut sesuai dengan peta tersebut dan pada
keadaan nyata di lapangan; (ii) penyiapan landasan hukum dan penegakannya, dan terutama
apabila terdapat konflik/perbedaan di lapangan; (iii) menyiapkan ukuran yang dapat
digunakan untuk mengukur hasil penurunan emisi sesuai dengan MRV yang distandarkan
secara internasional; (iv) menyiapkan instrumen pendanaan untuk insentif, baik yang bersifat
investasi maupun payment for performance; (v) monitoring serta pendampingan di lapangan,
mengingat hal ini merupakan langkah baru untuk melakukan kuantitifikasi dan valuasi jasa
lingkungan (baca penurunan emisi/penyerapan karbon). Dengan kelengkapan itu maka untuk
sektor kehutanan dan lahan gambut, sektor yang terbesar dapat menyumbang penurunan
emisi akan dapat memfasilitasi terbentuknya kegiatan konkrit yang dapat menurunkan emisi,
menyiapkan dan menumbuhkan berbagai kegiatan yang sejalan dengan rehabilitasi degradasi
dan deforestasi hutan dan sekaligus menciptakan kegiatan ekonomi dan pendapatan alternatif
serta kesempatan kerja.
Demikian pula untuk sektor lainnya perlu disusun langkah-langkah konkrit untuk
memfasilitasi pelaku usaha/swasta yang pada akhirnya akan memerlukan regulasi dan
mekanisme insentif/disinsentif atas capaian penurunan emisi yang dapat dilakukan. Dengan
demikian, keseluruhan rencana program dan kegiatan penurunan emisi di setiap sektor pada
24
akhirnya dapat ditunjukkan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam menjalankan
pembangunan nasional.
4.2.3. Pelaksanaan di Tingkat Daerah
Perpres No. 61/2011 tentang RAN GRK mengamanatkan kepada Pemerintah
Provinsi untuk menyusun rencana aksi pengurangan emisi untuk tingkat provinsi, yang
selanjutnya disebut RAD GRK. Isi dari RAN GRK menjadi dasar bagi setiap provinsi
dalam menyusun RAD GRK sesuai dengan kondisi daerah dan kemampuan seluruh
komponen masyarakat di masing-masing provinsi. Sesuai dengan Perpres tersebut, RAD
GRK harus diselesaikan dalam waktu 1 (satu) tahun setelah terbitnya Perpres itu dan
ditetapkan melalui Peraturan Gubernur. Penyusunan RAD GRK diharapkan merupakan
proses bottom-up yang menggambarkan bagaimana langkah yang akan ditempuh setiap
provinsi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, sesuai dengan kapasitas masing-
masing.
Untuk memfasilitasi penyusunan RAD GRK tersebut, Kementerian
PPN/Bappenas dalam waktu 3 (tiga) bulan sudah menyelesaikan Pedoman
Penyusunan RAD GRK. Pedoman ditetapkan melalui Surat Keputusan Bersama
(SKB) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas,
Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Dalam Negeri. Pedoman Penyusunan RAD
GRK sudah diluncurkan dan disosialisasikan di tingkat nasional pada tanggl 12
Januari 2012. Selanjutnya untuk melakukan fasilitasi ke daerah, Kementerian
PPN/Bappenas menyusun Tim Sosialisasi dan Fasilitasi Penyusunan RAD GRK
melalui SK Menteri PPN/Kepala Bappenas tahun 2012. Sosialisasi Tahap I telah
dilakukan di 5 (lima) wilayah yang dilaksanakan di Pelembang, Semarang,
Denpasar, Makasar dan terakhir di Balikpapan. Proses selanjutnya adalah fasilitasi
dan monitoring penyusunan RAD GRK yang dilakukan oleh Sekretariat Penyusunan
RAD GRK yang berada di Kementerian PPN/Bappenas. Dengan adanya RAD GRK
untuk 33 provinsi tersebut, maka pencapaian target penurunan emisi sebesar 26% dan
41% akan memiliki kerangka pelaksanaan, rencana pelaksanaan dan sehingga dapat
dilakukan secara kosisten dan kontinyu sampai dengan tahun 2020. Selanjutnya,
kedudukan RAD GRK diantara dokumen rencana pembangunan yang sudah ada baik di
tingkat pusat maupun daerah dapat dilihat pada Gambar 5. Demikian pula keterkaitan
RAN GRK dan RAD GRK dengan beberapa proses komunikasi tentang perubahan
iklim juga dapat dilihat pada Gambar 5 tersebut.
Institusi Terkait dan Kewenangannya. Sejalan dengan desentralisasi, berbagai
K/L telah melakukan pembagian kewenangannya ke daerah. Dalam Tabel 1, 2, dan 3
dijelaskan secara singkat hasil inventarisasi kewenangan pada setiap sektor yang terkait
dengan emisi gas rumah kaca. Tabel tersebut memberikan gambaran kewenangan yang dapat
dan tidak dapat dilakukan lembaga di tingkat provinsi berdasarkan kerangka kelembagaan
yang ada (UU 32/2004, dan PP 38/2007). Dengan adanya pembagian dan batasan
25
kewenangan tersebut maka akan jelas batasan tanggung jawab dalam melaksanakan program
dan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan upaya penurunan emisi.
Gambar 5. Kerangka Keterkaitan Dokumen/Kebijakan Nasional-Daerah dengan RAD GRK
Selanjutnya, untuk melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan RAD GRK, Pemda
Provinsi juga diminta untuk membentuk Tim Koordinasi yang sekretariatnya bertempat di
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), dan beranggotakan berbagai dinas
terkait sesuai dengan pembagian sektor dan identifikasi kegiatan-kegiatan daerah yang akan
digunakan untuk mendukung penurunan emisi. Agak berbeda dengan struktur RAN GRK
yang berisi tentang program dan kegiatan yang akan dilakukan oleh dan/atau melalui K/L
untuk menurunkan emisi GRK, maka RAD GRK akan berisi kegiatan-kegiatan di lapangan
yang akan berkontribusi menurunkan emisi GRK. Contoh-contoh kegiatan ini sudah
disebutkan di dalam Buku Pedoman Penyusunan RAD GRK. Dengan penentuan penurunan
emisi berbasis kegiatan maka: (i) akan sangat aplikatif di lapangan karena sudah berupa
kegiatan nyata; (ii) mudah diidentifikasi dinas penanggungjawab utama dan dinas pendukung;
(iii) mudah untuk dikaitkan dengan kegiatan yang selama ini sudah dilakukan dan hanya
memerlukan penyempurnaan dalam melakukan RAD GRK sesuai dengan prinsip-prinsip
penurunan emisi. Dengan langkah ini maka kegiatan penurunan emisi GRK merupakan
bagian dari kegiatan pembangunan daerah dan juga mengatasi masalah-masalah
pembangunan seperti peningkatan akses terhadap energi dan air, penurunan kemiskinan,
perluasan kesempatan kerja dan penumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan bagi
masyarakat.
26
Tabel 1
Kewenangan Pemerintah Tingkat Provinsi dalam Pelaksanaan Penurunan Emisi GRK
Bidang Kehutuanan dan Pertanian (Land based activity)
SEKTOR KEHUTANAN
Kewenangan Terkait Kewenangan Tingkat Pemerintah Provinsi
Dapat Dilakukan Tidak Dapat
Dilakukan
Jenis tanaman pada
hutan konservasi dan
produksi
Peraturan jenis tanaman yang
ditanami pada suatu luasan tertentu
di dalam area provinsi.
Area hutan di dalam
kewenangan
Pemerintah Pusat.
Community forestry
(SFM)
Pendampingan terhadap
community forestry. -
Hutan Rakyat
Pengelolaan tipe tanaman,
rehabilitasi, waktu panen, dan
pengedalian.
-
Manajemen kebakaran Koordinasi dengan Pemerintah
Pusat -
Pengendalian, evaluasi,
dan rehabilitasi
Perlindungan terhadap hutan di
dalam kewenangan Pemerintah
Provinsi.
-
Produksi di Hutan
Privat
Koordinasi dengan
pihak swasta yang
memiliki konsesi.
SEKTOR PERTANIAN
Kewenangan Terkait Kewenangan Tingkat Pemerintah Provinsi
Dapat Dilakukan Tidak Dapat
Dilakukan
Perencanaan,
Kebijakan, dan
Peraturan
Perencanaan ketersediaan lahan
untuk kegiatan pertanian -
Penerbitan Izin
Penerbitan izin dan perubahan
guna lahan untuk kegiatan
pertanian
-
Pertanian berbasis
perusahaan (corporate
farming)
Pemerintah Provinsi hanya dapat
mengeluarkan peraturan.
