PENGARUH BANTUAN SOSIAL DAN TINGKAT INFLASI TERHADAP
KEMISKINAN SELURUH PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2007 –
2017
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi (S.E.)
Disusun Oleh :
Kurniasih Anderesta 11150840000073
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H / 2019 M
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi
1. Nama Lengkap : Kurniasih Anderesta
2. Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 09 April 1996
3. Alamat : Jl. Mimosa XIV P-6 Buncit Indah, Pejaten
Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan
4. Telepon : 083808460601
5. Email : [email protected]
II. Pendidikan Formal
1. TK Quratul A’yun 2001 – 2002
2. SD Negeri Pejaten Barat 10 Pagi Jakarta Selatan 2002 – 2008
3. SMP Sabiluna Islamic Boarding School 2008 – 2011
4. SMK Walisongo Jakarta 2011 – 2014
5. S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015 – 2019
III. Seminar dan Workshop
1. Meet and Greet “Be a Wonderful Person with Innovation and
Achievement”, diselenggarakan oleh LDK KOMDA FEB, 10 September
2015.
2. Seminar Nasional “Peningkatan Sumber Daya Kelautan Nasional Sebagai
Pilar Pembangunan Ekonomi”, diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi
dan Bisnis, 18 November 2016.
3. Seminar Nasional “Riba Sumber Masalah Ekonomi Umat”,
diselenggarakan oleh Universitas Esa Unggul Jakarta, 23 Mei 2017.
4. Seminar Nasional dalam kegiatan kompetisi LKTI Incredible Research and
Competition (INSTINCT) 2017 dengan tema Peningkatan Perekonomian
Indonesia di Kawasan ASEAN, diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian
Ilmiah dan Informasi (LPII FE UR) Fakultas Ekonomi Universitas Riau.
IV. Pengalaman Organisasi
1. Anggota Divisi Internal HMJ Ekonomi Pembangunan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2016-2017.
vi
ABSTRACT
The percentage of poverty in Indonesia in 2018 for the first time at single
digit numbers. The poverty rate that continues to decline indicates the
government's success in various policies that have been implemented. This
research aims to know the impact of Social Assistance and Inflation on Poverty in
The Provinces in Indonesia on Period 2007-2017. Using a panel data analysis
with REM Approach (Random Effect Method) in a group of: (1) 33 the provinces,
(2) The Province of Java and Sumatra, (4) The Province of Bali, Nusa Tenggara,
Maluku and Papua. In addition, this research uses FEM Approach (Fixed Effects
Method) on the Group (3) The Province of Kalimantan and Sulawesi. The results
showed that the Social Assistance variable only has a significant impact on the
group of (4) Bali, Nusa Tenggara, Maluku and Papua. The Province of
Kalimantan and Sulawesi, the Social Assistance variable has a positive coefficient
on the poverty that indicates the occurrence of in-effectiveness distribution of
Social Assistance in that region. And inflation has a positive coefficient on all the
group of regression and significantly affect poverty.
Keywords: Poverty, Social Assistance, Inflation, REM (Random Effect Method),
FEM (Fixed Effects Method).
vii
ABSTRAK
Persentase Kemiskinan di Indonesia pada tahun 2018 untuk pertama kalinya
menyentuh angka satu digit. Angka kemiskinan yang terus menurun menunjukan
keberhasilan pemerintah atas berbagai kebijakan yang telah dilaksanakan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Bantuan Sosial dan Inflasi
terhadap Kemiskinan di Seluruh Provinsi di Indonesia tahun 2007 - 2017.
Menggunakan analisis data panel dengan pendekatan REM (Random Effect
Method) pada kelompok: (1) 33 Provinsi, (2) Provinsi Jawa dan Sumatera, (4)
Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Selain itu, penelitian ini menggunakan
pendekatan FEM (Fixed Effect Method) pada kelompok (3) Provinsi Kalimantan
dan Sulawesi. Hasilnya menunjukan bahwa variabel Bantuan Sosial hanya
memiliki pengaruh yang signifikan pada kelompok Provinsi Bali, Nusa Tenggara,
Maluku, dan Papua. Pada kelompok Provinsi Kalimantan dan Sulawesi, variabel
Bantuan Sosial memiliki nilai koefisien positif terhadap kemiskinan yang
menandakan terjadinya inefektivitas penyaluran Bantuan Sosial di daerah tersebut.
Sedangkan variabel Inflasi memiliki koefisien positif pada keempat kelompok
regresi dan signifikan mempengaruhi kemiskinan.
Kata Kunci: Kemiskinan, Bantuan Sosial, Inflasi, REM (Random Effect Method),
FEM (Fixed Effect Method).
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Dengan mengucapkan Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis
panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkar rahmat dan hidayah-Nya
penyusunan skripsi yang berjudul “Pengaruh Bantuan Sosial dan Tingkat Inflasi
Terhadap Kemiskinan Seluruh Provinsi Di Indonesia Tahun 2007 – 2017” dapat
diselesaikan guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan
pendidikan strata satu pada Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi
dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Perjalanan panjang telah penulis lalui dalam rangka perampungan penulisan
skripsi ini. banyak hambatan yang dihadapi dalam penyusunannya, namun berkat
kehendak-Nya lah sehingga penulis berhasil menyelesaikan penyusunan skripsi
ini. Dengan selesainya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih
kepada:
1. Orang tua Penulis, Ibunda Pariyah dan Alm. Ayahanda Dody Sanjaya yang
telah mendidik dan memberikan kasih sayang, dukungan, doa, serta
kesabaran tanpa batas kepada penulis.
2. Bapak Prof. Dr. Amilin, S.E.Ak., M.Si., CA., QIA., BKP., CRMP., selaku
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
semoga Bapak selalu diberikan kemudahan oleh Allah SWT untuk
mengembangkan Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
3. Bapak Djaka Badranaya, S.Ag., M.E. selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, memberikan motivasi dan arahan, ilmu yang bermanfaat
selama perkuliahan kepada penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi ini
hingga skripsi ini selesai. Semoga bapak selalu diberikan kesehatan dan
keberkahan oleh Allah SWT.
4. Bapak Arief Fitrijanto, M.Si dan Bapak Sofyan Rizal, M.Si selaku Ketua
dan Sekretaris Jurusan Ekonomi Pembangunan yang telah memberikan
arahan serta bimbingan yang berarti dalam penyelesaian perkuliahan ini.
ix
5. Ibu Utami Baroroh, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
memberikan banyak arahan dan menjadi tempat Penulis untuk berdiskusi
perihal perkuliahan. Semoga ibu selalu dalam lindungan Allah SWT.
6. Seluruh jajaran dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah memberikan
ilmu yang sangat berguna dan berharga bagi penulis selama perkuliahan
serta jajaran karyawan dan staff UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
melayani dan membantu penulis selama perkuliahan.
7. Kepada Sahabat Minceu Lovers, yang tiada henti memberikan semangat dan
mengisi hari-hari Penulis selama perkuliahan. Terimakasih kepada Andini,
Azalia Nada Bayanillah, Diyah Ayu Fatimah, Diyah Ayu Setyo, Khairun
Nisa, Maria Ulfah, Octavira Maretta, Priska Fatma Anggita, Rara Min
Arsyillah, Resha Ayu Nuvisa, Sofi Pratiwi, dan Tenti Aprianti Rukmana.
Semoga kita tetap memberikan semangat satu sama lain dalam hal-hal baik.
8. Kakak-kakak tingkat dan teman-teman angkatan 2015 Jurusan Ekonomi
Pembangunan, terimakasih atas kebersamaan dan kebaikannya selama ini
sehingga bisa menghantarkan Penulis sampai pada tahap ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih untuk
do’a, dukungan, dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik
yang membangun dari berbagai pihak.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, Mei 2019
Kurniasih Anderesta
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………...
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .............................................................................. v
ABSTRACT ........................................................................................................... vi
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................................... 6
C. Batasan Masalah........................................................................................... 6
D. Rumusan Masalah ........................................................................................ 6
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 7
F. Tinjauan Kajian Terdahulu ........................................................................ 15
G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 23
A. Teori Terkait............................................................................................... 23
1. Kemiskinan (Poverty) ............................................................................... 23
2. Perlindungan Sosial (Social Security)........................................................ 28
3. Inflasi (Inflation) ........................................................................................ 34
B. Hubungan Antar Variabel ............................................................................. 39
1. Hubungan Bantuan Sosial dengan Kemiskinan ......................................... 40
2. Hubungan Inflasi dengan Kemiskinan ....................................................... 40
C. Kerangka Berpikir ........................................................................................ 41
D. Hipotesis ....................................................................................................... 41
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 43
A. Ruang Lingkup Penelitian .......................................................................... 43
B. Metode Penentuan Sampel ......................................................................... 43
xi
C. Metode Pengumpulan Data ........................................................................ 44
D. Instrumen Penelitian................................................................................... 44
E. Teknik Analisa Data ................................................................................... 45
1. Model Regresi Data Panel ......................................................................... 46
2. Estimasi Model Data Panel ........................................................................ 46
3. Pemilihan Model Data Panel ..................................................................... 49
4. Uji Asumsi Klasik ...................................................................................... 50
5. Uji Kelayakan ............................................................................................ 50
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 52
A. Temuan Hasil Penelitian ............................................................................ 52
1. Seluruh Provinsi (33 Provinsi) ................................................................... 52
2. Jawa dan Sumatera..................................................................................... 55
3. Kalimantan dan Sulawesi........................................................................... 58
4. Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua ................................................. 60
5. Uji Asumsi Klasik ...................................................................................... 62
6. Uji Kelayakan ............................................................................................ 64
B. Pembahasan ................................................................................................ 68
BAB V SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 74
A. Simpulan .................................................................................................... 74
B. Saran ........................................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 78
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 81
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. 1 Penelitian Sebelumnya ......................................................................... 15
Tabel 3. 1 Operasional Variabel Penelitian........................................................... 44
Tabel 4. 1 Uji Chow Seluruh Provinsi .................................................................. 53
Tabel 4. 2. Uji Hausman Seluruh Provinsi ............................................................ 53
Tabel 4. 3. Uji Lagrange Multiplier Seluruh Provinsi .......................................... 53
Tabel 4. 4. Hasil Estimasi Data Panel Seluruh Provinsi ....................................... 54
Tabel 4. 5. Uji Chow Provinsi di Jawa dan Sumatera ........................................... 55
Tabel 4. 6. Uji Hausman Provinsi di Jawa dan Sumatera ..................................... 56
Tabel 4. 7. Hasil Uji Lagrange Multiplier Provinsi di Jawa dan Sumatera .......... 56
Tabel 4. 8. Hasil Data Panel Provinsi di Jawa dan Sumatera ............................... 57
Tabel 4. 9. Hasil Uji Chow Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi ....................... 58
Tabel 4. 10. Hasil Uji Hausman Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi ................ 58
Tabel 4. 11. Hasil Data Panel Provinsi Kalimantan dan Sulawesi ....................... 59
Tabel 4. 12. Hasil Uji Chow Provinsi di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua
............................................................................................................................... 60
Tabel 4. 13. Uji Hausman Provinsi di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua 60
Tabel 4. 14. Hasil Uji Lagrange Multiplier Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku,
dan Papua .............................................................................................................. 61
Tabel 4. 15. Hasil Data Panel Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua
............................................................................................................................... 62
Tabel 4. 16. Hasil Uji Multikolinearitas 33 Provinsi ............................................ 63
Tabel 4. 17. Hasil Uji Multikolinearitas Provinsi Jawa dan Sumatera ................. 63
Tabel 4. 18. Hasil Uji Multikolinearitas Provinsi Kalimantan dan Sulawesi ....... 63
Tabel 4. 19. Hasil Uji Multikolinearitas Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku,
dan Papua .............................................................................................................. 63
Tabel 4. 20. Hasil Uji Heteroskedastisitas Provinsi Kalimantan dan Sulawesi .... 64
Tabel 4. 21. Uji t-Statistik 33 Provinsi .................................................................. 65
Tabel 4. 22. Uji t-Statistik Provinsi Jawa dan Sumatera ....................................... 65
Tabel 4. 23. Uji t-Statistik Provinsi Kalimantan dan Sulawesi ............................. 65
xiii
Tabel 4. 24. Uji t-Statistik Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua .... 65
Tabel 4. 25. Uji F-Statistic 33 Provinsi ................................................................. 66
Tabel 4. 26. Uji F-Statistic Provinsi Jawa dan Sumatera ...................................... 66
Tabel 4. 27. Uji F-Statistic Provinsi Kalimantan dan Sulawesi ............................ 66
Tabel 4. 28. Uji F-Statistic Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua ... 66
Tabel 4. 29. Uji R-Square 33 Provinsi .................................................................. 67
Tabel 4. 30. Uji R-Square Provinsi Jawa dan Sumatera ....................................... 67
Tabel 4. 31. Uji R-Square Provinsi Kalimantan dan Sulawesi ............................. 67
Tabel 4. 32. Uji R-Square Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Papua ........... 67
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. 1 Persentase Penduduk Miskin Tahun 2007 - September 2018 ............ 4
Gambar 2. 1 Kerangka Berpikir ............................................................................ 41
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Luasnya kawasan NKRI membuat pembangunan dan pemerataan di banyak
daerah sering terhambat serta beranekaragamnya potensi dan masalah yang
dimiliki dan dihadapi setiap provinsi membuat pemerintahan secara sentral sudah
tidak lagi bisa diterapkan di Indonesia. Hadirnya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-aturan Pokok Mengenai Pemerintahan
Sendiri di Daerah-daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah
Tangganya Sendiri adalah langkah awal dari otonomi daerah dimana setiap daerah
memiliki hak dan wewenang untuk menjalankan rumah tangganya sendiri namun
masih tetap dalam pengawasan pemerintah pusat. Di dalam undang-undang
tersebut dibahas perihal pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap
pemerintahan daerah serta persyaratan-persyaratan dan segala macam
peraturannya hingga perihal keuangan daerah tentang pendapatan daerah pada
Pasal 37, selanjutnya pada Pasal 38 tentang Urusan Keuangan Daerah, dan Pasal
39 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja.
Berjalannya waktu, Undang-Undang yang mengatur perihal otonomi daerah
terus diperbaharui agar dapat terus sesuai dengan perubahan keadaan dan kondisi
yang terjadi di Indonesia. Undang-Undang terbaru perihal Otonomi Daerah
termaktub dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
sebagai bentuk pembaruan dari UU Nomor 32 Tahun 2007 yang dirasa sudah
tidak lagi relevan dengan perkembangan keadaan, ketata negaraan, dan tuntutan
penyelanggaraan otonomi daerah saat ini. Perbedaan dari Undang-Undang No 32
tahun 2007 dengan UU Nomor 23 tahun 2014 terletak pada jumlah bab yang
awalnya hanya 16 bab dengan 240 pasal kini menjadi 27 bab dengan 411 pasal.
Salah satu permasalahan utama yang selalu menjadi prioritas pemerintah
baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dari tahun ke tahun ialah
perihal kemiskinan yang jumlahnya cukup banyak di Indonesia. Indikator
kemiskinan sering berbeda-beda tiap lembaga yang melakukan penghitungan
jumlah penduduk miskin. Tidak hanya Indonesia, masalah kemiskinan bahkan
2
menjadi masalah prioritas utama dari Sustainable Development Goals. Menurut
indikator yang digunakan Bank Dunia, orang yang masuk ke dalam kategori
miskin ialah ketika pengeluarannya tidak lebih dari USD$ 1,9 per hari (World
Bank, 2016). Sedangkan standar Angka Garis Kemiskinan yang digunakan Badan
Pusat Statistik sebesar Rp401.220,- per kapita per bulan atau Rp13.374,- per
kapita per hari (BPS, 2018). Angka Garis Kemiskinan tersebut terjadi peningkatan
sebesar 3,9 % dari periode September 2017 yang sebesar Rp387.160,- dan 7,14 %
dari Maret 2017 yang sebesar Rp374.478,-.
Bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), garis kemiskinan tersebut dianggap
terlalu rendah karena sangat jauh dengan Standar dari Bank Dunia dan Kebutuhan
Hidup Layak (KHL) yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2012 bagi pekerja lajang dalam sebulan. DPR
beranggapan bahwa indikator kemiskinan adalah sesuatu yang sakral untuk
melihat keberhasilan program-program pemerintah yang bertujuan untuk
mengentaskan kemiskinan (DPR, 2018). Standar Bank Dunia dikonversikan ke
dalam kurs sehingga menurut kajian DPR Angka Garis Kemiskinan bukan berada
pada Rp401.220,- melainkan berada dikisaran Rp837.045,- per kapita perbulan.
Nilai yang hampir dua kali lipat dari angka yang ditetapkan oleh BPS untuk garis
kemiskinan Maret 2018. Sedangkan Kebutuhan Hidup Layak yang ditetapkan
pemerintah jauh lebih rendah dari Standar KHL. Pada sisi pangan, BPS
menetapkan minimal kebutuhan yang harus terpenuhi sebesar 2100 kalori/hari
sedangkan KHL Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menetapkan
standar sebesar 3000 kalori/hari. Maka jika dihitung dalam rupiah, biaya yang
dibutuhkan untuk memenuhi KHL standar BPS hanya senilai Rp296.302 per
bulan, sedangkan bila mengikuti standar Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi maka biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp523.654,- per bulan.
Sehingga Rp401.220,- bukanlah angka yang cukup bahkan sekedar untuk
memenuhi Standar KHL yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi.
Hal ini segera dibantah oleh Bappenas yang menyatakan bahwa garis
kemiskinan yang digunakan oleh Bank Dunia tidak mengkonversikan $1.90
kedalam kurs melainkan melihat dari sisi P (Purchasing Power Parity) untuk
3
membandingkan angka kemiskinan di berbagai negara dengan standar yang Garis
Kemiskinan Internasional. Hasilnya menyatakan bahwa posisi P Indonesia pada
Maret 2018 dengan garis kemiskinan Rp401.220,- sudah setara dengan USD2,5
P/hari (Bappenas, 2018). Itu artinya, standar garis kemiskinan yang digunakan di
Indonesia pada tahun 2018 sudah setara dengan standar yang digunakan
Internasional. Selain standar yang digunakan tersebut, di Indonesia setiap provinsi
juga memiliki standar yang berbeda-beda. Standar garis kemiskinan di Jakarta
dengan asumsi memiliki satu sampai tiga anak, garis kemiskinannya sekitar
Rp593 ribu per kapita, itu artinya pengeluaran minimal setiap keluarga sebesar
Rp3 juta per bulan, masih lebih rendah dibanding UMR yang mencapai Rp3,6
juta. Sedangkan di NTT, standar garis kemiskinannya Rp354 ribu, dengan asumsi
jumlah satu keluarga enam orang maka pengeluaran minimal sekitar Rp2,1 juta,
masih lebih besar dibanding UMR NTT yang hanya Rp1,7 juta (BPS, 2018).
Pada tahun 2017 pada semester dua jumlah penduduk miskin menurut BPS
sebanyak 26 juta jiwa−hasil dari penjumlahan penduduk miskin di kota dan di
desa. Jumlah tersebut lebih tinggi dibanding jumlah penduduk miskin pada 2007
sebanyak 37,1 juta penduduk. Namun jika dilihat dari persentase jumlah
penduduk miskin, tahun 2007 sebanyak 12,5% untuk perkotaan dan 20,37% untuk
pedesaan, sedangkan tahun 2017 sebanyak 7,26% penduduk perkotaan dan
10,12% penduduk pedesaan (BPS, 2018). Provinsi dengan jumlah penduduk
miskin terbanyak pada tahun 2017 ialah Provinsi Sumatera Selatan dengan 1,4
juta jiwa, Provinsi Lampung dengan 1,3 juta jiwa, dan Provinsi Nusa Tenggara
Timur dengan 1,1 juta jiwa (BPS, 2018). Hingga pada semester 1 tahun 2018 ini
kemiskinan secara nasional mencapai persentase paling rendah hingga menyentuh
angka 9,82% (BPS, 2018).
4
Sumber: BPS, 2018
Gambar 1. 1 Persentase Penduduk Miskin Tahun 2007 - September 2018
Untuk dapat menurunkan jumlah penduduk miskin, maka pemerintah
melakukan berbagai upaya untuk terus menurunkan Persentase Kemiskinan. Salah
satunya ialah dengan adanya Perlindungan Sosial berupa adanya Dana Bantuan
Sosial pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang bertujuan untuk membantu
masyarakat miskin dari kerentanan kondisi yang terjadi (Permendagri Nomor 32
Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang
Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Bantuan Sosial ini
tidak selalu diberikan secara berkelanjutan, melainkan pemerintah harus melihat
indikator-indikator seseorang atau kelompok berhak mendapatkan Bantuan Sosial
tersebut. Besaran dari Dana Bantuan Sosial ini pun tidak memiliki pagunya,
dimana nominalnya ditentukan masing-masing oleh setiap Kepala Daerah dan
DPRD sesuai dengan kemampuan saat merumuskan APBD tahun berikutnya.
Dana Bantuan Sosial ini adalah bentuk tindakan pemerintah secara langsung
untuk menekan angka kemiskinan di daerahnya masing-masing dalam jangka
pendek.
Dana Bantuan Sosial terdiri dari bantuan yang direncanakan dan bantuan
yang tidak direncanakan. Bantuan yang direncanakan adalah bantuan yang akan
diberikan kepada masyarakat baik individu maupun kelompok yang memiliki
kriteria untuk mendapatkan Dana Bantuan Sosial tersebut. Sedangkan bantuan
yang tidak direncanakan adalah dana yang digunakan ketika terjadi peristiwa alam
10.96 11.13
10.7
10.12 9.82
2014 2015 2016 2017 2018
Persentase Penduduk Miskin Tahun 2014 - 2018 Semester 1
Persentase
5
yang menimbulkan kerusakan dan mempersulit masyarakat dalam memenuhi
kebutuhannya pasca peristiwa alam tersebut. Namun dalam prakteknya, Dana
Bantuan Sosial sering diselewengkan oleh pemerintah daerah di berbagai daerah
di Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa kali memberikan
surat peringatan kepada daerah yang memiliki Dana Bantuan Sosial dengan
nominal yang dianggap terlalu besar pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) tahun tersebut.
Selain Bantuan Sosial, hal lain yang juga mampu mempengaruhi Persentase
Kemiskinan di Indonesia ialah Inflasi. Peningkatan harga pada barang dan jasa
dapat melemahkan daya beli masyarakat sehingga akan banyak masyarakat yang
awalnya tidak berada di bawah garis kemiskinan menjadi di bawah garis
dikarenakan ketidakmampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar imbas
kenaikan harga tersebut. Menurut Satriawan (Satriawan, n.d.), Dosen Jurusan
Ilmu Ekonomi UGM dalam artikelnya yang berjudul Inflasi dan Penanggulangan
kemiskinan menyatakan bahwa upaya penanggulangan juga harus diimbangi
dengan menjaga Inflasi sehingga akan terciptanya stabilitas daya beli bagi rumah
tangga miskin dan rentan serta terciptanya kondisi ekonomi yang bersahabat bagi
rumah tangga miskin untuk melakukan ekonomi produktif. Badan Pusat Statistik
menyatakan hal yang sama bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi turunnya
Persentase Kemiskinan di Indonesia ialah terjaganya Tingkat Inflasi. Pernyataan
Setiawan dan BPS juga didukung oleh Menteri Bambang Brodjonegoro yang
menyatakan bahwa garis kemiskinan tahun 2014–2017 naik dikarenakan adanya
Inflasi. Maka dari itu sudah seharusnya pemerintah menjaga harga-harga
komoditas utama yang memiliki kontribusi yang besar terhadap kemiskinan
seperti beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, mie instan, dan
daging sapi. Beras menjadi komoditas paling utama dengan sumbangan garis
kemiskinan 18,80% pada garis kemiskinan di perkotaan dan 24,52% pada garis
kemiskinan di pedesaan. Jika komoditas beras mengalami Inflasi yang tidak
terkendali, maka pengaruhnya ke garis kemiskinan di pedesaan akan meningkat
sebesar 24,52% atau hampir seperempatnya (Bappenas, 2018).
