-
Pengaruh Implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
(SVLK) Terhadap Industri Ekspor Furniture Kayu
Abstract
Indonesia has a large forested areas, will benefit for the country. However, illegal
logging has been the main problem which is also the world spotlight. As consumer
products in Europe that only legal wood is traded. Indonesia as the country's
manufacturers often export wood products to the EU to create and develop policies
SVLK (Timber Legality Verification System) which follows the rules in Europe that
FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance and Trade).
With SVLK all wood products exported must be licensed V-Legal which shows that
there has been use legal timber. This rule is executed in partnership with European
Union governments. Therefore, the purpose of this research is to know how the
implementation of SVLK in companies engaged in the export of furniture, especially
in the region of Solo Raya. This study uses three companies that have implemented
SVLK, namely PT Wisanka, CV A Class Furniture and UD Furniture Rivalve.
This research is qualitative descriptive. Methods of data collection are done using
library research and field research with interviews to obtain primary and secondary
data, observation, and literature. This research will use multitrack diplomacy
concept, the concept of standardization and paragidma mercantilism to analyze the
phenomenon.
Keywords: SVLK, FLEGT Action plan, Furniture
countries, EU governments implement policies that regulate the circulation of timber
Indonesia di Solo Raya, Jawa Tengah
mailto:[email protected] textEca Elsa Karlinda [1]
Prof. Dr. H. Andrik Purwasito, DEA[2]
win7Typewritten text[1] . Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional FISIP UNS. Sebagai penulis Pertama
win7Typewritten text[2]Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIP UNS, Sebagai penulis Kedua
-
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara dengan kekayaan dan keanekaragaman hayati
pada urutan kedua setelah Brazil, Indonesia sebagai negara megabiodiversitas
keanekaragaman hayati dunia. 10% hutan hujan dunia terletak di wilayah Indonesia.1
Sumber daya alam yang melimpah dan terletak di garis ekuator maka Indonesia
memiliki hutan hujan tropis yang subur dengan cakupan wilayah yang luas. Tidak
heran jika salah satu potensi terbesarnya selain di sektor migas adalah di sektor
perhutanan. Industri kayu menjadi angin segar yang telah cukup lama ada sebagai
alternatif perdagangan internasional, seperti yang telah tertera pada gambar 1,
berikut:
Tabel 1.1 : Sumbangan Sektor Kehutanan Terhadap Perolehan Devisa Indonesia,
1995-2004 (US$ Juta) 2
Dari gambar 1, dapat diketahui bahwa Indonesia telah sejak lama
mengandalkan hasil hutan sebagai penghasil devisa negara. Hasil hutan yang di
ekspor cukup beragam, mulai dari jenis kayu mentah, kayu setengah jadi, hingga
dalam bentuk barang jadi berupa furnitur kayu. Adanya daya saing yang tercipta antar
indusrti kayu baik itu di tingkat nasional maupun internasional dengan negara
tetangga, seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Persaingan industri mebel
khususnya di Asia terbilang cukup ketat, sebagai negara yang berpotensi, Indonesia
bisa unggul di Asia Tenggara dengan bahan baku yang melimpah, tenaga terampil
-
yang memadai, dan desain produk yang tidak kalah dibandingkan mebel dari negara-
negara lain justru kalah saing dengan Malaysia dan Vietnam. Nilai ekspor kedua
negara tetangga ini lebih besar di bandingkan Indonesia.
Berdasarkan data Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo), produksi panel
kayu Indonesia yang pernah mencapai sekitar 7 juta meter kubik pada periode 1999-
2000 juga merosot menjadi 3,5 juta meter kubik tahun 2005. Padahal, Malaysia
diperkirakan masih memproduksi panel kayu hingga 4 juta meter kubik. 120 pabrik
kayu lapis di Indonesia, pabrik yang sampai saat ini tercatat masih berproduksi dan
mengekspor hasil produksinya tinggal 52 pabrik. Tetapi, pabrik ini rata-rata
berproduksi dengan kapasitas terpakai kurang dari 50% kapasitas normal.3 Dalam
persaingan internasional yang semakin tajam, Indonesia perlu memiliki strategi yang
lebih jitu untuk menanggulanginya. Pasalnya, dalam gambar 2 dapat kita lihat bahwa
Indonesia masih kalah saing dengan beberapa negara, yaitu:
Gambar 1.1 : Nilai Ekspor Mebel Indonesia dan Negara-negara Pesaing di Asia, 2005 (US$ miliar) 4
Pada tahun 2015 ekspor mebel Indonesia tercatat USD1,902 miliar atau setara
Rp24,859 triliun (mengacu kurs Rp13.070 per USD). Angka ini meningkat 1,3 persen
dibandingkan 2014.5 Sayangnya kenaikan tersebut masih relatif kecil jika
dibandingkan dengan negara lain, khususnya Malaysia dan Vietnam. Vietnam berada
di posisi ketujuh dunia dengan nilai ekspor mebel 5,3 miliar dolar AS. Padahal, 10
tahun lalu nilainya hanya 20 juta dolar AS. Sementara, Malaysia kini berada di urutan
ke sebelas dengan nilai ekspor 2,3 miliar dolar AS.6 Ini terjadi karena berbagai faktor,
http://economy.okezone.com/topic/4874/industri-mebel
-
salah satunya adalah regulasi dari pemerintah yang dirasa masih sulit, sedangkan di
Vietnam, pemerintah memberikan kemudahan dalam regulasi ekspor mebel sehingga
pengusaha dengan mudah melakukan ekspor. Sebagai salah satu negara dengan
industri kayu terbesar, Indonesia memiliki target ekspor yang besar di beberapa
negara di dunia, salah satu yang terbesar adalah di kawasan eropa. Seperti pada data
yang ada pada gambar 3 berikut:
Gambar 1.2 : 10 Negara Tujuan Utama Ekspor Mebel Indonesia 2005 (%)7
Dari gambar 3.1, kita dapat melihat bahwa sejak tahun 2005, Eropa dan AS
merupakan mangsa pasar yang besar bagi Indonesia dan jumlah tersebut akan terus
bertambah setiap tahunnya. Di Indonesia, terkenal dengan ukiran-ukiran kayu seperti
dari Jepara. Industri mebel berbahan kayu sangat berkembang pesat di wilayah pulau
Jawa. Beberapa yang terkenal berasal dari Jepara, Semarang, Solo, dan Surabaya.
