PENGARUH KOMPOSISI 2,9% DAN 3,8% SILISIUM TERHADAP
KEKUATAN LELAH BESI COR KELABU
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan
Guna memperoleh gelar Sarjana Teknik (S.T)
Disusun oleh
Arnold Audri Indraprasta Litaay
155214080
PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN
JURUSAN TEKNIK MESIN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
EFFECT COMPOSITION OF 2,9% AND 3,8% SILICIUM ON THE
FATIGUE STRENGTH GRAY CAST IRON
FINAL PROJECT
Submitted as One of Requirements
of Obtaines degree Sarjana Teknik (S.T.)
By:
Arnold Audri Indraprasta Litaay
155214080
MECHANICAL ENGINEERING STUDY PROGRAM
MECHANICAL ENGINEERING DEPARTEMENT
TECHNOLOGY AND SCIENCE FACULTY
SANATA DHARMA UNIVERSITY
2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
HALAMAN PENGESAHAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PERNYAAT PERSETUJUAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
INTISARI
Topik yang dibahas dalam penelitian ini adalah menganalisis pengaruh
komposisi 2,9% dan 3,8% silisium (Si) terhadap kekuatan lelah dan struktur
mikro-makro besi cor kelabu. Memadukan besi cor kelabu dengan Si dapat
menginisiasi pengintian grafit yang menghasilkan grafit berukuran lebih kecil dan
tersebar lebih merata, sehingga secara teori dapat meningkatkan kekuatan
mekanik dan memperpanjang umur penggunaan besi cor kelabu pada pembebanan
fluktuatif. Pengujian ini didukung dengan data pengujian tarik, pengujian
kekerasan,yang sudah dilakukan sebelumnya.
Pengecoran dilakukan menggunakan cetakan yang dibuat dari pasir alam.
Metode penambahan Si menggunakan metode open ladle. Spesimen dibentuk
menggunakan standar ASTM E8/E8M – 09 untuk uji tarik, ASTM E140 – 52
untuk uji kekerasan, ASTM E466 untuk uji lelah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi Si yang semakin tinggi
meningkatkan kekerasan sebesar 7,6% menjadi 187,9 HBS; kekuatan tarik
meningkat sebesar 1,3% menjadi 153,6 MPa; batas lelah meningkat sebesar 10%
menjadi 0,55 rasio kekuatan tarik. Struktur mikro pada komposisi 3,8% Si
memiliki grafit tipe A dan grafit tipe B dimana grafit berukuran lebih kecil dan
tersebar lebih merata dibandingkan pada komposisi 2,9% Si yang hanya bergrafit
tipe A. Terdapat porositas pada pengamatan struktur mikro yang disebabkan oleh
uap air dan udara yang terperangkap di dalam pasir cetak selama proses
pengecoran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRACT
The topic discussed in this study was to analyze the effect of the
composition of 2.9% and 3.8% silisium (Si) on the fatigue strength and micro-
macro structure of gray cast iron. Combining gray cast iron with Si can initiate
graphite dispersion which results in smaller and more evenly distributed graphite,
that it can increase mechanical strength and extend life of use of gray cast iron at
fluctuating loading. This test is supported by tensile testing data and hardness
testing data, which has been done before
Casting is done using molds made from natural sand. The Si addition
method uses the open ladle method. Specimens were formed using the ASTM E8 /
E8M-09 standard for tensile testing, ASTM E140 - 52 for hardness testing, ASTM
E466 for fatigue test.
The results showed that the higher Si composition increased the hardness
by 7.6% to 187.9 HBS; tensile strength increased by 1.3% to 153.6 MPa; fatigue
limit increases by 10% to 0.55 tensile strength ratio. The microstructure in the
composition of 3,8% Si has type A graphite and type B graphite where graphite is
smaller and more evenly distributed than the composition of 2,9% Si which is
only type A graphite. There is porosity in the microstructure observation caused
by steam water dan air trapped in the sand mold during the casting process.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga tugas akhir dengan judul PENGARUH KOMPOSISI 2,9%
DAN 3,8% SILISIUM TERHADAP KEKUATAN LELAH BESI COR KELABU
dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu
syarat akademis memperoleh gelas sarjana di Jurusan Teknik Mesin, Fakultas
Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Penulis menyadari
bahwa masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki dalam penyusunan tugas
akhir ini, untuk itu penulis mengharapkan adanya kritikan dan saran yang
membangun dari berbagai pihak untuk semakin menyempurnakannya.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan tugas akhir, terlebih kepada:
1. Sudi Mungkasi, Ph.D., selaku dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Sanata Dharma
2. Ir. Petrus Kanisius Purwadi, S.T., M.T., selaku Ketua Jurusan Teknik Mesin
Universitas Sanata Dharma
3. Budi Setyahandana, S.T., M.T., dan Dr.Eng I Made Wicaksana Ekaputra,
M.Eng., selaku dosen pembimbing yang telah banyak mendorong dan
memberi masukan untuk menyelesaikan tugas akhir.
4. Bapak Martono, Bapak Intan, dan Bapak Rony selaku laboran yang
memberikan arahan kepada saya selama eksperimen.
5. Papaku tercinta Paulus Litaay, S.E., dan mamaku tersayang Ir. Indria
Melasari yang sangat aku kasihi, menjadi teladan, memberikan dukungan
doa, semangat, dan motivasi yang tiada bandingannya.
6. Kekasihku Wentri Febriasie yang selalu menyemangati dengan kasih,
perhatian, dan senyuman.
7. Rekan sekerja dan seperjuangan selama penyusunan tugas akhir ini Ronald
Mangande, Danu, Ledjar, dan Wisnu.
8. Sahabatku: Clinton, Vandi, Natan, Bondan, Nanda, dan Rinda, yang selalu
mengisi hari-hariku dengan aktivitas yang menarik, penuh suka-duka dan
tawa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
9. Teman-teman PMK Apostolos dan pengurus PMK Apostolos 2016/2017
yang telah mengajariku banyak hal dan menjadi keluarga di kampus.
10. Kak Enti, kak Retsy, dan kak Arlen serta seluruh keluarga besar yang selalu
memperhatikan dan mendoakan.
11. Seluruh pemuda/i gereja GKN Gloria atas kesempatan melayani dan menjadi
rekan sekerja dalam komunitas yang memberkati.
12. Dan semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, yang
telah ikut membantu dalam menyelesaikan tugas akhir.
Semoga tugas akhir ini memberikan manfaat bagi para pembaca.
Terima kasih, Tuhan Yesus memberkati.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................................ iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ..........................................................................iv
PERNYAAT PERSETUJUAN .......................................................................................vi
INTISARI ...................................................................................................................... vii
ABSTRACT .................................................................................................................. viii
KATA PENGANTAR .....................................................................................................ix
DAFTAR ISI ...................................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ....................................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 2
1.3 Tujuan ............................................................................................................... 3
1.4 Batasan Masalah .............................................................................................. 3
1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................................... 3
BAB II DASAR TEORI ................................................................................................... 4
2.1 Besi Cor ............................................................................................................. 4
2.1.1 Besi Cor Kelabu ......................................................................................... 8
2.1.2 Besi Cor Putih ............................................................................................ 9
2.1.3 Besi Cor Mampu Tempa........................................................................... 10
2.1.4 Besi Cor Nodular ...................................................................................... 10
2.1.5 Pengaruh unsur kimia dalam besi cor: ...................................................... 13
2.2 Pengaruh Perlakuan Panas terhadap Struktur Mikro ................................ 15
2.2.1 Perlit ( + Fe3C) ....................................................................................... 15
2.2.2 Spheroidit ................................................................................................. 17
2.2.3 Bainit ........................................................................................................ 18
2.2.4 Martensit .................................................................................................. 19
2.3 Inokulasi .......................................................................................................... 21
2.4 Silisium (Si) ..................................................................................................... 22
2.5 Proses Pengecoran (Casting Process) ............................................................ 23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
2.5.1 Pembuatan Cetakan .................................................................................. 24
2.5.2 Saluran Masuk, Penambahan, dan Karakteristik Pembekuan ................... 25
2.6 Pengujian Tarik .............................................................................................. 26
2.7 Pengujian Lelah .............................................................................................. 30
2.8 Pengujian Kekerasan Brinell ......................................................................... 32
2.9 Tinjauan Pustaka ........................................................................................... 35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................... 37
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ............................................................................. 38
3.2.1 Bahan yang digunakan ............................................................................. 38
3.2.2. Alat Pengujian .......................................................................................... 39
3.2.3. Alat Pemesinan dan Alat Ukur ................................................................. 40
3.2.4 Alat Pengecoran ....................................................................................... 41
3.2.5 Alat-alat Lain yang Digunakan ................................................................. 43
3.3 Proses Pengecoran .......................................................................................... 45
3.3.1 Persiapan Pengecoran ............................................................................... 46
3.3.2 Proses Pengecoran .................................................................................... 46
3.4 Pembuatan Spesimen ..................................................................................... 47
3.4.1 Spesimen Uji Tarik. .................................................................................. 47
3.4.2 Spesimen Uji Lelah .................................................................................. 47
3.4.3 Spesimen Uji Kekerasan. .......................................................................... 48
3.4.4 Spesimen Pengamatan Stuktur Mikro. ...................................................... 48
3.5 Pengujian Spesimen ....................................................................................... 49
3.5.1 Pengujian Tarik ........................................................................................ 49
3.5.2 Pengujian Lelah ........................................................................................ 49
3.5.3 Pengujian Kekerasan ................................................................................ 50
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN...................................................... 52
4.1. Hasil Penelitian ............................................................................................... 52
4.2. Analisis Uji Kekerasan ................................................................................... 53
4.3. Analisis Uji Tarik ........................................................................................... 54
4.4. Analisis Uji Lelah ........................................................................................... 60
4.5. Analisis Stuktur Mikro .................................................................................. 63
4.6. Analisis Stuktur Makro ................................................................................. 65
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................... 66
5.1. Kesimpulan ..................................................................................................... 66
5.2. Saran ............................................................................................................... 66
REFERENSI................................................................................................................... 67
LAMPIRAN ................................................................................................................... 69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Diagram Fasa Fe-Fe3C ...................................................................... 4
Gambar 2. 2 Unit sel fase-fase (a) austenit, (b) ferit, (c) martensit, dan (d) efek
penambahan persentase berat karbon terhadap dimensi kubus martensit ............... 6
Gambar 2. 3 Struktur mikro skematik yang dihasilkan dari berbagai perlakuan
panas dari diagram fase karbon-karbon, rentang komposisi untuk besi cor
komersial. ................................................................................................................ 7
Gambar 2. 4 Penyebaran grafit serpih ..................................................................... 8
Gambar 2. 5 (a) Struktur mikro besi cor kelabu, sedikit ferit dan matriks perlit
dengan perbesaran 400×. (b) struktur mikro besi cor putih, tampak sementit dan
perlit dengan perbesaran 400×. (c) Struktur mikro besi cor mampu tempa, dietsa
5% nital, tampak matriks ferit dengan perbesaran 125×. (d) Struktur mikro besi
cor nodular dengan perbesaran 250×. ................................................................... 12
Gambar 2. 6 Skema pembentukan lamellar perlit yang dimulainya pengintaian
batas butir .............................................................................................................. 16
Gambar 2. 7 Struktur mikro perlit (a) kasar, (b) halus. ......................................... 17
Gambar 2. 8 Photomicrograph dari baja yang memiliki struktur mikro spheroidit
dengan perbesaran 1000×. Partikel kecil adalah sementit; fase kontinu adalah ferit
............................................................................................................................... 18
Gambar 2. 9 Mikrograf elektron transmisi menunjukkan struktur bainit. Butir
bainit berpindah dari kiri bawah ke sudut kanan atas, yang terdiri dari partikel
Fe3C yang memanjang dan berbentuk jarum dalam matriks ferit. Fase yang
mengelilingi bainit adalah martensit. .................................................................... 19
Gambar 2. 10 Photomicrograph mikrostruktur martensit. Butir yang berbentuk
jarum adalah fase martensit, dan daerah putih adalah austenit yang gagal berubah
selama pendinginan cepat. Perbesaran 1220×. ...................................................... 20
Gambar 2. 11 Prosedur pembuatan cetakan pasir . ............................................... 25
Gambar 2. 12 Kurva tegangan-regangan untuk (a) besi cor tidak murni, (b)
tembaga, (c) transisi ulet-getas pada baja sedang . ............................................... 29
Gambar 2. 13 Skematik diagram uji lelah menggunakan alat uji rotary-bending 30
Gambar 2. 14 Tegangan vs jumlah logaritma siklus putaran ................................ 31
Gambar 2. 15 Kurva S/Su – N umum untuk baja tempa pada titik log-log .......... 32
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
Gambar 2. 16 Parameter-parameter dasar pengujian Brinell. ............................... 33
Gambar 2. 17 Gambar alat uji (a) alat uji tarik UTC 10 ~ 200 kN Series (b) alat uji
kekerasan Brinell O.M.A.G Affri Italy Mod 100 MR (c) alat uji lelah Rotary
Bending 1800 rpm. ................................................................................................ 34
Gambar 3. 1 Diagram alir penelitian ..................................................................... 37
Gambar 3. 2 Bahan baku. ...................................................................................... 38
Gambar 3. 3 Bongkahan FeSi sebelum dilebur. .................................................... 38
Gambar 3. 4 Autosol ............................................................................................. 39
Gambar 3. 5 Larutan HNO3 100% ........................................................................ 39
Gambar 3. 6 Mesin bubut ...................................................................................... 40
Gambar 3. 7 Jangka sorong ................................................................................... 41
Gambar 3. 8 Tanur Induksi ................................................................................... 41
Gambar 3. 9 Ladle Berkapasitas 40 kg yang Telah Dilapisi Tanah Liat. ............. 42
Gambar 3. 10 (a) Rangka Cetakan, (b) Pasir Cetak, (c) Pola Cetakan ................. 43
Gambar 3. 11 Termokopel .................................................................................... 43
Gambar 3. 12 (a) Timbangan neraca dan (b) timbangan digital ........................... 43
Gambar 3. 13 Gergaji tangan ................................................................................ 44
Gambar 3. 14 Amplas ........................................................................................... 44
Gambar 3. 15 Mikroskop ...................................................................................... 45
Gambar 3. 16 Kain Majun ..................................................................................... 45
Gambar 3. 17 Spesimen uji tarik. .......................................................................... 47
Gambar 3. 18 Sepesimen uji lelah......................................................................... 48
Gambar 3. 19 Gambar spesimen uji kekerasan ..................................................... 48
Gambar 4. 1 Grafik rata-rata nilai BHN besi cor kelabu berkomposisi 2,9% Si dan
3,8% Si. ................................................................................................................. 54
Gambar 4. 2 Grafik rata-rata kekuatan tarik besi cor kelabu berkomposisi 2,9% Si
dan 3,8% Si............................................................................................................ 57
Gambar 4. 3 Patahan hasil uji tarik besi cor kalabu (a) berkomposisi 2,9% Si (b)
berkomposisi 3,8% Si. ........................................................................................... 57
Gambar 4. 4 Grafik uji tarik besi cor kelabu berkomposisi 2,9% Si (a) percobaan
H1, (b) percobaan H2, (c) percobaan H3. ............................................................. 58
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
Gambar 4. 5 Grafik uji tarik besi cor kelabu berkomposisi 3,8% Si (a) percobaan
P1, (b) percobaan P2, (c) percobaan P3. ............................................................... 59
Gambar 4. 6 Grafik rata-rata persentase regangan besi cor kelabu berkomposisi
2,9% Si dan 3,8% Si .............................................................................................. 60
Gambar 4. 7 Grafik hasil uji lelah besi cor kelabu. ............................................... 62
Gambar 4. 8 Struktur mikro besi cor kelabu berkomposisi 2,9% Si ..................... 64
Gambar 4. 9 Struktur mikro besi cor kelabu berkomposisi 3,8% Si ..................... 64
Gambar 4. 10 (a) patahan spesimen uji tarik berkomposisi 3,8% Si (b) patahan
spesimen uji lelah berkomposisi 2,9% Si .............................................................. 65
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Struktur mikro dari fasa matriks metalik besi cor ................................ 13
Tabel 2. 2 Sifat termal dan mekanis Silisium ...................................................... 22
Tabel 2. 3 Konversi pada diameter indentor ......................................................... 33
Tabel 4. 1 Data uji kekerasan besi cor kelabu berkomposisi 2,9% Si dan 3,8% Si
............................................................................................................................... 53
Tabel 4. 2 Data uji tarik besi cor kelabu berkomposisi 2,9% Si dan 3,8% Si ....... 56
Tabel 4. 3 Data pertambahan panjang besi cor kelabu berkomposisi 2,9% Si dan
3,8% Si. ................................................................................................................. 57
Tabel 4. 4 Data hasil pengujian lelah besi cor kelabu berkomposisi 2,9% Si dan
3,8% Si .................................................................................................................. 61
Tabel 4. 5 Fungsi regresi logistik hasil pendekatan garis non-linier uji lelah besi
cor kelabu berkomposisi 2,9% Si. ......................................................................... 63
Tabel 4. 6 Fungsi regresi logistik hasil pendekatan non-linier uji lelah besi cor
kelabu berkomposisi 3,8% Si. ............................................................................... 63
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Logam berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan manusia sehari-
hari. Sumber bahan baku yang melimpah serta sifat karakteristiknya yang mudah
diaplikasikan menjadi dasar penerapan dan pengembangan jenis-jenis logam.