Untuk melihat pengaruh bantuan sosial dan inflasi terhadap kemiskinan di
Indonesia dengan skala yang lebih kecil, maka penelitian ini tidak hanya
6
mengolah data pada (1) 33 provinsi melainkan juga membagi provinsi menjadi 3
bagian besar, yaitu (2) Provinsi di Jawa dan Sumatera, (3) Kalimantan dan
Sulawesi, (4) Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Pembagian tersebut
sesuai dengan Kementerian Desa, Pembangunan Desa Tertinggal dan
Transmigrasi yang mengelompokkan peran wilayah/pulau dalam pembentukan
PDB Nasional 1983 – 2013 menjadi 4 kelompok (Kemendes PDTT, 2015).
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan pernyataan dari Bambang Brodjonegoro selaku Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional serta melihat Dana Bantuan Sosial dan
Tingkat Inflasi sebagai beberapa faktor yang bertujuan untuk menurunkan jumlah
kemiskinan di Indonesia, maka hal tersebut mendorong penulis untuk meneliti
bagaimanakah pengaruh Dana Bantuan Sosial dan Inflasi persentase penduduk
miskin di Indonesia tahun 2007–2017.
C. Batasan Masalah Penelitian ini hanya membahas pada Bantuan Sosial yang diberikan baik
oleh Pemerintah daerah skala Nasional dan Provinsi yang berasal dari Laporan
Realisasi APBD Provinsi Tahun 2007–2017 dan Tingkat Inflasi Tahunan 33
Provinsi di Indonesia Tahun 2007–2017. Kemiskinan pada penelitian ini
menggunakan persentase penduduk miskin tahun 2007 – 2017 per provinsi.
Penelitian ini tidak memasukan Provinsi Kalimantan Utara karena provinsi
tersebut baru terbentuk pada tahun 2011. Pada penelitian ini penulis membagi
provinsi menjadi empat bagian, yaitu (1) 33 Provinsi (2) Provinsi di Jawa dan
Sumatera, (3) Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi, (4) Provinsi di Bali, Nusa
Tenggara, Maluku, dan Papua.
D. Rumusan Masalah Rumusan Masalah pada penelitian ini berdasarkan identifikasi Masalah dan
Batasan Masalah yang dimiliki sebagai berikut:
1. Apakah Dana Bantuan Sosial memiliki pengaruh yang positif dan signifikan
terhadap kemiskinan di Jawa dan Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dan
Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua tahun 2007 – 2017?
7
2. Apakah Inflasi memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap
kemiskinan di Jawa dan Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dan Bali,
Nusa Tenggara, Maluku dan Papua tahun 2007 – 2017?
3. Bagaimanakah pengaruh Dana Bantuan Sosial dan Inflasi terhadap
kemiskinan di Jawa dan Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dan Bali,
Nusa Tenggara, Maluku dan Papua tahun 2007 – 2017?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berlandaskan pada Rumusan Masalah diatas, maka Tujuan dari Penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Melihat pengaruh Dana Bantuan Sosial terhadap kemiskinan di Jawa dan
Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dan Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan
Papua tahun 2007 – 2017.
2. Melihat pengaruh Inflasi terhadap kemiskinan di Jawa dan Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi, dan Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua
tahun 2007 – 2017.
3. Melihat pengaruh Bantuan Sosial dan Inflasi terhadap kemiskinan di Jawa
dan Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dan Bali, Nusa Tenggara, Maluku
dan Papua tahun 2007 – 2017 secara simultan.
Berdasarkan Tujuan Penelitian, ini diharapkan dapat memberikan Manfaat
Penelitian sebagai berikut:
1. Bagi Masyarakat
a. Mendapatkan informasi perihal pengaruh Bantuan Sosial yang disalurkan
pemerintah daerah serta Tingkat Inflasi terhadap Persentase Kemiskinan
di Indonesia.
2. Bagi Akademisi
a. Mendapatkan informasi tentang pengaruh Bantuan Sosial dan Inflasi
terhadap penurunan kemiskinan di (1) 33 Provinsi, (2) Provinsi di Jawa
dan Sumatera, (3) Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi, dan (4) Provinsi
di Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua tahun 2007–2017 di provinsi.
b. Menjadi awal dari penelitian-penelitian selanjutnya yang lebih baik di
masa mendatang.
8
3. Bagi Pemerintah
a. Mendapatkan informasi dan sebagai pertimbangan pengambilan
keputusan perihal penyaluran Bantuan Sosial serta pengaruhnya terhadap
kemiskinan.
b. Sebagai pertimbangan pengambilan kebijakan untuk menjaga stabilitas
harga-harga komoditas utama penggerak garis kemiskinan.
15
F. Tinjauan Kajian Terdahulu Penelitian sebelumnya bertujuan untuk mentelaah kembali penelitian-penelitian yang sesuai dengan pembahasan penelitian yang
sudah pernah dilakukan. Berikut ini adalah penelitian-penelitian terdahulu yang memiliki korelasi dengan penelitian penulis
Tabel 1. 1 Penelitian Sebelumnya
No
.
Nama Penulis Judul Penelitian Variabel dan Sumber Data Metode Penelitian Hasil Penelitian
1. (Mustafa &
Nishat, 2017)
Role of Social
Protection in Poverty
Reduction in
Pakistan: A
Quantitative
Approach
Variabel: Headcount Ratio sebagai
variabel dependen, sedangkan
social protection diwakili oleh
pengeluaran pemerintah pada
kesehatan, pengeluaran pemerintah
pada pendidikan, bantuan asing,
subsidi dan transfer pemerintah,
zakat . Tambahan variabel lainnya
adalah kecenderungan autokratik
dan demokratik ekonomi pakistan
sebagai dummy variabel
independen pada tahun 1982-2012.
Menggunakan metode
ARDL (Auto
Regressive Disributed
Lag) dan ECM (Error
Correction Model)
Perlindungan sosial memiliki
peran yang signifikan pada
penurunan Persentase
Kemiskinan.
16
Sumber: World Development
Indicator, Pakistan Economic
Survey, dan Statictic Pakistan
Economy.
2. (Kiendrebeogo,
Assimaidou, &
Tall, 2017)
Social Protection for
Poverty Reduction in
Time of Crisis
Variabel: Persentase Kemiskinan
dan kesenjangan kemiskinan
sebagai variabel dependen
sedangkan pengeluaran sosial dan
krisis keuangan sebagai variabel
independen terhadap 40 negara
berkembang pada tahun 1984 –
2010.
Sumber: literature tautan finance-
poverty.
Menggunakan OLS
(Ordinary Least
Square) dan metode
estimasi GMM.
Negara dengan pengeluaran
sosial lebih besar memiliki
Persentase Kemiskinan lebih
rendah dibanding negara
dengan pengeluaran sosial
yang lebih kecil pada masa
krisis.
3. (J. Susanto,
2014)
Impact of Economic
Growth, Inflation
and Minimum Wage
Variabel: Persentase Penduduk
Miskin sebagai variabel dependen.
Sedangkan variabel independen
Menggunakan ECM
(Error Correction
Model).
Inflasi memiliki koefisien
positif terhadap persentase
penduduk miskin.
17
on Poverty in Java ialah Pertumbuhan Ekonomi,
Inflasi, dan Upah Minimum
Regional di Banten, Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta,
dan Jawa Timur tahun 2003 –
2011.
Sumber: Badan Pusat Statistik
4. (Putra,
Purnamadewi, &
Sahara, 2015)
Dampak Program
Bantuan Sosial
Terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi dan
Kemiskinan di
Kabupaten
Tertinggal di
Indonesia
Variabel: PDRB sebagai variabel
dependen, Angka IPM, Jumlah
Penduduk Miskin, Jumlah
Penduduk, Tingkat Pengangguran,
Share Sektor Pertanian, Industri
dan Jasa, dan Bantuan Sosial
sebagai variabel independen.
Sumber Data: Badan Pusat Statistik
dan Kementerian Desa PDTT
Menggunakan regresi
model data panel dan
analisis deskriptif
kualitatif untuk
mengkaji dinamika
kemiskinan.
Bantuan Sosial yang
signifikan untuk
meningkatkan pertumbuhan
di daerah tertinggal di
Indonesia pada tahun 2010 –
2013 ialah bantuan ekonomi
dan dunia usaha, bantuan
kelembagaan sosial budaya,
dan bantuan infrastruktur
18
5. (Sendouw,
Rumate, &
Rotinsulu, 2017)
Pengaruh Belanja
Modal, Belanja
Sosial, dan
Pertumbuhan
Ekonomi terhadap
Persentase
Kemiskinan di Kota
Manado
Variabel: Belanja Modal, Belanja
Sosial, Pertumbuhan Ekonomi
sebagai variabel independen, dan
Persentase Kemiskinan sebagai
variabel dependen.
Sumber Data: Badan Pusat Statistik
Kota Manado, Badan Pusat
Statistik Provinsi Sulawesi Utara,
dan Bagian Keuangan Sekretariat
Daerah Kota Manado
Menggunakan analisis
regresi berganda dan
analisis deskriptif
untuk mengkaji dan
menganalisa perubahan
perekonomian yang
terjadi di Kota Manado
baik secara umum
maupun khusus.
Belanja Sosial tidak memiliki
pengaruh yang signifikan
terhadap kemiskinan baik
secara parsial maupun
simultan.
6. (Irfan Chani,
Pervaiz, Ahmad
Jan, Ali, &
Chaudhary,
2011)
Poverty, Inflation
and Economic
Growth: Empirical
Evidence dari
Pakistan
Variabel: Persentase Kemiskinan
sebagai variabel dependen,
Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi,
Investasi dan Perdagangan terbuka
pada periode 1972 – 2008 sebagai
variabel independen.
Sumber Data: World Development
Menggunakan ARDL
(Autoregressive
Distributed Lag) untuk
melihat hubungan
jangka pendek dan
panjang antara variabel
tersebut
Inflasi memiliki koefisien
positif baik dalam jangka
panjang dan jangka pendek
pada kemiskinan
19
Indicators dan Publikasi LAP
Lambert Academic Publishing
7. (Talukdar, 2012) The Effect of
Inflation on Poverty
in Developing
Countries: A Panel
Data Analysis
Variabel: Rasio Jumlah Penduduk
Miskin sebagai variabel dependen,
Indeks Harga Konsumen, Paritas
Daya Beli, Data Pembayaran
Bunga, Rasio Pendaftaran Sekolah
Sekunder, Penilaian politik sebagai
variabel independen.
Sumber Data: World Bank,
International Monetary Funds,
World Economic Outlook, World
Bank Global Development
Financial, UNESCO, dan Center
for Systemic Peace, VA, USA.
Menggunakan data
panel 115 negara
berkembang pada
periode 1981–2008.
Inflasi berkoefisien positif
dan berhubungan signifikan
secara statistic dengan
kemiskinan. Untuk negara
berpendapatan rendah,
hubungan antara Inflasi dan
kemiskinan tidak signifikan
secara statistik pada
spesifikasi tertentu.
8. (Imelia, 2012) Pengaruh Inflasi dan
Kemiskinan di
Variabel: Tingkat Inflasi Provinsi
Jambi sebagai variabel independen
Model analisis regresi
linier sederhana.
Variabel Tingkat Inflasi tidak
berpengaruh secara signifikan
20
Provinsi Jambi dan persentase penduduk miskin
Provinsi Jambi sebagai variabel
dependen pada tahun 1993 - 2007.
Sumber Data: Badan Pusat Statistik
(BPS) Provinsi Jambi.
terhadap persentase penduduk
miskin di Provinsi Jambi.
Hasil nilai t hitung 1,725 < t
table pada taraf signifikansi
(∝) sebesar 0,05 yaitu
sebesar 2,145 (uji dua sisi)
9. (E. Susanto,
Rochaida, &
Ulfah, 2014)
Pengaruh Inflasi dan
Pendidikan Terhadap
Pengangguran dan
Kemiskinan
Variabel: Inflasi dan tingkat
pendidikan sebagai variabel
independen dan pengangguran
sebagai variabel dependen pada
kemiskinan di Kota Samarinda
Sumber Data: Badan Pusat
Statistik, Baeda, Disnakertrans, dan
Diknas.
Path Analysis Inflasi dan tingkat pedidikan
berpengaruh langsung dan
signifikan terhadap
pengangguran. Inflasi tidak
berpengaruh langsung
terhadap kemiskinan namun
berpengaruh secara tidak
langsung terhadap
kemiskinan melalui
pengangguran.
10. (Barika, 2013) Pengaruh
Pertumbuhan
Variabel: Laju pertumbuhan
ekonomi, Pengeluaran pemerintah,
Analisis Regresi Pertumbuhan ekonomi dan
Inflasi tidak memiliki
21
Ekonomi,
Pengeluaran
Pemerintah,
Pengangguran, dan
Inflasi Terhadap
Persentase
Kemiskinan di
Provinsi se-Sumatera
pengangguran, dan Inflasi sebagai
variabel independen sedangkan
Inflasi sebagai variabel dependen.
Sumber Data: Badan Pusat Statistik
(BPS), Bank Indonesia, Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan,
dan Badan Pemeriksa Keuangan.
Berganda. pengaruh terhadap
kemiskinan di Provinsi se-
Sumatera. Namun
pengeluaran pemerintah dan
pengangguran memiliki
pengaruh terhadap
kemiskinan.
11. (Mustamin,
Agussalim, &
Nurbayani,
2015)
Pengaruh Variabel
Ekonomi Makro
Terhadap
Kemiskinan di Kota
Makassar Provinsi
Sulawesi Selatan
Variabel: Belanja pemerintah,
Inflasi, dan infasi sebagai variabel
independen sedangkan kemiskinan
di Kota Makassar Provinsi
Sulawesi Selatan sebagai variabel
dependen pada periode 1999 –
2003.
Sumber Data: Mengumpulkan data
dari berbagai sumber yang relean
Path Analysis Inflasi memiliki pengaruh
secara langsung terhadap
kemiskinan sebesar -0,088,
dimana setiap kenaikan 1%
pada Inflasi akan
menurunkan kemiskinan
sebesar 0,088% dengan
signifikansi 5%.
22
terhadap penelitian tersebut
12. (Windra,
Marwoto, &
Rafani, 2016)
Analisis Pengaruh
Inflasi, Pertumbuhan
Ekonomi, dan
Tingkat
Pengangguran
Terhadap
Kemiskinan di
Indonesia
Variabel: Inflasi, pertumbuhan
ekonomi, dan tingkat
pengangguran sebagai variabel
independen sedangkan kemiskinan
sebagai variabel dependen periode
2001 – 2015.
Sumber Data: Badan Pusat Statistik
dan berbagai publikasi yang
relevan.
Analisis Regresi
Berganda.
Inflasi tidak memiliki
pengaruh yang signifikan
terhadap kemiskinan di
Indonesia meskipun memiliki
kecenderugan positif.
13. (Sugihartiningsi
h & Saleh,
2017)
Pengaruh Inflasi
Terhadap
Kemiskinan di
Indonesia Periode
1998 – 2014
Variabel: Inflasi sebagai variabel
dependen sedangkan kemiskinan
sebagai vaiabel independen.
Sumber Data: Asian Development
Bank dan Badan Pusat Statistik.
Regresi Linier
Berganda.
Inflasi memiliki pengaruh
positif terhadap kemiskinan.
14. (Siregar, 2017) Pengaruh PDRB Riil Variabel: PDRB Riil dan Inflasi Path Analysis. Inflasi memiliki pengaruh
23
dan Inflasi Terhadap
Persentase
Kemiskinan Kota
Medan dengan
Variabel Intervening
Pengangguran
sebagai variabel independen,
pengangguran sebagai variabel
intervening, dan kemiskinan
sebagai variabel dependen periode
tahun 2000 – 2014.
Sumber Data: Badan Pusat
Statistik.
secara langsung dan tidak
langsung terhadap
kemiskinan dengan
signifikansi <0,005.
15. (Duwila, 2016) Pengaruh
Pendidikan,
Pengangguran, dan
Inflasi Terhadap
Persentase
Kemiskinan di
Kawasan Timur
Indonesia (KTI)
Variabel: Provinsi yang diteliti
adalah Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Selatan, dan
Papua dengan variabel independen
Pendidikan, Pengangguran, dan
Inflasi. Variabel dependennya ialah
jumlah penduduk miskin pada
tahun 2001 – 2010.
Sumber Data: Badan Pusat
Statistik.
Pooled Least Square
(PLS).
Inflasi memiliki pengaruh
negatif terhadap kemiskinan
di Kawasan Timur Indonesia
karena terjadinya perbaikan
distribusi pendapatan yang
menyebabkan peningkatan
Inflasi berdampak pada
penurunan jumlah penduduk
miskin.
24
16. (Sugema,
Irawan,
Ardipurwanto,
Holis, &
Bakhtiar, 2010)
The Impact of
Inflation on Rural
Poverty in
Indonesia: an
Econometrics
Approach
Variabel: Pendapatan dan
pengeluaran rumah tangga sebagai
variabel dependen dan Indeks
Harga Konsumen sebagai variabel
independen dengan data panel tahu
2002 – 2009.
Sumber Data: SUSENAS 2005 dan
Badan Pusat Statistik (BPS).
Head-Count Index,
Poverty Gap Index, and
Severity of Poverty
Index.
Masyarakat pedesaan lebih
rentan terhadap gejolak
ekonomi terutama pada
Inflasi bahan pangan.
22
G. Sistematika Penulisan Sistematika Penulisan pada penelitian ini ialah sebagai berikut:
Bab 1 : Pendahuluan, Terdiri Dari Latar Belakang, Identifikasi Masalah,
Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Tinjauan Kajian Terdahulu, Dan Sistematika Penulisan.
Bab 2 : Tinjauan Pustaka terdiri dari Teori Terkait, Hubungan antar Variabel,
Kerangka Berpikir, dan Hipotesis.
Bab 3 : Metode Penelitian terdiri dari Ruang Lingkup Penelitian, Metode
Penentuan Sampel, Metode Pengumpulan Data, Instrumen Penelitian,
dan Teknik Analisa Data.
Bab 4 : Temuan Penelitian dan Pembahasan terdiri dari Temuan Hasil
Penelitian dan Pembahasan.
Bab 5 : Simpulan dan Saran terdiri dari Simpulan dan Saran
23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Terkait
1. Kemiskinan (Poverty)
Permasalahan kemiskinan selalu menjadi topik hangat yang dibahas di
berbagai forum ekonomi dan politik. Tidak hanya di Indonesia, topik perihal
kemiskinan pun menjadi konsen permasalahan di berbagai negara di dunia.
Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana individu tidak
mampu memenuhi kebutuhan dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan agar semakin berkualitas (Bappenas, 2004). Bank
Dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu keadaan dari individu yang
tidak memiliki pendapatan dan tingkat konsumsi diatas dari batas minimum.
Selain dilihat dari sisi moneter, kemiskinan juga bisa diartikan
ketidakmampuan seseorang untuk berfungsi di daerah sekitarnya karena
keterbatasan mereka dalam hal pendidikan dan kesehatan (World Bank, 2005).
Kemiskinan cukup kompleks untuk dibahas karena penyebabnya bisa
beraneka ragam. Menurut UU Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan
Fakir Miskin, Fakir miskin adalah orang sama sekali tidak memiliki mata
pencaharian dan/atau mempunyai mata pencaharian tetapi tidak mempunyai
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya
dan/atau keluarganya. Maka, kemiskinan adalah keadaan dimana individu tidak
memiliki tingkat konsumsi diatas batas minimum sehingga individu tersebut
tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya serta tidak mampu untuk
berfungsi di daerah sekitarnya akibat keterbatasan cakupan mereka terhadap
pendidikan dan kesehatan.
Badan Pusat Statistik (BPS) melihat kemiskinan dengan Garis
Kemiskinan, yaitu kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs
Approach) dengan menjumlahkan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan
Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Ketika individu tidak dapat
24
memenuhi diatas GKM dan GKNM per bulan maka individu tersebut
dikategorikan kedalam penduduk miskin.
a. Garis Kemiskinan
Rumus Perhitungan:
GK = GKM + GKNM
GK = Garis Kemiskinan
GKM = Garis Kemiskinan Makanan
GKNM = Garis Kemiskinan Non Makanan
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah garis yang dihitung
berdasarkan minimal kalori yang harus terpenuhi oleh masing-masing individu
yang terdiri dari 52 komoditi. Menurut BPS yang berdasarkan hasil
Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1978, minimal kalori yang harus dimiliki
oleh setiap orang dalam setiap harinya ialah sebanyak 2100 kalori. Sedangkan
menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, minimal kalori
yang harus terpenuhi setiap harinya ialah sebanyak 3000 kalori.
Berikut adalah formula dasar dalam menghitung Garis Kemiskinan
Makanan (GKM) dari BPS:
𝐺𝐾𝑀 ∗𝑗𝑝= �𝑃𝑗𝑘𝑝 .𝑄𝑗𝑘𝑝 = �𝑉𝑗𝑘𝑝
52
𝑘=1
52
𝑘=1
Dimana:
GKM*jp: Garis Kemiskinan Makanan Daerah j (sebelum disetarakan
menjadi 2100 kilokalori) provinsi p
Pjkp : Rata-rata harga komoditi k di daerah j dan provinsi p.
Qjkp : Rata-rata kuantitas komoditi k yang dikonsumsi di daerah j di
provinsi p.
Vjkp : Nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j
provinsi p.
j : Daerah (perkotaan atau pedesaan).
25
p : Provinsi ke-p
Sedangkan untuk Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) ialah
kebutuhan minimum non makanan yang harus dipenuhi oleh individu berupa
sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Di perkotaan diwakili 51
komoditi sedangkan untuk dipedesaan terdapat 47 komoditi GKNM. Formula
nilai kebutuhan minimum non makanan dari hasil Survei Paket Komoditi
Kebutuhan Dasar 2004 sebagai berikut:
𝐺𝐾𝑁𝑀𝐽𝑃 = �𝛾𝑘𝑗𝑉𝑘𝑗𝑝
𝑛
𝑘=1
Dimana,
GKNMJP: Pengeluaran minimum non makanan atau garis kemiskinan non
makanan daerah j dan provinsi p
Vkjp : Nilai pengeluaran per komoditi/sub-kelompok non-makanan daerah j dan
provinsi p
ɣkj : Rasio pengeluaran komoditi/sub-kelompok non-makanan k menurut
daerah (hasil SPKKD 2004) dan daerah j
k : Jenis komoditi non-makanan terpilih
j : Daerah (Perkotaan atau pedesaan)
p : Provinsi ke-p
Definisi kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2008) ada tiga.
Pertama, kemiskinan relatif. Kemiskinan ini melihat dari distribusi pendapatan
dimana adanya standar minimum yang disusun pada suatu waktu di suatu
negara dengan mengelompokan masyarakat kedalam 40% berpendapatan
rendah, 40% berpendapatan menegah, dan 20% berpendapatan tinggi. Pada
setiap terjadinya peningkatan pendapatan/pengeluaran akan terjadi perubahan
standar minimum sehingga definisi ini sampai kapan pun akan terus
menganggap bahwa kemiskinan selalu ada di negara tersebut. Kemiskinan
relatif tidak bisa digunakan untuk membandingkan kemiskinan satu negara
dengan negara lain karena standar minimum yang digunakan berbeda-beda dan
tingkat pembangunan setiap negara pun berbeda. Kedua, kemiskinan absolut.
26
Kemiskinan ini dilihat dari kebutuhan minimum berupa kebutuhan makanan
dan kebutuhan non-makanan. Hal ini biasa disebut dengan Garis Kemiskinan.
