PENGARUH JENIS LAMPU YANG BERBEDA TERHADAP MITOTIK INDEKS, DENSITAS ZOOXANTELLAE DAN
MORFOLOGI ANEMON ( Heteractis malu ) PADA SKALA LABORATORIUM
Oleh :
MARIA ULFA C64101045
INS
TIT
U T PERTAN
I AN
B O G O R
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini Saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : PENGARUH JENIS LAMPU YANG BERBEDA TERHADAP MITOTIK INDEKS, DENSITAS ZOOXANTHELLAE, DAN MORFOLOGI ANEMON ( Heteractis malu ) PADA SKALA LABORATORIUM adalah benar merupakan hasil karya Saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2009 MARIA ULFA C64101045
RINGKASAN MARIA ULFA. Pengaruh Jenis lampu Yang Berbeda Terhadap Mitotik Indeks, Densitas Zooxanthellae, dan Morfologi Anemon ( Heteractis malu ) Pada Skala Laboratorium. Dibimbing oleh NEVIATY PUTRI ZAMANI dan ADI WINARTO. Anemon hidup di daerah tidal sampai dengan kedalaman 10-14 meter bergantung dari tingkat kejernihan air dan daya tembus cahaya matahari. Cahaya merupakan faktor yang membatasi penyebaran anemon secara vertikal karena zooxanthella yang hidup bersimbiosis dalam tubuh anemon membutuhkan cahaya untuk melakukan fotosintesis. Dalam penelitian ini anemon diberikan perlakuan pencahayaan menggunakan lampu incandescent, lampu flourescent dan cahaya matahari sebagai kontrol. Tujuan penelitian ini adalah melihat pengaruh pencahayaan yang diberikan oleh lampu incandescent dan lampu flourescent terhadap viabilitas zooxanthellae dan morfologi anemon ( H. malu ). Anemon pada ketiga akuarium memperlihatkan penurunan kesehatan. Anemon akuarium 1 dan 2 mengalami bleaching, penyusutan ukuran tubuh dan memperlihatkan tanda-tanda stress, seperti produksi mucus yang berlebihan, keluarnya mesenterial filament, dan tentakel tidak aktif bergerak bila disentuh. Stress yang dialami anemon akuarium 1 lebih ringan daripada stress yang dialami oleh anemon akuarium 2. Anemon akuarium 3 memperlihatkan penyusutan ukuran tubuh dan mengalami bleaching dengan kondisi yang lebih stabil bila dibandingkan dengan anemon akuarium 1 dan 2. Mitotik indeks zooxanthellae pada akhir perlakuan : akuarium 1 bertambah sebesar18,4%; akuarium 2 berkurang sebesar 67%; dan akuarium 3 bertambah 37%. Rata-rata densitas zooxanthellae pada individu akuarium 1 sebelum diberikan perlakuan sebesar 9,3 x104 /cm2 dan rata-rata densitas zooxanthellae pada d5h9 sebesar 3,5 x104 / cm2 atau berkurang sebesar 62,37%. Rata-rata densitas zooxanthellae pada individu akuarium 2 sebelum diberikan perlakuan sebesar 5,4 x 104 /cm2 dan rata-rata densitas zooxanthellae pada d5h9 sebesar 1,3 x 104 / cm2 atau berkurang sebesar 75,9%. Rata-rata densitas zooxanthellae pada individu akuarium 3 sebelum diberikan perlakuan sebesar 12,8 x 104/cm2 dan rata-rata densitas zooxanthellae pada d5h9 sebesar 9,3 x 104/ cm2 atau berkurang sebesar 27,3%. Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm pada akhir perlakuan: akuarium 1 berkurang sebesar 56,77%; akuarium 2 berkurang sebesar 1,58%; dan akuarium 3 berkurang sebesar 40,54%. Penggunaan lampu incandescent dan fluorescent secara tidak langsung mengakibatkan kerusakan morfologi anemon ( H. malu ). Viabilitas anemon ( H. malu ) dipengaruhi oleh densitas zooxanthellae. Penggunaan lampu incandescent dan fluorescent dapat memacu mitotik indeks zooxanthellae dan mengakibatkan penurunan densitas zooxanthellae pada anemon ( H. malu ).
@Hak cipta IPB tahun 2009 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGARUH JENIS LAMPU YANG BERBEDA TERHADAP MITOTIK INDEKS, DENSITAS ZOOXANTHELLAE DAN MORFOLOGI ANEMON
( Heteractis malu ) PADA SKALA LABORATORIUM
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan Pada Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
MARIA ULFA C64101045
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
SKRIPSI Judul skripsi : PENGARUH JENIS LAMPU YANG BERBEDA
TERHADAP MITOTIK INDEKS, DENSITAS ZOOXANTHELLAE, DAN MORFOLOGI ANEMON ( Heteractis malu ) PADA SKALA LABORATORIUM
Nama : Maria Ulfa NIM : C64101045 Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui,
Dosen Pembimbing Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc drh. Adi Winarto, Ph.D NIP. 19641014 198803 2 001 NIP. 19540516 198601 1 001
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 19610410 198601 1 002
Tanggal lulus : 10 Agustus 2009
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi-Mu ya Allah yang telah memberikan kenikmatan dan
kesempatan untuk menyelami lautan ilmu-Mu yang Maha Luas. Skripsi dengan
judul “Pengaruh Jenis Lampu yang Berbeda Terhadap Mitotik Indeks, Densitas
Zooxanthella, dan Morfologi Anemon ( Heteractis malu ) Pada Skala
Laboratorium” ini Penulis ajukan sebagai Salah satu syarat dalam memperoleh
gelar Sarjana Perikanan di Institut Pertanian Bogor.
Dalam proses penyelesaian tugas akhir ini Penulis tidak lepas dari kesalahan
dan kekurangan. Berkat bantuan, dorongan, dan pengarahan dari berbagai pihak
akhirnya Penulis dapat menyelesaikannya. Oleh karena itu Penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M. Sc dan drh. Adi Winarto, Ph. D sebagai
Komisi Pembimbing atas bimbingan, arahan, kesabaran dan motivasi yang
diberikan selama membimbing Penulis sehingga Penulis Terus berjuang
menyelesaikan pendidikan di IPB;
2. Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc. sebagai Dosen Pembimbing Akademik atas
bimbingan, arahan, dan nasihatnya sehingga Penulis termotivasi dan terus
berjuang menyelesaikan pendidikan di IPB;
3. Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA sebagai dosen penguji;
4. Dr. Ir. Henry M. Manik sebagai Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi
Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB;
5. Staf dosen Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, semoga ilmu
yang diberikan dapat bermanfaat dan Allah SWT memberikan pahala yang
berlipat atas segala amal dan ibadahnya;
6. Badan Dakwah Islam Petrocina atas bantuan dana sehingga penulis dapat
melaksanakan penelitian dan menyelesaikan pendidikan di IPB;
7. Ayahanda Kusnayadi dan Ibunda Fauziah tercinta yang telah mendidik dan
membesarkan Penulis dengan penuh kasih sayang. Berkat doa dan ridho
beliaulah Allah SWT memberikan pertolongan, petunjuk, dan sebagian
kecil dari samudera ilmu-Nya kepada Penulis;
8. Kakak dan kedua adik tercinta atas doa dan dukungannya;
9. Kakanda Dani H. tercinta yang senantiasa mengorbankan waktu, tenaga,
dan pikiran serta haknya kepada penulis selama menyelasaikan studi di
IPB;
10. Putra dan putri tercinta yang memotivasi dan memberikan semangat
selama Penulis menyelesaikan skripsi ini;
11. Staf Departememen ITK, rekan-rekan ITK dan pihak-pihak lain yang telah
membantu Penulis selama penelitian dan proses penyusunan Skripsi ini.
Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Kritik dan saran yang bersifat
membangun diharapkan dapat mengurangi ketidaksempurnaan Penulis. Semoga
Skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.
Bogor, Agustus 2009
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR …………………………………………………… xi DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………… xv
I. PENDAHULUAN ………………………………………………....... 1 1.1. Latar Belakang ……………………………………………….. 1 1.2. Tujuan ………………………………………………………... 2
. II. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………..... 3
2.1. Biologi anemon ………………………………………………… 3 2.1.1. Struktur tubuh anemon …………………………………. 3 2.1.2. Klasifikasi ………………………………………………. 5 2.1.3. Reproduksi …………………………………………...… 5 2.1.4. Cara makan …………………………………………… 6 2.1.5. Stress pada anemon …………………………………… 7
2.2. Zooxanthellae ………………………………………………… 7 2.3. Mitosis dan mitotik indeks ………………………………… 10
2.3.1. Pembelahan mitosis …………………………………….. 10 2.3.2. Mitotik indeks ………………………………………… 12
2.4. Karakteristik Cahaya ……………………………………… 12
III. METODE PENELITIAN ………………………………………….. 13 3.1. Waktu dan tempat penelitian ………………………………….. 13 3.2. Alat dan bahan ………………………………………………… 13 3.3. Metode ……………………………………………………… 14 3.4. Metode pengambilan data …………………………………….. 15
3.4.1. Pengamatan visual ……………………………………... . 15 3.4.2. Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm anemon
( H. malu )………….……………………………………. 16 3.4.3. Mitotik indeks zooxanthellae…………………………… 17 3.4.4. Densitas zooxanthellae ...................................................... 17
3.5. Analisa data …………………………………………………..... 18 3.5.1. Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm ………….. 18 3.5.2. Mitotik indeks …………………………………………… 18 3.5.3. Densitas zooxanthellae …………. .................................... 19 3.5.4. Uji statistik ……………………………………………. 19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………... 20 4.1. Hasil penelitian ………………………………………………… 20
4.1.1. Karakteristik gelombang lampu …………........................ 20 4.1.2. Pengamatan visual ………………………………………. 21 4.1.3. Pengamatan preparat histologis …………………………. 24 4.1.4. Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm …………. 25 4.1.5. Mitotik indeks …………………………………………. 30 4.1.6. Densitas zooxanthellae ………………………………….. 41
4.2.Pembahasan …………………………………………………… 52
V. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………… 59 5.1.Kesimpulan …………………………………………………… 59 5.2.Saran …………………………………………………………… 61
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………...... 62 LAMPIRAN …………………………………………………………...….. 65 RIWAYAT HIDUP ………………………………………………….......... 99
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Anatomi anemon …………………………………………………….. 3
2. Potongan membujur tubuh anemon ………………………………… 4
3. Zooxanthellae yang berasal dari Porites lutea dilihat dengan menggunakan mikroskop cahaya …………………………………….. 8
4. Pembelahan sel secara mitosis ……………………………………….. 10
5. Proses pembelahan mitosis ………………………………………… 11
6. Akuarium 1 menggunakan lampu incandescent……………………… 14
7. Akuarium 2 menggunakan lampu fluorescent ………………………. 14
8. Akuarium 3 sebagai control dengan cahaya matahari alami ………… 15
9. Diagram pembuatan preparat histologis ……………………………... 17
10. Karakteristik gelombang lampu incandescent ( A ) dan lampu fluorescent ( B )………………………………………………………. 20
11. Kondisi anemon pada akuarium 1 ( lampu incandescent ). Anemon sebelum diberikan perlakuan ( A ), saat diberi perlakuan ( B ), warna lebih pucat pada d5 ( C ), dan setelah 26 hari ( D ) …........................... 22
12. Kondisi anemon pada akuarium 2 ( lampu fluorescent ). Anemon
sebelum diberikan perlakuan ( A & B ), saat d3 ( C ), dan setelah diberikan perlakuan pada d7 ( D ) ………………………………… 23
13. Kondisi anemon pada akuarium 3. Sebelum anemon diberikan
perlakuan ( A ). Saat anemon diberikan perlakuan ( B ). Setelah anemon diberikan perlakuan ( C ) …………………………………… 24
14. Morfologi anemon pada akuarium 1 saat d-1 ( A ), saat d3 ( B ),
dan saat d5 ( C )……………………………………………………….. 24
15. Morfologi anemon pada akuarium 2 saat d-1 ( A ), saat d3 ( B ),
dan saat d5 ( C )………………………………………………………. 24
16. Morfologi anemon pada akuarium 3 saat d-1 ( A ), saat d3 ( B ), dan saat d5 ( C )……………………………………………………….. 25
17. Nilai rata-rata dan standard error rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm akuarium 1 ( lampu incandescent )……………….. 26
18. Potongan melintang tentakel anemon ( H. malu ) di akuarium 1 saat d-1 ( A ), saat d3 ( B ), dan saat d5 ( C )………………………………. 26
19. Nilai rata-rata dan standard error rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm akuarium 2 ( lampu flourecent ) …………………… 27
20. Potongan melintang tentakel anemon ( H. malu ) di akuarium 1 saat d-1 ( A ), saat d3 ( B ), dan saat d5 ( C )………………………………. 27 21. Nilai rata-rata dan standard error rasio ketebalan gastroderm
dengan ektoderm akuarium 3 ( cahaya matahari ) …………………… 28
22. Potongan melintang tentakel anemon ( H. malu ) di akuarium 1 saat d-1 ( A ), saat d3 ( B ), dan saat d5 ( C )………………………………. 28
23. Nilai rata-rata dan standard error rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm pada setiap perlakuan saat d-1 .................................. 29
24. Nilai rata-rata dan standard error rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm pada setiap perlakuan saat d3.................................... 29
25. Nilai rata-rata dan standard error rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm pada setiap perlakuan saat d5 …............................... 30
26. Nilai rata-rata dan standard error mitotik indeks pada akuarium 1 ( lampu incandescent )………............................................................... 31
27. Nilai rata-rata dan standard error mitotik indeks pada akuarium 2 ( lampu flourescent ) ………................................................................. 31
28. Nilai rata-rata dan standard error mitotik indeks pada akuarium 3 ( cahaya matahari )…….……................................................................ 32
29. Nilai rata-rata dan standard error mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d-1 ……………………………………….. 33
30. Nilai rata-rata dan standard error mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d1h0 ……………………………………… 34
31. Nilai rata-rata dan standard error mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d1h1 ……………………………………… 34
32. Nilai rata-rata dan standard error mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d1h3 ……………………………………… 35
33. Nilai rata-rata dan standard error mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan aat d1h6 ……………………………………… 36
34. Nilai rata-rata dan standard error mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d1h9 ……………………………………… 36
35. Nilai rata-rata dan standard error mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d2h1……………………………………….. 37
36. Nilai rata-rata dan standard error mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d2h9………………………………………. 37
37. Nilai rata-rata dan standard error mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d3h1……………………………………….. 38
38. Nilai rata-rata dan standard error mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d3h9 ....................................................
39. Nilai rata-rata dan standard error mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d4h1 ……………………………………… 39
40. Nilai rata-rata dan standard error mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d4h9 ……………………………………… 39
41. Nilai rata-rata dan standard error mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d5h1……………………………………….. 40
42. Nilai rata-rata dan standard error mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d5h9 ……………………………………… 40
43. Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada akuarium 1 ( lampu incandescent )……................................................ 41
44. Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada akuarium 2 ( lampu flourecent ) ………............................................... 42
45. Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada akuarium 3 ( cahaya matahari )……….................................................. 43
46. Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d-1 ………………………………………… 43
47. Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d1h0…………………………………………….. 44
48. Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d1h1…………………………………………… 45
49. Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d1h3 ……………………………………………. 45
50. Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d1h6…………………………………………… 46
51. Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d1h9…………………………………………… 46
52. Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d2h1…………………………………………… 47
53. Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada setiap perlakuan aat d2h9 …………………………………………….. 48
54. Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d3h1 …………………………………………… 48
55. Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d3h9 …………………………………………… 49
56. Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada
setiap perlakuan saat d4h1……………………………………………. 50
57. Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d4h9…………………………………………… 50
58. Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada
setiap perlakuan saat d5h1……………………………………………. 51
59. Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d5h9……………………………………………. 51
60. Keterkaitan antara Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm
anemon ( H. malu ), mitotik indeks zooxanthellae, dan densitas zooxanthellae………………………………………………………… 59
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Data mentah mitotik indeks ………………………………………… 65
2. Data mentah densitas zooxanthellae di akuarium 1 ( lampu incandescent ) ……………………………………………… 67
3. Data mentah densitas zooxanthellae di akuarium 2 ( lampu flourescent ) ………………………………………………… 68
4. Data mentah densitas zooxanthellae di akuarium 3 ( cahaya matahari ) ………………………………………………… 69
5. Data mentah rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm akuarium 1…………………………………………………………… 70
6. Data mentah ketebalan gastroderm dengan ektoderm akuarium 2…………………………………………………………… 72
7. Data mentah ketebalan gastroderm dengan ektoderm akuarium 3…………………………………………………………… 74
8. Hasil uji statistik densitas zooxanthellae …………………………… 76
9. Hasil uji statistik mitotik indeks zooxanthellae……………………… 86
10. Hasil uji statistik rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm …….. 96
11. Data kualitas air ……………………………………………………… 98
12. Alat dan bahan ………………………………………………………. 99
13. Daftar Riwayat Hidup ……………………………………………… 100
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan ekosistem khas perairan tropis yang memiliki
karakter unik dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Daerah terumbu
menyediakan variasi habitat untuk berbagai jenis biota. Daerah ini tidak hanya
terdiri dari terumbu saja, tetapi juga daerah berpasir, berbagai teluk dan celah,
daerah laguna, daerah alga dan juga perairan yang dangkal. Variasi habitat
mengakibatkan banyak biota yang hidup berasosiasi di dalamnya, sehingga
ekosistem terumbu karang memiliki keanekaragaman spesies yang sangat tinggi
termasuk biota anemon.
Anemon merupakan salah satu biota yang hidup di ekosistem terumbu karang.
Anemon ditemukan hidup di daerah tidal sampai dengan kedalaman 10-14 meter
( Haefelfinger & Thenius, 1974 ) bergantung dari tingkat kejernihan air dan daya
tembus cahaya matahari. Cahaya merupakan faktor yang membatasi penyebaran
anemon secara vertikal karena zooxanthella yang hidup bersimbiosis dalam tubuh
anemon membutuhkan cahaya untuk melakukan fotosintesis.
Cahaya mengalami proses perenyapan ( ekstinksi ) dalam perambatannya baik
di atmosfer maupun dalam perairan, Energi gelombang cahaya yang berhasil
menembus lapisan-lapisan air akan semakin habis dan pada kedalaman tertentu
akan lenyap sama sekali sehingga lapisan air pada batas kedalaman tadi
merupakan bagian yang diliputi kegelapan. Selain intensitas energi yang
berkurang dengan adanya perenyapan, komposisi warna juga berubah. Pada
kedalaman 1 m, hampir seluruh warna infra merah direnyapkan. Pada kedalaman
10 m warna merah renyap. Pada kedalaman 100 m hanya warna kuning, hijau dan
biru dengan intensitas sangat kecil. Di bawah kedalaman 100 m merupakan
daerah gelap gulita ( Ilahude, 1999 ).
Karakteristik cahaya yang unik ini digunakan dalam penelitian untuk
mengetahui pengaruhnya pada kesehatan anemon. Biota ini dapat digunakan
sebagai indikator perubahan lingkungan perairan tropis yang baik karena
kesensitifannya terhadap faktor-faktor lingkungan dan sifat mereka yang menetap.
Selain itu biota ini juga memiliki hubungan yang unik antara inang dengan alga
simbionnya, yaitu zooxanthella.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh penyinaran dengan lampu
flourescent, lampu incandescent dan matahari terhadap morfologi anemon dan
viabilitas zooxanthellae dalam akuarium.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi Anemon 2.1.1. Struktur tubuh anemon
Secara garis besar struktur tubuh anemon terdiri atas oral disk, coloum dan
pedal disk. Oral disk adalah bagian teratas anemon. Pada oral disk terdapat
mulut yang juga berfungsi sebagai anus. Di sekeliling mulut terdapat tentakel
yang berfungsi untuk menangkap makanan. Di tentakel terdapat sel knidosit atau
sel penyengat yang menjadi ciri khas Filum Cnidaria. Sel knidosit berfungsi
untuk menyengat mangsa. Mulut dilanjutkan dengan stomodaeum yang langsung
menghubungkannya dengan coelenteron atau rongga perut. Di dalam rongga
perut terdapat mesenteri filament yang berfungsi sebagai usus. Basal disk
merupakan bagian yang menempel pada substrat.
Sumber : Fautin dan Mariscal ( 1991 ).
Gambar 1. Anatomi anemon.
Dinding polip terdiri atas dua lapisan. Lapisan luar disebut ektoderm dan
lapisan dalam disebut endoderm atau gastroderm. Di antara ektoderm dan
gastroderm terdapat lapisan antara yang disebut mesoglea. Ektoderm terdiri atas
sel lendir yang berada dalam sel-sel kelenjar dan sel nematoksis yang berada
dalam sel knidoblast. Sel lendir menghasilkan lendir yang berfungsi untuk
memerangkap makanan dan membersihkan diri dari kotoran yang menempel. Sel
nematoksis berfungsi sebagai sel penyengat untuk menangkap makanan dan
sebagai alat untuk mempertahankan diri. Pada lapisan gastroderm terdapat alga
bersel tunggal yang merupakan simbion anemon. Alga yang bersimbiosis ini
disebut zooxanthellae.