Salah satu proses pembuatan logam ialah metode pengecoran. Dengan metode ini
bentuk-bentuk rumit, berukuran kecil, dan berukuran besar dapat mudah dibuat.
Seiring dengan perkembangan industri saat ini, besi cor kelabu (grey cast
iron) merupakan logam coran yang semakin sering digunakan pada beberapa
aplikasi. Besi cor kelabu digunakan secara luas untuk berbagai aplikasi karena
rasio kekuatan atau biaya yang baik. Material ini banyak digunakan diantaranya
sebagai: dudukan atau landasan mesin, blok mesin, pipa, poros hubungan, dan
lain-lain (Vlack, 1991:523). Besi cor kelabu memiliki kelebihan yaitu:
mempunyai kemampuan meredam getaran (Damping Capacity) yang tinggi,
mempunyai kekuatan tekan (Compressive Strength) yang tinggi, dan dalam
keadaan cair mereka memiliki fluiditas tinggi pada suhu casting sehingga mudah
dituang menjadi bentuk yang rumit, dan salah satu yang paling murah dari semua
bahan logam (Calister, 2007: 368). Namun diantara keuanggulan besi cor juga
memiliki kelemahan yaitu tidak memiliki kekuatan mekanis yang baik,
diantaranya: kekuatan tarik yang rendah, keuletan yang rendah (Nil Ductility)
sehingga mudah getas, kekerasan yang rendah, dan ketangguhan yang rendah
(Smallman, 2000:333). Besi cor kelabu juga memiliki ketahanan terhadap korosi
yang lebih baik dibandingkan baja biasa, namun sifat ini masih dapat ditingkatkan
untuk pengaplikasian yang efektif. Untuk mengatasi persoalan di atas maka
dilakukan penambahan komposisi paduan untuk peningkatan kemampuan
mekanis besi cor kelabu yang persentasenya perlu dihitung. Oleh karena itu,
dilakukan eksperimen dimana besi cor kelabu dipadukan dengan material lain
untuk dapat meningkatkan sifat mekanisnya sehingga aplikasinya semakin luas.
Kelelahan adalah penting karena merupakan penyebab terbesar kegagalan
logam, diperkirakan mencakup sekitar 90% dari semua kegagalan logam (Calister,
2007:228). Hal tersebut dikarena material harus mampu menahan beban dinamis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
yang terjadi sebelum akhirnya patah akibat kegagalan lelah. Suatu material yang
mengalami kegagalan lelah biasanya diawali dengan robeknya permukaan benda
tersebut. Robekan ini lama-kelamaan membentuk retakan sehingga menyebabkan
material rusak (patah). Sedangkan korosi lelah didefinisikan sebagai proses
dimana kegagalan material yang terjadi sebelum waktunya akibat kelelahan dalam
kondisi korosi dan pembebanan siklus berulang yang terjadi secara simultan pada
tingkat tegangan rendah. Kegagalan ini memperpendek umur kerja dari suatu
material dan memperburuk pada sifat mekanis material yang lain.
Memadukan besi cor kelabu dengan silisium (Si) dapat mengubah bentuk
grafit dan memperpanjang umur penggunaan besi cor kelabu pada pengaruh
lingkungan korosi. Persentase penambahan silisium perlu dianalisis untuk melihat
pengaruhnya terhadap sifat mekanis besi cor kelabu terutama pada kegagalan
lelah. Karena pengujian ini merupakan pengerjaan pertama yang penting
dilakukan untuk melihat hampir semua komponen struktural dunia otomotif dan
menetapkan kualifikasi kualitas produk produksi. Pengujian lain seperti pengujian
tarik dan kekerasan sangat berkaitan erat untuk mendukung analisis pengujian
lelah. Selain itu pada perancangan produksi, pengujian-pengujian lain tersebut
juga dilakukan agar faktor keamanan dapat ditentukan sesuai kebutuhan.
Presentase komposisi yang digunakan dapat dipertimbangkan sehingga sesuai
dengan kebutuhan pemakaian dan biaya produksi. Oleh karena itu, berdasarkan
latar belakang di atas maka penelitian yang dilakukan oleh penulis berjudul
“Pengaruh Paduan 2,9% dan 3,8% Silisium terhadap Sifat Mekanis Besi Cor
Kelabu”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam penelitian ini disusun
rumusan masalah antar lain:
1. Bagaimana pengaruh paduan 2,9% dan 3,8% Si terhadap struktur
mikro besi cor kelabu?
2. Bagaimana pengaruh paduan 2,9% dan 3,8% Si terhadap struktur
makro patahan, kekuatan lelah, kekerasan, dan kekuatan tarik besi cor
kelabu?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui hubungan sifat besi cor kelabu dengan komposisi 2,9%
dan 3,8% Si terhadap perubahan struktur mikro.
2. Menganalisis pengaruh paduan 2,9% dan 3,8% Si terhadap struktur
makro patahan, kekuatan lelah, kekerasan, dan kekuatan tarik besi cor
kelabu.
1.4 Batasan Masalah
Batasan-batasan yang digunakan pada penelitian ini antara lain sebagai
berikut:
1. Pengecoran dilakukan dengan menggunakan cetakan yang terbuat dari
pasir alam.
2. Spesimen uji tarik dan uji lelah tidak di-annealing dan polishing.
3. Metode penambahan Si yang digunakan adalah open ladle.
4. Pengujian sifat mekanis yang dilakukan adalah pengujian lengkung
lelah, pengujian kekerasan, dan pengujian tarik disertai pengamatan
stuktur mikro.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Dapat menambah kasanah ilmu pengetahuan tentang pegaruh
penambahan 2,9% dan 3,8% Si pada material besi cor kelabu.
2. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi bahan untuk
diaplikasikan pada pembuatan komponen alat berat dibidang pertanian
oleh pengusaha.
3. Hasil dari penelitian ini dapat dikembangkan dan diuji apakah dapat
dikembangkan untuk pemenuhan kebutuhan industri dan lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Besi Cor
Menurut M.Martienssen dan H.Warliomont (2005:268) besi cor
merupakan bagian dari paduan multikomponen besi – karbon – silisium yang
memadat sesuai sistem eutektik Fe-C. Baja dan besi tuang diwakili oleh sistem
biner besi-karbon. Besi murni komersial mengandung karbon hingga 0,008% C,
baja hingga 2,11% C, dan besi cor hingga 6,67% C, meskipun sebagian besar besi
cor mengandung kurang dari 4,5% C (Kalpakjian, 2013:107). Kandungan Si
dalam besi cor antara 1% - 3%. Kandungan C dan Si yang relatif tinggi
mempengaruhi pemadatan, baik sesuai dengan kesetimbangan metastabil yang
melibatkan Fe3C atau sesuai dengan kesetimbangan stabil yang melibatkan grafit,
tergantung pada elemen paduan lanjut, perlakuan leleh, dan laju pendinginan.
Paduan eutektik dari besi dan karbon memiliki suhu cair ± 1147 , dapat dilihat
dari diagram fasa Fe-Fe3C pada Gambar 2.1. Pada titik ini menguntungkan proses
produksi karena besi cor menjadi mudah dicairkan, pemakaian bahan bakar lebih
irit, dan dapur peleburan lebih sederhana (Vlack, 1991:519). Dalam sistem besi
karbon, karbon dalam bentuk grafit secara termodinamika lebih stabil
dibandingkan sementit. Namun, besi cor lebih kompleks dari paduan dari paduan
eutektik sederhana.
Gambar 2. 1 Diagram Fasa Fe-Fe3C (Calister, 2007:290)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Sebagian dari diagram fase besi-karbon disajikan pada Gambar 2.1. besi
murni, setelah pemanasan, mengalami dua perubahan dalam struktur kristal
sebelum meleleh (Calistter, 2007:290). Pada suhu kamar bentuk stabil, yang
disebut ferit, atau besi alfa, memiliki struktur kristal Body Centered Cubic (BCC).
Ferit mengalami transformasi polimorfik menjadi austenit FCC, atau besi , pada
912○C. Austenit ini bertahan hingga 1394
○C, di mana suhu austenit FCC kembali
ke fase BCC yang dikenal sebagai ferrite, yang akhirnya meleleh pada 1538○C.
Semua perubahan ini terlihat di sepanjang sumbu vertikal kiri diagram fase.
Menurut Calister (2007:291), karbon merupakan pengotor interstisial
dalam besi dan membentuk larutan padat dengan masing-masing fase dan fase
ferit, dan juga dengan austenit, seperti yang ditunjukkan oleh fase fase , dan
bidang fase tunggal pada Gambar 2.1. Larutan padat interstisial terbentuk
karena atom karbon memiliki ukuran yang lebih kecil (kurang dari 59%) dari
ukuran atom pelarut. Atom karbon akan menyisip pada struktur kristal besi hingga
batas tertentu, sesuai Gambar 2.1. Pada setiap fasa dalam sistem besi – karbon
memiliki sifat dan bentuknya masing-masing yang dijelaskan sebagai berikut:
o Ferit ( ) merupakan modifikasi struktur besi murni pada suhu ruang.
Dalam BCC ferrite, hanya sedikit konsentrasi karbon yang dapat larut;
kelarutan maksimum adalah 0,022% berat pada 727○C (Kalpakjian,
2013:107). Kelarutan terbatas dijelaskan oleh bentuk dan ukuran posisi
interstitial BCC, yang membuatnya sulit untuk mengakomodasi atom
karbon. Meskipun hadir dalam konsentrasi yang relatif rendah, karbon
secara signifikan mempengaruhi sifat mekanik ferit. Fasa besi-karbon ini
relatif lunak dan ulet serta dapat dibuat ferromagnetik pada suhu di bawah
768○C, dan memiliki kerapatan 7,88 g/cm
3, dalam keadaan murni kekuatan
tariknya kurang dari 310 MPa (Vlack, 1991:377).
o Austenit ( ) merupakan modifikasi besi menjadi stuktur kubik pusat sisi
atau Face Centered Cubic (FCC). Austenit tidak bersifat feromagnetik
pada suhu manapun. Austenis mudah dibentuk pada suhu stabilnya yaitu
antara 912○C hingga 1396
○C (ibid.). Kelarutan maksimum karbon dalam
austenit, 2,14% berat, terjadi pada 1147○C. Kelarutan ini adalah sekitar
100 kali lebih besar dari maksimum untuk BCC ferit, karena posisi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
interstitial FCC lebih besar. Struktur pada fasa murni hanya mampu
menampung atom karbon sebanyak ±6% pada suhu 912○C, pada fasa Fe3C
mampu menampung hingga ±9% atom karbon.
o Besi ( ) bukan merupakan kelanjutan bentuk besi yang paling stabil
karena matrik atau fasa berubah kembali berbentuk BCC pada suhu diatas
1394○C (Vlack, 1991:378). Campuran khusus terdiri dari dua fasa dan
terbentuk sewaktu austenit dengan komposisi eutektoid bertransformasi
menjadi ferit dan karbida besi (sementit) disebut sebagai perlit.
o Karbida (sementit) sendiri merupakan fasa disaat komposisi karbon
melebihi batas daya larut besi (0,77 wt%) dalam bentuk Fe3C (Calister,
2007:292). Fe3C bersifat jauh lebih keras dibandingkan austenit dan ferit,
tetapi karbida tidak dapat menyesuaikan diri dengan adanya konsetrasi
tegangan sehingga kurang kuat (Vlack, 1991:379). Kekuatan beberapa
baja sangat ditingkatkan oleh kehadiran sementit. Sementit adalah
metastabil; artinya, ia akan tetap sebagai senyawa tanpa batas pada suhu
kamar. Namun, jika dipanaskan hingga antara 650○C dan 700
○C selama
beberapa tahun, secara bertahap akan berubah atau berubah menjadi besi
alfa dan karbon, dalam bentuk grafit, yang akan tetap pada pendinginan
berikutnya ke suhu kamar.
Gambar unit sel dari fase-fase diatas tersaji pada Gambar 2.2.
Gambar 2. 2 Unit sel fase-fase (a) austenit, (b) ferit, (c) martensit, dan (d) efek
penambahan persentase berat karbon terhadap dimensi kubus martensit
(Kalpakjian, 2013:108)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
Besi cor memiliki sifat fisis atau mekanis yang berbeda-beda, dipengaruhi
oleh struktur metalografi unsur paduannya seperti karbon, silisium, mangan,
fosfor, dan belerang. Paduan di atas menghasilkan reaksi grafitisasi, yaitu grafit
yang terbentuk dalam besi cor karena karbida besi (Fe3C) tidak sepenuhnya stabil
(Vlack, 1991:520). Silisium dan suhu tinggi mempengaruhi kestabilannya,
sehingga menghasilkan bentuk grafit yang berbeda-beda dalam besi cor. Bentuk
grafit ini sangat memengaruhi kekuatan, kekerasan, kemampuan mesin
(machinability), ketahanan aus dan lain sebagainya yang telah dilebur kembali
dalam dapur upola atau dapur jenis lainnya. Bentuk grafit sendiri selain
ditimbulkan oleh paduannya juga ditimbulkan oleh laju pendinginan material,
tebal coran, perlakuan panas, perlakuan saat cairan.
Pengklasifikasian besi cor berdasarkan struktur mikro dan perlakuan panas
seperti yang tersaji pada Gambar 2.3 dibedakan dalam empat golongan besar,
yaitu:
Gambar 2. 3 Struktur mikro skematik yang dihasilkan dari berbagai perlakuan
panas dari diagram fase karbon-karbon, rentang komposisi untuk besi cor
komersial (Calister, 2007:370).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
2.1.1 Besi Cor Kelabu
Untuk sebagian besar besi tuang ini, grafit ada dalam bentuk serpihan
(mirip dengan serpih jagung), yang biasanya dikelilingi oleh matriks -ferit atau
perlit (Calister, 2007:367); biasa disebut sebagai struktur mikro lamellar,
Gambar 2.5.a. Komposisi besi cor kelabu umumnya memiliki 3,0–3,5%C,
1–2,75%Si, 0,4–1,0%Mn, 0,15–1,0%P, 0,02–0,15%S, dan sisnya Fe. Perpatahan
besi cor berwarna keabu-abuan sehingga jenis besi cor ini disebut besi cor
kelabu (Amstead, 1993: 56). Sebagian besar permukaan perpatahan melintasi
grafit sehingga permukaanya berwarna keabu-abuan. Grafit lamellar terbentuk
dalam logam sewaktu membeku.
Secara mekanis, besi cor kelabu relatif lemah dan tegangan sebagai
konsekuensi dari mikrostrukturnya; ujung serpihan grafit tajam dan runcing, dan
dapat menjadi titik konsentrasi tegangan saat tegangan tarik eksternal diterapkan
(Calister, 2007:367). Bentuk grafit lamellar tampak seperti garis-garis hitam.