Definisi kemiskinan ini bisa dibandingkan dengan negara lain karena standar
yang digunakan sama yaitu dengan melihat dari sisi Purchasing Power Parity
(PPP)/Paritas Daya Beli. Ketiga, kemiskinan struktural dan kemiskinan
kultural. Kemiskinan struktural adalah keadaan dimana individu tidak mampu
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dikarenakan tempat tinggalnya yang
terisolir dan jauh dari pembangunan infrastruktur yang memadai. Sedangkan
kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang terjadi dikarenakan budaya yang
ada di sekitar individu tersebut. Masyarakat yang berada pada kemiskinan
kultural memilih “pasrah” dan menganggap bahwa apa yang terjadi padanya
adalah sebuah takdir dan sudah seharusnya disyukuri tanpa ada usaha lebih
untuk hidup lebih sejahtera.
Berdasarkan berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa
permasalahan utama pada kemiskinan ialah ketidakmampuan individu dalam
memenuhi kebutuhan hak dasarnya, beban kependudukan, dan ketidakadilan
dan ketidaksetaraan gender (Bappenas, 2004). Kebutuhan hak dasar tersebut
berupa terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, terbatasnya akses dan
rendahnya kualitas kesehatan, terbatasnya akses dan rendahnya kualitas
pendidikan, terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, sulitnya mendapatkan
perumahan yang layak serta sanitasi yang baik, terbatasnya akses terhadap air
bersih, lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, memburuknya
kondisi lingkungan hidup dan terbatasnya akses masyarakat pada sumber daya
alam, lemahnya jaminan rasa aman, lemahnya partisipasi masyarakat
menengah kebawah dalam memutuskan suatu kebijakan. Kebutuhan-kebutuhan
tersebut lah yang belum bisa dinikmati oleh sekian persen jumlah penduduk
Indonesia yang masuk ke dalam persentase penduduk miskin.
Selain dari berbagai permasalahan kemiskinan diatas, kemiskinan juga
memiliki faktor-faktor yang menyebabkan seorang individu lebih rentan
miskin. Menurut Rini dan Sugiharti (Rini & Sugiharti, 2016), faktor-faktor
kemiskinan ialah (1) pengaruh gender kepala keluarga, dimana jika kepala
27
keluarga perempuan memiliki pengaruh yang signifikan menyebabkan
kerentanan kemiskinan; (2) peningkatan satu usia kepala keluarga menurunkan
kemungkinan untuk miskin, sehingga semakin muda usia kepala keluarga maka
akan meningkatkan penyebab kerentanan kemiskinan; (3) meningkatnya satu
satuan anggota keluarga, dimana semakin banyak jumlah individu dalam satu
keluarga maka akan meningkatkan kerentanan kemiskinan; (4) kepala keluarga
yang tidak bekerja, tidak adanya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
hidup dikarenakan tidak adanya pendapatan yang diperoleh oleh kepala
keluarga akan meningkatkan kerentanan kemiskinan; (5) tidak memiliki akses
kredit, seperti akses kepada perbankan cukup sulit atau rendahnya pengetahuan
mengenai perbankan sehingga individu tersebut tidak bisa mengajukan kredit
dan akan kesulitan untuk memulai usaha untuk mendapatkan pendapatan; (6)
kepala rumah tangga dengan pendidikan yang rendah, dimana semakin
rendahnya pendidikan yang dimiliki kepala rumah tangga maka akan
meningkatkan penyebab kerentanan kemiskinan; (7) kepemilikan telepon
genggam dan tv kabel, dimana variabel ini menganggap bahwa dengan
ketidakpemilikan kedua barang tersebut akan kesulitan untuk mengakses
informasi; (8) kepemilikan komputer, dimana ketidakpemilikan komputer akan
meningkatkan kerentanan kemiskinan karena sulitnya mendapatkan informasi
untuk meningkatkan taraf hidup; dan (9) bertempat tinggal di desa, dimana
infrastruktur masih sangat minim serta tidak beragamnya jenis pekerjaan
sehingga sulit untuk meningkatkan taraf hidup individu. Rini dan Sugiharti
menyatakan bahwa variabel-variabel tersebut adalah faktor-faktor yang dapat
meningkatkan
Menurut Itang (Itang, 2017) menyatakan bahwa faktor-faktor penyebab
kemiskinan ialah:
1. Pendidikan yang rendah
2. Malas bekerja
3. Keterbatasan sumber daya alam
4. Terbatasnya lapangan pekerjaan
5. Keterbatasan modal
28
6. Beban keluarga
Sejak jaman orde baru, pemerintah memberikan konsentrasi penuh
terhadap isu kemiskinan yang termaktub pada Repelita II – V Tahun 1977 –
1996. Persentase Kemiskinan yang pada awal Repelita sebesar 40% dan pada
awal Repelita V Persentase Kemiskinan menjadi 11% (Purwanto, 2007).
Hingga kini pemerintah terus melakukan berbagai program yang bertujuan
untuk menekan jumlah kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya.
2. Perlindungan Sosial (Social Security)
Menurut Barrientos dan Shepherd (2003) dalam (Supriyanto, Ramdhani, &
Rahmadan, 2014) perlindungan sosial secara tradisional dikenal sebagai
konsep yang lebih luas dari jaminan sosial, asuransi sosial, dan jaringan
pengaman sosial. Perlindungan sosial dapat didefinisikan sebagai kumpulan
upaya publik yang dilakukan dalam menghadapi dan menanggulangi
kerentanan, risiko, dan kemiskinan yang sudah melebihi batas (Supriyanto et
al., 2014). Gagasan perlindungan sosial ini pada dasarnya difokuskan dalam
prinsip fundamental keadilan sosial, serta hak-hak universal spesifik dimana
setiap orang harus mendapatkan jaminan sosial dan standar kehidupan yang
memadai agar dapat memperoleh layanan kesehatan serta kesejahteraan bagi
diri mereka maupun keluarga mereka untuk memerangi kemiskinan,
keterbelakangan, dan ketidaksetaraan. Landasan perlindungan sosial harus
dilengkapi dengan strategi lain, misalnya dengan memperkuat institusi
perburuhan dan institusi sosial serta mempromosikan lingkungan mikro
ekonomi yang pro pekerja. Saat ini, beberapa negara sudah memasukkan
elemen-elemen utama tersebut ke dalam sistem perlindugan sosial yang mereka
miliki. Pada negara-negara dengan penghasilan menengah ke bawah, akses
pada program perlindungan sosial sejalan dengan upaya untuk mengurangi
kemiskinan, ketidaksetaraan, dan transformasi sosial lainnya.
World Bank (2015) mendefinisikan perlindungan sosial sebagai
seperangkat tindakan publik yang dilakukan oleh melindungi warganya dari
tekanan ekonomi dan sosial yang disebabkan oleh menurunnya pendapatan
29
sebagai akibat dari berbagai kemungkinan (sakit, persalinan, kecelakaan kerja,
pengangguran, usia lanjut, dan kematian pencari nafkah); penyediaan layanan
kesehatan; dan pemberian tunjangan bagi keluarga yang memiliki anak. Secara
sederhana, perlindungan sosial adalah tentang bagaimana kita dapat menjaga
diri kita dan satu sama lain untuk mengelola risiko. Instrument inti dari
perlindungan sosial menurut World Bank yaitu Jaminan Sosial (Pensiun Usia
Lanjut, Disabilitas, Pengangguran, Persalinan, Kesehatan, dan Pengumpulan
Tabungan Informal), Bantuan Sosial (Bantuan Langsung Tunai, Bantuan
dalam bentuk barang, keringanan biaya dan insentif pajak, dan subsidi), dan
Pekerja (Program Pasar Pekerja Aktif dan Regulasi).
Browne (2015) menyatakan bahwa perlindungan sosial berkaitan dengan
melindungi dan membantu mereka yang miskin dan rentan seperti anak-anak,
perempuan, orang lanjut usia, disabilitas, pengungsi, pengangguran, dan orang
sakit. Menurut Asian Development Bank (2003) mendefinisikan perlindungan
sosial sebagai intervensi publik yang berorientasi pada modal manusia untuk (i)
membantu individu, rumah tangga, dan masyarakat untuk mampu mengelola
risiko; dan (ii) memberikan dukungan kepada orang miskin yang tidak mampu.
Konsep perlindungan sosial yang luas diantaranya dipicu oleh
kekhawatiran dunia akan risiko guncangan sosial ekonomi serta ancaman
terhadap penghidupan yang semakin besar. Perluasan kosep perlindungan juga
salah satunya dibahas dalam Pertemuan Puncak Pembangunan Milenium tahun
2010 oleh ILO (International Labor Oganization) bersama para kepala negara
dan pemerintahan dunia. Perlindungan sosial menjadi sebuah bagian terpadu
dari kebijakan sosial yang dirancang untuk menjamin kondisi keamanan
pendapatan serta akses dalam layanan sosial untuk semua penduduk. Hal
tersebut dapat diakukan dengan memberikan perhatian khusus kepada
kelompok-kelompok masyarakat yang tergolong rentan, serta melindungi dan
memberdayakan masyarakat dalam seluruh siklus kehidupan (Supriyanto et al.,
2014).
Secara umum, perlindungan sosial dapat didefinisikan sebagai segala
bentuk kebijakan dan intervensi publik yang dilakukan untuk merespon
30
beragam risiko dan kerentanan baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial
terutama yang dialami oleh mereka yang hidup dalam kemiskinan. Tujuan
utama yang diharapkan dengan terlaksananya perlindungan sosial adalah
mencegah risiko yang dialami penduduk sehingga terhindar dari kesengsaraan
yang berkepanjangan; meningkatkan kemampuan kelompok miskin dan rentan
dalam menghadapi dan keluar dari kemiskinan dan kesenjangan sosial-
ekonomi; serta, memungkinkan kelompok miskin dan rentan untuk memiliki
standar hidup yang bermartabat sehingga kemiskinan tidak diwariskan dari satu
generasi ke generasi lainnya. Kiendrebeogo, Assimaidou, et al (2017)
menyatakan bahwa perlindungan sosial pada masa krisis finansial di 40 negara
berkembang pada tahun 1984 – 2010 sangat penting untuk pengurangan
kemiskinan pada masa tersebut dan pengurangan keuntungan akibat intervensi
kebijakan dari pemerintah.
Pada era sebelum krisis ekonomi di Indonesia tahun 1997 – 1998,
Indonesia belum memiliki sebuah sistem pelindungan sosial yang terstruktur
dan terpadu. Pada era tersebut perlindungan sosial dilaksanakan dalam konteks
penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, dan pemberian
layanan publik. Pada era pasca-reformasi, dimana akibat dari krisis tersebut
ialah penurunan pendapatan riil, kelaparan yang merajalela, pengangguran,
putus sekolah, serta dampak lainnya menjadi ancaman yang dapat meluas ke
penjuru Indonesia. Respon yang dilakukan pemerintah Indonesia ialah
melakukan kebijakan intervensi dengan sebutan program Jaring Pengaman
Sosial (JPS). Program tersebut ditujukan untuk melindungi masyarakat miskin
serta masyarakat yang jatuh miskin karena kiris melalui intervensi pada
beberapa bidang, yakni panga, ketenagakerjaan, pendidikan, dan kesehatan.
Di era selanjutnya yaitu pasca-krisis dan reformasi, lahirlah Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
yang mendefinisikan kembali sistem jaminan sosial di Indonesia untuk masa
mendatang. Pada awal tahun 2000-an muncul berbagai program untuk berbagai
bidang seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk bantuan operasional
kepada sekolah-sekolah di Indonesia, Asuransi Kesehatan Untuk Rakyat
31
Miskin (Askeskin) yang kini menjadi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
untuk bidang kesehatan, Beras Bersubsidi bagi Masyarakat Berpenghasilan
Rendah (Raskin) dalam bidang pangan yang merupakan transformasi dari
program Operasi Pasar Khusus (OPK), Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan
berubah menjadi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) saat
kenaikan harga BBM, Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar (ASLUT) bagi
masyarakat lanjut usia, serta program Asistensi Sosial Orang Dengan
Kecacatan Berat (ASODKB) bagi masyarakat penyandang disabilitas
(Supriyanto et al., 2014).
Masalah yang kini dihadapi Indonesia dalam hal perlindungan sosial ialah
ketidaktepatan sasaran dalam penentuan penerima program, mekanisme
pendampingan program belum optimal, koordinasi dan pelaksanaan program
belum terintegrasi, dan prioritas pendanaan untuk Program Perlindungan Sosial
masih terbatas. Scott (2012) dalam Supriyanto, Ramdhani, et al (2014)
menyatakan bahwa tipe program perlindungan sosial yang paling umum
mencakup bantuan sosial, jaminan sosial, intervensi pasar tenaga kerja, dan
program berbasiskan komunitas/informal. Pada penelitian ini penulis
menggunakan Bantuan Sosial untuk mewakili dari perlindungan sosial
tersebut.
2.1 Bantuan Sosial Menurut Permendagri Nomor 32 tahun 2011 Tentang Pendoman
Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah menyatakan bahwa Bantuan Sosial adalah
pemberian uang/barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga,
kelompok, dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak terus menerus dan selektif
yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.
Bantuan Sosial terdiri dari dua jenis, (1) Bantuan Sosial yang direncanakan,
dialokasikan kepada individu dan/atau keluarga yang sudah jelas nama, alamat
penerima dan besarannya pada saat penyusunan APBD dan (2) Bantuan Sosial
yang tidak direncanakan, adalah Bantuan Sosial yang dialokasikan akibat
resiko sosial yang tidak direncanakan saat penyusunan APBD dan jika
32
menyalurannya ditunda maka akan menimbulkan resiko sosial yang lebih besar
bagi individu dan/atau keluarga yang bersangkutan.
Tidak jauh berbeda dengan Permendagri Nomor 32 tahun 2011, Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial mendefinisikan
Bantuan Sosial sebagai upaya untuk meringankan penderitaan, melindungi, dan
memulihkan kondisi kehidupan fisik, mental, dan sosial (termasuk kondisi
psikososial, dan ekonomi) serta memberdayakan potensi yang dimiliki agar
seseorang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang mengalami
guncangan dan kerentanan sosial dapat tetap hidup secara wajar.
Program Bantuan Sosial memiliki tujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan sosial melalui pengurangan kemiskinan. Bantuan yang diberikan
dalam program Bantuan Sosial tidak bergantung kepada kontribusi dari
penerima manfaatnya. Bantuan Sosial dapat diberikan secara langsung dalam
bentuk uang (in-cash transfers), juga dalam bentuk barang dan pelayanan (in-
kind transfers) (Supriyanto et al., 2014).
Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah selalu menganggarkan
Dana Bantuan Sosial baik di APBN maupun APBD setiap tahunnya. Tidak ada
pagu anggaran bagi dana ini. Setiap provinsi diberikan kebebasan untuk
menentukan Dana Bantuan Sosial mereka sesuai dengan kemampuan finansial
provinsi tersebut. Oleh sebab itu, maka dana ini memiliki celah untuk
melakukan tindakan kecurangan dikarenakan tidak adanya pagu anggaran serta
kemungkinan untuk menyalahgunakan dana tersebut baik untuk kepentingan
pribadi maupun kelompok sehingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
cukup serius untuk mengiring APBD terutama pada akun ini.
Tujuan dari adanya Dana Bantuan Sosial adalah menurunkan jumlah
penduduk miskin dan rentan miskin. Indikator penerima Dana Bantuan Sosial
ialah (1) selektif, dimana pihak yang menerima dana Bantuan Sosial adalah
mereka yang ditunjuk untuk dilindungi dari kemungkinan resiko sosial; (2)
memenuhi persyaratan penerima bantuan, yaitu pihak yang memiliki identitas
yang jelas dan berdomisili dalam wilayah administratif pemerintahan daerah
33
berkenan; (3) bersifat sementara dan tidak terus menerus, kecuali dalam
keadaan tertentu dapat berkelanjutan; dan (4) sesuai dengan tujuan penggunaan
seperti untuk rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, pemberdayaan sosial,
jaminan sosial, penanggulangan kemiskinan, dan penanggulangan bencana.
Maka dari itu Pemerintah Pusat melaksanakan berbagai program guna
menekan jumlah kemiskinan yang angkanya melonjak naik sejak krisis
moneter 1998 berupa Jaminan Pengaman Sosial (JPS), Beras untuk Rakyat
Miskin (Raskin), Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai bentuk kompensasi
kenaikan harga BBM, bantuan tidak langsung berupa Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN), Bantuan Siswa Miskin (BSM), dan Program Keluarga
Harapan (PKH).
Sejak tahun 2010 pemerintah membentuk Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang diketuai Wakil Presiden Republik
Indonesia. TNP2K memiliki tujuan untuk menyelaraskan berbagai kegiatan
percepatan penanggulangan kemiskinan. Saat ini Pemerintah Pusat memiliki
berbagai program antara lainnya (Tim Nasional Penanggulangan Kemiskinan
(TNP2K), 2018):
1. Program di Bidang Pangan berupa Program Beras Sejahtera (Rastra) dan
Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
2. Program di Bidang Pendidikan berupa Program Indonesia Pintar (PIP),
Program Beasiswa Pendidikan bagi Masyarakat Miskin (Bidikmisi), dan
Program Keterampilan Hidup.
3. Program di Bidang Kesehatan berupa Program Indonesia Sehat.
4. Program di Bidang Energi berupa Program Subsidi Listrik, Program
Subsidi ELPIJI 3kg, dan Program Bantuan Penyediaan Lampu Tenaga
Surya Hemat Energi (LTSHE).
5. Program di Bidang Ekonomi dan Sosial berupa Program Keluarga
Harapan (PKH), Program Kelompok Usaha Bersama (KUBE), Program
Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT), Program Temu
Penguatan Kapasitas Anak dan Keluarga (TEPAK), Program Asistensi
34
Sosial Penyandang Disabiitas Berat (ASPDB), dan Program Asistensi
Sosial Penduduk Lanjut Usia Terantar (ASLUT).
6. Program di Bidang Perumahan berupa Program Rehabilitasi Sosial
Rumah Tidak Layak Huni dan Sarana Lingkungan (RS-RTLH dan
Sarling), Program Bantuan Pembiayaan Perumahan, dan Program
Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya.
7. Program di Bidang Pertanian berupa Subsidi Pupuk, Program Bantuan
Premi Asuransi Usaha Tani Padi (BP-AUTP), dan Program Bantuan
Premi Asuransi Ternak Sapi (BP-AUTS).
8. Program di Bidang Kelautan/Perikanan berupa Program Bantuan Premi
Asuransi Nelayan (BPAN) dan Program Bantuan Premi Asuransi
Perikanan bagi Pembudidaya Ikan Kecil (BP-AIK).
3. Inflasi (Inflation) Selain Dana Bantuan Sosial, salah satu faktor lainnya yang dapat
mempengaruhi Persentase Kemiskinan ialah Inflasi. Inflasi adalah suatu
keadaan dimana terjadi peningkatan harga barang dan jasa secara umum dan
terus menerus dalam jangka waktu tertentu (Bank Indonesia, 2018a). Inflasi
dapat diakibatkan oleh dua kemungkinan yaitu faktor fundamental dan faktor
non-fundamental (Bank Indonesia, 2018b):
Faktor fundamental ialah Inflasi inti, yaitu Inflasi yang terjadi dikarenakan
(a) interaksi permintaan-penawaran; (b) lingkungan eksternal: nilai tukar, harga
komoditi internasional, Inflasi mitra dagang; (c) ekspektasi Inflasi dari
pedagang dan konsumen. Kemudian Faktor non-fundamental ialah (a) Inflasi
komponen bergejolak (Volatile Food) dimana Inflasi ini terjadi ketika gagal
panen, gangguan alam, atau perkembangan harga komoditas pangan domestik
maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional; (b) Inflasi
komponen harga yang diatur pemerintah (Administered Price) dimana Inflasi
ini dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dalam menentukan harga Bahan
Bakar Minyak (BBM), harga listrik, dan harga transportasi.
Inflasi juga bisa timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push
inflation), demand (demand pull inflation), dan ekspektasi Inflasi. Inflasi sisi
35
penawaran disebabkan depresiasi mata uang, Inflasi luar negeri dari negara-
negara partner dagang, peningkatan administered price, dan terjadi gagal panen
atau terganggunya distribusi. Inflasi sisi permintaan disebabkan karena
tingginya permintaan terhadap barang dan jasa yang jumlahnya relatif terhadap
ketersediaannya. Sedangkan ekspektasi Inflasi adalah perkiraan perilaku
konsumsi masyarakat pada waktu tertentu seperti pada saat hari raya suatu
keagamaan, tahun baru, dan hari-hari besar lainnya (Bank Indonesia, 2018c).
Indikator yang sering digunakan untuk mengetahui Tingkat Inflasi berasal
dari Indeks Harga Konsumen (IHK) yang dilakukan atas dasar Survey Biaya
Hidup (SBH) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). BPS setiap
bulan akan memonitor perkembangan harga barang dan jasa di berbagai kota di
Indonesia. Selain Indeks Harga Konsumen, indikator Inflasi lain yang
digunakan berdasarkan standar Internasional best practice ialah (1) Indeks
Harga Perdagangan Besar (IHPB) dimana indikator ini melihat transaksi dari
penjual/pedagang utama kepada pedagang selanjutnya dalam jumlah besar
pada suatu komoditas; (2) Indeks Harga Produsen (IHP) dimana indikator ini
mengukur perubahan rata-rata harga yang diterima produsen domestik untuk
barang yang dihasilkan; (3) Deflator Produk Domestik Bruto (DPDB)
menunjukan besarnya perubahan harga dari semua barang baru, barang
produksi lokal, barang jadi, dan jasa. Deflator PDB ini dihasikan dengan
membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan;
dan (4) Indeks Harga Aset ini mengukur ada harga aset antara lain property dan
saham (Bank Indonesia, 2018b).
Inflasi yang diukur dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) dikelompokan
dalam tujuh kelompok pengeluaran berdasarkan the Classification of Individual
Consumption by Purpose-COICOP), yaitu (1) bahan makanan; (2) makanan
jadi, minuman, rokok dan tembakau; (3) perumahan, air, listrik, gas, dan bahan
bakar; (4) sandang; (5) kesehatan; (6) pendidikan, rekreasi, dan olahraga; (7)
transport, komunikasi, dan jasa keuangan (Bank Indonesia, 2018b).
Perubahan IHK baik itu perbulan, tahun kalender, dan tahun ke tahun
disebut Tingkat Inflasi. Misalnya, pada Juni 2008 Indeks Harga Konsumen
36
sebesar 99.14 dan Indeks Harga Konsume pada Juni 2009 sebesar 110.08,
maka Inflasi tahunan pada bulan Juni 2009 ialah sebesar 11.03%. Rumus
menghitung Tingkat Inflasi ialah sebagai berikut:
𝐼𝑛𝑓𝑙𝑎𝑠𝑖 = 𝐼𝐻𝐾𝑛 − 𝐼𝐻𝐾𝑛−1
𝐼𝐻𝐾𝑛−1 × 100
Dimana n= IHK periode saat ini, dan n-1= IHK periode sebelumnya.
Sedangkan di Indonesia, rumus IHK dihitung menggunakan rumus Laspreyres
yang dimodifikasi sebagai berikut:
𝐼𝑛 =∑ 𝑃𝑛𝑖
𝑃(𝑛−1)𝑖𝑃(𝑛−1)𝑖 .𝑄0,1
𝑘𝑖=1
∑ 𝑃0,1.𝑄0,1𝑘𝑖=1
× 100
Dimana:
In = Indeks periode ke-n
Pni = Harga barang ke-i pada periode ke-n
P(n-1)i = Harga jenis barang ke-i periode ke-(n-1)
Pn,1Qi = Nilai konsumsi jenis barang ke-i pada periode ke-n
P(n-1),i Qi = Nilai konsumsi jenis barang ke-i pada periode ke-(n-1)
K = Jumlah jenis barang paket komoditi
Tingkat Inflasi dapat terjadi pada tingkat yang ringan, sedang, berat dan
hiperInflasi. Inflasi tingkat ringan ketika kenaikan barang dan jasa berada di
bawah 10%; Inflasi tingkat sedang antara 10% - 30%; Inflasi tingkat berat
antara 30% – 100%; sedangkan hiperInflasi ketika kenaikan harga dalam
setahun tidak terkendali atau melebihi 100% (Suseno & Aisyah, 2009). Pada
negara-negara maju, Tingkat Inflasi rendah yang dianggap wajar berkisar
antara 2% sampai 3%. Sedangkan di Indonesia, angka Inflasi satu digit masih
dianggap wajar, dengan kata lain Inflasi hingga 9% masih dalam batas wajar
37
dan baru dianggap berbahaya jika sudah menyentuh 10% (Suseno & Aisyah,
2009).