Kewenangan
perusahaan.
Teknologi pertanian
Penelitian atau proyek
percontohan untuk pengurangan
emisi di kegiatan pertanian.
Sepenuhnya terkait
kapasitas petani.
27
Tabel 2
Kewenangan Pemerintah Tingkat Provinsi dalam Pelaksanaan Penurunan Emisi GRK
Bidang Industri, Energi dan Transportasi
SEKTOR INDUSTRI
Kewenangan Terkait Kewenangan Tingkat Pemerintah Provinsi
Dapat Dilakukan Tidak Dapat
Dilakukan
Fiskal dan Insentif
Moneter -
Kewenangan
Kementerian
Perindustrian dan
Pemerintah Provinsi
perlu berkoordinasi.
Fasilitas Industri
Pengembangan fasilitas bisnis
untuk industri kecil dan menengah
di tingkat provinsi.
-
Perlindungan Industri
Kebijakan untuk perlindungan
industri dan koordinasinya terhadap
pajak impor.
-
Penerapan teknologi
ramah lingkungan
Penelitian dan pengembangan
teknologi industri ramah
lingkungan termasuk pemberian
fasilitas untuk penelitian pada
tingkat provinsi.
Terkait dengan
kebijakan setiap
perusahaan.
Dampak industri
terhadap lingkungan
Pendampingan terhadap
kabupaten/kota dalam mencegah
limbah industri dan pengendalian
dan pengawasan industri ramah
lingkungan di tingkat
kabupaten/kota. Catatan: perlu
terkait dengan kebijakan nasional
mengenai industri ramah
lingkungan.
-
SEKTOR ENERGI
Kewenangan Terkait Kewenangan Tingkat Pemerintah Provinsi
Dapat Dilakukan Tidak Dapat
Dilakukan
Peraturan
Peraturan energi dan kelistrikan di
tingkat provinsi. Peraturan
kelistrikan dan PKUK (Pemegang
Kuasa Usaha Ketenagalistrikan).
Perizinan pendirian instalasi energi.
-
Sosialisasi Kampanye dan publikasi mengenai -
28
efisiensi energi melalui media
Permintaan Energi Pengaturan waktu kerja untuk
bangunan dan kantor publik
Terbatasnya pada
program efisiensi energi
yang dilakukan
Pemerintah Pusat dan
PT PLN.
Diversifikasi Energi Pembangunan dan penggunaan
sumber daya energi terbarukan -
SEKTOR TRANSPORTASI
Kewenangan Terkait Kewenangan Tingkat Pemerintah Provinsi
Dapat Dilakukan Tidak Dapat
Dilakukan
Perencanaan dan
Kebijakan
Kebijakan sistem transportasi
provinsi. -
Tranportasi Publik
a) Inisiasi dan perencanaan
penyediaan tranportasi publik
b) Peremajaan angkutan umum.
-
Penerapan transportasi
ramah energi Dalam bentuk peraturan.
Bersinggungan dengan
kewenangan sektor
privat moda angkutan.
Pajak dan Mekanisme
Insentif – Disinsentif
Bukan merupakan
kewenangan Pemerintah
Provinsi
Pendidikan Masyarakat Kampanye penggunaan transportasi
publik. -
Tabel 3
Kewenangan Pemerintah Tingkat Provinsi dalam Perubahan Iklim
di Sektor Pengelolaan Sampah
Kewenangan Terkait
Kewenangan Tingkat Pemerintah Provinsi
Dapat Dilakukan Tidak Dapat
Dilakukan
Perencanaan, Kebijakan
dan Peraturan
a) Kebijakan pengelolaan sampah dan
infrastruktur di tingkat provinsi;
b) Penyiapan lembaga
penanggungjawab manajemen
pengelolaan sampah
c) Perizinan untuk infrastruktur
pengelolaan sampah di tingkat
-
29
provinsi
d) Peraturan daerah terkait dengan
pengelolaan sampah
e) Manajemen pengelolaan sampah
antar daerah
f) Resolusi konflik untuk persoalan
pengelolaan sampah antar provinsi.
Pelayanan sektor
pengelolaan sampah
a) Implementasi konsep Clean
Development Mechanism dalam
infrastruktur pengelolaan sampah.
b) Pembangunan dan operasional
instalasi pengelolaan sampah.
c) Penyediaan pendampingan untuk
instrastruktur pengelolaan sampah
kabupaten/kota.
-
Pendidikan dan
peningkatan kapasitas
a) Peningkatan kapasitas dan fasilitas
keterlibatan privat dan masyarakat
di dalam sektor pengelolaan sampah
b) Kampanye dan pendidikan
pengurangan sampah
-
4.3. KEBIJAKAN DAN LANGKAH PENDUKUNG UNTUK EFEKTIVITAS
RAN GRK
Setelah berbagai kebijakan dan langkah untuk menjabarkan komitmen dan
meletakkan kerangka kerja untuk menjabarkan rencana dan pelaksanaan sampai di daerah,
termasuk mempersiapkan K/L untuk memfasilitasi dan mendorong upaya penurunan emisi di
kalangan pelaku usaha dan masyarakat, masih terdapat paling tidak terdapat 3 (tiga) hal
penting yang perlu dibangun secara paralel yaitu: (i) pengembangan alat ukuran dan
mekanisme pemantauan/monitoringnya; (ii) pembentukan sistem dan instrumen
insentif/disinsentif; dan (iii) peningkatan kapasitas lembaga dan sumber daya manusia.
4.3.1. Pengukuran dan Monitoring RAN GRK
Penyusunan alat ukur untuk mengukur dan mengkuantifikasi penurunan emisi
menjadi unsur yang sangat penting dan baru di dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Pengukuran limbah padat dan
cair sudah dapat dilakukan, namun emisi GRK (baca emisi udara) merupakan benda tidak
kasat mata (intangible). Dengan demikian, untuk pengukuran merupakan dimensi baru dan
sekaligus penting untuk mengetahui kemajuan hasil penurunan emisi GRK.
30
Sesuai dengan kaidah yang ditentukan oleh UNFCC, sudah ada standar pengukuran
yang dibakukan, dan sering disebut harus memenuhi kriteria MRV, measurable, reportable
dan verifiable (MRV), artinya terukur, dapat dilaporkan, dan mudah diverifikasi. Dengan
demikian, unsur yang dipentingkan adalah “make the intangible become tangible”, membuat
yang tidak kasat mata dapat dinyata(/kasat)-kan. Sehubungan dengan pentingnya sistem
informasi/data yang memenuhi kaidah MRV ini maka hampir bersamaan dengan terbitnya
Perpres RAN GRK, Bapak Presiden juga telah menandatangani Perpres No. 71/2011 tentang
Inventarisasi Penurunan Emisi GRK. Penanggungjawab dari pelaksanaan Perpres ini adalah
Kementerian Lingkungan Hidup.
Namun demikian, sehubungan dengan indikator dan sistem informasi sesuai MRV
sedang dalam proses penyusunan secara terpadu, maka monitoring berkaitan dengan
penyusunan dan pelaksanaan RAD GRK maka monitoring yang sementara dapat dilakukan
adalah: monitoring kegiatan yang berkontribusi terhadap penurunan emisi GRK. Mengingat
yang dimonitor dan dilaporkan adalah kegiatan yang menurunkan emisi GRK, maka lembaga
yang mengkoordinasikan pelaporan adalah Bappeda Provinsi selaku Sekretariat RAD GRK.
Laporan disampaikan ke Kementerian PPN/Bappenas sesuai dengan mekanisme Monitoring
dan Evaluasi sebagaimana diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 39/2006 tentang Tata
Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan.
Pemantauan dan kegiatan yang dilaporkan adalah kegitaan yang menyumbang
terhadap penurunan emisi GRK. Dalam RAD GRK, Pemda dan masyarakat mengidentfikasi
dan menyusun kegiatan-kegiatan di 5 (lima) sektor utama yang akan dilakukan oleh Pemda.
Selanjutnya, dilakukan penghitungan/pembakuan penghitungan emisi GRK per jenis dan
skala kegiataan. Dengan demikian, Pemda akan melaporkan hanya pelaksanaan kegiatan dan
standar kegiatan yang memenuhi adanya kepastian penurunan emisi (agar dapat diverifikasi).
Dengan melaksanakan kegiatan tersebut, maka penurunan emisi yang dilakukan akan dapat
diukur dan dijumlahkan secara nasional.