Persaingan yang semakin besar ini jelas terjadi karena adanya peningkatan
permintaan dari konsumen, baik dalam maupun luar negeri. Hal ini menyebabkan
beberapa masalah, salah satunya adalah kerusakan hutan yang menyebabkan
pemenasan global karena banyak penebangan liar.
Isu lingkungan hidup telah menjadi angenda global memasuki abad 21, baik
dikalangan pemimpin politik, pejabat pemerintah, ilmuan, industrialis, LSM maupun
warga negara. Ini menunjukkan bahwa persoalan lingkungan hidup, seperti energi
dan pemanasan global sebelumnya hanya dianggap sebatas pada wilayah low politics
-
kemudian mulai berkaitan dengan berbagai isu-isu sentral politik dunia. Isu
lingkungan kini menjadi isu global yang dianggap sangat penting dalam agenda
politik internasional, yakni terkait isu keamanan dan ekonomi.
Menurut Homer Dixon, penyebab krisis lingkungan mencakup 6 sumber,
yaitu perubahan iklim yang disebabkan oleh efek rumah kaca, penipisan ozon,
degradasi dan hilangnya tanah pertanian yang subur, penggundulan hutan,
pengurangan dan polusi suplai air bersih dan penipisan daerah penangkapan ikan.8
Para peneliti dari Potsdam Institute for Climate Impact Research (Potsdam-Institut
fur Klimafolgenforschung/PIK) di Jerman mangatakan bahwa musim dingin ekstrem
yang terjadi berturut-turut di benua Eropa dalam 10 tahun terakhir adalah akibat
mencairnya lapisan es dikawasan Artik, dekat Kutub Utara, akibat pemenasan
global.9 Dengan kesadaran berbagai pihak akan isu lingkungan hidup terutama
pemanasan global, maka berbagai negara berusaha melakukan aksinya untuk
mengurangi dampak dari kerusakan lingkungan.
Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi masalah pemanasan global. Di
tingkat negara, sudah ada beberapa bidang yang menjadi fokus utama penyelesaian,
yaitu bidang pertanian, bidang peternakan, bidang energi, bidang manajemen sumber
air, bidang kehutanan, dan gaya hidup masyarakat. Masyarakat semakin sadar akan
pentingnya lingkungan hidup, mulai menciptakan dan menggunakan barang-barang
yang ramah lingkungan. Permintaan masyarakat akan barang ramah lingkungan
akhirnya membuat pemerintah perlu membuat kebijakan yang mendukung. Uni Eropa
mengeluarkan kebijakan, yaitu Forest Law Enforcement, Governance and Trade
(FLEGT) untuk mengurangi ilegal logging, namun siklus perdagangan khususnya
berupa kayu tetap berjalan. Aksi nyatanya adalah perjanjian bilateral antara Uni
Eropa dengan negara-negara penghasil kayu, yaitu FLEGT Voluntary Partnership
Agreement (VPA). Indonesia dan UE telah melakukan perjanjian perdagangan terkait
penjualan kayu dan mebel. Sehingga kayu dari Indonesia harus sudah bersertifikasi.
Oleh karena itu di Indonesia saat ini ada kebijakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
(SVLK).
-
Di Indonesia, SVLK sudah ada sejak tahun 2009, namun mulai
diimplementasikan secara menyeluruh pada produk kayu baik itu kayu mentah,
setengah jadi, maupun jadi seperti furniture scara pada tahun 2013, tepatnya setelah
indonesia menandatangani perjanjian FLEGT-VPA dengan Uni Eropa. Namun
sayangnya tujuan yang baik bagi perdagangan Indonesia ini masih harus melalui
tantangan yang cukup berat. Pasalnya, walaupun sudah hampir seluruh industri
furniture Indonesia memiliki dokumen V-Legal, tetap saja ada ketidak sinkronan
antar pemerintah. Dibawah kementrian kehutanan sebagai pembuat kebijakan telah
mewajibkan seluruh hasil produk kayu termasuk furniture untuk menggunakan SVLK
sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No.P.6/VI-
BPPHH/2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Penilain Kinerja Pengelolaan Hutan
Produksi dan Verifikasi Legalitas Kayu.10
Namun sayangnya, muncul ketentuan yang
berlainan, yakni ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 89
tahun 2015. Berdasarkan ketentuan yang terbit pada akhir tahun 2015 itu, terdapat 15
golongan produk kayu dalam kelompok furniture dan kerajinan dibebaskan dari
kewajiban penggunaan V-legal. Sehingga dalam pengimplementasiannya masih
terjadi kebingungan di pelaku industri kayu ekspor apakah harus segera
menggunakan SVLK atau tidak.