Indonesia pada tahun 1972 hingga 1974 mengalami Inflasi dikarenakan
meningkatnya harga minyak dunia. Tingkat Inflasi pada tahun 1972 mencapai
25.7% dikarenakan hasil panen yang kurang baik sebagai akibat dari kemarau
yang panjang dan terus meningkat hingga menyentuh 50% pada tahun
selanjutnya dikarenakan kenaikan harga minyak di pasar dunia (Suseno &
Aisyah, 2009). Untuk menekan Tingkat Inflasi, pada tahun 1974 pemerintah
menerapkan stabilisasi berupa kebijakan kredit selektif untuk menekan uang
yang beredar di masyarakat dan mampu mengendalikan Inflasi akibat oil boom.
Pada tahun 1998, lagi-lagi Indonesia mengalami Tingkat Inflasi hingga
menyentuh 77.6% diakibatkan krisis nilai tukar. Berawal dari nilai tukar mata
uang Baht pada Dollar turun dan menyebar ke berbagai negara di sekitar
Thailand, salah satunya Indonesia. Tahun 1999 Tingkat Inflasi menurun hingga
2.01% karena adanya perbaikan dari sisi penawaran jangka pendek, yaitu
kecukupan pasokan bahan makanan oleh pemerintah, perbaikan produksi
sektoral, dan kelancaran distribusi barang-barang akibat membaiknya kondisi
keamanan (Suseno & Aisyah, 2009).
Secara garis besar ada tiga teori Inflasi, yaitu Teori Kuantitas, Teori
Keynes, dan Teori Strukturalis. Teori Kuantitas menyatakan bahwa uang
beredar merupakan faktor penentu atau faktor yang mempengaruhi kenaikan
harga. Peningkatan jumlah uang beredar akan berdampak pada peningkatan
harga barang dan jasa. Para ekonom yang menganut paham ini lebih dikenal
dengan ahli ekonomi beraliran Monetaris. Milton Friedman adalah salah satu
ekonom beraliran Monetaris yang mendapatkan Nobel di bidang ekonomi pada
tahun 1976. Ia sangat terkenal dengan penyataanya yaitu, “Inflation is always
and everywhere a monetary phenomenon”.
Teori Keynes tidak sependapat dengan teori kuantitas yang diyakini oleh
Milton Friedman. Keynes menyatakan bahwa paham yang dipercaya oleh
Friedman mengasumsikan ekonomi dalam keadaan full employment (kapasitas
38
ekonomi penuh) dimana tidak adanya pengangguran sama sekali. Teori Keynes
beranggapan bahwa jika kapasitas ekonomi belum penuh maka pertambahan
jumlah uang beredar akan meningkatkan permintaan barang dan jasa sehingga
akan membuka kesempatan kerja dan tidak akan terjadi kenaikan harga.
Sedangkan Teori Strukturalis didasarkan pada pengalaman negara-
negara di Amerika Latin. Teori ini menyatakan bahwa Inflasi terjadi karena
faktor-faktor struktural dalam perekonomian. Masalah yang dapat
menimbulkan Inflasi, yaitu penerimaan ekspor tidak elastis yang menyebabkan
terhambatnya kemampuan impor pada barang-barang yang dibutuhkan (Suseno
& Aisyah, 2009). Dengan terhambatnya barang-barang impor maka
ketersediaan barang dalam negeri akan mengalami scarcity (kelangkaan) yang
akan berdampak pada peningkatan harga.
Tingkat Inflasi harus dijaga karena World Bank (2018) menyatakan bahwa
Inflasi yang tinggi dapat berdampak buruk pada masyarakat miskin karena
mereka memiliki aset secara tunai dan sangat bergantung pada upah, tunjangan
kesejahteraan, dan pensiun. Hal yang sama juga dikatakan oleh Bank Indonesia
dimana Inflasi yang tinggi dapat menyebabkan pendapatan riil menurun
sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan menjadikan orang miskin
semakin miskin. Selain itu Inflasi yang tinggi juga dapat menciptakan
ketidakpastian bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan serta Tingkat
Inflasi domestik yang lebih tinggi dari negara tetangga menjadikan tingkat
bunga domestik tidak kompetitif sehingga dapat membahayakan nilai tukar.
Untuk mengendalikan Inflasi dapat digunakan kebijakan moneter yang
bersifat langsung maupun tidak langsung. Kebijakan moneter tidak langsung
dapat dilakukan dengan mengadakan Operasi Pasar Terbuka (OPT) dengan
menerbitkan surat utang negara atau surat utang bank sentral (Suseno &
Aisyah, 2009). Sedangkan kebijakan moneter secara langsung ialah dengan
tingkat suku bunga tertentu. selain kebijakan moneter, pengendalian Inflasi
juga dapat dilakukan dengan kebijakan fiskal dimana belanja pemerintah dan
pajak menjadi instrumen pada pengendalian Inflasi.
39
B. Hubungan Antar Variabel Dalam rumusan masalah telah ditetapkan akan meneliti tentang pengaruh
Bantuan Sosial dan Inflasi terhadap Kemiskinan di Indonesia tahun 2007 – 2017.
Berdasarkan penelitian sebelumnya Mustafa dan Nishat (2017) menganalisis Role
of Social Protection in Poverty Reduction in Pakistan: A Quantitative Approach.
Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa perlindungan sosial memiliki peran
yang signifikan terhadap kemiskinan di Pakistan. Kemudian peneltian
Kiendrebeogo, Assimaidou, dan Tall (2017) tentang Social Protection for Poverty
Reduction in Time of Crisis menyatakan bahwa negara dengan pengeluaran
Bantuan Sosial yang lebih besar pada masa krisis memiliki Persentase
Kemiskinan lebih rendah dibanding negara dengan pengeluaran sosial yang lebih
kecil pada masa krisis.
Kemudian pada penelitian Susanto (2014) tentang Impact of Economic
Growth, Inflation and Minimum Wage on Poverty in Java menyatakan bahwa
inflasi memiliki koefisien positif terhadap penduduk miskin. Selanjutnya
penelitian Mustamin, Agussalim, dan Nurbayani (2015) tentang Pengaruh
Variabel Ekonomi Makro Terhadap Kemiskinan di Kota Makassar Provinsi
Sulawesi Selatan menyatakan bahwa Inflasi memiliki pengaruh secara langsung
terhadap kemiskinan sebesar -0,088, dimana setiap kenaikan 1% pada Inflasi akan
menurunkan kemiskinan sebesar 0,088% dengan signifikansi 5%.
Hal ini yang menjadi pertimbagan penulis untuk menggunakan variabel
Bantuan Sosial (SA) dan Inflasi (INF) sebagai variabel dependen dan Persentase
Kemiskinan (POV) sebagai variabel independen. Persamaannya adalah sebagai
berikut:
POV = f (SA, INF)
Keterangan:
POV = Persentase Kemiskinan
SA = Bantuan Sosial
INF = Inflasi
40
1. Hubungan Bantuan Sosial dengan Kemiskinan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 Tentang Kesejahteraan
Sosial mendefinisikan Bantuan Sosial sebagai upaya untuk meringankan
penderitaan, melindungi, dan memulihkan kondisi kehidupan fisik, mental, dan
sosial (termasuk kondisi psikososial, dan ekonomi) serta memberdayakan
potensi yang dimiliki agar seseorang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat
yang mengalami guncangan dan kerentanan sosial dapat tetap hidup secara
wajar.
Permendagri Nomor 32 tahun 2011 Tentang Pendoman Pemberian Hibah
dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah menyatakan bahwa Bantuan Sosial memiliki tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial melalui pengurangan kemiskinan. Bantuan
yang diberikan dalam program Bantuan Sosial tidak bergantung kepada
kontribusi dari penerima manfaatnya. Bantuan Sosial dapat diberikan secara
langsung dalam bentuk uang (in-cash transfers), juga dalam bentuk barang dan
pelayanan (in-kind transfers) (Supriyanto et al., 2014).
2. Hubungan Inflasi dengan Kemiskinan Inflasi adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan harga barang dan
jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu (Bank
Indonesia, 2018a). Tingkat Inflasi harus dijaga karena World Bank (2018)
menyatakan bahwa Inflasi yang tinggi dapat berdampak buruk pada
masyarakat miskin karena mereka memiliki aset secara tunai dan sangat
bergantung pada upah, tunjangan kesejahteraan, dan pensiun. Hal yang sama
juga dikatakan oleh Bank Indonesia dimana Inflasi yang tinggi dapat
menyebabkan pendapatan riil menurun sehingga standar hidup dari masyarakat
turun dan menjadikan orang miskin semakin miskin. Selain itu Inflasi yang
tinggi juga dapat menciptakan ketidakpastian bagi pelaku ekonomi dalam
mengambil keputusan serta Tingkat Inflasi domestik yang lebih tinggi dari
negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik tidak kompetitif sehingga
dapat membahayakan nilai tukar.
41
C. Kerangka Berpikir Agar penelitian ini terstruktur dan sistematis, maka kerangka berpikir
sangatlah dibutuhkan agar penelitian ini sesuai dari pemikiran awalnya dan tidak
melebar atau bahkan menyempit serta dapat memecahkan permasalahan pada
penelitian ini. Berikut adalah kerangka berpikir pada penelitian ini.
Gambar 2. 1 Kerangka Berpikir
D. Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara pada suatu permasalahan yang masih
harus dibuktikan kebenarannya. Pada penelitian ini, hipotesis penulis adalah
sebagai berikut:
42
a. Dana Bantuan Sosial pada Persentase Penduduk Miskin
1. H0 Diduga Dana Bantuan Sosial tidak memiliki pengaruh terhadap
Persentase Penduduk Miskin secara parsial.
H1 Diduga Dana Bantuan Sosial memiliki pengaruh terhadap
Persentase Penduduk secara parsial.
b. Tingkat Inflasi pada Persentase Penduduk Miskin
1. H0 Diduga Tingkat Inflasi tidak memiliki pengaruh terhadap
Persentase Penduduk Miskin secara parsial.
H1 Diduga Tingkat Inflasi memiliki pengaruh terhadap Persentase
Penduduk Miskin secara parsial.
c. Dana Bantuan Sosial dan Tingkat Inflasi pada Persentase Penduduk Miskin
1. H0 Diduga Dana Bantuan Sosial dan Tingkat Inflasi secara simultan
tidak terdapat pengaruh yang signifikan terhadap Persentase
Penduduk Miskin.
H1 Diduga Dana Bantuan Sosial dan Tingkat Inflasi secara simultan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Persentase Penduduk
Miskin.
43
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kuantitatif korelasi yaitu
penelitian yang menggunakan statistik korelasional untuk menggambarkan dan
mengukur tingkat atau hubungan antara dua variabel atau lebih dalam serangkaian
nilai (Creswell 2012 dalam Creswell, 2014). Variabel dependen yang digunakan
pada penelitian ini adalah persentase penduduk miskin dan dua variabel
independen yaitu Bantuan Sosial dan Tingkat Inflasi pada tahun 2007 - 2017.
Penelitian ini mengelompokan regress data menjadi 4 kelompok, yaitu (1) 33
Provinsi, (2) Sumatera dan Jawa, (3) Kalimantan dan Sulawesi, dan (4) Bali, Nusa
Tenggara, Maluku, dan Papua. Hal tersebut bertujuan untuk melihat pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen di berbagai daerah. Pembagian
tersebut sesuai dengan Kementerian Desa, Pembangunan Desa Tertinggal dan
Transmigrasi yang mengelompokkan peran wilayah/pulau dalam pembentukan
PDB Nasional 1983 – 2013 menjadi 4 kelompok (Kemendes PDTT, 2015).
Dikarenakan dua kelompok, yaitu (a) Bali dan Nusa Tenggara, dan (b) Maluku
dan Papua tidak bisa melaksanakan regresi Random Effect Model (REM), maka
peneliti menjadikannya satu kelompok menjadi kelompok ke-empat pada
kelompok regresi di penelitian ini.
B. Metode Penentuan Sampel
Menurut Amirullah (Amirullah, 2015), Sampel merupakan suatu sub
kelompok dari populasi yang dipilih untuk digunakan dalam penelitian. Sampel
yang digunakan pada penelitian ini adalah 33 Provinsi dan tidak menggunakan
Provinsi Kalimantan Utara dikarenakan provinsi tersebut baru terbentuk pada
tahun 2011. Penelitian ini juga mengelompokan regress data menjadi 4 kelompok,
yaitu (1) 33 Provinsi, (2) Sumatera dan Jawa, (3) Kalimantan dan Sulawesi, dan
(4) Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Metode pengambilan sampel yang
akan digunakan adalah teknik purposive sampling yaitu cara pengambilan sampel
diserahkan pada pertimbangan pengumpul data yang berdasarkan atas
pertimbangan yang sesuai dengan maksud dan tujuan tertentu.
44
C. Metode Pengumpulan Data
Data yang dibutuhkan ialah persentase penduduk miskin di Indonesia yang
didapatkan dari Badan Pusat Statistik, Laporan Realisasi Anggaran (LRA)
menurut Fungsi Bagian Perlindungan Sosial yang didapatkan dari Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan Republik Indonesia, dan Tingkat Inflasi Tahunan
didapatkan Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik pada 33 Provinsi di
Indonesia tahun 2007 – 2017.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen Penelitian adalah cara yang digunakan peneliti untuk
mengumpulkan data. Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini
ialah dengan pencatatan dokumen yang disediakan oleh Badan Pusat Statistik,
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, dan Bank Indonesia di situs website
masing-masing. Berikut ini adalah operasional variabel yang akan digunakan pada
penelitian ini:
Tabel 3. 1 Definisi Operasional Variabel
Variabel Definisi Satuan Sumber Singkatan
Variabel Dependen
(Y)
Persentase
Penduduk Miskin
Persentase
Penduduk Miskin
adalah persentase
dari jumlah
penduduk suatu
negara terhadap
jumlah penduduk
yang memiliki rata-
rata pengeluaran
perkapita perbulan
dibawah garis
kemiskinan pada
Persen Badan Pusat
Statistik
POV
45
suatu periode.
Variabel (X1)
Bantuan Sosial
Bantuan Sosial
yang bersumber
dari APBD dan
dapat berupa uang
atau barang serta
pemberiannya tidak
terus menerus serta
penerima bantuan
adalah pihak-pihak
yang sesuai dengan
indikator penerima.
Milyar
Rupiah
Direktorat
Jenderal
Perimbangan
Keuangan RI
SA
Variabel (X2)
Tingkat Inflasi
Tingkat Inflasi
adalah peningkatan
harga pada barang
dan jasa dalam
waktu tertentu
berdasarkan
perubahan Indeks
Harga Konsumen
(IHK).
Persen Bank Indonesia
dan Badan
Pusat Statistik
INF
E. Teknik Analisa Data
Penelitian ini menggunakan alat analisis E-Views 8.0 sebagai alat
pengolahan data. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
panel. Data panel adalah gabungan antara data runtut waktu (time series) dan data
silang (cross section). Menurut Agus Widarjono (2009) dalam Basuki (2015)
penggunaan data panel dalam sebuah observasi mempunyai beberapa keuntungan
yang diperoleh. Pertama, data panel yang merupakan gabungan dua data yang
46
lebih banyak sehingga akan lebih menghasilkan degree of freedom yang lebih
besar. Kedua, menggabungkan informasi dari data time series dan cross section
dapat mengatasi masalah yang timbul ketika ada masalah penghilangan variabel
(omitted-variable).
1. Model Regresi Data Panel Model regresi panel sebagai berikut:
𝒀 =∝ +𝒃𝟏𝑿𝟏𝒊𝒕 + 𝒃𝟐𝑿𝟐𝒊𝒕 + 𝒆
Keterangan:
Y = Variabel dependen
∝ = Konstanta
𝑋1 = Variabel independen 1
𝑋2 = Variabel independen 2
𝑏(1,2) = Koefisien regresi masing-masing variabel independen
𝑒 = error term
𝑡 = Waktu
𝑖 = Individu
2. Estimasi Model Data Panel Untuk mengestimasi model regresi data panel, terdapat tiga pendekatan,
antara lain (Basuki, 2015):
1. Common Effect Model
Merupakan pendekatan model data panel yang paling sederhana
karena hanya mengkombinasikan data time series dan cross section. Pada
model ini tidak diperhatikan dimensi waktu maupun individu, sehingga
diasumsikan bahwa perilaku pendekatan Ordinary Least Square (OLS)
atau teknik kuadrat terkecil untuk mengestimasi model data panel.
47
Sehingga model ini tidak dapat membedakan varians antara waktu maupun
individu karena intercept-nya tetap.
Adapun persamaan regresi dalam model common effect dapat ditulis
sebagai berikut:
𝑌𝑖𝑡 =∝ +𝑋𝑖𝑡𝛽 + 𝜀𝑖𝑡
Dimana:
i = individu 1, individu, 2, individu 3, …, individu n
t = tahun 1, tahun 2, tahun 3, …, tahun n
Dimana i menunjukkan cross section (individu) dan t menunjukkan
periode waktunya. Dengan mengasumsikan bahwa antar individu memiliki
perilaku yang sama dalam kurun waktu tersebut.
2. Fixed Effect Model
Model ini mengasumsikan bahwa perbedaan antar individu dapat
diakomodasi dari perbedaan intersepnya. Untuk mengestimasi data panel
model Fixed Effect Model menggunakan teknik variabel dummy untuk
menangkap perbedaan intersep antar individu, perbedaan intersep bisa
terjadi karena perbedaan kondisi. Misalnya ada 10 individu, maka variabel
dummy yang digunakan ada 9 dummy. Setiap individu memiliki intercep
yang berbeda namun slopnya sama antar individu. Model estimasi ini
sering juga disebut dengan teknik Least Square Dummy Variable (LSDV).
Adapun persamaan regresi dalam model fixed effect dapat ditulis
sebagai berikut:
𝑌𝑖𝑡 =∝ +𝑖 ∝𝑖𝑡+ 𝑋𝑖𝑡𝛽 + 𝜀𝑖𝑡
�𝑦1𝑦1𝑦𝑛� = �
∝∝∝� + �
𝑖 0 00 𝑖 00 0 𝑖
� �∝1∝2∝𝑛� + �
𝑥11 𝑥21 𝑥𝑝1𝑥12 𝑥22 𝑥𝑝2𝑥1𝑛 𝑥2𝑛 𝑥𝑝𝑛
� �𝛽1𝛽2𝛽𝑛� + �
𝜀1𝜀2𝜀𝑛�
Teknik seperti diatas dinamakan Least Square Dummy Variable
(LSDV). Selain diterapkan untuk efek tiap individu, LSDV ini juga dapat
48
mengakomodasi efek waktu yang bersifat sistemik. Hal ini dapat dilakukan
penambahan variabel dummy waktu di dalam model.
3. Random Effect Model
Model data panel yang mengestimasi dimana gangguan mungkin
saling berhubungan antar waktu dan antar individu. Pada model Random
Effect perbedaan intersep diakomodasi oleh error terms masing-masing
individu. Keuntungan menggunakan model Random Effect yakni
menghilangkan heteroskedastisitas. Model ini juga disebut dengan Error
Component Model (ECM) atau teknik Generalized Least Square (GLS).
Dengan demikian, persamaan model Random Effect dapat dituliskan
sebagai berikut:
𝑌𝑖𝑡 =∝ +𝑋𝑖𝑡𝛽 + 𝑊𝑖𝑡
𝑌𝑖𝑡 =∝ +𝑋𝑖𝑡𝛽 + 𝜀𝑖𝑡
i = individu 1, individu, 2, individu 3, …, individu n
t = tahun 1, tahun 2, tahun 3, …, tahun n
dimana:
wit = 𝜀𝑖𝑡 + 𝑢1;𝐸(𝑤𝑖𝑡) = 0;𝐸(𝑤𝑖𝑡2) =∝2+∝𝑢2;
E(wit, wjt-1)=0; I ± j; E(ui, 𝜀𝑖𝑡)=0;
E(𝜀𝑖, 𝜀𝑗𝑠)=E(𝜀𝑖, 𝜀𝑗𝑡)= E(𝜀𝑖, 𝜀𝑗𝑠)=0
Meskipun komponen error wt bersifat homokedastik, nyatanya
terdapat korelasi antara wt dan wit-s (equicorrelation), yakni:
Corr(wit, wi(t-1)) = ∝𝑢2/(∝2+∝𝑢2)
Karena itu, metode OLS tidak bisa digunakan untuk mendapatkan
estimator yang efisien bagi model Random Effect. Metode yang tepat
untuk mengestimasi model Random Effect adalah Generalized Least
49
Squares (GLS) dengan asumsi homokedastik dan tidak ada cross-sectional
correlation.
3. Pemilihan Model Data Panel Untuk memilih model data panel yang tepat, dapat dilakukan pengujian
terlebih dahulu yaitu berupa Uji Chow, Uji Hausman, dan Uji Langrage
sebagai berikut:
1. Uji Chow
Uji Chow ialah Uji yang digunakan untuk menentukan model
manakah yang paling tepat antara Common Effect atau Fixed Effect dalam
mengestimasi data panel.
Apabila Probabilitas dari Redudant Fixed Effect <0,05 maka model
yang terbaik adalah Fixed Effect atau H0 ditolak. Sedangkan bila
Probabilitas dari Redudant Fixed Effect >0,05 maka model yang paling
tepat adalah Common Effect dimana H1 ditolak.
2. Uji Hausman
Uji Hausman yakni pengujian statistik untuk menentukan model
manakah yang terbaik antara Random Effect atau Fixed Effect dalam
mengestimasi data panel.
Apabila Probabilitas dari Correlated Random Effect <0,05 maka
model yang terbaik adalah Fixed Effect atau H0 ditolak. Sedangkan bila
Probabilitas dari Correlated Random Effect >0,05 maka model yang paling
tepat adalah Random Effect dimana H1 ditolak.
3. Uji Lagrange Multiplier
Uji Lagrange Multiplier digunakan untuk menentukan model maka
yang lebih tepat antara Common Effect atau Random Effect yang paling
tepat digunakan untuk mengestimasi data panel.
Apabila Probabilitas dari Breusch-Pagan <0,05 maka model yang
terbaik adalah Random Effect atau H0 ditolak. Sedangkan bila Probabilitas
50
dari Breusch-Pagan >0,05 maka model yang paling tepat adalah Common
Effect dimana H1 ditolak.
4. Uji Asumsi Klasik
Uji ini digunakan untuk memastikan apakah model dalam penelitian ini
valid sebagai alat penduga. Pada penelitian ini hanya digunakan dua Uji Asumsi
Klasik yaitu Multikolinearitas dan Heteroskedastisitas, yaitu:
a. Multikolinearitas
Mulitikolinearitas adalah adanya hubungan linier antara variabel
independen di dalam regresi. Uji ini digunakan ntuk menguji ada tidaknya
multikolinearitas pada model. Jika hasilnya dibawah 0.08 maka tidak
terjadi gejala multikolinearitas. Karena ketika suatu model memiliki
masalah korelasi antar variabel dependen, maka hasilnya nanti akan
dianggap tidak stabil.
b. Heterokedastisitas
Heterokedastisitas adalah masalah regresi dimana adanya faktor
gangguan varian yang tidak sama atau variannya tidak konstan. Hal ini
akan memunculkan berbagai permasalahan yaitu penaksir OLS yang bias
atau varian dari koefisien yang salah (Supranto, 2009). Uji ini melihat
apakah di dalam model yang diteliti terdapat varian yang berbeda antar
variabel. Dalam penelitian ini akan menggunakan metode dengan uji
glejser untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dalam model
regresi dengan meregres absolut residual. Jika hasilnya diatas 0.05 maka
tidak terjadi gejala heteroskedastisitas.