Langkah pemantauan tersebut merupakan langkah yang sementara dapat dilakukan,
sambil menunggu: (i) pengukuran kondisi baseline emisi GRK sebelum kegiatan tersebut
dilakukan; (ii) menunggu sistem informasi pemantauan emisi GRK yang disusun sesuai
kaidah MRV dari IPPC yang perlu disusun secara nasional. Dengan demikian, sementara
menunggu terbentuknya sistem MRV yang sedang disusun oleh Kementerian Lingkungan
Hidup berdasarkan Perpres No. 71/2011, maka pemantauan pelaksanaan RAD GRK sebagai
bagian dari pelaksanaan RAN GRK dapat dilakukan dan dilaporkan setiap tahunnya dalam
Sidang Dewan Nasional Perubahan iklim (DNPI) yang diketuai oleh Bapak Presiden.
4.3.2. Pembentukan Sistem dan Instrumen Insentif/Disinsentif
Sejak tahun 2007, Kementerian Keuangan telah memulai studi pendanaan untuk
perubahan iklim. Hasil studi pada 2010 telah menghasilkan Green Paper yang pada intinya
mencoba menginventarisasi berbagai peluang pendanaan dan berbagai bentuk pendanaan
untuk perubahan iklim. Pada saat ini kajian masih dilanjutkan oleh Kementerian Keuangan
dan terutama pada pembentukan instrumen (insentif) fiskal yang akan dibutuhkan dalam
31
pelaksanaan RAN GRK, teruama penyediaan insentif fiskal untuk REDD+. Instrumen
pendanaan lain yang diperlukan adalah yang akan diterapkan kepada pihak swasta yang telah
berhasil menurunkan emisi GRK dari industri yang telah mereka jalankan. Indikator-indikator
yang dijadikan dasar pemberian insentif harus disesuaikan dengan standar yang ditetapkan
oleh K/L di 5 (lima) sektor di atas, untuk REDD+ adalah yang ditentukan oleh Satgas
REDD+ bersama Kementerian Kehutanan dan untuk energi adalah ukuran dan standar yang
ditentukan oleh Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian.
Tugas dari Kementerian Keuangan selain menentukan instrumen insentif/disinsentif
fiskal adalah menyusun mekanisme perdagangan karbon (emisi GRK) dalam pasar domestik
Indonesia, yang pada akhirnya perlu diselaraskan (compatible) dengan sistem pasar karbon di
dunia. Pada saat ini mekanisme pasar karbon yang sudah terjadi memang baru di wilayah
Uni Eropa, sementara di tempat-tempat lain belum diterapkan. Untuk itu, waktu yang ada
sangat perlu dimanfaatkan dan sekaligus mendorong pembangunan sistem domestik, sehingga
proses internalisasi dampak lingkungan ke dalam setiap kegiatan ekonomi dapat dilakukan.
4.3.3. Peningkatan Kapasitas Lembaga dan Sumber daya Manusia
Dengan luasnya cakupan penurunan emisi dan pada akhirnya aksi perubahan iklim,
maka pihak-pihak yang terlibat dalam penurunan emisi juga luas dan banyak. Pada saat ini
masih dirasakan pemahaman tentang perubahan iklim dan penurunan emisi GRK masih
beragam. Berdasarkan proses komunikasi dengan para pihak terutama di daerah dalam
proses sosialisasi RAD GRK, dapat diketahui bahwa masih perlu dilakukan berbagai hal
yaitu: (i) Komunikasi; (ii) peningkatan kemampuan sumber daya manusia; dan (iii) kapasitas
Lembaga.
1. Komunikasi
Komunikasi yang perlu dibangun meliputi: (i) bahan komunikasi; (ii) sistem
komunikasi; dan (iii) proses komunikasi, sebagaimana digambarkan berikut ini.
a. Bahan komunikasi perlu disusun dalam bentuk yang mudah dipahami dan mudah
diakses serta digunakan dan disebarkan ke seluruh lapisan masyarakat. Untuk ini
berbagai bentuk leaflet sederhana dan buku-buku saku dengan bahasa yang mudah
dipahami perlu disusun dan dibuat dalam jumlah yang mencukupi dan selalu
tersedia. Bahan dasar komunikasi ini sudah ada, yang perlu disusun adalah dibuat
dengan isi yang sesuai dengan sasaran/target audiance, baik masyarakat umum atau
kalangan birokrasi dan peneliti.
b. Penyusunan sistem informasi melalui internet yang dapat menjadi hub untuk
berbagai sistem informasi dalam perubahan iklim, sehingga informasi dapat
dikomunikasikan kepada semua pihak. Komunikasi melalui jalur internet (web) ini
akan memudahkan akses ke semua pihak dan juga merupakan bentuk
pertanggungjawaban terhadap publik.
32
c. Proses komunikasi melalui media massa, baik tertulis secara teratur dan mutakhir
isi beritanya, maupun menggunakan media radio dan televisi di daerah sehingga
dapat diikuti secara interaktif.
Pembentukan jaringan komunikasi yang difasilitasi oleh Kementerian Komunikasi
dan Informasi dapat mempercepat dan memfasilitasi komunikasi secara terstruktur dan
kontinyu.
2. Kemampuan Sumberdaya Manusia
Dalam pelaksanaan RAN-RAD GRK, dapat diidentifikasi terdapat 4 (empat)
kelompok pelaku yaitu: (i) Pemerintah dan Pemda; (ii) Universitas dan Lembaga Penelitian;
(iii) NGO yang terdiri dari kelompok masyarakat/LSM dan Asosiasi; (iv) pelaku sawsta dan
masyarakat umum (rumah tangga). Sehubungan dengan itu maka berbagai peningkatan
kemampuan sumber daya manusia perlu dilakukan:
a. Pelatihan bagi aparat Pemerintah dan Pemda dalam memfasilitasi dan mendorong
pelaku penurunan emisi. Jenis pelatihan perlu dikenalkan antara lain: (i)
pengembangan kebijakan dan instrumen kebijakan yang diperlukan; (ii)
menghubungkan kegiatan penurunan emisi dengan pembangunan secara
keseluruhan (penurunan emisi harus menyelesaikan masalah pembangunan); (iii)
kemampuan untuk memfasilitasi dan memonitor capaian yang dihasilkan; dan (iv)
menghubungkan langkah lokal, nasional, global.
b. Universitas dan Lembaga Penelitian: (i) membentuk jaringan kompetensi dan
menghubungkannya dengan pelaksanaan penurunan emisi; (ii) membentuk
backstopping unit bagi pelaksanaan RAD GRK di daerah dan RAN GRK secara
nasional, terutama menyediakan scientific based on analysis, pengukuran dan
penciptaan instrumen MRV dan insentif/disinsentif.
c. Bagi Asosiasi dan LSM: mendukung Pemerintah dan Pemda dalam mengawal para
pelaku penurunan emisi GRK, terutama pelaksanaan di lapangan.
d. Bagi pelaku swasta dan masyarakat: (i) pengenalan standar-standar yang
diberlakukan secara kontinyu; (ii) pelatihan mengenai best practices dan
pengembangan di lokasi masing-masing; (iii) pengembangan kegiatan yang
menghasilkan emisi rendah karbon atau rendah GRK lainnya.
Sebagai bagian dari proses peningkatan kemampuan sumber daya manusia tersebut,
perlu disusun sistem pelatihan, modul pelatihan, dan mekanisme pelatihan yang tidak bersifat
klasikal namun lebih berorientasi praktek, sehingga dapat mendukung efektivitas pelaksanaan
RAN dan RAD GRK.
3. Kapasitas Lembaga
Sejalan dengan fungsi berbagai lembaga baik Pemerintah, Pemda, maupun non
pemerintah, maka kapasitas lembaga perlu ditingkatkan pula, yang mencakup: (a) program
33
dan kegiatan lembaga agar dapat menjalankan peran dan fungsi dalam memfasilitasi dan
mendorong penurunan emisi; (b) mekanisme kerja agar sesuai dengan kaidah-kaidah yang
ada, terutama adanya standar teknis dari sektor; (c) instrumen/alat dan fasilitas yang
mendukung berjalannya fungsi lembaga sesuai program dan kegiatan dalam butir a dan
sejalan dengan mekanisme kerja dalam butir b.