Sumber : Fautin dan Mariscal ( 1991 ).
Gambar 2. Potongan membujur tubuh anemon memperlihatkan ektoderm ( EP ), gastroderm ( G ), mesenteri ( M ), filament ( E ), coelenteron dan silia ( CT ).
Struktur utama dari lapisan gastroderm adalah mesenteri filament. Meserteri
filament terlibat dalam banyak fungsi , seperti dalam sistem reproduksi,
pencernaan, dan sirkulasi. Pada anemon, setiap sel epitheliomuscular dari
mesenteri memiliki silia. Silia ini sangat penting dalam pergerakan air yang
melewati coelenteron ( Fautin & Mariscal,1991 )
Jaringan saraf tersebar di ektoderm, gastroderm dan mesoglea. Jaringan saraf
ini dikoordinasikan oleh sel khusus yang disebut sel penghubung. Sel
penghubung bertanggung jawab memberi respon, baik secara mekanis maupun
kimiawi serta adanya stimuli cahaya ( Suharsono, 1996 ).
2.1.2. Klasifikasi anemon Anemon merupakan salah satu biota pembentuk ekosistem terumbu karang.
Secara morfologi dan fisiologi hewan ini mirip dengan koral. Berikut klasifikasi
anemon yang digunakan dalam penelitian menurut Kaestner ( 1967 ) :
Filum : Cnidaria
Kelas : Anthozoa
Ordo : Actinaria
Sub Ordo : Myantheae
Tribe : Endimyaria
Famili : Stichodactylidae
Genus : Heteractis
Spesies : H. malu
2.1.2. Reproduksi
Reproduksi anemon terjadi secara seksual dan aseksual. Nybakken ( 1988 )
menyatakan bahwa proses reproduksi seksual dimulai dengan gametogenesis,
yaitu pembentukan calon gamet sampai gamet matang. Gamet yang matang
dilepaskan dalam bentuk larva planula. Planula yang dilepaskan akan berenang
bebas dalam perairan. Bila planula telah menemukan tempat yang cocok, maka
planula akan menempel pada substrat untuk menetap dan berkembang.
Reproduksi aseksual dilakukan dengan cara membentuk tunas. Tunas baru
yang tumbuh di permukaan bagian bawah atau pada bagian sisi melekat sampai
mencapai ukuran tertentu, kemudian melepaskan diri dan tumbuh menjadi
individu baru. Pembentukan tunas dapat dilakukan secara intertentakular dan
ekstratentakular. Pertunasan intertentakular merupakan pembentukan individu
baru di dalam individu lama. Sedangkan pertunasan ekstratentakular adalah
pembentukan individu baru di luar.
2.1.4. Cara makan
Berdasarkan makanannya, anemon dikelompokkan menjadi dua, yaitu fishers
dan particle feeders. Kelompok pertama biasanya memakan ikan- ikan kecil,
crustacea dan plankton. Mangsa akan disengat oleh nematoksis kemudian dijerat
oleh tentakel kemudian dibawa ke mulut. Pada anemon yang bersimbiosis dengan
ikan Amphiprion, ikan ini akan membantu anemon memotong-motong
makanannya dan membantu anemon untuk memasukan makanannya ke mulut
anemon. Sedangkan kelompok kedua memperoleh makanan menggunakan
mucus. Partikel akan menempel pada mucus kemudian akan dibawa ke mulut
dengan menggunakan silia yang ada di seluruh permukaan tubuhnya
( Haefelfinger & Thenius, 1974 ).
Hadi dan Sumadiyo ( 1992 ) menyatakan bahwa anemon mampu makan dalam
jumlah yang sangat banyak, tetapi bila makanannya sedikit atau jarang anemon
akan melipat diri sehingga ukuran tubuhnya menyusut. Bila anemon mengkerut
akan terlihat seperti bola dengan sedikit tentakel tersembul keluar. Menurut
Emmers ( 1990 ), banyak anemon pemakan yang aktif di dalam akuarium, tetapi
makanannya harus datang sendiri kepadanya.
2.1.5. Stress pada anemon
Stress merupakan suatu kondisi penurunan kualitas hidup yang disebabkan
oleh adanya perubahan ekosistem atau adanya faktor-faktor yang menyebabkan
menurunnya produktifitas. Anemon yang mengalami stress akan mengalami
perubahan-perubahan dalam metabolisme, respon tingkah laku terhadap
lingkungan dan biologi reproduksinya akibat faktor-faktor eksternal ataupun
internal yang membatasi aktifitas biota ini. Hayes dan Bush in Zamani ( 1995 )
mengemukakan bahwa koral yang mengalami bleaching akan mengeluarkan
mucus, gangguan pada lapisan gastroderm, dan gangguan pada vakuola yang
didalamnya terdapat zooxanthellae. Anemon akan melakukan adaptasi untuk
mengurangi atau menghilangkan stress. Jika adaptasi yang dilakukan berhasil
maka biota ini akan kembali dalam keadaan homeostatis, tetapi bila tidak berhasil
maka biota ini akan mengalami stress kembali dengan kemungkinan stress yang
bertambah besar ( Sarwono, 1992 ).
2.2. Zooxanthellae
Zooxanthella merupakan alga bersel tunggal dari kelas Dinoflagellatae.
Sebagian besar zooxanthellae yang ditemukan berasal dari genus Symbiodinium.
Zooxanthellae dapat ditemukan hidup bebas di perairan atau hidup bersimbiosis
dengan hewan dari filum Cnidaria, seperti pada koral dan anemon. Selain itu,
zooxanthellae juga ditemukan pada kima, ubur-ubur dan sponge. Zooxanthellae
memberikan warna pada hewan
berwarna coklat dan disebut zoochlorella bila berwarna hijau.
Sumber zooxanthellae yang ada di dalam polip diturunkan oleh induknya
melalui reproduksi, baik secara sek
langsung mentransfer zooxanthellae ke dalam telur atau larva. Sedangkan sumber
zooxanthellae di lingkung
pemakan karang dan pemakan zooplankton yang di dalamnya mengandung
zooxanthellae.
Hubungan antara anemon dengan zoox
Zooxanthellae menyumbang 90% dari hasil fotosintesisnya untuk memenuhi
kebutuhan energi bagi k
zooxanthellae, karang memberikan perlindungan dari
menyediakan nutrien seperti
untuk fotosintesis
Gambar 3. Zooxanthellae yang berasal dari menggunakan mikroskop
Intensitas cahaya yang cukup akan memungkinkan zooxanthellae memberi
suplai nutrisi penting ke tubuh koral.
zooxanthellae untuk fotosintesis berasal dari sinar matahari yang mencap
102,000 lux ( 1,900 µ E m s ). Tetapi, koral tidak membutuhkan cahaya matahari
memberikan warna pada hewan-hewan tersebut. Alga disebut zooxanthellae bila
berwarna coklat dan disebut zoochlorella bila berwarna hijau.
Sumber zooxanthellae yang ada di dalam polip diturunkan oleh induknya
melalui reproduksi, baik secara seksual maupun aseksual. Secara seksual induk
langsung mentransfer zooxanthellae ke dalam telur atau larva. Sedangkan sumber
zooxanthellae di lingkungan berasal dari perairan sekitar atau dari sisa organisme
pemakan karang dan pemakan zooplankton yang di dalamnya mengandung
Hubungan antara anemon dengan zooxanthellae adalah simbiosis mutu
Zooxanthellae menyumbang 90% dari hasil fotosintesisnya untuk memenuhi
bagi koral ( Davies, 1984 in Zamani, 1995 ). Sementara bagi
zooxanthellae, karang memberikan perlindungan dari grazer, shelter
menyediakan nutrien seperti nitrogen, fosfor dan karbon dioksida sebagai bahan
untuk fotosintesis
Sumber : Wikipedia, 2008.
Gambar 3. Zooxanthellae yang berasal dari Porites luteamenggunakan mikroskop cahaya.
Intensitas cahaya yang cukup akan memungkinkan zooxanthellae memberi
suplai nutrisi penting ke tubuh koral. Intensitas cahaya yang dibutuhkan
zooxanthellae untuk fotosintesis berasal dari sinar matahari yang mencap
( 1,900 µ E m s ). Tetapi, koral tidak membutuhkan cahaya matahari
hewan tersebut. Alga disebut zooxanthellae bila
Sumber zooxanthellae yang ada di dalam polip diturunkan oleh induknya
Secara seksual induk
langsung mentransfer zooxanthellae ke dalam telur atau larva. Sedangkan sumber
an berasal dari perairan sekitar atau dari sisa organisme
pemakan karang dan pemakan zooplankton yang di dalamnya mengandung
anthellae adalah simbiosis mutualisme.
Zooxanthellae menyumbang 90% dari hasil fotosintesisnya untuk memenuhi
Sementara bagi
shelter dan
nitrogen, fosfor dan karbon dioksida sebagai bahan
dilihat dengan
Intensitas cahaya yang cukup akan memungkinkan zooxanthellae memberi
Intensitas cahaya yang dibutuhkan
zooxanthellae untuk fotosintesis berasal dari sinar matahari yang mencapai
( 1,900 µ E m s ). Tetapi, koral tidak membutuhkan cahaya matahari
secara penuh. Mereka dapat berkembang baik dengan intensitas cahaya relatif
yang lebih sedikit ( Emmers, 1990 ).
Kejernihan air juga berhubungan dengan pencahayaan. Kejernihan air dalam
akuarium dipengaruhi oleh banyak faktor. Semakin jernih air, semakin besar porsi
cahaya yang sampai ke dasar akuarium. Kejernihan air dipengaruhi oleh jumlah
kandungan fitoplankton, zooplankton, sedimen/debu pasir yang melayang di air
serta partikel terlarut yang akan membuat air akuarium menjadi keruh. Selain
disebabkan oleh tingkat kekeruhan air, intensitas cahaya yang sampai ke dasar
akuarium juga dipengaruhi oleh pergerakan air. Semakin deras pergerakan air,
intensitas cahaya yang sampai ke dasar akuarium akan semakin berkurang
( Emmers, 1990 ).
Densitas zooxanthellae dari setiap koloni sangat bervariasi tergantung dari
habitat dan kedalaman tempat inangnya hidup. Haefelfinger dan Thenius ( 1974 )
menyatakan dalam larva planula sepanjang 1 mm telah ditemukan sekitar 7000
sel alga. Wilson ( 1989 ) in Zamani ( 1995 ) menemukan jumlah zooxanthellae
pada Porites lutea berkisar antara 2.01 x 106 sampai 3,13 x 106 per cm2.
Penelitian yang dilakukan oleh Brown et al. ( 1995 ) menemukan jumlah
zooxantellae pada koral di zona inter-tidal berkisar antara 0,9 x 106 sampai 2,3 x
107 per cm2. Jumlah zooxantellae terbesar ditemukan pada bagian yang paling
banyak terpapar oleh sinar ( Brown et al., 1995 ), seperti pada bagian oral disk,
oral cone, dan tentakel ( Zamani,1995 ).
Dalam keadaan normal, jumlah zooxanthellae berubah sesuai musim
sebagaimana penyesuian karang terhadap lingkungan. Selama peristiwa
bleaching, karang kehilangan 60-90% dari jumlah zooxantellaenya dan yang
tersisa dapat kehilangan 50-80% dari pigmen fotosintesisnya
( Westmacott et al., 2000 ). Jika intensitas cahaya rendah, maka kandungan
klorofil zooxanthellae tetap. Peningkatan intesitas cahaya dalam waktu lama
dapat membuat zooxanthellae mengurangi klorofil di dalam tubuhnya
( fotodegradasi ). Fotodegradasi juga terjadi jika anemon zooxanthellae terpapar
sinar ultra violet dalam jangka waktu cukup lama dan perubahan warna pigmen
akan sangat jelas dapat teramati ( Thieberger et al., 1995).
2.3. Mitosis Dan Mitotik Indeks
2.3.1. Pembelahan mitosis
Mitosis merupakan tahapan pembelahan dalam siklus sel. Pembelahan mitosis
menghasilkan sel anak yang jumlah kromosomnya sama dengan jumlah
kromosom induknya. Pada organisme bersel satu, mitosis merupakan proses
reproduksi untuk memperbanyak diri. Sedangkan pada organisme multiseluler,
mitosis terjadi di sel somatis untuk perbanyakan sel dan pertumbuhan. Sel-sel
tersebut memiliki kemampuan yang berbeda dalam melakukan pembelahan . Ada
sel yang mampu melakukan pembelahan secara cepat, ada yang lambat, dan ada
juga yang tidak mengalami pembelahan sama sekali setelah melewati masa
pertumbuhan tertentu.
. Sumber : Wikipedia, 2009.
Gambar 4. Pembelahan sel secara mitosis.
Pada organisme multiseluler, poses pembelahan sel dibedakan menjadi dua
tahap utama, yaitu tahap interfase dan tahap mitosis. Interfase terdiri atas tiga
tahap, yaitu tahap G1, tahap S, dan tahap G2. G1 adalah tahap dimana proses
metabolisme telah lengkap dalam persiapan sintesis DNA. Pada tahap S terjadi
sintesis DNA. G2 merupakan tahapan sebelum tahap mitosis ( Zamani, 1995 ).
Sumber : Crayonpedia, 2009.
Gambar 5. Proses pembelahan mitosis. Tahap mitosis dibedakan atas dua tahap, yaitu tahap kariokinesis dan
sitokinesis. Kariokinesis adalah proses pembagian materi inti yang terbagi dalam
beberapa tahap, yaitu profase,metafase, anafase dan telofase. Sedangkan
sitokinesis adalah pembagian sitoplasma kepada dua anak sel hasil pembelahan.
2.3.2. Mitotik indeks
Mitotik indeks adalah angka indeks yang menyatakan jumlah sel yang
melakukan pembelahan dalam 500 sel sebagai dasar perbandingan. Pada
beberapa penelitian didapatkan hasil bahwa mitotik indeks merupakan indeks
yang sensitif terhadap perubahan yang terjadi. Oleh karena itu, mitotik indeks
digunakan sebagai indikator perubahan lingkungan.
2.4. Karakteristik Cahaya
Dalam perambatannya di atmosfer maupun dalam perairan, cahaya mengalami
proses perenyapan ( ekstinksi ). Energi gelombang cahaya yang berhasil
menembus lapisan-lapisan air akan semakin habis dan pada kedalaman tertentu
akan lenyap sama sekali sehingga lapisan air pada batas kedalaman tadi
merupakan bagian yang diliputi kegelapan. Selain intensitas energi yang
berkurang dengan adanya perenyapan, komposisi warna juga berubah. Pada
kedalaman 1 m, hampir seluruh warna infra merah direnyapkan. Pada kedalaman
10 m warna merah renyap. Pada kedalaman 100 m hanya warna kuning, hijau dan
biru dengan intenitas sangat kecil. Di bawah kedalaman 100 m merupakan daerah
gelap gulita ( Ilahude, 1999 ).
METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Maret-Agustus 2007. Pengamatan dan
pengambilan data dilakukan pada bulan Maret-Mei 2007 di Bagian Hidrobiologi,
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor. Pembuatan preparat histologis dilakukan pada bulan
Juni-Agutus di Bagian Histologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan
Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : 3 Set akuarium yang
dilengkapi dengan sistem filtrasi dan aerasi; lampu incandescent dan lampu
fluorescent; termometer; refraktometer; spektrometer; kertas pH; oven;
mikroskop cahaya Olympus CHS 20 EM; inkubator; mikrotom; plastik hitam;
gunting dan pinset.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : 1600 liter air laut; 9 ekor
anemone ( Heteractis malu ); glacial acetic acid; formalin 4%; 1M HCl;
alkohol dengan konsentrasi 70%,80%,90% dan 100%; xilol; paraffin; gliserin;
hemaktosilin; eosin; akuades; air keran; objec glass; cover glass; lem perekat
balsamic ( merek dagang ); minyak imersi; kertas tisu; dan pakan anemon
berupa cacing beku, udang rebon beku dan cincangan daging ayam.
3.3 Metode
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 3 buah akuarium. Masing
masing akuarium diisi dengan air laut dan di dalamnya diletakkan 3 ekor anemon.
Akuarium 1 diberi lampu incandescent dan akuarium 2 diberi lampu fluorescent,
sedangkan akuarium 3 mendapatkan penyinaran alami. Akuarium 1 dan akuarium
2 ditutup dengan menggunakan plastik hitam sehingga hanya menerima cahaya
yang bersumber dari lampu saja. Penyinaran dengan menggunakan lampu
dilakukan selama 9 jam, dimulai pada pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul
17.00 WIB. Perlakuan penyinaran diberikan selama lima hari.
Gambar 6. Akuarium 1 menggunakan lampu incandescent.
Pembuat arus(pompa)
Pompa
Rubble (pecahan karang)
Biota
outlet
Termometer
Protein skimmer
Plastik hitam
aerator
outlett
Kapas
(B) Lampu fluorescent
Gambar 7. Akuarium 2 menggunakan lampu fluorescent
MatahariTermometer
Outlet Inlet
Biota Pembuat arus(pompa)
Aerator
Pompa
Outlet
Rubble (Pecahan karang)
Kapas filter
Protein Skimmer
Gambar 8. Akuarium 3 sebagai kontrol dengan cahaya matahari alami.
3.4. Metode Pengambilan Data
3.4.1. Pengamatan visual
Pengamatan visual dilakukan selama adaptasi didalam akuarium, sebelum
diberikan perlakuan, saat diberikan perlakuan, dan setelah diberikan perlakuan.
Pengamatan dilakukan 1 kali dalam satu hari selama adaptasi, sebelum perlakuan
dan setelah perlakuan. Pada saat anemon diberi perlakuan, pengamatan visual
dilakukan tiga kali dalam satu hari pada pukul 08.00, pukul 12.00 dan pukul 17.00
WIB.
Pengamatan secara visual dilakukan untuk melihat kondisi kesehatan anemon.
Kondisi kesehatan anemon ini diindikasikan dari jumlah tentakel yang aktif,
warna polip, kondisi mesenteri filament dan produksi mucus atau lendir. Produksi
lendir yang dihasilkan oleh anemon dapat dilihat dari kekeruhan air. Semakin
banyak lendir yang dihasilkan maka air akan semakin keruh.
3.4.4. Rasio ketebalan ektoderm dengan gastroderm anemon ( H.malu )
Tiga tentakel diambil dari setiap individu. Kemudian tentakel difiksasi dengan
menggunakan formalin 4%. Setelah itu tentakel dibuat sediaan histologisnya.
Proses pembuatan preparat histologis dapat dilihat pada gambar 9. Analisa rasio
ketebalan ektoderm dengan gastroderm dilakukan dengan menggunakan preparat
histologis dan dilihat pada perbesaran 40x pada mikroskop cahaya. Ketebalan
lapisan gastroderm dan ektoderm diukur dengan menggunakan mikrometer.
Gambar 4. Diagram pembuatan peparat histologis.
Sampel Fiksasi Formalin 4%
Dehidrasi Alkohol 70%, 12 jam Alkohol 80%, 12 jam Alkohol 90%, 12 jam Alkohol 95%, 12 jam Alkohol 100% I, 1 jam Alkohol 100% II, 1 jam Alkohol 100% III, 1 jam
Clearing Xilol I, 1 jam Xilol II, 1 jam Xilol III, 1 jam
Embedding 70° C Parafin 1, 1 jam Parafin 2, 1 jam Parafin 3, 1 jam
Deparafinisasi Xilol I, 2 menit Xilol II, 2 menit Xilol III, 2 menit
Inkubasi Sectioning 5 µm
Trimming
Blocking
Rehidrasi Alkohol 100% I, 2 menit Alkohol 100% II, 2 menit Alkohol 100% III, 2 menit Alkohol 90%, 2 menit Alkohol 80%, 2 menit Alkohol 70%, 2 menit Air keran 10 menit Akuades, 5 menit
Colouring Hemaktosilin, 5 menit Air keran, 15 menit Akuades, 5 menit Eosin, 2 menit akuades
Dehidrasi Alkohol 70% Alkohol 80% Alkohol 90 % Alkohol 100% I Alkohol 100% II Alklohol 100% III
Clearing Xilol I Xilol II Xilol III
Mounting
3.4.2. Mitotik indeks zooxanthellae
Sebelum anemon diberi perlakuan, terlebih dahulu diambil data awal untuk
mengetahui mitotik indeks dengan memotong tiga tentakel dari setiap individu.
Saat anemon diberi perlakuan, sampel diambil dua kali dalam satu hari pada pukul
08.00 WIB dan pada pukul 16.30 WIB. Tiga tentakel diambil dari setiap individu
dalam satu kali pengambilan sampel. Kemudian tentakel difiksasi dalam larutan
alkohol 70% dan glacial acetic acid dengan perbandingan 3 : 1 selama 30 menit.