Pada deformasi plastis, bentuk grafit ini mendorong awal terbentuknya retakan
interal. Semakin halus dan merata serpih grafit maka kekuatan logam semakin
tinggi. Selain itu, dengan adanya serpih-serpih ini, besi cor kelabu merupakan
peredam getaran yang sangat baik. Istilah tekniknya kapasitas peredamannya
tinggi. Besi cor kelabu didominasi oleh unsur paduan C dan Si. Menurut
Smallman (2000: 333) keuletan dapat ditingkatkan dengan menambahkan sedikit
elemen pembentuk karbida (Cr,Mo) yang memperkecil ukuran serpih grafit dan
memperhalus perlit.
Gambar 2. 4 Penyebaran grafit serpih (Surdia, T. dan Saito. S, T. 2005: 115)
Gambar 2.4 menunjukkan penyebaran (distribusi) serpih grafit pada besi
cor menurut klasifikasi American Casting Association. A menunjukkan serpih
grafit yang mempunyai panjang medium terdistribusi sebarang. B merupakan
butiran grafit halus yang disebabkan sel eutektik yang dilakukan pendinginan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
sangat cepat dan dikelilingnya dilanjutkan serpih grafit; biasanya terdapat di
permukaan coran dimana laju pendinginan lebih cepat dibandingkan bagian lain.
Grafit ini memiliki keuletan yang sangat rendah. C merupakan grafit primer
mengkristal kasar yang akan memberikan sifat-sifat mekanis yang rendah. D
merupakan seluruh grafit yang halus karena pendinginan lanjut. Grafit ini
dinamakan grafit eutektik atau grafit panas lanjut, sehingga besi cor mempunyai
kekuatan yang tinggi tetapi kurang ulet. E merupakan grafit yang terdistribusi
diantera austenit primer yang tumbuh besar. Hal ini terjadi karena kadar karbon
tidak terpenuhi.
2.1.2 Besi Cor Putih
Menurut Amstead, dkk (1993:57), besi cor putih mempunyai karbon
berbentuk sementit (terikat sebagai karbida, Fe3C). Disebut besi cor putih karena
bidang perpatahan mengkilat berwarna putih yang dihasilkan oleh konstituen
getas. Besi cor ini dibuat dengan komposisi kimia yang tidak jauh berbeda dari
besi cor kelabu, hanya saja laju pendinginannya cepat. Dengan laju pendinginan
yang tinggi, besi cor putih cenderung menstabilkan sementit, serta keberadaan
pembentuk karbida. Karbida bersifat keras, sehingga besi cor putih yang banyak
mengandung karbida sulit di lakukan permesinan (Amstead, dkk, 993:57).
Daerah yang berwarna putih pada stukur mikro sementit dan daerah yang
berwarna gelap adalah perlit, tersaji pada Gambar 2.5.b.
Untuk besi cor silisium rendah (mengandung kurang dari 1,0% berat Si)
dan laju pendinginan cepat, sebagian besar karbon ada sebagai sementit bukan
grafit (Calister, 2007:371). Bagian tebal mungkin hanya memiliki lapisan
permukaan besi putih yang "dingin" selama proses pengecoran; bentuk besi abu-
abu di daerah interior, yang sejuk lebih lambat. Penambahan elemen
pembentukan-grafit (Si dan Ni) menghasilkan besi cor kelabu, dan apabila Si
lebih besar dari 3% maka meski diterapkan pendinginan cepat tetap terbentuk
besi cor kelabu. Menurut Smallman (2000:333), elemen pembentuk grafit
tersebut, khususnya Si, mengubah komposisi eutetektik yang diterapkan dengan
menggunakan karbon-ekivalen atau derajat eutectic (Sc) besi cor, yaitu total %C
+ (%Si + % P)/3. Umumnya besi cor putih dimanfaatkan sebagai bahan baku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
besi cor mampu tempa, dan sementit dalam coran diuraikan melalui anil
(Calister, 2007:371).
2.1.3 Besi Cor Mampu Tempa
Besi cor mampu tempa dibuat dari besi cor putih dengan komposisi kimia
1.75–2,3%C, 0,85–1,2%Si, 0,4>%Mn, 0,2>%P, 0,12>%S, dan sisnya Fe
(Amstead, 1993: 57). Proses pembuatannya dikenal dengan nama duplexs, yaitu
menggunakan dua dapur berdampingan selama proses berlangsung. Besi cor
kemudian disimpan dalam pot dan diletakan dalam dapur anil dengan sirkulasi
panas dengan suhu 815 sampai 1010 selama 3 sampai 4 hari (Amstead, 1993:
58). Selama proses ini karbida besi berubah menjadi nodul grafit temper atau
“gumpalan” dalam matriks besi murni (Gambar 2.5.c). Grafit ini tidak memiliki
tepi-tepi tajam seperti serpih grafit. Benda cor mampu tempa mempunyai daya
tahan terhadap kejutan dan mudah dilakukan proses pemesinan.
Besi cor mampu tempa dihasilkan dari dekomposisi selama perlakuan-
panas tetapi tidak mencukupi untuk menghasilkan serpih grafit ketika
pengecoran (Smallman, 2000:334). Besi cor mampu tempa putih dapat dibuat
dengan memanaskan coran dalam lingkungan oksida. Dalam penampang tipis,
karbon karbon mengalami oksidasi dan terbentuk ferit. Dalam penampang tepat,
ferit dibagian luar secara bertahap membentuk klaster grafit dalam matriks ferit-
perlit dekat bagian dalam. Besi cor mampu tempa hitam dibuat dengan anil besi
cor putih dalam tumpukan netral, yaitu dicampur dengan terak besi-silikat.
Selama pemanasan sementit berubah menjadi nodul grafit berbentuk rosette
dalam matriks ferit. Dalam proses ini efek retak serpih grafit yang merugikan
dapat dihilangkan dan dihasilkan besi cor dengan kombinasi sifat mampu cor
dan mampu mesin seperti besi cor kelabu. Oleh karena itu, besi mampu tempa
hitam digunakan secara meluas dalam rekayasa dan pertanian dimana diperlukan
benda dengan bentuk yang rumit serta kekuatan yang memadai.
2.1.4 Besi Cor Nodular
Besi cor nodular adalah jenis besi cor mampu tempa yang kuat dan ulet.
Besi cor ini sering digunakan untuk material pipa-pipa, rol penggiling, cetakan,
komponen mekanik, komponen-komponen untuk tungku, dan kontruksi teknik
sipil. Karbon yang terbentuk berbentuk nodul grafit yang diperoleh dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
menambahkan magnesium seperti nikel – magnesium atau magnesium tembaga
– besi silisium dalam besi cor kelabu cair, tersaji pada Gambar 2.5.d. Jumlah
magnesium yang dibutuhkan tergantung pada kadar belerang yang ada. Mula-
mula kadar belerang diturunkan dengan cara mengubahnya menjadi sulfida
magnesium. Sisa magnesium yang ada dapat merubah bentuk grafit menjadi
bentuk nodular. Besi cor nodular umumnya digunakan dalam kondisi tuang (as-
cast). Waktu anil yang diperlukan jauh lebih singkat dibandingkan dengan waktu
anil besi cor mampu tempa. Karena mutu besi cor nodular jauh lebih baik, bahan
ini dapat digunakan untuk membuat poros engkol dan berbagai suku cadang
mesin lainnya. Besi cor nodular, seperti besi tuang kelabu dapat mengubah laku
panas menjadi ferit, perlit, atau martensit temper.
Sifat mekanis besi cor dapat ditingkatkan tanpa merusak sifat cor dan
pemesinan yang sudah baik yaitu dengan memproduksi grafit sferulitik
(Smallman, 2000:334). Nodul sferulitik-sferis terdiri dari sejumlah kristal grafit
yang tumbuh dalam arah radial dari satu nukleus dengan bidang tegak lurus pada
sumbu pertumbuhan radial. Cara pertumbuhan seperti ini terjadi dalam besi cor
kelabu dengan menambahkan sejumlah kecil Mg atau Ce pada logam cair yang
mengubah energi antarmuka antara grafit dan cairan didalam ladel. Grafit yang
terbentuk memberikan derajat konsetrasi tegangan yang kecil. Dengan demikian
coran berpenampang tebal dan sulit dimaleabilisasi dapat diperoleh kekuatan,
ketangguhan, dan keuletan yang baik, sehingga dapat menggantikan produk baja
cor dan produk baja tempa untuk aplikasi tertentu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 2. 5 (a) Struktur mikro besi cor kelabu, sedikit ferit dan matriks perlit
dengan perbesaran 400×. (b) struktur mikro besi cor putih, tampak sementit dan
perlit dengan perbesaran 400×. (c) Struktur mikro besi cor mampu tempa, dietsa
5% nital, tampak matriks ferit dengan perbesaran 125×. (d) Struktur mikro besi
cor nodular dengan perbesaran 250×. (Smallman, 2000:334 dan Amstead,
1993:58)
Banyaknya kandungan C menentukan klasifikasi dasar besi cor. Menurut
warna dari perpatahan permukaannya, besi cor yang memiliki banyak Fe3C
disebut besi cor putih, yang memiliki banyak grafit disebut besi cor kelabu.
Ditambah lagi, bentuk partikel fasa grafit dan struktur mikro dari fasa matriks
metalik diperhitungkan karena kedua hal tersebut turut mengkarakterisasi sifat
mekanik besi cor. Rincian struktur mikro dari fasa matriks metalik tersaji pada
Tabel 2.1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Tabel 2. 1 Struktur mikro dari fasa matriks metalik besi cor (Martienssen.M,
2005:268)
Numb. Commercial
designation
Carbon-rich
phase Matrix
a Fracture
Final structure
after
1 Gray iron Lamellar
graphite P Gray Solidification
2 Ductile iron Spheroidal
graphite F, P, A
Silver-
gray
Solidification or
heat treatment
3 Compacted
graphite iron
Compacted
(vermicular)
graphite
F, P Gray Solidification
4 White iron Fe3C P, M White Solidification or
heat treatmentb
5 Mortled iron Lamellar Gr
+ Fe3C P Mottled Solidification
6 Malleable iron Temper
graphite F, P
Silver-
gray Heat treatment
7 Austempered
ductile iron
Spheroidal
graphite At
Silver-
gray Heat treatment
Keterangan:
a F, ferit; P, Perlit; A, austenit; M, martensit; At, Austempered (bainit).
b Besi cor putih tidak biasa dilakukan perlakuan panas, kecuali untuk mengurangi
tegangan internal dan untuk melanjutkan transformasi ke matrix austenit.
2.1.5 Pengaruh unsur kimia dalam besi cor:
2.1.5.1 Karbon: Besi cor yang mengandung >2% karbon termasuk
kelompok besi cor, besi cor kelabu mengandung 3-4% karbon. Kadar
karbon tergantung pada jenis besi kasar, besi bekas dan karbon yang
diserap dari kokas selama proses peleburan. Sifat fisis logam, selain
tergantung pada jumlah kadar karbon, tergantung pula pada bentuk karbon
tersebut. Mofologi grafit tergantug pada laju pendinginan dan kadar
silisium. Kadar silisium yang tinggi memperbesar kemungkinan
pembentukan grafit. Grafit meningkatkan kemampuan pemesinan.
Kekerasan dan kekuatan besi meningkat dengan bertambahnya kadar
karbon. Sifat besi cor dapat diubah melalui perlakuan panas (Amstead,
1993:59).
2.1.5.2 Silisium: Silisium dibawah kadar 3,25% bersifat menurunkan
kekerasan dan kekuatan tarik besi cor (ibid.). Kadar silisium menentukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
berapa bagian dari karbon yang terikat dengan besi dan berapa bagian
yang masih berbentuk grafit (atau kabon bebas) setelah tercapai keadaan
seimbang. Hal ini berarti kelebihan silisium (kadar di atas 3,25%)
membentuk ikatan yang membuat besi cor semakin keras. Untuk benda
coran yang kecil dianjurkan untuk menggunakan kadar silisium yang
tinggi tetapi sebaliknya untuk benda coran yang besar, kadar yang
dianjurkan lebih rendah.
Besi tuang kelabu berkadar silisium rendah mudah untuk perlakuan
panas. Saat silisium menjadi paduan material lain dianjurkan
menggunakan kadar silisium yang tinggi untuk benda coran kecil, karena
silisium yang menghilang selama proses peleburan berjumlah ≈10%
(ibid.). Silisium mengakibatkan dekomposisi karbida menjadi besi dan
grafit serta meningkatkan jumlah ferrit. Untuk memperoleh paduan yang
tahan asam dan tahan korosi, kadar silisium yang dianjurkan pada besi cor
antara 14% sampai 17% Si dan kadar silisium yang dianjurkan pada besi
cor kelabu antara 4% sampai 7% Si (M. Martienssen, 2005:271). Kadar
silisium yang tinggi ( ±2% Si) membentuk grafit dengan mudah sehingga
Fe3C tidak terbentuk. Dapat dilihat pada reaksi berikut:
Fe3C Si
3 Fe + C(gr)
Sejak C dan Si merupakan unsur yang dominasi pemadatan dan struktur
mikro besi cor, unsur tersebut perlu dihitung kesetimbangannya.
Penambahan unsur Si (Silisium) dihasilkan Sementid yang terurai menjadi
Fe (ferit atau perlit) dan C (grafit).
2.1.5.3 Mangan: Dalam jumlah rendah tidak memiliki pengaruhnya yang
signifikan, tetapi dalam jumlah di atas 0,5% mangan bereaksi dengan
belerang membentuk sulfida mangan. Ikantan ini rendah bobot jenisnya
dan dapat larut dalam terak. Mangan merupakan unsur deoksidasi,
pemurni sekaligus meningkatkan fluiditis, kekuatan dan kekerasan besi.
Bila kadar ditingkatkan,kemungkinan terbentuknya ikatan kompleks
dengan karbon meningkat dan kekerasan besi cor akan naik. Mangan yang
hilang selama proses peleburan berkisar antara 10 sampai 20% (Amstead,
1993: 59).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
2.1.5.4 Belerang: Sangat merugikan, oleh karena itu selama proses
peleburan selalu diusahakan untuk mengikat belerang tersebut, antara lain
dengan menambahkan feromangan. Belerang yang menyebabkan
terjadinya lubang-lubang (blow holes) membentuk ikatan dengan karbon
dan menurunkan fluiditas sehingga mengurangi kemampuan tuang besi
cor. Setiap kali kita melebur besi cor kadar belerang meningkat sebesar
0,03%, belerang ini berasal dari bahan bakar (ibid.).
2.1.5.5 Fosfor: Fosfor dapat meningkatkan fluiditas logam cair dan
menurunkan titik cair. Fosfor yang biasa digunakan hanya sampai 1%
dalam benda cor kecil dan benda cor yang mempunyai bagian-bagian yang
tipis. Sedangkan, benda cor besar jauh lebih sedikit memerlukan fluiditas
tambahan sehingga tidak memerlukan kadar fosfor yang tinggi. Sewaktu
peleburan umumnya terjadi peningkatan kadar fosfor sampai 0,02%. Unsur
fosfor sulit beroksidasi, kecuali bila dipenuhi beberapa persyaratan
tertentu. Fosfor juga membentuk ikatan yang dikenal dengan naman
steadit, yaitu campuran antara besi dan fosfida. Ikatan ini keras, rapuh, dan
mempunyai titik cair yang lebih rendah. Steadit mengandung fosfor
sebanyak 10%. Dengan demikian besi dengan 0,5% fosfor mengandung
sekitar 5% steadit (ibid).
2.2 Pengaruh Perlakuan Panas terhadap Struktur Mikro
Perlakuan panas adalah pemanasan dan pendinginan terkontrol yang
menjadi dasar modifikasi struktur mikro. Efek dari perlakuan panas
mempengaruhi sifat mekanik logam bergantung pada paduan, komposisi dan
struktur mikro, tingkat kerja dingin sebelumnya, dan tingkat pemanasan dan
pendinginan selama perlakuan panas. Secara luas, sistem besi – karbon dapat
divariasikan dengan adanya energi kinetik yang mendorong perubahan struktur
mikro dan sifat matarial selama perlakuan panas.
2.2.1 Perlit ( + Fe3C)
Setelah pendinginan, austenit yang memiliki komposisi karbon terlarut
antara fase ferit (0,022% berat C) dan sementit (6,7% berat C) melakuakan
redistribusi karbon dengan difusi sehingga terbentuk lapisan dan Fe3C yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
bergantian dalam bentuk perlit (Calister, 2007:294). Secara skematik struktur
perlit digambarkan pada Gambar 2.6. Austenit untuk transformasi perlit hanya
terjadi jika paduan didingin kan hingga di bawah eutektoid dengan waktu yang
diperlukan.