Dalam kaitan dengan adanya perbedaan peran dan fungsi lembaga pemerintah di
pusat, provinsi dan kabupaten/kota, maka diperlukan pembedaan materi untuk peningkatan
kapasitas. Sehubungan dengan itu, baik materi untuk sosialisasi pemahaman umum perlu
dibedakan dan dibahasakan sesuai dengan tingkat penerapan di lapangan. Selain itu, materi
untuk peningkatan kapasitas terutama yang memerlukan pelatihan dan penguasaan teknis
tertentu perlu pula dibedakan sesuai tingkatan-tingkatan peran dan fungsi yang perlu
dilakukan. Dengan demikian, peningkatan kapasitas akan sesuai dengan kebutuhan
pelaksanaan di lapangan dan dimungkinkan adanya keterkaitan dan sinergi yang utuh dalam
pelaksanaan RAN/RAD GRK di setiap bidang/sektor/program/kegiatan penurunan emisi
GRK.
34
Gambar 6 Pilar Pembangunan Berkelanjutan
V. EKONOMI RENDAH KARBON, EKONOMI HIJAU DAN PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN
Untuk melihat keterkaitan diantara tiga hal di atas (ekonomi rendah karbon,
ekonomi hijau, dan pembangunan berkelanjutan), maka digunakan kerangka pembangunan
berkelanjutan yang berasal dari UNEP dan telah digunakan di berbagai negara selama ini.
Sebagaimana diketahui, pembangunan berkelanjutan memiliki 3 (tiga) pilar pokok yaitu pilar
Sosial, Pilar Ekonomi dan Pilar Lingkungan (Gambar 6). Sebagaimana dijelaskan dalam Bab
IV, Indonesia telah banyak mencapai kemajuan di bidang ekonomi melalui terbentuknya
pembangunan terencana sejak tahun 1967an. Peningkatan investasi dan produksi telah
menurunkan nilai inflasi yang menjadi tolok ukur sebagai alat untuk menilai tingkat
kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya pembangunan terencana, neraca keuangan Negara
yang semula defisit besar, secara perlahan mampu mengalami peningkatan secara positif dan
seiring dengan itu peningkatan pendapatan per kapita dan penurunan kemiskinan mulai terus
dirasakan.
Pada tahun 70an mulai disadari bahwa kemajuan ekonomi apabila tidak diiringi
dengan kemajuan di bidang sosial akan banyak menciptakan ketimpangan, karena hasil
pembangunan hanya akan dihasilkan dan dinikmati oleh sebagian masyarakat. Sehubungan
dengan itu, Indonesia mulai mengembangan 3 (tiga) program strategis yaitu: pengendalian
penduduk atau keluarga berencana, pendidikan, dan kesehatan. Program pengendalian
penduduk atau keluarga berencana dilakukan dengan memperkenalkan program 2 (dua) anak
cukup di setiap keluarga. Bahwa jumlah keluarga terbatas akan menimbulkan adanya
peningkatan kualitas keluarga terutama pada keluarga dengan pendapatan rendah/miskin.
Proses ini memakan waktu cukup lama namun telah berhasil menekan ukuran keluarga dan
mengendalikan pertumbuhan penduduk.
35
Selanjutnya, program pendidikan dilancarkan ke seluruh pelosok tanah air dengan
mengembangkan program SD Inpres, yaitu adanya Inpres pembangunan SD di setiap
kecamatan sehingga dapat dipastikan bahwa seluruh wilayah terjangkau oleh fasilitas sekolah
terutama tingkat SD dan lengkap dengan guru yang ditugaskan ke setiap SD tersebut (Guru
Inpres). Demikian pula pelayanan kesehatan juga diperluas. Di setiap kecamatan dibangun
Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang dilengkapi dengan dokter dan
tenaga medis (dokter Inpres). Kedua program strategis ini telah berhasil meningkatkan angka
partisipasi sekolah dan pelayanan kesehatan terutama untuk daerah-daerah terpencil.
Pelaksanaan ketiga program ini secara konsisten dan kontinyu telah berhasil mendukung
Indonesia untuk mencapai tingkat kualitas SDM yang baik, yang tercermin pada indikator
MDG.
Namun demikian, kesuksesan pembangunan pada kedua pilar belum diikuti dengan
kemajuan pembangunan di bidang lingkungan. Isu lingkungan sudah mulai dibicarakan sejak
diadakannya Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional di
Universitas Padjajaran pada bulan Mei 19723. Langkah ini dilakukan selaras dengan
konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm tahun 1972. Akhirnya, hasil
seminar tersebut telah menginspirasi dengan berdirinya Lembaga Ekologi di universitas
tersebut. Selanjutnya pada tahun 1978 telah ada penugasan penanganan lingkungan hidup
yaitu di bawah Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup. Namun
baru pada tahun 1983 Kementerian Lingkungan Hidup berdiri sebagai satu lembaga tersendiri
yaitu Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Ulasan secara
komprehensif tentang keterkaitan pembangunan dan dampaknya terhadap ekologi dan
lingkungan serta langkah pembangunan yang sesuai dengan ekologi telah dilakukan oleh
Prof. Otto Sumarwoto dalam bukunya yang berjudul Ekologi, Lingkungan Hidup, dan
Pembangunan (Djambatan, 1983).
Sejak periode tersebut, sudah banyak kemajuan yang dilakukan oleh Kementerian
di bidang lingkungan hidup. Namun demikian, penanganan lingkungan hidup masih
dirasakan terpisah dan belum sepenuhnya diinternalisasikan ke dalam pembangunan secara
keseluruhan. Meskipun sudah ada kewajiban untuk melakukan analisa dampak lingkungan
(AMDAL) dan standar-standar kualitas lingkungan lainnya, namun dirasakan penanganan
masih bersifat dihadapi kendala sebagai berikut.
Pertama, penanganan lingkungan masih bersifat penanganan dampak, atau
penanganan lingkungan masih bersifat di luar (exogenous) dari pilar ekonomi dan pilar sosial.
Dengan sifat penanganan seprti ini maka pendekatan yang dilakukan masih bersifat kuratif
3 Sumarwoto, Otto. 1983. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan,
Djambatan.
36
atau membersihkan dan menanggulangi masalah lingkungan yang timbul sebagai akibat dari
kegiatan ekonomi dan sosial. Dengan semakin meningkatnya kegiatan ekonomi dan sosial,
ruang menjadi sempit dan memiliki kompetisi tinggi untuk berbagai kepentingan, maka
penanggulangan lingkungan menjadi semakin sulit, karena dampak lingkungan yang
dihasilkan sudah melebihi daya dukung ruang yang ada (dengan adanya beban ruang yang
terus meningkat) dan masalah yang diatasi juga terus meningkat.
Yang kedua, upaya penanganan lingkungan masih sulit untuk diinternalisasikan,
sebagian sebagai akibat sifat penanganan di atas, dan sebagian lagi karena pembangunan pilar
lingkungan belum mampu memperjelas diri sendiri. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya
untuk men”tangible”kan berbagai fungsi lingkungan dengan ukuran yang dapat dipahami dan
sehingga dapat diinternalisasikan ke pilar yang lain. Dengan kata lain, diperlukan indikator
yang baku untuk mengukur penggunaan fungsi lingkungan dan jasa lingkungan yang
dihasilkan. Pengukuran yang jelas ini akan membuka pula peluang untuk dapat menilai
(valuasi) jasa lingkungan yang telah disediakan oleh pemilik ruang sebagai pilihan untuk
tidak menggunakan ruang untuk kebutuhan lain (perumahan, industri dan lain-lain).
Demikian pula, pengukuran akan memberi peluang pula untuk mengidentifikasi apa yang
dimaksud dengan lingkungan, yaitu ruang dan isinya termasuk isi biodiversity yang selama
ini menerima dampak eksternalitas dari tindakan kita terhadap lingkungan yang sudah
melebihi beban ruang yang ada. Pilar lingkungan perlu kita bangun, sebagaimana kita
membangun pilar ekonomi dan pilar sosial sebagai komponen dan rangkaian utuh dari
pembangunan berkelanjutan.
Valuasi penting karena tanpa adanya valuasi, maka penyediaan jasa lingkungan
yang merupakan public good tidak dapat dinilai dan sehingga tidak ada satupun penyedia
yang mau men-supply public good ini pada tingkat yang diinginkan. Dengan demikian jasa
lingkungan masih disediakan dalam jumlah yang lebih rendah dari yang diharapkan (under
supply). Demikian pula gangguan terhadap lingkungan yang mengakibatkan penurunan
penyediaan jasa lingkungan tidak dapat dicegah dan diminta menanggung biaya
penanggulangan masalah lingkungan atau penerapan pencegahan sebelum kegiatan
dilakukan.
Ketiga, setelah membangun pilar ketiga, maka internalisasi faktor lingkungan, atau
membuat lingkungan menjadi faktor endogenous dalam pembangunan dapat dilakukan.