Setelah itu tentakel dimasukkan ke dalam alkohol 70% dan disimpan pada suhu
4°C sampai akan digunakan kembali untuk analisa mitotik indeks.
Analisa mitotik indeks dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya
pada perbesaran 100x. Angka indeks sel zooxanthellae diketahui dengan
menghitung jumlah sel yang membelah dalm 500 sel. Sebelum analisa dilakukan,
tentakel terlebih dahulu dibilas dengan menggunakan larutan HCl 1M. Setelah itu
tentakel direndam dalam HCl 1M dan dipanaskan di dalam oven. Tentakel
dipanaskan pada suhu 60°C selama 30 menit, kemudian suhu diturunkan sampai
20°C dan dipanaskan pada suhu tersebut selama 10 menit. Setelah dipanaskan
dalam oven, tentakel siap dipergunakan untuk analisa mitotik indeks.
3.4.3. Densitas zooxanthellae
Tiga tentakel dipotong dari tiap individu. Kemudian tentakel difiksasi dalam
larutan alkohol 70% dan glacial acetic acid dengan perbandingan 3 : 1 selama 30
menit. Setelah itu tentakel dimasukkan ke dalam alkohol 70% dan disimpan pada
suhu 4°C sampai akan digunakan kembali untuk analisa densitas zooxanthellae.
Analisa densitas zooxanthella dilakukan dengan menggunakan mikroskop
cahaya pada perbesaran 40x. Densitas diketahui dengan menghitung jumlah sel
pada lima lapang pandang.
3.5. Analisa Data
3.5.1. Rasio ketebalan ektoderm dengan gastroderm ( H. malu )
Rasio ketebalan ektoderm dengan endoderm diperoleh dengan menggunakan
rumus berikut :
100xKE
KGR =
dimana :
R : rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm ( % )
KG : ketebalan gastroderm/endoderm ( µm )
KE : ketebalan ektoderm ( µm )
3.5.2. Mitotik indeks zooxanthellae Rumus yang digunakan untuk menentukan mitotik indeks sel zooxanthellae
adalah sebagai berikut:
100xn
AMI =
dimana :
MI : mitotik indeks zooxanthellae ( % )
A : jumlah sel yang melakukan pembelahan mitosis
n : jumlah sel yang dihitung sebagai dasar perbandingan
3.5.3. Densitas zooxanthellae Densitas zooxantella dihitung dengan menggunakan rumus berikut :
m
zD
n
i
i
i
∑== 1
dimana :
Di : densitas zooxanthellae ( cm2 )
z : jumlah zooxanthella dalam satu lapang pandang
m : jumlah lapang pandang
3.5.4. Uji Statistik
Data diuji dengan menggunakan Analisis of Varians ( ANOVA ) Klasifikasi
Dua Arah untuk melihat pengaruh pemberian perlakuan. Data diuji pada selang
kepercayaan 95%. Uji BNT digunakan untuk melihat perlakuan yang paling
berpengaruh terhadap morfologi anemon dan viabilitas zooxanthellae. Proses
penghitungan dilakukan dengan menggunakan program SPSS 15.0. Hipotesis
yang diuji adalah sebagai berikut :
1. H0 : α1 = α2 = … = αr = 0
H1 : sekurang-kurangnya ada satu αi ≠ 0
2. H0 : β1 = β2 = … = βc = 0
H1 : sekurang-kurangnya ada satu βj ≠ 0
3. H0 : ( αβ )11 = ( αβ )12 = … = ( αβ )ij = 0
H1 : sekurang kurangnya ada satu ( αβ )ij ≠ 0
4.1. Hasil Penelitian 4.1.1. Karakteristik gelombang lampu Lampu incandescent
yang diemisikan lampui
spektrum warna biru ( 400
Selain spektrum warna biru, lampu ini ju
( 500-600 nm ) dengan intensitas relatif sebesar 1391 lux, dan spektrum
ultraviolet ( <400 nm ) dengan intensi
ultraviolet yang diemisikan oleh lampu
ultraviolet A ( UV A ).
gambar 10.
Lampu fluorescent
spektrum ultraviolet ( <400 nm ). Intensitas relatif yang diemisikan oleh
spektrum ultraviolet sebesar 905 lux. Spektrum yang diemisikan dikategorikan
sebagai ultraviolet A ( UV A ).
pada gambar 10.
Gambar 10. Karakteristik gelombang lampu fluore
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian
4.1.1. Karakteristik gelombang lampu
incandescent mengemisikan tiga spektrum warna. Panjang gelombang
yang diemisikan lampui incandescent didominasi oleh panjang gelombang
spektrum warna biru ( 400-500 nm ) dengan intensitas relatif sebesar 2427 lux.
Selain spektrum warna biru, lampu ini juga mengemisikan spektrum warna hijau
600 nm ) dengan intensitas relatif sebesar 1391 lux, dan spektrum
ultraviolet ( <400 nm ) dengan intensitas relatif sebesar 1500 lux. Spektrum
ultraviolet yang diemisikan oleh lampu incandescent dikategorikan s
ultraviolet A ( UV A ). Intensitas relatif lampu incandescent dapat dilihat pada
rescent hanya mengemisikan satu spektrum gelombang, yaitu
spektrum ultraviolet ( <400 nm ). Intensitas relatif yang diemisikan oleh
ultraviolet sebesar 905 lux. Spektrum yang diemisikan dikategorikan
sebagai ultraviolet A ( UV A ). Intensitas relatif lampu fluorescent
Karakteristik gelombang lampu incandescent ( A escent ( B ).
A
mengemisikan tiga spektrum warna. Panjang gelombang
didominasi oleh panjang gelombang
500 nm ) dengan intensitas relatif sebesar 2427 lux.
ga mengemisikan spektrum warna hijau
600 nm ) dengan intensitas relatif sebesar 1391 lux, dan spektrum
sebesar 1500 lux. Spektrum
dikategorikan sebagai
dapat dilihat pada
hanya mengemisikan satu spektrum gelombang, yaitu
spektrum ultraviolet ( <400 nm ). Intensitas relatif yang diemisikan oleh
ultraviolet sebesar 905 lux. Spektrum yang diemisikan dikategorikan
rescent dapat dilihat
( A ) dan lampu
B
4.1.2. Pengamatan Visual Kondisi anemon pada akuarium 1 yang diberi perlakuan lampu incandescent
selama lima hari memperlihatkan penurunan tampilan. Hanya dua dari tiga
individu yang hidup selama periode lima hari pengamatan. Warna kedua individu
yang hidup ini lebih pucat di akhir pengamatan daripada sebelum diberikan
perlakuan. Walaupun demikian, kedua anemon ini memperlihatkan kondisi dan
tingkah laku yang normal. Tentakelnya terkembang dan aktif bergerak serta tidak
terjadi penyusuatan ukuran tubuh.
Individu yang mati memperlihatkan tampilan yang kurang baik sejak sebelum
diberi perlakuan. Warnanya agak pucat dibandingkan dengan kedua individu
lainnya. Tentakel terkembang dan aktif bergerak, tetapi mesenteri filamentnya
keluar. Kondisinya semakin memburuk setelah diberi perlakuan. Pada hari
pertama, tentakelnya terkembang tetapi tidak aktif bergerak dan mesentery
filamentnya keluar. Pada hari kedua ukuran tubuh menyusut, tentakel terkembang
tetapi tidak aktif bergerak, mesentery filament keluar, mulut terbuka lebar, dan
tubuh mengeluarkan lendir. Pada hari ketiga individu ini ditemukan telah mati.
Hasil pengamatan visual pada akuarium 1 dapat dilihat pada gambar 11.
Gambar 11. Kondisi anemon pada akuarium 1 ( lampu incandescent ). Anemon sebelum diberikan perlakuan ( A ), saat diberi perlakuan ( B ), warna lebih pucat pada d5 ( C ), dan setelah 26 hari ( D ).
Kondisi anemon pada akuarium 2 yang diberi perlakuan lampu fluorescent
selama periode lima hari memperlihatkan penurunan tampilan. Pada d-1 kondisi
ketiga individu relatif tidak sehat bila dibandingkan dengan individu anemon pada
akuarium 1 dan 3. Walaupun demikian, ketiga individu memperlihatkan kondisi
aktif, yaitu tentakel terkembang dan bergerak bila disentuh. Pada hari pertama,
ketiga individu mengeluarkan mesenteri filament tetapi kondisi tentakel aktif.
Demikian pula pada hari berikutnya sampai dengan hari ke lima, anemon terlihat
mengeluarkan mesentery filament, tentakel terkembang dan aktif bergerak, tetapi
tubuh anemon akan menguncup bila terlalu banyak sentuhan. Warna anemon
mulai terlihat memucat sejak hari kedua pengamatan. Individu ke tiga
memperlihatkan kondisi stress pada hari ke tiga. Mulutnya membuka lebar,
mesenteri filament keluar, mengeluarkan lendir, tentakel terkembang dan hanya
akan memberi sedikit gerakan bila disentuh. Setelah periode lima hari
pengamatan, warna ketiga individu lebih pucat daripada individu di akuarium 1,
ukuran tubuh menyusut, dan mengeluarkan banyak lendir. Hasil pengamatan
visual pada akuarium 2 dapat dilihat pada gambar 12.
Gambar 12. Kondisi anemon pada akuarium 2 ( lampu fluorescent ). Anemon sebelum diberikan perlakuan ( A & B ), saat d3 ( C ), dan setelah diberikan perlakuan pada d7 ( D ).
Kondisi anemon pada akuarium 3 dengan penyinaran cahaya matahari selama
periode lima hari pengamatan memperlihatkan penurunan tampilan. Ketiga
individu terlihat lebih pucat, ukuran tubuh menyusut, dan terkadang mengeluarkan
mesenteri filament setelah diberi makan. Secara keseluruhan, ketiga individu
cenderung lebih stabil dibandingkan individu pada akuarium 1 dan 2. Tentakel
ketiga individu terkembang dan aktif bergerak. Hasil pengamatan visual pada
akuarium 3 dapat dilihat pada gambar 13.
Gambar 13. Kondisi anemon pada akuarium 3. Sebelum anamon diberikan perlakuan ( A ). Saat diberikan perlakuan ( B ). Setelah diberikan perlakuan ( C ).
4.1.3. Pengamatan Preparat Histologis Pengamatan preparat histologis memperlihatkan adanya perubahan morfologi
pada anemon yang mendapatkan perlakuan lampu incandescent dan lampu
fluorescent. Dari gambar 14 & 15 dapat diamati jumlah zooxanthellae semakin
berkurang dan hanya sedikit zooxanthellae yang berada di lapisan gastroderm
pada akhir pengamatan. Lapisan gastroderm mengalami perubahan ketebalan dan
jaringan pada tentakel mulai mengalami kerusakan.
Gambar 14. Morfologi anemon ( H. malu ) pada perbesaran objektif 40x
di akuarium 1 saat d-1 ( A ), saat d3 ( B ), dan saat d5 ( C ).
Gambar 15. Morfologi anemon ( H. malu ) pada perbesaran objektif 40x di akuarium 2 saat d-1 ( A ), saat d3 ( B ), dan saat d5 ( C ).
Berbeda dengan morfologi anemon pada perlakuan lampu incandescent dan
lampu fluorescent, morfologi anemon akuarium 3 dengan cahaya matahari tidak
memperlihatkan perubahan yang signifikan. Jumlah zooxanthellae yang ada di
lapisan gastroderm relatif tetap. Ketebalan lapisan gastroderm cenderung lebih
stabil. Hanya beberapa sampel yang memperlihatkan kerusakan jaringan pada
akhir pengamatan. Morfologi anemon dengan cahaya matahari dapat dilihat pada
gambar 16.
Gambar 16. Morfologi anemon ( H. malu ) pada perbesaran objektif 40x di akuarium 3 saat d-1 ( A ), saat d3 ( B ), dan saat d5 ( C ).
4.1.4. Rasio Ketebalan Gastroderm dengan Ektoderm
Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm pada akuarium 1 ( lampu
incandescent ) mengalami perubahan setelah diberikan perlakuan seperti terlihat
pada gambar 17 yang diolah dari lampiran 5. Individu 1 tidak didapatkan
datanya karena mati pada d2. Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm
individu 2 bertambah dari 1,41 menjadi 3,22 atau sebesar 56,39% pada d3,
kemudian berkurang dari 3,22 menjadi 1,40 atau berkurang sebesar 56,52% pada
d5. Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm individu 3 bertambah dari 1,36
menjadi 1,63 atau bertambah sebesar 16,015% pada d3,
1,63 menjadi 1,16 atau berkurang 39,70% pada d5.
gastroderm anemon pada akuarium 1 dapat diamati pada preparat histologis
seperti terlihat pada g
Sumber : dio
Gambar 17. Nilai ratadengan ektoderm akuarium 1
Gambar 18. Potongan melintang tentakel anemon ( saat dperbesaran objektif 10x
Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm pada akuarium 2 ( lampu
fluorescent ) mengalami perubahan setelah diberikan perlakuan
pada gambar 19 yang diolah dari
dengan ektoderm individu 1 bertambah dari 1,27 menjadi 1,42 atau sebesar
Bar 1 : 5µm
d5. Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm individu 3 bertambah dari 1,36
menjadi 1,63 atau bertambah sebesar 16,015% pada d3, kemudian berkurang dari
1,63 menjadi 1,16 atau berkurang 39,70% pada d5. Perubahan ketebalan lapisan
gastroderm anemon pada akuarium 1 dapat diamati pada preparat histologis
gambar 18.
Sumber : diolah dari lampiran 5.
Nilai rata-rata dan standard error rasio ketebalan gastrodengan ektoderm akuarium 1 ( lampu incandescent
Potongan melintang tentakel anemon ( H. malusaat d-1 ( A ), saat d3 ( B ), dan saat d5 ( C ) dengan perbesaran objektif 10x.
Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm pada akuarium 2 ( lampu
) mengalami perubahan setelah diberikan perlakuan seperti terlihat
yang diolah dari lampiran 6. Rasio ketebalan gastroderm
dengan ektoderm individu 1 bertambah dari 1,27 menjadi 1,42 atau sebesar
Bar 1 : 5µm
Bar 1 : 5µm
d5. Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm individu 3 bertambah dari 1,36
kemudian berkurang dari
Perubahan ketebalan lapisan
gastroderm anemon pada akuarium 1 dapat diamati pada preparat histologis
asio ketebalan gastroderm incandescent ).
malu ) akuarium 1 C ) dengan
Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm pada akuarium 2 ( lampu
seperti terlihat
. Rasio ketebalan gastroderm
dengan ektoderm individu 1 bertambah dari 1,27 menjadi 1,42 atau sebesar
10,56% pada d3, kemudian berkurang dari 1,4
pada d5. Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm individu 2 bertambah dari
0,97 menjadi 1,36 atau sebesar 28,68% pada d3 kemudian berkurang dari1,36
menjadi 1,16 atau sebesar 17,24% pada d5. Rasio ketebalan gastroder
ektoderm individu 3 bertambah dari 1,23 menjadi 1,28 atau sebesar 4,07% pada
d3, kemudian berkurang dari 1,28 menjadi 0,97 atau sebesar 31,96% pada d5.
Sumber : diolah dari lampiran 6.
Gambar 19. Nilai ratadengan e
Respon individu di dalam akuarium 2 terhadap perlakuan yang diberikan relatif
sama. Ketiga individu mengalami peningkatan rasio ketebalan gastro
terhadap ektoderm pada d3 berkisar
kembali pada d5 berkisar antara 10,085%
lapisan gastroderm anemon pada akuarium 2 dapat diamati pada preparat
histologis seperti gambar
10,56% pada d3, kemudian berkurang dari 1,42 menjadi 1,29 atau sebesar10,08 %
pada d5. Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm individu 2 bertambah dari
0,97 menjadi 1,36 atau sebesar 28,68% pada d3 kemudian berkurang dari1,36
menjadi 1,16 atau sebesar 17,24% pada d5. Rasio ketebalan gastroder
ektoderm individu 3 bertambah dari 1,23 menjadi 1,28 atau sebesar 4,07% pada
d3, kemudian berkurang dari 1,28 menjadi 0,97 atau sebesar 31,96% pada d5.
Sumber : diolah dari lampiran 6.
Nilai rata-rata dan standard error rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm akuarium 2 ( lampu fluorescent
Respon individu di dalam akuarium 2 terhadap perlakuan yang diberikan relatif
sama. Ketiga individu mengalami peningkatan rasio ketebalan gastro
terhadap ektoderm pada d3 berkisar antara 4,07%-28,68% dan rasio berkurang
kembali pada d5 berkisar antara 10,085%-31,96% pada d5. Perubahan ketebalan
lapisan gastroderm anemon pada akuarium 2 dapat diamati pada preparat
ambar 20 berikut.
2 menjadi 1,29 atau sebesar10,08 %
pada d5. Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm individu 2 bertambah dari
0,97 menjadi 1,36 atau sebesar 28,68% pada d3 kemudian berkurang dari1,36
menjadi 1,16 atau sebesar 17,24% pada d5. Rasio ketebalan gastroderm dengan
ektoderm individu 3 bertambah dari 1,23 menjadi 1,28 atau sebesar 4,07% pada
d3, kemudian berkurang dari 1,28 menjadi 0,97 atau sebesar 31,96% pada d5.
asio ketebalan gastroderm fluorescent ).
Respon individu di dalam akuarium 2 terhadap perlakuan yang diberikan relatif
sama. Ketiga individu mengalami peningkatan rasio ketebalan gastroderm
28,68% dan rasio berkurang
31,96% pada d5. Perubahan ketebalan
lapisan gastroderm anemon pada akuarium 2 dapat diamati pada preparat
Gambar 20. Potongan melintang tentakel anemon ( saat dperbesaran objektif 10x..
Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm
matahari ) mengalami perubahan setelah diberikan perlakuan seperti terlihat pada
gambar 21 yang diolah dari
dengan ektoderm sebagai respon terhadap perlakuan yang diberikan oleh tiap
individu berbeda-beda. Rasio ketebalan gastroderm denga
berkurang dari 1,45 menjadi 1,17 atau sebesar 23,93% pada d3, kemudian
bertambah dari 1,17 menjadi 1,25 atau sebesar 6,4%
Sumber : diolah dari lampiran 7.
Gambar 21. Nilai ratadengan ektoderm akuarium 3
Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm individu 2 berkurang dari 1,58
menjadi 1,02 atau sebesar 54,90 % pada d3, kemudian berkurang dari 1,02
Bar 1 : 5
Gambar 20. Potongan melintang tentakel anemon ( H. malusaat d-1 ( A ), saat d3 ( B ), dan saat d5 ( C ) dengan perbesaran objektif 10x..
Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm pada akuarium kontrol ( cahaya
mengalami perubahan setelah diberikan perlakuan seperti terlihat pada
yang diolah dari lampiran 7. Berubahnya rasio ketebalan gastroderm
bagai respon terhadap perlakuan yang diberikan oleh tiap
beda. Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm individu 1
berkurang dari 1,45 menjadi 1,17 atau sebesar 23,93% pada d3, kemudian
bertambah dari 1,17 menjadi 1,25 atau sebesar 6,4% pada d5.
Sumber : diolah dari lampiran 7.
Nilai rata-rata dan standard error rasio ketebalan gastrodengan ektoderm akuarium 3 ( cahaya matahari )
Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm individu 2 berkurang dari 1,58
menjadi 1,02 atau sebesar 54,90 % pada d3, kemudian berkurang dari 1,02
1 : 5µm Bar 1 : 5µm
Bar 1 : 5µm
malu ) akuarium 2 1 ( A ), saat d3 ( B ), dan saat d5 ( C ) dengan
pada akuarium kontrol ( cahaya
mengalami perubahan setelah diberikan perlakuan seperti terlihat pada
. Berubahnya rasio ketebalan gastroderm
bagai respon terhadap perlakuan yang diberikan oleh tiap
ektoderm individu 1
berkurang dari 1,45 menjadi 1,17 atau sebesar 23,93% pada d3, kemudian
asio ketebalan gastroderm ( cahaya matahari )
Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm individu 2 berkurang dari 1,58
menjadi 1,02 atau sebesar 54,90 % pada d3, kemudian berkurang dari 1,02
menjadi 0,84 atau sebesar 21,43% pada d5
ektoderm individu 3 bertamba
kemudian dari 1,25 menjadi 0,81 atau sebesar
ketebalan lapisan gastroderm anemon pada akuarium 3 dapat diamati pada
preparat histologis seperti terlihat pada
Gambar 22. Potongan melintang tsaat dperbesaran objektif 10x
Hasil uji BNT rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm saat d
selang kepercayan 95% menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
antara ketiga akuarium
ektoderm saat d-1 dapat dili
Sumber : diolah dari lampiran 10.