Ketebalan lapisan masing-masing fasa ferit dan sementit pada stuktur
mikro juga mempengaruhi sifat mekanik material. Kombinasi grafit yang tebal
dan memiliki jarak antar grafit, itu disebut sebagai perlit kasar, tersaji pada
Gambar 2.7.a. Namun jika kombinasi grafit tipis dan rapat, disebut struktur
mikro perlit halus, tersaji pada Gambar 2.7.b. Perbedaan antara keduanya
tergantung pada laju pendinginan melalui suhu eutektoid, yang merupakan
tempat reaksi di mana austenit berubah menjadi perlit. Jika laju pendinginan
relatif tinggi (seperti di udara), perlit halus diproduksi; jika pendinginan lambat
(seperti dalam tungku), perlit kasar dihasilkan (Kalpakjian, 2013:112).
Tingkat penguatan secara substansial lebih tinggi pada perlit halus karena
area batas fasa yang lebih besar per satuan volume material. Batas fasa berfungsi
sebagai penghalang untuk gerakan dislokasi dalam banyak cara yang sama
seperti batas butir. Perlit halus memiliki lebih banyak batas yang harus dilewati
dislokasi selama deformasi plastis. Ditambah lagi, fasa sementit yang kuat dan
kaku sangat membatasi deformasi fasa ferit lunak di daerah yang berdekatan
dengan batas butir. Dengan demikian, penguatan dan pembatasan gerak dislokasi
yang lebih besar pada perlit halus menghasilkan kekuatan dan kekerasan yang
lebih besar dibandingkan perlit kasar (Calister, 2007).
Gambar 2. 6 Skema pembentukan lamellar perlit yang dimulainya pengintaian
batas butir (Sumber: https://books.google.co.id/books?isbn=9792955860).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Gambar 2. 7 Struktur mikro perlit (a) kasar, (b) halus (Calister, 2007: 328).
2.2.2 Spheroidit
Ketika perlit dipanaskan sampai tepat di bawah suhu eutektoid dan
kemudian ditahan pada suhu tersebut untuk jangka waktu 18-24 jam (Calister,
2007:329) atau disebut sebagai aniling subkritis, maka lamellar sementit berubah
menjadi bentuk bulat tidak sempurna, lihat Gambar 2.8. Berbeda dengan bentuk
pipih dari sementit, yang bertindak sebagai penguat tegangan, spheroidit
(partikel bola) kurang mengalami konsentrasi tegangan dibandingkan dengan
perlit karena bentuknya yang bulat. Akibatnya, struktur ini memiliki
ketangguhan yang lebih tinggi dan kekerasan yang lebih rendah daripada
struktur perlit. Dalam bentuk ini, mataerial dapat dilakukan pengerjaan dingin,
karena ferit ulet memiliki ketangguhan tinggi dan partikel karbida karbida
mencegah inisiasi retak di dalam material (Kalpakjian, 2013:112)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
Gambar 2. 8 Photomicrograph dari baja yang memiliki struktur mikro spheroidit
dengan perbesaran 1000×. Partikel kecil adalah sementit;
fase kontinu adalah ferit (Calister, 2007: 330)
2.2.3 Bainit
Bainit memiliki struktur yang lebih halus (lebih kecil dari α-ferit dan Fe3C
partikel) yang pada umumnya lebih kuat dan lebih keras dari perlit, namun
memiliki kombinasi kekuatan dan keuletan yang diinginkan. Stuktur ini melalui
proses hampir sama reaksi perlit dan martensit, hanya saja lebih melibatkan
pencampuran yang fasa ferit and sementit. Bainit terbentuk sebagai jarum atau
pelat tergantung pada transformasi isothermal dan transformasi laju pendinginan.
Transformasi ini terjadi pada temperatur antara transformasi perlit dan
transformasi martensit. Transformasi bainit mencangkup perubahan struktur
diikuti dengan distribusi ulang karbon yang berpresipitasi sebagai karbid. Hal ini
tidak seperti transformasi perlit yang mencangkup distribusi ulang karbon diikuti
dengan perubahan struktur dan transformasi martensit menjangkup perubahan
struktur saja. Struktur mikro dari bainit begitu halus sehingga pengamatanya
menggunakan mikroskop elektron, tersaji pada Gambar 2.9. Lebih lanjut, tidak
ada bentuk fasa proeutectoid dengan bainit (Calister, 2007:342).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Gambar 2. 9 Mikrograf elektron transmisi menunjukkan struktur bainit. Butir
bainit berpindah dari kiri bawah ke sudut kanan atas, yang terdiri dari partikel
Fe3C yang memanjang dan berbentuk jarum dalam matriks ferit. Fase yang
mengelilingi bainit adalah martensit (Calister, 2007:329).
2.2.4 Martensit
Menurut Kalpakjian (2013), martensit adalah stuktur mikro yang paling
kuat dan keras, namun paling rapuh sehingga keuletannya diabaikan. Ketika
austenit didinginkan pada kecepatan tinggi, seperti dengan quenching dalam air,
struktur FCC berubah menjadi struktur BCT (Body-Centered Tetragonal).
Martensit berbentuk seperti jarum yang terbentuk dari paduan besi-karbon
austenit yang dengan cepat didinginkan ke suhu yang relatif rendah, tersaji pada
Gambar 2.10. Kekerasannya bergantung pada kadar karbon, hingga 0,6 wt%.
Kekuatan dan kekerasan martensit tidak dianggap terkait dengan mikrostruktur
karena mikrostuktur yang dihasilkan tidak homogen. Transformasi martensit
terjadi hampir seketika karena melibatkan, bukan proses difusi, tetapi
mekanisme slip (dan deformasi plastik), yang merupakan fenomena tergantung
waktu yang menghambat gerakan dislokasi, dan ke sistem slip yang relatif
sedikit untuk struktur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Gambar 2. 10 Photomicrograph mikrostruktur martensit (Calister,2007:332). Butir
yang berbentuk jarum adalah fase martensit, dan daerah putih adalah austenit yang
gagal berubah selama pendinginan cepat. Perbesaran 1220×.
Materi mengalami perubahan volume karena perbedaan kepadatan yang
dihasilkan dari transformasi fasa. Ketika austenit berubah menjadi martensit,
volumenya meningkat (dan karenanya densitasnya menurun) sebanyak 4%.
Ekspansi dan gradien termal hadir di bagian yang di-quench, menyebabkan
tekanan internal di dalam tubuh. Mereka dapat menyebabkan bagian-bagian
tertentu mengalami distorsi (perubahan dimensi yang tidak dapat diubah pada
bagian selama perlakuan panas) atau bahkan retak selama perlakuan panas
(Kalpakjian, 2007:112).
Mempertahankan Austenite. Jika suhu di mana paduan di-quenching tidak
cukup rendah, hanya sebagian dari struktur diubah menjadi martensit. Sisanya
dipertahankan austenit, yang terlihat sebagai daerah putih dalam struktur,
bersama dengan martensit yang gelap dan membutuhkan. Austenit yang ditahan
dapat menyebabkan ketidakstabilan dan retakan dimensi, dan menurunkan
kekerasan dan kekuatan paduan (ibid, 113).
Martensit Tempered. Martensit ditempa untuk meningkatkan sifat
mekaniknya. Tempering adalah proses pemanasan dimana kekerasan berkurang
dan ketangguhan ditingkatkan. Martensit tetragonal berpusat pada tubuh
dipanaskan sampai suhu menengah, biasanya 150°C – 650°C, di mana ia terurai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
menjadi mikrostruktur dua fase yang terdiri dari kubik -ferit BCC dan partikel
kecil sementit. Fase sementit bersifat keras telah terdispersi merata pada fase
ferit yang akan memperkuat ferit di sepanjang batas, dan batas ini juga bertindak
sebagai hambatan untuk gerakan dislokasi selama deformasi plastis. Namun
dengan meningkatnya waktu tempering dan suhu, kekerasan martensit menurun.
Hal ini disebabkan partikel sementit menyatu dan tumbuh, serta jarak antara
partikel dalam matriks ferit ini meningkat seiring semakin kurang stabil dan
partikel karbida yang lebih kecil larut (Kalpakjian, 2007:113).
2.3 Inokulasi
Inokulasi merupakan metode penambahan berbagai bahan nukleasi asing
yang efektif untuk membentuk pusat nukleasi heterogen dalam lelehan, mencagah
pelewatan-dingin (under cooling), dan menghasilkan struktur berbutir halus dan
merata. Kekuatan besi cor sangat dipengaruhi oleh jumlah, bentuk, dan distibusi
grafit (Surdia, T. dan Saito. S, T. 2005: 116). Under cooling menyebabkan mudah
terbentuknya besi cor putih selama masa pemadatan (ibid, 119). Penghalusan
struktur butiran berarti menyebarkan elemen-elemen pengotor pada permukaan
batas butir yang lebih luas dan umumnya sifat mekanik serta mampu cor
meningkat. Namun kebutuhan untuk penghalusan batas butir pada operasi
pengecoran tidak begitu penting apabila struktur pengecoran mengalami
perlakuan panas. Bahan nukleasi harus tersebar merata, harus tahan, dan harus
dapat dibasahi oleh lelehan superpanas (Smallman, 2000:50).
Pada besi cor yang memiliki kekuatan tarik tinggi, dengan kekuatan tarik
diatas 30 kgf/mm2, harga derajat eutektik harus kecil. Namun derajat eutektik
yang kecil menimbulkan fluiditas yang buruk sehingga mudah terbentuk rongga-
rongga, tegangan sisa, dan cacat-cacat lainnya. Oleh karena itu, inokulasi dengan
menambahkan kalsium silisium atau besi silisium sesaat sebelum penuangan
cairan logam menghasilkan grafit yang halus terdistribusi merata pada matriks
perlit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
2.4 Silisium (Si)
Menurut Larbi, 2010 silisium merupakan suatu unsur yang banyak terdapat
di alam (sekitar 28% massa) setelah oksigen, namun tidak terjadi secara bebas di
alam melainkan berikatan dengan oksigen terutama untuk membentuk oksida
silika dan silika. Pembentukan Si secara komersial dilakukan dengan reduksi SiO2
dengan karbon atau CaC2 dalam tungku pemanas listrik untuk memperoleh
kemurnian yang sangat tinggi. Tungku peleburan biasanya terdiri dari silika dalam
bentuk kuarsa kental atau batu kuarsit, kokas atau batu bara, dan serpihan kayu.
Kokas bertindak sebagai agen pereduksi dan serpihan kayu berfungsi untuk
meningkatkan porositas muatan. Kehadiran Si sangat efektif menunda presipitasi
karbida pada sistem besi – karbon.
Silisium merupakan unsur kimia yang mempunyai simbol Si dan nomor
atom 14 pada tabel periodik. Silisium termasuk dalam bahan semikonduktor yang
dicirikan dengan lebar celah energi 1.7 eV untuk silisium amorf dan 1.12 eV
untuk silisium Kristal (Pearce, 2007). Celah energi adalah jumlah energi
minimum yang diperlukan elektron untuk dapat membebaskan diri dari keadaan
terikat. Pengaruh temperatur terhadap celah energi saat bahan mengalami variasi
temperatur mengakibatkan perbedaan karakteristik arus tegangan pada bahan
semikonduktor (Jorena, 2008). Sifat-sifat fisika-kimia dan mekanik yang
diinginkan dari silisium diantaranya reaktivitas tinggi untul sel surya, sifat
pengikatan yang sangat baik, kemurnian yang relatif tinggi, kekuatan mekanis
yang sangat baik membuat bahan ini berguna dalam berbagai teknologi, dan sifat-
sifat lainya tersaji pada Tabel 2.2
Tabel 2. 2 Sifat termal dan mekanis Silisium (Larbi, 2010:9)
Sifat Nilai
Berat atom (g / mol) 28,085
Kepadatan atom (atom / cm3) 5,22 x 1022
Titik lebur (oC) 1410
Titik didih (oC) 2355
Kepadatan (g / cm3) 2.329
Panas fusi (kJ / g) 1,8
Panas penguapan pada titik leleh (kJ / g) 16
Persen kontraksi saat meleleh (%) 9.5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
2.5 Proses Pengecoran (Casting Process)
Proses Pengecoran meliputi: pembuatan cetakan, persiapan dan peleburan
logam, penuangan logam cair kedalam cetakan, pembersihan coran, dan proses
daur ulang media cetak. Proses pengecoran ini adalah proses fleksibel dan
berkemampuan tinggi, sehingga merupakan proses dasar yang terpenting dalam
pengembangan industri logam dan mesin. Laju Produksi yang meningkat,
penyelesaian permukaan yang lebih baik, toleransi dimensi yang ketat, dan sifat
mekanis yang lebih baik menjadikan metode-metode dalam melakukan
pengecoran menjadi penting. Metode proses pengecoran secara garis besar
dibedakan atas proses pengecoran dan proses pencetakan. Proses pengecoran tidak
menggunakan tekanan sewaktu mengisi rongga cetakan, sedangkan proses
pencetakan logam cair ditekan agar mengisi rongga cetakan.
Ada dua cara pengecoran dengan menggunankan cetakan pasir. Pembagian
dilakukan berdasarkan jenis pola yang digunakan, yaitu pola yang dapat
digunakan berulang-ulang dan pola sekali pakai. Pada penggunaan pola cetakan
berulang-ulang, pasir dipadatkan di sekitar pola yang kemudian dikeluarkan.
Rongga yang terjadi kemudian diisi dengan rongga cair menghasilkan benda cor.
Pola sekali pakai dibuat dari polisteren atau bahan lain yang setara dan tidak
dikeluarkan. Pada waktu cetakan dituang ke dalam, maka pola tersebut menguap.
Cetakan pasir yang digunakan pada penelitian ini adalah cetakan pasir
kering (dry-sand casting). Cetakan dibuat dari pasir yang kasar dengan bahan
pengikat. Pasir ini harus dipanaskan dalam dapur sebelum digunakan, tempat
cetakan terbuat dari logam. Cetakan dari pasir kering tidak meyusut sewaktu kena
panas dan bebas dari gelembung udara. Bahan ini sering digunakan untuk
pembuatan baja.
Pasir yang digunakan harus memiliki sifat-sifat yang baik untuk
pengecoran. Pasir harus mampu melepaskan gas dan uap yang terbentuk dalam
cetakan (permeabilitas). Pasir juga harus kuat menahan gaya kohesi akibat
penuangan logam cair. Pasir harus tahan terhadap suhu tinggi. Ukuran butiran
pasir harus sesuai dengan sifat permukaan yang dihasilkan. Sifat-sifat pasir ini
berubah akibat tercampur dengan kotoran atau karena pengaruh suhu sehingga
perlu diperhatikan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
2.5.1 Pembuatan Cetakan
Menurut Amstead (1993:83), cetakan dibuat dalam rangka cetak (flask)
yang terdiri dari dua bagian, bagian atas disebut kup dan bagian bawah disebut
drag, tersaji pada Gambar 2.11. Pak kotak cetak terdiri dari tiga bagian, bagian
tengah disebut cheek. Kedua bagian kotak cetakan disatukan pada tempat
tertentu dengan lubang dan pin.
Pada prosedur pembuatan cetakan, pertama-tama belahan pola diletakan
diatas papan kayu yang rata. Kemudian rangka cetak bawah (drag) diletakan
diatas kayu. Drag diisi penuh dengan pasir kemudian dimampatkan secara
manual atau dengan mesin, tergantung pada besar kecilnya cetakan. Bila pasir
kurang padat, cetakan mudah rusak pada waktu pengerjaannya atau surak akibat
aliran logam cair. Bila terlalu padat gas dan uap sulit menguap, hal ini dapat
menyebabkan cacat dalam benda coran. Setelah pemampatan selesai, pasir yang
berlebih diratakan, tersaji pada Gambar 2.11.A.
Cetakan bagian bawah kemudian dibalik, dengan demikian kup dapat
dipasangkan dan cetakan diselesaikan. Sebelum dibalik, pasir silika kering
ditaburkan dan diatasnya diletakan papan. Pasir ini mencegah melekatnya pasir
di kedua bagian cetakan serta memperkuat ikatan antar partikel. Kemudian kup
diletakan diatas drag dan pasak (pin) dipasang sehingga tidak terjadi pergeseran.