Dengan demikian, maka akan terdapat keseimbangan pengembangan ketiga pilar
pembangunan berkelanjutan; akan terdapat pula kesempatan untuk “menghijaukan” seluruh
aspek kehidupan, baik yang tercermin dalam aspek/pilar ekonomi dan sosial. Dengan itu,
maka pembangunan akan sudah dapat mempertimbangkan masalah lingkungan kedalam
setiap langkah kegiatan, program dan kebijakan pembangunan. Penanganan lingkungan akan
bersifat endogenous, penanganan lingkungan akan lebih bersifat mencegah/preventif sesuai
dengan keseimbangan alam dan kemampuan alam untuk mendukung kehidupan manusia dan
alam seisinya sehingga keberlanjutan kehidupan dapat dijaga. Inilah esensi dari membangun,
menjaga agar kehidupan semakin baik dan berkelanjutan.
37
5.1. RAN GRK dan momentum untuk adanya pengukuran jasa lingkungan
Fenomena perubahan iklim dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat secara
luas, telah mendorong timbulnya aksi global secara bersama untuk mengatasi dampak
perubahan iklim. Langkah mengatasi perubahan iklim dapat melalui pencegahan penyebab
timbulnya perubahan iklim (mitigasi) dan melalui penyesuaian dan menyiapkan kemampuan
untuk menyesuaikan dengan adanya dampak dari perubahan iklim (adaptasi). Dengan
dilahirkannya Kyoto Protocol pada tahun 1994, maka telah terjadi pembagian target mitigasi
yaitu berupa penurunan target emisi gas rumah kaca (yang mengakibatkan pemanasan global
dan perubahan iklim). Pembagian penurunan emisi gas penyebab perubahan iklim secara
kuantitatif ini mendorong adanya upaya untuk melakukan pengukuran dan menetapkan
adanya indikator pencemaran secara global.
Selain itu, penurunan emisi ini dikaitkan pula dengan adanya kewajiban untuk kontribusi
dana sesuai dengan peringkat pencemaran negara-negara yang dinilai sebagai pencemar GRK
terbesar di dunia. Secara luas kemudian timbul pemahaman tentang kemungkinan timbulnya
pertukaran hak emisi dan kemampuan menurunkan emisi, atau sistem transaksi (pasar
karbon). Meskipun penerapan sistem transaksi di dalam kenyataan masih terbatas, namun ini
merupakan suatu terobosan yang ditunggu-tunggu oleh pilar lingkungan, untuk dapat secara
konkrit mengembangkan pembangunan pilar lingkungan secara konkrit sebagaimana pilar
sosial dan pilar ekonomi. Adanya ukuran secara konkrit untuk pilar ini bahkan menjadi lebih
penting karena unsur lingkungan perlu dapat diukur secara konkrit dan kemudian
diinternalisasikan ke dalam pilar ekonomi dan sosial, sehingga prinsip-prinsip kelestarian
lingkungan dapat diinternalisasikan ke dalam kedua pilar ini. Dampak lebih lanjut yang
sangat penting adalah, dengan adanya ukuran dan valuasi dalam pilar lingkungan, maka
proses mengkonkritkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan, dan
dengan mudah keberlanjutan pembangunan dapat pula diinternalisasikan ke dalam seluruh
pilar dan seluruh aspek pembangunan dan kehidupan masyarakat.
Dengan jalan pemikiran seperti tersebut di atas maka pada waktu Bapak Presiden
mencanangkan target penurunan emisi GRK sebesar 26%, maka dapat mulai dilakukan
pembagian target ke dalam setiap sektor. Dengan demikian, akan ada peluang untuk
mengkonkritkan melalui perwujudan suatu indikator untuk mengukur emisi GRK yang
bentuknya intangible ke arah yang terukur dan ternilai (ter-valuasi) atau menjadi tangible.
Dengan perkembangan ini, maka penurunan emisi di berbagai daerah dapat dijumlahkan
secara nasional dan kemudian dapat dilakukan sistem reward/punishment sesuai dengan
prestasi yang dilakukan masing-masing pelaku penurunan emisi. Di dalam ilmu ekonomi
lingkungan, dengan adanya pengukuran dan valuasi, maka prinsip polluter pay principles
dapat diterapkan. Dengan demikian, pengendalian lingkungan yang biasanya menerapkan
command and control saja (standar lingkungan dan peraturan) akan dapat dilengkapi dengan
mekanisme moneter yang lebih mendorong internalisasi perilaku penurunan emisi (dan polusi
secara umum) ke dalam kegiatan ekonomi mereka.
38
Manfaat lain dari adanya RAN GRK adalah terciptanya koordinasi baik di tingkat
Pemerintah (pusat) maupun antara pusat dengan daerah secara komprehensif. Selama ini
masalah lingkungan dan koordinasinya hanya dilakukan dari sisi lingkungan hidup saja dan
hanya dilakukan melalui koordinasi teknis bidang lingkungan. Dengan adanya RAN GRK
dan RAD GRK, maka koordinasi menjadi lebih luas, yaitu melalui pembangunan, baik dari
tahap perencanaan sampai dengan tahap pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi hasil/capaian
nantinya. Ini merupakan peluang besar untuk dapat menginternalisasikan masalah
lingkungan ke dalam seluruh aspek pembangunan, dan sekaligus memperluas penanganan isu
lingkungan sebagia isu pembangunan yang harus ditangani bersama oleh Menteri Lingkungan
Hidup-Menteri yang bertanggung jawab dalam Pembangunan-Menteri Keuangan. Langkah
maju ini menjawab isu kelembagaan yang menjadi topik penting di dalam pertemuan
Pembangunan Berkelanjutan di Solo pada tahun 2011 lalu.
5.2. Ekonomi Rendah Karbon
Sebagaimana dijelaskan di atas, pelaksanaan penurunan emisi GRK secara kontinyu
dan konsisten diharapkan akan dapat membentuk terjadinya kegiatan rendah karbon, dari
kondisi saat ini menjadi 26%-41% lebih rendah, pada tahun 2020. Penurunan terjadi secara
termonitor di 5 (lima) sektor utama sebagaimana dijabarkan di dalam RAN GRK, dan terjadi
pula di 33 provinsi sebagaimana digambarkan di dalam RAD GRK.
Di tingkat pusat, dengan arahan RAN GRK, maka setiap sektor utama akan
menjabarkan langkah-langkah lebih lanjut penurunan emisi GRK yang akan dilakukan oleh
swasta dan masyarakat. Penjabaran ini penting mengingat di dalam RAN GRK yang menjadi
perhatian utama adalah kebijakan pemerintah yang mendorong perilaku penurunan emisi
GRK. Namun di dalam RAN GRK, belum diidentifikasi secara spesifik langkah berupa
dorongan dan dukungan, baik regulasi maupun dukungan fiskal yang diperlukan oleh swasta
dan masyarakat. Dengan langkah-langkah yang diharapkan terus dilaksanakan secara
konsisten dan kontinyu, maka akan dihasilkan sektor-sektor yang memiliki tingkat emisi
GRK lebih rendah dari pada tingkat emisi pada tahun baseline. Sehubungan dengan itu,
capaian yang akan dapat diperoleh adalah sektor-sektor dalam ekonomi dan sosial masyarakat
yang antara lain akan rendah karbon. Kondisi inilah yang akan menyumbang terciptanya
suatu kondisi ekonomi rendah karbon.
Secara lengkap, ekonomi rendah karbon didefinisikan sebagai: (i) produksi limbah
harus minimal, dengan langkah-langkah pengurangan limbah (reduce), pemanfaatan kembali
(reuse) dan daur ulang (recycle); (ii) energi harus dihasikan melalui sumber energi rendah
karbon dan metoda/teknologi rendah karbon; (iii) pemanfaatan energi harus efisien di segala
bidang; (iv) kebutuhan pangan, material dan energi harus menggunakan sumberdaya lokal;
dan (v) adanya kesadaran dan ketaatan terhadap lingkungan dan tanggung jawab sosial
terhadap lingkungan. Dengan demikian, penerapan RAN GRK secara menyeluruh dalam
berbagai aspek kehidupan di 5 (lima) sektor utama akan dapat memenuhi kriteria/ciri
ekonomi rendah karbon. Sejauh-mana keadaan ekonomi dari suatu periode ke periode
39
berikutnya akan rendah karbon atau tidak sangat tergantung dari adanya pengukuran dan
monitoring hasil langkah-langkah yang dilakukan.