5. Uji Kelayakan
a. Uji-t
Uji-t bertujuan untuk mengetahui besaran koefisien (slope) regres
secara individu. Dengan kata lain, uji ini digunakan untuk melihat apakah
variabel independen dapat menjelaskan variabel dependen secara parsial.
Selain itu, uji ini juga dapat mengetahui apakah masing-masing
variabel memiliki probabilitas yang signifikan atau tidak terhadap variabel
51
dependennya. Jika nilai t-Prob <0,05 maka dapat dikatakan variabel
tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Namun
jika nilai t-Prob >0,05 maka dapat dikatakan variabel tersebut tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependennya.
b. Uji-F Uji F bertujuan untuk mengetahui besaran koefisien (slope) regres
secara bersamaan (simultan). Dengan kata lain, uji ini digunakan untuk
melihat apakah variabel-variabel independen dapat menjelaskan variabel
dependen secara bersama-sama (simultan).
Apabila Prob(F) <0,05 maka dapat dikatakan semua variabel
independen memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel
dependennya. Bila nilai Prob(F) >0,05 maka dapat dikatakan bahwa
seluruh variabel independen tidak memiliki pengaruh yang signifikan
secara simultan terhadap variabel dependennya.
c. Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi (Goodness of Fit) dinotasikan dengan R-Square
yang merupakan suatu ukuran penting karena dapat menggambarkan baik
tidaknya model regresi yang terestimasi. Nilai R-Square mencerminkan
seberapa besar variasi dari variabel dependen terhadap variabel
independen. Bila nilai koefisien mendekati 1, maka variasi dari variabel
terikat secara keseluruhan dapat diterangkan oleh variabel-variabel
bebasnya. Sedangkan jika nilai R-Square mendekati 0, maka variasi dari
variabel terikat secara keseluruhan tidak dapat diterangkan oleh variabel
bebasnya.
52
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Temuan Hasil Penelitian Pada peneltian ini penulis me-regres sebanyak empat kali untuk melihat
pengaruh Bantuan Sosial dan Inflasi dari (1) 33 Provinsi, (2) Provinsi di Sumatera
dan Jawa, (3) Provinsi di Kalimatan dan Sulawesi, dan (4) Provinsi di Bali, Nusa
Tenggara, Maluku, dan Papua dengan menggunakan regresi data panel.
Untuk dapat menentukan model yang digunakan di setiap pembagian
daerah, yang harus dilakukan adalah melihat hasil dari Uji Chow, Uji Hausman,
dan Uji Lagrange Multiplier. Berbagai uji tersebut adalah uji yang bertujuan untuk
melihat nilai probabilitas (P-Value) F-Statistik lebih kecil dari tingkat signifikansi
∝=5% sehingga dapat menentukan model regresi mana yang lebih cocok
digunakan dalam penelitian ini. Hipotesisnya adalah sebagai berikut:
Uji Chow H0 = Model Common Effect
H1 = Model Fixed Effect
Uji Hausman H0 = Model Random Effect
H1 = Model Fixed Effect
Uji Lagrange Multiplier H0 = Model Common Effect
H1 = Model Random Effect
1. Seluruh Provinsi (33 Provinsi) Pada kelompok data panel ini menggunakan 33 Provinsi. Pada tahun 2011,
Indonesia memiliki provinsi baru yaitu Provinsi Kalimantan Utara. Dikarenakan
penelitian ini menggunakan periode 2007 – 2017 maka Provinsi Kalimantan Utara
tidak diikutsertakan dalam penelitian ini. Berikut adalah hasil olah data berupa Uji
Chow, Uji Hausman, Uji Lagrange Multiplier, dan Random Effect Model (REM):
53
a. Uji chow
Tabel 4. 1 Uji Chow Seluruh Provinsi
Effect Test Statistic d.f Prob
Cross-Section F 97.438759
(32,328) 0.0000
Cross-Section Chi
Square
853.764201
32 0.0000
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Hasil Uji Chow menunjukkan Probabilitas t- statistic pada Cross-Section F
adalah 0.0000, dimana nilai tersebut dibawah dari nilai 0.05 yang menyatakan
bahwa H0 ditolak dan model yang lebih baik ialah model fixed effect. Selanjutnya
adalah hasil dari Uji Hausman untuk mengetahui manakah model yang terbaik
antara Random Effect dan fixed effect.
b. Uji Hausman
Tabel 4. 2. Uji Hausman Seluruh Provinsi
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob
Cross-Section Random 0.732038 2 0.6935
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Hasil Uji Hausman menunjukkan Probabilitas 0.6935, dimana nilai tersebut
diatas dari nilai 0.05 yang menyatakan bahwa H1 ditolak dan model yang lebih
baik ialah model Random Effect. Dikarenakan H1 ditolak, maka selanjutnya ialah
melihat hasil dari Uji Lagrange Multiplier untuk mengetahui manakah model yang
terbaik antara common effect dan Random Effect.
c. Uji Lagrange Multiplier
Tabel 4. 3. Uji Lagrange Multiplier Seluruh Provinsi
Null (no rand. Effect)
Alternative
Cross-section
One-side
Period One-sided Both
Breusch-Pagan 1436.182
(0.0000)
7.658859
(0.0056)
1443.841
(0.0000)
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
54
Hasil Uji Lagrange Multiplier dengan menggunakan Breusch-Pagan
menunjukkan Probabilitas 0.0000, dimana nilai tersebut dibawah dari nilai 0.05
yang menyatakan bahwa H0 ditolak. Maka model yang lebih baik untuk seluruh
provinsi ialah model Random Effect.
d. Model Random Effect (REM)
Model data panel yang digunakan pada olah data 33 Provinsi ini adalah
dengan menggunakan model Random Effect Model (REM) dapat dijelaskan
melalui persamaan sebagai berikut:
POV = 17.48479 – 0.002312 LN_SA + 0.305760 INF + e
Dimana:
POV : Persentase Penduduk Miskin pada 33 Provinsi di Indonesia
SA : Dana Bantuan Sosial pada 33 Provinsi di Indonesia
INF : Tingkat Inflasi pada 33 Provinsi di Indonesia
Berdasarkan Uji Chow, Uji Hausman, dan Uji Lagrange yang telah
dilakukan dapat disimpulkan bahwa model dalam penelitian ini menggunakan
metode analisis dengan pendekatan efek acak (Random Effect).
Tabel 4. 4. Hasil Estimasi Data Panel Seluruh Provinsi
Dependent Variabel: POV
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob C 17.48479 4.255461 4.108788 0.0000
LN_SA -0.002312 0.001570 -1.473039 0.1416
INF 0.305760 0.044207 6.916585 0.0000
R-squared 0.136372
Adjusted R-squred 0.131574
F-statistic 28.42295
Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
55
Variabel SA menunjukkan nilai koefisien negatif sebesar -0.002312, dimana
hal tersebut berdampak positif terhadap variabel POV. Maka, jika terjadi kenaikan
1% pada Dana Bantuan Sosial maka akan menurunkan Kemiskinan sebesar
0.002312% namun tidak signifikan karena Probabilitas t-statistik variabel SA
diatas dari 0.05 yaitu sebesar 0.1416.
Lain halnya dengan variabel INF. Variabel INF menunjukkan nilai positif
sebesar 0.305760 terhadap variabel POV. Maka, jika terjadi kenaikan 1% pada
Inflasi maka akan meningkatkan kemiskinan sebesar 0.305760%. Hal ini
menunjukkan bahwa variabel INF berdampak negatif terhadap Persentase
Kemiskinan dengan Probabilitas t-statistik 0.0000 dibawah 0.05 maka variabel
INF signifikan mempengaruhi POV. Selanjutnya adalah hasil output Provinsi di
Jawa dan Sumatera.
2. Jawa dan Sumatera Pada kelompok data panel ini menggunakan provinsi yang ada di Pulau
Jawa dan Sumatera (16 provinsi), yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bangka
Belitung, dan Kepulauan Riau. Berikut adalah hasil olah data berupa Uji Chow,
Uji Hausman, Lagrange Multiplier, dan Random Effect Model (REM):
a. Uji chow
Tabel 4. 5. Uji Chow Provinsi di Jawa dan Sumatera
Effect Test Statistic d.f Prob Cross-Section F 68.428916 (15,158) 0.0000
Cross-Section
Chi Square
354.538809 15 0.0000
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Hasil Uji Chow menunjukkan Probabilitas t-statistik pada Cross Section F
menunjukkan nilai 0.0000 yang menyatakan bahwa H0 ditolak dan model yang
lebih baik ialah model fixed effect. Selanjutnya ialah membandingkan manakah
yang lebih baik antara Random Effect atau fixed effect dengan Uji Hausman.
56
b. Uji Hausman
Tabel 4. 6. Uji Hausman Provinsi di Jawa dan Sumatera
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob
Cross-Section Random 0.322975 2 0.8509
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Uji Hausman menunjukkan Probabilitas sebesar 0.8509. Nilai tersebut
diatas 0.05 yang menandakan bahwa H1 ditolak dan berdasarkan Uji Hausman
dapat disimpulkan model yang lebih baik ialah Random Effect. Karena Uji Chow
dan Uji Hausman menunjukkan hasil yang berbeda, maka dibutuhkan satu uji lagi
yaitu Uji Lagrange Multiplier dimana pada uji ini akan menentukan manakah
model yang lebih baik antara common effect atau Random Effect.
c. Uji Lagrange Multiplier
Tabel 4. 7. Hasil Uji Lagrange Multiplier Provinsi di Jawa dan Sumatera
Null (no rand. Effect)
Alternative
Cross-section
One-side
Period One-sided Both
Breusch-Pagan 638.9003 (0.0000)
2.428894 (0.1191)
641.3292 (0.0000)
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Uji Lagrange Multiplier adalah uji terakhir untuk menentukan manakah
model terbaik antara common effect atau Random Effect. Berdasarkan hasil Uji
Lagrange Multiplier menunjukkan Probabilitas Cross-section One-side Breusch
adalah 0.000<0.05 yang menandakan bahwa model yang terbaik untuk Provinsi di
Jawa dan Sumatera adalah model Random Effect.
d. Model Random Effect (REM)
Model terbaik yang digunakan pada Provinsi di Jawa dan Sumatera adalah
Random Effect model dapat dijelaskan melalui persamaan sebagai berikut:
POV = 13.22897 – 0.001110 LN_SA + 0.218040 INF + e
Dimana:
POV : Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Jawa dan Sumatera
57
SA : Dana Bantuan Sosial di Provinsi Jawa dan Sumatera
INF : Tingkat Inflasi di Provinsi Jawa dan Sumatera
Berdasarkan Uji Chow, Uji Hausman, dan Uji Lagrange Multiplier yang
telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa model yang paling baik untuk
digunakan pada Provinsi di Jawa dan Sumatera adalah model Random Effect.
Tabel 4. 8. Hasil Data Panel Provinsi di Jawa dan Sumatera
Dependent Variabel: POV Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob C 13.22897 4.508658 2.934126 0.0038
LN_SA -0.001110 0.001676 -0.662338 0.5086
INF 0.218040 0.049028 4.447295 0.0000
R-squared 0.108329
Adjusted R-
squred
0.098021
F-statistic 10.50891
Prob(F-statistic) 0.000049
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Variabel SA menunjukkan nilai koefisien negatif sebesar -0.001110
terhadap variabel POV. Hal tersebut berdampak positif terhadap kemiskinan
karena jika terjadi kenaikan 1% pada Dana Bantuan Sosial maka akan
menurunkan Persentase Kemiskinan sebesar 0.001110% di Provinsi Jawa dan
Sumatera Utara. Probabilitas t-statistic 0.5086>0.05 yang menandakan bahwa
variabel ini tidak signifikan mempengaruhi Persentase Kemiskinan di Provinsi
Jawa dan Sumatera.
Sedangkan variabel INF menunjukan nilai koefisien positif terhadap
variabel POV dengan koefisien 0.218040. Dapat dikatakan bahwa peningkatan
1% pada Tingkat Inflasi akan meningkatkan Persentase Kemiskinan sebesar
0.218040 sehingga berdampak negatif terhadap Persentase Kemiskinan. Variabel
INF memiliki probabilitas 0.0000<0.05 dimana menunjukkan bahwa variabel INF
58
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap POV. Selanjutnya ialah hasil data
panel Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi.
3. Kalimantan dan Sulawesi Pada kelompok data panel ini menggunakan provinsi yang ada di Pulau
Kalimantan dan Sulawesi (10 provinsi), yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Sulawesi Barat.
Berikut adalah hasil olah data berupa Uji Chow, Uji Hausman, dan Fixed Effect
Model (REM):
a. Uji Chow Tabel 4. 9. Hasil Uji Chow Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi
Effect Test Statistic d.f Prob Cross-Section F 51.197974 (9,98) 0.0000
Cross-Section Chi Square 191.487068 9 0.0000
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Berdasarkan hasil Uji Chow dengan Probabilitas t-statistik pada Cross
Section F menunjukan nilai 0.0000<0.05 yang menunjukkan bahwa H0 ditolak
dan model yang lebih baik digunakan pada data panel ini ialah model fixed effect.
Selanjutnya ialah hasil Uji Hausman yang bertujuan untuk menentukan manakah
model yang jauh lebih baik antara Random Effect atau fixed effect.
b. Uji Hausman
Tabel 4. 10. Hasil Uji Hausman Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob
Cross-Section
Random
7.693219 2 0.0214
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Berdasarkan hasil Uji Hausman didapatkan Probabilitas 0.0214<0.05
dimana hal ini dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan model yang digunakan
pada data panel Provinsi Kalimantan dan Sulawesi adalah model fixed effect.
d. Model Fixed Effect (FEM)
59
Model data panel yang digunakan pada Provinsi Kalimantan dan Sulawesi
adalah model fixed effect yang dapat dijelaskan melalui persamaan sebagai
berikut:
POV = 3.471853 + 0.002381 LN_SA + 0.333542 INF + e
Dimana:
POV : Persentase Penduduk Miskin Provinsi Kalimantan dan Sulawesi
SA : Dana Bantuan Sosial di Provinsi Kalimantan dan Sulawesi
INF : Tingkat Inflasi di Provinsi Kalimantan dan Sulawesi
Berdasarkan Uji Chow dan Uji Hausman dapat disimpulkan bahwa model
terbaik yang dapat digunakan pada Provinsi Kalimantan dan Sulawesi adalah
model fixed effect.
Tabel 4. 11. Hasil Data Panel Provinsi Kalimantan dan Sulawesi
Dependen Variabel: POV
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob C 3.471853 7.211297 0.481446 0.6313
LN_SA 0.002381 0.002793 0.852211 0.3962
INF 0.333542 0.081828 4.076133 0.0001
R-squared 0.847014
Adjusted R-
squred
0.829842
F-statistic 49.32571
Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Variabel SA menunjukkan nilai koefisien positif terhadap POV dengan
koefisien 0.002381 dimana peningkatan 1% pada Bantuan Sosial akan
meningkatkan persentase penduduk miskin sebesar 0.002381%. Hal tersebut
menunjukan bahwa Inflasi memiliki dampak negatif terhadap Persentase
Kemiskinan. Probabilitas t-statistik pada variabel SA adalah 0.3962>0.05 yang
menandakan bahwa variabel SA tidak signifikan mempengaruhi variabel POV.
60
Begitu pula dengan variabel INF yang menunjukkan nilai koefisien positif
terhadap POV dengan koefisien 0.333542 dimana peningkatan 1% variabel INF
akan meningkatkan variabel POV sebesar 0.333542% dengan Probabilitas t-
statistik sebesar 0.0001<0.05. Dapat disimpulkan bahwa variabel INF memiliki
pengaruh yang signifikan pada variabel POV dan berdampak negative terhadap
Persentase Kemiskinan. Selanjutnya adalah hasil data panel terakhir pada
penelitian ini yaitu Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
4. Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua
Pada kelompok data panel ini menggunakan provinsi yang ada di Pulau
Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua (7 provinsi), yaitu Bali, Nusa Tenggara
Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.
Berikut adalah hasil olah data berupa Uji Chow, Uji Hausman, Uji Lagrange
Multiplier dan Random Effect Model (REM):
a. Uji Chow
Tabel 4. 12. Hasil Uji Chow Provinsi di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua
Effect Test Statistic d.f Prob Cross-Section F 102.260708 (6,68) 0.0000
Cross-Section
Chi Square
177.475977 6 0.0000
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Berdasarkan Uji Chow menunjukkan Probabilitas pada Cross-section F
sebesar 0.0000<0.05 dimana dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan model yang
lebih baik digunakan pada data panel ini ialah model fixed effect. Selanjutnya
dilakukan Uji Hausman untuk menentukan manakah model yang lebih baik antara
Random Effect atau fixed effect.
b. Uji Hausman
Tabel 4. 13. Uji Hausman Provinsi di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob
Cross-Section
Random
1.902759 2 0.3862
61
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Berdasarkan hasil Uji Hausman didapatkan nilai Probabilitas sebesar
0.3862>0.05 dimana dapat disimpulkan bahwa H1 ditolak sehingga model yang
lebih baik digunakan pada data panel ini berdasarkan Uji Hausman adalah model
Random Effect. Dikarenakan Uji Chow dan Uji Hausman menunjukan dua hasil
yang berbeda maka yang harus dilakukan adalah uji terakhir yaitu Uji Lagrange
Multiplier untuk menentukan manakah model yang lebih baik antara common
effect dan Random Effect.
c. Uji Lagrange Multiplier
Tabel 4. 14. Hasil Uji Lagrange Multiplier Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua
Null (no rand. Effect)
Alternative
Cross-section
One-side
Period One-sided Both
Breusch-Pagan 254.0351 (0.0000)
0.501983 (0.4786)
254.5371 (0.0000)
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Hasil Uji Lagrange Multiplier menunjukkan Probabilitas dari Cross-section
One-side pada Breusch Pagan menunjukkan 0.0000<0.05. Hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa H0 ditolak dan model yang paling baik digunakan pada data
panel Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
d. Model Random Effect (REM)
Model data panel Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua adalah
Random Effect yang dapat dijelaskan melalui persamaan sebagai berikut:
POV = 48.66117 – 0.012129 LN_SA + 0.445436 INF + e
Dimana:
POV : Persentase Penduduk Miskin Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan
Papua
SA : Dana Bantuan Sosial Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua
INF : Tingkat Inflasi Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua
62
Berdasarkan Uji Chow, Uji Hausman, dan Uji Lagrange Multiplier
menunjukkan bahwa model data panel yang terbaik pada Provinsi Bali, Nusa
Tenggara, Maluku, dan Papua adalah model Random Effect.
Tabel 4. 15. Hasil Data Panel Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua
Dependen Variabel: POV
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob C 48.66117 14.97376 3.249764 0.0017
LN_SA -0.012129 0.005482 -2.212428 0.0300
INF 0.445436 0.132185 3.369777 0.0012
R-squared 0.250683
Adjusted R-
squred
0.230431
F-statistic 12.37828
Prob(F-statistic) 0.000023
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Variabel SA menunjukkan nilai koefisien negatif terhadap variabel POV
dengan koefisien -0.012129. Maka, jika terjadi peningkatan variabel SA sebesar
1% akan menurunkan variabel POV sebesar 0.012129%. Hal tersebut
menunjukkan bahwa Bantuan Sosial memiliki dampak positif terhadap Persentase
Kemiskinan. Probabilitas variabel SA sebesar 0.0300<0.05 menunjukkan bahwa
variabel ini memiliki pengaruh yang signifikan pada variabel POV.
Selanjutnya ialah Uji Asumsi Klasik, yaitu Uji Multikolinearitas dan Uji
Heteroskedastisitas serta Uj Hipotesis, yaitu Uji t-statistik, Uji F-statistik, dan Uji
R-Squared.
5. Uji Asumsi Klasik
Pada penelitian ini akan dilakukan Uji Asumsi Klasik yaitu Uji
Multikolinearitas dan Uji Heteroskedastisitas. Berikut adalah hasil dari kedua uji
tersebut.
a. Uji Multikolinearitas
63
Pengujian ini bertujuan untuk melihat apakah kedua variabel bebas memiliki
masalah multikolinearitas atau tidak. Suatu persamaan dapat dikatakan memiliki
masalah multikolinearitas ketika nilainya melebihi 0.80. Berikut adalah hasil dari
Uji Multikolinearitas pada keempat data panel dalam penelitian ini.
Tabel 4. 16. Hasil Uji Multikolinearitas 33 Provinsi
LN_SA INF
LN_SA 1.000000 -0.184012 INF -0.184012 1.000000
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Tabel 4. 17. Hasil Uji Multikolinearitas Provinsi Jawa dan Sumatera
LN_SA INF
LN_SA 1.000000 -0.131032 INF -0.131032 1.000000
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Tabel 4. 18. Hasil Uji Multikolinearitas Provinsi Kalimantan dan Sulawesi
LN_SA INF
LN_SA 1.000000 -0.246122 INF -0.246122 1.000000
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Tabel 4. 19. Hasil Uji Multikolinearitas Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua
LN_SA INF
LN_SA 1.000000 -0.284642
INF -0.284642 1.000000 Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Berdasarkan hasil dari Uji Multikolinearitas diatas, semua data panel
menunjukan nilai dibawah 0.80 dimana dapat disimpulkan bahwa tidak ada
masalah multikolinearitas pada data panel dalam penelitian ini.
64
b. Uji Heterogenitas
Uji Heteroskedastisitas adalah uji untuk melihat apakah ada ketidaksamaan
varian antar residual untuk pengamatan regresi linier yang dilakukan. Pada
penelitian ini yang melaksanakan Uji Heteroskedastisitas hanya data panel
Provinsi Kalimantan dan Sulawesi karena modelnya adalah model fixed effect
sedangkan provinsi lainnya adalah model Random Effect sehingga tidak
dibutuhkan Uji Heteroskedastisitas. Pada penelitian ini menggunakan jenis
Glejser dengan menjadikan residualnya menjadi variabel dependen.
Tabel 4. 20. Hasil Uji Heteroskedastisitas Provinsi Kalimantan dan Sulawesi
Dependen Variabel: RESABS
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob
C 3.575766 2.528452 1.414212 0.1605
LN_SA -0.001188 0.000979 -1.212917 0.2281
INF 0.028355 0.028691 0.988284 0.3254
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Hasil Uji Glejser menunjukkan bahwa nilai Probabilitas dari variabel SA
ialah sebesar 0.2281 dan variabel INF sebesar 0.3254. Dapat ditarik kesimpulan
bahwa pada model fixed effect Provinsi Kalimantan dan Sulawesi tidak terdapat
masalah heteroskedastisitas.
6. Uji Kelayakan
Uji Hipotesis pada penelitian ini terdiri dari Uji t-Statistik, Uji F-Statistik,
dan Uji R-Squared.
a. Uji t-Statistik
Pengujian ini bertujuan untuk menguji apakah variabel independen (Social
Assistance dan Inflation) berpengaruh secara parsial terhadap variabel
dependennya (Poverty) yaitu dengan membandingkan masing-masing t-Statistik
dari regresi dengan t-tabel dalam menolak atau menerima hipotesis.
65
Tabel 4. 21. Uji t-Statistik 33 Provinsi
Variabel t-Statistik Probabilitas Keterangan
LN_SA -1.473039 0.1416 Tolak H1: ∝=5%
INF 6.916585 0.0000 Tolak H0: ∝=5%
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Pada data panel 33 Provinsi menunjukan bahwa secara parsial variabel
independen yang signifikan mempengaruhi variabel dependen hanya Tingkat
Inflasi.