Pada bagian atas perlu dibuat alur turun yang merupakan aluran pengalir logam
cair untuk masuknya logam cair dan memudahkan pelepasan gas sewaktu
penuangan. Kemudian kup diisi pasir, dipadatkan dan diberi lubang atau saluran
keluarnya gas, tersaji pada Gambar 2.11.B.
Langkah terakhir sebelum pengecoran dimulai adalah mengeluarkan pola
dan pin alur turun. Pertama-tama pin saluran turun dikeluarkan, kemudian dibuat
cawan tuang pada ujung alur turun sehingga terjadi lubang yang agak besar
utntuk menuang logam cair. Kup kemudian dilepaskan dan dibalik. Sebelum
belahan pola dilepas, pasir disekitar rongga diseka dengan kain lembab untuk
menjaga agar tepi-tepi rongga cetak tidak rontok, tersaji pada Gambar 2.11.C.
Untuk mengimbangi penyusutan logam, pada kup dibuat lubang yang memuat
logam cadangan, lubang ini disebut riser atau penambah. Permukaan cetakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Gambar 2. 11 Prosedur pembuatan cetakan pasir (Amstead, 1993:82).
dibasahi, diseka atau ditaburi serbuk pelapis (tepung silisium dan grafit dengan
komposisi tertentu sesuai jenis logam yang dicor).
Setelah benda cetakan membeku dan mendingin, sampai suhu penuangan
yang wajar, cetakan dibongkar. Tempat pembongkaran mempunyai sarana
ventilitas yang baik dan penangkap debu. Pasir bekas dikumpukan untuk
diteruskan ke tempat pengolahan pasir dimana pasir dikeringkan dari uap gas
untuk digunakan kembali. Coran besi dan baja tertutup lapisan pasir dan terak
sehingga lebih sulit dibersihkan dibandingkan benda coran buka besi. Sehingga
saluran masuk dan penambahan pada coran besi mudah ditanggalkan, tetapi pada
coran baja diperlukan pemotongan dengan nyala las atau mesin potong. Selain
itu benda coran juga dapat dibersihkan dengan penyemprot pasir dan mesin
tumbling (mesin putar balik).
2.5.2 Saluran Masuk, Penambahan, dan Karakteristik Pembekuan
Sistem saluran masuk (gating sistem) untuk mengalirkan logam cair ke
dalam rongga cetakan, terdiri dari cawan tuang, saluran turun, pengalir, dan
saluran masuk tempat logam mengalir memasuki rongga cetakan. Fungsi saluran
masuk perlu dirancang dengan mempertimbangkan faktor-faktor berikut:
C
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
a. Aliran logam hendaknya memasuki rongga cetakan pada bagian dasar
harus meminimalisir turbulensi. Hal ini perlu diperhatikan, khususnya
pada benda tuang yang kecil.
b. Pengikisan dinding saluran masuk dan permukaan rongga cetak harus
ditekan dengan mengatur aliran logam cair atau dengan menggunakan
pasil kering.
c. Aliran logam cair yang masuk harus diatur sedemikian sehingga terjadi
solidifikasi terarah.
d. Usahakan agar slag, kotoran atau partikel asing tidak dapat masuk ke
dalam rongga cetakan.
Penyusutan terjadi bila logam membeku dan bila solidifikasi tidak diatur
dengan baik dapat terjadi penyusutan yang cukup besar. Umumnya rongga
penyusunan terjadi didaerah dimana pembekuan logam cair paling akhir, atau
daerah yang paling tinggi suhunya. Seharusnya solidifikasi dikendalikan
dengan cara modifikasi desain cetakan sehingga rongga hanya terjadi disaluran
turun, saluran masuk atau penambahan. Mengendalikan solidifikasi dapat juga
menggunakan bahan kimia eksotermik dekat benda coran sehingga di daerah
tertentu tetap panas atau memasang cil (batang logam) sehingga panas dapat
disalurkan dengan cepat..
2.6 Pengujian Tarik
Menurut Calister (2007:133), uji tarik adalah pengujian yang dilakukan
untuk mengetahui besar beban tarik maksimal yang mampu ditahan oleh
spesimen. Beban tarik maksimal didapatkan dengan cara memberikan beban
instan (dengan sel beban) yang meningkat secara perlahan dan konstan hingga
spesimen terdeformasi dan akhirnya patah, sementara pertambahan panjang
spesimen dihitung akibat deformasi. Dari pengujian ini dijabarkan menjadi kurva
tegangan-regangan (ibid) atau kurva beban-elongasi (Smallman, 2000:214). Alat
pengujian yang digunakan tersaji pada Gambar 2.17.a. Standar pengujian yang
digunakan ASTM E8/E8M – 09.
Kurva tegangan-regangan sebagai hasil dari pengujian ini diperoleh dari
besarnya tegangan terhadap besarnya regangan yang terjadi. Tegangan sendiri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
merupakan gaya tahan intern dari suatu material yang bekerja pada luasan
tertentu. Pada tegangan rendah, deformasi bersifat elastis, begitu juga sebaliknya
(reversible), dan mengikuti hukum Hooke, yaitu tegangan berbanding lurus
dengan regangan. Tegangan tertinggi untuk daerah hubungan proporsional antara
tegangan-regangan disebut sebagai batas proporsional (Dieter, 1990:280).
Konstanta proporsional yang mengkaitkan tegangan dan regangan disebut
modulus elastisitas. Modulus elastisitas menjadi dasar kekakuan suatu material.
Modulus elsatisitas ini dapat berupa modulus young (E), modulus geser atau
kekakuan ( ), atau modulus curah (K) bergantung pada sifat regangan yang
merupakan tarik, geser, atau kompresi hidrostatik. Rasio Poisson ( ) merupakan
rasio kontraksi lateral terhadap regangan longitudinal untuk tegangan tarik
uniaksial. Modulus young, modulus geser, modulus curah, dan rasio poisson
memiliki hubungan sebagai berikut:
(2.5.1)
Dimana: Py = beban luluh.
= luasan permukaan mula-mula.
= regangan elastis
Dalam hal ini limit elastis tidak bisa dijadikan definisi tegangan yang jelas.
Tetapi pada besi tidak murni dan baja karbon rendah, titik awal terjadinya
deformasi plastis ditandai dengan penurunan beban secara tiba-tiba. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya titik luluh bawah dan titik luluh atas. Prilaku luluh
merupakan karakteristik beberapa jenis logam, khususnya yang memiliki struktur
BBC dan mengandung sejumlah kecil elemen larut. Untuk material yang tidak
memiliki titik luluh yang jelas, maka berlaku definisi konvensional menganai titik
awal deformasi, yaitu: tegangan uji 0,1%. Kemudian ditarik garus sejajar dengan
bagian elestis kurva tegangan-regangan dari titik regangan 0,1%.
Dari pengujian tarik didapat banyak informasi. Informasi pertama
mengenai nilai kekuatan tarik (TS = beban maksimum/luas pernampang awal) dan
keuletan (persen reduksi penampang atau persen perpanjangan) material.
Pengecilan diameter penampang material uji terjadi di daerah panjang ukur serta
deformasi terpusat hingga terjadi patahan. Penyusutan luas penampang
memberikan informasi mengenai regangan yang terlokalisir dan menjadi indikator
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
yang lebih baik dibandingan regangan saat putus terhadap panjang ukur. Hal ini
dapat diukur dengan membandingkan luas permukaan akibat penyusutan (Ao –
A1) dengan luas permukaan awal (Ao).
Tegangan sesungguhnya ( ), sama dengan P dibagi luas benda uji A pada
tahap regangan tertentu. Regangan total sesungguhnya terjadi ketika terjadi
deformasi dari panjang awal lo hingga panjang akhir l1 adalah ∫
. Kurva tegangan-regangan sesungguhnya sama dengan hubungan
Ludwig, yaitu:
(2.5.2)
Dimana, n = koefisien pengerasan kerja (-0,1 sampai 0,5).
k = koefisien kekuatan.
PUTS = beban maksimal
A0 = luasan permukaan
Kestabilan plastis, atau penciutan, terjadi apabila peningkatan regangan
tidak menghasilkan penambahan beban pada spesimen sehingga menghasilkan
kondisi kestabilan, dirumuskan dengan:
Selama deformasi, volume dianggap konstan, sehingga dirumuskan:
diperoleh
(2.5.3)
Untuk mengukur regangan plastis yang terjadi dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:
(2.5.4)
Dimana, = regangan total yang terjadi pada bahan akibat uji tarik.
= regangan plastis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Gambar 2. 12 Kurva tegangan-regangan untuk (a) besi cor tidak murni, (b)
tembaga, (c) transisi ulet-getas pada baja sedang (Smallman, 2000:215).
Spesimen uji tarik juga memberikan informasi mengenai jenis perpatahan yang
terjadi. Informasi ini diperoleh dari data percobaan uji tarik, dimana benda uji
mengalami beban aksial yang semakin besar sampai benda uji itu patah. Beban
dan perpanjangan diukur berkali-kali selama dilakukan pengujian dan dinyatakan
sebagai tegangan rata-rata serta regangan rata-rata sesuai dengan persamaan
dalam persamaan 2.4.2. dan 2.4.3.
Dasar tentang sifat mekanis logam ulet atau getas diperoleh dari percobaan
uji tarik, tergantung pada kemampuan untuk mengalami deformasi plastis atau
tidak, tersaji pada Gambar 2.12. Menurut Dieter (1993:9) keuletan yang memadai
merupakan suatu pertimbangan yang penting, karena keuletan memberikan
kesempatan kepada bahan untuk distribusi-ulang tegangan setempat. Penentuan
batas elastistitas (batas proporsional) dilihat dari garis lengkung tegangan-
regangan ketika mulai menyimpang dari kelinierannya. Kemiringan garis
lengkung tegangan-regangan di daerah ini disebut modulus elastisitas (E).
Sedangkan titik dimana batas elastis logam mulai dilampau disebut titik luluh
(yeild point).
Dari pengujian tarik juga didiperoleh kemampuan suatu bahan menyerap
energi pada daerah plastis yang disebut sebagai ketangguhan. Salah satu cara
menyatakan ketangguhan adalah meninjau luasan daerah dibawah kurva
tegangan-regangan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
2.7 Pengujian Lelah
Kelelahan adalah bentuk kegagalan yang terjadi pada struktur yang
mengalami tegangan dinamis dan berfluktuasi, tersaji pada Gambar 2.13 (Calister,
2007:227). Fenomena ini mungkin terjadi pada tingkat tegangan jauh lebih rendah
dari kekuatan tarik atau luluh untuk beban statis. Pengujian lelah menunjukkan
batas daya tahan atau batas kelelahan bahan terhadap tegangan dengan periode
konstan yang biasanya diterapkan dengan cara tekuk, torsi, tarik, atau kompresi.
Beberapa bahan tidak memiliki batas daya tahan; dan sebaliknya, tegangan yang
diizinkan harus dilaporkan sehubungan dengan jumlah siklus pemuatan. Menurut
Smallman (2000), metode siklus balik dan berulang (seperti “push-pull’)
merupakan pegujian yang sering dijumpai karena paling mudah dilakukan.
Calister (2007:230) mengungkapkan, serangkaian pengujian dimulai
dengan memberikan amplitudo tegangan maksimum yang relatif besar ( ),
biasanya pada dua pertiga dari kekuatan tarik statis, pada spesimen hingga
spesimen patah. Prosedur ini diulangi pada spesimen lain yang secara progresif
mengurangi amplitudo tegangan maksimum hingga tercapai jumlah siklus
tegangan tertentu. Kurva S-N dibentuk dari data yang diplot sebagai tegangan (S)
versus logaritma dari jumlah siklus hingga terjadi kegagalan (N) untuk masing-
masing spesimen. Nilai S biasanya diambil sebagai amplitudo tegangan pada
pembebanan statis (Persamaan 2.5.2).
Momen puntir ditahan oleh tegangan-tegangan geser yang terbentuk pada
penampang lintang (Dieter, 1993:343). Kurva S-N pertama kali dibentuk dengan
menghitung momen puntir mula-mula yang dikenakan pada spesimen. Dari
momen puntir, tegangan mula-mula yang cukup besar ditetapkan untuk memulai
pengujian.
Gambar 2. 13 Skematik diagram uji lelah menggunakan alat uji rotary-bending
(Calister, 2007:230)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
(2.6.1.)
Dimana: = tegangan geser (kg/mm2)
MT = momen puntir (kg.mm)
D = diameter (mm)
Seperti yang tersaji pada Gambar 2.14, semakin besarnya tegangan,
semakin kecil jumlah siklus material yang mampu ditahan sebelum tersaji
kegagalan. Kegagalan lelah untuk baja karburisasi diketahui secara langsung batas
lelahnya namun baja dekarburisasi diketahui batas lelahnya dengan perhitungan
statistika sesuai batas lelah yang dibutuhkan (Smallman, 2000:218). Pada saat
kurva S-N menjadi horizontal pada nilai N yang lebih tinggi atau ada tingkat
tegangan yang membatasi maka disebut sebagai batas kelelahan (fatigue limit)
atau batas ketahanan (endurance limit). Jika tegangan yang diberikan dibawah
batas kelelahan, maka kegagalan tidak akan terjadi (infinite). Sesuai dengan tujuan
teknis, bahan disebut infinite ketika siklus mencapai lebih besar atau sama dengan
satu juta siklus (Bannantine, 1989:2). Batas kelelahan berkisar antara 35% dan
60% dari kekuatan tarik (Calister, 2007:230). Pengujian lelah dilakukan dengan
mengganakan standar ASTM E466, gambar alat tersaji pada Gambar 2.17.c.
Gambar 2. 14 Tegangan vs jumlah logaritma siklus putaran (Smallman,
2000:218).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Gambar 2. 15 Kurva S/Su – N umum untuk baja tempa pada titik log-log
(Bannantine, 1989:4)
Menurut Bannantine (1989), tingkat tegangan bolak-balik yang sesuai
dengan jumlah antara seribu hingga satu juta siklus putar (N) dapat diperkirakan
dari perbandingan dengan kekuatan tarik maksimalnya (S/Su). Begitu juga
sebaliknya, jumlah siklus pasti terjadinya kegagalan akibat pembebanan antara
seribu hingga satu juta siklus dapat ditentukan. Garis yang menghubungkan titik
ini dan batas ketahanan adalah perkiraan yang digunakan untuk garis S/Su – N
jika tidak ada data kelelahan aktual dari material. Sehingga, umur lelah dapat
diperkirakan sebagai jumlah siklus yang akan terjadi pada tingkat tegangan yang
ditentukan (Calister, 2007:230), seperti yang tersaji pada Persamaan 2.6.2.
(2.6.2.)
Ekponen C dan b dari curva S-N ditetapkan menggunakan dua buat titik yang
telah ditentukan, seperti yang dicontohkan pada Gambar 2.15.
Keterangan: = tegangan pada siklus ke-1000
Se = batas ketahanan (endurance limit)
2.8 Pengujian Kekerasan Brinell
Pengujian kekerasan dilakukan dengan mengukur ketahanan benda uji
terhadap deformasi berupa lekukan yang terjadi pada permukaan spesimen akibat
pembebanan tertentu. Alat pengujian kekerasan menggunakan indentor yang
berbentuk bola baja berdiameter 10 mm pada pemberian beban 3000 kg. Untuk
matarial yang lunak digunakan pembebanan yang lebih kecil sesuai konversi
penerapan beban pada Tabel 2.3, sehingga diameter jejak terukur tidak terlalu
dalam. Pemberian beban diterapkan selama waktu tertentu, biasanya 30 detik,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
kemudian diameter diukur menggunakan mikroskop berdaya rendah. Nilai
kekerasan didapat dari rata-rata pengukuran diameter pada beberapa kali
indentasi, gambar pengujian Brinell tersaji pada Gambar 2.16 (Dieter, 1993).
Gambar 2. 16 Parameter-parameter dasar pengujian Brinell (Dieter, 1993:330).