Pemerintah sebagai pengendali negara dan pembuat keputusan seharusnya
juga memperhatiakan kendala-kendala yang bisa terjadi. Dengan adanya permendag
89, seperti menjadi umpan balik terhadap tuntutan kebijakan awal yang sebelumnya
yang telah dihasilkan. Sehingga pemerintah perlu meninaju ulang kebijakan yang ada
terkait SVLK ini agar dalam pengimplementasiannya menjadi lebih baik. Sehingga
SVLK sempat dicabut, namun saat ini justru diwajibkan apabila ingin melakukan
ekspor.
Peneliti tertarik untuk melihat bagaimana para pelaku industri bisnis furniture
dalam menjalankan ekspornya dengan menggunakan SVLK di Indonesia. Seberapa
besar pengaruh yang ditimbulkan dari adanya SVLK ini terhadap hubungan
kerjasama perdagangan kayu antara Indonesia dan Uni Eropa.
-
B. ISI
a. Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) Action Plan
Pada tahun 2003, European Commission (EC) membuat Forest Law
Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) Action Plan yang merupakan
adopsi dari konferensi tentang Forest Law Enforcement and Governance (FLEG)
atau Penegakan Hukum dan Tata Kelola (FLEG) bersama dengan negara-negara
G8, Bank Dunia, Departemen Pembangunan Internasional Inggris (DFID UK), dan
Departemen Luar Negeri AS tentang Penegakan Hukum untuk Asia Timur.11
Perbedaan utama dari proses FLEG dengan FLEGT Action Plan adalah
penambahan masalah perdagangan yang memberikan fokus baru. Elemen pertama
FLEGT Action Plan adalah membangun Kesepakatan Kemitraan Sukarela atau
Voluntary Partnership Agreement (VPA) dengan negara-negara pengekspor
produk kayu. VPA mencakup proses kerjasama bilateral untuk menetapkan
undang-undang dan penegakannya. Elemen kedua dari FLEGT Action Plan adalah
Peraturan Kayu Uni Eropa (EUTR).
Gambar 1.1 : Instrumen dan fokus utama FLEGT Action Plan12
FLEGT Action Plan mendorong reformasi kebijakan, transparansi, dan
berbagi informasi. Singkatnya, FLEGT Action Plan fokus pada 7 bidang, yaitu:13
Forest Law Enforcement
Governance and Trade (FLEGT) Action
Plan (2003)
Penegakan Hukum, Tata Kelola dan
Perdagangan Sektor Kehutanan
Voluntary Partnership Agreement
(VPA)
1. Perjanjian perdagangan bilateral antara Uni Eropa dengan negara-negara produsen kayu
2. Tidak mengikat secara hukum, hanya berupa kemitraan sukarela
3. Ketika sudah diratifikasi, maka menjadi peraturan yangmengikat
Europan Union Timber
Regulation (EUTR)
1. Fokus importir di negara- negara anggota Uni Eropa
2. Aturan legislatif yang mengikat
-
1. Dukungan untuk produk kayu negara pengekspor, termasuk tindakan untuk
mempromosikan solusi yang adil untuk masalah pembalakan liar.
2. Kegiatan untuk mempromosikan perdagangan kayu legal, termasuk tindakan
untuk mengembangkan dan melaksanakan Perjanjian Kemitraan Sukarela
antara Uni Eropa dan negara-negara kayu ekspor.
3. Promosi kebijakan pengadaan publik, termasuk tindakan yang memandu
kontrak pemerintah tentang cara untuk berurusan dengan legalitas ketika
menentukan kayu dalam prosedur pengadaan.
4. Dukungan untuk inisiatif sektor swasta, termasuk tindakan untuk mendorong
inisiatif sektor swasta untuk praktek yang baik di sektor kehutanan, termasuk
penggunaan kode etik sukarela bagi perusahaan swasta untuk sumber kayu
legal.
5. Perlindungan untuk pembiayaan dan investasi, termasuk tindakan untuk
mendorong bank dan lembaga keuangan investasi di sektor kehutanan untuk
mengembangkan prosedur perawatan karena saat pemberian kredit.
6. Penggunaan instrumen legislatif yang ada atau adopsi undang-undang baru
untuk mendukung Rencana, termasuk Peraturan Kayu Uni Eropa.
7. Mengatasi masalah konflik kayu.
1. FLEGT Voluntary Partnership Agreement (VPA)
VPA adalah perjanjian perdagangan bilateral antara Uni Eropa dan
negara-negara penghasil produk kayu yang melakukan ekspor ke wilayah Uni
Eropa. Di bawah VPA, satu negara diharapkan untuk mengembangkan sistem
untuk memverifikasi bahwa ekspor produk kayu yang legal. Legalitas ini perlu
diverifikasi melalui sistem jaminan legalitas (LAS). VPA ini bersifat sukarela
bagi negara-negara pengekspor produk kayu. Namun, sekali VPA telah
diratifikasi, maka secara hukum mengikat kedua belah pihak.14
VPA berisi tentang prinsip-prinsip dasar perjanjian yang mencakup
mengenai berjalannya perjanjian, seperti bagaimana dasar hukum yang akan
diberlakukan untuk mengawasi berjalannya perjanjian dengan baik dan teknis
-
dari sistem verifikasi yang akan diterapkan di negara tersebut. Pelaksanaan
VPA dikoordinasikan melalui Komite Pelaksana Bersama. Meskipun tujuan
keseluruhan dari VPA telah jelas, namun bagaimana penerapannya mungkin
agak berbeda dari negara yang satu dengan negara lainnya. Kesepakatan dalam
definisi legalitas dan sistem yang nantinya akan dikembangkan atau digunakan
di suatu negara adalah hasil dari setiap proses nasional negara mitra tersebut.