Tabel 4. 22. Uji t-Statistik Provinsi Jawa dan Sumatera
Variabel t-Statistik Probabilitas Keterangan
LN_SA -0.662338 0.5086 Tolak H1: ∝=5%
INF 4.447295 0.0000 Tolak H0: ∝=5%
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Begitu pula pada Uji t-Statistik Provinsi Jawa dan Sumatera menunjukkan
bahwa secara parsial yang mempengaruhi variabel dependen hanya Tingkat
Inflasi.
Tabel 4. 23. Uji t-Statistik Provinsi Kalimantan dan Sulawesi
Variabel t-Statistik Probabilitas Keterangan
LN_SA 0.852211 0.3962 Tolak H1: ∝=5%
INF 4.076133 0.0001 Tolak H0: ∝=5%
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Hal yang sama juga dimiliki oleh Uji t-Statistik Provinsi Kalimantan dan
Sulawesi bahwa variabel independen yang mempengaruhi variabel dependen
dengan signifikan hanya Tingkat Inflasi.
Tabel 4. 24. Uji t-Statistik Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua
Variabel t-Statistik Probabilitas Keterangan
66
LN_SA -2.212428 0.0300 Tolak H0: ∝=5%
INF 3.369777 0.0012 Tolak H0: ∝=5%
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Berbeda dengan data panel sebelumnya, pada Uji t-Statistik Provinsi Bali,
Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua menunjukan bahwa secara parsial baik SA
dan INF memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel POV karena nilai
Probabilitasnya dibawah 0.05.
b. Uji F-Statistik
Pengujian ini dilakukan untuk menguji apakah variabel independen
(Bantuan Sosial dan Inflasi) berpengaruh secara bersama-sama (simultan)
terhadap variabel dependen (Persentase Kemiskinan). Berikut adalah hasil dari Uji
F-Statistik data panel pada penelitian ini.
Tabel 4. 25. Uji F-Statistic 33 Provinsi
F-Statistic Prob(F-Statistic) Keterangan
28.42295 0.000000 Tolak H0: ∝ = 5%
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Tabel 4. 26. Uji F-Statistic Provinsi Jawa dan Sumatera
F-Statistic Prob(F-Statistic) Keterangan
10.50891 0.000049 Tolak H0: ∝ = 5%
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Tabel 4. 27. Uji F-Statistic Provinsi Kalimantan dan Sulawesi
F-Statistic Prob(F-Statistic) Keterangan
49.32571 0.000000 Tolak H0: ∝ = 5%
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Tabel 4. 28. Uji F-Statistic Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua
F-Statistic Prob(F-Statistic) Keterangan
12.37828 0.000023 Tolak H0: ∝ = 5%
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
67
Berdasarkan Uji F-Statistic pada keempat data panel diatas (Tabel 4.25,
4.26, 4.27, dan 4.28) menunjukkan bahwa semua data panel memiliki pengaruh
yang signifikan secara simultan terhadap variabel dependen karena
Probabilitasnya dibawah 0.05.
c. Uji R-Square
Tabel 4. 29. Uji R-Square 33 Provinsi
R-Square 0.136372
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Tabel 4. 30. Uji R-Square Provinsi Jawa dan Sumatera
R-Square 0.108329
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Tabel 4. 31. Uji R-Square Provinsi Kalimantan dan Sulawesi
R-Square 0.847014
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Tabel 4. 32. Uji R-Square Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Papua
R-Square 0.250683
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0
Berdasarkan pada Tabel 4.29, 4.30, 4.31, dan 4.32 didapatkan koefisiensi
determinasi yang berbeda-beda. Hanya Provinsi Kalimantan dan Sulawesi saja
yang memiliki koefisiensi lebih dari 0.5 dimana dapat disimpulkan bahwa variabel
independen dapat menjelaskan variabel dependen sebesar 84,70%. Sedangkan
sisanya (100% - 84,70% = 15,3%) dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti
dalam penelitian ini. Sedangkan pada data panel 33 Provinsi, Provinsi di Jawa dan
Sumatera, dan Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua memiliki
koefisien determinasi dibawah 0.5 dimana dapat disimpulkan bahwa variabel
independen hanya mampu menjelaskan variabel dependenya sebesar 13,64%,
10,83%, dan 25,07% pada masing-masing data panel tersebut.
68
B. Pembahasan
1. Bantuan Sosial dan Kemiskinan
Bantuan Sosial sebagai salah satu cara pemerintah untuk menekan laju
kemiskinan di Indonesia. Pengeluaran ini selalu rutin tersedia untuk
menanggulangi berbagai risiko sosial dan ekonomi. Dana Bantuan Sosial ini
dimiliki mulai dari APBD Provinsi, hingga APBN. Pada APBD, tidak ada
ketentuan pagu untuk mengalokasikan anggaran ke akun Bantuan Sosial sehingga
dana ini dikembalikan pada kemampuan dari masing-masing daerah. Pada
penelitian ini dana Bantuan Sosial yang digunakan adalah dana Bantuan Sosial
APBD Provinsi yang bersumber dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA) APBD
Provinsi.
Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa Bantuan
Sosial menunjukkan nilai koefisien negatif terhadap Persentase Kemiskinan di
Indonesia pada data panel (1) 33 Provinsi sebesar -0.002312. Hal serupa juga
dimiliki oleh (2) Provinsi di Jawa dan Sumatera dengan nilai koefisien sebesar -
0.001110. Begitu pula dengan (4) Provinsi di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan
Papua dengan nilai koefisien -0.012129. Artinya, semakin meningkat Dana
Bantuan Sosial yang diberikan maka akan menurunkan Persentase Kemiskinan.
Dimana dapat dikatakan bahwa Bantuan Sosial memiliki dampak positif terhadap
Persentase Kemiskinan di ketiga kelompok tersebut. Temuan ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Kiendrebeogo, dkk (2017) yang menyatakan
bahwa negara dengan pengeluaran Bantuan Sosial yang lebih besar memiliki
Persentase Kemiskinan yang lebih rendah dibandingkan negara dengan
pengeluaran Bantuan Sosial yang lebih kecil.
Namun jika melihat dari sisi Probabilitas t-Statistic, hanya (4) Provinsi Bali,
Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua yang menunjukkan bahwa Bantuan Sosial
secara signifikan berdampak pada Persentase Kemiskinan di daerah tersebut
dengan nilai 0.0300. Penelitian yang dilakukan oleh Mustafa dan Nishat (2017)
menyatakan hal yang sesuai dengan temuan penulis bahwa Perlindungan sosial
memiliki peran yang signifikan pada penurunan Persentase Kemiskinan.
69
Sedangkan untuk kelompok olah data lainnya, hasil yang didapatkan
berdasarkan nilai Probabilitas t-Statistic menunjukkan bahwa Bantuan Sosial tidak
signifikan mempengaruhi Persentase Kemiskinan. Pada (1) 33 Provinsi, nilai
Probabilitas t-Statistic sebesar 0.1416. Begitu pula dengan (2) Provinsi di Jawa
dan Sumatera yang memiliki nilai Probabilitas t-Statistic sebesar 0.5086. Terakhir,
pada (3) Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi memiliki nilai Probabilitas t-
Statistic sebesar 0.3962. Temuan ini sesuai dengan penelitian yang sudah lebih
dahulu dilakukan oleh Yuliantari dan Aswitari (2018) di Kabupaten Badung
bahwa Bantuan Sosial tidak berdampak secara signifikan terhadap kesejahteraan
di daerah tersebut. Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Sendouw, et al
(2017) yang menyatakan bahwa Belanja Sosial tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap kemiskinan baik secara parsial maupun simultan
Hal ini tidak sesuai dengan tujuan Bantuan Sosial yang diharapkan dapat
menjadi alat untuk menekan laju persentase penduduk miskin. Berdasarkan dari
temuan penulis yang menunjukan bahwa Bantuan Sosial hanya signifikan pada
kelompok (4) Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, dapat dikatakan
bahwa adanya indikasi inefektivitas terhadap Dana Bantuan Sosial berbagai
daerah lainnya baik dari sisi distribusi maupun program-program yang dijalankan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI No 228/PMK.05/2016
Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.05/2015
Tentang Belanja Bantuan Sosial Pada Kementerian/Lembaga menyatakan bahwa
biaya penyaluran dana bantuan sosial harus dialokasikan secara efektif dan efisien
dengan mempertimbangkan, (a) besaran alokasi Belanja Bantuan Sosial; (b)
jangka waktu penyaluran; (c) jumlah penerima bantuan sosial; dan (d) sebaran
wilayah bantuan sosial.
Bappenas (2014) menyatakan beberapa poin yang menyebabkan
perlindungan sosial hingga kini belum dirasakannya dampak program oleh
masyarakat, yaitu (a) ketidaktepatan sasaran dalam penentuan penerima program;
(b) mekanisme pendampingan program belum optimal; (c) koordinasi dan
pelaksanaan program belum terintegrasi.
70
Berdasarkan data yang diperoleh dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
menyatakan bahwa dana bantuan sosial sering kali disalahgunakan oleh pihak-
pihak yang tidak bertanggungjawab, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut
(Fauzi, 2010):
1. Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Kalimantan Timur pada tahun
2009 menemukan penyelewengan dana bantuan sosial sebesar
Rp19.951.884.277 oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. BPK
meminta agar dana tersebut dikembalikan ke kas negara namun hanya
disetorkan Rp2 miliar dan sisanya menjadi kerugian negara. Kejaksaan
menetapkan mantan bendahara bantuan sosial Kabupaten Kutai Timut
sebagai tersangka untuk kasus penyelewengan dana bantuan sosial karena
telah membuat proposal fiktif serta tanpa telaah staf dan persetujuan
sekretaris daerah.
2. Anggaran dana bantuan sosial APBD Kutai tahun 2005 – 2006 menurut
perhitungan BPK mengalami total kerugian Rp29,57 miliar. Modus
operandinya dengan menggunakan proposal fiktif berupa perjalanan dinas
sebesar Rp19,7 miliar, bantuan komunikasi dan alat pengamanan sekitar
Rp3,5 miliar, serta dana untuk kepentingan organisasi masyarakat.
Penyelewengan tersebut dilakukan salah satu anggota DPRD serta
membagikan dana tersebut kepada 37 anggota DPRD lainnya masing-
masing sebesar Rp375 juta. Tersangka dijatuhi hukuman 4 tahun penjara.
3. Anggota DPRD Cianjur dijatuhi hukuman 1 tahun penjara, denda Rp50
juta, dan subsider 1 bulan oleh Majlis Hakim Pengadilan Negeri Cianjur
dalam sidang perkara korupsi dana bantuan sosial yag bersumber dari
APBD 2008 sebesar Rp85 juta.
4. BPK Perwakilan Kalimantan Barat mengungkapkan beberapa temuan
yang berindikasikan berasal dari dana bantuan sosial, antara lain:
1) Penggunaan Keuangan Daerah oleh Anggota DPRD Provinsi
Kalimantan Barat berindikasi kerugian keuangan daerah sebesar
Rp10 miliar.
71
2) Pengeluaran Keuangan KONI Provinsi Kalimantan Barat oleh
Wakil Bendahara KONI kepada Satgas Pra PON XVII berindikasi
kerugian keuangan daerah sebesar Rp1,37 miliar.
3) Pengeluaran Keuangan KONI Provinsi Kalimantan Barat oleh
Wakil Bendahara KONI kepada Satgas Pelatda PON XVII
berindikasi kerugian keuangan daerah sebesar Rp8,59 miliar.
4) Kerugian Kas Keuangan KONI Provinsi Kalimantan Barat Tahun
2009 yang berindikasikan kerugian keuangan daerah sebesar Rp2,1
miliar.
5) Hingga tahun 2012, BPK masih menemukan permasalahan
penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban belanja
bantuan sosial sebesar Rp31,66 triliun. BPK menganjurkan agar
pemerintah menetapkan klasifikasi anggaran dalam Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran (DIPA) sesuai ketentuan (DPD.go.id,
2013).
Maka dari itu Bappenas melakukan berbagai langkah pengembangan terkait
bantuan sosial agar lebih komprehensif, adil, menyeluruh, dan mengarah pada
perkembangan masyarakat yang produktif dan sejahtera, yaitu (Supriyanto et al.,
2014):
1. Mempersiapkan transformasi kelembagaan pelaksanaan program
baik di tingkat pusat maupun daerah.
2. Mengembangkan Sistem Rujukan dan Layanan Terpadu dala rangka
mewujudkan pelayanan yang komprehensif dan responsive.
3. Menyempurnakan Basis Data Terpadu yang bersifat bottom-up dan
aspiratif dimana pengelolaan basis data tersebut berada di bawah
pemerintah pusat namun validasi dan verifikasi menjadi tanggung
jawab daerah.
4. Mengembangkan dan melaksanakan konsep perlindungan sosial
melalui penghidupan berkelanjutan (suistanable livelihood).
72
5. Melaksanakan mekanisme penjangkauan (outreach) aktif untuk
memberikan pelayanan bagi kelompok marjinal dan rentan yang
belum tersentuh.
6. Membangun dan menata sistem bantuan sosial yang terbagi dalam
subsistem bantuan sosial regular (bantuan tunai bersyarat, difabel,
lansia, dan anak terlantar) dan bantuan sosial temporer yang
diberikan saat kejadian bencana alam, krisis ekonomi, dan konflik
sosial.
7. Mengembangkan lingkungan yang inklusif bagi kelompok marjinal,
baik dari aspek layanan public, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan.
2. Inflasi dan Kemiskinan
Inflasi terjadi karena berbagai faktor baik itu faktor internal maupun faktor
eksternal. Indonesia sudah beberapa kali mengalami Tingkat Inflasi yang tinggi
diakibatkan berbagai hal sejak tahun 1974 karena musim kemarau yang panjang
dan menyebabkan kegagalan panen. Muncul kembali pada tahun 1998 dimana
terjadi krisis moneter akibat menurunnya nilai mata uang Baht terhadap USD
yang berimbas ke negara-negara lain di sekitar Thailand salah satunya Indonesia.
Berbagai upaya dilakukan baik oleh pemerintah dengan kebijakan fiskal maupun
oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral dengan kebijakan moneter.
Berdasarkan penelitian ini didapatkan hasil bahwa Inflasi memiliki nilai
koefisien positif terhadap Persentase Kemiskinan sebesar 0.305760 untuk (1) 33
Provinsi. Pada (2) Provinsi di Jawa dan Sumatera nilai koefisiennya sebesar
0.218040. Selanjutnya pada (3) Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi dengan nilai
koefisien sebesar 0.333542. Terakhir, pada (4) Provinsi di Bali, Nusa Tenggara,
Maluku, dan Papua memiliki nilai koefisien sebesar 0.445436. Sehingga jika
terjadi peningkatan Inflasi maka akan meningkatkan Persentase Kemiskinan di
berbagai provinsi di Indonesia. Hal tersebut berdampak negatif terhadap
Persentase Kemiskinan.
Selanjutnya, jika melihat dari keempat Probabilitas t-Statistic, untuk (1) 33
Provinsi sebesar 0.0000. Begitu pula dengan Probabilitas t-Statistic untuk (2)
Provinsi di Jawa dan Sumatera sebesar 0.000. Selanjutnya, untuk (3) Provinsi di
73
Kalimantan dan Sulawesi memiliki nilai Probabilitas t-Statistic sebesar 0.001.
Terakhir, untuk (4) Provinsi di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua
memilliki nilai Probabilitas t-Statistic sebesar 0,0012. Dimana dapat disimpulkan
bahwa Inflasi secara signifikan dapat mempengaruhi Persentase Kemiskinan di
Indonesia.
Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro yang menyatakan bahwa
Inflasi harus terus dijaga untuk menekan persentase penduduk miskin agar tidak
terus meningkat terutama pada komoditas utama pangan (Bappenas, 2018).
74
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang sudah dibahas sebelumnya,
penulis memperoleh kesimpulan dari penelitian mengenai Pengaruh Bantuan
Sosial dan Tingkat Inflasi Terhadap Kemiskinan di Seluruh Provinsi di Indonesia
Tahun 2007 – 2017, adalah sebagai berikut:
1. Bantuan Sosial memiliki koefisien negatif pada data panel (1) 33 Provinsi
sebesar -0.002312, (2) Provinsi di Jawa dan Sumatera sebesar -0.001110,
dan (4) Provinsi di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua sebesar -
0.012129. Dimana setiap terjadi peningkatan 1% pada Bantuan Sosial
akan menurunkan Persentase Kemiskinan sebesar koefisien pada masing-
masing data kelompok panel tersebut. Sedangkan pada (3) Provinsi di
Kalimantan dan Sulawesi memiliki koefisien positif terhadap kemiskinan
di provinsi tersebut sebesar 0.002381. Maka setiap peningkatan 1% pada
Bantuan Sosial maka akan meningkatkan Persentase Kemiskinan di (3)
Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi sebesar 0.002381%. Dapat diduga
bahwa Program Bantuan Sosial yang dilaksanakan di (3) Provinsi di
Kalimantan dan Sulawesi tidak tepat sasaran sehingga tidak efektif
menurunkan persentase kemiskinan.
2. Secara Parsial, Variabel Bantuan Sosial (SA) tidak signifikan
mempengaruhi kemiskinan pada regresi (1) 33 Provinsi dengan nilai
Probabilitas t-Statistic sebesar 0.1416, (2) Provinsi di Jawa dan Sumatera
dengan Probabilitas t-Statistic sebesar 0.5086, dan (3) Kalimantan dan
Sulawesi dengan nilai Prob t-Statistik sebesar 0.3962. Bantuan Sosial
hanya signifikan pada Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua
dengan nilai Prob t-Statistik sebesar 0.0300. Bantuan sosial berkoefisien
negatif dan signifikan hanya didapati di kelompok data panel (4) Provinsi
di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Tidak efektifnya bantuan
sosial mengindikasikan adanya penyelewengan dan berbagai modus
penyimpangan yang terjadi saat dana tersebut dikucurkan. Menurut ICW
(Indonesian Corruption Watch), modus operandi yang dilakukan
75
diantaranya ketidakberdayaan pejabat Bendahara Pengeluaran terhadap
kepentingan atasannya karena bila tidak dilaksanakan maka ancaman
karier pejabat tersebut. Pada kondisi lain, adanya rangkap jabatan sebagai
pejabat yang mempunyai wewenang mengelola keuangan daerah dan
sebagai pejabat penerima, mengelola, dan mempertanggungjawabkan
(Fauzi, 2010).
3. Inflasi memiliki koefisien positif terhadap keempat data panel tersebut
sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan Inflasi meningkatkan
Persentase Kemiskinan baik di (1) 33 Provinsi dengan nilai koefisiensi
sebesar 0.305760, (2) Provinsi di Jawa dan Sumatera sebesar 0.21804, (3)
Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi sebesar 0.333542, serta (4) Provinsi
Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua dengan nilai koefisien sebesar
0.445436.
4. Sedangkan Variabel Inflasi (INF) secara parsial signifikan mempengaruhi
kemiskinan di seluruh kelompok data panel yang diteliti dalam penelitian
ini dengan nilai Prob t-Statistik untuk (1) 33 Provinsi sebesar 0.0000. (2)
Provinsi di Jawa dan Sumatera sebesar 0.000, (3) Provinsi di Kalimantan
dan Sulawesi sebesar 0.001, dan (4) Provinsi di Bali, Nusa Tenggara,
Maluku, dan Papua sebesar 0,0012.
5. Secara simultan Variabel Bantuan Sosial dan Inflasi memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap kemiskinan di seluruh data panel penelitian ini
dengan nilai Prob(F-Statistik) untuk (1) 33 Provinsi sebesar 0.000000, (2)
Provinsi di Jawa dan Sumatera sebesar 0.000049, (3) Provinsi di
Kalimantan dan Sulawesi sebesar 0.0000000, dan (4) Provinsi di Bali,
Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua sebesar 0.000023.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan, maka diajukan beberapa saran sebagai
berikut:
1. Bagi Masyarakat
a. Di berbagai provinsi didapatkan hasil bahwa Bantuan Sosial memiliki
koefisien negatif terhadap kemiskinan di Indonesia. Hal ini dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat miskin untuk dapat ikut serta dalam
76
program-program yang disediakan oleh pemerintah agar menjadi
stimulus untuk keluar dari garis kemiskinan dengan berbagai program
yang ada.
b. Inflasi memiliki koefisien positif terhadap kemiskinan sehingga hal ini
akan memunculkan dampak yang lebih besar terhadap masyarakat
miskin. Mayoritas dari mereka hanya memiliki aset lancar sehingga
ketika terjadi Inflasi, daya beli masyarakat miskin akan menurun dan
mereka memiliki kemungkinan untuk tidak mampu memenuhi kebutuhan
dasarnya. Sehingga masyarakat yang berada di atas garis kemiskinan
dapat menekan laju permintaan yang berlebih agar tidak berimbas kepada
masyarakat miskin.
2. Bagi Akademisi
a. Dapat menggunakan variabel-variabel lain untuk memperkaya wawasan
dan menemukan variabel-variabel dengan nilai koefisien determinasi
yang lebih baik sehingga dapat menjelaskan kemiskinan dengan lebih
baik lagi.
b. Melakukan penelitian lebih lanjut tentang efektivitas Bantuan Sosial di
(3) Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi yang mendapatkan koefisien
positif pada penelitian ini. Hal ini mengindikasikan adanya inefektivitas
Bantuan Sosial di provinsi-provinsi tersebut baik dari sisi distribusi
maupun program-program yang dilaksanakan.
c. Melakukan penelitian lebih lanjut tentang program-program Bantuan
Sosial apa saja yang memiliki pengaruh terhadap Persentase Kemiskinan
di (4) Provinsi di Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua karena
berdasarkan temuan penelitian hanya hasil olah data kelompok empat
saja yang signifikan mempengaruhi penurunan dari Persentase
Kemiskinan.
3. Bagi Pemerintah
a. Pada penelitian ini Bantuan Sosial nyatanya tidak memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap kemiskinan pada (1) 33 Provinsi, (2) Provinsi di
Jawa dan Sumatera, dan (3) Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi. Hanya
(4) Provinsi di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua yang memiliki
77
pengaruh signifikan. Namun bukan berarti Bantuan Sosial tidak lagi
dibutuhkan. Bantuan Sosial ini membutuhkan program-program yang
tepat sasaran agar sesuai dengan tujuan dari Bantuan Sosial itu sendiri.
Terlebih seperti yang terjadi pada penelitian ini, Provinsi di Kalimantan
dan Sulawesi memiliki koefisien positif terhadap kemiskinan yang
mengindikasikan kegagalan program (inefektivitas) atau penyerapan
anggaran Bantuan Sosial yang tidak terealisasi dengan baik. Dengan
hadirnya e-bansos yang mulai digagas oleh pemerintah diharapkan dapat
membuat Bantuan Sosial memiliki tingkat efektivitas yang lebih tinggi
untuk menekan laju kemiskinan (PresidenRI.go.id, 2016).
b. Berdasarkan temuan pada penelitian ini yang menunjukkan bahwa hanya
Bantuan Sosial di (4) Provinsi di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan
Papua yang berpengaruh positif dengan koefisien negatif dan signifikan
terhadap Persentase Kemiskinan di Indonesia, maka berbagai program
dan kegiatan Bantuan Sosial di berbagai provinsi tersebut dapat menjadi
acuan untuk membuat program dan kegiatan di daerah lain. Program dan
kegiatan yang bertujuan untuk kesejahteraan sosial harus pula diimbangi
dengan keadaan yang sebenar-benarnya terjadi agar sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
c. Inflasi sebagai indikator perekonomian sudah seharusnya terus dijaga
agar tetap stabil pada persentase 3±1 persen sehingga upaya pemerintah
untuk terus menurunkan persentase penduduk miskin akan terus menurun
dan mencapai tujuan dari Sustainable Development Goals yaitu No
Poverty pada tahun 2030. Kebijakan yang bisa dilakukan oleh
pemerintah untuk menjaga Tingkat Inflasi yaitu dengan mengatur pajak
dan pengeluaran pemerintah. Selain itu, Bank Indonesia selaku Bank
Sentral di Indonesia dapat melakukan kebijakan dengan tetap menjaga
Jumlah Uang Beredar (JUB) seperti menjaga tingkat diskonto, Operasi
Pasar Terbuka (OPT), Cadangan Wajib Minimum, serta Imbauan Moral..