Nilai kekerasan dapat dihubungkan dengan kekuatan luluh atau tarik
logam, karena selama indentasi logam mengalami deformasi plastis sehingga
terjadi regangan dengan presentasi tertentu. Nilai kekerasan Vickers (VPN) dan
Brinell (BHN) didefinisikan sebagai besarnya pembebanan dibagi dengan luas
jejak indentror dalam satuan kg/mm2. Digunakan standart ASTM E140-52 selama
pengujian. Brinell menggunakan indentor berbentuk cukung, dengan nilai :
BHN =
√
(2.7.1)
Dimana, d = diameter jejak (mm)
D = diameter intentor (mm)
P = beban yang diberikan (kg)
Tabel 2. 3 Konversi pada diameter indentor (sumber: buku praktikum ilmu logam
USD, hal 9)
Diameter Indentor
D (mm)
Beban
P (kg)
30 D2 10 D
2 5 D
2
10 3000 1000 500
5 750 250 125
2,5 187,5 65,5 31,25
Untuk mendapat hasil yang konsisten, maka ratio d/D dipertahankan
konstan dan kecil. Alat uji tersaji pada Gambar 2.17.b.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
(a) (b)
(c)
Gambar 2. 17 Gambar alat uji (a) alat uji tarik UTC 10 ~ 200 kN Series (b) alat uji
kekerasan Brinell O.M.A.G Affri Italy Mod 100 MR (c) alat uji lelah Rotary
Bending 1800 rpm.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
2.9 Tinjauan Pustaka
Martienssen (2005:263) mengungkapkan pada besi yang memiliki
ketahanan tinggi terhadap korosi memiliki persentase berat silisium antara 14,0 –
17,0%wt, sedangkan besi cor kelabu yang memiliki ketahanan tinggi jika
kandungan silisium antara 4,0 – 7,0%wt. Menurut Ferro (2012), semakin banyak
grafit chuck sebagai hasil komposisi silisium yang tinggi mengurangi secara
signifikan baik tegangan tarik maksimal maupun pemanjangan fraktur; tetapi itu
tidak mempengaruhi tegangan leleh besi cor, jika dibandingkan dengan spesimen
yang hanya mengandung grafit nodular.
Wendong Xue dan Yan Li (2016) telah meneliti pengaruh inokulan FeSi75
(kandungan Si 75%) pada besi cor kelabu serta membandingkannya dengan
inokulan SiC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulan SiC dan inokulan
FeSi75 konvensional yang baru menghasilkan sifat-sifat yang lebih baik dari besi
lebur di atas besi lebur asli yang tidak diinokulasi. Inokulan menghasilkan partikel
grafit yang lebih kecil, mengurangi kecenderungan untuk membentuk rongga
penyusutan dan porositas selama pemadatan besi cair, menurunkan tingkat
pendinginan, mengurangi pembentukan inklusi non-logam, dan meningkatkan
sifat mekanik (dari besi cor). Setelah inokulasi, jumlah tonjolan-tonjolan grafit
(ridges) yang terdistribusi baik dan merata meningkat secara signifikan. Ini
menunjukkan bahwa isi grafit tipe A dalam matriks meningkat dan ukuran grafit
menjadi lebih kecil, yang membantu menyebarkan tekanan terkonsentrasi dan
mengurangi efek robeknya serpihan grafit besar dan panjang (dalam menginduksi
fraktur matriks).
K. Edalati, F. Akhlaghi, dan M. Nili-Ahmadabadi (2004) telah meneliti
pengaruh temperatur penuangan (1350○C hingga 1500
○C, dengan interval 50
○C)
besi cor kelabu cair pada sendok (ladle) yang sebelumnya telah dimasukan
inokulan FeSi75 dan SiC untuk dibiarkan melelah didalam sendok. Penelitian
tersebut menunjukkan, inokulasi berdampak positif pada peningkatan suhu
likuidus, peningkatan suhu eutektik, peningkatan fluiditas, dan peningkatan
kekerasan bersama-sama dengan penurunan suhu undercooling sehingga
dihasilkan ukuran butiran yang halus dan penyebaran grafit menjadi lebih
seragam. A. Basuki, R. Suratman,dan T. Surdia (1986) telah meneliti mengenai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
pembuatan besi cor nodular dengan penambahan magnesium (Mg) sebagai bahan
nodularisasi. Mg dicampurkan menggunakan metode open ladle. Metode ini
mengasilkan efisiensi tercampurnya Mg sebesar 20 – 30%. Th. Willidal, W.
Bauer, dan P. Schumacher (2005) juga telah khusus meneliti kekuatan lelah besi
cor kelabu dengan kandungan silisium antara 1,68 – 2,18%wt, dihasilkan bahwa
batas lelah material ini berkisar antara 20 - 40% UTS-nya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Diagram Alir Penelitian
Proses penelitian yang dilakukan tersaji pada Gambar 3.1.
Gambar 3. 1 Diagram alir penelitian
Mulai
Pengamatan Stuktur Mikro
makro dan Benda Uji
Pembuatan Cetakan
Pengecoran Bahan
Besi Cor Kelabu Berpaduan
Silisium 2,9 %
Besi Cor Kelabu Berpaduan
Silisium 3,8 %
Pembongkaran dan pembersihan
coran
Pengujian Mekanis 1. Pengujian Kekerasan
dengan metode Brinell 2. Pengujian Tarik 3. Pengujian Lelah
Hasil Penelitian dan Analisa Data
Pembahasan dan Pembuatan
Bab IV
Selesai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
3.2.1 Bahan yang digunakan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain:
1. Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah baja tua (scrap
steel) dan besi tua (scrap iron). Gambar bahan baku tersaji pada Gambar
3.2.
Gambar 3. 2 Bahan baku.
2. Besi Silisium (FeSi)
Bahan silisium yang digunakan pada penelitian ini didapat dalam
bentuk FeSi dengan kemurnian silisium 75%. Bahan ini didapat dari PT.
Aneka Adhilogam Karya (AAK) Ceper. Gambar FeSi tersaji pada Gambar
3.3.
Gambar 3. 3 Bongkahan FeSi sebelum dilebur.
3. Autosol
Autosol digunakan sebagai bahan untuk mengkilapkan dan
membersihkan material logam. Bahan ini digunakan dengan cara
menggosokan permukaan material logam pada kain majun putih sebelum
dilakukan pengamatan stuktur mikro. Gambar autosol tersaji pada Gambar
3.4.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
Gambar 3. 4 Autosol
4. Larutan HNO3 100%
HNO3 digunakan sebagai larutan etsa. Larutan etsa digunakan untuk
mengikis bagian permukaan logam yang tak terlindungi. HNO3
menciptakan desain permukaan yang timbul tenggelam pada logam
sehingga struktur mikro dapat terlihat dari pemantulan cahaya yang tidak
rata. Gambar larutan HNO3 100% tersaji pada Gambar 3.5.
Gambar 3. 5 Larutan HNO3 100%
3.2.2. Alat Pengujian
Alat pengujian yang digunakan selama penelitian ini antara lain:
1. Pengujian Kekerasan.
Alat uji kekerasan digunakan untuk menguji ketahanan material
terhadap deformasi plastis akibat penekanan oleh indentor yang berbentuk
bola. Alat uji kekerasan yang digunakan adalah alat uji BRINELL
O.M.A.G. AFFRI ITALY MOD 100MR. Alat ini dapat dilihat di
Laboratorium Ilmu Logam Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma.
Spesimen yang disediakan berjumlah dua buat dari masing-masing
komposisi benda uji.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
2. Pengujian Tarik
Alat uji tarik digunakan untuk mengetahui kekuatan tarik dan regangan
dari suatu bahan uji. Mesin uji tarik yang digunakan adalah UTC 10 ~ 200
kN Series. Mesin ini dapat dilihat di Laboratorium Ilmu Logam Teknik
Mesin Universitas Sanata Dharma. Spesimen yang disediakan berjumlah
lima buat dari masing-masing komposisi benda uji.
3. Pengujian Lelah
Alat uji lelah digunakan untuk melihat jumlah siklus yang dapat
diterapkan pada benda uji dengan pembebenan tertentu. Pembebanan pada
spesimen uji yang secara khusus dipersiapkan untuk uji coba. Pembebanan
diterapkan dimulai dari 0,8 UTS, kemudian diperkecil dengan selang
beban tertentu. Mesin uji lelah yang digunakan adalah Rotary Bending
Fatigue Testing Machines 1800 rpm. Mesin ini dapat dilihat di
Laboratorium Ilmu Logam Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma.
3.2.3. Alat Pemesinan dan Alat Ukur
Alat permesinan dan alat ukur yang digunakan selama penelitian ini antara
lain:
1. Mesin Bubut
Mesin bubut digunakan untuk membuat spesimen ujian tarik dan uji
lelah. Mesin bubut yang digunakan terdapat di Lab. Ilmu Logam Teknik
Mesin Universitas Sanata Dharma. Gambar mesin bubut dapat dilihat pada
Gambar 3.6.
Gambar 3. 6 Mesin bubut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
2. Jangka Sorong
Jangka sorong digunakan untuk mengukur benda uji hasil pengecoran
dan hasil pemesinan. Jangka sorang ini memiliki ketelitian 0,1 mm.
Gambar jangka sorong dapat dilihat pada Gambar 3.7.
Gambar 3. 7 Jangka sorong
3.2.4 Alat Pengecoran
Alat pengecoran yang digunakan selama penelitian ini antara lain:
1. Tanur Induksi.
Proses peleburan dan pencampuran material logam menggunakan tanur
induksi jenis krus berkapasitas 1 ton dengan frekuensi rendah. Tanur
Induksi yang digunakan terdapat di PT. Aneka Adhilogam Karya (AAK)
Ceper. Gambar tanur induksi tersaji pada Gambar 3.8.
Gambar 3. 8 Tanur Induksi
2. Ladle
Ladle digunakan sebagai tempat penampung sementara larutan padat
dari tanur induksi hingga didistribusikan ke cetakan pasir yang sudah
dibuat. Ladle mula-mula yang digunakan berkapasitas 1000 kg. kemudian
didistribusikan kedalam ladle-ladle kecil berkapasitas 40, selanjutnya
dituang kedalam cetakan. Ladle dilapisi dengan tanah liat pada bagian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
dalam. Sebelum digunakan, ladle tersebut dipanaskan untuk menghindari
kecacatan produk akibat suhu ladle yang dingin. Gambar ladle tersaji pada
Gambar 3.9.
Gambar 3. 9 Ladle Berkapasitas 40 kg yang Telah Dilapisi Tanah Liat.
3. Cetakan
Cetakan yang yang digunakan termasuk dalam cetakan pasir basah.
Cetakan ini terdiri dari pasir kwarsa (pasir alam) yang ditambahkan sedikit
air kemudian diaduk secara merata dan didiamkan selama beberapa menit.
Ukuran pasir ini berkisar antara 10 – 100 . Rangka cetakan berukuran
40 cm × 20 cm dan terbuat dari kayu. Pola cetak terbuat dari kayu yang
diukir oleh pengrajin di daerah Ceper. Gambar cetakan tersaji pada
Gambar 3.10.
(a) (b)
(c)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Gambar 3. 10 (a) Rangka Cetakan, (b) Pasir Cetak, (c) Pola Cetakan
3.2.5 Alat-alat Lain yang Digunakan
1. Termokopel
Termokopel digunakan untuk mengukur suhu tanur selama proses
peleburan. Gambar termometer dapat dilihat pada Gambar 3.11.
Gambar 3. 11 Termokopel
2. Timbangan
Timbangan digunakan untuk mengukur berat bahan baku dan silisium
sebelum digunakan dalam peleburan. Timbangan neraca digunakan untuk
mengukur berat bahan baku sedangkan timbangan digital digunakan untuk
mengukur berat silisium. Gambar timbangan digital tersaji pada Gambar
3.12.
(a) (b)
Gambar 3. 12 (a) Timbangan neraca dan (b) timbangan digital
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
3. Gergaji Tangan
Gergaji tangan digunakan untuk memotong hasil pengecoran yang
telah selesai secara manual. Gambar gergaji tangan tersaji pada Gambar
3.13.
Gambar 3. 13 Gergaji tangan
4. Amplas
Amplas digunakan untuk menghaluskan permukaan benda uji sebelum
dilakukan pengamatan struktur mikro. Amplas yang digunakan dari ukuran
80 , 120 , 250 , 500 , 650 , 1000 , dan 1500 . Gambar
amplas tersaji pada Gambar 3.14.
Gambar 3. 14 Amplas
5. Mikroskop
Mikroskop yang digunakan adalah mikroskop tipe upright. Mikroskop
ini untuk mengamati perubahan struktur mikro yang terjadi dan mengukur
besarnya deformasi plastis yang disebabkan oleh penekanan indentor pada
pengujian kekerasan. Mikroskop yang digunakan adalah Mikroskop
Metallurgi UNION Japan. Alat ini dapat dilihat di Lab. Ilmu Logam
Universitas Sanata Dharma. Gambar mikroskop tersaji pada Gambar 3.15.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
Gambar 3. 15 Mikroskop
6. Kain Majun
Kain majun digunakan untuk mengeringkan spesimen yang telah dietsa
sebelum dilakukan peengamatan stuktur mikro. Kain ini berwarna putih.
Gambar kain majun tersaju pada Gambar 3.16.
Gambar 3. 16 Kain Majun
3.3 Proses Pengecoran
Terdapat beberapa langkah proses pengecoran yang harus dilakukan, antara
lain: persiapan, pelaksanaan pengecoran, dan pembuatan benda uji. Proses
persiapan melipuli persiapan alat dan bahan. Proses pengecoran dilakukan
meliputi peleburan sampai penuangan material. Pengecoran ini dilakukan di
Polman Ceper menggunakan tanur induksi. Proses pembuatan benda uji meliputi
pembuatan sampel sampai siap digunakan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
3.3.1 Persiapan Pengecoran
Sebelum melakukan pengecoran, beberapa hal yang harus
dipersiapkan terlebih dahulu, yaitu:
1. Mempersiapkan bahan baku dan FeSi.
2. Membuat pola cetakan.
3. Mempersiapkan cetakan untuk tempat penuangan material.
4. Mempersiapkan tanur induksi yang hendak digunakan.
5. Menimbang FeSi untuk menghitung kebutuhannya dalam ladle
berkapasitas 40 kg agar sesuai dengan komposisi yang
dibutuhkan. Kemudian bongkahan FeSi dihaluskan agar mudah
tercampur didalam ladle selama penuangan dari tanur induksi
sebelum dituang ke cetakan.
3.3.2 Proses Pengecoran
Langkah-langkah pengecoran dilakukan sebagai berikut:
1. Memasukan bahan baku ke dalam tanur induksi.
2. Menyalakan tanur induksi dengan mempertahankan tetap pada
suhu 1287○C selama 45 menit.
3. Setelah matarial tercampur, tanur induksi dimatikan dan logam
cair ditung ke dalam ladle besar berkapasitas 750 kg kemudian
diberikan limestone (batu kapur) sehingga terak terangkat dan
menggumpal kepermukanan.
4. Terak yang sudah menggumpal disingkapkan kemudian larutan
padat dituang ke dalam ladle kecil berkapasitas 40 kg yang
sudah dimasukan FeSi.
5. Setelah beberapa saat larutan padat ini dituang kedalam cetakan
pasir.
6. Setelah larutan padat memadat (± 10 menit) cetakan dibongkar
dan benda hasil penuangan dikeluarkan.
7. Hasil penuangan didinginkan dengan udara secara perlahan
sesuai suhu kamar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
3.4 Pembuatan Spesimen
3.4.1 Spesimen Uji Tarik.
Hasil pengecoran berupa silinder sesuai dengan cetakan yang
digunakan. Hasil dari pengecoran akan dipotong dengan ukuran 15 mm ×
150 mm (diameter × panjang) sebelum dilakukan proses machining. Benda
uji yang telah dipotong kemudian di-machining menjadi spesimen. Proses
machining dilakukan dengan mesin bubut sesuai standart ASTM E8/E8M
– 09, seperti yang tersaji pada Gambar 3.17.
Gambar 3. 17 Spesimen uji tarik.