2. European Union Timber Regulation (EUTR)
EUTR atau aturan kayu Uni Eropa mrupakan langkah penting yang
diambil untuk mendukung dan meningkatkan efektivitas FLEGT Action Plan.
Peraturan ini ada sejak 2010 dan mulai berlaku penuh pada Maret 2013.
Persyaratan EUTR diarahkan pada sisi permintaan atau impor. EUTR
mewajibkan produk kayu importir (operator) untuk mengambil langkah-
langkah yang memadai untuk meminimalkan risiko mengimpor produk kayu
ilegal ke Uni Eropa. Adanya sistem Due Diligence memberikan beberapa
kewajiban kepada para operator atau pihak pertama pengimpor kayu dan
Internal Trader atau pihak kedua dan seterusnya yang memperdagangkan kayu
di pasar UE harus bertanggung jawab atas produk yang mereka perdagangkan
di dalam Uni Eropa dan wajib menggunakan sistem due diligence yang
didasarkan pada dokumentasi yang memadai dan penilaian risiko untuk menilai
asal hukum dari produk kayu yang diimpor.15
b. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di Indonesia
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) merupakan jawaban dari
pemerintah atas penebangan liar yang kerap terjadi di Indonesia, kebijakan ini
menyangkut legalitas kayu yang akan di ekspor oleh Indonesia, khusunya ke
negara-negara di Eropa. Pemerintah bekerjasama dengan pihak Uni Eropa yang
telah terlebih dahulu mencanangkan penolakannya terhadap penebangan hutan
secara liar demi kelangsungan ekosistem hidup dan mengurangi dampak dari
pemenasan global.
-
FLEGT VPA diadopsi oleh Indonesia pada 2005, dan pelaksanaannya
pada 2009, yang memungkinkan adanya kontrol untuk setiap kayu yang masuk
ke Uni Eropa dari negara-negara yang telah melakukan perjanjian atau bisa
dikatakan mitra FLEGT. Mereka menandatangani Kesepakatan Kemitraan
Sukarela atau Voluntary Partnership Agreements (VPA) dengan Uni Eropa.
Setelah setuju, VPA mencakup komitmen dan tindakan dari kedua belah pihak
untuk menghentikan perdagangan kayu ilegal, terutama dengan skema lisensi
untuk memferivikasi legalitas kayu yang diekspor ke Uni Eropa. Perjanjian ini
juga mempromosikan penegakan hukum yang lebih baik untuk kelangsungan
hutan dan mempromosikan pendekatan inklusif yang melibatkan masyarakat
sipil dan sektor swasta.16
Indonesia setuju mengikuti Voluntary Partnership
Agreemen (VPA) dengan tujuan menaikan pamor Indonesia di mata dunia
sebagai negara yang cinta lingkungan, produksi kayunya terjamin ramah
lingkungan sehingga khualitas kayu juga lebih terjamin. Secara langsung
berimbas pada peningkatkan ekspor furniture kayu Indonesia.
15 November 2016, Forest Law Enforcement, Governance, and Trade –
License atau FLEGT License telah berlaku. Dengan lisensi ini, Indonesia
menjadi negara pertama dan baru satu-satunya di dunia yang memperoleh
Lisensi FLEGT dari Uni Eropa. Hal itu merupakan pengakuan internasional
terhadap legalitas kayu Indonesia yang telah menerapkan sistem verivikasi
legalitas kayu (SVLK). Dengan penerapan FLEGT License ini, produk kayu
dan turunannya dari Indonesia yang masuk ke UE akan memperoleh perlakuan
green lane yang berarti tidak perlu lagi melalui proses due-diligence (uji
tuntas). FLEGT License merupakan hasil dari perjanjian FLEGT Voluntary
Partnership Agreement (FLEGT VPA) yang ditandatangani pada tanggal 30
September 2013 dan berlaku sejak 1 Mei 2014. Indonesia meratifikasi FLEGT
VPA melalui Peraturan Presiden RI No. 21 Tahun 2014 dan Parlemen Uni
Eropa pada bulan Maret 2014. Pencapaian kesepakatan diperoleh melalui
proses perundingan yang panjang.17
-
Dalam proses penerapannya jelas akan ada beberapa perbedaan,
mengingat SVLK merupakan aturan yang dibuat untuk mengikuti standardisasi
produk oleh Eropa namun aturannya telah disesuaikan dengan sistem undang-
undang yang berlakudi Indonesia. Sedangkan, FLEGT bisa dibilang suatu
kebijakan yang lebih besar pengaruhnya, tidak hanya bagi negara-negara
anggota Uni Eropa sendiri, melainkan terhadap beberapa negara lain yang
terkait didalamnya. Sesuai pada penjelasan sebelumnya mengenai FLEGT
Action Plan yang terbagi menjadi 2 kebijakan lagi yaitu FLEGT VPA dan
EUTR. Terlebih lagi Uni Eropa merupakan mangsa pasar bagi banyak negara
dengan penghasil produk kayu sehingga dapat dikatakan bahwa Uni Eropa
merupakan konsumen terbesar, sedangkan Indonesia atau negara lain yang
tergabung dalam VPA merupakan para pelaku atau produsen yang melakukan
ekspor produk kayu ke wilayah Uni Eropa.
Sebagai negara konsumen terbesar, secara tidak langsung UE jelas tidak
ingin disalahkan apabila banyak produk kayu baik itu furniture atau lainnya
yang banyak masuk ke wilayah UE, karena mungkin saja kayu yang masuk
merupakan kayu illegal. Selain menjalin hubungan bilateral dengan negara
produsen kayu, Eropa juga mulai menerapkan aturan kayu khusus bagi seluruh
importir di Eropa, dimana aturan tersebut kita kenal dengan EUTR.