Gambar 23. Nilai ratadengan ektoderm
Bar 1 : 5µm
menjadi 0,84 atau sebesar 21,43% pada d5. Rasio ketebalan gastroderm dengan
ektoderm individu 3 bertambah dari 1,05 menjadi 1,25 atau sebesar 16% pada d3,
kemudian dari 1,25 menjadi 0,81 atau sebesar 54,32% pada d5 Perubahan
ketebalan lapisan gastroderm anemon pada akuarium 3 dapat diamati pada
preparat histologis seperti terlihat pada gambar 22.
22. Potongan melintang tentakel anemon ( H. malusaat d-1 ( A ), saat d3 ( B ), dan saat d5 ( C ) dengan perbesaran objektif 10x.
Hasil uji BNT rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm saat d
selang kepercayan 95% menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
akuarium. Grafik hasil uji BNT rasio ketebalan gastroderm dengan
dapat dilihat pada gambar 23 yang diolah dari lampiran 10
Sumber : diolah dari lampiran 10.
Nilai rata-rata dan standard error rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm pada setiap perlakuan saat d
B C
Bar 1 : 5µm
Rasio ketebalan gastroderm dengan
25 atau sebesar 16% pada d3,
Perubahan
ketebalan lapisan gastroderm anemon pada akuarium 3 dapat diamati pada
malu ) akuarium 3 dengan
Hasil uji BNT rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm saat d-1 pada
selang kepercayan 95% menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata
asil uji BNT rasio ketebalan gastroderm dengan
lampiran 10.
rasio ketebalan gastroderm saat d-1.
Bar 1 : 5µm
Hasil uji BNT rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm saat d
selang kepercayan 95% menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
antara ketiga akuarium
ektoderm saat d3 dapat dilihat
Sumber : diolah dari lampiran 10.
Gambar 24. Nilai ratadengan ektoderm
Hasil uji BNT ras
selang kepercayan 95% menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
antara ketiga Akuarium
ektoderm saat d5 dapat dilihat pada
Sumber : diolah dari lampiran 10.
Gambar 25. Nilai ratadengan ektoderm
4.1.5. Mitotik indeks
Hasil uji BNT rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm saat d
selang kepercayan 95% menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
akuarium. Grafik hasil uji BNT rasio ketebalan gastroderm dengan
ektoderm saat d3 dapat dilihat pada gambar 24 yang diolah dari lampiran 10
Sumber : diolah dari lampiran 10.
Nilai rata-rata dan standard error rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm pada setiap perlakuan saat d3.
Hasil uji BNT rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm saat d
selang kepercayan 95% menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
Akuarium. Grafik hasil uji BNT rasio ketebalan gastroderm dengan
ektoderm saat d5 dapat dilihat pada gambar 25 yang diolah dari lampiran10
Sumber : diolah dari lampiran 10.
Nilai rata-rata dan standard error rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm pada setiap perlakuan saat d5.
4.1.5. Mitotik indeks
Hasil uji BNT rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm saat d3 pada
selang kepercayan 95% menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata
. Grafik hasil uji BNT rasio ketebalan gastroderm dengan
lampiran 10.
rasio ketebalan gastroderm saat d3.
io ketebalan gastroderm dengan ektoderm saat d5 pada
selang kepercayan 95% menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata
. Grafik hasil uji BNT rasio ketebalan gastroderm dengan
lampiran10.
rasio ketebalan gastroderm saat d5.
Pembelahan mitosis zooxanthellae pada akuarium 1 ( lampu
memiliki pola yang cenderung sama pada tiap individu. Mitotik indeks
zooxanthellae akuarium 1 berkisar antara 0,041
tertinggi terjadi pada d1h1, yaitu pada 1 jam
Pembelahan yang terjadi sebesar 77,27%. Puncak pembelahan p
terjadi pada d2 h9 sebesar 56%.
dilihat pada gambar
Sumber : diolah dari lampiran 1.
Gambar 26. Nilaiakuarium 1 ( lampu
Pembelahan mitosis zooxantellae pada akuarium 2 ( lampu
memiliki pola yang berbeda pada tiap
d3h9 sebesar 40,91%.
flourecent ) berkisar antara 0,03
dapat dilihat pada gambar
mitosis zooxanthellae pada akuarium 1 ( lampu incandescent
memiliki pola yang cenderung sama pada tiap individu. Mitotik indeks
zooxanthellae akuarium 1 berkisar antara 0,041-0,44. Puncak pembel
tertinggi terjadi pada d1h1, yaitu pada 1 jam setelah diberikan perlakuan.
Pembelahan yang terjadi sebesar 77,27%. Puncak pembelahan pada hari ke dua
sebesar 56%. Mitotik indeks zooxanthellae akuarium 1 dapat
ambar 26 yang diolah dari lampiran1.
Sumber : diolah dari lampiran 1.
Nilai rata-rata dan standard error mitotik indeks pada akuarium 1 ( lampu incandescent ).
Pembelahan mitosis zooxantellae pada akuarium 2 ( lampu fluorescent
ng berbeda pada tiap individu. Puncak tertinggi terjadi pada
sebesar 40,91%. Mitotik indeks zooxanthellae pada akuarium 2 ( lampu
) berkisar antara 0,03-0,37. Mitotik indeks zooxanthellae akuarium 2
ambar 27 yang diolah dari lampiran 1.
incandescent )
memiliki pola yang cenderung sama pada tiap individu. Mitotik indeks
0,44. Puncak pembelahan
diberikan perlakuan.
ada hari ke dua
Mitotik indeks zooxanthellae akuarium 1 dapat
indeks pada
fluorescent )
ncak tertinggi terjadi pada
Mitotik indeks zooxanthellae pada akuarium 2 ( lampu
Mitotik indeks zooxanthellae akuarium 2
Sumber : diolah dari lampiran 1.
Gambar 27. Nilaiakuarium 2 ( lampu
Pembelahan mitosis zooxantellae pada akuarium 3 ( cahaya matahari )
memiliki pola yang cenderung sama pada tiap individu. Puncak pembel
tertinggi terjadi pada d1
hari ke dua terjadi pada d2
akuarium 3 ( cahaya matahari ) berkis
zooxanthellae akuarium 3 dapat dilihat pada
lampiran 1.
Sumber : diolah dari lampiran 1.
Sumber : diolah dari lampiran 1.
Nilai rata-rata dan standard error mitotik indeks pada akuarium 2 ( lampu flourescent ).
Pembelahan mitosis zooxantellae pada akuarium 3 ( cahaya matahari )
yang cenderung sama pada tiap individu. Puncak pembel
tertinggi terjadi pada d1h1 sebesar 83,14%. Puncak pembelahan tertinggi pada
hari ke dua terjadi pada d2h9 sebesar 82,09%. Mitotik indeks zooxanthellae pada
akuarium 3 ( cahaya matahari ) berkisar antara 0,05-0,39. Mitotik indeks
zooxanthellae akuarium 3 dapat dilihat pada gambar 28 yang diolah dari
Sumber : diolah dari lampiran 1.
mitotik indeks pada
Pembelahan mitosis zooxantellae pada akuarium 3 ( cahaya matahari )
yang cenderung sama pada tiap individu. Puncak pembelahan
h1 sebesar 83,14%. Puncak pembelahan tertinggi pada
Mitotik indeks zooxanthellae pada
Mitotik indeks
yang diolah dari
Gambar 28. Nilaiakuariu
Hasil uji terhadap mitotik indeks zooxanthellae pada saat d
menggunakan uji BNT (
berbeda nyata karena belum diberikan perlakuan.
mitotik indeks zooxanthellae saat d
dari lampiran 9.
Sumber : diolah dari lampiran 9.
Gambar 29. Nilai ratazooxanthellae
Hasil uji BNT ( P<0,05
menunjukkan bahwa : mitotik indeks zooxanthellae pada perlakuan lampu
incandescent berbeda nyata dengan perlakuan lampu
nyata dengan kontrol; mitotik indeks zooxanthellae pada perlakuan lampu
fluorescent berbeda nyata dengan perlakuan lampu
nyata dengan kontrol; dan mitotik indeks zooxanthellae pada
berbeda nyata dengan
perlakuan lampu fluorescent
Nilai rata-rata dan standard error mitotik indeks pada akuarium 3 ( cahaya matahari ).
Hasil uji terhadap mitotik indeks zooxanthellae pada saat d-1 dengan
menggunakan uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa ketiga akuarium tidak
berbeda nyata karena belum diberikan perlakuan. Grafik hasil uji BNT
mitotik indeks zooxanthellae saat d-1 dapat dilihat pada gambar 2
Sumber : diolah dari lampiran 9.
Nilai rata-rata dan standard error pada mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d-1.
P<0,05 ) terhadap mitotik indeks zooxanthellae s
menunjukkan bahwa : mitotik indeks zooxanthellae pada perlakuan lampu
berbeda nyata dengan perlakuan lampu flourescent dan berbeda
; mitotik indeks zooxanthellae pada perlakuan lampu
berbeda nyata dengan perlakuan lampu incandescent dan berbeda
; dan mitotik indeks zooxanthellae pada akuarium kontrol
berbeda nyata dengan perlakuan lampu incandescent dan berbeda nyata dengan
fluorescent. Hal ini terjadi karena perbedaan ritme biologis pada
mitotik indeks pada
1 dengan
) menunjukkan bahwa ketiga akuarium tidak
Grafik hasil uji BNT pada
ambar 29 yang diolah
pada mitotik indeks
) terhadap mitotik indeks zooxanthellae saat d1h0
menunjukkan bahwa : mitotik indeks zooxanthellae pada perlakuan lampu
dan berbeda
; mitotik indeks zooxanthellae pada perlakuan lampu
dan berbeda
akuarium kontrol
dan berbeda nyata dengan
perbedaan ritme biologis pada
ketiga akuarium tersebut.
saat d1h0 dapat dilihat pada
Sumber : diolah dari lampiran 9.
Gambar 30. Nilai ratazooxanthellae
Hasil uji terhadap mitotik ind
menggunakan uji BNT (
zooxantellae pada perlakuan lampu
lampu incandescent dan berbeda nyata dengan
mitotik indeks zooxanthellae saat d1
dari lampiran 9.
Sumber : diolah dari lampiran 9.
ketiga akuarium tersebut. Grafik hasil uji BNT pada mitotik indeks zooxanthellae
dapat dilihat pada gambar 30 yang diolah dari lampiran 9
Sumber : diolah dari lampiran 9.
Nilai rata-rata dan standard error pada mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d1h0
Hasil uji terhadap mitotik indeks zooxanthellae pada saat d1h1 dengan
menggunakan uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa mitotik indeks
zooxantellae pada perlakuan lampu fluorescent berbeda nyata dengan perlakuan
dan berbeda nyata dengan kontrol. Grafik hasil uji BNT pad
k indeks zooxanthellae saat d1h1 dapat dilihat pada gambar
Sumber : diolah dari lampiran 9.
k indeks zooxanthellae
lampiran 9.
k indeks h0.
h1 dengan
) menunjukkan bahwa mitotik indeks
berbeda nyata dengan perlakuan
Grafik hasil uji BNT pada
ambar 31 yang diolah
Gambar 31. Nilai ratazooxanthellae
Hasil uji terhadap mitotik ind
menggunakan uji BNT (
berbeda nyata. Grafik hasil uji BNT pada mitot
dapat dilihat pada gambar 32
Sumber : diolah dari lampiran 9.
Gambar 32. Nilai ratazooxanthellae
Hasil uji terhadap mitotik ind
menggunakan uji BNT (
zooxantellae pada perlakuan
lampu incandescent dan berbeda nyata dengan
d1h6 merupakan puncak tertinggi mitotik indeks akuarium 2 sedangkan mitoti
indeks akuarium 1 dan
indeks zooxanthellae saat d1
lampiran 9.
Nilai rata-rata dan standard error pada mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d1h1
Hasil uji terhadap mitotik indeks zooxanthellae pada saat d1h3
menggunakan uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak
Grafik hasil uji BNT pada mitotik indeks zooxanthellae
ambar 32 yang diolah dari lampiran 9.
Sumber : diolah dari lampiran 9.
Nilai rata-rata dan standard error pada mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d1h3.
terhadap mitotik indeks zooxanthellae pada saat d1h6
menggunakan uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa mitotik indeks
zooxantellae pada perlakuan lampu fluorescent berbeda nyata dengan perlakuan
dan berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini terjadi karena s
merupakan puncak tertinggi mitotik indeks akuarium 2 sedangkan mitoti
s akuarium 1 dan 3 udah mulai menurun. Grafik hasil uji BNT pada mitoti
indeks zooxanthellae saat d1h3 dapat dilihat pada gambar 33 yang diolah dar
k indeks h1.
dengan
) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak
ik indeks zooxanthellae saat d1h3
k indeks 3.
dengan
) menunjukkan bahwa mitotik indeks
berbeda nyata dengan perlakuan
al ini terjadi karena saat
merupakan puncak tertinggi mitotik indeks akuarium 2 sedangkan mitotik
Grafik hasil uji BNT pada mitotik
yang diolah dari
Sumber : diolah dari lampiran 9.
Gambar 33. Nilai ratazooxanthellae
Hasil uji terhadap mitotik ind
menggunakan uji BNT (
berbeda nyata. Grafik hasil uji BNT pada mitotik indeks zooxanthellae saat d1
dapat dilihat pada gambar
Sumber
Gambar 34. Nilai ratazooxanthellae saat
Hasil uji terhadap mitotik ind
menggunakan uji BNT (
berbeda nyata. Grafik hasil uji BNT pada mitotik indeks zooxanthellae saat d
dapat dilihat pada gambar
Sumber : diolah dari lampiran 9.
Nilai rata-rata dan standard error pada mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d1h6.
Hasil uji terhadap mitotik indeks zooxanthellae pada saat d1h9
menggunakan uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak
Grafik hasil uji BNT pada mitotik indeks zooxanthellae saat d1
ambar 34 yang diolah dari lampiran 9.
Sumber : diolah dari lampiran 9.
Nilai rata-rata dan standard error pada mitotik indeks zooxanthellae saat pada setiap perlakuan d1h9.
Hasil uji terhadap mitotik indeks zooxanthellae pada saat d2h1 dengan
menggunakan uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak
Grafik hasil uji BNT pada mitotik indeks zooxanthellae saat d
ambar 35 yang diolah dari lampiran 9.
k indeks 6.
dengan
) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak
Grafik hasil uji BNT pada mitotik indeks zooxanthellae saat d1h9
pada mitotik indeks h9.
h1 dengan
) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak
Grafik hasil uji BNT pada mitotik indeks zooxanthellae saat d2h1
Sumber : diolah dari lampiran 9.
Gambar 35. Nilai ratazooxanthellae
Hasil uji terhadap mitotik indeks zooxanthellae pada saat d2
menggunakan uji BNT (
berbeda nyata. Grafik hasil uji BNT pada mitotik indeks
dapat dilihat pada gambar
Sumber : diolah dari lampiran 9.
Gambar 36. Nilai ratazooxanthellae
Hasil uji terhadap mitotik indek
menggunakan uji BNT (
berbeda nyata. Grafik hasil uji BNT pada
dapat dilihat pada gambar
Sumber : diolah dari lampiran 9.
Nilai rata-rata dan standard error pada mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d2h1
Hasil uji terhadap mitotik indeks zooxanthellae pada saat d2h9
menggunakan uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak
Grafik hasil uji BNT pada mitotik indeks zooxanthellae saat d2h9
ambar 36 yang diolah dari lampiran 9.
Sumber : diolah dari lampiran 9.
Nilai rata-rata dan standard error pada mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d2h9.
Hasil uji terhadap mitotik indeks zooxanthellae pada saat d3h1 dengan
menggunakan uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak
Grafik hasil uji BNT pada mitotik indeks zooxanthellae saat d3
ambar 37 yang diolah dari lampiran 9.
ik indeks h1.
dengan
) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak
zooxanthellae saat d2h9
pada mitotik indeks h9.
h1 dengan
) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak
k indeks zooxanthellae saat d3h1
Sumber : diolah dari lampiran 9.
Gambar 37. Nilai ratazooxanthellae saat
Hasil uji terhadap mitotik indeks zooxanthellae pada saat d3
menggunakan uji BNT (
zooxantellae pada perlakuan lampu
lampu incandescent dan berbeda nyata dengan
anemon pada akuarium
pada d3h1 menjadi 29°C pada d3
pada mitotik indeks zooxanthellae s
diolah dari lampiran 9
Sumber : diolah dari lampiran 9.
Gambar 38. Nilai ratazooxanthellae saat
Sumber : diolah dari lampiran 9.
Nilai rata-rata dan standard error pada mitotik indeks zooxanthellae saat pada setiap perlakuan d3h1
Hasil uji terhadap mitotik indeks zooxanthellae pada saat d3h9
menggunakan uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa mitotik indeks
zooxantellae pada perlakuan lampu fluorescent berbeda nyata dengan perlakuan
dan berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini terjadi karena
anemon pada akuarium 2 mengalami stress akibat berubahnya suhu dari 27°C
pada d3h1 menjadi 29°C pada d3h9 ( lihat lampiran 11 ). Grafik hasil uji BNT
k indeks zooxanthellae saat d3h9 dapat dilihat pada gambar
lampiran 9.
Sumber : diolah dari lampiran 9.
Nilai rata-rata dan standard error pada mitotik indeks zooxanthellae saat pada setiap perlakuan d3h9.
k indeks h1.
dengan
) menunjukkan bahwa mitotik indeks
berbeda nyata dengan perlakuan
Hal ini terjadi karena
suhu dari 27°C
Grafik hasil uji BNT
ambar 38 yang
pada mitotik indeks h9.
Hasil uji terhadap mitotik ind
menggunakan uji BNT (
berbeda nyata. Grafik hasil uji BNT pada mitot
d4h1dapat dilihat pada
Sumber : diolah dari lampiran 9.
Gambar 39. Nilai ratazooxanthellae saat
Hasil uji terhadap mitotik indeks zooxanthellae pada saat
menggunakan uji BNT (
berbeda nyata. Grafik hasil uji BNT pada mitotik indeks zooxanthellae saat d4
dapat dilihat pada gambar
Sumber :
Gambar 40. Nilai ratazooxanthellae
terhadap mitotik indeks zooxanthellae pada saat d4h1 dengan
menggunakan uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak
Grafik hasil uji BNT pada mitotik indeks zooxanthellae saat
dapat dilihat pada gambar 39 yang diolah dari lampiran 9.
Sumber : diolah dari lampiran 9.
Nilai rata-rata dan standard error pada mitotik indeks zooxanthellae saat pada setiap perlakuan d4h1
Hasil uji terhadap mitotik indeks zooxanthellae pada saat d4h9
menggunakan uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak
Grafik hasil uji BNT pada mitotik indeks zooxanthellae saat d4
ambar 40 yang diolah dari lampiran 9.
Sumber : diolah dari lampiran 9.
Nilai rata-rata dan standard error pada mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d4h9.
h1 dengan
) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak
ik indeks zooxanthellae saat
k indeks h1.
dengan
) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak
Grafik hasil uji BNT pada mitotik indeks zooxanthellae saat d4h9
pada mitotik indeks h9.
Hasil uji terhadap mitotik ind
menggunakan uji BNT (
berbeda nyata. Grafik hasil uji BNT pada mitoti
dapat dilihat pada gambar
Sumber : diolah dari lampiran 9
Gambar 41. Nilai ratazooxanthellae
Hasil uji terhadap mitotik indeks zooxanthellae pada saat d5
menggunakan uji BNT (
berbeda nyata. Grafik hasil uji BNT mitotik indeks zooxanthellae saa
dilihat pada gambar
Sumber : diolah dari lampiran 9.
Gambar 42. Nilai ratazooxanthellae
Hasil uji terhadap mitotik indeks zooxanthellae pada saat d5h1 dengan
menggunakan uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak
Grafik hasil uji BNT pada mitotik indeks zooxanthellae saat d5
ambar 41 yang diolah dari lampiran 9.
Sumber : diolah dari lampiran 9.
Nilai rata-rata dan standard error pada mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d5h1.
Hasil uji terhadap mitotik indeks zooxanthellae pada saat d5h9
menggunakan uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak
Grafik hasil uji BNT mitotik indeks zooxanthellae saa
ambar 42 yang diolah dari lampiran 9.
Sumber : diolah dari lampiran 9.
Nilai rata-rata dan standard error mitotik indeks zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d5h9.
h1 dengan
n bahwa ketiga perlakuan tidak
k indeks zooxanthellae saat d5h1
pada mitotik indeks h1.
dengan
) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak
Grafik hasil uji BNT mitotik indeks zooxanthellae saat d5h9 dapat
mitotik indeks h9.
4.1.6. Densitas Zooxanthellae
Densitas zooxanthellae akuarium 1 ( lampu
9,3x104-1,1x105 sel/cm
sebesar 46,77%. Pada hari ke tiga terjadi penurunan densitas sebesar 36,41% saat
d3h1. Densitas zooxanthellae akuarium 1
diolah dari lampiran 2
Sumber : diolah dari lampiran 2.