78
DAFTAR PUSTAKA
Amirullah. (2015). Metode Penelitian Manajemen. Malang: Bayumedia Publishing Malang.
Bank Indonesia. (2018a). Inflasi. Diakses pada February 2, 2019, dari Default website: https://www.bi.go.id/id/moneter/Inflasi/pengenalan/Contents/Default.aspx
Bank Indonesia. (2018b). Inflasi. Diakses pada February 2, 2019, dari Pentingnya website: https://www.bi.go.id/id/moneter/Inflasi/pengenalan/Contents/Pentingnya.aspx
Bank Indonesia. (2018c). Inflasi. Diakses pada February 2, 2019, dari Disagregasi website: https://www.bi.go.id/id/moneter/Inflasi/pengenalan/Contents/Disagregasi.aspx
Bappenas. (2004). Penanggulangan Kemiskinan. Diakses pada January 11, 2019, dari https://www.bappenas.go.id/files/5413/6082/9497/bab-16-penanggulangan-kemiskinan.pdf
Bappenas. (2018). Siaran Pers Membedah Angka Kemiskinan Terkini: Langkah Strategis untuk Terus Turunkan Kemiskinan. Diakses pada January 11, 2019, dari https://www.bappenas.go.id/files/2815/3309/5355/Siaran_Pers_-_Membedah_Angka_Kemiskinan_Terkini_Langkah_Strategis_untuk_Terus_Turunkan_Kemiskinan.pdf
Barika. (2013). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pengeluaran Pemerintah, Pengangguran, dan Inflasi Terhadap Kemiskinan di Provinsi se-Sumatera. Jurnal Ekonomi Dan Perencanaan Pembangunan, 05(01), 27–36.
Basuki, A. T. (2015). Regresi Model PAM, ECM dan Data Panel dengan EVIEWS 7. Yogyakarta: Katalog Dalam Terbitan (KDT).
BPS. (2008). Analisis Kemiskinan 2008. Diakses pada January 14, 2019, dari http://daps.bps.go.id/File Pub/Analisis Kemiskinan 2008.pdf
BPS. (2018). Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2018. Diakses pada January 11, 2019, dari Berita Resmi Statistik website: https://www.bps.go.id/pressrelease/2018/07/16/1483/persentase-penduduk-miskin-maret-2018-turun-menjadi-9-82-persen.html
DPR. (2018). BULETIN APBN 2019. Diakses pada January 11, 2019, dari Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI. website: https://berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/publik-file/buletin-apbn-publik-65.pdf
Duwila, U. (2016). Pengaruh Pendidikan, Pengangguran, dan Inflasi Terhadap Kemiskinan di Kawasan Indonesia Tertinggal. Jurnal Ekonomi, X(1), 104–109.
Fauzi, M. (2010, August). Tren Korupsi Bantuan Sosial pada Pemerintah Daerah. BPK
79
Dalam Lingkaran Hukum. Badan Pemeriksa Keuangan. Diakses pada dari http://www.bpk.go.id/assets/files/magazine/edisi-121-no-xxx-bpk-dalam-lingkaran-hukum_edisi_121_no__xxx__bpk_dalam_lingkaran_hukum_.pdf
Imelia. (2012). Pengaruh Inflasi terhadap Kemiskinan di Provinsi Jambi. Jurnal Paradigma Ekonomika2, 1(5), 42–48.
Irfan Chani, M., Pervaiz, Z., Ahmad Jan, S., Ali, A., & Chaudhary, A. R. (2011). Poverty, Inflation and Economic Growth: Empirical Evidence Dari Pakistan. MPRA Paper, (34290). Diakses pada dari http://mpra.ub.uni-muenchen.de/34290/
Itang. (2017). Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan. Jurnal Keislaman, Kemasyarakatan, Dan Kebudayaan, 1–30.
Kemendes PDTT. (2015). Rancangan Awal Rencana Strategis Tahun 2015 – 2019.
Kiendrebeogo, Y., Assimaidou, K., & Tall, A. (2017). Social protection for poverty reduction in times of crisis. Journal of Policy Modeling, 39(6), 1163–1183. https://doi.org/10.1016/j.jpolmod.2017.09.003
Mustafa, A. R. U., & Nishat, M. (2017). Role of Social Protection in Poverty Reduction in Pakistan: A Quantitative Approach. Pakistan Journal of Alied Economics, 27(1), 68–88.
Mustamin, S. W., Agussalim, & Nurbayani, S. U. (2015). Pengaruh Variabel Ekonomi Makro Terhadap Kemiskinan di Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Analisis, 4(2), 165–173.
PresidenRI.go.id. (2016). Teknologi Digital dan Efektivitas Bantuan Sosial. Diakses pada dari http://presidenri.go.id/berita-aktual/teknologi-digital-dan-efektivitas-bantuan-sosial.html
Purwanto, erwan agus. (2007). Mengkaji Potensi Usaha Kecil dan Menengah. Jurnal Ilmu Sosial Dan Politik, 10(3), 295–324.
Putra, E. P., Purnamadewi, Y. L., & Sahara. (2015). Dampak Program Bantuan Sosial Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal di Indonesia. TATA LOKA, 17(3), 161–171.
Rini, A. S., & Sugiharti, L. (2016). Faktor-Faktor Penentu Kemiskinan di Indonesia: Analisis Rumah Tangga. Jurnal Ilmu Ekonomi Terapan, 01(2), 17–33.
Satriawan, E. (n.d.). Inflasi dan Penanggulangan Kemiskinan. Diakses pada January 23, 2019, dari https://macroeconomicdashboard.feb.ugm.ac.id/Inflasi-dan-penanggulangan-kemiskinan/
Sendouw, A., Rumate, V. A., & Rotinsulu, D. C. (2017). Pengaruh Belanja Modal, Belanja Sosial, dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Persentase Kemiskinan di Kota Manado. Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis, Universitas Sam Ratulangi.
Siregar, S. (2017). Pengaruh PDRB Riil dan Inflasi Terhadap Kemiskinan di Kota
80
Medan Menggunakan Variabel Intervening Pengangguran. Jurnal Ilmiah Methonomi, 3(2), 61–71.
Sugema, I., Irawan, T., Ardipurwanto, D., Holis, A., & Bakhtiar, T. (2010). The Impact of Inflation on Rural Poverty in Indonesia: an Econometrics Approach. International Research Journal of Finance and Economics, (58), 50–57.
Sugihartiningsih, & Saleh, K. (2017). Pengaruh Inflasi Terhadap Kemiskinan di Indonesia Periode 1998 – 2014. Proceedings, 518–526.
Supranto, J. (2009). Statistik Teori dan Aplikasi (Jilid 2). Jakarta: Erlangga.
Supriyanto, R. W., Ramdhani, E. R., & Rahmadan, E. (2014). Perlindugan Sosial di Indonesia Tantangan dan Arah ke Depan. Direktorat Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat, Kementerian /Bappenas. Diakses pada February 23, 2019, dari https://www.bappenas.go.id/files/5114/2889/4558/Perlindungan_Sosial_di_Indonesia-Tantangan_dan_Arah_ke_Depan.pdf
Susanto, E., Rochaida, E., & Ulfah, Y. (2014). Pengaruh Inflasi dan Pendidikan Terhadap Pengangguran dan Kemiskinan. INOVASI, 22(1), 32–41.
Susanto, J. (2014). Impact of Economic Growth, Inflation and Minimum Wage on Poverty in Java. Media Ekonomi & Teknologi Informasi, 22(1), 32–41.
Suseno, & Aisyah, S. (2009). Inflasi. Seri Kebanksentralan. Pusat Pendidikan Dan Studi Kebanksentralan (SK) Bank Indonesia, No. 22.
Talukdar, S. . (2012). The Effect of Inflation on Poverty in Developing Countries: A Panel Data Analysis. Texas Tech University.
Tim Nasional Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). (2018). Program Bantuan Pemerintah untuk Individu, Keluarga, dan Kelompok Tidak Mampu Menuju Bantuan Sosial Terintegrasi. Diakses pada dari http://tnp2k.go.id/download/24108G2P Buku 1 - FA Final.pdf
Windra, Marwoto, P. B., & Rafani, Y. (2016). Analisis Pengaruh Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi, dan Tingkat Pengangguran Terhadap Kemiskinan di Indonesia. Jurnal Ilmiah Progresif Manajemen Bisnis (JIPMB), 14(2), 19–27.
World Bank. (2005). What is Poverty and Why Measure it? Diakses pada January 14, 2019, dari Poverty Manual, All, JH Revision of August 8, 2005 website: http://siteresources.worldbank.org/PGLP/Resources/PMch1.pdf
World Bank. (2016). Overview Poverty. Diakses pada January 11, 2019, dari http://www.worldbank.org/en/topic/poverty/overview
81
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1: Uji Model Panel
1. 33 Provinsi
A. Common Effect Model
Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 03/01/19 Time: 08:57 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 363
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA 0.004193 0.003416 1.227578 0.2204
INF 0.318548 0.133719 2.382215 0.0177 C 0.824645 8.894413 0.092715 0.9262 R-squared 0.017252 Mean dependent var 13.38281
Adjusted R-squared 0.011792 S.D. dependent var 7.396025 S.E. of regression 7.352289 Akaike info criterion 6.836131 Sum squared resid 19460.22 Schwarz criterion 6.868316 Log likelihood -1237.758 Hannan-Quinn criter. 6.848924 F-statistic 3.159824 Durbin-Watson stat 0.051759 Prob(F-statistic) 0.043613
B. Fixed Effect Model
Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 03/01/19 Time: 08:57 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 363
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA -0.002444 0.001578 -1.548861 0.1224
INF 0.305344 0.044219 6.905212 0.0000 C 17.82214 4.085864 4.361902 0.0000 Effects Specification
82
Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.906460 Mean dependent var 13.38281
Adjusted R-squared 0.896764 S.D. dependent var 7.396025 S.E. of regression 2.376368 Akaike info criterion 4.660472 Sum squared resid 1852.257 Schwarz criterion 5.035965 Log likelihood -810.8756 Hannan-Quinn criter. 4.809728 F-statistic 93.48630 Durbin-Watson stat 0.544677 Prob(F-statistic) 0.000000
C. Uji Chow
Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 97.438759 (32,328) 0.0000
Cross-section Chi-square 853.764201 32 0.0000
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 03/01/19 Time: 08:57 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 363
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA 0.004193 0.003416 1.227578 0.2204
INF 0.318548 0.133719 2.382215 0.0177 C 0.824645 8.894413 0.092715 0.9262 R-squared 0.017252 Mean dependent var 13.38281
Adjusted R-squared 0.011792 S.D. dependent var 7.396025 S.E. of regression 7.352289 Akaike info criterion 6.836131 Sum squared resid 19460.22 Schwarz criterion 6.868316 Log likelihood -1237.758 Hannan-Quinn criter. 6.848924 F-statistic 3.159824 Durbin-Watson stat 0.051759 Prob(F-statistic) 0.043613
83
D. Random Effect Model
Dependent Variable: POV Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 03/01/19 Time: 08:58 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 363 Swamy and Arora estimator of component variances
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA -0.002312 0.001570 -1.473039 0.1416
INF 0.305760 0.044207 6.916585 0.0000 C 17.48479 4.255461 4.108788 0.0000 Effects Specification S.D. Rho Cross-section random 7.223278 0.9023
Idiosyncratic random 2.376368 0.0977 Weighted Statistics R-squared 0.136372 Mean dependent var 1.321004
Adjusted R-squared 0.131574 S.D. dependent var 2.545546 S.E. of regression 2.372179 Sum squared resid 2025.804 F-statistic 28.42295 Durbin-Watson stat 0.496867 Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics R-squared 0.007166 Mean dependent var 13.38281
Sum squared resid 19659.92 Durbin-Watson stat 0.051198
E. Uji Hausman
Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 0.732038 2 0.6935
84
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob. LN_SA -0.002444 -0.002312 0.000000 0.4069
INF 0.305344 0.305760 0.000001 0.6940
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 03/01/19 Time: 08:58 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 363
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 17.82214 4.085864 4.361902 0.0000
LN_SA -0.002444 0.001578 -1.548861 0.1224 INF 0.305344 0.044219 6.905212 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.906460 Mean dependent var 13.38281
Adjusted R-squared 0.896764 S.D. dependent var 7.396025 S.E. of regression 2.376368 Akaike info criterion 4.660472 Sum squared resid 1852.257 Schwarz criterion 5.035965 Log likelihood -810.8756 Hannan-Quinn criter. 4.809728 F-statistic 93.48630 Durbin-Watson stat 0.544677 Prob(F-statistic) 0.000000
F. Uji Lagrange Multiplier
Lagrange multiplier (LM) test for panel data Date: 03/01/19 Time: 09:03 Sample: 2007 2017 Total panel observations: 363 Probability in () Null (no rand. effect) Cross-section Period Both Alternative One-sided One-sided Breusch-Pagan 1436.182 7.658859 1443.841
85
(0.0000) (0.0056) (0.0000) Honda 37.89700 2.767464 28.75412 (0.0000) (0.0028) (0.0000) King-Wu 37.89700 2.767464 20.90748 (0.0000) (0.0028) (0.0000) GHM -- -- 1443.841 -- -- (0.0000)
2. Provinsi di Jawa dan Sumatera
A. Common Effect Model
Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 02/28/19 Time: 19:32 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 16 Total panel (balanced) observations: 176
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA 0.000356 0.003044 0.116819 0.9071
INFL 0.187783 0.127163 1.476720 0.1416 C 9.650198 7.936701 1.215895 0.2257 R-squared 0.012482 Mean dependent var 11.65182
Adjusted R-squared 0.001066 S.D. dependent var 5.030512 S.E. of regression 5.027831 Akaike info criterion 6.084753 Sum squared resid 4373.282 Schwarz criterion 6.138795 Log likelihood -532.4583 Hannan-Quinn criter. 6.106672 F-statistic 1.093342 Durbin-Watson stat 0.052912 Prob(F-statistic) 0.337399
B. Fixed Effect Model
Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 02/28/19 Time: 19:45 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 16 Total panel (balanced) observations: 176
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
86
LN_SA -0.001153 0.001688 -0.682753 0.4958 INFL 0.218460 0.049033 4.455343 0.0000
C 13.33533 4.358365 3.059710 0.0026 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.868268 Mean dependent var 11.65182
Adjusted R-squared 0.854094 S.D. dependent var 5.030512 S.E. of regression 1.921535 Akaike info criterion 4.240782 Sum squared resid 583.3830 Schwarz criterion 4.565037 Log likelihood -355.1889 Hannan-Quinn criter. 4.372298 F-statistic 61.25910 Durbin-Watson stat 0.474770 Prob(F-statistic) 0.000000
C. Uji Chow
Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 68.428916 (15,158) 0.0000
Cross-section Chi-square 354.538809 15 0.0000
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 02/28/19 Time: 19:33 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 16 Total panel (balanced) observations: 176
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA 0.000356 0.003044 0.116819 0.9071
INFL 0.187783 0.127163 1.476720 0.1416 C 9.650198 7.936701 1.215895 0.2257 R-squared 0.012482 Mean dependent var 11.65182
Adjusted R-squared 0.001066 S.D. dependent var 5.030512 S.E. of regression 5.027831 Akaike info criterion 6.084753 Sum squared resid 4373.282 Schwarz criterion 6.138795
87
Log likelihood -532.4583 Hannan-Quinn criter. 6.106672 F-statistic 1.093342 Durbin-Watson stat 0.052912 Prob(F-statistic) 0.337399
D. Random Effect Model
Dependent Variable: POV Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 02/28/19 Time: 19:38 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 16 Total panel (balanced) observations: 176 Swamy and Arora estimator of component variances
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA -0.001110 0.001676 -0.662338 0.5086
INFL 0.218040 0.049028 4.447295 0.0000 C 13.22897 4.508658 2.934126 0.0038 Effects Specification S.D. Rho Cross-section random 5.057863 0.8739
Idiosyncratic random 1.921535 0.1261 Weighted Statistics R-squared 0.108329 Mean dependent var 1.326014
Adjusted R-squared 0.098021 S.D. dependent var 2.013422 S.E. of regression 1.912199 Sum squared resid 632.5754 F-statistic 10.50891 Durbin-Watson stat 0.436552 Prob(F-statistic) 0.000049
Unweighted Statistics R-squared 0.010632 Mean dependent var 11.65182
Sum squared resid 4381.474 Durbin-Watson stat 0.063027
E. Uji Hausman
Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Chi-Sq. d.f. Prob.
88
Statistic Cross-section random 0.322975 2 0.8509
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob. LN_SA -0.001153 -0.001110 0.000000 0.8332
INFL 0.218460 0.218040 0.000001 0.5775
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 03/01/19 Time: 07:34 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 16 Total panel (balanced) observations: 176
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 13.33533 4.358365 3.059710 0.0026
LN_SA -0.001153 0.001688 -0.682753 0.4958 INFL 0.218460 0.049033 4.455343 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.868268 Mean dependent var 11.65182
Adjusted R-squared 0.854094 S.D. dependent var 5.030512 S.E. of regression 1.921535 Akaike info criterion 4.240782 Sum squared resid 583.3830 Schwarz criterion 4.565037 Log likelihood -355.1889 Hannan-Quinn criter. 4.372298 F-statistic 61.25910 Durbin-Watson stat 0.474770 Prob(F-statistic) 0.000000
F. Uji Lagrange Multiplier
Lagrange multiplier (LM) test for panel data Date: 03/03/19 Time: 19:03 Sample: 2007 2017 Total panel observations: 176 Probability in ()
89
Null (no rand. effect) Cross-section Period Both Alternative One-sided One-sided Breusch-Pagan 638.9003 2.428894 641.3292 (0.0000) (0.1191) (0.0000) Honda 25.27648 1.558491 18.97519 (0.0000) (0.0596) (0.0000) King-Wu 25.27648 1.558491 17.19345 (0.0000) (0.0596) (0.0000) GHM -- -- 641.3292 -- -- (0.0000)
3. Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi
A. Common Effect Model
Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 02/28/19 Time: 19:54 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 110
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA -0.020054 0.005222 -3.840027 0.0002
INF -0.002861 0.174355 -0.016410 0.9869 C 61.86347 13.42994 4.606384 0.0000 R-squared 0.127698 Mean dependent var 11.41055
Adjusted R-squared 0.111393 S.D. dependent var 5.170789 S.E. of regression 4.874293 Akaike info criterion 6.032721 Sum squared resid 2542.184 Schwarz criterion 6.106371 Log likelihood -328.7997 Hannan-Quinn criter. 6.062594 F-statistic 7.831956 Durbin-Watson stat 0.224163 Prob(F-statistic) 0.000669
B. Fixed Effect Model
Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 02/28/19 Time: 19:54 Sample: 2007 2017
90
Periods included: 11 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 110
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA 0.002381 0.002793 0.852211 0.3962
INF 0.333542 0.081828 4.076133 0.0001 C 3.471853 7.211297 0.481446 0.6313 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.847014 Mean dependent var 11.41055
Adjusted R-squared 0.829842 S.D. dependent var 5.170789 S.E. of regression 2.132958 Akaike info criterion 4.455566 Sum squared resid 445.8522 Schwarz criterion 4.750164 Log likelihood -233.0561 Hannan-Quinn criter. 4.575056 F-statistic 49.32571 Durbin-Watson stat 0.541346 Prob(F-statistic) 0.000000
C. Uji Chow
Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 51.197974 (9,98) 0.0000
Cross-section Chi-square 191.487068 9 0.0000
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 02/28/19 Time: 19:54 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 110
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA -0.020054 0.005222 -3.840027 0.0002
INF -0.002861 0.174355 -0.016410 0.9869 C 61.86347 13.42994 4.606384 0.0000
91
R-squared 0.127698 Mean dependent var 11.41055
Adjusted R-squared 0.111393 S.D. dependent var 5.170789 S.E. of regression 4.874293 Akaike info criterion 6.032721 Sum squared resid 2542.184 Schwarz criterion 6.106371 Log likelihood -328.7997 Hannan-Quinn criter. 6.062594 F-statistic 7.831956 Durbin-Watson stat 0.224163 Prob(F-statistic) 0.000669
D. Random Effect Model
Dependent Variable: POV Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 02/28/19 Time: 19:56 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 110 Swamy and Arora estimator of component variances
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA 0.001497 0.002775 0.539358 0.5908
INF 0.320160 0.081635 3.921829 0.0002 C 5.772792 7.269271 0.794136 0.4289 Effects Specification S.D. Rho Cross-section random 3.908562 0.7705
Idiosyncratic random 2.132958 0.2295 Weighted Statistics R-squared 0.125487 Mean dependent var 1.852571
Adjusted R-squared 0.109141 S.D. dependent var 2.319182 S.E. of regression 2.188968 Sum squared resid 512.6991 F-statistic 7.676891 Durbin-Watson stat 0.456700 Prob(F-statistic) 0.000766
Unweighted Statistics R-squared -0.017209 Mean dependent var 11.41055
Sum squared resid 2964.493 Durbin-Watson stat 0.078985
92
E. Uji Hausman
Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 7.693219 2 0.0214
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob. LN_SA 0.002381 0.001497 0.000000 0.0056
INF 0.333542 0.320160 0.000031 0.0171
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 03/01/19 Time: 07:26 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 110
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 3.471853 7.211297 0.481446 0.6313
LN_SA 0.002381 0.002793 0.852211 0.3962 INF 0.333542 0.081828 4.076133 0.0001
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.847014 Mean dependent var 11.41055
Adjusted R-squared 0.829842 S.D. dependent var 5.170789 S.E. of regression 2.132958 Akaike info criterion 4.455566 Sum squared resid 445.8522 Schwarz criterion 4.750164 Log likelihood -233.0561 Hannan-Quinn criter. 4.575056 F-statistic 49.32571 Durbin-Watson stat 0.541346 Prob(F-statistic) 0.000000
4. Provinsi di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua
93
A. Common Effect Model
Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 02/28/19 Time: 21:07 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 7 Total panel (balanced) observations: 77
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA 0.025438 0.010868 2.340649 0.0219
INF 0.792573 0.388635 2.039375 0.0450 C -50.00336 28.71397 -1.741430 0.0858 R-squared 0.092362 Mean dependent var 20.15688
Adjusted R-squared 0.067832 S.D. dependent var 10.24073 S.E. of regression 9.887310 Akaike info criterion 7.458563 Sum squared resid 7234.158 Schwarz criterion 7.549880 Log likelihood -284.1547 Hannan-Quinn criter. 7.495089 F-statistic 3.765173 Durbin-Watson stat 0.123164 Prob(F-statistic) 0.027718
B. Fixed Effect Model
Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 02/28/19 Time: 21:08 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 7 Total panel (balanced) observations: 77
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA -0.012860 0.005513 -2.332740 0.0226
INF 0.439446 0.132259 3.322611 0.0014 C 50.57611 14.48101 3.492581 0.0008 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.909445 Mean dependent var 20.15688
Adjusted R-squared 0.898791 S.D. dependent var 10.24073 S.E. of regression 3.257921 Akaike info criterion 5.309524 Sum squared resid 721.7555 Schwarz criterion 5.583476
94
Log likelihood -195.4167 Hannan-Quinn criter. 5.419102 F-statistic 85.36515 Durbin-Watson stat 0.726858 Prob(F-statistic) 0.000000
C. Uji Chow
Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 102.260708 (6,68) 0.0000
Cross-section Chi-square 177.475977 6 0.0000
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 02/28/19 Time: 21:08 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 7 Total panel (balanced) observations: 77
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA 0.025438 0.010868 2.340649 0.0219
INF 0.792573 0.388635 2.039375 0.0450 C -50.00336 28.71397 -1.741430 0.0858 R-squared 0.092362 Mean dependent var 20.15688
Adjusted R-squared 0.067832 S.D. dependent var 10.24073 S.E. of regression 9.887310 Akaike info criterion 7.458563 Sum squared resid 7234.158 Schwarz criterion 7.549880 Log likelihood -284.1547 Hannan-Quinn criter. 7.495089 F-statistic 3.765173 Durbin-Watson stat 0.123164 Prob(F-statistic) 0.027718
D. Uji Hausman
Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Chi-Sq. d.f. Prob.