SVLK merupakan bentuk kerjasama antara pemerintah Indonesia
dengan pemerintah Uni Eropa dalam sektor kayu yang mengatur tata kelola dan
juga perdagangan kayu yang legal. Hal ini sebenarnya juga merupakan wujud
dari multitrack diplomacy yang diupayakan pemerintah Indonesia melalui
kegiatan bisnis berupa perdagangan produk furniture kayu karena dapat
memperlihatkan bahwa khualitas produk Indonesia tidak kalah dengan negara
lain. Maka kedepannya pemerintah mengharapkan langkah ini akan
memberikan keuntungan lebih, baik dari segi produksi dan penjualan barang
serta salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam menciptakan nation
branding.
-
Wilayah Eropa memang menjadi salah satu mangsa pasar yang besar
bagi Indonesia karena mereka memang menyukai produk furniture berbahan
kayu dimana mereka tidak memiliki sumber daya yang bisa mencukupi seluruh
kebutuhan penduduknya akan furniture kayu. Sehingga sebenarnya Indonesia
memiliki kesempatan yang besar jika bisa memanfaatkannya dengan baik.
Pemerintah memiliki peranan yang besar dalam hal ini karena kekayaan
Indonesia khususnya mengenai hutan telah diatur oleh pemerintah untuk
dikelola sesuai dengan kepentingan negara, pemerintahlah yang mengontrol
penebangan kayu, kita mengetahui bahwa area hutan tertentu tidak dapat
ditebang seperti di area hutan lindung atau taman nasional. Sektor kehutanan
dengan hasil hutannya memang memiliki peranan yang penting dalam
pembangunan ekonomi di Indonesia karena menjadi salah satu penghasil devisa
terbesar bagi Indonesia.
Pada kenyataannya SVLK saat ini telah wajib bagi seluruh industri yang
melakukan ekspor produk kayu baik itu furniture atau lainnya, baik itu ke
wilayah Eropa maupun ke negara lainnya. Sehingga pada bulan November lalu,
pemerintah Uni Eropa resmi memberikan FLEG Lisence nya untuk Indonesia
sehingga produk Indonesia lebih mudah masuk ke pasar Eropa tanpa
diberlakukannya due-diligence. Hal ini membuktikan bahwa SVLK yang
diterapkan di Indonesia memang sudah sesuai dengan FLEGT. Namun karena
lisensi ini masih sangat awal maka belum bisa dipastikan apakah berdampak
signifikan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia ataukah berdampak besar bagi
para pelaku Industri yang terlibat secara langsung didalamnya.
c. Implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu Terhadap Industri
1. PT Wirasindo Santakarya (Wisanka)
PT Wirasindo Santakarya (Wisanka) yang berlokasi di Jalan Solo
Daleman no.41, Baki, Sukoharjo. Berdiri sejak 1993, perusahaan berskala besar
di Solo Raya. Ibu Dewi di bagian dokumen ekspor mengungkapkan bahwa
-
perusahaan bisa melakukan ekspor barang rata-rata mencapai 3 kontainer dalam
1 minggu, dalam 1 bulan mencapai rata-rata 15 kontainer atau lebih dengan
harga rata-rata perkontainer mencapai US$ 10.000. Jumlah pekerja sekitar 500
orang. Wisanka tidak memproduksi barang dari bahan mentah sampai dengan
bahan jadi, Wisanka hanya menerima bahan setengah jadi.
Sejak 2015 awal atau jalan 2 tahun hinggga saat ini telah memiliki
sertifikasi SVLK, dengan waktu 3 bulan untuk persiapan dokumen-dokumen
untuk pengajuan menggunkan SVLK. Tidak memiliki staff khusus untuk
membuat kelengkapan dokumen SVLK setiap kali ekspor karena tugas ini
sudah bisa ditangani oleh kepala unit yang juga sebagai koordinator untuk
kelengkapan dokumen SVLK. Sejauh ini tidak ada masalah mengenai hal itu,
perusahaan justru memperoleh keuntungan tersendiri. Dengan menggunakan
SVLK perusahaan mendapatkan keuntungan yakni perusahaan-perusahaan luar
negeri mengakui produk Indonesia dengan kayu yang legal dan khualitas yang
baik, sehingga buyer lebih mengakui khualitas dari furniture yang di ekspor.
Ekspornya ke Eropa, Amerika, Timur Tengah dan Asia, namun dari pihak
buyer sendiri tidak meminta SVLK kerena ini memang aturan dalam negeri dari
pemerintah Indonesia.
Sebelum menggunakan SVLK perusahaan ini melakukan prosedur
ekspor secara umum sesuai dengan aturan yang ada pada saat itu. Setelah
menggunakan SVLK, secara operasional memang ada sedikit ada perbedaan,
terutama dalam pengurusan dokumen karena ada dokumen SVLK khusus untuk
memperoleh izin ekspor. Adanya sertfikasi ini memang membuat perusahaan
harus membuat beberapa dokumen lebih untuk setiap kali ekspornya, hal ini
memang cukup rumit namun tidak ada masalah yang berarti mengingat ini
memang aturan yang dibuat dari pemerintah dan memang perusahaan sudah
mapan dengan struktur organisasi yang kuat dan memadai.