Gambar 43. Nilaiakuarium 1 ( lampu
Densitas zooxanthellae akuarium 2 ( lampu
3,8x103-6,9x104 sel/cm
4,9x104 menjadi 4,3x10
akuarium 2 dapat dilihat pada
Densitas Zooxanthellae
Densitas zooxanthellae akuarium 1 ( lampu incandescent ) berkisar antara
sel/cm2. Pada hari pertama terjadi penurunan densitas pada d1
46,77%. Pada hari ke tiga terjadi penurunan densitas sebesar 36,41% saat
Densitas zooxanthellae akuarium 1 dapat dilihat pada gambar 43
lampiran 2.
Sumber : diolah dari lampiran 2.
Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada akuarium 1 ( lampu incandescent ).
Densitas zooxanthellae akuarium 2 ( lampu flourecent ) berkisar antara
sel/cm2. Densitas zooxantellae pada d1, h1 berkurang dari
njadi 4,3x104 atau sebesar 12,24%. Densitas zooxanthellae pada
dapat dilihat pada gambar 44 yang diolah dari lampiran 3
) berkisar antara
adi penurunan densitas pada d1h1
46,77%. Pada hari ke tiga terjadi penurunan densitas sebesar 36,41% saat
ambar 43 yang
ensitas zooxanthellae pada
) berkisar antara
itas zooxantellae pada d1, h1 berkurang dari
Densitas zooxanthellae pada
lampiran 3.
Sumber : diolah dari lampiran 3.
Gambar 44. Nilaiakuarium 2 ( l
Densitas zooxanthellae akuarium 3 ( cahaya matahari ) berkisar antara 2,8x10
1,3x105 sel/cm2. Densitas zooxanthellae pada hari pertama bertambah dari 2,8x10
menjadi 1,1x105 sel/cm2 atau sebesar
48,76% pada hari ke dua dan berkurang sebesar 71,39% pada hari ke tiga.
Densitas bertambah sebesar 15
52,51% pada hari ke lima.
pada gambar 45 yang diolah dari
Sumber : diolah dari lampiran 3.
Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada akuarium 2 ( lampu flourescent ).
Densitas zooxanthellae akuarium 3 ( cahaya matahari ) berkisar antara 2,8x10
Densitas zooxanthellae pada hari pertama bertambah dari 2,8x10
sel/cm2 atau sebesar 74,45%. Densitas berkurang sebesar
48,76% pada hari ke dua dan berkurang sebesar 71,39% pada hari ke tiga.
Densitas bertambah sebesar 15,25% pada hari ke empat dan bertambah sebesar
52,51% pada hari ke lima. Densitas zooxanthellae pada akuarium 3
yang diolah dari lampiran 4.
zooxanthellae pada
Densitas zooxanthellae akuarium 3 ( cahaya matahari ) berkisar antara 2,8x104-
Densitas zooxanthellae pada hari pertama bertambah dari 2,8x104
74,45%. Densitas berkurang sebesar
48,76% pada hari ke dua dan berkurang sebesar 71,39% pada hari ke tiga.
25% pada hari ke empat dan bertambah sebesar
Densitas zooxanthellae pada akuarium 3 dapat dilihat
Sumber : diolah dari lampiran 4.
Gambar 45. Nilaiakuarium 3 ( cahaya matahari ).
Hasil uji terhadap densitas zooxanthellae pada saat sebelum diberikan
perlakuan dengan menggunakan uji BNT (
zooxanthellae dengan perlakuan lampu
perlakuan lampu incandescent
individu anemon pada akuarium 2 relatif tidak sehat bila dibandingkan dengan
individu anemon pada akuarium 1 dan akuarium 3.
zooxanthellae dapat dilihat pada
. Sumber : diolah dari lampiran 8.
Gambar 46. Nilai ratasetiap perlakuan
Sumber : diolah dari lampiran 4.
Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada akuarium 3 ( cahaya matahari ).
Hasil uji terhadap densitas zooxanthellae pada saat sebelum diberikan
perlakuan dengan menggunakan uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa densitas
zooxanthellae dengan perlakuan lampu fluorescent berbeda nyata dengan
incandescent dan berbeda nyata dengan kontrol.
individu anemon pada akuarium 2 relatif tidak sehat bila dibandingkan dengan
individu anemon pada akuarium 1 dan akuarium 3. Grafik hasil uji BNT densitas
zooxanthellae dapat dilihat pada gambar 46 yang diolah dari lampiran 8
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellaesetiap perlakuan saat d-1.
ensitas zooxanthellae pada
Hasil uji terhadap densitas zooxanthellae pada saat sebelum diberikan
) menunjukkan bahwa densitas
berbeda nyata dengan
. Saat d-1, ketiga
individu anemon pada akuarium 2 relatif tidak sehat bila dibandingkan dengan
Grafik hasil uji BNT densitas
ampiran 8.
densitas zooxanthellae pada
Gambar 33 merupakan hasil uji terhadap dens
dengan menggunakan uji BNT (
densitas zooxanthellae pada perlakuan lampu
perlakuan lampu flourescent
zooxanthellae pada perlakuan
lampu incandescent dan berbeda nyata
zooxanthellae pada akuarium kontrol
incandescent dan berbeda nyata dengan perlakuan lampu
terjadi karena perbedaan ritme biologis anemon di ketiga akuarium.
uji BNT densitas zooxanthellae dapat dilihat pada
lampiran 8.
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Gambar 47. Nilai ratasetiap perlakuan saat d1
Hasil uji terhadap densitas zooxanthel
uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak berbeda nyata.
Grafik hasil uji BNT densitas zooxanthellae dapat dilihat pada
diolah dari lampiran 8
Gambar 33 merupakan hasil uji terhadap densitas zooxanthellae pada saat d1
dengan menggunakan uji BNT ( P<0,05 ). Hasil uji menunjukkan bahwa :
densitas zooxanthellae pada perlakuan lampu incandescent berbeda nyata dengan
flourescent dan berbeda nyata dengan kontrol; densitas
zooxanthellae pada perlakuan lampu fluorescent berbeda nyata dengan perlakuan
dan berbeda nyata dengan kontrol; dan densitas
akuarium kontrol berbeda nyata dengan perlakuan lampu
dan berbeda nyata dengan perlakuan lampu fluorescent
perbedaan ritme biologis anemon di ketiga akuarium.
uji BNT densitas zooxanthellae dapat dilihat pada gambar 47 yang diolah dari
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d1h0.
Hasil uji terhadap densitas zooxanthellae pada saat d1h1 dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak berbeda nyata.
hasil uji BNT densitas zooxanthellae dapat dilihat pada gambar
lampiran 8.
itas zooxanthellae pada saat d1h0
menunjukkan bahwa :
berbeda nyata dengan
; densitas
berbeda nyata dengan perlakuan
dan densitas
berbeda nyata dengan perlakuan lampu
fluorescent. Hal ini
perbedaan ritme biologis anemon di ketiga akuarium. Grafik hasil
yang diolah dari
densitas zooxanthellae pada
h1 dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak berbeda nyata.
ambar 48 yang
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Gambar 48. Nilai ratasetiap perlakuan saat d1
Hasil uji terhadap densitas zooxanthellae pada saat d1
uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak berbeda nyata.
Grafik hasil uji BNT densitas zooxanthellae dapat dilihat pada
diolah dari lampiran 8
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Gambar 49.
Hasil uji terhadap densitas zooxanthellae pada saat d1
uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada perlakuan
lampu fluorescent berbeda nyata dengan perlakuan lampu
berbeda nyata dengan
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d1h1.
Hasil uji terhadap densitas zooxanthellae pada saat d1h3 dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak berbeda nyata.
Grafik hasil uji BNT densitas zooxanthellae dapat dilihat pada gambar 4
lampiran 8.
Sumber : diolah dari lampiran 8.
. Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d1h3.
Hasil uji terhadap densitas zooxanthellae pada saat d1h6 dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada perlakuan
berbeda nyata dengan perlakuan lampu incandescent
berbeda nyata dengan kontrol. Saat d1h6 merupakan puncak tertinggi mitotik
densitas zooxanthellae pada
dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak berbeda nyata.
ambar 49 yang
densitas zooxanthellae
dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada perlakuan
incandescent dan
merupakan puncak tertinggi mitotik
indeks zooxanthella akuarium 2.
dapat dilihat pada gambar
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Gambar 50. Nilai ratasetiap perlakuan
Hasil uji terhadap densitas zooxanthellae pada saat d1
uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada
kontrol berbeda nyata dengan perlakuan lampu
dengan perlakuan lampu
dapat dilihat pada gambar
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Gambar 51. Nilai rata
setiap perlakuan
indeks zooxanthella akuarium 2. Grafik hasil uji BNT densitas zooxanthellae
ambar 50 yang diolah dari lampiran 8.
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellaesetiap perlakuan saat d1h6.
uji terhadap densitas zooxanthellae pada saat d1h9 dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada
berbeda nyata dengan perlakuan lampu incandescent dan berbeda nyata
dengan perlakuan lampu flourescent. Grafik hasil uji BNT densitas zooxanthellae
ambar 51 yang diolah dari lampiran 8.
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae
setiap perlakuan saat d1h9.
ji BNT densitas zooxanthellae
densitas zooxanthellae pada
dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada akuarium
dan berbeda nyata
Grafik hasil uji BNT densitas zooxanthellae
densitas zooxanthellae pada
Hasil uji terhadap densi
uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada
kontrol berbeda nyata dengan perlakuan lampu
dengan perlakuan lampu
dapat dilihat pada gambar
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Gambar 52. Nilai ratasetiap perlakuan saat d2
Hasil uji terhadap densitas zooxanthellae pada saat d2
uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada perlakuan
lampu fluorescent berbeda nyata dengan per
berbeda nyata dengan
dilihat pada gambar
Hasil uji terhadap densitas zooxanthellae pada saat d2h1 dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada
berbeda nyata dengan perlakuan lampu incandescent dan berbeda nyata
lampu flourescent. Grafik hasil uji BNT densitas zooxanthellae
ambar 52 yang diolah dari lampiran 8.
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d2h1.
Hasil uji terhadap densitas zooxanthellae pada saat d2h9 dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada perlakuan
berbeda nyata dengan perlakuan lampu incandescent
berbeda nyata dengan kontrol. Grafik hasil uji BNT densitas zooxanthellae dapat
ambar 53 yang diolah dari lampiran 8.
h1 dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada akuarium
dan berbeda nyata
. Grafik hasil uji BNT densitas zooxanthellae
densitas zooxanthellae pada
dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada perlakuan
incandescent dan
Grafik hasil uji BNT densitas zooxanthellae dapat
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Gambar 53. Nilai ratasetiap perlakuan
Hasil uji terhadap densi
uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada
kontrol berbeda nyata dengan perlakuan lampu
dengan perlakuan lampu
biologis anemon pada akuarium
Grafik hasil uji BNT densitas zooxant
diolah dari lampiran 8
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Gambar 54. Nilai ratasetiap perlakuan saat d3
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae setiap perlakuan saat d2h9.
Hasil uji terhadap densitas zooxanthellae pada saat d3h1 dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada
berbeda nyata dengan perlakuan lampu incandescent dan berbeda nyata
dengan perlakuan lampu flourescent. Hal ini terjadi karena perbedaan ritme
biologis anemon pada akuarium kontrol dengan anemon pada akuarium 1 dan 2
Grafik hasil uji BNT densitas zooxanthellae dapat dilihat pada gambar
lampiran 8.
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d3h1.
densitas zooxanthellae pada
h1 dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada akuarium
dan berbeda nyata
. Hal ini terjadi karena perbedaan ritme
dengan anemon pada akuarium 1 dan 2.
ambar 54 yang
densitas zooxanthellae pada
Hasil uji terhadap
uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak berbeda nyata.
Grafik hasil uji BNT densitas zooxanthellae dapat dilihat pada
diolah dari lampiran 8
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Gambar 55. Nilai ratasetiap perlakuan
Hasil uji terhadap densitas zoox
uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada
kontrol berbeda nyata dengan perlakuan lampu
dengan perlakuan lampu
biologis anemon pada akuarium 3 dengan anemon p
hasil uji BNT densitas zooxanthellae dapat dilihat pada
dari lampiran 8.
Hasil uji terhadap densitas zooxanthellae pada saat d3h9 dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak berbeda nyata.
Grafik hasil uji BNT densitas zooxanthellae dapat dilihat pada gambar
lampiran 8.
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae setiap perlakuan saat d3h9.
Hasil uji terhadap densitas zooxanthellae pada saat d4h1 dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada
berbeda nyata dengan perlakuan lampu incandescent dan berbeda nyata
dengan perlakuan lampu flourescent. Hal ini terjadi karena perbedaan ritme
biologis anemon pada akuarium 3 dengan anemon pada akuarium 1 dan
hasil uji BNT densitas zooxanthellae dapat dilihat pada gambar 56
dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak berbeda nyata.
ambar 55 yang
densitas zooxanthellae pada
h1 dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada akuarium
dan berbeda nyata
. Hal ini terjadi karena perbedaan ritme
ada akuarium 1 dan 2. Grafik
56 yang diolah
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Gambar 56. Nilai ratasetiap perlakuan saat d4
Hasil uji terhadap densi
uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada
kontrol berbeda nyata dengan perlakuan lampu
dengan perlakuan lampu
dapat dilihat pada gambar
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Gambar 57. Nilai ratasetiap perlakuan
Hasil uji terhadap densi
uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak berbeda nyata.
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae padasetiap perlakuan saat d4h1.
Hasil uji terhadap densitas zooxanthellae pada saat d4h9 dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada
berbeda nyata dengan perlakuan lampu incandescent dan berbeda nyata
dengan perlakuan lampu flourescent. Grafik hasil uji BNT densitas zooxanthellae
ambar 57 yang diolah dari lampiran 8.
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae setiap perlakuan saat d4h9.
Hasil uji terhadap densitas zooxanthellae pada saat d5h1 dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak berbeda nyata.
densitas zooxanthellae pada
dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada akuarium
dan berbeda nyata
Grafik hasil uji BNT densitas zooxanthellae
densitas zooxanthellae pada
h1 dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak berbeda nyata.
Grafik hasil uji BNT densitas zooxanthellae dapat dilihat pada
diolah dari lampiran 8
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Gambar 58. Nilai ratasetiap perlakuan saat
Hasil uji terhadap densitas zooxanthellae pada saat d5
uji BNT ( P<0,05 ) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada perlakuan
cahaya matahari berbeda nyata dengan perlakuan lampu
nyata dengan perlakuan lampu
zooxanthellae dapat dilihat pada
Sumber : diolah dari lampiran 8
Gambar 59.
Grafik hasil uji BNT densitas zooxanthellae dapat dilihat pada gambar
lampiran 8.
Sumber : diolah dari lampiran 8.
Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d5h1.
Hasil uji terhadap densitas zooxanthellae pada saat d5h9 dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada perlakuan
cahaya matahari berbeda nyata dengan perlakuan lampu incandescent
nyata dengan perlakuan lampu flourescent. Grafik hasil uji BNT densitas
zooxanthellae dapat dilihat pada gambar 59 yang diolah dari lampiran 8
Sumber : diolah dari lampiran 8.
. Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthellae pada setiap perlakuan saat d5h9.
ambar 58 yang
densitas zooxanthellae pada
dengan menggunakan
) menunjukkan bahwa densitas zooxantellae pada perlakuan
incandescent dan berbeda
Grafik hasil uji BNT densitas
lampiran 8.
densitas zooxanthellae
4.2. Pembahasan. Pembelahan mitosis pada zooxanthellae memiliki pola tertentu yang
menggambarkan ritme biologis. Proses ini biasanya berlangsung dengan pola
yang sama secara alami. Dalam penelitan ini didapatkan pola pembelahan mitosis
yang cenderung sama pada individu dengan perlakuan lampu incandescent dan
cahaya matahari. Sedangkan individu dengan perlakuan lampu flourescent
memiliki pola pembelahan mitosis yang berbeda. Hal ini dapat saja terjadi karena
seperti telah diketahui bahwa faktor-faktor lingkungan seperti suhu, cahaya, dan
nutrien bekerja secara bersamaan di alam untuk mengontrol pembelahan mitosis
seperti yang telah dikemukakan oleh Williamson in Zamani ( 1995 ). Perbedaan
lokasi pengambilan anemon akan mempengaruhi pola mitotik indeks
zooxanthellae karena faktor-faktor lingkungan di tempat tersebut sedikit atau
banyak juga akan berbeda sehingga faktor yang mempengaruhi pola pembelahan
mitosis juga akan berbeda.
Berubahnya kondisi lingkungan secara drastis akan memberikan kejutan pada
anemon. Kondisi ini mengakibatkan anemon mengalami stress dan kehilangan
kendali atas pembelahan sel zooxanthellae. Dalam kondisi ini pembelahan
mitosis dapat terjadi dengan cepat sehingga mitotik indeks zooxanthelae tinggi.
Berubahnya pola pembelahan mitosis ini dapat teramati pada permulaan
pemberian perlakuan seperti yang teramati pada akuarium 1 dan 2. Pada kedua
akuarium tersebut terjadi peningkatan pembelahan mitosis pada d1h1 atau pada 1
jam setelah diberikan perlakuan. Pada akuarium 1 terjadi peningkatan
pembelahan mitosis sebesar 77,27%. Pada akuarium 2 terjadi peningkatan
pembelahan mitosis sebesar 39,7%. Perubahan pada pembelahan mitosis ini
terjadi sebelum anemon mengalami bleaching. Oleh karena itu perubahan pola
pembelahan mitosis zooxanthellae dapat dijadikan sebagai tanda awal yang
mengindikasikan terjadinya stress pada anemon atau perubahan kondisi dalam
lingkungan seperti yang telah dikemukakan oleh Zamani ( 1995 ).
Meningkatnya pembelahan mitosis akan menambah jumlah sel atau densitas
zooxanthellae dalam lapisan gastroderm anemon. Dalam penelitian ini penulis
mendapatkan jumlah densitas yang berkurang atau berbanding terbalik dengan
mitotik indeks. Densitas yang berkurang drastis ini teramati pada anemon di
akuarium 1 dan 2, sedangkan densitas zooxanthellae anemon pada akuarium 3
berfluktuasi selaras dengan pola mitotik indeksnya. Hal ini terjadi karena
pembelahan mitosis mempengaruhi densitas zooxanthellae di dalam lapisan
gastroderm. Pada saat jumlah zooxanthellae di dalam lapisan gastroderm
berkurang dan mengancam kelangsungan hidup populasi, maka zooxanthellae
akan melakukan reproduksi ( dalam hal ini pembelahan mitosis ). Hal ini
dilakukan zooxanthellae sebagai upaya untuk mempertahankan populasinya di
dalam lapisan gastroderm.
Berkurangnya sel zooxanthellae dalam jaringan gastroderm anemon dapat saja
terjadi. Hal ini mungkin diakibatkan dari matinya sel zooxanthellae seperti yang
penulis amati. Pada saat penghitungan sel yang melakukan pembelahan mitosis,
penulis menemukan banyaknya sel zooxanthellae yang rusak bahkan pada saat
sedang melakukan pembelahan mitosis. Sesuai dengan pernyataan Suharsono dan
Brown in Zamani ( 1995 ) yang mengemukakan bahwa ada beberapa
kemungkinan yang dapat mengakibatkan berkurangnya densitas zooxanthellae
didalam lapisan gastroderm, diantaranya yaitu : lepasnya zooxanthellae ke dalam
coelenteron; zooxanthellae mati pada saat proses pembelahan berlangsung seperti
yang penulis temukan pada saat pengambilan data mitotik indeks dengan
menggunakan mikroskop atau mati setelah selesai melakukan pembelahan;
kemungkinan zooxanthellae mengeluarkan substansi yang bersifat racun bagi
anemon sehingga memaksa anemon mengeluarkan zooxanthellae dari dalam
tubuhnya; dan zooxanthellae keluar dari tubuh anemon ke lingkungan.
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa faktor-faktor lingkungan bekerja
secara bersamaan di alam mempengaruhi kehidupan makhluk hidup. Faktor-
faktor tersebut secara alami akan mengakibatkan makhluk hidup menyesuaikan
diri dan memiliki pola tertentu yang menggambarkan ritme biologisnya.