Keterangan ukuran:
3.4.2 Spesimen Uji Lelah
Hasil pengecoran berupa silinder sesuai dengan cetakan yang
digunakan. Hasil dari pengecoran akan dipotong dengan ukuran 15 mm ×
90 mm (diameter × panjang) sebelum dilakukan proses machining. Benda
uji yang telah dipotong kemudian di-machining menjadi spesimen. Proses
machining dilakukan dengan mesin bubut sesuai standart ASTM E466 –
07, seperti yang tersaji pada Gambar 3.18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Gambar 3. 18 Sepesimen uji lelah.
Diameter dalam (D) = 6 mm
Panjang ukur (L) = 18 mm
Radius filet (R) = 48 mm
3.4.3 Spesimen Uji Kekerasan.
Spesimen uji kekerasan diperoleh dari pemotongan hasil
pengecoran secara melintang menjadi dua bagian dengan ketebalan yang
sama yaitu 12 mm. Kemudian salah satu sisi permukaan benda diratakan
dengan kertas amplas untuk penekanan indentor. Amplas yang digunakan
dari ukuran 80 , 120 , 250 , 500 , 650 , 1000 , dan
1500 . Setelah permukaan rata, benda uji dipoles dengan autosol sampai
mengkilat. Gambar spesimen uji kekerasan disajikan pada Gambar 3.19.
Gambar 3. 19 Gambar spesimen uji kekerasan
Keterangan ukuran:
Diameter (Di) : 15 mm
Tebal (t) : 11,3 mm
3.4.4 Spesimen Pengamatan Stuktur Mikro.
Spesimen pengamatan stuktur mikro memiliki ukuran yang sama,
perlakukan pengamplasan yang sama, dan pemberian autosol yang sama
dengan uji kekerasan. Setelah spesimen mengkilat, spesimen dietsa dengan
larutan HNO3 selama 15 detik. Kemudian spesimen dimasukan kedalam
Di t
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
larutan alkohol 70% sambil digoyang-goyangkan untuk menghilangkan
larutan etsa. Setelah beberapa saat, spesimen diangkat dan dikeringkan
menggunakan kain majun. Gambar spesimen untuk pengamatan struktur
mikro disajikan pada Gambar 3.19.
3.5 Pengujian Spesimen
Pengujian bahan dilakukan untuk mengetahi sifat-sifat fisis suatu bahan itu
sendiri. Dalam pengujian ini, spesimen dibagi berdasarkan tiga pengujian bahan,
antara lain:
3.5.1 Pengujian Tarik
Pengujian tarik adalah menarik spesimen uji secara terus menerus
dengan gaya yang bertambah besar secara perlahan-lahan hingga akhirnya
patah. Dari pengujian ini diketahui besar tegangan maksimal dan regangan
maksimal yang dapat dialami spesimen. Urutan proses pengujian lelah
dijabarkan sebagai berikut:
1. Spesimen uji dipasang secara vertikal pada alat uji dan dijepit
pada cekam penjepit pada bagian atas dan bawah alat uji.
2. Alat uji diatur pada pemberian beban tarik dengan kecepatan 10
mm/detik.
3. Spesimen ditunggu hingga patah, selama pengujian data yang
didapat kemudaan diambil dan dicatat, meliputi penambahan
beban (P) dan penambahan panjang ( ).
4. Setelah patah, spesimen diukur menggunakan jangka sorong
untuk melihat deformasi plastis akibat beban tarik.
5. Hasil beban tarik maksimal dan kekuatan tarik spesimen
dicatat.
3.5.2 Pengujian Lelah
Pengujian fatigue bending adalah pengujian kekuatan lelah dengan
cara memberikan beban putar (bending) tertentu hingga material tersebut
patah. Pemberian beban divariasi mulai dari beban rendah sampai beban
yang besar. Proses kerusakan fatigue bending dimulai dari pembebanan
berulang pada bahan yang akan diuji selama waktu tertentu sehingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
terbentuk regangan plastis pada daerah konsentrasi tegangan. Regangan
plastis ini akan memicu terbentuknya inisiasi sehingga akhirnya patah..
Hasil dari dua variasi komposisi logam kemudian dibuat kurva S/Su – N .
Urutan proses pengujian lelah dijabarkan sebagai berikut:
1. Spesimen uji dipasang secara horizontal dan dijepit pada
cekam penjepit yang menghubungkan poros yang digerakan
oleh motor listrik.
2. Memberikan beban pada poros penjepit sesuai konfersi
tegangan geser.
3. Menyalakan mesin uji dan hitung lamanya benda uji berputar
hingga patah.
4. Setelah benda uji pada, matikan mesin uji kemudian catat
jumlah siklus putar dan waktu yang pengujian.
5. Ganti spesimen uji dan ubah beban pada poros penjepit.
6. Ulangi langkah 1 sampai 5.
7. Lakukan langkah sebelumnya sebanyak 6 kali sehingga kurva
S/Su – N dapat valid.
3.5.3 Pengujian Kekerasan
Uji kekerasan Brinell sesuai metode yang dianjurkan oleh J. A.
Brinell. Pengujian dilakukan dengan cara memberikan beban pada
material dengan menggunakan indentor berbentuk bola dari bahan baja.
Pola injakan terbentuk dari deformasi plastis yang terjadi pada
pembebanan tertentu menunjukkan nilai kekerasan material tersebut.
Urutan proses pengujian lelah dijabarkan sebagai berikut:
1. Spesimen uji yang telah disiapkan dilakukan penekanan
menggunakan indentor sebanyak 3 titik pada satu matarial.
2. Penekanan indentor dilakukan dengan memakai bola baja
berdiameter 2,5 mm dengan tekanan 187,5 kg selama 30 detik.
Hasil dari penekanan membentuk lekukan pada permukaan
spesimen.
3. Lekukan pada permukaan benda uji diukur menggunakan
mikroskop cahaya berdaya rendah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
4. Ganti spesimen dan ulangi langkah 1 sampai 3 pada material
berbeda.
5. Data hasil pengukuran dicatat.
3.5.4 Pengamatan Struktur Mikro
Pengamatan sturktur mikro menggunakan lensa okuler HWF 15×
dan lensa objektif M20/0,4 dengan total perbesaran 300×. Spesimen uji
yang sudah disiapkan diletakan pada mikroskop serta diamati. Gambar
struktur mikro yang telah tampak disimpan sebagai data pengamatan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
Komposisi yang digunakan pada pengecoran besi cor kelabu mengikuti
standart komposisi FC 25 yaitu sebesar 2% Si dan 3,4% C terbaca pada
spektrometer selama proses peleburan. Penambahan Si sebesar 1 kg untuk
mencapai komposisi 4% Si dan 2 kg untuk mencapai 7% Si dimasukkan ke dalam
ladle berkapasitas 40 kg. Perhitungan awal Si didasarkan batuan Si yang
ditambahkan adalah murni yaitu 100% Si, namun Si dalam batuan ternyata
dicampuran dengan Fe dengan komposisi umum yang digunakan Fe 25% dan Si
75%. Komposisi yang tidak sesuai ini menyebabkan penurunan komposisi Si pada
spesimen uji. Komposisi yang telah dihitung ulang dengan penyesuaian FeSi yang
dicampurkan sebesar 3,9% Si untuk penambahan 1 kg FeSi dan 5,8% Si untuk
penambahan 2 kg FeSi. Hasil uji komposisi yang dilakukan di PT. ITOKOH
CEPERINDO menunjukkan komposisi Si pada campuran 1 kg Si adalah 2,9% dan
komposisi Si pada campuran 2 kg Si adalah 3,8%. Komposisi Si pada besi cor
kalabu ini sangat berbeda jauh dari yang diharapkan. Si yang bercampur
membantu pemisahan Fe dari Fe3C sehingga lebih banyak perlit terbentuk. Si
yang tidak tercampur dalam larutan padat masih berbentuk SiO2 dan terbakar,
sehingga keluar dalam bentuk asap sisa peleburan. Hal ini menunjukkan efisisensi
Si yang tercampur dalam besi cor kelabu sebesar 48%.
Spesimen uji yang telah dingin mengalami perubahan komposisi karbon
menjadi 4,75% C pada spesimen yang berkomposisi Si lebih rendah dan 5,35% C
pada spesimen yang berkomposisi Si lebih tinggi. Dari persentasi komposisi besi
cor yang ada, besi cor masuk dalam katagori besi cor hipereutektik dimana
persentase karbon lebih besar dari komposisi eutektiknya (4,12% C). Hal ini
terjadi karena selama proses peleburan kurang homogennya larutan padat.
Perubahan komposisi ini berdampak pada sifat mekanis besi cor kelabu. Paduan
lain yang terdapat dalam besi cor kelabu ini, antara lain: S, Al, Ni, Nb, Cr, V, Mn,
Mo, W, P, Cu, Ti, N, B, Pb, Sb, Ca, Mg, Sn, dan Co.
Besi cor kelabu diuji tanpa menggunakan proses normalizing. Penambahan Si
selama proses peleburan termasuk dalam pre-treament sehingga tidak perlu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
dilakukan perlakuan normalizing untuk meningkatkan sifat mekanis. Hasil
perhitungan dan pengamatan ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik dan gambar.
4.2. Analisis Uji Kekerasan
Pengujian kekerasan dilakukan pada setiap spesimen dengan 3 titik
pembebanan yang berbeda. Setiap komposisi disiapkan 2 spesimen untuk
dilakukan uji kekerasan. Data uji kekerasan disajikan pada Tabel 4.1 dan Gambar
4.1.
Tabel 4. 1 Data uji kekerasan besi cor kelabu berkomposisi 2,9% Si dan 3,8% Si
Komposisi
Si
D
(mm)
d
(mm)
P max
(kg)
Kekerasan
Brinell (BHS)
2,9%wt
2,5 1,08 187,5 194,6
2,5 1,1 187,5 187,2
2,5 1,12 187,5 180,2
2,5 1,16 187,5 167,3
2,5 1,16 187,5 167,3
2,5 1,18 187,5 161,3
Rata-rata 176,3
Standar Deviasi 13,1
3,8%wt
2,5 1,1 187,5 187,2
2,5 1,1 187,5 187,2
2,5 1,1 187,5 187,2
2,5 1,08 187,5 194,6
2,5 1,08 187,5 194,6
2,5 1,1 187,5 187,2
Rata-rata 189,7
Standar Deviasi 3,82
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
2,9 3,80
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
Kek
eras
an (
BH
N)
Komposisi Si (% wt)
Gambar 4. 1 Grafik rata-rata nilai BHN besi cor kelabu berkomposisi 2,9% Si dan
3,8% Si.
Dari hasil pengujian kekerasan didapat bahwa besi cor kelabu yang memiliki
komposisi 3,8% Si lebih keras karena memiliki nilai BHN lebih besar
dibandingkan besi cor kelabu berkomposisi 2,9% Si. Persebaran data untuk
komposisi Si yang lebih tinggi sebesar 2% dan untuk komposisi Si yang lebih
rendah sebesar 7,4%. Hal ini didapat dari perbandingan standar deviasi dengan
nilai kekerasan rata-rata yang menunjukkan data hasil pengujian 3,8% Si lebih
seragam dibandingkan 2,9% Si.
4.3. Analisis Uji Tarik
Pengujian tarik dilakukan dengan 3 spesimen uji pada masing-masing
komposisi. Dari pengujian ini, beban mula-mula untuk pengujian lelah ditentukan.
Penentuan tegangan luluh dilakukan dengan metode offset. Garis linier ditarik dari
sumbu x yang sejajar dengan kemiringan data grafik uji tarik yang masih konstan.
Setiap grafik memiliki persamaan garis lurus Y = a + bx yang berbeda-beda. Dari
metode ini diperoleh data regangan elastis dan regangan plastis. Data pengujian
yang dibentuk disajikan dalam: data uji tarik disajikan pada Tabel 4.2, data
perbandingan nilai UTS tersaji pada Gambar 4.2, dan data pertambahan panjang
disajikan pada Tabel 4.3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Nilai tegangan dan modulus elastisitas pada Tabel 4.2 didapat dari Persamaan
2.5.2 dan Persamaan 2.5.1 dimana nilai regangan elastis yang dipakai sesuai
dengan nilai hasil perpotongan garis linier dari metode offset dengan garis pada
grafik. Besi cor kelabu berkomposisi 3,8% Si memiliki nilai tegangan yang lebih
tinggi dibandingkan besi cor kelabu berkomposisi 2,9% sehingga lebih mampu
menahan beban. Namun, nilai tegangan ini lebih kecil dibandingkan nilai
tegangan pada standar FC 25. Hal ini disebabkan kareana tingkat porositas yang
tinggi yang disajikan pada Gambar 4.8 hingga Gambar 4.10. Besi cor kelabu
berkomposisi 3,8% Si memiliki nilai modulus elastisitas yang lebih tinggi
dibandingkan besi cor kelabu berkomposisi 2,9% Si sehingga material tersebut
lebih kaku.
Nilai regangan plastis pada Tabel 4.3 mengalami perbedaan yang siginfikan
jika dihitung secara aktual dengan menggunakan jangka sorong ( ) dan
secara pemaparan dari hasil uji tarik pada grafik ( grafik) dengan Persamaan
2.5.4. Perbedaan ini diakibatkan oleh klep penjepit spesimen kurang menahan
dengan erat pada saat pemberian beban tarik. Perpatahan yang terjadi akibat
dislokasi slip adalah patahan getas, tersaji pada Gambar 4.3. Patah getas dilihat
dari permukaan patahan yang rata dan tidak adanya perubahan bentuk spesimen.
Patah getas juga ditunjukan dari letak titik UTS dan titik spesimen saat patah
terletak pada titik yang sama, tersaji pada Gambar 4.4 dan Gambar 4.5. Nilai rata-
rata regangan plastis aktual dan regangan plastis pada grafik menunjukkan hasil
yang sama bahwa besi cor kelabu berkomposisi 2,9% Si lebih terdeformasi plastis
dibandingakan besi cor kelabu berkomposisi 3,8% Si. Nilai regangan besi cor
kelabu berkomposisi 2,9% Si lebih besar dibandingkan yang berkomposisi 3,8%
Si, tersaji pada Gambar 4.6.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tabel 4. 2 Data uji tarik besi cor kelabu berkomposisi 2,9% Si dan 3,8% Si
Komposisi
Si ID.
D
(mm)
Lo
(mm)
P max
(kg)
A
(mm2)
(MPa)
2,9%wt
H1 6 35,8 463,7 28,3 1,14 3,18 5,68 16,4 55,7 160,9 245,2
H2 6 35,4 413,3 28,3 1 2,82 3,01 14,6 29,5 143,4 242,0
H3 6,05 36 434,7 28,7 1,01 2,81 7,47 15,1 73,3 148,3 232,9
Rata-rata 1,05 2,94 5,39 15,4 52,8 150,9 240,0
3,8%wt
P1 6 35,5 448,2 28,3 0,83 2,33 7,21 15,8 70,8 155,5 254,3
P2 5,95 36 402,9 27,8 0,77 2,13 5,87 14,5 57,5 142,1 256,4
P3 6,05 36 477,4 28,7 1,16 3,23 6,30 16,6 61,8 162,9 216,5
Rata-rata 0,917 2,56 6,46 15,7 63,4 153,5 242,4
𝜀
(%)
∆L grafik
(mm)
𝜎𝑦
𝑘𝑔 𝑚𝑚2
𝜎
𝑘𝑔 𝑚𝑚2
𝜎𝑦
MP
𝜎 MP
56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Gambar 4. 2 Grafik rata-rata kekuatan tarik besi cor kelabu berkomposisi
2,9% Si dan 3,8% Si.
Tabel 4. 3 Data pertambahan panjang besi cor kelabu berkomposisi
2,9% Si dan 3,8% Si.
Komposisi
Si Nama
Lo
(mm)
grafik
(mm)
grafik
(mm)
2,9%wt
H1 35,8 1,14 0,23 0,91 0,03
H2 35,4 1 0,12 0,88 0,1
H3 36 1,01 0,32 0,69 0,1
Rata-rata 1,05 0,22 0,83 0,08
3,8%wt
P1 35,5 0,83 0,28 0,55 0,05
P2 36 0,77 0,22 0,54 0,1
P3 36 1,16 0,28 0,87 0,05
Rata-rata 0,92 0,26 0,65 0,07
(a) (b)
Gambar 4. 3 Patahan hasil uji tarik besi cor kalabu (a) berkomposisi 2,9% Si (b)
berkomposisi 3,8% Si.