-
2. CV A Class Furniture
Berlokasi di Jalan Parang Parung II no.1, Sondakan, Laweyan,
Surakarta. Industri berskala menengah yang telah berdiri sejak tahun 2001 dan
eksporny telah mendunia yakni ke Eropa, USA, Canada, Australia, Jepang.
jumlah pekerja kurang lebih sebanyak 200 orang. Dalam 1 bulan bisa
melakukan ekspor sebanyak 2-4 kali pengiriman per kontainer. Bapak Rahman
Haryanto selaku direktur utama dari industri A Class Furniture mengungkapkan
bahwa sampai saat ini SVLK sendiri tidak begitu berarti bagi pelaku industri,
pasalnya buyer atau pembeli dari luar negeri sampai sekarang tidak ada yang
meminta SVLK baik itu dari Eropa maupun Amerika bahkan Pemerintah
negara lain seperti Spanyol, Belanda, Itali belum meminta. Namun pemerintah
Indonesia mewajibkan penggunaan SVLK apabila melakukan ekspor, sehingga
pada bulan november 2016 A Class Furniture resmi menggunakan SVLK.
Sebelum Menggunakan SVLK, untuk tahapan dalam proses eskpor
perusahaan ini melakukan hal yang sama sesuai dengan prosedur normal dalam
ekspor. Setelah menggunakan SVLK maka dalam proses ekspor, perusahaan
harus melakukan pengajuan V-Legal sebelum terbit Pemberitahuan Ekspor
Barang (PEB) nya. Dan untuk mempersiapkan dokumen tambahan untuk
pengajuan V-legal tersebut memerlukan waktu paling cepat 1 hari kerja dan
paling lama 2 hari kerja. Maka kita memerlukan staff khusus untuk mengurus
dokumen-dokumen tersebut dengan biaya atau gajinya sebesar Rp.
200.000/dokumen untuk setiap kali akan melakukan eskpor.18
Biaya sebesar ini
dirasa cukup memberatkan bagi perusahaan. Mengingat sebenarnya SVLK ini
tidak berpengaruh terhadap harga jual, sehingga tidak ada kenaikan harga.
Sampai saat ini tidak belum ada dampak positif yang dirasakan setelah
menggunakan SVLK selain dari bisa melakukan ekspor.
-
3. UD Rivalve Furniture
Perusahaan Rivalva Furniture terletak di Dukuh Jamur Rt 01/08,
Trangsan, Gatak, Sukoharjo. Merupakan industri berskala kecil. Perusahaan ini
berdiri pada tahun 2015, sehingga baru berusia 1 tahun ini dengan jumlah
pekerja sekitar 20 orang dan telah melakukan ekspor hingga ke Ausrtia, New
Zaeland, dan Australia. Secara administrasi belum ada susunan staff khusus
untuk perusahaan ini, semua urusan administrasi masih dikerjakan langsung
oleh pemilik perusahaan, yakni Bapak Aris Nugroho.
Bapak Aris mengungkapkan SVLK ini masih dibilang sulit untuk
dilakukan terutama bagi industri kecil karena dokumennya yang rumit dan
biayanya yang cukum mahal. Dalam melakukan proses ekspor, perusahaan ini
melakukan prosedur yang sama dan secara umum dilakukan oleh para eksportir
lainnya. Mengingat ekspornya yang masih minim sebenarnya perusahaan ini
tidak menginginkan menggunakan SVLK namun jika tidak menggunakan
SVLK maka perusahaan ini tidak akan bisa ekspor. Akhirnya perusahaan ini
menggunakan SVLK karena mendapat bantuan dana yang disalurkan melalui
HIMKI Solo Raya, sehingga perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya
sedikitpun untuk pengajuan awal sertifikasi SVLK ini.
Setelah menggunakan SVLK sebenarnya perusahaan merasa lebih
terbebani, mulai dari persiapan dokumen-dokumen yang menjadi sangat banyak
dan harus dilakukan secara teliti untuk setiap kali ekspor, management
perusahaan yang harus dilakukan secara lebih mendetail karena nantinya akan
ada audit yang dilakukan dari lemabaga pemberi lisensi V-Legal. Perusahaan
ini juga masih belum sanggup untuk mempekerjakan karyawan khusus yang
akan mengurus dokumen-dokumen V-Legal, dokumen tambahan tersebut
dilakukan sendiri oleh pemilik perusahaan, hal ini sebenarnya berdampak pada
proses ekspor yang bisa menghambat atau memperlambat proses ekspor karena
harus menunggu semua dokumen-dokumen lengkap.
-
Sampai saat ini tidak belum ada dampak positif yang dirasakan setelah
menggunakan SVLK selain dari bisa melakukan ekspor. Pihak buyer pun belum
ada yang meminta lisensi semacam ini, Jika bisa memilih maka perusahaan ini
memilih untuk tidak menggunakan SVLK. Dari segi harga juga sebenarnya
sama-sekali tidak berpengaruh, tidak ada kenaikan harga barang karena buyer
juga menghendaki harga barang yang relatif murah. Dengan dokumennya yang
rumit justru bisa menghambat perusahaan yang juga berdampak pada
penurunan jumlah ekspor. Sehingga tidak ada keuntungan yang diperoleh.