Pemberian perlakuan dalam penelitian ini mempengaruhi ritme biologis anemon,
dalam hal ini mitotik indeks zooxanthellae yang secara langsung juga
mempengaruhi densitas zooxanthellae di dalam lapisan gastroderm. Hal ini dapat
teramati pada saat lampu dinyalakan dan dipadamkan. Lampu dinyalakan pada
pukul 08.00 WIB dan dipadamkan pada pukul 17.00 WIB sedangkan matahari
terbit pukul 06.00 WIB dan terbenam pukul18.00 WIB. Matahari terbit dengan
intensitas cahaya kecil dan perlahan-lahan intensitasnya semakin besar, dan
sebaliknya pada saat terbenam intensitasnya akan semakin kecil. Aktifitas
kehidupan anemon pada akuarium 3 berjalan dengan terbit dan terbenamnya
matahari sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi ritme biologis. Sedangkan
anemon pada akuarium 1 dan 2 mendapatkan cahaya dari saat dinyalakan sampai
dengan dipadamkan dengan intensitas konstan sehingga ritme biologisnya juga
akan berbeda dengan anemon pada akuarium 3. Selain itu pada saat lampu
dinyalakan dan dipadamkan terjadi perubahan yang drastis didalam lingkungan
akuarium 1 dan 2 sehingga anemon mendapatkan kejutan.
Perlakuan yang diberikan juga mempengaruhi anemon secara morfologi. Pada
penelitian ini teramati perubahan ketebalan lapisan gastroderm bila dibandingkan
dengan lapisan ektoderm yang terdapat di tentakel anemon. Meningkatnya rasio
ketebalan gastroderm terhadap ektoderm sampai dengan 16,67% pada akuarium 1
dan 14,07% pada akuarium 2 teramati pada d3. Pada akhir penelitian rasio
ketebalan gastroderm dengan ektoderm kembali menurun. Sedangkan rasio
ketebalan gastroderm dengan ektoderm pada akuarium 3 cenderung mengalami
penurunan dari saat d-1 sampai dengan d5.
Perubahan ketebalan lapisan gastroderm dapat terjadi akibat dari perlakuan
yang diberikan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa berubahnya kondisi
lingkungan akan menyebabkan anemon terkejut. Jika kondisi ini berlangsung
terus menerus akan mengakibatkan anemon berada dalam kondisi stress. Dalam
penelitian ini kondisi stress mengakibatkan menurunnya densitas zooxanthellae di
lapisan gastroderm. Berkurangnya jumlah zooxanthellae dalam lapisan
gastroderm mengakibatkan bayak ruang yang kosong di dalam vakuola anemon.
Hal ini menjelaskan mengapa lapisan gastroderm menipis. Namun dalam
penelitian yang dilakukan oleh Zamani ( 1995 ) pada perlakuan tembaga dan suhu
yang diberikan pada anemon ( H. malu ) mengakibatkan penyusutan ukuran
zooxanthellae dan bertambahnya ukuran vakuola. Perubahan ukuran
zooxanthellae dan vakuola ini pada akhirnya merubah ketebalan lapisan
gastroderm. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan Hayes dan Bush
( 1984 ) in Zamani ( 1995 ) bahwa koral yang mengalami bleaching akan
mengeluarkan mucus, gangguan pada lapisan gastroderm, dan gangguan pada
vakuola yang di dalamnya terdapat zooxanthellae. Namun belum diketahui lebih
lanjut apakah ketebalan lapisan gastroderm bertambah dan ketebalan ektoderm
tetap atau ketebalan gastroderm tetap dan ketebalan ektoderm bertambah.
Dalam kondisi normal, anemon menghasilkan mucus sebagai perangkap
partikel dan alat untuk mengangkut air ke dalam tubuhnya ( Cervino, 2004 ).
Mucus digunakan untuk memerangkap makanan dan partikel organik kemudian
dibawa ke mulut dengan menggunakan silia. Selain itu mucus juga digunakan
sebagai alat untuk membersihkan diri dari kotoran yang menutupi permukaan
tubuhnya.
Produksi mucus yang berlebihan merupakan ciri-ciri terjadinya stress pada
anemon seperti yang dikemukakan oleh Cervino, ( 2004 ). Dalam penelitian ini
produksi mucus yang berlebihan teramati pada akuarium 1 dan 2. Produksi mucus
berlebihan di akuarium 1 teramati pada hari ke dua sampai dengan hari ke tiga,
yaitu pada saat individu ke satu stress dan akhirnya ditemukan mati pada hari ke
tiga. Produksi mucus berlebihan di akuarium 2 teramati pada hari ke tiga. Mucus
berlebihan dan kental juga dilepaskan pada hari ke tujuh ketika anemon di
akuarium 2 mengalami stress dan bleaching. Selain sebagai tanda awal stress
lingkungan, Cervino ( 2004 ) juga mengemukakan bahwa air tawar, udara terbuka,
paparan sianida dan terjadinya bleaching juga dapat memicu produksi mucus yang
berlebihan.
Bleaching adalah memucatnya warna karang ( Thieberger et al., 1995 ).
Bleaching terjadi akibat dari berkurangnya jumlah zooxanthellae yang
bersimbiosis di dalam jaringan seperti yang terjadi di dalam penelitian ini.
Bleaching terjadi pada individu di ketiga akuarium, namun individu di akuarium
3 relatif lebih berwarna bila dibandingkan dengan individu akuarium 2 yang
mengalami bleaching hebat dan individu akuarium 1. Rata-rata densitas
zooxanthellae pada individu akuarium 1 sebelum diberikan perlakuan sebesar
9,3 x104 /cm2 dan rata-rata densitas zooxanthellae pada d5h2 sebesar
3,5 x104 / cm2 atau berkurang sebesar 62,37%. Rata-rata densitas zooxanthellae
pada individu akuarium 2 sebelum diberikan perlakuan sebesar 5,4 x 104 /cm2 dan
rata-rata densitas zooxanthellae pada d5h2 sebesar 1,3 x 104 / cm2 atau berkurang
sebesar 75,9%. Rata-rata densitas zooxanthellae pada individu akuarium 3
sebelum diberikan perlakuan sebesar 12,8 x 104/cm2 dan rata-rata densitas
zooxanthellae pada d5h2 sebesar 9,3 x 104/ cm2 atau berkurang sebesar 27,3%.
Selain produksi mucus yang berlebihan, bleaching juga merupakan ciri-ciri
stress pada anemon. Selama peristiwa bleaching, karang kehilangan 60-90% dari
jumlah zooxanthellaenya dan yang tersisa kehilangan 50-80% dari pigmen
fotosintesisnya ( Westmacott et al.,2000 ). Hal ini dapat menjelaskan
menyusutnya ukuran tubuh anemon. Ukuran tubuh anemon menyusut karena
kekurangan energi sebagai akibat dari berkurangnya suplai energi yang diterima
dari zooxanthellae. Seperti diketahui bahwa zooxanthellae menyumbang sekitar
98% kebutuhan energi bagi koral (Davies, 1984 in Zamani, 1995 ). Hal ini juga
menjelaskan lepasnya mucus yang berlebihan pada saat anemon mengalami
bleaching. Produksi mucus pada saat bleaching ini merupakan cara untuk
memerangkap zooxanthellae di kolom perairan ke dalam tubuh anemon.
Anemon yang berada dalam kondisi stress akan melakukan adaptasi untuk
mengurangi atau menghilangkan stress. Kecepatan untuk pulih dari kondisi stress
pada tiap individu anemon berbeda-beda seperti yang teramati dalam penelitian
ini. Individu anemon di akuarium 1 relatif lebih cepat pulih dari stress daripada
individu anemon di akuarium 2. Individu anemon akuarium 1 dapat dikatakan
berhasil melakukan adaptasi kecuali individu yang mati. Anemon yang dapat
beradaptasi ini berhasil kembali dalam keadaan homeostatis sehingga dapat
bertahan sampai dengan hari ke-26 walaupun dalam kondisi bleaching berat.
Berbeda dengan individu anemon di akuarium 1, anemon di akuarium 2 relatif
lebih lambat dalam melakukan adaptsi sehingga lebih lama pulih dari kondisi
stress. Stress yang dialami oleh anemon di akuarium 2 berlanjut sampai melewati
periode 5 hari pengamatan. Stress yang dialami lebih berat dengan bleaching
hebat dan produksi mucus yang berlebihan sehingga mengakibatkan air di dalam
akuarium menjadi sangat keruh. Karena tidak mampu mengatasi keadaan stress,
anemon di akuarium 2 ditemukan mati pada hari ke-7 dan dua lainnya mati pada
hari ke-8. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sarwono ( 1992 ) bahwa koral yang
berada dalam kondisi stress akan melakukan adaptasi. Jika biota berhasil
melakukan adaptasi, maka biota ini akan kembali dalam keadaan homeostatis.
Namun bila biota tidak berhasil melakukan adaptasi, maka biota ini akan
mengalami stress kembali dengan kemungkinan stress yang bertambah besar.
5.1. Kesimpulan
Akuarium 1 Akuarium 2 Akuarium 3 ( kontrol )
A
B
C
Gambar 60. Keterkaitan antara ( A ) rasio ketebalan gastroderm dengan
Ditinjau dari keterkaitan antara rasio ketebalan gastroderm dengan
anemon ( H. malu ), mitotik indeks zooxanthellae, dan densitas zooxanthellae
( gambar 60 ), kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :
Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm anemon (
1 dan 2 memperlihatkan adanya kenaikan pada d3 dan kembali menurun pada d5,
sedangkan rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm anemon (
KESIMPULAN DAN SARAN
Akuarium 1 Akuarium 2 Akuarium 3 ( kontrol )
Gambar 60. Keterkaitan antara ( A ) rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm anemon ( H. malu ), ( B )mitotik indeks zooxanthellae, dan ( C ) densitas zooxanthellae.
Ditinjau dari keterkaitan antara rasio ketebalan gastroderm dengan
anemon ( H. malu ), mitotik indeks zooxanthellae, dan densitas zooxanthellae
), kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai
Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm anemon ( H. malu
1 dan 2 memperlihatkan adanya kenaikan pada d3 dan kembali menurun pada d5,
sedangkan rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm anemon (
Akuarium 1 Akuarium 2 Akuarium 3 ( kontrol )
Gambar 60. Keterkaitan antara ( A ) rasio ketebalan gastroderm dengan ), ( B )mitotik indeks
zooxanthellae, dan ( C ) densitas zooxanthellae.
Ditinjau dari keterkaitan antara rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm
anemon ( H. malu ), mitotik indeks zooxanthellae, dan densitas zooxanthellae
), kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai
H. malu ) di akuarium
1 dan 2 memperlihatkan adanya kenaikan pada d3 dan kembali menurun pada d5,
H. malu ) pada
akuarium 3 cenderung menurun. Walaupun demikian, berdasarkan uji statistik
tidak ada perbedaan yang nyata diantara ketiga akuarium.
Mitotik indeks pada akuarium 1 dan 3 memperlihatkan adanya siklus harian
pada pola mitotik indeks zooxanthellae, berbeda dengan akuarium 2 yang
memperlihatkan gangguan pada pola mitotik indeks zooxanthellae. Lampu
incandescent dapat memacu mitotik indeks zooxanthellae setelah 1 jam pertama
penyinaran hingga setara dengan mitotik indeks zooxanthellae pada akuarium
dengan cahaya matahari, namun penggunaan lampu ini sudah tidak
memperlihatkan puncak pembelahan pada mitotik indeks zooxanthellae setelah
hari ke-3. Penggunaan lampu fluorescent mengakibatkan gangguan pada pola
mitotik indeks zooxanthellae dan pada hari ke-4 tidak memperlihatkan adanya
puncak pembelahan pada mitotik indeks zooxanthellae.
Nilai densitas zooxanthellae dangan cahaya matahari memperlihatkan fluktuasi
yang selaras dengan mitotik indeks zooxanthellae. Anemon ( H. malu ) pada
akuarium 1 dan 2 memperlihatkan penurunan densitas zooxanthellae, namun
anemon dengan lampu incandescent dapat mempertahankan densitas
zooxanthellae mendekati nilai densitas zooxanthellae pada anemon dengan cahaya
matahari. Sedangkan anemon dengan lampu fluorescent tidak dapat
mampertahankan densitas zooxanthellae di lapisan gastroderm.
Viabilitas anemon ( H. malu ) dipengaruhi oleh densitas zooxanthellae.
Anemon dengan cahaya matahari dapat mempertahankan viabilitas di dalam
akuarium sampai dengan akhir pengamatan, begitu pula dengan anemon pada
akuarium 1. Anemon dengan lampu fluorescent hanya mampu mempertahankan
viabilitas dalam akuarium hanya sampai hari ke-7. Penggunaan lampu
incandescent dan fluorescent secara tidak langsung mengakibatkan kerusakan
morfologi anemon ( H. malu ).
5.1. Saran
Selama melakukan penelitian ini penulis tidak terlepas dari hambatan,
rintangan dan masalah yang dapat menghambat penulis dalam melakukan
penelitian. Untuk memperoleh data yang tepat, akurat dan dengan error yang
seminimal mungkin, penulis menyarankan hal-hal berikut :
1. Data pendahuluan sebelum diberikan perlakuan sebaiknya diambil dalam
satu atau dua hari dengan beberapa kali pengulangan. Hal ini dilakukan
untuk melihat apakah mitotik indeks, densitas serta rasio ketebalan
gatroderm dengan ektoderm memang berubah saat diberikan perlakuan.
2. Pengambilan sampel sebaiknya dilakukan dengan rentang waktu yang
lebih rapat, sehingga perubahan yang terjadi dapat teramati.
3. Penelitian lanjutan dengan mengkombinasikan penggunaan kedua jenis
lampu dalam satu akuarium.
DAFTAR PUSTAKA
Adey, W.H., dan L. Karen. 1991. Dynamic Aquaria : Building Living
Ecosystems. Academic Press, Inc. California, USA. xvii + 643. Addison, C.K. 2005. An Exploration of the Affects of Coral Bleaching on the
Cnidarian & Dinoflagellate Relationship Dynamic. http : //ag.arizona.edu/azaqua/algaeclass/algae2005/Claton_Paper.doc. [ Desember 2008 ]
Akuasis. Memelihara Terumbu Karang ( bagian 2 )
http : //akuasis.celebfact.com/artikel.htm. [ 6 Desember 2008 ]. Arum, D. 2006. Studi Tingkah Laku beberapa Jenis Ikan Badut ( Amphiprion )
Terhadap Beberapa Jenis Anemon Laut ( Entacmea quaricolor & Macrodactila cf. doreensis ) Dalam Skala laboratorium. [ Skripsi ]. Departemen Ilmu Dan Teknologi Kelautan. FPIK. IPB. Bogor.
Benson, A.A. 1984. Symbiosis in Reader’s Digest Book of the Great Barrier
Reef. Mead and Beckeett Publ. Sydney. Birkeland, C. 1997. Life and Death of Coral Reefs. Chapman and Hall. New
York. Brown, B.E., M.D.A. Le Tissier, J.C. Bytell. 1995 . Mechanism Of Bleaching
Deduced From Histological Studies of Reef Corals Sampled During a Natural Bleaching Event. Mar. Biol. 122 : 655-663.
Brusca, R.C., dan G.J. Brusca. 1990. Invertebrate. Sinauer Associates.
Massachusets, Inc. Publishers Sunderland. Buchheim, J. 1998. Coral Reef Bleaching.
http : //www.odysseyexpeditions.org. [ 6 Desember 2008 ]. Cervino, J.M., R.L. Hayes, M. Honovich, T.J. Goreau, S. Jones, dan P.J. Rubec.
2003. Changes in Zooxanthellae Density, Morphology, and Mitotic Index in Hermatypic Corals and Anemones Exposed to Cyanide. Marine Pollution Bulletin. 46 : 573-586.
Cervino, J.M. 2004. [ Coral-List ] Mucus Production. http : //coral.aoml.noaa.gov/mailman/listinfo/coral-list.htm.
[ 6 Desember 2008 ].
Crayonpedia. 2009. Pembelahan Mitosis dan Meiosis. http : //www.crayonpedia.org/mw/berkas : Proses_mitosis.jpg [ 13 Agustus 2009 ]. Delbeek, J. C. 1987. The Role of Symbiotic Algae in Marine Invertebrates. De Mora, S., S. Demers, dan M. Vernet. 2000. The Effects of UV Radiation in
the Marine Environment. Cambridge University Press. UK. Downs, C. A., J.E. Fauth, J.C. Halas, P. Dustan, J. Bemiss, dan C.M. Woodley.
2002. Oxidative Stress and Seasonal Coral Bleaching. Free Radical Biology & Medicine. 33 ( 4 ) : 533-543.
Edmunds, P.J.,R.D. Gates, dan D.F. Gleason. 2003. The Tissue Composition Of
Montastrea franksi During a Natural Bleaching Event in the Florida Keys. Coral Reefs. 22 ; 54-62.
Emmers, C. W. 1990. Marine Aquaria and Miniature Reefs, the Fishes, the
Invertebrates, the Tecnique. T.F.H. Publication, Inc. New York. Fautin, D.G. dan R. N. Mariscal. 1991. Cnidaria : Anthozoa in F. W. Harrison
dan J. A. Westfall ( Editor ), Microscopic Anatomy of Invertebrates, Volume 2 : Placozoa, Porifera, Cnidaria and Ctenopora. Wiley-Liss, Inc. xiii+436.
Ferrier-Pagès, C., V. Schoelzke, J. Jaubert, L. Muscatine, dan
O. Hoegh-Guldberg. 2001. Response of a Scleractinian Coral ( Stylopora pistillata ) to Iron and Nitrate Enrichment. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 259 : 249-261.
Hadi, N. dan Sumadiyo. 1992. Anemon Laut ( Coelenterata, Actiniaria ) Manfaat
dan Bahayanya in Oseana, vol. XVII. No.. P2O LIPI. Jakarta. p: 168-175.
Haefelfinger, H.R., dan E. Thenius. 1974. The Coelenterates in Grzimek B.
( editor ), Animal Life Encyclopedia. Von Nostrand Reinhold Company. New York. p:176-230.
Ilahude, A.G. 1999. Pengantar Ke Oseanologi Fisika. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi. LIPI. Jakarta. Kaestner, A. 1967. Invertebrate Zoologi, vol.1. Interscience Publishers.
New York. p : 45-106. Kozloff, E.N. 1990. Invertebrates. Saunders College Publishing. USA.
p : 126-135. Nyibakken, J.W. 1988. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis.
PT Gramedia. Jakarta.
Obura, D.O. 2008. Reef Corals Bleach to Resist Stress.
http : //www.science direct.com. [ 6 Desember 2008 ]. Riddle, D. 2006. Feature Article : Lighting by Number : “Types” of Zooxantellae
and What They Tell us. http : //www.advencedaquarist.com. [ 14 September 2008 ].
Sarwono, S.W. 1992. Psikologi Lingkungan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Shick, J.M. 1991. A fungtional Biology of Sea Anemone. Champman & Hall.
London. p : 395.
Suharsono. 1996. Jeni-jenis Ikan Karang Yang Umum Dijumpai Di Perairan Indonesia. P3O-LIPI. Jakarta.
Supranto, J. 2000. Statistik, Teori Dan Aplikasi. Penerbit Erlangga. Jakarta. Thieberger, Y., Kizner, Y. Achtuv, dan Z. Dubinsky. 1995. A novel,
Nondestructive Bioassay for Assessing Areal Chlorophyll-a in Hermatipic Cnidarians. Limnology and Oceanography. 40 ( 6 ) : 1166-1173.
Walpole, R. E. 1992. Pengantar Statistika : Edisi Ke-3. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta. Westmacott, S., K., Teleki, S. Wells, dan J. West. 2000. Pengelolaan Terumbu
Karang Yang Telah Memutih & Rusak. International Union for Conservation of Nature and Natual Resourses. Gland, Switzerland and Cambridge, UK. p : 46.