Pertanyaan yang patut diajukan adalah, apakah kondisi ini cukup untuk suatu
pembangunan berkelanjutan? Jawabannya dapat dipastikan tidak, karena masih banyak
faktor-faktor lain yang masih perlu dibenahi. Dalam kerangka inilah, maka tahap
pengembangan yang dapat tergambar pada saat ini adalah terbentuknya suatu ekonomi hijau.
5.3. Transisi selanjutnya ke Ekonomi Hijau
Ekonomi hijau sebagaimana diartikan di atas, sudah banyak dibicarakan dan
digunakan di berbagai Negara. Meskipun demikian, cara mememulai masing-masing Negara
tersebut berbeda. Dengan pola-pola memulai ekonomi hijau yang sudah dilakukan di
berbagai Negara tersebut, Indonesia dapat menyebut bahwa Indonesia sudah memulai, namun
pemahaman secara menyeluruh dan persiapan lebih komprehensif sangat perlu dilakukan.
Untuk melakukan perubahan dari kondisi ekonomi yang ada saat ini ke ekonomi hijau, perlu
dilakukan secara menyeluruh namun secara bertahap. Pentahapan diperlukan karena
perbaikan yang sifatnya menyeluruh secara cepat akan sulit karena:
a. Diperlukan keyakinan yang besar pada semua pihak, dan ini akan sulit dilakukan
karena setiap sektor yang terkait dan setiap kelompok dan tingkat masyarakat akan
memiliki kesiapan yang berbeda.
b. Cara perubahan dan mulai perubahan akan sangat tergantung pada kondisi saat ini,
yang kemungkinan setiap wilayah akan memiliki perbedaan kondisi sehingga akan
memiliki perbedaan dalam cara memulai.
c. Perubahan akan memerlukan waktu untuk mempersiapkan seluruh lapisan
masyarakat pada kondisi baru, sehingga diperlukan penyiapan kondisi baru yang
akan dituju.
d. Perubahan tanpa penyiapan dan kesiapan atas kondisi baru akan mengakibatkan
adanya “penurunan suatu kondisi” yang sering disebut sebagai trade-off. Dengan
demikian, semakin disiapkan kondisi baru dan kesiapan masyarakat ke kondisi
baru, maka konsekuensi kemungkinan penurunan dari kondisi lama akan pendek
dan tidak dirasakan.
Untuk itu, maka perubahan ke ekonomi hijau biasanya memerlukan suatu proses
yang oleh UNEP disebut dalam laporan terakhirnya dengan Transisi Menuju Ekonomi Hijau4.
4 Green Economy: Pathway to Ssutainable Development and Poverty Eradication. UNEP,
2011
40
Dalam laporan tersebut, secara ringkas dinyatakan definisi tentang Ekonomi hijau sebagai
berikut:
Green Economy: one that has results in improved human well-being and social
equity, while significantly reducing environmental risks and ecological scarcity. It
is low carbon, resource efficient and socially inclusive.
Dari definisi di atas dapat dilihat bahwa perubahan dapat dilakukan secara bertahap
dari ekonomi rendah karbon, baru melengkapi dengan elemen/komponen lain sehingga
lengkap menjadi ekonomi hijau. Di dalam laporan UNEP 2011 tersebut, kegiatan ekonomi
hijau perlu dilakukan semua pihak, baik sektor publik maupun private (swasta dan
masyarakat). Selanjutnya, para pelaku ekonomi mewujudkan langkah ekonomi hijau melalui
investasi rendah karbon dan rendah polusi; investasi yang meningkatkan efisiensi energi dan
efisiensi sumberdaya; serta investasi yang mencegah hilangnya keanekaragaman hayati
(biodiversity) dan jasa ekosistem (Gambar 7). Dalam kaitan ini nampak keterkaitan antara
ekonomi rendah karbon dengan ekonomi hijau dan elemen tambahan yang perlu dilakukan
untuk terus secara konkrit melangkah dan menuju pembangunan berkelanjutan (sustainable
development). Langkah dan arah ini secara konsisten dan kontinyu ini dilaksanakan agar
dapat menjaga bahwa pembangunan berkelanjutan dapat bersifat non-depleting path, artinya
memelihara tidak menghasilkan depletion of natural resources atau tetap memelihara natural
resources.
Sehubungan dengan itu, untuk dapat mewujudkan hal-hal di atas, terdapat 3 (tiga)
langkah yang perlu dilakukan yaitu:
a. Perbaikan dalam penilaian (valuation) dan analisis kebijakan untuk menjamin
bahwa pasar dan kebijakan telah menginternalisasikan dan memperhitungkan biaya
dan manfaat dari dampak lingkungan hidup yang akan diakibatkan oleh investasi
publik dan masyarakat.
b. Peran dari kebijakan untuk mengendalikan degradasi lingkungan dan memerlukan
adanya informasi yang tepat dan efektif; insentif yang tepat; serta lembaga,
investasi dan infrastruktur yang efektif.
c. Menyadari adanya degradasi lingkungan yang terus menerus, konversi lahan dan
perubahan iklim secara global akan berpengaruh terhadap fungsi, keragaman dan
ketahanan (resilience) sistem ekologi serta bahan dan jasa yang diberikannya.
41
Gambar 7. Elemen Transisi Menuju Ekonomi Hijau
Transisi ke ekonomi hijau sangat diperlukan tidak hanya karena mengingat
degradasi ekosistem dan dampak yang telah ditimbulkan dari pemanfaatan ekosistem selama
ini, namun juga karena memiliki beberapa manfaat dan merupakan kesempatan (opportunity):
a. Penerapan kebijakan lingkungan yang ketat dapat mengeluarkan inefisiensi dari
kegiatan ekonomi saat ini dengan mengeluarkan dan mengubah perusahaan dan
industri yang yang tidak efisien dan hanya tetap berdiri karena adanya subsidi baik
eksplisit maupun implisit serta sumberdaya yang dinilai terlalu murah.
b. Harga dan valuasi sumberdaya sangat penting bukan hanya untuk harga dan valuasi
terhadap sumberdaya alam, modal dan jasa tetapi juga harga input lain dalam
ekonomi.
Katalisasi Dan Pendukung: Belanja Negara Yang Terarah, Reformasi Kebijakan Dan Perubahan Peraturan
42
c. Harga dan valuasi yang tepat atas sumberdaya akan mendorong adanya penelitian
dan inovasi yang akan mendukung dan mendorong tumbuhnya efisiensi dan
mendorong terbentuknya ekonomi menuju bentuk landasan ekonomi yang sangat
berbeda dan dalam kaitan ini menuju pembangunan berkelanjutan.
d. Peraturan lingkungan yang ketat dan diterapkan secara agresif merupakan langkah
antisipasi adanya kelangkaan di masa depan. Penerapan hal ini sekecil apapun pada
awal akan menciptakan pola yang dapat disebar-luaskan kemudian.
Menurut UNEP (2011) terdapat 3 (tiga) strategi yang perlu dilakukan untuk menuju
ekonomi hijau yaitu: Pertama, melakukan investasi yang benar pada modal sumberdaya alam.
Artinya, investasi dan kegiatan ekonomi yang dilakukan pada sektor-sektor sumberdaya alam
perlu dikelola secara hijau. Sektor-sektor ini meliputi pertanian, perikanan, sumberdaya air
dan hutan yang didalamnya terdapat pula kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversity).
Strategi kedua adalah investasi pada efisiensi energi dan sumberdaya alam. Strategi ketiga
adalah menciptakan dan menumbuhkan kondisi yang mendukung berkembangnya kedua
strategi sebelumnya. Dalam kaitan ini kondisi yang mendukung dapat berupa kebijakan
fiskal/belanja yang terarah kepada investasi hijau di berbagai sektor; reformasi kebijakan dan
perubahan peraturan ke arah yang lebih mendukung timbulnya efisiensi, rendah emisi dan
rendah polusi; serta terpeliharanya modal sumberdaya alam (Gambar 8)
Gambar 8. Pendekatan Terstruktur Menuju Ekonomi Hijau
43
5.4. “Closing The Loop” Menuju Pembangunan Berkelanjutan
Dengan mengacu kepada 3 (tiga) kendala dalam pilar lingkungan sebagaimana
dalam pembangunan berkelanjutan, maka langkah yang perlu dilakukan adalah:
1. Pengembangan indikator dan valuasi dari aspek-aspek lingkungan.
2. Pengembangan ekonomi lingkungan.
3. Pembentukan Ekonomi Hijau.
4. Pembentukan Perilaku Hijau.
5. Penanganan 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan secara komprehensif dan
didukung oleh Tata Kelola Hijau
Rangkaian langkah ini merupakan suatu siklus untuk mengembangkan
pembangunan berkelanjutan, sesuai dengan beberapa kendala yang masih dihadapi dalam
membangun pilar lingkungan; masih dianggapnya lingkungan sebagai faktor exogenous
dalam kehidupan, yang direfleksikan ke dalam pilar ekonomi dan sosial serta tata kelola
sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 9 berikut.