C. PENUTUP
Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh penulis mengenai
implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di Indonesia, khusunya
wilayah Solo Raya yang mengambil 3 sample perusahaan dengan latar belakang yang
berbeda. Tiga perusahaan tersebut berskala besar, kecil dan menengah. Hal ini dipilih
agar bisa memaksimalkan penelitian yang dilakukan. Sesuai dengan analisis dan
penjelasan pada bab sebelumnya, peneliti menyimpulkan bahwa:
1. Sistem Verifikasi Legalitas kayu (SVLK) merupakan suatu kebijakan yang
diterapkan oleh pemerintah dengan perpedoman pada FLEGT Action Plan,
khususnya FLEGT VPA yang sudah disepakati bersama antara Indonesia
dan Uni Eropa. Kebijakan ini diterapkan karena beberapa alasan, yaitu:
a. Keseriusan dan konsistensi pemerintah dalam mengurangi pembalakan
liar yang terjadi di Indonesia sebagai perwujudan dari dukungan
Indoneia terhadap kelestarian lingkungan.
b. Memperbaiki citra Indonesia di mata dunia yang pernah dianggap
sebagai salah satu negara dengan tingkat pembalakan liar yang cukup
tinggi.
c. Membuka peluang kerjasama antara Indonesia-Uni Eropa dalam hal
perdagangan internasional khususnya mengenai perdagangan kayu
-
dengan berbagai jenis. hal ini sesuai dengan kekayaan alam Indonesia
yang juga menjadi milik negara dan dikelola oleh pemerintah.
d. Mendorong pelaku industri di Indonesia agar mampu bersaing dengan
produk dari negara lain dan meningkatkan ekspor kayu Indonesia
terutama mengenai furniture karenatelah memiliki penambahan nilai
sehingga harga jualnya akan lebih tinggi dibandingkan dengan kayu
mentah atau kayu setengah jadi.
2. Sebagai negara penghasil produk kayu, Indonesia memang memerlukan
aturan tersendiri untuk mengatur management kayu agar tidak ada lagi
pembalakan liar. Namun proses pembentukan kebijakan ini perlu
diperhatikan, banyaknya pihak yang terkait tidak menjamin bahwa
implementasinya akan berjalan sempurna karena akan semakin banyak
pihak-pihak yang memiliki kepetingan didalamnya.
3. Setelah milikili V-legal, perusahaan tetap harus mengurus dokumen
tambahan untuk setiap kali ekspor dan mempersiapakannya untuk audit.
4. Dalam SVLK tidak hanya sebagai syarat ekspor produk kayu, tetapi juga
terdapat tata kelola kayu yang harus dipatuhi oleh semua pelaku industri
furniture dan aturan tambahan ini membuat proses ekspor menjadi sedikit
rumit dan sebenarnya tidak menjamin kenaikan harga, seperti:
a. Pada perusahaan besar dengan sistem yang sudah lebih tersturktur,
SVLK ini tidak menjadi masalah. Tidak ada dampak signifikan yang
terjadi di perusahaan baik itu dalam hal dokumen, harga jual barang
maupun tingkat penjualan barang.
b. Pada perusahaan menengah, SVLK cukup memberatkan karena perlu
menambah karyawan yang khusus mengangani dokumen SVLK di
setiap kali ekspornya dan biaya tambahan yang dikeluarkan untuk
karyawan dan dokumen tidak sesuai dengan harga penjualan barang
karena harga barang memang tidak mengalami kenaikan.
-
c. Pada perusahaan kecil, SVLK sangat memberatkan bahkan bisa menjadi
penghambat untuk melakukan ekspor. Pembuatan dokumen yang rumit
harus dilakukan sendiri oleh pemilik perusahaan karena perusahaan
berskala kecil belum memiliki staff di bidang manajemen dan
administrasi. Serta biaya tambahan yang cukup mahal. Sehingga banyak
permasalahan yang terjadi, seperti keuntungan yang tidak sesuai dengan
biaya tambahan yang diperlukan untuk pengurusan dokumen SVLK.
5. Secara keseluruhan sebenarnya para pelaku industri ini mendukung
adanya SVLK untuk mengurangi pembalakan liar. Namun dalam
implementasinya sebenarnya perlu dikaji ulang, tidak perlu semua
elemen wajib menggunakan SVLK, sehingga diterapkan di industri hulu
atau hilir saja. Dan persyaratannya perlu lebih disederhanakan agar
pengusaha kecil dapat lebih mudah menjalankannya.
-
1 Danang Cahyadi, Hutan Indonesia: Kekayaan & Kompleksitas Masalah, Diakses pada 5 Mei
2016, http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/hutan-indonesia-kekayaan-dan-kompleksitas-
mas/blog/48605/ 2 Tulus Tambunan, Perkembangan dan Daya Saing Meubel Kayu Indonesia, Diakses pada 4 Mei,
2016http://www.online.fe.trisakti.ac.id/pusatstudi_industri/PUSAT%20STUDY%20TULUS%20TAMBUNAN/Pusat%20Studi/Working%20Paper/WP5.pdf
3 Ibid
4 Ibid
5 Dhera Arizona Pratiwi, 2015, Ekspor Mebel Indonesia Capai Rp24,8 Triliun, Diakses pada 6 Mei 2016,
http://economy.okezone.com/read/2016/03/11/470/1333606/2015-ekspor-mebel-indonesia-capai-rp24-8-triliun
6 Kemenperin, Industri Mebel Indonesia Kalah Saing dengan Malaysia, Diakses pada 6 Mei 2016,
http://www.kemenperin.go.id/artikel/9643/Industri-Mebel-Indonesia-Kalah-Bersaing-dengan-Malaysia
7 Tulus Tambunan, Op.cit, hal.10
8 Budi Winarno, Dinamika isu-isu Global Kontemporer, Caps, Yogyakarta, 2007, Hal. 141
9 Ibid, hal.153
10 Dephut, Apa dan Bagaimana SVLK, Diakses pada 5 Mei 2016,
http://silk.dephut.go.id/index.php/info/vsvlk/3 11
Multistakeholder Forestry Programme: Indonesia-EU, Op.cit. hal 11 12
European Forest Institute, Op.cit. hal 6 13
Ibid 14
Ibid 15
European Forest Institute, Op.cit. hal 7 16
European Commission, “FLEGT-Voluntary Partnership Agreements (VPAs)”,Diakses pada 1 Oktober 2016, http://ec.europa.eu/environment/forests/flegt.htm.