Wikipedia. 2009. Mitosis. http : //www.wikimwdia.org/Wikipedia/commons/3/39/Mitosis.jpg [ 13 Agustus 2009 ] Wikipedia. 2008. Zooxanthellae.
http : //www.wikimedia.org. [ 23 September 2008 ]. Wikipedia. 2009. Electromagnetic Spectrum.
http : //www.wikimedia.org. [ 19 Januari 2009 ]. Zamani, N. P. 1995. Effects of Environmental Stresses on Cell Division and
Other Cellular Parameters Of Zooxanthellae in the Tropical Symbiotic Anemon Heteractis malu, Haddon and Shackleton. Tesis. Marine Science and Coastal Management Departement. University of New Castle Upon Tyne. UK.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data mentah mitotik indeks
hari,jam akuarium 1
a1 a2 a3
t1 t2 t3 t1 t2 t3 t1 t2 t3
d-1 44 63 33 28 31 25 45 27 42 d1,h0 46 63 59 60 47 35 36 57 69 d1,h1 227 198 192 221 254 196 265 229 218 d1 h2 151 165 146 136 133 85 55 53 36 d1 h3 62 43 42 34 54 69 74 56 60 d1 h4 37 43 54 33 58 42 38 39 43 d2 h1 51 44 34 66 65 42 81 73 42 d2 h2 123 135 128 179 137 140 84 75 115 d3 h1 46 31 35 90 99 61 d3 h2 54 34 62 69 9 81 d4 h1 68 51 58 59 39 25 d4 h2 67 36 129 57 71 65 d5 h1 94 85 62 49 42 20 d5 h2 31 20 31 114 117 101
hari,jam akuarium 2
a1 a2 a3
t1 t2 t3 t1 t2 t3 t1 t2 t3
d-1 61 56 53 33 54 39 35 28 26 d1,h0 80 85 60 106 64 65 87 95 98 d1,h1 98 129 143 140 130 141 120 78 55 d1 h2 122 111 105 61 48 55 167 198 193 d1 h3 114 116 97 157 166 170 136 157 170 d1 h4 45 64 69 38 33 30 57 62 66 d2 h1 150 43 44 46 3 27 30 27 41 d2 h2 154 185 188 194 152 170 135 144 145 d3 h1 57 57 68 83 151 154 172 161 119 d3 h2 171 159 169 237 221 201 150 154 142 d4 h1 19 17 20 22 21 8 36 39 54 d4 h2 47 41 39 26 25 36 20 29 38 d5 h1 12 17 14 23 16 26 22 23 32 d5 h2 14 32 25 16 19 23 30 47 24
hari,jam akuarium 3
a1 a2 a3
t1 t2 t3 t1 t2 t3 t1 t2 t3
d-1 45 15 17 53 35 38 31 30 54 d1,h0 38 30 38 15 23 21 38 28 36 d1,h1 165 204 181 147 183 161 187 163 183 d1 h2 109 87 75 39 32 59 132 54 47 d1 h3 36 32 46 44 27 29 36 36 30 d1 h4 27 46 43 62 25 33 17 65 49 d2 h1 35 34 32 13 9 31 30 37 41 d2 h2 150 154 142 182 236 173 126 122 172 d3 h1 63 38 45 17 28 13 35 34 32 d3 h2 33 30 24 19 17 11 47 53 47 d4 h1 40 57 79 27 40 13 51 76 67
d4 h2 53 34 22 53 31 20 38 55 65 d5 h1 50 69 51 44 80 49 215 198 137 d5 h2 45 55 64 36 56 38 89 52 70
Lampiran 2. Data mentah densitas zooxanthellae akuarium 1 ( lampu
incandescent ).
hari,jam anemon 1 t1 t2 t3 l1 l2 l3 l4 l5 l1 l2 l3 l4 l5 l1 l2 l3 l4 l5 d-1 76 256 448 162 168 201 177 106 98 67 65 119 287 105 89 d1,h0 27 13 202 117 247 22 37 46 62 112 103 98 62 249 14 d1,h1 8 214 210 71 46 41 76 34 40 168 168 121 32 37 31 d1 h2 243 69 8 53 101 130 79 92 100 115 19 14 26 17 293 d1 h3 3 3 65 581 258 21 84 184 159 13 6 15 99 190 215 d1 h4 41 102 35 65 102 240 1 0 24 35 61 30 101 44 105 d2 h1 82 59 85 42 93 31 53 163 124 134 11 207 225 129 26 d2 h2 30 108 66 84 77 27 117 98 236 93 111 19 129 64 57 d3 h1 d3 h2 d4 h1 d4 h2 d5 h1 d5 h2 hari,jam anemon 2 t1 t2 t3 l1 l2 l3 l4 l5 l1 l2 l3 l4 l5 l1 l2 l3 l4 l5 d-1 24 86 135 420 164 83 131 143 170 41 75 125 85 55 93 d1,h0 42 8 177 79 297 3 6 93 50 175 29 11 266 47 24 d1,h1 198 9 9 28 18 22 10 68 25 96 12 72 12 12 34 d1 h2 12 26 79 148 44 72 36 47 12 8 205 15 62 57 68 d1 h3 3 11 13 259 50 77 24 120 122 3 29 159 56 100 94 d1 h4 264 20 114 86 152 46 22 163 160 126 141 53 420 86 70 d2 h1 80 186 90 194 335 9 23 108 114 30 132 68 69 231 274 d2 h2 9 31 18 33 14 77 637 76 192 100 127 61 19 68 0 d3 h1 107 45 380 57 74 28 27 46 60 74 81 56 31 27 47 d3 h2 0 23 59 54 62 60 0 288 260 0 95 350 41 144 416 d4 h1 152 73 15 43 27 65 19 287 30 29 54 15 132 77 34 d4 h2 58 14 12 12 15 20 11 42 46 18 12 33 70 123 48 d5 h1 104 45 107 81 117 55 53 87 57 80 115 46 32 38 31 d5 h2 55 23 218 73 27 72 66 93 39 134 34 68 29 49 234 hari,jam anemon 3 t1 t2 t3 l1 l2 l3 l4 l5 l1 l2 l3 l4 l5 l1 l2 l3 l4 l5 d-1 36 62 77 228 149 67 60 282 169 92 49 114 105 143 105 d1,h0 24 16 199 3 155 23 0 552 14 76 14 63 8 496 4 d1,h1 23 8 63 59 577 30 9 22 13 19 81 42 67 17 22 d1 h2 20 19 76 19 97 9 11 81 24 119 110 22 30 29 331 d1 h3 31 170 77 139 88 24 115 17 447 33 3 12 165 50 74 d1 h4 41 39 33 47 45 144 16 128 284 236 164 16 9 71 59 d2 h1 17 9 51 14 43 2 39 466 7 25 15 11 29 9 68 d2 h2 42 11 228 0 38 74 162 23 20 168 108 224 32 289 0 d3 h1 23 79 72 77 40 47 36 78 13 61 147 24 19 23 69 d3 h2 0 0 17 54 29 2 0 4 5 5 13 5 23 22 21 d4 h1 16 17 54 20 12 32 160 158 44 22 143 107 39 201 104 d4 h2 58 65 121 160 74 187 52 110 151 74 66 117 52 134 97
d5 h1 66 23 137 31 20 101 28 9 42 59 23 91 72 24 22 d5 h2 312 12 48 0 233 99 16 42 19 50 38 84 44 28 4
Lampiran 3. Data mentah densitas zooxanthellae akuarium 2
( lampu flourescent )
hari,jam anemon 1 t1 t2 t3 l1 l2 l3 l4 l5 l1 l2 l3 l4 l5 l1 l2 l3 l4 l5 d-1 295 31 15 12 35 177 15 91 35 104 1 13 23 72 672 d1,h0 21 57 147 92 19 126 22 27 24 24 81 79 257 119 26 d1,h1 90 152 7 25 10 9 17 37 103 27 36 156 33 366 177 d1 h2 55 14 366 35 6 36 33 75 156 16 33 20 45 93 80 d1 h3 34 4 169 20 24 18 86 18 65 15 8 5 125 57 53 d1 h4 45 0 9 41 182 14 4 20 13 85 7 2 249 68 43 d2 h1 4 0 103 3 3 9 252 8 79 30 36 89 7 31 122 d2 h2 25 16 156 4 7 6 17 46 6 3 0 54 4 15 72 d3 h1 18 92 28 39 75 45 33 36 39 1 0 10 69 16 88 d3 h2 5 6 116 14 65 7 5 79 66 27 6 3 3 74 17 d4 h1 11 10 22 29 23 5 11 8 42 35 0 4 127 6 36 d4 h2 11 8 34 5 8 1 8 105 24 76 9 23 1 5 14 d5 h1 5 49 6 92 22 5 2 8 67 35 16 4 3 26 52 d5 h2 9 12 25 8 82 43 8 3 5 27 5 10 8 9 0 hari,jam anemon 2 t1 t2 t3 l1 l2 l3 l4 l5 l1 l2 l3 l4 l5 l1 l2 l3 l4 l5 d-1 9 7 3 148 148 48 48 262 105 93 2 50 10 156 58 d1,h0 15 119 213 83 83 22 8 253 26 56 83 89 29 16 34 d1,h1 7 5 462 29 29 13 122 182 136 23 4 21 20 193 42 d1 h2 4 3 11 27 27 11 6 70 39 5 20 8 5 49 2 d1 h3 9 11 332 45 45 19 16 26 22 42 76 59 43 126 36 d1 h4 7 47 21 153 153 4 35 148 14 6 6 3 17 161 4 d2 h1 9 10 9 52 52 13 7 13 3 4 11 8 290 15 22 d2 h2 132 21 7 98 98 24 27 10 7 11 59 8 22 48 22 d3 h1 1 112 2 3 3 129 5 6 108 124 3 1 3 45 18 d3 h2 9 14 4 9 9 2 25 50 120 167 20 13 26 18 22 d4 h1 15 90 15 6 6 2 5 87 8 47 15 137 12 34 14 d4 h2 3 108 24 27 27 27 43 3 14 8 0 12 48 29 22 d5 h1 3 4 3 3 3 7 0 0 0 0 0 0 58 1 1 d5 h2 37 24 9 20 20 11 9 4 7 41 6 71 5 48 12 hari,jam anemon 3 t1 t2 t3 l1 l2 l3 l4 l5 l1 l2 l3 l4 l5 l1 l2 l3 l4 l5 d-1 68 5 136 19 5 5 89 126 77 47 19 5 98 41 115 d1,h0 10 11 239 23 10 33 12 79 36 127 35 49 41 207 108 d1,h1 68 26 264 49 71 5 6 53 146 3 8 74 190 23 56 d1 h2 63 15 44 85 349 11 14 65 368 49 27 39 9 65 93 d1 h3 7 12 5 78 35 20 81 22 127 92 8 4 98 22 28 d1 h4 51 24 314 66 191 87 207 3 32 114 224 5 77 83 8 d2 h1 49 16 48 52 3 0 9 85 88 2 5 2 71 92 5 d2 h2 124 90 8 30 86 3 33 81 93 177 6 156 62 21 3 d3 h1 49 362 210 52 52 4 0 82 100 7 36 120 0 208 8 d3 h2 132 60 36 118 53 1 5 360 28 15 0 8 166 12 18 d4 h1 3 10 205 16 61 2 6 0 37 11 15 3 159 16 33 d4 h2 1 45 3 3 4 5 119 16 9 3 3 2 28 51 6 d5 h1 20 26 8 6 11 9 7 44 16 60 27 5 30 26 2
d5 h2 0 26 18 8 0 0 0 13 3 0 6 6 0 0 5
Lampiran 4. Data mentah densitas zooxanthellae akuarium 3 ( cahaya matahari ).
hari,jam anemon 1 t1 t2 t3 l1 l2 l3 l4 l5 l1 l2 l3 l4 l5 l1 l2 l3 l4 l5 d-1 31 26 70 181 208 84 152 106 116 221 35 31 219 35 33 d1,h0 12 116 163 222 40 141 59 2 256 7 48 21 151 134 16 d1,h1 21 30 432 29 35 12 120 37 37 546 320 25 7 106 25 d1 h2 8 27 61 29 458 243 163 218 92 136 29 110 76 217 125 d1 h3 4 23 518 3 15 25 25 40 50 22 41 58 160 87 57 d1 h4 180 29 152 28 105 70 85 45 47 288 88 53 23 22 133 d2 h1 57 105 74 15 43 10 16 57 37 24 195 39 15 106 45 d2 h2 164 134 12 30 72 71 7 9 15 16 520 71 58 69 153 d3 h1 76 111 22 45 131 13 133 35 27 121 74 56 286 38 38 d3 h2 52 44 14 81 128 153 14 250 129 177 92 79 180 12 54 d4 h1 49 74 86 215 7 33 58 118 18 37 35 123 258 71 69 d4 h2 10 37 334 21 181 291 71 91 28 53 184 118 12 79 55 d5 h1 93 71 144 19 13 24 62 262 194 182 56 8 127 23 6 d5 h2 125 270 443 134 22 84 110 302 117 133 326 71 122 203 130 hari,jam anemon 2 t1 t2 t3 l1 l2 l3 l4 l5 l1 l2 l3 l4 l5 l1 l2 l3 l4 l5 d-1 196 219 294 132 80 24 27 54 54 108 240 269 330 285 200 d1,h0 5 18 107 96 371 9 49 98 65 11 24 17 12 17 27 d1,h1 29 188 102 18 57 5 56 113 33 58 79 11 49 27 99 d1 h2 17 15 314 53 76 6 113 72 265 21 34 87 158 4 66 d1 h3 11 69 38 195 6 29 48 53 480 23 90 26 100 102 155 d1 h4 59 224 172 7 728 203 133 82 75 248 10 0 409 93 180 d2 h1 20 43 285 261 326 46 45 241 50 59 37 124 495 552 40 d2 h2 11 12 139 8 24 9 195 22 69 187 55 404 14 57 10 d3 h1 92 3 9 335 143 97 91 73 150 7 390 317 190 282 145 d3 h2 25 0 35 20 66 0 12 50 111 78 0 74 129 0 48 d4 h1 87 46 94 167 211 29 148 139 62 274 21 158 340 45 127 d4 h2 286 180 32 84 138 75 70 42 77 415 53 160 179 364 38 d5 h1 67 38 207 67 53 4 135 222 28 102 6 19 30 107 16 d5 h2 270 9 231 127 35 5 29 35 84 77 109 6 504 88 215 hari,jam anemon 3 t1 t2 t3 l1 l2 l3 l4 l5 l1 l2 l3 l4 l5 l1 l2 l3 l4 l5 d-1 115 200 106 96 174 211 280 201 174 99 63 81 189 134 77 d1,h0 2 5 21 178 79 25 352 198 101 378 4 8 14 17 24 d1,h1 52 35 130 11 41 158 22 23 211 135 218 48 62 139 176 d1 h2 9 213 193 27 70 80 21 41 36 36 48 104 125 279 24 d1 h3 40 63 72 32 8 30 51 79 249 139 104 209 13 140 43 d1 h4 91 102 429 23 19 25 5 43 4 149 12 55 25 95 45 d2 h1 0 139 52 120 142 1 30 48 274 36 130 138 138 545 368 d2 h2 402 98 23 39 138 91 152 71 44 11 24 5 45 17 18 d3 h1 25 110 82 358 41 32 82 199 142 61 18 19 74 101 25 d3 h2 22 74 96 0 0 11 16 47 32 13 60 34 54 72 32 d4 h1 516 25 80 211 79 221 96 180 92 147 76 19 60 80 103 d4 h2 353 83 61 114 401 370 222 156 107 42 76 52 17 17 29 d5 h1 47 191 216 230 214 106 144 195 152 65 109 26 106 247 210 d5 h2 47 27 23 70 45 16 54 177 25 234 24 21 21 68 7
Lampiran 5. Data mentah rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm akuarium
1 ( lampu incandescent )
Hari anemon tentakel gastroderm ektoderm d-1 1 a 5.61 3.54 5.175 3.275 2.52 5.275 b 3.67 3.61 3.335 4.51 2.47 6.61 c 5.15 4.64 5.58 5.4 5.32 5.265 2 a 3.67 3.33 1.57 3.16 2.585 2.98 b 4.77 4.79 3.22 3.71 3.09 4.375 c 4.97 5.97 3.22 4.86 2.235 5.14 3 a 2.86 3.32 2.19 3.47 3.625 4.625 b 3.865 0.175 3.515 2.79 3.835 2.525 c 0.97 4.42 3.33 3.425 3.68 4.28 d3 2 a 0.28 5.54 4.9 5.96 3.66 4.88 b 6.58 6.875 5.47 7.42 4.19 4.875 c 4.77 5.98 4.505 4.67 5.42 4.49 3 a 3.685 3.96 2.16 6.68 3.03 3.74 b 2.69 4.425 2.395 3.47 3.95 3.785 c 3.8 5.89 4.26 5.585 2.23 5.11
Lampiran 5. Lanjutan.
Hari anemon tentakel gastroderm ektoderm d5 2 a 2.995 4.95 3.28 3.73 1.99 3.66 b 3.775 6.27 3.27 4.92 3.34 5.68 c 4.58 3.57 2.74 2.84 2.885 3.73 3 a 3.82 4.15 3.92 2.59 4.37 3.19 b 4.21 3.63 3.28 3.02 3.22 2.4 c 3.5 2.87 2.81 3.93 1.015 3.28
Lampiran 6. Data mentah Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm akuarium
2 ( lampu flourecent )
Hari anemon tentakel gastroderm ektoderm d-1 1 a 3.315 3.885 2.8 3.415 2.5 4.16 b 2.955 3.06 2.68 4.17 2.36 2.7 c 3.46 3.47 1.96 3.83 2.685 1.94 2 a 2.4 2.26 2.39 2.85 1.91 3.15 b 2.19 1.94 1.8 1.9 2.29 2.42 c 2.69 2.15 2.875 1.795 2.685 1.445 3 a 2.69 2.26 1.785 2.85 1.715 3.15 b 2.38 1.94 1.6 1.9 1.995 2.42 c 1.87 2.15 2.57 1.795 1.68 1.445 d3 1 a 1.965 3.48 2.43 3.67 2.65 3.39 b 2.635 4.2 2.55 3.9 2.29 2.67 c 1.56 2.15 2.29 1.9 1.345 2.37 2 a 2.45 3.24 1.32 2.495 2.37 2.23 b 1.81 2.86 2.15 3.3 2.11 3.39 c 1.97 1.98 1.61 2.26 1.92 1.775 3 a 0.77 1.3 0.98 1.12 1.21 1 b 0.92 1.73 2.145 1.595 1.97 1.485 c 1.695 1.765 1.25 2.24 1.52 2.56
Lampiran 6. Lanjutan.
Hari anemon tentakel gastroderm ektoderm
d5 1 a 2.375 3.995
2.265 3.69
2.24 4.19
b 4.18 4.43
3.47 3.3
2.97 3.98
c 3.47 2.92
2.775 2.5
2.47 3.25
2 a 2.28 2.84
2.61 2.93
2.81 2.905
b 2.62 2.945
1.845 3.33
2.87 3.9
c 2.77 1.94
2.57 2.11
1.69 2.13
3 a 4.38 2.805
4.69 3.795
4.997 4.67
b 4.81 2.97
2.85 2.465
2.69 2.91
c 1.24 1.56
0.835 1.245
1.43 1.455
Lampiran 7. Data mentah rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm akuarium
3 ( cahaya matahari )
Hari anemon tentakel gastroderm ektoderm d-1 1 a 2.76 3.83 3.62 4.26 2.825 5.22 b 4.47 6.38 4.85 6.89 3.73 6.16 c 3.45 4.67 4.61 4.28 2.54 4.675 2 a 2.37 2.77 1.49 3.01 3.24 2.75 b 2.94 2.36 1.91 2.42 1.38 1.98 c 2.23 2.95 0.685 2.81 2.4 2.92 3 a 3.16 2.67 3.26 2.805 2.793 3.09 b 2.89 2.82 3.3 3.735 2.98 2.64 c 2.15 3.98 3.875 3.49 3.46 3.11 d3 1 a 2.81 3.32 2.37 2.15 3.27 1.84 b 1.95 3.12 2.32 3.775 2.46 4.33 c 2.22 2.245 1.998 1.995 2.24 1.885 2 a 2.53 2.285 1.95 2.775 2.405 2.825 b 4.26 3.395 2.72 3.58 3.01 3.9 c 3.63 2.76 3.99 2.338 2.61 2.41 3 a 1.99 2.59 1.78 2.67 1.36 1.98 b 3.455 3.92 3.385 3.24 3.78 3.115 c 3.505 4.27 3.56 3.67 2.23 4.14
Lampiran 7. Lanjutan.
Hari anemon tentakel gastroderm ektoderm d5 1 a 2.86 3.85 2.76 3.185 2.66 3.77 b 3.29 3.64 2.96 3.635 2.615 3.24 c 2.14 2.84 1.91 3.48 3.43 2.23 2 a 2.32 2.64 3.35 2.895 2.835 2.62 b 1.99 1.535 1.28 1.4 1.28 0.83 c 2.29 1.445 2.795 1.55 2.67 2.42 3 a 3.9 1.899 3.35 3.28 2.89 1.76 b 3.98 1.87 3.58 3.7 4.53 3.55 c 3 3.86 3.865 3.195 4.9 3.91
Lampiran 8. Hasil uji statistik densitas zooxanthellae Densitas zooxanthellae saat d-1
Homogeneous Subsets
Densitas zooxanthellae saat d1h0
ANOVA
jumlah sel
8.3E+009 2 4143107123 17.791 .003
1.8E+009 1 1792955780 7.699 .032
6.5E+009 1 6493258465 27.883 .002
1.4E+009 6 232872087.9
9.7E+009 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
jumlah sel
3 53553.78
3 93246.40
3 127819.57
1.000 .072
3 53553.78
3 93246.40
3 127819.57
1.000 1.000 1.000
sampelflourescent
incandescent
matahari
Sig.
flourescent
incandescent
matahari
Sig.