Dengan kelima langkah di atas, maka penanganan ketiga pilar pembangunan
berkelanjutan yang didukung dengan tatakelola yang menjamin hal tersebut, maka “loop”
atau lingkaran langkah pembangunan berkelanjutan akan dapat diwujudkan. Selanjutnya satu
per satu akan diuraikan dalam bagian berikut.
Gambar 9. Lingkaran Langkah Pembangunan Berkelanjutan
Pengembangan indikator dan valuasi dari aspek-aspek lingkungan.
44
Pengembangan indikator aspek lingkungan dapat dimulai dengan menggunakan data dan
indikator yang sudah tersedia selama ini. Sebagian data dan indikator kemungkinan sudah
menjadi konsensus untuk digunakan bersama, sementara sebagian lagi belum ada, masih
perlu dibentuk dan disepakati untuk dijadikan indikator yang akan digunakan bersama.
Contoh dalam indikator yang sudah sering digunakan adalah tingkat/ambang batas limbah
beberapa bahan polusi di air, udara, dan tanah sebagaimana ditentukan melalui peraturan
Kementerian Lingkungan Hidup.
Selanjutnya, pengembangan indikator lingkungan dan indikator lain untuk
membentuk indikator pembangunan berkelanjutan, sesuai yang diidentifikasi oleh BPS
(2010)5 dengan mengikuti kaidah CSD adalah sebagaimana dalam Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Indikator Pembangunan Berkelanjutan CSD dan Indikator Pembangunan
Berkelanjutan 2010
Tema Sub-Tema Indikator CSD Indikator Pembangunan Berkelanjutan 2010
Kemiskinan Kemiskinan Pendapatan
Proporsi Penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan
Jumlah Penduduk miskin menurut provinsi
Persentase penduduk miskin menurut provinsi
Garis kemiskinan menurut provinsi
Ketimpangan pendapatan
Rasio pembagian pendapatan nasional dari kuantil tertinggi hingga terkecil
Distribusi pembagian pengeluaran per kapita dan index gini
Air minum Proporsi penduduk yang menggunakan fasilitas sanitasi yang lebih baik
Presentase rumah tangga dengan penampungan akhir tinja tangki septic menurut provinsi
Akses terhadap Proporsi rumah tangga tanpa listrik dan pelayanan energi
Persentase rumah tangga yang menggunakan sumber penerangan bukan listrik
5 Indicator Pembangunan Berkelanjutan 2010, Badan Pusat Statistik, Desember 2010
(Katalog BPS: 9201003
45
energi modern lainya menurut provinsi
Persentase rumah tangga yang bahan bakar memasaknya kayu bakar menurut provinsi
Kondisi tempat tinggal
Proporsi penduduk perkotaan yang tinggal di daerah kumuh
Jumlah desa menurut keberadaan sungai yang melintasi desa dan permukiman kumuh
Pemerintahan
Korupsi Persentase penduduk yang memberikan uang suap
Jumlah kasus korupsi yang sudah di selesaikan menurut kepolisian daerah
Kejahatan Jumlah pembunuhan berencana per 100.000 penduduk
Jumlah kasus pembunuhan menurut kepolisian daerah
Kesehatan Angka kematian Angka kematian balita
Estimasi angka kematian bayi (AKB) menurut provinsi
Angka harapan hidup saat lahir
Estimasi angka harapan hidup (e0) menurut provinsi
Layanan kesehatan / Health care delivery
Persentase penduduk yang memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan dasar
Persentase penduduk yang berobat jalan di puskesmas dan pustu selama sebulan yang lalu menurut provinsi
Persentase wanita berumur 15-49 tahun dan berstatus kawin menurut provinsi dan alat kb yang sedang di pergunakan
Imunisasi terhadap penularan penyakit anak-anak
Persentase balita yang diimunisasi menurut jenis imunisasi dan provinsi
Status gizi Status gizi Status gizi balita menurut provinsi
Status kesehatan dan kesakitan status and risks
Angka kesakitan dan penyakit yang berbahaya seperti HIV/ AIDS , Malaria ,
Jumlah penderita dan kejadian malaria menurut provinsi
Kumulatif kasus AIDS, kasus meninggal dan angka kumulatif
46
TBC kasus menurut provinsi
Jumlah kasus penyakit tb paru menurut provinsi
Persentase perokok saat ini dan rerata jumlah batang rokok yang di hisap penduduk usia 10 tahun ke atas menurut Provinsi
Jumlah kasus bunuh diri menurut provinsi
Pendidikan Tingkat pendidikan
Rasio pendapatan kotor terhadap pendidikan dasar tertinggi yang dapat dicapai
Penduduk usia 15 tahun ke atas yang tamat pendidikan dasar menurut Provinsi
Angka pendaftaraan pada pendidikan dasar
Angka partisipasi murni (APM) Sekolah Dasar menurut Provinsi
Melek huruf Angka melek huruf Penduduk usia 25-34 dengan pendidikan tertinggi yang ditamatkan minimal SMA menurut provinsi
Demografi Penduduk Laju pertumbuhan penduduk
Penduduk dan laju pertumbuhan penduduk menurut provinsi
Angka kelahiran total menurut provinsi
Rasio ketergantungan
Rasio ketergantungan menurut provinsi
Kepariwisataan - -
Bencana alam
Kerentanan terhadap bencana alam
Persentase penduduk yang tinggal di area yang rentan dengan bencana alam
Jumlah desa menurut jenis bencana alam dan provinsi
Kesiapan menghadapi
- Jumlah desa menurut upaya antisipasi bencana alam dan
47
bencana provinsi
Jumlah korban bencana menurut provinsi dan kondisi korban
Jumlah kerusakan rumah akhibat bencana menurut provinsi
Perubahan Iklim
Perubahan iklim Emisi gas karbondioksida
Perkiraan emisi CO2 dari rumah tangga menurut provinsi dan jenis bahan bakar untuk memasak Perkiraan emisi CO2 yang berasal dari kendaraan bermotor Perkiraan emisi CH4 dari hewan ternak dan unggas
Penipisan lapisan ozon
Konsumsi bahan penipis lapisan ozon
Impor komoditi bahan yang mengandung zat perusak ozon
Kualitas udara Konsentrasi yang berkaitan dengan bahan pengotor udara di area perkotaan
Rata-rata bulanan hasil pengukuran konsentrasi gas SO2 dan NO2 di stasiun BMKG Jakarta
Lahan / land Status dan penggunaan lahan
- -
Penggurunan/Desertification
- -
Pertanian Area yang cocok untuk pertanian
Luas lahan sawah menurut provinsi dan jenis irigasi
Hutan Proporsi area lahan yang ditutup hutan
Persentase luas hutan terhadap luas wilayah menurut provinsi
Luas kebakaran hutan menurut fungsi hutan
Laut dan pantai / ocean, and
Batas pantai Persentase penduduk yang tinggal di area pantai
Jumlah dan persentase desa menurut provinsi dan letak geografis
48
seas Perikanan Proporsi persedian
ikan dengan batas biologi yang aman
-
Lingkungan laut Proporsi area laut yang dilindungi
Sebaran kawasan konservasi laut menurut provinsi
Luas dan kondisi terumbu karang menurut provinsi
Air tawar / freshwater
Kualitas air Jumlah penggunaan sumber daya air
Produksi dan distribusi air bersih oleh perusahaan air minum
Intensitas penggunaan air berdasarkan aktivitas ekonomi
-
Kualitas air Kandungan bakteri coli dalam air tawar
Kandungan maksimum biochemical oxygen demand (BOD) dan chemical oxygen deman (COD) pada air sungai di beberapa kota di indonesia
Keanekaragaman hayati
Ekosistem Proporsi dari total area terrestrial yang dilindungi berdasarkan daerah ekologi
Kawasan konservasi daratan menurut provinsi
Spesies Perubahan status ancaman pada spesies
Spesies satwa yang dilindungi
Spesies tumbuhan yang dilindungi
Pola konsumsi dan produksi
Penyelenggaraan makro ekonomi
Product domestic bruto (PDB) per kapita
Produk domestic regional bruto per kapita atas dasar harga berlaku menurut provinsi
Pangsa investasi dalam PDB
Laju inflansi 66 kota di Indonesia
Kuangan umum berkesinam-
Hutang pada rasio PNB
Rasio hutang luar negeri terhadap produk nasional bruto
49
bungan
Angkatan kerja Rasio penduduk yang bekerja
Persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut provinsi
Persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang rentan kehilangan pekerjaan menurut provinsi
Produktivitas dan biaya tenaga kerja
-
Proporsi wanita dalam ketenagakerjaan di sektor non pertanian
Rata-rata upah per bulan pekerja
Pola konsumsi dan produksi
Konsumsi material
Intensitas material ekonomi
-
Penggunaan energi
Konsumsi energi tahunan berdasarkan kategori pemakai
Pemakaian energi termasuk biomassa menurut sektor
Intensitas penggunaan energi berdasarkan aktivitas ekonomi
-
Turunan limbah dan pengelolaannya
Turunan dari limbah berbahaya
-
Pengelolaan dan pembuangan limbah
-
Angkutan Modal split of passenger transportation
Jumlah kendaraan bermotor menurut provinsi dan jenis kendaraan bermotor
Pengembangan ekonomi berbasis lingkungan dan ekosistem
50
Komponen utama dari ekonomi hijau ada 2 (dua) yaitu: (i) struktur ekonomi; dan
(ii) konsumsi dan produksi yang berkelanjutan (sustainable consumption and production).