17 Kementrian Luar Negeri, “Indonesia dan Uni Eropa Terbitkan FLEGT Lisence”, Diakses pada 17
November 2016, http://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Indonesia-dan-Uni-Eropa-Terbitkan-FLEGT-License.aspx.
18 Wawancara dengan Bp.Rahman Haryanto
http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/hutan-indonesia-kekayaan-dan-kompleksitas-mas/blog/48605/http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/hutan-indonesia-kekayaan-dan-kompleksitas-mas/blog/48605/http://www.online.fe.trisakti.ac.id/pusatstudi_industri/PUSAT%20STUDY%20TULUS%20TAMBUNAN/Pusat%20Studi/Working%20Paper/WP5.pdfhttp://www.online.fe.trisakti.ac.id/pusatstudi_industri/PUSAT%20STUDY%20TULUS%20TAMBUNAN/Pusat%20Studi/Working%20Paper/WP5.pdfhttp://economy.okezone.com/read/2016/03/11/470/1333606/2015-ekspor-mebel-indonesia-capai-rp24-8-triliunhttp://economy.okezone.com/read/2016/03/11/470/1333606/2015-ekspor-mebel-indonesia-capai-rp24-8-triliunhttp://www.kemenperin.go.id/artikel/9643/Industri-Mebel-Indonesia-Kalah-Bersaing-dengan-Malaysiahttp://www.kemenperin.go.id/artikel/9643/Industri-Mebel-Indonesia-Kalah-Bersaing-dengan-Malaysiahttp://ec.europa.eu/environment/forests/flegt.htmhttp://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Indonesia-dan-Uni-Eropa-Terbitkan-FLEGT-License.aspxhttp://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Indonesia-dan-Uni-Eropa-Terbitkan-FLEGT-License.aspx
-
Daftar Pustaka
Danang Cahyadi, Hutan Indonesia: Kekayaan & Kompleksitas Masalah, Diakses
pada 5 Mei 2016,
http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/hutan-indonesia-kekayaan-dan-
kompleksitas-mas/blog/48605/
Tulus Tambunan, Perkembangan dan Daya Saing Meubel Kayu Indonesia, Diakses
pada 4 Mei,
2016http://www.online.fe.trisakti.ac.id/pusatstudi_industri/PUSAT%20STUDY
%20TULUS%20TAMBUNAN/Pusat%20Studi/Working%20Paper/WP5.pdf
Dhera Arizona Pratiwi, 2015, Ekspor Mebel Indonesia Capai Rp24,8 Triliun, Diakses
pada 6 Mei 2016, http://economy.okezone.com/read/2016/03/11/470/1333606/2015-
ekspor-mebel-indonesia-capai-rp24-8-triliun
Kemenperin, Industri Mebel Indonesia Kalah Saing dengan Malaysia, Diakses pada
6 Mei 2016, http://www.kemenperin.go.id/artikel/9643/Industri-Mebel-
Indonesia-Kalah-Bersaing-dengan-Malaysia
Budi Winarno, Dinamika isu-isu Global Kontemporer, Caps, Yogyakarta, 2007, Hal.
141
Dephut, Apa dan Bagaimana SVLK, Diakses pada 5 Mei 2016,
http://silk.dephut.go.id/index.php/info/vsvlk/3
European Commission, “FLEGT-Voluntary Partnership Agreements
(VPAs)”,Diakses pada 1 Oktober 2016,
http://ec.europa.eu/environment/forests/flegt.htm.
Kementrian Luar Negeri, “Indonesia dan Uni Eropa Terbitkan FLEGT Lisence”,
Diakses pada 17 November 2016,
http://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Indonesia-dan-Uni-Eropa-Terbitkan-
FLEGT-License.aspx.
Wawancara dengan Bp.Rahman Haryanto selaku Direktur utama dari A Class
Furniture
http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/hutan-indonesia-kekayaan-dan-kompleksitas-mas/blog/48605/http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/hutan-indonesia-kekayaan-dan-kompleksitas-mas/blog/48605/http://www.online.fe.trisakti.ac.id/pusatstudi_industri/PUSAT%20STUDY%20TULUS%20TAMBUNAN/Pusat%20Studi/Working%20Paper/WP5.pdfhttp://www.online.fe.trisakti.ac.id/pusatstudi_industri/PUSAT%20STUDY%20TULUS%20TAMBUNAN/Pusat%20Studi/Working%20Paper/WP5.pdfhttp://www.online.fe.trisakti.ac.id/pusatstudi_industri/PUSAT%20STUDY%20TULUS%20TAMBUNAN/Pusat%20Studi/Working%20Paper/WP5.pdfhttp://economy.okezone.com/read/2016/03/11/470/1333606/2015-ekspor-mebel-indonesia-capai-rp24-8-triliunhttp://economy.okezone.com/read/2016/03/11/470/1333606/2015-ekspor-mebel-indonesia-capai-rp24-8-triliunhttp://www.kemenperin.go.id/artikel/9643/Industri-Mebel-Indonesia-Kalah-Bersaing-dengan-Malaysiahttp://www.kemenperin.go.id/artikel/9643/Industri-Mebel-Indonesia-Kalah-Bersaing-dengan-Malaysiahttp://ec.europa.eu/environment/forests/flegt.htmhttp://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Indonesia-dan-Uni-Eropa-Terbitkan-FLEGT-License.aspxhttp://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Indonesia-dan-Uni-Eropa-Terbitkan-FLEGT-License.aspx