95
Statistic Cross-section random 1.902759 2 0.3862
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob. LN_SA -0.012860 -0.012129 0.000000 0.2074
INF 0.439446 0.445436 0.000020 0.1755
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 02/28/19 Time: 21:10 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 7 Total panel (balanced) observations: 77
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 50.57611 14.48101 3.492581 0.0008
LN_SA -0.012860 0.005513 -2.332740 0.0226 INF 0.439446 0.132259 3.322611 0.0014
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.909445 Mean dependent var 20.15688
Adjusted R-squared 0.898791 S.D. dependent var 10.24073 S.E. of regression 3.257921 Akaike info criterion 5.309524 Sum squared resid 721.7555 Schwarz criterion 5.583476 Log likelihood -195.4167 Hannan-Quinn criter. 5.419102 F-statistic 85.36515 Durbin-Watson stat 0.726858 Prob(F-statistic) 0.000000
E. Random Effect Model
Dependent Variable: POV Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 02/28/19 Time: 21:09 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 7
96
Total panel (balanced) observations: 77 Swamy and Arora estimator of component variances
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA -0.012129 0.005482 -2.212428 0.0300
INF 0.445436 0.132185 3.369777 0.0012 C 48.66117 14.97376 3.249764 0.0017 Effects Specification S.D. Rho Cross-section random 10.84838 0.9173
Idiosyncratic random 3.257921 0.0827 Weighted Statistics R-squared 0.250683 Mean dependent var 1.817731
Adjusted R-squared 0.230431 S.D. dependent var 3.711344 S.E. of regression 3.255780 Sum squared resid 784.4077 F-statistic 12.37828 Durbin-Watson stat 0.659475 Prob(F-statistic) 0.000023
Unweighted Statistics R-squared -0.054303 Mean dependent var 20.15688
Sum squared resid 8403.128 Durbin-Watson stat 0.061560
F. Uji Lagrange Multiplier
Lagrange multiplier (LM) test for panel data Date: 02/28/19 Time: 21:02 Sample: 2007 2017 Total panel observations: 77 Probability in () Null (no rand. effect) Cross-section Period Both Alternative One-sided One-sided Breusch-Pagan 254.0351 0.501983 254.5371 (0.0000) (0.4786) (0.0000) Honda 15.93848 -0.708508 10.76922 (0.0000) (0.7607) (0.0000) King-Wu 15.93848 -0.708508 12.16660 (0.0000) (0.7607) (0.0000) GHM -- -- 254.0351 -- -- (0.0000)
97
5. Data Penelitian
No. Daerah Tahun POV LN_SA INF
1 Nanggroe Aceh Darussalam 2007
3,28 24,37
2,24
Nanggroe Aceh Darussalam 2008
3,16 25,93
2,33
Nanggroe Aceh Darussalam 2009
3,08 26,21
1,25
Nanggroe Aceh Darussalam 2010
3,04 26,20
1,77
Nanggroe Aceh Darussalam 2011
2,97 26,37
1,23
Nanggroe Aceh Darussalam 2012
2,92 26,62
1,30
Nanggroe Aceh Darussalam 2013
2,87 27,14
1,99
Nanggroe Aceh Darussalam 2014
2,83 27,25
2,09
Nanggroe Aceh Darussalam 2015
2,84 27,29
0,24
Nanggroe Aceh Darussalam 2016
2,80 27,27
0,11
Nanggroe Aceh Darussalam 2017
2,77 27,62
1,45
2 Sumatera Utara 2007
2,63 24,37
1,89
Sumatera Utara 2008
2,53 25,68
2,37
Sumatera Utara 2009
2,44 25,65
0,96
Sumatera Utara 2010
2,43 25,86
2,08
Sumatera Utara 2011
2,43 26,14
1,30
Sumatera Utara 2012
2,34 26,62
1,35
Sumatera Utara 2013
2,34 26,13
2,32
Sumatera Utara 2014
2,29 25,82
2,10
Sumatera Utara 2015
2,38 25,44
1,18
Sumatera Utara 2016
2,33 25,14
1,85
98
Sumatera Utara 2017
2,23 27,17
1,16
3 Sumatera Barat 2007
2,48 25,20
2,08
Sumatera Barat 2008
2,37 25,03
2,54
Sumatera Barat 2009
2,26 25,64
0,72
Sumatera Barat 2010
2,25 25,89
2,06
Sumatera Barat 2011
2,20 26,07
1,68
Sumatera Barat 2012
2,08 26,29
1,43
Sumatera Barat 2013
2,02 25,34
2,39
Sumatera Barat 2014
1,93 25,11
2,45
Sumatera Barat 2015
1,90 23,16
1,21
Sumatera Barat 2016
1,97 23,43
1,11
Sumatera Barat 2017
1,91 23,75
1,28
4 Riau 2007
2,42 24,63
2,02
Riau 2008
2,36 25,28
2,20
Riau 2009
2,25 25,27
0,66
Riau 2010
2,16 25,89
2,00
Riau 2011
2,14 26,04
1,63
Riau 2012
2,09 26,53
1,20
Riau 2013
2,13 25,32
2,18
Riau 2014
2,08 25,18
2,16
Riau 2015
2,18 25,22
0,97
Riau 2016
2,04 24,66
1,40
Riau 2017
2,00 24,59
1,58 5 Jambi 2007 24,25
99
2,33 2,00
Jambi 2008
2,23 24,98
2,45
Jambi 2009
2,17 24,40
0,91
Jambi 2010
2,12 25,29
1,94
Jambi 2011
2,16 25,34
1,33
Jambi 2012
2,11 26,00
1,46
Jambi 2013
2,13 27,09
2,13
Jambi 2014
2,13 25,59
2,12
Jambi 2015
2,21 24,68
1,21
Jambi 2016
2,12 24,04
1,11
Jambi 2017
2,07 24,12
1,49
6 Sumatera Selatan 2007
2,95 24,95
2,11
Sumatera Selatan 2008
2,88 25,13
2,41
Sumatera Selatan 2009
2,79 25,16
0,56
Sumatera Selatan 2010
2,74 25,24
1,80
Sumatera Selatan 2011
2,66 25,78
1,33
Sumatera Selatan 2012
2,60 26,09
1,00
Sumatera Selatan 2013
2,64 24,28
1,95
Sumatera Selatan 2014
2,61 24,28
2,13
Sumatera Selatan 2015
2,62 23,56
1,12
Sumatera Selatan 2016
2,59 23,17
1,30
Sumatera Selatan 2017
2,57 23,42
1,05
7 Bengkulu 2007
3,10 23,65
1,61
Bengkulu 2008
3,03 23,92
2,60
100
Bengkulu 2009
2,92 26,91
1,06
Bengkulu 2010
2,91 25,13
2,21
Bengkulu 2011
2,86 25,49
1,37
Bengkulu 2012
2,86 25,57
1,53
Bengkulu 2013
2,88 23,96
2,30
Bengkulu 2014
2,84 24,19
2,38
Bengkulu 2015
2,84 22,66
1,18
Bengkulu 2016
2,83 22,79
1,44
Bengkulu 2017
2,75 23,02
1,27
8 Lampung 2007
3,10 24,91
1,88
Lampung 2008
3,04 24,55
2,70
Lampung 2009
3,01 25,95
1,43
Lampung 2010
2,94 25,10
2,30
Lampung 2011
2,83 25,14
1,44
Lampung 2012
2,75 24,89
1,46
Lampung 2013
2,67 24,88
2,02
Lampung 2014
2,65 24,82
2,09
Lampung 2015
2,60 24,88
1,47
Lampung 2016
2,63 24,56
0,90
Lampung 2017
2,57 24,32
1,11
9 DKI Jakarta 2007
1,53 25,65
1,80
DKI Jakarta 2008
1,46 25,60
2,41
DKI Jakarta 2009
1,29 24,78
0,85 DKI Jakarta 2010 26,47
101
1,25 1,78
DKI Jakarta 2011
1,32 26,87
1,38
DKI Jakarta 2012
1,31 27,06
1,51
DKI Jakarta 2013
1,31 27,67
2,08
DKI Jakarta 2014
1,41 27,25
2,19
DKI Jakarta 2015
1,28 28,37
1,19
DKI Jakarta 2016
1,32 28,53
0,86
DKI Jakarta 2017
1,33 28,80
1,31
10 Jawa Barat 2007
2,61 26,38
1,63
Jawa Barat 2008
2,57 26,07
2,41
Jawa Barat 2009
2,48 28,15
0,70
Jawa Barat 2010
2,42 26,68
1,89
Jawa Barat 2011
2,37 26,71
1,13
Jawa Barat 2012
2,29 26,88
1,35
Jawa Barat 2013
2,26 26,46
2,21
Jawa Barat 2014
2,22 26,65
2,03
Jawa Barat 2015
2,26 26,28
1,00
Jawa Barat 2016
2,17 26,50
1,01
Jawa Barat 2017
2,06 26,71
1,29
11 Jawa Tengah 2007
3,02 26,15
1,83
Jawa Tengah 2008
2,96 26,42
2,26
Jawa Tengah 2009
2,87 28,02
1,20
Jawa Tengah 2010
2,81 26,88
1,93
Jawa Tengah 2011
2,76 26,95
0,99
102
Jawa Tengah 2012
2,71 27,13
1,44
Jawa Tengah 2013
2,67 26,71
2,08
Jawa Tengah 2014
2,61 26,67
2,11
Jawa Tengah 2015
2,59 26,40
1,00
Jawa Tengah 2016
2,58 26,88
0,86
Jawa Tengah 2017
2,50 27,25
1,31
12 DI Yogyakarta 2007
2,94 24,69
2,08
DI Yogyakarta 2008
2,91 26,43
2,29
DI Yogyakarta 2009
2,85 25,99
1,08
DI Yogyakarta 2010
2,82 25,33
2,00
DI Yogyakarta 2011
2,78 25,26
1,36
DI Yogyakarta 2012
2,77 25,48
1,46
DI Yogyakarta 2013
2,71 25,26
1,99
DI Yogyakarta 2014
2,68 25,20
1,89
DI Yogyakarta 2015
2,58 25,13
1,21
DI Yogyakarta 2016
2,57 27,00
1,49
DI Yogyakarta 2017
2,51 26,41
1,44
13 Jawa Timur 2007
2,99 26,25
1,84
Jawa Timur 2008
2,92 26,22
2,25
Jawa Timur 2009
2,81 28,49
1,22
Jawa Timur 2010
2,73 26,83
1,96
Jawa Timur 2011
2,66 27,06
1,46
Jawa Timur 2012
2,57 27,38
1,50 Jawa Timur 2013 27,33
103
2,54 2,03
Jawa Timur 2014
2,51 27,04
2,05
Jawa Timur 2015
2,51 26,86
1,90
Jawa Timur 2016
2,47 24,14
1,01
Jawa Timur 2017
2,42 27,49
1,40
14 Kalimantan Barat 2007
2,56 24,89
2,15
Kalimantan Barat 2008
2,40 24,39
2,42
Kalimantan Barat 2009
2,23 26,59
1,59
Kalimantan Barat 2010
2,20 25,59
2,14
Kalimantan Barat 2011
2,15 25,23
1,65
Kalimantan Barat 2012
2,07 25,89
1,82
Kalimantan Barat 2013
2,17 24,36
2,19
Kalimantan Barat 2014
2,09 26,07
2,24
Kalimantan Barat 2015
2,13 24,25
2,18
Kalimantan Barat 2016
2,08 25,83
1,30
Kalimantan Barat 2017
2,06 25,03
1,35
15 Kalimantan Tengah 2007
2,24 24,98
2,06
Kalimantan Tengah 2008
2,16 24,68
2,46
Kalimantan Tengah 2009
1,95 27,20
0,33
Kalimantan Tengah 2010
1,91 25,49
2,25
Kalimantan Tengah 2011
1,88 25,68
1,52
Kalimantan Tengah 2012
1,82 25,89
1,77
Kalimantan Tengah 2013
1,83 25,76
1,92
Kalimantan Tengah 2014
1,80 25,44
1,96
104
Kalimantan Tengah 2015
1,78 25,30
1,56
Kalimantan Tengah 2016
1,68 25,83
0,75
Kalimantan Tengah 2017
1,66 25,12
1,16
16 Kalimantan Selatan 2007
1,95 25,04
2,05
Kalimantan Selatan 2008
1,87 24,91
2,45
Kalimantan Selatan 2009
1,63 27,50
1,35
Kalimantan Selatan 2010
1,65 25,25
2,20
Kalimantan Selatan 2011
1,67 25,75
1,38
Kalimantan Selatan 2012
1,61 25,95
1,79
Kalimantan Selatan 2013
1,56 24,87
1,96
Kalimantan Selatan 2014
1,57 25,04
1,99
Kalimantan Selatan 2015
1,55 24,72
1,64
Kalimantan Selatan 2016
1,51 24,68
1,27
Kalimantan Selatan 2017
1,55 27,77
1,34
17 Kalimantan Timur 2007
2,40 24,99
2,12
Kalimantan Timur 2008
2,25 25,58
2,40
Kalimantan Timur 2009
2,05 27,12
1,02
Kalimantan Timur 2010
2,04 25,80
1,94
Kalimantan Timur 2011
1,91 26,16
1,33
Kalimantan Timur 2012
1,85 26,61
1,46
Kalimantan Timur 2013
1,85 25,73
2,13
Kalimantan Timur 2014
1,84 25,86
2,12
Kalimantan Timur 2015
1,81 25,52
1,21 Kalimantan Timur 2016 24,62
105
1,79 1,22
Kalimantan Timur 2017
1,81 26,26
1,15
18 Sulawesi Utara 2007
2,44 23,55
2,32
Sulawesi Utara 2008
2,31 24,47
2,27
Sulawesi Utara 2009
2,28 26,00
0,84
Sulawesi Utara 2010
2,21 25,24
1,84
Sulawesi Utara 2011
2,14 25,50
(0,40)
Sulawesi Utara 2012
2,03 25,74
1,80
Sulawesi Utara 2013
2,14 24,55
2,09
Sulawesi Utara 2014
2,11 25,32
2,27
Sulawesi Utara 2015
2,19 24,37
1,72
Sulawesi Utara 2016
2,10 24,00
(1,05)
Sulawesi Utara 2017
2,07 24,75
0,89
19 Sulawesi Tengah 2007
3,11 24,54
2,10
Sulawesi Tengah 2008
3,03 24,82
2,34
Sulawesi Tengah 2009
2,94 26,31
1,75
Sulawesi Tengah 2010
2,89 24,88
1,86
Sulawesi Tengah 2011
2,76 25,16
1,50
Sulawesi Tengah 2012
2,70 25,58
1,77
Sulawesi Tengah 2013
2,66 24,60
2,02
Sulawesi Tengah 2014
2,61 24,73
2,18
Sulawesi Tengah 2015
2,64 24,34
1,43
Sulawesi Tengah 2016
2,65 25,78
0,40
Sulawesi Tengah 2017
2,65 25,96
1,47
106
20 Sulawesi Selatan 2007
2,65 25,42
1,74
Sulawesi Selatan 2008
2,59 25,41
2,52
Sulawesi Selatan 2009
2,51 27,69
1,22
Sulawesi Selatan 2010
2,45 25,17
1,88
Sulawesi Selatan 2011
2,33 25,41
1,05
Sulawesi Selatan 2012
2,28 26,01
1,50
Sulawesi Selatan 2013
2,33 24,69
1,83
Sulawesi Selatan 2014
2,26 24,68
2,15
Sulawesi Selatan 2015
2,31 25,13
1,50
Sulawesi Selatan 2016
2,22 25,52
1,08
Sulawesi Selatan 2017
2,25 26,41
1,49
21 Sulawesi Tenggara 2007
3,06 24,21
2,02
Sulawesi Tenggara 2008
2,97 24,58
2,73
Sulawesi Tenggara 2009
2,94 26,11
1,53
Sulawesi Tenggara 2010
2,84 25,05
1,35
Sulawesi Tenggara 2011
2,68 24,36
1,63
Sulawesi Tenggara 2012
2,57 25,80
1,65
Sulawesi Tenggara 2013
2,62 23,87
1,78
Sulawesi Tenggara 2014
2,55 23,82
2,13
Sulawesi Tenggara 2015
2,62 22,38
1,98
Sulawesi Tenggara 2016
2,55 23,27
1,19
Sulawesi Tenggara 2017
2,48 24,15
1,09
22 Bali 2007
1,89 24,77
1,78 Bali 2008 25,14
107
1,82 2,26
Bali 2009
1,64 27,19
1,47
Bali 2010
1,59 25,45
2,09
Bali 2011
1,44 26,53
1,32
Bali 2012
1,37 26,51
1,55
Bali 2013
1,50 26,83
1,99
Bali 2014
1,56 26,94
2,08
Bali 2015
1,66 26,88
0,99
Bali 2016
1,42 26,17
1,08
Bali 2017
1,42 26,57
1,20
23 Nusa Tenggara Barat 2007
3,22 24,93
2,17
Nusa Tenggara Barat 2008
3,17 25,45
2,59
Nusa Tenggara Barat 2009
3,13 26,75
1,21
Nusa Tenggara Barat 2010
3,07 24,48
2,31
Nusa Tenggara Barat 2011
2,98 25,56
1,88
Nusa Tenggara Barat 2012
2,89 24,92
1,38
Nusa Tenggara Barat 2013
2,85 26,03
1,95
Nusa Tenggara Barat 2014
2,84 25,98
1,98
Nusa Tenggara Barat 2015
2,81 25,69
1,23
Nusa Tenggara Barat 2016
2,77 25,94
0,96
Nusa Tenggara Barat 2017
2,71 25,86
1,31
24 Nusa Tenggara Timur 2007
3,31 25,15
2,13
Nusa Tenggara Timur 2008
3,24 24,98
2,39
Nusa Tenggara Timur 2009
3,15 26,64
1,84
108
Nusa Tenggara Timur 2010
3,14 25,77
2,28
Nusa Tenggara Timur 2011
3,06 25,99
1,54
Nusa Tenggara Timur 2012
3,02 25,40
1,67
Nusa Tenggara Timur 2013
3,01 25,39
2,13
Nusa Tenggara Timur 2014
2,98 25,34
2,05
Nusa Tenggara Timur 2015
3,12 25,04
1,59
Nusa Tenggara Timur 2016
3,09 24,59
0,91
Nusa Tenggara Timur 2017
3,06 26,96
0,69
25 Maluku 2007
3,44 24,32
1,72
Maluku 2008
3,39 24,50
2,23
Maluku 2009
3,34 26,05
1,87
Maluku 2010
3,32 24,93
2,17
Maluku 2011
3,14 25,15
1,05
Maluku 2012
3,03 24,49
1,91
Maluku 2013
2,96 24,74
2,18
Maluku 2014
2,91 24,22
1,92
Maluku 2015
2,96 24,34
1,78
Maluku 2016
2,96 24,48
1,19
Maluku 2017
2,91 24,51
(0,25)
26 Papua 2007
3,71 24,34
2,34
Papua 2008
3,61 26,26
2,53
Papua 2009
3,63 26,74
0,65
Papua 2010
3,61 26,19
1,50 Papua 2011 26,72
109
3,47 1,22
Papua 2012
3,42 26,87
1,51
Papua 2013
3,45 27,84
2,11
Papua 2014
3,33 27,95
2,08
Papua 2015
3,35 27,74
1,03
Papua 2016
3,32 27,76
1,42
Papua 2017
3,32 27,60
0,88
27 Maluku Utara 2007
2,48 23,78
2,34
Maluku Utara 2008
2,42 24,10
2,64
Maluku Utara 2009
2,34 26,10
1,36
Maluku Utara 2010
2,24 24,69
1,67
Maluku Utara 2011
2,22 24,38
1,51
Maluku Utara 2012
2,09 24,82
1,16
Maluku Utara 2013
2,03 24,78
2,28
Maluku Utara 2014
2,00 24,58
2,23
Maluku Utara 2015
1,83 24,44
1,51
Maluku Utara 2016
1,86 24,13
0,65
Maluku Utara 2017
1,86 24,31
0,68
28 Banten 2007
2,20 25,26
1,84
Banten 2008
2,10 24,92
2,44
Banten 2009
2,03 26,17
1,05
Banten 2010
1,97 25,23
1,81
Banten 2011
1,84 25,70
1,24
Banten 2012
1,74 26,15
1,47
110
Banten 2013
1,77 26,09
2,27
Banten 2014
1,71 25,70
2,32
Banten 2015
1,75 26,14
1,46
Banten 2016
1,68 25,93
1,08
Banten 2017
1,72 25,98
1,38
29 Bangka Belitung 2007
2,26 23,84
0,96
Bangka Belitung 2008
2,15 24,25
2,91
Bangka Belitung 2009
2,01 26,64
0,77
Bangka Belitung 2010
1,87 24,58
2,24
Bangka Belitung 2011
1,75 22,96
1,61
Bangka Belitung 2012
1,68 25,03
1,88
Bangka Belitung 2013
1,66 23,81
2,16
Bangka Belitung 2014
1,60 23,94
2,20
Bangka Belitung 2015
1,57 23,00
1,18
Bangka Belitung 2016
1,62 23,65
1,91
Bangka Belitung 2017
1,67 23,31
1,14
30 Gorontalo 2007
3,31 23,93
1,90
Gorontalo 2008
3,21 23,83
2,22
Gorontalo 2009
3,22 26,13
1,47
Gorontalo 2010
3,14 24,42
2,01
Gorontalo 2011
2,93 24,17
1,41
Gorontalo 2012
2,85 24,94
1,67
Gorontalo 2013
2,89 24,88
1,76 Gorontalo 2014 25,48
111
2,86 1,81
Gorontalo 2015
2,90 24,40
1,46
Gorontalo 2016
2,87 24,89
0,26
Gorontalo 2017
2,84 24,86
1,47
31 Kep. Riau 2007
2,33 24,48
1,58
Kep. Riau 2008
2,22 24,19
2,13
Kep. Riau 2009
2,11 26,95
0,63
Kep. Riau 2010
2,09 25,35
2,00
Kep. Riau 2011
2,00 24,98
1,32
Kep. Riau 2012
1,92 25,89
0,70
Kep. Riau 2013
1,85 26,90
2,11
Kep. Riau 2014
1,86 26,35
2,03
Kep. Riau 2015
1,75 25,43
1,48
Kep. Riau 2016
1,76 24,37
1,26
Kep. Riau 2017
1,81 23,99
1,39
32 Papua Barat 2007
3,67 24,73
2,34
Papua Barat 2008
3,56 25,56
2,38
Papua Barat 2009
3,58 27,47
1,65
Papua Barat 2010
3,55 25,61
1,83
Papua Barat 2011
3,46 25,93
0,86
Papua Barat 2012
3,30 26,19
1,57
Papua Barat 2013
3,30 26,92
1,99
Papua Barat 2014
3,27 26,80
1,88
Papua Barat 2015
3,25 26,93
1,68
112
Papua Barat 2016
3,21 26,84
1,29
Papua Barat 2017
3,14 26,88
0,36
33 Sulawesi Barat 2007
2,95 23,87
1,10
Sulawesi Barat 2008
2,82 23,60
1,11
Sulawesi Barat 2009
2,73 26,55
1,17
Sulawesi Barat 2010
2,61 24,49
1,63
Sulawesi Barat 2011
2,63 24,46
1,59
Sulawesi Barat 2012
2,57 24,45
1,19
Sulawesi Barat 2013
2,50 23,82
1,78
Sulawesi Barat 2014
2,49 24,55
2,06
Sulawesi Barat 2015
2,48 24,51
1,62
Sulawesi Barat 2016
2,42 24,87
0,80
Sulawesi Barat 2017
2,41 24,88
1,33