Tidak ada kaidah khusus yang dimaksud dengan struktur ekonomi, namun dengan kondisi
Indonesia yang kaya akan sumberdaya alam terutama keanekeragaman hayati (biodiversity)
maka ini merupakan sumber ekonomi baru yang perlu dikembangkan dan ditatakelola secara
terstruktur dan konsisten ke depan. Untuk itu akan dicoba dijabarkan satu per satu.
Struktur Ekonomi. Yang dimaksud dengan struktur ekonomi adalah struktur
ekonomi yang berbasis lingkungan dan ekosistemnya. Beberapa yang bisa dikembangkan
secara terstruktur berkaitan dengan hal ini adalah: (i) ekonomi biodiversity berbasis lahan
(green) dan laut (blue); (ii) ekonomi berbasis jasa sumber daya manusia yang terkait dengan
lingkungan dan ekosistem seisinya.
Ekonomi Berbasis lahan dan laut. Dalam lingkup ini beberapa sumber ekonomi
dan pertumbuhan baru adalah pengembangan ekonomi berbasis biodiversity, seperti:
(i) Industri pemanfaatan biodiversity (materi) untuk: (a) bahan obat (herbal
medicine/jamu dan suplemen berbasis herbal); (b) material untuk input
industri lain, baik kosmetik ataupun bahan antara lainnya.
(ii) Industri wisata berbasis ekosistem: (a) wisata hutan dan (b) wisata laut
yang digabungkan dengan wisata budaya. Pengembangan wisata ini tidak
mengganggu kelestarian biodiversity namun bahkan perlu melestarikan
agar keanekaragamannya yang unik dan khas untuk geografis dan budaya
Indonesia perlu dipertahankan.
Pembentukan Ekonomi Hijau
Dalam proses transisi ini diperlukan adanya suatu ukuran atau indikator yang dapat
membedakan bahwa kemajuan saat ini lebih menekankan aspek keberlanjutan dibandingkan
dengan periode sebelumnya. Beberapa hal yang dapat menjadi pedoman sebagai ukuran
untuk membedakan tingkat keberlanjutan dari suatu period ke periode berikutnya adalah:
a. Perlu dibangunnya ukuran di tingkat makro dan di tingkat sektor yang dapat
menginformasikan adanya transisi menuju ekonomi hijau.
b. GDP perlu disesuaikan dengan memperhitungkan adanya kerusakan sumberdaya
alam (natural resource depletion) dan depresiasi modal sumberdaya alam.
c. Perubahan dalam stok modal sumberdaya alam dalam bentuk moneter dan
diinternalisasikan ke dalam neraca nasional, bisa dalam bentuk Green Accounting
atau Inclusive Wealth Accounting.
51
Berkaitan dengan pilihan ukuran ini, proses termudah memang melakukan koreksi
dari GDP saat ini dengan memasukkan depresiasi menjadi Net domestic product, atau dengan
memperhitungkan biaya dampak terhadap lingkungan serta degradasi dan deplesi sumberdaya
alam. Namun demikian, penggunaan indikator ini belum cukup menjamin terwujudnya
pembangunan berkelanjutan. Untuk itu perlu digunakan Genuine saving dan change in
wealth/capita (Alisyahbana and Anshory, 2003).
Pembentukan Perilaku Hijau.
Ekonomi Hijau dan pembangunan berkelanjutan adalah hasil akhir dari adanya
perilaku hijau. Untuk itu, penerapan mengenai efisiensi penggunaan sumberdaya dan hidup
bersih (minimum limbah) sangat penting untuk diterapkan di berbagai bidang kehidupan.
Langkah awal untuk mewujdukan hal ini, adalah dengan memasukkan prinsip ini ke dalam
pendidikan baik melalui jalur pendidikan formal maupun non formal. Selanjutnya, penerapan
rendah emisi diperluas menjadi rendah limbah (hidup bersih) baik pada selain sisi konsumsi
(rumah tangga, industri, dan perusahaan) juga pada sisi produksi para pelaku usaha. Dalam
berbagai literatur dan terutama istilah yang sudah sering digunakan adalah sustainable,
consumption, and production (SCP). Dalam konsep yang digunakan oleh UNEP, SCP
meliputi berbagai bidang dan menyediakan benchmark bagi negara-negara untuk dapat
mengembangkannya sesuai dengan kondisi masing-masing negara. Hal inilah yang perlu
terus dijunjung dalam penerapan dan pengembangan pembangunan berkelanjutan di berbagai
negara. Perbedaan kondisi di berbagai negara, perbedaan tingkat kemajuan pembangunan,
dan aspek yang berkembang menuntut pengembangan pembangunan berkelanjutan sesuai
dengan konteks domestik, karena tidak ada satu rumus yang pasti cocok untuk semua negara.
Demikian pula, Indonesia perlu menyusun kerangka SCP ini sesuai dengan kondisi Indonesia
dan kemajuan yang berbeda di setiap sektor yang terkait.
52
Gambar 10. Flow Chart of Sustainable, Cosumption, and Production
Penanganan 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan secara komprehensif dan
didukung oleh Tata Kelola Hijau
Dengan terbangunnya pilar lingkungan di dalam pembangunan berkelanjutan dan
terjadinya keseimbangan diantara pilar sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta dapat
diinternalisasikannya pilar lingkungan atau indikator lingkungan ke dalam pilar ekonomi dan
pilar sosial, maka pembangunan ketiga pilar menjadi komprehensif dan menyatu. Tahap
inilah yang ditunggu-tunggu, karena pembangunan berkelanjutan bukan tentang
pembangunan pilar sosial, ekonomi, dan lingkungan saja secara sendiri-sendiri, namun
penerapan ketiganya harus secara sinergis dan seimbang. Untuk itu, perwujudan ini perlu
didukung pula dengan prinsip tata kelola yang dapat terus mendorong dan menjaga
perwujudan sinergi ketiga pilar tersebut. Hal ini berarti memerlukan pula sumberdaya
manusia yang benar-benar faham mengenai pembangunan berkelanjutan, komponen, proses
pengembangan dan proses penjagaannya agar terus diterapkan dan dikembangkan dari waktu
ke waktu sesuai konteks dan perkembangan jaman yang ada. Untuk itu, pembangunan
berkelanjutan perlu dilestarikan untuk terus ada dan menjadi prinsip pokok di dalam
pembangunan karena sudah diarusutamakan dan diterapkan secara konkrit dari masa ke masa
untuk menjaga agar planet kita dapat terus mendukung kehidupan yang sejahtera bagi bangsa
Indonesia dan penduduk dunia.
53
AFTAR PUSTAKA
Arief Anshory Yusuf and Armida Alisyahbana. 2003. Working Paper in Economics and
Development Studies No. 2000307. Center for Economic and Development Studies,
UNPAD
Bappenas, 2007. Country Natural Resources and Environment Assessment
Bappenas, 2010. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia.
Scanton, John. 2010. The Green Economy and International Environmental Governance.
UNEP, Green Economy Report: A Preview.
UNEP. Green Economy: Developing Countries Success Stories, 2010
UNEP 2011. Green Economy: Pathway to Ssutainable Development and Poverty
Eradication. UNEP, 2011