Tukey HSDa
Duncana
N 1 2 3
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
ANOVA
jumlah sel
2.3E+009 2 1170255454 45.065 .000
2.3E+009 1 2337503047 90.014 .000
3007860 1 3007860.469 .116 .745
1.6E+008 6 25968177.24
2.5E+009 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Lampiran 8. Lanjutan Homogeneous Subsets
Densitas zooxanthellae saat d1h1
Homogeneous Subsets
jumlah sel
3 28284.90
3 49249.13
3 67760.66
1.000 1.000 1.000
3 28284.90
3 49249.13
3 67760.66
1.000 1.000 1.000
sampelmatahari
flourescent
incandescent
Sig.
matahari
flourescent
incandescent
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1 2 3
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
ANOVA
jumlah sel
88225173 2 44112586.74 .192 .830
87990575 1 87990574.68 .383 .559
234598.8 1 234598.800 .001 .976
1.4E+009 6 229667740.4
1.5E+009 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
jumlah sel
3 38621.84
3 42793.83
3 46280.84
.816
3 38621.84
3 42793.83
3 46280.84
.570
sampelmatahari
flourescent
incandescent
Sig.
matahari
flourescent
incandescent
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
Lampiran 8. Lanjutan Densitas zooxanthellae saat d1h2
Homogeneous Subsets
Densitas zooxanthellae saat d1h3
ANOVA
jumlah sel
1.0E+009 2 503880101.1 2.053 .209
2.4E+008 1 241727907.3 .985 .359
7.7E+008 1 766032294.8 3.121 .128
1.5E+009 6 245416254.8
2.5E+009 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
jumlah sel
3 37305.693
3 50529.210
3 63223.773
.187
3 37305.693
3 50529.210
3 63223.773
.098
sampelflourescent
incandescent
matahari
Sig.
flourescent
incandescent
matahari
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
ANOVA
jumlah sel
3.1E+009 2 1530103508 10.562 .011
84421957 1 84421956.53 .583 .474
3.0E+009 1 2975785059 20.541 .004
8.7E+008 6 144868019.9
3.9E+009 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Lampiran 8. Lanjutan Homogeneous Subsets
Densitas zooxanthellae saat d1h4
Homogeneous Subsets
jumlah sel
3 34599.10
3 69421.27
3 76923.36
1.000 .737
3 34599.10
3 69421.27
3 76923.36
1.000 .474
sampelflourescent
incandescent
matahari
Sig.
flourescent
incandescent
matahari
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1 2
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
ANOVA
jumlah sel
6.5E+009 2 3225532228 10.822 .010
3.0E+009 1 3000097107 10.066 .019
3.5E+009 1 3450967350 11.578 .014
1.8E+009 6 298056870.4
8.2E+009 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
jumlah sel
3 46819.75
3 65997.65
3 110719.73
.417 1.000
3 46819.75
3 65997.65
3 110719.73
.223 1.000
sampelflourescent
incandescent
matahari
Sig.
flourescent
incandescent
matahari
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1 2
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
Lampiran 8. Lanjutan Densitas zooxanthellae saat d2h1
Homogeneous Subsets
Densitas zooxanthellae saat d2h2
ANOVA
jumlah sel
1.6E+010 2 8211119135 23.271 .001
6.9E+009 1 6859744750 19.441 .005
9.6E+009 1 9562493520 27.101 .002
2.1E+009 6 352852573.7
1.9E+010 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
jumlah sel
3 30212.39
3 65546.37
3 133171.53
.131 1.000
3 30212.39
3 65546.37
3 133171.53
.061 1.000
sampelflourescent
incandescent
matahari
Sig.
flourescent
incandescent
matahari
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1 2
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
ANOVA
jumlah sel
2.5E+009 2 1229822540 21.405 .002
12793367 1 12793367.08 .223 .654
2.4E+009 1 2446851712 42.588 .001
3.4E+008 6 57453986.10
2.8E+009 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Lampiran 8. Lanjutan Homogeneous Subsets
Densitas zooxanthellae saat d3h1
Homogeneous Subsets
Densitas zooxanthellae saat d3h2
jumlah sel
3 31795.66
3 65312.95
3 68233.38
1.000 .887
3 31795.66
3 65312.95
3 68233.38
1.000 .654
sampelflourescent
incandescent
matahari
Sig.
flourescent
incandescent
matahari
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1 2
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
ANOVA
jumlah sel
1.7E+010 2 8293208761 21.168 .002
1.3E+010 1 1.344E+010 34.311 .001
3.1E+009 1 3144186318 8.025 .030
2.4E+009 6 391778867.3
1.9E+010 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
jumlah sel
3 30314.40
3 37997.34
3 124979.53
.885 1.000
3 30314.40
3 37997.34
3 124979.53
.651 1.000
sampelincandescent
flourescent
matahari
Sig.
incandescent
flourescent
matahari
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1 2
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
Lampiran 8. Lanjutan Homogeneous Subsets
Densitas zooxanthellae saat d4h1
Homogeneous Subsets
ANOVA
jumlah sel
27926882 2 13963441.18 .017 .983
21789393 1 21789392.67 .027 .875
6137490 1 6137489.694 .008 .933
4.9E+009 6 809731783.7
4.9E+009 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
jumlah sel
3 31932.86
3 32086.75
3 35744.20
.985
3 31932.86
3 32086.75
3 35744.20
.879
sampelincandescent
flourescent
matahari
Sig.
incandescent
flourescent
matahari
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
ANOVA
jumlah sel
9.1E+009 2 4534808567 15.118 .005
5.9E+009 1 5865478464 19.554 .004
3.2E+009 1 3204138671 10.682 .017
1.8E+009 6 299959061.1
1.1E+010 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
jumlah sel
3 25180.75
3 33940.33
3 96472.88
.815 1.000
3 25180.75
3 33940.33
3 96472.88
.558 1.000
sampelflourescent
incandescent
matahari
Sig.
flourescent
incandescent
matahari
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1 2
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
Lampiran 8. Lanjutan Densitas zooxanthellae saat d4h2
Homogeneous Subsets
Densitas zooxanthellae saat d5h1
ANOVA
jumlah sel
1.5E+010 2 7434519314 16.125 .004
9.4E+009 1 9420804125 20.433 .004
5.4E+009 1 5448234504 11.817 .014
2.8E+009 6 461058151.5
1.8E+010 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
jumlah sel
3 19364.67
3 31932.83
3 111182.67
.763 1.000
3 19364.67
3 31932.83
3 111182.67
.500 1.000
sampelflourescent
incandescent
matahari
Sig.
flourescent
incandescent
matahari
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1 2
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
ANOVA
jumlah sel
1.3E+009 2 673498570.8 2.701 .146
4.0E+008 1 398900855.9 1.600 .253
9.5E+008 1 948096285.7 3.803 .099
1.5E+009 6 249310198.4
2.8E+009 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Lampiran 8. Lanjutan Homogeneous Subsets
Lampiran 8. Lanjutan Densitas zooxanthellae saat d5h2
Homogeneous Subsets
jumlah sel
3 14330.13
3 27949.03
3 44256.51
.128
3 14330.13
3 27949.03
3 44256.51
.066
sampelflourescent
incandescent
matahari
Sig.
flourescent
incandescent
matahari
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
ANOVA
jumlah sel
1.0E+010 2 5172206807 13.697 .006
5.1E+009 1 5097160906 13.498 .010
5.2E+009 1 5247252709 13.896 .010
2.3E+009 6 377620248.8
1.3E+010 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Lampiran 9. Uji statistik mitotik indeks zooxanthellae Mitotik indeks zooxanthellae saat d-1
jumlah sel
3 12830.43
3 34905.13
3 93198.42
.403 1.000
3 12830.43
3 34905.13
3 93198.42
.214 1.000
sampelflourescent
incandescent
matahari
Sig.
flourescent
incandescent
matahari
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1 2
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
ANOVA
mitotik indeks
.000 2 .000 .343 .723
.000 1 .000 .171 .693
.000 1 .000 .514 .500
.002 6 .000
.003 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Homogeneous Subsets
Mitotik indeks zooxanthellae saat d1h0
Lampiran 9. Lanjutan Homogeneous Subsets
mitotik indeks
3 .0700
3 .0767
3 .0833
.701
3 .0700
3 .0767
3 .0833
.453
sampelmatahari
incandescent
flourescent
Sig.
matahari
incandescent
flourescent
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
ANOVA
mitotik indeks
.017 2 .009 29.885 .001
.003 1 .003 9.750 .021
.014 1 .014 50.019 .000
.002 6 .000
.019 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Mitotik indeks zooxanthellae saat d1h1
Homogeneous Subsets
Lampiran 9. Lanjutan Mitotik indeks zooxanthellae saat d1h2
mitotik indeks
3 .0600
3 .1033
3 .1667
1.000 1.000 1.000
3 .0600
3 .1033
3 .1667
1.000 1.000 1.000
sampelmatahari
incandescent
flourescent
Sig.
matahari
incandescent
flourescent
Sig.
Tukey HSDa
Duncan a
N 1 2 3
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
ANOVA
mitotik indeks
.069 2 .034 24.776 .001
.012 1 .012 8.748 .025
.057 1 .057 40.804 .001
.008 6 .001
.077 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
mitotik indeks
3 .2300
3 .3533
3 .4433
1.000 .057
3 .2300
3 .3533
3 .4433
1.000 1.000 1.000
sampelflourescent
matahari
incandescent
Sig.
flourescent
matahari
incandescent
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1 2 3
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
Homogeneous Subsets
Mitotik indeks zooxanthellae saat d1h3
Lampiran 9. Lanjutan Homogeneous Subsets
ANOVA
mitotik indeks
.014 2 .007 .710 .529
.008 1 .008 .791 .408
.006 1 .006 .630 .458
.061 6 .010
.076 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
mitotik indeks
3 .1433
3 .2167
3 .2367
.531
3 .1433
3 .2167
3 .2367
.315
sampelmatahari
incandescent
flourescent
Sig.
matahari
incandescent
flourescent
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
ANOVA
mitotik indeks
.078 2 .039 31.088 .001
.002 1 .002 1.606 .252
.076 1 .076 60.571 .000
.008 6 .001
.086 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Mitotik indeks zooxanthellae saat d1h4
Homogeneous Subsets
Lampiran 9. Lanjutan Mitotik indeks zooxanthellae saat d2h1
mitotik indeks
3 .0733
3 .1100
3 .2867
.461 1.000
3 .0733
3 .1100
3 .2867
.252 1.000
sampelmatahari
incandescent
flourescent
Sig.
matahari
incandescent
flourescent
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1 2
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
ANOVA
mitotik indeks
.001 2 .000 1.148 .378
.000 1 .000 .056 .822
.001 1 .001 2.241 .185
.002 6 .000
.002 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
mitotik indeks
3 .0833
3 .0867
3 .1033
.392
3 .0833
3 .0867
3 .1033
.220
sampelmatahari
incandescent
flourescent
Sig.
matahari
incandescent
flourescent
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
Homogeneous Subsets
Mitotik indeks zooxanthellae saat d2h2
Lampiran 9. Lanjutan Homogeneous Subsets
ANOVA
mitotik indeks
.004 2 .002 1.568 .283
.004 1 .004 3.072 .130
.000 1 .000 .064 .809
.008 6 .001
.013 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
mitotik indeks
3 .0600
3 .0933
3 .1133
.263
3 .0600
3 .0933
3 .1133
.141
sampelmatahari
flourescent
incandescent
Sig.
matahari
flourescent
incandescent
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
ANOVA
mitotik indeks
.012 2 .006 2.050 .210
.009 1 .009 3.076 .130
.003 1 .003 1.025 .350
.017 6 .003
.029 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Mitotik indeks zooxanthellae saat d3h1
Homogeneous Subsets
Lampiran 9. Lanjutan Mitotik indeks zooxanthellae saat d3h2
mitotik indeks
3 .2467
3 .3233
3 .3233
.262
3 .2467
3 .3233
3 .3233
.141
sampelincandescent
flourescent
matahari
Sig.
incandescent
flourescent
matahari
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
ANOVA
mitotik indeks
.046 2 .023 4.041 .077
.000 1 .000 .026 .877
.046 1 .046 8.055 .030
.034 6 .006
.080 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
mitotik indeks
3 .0700
3 .0800
3 .2267
.097
3 .0700
3 .0800 .0800
3 .2267
.877 .055
sampelmatahari
incandescent
flourescent
Sig.
matahari
incandescent
flourescent
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1 2
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
Homogeneous Subsets
Mitotik indeks zooxanthellae saat d4h1
Lampiran 9. Lanjutan Homogeneous Subsets
ANOVA
mitotik indeks
.168 2 .084 24.347 .001
.000 1 .000 .019 .894
.168 1 .168 48.675 .000
.021 6 .003
.189 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
mitotik indeks
3 .0633
3 .0700
3 .3567
.989 1.000
3 .0633
3 .0700
3 .3567
.894 1.000
sampelmatahari
incandescent
flourescent
Sig.
matahari
incandescent
flourescent
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1 2
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
ANOVA
mitotik indeks
.003 2 .002 .780 .500
.002 1 .002 .750 .420
.002 1 .002 .810 .403
.013 6 .002
.017 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Mitotik indeks zooxanthellae saat d4h2
Homogeneous Subsets
Lampiran 9. Lanjutan Mitotik indeks zooxanthellae saat d5h1
mitotik indeks
3 .0533
3 .0667
3 .1000
.489
3 .0533
3 .0667
3 .1000
.285
sampelflourescent
incandescent
matahari
Sig.
flourescent
incandescent
matahari
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
ANOVA
mitotik indeks
.001 2 .001 .224 .806
.000 1 .000 .062 .812
.001 1 .001 .386 .557
.015 6 .002
.016 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
mitotik indeks
3 .0667
3 .0833
3 .0933
.793
3 .0667
3 .0833
3 .0933
.545
sampelflourescent
matahari
incandescent
Sig.
flourescent
matahari
incandescent
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
Homogeneous Subsets
Mitotik indeks zooxanthellae saat d5h2
Lampiran 9. Lanjutan Homogeneous Subsets
ANOVA
mitotik indeks
.042 2 .021 2.240 .188
.023 1 .023 2.424 .170
.019 1 .019 2.055 .202
.056 6 .009
.099 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
mitotik indeks
3 .0400
3 .0767
3 .2000
.188
3 .0400
3 .0767
3 .2000
.099
sampelflourescent
incandescent
matahari
Sig.
flourescent
incandescent
matahari
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
ANOVA
mitotik indeks
.005 2 .003 .581 .588
.001 1 .001 .173 .692
.005 1 .005 .989 .358
.028 6 .005
.034 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Lampiran 10. Uji stratistik rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm. Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm saat d-1
mitotik indeks
3 .0533
3 .0900
3 .1133
.565
3 .0533
3 .0900
3 .1133
.340
sampelflourescent
incandescent
matahari
Sig.
flourescent
incandescent
matahari
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
Homogeneous Subsets
Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm saat d3
Lampiran 10. Lanjutan. Homogeneous Subsets
ANOVA
rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm
.550 2 .275 2.220 .190
.001 1 .001 .005 .948
.550 1 .550 4.434 .080
.744 6 .124
1.294 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm
3 .8240
3 1.3385
3 1.3582
.231
3 .8240
3 1.3385
3 1.3582
.123
sampelflourescent
incandescent
matahari
Sig.
flourescent
incandescent
matahari
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
ANOVA
rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm
.332 2 .166 .190 .832
.331 1 .331 .379 .561
.001 1 .001 .002 .969
5.235 6 .872
5.567 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm saat d5
Homogeneous Subsets
rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm
3 1.1461
3 1.3545
3 1.6156
.817
3 1.1461
3 1.3545
3 1.6156
.573
sampelmatahari
flourescent
incandescent
Sig.
matahari
flourescent
incandescent
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
ANOVA
rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm
.125 2 .062 .288 .760
.019 1 .019 .088 .777
.106 1 .106 .487 .511
1.299 6 .216
1.423 8
(Combined)
Contrast
Deviation
Linear Term
BetweenGroups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
rasio ketebalan gastroderm dengan ektoderm
3 .8539
3 .9664
3 1.1399
.743
3 .8539
3 .9664
3 1.1399
.493
sampelincandescent
matahari
flourescent
Sig.
incandescent
matahari
flourescent
Sig.
Tukey HSD a
Duncan a
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.a.
Lampiran 11. Data kualitas air
Tgl Akurium 1 Akuarium 2 Akuarium 3
pH Suhu (° C ) Salinitas (‰ )
pH Suhu ( °C ) Salinitas (‰ )
pH Suhu ( °C ) Sainitas (‰ )
09.00 16.00 09.00 16.00 09.00 16.00
5/5 7 27 27.5 33 7 27 28 33 7 27.5 28 33 6/5 7 27 27.5 33 7 28.5 28.5 33 7 28.5 28.5 35
7/5 8 27 27 35 7 27.5 28 35 7 27.5 28 36
8/5 8 26.5 27.5 35 7 28 27.5 34 7 28 28 35
9/5 8 27 27 35 8 27 28 35 8 27.5 28 35
10/5 8 27 27 35 8 27 27.5 34 8 28 28 34
11/5 8 27 27.5 36 8 28 27.5 34 8 28 29 36
12/5 8 26.5 27 35 8 28 28 33 8 27 28 35
13/5 8 27 27 35 8 28 28 34 8 28.5 28.5 35
14/5 8 27 27 34 8 28 28 34 8 28 28 36
15/5 8 26.8 27 36 8 28 28 35 8 27 27.5 35
16/5 8 27 27.5 37 8 28 28 34 8 27 27 37
17/5 8 26.5 27 37 8 28 28 34 8 27 28 37
18/5 8 27 27.5 37 8 28 28 35 8 28 28 38
19/5 8 27 27.5 35 8 28 28 35 8 27.5 28.5 38
20/5 8 27 27 36 8 28 27.5 34 8 28.5 28 37
21/5 8 27 29 37 8 28 28.5 34 8 29 28 37
22/5 8 27.5 28 37 8 28 28 35 8 28 28.5 37
23/5 8 27 28 38 8 28 28 35 8 28 29 37
24/5 8 27 28 38 8 27.5 28.5 35 8 27 28 38
25/5 8 27.5 28.5 37 8 27 29 35 8 27 28 37
26/5 8 28 28 37 8 28 28.5 35 8 26 28.5 37
27/5 8 27 27 37 8 28 28 35 8 27.5 28 37
28/5 8 27 27 36 8 28 28 35 8 28 28 36
29/5 8 27 27.5 38 8 27 27.5 35 8 28 28 36
30/5 8 27 27 38 8 27.5 27.5 34 8 28 28 37
31/5 8 27 27 37 8 28 27 35 8 28 27.5 36
1/6 8 28 28 37 8 28 28 35 8 28 28 37
2/6 8 28 27 36 8 28 28 35 8 27.5 28 37
3/6 8 28 27 36 8 27.5 27.5 35 8 28.5 27.5 37
98
Lampiran 12. Alat dan bahan.
1. Seting akuarium. 2. Alat dan bahan
3. Lampu incandescent. 3. Lampu fluorescent
5. Dehidrasi dan clearing. 6. Embedding.
7. Mikroskop Olympus CHS 20-EM.
adalah putri dari pasangan Kusnayadi dan Fauziah. Penulis
adalah putri ke dua dari empat bersaudara.
Menengah Atas Negeri ( SMAN ) 1 C
Tahun 2001 Penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Dan Teknologi
Kelautan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Undangan Masuk Mahasiswa IPB ( USMI ).
Selam menempuh pendidikan di Instiut Pertanian Bogor, Penulis pernah
menjadi anggota Marine Biology Club ( MBC ) pada tahun 2006
menyelesaikan studi di Jurusan Ilmu Dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan
Dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
dengan judul “ Pengaruh Jenis Lampu Yang Berbeda Terhadap Mitotik Indeks,
Densitas Zooxantellae Dan Morfologi Anemon (
Laboratorium”.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, 15 Desember 1982. Penulis
adalah putri dari pasangan Kusnayadi dan Fauziah. Penulis
adalah putri ke dua dari empat bersaudara.
Tahun 2001 Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah
Menengah Atas Negeri ( SMAN ) 1 Ciranjang, Kab. Cianjur, Prov. Jawa Barat.
Tahun 2001 Penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Dan Teknologi
Kelautan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Undangan Masuk Mahasiswa IPB ( USMI ).
nempuh pendidikan di Instiut Pertanian Bogor, Penulis pernah
menjadi anggota Marine Biology Club ( MBC ) pada tahun 2006-2007. Untuk
menyelesaikan studi di Jurusan Ilmu Dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan
Dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Penulis menyelesaikan
“ Pengaruh Jenis Lampu Yang Berbeda Terhadap Mitotik Indeks,
Densitas Zooxantellae Dan Morfologi Anemon ( Heteractis malu
Penulis dilahirkan di Jakarta, 15 Desember 1982. Penulis
adalah putri dari pasangan Kusnayadi dan Fauziah. Penulis
Tahun 2001 Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah
Cianjur, Prov. Jawa Barat.
Tahun 2001 Penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Dan Teknologi
Kelautan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui
nempuh pendidikan di Instiut Pertanian Bogor, Penulis pernah
2007. Untuk
menyelesaikan studi di Jurusan Ilmu Dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan
, Penulis menyelesaikan skripsi
“ Pengaruh Jenis Lampu Yang Berbeda Terhadap Mitotik Indeks,
) Pada Skala
98