150,9 153,5
0
20
40
60
80
100
120
140
160
2.9 3.8
Rat
a-ra
ta K
ekuat
an T
arik
(MP
a)
Komposisi Si
(%wt)
mm 𝑙𝑝 aktual ∆L grafik
(mm)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
0,0 0,4 0,8 1,2 1,6 2,0 2,4 2,8 3,2
0
20
40
60
80
100
120
140
160
Str
ess
(MP
a)
Strain
0,0 0,3 0,6 0,9 1,2 1,5 1,8 2,1 2,4 2,7 3,0
0
15
30
45
60
75
90
105
120
135
150
Str
ess
(MP
a)
Strain
0,0 0,3 0,6 0,9 1,2 1,5 1,8 2,1 2,4 2,7 3,0
0
15
30
45
60
75
90
105
120
135
150
Str
ess
(MP
a)
Strain
Gambar 4. 4 Grafik uji tarik besi cor kelabu berkomposisi 2,9% Si (a) percobaan
H1, (b) percobaan H2, (c) percobaan H3.
(a)
(c)
(b)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
0,0 0,3 0,6 0,9 1,2 1,5 1,8 2,1 2,4
0
20
40
60
80
100
120
140
160
Str
ess
(MP
a)
Strain
0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 1,6 1,8 2,0 2,2
0
15
30
45
60
75
90
105
120
135
150
Str
ess
(MP
a)
Strain
0,0 0,3 0,6 0,9 1,2 1,5 1,8 2,1 2,4 2,7 3,0 3,3
0
15
30
45
60
75
90
105
120
135
150
165
Str
ess
(MP
a)
Strain
Gambar 4. 5 Grafik uji tarik besi cor kelabu berkomposisi 3,8% Si (a)
percobaan P1, (b) percobaan P2, (c) percobaan P3.
(a)
(c)
(b)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Gambar 4. 6 Grafik rata-rata persentase regangan besi cor kelabu berkomposisi
2,9% Si dan 3,8% Si
4.4. Analisis Uji Lelah
Beban mula-mula pada pengujian lelah dapat dihitung dengan terlebih dahulu
mencari tegangan geser menggunakan Persamaan 2.6.1. Tegangan geser yang
digunakan dengan rasio 0,8 dari tegangan tariknya. Tegangan geser ditentukan
pada besi cor kelabu berkomposisi 2,9% Si sebesar 12,37 kg/mm2 dan pada besi
cor kelabu 3,8% Si sebesar 12,53 kg/mm2. Beban mula-mula ini dirumuskan
sebagai berikut:
Besi cor kelabu berkomposisis 2,9% Si
=
2 = 2
Beban = 2
2
Beban = 2,623 kg
Besi cor kelabu berkomposisis 3,8% Si
=
2 = 2
Beban = 2
2
Beban = 2,656 kg
2,94
2,56
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
2.9 3.8
Rat
a-ra
ta p
erse
nta
se r
egan
gan
𝜀 (%
)
Komposisi Si
(%wt)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Pembebanan mula-mula yang ditetapkan pada spesimen uji sebesar 2,6 kg untuk
besi cor kelabu 2,9% Si dan 2,65 kg untuk besi cor kelabu 3,8% Si. Setelah beban
mula-mula didapat maka pembebanan diturunkan sesuai rasio pada Tabel 4.4.
untuk mengetahui batas lelah material tersebut.
Tabel 4. 4 Data hasil pengujian lelah besi cor kelabu berkomposisi
2,9% Si dan 3,8% Si
2,9% Si 3,8% Si
Beban
(kg)
Rasio
Kekuatan
Tarik
(S/Su)
Umur
Hingga
Patah
(siklus)
Beban
(kg)
Rasio
Kekuatan
Tarik (S/Su)
Umur
Hingga
Patah
(siklus)
2,6 0,8 44000
2,65 0,8 277033
42242 283952
2,3 0,7 60560
2,3 0,7 299372
48996 519169
2 0,6 111247
2 0,6 822800
109644 890750
1,8 0,55 1,30E+06
1,8 0,55
2,35E+06
988791 2,0E+06
1,65 0,5
2,13E+06 1,05E+07
2,20E+06 1,12E+07
1,07E+07 1,65 0,5
≥ 2,35E+06
1,01E+07 ≥ 2,01E+06
Dari Tabel 4.4, batas lelah (fatigue limit) didapat dengan rasio
pembebanan 0,5 untuk besi cor kelabu 2,9% Si dan 0,55 untuk besi cor kelabu
3,8% Si. Semua spesimen yang dikenakan rasio pembebanan lebih besar dari
batas kelelahan telah patah akibat beban fluktuatif. Spesimen yang dikenakan
pembebanan sesuai rasio pembebanan batas lelah tidak patah hingga sepuluh juta
siklus. Jika spesimen dikenakan pembebanan yang lebih kecil dari batas lelah
maka spesimen mampu menahan siklus pembebanan berulang hingga tak
terhingga.
Data pada Tabel 4.4 kemudian dibuat garis pendekatan untuk
memperkirakan kekuatan lelah akibat beban fluktuatif dengan menggunakan
pendekatan regresi logistik, tersaji pada Tabel 4.5 dan Tabel 4.6. Pedekatan ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
digunakan karena nilai adjuctive R-square atau disingkat adj. R-square ≥ 0,9.
Adj. R-square menunjukkan kemampuan pendekatan garis untuk
menginterpretasikan data variabel bebas (umur hingga patah) terhadap variabel
terikat (rasio kekuatan tarik) sehingga dapat diperkirakan umur lelah saat
mengalami pembebanan tertentu. Jika adj. R-square bernilai 1 ,berarti garis yang
dibentuk sempurna dalam menginterpretasikan data. Grafik uji lelah tersaji pada
Gambar 4.7.
Dari hasil pengujian lelah, besi cor kelabu 3,8% Si memiliki kekuatan
lelah yang lebih baik dibandingkan besi cor kelabu 2,9% Si. Hal ini dilihat pada
nilai tegangan yang sama, jumlah siklus yang dihasilkan lebih besar pada
komposisi 3,8% Si. Peningkatan batas kelelahan terjadi karena besi cor kelabu
3,8% Si lebih keras dibandingkan besi cor kelabu 2,9% Si. Peningkatan nilai
kekerasan dan kekuatan tarik berbanding lurus dengan kekuatan lelah besi cor
kelabu 3,8% Si untuk menahan tegangan geser.
10000 100000 1000000 1E7 1E80,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1
Besi Cor Kelabu 2,9% Si
Besi Cor Kelabu 3,8% Si
Logistic Fit dari Besi Cor Kelabu 2,9% Si
Logistic Fit dari Besi Cor Kelabu 3,8% Si
Rasio
Kekuata
n T
arik (
S/S
u)
Umur Hingga Patah (Siklus)
Gambar 4. 7 Grafik hasil uji lelah besi cor kelabu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Tabel 4. 5 Fungsi regresi logistik hasil pendekatan garis non-linier uji lelah besi
cor kelabu berkomposisi 2,9% Si.
Equation y = A2 + (A1-A2)/(1 + (x/x0)^p)
Adj. R-Square 0,94721
Variabel Value Standard Error
Rasio Kekuatan Tarik A1 167,19815 155753,265
Rasio Kekuatan Tarik A2 0,51346 0,01422
Rasio Kekuatan Tarik x0 220,9889 170972,212
Rasio Kekuatan Tarik p 1,21803 1,25299
Tabel 4. 6 Fungsi regresi logistik hasil pendekatan non-linier uji lelah besi cor
kelabu berkomposisi 3,8% Si.
Equation y = A2 + (A1-A2)/(1 + (x/x0)^p)
Adj. R-Square 0,90036
Variabel Value Standard Error
Rasio Kekuatan Tarik A1 0,79857 0,07242
Rasio Kekuatan Tarik A2 0,54772 0,01808
Rasio Kekuatan Tarik x0 561778,126 173693,4145
Rasio Kekuatan Tarik p 3,00171 2,05346
4.5. Analisis Stuktur Mikro
Struktur mikro hasil pengecoran besi cor kelabu menunjukkan sedikit
perbedaaan. Pada komposisi 2,9% Si, besi cor kelabu menunjukkan morfologi
grafit tipe–A, tersaji pada Gambar 4.8. Grafit tipe–A menunjukkan grafit yang
mempunyai dimensi yang panjang serta terdistribusi sebarang. Pada komposisi
3,8% Si, besi cor kelabu menunjukkan morfologi grafit tipe–A dengan sedikit
berkecenderungan kepada grafit tipe–B, tersaji pada Gambar 4.9. Grafit tipe–B
menunjukkan grafit halus yang memusat yang disekelilingnya dilanjutkan oleh
grafit lamellar. Sebagian besar morfologi permukaan tersusun dari grafit dan
perlit. Namun, besi cor kelabu 2,9% Si menunjukkan adanya lebih banyak fasa
sementit. Hal ini menunjukkan selama pemadatan, tingkat pendinginan tinggi dari
udara diterapkan pada spesimen. Besi cor kelabu 3,8% Si memiliki ukuran grafit
yang lebih kecil. Porositas tampak pada gambar mengurangi sifat mekanis besi
cor kelabu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Gambar 4. 8 Struktur mikro besi cor kelabu berkomposisi 2,9% Si
Gambar 4. 9 Struktur mikro besi cor kelabu berkomposisi 3,8% Si
Sementit
Grafit
Perlit Porositas
Sementit
Grafit
Tipe-B
Perlit
Porositas
Grafit
Tipe-A
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
4.6. Analisis Stuktur Makro
Dari pengamatan struktur makro, lubang-lubang kecil (pori) terlihat pada
permukaan spesimen, tersaji pada Gambar 4.10. Hal ini terjadi karena pada proses
penuangan besi cor kelabu menggunakan pasir alam dalam kondisi lembab dan
tidak dibuat lubang keluaran udara, sehingga terdapat uap air dan udara yang
terperangkap dalam cetakan. Uap air dan udara mendesak spesimen di selama
proses pemadatan. Pori ini berdampak pada menurunnya kekuatan tarik dan
kekerasan yang terjadi karena inisiasi retakan lebih mudah terbentuk. Hal ini
menjadikan nilai kekuatan tarik dan kekerasan tidak sesuai dengan standar
pengecoran FC 25. Dari pori pada permukaan spesimen, pori pada bagian dalam
spesimen dimungkinkan terjadi. Oleh kerena itu, spesimen dalam tugas akhir ini
berjumlah 2 kali lebih banyak dari data akurat yang dipaparkan di atas.
Sebagian besar spesimen uji tarik dan uji lelah memiliki perpatahan di dekat
pengerjaan fillet dimensi spesimen, tersaji pada Gambar 4.10. Hal ini dikarenakan
tegangan sisa hasil pembubutan terdapat pada bagian tersebut. Ada spesimen uji
lelah yang kurang center pada pengerjaan pembubutan. Hal ini memperkecil umur
lelah, sehingga adanya data spesimen yang tidak seragam dengan material lain
yang tidak dimasukkan sebagai data pengujian lelah.
Kandungan Si mempengaruhi warna spesimen. Spesimen yang memiliki
komposisi Si lebih banyak berwarna lebih terang, tersaji pada Gambar 4.10.a. Hal
ini sama seperti saat di dalam tungku peleburan, kandungan Si selama peleburan
besi cor kelabu lebih bercahaya.
Gambar 4. 10 (a) patahan spesimen uji tarik berkomposisi 3,8% Si (b) patahan
spesimen uji lelah berkomposisi 2,9% Si
(a
)
(b
)
Pori
Pori
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan terhadap kekuatan lelah besi cor kelabu
berkomposisi 2,9% Si dan 3,8% Si, maka diperoleh beberapa kesimpulan antara
lain:
1. FC 25 berkomposisi 2,9% Si menunjukkan morfologi grafit tipe–A
sedangkan FC 25 berkomposisi 3,8% Si menunjukkan morfologi grafit
tipe–A dengan sedikit berkecenderungan kepada grafit tipe–B. Permukaan
besi cor kelabu terdiri dari fase perlit, fase sementit, dan grafit. Komposisi
2,9% Si menunjukkan fase sementit yang lebih banyak dibandingkan
komposisi 3,8% Si. Pori terdapat pada struktur mikro kedua komposisi.
2. Komposisi Si yang lebih tinggi mempengaruhi sifat mekanis besi cor
kelabu, antar lain: kekerasan meningkat sebesar 7,6% menjadi 187,9
BHS, kekuatan tarik meningkat sebesar 1,3% menjadi 153,6 MPa,
modulus elastisitas meningkat sebesar 1% menjadi 242,4 MPa, dan batas
lelah meningkat sebesar 10% menjadi 0,55 rasio kekuatan tarik.
5.2. Saran
Agar diperoleh hasil yang lebih maksimal, maka beberapa saran yang baik
untuk dilakukan antara lain:
1. Memberikan ulir pada bagian spesimen yang dicengkram oleh grip,
sehingga tidak terjadi penambahan regangan akibat spesimen tergelincir
atau slip.
2. Menambah spesimen uji lelah, sehingga data yang dihasilkan lebih
banyak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
REFERENSI
Amstead, B.H., Philip F. Ostwaid, dan Myron L.Begeman. 1993. Teknologi
Mekanik Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Bannantine, J. A., Jess J. C., dan James L. H. 1989. Fundamentals of Metal
Fatigue Analysis. Englewood Cliffs: New Jersey.
Basuki, A., Rochim S., dan Tata S. 1986. PEMBUATAN BESI COR
NODULAR DAN METODA OPTlMASlNYA. Jurnal Mesin ITB Vol 5,
No 1 & 2.
Callister, W. D. 2007. Materials Science and Engineering. John Wiley & Sons,
Inc: USA.
Dieter, G. E. 1993. Metalurgi Mekanik. (Jilid 1). Terjemahan oleh: Sriati Djaprie.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Dieter, G. E. 1992. Metalurgi Mekanik. (Jilid 2). Terjemahan oleh: Sriati Djaprie.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Edalati K., F. Akhlaghi, dan M. Nili-Ahmadabadi. 2004. Influence of SiC and
FeSi addition on the characteristics of gray cast iron melts poured at
different temperatures. Journal of Materials Processing Technology 160
(2005) 183–187. https://doi.org/10.1016/j.jmatprotec.2004.06.007.
Ferro, P, P.Lazzarin, dan F. Berto. 2012. Fatigue properties of ductile cast iron
containing chunky graphite. Vol. 554, 30 September 2012, Pages 122-128.
http://dx.doi.org/10.1016/j.msea.2012.06.024
Kalpakjian, S., and Steven R.S. 2013. Manufacturing Engineering and
Technology. Pearson Publications: Singapore.
Larbi, K.K. 2010. Tesis berjudul “Synthesis of High Purity Silicon from Rice
Husks”. Department of Materials Science and Engineering. University of
Toronto.
Martienssen, M., dan H. Warliomont. 2005. Springer Handbook of Condensed
Matter and Materials Data. Germany: Springer Berlin Heidelberg.
Pearce,J.M, dkk. 2007. Optimization of Open-Circuit Voltage in Amorphous
Silicium Solar Cells with Mixed Phase (Amorphous + Nanocrystalline) p-
Type, Journal of Applied Physics 101, 114301.
http://dx.doi.org/10.1063/1.2714507.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Smallman, R. E., dan R. J. Bishop. 2000. Metalurgi Fisik Modern dan Rekayasa
Material. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Surdia, T. dan Saito, S. 2005. Pengetahuan Bahan Teknik. Jakarta: Pradnya
Pramita.
Vlack, L. H. V. 1991. Ilmu dan Teknologi Bahan (Ilmu Logam dan Bukan
Logam). Terjemahan oleh: Sriati Djaprie. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Willidal. Th, W. Bauer, dan P. Schumacher. 2005. Stress/strain behaviour and
fatigue limit of grey cast iron. Materials Science and Engineering A 413–
414 (2005) 578–582. doi:10.1016/j.msea.2005.08.200.
Xue, W. dan Yan Li. 2016. Pretreatments of gray cast iron with different
inoculants. Journal of Alloys and Compounds S 0925 – 8388 (16) 32085 –
0. DOI: 10.1016/j.jallcom.2016.07.052
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
LAMPIRAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI